LAPORAN PENGEMBANGAN KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM Homoseksualitas Sebagai Realitas Sosial dalam Perspektif Buddhis BIDANG KEGIATAN: PKM – GAGASAN TERTULIS Disusun oleh: Nama: Andreian NIM: 15.1.246 MAHANITILOKA DHAMMA TINGKAT NASIONAL V DIRJEN BIMBINGAN MASYARAKAT BUDDHA KEMENTRIAN AGAMA RI 1 Daftar isi HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii ABSTRAK ......................................................................................................... iv BAGIAN INTI 1. 2. 3. 4. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 GAGASAN ............................................................................................ 2 KESIMPULAN ..................................................................................... 12 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 13 2 Abstrak Homoseksualitas merupakan sebuah realitas sosial dalam masyarakat kita. Namun, keberadaan kaum homoseksual belum dapat diterima dengan baik oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Stigma negatif dan sikap diskriminatif terhadap mereka menjadi alasan penulis untuk mengkaji perspektif progresif dari agama Buddha sebagai ajaran yang berlandaskan cinta kasih universal. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, penulis mengumpulkan datadata yang relevan dan menelaah persoalan agar diperoleh pandangan yang bersifat holistik. Pendekatan melalui beberapa sudut pandang meliputi agama, medis, dan sosial-budaya membantu kita untuk menempatkan persoala homoseksualitas secara objektif dan berimbang. Studi ini menunjukkan bahwa stigma negatif yang selama ini berkembang sudah tidak relevan dengan kenyataan, baik berdasarkan pandangan agama, medis, dan sosialbudaya.Nilai-nilai ajaran Buddha yang tertuang dalam Sutta-Sutta maupun literatur lain juga menunjukan sikap positif terhadap keberadaan kaum homoseksual. Oleh karena itu Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, penulis mengumpulkan data-data yang relevan dan menganalisis persoalan agar diperoleh pandangan yang bersifat holistik. Pendekatan melalui beberapa sudut pandang meliputi agama, medis, dan sosial-budaya membantu kita untuk menempatkan persoala homoseksualitas secara objektif dan berimbang. 3 PENDAHULUAN Keberadaan kaum homoseksual di Indonesia belum dapat diterima dengan baik. Sebagai bagian dari realitas sosial, berbagai anggapan negatif terhadap mereka masih berkembang. Kenyataan ini membuat mereka sering dipandang sebelah mata diperlakukan secara diskriminatif. Negara yang seharusnya melindungi hak-hak warga negaranya nampaknya tidak mampu atau belum beritikad baik untuk bersikap adil kepada kaum homoseksual. Bahkan Negara seakan mempersulit kehidupan mereka melalui hukum yang tidak melazimkan dan melegalkan pernikahan sejenis. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan istri”. Pasal tersebut menegaskan bahwa pernikahan hanya dilangsungkan oleh pasangan pria dan wanita. Tentu dengan adanya aturan tersebut pasangan homoseksual tidak dapat melangsungkan pernikahan untuk menyatukan hubungan percintaan mereka secara sah, baik di mata hukum maupun secara sosial-budaya. Kebanyakan pasangan homoseksual harus pergi ke negara-negara yang sudah menerima homoseksual dan mengesahkan pernikahan mereka jika ingin melangsungkan pernikahan. Sayangnya tidak semua pasangan mampu pergi keluar negeri untuk menikah. Dalam hal ini penulis merasa tindakan kebanyakan masyarakat dan hukum di Indonesia tidak mencerminkan semboyan bangsa “Bhineka Tunggal Ika”, karena belum dapat menerima perbedaan. Berbagai keberagaman yang sudah ada sejak dahulu juga tidak membuat semua masyarakat Indonesia memiliki toleransi yang tinggi. Terlebih perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan yang berkaitan dengan urusan seksual seseorang, artinya perbedaan ini bersifat sangat pribadi dan tidak semestinya dipermasalahkan orang lain. Keadaan yang terjadi di Indonesia terhadap kaum homoseksual menjadi alasan penulis untu mengkaji tentang perspektif Buddhis terhadap homoseksualitas