OPTIMALISASI PENENTUAN JENIS KELAMIN EMBRIO PADA TAHAP MORULA DAN BLASTULA DENGAN MENGGUNAKAN PCR PADA SAPI PESISIR ARTIKEL Oleh TINDA AFRIANI BP. 07 301 017 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG OPTIMALISASI PENENTUAN JENIS KELAMIN EMBRIO PADA TAHAP MORULA DAN BLASTULA DENGAN MENGGUNAKAN PCR PADA SAPI PESISIR. TINDA AFRIANI Prof. Dr. Ir. Zaituni Udin , MSc ; Prof. Dr. Ir. Hj. Zesfin BP, MS ; Dr. Ir. Sarbaini Anwar, MSc ; Dr. Ir. H. Jaswandi, MS ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat viabilitas embrio sapi Pesisir yang dibiopsi dalam pelaksanaan sexing embrio (penentuan jenis kelamin embrio), dan untuk mengetahui efektifitas penentuan jenis kelamin embrio sapi Pesisir menggunakan PCR serta untuk mengetahui sex ratio embrio sapi Pesisir pada tahap morula dan blastula dengan menggunakan 1 dan 2 blastomer. Diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi dalam pengembangan bioteknologi reproduksi ternak dengan kelahiran anak jantan atau betina secara seragam tergantung dari struktur populasi yang diharapkan. Penelitian ini dilakukan di kandang Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Fakultas Peternakan Universitas Andalas (Superovulasi ), Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas (Evaluasi embrio), dan Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor (Biopsi embrio dan penentuan jenis kelamin embrio). Penelitian dilaksanakan dari tanggal 1 Januari 2012 Sampai 30 September 2012 . Materi yang digunakan adalah embrio sapi Pesisir yang diperoleh dari hasil superovulasi induk sapi Pesisir dan sapi pejantan yang berumur lebih dari 3 tahun dengan bobot badan 140, 69± 5,51 kg . Embrio yang digunakan sebanyak 15 embrio yang diperoleh dari seekor sapi Pesisir yang di superovulasi dengan menggunakan CIDR dan hormon FSH. 15 embrio sapi Pesisir dibiopsi dengan microblade pada tahap morula dan blastula dengan mengambil 1 dan 2 blastomer . Variabel yang diukur adalah viabilitas embrio pada waktu 1,3,6 dan 12 jam setelah biopsi. Efektifias penentuan jenis kelamin dengan menggunakan PCR dengan primers BOV 97M dan sex ratio jenis kelamin pada embrio. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan Uji chi square dan uji Fisher. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa viabilitas embrio pada tahap morula dengan biopsi 1 sel dan 2 sel untuk 1 jam , 3 jam , 6 jam dan 12 jam adalah sama sedangkan viabilitas embrio dengan biopsi 1 sel dan 2 sel pada tahap blastula untuk 1 jam , 3 jam dan 12 jam adalah sama tetapi viabilitas embrio dengan biopsi 2 sel pada tahap blastula dimana 6 jam setelah biopsi perkembangan lebih baik bila dibandingkan dengan viabilitas embrio setelah biopsi baik pada tahap morula dengan biopsi 1 sel dan 2 sel maupun dengan biopsi 2 sel pada tahap blastula. Tetapi setelah dianalisis secara statistik dengan menggunakan Uji Fisher viabilitas embrio 6 jam setelah biopsi pada tahap morula dan blastula dengan 1 sel dan 2 sel adalah berbeda tidak nyata (P>0.05). Efektifitas penentuan jenis kelamin pada embrio tahap morula dengan menggunakan 1 sel dan 2 sel adalah sama yaitu 100 % . Pada embrio tahap blastula dengan menggunakan 1 sel efektivitasnya adalah 91, 67% dan dengan menggunakan 2 sel efektifitasnya adalah 100 %. Setelah diuji statistik dengan menggunakan Uji Fisher didapatkan bahwa efektifitas penentuan jenis kelamin pada tahap blastula dengan menggunakan 1 sel dan 2 sel adalah berbeda tidak nyata (P>0.05). Sex ratio embrio pada tahap morula dengan menggunakan 1 sel dan 2 sel adalah sama yaitu untuk embrio berjenis kelamin jantan adalah 66,67% dan berjenis kelamin betina adalah 33,33% sedangkan pada tahap blastula dengan menggunakan 1 blastomer sex ratio jantan adalah 41,67% sedangkan embrio berjenis kelamin betina adalah 50 %, dan dengan menggunakan 2 blastomer sex ratio berjenis kelamin jantan adalah 41,67% dan berjenis kelamin betina adalah 58,33 %. Sex ratio embrio pada tahap blastula dengan menggunakan 1 sel dan 2 sel setelah diuji statistik dengan menggunakan Uji Fisher hasilnya berbeda tidak nyata (P>0.05). Kata kunci : , Penentuan jenis kelamin embrio , morula , blastula ,PCR, sapi Pesisir Optimizing Embryo Sex Determination In Morula And Blastula Phases Used PCR for Pesisir Cattle. ABSTRACT This study aimed to observe the embryos viability of Pesisir cattle were biopsied in the implementation of the embryo sexing (determining the sex of the embryo), and to determine the effectiveness of the determination of the sex of Pesisir cattle embryos using PCR and to investigate the sex ratio in morula and blastula phases using 1 and 2 blastomeres. It is expected that this research contributes to the development of reproductive biotechnology cattle which the born of male or female cattle have an uniformity depending on the expected population structure.This research was conducted in UPT of Animal Science Faculty University of Andalas (Superovulation), Laboratory of Animal Reproduction at Animal Science Faculty, Andalas University (embryo evaluation), and Laboratory of Embryology at Faculty of Veterinary Medicine IPB (embryo biopsy and determination of the sex of the embryo ). This research was done between 1st January 2012 and 30th September 2012.The materials were Pesisir cattle embryos obtained from the superovulation of cows and bulls that older than 3 years, and the body weight about 140.69 ± 5.51 kg. Used 15 embryos of Pesisir cattle that have superovulation using CIDR and FSH hormones, an then the embryos were biopsied with microblade the morula and blastula phases by taking 1 and 2 blastomeres. The variables were the embryo viability at 1,3,6 and 12 hours after the biopsy. The effectiveness of sex determination using PCR with primers BOV 97m and sex ratio of the embryo. Data were analyzed using the chi-square test and Fisher's test.The results of this study stated that the embryo viability at the morula phase used biopsy 1 cell and 2 cells for 1 hour, 3 hours, 6 hours and 12 hours was the same, whereas the embryo viability used biopsy 1 cell and 2 cells at the blastula phase for 1 hour, 3 hours and 12 hours of embryo viability was the same but with biopsy 2 cells at the blastula phase where the 6 hours after the biopsy that the progression was better when compared to both embryo viability after biopsy like biopsy 1 and 2 cells at the morula phase and biopsy 2 cells at the blastula phase. Meanwhile, the statistically analyzed using the Fisher test that the embryo viability for 6 hours after the biopsy at the morula and blastula phases with 1 cell and 2 cells was not significant (P > 0.05). The effectiveness of embryo sex determination in morula phase using 1 cell and 2 cells was same (100%), in blastula phase using 1 cell was 91.67% and using the 2 cells was 100%. After statistically tested using Fisher test showed that the effectiveness of sex determination in the blastula phase using 1 cell and 2 cell was not significant (P > 0.05). Sex ratio of embryos at the morula phase using 1 cell and 2 cells was the same that for the embryo male sex about 66.67% and embryo female sex about 33.33% while at the blastula using 1 blastomer showed the male sex ratio around 41.67% and the female sex embryo was 50%, using 2 blastomeres showed that male sex ratio was 41.67% and the female sex was 58.33%. Sex ratio of embryos at the blastula phase using 1 cell and 2 cell after statistically tested using Fisher test were not significantly (P > 0.05). Keywords: Determination of sex embryo, morula, blastula, PCR, Pesisir cattle Idul Adha dan sapi Pesisir ini bahkan PENDAHULUAN Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi yang sapi Pesisir terhadap pendapatan populasinya menyebar di Sumatera mencapai 24 – 43% dari total Barat dan sebagai plasma nutfah pendapatan Indonesia dan komoditas unggulan populasinya mencapai 20% dari total spesifik wilayah Kabupaten Pesisir populasi sapi potong di Sumatera Selatan, Barat Sumatera lokal sampai ke provinsi Riau. Sumbangan Barat. Dan petani, sedangkan (Bamualim et al, melalui SK Menteri Pertanian No. 2006).Keunggulan utama ternak ini 2908/Kpts/OT.140/6/2011 ternak ini adalah tahan terhadap lingkungan ( sapi yang Pesisir) telah ditetapkan panas dan sebagai salah satu rumpun sapi lokal memanfaatkan Indonesia (Anwar, 2013). jelek. Masyarakat Sumatera Barat Pada tahun 2010 menunjukkan bahwa populasi ternak sapi di pakan mampu berkualitas menyebut sapi Pesisir dengan nama lokal yaitu jawi ratuih atau bantiang Kabupaten Pesisir Selatan tercatat ratuih, yang artinya sapi sebanyak 93.581 ekor, sementara melahirkan banyak anak. Sapi Pesisir pada tahun 2011 turun menjadi 77. memegang peranan penting sebagai 383 ekor dengan populasi sapi penghasil daging di Sumatera Barat Pesisir diperkirakan sekitar 90 %. khususnya Padang (Anwar , 2004). Sapi Pesisir menjadi salah satu Pertumbuhan populasi sapi Pesisir sumber sapi potong (daging) bagi selama 10 tahun terakhir relatife masyarakat Sumatera Barat, dan rendah rata-rata 1,17% per tahun sebagai hewan qurban pada hari raya (BPS, 2012). Data yang tahun 2010 menunjukkan bahwa populasi ternak ekor. Penurunan populasi diduga sapi di Kabupaten Pesisir Selatan berkaitan tercatat pemeliharaan yang bersifat ekstensif sebanyak 93.581 ekor, dengan sistem sementara pada tahun 2011 turun tradisional, menjadi 76.111 ekor dengan populasi pemotongan sapi pesisir adalah 49.375 ekor . menyempitnya areal penggembalaan, Pertumbuhan sapi dan kurang tersedianya pejantan, tingginya rendahnya upaya pembudidayaan, Pesisir populasi lamban akibat permintaan untuk dari ternak potong tingginya tingginya ternak angka jumlah produktif, ternak keluar dimana pada hari raya Idul Adha daerah. Penurunan populasi sapi untuk tahun 2012 adalah 4.793 ekor Pesisir yang terus menerus tanpa /tahun dan pemotongan komersial diiringi dengan usaha peningkatan tahun 2012 adalah 1.200 ekor /tahun populasinya dan penjualan ternak keluar daerah dampak buruk bahkan kepunahan