RUMAH SAKIT KATOLIK ST.VINCENTIUS A PAULO SURABAYA Pramita Saraswati. Shinta Devi I.S.R, Abstrak Penelitian ini adalah sebuah tulisan yang membahas secara rinci dan jelas tentang Rumah Sakit St.Vincentius A Paulo tahun 1925-1950. Rumah Sakit St.Vincentius A Paulo merupakan rumah sakit swasta pertama kali di Surabaya dan juga menjadi media penyebaran agama Katolik melalui bidang kesehatan oleh missionaris. Pengaruh pembangunan RKZ adalah para missionaris mampu menyebarkan agama Katolik melalui pengobatan gratis dan memberikan bantuan kepada masyarakat umum yang kurang mampu. Kata kunci: Missionaris, Katolik, Rumah Sakit St Vincentius A Paulo, Pelayanan Kesehatan Abstract This research discusses about St. Vincentius A Paulo Hospital during 1925 to 1950. In these periods explained the relationship between missionaries of Catholic and development of the first hospital in Surabaya, St. Vincentius A Paulo. Affected in the development of health section in Surabaya the missionaries enabled to spread their religion through free treatment and helped poormen. Keyword : Missionaris, Catholic, St. Vincentius A Paulo Hospital, Good Healthy Servis Perke mb an gan R KZ pada Mas a Kolonial Pada zaman pemerintah kolonial Belanda, bidang kesehatan memperoleh perhatian utama. Hal itu disebabkan karena pemerintah kolonial Belanda sangat takut terhadap penyebaran penyakit kolera dan cacar. Untuk menyelesaikan masalah kesehatan, pemerintah kolonial Belanda mendatangkan dokter-dokter dari Belanda. Mereka ditempatkan di kesatuan militer untuk memberikan pelayanan kesehatan pada tentara dan pegawai sipil Eropa. (Satri: 1978, 6). Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada tentara, pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah Jawatan Kesehatan Tentara (Militiar Geneeskundige Dienst) pada tahun 1808. Jawatan ini dibangun di tiga kota besar yaitu: Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Selain itu pemerintah juga mendirikan dua rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan pada para pelacur, pekerja paksa, narapidana dan penderita sakit jiwa. Dalam hal ini masyarakat pribumi belum memperoleh pelayanan kesehatan ya n g m a ks i m a l . M e r e ka m a s i h menggunakan kemampuan dukun, tabib, dan jamu tradisional (Scrortiono Rosalia: 1999, 73). Ketidakberadaan pelayanan kesehatan untuk masyarakat pribumi me nun juk kan ba hw a p em er int a h memberlakukan kebijakan diskriminatif. M es ki pu n de m i ki an pe m er i nt a h memberikan pelayanan kesehatan untuk 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya 2 Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya 86 penyakit ringan dengan cara membangun poliklinik dengan pelayanan yang minim. Kondisi ini menjadi sangat buruk, ketika poliklinik yang dijadikan tempat merawat orang-orang pribumi juga meraw at masyarakat yang dihukum dalam penjara. Rumah sakit tersebut tidak memberikan pelayanan yang memadai, berbeda dengan rumah sakit militer. Adanya pelayanan yang kurang memadai di Surabaya dan penyebaran penyakit yang semakin meningkat, mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk membangun rumah s akit di Surabaya yaitu Rumah Sakit Darmo, Rumah Sakit Undaan, Poliklinik Soe Swie Tiong Hwa Ie Wan dan Rumah Sakit St.Vincentius A Paulo (G.H Von Faber: 1930, 34). Antara rentang waktu tahun 1900-1930, pemerintah kolonial Belanda berusaha meningkatkan pelayanan kesehatan dengan cara meningkatkan anggaran belanja hampir sepuluh kali lipat untuk membiayai pembangunan fasilitas kesehatan umum. Dalam me mberika n pelaya nan kes ehat an dilakukan usaha kuratif yang dibantu oleh “inisiatif partikelir” yaitu seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan (Leger des Heis) (Sigit Kurniawan: 2008, 55). Dana bantuan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pihak missie bertujuan untuk memajukan kesehatan masyarakat. Dana ters ebut digunakan untuk berbagai ke g ia t a n y an g b e rt uj ua n un tu k meningkatkan kesehatan masyarakat. M u l ai d a ri pe n go ba t a n s a m p a i pembangunan gedung rumah sakit mulai berjalan. Salah satu bentuk subsidinya a d al a h m e m be r i ka n d an u nt u k pembangunan rumah s akit katolik St.Vincentius A Paulo. Pembangunan rumah sakit ini dilakukan oleh para pastor yang bertujuan untuk menyebarkan agama Katolik melalui bidang kesehatan. P em banguan rum ah s aki t merupakan salah satu cara yang digunakan beberapa pastor untuk menyebarkan agama Katolik di lingkungan masyarakat luas. Memberikan pelayanan kesehatan yang memadai berarti telah peduli terhadap umat. Melalui bidang kesehatan inilah, agama Katolik mulai menyebar dan banyak dianut oleh masyarakat. Pada tahun 1918, para pastor penggerak Apostolic Perfek Surabaya, yaitu Mgr. Fleerackers SJ5, romo militer Angkatan laut dan romo Jansen SJ me m il i ki s eb ua h “ ci t a- ci t a da n kebutuhan”, membangun rumah sakit K a t ol i k d i S ur a b ay a . Re n c a na pembangunan itu terwujud pada tanggal 1 Oktober 1919. Dalam mendirikan sebuah rumah sakit, salah satu hal yang sangat penting adalah memilih lokasi, akhirnya Apos tolic P erfek S ura baya, Mgr. Fleerackers SJ dan Jansen menyetujui jual beli 2 persil tanah di daerah Reiner Boulevad (yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Diponegoro) dengan