Perkembangan RKZ pada Masa Kolonial Pada

advertisement
RUMAH SAKIT KATOLIK ST.VINCENTIUS A PAULO SURABAYA
Pramita Saraswati.
Shinta Devi I.S.R,
Abstrak
Penelitian ini adalah sebuah tulisan yang membahas secara rinci dan jelas
tentang Rumah Sakit St.Vincentius A Paulo tahun 1925-1950. Rumah Sakit
St.Vincentius A Paulo merupakan rumah sakit swasta pertama kali di Surabaya
dan juga menjadi media penyebaran agama Katolik melalui bidang kesehatan
oleh missionaris. Pengaruh pembangunan RKZ adalah para missionaris mampu
menyebarkan agama Katolik melalui pengobatan gratis dan memberikan
bantuan kepada masyarakat umum yang kurang mampu.
Kata kunci: Missionaris, Katolik, Rumah Sakit St Vincentius A Paulo,
Pelayanan Kesehatan
Abstract
This research discusses about St. Vincentius A Paulo Hospital during 1925 to
1950. In these periods explained the relationship between missionaries of
Catholic and development of the first hospital in Surabaya, St. Vincentius A
Paulo. Affected in the development of health section in Surabaya the
missionaries enabled to spread their religion through free treatment and helped
poormen.
Keyword : Missionaris, Catholic, St. Vincentius A Paulo Hospital, Good
Healthy Servis
Perke mb an gan R KZ pada Mas a
Kolonial
Pada zaman pemerintah kolonial
Belanda, bidang kesehatan memperoleh
perhatian utama. Hal itu disebabkan
karena pemerintah kolonial Belanda
sangat takut terhadap penyebaran penyakit
kolera dan cacar. Untuk menyelesaikan
masalah kesehatan, pemerintah kolonial
Belanda mendatangkan dokter-dokter
dari Belanda. Mereka ditempatkan di
kesatuan militer untuk memberikan
pelayanan kesehatan pada tentara dan
pegawai sipil Eropa. (Satri: 1978, 6).
Dalam memberikan pelayanan kesehatan
pada tentara, pemerintah kolonial Belanda
mendirikan sebuah Jawatan Kesehatan
Tentara
(Militiar
Geneeskundige
Dienst) pada tahun 1808. Jawatan ini
dibangun di tiga kota besar yaitu: Jakarta,
Surabaya, dan Semarang. Selain itu
pemerintah juga mendirikan dua rumah
sakit untuk memberikan pelayanan
kesehatan pada para pelacur, pekerja
paksa, narapidana dan penderita sakit
jiwa. Dalam hal ini masyarakat pribumi
belum memperoleh pelayanan kesehatan
ya n g m a ks i m a l . M e r e ka m a s i h
menggunakan kemampuan dukun, tabib,
dan jamu tradisional (Scrortiono Rosalia:
1999, 73). Ketidakberadaan pelayanan
kesehatan untuk masyarakat pribumi
me nun juk kan ba hw a p em er int a h
memberlakukan kebijakan diskriminatif.
M es ki pu n de m i ki an pe m er i nt a h
memberikan pelayanan kesehatan untuk
1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
2 Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
86
penyakit ringan dengan cara membangun
poliklinik dengan pelayanan yang minim.
Kondisi ini menjadi sangat buruk, ketika
poliklinik yang dijadikan tempat merawat
orang-orang pribumi juga meraw at
masyarakat yang dihukum dalam penjara.
Rumah sakit tersebut tidak memberikan
pelayanan yang memadai, berbeda dengan
rumah sakit militer.
Adanya pelayanan yang kurang
memadai di Surabaya dan penyebaran
penyakit yang semakin meningkat,
mendorong pemerintah kolonial Belanda
untuk membangun rumah s akit di
Surabaya yaitu Rumah Sakit Darmo,
Rumah Sakit Undaan, Poliklinik Soe Swie
Tiong Hwa Ie Wan dan Rumah Sakit
St.Vincentius A Paulo (G.H Von Faber:
1930, 34). Antara rentang waktu tahun
1900-1930, pemerintah kolonial Belanda
berusaha meningkatkan pelayanan
kesehatan dengan cara meningkatkan
anggaran belanja hampir sepuluh kali
lipat untuk membiayai pembangunan
fasilitas kesehatan umum. Dalam
me mberika n pelaya nan kes ehat an
dilakukan usaha kuratif yang dibantu oleh
“inisiatif partikelir” yaitu seperti Zending,
Missie, Bala Keselamatan (Leger des
Heis) (Sigit Kurniawan: 2008, 55). Dana
bantuan dari pemerintah kolonial Belanda
kepada pihak missie bertujuan untuk
memajukan kesehatan masyarakat. Dana
ters ebut digunakan untuk berbagai
ke g ia t a n y an g b e rt uj ua n un tu k
meningkatkan kesehatan masyarakat.
M u l ai d a ri pe n go ba t a n s a m p a i
pembangunan gedung rumah sakit mulai
berjalan. Salah satu bentuk subsidinya
a d al a h m e m be r i ka n d an u nt u k
pembangunan rumah s akit katolik
St.Vincentius A Paulo. Pembangunan
rumah sakit ini dilakukan oleh para pastor
yang bertujuan untuk menyebarkan agama
Katolik melalui bidang kesehatan.
P em banguan rum ah s aki t
merupakan salah satu cara yang digunakan
beberapa pastor untuk menyebarkan
agama Katolik di lingkungan masyarakat
luas. Memberikan pelayanan kesehatan
yang memadai berarti telah peduli
terhadap umat. Melalui bidang kesehatan
inilah, agama Katolik mulai menyebar dan
banyak dianut oleh masyarakat.
Pada tahun 1918, para pastor
penggerak Apostolic Perfek Surabaya,
yaitu Mgr. Fleerackers SJ5, romo militer
Angkatan laut dan romo Jansen SJ
me m il i ki s eb ua h “ ci t a- ci t a da n
kebutuhan”, membangun rumah sakit
K a t ol i k d i S ur a b ay a . Re n c a na
pembangunan itu terwujud pada tanggal 1
Oktober 1919. Dalam mendirikan sebuah
rumah sakit, salah satu hal yang sangat
penting adalah memilih lokasi, akhirnya
Apos tolic P erfek S ura baya, Mgr.