tahun 2012 adalah 9.640 ekor/tahun. bagi Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat (2011) melaporkan akan keberadaan Salah satu meningkatan tahun dilakukan jauh menurun plama nutfah Sumatra Barat ini (BPS, 2012). bahwa populasi sapi Pesisir pada 2011 mengakibatkan usaha populasi dengan untuk dapat bioteknologi dibandingkan tahun 2004. Populasi reproduksi seperti Inseminasi Buatan sapi di Kabupaten Pesisir Selatan (IB) dan Transfer Embrio (TE). pada tahun 2011 tercatat 93.581 Bioteknologi reproduksi merupakan ekor, dan jauh menurun dibanding teknologi tahun 2004 yang mencapai 104.109 reproduksi unggul untuk dalam bidang meningkatkan produktivitas ternak. Perkembangan bioteknologi modern sebagai science bioteknologi sangat maju dengan driven technology (Martojo, 2003). pesat dan mempunyai peluang untuk Teknologi Inseminasi buatan diterapkan dalam membantu secara (IB) teknis peningkatan populasi ternak. , perkawinan yang bioteknologi diterapkan termasuk dianggap dapat merupakan teknologi telah pada lama sapi mengatasi tantangan dalam arti dapat Pesisir, sedangkan teknologi TE memenuhi peningkatan produktivitas masih terbatas penggunaannya tetapi tanpa merusak sumber hayati lokal mempunyai efektifitas yang lebih melalui upaya mengatasi kendala- baik kendala skala produksi yang kecil meningkatkan populasi suatu bangsa dari ternak. Teknologi Transfer embrio petani atau rendahnya produktivitas ternak asli lokal. Perkembangan yang pesat dari bioteknologi modern (TE) dibanding selain untuk IB untuk mempercepat peningkatan populasi ternak juga termasuk membuka peluang untuk manipulasi bioteknologi reproduksi ternak dalam embrio. Manipulasi embrio dengan dua dekade di penghujung abad ke - pengaturan jenis kelamin embrio 20 ini dipicu oleh perkembangan berpotensi dalam bidang molekuler dan biologi jumlah keturunan untuk satu jenis sel serta penemuan rekayasa genetik kelamin dalam populasi. Embrio melalui teknologi DNA rekombinan, yang sehingga biologi molekuler dianggap kelaminnya dalam peternakan sapi memberi ciri yang khusus kepada potong lebih efektif dan sangat telah untuk meningkatkan ditentukan jenis membantu untuk mengelola sumber daya genetik pemeliharaan ternak. sapi Usaha harus berada pada lebih stadium morulla. Morula tersusun dapat lebih kurang 32 sel dengan blastomer ditentukan jenis kelamin embrio yang sulit dibedakan satu sama sebelum kebuntingan ternak terjadi. lainnya karena merupakan massa sel Dengan demikian dapat dihindari dan sel-sel morula adalah totipoten hilangnya waktu dan pada hari ke 7 atau 8 berada pemeliharaan anak sapi dengan jenis pada stadium blastula (Udin. Z, kelamin yang tidak dikehendaki. 2012). menguntungkan akan diinseminasi apabila biaya dan Penggunaan penentuan jenis kelamin Keberhasilan penentuan jenis embrio dapat meningkatkan efisiensi kelamin embrio dipengaruhi oleh ekonomi dalam program transfer beberapa faktor diantaranya adalah embrio (Willett dan Hillers, 1994). tingkat keberhasilan perkembangan Jenis kelamin embrio dapat ditentukan embrio ( umur embrio) dan jumlah sebelumnya dan sel yang di biopsi . Embrio tahap penentuan jenis kelamin embrio morula merupakan embrio dengan (sexing embryo) dapat dilakukan ciri-ciri tersusun lebih kurang 32 sel, pada berbagai tahap perkembangan morula embrio baik pada tahap morula pembelahan maupun keberadaan blastomer satu sama lain kelamin blastula. terus akibat menerus, sangat rapat dan kompak sel pada terjadinya pembuahan (Salisbury dan tahap morula bersifat totipotency. Sel Vandemark, 1985). embrio 7 dimulai sel bulat semenjak dikoleksi telah Pembentukan berbentuk hari Embrio yang setelah donor pada tahap pertama pembelahan sel setelah pembuahan adalah satu-satunya totipoten.Tahapan morula sel yang perkembangan selanjutnya berkembang dilakukan penentuan jenis kelamin embrio. Biopsi mempengaruhi embrio viabilitas dan menjadi blastula. Pembelahan telah perkembangannya menghasilkan lebih dari 100 sel. Kerusakan embrio sebagai hasil dari Blastula prosedur biopsi sangat kecil dan biasanya menyerupai embrio. lapisan bola sel yang mengelilingi persentase hidup tertinggi rongga berisi cairan. Pada blastula, embrio setelah biopsi sel-sel akan pada atau dibandingkan bagian dalam membentuk bakal embrioblas (inner sedangkan janin cell bagian mass), luarnya membentuk trofoblas. Untuk tahap materi yaitu pada embrio 8 tingkat sel awal (Gianaroli, 2000). Penentuan embrio memperoleh pada dapat jenis kelamin dilakukan melalui beberapa cara yaitu Karyotyping, genetik yang akan dideteksi melalui deteksi PCR jenis ikatan enzim X dan identifikasi yang kelaminnya maka embrio dibiopsi berdasarkan kepada kromosom Y terlebih seperti dalam penentuan dahulu. Optimalisasi antigen in situ H-Y, penentuan hibridisasi, uji keberhasilan penentuan jenis kelamin kromatin, dan PCR (polymerase (sexing embrio ) sangat ditentukan chain reaction). Windsor et al., oleh teknik biopsi yang digunakan . (1993) melakukan penentuan jenis Biopsi dengan mikroblade adalah kelamin salah satu metoda biopsi dari embrio kebuntingan dengan menggunakan untuk mengambil blastomer sebelum teknik analisis karyotipe. Dengan embrio sebelum teknik karyotyping mempunyai et al (2008) juga Zohir dan Allam sensitivitas sangat tinggi dengan (2010) menggunakan blastomer lebih efisiensi sebesar 95% dan akurasi dari 3 sel dimana embrio dibiopsi 98%. Dari semua metode penentuan dengan microblade dan penentuan jenis kelamin yang ada maka PCR jenis lebih baik dibandingkan metode menggunakan PCR. kelamin embrio satu dengan yang lain karena lebih simple, lebih Salah alternatif untuk akurat, cepat dan tidak mahal (Chen, mengoptimalkan Zi-rong and Song-dong, 2007). keberhasilan sexing embrio adalah tingkat Peura et al, ( 1991); Faber et al, dengan menggunakan umur embrio (2003) dan Manna et al, (2003) atau tahap perkembangan embrio melaporkan yang sempurna dan jumlah blastomer bahwa keberhasilan penentuan jenis yang lebih sedikit. Ini berkaitan kelamin dengan ini tergantung pada viabilitas embrio dan amplifikasi Y- kromosom urutan efektifitas dalam penentuan jenis DNA sebagai indikator khusus. kelamin Untuk embrio berjenis kelamin maka embrio(sexing penulis tertarik untuk jantan ditentukan oleh dua fragmen melakukan (XY) dan embrio berjenis kelamin menggunakan 1 dan 2 sel dalam betina ditentukan oleh satu fragmen penentuan jenis kelamin embrio (XX) pada sapi Pesisir. Penentuan jenis penelitian embrio)., dengan kelamin Penelitian Ini Bertujuan Untuk ; dengan menggunakan 3 sel, 4-6 sel (1) Mengetahui viabilitas embrio dan 7 sel telah dilakukan oleh Lacaze sapi Pesisir yang dibiopsi dalam pelaksanaan sexing embryo (penentuan jenis kelamin embrio), METODE PENELITIAN (2) Mengetahui efektifitas penentuan Embrio yang digunakan sebanyak jenis kelamin embrio sapi Pesisir 15 embrio yang diperoleh dari seekor melalui PCR, (3) Mengetahui sex sapi Pesisir yang di superovulasi ratio embrio sapi Pesisir pada tahap dengan menggunakan CIDR dan morula hormon dan blastula dengan FSH. Metode menggunakan 1 dan 2 blastomer. digunakan Manfaat penelitian adalah untuk : eksperimen, dengan menggunakan Memberikan 15 kontribusi pengembangan dalam embrio adalah yang yang metode dibiopsi dan bioteknologi penentuan jenis kelamin pada embrio reproduksi ternak dengan kelahiran dengan menggunakan PCR. Embrio anak secara yang diperoleh dari panen embrio seragam tergantung dari struktur dibiopsi menggunakan microblade. populasi yang diharapkan. Untuk Proses biopsi pada embrio sapi dapat mendapatkan teknik penentuan jenis dilihat pada gambar 1.Prose biopsi kelamin embrio dapt dilihat pada gambar 1 jantan menggunakan atau betina embrio PCR menentukan jenis kelamin. dengan dalam Gambar 1. Embrio sapi Pesisir yang dibiopsi. A. Blatomer yg keluar setelah biopsi. B. Perusakan zona pellusida dengan microblade Biopsi menggunakan Narishige dan pencucian dengan larutan PBS Micromanipulators (Narishige sebanyak 3 kali yang diletakkan pada yang petridish sebanyak 10 µl. Blastomer Co,Ltd®, Jepang) dihubungkan dengan mikroskop atau Nomarsky Optic (IX71 kedalam pureTaq Ready To Go Olympus®, Jepang). Embrio (RTG) (Ready To Go mengandung yang dibiopsi diamati dNTP 200 µM dalam 10 mM Tris- perkembangannya didalam media HCL, pH 9 50 mM KCl dan 1.5 nM kultur jaringan BlastAssist MgCl2) (Origio Medicult Media doubledesrilation telah ®, 2 blastomer dimasukkan yang water diberi (ddH2O) Denmark) dengan selang waktu sebanyak 10 µl, sehingga volume sesaat setelah biopsi, 3 jam , 6 dalam jam dan 12 jam setelah biopsi. Tambahkan primers BOV 97 M Penentuan jenis kelamin embrio. sebanyak 5 µl ke dalam RTG. Blastomer yang telah keluar dari BOV97M dengan 5‟ – GAT CAC embrio diambil dengan pipet Pasteur TAT ACA TAC ACC ACT – 3‟ dan RTG menjadi 25 µl. 5‟ – GCT ATG CTA ACA CAA pada 72°C selama 7 menit. Lakukan ATT CTG – 3 dan rangkaian primer elektroforesis dengan agarose 2% sapi menurut sequence bovine DNA dengan pewarna ethidium bromide. 