harga f 59.260,- antara perseroan terbatas “Maatschappij tot Eploitatie Van Onroerende Goederen Dermo”dan badan pengurus gereja yang bernama Roomsch Kerk en Armbestuur dengan melakukan perjanjian dengan pemilik tanah yang bernama R.P.Van Alpen. Isi perjanjian tersebut adalah: Persil-persi tersebut hanya bole h dipergunakan unt uk pendirian Rumah Sakit dan apabila rumah biarawati jika dalam waktu 3 bulan pembangunan tidak dibagun, maka pe r s i l - pe r s i l t e r s e bu t h a ru s dikembalikan beserta uangnya akan dikembalikan pula tanpa bunga. (RKZ Surabaya: 2000, 5). Perjanjian ini merupakan cikal bakal berdirinya Rumah Sakit Katolik St. Vincentius A Paulo (RSK). U ntuk me ndi ri kan r uma h s a kit ka tol i k St.Vincentius A Paulo memerlukan realisasi dalam membentuk perkumpulan, sehingga tepat pada tanggal 9 September 1920 yaitu didirikan suatu badan hukum bernama “Roomsch Katholiek Ziekenhuis te Suraba ya Vereeneging (RKZV ) (Staatsblad van Nederlandsh-Indie: No. 670, Tahun 1920). Saat mendirikan rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo, pihak pendiri 87 Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 mengalami kesulitan karena pemerintahan kolonial Belanda membatasi aktivitas penyebaran ajaran agama Katolik dan situasi perang yang mempengaruhi perekonomian dunia menye babkan sulitnya pengumpulan dana. Untuk mengantisipasi rencana pembangunan Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo ini, RKZV meminta kelonggaran dalam perjanjian yang telah disepakati diatas. Pada tahun 1923 terjadi perubahan kepengurusan yang saat itu diduduki oleh Romo-romo Jesiut (SJ) yang kemudian digantikan oleh Romo-tomo Lazaris (CM), sehingga akhirnya kepengurusan diambil alih oleh Romo De Backere, CM. Pada tahun 1924 Backere dan P erkumpula n Rooms ch Ka tholi ek Ziekenhuis te Surabaya Vereeneging mendapatkan informasi mengenai tidak adanya pemakaian lagi dari bekas bangunan klinik dr. De Kock di Jalan Oendaan Koelon No.57-59 Surabaya. Alasan mereka memilih bangunan ini dikarenakan bangunan ini sangat megah. Bangunan tersebut merupakan bekas miliki raja gula Eschanuzier. Kemegahan bangunan ini sangat cocok untuk difungsikan mendirikan sebuah kamar yang mampu memuat kepasitas 35 tempat tidur, sehingga Backere dan RKZV menyewa bangunan ini dan membangun sebuah kamar bedah dan dokter bedah. Pada tanggal 1 Januari 1925 telah ditetapkan untuk menyewa klinik tersebut, akan tetapi para biarawati tidak sanggup untuk menjadi seorang perawat di rumah sakit ini, karena kurangnya pengalaman menjadi seorang perawat rumah sakit. Adanya keterbatasan pe ra w at , m ak a m el a lu i ba nt ua n Mgr.Verstaelen Vikep Nusa Tenggara, RKZV menghubungi pimpinan Jendral SSpS di Roma. Bantuan ini bertujuan untuk meminta bantuan suster-suster misi Abdi Roh Kudus untuk melayani di rumah sakit Katolik Vincentius A Paulo yang akan segera didirikan di Surabaya, akhirnya mereka mengirimkan enam suster yang berasal dari negara Belanda, 88 yaitu: (lihat gambar 3) Sr.Felicina sebagai pemimpin, Sr.Jezualda, Sr. Manetta, Sr. Aldegonda, Sr.Sponsaria dan Sr. Stephaniana. Enam suster tersebut tiba tanggal 1 Mei 1925 di Batavia dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan kereta api ekspres melalui Semarang menuju Surabaya. Keenam suster tersebut membawa misi untuk memenuhi tugas ut us an Abdi Roh Kudus . Setela h melakukan perjalanan menggunakan kereta tadi, siang hari pada tanggal 3 Mei 1925 mereka tiba di Surabaya tepatnya di Stasiun Gubeng. Gambar 1 Sr.Felicina, Sr.Jezualda, Sr. Manetta, Sr. Aldegonda, Sr.Sponsaria dan Sr. Stephaniana Misi pertama kedatangan SSpS di Jawa memang untuk menjadi perawat, sehingga suster-suster yang telah mengembangkan bidang-bidang karya yang berorientasi pada kaum wanita. Pada tanggal 20 Juni 1925 berkat kedatangan SSpS di rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo mampu melengkapi tenaga kerja perawat. Kelengkapan perawat dan pelayanan di rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo menjadi lebih maju dan memadai, sehingga rumah s akit katolik St.Vincentius A Paulo diresmikan oleh Residen Jordaan dan dihadiri oleh Asisten, Walikota Surabaya Dijkerman, dan Mgr. Fleerakkers sebagai perintis pertama beserta sebagai tuan rumah adalah pastor de Backere. Keberhasilan pembangunan rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo ini juga sangat dibutuhkan adanya dokter karena memiliki peran yang sangat strategis dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. Sejak awal pembukaan rumah sakit St.Vincentius A Paulo ini, sudah mulai dilengkapi dengan tenaga-tenaga dokter spesialis TH K, kebidanan, penyakit dalam, dokter bedah beserta keenam suster yang membantu dalam keperawatannya. Untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat dan makin banyaknya orang yang datang meminta perawatan karena kekuranga n pendanaa n dala m kelengkapan alat. Untuk meringankan beban pendanaa khususnya perawatan dalam bidang kebidanan para suster menggunakan proses untuk memecahkan masalah pendanaan. Proses yang dilakukan oleh pihak rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo dengan menaikkan tarief lebih tinggi yaitu kelas 1 : f 15-f 12.50, tarief kelas 2 : f 8.50, tarief