Penggunaan Mikroflora Saluran Pencernaan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Saluran Pencernaan Ikan dan Kebiasaan Makanan Ikan Bandeng
Alat pencernaan ikan terdiri atas saluran pencernaan dan kelenjar
pencernaan. Pada umumnya saluran pencernaan berupa segmen-segmen, yaitu
mulut, rongga mulut, faring, esofagus, lambung, pilorus, usus, rektum, dan anus
(Affandi et al. 2005). Berdasarkan
struktur
anatomis
ditemukan pada
alat
struktur
kebiasaan makanan terlihat perbedaan
pencernaan ikan.
tapis insang,
Perbedaan
struktur gigi
yang
menyolok
pada rongga mulut,
keberadaan dan bentuk lambung, serta panjang usus. Tapis insang pada ikan
herbivora banyak, panjang, dan rapat, sementara pada ikan omnivora sedang,
dan pada ikan karnivora sedikit, pendek, dan kaku. Rongga mulut pada ikan
herbivora sering tidak bergigi, sementara pada ikan omnivora bergigi kecil, dan
pada ikan karnivora umumnya bergigi kuat dan panjang.
Ikan herbivora
berlambung palsu atau tidak berlambung, sementara ikan omnivora berlambung
dengan bentuk kantong, dan
ikan karnivora berlambung dengan bentuk
bervariasi. Usus ikan herbivora sangat panjang beberapa kali panjang tubuhnya,
sementara pada ikan omnivora sedang 2 sampai 3 kali panjang tubuh, dan pada
ikan karnivora pendek, kadang lebih pendek dari panjang tubuhnya.
Organ hati dan pankreas adalah kelenjar pencernaan yang mensekresikan
bahan yang kemudian digunakan dalam proses pencernaan makanan. Bahan hasil
sekresi kedua organ tersebut akan masuk ke usus melalui ductus choledochus dan
ductus pankreaticus. Adanya hubungan antara kelenjar pencernaan dan usus
depan maka letak kelenjar tersebut berada di sekitar usus depan dan lambung.
Keasaman (pH) lambung pada saat lambung kosong (tidak ada makanan)
berkisar antara 4 dan 7,4; sedangkan pada saat penuh berkisar antara 2,2 dan 2,8
(Nikolsky 1963). Keasaman (pH) usus adalah netral atau hampir alkalis, yaitu
antara 6 dan 8. Pada ikan grass carp pH berkisar antara 7,4 dan 8,5 pada usus
bagian anterior, pada bagian pertengahan berkisar antara 7,2 dan 7,6; dan di
bagian posterior sekitar 6,8 (Hickling 1960 dalam Opusynski dan Shireman 1994).
Spesies lain dari ikan laut dengan pH usus berkisar antara 6,1 dan 8,6 (Horn 1989
dalam Opuszynski dan Shireman 1994).
8
Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan bandeng termasuk ikan herbivora
yang bertendensi omnivora, yang mempunyai mulut yang tidak bergigi dengan
usus yang sangat panjang, beberapa kali panjang tubuhnya (Bagarinao 1992).
Pada waktu larva, ikan bandeng tergolong karnivora yang memakan zooplankton,
kemudian pada ukuran fry menjadi omnivora yang memakan zooplankton,
diatom, dan bentos kecil, dan selanjutnya pada ukuran juvenil termasuk ke dalam
golongan herbivora yang memakan algae filamin, algae mat, detritus, bentos kecil,
dan bisa mengkonsumsi pakan buatan berbentuk pellet. Setelah dewasa, ikan
bandeng berubah menjadi omnivora lagi karena mengkonsumsi algae mat, algae
filamin, zooplankton, bentos lunak, dan pakan buatan berbentuk pellet.
Enzim Pencernaan
Enzim adalah katalisator biologis dalam reaksi kimia yang sangat
dibutuhkan dalam kehidupan. Enzim adalah protein yang disintesis di dalam sel
dan dikeluarkan dari sel penghasilnya melalui proses eksositosis. Enzim yang
disekresikan ke luar digunakan untuk pencernaan di luar sel (di dalam rongga
pencernaan) atau disebut extracelluler digestion, sedangkan enzim yang
dipertahankan di dalam sel digunakan untuk pencernaan di dalam sel itu sendiri
atau disebut intracelluler digestion (Affandi et al. 2005).
Enzim pencernaan yang disekresikan dalam rongga pencernaan berasal dari
sel-sel mukosa lambung, pilorik kaeka, pankreas, dan mukosa usus. Oleh karena
itu, perkembangan sistem pencernaan erat kaitannya dengan perkembangan
aktivitas enzim di dalam rongga saluran pencernaan (Walford dan Lam 1993).
Enzim-enzim tersebut berperan sebagai katalisator dalam hidrolisis protein, lemak,
dan karbohidrat menjadi bahan-bahan yang sederhana. Sel-sel mukosa lambung
menghasilkan enzim protease dengan suatu aktivitas proteolitik optimal pada pH
rendah. Pilorik kaeka yang merupakan perpanjangan usus terutama mensekresikan
enzim yang sama seperti yang dihasilkan pada bagian usus, yaitu enzim
pencernaan protein, lemak, dan karbohidrat yang aktif pada pH netral dan sedikit
basa. Cairan pankreas kaya akan tripsin, yaitu suatu protease yang aktivitasnya
optimal sedikit di bawah alkalis, di samping itu cairan ini juga mengandung
amilase, maltase, dan lipase. Pada ikan yang tidak memiliki lambung dan pilorik
8
9
kaeka, aktivitas proteolitik terutama berasal dari cairan pankreas. Beberapa h`asil
studi menunjukkan bahwa komposisi cairan pencernaan berhubungan dengan
makanan yang dimakan oleh suatu spesies ikan.
Enzim berperan dalam mengubah laju reaksi sehingga kecepatan reaksi yang
diperlihatkan dapat dijadikan ukuran keaktivan enzim. Satu unit enzim adalah
jumlah enzim yang mengkatalisis transformasi 1 mikromol substrat dalam waktu 1
menit pada suhu 25°C dan pada keadaan pH optimal. Aktivitas enzim bergantung
pada konsentrasi enzim, substrat, suhu, pH, dan inhibitor.
Huisman (1976)
menyatakan bahwa enzim pencernaan yang dihasilkan oleh lambung ikan aktif
pada pH 2 sampai 4. Hasil penelitian Adi (2000) menunjukkan bahwa kondisi
optimum untuk aktivitas enzim pada lambung ikan gurame adalah pada suhu
inkubasi 22°C dengan pH lambung 5, sedangkan pada usus dengan suhu inkubasi
23°C dan pH 7 sampai 8,5.
Aktivitas enzim pencernaan adalah suatu indikator yang baik untuk
menentukan kapasitas pencernaan. Aktivitas enzim yang tinggi secara fisiologis
mengindikasikan bahwa larva siap untuk memproses pakan dari luar (Gawlicka et
al. 2000). Aktivitas enzim pencernaan meningkat dengan meningkatnya umur
larva. Peningkatan ini disebabkan oleh semakin sempurnannya organ penghasil
enzim. Akan tetapi, untuk beberapa jenis enzim akan menurun sesuai dengan
kebiasaan makanan dari ikan (Infante dan Cahu 2001). Berdasarkan evaluasi
yang dilakukan Haryati (2002) ada keterkaitan antara aktivitas enzim pencernaan
dan perkembangan struktur organ pencernaan dan kebiasaan makanan dari ikan
bandeng.
Pada saat struktur anatomis dan histologis alat pencernaan belum
sempurna, enzim endogen yang disekresikan sangat sedikit. Hal ini dicerminkan
oleh aktivitas enzim pepsin, tripsin, a-amilase dan lipase yang sangat rendah.
Dengan bertambahnya umur larva, struktur anatomis organ pencernaan semakin
sempurna hingga mencapai fase definitif. Setelah mencapai bentuk definitif,
produksi enzim pencernaan sudah cukup tinggi sehingga ikan mampu mencerna
pakan yang tidak mengandung enzim. Aktivitas enzim a-amilase terus meningkat
dengan meningkatnya umur, sedangkan aktivitas enzim lipase dan tripsin menurun
pada saat larva umur 35 hari. Penurunan aktivitas enzim protease diduga karena
adanya perubahan dalam kebiasaan makanan, yaitu dari karnivora menjadi
9
10
omnivora. Aktivitas enzim a-amilase yang terus meningkat dengan bertambahnya
umur
ikan
menunjukkan
memanfaatkan karbohidrat.
peningkatan
kemampuan
ikan
untuk
dapat
Hal ini berhubungan dengan kebiasaan makanan
selama siklus hidup ikan tersebut. Larva ikan bandeng memasuki stadia transisi
pada umur 28 hari dan menjadi juvenil setelah berumur 35 hari (Villaluz dan
Unggui 1983). Pada umur tersebut ikan bandeng bersifat omnivora dan dapat
memanfaatkan karbohidrat lebih besar dibandingkan stadia sebelumnya.
Studi tentang perkembangan enzim pencernaan larva ikan bandeng telah
dilakukan oleh Haryati (2002), dan ditemukan bahwa aktivitas enzim pepsin,
tripsin, lipase, dan a-amilase meningkat sejalan dengan peningkatan umur dan
ukuran tubuh. Peningkatan relatif terbesar aktivitas enzim a-amilase dan lipase
terjadi pada saat larva berumur 10 hari, sedangkan aktivitas enzim tripsin terjadi
pada umur 15 hari. Sampai umur 30 hari aktivitas maksimum enzim pepsin
masih belum tercapai. Oleh sebab itu, pakan buatan hanya dapat diberikan pada
umur tertentu, yaitu pada umur 15 hari larva secara fisiologis sudah siap untuk
mencerna pakan buatan
Studi aktivitas enzim lipase pada ikan bandeng telah dilakukan oleh
Borlongan (1990). Organ pencernaan utama yang mensekresikan lipase adalah
usus, pankreas, dan pilorik kaeka. Secara umum, ikan yang mendapatkan pakan
berupa uniseluler dan diatom (kandungan lemak kasar 1,98%) mempunyai
aktivitas lipase yang lebih tinggi pada organ-organ utama yang mensekresikan
enzim tersebut dibandingkan dengan yang diberi pakan alga hijau berfilamen
(kandungan lemak kasar 0,98%). Dapat disimpulkan bahwa ikan bandeng secara
efektif dapat mencerna lemak dan organ pencernaan dapat beradaptasi terhadap
tingkat lemak dalam pakan. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas enzim
berkorelasi dengan komposisi pakan yang dikonsumsi.
Kemampuan ikan untuk mencerna suatu jenis ma kanan bergantung pada
faktor fisik dan kimia makanan, jenis makanan, umur ikan, sifat fisik dan kimia
air, serta jumlah enzim pencernaan dalam sistem pencernaan (NRC 1988). Enzim
karbohidrase, protease, dan lipase mempengaruhi pencernaan makanan di usus
anterior.
Protease merupakan enzim yang berperan dalam hidrolisis protein.
10
11
Enzim yang paling banyak berperan dalam hidrolisis karbohidrat ialah amilase
seperti yang ditunjukkan oleh ikan mas (Zonneveld et al. 1991).
Aktivitas enzim sangat mempengaruhi kecernaan dan bervariasi menurut
umur ikan, keadaan fisiologis dan musim, serta berkorelasi positif dengan
kebiasaan makanan ikan (Kuzmina 1996). Aktivitas enzim amilase dalam saluran
pencernaan ikan secara umum lebih rendah dibandingkan dengan pada manusia
dan hewan terestrial. Aktivitas enzim amilase pada ikan karnivora lebih rendah
dibandingkan dengan pada ikan omnivora dan herbivora (Furuichi 1988). Dengan
demikian, kemampuan ikan mencerna karbohidrat sangat rendah terutama pada
ikan karnivora. Hasil percobaan pada ikan red seabream yang diberi pakan
dengan level karbohidrat berbeda, yaitu 0, 10, 30, dan 40% menunjukkan bahwa
rata-rata berat tubuh dan nilai efisiensi pakan yang terbaik ditemukan pada level
karbohidrat 10%, yang kemudian diikuti oleh level karbohidrat 0, 30% dan
terendah pada level 40%. Kecernaan suatu makanan bervariasi menurut spesies
ikan. Secara umum kecernaan protein mulai dari 70 sampai 90%, karbohidrat
bervariasi dari 15 sampai 40%, dan untuk selulosa sekitar 1% (Zonneveld et al.
1991). Hasil penelitian Murni (2004) pada ikan gurame yang tidak mendapatkan
probiotik menunjukkan bahwa kecernaan protein, lemak, dan total secara berturutturut adalah 60,5; 62,8; dan 20,6%.
Pada ikan gurame yang mendapatkan
penambahan probiotik Bacillus sp. dengan dosis 10 mL/kg pakan ditemukan
peningkatan kecernaan protein, lemak, dan total masing-masing sebesar 85,2;
84,9; dan 67,7%.
Keberadaan enzim dalam pakan ikan akan meningkatkan daya cerna bahan
makanan.
Enzim eksogenik (yang berasal dari ma kanan) sangat berarti bagi
pertumbuhan larva atau benih ikan yang mekanisme sekresinya belum
berkembang (Hepher 1990). Hidrolisis pakan udang penaied dengan ekstrak
enzim pencernaan udang pada konsentrasi 1 mL/10 g pakan menghasilkan derajat
hidrolisis protein berkisar dari 23,20 sampai 33,99% (Lemos et al. 2000). Enzim
papain dengan konsentrasi 1,3 sampai 1,7% dan lama inkubasi 60 menit untuk
menghidrolisis pakan ikan gurame (kadar protein 40% dan C/P pakan 8 kkal/g
protein) menghasilkan derajat hidrolisis mulai dari 0,071 sampai 4,07%. Adapun
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan gurame yang diberi pakan yang telah
11
12
dihidrolisis sejak 25 hari setelah menetas lebih baik dari kontrol (Hasan 2000).
Hidrolisis pakan kompleks (protein 41,1% dan lemak 19,5%) oleh enzim pepsin
(dosis 7%) dengan lama inkubasi 3 jam menghasilkan derajat hidrolisis protein
sebesar 80,16%.
Pada hidrolisis pakan kompleks oleh enzim pepsin yang
dilanjutkan oleh enzim pankreatin (dosis 10%) dengan lama inkubasi 6 jam
menghasilkan derajat hidrolisis protein sebesar 82,04% (Rosmawati 2004).
Pemberian enzim papain dalam pakan ikan gurame dapat mengefisienkan
penggunaan energi untuk metabolisme (Aslamyah et al. 2003).
Penambahan enzim lipase mikrobial dalam pakan tidak berpengaruh pada
pertumbuhan ikan rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss). Hal ini demikian
karena lemak bukan merupakan nutrien utama yang digunakan oleh ikan, baik
untuk pertumbuhan maupun sebagai sumber energi (Samuelsen et al. 2001).
Predigestion pakan dengan menggunakan a-amilase komersil dengan dosis = 50
mg/kg pakan mampu meningkatkan pengurangan kadar gula pakan dibandingkan
kontrol dan meningkatkan kecernaan karbohidrat pakan ikan perch silver fase
juvenil (Stone et al. 2003a)
Pemanfaatan bakteri remedian bakteri Bacillus sp. pada pemeliharaan larva
udang windu memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan udang karena
bakteri dan enzim yang dihasilkannya akan ikut termakan dan membantu proses
pencernaan di dalam saluran pencernaan udang (Handayani et al. 2000). Dalam
saluran pencernaan ikan terdapat bakteri yang menghasilkan enzim pencernaan
yang dapat merombak nutrien makro yang masuk melalui pakan untuk kebutuhan
bakteri itu sendiri dan memudahkan diserap oleh ikan (Lagler 1977 dalam
Gatesoupe 1999).
Kebutuhan Nutrisi Ikan Bandeng
Kandungan nutrisi yang baik untuk ikan secara umum adalah mulai dari
20 sampai 60% protein, 4 sampai 8% lemak, dan karbohidrat sampai 30%
(Hasting 1976). Menurut Jangkaru dan Djajadiredja (1976) kandungan protein 30
sampai 40% dan karbohidrat 10 sampai 20%. Furuichi (1988) mengemukakan
bahwa dari beberapa studi kadar optimum karbohidrat pakan untuk ikan golongan
karnivora adalah 10 sampai 20% dan golongan omnivora adalah 30 sampai 40%.
12
13
Pertumbuhan ikan bandeng muda yang terbaik adalah pada pemberian pakan
buatan dengan komposisi protein, lemak, vitamin mix, mineral mix, dan
karbohidrat secara berturut-turut adalah 60, 10, 4, 10, dan 16% (Lee dan Liao
1976). Kadar protein yang optimal adalah sebesar 40% untuk pertumbuhan benih
ikan bandeng (bobot rata-rata 40 mg) yang dipelihara di laut. Pertambahan bobot
benih ikan yang dicapai adalah sebesar 0,135 g dan tingkat kelangsungan hidup
60% selama 30 hari pemeliharaan (Lim et al. 1979). Santiago et al. (1983) juga
mengemukakan hal yang sama bahwa kandungan protein 40% mencukupi untuk
pertumbuhan benih ikan bandeng (panjang rata-rata 13 mm, bobot 15 mg) yang
dipelihara di air tawar. Pertambahan bobot yang dicapai sebesar 0,16 sampai
0,18 g dan tingkat kelangsungan hidup 63 sampai 93% setelah dipelihara selama 5
minggu. Haryati (2002) menggunakan pakan buatan pada larva ikan bandeng
umur 15 hari dengan komposisi protein, lemak, serat kasar, BETN, dan abu secara
berturut-turut adalah 45,31; 12,88; 10,84; 21,67; dan 9,30%.
Kebutuhan lemak total untuk pertumbuhan juvenil ikan bandeng adalah
sebesar 7 sampai 10% (Alava dan Cruz 1983 dalam Borlongan dan Coloso 1992).
Ikan bandeng juvenil membutuhkan asam lemak esensial n-3 sebesar 1,0% sampai
1,5% (Borlongan 1990). Pakan yang mengandung asam lemak yang berbeda,
yaitu 18:1n-9, 18:2n-6, 18:3n-3, 20:4n-6, dan n-3 HUFA masing-masing sebesar
1% memberikan respons yang sama terhadap pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup ikan bandeng juvenil yang dipelihara di air payau (Alava dan
Kanazawa 1996). Kebutuhan asam amino
pertumbuhan juvenil ikan bandeng
esensial
(% protein)
bagi
adalah arginin 5,2; histidin 2,0; isoleusin
4,0; leusin 5,1; lisin 4,0; metionin + sistin 3,2; fenilalanin + tirosin 5,2; threonin
4,6; triptofan 0,6; dan valin 3,6 (Borlongan dan Coloso 1992).
Mikrob Saluran Pencernaan Ikan
Migita dan Hashimoto (1949) dalam Opuszynski dan Shireman (1994)
menemukan aktivitas selulase pada Carassius auratus. Stickney dan Shumway
(1974) dalam Clarke dan Bauchop (1977) mengamatan pada 62 spesies dari 35
famili ikan elasmobranchi dan teleost. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 17
spesies memperlihatkan aktivitas sellulase dalam usus, dan aktivitas sellulase ini
13
14
berhubungan dengan kebiasaan memakan detritus.
Selulase diproduksi oleh
mikroflora di dalam usus. Shcherbina dan Kazlauskene (1971) dalam Opuszynski
dan Shireman (1994) menemukan selulase endogen dan selulase mikrobial pada
usus ikan mas Clarke dan Bauchop (1977). Ujicoba 2 kelompok ikan lele,
kelompok pertama tidak diberi makan selama 5 hari, aktivitas sellulase masih
ditemukan pada saluran pencernaannya. Kelompok kedua diberi makan yang
mengandung streptomisin 200 mg/L selama 24 hari.
Hasil percobaan
memperlihatkan di dalam saluran pencernaan ikan uji bebas enzim sellulase. Hal
ini menunjukkan bahwa sellulase dihasilkan oleh mikroorganisme yang sensitif
dengan streptomisin dalam sistem pencernaan ikan (Clarke dan Bauchop 1977).
Das dan Tripathi (1991) melaporkan penurunan aktivitas sellulase ketika ikan
karper rumput diberi pakan yang mengandung tetrasiklin. Cherac quadricarinatus
yang diberi pakan yang mengandung 100 IU/ mL penicillin G. dan 100 mg/mL
streptomisin per kg pakan selama 8 hari menunjukkan terjadi penurunan aktivitas
enzim sellulase pada saluran pencernaan sebanyak 40%, serta penurunan populasi
bakteri sebanyak 94% dibandingkan kontrol (Xue et al. 1999). Enzim sellulase
mikrobial yang ditemukan pada saluran pencernaan Cherac quadricarinatus
berasal dari kehadiran material detritus di dalam kolam
Usus beberapa spesies ikan laut
banyak mengandung bakteri halofilik
(Clarke dan Bauchop 1977). Bakteri barofilik telah diisolasi dari usus ikan laut
dalam, dengan metode Dorayaki yang menggunakan agar laut di bawah tekanan
in situ (Nakayama et al. 1994). Duapuluh delapan spesies Eubacterium yang
merupakan bakteri anaerob, sudah diisolasi dari hewan mamalia, binatang
mengerat, burung dan ikan. Eubacterium nitrogenous telah ditemukan dalam usus
ikan mas (Clarke dan Bauchop 1977). Aeromonas sp. diidentifikasi pada 6 jenis
ikan air tawar yaitu Cyprinus carpio, Carassius auratus, Tilapia sp., Plecoplossus
aiuvelis, Ictalurus puctatus dan Oncorhynchus mykiss (Sugita et al. 1994).
Aeromonas salmocida dideteksi dalam mukus ikan-ikan salmon (Cipriano et al.
1992). Aeromonas sp., Plesiomonas sp. dan beberapa famili Enterobanteriaceae
adalah bakteri anaerob fakultatif dominan dan banyak terdapat pada ikan air tawar,
bersifat patogen dan berhubungan dengan kesehatan ikan (Sakata dan Yuki 1991).
14
15
Genus Lactobacillus telah ditemukan pada saluran pencernaan 42 ekor ikan
mas dari 65 ekor ikan mas yang digunakan sebagai sampel. Setiap segmen dari
saluran pencernaan ikan dipisahkan dan ditemukan Laktobacilli pada 24 ekor pada
segmen depan, 25 ekor segmen tengah dan 25 ekor segmen belakang. Distribusi
strain Laktoflora dalam saluran pencernaan dibagi dalam 3 grup ikan, yaitu grup
I, 12
dari 42 ekor ditemukan asam laktat bacilli; grup II, 38 dari 42 ekor
ditemukan Lactobacilli fakultatif heterofermentatif; dan grup III, 16 dari 42 ekor
ditemukan Lactobacilli (Jankauskiene 2002). Selanjutnya, strain Lactobacillus
tersebut diuji aktivitas antagonis dengan mikrob patogen dalam usus ikan tersebut,
yaitu
Aeromonas hydrophila Subsp. anaerogenes ATCC 15468, Aeromonas
hydrophila Subsp. hydrophila ATCC 7966, Aeromonas sobria
cip. 7433,
Pseudomonas fluorescens 83, Pseudomonas fluorescens 6, Pseudomonas
fluorescens 90.
Dari 168 strain Lactobacillus yang diamati 165 dideteksi
mempunyai aktivitas antagonis.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa
Lactobacillus mampu menghalangi reproduksi dan invasi
mikrob patogen
Pseudomonas fluorescens 90 sebesar 93,44%, sedangkan Lactobacillus case dan
Lactobacillus plantarum paling kuat kandungan antimikrobnya sebesar 88,67%.
Hal ini menjelaskan kemampuan strain laktoflora untuk berpartisipasi dalam
formasi kolonisasi, resistansi, dan mekanisme perlindungan. Menurut Austin dan
Al-Zahrani (1988); Gatesoupe (1994); Gildberg et al. (1997) dalam Jankaukiene
(2002), kemampuan tersebut berhubungan dengan kemampuan Lactobacillus
menghasilkan bakteriosin yang dapat menghalangi pertumbuhan mikrob patogen
dalam usus ikan.
Mikroorganisme dari isi saluran pencernaan ikan flounder (Paralichtys
olivacus) telah diisolasi sebanyak 199 jenis,
dari jumlah tersebut terpilih
Weissella hellenica DS-12 sebagai kandidat probiotik karena mempunyai aktivitas
antimikrob yang sempurna terhadap mikrob patogen dan dapat meningkatkan
pertumbuhan flounder (Tae 2003). Strain Carnobacterium sp. yang diisolasi dari
saluran pencernaan ikan salmon atlantik, dapat digunakan sebagai probiotik dalam
budi daya ikan-ikan salmon atlantik dan rainbow trout (Robertson et al. 2000).
Berdasarkan kriteria fisiologisnya, telah diindentifikasi 504 jenis total mikroflora
saluran pencernaan ikan rainbow trout. Dari jumlah tersebut, 153 strain telah
15
16
ditentukan urutan gen 16S rRNA. Mikrob yang dominan adalah dari subklas
Gamma-Proteobacteria (genera Citrobacter, Aeromonas, dan Pseudomonas),
bakteri gram positif dengan G + C rendah (genus Carnobacterium) dan subklas
Beta-Proteobacteria (Spanggaard et al. 2000). Sembilanbelas spesies mikroflora
telah diidentifikasi pada media kolam air tawar, sedimen, insang, dan saluran
pencernaan ikan tilapia.
Komposisi bakteri pada air kolam dan sedime n
mempengaruhi komposisi bakteri pada insang dan saluran pencernaan ikan.
Komposisi tersebut didominasi bakteri rod gram negatif (87%), yaitu Aeromonas
hydrophila, Bacillus sp., Burkholderia sp., Chryseomonas sp., Pasteurella
pnemotropica, Photobacterium sp., Pseudomonas sp., Serratia liguefaciens,
Shewanella
putrefaciens,
Staphylococcus
sp.,
Streptococcus sp.,
Vibrio
alginolyticus, V. cholerae, V. carchariae, V. fluvialis, V. furnissii, V.
parahaemolyticus, Vibrio sp. V. vulnificus dan gram negatif rod tidak
teridentifikasi (Al-Harbi dan Uddin 2005).
Suhu adalah salah satu variabel yang paling utama yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme. Suhu dalam rumen domba dan sapi mulai dari 39
sampai 40oC dan selama fermentasi aktif bisa mencapai 41oC. Suhu yang tetap
dan tinggi dalam usus hewan mamalia sangat menguntungkan mikrob yang tinggal
di sana dibandingkan dengan yang tinggal dalam saluran pencernaan hewan
poikilotermik dengan suhu tubuh berfluktuasi menurut suhu lingkungan (Hungate
1966). Tingkat pencernaan pada beberapa spesies ikan 5 sampai 10 kali lebih
tinggi pada suhu 25oC dibandingkan pada suhu 5oC (Molnar dan Tolg 1962;
Fabian et al. 1963 dalam Clarke dan Bauchop 1977). Dengan demikian, pada
beberapa isolasi mikrob saluran pencernaan ikan digunakan suhu 25oC. Hishono
et al. (1997) mengisolasi Pseudomonas sp. dari usus ikan untuk memproduksi
enzim protease pada suhu rendah. Hasil yang terbaik diperoleh pada suhu 5 dan
10oC. Suhu inkubasi kultur mikrob yang digunakan Tae (2003) adalah 37oC
selama 24 jam untuk media TS, BL, EG dan LBS 37oC selama 3 hari, sedangkan
probiotik Weissella hellenica DS-12 dikultur pada suhu 30oC selama 16 jam. Xue
et al. (1999) menggunakan suhu 30oC selama 24 jam, dengan pH media 6,8 untuk
kultur bakteri pada saluran pencernaan Cherac quadricarinatus.
16
17
Fase pertumbuhan mikrob terdiri atas 4 fase.
Fase I adalah fase
pertumbuhan lamban atau lag, yang mempunyai kriteria tidak ada pertambahan
populasi, sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan ukurannya
bertambah, serta substansi intraselular bertambah. Fase II adalah fase logaritma
atau eksponensial, yang mempunyai kriteria sel membelah dengan laju yang
konstan, massa menjadi dua kali lipat dengan laju sama, aktivitas metabolik
konstan dan keadaan pertumbuhan seimbang. Fase III adalah fase statis, yang
mempunyai kriteria penumpukan produk beracun dan atau kehabisan nutrien,
beberapa sel mati, sedangkan yang lain tumbuh dan membelah, jumlah sel hidup
menjadi tetap. Fase IV adalah fase kematian atau penurunan dengan kriteria sel
menjadi mati lebih cepat dari pada terbentuknya sel-sel baru, laju kematian
mengalami percepatan menjadi eksponensial, semua sel mati dalam waktu
beberapa hari atau beberapa bulan bergantung pada spesies mikrob. Berdasarkan
kriteria tersebut, panen sel mikrob yang tepat untuk memproduksi suatu produk
atau senyawa metabolit adalah pada fase akhir logaritma atau eksponensial
(Pelczar dan Chan 1988).
Berdasarkan kebutuhan akan oksigen mikroorganisme dapat dibedakan
menjadi 3 grup. Kelompok pertama adalah mikrob aerob, yaitu mikroorganisme
yang dapat tumbuh jika terdapat oksigen di lingkungannya. Oksigen diperlukan
karena energi hanya dapat diperoleh melalui respirasi aerobik, seperti halnya
hewan dan manusia.
Kelompok kedua adalah mikroorganisme yang tidak
memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, pertumbuhannya dihambat dengan
adanya oksigen, bahkan di antaranya sangat sensitif dan akan mati.
Mikroorganisme ini dapat memperoleh energi melalui proses fermentasi dan
respirasi anaerobik.
Kelompok ketiga adalah mikrob fakultatif, yaitu
mikroorganisme yang dapat tumbuh tanpa atau dengan adanya oksigen.
Kebutuhan energi dapat dipenuhinya bergantung pada kondisi lingkungan yang
ada (Fardiaz 1992).
Aplikasi Mikrob sebagai Probiotik di Bidang Perikanan
Penelitian pemanfaatan mikrob dalam upaya pencegahan pencemaran dan
kerusakan lingkungan budi daya perikanan telah banyak dilakukan, sedangkan
17
18
pemanfaatan mikrob untuk meningkatkan pertumbuhan belum banyak dilaporkan
(Haryanti et al. 1999). Pakan yang telah dicampur bakteri untuk produksi larva
udang telah dipasarkan, tetapi belum ada laporan tertulis tentang hasilnya .
Pemberian pakan yang mengandung 1 kg premix Weissella hellenica
DS-
12 per ton pakan komersil (mengandung 4,2 sampai 4,8 x 10 9 sel Weissella
hellenica DS-12/g premix) dapat meningkatkan pertumbuhan ikan flounder (Tae
2003). Pada ikan salmon (salmon Atlantik dan rainbow trout) yang diberi pakan
yang mengandung probiotik Carnobacterium sp. dengan konsentrasi 5 x 1010
sel/kg pakan, isolat dapat hidup dengan baik dalam saluran pencernaannya.
Empat belas hari setelah pemberian tantangan dengan mikrob patogen
menunjukkan efektivitas pengurangan penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas
salmonicida, Yersinia ruckeri dan Vibrio ordalii, tetapi tidak yang disebabkan
oleh Vibrio Anguillarum (Robertson et al. 2000).
Penambahan bakteri probiotik Bacillus sp. dalam pakan buatan pada
pertumbuhan ikan gurame telah dilaporkan oleh Irawan (2000). Dosis yang
digunakan adalah : 1,0 x 10 9, 1,5 x 10 9, 2,0 x 10 9, 2,5 x 10 9, 3,0 x 10 9 cfu/100 g
pakan dan kontrol. Hasil yang diperoleh pada percobaan tersebut adalah setiap
perlakuan tidak menunjukkan perbedaan, tetapi nyata lebih baik dari kontrol.
Hasil penelitian Murni (2004) menunjukkan bahwa penambahan probiotik
Bacillus sp. dalam pakan buatan dapat meningkatkan kecernaan, efisiensi pakan,
dan pertumbuhan ikan gurame dengan dosis optimal adalah 10 mL/kg pakan dan
kepadatan bakteri 4,2 x 104 cfu/mL. Tiga bentuk probiotik Bacillus sp., yaitu sel
segar (3,0 x 1013 cfu/g), sel segar dalam normal saline solution (3,4 x 1010
cfu/mL) dan sel liofilis (5 x 1012 cfu/g), ditambahkan ke pakan dengan
perbandingan 3 : 1, pertumbuhan dan survival udang windu (Penaeus monodon)
nyata lebih tinggi dari udang windu kontrol, tetapi tidak ada perbedaan antarperlakuan tiga bentuk probiotik (Rengpipat et al. 1998, 2000). Bacillus sp. 1,0 x
109, 1,5 x 10 9, 2,0 x 10 9, 2,5 x 109, dan 3,0 x 109 cfu/mL/100 g pakan tidak
menunjukkan perbedaan pada pertumbuhan ikan gurame, tetapi lebih baik dari
kontrol (Irawan 2000). Ali (2002) melaporkan Bakterial Mixture (Add-B) yang
merupakan campuran 4 tipe bakteri gram negatif dari famili Rhodospirillaceae,
yaitu Rhodosspirillum rubrum, Rhodopseudomonas viridis, Rhodopseudomonas
18
19
palustris dan Rhodomicrobium vanniellii, dengan dosis pemberian 64 ppm (1 ppm
= 4,2 x 10 8) dalam media pemeliharan mampu meningkatkan pertumbuhan dan
survival Salvelinus alpinus, yaitu tingkat pertumbuhan rata-rata 0,90%/hari,
dibandingkan ikan kontrol dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 0,75%/hari.
Menurut Verschuere et al. (2000) aplikasi mikrob di bidang perikanan lebih
mengarah ke fungsinya sebagai agen kontrol biologi (Tabel 1).
Probiotik
Probiotik telah didefinisikan dalam beberapa cara bergantung pada
pemahaman tentang mekanismenya dalam memberikan pengaruh bagi kesehatan
dan kehidupan organisme. Istilah probiotik pertama kali dicetuskan untuk
mendeskripsikan
senyawa
yang
dihasilkan
mikroorganisme
yang
dapat
menstimulir pertumbuhan mikroorganisme lain. Selanjutnya definisi probiotik
berkembang menjadi organisme dan senyawa yang dapat menghasilkan
keseimbangan mikroflora dalam usus. Menurut Lilley dan Stillwel (1965)
probiotik menggambarkan substansi yang disekresi oleh suatu mikroorganisme
yang merangsang pertumbuhan mikroorganisme lainnya Dikatakan pula bahwa
probiotik merupakan lawan antibiotik. Parker (1972) mendefinisikan probiotik
sebagai organisme beserta substansinya yang dapat mendukung keseimbangan
mikrob dalam saluran pencernaan.
Matthews (1988) mengemukakan bahwa
probiotik adalah mikroorganisme hidup dalam bentuk kering yang mengandung
media tempat tumbuh dan produksi metabolismenya. Menurut Fuller (1992),
probiotik merupakan makanan tambahan dalam bentuk mikrob hidup, yang
memberi pengaruh menguntungkan bagi ternak inang dengan meningkatkan
keseimbangan mikrob dalam saluran pencernaan. Tannock (1999) mengusulkan
definisi probiotik sebagai sel-sel mikrobial hidup yang diberikan sebagai
suplemen dengan tujuan meningkatkan kesehatan. Seiring dengan perkembangan
data hasil penelitian ilmiah dan aplikasi tentang pengaruh probiotik, diusulkan
suatu definisi baru, yaitu sediaan sel mikrob atau komponen dari sel mikrob yang
mempunyai pengaruh menguntungkan pada kesehatan dan kehidupan inangnya
(Salminen et al. 1999). Definisi tersebut memiliki implikasi bahwa probiotik
tidak selalu harus berupa sel hidup karena telah terbukti bahwa probiotik dalam
19
20
Tabel 1. Beberapa bakteri probiotik sebagai agen kontrol biologi pada budi daya
ikan berdasarkan berbagai laporan pustaka (Verschuere et al. 2000)
Probiotik yang diduga
A s a l*
Observasi
Metode
pemberian
Cara yang dianjurkan
dari faktor*
Pustaka
Telur ikan dan larva
Beberapa strain
Telur ikan cod
Kegagalan dari strain untuk
Merendam dalam Antagonisme
51
(tidak teridentifikasi)
dan halibut mencegah bakteri lingkungan
cairan bakteri
menempel pada telur-telur cod
Seperti Vibrio salmonicida Ikan
Meningkatkan survival larva
Menambahkan
Immunostimulan
84
dan Lactobacillus planhalibut 2 minggu setelah me- pada media budi daya
tarum
netas
Strain Bacillus IP5832 ?
