Induksi Embrio Somatik Shorea pinanga Scheff. Pada Kondisi Fisik Media Berbeda Yelnititis INDUKSI EMBRIO SOMATIK Shorea pinanga Scheff. PADA KONDISI FISIK MEDIA BERBEDA Somatic Embryos Induction of Shorea pinanga Scheff. in Different Physical Condition Media Yelnititis Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 e-mail : [email protected] ABSTRACT Shorea pinanga (Scheff.) is a member of Dipterocarpaceae which has an important role both as a forest timber and also non forest timber product (tengkawang). The purpose of this experiment is to obtain the best treatment for somatic embryos formation. Friable callus was used as explants whereas liquid and solid MS media supplemented with vitamin B, 30 g/l sucrose were used as basal medium. Embryogenic callus was induced through three times subcultured in basal medium with 5.0 mg/l 2,4D. Somatic embryo was induced using 100 mg of embryogenic callus with the addition of 0.5, 1.0, and 1.5 mg/l kinetin. The observation was done on texture, numbers and color of embryogenic callus and weekly number of somatic embryos for eight weeks. The kinetin treatment of 1.5 mg/l on liquid medium was the best treatment because it is able to induce 162 cotyledonary stage of somatic embryos for eight weeks. Keywords: Friable callus, embryogenic callus, somatic embryo, Shorea pinanga. ABSTRAK Meranti (Shorea pinanga Scheff.) merupakan salah satu anggota suku Dipterocarpaceae yang mempunyai peranan penting sebagai penghasil kayu dan penghasil tengkawang. Penelitian induksi embrio somatik pada kondisi fisik media berbeda, bertujuan untuk mendapatkan metoda terbaik dalam pembentukan embrio somatik. Kalus remah dijadikan sebagai eksplan. Media dasar MS dalam bentuk cair dan padat yang diperkaya dengan 30 g/l sukrosa dan vitamin B dijadikan sebagai media tumbuh. Induksi kalus embriogenik dilakukan melalui pemindahan kalus sebanyak 3 kali pada media padat dengan penambahan 5,0 mg/l 2,4-D. Induksi embrio somatik dilakukan dengan menggunakan 100 mg kalus embriogenik pada media padat dan media cair yang ditambah dengan 0,5; 1,0; dan 1,5 mg/l kinetin. Perlakuan 1,5 mg/l kinetin pada media cair merupakan perlakuan terbaik untuk menginduksi embrio somatik dengan rata-rata jumlah embrio somatik fase kotiledon sebanyak 162 dalam 8 minggu. Kata kunci : Kalus remah, kalus embriogenik, embrio somatik, Shorea pinanga. I. PENDAHULUAN Embriogenesis somatik paling menguntungkan untuk spesies yang merupakan mempunyai nilai ekonomi tinggi (Blanc pembentukan, pertumbuhan dan perkemba- et al., 1999) karena mempunyai beberapa ngan embrio dari sel-sel soma atau dari keuntungan antara lain jumlah tanaman sel-sel tubuh tanaman (Ammirato, 1983). yang diperoleh jauh lebih banyak, populasi Embriogenesis somatik merupakan salah tanaman yang dihasilkan identik dengan satu teknik perbanyakan in vitro yang tetuanya, dan embrio somatik tersebut dapat Tanggal diterima : 24 September 2012 ; Direvisi : 16 Oktober 2012; disetujui terbit :12 Agustus 2013 73 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol 7 No. 2, September 2013, 73 - 84 berkembang menjadi plantlet (Rani dan embrional dari eksplan potongan embrio. Raina, 2000). Teknik ini dapat diotomatisasi Demikian juga Yelnititis et al. (2002) dengan menggunakan bioreaktor untuk mendapatkan kalus kompak dari eksplan menghasilkan embrio somatik dalam jumlah meristem S. leprosula dan S. selanica pada sangat banyak (Yoeup dan Chakrabarty, media MS (Murashige dan Skoog, 1962) dan 2003). media B5 (Gamborg, 1968) yang ditambah Molina et al. (2002) mengatakan bahwa dengan 0,1 – 1,0 mg/l 2,4-D dikombinasikan embrio somatik dapat terjadi secara langsung dengan 0.5 dan 1,0 mg/l NAA. (Yelnititis dan secara tidak langsung. Embriogenesis (2007) somatik langsung merupakan pembentukan dari eksplan potongan embrio S. pinanga embrioid yang langsung berasal dari jaringan dari perlakuan 4,0 mg/l dan 5,0 mg/l 2,4- tanpa adanya proliferasi kalus, sedangkan D tetapi jumlah yang diperoleh masih embriogenesis rendah.) Embrio somatik dihasilkan dengan somatik tidak langsung mendapatkan embrio somatik diawali dengan pembentukan kalus dan menumbuhkan kalus embriogenik embrioid dapat dihasilkan melalui budidaya 20 kalus maupun suspensi sel (Noerhadi, 1988). dalam ruangan dengan suhu 18ºC - 30ºC, Kalus remah umumnya dicirikan oleh sel- intensitas selnya yang mudah dipisahkan dan dapat penerangan cahaya selama 16 jam/hari dan berkembang membentuk kalus embrio- kelembaban sekitar 40 % - 80 %. Menurut genik. Kalus embriogenik dapat diinduksi Young et al. (2000) pembentukan embrio dengan menggunakan zat pengatur tumbuh somatik pada tanaman kakao dilakukan dari kelompok auksin antara lain 2,4-D pada ruangan dengan intensitas cahaya 50 (2,4-Dichlorophenoxyacetic acid) (Litz, et µmol·mˉ²·sˉl dan suhu 20ºC - 30ºC. Dari hal al. 1998), NAA (Naphthalene Acetic Acid) di atas perlu dicari metode yang sesuai untuk (Nugent et al. 2001) dan dicamba (Sagare mendapatkan embrio somatik dalam jumlah et al. 1993). Selanjutnya embrio somatik yang optimal. diinduksi dengan penurunan konsentrasi auksin dan atau tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dari kelompok sitokinin. Perbanyakan tanaman Shorea sp. melalui budidaya suspensi telah dilakukan oleh Gunasekara et al. (1988) tetapi belum diperoleh embrio somatik. Selanjutnya Umboh et al. (1992) mendapatkan kalus 74 ml media perlakuan, cahaya 10.000 pada ditempatkan lux dengan II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta dari bulan Juni 2006 sampai bulan Mei 2007. Kalus yang digunakan sebagai eksplan Induksi Embrio Somatik Shorea pinanga Scheff. Pada Kondisi Fisik Media Berbeda Yelnititis adalah kalus remah dari potongan embrio yang lebih banyak dibandingkan dengan kalus muda S. pinanga Scheff. Medium dasar MS kompak. Kalus remah yang ditumbuhkan digunakan sebagai media tumbuh untuk pada media MS padat dengan penambahan menghasilkan kalus embriogenik. Kalus 5,0 mg/l 2,4-D mudah memperbanyak friabel ditumbuhkan pada perlakuan 5,0 mg/l diri, mengalami pertumbuhan yang sangat 2,4-D selama 5 minggu kemudian dilakukan cepat dan secara perlahan memperlihatkan pemindahan sebanyak 3 kali dengan selang perkembangan. Perubahan tersebut dapat waktu yang sama yaitu selama 5 minggu. dilihat pada bentuk, ukuran dan teksturnya. Untuk induksi embrio somatik, sebanyak Adanya pertumbuhan kalus menyebabkan 100 mg kalus embriogenik ditumbuhkan ukuran kalus menjadi lebih besar. Selain itu pada media padat dan media cair dengan kalus tersebut menjadi lebih padat dengan perlakuan penambahan 0,5; 1,0 dan 1,5 tekstur yang tetap friabel dan berwarna putih mg/l kinetin dan dibiarkan selama 8 kekuningan (Gambar 1b). minggu. Pengamatan dilakukan terhadap Setelah diinkubasi selama 15 minggu jumlah embrio somatik fase kotiledon dan kalus friabel berkembang menjadi kalus penampilan visual embrio somatik yang embriogenik dihasilkan. Data morfologi dan histologi pembentukan kalus embriogenik pada tiap yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. spesies tanaman 1c). Umumnya berbeda-beda. Dalam penelitian ini kalus embriogenik dapat III.HASIL DAN PEMBAHASAN terbentuk melalui pemindahan berulang A. Pertumbuhan kalus menjadi kalus embriogenik. sebanyak 3 kali dengan selang waktu selama 5 minggu pada perlakuan yang sama. Hasil Kalus yang digunakan sebagai eksplan penelitian Shrikhande et al. dalam Su et al. dalam penelitian ini adalah kalus yang sangat (1997) secara berbeda menunjukkan bahwa remah yang sel-selnya mudah terpisah dan kalus embriogenik dihasilkan dalam jangka berwarna putih kekuningan (Gambar 1a). waktu yang lebih cepat yaitu setelah dua kali Kalus tersebut mempunyai kandungan air a (Gambar pemindahan pada media yang sama. b c Gambar 1. Kalus friabel pada umur a. 6 minggu, b. 12 minggu dan c. Kalus embriogenik. 