sebagai suatu realitas sosaial. Ajaran Guru Agung Buddha merupakan suatu ajaran yang menjadikan cinta kasih universal sebagai landasan utama. Oleh sebab itu, kewajiban bagi umat Buddha untuk peduli dan memberikan kontribusi nyata untuk mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Untuk mencapai tujuan tersebut penulis akan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang relevan dan menganalisis persoalan agar diperoleh pandangan yang bersifat holistik. Dengan demikian sudut pandang agama, medis, dan sosial-budaya dapat membantu kita untuk menempatkan persoala homoseksualitas secara objektif dan berimbang. 4 GAGASAN Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman suku, budaya, sosial, agama, kepercayaan, ras, bahasa, dan berbagai aspek lain. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut, Indonesia selayaknya menjadi bangsa yang memiliki toleransi dan semangat kebhinnekaan yang tinggi, selaras dengan semboyan bangsa kita yang tertera pada lambang negara. Fakta menunjukan masih banyak orang maupun golongan di Indonesia yang tidak bisa memahami dan menerima keberagaman, bahkan bersikap diskriminatif. Diskriminasi biasanya ditujukan terhadap kaum minoritas, salah satunya adalah kaum homoseksual. Baik disadari maupun tidak, sikap diskriminatif dan pandangan negatif terhadap kaum homoseksual telah membudaya dalam masyarakat Indonesia. Dalam pergaulan remaja, terutama pada anak lakilaki istilah “homo” (singkatan kata dari homoseksual), sering dipergunakan untuk menghina antarteman. Penggunaan istilah homo sebagai ungkapan untuk menghina menunjukkan pandangan masyarakat yang negatif terhadap kaum homoseksual, antara lain: anggapan bahwa kehidupan homoseksual tidak sesuai dengan budaya Indonesia, homoseksual adalah haram, homoseksual tidak sehat, homoseksual tidak normal, dan anggapan lainnya. Akibatnya, masyarakat cenderung untuk menyoroti kaum homoseksual dari satu sisi saja. Pembahasan mengenai homoseksualitas sering hanya berdasarkan pada hal-hal pengetahuan yang menyudutkan mereka. Keadaan sebenarnya mengenai siapa mereka, apa yang terjadi pada mereka, dan apa yang mereka lakukan jarang ditampilkan. Pada akhirnya, kebanyakan masyarakat kita melupakan bahwa keberadaan kaum homoseksual merupakan suatu realitas sosial yang menjadi bagian dari kehidupan kita. Realitas sosial menurut Berger dan Luckman terwujud dalam tiga bentuk: 1. Realitas Sosial Objektif Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta. 2. Realitas Sosial Simbolik Merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di media. 3. Realitas Sosial Subjektif 5 Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masingmasing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosia (http://dkv.binus.ac.id/2015/05/18/teori-konstruksi-realitas-sosial/) Pengertian homoseksualitas menurut Dede Oetomo adalah “orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan secara emosional dan seksual kepada orang dari jenis kelamin yang sama” (2001:6). Kecenderungan ini dapat timbul karena faktor biologis dan faktor lingkungan. Dari segi biologis, homoseksualitas pada laki-laki disebabkan adanya pembentukan struktural hipotalamus pada kromosom X yang berbeda dengan setruktur hipotalamus pada orang heteroseksual. Sedangkan pada pada perempuan homoseksualitas dapat muncul karena pengaruh hormon androgen yang berlebihan pada otak janin selama dalam kandungan. Selain itu lingkungan juga berpengaruh terhadap munculnya homoseksualitas meskipun diyakini tidak terlalu besar (http://www.academia.edu/ 1919853/Apa_itu_Homoseksual). Di tengah perdebatan mengenai homoseksual dan fenomena homofobia (sikap, perasaan, dan tindakan anti homoseksualitas) yang muncul dalam masyarakat masa kini, sebenarnya keberadaan homoseksual telah ada di berbagai bangsa sejak zaman dahulu. Dalam mitologi Yunani terdapat berbagai kisah percintaan antara sesama jenis kelamin, seperti antara Zeus dengan Ganymede, Harakles dan Lolaus, dan Apollo dan Hyakinthus. Wanita homoseksual juga muncul di Yunani pada abad ke-6 SM, diantaranya adalah