Meningkat bobot larva turbot
Menambahkan
Antagonism dan/atau 35
Spora (Paciflor 9)
ketika makan p akan rotifer
pada pakan rotifer kandungan nutrisi
pakan-spora; menurunkan mortaditingkatkan dengan
litas ketika uji tantang dengan angrotifer
gota Vibrionaceae yg ada.
Streptococcus lactis dan?
Meningkatkan survival larva
Pengkayaan
?
32
Lactobacillus bulgaricus
turbot 17 hari setelah menetas
rotife
Artemia
Lactobacillus atau Rotifer (BraMenurunkan mortalitas larva
Pengkayaan
Antagonisme dan/atau 37
Carnobacterium
chionus pliturbot ketika uji tantang dengan rotifer
kandungan nutrisi
catilis)
Vibrio sp. patogen
ditingkatkan dengan
rotifer
Vibrio pelagius
Copepoda p akan Menurunkan (?) mortalitas
Menambahkan pada
?
104
Larva turbot
larva turbot ketika uji tantang
media budi daya
dengan A. caviae.
A. caviae
Strain E (tidak sama Larva turbot
Vibrio alginolyticus) sehat
Air matang secara
Mikrobiologi
Menurunkan mortalitas larva
turbot ketika uji tantang dengan
Vibrio strain P patogen;
juga, nilai pertumbuhan larva
mungkin meningkat
-
Ikan juvenil dan muda
Lyophilized
Saluran pencerCarnobacterium
naan Salmon
diver gens
Atlantik
Pengkayaan
rotifer
Persaingan besi
Meningkatkan nilai pertumbuhan Seperti media
awal larva turbot dan halibut
budi daya
?
115,135
Meningkatkan (!) mortalitas
Menambahkan
dari anak-anak salmon atke pakan
lantik ketika uji tantang yang dipengaruhi oleh kehidupan
bersama A. salmonicida
-
43
-
45
Lyophilized
Camobacterium
divergens
Saluran pencernaan Salmon
Atlantik
Menurunkan mortalitas pada
anak-anak cod atlantik ketika uji tantang suatu
strain anguillanum patogen
Lyophilized
Camobacterium
divergens
Saluran pencernaan Salmon
Atlantik
Menurunkan mortalitas pada
Menambahkan
pada anak-anak cod atlantik
ke pakan
ketika uji tantang suatu
strain V. Anguillanum patogen
12 hari setelah infeksi; 4 minggu
Setelah infeksi, bagaimanapun,
Mortalitas yang sama pada kontrol
telah dicapai.
Menghambat pertumbuhan dari V.
anguillarum dan A. Salmonicida
dalam mukus saluran pencernaan ikan
dan ekstrak fecal (bukan uji in vivo)
Menghambat pertumbuhan
V. anguilarum pada ekstrak fecal
turbot (no in vivo test)
Menurunkan mortalitas salmon
Merendam dalam
atlantik yg presmolts melalui
cairan bakteri
uji tantang dengan infeksi
A. salmonicida penyebab stress
Camobacterium
Strain KI
Salmon Atlantik
Camobacterium
Saluran pencernaan Salmon
Atlantik.
Mukus ikan
Fluorescens pseudomonad F19/3
Fluorescens pseudomonad AH2 -
Vibrio alginolyticus
38
Danau es Victoria Nile perch
Menurunkan mortalitas juvenil
rainbow melalui uji tantang
dengan suatu V. anguillarum
patogen
komersial
Menurunkan mortalitas juvenil
salmon atlantik melalui uji
tantang dengan suatu
A. salmonicida, V. anguillarum,
dan V. Ordali patogen
Menambahkan
ke pakan
Antagonisme
44
Antagonisme
59
Antagonisme
85
Kompetisi
besi
117
Menambahkan
Kompetisi
ke dalam media
besi
budi daya dan atau
merendam dalam
cairan bakteri
Merendam ke dalam Antagonisme
cairan bakteri
48
5
Bersambung ke halaman berikutnya
20
21
Tabel 1. (Lanjutan)
Probiotik yang diduga
A s a l*
Observasi
Metode
pemberian
Menambahkan
ke air kolam
Cara yang dianjurkan Pustaka
dari faktor*
?
95
Bacillus megaterium,
B. polymyxa, B. licheNifromis, 2 strain dari
B. subtilis (Biostrart) i
?
Meningkatkan survival dan batas
produksi dari ikan lele channel
Semprotan-kering
Tetraselmis Suecica
(alga unicelluler )
?
Menurunkan mortalitas juvenil
salmon atlantik melalui uji tantang dengan beberapa patogen;
alga yang efektif secara profilaktik hingga secara terapiutik
Menambahkan
ke pakan
Meningkat berat rata-rata
of P. monodon larvae
dan postlarvae; menurunkan
mortalitas setelah uji tantang
V. harvevi D331 patogen
Meningkat berat rata-rata
dari postlarvae L. vannamei ;
Observasi menurunkan
V. parahaemolyticus pada
udang
Meningkatkan survival dari udang
penaeid; menurunkan densitas
luminous Vibrio
Meningkatkan survival larva P.
monodon and P. trituberculatus;
Menurunkan densitas Vibrio
Meningkatkan survival larva P.
monodon; menurunkan densitas
Vibrio
Menambahkan
ke pakan
Antagonisme 99; RengpiRukpatanpora,
abstract
Menambahkan ke
media budi daya
Antagonisme
33
Menambahkan ke
air kolam
Antagonisme
73,74
Krustacea
Bacillus strain S11
Vibrio alginolyticus
Penaeus monodon
atau lumpur dan
air dari kolam
udang
Air laut dari laut
Pasifik
Bacillus
?
Strain PM -4 dan/atau
NS-110
Tanah
Strain BY-9
Molluska bivalve
Vibrio strain 11
Coastal air laut
Mikroalga pada
Hatchery
scallop
Actomonas media
A 199
Pakan alami-alga
Beberapa
strain
Flavobacterium sp.
Strain SK-05
?
Larva turbot
Beberapa strains
Menambahkan ke Antagonisme/
67-69,83
media budi daya
sumber pakan
dari larva
menambahkan ke
?
abstrak Sugama
media budi daya
dan Tsumura
Meningkat mortalitas larva
Merendam dalam
scallop uji tantang dengan
cairan bakteri
patogen seperti strain V.
anguillarum
Menurunkan mortalitas dan peMenambah ke
nekanan patogen dari larva
media budi daya
oyster pasifik ketika uji tantang dengan V. Tubiashii patogen
105
Antagonisme
42
Budidaya
Skeletomena
Costatum
Menghambat pertumbuhan dari
Menambah ke
Persaingan
V. algynolyticus dalam budidaya
media budi daya dalam sumber
Skeletomena costatum
daya
?
Menambahkan ke
media budi daya
Menambahkan ke
media budi daya
Antagonisme
Budidaya massal
Chaetoceros
gracilis
?
75
?
128
Menghambat pertumbuhan dari
secara kebetulan A. Salmonicida
strain dalam budidaya rotifer
Menambahkan
ke pakan
Budidaya
rotifer
Meniadakan penghambatan pertumbuhan rotifer saat uji tan-
Budidaya
rotifer
Meningkat tingkat pertumbuhan
dalam budidaya rotifer
Menambahkan ke
?
media budi daya
tantang V. anguillarum
Menambahkan ke
media budi daya
Pakan alami-Artemia
Vibrio alginolyticus C14
Beberapa strain
2
Merangsang pertumbuhan P.
lutheri
Memperbaiki sifat tumbuh dari
C. gracilis, I. Galbana, dan
P. lutheri
Pakan alami-rotifer
Lactobacillus plantarum
Lactococcuss lactis
AR21
?
?
Budidaya
Artemia
-, tidak relevan;
Menurunkan mortalitas
nauplii Artemia saat uji
tantang dengan V.
parahaemolyticus
Menurunkan mortalitas
juvenil Artemia saat
uji tantang dengan V. proteolyticus
Menambahkan ke
media budi daya
Antagonisme
?
101
36
54
108
47
141
?, tidak spesifik
21
22
bentuk sel yang tidak hidup juga menunjukkan pengaruh positif pada kesehatan
inang (Ouwehand dan Salminen 1998).
Beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan produk
probiotik dengan pengaruh positif yang optimal bagi inangnya menurut Shortt
(1999) di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Spesies bakteri probiotik sebaiknya merupakan mikroflora normal usus
sehingga bakteri tersebut lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan
usus.
b. Tidak bersifat patogen.
c. Toleran terhadap asam lambung dan garam empedu.
d. Memiliki kemampuan untuk menempel dan mengkolonisasi sel usus.
e. Memiliki aktivitas antagonistik terhadap mikrob patogen enterik.
f.
Terbukti memiliki pengaruh yang menguntungkan pada kesehatan.
g. Memiliki
kemampuan
untuk
bertahan
selama
proses
pengolahan
dan selama waktu penyimpanan.
h.
Produk probiotik diharapkan memiliki
jumlah sel hidup yang besar
(107 sampai 109).
22
23
ISOLASI DAN SELEKSI MIKROFLORA SALURAN
PENCERNAAN IKAN BANDENG
Pendahuluan
Mikroflora adalah mikroorganisme yang secara alamiah menghuni saluran
pencernaan makhluk hidup. Mikroflora terdiri atas berbagai mikrob dalam jumlah
besar, dengan aktivitas dan kapasitas metabolik yang sangat beragam, serta yang
dapat memberi pengaruh positif maupun negatif pada fungsi fisiologis saluran
pencernaan. Peranan mikroflora saluran pencernaan pada manusia dan hewan
sudah banyak diteliti dan dilaporkan.
Fuller (1989) mengemukakan bahwa
mikroflora adalah ekosistem kompleks yang terdiri atas sejumlah besar mikrob.
Pada manusia sedikitnya terdapat 400 spesies mikrob yang berbeda dengan jumlah
total mencapai
10 14 sel. Dalam rumen hewan ruminansia terdapat banyak
mikroorganisme yang jenis dan jumlahnya berbeda antar-spesies ruminansia, dan
pada spesies yang sama tetapi dengan sumber pakan yang berbeda.
Mikroflora kebanyakan bersifat komensal, yaitu memanfaatkan hubungan
dengan inang serta saling berinteraksi antar-berbagai spesies mikrob dalam
saluran pencernaan, baik secara antagonistik maupun sinergistik. Interaksi yang
terjadi sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan mikroflora saluran
pencernaan (Salminen et al. 1993).
Mikroflora asli saluran pencernaan
mempunyai hubungan mutualisme dengan inangnya, yaitu memanfaatkan inang
sebagai tempat hidupnya. Keuntungan bagi inang adalah 1) umumnya mikrob
memakan sisa atau menggunakan bahan buangan; 2) banyak bakteri usus dapat
mensintesis vitamin, mensekresi enzim, dan membantu pencernaan nutrien; 3)
kehadiran mikrob asli cenderung menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga
dapat melindungi inang terhadap penyakit serta merangsang fungsi kekebalan
tubuh (Pelczar dan Chan 1988).
Melihat besarnya peranan mikroflora bagi pencernaan dan kesehatan,
penelitian untuk mengubah mikroflora saluran pencernaan ke arah yang
menguntungkan baik untuk tujuan kesehatan maupun pertumbuhan untuk manusia
dan hewan terestrial terutama ruminansia telah banyak dilaporkan. Saat ini telah
23
24
dibuat suatu produk yang telah dikomersilkan yang disebut dengan istilah
“Probiotik”
Peranan mikroflora pada saluran pencernaan ikan telah dikemukakan oleh
beberapa peneliti (Clarke dan Bauchop 1977; Das dan Tripathi 1991; Nakayama
et al. 1994; Shcherbina dan Kazlauskene 1971 dalam Opuszynski dan Shireman
1994;
Hoshino et al. 1997; Xue et al. 1999; Jankauskiene 2002; Tae 2003).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa mikroflora
pada saluran pencernaan ikan juga mempunyai peranan penting dalam fungsi
fisiologis saluran pencernaan ikan dan mekanisme perlindungan terhadap mikrob
patogen. Dengan demikian, potensi untuk dijadikan “Probiotik” dan diaplikasikan
dalam budi daya ikan sangat besar.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan mikrob
aktivitas
amilolitik,
yang
mempunyai
proteolitik, dan lipolitik dari saluran pencernaan ikan
bandeng untuk dijadikan probiotik berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh
Shortt (1999).
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan
di Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi
Nutrisi, Fakultas Peternakan IPB, selama 10 bulan, mulai bulan Maret sampai
Desember 2004.
Prosedur Penelitian
Isolasi Mikrob
Pengambilan isi saluran pencernaan ikan bandeng sebagai sumber inokulum
(Gambar 3 dan Lampiran 13) dilakukan dengan cara mengeluarkan organ
pencernaan (lambung dan usus) dari ikan bandeng fase dewasa yang telah
dibunuh. Organ pencernaan ditimbang dan diukur panjangnya. Usus digerus dan
setiap 10 g usus diencerkan dengan 90 mL cairan fisiologis (NaCl 0,85%) steril.
Prosedur isolasi mikrob yang mempunyai aktivitas amilolitik, proteolitik, dan
lipolitik dilakukan dengan metode selektif, yang mengacu pada metode yang
dilakukan pada hewan terestrial seperti
petunjuk
Hungate (1966),
serta
24
25
mengkombinasikannya dengan prosedur isolasi mikrob dari saluran pencernaan
ikan seperti metode yang dilakukan oleh Nakayama et al. (1994); Hoshino et
al. (1997); Jankauskiene (2002); dan Tae (2003).
Kultur mikrob dilakukan dalam suasana aerob dan anaerob. Untuk
menciptakan kondisi anaerob setiap proses kegiatan dialiri gas CO2 dan tabung
disumbat dengan tutup karet. Media kultur yang digunakan adalah Tripticase Soy
Broth (TSB, Merck) yang ditambah 1% NaCl. Sebagai sumber energi untuk
amilolitik adalah pati, untuk proteolitik adalah kasein, dan untuk lipolitik adalah
minyak ikan (komposisi media disajikan pada Lampiran 2). Sumber inokulum
diambil sebanyak 0,5 mL dan diinokulasikan ke dalam 10 mL media cair standar,
yaitu TSB ditambah pati, TSB ditambah kasein, dan TSB ditambah minyak ikan.
Kultur dibuat secara duplo.
Kultur ini kemudian diinkubasi pada suhu 29oC
selama 24 jam agar mikrob dapat tumbuh. Pertumbuhan mikrob ditandai oleh
keruhnya media kultur.
Gambar 3. Ikan bandeng dan saluran pencernaannya yang digunakan sebagai
sumber inokulum pada percobaan isolasi dan seleksi mikrob
Pengenceran berseri dilakukan dari 10-2 sampai 10-10 dengan cara
mengambil 0,05 mL dari kultur mikrob pada media cair dan dimasukkan ke dalam
4,95 mL media pengencer pertama, selanjutnya dari media pengencer pertama
diambil sebanyak 0,05 mL dan dimasukkan ke dalam 4,95 mL media pengencer
kedua dan seterusnya sampai media pengencer terakhir.
25
26
Untuk mendapatkan isolat murni, dari setiap seri pengenceran ditransfer
sebanyak 0,1 mL ke dalam media padat, yang terdiri atas campuran TSB, agar dan
sumber energinya, dan dikemas dengan menggunakan role tube technique untuk
suasana anaerob dan menggunakan cawan petri untuk suasana aerob. Sediaan ini
diinkubasi kembali pada suhu 29oC selama 24 sampai 48 jam. Koloni mikrob
yang tumbuh dipilih berdasarkan perbedaan morfologi (bentuk, ukuran, dan warna
koloni). Metode purifikasi dilakukan berulang-ulang dengan teknik dan media
yang sama sampai didapatkan koloni mikrob tunggal dan seragam.
Kultur murni selanjutnya diperbanyak atau diperkaya untuk mendapatkan
isolat. Sebagian isolat mikrob digunakan sebagai kultur stok dan sebagian lagi
dipakai sebagai inokulum pada percobaan berikutnya.
Pengayaan dilakukan
dengan cara menumbuhkan masing-masing isolat ke dalam media yang paling
sesuai dengan media hidupnya, kemudian diinkubasi pada suhu 29oC selama 24
jam. Kultur yang didapat siap untuk diawetkan. Pengawetan dilakukan dengan
menyimpan isolat-isolat yang telah diperoleh ke dalam media gliserol 80% yang
selanjutnya disebut kultur stok. Cara pelaksanaannya adalah tabung Eppendorf
kapasitas 1000 µL diisi media gliserol 80% kemudian ditambahkan kultur mikrob
yang akan diawetkan. Perbandingan kultur dengan gliserol adalah 3:1. Setelah itu,
mikrob dalam kultur stok dinonaktifkan dengan cara disimpan dalam freezer
- 4oC.
Isolat mikrob yang sudah murni dikarakterisasi secara fisiologis dan
biokimia.
Data mikrob yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, yaitu
membandingkannya dengan literatur pendukung menggunakan Bergey’s Manual
of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994).
Seleksi Mikrob
Percobaan ini bertujuan untuk menemukan mikrob yang berpotensi tinggi
untuk dipilih sebagai probiotik. Seleksi mikrob dilakukan melalui tahapan 1)
pengujian fakultatif; 2) pengujian aktivitas amilolitik, proteolitik, dan lipolitik; 3)
fase pertumbuhan mikrob; 4) pengujian aktivitas antagonistik atau konfrontasi
dengan mikrob patogen; 5) ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu;
dan 6) uji penempelan.
26
27
1. Pengujian Fakultatif
Pengujian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan isolat mikrob tumbuh
pada
media dengan dua suasana, yaitu aerob dan anaerob sehingga dapat
digunakan untuk menentukan golongan isolat mikrob, yaitu mikrob aerob,
anaerob, atau fakultatif (dapat tumbuh pada media aerob dan anaerob).
2. Pengujian Aktivitas Amilolitik, Proteolitik, dan Lipolitik
Pengujian ini bertujuan untuk mengukur besarnya aktivitas amilolitik,
proteolitik, dan lipolitik masing-masing isolat. Tahapan pengujian adalah uji
hidrolisis pati, kasein, dan lemak (Lampiran 2), uji degradasi subsrat oleh mikrob
(Lampiran 3), dan uji aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase (Lampiran 4).
3. Fase Pertumbuhan Mikrob
Fase pertumbuhan berguna untuk menentukan bentuk kurva pertumbuhan
mikrob sehingga dapat digunakan untuk menentukan waktu generasi mikrob dan
kecepatan tercapainya fase eksponensial. Mikrob diamati selama 24 jam inkubasi
dan untuk mengetahui fase-fase yang ada dilakukan pengambilan sampel setiap 2
jam. Fase-fase yang terbentuk berguna untuk menentukan waktu generasi mikrob.
Persiapan kultur dilakukan dengan cara menginokulasikan 0,1 mL isolat mikrob
ke dalam 10 mL media kultur cair dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu
29oC. Sediaan ini selanjutnya disebut kultur segar. Sebanyak 1% dari kultur
segar ini diinokulasi ke dalam media kultur steril 90 mL dan diinkubasi kembali
pada suhu 29oC.
Pertumbuhan mikrob diamati setiap 2 jam dengan mengukur nilai kerapatan
atau optical density (OD) dari starter pada media kultur cair dengan metode
turbidimetrik dengan panjang gelombang 620 nm (Hadioetomo 1990).
Bersamaan dengan pengukuran fase pertumbuhan dilakukan juga pengukuran
populasi mikrob. Pengukuran dilakukan setiap 2 jam dengan metode hitungan
cawan, yaitu dengan melakukan pengenceran berseri 10-2 sampai 10-10 untuk
menjarangkan koloni mikrob. Selanjutnya, dari setiap seri pengenceran ditransfer
ke dalam media padat dengan teknik agar tuang. Kultur diinkubasi pada suhu
29oC selama 24 sampai 48 jam. Populasi mikrob yang tumbuh ditentukan dalam
colony forming unit (cfu) dan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
27
28
K
PM =
A x B x C
Dimana : PM
K
A
B
C
=
=
=
=
=
populasi mikrob (cfu/mL)
jumlah koloni
volume inokulasi dalam media pengencer (mL)
pada pengenceran keberapa koloni mikrobnya dihitung
volume inokulasi dari media pengencer ke media padat (mL)
Waktu yang diperlukan mikrob untuk membelah menjadi 2 sel baru disebut
waktu generasi (Fardiaz 1992). Penentuan waktu generasi dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
Log x1 – log x0
k =
0,301 . t
Dimana : k
x0
x1
t
1/k
=
=
=
=
=
konstanta kecepatan pertumbuhan (jumlah generasi/waktu)
jumlah sel awal
jumlah sel setelah waktu t
waktu x1 – x0
waktu generasi
4. Pengujian Aktivitas Antagonistik atau Konfrontasi terhadap Mikrob
Patogen
Pengujian aktivitas antagonistik atau konfrontasi dengan mikrob patogen
dilakukan dengan metode sumur agar, yang mengacu pada metode menurut Wolf
dan Gibbons et al. (1996) dengan modifikasi suhu yang digunakan.
Produksi antimikrob dilakukan dengan cara menginokulasi isolat mikrob
sebanyak 0,1 mL ke dalam 10 mL media TSB dan diinkubasi pada suhu 29oC
selama waktu optimum (waktu optimum diperoleh dari fase eksponensial
pertumbuhan mikrob), kemudian disentrifius dengan kecepatan 12.000 rpm
selama 15 menit.
Supernatan yang diperoleh disaring (filtrasi) dengan
menggunakan millipore 0,22 µm dan filtrat digunakan dalam konfrontasi dengan
bakteri patogen uji untuk menentukan dihasilkan atau tidaknya antimikrob.
Mikrob patogen uji yang digunakan adalah mikrob patogen terhadap ikan,
yaitu dari strain Aeromonas hydrophila, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi.
Mikrob patogen uji yang telah disegarkan diambil sebanyak 0,2 mL dan
dimasukkan ke dalam media TSA dan dicampur hingga homogen. Setelah media
yang berisi biakan mikrob patogen memadat dibuat sumur (lubang) dengan ujung
28
29
pipet Pasteur dengan diameter 0,6 mm. Substrat antimikrob (filtrat) diteteskan ke
dalam lubang sebanyak 0,05 mL. Selanjutnya, cawan diinkubasi pada suhu 29oC
selama 24 jam. Mikrob yang ma mpu menghasilkan substansi antimikrob akan
melakukan penghambatan terhadap bakteri patogen yang dibuktikan dengan
adanya zona bening
di sekitar sumur agar.
Besarnya aktivitas antimikrob
ditentukan dengan cara mengukur diameter zona bening di sekitar sumur agar.
5. Ketahanan terhadap Asam Lambung dan Garam Empedu
Ketahanan isolat mikrob terhadap asam lambung dan garam empedu
digunakan untuk mengkaji kemampuannya bertahan dalam lambung dan saluran
pencernaan yang ber-pH rendah serta garam empedu di bagian atas usus.
Pengujian dilakukan menurut metode Ngatirah et al. (2000). Metode ini
dilakukan dengan menginokulasi 1,0 mL isolat mikrob ke dalam satu seri tabung
yang berisi 9 mL larutan media steril
pada pH 2,5
(pH diatur dengan
penambahan HCl) dan pH 7,5 (pH diatur dengan penambahan NaOH), kemudian
diinkubasi pada suhu 29°C. Pengamatan dilakukan setelah 2, 4, 6, dan 8 jam
setelah inokulasi dan jumlah mikrob dihitung dengan metode hitungan cawan.
Ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu ditentukan berdasarkan
jumlah koloni yang tumbuh pada kontrol dan perlakuan. Semakin kecil selisih
semakin tahan mikrob yang diuji terhadap asam lambung dan garam empedu.
6. Uji Penempelan
Uji penempelan atau adhesi dilakukan dengan metode menurut Dewanti dan
Wong (1993), yaitu menggunakan lempeng stainless steel. Sebelum digunakan,
lempeng terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran yang menempel pada
permukaannya dengan cara merendam dalam larutan detergen panas (40 sampai
45°C) selama 24 jam. Lempeng itu kemudian dibilas dengan air panas (40 sampai
50°C) hingga tidak berbusa dan licin, lalu dikeringanginkan. Setelah pencucian
selesai, pada salah satu bagian sisi lempeng diberi tanda, dan selanjutnya
disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 20 me nit.
Pengujian dilakukan dengan cara meletakkan lempeng di dalam 250 mL
media pertumbuhan yang diinokulasi dengan 1 mL kultur mikrob
ke dalam
erlenmeyer 1L, kemudian diinkubasi pada suhu 29°C selama 24 jam. Densitas
29
30
biofilm dianalisis setelah 24 jam dengan cara membilas lempeng dengan larutan
buffer fosfat (BF). Kemudian, dengan menggunakan swab permukaan lempeng
diseka secara merata. Swab dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 10 mL BF
dan tabung divorteks selama 1 menit. Selanjutnya dilakukan kultur mikrob dan
jumlah mikrob yang tumbuh dihitung dengan metode hitungan cawan dan
dinyatakan dalam cfu/cm2, setelah diinkubasi pada suhu 29°C selama 24 jam.
Jumlah mikrob yang tumbuh pada fase cair juga dihitung dengan cara
mengambil 1 mL cairan dari media pertumbuhan dan diencerkan ke dalam 9 mL
larutan BF.
Kemudian dilakukan kultur mikrob dan jumlah mikrob dihitung
dengan metode hitungan cawan dan dinyatakan dalam cfu/mL, setelah diinkubasi
pada suhu 29°C selama 24 jam.
Analisis Data
Data yang diperoleh pada percobaan isolasi dan seleksi mikroflora dari
saluran pencernaan ikan bandeng dianalisis secara deskriptif. Mikrob yang
terseleksi digunakan sebagai kandidat probiotik dan materi pada penelitian
selanjutnya.
Hasil
Isolasi Mikrob
Pada penelitian ini berhasil diisolasi 18 isolat dari saluran pencernaan ikan
bandeng yang terdiri atas 4 isolat mikrob amilolitik aerob, 3 isolat mikrob
amilolitik anaerob, 5 isolat mikrob proteolitik aerob, 2 isolat mikrob proteolitik
anaerob, 2 isolat mikrob lipolitik aerob, dan 2 isolat mikrob lipolitik anaerob.
Morfologi koloni isolat dan jenis mikrob berdasarkan identifikasi secara fisiologi
dan biokimia menggunakan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt
et al. 1994) dapat dilihat pada Lampiran 14 dan bentuk isolat dapat dilihat pada
Gambar 4.
30
31
Keterangan : Mikrob amilolitik aerob
A1-a : Moraxella sp.
A2-a : Aeromonas hydrophila
A3-a : Citrobacter sp.
A4-a : Carnobacterium sp.
Mikrob proteolitik aerob
P1-a : Streptococcus sp.
P2-a : Bacillus sp.
P3-a : Micrococcus sp.
P4-a : Pseudomonas sp.
P5-a : Proteus sp.
Mikrob lipolitik aerob
L1-a : Planococcus sp.
L2-a : Plesiomonas sp.
Gambar 4.
Mikrob amilolitik anaerob
A1-an : Staphylococcus sp.
A2-an : Flavobacterium sp.
A3-an : Vibrio sp.
Mikrob proteolitik anaerob
P1-an : Vibrio alginoliticus
Mikrob lipolitik anaerob
L1-an : Kurthia sp.
L2-an : Serratia sp.
Bentuk isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik yang
diisolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng
31
32
Gambar 4. (lanjutan)
32
33
Gambar 4. (lanjutan)
Seleksi Mikrob
Mikrob Fakultatif
Pengujian fakultatif memberikan gambaran tentang keadaan lingkungan
tempat mikrob tersebut dapat hidup. Faktor lingkungan yang paling menentukan
proses metabolisme energi yang dilakukan mikrob adalah oksigen. Hasil
pengujian fakultatif menumbuhkan isolat mikrob aerob dalam media anaerob, dan
sebaliknya menumbuhkan isolat mikrob anaerob dalam media aerob disajikan
pada Tabel 2. Dari 18 isolat yang diuji ditemukan 13 jenis isolat yang fakultatif,
yaitu golongan mikrob yang dapat tumbuh tanpa atau dengan adanya oksigen.
Isolat fakultatif tersebut terdiri atas 8 isolat yang berasal dari mikrob aerob (A1-a,
A2-a, A4-a, P1-a, P2-a, P3-a, L1-a dan L2-a) dan 5 isolat yang berasal dari
anaerob (A1-an, A2-an, A3-an, P1-an dan L1-an). Isolat A3-a, P4-a dan P5-a
tergolong mikrob aerob, yaitu hanya dapat tumbuh jika terdapat oksigen
di
lingkungannya. Isolat P2-an dan L2-an tergolong mikrob anaerob, yaitu tidak
33
34
memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan mikrob ini biasanya
terhambat dengan adanya oksigen. Bahkan, beberapa jenis mikrob sangat sensitif
dan akan mati jika ada oksigen.
Tabel 2. Isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik yang ditumbuhkan
pada media aerob dan anaerob
Isolat
Media aerob
Media anaerob
Kriteria
Aerob
A1-a
+
+
Fakultatif
A2-a
+
+
Fakultatif
A3-a
+
Aerob
A4-a
+
+
Fakultatif
P1-a
+
+
Fakultatif
P2-a
+
+
Fakultatif
P3-a
+
+
Fakultatif
P4-a
+
Aerob
P5-a
+
Aerob
L1-a
+
+
Fakultatif
L2-a
+
+
Fakultatif
Anaerob
A1-an
+
+
Fakultatif
A2-an
+
+
Fakultatif
A3-an
+
+
Fakultatif
P1-an
+
+
Fakultatif
P2-an
+
Anaerob
L1-an
+
+
Fakultatif
L2-an
+
Anaerob
Keterangan: A = Mikrob amilolitik a = Aerob
+ = Tumbuh
P = Mikrob proteolitik an = Anaerob - = Tidak tumbuh
L = Mikrob lipolitik
Aktivitas Amilolitik, Proteolitik, dan Lipolitik
Besarnya aktivitas amilolitik, proteolitik, dan lipolitik isolat mikrob
ditunjukkan dengan melakukan pengukuran hidrolisis pati, kasein, dan lemak, uji
degradasi subsrat oleh mikrob, serta uji aktivitas enzim amilase, protease, dan
lipase.
1.
Hidrolisis Pati, Kasein, dan Lemak
Hasil pengujian hidrolisis pati, kasein, dan lemak oleh isolat mikrob yang
berhasil diisolasi disajikan pada Gambar 5 dan 6 serta Lampiran 15. Data isolat
34
35
P2-an tidak dapat lagi disajikan karena untuk pengujian tahap selanjutnya P2an
tidak dapat lagi ditumbuhkan. Diduga stok kultur isolat P2-an terkontaminasi
oksigen yang menyebabkan isolat tersebut mati.
Diameter zona bening (mm)
Gambar 5. Zona bening hasil hidrolisis pati, kasein, dan lemak oleh isolat
mikrob amilolitik (A1-a, A2-a, A3-a, A4-a, A1-an, A2-an, A3-an),
proteolitik (P1-a, P2-a, P3-a, P4-a, P5-a, P1-an), dan lipolitik (L1-a,
L2-a, L1-an, L2-an)
Gambar 6.
Diameter zona bening hasil hidrolisis pati, kasein, dan lemak
oleh isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik
Gambar 5 memperlihatkan bahwa semua isolat positif menghidrolisis
sumber karbonnya, yang ditandai dengan adanya zona bening (clearing zone) di
35
36
sekitar koloni isolat yang ditumbuhkan pada media agar. Zona bening
tersebut menunjukkan bahwa makromolekul yang menjadi sumber karbon sudah
dihidrolisis dan dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh mikrob. Diameter zona
bening yang terbesar pada isolat mikrob amilolitik diperlihatkan oleh isolat A2-a,
yang diikuti oleh isolat A4-a, A1-a, A3-a, A2-an, A1-an, dan terendah oleh isolat
A3-an. Diameter zona bening terlebar pada isolat mikrob proteolitik diperlihatkan
oleh isolat P1-an, yang diikuti oleh isolat P1-a, P5-a, P4-a, P3-a, dan terendah oleh
isolat P2-a.
Diameter zona bening terlebar pada isolat mikrob lipolitik
ditunjukkan oleh isolat L1-a, yang diikuti oleh isolat L2-an, dan terendah oleh
isolat L1-an dan L2-a (Gambar 6 dan Lampiran 15).
2. Degradasi Substrat oleh Isolat Mikrob Amilolitik, Proteolitik, dan
Lipolitik
Hasil pengukuran degradasi substrat oleh isolat mikrob amilolitik,
proteolitik, dan lipolitik setelah 24 jam inkubasi disajikan pada Gambar 7 dan
Degradasi substrat
Lampiran 16.
Gambar 7.
Degradasi substrat pati, kasein, dan lemak oleh isolat mikrob
amilolitik dan proteolitik (mg/L), serta lipolitik (mmol lemak, dikali
1000)
Kemampuan degradasi substrat tertinggi pada isolat mikrob amilolitik
diperlihatkan oleh isolat A3-a dan A2-a yang diikuti oleh isolat A1-an, A2-an,
A4-a, A1-a, dan terendah diperlihatkan oleh isolat A3-an. Pada isolat mikrob
proteolitik, kemampuan degradasi substrat tertinggi ditunjukkan oleh isolat P1-an,
yang diikuti oleh isolat P1-a, P3-a, P5-a, P4-a, dan terendah ditunjukkan oleh
36
37
isolat
P2-a.
lipolitik
Kemampuan degradasi substrat terbesar pada
isolat
mikrob
diperlihatkan oleh isolat L1-a, yang diikuti oleh isolat L1-an, dan
terendah ditunjukkan oleh isolat L2-an dan L2-a. Nilai degradasi substrat isolat
mikrob lipolitik yang sangat kecil, dibandingkan dengan nilai degradasi substrat
isolat lainnya terjadi akibat perbedaan satuan substrat yang digunakan. Isolat
mikrob amilolitik dan proteolitik menggunakan satuan mg/L dan mikrob lipolitik
menggunakan satuan mmol lemak.
3. Aktivitas Enzim Amilolitik, Proteolitik, dan Lipolitik
Hasil pengukuran aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase yang
dihasilkan oleh isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik dapat dilihat
Aktivitas enzim
(IU/mL/menit)
pada Gambar 8 dan Lampiran 17.
Gambar 8.
Aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase (IU/mL/menit) yang
dihasilkan oleh isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik
Aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase yang dihasilkan (Gambar 8)
memperlihatkan nilai yang seiring dengan kemampuan degradasi mikrob. Nilai
aktivitas enzim amilase berkisar antara 0,58 dan 0,77 IU/mL/menit. Aktivitas
tertinggi ditunjukkan enzim yang dihasilkan oleh isolat A3-a yang diikuti oleh
isolat A2-a, A1-an, A2-an, A4-a, A1-a, dan terendah oleh isolat A3-an. Aktivitas
enzim protease berkisar antara 0,44 dan 0,82 IU/mL/menit. Aktivitas tertinggi
diperlihatkan oleh isolat P1-an yang diikuti oleh isolat P1-a, P3-a, P5-a, P4-a, dan
terendah oleh isolat P2-a. Aktivitas enzim lipase berkisar antara 0,13 dan 0,36
37
38
IU/mL/menit dengan aktivitas tertinggi pada enzim yang dihasilkan oleh isolat
L1-a yang diikuti oleh isolat L1-an, L2-an, dan terendah L2-a.
Fase Pertumbuhan Mikrob
Hasil pengamatan nilai kerapatan optik (Optical Density = OD) disajikan
pada Lampiran 18 dan hasil analisis jumlah koloni (cfu/mL) disajikan pada
Lampiran 19.
Kurva pertumbuhan yang dihasilkan selama 24 jam periode
pengamatan (Gambar 9) memperlihatkan bahwa setiap isolat mempunyai pola
yang bevariasi, begitu juga dengan hasil analisis waktu generasi (Tabel 3) juga
memperlihatkan hasil yang berbeda.