1.715 satellite dengan 5‟ – TGG Masukkan sampel DNA kedalam AAG CAA AGA ACC CCG CT – 3‟ sumur dan 5‟ – TCG TCA GAA ACC mikropipet. Sebagai penanda atau GCA CAC TG – 3‟. Amplifikasi marker digunakan 1 kb.Masukkan spesifik dari jenis kelamin jantan larutan buffer (TBE 1x) kedalam alat ditandai dengan 141 bp dan dari elektoforesis yang telah dimasukkan amplifikasi spesifik berjenis kelamin agarose yang berisi DNA. Lakukan betina ditandai dengan 216 bp sesuai elektoforesis selama 30-45 menit. dengan yang dilakukan oleh Park et Hasil al,(2000). Lakukan PCR dengan dengan Amplification GeneAmp 2400 (PE ultraviolet dimana embrio berjenis Corporasion, kelamin jantan akan terlihat dua band Norwalk, USA) dengan elektoforesis menggunakan dapat menggunakan dilihat sinar sebanyak 33 cycles, dan temperatur (XY) antara 141 bp denaturasion adalah 95°C selama 30 sedangkan untuk embrio yang betina detik, temperature annealing pada terlihat satu band (XX) pada 216 bp suhu 55 0C selama 30 detik dan .Untuk melihat hasil elektroforesis primer extension pada 72 0C selama dengan menggunakan alat seperti 30 detik dan setelah selesai reaksi Gambar 2. sampel dibiarkan dalam mesin PCR dan 141 bp Gambar 2. Alat untuk melihat hasil elektroforesis dengan menggunakan sinar UV BOV 97M dan penentu Y kromosom pada sesuai dengan instruksi dari pabrik Viabilitas (Alves et al., 2003; Pierce et al., embrio adalah kemampuan embrio 2000). Hasil PCR dideteksi dengan untuk dapat hidup yang ditandai sinar UV(ultra violet) dalam agarose dengan pertumbuhan, gel dengan ethidium bromida. Sex 2.Viabilitas embrio setelah dibiopsi rasio embrio jantan dan betina yang sesuai dilihat dari pita PCR. Embrio jantan Variabel yang penelitian adalah: adanya dengan diukur 1. metode dilakukan oleh Boediono yang et al ditandai dengan adanya dua band (2000), 3. efektifitas penentuan jenis (kromosom XY) sedangkan embrio kelamin embrio adalah seberapa betina banyak pita yang dapat dilihat pada band(kromosom XX).. hasil eleltroforesis pada penentuan Prosedur jenis kelamin pada sapi Pesisir. kelamin embrio menurut prosedur Penentuan jenis kelamin dilakukan yang dilakukan oleh Sharma et al. dengan polymerase chain reaction 2005.ini dapat dilihat pada gambar (PCR ) dengan kit primer spesifik ditandai kerja dengan penentuan satu jenis Gambar 3. Prosedur kerja penentuan jenis kelamin embrio dengan menggunakan 1 blastomer Analisis Data. Data yang didapatkan dari hasil pengamatan akan dihitung baik untuk viabilitas embrio dan HASIL PENELITIAN. efektiitas penentuan jenis kelamin Viabilitas Embrio Setelah Biopsi dengan menggunakan uji Fisher (Steel dan Torrie, 1991) Tingkat viabilitas embrio dan data pada sapi Pesisir setelah biopsi pada olah dengan menggunakan program tahap morula dan blastula yang SAS. Model matematika Uji Fisher diambil menurut (Steel dan Torrie, 1991) blastomer akan dilihat pada waktu 1 1 blastomer atau 2 jam, 3 jam , 6 jam sampai 12 jam. Viabilitas embrio sapi Pesisir setelah Sedangkan didefinisikan biopsi dapat dilihat pada Tabel 1 . menurut n! = n(n – 1)…1 dan 0!=1 lambing n! dibaca sebagai n faktorial Tabel 1. Viabilitas Embrio Sapi Pesisir Setelah Biopsi No 1 2 Identifikasi Morula Blastula Keterangan: Biopsi Blastomer(sel) Tingkat Viabilitas 1 jam 3 jam 6 jam 12 jam 1 - + ++ + 2 - + ++ + 1 - + +++ + 2 - + ++ + (-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), (++) embrio mulai berkembang, (+++) reekspansi blastosul Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh viabilitas embrio 1 jam, 3 jam, 6 jam Imron dan 12 jam setelah biopsi, diperoleh bahwa kultur selama 3 jam setelah hasil bahwa viabilitas embrio 1 jam biopsi cukup untuk setelah biopsi semua embrio yang memastikan bahwa embrio hidup dibiopsi masih dalam kondisi stress dan mulai berkembang (embrio rentan, morfologi lonjong hidup, dan siap di transfer ke resipien dan masih terdapat luka akibat begitu juga dengan biopsi) hal ini embrio tingkat adaptasi berkaitan dengan embrio setelah (2005) yang dianggap setelah mengalami menyatakan normal , morfologi 3 jam tidak perubahan biopsi . hasil penelitian ini sama signifikan . dengan yang dilanjutkan sampai 24 jam lebih sel- dilakukan oleh Boediono et al (2000) sel embrio akan menempel pada yang melaporkan bahwa embrio dasar petri kultur dan menyatu yang setelah dengan sel-sel kumulus . Hasil splitting bentuknya lonjong karena penelitian ini sama dengan hasil pengaruh tekanan pisau mikro pada penelitian yang dilakukan oleh saat memotong embrio .Pada 3 jam Boediono et (2000) yang setelah biopsi viabilitas embrio melaporkan bahwa embrio 3 jam kembali ke kondisi normal (bundar) setelah proses splitting embrio telah dengan nilai (+) viabiltas mengalami embrio 6 jam setelah biopsi embrio morfologis. mulai berkembang dengan nilai (++). viabilitas embrio pada sapi Pesisir Hasil penelitian ini sama dengan juga dapat dilihat pada gambar 4 hasil displitting penelitian sesaat dan Tetapi yang al bila kultur perkembangan Hasil penelitian biopsi adalah sangat rendah dan biopsi embrio akan mempengaruhi viabilitas dan embrio, tetapi menyebabkan perkembangann kecelakaan kerusakan yang embrio sebagai hasil dari prosedur biopsi sangat kecil.. Viabilitas Gambar 4 ; Diagram perkembangan embrio pada penelitian ini terlihat bahwa embrio embrio sapi pesisr setelah biopsi setelah biopsi pada tahap morula Viabilitas embrio setelah didapatkan viabilitas sama baik biopsi adalah sangat penting karena viabilitas embrio dengan mengambil akan mempengaruhi keberhasilan 1 sel maupun 2 sel sedangkan pada dari transfer embrio nantinya. Hal tahap blastula yang lebih baik adalah ini diperkuat oleh pendapat Shirazi viabilitas embrio et al (2010) untuk bahwa viabilitas yang dibiopsi yang mengatakan embrio 1 sel blastomer bila setelah dibandingkan dengan biopsi dari 2 biopsi embrio adalah faktor penting, sel blastomer. Ini disebabkan karena yang akan mempengaruh sel pada tahap blastula lebih kecil perkembangan embrio selanjutnya bila dibandingkan dengan tahap dan ini juga akan mempengaruhi morula sehingga kerusakan embrio tingkat keberhasilan dari Transfer setelah biopsi lebih kecil bila Embrio. . dibandingkan dengan kerusakan pada Gianaroli (2000) mengatakan tahap morula. bahwa kerusakan embrio setelah Teknik biopsi embrio sangat mencapai 95,6 %. Embrio yang penting terutama pada embrio yang diproduksi secara in vitro lebih akan menjalani kriopreservasi karena sensitif dari pada yang diperoleh sangat secara in vivo, karena akumulasi berpengaruh terhadap viabilitas. Cenariu et al (2012) menyatakan bahwa teknik dengan menggunakan microblade lipid selama fertilisasi. Hasil penelitian pada sapi lebih Pesisir dimana viabilitas embrio 6 mudah bila dibandingkan dengan jam setelah biopsi memperlihatkan teknik jarum dan teknik aspirasi yang bahwa dianggap Hasil mengalami penelitian ini sesuai dengan yang morfologis dilaporkan oleh Cenariu et al (2012). reekspansi Embrio tingkat embrio menjadi bulat kembali, hal baik ini sesuai dengan penelitian yang paling tahap pemulihannya dibandingkan (Hafez, sulit. morula lebih dengan 2000). Udy blastula embrio telah mulai perkembangan yaitu terjadinya blastosoel selain itu dilakukan oleh Boediono et al (1987) (2000). Perkembangan demi embrio menyatakan bahwa splitting embrio dapat berkembang 100% baik pada disarankan tahap morula maupun blastula. Hasil menggunakan embrio tahap blastula dibandingkan pada penelitian ini lebih baik tahap morula. dibandingkan yang dilaporkan Lopes Penelitian yang dilakukan oleh et al (2001); Hasler et al (2002); . Pereira et al (2008) pada embrio Hasil penelitian dari . Li et al (2007) yang jam diperoleh bahwa kelangsungan hidup didapatkan bahwa viabilitas embrio embrio yang telah dibiopsi untuk dikultur hingga 3,5 ditransfer dalam bentuk segar adalah sebesar 49 menggunakan – setelah beberapa siklus pembelahan 62% dengan sel, berbagai metoda mengkhususkan. Inner cell mass, biopsi. sel-sel totipoten mulai sumber sel induk embrionik, menjadi Urszula et al (1990) pluripotent. Dalam biologi sel, menyatakan bahwa perkembangan pluripotency (plurimus dari bahasa embrio setelah biopsi pada embrio Latin, yang berarti sangat banyak, yang diproduksi secara in vitro dan potens yang berarti memiliki dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan) yang mengacu pada sel umur dan jumlah sel embrio pada induk yang memiliki potensi untuk saat dibiopsi. Perkembangan embrio berdiferensiasi menjadi salah satu untuk tahap blastosis yang embrio dari dibiopsi pada tahap 16 sel adalah endoderm (lapisan perut interior, lebih tinggi dari pada embrio yang saluran dibiopsi pada tahap 8 sel secara mesoderm signifikan (Shirazi et al., 2010). urogenital), atau ektoderm (jaringan Mitalipov dan Wolf (2009) tiga lapisan pencernaan, epidermal (otot, dan germinal: paru-paru), tulang, sistem darah, saraf) menyatakan bahwa embrio telah (Windhorst, 2009). Penelitian yang mencapai tahap 16-sel, mempunyai dilakukan oleh Sugimoto, (2011). sel-sel menunjukkan totipoten dari morula bahwa sel dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel yang berdiferensiasi ke dalam sel totipoten akhirnya akan menjadi massa sel secara tidak sepenuhnya, melainkan blastosis dengan trofoblas. Sekitar menjadi "variasi selular kompleks" empat hari setelah pembuahan dan dari totipoten . Viabilitas Embrio Pada Tahap mulai berkembang . Begitu juga Morula 1 sel dan 2 sel Setelah dengan 12 jam biopsi turun kembali Biopsi dan ditandai dengan nilai plus satu Hasil bahwa penelitian didapatkan (+)., hal ini disebabkan karena viabilitas embrio tahap kultur yang digunakan . Viabilitas morula setelah biopsi 1 sel dan 2 sel morula yang dibiopsi dan diambil 2 adalah sama blastomernya untuk kembali ke juga kembali ke kondisi normal setelah dibiarkan kondisi normal setelah dibiarkan selama 1 jam, 3 jam, 6 jam dan 12 selama 3-12 jam. Namun, dari jam. Namun, dari pengamatan yang pengamatan dilakukan viabilitas embrio terbaik viabilitas embrio terbaik dan paling dan paling optimal berada 6 jam optimal berada 6 jam (ditandai (ditandai dengan ++ atau dengan dengan ++) setelah biopsi. Viabilitas nilai 2) setelah biopsi. Sedangkan embrio pada tahap morula yang viabilitas embrio setelah dibiopsi 3 jam yang dengan dilakukan mengambil 1 masih rendah yang ditandai dengan blastomer dan 2 blastomer dapat nilai + atau satu (1), hal ini dilihat pada Tabel 2. disebabkan karena embrio baru Tabel 2. Viabilitas Embrio Sapi Pesisir Setelah Biopsi Tahap Morula No 1 Identifikasi Morula Keterangan: Biopsi Blastomer (sel) Tingkat Viabilitas 1 jam 3 jam 6 jam 12 jam 1 - + ++ + 2 - + ++ + (-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), (++) embrio mulai berkembang Biopsi embrio adalah Persentase hidup tertinggi mengeluarkan 1 atau lebih sel dari setelah biopsi pada saat tingkat 8 sel embrio sebelum dibandingkan tingkat awal. Prosedur biopsi embrio mempengaruhi dan perkembangann viabilitas embrio serta implantasi kecelakaan menyebabkan kerusakan dan yang