Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War

advertisement
Analisis Terhadap Indikasi Adanya Motif War
Profiteering di Balik Perang Irak
Joshua Francis
Departemen Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
Abstract
The Iraq War that lasted between 2003 and 2011 was United States of America’s biggest
and most expensive military operation after the Vietnam War. Aside of spending quite a lot of
expenses, this war was also unauthorized by the UN. When discussing about the reason of USA’s
war in Iraq, we usually focus on classic reasons such as politics, security, and territorial matter.
We also tend to discuss about the national interest of state actors as the reason. What is less
discussed is economic motives of the war, and historically there are too few studies regarding
economic motives that becomes the interest of sub-state actors behind the Iraq War. Economic
profit is gained from the Iraq War through government projects and contracts that is given to
private contractors. The practice of gaining economic profit from war is called war profiteering.
Key Words: War Profiteering, Iraq War, USA, Elite Interest.
Perang Irak yang berlangsung antara 2003 dan 2011 adalah operasi militer terbesar
dan termahal Amerika Serikat setelah Perang Vietnam. Selain menghabiskan cukup banyak
biaya, perang ini juga tidak sah-kan oleh PBB. Ketika membahas tentang alasan perang oleh
Amerika Serikat di Irak, kita biasanya fokus pada alasan klasik seperti politik, keamanan, dan
materi teritorial. Kita juga cenderung membahas tentang kepentingan nasional dari aktor
negara sebagai alasan. Apa yang kurang dibahas adalah motif ekonomi dari perang, dan
secara historis, terlalu sedikit penelitian mengenai motif ekonomi yang menjadi kepentingan
aktor sub-negara di balik Perang Irak. Terdapat keuntungan ekonomi yang diperoleh dari
Perang Irak melalui proyek-proyek pemerintah dan kontrak yang diberikan kepada kontraktor
swasta. Praktik mendapatkan keuntungan ekonomi dari perang disebut pencatutan perang.
Kata Kunci: Pencatutan Perang, Perang Irak, Amerika Serikat, Kepentingan Elit
Perang Irak dimulai dari invasi Amerika
Serikat ke Irak pada tanggal 20 Maret
2003 dan berakhir secara resmi pada 18
Desember 2011 dan menjadikan perang
ini sebagai operasi militer yang terlama,
terbesar, dan paling mahal setelah
Perang Vietnam. Perang Irak juga
merupakan operasi militer Amerika
Serikat yang pertama kali dilakukan
tanpa ada persetujuan dari organisasi
internasional seperti PBB setelah Perang
Dingin berakhir dan juga pertama
kalinya pasukan militer Amerika Serikat
menduduki suatu wilayah di kawasan
timur tengah (Lieberfeld, 2005).
Menurut
Congressional
Research
Service,
Amerika
Serikat
sudah
menghabiskan biaya sebanyak 815
milyar dolar Amerika Serikat (Belasco,
2014). Selain menghabiskan uang yang
tidak sedikit, Perang Irak juga menelan
korban jiwa yang banyak. Amerika
Serikat telah mengalami korban jiwa
sebanyak 4424 jiwa selama Perang Irak.
Biaya dan korban jiwa yang tidak sedikit
menimbulkan pertanyaan – pertanyaan
mengenai Perang Irak dan alasan dari
mengapa Amerika Serikat menyerang
Irak.
Dalam membahas mengenai alasan
sebuah negara maju berperang, kita
selalu cenderung melihat alasan –
alasan besar seperti masalah keamanan,
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016
63
Joshua Francis
politik, kemanusiaan dan teritori
Karena itu, Perang Irak menjadi
sebagai penyebab terjadinya perang.
kesempatan besar bagi perusahaan –
Seperti bahwa Irak mensponsori
perusahaan swasta terutama dalam
organisasi teroris yang anti-barat,
bidang logistik perang, akomodasi bagi
bahwa Irak memiliki senjata pemusnah
tentara Amerika Serikat di Irak,
massal, dan bahkan sampai masalah
pengelolaan industri minyak Irak dan
politik seperti bahwa Perang Irak
juga sektor konstruksi dan teknik sipil
dijalankan sebagai bentuk show of force
melalui proyek rekonstruksi sarana dan
oleh
Amerika
Serikat
untuk
infrastruktur Irak. Dengan jumlah dana
mempertahankan posisinya sebagai
sebesar 60 milyar dolar Amerika Serikat
hegemon
setelah
peristiwa
9/11
yang
dialokasikan
untuk
proyek
(Lieberfeld, 2005). Namun, seringkali
pembangunan kembali Irak, maka
kita melewatkan motif ekonomi sebagai
banyak perusahaan yang saling berebut
alasan sebuah negara untuk berperang.
untuk memenangkan kontrak mewah
Hal ini menjadi sangat
tersebut dimana mereka juga
menarik karena jika kita
menggunakan
koneksi
merunut
sejarah
umat
mereka di pemerintahan
Dalam penelitian ini
manusia, perang memang
untuk
memenangkan
penulis akan
didasari oleh berbagai alasan
kontrak tersebut.
menggunakan Teori
namun dari berbagai alasan
Dalam penelitian ini penulis
Kepentingan Elit
tersebut ada satu konstan
akan menggunakan Teori
yang sama yaitu motif
sebagai alasan Amerika
Kepentingan Elit sebagai
ekonomi (Anderton, 2003).