Fase pertumbuhan awal atau lag (I) pada isolat mikrob amilolitik umumnya
terjadi antara 0 dan 2 jam, kecuali pada isolat A1-an (0 sampai 6 jam); fase
logaritma atau eksponensial (II) terjadi antara 2 dan 14 jam (A4-a), 2 dan 16 jam
(A2-a dan A3-an), 6 dan 16 jam (A1-an), serta antara 2 dan 18 jam (A1-a, A3-a,
dan A2-a); fase III adalah fase statis atau tetap tercapai antara 14 dan 18 jam
(A4-a), 16 dan 20 jam (A2-a), 16 dan 22 jam (A1-an), 18 dan 20 jam (A3 -an), 18
dan 20 jam (A2-an), serta antara 18 dan 22 jam (A1-a dan A3-a), fase IV adalah
fase kematian atau stationer dicapai setelah 18 jam (A4-a), 20 jam (A2-a, A3-a,
dan A2-an), dan 22 jam (A1-an, A1-a, dan A3-a). Pada isolat mikrob proteolitik,
fase pertumbuhan awal atau lag (I) tercapai antara 0 dan 2 jam (P2-a, P3-a, dan
P1-an) serta antara 0 dan 4 jam (P1-a, P4-a, dan P5-a); fase logaritma atau
eksponensial (II) terjadi antara 2 dan 16 jam (P2-a, P1-an), 2 dan 12 jam (P3-a),
4 dan 16 jam (P4-a, P5-a), serta antara 4 dan 18 jam (P1-a); fase III adalah fase
statis atau tetap, pada P1-a dan P1-an tidak ada fase III langsung fase IV, yaitu
fase stationer, fase statis mikrob proteolitik yang lain tercapai antara 16 dan 20
jam (P2-a dan P4-a), 12 dan 20 jam (P3-a), serta antara 16 dan 18 jam (P5-a); fase
IV adalah fase kematian atau stationer dicapai setelah 16 jam (P1-an), 18 jam
(P1-a dan P5-a), dan 20 jam (P2-a, P3-a, dan P4-a). Pada isolat mikrob lipolitik,
fase pertumbuhan awal atau lag (I) yang tercapai antara 0 dan 2 (L1-a), 0 dan 4
jam (L1-an), serta 0 dan 6 jam (L2-a dan L2-an); fase logaritma atau eksponensial
(II) terjadi antara 4 dan 18 jam (L1-a), 6 dan 18 jam (L2-a), 4 dan 14 jam (L1-an),
serta antara 6 dan 12 jam (L2-an); fase III adalah fase statis atau tetap tercapai
38
39
III IV
II
I
9.0
0.6
0.4
0.2
0.0
A1-a
A1-a
8.5
8.0
0
1.2
1.0
0.8
11.5
2.0
1.8
11.0
1.6
1.4
10.5
10.0
9.5
II
I
A2-a
A2-a
8.5
0.0
0
2
4
I
II
III IV
7.0
A3-a
A3-a
6.5
6.0
0
2
4
11.0
10.5
10.0
1.2
1.0
II
I
III
IV
A1-an
A1-an
7.5
0.8
0.6
0.4
0.2
7.0
0.0
0
2
4
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
III
9.0
IV
A4-a
A4-a
12.0
4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
3.0
2.8
2.6
2.4
2.2
2.0
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Jumlah koloni
optical density
11.5
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
1.4
8.5
II
0 2
1.6
9.0
I
8.0
1.8
9.5
8.0
9.5
8.5
2.0
Jumlah koloni
optical density
2.6
2.4
2.2
2.0
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
11.5
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
10.0
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
Jumlah koloni (log10 cfu/mL).
7.5
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
Jumlah koloni
optical density
12.0
Optical Density (OD)
8.0
12.5
Optical Density (OD)
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
8.5
1.4
1.3
1.2
1.1
1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
0.4
0.2
8.0
Periode pengamatan (jam)
Jumlah koloni
optical density
0.8
0.6
9.0
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
9.0
1.2
1.0
III IV
11.0
10.5
10.0
9.5
Optical Density (OD)
9.5
2.4
2.2
Jumlah koloni
optical density
I
III IV
II
9.0
A2-an
A2-an
8.5
8.0
0
Optical Density (OD)
10.0
12.0
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
10.5
2.0
1.8
1.6
1.4
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
Gambar 9. Kurva pertumbuhan isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik
39
Optical Density (OD)
2.2
Jumlah koloni
optical density
Optical Density (OD)
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
11.0
40
II
III
IV
A3-an
A3-an
7.5
7.0
2
4
0.2
II
III IV
1.0
0.8
8.5
0.6
8.0
P2-a
P2-a
7.5
7.0
0.4
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
1.2
12.0
Jumlah koloni
optical density
11.5
11.0
10.5
10.0
II
I
9.5
III IV
P4-a
P4-a
9.0
8.5
0
2
4
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
0.2
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
2.4
2.2
2.0
Jumlah koloni
optical density
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
10.5
10.0
I
II
III
IV
9.5
P3-a
8.5
0 2
2.6
2.4
2.2
2.0
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0.4
11.0
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
P3-a
4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
12.0
2.0
Jumlah koloni
optical density
11.5
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
2 4
4
9.0
0.2
0.0
0
0.6
0.0
2
11.5
1.6
9.5
IV
P1-a
P1-a
0
1.4
II
I
8.0
1.8
10.0
I
0.8
8.5
7.0
Optical Density (OD)
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
10.5
1.0
7.5
2.0
Jumlah koloni
optical density
1.2
9.0
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
11.0
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
0.4
0.0
0
9.0
0.6
1.4
9.5
Optical Density (OD)
I
0.8
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
1.0
8.5
Optical Density (OD)
1.2
Optical Density (OD)
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
9.0
1.6
10.0
1.6
1.4
1.8
Jumlah koloni
optical density
Optical Density (OD)
1.8
9.5
8.0
10.5
2.0
Jumlah koloni
optical density
1.8
1.6
11.0
1.4
1.2
10.5
1.0
10.0
I
II
0.8
III IV
0.6
9.5
0.4
P5-a
P5-a
9.0
0.2
8.5
0.0
0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
Gambar 9. (lanjutan)
40
Optical Density (OD)
10.0
41
9.0
IV
8.0
P1-an
P1-an
7.5
7.0
0
2 4
Jumlah koloni
optical density
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
10.5
9.0
II
III IV
1.6
10.5
0.8
0.4
L2-a
L2-a
7.5
2
4
0.0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
2.0
Jumlah koloni
optical density
1.6
9.5
1.4
9.0
1.2
8.5
1.0
8.0
I
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
0.8
IV
0.4
L1-an
L1-an
0.2
0.0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
1.8
Jumlah koloni
optical density
1.6
1.4
9.5
1.2
9.0
1.0
8.5
I
II
III
IV
0.8
0.6
7.5
6.5
III
0.6
7.0
10.0
7.0
II
7.5
11.0
8.0
1.8
10.0
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
10.5
0.4
0.2
L1-a
6.0
0.0
0
0.6
L1-a
6.5
0.2
7.0
1.0
0.8
III IV
II
8.0
11.0
0.6
8.0
I
9.0
1.8
1.0
I
9.5
1.2
0
1.2
9.5
1.4
10.0
8.5
1.4
10.0
8.5
10.5
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
11.0
1.8
1.6
L2-an
L2-an
6.0
Optical Density (OD)
II
I
2.0
11.0
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
8.5
11.5
Optical Density (OD)
9.5
2.4
2.2
Jumlah koloni
optical density
0.4
0.2
0.0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Periode pengamatan (jam)
Gambar 9. (lanjutan)
41
Optical Density (OD)
10.0
12.0
Optical Density (OD)
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
10.5
2.6
2.4
2.2
2.0
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Jumlah koloni (log10 cfu/mL)
Jumlah koloni
optical density
Optical Density (OD)
11.0
42
(L1-an), serta antara 12 dan 18 jam (L2-an); fase IV adalah fase kematian atau
stationer dicapai setelah 20 jam (L1-a dan L2-a), sedangkan pada L1-an dan L2an setelah 18 jam (Gambar 9).
Waktu generasi atau waktu yang diperlukan mikrob untuk membelah
menjadi 2 sel baru, pada isolat mikrob amilolitik berkisar antara 23,62 dan 45,44
menit. Waktu generasi terpendek ditunjukkan oleh isolat A3-a dan tertinggi oleh
isolat A4-a. Pada isolat mikrob proteolitik, waktu generasi berkisar antara 22,93
dan 37,85 menit. Waktu generasi
terendah ditunjukkan oleh isolat P3-a dan
tertinggi oleh isolat P5-a. Waktu generasi isolat mikrob lipolitik berkisar antara
32,38 dan 46,35 menit. Waktu generasi terendah diperlihatkan oleh isolat L2-a
dan tertinggi oleh isolat L1-an (Tabel 3).
Tabel 3. Waktu generasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik
Isolat
Waktu generasi (menit)
Aerob
A1-a
24,25
A2-a
34,21
A3-a
23,62
A4-a
45,44
P1-a
32,72
P2-a
33,43
P3-a
22,93
P4-a
33,10
P5-a
37,85
L1-a
34,56
L2-a
32,38
Keterangan: A = Mikrob amilolitik
P = Mikrob proteolitik
L = Mikrob lipolitik
Isolat
Anaerob
A1-an
A2-an
A3-an
P1-an
P2-an
L1-an
L2-an
Waktu generasi (menit)
27,16
31,40
39,89
36,35
46,35
33,52
Aktivitas Antagonistik atau Konfrontasi terhadap Mikrob Patogen
Salah satu kriteria yang diinginkan pada isolat yang terpilih sebagai
kandidat probiotik adalah bahwa mikrob tersebut mampu menghasilkan
antimikrob sehingga mampu menekan pertumbuhan mikrob patogen dalam
saluran pencernaan ikan.
Hasil pengamatan aktivitas antagonistik terhadap
mikrob patogen pada ikan, yaitu dari strain Aeromonas hydrophila, Escherichia
coli dan Vibrio harveyi (Tabel 4) menunjukkan bahwa dari 17 isolat yang diuji
42
43
hanya 5 isolat yang memperlihatkan aktivitas antagonistik.
Isolat yang
mempunyai aktivitas antagonistik menunjukkan adanya zona bening di sekitar
sumur (Gambar 10). Isolat tersebut adalah isolat mikrob amilolitik 3 isolat (A4-a,
A1-an, dan A2-an), 2 isolat dari mikrob proteolitik (P2-a dan P1-an), dan tidak
ditemukan aktivitas antagonistik pada isolat mikrob lipolitik.
Isolat A4-a memperlihatkan zona penghambatan pada semua mikrob
patogen uji,
isolat A1-an hanya memperlihatkan zona penghambatan pada
Escherichia coli, dan isolat A2-an hanya memperlihatkan zona penghambatan
pada Vibrio harveyi. Zona penghambatan isolat P2-a hanya pada Escherichia
coli, dan isolat P1-an memperlihatkan zona penghambatan pada 2 jenis mikrob
patogen uji yaitu Escherichia coli dan Vibrio harveyi.
Tabel 4. Aktivitas antagonistik atau konfrontasi isolat mikrob amilolitik,
proteolitik, dan lipolitik terhadap mikrob patogen pada ikan
Isolat
Aeromonas hydrophila
K
D
D
Aerob
A1-a
A2-a
A3-a
A4-a
P1-a
P2-a
P3-a
P4-a
P5-a
L1-a
L2-a
Anaerob
A1-an
A2-an
A3-an
P1-an
P2-an
L1-an
L2-an
Keterangan:
+
-
12 mm 10 mm
Escherichia coli
K
D
D
Vibrio harveyi
K
D
D
+
+
-
+
-
10 mm 11 mm
12 mm 9 mm
10 mm 8 mm
+
8 mm 8 mm
+ 12 mm 11 mm
+
8 mm 9 mm
+ 16 mm 10 mm
A = Mikrob amilolitik K = Kriteria + Ada aktivitas antagonistik
P = Mikrob proteolitik
- Tidak ada aktivitas
L = Lipolitik
antagonistik
D = Diameter
43
44
Vh*A2an
Gambar 10. Aktivitas antagonistik mikrob uji terhadap mikrob patogen bagi ikan
(Aeromonas hydrophila, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi)
44
45
Ketahanan terhadap Asam Lambung dan Garam Empedu
Ketahanan isolat terhadap asam lambung dan garam empedu direfleksikan
dengan kemampuannya bertahan dalam media asam dan basa, yang dinyatakan
dalam penurunan log jumlah isolat dalam media kontrol dan perlakuan selama
periode pengamatan.
Hasil pengujian ketahanan isolat mikrob amilolitik,
proteolitik, dan lipolitik terhadap asam lambung dan garam empedu disajikan
pada Lampiran 20. Selisih log jumlah isolat kontrol dan perlakuan setiap periode
pengamatan disajikan pada Gambar 11.
Kemampuan setiap isolat di dalam media pada pH asam dan pH basa
bervariasi. Sampai jam ke-8, secara umum semua isolat masih hidup, walaupun
tingkat pertumbuhan pada umumnya lebih rendah dari kontrol (Gambar 11).
Penurunan log yang terkecil
populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 2,5
periode pengamatan 2 jam ditunjukkan oleh isolat A1-a dan A4-a, diikuti oleh
isolat A2-a, A1-an, A2-an, dan terbesar ditunjukkan oleh isolat A3-a, sedangkan
isolat A3-an dengan populasi lebih tinggi dari kontrol.
Pada isolat mikrob
proteolitik, penurunan log terkecil populasi mikrob diperlihatkan oleh isolat P1an, diikuti oleh isolat P5-a, P4-a, P3-a, P2-a, dan terbesar ditunjukkan oleh isolat
P1-a.
Pada isolat mikrob lipolitik penurunan log populasi mikrob terkecil
ditunjukkan oleh isolat L2-a, L1-an, L2-an dan terbesar diperlihatkan oleh isolat
L1-a.
Pada periode pengamatan 4 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat
mikrob amilolitik pada pH 2,5 ditunjukkan oleh isolat A4-a, yang diikuti oleh
isolat A1-a, A3-an, A3-a, A1-an, A2-an, dan tertinggi diperlihatkan oleh isolat
A2-a. Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi mikrob
diperlihatkan oleh isolat P5-a, yang diikuti oleh isolat P4-a, P1-a, P3-a, P1-an,
dan terbesar ditunjukkan oleh isolat P2-a. Pada isolat mikrob lipolitik, penurunan
log populasi mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L1-a, L2-a, L1-an dan
terbesar diperlihatkan oleh isolat L2-an.
Pada periode pengamatan 6 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat
mikrob amilolitik pada pH 2,5 diperlihatkan oleh isolat A4-a, yang diikuti oleh
isolat A1-a, A3an, A3-a, A1-an, A2-an, dan tertinggi ditunjukkan oleh isolat A2-a.
Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat diperlihatkan
45
46
oleh isolat P4-a, yang diikuti oleh isolat P5-a, P1-an, P1-a, P3-a, dan terbesar
ditunjukkan oleh isolat P2-a. Pada mikrob lipolitik, penurunan log populasi isolat
mikrob terkecil diperlihatkan oleh isolat L2-a, L2-an, L1-an dan terbesar
diperlihatkan oleh isolat L1-a.
Gambar 11. Selisih log (cfu/mL) antara jumlah isolat mikrob amilolitik,
proteolitik, dan lipolitik dalam media dengan pH 2,5 dan pH 7,5
dengan kontrol setiap periode pengamatan
Pada periode pengamatan 8 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat
mikrob amilolitik pada pH 2,5 diperlihatkan oleh isolat A4-a, yang diikuti oleh
isolat A1-a, A2-an, A1-an, A3-a, A3-an dan tertinggi oleh isolat A2-a. Pada isolat
mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat mikrob diperlihatkan
oleh isolat P1-a, yang diikuti oleh isolat P3-a, P5-a, P4-a, P1-an, dan terbesar
46
47
diperlihatkan oleh isolat P2-a. Pada isolat mikrob lipolitik penurunan log populasi
mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat
L2-a, L1-an, L2-an dan terbesar
diperlihatkan oleh isolat L1-a.
Penurunan log yang terkecil populasi isolat mikrob amilolitik pada pH 7,5
periode pengamatan 2 jam diperlihatkan oleh isolat A1-a, A2-an, A4-a, dan A2-a,
sedangkan isolat A3-a, A1-an dan A3-an dengan populasi lebih tinggi dari kontrol.
Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi mikrob
diperlihatkan oleh isolat P2-a, yang diikuti oleh isolat P5-a, sedangkan isolat yang
lain dengan log populasi isolat sama atau lebih besar dari kontrol. Pada mikrob
lipolitik, penurunan log populasi isolat terkecil diperlihatkan oleh isolat L2-a,
L1-an dan terbesar ditunjukkan oleh isolat L1-a, adapun populasi isolat L2-an
lebih besar dari kontrol.
Pada periode pengamatan 4 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat
mikrob amilolitik pada pH 7,5 ditunjukkan oleh isolat A1-an, yang diikuti oleh
isolat A1-a, A4-a, A3-an, A3-a, A2-an, dan tertinggi diperlihatkan oleh isolat
A2-a.
Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat
mikrob diperlihatkan oleh isolat P4-a, yang diikuti oleh isolat P5-a, P1-a, P2-a,
P3-an, dan terbesar diperlihatkan oleh isolat P1-an. Pada isolat mikrob lipolitik,
penurunan log populasi isolat mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L1-a, L2-a,
L1-an dan terbesar diperlihatkan oleh isolat L2-an.
Pada periode pengamatan 6 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat
mikrob amilolitik pada pH 7,5 diperlihatkan oleh isolat A1-an, yang diikuti oleh
isolat A1-a, A2-a, A3-an, A3-a, A4-a, dan tertinggi diperlihatkan oleh isolat A2-a.
Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat mikrob
diperlihatkan oleh isolat P4-a, yang diikuti oleh isolat P3-a, P2-a, P1-a, dan
terbesar diperlihatkan oleh isolat P5-a dan P1-an. Pada isolat mikrob lipolitik,
penurunan log populasi isolat mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L1-a, L2-an,
dan terbesar oleh isolat L1-an, sedangkan isolat L2-a mempunyai log populasi
isolat yang sama dengan kontrol.
Pada periode pengamatan 8 jam, penurunan log yang terkecil populasi isolat
mikrob amilolitik pada pH 7,5 diperlihatkan oleh isolat A1-an, yang diikuti oleh
isolat A1-a, A4-a, A2-an, A3-an, A2-a dan tertinggi ditunjukkan oleh isolat A3-a.
47
48
Pada isolat mikrob proteolitik, penurunan log terkecil populasi isolat mikrob
diperlihatkan oleh isolat P3-a, yang diikuti oleh isolat P4-a, P2-a, P1-a, P1-an dan
terbesar diperlihatkan oleh isolat P5-a. Pada isolat mikrob lipolitik, penurunan log
populasi isolat mikrob terkecil ditunjukkan oleh isolat L1-a, L2-a, L2-an dan
terbesar oleh isolat L1-an.
Uji Penempelan
Uji penempelan atau adhesi isolat mikrob didasarkan pada kemampuan
mikrob membentuk biofilm, mikrob yang mampu membentuk biofilm dengan
baik akan memiliki kemampuan menempel dengan baik pula. Hal ini diujikan
sebagai pendekatan terhadap kemampuan menempel isolat pada substrat padat
(usus).
Hasil uji penempelan pada lempeng stainless steel isolat mikrob
amilolitik, proteolitik, dan lipolitik yang diisolasi dari saluran pencernaan ikan
bandeng (Tabel 5 dan Lampiran 21) menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi
mikrob planktonik maka populasi mikrob yang menempel semakin rendah.
Tabel 5. Hasil uji penempelan isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik
pada lempeng stainless steel
Isolat
Aerob
A1-a
A2-a
A3-a
A4-a
P1-a
P2-a
P3-a
P4-a
P5-a
L1-a
L2-a
Populasi mikrob
Swab
Planktonik
4
8,9 x 10
4,5 x 10 4
7,1 x 10 5
1,8 x 10 4
6,2 x 10 5
6,7 x 10 4
7,2 x 10 4
10
7,6 x 10
4.7 x 10 11
5,4 x 10 8
1,4 x 10 12
9,5 x 10 9
4,2 x 10 10
1,2 x 10 11
7,9 x 10 11
8,2 x 10 11
4,0 x 10 11
3,8 x 10 10
Isolat
Anaerob
A1-an
A2-an
A3-an
P1-an
P2-an
L1-an
L2-an
Populasi mikrob
Swab
Planktonik
7,1 x 10 5
5,0 x 10 4
8,4 x 10 4
1,6 x 10 5
8,5 x 10 5
1,3 x 10 5
4,2 x 10 4
3,5 x 10 4
5,7 x 10 4
2,2 x 10 5
Keterangan: A = Mikrob amilolitik Populasi mikrob: Swab
P = Mikrob proteolitik
Planktonik
L = Mikrob lipolitik
8,1 x 10 9
4,2 x 10 11
9,3 x 10 10
2,8 x 10 10
8,5 x 10 9
2,0 x 10 10
= cfu/cm2
= cfu/mL
48
49
Rekapitulasi
Rekapitulasi hasil pengujian parameter seleksi isolat mikrob amilolitik,
proteolitik, dan lipolitik hasil isolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rekapitulasi data hasil pengujian beberapa parameter yang digunakan
pada seleksi isolat mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik saluran
pencernaan ikan bandeng yang potensial sebagai kandidat probiotik
Isolat
Aerob
A1-a
A2-a
A3-a
A4-a
P1-a
P2-a
P3-a
P4-a
P5-a
L1-a
L2-a
Anaerob
A1-an
A2-an
A3-an
P1-an
P2-an
L1-an
L2-an
Keterangan :
F
H
D
+
+
+
+
+
+
+
+
14
16
14
15
15
12
13
14
16
10
9
1649,24
1702,63
1705,22
1651,49
1837,37
1502,11
1823,16
1610,53
1811,59
0,21
0,14
Parameter
AE
PM
0,66
0,76
0,77
0,66
0,67
0,44
0,66
0,53
0,65
0,36
0,13
8,4 x 10 10
4,3 x 10 11
6,1 x 10 8
2,0 x 10 12
1,8 x 10 10
5,3 x 10 10
1,5 x 10 11
8,0 x 10 11
8,3 x 10 11
4,4 x 10 11
4,2 x 10 10
AG
pH
T
+/3
+/1
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
11
1694.1
0.76
8.5 x 10 9
+/1
+
+
11
+/1
+
+
+
14
1651.82
0.62
4.1 x 10
11
+
10
1582.92
0.58
1.4 x 10
+
+
10
+/2
+
+
+
16
1918.95
0.82
6.7x 10
+
9
0.18
0.31
3.1 x 10 10
+
+
10
10
0.16
0.21
1.7 x 10
+
+
F = fakultatif , H = hidrolisis (mm) D = degradasi substrat
(mikrob amilolitik dan proteolitik: mg/L, mikrob lipolitik: mmol
lemak), AE = aktivitas enzim (IU/mL/menit), PM = populasi
mikrob (cfu/mL), AG = antagonistik, pH = ketahanan terhadap
asam lambung dan garam empedu, dan T = uji penempelan
(adhesi)
49
50
Pembahasan
Mikroflora yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan bandeng di
antaranya adalah Moraxella sp., Aeromonas sp., Citrobacter sp., Carnobacterium
sp., Streptococcus sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., Plesiomonas sp.,
Staphylococcus sp., Flavobacterium sp., Vibrio sp., dan Serratia sp. Mikrob
tersebut juga ditemukan pada saluran pencernaan spesies ikan lain dan media budi
daya seperti dilaporkan oleh beberapa peneliti (Sakata dan Yuki 1991; Cipriano et
al. 1992; Sugita et al. 1994; Garcia et al. 1997; Rombout et al. 1999; Olsen et al.
2000; Rengpipat et al. 2000; Robertson et al. 2000; Spanggaard et al. 2000; dan
Al-Harbi dan Uddin 2005). Namun demikian, belum ditemukan laporan tentang
jenis mikrob lainnya yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan bandeng, yaitu
mikrob Micrococcus sp., Proteus sp., Planococcus sp., dan Kurthia
sp.
ditemukan pada saluran pencernaan spesies ikan lain. Akan tetapi, jenis mikrob
tersebut umumnya ditemukan pada substrat tanah (Pelczar dan Chan 1988; dan
Olsen et al. 2000).
Mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng seperti halnya mikrob yang
ditemukan pada spesies ikan lainnya diduga berasal dari lingkungan budi daya.
Mikrob tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan bersama dengan pakan yang
dimakan. Khususnya ikan bandeng, kebiasaannya memakan detritus dari dasar
tambak bertujuan untuk mendapatkan jasad renik atau mikroorganisme untuk
memenuhi kebutuhan protein dan atau untuk membantu degradasi pakan yang
dimakan. Dengan demikian, mikroflora tersebut mempunyai peluang yang besar
untuk dijadikan probiotik.
Mikroflora menguntungkan yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan
bandeng adalah Moraxella sp., Bacillus sp., Carnobacterium sp., Vibrio
alginoliticus, Streptococcus sp., Pseudomonas sp., dan Flavobacterium sp. Hasil
penelitian yang mempertegas hal ini dilaporkan oleh beberapa peneliti (Garcia et
al. 1997;. Haryanti et al. 1999; Rengpipat et al. 1998, 2000;. Rombout et al.
1999;
De Schrijver dan Ollevier 2000; dan Robertson et al. 2000). Mikrob
tersebut berperan sebagai nutrien tambahan bagi ikan dan atau suplemen dalam
kultur pakan alami, yaitu bermanfaat melalui metabolit seperti vitamin B12 dan
enzim yang disekresikannya ke dalam medium kultur. Di samping itu, mikrob
50
51
yang termakan dan masuk ke dalam saluran pencernaan berperan dalam
meningkatkan kecernaan nutrien pakan melalui enzim pencernaan eksogen yang
disekresikannya.
Peran yang lain adalah kemampuan mikrob menghasilkan
senyawa antimikrob sehingga mampu menghambat perkembangan mikro patogen
dalam saluran pencernaan ikan maupun media budi daya.
Oleh karena itu,
mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng yang terpilih sebagai kandidat
probiotik adalah mikrob yang menguntungkan serta dapat menjaga keseimbangan
mikroflora dalam saluran pencernaan ikan.
Salah satu tahapan seleksi adalah mikrob yang terpilih harus tergolong
fakultatif. Hal ini demikian karena probiotik yang diaplikasikan dalam budi daya
ikan bandeng akan berhadapan dengan 2 kondisi lingkungan yang sangat berbeda,
yaitu ada dan tidak ada oksigen. Probiotik diinokulasikan ke dalam pakan pada
kondisi lingkungan yang dipenuhi oksigen. Setelah pakan diberikan dan dimakan
oleh ikan, mikrob masuk ke saluran pencernaan dan berhadapan dengan keadaan
lingkungan anaerob, yaitu
tidak ada oksigen.
Keadaan lingkungan tempat
mikroorganisme tersebut hidup sangat menentukan metabolisme energi yang
dilakukannya.
Menurut Fardiaz (1992) faktor lingkungan yang paling
menentukan dalam metabolisme energi mikrob adalah oksigen.
Mikroflora
saluran pencernaan ikan bandeng yang tergolong mikrob fakultatif adalah
Moraxella sp., Aeromonas hydrophila, Carnobacterium sp., Staphylococcus sp.,
Flavobacterium sp., Vibrio sp., Streptococcus sp., Bacillus sp., Micrococcus sp.,
Vibrio alginoliticus, Planococcus sp., Plesiomonas sp., dan Kurthia sp.
Pada percobaan ini yang menjadi target isolasi adalah mikrob yang
mempunyai aktivitas amilolitik, proteolitik, dan lipolitik. Ketiga golongan mikrob
tersebut adalah mikrob yang mampu mensekresikan enzim yang berperan penting
dalam proses pencernaan, yaitu sebagai katalisator dalam hidrolisis nutrien pakan
pada saluran pencernaan ikan.
Ketiga jenis enzim tersebut adalah amilase,
protease, dan lipase. Mikroorganisme dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar yang kaya akan molekul kompleks dengan cara mensekresikan enzim yang
disebut eksoenzim. Eksoenzim menghidrolisis makromolekul menjadi molekul
yang lebih sederhana, seperti protein menjadi asam amino, polisakarida menjadi
gula, dan lemak menjadi asam lemak. Molekul yang sudah kecil ini diangkut ke
51
52
sitoplasma sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi atau senyawa pemula
dalam sintesis komponen sel (Lay 1994). Mikrob amilolitik adalah mikrob yang
mampu menghasilkan eksoenzim amilase yang akan mendegradasi zat pati
menjadi maltosa dan glukosa. Sakarida ini diangkut ke dalam sitoplasma sel dan
digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Mikrob proteolitik adalah mikrob
yang mampu menghasilkan eksoenzim protease yang akan merombak protein
menjadi asam amino. Mikrob proteolitik akan memanfaatkan asam amino sebagai
sumber karbon dan energi.
menghasilkan
eksoenzim
Mikrob lipolitik adalah mikrob yang mampu
lipase
yang
akan
mencerna
trigliserida
dan
menghasilkan asam lemak berantai panjang dan gliserol yang akan dimanfaatkan
sebagai sumber karbon dan gliserol (Atlas et al. 1984).
Pada penelitian ini isolasi mikrob dilakukan secara selektif. Artinya bahwa
isolasi langsung menggunakan media yang sesuai dengan kebutuhan nutrien
mikrob yang menjadi target isolasi. Meskipun demikian, dilakukan juga tahapan
pengujian degradasi atau hidrolisis substrat, serta aktivitas enzim amilase,
protease, dan lipase untuk membuktikan bahwa mikrob yang telah diisolasi
merupakan mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik. Kemampuan degradasi
atau hidrolisis pati dan aktivitas enzim amilase pada mikrob amilolitik dari yang
tinggi ke rendah ditunjukkan oleh Citrobacter
sp, Aeromonas hydrophila,
Staphylococcus sp., Flavobacterium sp., Carnobacterium sp., Moraxella sp.,
dan Vibrio sp. Kemampuan degradasi atau hidrolisis kasein dan aktivitas enzim
protease pada mikrob proteolitik dari yang tinggi ke rendah ditunjukkan oleh
Vibrio alginoliticus, Streptococcus sp., Micrococcus sp.,
Proteus sp.,
Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. Kemampuan degradasi atau hidrolisis lemak
dan aktivitas enzim lipase pada mikrob lipolitik dari yang tinggi ke rendah
ditunjukkan oleh
Planococcus
sp., Kurthia
sp.,
Serratia sp., dan
Plesiomonas sp.
Aktivitas enzim yang dihasilkan berkisar mulai dari 0,58 sampai 0,77
IU/ mL/menit untuk mikrob amilolitik, 0,44 sampai 0,82 IU/mL/menit untuk
mikrob proteolitik, dan 0,13 sampai 0,36 IU/mL/menit untuk mikrob lipolitik.
Aktivitas enzim protease yang disekresikan Bacillus pumilus yang dihasilkan oleh
Wijaya (1995) berkisar mulai dari 1,58 sampai 2,76 IU/mL/menit atau 5 kali lipat
52
53
lebih tinggi dari enzim kasarnya. Enzim yang dihasilkan pada percobaan ini masih
berupa crude enzyme (enzim kasar) sehingga berpengaruh pada aktivitas enzim
yang dihasilkannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah
kemurnian enzim. Walaupun demikian, kisaran nilai aktivitas crude enzyme yang
diperlihatkan mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng lebih besar kalau
dibandingkan dengan kontribusi aktivitas enzim pencernaan yang berasal dari
pakan alami.
Haryati (2002) melaporkan bahwa aktivitas enzim-enzim yang
terdeteksi pada Brachionus, yang akan memberi kontribusi terhadap aktivitas
enzim di dalam saluran pencernaan adalah a-amilase 0,0694 ± 0,0134; lipase
0,0537 ± 0,0800; tripsin 0,0180 ± 0,0020; dan pepsin 0,0192 ± 0,0002 IU/ g
Brachionus/menit.
Oleh karena itu crude enzyme yang disekresikan oleh
mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng mempunyai potensi untuk
diaplikasikan pada usaha pembenihan ikan bandeng untuk menghidrolisis
(predigestion) pakan buatan sebelum diberikan pada larva.
Istilah pertumbuhan untuk mikroorganisme mengacu pada perubahan di
dalam hasil panen sel (pertambahan total massa sel), dan bukan perubahan
individu organisme.
Cara khas reproduksi bakteri adalah pembelahan biner
melintang, satu sel membelah diri menghasilkan dua sel, dan populasi akan
bertambah secara geometrik. Pertumbuhan populasi sel pada umumnya terjadi
pada fase logaritma atau eksponensial. Kandidat probiotik yang akan terpilih
menjadi probiotik diharapkan mencapai fase eksponensial dengan cepat dengan
waktu generasi yang pendek.
terpilih sebagai
Menurut Havenaar et al. (1992) mikrob yang
probiotik agar dapat bertahan hidup dalam saluran pencernaan
inang, harus mempunyai waktu generasi yang pendek dan atau kemampuan
kolonisasi pada permukaan usus.
Pengamatan pada fase pertumbuhan mikrob dilakukan dengan mengamati
perubahan populasi dan nilai kerapatan optik (Optical Density = OD) untuk
menunjukkan aktivitas mikrob dalam hubungannya dengan komposisi sel sendiri
dan lingkungan. Pertumbuhan isolat mikrob diukur untuk menentukan fase-fase
pertumbuhan dan waktu generasi. Hal ini berhubungan dengan panen sel yang
tepat untuk memproduksi suatu produk atau senyawa metabolit, antara lain enzim,
antimikrob, vitamin, asam organik, asam lema k, asam amino, dan peptida.
53
54
Fase pertumbuhan masing-masing isolat mikrob saluran pencernaan ikan
bandeng dan waktu generasinya bervariasi antar-isolat. Hal ini mengindikasikan
bahwa isolat yang diisolasi merupakan isolat mikrob yang berbeda. Berdasarkan
fase pertumbuhan yang diperlihatkan oleh 3 kandidat probiotik terpilih, yaitu
Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp., periode waktu
inkubasi yang dilakukan untuk memproduksi crude enzyme atau senyawa
antimikrob adalah pada fase eksponensial, yaitu 14 jam untuk Carnobacterium
sp., 16 jam untuk Vibrio alginoliticus, dan 18 jam untuk Planococcus sp.
Selain kriteria yang disebut di atas, kriteria isolat mikrob yang
dipertimbangkan sebagai probiotik adalah kemampuannya untuk menghambat
perkembangan
mikrob
patogen
sehingga
mampu
berkompetisi
mempertahankan keseimbangan mikroflora normal dalam usus.
untuk
Isolat yang
menunjukkan aktivitas antagonistik terhadap mikrob patogen uji (Aeromonas
hydrophila, Escherichia coli, dan Vibrio harveyi) adalah Carnobacterium sp.,
Bacillus sp., Staphylococcus sp., Flavobacterium sp., dan Vibrio alginoliticus.
Hasil yang didapat sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya bahwa
isolat-isolat tersebut mempunyai aktivitas antagonistik terhadap mikrob patogen
bagi spesies ikan.
Mikroflora yang telah diisolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng tidak
semuanya menguntungkan bagi ikan dan atau pakan alami ikan. Mikroflora yang
merugikan atau mikrob patogen bagi ikan adalah Aeromonas hydrophila,
Pseudomonas sp., Plesiomonas sp., Vibrio sp., dan Streptococcus sp. Keberadaan
mikrob patogen pada saluran pencernaan ikan dan atau media budi daya dengan
populasi yang tinggi sangat merugikan pada usaha budi daya ikan. Hal ini terjadi
karena mikrob patogen dapat menimbulkan penyakit dan bahkan kematian bagi
organisme budi daya. Hal penting yang diperlukan mikroflora saluran pencernaan
adalah berada dalam keseimbangan, yaitu antara mikrob menguntungkan dan
mikrob patogen, serta saling berinteraksi antar-spesies mikrob dalam saluran
pencernaan, baik secara antagonistik maupun sinergistik. Interaksi yang terjadi
sangat penting di dalam mempertahankan keseimbangan mikroflora saluran
pencernaan.
perkembangan
Kemampuan
mikrob
mikrob
patogen,
menguntungkan
menunjukkan
dalam
menghambat
kemampuannya
untuk
54
55
mempertahankan keseimbangan mikroflora di dalam saluran pencernaan ikan
bandeng.
Kemampuan
tersebut
berhubungan
dengan
kemampuannya
menghasilkan senyawa antimikrob, yaitu peptida yang disintesis dalam ribosom.
Surono (2004) mengemukakan bahwa antimikrob yang dihasilkan mikroflora di
antaranya adalah asam laktat, peroksida, dan bakteriosin. Flora normal pada usus
memiliki fungsi perlindungan yang penting untuk menekan bakteri patogen dan
virus, menstimulir daya tahan lokal dan sistemik, serta mengubah aktivitas
metabolik mikrob usus.
