Perkembangan Isu “Density” dalam Gerakan Arsitektur Kritis oleh

advertisement
Perkembangan Isu “Density” dalam Gerakan Arsitektur Kritis
oleh: Rahadea Bhaswara
(07/ 259952/ PTK/ 4685)
ABSTRAKSI
Isu ”density” merupakan salah satu isu yang paling menarik untuk diikuti
perkembangannya, dan masih aktual hingga saat ini. Dinamika peradaban manusia
menjadikan isu ini dinamis dan semakin menarik untuk diikuti. Perkembangan dunia
hingga saat ini masih memposisikan kota sebagai pusat-pusat peradaban, dimana
manusia satu dengan yang lain dipaksa untuk saling bertemu dan bernegosiasi,
menciptakan sebuah budaya baru kota era kontemporer. Kondisi perkotaan di Eropa,
Amerika maupun Asia memang berbeda secara konsep maupun bentuk ikatan sosial
yang ada di dalamnya. Meski demikian, ”density” sama-sama menjadi isu penting
pada masing-masing daerah tersebut. Urban sprawl-compact city, globalismeregionalisme,
modernisme-postmodernisme,
neourbanisme-posturbanisme,
hanya
strukturalisme-poststrukturalisme,
sebagian
atribut
yang
mewarnai
perkembangan isu ”density” terkait dengan kondisi masyarakat perkotaan hingga
saat ini. Dengan melihat begitu luasnya isu ”density” tersebut, maka makalah ini
akan dibatasi dalam konteks ”Gerakan Arsitektur Kritis”. ”Gerakan Arsitektur Kritis”
sendiri merupakan bagian dari gerakan arsitektur postmodern yang merupakan antitesis dari gerakan arsitektur modern.
LATAR BELAKANG
Era Modern, Urbanisme dan Perkembangannya
Era Renaissance yang dimulai pada pertengahan abad 14 merupakan
gerakan yang mengawali munculnya “proyek pencerahan” era modern. Era ini
muncul untuk membebaskan manusia dari belenggu dogmatis agama di Eropa abad
pertengahan, pada era gothic. Menggeser paradigma manusia yang tunduk kepada
dogma, menjadi manusia yang berfikir untuk eksistensi manusia. Kalimat Descartes,
“Cogito ergo sum!” (“aku berfikir, maka aku ada!”), mewakili paradigma era modern
awal ini (Suriasumantri, 2003).
Masa-masa yang disebut sebagai “abad pencerahan”, abad ke-15 hingga
abad ke-20, menghadirkan berbagai kemajuan penting dalam berbagai bidang ilmu
yang ditandai dengan munculnya empirisme ilmiah, filsafat positif logis, materialisme,
nihilisme dan tentu saja revolusi industri sebagai manifesto dari semua itu.
Pemisahan-pemisahan dalam berbagai cabang ilmu terjadi karena pengembangan
ilmu menuntut sedemikian rupa, sebagai bagian dari revolusi industri (Suriasumantri,
2003). Pada kenyataannya, pemisahan tidak hanya terjadi dalam cabang ilmu,
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 1
struktur sosial serta interaksi sosial antar manusia juga terkotak-kotakkan
sedemikian ketatnya. Manusia hidup dalam koridor standar hidup baku dan kelaskelas sosial masing-masing. Hal ini menjadi penting dalam bahasan ini karena
paradigma struktural modern masih berpengaruh dalam perkembangan ilmu
psikologi, arsitektur dan ilmu sosial modern lainnya. Paradigma poststruktural sendiri
mulai lazim digunakan pada era postmodern, sebagai upaya dekonstruksi ketatnya
hierarki struktural era modern. Sama seperti era pra-industri (renaissance), yaitu
membongkar mitos dan doktrin era sebelumnya (modern).
Era modern menciptakan kota-kota yang dianggap sebagai manifesto
kemajuan zaman. Kota-kota yang dibangun di atas utopia tunggal warga kotanya,
kota yang modern. Sangat tidak mengherankan bila kemudian terjadi proses-proses
untuk meng-kota-kan, atau disebut juga sebagai urbanisme. Urbanisme kota-kota
modern pada dasarnya berpegang pada piagam Athena (1993), yang menggunakan
paradigma kota adalah sebuah mesin dengan bagian-bagian yang memiliki fungsi
tertentu (Corbusier, 1925). Dari paradigma ini, kota berkembang menjadi zona-zona
dengan fungsi masing-masing. Sehingga terbentuk masyarakat kota yang terkotakkotak dan hanya terhubung berdasar pada efisiensi fungsi dan kerjanya. Urbanisme
modern tersebut menghasilkan manusia-manusia yang tidak “saling mengenal”.