Fleerackers SJ dan Jansen menyetujui jual
beli 2 persil tanah di daerah Reiner
Boulevad (yang sekarang dikenal dengan
nama
Jalan
Diponegoro) dengan
harga f 59.260,- antara perseroan
terbatas “Maatschappij tot Eploitatie Van
Onroerende Goederen Dermo”dan badan
pengurus gereja yang bernama Roomsch
Kerk en Armbestuur dengan melakukan
perjanjian dengan pemilik tanah yang
bernama R.P.Van Alpen. Isi perjanjian
tersebut adalah: Persil-persi tersebut
hanya bole h dipergunakan unt uk
pendirian Rumah Sakit dan apabila rumah
biarawati jika dalam waktu 3 bulan
pembangunan tidak dibagun, maka
pe r s i l - pe r s i l
t e r s e bu t
h a ru s
dikembalikan
beserta uangnya akan
dikembalikan pula tanpa bunga. (RKZ
Surabaya: 2000, 5).
Perjanjian ini merupakan cikal bakal
berdirinya Rumah Sakit Katolik St.
Vincentius A Paulo (RSK). U ntuk
me ndi ri kan r uma h s a kit ka tol i k
St.Vincentius A Paulo memerlukan
realisasi dalam membentuk perkumpulan,
sehingga tepat pada tanggal 9 September
1920 yaitu didirikan suatu badan hukum
bernama “Roomsch Katholiek Ziekenhuis
te Suraba ya Vereeneging (RKZV )
(Staatsblad van Nederlandsh-Indie: No.
670, Tahun 1920).
Saat mendirikan rumah sakit katolik
St.Vincentius A Paulo, pihak pendiri
87
Verleden, Vol. 1, No.1
Desember 2012: 1 - 109
mengalami kesulitan karena pemerintahan
kolonial Belanda membatasi aktivitas
penyebaran ajaran agama Katolik dan
situasi perang yang mempengaruhi
perekonomian dunia menye babkan
sulitnya pengumpulan dana. Untuk
mengantisipasi rencana pembangunan
Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A
Paulo ini, RKZV meminta kelonggaran
dalam perjanjian yang telah disepakati
diatas. Pada tahun 1923 terjadi perubahan
kepengurusan yang saat itu diduduki oleh
Romo-romo Jesiut (SJ) yang kemudian
digantikan oleh Romo-tomo Lazaris
(CM), sehingga akhirnya kepengurusan
diambil alih oleh Romo De Backere, CM.
Pada tahun 1924 Backere dan
P erkumpula n Rooms ch Ka tholi ek
Ziekenhuis te Surabaya Vereeneging
mendapatkan informasi mengenai tidak
adanya pemakaian lagi dari bekas
bangunan klinik dr. De Kock di Jalan
Oendaan Koelon No.57-59 Surabaya.
Alasan mereka memilih bangunan ini
dikarenakan bangunan ini sangat megah.
Bangunan tersebut merupakan bekas
miliki raja gula Eschanuzier. Kemegahan
bangunan ini sangat cocok untuk
difungsikan mendirikan sebuah kamar
yang mampu memuat kepasitas 35 tempat
tidur, sehingga Backere dan RKZV
menyewa bangunan ini dan membangun
sebuah kamar bedah dan dokter bedah.
Pada tanggal 1 Januari 1925 telah
ditetapkan untuk menyewa klinik tersebut,
akan tetapi para biarawati tidak sanggup
untuk menjadi seorang perawat di
rumah sakit ini, karena kurangnya
pengalaman menjadi seorang perawat
rumah sakit.
Adanya keterbatasan
pe ra w at , m ak a m el a lu i ba nt ua n
Mgr.Verstaelen Vikep Nusa Tenggara,
RKZV menghubungi pimpinan Jendral
SSpS di Roma. Bantuan ini bertujuan
untuk meminta bantuan suster-suster misi
Abdi Roh Kudus untuk melayani di
rumah sakit Katolik Vincentius A Paulo
yang akan segera didirikan di Surabaya,
akhirnya mereka mengirimkan enam
suster yang berasal dari negara Belanda,
88
yaitu: (lihat gambar 3) Sr.Felicina sebagai
pemimpin, Sr.Jezualda, Sr. Manetta, Sr.
Aldegonda,
Sr.Sponsaria dan
Sr.
Stephaniana.
Enam suster tersebut tiba tanggal 1
Mei 1925 di Batavia dan kemudian
melanjutkan perjalanan dengan kereta
api ekspres melalui Semarang menuju
Surabaya.
Keenam
suster tersebut
membawa misi untuk memenuhi tugas
ut us an Abdi Roh Kudus . Setela h
melakukan perjalanan
menggunakan
kereta tadi, siang hari pada tanggal 3
Mei 1925 mereka tiba di Surabaya
tepatnya di Stasiun Gubeng.
Gambar 1
Sr.Felicina, Sr.Jezualda, Sr. Manetta, Sr.
Aldegonda, Sr.Sponsaria dan Sr.
Stephaniana
Misi pertama kedatangan SSpS di
Jawa memang untuk menjadi perawat,
sehingga suster-suster
yang
telah
mengembangkan bidang-bidang karya
yang berorientasi pada kaum wanita.
Pada tanggal 20 Juni 1925 berkat
kedatangan SSpS di rumah sakit
katolik St.Vincentius A Paulo mampu
melengkapi
tenaga kerja perawat.
Kelengkapan perawat dan pelayanan di
rumah sakit katolik St.Vincentius A
Paulo menjadi lebih maju dan memadai,
sehingga
rumah
s akit
katolik
St.Vincentius A Paulo diresmikan oleh
Residen Jordaan dan dihadiri oleh
Asisten, Walikota Surabaya Dijkerman,
dan Mgr. Fleerakkers sebagai perintis
pertama beserta sebagai tuan rumah
adalah pastor de Backere.
Keberhasilan pembangunan rumah
sakit katolik St.Vincentius A Paulo ini juga
sangat dibutuhkan adanya dokter karena
memiliki peran yang sangat strategis
dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.
Sejak awal pembukaan rumah sakit
St.Vincentius A Paulo ini, sudah mulai
dilengkapi dengan tenaga-tenaga dokter
spesialis TH K, kebidanan, penyakit
dalam, dokter bedah beserta keenam
suster
yang
membantu
dalam
keperawatannya.
Untuk
memenuhi
kebutuhan yang semakin meningkat
dan makin banyaknya orang yang
datang
meminta perawatan karena
kekuranga n pendanaa n dala m
kelengkapan alat. Untuk meringankan
beban pendanaa khususnya perawatan
dalam bidang kebidanan para suster
menggunakan proses untuk memecahkan
masalah pendanaan.
