Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CHILDREN LEARNING IN SCIENCE (CLIS) UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP Zunaida Khoirun Nisak 1), Herlina Fitrihidajati2), An Nuril Maulida F.3) 1) Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan IPA FMIPA UNESA. E-mail : [email protected] 2) Dosen S1 Jurusan Biologi FMIPA UNESA. E-mail : [email protected] 3) Dosen S1 Program Studi Pendidikan IPA FMIPA UNESA. E-mail : [email protected] Abstrak Kurikulum 2013 dirancang mengembangkan keseimbangan antara sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Keterampilan yang dikembangkan meliputi keterampilan secara physical (fisik) dan keterampilan secara mental yakni berpikir yang termasuk di dalamnya keterampilan berpikir kritis. Oleh karena itu, pelatihan terhadap keterampilan berpikir kritis selayaknya dilaksanakan dalam proses pembelajaran pada setiap mata pelajaran pada kurikulum 2013 termasuk IPA. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterampilan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran model Children Learning In Science (CLIS) pada materi struktur bumi dan gempa bumi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain pra-eksperimen dan rancangan “One Group Pretest-Posttest”. Sasaran penelitian adalah 30 siswa pada kelas VIII-H SMPN 2 Wonoayu tahun ajaran 2014-2015. Metode pengumpulan data adalah metode tes untuk mengetahui hasil belajar siswa berupa keterampilan berpikir kritis sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 0% siswa tuntas saat pretest keterampilan berpikir kritis kemudian meningkat menjadi 86,67% siswa tuntas dengan perolehan N-Gain sebesar 0,48 dengan kategori sedang. Persentase ketercapaian tiap aspek keterampilan berpikir kritis saat pretest antara lain: interpretasi 40%, eksplanasi 71,67%, analisis 8,33%, inferensi 0%. Keterampilan berpikir kritis mengalami peningkatan persentase ketercapaian tiap aspeknya saat posttest antara lain: interpretasi 90%, eksplanasi 80%, analisis 70%, inferensi 50%. Kata Kunci : Model pembelajaran CLIS, keterampilan berpikir kritis Abstract Curriculum 2013 is designed to develop a balance between spiritual and social attitudes, knowledge, and skills. Skills which developed include skills in physical and mental skills or thinking which includes critical thinking skills. Therefore, the training of critical thinking skills in the learning process should be implemented in each subject on the curriculum 2013, including sciece. This study aimed to describe the critical thinking skills of students after participating in the learning models Children Learning In Science (CLIS) on the structure of the earth and earthquakes topic. This study was an experimental study with pre-experimental design and the design of "one group pretest-posttest". Targeted research is 30 students in the class VIII H State junior high school 2 Wonoayu 2014-2015 school year. The research method is a method of test to determine student learning outcomes in the form of critical thinking skills before and after the study. The results showed that 0% of students complete pretest critical thinking skills then increased to 86.67% students completed the acquisition of N-Gain 0.48 with medium category. Percentage achievement of every aspect of critical thinking skills pretest among others: interpretation 40%, explanation 71.67%, analysis 8.33%, inference 0%. Critical thinking skills have increased the percentage of achievement of each of its aspects when posttest among other: interpretation 90%, explanation 80%, analysis 70%, inference 50%. Keywords: CLIS learning model, critical thinking skills untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Permendikbud No. 58, 2014). Berdasarkan tujuan kurikulum 2013 tersebut, kurikulum 2013 dirancang mengembangkan keseimbangan antara sikap spiritual dan sosial, PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman maka bertambah pula tuntutan pada dunia pendidikan, oleh karena itu penyesuaian kurikulum dengan perkembangan zaman sangat diperlukan. Hal inilah yang mendasari penataan kembali KTSP menjadi