Serikat maju berperang
alasan Amerika Serikat maju
Secara historis, manusia
di Irak. Kepentingan
berperang
di
Irak.
selalu berperang didasari
yang dimaksud disini
Kepentingan yang dimaksud
oleh
motif
ekonomi
adalah keuntungan
disini adalah keuntungan
meskipun seringkali dibalut
ekonomi
yang akan
ekonomi yang akan didapat
oleh
berbagai
alasan
didapat
oleh
para
oleh para kelompok elit
normatif lainnya (Robinson,
melalui Perang Irak. Hal ini
kelompok elit melalui
1900 ; Mills, 2002) namun
didasari oleh sebuah premis
dalam
konteks
spesifik
Perang Irak.
bahwa dalam membahas
Perang
Irak,
kajian
alasan sebuah negara maju berperang,
mengenai hal tersebut masih sangat
kita selalu cenderung melihat alasan –
sedikit.
alasan besar seperti masalah keamanan,
Sebelumnya, militer dan pemerintahan
politik, dan teritori sebagai penyebab
Amerika Serikat merupakan salah satu
terjadinya perang. Yang seringkali
rezim yang paling mandiri dan self terlewatkan adalah motif ekonomi
sufficient di dunia, namun sekarang
sebagai alasan sebuah negara untuk
Amerika Serikat sangat bergantung
berperang. Hal ini menjadi sangat
kepada sektor privat (Surowiecki, 2004).
menarik karena jika kita merunut
Sejak tahun 1990an Amerika Serikat
sejarah umat manusia, perang memang
mulai mendelegasikan berbagai macam
didasari oleh berbagai alasan namun
tugasnya kepada kontraktor swasta
dari berbagai alasan tersebut ada satu
melalui kontrak – kontrak pemerintah.
konstan yang selalu muncul yaitu motif
Seiring dengan berjalannya kampanye
ekonomi (Anderton, 2003).
War On Terror, maka semakin banyak
Penulis menggunakan teori ini karena
konflik yang harus dihadapi oleh militer
motif perang yang akan menjadi
Amerika Serikat. Dengan adanya perang
bahasan merupakan motif keuntungan
di Afghanistan dan Irak, muncul
ekonomi yang tidak berasal dari
kesempatan
besar
bagi
berbagai
kepentingan nasional aktor negara tapi
korporat swasta untuk memperoleh
kepentingan partisan dari aktor subkeuntungan. Praktek untuk memperoleh
negara. Penulis menggunakan Teori
keuntungan dari perang ini dikenal
Kepentingan Elit karena teori ini
dengan sebutan war profiteering.
64
Analisis Terhadap Indikasi
berfokus
pada
analisa
mengenai
kepentingan aktor sub-negara dimana
tindakan dari para konstituen domestik,
terutama kaum elit ekonomi dan politik
mempengaruhi
keputusan
yang
berhubungan dengan militer dan perang
(Lieberfeld, 2005). Dalam teori ini,
aktor yang menjadi kajian utama adalah
aktor sub-negara yang berupa kelompok
elit baik elit politik, ekonomi, maupun
militer dan bagaimana kepentingan dari
aktor sub-negara tersebut mendorong
negara sebagai sebuah institusi untuk
maju
berperang
demi
mencapai
kepentingan mereka sendiri.
Munculnya war profiteering sebagai
motif perang berangkat dari teori
Kepentingan Elit dimana kepentingan
dari aktor sub-negara yang menjadi
pendorong atau alasan sebuah negara
maju berperang. Seperti yang akan
dijelaskan dibawah ini, war profiteering
merupakan suatu praktek pencarian
keuntungan yang didapatkan oleh
sekelompok elit yang menjadi aktor subnegara tersebut. Secara tradisional, war
profiteering
berbicara
tentang
mengeruk keuntungan finansial dari
keadaan perang terutama melalui
penjualan senjata baik kepada salah satu
maupun semua pihak yang terlibat
dalam perang tersebut (Vesperoni,
2014). Namun pada perkembangannya,
tidak hanya produsen senjata saja yang
dapat mengeruk keuntungan ekonomi
dari terjadinya perang namun juga
perusahaan – perusahaan yang bergerak
di berbagai sektor privat.
Karena itu praktek war profiteering
sudah tidak lagi eksklusif hanya bagi
para pedagang senjata saja namun
berubah menjadi praktek eksploitasi
kontrak pemerintah selama masa perang
yang biasanya dilakukan oleh sektor
privat yang memenangkan kontrak
untuk memberikan jasa selama atau
setelah konflik terjadi (Areen et al,
2004). Terjadinya War Profiteering
dapat dilihat dari adanya tiga hal yang
saling berhubungan satu sama lain.
Ketiga hal tersebut adalah adanya
inkonsistensi dalam justifikasi resmi
yang dikemukakan, mekanisme kontrak
yang relatif leluasa untuk pemanfaatan
peluang yang muncul, dan juga relasi
antara aktor – aktor yang terlibat baik
secara personal maupun institusional
yang dapat dirumuskan menggunakan
konsep Patron-Client dan Iron Triangle
yang sudah disebutkan diatas. Ketiga
faktor tersebut harus hadir dan
terpenuhi
agar
praktek
War
Profiteering dapat terjadi (Areen et al,
2004 ; Ortu, 2012).
Dalam kasus perang Irak, Amerika
Serikat juga memiliki beberapa alasan
yang sebelumnya diutarakan sebagai
motif untuk menyerang Irak. Alasan –
alasan tersebut sangat bervariasi dari
alasan
keamanan,
hingga
alasan
personal. Secara umum, Amerika Serikat
memiliki tiga alasan resmi pada saat
menyerang Irak yaitu bahwa Irak
terlibat bersama dengan Al – Qaeda dan
Osama Bin Laden, bahwa Irak memiliki
senjata pemusnah massal yang dapat
membahayakan negara – negara
sekitarnya, Israel, dan semua negara
barat yang demokratis, dan yang
terakhir adalah Irak merupakan sebuah
rezim
diktator
yang
melakukan
pelanggaran HAM terhadap rakyatnya
(Zizek, 2004). Yang menarik adalah,
setelah invasi berlangsung ketiga alasan
Amerika Serikat untuk menyerang Irak
tersebut
kemudian
tidak
dapat
dibuktikan
kebenarannya
secara
absolut.
Alasan pertama yang digunakan oleh
Amerika Serikat untuk menyerang Irak
adalah
bahwa
Irak
sedang
mengembangkan senjata pemusnah
massal. Dalam pidato State of the Union
pada tahun 2002, Presiden George W.