Selain itu, mikrob probiotik juga menekan mikrob
patogen karena terjadinya kompetisi sisi penempelan (reseptor), peningkatan
produksi lender atau mukosa usus, dan kompetisi nutrisi (Salminen dan Wright
1993)
Toleran pada asam lambung dan garam empedu merupakan syarat
terpenting kandidat probiotik. Hal ini demikian karena, stres pertama yang terjadi
pada sel mikrob yang memasuki saluran pencernaan adalah asam lambung.
Selanjutnya setelah melewati lambung, sel mikrob akan berhadapan dengan garam
empedu dengan pH basa di usus halus. Ketahanan isolat terhadap asam lambung
dan garam empedu direfleksikan oleh ketahanannya pada media asam dan basa,
yang dinyatakan dalam penurunan log jumlah isolat dalam media kontrol dan
perlakuan selama periode pengamatan. Penurunan log yang terkecil menunjukkan
ketahanan terhadap pH rendah dan pH tinggi yang terbesar. Mikrob yang berhasil
bertahan pada kondisi pH rendah dinyatakan bersifat tahan atau resisten terhadap
asam lambung, sedangkan mikrob yang berhasil hidup pada pH basa dinyatakan
bersifat tahan atau resisten terhadap garam empedu (Zavaglia et al. 1998; Chou
dan Weimer 1999;. Kimono et al. 1999; dan Jacobsen et al. 1999).
Mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng yang diuji menunjukkan
kemampuannya bertahan pada media asam dan basa. Hal ini mengindikasikan
bahwa mikroflora tersebut mampu bertahan hidup pada lambung yang ber-pH
rendah akibat sekresi asam lambung, dan juga mampu berhadapan dengan garam
empedu yang ber-pH tinggi.
Isolat tetap mampu hidup sampai pada akhir
pengamatan 8 jam. Kemampuan tersebut diduga karena isolat tersebut adalah
mikroflora normal saluran pencernaan yang sudah beradaptasi dengan kondisi
asam lambung dan garam empedu dalam saluran pencernaan.
55
56
Toleransi terhadap perubahan keasaman media terjadi oleh kemampuan
mikrob mengatur pH sitoplasma dibandingkan pH ekstraseluler (Hutkins dan
Nannen 1993).
Untuk mempertahankan pH sitoplasma, sel mikrob harus
mempunyai barier terhadap aliran proton. Barier ini umumnya adalah membran
sitoplasma. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam
atau basa menentukan toleransi mikrob pada pH. Membran sitoplasma mikrob
terdiri atas 2 lapis fosfolipid (lipid bilayer). Di dalam dan pada permukaan lapisan
tersebut melekat protein dan glikoprotein. Lipit bilayer bersifat semipermiabel
yang merupakan barier yang membatasi pergerakan senyawa yang keluar masuk
antara sitoplasma dan lingkungan luar (Cano dan Colome 1986). Komposisi dan
struktur asam lemak dan protein membran sitoplasma beragam di antara spesies
mikrob. Keragaman tersebut mempengaruhi karakteristik dan permeabilitasnya
sehingga berpengaruh pada ketahanan mikrob pada kondisi asam atau basa.
Agar dapat bertahan hidup dalam saluran pencernaan inang, mikrob harus
mempunyai waktu generasi yang pendek dan kemampuan kolonisasi pada
permukaan usus. Hal ini disebabkan oleh strain yang tidak mempunyai
kemampuan kolonisasi akan terlepas oleh kontraksi usus (Havenaar et al. 1992).
Agar dapat mengkolonisasi dengan baik pada permukaan saluran pencernaan,
probiotik harus mempunyai kemampuan adhesi atau menempel.
dipertimbangkan sebagai tahap pertama
Adhesi dapat
kolonisasi, dan sebanding dengan
viabilitas dan aktivitas metabolik.
Jenis mikrob yang berbeda mempunyai kemampuan penempelan yang
berbeda pula. Berdasarkan pengujian adhesi pada mikroflora saluran pencernaan
ikan bandeng yang berhasil diisolasi menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi
mikrob planktonik semakin rendah populasi mikrob yang menempel. Hubungan
negatif ini diduga terjadi karena laju pertumbuhan yang tinggi pada populasi
mikrob planktonik menyebabkan nutrien berkurang dengan cepat sehingga sel-sel
mengalami kelaparan dan berpengaruh pada pembentukan biofilm, yaitu sel-sel
yang terimobilisasi pada permukaan padat dan secara berkala terperangkap pada
matriks yang merupakan polimer organik dari mikrob tersebut. Di samping itu,
penurunan jumlah nutrien menyebabkan sel-sel mikrob mengalami kematian atau
terjadi pelepasan sel mikrob yang menempel menuju ke fase cair. Walaupun
56
57
demikian, semua isolat mikrob pada penelitian ini memperlihatkan kemampuan
adhesi atau menempel, yang ditunjukkan oleh adanya sebagian dari koloni isolat
mikrob yang mampu menempel pada lempeng stainless steel yang diidentikkan
dengan substrat padat (usus). Belum ditemukan laporan tentang kisaran jumlah
populasi koloni mikrob yang menempel pada substrat padat yang dikatakan ideal.
Akan tetapi kisaran jumlah populasi mikrob yang menempel pada penelitian
berada pada kisaran yang sama dengan hasil penelitian Wirawati (2002) yang
menguji penempelan pada lempeng stainless steel isolat bakteri asam laktat yng
diisolasi dari tempoyak, serta Evanikastri (2003) isolat bakteri asam laktat dari
sampel klinis
Dilaporkan bahwa jumlah populasi mikrob yang menempel
dibandingkan dengan populasi mikrob yang planktonik adalah sebanding dengan
sifat hidrofobisitas, yaitu berada pada kriteria moderat atau sedang.
Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif, yaitu membandingkan data
beberapa parameter yang diamati pada percobaan seleksi isolat (Tabel 6) dengan
literatur pendukung seperti yang telah diuraikan pada pembahasan, isolat mikrob
yang dipilih sebagai kandidat probiotik dan digunakan sebagai materi pada
percobaan tahap berikutnya adalah isolat A4-a (Carnobacterium sp.) pada mikrob
amilolitik, isolat P1-an (Vibrio alginoliticus) pada mikrob proteolitik, dan isolat
L1-a (Planococcus sp.) pada mikrob lipolitik.
Pertimbangan memilih isolat mikrob A4-a (Carnobacterium sp.) pada
mikrob amilolitik adalah 1) mikrob tersebut adalah fakultatif; 2) populasi mikrob
ini tidak kurang dari 1 x 107 cfu/mL, dan populasi isolat pada waktu puncak 2,0 x
1012 cfu/mL dengan waktu generasi 45,44 menit; 3) kemampuan hidrolisis dan
degradasi substrat, serta aktivitas enzim relatif tinggi; 4) mampu bertahan hidup
pada pH rendah dan pH tinggi sebagai indikator kemampuannya bertahan
terhadap asam lambung dan garam empedu; 5) mempunyai aktivitas antagonistik
terhadap semua mikrob patogen bagi ikan yang diuji yaitu Aeromonas hydrophila,
Escherichia coli, dan Vibrio harveyi; dan 6) mempunyai kemampuan adhesi atau
menempel pada substrat padat.
Pertimbangan memilih isolat mikrob P1an (Vibrio alginoliticus) pada
mikrob proteolitik adalah 1) mikrob tersebut adalah fakultatif; 2) populasi mikrob
tidak kurang dari 1 x 107 cfu /mL, dan populasi isolat pada waktu puncak 6,7 x
57
58
1010 cfu /mL dengan waktu generasi 36,35 menit.; 3) kemampuan hidrolisis dan
degradasi substrat, serta aktivitas enzim relatif tinggi: 4) mampu bertahan hidup
pada pH rendah dan pH tinggi sebagai indikator kemampuannya bertahan
terhadap asam lambung dan garam empedu; 5) mempunyai aktivitas antagonistik
terhadap dua jenis mikrob patogen bagi ikan yang diuji yaitu Escherichia coli dan
Vibrio harveyi; dan 6) mempunyai kemampuan adhesi atau menempel pada
substrat padat.
Pertimbangan memilih isolat mikrob L1a (Planococcus sp.) pada mikrob
lipolitik adalah 1) mikrob fakultatif; 2) populasi mikrob tidak kurang dari 1 x 107
cfu /mL, dan populasi isolat pada waktu puncak 4,4 x 1011 cfu /mL dengan waktu
generasi 34,56 menit; 3) kemampuan hidrolisis dan degradasi substrat, serta
aktivitas enzim lebih tinggi dibandingkan dengan isolat mikrob lipolitik lainnya;
4) mampu bertahan hidup pada pH rendah dan pH tinggi sebagai indikator
kemampuannya bertahan terhadap asam lambung dan garam empedu; dan 5)
mempunyai kemampuan adhesi atau menempel pada substrat padat.
Simpulan
Mikroflora yang berhasil diisolasi dari saluran pencernaan ikan bandeng ada
18 jenis isolat mikrob yang terdiri atas 4 jenis mikrob amilolitik aerob (Moraxella
sp., Aeromonas hydrophila, Citrobacter sp. dan Carnobacterium sp.), 3 jenis
mikrob amilolitik anaerob (Staphylococcus sp. Flavobacterium sp. dan Vibrio
sp.), 5 jenis mikrob proteolitik aerob (Streptococcus sp., Bacillus
sp.,
Micrococcus sp., Pseudomonas sp. dan Proteus sp.), 2 jenis mikrob proteolitik
anaerob (Vibrio alginoliticus dan jenis tidak teridentifikasi), 2 jenis mikrob
lipolitik aerob (Planococcus sp. dan Plesiomonas sp.) dan 2 jenis mikrob
lipolitik anaerob (Kurthia sp. dan Serratia sp.).
Mikroflora saluran pencernaan ikan bandeng yang dipilih sebagai kandidat
probiotik, dan digunakan sebagai materi pada percobaan tahap berikutnya adalah
isolat A4-a (Carnobacterium sp.) pada mikrob amilolitik, isolat P1-an (Vibrio
alginoliticus) pada mikrob proteolitik; dan isolat L1-a (Planococcus sp.) pada
mikrob lipolitik.
58
59
HIDROLISIS PAKAN BUATAN (PREDIGESTION) OLEH
CRUDE ENZYME PENCERNAAN EKSOGEN YANG
DISEKRESIKAN MIKROB Carnobacterium sp. Vibrio
alginoliticus DAN Planococcus sp. UNTUK MENINGKATKAN
PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA
IKAN BANDENG
Pendahuluan
Intensifikasi budi daya ikan bandeng harus diimbangi dengan penyediaan
benih yang cukup dan berkesinambungan. Kebutuhan benih ikan bandeng (nener)
pada tahun 2005 mencapai 1.387.040.000 ekor, dan diperkirakan setiap tahun
kebutuhan nener akan terus meningkat (Ditjen Perikanan Budi Daya 2006). Pada
tahun 2009, kebutuhan nener diproyeksikan mencapai 2.172.480.000 ekor. Hasil
tangkapan di alam hanya dapat memenuhi setengah dari kebutuhan nener tersebut.
Alternatif yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan nener
adalah usaha pembenihan. Akan tetapi kelangsungan usaha ini dibatasi oleh
penyediaan pakan alami yang dari segi kuantitas sulit dipenuhi. Penggunaan
pakan alami yang berkepanjangan, selain tidak praktis juga tidak ekonomis, dan
dari segi kualitas nilai nutrien pakan alami tidak selalu konsisten atau layak. Biaya
pengadaan pakan alami dapat mencapai lebih dari 35% dari total biaya produksi
(Djunaidah dan Komaruddin 1997). Karena beberapa alasan, suplai pakan alami
kemungkinan dapat berhenti, salah satunya adalah cuaca. Kultur pakan alami
secara massal sangat bergantung pada cuaca (Kurokawa et al. 1998).
Pada usaha pembenihan skala besar, waktu penggunaan pakan alami perlu
dibatasi dan perannya digantikan oleh pakan buatan yang komposisi gizinya
disesuaikan dengan kebutuhan larva ikan bandeng.
Studi penggunaan pakan
buatan pada pemeliharaan larva ikan bandeng menunjukkan pertumbuhan dan
tingkat kelangsungan hidup larva tidak sebaik yang diberi pakan alami seperti
dilaporkan oleh beberapa peneliti (Duray dan Bagarinao 1984; Aslianti dan Azwar
1992; dan Aslianti et al. 1993).
Pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang cukup rendah pada larva yang
diberi pakan buatan diakibatkan oleh belum lengkapnya perkembangan organ
59
60
pencernaan pada stadia awal pertumbuhan sehingga berpengaruh pada
ketersediaan enzim pencernaan (Lauff dan Hofer 1984; Haryati 2002).
Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi penggunaan pakan buatan, salah
satunya adalah dengan menghidrolisis (predigestion) pakan buatan dengan
menggunakan enzim pencernaan eksogen sebelum diberikan ke larva. Pendekatan
penggunaan enzim pencernaan eksogen (predigestion) dalam pakan buatan yang
sesuai dengan kebutuhan larva ikan bandeng diharapkan dapat meningkatkan
kecernaan pakan sehingga pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva
ikan bandeng dapat ditingkatkan.
Pada percobaan pertama terseleksi 3 isolat mikrob yang akan diuji lebih
lanjut sebagai kandidat probiotik. Isolat mikrob tersebut adalah Carnobacterium
sp. pada mikrob amilolitik, Vibrio alginoliticus pada mikrob proteolitik, dan
Planococcus sp. pada
mikrob lipolitik. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2
tahapan percobaan, yaitu pengujian secara in vitro dan in vivo. Percobaan I (in
vitro)
bertujuan
Carnobacterium
mengkaji
sp.,
efektivitas
Vibrio
crude
enzyme
yang
alginoliticus, dan Planococcus
disekresikan
sp.
dalam
menghidrolisis (predigestion) pakan buatan untuk larva ikan bandeng. Percobaan
II (in vivo) bertujuan mengkaji efektivitas pakan buatan yang telah dihidrolisis
(predigestion) dengan crude enzyme yang disekresikan Carnobacterium sp.,
Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. dalam perbaikan pertumbuhan dan
tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
Percobaan I (in vitro) dilakukan
di Laboratorium Fisiologi dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, serta Laboratorium Biokimia dan
Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan, IPB. Analisis proksimat dilakukan di
Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian, Cimanggu, Bogor.
Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan mulai
bulan Oktober 2004 sampai Februari 2005.
Percobaan II (in vivo) dilakukan di PT. Esaputlii Prakasa Utama, Kabupaten
Barru, Sulawesi Selatan. Analisis beberapa peubah dilakukan di Laboratorium
60
61
Kualitas Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS, serta di
Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, serta Laboratorium Anatomi, Fakultas
Kedokteran Hewan, IPB. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan mulai bulan
April 2005 sampai September 2005.
Prosedur Penelitian
Percobaan I (In Vitro)
Percobaan pertama bertujuan menemukan konsentrasi crude enzyme dan
periode inkubasi yang paling efektif menghidrolisis (predigestion) pakan buatan
untuk larva ikan bandeng.
Percobaan ini didesain menggunakan pola faktorial 5 x 6 dalam rancangan
acak lengkap (RAL)
masing-masing 3 ulangan.
Faktor pertama adalah
konsentrasi crude enzyme dengan 5 level, yaitu 5, 10, 15, 20, dan 25 mL/kg
pakan. Faktor kedua adalah periode inkubasi dengan 6 level, yaitu 2, 4, 6, 8, 10,
dan 12 jam.
Pakan yang digunakan pada percobaan ini adalah pakan berbentuk pasta
yang diformulasi sesuai dengan kebutuhan nutrisi larva ikan bandeng. Komposisi
pakan, hasil analisis proksimat bahan baku pakan dan pakan disajikan pada Tabel
7 dan prosedur analisis proksimat
mengikuti metode Takeuchi (1988) yang
disajikan pada Lampiran 14.
Produksi crude enzyme mengacu pada metode yang dilakukan Irawadi
(1991), dengan modifikasi pada suhu yang digunakan. Sebanyak 0,1 mL mikrob
Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. diinokulasikan
dalam setiap 10 mL media masing-masing, kemudian diinkubasi selama waktu
optimum pada suhu 29oC. Waktu optimum pada Carnobacterium sp., Vibrio
alginoliticus, dan Planococcus sp. secara berturut-turut adalah 14, 16, dan 18 jam.
Setelah waktu optimum dicapai, kultur disentrifius dengan kecepatan 11.000 rpm
selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan yang diperoleh adalah filtrat ekstrak
enzim kasar (crude enzyme). Crude enzyme amilase, protease, dan lipase yang
dihasilkan dicampur dengan perbandingan 1 : 6 : 1.
61
62
Tabel 7. Komposisi pakan buatan untuk larva ikan bandeng, serta hasil analisis
proksimat pakan dan bahan baku pakan
Hasil analisis proksimat (% bk)
P
BETN
L
SK
Abu Air
Tepung ikan
70,00 82,40
0,50
3,90 1,50 2,20 9,50
Tepung kedelai
5,30 36,40 24,70 20,40 3,40 1,60 12,50
Tepung terigu
5,00 8,50 77,80
1,40 2,00 1,00 6,70
Lemak*)
5,70
Vitamin mix**)
4,00
Mineral mix***)
10,00
Komposisi proksimat pakan (% bk)*****
Kadar protein
60,13
Kadar karbohidrat (BETN)
5,63
Kadar lemak total
9,84
Kadar serat kasar
1,36
****)
DE (kkal/kg)
3042,34
C/P (kkal/g protein)
5,06
Bahan pakan
Komposisi (%)
Keterangan : *) Perbandingan lemak :
minyak ikan dan minyak jagung 2 : 1
**) Komposisi vitamin mix
Vitamin A 3500 IU/kg pakan; Vitamin D3 3000 IU/kg pakan; Vitamin E 100
IU/kg pakan; Vitamin K 10 mg/kg pakan; Vitamin B12 0,02; Asam askorbat 300
mg/kg pakan; Biotin 0,4 mg/kg pakan; Kolin 3000 mg/kg pakan; Asam folat
mg/kg pakan;
Inositol 400 mg/kg pakan; Niasin 150 mg/kg pakan;
Asam pantotenat 60 mg/kg pakan; Piridoksin 10 mg/kg pakan; Riboflavin 20
mg/kg pakan; Thiamin 10 mg/kg pakan
***) Komposisi mineral mix
Kalsium 0,2 g/kg pakan; Fosfor anorganik 7 g/kg pakan; Magnesium 0,6 g/kg
pakan; Cu 3 mg/kg pakan; Mangan 12 mg/kg pakan; Selenium 0,2 mg/kg pakan;
Zn 20 mg/kg pakan; Iodine 0,8 mg/kg pakan; Fe 0,8 mg/kg pakan
****) Hasil perhitungan berdasarkan persamaan energi (NRC 1988) :
1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE
1 g protein
= 3,5 kkal DE
1 g lemak
= 8,1 kkal DE
*****) Komposisi pakan menurut Lee dan Liao (1976)
Campuran crude enzyme dibuat sesuai dengan konsentrasi perlakuan, yang
ditambahkan dalam 10 g pakan yang berfungsi sebagai substrat. Volume crude
enzyme pada semua perlakuan disamakan dengan volume konsentrasi
crude
enzyme tertinggi dengan menambahkan aquadest. Campuran pakan dan crude
enzyme kemudian diinkubasi sesuai dengan periode perlakuan.
Reaksi crude enzyme dihentikan dengan cara membagi pakan menjadi 3
bagian. Satu bagian diambil sebanyak 2 g dan ditambahkan 3 mL pereaksi DNS
(Dinitrosalicylic acid). Campuran ini kemudian dipanaskan dalam air mendidih
62
63
selama 5 menit untuk menghentikan reaksi crude enzyme amilase (Irawadi 1991).
Bagian kedua diambil 0,5 g dan ditambah 1,5 mL trikhloroasetat 5%, kemudian
dibiarkan pada suhu ruang untuk menghentikan reaksi crude enzyme protease
(Bergmeyer dan Grassi 1983). Bagian yang terakhir diambil 2 g dan ditambahkan
3 mL etil alkohol 95% untuk menghentikan crude enzyme lipase (Tietz dan
Friedreck 1966 dalam Borlongan 1990).
Parameter yang diamati adalah 1) kadar glukosa dan derajat hidrolisis
karbohidrat pakan, 2) kadar protein terlarut dan derajat hidrolisis protein pakan,
dan 3) derajat hidrolisis lemak pakan.
1. Kadar Glukosa dan Derajat Hidrolisis Karbohidrat Pakan
Pengukuran kadar glukosa dan kadar karbohidrat pakan dilakukan pada
akhir pengamatan. Pakan sebanyak 2 g yang telah dihidrolisis dan dihentikan
reaksi crude enzyme amilasenya dengan 3 mL pereaksi DNS (Dinitrosalicylic
acid) ditambah aquadest sebanyak 2 mL sehingga volume pelarutnya menjadi 5
mL, kemudian disentrifius dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit.
Supernatan yang dihasilkan digunakan untuk analisis kadar glukosa, dengan
prosedur analisis (Lampiran 6) mengikuti metode Wedemeyer dan Yasutake
(1977).
Endapan yang dihasilkan digunakan untuk analisis kadar karbohidrat
dengan prosedur analisis mengikuti metode Somogy–Nelson (Lampiran 5)
Pengukuran kadar glukosa dan karbohidrat pakan dilakukan juga pada 0 jam.
Derajat hidrolisis karbohidrat pakan oleh crude enzyme amilase dihitung
dengan menggunakan rumus :
Kh0 - Kht
DHKh =
x 100
Kh0
Dimana : DHKh = derajat hidrolisis karbohidrat
Kh0 = kadar karbohidrat pakan pada waktu awal
Kht
= kadar karbohidrat pakan pada waktu t
2. Kadar Protein Terlarut dan Derajat Hidrolisis Protein Pakan
Pengukuran kadar protein terlarut dan kadar protein pakan dilakukan pada
akhir pengamatan. Pakan sebanyak 0,5 g yang telah dihidrolisis dan dihentikan
reaksi crude enzyme proteasenya dengan 1,5 mL trikloroasetat 5% dibiarkan pada
63
64
suhu ruang. Selanjutnya, ditambah 3 mL Tris HCl pH 6,5 dan disentrifius dengan
kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan
untuk analisis kadar protein terlarut, dengan prosedur analisis (Lampiran 8)
mengikuti metode Bradford (1976). Endapan yang dihasilkan digunakan untuk
analisis kadar protein total dengan metode Kjeldahl (Takeuchi 1988), prosedur
analisis disajikan pada Lampiran 5. Pengukuran kadar protein terlarut dan kadar
protein total dilakukan juga pada 0 jam.
Derajat hidrolisis protein pakan oleh crude enzyme protease dihitung dengan
menggunakan rumus :
P0 - Pt
DHP =
x 100
P0
Dimana : DHP = derajat hidrolisis protein
P0
= kadar protein pakan pada waktu awal
Pt
= kadar protein pakan pada waktu t
3. Derajat Hidrolisis Lemak
Pengukuran kadar lemak pakan dilakukan pada akhir pengamatan. Pakan
sebanyak 2 g yang telah dihidrolisis dan dihentikan reaksi crude enzyme lipasenya
dengan 3 mL etil alkohol 95%. Kadar lemak dianalisis dengan metode soxhlet
(Takeuchi 1988), prosedur analisis disajikan pada Lampiran 5. Pengukuran kadar
lemak dilakukan juga pada 0 jam.
Derajat hidrolisis lemak pakan oleh crude enzyme lipase dihitung dengan
menggunakan rumus :
L0 - Lt
DHL =
x 100
L0
Dimana : DHL = derajat hidrolisis lemak
L0
= kadar lemak pakan pada waktu awal
Lt
= kadar lemak pakan pada waktu t
Percobaan II (In Vivo)
Percobaan kedua bertujuan untuk menentukan umur larva ikan bandeng
yang tepat untuk dapat memanfaatkan dengan baik pakan buatan yang telah
64
65
dihidrolisis (predigestion) oleh crude enzyme yang disekresikan mikrob
Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. sebagai pengganti
pakan alami.
Percobaan ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan
yang diuji adalah 4 jadwal pemberian pakan buatan pada larva ikan bandeng,
masing-masing perlakuan diulang 3 kali.
Jadwal pemberian pakan
tersebut
adalah :
Perlakuan
A
B
B
CC
DD
Umur larva (hari)
0—1---2---3---4---5---6---7---8---9---10---11---12---13---14---15---16-------//------30
Green water
Chl Br overlap
PB
Green water
Chl
Br
overlap
PB
Green water
Chl
Br
overlap
PB
Green water
Chl
Br
overlap
PB
Keterangan : Chl = Chlorella, Br = Brachionus, overlap = 50% Brachionus &
50% pakan buatan, PB = pakan buatan
Wadah yang digunakan pada percobaan ini adalah baskom plastik berwarna
orange berkapasitas 20 L. Masing-masing wadah dilengkapi aerator (Gambar 12).
Sebelum digunakan, wadah dan semua peralatan terlebih dahulu didesinfektan
dengan klorida (kaporit) dan dinetralkan dengan thiosulfat.
Wadah diisi 10 L
media green water, yaitu air yang mengandung Chlorella dengan kepadatan 1,5
sampai 2,0 x 10 6 sel/mL, dengan salinitas kerkisar mulai dari 30 sampai 31 ppt.
Media green water digunakan sampai larva berumur 15 hari, untuk pemeliharaan
selanjutnya menggunakan media clear water, yaitu air yang tidak mengandung
Chlorella.
Telur bandeng yang baru dihasilkan dari pemijahan induk diinkubasi dengan
cara memasukkan ke dalam wadah yang berisi air media dan diaerasi kuat selama
± 15 menit. Telur yang bagus dan terbuahi oleh induk jantan akan mengapung
dipermukaan air dan berwarna bening, sedangkan telur
yang tidak terbuahi
mengendap di dasar wadah dan berwarna putih. Telur yang berwarna bening
diambil dan dipindahkan ke wadah lain bervolume air 1 L sambil diaerasi sedang
65
66
untuk menghomogenkan telur di dalam kolom air. Jumlah telur dihitung dengan
cara mengambil telur dan air sebanyak 10 mL dengan menggunakan pipet. Kalau
jumlah telur masih terlalu padat sediaan diencerkan dalam becker glass sampai
volume air mencapai 100 mL. Sebanyak 125 butir telur dimasukkan ke dalam
setiap wadah percobaan, dengan perhitungan bahwa hatching rate telur bandeng
adalah 80%. Wadah percobaan diaerasi kuat, ± 24 jam kemudian telur menetas
dan aerasi diangkat. Selanjutnya wadah percobaan disipon untuk membuang
cangkang-cangkang telur yang mengendap di dasar wadah. Larva berumur 0 hari
dengan kepadatan per wadah percobaan 100 ekor dipelihara dengan aerasi sangat
kecil. Larva berumur satu hari diberi pakan alami Chlorella dengan kepadatan
antara 1,5 dan 2,0 x 106 sel/mL media dan larva berumur 2 hari dan seterusnya
diberi pakan sesuai dengan jadwal pemberian pakan perlakuan.
Gambar 12. Wadah yang digunakan pada percobaan mengkaji efektivitas pakan
buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme
yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus,
dan Planococcus sp. pada pertumbuhan dan tingkat kelangsungan
hidup larva ikan bandeng
Selama pemberian pakan alami Brachionus, kepadatan Brachionus dalam
media pemeliharaan dipertahankan sebanyak 10 ekor/mL media. Kepadatan ini
dikontrol setiap 2 kali per hari, yaitu pada pukul 07.00 dan 14.00. Jika jumlah
Brachionus dalam media sudah berkurang maka akan ditambahkan supaya tetap
konstan sepanjang percobaan.
66
67
Pakan buatan yang digunakan pada percobaan ini sama dengan yang
digunakan pada percobaan I (in vitro) pada Tabel 7. Sebelum diberikan pada larva
pakan buatan dihidrolisis (predigestion) terlebih dahulu dengan crude enzyme
yang disekresikan oleh mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus dan
Planococcus sp. dengan konsentrasi 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12
jam berdasarkan hasil yang diperoleh pada percobaan I (in vitro). Pakan buatan
diberikan secara at satiation (sampai kenyang) dengan cara menyebarkan pakan
secara merata dalam wadah percobaan. Pemberian pakan dilakukan 6 kali per
hari, yaitu pada pukul 07.00, 10.00, 13.00, 16.00, 19.00, dan 22.00. Pemeliharaan
dilakukan selama 30 hari. Selama percobaan, kualitas media budi daya dijaga
dalam kisaran yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan
bandeng. Kualitas air dijaga dengan cara melakukan penyiponan terhadap sisa
pakan dan feses di dasar wadah, serta melakukan pergantian air sebanyak 50%
setiap 2 kali sehari. Pengukuran suhu dan salinitas media dilakukan 2 kali sehari,
yaitu pada pagi dan sore hari, sedangkan pengukuran pH, oksigen terlarut,
karbondioksida bebas dan amoniak dilakukan pada awal, tengah, dan akhir
penelitian. Suhu media berkisar antara 29 dan 31oC, pH berkisar antara 7,4 dan
7,6, oksigen terlarut berkisar antara 6,0 dan 6,5 ppm, karbondioksida bebas
berkisar antara 11,97 dan 12,07 ppm, amoniak berkisar antara 0,006 dan 0,007
ppm, dan salinitas berkisar antara 30 dan 31 ppt.
Parameter yang diamati adalah 1) pertumbuhan, 2) tingkat kelangsungan
hidup, 3) konsumsi pakan, 4) aktivitas enzim pencernaan, dan 5) struktur
histologis organ hati.
1. Pertumbuhan
Pertumbuhan diukur dengan menimbang larva uji pada awal dan akhir
percobaan.
Pertumbuhan relatif dihitung dengan rumus Takeuchi (1988) dan
pertumbuhan biomassa dihitung dengan rumus Zonneveld et al. (1991).
a. Pertumbuhan Relatif
Wt - Wo
PR =
x 100
Wo
67
68
Dimana : PR = pertumbuhan relatif (%)
Wo = bobot rata-rata larva uji pada awal penelitian (g)
Wt = bobot rata-rata larva uji pada waktu t (g)
b. Pertumbuhan Biomassa
PB = Wt - Wo
Dimana : PB = pertumbuhan biomassa
Wo = bobot populasi larva uji pada awal penelitian (g)
Wt = bobot populasi larva uji pada waktu t (g)
2. Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup ikan uji diamati pada awal dan akhir penelitian
dan dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1997), yaitu :
Nt
S =
x 100
N0
Dimana : S
= tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = jumlah larva uji pada akhir penelitian (ekor)
N0 = jumlah larva uji pada awal penelitian (ekor)
3. Konsumsi Pakan Buatan
Konsumsi pakan buatan dihitung sejak jadwal pemberian pakan buatan
pada setiap perlakuan sampai akhir percobaan.
4. Aktivitas Enzim Pencernaan
Analisis aktivitas enzim pencernaan (pepsin, tripsin, a-amilase, dan lipase)
dalam saluran pencernaan ikan uji dilakukan pada umur larva 10 hari, 20 hari, dan
pada akhir percobaan. Metode analisis aktivitas enzim pepsin (Anson 1938
dalam Walford dan Lam 1993), enzim tripsin (Kunitz 1947 dalam Walford dan
Lam 1993), enzim a-amilase (Bergmeyer dan Grassi 1983) dan lipase (Tietz dan
Friedreck 1966 dalam Borlongan 1990) disajikan pada Lampiran 3.
5. Struktur Histologis Organ Hati
Pengamatan terhadap organ hati secara histologis dilakukan pada akhir
pemeliharaan,
untuk
menganalisis
perkembangan
hepatosit
pada
akhir
68
69
pengamatan dan penyimpanan glikogen di dalam hati.
Tahapan pembuatan
preparat histologis dapat dilihat pada Lampiran 9.
Analisis Data
Data yang diperoleh pada percobaan ini dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji respons pada tarap uji 95% menggunakan
program SPSS 12,0, kecuali data histologis organ hati dianalisis secara deskriptif.
Hasil
Percobaan I (In Vitro)
Kadar Glukosa dan Derajat Hidrolisis Karbohidrat Pakan
Hasil pengukuran produk hidrolisis karbohidrat, yaitu kadar glukosa pakan
pada akhir periode inkubasi setelah dihidrolisis (predigestion) dengan crude
enzyme pencernaan eksogen yang disekresikan oleh mikrob Carnobacterium sp.,
Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran
22. Hasil analisis kadar karbohidrat pakan pada akhir periode inkubasi disajikan
pada Lampiran 25. Berdasarkan data kadar karbohidrat pada awal dan akhir
percobaan dapat dihitung derajat hidrolisis karbohidrat sebagaimana tersaji pada
Gambar 14 dan Lampiran 26.
Konsentrasi
crude
enzyme
dan
periode
inkubasi
nyata
(P<0,05)
mempengaruhi kadar glukosa (Lampiran 23) dan derajat hidrolisis karbohidrat
pakan (Lampiran 27). Kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan
meningkat dengan bertambahnya konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi
yang diberikan (Gambar 13 dan 14 serta Lampiran 24 dan 28). Kadar glukosa
pakan tertinggi yang dihasilkan adalah 64,65 mg/100 mL pada konsentrasi crude
enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Kadar ini tidak berbeda
dengan kadar glukosa pakan pada konsentrasi crude enzyme 20 mL/kg pakan,
yaitu 64,47 mg/100 mL pada periode inkubasi yang sama. Akan tetapi, kadar ini
berbeda dari kadar glukosa pakan pada perlakuan lainnya.
Derajat hidrolisis
karbohidrat pakan tertinggi, yaitu 66,96%, dicapai pada konsentrasi crude enzyme
25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Derajat hidrolisis ini berbeda
dari derajat hidrolisis karbohidrat pakan pada perlakuan lainnya. Kadar glukosa
69
70
dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan berbeda pada berbagai periode inkubasi
pada setiap konsentrasi crude enzyme.
Kadar glukosa pakan
Kadar glukosa pakan
(mg/100 mL)
(mg/100mL)
70
60
50
40
30
20
10
0
2
4
6
8
10
12
Periode inkubasi (jam)
Konsentrasi crude enzyme
5 mg/kg pkn
10 mg/kg pkn
20 mg/kg pkn
25 mg/kg pkn
Derajat hidrolisis
karbohidrat pakan (%)
Gambar 13.
15 mg/kg pkn
Kadar glukosa pakan pada akhir periode inkubasi pada berbagai
konsentrasi crude enzyme
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2
4
6
8
10
12
Periode inkubasi (jam)
Konsentrasi crude enzyme
5 mg/kg pkn
10 mg/kg pkn
20 mg/kg pkn
25 mg/kg pkn
15 mg/kg pkn
Gambar 14. Derajat hidrolisis karbohidrat pakan pada akhir periode inkubasi
pada berbagai konsentrasi crude enzyme
Kadar Protein Terlarut dan Derajat Hidrolisis Protein Pakan
Kadar protein terlarut merupakan produk antara pada hidrolisis protein oleh
crude enzyme protease.
Hasil pengukuran kadar protein terlarut pakan yang
dihasilkan pada akhir periode inkubasi setelah dihidrolisis (predigestion) dengan
70
71
crude
enzyme
pencernaan
eksogen
yang
disekresikan
Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus dan Planococcus sp.
oleh
mikrob
disajikan pada
Gambar 15 dan Lampiran 29. Hasil analisis kadar protein pakan pada akhir
periode inkubasi disajikan pada Lampiran 32. Berdasarkan data kadar protein
pakan didapat hasil perhitungan derajat hidrolisis protein yang disajikan pada
Kadar protein terlarut
(mg/100 mL)
Gambar 16 dan Lampiran 33.