kurikulum 2013. Penerapan kurikulum 2013 dinilai sangat penting dalam rangka menghadapi tantangan internal maupun eksternal (Permendikbud No. 58, 2014). Kurikulum 2013 bertujuan 1 pengetahuan, dan keterampilan, serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat (Permendikbud No. 58, 2014). Keterampilan yang dikembangkan pada kurikulum 2013 tidak hanya terbatas pada keterampilan secara physical (fisik) seperti menggunakan alat melainkan juga keterampilan secara mental yakni berpikir. Keterampilan berpikir yang dimaksud salah satunya keterampilan berpikir kritis. Keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran pada kurikulum 2013 yang menekankan pada penguatan pola pembelajaran kritis (Permendikbud No. 58, 2014). Proses pembelajaran dengan pola pembelajaran kritis dilakukan melalui pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yakni mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (5M). Diantara lima pengalaman belajar pokok tersebut, kegiatan menanya merupakan kegiatan yang bertujuan utama mengembangkan berpikir kritis (Zubaidah, 2014). Berdasarkan hal tersebut, bukan berarti kegiatan 5M lain tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Jika ditelaah lebih lanjut kegiatan 5M lain seperti mengasosiasi memberikan kesempatan pada siwa untuk melakukan kegiatan kognitif seperti menganalisis, mensintesis dan pertimbangan. Kegiatan kognitif tersebut merupakan bagian dari kecakapan berpikir kritis. Pemberian kegiatan 5M dalam pendekatan saintifik yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis tersebut, harus dilaksanakan dalam proses pembelajaran pada setiap mata pelajaran pada kurikulum 2013 termasuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). IPA pada hakikatnya merupakan ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang dituangkan berupa fakta, konsep, prinsip dan hukum yang teruji kebenarannya dan melalui suatu kegiatan metode ilmiah (Yuliati, 2008). Belajar IPA yang efektif adalah belajar seperti IPA itu ditemukan yakni dengan belajar membangun sikap ilmiah sehingga terbangun kebiasaan untuk menemukan konsepkonsep (produk) IPA (Usaid, 2013). Kerja ilmiah atau lebih dikenal sebagai keterampilan proses merupakan langkah yang ditempuh untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam dalam IPA. Keterampilan proses dalam pembelajaran IPA meliputi keterampilan untuk merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan, mengumpulkan data, menganalisis dan akhirnya menyimpulkan. Jika diperhatikan keterampilan proses ini melibatkan aktivitas-aktivitas seperti menganalisis, mensintesis, pertimbangan, menciptakan dan menerapkan pengetahuan baru pada situasi yang nyata. Aktivitas yang telah disebutkan merupakan aktivitas-aktivitas yang terlibat dalam berpikir kritis, sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran IPA sangat tepat untuk mengembangkan keterampilan berpikir siswa. Keterampilan berpikir kritis merupakan gabungan dari sikap, pengetahuan dan kecakapan (Watson dan Glaser dalam Filsaime, 2008). Keterampilan berpikir kritis memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan baru melalui suatu proses pemecahan masalah dan kolaborasi, sehingga keterampilan berpikir kritis tidak hanya menekankan perolehan pengetahuan melainkan proses perolehan pengetahuan itu sendiri. Keterampilan berpikir kritis sangat penting dipelajari karena dalam kehidupan sehari-hari secara individu maupun bermasyarakat ketika seseorang menghadapi suatu permasalahan, diperlukan informasi atau data-data yang relevan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat dan logis. Untuk mempertimbangkan informasi atau datadata yang relevan kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan. Hal ini berarti apabila ada informasi yang belum pasti kebenarannya hendaknya tidak dipercaya begitu saja diperlukan pertimbangan-pertimbangan untuk menelaah informasi tersebut, setelah diperoleh informasiinformasi yang relevan diperlukan kemampuan untuk menalar hubungan informasi-informasi tersebut dan memutuskan penyelesaian yang tepat. Peranan penting kemampuan berpikir