7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spons Spons adalah salah satu hewan dari filum porifera. Spons merupakan invertebrata laut yang hidup pada ekosistem terumbu karang (Rosmiati dan Suryati, 2001). Spons merupakan biota laut multi sel yang fungsi jaringan dan organnya sangat sederhana. Habitat spons umumnya adalah menempel pada pasir, batu-batuan dan karang-karang mati. Biota laut ini dikenal dengan "filter feeders", yaitu mencari makanan dengan mengisap dan menyaring air melalui sel cambuk dan memompakan air keluar melalui oskulum. Partikel-partikel makanan seperti bakteri, mikroalga dan detritus terbawa oleh aliran air ini (Amir dan Budiyanto, 1996). Habitat spons yang melekat pada pasir atau bebatuan menyebabkan hewan ini sulit untuk bergerak. Untuk mempertahankan diri dari serangan predator dan infeksi bakteri pathogen, spons mengembangkan system "biodefense" yaitu dengan menghasilkan zat racun dari dalam tubuhnya, zat ini umumnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi (Motomasa, 1998). Tubuh spons terdiri dari jelly seperti mesohyl yang terjepit di antara dua lapisan tipis sel. Spons memiliki ciri yaitu tubuhnya berpori seperti busa. Di dalam tubuhnya terdapat rongga tubuh yang disebut spongosol. Spons tidak memiliki saraf, pencernaan atau sistem peredaran darah. Sebaliknya, sebagian besar mengandalkan aliran air konstan melalui tubuhnya untuk mendapatkan 7 8 makanan dan oksigen serta untuk menghilangkan limbah. Spons hidup di air laut dan air tawar, tetapi kebanyakan hidup di laut mulai dari daerah perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 5,5 km. Hidupnya selalu melekat pada substrat (sesil) dan tidak dapat berpindah tempat secara bebas (Darmadi, 2011). 2.1.1 Morfologi Spons Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Suparno, 2005) Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis, atau massif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri atas segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh – tumbuhan. Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk dan ukuran jenis yang dimiliki spons dapat beragam. Beberapa jenis spons ada yang berukuran sebesar butiran beras, sedangkan jenis yang lainnya bisa memiliki tinggi dan diameter hingga 2 meter. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, cawan, atau seperti kubah. Tubuh 9 spons pada umumnya asimetris atau tidak beraturan meskipun ada yang simetris radial. Bentuknya ada yang seperti tabung, vas bunga, mangkuk, atau bercabang seperti tumbuhan. Tubuhnya memiliki lubang-lubang kecil atau pori (ostium). Warna tubuh bervariasi, ada yang berwarna pucat, dan ada yang berwarna cerah, seperti merah, jingga, kuning bahkan ungu (Romimohtarto et al, 1999). Spons tumbuh melekat pada terumbu karang dan dasar laut. Binatang lunak dengan variasi warna, bentuk, dan ukuran ini tidak dapat berpindah seperti halnya ikan dan binatang laut lainnya. Untuk mempertahankan diri dari predator, spons memiliki senjata perisai berupa senyawa kimia membentuk metabolit sekunder, yang ditakuti dan dihindari predator karena beracun. Sesuai dengan fungsinya untuk melindungi diri dari predator, senyawa ini bersifat toksik dan berkhasiat juga sebagai antikanker (cytotoxic) dan antibiotik (Proksch et al.,2002). 2.1.2 Struktur dan Fungsi Tubuh Spons Struktur tubuh spons terdiri dari dua lapisan yaitu epidermis dan endodermis. Epidermis (lapisan luar) terdiri dari sel-sel epitelium berbentuk pipih (pinakosit). Endodermis terdiri dari sel berflagela yang berfungsi mencerna makanan dan bercorong yang disebut sel leher atau koanosit. Diantara kedua lapisan itu terdapat bahan gelatin yang disebut mesoglea. Struktur dan Fungsi tubuh spons ditunjukkan pada Gambar 2.1 10 Gambar 2.1 Struktur dan Fungsi Tubuh spons (Lariman, 2010) Mesoglea terdiri atas beberapa macam sel, yakni : a. Sel amebosit, yaitu sel yang bertugas mengangkut zat makanan dan zat sisa metabolisme dari satu sel ke sel yang lain b. Sel skleroblas, yaitu sel yang fungsinya membentuk spikula yang bisa terbuat dari zat kapur, kersik atau sponging c. Porosit, yaitu sel yang fungsinya membuka dan menutup pori-pori d. Arkeosit, yaitu sel amebosit embrional yang tumpul dan dapat membentuk sel-sel reproduktif e. Spikula, yaitu sel pembentuk tubuh spons Spons memiliki saluran air yang berfungsi sebagai jalan masuknya air ke spongosol lalu dari spongosol dikeluarkan melalui oskulum. Saluran ini memiliki tiga bentuk, sikon, askon, dan leukon. Tipe saluran air pada spons ditunjukkan pada Gambar 2.2 11 Gambar 2.2 Sistem Saluran Pada Spons (a) Askon; (b) Sikon; (c) Leukon a. Askon Tipe ini adalah tipe paling sederhana. Bentuk spons seperti jambangan bunga. Air yang masuk melewati saluran yang langsung terhubung dengan spongosol lalu keluar melalui oskulum. Saluran ini pendek dan tidak memiliki cabang maupun lekuk-lekuk. b. Sikon Pada tipe ini air yang melalui ostium kemudian masuk ke spongosol melalui saluran yang bercabang-cabang selanjutnya keluar melalui oskulum. Saluran airnya meliputi ostia, saluran radial yang tidak bercabang, spongiosel, dan oskulum. Lubang-lubang ostiumnya terhubung dengan saluran yang bercabang-cabang ke rongga-rongga yang berhubungan langsung dengan spongosol. 