75 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol 7 No. 2, September 2013, 73 - 84 Kalus friabel yang diperoleh dari jumlah maksimum. Pada penelitian penelitian ini merupakan kalus yang dapat ini penggunaan 5,0 mg/l 2,4-D secara mengikuti pola embriogenesis somatik. terus-menerus merangsang kalus friabel Sel-sel kalus yang mengikuti pola embrio- berkembang menjadi kalus embriogenik. genesis somatik dapat berkembang mem- Inisiasi kalus embriogenik terjadi sebagai bentuk kalus embriogenik dan selanjutnya pengaruh dari cekaman akibat pengaruh menjadi embrio somatik mulai dari fase konsentrasi auksin yang relatif tinggi globular sampai fase kotiledon. Penggunaan karena penggunaan zat pengatur tumbuh perlakuan memberikan dalam jangka waktu yang lama dapat pengaruh yang berbeda terhadap kalus yang meningkatkan kandungan hormon endogen ditumbuhkan karena adanya kompetisi kalus antara sel embriogenik dalam pertumbuhan Yelnititis (2007) dan Yelnititis (2008) maupun perkembangannya. Perbedaan dari menyatakan bahwa perlakuan 5,0 mg/l masing-masing perlakuan tersebut dapat 2,4-D merupakan perlakuan terbaik untuk dilihat pada tekstur maupun warna kalus menginduksi kalus embriogenik pada jenis yang diperoleh. Jaringan yang menyentuh tanaman yang sama. Sel-sel dari kalus yang media lebih mudah menyerap hara dan zat sama mempunyai kemampuan yang berbeda pengatur tumbuh sehingga pertumbuhannya dalam membentuk kalus embriogenik yang juga berbeda dibandingkan dengan kalus selanjutnya dapat berkembang menjadi yang berada di bagian permukaan. Adanya embrio somatik. Selain itu kalus embriogenik persaingan dalam penyerapan hara dari yang dihasilkan mempunyai penampilan media yang digunakan menentukan arah dan visual yang baik, berwarna kekuningan, kemampuan tumbuh yang berbeda, sehingga nodular, remah (Gambar 2 a dan e) dan dihasilkan embrio somatik dengan fase dapat dan jumlah yang juga berbeda. Hasil yang somatik mulai dari fase globular sampai fase sama dihasilkan dari penelitian Shimizu kotiledon pada media cair (Gambar 2b - 2d) et al. (1997) yaitu kalus yang berwarna maupun pada media padat (Gambar 2f - 2h). kekuningan pada tanaman Iris germanica Hasil yang sama dihasilkan dari penelitian dapat Ortiz et al. (2000) yang menunjukkan bahwa yang berkembang berbeda membentuk embrio somatik yang selanjutnya menjadi plantlet. Pertambahan sel-sel kalus pada perlakuan ini berlangsung dengan cepat. Hal ini ditunjukkan dengan waktu pertambahan kalus yang jauh lebih singkat dan mencapai 76 yang ditumbuhkan. berkembang Selanjutnya membentuk embrio kalus embriogenik yang berasal dari embrio zigotik muda dapat berkembang membentuk embrio somatik. remah (Gambar 2 a dan e) dan dapat yang berasal dari embrio zigotik muda berkembang membentuk embrio somatik dapat berkembang membentuk embrio mulai dari fase globular sampai fase somatik. Induksi Embrio Somatik Shorea pinanga Scheff. Pada Kondisi Fisik Media Berbeda Yelnititis kotiledon pada media cair (Gambar 2b - 2d) a e b f c d g h Gambar 2.Perkembangan kalus embriogenik menjadi embrio somatik, atas. Pada media cair, a. eksplan kalus Gambarembriogenik, 2.Perkembangan embriogenik menjadi atas. Pada media cair,fase a. eksplan b – c.kalus Embrio somatik pada umur embrio 2 dan 5 somatik, minggu dan d. Embrio somatik kotiledon; kalus embriogenik, b – c. Embrio somatik pada umur 2 dan 5 minggu dan d. Embrio bawah. Pada media padat : e. Eksplan kalus embriogenik, f - g. Embrio somatik umur 2 dansomatik 5 minggu kotiledon; bawah. media padat : e. Eksplan kalus embriogenik, f - g. Embrio somatik danfase h. Embrio somatik fasePada kotiledon. umur 2 dan 5 minggu dan h. Embrio somatik fase kotiledon. B. Induksi embrio somatik. 