Bush menyatakan bahwa Irak dibawah
rezim Saddam Hussein memiliki senjata
pemusnah massal (White House Press
Release, 2002). Yang kemudian menjadi
permasalahan adalah, setelah invasi
terhadap Irak dilangsungkan dan rezim
pemerintahan Saddam Hussein berhasil
dijatuhkan, alasan bahwa Irak memiliki
senjata pemusnah massal tersebut pada
akhirnya tidak terbukti. Menurut
inspektur senjata PBB, tidak ditemukan
sama sekali tanda – tanda bahwa Irak
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016
65
Joshua Francis
sedang
mengembangkan
senjata
pemusnah massal. Bahkan, melalui
resolusi Dewan Keamanan PBB nomor
1441, PBB sudah mengirimkan inspektur
untuk mencari tanda – tanda senjata
pemusnah massal di Irak secara berkala
sejak tahun 2002 hingga tahun 2003
(Squassoni, 2003). Inspeksi senjata di
Irak dilakukan oleh dua badan pengawas
yaitu UNMOVIC (United Nations
Monitoring,
Verification,
and
Investigation Comission) dan IAEA
(International Atomic Energy Agency).
IAEA dan UNMOVIC secara total telah
melakukan 750 inspeksi di 550 lokasi
yang berbeda selama periode November
2002 sampai dengan Maret 2003
(Squassoni, 2003). Penyelidikan yang
dilakukan berupa inspeksi mendadak,
wawancara dengan personel Irak,
pengambilan sampel, dan pengumpulan
dokumen. Laporan berkala yang
diberikan
pimpinan
dari
IAEA
Mohammed El Baradei dan UNMOVIC
Hans Blix pada akhirnya tidak bisa
memberikan bukti secara konkrit bahwa
Irak sedang mengembangkan senjata
pemusnah massal, hanya menunjukkan
bukti – bukti bahwa Irak tidak bekerja
sama sepenuhnya selama proses
inspeksi berjalan. Resolusi Dewan
Keamanan PBB nomor 1441 tidak
memberikan jangka waktu yang tetap
untuk lamanya proses inspeksi berjalan.
Karena itu inspeksi berjalan sejak akhir
tahun 2002 sampai dengan dimulainya
invasi Irak pada tahun 2003 dan
kemudian dilanjutkan lagi setelah
Amerika Serikat menduduki wilayah
Irak.
Pada tanggal 27 Januari 2003, Hans Blix
dan Mohammed ElBaradei memberikan
laporan pertama ke Dewan Keamanan
PBB
mengenai
kemajuan
proses
inspeksi senjata di Irak. Menurut
laporan Blix dan ElBaradei, inspeksi
telah dilakukan melalui identifikasi
fasilitas – fasilitas industri di Irak
melalui gambaran satelit dan melakukan
inspeksi – inspeksi mendadak ke
fasilitas – fasilitas tersebut. Selama
inspeksi
tersebut
berjalan
tidak
ditemukan tanda – tanda bahwa Irak
66
sedang
mengembangkan
teknologi
senjata nuklir (ElBaradei, 2003).
Menurut Blix, Irak justru cukup
kooperatif dengan inspektur dari
UNMOVIC dan IAEA selama proses
inspeksi berjalan dan memberikan akses
ke semua situs serta dokumen yang
diminta oleh UNMOVIC dan IAEA (Blix,
2003). Pada laporan kedua ke Dewan
Keamanan PBB pada tanggal 14
Februari 2003, ElBaradei kembali
melaporkan hasil yang sama dengan
laporan pertama pada 27 Januari 2003
bahwa IAEA tidak menemukan bukti
bahwa Irak sedang menjalankan
program
pengembangan
senjata
pemusnah massal (ElBaradei, 2003).
Selain itu, dalam laporan 14 Februari
tersebut, baik Blix dan ElBaradei sama –
sama menekankan bahwa Irak sangat
kooperatif selama proses inspeksi
berjalan sehingga hal ini tidak sesuai
dengan klaim Amerika Serikat bahwa
Irak sangat tidak kooperatif dan
menghambat
proses
berjalannya
inspeksi. Meskipun begitu, Amerika
Serikat tetap menjalankan rencananya
untuk menginvasi Irak meskipun hasil
laporan dari UNMOVIC dan IAEA sama
– sama telah mencapai kesimpulan
bahwa Irak tidak memiliki atau sedang
mengembangkan senjata pemusnah
massal dan bahkan sangat kooperatif
selama proses inspeksi sedang berjalan.
Karena itu alasan Amerika Serikat untuk
menyerang Irak bahwa Irak memiliki
dan mengembangkan senjata pemusnah
massal menjadi tidak valid lagi dan
patut dipertanyakan kebenarannya.
Setelah alasan pertama tidak terbukti
kebenarannya, maka saat berusaha
menjawab
pertanyaan
mengenai
mengapa Amerika Serikat menyerang
Irak pada tahun 2003 akan selalu
dihubungkan dengan peristiwa 9/11 dan
isu – isu yang muncul karenanya. Isu –
isu tersebut contohnya adalah isu
terorisme global, dan yang lebih penting
lagi adalah persenjataan yang dimiliki
oleh Al-Qaeda sebagai aktor non-negara
dalam peperangan yang bersifat transnasional dan asimetris. Hal inilah yang
kemudian menjadi dasar bagi kampanye
Analisis Terhadap Indikasi
War on Terror Amerika Serikat dan
alasan Amerika Serikat menginvasi
Afghanistan pada tahun 2001 karena
Afghanistan telah menjadi tempat
persembunyian dan pusat pelatihan AlQaeda. Dalam pidatonya pada 29
Januari 2002, George W. Bush dengan
jelas menyatakan bahwa Amerika
Serikat
tidak
akan
membedakan
kelompok teroris dan negara yang
melindungi
serta
mempersenjatai
kelompok teroris tersebut (Bush, 2002).
Tidak ada laporan yang terverifikasi
yang
menyatakan
Irak
memiliki
hubungan baik dengan Al-Qaeda.
Saddam Hussein justru melihat AlQaeda sebagai ancaman akan rezim
pemerintahannya (Katzman, 2004). Irak
dibawah Saddam Hussein merupakan
sebuah negara yang meskipun mayoritas
penduduknya beragama Islam, namun
merupakan sebuah negara sekuler yang
tidak menganut agama sebagai dasar
negara dan pemerintahan. secara
historis Osama Bin Laden tidak
memiliki hubungan yang baik dengan
Saddam Hussein.