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2
4
6
8
10
12
Periode inkubasi (jam)
Konsentrasi crude enzyme
5 mg/kg pkn
10 mg/kg pkn
20 mg/kg pkn
25 mg/kg pkn
15 mg/kg pkn
Derajat hidrolisis protein
pakan (%)
Gambar 15. Kadar protein terlarut pakan pada akhir periode inkubasi pada
berbagai konsentrasi crude enzyme
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2
4
6
8
10
12
Periode inkubasi (jam)
Konsentrasi crude enzyme
5 mg/kg pkn
10 mg/kg pkn
20 mg/kg pkn
25 mg/kg pkn
15 mg/kg pkn
Gambar 16. Derajat hidrolisis protein pakan pada akhir periode inkubasi pada
berbagai konsentrasi crude enzyme
71
72
Kadar protein terlarut (Lampiran 30) dan derajat hidrolisis protein pakan
(Lampiran 34) yang dihasilkan pada percobaan ini nyata (P<0,05) dipengaruhi
oleh konsentrasi crude enzyme yang diberikan serta lamanya inkubasi. Kadar
protein terlarut dan derajat hidrolisis protein pakan meningkat dengan
bertambahnya konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi yang diberikan
(Gambar 15 dan 16 serta Lampiran 31 dan 35). Kadar protein terlarut pakan
tertinggi adalah 35,18
mg/100 mL pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg
pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Akan tetapi, nilai yang dicapai tidak
berbeda dengan periode inkubasi 10 jam pada konsentrasi crude enzyme yang
sama, yaitu 34,60 mg/100 mL. Kadar ini berbeda dari kadar protein terlarut pakan
pada perlakuan lainnya (Gambar 15 dan Lampiran 31). Derajat hidrolisis protein
pakan tertinggi adalah 50,47% yang dicapai pada konsentrasi crude enzyme 25
mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Kadar ini tidak berbeda dari
konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 10 jam, yaitu
48,78%, konsentrasi crude enzyme 20 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12
jam, yaitu 49,79%, dan konsentrasi crude enzyme 20 mL/kg pakan dengan periode
inkubasi 10 jam, yaitu 48,29%. Akan tetapi, kadar ini berbeda dari derajat
hidrolisis protein pakan pada perlakuan lainnya (Gambar 16 dan Lampiran 35).
Derajat Hidrolisis Lemak
Hasil pengukuran kadar lemak pakan pada akhir periode inkubasi, dengan
berbagai konsentrasi crude enzyme pencernaan eksogen yang disekresikan oleh
mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. disajikan
pada Lampiran 33.
Berdasarkan data kadar lemak didapat hasil perhitungan
derajat hidrolisis lemak yang disajikan pada Gambar 17 dan Lampiran 36.
Konsentrasi
crude
enzyme
dan
periode
inkubasi
nyata
(P<0,05)
mempengaruhi derajat hidrolisis lemak pakan (Lampiran 37). Derajat hidrolisis
lemak pakan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi crude enzyme dan
periode inkubasi yang diberikan (Gambar 17 dan Lampiran 38). Derajat hidrolisis
lemak pakan tertinggi yang dihasilkan adalah 21,61% pada konsentrasi crude
enzyme 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Derajat hidrolisis ini
tidak berbeda dari derajat hidrolisis lemak pakan pada konsentrasi crude enzyme
72
73
25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 10 jam, yaitu 20,79%, dan berbeda dari
derajat hidrolisis lemak pada perlakuan lainnya.
Derajat hidrolisis lemak
pakan (%)
25
20
15
10
5
0
2
4
6
8
10
12
Periode inkubasi (jam)
Konsentrasi crude enzyme
5 mg/kg pkn
10 mg/kg pkn
20 mg/kg pkn
25 mg/kg pkn
15 mg/kg pkn
Gambar 17. Derajat hidrolisis lemak pakan pada akhir periode inkubasi pada
berbagai konsentrasi crude enzyme
Rekapitulasi
Rekapitulasi beberapa parameter pengamatan yang memperlihatkan nilai
lebih baik dibandingkan perlakuan lain, untuk mengkaji efektivitas crude enzyme
yang disekresikan oleh mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan
Planococcus sp. menghidrolisis pakan buatan (predigestion) untuk larva ikan
bandeng secara in vitro disajikan pada Tabel 8.
Berdasarkan data rekapitulasi (Tabel 8), untuk mendapatkan hasil hidrolisis
pakan yang maksimal, konsentrasi crude enzyme yang digunakan pada percobaan
selanjutnya adalah 25 mL/kg pakan dengan periode inkubasi 12 jam. Respons
hubungan kadar glukosa, derajat hidrolisis karbohidrat, kadar protein terlarut,
derajat hidrolisis protein, dan derajat hidrolisis lemak pakan dengan konsentrasi
crude enzyme (mL/kg pakan) pada periode inkubasi 12 jam, serta dengan periode
inkubasi (jam) pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan membentuk pola
persamaan garis linier (Gambar 18).
Pola respons tersebut menggambarkan
bahwa semakin besar konsentrasi crude enzyme yang digunakan dan semakin
lama pakan diinkubasi maka kadar glukosa, derajat hidrolisis karbohidrat, kadar
73
74
protein terlarut, derajat hidrolisis protein, dan derajat hidrolisis lemak pakan yang
dihasilkan semakin meningkat, sampai suatu batas konsentrasi dan periode
inkubasi tertentu.
Tabel 8. Rekapitulasi
beberapa parameter pengamatan untuk mengkaji
efektivitas crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp.,
Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. dalam menghidrolisis
(predigestion) pakan buatan untuk larva ikan bandeng secara in vitro
Parameter
Kadar glukosa
Derajat hidrolisis karbohidrat
Perlakuan
Konsentrasi crude enzyme
Periode inkubasi
(mL/kg pakan)
(jam)
25
12
20
25
12
Kadar protein terlarut
25
Derajat hidrolisis protein
25
20
Derajat hidrolisis lemak
25
12
10
12
10
12
10
12
10
74
75
60
50
y = 0.8227x + 46.0520
R2 = 0.7845
40
30
20
10
0
5
10
15
20
70
Kadar glukosa pakan
(mg/100 mL)
Kadar glukosa
pakan (mg/100 mL)
70
60
50
40
y = 2.8609x + 31.7262
R2 = 0.9617
30
20
10
0
2
25
50
40
y = 0.9498x + 42.8977
R2 = 0.96
30
20
10
0
5
10
15
20
25
Derajat hidrolisis
karbohidrat pakan (%)
Derajat hidrolisis
karbohidrat pakan (%)
60
10
12
50
40
y = 3.4712x + 25.0602
R2 = 0.9814
30
20
10
0
2
4
40
35
30
25
20
y = 0.3731x + 26.4230
R2 = 0.8952
15
10
5
0
5
10
15
20
6
8
10
12
Periode inkubasi (jam)
Kadar protein terlarut
pakan (mg/100 mL)
Kadar protein terlarut
pakan (mg/100 mL)
8
60
Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
y = 2.8609x + 31.7262
R2 =0.9617
2
25
4
6
8
10
12
Periode inkubasi (jam)
Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan)
70
Derajat hidrolisis
protein pakan (%)
60
Derajat hidrolisis
protein pakan (%)
6
70
70
50
40
30
y = 0.8456x + 31.1183
R2 = 0.9456
20
10
60
50
40
30
y = 2.8543x + 18.3880
R2 =0.9657
20
10
0
0
5
10
15
20
2
25
25
20
15
y = 0.5394x + 8.8950
R2 = 0.9623
10
5
0
5
10
15
20
25
Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan)
Derajat hidrolisis
lemak pakan (%)
Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan)
Derajat hidrolisis
lemak pakan (%)
4
Periode inkubasi (jam)
Konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan)
4
6
8
10
Periode inkubasi (jam)
12
30
25
20
15
10
y = 1.31301x + 6.882
R2 =0.9651
5
0
2
4
6
8
10
12
Periode inkubasi (jam)
Gambar 18. Hubungan kadar glukosa, derajat hidrolisis karbohidrat, kadar
protein terlarut, derajat hidrolisis protein, dan derajat hidrolisis
lemak pakan dengan konsentrasi crude enzyme (mL/kg pakan) pada
periode inkubasi 12 jam, serta dengan periode inkubasi (jam) pada
konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg pakan
75
76
Percobaan II (In Vivo)
Parameter Penggunaan Pakan
Pengamatan selama 30 hari larva ikan bandeng pada berbagai jadwal
pemberian pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude
enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus dan
Planococcus sp., menghasilkan nilai berbagai parameter penggunaan pakan, yaitu
pertumbuhan (Lampiran 40), konsumsi pakan buatan (Lampiran 44), dan tingkat
kelangsungan hidup (Lampiran 47).
Gambar larva ikan bandeng pada akhir
pengamatan disajikan pada Gambar 19.
Keterangan : umur larva (A = 6 hari, B = 9 hari, C = 12 hari, dan D = 15 hari)
Gambar 19. Larva ikan bandeng pada akhir pengamatan 30 hari pada berbagai
jadwal pemberian pakan buatan hasil predigestion
Tabel 9.
Berbagai parameter penggunaan pakan yang diamati pada larva ikan
bandeng selama 30 hari pengamatan pada berbagai jadwal pemberian
pakan buatan hasil predigestion
Parameter
Perlakuan
A (6 hari) B (9 hari) C (12 hari) D (15 hari)
Pertumbuhan mutlak (g)
0,0175c
0,0420c
0,1526b
0,1747a
Pertumbuhan relatif (%)
9199,28b 22127,53b 80304,40a
91931,77a
Pertumbuhan biomassa (g)
0,2601c
1,6598c
8,2344b
11,7434a
Konsumsi pakan buatan total (g)
77,70a
71,92b
71,65b
65,16c
Konsumsi pakan buatan harian (g)
2,88d
3,00c
3,41b
3,62a
Tingkat kelangsungan hidup (%)
14,67c
39,33b
54,33a
67,33a
Keterangan: Huruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan nilai yang berbeda (p<0,05)
Jadwal pemberian pakan buatan pada larva ikan bandeng nyata (P<0,05)
mempengaruhi pertumbuhan mutlak (Lampiran 41), pertumbuhan relatif
(Lampiran 42), pertumbuhan biomassa (Lampiran 43), konsumsi pakan buatan
76
77
total (Lampiran 45), dan konsumsi pakan buatan harian (Lampiran 46), serta
tingkat kelangsungan hidup (Lampiran 48).
Hasil uji lanjutan (Tabel 9) menunjukkan bahwa pertumbuhan mutlak,
pertumbuhan relatif,
dan tingkat kelangsungan hidup larva dengan jadwal
pemberian pakan buatan total pada umur 15 hari memperlihatkan nilai tertinggi.
Angka ini tidak berbeda dibandingkan larva pada umur 12 hari, tetapi berbeda
dibandingkan larva pada umur 9 dan 6 hari. Pertumbuhan biomassa tertinggi
dicapai pada umur 15 hari dan berbeda dibandingkan dengan larva pada umur
lainnya. Konsumsi pakan total tertinggi ditemukan pada larva umur 6 hari dan
terendah pada umur 15 hari. Hal ini terjadi karena larva dengan jadwal pemberian
pakan buatan total pada umur 6 hari mendapatkan pakan buatan terlama
dibandingkan dengan larva pada umur lainnya. Konsumsi pakan harian
memperlihatkan bahwa larva pada umur 15 hari mengkonsumsi pakan buatan
tertinggi yang diikuti larva pada umur 12, 9 dan 6 hari.
Aktivitas Enzim
Pengamatan aktivitas enzim pencernaan (IU/g/menit) larva ikan bandeng
pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan yang telah dihidrolisis
(predigestion) dengan crude enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium
sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp., meliputi enzim pepsin, tripsin, aamilase, dan lipase pada periode pengamatan 10, 20, dan 30 hari disajikan pada
dan Gambar 20 dan Lampiran 49.
Aktivitas enzim tertinggi pada semua periode pengamatan diperlihatkan
oleh enzim a-amilase, yang diikuti oleh lipase, tripsin, dan terendah adalah enzim
pepsin. Aktivitas enzim pencernaan larva uji dengan jadwal pemberian pakan
buatan total umur 15 hari pada semua periode pengamatan cenderung lebih
tinggi, yang diikuti larva uji umur 12, 9 dan 6 hari. Akan tetapi, hasil analisis
ragam (Lampiran 50) menunjukkan tidak ada perbedaan antar-perlakuan.
77
78
Aktivitas enzim
Aktivitas enzim
(IU/g/menit)
(U/g/menit)
0.12
0.10
0.08
0.06
D
0.04
C
B
0.02
A
0.00
10
20
30
Pepsin
Umur larva
10
20
30
Tripsin
6 hari,
10
20
30
amilase
9 hari,
10
20
30
lipase
12 hari dan
15 hari
Gambar 20. Aktivitas enzim pencernaan pepsin, tripsin, a-amilase, dan lipase
larva ikan bandeng pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan
hasil predigestion dan pada berbagai periode pengukuran
Struktur Histologis Organ Hati
Struktur histologis organ hati larva ikan bandeng pada akhir pengamatan,
yang mendapat perlakuan berbagai jadwal pemberian pakan buatan yang telah
dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme yang disekresikan mikrob
Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp. disajikan pada
Gambar 21.
Sel hati (hepatosit) larva ikan bandeng secara histologis terdiri atas inti sel
(nukleus) dan dinding sel. Pada Gambar 21 terlihat bahwa larva ikan bandeng
dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 6 hari menunjukkan ukuran
hepatositnya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit, serta terdapat rongga
antar-sel yang besar dibandingkan dengan larva uji pada perlakuan lainnya.
Ukuran dan jumlah hepatosit semakin bertambah berturut-turut pada larva ikan
bandeng dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 9, 12 dan 15 hari.
Larva ikan bandeng dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 15 hari
mempunyai
ukuran
hepatosit
terbesar
dan
jumlah
hepatosit
terbanyak
dibandingkan dengan larva lainnya, dengan rongga antar-sel yang lebih kecil dan
sedikit sehingga hepatosit kelihatan lebih kompak. Glikogen nampak menyebar
pada hepatosit dalam bentuk granula yang tidak beraturan.
78
79
ds
is
is
gl
ds
gl
C
gl
ds
ds
is
gl
is
Keterangan: ds = dinding sel, is = inti sel, gl = glikogen
Umur larva (A = 6 hari, B = 9 hari, C 12 hari, dan D = 15 hari)
Gambar 21. Struktur histologis organ hati larva ikan bandeng pada akhir
pengamatan 30 hari pada berbagai jadwal pemberian pakan buatan
hasil predigestion
Pembahasan
Hasil percobaan secara in vitro menunjukkan bahwa crude enzyme yang
disekresikan Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan Planococcus sp.,
efektif menghidrolisis pakan buatan untuk larva ikan bandeng dan sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi.
Kadar glukosa
dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan, kadar protein terlarut dan derajat
hidrolisis protein pakan, serta derajat hidrolisis lemak meningkat dengan
bertambahnya konsentrasi crude enzyme dan periode inkubasi sampai batas
tertentu.
Affandi et al. (2005) mengemukakan bahwa beberapa hal yang
berpengaruh dalam proses penyederhanaan pakan kompleks adalah jenis dan
konsentrasi enzim, kondisi substrat (kadar air, pH, kompleksitas), suhu
lingkungan, dan agitasi (pengadukan substrat).
79
80
Meningkatnya beberapa parameter yang diukur dengan bertambahnya
konsentrasi crude enzyme terjadi karena peluang substrat untuk bertemu dengan
katalisator biologis dalam proses hidrolisis protein, karbohidrat, dan lemak
semakin besar. Substrat yang sesuai dengan katalisatornya, dan dengan
konsentrasi yang optimum dapat meningkatkan aktivitas penyederhanaan nutrien
yang terkandung dalam pakan. Demikian juga halnya dengan periode inkubasi,
semakin lama proses hidrolisis berlangsung sampai batas waktu tertentu, semakin
banyak substrat yang terdegradasi dan produk yang dihasilkannya juga meningkat.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada pengujian secara in vitro, untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dalam upaya penyederhanaan nutrien pakan
buatan (predigestion)
menjadi molekul-molekul kecil yang siap diserap pada
saluran pencernaan, konsentrasi crude enzyme yang digunakan adalah 25 mL/kg
pakan dengan periode inkubasi 12 jam.
Derajat hidrolisis karbohidrat yang
dicapai sudah berada pada kisaran nilai kecernaan karbohidrat atau pati oleh ikan.
Derajat hidrolisis protein dan lemak pada konsentrasi crude enzyme 25 mL/kg
pakan dan periode inkubasi 12 masih lebih rendah dibandingkan nilai kecernaan
ikan pada umumnya. Meskipun demikian, diharapkan larva ikan bandeng yang
mendapat pakan hasil predigestion dapat memanfaatkan enzim endogen yang
sudah mulai disekresi pada saluran pencernaannya untuk mencerna sisa protein
dan lemak yang belum terhidrolisis. Dengan demikian, derajat hidrolisis protein
dan lemak pakan dapat lebih ditingkatkan.
Pada umumnya nilai kecernaan pati
oleh ikan mulai dari 40 sampai 60%, nilai kecernaan protein mulai dari 80 sampai
95%, dan nilai kecernaan lemak mulai dari 82 sampai 97% (Watanabe 1988).
Predigestion menggunakan enzim pencernaan eksogen merupakan upaya
penyederhanaan pakan sebelum diberikan kepada larva. Nutrien pakan dalam
bentuk yang lebih sederhana diharapkan lebih mudah dicerna pada saluran
pencernaan dan diserap masuk ke peredaran darah walaupun ketersediaan enzim
pencernaan endogen pada fase larva masih terbatas. Upaya penggunaan enzim
pencernaan eksogen untuk menghidrolisis (predigestion) pakan buatan
telah
dilakukan oleh beberapa peneliti (Lemos et al. 2000; Hasan 2000; dan Rosmawati
2004). Pada penelitian tersebut yang menjadi fokus untuk dihidrolisis oleh enzim
adalah protein pakan dengan menggunakan enzim protease eksogen.
Protein
80
81
menjadi fokus hidrolisis disebabkan protein merupakan komponen utama dalam
pakan ikan dan sumber energi utama bagi ikan terutama pada umur larva yang
memerlukan kadar protein pakan yang tinggi.
Pada percobaan ini, tujuan hidrolisis (predigestion) adalah
protein,
karbohidrat, dan lemak pakan. Karbohidrat dan lemak bukan merupakan sumber
energi utama bagi ikan. Akan tetapi, kehadirannya dalam pakan mutlak
diperlukan, walaupun dalam persentase yang jauh lebih kecil dibandingkan
protein. Seperti halnya hewan lain, ikan memerlukan karbohidrat sebagai sumber
energi. Hal ini berhubungan dengan sebuah pepatah yaitu “lemak dan protein
dibakar di atas bara karbohidrat”. Lemak juga diperlukan ikan sebagai sumber
energi, struktur sellular, dan pemeliharaan integritas biomembran.
Hidrolisis
(predigestion) dengan campuran crude enzyme protease, amilase, dan lipase
diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan semua nutrien yang terkandung
dalam pakan.
Ketergantungan usaha pembenihan ikan bandeng pada pakan alami
diharapkan dapat dikurangi dengan aplikasi pakan buatan yang telah dihidrolisis
(predigestion) dengan enzim pencernaan eksogen. Berdasarkan hasil pengujian
secara in vivo, pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan crude
enzyme pencernaan eksogen sebagai pengganti pakan alami, apabila diberikan
pada waktu yang tepat dapat mempercepat
jadwal pemberian pakan buatan.
Waktu yang tepat untuk pemberian pakan hasil predigestion adalah pada umur
larva 12 sampai 15 hari. Pemberian pakan buatan hasil predigestion pada umur
ini dapat memberikan respon pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang
lebih baik dibandingkan larva pada umur 6 dan 9 hari (Tabel 10).
Tingkat pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan relatif yang dicapai pada
jadwal pemberian pakan buatan total umur larva 6 hari adalah 0,0175 g dan 91,99
kali bobot awal.
Tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh pada jadwal
pemberian pakan buatan total umur larva 12 hari adalah 54,33%.
Jika
dibandingkan dengan hasil yang dicapai Haryati (2002), tingkat pertumbuhan
mutlak dan pertumbuhan relatif yang relatif sama baru dapat dicapainya pada
jadwal pemberian pakan buatan total umur larva 20 hari adalah 0,0173 g dan
95,85 kali bobot awal. Tingkat kelangsungan hidup baru dapat dicapainya pada
81
82
jadwal pemberian pakan buatan total umur larva 15 hari yaitu 55,82%. Perbedaan
hasil yang dicapai terjadi karena perbedaan pakan yang digunakan, yaitu
menggunakan pakan tanpa dihidrolisis (predigestion) dan perbedaan dalam kadar
nutrien pakan. Penggunaan pakan buatan, walaupun komposisi nutrisinya telah
disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi larva, seringkali tidak efektif. Hal ini
disebabkan pakan buatan tidak mengandung enzim seperti halnya pakan alami.
Oleh karena itu, enzim yang berasal dari luar atau enzim eksogen mutlak
dibutuhkan pada stadia larva.
Larva uji dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 15 hari yang
diikuti larva umur 12 hari,
memberikan respons yang terbaik pada semua
parameter yang diuji. Hal ini diduga bahwa larva yang mampu memanfaatkan
pakan buatan dapat memenuhi kebutuhan energi dan materi untuk metabolisme
dan pertumbuhan sehingga berdampak pada pertambahan bobot. Di samping itu,
pada pakan buatan hasil predigestion sudah tersedia molekul-molekul nutrien
yang lebih kecil yang sudah siap diserap di dalam saluran pencernaan. Nutrien
pakan yang masih perlu dihidrolisis menjadi molekul yang siap untuk diserap,
dapat memanfaatkan enzim pencernaan endogen yang sudah mulai disekresikan
dalam saluran pencernaan larva.
Faktor lain yang diduga berpengaruh pada pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup larva adalah lamanya larva memakan pakan alami. Larva uji
dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 15 dan 12 hari mengkonsumsi
pakan alami lebih lama dibandingkan larva uji umur 9 dan 6 hari. Pertumbuhan,
kelangsungan hidup serta aktivitas enzim pencernaan larva yang mendapat pakan
alami lebih baik dibandingkan larva yang diberi pakan buatan juga dilaporkan
beberapa peneliti (Cahu et al. 1998; Buchet et al. 2000; Suryanti 2002: Genodepa
et al. 2004; dan Tlusty et al. 2005). Hal ini terjadi karena pakan alami merupakan
jenis pakan yang sesuai bagi larva karena mengandung enzim eksogen yang
diperlukan untuk membantu proses pencernaan. Enzim-enzim yang terdeteksi
pada Brachionus, yang akan memberi kontribusi terhadap aktivitas enzim di
dalam saluran pencernaan adalah a-amilase 0,0694±0,0134; lipase 0,0537±0,0800;
tripsin 0,0180±0,0020; dan pepsin 0,0192±0,0002 IU/g Brachionus/menit (Haryati
2002).
Enzim-enzim yang terdeteksi pada Artemia adalah tripsin 62,6±6,7;
82
83
amilase 544,9±30,0; lipase 6,3±0,7; dan alkalin fosfatase 68,8±9,2 mIU/mg
protein (Gawlicka et al. 2000).
Aktivitas enzim a-amilase, lipase, tripsin, dan pepsin larva ikan bandeng
meningkat dengan semakin lamanya jadwal pemberian pakan alami. Hal ini
mengindikasikan adanya kontribusi enzim yang berasal dari pakan alami yang
diberikan. Walaupun demikian, interpretasi tentang cara enzim tersebut berperan
berbeda-beda di antara para ahli. Tingginya aktivitas protease pada larva yang
diberi pakan alami akibat adanya mekanisme induktif yang akan mengaktifkan
zimogen untuk memproduksi protease (Dabrowski dan Glogowski 1977; Moran
dan Stark 1990). Enzim proteolitik eksogen dari pakan hidup memberi kontribusi
yang lain dalam proses pencernaan larva ikan herring (Clupea harengus), yaitu
dengan merangsang peningkatan sekresi tripsin endogen pada usus larva
(Pedersen et al. 1987).
Pakan alami mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh larva
sehingga apabila dikonsumsi akan masuk ke dalam saluran pencernaan sebagai
satu kesatuan nutrien yang siap dimanfaatkan dalam saluran pencernaan. Adapun
pada pakan buatan hasil predigestion, walaupun sudah merupakan molekulmolekul kecil dari nutrien yang siap diserap dalam saluran pencernaan, masih
terpisah-pisah larut dalam media budi daya.
Hal inilah yang diduga juga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat pertumbuhan
dan kelangsungan hidup larva uji yang mendapat pakan alami lebih lama.
Tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng dengan jadwal pemberian
pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) oleh crude enzyme pencernaan
eksogen pada larva umur 15 dan 12 hari lebih besar dibandingkan dengan larva
umur 6 dan 9 hari. Faktor yang diduga berpengaruh pada tingkat kelangsungan
hidup larva ikan bandeng yang dipelihara adalah kesesuaian antara jenis pakan
dan kemampuan larva memanfaatkan pakan.
Kemampuan larva untuk
memanfaatkan pakan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu
kemampuan untuk
mengkonsumsi dan kemampuan untuk mencerna. Tingginya kematian larva pada
jadwal pemberian pakan buatan total umur 6 dan 9 hari, terjadi karena
kemampuan
untuk
mengkonsumsi
dan
mencerna
pakan
lebih
rendah
dibandingkan dengan larva dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur12
83
84
dan 15 hari.
Pada larva dengan jadwal pemberian pakan buatan total umur 12
dan 15 hari, saluran dan kelenjar pencernaan sudah berkembang dengan baik.
Dibuktikan dengan perbedaan hasil pengukuran aktivitas enzim pencernaan pada
setiap perlakuan, serta terjadi peningkatan aktivitas enzim pencernaan pada setiap
periode pengamatan. Pada larva dengan jadwal pemberian pakan buatan total
umur 6 dan 9, walaupun enzim pencernaan endogen sudah disekresikan tetapi
masih sangat rendah. Enzim pencernaan endogen yang dihasilkan belum dapat
secara
maksimal
sebagai
katalisator
dalam
hidrolisis
pakan
buatan.
Ditemukannya larva yang hidup pada jadwal pemberian pakan buatan total umur 6
dan 9, diduga bahwa larva tersebut mampu memanfaatkan pakan buatan yang
diberikan tetapi energi yang diperoleh dari pakan tidak mencukupi untuk
berkembang secara maksimal.
Tingkat kelangsungan hidup yang dicapai pada penelitian ini berkisar antara
14,67 dan 67,33%. Teknologi yang sudah berkembang saat ini menghasilkan
tingkat kelangsungan hidup larva ikan bandeng sampai ukuran siap jual pada panti
pembenihan berkisar antara 20 dan 60% dengan frekuensi terbesar 20%.
Umumnya tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng dicapai di atas 50% apabila
pakan buatan diberikan mulai umur larva 15 hari (Duray dan Bagarinao 1984;
Aslianti dan Azwar 1992; dan Haryati 2002). Tingkat kelangsungan hidup yang
dicapai pada penelitian ini berada pada kisaran yang cukup baik, dibandingkan
dengan hasil pada penelitian lain. Hal ini memberikan peluang untuk aplikasi
pakan buatan yang telah dihidrolisis (predigestion) dengan enzim pencernaan
eksogen pada usaha pembenihan ikan bandeng.
Hasil pengamatan histologis organ hati memperlihatkan bahwa semakin
lama jadwal pemberian pakan alami, ukuran, dan jumlah hepatosit semakin
bertambah, rongga antar-sel lebih kecil dan sedikit sehingga nampak hepatosit
lebih kompak. Hal ini terlihat pada hepatosit larva ikan bandeng dengan jadwal
pemberian pakan buatan total pada umur 12 dan 15 hari. Hal ini mengindikasikan
bahwa tingkat pertumbuhan larva pada jadwal pemberian pakan buatan total umur
tersebut lebih besar dibandingkan larva pada perlakuan lainnya.
hepatik menunjukkan status fungsi fisiologis.
Ukuran sel
Selain mensekresikan garam
empedu, sel-sel hepatik mempunyai peran dalam metabolisme protein, lemak, dan
84
85
karbohidrat (Takashima dan Hibiya 1995). Pada permukaan sel yang berbatasan
dengan kapiler darah dan saluran empedu (bile duct) terdapat mikrofilli, hal ini
menunjukkan bahwa hepatosit merupakan sel yang aktif (Affandi et al. 2005).
Pemberian pakan buatan pada waktu yang tidak tepat,
walaupun sudah
dihidrolisis (predigestion) dengan crude enzyme pencernaan eksogen akan
mempengaruhi perkembangan organ hati. Terganggunya perkembangan hepatosit
akan berdampak pada pertumbuhan organ secara keseluruhan. Hal ini terjadi
karena,
organ
hati
diibaratkan
sebuah
pos
persinggahan
dan
gudang
pendistribusian nutrien ke seluruh bagian tubuh.
Bahan cadangan nutrien yang umum terlihat pada sel hati adalah glikogen
dan trigliserida (Takashima dan Hibiya 1995).
Pada penelitian ini granula
glikogen terdeteksi dalam bentuk tidak beraturan di antara sel-sel hati atau
menyebar di dalam sitoplasma. Hasil analisis yang sama juga ditemukan oleh
Haryati (2002). Partikel-partikel glikogen kemungkinan ditemukan menyebar di
dalam sitoplasma atau mengelompok membentuk konsentrasi yang besar.
Granula dari glikogen bentuknya tidak beraturan. Pada ikan budi daya kandungan
glikogen ditemukan sampai lebih dari 20% (Takashima dan Hibiya 1995).
Glukosa yang berasal dari hasil metabolisme karbohidrat, di dalam hepatosit
dengan proses glikogenesis oleh enzim glicogen synthetase diubah menjadi
glikogen. Glikogen merupakan cadangan energi yang tersimpan dalam hepatosit
dan sel-sel otot (Rosch dan Segner 1990).
Simpulan
Konsentrasi crude enzyme
25 mL/kg pakan dan periode inkubasi 12 jam
pada hidrolisis (predigestion) pakan buatan untuk larva ikan bandeng oleh crude
enzyme yang disekresikan mikrob Carnobacterium sp., Vibrio alginoliticus, dan
Planococcus sp. adalah maksimal untuk menghasilkan kadar glukosa dan derajat
hidrolisis karbohidrat pakan, kadar protein terlarut dan derajat hidrolisis protein
pakan, serta derajat hidrolisis lemak pakan yang optimum.
Larva ikan bandeng dapat memanfaatkan pakan buatan hasil predigestion
oleh campuran crude enzyme pencernaan eksogen mulai umur 12 hari dengan
pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang optimal.
85
86
PENGGUNAAN MIKROB AMLOLITIK (Carnobacterium sp.)
SEBAGAI PROBIOTIK PADA BUDI DAYA IKAN BANDENG
Pendahuluan
Ikan bandeng adalah salah satu komoditas unggulan pada budi daya air
payau setelah udang. Pangsa pasar ikan bandeng selain untuk konsumsi lokal juga
untuk ekspor serta sebagai bahan untuk umpan ikan tuna. Budi daya ikan bandeng
sudah sangat berkembang dan umumnya dikembangkan secara tradisional atau
ekstensif. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya permintaan, budi daya ikan
bandeng sudah dikembangkan secara intensif pada tambak-tambak air payau yang
ideal atau di karamba jaring apung di laut dan air tawar.
Intensifikasi budi daya ikan bandeng sangat bergantung pada suplai pakan
buatan. Kebutuhan pakan untuk budi daya ikan bandeng pada tahun 2005 adalah
110.580 ton, tahun 2006 diproyeksikan meningkat menjadi 124.160 ton dan setiap
tahun kebutuhan pakan akan terus meningkat (Ditjen Perikanan Budi Daya 2006).
Sampai pada tahun 2009, kebutuhan pakan buatan diproyeksikan mencapai lebih
dari 2 kali lipat, yaitu 315.400 ton. Kendala yang dihadapi untuk pemenuhan
kebutuhan pakan pada intensifikasi budi daya ikan bandeng adalah tingginya
harga pakan buatan.
Harga pakan ikan yang relatif mahal disebabkan oleh komposisi utama zat
gizi pakan ikan adalah protein. Diketahui bahwa protein merupakan sumber
energi pakan yang mahal, terutama protein yang berasal dari tepung ikan. NRC
(1988) mengemukakan bahwa protein merupakan zat terpenting dari semua zat
gizi yang diperlukan ikan karena merupakan zat penyusun dan sumber energi
utama bagi ikan.
Furuichi (1988) mengemukakan bahwa protein lebih efektif digunakan
sebagai sumber energi daripada karbohidrat karena rendahnya aktivitas enzim
amilase
dalam saluran pencernaan
ikan dibandingkan hewan terestrial dan
manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan aktivitas
enzim amilase
sehingga penggunaan protein sebagai sumber energi dapat
dikurangi dan pemanfaatan karbohidrat sebagai sumber energi dapat ditingkatkan.
Protein diharapkan hanya digunakan untuk pertumbuhan dan pergantian jaringan
86
87
yang rusak tidak sebagai sumber energi. Peningkatan penggunaan karbohidrat
oleh ikan diharapkan dapat meningkatkan kadar karbohidrat dan mengurangi
kadar
protein dalam pakan buatan. Dengan demikian, harga pakan dapat
diturunkan. Salah satu alternatif yang dapat dikaji dan dikembangkan melalui
percobaan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah meningkatkan produksi
enzim pencernaan eksogen dengan memanfaatkan mikroflora saluran pencernaan
yang mempunyai aktivitas amilolitik.
Pada percobaan pertama terseleksi isolat mikrob amilolitik (Carnobacterium
sp.) sebagai kandidat probiotik. Jenis Carnobacterium sp. diperkenalkan oleh
Collins et al. pada tahun 1987 dalam klasifikasi Lactobacillus carnis, L.
divergens, dan L. piscicola yang merupakan stok Laktobacillus dari isolasi bakteri
pada daging hewan ternak yang dilakukan oleh Thornley 1957. Pada tahun 1993,
jenis Carnobacterium berkembang pesat dengan dua jenis spesies yang tidak
memiliki keterkaitan biologis dengan Lactobaccilus (C. alterfunditum dan C.
funditum). Berdasarkan rangkaian dasar RNAr dan karakter fenotip, Joborn et al.
pada tahun 1999 mengajukan nomenklatur C. inhibens untuk sebuah stok yang
diisolasi dari saluran pencernaan ikan salmon Atlantik (salmo salar).
Jenis
Carnobacterium tersebut menunjukkan suatu hubungan dengan Carnobacterium
sp. (Collins et al. 1999). Selanjutnya dijelaskan bahwa jenis Carnobacterium sp.
sangat sulit dibedakan dari jenis Lactobacillus. Salah satu yang dapat diketahui
bahwa Carnobacterium sp. tidak dapat dibiakkan pada medium rogosa, dan dapat
berkembang pada pH tinggi (kemungkinan dapat tumbuh sampai pada pH 9,1)
dibandingkan dengan Lactobacillus sp.
Penggunaan probiotik sebagai feed additive untuk meningkatkan produksi
enzim pencernaan eksogen dalam saluran pencernaan merupakan alternatif
pemecahan masalah yang dihadapi dalam budi daya ikan bandeng secara intensif.
Keuntungan lain dari aplikasi probiotik pada budi daya ikan adalah dapat
meningkatkan kesehatan dan ketahanan terhadap penyakit. Probiotik berperan
dalam
beberapa mekanisme, yaitu 1) menghambat reaksi-reaksi yang
menghasilkan toksin; 2) merangsang reaksi-reaksi enzimatis yang terlibat dalam
proses detoksifikasi bahan-bahan yang potensial sebagai toksin baik yang berasal
dari luar maupun dari dalam tubuh; 3) merangsang enzim inang yang terlibat
87
88
dalam proses pencernaan atau menggantikan enzim yang tidak ada; dan (4)
sintesis vitamin atau zat makanan essensial yang kurang tersedia dalam pakan
(Fuller 1992).
Tujuan yang ingin dicapai pada percobaan ini adalah meningkatkan
aktivitas
enzim
pencernaan amilase eksogen pada saluran pencernaan ikan
bandeng hasil sekresi mikrob amilolitik (Carnobacterium sp.) sehingga mampu
memanfaatkan pakan buatan dengan kadar karbohidrat yang lebih tinggi.
Untuk
mencapai tujuan tersebut dilakukan 2 tahapan percobaan, yaitu percobaan I (in
vitro) dengan tujuan khusus mengkaji efektivitas Carnobacterium sp. dalam
menghidrolisis
pakan buatan pada berbagai kadar protein-karbohidrat untuk
pembesaran ikan bandeng; dan percobaan II (in vivo) dengan tujuan khusus
mengkaji efektivitas Carnobacterium sp. pada berbagai kadar protein-karbohidrat
pakan buatan untuk memacu pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan
bandeng.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
Percobaan I (in vitro) dilakukan
di Laboratorium Fisiologi dan
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, serta Laboratorium Biokimia dan
Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan IPB. Analisis proksimat pakan
dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan
mulai bulan Oktober 2004 sampai Februari 2005.
Percobaan II (in vivo) dilakukan di Laboratorium Hatchery Mini, Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS. Analisis beberapa peubah dilakukan di
Laboratorium Kualitas Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS,
Laboratorium
Fisiologi
dan
Farmakologi,
Fakultas
Kedokteran
Laboratorium
Biokimia
dan
Mikrobiologi
Nutrisi,
Fakultas
Hewan,
Peternakan,
Laboratorium Nutrisi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, dan
Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian, Cimanggu, Bogor.
Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan mulai
bulan April 2005 sampai Desember 2005.
88
89
Prosedur Penelitian
Percobaan I (In Vitro)
Percobaan
pertama
bertujuan
menemukan
jumlah
inokulum
Carnobacterium sp. yang paling efektif menghidrolisis pakan buatan pada
berbagai kadar protein-karbohidrat pakan.
Percobaan ini didesain menggunakan pola faktorial 4 x 5 dalam rancangan
acak lengkap (RAL) masing-masing 3 ulangan. Faktor pertama adalah jumlah
inokulum dengan 4 level, yaitu 106, 10 8, 10 10, dan 10 12 cfu/mL. Faktor kedua
adalah kadar protein (P) dan karbohidrat (K) pakan buatan dengan 5 level, yaitu
pakan A: 50% P - 20% K, pakan B: 40 P - 30% K, pakan C: 30% P - 40% K,
pakan D: 20% P - 50 % K, dan pakan E: 10% P - 60 % K.
Pakan yang digunakan pada percobaan ini adalah pakan berbentuk pellet
yang diformulasi sesuai dengan perlakuan. Hasil analisis proksimat bahan baku
pakan sama dengan yang digunakan pada pakan buatan untuk larva, komposisi
pakan, dan hasil analisis proksimat pakan disajikan pada Tabel 10.
Literatur pendukung pengukuran kecernaan pakan buatan ikan oleh mikrob
secara in vitro (hidrolisis) belum ditemukan sehingga acuan yang digunakan
adalah metode yang dilakukan pada hewan terestrial, dengan melakukan beberapa
modifikasi. Pengujian mengacu pada metode Tilley dan Terry (1963) dengan
modifikasi pada media yang digunakan.
Carnobacterium sp. dengan jumlah
inokulum perlakuan diinokulasi ke dalam tabung reaksi yang berisi media. Media
yang digunakan
terdiri atas campuran TSB (Tripticase Soy Broth), TCM 199
(Tissue Culture Medium, 0,99 g/100 mL aquadest), dan pakan buatan sebagai
substrat dengan berat ± 1 g (bahan kering oven 60oC), total volume media dan
inokulum sebanyak 20 mL.
Tabung kultur kemudian dimasukkan ke dalam
shaker water bath untuk diinkubasi pada suhu 29oC. Periode inkubasi 6, 12 dan
24 jam dilakukan dengan tujuan untuk menentukan periode inkubasi yang dapat
memberikan respons berbedaan parameter yang diukur, pada percobaan
pengukuran kecernaan pakan buatan ikan oleh mikrob secara in vitro. Reaksi
dihentikan dengan menambahkan 0,5 mL HgCl 2 jenuh sehingga mikrob dalam
tabung kultur mati, kemudian disentrifius dengan kecepatan 10.000 rpm selama
89
90
10 menit. Supernatan dan endapan yang dihasilkan digunakan untuk dianalisis
lebih lanjut.
Tabel 10. Komposisi pakan buatan pada percobaan untuk mengkaji efektivitas
Carnobacterium sp. dalam menghidrolisis pakan buatan pada berbagai
kadar protein-karbohidrat pakan
Bahan pakan
Tepung ikan
Tepung kedelai
Tepung terigu
Lemak*)
Vitamin mix. **)
Mineral mix.***)
Kadar karbohidrat (BETN)
Kadar protein
Kadar lemak total
Kadar serat kasar
DE (kkal/kg) *****)
C/P (DE/g protein)
Komposisi (% bk)
A
51,70
15,70
20,40
4,20
4,00
4,00
20,21
50,15
9,70
1,84
3046,20
6,07
B
37,80
16,70
33,00
4,50
4,00
4,00
30,18
39,63
9,84
1,99
2938,59
7,42
C
D
22,30
9,00
21,65
21,20
44,40
57,50
3,65
4,30
4,00
4,00
4,00
4,00
40,09
50,16
30,12
20,23
9,56
9,78
2,23
2,35
2830,81 2754,23
9,40
13,61
E
3,00
3,00
76,20
9,80
4,00
4,00
60,19
9,86
11,60
2,12
2789,45
28,29
Keterangan : *) Perbandingan lemak :
minyak ikan dan minyak jagung 2 : 1
**) Komposisi vitamin mix
Vitamin A 3500 IU/kg pakan; Vitamin D3 3000 IU/kg pakan; Vitamin E 100
IU/kg pakan; Vitamin K 10 mg/kg pakan; Vitamin B12 0,02; Asam askorbat 300
mg/kg pakan; Biotin 0,4 mg/kg pakan; Kolin 3000 mg/kg pakan; Asam folat
mg/kg pakan;
Inositol 400 mg/kg pakan; Niasin 150 mg/kg pakan;
Asam pantotenat 60 mg/kg pakan; Piridoksin 10 mg/kg pakan; Riboflavin 20
mg/kg pakan; Thiamin 10 mg/kg pakan
***) Komposisi mineral mix
Kalsium 0,2 g/kg pakan; Fosfor anorganik 7 g/kg pakan; Magnesium 0,6 g/kg
pakan; Cu 3 mg/kg pakan; Mangan 12 mg/kg pakan; Selenium 0,2 mg/kg pakan;
Zn 20 mg/kg pakan; Iodine 0,8 mg/kg pakan; Fe 0,8 mg/kg pakan
****) Komposisi lemak, vitamin dan mineral mix Lee dan Liao (1976)
*****) Hasil perhitungan berdasarkan persamaan energi (NRC 1988) :
1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE
1 g protein
= 3,5 kkal DE
1 g lemak
= 8,1 kkal DE
Parameter yang diamati adalah kadar glukosa dan derajat hidrolisis
karbohidrat pakan buatan pada 3 periode inkubasi, yaitu 6, 12, dan 24 jam.
Supernatan yang dihasilkan digunakan untuk analisis kadar glukosa, dengan
prosedur analisis (Lampiran 6) mengikuti metode Wedemeyer dan Yasutake
90
91
(1977), sedangkan endapannya digunakan untuk analisis kadar karbohidrat dengan
prosedur analisis mengikuti metode Somogy – Nelson (Lampiran 5).
Derajat hidrolisis karbohidrat pakan oleh Carnobacterium sp. dihitung
dengan menggunakan rumus :
Kh0 - Kht
DHKh =
x 100
Kh0
= derajat hidrolisis karbohidrat
= kadar karbohidrat pakan pada waktu awal
= kadar karbohidrat pakan pada waktu t
Dimana : DHKh
Kh0
Kht
Percobaan II (In Vivo)
Percobaan
ini
bertujuan
untuk
menemukan
jumlah
inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan buatan yang tepat pada
pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng.
Percobaan ini didesain menggunakan pola faktorial 3 x 4 dalam rancangan
acak lengkap (RAL) masing-masing 3 ulangan. Faktor pertama adalah jumlah
inokulum
dengan 3 level, yaitu kontrol, 1010 dan 1012 cfu/mL/100 g pakan.
Faktor kedua adalah kadar protein (P) dan karbohidrat (K) pakan buatan dengan
4 level, yaitu pakan A: 50% P - 20% K, pakan B: 40 P - 30% K, pakan C: 30% P
- 40% K pakan dan D: 20% P - 50 % K.
Wadah yang digunakan pada percobaan ini adalah akuarium kaca dengan
sistem resirkulasi berukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 50 x 40 x
35 cm (Gambar 22). Bagian sisi-sisi wadah ditutup dengan plastik hitam dan
untuk menghindari ikan uji supaya tidak melompat, bagian atas wadah ditutup
dengan penutup dari kawat nyamuk yang sisi-sisinya dijepit dengan bambu.
Sebelum digunakan, wadah dan semua peralatan terlebih dahulu didesinfektan
dengan klorida (kaporit) dan dinetralkan dengan thiosulfat. Wadah percobaan
diisi air sebanyak 55 L dengan kisaran salinitas 15 sampai 16 ppt. Air yang
digunakan telah disterilkan dengan 150 ppm klorida selama 24 jam dan
selanjutnya dinetralkan dengan 75 ppm thiosulfat. Ikan bandeng ukuran juvenil
dengan bobot rata-rata ± 2,5 g ditebar dengan kepadatan 20 ekor per wadah (satu
unit percobaan). Sebelum ditebar, ikan uji telah diaklimatisasikan dengan media
budi daya dan pakan diberikan secara at satiation selama 2 minggu. Setelah masa
91
92
aklimatisasi selesai, ikan uji dipuasakan selama 24 jam dengan tujuan
menghilangkan sisa pakan dalam tubuh. Ikan dipelihara selama 60 hari dan diberi
pakan secara at satiation sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00,
dan 17.00. Selama percobaan, kualitas media budi daya dijaga dalam kisaran
yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan bandeng. Kualitas air
dijaga dengan cara melakukan penyiponan terhadap sisa pakan dan feses didasar
wadah, serta melakukan pergantian air sebanyak 25% setiap hari.
Pengukuran
suhu dan salinitas media dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari,
sedangkan pengukuran pH, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, dan amoniak
dilakukan pada setiap pengambilan sampel. Suhu media berkisar antara 29 dan
30oC; pH berkisar antara 7,4 dan 7,6; oksigen terlarut berkisar antara 5,2 dan 6,5
ppm, karbondioksida bebas berkisar antara 11,97 dan 12,07 ppm; amoniak
berkisar antara 0,006 dan 0,009 ppm; dan salinitas berkisar antara 15 dan 16 ppt.
Gambar 22. Wadah yang digunakan pada percobaan mengkaji efektivitas
Carnobacterium sp. pada berbagai kadar protein-karbohidrat pakan
buatan pada pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan
bandeng
Pakan yang digunakan pada percobaan ini sama dengan yang digunakan
pada percobaan I (in vitro) pada Tabel 10, kecuali pakan E tidak dilanjutkan pada
percobaan ini. Sebelum ditambahkan ke pakan Carnobacterium sp. yang diuji
pada percobaan ini terlebih dahulu diencerkan dengan Buffer Peptone Water
92
93
(Murni 2004) dan minyak ikan (Robertson et al. 2000) dengan perbandingan 1 mL
probiotik : 3 mL Buffer Peptone Water : 1 mL minyak ikan. Campuran ini
kemudian disemprotkan pada pakan secara merata dengan menggunakan spuit.
Uji penempelan mikrob pada pakan bertujuan untuk membuktikan bahwa
populasi koloni dalam pakan masih berada dalam kisaran populasi koloni
inokulum. Dengan demikian, jumlah inokulum probiotik dalam pakan disesuaikan
dengan perlakuan. Uji penempelan dilakukan dengan cara merendam pakan yang
telah dicampur dengan probiotik dalam air selama 1 sampai 2 menit. Pakan yang
telah direndam dicairkan dengan cairan fisiologis (NaCl 0,85%) steril, selanjutnya
dikultur dengan media dan prosedur yang sama dengan metode isolasi mikrob.
Jumlah mikrob dihitung dengan metode hitungan cawan dan dinyatakan dalam
cfu, setelah diinkubasi pada suhu 29°C selama 24 sampai 48 jam.
Parameter yang diamati adalah 1) pertumbuhan, 2) efisiensi pakan, 3)
retensi protein, lemak dan energi, 4) kadar glikogen hati dan otot, 5) populasi
mikrob, 6) aktivitas enzim amilase dan protease, 7) kecernaan karbohidrat dan
protein pakan, 8) kadar glukosa dan trigliserida darah, 9) konsumsi oksigen, dan
10) tingkat kelangsungan hidup.
1. Pertumbuhan
Pertumbuhan diukur dengan menimbang ikan uji pada setiap periode
pengamatan 10 hari sampai akhir percobaan. Pertumbuhan relatif dihitung dengan
rumus Takeuchi (1988) dan pertumbuhan biomassa dihitung dengan rumus
Zonneveld et al. (1991).
a. Pertumbuhan Relatif
Wt - Wo
PR =
x 100
Wo
Dimana : PR
Wo
Wt
= pertumbuhan relatif (%)
= bobot rata-rata ikan uji pada awal penelitian (g)
= bobot rata-rata ikan uji pada waktu t (g)
b. Pertumbuhan Biomassa
PB = Wt - Wo
93
94
Dimana : PB
Wo
Wt
= pertumbuhan biomassa (g)
= bobot populasi larva uji pada awal penelitian (g)
= bobot populasi larva uji pada waktu t (g)
2. Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan dianalisis berdasarkan rumus efisiensi pakan menurut
Takeuchi (1988), yaitu :
(Wt + Wd) - Wo
EP =
x 100
F
Dimana : EP
Wo
Wt
Wd
F
=
=
=
=
=
efisiensi pakan (%)
bobot ikan uji pada awal penelitian (g)
bobot ikan uji pada waktu t (g)
bobot ikan uji yang mati selama penelitian (g)
bobot pakan yang dikonsumsi selama penelitian (g)
3. Retensi Protein, Lemak, dan Energi
Retensi protein dan lemak dapat diketahui dengan melakukan analisis
proksimat (Lampiran 5)
pada pakan serta tubuh ikan pada awal dan akhir
percobaan, mengikuti metode Takeuchi (1988), sedangkan energi dideterminasi
dengan bomb calorimeter (Lampiran 10). Rumus retensi protein, lemak, dan
energi adalah sebagai berikut :
Pt – Po / Lt – Lo / Et - Eo
RP/RL/RE =
x 100
Pe / Le / Ee
Dimana : RP/RL/RE = retensi protein / retensi lemak/retensi energi (%)
Po/ Lo/Eo = bobot
protein/lemak/energi dalam tubuh ikan pada
waktu 0 (g)
Pt/Lt/Eo = bobot protein/lemak/energi dalam tubuh ikan pada
waktu t (g)
Pe/Le/Ee = bobot protein/lemak/energi yang dikonsumsi oleh ikan
(g)
4. Kadar Glikogen Hati dan Otot
Kadar glikogen pada hati dan otot ikan uji diukur pada akhir percobaan. Otot
diambil dari bagian dorsal. Prosedur analisis kadar glikogen mengikuti metode
Wedemeyer dan Yasutake (1977) yang disajikan pada Lampiran 11.
94
95
5. Populasi Mikrob
Populasi mikrob pada saluran pencernaan ikan uji dihitung dalam hitungan
koloni (cfu/mL) pada akhir percobaan dengan media dan prosedur yang sama
seperti pada metode isolasi mikrob.
6. Aktivitas Enzim Amilase dan Protease
Analisis aktivitas enzim amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan
uji dilakukan pada akhir percobaan dengan metode menurut Bergmeyer dan
Grassi (1983). Prosedur kerjanya disajikan pada Lampiran 3.
7. Kecernaan Karbohidrat dan Protein Pakan
Kecernaan karbohidrat dan
protein pakan diketahui dengan mengukur
kecernaan dengan metode tidak langsung, yaitu menggunakan kromium oksida
(Cr 2O3) sebanyak 0,6% yang dicampur merata dalam pakan. Prosedur pengukuran
kecernaan dapat dilihat pada Lampiran 12. Kecernaan dihitung berdasarkan rumus
Takeuchi (1988), yaitu :
Kecernaan (%) = (1- a’/a x b’/b) x 100
Dimana : a’
a
b’
b
=
=
=
=
nutrien dalam feses (%)
nutrien dalam pakan (%)
indikator dalam feses (%)
indikator dalam pakan (%)
1. Kadar Glukosa dan Trigliserida Darah
Pengamatan kadar glukosa darah ikan uji dilakukan pada akhir penelitian.
Ikan dipuasakan selama 48 jam, pengambilan darah dimulai pada jam ke 0
(sebelum pemberian pakan) dan jam ke 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, dan 18 setelah
ikan diberi pakan satu kali sampai kenyang (post prandial). Sampel darah diambil
dari vena caudal, jantung atau insang dengan menggunakan spuid bervolume 1
mL yang telah dibasahi dengan larutan antikoagulan natrium sitrat 3,8%.
Selanjutnya sampel darah dimasukkan ke dalam microtube bervolume 1,5 mL dan
disentrifius dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Kadar glukosa darah
dianalisis mengikuti metode Wedemeyer dan Yasutake (1977). Prosedur analisis
kadar glukosa darah disajikan pada Lampiran 6. Bersamaan dengan pengukuran
kadar glukosa darah dilakukan juga pengukuran kadar trigliserida darah ikan uji,
95
96
yang diukur secara kolorimetrik menggunakan kit reagen berdasarkan metode
GPO-PAP
(glycerol-3-phosphate
oxydase-peroxidase
4-aminophenazone).
Prosedur kerja pengukuran kadar trigliserida darah disajikan pada Lampiran 7.
10. Konsumsi Oksigen
Parameter ini diperlukan untuk memprediksi laju metabolik ikan uji
menggunakan metode Becker dan Fishelson (1986).
Wadah percobaan yang
digunakan adalah stoples plastik bervolume 1,5 L yang dirancang dengan sistem
resirkulasi dan aliran air diatur dengan kecepatan 30 L/jam (Gambar 23). Ikan uji
dengan ukuran ± 20 g diaklimatisasi selama 48 jam dan diberi pakan pada level
pemeliharaan. Setelah masa aklimatisasi selesai, ikan uji dipuasakan selama 48
jam untuk menghilangkan semua sisa pakan dalam saluran pencernaan.
Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan dissolved oxygen
meter (model 5509 lutron skala 0 sampai 20 ppm) dengan selang waktu pencatatan
15 menit.
Pengukuran
dimulai setelah 48 jam ikan uji dipuasakan sampai
diperoleh tingkat konsumsi oksigen yang relatif stabil pada nilai terendah selama
± 90 menit. Selanjutnya ikan uji diberi pakan sampai kenyang dan pengukuran
dilanjutkan selama 24 jam. Selama pengamatan, ikan diberi pakan secara at
satiation sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00. Selama
pengukuran konsumsi oksigen kisaran suhu media budi daya adalah 29 sampai
30oC.
Nilai konsumsi oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
(O2tn - O2t0)
Konsumsi Oksigen =
(mg O2/kg0,8/jam)
Dimana : O 2tn
O2t0
BBM
V
=
=
=
=
xV
BBM
Konsentrasi O2 yang masuk ke dalam wadah (mg/L)
Konsentrasi O2 yang keluar dari wadah (mg/L)
Bobot badan metabolik [bobot badan (kg) 0,8]
Kecepatan aliran air (L/jam)
Laju metabolisme dihitung dengan mengkonversi nilai konsumsi oksigen,
yaitu mengkalikannya dengan nilai setara kalor 13,78 kJ/g untuk laju metabolisme
basal (Brett dan Goves 1979) dan 14,85 kJ/g untuk laju metabolisme kenyang dan
96
97
laju metabolisme rutin (Huisman 1976).
Specific dynamic action (SDA)
ditentukan dari selisih antara laju metabolisme kenyang dan laju metabolisme
basal.
Berdasarkan data laju metabolisme dan deposisi energi dalam tubuh ikan uji
dilakukan perhitungan neraca energi yang meliputi
konsumsi energi, retensi
energi, energi metabolik, yaitu energi yang siap digunakan untuk metabolisme dan
pertumbuhan, yang merupakan penjumlahan antara penggunaan energi pada
metabolisme rutin dan retensi energi, serta persentase retensi energi per konsumsi
energi dan energi metabolik per konsumsi energi.
Gambar 23. Wadah percobaan yang digunakan pada pengukuran konsumsi
oksigen untuk mengkaji efektivitas Carnobacterium sp. pada
berbagai kadar protein-karbohidrat pakan buatan pada
pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng
11. Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup ikan uji diamati pada setiap periode
pengamatan 10 hari sampai akhir penelitian dan dihitung dengan menggunakan
rumus Effendie (1997) sebagai berikut :
Nt
S =
x 100
No
Dimana : S
Nt
N0
= derajat kelangsungan hidup (%)
= jumlah ikan uji pada akhir penelitian (ekor)
= jumlah ikan uji pada awal penelitian (ekor)
97
98
Analisis Data
Data yang diperoleh pada percobaan ini dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji respons pada taraf uji 5% menggunakan
program SPSS 12,0. Data kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat pakan
pada periode inkubasi 24 jam, serta data kadar glukosa dan trigliserida darah
dianalisis secara deskriptif.
Hasil
Percobaan I (In Vitro)
Hasil pengukuran terhadap produk hidrolisis karbohidrat, yaitu kadar
glukosa pakan pada akhir periode inkubasi 6, 12 dan 24 jam setelah dihidrolisis
oleh Carnobacterium sp. disajikan pada Gambar 24 serta Lampiran 51, 58 dan 65.
Kadar karbohidrat pakan pada akhir periode inkubasi dapat dilihat pada Lampiran
54, 61 dan 66. Berdasarkan data kadar karbohidrat didapat hasil perhitungan
derajat hidrolisis karbohidrat yang disajikan pada Gambar 25 serta Lampiran 55,
6
50
%
P2
40 0%K
%
P30
%
30
K
%
P40
%
20
K
%
P50
%
10
K
%
P60
%
K
50
%
P20
%
40
K
%
P30
%
30
K
%
P40
%
20
K
%
P50
%
10
K
%
P60
%
K
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
50
%
P20
%
40
K
%
P30
%
30
K
%
P40
%
20
K
%
P50
%
10
K
%
P60
%
K
Kadar glukosa pakan
Kadar glukosa pakan
(mg/100
mL)
(mg/100 mL)
62 dan 67.
12
Periode inkubasi (jam)
24
Jenis inokulum Carnobacterium sp.
6
10 cfu/mL
cfu/mL
106
108 cfu/mL
108
cfu/mL
10 10 cfu/mL
1010
cfu/mL
1012 cfu/mL
1012
cfu/mL
Gambar 24. Kadar glukosa pakan (mg/100 mL) pada akhir periode inkubasi
(jam) pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar
protein-karbohidrat pakan
98
120
100
80
60
40
20
6
50
%
P20
%
40
K
%
P30
%
30
K
%
P40
%
20
K
%
P50
%
10
K
%
P60
%
K
50
%
P20
%
40
K
%
P30
%
30
K
%
P40
%
20
K
%
P50
%
10
K
%
P60
%
K
0
50
%
P20
%
40
K
%
P30
%
30
K
%
P40
%
20
K
%
P50
%
10
K
%
P60
%
K
Derajat hidrolisis
Derajat hidrolisis karbohidrat
karbohidrat (mg/100 mL)
(mg/100 mL)
99
12
Periode inkubasi (jam)
24
Jenis inokulum Carnobacterium sp.
6
10 cfu/mL
106
cfu/mL
10 8 cfu/mL
108
cfu/mL
1010 cfu/mL
1010
cfu/mL
1012 cfu/mL
1012
cfu/mL
Gambar 25. Derajat hidrolisis karbohidrat pakan (%) pada akhir periode inkubasi
(jam) pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar
protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
nyata mempengaruhi (P<0,05) kadar glukosa dan derajat hidrolisis karbohidrat
pakan, baik pada periode inkubasi 6 jam maupun 12 jam (Lampiran 52 dan 59,
serta 56 dan 63). Kadar glukosa pakan pada periode inkubasi 6 dan 12 jam
meningkat dengan bertambahnya jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar
karbohidrat pakan (Gambar 25 dan Lampiran 53 dan
60). Kadar
glukosa
pakan tertinggi, yaitu 124,97 mg/100 mL (periode inkubasi 6 jam) dan 171,39
mg/100 mL (periode inkubasi 12 jam) diperoleh pada jumlah inokulum
Carnobacterium sp. 1012 cfu/mL dan pakan E (10% P – 60% K) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar glukosa pakan pada perlakuan lainnya.
Namun
demikian, derajat hidrolisis karbohidrat pakan meningkat dengan bertambahnya
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan berkurangnya kadar karbohidrat pakan
(Lampiran 57 dan 64).
Derajat hidrolisis karbohidrat pakan tertinggi, yaitu
32,18% (periode inkubasi 6 jam) dan 54,26% (periode inkubasi 12 jam) diperoleh
pada jumlah inokulum Carnobacterium sp. 1012 cfu/mL dan pakan A: (50% P –
20% K) yang lebih tinggi dibandingkan dengan derajat hidrolisis karbohidrat
pakan pada perlakuan lainnya.
99
100
Hasil pengamatan secara deskriptif atas data kadar glukosa pakan pada
periode inkubasi 24 jam (Gambar 24 dan Lampiran 65) terlihat adanya penurunan
pada setiap perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar proteinkarbohidrat pakan dibandingkan dengan periode inkubasi 6 jam dan 12 jam
(Gambar 24).
Adapun hasil analisis kadar karbohidrat dan derajat hirolisis
karbohidrat pakan (Gambar 25 serta Lampiran 66 dan 67) menunjukkan bahwa
pada perlakuan pakan A: (50% P – 20% K) dan pakan B: (40% P - 30% K) semua
substrat sudah habis dihidrolisis oleh Carnobacterium sp. pada setiap perlakuan
jumlah inokulum, dengan derajat hidrolisis karbohidrat pakan adalah 100%. Pada
perlakuan pakan C: (30% P – 40% K) sebagian besar kadar karbohidrat pakan
adalah 0 untuk setiap perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp., kecuali
pada perlakuan pakan D: (20% P – 50% K) dan pakan E: (10% P – 60% K)
terdapat substrat karbohidrat yang masih tersisa, yaitu berkisar antara 0,67%
sampai 6,04%, dengan kisaran derajat hidrolisis karbohidrat pakan 89,97% sampai
98,66%
Carnobacterium sp. mampu menghidrolisis karbohidrat pakan sebesar 4,86
sampai 10,29 mg pada jumlah inokulum 1010 cfu/mL dan 6,39 sampai 11,08 mg
pada jumlah inokulum 10 12 cfu/mL selama 6 jam inkubasi. Hidrolisis ini
meningkat pada jam ke 12 inkubasi, yaitu sebesar 10,34 sampai 21,63 mg pada
jumlah inokulum 10 10 cfu/mL dan 10,76 sampai 22,10 mg pada jumlah inokulum
1012 cfu/mL. Pada jam ke-24 inkubasi, kandungan karbohidrat pakan sudah habis
dihidrolisis pada hampir semua perlakuan. Carnobacterium sp. mampu
menghidrolisis karbohidrat pakan sebesar 20,00 sampai 57,87 mg pada jumlah
inokulum 1010 cfu/mL dan 20,00 sampai 58,13 mg pada jumlah inokulum 10 12
cfu/mL (lampiran 68).
Percobaan II (In Vivo)
Pertumbuhan
Data pertumbuhan ikan uji yang mendapat perlakuan berbagai jumlah
inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan selama 60 hari
pemeliharaan yang meliputi bobot populasi (g) dan bobot rata-rata (g) disajikan
pada Lampiran 69 dan 70. Dari data tersebut dihitung pertumbuhan biomassa (g),
100
101
dan pertumbuhan relatif (%) yang disajikan pada Gambar 26 dan 27
serta
Lampiran 71 dan 74. Gambar ikan uji pada akhir pengamatan disajikan pada
Gambar 28.
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
nyata mempengaruhi (P<0,05) pertumbuhan biomassa dan pertumbuhan relatif
ikan uji yang dihasilkan (Lampiran 72 dan 75). Hasil uji lanjutan pada Lampiran
73 dan 76
serta Gambar 26 dan 27 menunjukkan bahwa inokulasi
Carnobacterium sp. dalam pakan mampu meningkatkan pertumbuhan ikan uji,
baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan dan berbeda
nyata dibandingkan kontrol. Pertumbuhan terbaik diperlihatkan oleh ikan uji
yang diberi pakan D: (20% P - 50% K) dan C: (30% P - 40% K) serta berbeda
nyata dibandingkan dengan ikan uji yang diberi pakan B: (40% P - 30% K) dan
pakan A: (50% P - 20% K), dengan pertumbuhan tertinggi ke rendah adalah ikan
uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K); C: (30% P - 40% K); B: (40% P - 30%
K) dan pakan A: (50% P - 20% K). Fenomena ini berlawanan pada perlakuan
kontrol, yaitu tanpa inokulasi Carnobacterium sp.
pertumbuhan tertinggi ke
rendah adalah ikan uji yang diberi pakan A: (50% P - 20% K); B: (40% P - 30%
K); C: (30% P - 40% K), dan D: (20% P - 50% K).
Pertumbuhan biomassa
(g)
1100
1000
900
800
700
600
500
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 26. Pertumbuhan biomassa (g) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
101
102
Pertumbuhan bobot
Pertumbuhan
Relatif (%)bobot
relatif (%)
2500
2250
2000
1750
1500
1250
1000
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 27. Pertumbuhan bobot relatif (%) ikan uji pada berbagai jumlah
inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
1012
1010
1010
1012
Gambar 28. Ikan uji pada akhir pengamatan (hari ke-60)
102
103
Efisiensi Pakan
Berdasarkan data pertumbuhan, bobot ikan yang mati selama penelitian dan
konsumsi pakan (Gambar 29 dan Lampiran 77) selama 60 hari pemeliharaan
didapat nilai efisiensi pakan (%) yang disajikan pada Gambar 30 dan
Lampiran 77.
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
nyata mempengaruhi (P<0,05) konsumsi pakan dan efisiensi pakan ikan uji
(Lampiran 78 dan 80).
Fenomena yang terjadi pada pertumbuhan juga terlihat
pada parameter konsumsi pakan, yaitu inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan
meningkatkan konsumsi pakan ikan uji, baik pada jumlah inokulum 1010 maupun
1012 cfu/mL/100 g pakan dibandingkan dengan kontrol (Lampiran 79 dan Gambar
29). Konsumsi pakan tertinggi diperlihatkan ikan uji yang mendapat perlakuan
pakan C: (30% P - 40% K) dan pakan D: (20% P - 50% K), yang nyata berbeda
dibandingkan dengan konsumsi pakan ikan uji yang diberi pakan B: (40% P - 30%
K) dan pakan A: (50% P - 20% K).
Hal sebaliknya terjadi pada ikan uji yang
mendapat perlakuan kontrol, yaitu konsumsi pakan tertinggi ke rendah adalah
ikan uji yang mendapat perlakuan pakan B: (40% P - 30% K), pakan A: (50% P 20% K), pakan C: (30% P - 40% K) dan pakan D: (20% P - 50% K).
Konsumsi pakan (g)
1300
1250
1200
1150
1100
1050
1000
950
900
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 29. Konsumsi pakan (g) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
103
104
Efisiensi pakan (%)
100
90
80
70
60
50
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 30. Efisiensi pakan (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
Meskipun ikan uji yang mendapat perlakuan inokulasi Carnobacterium sp.
baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan, konsumsi
pakan tertinggi terjadi pada ikan yang diberi pakan C: (30% P - 40% K) dan
pakan D: (20% P - 50% K), akan tetapi diikuti dengan tingkat pertumbuhan yang
tinggi sehingga menghasilkan efisiensi pakan yang lebih tinggi (p<0,05)
dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Lampiran 81).
Pada ikan uji yang
mendapat perlakuan kontrol, yaitu tanpa inokulasi Carnobacterium sp., efisiensi
pakan lebih baik pada pemberian pakan dengan kadar protein lebih tinggi. Hal
sebaliknya
terjadi
pada
ikan
uji
yang
mendapat
perlakuan
inokulasi
Carnobacterium sp., efisiensi pakan ikan uji yang diperoleh meningkat dengan
menurunnya kadar protein dan meningkatnya kadar karbohidrat dalam komposisi
pakan (Gambar 30 dan Lampiran 81).
Retensi Protein dan Lemak serta Kadar Glikogen Hati dan Otot
Berdasarkan data hasil analisis proksimat tubuh ikan pada awal dan akhir
pengamatan (Lampiran 134), data konsumsi pakan (Lampiran 77), serta hasil
analisis proksimat pakan (Tabel 11) diperoleh nilai retensi protein dan lemak (%)
yang disajikan pada Gambar 31 dan 32 serta Lampiran 82. Nilai kadar glikogen
104
105
(mg/100 g) diperoleh dari pengukuran pada hati dan otot ikan uji pada akhir
pengamatan disajikan pada Gambar 33 dan 34 serta Lampiran 82.
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
nyata mempengaruhi (P<0,05) retensi protein dan lemak serta kadar glikogen hati
dan otot pada ikan uji (Lampiran 83, 85, 87, dan 89). Hasil uji lanjutan pada
parameter pendukung pertumbuhan ini (Lampiran 84, 86, 88 dan 90
serta
Gambar 31, 32, 33 dan 34) memperlihatkan bahwa inokulasi Carnobacterium sp.
dalam pakan mampu meningkatkan retensi protein dan lemak serta kadar glikogen
hati dan otot pada ikan uji, baik pada jumlah inokulum10 10 maupun 10 12
cfu/mL/100 g pakan. Retensi protein dan lemak tertinggi diperlihatkan ikan uji
yang diberi pakan D: (20% P - 50% K) yang berbeda dibandingkan dengan ikan
uji yang diberi pakan C: (30% P - 40% K), pakan B: (40% P - 30% K) dan pakan
A: (50% P - 20% K). Kadar glikogen hati dan otot tertinggi diperlihatkan ikan uji
yang diberi pakan D: (20% P - 50% K) dan C: (30% P - 40% K) yang berbeda
nyata dibandingkan dengan ikan uji yang diberi pakan B: (40% P - 30% K) dan
pakan A: (50% P - 20% K). Retensi protein dan lemak serta kadar glikogen hati
dan otot ikan uji pada berbagai kadar protein-karbohidrat, dari yang tertinggi ke
rendah adalah ikan uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K), C: (30% P - 40%
Retensi protein (%)
K), B: (40% P - 30% K) dan pakan A: 50% P - 20% K.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 31. Retensi protein (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
105
106
Retensi lemak (%)
150
130
110
90
70
50
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 32. Retensi lemak (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
Kadar
hati
Kadarglikogen
glikogen hati
(mg/100
g)
(mg/100 mg)
160
150
140
130
120
110
100
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
Gambar 33.
K
1010
1012 )
Kadar glikogen hati (mg/100 g) ikan uji pada berbagai jumlah
inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
106
107
Kadar glikogen otot
Kadar glikogen otot
(mg/100 g)
(mg/100 mg)
150
125
100
75
50
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
20%P-50%K
1010
1012 )
Gambar 34. Kadar glikogen otot (mg/100 g) ikan uji pada berbagai jumlah
inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
Populasi Mikrob
Pada akhir pengamatan, dilakukan analisis populasi mikrob 5 dan 24 jam
post prandial (cfu/mL) pada saluran pencernaan ikan uji yang mendapat perlakuan
berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan yang disajikan pada Gambar 35 serta Lampiran 91.
15
Populasi
mikrob
Populasi
mikrob
(Log
10
cfl/mL)
(Log 10 cfu/mL)
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
K
1010
1012
K
1010
1012
Jumlah inokulum Carnobacterium sp.
5 jam post prandial
24 jam post prandial
50%P-20%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 35. Populasi mikrob (Log10 cfu/mL) 5 dan 24 jam post prandial pada
saluran pencernaan ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
107
108
Populasi mikrob 5 jam post prandial (Lampiran 92) nyata dipengaruhi oleh
perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. (P<0,05) dan tidak dipengaruhi
oleh perlakuan kadar protein-karbohidrat pakan, sedangkan populasi mikrob 24
jam post prandial (Lampiran 94) tidak dipengaruhi oleh kedua perlakuan yang
diberikan. Populasi mikrob 5 jam post prandial pada saluran pencernaan ikan uji
yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. terlihat meningkat baik
pada jumlah inokulum10 10 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan dibandingkan
dengan kontrol (Gambar 35 dan Lampiran 93). Akan tetapi, setelah 24 jam post
prandial populasi mikrob dalam saluran pencernaan ikan uji menurun kembali dan
tidak ada perbedaan antar-perlakuan.
Aktivitas Enzim a-Amilase dan Protease
Pada akhir pengamatan, aktivitas enzim a-amilase dan protease (IU/ g/menit)
pada saluran pencernaan ikan uji yang mendapat perlakuan berbagai jumlah
inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan yang disajikan
pada Gambar 36 dan 37 serta Lampiran 91.
Aktivitas enzim a-amilase dan protease (Lampiran 95 dan 97) ikan uji nyata
mempengaruhi (P<0,05) jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar proteinkarbohidrat pakan, tetapi tidak terjadi interaksi antara keduanya. Aktivitas enzim
a-amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan uji yang diberi pakan dengan
inokulasi Carnobacterium sp. terlihat meningkat baik pada jumlah inokulum1010
maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan jika dibandingkan dengan kontrol (Gambar 36
dan 37 serta Lampiran 96 dan 98). Aktivitas enzim a-amilase saluran pencernaan
ikan uji pada semua perlakuan jumlah inokulum Carnobacterium sp. meningkat
dengan bertambahnya kadar karbohidrat pakan, dengan nilai tertinggi ke rendah
diperlihatkan oleh ikan uji yang mendapat pakan D: (20% P - 50% K), pakan C:
(30% P - 40% K), pakan B: (40% P - 30% K) dan pakan A: (50% P - 20% K).
