TINJAUAN PUSTAKA Saluran Pencernaan Ikan dan Kebiasaan Makanan Ikan Bandeng Alat pencernaan ikan terdiri atas saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Pada umumnya saluran pencernaan berupa segmen-segmen, yaitu mulut, rongga mulut, faring, esofagus, lambung, pilorus, usus, rektum, dan anus (Affandi et al. 2005). Berdasarkan struktur anatomis ditemukan pada alat struktur kebiasaan makanan terlihat perbedaan pencernaan ikan. tapis insang, Perbedaan struktur gigi yang menyolok pada rongga mulut, keberadaan dan bentuk lambung, serta panjang usus. Tapis insang pada ikan herbivora banyak, panjang, dan rapat, sementara pada ikan omnivora sedang, dan pada ikan karnivora sedikit, pendek, dan kaku. Rongga mulut pada ikan herbivora sering tidak bergigi, sementara pada ikan omnivora bergigi kecil, dan pada ikan karnivora umumnya bergigi kuat dan panjang. Ikan herbivora berlambung palsu atau tidak berlambung, sementara ikan omnivora berlambung dengan bentuk kantong, dan ikan karnivora berlambung dengan bentuk bervariasi. Usus ikan herbivora sangat panjang beberapa kali panjang tubuhnya, sementara pada ikan omnivora sedang 2 sampai 3 kali panjang tubuh, dan pada ikan karnivora pendek, kadang lebih pendek dari panjang tubuhnya. Organ hati dan pankreas adalah kelenjar pencernaan yang mensekresikan bahan yang kemudian digunakan dalam proses pencernaan makanan. Bahan hasil sekresi kedua organ tersebut akan masuk ke usus melalui ductus choledochus dan ductus pankreaticus. Adanya hubungan antara kelenjar pencernaan dan usus depan maka letak kelenjar tersebut berada di sekitar usus depan dan lambung. Keasaman (pH) lambung pada saat lambung kosong (tidak ada makanan) berkisar antara 4 dan 7,4; sedangkan pada saat penuh berkisar antara 2,2 dan 2,8 (Nikolsky 1963). Keasaman (pH) usus adalah netral atau hampir alkalis, yaitu antara 6 dan 8. Pada ikan grass carp pH berkisar antara 7,4 dan 8,5 pada usus bagian anterior, pada bagian pertengahan berkisar antara 7,2 dan 7,6; dan di bagian posterior sekitar 6,8 (Hickling 1960 dalam Opusynski dan Shireman 1994). Spesies lain dari ikan laut dengan pH usus berkisar antara 6,1 dan 8,6 (Horn 1989 dalam Opuszynski dan Shireman 1994). 8 Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan bandeng termasuk ikan herbivora yang bertendensi omnivora, yang mempunyai mulut yang tidak bergigi dengan usus yang sangat panjang, beberapa kali panjang tubuhnya (Bagarinao 1992). Pada waktu larva, ikan bandeng tergolong karnivora yang memakan zooplankton, kemudian pada ukuran fry menjadi omnivora yang memakan zooplankton, diatom, dan bentos kecil, dan selanjutnya pada ukuran juvenil termasuk ke dalam golongan herbivora yang memakan algae filamin, algae mat, detritus, bentos kecil, dan bisa mengkonsumsi pakan buatan berbentuk pellet. Setelah dewasa, ikan bandeng berubah menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi algae mat, algae filamin, zooplankton, bentos lunak, dan pakan buatan berbentuk pellet. Enzim Pencernaan Enzim adalah katalisator biologis dalam reaksi kimia yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Enzim adalah protein yang disintesis di dalam sel dan dikeluarkan dari sel penghasilnya melalui proses eksositosis. Enzim yang disekresikan ke luar digunakan untuk pencernaan di luar sel (di dalam rongga pencernaan) atau disebut extracelluler digestion, sedangkan enzim yang dipertahankan di dalam sel digunakan untuk pencernaan di dalam sel itu sendiri atau disebut intracelluler digestion (Affandi et al. 2005). Enzim pencernaan yang disekresikan dalam rongga pencernaan berasal dari sel-sel mukosa lambung, pilorik kaeka, pankreas, dan mukosa usus. Oleh karena itu, perkembangan sistem pencernaan erat kaitannya dengan perkembangan aktivitas enzim di dalam rongga saluran pencernaan (Walford dan Lam 1993). Enzim-enzim tersebut berperan sebagai katalisator dalam hidrolisis protein, lemak, dan karbohidrat menjadi bahan-bahan yang sederhana. Sel-sel mukosa lambung menghasilkan enzim protease dengan suatu aktivitas proteolitik optimal pada pH rendah. Pilorik kaeka yang merupakan perpanjangan usus terutama mensekresikan enzim yang sama seperti yang dihasilkan pada bagian usus, yaitu enzim pencernaan protein, lemak, dan karbohidrat yang aktif pada pH netral dan sedikit basa. Cairan pankreas kaya akan tripsin, yaitu suatu protease yang aktivitasnya optimal sedikit di bawah alkalis, di samping itu cairan ini juga mengandung amilase, maltase, dan lipase. Pada ikan yang tidak memiliki lambung dan pilorik 8 9 kaeka, aktivitas proteolitik terutama berasal dari cairan pankreas. Beberapa h`asil studi menunjukkan bahwa komposisi cairan pencernaan berhubungan dengan makanan yang dimakan oleh suatu spesies ikan. Enzim berperan dalam mengubah laju reaksi sehingga kecepatan reaksi yang diperlihatkan dapat dijadikan ukuran keaktivan enzim. Satu unit enzim adalah jumlah enzim yang mengkatalisis transformasi 1 mikromol substrat dalam waktu 1 menit pada suhu 25°C dan pada keadaan pH optimal. Aktivitas enzim bergantung pada konsentrasi enzim, substrat, suhu, pH, dan inhibitor. Huisman (1976) menyatakan bahwa enzim pencernaan yang dihasilkan oleh lambung ikan aktif pada pH 2 sampai 4. Hasil penelitian Adi (2000) menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk aktivitas enzim pada lambung ikan gurame adalah pada suhu inkubasi 22°C dengan pH lambung 5, sedangkan pada usus dengan suhu inkubasi 23°C dan pH 7 sampai 8,5. Aktivitas enzim pencernaan adalah suatu indikator yang baik untuk menentukan kapasitas pencernaan. Aktivitas enzim yang tinggi secara fisiologis mengindikasikan bahwa larva siap untuk memproses pakan dari luar (Gawlicka et al. 2000). Aktivitas enzim pencernaan meningkat dengan meningkatnya umur larva. Peningkatan ini disebabkan oleh semakin sempurnannya organ penghasil enzim. Akan tetapi, untuk beberapa jenis enzim akan menurun sesuai dengan kebiasaan makanan dari ikan (Infante dan Cahu 2001). Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Haryati (2002) ada keterkaitan antara aktivitas enzim pencernaan dan perkembangan struktur organ pencernaan dan kebiasaan makanan dari ikan bandeng. Pada saat struktur anatomis dan histologis alat pencernaan belum sempurna, enzim endogen yang disekresikan sangat sedikit. Hal ini dicerminkan oleh aktivitas enzim pepsin, tripsin, a-amilase dan lipase yang sangat rendah. Dengan bertambahnya umur larva, struktur anatomis organ pencernaan semakin sempurna hingga mencapai fase definitif. Setelah mencapai bentuk definitif, produksi enzim pencernaan sudah cukup tinggi sehingga ikan mampu mencerna pakan yang tidak mengandung enzim. Aktivitas enzim a-amilase terus meningkat dengan meningkatnya umur, sedangkan aktivitas enzim lipase dan tripsin menurun pada saat larva umur 35 hari. Penurunan aktivitas enzim protease diduga karena adanya perubahan dalam kebiasaan makanan, yaitu dari karnivora menjadi 9 10 omnivora. Aktivitas enzim a-amilase yang terus meningkat dengan bertambahnya umur ikan menunjukkan memanfaatkan karbohidrat. peningkatan kemampuan ikan untuk dapat Hal ini berhubungan dengan kebiasaan makanan selama siklus hidup ikan tersebut. Larva ikan bandeng memasuki stadia transisi pada umur 28 hari dan menjadi juvenil setelah berumur 35 hari (Villaluz dan Unggui 1983). Pada umur tersebut ikan bandeng bersifat omnivora dan dapat memanfaatkan karbohidrat lebih besar dibandingkan stadia sebelumnya. Studi tentang perkembangan enzim pencernaan larva ikan bandeng telah dilakukan oleh Haryati (2002), dan ditemukan bahwa aktivitas enzim pepsin, tripsin, lipase, dan a-amilase meningkat sejalan dengan peningkatan umur dan ukuran tubuh. Peningkatan relatif terbesar aktivitas enzim a-amilase dan lipase terjadi pada saat larva berumur 10 hari, sedangkan aktivitas enzim tripsin terjadi pada umur 15 hari. Sampai umur 30 hari aktivitas maksimum enzim pepsin masih belum tercapai. Oleh sebab itu, pakan buatan hanya dapat diberikan pada umur tertentu, yaitu pada umur 15 hari larva secara fisiologis sudah siap untuk mencerna pakan buatan Studi aktivitas enzim lipase pada ikan bandeng telah dilakukan oleh Borlongan (1990). Organ pencernaan utama yang mensekresikan lipase adalah usus, pankreas, dan pilorik kaeka. Secara umum, ikan yang mendapatkan pakan berupa uniseluler dan diatom (kandungan lemak kasar 1,98%) mempunyai aktivitas lipase yang lebih tinggi pada organ-organ utama yang mensekresikan enzim tersebut dibandingkan dengan yang diberi pakan alga hijau berfilamen (kandungan lemak kasar 0,98%). Dapat disimpulkan bahwa ikan bandeng secara efektif dapat mencerna lemak dan organ pencernaan dapat beradaptasi terhadap tingkat lemak dalam pakan. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas enzim berkorelasi dengan komposisi pakan yang dikonsumsi. Kemampuan ikan untuk mencerna suatu jenis ma kanan bergantung pada faktor fisik dan kimia makanan, jenis makanan, umur ikan, sifat fisik dan kimia air, serta jumlah enzim pencernaan dalam sistem pencernaan (NRC 1988). Enzim karbohidrase, protease, dan lipase mempengaruhi pencernaan makanan di usus anterior. Protease merupakan enzim yang berperan dalam hidrolisis protein. 10 11 Enzim yang paling banyak berperan dalam hidrolisis karbohidrat ialah amilase seperti yang ditunjukkan oleh ikan mas (Zonneveld et al. 1991). Aktivitas enzim sangat mempengaruhi kecernaan dan bervariasi menurut umur ikan, keadaan fisiologis dan musim, serta berkorelasi positif dengan kebiasaan makanan ikan (Kuzmina 1996). Aktivitas enzim amilase dalam saluran pencernaan ikan secara umum lebih rendah dibandingkan dengan pada manusia dan hewan terestrial. Aktivitas enzim amilase pada ikan karnivora lebih rendah dibandingkan dengan pada ikan omnivora dan herbivora (Furuichi 1988). Dengan demikian, kemampuan ikan mencerna karbohidrat sangat rendah terutama pada ikan karnivora. Hasil percobaan pada ikan red seabream yang diberi pakan dengan level karbohidrat berbeda, yaitu 0, 10, 30, dan 40% menunjukkan bahwa rata-rata berat tubuh dan nilai efisiensi pakan yang terbaik ditemukan pada level karbohidrat 10%, yang kemudian diikuti oleh level karbohidrat 0, 30% dan terendah pada level 40%. Kecernaan suatu makanan bervariasi menurut spesies ikan. Secara umum kecernaan protein mulai dari 70 sampai 90%, karbohidrat bervariasi dari 15 sampai 40%, dan untuk selulosa sekitar 1% (Zonneveld et al. 1991). Hasil penelitian Murni (2004) pada ikan gurame yang tidak mendapatkan probiotik menunjukkan bahwa kecernaan protein, lemak, dan total secara berturutturut adalah 60,5; 62,8; dan 20,6%. Pada ikan gurame yang mendapatkan penambahan probiotik Bacillus sp. dengan dosis 10 mL/kg pakan ditemukan peningkatan kecernaan protein, lemak, dan total masing-masing sebesar 85,2; 84,9; dan 67,7%. Keberadaan enzim dalam pakan ikan akan meningkatkan daya cerna bahan makanan. Enzim eksogenik (yang berasal dari ma kanan) sangat berarti bagi pertumbuhan larva atau benih ikan yang mekanisme sekresinya belum berkembang (Hepher 1990). Hidrolisis pakan udang penaied dengan ekstrak enzim pencernaan udang pada konsentrasi 1 mL/10 g pakan menghasilkan derajat hidrolisis protein berkisar dari 23,20 sampai 33,99% (Lemos et al. 2000). Enzim papain dengan konsentrasi 1,3 sampai 1,7% dan lama inkubasi 60 menit untuk menghidrolisis pakan ikan gurame (kadar protein 40% dan C/P pakan 8 kkal/g protein) menghasilkan derajat hidrolisis mulai dari 0,071 sampai 4,07%. Adapun pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan gurame yang diberi pakan yang telah 11 12 dihidrolisis sejak 25 hari setelah menetas lebih baik dari kontrol (Hasan 2000). Hidrolisis pakan kompleks (protein 41,1% dan lemak 19,5%) oleh enzim pepsin (dosis 7%) dengan lama inkubasi 3 jam menghasilkan derajat hidrolisis protein sebesar 80,16%. Pada hidrolisis pakan kompleks oleh enzim pepsin yang dilanjutkan oleh enzim pankreatin (dosis 10%) dengan lama inkubasi 6 jam menghasilkan derajat hidrolisis protein sebesar 82,04% (Rosmawati 2004). Pemberian enzim papain dalam pakan ikan gurame dapat mengefisienkan penggunaan energi untuk metabolisme (Aslamyah et al. 2003). Penambahan enzim lipase mikrobial dalam pakan tidak berpengaruh pada pertumbuhan ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Hal ini demikian karena lemak bukan merupakan nutrien utama yang digunakan oleh ikan, baik untuk pertumbuhan maupun sebagai sumber energi (Samuelsen et al. 2001). Predigestion pakan dengan menggunakan a-amilase komersil dengan dosis = 50 mg/kg pakan mampu meningkatkan pengurangan kadar gula pakan dibandingkan kontrol dan meningkatkan kecernaan karbohidrat pakan ikan perch silver fase juvenil (Stone et al. 2003a) Pemanfaatan bakteri remedian bakteri Bacillus sp. pada pemeliharaan larva udang windu memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan udang karena bakteri dan enzim yang dihasilkannya akan ikut termakan dan membantu proses pencernaan di dalam saluran pencernaan udang (Handayani et al. 2000). Dalam saluran pencernaan ikan terdapat bakteri yang menghasilkan enzim pencernaan yang dapat merombak nutrien makro yang masuk melalui pakan untuk kebutuhan bakteri itu sendiri dan memudahkan diserap oleh ikan (Lagler 1977 dalam Gatesoupe 1999). Kebutuhan Nutrisi Ikan Bandeng Kandungan nutrisi yang baik untuk ikan secara umum adalah mulai dari 20 sampai 60% protein, 4 sampai 8% lemak, dan karbohidrat sampai 30% (Hasting 1976). Menurut Jangkaru dan Djajadiredja (1976) kandungan protein 30 sampai 40% dan karbohidrat 10 sampai 20%. Furuichi (1988) mengemukakan bahwa dari beberapa studi kadar optimum karbohidrat pakan untuk ikan golongan karnivora adalah 10 sampai 20% dan golongan omnivora adalah 30 sampai 40%. 12 13 Pertumbuhan ikan bandeng muda yang terbaik adalah pada pemberian pakan buatan dengan komposisi protein, lemak, vitamin mix, mineral mix, dan karbohidrat secara berturut-turut adalah 60, 10, 4, 10, dan 16% (Lee dan Liao 1976). Kadar protein yang optimal adalah sebesar 40% untuk pertumbuhan benih ikan bandeng (bobot rata-rata 40 mg) yang dipelihara di laut. Pertambahan bobot benih ikan yang dicapai adalah sebesar 0,135 g dan tingkat kelangsungan hidup 60% selama 30 hari pemeliharaan (Lim et al. 1979). Santiago et al. (1983) juga mengemukakan hal yang sama bahwa kandungan protein 40% mencukupi untuk pertumbuhan benih ikan bandeng (panjang rata-rata 13 mm, bobot 15 mg) yang dipelihara di air tawar. Pertambahan bobot yang dicapai sebesar 0,16 sampai 0,18 g dan tingkat kelangsungan hidup 63 sampai 93% setelah dipelihara selama 5 minggu. Haryati (2002) menggunakan pakan buatan pada larva ikan bandeng umur 15 hari dengan komposisi protein, lemak, serat kasar, BETN, dan abu secara berturut-turut adalah 45,31; 12,88; 10,84; 21,67; dan 9,30%. Kebutuhan lemak total untuk pertumbuhan juvenil ikan bandeng adalah sebesar 7 sampai 10% (Alava dan Cruz 1983 dalam Borlongan dan Coloso 1992). Ikan bandeng juvenil membutuhkan asam lemak esensial n-3 sebesar 1,0% sampai 1,5% (Borlongan 1990). Pakan yang mengandung asam lemak yang berbeda, yaitu 18:1n-9, 18:2n-6, 18:3n-3, 20:4n-6, dan n-3 HUFA masing-masing sebesar 1% memberikan respons yang sama terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng juvenil yang dipelihara di air payau (Alava dan Kanazawa 1996). Kebutuhan asam amino pertumbuhan juvenil ikan bandeng esensial (% protein) bagi adalah arginin 5,2; histidin 2,0; isoleusin 4,0; leusin 5,1; lisin 4,0; metionin + sistin 3,2; fenilalanin + tirosin 5,2; threonin 4,6; triptofan 0,6; dan valin 3,6 (Borlongan dan Coloso 1992). Mikrob Saluran Pencernaan Ikan Migita dan Hashimoto (1949) dalam Opuszynski dan Shireman (1994) menemukan aktivitas selulase pada Carassius auratus. Stickney dan Shumway (1974) dalam Clarke dan Bauchop (1977) mengamatan pada 62 spesies dari 35 famili ikan elasmobranchi dan teleost. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 17 spesies memperlihatkan aktivitas sellulase dalam usus, dan aktivitas sellulase ini 13 14 berhubungan dengan kebiasaan memakan detritus. Selulase diproduksi oleh mikroflora di dalam usus. Shcherbina dan Kazlauskene (1971) dalam Opuszynski dan Shireman (1994) menemukan selulase endogen dan selulase mikrobial pada usus ikan mas Clarke dan Bauchop (1977). Ujicoba 2 kelompok ikan lele, kelompok pertama tidak diberi makan selama 5 hari, aktivitas sellulase masih ditemukan pada saluran pencernaannya. Kelompok kedua diberi makan yang mengandung streptomisin 200 mg/L selama 24 hari. Hasil percobaan memperlihatkan di dalam saluran pencernaan ikan uji bebas enzim sellulase. Hal ini menunjukkan bahwa sellulase dihasilkan oleh mikroorganisme yang sensitif dengan streptomisin dalam sistem pencernaan ikan (Clarke dan Bauchop 1977). Das dan Tripathi (1991) melaporkan penurunan aktivitas sellulase ketika ikan karper rumput diberi pakan yang mengandung tetrasiklin. Cherac quadricarinatus yang diberi pakan yang mengandung 100 IU/ mL penicillin G. dan 100 mg/mL streptomisin per kg pakan selama 8 hari menunjukkan terjadi penurunan aktivitas enzim sellulase pada saluran pencernaan sebanyak 40%, serta penurunan populasi bakteri sebanyak 94% dibandingkan kontrol (Xue et al. 1999). Enzim sellulase mikrobial yang ditemukan pada saluran pencernaan Cherac quadricarinatus berasal dari kehadiran material detritus di dalam kolam Usus beberapa spesies ikan laut banyak mengandung bakteri halofilik (Clarke dan Bauchop 1977). Bakteri barofilik telah diisolasi dari usus ikan laut dalam, dengan metode Dorayaki yang menggunakan agar laut di bawah tekanan in situ (Nakayama et al. 1994). Duapuluh delapan spesies Eubacterium yang merupakan bakteri anaerob, sudah diisolasi dari hewan mamalia, binatang mengerat, burung dan ikan. Eubacterium nitrogenous telah ditemukan dalam usus ikan mas (Clarke dan Bauchop 1977). Aeromonas sp. diidentifikasi pada 6 jenis ikan air tawar yaitu Cyprinus carpio, Carassius auratus, Tilapia sp., Plecoplossus aiuvelis, Ictalurus puctatus dan Oncorhynchus mykiss (Sugita et al. 1994). Aeromonas salmocida dideteksi dalam mukus ikan-ikan salmon (Cipriano et al. 1992). Aeromonas sp., Plesiomonas sp. dan beberapa famili Enterobanteriaceae adalah bakteri anaerob fakultatif dominan dan banyak terdapat pada ikan air tawar, bersifat patogen dan berhubungan dengan kesehatan ikan (Sakata dan Yuki 1991). 14 15 Genus Lactobacillus telah ditemukan pada saluran pencernaan 42 ekor ikan mas dari 65 ekor ikan mas yang digunakan sebagai sampel. Setiap segmen dari saluran pencernaan ikan dipisahkan dan ditemukan Laktobacilli pada 24 ekor pada segmen depan, 25 ekor segmen tengah dan 25 ekor segmen belakang. Distribusi strain Laktoflora dalam saluran pencernaan dibagi dalam 3 grup ikan, yaitu grup I, 12 dari 42 ekor ditemukan asam laktat bacilli; grup II, 38 dari 42 ekor ditemukan Lactobacilli fakultatif heterofermentatif; dan grup III, 16 dari 42 ekor ditemukan Lactobacilli (Jankauskiene 2002). Selanjutnya, strain Lactobacillus tersebut diuji aktivitas antagonis dengan mikrob patogen dalam usus ikan tersebut, yaitu Aeromonas hydrophila Subsp. anaerogenes ATCC 15468, Aeromonas hydrophila Subsp. hydrophila ATCC 7966, Aeromonas sobria cip. 7433, Pseudomonas fluorescens 83, Pseudomonas fluorescens 6, Pseudomonas fluorescens 90. Dari 168 strain Lactobacillus yang diamati 165 dideteksi mempunyai aktivitas antagonis. Hasil percobaan menunjukkan bahwa Lactobacillus mampu menghalangi reproduksi dan invasi mikrob patogen Pseudomonas fluorescens 90 sebesar 93,44%, sedangkan Lactobacillus case dan Lactobacillus plantarum paling kuat kandungan antimikrobnya sebesar 88,67%. Hal ini menjelaskan kemampuan strain laktoflora untuk berpartisipasi dalam formasi kolonisasi, resistansi, dan mekanisme perlindungan. Menurut Austin dan Al-Zahrani (1988); Gatesoupe (1994); Gildberg et al. (1997) dalam Jankaukiene (2002), kemampuan tersebut berhubungan dengan kemampuan Lactobacillus menghasilkan bakteriosin yang dapat menghalangi pertumbuhan mikrob patogen dalam usus ikan. Mikroorganisme dari isi saluran pencernaan ikan flounder (Paralichtys olivacus) telah diisolasi sebanyak 199 jenis, dari jumlah tersebut terpilih Weissella hellenica DS-12 sebagai kandidat probiotik karena mempunyai aktivitas antimikrob yang sempurna terhadap mikrob patogen dan dapat meningkatkan pertumbuhan flounder (Tae 2003). Strain Carnobacterium sp. yang diisolasi dari saluran pencernaan ikan salmon atlantik, dapat digunakan sebagai probiotik dalam budi daya ikan-ikan salmon atlantik dan rainbow trout (Robertson et al. 2000). Berdasarkan kriteria fisiologisnya, telah diindentifikasi 504 jenis total mikroflora saluran pencernaan ikan rainbow trout. Dari jumlah tersebut, 153 strain telah 15 16 ditentukan urutan gen 16S rRNA. Mikrob yang dominan adalah dari subklas Gamma-Proteobacteria (genera Citrobacter, Aeromonas, dan Pseudomonas), bakteri gram positif dengan G + C rendah (genus Carnobacterium) dan subklas Beta-Proteobacteria (Spanggaard et al. 2000). Sembilanbelas spesies mikroflora telah diidentifikasi pada media kolam air tawar, sedimen, insang, dan saluran pencernaan ikan tilapia. Komposisi bakteri pada air kolam dan sedime n mempengaruhi komposisi bakteri pada insang dan saluran pencernaan ikan. Komposisi tersebut didominasi bakteri rod gram negatif (87%), yaitu Aeromonas hydrophila, Bacillus sp., Burkholderia sp., Chryseomonas sp., Pasteurella pnemotropica, Photobacterium sp., Pseudomonas sp., Serratia liguefaciens, Shewanella putrefaciens, Staphylococcus sp., Streptococcus sp., Vibrio alginolyticus, V. cholerae, V. carchariae, V. fluvialis, V. furnissii, V. parahaemolyticus, Vibrio sp. V. vulnificus dan gram negatif rod tidak teridentifikasi (Al-Harbi dan Uddin 2005). Suhu adalah salah satu variabel yang paling utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Suhu dalam rumen domba dan sapi mulai dari 39 sampai 40oC dan selama fermentasi aktif bisa mencapai 41oC. Suhu yang tetap dan tinggi dalam usus hewan mamalia sangat menguntungkan mikrob yang tinggal di sana dibandingkan dengan yang tinggal dalam saluran pencernaan hewan poikilotermik dengan suhu tubuh berfluktuasi menurut suhu lingkungan (Hungate 1966). Tingkat pencernaan pada beberapa spesies ikan 5 sampai 10 kali lebih tinggi pada suhu 25oC dibandingkan pada suhu 5oC (Molnar dan Tolg 1962; Fabian et al. 1963 dalam Clarke dan Bauchop 1977). Dengan demikian, pada beberapa isolasi mikrob saluran pencernaan ikan digunakan suhu 25oC. Hishono et al. (1997) mengisolasi Pseudomonas sp. dari usus ikan untuk memproduksi enzim protease pada suhu rendah. Hasil yang terbaik diperoleh pada suhu 5 dan 10oC. Suhu inkubasi kultur mikrob yang digunakan Tae (2003) adalah 37oC selama 24 jam untuk media TS, BL, EG dan LBS 37oC selama 3 hari, sedangkan probiotik Weissella hellenica DS-12 dikultur pada suhu 30oC selama 16 jam. Xue et al. (1999) menggunakan suhu 30oC selama 24 jam, dengan pH media 6,8 untuk kultur bakteri pada saluran pencernaan Cherac quadricarinatus. 16 17 Fase pertumbuhan mikrob terdiri atas 4 fase. Fase I adalah fase pertumbuhan lamban atau lag, yang mempunyai kriteria tidak ada pertambahan populasi, sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan ukurannya bertambah, serta substansi intraselular bertambah. Fase II adalah fase logaritma atau eksponensial, yang mempunyai kriteria sel membelah dengan laju yang konstan, massa menjadi dua kali lipat dengan laju sama, aktivitas metabolik konstan dan keadaan pertumbuhan seimbang. Fase III adalah fase statis, yang mempunyai kriteria penumpukan produk beracun dan atau kehabisan nutrien, beberapa sel mati, sedangkan yang lain tumbuh dan membelah, jumlah sel hidup menjadi tetap. Fase IV adalah fase kematian atau penurunan dengan kriteria sel menjadi mati lebih cepat dari pada terbentuknya sel-sel baru, laju kematian mengalami percepatan menjadi eksponensial, semua sel mati dalam waktu beberapa hari atau beberapa bulan bergantung pada spesies mikrob. Berdasarkan kriteria tersebut, panen sel mikrob yang tepat untuk memproduksi suatu produk atau senyawa metabolit adalah pada fase akhir logaritma atau eksponensial (Pelczar dan Chan 1988). Berdasarkan kebutuhan akan oksigen mikroorganisme dapat dibedakan menjadi 3 grup. Kelompok pertama adalah mikrob aerob, yaitu mikroorganisme yang dapat tumbuh jika terdapat oksigen di lingkungannya. Oksigen diperlukan karena energi hanya dapat diperoleh melalui respirasi aerobik, seperti halnya hewan dan manusia. Kelompok kedua adalah mikroorganisme yang tidak memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, pertumbuhannya dihambat dengan adanya oksigen, bahkan di antaranya sangat sensitif dan akan mati. Mikroorganisme ini dapat memperoleh energi melalui proses fermentasi dan respirasi anaerobik. Kelompok ketiga adalah mikrob fakultatif, yaitu mikroorganisme yang dapat tumbuh tanpa atau dengan adanya oksigen. Kebutuhan energi dapat dipenuhinya bergantung pada kondisi lingkungan yang ada (Fardiaz 1992). Aplikasi Mikrob sebagai Probiotik di Bidang Perikanan Penelitian pemanfaatan mikrob dalam upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan budi daya perikanan telah banyak dilakukan, sedangkan 17 18 pemanfaatan mikrob untuk meningkatkan pertumbuhan belum banyak dilaporkan (Haryanti et al. 1999). Pakan yang telah dicampur bakteri untuk produksi larva udang telah dipasarkan, tetapi belum ada laporan tertulis tentang hasilnya . Pemberian pakan yang mengandung 1 kg premix Weissella hellenica DS- 12 per ton pakan komersil (mengandung 4,2 sampai 4,8 x 10 9 sel Weissella hellenica DS-12/g premix) dapat meningkatkan pertumbuhan ikan flounder (Tae 2003). Pada ikan salmon (salmon Atlantik dan rainbow trout) yang diberi pakan yang mengandung probiotik Carnobacterium sp. dengan konsentrasi 5 x 1010 sel/kg pakan, isolat dapat hidup dengan baik dalam saluran pencernaannya. Empat belas hari setelah pemberian tantangan dengan mikrob patogen menunjukkan efektivitas pengurangan penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas salmonicida, Yersinia ruckeri dan Vibrio ordalii, tetapi tidak yang disebabkan oleh Vibrio Anguillarum (Robertson et al. 2000). Penambahan bakteri probiotik Bacillus sp. dalam pakan buatan pada pertumbuhan ikan gurame telah dilaporkan oleh Irawan (2000). Dosis yang digunakan adalah : 1,0 x 10 9, 1,5 x 10 9, 2,0 x 10 9, 2,5 x 10 9, 3,0 x 10 9 cfu/100 g pakan dan kontrol. Hasil yang diperoleh pada percobaan tersebut adalah setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan, tetapi nyata lebih baik dari kontrol. Hasil penelitian Murni (2004) menunjukkan bahwa penambahan probiotik Bacillus sp. dalam pakan buatan dapat meningkatkan kecernaan, efisiensi pakan, dan pertumbuhan ikan gurame dengan dosis optimal adalah 10 mL/kg pakan dan kepadatan bakteri 4,2 x 104 cfu/mL. Tiga bentuk probiotik Bacillus sp., yaitu sel segar (3,0 x 1013 cfu/g), sel segar dalam normal saline solution (3,4 x 1010 cfu/mL) dan sel liofilis (5 x 1012 cfu/g), ditambahkan ke pakan dengan perbandingan 3 : 1, pertumbuhan dan survival udang windu (Penaeus monodon) nyata lebih tinggi dari udang windu kontrol, tetapi tidak ada perbedaan antarperlakuan tiga bentuk probiotik (Rengpipat et al. 1998, 2000). Bacillus sp. 1,0 x 109, 1,5 x 10 9, 2,0 x 10 9, 2,5 x 109, dan 3,0 x 109 cfu/mL/100 g pakan tidak menunjukkan perbedaan pada pertumbuhan ikan gurame, tetapi lebih baik dari kontrol (Irawan 2000). Ali (2002) melaporkan Bakterial Mixture (Add-B) yang merupakan campuran 4 tipe bakteri gram negatif dari famili Rhodospirillaceae, yaitu Rhodosspirillum rubrum, Rhodopseudomonas viridis, Rhodopseudomonas 18 19 palustris dan Rhodomicrobium vanniellii, dengan dosis pemberian 64 ppm (1 ppm = 4,2 x 10 8) dalam media pemeliharan mampu meningkatkan pertumbuhan dan survival Salvelinus alpinus, yaitu tingkat pertumbuhan rata-rata 0,90%/hari, dibandingkan ikan kontrol dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 0,75%/hari. Menurut Verschuere et al. (2000) aplikasi mikrob di bidang perikanan lebih mengarah ke fungsinya sebagai agen kontrol biologi (Tabel 1). Probiotik Probiotik telah didefinisikan dalam beberapa cara bergantung pada pemahaman tentang mekanismenya dalam memberikan pengaruh bagi kesehatan dan kehidupan organisme. Istilah probiotik pertama kali dicetuskan untuk mendeskripsikan senyawa yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat menstimulir pertumbuhan mikroorganisme lain. Selanjutnya definisi probiotik berkembang menjadi organisme dan senyawa yang dapat menghasilkan keseimbangan mikroflora dalam usus. Menurut Lilley dan Stillwel (1965) probiotik menggambarkan substansi yang disekresi oleh suatu mikroorganisme yang merangsang pertumbuhan mikroorganisme lainnya Dikatakan pula bahwa probiotik merupakan lawan antibiotik. Parker (1972) mendefinisikan probiotik sebagai organisme beserta substansinya yang dapat mendukung keseimbangan mikrob dalam saluran pencernaan. Matthews (1988) mengemukakan bahwa probiotik adalah mikroorganisme hidup dalam bentuk kering yang mengandung media tempat tumbuh dan produksi metabolismenya. Menurut Fuller (1992), probiotik merupakan makanan tambahan dalam bentuk mikrob hidup, yang memberi pengaruh menguntungkan bagi ternak inang dengan meningkatkan keseimbangan mikrob dalam saluran pencernaan. Tannock (1999) mengusulkan definisi probiotik sebagai sel-sel mikrobial hidup yang diberikan sebagai suplemen dengan tujuan meningkatkan kesehatan. Seiring dengan perkembangan data hasil penelitian ilmiah dan aplikasi tentang pengaruh probiotik, diusulkan suatu definisi baru, yaitu sediaan sel mikrob atau komponen dari sel mikrob yang mempunyai pengaruh menguntungkan pada kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen et al. 1999). Definisi tersebut memiliki implikasi bahwa probiotik tidak selalu harus berupa sel hidup karena telah terbukti bahwa probiotik dalam 19 20 Tabel 1. Beberapa bakteri probiotik sebagai agen kontrol biologi pada budi daya ikan berdasarkan berbagai laporan pustaka (Verschuere et al. 2000) Probiotik yang diduga A s a l* Observasi Metode pemberian Cara yang dianjurkan dari faktor* Pustaka Telur ikan dan larva Beberapa strain Telur ikan cod Kegagalan dari strain untuk Merendam dalam Antagonisme 51 (tidak teridentifikasi) dan halibut mencegah bakteri lingkungan cairan bakteri menempel pada telur-telur cod Seperti Vibrio salmonicida Ikan Meningkatkan survival larva Menambahkan Immunostimulan 84 dan Lactobacillus planhalibut 2 minggu setelah me- pada media budi daya tarum netas Strain Bacillus IP5832 ? Meningkat bobot larva turbot Menambahkan Antagonism dan/atau 35 Spora (Paciflor 9) ketika makan p akan rotifer pada pakan rotifer kandungan nutrisi pakan-spora; menurunkan mortaditingkatkan dengan litas ketika uji tantang dengan angrotifer gota Vibrionaceae yg ada. Streptococcus lactis dan? Meningkatkan survival larva Pengkayaan ? 32 Lactobacillus bulgaricus turbot 17 hari setelah menetas rotife Artemia Lactobacillus atau Rotifer (BraMenurunkan mortalitas larva Pengkayaan Antagonisme dan/atau 37 Carnobacterium chionus pliturbot ketika uji tantang dengan rotifer kandungan nutrisi catilis) Vibrio sp. patogen ditingkatkan dengan rotifer Vibrio pelagius Copepoda p akan Menurunkan (?) mortalitas Menambahkan pada ? 