Perkembangan Isu “Density” dalam Gerakan Arsitektur Kritis oleh: Rahadea Bhaswara (07/ 259952/ PTK/ 4685) ABSTRAKSI Isu ”density” merupakan salah satu isu yang paling menarik untuk diikuti perkembangannya, dan masih aktual hingga saat ini. Dinamika peradaban manusia menjadikan isu ini dinamis dan semakin menarik untuk diikuti. Perkembangan dunia hingga saat ini masih memposisikan kota sebagai pusat-pusat peradaban, dimana manusia satu dengan yang lain dipaksa untuk saling bertemu dan bernegosiasi, menciptakan sebuah budaya baru kota era kontemporer. Kondisi perkotaan di Eropa, Amerika maupun Asia memang berbeda secara konsep maupun bentuk ikatan sosial yang ada di dalamnya. Meski demikian, ”density” sama-sama menjadi isu penting pada masing-masing daerah tersebut. Urban sprawl-compact city, globalismeregionalisme, modernisme-postmodernisme, neourbanisme-posturbanisme, hanya strukturalisme-poststrukturalisme, sebagian atribut yang mewarnai perkembangan isu ”density” terkait dengan kondisi masyarakat perkotaan hingga saat ini. Dengan melihat begitu luasnya isu ”density” tersebut, maka makalah ini akan dibatasi dalam konteks ”Gerakan Arsitektur Kritis”. ”Gerakan Arsitektur Kritis” sendiri merupakan bagian dari gerakan arsitektur postmodern yang merupakan antitesis dari gerakan arsitektur modern. LATAR BELAKANG Era Modern, Urbanisme dan Perkembangannya Era Renaissance yang dimulai pada pertengahan abad 14 merupakan gerakan yang mengawali munculnya “proyek pencerahan” era modern. Era ini muncul untuk membebaskan manusia dari belenggu dogmatis agama di Eropa abad pertengahan, pada era gothic. Menggeser paradigma manusia yang tunduk kepada dogma, menjadi manusia yang berfikir untuk eksistensi manusia. Kalimat Descartes, “Cogito ergo sum!” (“aku berfikir, maka aku ada!”), mewakili paradigma era modern awal ini (Suriasumantri, 2003). Masa-masa yang disebut sebagai “abad pencerahan”, abad ke-15 hingga abad ke-20, menghadirkan berbagai kemajuan penting dalam berbagai bidang ilmu yang ditandai dengan munculnya empirisme ilmiah, filsafat positif logis, materialisme, nihilisme dan tentu saja revolusi industri sebagai manifesto dari semua itu. Pemisahan-pemisahan dalam berbagai cabang ilmu terjadi karena pengembangan ilmu menuntut sedemikian rupa, sebagai bagian dari revolusi industri (Suriasumantri, 2003). Pada kenyataannya, pemisahan tidak hanya terjadi dalam cabang ilmu, Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 1 struktur sosial serta interaksi sosial antar manusia juga terkotak-kotakkan sedemikian ketatnya. Manusia hidup dalam koridor standar hidup baku dan kelaskelas sosial masing-masing. Hal ini menjadi penting dalam bahasan ini karena paradigma struktural modern masih berpengaruh dalam perkembangan ilmu psikologi, arsitektur dan ilmu sosial modern lainnya. Paradigma poststruktural sendiri mulai lazim digunakan pada era postmodern, sebagai upaya dekonstruksi ketatnya hierarki struktural era modern. Sama seperti era pra-industri (renaissance), yaitu membongkar mitos dan doktrin era sebelumnya (modern). Era modern menciptakan kota-kota yang dianggap sebagai manifesto kemajuan zaman. Kota-kota yang dibangun di atas utopia tunggal warga kotanya, kota yang modern. Sangat tidak mengherankan bila kemudian terjadi proses-proses untuk meng-kota-kan, atau disebut juga sebagai urbanisme. Urbanisme kota-kota modern pada dasarnya berpegang pada piagam Athena (1993), yang menggunakan paradigma kota adalah sebuah mesin dengan bagian-bagian yang memiliki fungsi tertentu (Corbusier, 1925). Dari paradigma ini, kota berkembang menjadi zona-zona dengan fungsi masing-masing. Sehingga terbentuk masyarakat kota yang terkotakkotak dan hanya terhubung berdasar pada efisiensi fungsi dan kerjanya. Urbanisme modern tersebut menghasilkan manusia-manusia yang tidak “saling mengenal”. Ketidak “saling mengenal”-an ini menjadi penting bila dikaitkan dengan konsep “density” Milgram (1970) dan Seagert (1978), terkait dengan kelebihan stimulasi/ informasi (dalam Bell, et.al., 2001). Atau dengan konsep Stokols (1972) dan Sunstorm (1982) mengenai pembatasan perilaku (dalam Bell, et.al., 2001). Dalam perkembangan kota, juga dikenal pendekatan baru yang disebut neo-urbanisme. Pendekatan ini pada dasarnya adalah pendekatan