12 c. Leukon (ragon) Tipe ini adalah tipe yang paling kompleks. Air masuk melalui ostium menuju ke rongga-rongga bulat yang saling berhubungan. Dari rongga ini barulah mengalir menuju spongosol dan keluar melalui oskulum. 2.1.3 Klasifikasi Spons Spons merupakan kelompok hewan dari filum porifera yang terdiri atas tiga kelas, yaitu Hexactinellida, Demospongiae, dan Calcarea (Amir dan Budiyanto, 1996). 2.1.3.1 Hexactinellida (Hyalospongiae) Kelas Hexactinellida sering disebut dengan spons gelas. Mereka kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat. Ujung spikula berjumlah enam seperti bintang. Spikulanya berbentuk bidang "triaxon", dimana masing-masing bidang terdapat dua jari-jari (Hexactinal). Tubuhnya kebanyakan berwarna pucat dengan bentuk vas bunga atau mangkuk. Tinggi tubuhnya rata-rata 10-30 cm dengan saluran tipe sikonoid. Spons dari kelas ini belum banyak dikenal, karena sulit mendapatkan dan hanya terdapat di laut dalam (< 500 m). Contoh Hexactinellida adalah Euplectella (Amir dan Budiyanto, 1996). Gambar spons dari kelas Hexactinellida terlihat seperti Gambar 2.3 13 Gambar 2.3 Kelas Hexactinellida 2.1.3.2 Demospongiae Demospongiae adalah kelompok spons yang paling dominan diantara beberapa kelas spons yang lain. Mereka tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Mereka sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamarkamar bercambuk kecil yang bundar. Tubuh spons ini berwarna cerah karena mengandung pigmen yang terdapat pada amoebosit. Fungsi warna diduga untuk melindungi tubuhnya dari sinar matahari. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada dari beberapa ordo yaitu Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida spikulanya hanya terdiri serat spongin, serat kollagen atau spikulanya tidak ada. Bentuk tubuh spons ini tidak beraturan dan bercabang. Tinggi dan diameternya ada yang mencapai lebih dari 1 meter (Suparno, 2005). Seluruh Demospongiae memiliki saluran air tipe leukonoid. Habitat Demospongiae umumnya di laut dalam maupun dangkal, meskipun ada yang di air tawar. Demospongiae adalah satu-satunya kelompok porifera yang anggotanya ada yang hidup di air tawar. Demospongiae merupakan kelas terbesar yang 14 mencakup 90% dari seluruh jenis porifera. Contoh Demospongiae adalah spongia, hippospongia dan Niphates digitalis. Gambar spons dari kelas Demospongiae terlihat seperti Gambar 2.4 Gambar 2.4 Kelas Demospongiae 2.1.3.3 Calcarea (Calcisspongiae) Calcarea merupakan spons yang kesemua anggota kelasnya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan jenis lainnya. Spikula terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite dan tidak akan berdiri tegak tanpa adanya spikula atau sponging yang membentuk kerangka untuk menopang tubuhnya sehingga memungkinkan adanya saluran dan ruangan berflagela. Tubuhnya kebanyakan berwarna pucat dengan bentuk seperti vas bunga, dompet, kendi, atau silinder. Tinggi tubuh kurang dari 10 cm. Struktur tubuh ada yang memiliki saluran air askonoid, sikonoid, atau leukonoid. Spons dari kelas ini sangat sedikit jumlahnya, lebih kurang hanya 10% dari jumlah semua hewan spons yang ada di laut. Calcarea hidup di laut dangkal, contohnya sycon, 15 Clathrina, dan Leucettusa lancifer. (Amir dan Budiyanto, 1996). Gambar spons dari kelas Calcarea terlihat seperti Gambar 2.5 Gambar 2.5 Kelas Calcarea 2.2 Metabolit Sekunder dan Senyawa Bioaktif Spons Spons menghasilkan dua jenis metabolit selama masa pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer adalah metabolit yang dibentuk selama masa pertumbuhan dan digunakan dalam proses-proses metabolisme esensial bagi organisme. Produksi metabolit ini hampir serupa pada semua organisme, melibatkan proses anabolisme dan katabolisme, contohnya lintasan pembentukan glukosa. Metabolit sekunder adalah komponen senyawa yang diproduksi saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan dalam mekanisme evolusi spesies atau strategi adaptasi terhadap lingkungan. Bahan metabolit primer maupun sekunder yang dihasilkan oleh spons merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar baik lingkungan biotik maupun abiotik. Spons memiliki