Sappho, seorang penyair wanita yang mengepalai sekolah gadis di Mytilene di pulau Lesbos. Nama pulau ini kemudian dijadikan istilah untuk menyebut wanita homoseksual. Fenomena serupa juga muncul pada era Romawi, namun di masa ini homoseksual mulai mendapatkan tentangan dari masyarakat yang mulai mengharamkan homoseksual. Hal ini semakin menguat setelah masuknya pengaruh agama di Roma. Ajaran yang menentang hubungan sejenis dalam Kristen adalah dasar hubungan seksual yang hanya berfungsi untuk prokreasi bukan rekreasi (Dede Oetomo, 2001:7-9). Di Nusantara (merujuk pada negara kita sebelum proklamasi kemerdekaan), fenomena homoseksual juga muncul, bahkan keberadaan kaum homoseksual dapat diakui di berbagai daerah. Dalam masyarakat Makasar, kaum homoseksual mendapat status sosial yang tinggi. Mereka diberi jabatan yang sakral sebagai perantara antar dunia manusia dengan dunia arwah atau diberi jabatan sebagai penjaga senjata kerajaan, jabatan tersebut dikenal dengan istilah bissu. Di beberapa daerah lain terdapat kesamaan pada pola hubungan homoseksual, 6 yaitu dilakukan oleh seorang pria dewasa dengan remaja. Misalnya di Minangkabau, pola hubungan serupa dilakukan oleh seorang pria dewasa atau disebut induk jawi dan remaja yang disebut anak jawi. Di Jawa dikenal istilah mairil yang merujuk pada hubungan homoseksual antara santri senior dengan santri junior. Hubungan mairil ini digambarkan dengan grafis dalam Sêrat Cênthini, sebuah ensiklopedia Jawa dari abad ke-18. Di Madura dikenal istilah kadalaq, dan di Irian terdapat sebuah ritual yang memakai hubungan genitooral dan genito-anal antara orang dewasa dan remaja dalam rangka melengkapi dualisme kosmologi unsur-unsur pria-wanita, Timur-Barat, siang-malam, dan lain-lain. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh C. Snouck Hurgronje pada awal abad ke-20 juga diindikasikan lazimnya hubungan homoseksual di Jawa tepatnya di Solo dan Yogya. Bidang kesenian juga memberi ruang bagi kaum homoseksual. Hal ini terbukti dari adanya seni-seni pertunjukan yang melibatkan pemeran yang menjalankan perilaku homoseksual. Seperti tari Sedati di Aceh, Lenong di masyarakat Betawi, tari Gandrung di Banyuwangi dan Bali barat, pertunjukan Sandhur di Madura, dan tari Masri di Makasar (Dede Oetomo, 2001:30-35). Banyaknya contoh seni dan budaya di Nusantara yang melibatkan langsung peran kaum homoseksual menimbulkan sebuah pertanyaan terkait anggapan bahwa homoseksual tidak sesuai dengan kebudayaan di Indonesia saat ini. Dengan banyaknya bukti kesesuaian antara homoseksualitas dan budaya Nusantara, maka kebudayaan manakah yang dianggap tidak sejalan dengan eksistensi homoseksual? Kebudayaan selalu mengalami perubahan karena berbagai factor, salah satunya adalah masuknya pengaruh agama-agama. Sebagaimana yang terjadi di Roma, setelah masuknya pengaruh agama di Indonesia, homoseksual diharamkan dan segala aktivitas yang menyangkut homoseksual dianggap perbuatan dosa. Pandangan agama ini ternyata menjadi beban mental yang mendalam bagi kebanyakan kaum homoseksual, terutama bagi mereka yang sejak kecil telah memeluk suatu agama. Keyakinan yang mereka miliki terhadap apa yang diajarkan kitab suci membuat mereka semakin tersudut. Di satu sisi mereka ingin menaati ajaran agama, namun di sisi lain mereka menyadari bahwa homoseksualitas tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut. Satu hal yang patut disayangkan adalah penggolongan perilaku homoseksual sebagai suatu tindakan dosa ini tidak diimbangi dengan solusi yang jelas, ilmiah, dan dilandasi semangat cinta kasih untuk mengatasinya. Akhirnya kaum homoseksual yang taat pada agama tertentu hanya dapat mempersalahkan diri atas realita yang terjadi tanpa tahu cara untuk mengatasi. 