kelas 3 : f 5. Dari tarif tersebut ad anya perbe daa n ruan gan ya ng disediakan tergantung kelas ruangan yang akan digunakan. Tarief ruangan tidak sepenuhnya semua peralatan dan obatobatan, sehingga uang dikenakan obatobatan dan peralatan medis ditanggung oleh para pasien. Adanya tarief yang mahal juga ditunjang dengan perawat dan dokter, sehingga adanya sistem jaga malam yang digunakan untuk menjaga para pasien jika ada masalah. Proses yang kedua ini dilakukan dengan cara ruang pera wa t a nak-ana k yai tu denga n menggunakan lahan garasi yang terletak di depan perkarangan rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo. Namun dalam hal ini pemecahan masalah tersebut masih belum di pecahkan karena mas ih bertambahkan anak-anak yang dirawat di rumah sakit katolik St.VincentiusA Paulo. Oleh sebab itu, pada tahun 1927 rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo membutuhkan perluasan tanah. Perluasan tanah ini digunakan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada pa s ie nn ya . r um ah s ak it ka t ol i k St.Vincentius A Paulo menukar tambah sebidang tanah m ilik pemerintah, sehingga jual-beli dengan pemerintah dapat dengan mudah diperbolehkan. Dalam misi yang sudah dijalankan ini, menata rumah sakit mendapat permohonan awal yang diajukan oleh rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo pada tanggal 27 September 1928, tetapi persetujuan penukaran, penjualan dan pembelian tertanggal 25 Januari 1929 yaitu adanya secara resmi Roomsch Katholiek Kerk en Armbestuur (RKKA). Adanya tempat yang luas di Jalan Diponegoro dengan arsitektur Eropa yang dirancang oleh arsitek muda Eropa yaitu Taen, Robers, De Bruyn, van Linde, Smits, Kreisler, Thomas Nix Dicke, rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo mampu melengkapi jumlah tempat tidur dengan jumlah 373 dan tenaga medis dokter umum sebanyak 25 orang, dokter spesialis sebanyak 9 orang, dokter gigi sebanyak 6 orang, perawat sebanyak 201 orang, paramedik non perawat sebanyak 90 orang, dan non medis sebanyak 701 orang. Dalam bidang ruang masalah mengenai bida ng kebidanan terlihat a da nya perluasan. Perluasan ini terdiri dari ruang orang-orang priyayi dan wanita kelas atas yang selama ini yang tidak mereka dapatkan di Jl.Oendaan karena adanya keterbatasan ruangan. Dalam masalah kunjungan pasien pun Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo menjadwal se bagai berikut : P olikl inik unt uk pemeriksaan penyakit dan pasien (tertutup untuk ibu setelah bersalin dan bayinya), dibuka setiap hari mulai jam 07.00-12.00 WIB, Konsultasi untuk pemeriksaan kandungan untuk ibu-ibu hamil, dibuka pada pada hari Senin- Rabu dari jam 15.00-18.00 WIB dan Konsultasi untuk pemeriksaan kesehatan anak balita dibuka pada hari Kamis-Sabtu dari jam 15.0018.00 WIB. 89 Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 Kebijakan menjadwal pasien agar dalam setiap pemeriksaan kesehatan antara bayi dan ibu hamil tidak tercampur. Adanya perbedaan jadwal ini bertujuan agar bayi dan ibu yang selesai dalam persalinan memerlukan pemeriksaan yang sangat intensif. Dalam program intensif ini memiliki tujuan agar terhindar dari bahaya penyakit. Dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, dimana perawat terlibat didalamnya dan selalu diawali transaksi antara dokter dengan pasien. Tarief yang dikenakan juga hanya kalangan kelas atas atau yang mampu yaitu khusus rungan ibu melahirkan dan bayi dipisahkan. Pemisahan ini juga mengakibakan tarief ruangan untuk bayi yaitu kelas 1 : f 1.50, kelas 2 : f 1, dan kelas 3 : f 0.50. Biaya yang ditanggung harus dibayar 10 hari sebelumnya, sehingga adanya tempat pemesanan ruang bayi. Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo memiliki pelayanan kesehatan yang nyaman yang bertujuan untuk memberikan ketenangan pasien. Dengan adanya tempat yang luas dan nyaman, kes e hat an pa si en a kan t erj ami n. Ketenangan dari pasien akan mudah mendapatkan kesembuhan. Pelayanan di Rumah Sakit Katolik St. Vincentius A Paulo ini sangat memenuhi kriteria yang diidamkan oleh para pasien, tetapi tidak semua kalangan rakyat di Surabaya diperbolehkan dirawat di rumah sakit ini. Tidak diperbolehkannya dirawat di rumah sakit ini disebabkan karena pada tahun 1925 masyarakat pribumi di pandang rendah bahkan dianggap sebagai sumber penyakit bagi penduduk Belanda. Adanya kebijakan dari pemerintah Belanda, rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo memiliki alternatif dengan membangun poliklinik St. Malania. P o l i kl i ni k S t . M e la n ia i n i merupakan sesuatu berontakan dari Ba c ke re k ar en a ia t i da k d ap a t menyebarkan agama Katolik di rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo. Dalam tahap pembangunan ini sangat berbeda dengan pembangunan rumah sakit katolik 90 St .Vince nti us A P aul o, se hingga pemba ngunan St . Me lani a hanya sekadarnya saja. Poliklinik ini di bangun pada tahun 1930-an yang dikembangkan den gan mi ss i me mp erha ti ka n kepentingan anak-anak, pemudi-pemudi dan w ani ta -wa nit a khus us nya di Surabaya. Dalam memperhatikan anakanak dan wanita-wanita St.Melania menggunakan sistem ruangan yang sesuai dengan keperawatan kebidanan di rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo. Tetapi