kritis dalam kehidupan seseorang baik dalam kehidupan secara individu maupun bermasyarakat tersebut, membuat keterampilan berpikir kritis sangat penting untuk dilatihkan dan diterapkan pada pembelajaran siswa di kelas. Berdasarkan hasil angket dan observasi terhadap Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru IPA kelas VIII-H di SMP Negeri 2 Wonoayu, diketahui bahwa guru sudah menerapkan kegiatan 5M dalam pembelajarannya namun pelaksanaan kegiatan 5M ini belumlah maksimal. Hal ini berdasarkan hasil wawancara terhadap guru yang menyatakan terkadang kegiatan 5M tidak dapat terlaksana seluruhnya karena keterbatasan waktu pembelajaran. Melalui wawancara, juga diketahui guru masih menggunakan metode ceramah utuk beberapa materi yang sifatnya deskriptif seperti materi struktur bumi dan gempa bumi. Kegiatan 5M yang belum terlaksana secara semestinya dan metode ceramah yang tidak memberikan peran aktif siswa dalam pembelajaran menyebabkan pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa tidak maksimal, terbukti dari hasil pra-penelitian 89% siswa tergolong memiliki keterampilan berpikir kritis rendah. Keterampilan berpikir kritis yang diukur terdiri atas kecakapan eksplanasi dan analisis dengan tingkat kognitif C3 dan C4. Melalui telaah terhadap soalsoal ujian siswa juga diperoleh 68% soal yang telah disusun oleh guru masih mengukur ranah kognitif rendah yakni C1 dan C2. Pemberian soal tes dengan ranah Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis kognitif sebagian besar rendah membuat pelatihan keterampilan berpikir kritis menjadi tidak maksimal, karena siswa tidak terbiasa menyelesaikan soal dengan ranah kognitif lebih tinggi sehingga keterapilan berpikir kritisnya kurang terlatih. Salah satu model pembelajaran yang memungkingkan siswa untuk belajar berpikir kritis adalah model pembelajaran Children Learning In Science (CLIS). Siswa dapat belajar berpikir kritis melalui model pembelajaran CLIS karena pada pelaksanaannya memberikan banyak kesempatan bagi siswa untuk melakukan aktivitas berpikir melalui kegiatan pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kegiatan pengamatan dan pembelajaran dengan menggunakan LKS. Hal ini didukung penelitian Kurniawan (2012) menunjukkan bahwa penerapan model CLIS dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa termasuk aktifitas berpikir. Selain itu pada model ini kegiatan pembelajarannya dapat di dasarkan pada pendekatan saintifik sehingga memenuhi syarat penerapan model pembelajaran pada kurikulum 2013 dan memungkinkan penerapan 5M yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Penerapan model CLIS dalam melatihkan keterampilan berpikir kritis juga didukung oleh beberapa penelitian antara lain: penelitian oleh Cahyono (2013) yang menunjukkan model CLIS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran Fisika, selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Joko dkk. (2013) yang menunjukkan model pembelajaran CLIS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII SMP pada pembelajaran IPA. IPA merupakan mata pelajaran dalam proses pembelajarannya dapat menerapkan model CLIS karena CLIS merupakan model yang dikembangkan menurut karakteristik pembelajaran IPA dimana pembelajaran ini dilandasi dengan pandangan konstruktivisme dengan memberikan metode pengamatan atau eksperimen dalam pembelajarannya. Metode yang paling banyak memberikan kesempatan bagi siswa untuk menemukan sendiri, melakukan sendiri, untuk aktif dalam proses belajar itu, untuk mengamati sendiri atau mendengarkan hal-hal yang menarik adalah metode yang akan memberikan hasil paling sempurna ditinjau dari segi pendidikan science modern (Sukarno, 1973) sehingga metode eksperimen yang terdapat dalam pelaksanaan model pembelajaran CLIS sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran IPA. Salah satu materi IPA yang memerlukan metode pengamatan atau eksperimen dalam penerapannya adalah struktur bumi dan gempa bumi. Materi ini merupakan sub materi IPA pada kelas VIII yang terdapat pada KI 3 dan KD 3.13 “Memahami struktur bumi untuk menjelaskan fenomena gempa bumi dan gunung api, serta kaitannya dengan keragaman batuan dan mineral di beberapa daerah”. Materi struktur bumi dan gempa bumi memerlukan peran aktif siswa dalam memahami materi ini karena sifatnya yang abstrak dan memerlukan kegiatan pengamatan secara langsung, sehingga model pembelajaran CLIS yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh sendiri pengetahuannya, merupakan model pembelajaran yang tepat untuk materi ini. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu bagaimanakah keterampilan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran model Children Learning In Science (CLIS) pada materi struktur bumi dan dempa bumi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keterampilan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran model Children Learning In Science (CLIS) pada materi struktur bumi dan gempa bumi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian eksperimen dengan desain pre-experimental design yaitu desain penelitian yang belum dikatakan eksperimen sesungguhnya. Hal ini terjadi karena tidak adanya variabel kontrol (kelas kontrol) dan sampel tidak dipilih secara random sehingga masih terdapat variabel-variabel luar yang berpengaruh terhadap variabel respon (Sugiono, 2013). Penelitian ini dilaksanakan pada satu kelas saja yakni pada kelas VIII-H berupa implementasi model Children Learning In Science (CLIS) pada pembelajaran IPA pada materi struktur bumi dan gempa bumi. Rancangan penelitian yang digunakan adalah One Group Pretest Posttest Design yang digambarkan pada tabel berdasarkan Sugiono (2013) sebagai berikut: Tabel 1. One Group Pretest Posttest Design Pengukuran Awal (Pretest) O1 Perlakuan (Treatment) X Pengukuran Akhir (Posttest) O2 Keterangan : O1 = Pretest (Pemberian tes sebelum perlakuan) X = Perlakuan (Penerapan Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) Untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII-H Pada Materi Struktur Bumi dan Gempa Bumi) O2 = Posttest (Pemberian tes sesudah perlakuan) Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 2 Wonoayu Sidoarjo pada kelas VIII-H pada semester genap tahun ajaran 2014-2015. Sasaran penelitian adalah siswa kelas VIII-H yang terdiri dari 30 siswa yang mengikuti pembelajaran IPA dengan tema struktur bumi dan gempa bumi. 3 Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes yang digunakan untuk memperoleh data kuantitatif keterampilan berpikir kritis siswa. Adapun keterampilan berpikir kritis yang diukur antara lain kemampuan interpretasi, eksplanasi, analisis, inferensi, yang masing-masing terdiri atas 2 indikator. Soal yang diberikan berupa soal esay berjumlah 8 soal yang berorientasi pada keterampilan berpikir kritis. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan mendeskripsikan skor dalam setiap aspek yang diamati. Adapun kriteria ketuntasan minimal untuk keterampilan berpikir kritis dalam kurikulum 2013 adalah ≥ 2,67 dengan kategori (B-) (Permendikbud No. 104, 2014). Setelah dilakukan pretest, dilakukan uji normalitas terlebih dahulu pada hasil pretest untuk membuktikan sampel yang digunakan berdistribusi normal. (Sudjana, 2005). Dari hasil pretest dan posttest juga dilakukan uji-t berpasangan untuk mengetahui adanya perbedaan nilai pretest dan posttest dan apakah perbedaan tersebut signifikan atau tidak. Langkah pertama dalam melakukan uji-t berpasangan adalah menyusun hipotesis, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: H0 = tidak ada perbedaan yang signifikan antara pretest dan posttest. H1 = ada perbedaan yang signifikan antara pretest dan posttest. Selanjutnya, untuk mengetahui nilai t maka digunakan perumusan sebagai berikut: Keterangan: d = perbedaan antara nilai antara pretest dan posttest. Md = mean dari pre-test dan post-test Xd2 = kuadrat deviasi masing-masing subjek (Xd = d– Md) ΣXd2 = jumlah kuadrat deviasi N = jumlah subjek pada sampel H0 ditolak jika thitung > ttabel dengan dk (n-1) yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dan posttest (Arikunto, 2010:125). Selanjutnya dengan menggunakan N-gain dapat diketahui besarnya peningkatan keterampilan