104 Larva turbot larva turbot ketika uji tantang media budi daya dengan A. caviae. A. caviae Strain E (tidak sama Larva turbot Vibrio alginolyticus) sehat Air matang secara Mikrobiologi Menurunkan mortalitas larva turbot ketika uji tantang dengan Vibrio strain P patogen; juga, nilai pertumbuhan larva mungkin meningkat - Ikan juvenil dan muda Lyophilized Saluran pencerCarnobacterium naan Salmon diver gens Atlantik Pengkayaan rotifer Persaingan besi Meningkatkan nilai pertumbuhan Seperti media awal larva turbot dan halibut budi daya ? 115,135 Meningkatkan (!) mortalitas Menambahkan dari anak-anak salmon atke pakan lantik ketika uji tantang yang dipengaruhi oleh kehidupan bersama A. salmonicida - 43 - 45 Lyophilized Camobacterium divergens Saluran pencernaan Salmon Atlantik Menurunkan mortalitas pada anak-anak cod atlantik ketika uji tantang suatu strain anguillanum patogen Lyophilized Camobacterium divergens Saluran pencernaan Salmon Atlantik Menurunkan mortalitas pada Menambahkan pada anak-anak cod atlantik ke pakan ketika uji tantang suatu strain V. Anguillanum patogen 12 hari setelah infeksi; 4 minggu Setelah infeksi, bagaimanapun, Mortalitas yang sama pada kontrol telah dicapai. Menghambat pertumbuhan dari V. anguillarum dan A. Salmonicida dalam mukus saluran pencernaan ikan dan ekstrak fecal (bukan uji in vivo) Menghambat pertumbuhan V. anguilarum pada ekstrak fecal turbot (no in vivo test) Menurunkan mortalitas salmon Merendam dalam atlantik yg presmolts melalui cairan bakteri uji tantang dengan infeksi A. salmonicida penyebab stress Camobacterium Strain KI Salmon Atlantik Camobacterium Saluran pencernaan Salmon Atlantik. Mukus ikan Fluorescens pseudomonad F19/3 Fluorescens pseudomonad AH2 - Vibrio alginolyticus 38 Danau es Victoria Nile perch Menurunkan mortalitas juvenil rainbow melalui uji tantang dengan suatu V. anguillarum patogen komersial Menurunkan mortalitas juvenil salmon atlantik melalui uji tantang dengan suatu A. salmonicida, V. anguillarum, dan V. Ordali patogen Menambahkan ke pakan Antagonisme 44 Antagonisme 59 Antagonisme 85 Kompetisi besi 117 Menambahkan Kompetisi ke dalam media besi budi daya dan atau merendam dalam cairan bakteri Merendam ke dalam Antagonisme cairan bakteri 48 5 Bersambung ke halaman berikutnya 20 21 Tabel 1. (Lanjutan) Probiotik yang diduga A s a l* Observasi Metode pemberian Menambahkan ke air kolam Cara yang dianjurkan Pustaka dari faktor* ? 95 Bacillus megaterium, B. polymyxa, B. licheNifromis, 2 strain dari B. subtilis (Biostrart) i ? Meningkatkan survival dan batas produksi dari ikan lele channel Semprotan-kering Tetraselmis Suecica (alga unicelluler ) ? Menurunkan mortalitas juvenil salmon atlantik melalui uji tantang dengan beberapa patogen; alga yang efektif secara profilaktik hingga secara terapiutik Menambahkan ke pakan Meningkat berat rata-rata of P. monodon larvae dan postlarvae; menurunkan mortalitas setelah uji tantang V. harvevi D331 patogen Meningkat berat rata-rata dari postlarvae L. vannamei ; Observasi menurunkan V. parahaemolyticus pada udang Meningkatkan survival dari udang penaeid; menurunkan densitas luminous Vibrio Meningkatkan survival larva P. monodon and P. trituberculatus; Menurunkan densitas Vibrio Meningkatkan survival larva P. monodon; menurunkan densitas Vibrio Menambahkan ke pakan Antagonisme 99; RengpiRukpatanpora, abstract Menambahkan ke media budi daya Antagonisme 33 Menambahkan ke air kolam Antagonisme 73,74 Krustacea Bacillus strain S11 Vibrio alginolyticus Penaeus monodon atau lumpur dan air dari kolam udang Air laut dari laut Pasifik Bacillus ? Strain PM -4 dan/atau NS-110 Tanah Strain BY-9 Molluska bivalve Vibrio strain 11 Coastal air laut Mikroalga pada Hatchery scallop Actomonas media A 199 Pakan alami-alga Beberapa strain Flavobacterium sp. Strain SK-05 ? Larva turbot Beberapa strains Menambahkan ke Antagonisme/ 67-69,83 media budi daya sumber pakan dari larva menambahkan ke ? abstrak Sugama media budi daya dan Tsumura Meningkat mortalitas larva Merendam dalam scallop uji tantang dengan cairan bakteri patogen seperti strain V. anguillarum Menurunkan mortalitas dan peMenambah ke nekanan patogen dari larva media budi daya oyster pasifik ketika uji tantang dengan V. Tubiashii patogen 105 Antagonisme 42 Budidaya Skeletomena Costatum Menghambat pertumbuhan dari Menambah ke Persaingan V. algynolyticus dalam budidaya media budi daya dalam sumber Skeletomena costatum daya ? Menambahkan ke media budi daya Menambahkan ke media budi daya Antagonisme Budidaya massal Chaetoceros gracilis ? 75 ? 128 Menghambat pertumbuhan dari secara kebetulan A. Salmonicida strain dalam budidaya rotifer Menambahkan ke pakan Budidaya rotifer Meniadakan penghambatan pertumbuhan rotifer saat uji tan- Budidaya rotifer Meningkat tingkat pertumbuhan dalam budidaya rotifer Menambahkan ke ? media budi daya tantang V. anguillarum Menambahkan ke media budi daya Pakan alami-Artemia Vibrio alginolyticus C14 Beberapa strain 2 Merangsang pertumbuhan P. lutheri Memperbaiki sifat tumbuh dari C. gracilis, I. Galbana, dan P. lutheri Pakan alami-rotifer Lactobacillus plantarum Lactococcuss lactis AR21 ? ? Budidaya Artemia -, tidak relevan; Menurunkan mortalitas nauplii Artemia saat uji tantang dengan V. parahaemolyticus Menurunkan mortalitas juvenil Artemia saat uji tantang dengan V. proteolyticus Menambahkan ke media budi daya Antagonisme ? 101 36 54 108 47 141 ?, tidak spesifik 21 22 bentuk sel yang tidak hidup juga menunjukkan pengaruh positif pada kesehatan inang (Ouwehand dan Salminen 1998). Beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan produk probiotik dengan pengaruh positif yang optimal bagi inangnya menurut Shortt (1999) di antaranya adalah sebagai berikut : a. Spesies bakteri probiotik sebaiknya merupakan mikroflora normal usus sehingga bakteri tersebut lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan usus. b. Tidak bersifat patogen. c. Toleran terhadap asam lambung dan garam empedu. d. Memiliki kemampuan untuk menempel dan mengkolonisasi sel usus. e. Memiliki aktivitas antagonistik terhadap mikrob patogen enterik. f. Terbukti memiliki pengaruh yang menguntungkan pada kesehatan. g. Memiliki kemampuan untuk bertahan selama proses pengolahan dan selama waktu penyimpanan. h. Produk probiotik diharapkan memiliki jumlah sel hidup yang besar (107 sampai 109). 22 23 ISOLASI DAN SELEKSI MIKROFLORA SALURAN PENCERNAAN IKAN BANDENG Pendahuluan Mikroflora adalah mikroorganisme yang secara alamiah menghuni saluran pencernaan makhluk hidup. Mikroflora terdiri atas berbagai mikrob dalam jumlah besar, dengan aktivitas dan kapasitas metabolik yang sangat beragam, serta yang dapat memberi pengaruh positif maupun negatif pada fungsi fisiologis saluran pencernaan. Peranan mikroflora saluran pencernaan pada manusia dan hewan sudah banyak diteliti dan dilaporkan. Fuller (1989) mengemukakan bahwa mikroflora adalah ekosistem kompleks yang terdiri atas sejumlah besar mikrob. Pada manusia sedikitnya terdapat 400 spesies mikrob yang berbeda dengan jumlah total mencapai 10 14 sel. Dalam rumen hewan ruminansia terdapat banyak mikroorganisme yang jenis dan jumlahnya berbeda antar-spesies ruminansia, dan pada spesies yang sama tetapi dengan sumber pakan yang berbeda. Mikroflora kebanyakan bersifat komensal, yaitu memanfaatkan hubungan dengan inang serta saling berinteraksi antar-berbagai spesies mikrob dalam saluran pencernaan, baik secara antagonistik maupun sinergistik. Interaksi yang terjadi sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan mikroflora saluran pencernaan (Salminen et al. 1993). Mikroflora asli saluran pencernaan mempunyai hubungan mutualisme dengan inangnya, yaitu memanfaatkan inang sebagai tempat hidupnya. Keuntungan bagi inang adalah 1) umumnya mikrob memakan sisa atau menggunakan bahan buangan; 2) banyak bakteri usus dapat mensintesis vitamin, mensekresi enzim, dan membantu pencernaan nutrien; 3) kehadiran mikrob asli cenderung menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga dapat melindungi inang terhadap penyakit serta merangsang fungsi kekebalan tubuh (Pelczar dan Chan 1988). Melihat besarnya peranan mikroflora bagi pencernaan dan kesehatan, penelitian untuk mengubah mikroflora saluran pencernaan ke arah yang menguntungkan baik untuk tujuan kesehatan maupun pertumbuhan untuk manusia dan hewan terestrial terutama ruminansia telah banyak dilaporkan. Saat ini telah 23 24 dibuat suatu produk yang telah dikomersilkan yang disebut dengan istilah “Probiotik” Peranan mikroflora pada saluran pencernaan ikan telah dikemukakan oleh beberapa peneliti (Clarke dan Bauchop 1977; Das dan Tripathi 1991; Nakayama et al. 1994; Shcherbina dan Kazlauskene 1971 dalam Opuszynski dan Shireman 1994; Hoshino et al. 1997; Xue et al. 1999; Jankauskiene 2002; Tae 2003). Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa mikroflora pada saluran pencernaan ikan juga mempunyai peranan penting dalam fungsi fisiologis saluran pencernaan ikan dan mekanisme perlindungan terhadap mikrob patogen. Dengan demikian, potensi untuk dijadikan “Probiotik” dan diaplikasikan dalam budi daya ikan sangat besar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan mikrob aktivitas amilolitik, yang mempunyai proteolitik, dan lipolitik dari saluran pencernaan ikan bandeng untuk dijadikan probiotik berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh Shortt (1999). Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan IPB, selama 10 bulan, mulai bulan Maret sampai Desember 2004. Prosedur Penelitian Isolasi Mikrob Pengambilan isi saluran pencernaan ikan bandeng sebagai sumber inokulum (Gambar 3 dan Lampiran 13) dilakukan dengan cara mengeluarkan organ pencernaan (lambung dan usus) dari ikan bandeng fase dewasa yang telah dibunuh. Organ pencernaan ditimbang dan diukur panjangnya. Usus digerus dan setiap 10 g usus diencerkan dengan 90 mL cairan fisiologis (NaCl 0,85%) steril. Prosedur isolasi mikrob yang mempunyai aktivitas amilolitik, proteolitik, dan lipolitik dilakukan dengan metode selektif, yang mengacu pada metode yang dilakukan pada hewan terestrial seperti petunjuk Hungate (1966), serta 24 25 mengkombinasikannya dengan prosedur isolasi mikrob dari saluran pencernaan ikan seperti metode yang dilakukan oleh Nakayama et al. (1994); Hoshino et al. (1997); Jankauskiene (2002); dan Tae (2003). Kultur mikrob dilakukan dalam suasana aerob dan anaerob. Untuk menciptakan kondisi anaerob setiap proses kegiatan dialiri gas CO2 dan tabung disumbat dengan tutup karet. Media kultur yang digunakan adalah Tripticase Soy Broth (TSB, Merck) yang ditambah 1% NaCl. Sebagai sumber energi untuk amilolitik adalah pati, untuk proteolitik adalah kasein, dan untuk lipolitik adalah minyak ikan (komposisi media disajikan pada Lampiran 2). Sumber inokulum diambil sebanyak 0,5 mL dan diinokulasikan ke dalam 10 mL media cair standar, yaitu TSB ditambah pati, TSB ditambah kasein, dan TSB ditambah minyak ikan. Kultur dibuat secara duplo. Kultur ini kemudian diinkubasi pada suhu 29oC selama 24 jam agar mikrob dapat tumbuh. Pertumbuhan mikrob ditandai oleh keruhnya media kultur. Gambar 3. Ikan bandeng dan saluran pencernaannya yang digunakan sebagai sumber inokulum pada percobaan isolasi dan seleksi mikrob Pengenceran berseri dilakukan dari 10-2 sampai 10-10 dengan cara mengambil 0,05 mL dari kultur mikrob pada media cair dan dimasukkan ke dalam 4,95 mL media pengencer pertama, selanjutnya dari media pengencer pertama diambil sebanyak 0,05 mL dan dimasukkan ke dalam 4,95 mL media pengencer kedua dan seterusnya sampai media pengencer terakhir. 25 26 Untuk mendapatkan isolat murni, dari setiap seri pengenceran ditransfer sebanyak 0,1 mL ke dalam media padat, yang terdiri atas campuran TSB, agar dan sumber energinya, dan dikemas dengan menggunakan role tube technique untuk suasana anaerob dan menggunakan cawan petri untuk suasana aerob. Sediaan ini diinkubasi kembali pada suhu 29oC selama 24 sampai 48 jam. Koloni mikrob yang tumbuh dipilih berdasarkan perbedaan morfologi (bentuk, ukuran, dan warna koloni). Metode purifikasi dilakukan berulang-ulang dengan teknik dan media yang sama sampai didapatkan koloni mikrob tunggal dan seragam. Kultur murni selanjutnya diperbanyak atau diperkaya untuk mendapatkan isolat. Sebagian isolat mikrob digunakan sebagai kultur stok dan sebagian lagi dipakai sebagai inokulum pada percobaan berikutnya. Pengayaan dilakukan dengan cara menumbuhkan masing-masing isolat ke dalam media yang paling sesuai dengan media hidupnya, kemudian diinkubasi pada suhu 29oC selama 24 jam. Kultur yang didapat siap untuk diawetkan. Pengawetan dilakukan dengan menyimpan isolat-isolat yang telah diperoleh ke dalam media gliserol 80% yang selanjutnya disebut kultur stok. Cara pelaksanaannya adalah tabung Eppendorf kapasitas 1000 µL diisi media gliserol 80% kemudian ditambahkan kultur mikrob yang akan diawetkan. Perbandingan kultur dengan gliserol adalah 3:1. Setelah itu, mikrob dalam kultur stok dinonaktifkan dengan cara disimpan dalam freezer - 4oC. Isolat mikrob yang sudah murni dikarakterisasi secara fisiologis dan biokimia. Data mikrob yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, yaitu membandingkannya dengan literatur pendukung menggunakan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994). Seleksi Mikrob Percobaan ini bertujuan untuk menemukan mikrob yang berpotensi tinggi untuk dipilih sebagai probiotik. Seleksi mikrob dilakukan melalui tahapan 1) pengujian fakultatif; 2) pengujian aktivitas amilolitik, proteolitik, dan lipolitik; 3) fase pertumbuhan mikrob; 4) pengujian aktivitas antagonistik atau konfrontasi dengan mikrob patogen; 5) ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu; dan 6) uji penempelan. 26 27 1. Pengujian Fakultatif Pengujian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan isolat mikrob tumbuh pada media dengan dua suasana, yaitu aerob dan anaerob sehingga dapat digunakan untuk menentukan golongan isolat mikrob, yaitu mikrob aerob, anaerob, atau fakultatif (dapat tumbuh pada media aerob dan anaerob). 2. Pengujian Aktivitas Amilolitik, Proteolitik, dan Lipolitik Pengujian ini bertujuan untuk mengukur besarnya aktivitas amilolitik, proteolitik, dan lipolitik masing-masing isolat. Tahapan pengujian adalah uji hidrolisis pati, kasein, dan lemak (Lampiran 2), uji degradasi subsrat oleh mikrob (Lampiran 3), dan uji aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase (Lampiran 4). 3. Fase Pertumbuhan Mikrob Fase pertumbuhan berguna untuk menentukan bentuk kurva pertumbuhan mikrob sehingga dapat digunakan untuk menentukan waktu generasi mikrob dan kecepatan tercapainya fase eksponensial. Mikrob diamati selama 24 jam inkubasi dan untuk mengetahui fase-fase yang ada dilakukan pengambilan sampel setiap 2 jam. Fase-fase yang terbentuk berguna untuk menentukan waktu generasi mikrob. Persiapan kultur dilakukan dengan cara menginokulasikan 0,1 mL isolat mikrob ke dalam 10 mL media kultur cair dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 29oC. Sediaan ini selanjutnya disebut kultur segar. Sebanyak 1% dari kultur segar ini diinokulasi ke dalam media kultur steril 90 mL dan diinkubasi kembali pada suhu 29oC. Pertumbuhan mikrob diamati setiap 2 jam dengan mengukur nilai kerapatan atau optical density (OD) dari starter pada media kultur cair dengan metode turbidimetrik dengan panjang gelombang 620 nm (Hadioetomo 1990). Bersamaan dengan pengukuran fase pertumbuhan dilakukan juga pengukuran populasi mikrob. Pengukuran dilakukan setiap 2 jam dengan metode hitungan cawan, yaitu dengan melakukan pengenceran berseri 10-2 sampai 10-10 untuk menjarangkan koloni mikrob. Selanjutnya, dari setiap seri pengenceran ditransfer ke dalam media padat dengan teknik agar tuang. Kultur diinkubasi pada suhu 29oC selama 24 sampai 48 jam. Populasi mikrob yang tumbuh ditentukan dalam colony forming unit (cfu) dan dihitung dengan rumus sebagai berikut : 27 28 K PM = A x B x C Dimana : PM K A B C = = = = = populasi mikrob (cfu/mL) jumlah koloni volume inokulasi dalam media pengencer (mL) pada pengenceran keberapa koloni mikrobnya dihitung volume inokulasi dari media pengencer ke media padat (mL) Waktu yang diperlukan mikrob untuk membelah menjadi 2 sel baru disebut waktu generasi (Fardiaz 1992). Penentuan waktu generasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Log x1 – log x0 k = 0,301 . t Dimana : k x0 x1 t 1/k = = = = = konstanta kecepatan pertumbuhan (jumlah generasi/waktu) jumlah sel awal jumlah sel setelah waktu t waktu x1 – x0 waktu generasi 4. Pengujian Aktivitas Antagonistik atau Konfrontasi terhadap Mikrob Patogen Pengujian aktivitas antagonistik atau konfrontasi dengan mikrob patogen dilakukan dengan metode sumur agar, yang mengacu pada metode menurut Wolf dan Gibbons et al. (1996) dengan modifikasi suhu yang digunakan. Produksi antimikrob dilakukan dengan cara menginokulasi isolat mikrob sebanyak 0,1 mL ke dalam 10 mL media TSB dan diinkubasi pada suhu 29oC selama waktu optimum (waktu optimum diperoleh dari fase eksponensial pertumbuhan mikrob), kemudian disentrifius dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh disaring (filtrasi) dengan menggunakan millipore 0,22 µm dan filtrat digunakan dalam konfrontasi dengan bakteri patogen uji untuk menentukan dihasilkan atau tidaknya antimikrob. Mikrob patogen uji yang digunakan adalah mikrob patogen terhadap ikan, yaitu dari strain Aeromonas hydrophila, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi. Mikrob patogen uji yang telah disegarkan diambil sebanyak 0,2 mL dan dimasukkan ke dalam media TSA dan dicampur hingga homogen. Setelah media yang berisi biakan mikrob patogen memadat dibuat sumur (lubang) dengan ujung 28 29 pipet Pasteur dengan diameter 0,6 mm. Substrat antimikrob (filtrat) diteteskan ke dalam lubang sebanyak 0,05 mL. Selanjutnya, cawan diinkubasi pada suhu 29oC selama 24 jam. Mikrob yang ma mpu menghasilkan substansi antimikrob akan melakukan penghambatan terhadap bakteri patogen yang dibuktikan dengan adanya zona bening di sekitar sumur agar. Besarnya aktivitas antimikrob ditentukan dengan cara mengukur diameter zona bening di sekitar sumur agar. 5. Ketahanan terhadap Asam Lambung dan Garam Empedu Ketahanan isolat mikrob terhadap asam lambung dan garam empedu digunakan untuk mengkaji kemampuannya bertahan dalam lambung dan saluran pencernaan yang ber-pH rendah serta garam empedu di bagian atas usus. Pengujian dilakukan menurut metode Ngatirah et al. (2000). Metode ini dilakukan dengan menginokulasi 1,0 mL isolat mikrob ke dalam satu seri tabung yang berisi 9 mL larutan media steril pada pH 2,5 (pH diatur dengan penambahan HCl) dan pH 7,5 (pH diatur dengan penambahan NaOH), kemudian diinkubasi pada suhu 29°C. Pengamatan dilakukan setelah 2, 4, 6, dan 8 jam setelah inokulasi dan jumlah mikrob dihitung dengan metode hitungan cawan. Ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu ditentukan berdasarkan jumlah koloni yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan. Semakin kecil selisih semakin tahan mikrob yang diuji terhadap asam lambung dan garam empedu. 6. Uji Penempelan Uji penempelan atau adhesi dilakukan dengan metode menurut Dewanti dan Wong (1993), yaitu menggunakan lempeng stainless steel. Sebelum digunakan, lempeng terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran yang menempel pada permukaannya dengan cara merendam dalam larutan detergen panas (40 sampai 45°C) selama 24 jam. Lempeng itu kemudian dibilas dengan air panas (40 sampai 50°C) hingga tidak berbusa dan licin, lalu dikeringanginkan. Setelah pencucian selesai, pada salah satu bagian sisi lempeng diberi tanda, dan selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 20 me nit. Pengujian dilakukan dengan cara meletakkan lempeng di dalam 250 mL media pertumbuhan yang diinokulasi dengan 1 mL kultur mikrob ke dalam erlenmeyer 1L, kemudian diinkubasi pada suhu 29°C selama 24 jam. Densitas 29 30 biofilm dianalisis setelah 24 jam dengan cara membilas lempeng dengan larutan buffer fosfat (BF). Kemudian, dengan menggunakan swab permukaan lempeng diseka secara merata. Swab dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 10 mL BF dan tabung divorteks selama 1 menit. Selanjutnya dilakukan kultur mikrob dan jumlah mikrob yang tumbuh dihitung dengan metode hitungan cawan dan dinyatakan dalam cfu/cm2, setelah diinkubasi pada suhu 29°C selama 24 jam. Jumlah mikrob yang tumbuh pada fase cair juga dihitung dengan cara mengambil 1 mL cairan dari media pertumbuhan dan diencerkan ke dalam 9 mL larutan BF. Kemudian dilakukan kultur mikrob dan jumlah mikrob dihitung dengan metode hitungan cawan dan dinyatakan dalam cfu/mL, setelah diinkubasi pada suhu 29°C selama 24 jam. Analisis Data Data yang diperoleh pada percobaan isolasi dan seleksi mikroflora dari saluran pencernaan ikan bandeng dianalisis secara deskriptif. Mikrob yang terseleksi digunakan sebagai kandidat probiotik dan materi pada penelitian selanjutnya. Hasil Isolasi Mikrob Pada penelitian ini berhasil diisolasi 18 isolat dari saluran pencernaan ikan bandeng yang terdiri atas 4 isolat mikrob amilolitik aerob, 3 isolat mikrob amilolitik anaerob, 5 isolat mikrob proteolitik aerob, 2 isolat mikrob proteolitik anaerob, 2 isolat mikrob lipolitik aerob, dan 2 isolat mikrob lipolitik anaerob. Morfologi koloni isolat dan jenis mikrob berdasarkan identifikasi secara fisiologi dan biokimia menggunakan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994) dapat dilihat pada Lampiran 14 dan bentuk isolat dapat dilihat pada Gambar 4. 30 31 Keterangan : Mikrob amilolitik aerob A1-a : Moraxella sp. A2-a : Aeromonas hydrophila A3-a : Citrobacter sp. A4-a : Carnobacterium sp. Mikrob proteolitik aerob P1-a : Streptococcus sp. P2-a : Bacillus sp. P3-a : Micrococcus sp. P4-a : Pseudomonas sp. P5-a : Proteus sp. Mikrob lipolitik aerob L1-a : Planococcus sp. L2-a : Plesiomonas sp. Gambar 4. Mikrob amilolitik anaerob A1-an : Staphylococcus sp. A2-an : Flavobacterium sp. A3-an : Vibrio sp. Mikrob proteolitik anaerob P1-an : Vibrio alginoliticus Mikrob lipolitik anaerob L1-an : Kurthia sp. L2-an : Serratia sp. Bentuk isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik yang diisolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng 31 32 Gambar 4. (lanjutan) 32 33 Gambar 4. (lanjutan) Seleksi Mikrob Mikrob Fakultatif Pengujian fakultatif memberikan gambaran tentang keadaan lingkungan tempat mikrob tersebut dapat hidup. Faktor lingkungan yang paling menentukan proses metabolisme energi yang dilakukan mikrob adalah oksigen. Hasil pengujian fakultatif menumbuhkan isolat mikrob aerob dalam media anaerob, dan sebaliknya menumbuhkan isolat mikrob anaerob dalam media aerob disajikan pada Tabel 2. Dari 18 isolat yang diuji ditemukan 13 jenis isolat yang fakultatif, yaitu golongan mikrob yang dapat tumbuh tanpa atau dengan adanya oksigen. Isolat fakultatif tersebut terdiri atas 8 isolat yang berasal dari mikrob aerob (A1-a, A2-a, A4-a, P1-a, P2-a, P3-a, L1-a dan L2-a) dan 5 isolat yang berasal dari anaerob (A1-an, A2-an, A3-an, P1-an dan L1-an). Isolat A3-a, P4-a dan P5-a tergolong mikrob aerob, yaitu hanya dapat tumbuh jika terdapat oksigen di lingkungannya. Isolat P2-an dan L2-an tergolong mikrob anaerob, yaitu tidak 33 34 memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan mikrob ini biasanya terhambat dengan adanya oksigen. Bahkan, beberapa jenis mikrob sangat sensitif dan akan mati jika ada oksigen. Tabel 2. Isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik yang ditumbuhkan pada media aerob dan anaerob Isolat Media aerob Media anaerob Kriteria Aerob A1-a + + Fakultatif A2-a + + Fakultatif A3-a + Aerob A4-a + + Fakultatif P1-a + + Fakultatif P2-a + + Fakultatif P3-a + + Fakultatif P4-a + Aerob P5-a + Aerob L1-a + + Fakultatif L2-a + + Fakultatif Anaerob A1-an + + Fakultatif A2-an + + Fakultatif A3-an + + Fakultatif P1-an + + Fakultatif P2-an + Anaerob L1-an + + Fakultatif L2-an + Anaerob Keterangan: A = Mikrob amilolitik a = Aerob + = Tumbuh P = Mikrob proteolitik an = Anaerob - = Tidak tumbuh L = Mikrob lipolitik Aktivitas Amilolitik, Proteolitik, dan Lipolitik Besarnya aktivitas amilolitik, proteolitik, dan lipolitik isolat mikrob ditunjukkan dengan melakukan pengukuran hidrolisis pati, kasein, dan lemak, uji degradasi subsrat oleh mikrob, serta uji aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase. 1. Hidrolisis Pati, Kasein, dan Lemak Hasil pengujian hidrolisis pati, kasein, dan lemak oleh isolat mikrob yang berhasil diisolasi disajikan pada Gambar 5 dan 6 serta Lampiran 15. Data isolat 34 35 P2-an tidak dapat lagi disajikan karena untuk pengujian tahap selanjutnya P2an tidak dapat lagi ditumbuhkan. Diduga stok kultur isolat P2-an terkontaminasi oksigen yang menyebabkan isolat tersebut mati. Diameter zona bening (mm) Gambar 5. Zona bening hasil hidrolisis pati, kasein, dan lemak oleh isolat mikrob amilolitik (A1-a, A2-a, A3-a, A4-a, A1-an, A2-an, A3-an), proteolitik (P1-a, P2-a, P3-a, P4-a, P5-a, P1-an), dan lipolitik (L1-a, L2-a, L1-an, L2-an) Gambar 6. Diameter zona bening hasil hidrolisis pati, kasein, dan lemak oleh isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik Gambar 5 memperlihatkan bahwa semua isolat positif menghidrolisis sumber karbonnya, yang ditandai dengan adanya zona bening (clearing zone) di 35 36 sekitar koloni isolat yang ditumbuhkan pada media agar. Zona bening tersebut menunjukkan bahwa makromolekul yang menjadi sumber karbon sudah dihidrolisis dan dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh mikrob. Diameter zona bening yang terbesar pada isolat mikrob amilolitik diperlihatkan oleh isolat A2-a, yang diikuti oleh isolat A4-a, A1-a, A3-a, A2-an, A1-an, dan terendah oleh isolat A3-an. Diameter zona bening terlebar pada isolat mikrob proteolitik diperlihatkan oleh isolat P1-an, yang diikuti oleh isolat P1-a, P5-a, P4-a, P3-a, dan terendah oleh isolat P2-a. Diameter zona bening terlebar pada isolat mikrob lipolitik ditunjukkan oleh isolat L1-a, yang diikuti oleh isolat L2-an, dan terendah oleh isolat L1-an dan L2-a (Gambar 6 dan Lampiran 15). 2. Degradasi Substrat oleh Isolat Mikrob Amilolitik, Proteolitik, dan Lipolitik Hasil pengukuran degradasi substrat oleh isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik setelah 24 jam inkubasi disajikan pada Gambar 7 dan Degradasi substrat Lampiran 16. Gambar 7. Degradasi substrat pati, kasein, dan lemak oleh isolat mikrob amilolitik dan proteolitik (mg/L), serta lipolitik (mmol lemak, dikali 1000) Kemampuan degradasi substrat tertinggi pada isolat mikrob amilolitik diperlihatkan oleh isolat A3-a dan A2-a yang diikuti oleh isolat A1-an, A2-an, A4-a, A1-a, dan terendah diperlihatkan oleh isolat A3-an. Pada isolat mikrob proteolitik, kemampuan degradasi substrat tertinggi ditunjukkan oleh isolat P1-an, yang diikuti oleh isolat P1-a, P3-a, P5-a, P4-a, dan terendah ditunjukkan oleh 36 37 isolat P2-a. lipolitik Kemampuan degradasi substrat terbesar pada isolat mikrob diperlihatkan oleh isolat L1-a, yang diikuti oleh isolat L1-an, dan terendah ditunjukkan oleh isolat L2-an dan L2-a. Nilai degradasi substrat isolat mikrob lipolitik yang sangat kecil, dibandingkan dengan nilai degradasi substrat isolat lainnya terjadi akibat perbedaan satuan substrat yang digunakan. Isolat mikrob amilolitik dan proteolitik menggunakan satuan mg/L dan mikrob lipolitik menggunakan satuan mmol lemak. 3. Aktivitas Enzim Amilolitik, Proteolitik, dan Lipolitik Hasil pengukuran aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase yang dihasilkan oleh isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik dapat dilihat Aktivitas enzim (IU/mL/menit) pada Gambar 8 dan Lampiran 17. Gambar 8. Aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase (IU/mL/menit) yang dihasilkan oleh isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik Aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase yang dihasilkan (Gambar 8) memperlihatkan nilai yang seiring dengan kemampuan degradasi mikrob. Nilai aktivitas enzim amilase berkisar antara 0,58 dan 0,77 IU/mL/menit. Aktivitas tertinggi ditunjukkan enzim yang dihasilkan oleh isolat A3-a yang diikuti oleh isolat A2-a, A1-an, A2-an, A4-a, A1-a, dan terendah oleh isolat A3-an. Aktivitas enzim protease berkisar antara 0,44 dan 0,82 IU/mL/menit. Aktivitas tertinggi diperlihatkan oleh isolat P1-an yang diikuti oleh isolat P1-a, P3-a, P5-a, P4-a, dan terendah oleh isolat P2-a. Aktivitas enzim lipase berkisar antara 0,13 dan 0,36 37 38 IU/mL/menit dengan aktivitas tertinggi pada enzim yang dihasilkan oleh isolat L1-a yang diikuti oleh isolat L1-an, L2-an, dan terendah L2-a. Fase Pertumbuhan Mikrob Hasil pengamatan nilai kerapatan optik (Optical Density = OD) disajikan pada Lampiran 18 dan hasil analisis jumlah koloni (cfu/mL) disajikan pada Lampiran 19. Kurva pertumbuhan yang dihasilkan selama 24 jam periode pengamatan (Gambar 9) memperlihatkan bahwa setiap isolat mempunyai pola yang bevariasi, begitu juga dengan hasil analisis waktu generasi (Tabel 3) juga memperlihatkan hasil yang berbeda. Fase pertumbuhan awal atau lag (I) pada isolat mikrob amilolitik umumnya terjadi antara 0 dan 2 jam, kecuali pada isolat A1-an (0 sampai 6 jam); fase logaritma atau eksponensial (II) terjadi antara 2 dan 14 jam (A4-a), 2 dan 16 jam (A2-a dan A3-an), 6 dan 16 jam (A1-an), serta antara 2 dan 18 jam (A1-a, A3-a, dan A2-a); fase III adalah fase statis atau tetap tercapai antara 14 dan 18 jam (A4-a), 16 dan 20 jam (A2-a), 16 dan 22 jam (A1-an), 18 dan 20 jam (A3 -an), 18 dan 20 jam (A2-an), serta antara 18 dan 22 jam (A1-a dan A3-a), fase IV adalah fase kematian atau stationer dicapai setelah 18 jam (A4-a), 20 jam (A2-a, A3-a, dan A2-an), dan 22 jam (A1-an, A1-a, dan A3-a). Pada isolat mikrob proteolitik, fase pertumbuhan awal atau lag (I) tercapai antara 0 dan 2 jam (P2-a, P3-a, dan P1-an) serta antara 0 dan 4 jam (P1-a, P4-a, dan P5-a); fase logaritma atau eksponensial (II) terjadi antara 2 dan 16 jam (P2-a, P1-an), 2 dan 12 jam (P3-a), 4 dan 16 jam (P4-a, P5-a), serta antara 4 dan 18 jam (P1-a); fase III adalah fase statis atau tetap, pada P1-a dan P1-an tidak ada fase III langsung fase IV, yaitu fase stationer, fase statis mikrob proteolitik yang lain tercapai antara 16 dan 20 jam (P2-a dan P4-a), 12 dan 20 jam (P3-a), serta antara 16 dan 18 jam (P5-a); fase IV adalah fase kematian atau stationer dicapai setelah 16 jam (P1-an), 18 jam (P1-a dan P5-a), dan 20 jam (P2-a, P3-a, dan P4-a). Pada isolat mikrob lipolitik, fase pertumbuhan awal atau lag (I) yang tercapai antara 0 dan 2 (L1-a), 0 dan 4 jam (L1-an), serta 0 dan 6 jam (L2-a dan L2-an); fase logaritma atau eksponensial (II) terjadi antara 4 dan 18 jam (L1-a), 6 dan 18 jam (L2-a), 4 dan 14 jam (L1-an), serta antara 6 dan 12 jam (L2-an); fase III adalah fase statis atau tetap tercapai 38 39 III IV II I 9.0 0.6 0.4 0.2 0.0 A1-a A1-a 8.5 8.0 0 1.2 1.0 0.8 11.5 2.0 1.8 11.0 1.6 1.4 10.5 10.0 9.5 II I A2-a A2-a 8.5 0.0 0 2 4 I II III IV 7.0 A3-a A3-a 6.5 6.0 0 2 4 11.0 10.5 10.0 1.2 1.0 II I III IV A1-an A1-an 7.5 0.8 0.6 0.4 0.2 7.0 0.0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) III 9.0 IV A4-a A4-a 12.0 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 3.0 2.8 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Jumlah koloni optical density 11.5 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 1.4 8.5 II 0 2 1.6 9.0 I 8.0 1.8 9.5 8.0 9.5 8.5 2.0 Jumlah koloni optical density 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 11.5 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 10.0 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) Jumlah koloni (log10 cfu/mL). 