2. Induksi embrio somatik. Penggunaan media padat dan media Penggunaan media padat dan media cair dapat merangsang kalus embriogenik cair dapat merangsang kalus embriogenik berkembang membentuk embrio somatik. berkembang membentuk embrio somatik. Kedua jenis media tersebut memberikan Kedua jenis media tersebut memberikan pengaruh terhadap embrio somatik yang pengaruh terhadap embrio somatik yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat pada dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat pada ukuran, warna dan waktu terbentuknya ukuran, warna dan waktu terbentuknya embrio somatik. embrio somatik. Penggunaan media cair memberikan Penggunaan media cair memberikan pengaruh yang lebih cepat terhadap pengaruh yang lebih cepat terhadap pembentukan embrio somatik. Hal ini pembentukan embrio somatik. Hal ini media cair tidak memberikan pengaruh yang disebabkan karena penyerapan hara pada nyata terhadap waktu terbentuknya embrio media cair lebih cepat dibandingkan pada somatik, demikian juga dengan penggunaan media padat sehingga pertumbuhan dan media padat. Penggunaan media cair + 1,5 perkembangan kalus embriogenik menjadi mg/l kinetin merupakan perlakuan yang embrio somatik juga lebih cepat. Rata-rata paling cepat untuk induksi embrio somatik. waktu terbentuknya embrio somatik pada Rata-rata induksi embrio somatik dari media cair antara 49,3 sampai 50,0 hari perlakuan ini terjadi setelah 49,3 hari dan setelah ditumbuhkan, sedangkan pada tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang media padat antara 69,4 hari sampai 71,2 lain. Hasil penelitian Concha et al. (2012) hari. Peningkatan penggunaan kinetin pada menyatakan bahwa induksi embrio somatik media cair tidak memberikan pengaruh dari potongan waktu embrio terbentuknya zigotik pada yangeksplan nyata terhadap media cair lebih cepat dibandingkan pada media padat sehingga pertumbuhan dan 7 bulan, jenis dan konsentrasi zat pengatur 77 tumbuh yang digunakan tidak berpengaruh perkembangan kalus embriogenik menjadi terhadap pembentukan embrio somatik. embrio somatik juga lebih cepat. Rata- Selain waktu yang lebih cepat, embrio rata waktu terbentuknya embrio somatik somatik yang dihasilkan dari media cair juga pada media cair antara 49,3 sampai 50,0 berukuran lebih kecil dibandingkan dengan hari setelah ditumbuhkan, sedangkan pada penggunaan media padat. Embrio somatik media padat antara 69,4 hari sampai 71,2 yang dihasilkan pada media cair berukuran hari. Peningkatan penggunaan kinetin pada antara 0,4 – 0,7 cm (Tabel 2) serta berwarna disebabkan karena penyerapan hara pada tanaman Gomortega keule terjadi setelah 77 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol 7 No. 2, September 2013, 73 - 84 hijau muda. Pembentukan embrio somatik sel menjadi lebih besar dan berwarna pada media padat terjadi antara 69,4 – 71,2 hijau. Perubahan yang terjadi pada kalus hari. Embrio mempunyai ukuran yang lebih embriogenik dapat dilihat setelah 7 hari besar dan panjang antara 0,7 – 0,9 cm (Tabel dibudidayakan. Semua kalus tersebut berubah 1) dan berwarna hijau tua (Gambar 2e – 2h). warna menjadi hijau setelah dibudidayakan Adanya perbedaan tersebut merupakan hasil selama 14 hari. Permukaan kalus terlihat interaksi yang sangat komplek antara kalus, halus komposisi media tumbuh, zat pengatur merupakan saat mulai terbentuknya embrio tumbuh dan kondisi lingkungan selama somatik fase