mikroorganisme simbion yang masuk ke dalam pori-porinya karena mikroorganisme menyediakan sumber makanan atau 16 produk metabolit tertentu yang bermanfaat untuk spons (Guyot, 2000; Faulkner, 1994). Proses metabolisme hewan spons dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara lain suhu, kekeruhan, kekuatan arus, cahaya, salinitas, serta faktor kimiawi lainnya. Sehingga jenis spons yang sama tetapi masing – masing hidup pada kondisi lingkungan yang berbeda, dapat memiliki keaktifan metabolit sekunder yang berbeda pula (Amir dan Budiyanto, 1996). Berbagai macam senyawa telah berhasil diisolasi dari biota ini diantaranya adalah alkaloid, terpenoid, acetogenin, senyawa nitrogen, halida siklik, peptide siklik dan lain-lain. Menurut Rasyid (2008) dan Murniasih (2003) beberapa publikasi ilmiah tentang senyawa bioaktif dari spons memiliki aktivitas biologis yaitu sebagai antimikroba, antivirus, antikanker dan lain-lain yang sangat berguna sebagai bahan baku obat. 1. Senyawa Antimikroba Substansi antimikroba adalah senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Sifat penghambatan ini dimanfaatkan dalam farmakologi sebagai obat terhadap penyakit yang umumnya disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, yeast dan jamur. Beberapa senyawa antimikroba yang telah diisolasi dari biota spons diantaranya adalah (Murniasih, 2003) : a. Aeroplysinin-1 yang diisolasi dari spons jenis Aplysina aerophoba. Senyawa aeroplysinin-1 dapat menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio 17 micrococcus atau Alteromonas sp. Struktur kimia dari senyawa aeroplysinin-1 terlihat pada Gambar 2.6 OMe OMe Br Br Br Br HO OH OH OH CN NC Gambar 2.6 Struktur Kimia Senyawa Aeroplysinin-1 b. Strongylophorines diisolasi dari spons Strongylophora durissina yang ditemukan di Papua New Guinea. Senyawa meroditerpenoid ini aktif menghambat bakteri Salmonella typhii dan Micrococcus luteus dengan zone diameter hambat bakteri 7-9 mm pada konsentrasi 100μg/disk. Struktur dari senyawa Strongylophorine 2 dan Stronggyloporine 3 terlihat pada Gambar 2.7 O O OH O OH O C COOH (A) (B) Gambar 2.7 Struktur Kimia senyawa (A) Strongylophorine 2 dan (B) Stronggyloporine 3 c. Muqubilin adalah senyawa peroksida siklik norsesterpen yang diisolasi dari spons Prianos sp. Organisme tersebut diambil dari Teluk Eilat. 18 Senyawa ini mempunyai aktivitas sebagai antibiotik. Struktur kimia senyawa muqubilin terlihat pada Gambar 2.8 Gambar 2.8 Struktur Kimia Senyawa Muqubilin d. Aaptamine dan Demethylaaptamine adalah senyawa alkaloid yang mempunyai keaktifan menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Vibrio eltor. (Rachmaniar et al. 2001). Struktur kimia dari senyawa aaptamine dapat dilihat pada Gambar 2.9 Gambar 2.9 Struktur Kimia Senyawa Aaptamine e. Senyawa N-Amidino-4-bromo-pyrole-2-carboxamide senyawa antibiotik yang diisolasi dari spons jenis Agelas sp. Struktur kimia dari senyawa NAmidino-4-bromo-pyrole-2-carboxamide dapat dilihat pada Gambar 2.10 19 Gambar 2.10 Struktur kimia Senyawa N-Amidino-4-bromo-pyrole-2-carboxamide 2. Senyawa Antikanker Beberapa senyawa yang berhasil diisolasi dari biota spons telah terbukti menghambat pertumbuhan sel kanker, berikut adalah senyawa-senyawa antikanker yang ditemukan (Murniasih, 2003): a. Spongouridin dan spongothymidine, adalah senyawa yang disintesa dari spons Cryptotetis crypta yang mempunyai keaktifan sitotoksik terhadap sel karsinoma pada manusia. Senyawa ini merupakan sebuah nukleosida yang berbeda dari biasanya dan dapat berfungsi sebagai terapi terhadap nukleosida virustatik Ara-A. Kedua senyawa ini merupakan zat aktif terhadap virus harpes simplex. Struktur kimia dari kedua senyawa tersebut diatas terlihat pada Gambar 2.11 O HOH2 C O R HN ROH OH (A) O N (B) Gambar 2.11 Struktur Kimia Senyawa (A) Spongouridin dan (B)Spongothymidine 20 b. Adociaquinon B diisolasi dari spons Xestospongia sp., Senyawa ini aktif dalam menghambat pertumbuhan sel tumor manusia (Human Colon Tumor). Struktur kimia dari senyawa Adociaquinon B terlihat pada Gambar 2.12 Gambar 2.12 Struktur Kimia Senyawa Adociaquinon B c. Bistratamide D diisolasi dari spons Lissoclinum bistratum. Senyawa ini aktif menghambat sel tumor HCT (Human Colon Tumor). Struktur kimia dari senyawa Bistratamide D terlihat pada Gambar 2.13 Gambar 2.13 Struktur Kimia Senyawa Bistratamide D d. Discodermolide merupakan poliketida yang diisolasi dari spons Discoderma sp. Senyawa discodermolide merupakan metabolit dari spons Discodermia dissoluta yang aktif sebagai antikanker (Rasyid, 2008) Struktur kimia dari senyawa discodermolide terlihat pada Gambar 2.14 21 Gambar 2.14 Struktur Kimia Senyawa Discodermolide 2.3 Spons Clathria (Thalysias) sp