Ketidak “saling mengenal”-an ini menjadi penting bila dikaitkan dengan konsep
“density” Milgram (1970) dan Seagert (1978), terkait dengan kelebihan stimulasi/
informasi (dalam Bell, et.al., 2001). Atau dengan konsep Stokols (1972) dan
Sunstorm (1982) mengenai pembatasan perilaku (dalam Bell, et.al., 2001). Dalam
perkembangan kota, juga dikenal pendekatan baru yang disebut neo-urbanisme.
Pendekatan ini pada dasarnya adalah pendekatan ekologis terhadap bentuk
kehidupan manusia penghuni kotanya, ekologi perkotaan.
Manusia Kota dan Budaya Kota
Manusia kota atau manusia urban, sebutan bagi penghuni dan pengguna
kota, melahirkan budaya baru yang disebut budaya kota (Urban Culture). Budaya ini
muncul di tengah berbagai persinggungan budaya yang terjadi dalam sebuah kota.
Fenomena budaya tersebut merupakan manifestasi dari keberagaman dan tingkat
kompleksitas sebuah kota (Urban Complexity). Masing-masing elemen pembentuk
“budaya kota” muncul dalam bentuk sistem tanda, yang merupakan representasi
setiap elemen tersebut. Secara garis besar, budaya kota merupakan hasil
komunikasi setiap elemen pendukungnya.
Ruang kota (Urban space) sebagai bentuk fisik nyata “tempat” dalam sebuah
kota dimana manusia kota yang satu dan yang lain akan saling bersinggungan
menghadirkan satu kompleksitas hubungan antar elemen pembentuknya. Ruang
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 2
kota, menjadi penting untuk dibicarakan karena, hadir di tengah-tengah kompleksitas
kota secara sadar maupun tidak sadar. Kehadirannya merupakan akibat sekaligus
sebab munculnya kompleksitas dalam sebuah kota. Ruang kota muncul, sebagai
ruang antara, akibat kepadatan elemen-elemen pembentuk kota yang lain. Ruang
kota sekaligus menjadi tempat dimana elemen-elemen pembentuk ruang kota
bertemu, dan menimbulkan kompleksitas tersendiri bagi kota tersebut. Dalam
konteks hubungan antar elemen ruang kota inilah terjadi sebuah tawar-menawar
posisi hak dan kewajiban di antaranya. Kondisi saling mempengaruhi ini merupakan
sebuah dialog yang akan terus terjadi dan tidak pernah berhenti dalam sebuah kota.
“The city is a discourse and this is truly a language: the city speaks to its inhabitants,
we speak our city, the city where we are, simply by living in it, by wandering through
it, by looking at it.” (Barthes, dalam Leach, 1997).
Memahami kota, budaya kota dan bentuk komunikasi perkotaan menjadi
penting dalam bahasan ini karena munculnya isu “density” sangat erat terkait dengan
kondisi perkotaan pada saat ini. Sedangkan Perkembangan terkini dari kota-kota
industrial era modern menjadi kota-kota post-industrial, termasuk keberadaan era
informasi dan komunikasi digital, telah merubah bentuk komunikasi sosial yang
terjadi di kota-kota masa kini. Secara fisik dapat kita lihat di setiap sudut kota masa
kini akan dipenuhi dengan informasi secara masif, dalam bentuk tulisan, warna, ikon,
logo, simbol, bentuk, suara maupun perilaku seseorang. Sehingga pembatasan isu
“density” dalam makalah ini diterjemahkan sebagai sebuah “urban density” terkait
erat dengan keberagaman jenis, bentuk, pelaku dan tujuan informasi yang terjadi di
sebuah kota pada saat ini.
Perkembangan
yang
disebutkan
di
atas
mempengaruhi
perubahan
kemampuan masing-masing individu (manusia kota) dalam menerima dan mengolah
informasi yang ada. Coupland (1991) menunjukkan keberadaan manusia-manusia
“Generation X”, lahir antara tahun 1964-1978, yang sangat kritis terhadap mitos dan
doktrin yang memarjinalkan. Namun dalam kenyataannya generasi ini juga masih
menerima bentuk struktur-struktur tertentu yang diyakininya. Generasi ini juga sangat
kritis terhadap isu “density” perkotaan yang terjadi pada saat itu. Selanjutnya
Coupland (1995, 2006), dan diperkuat dengan penelitian oleh “Spectrum Knowledge”
tahun 2008, memperlihatkan keberadaan manusia-manusia “Generation Y” yang
lahir setelah tahun 1978, yang terbukti memiliki kemampuan multi-tasking dan
kemampuan bekerja dengan kelompok orang. Manusia yang lahir setelah tahun
1978 ini mampu menerima dan mengolah banyak informasi secara bersamaan,
dalam kondisi gaduh sekalipun, karena terlahir (native) dalam suasana perkotaan
yang sudah berpadat-padatan (congested). Manusia yang terlahir antara tahun 1964-
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 3
1978, meski melakukan adaptasi (adaptation) terhadap kondisi kota tersebut, namun
tidak sebaik “Generation Y” yang native sejak lahir. Ninok Leksono dalam artikelnya,
menjelaskan bagamana era informasi dapat membentuk manusia-manusia super
yang sangat kuat dalam mengolah informasi masif (Kompas, 17 Juli 2008).