7 Abad ke-19 adalah abad yang menandai perubahan pandangan pada homoseksualitas berdasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan. Di Barat, doktrin mengenai penggolongan homoseksualitas sebagai pendosa mulai berganti dengan pandangan bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit, gangguan jiwa, atau penyimpangan seksual. Perubahan pandangan ini ternyata berdampak pada perubahan perlakuan terhadap kaum homoseksual. Bila pada awalnya kaum homoseksual dihukum sebagai pendosa, berikutnya mereka diberikan pengobatan dan terapi untuk tujuan penyembuhan. Pada tahun 1974 pandangan mengenai homoseksualitas kembali mengalami perubahan. Himpunan Psikiatri Amerika (American Psychiatric Associatio, APA) mencabut homoseksualitas dari daftar penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa. Baru sembilan tahun kemudian, melalui keputusan dalam Pedoman Penggolongan dan Diaknosis Jiwa (PPDGJ) II, terbitan Direktorat Kesehatan Jiwa, Dep-Kes RI Indonesia memutuskan hanya orang homoseksual yang ego-distonik yang perlu disembuhkan. Keputusan ini menunjukan bahwa hanya kaum homoseksual yang tidak nyaman dengan kondisinya sebagai seorang homoseksual (ego-distonik) yang harus disembuhkan, karena justru menunjukan bahwa keadaan jiwa mereka tidak sehat. Penyembuhan yang dimaksud bukanlah usaha untuk menghilangkan homoseksualitasnya melainkan usaha untuk membuat orang tersebut mau menerima keadaan homoseksualitasnya dengan apa adanya. Sedangkan mereka yang sudah nyaman dan menerima keadaan pada diri dengan apa adanya (ego-sistonik) tidak butuh program penyembuhan apapun, karena secara kejiwaan mereka tergolong sehat. Anggapan lain bahwa praktik homoseksual beresiko tinggi terjangkit HIV/AIDS juga tidak sepenuhnya benar. Saat ini fakta telah menunjukan bahwa HIV/AIDS juga banyak diderita kaum heteroseksual, bahkan pada heteroseksual membuka peluang terjadinya penularan pada janin. Sebenarnya dengan melakukan pola monogami dalam hubungan seksual, tentu dengan pasangan yang telah dinyatakan negatif terjangkit HIV/AIDS, akan mengurangi resiko penularan HIV melalui hubungan seksual baik pada kaum homoseksual maupun heteroseksual. Di sisi lain, penularan HIV/AIDS juga tidak serta merta melalui hubungan seksual, jarum suntik juga dapat menjadi media penularan HIV terutama bila digunakan secara bergantian tanpa disterilkan (Dede Oetomo, 2001:20&187). Publikasi mengenai fakta-fakta terkait homoseksualitas juga menjadi permasalahan tersendiri, bahkan meski sudah sejak tahun 1984 keputusan pengeluaran homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa tidak banyak diketahui hingga saat ini. Akibatnya anggapan bahwa kehidupan homoseksual tidak sehat, tidak lagi dapat digunakan sebagai dasar sikap homofobia. Justru masyarakat harus membantu mereka agar mampu menerima keadaan sehingga kejiwaan mereka tidak terganggu. Dalam penanggulangan HIV/AIDS, semua elemen masyarakat 8 termasuk kaum homoseksual dan heteroseksual harus bekerja sama dalam upaya pencegahan penularannya . Seiring perkembangan zaman, pemikiran-pemikiran yang menjadi dasar pandangan negatif terhadap keberadaan kaum homoseksual mulai terbantahkan. Sayangnya, keberadaan mereka sebagai suatu realitas sosial di dalam kehidupan bermasyarakat belum dapat diterima sebagaimana mestinya. Hal yang paling memprihatinkan adalah penolakan terhadap homoseksualitas yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pemerintahan. Dalam sebuah konferensi pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Rabu (27/1/2016). Selamet dari LGBTIQ Indonesia memaparkan beberapa pendapat para tokoh pemerintahan yang dianggap diskriminatif dan inkonstitusional. Salah satunya adalah pendapat dari ketua MPR RI Zulkifli Hasan, yang menyatakan bahwa homoseksual yang tergabung dalam LGBT (terdiri dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender) harus dilarang karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Anggota komisi X DPR RI, Reni Marlinawati juga menyatakan bahwa LGBT tidak sesuai dengan norma Agama dan hukum positif sehingga tidak bisa diterima. Dari pernyataan tersebut, Agama masih menjadi dasar penolakan keberadaan kaum homoseksual di Indonesia. Faktanya, beberapa agama memang menolak keberadaan kaum homoseksual dengan tegas. Di Indonesia terdapat enam agama dan berbagai kepercayaan lain yang berkembang. Tentu setiap Agama dan kepercayaan