Clathria (Thalysias) sp adalah spons yang tergolong dalam kelas Demospongiae. Spesies ini merupakan bagian dari genus Clathria, sub genus Thalysias dan famili Microcionidae. Taksonomi spons clathria (Thalysias) sp sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Porifera Kelas : Demospongiae Ordo : Poecilosclerida Subordo : Microcionina Famili : Microcionidae Subfamily : Microcioninae Genus : Clathria Schmidt, 1862 Sub genus : Clathria (Thalysias) Duchassaing & Michelotti, 1864 Seperti spons pada umumnya, spons ini memiliki tubuh yang berpori dan permukaan yang keras seperti batu. Selain itu, Clathria (Thalysias) sp juga dapat menyerap oksigen dari air melalui proses difusi. Spons clathria (Thalysias) sp 22 memiliki bentuk pertumbuhan arboresen dengan cabang-cabang yang silindris. Jika disimpan dalam etanol akan berwarna orange sampai coklat dan memiliki oskula yang sangat banyak. Spesimen yang diawetkan mempunyai permukaan dengan rongga-rongga yang tidak teratur. Teksturnya kuat dengan bentuk rangka yang memiliki struktur yang reticulate tunggal, terdiri dari serat-serat spongin reguler sampai semireguler. ekostosom seperti tonjolan bulu-bulu sikat dari "subtylostyle" (Ackers et al., 2007; Hooper et a.l, 2002). Spons Clathria (Thalysias) sp terlihat seperti Gambar 2.15 Gambar 2.15 Spons Clathria (Thalysias) sp . Sejumlah senyawa metabolit pada spons clathria sp yang mempunyai bioaktivitas telah diisolasi dan diidentifikasi. Ekstrak dari Clathria sp memberikan aktivitas antibiofouling yang tinggi dan aktivitas dalam menghambat jamur Aspergillus fumigatus, Aspergillus sp., dan Fusarium sp (Suryati et al., 2005). Dua senyawa yang diduga termasuk dalam golongan senyawa fenolik dan steroid yaitu -sitosterol (Gambar 2.16) telah berhasil diisolasi dari Clathria reinwardtii yang diambil dari perairan wilayah Sulawesi Selatan (Jawahir et al, 2007). 23 Suryati et al (1999) menyebutkan uji toksisitas ekstrak spons Clathria sp terhadap larva teritip diperoleh nilai LC50 sebesar 27,99 ppm. R R OH (A) HO (B) Gambar 2.16 Dua Senyawa yang diduga termasuk golongan senyawa fenolik (A) dan steroid yaitu -sitosterol (B) Hooper et al (1978) berhasil mengidentifikasi adanya asam amino bebas dalam spons jenis Clathria. Microcionamides A dan Microcionamides B yang merupakan senyawa golongan peptida telah berhasil diisolasi dari spons Clathria (Thalysias) abietina asal laut Filipina menunjukkan sitotoksisitas yang signifikan terhadap sel tumor payudara manusia dengan adanya aktivitas penghambatan terhadap sel kanker MCF-7. Struktur kimia Microcionamides A dan Microcionamides B terlihat seperti Gambar 2.17 (Davis et al., 2004). Gambar 2.17 Struktur Kimia Microcionamides A dan Microcionamides B 24 2.4 Teknik Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Spons 2.4.1 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik atau memindahkan sebagian atau seluruh komponen kimia yang terdapat dalam suatu sampel berdasarkan polaritas pelarut. Ekstraksi yang tepat suatu sampel tergantung pada tekstur, kandungan air, matriks sampel yang diekstrak serta jenis senyawa yang akan diekstraksi (Harborne, 1987). Metode ekstraksi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pada Umumnya metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan organik dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi (Stahl, 1985). 2.4.2 Pemisahan dan Pemurnian Pemisahan dan pemurnian senyawa bahan alam dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi. Pemilihan teknik kromatografi yang tepat sebagian besar tergantung pada sifat kelarutan dan kestabilan senyawa yang akan dipisahkan. Teknik kromatografi yang umum digunakan adalah kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kolom, sedangkan untuk pemisahan tahap awal biasanya dilakukan dengan metode partisi (Sudjadi, 1992). a. Partisi Partisi bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa kimia dalam ekstrak kasar berdasarkan kepolarannya. Senyawa-senyawa non polar akan larut ke dalam pelarut non polar dan senyawa-senyawa polar akan larut ke dalam pelarut polar. Pada umumnya partisi dimulai dengan pelarut non polar seperti nheksana atau petroleum eter untuk menarik senyawa-senyawa non polar. 25 Selanjutnya digunakan pelarut semi polar seperti kloroform, etilasetat, atau aseton untuk menarik senyawa-senyawa semi polar. Terakhir digunakan pelarut polar seperti etanol atau n-butanol untuk menarik senyawa-senyawa polar (Swantara, 2005). Teknik yang paling umum untuk metode partisi ini adalah menggunakan corong pisah dengan menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur. Untuk senyawa-senyawa berwarna partisi dihentikan bila ekstrak terakhir sudah tidak berwarna sedangkan untuk senyawa yang tidak berwarna, partisi dihentikan setelah 3 sampai 4 kali penggantian pelarut (Swantara, 2005). b. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu teknik kromatografi yang sering digunakan dalam memisahkan beberapa campuran senyawa organik. Mekanisme pemisahan didasarkan pada sifat adsorpsi satu atau lebih senyawa diantara fase diam dan fase gerak (eluen). Fase diamnya biasanya berupa padatan seperti silika gel, bubuk selulosa, pati, alumina, dan tanah diatome yang umumnya melekat pada plat penyangga kaca, plastik atau aluminium dan eluennya berupa cairan. Pemilihan eluen atau pengembang sangat tergantung pada jenis senyawa yang akan dipisahkan, biasanya dipilih campuran dari beberapa pelarut (Sastrohamidjojo, 1991; Sudjadi, 1998). Pemisahan umumnya dilakukan di dalam bejana kromatografi. Sampel yang akan dipisahkan dilarutkan dengan sedikit pelarut, kemudian ditotolkan dengan pipa kapiler pada plat KLT dan dielusi dengan eluen sesuai. Setiap komponen yang terlarut pada eluen bila melewati fase diam akan teradsorpsi 26 dengan afinitas yang berbeda, sehingga terjadi pemisahan komponen dari campurannya. Karena pengaruh adsorpsi dari fase diam terhadap masing-masing komponen berbeda-beda, maka hambatan pergerakannya juga berbeda. Besarnya hambatan dinyatakan dengan harga Rf (Retardation factor). Deteksi noda dapat dilakukan secara fisika dengan menggunakan lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm dan secara kimia dengan menyemprotkan suatu pereaksi penampak noda sehingga memberikan warna atau flouresensi yang spesifik (Harbone, 1987; Sastrohamidjojo, 1991). Selain digunakan untuk pemisahan, KLT juga dapat digunakan untuk menentukan eluen terbaik yang digunakan dalam kromatografi kolom yaitu dengan cara membandingkan hasil kromatografi lapis tipis dari beberapa eluen. Eluen yang memberikan hasil pemisahan terbaik digunakan sebagai eluen dalam kromatografi kolom (Sastrohamidjojo, 1991). c. Kromatografi kolom Kromatografi kolom merupakan kromatografi padat-cair dimana aliran eluennya disebabkan oleh gaya tarik bumi (gravitasi). Adanya gaya gravitasi dan adsorpsi oleh fase diam mengakibatkan sampel akan memisah sehingga terbentuk fraksi-fraksi. Dalam pengerjaannya, kromatografi kolom memberikan hasil yang cukup baik untuk pemisahan campuran dalam jumLah yang relatif banyak meskipun memerlukan waktu yang lebih lama serta sulit untuk mempertahankan kondisi kolom selama pemisahan (Harbone, 1987). 27 Kromatografi kolom sering pula disebut kromatografi elusi karena senyawa yang terpisah akan terelusi dari kolom dan berdasarkan mekanismenya termasuk kromatografi adsorbsi. Kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis mempunyai prinsip yang hampir sama yaitu suatu pemisahan yang berdasarkan pada distribusi komponen-komponen diantara fase diam dan fase gerak (eluen). Fase diam berupa padatan penyerap (adsorben) dan fase gerak berupa eluen yang bertindak sebagai pembawa cuplikan (Sudjadi, 1992). Bila suatu cuplikan yang merupakan campuran dari beberapa komponen dimasukkan pada bagian atas kolom, kemudian dialiri dengan eluen dan membiarkan eluen turun yang membawa komponen-komponen turun sambil terdistribusi melalui partikel-partikel adsorben. Komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan keluar lebih cepat bersama eluen, sedangkan komponen yang diserap kuat oleh adsorben akan keluar lebih lambat. Dengan adanya perbedaan kuat lemah adsorbsi terhadap bermacam-macam komponen maka akan terjadi pemisahan komponen. Cuplikan yang dimasukkan dari atas kolom, harus serata mungkin dan harus dicegah terjadinya pengguncangan dari kolom karena dapat memungkinkan rusaknya pita-pita. Eluat yang keluar dikumpulkan berupa fraksi dibawah kolom (Sudjadi, 1992). 2.5 Metode Identifikasi Senyawa Bahan Alam Identifikasi hasil isolasi senyawa bahan alam dapat dilakukan dengan uji fitokimia dan kromatografi gas-spektroskopi massa. 28 2.5.1 Uji Fitokimia Uji fitokimia dilakukan dengan menggunakan pereaksi pendeteksi golongan pada piring tetes atau dengan teknik penyemprotan pada pelat KLT. Pengamatan pada pelat KLT dilakukan dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm atau 366 nm. Pengamatan pada piring tetes dapat dilakukan dengan melihat perubahan warna yang terjadi. Reaksi warna dapat memberikan informasi mengenai golongan senyawa berdasarkan warna yang khas yang diberikan oleh pereaksi spesifik dari senyawa tersebut. Pereaksi pendeteksi yang digunakan antara lain : a. Uji senyawa alkaloid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan alkaloid dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi Mayer. Reaksi dikatakan positif apabila terbentuk