7.5 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) Jumlah koloni optical density 12.0 Optical Density (OD) 8.0 12.5 Optical Density (OD) Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 8.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 0.4 0.2 8.0 Periode pengamatan (jam) Jumlah koloni optical density 0.8 0.6 9.0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 9.0 1.2 1.0 III IV 11.0 10.5 10.0 9.5 Optical Density (OD) 9.5 2.4 2.2 Jumlah koloni optical density I III IV II 9.0 A2-an A2-an 8.5 8.0 0 Optical Density (OD) 10.0 12.0 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 10.5 2.0 1.8 1.6 1.4 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) Gambar 9. Kurva pertumbuhan isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik 39 Optical Density (OD) 2.2 Jumlah koloni optical density Optical Density (OD) Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 11.0 40 II III IV A3-an A3-an 7.5 7.0 2 4 0.2 II III IV 1.0 0.8 8.5 0.6 8.0 P2-a P2-a 7.5 7.0 0.4 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 1.2 12.0 Jumlah koloni optical density 11.5 11.0 10.5 10.0 II I 9.5 III IV P4-a P4-a 9.0 8.5 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 0.2 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 2.4 2.2 2.0 Jumlah koloni optical density 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 10.5 10.0 I II III IV 9.5 P3-a 8.5 0 2 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0.4 11.0 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) P3-a 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 12.0 2.0 Jumlah koloni optical density 11.5 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 2 4 4 9.0 0.2 0.0 0 0.6 0.0 2 11.5 1.6 9.5 IV P1-a P1-a 0 1.4 II I 8.0 1.8 10.0 I 0.8 8.5 7.0 Optical Density (OD) Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 10.5 1.0 7.5 2.0 Jumlah koloni optical density 1.2 9.0 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 11.0 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 0.4 0.0 0 9.0 0.6 1.4 9.5 Optical Density (OD) I 0.8 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 1.0 8.5 Optical Density (OD) 1.2 Optical Density (OD) Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 9.0 1.6 10.0 1.6 1.4 1.8 Jumlah koloni optical density Optical Density (OD) 1.8 9.5 8.0 10.5 2.0 Jumlah koloni optical density 1.8 1.6 11.0 1.4 1.2 10.5 1.0 10.0 I II 0.8 III IV 0.6 9.5 0.4 P5-a P5-a 9.0 0.2 8.5 0.0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) Gambar 9. (lanjutan) 40 Optical Density (OD) 10.0 41 9.0 IV 8.0 P1-an P1-an 7.5 7.0 0 2 4 Jumlah koloni optical density Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 10.5 9.0 II III IV 1.6 10.5 0.8 0.4 L2-a L2-a 7.5 2 4 0.0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 2.0 Jumlah koloni optical density 1.6 9.5 1.4 9.0 1.2 8.5 1.0 8.0 I Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 0.8 IV 0.4 L1-an L1-an 0.2 0.0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 1.8 Jumlah koloni optical density 1.6 1.4 9.5 1.2 9.0 1.0 8.5 I II III IV 0.8 0.6 7.5 6.5 III 0.6 7.0 10.0 7.0 II 7.5 11.0 8.0 1.8 10.0 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 10.5 0.4 0.2 L1-a 6.0 0.0 0 0.6 L1-a 6.5 0.2 7.0 1.0 0.8 III IV II 8.0 11.0 0.6 8.0 I 9.0 1.8 1.0 I 9.5 1.2 0 1.2 9.5 1.4 10.0 8.5 1.4 10.0 8.5 10.5 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) 11.0 1.8 1.6 L2-an L2-an 6.0 Optical Density (OD) II I 2.0 11.0 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 8.5 11.5 Optical Density (OD) 9.5 2.4 2.2 Jumlah koloni optical density 0.4 0.2 0.0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Periode pengamatan (jam) Gambar 9. (lanjutan) 41 Optical Density (OD) 10.0 12.0 Optical Density (OD) Jumlah koloni (log10 cfu/mL) 10.5 2.6 2.4 2.2 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 Jumlah koloni (log10 cfu/mL) Jumlah koloni optical density Optical Density (OD) 11.0 42 (L1-an), serta antara 12 dan 18 jam (L2-an); fase IV adalah fase kematian atau stationer dicapai setelah 20 jam (L1-a dan L2-a), sedangkan pada L1-an dan L2an setelah 18 jam (Gambar 9). Waktu generasi atau waktu yang diperlukan mikrob untuk membelah menjadi 2 sel baru, pada isolat mikrob amilolitik berkisar antara 23,62 dan 45,44 menit. Waktu generasi terpendek ditunjukkan oleh isolat A3-a dan tertinggi oleh isolat A4-a. Pada isolat mikrob proteolitik, waktu generasi berkisar antara 22,93 dan 37,85 menit. Waktu generasi terendah ditunjukkan oleh isolat P3-a dan tertinggi oleh isolat P5-a. Waktu generasi isolat mikrob lipolitik berkisar antara 32,38 dan 46,35 menit. Waktu generasi terendah diperlihatkan oleh isolat L2-a dan tertinggi oleh isolat L1-an (Tabel 3). Tabel 3. Waktu generasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik Isolat Waktu generasi (menit) Aerob A1-a 24,25 A2-a 34,21 A3-a 23,62 A4-a 45,44 P1-a 32,72 P2-a 33,43 P3-a 22,93 P4-a 33,10 P5-a 37,85 L1-a 34,56 L2-a 32,38 Keterangan: A = Mikrob amilolitik P = Mikrob proteolitik L = Mikrob lipolitik Isolat Anaerob A1-an A2-an A3-an P1-an P2-an L1-an L2-an Waktu generasi (menit) 27,16 31,40 39,89 36,35 46,35 33,52 Aktivitas Antagonistik atau Konfrontasi terhadap Mikrob Patogen Salah satu kriteria yang diinginkan pada isolat yang terpilih sebagai kandidat probiotik adalah bahwa mikrob tersebut mampu menghasilkan antimikrob sehingga mampu menekan pertumbuhan mikrob patogen dalam saluran pencernaan ikan. Hasil pengamatan aktivitas antagonistik terhadap mikrob patogen pada ikan, yaitu dari strain Aeromonas hydrophila, Escherichia coli dan Vibrio harveyi (Tabel 4) menunjukkan bahwa dari 17 isolat yang diuji 42 43 hanya 5 isolat yang memperlihatkan aktivitas antagonistik. Isolat yang mempunyai aktivitas antagonistik menunjukkan adanya zona bening di sekitar sumur (Gambar 10). Isolat tersebut adalah isolat mikrob amilolitik 3 isolat (A4-a, A1-an, dan A2-an), 2 isolat dari mikrob proteolitik (P2-a dan P1-an), dan tidak ditemukan aktivitas antagonistik pada isolat mikrob lipolitik. Isolat A4-a memperlihatkan zona penghambatan pada semua mikrob patogen uji, isolat A1-an hanya memperlihatkan zona penghambatan pada Escherichia coli, dan isolat A2-an hanya memperlihatkan zona penghambatan pada Vibrio harveyi. Zona penghambatan isolat P2-a hanya pada Escherichia coli, dan isolat P1-an memperlihatkan zona penghambatan pada 2 jenis mikrob patogen uji yaitu Escherichia coli dan Vibrio harveyi. Tabel 4. Aktivitas antagonistik atau konfrontasi isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik terhadap mikrob patogen pada ikan Isolat Aeromonas hydrophila K D D Aerob A1-a A2-a A3-a A4-a P1-a P2-a P3-a P4-a P5-a L1-a L2-a Anaerob A1-an A2-an A3-an P1-an P2-an L1-an L2-an Keterangan: + - 12 mm 10 mm Escherichia coli K D D Vibrio harveyi K D D + + - + - 10 mm 11 mm 12 mm 9 mm 10 mm 8 mm + 8 mm 8 mm + 12 mm 11 mm + 8 mm 9 mm + 16 mm 10 mm A = Mikrob amilolitik K = Kriteria + Ada aktivitas antagonistik P = Mikrob proteolitik - Tidak ada aktivitas L = Lipolitik antagonistik D = Diameter 43 44 Vh*A2an Gambar 10. Aktivitas antagonistik mikrob uji terhadap mikrob patogen bagi ikan (Aeromonas hydrophila, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi) 44 45 Ketahanan terhadap Asam Lambung dan Garam Empedu Ketahanan isolat terhadap asam lambung dan garam empedu direfleksikan dengan kemampuannya bertahan dalam media asam dan basa, yang dinyatakan dalam penurunan log jumlah isolat dalam media kontrol dan perlakuan selama periode pengamatan. Hasil pengujian ketahanan isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik terhadap asam lambung dan garam empedu disajikan pada Lampiran 20. Selisih log jumlah isolat kontrol dan perlakuan setiap periode pengamatan disajikan pada Gambar 11. Kemampuan setiap isolat di dalam media pada pH asam dan pH basa bervariasi. Sampai jam ke-8, secara umum semua isolat masih hidup, walaupun tingkat pertumbuhan pada umumnya lebih rendah dari kontrol (Gambar 11). Penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 2,5 periode pengamatan 2 jam ditunjukkan oleh isolat A1-a dan A4-a, diikuti oleh isolat A2-a, A1-an, A2-an, dan terbesar ditunjukkan oleh isolat A3-a, sedangkan isolat A3-an dengan populasi lebih tinggi dari kontrol. Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi mikrob diperlihatkan oleh isolat P1an, diikuti oleh isolat P5-a, P4-a, P3-a, P2-a, dan terbesar ditunjukkan oleh isolat P1-a. Pada isolat mikrob lipolitik penurunan log populasi mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L2-a, L1-an, L2-an dan terbesar diperlihatkan oleh isolat L1-a. Pada periode pengamatan 4 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 2,5 ditunjukkan oleh isolat A4-a, yang diikuti oleh isolat A1-a, A3-an, A3-a, A1-an, A2-an, dan tertinggi diperlihatkan oleh isolat A2-a. Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi mikrob diperlihatkan oleh isolat P5-a, yang diikuti oleh isolat P4-a, P1-a, P3-a, P1-an, dan terbesar ditunjukkan oleh isolat P2-a. Pada isolat mikrob lipolitik, penurunan log populasi mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L1-a, L2-a, L1-an dan terbesar diperlihatkan oleh isolat L2-an. Pada periode pengamatan 6 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 2,5 diperlihatkan oleh isolat A4-a, yang diikuti oleh isolat A1-a, A3an, A3-a, A1-an, A2-an, dan tertinggi ditunjukkan oleh isolat A2-a. Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat diperlihatkan 45 46 oleh isolat P4-a, yang diikuti oleh isolat P5-a, P1-an, P1-a, P3-a, dan terbesar ditunjukkan oleh isolat P2-a. Pada mikrob lipolitik, penurunan log populasi isolat mikrob terkecil diperlihatkan oleh isolat L2-a, L2-an, L1-an dan terbesar diperlihatkan oleh isolat L1-a. Gambar 11. Selisih log (cfu/mL) antara jumlah isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik dalam media dengan pH 2,5 dan pH 7,5 dengan kontrol setiap periode pengamatan Pada periode pengamatan 8 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 2,5 diperlihatkan oleh isolat A4-a, yang diikuti oleh isolat A1-a, A2-an, A1-an, A3-a, A3-an dan tertinggi oleh isolat A2-a. Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat mikrob diperlihatkan oleh isolat P1-a, yang diikuti oleh isolat P3-a, P5-a, P4-a, P1-an, dan terbesar 46 47 diperlihatkan oleh isolat P2-a. Pada isolat mikrob lipolitik penurunan log populasi mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L2-a, L1-an, L2-an dan terbesar diperlihatkan oleh isolat L1-a. Penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 7,5 periode pengamatan 2 jam diperlihatkan oleh isolat A1-a, A2-an, A4-a, dan A2-a, sedangkan isolat A3-a, A1-an dan A3-an dengan populasi lebih tinggi dari kontrol. Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi mikrob diperlihatkan oleh isolat P2-a, yang diikuti oleh isolat P5-a, sedangkan isolat yang lain dengan log populasi isolat sama atau lebih besar dari kontrol. Pada mikrob lipolitik, penurunan log populasi isolat terkecil diperlihatkan oleh isolat L2-a, L1-an dan terbesar ditunjukkan oleh isolat L1-a, adapun populasi isolat L2-an lebih besar dari kontrol. Pada periode pengamatan 4 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 7,5 ditunjukkan oleh isolat A1-an, yang diikuti oleh isolat A1-a, A4-a, A3-an, A3-a, A2-an, dan tertinggi diperlihatkan oleh isolat A2-a. Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat mikrob diperlihatkan oleh isolat P4-a, yang diikuti oleh isolat P5-a, P1-a, P2-a, P3-an, dan terbesar diperlihatkan oleh isolat P1-an. Pada isolat mikrob lipolitik, penurunan log populasi isolat mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L1-a, L2-a, L1-an dan terbesar diperlihatkan oleh isolat L2-an. Pada periode pengamatan 6 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 7,5 diperlihatkan oleh isolat A1-an, yang diikuti oleh isolat A1-a, A2-a, A3-an, A3-a, A4-a, dan tertinggi diperlihatkan oleh isolat A2-a. Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat mikrob diperlihatkan oleh isolat P4-a, yang diikuti oleh isolat P3-a, P2-a, P1-a, dan terbesar diperlihatkan oleh isolat P5-a dan P1-an. Pada isolat mikrob lipolitik, penurunan log populasi isolat mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L1-a, L2-an, dan terbesar oleh isolat L1-an, sedangkan isolat L2-a mempunyai log populasi isolat yang sama dengan kontrol. Pada periode pengamatan 8 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 7,5 diperlihatkan oleh isolat A1-an, yang diikuti oleh isolat A1-a, A4-a, A2-an, A3-an, A2-a dan tertinggi ditunjukkan oleh isolat A3-a. 47 48 Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat mikrob diperlihatkan oleh isolat P3-a, yang diikuti oleh isolat P4-a, P2-a, P1-a, P1-an dan terbesar diperlihatkan oleh isolat P5-a. Pada isolat mikrob lipolitik, penurunan log populasi isolat mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L1-a, L2-a, L2-an dan terbesar oleh isolat L1-an. Uji Penempelan Uji penempelan atau adhesi isolat mikrob didasarkan pada kemampuan mikrob membentuk biofilm, mikrob yang mampu membentuk biofilm dengan baik akan memiliki kemampuan menempel dengan baik pula. Hal ini diujikan sebagai pendekatan terhadap kemampuan menempel isolat pada substrat padat (usus). Hasil uji penempelan pada lempeng stainless steel isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik yang diisolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng (Tabel 5 dan Lampiran 21) menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi mikrob planktonik maka populasi mikrob yang menempel semakin rendah. Tabel 5. Hasil uji penempelan isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik pada lempeng stainless steel Isolat Aerob A1-a A2-a A3-a A4-a P1-a P2-a P3-a P4-a P5-a L1-a L2-a Populasi mikrob Swab Planktonik 4 8,9 x 10 4,5 x 10 4 7,1 x 10 5 1,8 x 10 4 6,2 x 10 5 6,7 x 10 4 7,2 x 10 4 10 7,6 x 10 4.7 x 10 11 5,4 x 10 8 1,4 x 10 12 9,5 x 10 9 4,2 x 10 10 1,2 x 10 11 7,9 x 10 11 8,2 x 10 11 4,0 x 10 11 3,8 x 10 10 Isolat Anaerob A1-an A2-an A3-an P1-an P2-an L1-an L2-an Populasi mikrob Swab Planktonik 7,1 x 10 5 5,0 x 10 4 8,4 x 10 4 1,6 x 10 5 8,5 x 10 5 1,3 x 10 5 4,2 x 10 4 3,5 x 10 4 5,7 x 10 4 2,2 x 10 5 Keterangan: A = Mikrob amilolitik Populasi mikrob: Swab P = Mikrob proteolitik Planktonik L = Mikrob lipolitik 8,1 x 10 9 4,2 x 10 11 9,3 x 10 10 2,8 x 10 10 8,5 x 10 9 2,0 x 10 10 = cfu/cm2 = cfu/mL 48 49 Rekapitulasi Rekapitulasi hasil pengujian parameter seleksi isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rekapitulasi data hasil pengujian beberapa parameter yang digunakan pada seleksi isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik saluran pencernaan ikan bandeng yang potensial sebagai kandidat probiotik Isolat Aerob A1-a A2-a A3-a A4-a P1-a P2-a P3-a P4-a P5-a L1-a L2-a Anaerob A1-an A2-an A3-an P1-an P2-an L1-an L2-an Keterangan : F H D + + + + + + + + 14 16 14 15 15 12 13 14 16 10 9 1649,24 1702,63 1705,22 1651,49 1837,37 1502,11 1823,16 1610,53 1811,59 0,21 0,14 Parameter AE PM 0,66 0,76 0,77 0,66 0,67 0,44 0,66 0,53 0,65 0,36 0,13 8,4 x 10 10 4,3 x 10 11 6,1 x 10 8 2,0 x 10 12 1,8 x 10 10 5,3 x 10 10 1,5 x 10 11 8,0 x 10 11 8,3 x 10 11 4,4 x 10 11 4,2 x 10 10 AG pH T +/3 +/1 - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 11 1694.1 0.76 8.5 x 10 9 +/1 + + 11 +/1 + + + 14 1651.82 0.62 4.1 x 10 11 + 10 1582.92 0.58 1.4 x 10 + + 10 +/2 + + + 16 1918.95 0.82 6.7x 10 + 9 0.18 0.31 3.1 x 10 10 + + 10 10 0.16 0.21 1.7 x 10 + + F = fakultatif , H = hidrolisis (mm) D = degradasi substrat (mikrob amilolitik dan proteolitik: mg/L, mikrob lipolitik: mmol lemak), AE = aktivitas enzim (IU/mL/menit), PM = populasi mikrob (cfu/mL), AG = antagonistik, pH = ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu, dan T = uji penempelan (adhesi) 49 50 Pembahasan Mikroflora yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan bandeng di antaranya adalah Moraxella sp., Aeromonas sp., Citrobacter sp., Carnobacterium sp., Streptococcus sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., Plesiomonas sp., Staphylococcus sp., Flavobacterium sp., Vibrio sp., dan Serratia sp. Mikrob tersebut juga ditemukan pada saluran pencernaan spesies ikan lain dan media budi daya seperti dilaporkan oleh beberapa peneliti (Sakata dan Yuki 1991; Cipriano et al. 1992; Sugita et al. 1994; Garcia et al. 1997; Rombout et al. 1999; Olsen et al. 2000; Rengpipat et al. 2000; Robertson et al. 2000; Spanggaard et al. 2000; dan Al-Harbi dan Uddin 2005). Namun demikian, belum ditemukan laporan tentang jenis mikrob lainnya yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan bandeng, yaitu mikrob Micrococcus sp., Proteus sp., Planococcus sp., dan Kurthia sp. ditemukan pada saluran pencernaan spesies ikan lain. Akan tetapi, jenis mikrob tersebut umumnya ditemukan pada substrat tanah (Pelczar dan Chan 1988; dan Olsen et al. 2000). Mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng seperti halnya mikrob yang ditemukan pada spesies ikan lainnya diduga berasal dari lingkungan budi daya. Mikrob tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan bersama dengan pakan yang dimakan. Khususnya ikan bandeng, kebiasaannya memakan detritus dari dasar tambak bertujuan untuk mendapatkan jasad renik atau mikroorganisme untuk memenuhi kebutuhan protein dan atau untuk membantu degradasi pakan yang dimakan. Dengan demikian, mikroflora tersebut mempunyai peluang yang besar untuk dijadikan probiotik. Mikroflora menguntungkan yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan bandeng adalah Moraxella sp., Bacillus sp., Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, Streptococcus sp., Pseudomonas sp., dan Flavobacterium sp. Hasil penelitian yang mempertegas hal ini dilaporkan oleh beberapa peneliti (Garcia et al. 1997;. Haryanti et al. 1999; Rengpipat et al. 1998, 2000;. Rombout et al. 1999; De Schrijver dan Ollevier 2000; dan Robertson et al. 2000). Mikrob tersebut berperan sebagai nutrien tambahan bagi ikan dan atau suplemen dalam kultur pakan alami, yaitu bermanfaat melalui metabolit seperti vitamin B12 dan enzim yang disekresikannya ke dalam medium kultur. Di samping itu, mikrob 50 51 yang termakan dan masuk ke dalam saluran pencernaan berperan dalam meningkatkan kecernaan nutrien pakan melalui enzim pencernaan eksogen yang disekresikannya. Peran yang lain adalah kemampuan mikrob menghasilkan senyawa antimikrob sehingga mampu menghambat perkembangan mikro patogen dalam saluran pencernaan ikan maupun media budi daya. Oleh karena itu, mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng yang terpilih sebagai kandidat probiotik adalah mikrob yang menguntungkan serta dapat menjaga keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan ikan. Salah satu tahapan seleksi adalah mikrob yang terpilih harus tergolong fakultatif. Hal ini demikian karena probiotik yang diaplikasikan dalam budi daya ikan bandeng akan berhadapan dengan 2 kondisi lingkungan yang sangat berbeda, yaitu ada dan tidak ada oksigen. Probiotik diinokulasikan ke dalam pakan pada kondisi lingkungan yang dipenuhi oksigen. Setelah pakan diberikan dan dimakan oleh ikan, mikrob masuk ke saluran pencernaan dan berhadapan dengan keadaan lingkungan anaerob, yaitu tidak ada oksigen. Keadaan lingkungan tempat mikroorganisme tersebut hidup sangat menentukan metabolisme energi yang dilakukannya. Menurut Fardiaz (1992) faktor lingkungan yang paling menentukan dalam metabolisme energi mikrob adalah oksigen. Mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng yang tergolong mikrob fakultatif adalah Moraxella sp., Aeromonas hydrophila, Carnobacterium sp., Staphylococcus sp., Flavobacterium sp., Vibrio sp., Streptococcus sp., Bacillus sp., Micrococcus sp., Vibrio alginoliticus, Planococcus sp., Plesiomonas sp., dan Kurthia sp. Pada percobaan ini yang menjadi target isolasi adalah mikrob yang mempunyai aktivitas amilolitik, proteolitik, dan lipolitik. Ketiga golongan mikrob tersebut adalah mikrob yang mampu mensekresikan enzim yang berperan penting dalam proses pencernaan, yaitu sebagai katalisator dalam hidrolisis nutrien pakan pada saluran pencernaan ikan. Ketiga jenis enzim tersebut adalah amilase, protease, dan lipase. Mikroorganisme dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar yang kaya akan molekul kompleks dengan cara mensekresikan enzim yang disebut eksoenzim. Eksoenzim menghidrolisis makromolekul menjadi molekul yang lebih sederhana, seperti protein menjadi asam amino, polisakarida menjadi gula, dan lemak menjadi asam lemak. Molekul yang sudah kecil ini diangkut ke 51 52 sitoplasma sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi atau senyawa pemula dalam sintesis komponen sel (Lay 1994). Mikrob amilolitik adalah mikrob yang mampu menghasilkan eksoenzim amilase yang akan mendegradasi zat pati menjadi maltosa dan glukosa. Sakarida ini diangkut ke dalam sitoplasma sel dan digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Mikrob proteolitik adalah mikrob yang mampu menghasilkan eksoenzim protease yang akan merombak protein menjadi asam amino. Mikrob proteolitik akan memanfaatkan asam amino sebagai sumber karbon dan energi. menghasilkan eksoenzim Mikrob lipolitik adalah mikrob yang mampu lipase yang akan mencerna trigliserida dan menghasilkan asam lemak berantai panjang dan gliserol yang akan dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan gliserol (Atlas et al. 1984). Pada penelitian ini isolasi mikrob dilakukan secara selektif. Artinya bahwa isolasi langsung menggunakan media yang sesuai dengan kebutuhan nutrien mikrob yang menjadi target isolasi. Meskipun demikian, dilakukan juga tahapan pengujian degradasi atau hidrolisis substrat, serta aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase untuk membuktikan bahwa mikrob yang telah diisolasi merupakan mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik. Kemampuan degradasi atau hidrolisis pati dan aktivitas enzim amilase pada mikrob amilolitik dari yang tinggi ke rendah ditunjukkan oleh Citrobacter sp, Aeromonas hydrophila, Staphylococcus sp., Flavobacterium sp., Carnobacterium sp., Moraxella sp., dan Vibrio sp. Kemampuan degradasi atau hidrolisis kasein dan aktivitas enzim protease pada mikrob proteolitik dari yang tinggi ke rendah ditunjukkan oleh Vibrio alginoliticus, Streptococcus sp., Micrococcus sp., Proteus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. Kemampuan degradasi atau hidrolisis lemak dan aktivitas enzim lipase pada mikrob lipolitik dari yang tinggi ke rendah ditunjukkan oleh Planococcus sp., Kurthia sp., Serratia sp., dan Plesiomonas sp. Aktivitas enzim yang dihasilkan berkisar mulai dari 0,58 sampai 0,77 IU/ mL/menit untuk mikrob amilolitik, 0,44 sampai 0,82 IU/mL/menit untuk mikrob proteolitik, dan 0,13 sampai 0,36 IU/mL/menit untuk mikrob lipolitik. Aktivitas enzim protease yang disekresikan Bacillus pumilus yang dihasilkan oleh Wijaya (1995) berkisar mulai dari 1,58 sampai 2,76 IU/mL/menit atau 5 kali lipat 52 53 lebih tinggi dari enzim kasarnya. Enzim yang dihasilkan pada percobaan ini masih berupa crude enzyme (enzim kasar) sehingga berpengaruh pada aktivitas enzim yang dihasilkannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah kemurnian enzim. Walaupun demikian, kisaran nilai aktivitas crude enzyme yang diperlihatkan mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng lebih besar kalau dibandingkan dengan kontribusi aktivitas enzim pencernaan yang berasal dari pakan alami. Haryati (2002) melaporkan bahwa aktivitas enzim-enzim yang terdeteksi pada Brachionus, yang akan memberi kontribusi terhadap aktivitas enzim di dalam saluran pencernaan adalah a-amilase 0,0694 ± 0,0134; lipase 0,0537 ± 0,0800; tripsin 0,0180 ± 0,0020; dan pepsin 0,0192 ± 0,0002 IU/ g Brachionus/menit. Oleh karena itu crude enzyme yang disekresikan oleh mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng mempunyai potensi untuk diaplikasikan pada usaha pembenihan ikan bandeng untuk menghidrolisis (predigestion) pakan buatan sebelum diberikan pada larva. Istilah pertumbuhan untuk mikroorganisme mengacu pada perubahan di dalam hasil panen sel (pertambahan total massa sel), dan bukan perubahan individu organisme. Cara khas reproduksi bakteri adalah pembelahan biner melintang, satu sel membelah diri menghasilkan dua sel, dan populasi akan bertambah secara geometrik. Pertumbuhan populasi sel pada umumnya terjadi pada fase logaritma atau eksponensial. Kandidat probiotik yang akan terpilih menjadi probiotik diharapkan mencapai fase eksponensial dengan cepat dengan waktu generasi yang pendek. terpilih sebagai Menurut Havenaar et al. (1992) mikrob yang probiotik agar dapat bertahan hidup dalam saluran pencernaan inang, harus mempunyai waktu generasi yang pendek dan atau kemampuan kolonisasi pada permukaan usus. Pengamatan pada fase pertumbuhan mikrob dilakukan dengan mengamati perubahan populasi dan nilai kerapatan optik (Optical Density = OD) untuk menunjukkan aktivitas mikrob dalam hubungannya dengan komposisi sel sendiri dan lingkungan. Pertumbuhan isolat mikrob diukur untuk menentukan fase-fase pertumbuhan dan waktu generasi. Hal ini berhubungan dengan panen sel yang tepat untuk memproduksi suatu produk atau senyawa metabolit, antara lain enzim, antimikrob, vitamin, asam organik, asam lema k, asam amino, dan peptida. 53 54 Fase pertumbuhan masing-masing isolat mikrob saluran pencernaan ikan bandeng dan waktu generasinya bervariasi antar-isolat. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat yang diisolasi merupakan isolat mikrob yang berbeda. Berdasarkan fase pertumbuhan yang diperlihatkan oleh 3 kandidat probiotik terpilih, yaitu Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp., periode waktu inkubasi yang dilakukan untuk memproduksi crude enzyme atau senyawa antimikrob adalah pada fase eksponensial, yaitu 14 jam untuk Carnobacterium sp., 16 jam untuk Vibrio alginoliticus, dan 18 jam untuk Planococcus sp. Selain kriteria yang disebut di atas, kriteria isolat mikrob yang dipertimbangkan sebagai probiotik adalah kemampuannya untuk menghambat perkembangan mikrob patogen sehingga mampu berkompetisi mempertahankan keseimbangan mikroflora normal dalam usus. untuk Isolat yang menunjukkan aktivitas antagonistik terhadap mikrob patogen uji (Aeromonas hydrophila, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi) adalah Carnobacterium sp., Bacillus sp., Staphylococcus sp., Flavobacterium sp., dan Vibrio alginoliticus. Hasil yang didapat sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya bahwa isolat-isolat tersebut mempunyai aktivitas antagonistik terhadap mikrob patogen bagi spesies ikan. Mikroflora yang telah diisolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng tidak semuanya menguntungkan bagi ikan dan atau pakan alami ikan. Mikroflora yang merugikan atau mikrob patogen bagi ikan adalah Aeromonas hydrophila, Pseudomonas sp., Plesiomonas sp., Vibrio sp., dan Streptococcus sp. Keberadaan mikrob patogen pada saluran pencernaan ikan dan atau media budi daya dengan populasi yang tinggi sangat merugikan pada usaha budi daya ikan. Hal ini terjadi karena mikrob patogen dapat menimbulkan penyakit dan bahkan kematian bagi organisme budi daya. Hal penting yang diperlukan mikroflora saluran pencernaan adalah berada dalam keseimbangan, yaitu antara mikrob menguntungkan dan mikrob patogen, serta saling berinteraksi antar-spesies mikrob dalam saluran pencernaan, baik secara antagonistik maupun sinergistik. Interaksi yang terjadi sangat penting di dalam mempertahankan keseimbangan mikroflora saluran pencernaan. perkembangan Kemampuan mikrob mikrob patogen, menguntungkan menunjukkan dalam menghambat kemampuannya untuk 54 55 mempertahankan keseimbangan mikroflora di dalam saluran pencernaan ikan bandeng. Kemampuan tersebut berhubungan dengan kemampuannya menghasilkan senyawa antimikrob, yaitu peptida yang disintesis dalam ribosom. Surono (2004) mengemukakan bahwa antimikrob yang dihasilkan mikroflora di antaranya adalah asam laktat, peroksida, dan bakteriosin. Flora normal pada usus memiliki fungsi perlindungan yang penting untuk menekan bakteri patogen dan virus, menstimulir daya tahan lokal dan sistemik, serta mengubah aktivitas metabolik mikrob usus. Selain itu, mikrob probiotik juga menekan mikrob patogen karena terjadinya kompetisi sisi penempelan (reseptor), peningkatan produksi lender atau mukosa usus, dan kompetisi nutrisi (Salminen dan Wright 1993) Toleran pada asam lambung dan garam empedu merupakan syarat terpenting kandidat probiotik. Hal ini demikian karena, stres pertama yang terjadi pada sel mikrob yang memasuki saluran pencernaan adalah asam lambung. Selanjutnya setelah melewati lambung, sel mikrob akan berhadapan dengan garam empedu dengan pH basa di usus halus. Ketahanan isolat terhadap asam lambung dan garam empedu direfleksikan oleh ketahanannya pada media asam dan basa, yang dinyatakan dalam penurunan log jumlah isolat dalam media kontrol dan perlakuan selama periode pengamatan. Penurunan log yang terkecil menunjukkan ketahanan terhadap pH rendah dan pH tinggi yang terbesar. Mikrob yang berhasil bertahan pada kondisi pH rendah dinyatakan bersifat tahan atau resisten terhadap asam lambung, sedangkan mikrob yang berhasil hidup pada pH basa dinyatakan bersifat tahan atau resisten terhadap garam empedu (Zavaglia et al. 1998; Chou dan Weimer 1999;. Kimono et al. 1999; dan Jacobsen et al. 1999). Mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng yang diuji menunjukkan kemampuannya bertahan pada media asam dan basa. Hal ini mengindikasikan bahwa mikroflora tersebut mampu bertahan hidup pada lambung yang ber-pH rendah akibat sekresi asam lambung, dan juga mampu berhadapan dengan garam empedu yang ber-pH tinggi. Isolat tetap mampu hidup sampai pada akhir pengamatan 8 jam. Kemampuan tersebut diduga karena isolat tersebut adalah mikroflora normal saluran pencernaan yang sudah beradaptasi dengan kondisi asam lambung dan garam empedu dalam saluran pencernaan. 55 56 Toleransi terhadap perubahan keasaman media terjadi oleh kemampuan mikrob mengatur pH sitoplasma dibandingkan pH ekstraseluler (Hutkins dan Nannen 1993). Untuk mempertahankan pH sitoplasma, sel mikrob harus mempunyai barier terhadap aliran proton. Barier ini umumnya adalah membran sitoplasma. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam atau basa menentukan toleransi mikrob pada pH. Membran sitoplasma mikrob terdiri atas 2 lapis fosfolipid (lipid bilayer). Di dalam dan pada permukaan lapisan tersebut melekat protein dan glikoprotein. Lipit bilayer bersifat semipermiabel yang merupakan barier yang membatasi pergerakan senyawa yang keluar masuk antara sitoplasma dan lingkungan luar (Cano dan Colome 1986). Komposisi dan struktur asam lemak dan protein membran sitoplasma beragam di antara spesies mikrob. Keragaman tersebut mempengaruhi karakteristik dan permeabilitasnya sehingga berpengaruh pada ketahanan mikrob pada kondisi asam atau basa. Agar dapat bertahan hidup dalam saluran pencernaan inang, mikrob harus mempunyai waktu generasi yang pendek dan kemampuan kolonisasi pada permukaan usus. Hal ini disebabkan oleh strain yang tidak mempunyai kemampuan kolonisasi akan terlepas oleh kontraksi usus (Havenaar et al. 1992). Agar dapat mengkolonisasi dengan baik pada permukaan saluran pencernaan, probiotik harus mempunyai kemampuan adhesi atau menempel. dipertimbangkan sebagai tahap pertama Adhesi dapat kolonisasi, dan sebanding dengan viabilitas dan aktivitas metabolik. Jenis mikrob yang berbeda mempunyai kemampuan penempelan yang berbeda pula. Berdasarkan pengujian adhesi pada mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng yang berhasil diisolasi menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi mikrob planktonik semakin rendah populasi mikrob yang menempel. Hubungan negatif ini diduga terjadi karena laju pertumbuhan yang tinggi pada populasi mikrob planktonik menyebabkan nutrien berkurang dengan cepat sehingga sel-sel mengalami kelaparan dan berpengaruh pada pembentukan biofilm, yaitu sel-sel yang terimobilisasi pada permukaan padat dan secara berkala terperangkap pada matriks yang merupakan polimer organik dari mikrob tersebut. Di samping itu, penurunan jumlah nutrien menyebabkan sel-sel mikrob mengalami kematian atau terjadi pelepasan sel mikrob yang menempel menuju ke fase cair. Walaupun 56 57 demikian, semua isolat mikrob pada penelitian ini memperlihatkan kemampuan adhesi atau menempel, yang ditunjukkan oleh adanya sebagian dari koloni isolat mikrob yang mampu menempel pada lempeng stainless steel yang diidentikkan dengan substrat padat (usus). Belum ditemukan laporan tentang kisaran jumlah populasi koloni mikrob yang menempel pada substrat padat yang dikatakan ideal. Akan tetapi kisaran jumlah populasi mikrob yang menempel pada penelitian berada pada kisaran yang sama dengan hasil penelitian Wirawati (2002) yang menguji penempelan pada lempeng stainless steel isolat bakteri asam laktat yng diisolasi dari tempoyak, serta Evanikastri (2003) isolat bakteri asam laktat dari sampel klinis Dilaporkan bahwa jumlah populasi mikrob yang menempel dibandingkan dengan populasi mikrob yang planktonik adalah sebanding dengan sifat hidrofobisitas, yaitu berada pada kriteria moderat atau sedang. Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif, yaitu membandingkan data beberapa parameter yang diamati pada percobaan seleksi isolat (Tabel 6) dengan literatur pendukung seperti yang telah diuraikan pada pembahasan, isolat mikrob yang dipilih sebagai kandidat probiotik dan digunakan sebagai materi pada percobaan tahap berikutnya adalah isolat A4-a (Carnobacterium sp.) pada mikrob amilolitik, isolat P1-an (Vibrio alginoliticus) pada mikrob proteolitik, dan isolat L1-a (Planococcus sp.) pada mikrob lipolitik. Pertimbangan memilih isolat mikrob A4-a (Carnobacterium sp.) pada mikrob amilolitik adalah 1) mikrob tersebut adalah fakultatif; 2) populasi mikrob ini tidak kurang dari 1 x 107 cfu/mL, dan populasi isolat pada waktu puncak 2,0 x 1012 cfu/mL dengan waktu generasi 45,44 menit; 3) kemampuan hidrolisis dan degradasi substrat, serta aktivitas enzim relatif tinggi; 4) mampu bertahan hidup pada pH rendah dan pH tinggi sebagai indikator kemampuannya bertahan terhadap asam lambung dan garam empedu; 5) mempunyai aktivitas antagonistik terhadap semua mikrob patogen bagi ikan yang diuji yaitu Aeromonas hydrophila, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi; dan 6) mempunyai kemampuan adhesi atau menempel pada substrat padat. Pertimbangan memilih isolat mikrob P1an (Vibrio alginoliticus) pada mikrob proteolitik adalah 1) mikrob tersebut adalah fakultatif; 2) populasi mikrob tidak kurang dari 1 x 107 cfu /mL, dan populasi isolat pada waktu puncak 6,7 x 57 58 1010 cfu /mL dengan waktu generasi 36,35 menit.; 3) kemampuan hidrolisis dan degradasi substrat, serta aktivitas enzim relatif tinggi: 4) mampu bertahan hidup pada pH rendah dan pH tinggi sebagai indikator kemampuannya bertahan terhadap asam lambung dan garam empedu; 5) mempunyai aktivitas antagonistik terhadap dua jenis mikrob patogen bagi ikan yang diuji yaitu Escherichia coli dan Vibrio harveyi; dan 6) mempunyai kemampuan adhesi atau menempel pada substrat padat. Pertimbangan memilih isolat mikrob L1a (Planococcus sp.) pada mikrob lipolitik adalah 1) mikrob fakultatif; 2) populasi mikrob tidak kurang dari 1 x 107 cfu /mL, dan populasi isolat pada waktu puncak 4,4 x 1011 cfu /mL dengan waktu generasi 34,56 menit; 3) kemampuan hidrolisis dan degradasi substrat, serta aktivitas enzim lebih tinggi dibandingkan dengan isolat mikrob lipolitik lainnya; 4) mampu bertahan hidup pada pH rendah dan pH tinggi sebagai indikator kemampuannya bertahan terhadap asam lambung dan garam empedu; dan 5) mempunyai kemampuan adhesi atau menempel pada substrat padat. Simpulan Mikroflora yang berhasil diisolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng ada 18 jenis isolat mikrob yang terdiri atas 4 jenis mikrob amilolitik aerob (Moraxella sp., Aeromonas hydrophila, Citrobacter sp. dan Carnobacterium sp.), 3 jenis mikrob amilolitik anaerob (Staphylococcus sp. Flavobacterium sp. dan Vibrio sp.), 5 jenis mikrob proteolitik aerob (Streptococcus sp., Bacillus sp., Micrococcus sp., Pseudomonas sp. dan Proteus sp.), 2 jenis mikrob proteolitik anaerob (Vibrio alginoliticus dan jenis tidak teridentifikasi), 2 jenis mikrob lipolitik aerob (Planococcus sp. dan Plesiomonas sp.) dan 2 jenis mikrob lipolitik anaerob (Kurthia sp. dan Serratia sp.). Mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng yang dipilih sebagai kandidat probiotik, dan digunakan sebagai materi pada percobaan tahap berikutnya adalah isolat A4-a (Carnobacterium sp.) pada mikrob amilolitik, isolat P1-an (Vibrio alginoliticus) pada mikrob proteolitik; dan isolat L1-a (Planococcus sp.) pada mikrob lipolitik. 58 59 HIDROLISIS PAKAN BUATAN (PREDIGESTION) OLEH CRUDE ENZYME PENCERNAAN EKSOGEN YANG DISEKRESIKAN MIKROB Carnobacterium sp. Vibrio alginoliticus DAN Planococcus sp. UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN BANDENG Pendahuluan Intensifikasi budi daya ikan bandeng harus diimbangi dengan penyediaan benih yang cukup dan berkesinambungan. Kebutuhan benih ikan bandeng (nener) pada tahun 2005 mencapai 1.387.040.000 ekor, dan diperkirakan setiap tahun kebutuhan nener akan terus meningkat (Ditjen Perikanan Budi Daya 2006). Pada tahun 2009, kebutuhan nener diproyeksikan mencapai 2.172.480.000 ekor. Hasil tangkapan di alam hanya dapat memenuhi setengah dari kebutuhan nener tersebut. Alternatif yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan nener adalah usaha pembenihan. Akan tetapi kelangsungan usaha ini dibatasi oleh penyediaan pakan alami yang dari segi kuantitas sulit dipenuhi. Penggunaan pakan alami yang berkepanjangan, selain tidak praktis juga tidak ekonomis, dan dari segi kualitas nilai nutrien pakan alami tidak selalu konsisten atau layak. Biaya pengadaan pakan alami dapat mencapai lebih dari 35% dari total biaya produksi (Djunaidah dan Komaruddin 1997). Karena beberapa alasan, suplai pakan alami kemungkinan dapat berhenti, salah satunya adalah cuaca. Kultur pakan alami secara massal sangat bergantung pada cuaca (Kurokawa et al. 1998). Pada usaha pembenihan skala besar, waktu penggunaan pakan alami perlu dibatasi dan perannya digantikan oleh pakan buatan yang komposisi gizinya disesuaikan dengan kebutuhan larva ikan bandeng. Studi penggunaan pakan buatan pada pemeliharaan larva ikan bandeng menunjukkan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva tidak sebaik yang diberi pakan alami seperti dilaporkan oleh beberapa peneliti (Duray dan Bagarinao 1984; Aslianti dan Azwar 1992; dan Aslianti et al. 1993). Pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang cukup rendah pada larva yang diberi pakan buatan diakibatkan oleh belum lengkapnya perkembangan organ 59 60 pencernaan pada stadia awal pertumbuhan sehingga berpengaruh pada ketersediaan enzim pencernaan (Lauff dan Hofer 1984; Haryati 2002). Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi penggunaan pakan buatan, salah satunya adalah dengan menghidrolisis (predigestion) pakan buatan dengan menggunakan enzim pencernaan eksogen sebelum diberikan ke larva. Pendekatan penggunaan enzim pencernaan eksogen (predigestion) dalam pakan buatan yang sesuai dengan kebutuhan larva ikan bandeng diharapkan dapat meningkatkan kecernaan pakan sehingga pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng dapat ditingkatkan. Pada percobaan pertama terseleksi 3 isolat mikrob yang akan diuji lebih lanjut sebagai kandidat probiotik. Isolat mikrob tersebut adalah Carnobacterium sp. pada mikrob amilolitik, Vibrio alginoliticus pada mikrob proteolitik, dan Planococcus sp. pada mikrob lipolitik. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 tahapan percobaan, yaitu pengujian secara in vitro dan in vivo. Percobaan I (in vitro) bertujuan Carnobacterium mengkaji sp., efektivitas Vibrio crude enzyme yang alginoliticus, dan Planococcus disekresikan sp. dalam menghidrolisis (predigestion) pakan buatan untuk larva ikan bandeng. Percobaan II (in vivo) bertujuan mengkaji efektivitas pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme yang disekresikan Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. dalam perbaikan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan I (in vitro) dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, serta Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan, IPB. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan mulai bulan Oktober 2004 sampai Februari 2005. Percobaan II (in vivo) dilakukan di PT. Esaputlii Prakasa Utama, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Analisis beberapa peubah dilakukan di Laboratorium 60 61 Kualitas Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS, serta di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, serta Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan mulai bulan April 2005 sampai September 2005. Prosedur Penelitian Percobaan I (In Vitro) Percobaan pertama bertujuan menemukan konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi yang paling efektif menghidrolisis (predigestion) pakan buatan untuk larva ikan bandeng. Percobaan ini didesain menggunakan pola faktorial 5 x 6 dalam rancangan acak lengkap (RAL) masing-masing 3 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi crude enzyme dengan 5 level, yaitu 5, 10, 15, 20, dan 25 mL/kg pakan. Faktor kedua adalah periode inkubasi dengan 6 level, yaitu 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam. Pakan yang digunakan pada percobaan ini adalah pakan berbentuk pasta yang diformulasi sesuai dengan kebutuhan nutrisi larva ikan bandeng. Komposisi pakan, hasil analisis proksimat bahan baku pakan dan pakan disajikan pada Tabel 7 dan prosedur analisis proksimat mengikuti metode Takeuchi (1988) yang disajikan pada Lampiran 14. Produksi crude enzyme mengacu pada metode yang dilakukan Irawadi (1991), dengan modifikasi pada suhu yang digunakan. Sebanyak 0,1 mL mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. diinokulasikan dalam setiap 10 mL media masing-masing, kemudian diinkubasi selama waktu optimum pada suhu 29oC. Waktu optimum pada Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. secara berturut-turut adalah 14, 16, dan 18 jam. Setelah waktu optimum dicapai, kultur disentrifius dengan kecepatan 11.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan yang diperoleh adalah filtrat ekstrak enzim kasar (crude enzyme). Crude enzyme amilase, protease, dan lipase yang dihasilkan dicampur dengan perbandingan 1 : 6 : 1. 61 62 Tabel 7. Komposisi pakan buatan untuk larva ikan bandeng, serta hasil analisis proksimat pakan dan bahan baku pakan Hasil analisis proksimat (% bk) P BETN L SK Abu Air Tepung ikan 70,00 82,40 0,50 3,90 1,50 2,20 9,50 Tepung kedelai 5,30 36,40 24,70 20,40 3,40 1,60 12,50 Tepung terigu 5,00 8,50 77,80 1,40 2,00 1,00 6,70 Lemak*) 5,70 Vitamin mix**) 4,00 Mineral mix***) 10,00 Komposisi proksimat pakan (% bk)***** Kadar protein 60,13 Kadar karbohidrat (BETN) 5,63 Kadar lemak total 9,84 Kadar serat kasar 1,36 ****) DE (kkal/kg) 3042,34 C/P (kkal/g protein) 5,06 Bahan pakan Komposisi (%) Keterangan : *) Perbandingan lemak : minyak ikan dan minyak jagung 2 : 1 **) Komposisi vitamin mix Vitamin A 3500 IU/kg pakan; Vitamin D3 3000 IU/kg pakan; Vitamin E 100 IU/kg pakan; Vitamin K 10 mg/kg pakan; Vitamin B12 0,02; Asam askorbat 300 mg/kg pakan; Biotin 0,4 mg/kg pakan; Kolin 3000 mg/kg pakan; Asam folat mg/kg pakan; Inositol 400 mg/kg pakan; Niasin 150 mg/kg pakan; Asam pantotenat 60 mg/kg pakan; Piridoksin 10 mg/kg pakan; Riboflavin 20 mg/kg pakan; Thiamin 10 mg/kg pakan ***) Komposisi mineral mix Kalsium 0,2 g/kg pakan; Fosfor anorganik 7 g/kg pakan; Magnesium 0,6 g/kg pakan; Cu 3 mg/kg pakan; Mangan 12 mg/kg pakan; Selenium 0,2 mg/kg pakan; Zn 20 mg/kg pakan; Iodine 0,8 mg/kg pakan; Fe 0,8 mg/kg pakan ****) Hasil perhitungan berdasarkan persamaan energi (NRC 1988) : 1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE 1 g protein = 3,5 kkal DE 1 g lemak = 8,1 kkal DE *****) Komposisi pakan menurut Lee dan Liao (1976) Campuran crude enzyme dibuat sesuai dengan konsentrasi perlakuan, yang ditambahkan dalam 10 g pakan yang berfungsi sebagai substrat. Volume crude enzyme pada semua perlakuan disamakan dengan volume konsentrasi crude enzyme tertinggi dengan menambahkan aquadest. Campuran pakan dan crude enzyme kemudian diinkubasi sesuai dengan periode perlakuan. Reaksi crude enzyme dihentikan dengan cara membagi pakan menjadi 3 bagian. Satu bagian diambil sebanyak 2 g dan ditambahkan 3 mL pereaksi DNS (Dinitrosalicylic acid). Campuran ini kemudian dipanaskan dalam air mendidih 62 63 selama 5 menit untuk menghentikan reaksi crude enzyme amilase (Irawadi 1991). Bagian kedua diambil 0,5 g dan ditambah 1,5 mL trikhloroasetat 5%, kemudian dibiarkan pada suhu ruang untuk menghentikan reaksi crude enzyme protease (Bergmeyer dan Grassi 1983). Bagian yang terakhir diambil 2 g dan ditambahkan 3 mL etil alkohol 95% untuk menghentikan crude enzyme lipase (Tietz dan Friedreck 1966 dalam Borlongan 1990). Parameter yang diamati adalah 1) kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan, 2) kadar protein terlarut dan derajat hidrolisis protein pakan, dan 3) derajat hidrolisis lemak pakan. 1. Kadar Glukosa dan Derajat Hidrolisis Karbohidrat Pakan Pengukuran kadar glukosa dan kadar karbohidrat pakan dilakukan pada akhir pengamatan. Pakan sebanyak 2 g yang telah dihidrolisis dan dihentikan reaksi crude enzyme amilasenya dengan 3 mL pereaksi DNS (Dinitrosalicylic acid) ditambah aquadest sebanyak 2 mL sehingga volume pelarutnya menjadi 5 mL, kemudian disentrifius dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang dihasilkan digunakan untuk analisis kadar glukosa, dengan prosedur analisis (Lampiran 6) mengikuti metode Wedemeyer dan Yasutake (1977). Endapan yang dihasilkan digunakan untuk analisis kadar karbohidrat dengan prosedur analisis mengikuti metode Somogy–Nelson (Lampiran 5) Pengukuran kadar glukosa dan karbohidrat pakan dilakukan juga pada 0 jam. Derajat hidrolisis karbohidrat pakan oleh crude enzyme amilase dihitung dengan menggunakan rumus : Kh0 - Kht DHKh = x 100 Kh0 Dimana : DHKh = derajat hidrolisis karbohidrat Kh0 = kadar karbohidrat pakan pada waktu awal Kht = kadar karbohidrat pakan pada waktu t 2. Kadar Protein Terlarut dan Derajat Hidrolisis Protein Pakan Pengukuran kadar protein terlarut dan kadar protein pakan dilakukan pada akhir pengamatan. Pakan sebanyak 0,5 g yang telah dihidrolisis dan dihentikan reaksi crude enzyme proteasenya dengan 1,5 mL trikloroasetat 5% dibiarkan pada 63 64 suhu ruang. Selanjutnya, ditambah 3 mL Tris HCl pH 6,5 dan disentrifius dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan untuk analisis kadar protein terlarut, dengan prosedur analisis (Lampiran 8) mengikuti metode Bradford (1976). Endapan yang dihasilkan digunakan untuk analisis kadar protein total dengan metode Kjeldahl (Takeuchi 1988), prosedur analisis disajikan pada Lampiran 5. Pengukuran kadar protein terlarut dan kadar protein total dilakukan juga pada 0 jam. Derajat hidrolisis protein pakan oleh crude enzyme protease dihitung dengan menggunakan rumus : P0 - Pt DHP = x 100 P0 Dimana : DHP = derajat hidrolisis protein P0 = kadar protein pakan pada waktu awal Pt = kadar protein pakan pada waktu t 3. Derajat Hidrolisis Lemak Pengukuran kadar lemak pakan dilakukan pada akhir pengamatan. Pakan sebanyak 2 g yang telah dihidrolisis dan dihentikan reaksi crude enzyme lipasenya dengan 3 mL etil alkohol 95%. Kadar lemak dianalisis dengan metode soxhlet (Takeuchi 1988), prosedur analisis disajikan pada Lampiran 5. Pengukuran kadar lemak dilakukan juga pada 0 jam. Derajat hidrolisis lemak pakan oleh crude enzyme lipase dihitung dengan menggunakan rumus : L0 - Lt DHL = x 100 L0 Dimana : DHL = derajat hidrolisis lemak L0 = kadar lemak pakan pada waktu awal Lt = kadar lemak pakan pada waktu t Percobaan II (In Vivo) Percobaan kedua bertujuan untuk menentukan umur larva ikan bandeng yang tepat untuk dapat memanfaatkan dengan baik pakan buatan yang telah 64 65 dihidrolisis (predigestion) oleh crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. sebagai pengganti pakan alami. Percobaan ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang diuji adalah 4 jadwal pemberian pakan buatan pada larva ikan bandeng, masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Jadwal pemberian pakan tersebut adalah : Perlakuan A B B CC DD Umur larva (hari) 0—1---2---3---4---5---6---7---8---9---10---11---12---13---14---15---16-------//------30 Green water Chl Br overlap PB Green water Chl Br overlap PB Green water Chl Br overlap PB Green water Chl Br overlap PB Keterangan : Chl = Chlorella, Br = Brachionus, overlap = 50% Brachionus & 50% pakan buatan, PB = pakan buatan Wadah yang digunakan pada percobaan ini adalah baskom plastik berwarna orange berkapasitas 20 L. Masing-masing wadah dilengkapi aerator (Gambar 12). Sebelum digunakan, wadah dan semua peralatan terlebih dahulu didesinfektan dengan klorida (kaporit) dan dinetralkan dengan thiosulfat. Wadah diisi 10 L media green water, yaitu air yang mengandung Chlorella dengan kepadatan 1,5 sampai 2,0 x 10 6 sel/mL, dengan salinitas kerkisar mulai dari 30 sampai 31 ppt. Media green water digunakan sampai larva berumur 15 hari, untuk pemeliharaan selanjutnya menggunakan media clear water, yaitu air yang tidak mengandung Chlorella. Telur bandeng yang baru dihasilkan dari pemijahan induk diinkubasi dengan cara memasukkan ke dalam wadah yang berisi air media dan diaerasi kuat selama ± 15 menit. Telur yang bagus dan terbuahi oleh induk jantan akan mengapung dipermukaan air dan berwarna bening, sedangkan telur yang tidak terbuahi mengendap di dasar wadah dan berwarna putih. Telur yang berwarna bening diambil dan dipindahkan ke wadah lain bervolume air 1 L sambil diaerasi sedang 65 66 untuk menghomogenkan telur di dalam kolom air. Jumlah telur dihitung dengan cara mengambil telur dan air sebanyak 10 mL dengan menggunakan pipet. Kalau jumlah telur masih terlalu padat sediaan diencerkan dalam becker glass sampai volume air mencapai 100 mL. Sebanyak 125 butir telur dimasukkan ke dalam setiap wadah percobaan, dengan perhitungan bahwa hatching rate telur bandeng adalah 80%. Wadah percobaan diaerasi kuat, ± 24 jam kemudian telur menetas dan aerasi diangkat. Selanjutnya wadah percobaan disipon untuk membuang cangkang-cangkang telur yang mengendap di dasar wadah. Larva berumur 0 hari dengan kepadatan per wadah percobaan 100 ekor dipelihara dengan aerasi sangat kecil. Larva berumur satu hari diberi pakan alami Chlorella dengan kepadatan antara 1,5 dan 2,0 x 106 sel/mL media dan larva berumur 2 hari dan seterusnya diberi pakan sesuai dengan jadwal pemberian pakan perlakuan. Gambar 12. Wadah yang digunakan pada percobaan mengkaji efektivitas pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. pada pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng Selama pemberian pakan alami Brachionus, kepadatan Brachionus dalam media pemeliharaan dipertahankan sebanyak 10 ekor/mL media. Kepadatan ini dikontrol setiap 2 kali per hari, yaitu pada pukul 07.00 dan 14.00. Jika jumlah Brachionus dalam media sudah berkurang maka akan ditambahkan supaya tetap konstan sepanjang percobaan. 66 67 Pakan buatan yang digunakan pada percobaan ini sama dengan yang digunakan pada percobaan I (in vitro) pada Tabel 7. Sebelum diberikan pada larva pakan buatan dihidrolisis (predigestion) terlebih dahulu dengan crude enzyme yang disekresikan oleh mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus dan Planococcus sp. dengan konsentrasi 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam berdasarkan hasil yang diperoleh pada percobaan I (in vitro). Pakan buatan diberikan secara at satiation (sampai kenyang) dengan cara menyebarkan pakan secara merata dalam wadah percobaan. Pemberian pakan dilakukan 6 kali per hari, yaitu pada pukul 07.00, 10.00, 13.00, 16.00, 19.00, dan 22.00. Pemeliharaan dilakukan selama 30 hari. Selama percobaan, kualitas media budi daya dijaga dalam kisaran yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bandeng. Kualitas air dijaga dengan cara melakukan penyiponan terhadap sisa pakan dan feses di dasar wadah, serta melakukan pergantian air sebanyak 50% setiap 2 kali sehari. Pengukuran suhu dan salinitas media dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari, sedangkan pengukuran pH, oksigen terlarut, karbondioksida bebas dan amoniak dilakukan pada awal, tengah, dan akhir penelitian. Suhu media berkisar antara 29 dan 31oC, pH berkisar antara 7,4 dan 7,6, oksigen terlarut berkisar antara 6,0 dan 6,5 ppm, karbondioksida bebas berkisar antara 11,97 dan 12,07 ppm, amoniak berkisar antara 0,006 dan 0,007 ppm, dan salinitas berkisar antara 30 dan 31 ppt. Parameter yang diamati adalah 1) pertumbuhan, 2) tingkat kelangsungan hidup, 3) konsumsi pakan, 4) aktivitas enzim pencernaan, dan 5) struktur histologis organ hati. 1. Pertumbuhan Pertumbuhan diukur dengan menimbang larva uji pada awal dan akhir percobaan. Pertumbuhan relatif dihitung dengan rumus Takeuchi (1988) dan pertumbuhan biomassa dihitung dengan rumus Zonneveld et al. (1991). a. Pertumbuhan Relatif Wt - Wo PR = x 100 Wo 67 68 Dimana : PR = pertumbuhan relatif (%) Wo = bobot rata-rata larva uji pada awal penelitian (g) Wt = bobot rata-rata larva uji pada waktu t (g) b. Pertumbuhan Biomassa PB = Wt - Wo Dimana : PB = pertumbuhan biomassa Wo = bobot populasi larva uji pada awal penelitian (g) Wt = bobot populasi larva uji pada waktu t (g) 2. Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup ikan uji diamati pada awal dan akhir penelitian dan dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1997), yaitu : Nt S = x 100 N0 Dimana : S = tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = jumlah larva uji pada akhir penelitian (ekor) N0 = jumlah larva uji pada awal penelitian (ekor) 3. Konsumsi Pakan Buatan Konsumsi pakan buatan dihitung sejak jadwal pemberian pakan buatan pada setiap perlakuan sampai akhir percobaan. 4. Aktivitas Enzim Pencernaan Analisis aktivitas enzim pencernaan (pepsin, tripsin, a-amilase, dan lipase) dalam saluran pencernaan ikan uji dilakukan pada umur larva 10 hari, 20 hari, dan pada akhir percobaan. Metode analisis aktivitas enzim pepsin (Anson 1938 dalam Walford dan Lam 1993), enzim tripsin (Kunitz 1947 dalam Walford dan Lam 1993), enzim a-amilase (Bergmeyer dan Grassi 1983) dan lipase (Tietz dan Friedreck 1966 dalam Borlongan 1990) disajikan pada Lampiran 3. 5. Struktur Histologis Organ Hati Pengamatan terhadap organ hati secara histologis dilakukan pada akhir pemeliharaan, untuk menganalisis perkembangan hepatosit pada akhir 68 69 pengamatan dan penyimpanan glikogen di dalam hati. Tahapan pembuatan preparat histologis dapat dilihat pada Lampiran 9. Analisis Data Data yang diperoleh pada percobaan ini dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji respons pada tarap uji 95% menggunakan program SPSS 12,0, kecuali data histologis organ hati dianalisis secara deskriptif. Hasil Percobaan I (In Vitro) Kadar Glukosa dan Derajat Hidrolisis Karbohidrat Pakan Hasil pengukuran produk hidrolisis karbohidrat, yaitu kadar glukosa pakan pada akhir periode inkubasi setelah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme pencernaan eksogen yang disekresikan oleh mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran 22. Hasil analisis kadar karbohidrat pakan pada akhir periode inkubasi disajikan pada Lampiran 25. Berdasarkan data kadar karbohidrat pada awal dan akhir percobaan dapat dihitung derajat hidrolisis karbohidrat sebagaimana tersaji pada Gambar 14 dan Lampiran 26. Konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi nyata (P<0,05) mempengaruhi kadar glukosa (Lampiran 23) dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan (Lampiran 27). Kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi yang diberikan (Gambar 13 dan 14 serta Lampiran 24 dan 28). Kadar glukosa pakan tertinggi yang dihasilkan adalah 64,65 mg/100 mL pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Kadar ini tidak berbeda dengan kadar glukosa pakan pada konsentrasi crude enzyme 20 mL/kg pakan, yaitu 64,47 mg/100 mL pada periode inkubasi yang sama. Akan tetapi, kadar ini berbeda dari kadar glukosa pakan pada perlakuan lainnya. Derajat hidrolisis karbohidrat pakan tertinggi, yaitu 66,96%, dicapai pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Derajat hidrolisis ini berbeda dari derajat hidrolisis karbohidrat pakan pada perlakuan lainnya. Kadar glukosa 69 70 dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan berbeda pada berbagai periode inkubasi pada setiap konsentrasi crude enzyme. Kadar glukosa pakan Kadar glukosa pakan (mg/100 mL) (mg/100mL) 70 60 50 40 30 20 10 0 2 4 6 8 10 12 Periode inkubasi (jam) Konsentrasi crude enzyme 5 mg/kg pkn 10 mg/kg pkn 20 mg/kg pkn 25 mg/kg pkn Derajat hidrolisis karbohidrat pakan (%) Gambar 13. 15 mg/kg pkn Kadar glukosa pakan pada akhir periode inkubasi pada berbagai konsentrasi crude enzyme 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2 4 6 8 10 12 Periode inkubasi (jam) Konsentrasi crude enzyme 5 mg/kg pkn 10 mg/kg pkn 20 mg/kg pkn 25 mg/kg pkn 15 mg/kg pkn Gambar 14. Derajat hidrolisis karbohidrat pakan pada akhir periode inkubasi pada berbagai konsentrasi crude enzyme Kadar Protein Terlarut dan Derajat Hidrolisis Protein Pakan Kadar protein terlarut merupakan produk antara pada hidrolisis protein oleh crude enzyme protease. Hasil pengukuran kadar protein terlarut pakan yang dihasilkan pada akhir periode inkubasi setelah dihidrolisis (predigestion) dengan 70 71 crude enzyme pencernaan eksogen yang disekresikan Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus dan Planococcus sp. oleh mikrob disajikan pada Gambar 15 dan Lampiran 29. Hasil analisis kadar protein pakan pada akhir periode inkubasi disajikan pada Lampiran 32. Berdasarkan data kadar protein pakan didapat hasil perhitungan derajat hidrolisis protein yang disajikan pada Kadar protein terlarut (mg/100 mL) Gambar 16 dan Lampiran 33. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2 4 6 8 10 12 Periode inkubasi (jam) Konsentrasi crude enzyme 5 mg/kg pkn 10 mg/kg pkn 20 mg/kg pkn 25 mg/kg pkn 15 mg/kg pkn Derajat hidrolisis protein pakan (%) Gambar 15. Kadar protein terlarut pakan pada akhir periode inkubasi pada berbagai konsentrasi crude enzyme 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2 4 6 8 10 12 Periode inkubasi (jam) Konsentrasi crude enzyme 5 mg/kg pkn 10 mg/kg pkn 20 mg/kg pkn 25 mg/kg pkn 15 mg/kg pkn Gambar 16. Derajat hidrolisis protein pakan pada akhir periode inkubasi pada berbagai konsentrasi crude enzyme 71 72 Kadar protein terlarut (Lampiran 30) dan derajat hidrolisis protein pakan (Lampiran 34) yang dihasilkan pada percobaan ini nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh konsentrasi crude enzyme yang diberikan serta lamanya inkubasi. Kadar protein terlarut dan derajat hidrolisis protein pakan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi yang diberikan (Gambar 15 dan 16 serta Lampiran 31 dan 35). Kadar protein terlarut pakan tertinggi adalah 35,18 mg/100 mL pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Akan tetapi, nilai yang dicapai tidak berbeda dengan periode inkubasi 10 jam pada konsentrasi crude enzyme yang sama, yaitu 34,60 mg/100 mL. Kadar ini berbeda dari kadar protein terlarut pakan pada perlakuan lainnya (Gambar 15 dan Lampiran 31). Derajat hidrolisis protein pakan tertinggi adalah 50,47% yang dicapai pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Kadar ini tidak berbeda dari konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 10 jam, yaitu 48,78%, konsentrasi crude enzyme 20 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam, yaitu 49,79%, dan konsentrasi crude enzyme 20 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 10 jam, yaitu 48,29%. Akan tetapi, kadar ini berbeda dari derajat hidrolisis protein pakan pada perlakuan lainnya (Gambar 16 dan Lampiran 35). Derajat Hidrolisis Lemak Hasil pengukuran kadar lemak pakan pada akhir periode inkubasi, dengan berbagai konsentrasi crude enzyme pencernaan eksogen yang disekresikan oleh mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. disajikan pada Lampiran 33. Berdasarkan data kadar lemak didapat hasil perhitungan derajat hidrolisis lemak yang disajikan pada Gambar 17 dan Lampiran 36. Konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi nyata (P<0,05) mempengaruhi derajat hidrolisis lemak pakan (Lampiran 37). Derajat hidrolisis lemak pakan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi yang diberikan (Gambar 17 dan Lampiran 38). Derajat hidrolisis lemak pakan tertinggi yang dihasilkan adalah 21,61% pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Derajat hidrolisis ini tidak berbeda dari derajat hidrolisis lemak pakan pada konsentrasi crude enzyme 72 73 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 10 jam, yaitu 20,79%, dan berbeda dari derajat hidrolisis lemak pada perlakuan lainnya. Derajat hidrolisis lemak pakan (%) 25 20 15 10 5 0 2 4 6 8 10 12 Periode inkubasi (jam) Konsentrasi crude enzyme 5 mg/kg pkn 10 mg/kg pkn 20 mg/kg pkn 25 mg/kg pkn 15 mg/kg pkn Gambar 17. Derajat hidrolisis lemak pakan pada akhir periode inkubasi pada berbagai konsentrasi crude enzyme Rekapitulasi Rekapitulasi beberapa parameter pengamatan yang memperlihatkan nilai lebih baik dibandingkan perlakuan lain, untuk mengkaji efektivitas crude enzyme yang disekresikan oleh mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. menghidrolisis pakan buatan (predigestion) untuk larva ikan bandeng secara in vitro disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan data rekapitulasi (Tabel 8), untuk mendapatkan hasil hidrolisis pakan yang maksimal, konsentrasi crude enzyme yang digunakan pada percobaan selanjutnya adalah 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Respons hubungan kadar glukosa, derajat hidrolisis karbohidrat, kadar protein terlarut, derajat hidrolisis protein, dan derajat hidrolisis lemak pakan dengan konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan) pada periode inkubasi 12 jam, serta dengan periode inkubasi (jam) pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan membentuk pola persamaan garis linier (Gambar 18). Pola respons tersebut menggambarkan bahwa semakin besar konsentrasi crude enzyme yang digunakan dan semakin lama pakan diinkubasi maka kadar glukosa, derajat hidrolisis karbohidrat, kadar 73 74 protein terlarut, derajat hidrolisis protein, dan derajat hidrolisis lemak pakan yang dihasilkan semakin meningkat, sampai suatu batas konsentrasi dan periode inkubasi tertentu. Tabel 8. Rekapitulasi beberapa parameter pengamatan untuk mengkaji efektivitas crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. dalam menghidrolisis (predigestion) pakan buatan untuk larva ikan bandeng secara in vitro Parameter Kadar glukosa Derajat hidrolisis karbohidrat Perlakuan Konsentrasi crude enzyme Periode inkubasi (mL/kg pakan) (jam) 25 12 20 25 12 Kadar protein terlarut 25 Derajat hidrolisis protein 25 20 Derajat hidrolisis lemak 25 12 10 12 10 12 10 12 10 74 75 60 50 y = 0.8227x + 46.0520 R2 = 0.7845 40 30 20 10 0 5 10 15 20 70 Kadar glukosa pakan (mg/100 mL) Kadar glukosa pakan (mg/100 mL) 70 60 50 40 y = 2.8609x + 31.7262 R2 = 0.9617 30 20 10 0 2 25 50 40 y = 0.9498x + 42.8977 R2 = 0.96 30 20 10 0 5 10 15 20 25 Derajat hidrolisis karbohidrat pakan (%) Derajat hidrolisis karbohidrat pakan (%) 60 10 12 50 40 y = 3.4712x + 25.0602 R2 = 0.9814 30 20 10 0 2 4 40 35 30 25 20 y = 0.3731x + 26.4230 R2 = 0.8952 15 10 5 0 5 10 15 20 6 8 10 12 Periode inkubasi (jam) Kadar protein terlarut pakan (mg/100 mL) Kadar protein terlarut pakan (mg/100 mL) 8 60 Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 y = 2.8609x + 31.7262 R2 =0.9617 2 25 4 6 8 10 12 Periode inkubasi (jam) Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan) 70 Derajat hidrolisis protein pakan (%) 60 Derajat hidrolisis protein pakan (%) 6 70 70 50 40 30 y = 0.8456x + 31.1183 R2 = 0.9456 20 10 60 50 40 30 y = 2.8543x + 18.3880 R2 =0.9657 20 10 0 0 5 10 15 20 2 25 25 20 15 y = 0.5394x + 8.8950 R2 = 0.9623 10 5 0 5 10 15 20 25 Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan) Derajat hidrolisis lemak pakan (%) Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan) Derajat hidrolisis lemak pakan (%) 4 Periode inkubasi (jam) Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan) 4 6 8 10 Periode inkubasi (jam) 12 30 25 20 15 10 y = 1.31301x + 6.882 R2 =0.9651 5 0 2 4 6 8 10 12 Periode inkubasi (jam) Gambar 18. Hubungan kadar glukosa, derajat hidrolisis karbohidrat, kadar protein terlarut, derajat hidrolisis protein, dan derajat hidrolisis lemak pakan dengan konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan) pada periode inkubasi 12 jam, serta dengan periode inkubasi (jam) pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan 75 76 Percobaan II (In Vivo) Parameter Penggunaan Pakan Pengamatan selama 30 hari larva ikan bandeng pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus dan Planococcus sp., menghasilkan nilai berbagai parameter penggunaan pakan, yaitu pertumbuhan (Lampiran 40), konsumsi pakan buatan (Lampiran 44), dan tingkat kelangsungan hidup (Lampiran 47). Gambar larva ikan bandeng pada akhir pengamatan disajikan pada Gambar 19. Keterangan : umur larva (A = 6 hari, B = 9 hari, C = 12 hari, dan D = 15 hari) Gambar 19. Larva ikan bandeng pada akhir pengamatan 30 hari pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan hasil predigestion Tabel 9. Berbagai parameter penggunaan pakan yang diamati pada larva ikan bandeng selama 30 hari pengamatan pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan hasil predigestion Parameter Perlakuan A (6 hari) B (9 hari) C (12 hari) D (15 hari) Pertumbuhan mutlak (g) 0,0175c 0,0420c 0,1526b 0,1747a Pertumbuhan relatif (%) 9199,28b 22127,53b 80304,40a 91931,77a Pertumbuhan biomassa (g) 0,2601c 1,6598c 8,2344b 11,7434a Konsumsi pakan buatan total (g) 77,70a 71,92b 71,65b 65,16c Konsumsi pakan buatan harian (g) 2,88d 3,00c 3,41b 3,62a Tingkat kelangsungan hidup (%) 14,67c 39,33b 54,33a 67,33a Keterangan: Huruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan nilai yang berbeda (p<0,05) Jadwal pemberian pakan buatan pada larva ikan bandeng nyata (P<0,05) mempengaruhi pertumbuhan mutlak (Lampiran 41), pertumbuhan relatif (Lampiran 42), pertumbuhan biomassa (Lampiran 43), konsumsi pakan buatan 76 77 total (Lampiran 45), dan konsumsi pakan buatan harian (Lampiran 46), serta tingkat kelangsungan hidup (Lampiran 48). Hasil uji lanjutan (Tabel 9) menunjukkan bahwa pertumbuhan mutlak, pertumbuhan relatif, dan tingkat kelangsungan hidup larva dengan jadwal pemberian pakan buatan total pada umur 15 hari memperlihatkan nilai tertinggi. Angka ini tidak berbeda dibandingkan larva pada umur 12 hari, tetapi berbeda dibandingkan larva pada umur 9 dan 6 hari. Pertumbuhan biomassa tertinggi dicapai pada umur 15 hari dan berbeda dibandingkan dengan larva pada umur lainnya. Konsumsi pakan total tertinggi ditemukan pada larva umur 6 hari dan terendah pada umur 15 hari. Hal ini terjadi karena larva dengan jadwal pemberian pakan buatan total pada umur 6 hari mendapatkan pakan buatan terlama dibandingkan dengan larva pada umur lainnya. Konsumsi pakan harian memperlihatkan bahwa larva pada umur 15 hari mengkonsumsi pakan buatan tertinggi yang diikuti larva pada umur 12, 9 dan 6 hari. Aktivitas Enzim Pengamatan aktivitas enzim pencernaan (IU/g/menit) larva ikan bandeng pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp., meliputi enzim pepsin, tripsin, aamilase, dan lipase pada periode pengamatan 10, 20, dan 30 hari disajikan pada dan Gambar 20 dan Lampiran 49. Aktivitas enzim tertinggi pada semua periode pengamatan diperlihatkan oleh enzim a-amilase, yang diikuti oleh lipase, tripsin, dan terendah adalah enzim pepsin. Aktivitas enzim pencernaan larva uji dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 15 hari pada semua periode pengamatan cenderung lebih tinggi, yang diikuti larva uji umur 12, 9 dan 6 hari. Akan tetapi, hasil analisis ragam (Lampiran 50) menunjukkan tidak ada perbedaan antar-perlakuan. 77 78 Aktivitas enzim Aktivitas enzim (IU/g/menit) (U/g/menit) 0.12 0.10 0.08 0.06 D 0.04 C B 0.02 A 0.00 10 20 30 Pepsin Umur larva 10 20 30 Tripsin 6 hari, 10 20 30 amilase 9 hari, 10 20 30 lipase 12 hari dan 15 hari Gambar 20. Aktivitas enzim pencernaan pepsin, tripsin, a-amilase, dan lipase larva ikan bandeng pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan hasil predigestion dan pada berbagai periode pengukuran Struktur Histologis Organ Hati Struktur histologis organ hati larva ikan bandeng pada akhir pengamatan, yang mendapat perlakuan berbagai jadwal pemberian pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. disajikan pada Gambar 21. Sel hati (hepatosit) larva ikan bandeng secara histologis terdiri atas inti sel (nukleus) dan dinding sel. Pada Gambar 21 terlihat bahwa larva ikan bandeng dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 6 hari menunjukkan ukuran hepatositnya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit, serta terdapat rongga antar-sel yang besar dibandingkan dengan larva uji pada perlakuan lainnya. Ukuran dan jumlah hepatosit semakin bertambah berturut-turut pada larva ikan bandeng dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 9, 12 dan 15 hari. Larva ikan bandeng dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 15 hari mempunyai ukuran hepatosit terbesar dan jumlah hepatosit terbanyak dibandingkan dengan larva lainnya, dengan rongga antar-sel yang lebih kecil dan sedikit sehingga hepatosit kelihatan lebih kompak. Glikogen nampak menyebar pada hepatosit dalam bentuk granula yang tidak beraturan. 78 79 ds is is gl ds gl C gl ds ds is gl is Keterangan: ds = dinding sel, is = inti sel, gl = glikogen Umur larva (A = 6 hari, B = 9 hari, C 12 hari, dan D = 15 hari) Gambar 21. Struktur histologis organ hati larva ikan bandeng pada akhir pengamatan 30 hari pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan hasil predigestion Pembahasan Hasil percobaan secara in vitro menunjukkan bahwa crude enzyme yang disekresikan Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp., efektif menghidrolisis pakan buatan untuk larva ikan bandeng dan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi. Kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan, kadar protein terlarut dan derajat hidrolisis protein pakan, serta derajat hidrolisis lemak meningkat dengan bertambahnya konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi sampai batas tertentu. Affandi et al. (2005) mengemukakan bahwa beberapa hal yang berpengaruh dalam proses penyederhanaan pakan kompleks adalah jenis dan konsentrasi enzim, kondisi substrat (kadar air, pH, kompleksitas), suhu lingkungan, dan agitasi (pengadukan substrat). 79 80 Meningkatnya beberapa parameter yang diukur dengan bertambahnya konsentrasi crude enzyme terjadi karena peluang substrat untuk bertemu dengan katalisator biologis dalam proses hidrolisis protein, karbohidrat, dan lemak semakin besar. Substrat yang sesuai dengan katalisatornya, dan dengan konsentrasi yang optimum dapat meningkatkan aktivitas penyederhanaan nutrien yang terkandung dalam pakan. Demikian juga halnya dengan periode inkubasi, semakin lama proses hidrolisis berlangsung sampai batas waktu tertentu, semakin banyak substrat yang terdegradasi dan produk yang dihasilkannya juga meningkat. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada pengujian secara in vitro, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam upaya penyederhanaan nutrien pakan buatan (predigestion) menjadi molekul-molekul kecil yang siap diserap pada saluran pencernaan, konsentrasi crude enzyme yang digunakan adalah 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Derajat hidrolisis karbohidrat yang dicapai sudah berada pada kisaran nilai kecernaan karbohidrat atau pati oleh ikan. Derajat hidrolisis protein dan lemak pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dan periode inkubasi 12 masih lebih rendah dibandingkan nilai kecernaan ikan pada umumnya. Meskipun demikian, diharapkan larva ikan bandeng yang mendapat pakan hasil predigestion dapat memanfaatkan enzim endogen yang sudah mulai disekresi pada saluran pencernaannya untuk mencerna sisa protein dan lemak yang belum terhidrolisis. Dengan demikian, derajat hidrolisis protein dan lemak pakan dapat lebih ditingkatkan. Pada umumnya nilai kecernaan pati oleh ikan mulai dari 40 sampai 60%, nilai kecernaan protein mulai dari 80 sampai 95%, dan nilai kecernaan lemak mulai dari 82 sampai 97% (Watanabe 1988). Predigestion menggunakan enzim pencernaan eksogen merupakan upaya penyederhanaan pakan sebelum diberikan kepada larva. Nutrien pakan dalam bentuk yang lebih sederhana diharapkan lebih mudah dicerna pada saluran pencernaan dan diserap masuk ke peredaran darah walaupun ketersediaan enzim pencernaan endogen pada fase larva masih terbatas. Upaya penggunaan enzim pencernaan eksogen untuk menghidrolisis (predigestion) pakan buatan telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Lemos et al. 2000; Hasan 2000; dan Rosmawati 2004). Pada penelitian tersebut yang menjadi fokus untuk dihidrolisis oleh enzim adalah protein pakan dengan menggunakan enzim protease eksogen. Protein 80 81 menjadi fokus hidrolisis disebabkan protein merupakan komponen utama dalam pakan ikan dan sumber energi utama bagi ikan terutama pada umur larva yang memerlukan kadar protein pakan yang tinggi. Pada percobaan ini, tujuan hidrolisis (predigestion) adalah protein, karbohidrat, dan lemak pakan. Karbohidrat dan lemak bukan merupakan sumber energi utama bagi ikan. Akan tetapi, kehadirannya dalam pakan mutlak diperlukan, walaupun dalam persentase yang jauh lebih kecil dibandingkan protein. Seperti halnya hewan lain, ikan memerlukan karbohidrat sebagai sumber energi. Hal ini berhubungan dengan sebuah pepatah yaitu “lemak dan protein dibakar di atas bara karbohidrat”. Lemak juga diperlukan ikan sebagai sumber energi, struktur sellular, dan pemeliharaan integritas biomembran. Hidrolisis (predigestion) dengan campuran crude enzyme protease, amilase, dan lipase diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan semua nutrien yang terkandung dalam pakan. Ketergantungan usaha pembenihan ikan bandeng pada pakan alami diharapkan dapat dikurangi dengan aplikasi pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan enzim pencernaan eksogen. Berdasarkan hasil pengujian secara in vivo, pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme pencernaan eksogen sebagai pengganti pakan alami, apabila diberikan pada waktu yang tepat dapat mempercepat jadwal pemberian pakan buatan. Waktu yang tepat untuk pemberian pakan hasil predigestion adalah pada umur larva 12 sampai 15 hari. Pemberian pakan buatan hasil predigestion pada umur ini dapat memberikan respon pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan larva pada umur 6 dan 9 hari (Tabel 10). Tingkat pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan relatif yang dicapai pada jadwal pemberian pakan buatan total umur larva 6 hari adalah 0,0175 g dan 91,99 kali bobot awal. Tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh pada jadwal pemberian pakan buatan total umur larva 12 hari adalah 54,33%. Jika dibandingkan dengan hasil yang dicapai Haryati (2002), tingkat pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan relatif yang relatif sama baru dapat dicapainya pada jadwal pemberian pakan buatan total umur larva 20 hari adalah 0,0173 g dan 95,85 kali bobot awal. Tingkat kelangsungan hidup baru dapat dicapainya pada 81 82 jadwal pemberian pakan buatan total umur larva 15 hari yaitu 55,82%. Perbedaan hasil yang dicapai terjadi karena perbedaan pakan yang digunakan, yaitu menggunakan pakan tanpa dihidrolisis (predigestion) dan perbedaan dalam kadar nutrien pakan. Penggunaan pakan buatan, walaupun komposisi nutrisinya telah disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi larva, seringkali tidak efektif. Hal ini disebabkan pakan buatan tidak mengandung enzim seperti halnya pakan alami. Oleh karena itu, enzim yang berasal dari luar atau enzim eksogen mutlak dibutuhkan pada stadia larva. Larva uji dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 15 hari yang diikuti larva umur 12 hari, memberikan respons yang terbaik pada semua parameter yang diuji. Hal ini diduga bahwa larva yang mampu memanfaatkan pakan buatan dapat memenuhi kebutuhan energi dan materi untuk metabolisme dan pertumbuhan sehingga berdampak pada pertambahan bobot. Di samping itu, pada pakan buatan hasil predigestion sudah tersedia molekul-molekul nutrien yang lebih kecil yang sudah siap diserap di dalam saluran pencernaan. Nutrien pakan yang masih perlu dihidrolisis menjadi molekul yang siap untuk diserap, dapat memanfaatkan enzim pencernaan endogen yang sudah mulai disekresikan dalam saluran pencernaan larva. Faktor lain yang diduga berpengaruh pada pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva adalah lamanya larva memakan pakan alami. Larva uji dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 15 dan 12 hari mengkonsumsi pakan alami lebih lama dibandingkan larva uji umur 9 dan 6 hari. Pertumbuhan, kelangsungan hidup serta aktivitas enzim pencernaan larva yang mendapat pakan alami lebih baik dibandingkan larva yang diberi pakan buatan juga dilaporkan beberapa peneliti (Cahu et al. 1998; Buchet et al. 2000; Suryanti 2002: Genodepa et al. 2004; dan Tlusty et al. 2005). Hal ini terjadi karena pakan alami merupakan jenis pakan yang sesuai bagi larva karena mengandung enzim eksogen yang diperlukan untuk membantu proses pencernaan. Enzim-enzim yang terdeteksi pada Brachionus, yang akan memberi kontribusi terhadap aktivitas enzim di dalam saluran pencernaan adalah a-amilase 0,0694±0,0134; lipase 0,0537±0,0800; tripsin 0,0180±0,0020; dan pepsin 0,0192±0,0002 IU/g Brachionus/menit (Haryati 2002). Enzim-enzim yang terdeteksi pada Artemia adalah tripsin 62,6±6,7; 82 83 amilase 544,9±30,0; lipase 6,3±0,7; dan alkalin fosfatase 68,8±9,2 mIU/mg protein (Gawlicka et al. 2000). Aktivitas enzim a-amilase, lipase, tripsin, dan pepsin larva ikan bandeng meningkat dengan semakin lamanya jadwal pemberian pakan alami. Hal ini mengindikasikan adanya kontribusi enzim yang berasal dari pakan alami yang diberikan. Walaupun demikian, interpretasi tentang cara enzim tersebut berperan berbeda-beda di antara para ahli. Tingginya aktivitas protease pada larva yang diberi pakan alami akibat adanya mekanisme induktif yang akan mengaktifkan zimogen untuk memproduksi protease (Dabrowski dan Glogowski 1977; Moran dan Stark 1990). Enzim proteolitik eksogen dari pakan hidup memberi kontribusi yang lain dalam proses pencernaan larva ikan herring (Clupea harengus), yaitu dengan merangsang peningkatan sekresi tripsin endogen pada usus larva (Pedersen et al. 1987). Pakan alami mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh larva sehingga apabila dikonsumsi akan masuk ke dalam saluran pencernaan sebagai satu kesatuan nutrien yang siap dimanfaatkan dalam saluran pencernaan. Adapun pada pakan buatan hasil predigestion, walaupun sudah merupakan molekulmolekul kecil dari nutrien yang siap diserap dalam saluran pencernaan, masih terpisah-pisah larut dalam media budi daya. Hal inilah yang diduga juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva uji yang mendapat pakan alami lebih lama. Tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng dengan jadwal pemberian pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) oleh crude enzyme pencernaan eksogen pada larva umur 15 dan 12 hari lebih besar dibandingkan dengan larva umur 6 dan 9 hari. Faktor yang diduga berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng yang dipelihara adalah kesesuaian antara jenis pakan dan kemampuan larva memanfaatkan pakan. Kemampuan larva untuk memanfaatkan pakan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kemampuan untuk mengkonsumsi dan kemampuan untuk mencerna. Tingginya kematian larva pada jadwal pemberian pakan buatan total umur 6 dan 9 hari, terjadi karena kemampuan untuk mengkonsumsi dan mencerna pakan lebih rendah dibandingkan dengan larva dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur12 83 84 dan 15 hari. Pada larva dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 12 dan 15 hari, saluran dan kelenjar pencernaan sudah berkembang dengan baik. Dibuktikan dengan perbedaan hasil pengukuran aktivitas enzim pencernaan pada setiap perlakuan, serta terjadi peningkatan aktivitas enzim pencernaan pada setiap periode pengamatan. Pada larva dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 6 dan 9, walaupun enzim pencernaan endogen sudah disekresikan tetapi masih sangat rendah. Enzim pencernaan endogen yang dihasilkan belum dapat secara maksimal sebagai katalisator dalam hidrolisis pakan buatan. Ditemukannya larva yang hidup pada jadwal pemberian pakan buatan total umur 6 dan 9, diduga bahwa larva tersebut mampu memanfaatkan pakan buatan yang diberikan tetapi energi yang diperoleh dari pakan tidak mencukupi untuk berkembang secara maksimal. Tingkat kelangsungan hidup yang dicapai pada penelitian ini berkisar antara 14,67 dan 67,33%. Teknologi yang sudah berkembang saat ini menghasilkan tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng sampai ukuran siap jual pada panti pembenihan berkisar antara 20 dan 60% dengan frekuensi terbesar 20%. Umumnya tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng dicapai di atas 50% apabila pakan buatan diberikan mulai umur larva 15 hari (Duray dan Bagarinao 1984; Aslianti dan Azwar 1992; dan Haryati 2002). Tingkat kelangsungan hidup yang dicapai pada penelitian ini berada pada kisaran yang cukup baik, dibandingkan dengan hasil pada penelitian lain. Hal ini memberikan peluang untuk aplikasi pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan enzim pencernaan eksogen pada usaha pembenihan ikan bandeng. Hasil pengamatan histologis organ hati memperlihatkan bahwa semakin lama jadwal pemberian pakan alami, ukuran, dan jumlah hepatosit semakin bertambah, rongga antar-sel lebih kecil dan sedikit sehingga nampak hepatosit lebih kompak. Hal ini terlihat pada hepatosit larva ikan bandeng dengan jadwal pemberian pakan buatan total pada umur 12 dan 15 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pertumbuhan larva pada jadwal pemberian pakan buatan total umur tersebut lebih besar dibandingkan larva pada perlakuan lainnya. hepatik menunjukkan status fungsi fisiologis. Ukuran sel Selain mensekresikan garam empedu, sel-sel hepatik mempunyai peran dalam metabolisme protein, lemak, dan 84 85 karbohidrat (Takashima dan Hibiya 1995). Pada permukaan sel yang berbatasan dengan kapiler darah dan saluran empedu (bile duct) terdapat mikrofilli, hal ini menunjukkan bahwa hepatosit merupakan sel yang aktif (Affandi et al. 2005). Pemberian pakan buatan pada waktu yang tidak tepat, walaupun sudah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme pencernaan eksogen akan mempengaruhi perkembangan organ hati. Terganggunya perkembangan hepatosit akan berdampak pada pertumbuhan organ secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena, organ hati diibaratkan sebuah pos persinggahan dan gudang pendistribusian nutrien ke seluruh bagian tubuh. Bahan cadangan nutrien yang umum terlihat pada sel hati adalah glikogen dan trigliserida (Takashima dan Hibiya 1995). Pada penelitian ini granula glikogen terdeteksi dalam bentuk tidak beraturan di antara sel-sel hati atau menyebar di dalam sitoplasma. Hasil analisis yang sama juga ditemukan oleh Haryati (2002). Partikel-partikel glikogen kemungkinan ditemukan menyebar di dalam sitoplasma atau mengelompok membentuk konsentrasi yang besar. Granula dari glikogen bentuknya tidak beraturan. Pada ikan budi daya kandungan glikogen ditemukan sampai lebih dari 20% (Takashima dan Hibiya 1995). Glukosa yang berasal dari hasil metabolisme karbohidrat, di dalam hepatosit dengan proses glikogenesis oleh enzim glicogen synthetase diubah menjadi glikogen. Glikogen merupakan cadangan energi yang tersimpan dalam hepatosit dan sel-sel otot (Rosch dan Segner 1990). Simpulan Konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dan periode inkubasi 12 jam pada hidrolisis (predigestion) pakan buatan untuk larva ikan bandeng oleh crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. adalah maksimal untuk menghasilkan kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan, kadar protein terlarut dan derajat hidrolisis protein pakan, serta derajat hidrolisis lemak pakan yang optimum. Larva ikan bandeng dapat memanfaatkan pakan buatan hasil predigestion oleh campuran crude enzyme pencernaan eksogen mulai umur 12 hari dengan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang optimal. 85 86 PENGGUNAAN MIKROB AMLOLITIK (Carnobacterium sp.) SEBAGAI PROBIOTIK PADA BUDI DAYA IKAN BANDENG Pendahuluan Ikan bandeng adalah salah satu komoditas unggulan pada budi daya air payau setelah udang. Pangsa pasar ikan bandeng selain untuk konsumsi lokal juga untuk ekspor serta sebagai bahan untuk umpan ikan tuna. Budi daya ikan bandeng sudah sangat berkembang dan umumnya dikembangkan secara tradisional atau ekstensif. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya permintaan, budi daya ikan bandeng sudah dikembangkan secara intensif pada tambak-tambak air payau yang ideal atau di karamba jaring apung di laut dan air tawar. Intensifikasi budi daya ikan bandeng sangat bergantung pada suplai pakan buatan. Kebutuhan pakan untuk budi daya ikan bandeng pada tahun 2005 adalah 110.580 ton, tahun 2006 diproyeksikan meningkat menjadi 124.160 ton dan setiap tahun kebutuhan pakan akan terus meningkat (Ditjen Perikanan Budi Daya 2006). Sampai pada tahun 2009, kebutuhan pakan buatan diproyeksikan mencapai lebih dari 2 kali lipat, yaitu 315.400 ton. Kendala yang dihadapi untuk pemenuhan kebutuhan pakan pada intensifikasi budi daya ikan bandeng adalah tingginya harga pakan buatan. Harga pakan ikan yang relatif mahal disebabkan oleh komposisi utama zat gizi pakan ikan adalah protein. Diketahui bahwa protein merupakan sumber energi pakan yang mahal, terutama protein yang berasal dari tepung ikan. NRC (1988) mengemukakan bahwa protein merupakan zat terpenting dari semua zat gizi yang diperlukan ikan karena merupakan zat penyusun dan sumber energi utama bagi ikan. Furuichi (1988) mengemukakan bahwa protein lebih efektif digunakan sebagai sumber energi daripada karbohidrat karena rendahnya aktivitas enzim amilase dalam saluran pencernaan ikan dibandingkan hewan terestrial dan manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan aktivitas enzim amilase sehingga penggunaan protein sebagai sumber energi dapat dikurangi dan pemanfaatan karbohidrat sebagai sumber energi dapat ditingkatkan. Protein diharapkan hanya digunakan untuk pertumbuhan dan pergantian jaringan 86 87 yang rusak tidak sebagai sumber energi. Peningkatan penggunaan karbohidrat oleh ikan diharapkan dapat meningkatkan kadar karbohidrat dan mengurangi kadar protein dalam pakan buatan. Dengan demikian, harga pakan dapat diturunkan. Salah satu alternatif yang dapat dikaji dan dikembangkan melalui percobaan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah meningkatkan produksi enzim pencernaan eksogen dengan memanfaatkan mikroflora saluran pencernaan yang mempunyai aktivitas amilolitik. Pada percobaan pertama terseleksi isolat mikrob amilolitik (Carnobacterium sp.) sebagai kandidat probiotik. Jenis Carnobacterium sp. diperkenalkan oleh Collins et al. pada tahun 1987 dalam klasifikasi Lactobacillus carnis, L. divergens, dan L. piscicola yang merupakan stok Laktobacillus dari isolasi bakteri pada daging hewan ternak yang dilakukan oleh Thornley 1957. Pada tahun 1993, jenis Carnobacterium berkembang pesat dengan dua jenis spesies yang tidak memiliki keterkaitan biologis dengan Lactobaccilus (C. alterfunditum dan C. funditum). Berdasarkan rangkaian dasar RNAr dan karakter fenotip, Joborn et al. pada tahun 1999 mengajukan nomenklatur C. inhibens untuk sebuah stok yang diisolasi dari saluran pencernaan ikan salmon Atlantik (salmo salar). Jenis Carnobacterium tersebut menunjukkan suatu hubungan dengan Carnobacterium sp. (Collins et al. 1999). Selanjutnya dijelaskan bahwa jenis Carnobacterium sp. sangat sulit dibedakan dari jenis Lactobacillus. Salah satu yang dapat diketahui bahwa Carnobacterium sp. tidak dapat dibiakkan pada medium rogosa, dan dapat berkembang pada pH tinggi (kemungkinan dapat tumbuh sampai pada pH 9,1) dibandingkan dengan Lactobacillus sp. Penggunaan probiotik sebagai feed additive untuk meningkatkan produksi enzim pencernaan eksogen dalam saluran pencernaan merupakan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dalam budi daya ikan bandeng secara intensif. Keuntungan lain dari aplikasi probiotik pada budi daya ikan adalah dapat meningkatkan kesehatan dan ketahanan terhadap penyakit. Probiotik berperan dalam beberapa mekanisme, yaitu 1) menghambat reaksi-reaksi yang menghasilkan toksin; 2) merangsang reaksi-reaksi enzimatis yang terlibat dalam proses detoksifikasi bahan-bahan yang potensial sebagai toksin baik yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh; 3) merangsang enzim inang yang terlibat 87 88 dalam proses pencernaan atau menggantikan enzim yang tidak ada; dan (4) sintesis vitamin atau zat makanan essensial yang kurang tersedia dalam pakan (Fuller 1992). Tujuan yang ingin dicapai pada percobaan ini adalah meningkatkan aktivitas enzim pencernaan amilase eksogen pada saluran pencernaan ikan bandeng hasil sekresi mikrob amilolitik (Carnobacterium sp.) sehingga mampu memanfaatkan pakan buatan dengan kadar karbohidrat yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan 2 tahapan percobaan, yaitu percobaan I (in vitro) dengan tujuan khusus mengkaji efektivitas Carnobacterium sp. dalam menghidrolisis pakan buatan pada berbagai kadar protein-karbohidrat untuk pembesaran ikan bandeng; dan percobaan II (in vivo) dengan tujuan khusus mengkaji efektivitas Carnobacterium sp. pada berbagai kadar protein-karbohidrat pakan buatan untuk memacu pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan I (in vitro) dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, serta Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan IPB. Analisis proksimat pakan dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan mulai bulan Oktober 2004 sampai Februari 2005. Percobaan II (in vivo) dilakukan di Laboratorium Hatchery Mini, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS. Analisis beberapa peubah dilakukan di Laboratorium Kualitas Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS, Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Hewan, Peternakan, Laboratorium Nutrisi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, dan Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan mulai bulan April 2005 sampai Desember 2005. 88 89 Prosedur Penelitian Percobaan I (In Vitro) Percobaan pertama bertujuan menemukan jumlah inokulum Carnobacterium sp. yang paling efektif menghidrolisis pakan buatan pada berbagai kadar protein-karbohidrat pakan. Percobaan ini didesain menggunakan pola faktorial 4 x 5 dalam rancangan acak lengkap (RAL) masing-masing 3 ulangan. Faktor pertama adalah jumlah inokulum dengan 4 level, yaitu 106, 10 8, 10 10, dan 10 12 cfu/mL. Faktor kedua adalah kadar protein (P) dan karbohidrat (K) pakan buatan dengan 5 level, yaitu pakan A: 50% P - 20% K, pakan B: 40 P - 30% K, pakan C: 30% P - 40% K, pakan D: 20% P - 50 % K, dan pakan E: 10% P - 60 % K. Pakan yang digunakan pada percobaan ini adalah pakan berbentuk pellet yang diformulasi sesuai dengan perlakuan. Hasil analisis proksimat bahan baku pakan sama dengan yang digunakan pada pakan buatan untuk larva, komposisi pakan, dan hasil analisis proksimat pakan disajikan pada Tabel 10. Literatur pendukung pengukuran kecernaan pakan buatan ikan oleh mikrob secara in vitro (hidrolisis) belum ditemukan sehingga acuan yang digunakan adalah metode yang dilakukan pada hewan terestrial, dengan melakukan beberapa modifikasi. Pengujian mengacu pada metode Tilley dan Terry (1963) dengan modifikasi pada media yang digunakan. Carnobacterium sp. dengan jumlah inokulum perlakuan diinokulasi ke dalam tabung reaksi yang berisi media. Media yang digunakan terdiri atas campuran TSB (Tripticase Soy Broth), TCM 199 (Tissue Culture Medium, 0,99 g/100 mL aquadest), dan pakan buatan sebagai substrat dengan berat ± 1 g (bahan kering oven 60oC), total volume media dan inokulum sebanyak 20 mL. Tabung kultur kemudian dimasukkan ke dalam shaker water bath untuk diinkubasi pada suhu 29oC. Periode inkubasi 6, 12 dan 24 jam dilakukan dengan tujuan untuk menentukan periode inkubasi yang dapat memberikan respons berbedaan parameter yang diukur, pada percobaan pengukuran kecernaan pakan buatan ikan oleh mikrob secara in vitro. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 0,5 mL HgCl 2 jenuh sehingga mikrob dalam tabung kultur mati, kemudian disentrifius dengan kecepatan 10.000 rpm selama 89 90 10 menit. Supernatan dan endapan yang dihasilkan digunakan untuk dianalisis lebih lanjut. Tabel 10. Komposisi pakan buatan pada percobaan untuk mengkaji efektivitas Carnobacterium sp. dalam menghidrolisis pakan buatan pada berbagai kadar protein-karbohidrat pakan Bahan pakan Tepung ikan Tepung kedelai Tepung terigu Lemak*) Vitamin mix. **) Mineral mix.***) Kadar karbohidrat (BETN) Kadar protein Kadar lemak total Kadar serat kasar DE (kkal/kg) *****) C/P (DE/g protein) Komposisi (% bk) A 51,70 15,70 20,40 4,20 4,00 4,00 20,21 50,15 9,70 1,84 3046,20 6,07 B 37,80 16,70 33,00 4,50 4,00 4,00 30,18 39,63 9,84 1,99 2938,59 7,42 C D 22,30 9,00 21,65 21,20 44,40 57,50 3,65 4,30 4,00 4,00 4,00 4,00 40,09 50,16 30,12 20,23 9,56 9,78 2,23 2,35 2830,81 2754,23 9,40 13,61 E 3,00 3,00 76,20 9,80 4,00 4,00 60,19 9,86 11,60 2,12 2789,45 28,29 Keterangan : *) Perbandingan lemak : minyak ikan dan minyak jagung 2 : 1 **) Komposisi vitamin mix Vitamin A 3500 IU/kg pakan; Vitamin D3 3000 IU/kg pakan; Vitamin E 100 IU/kg pakan; Vitamin K 10 mg/kg pakan; Vitamin B12 0,02; Asam askorbat 300 mg/kg pakan; Biotin 0,4 mg/kg pakan; Kolin 3000 mg/kg pakan; Asam folat mg/kg pakan; Inositol 400 mg/kg pakan; Niasin 150 mg/kg pakan; Asam pantotenat 60 mg/kg pakan; Piridoksin 10 mg/kg pakan; Riboflavin 20 mg/kg pakan; Thiamin 10 mg/kg pakan ***) Komposisi mineral mix Kalsium 0,2 g/kg pakan; Fosfor anorganik 7 g/kg pakan; Magnesium 0,6 g/kg pakan; Cu 3 mg/kg pakan; Mangan 12 mg/kg pakan; Selenium 0,2 mg/kg pakan; Zn 20 mg/kg pakan; Iodine 0,8 mg/kg pakan; Fe 0,8 mg/kg pakan ****) Komposisi lemak, vitamin dan mineral mix Lee dan Liao (1976) *****) Hasil perhitungan berdasarkan persamaan energi (NRC 1988) : 1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE 1 g protein = 3,5 kkal DE 1 g lemak = 8,1 kkal DE Parameter yang diamati adalah kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan buatan pada 3 periode inkubasi, yaitu 6, 12, dan 24 jam. Supernatan yang dihasilkan digunakan untuk analisis kadar glukosa, dengan prosedur analisis (Lampiran 6) mengikuti metode Wedemeyer dan Yasutake 90 91 (1977), sedangkan endapannya digunakan untuk analisis kadar karbohidrat dengan prosedur analisis mengikuti metode Somogy – Nelson (Lampiran 5). Derajat hidrolisis karbohidrat pakan oleh Carnobacterium sp. dihitung dengan menggunakan rumus : Kh0 - Kht DHKh = x 100 Kh0 = derajat hidrolisis karbohidrat = kadar karbohidrat pakan pada waktu awal = kadar karbohidrat pakan pada waktu t Dimana : DHKh Kh0 Kht Percobaan II (In Vivo) Percobaan ini bertujuan untuk menemukan jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan buatan yang tepat pada pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng. Percobaan ini didesain menggunakan pola faktorial 3 x 4 dalam rancangan acak lengkap (RAL) masing-masing 3 ulangan. Faktor pertama adalah jumlah inokulum dengan 3 level, yaitu kontrol, 1010 dan 1012 cfu/mL/100 g pakan. Faktor kedua adalah kadar protein (P) dan karbohidrat (K) pakan buatan dengan 4 level, yaitu pakan A: 50% P - 20% K, pakan B: 40 P - 30% K, pakan C: 30% P - 40% K pakan dan D: 20% P - 50 % K. Wadah yang digunakan pada percobaan ini adalah akuarium kaca dengan sistem resirkulasi berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 50 x 40 x 35 cm (Gambar 22). Bagian sisi-sisi wadah ditutup dengan plastik hitam dan untuk menghindari ikan uji supaya tidak melompat, bagian atas wadah ditutup dengan penutup dari kawat nyamuk yang sisi-sisinya dijepit dengan bambu. Sebelum digunakan, wadah dan semua peralatan terlebih dahulu didesinfektan dengan klorida (kaporit) dan dinetralkan dengan thiosulfat. Wadah percobaan diisi air sebanyak 55 L dengan kisaran salinitas 15 sampai 16 ppt. Air yang digunakan telah disterilkan dengan 150 ppm klorida selama 24 jam dan selanjutnya dinetralkan dengan 75 ppm thiosulfat. Ikan bandeng ukuran juvenil dengan bobot rata-rata ± 2,5 g ditebar dengan kepadatan 20 ekor per wadah (satu unit percobaan). Sebelum ditebar, ikan uji telah diaklimatisasikan dengan media budi daya dan pakan diberikan secara at satiation selama 2 minggu. Setelah masa 91 92 aklimatisasi selesai, ikan uji dipuasakan selama 24 jam dengan tujuan menghilangkan sisa pakan dalam tubuh. Ikan dipelihara selama 60 hari dan diberi pakan secara at satiation sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00, dan 17.00. Selama percobaan, kualitas media budi daya dijaga dalam kisaran yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan bandeng. Kualitas air dijaga dengan cara melakukan penyiponan terhadap sisa pakan dan feses didasar wadah, serta melakukan pergantian air sebanyak 25% setiap hari. Pengukuran suhu dan salinitas media dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari, sedangkan pengukuran pH, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, dan amoniak dilakukan pada setiap pengambilan sampel. Suhu media berkisar antara 29 dan 30oC; pH berkisar antara 7,4 dan 7,6; oksigen terlarut berkisar antara 5,2 dan 6,5 ppm, karbondioksida bebas berkisar antara 11,97 dan 12,07 ppm; amoniak berkisar antara 0,006 dan 0,009 ppm; dan salinitas berkisar antara 15 dan 16 ppt. Gambar 22. Wadah yang digunakan pada percobaan mengkaji efektivitas Carnobacterium sp. pada berbagai kadar protein-karbohidrat pakan buatan pada pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng Pakan yang digunakan pada percobaan ini sama dengan yang digunakan pada percobaan I (in vitro) pada Tabel 10, kecuali pakan E tidak dilanjutkan pada percobaan ini. Sebelum ditambahkan ke pakan Carnobacterium sp. yang diuji pada percobaan ini terlebih dahulu diencerkan dengan Buffer Peptone Water 92 93 (Murni 2004) dan minyak ikan (Robertson et al. 2000) dengan perbandingan 1 mL probiotik : 3 mL Buffer Peptone Water : 1 mL minyak ikan. Campuran ini kemudian disemprotkan pada pakan secara merata dengan menggunakan spuit. Uji penempelan mikrob pada pakan bertujuan untuk membuktikan bahwa populasi koloni dalam pakan masih berada dalam kisaran populasi koloni inokulum. Dengan demikian, jumlah inokulum probiotik dalam pakan disesuaikan dengan perlakuan. Uji penempelan dilakukan dengan cara merendam pakan yang telah dicampur dengan probiotik dalam air selama 1 sampai 2 menit. Pakan yang telah direndam dicairkan dengan cairan fisiologis (NaCl 0,85%) steril, selanjutnya dikultur dengan media dan prosedur yang sama dengan metode isolasi mikrob. Jumlah mikrob dihitung dengan metode hitungan cawan dan dinyatakan dalam cfu, setelah diinkubasi pada suhu 29°C selama 24 sampai 48 jam. Parameter yang diamati adalah 1) pertumbuhan, 2) efisiensi pakan, 3) retensi protein, lemak dan energi, 4) kadar glikogen hati dan otot, 5) populasi mikrob, 6) aktivitas enzim amilase dan protease, 7) kecernaan karbohidrat dan protein pakan, 8) kadar glukosa dan trigliserida darah, 9) konsumsi oksigen, dan 10) tingkat kelangsungan hidup. 1. Pertumbuhan Pertumbuhan diukur dengan menimbang ikan uji pada setiap periode pengamatan 10 hari sampai akhir percobaan. Pertumbuhan relatif dihitung dengan rumus Takeuchi (1988) dan pertumbuhan biomassa dihitung dengan rumus Zonneveld et al. (1991). a. Pertumbuhan Relatif Wt - Wo PR = x 100 Wo Dimana : PR Wo Wt = pertumbuhan relatif (%) = bobot rata-rata ikan uji pada awal penelitian (g) = bobot rata-rata ikan uji pada waktu t (g) b. Pertumbuhan Biomassa PB = Wt - Wo 93 94 Dimana : PB Wo Wt = pertumbuhan biomassa (g) = bobot populasi larva uji pada awal penelitian (g) = bobot populasi larva uji pada waktu t (g) 2. Efisiensi Pakan Efisiensi pakan dianalisis berdasarkan rumus efisiensi pakan menurut Takeuchi (1988), yaitu : (Wt + Wd) - Wo EP = x 100 F Dimana : EP Wo Wt Wd F = = = = = efisiensi pakan (%) bobot ikan uji pada awal penelitian (g) bobot ikan uji pada waktu t (g) bobot ikan uji yang mati selama penelitian (g) bobot pakan yang dikonsumsi selama penelitian (g) 3. Retensi Protein, Lemak, dan Energi Retensi protein dan lemak dapat diketahui dengan melakukan analisis proksimat (Lampiran 5) pada pakan serta tubuh ikan pada awal dan akhir percobaan, mengikuti metode Takeuchi (1988), sedangkan energi dideterminasi dengan bomb calorimeter (Lampiran 10). Rumus retensi protein, lemak, dan energi adalah sebagai berikut : Pt – Po / Lt – Lo / Et - Eo RP/RL/RE = x 100 Pe / Le / Ee Dimana : RP/RL/RE = retensi protein / retensi lemak/retensi energi (%) Po/ Lo/Eo = bobot protein/lemak/energi dalam tubuh ikan pada waktu 0 (g) Pt/Lt/Eo = bobot protein/lemak/energi dalam tubuh ikan pada waktu t (g) Pe/Le/Ee = bobot protein/lemak/energi yang dikonsumsi oleh ikan (g) 4. Kadar Glikogen Hati dan Otot Kadar glikogen pada hati dan otot ikan uji diukur pada akhir percobaan. Otot diambil dari bagian dorsal. Prosedur analisis kadar glikogen mengikuti metode Wedemeyer dan Yasutake (1977) yang disajikan pada Lampiran 11. 94 95 5. Populasi Mikrob Populasi mikrob pada saluran pencernaan ikan uji dihitung dalam hitungan koloni (cfu/mL) pada akhir percobaan dengan media dan prosedur yang sama seperti pada metode isolasi mikrob. 6. Aktivitas Enzim Amilase dan Protease Analisis aktivitas enzim amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan uji dilakukan pada akhir percobaan dengan metode menurut Bergmeyer dan Grassi (1983). Prosedur kerjanya disajikan pada Lampiran 3. 7. Kecernaan Karbohidrat dan Protein Pakan Kecernaan karbohidrat dan protein pakan diketahui dengan mengukur kecernaan dengan metode tidak langsung, yaitu menggunakan kromium oksida (Cr 2O3) sebanyak 0,6% yang dicampur merata dalam pakan. Prosedur pengukuran kecernaan dapat dilihat pada Lampiran 12. Kecernaan dihitung berdasarkan rumus Takeuchi (1988), yaitu : Kecernaan (%) = (1- a’/a x b’/b) x 100 Dimana : a’ a b’ b = = = = nutrien dalam feses (%) nutrien dalam pakan (%) indikator dalam feses (%) indikator dalam pakan (%) 1. Kadar Glukosa dan Trigliserida Darah Pengamatan kadar glukosa darah ikan uji dilakukan pada akhir penelitian. Ikan dipuasakan selama 48 jam, pengambilan darah dimulai pada jam ke 0 (sebelum pemberian pakan) dan jam ke 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah ikan diberi pakan satu kali sampai kenyang (post prandial). Sampel darah diambil dari vena caudal, jantung atau insang dengan menggunakan spuid bervolume 1 mL yang telah dibasahi dengan larutan antikoagulan natrium sitrat 3,8%. Selanjutnya sampel darah dimasukkan ke dalam microtube bervolume 1,5 mL dan disentrifius dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Kadar glukosa darah dianalisis mengikuti metode Wedemeyer dan Yasutake (1977). Prosedur analisis kadar glukosa darah disajikan pada Lampiran 6. Bersamaan dengan pengukuran kadar glukosa darah dilakukan juga pengukuran kadar trigliserida darah ikan uji, 95 96 yang diukur secara kolorimetrik menggunakan kit reagen berdasarkan metode GPO-PAP (glycerol-3-phosphate oxydase-peroxidase 4-aminophenazone). Prosedur kerja pengukuran kadar trigliserida darah disajikan pada Lampiran 7. 10. Konsumsi Oksigen Parameter ini diperlukan untuk memprediksi laju metabolik ikan uji menggunakan metode Becker dan Fishelson (1986). Wadah percobaan yang digunakan adalah stoples plastik bervolume 1,5 L yang dirancang dengan sistem resirkulasi dan aliran air diatur dengan kecepatan 30 L/jam (Gambar 23). Ikan uji dengan ukuran ± 20 g diaklimatisasi selama 48 jam dan diberi pakan pada level pemeliharaan. Setelah masa aklimatisasi selesai, ikan uji dipuasakan selama 48 jam untuk menghilangkan semua sisa pakan dalam saluran pencernaan. Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan dissolved oxygen meter (model 5509 lutron skala 0 sampai 20 ppm) dengan selang waktu pencatatan 15 menit. Pengukuran dimulai setelah 48 jam ikan uji dipuasakan sampai diperoleh tingkat konsumsi oksigen yang relatif stabil pada nilai terendah selama ± 90 menit. Selanjutnya ikan uji diberi pakan sampai kenyang dan pengukuran dilanjutkan selama 24 jam. Selama pengamatan, ikan diberi pakan secara at satiation sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00. Selama pengukuran konsumsi oksigen kisaran suhu media budi daya adalah 29 sampai 30oC. Nilai konsumsi oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (O2tn - O2t0) Konsumsi Oksigen = (mg O2/kg0,8/jam) Dimana : O 2tn O2t0 BBM V = = = = xV BBM Konsentrasi O2 yang masuk ke dalam wadah (mg/L) Konsentrasi O2 yang keluar dari wadah (mg/L) Bobot badan metabolik [bobot badan (kg) 0,8] Kecepatan aliran air (L/jam) Laju metabolisme dihitung dengan mengkonversi nilai konsumsi oksigen, yaitu mengkalikannya dengan nilai setara kalor 13,78 kJ/g untuk laju metabolisme basal (Brett dan Goves 1979) dan 14,85 kJ/g untuk laju metabolisme kenyang dan 96 97 laju metabolisme rutin (Huisman 1976). Specific dynamic action (SDA) ditentukan dari selisih antara laju metabolisme kenyang dan laju metabolisme basal. Berdasarkan data laju metabolisme dan deposisi energi dalam tubuh ikan uji dilakukan perhitungan neraca energi yang meliputi konsumsi energi, retensi energi, energi metabolik, yaitu energi yang siap digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan, yang merupakan penjumlahan antara penggunaan energi pada metabolisme rutin dan retensi energi, serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi. Gambar 23. Wadah percobaan yang digunakan pada pengukuran konsumsi oksigen untuk mengkaji efektivitas Carnobacterium sp. pada berbagai kadar protein-karbohidrat pakan buatan pada pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng 11. Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup ikan uji diamati pada setiap periode pengamatan 10 hari sampai akhir penelitian dan dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1997) sebagai berikut : Nt S = x 100 No Dimana : S Nt N0 = derajat kelangsungan hidup (%) = jumlah ikan uji pada akhir penelitian (ekor) = jumlah ikan uji pada awal penelitian (ekor) 97 98 Analisis Data Data yang diperoleh pada percobaan ini dianalisis dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji respons pada taraf uji 5% menggunakan program SPSS 12,0. Data kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan pada periode inkubasi 24 jam, serta data kadar glukosa dan trigliserida darah dianalisis secara deskriptif. Hasil Percobaan I (In Vitro) Hasil pengukuran terhadap produk hidrolisis karbohidrat, yaitu kadar glukosa pakan pada akhir periode inkubasi 6, 12 dan 24 jam setelah dihidrolisis oleh Carnobacterium sp. disajikan pada Gambar 24 serta Lampiran 51, 58 dan 65. Kadar karbohidrat pakan pada akhir periode inkubasi dapat dilihat pada Lampiran 54, 61 dan 66. Berdasarkan data kadar karbohidrat didapat hasil perhitungan derajat hidrolisis karbohidrat yang disajikan pada Gambar 25 serta Lampiran 55, 6 50 % P2 40 0%K % P30 % 30 K % P40 % 20 K % P50 % 10 K % P60 % K 50 % P20 % 40 K % P30 % 30 K % P40 % 20 K % P50 % 10 K % P60 % K 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 50 % P20 % 40 K % P30 % 30 K % P40 % 20 K % P50 % 10 K % P60 % K Kadar glukosa pakan Kadar glukosa pakan (mg/100 mL) (mg/100 mL) 62 dan 67. 12 Periode inkubasi (jam) 24 Jenis inokulum Carnobacterium sp. 6 10 cfu/mL cfu/mL 106 108 cfu/mL 108 cfu/mL 10 10 cfu/mL 1010 cfu/mL 1012 cfu/mL 1012 cfu/mL Gambar 24. Kadar glukosa pakan (mg/100 mL) pada akhir periode inkubasi (jam) pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 98 120 100 80 60 40 20 6 50 % P20 % 40 K % P30 % 30 K % P40 % 20 K % P50 % 10 K % P60 % K 50 % P20 % 40 K % P30 % 30 K % P40 % 20 K % P50 % 10 K % P60 % K 0 50 % P20 % 40 K % P30 % 30 K % P40 % 20 K % P50 % 10 K % P60 % K Derajat hidrolisis Derajat hidrolisis karbohidrat karbohidrat (mg/100 mL) (mg/100 mL) 99 12 Periode inkubasi (jam) 24 Jenis inokulum Carnobacterium sp. 6 10 cfu/mL 106 cfu/mL 10 8 cfu/mL 108 cfu/mL 1010 cfu/mL 1010 cfu/mL 1012 cfu/mL 1012 cfu/mL Gambar 25. Derajat hidrolisis karbohidrat pakan (%) pada akhir periode inkubasi (jam) pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan nyata mempengaruhi (P<0,05) kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan, baik pada periode inkubasi 6 jam maupun 12 jam (Lampiran 52 dan 59, serta 56 dan 63). Kadar glukosa pakan pada periode inkubasi 6 dan 12 jam meningkat dengan bertambahnya jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar karbohidrat pakan (Gambar 25 dan Lampiran 53 dan 60). Kadar glukosa pakan tertinggi, yaitu 124,97 mg/100 mL (periode inkubasi 6 jam) dan 171,39 mg/100 mL (periode inkubasi 12 jam) diperoleh pada jumlah inokulum Carnobacterium sp. 1012 cfu/mL dan pakan E (10% P – 60% K) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa pakan pada perlakuan lainnya. Namun demikian, derajat hidrolisis karbohidrat pakan meningkat dengan bertambahnya jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan berkurangnya kadar karbohidrat pakan (Lampiran 57 dan 64). Derajat hidrolisis karbohidrat pakan tertinggi, yaitu 32,18% (periode inkubasi 6 jam) dan 54,26% (periode inkubasi 12 jam) diperoleh pada jumlah inokulum Carnobacterium sp. 1012 cfu/mL dan pakan A: (50% P – 20% K) yang lebih tinggi dibandingkan dengan derajat hidrolisis karbohidrat pakan pada perlakuan lainnya. 99 100 Hasil pengamatan secara deskriptif atas data kadar glukosa pakan pada periode inkubasi 24 jam (Gambar 24 dan Lampiran 65) terlihat adanya penurunan pada setiap perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar proteinkarbohidrat pakan dibandingkan dengan periode inkubasi 6 jam dan 12 jam (Gambar 24). Adapun hasil analisis kadar karbohidrat dan derajat hirolisis karbohidrat pakan (Gambar 25 serta Lampiran 66 dan 67) menunjukkan bahwa pada perlakuan pakan A: (50% P – 20% K) dan pakan B: (40% P - 30% K) semua substrat sudah habis dihidrolisis oleh Carnobacterium sp. pada setiap perlakuan jumlah inokulum, dengan derajat hidrolisis karbohidrat pakan adalah 100%. Pada perlakuan pakan C: (30% P – 40% K) sebagian besar kadar karbohidrat pakan adalah 0 untuk setiap perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp., kecuali pada perlakuan pakan D: (20% P – 50% K) dan pakan E: (10% P – 60% K) terdapat substrat karbohidrat yang masih tersisa, yaitu berkisar antara 0,67% sampai 6,04%, dengan kisaran derajat hidrolisis karbohidrat pakan 89,97% sampai 98,66% Carnobacterium sp. mampu menghidrolisis karbohidrat pakan sebesar 4,86 sampai 10,29 mg pada jumlah inokulum 1010 cfu/mL dan 6,39 sampai 11,08 mg pada jumlah inokulum 10 12 cfu/mL selama 6 jam inkubasi. Hidrolisis ini meningkat pada jam ke 12 inkubasi, yaitu sebesar 10,34 sampai 21,63 mg pada jumlah inokulum 10 10 cfu/mL dan 10,76 sampai 22,10 mg pada jumlah inokulum 1012 cfu/mL. Pada jam ke-24 inkubasi, kandungan karbohidrat pakan sudah habis dihidrolisis pada hampir semua perlakuan. Carnobacterium sp. mampu menghidrolisis karbohidrat pakan sebesar 20,00 sampai 57,87 mg pada jumlah inokulum 1010 cfu/mL dan 20,00 sampai 58,13 mg pada jumlah inokulum 10 12 cfu/mL (lampiran 68). Percobaan II (In Vivo) Pertumbuhan Data pertumbuhan ikan uji yang mendapat perlakuan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan selama 60 hari pemeliharaan yang meliputi bobot populasi (g) dan bobot rata-rata (g) disajikan pada Lampiran 69 dan 70. Dari data tersebut dihitung pertumbuhan biomassa (g), 100 101 dan pertumbuhan relatif (%) yang disajikan pada Gambar 26 dan 27 serta Lampiran 71 dan 74. Gambar ikan uji pada akhir pengamatan disajikan pada Gambar 28. Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan nyata mempengaruhi (P<0,05) pertumbuhan biomassa dan pertumbuhan relatif ikan uji yang dihasilkan (Lampiran 72 dan 75). Hasil uji lanjutan pada Lampiran 73 dan 76 serta Gambar 26 dan 27 menunjukkan bahwa inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan mampu meningkatkan pertumbuhan ikan uji, baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan dan berbeda nyata dibandingkan kontrol. Pertumbuhan terbaik diperlihatkan oleh ikan uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K) dan C: (30% P - 40% K) serta berbeda nyata dibandingkan dengan ikan uji yang diberi pakan B: (40% P - 30% K) dan pakan A: (50% P - 20% K), dengan pertumbuhan tertinggi ke rendah adalah ikan uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K); C: (30% P - 40% K); B: (40% P - 30% K) dan pakan A: (50% P - 20% K). Fenomena ini berlawanan pada perlakuan kontrol, yaitu tanpa inokulasi Carnobacterium sp. pertumbuhan tertinggi ke rendah adalah ikan uji yang diberi pakan A: (50% P - 20% K); B: (40% P - 30% K); C: (30% P - 40% K), dan D: (20% P - 50% K). Pertumbuhan biomassa (g) 1100 1000 900 800 700 600 500 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 26. Pertumbuhan biomassa (g) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 101 102 Pertumbuhan bobot Pertumbuhan Relatif (%)bobot relatif (%) 2500 2250 2000 1750 1500 1250 1000 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 27. Pertumbuhan bobot relatif (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 1012 1010 1010 1012 Gambar 28. Ikan uji pada akhir pengamatan (hari ke-60) 102 103 Efisiensi Pakan Berdasarkan data pertumbuhan, bobot ikan yang mati selama penelitian dan konsumsi pakan (Gambar 29 dan Lampiran 77) selama 60 hari pemeliharaan didapat nilai efisiensi pakan (%) yang disajikan pada Gambar 30 dan Lampiran 77. Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan nyata mempengaruhi (P<0,05) konsumsi pakan dan efisiensi pakan ikan uji (Lampiran 78 dan 80). Fenomena yang terjadi pada pertumbuhan juga terlihat pada parameter konsumsi pakan, yaitu inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan meningkatkan konsumsi pakan ikan uji, baik pada jumlah inokulum 1010 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan dibandingkan dengan kontrol (Lampiran 79 dan Gambar 29). Konsumsi pakan tertinggi diperlihatkan ikan uji yang mendapat perlakuan pakan C: (30% P - 40% K) dan pakan D: (20% P - 50% K), yang nyata berbeda dibandingkan dengan konsumsi pakan ikan uji yang diberi pakan B: (40% P - 30% K) dan pakan A: (50% P - 20% K). Hal sebaliknya terjadi pada ikan uji yang mendapat perlakuan kontrol, yaitu konsumsi pakan tertinggi ke rendah adalah ikan uji yang mendapat perlakuan pakan B: (40% P - 30% K), pakan A: (50% P 20% K), pakan C: (30% P - 40% K) dan pakan D: (20% P - 50% K). Konsumsi pakan (g) 1300 1250 1200 1150 1100 1050 1000 950 900 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 29. Konsumsi pakan (g) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 103 104 Efisiensi pakan (%) 100 90 80 70 60 50 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 30. Efisiensi pakan (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Meskipun ikan uji yang mendapat perlakuan inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan, konsumsi pakan tertinggi terjadi pada ikan yang diberi pakan C: (30% P - 40% K) dan pakan D: (20% P - 50% K), akan tetapi diikuti dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi sehingga menghasilkan efisiensi pakan yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Lampiran 81). Pada ikan uji yang mendapat perlakuan kontrol, yaitu tanpa inokulasi Carnobacterium sp., efisiensi pakan lebih baik pada pemberian pakan dengan kadar protein lebih tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada ikan uji yang mendapat perlakuan inokulasi Carnobacterium sp., efisiensi pakan ikan uji yang diperoleh meningkat dengan menurunnya kadar protein dan meningkatnya kadar karbohidrat dalam komposisi pakan (Gambar 30 dan Lampiran 81). Retensi Protein dan Lemak serta Kadar Glikogen Hati dan Otot Berdasarkan data hasil analisis proksimat tubuh ikan pada awal dan akhir pengamatan (Lampiran 134), data konsumsi pakan (Lampiran 77), serta hasil analisis proksimat pakan (Tabel 11) diperoleh nilai retensi protein dan lemak (%) yang disajikan pada Gambar 31 dan 32 serta Lampiran 82. Nilai kadar glikogen 104 105 (mg/100 g) diperoleh dari pengukuran pada hati dan otot ikan uji pada akhir pengamatan disajikan pada Gambar 33 dan 34 serta Lampiran 82. Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan nyata mempengaruhi (P<0,05) retensi protein dan lemak serta kadar glikogen hati dan otot pada ikan uji (Lampiran 83, 85, 87, dan 89). Hasil uji lanjutan pada parameter pendukung pertumbuhan ini (Lampiran 84, 86, 88 dan 90 serta Gambar 31, 32, 33 dan 34) memperlihatkan bahwa inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan mampu meningkatkan retensi protein dan lemak serta kadar glikogen hati dan otot pada ikan uji, baik pada jumlah inokulum10 10 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan. Retensi protein dan lemak tertinggi diperlihatkan ikan uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K) yang berbeda dibandingkan dengan ikan uji yang diberi pakan C: (30% P - 40% K), pakan B: (40% P - 30% K) dan pakan A: (50% P - 20% K). Kadar glikogen hati dan otot tertinggi diperlihatkan ikan uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K) dan C: (30% P - 40% K) yang berbeda nyata dibandingkan dengan ikan uji yang diberi pakan B: (40% P - 30% K) dan pakan A: (50% P - 20% K). Retensi protein dan lemak serta kadar glikogen hati dan otot ikan uji pada berbagai kadar protein-karbohidrat, dari yang tertinggi ke rendah adalah ikan uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K), C: (30% P - 40% Retensi protein (%) K), B: (40% P - 30% K) dan pakan A: 50% P - 20% K. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 31. Retensi protein (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 105 106 Retensi lemak (%) 150 130 110 90 70 50 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 32. Retensi lemak (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Kadar hati Kadarglikogen glikogen hati (mg/100 g) (mg/100 mg) 160 150 140 130 120 110 100 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( Gambar 33. K 1010 1012 ) Kadar glikogen hati (mg/100 g) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 106 107 Kadar glikogen otot Kadar glikogen otot (mg/100 g) (mg/100 mg) 150 125 100 75 50 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 20%P-50%K 1010 1012 ) Gambar 34. Kadar glikogen otot (mg/100 g) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Populasi Mikrob Pada akhir pengamatan, dilakukan analisis populasi mikrob 5 dan 24 jam post prandial (cfu/mL) pada saluran pencernaan ikan uji yang mendapat perlakuan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan yang disajikan pada Gambar 35 serta Lampiran 91. 15 Populasi mikrob Populasi mikrob (Log 10 cfl/mL) (Log 10 cfu/mL) 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 K 1010 1012 K 1010 1012 Jumlah inokulum Carnobacterium sp. 5 jam post prandial 24 jam post prandial 50%P-20%K Kadar protein-karbohidrat pakan 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 35. Populasi mikrob (Log10 cfu/mL) 5 dan 24 jam post prandial pada saluran pencernaan ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 107 108 Populasi mikrob 5 jam post prandial (Lampiran 92) nyata dipengaruhi oleh perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. (P<0,05) dan tidak dipengaruhi oleh perlakuan kadar protein-karbohidrat pakan, sedangkan populasi mikrob 24 jam post prandial (Lampiran 94) tidak dipengaruhi oleh kedua perlakuan yang diberikan. Populasi mikrob 5 jam post prandial pada saluran pencernaan ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. terlihat meningkat baik pada jumlah inokulum10 10 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan dibandingkan dengan kontrol (Gambar 35 dan Lampiran 93). Akan tetapi, setelah 24 jam post prandial populasi mikrob dalam saluran pencernaan ikan uji menurun kembali dan tidak ada perbedaan antar-perlakuan. Aktivitas Enzim a-Amilase dan Protease Pada akhir pengamatan, aktivitas enzim a-amilase dan protease (IU/ g/menit) pada saluran pencernaan ikan uji yang mendapat perlakuan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan yang disajikan pada Gambar 36 dan 37 serta Lampiran 91. Aktivitas enzim a-amilase dan protease (Lampiran 95 dan 97) ikan uji nyata mempengaruhi (P<0,05) jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar proteinkarbohidrat pakan, tetapi tidak terjadi interaksi antara keduanya. Aktivitas enzim a-amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. terlihat meningkat baik pada jumlah inokulum1010 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan jika dibandingkan dengan kontrol (Gambar 36 dan 37 serta Lampiran 96 dan 98). Aktivitas enzim a-amilase saluran pencernaan ikan uji pada semua perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. meningkat dengan bertambahnya kadar karbohidrat pakan, dengan nilai tertinggi ke rendah diperlihatkan oleh ikan uji yang mendapat pakan D: (20% P - 50% K), pakan C: (30% P - 40% K), pakan B: (40% P - 30% K) dan pakan A: (50% P - 20% K). Nilai tertinggi dicapai ikan uji yang mendapat pakan D: (20% P - 50% K) dan nyata berbeda dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 36 dan Lampiran 97). Aktivitas enzim protease saluran pencernaan ikan uji pada semua perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. meningkat dengan meningkatnya kandungan protein pakan, dengan nilai tertinggi ke rendah diperlihatkan ikan uji yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K), pakan B: (40% P - 30% K), pakan C: 108 109 (30% P - 40% K), dan pakan D: (20% P - 50% K). Nilai tertinggi dicapai ikan uji yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K) dan nyata berbeda dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 37 dan Lampiran 98). Aktivitas enzim a-amilase (IU/g/menit) 70 60 50 40 30 20 10 0 K 10 12 10 10 Jumlah inokulum Carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 36. Aktivitas enzim a-amilase (IU/g/menit) pada saluran pencernaan ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Aktivitas enzim protease (IU/g/menit) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 K 10 12 10 10 Jumlah inokulum Carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 37. Aktivitas enzim protease (IU/ g/menit) pada saluran pencernaan ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 109 110 Kecernaan Karbohidrat dan Protein Pakan Kecernaan karbohidrat dan protein pakan (%) ikan uji yang mendapat perlakuan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar proteinkarbohidrat pakan pada akhir pengamatan dapat dilihat pada Gambar 38 dan 39 serta Lampiran 99. 