Proses yang dilakukan oleh pihak
rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo
dengan menaikkan tarief lebih tinggi yaitu
kelas 1 : f 15-f 12.50, tarief kelas 2 : f 8.50,
tarief kelas 3 : f 5. Dari tarif tersebut
ad anya perbe daa n ruan gan ya ng
disediakan tergantung kelas ruangan yang
akan digunakan. Tarief ruangan tidak
sepenuhnya semua peralatan dan obatobatan, sehingga uang dikenakan obatobatan dan peralatan medis ditanggung
oleh para pasien. Adanya tarief yang
mahal juga ditunjang dengan perawat dan
dokter, sehingga adanya sistem jaga
malam yang digunakan untuk menjaga
para pasien jika ada masalah. Proses yang
kedua ini dilakukan dengan cara ruang
pera wa t a nak-ana k yai tu denga n
menggunakan lahan garasi yang terletak di
depan perkarangan rumah sakit katolik
St.Vincentius A Paulo. Namun dalam hal
ini pemecahan masalah tersebut masih
belum di pecahkan karena mas ih
bertambahkan anak-anak yang dirawat di
rumah sakit katolik St.VincentiusA Paulo.
Oleh sebab itu, pada tahun 1927
rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo
membutuhkan perluasan tanah. Perluasan
tanah ini digunakan untuk memberikan
pelayanan yang lebih baik lagi kepada
pa s ie nn ya . r um ah s ak it ka t ol i k
St.Vincentius A Paulo menukar tambah
sebidang tanah m ilik pemerintah,
sehingga jual-beli dengan pemerintah
dapat dengan mudah diperbolehkan.
Dalam misi yang sudah dijalankan
ini, menata rumah sakit mendapat
permohonan awal yang diajukan oleh
rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo
pada tanggal 27 September 1928, tetapi
persetujuan penukaran, penjualan dan
pembelian tertanggal 25 Januari 1929
yaitu adanya secara resmi Roomsch
Katholiek Kerk en Armbestuur (RKKA).
Adanya tempat yang luas di Jalan
Diponegoro dengan arsitektur Eropa yang
dirancang oleh arsitek muda Eropa yaitu
Taen, Robers, De Bruyn, van Linde, Smits,
Kreisler, Thomas Nix Dicke, rumah sakit
katolik St.Vincentius A Paulo mampu
melengkapi jumlah tempat tidur dengan
jumlah 373 dan tenaga medis dokter
umum sebanyak 25 orang, dokter spesialis
sebanyak 9 orang, dokter gigi sebanyak 6
orang, perawat sebanyak 201 orang,
paramedik non perawat sebanyak 90
orang, dan non medis sebanyak 701 orang.
Dalam bidang ruang masalah mengenai
bida ng kebidanan terlihat a da nya
perluasan. Perluasan ini terdiri dari ruang
orang-orang priyayi dan wanita kelas atas
yang selama ini yang tidak mereka
dapatkan di Jl.Oendaan karena adanya
keterbatasan ruangan. Dalam masalah
kunjungan pasien pun Rumah Sakit
Katolik St.Vincentius A Paulo menjadwal
se bagai berikut : P olikl inik unt uk
pemeriksaan penyakit dan pasien (tertutup
untuk ibu setelah bersalin dan bayinya),
dibuka setiap hari mulai jam 07.00-12.00
WIB, Konsultasi untuk pemeriksaan
kandungan untuk ibu-ibu hamil, dibuka
pada pada hari Senin- Rabu dari jam
15.00-18.00 WIB dan Konsultasi untuk
pemeriksaan kesehatan anak balita dibuka
pada hari Kamis-Sabtu dari jam 15.0018.00 WIB.
89
Verleden, Vol. 1, No.1
Desember 2012: 1 - 109
Kebijakan menjadwal pasien agar
dalam setiap pemeriksaan kesehatan
antara bayi dan ibu hamil tidak tercampur.
Adanya perbedaan jadwal ini bertujuan
agar bayi dan ibu yang selesai dalam
persalinan memerlukan pemeriksaan yang
sangat intensif. Dalam program intensif
ini memiliki tujuan agar terhindar dari
bahaya penyakit. Dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit, dimana perawat
terlibat didalamnya dan selalu diawali
transaksi antara dokter dengan pasien.
Tarief yang dikenakan juga hanya
kalangan kelas atas atau yang mampu
yaitu khusus rungan ibu melahirkan dan
bayi dipisahkan. Pemisahan ini juga
mengakibakan tarief ruangan untuk bayi
yaitu kelas 1 : f 1.50, kelas 2 : f 1, dan kelas
3 : f 0.50. Biaya yang ditanggung harus
dibayar 10 hari sebelumnya, sehingga
adanya tempat pemesanan ruang bayi.
Rumah Sakit Katolik St.Vincentius
A Paulo memiliki pelayanan kesehatan
yang nyaman yang bertujuan untuk
memberikan ketenangan pasien. Dengan
adanya tempat yang luas dan nyaman,
kes e hat an pa si en a kan t erj ami n.
Ketenangan dari pasien akan mudah
mendapatkan kesembuhan. Pelayanan di
Rumah Sakit Katolik St. Vincentius A
Paulo ini sangat memenuhi kriteria yang
diidamkan oleh para pasien, tetapi tidak
semua kalangan rakyat di Surabaya
diperbolehkan dirawat di rumah sakit ini.
Tidak diperbolehkannya dirawat di rumah
sakit ini disebabkan karena pada tahun
1925 masyarakat pribumi di pandang
rendah bahkan dianggap sebagai sumber
penyakit bagi penduduk Belanda. Adanya
kebijakan dari pemerintah Belanda, rumah
sakit katolik St.Vincentius A Paulo
memiliki alternatif dengan membangun
poliklinik St. Malania.
P o l i kl i ni k S t . M e la n ia i n i
merupakan sesuatu berontakan dari
Ba c ke re k ar en a ia t i da k d ap a t
menyebarkan agama Katolik di rumah
sakit katolik St.Vincentius A Paulo. Dalam
tahap pembangunan ini sangat berbeda
dengan pembangunan rumah sakit katolik
90
St .Vince nti us A P aul o, se hingga
pemba ngunan St . Me lani a hanya
sekadarnya saja. Poliklinik ini di bangun
pada tahun 1930-an yang dikembangkan
den gan
mi ss i
me mp erha ti ka n
kepentingan anak-anak, pemudi-pemudi
dan w ani ta -wa nit a khus us nya di
Surabaya. Dalam memperhatikan anakanak dan wanita-wanita St.Melania
menggunakan sistem ruangan yang sesuai
dengan keperawatan kebidanan di rumah
sakit katolik St.Vincentius A Paulo. Tetapi
perbedaan ini terletak pada ruang yang
disediakan St. Melania untuk masyarakat
yang kesulitan dalam keuangan yang
diterima dengan baik di semua kalangan.
Bahkan perawatan di St. Melania di
lakukan di perkampungan dan pedesaan.
Dalam hal ini St. Melania mendapatkan
hambatan karena saat itu masih
banyaknya kepercayaan mereka terhadap
dukun dibandingkan bidan. Terlihat dari
adanya persalinan dalam setiap rumah
jumlah wanita bersalin yang ditolong oleh
bidan sebanyak 2x seminggu.