memiliki perspektif yang beragam terhadap keberadaan homoseksual berdasarkan ajaran masing-masing. Dalam Agama Buddha terdapat ajaran tentang mengembangkan cinta kasih universal kepada semua makhluk. Ajaran ini tercermin dari sebuah ungkapan dalam bahasa pali yang berbunyi “Sabbe sattā bhavantu sukhitattā”, yang bermakna “semoga semua makhluk hidup berbahagia”. Dalam Buddhis sendiri dikenal tigapuluh satu alam kehidupan, yang terdiri dari alam neraka hingga alam brahma. Dari ungkapan pendek yang selalu diucapkan dalam berbagai kesempatan oleh umat Buddha ini sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk tidak melakukan tindak diskriminasi dengan alasan apapun. Dalam Karanīyametta Sutta dijelaskan lebih rinci mengenai bagaimana seharusnya seseorang mengembangkan cinta kasih universal. Sebagaimana seorang ibu mempertaruhkan jiwa melindungi putra tunggalnya; Demikianlah terhadap semua makhluk, kembangkan pikiran cinta kasih tanpa batas. Satu bait perumpamaan dalam Sutta ini semakin memperkuat landasan cinta kasih yang menjadi salah satu inti dari ajaran Buddha. Hal ini juga sesuai dengan salah satu kebutuhan 9 dasar alamiah akan cinta kasih yang dimiliki setiap makhluk terutama manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang membutuhkan cinta kasih bahkan sejak masih di dalam kandungan. Ketika sudah dewasapun seseorang membutuhkan hubungan cinta kasih dalam kehidupan sosial. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa manusia membutuhkan orang lain yang mengasihinya dan membutuhkan orang lain sebagai objek untuk dikasihi. Bentukbentuk hubungan timbal balik demikian dapat tercermin antara lain dalam hubungan antara anggota keluarga, hubungan pertemanan, hubungan sosial masyarakat, dan hubungan kekasih. Dalam hal ini hubungan antara kaum homoseksual juga mencerminkan hubungan timbal balik yang sama sebagai salah satu usaha memenuhi kebutuhan akan cinta kasih. Berdasarkan pada hal ini dan merujuk pada ungkapan “Sabbe sattā bhavantu sukhitattā” serta syair pada Karanīyametta Sutta, umat Buddha berkewajiban untuk ikut serta secara aktif dalam pemecahan masalah diskriminasi terhadap kaum homoseksual sebagai perwujudan dari pelaksanaan ajaran cinta kasih tersebut. Umat Buddha juga harus mempertimbangkan dengan kebijaksanaan tentang perlakuan diskriminatif terhadap kaum homoseksual sesuai atau bertentangan dengan ajaran cinta kasih Buddha. Pertimbangan ini pada akhirnya akan memunculkan pertanyaan baru. Saat ini keberadaan homoseksual dianggap sudah tidak sesuai dengan budaya, melanggar normanorma agama, dan norma sosial. Bagaimana pandangan dan sikap kita sebagai umat Buddha terhadap persoalan homoseksualitas? Apakah mengakui keberadaan mereka menunjukan bahwa seorang Buddhis itu tidak memiliki norma yang baik? Dalam Kalama Sutta Buddha mengajarkan sebuah syair kepada suku Kalama yang berbunyi demikian: Wahai suku Kalama, jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah memikirkannya, pembicaraan yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir petapa itu adalah guru kami. Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela, hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal-hal ini bila dilaksanakan dan dipraktikkan, akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka kalian harus menjalankannya.(http://samaggi-phala.or.id/naskahdhamma/ kalama-sutta/ ) Dari penggalan Sutta tersebut dapat dipahami bahwa Sang Buddha sendiri mengajarkan agar kita tidak menelan keyakinan yang ada secara mentah-mentah. Berbagai pertimbangan harus menjadi landasan dalam meyakini suatu hal. Berkaitan dengan homoseksualitas, meyakini stigma negatif yang telah ada begitu saja adalah tindakan yang kurang bijaksana. Terlebih 10 keyakinan yang berkembang saat ini sudah tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ditemukan berdasarkan penelitian ilmiah seperti penelitian biologis, psikis, sosial budaya dan penelitian lain berkaitan dengan homoseksualitas. Dogma agama yang berkembang luas di masyarakat seharusnya tidak mempengaruhi umat Buddha untuk