berpikir kritis pada pretest dan posttest dengan perumusan sebagai berikut: <g> = % S f % S i % S maks % S i dengan : Sf = skor final (post-test) Si = skor initial (pre-test) Smaks = skor maksimum yang mungkin dicapai Kemudian Gain-ternomalisasi diinterpretasikan sesui dengan kriteria menurut Hake antara lain: <g> ≥ 0,7 = tinggi 0,7 < <g> ≤ 0,3 = sedang <g> < 0,3 = rendah (Hake,1999:1) Peningkatan keterampilan berpikir kritis dikatakan baik apabila mencapai kriteria sedang atau 0,30 < g < 0,70 sehingga dapat dibuktikan bahwa pembelajaran benarbenar dapat melatihkan keterampilan berpikir kritis dengan baik sehingga keterampilan tersebut meningkat. HASIL Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mendapat hasil persentase ketercapaian keterampilan berpikir kritis tiap aspeknya sebagai berikut. Tabel 2. Hasil Capaian Tiap Aspek Keterampilan Berpikir Kritis Aspek Keterampilan Berpikir Kritis Persentase Ketuntasan Pretest (%) Posttest (%) Interpretasi 40,00 90,00 Eksplanasi 71,67 80,00 Analisis 8,33 70,00 Inferensi 0 50,00 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa ketuntasan pada masing-masing aspek keterampilan berpikir kritis mengalami peningkatan dari hasil pretest dan post-test yang ditunjukkan dengan peningkatan persentase siswa yang tuntas untuk tiap aspek keterampilan berpikir kritis dengan kriteria ketuntasan ≥ 2,67. Aspek keterampilan yang memiliki persentase paling rendah pada saat pretest yaitu keterampilan menarik kesimpulan atau inferensi dengan persentase 0% dan meningkat pada saat posttest yaitu sebesar 50%. Persentase ketercapaian tertinggi saat pretest yakni kemampuan eksplanasi dan meningkat pada saat posttest sebesar 80%. Ketercapaian kemampuan berpikir kritis siswa pada saat posttest bervariasi dengan ketercapaian tertinggi pada kecakapan interpretasi sebesar 90%, disusul dengan kecakapan eksplanasi dan analisis sebesar 80% dan 70%. Ketercapaian terendah pada kecakapan berpikir kritis pada saat posttest terdapat pada kecakapan inferensi (menyimpulkan) sebesar 50%. Hasil data ketuntasan keterampilan berpikir siswa tiap individu perlu disajikan untuk mengetahui tercapainya ketuntasan keterampilan berpikir kritis secara klasikal sehingga dapat diketahui apakah hasil belajar keterampilan berpikir kritis sudah sesuai dengan standar. Berdasarkan hasil tersebut, terdapat 100% siswa tidak tuntas untuk keterampilan berpikir kritis pada saat pretest dan 86,67% siswa dikatakan tuntas pada saat posttest Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis dengan nilai lebih dari sama dengan 2,67 atau berkategori (B-). Hasil keterampilan berpikir kritis siswa secara rerata pada saat pretest 1,90 dan 2,91 pada saat posttest. Dari hasil pretest keterampilan berpikir kritis siswa yang diperoleh, untuk mengetahui signifikansi perbedaan hasil pretest dan posttest diuji secara inferensial menggunakan uji-t. Sebelum data diolah menggunakan uji-t, data yang diperoleh haruslah berdistribusi normal sehingga perlu dilakukan uji normalitas. Uji normalitas dilakukan pada data hasil pretest yang diikuti oleh 30 siswa dan dinyatakan normal. Setelah data dinyatakan normal, kemudian hasil pretest dan posttest keterampilan berpikir kritis siswa tersebut diuji dengan uji-t untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara hasil pre-test dan post-test dan diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 3. Hasil Uji Signifikansi Pre-test dan Post-tes Untuk Capaian Keterampilan berpikir kritis Siswa t table t hitung 1,70 16,63 ketercapaian tertinggi pada kecakapan interpretasi sebesar 90%, diikuti dengan kecakapan eksplanasi dan analisis sebesar 80% dan 70%. Ketercapaian terendah pada kecakapan berpikir kritis pada saat post-test terdapat pada kemampuan inferensi (menyimpulkan) sebesar 50%. Ketercapaian persentase ketuntasan siswa pada kecakapan inferensi paling rendah karena siswa belum dapat menyimpulkan sesuai dengan petunjuk penulisan kesimpulan yang sesuai pada LKS, siswa menuliskan hasil praktikum pada kesimpulan namun yang tidak sesuai dengan rumusan masalah yang disepakati bersama. Kesimpulan yang baik