Pengurus St. Melania juga diambil
dari para wanita yang awam terhadap
agama Katolik. Adanya keterbatasan
pengetahuan mengenai agama Katolik
mereka di dampingi oleh penasehat imam
Lazaris. Hal ini yang merupakan bentuk
penyebaran agama Katolik melalui
perawat yang baru masuk ke agama
Katolik. Penyebaran ini terlihat pada ketua
St. Melania yaitu Scheepens membuka
biro konsultasi secara gratis dalam
seminggu dua kali yaitu untuk calon ibu
sekali dan mengontrol bayi sekali yaitu :
Hari Senin dari jam 08.00-09.00 WIB,
untuk pemeriksaan wanita hamil, namun
tertutup untuk penderita yang sakit dan
Hari Rabu dari jam 08.00-09.00 WIB,
pemeriksaan untuk kesehatan anak balita.
Sangat berbeda dengan rumah sakit
katolik St.Vincentius A Paulo yang
semakin memperkuat bahwa telah terjadi
di skrim inas i dalam hal pelayana n
kesehatan antara masyarakat pribumi dan
penduduk Belanda yang sangat berbeda
jauh. Pelayanan kesehatan yang berbeda
ini menimbulkan kesenjangan sosial
dari masyarakat pribumi yang merasa
sangat
dirugikan terhadap peraturan
tersebut.
Dalam tahap pembangunan rumah
sakit ini, setelah pembelian tanah berhasil
dilakukan pada tanggal 26 Maret 1929
mereka masih tinggal di Jalan Oendaan.
Yang saat itu tinggal adalah Sr. Felicina
menjadi regional pertama, sedangkan
s eb ag ai as i s te n re gi ona l a da la h
Sr.Amandea dan S r.Jezulda s ebagai
Mahnerin Ratschwester (adminstrasi)
(lihat gambar 5), tetapi rumah sakit di
Jalan Oendaan ini masih kurang memadai.
Meskipun, pada tahun 1930 sudah adanya
penyaluran bantuan dari pemerintah
Belanda untuk melakukan
berbagai
program yaitu imunisasi, kampanye anti
malaria, anti pes dan perbaikan-perbaikan
dalam bidang kesehatan lainnya yang
menyebabkan turunnya angka kematian
khususnya di Surabaya.
Dalam kebutuhan pendanaan sudah
sedikit membaik, tetapi RKZV masih
kewalahan karena dalam mendirikan
sebuah rumah s akit masih belum
terkoordinas i dengan baik. Ma ka
di t aw a rk an ke pa da S S pS un t uk
melaksanakan realisasi cita-cita itu
dengan mendirikan Yayasan Arnoldus
pada tanggal 18 Juli 1933. Yayasan ini
dikelola oleh Arnoldus Vestraelen yang
merupakan seorang pastor dari Nusa
Tenggara.
Adanya pembuatan surat pelepasan
9 persil tanah milik Roomsch Katholiek
Kerk en Armbestuur (RKKA) yang
menjadi modal yayasan ini. Yayasan ini
dikelola oleh suster yang mempunyai misi
m end iri ka n rum ah sa ki t ka t oli k
St.Vincentius A P aulo di Reiniers
Boulevard 136 dengan menunjukkan
pengangkatan badan pengurus pertama
yayasan Arnoldus dan pengurus rumah
sakit yaitu dalam surat ini juga disebutkan
t u j ua n y ay a s a n A rn o du s y a i t u
mempertahankan dan mengelola rumah
sakit Katolik di Surabaya. Pengelolahan
rumah sakit ini menyelenggarakan
perawatan orang sakit penduduk Eropa
dan pribumi yang mampu.
Surat diatas juga menunjukkan
pengangkatan Badan Pengurus pertama
Yayasan Arnoldus yaitu : Nona Johanna
Donkers (suster Jezualda), direktris
Rumah Sakit Katolik sebagai ketua
yayasan, Nona Suzanne Lintz (suster
Nivita), sekertaris Rumah Sakit Katolik
sebagai sekretaris yayasan dan Nona
Hubertine Everts (suster Aldegonda),
bendahara Rumah Sakit Katolik sebagai
bendahara yayasan.
Dalam surat ini juga dengan
jelas
disebutkan
tujuan Yayasan
Arnoldus
yaitu mempertahankan dan
mengelola Rumah Sakit Katolik di
Surabaya melalui perawatan orang sakit.
Penyediaan pada tahun ini sudah dibangun
Pav. 1, 2, 3, 4, 5, 6 hall dan kamar bedah,
kamar cuci, dapur, kamar mayat, susteran,
kamar tamu dan perpustakaan. Seiring
berjalannya waktu, dalam pengelolaannya
dan keterbatasan dana para suster juga
membuat rencana pembangunan awal
yaitu pada tahun 1934. Pembangunan
ini
masih
dibangun
ruang
transformator yang digunakan untuk
mentranfer pasien setelah operasi, sumur
air dan menara air untuk kebersihan
lingkungan di rumah sakit St.Vincentius A
Paulo. Pembangunan rumah sakit ini
mulai berkembang seiring perkembangan
berbagai penyakit yang diderita oleh para
pasien. Dalam pembangunan rumah sakit
ini, belum adanya biara dalam rumah
sakit, sehingga para suster masih tinggal di
pavilium rumah sakit. Pada tahun 1939
dibangun gudang dan ruang tamu dekat
kamar jahit dan dibangun P av.4.
Pembangunan ini diberhentikan pada
tahun 1940-an karena adanya peperangan.
Perkembangan Rumah Sakit Katolik
St.Vincentius A Paulo Pada Masa
Jepang
Tentara Jepang datang ke Indonesia
pada tanggal 1 Maret 1942 dan tepat pada
tanggal 8 Maret, Belanda menyerahkan
kekuasaanya kepada pihak Jepang. Hal itu
91
Verleden, Vol. 1, No.1
Desember 2012: 1 - 109
merupakan pertanda bahwa sejak itulah
Jepang berkuasa di Indoesia. Dalam
pemerintahannya selama tiga setengah
tahun oleh Jepang, Indonesia dibagi
menjadi tiga wilayah yaitu Sumatera,
Jawa dan Madura. Ketiga wilayah tersebut
letak Jawa yang paling strategis karena
perkembangan di Jawa lebih menjanjikan
untuk masa akan datang. Tujuan utama
Jepang datang ke Indonesia yaitu untuk
m en yu s un da n m e nga r ah ka n
perekonomian di Indonesia untuk
membiayai perang Jepang dalam jangka
panjang terhadap As ia Timur dan
Tenggara.