globular yang berkembang periode inkubasi (Indrianto, 2002). sampai fase kotiledon. Hasil penelitian Perkembangan mengkilat. Waktu tersebut embriogenik ini sama dengan penelitian Capuana dan merupakan Deberg (1997) yang menunjukkan bahwa aktivitas dari beberapa faktor. Dalam pertumbuhan embrio somatik merupakan perkembangannya embriogenik aktifitas dari sitokinin pada saat diferensisasi melalui beberapa fase yaitu fase globuler, sel-sel kalus. Selanjutnya hasil penelitian jantung, torpedo dan kotiledon. Kalus Veisseire et al. (1994) yang menyatakan embriogenik yang umumnya mempunyai bahwa untuk merangsang terbentuknya bentuk putih embrio somatik pada tanaman Picea abies kekuningan, secara perlahan berubah bentuk digunakan kombinasi antara kinetin, 9 µM menjadi BA (6-Benzyl adenine) dan 2,4-D. menjadi embrio kalus dan somatik kalus isodiametrik globular berwarna dengan permukaan sel yang lebih halus. Selain itu ukuran Tabel 1. Penampilan visual embrio somatik fase kotiledon pada media padat dan media cair. Jenis media Padat Cair Bentuk normal normal Tabel 1 memperlihatkan kedua jenis Panjang (cm) 0,7 – 0,9 0,4 – 0,7 Warna Hijau Hijau muda dihasilkan dalam waktu lebih cepat yaitu 5 media sama-sama menghasilkan embrio minggu. somatik normal yang dicirikan dengan embrio somatik fase globular, fase hati, fase adanya kotiledon dan calon akar. Dari kotiledon dan selanjutnya menjadi embrio semua perlakuan kinetin yang diuji dapat somatik fase kotiledon. Hasil penelitian Lee dihasilkan embrio somatik fase kotiledon et al. (2002) menunjukkan bahwa embrio (Gambar 2d dan 2h) setelah dibudidayakan fase globular dibentuk pada medium cair selama 8 minggu. Hasil penelitian ini tanpa penambahan zat pengatur tumbuh berbeda dari penelitian Dai et al. (2011) yang selalu dipindahkan pada media yang yang menunjukkan bahwa embrio somatik sama, sedangkan dari pemindahan kalus ke 78 Proembrio berkembang menjadi Induksi Embrio Somatik Shorea pinanga Scheff. Pada Kondisi Fisik Media Berbeda Yelnititis dalam media dengan penambahan 0,76 – 7,6 merupakan perlakuan terbaik untuk induksi μM ABA (Abscisic acid) dihasilkan embrio embrio somatik fase kotiledon. Rata-rata somatik fase globular dengan jumlah yang jumlah embrio somatik fase kotiledon yang lebih banyak, tetapi embrio somatik fase dihasilkan dari perlakuan ini paling banyak torpedo serta fase kotiledon dengan jumlah yaitu sebanyak 162, sedangkan perlakuan yang lebih rendah dari perlakuan kontrol. media padat dengan kinetin 1.5 mg/l Menurut Singh et al. (1999) perkembangan merupakan perlakuan terbaik untuk induksi embrio somatik dipengaruhi oleh jenis media embrio fase globular dengan jumlah rata-rata dan konsentrasi kinetin yang digunakan. sebanyak 271. Selain itu juga dapat dilihat Selanjutnya Guevin et al. (1994) dalam bahwa peningkatan konsentrasi kinetin Guevin dan Kirby (1997) menyatakan pada kedua jenis media yang digunakan bahwa penggunaan sitokinin secara tunggal juga meningkatkan jumlah embrio somatik efektif untuk induksi embrio somatik dari fase globular, fase torpedo, fase kotiledon eksplan embrio zigotik Abies fraseri. Hasil pada media padat serta fase kotiledon pada penelitian yang berbeda dilaporkan oleh media cair. Hal ini menunjukkan bahwa Nanda dan Rout (2003) yang menyatakan untuk induksi embrio somatik pada jenis bahwa untuk pembentukan embrio somatik ini dibutuhkan zat pengatur tumbuh kinetin digunakan BA yang dikombinasikan dengan dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi. 2,4-D. Penelitian Rai dan McComb (2002) Berbeda dari penelitian (Rohani et al., menunjukkan media 2012) menunjukkan bahwa embrio somatik dengan penambahan 4.5 μM thidiazuron dari eksplan potongan daun manggis tidak memberikan