embrio biopsi tidak memiliki pengaruh berbahaya terhadap viabilitas embrio segar dan embrio yang telah dibiopsi kemudian dibekukan maka sebagai hasil dari prosedur biopsi perkembangan embrio tidak akan sangat kecil . Nainiene et al (2007) mempengaruhi menyatakan bahwa embrio in vitro ditransfer bila dibandingkan dengan bila dibiopsi dengan memotong embrio utuh yang ditransfer setelah memiliki pengaruh negatif yang dibiopsi (Gustafsson et al, 1994; lebih Thibier dan Nibart; 1999; Shirazi et besar terhadap viabilitas embrio dibandingkan biopsi dengan pengisapan. Behr dan Shu, (2010) embrio untuk al, 2010). .Teknik biopsi embrio pada mengatakan bahwa metode biopsi tahap morula , tempat dimana zona embrio pellusida sangatlah penting dan akan dibiopsi tidaklah berpengaruh sangat besar terhadap penting karena itu perusakan zona viabilitas dan pellusida dapat dilakukan di mana kelangsungan hidup embrio yang saja di lingkar embrio, dan semua dikriopreservasi. zona teknik biopsi pun dapat digunakan pellusida merupakan kunci dalam (Bredbacka, 1991). Hal ini sesuai kelangsungan hidup embrio. dengan embrio, integritas Integritas yang dikemukakan oleh Cenariu et al (2012) bahwa embrio morula dibiopsi tempat dimana zona blastomere. Biopsi dilakukan pada pellusida dibuka tidaklah penting. tahap 16 sel menghasilkan 94% dari Karena itu, pembukaan bisa dibuat di embrio lingkar embrio manapun dan tidak blastosis, yang secara signifikan dipengaruhi oleh jenis teknik biopsi lebih tinggi dibandingkan dengan yang digunakan . Hal ini sesuai yang dibiopsi pada tahap 8- sel (64 dengan pendapat dari Mitalipov dan %). Sedangkan embrio yang dibiopsi Wolf (2009) menyatakan bahwa pada hari ke-3 yaitu pada tahap 4 sel embrio telah mencapai tahap 16-sel, dan 8 sel menghasilkan embrio yang mempunyai sel-sel totipoten. Sel berkembang totipoten dapat membentuk semua sebesar 49% dan pada tahap 46% jenis sel dalam tubuh, ditambah pada dan pada hari ke yaitu pada ekstraembrionik, atau plasenta . Sel tahap 4 dan 8 sel menghasilkan embrio setelah pembuahan akan embrio mengalami pembelahan sel sampai blastokia setelah biopsi adalah 39% pada tahap morula dan ini adalah dan 33 % (Shirazi et al., 2010). satu-satunya sel yang totipoten berkembang ke tahap berkembang Menurut ke tahap blastosis ke tahap Tominaga dan Biopsi embrio sapi pada tahap Hamada (2004) bahwa jumlah bahan 4-16 sel tidak memiliki efek buruk genetik yang diperoleh dengan biopsi pada menggunakan kemampuan perkembangan microblade sedikit embrio secara in vitro dan begitu lebih tinggi dari pada yang diperoleh juga dengan embrio tahap 16 sel, oleh jarum atau aspirasi dan juga dibiopsi pada hari ke-4 adalah tahap akurasi terbaik untuk menghilangkan yang lebih tinggi dari penentuan jenis kelamin dengan morfologi bundar , 6 jam setelah metode biopsi microblade. biopsi embrio mulai berkembang tetapi viabilitas embrio yang dibiopsi Viabilitas Embrio Pada Tahap dengan mengambil 1 blastomer pada Blastula 1 sel dan 2 sel Setelah tahap biopsi mempunyai nilai +++ atau terjadi Viabilitas embrio tahap blastula lebih baik yaitu reekspansi blastosul. Sedangkan blastula setelah biopsi terlihat bahwa pada 12 jam setelah biopsi viabilitas pada satu jam setelah biopsi embrio embrio sama dengan 3jam setelah masih mengalami stress , viabilitas biopsi. Viabilitas embrio pada tahap embrio 3jam setelah biopsi embrio blastula dapat dilihat pada tabel 3. telam mulai normal kembali dengan Tabel 3. Viabilitas embrio sapi pesisir setelah biopsi tahap blastula No Identifikasi 1 Biopsi Blastomer(sel) Blastula Tingkat Viabilitas 1 jam 3 jam 6 jam 12 jam 1 - + +++ + 2 - + ++ + Keterangan: (-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), ( ++) embrio mulai berkembang; ( +++) reekspansi blastosul (Penelitian 2012) Hasil analisis Uji Fisher jam, 3 jam, 6 jam dan 12 jam. Hal ini viabilitas embrio terjadi karena kerusakan embrio tahap blastula setelah biopsi 1 sel saat biopsi pada blastula lebih kecil, dan 2 sel berbeda tidak nyata karena sel blastomer dari (P>0,05) untuk kembali ke kondisi tahap blastula lebih banyak dan normal setelah dibiarkan selama 1 kecil. Jadi biopsi 1 sel ataupun 2 sel memperlihatkan embrio dari tahap blastula mempengaruhi tidak tingkat akan viabilitas aspirasi untuk mengambil satu blastomere. Embrio dibiopsi adalah embrio setelah biopsi. Pada tahap kemudian dibiakkan di SOFaaBSA blastosis, biopsi co-kultur sampai dimana akan dilakukan perusakan blastosit. Dan dari zona pellusida yaitu pada area bahwa tidak ada perbedaan antara dimana trophectoderm waktu terhadap viabilitas embrio (Cenariu et al., 2012). Kecepatan dan pada tahap yang berbeda dari embrio kemudahan biopsi dengan metode biopsi yaitu pada tahap morula. semua ada sel metode microblade sudah direkomendasikan perkembangan didapatkan hasil Gustafsson et al, (1994) ; sebagai teknik yang paling cocok Thibier untuk embrio yang akan ditransfer melakukan penelitian pada embrio tanpa kriopreservasi. domba Hasil penelitian Nibart , ( 1995 ) dan didapatkan sama prosedur dengan penelitian yang dilakukan pengaruh oleh Shirazi et al ( 2010) dimana viabilitas embrio segar, penelitian ini menggunakan embrio mengembangkan yang dibiopsi dihasilkan ini dan dengan panen biopsi berbahaya dari memiliki terhadap kapasitas embrio untuk di transfer jauh embrio pada hari 2, 3, dan 4 pasca- berkurang inseminasi dengan jumlah sel yang cryopreserved . berbeda (4 sampai 16-sel). Embrio tidak bahwa Urszula ketika et bahwa mereka al, (1990) dibiopsi dengan setetes dari 100 ml melaporkan praimplantasi H-SOF dan perusakan zona pellusida embrio tikus dengan pengeboran pronase dengan tahap 4 sel, tahap 8-sel dan morula, yang dibiopsi pada biopsi memiliki perkembangan dampak embrio pada dan blastokista..Hal ini diketahui bahwa vitrifikasi dan prosedur thawing berpotensi lebih baik secara in vitro memiliki efek merusak yang lebih dan in vivo bila dilakukan pada tahap rendah pada tingkat kelangsungan 8-cell. hidup embrio yg berhubung dgn Umur dan jumlah sel embrio domba . (Naitana et al, 1996; pada saat biopsi tidak berpengaruh Syirazi et al, 2010; Ali et al, 1993; signifikan terhadap embrio blastosis Szell dan Windsor, 1994). setelah Selanjutnya, vitrifikasi tidak thawing. Dan secara lebih tinggi viabilitas merugikan dan berpengaruh terhadap embrio pada embrio yang dibiopsi tingkat penetasan embrio dibiopsi yang umur 2 hari yaitu pada tahap 4- dibandingkan dengan tanpa dibiopsi cell dibandingkan dengan embrio yang mana ini berbeda dengan apa yang dibiopsi pada hari 2 (8-sell), yang dilaporkan oleh Naitana et al hari ke 3 ( stadium 8 sell), atau hari (1993) yang berhubung dgn embrio ke - 4 ( tahap 16 sell). Kesalahan domba . signifikan biopsi yang akan mempengaruhi viabilitas embrio karena jumlah sel Viabilitas Embrio Tahap Morula (1 sampai 2 sel) kurang dari satu dan Blastula Setelah Biopsi (1 sel) persen (Shirazi et al, 2010). Viabilitas embrio tahap morula Pada sapi, biopsi pada tahap dan blastula setelah dibiopsi dengan morula tidak memiliki efek yang mengeluarkan 1 sel dapat dilihat merugikan pada Tabel 4 pada embrio selanjutnya perkembangan sampai tahap Tabel 4. Viabilitas embrio sapi pesisir tahap morula dan blastula (1 sel) No Identifikasi Biopsi Blastomer(sel) Tingkat Viabilitas 1 jam 3 jam 6 jam 12 jam 1 Morula 1 - + ++ + 2 Blastula 1 - + +++ + Keterangan: (-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), (++) embrio mulai berkembang; (+++) reekspansi blastosul (Penelitian 2012) Pada Tabel 4 dapat dilihat viabilitas embrio tahap blastula embrio tahap blastula (1 sel) dibandingkan tahap morula (1 sel) setelah biopsi dengan mengeluarkan dapat 1 sel baik untuk 1 jam , 3 jam dan blastomer blastula lebih kecil dan 12 jam setelah biopsi. adalah sama . jumlah blastomernya lebih banyak Viabilitas dibandingkan embrio 6 jam setelah terjadi karena morula, ukuran sehingga biopsi pada tahap blastula lebih cepat kemampuan untuk memperbaiki diri mengalami kembali lebih optimal setelah terjadi perkembangan (reekspansi blastosul). Tetapi perlukaan. viabilitas embrio 6 jam setelah biopsi Namun hasil penelitian ini pada tahap morula dan blastula berbeda dengan pernyataan Imron setelah dianalisis dengan Uji Fisher (2005) hasilnya embrio pada tahapan morula lebih berbeda tidak nyata (P>0.05). yang mengatakan bahwa rentan dibandingkan pada tahapan Viabilitas embrio blastosis, karena Imron (2005) biopsi lebih baik pada tahap blastula melakukan splitting embrio pada bila tahap morula dan didapatkan bahwa dibandingkan morula dengan dengan setelah tahap pengambilan 1 embrio tahap morula lebih rentan blastomer. Tingginya nilai viabilitas dibandingkan dengan embrio tahap blastosis karena jumlah sel blastosis blastosoel lebih banyak dibandingkan dengan kembali ICM dan tropoblas. Selain embrio tahap morula itu bentuk demi embrio menjadi Macháty et al, (1993) dengan membentuk bulat kembali dan tidak lonjong . melaporkan bahwa pengambilan satu Demi sel dari embrio sapi tahap 16-32 sel degenerasi embrio tidak dibedakan secara jelas dibandingkan perkembangan demi embrio yang hidup tiga jam sampai setelah splitting karena sel-sel pada praimplantasi mengubah embrio in vitro tahap embrio yang atau mengalami rusak dapat perkembangan blastokista. Herr dan demi embrio yang rusak Reed (1991), Thibier dan Nibart akan saling terlepas dan menyebar di (1992) melakukan biopsi dengan dasar cawan petri. Morfologi demi memotong beberapa sel dari morulae embrio setelah tiga jam tidak banyak atau mengalami perubahan jika kultur blastosis microblade menggunakan mendapatkan hasil dilanjutkan 3 sampai 24 jam. Jika bahwa embrio dapat berkembang kultur dilanjutkan lebih dari 24 jam, sampai tahap blastokia. sel-sel demi embrio akan menempel Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil dilakukan oleh penelitian yang Imron dkk (2007) pada dasar cawan petri kultur dan menyatu lapisan sel-sel kumulus yang digunakan sebagai dimana tiga jam setelah proses kokultur splitting, dalam media kultur embrio telah sehingga menyulitkan dalam proses perkembangan secara pemindahan demi embrio. Hasil ini morfologis yaitu terjadi reekspansi menyarankan bahwa kultur selama 3 mengalami demi dengan jam dianggap cukup untuk kemudian dikultur selama 48 jam memastikan bahwa demi embrio didapatkan telah berkembang secara normal, setelah viabel dan siap untuk ditransfer ke pemotongan dengan microblade dan sapi resipien. 