Dengan pembiayaan perang ini
tidak jauh dengan hubungan kesehatan,
sehingga Jepang mengajak perawat yang
sangat berpengalaman diajak bekerja
sama untuk membantu para dokter
(Hojoi). Zaman Jepang ini juga disebut
Pancaroba, karena adanya tindakan sadis
yang dilakukan oleh Jepang kepada rakyat
pribumi yang mengakibatkan makanan
pokok, kesehatan, lingkungan sekitar
tidak terawat dengan baik. Banyaknya
masyarakat yang terjangkit penyakit
b us u ng l ap a r d a n k ol e ra y an g
mengakibatkan seluruh lingkungan
mereka kotor. Dalam upaya mengatasi hal
tersebut, obat-obatan hanya terbatas
adanya dan tidak bisa menanggulangi
korban-korban secara efektif.
Cara tradisional masyarakat pribumi
untuk melakukan tindakan medis yaitu
dengan mengganti balut saja dengan kulit
batang pisang. Hal ini digunakan sebagai
tindakan agar penyakit tidak menjalar luas
ke penduduk yang lain. Keadaan rumah
sakit mulai penuh dengan pasien yang
berpenyakit
busung
lapar
yang
menyebabkan
kutu-kutu
busuk
memenuhi lingkungan s ekitar dan
dikhaw at irkan aka n menyeba rkan
penyakit susulan yang semakin ganas.
Munculnya Jepang di Surabaya
pada saat itu juga mengalami kesulitan dan
kekacauan. Kekacauan ini dilakukan juga
oleh masyarakat pribumi yang tidak
menyukai penjajah Belanda, sehingga
92
mereka melakukan perampokan dan
penjarahan pada toko-toko dan rumah
milik orang Belanda Tepat pada tanggal 10
Maret 1942, Belanda menyerahkan
kekuasaan atas wilayah Jawa kepada
Jepang. Pada awal kekuasaannya, Jepang
berusaha tampil sebagai super hero saat
itu.
Adanya kekacauan ini berimbas
dengan fasilitas yang ada di wilayah
rumah sakit ini, sehingga kapasitas mulai
berkurang dengan 96 tempat ridur.
Kekacauan ini dikarenakan Jepang
berusaha menghapus pengaruh budaya
barat dala m mas yarakat pribumi .
Pengaruh penghapusan ini tampak
terhadap penawanan orang Belanda baik
wa nit a, m aupun a nak-an ak yan g
dikumpulkan dan ditawan di suatu tempat
agar mereka tidak lagi menyebarkan
pengaruh mereka di Surabaya. Penawanan
ini tidak melihat mereka dari segi umur,
kesehatan dan keagamaan. Oleh karena itu
para suster terkena imbasnya yaitu para
suster banyak yang ditawan di Rumah
Sakit Darmo. Penawanan pada saat itu
membuat para suster khawatir mereka
banyak yang mengungsi, bersembunyi di
kamar mandi, kurangnya kebutuhan
sandang pangan dan meninggalkan rumah
sakit katolik St.Vincentius A Paulo. Pada
saat itu para suster mengungsi sampai
menyewa rumah di HBS Straat Nomor 9
dan saat itulah masa Jepang di Rumah
Sakit St. Vincentius A P aulo ini
mendapatkan dampak yang begitu besar
karena pada saat itu rumah sakit ini ditutup
dan dikosongkan, sehingga
semua
biarawati-biarawati dipulangkan ke
negaranya. Kekosongan beserta peralatan
kesehatan tidak ada satupun yang
tertinggal. Pada tahun 1943 justru saat itu
St. Melania tidak di serang karena
poliklinik ini tidak begitu terlihat,
sehingga perawat rumah sakit katolik
St.Vincentius A Paulo yang pribumi
bersinggah di poliklinik ini. terutama
Sr.Gunthild yaitu seorang suster yang
berhasil melarikan diri dengan berupaya
tidak memperlihatkan di sekitar daerah St.
Melania. Poliklinik ini berhasil dari
intaian Jepang karena saat itu ia tidak
menampakkan diri untuk melakukan
banyak aktifitas mereka menjadi seorang
perawat. Bahkan poliklinik ini terlihat
seperti bentuk rumah seperti biasanya.
Pada masa kekuasaan Jepang,
masyarakat pribumi dan masyarakat
Eropa yang masih bertempat tinggal di
Surabaya hanya mengandalkan rumah
sakit Simpang. Terlihat pada peristiwa
yang terjadi pada sesesorang yang
membutuhkan peran medis untuk
menangani lukanya yang saat itu ayahnya
di paksa untuk ikut Romusha atau kerja
paksa oleh Jepang, sehingga ibunya pun
membawa ke rumah sakit Simpang, tanpa
ayahnya mengetahui bahwa anaknya telah
meninggal. Korban-korbannya yang telah
meninggal juga dimakamkan di daerah
rumah sakit Simpang ini.
Perkembangan Rumah Sakit Katolik
St.Vincentius A Paulo Pasca Proklamasi
Jepang meyerah tanpa syarat dari
pihak sekutu yang ditandai dengan
jatuhnya bom atom di kota Hiroshima dan
Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan
Agustus 1945 yang mengakibatkan kedua
wilayah tersebut porak-poranda. Untuk
mengisi kekosongan dari peris tiw a
te rs ebut,
Indones i a
ke mudia n
memproklamirkan
kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum
dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para
pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka
timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah.
Ketika gerakan untuk melucuti pasukan
Jepang sedang berkobar tanggal 15
September 1945, tentara Inggris mendarat
di Jakarta, kemudian mendarat di
Surabaya pada 25 Oktober.
Tentara Inggris didatangkan ke
Indonesia atas keputusan dan atas nama
sekutu, dengan tugas untuk melucuti
tentara Jepang, membebaskan para
tawanan yang ditahan Jepang, serta
me mul angk an t ent ara J e pang k e
negerinya. Akan tetapi, tentara Inggris
juga membawa misi mengembalikan
Indonesia kepada pemerintah Belanda
sebagai jajahannya dengan membonceng
NI CA (Net her l ands Indi es Civ il
Ad m in i st r a tio n ) . I tu l ah y an g
me ni m bul ka n k em a ra ha n ra ky at
Ind one s i a d i b er ba ga i w i l ay ah .
Dikibarkannya bendera Belanda berwarna
merah, putih dan biru di Surabaya,
tepatnya di Hotel Yamato yang telah
melahirkan Insiden Tunjungan dan
menyulutkan berkobarnya bentrokanbentrokan bersenjata antara pasukan
Inggris dengan badan-badan perjuangan
yang dibentuk oleh rakyat Indonesia. Pada
tanggal 10 November 1945 terjadi
ultimatum dari pihak Inggris, sehingga
saat itu pula gedung rumah sakit katolik
St.Vincentius A Paulo pernah menjadi
rumah sakit BKR laut untuk merawat
korban-korban terluka di kota Surabaya.