ISU “DENSITY” DAN PERKOTAAN
Density sebagai mitos dan sebagai realita
Dalam Perkembang isu “density”, dapat kita lihat bagaimana “density” dilihat
melalui 2 (dua) sudut pandang berbeda. Sebuah konferensi berjudul “Density: Myth
and Reality” diadakan di Boston tanggal 11-14 September 2003, membahas adanya
pergeseran diantara 2 (dua) sudut pandang tersebut. Sudut pandang yang pertama
adalah “density” sebagai sebuah mitos, sebagai obyek telaah yang situasional.
Pandangan ini banyak digunakan dalam paradigma dan teori-teori modern hingga
postmodern awal. Dalam pandangan ini, “density” tinggi dimitoskan sebagai kondisi
situasional yang “kurang” ideal, sehingga dianggap tidak menguntungkan. Hal ini
banyak berpengaruh terhadap pemikir-pemikir Amerika pada era industri. Buku
“Environmental Psychology” karya Bell et.al. (2001) terlihat masih cukup banyak
menggunakan hasil penelitian di Amerika tahun 1960 – 1970an sebagai contoh.
Sehingga pada beberapa kasus terlihat adanya gap antara hasil penelitian yang
dicontohkan, dengan kondisi masyarakat pada saat ini.
Pada sisi lain, isu “density” juga mulai banyak dikaji sebagai sebuah realita.
Dalam konteks arsitektur, buku Jane Jacobs, “The Dead and Life of Great American
Cities” tahun 1961, mengkritisi bentuk-bentuk kota di Amerika era modern. Jacob
menawarkan konsep urbanisme baru yaitu “diversity, density and dynamism”. Buku
lain yang ditulis Robert Venturi, “Complexity and Contradiction in Architecture” tahun
1966, juga merupakan karya yang berpengaruh dalam perkembangan isu urban
density.
Teori “defensible space” oleh Oscar Newman tahun 1972 (dalam Newman,
O., 1996), merupakan salah satu konsep praktis yang menandakan peralihan cara
pandang dari “density” sebagai obyek penelitian, menjadi “density” sebagai realita
yang dihadapi sehari-hari. Isu “density” bergeser menjadi sebuah kondisi yang
dihadapi melalui tindakan praktis. George Thrush (2003) dalam makalah jurnal
memberikan gambaran kondisi perkotaan saat ini, serta gap yang terjadi antara
mitos dan realita yang ada.
“Public-ness defined as the absence of development, rather than its character,
qualities, identity (Perhaps the “natural” condition of cities is density) “, (Thrush, 2003)
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 4
Human Ecology: individual oriented dan system oriented
Dilihat dari obyek amatannya, studi terkait dengan isu “density” juga dapat
dibagi menjadi 2 (dua). Yang pertama adalah studi berorientasi individu, banyak
dilakukan pada studi-studi psikologi modern. Studi ini akan banyak mempelajari
keterkaitan isu “density” lingkungan dengan pengaruhnya pada individu. Yang kedua
adalah studi berorientasi sistem. Dalam jurnal Human Ecology, Peter Newman dan
Trevor Hogan (1981) dalam artikel berjudul “A Review of urban density models”,
menuliskan ada kecenderungan studi akhir-akhir ini lebih mengarah pada kajian
sistemnya. Dengan obyek amatan terhadap sistem, sebuah fenomena dilihat secara
menyeluruh (holistik) dan kontekstual. Dari perkembangan studi terakhir inilah
“density” ternyata memiliki banyak aspek positif dalam konteks ekologi sebuah kota.
“The physical or systems-oriented studies (which involve economic, ecological,
historical, and engineering models) suggest advantages in costs, energy,
environment, and transport from increasing urban density.” (Newman, P., Hogan, T.,
dalam jurnal Human Ecology, 1981)
Budaya Kota: Adaptasi dan Evolusi
Adaptasi manusia terhadap lingkungan kota dijelaskan melalui teori adaptasi
Firey (1974, dalam Carter, 1976). Adaptasi tersebut terkait dengan bagaimana
seseorang mengkomunikasikan diri terhadap lingkungannya kotanya. Terdapat
2(dua) jenis bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan urban. Adaptasi volisional
adalah
penyesuaian
atas
dasar
kemauan sendiri,
selama
nilai-nilai
yang
mengungkapkan identitas pada sistem kulturnya mendapatkan artikulasi spasial.