perbedaan ini terletak pada ruang yang disediakan St. Melania untuk masyarakat yang kesulitan dalam keuangan yang diterima dengan baik di semua kalangan. Bahkan perawatan di St. Melania di lakukan di perkampungan dan pedesaan. Dalam hal ini St. Melania mendapatkan hambatan karena saat itu masih banyaknya kepercayaan mereka terhadap dukun dibandingkan bidan. Terlihat dari adanya persalinan dalam setiap rumah jumlah wanita bersalin yang ditolong oleh bidan sebanyak 2x seminggu. Pengurus St. Melania juga diambil dari para wanita yang awam terhadap agama Katolik. Adanya keterbatasan pengetahuan mengenai agama Katolik mereka di dampingi oleh penasehat imam Lazaris. Hal ini yang merupakan bentuk penyebaran agama Katolik melalui perawat yang baru masuk ke agama Katolik. Penyebaran ini terlihat pada ketua St. Melania yaitu Scheepens membuka biro konsultasi secara gratis dalam seminggu dua kali yaitu untuk calon ibu sekali dan mengontrol bayi sekali yaitu : Hari Senin dari jam 08.00-09.00 WIB, untuk pemeriksaan wanita hamil, namun tertutup untuk penderita yang sakit dan Hari Rabu dari jam 08.00-09.00 WIB, pemeriksaan untuk kesehatan anak balita. Sangat berbeda dengan rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo yang semakin memperkuat bahwa telah terjadi di skrim inas i dalam hal pelayana n kesehatan antara masyarakat pribumi dan penduduk Belanda yang sangat berbeda jauh. Pelayanan kesehatan yang berbeda ini menimbulkan kesenjangan sosial dari masyarakat pribumi yang merasa sangat dirugikan terhadap peraturan tersebut. Dalam tahap pembangunan rumah sakit ini, setelah pembelian tanah berhasil dilakukan pada tanggal 26 Maret 1929 mereka masih tinggal di Jalan Oendaan. Yang saat itu tinggal adalah Sr. Felicina menjadi regional pertama, sedangkan s eb ag ai as i s te n re gi ona l a da la h Sr.Amandea dan S r.Jezulda s ebagai Mahnerin Ratschwester (adminstrasi) (lihat gambar 5), tetapi rumah sakit di Jalan Oendaan ini masih kurang memadai. Meskipun, pada tahun 1930 sudah adanya penyaluran bantuan dari pemerintah Belanda untuk melakukan berbagai program yaitu imunisasi, kampanye anti malaria, anti pes dan perbaikan-perbaikan dalam bidang kesehatan lainnya yang menyebabkan turunnya angka kematian khususnya di Surabaya. Dalam kebutuhan pendanaan sudah sedikit membaik, tetapi RKZV masih kewalahan karena dalam mendirikan sebuah rumah s akit masih belum terkoordinas i dengan baik. Ma ka di t aw a rk an ke pa da S S pS un t uk melaksanakan realisasi cita-cita itu dengan mendirikan Yayasan Arnoldus pada tanggal 18 Juli 1933. Yayasan ini dikelola oleh Arnoldus Vestraelen yang merupakan seorang pastor dari Nusa Tenggara. Adanya pembuatan surat pelepasan 9 persil tanah milik Roomsch Katholiek Kerk en Armbestuur (RKKA) yang menjadi modal yayasan ini. Yayasan ini dikelola oleh suster yang mempunyai misi m end iri ka n rum ah sa ki t ka t oli k St.Vincentius A P aulo di Reiniers Boulevard 136 dengan menunjukkan pengangkatan badan pengurus pertama yayasan Arnoldus dan pengurus rumah sakit yaitu dalam surat ini juga disebutkan t u j ua n y ay a s a n A rn o du s y a i t u mempertahankan dan mengelola rumah sakit Katolik di Surabaya. Pengelolahan rumah sakit ini menyelenggarakan perawatan orang sakit penduduk Eropa dan pribumi yang mampu. Surat diatas juga menunjukkan pengangkatan Badan Pengurus pertama Yayasan Arnoldus yaitu : Nona Johanna Donkers (suster Jezualda), direktris Rumah Sakit Katolik sebagai ketua yayasan, Nona Suzanne Lintz (suster Nivita), sekertaris Rumah Sakit Katolik sebagai sekretaris yayasan dan Nona Hubertine Everts (suster Aldegonda), bendahara Rumah Sakit Katolik sebagai bendahara yayasan. Dalam surat ini juga dengan jelas disebutkan tujuan Yayasan Arnoldus yaitu mempertahankan dan mengelola Rumah Sakit Katolik di Surabaya melalui perawatan orang sakit. Penyediaan pada tahun ini sudah dibangun Pav. 1, 2, 3, 4, 5, 6 hall dan kamar bedah, kamar cuci, dapur, kamar mayat, susteran, kamar tamu dan perpustakaan. Seiring berjalannya waktu, dalam pengelolaannya dan keterbatasan dana para suster juga membuat rencana pembangunan awal yaitu pada tahun 1934. Pembangunan ini masih dibangun ruang transformator yang digunakan untuk mentranfer pasien setelah operasi, sumur air dan menara air untuk kebersihan lingkungan di rumah sakit St.Vincentius A Paulo. Pembangunan rumah sakit ini mulai berkembang seiring perkembangan berbagai penyakit yang diderita oleh para pasien. Dalam pembangunan rumah sakit ini, belum adanya biara dalam rumah sakit, sehingga para suster masih tinggal di pavilium rumah sakit. Pada tahun 1939 dibangun gudang dan ruang tamu dekat kamar jahit dan dibangun P av.4. Pembangunan ini diberhentikan pada tahun 1940-an karena adanya peperangan. Perkembangan Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo Pada Masa Jepang Tentara Jepang datang ke Indonesia pada tanggal 1 Maret 1942 dan tepat pada tanggal 8 Maret, Belanda menyerahkan kekuasaanya kepada pihak Jepang. Hal itu 91 Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 merupakan pertanda bahwa sejak itulah Jepang berkuasa di Indoesia. Dalam pemerintahannya selama tiga setengah tahun oleh Jepang, Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan Madura. Ketiga wilayah tersebut