menerima dan mengadopsinya begitu saja. Homoseksualitas sudah ada pada masa kehidupan Sang Buddha. Pada saat itu dikenal istilah pandaka yang mengarah pada sifat homoseksualtas. Istilah pandaka sendiri terbentuk dari tiga suku kata yaitu, apa + anda + ka yang berarti laki-laki yang tidak mempunyai testis (Zwilling dalam Cabozen, 1992:203-215). Meski demikian istilah ini tidak dapat diartikan sama dengan istilah kasim atau laki-laki yang dikebiri. Dalam kitab Samantapāsādikā karya Buddhagosa, Abhidharmasamuccaya karya Asanga, kitab komentar Abhidharmakośa karya Yośamitra, dan kamus bahasa Sansekerta-Tibet bernama Mahāvyutpatti, terdapat lima tipe pandaka yang dijelaskan lebih terperinci. Berikut ini kelima tipe pandaka dalam bahasa Sanskerta dan Pali beserta penjelasannya: 1. jāti, prakrtip-; napumsakapandaka, adalah orang yang mengalami impoten bawaan. 2. īrsyap-; usūyapandaka, adalah orang yang merasakan kepuasan seksual dengan hanya melihat orang lain melakukan hubungan seksual. 3. Paksap-; pakkhapandaka, adalah orang yang mengalami impoten selama empat belas hari dan hasrat seksualnya akan kembali pada empat belas hari berikutnya. 4. asekap-, āsecanap ; āssittapandaka, adalah orang yang merasakan kepuasan seksual dengan melakukan oral seks hingga ejakulasi. 5. Āpatap-; opakkamikapandaka, adalah orang yang dikebiri (Zwilling dalam Cabezon, 1992: 203 -215). Berkaitan dengan keragaman orientasi seksual pada pandaka, dalam Agañña Sutta terdapat penjelasan mengenai terbentuknya kelamin manusia dan bagaimana hal itu dapat menimbulkan nafsu indriya. Walau dalam Sutta tersebut tidak ada penjelasan mengenai pandaka, namun jelas dikatakan bahwa yang menyebabkan munculnya jenis kelamin adalah keserakahan manusia terhadap makanan yang menyerupai padi. Berikutnya, setelah manusia memiliki jenis kelamin, timbul nafsu indriya sehingga terjadi hubungan seksual di antara mereka (http://samaggi-phala.or.id/tipitaka/aganna-sutta/). Hal ini menunjukkan bahwa keserakahan adalah dasar dari munculnya jenis kelamin sebagai sumber dari hasrat seksual baik pada heteroseksual maupun antara kaum homoseksual. Kesamaan ini bila disadari dan 11 dicermati dapat menjadi landasan untuk tidak mencela dan mendiskriminasi satu sama lain. Sayangnya, pengertian tersebut belum menjadi landasan dalam menyikapi perbedaan orientasi seksual. Bahkan ketika Buddha masih hidup terjadi peristiwa buruk berkaitan dengan seorang pandaka yang karena perbuatannya menimbulkan pandangan negatif terhadap kaumnya dan terhadap Sangha. Dalam kitab Pandakavatthu bagian dari Mahāvagga, dikisahkan tentang Sang Buddha memecahkan permasalahan tentang seorang pandaka yang telah ditabiskan menjadi bhikkhu. Permasalahan muncul ketika seorang bhikkhu pandaka mendatangi para bhikkhu dan meminta pada mereka untuk memperkosanya. Mendengar perkataan itu para bhikkhu menegurnya dengan agresif dan mengatakan bahwa yang ditawarkan oleh bhikkhu pandaka itu adalah hal yang tidak berguna. Mendengar jawaban dari para bhikkhu yang justru menegur dan menolak ajakannya, bhikkhu pandaka itu pergi menemui pria yang merawat gajah dan kuda untuk menawarkan hal yang sama. Akhirnya pria penjaga gajah dan kuda itu melakukan hubungan seksual dengan bhikkhu tersebut. Setelah itu, pria penjaga gajah dan kuda menghina Sangha dengan mengatakan bahwa seorang pandaka telah ditabiskan menjadi bhikkhu dan telah melakukan hubungan seksual dengan bhikkhu-bhikkhu yang lain. Mendengar perawat gajah dan kuda menghina dan mengkritik Sangha para bhikkhu menginformasikan hal tersebut pada Buddha. Buddha menanggapi hal tersebut dengan mengtakan demikian “Para bhikkhu, bila seorang pandaka tidak ditabiskan, jangan biarkan dia ditabiskan. Bila dia sudah ditabiskan biarkan dia lepas jubah.” (Zwilling dalam Cabezon, 1992: 203-215). Pernyataan Sang Buddha tersebut tidak dapat diartikan begitu saja sehingga diperoleh pengertian bahwa kaum pandaka tidak diperbolehkan memasuki Sangha sama sekali. Dalam Buddhist’s Encyclopedia of Buddhism disebutkan bahwa berdasarkan pemahaman India kuno, kaum