Te w a s n ya A . W. S M a l l a b y
berakhirnya juga peristiwa di Surabaya
dan Rumah Sakit St.Vincentuis A Paulo ini
beralih menjadi dinas kesehatan. Pada
waktu itu para suster diperbolehkan
kembali ke rumah sakit sendiri dan mulai
me n ga da ka n ke gi a ta n unt u k
membersihkan lingkungan rumah sakit
serta mengatur kembali dengan baik
segala apa yang dibutuhkan. Setelah
membersihkan lingkungan rumah sakit,
kemudian para suster menerima dan
melayani kembali para pasien seperti
bia s a. Da la m perk em ban gan nya ,
pelayanan juga tampak diperbolehkannya
masyarakat pribumi dirawat di rumah
sakit ini.
“Saya dulu orang nggak punya
sama sekali mbak, wong buat maem
wae ora nduwe duit. Lah waktu iku
onok sing mbantu, tapi dari agama
katolik. Orangnge apik tenan, wes
talah sing ketemu uwong iku
bakalan luluh atine koyok ndelok
wajahe ae mbak rewesik, cerah
pisan. Namanya itu pak karni, asli
orang Jawa. Saya itu di bantu
banyak hal, dari maem, pakaian,
93
Verleden, Vol. 1, No.1
Desember 2012: 1 - 109
sakit pun sing mbayar yo beliau.
Dari tahun 50-an mbak saya masuk
agama katolik, ternyata yo beda
dengan islam. Maaf mbak, saya
bilang sejujurnya. Islam itu tampak
luar saja bagus, tetapi lihat umatnya
banyak yang sombong. Klo miskin
diinjak-injak,klo kaya di agungagungkan, beda sekali dengan
Katolik yang diajarkan disiplin,
kotakannya mbak kasihnya banyakbanyak, klo islam halah kasih sewu
ae wes akeh. Wes-wes”
Cuplikan wawancara dengan Sri
Lestari menunjukkan bahwa adanya
keberadaan rumah sakit St.Vincantius A
Paulo ini juga mengakibatkan dampak
pada para pasien yang dilayani dengan
baik, sehingga ketertarikan pada agama
Katolik muncul dengan sendirinya.
Kemunculan ini dikarenakan adanya
kebaikan hingga menolong dalam dana
kesehariannya. Dalam pendanaannya,
rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo
juga di anggarkan untuk melakukan bakti
sosial dan membantu orang yang
kurang mampu. Menurut mereka
semakin banyak membantu juga semakin
banyak seseorang yang tertarik pada
kebaikan ajarannya.
S eiring perkembangan w aktu,
rumah sakit ini mulai memberikan sebuah
pe l aya na n ya ng te rba i k da n
mengusahakan pengembangan dengan
sumber daya manusia untuk lebih maju
dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan
rumah sakit pada saat itu menggunakan
cara pengobatan luka dalam sistem Trueta
ya itu s ua tu c ara te rten tu da la m
pengobatan, membersihkan serta merawat
selanjutnya setiap luka. Dalam sistem
pengobatan ini, mereka memberikan
sebuah penyesuaian dalam mengatasi
sebuah permasalahan luka berat yang
disesuaikan dengan cara terapi atau dapat
dikatakan proses penyembuhan luka yang
diarahkan untuk me ncegah proses
pertumbuhan dari macam-macam kuman
dalam setiap penyakit yang diderita dalam
94
lukanya.
Pelayanan kesehatan di rumah sakit
katolik St.Vincentius A Paulo mulai
berkembang dengan baik dan teratur,
para suster mulai melakukan pemberian
infus yang dahulu hanya dengan cara
druppel klisma yaitu lewat anus, atau
cairan yang diberikan di bawah kulit di
punggung yang diresorbsi, atau juga
diteteskan lewat hidung. Pada awalnya
pemberian infus menggunakan jarum
logam, sehingga tempat infus perlu
dengan difiksasi dengan spalk dan tangan
pasien diikat karena pasien banyak
bergerak maka lokasi infus menjadi
bengkak dan pasien sering ditusuk
kembali. Set infus dibuat dari pipa karet
yang disertai di autoclave. Alat suntik dan
jarum direbus di ruangan, sedangkan
untuk cuci luka di ruangan maupun di
kamar bedah digunakan garam fisiologis
yang juga buatan dari rumah sakit ini.
Ruangan yang dilengkapi dengan tempat
cuci berdampak adanya tarief yang
dikenakan. Tarief ini berbeda dengan
tahun 1925 yang dipimpin oleh Felincina
karena adanya kelas untuk reguler.
Dampak perpindahan kepemimpinan
Felincia kepada Jezulda adanya perbedaan
tarief yaitu kelas 1 : f 12, kelas 2 : f 9, dan
kelas 3 : f 5-4, tetapi dalam tarief ini pasien
juga harus menanggung biaya obat
sendiri. Dalam ruangan reguler ini
dilengkapi juga kamar mandi dalam 6
tempat tidur dalam 1 ruangan.
Tidak hanya ruangan, tetapi juga
peralatan dalam pemakaian kateter yang
pada awalnya hanya ada kateter logam,
kemudian kateter Nelaton dari karet.
Supa ya ti dak dipl est er, urinenya
ditampung di urinal yang diletakkan di
tempat tidur. Kelemahannya adalah
bahaya infeksi dan urine sering tumpah ke
tempat tidur. Kemudian dipakailah kateter
tetap, antara lain Pezzer dan Timan kateter,
dan cara penampungnya disambung
dengan slang yang dimasukkan ke dalam
botol bekas infus.
P er kem ba nga n
s el an jut nya
menggunakan
urinal
kaca
yang
sekarang dipakai kateter dengan ballon
dan sistem menampung tertutup, sehingga
kemungkinan infeksi menurun. Dengan
adanya perkembangan zaman, alat
kesehatan yang dipakai serba disposible
(sekali pakai) dan sterilitas yang terjamin.
Perawat dekubitus yaitu untuk mencegah
terjadinya dekubitus awalnya memakai
windr ing, menggunakan bantal air.
Adanya kemajuan teknologi, perawatan
dekubitus saat ini menggunakan kasur
listrik.