letak Jawa yang paling strategis karena perkembangan di Jawa lebih menjanjikan untuk masa akan datang. Tujuan utama Jepang datang ke Indonesia yaitu untuk m en yu s un da n m e nga r ah ka n perekonomian di Indonesia untuk membiayai perang Jepang dalam jangka panjang terhadap As ia Timur dan Tenggara. Dengan pembiayaan perang ini tidak jauh dengan hubungan kesehatan, sehingga Jepang mengajak perawat yang sangat berpengalaman diajak bekerja sama untuk membantu para dokter (Hojoi). Zaman Jepang ini juga disebut Pancaroba, karena adanya tindakan sadis yang dilakukan oleh Jepang kepada rakyat pribumi yang mengakibatkan makanan pokok, kesehatan, lingkungan sekitar tidak terawat dengan baik. Banyaknya masyarakat yang terjangkit penyakit b us u ng l ap a r d a n k ol e ra y an g mengakibatkan seluruh lingkungan mereka kotor. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, obat-obatan hanya terbatas adanya dan tidak bisa menanggulangi korban-korban secara efektif. Cara tradisional masyarakat pribumi untuk melakukan tindakan medis yaitu dengan mengganti balut saja dengan kulit batang pisang. Hal ini digunakan sebagai tindakan agar penyakit tidak menjalar luas ke penduduk yang lain. Keadaan rumah sakit mulai penuh dengan pasien yang berpenyakit busung lapar yang menyebabkan kutu-kutu busuk memenuhi lingkungan s ekitar dan dikhaw at irkan aka n menyeba rkan penyakit susulan yang semakin ganas. Munculnya Jepang di Surabaya pada saat itu juga mengalami kesulitan dan kekacauan. Kekacauan ini dilakukan juga oleh masyarakat pribumi yang tidak menyukai penjajah Belanda, sehingga 92 mereka melakukan perampokan dan penjarahan pada toko-toko dan rumah milik orang Belanda Tepat pada tanggal 10 Maret 1942, Belanda menyerahkan kekuasaan atas wilayah Jawa kepada Jepang. Pada awal kekuasaannya, Jepang berusaha tampil sebagai super hero saat itu. Adanya kekacauan ini berimbas dengan fasilitas yang ada di wilayah rumah sakit ini, sehingga kapasitas mulai berkurang dengan 96 tempat ridur. Kekacauan ini dikarenakan Jepang berusaha menghapus pengaruh budaya barat dala m mas yarakat pribumi . Pengaruh penghapusan ini tampak terhadap penawanan orang Belanda baik wa nit a, m aupun a nak-an ak yan g dikumpulkan dan ditawan di suatu tempat agar mereka tidak lagi menyebarkan pengaruh mereka di Surabaya. Penawanan ini tidak melihat mereka dari segi umur, kesehatan dan keagamaan. Oleh karena itu para suster terkena imbasnya yaitu para suster banyak yang ditawan di Rumah Sakit Darmo. Penawanan pada saat itu membuat para suster khawatir mereka banyak yang mengungsi, bersembunyi di kamar mandi, kurangnya kebutuhan sandang pangan dan meninggalkan rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo. Pada saat itu para suster mengungsi sampai menyewa rumah di HBS Straat Nomor 9 dan saat itulah masa Jepang di Rumah Sakit St. Vincentius A P aulo ini mendapatkan dampak yang begitu besar karena pada saat itu rumah sakit ini ditutup dan dikosongkan, sehingga semua biarawati-biarawati dipulangkan ke negaranya. Kekosongan beserta peralatan kesehatan tidak ada satupun yang tertinggal. Pada tahun 1943 justru saat itu St. Melania tidak di serang karena poliklinik ini tidak begitu terlihat, sehingga perawat rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo yang pribumi bersinggah di poliklinik ini. terutama Sr.Gunthild yaitu seorang suster yang berhasil melarikan diri dengan berupaya tidak memperlihatkan di sekitar daerah St. Melania. Poliklinik ini berhasil dari intaian Jepang karena saat itu ia tidak menampakkan diri untuk melakukan banyak aktifitas mereka menjadi seorang perawat. Bahkan poliklinik ini terlihat seperti bentuk rumah seperti biasanya. Pada masa kekuasaan Jepang, masyarakat pribumi dan masyarakat Eropa yang masih bertempat tinggal di Surabaya hanya mengandalkan rumah sakit Simpang. Terlihat pada peristiwa yang terjadi pada sesesorang yang membutuhkan peran medis untuk menangani lukanya yang saat itu ayahnya di paksa untuk ikut Romusha atau kerja paksa oleh Jepang, sehingga ibunya pun membawa ke rumah sakit Simpang, tanpa ayahnya mengetahui bahwa anaknya telah meninggal. Korban-korbannya yang telah meninggal juga dimakamkan di daerah rumah sakit Simpang ini. Perkembangan Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo Pasca Proklamasi Jepang meyerah tanpa syarat dari pihak sekutu yang ditandai dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945 yang mengakibatkan kedua wilayah tersebut porak-poranda. Untuk mengisi kekosongan dari peris tiw a te rs ebut, Indones i a ke mudia n memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta me mul angk an t ent ara J e pang k e negerinya. Akan tetapi, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya dengan membonceng NI CA (Net her l ands Indi es Civ il Ad m in i st r a tio n ) . I tu l ah y an g me ni m bul ka n k em a ra ha n ra ky at Ind one s i a d i b er ba ga i w i l ay ah . Dikibarkannya bendera Belanda berwarna merah, putih dan biru di Surabaya, tepatnya di Hotel Yamato yang telah melahirkan Insiden Tunjungan dan menyulutkan berkobarnya bentrokanbentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat Indonesia. Pada tanggal 10 November 1945 terjadi ultimatum dari pihak Inggris, sehingga saat itu pula