Adaptasi rasional yaitu penyesuaian diri dengan dasar keinginan menguasai dengan
keuntungan ekonomi yang telah terbentuk dalam kontrol budaya. Apabila
penyesuaian tersebut tidak berhasil, maka yang terjadi adalah culture alienation,
merasa terasing terhadap kondisi kota tersebut. Pergeseran dari kota agraris
menjadi kota industrial modern dan menjadi kota post-industrial (masyarakat
informasi) merupakan peralihan yang terjadi dengan relatif cepat. Secara umum hal
tersebut yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman terhadap kondisi kota yang
terus berubah, termasuk dalam konteks isu “density”.
Sebagaimana dijelaskan oleh Douglas Coupland (1991, 1995, dan 2006), di
atas, terdapat beberapa jenis manusia kota, yang secara bertahap berubah dari
manusia era material (empiricism) menuju manusia era informasi. Meminjam model
eklektis psikologi lingkungan Bell et.al. (2001), hal tersebut akan terkait dengan
siklus proses secara terus menerus sehingga terjadi adaptasi positif terhadap kondisi
kota yang padat. Kondisi kota yang padat dengan berbagai bentuk informasi
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 5
direspon dengan adaptasi, mengurangi jumlah informasi yang dihiraukan, atau
menggeser preferansi individualnya.
Pada sisi lain terdapat teori adaptasi Lamarck (1809), adaptasi Darwin (1859)
dan evolusi Baldwin (1896). Lamarck menjelaskan adaptasi evolutif sebagai proses
fisik merespon kebutuhan lingkungannya. Darwin menjelaskan adaptasi evolutif
sebagai proses genetik yang diturunkan antar generasi. Sedangkan Baldwin
menjelaskan bahwa interaksi seseorang dengan lingkungannya akan meningkatkan
kemampuan dan secara bertahap akan terintegrasikan sebagai peningkatan genetik
pada generasi-generasi selanjutnya.
Terkait dengan isu “density” dan perkembangan kemampuan manusia
penghuni kotanya, maka budaya kota yang terbentuk hingga saat ini merupakan
proses adaptasi manusia kota dengan kondisi lingkungan kota yang padat dan
beragam. Manusia “generation Y” (Coupland, 1995) merupakan sebuah produk
evolusi manusia perkotaan, yang memerlukan kemampuan menerima dan mengolah
informasi yang padat serta beragam tersebut.
Berbagai teori aktual, mengenai urban density (diterjemahkan sebagai
diversity dalam beberapa teori) dan realita budaya kota, semakin menunjukkan
keterkaitan positif di antara keduanya.
“... urban design demands the ultimate creation of cities which will provide a creative
environment for people, that is, an environment with great diversity, allowing freedom
of choice and generating the maximum interaction between people and urban
surroundings” (Halprin, 1978)
“Diversity encourages creativity, while repetition anaesthetises it. ... But whatever
the cause, such homogeneity makes it difficult for the user to add anything of their
own, and we lose that rich resource of popular creativity which can transform a space
into a place and give it life. ... This should remind us that it is inhabitants who really
create the city and not the planner.” (Kroll, 1983)
New-urbanism dan post-urbanism
Douglas S. Kelbaugh (2003), melalui artikel “Density – the D Word”, dalam
konferensi AIA, melihat pergeseran dan perdebatan paradigma perencanaan dan
perancangan terkait dengan isu urban density. Pembahasan Kelbaugh terkait
dengan fenomena urban sprawl yang terjadi di kota-kota post industrial. Newurbanism dijelaskan sebagai strategi untuk kembali pada perencanaan yang lebih
tradisional, dengan memperlambat tempo manusia dan kendaraan di kota (slow
urbanism). Pada beberapa kasus ekstrim terlihat adanya penolakan terhadap
pembaruan teknologi, dalam berbagai kritik disebut sebagai “overly traditional”.
Pada sisi lain Kelbaugh juga menjelaskan istilah post-urbanism, yang
mengkritisi pendekatan tradisional new-urbanism. Pernyataan Koolhaas, Libeskind,
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 6
dan Gehry “Personally, I think there is room in New Urbanism for buildings – but not
neighborhoods”, mewakili kritik gerakan ini terhadap new-urbanism. Post-urbanism
sendiri dijelaskan sebagai sebuah “fast urbanism”, pendekatan yang tidak
mengabaikan budaya konsumtif kota, keberanian dan kebebasan desain serta
teknologi yang tidak pernah berhenti berkembang. Dalam perkembangannya, fast
urbanism ini mengalami transformasi lanjut dalam gerakan arsitektur kritis terbaru.
(akan dijelaskan pada bagian selanjutnya).