endapan berwarna putih. Selain itu, dapat juga digunakan pereaksi Wagner yang akan membentuk endapan berwarna coklat dan pereaksi Dragendorff yang akan membentuk endapan berwarna merah jika isolat positif mengandung alkaloid (Harborne, 1992) b. Uji senyawa flavonoid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan flavonoid dapat dilakukan dengan menggunakan test Smith- Metcalfe, yaitu uji warna dengan menggunakan HCl pekat sebagai pereaksi dengan bantuan pemanasan, jika reaksinya positif akan memberikan warna merah. Test Wilstatter merupakan pengembangan dari teknik Bate Smith, yang selain penambahan HCl juga ditambahkan logam Mg. Reaksinya positif jika memberikan warna orange-merah. Uji warna yang lain 29 yaitu menggunakan NaOH 10% yang reaksinya positif jika terjadi perubahan warna yang spesifik (Harborne, 1992) c. Uji senyawa triterpenoid atau steroid Uji kualitatif terhadap senyawa golongan triterpenoid dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard. Reaksi positif apabila terbentuk warna merah-ungu untuk triterpenoid dan warna biru-hijau untuk steroid. Selain itu, dapat juga digunakan pereaksi asam sulfat 10% dalam alkohol yang akan memberikan hasil positif bila terbentuk warna ungu-merah-coklat untuk triterpenoid dan warna biru-hijau untuk steroid (Harborne, 1992). d. Uji senyawa saponin Keberadaan senyawa saponin pada sampel bahan alam dapat diketahui dengan uji busa. Uji ini dilakukan dengan cara melarutkan sedikit sampel dengan air, kemudian dipanaskan kira-kira lima menit dan dikocok kuat-kuat, maka akan terbentuk busa stabil kira-kira sepuluh detik yang tidak akan hilang dengan penambahan asam (Harborne, 1992). e. Uji senyawa polifenol Senyawa fenol dapat dideteksi dengan menggunakan pereaksi besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol yang menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat (Harborne, 1992). 2.5.2 Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa Kromatografi gas merupakan salah satu jenis kromatografi dengan fase diam berupa cairan dan fase geraknya adalah gas. Fase gerak akan bergerak diantara celah-celah atau permukaan fase diam, pergerakan fase diam ini 30 mengakibatkan pergerakan diferensial dari komponen-komponen sampel. Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar tergantung pada sifat kelarutan dan volatilitas senyawa yang akan dipisahkan (McLafferty, 1998). Kromatografi gas sering digunakan dalam identifikasi senyawa organik dimana kemurnian yang relatif tinggi dari senyawa sangat diperlukan dalam proses identifikasi selanjutnya. Disamping itu, kromatografi gas juga dapat digunakan dalam metode identifikasi karena dapat memberikan waktu retensi yang khas untuk senyawa yang berbeda. Biasanya metode ini digabungkan dengan metode identifikasi lainnya yang sering digunakan adalah spektrometer massa yang biasa disebut dengan GC-MS (Creswell, 1982). Sistem kromatografi gas memerlukan sistem tertutup sempurna kecuali pada tempat keluarnya gas. Gas pembawa dari tangki bertekanan mengalir melalui pengatur tekanan yang mengatur kecepatan aliran gas pada alat itu. Cuplikan dimasukkan kedalam suatu kamar pemanas melalui suatu karet silikon dengan “Syringe”. Jika cuplikan berupa cairan atau gas maka digunakan gas pembawa yang khusus untuk cuplikan itu. Gas pembawa selanjutnya membawa cuplikan melalui kolom dimana mereka dipisahkan dan kemudian melalui detektor yang mengirimkan isyarat ke pencatat (Creswell, 1982). Kromatogafi gas-spektrometri massa merupakan suatu teknik kombinasi resolusi pemisahan tingkat tinggi dengan tingkat deteksi yang sangat selektif dan sensitif. Gas efluen dari alat kromatografi langsung dialirkan melewati kolom transfer menuju ke sumber ion. Spektrometer massa menembaki cuplikan yang sedang diteliti dengan berkas elektron dan secara kuantitatif mencatat hasilnya 31 sebagai suatu spektrum fragmen-fragmen ion positif yang disebut spektrum massa. Pada identifikasi senyawa organik, molekul organik ditembaki dengan berkas elektron menjadi ion bermuatan positif berenergi tinggi (ion molekuler), kemudian ion molekuler ini terpisah menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil. Fragmen-fragmen yang terpisah dicatat sebagai suatu puncak yang dinyatakan dalam satuan massa dibagi muatan (m/e). Besarnya masing-masing puncak merupakan ukuran jumlah relatif ion dalam masing-masing komponen berkas ion. Spektrometer massa disini berfungsi sebagai detektor yang merekam pola fragmentasi menurut massanya (Creswell, 1982). 