90 Kecernaan karbohidrat (%) 80 70 60 50 40 30 1 1010 K 1012 2 Jumlah inokulum Carnobacterium sp. 3 Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 38. Kecernaan karbohidrat (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 90 Kecernaan protein (%) 80 70 60 50 40 30 1010 K 1012 Jumlah inokulum carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 39. Kecernaan protein (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 110 111 Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan nyata mempengaruhi (P<0,05) kecernaan karbohidrat dan protein ikan uji (Lampiran 100 dan 102). Pada perlakuan kontrol, semakin tinggi kadar karbohidrat pakan, tingkat kecernaan karbohidrat dan protein pakan semakin rendah. Nilai kecernaan karbohidrat lebih rendah dibandingkan dengan nilai kecernaan protein pakan pada semua ikan uji (Gambar 38 dan 39 serta Lampiran 101 dan 103). Inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan baik pada jumlah inokulum 1010 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan dapat meningkatkan kecernaan karbohidrat dan sekaligus meningkatkan kecernaan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada berbagai kadar protein–karbohidrat pakan. Nilai kecernaan karbohidrat dan protein pakan ikan uji tidak berbeda pada semua perlakuan kadar protein-karbohidrat pakan. Kadar Glukosa dan Trigliserida Darah Hasil analisis kadar glukosa dan kadar trigliserida darah (mg/100 mL darah) ikan uji yang mendapat perlakuan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan sesaat sebelum makan (jam ke-0) dan setelah mengkonsumsi pakan (jam ke-2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, dan 18 post prandial) disajikan pada Gambar 40 dan 41 serta Lampiran 104 dan 105. Kadar glukosa darah (mg/100 mL darah) 140 120 100 80 60 40 20 0 7.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 2.00 Periode pengamatan (setiap 2 jam selama 18 jam post prandial ) A B C D A10 B10 C10 D10 A12 B12 C12 D12 A: (50%P-20%K) B: (40%P-30%K) C: (30%P-40%K) D: (20%P-50%K) 10 = 1010 12 = 1012 Gambar 40. Kadar glukosa darah (mg/100 mL darah) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan setiap 2 jam selama 18 jam post prandial 111 Kadar trigliserida darah (mg/100 mL) 112 350 300 250 200 150 100 50 0 7.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 2.00 Periode pengamatan (setiap 2 jam selama 18 jam post prandial ) A B C D A10 B10 C10 D10 A12 B12 C12 D12 A: (50%P-20%K) B: (40%P-30%K) C: (30%P-40%K) D: (20%P-50%K) 10 = 1010 12 = 1012 Gambar 41. Kadar trigliserida darah (mg/100 mL darah) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan setiap 2 jam selama 18 jam post prandial Kadar glukosa dan trigliserida darah ikan uji segera meningkat setelah ikan mengkonsumsi sejumlah pakan dan menurun kembali setelah mencapai puncak. Titik puncak dan permulaan turunnya puncak kadar glukosa dan trigliserida darah ikan uji pada setiap perlakuan dicapai pada periode waktu yang berbeda. Titik puncak kadar glukosa darah tercepat dicapai ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan, yaitu pada jam ke-4 post prandial. Puncak tertinggi ke rendah diperlihatkan ikan uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K), pakan C: (30% P - 40% K), pakan B: (40% P - 30% K), dan pakan A: (50% P - 20% K). Ikan uji dengan perlakuan kontrol, pada berbagai perlakuan kadar proteinkarbohidrat pakan, titik puncak kadar glukosa darah dicapai pada jam ke-6 post prandial. Kadar trigliserida darah ikan uji pada setiap perlakuan mencapai titik puncak pada periode waktu yang sama, yaitu antara jam ke-6 sampai jam ke-8 post prandial. Ikan uji pada perlakuan kontrol, pada berbagai perlakuan kadar protein-karbohidrat pakan menunjukkan kadar trigliserida darah yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. 112 113 Konsumsi Oksigen dan Laju Metabolisme Pengamatan pada tingkat konsumsi oksigen (mg O 2/kg0,8/jam) ikan uji setiap 15 menit selama 24 jam pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan disajikan pada Gambar 42. Pola konsumsi oksigen harian ikan uji bervariasi berdasarkan perlakuan yang diberikan. Tingkat konsumsi oksigen harian yang dihasilkan pada ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan dengan berbagai kadar proteinkarbohidrat pakan lebih tinggi dibandingkan dengan ikan uji kontrol (Gambar 42). Aktivitas mengkonsumsi oksigen segera meningkat setelah ikan uji mengkonsumsi pakan, hal ini nampak terlihat pada ketiga frekuensi pemberian pakan selama 24 jam. Ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan dengan berbagai kadar protein-karbohidrat pakan memerlukan waktu mulai 0,5 sampai 3,5 jam untuk aktivitas mengkonsumsi oksigen pada saat kenyang, dan menurun kembali setelah mencapai puncak. Ikan uji kontrol, pada berbagai kadar protein-karbohidrat pakan memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu berkisar antara 1 sampai 5 jam untuk mengkonsumsi oksigen pada saat kenyang. 500 450 0.8 (mg O2/kg /jam) Konsumsi oksigen 400 350 300 250 200 150 100 50 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 24.00 23.00 22.00 21.00 20.00 19.00 18.00 17.00 16.00 15.00 14.00 13.00 12.00 11.00 10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 0 Periode pengamatan (setiap 15 menit selama 24 jam) A B C D A10 B10 C10 D10 A12 B12 C12 D12 A: (50%P-20%K) B: (40%P-30%K) C: (30%P-40%K) D: (20%P-50%K) 10 = 1010 12 = 1012 Gambar 42. Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/kg0,8/jam) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan setiap 15 menit selama 24 jam 113 114 Berdasarkan data tingkat konsumsi oksigen harian dilakukan analisis tingkat konsumsi oksigen basal, konsumsi oksigen rutin, dan konsumsi oksigen kenyang (mg O2/kg0,8/jam) disajikan pada Gambar 43, 44 dan 45 serta Lampiran 106. Konsumsi oksigen basal (mg O2 /kg0,8 /jam) 500 450 400 350 300 250 200 150 100 K 10 12 10 10 Jumlah inokulasi Carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 43. Konsumsi oksigen basal (mg O 2/kg0,8/jam) ikan uji Konsumsi oksigen 0,8 rutin (mg O2 /kg /jam) 500 450 400 350 300 250 200 150 100 10 K 10 10 12 Jumlah inokulasi Carnobacterium sp Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 44. Konsumsi oksigen rutin (mg O2/kg0,8/jam) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 114 115 0,8 (mg O2/kg /jam) Konsumsi oksigen kenyang 500 450 400 350 300 250 200 150 100 K 10 10 12 10 Jumlah inokulasi Carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 45. Konsumsi oksigen kenyang (mg O2/kg0,8/jam) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan mempengaruhi (P<0,05) konsumsi oksigen rutin dan konsumsi oksigen kenyang, tetapi tidak ada interaksi antar-perlakuan (Lampiran 108 dan 110). Aktivitas konsumsi oksigen basal berkisar antara 118,41 dan 136,10 mg O2/kg0,8/jam, konsumsi oksigen rutin berkisar antara 243,23 dan 295,90 mg O2/kg0,8/jam dan konsumsi oksigen kenyang berkisar antara 310,23 dan 421,14 mg O2/kg0,8/jam. Aktivitas konsumsi oksigen rutin dan konsumsi oksigen kenyang ikan uji (Gambar 44 dan 45 serta Lampiran 109 dan 111) yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum10 10 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol. Konsumsi oksigen rutin dan konsumsi oksigen kenyang ikan uji pada semua perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. meningkat dengan meningkatnya kadar protein pakan, dengan nilai tertinggi ke rendah diperlihatkan oleh ikan uji yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K), pakan B: (40% P - 30% K), pakan C: (30% P - 40% K), dan pakan D: (20% P - 50% K). Konsumsi oksigen ikan uji yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K) berbeda dibandingkan dengan ikan yang mendapat pakan lainnya. 115 116 Tingkat konsumsi oksigen dapat digunakan untuk menaksir laju metabolisme. Hasil analisis laju metabolisme basal, laju metabolisme rutin, laju metabolisme kenyang, dan specific dynamic action (kJ/kg 0,8/hari) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan dapat dilihat pada Gambar 46, 47,48 dan 49 serta Lampiran 112. Laju metabolisme basal Laju metabolisme basal 0,8 0,8/hari) (kJ/kg (kJ/kg /hari) 150 125 100 75 50 25 0 1010 K 1012 Jumlah inokulasi Carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 46. Laju metabolisme basal (kJ/kg0,8/hari) ikan uji 125 (kJ/kg /hari) 0,8 (kJ/kg0,8 /hari) Lajumetabolisme metabolisme rutin Laju 150 100 75 50 25 0 K 10 12 10 p. 10 Jumlah inokulasi Carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 47. Laju metabolisme rutin (kJ/kg0,8/hari) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 116 117 140 120 0.8 (kJ/kg /hari) Laju metabolisme kenyang 160 100 80 60 40 20 0 K 10 10 10 Jumlah inokulum Carnobacterium sp. 12 Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 48. Laju metabolisme kenyang (kJ/kg0,8/hari) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan (kJ/kg /hari) 125 100 0,8 Specifik dinamic action 150 75 50 25 0 K 10 10 10 12 Jumlah inokulasi Carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 49. Specific dynamic action (kJ/kg 0,8/hari) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan mempengaruhi (P<0,05) laju metabolisme rutin, laju metabolisme kenyang, dan specific dynamic action, tetapi tidak ada interaksi antar-perlakuan (Lampiran 114, 116 dan 118). Laju metabolisme basal berkisar antara 38,08 – 43,92 kJ/kg 0,8/hari, 117 118 laju me tabolisme rutin berkisar antara 85,43 dan 103,98 kJ/kg0,8/hari, laju 0,8 metabolisme kenyang berkisar antara 110,57 dan 150,10 kJ/kg /hari dan specific dynamic action berkisar antara 67,17 dan 107,99 kJ/kg0,8/hari. Aktivitas laju metabolisme rutin, laju metabolisme kenyang, dan specific dynamic action ikan uji (Gambar 47, 48 dan 49 serta Lampiran 115, 117, dan 119) yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum1010 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol. Laju metabolisme rutin, laju metabolisme kenyang, dan specific dynamic action ikan uji pada semua pelakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. meningkat dengan peningkatan kandungan protein pakan. Nilai tertinggi ke rendah diperlihatkan ikan uji yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K), pakan B: (40% P - 30% K), pakan C: (30% P - 40% K) dan pakan D: (20% P - 50% K). Nilai tertinggi dicapai ikan uji yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K) nyata berbeda dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Neraca Energi Neraca energi merupakan parameter penting pada kajian bioenergetik. Neraca energi ikan uji dengan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan yang dianalisis pada akhir percobaan adalah konsumsi energi, energi yang diretensi dalam tubuh, dan energi metabolik dalam kJ per kg ikan, serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi (Gambar 50, 51, 52, 53 dan 54 serta Lampiran 120). Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan mempengaruhi (P<0,05) konsumsi energi, energi yang diretensi dalam tubuh, dan energi metabolik dalam kJ per kg ikan, serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi ikan uji (Lampiran 121, 123, 125, 127, dan 129). Hasil uji lanjutan pada Lampiran 122, 124, 126 , 128, dan 130 serta Gambar 50, 51, 52, 53, dan 54 menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan mampu meningkatkan energi yang diretensi dalam tubuh dan energi metabolik dalam kJ per kg ikan, serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi ikan uji, serta mengefisienkan energi yang dikonsumsi, baik pada jumlah inokulum1010 118 119 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan dan berbeda nyata dibandingkan kontrol. Energi yang diretensi dalam tubuh dan energi metabolik dalam kJ per kg ikan, serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi ikan uji meningkat dengan meningkatnya kadar karbohidrat pakan. Nilai terbaik diperlihatkan oleh ikan uji yang diberi pakan D: (20% P 50% K) dengan inokulasi Carnobacterium sp. yang berbeda dari perlakuan lainnya. Pada ikan uji kontrol, energi yang diretensi dalam tubuh dan energi metabolik dalam kJ per kg ikan yang dihasilkan tidak berbeda antar-perlakuan kadar protein-karbohidrat pakan. Persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi ikan uji meningkat dengan meningkatnya kadar karbohidrat pakan, sampai pada pakan C: (30% P – 40 % K). Setelah itu menurun pada ikan uji yang diberi pakan D: (20% P – 50% K). Hasil yang dicapai merupakan dampak dari peningkatan konsumsi energi pada ikan uji yang diberi pakan D: (20% P – 50% K). Konsumsi energi (kJ/kg) 1000 950 900 850 800 750 700 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 50. Konsumsi energi (kJ/kg) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 119 120 Retensi energi (kJ/kg) 500 450 400 350 300 250 200 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 51. Retensi energi (kJ/kg) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Energi metabolik (kJ/kg) 700 650 600 550 500 450 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 52. Energi metabolik (kJ/kg) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan 120 RE/KE (%) 121 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 53. Retensi energi per konsumsi energi (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar proteinkarbohidrat pakan 100 EM/KE (%) 90 80 70 60 50 40 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Kadar protein-karbohidrat pakan Jumlah inokulum Carnobacterium sp. ( K 1010 1012 ) Gambar 54. Energi metabolik per konsumsi energi (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Tingkat Kelangsungan Hidup Data jumlah populasi ikan uji dengan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan pada setiap 10 hari periode pengamatan disajikan pada Lampiran 131. Berdasarkan data tersebut 121 122 diperoleh nilai tingkat kelangsungan hidup (%) yang disajikan pada Gambar 55 dan Lampiran 132. Tingkat kelangsungan hidup (%) 100 75 50 25 0 10 12 K 10 10 Jumlah inokulasi Carnobacterium sp. Kadar protein-karbohidrat pakan 50%P-20%K 40%P-30%K 30%P-40%K 20%P-50%K Gambar 55. Tingkat kelangsungan hidup (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan Gambar 55 dan Lampiran 133 menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan pada ikan uji baik jumlah inokulum Carnobacterium sp. maupun kadar protein-karbohidrat pakan selama 60 hari pemeliharaan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada tingkat kelangsungan hidup ikan uji. Pembahasan Hasil percobaan secara in vitro menunjukkan bahwa Carnobacterium sp. sangat efektif menghidrolisis pakan dan sangat dipengaruhi oleh jumlah inokulum Carnobacterium sp. serta kadar protein-karbohidrat pakan. Semakin tinggi jumlah inokulum dan kadar karbohidrat pakan, semakin besar kadar glukosa yang dihasilkan, dan derajat hidrolisis karbohidrat rata-rata mencapai 100% pada akhir periode inkubasi 24 jam. Pati yang terkandung dalam pakan adalah substrat yang sesuai bagi Carnobacterium sp. Oleh sebab itu, peningkatan pati dalam pakan dapat memacu sekresi enzim amilase untuk mendegradasi pati menjadi glukosa. Peningkatan kadar glukosa dalam media meningkatkan sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Atlas et al. (1984) mengemukakan bahwa mikrob amilolitik 122 123 adalah mikrob yang mampu menghasilkan eksoenzim amilase yang akan mendegradasi pati menjadi maltosa dan glukosa. Sakarida ini diangkut ke dalam sitoplasma sel dan digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Kadar glukosa dalam media juga sangat dipengaruhi oleh jumlah inokulum Carnobacterium sp. Pertumbuhan mikrob merupakan pembelahan biner melintang, yaitu satu sel membelah diri menghasilkan dua sel. Semakin besar jumlah inokulum, berarti semakin padat populasi Carnobacterium sp. dalam media. Oleh sebab itu, akan semakin banyak sel yang membelah, yang menyebabkan kepadatan sel Carnobacterium sp. akan semakin meningkat. Peningkatan kepadatan populasi Carnobacterium sp. dapat menambah aktivitas hidrolisis substrat sehingga kadar glukosa dalam media kultur juga meningkat. Menurut Fuller (1997) salah satu faktor yang menentukan keberhasilan aplikasi probiotik adalah dosis yang diberikan. Kompiang (1999) mengemukakan bahwa dosis probiotik yang tepat dalam pakan dapat berfungsi sebagai growth promoter pada pertumbuhan hewan. Penurunan kadar glukosa pada periode pengamatan 24 jam inkubasi terjadi karena glukosa hasil hidrolisis dimanfaatkan oleh mikrob sebagai sumber karbon untuk kehidupannya sementara sumber glukosa dalam media, yaitu pati sudah mulai berkurang dan bahkan sudah habis. Fenomena ini dibuktikan dengan hasil analisis pada derajat hidrolisis karbohidrat pakan pada periode inkubasi 24 jam, yaitu rata-rata mencapai 100% untuk semua perlakuan. Pengamatan pada berbagai periode inkubasi untuk mengukur hidrolisis karbohidrat pakan oleh mikrob secara in vitro sangat penting sebagai informasi periode inkubasi yang sudah memberikan respons perbedaan pada parameter yang diamati. Pada percobaan ini, periode inkubasi yang sudah memberikan respons perbedaan adalah pada periode pengamatan 12 jam inkubasi. Semakin banyak substrat yang tersedia semakin tinggi aktivitas mikrob untuk menghidrolisis. Akan tetapi, substrat yang masih tersisa yang belum terhidrolisis oleh mikrob sampai periode inkubasi 12 jam masih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan derajat hidrolisis karbohidrat yang diperoleh menurun dengan meningkatnya kadar karbohidrat pakan. Derajat hidrolisis karbohidrat yang dicapai oleh Carnobacterium sp. pada jumlah inokulum 1010 dan 10 12 123 124 cfu/mL sampai 12 jam inkubasi, sudah berada pada kisaran nilai kecernaan karbohidrat atau pati oleh ikan, yaitu sekitar 40 sampai 60%. Derajat hidrolisis karbohidrat yang masih lebih rendah dibandingkan nilai kecernaan ikan pada umumnya, ditemukan pada level karbohidrat pakan yang tinggi. Meskipun demikian, diharapkan pada aplikasi Carnobacterium sp secara in vivo, enzim pencernaan eksogen dan endogen pada saluran pencernaan bekerja bersama-sama untuk melakukan proses degradasi karbohidrat pakan. Dengan demikian, derajat hidrolisis atau kecernaan karbohidrat pakan dapat lebih ditingkatkan. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada percobaan in vitro, pada semua parameter yang diamati bahwa perlakuan yang terbaik adalah jumlah inokulum Carnobacterium sp. 1012 cfu/mL dengan pakan E: (10% P – 60% K). Walaupun demikian, perlakuan yang diuji pada percobaan in vivo adalah jumlah inokulasi mikrob 1010 dan 1012 cfu/mL dan pakan A : (50% P – 20% K), pakan B: (40 P – 30% K), pakan C: (30% P – 40% K), dan pakan D: (20% P – 50 % K). Meskipun hasil uji statistik membuktikan bahwa jumlah inokulum Carnobacterium sp. yang terbaik adalah 10 12 cfu/mL, dalam saluran pencernaan ikan juga terdapat enzim pencernaan amilase endogen yang akan mencerna karbohidrat pakan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Diharapkan dengan 1010 cfu/mL Carnobacterium sp., ikan uji sudah mampu memanfaatkan pakan buatan dengan kadar karbohidrat yang lebih tinggi, dan memberikan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik. Pakan E: (10% P – 60% K) tidak digunakan pada tahap pengujian in vivo dengan pertimbangan kadar proteinnya terlalu rendah dibandingkan dengan kebutuhan protein pada ikan secara umum. Ikan bandeng membutuhkan kadar protein pakan berkisar antara 20 dan 40%, dengan kadar protein optimal sebesar 40% yang memberikan tingkat pertumbuhan terbaik (Lim et al. 1979; Santiago et al. 1983). Carnobacterium sp. sebagai feed additive mampu meningkatkan pertumbuhan ikan uji baik pada jumlah inokulum Carnobacterium sp. 1010 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan dibandingkan dengan ikan uji kontrol. Ikan uji dengan inokulasi Carnobacterium sp. memperlihatkan peningkatan pertumbuhan dengan meningkatnya karbohidrat pakan. Ikan uji yang mendapat pakan D: (20% P – 50% K) dan pakan C: (30% P – 40% K) menunjukkan tingkat pertumbuhan 124 125 tertinggi. Sebaliknya, pada ikan uji dengan perlakuan kontrol, pertumbuhan menurun dengan meningkatnya karbohidrat. Hal senada dengan ikan uji pada perlakuan kontrol, yaitu pertumbuhan menurun dengan meningkatnya karbohidrat dilaporkan pada beberapa spesies ikan (Suarez et al. 2002; Krogdahl et al. 2004; dan Hatlen et al. 2005). Peningkatan pertumbuhan ikan uji akibat inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan merupakan respons pemanfaatan karbohidrat pakan sebagai sumber energi, hal ini memperlihatkan apa yang disebut protein sparing action untuk pertumbuhan. Protein dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak, tidak sebagai sumber energi. Menurut Zonneveld et al. (1991) meskipun karbohidrat bukan merupakan sumber energi yang superior bagi ikan melebihi protein dan lemak, karbohidrat yang dicerna dari pakan dapat memperlihatkan apa yang disebut protein sparing action untuk pertumbuhan. Respons pertumbuhan ikan uji yang tinggi terhadap inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan menghasilkan tingkat pemanfaatan pakan yang lebih efisien dibandingkan ikan uji kontrol. Ikan uji yang mendapat pakan D: (20% P – 50% K) dan pakan C: (30% P – 40% K) dengan inokulasi Carnobacterium sp. mampu memanfaatkan karbohidrat pakan lebih efektif dan menggunakan protein pakan lebih efisien sehingga memberikan respons lebih baik pada pertumbuhan dan efisiensi pakan. Hasil yang sama dicapai oleh ikan gurame yang diberi pakan dengan inokulasi probiotik Bacillus sp. (Irawan 2002; dan Murni 2004). Pengukuran materi pertumbuhan, meliputi retensi protein dan lemak, serta kadar glikogen hati dan otot memperlihatkan pola yang seiring dengan pertumbuhan bobot ikan uji. Inokulum Carnobacterium sp. dalam pakan, baik 10 maupun 1012 cfu/mL/100 g, meningkatkan retensi pada jumlah inokulum 10 protein dan lemak, serta kadar glikogen hati dan otot ikan uji dibandingkan dengan ikan uji kontrol. Retensi protein dan lemak, serta kadar glikogen hati dan otot meningkat dengan peningkatan kadar karbohidrat pakan. Peningkatan kemampuan ikan uji memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi, dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dan 125 126 pergantian sel yang rusak, yang pada akhirnya terjadi peningkatan deposisi dan retensi protein. Berdasarkan data retensi lemak ikan uji terlihat adanya indikasi pemanfaatan sejumlah lemak pakan untuk mencukupi kebutuhan energi karena energi yang berasal dari karbohidrat pakan rendah. Keadaan ini ditunjukkan ikan uji kontrol dengan pakan A: (50% P – 20% K). Retensi lemak meningkat dengan peningkatan kadar karbohidrat pakan, serta meningkat dengan adanya inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan bahkan mencapai di atas 100%. Hal ini mengindikasikan adanya pemanfaatan lemak dan karbohidrat pakan secara maksimum untuk simpanan lemak tubuh pada proses lipogenesis. Hasil yang sama dilaporkan terjadi pada ikan gurame yang mendapat pakan yang diinokulasi probiotik Bacillus sp. (Murni 2004). Ketersediaan glukosa dalam sel, yang merupakan produk hidrolisis karbohidrat digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh dan kebutuhan energi, setelah terpenuhi pemasukan glukosa yang tinggi akan merangsang terjadinya proses glikogenesis dan lipogenesis (Stryer 2000). Glikogenesis adalah perubahan bentuk glukosa menjadi glikogen seperti yang terjadi dalam hati dan otot. Peningkatan aktivitas glikogenesis inilah yang menyebabkan meningkatnya kadar glikogen hati dan otot pada ikan uji yang diberi pakan dengan kadar karbohidrat lebih tinggi dengan inokulasi Carnobacterium sp. Nilai yang didapat menurun dengan berkurangnya karbohidrat pakan. Peningkatan retensi protein dan lemak, serta kadar glikogen hati dan otot dengan meningkatnya karbohidrat pakan juga ditemukan pada spesies ikan lain (Suarez et al. 2002; Krogdahl et al. 2004; Mokoginta et al. 2004; dan Hatlen et al. 2005). Pada ikan uji kontrol, pertumbuhan tertinggi ke rendah adalah yang diberi pakan A: (50% P - 20% K), pakan B: (40% P - 30% K); pakan C: (30% P - 40% K), dan pakan D: (20% P - 50% K). Hal ini terjadi karena perbedaan pada kadar protein-karbohidrat pakan yang diberikan. Ikan uji yang mendapat pakan dengan kadar protein yang lebih tinggi memperlihatkan respons pertumbuhan tertinggi dan menurun dengan menurunnya kadar protein pakan. Pengaruh yang lain diduga adanya perbedaan komposisi asam amino dan asam lemak pakan. Perbedaan komposisi asam amino dan asam lemak pada setiap pakan uji disebabkan oleh 126 127 perbedaan komposisi tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung terigu dalam formulasi pakan Pola pertumbuhan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. dari tertinggi ke rendah adalah yang diberi pakan pakan D: (20% P - 50% K), pakan C: (30% P - 40% K), pakan B: (40% P - 30% K), dan pakan A: (50% P - 20% K). Fenomena ini merupakan respons ikan uji pada perubahan fisiologis saluran pencernaan akibat inokulasi Carnobacterium sp. Inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan meningkatkan populasi mikrob dalam saluran pencernaan ikan uji, yaitu dari sekitar 10 10 cfu/mL menjadi 1013 cfu/mL pada saat puncak hidrolisis pakan. Peningkatan populasi mikrob dalam saluran pencernaan ikan uji meningkatkan aktivitas enzim pencernaan, yaitu enzim a-amilase dan protease di dalam saluran pencernaan ikan uji. Enzim a-amilase dan protease (pepsin dan tripsin) adalah enzim yang berperan sebagai katalisator pada pencernaan karbohidrat dan protein. Peningkatan aktivitas enzim pencernaan yang berasal dari kontribusi mikrob pada saluran pencernaan ikan dilaporkan oleh beberapa peneliti (Gatesoupe 1999; Handayani et al. 2000; Robertson et al. 2000; dan Murni 2004). Peningkatan aktivitas enzim a-amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan uji dapat meningkatkan kecernaan karbohidrat dan protein pakan. Akibatnya, penyerapan nutrien hasil hidrolisis di dalam saluran pencernaan juga meningkat. Hal ini merupakan respons positif dari ikan uji pada Carnobacterium sp. yang diberikan sehingga lebih mampu memanfaatkan karbohidrat pakan sebagai sumber energi, diperuntukkan bagi pertumbuhan. Hasil dan protein lebih banyak akhirnya adalah peningkatan pertumbuhan. Populasi mikrob pada saluran pencernaan ikan uji meningkat pada 5 jam post prandial dibandingkan dengan ikan uji kontrol. Pada periode waktu 5 jam aktivitas pada saluran pencernaan ikan uji tinggi, dan masih banyak nutrien yang tersedia. Penurunan kembali populasi mikrob pada saluran pencernaan ikan uji 24 jam post prandial disebabkan pakan dalam saluran pencernaan sudah habis dihidrolisis dan nutrien hasil hidrolisis sudah diserap ke dalam tubuh. Oleh karena itu, tidak tersedia nutrien yang cukup untuk pertumbuhan mikrob. Mikroorganisme dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar yang kaya 127 128 akan molekul kompleks dengan cara mensekresikan enzim yang disebut eksoenzim. Eksoenzim mengkatalisasikan hidrolisis makromolekul menjadi molekul yang lebih sederhana seperti protein menjadi asam amino, polisakarida menjadi gula, dan lemak menjadi asam lemak. Molekul yang sudah kecil ini diangkut ke sitoplasma sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi atau senyawa pemula dalam sintesis komponen sel (Lay 1994). Eksoenzim disekresikan oleh mikrob untuk mendegradasi pakan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan karbon atau energi mikrob itu sendiri. Akan tetapi, ketersediaan nutrien lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan mikrob sampai pada batas jumlah inokulum tertentu. Hal inilah yang menjadi satu alasan tidak ada perbedaan populasi mikrob pada berbagai kadar protein-karbohidrat pakan. Perimbangan ketersediaan nutrien yang lebih banyak dari kebutuhan mikrob, menyebabkan ketersediaan nutrien untuk ikan uji tidak terganggu. Keuntungan bagi ikan uji adalah eksoenzim yang disekresikan mikrob dapat meningkatkan aktivitas enzim pencernaan pada saluran pencernaan ikan uji. Aktivitas enzim a-amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan uji meningkat dengan adanya inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan. Peningkatan aktivitas enzim a-amilase pada saluran pencernaan ikan uji dengan adanya inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan, diikuti juga oleh peningkatan aktivitas enzim protease. Carnobacterium sp. adalah mikrob amilolitik yang memerlukan pati sebagai sumber karbonnya, tetapi mikrob ini juga dapat memanfaatkan sumber karbon lain selain pati pada media hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan aktivitas enzim protease pada saluran pencernaan ikan uji dengan inokulasi Carnobacterium sp. meningkat dibandingkan kontrol. Pelczar dan Chan (1988) mengemukakan bahwa mikrob seperti juga manusia memerlukan zat-zat gizi untuk pertumbuhan dan fungsi normalnya, yaitu sumber energi, karbon, nitrogen, mineral, vitamin, dan air. Aktivitas enzim a-amilase meningkat dengan peningkatan karbohidrat pakan, dan aktivitas enzim protease meningkat dengan peningkatan protein pakan. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan substrat yang dihidrolisis oleh enzim. Semakin banyak substrat yang tersedia, semakin banyak eksoenzim yang disekresikan mikrob. Ketersediaan substrat juga akan merangsang saluran dan 128 129 kelenjar pencernaan ikan untuk mensekresikan enzim endogen secara maksimal sampai batas tertentu. Dengan demikian, terjadi peningkatan aktivitas enzim aamilase dan protease untuk menghidrolisis karbohidrat dan protein pakan. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan kecernaan karbohidrat dan protein pakan pada ikan uji yang mendapat pakan yang diinokulasi Carnobacterium sp. Nilai kecernaan pakan atau disebut juga kofisien pencernaan dapat menggambarkan kemampuan ikan untuk mencerna pakan, menggambarkan kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ikan. juga dapat Kecernaan karbohidrat dan protein pakan ikan uji pada perlakuan kontrol, menurun dengan bertambahnya kadar karbohidrat pakan. Hasil yang sama dilaporkan ditemukan pada ikan rainbow trout (Pan et al. 2005). Pada ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. tidak ada perbedaan antar-perlakuan kadar protein-karbohidrat pakan, akan tetapi lebih tinggi dibandingkan ikan uji kontrol. Kecernaan karbohidrat dan protein pakan akan menurun dengan meningkatnya komposisi non-protein dalam pakan. Hal ini demikian karena, pada proses pencernaan karbohidrat, semakin tinggi kadar karbohidrat pakan semakin besar substrat yang tersedia untuk enzim a-amilase. Akan tetapi kapasitas aktivitas enzim a-amilase untuk menghidrolisis karbohidrat rendah. Dengan demikian, semakin tinggi kadar karbohidrat pakan semakin banyak bagian yang tidak tercerna dan dikeluarkan dari tubuh sebagai feses. Peningkatan bagian karbohidrat yang tidak tercerna akibat peningkatan kadar karbohidrat pakan berpengaruh pada kecernaan protein. Hal ini terjadi demikian karena protein yang belum sempat dicerna dengan baik akan ikut terbuang bersama dengan bagian karbohidrat yang tidak tercerna. Peningkatan nilai kecernaan karbohidrat dan protein ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. disebabkan oleh peningkatan aktivitas a-amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan uji sehingga aktivitas degradasi substrat meningkat. Hal ini juga yang menyebabkan kenapa kadar protein dan karbohidrat pakan tidak mempengaruhi kecernaan karbohidrat. Semakin banyak karbohidrat pakan yang tercerna semakin sedikit bagian yang tidak tercerna. Oleh karena itu, tidak banyak bagian protein yang ikut terbuang bersama karbohidrat. 