GERAKAN ARSITEKTUR KRITIS
Derrida, Hays dan Peter Eisenman: Dekonstruksi Nihilisme
Gerakan-gerakan
kritis
secara
umum
berada
di
bawah
paradigma
rasionalisme. Feurbach, Nietzsche, Freud, Kierkegaard, Hegel dan Marx dianggap
mewakili awal munculnya gerakan ini. Generasi awal tersebut banyak mengkritisi
peran agama dalam kehidupan manusia. Hegel memperkenalkan idealisme,
sedangkan Karl Marx mengembangkan melalui kritik ideologinya. Pada tahap ini
gerakan teori kritis menemukan fungsinya untuk menyentuh realitas konkrit. Frankfurt
school, mewakili perkembangan gerakan teori kritis sejak perang dunia II. Dari
gerakan ini lahir gerakan-gerakan neo-leftish (neo-marxist). Generasi terakhir teori
kritis diwakili oleh teori Jurgen Habermas dan Derrida, terkait dengan bentuk
masyarakat komunikatif era postmodern.
Dalam konteks gerakan arsitektur kritis, nama Jacques Derrida, Michael Hays
dan Peter Eisenman dikenal mengawali gerakan ini. Michael Hays sendiri seorang
teorist dan kritikus arsitektur yang banyak “mencatat” perkembangan kritik dalam
perkembangan dan sejarah arsitektur. Hays merupakan editor utama sebuah jurnal
kritis MIT mengenai arsitektur dan desain yang berjudul “Assemblage”, antara tahun
1986-2000. Bukunya yang berjudul “Architecture Theory since 1968” terbit pada
tahun 2000.
Jacques Derrida, merupakan seorang filsuf yang mempopulerkan dan
menggunakan metoda dekonstruksi dalam karya-karyanya. Metode dekonstruksi
digunakan untuk melakukan kritik terhadap posisi ilmu filsafat itu sendiri. Hal tersebut
yang membuat Derrida sulit diterima sebagai seorang filsuf, namun lebih diterima
oleh golongan sastra. Peter Eisenman adalah seorang arsitek yang beberapa kali
bekerja sama dengan Derrida dalam karya-karyanya. Buku Chora L Works, tahun
1997, merupakan dokumentasi kerjasama Derrida dan Eisenman dalam proyek
kompetisi desain Parc de la Villete. Buku ini menjadi gambaran betapa rapuhnya
hubungan makna dalam arsitektur dekonstruksi. Eisenman dalam berbagai
wawancara juga selalu akan menjadi seorang desainer yang berada di tengah-
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 7
tengah. Hal tersebut yang kemudian memunculkan banyak kritik, dan meletakkannya
sebagai arsitek dekonstruksi nihilism, sebagai seorang yang mempercayai tidak
adanya nilai yang benar (dalam wawancara Eisenman, 2004). Istilah dekonstruksi
nihilis juga disebutkan Charles Jencks (1995), dalam bukunya “The Architecture of
the Jumping Universe”. Dalam berbagai review dan kritik, desain Eisenman
dikategorikan sebagai karya-karya yang tidak ramah terhadap penggunanya. Meski
menurut Eisenman, hal tersebut merupakan caranya untuk melakukan kritik terhadap
kehidupan masyarakat kotanya, dengan mendekonstruksi cara berfikir pengguna
desainnya. Kritik Eisenman tersebut ditujukan untuk menunjukkan keberadaan
“density” sebagai realita perkotaan saat ini. Pada tahap ini Eisenman cenderung
sebatas memaparkan, dan mengajak pengguna desainnya untuk berfikir kembali
tentang realita keberadaan isu “density” tersebut.
Bernard Tschumi, Rem Koolhaas, dan Daniel Libeskind: Arsitektur Avant-garde
Bernard Tschumi adalah salah satu pemenang kompetisi desain Parc de la
Villete yang akhirnya terbangun secara fisik. Meski berkarya pada era yang sama
dengan Eisenman, Tschumi cenderung digolongkan sebagai praktisi arsitektur kritis
tahap berikutnya, kedua. Tahap kedua ini tidak lagi hanya sebatas memaparkan
kritik-kritik “density” pada tataran konseptual yang ketat, namun memasuki dunia
arsitektur praktis dengan “elegan”. Istilah “elegan” perlu digaris bawahi karena pada
tahap ini, desain masih bersifat avant-garde. Dalam arti, desain bersifat top-down
meski pengguna diberi ruang-ruang partisipatif untuk terlibat dalam desain. Parc de
la Villete Tschumi adalah sebuah transformasi realita “density” dalam sebuah konsep
terpadu yang sinematik. Menciptakan kepadatan melalui peralihan yang terpotongpotong antara tema dan elemen, air, tanaman, paving, dan struktur, melalui 3 lapis
desain surfaces, points dan lines. Tema-tema beragam dan elemen yang terpotongpotong merupakan usaha menciptakan “density” sekaligus melibatkan pengguna
desain untuk ikut memaknai ruang diantara “density” yang beragam tersebut (Turner,
2005). Metoda-metoda analisis dan desain Tschumi berkembang dari buku ini.