2.6 Kanker Kanker adalah suatu penyakit dimana terjadi pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali. Sel-sel kanker akan terus membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan, dan tidak lagi menuruti hukum-hukum pembiakan. Bila pertumbuhan ini tidak cepat dihentikan dan diobati maka sel kanker akan berkembang terus. Sel kanker akan tumbuh menyusup ke jaringan sekitarnya, dan tersebar ke tempat yang lebih jauh melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Selanjutnya akan tumbuh kanker baru di tempat lain sampai akhirnya menyebabkan kematian penderitanya. (Dalimartha, 1999). Menurut Franks L. M. dan Teich N. M. (1998), sel kanker itu timbul dari sel normal tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas, karena adanya mutasi spontan atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus terjadinya kanker). Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur 32 pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau suppressor gen (anti onkogen). Sedangkan paparan karsinogen antara lain berbagai jenis virus, bahan kimia dan radiasi, ultraviolet. Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki sifat biologis yang sama yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA. Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan perubahan DNA sel (Kresno, 2003). Apabila perbaikan DNA karena adanya perubahan DNA tersebut gagal, maka terjadi mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang mengendalikan pertumbuhan, serta penonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan timbulnya neoplasma ganas atau lebih dikenal dengan kanker (Kumar et al., 2003). Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu : a. Fase inisiasi : DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen (radikal bebas). Zat-zat inisiator ini mengganggu proses reparasi normal, sehingga terjadi mutasi DNA dengan kelainan pada kromosomnya. Kerusakan DNA diturunkan kepada anak-anak sel dan seterusnya. b. Fase promosi : zat karsinogen tambahan (co-crsinogens) diperlukan sebagai promotor untuk mencetuskan proliferasi sel. Dengan demikian, sel-sel rusak menjadi ganas. c. Fase progesi : gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas (Tjay, 2002). 33 2.6.1 Gambaran Umum Kanker Serviks Kanker leher rahim (kanker serviks) termasuk salah satu jenis kanker yang paling dapat dicegah dan paling dapat disembuhkan dari semua kasus kanker. Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan vagina (Diananda, 2007). Pada keadaan kanker, sel selaput lendir serviks mengadakan proliferasi (membelah dan tumbuh). Mulanya sel-sel membentuk susunan seperti bentuk kelenjar. Dengan permukaan seperti karet busa (spongioform) dan kaya akan pembuluh darah. Sel kanker serviks atau disebut juga sel HeLa terjadi akibat infeksi Human Papillomavirus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel serviks normal. Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Goodwin dan DiMaio, 2000). 2.6.2 Pengobatan Kanker Pengobatan Kanker dapat dilakukan secara medis maupun secara tradisional. Secara medis pengobatan kanker dilakukan dengan tiga cara yaitu pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Pengobatan tersebut ditujukan untuk menghilangkan sel kanker atau menghancurkannya dari tubuh. Pada umumnya 34 kombinasi lebih dari satu jenis pengobatan diperlukan. Sedangkan pengobatan secara tradisional menggunakan berbagai macam bahan-bahan dari alam, seperti tumbuh-tumbuhan (tanaman obat), hewan, mineral atau campuran dari bahanbahan tersebut yang belum mempunyai data klinis dan digunakan sebagai pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat antikanker dapat mempengaruhi proses kehidupan sel yang terdiri dari beberapa fase sebagai berikut (Diananda, 2007) : 1. Fase mitotik (M), fase terjadinya pembelahan aktif. Setelah ini terdapat dua alternatif : a. Menuju fase G1 dan memulai proses proliferasi b. Menuju fase istirahat (G0). Pada fase istirahat (G0) kemampuan sel berproliferasi hilang dan sel meninggalkan siklus secara tak terpulihkan 2. Fase post mitotik (G1) dimana pada fase ini terjadi sintesis ARN dan protein dan pada akhir terjadi sintesis ARN yang optimum 3. Fase sintetik (S), terjadi replikasi ADN sel 4. Fase post sintetik (G2), fase ini dimulai bila sel sudah menjadi tetraploid dan mengandung dua ADN, kemudian sintesis ARN dilanjutkan. Selanjutnya kembali ke fase mitotik. Obat antikanker digolongkan menjadi lima kelompok yaitu senyawa pengalkilasi, antimetabolit, antikanker produk alam, hormon dan golongan lainlain. 35 1. Senyawa pengalkilasi merupakan senyawa reaktif yang dapat mengalkilasi ADN, ARN dan enzim-enzim tertentu 2. Antimetabolit yaitu senyawa yang dapat menghambat jalur metabolik untuk kehidupan dan reproduksi sel kanker. Berdasarkan sifat antagonismenya dibagi menjadi antagonis pirimidin, antagonis purin, antagonis asam folat dan antagonis asam amino. 