30% untuk Boediono (2005) viabilitasnya embrio biopsi adalah 20% untuk embrio yang dibiopsi melaporkan bahwa demi embrio dengan dihisap dan akan mencapai yang dihasilkan dalam splitting pada tahap blastula dan berhasil menetas embrio kambing dari selama 3-24 setelah jam kultur menunjukkan ZP.. Karena biopsi yang dilakukan setelah pencairan embrio terbentuknya ICM dan tropoblas memiliki yang secara jelas dapat dibedakan. terhadap perkembangan selanjutnya Takeuchi et al ( pengaruh langsung 1992) dan akan menurunkan perkembangan menggunakan tiga metode untuk embrio in vitro sebesar 15%. Embrio biopsi , yaitu enukleasiaspirasi dan yang dibekukan lalu dibiopsi maka ekstrusi , dan menemukan hanya tingkat kebuntingan pada sapi yang sedikit ditransfer adalah sekitar 30% perbedaan diantaraketiga terhadap metoda biopsi perkembangan embrio yang Viabilitas embrio penurunan selanjutnya/ setelah biopsi.. dengan ataupun lalu dibiopsi baik pemotongan dihisap tingkat kebuntingan dari embrio ditransfer sebesar mengalami 15% dibandingkan dengan embrio utuh Viabilitas embrio beku yang telah dithawing dan (microblade) (aspirasi) dan yang ditransfer. Viabilitas embrio beku setelah di thawing dilanjutkan dengan biopsi sangat berpengaruh terhadap hasil kebuntingan. Hasil penelitian Li metode biopsi: tingkat kebuntingan et al (2007) mengamati tingkat adalah kebuntingan ternak lebih rendah dibiopsi oleh jarum, 43% pada (41,8%) yang embrio dibiopsi dengan aspirasi, dan pembekuan , sedangkan 31% pada embrio dibiopsi oleh terkena dengan implantasi embrio embrio segar setelah dari 57% pada microblade. Metode biopsi embrio biopsi tidak mempengaruhi tingkat sangat penting dan kebuntingan (49,6%) . sangat besar Tetapi yang berpengaruh terhadap viabilitas telah embrio, integritas dan kelangsungan dilakukan hidup embrio yang dikriopreservasi. perkembangan Integritas zona pellusida merupakan embrio tidak akan mempengaruhi kunci dalam kelangsungan hidup embrio embrio (Behr dan Shu, 2010). dibiopsi embrio embrio kemudian pembekuan maka untuk ditransfer bila dibandingkan dengan embrio utuh yang ditransfer setelah Ketika embrio tahap morula dibiopsi yang dibiopsi, tidak menjadi masalah (Gustafsson et al.,1994; Thibier dan tempat dimana zona pellusida akan Nibart, 1999; Shirazi et al., 2010). dibiopsi, karena perusakan zona Memilih biopsi yang memadai pellusida dapat dilakukan dimana sangat penting dalam embrio yang saja pada lingkar embrio, dan dapat akan dilakukan menjalani berikutnya, kriopreservasi karena sangat berpengaruh terhadap viabilitas. Dari dengan semua teknik biopsi yang ada (Bredbacka, 1991). Sedangkan embrio tahap penelitian ini didapatkan hasil yang blastosis, semua metode biopsi akan berbeda secara signifikan antara tiga merusak zona pellusida di daerah dimana hanya sel trofektoderm hadir (2004) melaporkan akurasi yang (Bredbacka, 1991). Ketiga teknik lebih tinggi biopsi mampu menyediakan cukup embrio sel dan DNA untuk penentuan jenis microblade dalam penetuan jenis kelamin embrio dengan PCR. Tetapi kelamin .Viabilitas Pada Tahap jumlah bahan genetik yang diperoleh Morula biopsi dengan microblade Biopsi (2 sel) sedikit lebih tinggi daripada yang diperoleh dengan menggunakan yang dibiopsi dan Viabilitas Blastula Setelah embrio setelah oleh jarum atau aspirasi, teknik yang biopsi terakhir masih mampu menyediakan blastula sel-sel dan DNA yang cukup untuk blastomer dapat dilihat pada Tabel memungkinkan 5. amplifikasi. pada dengan tahap morula dan dengan pengambilan 2 Selanjutnya Tominaga dan Hamada Tabel 5. Viabilitas Embrio Sapi Pesisir Tahap Morula Dan Blastula (2 Sel) No Identifikasi Biopsi Blastomer(sel) Tingkat Viabilitas 1 jam 3 jam 6 jam 12 jam 1 Morula 2 - + ++ + 2 Blastula 2 - + ++ + Keterangan: (-) embrio masih stress, (+) embrio mulai kembali normal (bundar), (++) embrio mulai berkembang, (+++) reekspansi blastosul (Penelitian 2012) Hasil penelitian memperlihatkan viabilitas embrio tahap morula dan blastula setelah biopsi dengan blastomer mengambilan adalah sama 2 baik viabilitas embrio pada 1 jam, 3 jam, 6 jam dan 12 ja setelah biopsi „ Macháty et al , ( 1993) , melaporkan bahwa 53,3 % dari embrio yang manipulasi dapat berkembang sampai tahap blastokia. Selain itu biospy tidak , memiliki perbedaan jumlah sel embrio efek sebelum (embrio utuh)dan setelah merugikan pada tingkat kehamilan splitting (demi embrio). Sel-sel yang dicapai dihitung adalah sel yang mempunyai menggunakan embrio yang dibiopsi bentuk bulat atau lonjong dengan untuk transfer . Tidak ada perbedaan membran sel yang masih utuh . Sel- yang signifikan antara tingkat sel embrio yang degenerasi/mati kehamilan dicapai untuk embrio akan hancur dan terlihat seperti yang debris (kotoran) dalam pewarnaan dibiopsi dengan embrio yang tidak dibopsi ( 52,6 % dan 54,1 %). Giemsa (IMRON dkk, 2007) . Beberapa penelitian terdahulu Efekltifitas Penentuan Jenis telah membuktikan bahwa kualitas Kelamin dan viabilitas embrio sapi yang Efektifitas diproduksi secara in vivo lebih baik Kelamin pada Tahap Morula dan dibandingkan dengan embrio yang Blastula. diproduksi secara in vitro (Crosier Et Efektifitas Penentuan penentuan Jenis jenis Al. 2000; Mcevoy Et Al. 2001; Greve kelamin embrio pada sapi Pesisir 2002), sehingga embrio in vivo akan dengan melihat jumlah pita hasil lebih tahan dan memiliki daya hidup elektroforesis lebih perlakuan berjenis kelamin jantan dengan 2 pita dengan dan embrio berjenis kelamin betina embrio in vitro. Penghitungan jumlah dengan 1 band pita dan dapat dilihat sel pada Tabel 6. tinggi splitting terhadap dibandingkan dilakukan untuk mengetahui dimana embrio Tabel 6. Jumlah pita embrio tahap morula dan blastula sapi pesisir Tahapan Jumlah Sel Morula Blastula Hasil penelitian Jumlah Pita (band) Betina (1 band) Jantan(2 band) 1 1 2 2 1 2 1 6 5 2 7 5 pada sapi Untuk melihat uji Pesisir terlihat bahwa semua embrio elektroforesis pada tahap morula dan tahap morula baik pengambilan 1 sel efektifitas penentuan jenis kelamin maupun embrio dapat dilihat pada gambar 18. 2 sel teridentifikasi seluruhnya (100%), sedangkan pada Embrio tahap blastula pengambilan 1 sel ditandai dengan 2 pita (kromosom terdapat tidak XY) dan embrio berjenis kelamin teridentifikasi ( 91,67%) sedangkan betina dengan 1 pita (kromosom pada tahap blastula pengambilan 2 XX). sel 1 embrio yang semua embrio teridentifikasi (100%). marker berjenis kelamin janta 250bp 216bp bp 114bp Gambar 5. Foto elektroforesis penelitian. Embrio jantan ditandai dengan 2 band dan embrio betina dengan 1 band. Pada Gambar jenis kelamin 5 ini terlihat dari 3 sel. betina ditentukan keseimbangan Oleh telah karena itu, ditemukan dengan 1 pita (XX) dengan 216 bp antara pengeluaran sejumlah besar dan jenis kelamin jantan dengan 2 blastomer dan kerusakan embrio dan pita (XY) dengan 141 bp. pengeluaran satu/single blastomer Penelitian ini sesuai dengan dan resiko penurunan akurasi dalam penelitian terdahulu (Zoheir and penentuan jenis kelamin pada embrio Allam, (Cenariu, et al., 2012). 2010) yang telah memperlihatkan bahwa biopsi dari satu blastomer cukup Hasil penelitian ini berbeda untuk dengan yang didapatkan oleh Park et penentuan jenis kelamin dan analisis al (2000) dimana didapatkan bahwa genotip lain pada embrio, keakuratan penentuan jenis kelamin dengan dari penentuan jenis kelamin 100% menggunakan telah dilaporkan ketika sejumlah mendapatkan blastomer diambil dari morula lebih 1 blastomer effsiensinya hanya 90% sedangkan untuk 8 sel baru melaporkan bahwa biopsi didapatkan effisiensi 100%. beberapa blastomer sudah dapat digunakan untuk dari melakukan Jenis penentuan jenis kelamin (sexing) dan Kelamin pada Tahap Morula (1 analisis genotip lainnya pada embrio dan 2 sel) dengan akurasinya bisa mencapai Efektifitas Penentuan Efektifitas penentuan kelamin embrio jenis pada tahapan 100%. Penelitian ini juga telah dilakukan oleh Zoheir dan Allam, morula dengan menggunakan PCR (2010).dengan untuk pada sejumlah blastomer yang dipisahkan embrio sapi Pesisir memperlihatkan dari morula lebih dari 3 sel sudah hasil yang sama yaitu efektifitasnya dapat digunakan untuk menentukan sampai 100%. jenis kelamin embrio 1 dan 2 blastomer Klimanskaya et al menggunakan (2006) Biopsi pada tahap morula untuk mengatakan bahwa biopsi dengan ditentukan jenis kelaminnya lebih menggunakan dapat baik dibandingkan blastula. Hal ini digunakan untuk penentuan jenis dapat terjadi karena sel-sel pada kelamin , adapun yang menjadi morula masalah dibandingkan sel-sel pada blastula. blastomer adalah integritas dari masih Keuntungan dibekukan atau dicairkan setelah tahapan pertumbuhan embrio seperti biopsi. morula atau blastula, secara relatif (2001); Carneiro et al (2011) pada jelas zona pellusida pada waktu embrio Park et al (2000); Chrenek et al biopsi terlihat akhir lebih banyak sel yang bisa dikoleksi dibandingkan dengan biopsi pada awal tahapan Bagaimanapun, perkembangan. tahapan morula Dari menggunakan analisis data uji yang Fisher mewakili lebih baik tahapan untuk dilakukan pada tahapan blastula biopsi embrio karena pemadatan memperlihatkan nilai yang tidak yang luas, yang muncul pada tahapan berbeda antara perolehan embrio 16-32 sel embrio (Hardy et al., 1996 jantan dibandingkan embrio betina dalam De vos et al., 2001). dimana Pada embrio (P>0.05), Efektifitas mencit penentuan jenis kelamin embrio pada ditunjukkan bahwa biopsi paling tahap blastula dengan menggunakan merusak morula, 1 sel/1 blastomer adalah 91,67% implantasi, sedangkan dengan menggunakan 2 viabilitas