Sebagian besar karya tulis Tschumi terkait dengan isu “urban density” tidak
menjelaskan “density” secara eksplisit. Teori “space event and movement”
diterjemahkan sebagai metoda mengolah kondisi padat kehidupan perkotaan,
dengan memberi makna-makna baru. Dalam buku “Madness and Combinative”,
Tschumi juga menjelaskan realita kondisi “madness” di masyarakat, diperbandingkan
dengan schizophrenia, dapat dipulihkan dengan mengumpulkan kembali realitarealita yang terserak. “The Manhattan Transcript” tahun 1981, merupakan karya
Tschumi mengenai fragmen-fragmen realita kota Manhattan yang terserak yang
sedang dibangun kembali (dalam Wastuty, 2006).
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 8
Rem Koolhaas juga merupakan salah satu arsitek yang intensif dalam
perkembangan isu “density”. Buku berjudul “Delirious New York”, tahun 1978,
merupakan buku penting sebagai manifesto kehidupan perkotaan yang delirious
(tergila-gila; mengigau) Kota Manhattan. Dibandingkan dengan “The Manhattan
Transcript”-nya Tschumi, karya Koolhaas lebih banyak berbicara tentang sesuatu
yang struktural dibalik kekacauan yang terjadi. Struktur tersebut disebutnya sebagai
manifesto kota abad ke-20, sebuah “culture of congestion” (budaya berpadatpadatan). Buku ini menjadi awal penting bagaimana isu “density” dapat terintegrasi
ke dalam struktur formal desain arsitektur. Seluruh karya tulis Koolhass cenderung
memiliki isi (content) yang bobot, namun disajikan melalui kolase-kolase grafis
populer yang sangat padat. Desain Koolhaas dalam kompetisi Parc de la Villete juga
menjadi salah satu pemenang, selain Bernard Tschumi, meski bukan yang
terbangun. Pada kompetisi ini Koolhaas juga menampilkan konsep “density”, sama
dengan Tschumi, namun menggunakan pendekatan yang berbeda. Dalam
konsepnya, Koolhass melakukan superimposisi 5 (lima) sistem terpisah, dengan
ukuran grid yang berbeda. Dengan cara tersebut Koolhaas menciptakan “density”
melalui chaos yang terstruktur. Dalam karya-karya desain selanjutnya, Koolhaas
selalu melakukan analisis keberadaan ”congestion lines” sebagai bagian dari desain.
Garis congestion, sebagai sebuah manifesto “density”, ini merupakan bagian yang
tidak bisa tidak difasilitasi dalam desain Koolhaas. Selain itu, Koolhaas juga
menerapkan strategi ruang terprogram di antara ruang tidak terprogram sehingga
tercipta ruang bebas bagi pengguna untuk makna personal. Buku S, M, L, XL
menawarkan konsep bigness, dimana skala perkotaan pada saat ini memungkinkan
kulit bangunan (enclosure) dan kegiatan internal (program) untuk berdiri sendirisendiri tanpa ada kaitan.
Daniel Libeskind adalah arsitek yang biasa memulai desain dari garis. Garisgaris dalam konsep desain Libeskind mewakili beberapa hal yang dianggap penting
dan kontekstual. Garis-garis (invisible lines) tersebut tidak terlihat, namun mewakili
sejarah, power, simbol, dialog dan pergerakan yang dianggap penting. Meski tidak
banyak menampilkan teori, namun desain Libeskind banyak menampilkan sirkulasi
yang interaktif. Bangunan karya Libeskind banyak dikategorikan sebagai bangunan
yang mampu berdialog dengan penggunanya. Keterikatan pengguna desain dengan
desainnya merupakan strategi desain Libeskind agar realita perkotaan yang padat
berpengaruh positif terhadap masyarakat kotanya.
Satu hal yang dapat ditarik dari gerakan arsitektur kritis tahap kedua ini
adalah, bagaimana “density” bukan lagi sebagai obyek kritisi, namun sistem struktur
yang ada yang perlu dipertanyakan kembali. Karya arsitek sebagai struktur formal
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 9
bukan lagi untuk mengurangi kepadatan perkotaan (urban density), namun untuk
memberi efek positif dari kekacauan yang muncul akibat kepadatan tersebut.
Mengumpulkan fragmen-fragmen terserak; sirkulasi berdasarkan congestion lines;
programming; serta dialog antara pengguna dan desain, adalah beberapa strategi
terkait dengan isu “density”. Hal yang kemudian membedakan dengan tahap
berikutnya adalah, pada tahap kedua ini arsitek memposisikan diri sebagai desainer
peristiwa yang terjadi di dalam desain. Meski memberi ruang bebas di antara struktur
formal, namun desain pada tahap ini masih top-down. Hal tersebut menjadikan
gerakan tahap kedua bersifat avant-garde terhadap penggunanya.