rata-rata jumlah embrio somatik dihasilkan pada media yang mengandung paling tinggi sedangkan perlakuan dengan kinetin. Selanjutnya Yang et al. (2012) penambahan 6,4 μM BA memberikan rata- menyatakan bahwa untuk induksi embrio rata jumlah embrio somatik paling rendah. somatik dibutuhkan zat pengatur tumbuh Embrio NAA. bahwa somatik fase perlakuan kotiledon yang diperoleh dari perlakuan ini mempunyai dua Dilihat dari proses perkembangan kotiledon. Hal ini berarti bahwa embrio yang anatomi embrio somatik yang dihasilkan, diperoleh dari teknik ini mempunyai bentuk terjadi perubahan bentuk dan pertambahan normal seperti embrio zigotik biasa. ukuran terutama pada ukuran panjang. Penggunaan semua konsentrasi kinetin Proembrio berkembang membentuk embrio pada kedua jenis media yang digunakan somatik fase globular setelah satu minggu dapat dibudidayakan. membentuk embrio somatik. Perlakuan media cair dengan kinetin 1,5 mg/l 79 media padat serta fase kotiledon pada media Proembrio berkembang membentuk embrio cair. Hal ini menunjukkan bahwa untuk Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan somatik fase globular setelah satu minggu induksi embrio somatik pada jenis ini dibudidayakan. Vol 7 No. 2, September 2013, 73 - 84 a b c d ck pd pd 1 ck 1 4 3 2 pls e pls f g 3 h 2 Gambar 3. Embrio somatik. a. fase globuler; b. fase jantung; c. fase torpedo; d. fase kotiledon, e. penampang Gambar 3. Embrio somatik. a. fase globuler; b. fase jantung; c. fase torpedo; d. fase kotiledon, e. penampang membujur embrio fase globuler; pls (procambium-like structure); pd (protoderm); f. penampang membujur embrio fase globuler; pls (procambium-like structure); pd (protoderm); f. penampang membujur embrio fasefase jantung; ck.(calon (calonkotiledon); kotiledon); pls (procambium-like membujur embrio jantung;pdpd (protoderm); (protoderm); ck. pls (procambium-like structure), g. penampang membujur fase torpedo; torpedo;1 (kotiledon); 1 (kotiledon); 2 (calon 3. (berkas structure), g. penampang membujurembrio embrio fase 2 (calon akar);akar); 3. (berkas pembuluh); 4 (meristem apikal);h.h.penampang penampang membujur fasefase kotiledon. 1. kotiledon; 2. pembuluh); 4 (meristem apikal); membujurembrio embrio kotiledon. 1. kotiledon; 2. calon akar; 3. berkas pembuluh; 4. meristem apikal. skala a = 0,3 mm; b = 0,5 mm; c = 0,8 mm; d = calon akar; 3. berkas pembuluh; 4. meristem apikal. skala a = 0,3 mm; b = 0,5 mm; c = 0,8 mm; d 0,4 mm. = 257 μm;f==500 500 m; μm; gg==11mm; mm.mm. = 0,4 mm. e =e257 m;f mm;h =h 1,2 = 1,2 Embrio somatik fase globular (Gambar Dari fase hati embrio somatik berkembang 80 3a dan 3e) dicirikan dengan bentuk yang dengan membentuk dua kotiledon (ck) bulat atau membulat. Embrio somatik fase yang terdapat pada bagian atas tetapi masih globular berkembang menjadi fase hati. pendek (Gambar 3b dan 3f). Dua minggu Leyser dan Day (2002) menyatakan bahwa setelah inkubasi, daerah ini memperlihatkan embrio somatik fase hati diawali dengan perkembangan lanjut dan struktur bipolar pembentukan satu atau dua kotiledon namun semakin jelas. Pada tahap ini embrio secara visual fase hati tidak dapat diamati. somatik berada pada fase torpedo. Hal ini Terbentuknya kotiledon dimulai dengan ditandai dengan pemanjangan embrio dan adanya lekukan yang membentuk dua area. pemanjangan kotiledon. Menurut Leyser dan Selanjutnya Yeung (1995) menyatakan Day (2003) embrio fase jantung memanjang bahwa kotiledon pada tanaman dikotil membentuk embrio fase torpedo dengan pola muncul dari bagian perifer sebagai tonjolan jaringan yang sama. Setelah dibudidayakan kecil pada bagian terminal embrio somatik. selama 5 minggu embrio fase torpedo 80 Induksi Embrio Somatik Shorea pinanga Scheff. Pada Kondisi Fisik Media