fetus dan bobot badan fetus blastomer efektifitasnya mencapai secara signifikan (Krzyminska et al., 100%. pada penurunan tahapan tingkat 1990 dalam De vos et al., 2001). Perbedaan efektifitas penentuan Namun Yu et al (2006) mengusulkan jenis bahwa sample yang besar lebih baik menggunakan embrio tahap blastula untuk penentuan jenis kelamin tetapi yang dibiopsi viabilitas dari perlakuan terhadap berbeda yaitu 1 dan 2 blastomer embrio bisa dikompromikan. terlihat hasil yang berbeda walaupun setelah kelamin di uji embrio dengan jumlah sel dengan yang statistik Jenis berbeda tidak nyata. Ini disebabkan Kelamin Pada Tahap Blastula (1 karena sel yang terdapat pada embrio dan 2 sel) tahap blastula lebih kecil dan banyak Efektifitas Penentuan dimana jumlah sel pada tahap blastula lebih sel, menambahkan bahwa embrio yang kemungkinan waktu pengambilan diproduksi secara in vitro lalu embrio dan atau divitrifikasi dan setelah thawing melekat pada dinding pipet pasteur embrio dikultur selama 48 jam dan atau pada dinding cup untuk PCR, ditentukan jenis kelamin dengan sehingga tidak dapat terdeteksi. PCR. Embrio yang mencapai tahap pencucian dari sel 100 hilang Tominaga and Hamada (2004) blastula pada embrio jantan memiliki mengisolasi hanya dengan 1 atau 2 morfologi sel dari blastomer embrio pada tahap kemudian akan lahir dengan tingkat 8 – 16 sel dan dilakukan penentuan yang lebih besar dari embrio betina. jenis kelamin diperoleh efisiensinya yang lebih baik Dari analisis dan data sekitar 90%. Park et al (2000) menggunakan uji melaporkan bahwa efisiensinya baru dilakukan pada tahapan blastula mencapai dengan menggunakan 2 blastomer 100% dengan Fisher menggunakan 8 blastomer sedangkan yang terlihat dengan menggunakan 4, 2 dan 1 memperlihatkan nilai yang tidak blastomer hasilnya hanya mencapai berbeda 96,3 – 92,1%. embrio jantan dibandingkan embrio Penelitian ini berbeda dengan betina pada yang nyata Lampiran antara dimana 8 perolehan (P>0.05), hasil penelitian yang dilakukan oleh dimanawalaupun King et al (1992 ) dan Gutierrez et al jumlah embrio kelamin jantan lebih (2001) menemukan bahwa embrio sedikit jantan berkelamin betina di tahapan blastula lebih tahan terhadap manipulasi. Nedambale et al (2004) dalam dibandingkan angka embrio yaitu 5 embrio jantan dan 7 embrio metoda praktis yang dapat dilakukan betina. di lapangan. Cenariu et al (2012) Hasil penelitian sapi menyatakan bahwa dalam Pesisir didapatkan persentase embrio bioteknologi reproduksi ternak berjenis merekomendasikan kelamin pada betina sebesar PCR 41,6% hasil penelitian ini bertolak sebagai belakang dengan penelitian Hasler et kelamin yang lebih mudah, lebih al (2002) yang menunjukkan bahwa cepat dan lebih murah dimana untuk rasio jenis kelamin dari blastula hasil penelitian menunjukkan akurasi secara 95,65%. signifikan condong metode bahwa penentuan jenis mendukung embrio betina (60,3%). Sampling dengan biopsi telah Hasler et al. (2002) lebih lanjut diterapkan untuk IVP embrio untuk membuktikan keseluruhan pada tahap 16-32-sel, morula, dan yang diproduksi secara in vitro blastula. Karena efisiensi sexing persentase menurun bahwa embrio betina secara secara signifikan bila signifikan lebih tinggi (53%) dari kurang dari lima sel dalam penentuan persentase vivo jenis kelamin dengan PCR, ukuran menghasilkan embrio (49,2%) ini sampel yang lebih besar (8 – 10 sel) diperkuat karena karena embrio sapi telah Pesisir diproduksi secara in vivo. keberhasilan penentuan jenis kelamin jantan in Embrio yang dihasilkan secara in vivo yang dilakukan biopsi untuk direkomendasikan untuk dengan PCR (Park et al., 2000). Namun, pengembangan penentuan jenis kelamin dengan "ekstensi primer preamplification- menggunakan PCR adalah suatu PCR (PEP-PCR)" yang merupakan divitro-sistem untuk memperkuat akurasi diprediksi 100%.Ini sesuai sebagian besar urutan DNA hadir dengan yang dilaporkan oleh Zoheir dalam dan sel haploid tunggal, memungkinkan mengidentifikasi embrio untuk jenis menggunakan kelamin Allam (2010) dengan menggunakan sejumlah blastomer yang dipisahkan dari morula blastomere melebihi lebih dari tiga .Oleh karena tunggal. Penerapan PEP-PCR untuk itu, keseimbangan harus ditemukan penentuan antara mengambilan sejumlah besar jenis menghasilkan kelamin 91% sapi tingkat identifikasi. dan merusak embrio karena akan meengurangi tingkat Taman et al (2000); Chrenek et al (2001); Carneiro et al (2011) telah menunjukkan bahwa blastomer biopsi kebuntingan. Untuk lebih jelasnya dapat dari dilihat hasil PCR untuk penentuan blastomere tunggal sudah cukup jenis kelamin pada embrio sapi untuk penentuan jenis kelamin dan Pesisir pada tahap Blastula pada anlisis genotip pada embrio dengan Gambar 6. marker Gambar 6. Foto elektroforesis pada sapi Pesisir. Embrio jantan dengan 2 band (XY). Betina dengan 1 band (XX) Pada Gambar 6 terlihat di urutan 1, 3, 4, 9, 10 dan 11 terlihat dengan jelas ada 1 garis yang menandakan tidak mengandung kromosom Y dan ini menjelaskan Nedambale et al (2004) bahwa embrio ini berjenis kelamin melakukan penelitian pada embrio in betina, sedangkan urutan 2, 5, 6, 7 vitro yang telah dibekukan dan dan 8 terlihat ada 2 garis yang setelah dithawing dikultur selama 48 menandakan adanya kromosom Y jam lalu ditentukan jenis kelamin dan menjelaskan bahwa embrio ini dengan berjenis kelamin jantan. embrio yang mencapai tahap blastula PCR didapatkan bahwa Menurut hasil penelitian yang sebagian besar adalah jantan yang dilakukan oleh Shea (1999) dan memiliki morfologi yang lebih baik. Lacaze et al (2008) melaporkan Penelitian bahwa 44 – 48% adalah berjenis Tominaga (2004) bahwa penentuan kelamin betina. Hasler et al (2002) jenis kelamin dengan menggunakan mendapatkan embrio in vivo yang diperoleh pada bahwa rasio jenis ini ke-7 dikuatkan mendapatkan oleh kelamin blastula secara signifikan hari condong betina yaitu sekitar 60,3%. berjenis Persentase embrio yang diperoleh perkembangannya lebih cepat bila dari in vitro jantan secara signifikan dibandingkan dengan embrio betina. lebih tinggi (53%) dari persentase Persentase penentuan jenis kelamin embrio jantan yang diproduksi secara di tahap morula lebih tinggi karena in vivo yaitu 49,2%. Penelitian dari ukuran blastomer pada morula lebih King et al (1992) dan Gutierrez- besar Adan et al (2001) menemukan hilangnya bahwa embrio jantan lebih tahan pencucian terhadap manipulasi. dibandingkan dengan blastomer pada kelamin dan jantan embrio dan kemungkinan untuk blastomer waktu lebih kecil bila tahap blastula sehingga penentuan betina 1 embrio pada tahap morula jenis kelaminnya lebih efektif. dan 6 embrio pada tahap blastula. Hasil penelitian pada embrio Jenis sapi Pesisir didukung oleh penelitian Kelamin Pada Embrio Morula yang dilakukan oleh Lopatarova et Dan Blastula (1 sel) al. Efektifitas Dari Penentuan mendapatkan hasil data penelitiannya bahwa kualitas embrio menggunakan uji chi square yang yang tinggi diperoleh dari donor dilakukan pada tahapan morula dan disuperovulasi blastula memperlihatkan nilai yang dibiopsi dan sel-sel embrio (5-10) tidak berbeda nyata antara perolehan dianalisis dengan PCR menggunakan embrio jantan pada tahap 1 sel spesifik primer untuk penentu Y- morula dibandingkan tahap 1 sel kromosom. Penentuan jenis kelamin blastula dengan nilai 1,286 (P>0.05), didapatkan 91,3% untuk embrio walaupun dalam angka sex ratio segar (44% betina) dan 87,5% dari jantan pada tahap morula 1 sel lebih embrio beku (45,9% betina). sedikit analisis (2010) dibandingkan kemudian embrio tahapan blastula 1 sel yaitu 2 embrio pada morula dan 5 embrio pada blastula. Perolehan embrio betina pada tahap Efektifitas Penentuan Jenis Kelamin Pada Embrio Morula dan Blastula (2 Sel) Dari analisis data 1 sel morula dibandingkan tahap 1 menggunakan uji chi square yang sel blastula dengan nilai 3,572 dilakukan pada tahapan morula dan (P>0,05). Dengan angka sex ratio blastula memperlihatkan nilai yang tidak berbeda nyata antara perolehan embrio jantan pada tahap 1 sel tahap 1 sel blastula dengan nilai 6 morula dibandingkan tahap 1 sel (P<0.05). Dengan angka sex ratio blastula dengan nilai 1,286 (P>0.05), betina 1 embrio pada tahap morula walaupun dalam angka sex ratio dan 7 embrio pada tahap blastula. jantan pada tahap morula 1 sel lebih sedikit dibandingkan Pada penelitian ini didapat sex tahapan ratio sapi pesisir pada berbagai tahap blastula 1 sel yaitu 2 embrio pada perkembangan embrio morula dan morula dan 5 embrio pada blastula. blastula dengan blastomer 1 sel dan 2 Perolehan embrio betina pada sel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 tahap 1 sel morula dibandingkan dan Gambar 7. Tabel 7. Jumlah sex ratio embrio sapi pesisir pada tahap morula dan blastula dengan blastomer 1 dan 2 sel. No Identifikasi Blastomer Jantan Betina Persentase jantan 1 Morula 1 2 1 66,67 33,33 2 2 1 66,67 33,33 1 5 6 41,67 50,00 2 5 7 41,67 58,33 2 Blastula Gambar 7. Persentase betina Jumlah sex ratio embrio sapi pesisir pada tahap morula dan blastula dengan blastomer 1 dan 2 sel. Sex ratio Embrio Sapi Pesisir blastomer dan 2 blastomer embrio Dengan PCR jantan 66,67% dan embrio betina Pada penelitian juga 33,33%. Untuk tahap blastula 1 dari blastomer embrio jantan 41,67% dan embrio sapi pesisir tahap morula embrio betina 50%, pada 2 blastomer dengan blastula (Tabel 8 dan Gambar embrio jantan 41,67% dan embrio 8). Dimana pada tahap morula 1 betina 58%. memperlihatkan sex ratio Tabel 8. Sex ratio embrio pada sapi pesisir No 1 2 Identifikasi Blastomer Morula Blastula Dari analisis Jenis Kelamin Jantan Betina 1 2( 66.67%) 1(33,33 %) 2 2(66.67%) 1(33,33 %) 1 5 (41, 67%) 6 (50%) 2 5(41, 67%) 7 (58,33%) data walaupun dalam angka jumlah menggunakan uji 2 yang dilakukan embrio kelamin jantan lebih banyak pada tahapan morula 1 dan 2 dibandingkan blastomer 8 memperlihatkan nilai betina yaitu 2 embrio jantan dan 1 yang tidak berbeda antara perolehan embrio betina. Hasil penelitian ini embrio jantan dibandingkan embrio sama dengan