MVRDV: Projective Architecture
MVRDV merupakan singkatan dari nama pendirinya, Winy Maas, Jacob van
Rijs dan Nathalie de Vries. Maas dan van Rijs pernah bekerja di OMA (Koolhaas),
hal tersebut berpengaruh terhadap arah isu dan minat MVRDV, urban density. Buku
“FARMAX: excursion on density”, tahun 1999, disebut menandai terjadinya
pergeseran (kembali) isu “urban density”. Dalam beberapa review, FARMAX disebut
sebagai kelanjutan dari buku Rem Koolhaas yang berjudul S, M, L, XL. Jika
Koolhaas menawarkan manifesto culture of congestion dan konsep Bigness,
dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka MVRDV menawarkan konsep max
density. Melalui konsep ini MVRDV dianggap mewakili pergeseran paradigma dari
“to control density” menjadi “to learn density”. Pendekatan berbeda dengan konsep
bigness juga dilakukan melalui konsep lightness, temporaryness dan mobility.
Pendekatan bukan melalui konsep-konsep besar yang bersifat avant-garde, namun
melalui pendekatan-pendekatan sederhana dan ringan namun populer, konsep ini
kemudian dikenal sebagai Lite-urbanism. Konsep MVRDV dan Koolhaas dapat
dikatakan saling melengkapi dari dua sisi yang berbeda, bukan untuk saling
dipertentangkan. Bigness dan city of small things (Scalbert, 2004).
Yang menjadikan tahap ini berbeda dengan sebelumnya adalah, sifat
pragmatis para pelaku desain pada tahap ini sangat kuat, sehingga MVRDV
memposisikan arsitek bukan sebagai desainer yang avant-garde, namun sebagai
katalisator dengan menciptakan “natural container” (Klingmann, 2002). MVRDV
memperkenalkan metoda pragmatis sebagai tanggapan terhadap kondisi perkotaan
yang semakin padat. Buku “Metacity/Datatown”, tahun 1999, adalah sebuah proyeksi
menghadapi kondisi bumi yang semakin padat dan penuh kekacauan di masa depan
bila manusia tidak merubah cara hidupnya. Dalam kondisi yang sangat padat dan
kacau, MVRDV menawarkan pendekatan baru dengan melihat kota sebagai
kumpulan informasi berupa data murni. Buku ini adalah sebuah permainan, sebuah
provokasi, sekaligus sebuah investigasi serius, dengan melakukan translasi dari
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 10
kekacauan kota-kota kontemporer menjadi informasi murni, sebuah datascape.
(dalam Frey, 2008). Melalui metode datascape, MVRDV mengubah informasi
mengenai zoning, peraturan, teknologi, keinginan klien, iklim, politik dan sejarah
hukum, menjadi bentuk fisik yang optimal.
“The architecture that we make is part of the ordinary, part of our pop culture. At the
same time, the buildings try to engage with society by questioning our behavior and
offering alternatives. And they offer those alternatives by showing — visibly,
obviously — in their actual design the social problems we were trying to address.
When you see the object, you see the question.” (Maas, 2008, dalam Frey, 2008)
As a critique of the preceding determination on form and the placing the architecture
on an intellectual pedestal, the new generation of architects drag the architecture into
the whirlpool of reality. They do not see rules, norms and demands as a limitation but
rather as a potential, a generator for developing architecture. They take reality for
granted, they relate to the power of reality, to the decisionmaking systems and to the
political structures, to the fragmented picture of the world, where there is not one
truth but many layers of meaning in constant movement. (Bundgaard, 2000)
Pendekatan arsitektur lama, analisis subyektif dan intuisi artistik, tidak dapat
digunakan lagi untuk menghadapi bentuk masyarakat yang kompleks. Untuk itulah
pendekatan complex design diperlukan pada saat ini. Pendekatan rasionalis kritis
tahap ketiga ini tidak melihat aturan, norma dan permintaan sebagai batasan, namun
lebih sebagai potensi sebuah desain. Dalam beberapa kritik, MVRDV dikategorikan
sebagai projective architecture. Dalam buku ”The architecture of the jumping
universe”, tahun 1995, Charles Jencks menjelaskan ada 6 (enam) bentuk gerakan
arsitektur kontemporer, yaitu:
Organi-Tech, Fractals; Computer blobs; Enigmatic signifier; Datascape; dan
Landforms. MVRDV masuk dalam kategori datascape yang berangkat dari realita di
masyarakat, realita isu “density”. Menggunakan data dari kepadatan yang ada dan
menciptakan bentuk melalui organisasi bottom-up, bukan top-down seperti tahap
sebelumnya.