Ketika Irak menyerang Kuwait pada
tahun 1990, Osama Bin Laden
menawarkan perlindungan kepada Arab
Saudi dengan cara mengirimkan
mujahidin dari Afghanistan untuk
mempertahankan Arab Saudi dari
serangan Irak. Setelah Perang Teluk
berakhir Osama Bin Laden juga masih
terus mengkritik pemerintahan Ba’ath
Saddam Hussein dan menekankan
bahwa Saddam Hussein tidak dapat
dipercaya (Bergen, 2005). Selain itu,
ideologi Ba’athist yang dipegang oleh
Saddam Hussein merupakan sebuah
ideologi yang menggabungkan konsep
nasionalisme
pan-Arab
dengan
sekularisme dan sosialisme Arab. Hal ini
bertentangan dengan konsep politik
Pan-Islam yang dianut oleh Osama Bin
Laden (Abdel-Malek, 1983).
Pada 27 November 2002, Kongres
membentuk komisi pencari fakta yang
diresmikan dalam surat keputusan
Presiden yang ditandatangani oleh
George
W.
Bush.
Komisi
ini
dinamai National Commission on
Terrorist Attacks Upon the United
States dan seringkali dikenal dengan
sebutan 9/11 Commission. Komisi ini
bertugas untuk mencari fakta seputar
serangan 9/11, termasuk kebenaran dari
tuduhan keterlibatan Irak dalam
serangan 9/11. Pada tahun 2004, komisi
pencari fakta peristiwa 9/11 akhirnya
menyimpulkan bahwa Irak tidak
memiliki hubungan dengan Al-Qaeda
dan tidak terlibat dalam peristiwa 9/11
(9/11 Commission, 2004). Dengan tidak
adanya
bukti
konkret
yang
menunjukkan bahwa Irak melindungi
dan bekerja sama dengan Al-Qaeda
dalam merencanakan peristiwa 9/11
atau bahkan terlibat sama sekali dan
fakta historis yang menunjukkan
buruknya hubungan antara Osama Bin
Laden dan Saddam Hussein maka
alasan ini kemudian menjadi tidak dapat
dijadikan sebuah alasan yang valid
untuk menjustifikasi invasi Amerika
Serikat ke Irak pada tahun 2003.
Pemerintah Amerika Serikat sendiri juga
telah
menarik
pernyataan
yang
menyatakan bahwa Saddam Hussein
dan Al-Qaeda merupakan rekanan dan
memiliki hubungan kerja sama.
Disaat bukti yang mendukung klaim
Amerika Serikat bahwa Irak bekerja
sama dengan Al-Qaeda dan juga
memiliki senjata pemusnah massal
semakin melemah, pemerintahan Bush
mulai menggeser fokusnya pada isu lain
yang telah dikemukakan oleh Kongres
dalam Resolusi Irak yang dikeluarkan
oleh Kongres sebagai resolusi yang
mengijinkan tindakan militer terhadap
Irak yaitu pelanggaran HAM oleh
pemerintahan Saddam Hussein sebagai
justifikasi untuk melakukan intervensi
militer di Irak. Memang tidak dapat
diragukan lagi, pemerintahan Saddam
Hussein telah melakukan pelanggaran
berat terhadap HAM rakyat Irak
terutama pada etnis Kurdi.
Meskipun pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Saddam Hussein ini
sangatlah buruk, namun banyak yang
mempertanyakan mengapa masalah ini
dijadikan
sebagai
alasan
untuk
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016
67
Joshua Francis
melakukan intervensi militer. Alasan
berubah – ubah dan inkonsisten. Selain
pelanggaran
HAM
baru
mulai
itu ketika invasi telah terlanjur
digunakan
setelah
bukti
yang
dilangsungkan, ketiga alasan resmi
menghubungkan
Saddam
Hussein
tersebut juga tidak dapat dibuktikkan
dengan Al-Qaeda tidak dapat ditemukan
dengan pasti kebenarannya. Banyak hal
dan pencarian senjata pemusnah massal
– hal dan bukti yang melemahkan
di Irak juga tidak membuahkan hasil.
argumentasi Amerika Serikat dalam
Kelompok pemerhati HAM Human
menggunakan ketiga alasan tersebut
Rights Watch dan Amnesty
untuk menjustifikasi Perang
International
juga
Irak.
Dengan
tidak
menyatakan
bahwa
terbuktinya
ketiga
alasan
Perang Irak dan
meskipun
jika
memang
resmi yang dikeluarkan oleh
proyek rekonstruksi
benar bahwa isu HAM
Amerika Serikat tersebut,
Irak yang dinamai
merupakan alasan yang
maka muncul pertanyaan
proyek “Irak Baru”
utama bagi Amerika Serikat
mengenai
mengapa
merupakan sebuah
untuk
menyerang
Irak,
sebenarnya Amerika Serikat
usaha yang
sebuah intervensi militer
menyerang Irak.
menghabiskan biaya
tetap tidak bisa dibenarkan
Perang Irak dan proyek
menurut dasar kemanusiaan.
yang sangat banyak
rekonstruksi
Irak
yang
dan seringkali dilihat
Selain itu, jika melihat
dinamai
proyek
“Irak
Baru”
sebagai pengeluaran
secara historis maka kita
merupakan sebuah usaha
sia – sia yang
akan menemukan bahwa
yang menghabiskan biaya
dilakukan oleh
Amerika Serikat dan Irak
yang sangat banyak dan
pemerintah Amerika
sebelumnya
memiliki
seringkali dilihat sebagai
Serikat tanpa ada hasil
hubungan yang baik dan
pengeluaran sia – sia yang
bahkan Amerika Serikat
yang memuaskan.
dilakukan oleh pemerintah
mendukung rezim Saddam
Amerika Serikat tanpa ada
Hussein pada dekade 1980an yang
hasil yang memuaskan. Namun bukan
menjadi
periode
puncak
kasus
berarti Perang Irak tidak memiliki
pelanggaran HAM oleh rezim Saddam
keuntungannya tersendiri karena perang
Hussein sehingga hal ini semakin
ini memunculkan banyak peluang untuk
membuat
klaim
bahwa
Amerika
memperoleh
berbagai
macam
menyerang
Irak
karena
masalah
keuntungan. Dalam sub-bab ini penulis
pelanggaran HAM oleh Saddam Hussein
akan memaparkan tentang bagaimana
semakin diragukan. Amerika Serikat
Perang Irak memunculkan peluang juga
sebelum
melakukan
invasi,
peluang umtuk memperoleh keuntungan
mengkategorikan Irak sebagai negara –
ekonomi dan bagaimana peluang negara “poros setan” yang merupakan
peluang tersebut dimanfaatkan oleh
sekelompok negara diktator yang
kelompok – kelompok yang memiliki
melanggar HAM rakyatnya bersama
kepentingan tersendiri.