gedung rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo pernah menjadi rumah sakit BKR laut untuk merawat korban-korban terluka di kota Surabaya. Te w a s n ya A . W. S M a l l a b y berakhirnya juga peristiwa di Surabaya dan Rumah Sakit St.Vincentuis A Paulo ini beralih menjadi dinas kesehatan. Pada waktu itu para suster diperbolehkan kembali ke rumah sakit sendiri dan mulai me n ga da ka n ke gi a ta n unt u k membersihkan lingkungan rumah sakit serta mengatur kembali dengan baik segala apa yang dibutuhkan. Setelah membersihkan lingkungan rumah sakit, kemudian para suster menerima dan melayani kembali para pasien seperti bia s a. Da la m perk em ban gan nya , pelayanan juga tampak diperbolehkannya masyarakat pribumi dirawat di rumah sakit ini. “Saya dulu orang nggak punya sama sekali mbak, wong buat maem wae ora nduwe duit. Lah waktu iku onok sing mbantu, tapi dari agama katolik. Orangnge apik tenan, wes talah sing ketemu uwong iku bakalan luluh atine koyok ndelok wajahe ae mbak rewesik, cerah pisan. Namanya itu pak karni, asli orang Jawa. Saya itu di bantu banyak hal, dari maem, pakaian, 93 Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 sakit pun sing mbayar yo beliau. Dari tahun 50-an mbak saya masuk agama katolik, ternyata yo beda dengan islam. Maaf mbak, saya bilang sejujurnya. Islam itu tampak luar saja bagus, tetapi lihat umatnya banyak yang sombong. Klo miskin diinjak-injak,klo kaya di agungagungkan, beda sekali dengan Katolik yang diajarkan disiplin, kotakannya mbak kasihnya banyakbanyak, klo islam halah kasih sewu ae wes akeh. Wes-wes” Cuplikan wawancara dengan Sri Lestari menunjukkan bahwa adanya keberadaan rumah sakit St.Vincantius A Paulo ini juga mengakibatkan dampak pada para pasien yang dilayani dengan baik, sehingga ketertarikan pada agama Katolik muncul dengan sendirinya. Kemunculan ini dikarenakan adanya kebaikan hingga menolong dalam dana kesehariannya. Dalam pendanaannya, rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo juga di anggarkan untuk melakukan bakti sosial dan membantu orang yang kurang mampu. Menurut mereka semakin banyak membantu juga semakin banyak seseorang yang tertarik pada kebaikan ajarannya. S eiring perkembangan w aktu, rumah sakit ini mulai memberikan sebuah pe l aya na n ya ng te rba i k da n mengusahakan pengembangan dengan sumber daya manusia untuk lebih maju dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan rumah sakit pada saat itu menggunakan cara pengobatan luka dalam sistem Trueta ya itu s ua tu c ara te rten tu da la m pengobatan, membersihkan serta merawat selanjutnya setiap luka. Dalam sistem pengobatan ini, mereka memberikan sebuah penyesuaian dalam mengatasi sebuah permasalahan luka berat yang disesuaikan dengan cara terapi atau dapat dikatakan proses penyembuhan luka yang diarahkan untuk me ncegah proses pertumbuhan dari macam-macam kuman dalam setiap penyakit yang diderita dalam 94 lukanya. Pelayanan kesehatan di rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo mulai berkembang dengan baik dan teratur, para suster mulai melakukan pemberian infus yang dahulu hanya dengan cara druppel klisma yaitu lewat anus, atau cairan yang diberikan di bawah kulit di punggung yang diresorbsi, atau juga diteteskan lewat hidung. Pada awalnya pemberian infus menggunakan jarum logam, sehingga tempat infus perlu dengan difiksasi dengan spalk dan tangan pasien diikat karena pasien banyak bergerak maka lokasi infus menjadi bengkak dan pasien sering ditusuk kembali. Set infus dibuat dari pipa karet yang disertai di autoclave. Alat suntik dan jarum direbus di ruangan, sedangkan untuk cuci luka di ruangan maupun di kamar bedah digunakan garam fisiologis yang juga buatan dari rumah sakit ini. Ruangan yang dilengkapi dengan tempat cuci berdampak adanya tarief yang dikenakan. Tarief ini berbeda dengan tahun 1925 yang dipimpin oleh Felincina karena adanya kelas untuk reguler. Dampak perpindahan kepemimpinan Felincia kepada Jezulda adanya perbedaan tarief yaitu kelas 1 : f 12, kelas 2 : f 9, dan kelas 3 : f 5-4, tetapi dalam tarief ini pasien juga harus menanggung biaya obat sendiri. Dalam ruangan reguler ini dilengkapi juga kamar mandi dalam 6 tempat tidur dalam 1 ruangan. Tidak hanya ruangan, tetapi juga peralatan dalam pemakaian kateter yang pada awalnya hanya ada kateter logam, kemudian kateter Nelaton dari karet. Supa ya ti dak dipl est er, urinenya ditampung di urinal yang diletakkan di tempat tidur. Kelemahannya adalah bahaya infeksi dan urine sering tumpah ke tempat tidur. Kemudian dipakailah kateter tetap, antara lain Pezzer dan Timan kateter, dan cara penampungnya disambung dengan slang yang dimasukkan ke dalam botol bekas infus. P er kem ba nga n s el an jut nya menggunakan urinal kaca yang sekarang dipakai kateter dengan ballon dan sistem menampung tertutup, sehingga kemungkinan infeksi menurun. Dengan adanya perkembangan zaman, alat kesehatan yang dipakai serba disposible (sekali pakai) dan sterilitas yang terjamin. Perawat dekubitus yaitu untuk mencegah terjadinya dekubitus awalnya memakai windr ing, menggunakan bantal air. Adanya kemajuan teknologi, perawatan dekubitus saat ini menggunakan kasur listrik. Kamar bedah yang pada waktu itu sudah dianggap sangat maju, karena pelayanannya