KESIMPULAN
Isu “density” merupakan isu yang integrated dengan kehidupan perkotaan
pada saat ini. Terkait dengan dinamika perkembangan kota, dan berkembangnya
kemampuan manusia penghuni kotanya, maka ”density” seharusnya juga dimaknai
sebagai sebuah isu yang dinamis. Gerakan kritis, baik era modern maupun
postmodern, merupakan salah satu cara agar manusia tidak statis dalam mitos-mitos
yang dibuatnya. Dinamika semacam ini diperlukan manusia untuk dapat melihat
realita secara rasional. 3 (tiga) tahap gerakan Arsitektur kritis, dalam makalah ini,
merupakan gambaran bagaimana cara berfikir rasionalis mengkritisi produk
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 11
rasionalisme sebelumnya. Telaah terhadap gerakan ini memperlihatkan suatu
dinamika yang terus berkembang dalam satu koridor isu yang sama, isu ”urban
density”. Pada tahap pertama ”density” merupakan isu yang diposisikan sebagai
obyek untuk dipertanyakan kembali kepada masyarakat kotanya. Desain Eisenman
menggunakan cara yang ”kejam” (tidak ramah) untuk memperkenalkan kembali
realita isu perkotaan. Tahap kedua cenderung menjadi eksperimen keterhubungan
antara teorit ”density” dan prakteknya. Teori-teori praktis terkait dengan isu ”density”
banyak muncul pada tahap ini. Berbagai karya tulis mengangkat realita kehidupan
kota yang padat. Desain adalah bagian dari kepadatan sebuah kota, sehingga
analisis kepadatan mulai banyak digunakan oleh beberapa arsitek. Tahap ketiga
merupakan tahap pragmatis, dimana strategi-strategi untuk mewadahi isu ”density”
ditawarkan sebuah desain. Desain bersifat bottom-up menawarkan bentuk yang
optimal terhadap realita kondisi yang ada.
Daftar Referensi
Bundgaard, Charlotte, 2000, Form follows action, Makalah Research Course
“Aestethetic Experience and Interpretation”, Lysebu 19-24 Agustus 2000,
http://www.c-i-d.dk/doc/Form-follows-Action.doc
Coupland, Douglas, 1991, Generation X: Tales for an Accelerated Culture, St.
Martin's Press
Coupland, Douglas, 1995, Microserfs, HarperCollins
Coupland, Douglas, 2006, JPOD, Random House
Derrida, J., Eisenman, P., 1997, Chora L Works, Monacelli Press
Frey, Darcy, 2008, Crowded House, wawancara Winy Maas dalam The New York
Times, 8 Juni 2008, http://www.nytimes.com/2008/06/08/magazine/08mvrdvt.html?_r=1&pagewanted=all
Jencks, Charles, 1995, The Architecture of the Jumping Universe, Academy, London
Kelbaugh, Douglas S., 2003, “Density – the D Word”, dalam konferensi AIA/BSA
“Density: Mith and Reality”, 11-14 September 2003, Boston
Klingmann, Anna, 2002, Liquid Postmodernism: Eventscapes of the Avant-garde,
dalam
Eventcity,
2002,
Birkhauser,
http://www.klingmann.com/pdf/LiquidPostmodernism.pdf
Kroll, Lucien, 1987, An Architecture of Complexity, Cambridge, MIT Press
Leach, Neil (Ed.), 1997, Rethinking Architecture, Routledge
Leksono, Ninok, 2008, "E-mail"dan Manusia Super, dalam Kompas, 17 Juli 2008.
Locke, Robert, 2004, Liberal Views Have Never Built Anything of any Value,
wawancara
Peter
Eisenman,
27
Juli,
2004,
dalam
http://archinect.com/features/article.php?id=4618_0_23_0_M
Newman, Oscar, 1996, Creating Defensible Space, DIANE Publishing
Newman, P., Hogan, T., 1981, A Review of urban density models: Toward a
resolution of the conflict between populace and planner, dalam Jurnal “Human
Ecology”, Volume 9, Number 3 / September, 1981, Springer, Netherlands.
Scalbert, Irenee, 2004, The City of Small Things, dalam building material issue 12,
2004, Architectural Association of Ireland
Spectrum
Knowledge,
2008,
The
Gen
Y
Perceptions
Study,
http://www.spectrumknowledge.com/img/Gen%20Y%20Perceptions%20Study_
CREW_Final.pdf
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 12
Suriasumantri, Jujun S., 2003, Filsafat Ilmu: Sebuah pengantar Populer, Pustaka
sinar harapan Jakarta
Thrush, George, 2003, Density and the City: The Next Layer, dalam konferensi
AIA/BSA “Density: Mith and Reality”, 11-14 September 2003, Boston
Turner,
Tom,
2005,
A
review
of
Parc
de
la
Villette,
Paris,
http://www.gardenvisit.com/history_theory/library_online_ebooks/architecture_ci
ty_as_landscape/review_parc_de_la_villette_tom_turner
Venturi, Robert, 1966, Complexity and Contradiction in Architecture, The Museum of
Modern Art Press, New York
Wastuty, Prima W., 2006, Bernard Tschumi : Teori, Metode, Aplikasi, Tesis UGM
West,
Peter,
2005,
A
new
switched-on
and
cynical
generation,
http://www.onlineopinion.com.au/view.asp?article=3932&page=0
Rahadea Bhaswara | 07/ 259951/ PTK/ 4685 | Psikologi Lingkungan | 13
Download