ekologis terhadap bentuk kehidupan manusia penghuni kotanya, ekologi perkotaan. Manusia Kota dan Budaya Kota Manusia kota atau manusia urban, sebutan bagi penghuni dan pengguna kota, melahirkan budaya baru yang disebut budaya kota (Urban Culture). Budaya ini muncul di tengah berbagai persinggungan budaya yang terjadi dalam sebuah kota. Fenomena budaya tersebut merupakan manifestasi dari keberagaman dan tingkat kompleksitas sebuah kota (Urban Complexity). Masing-masing elemen pembentuk “budaya kota” muncul dalam bentuk sistem tanda, yang merupakan representasi setiap elemen tersebut. Secara garis besar, budaya kota merupakan hasil komunikasi setiap elemen pendukungnya. Ruang kota (Urban space) sebagai bentuk fisik nyata “tempat” dalam sebuah kota dimana manusia kota yang satu dan yang lain akan saling bersinggungan menghadirkan satu kompleksitas hubungan antar elemen pembentuknya. Ruang Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 2 kota, menjadi penting untuk dibicarakan karena, hadir di tengah-tengah kompleksitas kota secara sadar maupun tidak sadar. Kehadirannya merupakan akibat sekaligus sebab munculnya kompleksitas dalam sebuah kota. Ruang kota muncul, sebagai ruang antara, akibat kepadatan elemen-elemen pembentuk kota yang lain. Ruang kota sekaligus menjadi tempat dimana elemen-elemen pembentuk ruang kota bertemu, dan menimbulkan kompleksitas tersendiri bagi kota tersebut. Dalam konteks hubungan antar elemen ruang kota inilah terjadi sebuah tawar-menawar posisi hak dan kewajiban di antaranya. Kondisi saling mempengaruhi ini merupakan sebuah dialog yang akan terus terjadi dan tidak pernah berhenti dalam sebuah kota. “The city is a discourse and this is truly a language: the city speaks to its inhabitants, we speak our city, the city where we are, simply by living in it, by wandering through it, by looking at it.” (Barthes, dalam Leach, 1997). Memahami kota, budaya kota dan bentuk komunikasi perkotaan menjadi penting dalam bahasan ini karena munculnya isu “density” sangat erat terkait dengan kondisi perkotaan pada saat ini. Sedangkan Perkembangan terkini dari kota-kota industrial era modern menjadi kota-kota post-industrial, termasuk keberadaan era informasi dan komunikasi digital, telah merubah bentuk komunikasi sosial yang terjadi di kota-kota masa kini. Secara fisik dapat kita lihat di setiap sudut kota masa kini akan dipenuhi dengan informasi secara masif, dalam bentuk tulisan, warna, ikon, logo, simbol, bentuk, suara maupun perilaku seseorang. Sehingga pembatasan isu “density” dalam makalah ini diterjemahkan sebagai sebuah “urban density” terkait erat dengan keberagaman jenis, bentuk, pelaku dan tujuan informasi yang terjadi di sebuah kota pada saat ini. Perkembangan yang disebutkan di atas mempengaruhi perubahan kemampuan masing-masing individu (manusia kota) dalam menerima dan mengolah informasi yang ada. Coupland (1991) menunjukkan keberadaan manusia-manusia “Generation X”, lahir antara tahun 1964-1978, yang sangat kritis terhadap mitos dan doktrin yang memarjinalkan. Namun dalam kenyataannya generasi ini juga masih menerima bentuk struktur-struktur tertentu yang diyakininya. Generasi ini juga sangat kritis terhadap isu “density” perkotaan yang terjadi pada saat itu. Selanjutnya Coupland (1995, 2006), dan diperkuat dengan penelitian oleh “Spectrum Knowledge” tahun 2008, memperlihatkan keberadaan manusia-manusia “Generation Y” yang lahir setelah tahun 1978, yang terbukti memiliki kemampuan multi-tasking dan kemampuan bekerja dengan kelompok orang. Manusia yang lahir setelah tahun 1978 ini mampu menerima dan mengolah banyak informasi secara bersamaan, dalam kondisi gaduh sekalipun, karena terlahir (native) dalam suasana perkotaan yang sudah berpadat-padatan (congested). Manusia yang terlahir antara tahun 1964- Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 3 1978, meski melakukan adaptasi (adaptation) terhadap kondisi kota tersebut, namun tidak sebaik “Generation Y” yang native sejak lahir. Ninok Leksono dalam artikelnya, menjelaskan bagamana era informasi dapat membentuk manusia-manusia super yang sangat kuat dalam mengolah informasi masif (Kompas, 17 Juli 2008). ISU “DENSITY” DAN PERKOTAAN Density sebagai mitos dan sebagai realita Dalam Perkembang isu “density”, dapat kita lihat bagaimana “density” dilihat melalui 2 (dua) sudut pandang berbeda. Sebuah konferensi berjudul “Density: Myth and Reality” diadakan di Boston tanggal 11-14 September 2003, membahas adanya pergeseran diantara 2 (dua) sudut pandang tersebut. Sudut pandang yang pertama adalah “density” sebagai sebuah mitos, sebagai obyek telaah yang situasional. Pandangan ini banyak digunakan dalam paradigma dan teori-teori modern hingga postmodern awal. Dalam pandangan ini, “density” tinggi dimitoskan sebagai kondisi situasional yang “kurang” ideal, sehingga dianggap tidak menguntungkan. Hal ini banyak berpengaruh terhadap pemikir-pemikir Amerika pada era industri. Buku “Environmental Psychology” karya Bell et.al. (2001) terlihat masih cukup banyak menggunakan hasil penelitian di Amerika tahun 1960 – 1970an sebagai contoh. Sehingga pada beberapa kasus terlihat adanya gap antara hasil penelitian yang dicontohkan, dengan kondisi masyarakat pada saat ini. Pada sisi lain, isu “density” juga mulai banyak dikaji sebagai sebuah realita. Dalam konteks arsitektur, buku Jane Jacobs, “The Dead and Life of Great American Cities” tahun 1961, mengkritisi bentuk-bentuk kota di Amerika era modern. Jacob menawarkan konsep urbanisme baru yaitu “diversity, density and dynamism”. Buku lain yang ditulis Robert Venturi, “Complexity and Contradiction in Architecture” tahun 1966, juga merupakan karya yang berpengaruh dalam perkembangan isu urban density. Teori “defensible space” oleh Oscar Newman tahun 1972 (dalam Newman, O., 1996), merupakan salah satu konsep praktis yang menandakan peralihan cara pandang dari “density” sebagai obyek penelitian, menjadi “density” sebagai realita yang dihadapi sehari-hari. Isu “density” bergeser menjadi sebuah kondisi yang dihadapi melalui tindakan praktis. George Thrush (2003) dalam makalah jurnal memberikan gambaran kondisi perkotaan saat ini, serta gap yang terjadi antara mitos dan realita yang ada. “Public-ness defined as the absence of development, rather than its character, qualities, identity (Perhaps the “natural” condition of cities is density) “, (Thrush, 2003) Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 4 Human Ecology: individual oriented dan system oriented Dilihat dari obyek amatannya, studi terkait dengan isu “density” juga dapat dibagi menjadi 2 (dua). Yang pertama adalah studi berorientasi individu, banyak dilakukan pada studi-studi psikologi modern. Studi ini akan banyak mempelajari keterkaitan isu “density” lingkungan dengan pengaruhnya pada individu. Yang kedua adalah studi berorientasi sistem. Dalam jurnal Human Ecology, Peter Newman dan Trevor Hogan (1981) dalam artikel berjudul “A Review of urban density models”, menuliskan ada kecenderungan studi akhir-akhir ini lebih mengarah pada kajian sistemnya. Dengan obyek amatan terhadap sistem, sebuah fenomena dilihat secara menyeluruh (holistik) dan kontekstual. Dari perkembangan studi terakhir inilah “density” ternyata memiliki banyak aspek positif dalam konteks ekologi sebuah kota. “The physical or systems-oriented studies (which involve economic, ecological, historical, and engineering models) suggest advantages in costs, energy, environment, and transport from increasing urban density.” (Newman, P., Hogan, T., dalam jurnal Human Ecology, 1981) Budaya Kota: Adaptasi dan Evolusi Adaptasi manusia terhadap lingkungan kota dijelaskan melalui teori adaptasi Firey (1974, dalam Carter, 1976). Adaptasi tersebut terkait dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan diri terhadap lingkungannya kotanya. Terdapat 2(dua) jenis bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan urban. Adaptasi volisional adalah penyesuaian atas dasar kemauan sendiri, selama nilai-nilai yang mengungkapkan identitas pada sistem kulturnya mendapatkan artikulasi spasial. Adaptasi rasional yaitu penyesuaian diri dengan dasar keinginan menguasai dengan keuntungan ekonomi yang telah terbentuk dalam kontrol budaya. Apabila penyesuaian tersebut tidak berhasil, maka yang terjadi adalah culture alienation, merasa terasing terhadap kondisi kota tersebut. Pergeseran dari kota agraris menjadi kota industrial modern dan menjadi kota post-industrial (masyarakat informasi) merupakan peralihan yang terjadi dengan relatif