seharusnya dituliskan berdasarkan hipotesis yang telah dibuat, membuktikan apakah hipotesis benar atau salah, menuliskan inti dari semua pengamatan atau eksperimen yang dilakukan, dan menjawab pertanyaan penelitian atau rumusan masalah yang dibuat (Nur, 2011). Upaya yang dilakukan guru untuk mengatasinya adalah dengan memberikan siswa arahan dan bimbingan untuk menuliskan kesimpulan yang sesuai dengan petunjuk penulisan kesimpulan di LKS yang benar pada pertemuan pertama, sehingga diharapkan siswa akan terbiasa menuliskan kesimpulan yang sesuai pada pertemuan kedua. Secara keseluruhan model CLIS diterapkan pada materi struktur bumi dan gempa bumi terbukti dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Berdasarkan analisis data dapat diketahui bahwa terdapat 100% siswa tidak tuntas untuk keterampilan berpikir kritis pada saat pretest. Rendahnya hasil saat pretest dikarenakan seluruh siswa belum dapat menguasai masing-masing keterampilan berpikir kritis yang diukur oleh peneliti meliputi kecakapan interpretasi, eksplanasi, analisis dan inferensi. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan guru dalam praktikum kurang melatihkan berpikir kritis secara mendalam serta dalam evaluasi soal yang diberikan juga belum mengukur keterampilan berpikir kritis sehingga siswa belum terbiasa menyelesaikan masalah dengan tingkat kognitif yang tinggi. Model CLIS yang diterapkan pada pembelajaran memberikan hasil yang baik. Terbukti saat posttest, diperoleh 86,67% siswa dikatakan tuntas dengan nilai lebih dari sama dengan 2,67 atau berkategori (B-). Hasil pretest dan posttest setelah dianalisis dengan uji-t dan NGain terbukti meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, sehingga pembelajaran dengan model CLIS pada materi struktur bumi terbukti dapat melatihkan keterampilan berpikir kritis. Hasil ini tidak lepas dari upaya guru dalam melatihkan keterampilan berpikir kritis melalui model CLIS. Pelatihan keterampilan dalam model CLIS dapat dilakukan melalui kegiatan berupa pengamatan atau praktikum untuk memecahkan masalah dilanjutkan dengan pemberian umpan balik, serta melalui kegiatan pemberian latihan soal atau pada fase penerapan Dari data di atas dapat diketahui bahwa thitung sebesar 16,63 sedangkan harga ttabel dengan taraf signifikan α = 0,05 adalah sebesar 1,70. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa thitung > ttabel, hal ini berarti sesuai dengan kriteria hipotesis bahwa H0 ditolak jika thitung > ttabel sehingga H1 diterima. Hal ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara nilai pretest dan posttest Berdasarkan data diketahui bahwa selain terdapat perbedaan nilai rata-rata keterampilan berpikir kritis antara hasil pretest dan posttest, juga terjadi peningkatan keterampilan berpikir kritis. Maka dilakukan perhitungan statistik untuk mengetahui besarnya peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yaitu dengan uji N-gain. Berdasarkan perhitungan N-gain hasil rata-rata N-gain keterampilan berpikir kritis siswa kelas VIII-H adalah 0,48 dengan kategori sedang. PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa ketuntasan pada masing-masing aspek keterampilan berpikir kritis mengalami peningkatan dari hasil pretest dan posttest yang ditunjukkan dengan peningkatan persentase siswa yang tuntas untuk tiap aspek kemampuan berpikir kritis. Hal ini berarti bahwa pembelajaran dengan model CLIS dapat melatihkan keterampilan berpikir kritis sehingga tiap aspek kecakapannya mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan karakteristik model CLIS yang berpusat pada siswa sehingga dapat melatihkan keterampilan konkret maupun abstrak seperti keterampilan berpikir kritis. Ketercapaian kemampuan berpikir kritis siswa pada saat posttest bervariasi dengan 5 gagasan yang diikuti juga dengan kegiatan umpan balik. Sesuai dengan pendapat Swanson (1990) dalam Nur (2008) bahwa memberikan siswa banyak latihan yang meliputi berbagai bentuk masalah, memberikan umpan balik tidak hanya pada pemecahan masalah yang benar tetapi juga dalam proses bagaimana mereka dapat memecahkan masalah tersebut, mungkin