dengan Iran dan Korea Utara. Namun
Jika berbicara tentang perang, maka
yang aneh adalah sampai sekarang
seringkali pikiran kita akan tertuju
hanya Irak saja yang di invasi oleh
kepada akibat – akibatnya seperti
Amerika Serikat sedangkan Iran dan
kerusakan – kerusakan infrastruktur,
Korea Utara sampai sekarang tidak
serta pengeluaran dan biaya yang
disentuh
oleh
Amerika
Serikat.
diperlukan untuk menjalankan sebuah
Berdasarkan penjelasan diatas, kita
usaha perang. Beberapa dampak negatif
dapat melihat bahwa ketiga alasan resmi
perang terhadap ekonomi termasuk
Amerika Serikat menyerang Irak tidak
meningkatnya utang publik dan pajak
dapat dibuktikan kebenarannya.
untuk membiayai perang, penurunan
Berdasarkan penjelasan diatas maka
tingkat persentase konsumsi terhadap
dapat dilihat bahwa alasan Amerika
GDP, penurunan tingkat persentase
Serikat untuk menyerang Irak selalu
investasi
terhadap
GDP,
dan
68
Analisis Terhadap Indikasi
peningkatan inflasi selama kondisi
perang atau sebagai akibat langsung dari
perang (The Institute of Economics and
Peace, 2011). Namun, pada saat yang
sama kondisi perang juga menjadi
kesempatan
untuk
memperoleh
keuntungan finansial dari berbagai
macam sektor terutama sektor privat.
Yang seringkali terlewatkan adalah
bagaimana perang tersebut dapat
memunculkan peluang – peluang untuk
mendapatkan keuntungan. Perang Irak
juga tidak berbeda dengan perang
lainnya.
Pertama dimulai dari dimulainya perang
Irak yang dikenal dengan sebutan
Operation Iraqi Freedom itu sendiri,
sebuah usaha perang membutuhkan
biaya yang banyak terutama dalam hal
persediaan
senjata,
perlengkapan
tentara, serta logistik dan akomodasi
tentara Amerika Serikat selama di Irak.
Operation Iraqi Freedom mencakup
segala bentuk persiapan menuju perang
yang dimulai pada musim gugur 2002,
invasi pada Maret 2003, dan operasi –
operasi
anti-pemberontakan
dan
stabilisasi selama pendudukan Irak oleh
militer Amerika Serikat sampai tahun
2010 (Belasco, 2014). Operation Iraqi
Freedom kemudian dilanjutkan oleh
Operation
New
Dawn
dimana
keberadaan militer Amerika Serikat di
Irak bersifat sebagai konsultan dan
penasihat bagi Irak dan berakhir dengan
penarikan militer Amerika Serikat dari
Irak pada tahun 2011. Kedua operasi ini
telah menghabiskan biaya sebanyak US$
815 milyar (Belasco, 2014). Selain
menghabiskan biaya yang tidak sedikit,
Operation
Iraqi
Freedom
juga
menimbulkan kerusakan pada sarana
dan infrastruktur Irak.
Setelah invasi berjalan dan Saddam
Hussein berhasil dilengserkan, proyek
rekonstruksi Irak dimulai. Ada tujuh
sektor yang menjadi prioritas dalam
rekonstruksi Irak yaitu listrik, air bersih,
sanitasi, infrastruktur fisik seperti
bangunan dan jalan, fasilitas kesehatan,
sistem pendidikan, dan infrastruktur
minyak. Ketujuh sektor ini kemudian
dijadikan satu dibawah program Iraq
Relief and Reconstruction Fund atau
IRRF. Selain itu rekonstruksi Irak juga
mencakup pelatihan dan pengadaan
perlengkapan untuk pasukan keamanan
dan militer Irak dibawah program Iraq
Security Forces Fund atau ISFF (Bowen
Jr, 2013). Selain rekonstruksi dalam
bidang fisik dan keamanan, Amerika
Serikat juga menjalankan program
rekonstruksi dalam hal demokrasi,
capacity-building,
dan
segala
pembangunan
yang
berhubungan
dengan sektor ekonomi dibawah
program Economic Support Fund atau
ESF.
Dalam rekonstruksi Irak, terdapat
ratusan hingga ribuan proyek yang
dapat dikerjakan dan dikontrakkan
kepada kontraktor – kontraktor swasta
untuk pengerjaannya. Kontrak yang
digunakan semua menggunakan model
cost-plus dengan sistem pembayaran
reimbursement dan diberikan dalam
proses kompetisi terbatas dimana hanya
perusahaan
–
perusahaan
yang
diundang untuk berkompetisi saja yang
bisa mengajukan tender namun dengan
proses seleksi yang tidak transparan
atau ada juga yang tidak menggunakan
sistem kompetisi sama sekali. Kontrak
dengan sifat cost-plus berarti bahwa
kontrak yang diberikan pembayarannya
bersifat reimbursement dengan marjin
keuntungan tetap sebesar 2% dan
potensi keuntungan tambahan berupa
insentif sebanyak 5% dari jumlah nilai
akhir kontrak. Banyaknya jumlah proyek
yang harus dikerjakan ditambah dengan
kurangnya staf pengawas yang dimiliki
Amerika
Serikat
menyebabkan
minimnya pengawasan.
Dari sekian banyak kontraktor yang
mendapatkan kontrak pemerintah, ada
enam kontraktor yang mendapat jumlah
proyek dengan nilai kontrak terbesar
dan memiliki kedekatan baik berupa
patron-client maupun iron triangle
dengan pemerintahan Bush yaitu
Bechtel, Halliburton, KBR, Black &
Veatch, Parsons Corporations, dan
Perini Corporations (USLAW, 2003).