cepat. Secara umum hal tersebut yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman terhadap kondisi kota yang terus berubah, termasuk dalam konteks isu “density”. Sebagaimana dijelaskan oleh Douglas Coupland (1991, 1995, dan 2006), di atas, terdapat beberapa jenis manusia kota, yang secara bertahap berubah dari manusia era material (empiricism) menuju manusia era informasi. Meminjam model eklektis psikologi lingkungan Bell et.al. (2001), hal tersebut akan terkait dengan siklus proses secara terus menerus sehingga terjadi adaptasi positif terhadap kondisi kota yang padat. Kondisi kota yang padat dengan berbagai bentuk informasi Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 5 direspon dengan adaptasi, mengurangi jumlah informasi yang dihiraukan, atau menggeser preferansi individualnya. Pada sisi lain terdapat teori adaptasi Lamarck (1809), adaptasi Darwin (1859) dan evolusi Baldwin (1896). Lamarck menjelaskan adaptasi evolutif sebagai proses fisik merespon kebutuhan lingkungannya. Darwin menjelaskan adaptasi evolutif sebagai proses genetik yang diturunkan antar generasi. Sedangkan Baldwin menjelaskan bahwa interaksi seseorang dengan lingkungannya akan meningkatkan kemampuan dan secara bertahap akan terintegrasikan sebagai peningkatan genetik pada generasi-generasi selanjutnya. Terkait dengan isu “density” dan perkembangan kemampuan manusia penghuni kotanya, maka budaya kota yang terbentuk hingga saat ini merupakan proses adaptasi manusia kota dengan kondisi lingkungan kota yang padat dan beragam. Manusia “generation Y” (Coupland, 1995) merupakan sebuah produk evolusi manusia perkotaan, yang memerlukan kemampuan menerima dan mengolah informasi yang padat serta beragam tersebut. Berbagai teori aktual, mengenai urban density (diterjemahkan sebagai diversity dalam beberapa teori) dan realita budaya kota, semakin menunjukkan keterkaitan positif di antara keduanya. “... urban design demands the ultimate creation of cities which will provide a creative environment for people, that is, an environment with great diversity, allowing freedom of choice and generating the maximum interaction between people and urban surroundings” (Halprin, 1978) “Diversity encourages creativity, while repetition anaesthetises it. ... But whatever the cause, such homogeneity makes it difficult for the user to add anything of their own, and we lose that rich resource of popular creativity which can transform a space into a place and give it life. ... This should remind us that it is inhabitants who really create the city and not the planner.” (Kroll, 1983) New-urbanism dan post-urbanism Douglas S. Kelbaugh (2003), melalui artikel “Density – the D Word”, dalam konferensi AIA, melihat pergeseran dan perdebatan paradigma perencanaan dan perancangan terkait dengan isu urban density. Pembahasan Kelbaugh terkait dengan fenomena urban sprawl yang terjadi di kota-kota post industrial. Newurbanism dijelaskan sebagai strategi untuk kembali pada perencanaan yang lebih tradisional, dengan memperlambat tempo manusia dan kendaraan di kota (slow urbanism). Pada beberapa kasus ekstrim terlihat adanya penolakan terhadap pembaruan teknologi, dalam berbagai kritik disebut sebagai “overly traditional”. Pada sisi lain Kelbaugh juga menjelaskan istilah post-urbanism, yang mengkritisi pendekatan tradisional new-urbanism. Pernyataan Koolhaas, Libeskind, Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 6 dan Gehry “Personally, I think there is room in New Urbanism for buildings – but not neighborhoods”, mewakili kritik gerakan ini terhadap new-urbanism. Post-urbanism sendiri dijelaskan sebagai sebuah “fast urbanism”, pendekatan yang tidak mengabaikan budaya konsumtif kota, keberanian dan kebebasan desain serta teknologi yang tidak pernah berhenti berkembang. Dalam perkembangannya, fast urbanism ini mengalami transformasi lanjut dalam gerakan arsitektur kritis terbaru. (akan dijelaskan pada bagian selanjutnya). GERAKAN ARSITEKTUR KRITIS Derrida, Hays dan Peter Eisenman: Dekonstruksi Nihilisme Gerakan-gerakan kritis secara umum berada di bawah paradigma rasionalisme. Feurbach, Nietzsche, Freud, Kierkegaard, Hegel dan Marx dianggap mewakili awal munculnya gerakan ini. Generasi awal tersebut banyak mengkritisi peran agama dalam kehidupan