homoseksual atau pandaka tidak termasuk ke dalam perilaku yang tidak wajar, menyimpang, atau sakit. Dengan penekanan pada psikologi dan hukum sebab akibat, Buddhis menilai perbuatan seksual berdasarkan pada niat dan akibat yang ditimbulkan. Bila perbuatan seksual yang dilakukan dilandasi oleh cinta kasih, kebersamaan, keinginan untuk saling memberi dan membahagiakan maka perbuatan tersebut akan dinilai positif dan tidak melanggar sila, tanpa memperdulikan jenis kelamin dari dua orang yang terlibat (De Silva dalam Buddhist’s Encyclopaedia of Buddhism, 2001). Berarti, posisi homoseksual bisa disejajarkan dengan heteroseksual bila memenuhi kriteria tersebut. Dengan 12 demikian, jika seorang homoseksual menghindari nafsu dan perbuatan pencabulan, tidak ada alasan bahwa dia tidak dapat berlatih dengan tulus dan menikmati berkah dari kehidupan Buddhis seperti halnya kaum heteroseksual, termasuk untuk menjadi seorang bhikkhu Selain itu dari kasus yang muncul terlihat bahwa permasalahan disebabkan karena bhikkhu pandaka tidak dapat menahan nafsu dan melakukan pelanggaran dengan berhubungan seksual bersama perawat gajah dan kuda. Sebelum hal itu terjadi bhikkhu tersebut dapat terus menjadi anggota Sangha dan menjalankan Vinaya. Di sisi lain, bila pelanggaran serupa dilakukan oleh bhikkhu heteroseksual dengan seorang wanita maka Buddha juga akan mengeluarkannya dari Sangha. Hal ini menunjukan bahwa inti permasalahan tersebut bukanlah dengan siapa dan dari jenis kelamin apa pelanggaran dilakukan, melainkan ketidakmampuan dalam menahan nafsu seksual yang muncul. Bukti lain yang menunjukan bahwa perilaku dan latar belakang seksual tidak selalu menjadi penghalang untuk mempraktikkan ajaran Buddhis dalam usaha mencapai pencerahan adalah kisah Ambapali Theri. Sebelum mencapai kesucian arahat, Ambapali adalah seorang wanita penghibur bagi pangeran-pangeran dari daerah Licchavi. Kecantikannya memikat hati Raja Bimbisara dari Magadha yang lalu menjalin cinta dengannya. Latar belakang Ambapali sebagai wanita penghibur tidak menjadi penghalang dalam upayanya mencapai kesucian. Dengan menggunakan tubuhnya sebagai objek perenungan meditasi, usahanya tercapai (http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/yangariya-ambapali-theri/ . Hal ini menjadi masuk akal karena untuk mencapai kesucian Arahat setiap orang harus menghapus nafsu seksual. Tidak perduli dia seorang wanita penghibur, kaum heteroseksual, kaum homoseksual atau latar dari belakang seksual lain, bila tidak mampu menahan nafsu seksual hingga melakukan hubungan seksual setatusnya sebagai Bhikku akan dicabut dan usaha pencapaian Arahatnya akan gagal, begitupun sebaliknya. Dalam Agama Buddha tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk hidup berumah tangga. Meski demikian, ia juga tidak melarang seseorang untuk mencari pasangan hidup dan melakukan pernikahan. Salah satu Sutta yang membahas mengenai pernikahan adalah Nakulapitā Sutta. Sutta tersebut memuat tentang syarat agar pasangan suami istri yang melangsungkan pernikahan dapat hidup harmonis dalam kehidupan ini dan berjodoh kembali di kehidupan yang akan datang: kesamaan dalam keyakinan, kemoralan, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Dari keempat syarat tersebut tidak menutup kemungkinan dapat dimiliki oleh pasangan homoseksual sehingga hubungan mereka harmonis dan di kehidupan berikutnya dapat kembali berjodoh. 13 Bila merujuk pada Sigalovada Sutta terdapat penjelasan mengenai ciri-ciri sehabat sejati yang terdiri dari empat kriteria umum yaitu: 1. Sehabat penolong, 2. Sehabat di waktu senang dan susah, 3. Sehabat yang memberi nasihat baik, 4. Sehabat yang simpati. Kriteria tersebut dapat diterapkan dalam mencari pasangan hidup sehingga dalam berumah tangga setiap pasangan dapat saling menolong, saling setia, saling mendorong dalam kebenaran, serta saling simpati satu sama lain. Dengan demikian keharmonisan akan terjalin dan kemajuan akan terus dicapai. Berkaitan dengan hubungan homoseksual keadaan ini juga dapat terjalin di antara mereka tanpa memperdulikan