Berbeda Yelnititis mengalami perkembangan membentuk embrio somatik fase kotiledon (Gambar 3c dan 3g). Pada fase ini kotiledon mengalami pertumbuhan memanjang sehingga embrio somatik pada tahap ini berada pada fase kotiledon (Gambar 3d dan 3h). Pada fase ini dapat dilihat polaritas embrio somatik yang sangat jelas. Pembentukan kotiledon merupakan proses morfogenetik yang penting dalam embriogenesis somatik. IV. KESIMPULAN Embrio somatik dapat dihasilkan pada media padat dan media cair yang digunakan. Media cair MS yang ditambah 1,5 mg/l kinetin merupakan perlakuan terbaik untuk pembentukan embrio somatik fase kotiledon dengan jumlah rata-rata sebanyak 162, sedangkan media MS padat yang ditambah 1,5 mg/l kinetin merupakan perlakuan terbaik untuk pembentukan embrio somatik fase globular dengan jumlah rata-rata sebanyak 271. V. UCAPAN TERIMA KASIH kepada Ucapan terima kasih disampaikan saudara Suwandi yang telah membantu penulis untuk mengolah data yang dibutuhkan dalam tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Ammirato, P.V. 1983. Embryogenesis. In Evans, D.A., W.R. Sharp, P.V. Ammirato dan Y. Yamada (eds.). Handbook of Plant Cell Culture (1). Techniques for Propagation and Breeding. McMillan. New York. P. 82 – 90. Dai, C.L., X. Tan, Y.G. Zhan, Y.Q. Zhang, S. Xiao, Y. Gao, D.W. Xu, T. Wang, X.C. Wang dan X.L. You. 2011. Rapid and repetitive plant regeneration of Aralia elata Seem. via somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue and Organ Culture 104: 125 – 130. Capuana, M. dan P.C. Debergh. 1997. Improvement of the maturation and germination of horse chesnut somatic embryos. Plant Cell Tissue and Organ Culture 48: 23 – 29. Concha, D.M,, S. Mayes, G. Ribas, M.R. Davey. 2012. Somatic embryogenesis from zygotic embryos and shoot-tips of the Chilean tree Gomortega keule. Plant Cell Tissue and Organ Culture 109: 123 - 130 Guevin, T.G. dan E.G. Kirby. 1997. Induction of embryogenesis in cultured mature zygotic embryos of Abies fraseri (Pursh) Poir. Plant Cell Tissue and Organ Culture 49: 219 – 222. Gunasekara, D.S., E.S. Scott dan A.N. Rao. 1988. Suspension culture of the dipterocarp Shorea roxburghii G. Don. Somatic Cell Genetic of Woody Plant. p 137 – 141. Indrianto, A. 2002. Kultur jaringan tumbuhan. Fak. Biologi UGM. Yogyakarta.134 hal. Lee, K.S., J.C. Lee dan W.Y. Soh. 2002. High frequency plant regeneration from Aralia cordata somatic embryos. Plant Cell Tissue and Organ Culture 68: 241 – 246. Leyser, O. dan S. Day. 2003. Mechanism in Plant Development. Blackwell Publ. 241 p. Litz, R.E., R.C. Hendrix, P.A. Moon dan V.M. Chavez. 1998. Induction of embryogenic mango cultures as affected by genotype, explanting, 2,4-D and embryogenic nurse culture. Plant Cell Tissue and Organ Culture 53: 13 – 18. Molina, D.M., M.E. Aponte, H. Cortina dan G. Moreno. 2002. The effect of genotype and explant age on somatic embryogenesis of Coffee. Plant Cell Tissue and Organ Culture 71: 117 – 125. Nanda, R.M dan G.R. Rout. 2003. In vitro somatic embryogenesis and plant regeneration in Acacia arabica. Plant Cell Tissue and Organ Culture 73: 131 – 135. Noerhadi, E. 1974. Kultur jaringan tumbuhan sebagai bahan penyelidikan dan potensinya dalam pembangunan Negara. 81 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol 7 No. 2, September 2013, 73 - 84 Pidato pengukuhan guru besar tetap ITB. Penerbit ITB. Bandung. Nugent, G, S.F. Chandler, P. Whitemean dan T.W. Stevenson. 2001. Somatic embryogenesis in Eucalyptus globules. Plant Cell Tissue and Organ Culture 67: 85 – 88. Ortiz, B.O.C., M.E.P. Reyes dan P.E.M. Balch. 2000. Somatic embryogenesis and plant regeneration in Acacia farnesiana and A. schaffneri. In vitro Cell Dev. Biol. Plant 36: 268 – 272. Rai, V.R dan J. McComb. 