Kamar bedah yang pada waktu itu
sudah dianggap sangat maju, karena
pelayanannya yang sangat baik dan
modern. Pada saat itu jumlah dan jenis
dokter spesialis masih sangat sedikit
antara lain tidak ada spesialis anestesi,
sehingga semua pembiusan dilakukan
secara aethrernarkose
oleh
suster
Jezualda,SSpS. Saat itu ia masih belum
bisa memahami bahasa Indonesia, akan
tetapi ia melayani para penderita ke alam
tidur dengan “bahasa cinta dan chlorethyl
atau aether” misalnya saat itu
operasi struma dengan aether-narkose
dan elektrocauter. Dari semua peralatan
medis di rumah sakit katolik St.Vincentius
A Paulo ini menunjukka n bahw a
pelayanan kesehatan yang dilakukannya
merupakan dedikasi yang sangat tinggi
dalam kepedulian kota Surabaya.
KESIMPULAN
Menulis catatan sejarah tentang
Rumah Sakit Katolik St.Vincentius A
Paulo Surabaya pada tahun 1925-1950
menjadi sesuatu yang menarik untuk
diceritakan dan diungkap kembali.
Menceritakan kembali kisah yang sudah
lewat dengan kejujuran dan penuh dengan
keterbukaan merupakan sebuah langkah
menempatkan sejarah pada tempatnya
yang pantas, yaitu sejarah yang bersifat
obyektif. Perkembangan agama Katolik
yang disebarkan oleh pastor dan suster di
Surabaya cukup memberi ketertarikan
pada masyarakat pribumi, yang mana
mereka mampu memberikan kontribusi
yang sangat baik. Adanya perkembangan
umat dan ingin melakukan missionarisnya
dengan membantu, sehingga mereka
membangun Rumah Sakit St.Vincentius A
Paulo yang merupakan rumah sakit swasta
pertama yang dibangun di Surabaya.
Sebelum menjadi rumah sakit
katolik St.Vincentius A Paulo adalah
sebuah klinik kesehatan,
sehingga
lambat laun Mgr. Fleerackers SJ
membeli sebidang tanah di daerah
Oendaan. Tempat dan fasilitas yang saat
itu memadai dengan pemimpin bernama
Fleerackers dan beserta 9 suster yang
membantunya untuk membangun Rumah
Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo
dengan visi mereka yaitu menjadi rumah
sakit yang berkomitmen pada kehidupan
yang bermartaba t dengan dijiw ai
semangat kasih.
S edangkan m iss i pertama nya
memberikan pelayanan kesehatan prima
yang menyeluruh, terpadu, aman dan
berkualitas secara profesional, dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan
teknologi medis canggih, kedua yaitu
membentuk sumber daya manusia yang
be r ku a l it a s , b er t a ng gu n gj a w a b ,
disemangati kasih dan rasa syukur, ketiga
yaitu membangun jejaring kerjasama
strategis yang saling mengembangkan
didalam dan diluar rumah sakit dan
keempat yaitu membangun, memelihara
dan mengembangkan lingkungan rumah
sakit yang inspiratif serta harmonis
terhadap kelestarian lingkungan dan
perkembangan masyarakat.
Rumah sakit pada masa Belanda
yang memiliki banyak hambatan karena
rumah sakit ini dibangun oleh bangsa
Belanda yang beragama Katolik, sehingga
sangat berbeda dengan pemerintah
Belanda dengan patokan agama Kristen.
Pemerintah Belanda takut dengan adanya
penyebaran agama Katolik di Surabaya,
sehingga pemerintah Belanda membuat
persyaratan yang harus dilakukan oleh
rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo
untuk menerima pasien kebangsaan
Eropa. Sejak zaman Jepang rumah sakit
katolik St.Vincentius A Paulo ini bukan
95
Verleden, Vol. 1, No.1
Desember 2012: 1 - 109
menjadi sarana pelayanan kesehatan
kembali karena adanya penahanan dan
tawanan kepada para suster dan pastor di
rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo,
sehingga mereka menutup rumah sakit ini.
Bukan hanya ditutup, bahkan Jepang
membakar semua yang ada di dalam
b a ng u na n ru m a h s a k i t ka t o l i k
St.Vincentius A Paulo ini, sehingga rumah
sakit ini tidak mempunyai satu berkas sisa
pembangunan setelah pembakaran ini.
Setelah Jepang menyerah kepada
Indonesia, keadaan setelah kemerdekaan
di Surabaya dengan adanya kedatangan
Inggris yang masih ingin mengambil atau
melucuti persenjataan Jepang beserta
ingin menguasai Surabaya kembali. Sejak
s aa t i t ula h rum ah s aki t k at oli k
St.Vincentius A Paulo berfungsi kembali
menjadi tempat pengobatan BKR khusus
pada korban- korban pertempuran
Surabaya.
Semenjak pertempuran ini selesai,
rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo
difungsikan menjadi dinas kesehatan
terlebih dahulu oleh masyarakat. Pada
tahun 1950-an rumah sakit katolik
S t.Vince ntius A P aulo ini mula i
dikembalikan kepada para pengurus
yayasan Arnoldus untuk difungsikan
menjadi rumah sakit swasta kembali.
Pengembalian rumah s akit ini dari
pemerintah, sehingga banyak masyarakat
pribumi yang berobat ke rumah sakit
katolik St.Vincentius A Paulo . Bahkan,
rumah sakit katolik St.Vincentius A Paulo
memberikan pelayanan yang baik kepada
orang yang kurang mampu untuk berobat
secara gratis.
Daftar Pustaka
Arsip
Algemeen, 1935
Algemeen, 1948
Bataviasche Courant 30-3-1822; Van Der
Velden 1908
96
Catatan harian suster Maria dan suster
Jezualda
Registrum Baptismale Pars Unica 1 a 10
Martii 1811 ad 7 Novembris 1847
No.. 1 ad No. 820
Staatsblads van Nederlands Indie, Tahun
1882. no. 540.
Staatsblad van Nederlandsh-Indie, Tahun
1920 no.670.
Surat Kabar dan Majalah
Buletin penelitian sistem kesehatan vol 7
No 2 Desember 2004. Departemen
Kesehatan RI.
De Kat holiek e gids : prefec tuur
Soerabaia, 1928-1942
De R.K. Kerk in Nederlandsch Indie,
Missie Almanak 1930, Drukkerij
“Canisius”
D j o k j a ka r t a , B e s t e l a d r e s v o o r
Nederlansch : St. Claverbond –
Nijmegen.
Jawa Pos, tanggal 14 Desember 1982
Jawa Pos, 21 Desember 1982
Jawa Pos, 18 Desember 1982
Kerbode van Protestantshe gemeente voor
Soerabaia en de Bijgemeente, 21
Juli 1932
Majalah Geredja Katholik, 10 November
1979
Majalah Mimber Masehi, 15 Juni 1982
Majalah Almanak, 14 Maret 1958
Radar Surabaya, 28 Mei 2001
Buku dan Makalah
Anonim. 1953. Don Bosco Stichting te
Surabaja 1927-1952. Surabaja:
Drakkerij Venco.