Masing – masing dari keenam
kontraktor
tersebut
merupakan
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016
69
Joshua Francis
kontributor finansial dari kampanye
presidensial Bush dan juga memiliki
petinggi yang merangkap jabatan
sebagai anggota kabinet atau dewan
pertimbangan dan penasehat terdekat
presiden.
Salah satu pegawai Bechtel yaitu
presiden firma Bechtel George Shultz
yang juga pernah menjabat beberapa
jabatan kementrian seperti Menteri
Ketenagakerjaan pada tahun 1969 –
1970, Direktur Lembaga Keuangan
Presiden pada tahun 1970 – 1972,
Menteri Keuangan pada tahun 1972 –
1974, dan Menteri Luar Negeri pada
tahun 1982 – 1989 (Shultz, 1993)
merupakan ketua dari dewan penasihat
dari
Komite
Pembebasan
Irak
menggunakan
pengaruh
politiknya
untuk mendorong terjadinya Perang
Irak seperti melalui salah satu pidatonya
yang berjudul “A Changed World” pada
11 Februari 2003. Sesuai dengan
namanya, komite ini mendorong invasi
Amerika Serikat ke Irak dengan alasan
untuk membebaskan rakyat Irak dari
kekuasaan diktator rezim Saddam
Hussein. Selain itu komisaris dan CEO
dari Bechtel yaitu Riley P. Bechtel
bagian dari Dewan Ekspor Presiden
yang merupakan para penasehat Bush di
bidang
perdagangan
internasional
(Buffa et al, 2003). Posisi ini juga
menjadi sangat penting untuk peluang
ekspansi Bechtel ke wilayah Timur
Tengah karena melalui Dewan ini,
presiden Bush merencanakan untuk
mendirikan zona free trade area antara
Amerika Serikat dan Timur Tengah
setelah kampanye di Irak berakhir.
Selain kedua personel Bechtel yang
disebutkan diatas, terdapat beberapa
personel Bechtel lainnya yang juga
menjabat posisi – posisi penting di
pemerintahan Bush. Purnawirawan
Jenderal Jack Sheehan yang merupakan
salah satu wakil presiden senior Bechtel
adalah anggota dari Dewan Kebijakan
Pertahanan yang sangat berpengaruh.
Dewan ini adalah dewan penasehat
untuk Pentagon yang terdiri dari tokoh
– tokoh neo-konservatif dan mendorong
terjadinya Perang Irak dalam sebuah
70
pertemuan tertutup dengan Donald
Rumsfeld dan beberapa petinggi
pemerintahan Bush lainnya seperti Paul
Wolfowitz (New York Times, 2001 ;
Steinberg, 2002). Daniel Chao yang
juga salah satu wakil presiden senior
Bechtel menjabat di dewan penasihat
Bank Ekspor-Impor Amerika Serikat,
dan yang terakhir Ross J. Connelly yang
telah bekerja di Bechtel selama 21 tahun
dan sekaligus menjabat sebagai wakil
presiden eksekutif dan COO dari US
Overseas
Private
Investment
Corporations (Buffa et al, 2003).
Tidak berbeda jauh dengan Bechtel,
Parsons Corporations juga memiliki
hubungan
yang
dekat
dengan
pemerintahan Bush. Salah satu anggota
dewan direksi Parsons adalah Elaine
Chao yang tidak lain adalah Menteri
Ketenagakerjaan pemerintahan Bush
dan seperti yang telah disebutkan dalam
bab 2, Elaine Chao mendukung
berjalannya Perang Irak. Suami dari
Elaine Chao adalah Mitch McConnell
yang merupakan asisten dari ketua
United States House of Representatives
Majority
dan
ketua
Sub-Komite
Persetujuan Operasi Luar Negeri yang
merupakan posisi penting dalam proses
pengambilan kebijakan luar negeri
Amerika Serikat.
McConnell sendiri juga memiliki
hubungan dengan kontraktor swasta
lain yang terlibat dalam Perang Irak
seperti kontraktor pertahanan Northrop
Grumman,
dan
telah
menerima
sumbangan dana dari Halliburton dan
firma persenjataan Lockheed-Martin
yang merupakan penyedia senjata bagi
militer Amerika Serikat. McConnell juga
terlibat
langsung
dengan
proses
pengambilan
kebijakan
untuk
menyerang Irak dimana pada Oktober
2002, McConnell memilih untuk
meloloskan
Resolusi
Irak
yang
memberikan ijin untuk melakukan
operasi militer di Irak (Washington
Post, 2002). Parsons Corporation juga
banyak memberikan sumbangan dana
kepada Partai Republikan selama
periode
1999-2002
dengan
total
sumbangan yang mencapai 152 ribu
Analisis Terhadap Indikasi
dolar Amerika Serikat dan 2000 dolar
sumbangan pribadi kepada Presiden
Bush (USLAW, 2003).
Dari penjelasan diatas ada dua poin
utama yang dapat dilihat. Yang pertama
adalah banyak sekali uang yang
dikeluarkan oleh pemerintah Amerika
Serikat untuk upaya rekonstruksi di
Irak. Yang menarik adalah, dari
penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa
dana senilai milyaran dolar tersebut
pada akhirnya juga kembali masuk
kedalam kantong Amerika Serikat
sendiri melalui kontraktor – kontraktor
swasta yang merupakan perusahaan dari
Amerika Serikat yang dipekerjakan
untuk mengerjakan berbagai proyek
yang termasuk pada upaya rekonstruksi
di Irak. Kontrak yang digunakan pada
semua proyek rekonstruksi ini bersifat
cost-plus dan metode pembayaran
reimbursement
dengan
persentase
keuntungan dan insentif tetap yang
menyebabkan nilai uang yang sangat
besar
harus
dibayarkan
kepada
kontraktor – kontraktor swasta yang
berasal dari Amerika Serikat.
Yang menarik dari kebijakan ini adalah,
banyak proyek rekonstruksi Irak yang
sebetulnya redundant karena banyak
proyek pembangunan yang tidak
diperlukan atau cukup hanya dengan
memperbaiki sarana dan infrastruktur
yang
sudah
ada
tanpa
harus
membangun yang baru lagi atau ada
proyek yang seharusnya bisa dikerjakan
oleh perusahaan dari Irak namun
pemerintah Amerika Serikat bersikeras
untuk memberikan kontrak proyek
tersebut kepada kontraktor Amerika
Serikat (Miller, 2006).