manusia. Hegel memperkenalkan idealisme, sedangkan Karl Marx mengembangkan melalui kritik ideologinya. Pada tahap ini gerakan teori kritis menemukan fungsinya untuk menyentuh realitas konkrit. Frankfurt school, mewakili perkembangan gerakan teori kritis sejak perang dunia II. Dari gerakan ini lahir gerakan-gerakan neo-leftish (neo-marxist). Generasi terakhir teori kritis diwakili oleh teori Jurgen Habermas dan Derrida, terkait dengan bentuk masyarakat komunikatif era postmodern. Dalam konteks gerakan arsitektur kritis, nama Jacques Derrida, Michael Hays dan Peter Eisenman dikenal mengawali gerakan ini. Michael Hays sendiri seorang teorist dan kritikus arsitektur yang banyak “mencatat” perkembangan kritik dalam perkembangan dan sejarah arsitektur. Hays merupakan editor utama sebuah jurnal kritis MIT mengenai arsitektur dan desain yang berjudul “Assemblage”, antara tahun 1986-2000. Bukunya yang berjudul “Architecture Theory since 1968” terbit pada tahun 2000. Jacques Derrida, merupakan seorang filsuf yang mempopulerkan dan menggunakan metoda dekonstruksi dalam karya-karyanya. Metode dekonstruksi digunakan untuk melakukan kritik terhadap posisi ilmu filsafat itu sendiri. Hal tersebut yang membuat Derrida sulit diterima sebagai seorang filsuf, namun lebih diterima oleh golongan sastra. Peter Eisenman adalah seorang arsitek yang beberapa kali bekerja sama dengan Derrida dalam karya-karyanya. Buku Chora L Works, tahun 1997, merupakan dokumentasi kerjasama Derrida dan Eisenman dalam proyek kompetisi desain Parc de la Villete. Buku ini menjadi gambaran betapa rapuhnya hubungan makna dalam arsitektur dekonstruksi. Eisenman dalam berbagai wawancara juga selalu akan menjadi seorang desainer yang berada di tengah- Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 7 tengah. Hal tersebut yang kemudian memunculkan banyak kritik, dan meletakkannya sebagai arsitek dekonstruksi nihilism, sebagai seorang yang mempercayai tidak adanya nilai yang benar (dalam wawancara Eisenman, 2004). Istilah dekonstruksi nihilis juga disebutkan Charles Jencks (1995), dalam bukunya “The Architecture of the Jumping Universe”. Dalam berbagai review dan kritik, desain Eisenman dikategorikan sebagai karya-karya yang tidak ramah terhadap penggunanya. Meski menurut Eisenman, hal tersebut merupakan caranya untuk melakukan kritik terhadap kehidupan masyarakat kotanya, dengan mendekonstruksi cara berfikir pengguna desainnya. Kritik Eisenman tersebut ditujukan untuk menunjukkan keberadaan “density” sebagai realita perkotaan saat ini. Pada tahap ini Eisenman cenderung sebatas memaparkan, dan mengajak pengguna desainnya untuk berfikir kembali tentang realita keberadaan isu “density” tersebut. Bernard Tschumi, Rem Koolhaas, dan Daniel Libeskind: Arsitektur Avant-garde Bernard Tschumi adalah salah satu pemenang kompetisi desain Parc de la Villete yang akhirnya terbangun secara fisik. Meski berkarya pada era yang sama dengan Eisenman, Tschumi cenderung digolongkan sebagai praktisi arsitektur kritis tahap berikutnya, kedua. Tahap kedua ini tidak lagi hanya sebatas memaparkan kritik-kritik “density” pada tataran konseptual yang ketat, namun memasuki dunia arsitektur praktis dengan “elegan”. Istilah “elegan” perlu digaris bawahi karena pada tahap ini, desain masih bersifat avant-garde. Dalam arti, desain bersifat top-down meski pengguna diberi ruang-ruang partisipatif untuk terlibat dalam desain. Parc de la Villete Tschumi adalah sebuah transformasi realita “density” dalam sebuah konsep terpadu yang sinematik. Menciptakan kepadatan melalui peralihan yang terpotongpotong antara tema dan elemen, air, tanaman, paving, dan struktur, melalui 3 lapis desain surfaces, points dan lines. Tema-tema beragam dan elemen yang terpotongpotong merupakan usaha menciptakan “density” sekaligus melibatkan pengguna desain untuk ikut memaknai ruang diantara “density” yang beragam tersebut (Turner, 2005). Metoda-metoda analisis dan desain Tschumi berkembang dari buku ini. Sebagian besar karya tulis Tschumi terkait dengan isu “urban density” tidak menjelaskan “density” secara eksplisit. Teori “space event and movement” diterjemahkan sebagai metoda mengolah kondisi padat kehidupan perkotaan, dengan memberi makna-makna baru. Dalam buku “Madness and Combinative”, Tschumi juga menjelaskan realita kondisi “madness” di masyarakat, diperbandingkan dengan schizophrenia, dapat dipulihkan dengan mengumpulkan kembali realitarealita yang terserak. “The Manhattan Transcript” tahun 1981, merupakan karya Tschumi mengenai fragmen-fragmen realita kota Manhattan yang terserak yang sedang dibangun kembali (dalam Wastuty, 2006). Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 8 Rem Koolhaas juga merupakan salah satu arsitek yang intensif dalam perkembangan isu “density”. Buku berjudul “Delirious New York”, tahun 1978, merupakan buku penting sebagai manifesto kehidupan perkotaan yang delirious (tergila-gila; mengigau) Kota Manhattan. Dibandingkan dengan “The Manhattan Transcript”-nya Tschumi, karya Koolhaas lebih banyak berbicara tentang sesuatu yang struktural dibalik kekacauan yang terjadi. Struktur tersebut disebutnya sebagai manifesto kota abad ke-20, sebuah “culture of congestion” (budaya berpadatpadatan). Buku ini menjadi awal penting bagaimana isu “density” dapat terintegrasi ke dalam struktur formal desain arsitektur. Seluruh karya tulis Koolhass cenderung memiliki isi (content) yang bobot, namun disajikan melalui kolase-kolase grafis populer yang sangat padat. Desain Koolhaas dalam kompetisi Parc de la Villete juga menjadi salah satu pemenang, selain Bernard Tschumi, meski bukan yang terbangun. Pada kompetisi ini Koolhaas juga menampilkan konsep “density”, sama dengan Tschumi, namun menggunakan pendekatan yang berbeda. Dalam konsepnya, Koolhass melakukan superimposisi 5 (lima) sistem terpisah, dengan ukuran grid yang berbeda. Dengan cara tersebut Koolhaas menciptakan “density” melalui chaos yang terstruktur. Dalam karya-karya desain selanjutnya, Koolhaas selalu melakukan analisis keberadaan ”congestion lines” sebagai bagian dari desain. Garis congestion, sebagai sebuah manifesto “density”, ini merupakan bagian yang tidak bisa tidak difasilitasi dalam desain Koolhaas. Selain itu, Koolhaas juga menerapkan strategi ruang terprogram di antara ruang tidak terprogram sehingga tercipta ruang bebas bagi pengguna untuk makna personal. Buku S, M, L, XL menawarkan konsep bigness, dimana skala perkotaan pada saat ini memungkinkan kulit bangunan (enclosure) dan kegiatan internal (program) untuk berdiri sendirisendiri tanpa ada kaitan. Daniel Libeskind adalah arsitek yang biasa memulai desain dari garis. Garisgaris dalam konsep desain Libeskind mewakili beberapa hal yang dianggap penting dan kontekstual. Garis-garis (invisible lines) tersebut tidak terlihat, namun mewakili sejarah, power, simbol, dialog dan pergerakan yang dianggap penting. Meski tidak banyak menampilkan teori, namun desain Libeskind banyak menampilkan sirkulasi yang interaktif. Bangunan karya Libeskind banyak dikategorikan sebagai bangunan yang mampu berdialog dengan penggunanya. Keterikatan pengguna desain dengan desainnya merupakan strategi desain Libeskind agar realita perkotaan yang padat berpengaruh positif terhadap masyarakat kotanya. Satu hal yang dapat ditarik dari gerakan arsitektur kritis tahap kedua ini adalah, bagaimana “density” bukan lagi sebagai obyek kritisi, namun sistem struktur yang ada yang perlu dipertanyakan kembali. Karya arsitek sebagai struktur formal Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 9 bukan lagi untuk mengurangi kepadatan perkotaan (urban density), namun untuk memberi efek positif dari kekacauan yang muncul akibat kepadatan tersebut. Mengumpulkan fragmen-fragmen terserak; sirkulasi berdasarkan congestion lines; programming; serta dialog antara pengguna dan desain, adalah beberapa strategi terkait dengan isu “density”. Hal yang kemudian membedakan dengan tahap berikutnya adalah, pada tahap kedua ini arsitek memposisikan diri sebagai desainer peristiwa yang terjadi di dalam desain. Meski memberi ruang bebas di antara struktur formal, namun desain pada tahap ini masih top-down. Hal tersebut menjadikan gerakan tahap kedua bersifat avant-garde terhadap penggunanya. MVRDV: Projective Architecture MVRDV merupakan singkatan dari nama pendirinya, Winy Maas, Jacob van Rijs dan Nathalie de Vries. Maas dan van Rijs pernah bekerja di OMA (Koolhaas), hal tersebut berpengaruh terhadap arah isu dan minat MVRDV, urban density. Buku “FARMAX: excursion on