Nilai tertinggi dicapai ikan uji yang mendapat pakan D: (20% P - 50% K) dan
nyata berbeda dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 36 dan Lampiran
97). Aktivitas enzim protease saluran pencernaan ikan uji pada semua perlakuan
jumlah inokulum
Carnobacterium
sp.
meningkat
dengan
meningkatnya
kandungan protein pakan, dengan nilai tertinggi ke rendah diperlihatkan ikan uji
yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K), pakan B: (40% P - 30% K), pakan C:
108
109
(30% P - 40% K), dan pakan D: (20% P - 50% K). Nilai tertinggi dicapai ikan uji
yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K) dan nyata berbeda dibandingkan
dengan perlakuan lainnya (Gambar 37 dan Lampiran 98).
Aktivitas enzim a-amilase
(IU/g/menit)
70
60
50
40
30
20
10
0
K
10
12
10
10
Jumlah inokulum Carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 36. Aktivitas enzim a-amilase (IU/g/menit) pada saluran pencernaan
ikan uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan
kadar protein-karbohidrat pakan
Aktivitas enzim protease
(IU/g/menit)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
K
10
12
10
10
Jumlah inokulum Carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 37. Aktivitas enzim protease (IU/ g/menit) pada saluran pencernaan ikan
uji pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar
protein-karbohidrat pakan
109
110
Kecernaan Karbohidrat dan Protein Pakan
Kecernaan karbohidrat dan protein pakan (%) ikan uji yang mendapat
perlakuan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar proteinkarbohidrat pakan pada akhir pengamatan dapat dilihat pada Gambar 38 dan 39
serta Lampiran 99.
90
Kecernaan
karbohidrat (%)
80
70
60
50
40
30
1
1010
K
1012
2
Jumlah inokulum Carnobacterium sp.
3
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 38. Kecernaan karbohidrat (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
90
Kecernaan protein
(%)
80
70
60
50
40
30
1010
K
1012
Jumlah inokulum carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 39. Kecernaan protein (%) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
110
111
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
nyata mempengaruhi (P<0,05) kecernaan karbohidrat dan protein ikan uji
(Lampiran 100 dan 102).
Pada perlakuan kontrol, semakin tinggi kadar
karbohidrat pakan, tingkat kecernaan karbohidrat dan protein pakan semakin
rendah. Nilai kecernaan karbohidrat
lebih rendah dibandingkan dengan nilai
kecernaan protein pakan pada semua ikan uji (Gambar 38 dan 39 serta Lampiran
101 dan 103). Inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan baik pada jumlah
inokulum 1010 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan dapat meningkatkan kecernaan
karbohidrat dan sekaligus meningkatkan kecernaan protein yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol pada berbagai kadar protein–karbohidrat pakan.
Nilai kecernaan karbohidrat dan protein pakan ikan uji tidak berbeda pada semua
perlakuan kadar protein-karbohidrat pakan.
Kadar Glukosa dan Trigliserida Darah
Hasil analisis kadar glukosa dan kadar trigliserida darah (mg/100 mL darah)
ikan uji yang mendapat perlakuan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp.
dan kadar protein-karbohidrat pakan sesaat sebelum makan (jam ke-0) dan setelah
mengkonsumsi pakan (jam ke-2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, dan 18 post prandial)
disajikan pada Gambar 40 dan 41 serta Lampiran 104 dan 105.
Kadar glukosa darah
(mg/100 mL darah)
140
120
100
80
60
40
20
0
7.00
10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00
2.00
Periode pengamatan (setiap 2 jam selama 18 jam post prandial )
A
B
C
D
A10
B10
C10
D10
A12
B12
C12
D12
A: (50%P-20%K) B: (40%P-30%K) C: (30%P-40%K) D: (20%P-50%K)
10 = 1010 12 = 1012
Gambar 40. Kadar glukosa darah (mg/100 mL darah) ikan uji pada berbagai
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan setiap 2 jam selama 18 jam post prandial
111
Kadar trigliserida darah
(mg/100 mL)
112
350
300
250
200
150
100
50
0
7.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 2.00
Periode pengamatan (setiap 2 jam selama 18 jam post prandial )
A
B
C
D
A10
B10
C10
D10
A12
B12
C12
D12
A: (50%P-20%K) B: (40%P-30%K) C: (30%P-40%K) D: (20%P-50%K)
10 = 1010 12 = 1012
Gambar 41. Kadar trigliserida darah (mg/100 mL darah) ikan uji pada berbagai
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan setiap 2 jam selama 18 jam post prandial
Kadar glukosa dan trigliserida darah ikan uji segera meningkat setelah ikan
mengkonsumsi sejumlah pakan dan menurun kembali setelah mencapai puncak.
Titik puncak dan permulaan turunnya puncak kadar glukosa dan trigliserida darah
ikan uji pada setiap perlakuan dicapai pada periode waktu yang berbeda. Titik
puncak kadar glukosa darah tercepat dicapai ikan uji yang diberi pakan dengan
inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 10 12
cfu/mL/100 g pakan, yaitu pada jam ke-4 post prandial.
Puncak tertinggi ke
rendah diperlihatkan ikan uji yang diberi pakan D: (20% P - 50% K), pakan C:
(30% P - 40% K), pakan B: (40% P - 30% K), dan pakan A: (50% P - 20% K).
Ikan uji dengan perlakuan kontrol, pada berbagai perlakuan kadar proteinkarbohidrat pakan, titik puncak kadar glukosa darah dicapai pada jam ke-6 post
prandial. Kadar trigliserida darah ikan uji pada setiap perlakuan mencapai titik
puncak pada periode waktu yang sama, yaitu antara jam ke-6 sampai jam ke-8
post prandial. Ikan uji pada perlakuan kontrol, pada berbagai perlakuan kadar
protein-karbohidrat pakan menunjukkan kadar trigliserida darah yang lebih rendah
dibandingkan dengan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi
Carnobacterium sp.
112
113
Konsumsi Oksigen dan Laju Metabolisme
Pengamatan pada tingkat konsumsi oksigen (mg O 2/kg0,8/jam) ikan uji setiap
15 menit selama 24 jam pada berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan
kadar protein-karbohidrat pakan disajikan pada Gambar 42.
Pola konsumsi oksigen harian ikan uji bervariasi berdasarkan perlakuan
yang diberikan. Tingkat konsumsi oksigen harian yang dihasilkan pada ikan uji
yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah
inokulum 10 10 maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan dengan berbagai kadar proteinkarbohidrat pakan lebih tinggi dibandingkan dengan ikan uji kontrol (Gambar 42).
Aktivitas
mengkonsumsi
oksigen
segera
meningkat
setelah
ikan
uji
mengkonsumsi pakan, hal ini nampak terlihat pada ketiga frekuensi pemberian
pakan selama 24 jam.
Ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi
Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum 10 10 maupun 1012 cfu/mL/100 g
pakan dengan berbagai kadar protein-karbohidrat pakan memerlukan waktu mulai
0,5 sampai 3,5 jam untuk aktivitas mengkonsumsi oksigen pada saat kenyang, dan
menurun kembali setelah mencapai puncak. Ikan uji kontrol, pada berbagai kadar
protein-karbohidrat pakan memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu berkisar
antara 1 sampai 5 jam untuk mengkonsumsi oksigen pada saat kenyang.
500
450
0.8
(mg O2/kg /jam)
Konsumsi oksigen
400
350
300
250
200
150
100
50
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
24.00
23.00
22.00
21.00
20.00
19.00
18.00
17.00
16.00
15.00
14.00
13.00
12.00
11.00
10.00
9.00
8.00
7.00
6.00
0
Periode pengamatan (setiap 15 menit selama 24 jam)
A
B
C
D
A10
B10
C10
D10
A12
B12
C12
D12
A: (50%P-20%K) B: (40%P-30%K) C: (30%P-40%K) D: (20%P-50%K)
10 = 1010 12 = 1012
Gambar 42. Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/kg0,8/jam) ikan uji pada berbagai
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan setiap 15 menit selama 24 jam
113
114
Berdasarkan data tingkat konsumsi oksigen harian dilakukan analisis tingkat
konsumsi oksigen basal, konsumsi oksigen rutin, dan konsumsi oksigen kenyang
(mg O2/kg0,8/jam) disajikan pada Gambar 43, 44 dan 45 serta Lampiran 106.
Konsumsi oksigen
basal (mg O2 /kg0,8 /jam)
500
450
400
350
300
250
200
150
100
K
10
12
10
10
Jumlah inokulasi Carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 43. Konsumsi oksigen basal (mg O 2/kg0,8/jam) ikan uji
Konsumsi oksigen
0,8
rutin (mg O2 /kg /jam)
500
450
400
350
300
250
200
150
100
10
K
10
10
12
Jumlah inokulasi Carnobacterium sp
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 44. Konsumsi oksigen rutin (mg O2/kg0,8/jam) ikan uji pada berbagai
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan
114
115
0,8
(mg O2/kg /jam)
Konsumsi oksigen
kenyang
500
450
400
350
300
250
200
150
100
K
10
10
12
10
Jumlah inokulasi Carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 45. Konsumsi oksigen kenyang (mg O2/kg0,8/jam) ikan uji pada berbagai
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
mempengaruhi (P<0,05) konsumsi oksigen rutin dan konsumsi oksigen kenyang,
tetapi tidak ada interaksi antar-perlakuan (Lampiran 108 dan 110). Aktivitas
konsumsi oksigen basal berkisar antara 118,41 dan 136,10 mg O2/kg0,8/jam,
konsumsi oksigen rutin berkisar antara 243,23 dan 295,90 mg O2/kg0,8/jam dan
konsumsi oksigen kenyang berkisar antara 310,23 dan 421,14 mg O2/kg0,8/jam.
Aktivitas konsumsi oksigen rutin dan konsumsi oksigen kenyang ikan uji
(Gambar 44 dan 45 serta Lampiran 109 dan 111) yang diberi pakan dengan
inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah inokulum10 10 maupun 1012
cfu/mL/100 g pakan nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol. Konsumsi oksigen
rutin dan konsumsi oksigen kenyang ikan uji pada semua perlakuan jumlah
inokulum Carnobacterium sp. meningkat dengan meningkatnya kadar protein
pakan, dengan nilai tertinggi ke rendah diperlihatkan oleh ikan uji yang mendapat
pakan A: (50% P - 20% K), pakan B: (40% P - 30% K), pakan C: (30% P - 40%
K), dan pakan D: (20% P - 50% K). Konsumsi oksigen ikan uji yang mendapat
pakan A: (50% P - 20% K) berbeda dibandingkan dengan ikan yang mendapat
pakan lainnya.
115
116
Tingkat
konsumsi
oksigen
dapat
digunakan
untuk
menaksir
laju
metabolisme. Hasil analisis laju metabolisme basal, laju metabolisme rutin, laju
metabolisme kenyang, dan specific dynamic action (kJ/kg 0,8/hari) ikan uji pada
berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan dapat dilihat pada Gambar 46, 47,48 dan 49 serta Lampiran 112.
Laju
metabolisme basal
Laju metabolisme
basal
0,8
0,8/hari)
(kJ/kg
(kJ/kg /hari)
150
125
100
75
50
25
0
1010
K
1012
Jumlah inokulasi Carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 46. Laju metabolisme basal (kJ/kg0,8/hari) ikan uji
125
(kJ/kg /hari)
0,8
(kJ/kg0,8
/hari)
Lajumetabolisme
metabolisme rutin
Laju
150
100
75
50
25
0
K
10
12
10 p.
10
Jumlah inokulasi Carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 47. Laju metabolisme rutin (kJ/kg0,8/hari) ikan uji pada berbagai jumlah
inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
116
117
140
120
0.8
(kJ/kg /hari)
Laju metabolisme kenyang
160
100
80
60
40
20
0
K
10
10
10
Jumlah inokulum Carnobacterium sp.
12
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 48. Laju metabolisme kenyang (kJ/kg0,8/hari) ikan uji pada berbagai
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan
(kJ/kg /hari)
125
100
0,8
Specifik dinamic action
150
75
50
25
0
K
10 10
10 12
Jumlah inokulasi Carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 49. Specific dynamic action (kJ/kg 0,8/hari) ikan uji pada berbagai jumlah
inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
mempengaruhi (P<0,05) laju metabolisme rutin, laju metabolisme kenyang, dan
specific dynamic action, tetapi tidak ada interaksi antar-perlakuan (Lampiran 114,
116 dan 118). Laju metabolisme basal berkisar antara 38,08 – 43,92 kJ/kg 0,8/hari,
117
118
laju me tabolisme rutin berkisar antara 85,43 dan 103,98 kJ/kg0,8/hari,
laju
0,8
metabolisme kenyang berkisar antara 110,57 dan 150,10 kJ/kg /hari dan specific
dynamic action berkisar antara 67,17 dan 107,99 kJ/kg0,8/hari.
Aktivitas laju metabolisme rutin, laju metabolisme kenyang, dan specific
dynamic action ikan uji (Gambar 47, 48 dan 49 serta Lampiran 115, 117, dan
119) yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. baik pada jumlah
inokulum1010 maupun 1012 cfu/mL/100 g pakan nyata lebih tinggi dibandingkan
kontrol. Laju metabolisme rutin, laju metabolisme kenyang, dan specific dynamic
action ikan uji pada semua pelakuan jumlah
inokulum Carnobacterium sp.
meningkat dengan peningkatan kandungan protein pakan. Nilai tertinggi ke rendah
diperlihatkan ikan uji yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K), pakan B:
(40% P - 30% K), pakan C: (30% P - 40% K) dan pakan D: (20% P - 50% K).
Nilai tertinggi dicapai ikan uji yang mendapat pakan A: (50% P - 20% K) nyata
berbeda dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Neraca Energi
Neraca energi merupakan parameter penting pada kajian bioenergetik.
Neraca energi ikan uji dengan berbagai jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan
kadar protein-karbohidrat pakan yang dianalisis
pada akhir percobaan adalah
konsumsi energi, energi yang diretensi dalam tubuh, dan energi metabolik dalam
kJ per kg ikan, serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi
metabolik per konsumsi energi (Gambar 50, 51, 52, 53 dan 54 serta Lampiran
120).
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
mempengaruhi (P<0,05) konsumsi energi, energi yang diretensi dalam tubuh, dan
energi metabolik dalam kJ per kg ikan, serta persentase retensi energi per
konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi ikan uji (Lampiran
121, 123, 125, 127, dan 129). Hasil uji lanjutan pada Lampiran 122, 124, 126 ,
128, dan 130 serta Gambar 50, 51, 52, 53, dan 54 menunjukkan bahwa perlakuan
inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan mampu meningkatkan energi yang
diretensi dalam tubuh dan energi metabolik dalam kJ per kg ikan, serta persentase
retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per konsumsi energi ikan
uji, serta mengefisienkan energi yang dikonsumsi, baik pada jumlah inokulum1010
118
119
maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan dan berbeda nyata dibandingkan kontrol.
Energi yang diretensi dalam tubuh dan energi metabolik dalam kJ per kg ikan,
serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan energi metabolik per
konsumsi energi ikan uji meningkat dengan meningkatnya kadar karbohidrat
pakan. Nilai terbaik diperlihatkan oleh ikan uji yang diberi pakan D: (20% P 50% K) dengan inokulasi Carnobacterium sp. yang berbeda dari perlakuan
lainnya. Pada ikan uji kontrol, energi yang diretensi dalam tubuh dan energi
metabolik dalam kJ per kg ikan yang dihasilkan tidak berbeda antar-perlakuan
kadar protein-karbohidrat pakan. Persentase retensi energi per konsumsi energi
dan energi metabolik per konsumsi energi ikan uji meningkat dengan
meningkatnya kadar karbohidrat pakan, sampai pada pakan C: (30% P – 40 % K).
Setelah itu menurun pada ikan uji yang diberi pakan D: (20% P – 50% K). Hasil
yang dicapai merupakan dampak dari peningkatan konsumsi energi pada ikan uji
yang diberi pakan D: (20% P – 50% K).
Konsumsi energi (kJ/kg)
1000
950
900
850
800
750
700
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 50. Konsumsi energi (kJ/kg) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
119
120
Retensi energi (kJ/kg)
500
450
400
350
300
250
200
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 51. Retensi energi (kJ/kg) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
Energi metabolik (kJ/kg)
700
650
600
550
500
450
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 52. Energi metabolik (kJ/kg) ikan uji pada berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
120
RE/KE (%)
121
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 53. Retensi energi per konsumsi energi (%) ikan uji pada berbagai
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar proteinkarbohidrat pakan
100
EM/KE (%)
90
80
70
60
50
40
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Kadar protein-karbohidrat pakan
Jumlah inokulum Carnobacterium sp. (
K
1010
1012 )
Gambar 54. Energi metabolik per konsumsi energi (%) ikan uji pada berbagai
jumlah inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat
pakan
Tingkat Kelangsungan Hidup
Data jumlah populasi ikan uji dengan berbagai jumlah inokulum
Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan pada setiap 10 hari
periode pengamatan disajikan pada Lampiran 131. Berdasarkan data tersebut
121
122
diperoleh nilai tingkat kelangsungan hidup (%) yang disajikan pada Gambar 55
dan Lampiran 132.
Tingkat kelangsungan
hidup (%)
100
75
50
25
0
10
12
K
10
10
Jumlah inokulasi Carnobacterium sp.
Kadar protein-karbohidrat pakan
50%P-20%K
40%P-30%K
30%P-40%K
20%P-50%K
Gambar 55. Tingkat kelangsungan hidup (%) ikan uji pada berbagai jumlah
inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan
Gambar 55 dan Lampiran 133 menunjukkan bahwa perlakuan yang
diberikan pada ikan uji baik jumlah inokulum Carnobacterium sp. maupun kadar
protein-karbohidrat pakan selama 60 hari pemeliharaan tidak menunjukkan
pengaruh yang signifikan pada tingkat kelangsungan hidup ikan uji.
Pembahasan
Hasil percobaan secara in vitro menunjukkan bahwa Carnobacterium sp.
sangat efektif menghidrolisis pakan dan sangat dipengaruhi oleh jumlah inokulum
Carnobacterium sp. serta
kadar protein-karbohidrat pakan.
Semakin tinggi
jumlah inokulum dan kadar karbohidrat pakan, semakin besar kadar glukosa yang
dihasilkan, dan derajat hidrolisis karbohidrat rata-rata mencapai 100% pada akhir
periode inkubasi 24 jam.
Pati yang terkandung dalam pakan adalah substrat yang sesuai bagi
Carnobacterium sp. Oleh sebab itu, peningkatan pati dalam pakan dapat memacu
sekresi enzim amilase untuk mendegradasi pati menjadi glukosa. Peningkatan
kadar glukosa dalam media meningkatkan sumber karbon dan energi untuk
pertumbuhannya. Atlas et al. (1984) mengemukakan bahwa mikrob amilolitik
122
123
adalah mikrob yang mampu menghasilkan eksoenzim amilase yang akan
mendegradasi pati menjadi maltosa dan glukosa. Sakarida ini diangkut ke dalam
sitoplasma sel dan digunakan sebagai sumber karbon dan energi.
Kadar glukosa dalam media juga sangat dipengaruhi oleh jumlah inokulum
Carnobacterium sp.
Pertumbuhan mikrob merupakan pembelahan biner
melintang, yaitu satu sel membelah diri menghasilkan dua sel. Semakin besar
jumlah inokulum, berarti semakin padat populasi Carnobacterium sp.
dalam
media. Oleh sebab itu, akan semakin banyak sel yang membelah, yang
menyebabkan
kepadatan sel Carnobacterium sp. akan semakin meningkat.
Peningkatan kepadatan populasi Carnobacterium sp. dapat menambah aktivitas
hidrolisis substrat sehingga kadar glukosa dalam media kultur juga meningkat.
Menurut Fuller (1997) salah satu faktor yang menentukan keberhasilan aplikasi
probiotik adalah dosis yang diberikan. Kompiang (1999) mengemukakan bahwa
dosis probiotik yang tepat dalam pakan dapat berfungsi sebagai growth promoter
pada pertumbuhan hewan.
Penurunan kadar glukosa pada periode pengamatan 24 jam inkubasi terjadi
karena glukosa hasil hidrolisis dimanfaatkan oleh mikrob sebagai sumber karbon
untuk kehidupannya sementara sumber glukosa dalam media, yaitu pati sudah
mulai berkurang dan bahkan sudah habis. Fenomena ini dibuktikan dengan hasil
analisis pada derajat hidrolisis karbohidrat pakan pada periode inkubasi 24 jam,
yaitu rata-rata mencapai 100% untuk semua perlakuan.
Pengamatan pada
berbagai periode inkubasi untuk mengukur hidrolisis karbohidrat pakan oleh
mikrob secara in vitro sangat penting sebagai informasi periode inkubasi yang
sudah memberikan respons perbedaan pada parameter yang diamati.
Pada
percobaan ini, periode inkubasi yang sudah memberikan respons perbedaan
adalah pada periode pengamatan 12 jam inkubasi.
Semakin banyak substrat yang tersedia semakin
tinggi aktivitas mikrob
untuk menghidrolisis. Akan tetapi, substrat yang masih tersisa yang belum
terhidrolisis oleh mikrob sampai periode inkubasi 12 jam masih tinggi. Hal inilah
yang menyebabkan derajat hidrolisis karbohidrat yang
diperoleh
menurun
dengan meningkatnya kadar karbohidrat pakan. Derajat hidrolisis karbohidrat
yang dicapai oleh Carnobacterium sp. pada jumlah inokulum 1010 dan 10 12
123
124
cfu/mL sampai 12 jam inkubasi, sudah berada pada kisaran nilai kecernaan
karbohidrat atau pati oleh ikan, yaitu sekitar 40 sampai 60%. Derajat hidrolisis
karbohidrat yang masih lebih rendah dibandingkan nilai kecernaan ikan pada
umumnya, ditemukan pada level karbohidrat pakan yang tinggi.
Meskipun
demikian, diharapkan pada aplikasi Carnobacterium sp secara in vivo, enzim
pencernaan eksogen dan endogen pada saluran pencernaan bekerja bersama-sama
untuk melakukan proses degradasi karbohidrat pakan. Dengan demikian, derajat
hidrolisis atau kecernaan karbohidrat pakan dapat lebih ditingkatkan.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada percobaan in vitro, pada semua
parameter yang diamati bahwa perlakuan yang terbaik adalah jumlah inokulum
Carnobacterium sp. 1012 cfu/mL dengan pakan E: (10% P – 60% K). Walaupun
demikian, perlakuan yang diuji pada percobaan in vivo adalah jumlah inokulasi
mikrob 1010 dan 1012 cfu/mL dan pakan A : (50% P – 20% K), pakan B: (40 P –
30% K), pakan C: (30% P – 40% K), dan pakan D: (20% P – 50 % K). Meskipun
hasil uji statistik membuktikan bahwa jumlah inokulum Carnobacterium sp.
yang terbaik adalah 10 12 cfu/mL, dalam saluran pencernaan ikan juga terdapat
enzim pencernaan amilase endogen yang akan mencerna karbohidrat pakan yang
masuk ke dalam saluran pencernaan. Diharapkan dengan 1010 cfu/mL
Carnobacterium sp., ikan uji sudah mampu memanfaatkan pakan buatan dengan
kadar karbohidrat yang lebih tinggi, dan memberikan pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup yang lebih baik. Pakan E: (10% P – 60% K) tidak digunakan
pada tahap pengujian in vivo dengan pertimbangan kadar proteinnya terlalu
rendah dibandingkan dengan kebutuhan protein pada ikan secara umum. Ikan
bandeng membutuhkan kadar protein pakan berkisar antara 20 dan 40%, dengan
kadar protein optimal sebesar 40% yang memberikan tingkat pertumbuhan terbaik
(Lim et al. 1979; Santiago et al. 1983).
Carnobacterium sp. sebagai feed additive
mampu meningkatkan
pertumbuhan ikan uji baik pada jumlah inokulum Carnobacterium sp. 1010
maupun 10 12 cfu/mL/100 g pakan dibandingkan dengan ikan uji kontrol. Ikan uji
dengan inokulasi Carnobacterium sp. memperlihatkan peningkatan pertumbuhan
dengan meningkatnya karbohidrat pakan. Ikan uji yang mendapat pakan D: (20%
P – 50% K) dan pakan C: (30% P – 40% K) menunjukkan tingkat pertumbuhan
124
125
tertinggi.
Sebaliknya, pada ikan uji dengan perlakuan kontrol, pertumbuhan
menurun dengan meningkatnya karbohidrat. Hal senada dengan ikan uji pada
perlakuan kontrol, yaitu pertumbuhan menurun dengan meningkatnya karbohidrat
dilaporkan pada beberapa spesies ikan (Suarez et al. 2002; Krogdahl et al. 2004;
dan Hatlen et al. 2005).
Peningkatan pertumbuhan ikan uji akibat inokulasi Carnobacterium sp.
dalam pakan merupakan respons pemanfaatan karbohidrat pakan sebagai sumber
energi, hal ini memperlihatkan apa yang disebut protein sparing action untuk
pertumbuhan. Protein dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perbaikan sel yang
rusak, tidak sebagai sumber energi. Menurut Zonneveld et al. (1991) meskipun
karbohidrat bukan merupakan sumber energi yang superior bagi ikan melebihi
protein dan lemak, karbohidrat yang dicerna dari pakan dapat memperlihatkan apa
yang disebut protein sparing action untuk pertumbuhan.
Respons
pertumbuhan
ikan
uji
yang
tinggi
terhadap
inokulasi
Carnobacterium sp. dalam pakan menghasilkan tingkat pemanfaatan pakan yang
lebih efisien dibandingkan ikan uji kontrol. Ikan uji yang mendapat pakan D:
(20% P – 50% K) dan pakan C: (30% P – 40% K) dengan inokulasi
Carnobacterium sp. mampu memanfaatkan karbohidrat pakan lebih efektif dan
menggunakan protein pakan lebih efisien sehingga memberikan respons lebih
baik pada pertumbuhan dan efisiensi pakan. Hasil yang sama dicapai oleh ikan
gurame yang diberi pakan dengan inokulasi probiotik Bacillus sp. (Irawan 2002;
dan Murni 2004).
Pengukuran materi pertumbuhan, meliputi retensi protein dan lemak, serta
kadar glikogen hati dan otot memperlihatkan pola yang seiring dengan
pertumbuhan bobot ikan uji.
Inokulum Carnobacterium sp. dalam pakan, baik
10
maupun 1012 cfu/mL/100 g, meningkatkan retensi
pada jumlah inokulum 10
protein dan lemak, serta kadar glikogen hati dan otot ikan uji dibandingkan
dengan ikan uji kontrol. Retensi protein dan lemak, serta kadar glikogen hati dan
otot meningkat dengan peningkatan kadar karbohidrat pakan. Peningkatan
kemampuan ikan uji memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi, dapat
meningkatkan efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dan
125
126
pergantian sel yang rusak, yang pada akhirnya terjadi peningkatan deposisi dan
retensi protein.
Berdasarkan data retensi lemak ikan uji terlihat adanya indikasi pemanfaatan
sejumlah lemak pakan untuk mencukupi kebutuhan energi karena energi yang
berasal dari karbohidrat pakan rendah. Keadaan ini ditunjukkan ikan uji kontrol
dengan pakan A: (50% P – 20% K).
Retensi lemak
meningkat dengan
peningkatan kadar karbohidrat pakan, serta meningkat dengan adanya inokulasi
Carnobacterium sp. dalam pakan bahkan mencapai di atas 100%.
Hal ini
mengindikasikan adanya pemanfaatan lemak dan karbohidrat pakan secara
maksimum untuk simpanan lemak tubuh pada proses lipogenesis. Hasil yang sama
dilaporkan terjadi pada ikan gurame yang mendapat pakan yang diinokulasi
probiotik Bacillus sp. (Murni 2004).
Ketersediaan
glukosa
dalam
sel, yang merupakan produk hidrolisis
karbohidrat digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh dan kebutuhan
energi, setelah terpenuhi pemasukan glukosa yang tinggi akan merangsang
terjadinya proses glikogenesis dan lipogenesis (Stryer 2000). Glikogenesis adalah
perubahan bentuk glukosa menjadi glikogen seperti yang terjadi dalam hati dan
otot. Peningkatan aktivitas glikogenesis inilah yang menyebabkan meningkatnya
kadar glikogen hati dan otot pada ikan uji yang diberi pakan dengan kadar
karbohidrat lebih tinggi dengan inokulasi Carnobacterium sp. Nilai yang didapat
menurun dengan berkurangnya karbohidrat pakan. Peningkatan retensi protein
dan lemak, serta kadar glikogen hati dan otot dengan meningkatnya karbohidrat
pakan juga ditemukan pada spesies ikan lain (Suarez et al. 2002; Krogdahl et al.
2004; Mokoginta et al. 2004; dan Hatlen et al. 2005).
Pada ikan uji kontrol, pertumbuhan tertinggi ke rendah adalah yang diberi
pakan A: (50% P - 20% K), pakan B: (40% P - 30% K); pakan C: (30% P - 40%
K), dan pakan D: (20% P - 50% K). Hal ini terjadi karena perbedaan pada kadar
protein-karbohidrat pakan yang diberikan. Ikan uji yang mendapat pakan dengan
kadar protein yang lebih tinggi memperlihatkan respons pertumbuhan tertinggi
dan menurun dengan menurunnya kadar protein pakan. Pengaruh yang lain diduga
adanya perbedaan komposisi asam amino dan asam lemak pakan. Perbedaan
komposisi asam amino dan asam lemak pada setiap pakan uji disebabkan oleh
126
127
perbedaan komposisi tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung terigu dalam
formulasi pakan
Pola pertumbuhan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi
Carnobacterium sp. dari tertinggi ke rendah adalah yang diberi pakan pakan D:
(20% P - 50% K), pakan C: (30% P - 40% K), pakan B: (40% P - 30% K), dan
pakan A: (50% P - 20% K). Fenomena ini merupakan respons ikan uji pada
perubahan fisiologis saluran pencernaan akibat inokulasi Carnobacterium sp.
Inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan meningkatkan populasi mikrob dalam
saluran pencernaan ikan uji, yaitu dari sekitar 10 10 cfu/mL menjadi 1013 cfu/mL
pada saat puncak hidrolisis pakan. Peningkatan populasi mikrob dalam saluran
pencernaan ikan uji meningkatkan aktivitas enzim pencernaan,
yaitu enzim
a-amilase dan protease di dalam saluran pencernaan ikan uji. Enzim a-amilase
dan protease (pepsin dan tripsin) adalah enzim yang berperan sebagai katalisator
pada pencernaan karbohidrat dan protein. Peningkatan aktivitas enzim pencernaan
yang berasal dari kontribusi mikrob pada saluran pencernaan ikan dilaporkan oleh
beberapa peneliti (Gatesoupe 1999; Handayani et al. 2000; Robertson et al. 2000;
dan Murni 2004).
Peningkatan aktivitas enzim a-amilase dan protease pada
saluran pencernaan ikan uji dapat meningkatkan kecernaan karbohidrat dan
protein pakan. Akibatnya, penyerapan nutrien hasil hidrolisis di dalam saluran
pencernaan juga meningkat. Hal ini merupakan respons positif dari ikan uji pada
Carnobacterium sp.
yang diberikan sehingga lebih mampu memanfaatkan
karbohidrat pakan sebagai sumber energi,
diperuntukkan
bagi
pertumbuhan.
Hasil
dan protein lebih banyak
akhirnya
adalah
peningkatan
pertumbuhan.
Populasi mikrob pada saluran pencernaan ikan uji meningkat pada 5 jam
post prandial dibandingkan dengan ikan uji kontrol. Pada periode waktu 5 jam
aktivitas pada saluran pencernaan ikan uji tinggi, dan masih banyak nutrien yang
tersedia. Penurunan kembali populasi mikrob pada saluran pencernaan ikan uji 24
jam post prandial disebabkan pakan dalam saluran pencernaan sudah habis
dihidrolisis dan nutrien hasil hidrolisis sudah diserap ke dalam tubuh.
Oleh
karena itu, tidak tersedia nutrien yang cukup untuk pertumbuhan mikrob.
Mikroorganisme dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar yang kaya
127
128
akan molekul kompleks dengan cara mensekresikan enzim yang disebut
eksoenzim.
Eksoenzim mengkatalisasikan hidrolisis makromolekul menjadi
molekul yang lebih sederhana seperti protein menjadi asam amino, polisakarida
menjadi gula, dan lemak menjadi asam lemak. Molekul yang sudah kecil ini
diangkut ke sitoplasma sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi atau
senyawa pemula dalam sintesis komponen sel (Lay 1994).
Eksoenzim disekresikan oleh mikrob untuk mendegradasi pakan, dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan karbon atau energi mikrob itu sendiri. Akan
tetapi, ketersediaan nutrien lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan mikrob
sampai pada batas jumlah inokulum tertentu. Hal inilah yang menjadi satu alasan
tidak ada perbedaan populasi mikrob pada berbagai kadar protein-karbohidrat
pakan.
Perimbangan ketersediaan nutrien yang lebih banyak dari kebutuhan
mikrob, menyebabkan ketersediaan nutrien untuk ikan uji tidak terganggu.
Keuntungan bagi ikan uji adalah eksoenzim yang disekresikan mikrob dapat
meningkatkan aktivitas enzim pencernaan pada saluran pencernaan ikan uji.
Aktivitas enzim a-amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan uji
meningkat dengan adanya inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan.
Peningkatan aktivitas enzim a-amilase pada saluran pencernaan ikan uji dengan
adanya inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan, diikuti juga oleh peningkatan
aktivitas enzim protease.
Carnobacterium sp. adalah mikrob amilolitik yang
memerlukan pati sebagai sumber karbonnya, tetapi mikrob ini juga dapat
memanfaatkan sumber karbon lain selain pati pada media hidupnya. Hal inilah
yang menyebabkan aktivitas enzim protease pada saluran pencernaan ikan uji
dengan inokulasi Carnobacterium sp. meningkat dibandingkan kontrol. Pelczar
dan Chan (1988) mengemukakan bahwa mikrob seperti juga manusia memerlukan
zat-zat gizi untuk pertumbuhan dan fungsi normalnya, yaitu sumber energi,
karbon, nitrogen, mineral, vitamin, dan air.
Aktivitas enzim a-amilase meningkat dengan peningkatan karbohidrat
pakan, dan aktivitas enzim protease meningkat dengan peningkatan protein pakan.
Hal ini berhubungan dengan ketersediaan substrat yang dihidrolisis oleh enzim.
Semakin banyak substrat yang tersedia, semakin banyak eksoenzim yang
disekresikan mikrob. Ketersediaan substrat juga akan merangsang saluran dan
128
129
kelenjar pencernaan ikan untuk mensekresikan enzim endogen secara maksimal
sampai batas tertentu. Dengan demikian, terjadi peningkatan aktivitas enzim aamilase dan protease untuk menghidrolisis karbohidrat dan protein pakan.
Peningkatan ini berdampak pada peningkatan kecernaan karbohidrat dan protein
pakan pada ikan uji yang mendapat pakan yang diinokulasi Carnobacterium sp.
Nilai kecernaan pakan atau disebut juga kofisien pencernaan dapat
menggambarkan
kemampuan
ikan
untuk
mencerna
pakan,
menggambarkan kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ikan.
juga
dapat
Kecernaan
karbohidrat dan protein pakan ikan uji pada perlakuan kontrol, menurun dengan
bertambahnya kadar karbohidrat pakan. Hasil yang sama dilaporkan ditemukan
pada ikan rainbow trout (Pan et al. 2005). Pada ikan uji yang mendapat pakan
dengan inokulasi Carnobacterium sp. tidak ada perbedaan antar-perlakuan kadar
protein-karbohidrat pakan, akan tetapi lebih tinggi dibandingkan ikan uji kontrol.
Kecernaan karbohidrat dan protein pakan akan menurun dengan meningkatnya
komposisi non-protein dalam pakan.
Hal ini demikian karena, pada proses
pencernaan karbohidrat, semakin tinggi kadar karbohidrat pakan semakin besar
substrat yang tersedia untuk enzim a-amilase. Akan tetapi kapasitas aktivitas
enzim a-amilase untuk menghidrolisis karbohidrat rendah.