jenis kelamin. Sulitnya usaha untuk mengakui kebenaran sebagai kaum homoseksual pada lingkungan yang tidak bersahabat, sulitnya diterima secara sosial, banyaknya diskriminasi dan penolakan, dan sulitnya mencari pasangan hidup sejalan sebagai kaum minoritas pada akhirnya akan membuat kaum homoseksual lebih mengerti cara menghargai cinta. Hal ini menunjukan bahwa tidak hanya kaum heteroseksual yang bisa berbahagia dalam ikatan cinta sejati, kaum homoseksual juga bisa. Saat ini kondisi di Indonesia belum kondusif bagi keberadaan kaum homoseksual. Pernikahan sejenis ditentang hukum dan keberadaan kaum homoseksual sebagai realitas sosial masih dipandang sebelah mata. Di negara-negara Buddhis seperti Cina, Jepang, Thailand, Laos, Vietnam, Mongol dan lain-lain, tidak ada hukum yang melawan keberadaan homoseksual (De Silva dalam Buddhist’s Encyclopaedia of Buddhism, 2001). Ajahn Brahm juga menyatakan bahwa ia menyetujui pernikahan homoseksual dengan mengatakan “gay marriage, why not”. Dalam kesempatan yang sama beliau juga menyatakan bahwa tidak masalah bila seseorang menjadi seorang beragama Buddha sekalipun ia adalah gay. Intinya, Jika cinta kasih dan kebijaksanaan yang diajarkan oleh Sang Buddha dapat direalisasikan banyak orang, bukan hal yang mustahil jika kelak kaum homoseksual di Indonesia akan mendapat tempat yang sejajar dengan kaum heteroseksual baik secara hukum, maupun dalam kehidupan bermasyarakat seperti yang pernah terjadi di masa lalu. 14 KESIMPULAN Homoseksualitas adalah suatu realitas sosial dalam masyarakat. Namun, di Indonesia keberadaan kaum homoseksual belum dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat karena berbagai stigma negatif. Berkenaan dengan adanya stigma negatif tersebut, nilai-nilai ajaran Buddha yang menitikberatkan cinta kasih universal dapat menjadi landasan bagi kita dalam menyikapi keberadaan homoseksual dengan lebih bijaksana. Ajaran Buddha yang progresif selaras dengan ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah modern terkait homoseksualitas, sehingga pandangan yang digunakan dalam melihat permasalahan lebih berimbang. Dengan demikian keberadaan kaum homoseksual dapat diterima sebagai realitas sosial dalam masyarakat. Demi terwujudnya tujuan tersebut, langkah-langkah strategis sebagai realisasi dari tulisan ini juga telah direncanakan, diantaranya: 1. Mensosialisasikan gagasan dan temuan ini terutama pada mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) se-Indonesia. 2. Mengadakan diskusi antara mahasiswa STAB dengan kaum homoseksual sehingga dapat mengenal lebih dekat dan berusaha memahami kehidupan kaum homoseksual. 3. Menyebarluaskan pemahaman yang benar akan keberadaan kaum homoseksual pada masyarakat Buddhis dan masyarakat luas pada setiap kesempatan agar tumbuh kesadaran betapa tidak manusiawi sikap dan perlakuan deskriminatif terhadap kaum homoseksual. 15 DAFTAR PUSTAKA Zwilling, Leonard. 1992. "Homoxexuality as Seen in Indian Buddhist Text," dalam Cabezon, Jose Ignacio, Buddhism, Sexuality, and Gender, New York: State University of New York : 203 -215. Dede Oetomo. 2001. “ Memberi Suara pada yang Bisu”, Yogyakarta: Galang Press Yogyakarta. De Silva. 2001. “Homoseksuality and Theravada Buddhism,” dalam Ensiklopedia Mini Buddhis, Jakarta: Karaniya. http://news.okezone.com/read/2016/01/27/65/1298524/pernyataan-pejabat-tentanglgbt-yang-dianggap-diskriminatif Diakses: 15 Mei 2016. http://regional.liputan6.com/read/2483898/heboh-pernikahan-sejenis-di-riau-ini-4tersangkanya Diakses: 15 Mei 2016. http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/sigalovada-sutta-2/ Diakses: 15 Mei 2016. http://samaggi-phala.or.id/tipitaka/aganna-sutta/ Diakses: 15 Mei 2016. http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/kalama-sutta/ Diakses: 15 Mei 2016. (http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/yang-ariya-ambapali-theri/ Diakses: 15 Mei 2016 http://dkv.binus.ac.id/2015/05/18/teori-konstruksi-realitas-sosial/ Diakses: 15 Mei 2016. http://www.academia.edu/ 1919853/Apa_itu_Homoseksual Diakses: 15 Mei 2016. 16