density”, tahun 1999, disebut menandai terjadinya pergeseran (kembali) isu “urban density”. Dalam beberapa review, FARMAX disebut sebagai kelanjutan dari buku Rem Koolhaas yang berjudul S, M, L, XL. Jika Koolhaas menawarkan manifesto culture of congestion dan konsep Bigness, dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka MVRDV menawarkan konsep max density. Melalui konsep ini MVRDV dianggap mewakili pergeseran paradigma dari “to control density” menjadi “to learn density”. Pendekatan berbeda dengan konsep bigness juga dilakukan melalui konsep lightness, temporaryness dan mobility. Pendekatan bukan melalui konsep-konsep besar yang bersifat avant-garde, namun melalui pendekatan-pendekatan sederhana dan ringan namun populer, konsep ini kemudian dikenal sebagai Lite-urbanism. Konsep MVRDV dan Koolhaas dapat dikatakan saling melengkapi dari dua sisi yang berbeda, bukan untuk saling dipertentangkan. Bigness dan city of small things (Scalbert, 2004). Yang menjadikan tahap ini berbeda dengan sebelumnya adalah, sifat pragmatis para pelaku desain pada tahap ini sangat kuat, sehingga MVRDV memposisikan arsitek bukan sebagai desainer yang avant-garde, namun sebagai katalisator dengan menciptakan “natural container” (Klingmann, 2002). MVRDV memperkenalkan metoda pragmatis sebagai tanggapan terhadap kondisi perkotaan yang semakin padat. Buku “Metacity/Datatown”, tahun 1999, adalah sebuah proyeksi menghadapi kondisi bumi yang semakin padat dan penuh kekacauan di masa depan bila manusia tidak merubah cara hidupnya. Dalam kondisi yang sangat padat dan kacau, MVRDV menawarkan pendekatan baru dengan melihat kota sebagai kumpulan informasi berupa data murni. Buku ini adalah sebuah permainan, sebuah provokasi, sekaligus sebuah investigasi serius, dengan melakukan translasi dari Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 10 kekacauan kota-kota kontemporer menjadi informasi murni, sebuah datascape. (dalam Frey, 2008). Melalui metode datascape, MVRDV mengubah informasi mengenai zoning, peraturan, teknologi, keinginan klien, iklim, politik dan sejarah hukum, menjadi bentuk fisik yang optimal. “The architecture that we make is part of the ordinary, part of our pop culture. At the same time, the buildings try to engage with society by questioning our behavior and offering alternatives. And they offer those alternatives by showing — visibly, obviously — in their actual design the social problems we were trying to address. When you see the object, you see the question.” (Maas, 2008, dalam Frey, 2008) As a critique of the preceding determination on form and the placing the architecture on an intellectual pedestal, the new generation of architects drag the architecture into the whirlpool of reality. They do not see rules, norms and demands as a limitation but rather as a potential, a generator for developing architecture. They take reality for granted, they relate to the power of reality, to the decisionmaking systems and to the political structures, to the fragmented picture of the world, where there is not one truth but many layers of meaning in constant movement. (Bundgaard, 2000) Pendekatan arsitektur lama, analisis subyektif dan intuisi artistik, tidak dapat digunakan lagi untuk menghadapi bentuk masyarakat yang kompleks. Untuk itulah pendekatan complex design diperlukan pada saat ini. Pendekatan rasionalis kritis tahap ketiga ini tidak melihat aturan, norma dan permintaan sebagai batasan, namun lebih sebagai potensi sebuah desain. Dalam beberapa kritik, MVRDV dikategorikan sebagai projective architecture. Dalam buku ”The architecture of the jumping universe”, tahun 1995, Charles Jencks menjelaskan ada 6 (enam) bentuk gerakan arsitektur kontemporer, yaitu: Organi-Tech, Fractals; Computer blobs; Enigmatic signifier; Datascape; dan Landforms. MVRDV masuk dalam kategori datascape yang berangkat dari realita di masyarakat, realita isu “density”. Menggunakan data dari kepadatan yang ada dan menciptakan bentuk melalui organisasi bottom-up, bukan top-down seperti tahap sebelumnya. KESIMPULAN Isu “density” merupakan isu yang integrated dengan kehidupan perkotaan pada saat ini. Terkait dengan dinamika perkembangan kota, dan berkembangnya kemampuan manusia penghuni kotanya, maka ”density” seharusnya juga dimaknai sebagai sebuah isu yang dinamis. Gerakan kritis, baik era modern maupun postmodern, merupakan salah satu cara agar manusia tidak statis dalam mitos-mitos yang dibuatnya. Dinamika semacam ini diperlukan manusia untuk dapat melihat realita secara rasional. 