129 130 Glukosa adalah produk hidrolisis enzimatik karbohidrat pakan, diserap di usus halus masuk ke aliran darah Kadar glukosa dalam darah merupakan resultan atau hasil perimbangan sesaat antara laju penyerapan glukosa dari saluran pencernaan ke dalam aliran darah dan laju pemasukan glukosa darah ke dalam sel pada proses metabolisme karbohidrat. Kadar glukosa darah yang terus meningkat mengindikasikan adanya aliran glukosa ke dalam darah yang lebih besar dibandingkan pemasukan glukosa darah ke dalam sel. Sebaliknya, kadar glukosa akan menurun apabila aliran glukosa ke dalam darah lebih rendah dibandingkan pemasukan glukosa darah ke dalam sel. Dengan demikian, puncak kadar glukosa darah terjadi saat aliran glukosa ke dalam darah dan pemasukan glukosa darah ke dalam sel mencapai titik keseimbangan. Puncak dan permulaan turunnya puncak kadar glukosa darah tercepat diperlihatkan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp., yaitu pada jam ke-4 post prandial, ikan uji kontrol pada jam ke-6 pos prandial. sedangkan Proses hidrolisis enzimatik karbohidrat yang berlangsung maksimal pada saluran pencernaan, menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah berlangsung cepat pada ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. Hal ini dapat memicu bioaktivitas insulin pada tingkat tertinggi sehingga pemasukan glukosa darah ke dalam sel berlangsung dengan cepat dan kadar glukosa dalam darah segera menurun (Matthews et al. 2003). Peningkatan penggunaan glukosa untuk energi metabolisme sel juga dirangsang dengan meningkatnya karbohidrat pakan. Furuichi (1988) mendapatkan bahwa enzim glikolitik seperti fosfofruktokinase dan heksokinase terlihat lebih efektif pada ikan omnivora. Peningkatan aktivitas fosfofruktokinase dijumpai pada ikan nila hibrida setelah mengkonsumsi sejumlah karbohidrat (Shiau dan Chen 1993; Shiau dan Liang 1995). Glukosa yang telah masuk ke dalam sel akan segera dimetabolisme untuk mencukupi kebutuhan energi sehingga menghindari penggunaan sejumlah asam amino sebagai sumber energi metabolik. Keadaan ini pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan dan deposisi materi pertumbuhan seperti protein dan lemak. Suarez et al. (2002) melakukan analisis aktivitas glikolisis dan glukoneogenesis secara tidak langsung dengan mengukur aktivitas enzim hati yang berperan, yaitu PK (pyruvate kinase), FBPase (fructose 1.6 bis-phosphatase), dan G6PDH (glukosa 6- 130 131 phosphate dehydrogenase). Aktivitas glikolisis meningkat dengan bertambahnya kadar karbohidrat dibandingkan protein pakan dan aktivitas glukoneogenesis dapat dikurangi mulai dari 20 sampai 30% untuk setiap peningkatan kadar karbohidrat dibanding protein pakan. Kadar trigliserida dalam darah merupakan resultan atau perimbangan sesaat, antara laju penyerapan trigliserida hasil hidrolisis enzimatik lemak pada saluran pencernaan ke dalam aliran darah dan laju pemanfaatannya pada sel-sel hati, sebelum disintesis kembali dan disimpan dalam jaringan adiposa. Fenomena yang terjadi pada kadar trigliserida darah juga terjadi seperti pada resultan kadar glukosa darah. Kadar trigliserida darah ikan uji pada setiap perlakuan mencapai titik puncak pada antara jam ke-6 sampai jam ke-8 post prandial. Ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. menunjukkan kadar trigliserida darah yang lebih tinggi dibandingkan ikan uji kontrol, serta lebih rendah dengan menurunnya karbohidrat pakan baik pada ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. dan kontrol. Hal ini mengindikasikan adanya pemanfaatan sejumlah lemak pakan untuk mencukupi kebutuhan energi yang disebabkan oleh rendahnya energi yang berasal dari karbohidrat pakan. Peningkatan kadar trigliserida darah ikan dengan inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan dan peningkatan kadar karbohidrat pakan mengindikasikan adanya proses lipogenesis, baik dari lemak pakan maupun dari kelebihan glukosa darah. Kelebihan energi ini akan segera diubah menjadi trigliserida dan selanjutnya disimpan dalam jaringan adiposa. Pola kadar glukosa pada beberapa spesies ikan bervariasi, yang dipengaruhi beberapa faktor di antaranya jenis dan ukuran, kekomplekskan dan kadar karbohidrat. Umumnya puncak dan penurunan puncak kadar glukosa darah ikan yang mendapat pakan dengan sumber karbohidrat pati sekitar 5 sampai 6 jam post prandial (Deng et al. 2001; Stone et al. 2003b; dan Subandiyono 2004). Gambaran terjadinya peningkatan aktivitas yang terjadi dalam saluran pencernaan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. dapat dilihat juga pada parameter pola konsumsi oksigen harian. Aktivitas mengkonsumsi oksigen segera meningkat setelah ikan uji mengkonsumsi pakan, hal ini nampak terlihat pada ketiga frekuensi pemberian pakan selama 24 jam. 131 132 Ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. memerlukan waktu yang lebih pendek dibandingkan ikan uji kontrol, yaitu berkisar antara 0,5 dan 3,5 jam untuk aktivitas mengkonsumsi oksigen pada saat kenyang, dan menurun kembali setelah mencapai puncak. Ikan uji kontrol, memerlukan waktu lebih lama, yaitu berkisar antara 1 sampai 5 jam untuk mengkonsumsi oksigen pada saat kenyang. Pola konsumsi oksigen yang diperlihatkan ikan uji merupakan gambaran pola penggunaan energi untuk aktivitas pencernaan. Sehubungan dengan ini dapat direkomendasikan bahwa frekuensi pemberian pakan untuk ikan bandeng dilakukan 3 kali sehari dengan jarak antar-pemberian maksimal 5 jam. Gambaran pola konsumsi oksigen harian (mg O2/kg0,8/jam) yang terjadi sejalan dengan pola kadar glukosa dan trigliserida darah ikan uji pada penelitian ini. Konsumsi oksigen merupakan bagian penting dari keseimbangan bioenergetik sebab menggambarkan penggunaan energi langsung pada kerja metabolik termasuk metabolisme untuk hidup pokok, makan, dan aktif (SchmidtNielsen 1990; Lemos dan Phan 2001; Rosas et al. 2001). Inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan meningkatkan konsumsi oksigen rutin dan konsumsi oksigen kenyang ikan uji yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Konsumsi oksigen juga meningkat dengan bertambahnya kadar protein pakan dibandingkan karbohidrat pakan baik pada ikan uji dengan inokulasi Carnobacterium sp. maupun kontrol. Fenomena yang sama juga diperlihatkan oleh gambaran pekerjaan metabolisme ikan uji yang diperoleh dari data konsumsi oksigen yang dikonversikan dengan nilai setara kalor, yaitu laju metabolisme rutin, laju metabolisme kenyang, dan specific dynamic action (kJ/kg 0,8/hari). Metabolisme basal atau standar didefinisikan sebagai tingkat pembelanjaan energi minimal untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan agar organisme tetap hidup. Pengukuran dilakukan pada kondisi setelah organisme dipuasakan (post absorptive), kondisi lingkungan yang netral dan organisme dalam keadaan istirahat dan tidak banyak bergerak (Affandi et al. 2005; Wuenschel et al. 2005). Nilai laju metabolisme basal yang diperoleh pada percobaan ini adalah berkisar antara 38,08 dan 43,92 kJ/kg0,8/hari. Laju metabolisme basal pada organisme terestrial adalah sebesar 70 kkal/BBM yang setara dengan 292 kJ/BBM 0,75 (Brody 1974). Hal ini menunjukkan adanya 132 133 perbedaan laju metabolisme basal antara organisme akuatik dan terestrial, dimana organisme akuatik hanya menggunakan energi sekitar 1/7 bagian dibandingkan organisme terestrial. Ikan bandeng termasuk organisme akuatik berdarah dingin (poikiloterm) yang membutuhkan energi untuk hidup pokok (menyesuaikan diri dengan suhu lingkungan) yang lebih rendah dibandingkan organisme terestrial (homiokiloterm). Kebutuhan energi organisme akuatik adalah 10 sampai 30 kali lebih rendah dari homioterm yang harus mempertahankan suhu tubuh 35oC. Pembelanjaan energi untuk mempertahankan suhu tubuh pada organisme akuatik hampir dikatakan nol dan energi yang dibelanjakan untuk menopang tubuh serta mempertahankan posisi dan pergerakan dalam air sangat kecil (Cho et al. 1982; Affandi et al. 1994). Laju metabolisme kenyang dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang penggunaan energi saat puncak proses metabolisme dan pencernaan. Nilai laju metabolisme kenyang pada ikan berkisar antara 1,5 dan 5,8 kali laju metabolisme basal (Brett dan Goves 1979). Laju metabolisme rutin atau disebut juga dengan produksi panas harian atau energi yang hilang menjadi panas, merupakan akumulasi penggunaan energi pada berbagai aktivitas. Laju metabolisme kenyang dan rutin tertinggi ditunjukkan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp., yaitu pada kadar protein-karbohidrat 20%P dan 50%K. Laju metabolisme kenyang dan rutin menurun dengan meningkatnya kadar kabohidrat pakan. Meningkatnya laju metabolisme kenyang dan rutin pada ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. disebabkan adanya peningkatan proses-proses fisiologis akibat peningkatan proses hidrolisis nutrien pakan di dalam saluran pencernaan. Peningkatan aktivitas metabolisme termasuk pengambilan, mencerna, dan absorbsi nutrien pakan mengakibatkan peningkatan penggunaan energi untuk aktivitas tersebut, seperti yang ditunjukkan pada nilai specific dynamic action. Specific dynamic action ditentukan dengan mengurangi nilai antara laju metabolisme kenyang dan basal. Specific dynamic action merupakan tingkat penggunaan energi untuk menghancur, mengubah dan menyimpan produk pencernaan melalui proses metabolisme nutrien. Nilai specific dynamic action yang ditunjukan ikan uji seiring dengan nilai laju metabolisme kenyang dan rutin. 133 134 Specific dynamic action tertinggi ditunjukkan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp., yaitu pada kadar protein-karbohidrat 20% P dan 50% K. Specific dynamic action meningkat dengan bertambahnya kadar protein pakan. Priedi (1985) mengemukakan bahwa nilai specific dynamic action akan besar jika pakan yang dikonsumsi kaya dengan protein dan diperkirakan bervariasi antara 5 dan 20% dari energi yang dikonsumsi. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan protein yang tinggi dalam pakan memerlukan ongkos yang tinggi untuk menghancur, mengubah, dan menyimpan produk pencernaan melalui proses metabolisme nutrien. Akibatnya, tingkat metabolisme menjadi lebih besar. Peningkatan kadar karbohidrat dibandingkan protein pakan dapat menurunkan aktivitas metabolisme ikan uji sehingga penggunaan energi menjadi lebih efisien. Jumlah energi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan pemeliharaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain spesies ikan, umur, komposisi ransum, tingkat reproduksi, dan laju metabolisme standar. Besarnya specific dynamic action pada ikan untuk mengolah karbohidrat (ikan herbivora) adalah sebesar 5% sedangkan untuk mengolah protein (ikan karnivora) adalah sebesar 30% (Zonneveld et al. 1991). Laju metabolisme ikan bandeng cukup tinggi dibandingkan ikan lain (Becker dan Fishelson 1986; Becker et al. 1992; Guerin dan Stickle 1997; Shouqi et al. 1997; Fu dan Xie 2004). Hal ini terjadi karena ikan bandeng adalah ikan perenang cepat serta ikan yang agresif sehingga memerlukan energi yang tinggi untuk memenuhi kegiatan fisiologis yang terjadi di dalam tubuhnya. Peningkatan kecepatan renang yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen ditunjukkan oleh ikan salmon dan rainbow trout (Weatherly dan Gill 1987), serta oleh ikan mas (Zonneveld et al. 1991). Dugaan lain adalah adanya perbedaan suhu lingkungan pada saat pengukuran. Peningkatan suhu lingkungan sangat berpengaruh pada aktivitas metabolisme dalam tubuh ikan. Hal ini terjadi karena ikan adalah poikiloterm atau hewan berdarah dingin, yaitu suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Setiap kenaikan suhu 10oC maka aktivitas metabolisme akan meningkat 2 kali lipat. Neraca energi memberikan gambaran mengenai tingkat pemasukan energi, serta ketersediaan energi untuk metabolisme dan pertumbuhan, tingkat retensi 134 135 energi, serta persentase energi yang diretensi per energi yang dikonsumsi dan energi metabolik per konsumsi energi. Inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan mampu meningkatkan energi yang diretensi dalam tubuh, energi metabolik dalam kJ per kg ikan, serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi ikan uji, serta mengefisienkan energi yang dikonsumsi. Energi metabolik adalah energi yang siap digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan. Kebutuhan energi untuk hidup pokok harus dipenuhi terlebih dahulu, apabila terdapat kelebihan akan digunakan untuk pertumbuhan. Besarnya energi metabolik ditentukan dari penjumlahan antara penggunaan energi pada metabolisme rutin dan retensi energi (Affandi et al. 2005). Kebutuhan energi untuk hidup pokok dan pertumbuhan sangat bergantung pada kualitas makanan (terutama kadar protein) dan kuantitas makanan yang dikonsumsi (rasio) ikan. Proses pencernaan, penyerapan, dan metabolisme merupakan proses yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Energi metabolik yang tinggi pada ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. dan meningkat dengan bertambahnya kadar karbohidrat pakan disebabkan oleh tingkat pencernaan dan penyerapan karbohidrat pada saluran pencernaan ikan uji berlangsung optimum. Hal ini menyebabkan ketersediaan energi untuk metabolisme terpenuhi dari proses glikolisis dan lipolisis, sedangkan energi yang diretensi lebih banyak berasal dari deposisi protein. Ikan uji yang diberi pakan D: (20% P – 50% K) dengan inokulasi Carnobacterium sp. menunjukkan persentase energi metabolik tertinggi, yaitu sekitar 90% dari energi yang dikonsumsi. Ikan uji kontrol yang mendapat pakan D: (20% P – 50% K) menunjukkan persentase energi metabolik terendah, yaitu sekitar 50% dari energi yang dikonsumsi. Persentase energi metabolik yang dihasilkan cukup tinggi dibandingkan dengan persentase energi metabolik hewan air lain. Energi metabolik pada larva Farfantepenaeus paulensis berkisar antara 29,84 dan 66,11% dari energi yang dikonsumsi (Lemos dan Phan 2001). Energi metabolik pada Litopenaeus setiferus stadia postlarva (PL 1 – 10) berkisar 36,13 sampai 56% dari energi yang dikonsumsi. Pada L. vannamei PL 1 – 10 energi metabolik yang diperoleh berkisar antara 39,21 dan 57,85% dari energi yang 135 136 dikonsumsi (Brito et al. 2004). Energi metabolik kepiting bakau sekitar 51,01% dari energi yang dikonsumsi pada salinitas 25 ppt (Karim 2005). Energi yang teretensi adalah energi yang terdeposisi dalam tubuh dan digunakan untuk pertumbuhan. Retensi energi ikan uji meningkat dengan inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan dan menurun dengan berkurangnya kadar karbohidrat pakan. Ikan uji yang diberi pakan D: (20% P – 50% K) dengan inokulasi Carnobacterium sp. menunjukkan persentase retensi energi tertinggi, yaitu sebesar 64% dari energi yang dikonsumsi. Ikan uji kontrol yang mendapat pakan D: (20% P – 50% K) menunjukkan persentase retensi energi terendah, yaitu sebesar 35% dari energi yang dikonsumsi. Retensi energi yang dihasilkan seiring dengan nilai retensi protein dan retensi lemak. Peningkatan kemampuan ikan uji memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi berdampak positif pada deposisi materi pertumbuhan, dan tentunya pada akhirnya terhadap pertumbuhan bobot. Persentase retensi energi yang dihasilkan cukup tinggi dibandingkan persentase retensi energi hewan air lain. Retensi energi pada Labeo rohita berkisar antara 17,2 dan 33,8 % (Satphaty et al. 2001). Retensi energi yang dihasilkan pada ikan mas yang mendapat pakan 40% protein adalah sebesar 30,1% (Focken et al. 1997). Retensi energi yang dihasilkan pada Melanogrammus aeglefinus berkisar antara 39,3 dan 42,0% (Kim dan Lall 2001). Energi yang teretensi pada kepiting bakau sekitar 38,62% pada salinitas 25% (Karim 2005). Energi yang diretensi pada ikan halibut atlantik berkisar antara 38,0 dan 46,7%. Retensi energi meningkat dengan bertambahnya ukuran ikan (Harlen et al. 2005). Berdasarkan uraian di atas, diperoleh gambaran tentang alokasi energi ikan bandeng yang dipelihara dengan pemberian pakan yang diinokulasi dengan mikrob Carnobacterium sp. pada berbagai jumlah inokulum dan kadar proteinkarbohidrat pakan. Pada total energi yang dikonsumsi sekitar 53 sampai 94% merupakan persentase energi metabolik, yaitu energi yang siap digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan. Energi yang teretensi berkisar mulai dari 35 sampai 64%, energi yang dihasilkan sebagai panas berkisar mulai dari 19 sampai 28%. Dari total energi yang termetabolisme sebesar 60 sampai 70% adalah energi yang teretensi. 136 137 Respons ikan uji terhadap perbedaan jumlah inokulum Carnobacterium sp. 10 10 dan 10 12 cfu/mL/100 g pakan tidak signifikan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan dan perkembangan mikrob dalam saluran pencernaan tidak berbeda. Mikrob merupakan makhluk hidup yang akan tumbuh dan berkembang apabila tersedia nutrien dan kondisi lingkungannya sesuai (Pelczar dan Chan 1988). Oleh karena itu, pada percobaan ini mikrob dalam saluran pencernaan tumbuh dan berkembang dalam keseimbangan sampai suatu batas pertumbuhan optimum. Hasil yang sama dilaporkan oleh Rengpipat et al. (1998, 2000); Irawan (2000); Ali (2002); dan Tae (2003) . Inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan tidak mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup ikan uji. Hal ini terjadi karena, ikan uji dapat beradaptasi dengan baik pada perlakuan yang diberikan. Mortalitas yang ditemukan selama penelitian disebabkan oleh penanganan waktu pengambilan sampel atau ikan uji melompat keluar dari media pemeliharaan karena adanya kejutan. Simpulan Berdasarkan beberapa parameter yang diamati pada percobaan in vitro maupun in vivo dapat ditarik beberapa simpulan yaitu : 1. Pada percobaan in vitro dengan periode inkubasi selama 12 jam adalah waktu yang optimum untuk melihat kemampuan mikrob amilolitik (Carnobacterium sp.) pada berbagai jumlah inokulum dan kadar protein- karbohidrat. 2. Pertumbuhan terbaik dihasilkan oleh juvenil ikan bandeng dengan bobot awal ± 2,5 g pada pemberian pakan yang diinokulasi mikrob Carnobacterium sp. dengan jumlah inokulum 1010 cfu/mL/100 g pakan dan kadar proteinkarbohidrat pakan 20% P – 50% K. 3. Peningkatan penggunaan karbohidrat oleh ikan uji memperlihatkan apa yang disebut dengan protein sparing action untuk pertumbuhan. 4. Berdasarkan pola konsumsi oksigen harian (mg O2/kg0,8/jam) dan pola kadar glukosa serta trigliserida darah ikan uji (mg/100 mL) dapat direkomendasikan bahwa frekuensi pemberian pakan untuk ikan bandeng dilakukan 3 kali sehari dengan jarak antar pemberian maksimal 5 jam. 137 138 KONTRIBUSI MIKROFLORA DALAM SALURAN PENCERNAAN IKAN BANDENG Pendahuluan Zat gizi yang terkandung dalam pakan, yaitu protein, karbohidrat, dan lemak agar dapat diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah, memerlukan proses penyederhanaan menjadi molekul-molekul yang lebih kecil. Menurut Affandi et al. (2005) proses penyederhanaan pakan yang berlangsung secara kimiawi disebut juga hidrolisis, melibatkan enzim pencernaan sebagai katalisator biologis. Komponen pakan utama berupa protein, lemak, dan karbohidrat diurai menjadi senyawa-senyawa sederhana yang merupakan komponen penyusunnya. Dijelaskan oleh Schreck dan Peter (1990) hidrolisis nutrien makro menjadi nutrien mikro pada sistem pencernaan ikan dimungkinkan dengan adanya enzim pencernaan, yaitu protease, amilase, karbohidrase, lipase, dan asam lambung. Cairan ini dihasilkan oleh lambung, usus, hati, dan pankreas. Studi literatur menunjukkan bahwa selain enzim pencernaan endogen, ditemukan juga sumbangan enzim pencernaan eksogen dari mikroflora yang hidup bersimbiosis mutualisme dengan ikan di dalam saluran pencernaannya, seperti dilaporkan oleh Migita dan Hashimoto (1949) dalam Opuszynski dan Shireman (1994); Steckney dan Shumway (1974) dalam Opuszynski dan Shireman (1994); Shcherbina dan Kazlauskene (1971) dalam Opuszynski dan Shireman (1994); Stickney dan Shumway (1974) dalam Clarke dan Bauchop (1977); Clarke dan Bauchop (1977); Das dan Tripathi (1991); dan Xue et al. (1999). Umumnya yang diteliti adalah kontribusi enzim sellulase mikrobial dalam saluran pencernaan ikan yang berasal dari mikroflora. Diduga, mikroflora di dalam saluran pencernaan ikan tidak hanya mikrob yang berkontribusi dalam menghasilkan enzim sellulase, akan tetapi juga terdapat mikroflora yang berkontribusi dalam menyumbangkan enzim pencernaan lain seperti enzim protease, amilase, dan lipase, terutama pada saluran pencernaan ikan bandeng. Oleh karena itu, untuk menjawab hal ini dilakukan percobaan dengan mengacu pada percobaan-percobaan yang telah dilakukan oleh para peneliti pendahulu. 138 139 Percobaan ini bertujuan untuk mengukur kontribusi mikroflora dalam saluran pencernaan ikan bandeng, yaitu dalam menyumbangkan enzim pencernaan a-amilase, protease, dan lipase eksogen. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Hatchery Mini, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS. Analisis beberapa peubah dilakukan di Laboratorium Kualitas Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS, Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Nutrisi Fakultas Peternakan, IPB. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan mulai bulan April 2005 sampai Juni 2005. Prosedur Penelitian Wadah yang digunakan pada percobaan ini sama dengan yang digunakan pada percobaan II (in vivo), yaitu penggunaan mikrob amilolitik (Carnobacterium sp.) sebagai probiotik pada budi daya ikan bandeng. Wadah yang digunakan berupa akuarium kaca dengan sistem resirkulasi berukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing 50 x 40 x 35 cm. Bagian sisi-sisi wadah ditutup dengan plastik hitam dan untuk menghindari ikan uji supaya tidak melompat, bagian atas wadah ditutup dengan penutup dari kawat nyamuk yang sisi-sisinya dijepit dengan bambu. Sebelum digunakan, wadah dan semua peralatan terlebih dahulu didesinfektan dengan klorida (kaporit) dan dinetralkan dengan thiosulfat. Wadah percobaan diisi air sebanyak 55 L dengan kisaran salinitas 15 sampai 16 ppt. Air yang digunakan telah disterilkan dengan 150 ppm klorida selama 24 jam dan selanjutnya dinetralkan dengan 75 ppm thiosulfat. Ikan bandeng dengan bobot rata-rata ± 20 g ditebar dengan kepadatan 10 ekor per wadah (satu unit percobaan). Sebelum ditebar, ikan uji telah diaklimatisasikan dengan media budi daya dan pakan yang akan diberikan secara at satiation selama 2 minggu, setelah masa aklimatisasi selesai ikan uji dipuasakan selama 24 jam dengan tujuan menghilangkan sisa pakan dalam tubuh. 139 140 Investigasi ini dilaksanakan dengan mengacu pada metode Xue et al. (1999). Ikan uji dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu ikan uji yang diberi pakan yang mengandung antibiotik dengan dosis 100 IU/mL penicillin G dan 100 mg/mL streptomisin per kg pakan dan ikan uji yang diberi pakan tanpa antibiotik. Masing-masing perlakuan di ulang 2 kali. Ikan dipelihara selama 8 hari dan diberi pakan secara at satiation sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00. Selama percobaan, kualitas media budi daya dijaga dalam kisaran yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan bandeng. Kualitas air dijaga dengan cara melakukan penyiponan pada sisa pakan dan feses di dasar wadah, serta melakukan pergantian air sebanyak 25% setiap hari. Suhu air berkisar antara 29 dan 30oC; pH berkisar antara 7,4 dan 7,6; oksigen terlarut berkisar antara 5,2 dan 6,5 ppm, karbondioksida bebas berkisar antara 11,97 dan 12,07 ppm; amoniak berkisar antara 0,006 dan 0,009 ppm; dan salinitas berkisar antara 15 dan 16 ppt. Parameter yang diamati adalah 1) populasi mikrob, dan 2) aktivitas enzim pencernaan. 1. Populasi Mikrob Populasi mikrob proteolitik, amilolitik, dan lipolitik pada saluran pencernaan ikan uji dihitung dalam hitungan koloni (cfu/mL) pada akhir percobaan dengan media dan prosedur yang sama seperti pada metode isolasi mikrob. 2. Aktivitas Enzim Pencernaan Analisis aktivitas enzim pencernaan a-amilase, protease, dan lipase (IU/g/menit) dalam saluran pencernaan ikan uji dilakukan pada akhir percobaan. Metode analisis aktivitas enzim a-amilase dan protease menurut Bergmeyer dan Grassi (1983), sedangkan analisis aktivitas enzim lipase menurut Tietz dan Friedreck dalam Borlongan (1990), dengan prosedur kerjanya dapat dilihat pada Lampiran 5. 140 141 Analisis Data Data yang diperoleh pada percobaan ini karena merupakan variabel bebas dan terdiri atas 2 taraf maka dianalisis dengan uji t pada tarap uji 5% menggunakan program SPSS 12,0. Hasil Hasil pengukuran populasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik serta aktivitas enzim a-amilase, protease, dan lipase ikan uji pada akhir percobaan investigasi kontribusi mikroflora dalam saluran pencernaan ikan bandeng dapat disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Populasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik (cfu/mL) serta aktivitas enzim pencernaan a-amilase, protease, dan lipase (IU/g/menit) ikan uji pada akhir percobaan investigasi kontribusi mikroflora dalam saluran pencernaan ikan bandeng Perlakuan Ulangan Pakan tanpa antibiotik Pakan dengan antibiotik 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata Perlakuan Ulangan Pakan tanpa antibiotik 1 2 Rata-rata 1 2 Rata-rata Pakan dengan antibiotik Populasi mikrob (cfu/mL) Amilolitik Proteolitik Lipolitik 10 10 9,3 x 10 2,5 x 10 5,4 x 10 10 9,6 x 10 10 1,8 x 10 11 7,5 x 10 10 9,5 x 10 10 1,03 x 10 11 6,45 x 10 10 4,1 x 10 6 1,2 x 10 7 3,4 x 10 6 6,0 x 10 5 4,2 x 10 6 4,8 x 10 6 2,4 x 10 6 8,1 x 10 7 4,1 x 10 6 Aktivitas enzim (IU/g/menit) a-Amilase Protease Lipase 28,58 24,12 24,62 30,65 23,68 23,54 29,62 23,90 24,08 16,23 15,32 19,32 18,52 15,22 18,00 17,38 15,27 18,66 Hasil analisis dengan uji t (Lampiran 135) menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan (P<0,05) populasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik pada saluran pencernaan ikan uji yang mendapat pakan ditambah antibiotik dibandingkan dengan ikan bandeng yang mendapat pakan tanpa 141 142 antibiotik. Hal yang sama terjadi pada aktivitas enzim α-amilase, protease, dan lipase pada saluran pencernaan ikan uji. Pada Tabel 1 terlihat penurunan populasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik hampir 100%, yaitu secara berturut-turut 99,999; 99,921; dan 99,994%. Penurunan aktivitas enzim α-amilase, protease, dan lipase secara berturut-turut adalah 41,33; 36,12; dan 22,51%. Persentasi penurunan aktivitas enzim α- amilase, protease, dan lipase, merupakan gambaran kontribusi mikroflora pada saluran pencernaan ikan uji. Pembahasan Hasil investigasi kontribusi mikroflora dalam saluran pencernaan ikan bandeng menunjukkan bahwa ditemukan sumbangan enzim pencernaan αamilase, protease, dan lipase mikrobial yang berasal dari mikroflora yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan bandeng. Kontribusi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik pada α-amilase, protease, dan lipase saluran pencernaan ikan bandeng secara berturut-turut adalah 12,25; 8,63 dan 5,42 IU/g/menit. Hal ini dapat membuktikan bahwa di samping enzim pencernaan α-amilase, protease, dan lipase endogen yang disekresikan oleh saluran dan kelenjar pencernaan, juga terdapat enzim pencernaan α-amilase, protease, dan lipase eksogen yang berasal dari mikroflora dalam saluran pencernaan. Mikroflora yang terdapat dalam saluran pencernaan diduga berasal detritus yang dikonsumsi oleh ikan bandeng. Hal ini disebabkan oleh umumnya jenis mikrob yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan ditemukan pada media budi daya dan atau sedemen kolam. Dikemukan oleh Al-Harbi dan Uddin (2005) bahwa terdapat korelasi positif komposisi bakteri pada insang dan saluran pencernaan ikan dengan komposisi bakteri pada air kolam dan sedemen. Detritus banyak mengadung jasad renik dan mikroorganisme yang ikut berperan dalam menyumbangkan enzim pencernaan eksogen untuk mendegradasi nutrien pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Jasad renik dan mikroorganisme tersebut juga merupakan sumber nutrien tambahan bagi ikan. Pendugaan ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Mason (1975); Wiernicki (1984); Jones (1990); Brown (1995) dalam Xue et al. (1999). 142 143 Pertumbuhan beberapa spesies Cherac quadricarinatus air tawar yang dipelihara pada kolam tanah lebih baik dibandingkan dengan spesies yang dipelihara pada kolam tangki. Perbedaan ini diinterpretasikan sebagai hasil dari kemampuan Cherac quadricarinatus kolam tanah untuk memperoleh tambahan nutrien yang diperlukan dari bahan detritus di dasar kolam yang tidak ditemukan pada kolam tangki dan atau me manfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada detritus untuk membantu aktivitas pencernaan. Mikroflora yang masuk ke dalam saluran pencernaan hidup bersimbiosis mutualisme dengan inang dan berada dalam keseimbangan, yaitu antara mikrob menguntungkan dan mikrob patogen. Mikroflora tersebut juga saling berinteraksi antar-berbagai spesies mikrob dalam saluran pencernaan, baik secara antagonistik maupun sinergistik. Interaksi yang terjadi sangat penting di dalam mempertahankan keseimbangan mikroflora saluran pencernaan sehingga akan memberi pengaruh positif bagi inang. Christopher (1994) Seperti yang dilaporkan Philippe dan pada budi daya oyster. Pertumbuhannya yang tinggi dihubungkan dengan kontribusi bakteri menyuplai 1) nutrien esensial yang tidak terdapat pada beberapa individu dalam populasi alga; 2) enzim yang dapat meningkatkan proses pencernaan larva. Mikroflora dalam usus larva bivalve didapat dalam proporsi yang optimum dapat memproduksi enzim ekstraseluler seperti protease dan lipase Pendugaan tentang adanya hubungan antara kebiasaan ikan memakan detritus dan keberadaan mikroflora pada saluran pencernaan juga dilaporkan oleh Stickney dan Shumway (1974) dalam Clarke dan Bauchop (1977), dan Xue et al. (1999). Penggunaan antibiotik untuk membuktikan peran mikroflora pada saluran pencernaan ikan telah dilaporkan oleh Clarke dan Bauchop (1977), Das dan Tripathi (1991), dan (Xue et al. 1999). Tetrasiklin dan penicillin adalah jenis antibiotik yang dapat membunuh bakteri gram positif, sedangkan streptomisin adalah jenis antibiotik yang dapat membunuh bakteri gram negatif. 143 144 Simpulan Mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik dalam saluran pencernaan ikan bandeng berperanan penting dalan fungsi fisiologis saluran pencernaan, yaitu menyumbangkan enzim α-amilase, protease, dan lipase endogen yang secara berturut-turut adalah sebesar 41,33; 36,12; dan 22,51%. Dengan demikian, peran mikroflora saluran pencernaan dalam mengkontribusikan enzim pencernaan eksogen amilase, protease, dan lipase dapat dibuktikan. Mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng diduga berasal dari detritus yang dimakan ikan bandeng. 144