yang sangat baik dan modern. Pada saat itu jumlah dan jenis dokter spesialis masih sangat sedikit antara lain tidak ada spesialis anestesi, sehingga semua pembiusan dilakukan secara aethrernarkose oleh suster Jezualda,SSpS. Saat itu ia masih belum bisa memahami bahasa Indonesia, akan tetapi ia melayani para penderita ke alam tidur dengan “bahasa cinta dan chlorethyl atau aether” misalnya saat itu operasi struma dengan aether-narkose dan elektrocauter. Dari semua peralatan medis di rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo ini menunjukka n bahw a pelayanan kesehatan yang dilakukannya merupakan dedikasi yang sangat tinggi dalam kepedulian kota Surabaya. KESIMPULAN Menulis catatan sejarah tentang Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo Surabaya pada tahun 1925-1950 menjadi sesuatu yang menarik untuk diceritakan dan diungkap kembali. Menceritakan kembali kisah yang sudah lewat dengan kejujuran dan penuh dengan keterbukaan merupakan sebuah langkah menempatkan sejarah pada tempatnya yang pantas, yaitu sejarah yang bersifat obyektif. Perkembangan agama Katolik yang disebarkan oleh pastor dan suster di Surabaya cukup memberi ketertarikan pada masyarakat pribumi, yang mana mereka mampu memberikan kontribusi yang sangat baik. Adanya perkembangan umat dan ingin melakukan missionarisnya dengan membantu, sehingga mereka membangun Rumah Sakit St.Vincentius A Paulo yang merupakan rumah sakit swasta pertama yang dibangun di Surabaya. Sebelum menjadi rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo adalah sebuah klinik kesehatan, sehingga lambat laun Mgr. Fleerackers SJ membeli sebidang tanah di daerah Oendaan. Tempat dan fasilitas yang saat itu memadai dengan pemimpin bernama Fleerackers dan beserta 9 suster yang membantunya untuk membangun Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo dengan visi mereka yaitu menjadi rumah sakit yang berkomitmen pada kehidupan yang bermartaba t dengan dijiw ai semangat kasih. S edangkan m iss i pertama nya memberikan pelayanan kesehatan prima yang menyeluruh, terpadu, aman dan berkualitas secara profesional, dengan pemanfaatan teknologi informasi dan teknologi medis canggih, kedua yaitu membentuk sumber daya manusia yang be r ku a l it a s , b er t a ng gu n gj a w a b , disemangati kasih dan rasa syukur, ketiga yaitu membangun jejaring kerjasama strategis yang saling mengembangkan didalam dan diluar rumah sakit dan keempat yaitu membangun, memelihara dan mengembangkan lingkungan rumah sakit yang inspiratif serta harmonis terhadap kelestarian lingkungan dan perkembangan masyarakat. Rumah sakit pada masa Belanda yang memiliki banyak hambatan karena rumah sakit ini dibangun oleh bangsa Belanda yang beragama Katolik, sehingga sangat berbeda dengan pemerintah Belanda dengan patokan agama Kristen. Pemerintah Belanda takut dengan adanya penyebaran agama Katolik di Surabaya, sehingga pemerintah Belanda membuat persyaratan yang harus dilakukan oleh rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo untuk menerima pasien kebangsaan Eropa. Sejak zaman Jepang rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo ini bukan 95 Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 menjadi sarana pelayanan kesehatan kembali karena adanya penahanan dan tawanan kepada para suster dan pastor di rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo, sehingga mereka menutup rumah sakit ini. Bukan hanya ditutup, bahkan Jepang membakar semua yang ada di dalam b a ng u na n ru m a h s a k i t ka t o l i k St.Vincentius A Paulo ini, sehingga rumah sakit ini tidak mempunyai satu berkas sisa pembangunan setelah pembakaran ini. Setelah Jepang menyerah kepada Indonesia, keadaan setelah kemerdekaan di Surabaya dengan adanya kedatangan Inggris yang masih ingin mengambil atau melucuti persenjataan Jepang beserta ingin menguasai Surabaya kembali. Sejak s aa t i t ula h rum ah s aki t k at oli k St.Vincentius A Paulo berfungsi kembali menjadi tempat pengobatan BKR khusus pada korban- korban pertempuran Surabaya. Semenjak pertempuran ini selesai, rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo difungsikan menjadi dinas kesehatan terlebih dahulu oleh masyarakat. Pada tahun 1950-an rumah sakit katolik S t.Vince ntius A P aulo ini mula i dikembalikan kepada para pengurus yayasan Arnoldus untuk difungsikan menjadi rumah sakit swasta kembali. Pengembalian rumah s akit ini dari pemerintah, sehingga banyak masyarakat pribumi yang berobat ke rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo . Bahkan, rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo memberikan pelayanan yang baik kepada orang yang kurang mampu untuk berobat secara gratis. Daftar Pustaka Arsip Algemeen, 1935 Algemeen, 1948 Bataviasche Courant 30-3-1822; Van Der Velden 1908 96 Catatan harian suster Maria dan suster Jezualda Registrum Baptismale Pars Unica 1 a 10 Martii 1811 ad 7 Novembris 1847 No.. 1 ad No. 820 Staatsblads van Nederlands Indie, Tahun 1882. no. 540. Staatsblad van Nederlandsh-Indie, Tahun 1920 no.670. Surat Kabar dan Majalah Buletin penelitian sistem kesehatan vol 7 No 2 Desember 2004. Departemen Kesehatan RI. De Kat holiek e gids : prefec tuur Soerabaia, 1928-1942 De R.K. Kerk in Nederlandsch Indie, Missie Almanak 1930, Drukkerij “Canisius” D j o k j a ka r t a , B e s t e l a d r e s v o o r Nederlansch : St. Claverbond – Nijmegen. Jawa Pos, tanggal 14 Desember 1982 Jawa Pos, 21 Desember 1982 Jawa Pos, 18 Desember 1982 Kerbode van Protestantshe gemeente voor Soerabaia en de Bijgemeente, 21 Juli 1932 Majalah Geredja Katholik, 10 November 1979 Majalah Mimber Masehi, 15 Juni 1982 Majalah Almanak, 14 Maret 1958 Radar Surabaya, 28 Mei 2001 Buku dan Makalah Anonim. 