hasil penelitian yang betina dengan nilai 0,334 (P>0,05), didapatkan oleh Avery et al (1992) embrio berkelamin dan Nedambale et al (2004) karena perkembangan embrio jantan lebih secara keseluruhan persentase cepat dari embrio betina pada tahap embrio yang diperoleh dari in vitro morula. jantan secara signifikan lebih tinggi Pada tahap blastula sex ratio (53%) dari persentase embrio jantan embrio jantan lebih rendah dari yang diproduksi secara in vivo yaitu embrio betina yaitu pada 1 blastmer 49,2%. King et al (1992) dan 5 embrio jantan dan 6 embrio betina Gutierrez-Adan sementara itu untuk 2 blastomer 5 menemukan bahwa embrio jantan embrio jantan dan 7 embrio betina. lebih tahan terhadap manipulasi. et al (2001) Tetapi bila diuji dengan uji 2 baik Pada Tabel 8 terlihat bahwa pada 1 dan 2 blastomer hasilnya penentuan jenis kelamin embrio pada tidak berbeda nyata dengan nilai sapi Pesisir yaitu pada tahap morula 0,167 pada 1 blastomer dan 0,334 adalah 100%, sedangkan pada tahap pada 2 blastomer (P>0,05). Hal ini blastula dengan menggunakan 1 sel sesuai dengan penelitian Hasler et al. efektifitasnya (2002) yang mendapatkan rasio jenis 91,67% kelamin blastula secara signifikan menggunakan condong betina yaitu sekitar 60,3%. efektifitas penentuan jenis kelamin hanya mencapai sedangkan dengan 2 sel blastomer Menurut hasil penelitian yang adalah 100%. Pada tahap morula dilakukan oleh Shea (1999) dan pengeluaran hanya 1 sel dari tahap Lacaze et al. (2008) melaporkan perkembangan embrio 16-32 sel bahwa berjenis cukup untuk keberhasilan penentuan kelamin betina. Hasler et al. (2002) jenis kelamin menggunakan metode lebih lanjut membuktikan bahwa PCR. Penelitian ini sama dengan 44-48% adalah yang dilakukan oleh Machaty et al., Lacaze (1993); Cherenek dan Bulla (2002). mendapatkan Hasil penelitian ini lebih tinggi dari berbeda dengan penelitian ini dimana hasil penelitian yang dilakukan oleh dia mendapatkan bahwa penentuan Lopatarova et al (2008) dengan jenis kelamin embrio berbanding menggunakan dan terbalik dengan jumlah sel embrio jenis yang terisolasi (≤ 3sel efisiensinya 92%. 85,5%, 4 – 6 sel efisiensinya 97,4% yang sedangkan dengan menggunakan ≥ 7 embrio mendapatkan kelamin penentuan hanya Sementara splitt hasil 89,4 – penelitian et al (2008) hasil efisiensinya penelitian dilakukan oleh Thibier dan Nibart sel 100%). Terlihat (1995); Shea (1999); Li et al, (2007); bahwa sex ratio pada tahapan morula Yu et al (2007) sebesar 85 – 95%. yang di-PCR dengan 1 sel pada Jumlah embrio sapi pesisir embrio sapi Pesisir memperlihatkan pada tahap morula dan blastula serta hasil berbeda tidak nyata (P>0,05) sex walaupun ratio yang diperoleh pada dalam penelitian ini dapat dilihat pada kelamin jantan Gambar 9. dibandingkan angka jumlah lebih banyak embrio berkelamin betina. 12 10 8 6 4 2 0 Tetapi hasil penelitian pada embrio sapi Pesisir didukung oleh jml embrio jantan penelitian yang dilakukan oleh betina morula blastula Gambar 9. Jumlah dan sex ratio pada embrio sapi pesisir Lopatarova et mendapatkan hasil al. (2010) penelitiannya bahwa kualitas embrio yang tinggi diperoleh dari donor disuperovulasi Biopsi embrio sapi pada tahap kemudian embrio dibiopsi dan sel-sel 4-16 sel tidak memiliki efek buruk embrio (5-10) dianalisis dengan PCR pada menggunakan spesifik primer untuk embrio secara in vitro dan begitu penentu Penentuan juga dengan embrio tahap 16 sel, jenis kelamin didapatkan 91,3% dibiopsi pada hari ke-4 adalah tahap untuk embrio segar (44% betina) dan terbaik 87,5% dari embrio beku (45,9% blastomer. Biopsi dilakukan pada betina). tahap 16 sel menghasilkan 94% dari Y-kromosom. Dengan menggunakan jumlah embrio kemampuan perkembangan untuk menghilangkan berkembang ke tahap sel dan DNA yang sangat kecil blastula, yang secara signifikan lebih dalam penetuan jenis kelamin juga tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan al dibiopsi pada tahap 8 sel (64 %). (2001); Sedangkan embrio yang dibiopsi (2012). pada hari ke-3 yaitu pada tahap 4 sel Klimanskaya et al (2006) juga dan 8 sel menghasilkan embrio yang mengatakan berkembang (2001); oleh Park Kirkegaard blastomer Chrenek et et bahwa tunggal al, al et biopsi cukup dari ke tahap blastokia untuk sebesar 49% dan pada tahap 46% penentuan jenis kelamin dan yang pada dan pada hari ke yaitu pada menjadi masalah adalah integritas tahap 4 dan 8 sel menghasilkan dari zona pellusida pada waktu embrio berkembang ke tahap blastula embrio dibekukan atau dicairkan setelah biopsi adalah 39% dan 33 % setelah biopsi. (Shirazi et al., 2010). Nedambale et al (2004) melakukan penelitian pada embrio in tahap blastula sehingga penentuan jenis kelaminnya lebih efektif. vitro yang telah dibekukan dan setelah dithawing dikultur selama 48 KESIMPULAN jam lalu ditentukan jenis kelamin 1. Viabilitas embrio pada tahap bahwa morula dengan biopsi 1 sel embrio yang mencapai tahap blastula dan 2 sel untuk 1 jam , 3 jam sebagian besar adalah jantan yang , 6 memiliki morfologi yang lebih baik. sama dengan PCR didapatkan Penelitian ini dikuatkan oleh jam dan 12 jam adalah sedangkan embrio viabilitas dengan biopsi 1 sel Tominaga (2004) bahwa penentuan dan 2 sel pada tahap blastula jenis kelamin dengan menggunakan untuk 1 jam , 3 jam dan 12 embrio in vivo yang diperoleh pada jam hari viabilitas ke-7 berjenis mendapatkan kelamin jantan embrio dan adalah biopsi sama embrio 2 sel pada tetapi dengan tahap perkembangannya lebih cepat bila blastula dimana 6 jam setelah dibandingkan dengan embrio betina. biopsi Persentase penentuan jenis perkembangan baik bila dibandingkan dengan kelamin di tahap morula lebih tinggi viabilitas karena biopsi ukuran blastomer pada lebih embrio baik pada setelah tahap morula lebih besar dan kemungkinan morula dengan biopsi 1 sel untuk hilangnya blastomer waktu dan 2 sel maupun pencucian biopsi lebih kecil bila dibandingkan dengan blastomer pada blastula. dengan 2 sel pada tahap Tetapi setelah dianalisis dengan 2. secara statistik 3. Sex ratio embrio pada tahap viabilitas embrio 6 morula dengan menggunakan 1 jam setelah biopsi pada tahap sel dan 2 sel adalah sama yaitu morula dan blastula untuk dengan embrio berjenis 1 sel dan 2 sel adalah berbeda kelamin tidak nyata (P>0.05) . 66,67% dan berjenis kelamin Efektifitas penentuan jenis jantan betina adalah adalah 33,33% kelamin embrio tahap morula sedangkan dengan menggunakan 1 blastula dengan menggunakan sel dan 2 sel adalah sama 1 blastomer sex ratio jantan yaitu 100 % . Pada embrio adalah tahap blastula dengan embrio berjenis kelamin betina menggunakan 1 sel adalah pada 41,67% 50 %, tahap sedangkan dan dengan efektivitasnya adalah 91, 67% menggunakan 2 blastomer sex dan dengan menggunakan 2 sel ratio berjenis kelamin jantan efektifitasnya 100 %. adalah 41,67% dan berjenis adalah Setelah dianalisis dengan kelamin betina adalah 58,33 statistik didapatkan bahwa %. efektifitas kelamin penentuan tahap blastula dengan blastula menggunakan 1 sel dan 2 sel dengan menggunakan 1 sel dan setelah diuji statistik hasilnya 2 sel adalah berbeda tidak nyata berbeda tidak nyata (P>0.05). (P>0.05). pada tahap jenis Sex ratio embrio pada DAFTAR PUSTAKA Anwar, S. 2013. Strategi Pemuliaan Untuk Peningkatan Produktivitas Sapi Pesisir Menuju Swasembada Daging Dan Kesejahteraan Peternak Di Sumatera Barat. Seminar Nasional Pengembangan Ternak Lokal. Padang ,20 November 2013 Anwar, S. 2004. Kajian Keragaman Karakteristik Eksternal dan DNA Mikrosatelit Sapi Pesisir Sumatera Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Avery, B., C. B. Jorgensen, V. Madison, and T. Greve. 1992. Morphological development and sex of bovine in vitro fertilized embryos. Mol. Reprod. Dev. 32: 265-270. Badan Pusat Statistik Kab. Pesisir Selatan. 2011. Pesisir Selatan Dalam Angka. BPS Kabupaten Pesisir Selatan. Painan. Badan Pusat Statistik Kab. Pesisir Selatan. 2012. Pesisir Selatan Dalam Angka. BPS Kabupaten Pesisir Selatan. Painan. Bamualim, A. dan Wirdahayati. 2006. Peran Teknologi dalam Pengembangan Sapi Lokal di Sumatera Barat. Prossiding. Seminar Nasional “Pengembangan Ternak di Sumbar”. Badan Litbang Pertanian BBP2TP, Bogor. Behr, B. and Y. Shu. 2010. “Cryopreservation of Pronuclear Stage Human Embryos,” in Fertility Cryopreservation. R. C. Chiang and P. Quinn, Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK. Boediono, A., Y. Rusiyantono, K. Mohamad, I. Djuwita, dan Herliatien. 2000. Perkembangan oosit kambing setelah maturasi, fertilisasi dan kultur in vitro. Media Veteriner. 7(4): 11-17. Boediono, A. 2005. Produksi embrio kembar identik melalui bedah mikro pada embrio kambing hasil in vitro. J. Vet.6: 39-46. Bondioli, K. R., S. B. Ellis, J. H. Pryor, M. W. Williams, and M. M. Harpold. 1989. The use of male-specific chromosomal DNA fragments to determine the sex of bovine preimplantation embryos. Theriogenology. 31: 95-104. BPS. 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Bredbacka, P. 1991. Biopsy of morulae and blastocysts. Reprod. Dom. Anim. 26: 8284. Bredbacka, P., A. Kankaanpaa, and J. Peippo. 1995. PCR-sexing of bovine embryos: a simplified protocol. Theriogenology. 44: 167-176. Bredbacka, P. 2001. Progress on methods of gene detection in preimplantation embryos. Theriogenology. 55(1): 23-34. Carneiro, M. C., P. L. Takeuchi, A. Araujo, R. B. Lobo, F. P. Elias, R. A. Vila, C. L. MirandaFurtado, and E. S. Ramos. 2011. Sexing single bovine blastomeres using TSPY gene amplification. Genet. Mol. Res. 10: 3937-3941. Cenariu, M., P. Emoke, and I. Groza. 2012. Sexing bovine preimplantation embryos using the polymerase chain reaction: a model for human embryo sexing. African. J. Biotech. 11(19): 4455-4458. Chen, A-Q., X. Zi-rong, and Y. Song-dong. 2007. Sexing goat embryos by PCR amplification of x and y chromosome specific sequence of the amelogenin gene. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 20(11): 16891693 Chrenek, P., L. Boulanger, Y. Heyman, P. Uhrin, J. Laurincik, J. Bulla, and J. P. Renard. 