Poin yang kedua adalah bahwa
kontraktor
–
kontraktor
yang
mendapatkan proyek – proyek besar
dalam rekonstruksi Irak juga memiliki
hubungan
yang
dekat
dengan
pemerintahan
Bush.
Kedekatan
hubungan ini dapat berupa kontribusi
finansial kepada pemerintahan Bush
atau
adanya
hubungan
personal
diantara oknum – oknum elit dari kedua
belah pihak. Yang menarik adalah
bagaimana perusahaan – perusahaan
yang seringkali memiliki personel yang
menduduki
jabatan
rangkap
di
pemerintahan dan di perusahaan –
perusahaan atau perusahaan yang telah
memberikan
kontribusi
signifikan
terutama berupa kontribusi finansial
selama masa kampanye Presiden Bush
lah yang memenangkan kontrak proyek
tersebut.
Hal ini kemudian dieksploitasi oleh
kontraktor untuk menagihkan biaya
yang dilebih – lebihkan kepada
pemerintah Amerika Serikat untuk
memperoleh keuntungan yang sangat
besar meskipun hasil pengerjaannya
seringkali tidak memenuhi target atau
bahkan tidak terselesaikan. Kontraktor
dapat menagihkan biaya yang dilebih –
lebihkan karena mekanisme kontrak
yang longgar dan minim pengawasan
menyebabkan kontrak tersebut rawan
untuk
dieksploitasi.
Pada
bab
selanjutnya, penulis akan menjelaskan
bagaimana hubungan antara petinggi –
petinggi dari pihak kontraktor swasta
dan
pemerintah
sebagai
klien
mempengaruhi
proses
pemberian
kontrak serta nilainya dan bagaimana
hubungan
antara
industri
dan
pemerintahan ini dapat berujung pada
praktek
war
profiteering
dan
keberadaannya sebagai motif terjadinya
Perang Irak.
Seperti yang telah disebutkan di awal
penelitian, penulis akan berfokus pada
kepentingan war profiteering oleh
kelompok elit sebagai motif Amerika
Serikat menginvasi Irak. Untuk melihat
adanya motif – motif war profiteering
dalam Perang Irak maka harus ada tiga
hal
yang
dilihat
yaitu
adanya
inkonsistensi dalam justifikasi resmi,
adanya keleluasaan dalam mekanisme
kontrak, dan adanya hubungan antar elit
baik berupa hubungan patron-client
maupun iron triangle.
Dalam pembahasan sebelumnya, penulis
telah menjelaskan mengenai bagaimana
alasan – alasan resmi yang dikeluarkan
oleh Amerika Serikat inkonsisten dan
berubah – ubah serta tidak ditemui
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016
71
Joshua Francis
bukti
konkret
yang
mendukung
keuntungan yang sudah ditetapkan sejak
kebenaran dari alasan – alasan
awal dan pengawasan yang minim
tersebut.. Karena itu penulis kemudian
membuka peluang besar bagi praktek
mencari penjelasan alternatif mengenai
war profiteering. Hal ini juga
invasi Amerika Serikat ke Irak pada
memenuhi indikasi kedua motif – motif
tahun
2003.
Dalam
penjelasan
war profiteering dalam Perang Amerika
sebelumnya penulis telah menjelaskan
Serikat di Irak yaitu adanya keleluasaan
bagaimana perekonomian Amerika
mekanisme kontrak.
Serikat sangat dipengaruhi oleh perang
Penulis juga telah menjabarkan dalam
dan bagaimana keuntungan yang
penjelasan
diatas
bagaimana
diperoleh
dinikmati
oleh
hanya
perusahaan
–
perusahaan
yang
sekelompok elit saja seusai dengan teori
memenangkan
kontrak
dengan
jumlah
Kepentingan Elit dimana suatu negara
terbanyak dan nilai terbesar
maju berperang karena ada
merupakan perusahaan yang
kepentingan partisan dari
memiliki kedekatan dengan
kelompok elit sebagai aktor
Terdapat motif – motif
pemerintahan George W.
sub-negara dimana mereka
war profiteering dalam
Bush
dalam
bentuk
berusaha
memperoleh
Perang Amerika
hubungan personal maupun
keuntungan dari tindakan
finansial atau juga terlibat
perang tersebut. Karena itu
Serikat di Irak. Ada
langsung didalamnya dan
syarat pertama dari indikasi
pula motif – motif lain
juga terlibat dalam keputusan
adanya motif - motif war
yang bermain dalam
untuk maju menyerang Irak
profiteering yaitu adanya
perang tersebut namun
pada tahun 2003 atau
inkonsistensi
justifikasi
melalui penelitian dan
bahkan melibatkan aktor –
telah terpenuhi.
data – data yang sudah
aktor yang memiliki jabatan
dikumpulkan dan
Dalam
penjelasan
rangkap dalam pemerintahan
disajikan maka penulis
sebelumnya telah dijelaskan
dan
perusahaan
yang
bagaimana Amerika Serikat
menjadi
kontraktor.
Hal
ini
mencapai kesimpulan
menjalankan
proyek
memenuhi indikasi ketiga
bahwa motif – motif
rekonstruksi di Irak dan
yaitu adanya hubungan antar
war profiteering
nilai uang yang berputar
aktor elit yang terlibat baik
merupakan salah satu
dalam
proses
tersebut
berupa patron-client maupun
motif yang dominan
sangatlah besar dengan
iron triangle.
dalam Perang Irak.
dana sebesar 60 milyar
Dengan terpenuhinya ketiga
dolar dialokasikan oleh
indikasi yang menandakan keberadaan
pemerintah Amerika Serikat untuk
motif – motif war profiteering dalam
membangun kembali Irak setelah invasi.
perang Amerika Serikat di Irak tersebut,
Proyek rekonstruksi ini dikerjakan oleh
maka dapat dilihat bahwa memang
kontraktor swasta yang memperoleh
terdapat motif – motif war profiteering
kontrak untuk mengerjakan berbagai
dalam Perang Amerika Serikat di Irak.
proyek rekonstruksi dan pembangunan
Penulis juga mengakui bahwa ada motif
sarana dan infrastruktur dalam berbagai
– motif lain yang bermain dalam perang
sektor di Irak (Bowen Jr, 2013).
tersebut namun melalui penelitian dan
Seperti
yang
telah
dijelaskan
data – data yang sudah dikumpulkan
sebelumnya, kontrak yang digunakan
dan disajikan maka penulis mencapai
dalam
proyek
rekonstruksi
Irak
kesimpulan bahwa motif – motif war
memiliki mekanisme yang memberikan
profiteering merupakan salah satu motif
keleluasaan bagi kontraktor yang rawan
yang dominan dalam Perang Irak.
untuk dieksploitasi. Sistem pembayaran
reimbursement
dengan
persentase
72
Analisis Terhadap Indikasi
Daftar Pustaka
[1] Abdel-Malek, Anouar, 1983. Contemporary
Arab Political Thought. London: Zed Books.