1953. Don Bosco Stichting te Surabaja 1927-1952. Surabaja: Drakkerij Venco. Fajar, Manuaba. 2003. Pengantar Kuliah O bs t e t r i . J a k a rt a : B u k u Kedokteran. Frederick, William. 2000. Pandangan dan Gejolak Masyarakat Kota da n L a h i r n y a R e v o l us i . Surabaya: Keuskupan Surabaya. G.H. Von Faber. 1931. Oud Soerabaia. Surabaya: N.V. Boekhandelen en Drukkerij. --------------.1931. Nieuw Soerabaia, De Ge sc hie ndeni s van Indi es voornaawiate Oopstad in de Eerste Kwateeuw Sedert Hare Instelling 1906-1931. Soerabaia: NV. Boekhandel En Drukkerij H. Van Ingen, Bussum. Goumans. 1935. G ede nkboek Van Religieuzen Ursulinen Der RomUnie op J av a 1535-1935 . Bandung:/t.p. Indones ia Ji lid I. Jakarta: Arnoldus Ende-Flores. 1978. Sejarah Gerej a Katolik Indonesia Jilid III B . Jakarta: Bagian DokumentasiPenerengan,Kantor Wali Gereja Indonesia. Nottingham, Elizabeth K. 1997. Agama da n Mas yar ak at Suat u Pengantar Sosiologi Agama . Jakarta: Rajagrafindo Persada. Oktora, Rini. 2003. Perkembangan Yayasan Panti Asuhan Don Bosco Surabaya 1927-1952. S u ra ba ya : U ni v er s it a s Airlangga. Hadiwikarta. 1995. Keuskupan Surabaya dari Awal Hingga Tahun 2000. Su r a b ay a: K eu s u k u p a n Surabaya. P. Boonekamp. 1974. Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya. Jilid 3b: WilayahWilayah Keuskupan dan Majelis Agung Waligereja Indonesia. Abad ke 20. Jakarta: Bagian Dokumentasi Penerangan kator Wali Gereja Indonesia. Hamalik, Oemar. 1990. Pengembangan Kurikulum ( Dasar – dasar dan Perkembangannya ). Bandung: Mandar Maju. P oe rb a ka w a ta , S oe ga rd a. 19 59 . P e nd i di k an D al a m A la m Indonesia Merdeka. J akarta: Gunung Agung. Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Ars itektur Kolonial di Su r ab a y a 1 87 0 - 19 4 0 . Yogyakarta: ANDI. Pratianingsih, Sri. 2006. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sak it . Ja kart a: PT RAJAGRAFINDO PERSADA. Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. Kurniawan, Sigit.2008. Perkembangan Balai Kes ehatan (poliklinik) Mu h a m m a d i y ah C a b a n g Surabaya 1924-1952. Surabaya: UniversitasAirlangga. Muskens. 1974. Sejarah Gereja Katolik Putri Yatma Dewi, Dyah. 2003. Biara Ursulin Darmo Surabaya 19501970 dari Biara Monial ke Biara Aktif. Surabaya : Universitas Airlangga. Raguin, Yves. 1981. D oa seorang missionaris . Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta. 97 Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 Riclefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern . Yo gya ka rt a : G a j ah M ad a University Press. Riyanto, Armada. 2003. 80 tahun romoro m o C M d i In d on e s i a . Suraba ya: CM PRO V INS I INDONESIA. Sadirman. 2004. Memahami Sejarah. Yo g y a k a r t a : B I G R A F Publishing. Satri. 1978. Sejarah Kesehatan Nasional Indonesi a j ilid I . Jakarta : Departemenen Kesehatan RI. Schoute. 1937. Occidental therapeutics in the Netherlands East Indies dur ing three Centur ies of Netherlands Settlement (16001900). Batavia: G. Kolff & Co. Secretariat Keuskupan Surabaya. 1999. Panorama & Sejarah Keuskupan Surabaya . Surabaya: Sanggar Bina Tama. Tim Keuskupan Surabaya. 1986. Media Kom uni kas i K eus kupa n Surabaya. Surabaya: Yayasan Keuskupan. Tim redaksi bunga rampai 75 tahun RKZ. 2000. Bunga Rampai 75 tahun rumah sakit St.Vincentius A Paul. Surabaya: St.VincentiusA Paulo. Tim yayasan Arnoldus. 2000. Menyusuri Jejak Misionaris Abdi “Sang Api” 75 Tahun SSpS Provinsi J awa . S ura baya : yay as a n Arnoldus. Tim Departemen Sosial.1990. Peristiwa 10 November Dalam Lukisan. Surabaya: Departemen Sosial RI, 1990. Tondowidjojo, Jhon. 1995. Menapak Jejak Missionaris Lazaris 192319 36 . S u rab aya : Yay as a n Sanggar Bina Tama. Scortiono, Ros alia. 1999. Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. .---------------1995.Menapak J ejak Misionaris Lazaris 1923-1945. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. Steenbrink, Karel. 2003. Catholics in Indones ia , A Doc um ente d History 1808-1900 . Leiden: KITLV Press. Menapak Jejak ------------------.1926. Misionaris Lazaris Jilid I . Su r a b a ya : Mi s si e Almanak. Suster Romana, OSU. 1992. Sejarah Su st e r Urs ul i n B i a ra Kepanjen/Darmo tahun 18631985. Surabaya: t.p. ------------------. 1998. Pertumbuhan dan Perkembangan “CORNELIUS” Madiun 1897-1997 . Surabaya: CTC Sanggar Bina Tama. ----------------. 1992. Kronologi Sejarah Provinsi Ursulin di Indonesia 1900-1992. Surabaya: /t./p. ------------------. 2000. Buku Kenangan Kristus Raja. Surabaya: Sanggar Bina Tama. Th.van den end J.Weitjens,S.J. 1993. Bagi Cer ita Se jar ah Ge reja di Indonesia Tahun 1806-Sekarang. Jakarta: PT BPK GUNUNG MULIA. Yunus, Ahmad. 1986. Sejarah pendidikan Daerah Jawa Timur . Surabaya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 98