Fajar, Manuaba. 2003. Pengantar Kuliah
O bs t e t r i . J a k a rt a : B u k u
Kedokteran.
Frederick, William. 2000. Pandangan
dan Gejolak Masyarakat Kota
da n L a h i r n y a R e v o l us i .
Surabaya: Keuskupan Surabaya.
G.H. Von Faber. 1931. Oud Soerabaia.
Surabaya: N.V. Boekhandelen en
Drukkerij.
--------------.1931. Nieuw Soerabaia, De
Ge sc hie ndeni s van Indi es
voornaawiate Oopstad in de
Eerste Kwateeuw Sedert Hare
Instelling 1906-1931. Soerabaia:
NV. Boekhandel En Drukkerij H.
Van Ingen, Bussum.
Goumans. 1935. G ede nkboek Van
Religieuzen Ursulinen Der RomUnie op J av a 1535-1935 .
Bandung:/t.p.
Indones ia Ji lid I. Jakarta:
Arnoldus Ende-Flores.
1978. Sejarah Gerej a
Katolik Indonesia Jilid III B .
Jakarta: Bagian DokumentasiPenerengan,Kantor Wali Gereja
Indonesia.
Nottingham, Elizabeth K. 1997. Agama
da n Mas yar ak at Suat u
Pengantar Sosiologi Agama .
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Oktora, Rini. 2003. Perkembangan
Yayasan Panti Asuhan Don
Bosco Surabaya 1927-1952.
S u ra ba ya :
U ni v er s it a s
Airlangga.
Hadiwikarta. 1995. Keuskupan Surabaya
dari Awal Hingga Tahun 2000.
Su r a b ay a: K eu s u k u p a n
Surabaya.
P. Boonekamp. 1974. Sejarah Gereja
Katolik di Wilayah Keuskupan
Surabaya. Jilid 3b: WilayahWilayah Keuskupan dan Majelis
Agung Waligereja Indonesia.
Abad ke 20. Jakarta: Bagian
Dokumentasi Penerangan kator
Wali Gereja Indonesia.
Hamalik, Oemar. 1990. Pengembangan
Kurikulum ( Dasar – dasar dan
Perkembangannya ). Bandung:
Mandar Maju.
P oe rb a ka w a ta , S oe ga rd a. 19 59 .
P e nd i di k an D al a m A la m
Indonesia Merdeka. J akarta:
Gunung Agung.
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota
dan Ars itektur Kolonial di
Su r ab a y a 1 87 0 - 19 4 0 .
Yogyakarta: ANDI.
Pratianingsih, Sri. 2006. Kedudukan
Hukum Perawat dalam Upaya
Pelayanan Kesehatan di Rumah
Sak it . Ja kart a: PT
RAJAGRAFINDO PERSADA.
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu
Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Kurniawan, Sigit.2008. Perkembangan
Balai Kes ehatan (poliklinik)
Mu h a m m a d i y ah C a b a n g
Surabaya 1924-1952. Surabaya:
UniversitasAirlangga.
Muskens. 1974. Sejarah Gereja Katolik
Putri Yatma Dewi, Dyah. 2003. Biara
Ursulin Darmo Surabaya 19501970 dari Biara Monial ke Biara
Aktif. Surabaya : Universitas
Airlangga.
Raguin, Yves. 1981. D oa seorang
missionaris . Yogyakarta: Pusat
Pastoral Yogyakarta.
97
Verleden, Vol. 1, No.1
Desember 2012: 1 - 109
Riclefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern .
Yo gya ka rt a : G a j ah M ad a
University Press.
Riyanto, Armada. 2003. 80 tahun romoro m o C M d i In d on e s i a .
Suraba ya: CM PRO V INS I
INDONESIA.
Sadirman. 2004. Memahami Sejarah.
Yo g y a k a r t a : B I G R A F
Publishing.
Satri. 1978. Sejarah Kesehatan Nasional
Indonesi a j ilid I . Jakarta :
Departemenen Kesehatan RI.
Schoute. 1937. Occidental therapeutics in
the Netherlands East Indies
dur ing three Centur ies of
Netherlands Settlement (16001900). Batavia: G. Kolff & Co.
Secretariat Keuskupan Surabaya. 1999.
Panorama & Sejarah Keuskupan
Surabaya . Surabaya: Sanggar
Bina Tama.
Tim Keuskupan Surabaya. 1986. Media
Kom uni kas i K eus kupa n
Surabaya. Surabaya: Yayasan
Keuskupan.
Tim redaksi bunga rampai 75 tahun RKZ.
2000. Bunga Rampai 75 tahun
rumah sakit St.Vincentius A Paul.
Surabaya: St.VincentiusA Paulo.
Tim yayasan Arnoldus. 2000. Menyusuri
Jejak Misionaris Abdi “Sang
Api” 75 Tahun SSpS Provinsi
J awa . S ura baya : yay as a n
Arnoldus.
Tim Departemen Sosial.1990. Peristiwa
10 November Dalam Lukisan.
Surabaya: Departemen Sosial RI,
1990.
Tondowidjojo, Jhon. 1995. Menapak
Jejak Missionaris Lazaris 192319 36 . S u rab aya : Yay as a n
Sanggar Bina Tama.
Scortiono, Ros alia. 1999. Menuju
Kesehatan Madani. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
.---------------1995.Menapak J ejak
Misionaris Lazaris 1923-1945.
Surabaya: Yayasan
Sanggar
Bina Tama.
Steenbrink, Karel. 2003. Catholics in
Indones ia , A Doc um ente d
History 1808-1900 . Leiden:
KITLV Press.
Menapak Jejak
------------------.1926.
Misionaris Lazaris Jilid I .
Su r a b a ya : Mi s si e
Almanak.
Suster Romana, OSU. 1992. Sejarah
Su st e r Urs ul i n B i a ra
Kepanjen/Darmo tahun 18631985. Surabaya: t.p.
------------------. 1998. Pertumbuhan dan
Perkembangan “CORNELIUS”
Madiun 1897-1997 . Surabaya:
CTC Sanggar Bina Tama.
----------------. 1992. Kronologi Sejarah
Provinsi Ursulin di Indonesia
1900-1992. Surabaya: /t./p.
------------------. 2000. Buku Kenangan
Kristus Raja. Surabaya: Sanggar
Bina Tama.
Th.van den end J.Weitjens,S.J. 1993. Bagi
Cer ita Se jar ah Ge reja di
Indonesia Tahun 1806-Sekarang.
Jakarta: PT BPK GUNUNG
MULIA.
Yunus, Ahmad. 1986. Sejarah pendidikan
Daerah Jawa Timur . Surabaya:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
98
Download