Dengan demikian,
semakin tinggi kadar karbohidrat pakan semakin banyak bagian yang tidak
tercerna dan dikeluarkan dari tubuh sebagai feses. Peningkatan bagian karbohidrat
yang tidak tercerna akibat peningkatan kadar karbohidrat pakan berpengaruh pada
kecernaan protein. Hal ini terjadi demikian karena protein yang belum sempat
dicerna dengan baik akan ikut terbuang bersama dengan bagian karbohidrat yang
tidak tercerna. Peningkatan nilai kecernaan karbohidrat dan protein ikan uji yang
diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. disebabkan oleh peningkatan
aktivitas a-amilase dan protease pada saluran pencernaan ikan uji sehingga
aktivitas degradasi substrat meningkat. Hal ini juga yang menyebabkan kenapa
kadar protein dan karbohidrat pakan tidak mempengaruhi kecernaan karbohidrat.
Semakin banyak karbohidrat pakan yang tercerna semakin sedikit bagian yang
tidak tercerna. Oleh karena itu, tidak banyak bagian protein yang ikut terbuang
bersama karbohidrat.
129
130
Glukosa adalah produk hidrolisis enzimatik karbohidrat pakan, diserap di
usus halus masuk ke aliran darah Kadar glukosa dalam darah merupakan resultan
atau hasil perimbangan sesaat antara laju penyerapan glukosa dari saluran
pencernaan ke dalam aliran darah dan laju pemasukan glukosa darah ke dalam sel
pada proses metabolisme karbohidrat. Kadar glukosa darah yang terus meningkat
mengindikasikan adanya aliran glukosa ke dalam darah yang lebih besar
dibandingkan pemasukan glukosa darah ke dalam sel. Sebaliknya, kadar glukosa
akan menurun apabila aliran glukosa ke dalam darah lebih rendah dibandingkan
pemasukan glukosa darah ke dalam sel. Dengan demikian, puncak kadar glukosa
darah terjadi saat aliran glukosa ke dalam darah dan pemasukan glukosa darah ke
dalam sel mencapai titik keseimbangan. Puncak dan permulaan turunnya puncak
kadar glukosa darah tercepat diperlihatkan ikan uji yang mendapat pakan dengan
inokulasi Carnobacterium sp., yaitu pada jam ke-4 post prandial,
ikan uji kontrol pada jam ke-6 pos prandial.
sedangkan
Proses hidrolisis enzimatik
karbohidrat yang berlangsung maksimal pada saluran pencernaan, menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah berlangsung cepat pada ikan uji yang mendapat
pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. Hal ini dapat memicu bioaktivitas
insulin pada tingkat tertinggi sehingga pemasukan glukosa darah ke dalam sel
berlangsung dengan cepat dan kadar glukosa dalam darah segera menurun
(Matthews et al. 2003).
Peningkatan penggunaan glukosa untuk energi
metabolisme sel juga dirangsang dengan meningkatnya karbohidrat pakan.
Furuichi (1988) mendapatkan bahwa enzim glikolitik seperti fosfofruktokinase
dan heksokinase terlihat lebih efektif pada ikan omnivora. Peningkatan aktivitas
fosfofruktokinase
dijumpai pada ikan nila hibrida setelah mengkonsumsi
sejumlah karbohidrat (Shiau dan Chen 1993; Shiau dan Liang 1995). Glukosa
yang telah masuk ke dalam sel akan segera dimetabolisme untuk mencukupi
kebutuhan energi sehingga menghindari penggunaan sejumlah asam amino
sebagai sumber energi metabolik. Keadaan ini pada akhirnya akan meningkatkan
pertumbuhan dan deposisi materi pertumbuhan seperti protein dan lemak. Suarez
et al. (2002) melakukan analisis aktivitas glikolisis dan glukoneogenesis secara
tidak langsung dengan mengukur aktivitas enzim hati yang berperan, yaitu PK
(pyruvate kinase), FBPase (fructose 1.6 bis-phosphatase), dan G6PDH (glukosa 6-
130
131
phosphate dehydrogenase). Aktivitas glikolisis meningkat dengan bertambahnya
kadar karbohidrat dibandingkan protein pakan dan aktivitas glukoneogenesis
dapat dikurangi mulai dari 20 sampai 30% untuk setiap peningkatan kadar
karbohidrat dibanding protein pakan.
Kadar trigliserida dalam darah merupakan resultan atau perimbangan sesaat,
antara laju penyerapan trigliserida hasil hidrolisis enzimatik lemak pada saluran
pencernaan ke dalam aliran darah dan laju pemanfaatannya pada sel-sel hati,
sebelum disintesis kembali dan disimpan dalam jaringan adiposa. Fenomena yang
terjadi pada kadar trigliserida darah juga terjadi seperti pada resultan kadar
glukosa darah. Kadar trigliserida darah ikan uji pada setiap perlakuan mencapai
titik puncak pada antara jam ke-6 sampai jam ke-8 post prandial. Ikan uji yang
mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. menunjukkan kadar
trigliserida darah yang lebih tinggi dibandingkan ikan uji kontrol, serta lebih
rendah dengan menurunnya karbohidrat pakan baik pada ikan uji yang mendapat
pakan
dengan
inokulasi
Carnobacterium
sp.
dan
kontrol.
Hal
ini
mengindikasikan adanya pemanfaatan sejumlah lemak pakan untuk mencukupi
kebutuhan energi yang disebabkan oleh rendahnya energi yang berasal dari
karbohidrat pakan. Peningkatan kadar trigliserida darah ikan dengan inokulasi
Carnobacterium sp. dalam pakan dan peningkatan kadar karbohidrat pakan
mengindikasikan adanya proses lipogenesis, baik dari lemak pakan maupun dari
kelebihan glukosa darah.
Kelebihan energi ini akan segera diubah menjadi
trigliserida dan selanjutnya disimpan dalam jaringan adiposa.
Pola kadar glukosa pada beberapa spesies ikan bervariasi, yang dipengaruhi
beberapa faktor di antaranya
jenis dan ukuran, kekomplekskan dan kadar
karbohidrat. Umumnya puncak dan penurunan puncak kadar glukosa darah ikan
yang mendapat pakan dengan sumber karbohidrat pati sekitar 5 sampai 6 jam post
prandial (Deng et al. 2001; Stone et al. 2003b; dan Subandiyono 2004).
Gambaran terjadinya peningkatan aktivitas yang terjadi dalam saluran
pencernaan ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp.
dapat dilihat
juga pada parameter
pola konsumsi oksigen harian. Aktivitas
mengkonsumsi oksigen segera meningkat setelah ikan uji mengkonsumsi pakan,
hal ini nampak terlihat pada ketiga frekuensi pemberian pakan selama 24 jam.
131
132
Ikan uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. memerlukan
waktu yang lebih pendek dibandingkan ikan uji kontrol, yaitu berkisar antara 0,5
dan 3,5 jam untuk aktivitas mengkonsumsi oksigen pada saat kenyang, dan
menurun kembali setelah mencapai puncak. Ikan uji kontrol, memerlukan waktu
lebih lama, yaitu berkisar antara 1 sampai 5 jam untuk mengkonsumsi oksigen
pada saat kenyang. Pola konsumsi oksigen yang diperlihatkan ikan uji merupakan
gambaran pola penggunaan energi untuk aktivitas pencernaan.
Sehubungan
dengan ini dapat direkomendasikan bahwa frekuensi pemberian pakan untuk ikan
bandeng dilakukan 3 kali sehari dengan jarak antar-pemberian maksimal 5 jam.
Gambaran pola konsumsi oksigen harian (mg O2/kg0,8/jam) yang terjadi sejalan
dengan pola kadar glukosa dan trigliserida darah ikan uji pada penelitian ini.
Konsumsi
oksigen
merupakan
bagian
penting
dari
keseimbangan
bioenergetik sebab menggambarkan penggunaan energi langsung pada kerja
metabolik termasuk metabolisme untuk hidup pokok, makan, dan aktif (SchmidtNielsen 1990; Lemos dan Phan 2001; Rosas et al. 2001).
Inokulasi
Carnobacterium sp. dalam pakan meningkatkan konsumsi oksigen rutin dan
konsumsi oksigen kenyang
ikan uji yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.
Konsumsi oksigen juga meningkat dengan bertambahnya kadar protein pakan
dibandingkan karbohidrat pakan baik pada ikan uji dengan inokulasi
Carnobacterium sp. maupun kontrol. Fenomena yang sama juga diperlihatkan
oleh gambaran pekerjaan metabolisme ikan uji yang diperoleh dari data konsumsi
oksigen yang dikonversikan dengan nilai setara kalor, yaitu laju metabolisme
rutin, laju metabolisme kenyang, dan specific dynamic action (kJ/kg 0,8/hari).
Metabolisme basal atau standar didefinisikan sebagai tingkat pembelanjaan
energi minimal untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan agar
organisme tetap hidup. Pengukuran dilakukan pada kondisi setelah organisme
dipuasakan (post absorptive), kondisi lingkungan yang netral dan organisme
dalam keadaan istirahat dan tidak banyak bergerak (Affandi et al. 2005;
Wuenschel et al. 2005).
Nilai laju metabolisme basal yang diperoleh pada
percobaan ini adalah berkisar antara 38,08 dan 43,92 kJ/kg0,8/hari.
Laju
metabolisme basal pada organisme terestrial adalah sebesar 70 kkal/BBM yang
setara dengan 292 kJ/BBM 0,75 (Brody 1974).
Hal ini menunjukkan adanya
132
133
perbedaan laju metabolisme basal antara organisme akuatik dan terestrial, dimana
organisme akuatik hanya menggunakan energi sekitar 1/7 bagian dibandingkan
organisme terestrial. Ikan bandeng termasuk organisme akuatik berdarah dingin
(poikiloterm) yang membutuhkan energi untuk hidup pokok (menyesuaikan diri
dengan suhu lingkungan) yang lebih rendah dibandingkan organisme terestrial
(homiokiloterm). Kebutuhan energi organisme akuatik adalah 10 sampai 30 kali
lebih rendah dari homioterm yang harus mempertahankan suhu tubuh 35oC.
Pembelanjaan energi untuk mempertahankan suhu tubuh pada organisme akuatik
hampir dikatakan nol dan energi yang dibelanjakan untuk menopang tubuh serta
mempertahankan posisi dan pergerakan dalam air sangat kecil (Cho et al. 1982;
Affandi et al. 1994).
Laju metabolisme kenyang dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh
informasi tentang penggunaan energi saat puncak proses metabolisme dan
pencernaan. Nilai laju metabolisme kenyang pada ikan berkisar antara 1,5 dan 5,8
kali laju metabolisme basal (Brett dan Goves 1979). Laju metabolisme rutin atau
disebut juga dengan produksi panas harian atau energi yang hilang menjadi panas,
merupakan akumulasi penggunaan energi pada berbagai aktivitas.
Laju
metabolisme kenyang dan rutin tertinggi ditunjukkan ikan uji yang mendapat
pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp., yaitu pada kadar protein-karbohidrat
20%P dan 50%K. Laju metabolisme kenyang dan rutin menurun dengan
meningkatnya kadar kabohidrat pakan. Meningkatnya laju metabolisme kenyang
dan rutin pada ikan uji yang mendapat pakan dengan inokulasi Carnobacterium
sp. disebabkan adanya peningkatan proses-proses fisiologis akibat peningkatan
proses hidrolisis nutrien pakan di dalam saluran pencernaan.
Peningkatan
aktivitas metabolisme termasuk pengambilan, mencerna, dan absorbsi nutrien
pakan mengakibatkan peningkatan penggunaan energi untuk aktivitas tersebut,
seperti yang ditunjukkan pada nilai specific dynamic action.
Specific dynamic action ditentukan dengan mengurangi nilai antara laju
metabolisme kenyang dan basal.
Specific dynamic action merupakan tingkat
penggunaan energi untuk menghancur, mengubah dan menyimpan produk
pencernaan melalui proses metabolisme nutrien. Nilai specific dynamic action
yang ditunjukan ikan uji seiring dengan nilai laju metabolisme kenyang dan rutin.
133
134
Specific dynamic action tertinggi ditunjukkan ikan uji yang mendapat pakan
dengan inokulasi Carnobacterium sp., yaitu pada kadar protein-karbohidrat 20% P
dan 50% K. Specific dynamic action meningkat dengan bertambahnya kadar
protein pakan. Priedi (1985) mengemukakan bahwa nilai specific dynamic action
akan besar jika pakan yang dikonsumsi kaya dengan protein dan diperkirakan
bervariasi antara 5 dan 20% dari energi yang dikonsumsi. Hal ini mengindikasikan
bahwa penggunaan protein yang tinggi dalam pakan memerlukan ongkos yang
tinggi untuk menghancur, mengubah, dan menyimpan produk pencernaan melalui
proses metabolisme nutrien. Akibatnya, tingkat metabolisme menjadi lebih besar.
Peningkatan kadar karbohidrat dibandingkan protein pakan dapat menurunkan
aktivitas metabolisme ikan uji sehingga penggunaan energi menjadi lebih efisien.
Jumlah energi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan pemeliharaan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain spesies ikan, umur, komposisi ransum, tingkat
reproduksi, dan laju metabolisme standar. Besarnya specific dynamic action pada
ikan untuk mengolah karbohidrat (ikan herbivora) adalah sebesar 5% sedangkan
untuk mengolah protein (ikan karnivora) adalah sebesar 30% (Zonneveld et al.
1991).
Laju metabolisme ikan bandeng cukup tinggi dibandingkan ikan lain
(Becker dan Fishelson 1986; Becker et al. 1992; Guerin dan Stickle 1997; Shouqi
et al. 1997; Fu dan Xie 2004). Hal ini terjadi karena ikan bandeng adalah ikan
perenang cepat serta ikan yang agresif sehingga memerlukan energi yang tinggi
untuk memenuhi kegiatan fisiologis yang terjadi di dalam tubuhnya. Peningkatan
kecepatan renang yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen ditunjukkan
oleh ikan salmon dan rainbow trout (Weatherly dan Gill 1987), serta oleh ikan
mas
(Zonneveld et al. 1991).
Dugaan lain adalah adanya perbedaan suhu
lingkungan pada saat pengukuran.
Peningkatan suhu lingkungan sangat
berpengaruh pada aktivitas metabolisme dalam tubuh ikan. Hal ini terjadi karena
ikan adalah poikiloterm atau hewan berdarah dingin, yaitu suhu tubuh dipengaruhi
oleh suhu lingkungan.
Setiap kenaikan suhu 10oC maka aktivitas metabolisme
akan meningkat 2 kali lipat.
Neraca energi memberikan gambaran mengenai tingkat pemasukan energi,
serta ketersediaan energi untuk metabolisme dan pertumbuhan, tingkat retensi
134
135
energi, serta persentase energi yang diretensi per energi yang dikonsumsi dan
energi metabolik per konsumsi energi.
Inokulasi Carnobacterium sp. dalam
pakan mampu meningkatkan energi yang diretensi dalam tubuh, energi metabolik
dalam kJ per kg ikan, serta persentase retensi energi per konsumsi energi dan
energi metabolik per konsumsi energi ikan uji, serta mengefisienkan energi yang
dikonsumsi.
Energi metabolik adalah energi yang siap digunakan untuk metabolisme dan
pertumbuhan.
Kebutuhan energi untuk hidup pokok harus dipenuhi terlebih
dahulu, apabila terdapat kelebihan akan digunakan untuk pertumbuhan. Besarnya
energi metabolik ditentukan dari penjumlahan antara penggunaan energi pada
metabolisme rutin dan retensi energi (Affandi et al. 2005). Kebutuhan energi
untuk hidup pokok dan pertumbuhan sangat bergantung pada kualitas makanan
(terutama kadar protein) dan kuantitas makanan yang dikonsumsi (rasio) ikan.
Proses pencernaan, penyerapan, dan metabolisme merupakan proses yang
saling terkait dan saling mempengaruhi. Energi metabolik yang tinggi pada ikan
uji yang diberi pakan dengan inokulasi Carnobacterium sp. dan meningkat dengan
bertambahnya kadar karbohidrat pakan disebabkan oleh tingkat pencernaan dan
penyerapan karbohidrat pada saluran pencernaan ikan uji berlangsung optimum.
Hal ini menyebabkan ketersediaan energi untuk metabolisme terpenuhi dari proses
glikolisis dan lipolisis, sedangkan energi yang diretensi lebih banyak berasal dari
deposisi protein.
Ikan uji yang diberi pakan D: (20% P – 50% K) dengan
inokulasi Carnobacterium sp. menunjukkan persentase energi metabolik tertinggi,
yaitu sekitar 90% dari energi yang dikonsumsi. Ikan uji kontrol yang mendapat
pakan D: (20% P – 50% K) menunjukkan persentase energi metabolik terendah,
yaitu sekitar 50% dari energi yang dikonsumsi. Persentase energi metabolik yang
dihasilkan cukup tinggi dibandingkan dengan persentase energi metabolik hewan
air lain. Energi metabolik pada larva Farfantepenaeus paulensis berkisar antara
29,84 dan 66,11% dari energi yang dikonsumsi (Lemos dan Phan 2001). Energi
metabolik pada Litopenaeus setiferus stadia postlarva (PL 1 – 10) berkisar 36,13
sampai 56% dari energi yang dikonsumsi. Pada L. vannamei PL 1 – 10 energi
metabolik yang diperoleh berkisar antara 39,21 dan 57,85% dari energi yang
135
136
dikonsumsi (Brito et al. 2004). Energi metabolik kepiting bakau sekitar 51,01%
dari energi yang dikonsumsi pada salinitas 25 ppt (Karim 2005).
Energi yang teretensi adalah energi yang terdeposisi dalam tubuh dan
digunakan untuk pertumbuhan. Retensi energi ikan uji meningkat dengan
inokulasi Carnobacterium sp. dalam pakan dan menurun dengan berkurangnya
kadar karbohidrat pakan. Ikan uji yang diberi pakan D: (20% P – 50% K) dengan
inokulasi Carnobacterium sp. menunjukkan persentase retensi energi tertinggi,
yaitu sebesar 64% dari energi yang dikonsumsi. Ikan uji kontrol yang mendapat
pakan D: (20% P – 50% K) menunjukkan persentase retensi energi terendah,
yaitu sebesar 35% dari energi yang dikonsumsi. Retensi energi yang dihasilkan
seiring dengan nilai retensi protein dan retensi lemak. Peningkatan kemampuan
ikan uji memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi berdampak positif pada
deposisi materi pertumbuhan, dan tentunya pada akhirnya terhadap pertumbuhan
bobot.
Persentase retensi energi yang dihasilkan cukup tinggi dibandingkan
persentase retensi energi hewan air lain. Retensi energi pada Labeo rohita
berkisar antara 17,2 dan 33,8 % (Satphaty et al. 2001). Retensi energi yang
dihasilkan pada ikan mas yang mendapat pakan 40% protein adalah sebesar
30,1% (Focken et al. 1997). Retensi energi yang dihasilkan pada Melanogrammus
aeglefinus berkisar antara 39,3 dan 42,0% (Kim dan Lall 2001). Energi yang
teretensi pada kepiting bakau sekitar 38,62% pada salinitas 25% (Karim 2005).
Energi yang diretensi pada ikan halibut atlantik berkisar antara 38,0 dan 46,7%.
Retensi energi meningkat dengan bertambahnya ukuran ikan (Harlen et al. 2005).
Berdasarkan uraian di atas, diperoleh gambaran tentang alokasi energi ikan
bandeng yang dipelihara dengan pemberian pakan yang diinokulasi dengan
mikrob Carnobacterium sp. pada berbagai jumlah inokulum dan kadar proteinkarbohidrat pakan. Pada total energi yang dikonsumsi sekitar 53 sampai 94%
merupakan persentase energi metabolik, yaitu energi yang siap digunakan untuk
metabolisme dan pertumbuhan.
Energi yang teretensi berkisar mulai dari 35
sampai 64%, energi yang dihasilkan sebagai panas berkisar mulai dari 19 sampai
28%. Dari total energi yang termetabolisme sebesar 60 sampai 70% adalah energi
yang teretensi.
136
137
Respons ikan uji terhadap perbedaan jumlah inokulum Carnobacterium sp.
10
10
dan 10 12 cfu/mL/100 g pakan tidak signifikan.
Hal ini terjadi karena
pertumbuhan dan perkembangan mikrob dalam saluran pencernaan tidak berbeda.
Mikrob merupakan makhluk hidup yang akan tumbuh dan berkembang apabila
tersedia nutrien dan kondisi lingkungannya sesuai (Pelczar dan Chan 1988). Oleh
karena itu, pada percobaan ini mikrob dalam saluran pencernaan tumbuh dan
berkembang dalam keseimbangan sampai suatu batas pertumbuhan optimum.
Hasil yang sama dilaporkan oleh Rengpipat et al. (1998, 2000); Irawan (2000); Ali
(2002); dan Tae (2003) .
Inokulum Carnobacterium sp. dan kadar protein-karbohidrat pakan tidak
mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup ikan uji. Hal ini terjadi karena, ikan uji
dapat beradaptasi dengan baik pada perlakuan yang diberikan. Mortalitas yang
ditemukan selama penelitian disebabkan oleh penanganan waktu pengambilan
sampel atau ikan uji melompat keluar dari media pemeliharaan karena adanya
kejutan.
Simpulan
Berdasarkan beberapa parameter yang diamati pada percobaan in vitro
maupun in vivo dapat ditarik beberapa simpulan yaitu :
1. Pada percobaan in vitro dengan periode inkubasi selama 12 jam adalah waktu
yang optimum untuk melihat kemampuan mikrob amilolitik (Carnobacterium
sp.) pada berbagai jumlah inokulum dan kadar protein- karbohidrat.
2. Pertumbuhan terbaik dihasilkan oleh juvenil ikan bandeng dengan bobot awal
± 2,5 g pada pemberian pakan yang diinokulasi mikrob Carnobacterium sp.
dengan jumlah inokulum 1010 cfu/mL/100 g pakan dan kadar proteinkarbohidrat pakan 20% P – 50% K.
3. Peningkatan penggunaan karbohidrat oleh ikan uji memperlihatkan apa yang
disebut dengan protein sparing action untuk pertumbuhan.
4. Berdasarkan pola konsumsi oksigen harian (mg O2/kg0,8/jam) dan pola kadar
glukosa serta trigliserida darah ikan uji (mg/100 mL) dapat direkomendasikan
bahwa frekuensi pemberian pakan untuk ikan bandeng dilakukan 3 kali sehari
dengan jarak antar pemberian maksimal 5 jam.
137
138
KONTRIBUSI MIKROFLORA DALAM SALURAN
PENCERNAAN IKAN BANDENG
Pendahuluan
Zat gizi yang terkandung dalam pakan, yaitu protein, karbohidrat, dan lemak
agar dapat diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah,
memerlukan proses penyederhanaan menjadi molekul-molekul yang lebih kecil.
Menurut Affandi et al. (2005) proses penyederhanaan pakan yang berlangsung
secara kimiawi disebut juga hidrolisis, melibatkan enzim pencernaan sebagai
katalisator biologis.
Komponen pakan utama berupa protein, lemak, dan
karbohidrat diurai menjadi senyawa-senyawa sederhana yang merupakan
komponen penyusunnya. Dijelaskan oleh Schreck dan Peter (1990) hidrolisis
nutrien makro menjadi nutrien mikro pada sistem pencernaan ikan dimungkinkan
dengan adanya enzim pencernaan, yaitu protease, amilase, karbohidrase, lipase,
dan asam lambung. Cairan ini dihasilkan oleh lambung, usus, hati, dan pankreas.
Studi literatur menunjukkan bahwa selain enzim pencernaan endogen,
ditemukan juga sumbangan enzim pencernaan eksogen dari mikroflora yang hidup
bersimbiosis mutualisme dengan ikan di dalam saluran pencernaannya, seperti
dilaporkan oleh Migita dan Hashimoto (1949) dalam Opuszynski dan Shireman
(1994); Steckney dan Shumway (1974) dalam Opuszynski dan Shireman (1994);
Shcherbina dan Kazlauskene (1971) dalam Opuszynski dan Shireman (1994);
Stickney dan Shumway (1974) dalam Clarke dan Bauchop (1977); Clarke dan
Bauchop (1977); Das dan Tripathi (1991); dan Xue et al. (1999). Umumnya yang
diteliti adalah kontribusi enzim sellulase mikrobial dalam saluran pencernaan ikan
yang berasal dari mikroflora. Diduga, mikroflora di dalam saluran pencernaan
ikan tidak hanya mikrob yang berkontribusi dalam menghasilkan enzim sellulase,
akan tetapi juga terdapat mikroflora yang berkontribusi dalam menyumbangkan
enzim pencernaan lain seperti enzim protease, amilase, dan lipase, terutama pada
saluran pencernaan ikan bandeng.
Oleh karena itu, untuk menjawab hal ini
dilakukan percobaan dengan mengacu pada percobaan-percobaan yang telah
dilakukan oleh para peneliti pendahulu.
138
139
Percobaan ini bertujuan untuk mengukur kontribusi mikroflora dalam
saluran pencernaan ikan bandeng, yaitu dalam menyumbangkan enzim
pencernaan a-amilase, protease, dan lipase eksogen.
Bahan dan Metode
Tempat dan Waktu
Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Hatchery Mini, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, UNHAS.
Analisis
beberapa peubah dilakukan di
Laboratorium Kualitas Air, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UNHAS,
Laboratorium
Fisiologi
dan
Farmakologi,
Fakultas
Kedokteran
Hewan,
Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Nutrisi Fakultas Peternakan, IPB.
Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan mulai
bulan April 2005 sampai Juni
2005.
Prosedur Penelitian
Wadah yang digunakan pada percobaan ini sama dengan yang digunakan
pada percobaan II (in vivo), yaitu penggunaan mikrob amilolitik (Carnobacterium
sp.) sebagai probiotik pada budi daya ikan bandeng. Wadah yang digunakan
berupa akuarium kaca dengan sistem resirkulasi berukuran panjang, lebar dan
tinggi masing-masing 50 x 40 x 35 cm. Bagian sisi-sisi wadah ditutup dengan
plastik hitam dan untuk menghindari ikan uji supaya tidak melompat, bagian atas
wadah ditutup dengan penutup dari kawat nyamuk yang sisi-sisinya dijepit dengan
bambu.
Sebelum digunakan, wadah dan semua peralatan terlebih dahulu
didesinfektan dengan klorida (kaporit) dan dinetralkan dengan thiosulfat. Wadah
percobaan diisi air sebanyak 55 L dengan kisaran salinitas 15 sampai 16 ppt. Air
yang digunakan telah disterilkan dengan 150 ppm klorida selama 24 jam dan
selanjutnya dinetralkan dengan 75 ppm thiosulfat. Ikan bandeng dengan bobot
rata-rata ± 20 g ditebar dengan kepadatan 10 ekor per wadah (satu unit
percobaan). Sebelum ditebar, ikan uji telah diaklimatisasikan dengan media budi
daya dan pakan yang akan diberikan secara at satiation selama 2 minggu, setelah
masa aklimatisasi selesai ikan uji dipuasakan selama 24 jam dengan tujuan
menghilangkan sisa pakan dalam tubuh.
139
140
Investigasi ini dilaksanakan dengan mengacu pada metode Xue et al.
(1999). Ikan uji dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu ikan uji yang diberi pakan
yang mengandung antibiotik
dengan dosis 100 IU/mL penicillin G dan 100
mg/mL streptomisin per kg pakan dan ikan uji yang diberi pakan tanpa antibiotik.
Masing-masing perlakuan di ulang 2 kali. Ikan dipelihara selama 8 hari dan diberi
pakan secara at satiation sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan
17.00. Selama percobaan, kualitas media budi daya dijaga dalam kisaran yang
layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan bandeng. Kualitas air
dijaga dengan cara melakukan penyiponan pada sisa pakan dan feses di dasar
wadah, serta melakukan pergantian air sebanyak 25% setiap hari. Suhu air
berkisar antara 29 dan 30oC; pH berkisar antara 7,4 dan 7,6; oksigen terlarut
berkisar antara 5,2 dan 6,5 ppm, karbondioksida bebas berkisar antara 11,97 dan
12,07 ppm; amoniak berkisar antara 0,006 dan 0,009 ppm; dan salinitas berkisar
antara 15 dan 16 ppt.
Parameter yang diamati adalah 1) populasi mikrob, dan 2) aktivitas enzim
pencernaan.
1. Populasi Mikrob
Populasi mikrob proteolitik, amilolitik, dan lipolitik pada saluran
pencernaan ikan uji dihitung dalam hitungan koloni (cfu/mL) pada akhir
percobaan dengan media dan prosedur yang sama seperti pada metode isolasi
mikrob.
2. Aktivitas Enzim Pencernaan
Analisis aktivitas enzim pencernaan a-amilase, protease, dan lipase
(IU/g/menit) dalam saluran pencernaan ikan uji dilakukan pada akhir percobaan.
Metode analisis aktivitas enzim a-amilase dan protease menurut Bergmeyer dan
Grassi (1983), sedangkan analisis aktivitas enzim lipase menurut Tietz dan
Friedreck dalam Borlongan (1990), dengan prosedur kerjanya dapat dilihat pada
Lampiran 5.
140
141
Analisis Data
Data yang diperoleh pada percobaan ini karena merupakan variabel bebas
dan terdiri atas 2 taraf maka dianalisis dengan uji t pada tarap uji 5%
menggunakan program SPSS 12,0.
Hasil
Hasil pengukuran populasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik serta
aktivitas enzim a-amilase, protease, dan lipase ikan uji pada akhir percobaan
investigasi kontribusi mikroflora dalam saluran pencernaan ikan bandeng dapat
disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Populasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik (cfu/mL) serta
aktivitas enzim pencernaan a-amilase, protease, dan lipase
(IU/g/menit) ikan uji pada akhir percobaan investigasi kontribusi
mikroflora dalam saluran pencernaan ikan bandeng
Perlakuan
Ulangan
Pakan
tanpa
antibiotik
Pakan
dengan
antibiotik
1
2
Rata-rata
1
2
Rata-rata
Perlakuan
Ulangan
Pakan
tanpa
antibiotik
1
2
Rata-rata
1
2
Rata-rata
Pakan
dengan
antibiotik
Populasi mikrob (cfu/mL)
Amilolitik
Proteolitik
Lipolitik
10
10
9,3 x 10
2,5 x 10
5,4 x 10 10
9,6 x 10 10
1,8 x 10 11
7,5 x 10 10
9,5 x 10 10
1,03 x 10 11
6,45 x 10 10
4,1 x 10 6
1,2 x 10 7
3,4 x 10 6
6,0 x 10 5
4,2 x 10 6
4,8 x 10 6
2,4 x 10 6
8,1 x 10 7
4,1 x 10 6
Aktivitas enzim (IU/g/menit)
a-Amilase
Protease
Lipase
28,58
24,12
24,62
30,65
23,68
23,54
29,62
23,90
24,08
16,23
15,32
19,32
18,52
15,22
18,00
17,38
15,27
18,66
Hasil analisis dengan uji t (Lampiran 135) menunjukkan
bahwa terjadi
penurunan yang signifikan (P<0,05) populasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan
lipolitik pada saluran pencernaan ikan uji yang mendapat pakan ditambah
antibiotik dibandingkan dengan ikan bandeng yang mendapat pakan tanpa
141
142
antibiotik. Hal yang sama terjadi pada aktivitas enzim α-amilase, protease, dan
lipase pada saluran pencernaan ikan uji.
Pada Tabel 1 terlihat penurunan populasi mikrob amilolitik, proteolitik, dan
lipolitik hampir 100%, yaitu secara berturut-turut 99,999; 99,921; dan 99,994%.
Penurunan aktivitas enzim α-amilase, protease, dan lipase secara berturut-turut
adalah 41,33; 36,12; dan 22,51%.
Persentasi penurunan aktivitas enzim α-
amilase, protease, dan lipase, merupakan gambaran kontribusi mikroflora pada
saluran pencernaan ikan uji.
Pembahasan
Hasil investigasi kontribusi mikroflora dalam saluran pencernaan ikan
bandeng menunjukkan bahwa ditemukan sumbangan enzim pencernaan αamilase, protease, dan lipase mikrobial yang berasal dari mikroflora yang terdapat
dalam saluran pencernaan ikan bandeng. Kontribusi mikrob amilolitik, proteolitik,
dan lipolitik pada α-amilase, protease, dan lipase saluran pencernaan ikan bandeng
secara berturut-turut adalah 12,25; 8,63 dan 5,42 IU/g/menit.
Hal ini dapat
membuktikan bahwa di samping enzim pencernaan α-amilase, protease, dan lipase
endogen yang disekresikan oleh saluran dan kelenjar pencernaan, juga terdapat
enzim pencernaan α-amilase, protease, dan lipase eksogen yang berasal dari
mikroflora dalam saluran pencernaan.
Mikroflora yang terdapat dalam saluran pencernaan diduga berasal detritus
yang dikonsumsi oleh ikan bandeng. Hal ini disebabkan oleh umumnya jenis
mikrob yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan ditemukan pada media budi
daya dan atau sedemen kolam. Dikemukan oleh Al-Harbi dan Uddin (2005)
bahwa terdapat korelasi positif komposisi bakteri pada insang dan saluran
pencernaan ikan dengan komposisi bakteri pada air kolam dan sedemen.
Detritus banyak mengadung jasad renik dan mikroorganisme
yang ikut
berperan dalam menyumbangkan enzim pencernaan eksogen untuk mendegradasi
nutrien pakan yang dikonsumsi oleh ikan.
Jasad renik dan mikroorganisme
tersebut juga merupakan sumber nutrien tambahan bagi ikan.
Pendugaan ini
dikuatkan oleh hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh
Mason (1975);
Wiernicki (1984); Jones (1990); Brown (1995) dalam Xue et al. (1999).
142
143
Pertumbuhan beberapa spesies Cherac quadricarinatus air tawar yang dipelihara
pada kolam tanah lebih baik dibandingkan dengan spesies yang dipelihara pada
kolam tangki. Perbedaan ini diinterpretasikan sebagai hasil dari kemampuan
Cherac quadricarinatus kolam tanah untuk memperoleh tambahan nutrien yang
diperlukan dari bahan detritus di dasar kolam yang tidak ditemukan pada kolam
tangki dan atau me manfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada detritus untuk
membantu aktivitas pencernaan.
Mikroflora yang masuk ke dalam saluran pencernaan hidup bersimbiosis
mutualisme dengan inang dan berada dalam keseimbangan, yaitu antara mikrob
menguntungkan dan mikrob patogen. Mikroflora tersebut juga saling berinteraksi
antar-berbagai spesies mikrob dalam saluran pencernaan, baik secara antagonistik
maupun sinergistik.
Interaksi yang terjadi sangat penting di dalam
mempertahankan keseimbangan mikroflora saluran pencernaan sehingga akan
memberi pengaruh positif bagi inang.
Christopher (1994)
Seperti yang dilaporkan Philippe dan
pada budi daya oyster.
Pertumbuhannya yang tinggi
dihubungkan dengan kontribusi bakteri menyuplai 1) nutrien esensial yang tidak
terdapat pada beberapa individu dalam populasi alga; 2) enzim yang dapat
meningkatkan proses pencernaan larva.
Mikroflora dalam usus larva bivalve
didapat dalam proporsi yang optimum dapat memproduksi enzim ekstraseluler
seperti protease dan lipase
Pendugaan tentang adanya hubungan antara kebiasaan ikan memakan
detritus dan keberadaan mikroflora pada saluran pencernaan juga dilaporkan oleh
Stickney dan Shumway (1974) dalam Clarke dan Bauchop (1977), dan Xue et al.
(1999). Penggunaan antibiotik untuk membuktikan peran mikroflora pada saluran
pencernaan ikan telah dilaporkan oleh Clarke dan Bauchop (1977), Das dan
Tripathi (1991), dan (Xue et al. 1999). Tetrasiklin dan penicillin adalah jenis
antibiotik yang dapat membunuh bakteri gram positif, sedangkan streptomisin
adalah jenis antibiotik yang dapat membunuh bakteri gram negatif.
143
144
Simpulan
Mikrob amilolitik, proteolitik, dan lipolitik dalam saluran pencernaan ikan
bandeng berperanan penting dalan fungsi fisiologis saluran pencernaan, yaitu
menyumbangkan enzim α-amilase, protease, dan lipase endogen yang secara
berturut-turut adalah sebesar 41,33; 36,12; dan 22,51%. Dengan demikian, peran
mikroflora saluran pencernaan dalam mengkontribusikan enzim pencernaan
eksogen amilase, protease, dan lipase dapat dibuktikan.
Mikroflora saluran
pencernaan ikan bandeng diduga berasal dari detritus yang dimakan ikan bandeng.
144
Download