3 (tiga) tahap gerakan Arsitektur kritis, dalam makalah ini, merupakan gambaran bagaimana cara berfikir rasionalis mengkritisi produk Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 11 rasionalisme sebelumnya. Telaah terhadap gerakan ini memperlihatkan suatu dinamika yang terus berkembang dalam satu koridor isu yang sama, isu ”urban density”. Pada tahap pertama ”density” merupakan isu yang diposisikan sebagai obyek untuk dipertanyakan kembali kepada masyarakat kotanya. Desain Eisenman menggunakan cara yang ”kejam” (tidak ramah) untuk memperkenalkan kembali realita isu perkotaan. Tahap kedua cenderung menjadi eksperimen keterhubungan antara teorit ”density” dan prakteknya. Teori-teori praktis terkait dengan isu ”density” banyak muncul pada tahap ini. Berbagai karya tulis mengangkat realita kehidupan kota yang padat. Desain adalah bagian dari kepadatan sebuah kota, sehingga analisis kepadatan mulai banyak digunakan oleh beberapa arsitek. Tahap ketiga merupakan tahap pragmatis, dimana strategi-strategi untuk mewadahi isu ”density” ditawarkan sebuah desain. Desain bersifat bottom-up menawarkan bentuk yang optimal terhadap realita kondisi yang ada. Daftar Referensi Bundgaard, Charlotte, 2000, Form follows action, Makalah Research Course “Aestethetic Experience and Interpretation”, Lysebu 19-24 Agustus 2000, http://www.c-i-d.dk/doc/Form-follows-Action.doc Coupland, Douglas, 1991, Generation X: Tales for an Accelerated Culture, St. Martin's Press Coupland, Douglas, 1995, Microserfs, HarperCollins Coupland, Douglas, 2006, JPOD, Random House Derrida, J., Eisenman, P., 1997, Chora L Works, Monacelli Press Frey, Darcy, 2008, Crowded House, wawancara Winy Maas dalam The New York Times, 8 Juni 2008, http://www.nytimes.com/2008/06/08/magazine/08mvrdvt.html?_r=1&pagewanted=all Jencks, Charles, 1995, The Architecture of the Jumping Universe, Academy, London Kelbaugh, Douglas S., 2003, “Density – the D Word”, dalam konferensi AIA/BSA “Density: Mith and Reality”, 11-14 September 2003, Boston Klingmann, Anna, 2002, Liquid Postmodernism: Eventscapes of the Avant-garde, dalam Eventcity, 2002, Birkhauser, http://www.klingmann.com/pdf/LiquidPostmodernism.pdf Kroll, Lucien, 1987, An Architecture of Complexity, Cambridge, MIT Press Leach, Neil (Ed.), 1997, Rethinking Architecture, Routledge Leksono, Ninok, 2008, "E-mail"dan Manusia Super, dalam Kompas, 17 Juli 2008. Locke, Robert, 2004, Liberal Views Have Never Built Anything of any Value, wawancara Peter Eisenman, 27 Juli, 2004, dalam http://archinect.com/features/article.php?id=4618_0_23_0_M Newman, Oscar, 1996, Creating Defensible Space, DIANE Publishing Newman, P., Hogan, T., 1981, A Review of urban density models: Toward a resolution of the conflict between populace and planner, dalam Jurnal “Human Ecology”, Volume 9, Number 3 / September, 1981, Springer, Netherlands. Scalbert, Irenee, 2004, The City of Small Things, dalam building material issue 12, 2004, Architectural Association of Ireland Spectrum Knowledge, 2008, The Gen Y Perceptions Study, http://www.spectrumknowledge.com/img/Gen%20Y%20Perceptions%20Study_ CREW_Final.pdf Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 12 Suriasumantri, Jujun S., 2003, Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar Populer, Pustaka sinar harapan Jakarta Thrush, George, 2003, Density and the City: The Next Layer, dalam konferensi AIA/BSA “Density: Mith and Reality”, 11-14 September 2003, Boston Turner, Tom, 2005, A review of Parc de la Villette, Paris, http://www.gardenvisit.com/history_theory/library_online_ebooks/architecture_ci ty_as_landscape/review_parc_de_la_villette_tom_turner Venturi, Robert, 1966, Complexity and Contradiction in Architecture, The Museum of Modern Art Press, New York Wastuty, Prima W., 2006, Bernard Tschumi : Teori, Metode, Aplikasi, Tesis UGM West, Peter, 2005, A new switched-on and cynical generation, http://www.onlineopinion.com.au/view.asp?article=3932&page=0 Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 13