2001. Sexing and multiple genotype analysis from a single cell of bovine embryo. Theriogenology. 55(5): 1071-1081. Crosier, A.E., P.W. Farin, M.J. Dykstra, J.E. Alexander and C.E. Farin. 2000. Ultrastructural morphometry of bovine compact morulae produced in vivo or in vitro. Biol. Reprod. 62: 1459–1465.. De Vos, A. and A. Van Steirteghem. 2001. Aspects of biopsy procedures prior to preimplantation genetic diagnosis. Prenat. Diagn. 21: 767–80. Fu, Q., M. Zhang, W. S. Qin, Y. Q. Lu, H. Y. Zheng, B. Meng, S. S. Lu and K. H. Lu. 2007. Cloning the swamp buffalo SRY gene for embryo sexing with multiplex-nested PCR. Theriogenology. 68: 12111218. Gianaroli, L. 2000. Preimplantation genetic diagnosis: polar body and embryo biopsy. Hum. Reprod. 15(4): 69-75. Gustafsson, H., U. Jaakma, and M. Shamsuddin. 1994. Viability of fresh and frozen-thawed biopsied bovine embryos. Acta. Vet. Scand. 35(3): 217222. Gutierrez-Adan, A., P. Lonergan, D. Rizos, F. A. Ward, M. P. Boland, B. Pintado, and J. de la Fuente. 2001. Effect of the in vitro culture system on the kinetics of blastocyst development and sex ratio of bovine embryos. Theriogenology. 55: 11171126. Hafez, B. and E. S. E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7th Ed. Lippincott Williams and Wilkins Press. Kiawah Island South Carolina, USA. Hasler, J. F., E. Cardey, J. E. Stokes, and P. Bredbacka. 2002. Nonelectrophoretic PCRsexing of bovine embryos in a commercial environment. Theriogenology. 58: 14571469. Herr C. M dan Reed KC ( 1991 ) . Mikromanipulation bovine embryos to Sexing embryo. Theriogenology 35 45-54 GREVE, T. 2002. Cattle eggs in vitro and in vivo: What have we learned? Convention Proceedings. Quebec City,August 23-25, 2002. Canadian Embryo Transfer Association. Canada. pp. 2829. Gustafsson H, U. Jaakma , dan M. Shamsuddin . 1994. Viability of fresh and frozen-thawed biopsied bovine embryos.Acta Vet Scand 1994;35(3):217222. Imron, M. 2005. Viabilitas demi embrio in vitro hasil splitting embrio segar dan beku tahap blastosis pada sapi. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Imron . M ; A. Boediono dan I. Supriatna. 2007. Viabilitas Demi Embrio Sapi In Vitro Hasil Splitting Embrio Segar dan Beku. Balai Embrio Ternak Cipelang, PO Box 485 Bogor 16004 .Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. JITV Vol. 12 No. 2 Th. 2007 King, W. A., L. Picard, D. Bosquet, and A. K. Goff. 1992. Sex dependent loss of bisected bovine morulae after culture and freezing. J. Reprod. Fert. 96: 453-459. Kirkegaard, K., J. J. Hindkjaer and H. J. Ingerslev. 2012. Human embryonic development 356 after blastomere removal: a time-lapse analysis. Hum. Reprod. 27(1): 97-105. Klimanskaya, I., Y. Chung, S. Becker, S. J. Lu, and R. Lanza. 2006. Human embryonic stem cell lines derived from single blastomeres. Nature. 444: 481485. Lacaze, S., P. Humblot, and C. Ponsart. 2008. Sexing and direct transfer of bovine biopsied frozen-thawed embryos under on-farm conditions in a commercial program. Recherches Ruminants. 15eme Recontre, Paris, les 3 et 4 decembre. 387390. Lee, J. H., J. H. Park, E. J. Choi, J. T. Yoon, C. S. Park, and S. H. Lee. 2003. Frequency of sex chromosomal mosaicism in bovine embryos and its effects on sexing using a single blastomere by PCR. Zygote. 11: 87-93. Li, S., W. Yu, J. Fu, Y. Bai, F. Jin, and B. Shangguan. 2007. Factors influencing pregnancy rates following transfer of bovine in vivo embryos biopsied for sex determination. Reprod. Fert. Dev. 19: 297. Lopatarova, M., S. Krontorad, L. Cech, Holy, P. J. Hlavicova, and R. Dolezel. 2010. Conception rate after sex determinationand cryopreservation of D7 bovine embryos. Vet. Med. 55(1): 1018. Lopes, R. F. F., F. Forell, A. T. D. Oliveira, and J. L. Rodrigues. 2001. Splitting and biopsy for bovine embryo sexing under field conditions. Theriogenology. 56: 13831392. Machaty, Z., A. Paldi, T. Csaki, Z. Varga, I. Kiss, Z. Barandi, and G. Vajta. 1993. Biopsy and sex determination by PCR of IVF bovine embryos. J. Reprod. Fertil. 98: 467-470. Manna, L., G. Neglia, M. Marino, B. Gasparrini, R. Di Palo, and L. Zicarelli. 2003. Sex determination of buffalo embryos (Bubalus bubalis) by polymerase chain reaction. Zygote. 11: 17-22. Martojo, H. 2003. Indigenous Bali Cattle: The Best Suited Cattle Breed for Sustainable Small Farm in Indonesia. The Chinese Society of Animal Science. 112 Farm Road. Hsinhua. Tainan, Taiwan Mitalipov, S., D. P. Wolf. 2009. Totipotency, pluripotency and nuclear reprogramming. Adv. Biochem. Eng. Biotechnol. 114: 185-199. Nainiene, R., J. Kutra, A. Urbsys, V. Pileckas, and A. Siukscius. 2007. PCR-sexing gnotyping and viability of bovine preimplantation embryos after freezing-thawing and biopsy. Proceedings of the 13th Baltic Animal Breeding Conference, Parnu, Estonia, 24-25 May 2007 pp.49-53. Naitana, S., P. Loi, S. Ledda, P. Cappai, M. Dattena, and L. Bogliolo. 1996. Effect of biopsy and vitrification on in vitro survival of ovine embryos at different stages of development. Theriogenology. 46(5): 813-824. Nedambale, T. L., A. Dinnyes, X. Z. Yank, and X. C. Tian. 2004. Bovine blastocyts development in vitro: timing, sex, and viability folloving vitrification. Biol. Reprod. 71: 1671-1676. Park, J. H., J. H. Lee, K. M. Choi, S. Y. Joung, J. Y. Kim, G. M. Chung, D. I. Jin, and K. S. Im. 2001. Rapid sexing of preimplantation bovine embryo using consecutive and multiplex PCR with biopsied single blastomere. Theriogenology. 55(9): 18431853. Pereira, R. M., I. Carvalhais, J. Pimenta, M. C. Baptista, M. I. Vasques, A. E. M. Horta, I. C. Santos, M. R. Marques, A. Reis, M. S. Pereira, and C. C. Marques. 2008. Biopsied and vitrified bovine embryos viability is improved by trans 10, cis12 conjugated linoleic acid supplementation during in vitro embryo culture. Anim. Reprod. Sci. 106: 322-332. Peura, T., J. M. Hyttinen, M. Turunen, and J. Janne. 1991. A reliable sex determination assay for bovine preimplantation embryos using the polymerase chain reaction. Theriogenology. 35(3): 547555. Sharma. S, A. Bhardwaj, S. Jain and H. Yadav. 2005. Animal Genetics and Breeding Division, Animal Biochemistry Division, National Dairy Research Institute, Karnal132001, Haryana, India. $ College of Applied Education and Health Sciences, Meerut, U.P. Sato, T., K. Nakada,Y. Uchiyama, Y. Kimura, N. Fujiwara, Y. Sato, M. Umeda, and T. Furukawa. 2005. The effect of pretreatment with different doses of GnRh to synchronize follicular wave on superstimulation of follicular growth in dairy cattle. J. Reprod. Dev. 51(5): 573-578. Salisbury, G. W., dan N. L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi Dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Terjemaham R. Janur. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Schenk, J. L., T. K. Suh, and G. E. Seidel. 2006. Embryo production from superovulated cattle following insemination of sexed sperm. Theriogenology. 65: 299-307. Schenk, J. L., D. G. Cran, R. W. Everett, and G. E. Seidel. 2009. Pregnancy rates in heifers and cows with cryopreserved sexed sperm: Effects of sperm numbers perinseminate, sorting pressure and sperm storage before sorting. Theriogenology. 71: 717-728. Schöler.H.R. (2007). "The Potential of Stem Cells: An Inventory". In Nikolaus Knoepffler, Dagmar Schipanski, and Stefan Lorenz Sorgner. Human biotechnology as Social Challenge. Ashgate Publishing, Ltd. p. 28. ISBN 978-0-75465755-2 Schroeder, V. 1941. Physicochemical methods of sex regulation of the progeny of mammals. Russian contributions 1939 Genetics Congr, Am. Documentations Inst, Doc, 1565. Abstr. In j. Hered. 32; 248. 1941 Shea, B. F. 1999. Determining the sex of bovine embryos using polymerase chain reaction results: a six-year retrospective study. Theriogenology. 51(4): 841-854. Shirazi, A. S., E. Borjian, Ahmadi, H. Nazari, and B. Heidari. 2010. The effect of biopsy during precompacted morula stage on post vitrification development of blastocyst derived bovine embryos. J. Avicenna. Med. Biotech. 2(2): 107-11. Sugimoto, K., S. P. Gordon, and E. M. Meyerowitz. 2011. Regeneration in plants and animals: dedifferentiation, transdifferentiation, or just differentiation". Trend. Cell. Biol. 21(4): 212-218. Thibier, M. and M. Nibart. 1995. The sexing of bovine embryos in the field. Theriogenology. 43(1): 71-80. Tominaga, K. 2004. Cryopreservation and sexing of in vivo and in vitro-produced bovine embryos for their practical use. J. Reprod. Dev. 50: 29-38. Tominaga, K. and Y. Hamada. 2004. Efficient production of sexidentified and cryosurvived bovine in-vitro produced blastocysts. Theriogenology. 61(6): 1181-1191. Udin, Z. 2012. Teknologi Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio pada Sapi. Penerbit Sukabina Press, Padang. Udy, G. B. 1987. Commercial splitting of goat embryos. Theriogenology. 28: 837-842. Urszula, B., K. J. Lutjen, C. O'Neill. 1990. Assessment of the viability and pregnancy potential of mouse embryos biopsied at different preimplantation stages of development. Hum. Reprod. 5(2): 203-208. Windhorst, U., M. D. Binder, and N. Hirokawa. 2009. Encyclopedia of Neuroscience. Springer. Berlin, Wu, B. 1993. Amplification of the SRY gene allows identification of the sex of mouse preimplantation embryos. Theriogenology. 40: 441. Yamamoto, M., M. Ooe, M. Kawaguchi, and T. Suzuki. 1994. Superovulation in the cow with a single intramusculear injection of FSH dissolved in polyvinylpyrrolidone. Theriogenology. 41: 747-755. Yu, W., S. Li, J. Fang, X. Sun, L. Cui, J. Fu, Y. Bai, Y. Fang, and B. Shangguan. 2007. Field studies on the effectiveness of the YCD embryo sexing technique in bovine. Reprod. Fert. Dev. 19: 299-300. Zhang, M., K. H. Lu, and G. E. Seidel Jr. 2005. Blastocyst development of male and femal bovine embryos produced by IVF with flow cytometrically sorted sperm. Reprod. Fert. Dev. 17: 306-307. Zoheir, K. M. A. and A. A. Allam. 2011. A rapid improved method for sexing embryo of water buffalo. Theriogenology. 76: 83-87