adalah cara paling efektif untuk mengajarkan pemecahan masalah yang secara tidak langsung akan mengajarkan keterampilan berpikir. Berdasarkan hasi perhitungan N-Gain diperoleh peningkatan berpikir kritis siswa pada kategori sedang, yang berarti secara perhitungan N-Gain peningkatan skor berpikir kritis tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan, pemberian pelatihan keterampilan berpikir kritis tidak dapat dilakukan secara instan, diperlukan pelatihan secara berkesinambungan sehingga diperoleh hasil yang lebih memuaskan. Sesuai dengan pendapat Savel dkk. dalam Nur (2008) bahwa keterampilan berpikir dapat diajarkan dengan maksimal dengan mengunakan Instrumental Enrichment atau menciptakan suatu budaya berpikir di kelas dalam frekuensi dan periode yang panjang. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase ketercapaian tiap aspek keterampilan berpikir kritis saat pretest antara lain: interpretasi 40%, eksplanasi 71,67%, analisis 8,33%, inferensi 0%, keterampilan berpikir kritis mengalami peningkatan persentase ketercapaian tiap aspeknya saat posttest antara lain: interpretasi 90%, eksplanasi 80%, analisis 70%, inferensi 50%. Hasil ketuntasan keterampilan berpikir kritis secara keseluruhan aspek tiap individu menunjukkan 0% siswa tuntas saat pretest keterampilan berpikir kritis kemudian meningkat menjadi 86,67% siswa tuntas dengan perolehan N-Gain sebesar 0,48 dengan kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan model CLIS pada materi struktur bumi dan gempa bumi terbukti dapat melatihkan keterampilan berpikir kritis. Saran Berdasarkan simpulan diatas dapat dikemukakan saran khususnya bagi guru maupun peneliti selanjutnya, pelatihan keterampilan berpikir kritis sebaiknya dilakukan dengan berkala, lebih dari dua pertemuan sehingga memperoleh hasil yang memuaskan. Indikator keterampilan berpikir kritis yang dilatihkan sebaiknya difokuskan 4 sampai 6 indikator agar hasil pelatihan lebih optimal Ucapan Terimakasih Kepada Ibu Laily Rosdiana, S.Pd., M.Pd. selaku validator, kepala SMP Negeri 2 Wonoayu Drs. H. Suwarno, M.M., guru IPA SMP Negeri 2 Wonoayu serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Renika Cipta. Baharuddin. Wahyuni, Esa Nur. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. Cahyono, Didik. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X-7 SMA Negeri 1 Turen. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Malang : Universitas Negeri Malang. Filsaime, Dennis K. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta : Penerbit Buku Berkualitas Prima. Hake, Richard. 1999. Analyzing Change/Gain Scores. (Online) melalui : http://www.physics.indiana.edu/sdi/AnalyzingChange/Gain.pdf. (diakses 30 Maret 2015). Joko, Tri. Dkk. 2013. “Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Melalui Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Mirit Tahun Pelajaran 2012/2013”. Jurnal Radiasi. Vol 3. No. 2. Kurniawan, Bambang Putra. Dkk. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) Disertai Penilaian Kinerja dalam Pembelajaran Fisika untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar dan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII-A MTS Nurul Amin Jatiroto. Jurnal Pembelajaran Fisika. Vol 1. No.3. (Online). (http://library.unej.ac.id/client/search/asset/520 , diakses 8 Desember 2014). Nur, Mohammad. 2008. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya : Unesa. Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 58 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah. Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 104 Tahun 2014 Tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung : PT. Tarsito. Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis Sugiono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RnD. Bandung : Alfabeta. Sukarno. Dkk. 1973. Dasar-dasar Pendidikan Science. Jakarta : Bharata. Usaid Prioritas. 2013. Pembelajaran IPA SMP di LPTK. Yuliati, Lia. 2008. Model-Model Pembelajaran Fisika. Malang : LPPM Universitas Negeri Malang. Zubaidah, dkk. 2014. Buku Guru untuk SMP Kelas VIII. Jakarta : Kemendikbud 7