3. Antikanker bahan alam adalah senyawa yang dihasilkan dari produk alam dan memiliki khasiat sebagai antikanker. Antikanker produk alam terbagi menjadi antibiotika antikanker, antikanker produk tanaman dan antikanker produk hewan. 4. Hormon biasanya digunakan sebagai pengobatan tambahan setelah pembedahan, dikombinasikan dengan antikanker lainnya. 5. Golongan lain-lain merupakan golongan obat lain yang telah umum digunakan dalam terapi kanker contohnya mitotan, sisplatinum, hidroksiurea, mikosantron, dan asam klordonat (Diananda, 2007). 2.7 Uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach Salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik adalah dengan uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach. Metode ini sering digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak sampel karena murah, cepat, dan dapat dipercaya. Lebih dari itu uji larva udang ini dapat juga digunakan untuk skrining awal terhadap senyawasenyawa yang diduga berkhasiat sebagai antikanker. Dengan kata lain uji ini 36 sering mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antikanker (Meyer et al., 1982). Uji toksisitas larva udang merupakan salah satu pengujian toksisitas yang cepat, aman, praktis dan ekonomis untuk skrining, fraksinasi dan penentuan bioaktivitas senyawa bahan alam. Pengembangan metode ini didasarkan pada sifat khas dari larva tersebut yang dapat menerima segala jenis zat dan bahan tanpa seleksi terlebih dahulu, pengerjaannya mudah, cepat serta menggunakan sampel yang relatif sedikit. Selain digunakan sebagai pendeteksi komponen yang dapat membunuh kanker maupun hama, metode ini dapat juga digunakan sebagai metode penapisan awal untuk menemukan komponen antikanker pada tumbuhan tingkat tinggi (Mclaughlin, 1991 dan Meyer, 1982). Uji ini menggunakan larva Artemia Salina L. yang telah berumur 48 jam yang diuji pada konsentrasi ekstrak 10 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm selama 24 jam. Hasil kematian larva udang kemudian dihitung dengan analisis probit dan diperoleh hasil akhir yang dinyatakan sebagai harga median lethal concentration (LC50). LC50 merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% larva. Apabila LC50 kurang dari 1000 ppm, maka dikatakan mempunyai potensi sebagai antikanker (Steven, 1993 dan Meyer et al, 1982). 2.8 Uji in vitro terhadap Sel HeLa Pengujian aktivitas antikanker secara in vitro dilakukan dengan mengujikan senyawa terhadap selsel kanker baik yang diinduksi pada hewan maupun yang diisolasi dari penderita kanker. Salah satu kultur mamalia yang 37 sering digunakan dalam pengujian aktivitas antikanker secara in vitro ialah sel HeLa (Rodriguez dan Haun, 1999 dalam Hidayat, 2002; Indrawati, 1999). Sel Hela adalah sel yang berasal dari sel-sel kanker serviks yang diambil dari seorang penderita kanker serviks bernama Henrietta Lacks. Sel ini bersifat imortal dan produktif sehingga banyak digunakan dalam penelitian ilmiah (Rahbari et al., 2009; Capes et al., 2010; Watts and Denise, 2010). Sel HeLa melakukan proliferasi dengan sangat cepat dibandingkan dengan sel kanker lainnya. Sel HeLa dapat digunakan untuk tes antitumor, transformasi, uji tumorigenesis, biologi sel, dan invasi bakteri. Sel ini secara morfologi merupakan sel epiteial yang sudah dimasuki oleh Human Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini sangat agresif sehingga mudah untuk dikultivasi tetapi sel ini mudah menginvasi kultur sel lain (Amalia, 2008). Gambar sel HeLa dapat dilihat pada Gambar 2.18 Gambar 2.18 Sel Hela Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi Human Papillomavirus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel 38 leher rahim normal. Sel kanker leher rahim yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker. Sebagian besar sel kanker leher rahim, termasuk sel HeLa mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Sehingga gen pengatur pertumbuhan yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel kanker leher rahim tetapi aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV (Goodwin dan Dimaio, 2000). Sel HeLa dapat tumbuh dengan agresif dalam media kultur. Media yang digunakan pada sel HeLa adalah RPMI 1640 serum. Media RPMI mengandung isi yang dibutuhkan sel seperti asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa. Serum mengandung hormon yang memacu pertumbuhan sel, albumin yang merupakan protein transport, lipid yang diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral yang merupakan kofaktor enzim. Seluruh komponen dalam media RPMI-serum tersebut berguna untuk memberikan nutrisi yang cukup pada sel untuk tetap bertahan hidup dan memperbanyak diri (Amalia, 2008).