2002. Direct somatic embryogenesis from mature embryos of sandalwood. Plant Cell Tissue and Organ Culture 69: 65 – 70. Rani, V. dan Raina, S.N. 2000. Genetic fidelity of organized meristems derived micropropagated plants: a critical reappraisal. In vitro Cell Dev Biol-Plant 36: 319 – 330. Rohani, E.R, I. Ismanizan, N.M. Noor. 2012. Somatic embryogenesis of mangosteen. Plant Cell Tissue and Organ Culture 110: 251 – 259. Rustam, D. dan H. Simatupang. 2005. Suatu kajian terhadap pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum disektor kehutanan. Surili 34 (1): 8g – 8i. Sagare, AP, K.Suhasini dan KV. Krishnamurthy. 1993. Plant regeneration via somatic embryogenesis in chick pea (Cicer arietinum L). Plant Cell Reports 12 : 652 – 655. Sastrapradja, S.D. 2005. Pengelolaan sumber daya genetik tumbuhan hutan. Makalah dalam Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan, Peran Konservasi Sumber daya genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam mendukung Rehabilitasi Hutan, Yogyakarta. 26 – 27 Mei. 9 hal. Shimizu, K., N. Nagaike, T. Yobuya dan T. Edachi. 1997. Plant regeneration from suspension culture of Iris gemanica. Plant Cell Tissue and Organ Culture 50 : 27 – 31. Singh, R.P., S.J. Murch dan P.K. Saxena. 1999. Role of nitrogen in morphogenesis in vitro. In Nitrogen nutrition in higher plants (eds.). Science Publ. Inc. USA. p. 205 – 223. 82 Su, W.W., W.I. Hwang, S.Y. Kim dan Y. Sagawa. 1997. Induction of somatic embryogenesis in Azadirachta indica. Plant Cell Tissue and Organ Culture 50 : 91 -95. Umboh, M.I.J., S.A. Yani dan D.J. Lawalata. 1992. Proceeding of Tsukuba Workshop. Tsukuba Science City. BIO-REFOR. p. 112 Veisseire, P., L. Linossier dan A. Coudret. 1994. Effect of absisic acid and cytokinins on the development of somatic embryos in Havea brasiliensis. Plant Cell Tissue and Organ Culture 39 : 219 – 223. William, E.G dan G. Mahasweran. 1986. Somatic embryogenesis: factors influencing coordinated behavior as an embryogenic group. In Santos, MO, E. Romano, K.S.C. Yotoko, M.L.P.Tinoco, B.B.A. Dias dan F.J.L. Aragao: Characterisation of the cacao somatic embryogenesis receptorlike kinase (SERK) gene expressed during somatic embryogenesis. Plant Science 168: 723 – 729 Yang, L, Y. Li dan H. Shen. 2012. Somatic embryogenesis and plant regeneration from immature zygotic embryo cultures of mountain ash (Sorbus pohuashanensis). Plant Cell Tissue and Organ Culture 109 : 547 – 556. Yelnititis, E. Sapulete dan T. Herawan. 2002. Embriogenesis somatik pada S. leprosula, S. selanica dan S. pinanga. Laporan Tahunan P3BPTH (tidak dipublikasikan). Yelnititis. 2007. Induksi embrio somatik Shorea pinanga dengan 2,4-D dan NAA. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman vol 4 supp. 1 : 235 – 243. Yelnititis. 2008. Regenerasi tanaman Shorea pinanga melalui embryogenesis somatic. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 5 (1) : 33 – 44. Yeung, E.C. 1995. Structural and developmental, patterns in somatic embryogenesis. In Thorpe, T.A (eds.). In vitro embryogenesis in plants. Kluwer Acad. Publ. Netherland p. 205 – 230. Yoeup, PK, D. Chakrabarty. 2003. Micropropagation of woody plants using bioreactor. In : Jain SM, K. Ishii (eds). Micropropagation of woody trees and fruits. Forestry Sciences 75 : 735 – 755. Induksi Embrio Somatik Shorea pinanga Scheff. Pada Kondisi Fisik Media Berbeda Yelnititis Young, A,, C. Miller, GA. de Mayolo, JD. Swanson, S. Phisak, S. Maximova dan M. Guiltinan. 2003. Cacao Tissue Culture Protocol Book version 1.4. Pennstate Collage of Agriculture Sciences. USDA. Pennsylvania State University. Jan 27th. 83 Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan Vol 7 No. 2, September 2013, 73 - 84 84