[2] Adams, Gordon, 1982. The politics of
Defense Contracting: The Iron Triangle.
New Brunswick. N.J. Transaction Books.
[3] Anderton, Charles H, 2003. “Economic
Theorizing of Conflict: Historical
Contributions, Future Possibilities”, dalam
Defence and Peace Economics 14, no. 3:
209-222.
[4] Areen, M., Schwartz, E., Gilmer, G., 2004.
“War Profiteering in Iraq: Corporate
Contracts, Private Military Companies, and
the National Resource Curse”, dalam EDGE
Final Paper.
[5] Aspaturian, V. V., 1972. "The Soviet
military-industrial 'complex': does it exist?",
dalam Journal of International Affairs 26
vol 1 pp 1-28.
[6] Brown, C., dan Ainley, K., 2009.
Understanding International Relations.
Hampshire, Palgrave MacMillan.
[7] Bentley, Michelle, 2014. Weapons of Mass
Destruction: The Strategic Use of a
Concept. Routledge Publisher
[8] Bergen, Peter L., 2006. The Osama Bin
Laden I Know. Free Press; First Free Press
Trade Paperback Edition edition
[9] Bolton, Patrick and Dewatripoint, Mathias,
2005. Contract Theory. MIT Press
[10] Buffa, Andrea et. al., 2003. Bechtel:
Profitting from Destruction, Why The
Corporate Invasion of Iraq Must Be
Stopped. CorpWatch Publication
[11] Bush, George W., 2003. State of The Union
Address. White House Press Release
[12] Burchill, S., 2009. „Liberalism‟, dalam
Burchill, S., Linklater, A., Devetak, R.,
Donnelly, J., Nardin, T., Paterson, M., ReusSmith, C., dan True, J. 2009 (Eds) Theories
of International Relations. Hampshire:
Palgrave MacMillan.
[13] Dinstein, Yoram, 2004. “Legislation Under
Article 43 of the Hague Regulations:
Belligerent Occupation and Peacebuilding”,
dalam Program on Humanitarian Policy and
Conflict Research Harvard University
Occasional Paper Series No. 1.
[14] Dobbins, James; Jones, Seth G; Runkle,
Benjamin; dan Mohandas, Siddarth, 2009.
“Occupying Iraq: A History of the Coalition
Provisional Authority”. RAND National
Security Research Division
[15] Donnelly, J., 2009. „Realism‟, dalam
Burchill, S., Linklater, A., Devetak, R.,
Donnelly, J., Nardin, T., Paterson, M., ReusSmith, C., dan True, J. 2009 (Eds) Theories
of International Relations. Hampshire,
Palgrave MacMillan.
[16] Doyle, M., 1986. “Liberalism and World
Politics”, dalam American Political Science
Review, 80 (December) pp. 1151-69.
[17] Dunne, T., 2008. “Liberalism”, dalam
Baylis, J., Smith, S., and Owens, P. 2008
(Eds) The Globalization of World Politics.
An introduction to international relations.
New York: Oxford University Press.
[18] Dunne, T. dan Schmidt, B.C. 2008
“Realism”, dalam Baylis, J., Smith, S., and
Owens, P. 2008. (Eds) The Globalization of
World Politics. An introduction to
international relations. New York: Oxford
University Press.
[19] Dutta, Prajit, dan Radner, Roy, 1994. "Moral
Hazard", dalam Robert Aumann dan Sergiu
Hart (eds.) Handbook of game theory.
Elsevier, hal. 870–903
[20] Fidler, David P., 2003. "Weapons of Mass
Destruction and International Law", dalam
American Society of International Law.
[21] Franks, Tommy R., 2004. “American
Soldier”, dalam Harper Colins, hal. 23.
[22] Galbraith, J.K., 1967. The New Industrial
State. New York: Signet.
[23] Galbraith, J.K., 1969. How to Control the
Military. New York: New American Library
[24] Goldschmidt Jr, Arthur dan Davidson,
Lawrence, 2006. “A Concise History of the
Middle East”, dalam Westview Press, hal.
432–438.
[25] Goodin, Robert E., 2009. The Oxford
Handbook of Political Science. Oxford:
Oxford UP Print.
[26] Halchin, L. Elaine, 2005. “The Coalition
Provisional Authority (CPA): Origins,
Characteristics, and Institutional
Authorities”, dalam CRS Report for
Congress.
[27] Hayden, G.F., 2002. “Policymaking
Network of the Iron-Triangle
Subgovernment for Licensing Hazardous
Waste Facilities”, dalam CBA Faculty
Publications Paper 8.
[28] Hobden, S. dan Wyn Jones, R., 2008.
“Marxist Theories of International
Relations”, dalam Baylis, J., Smith, S., dan
Owens, P. 2008. (Eds) The Globalization of
World Politics. An introduction to
international relations. New York: Oxford
University Press.
[29] Laffont, Jean-Jacques, dan Martimort,
David, 2002. The Theory of Incentives: The
Principal-Agent Model. Princeton University
Press.
[30] Lenin, V.I., 1996. Imperialism: the Highest
Stage of Capitalism. London: Pluto Press.
[31] Lieberfeld, Daniel, 2005. “Theories of
Conflict in The Iraq War”, dalam
International Journal of Peace Studies,
Volume 10, Number 2, Autumn/Winter
2005
[32] Levy, J.S., 1989. “The diversionary theory
of war: A Critique”, dalam Handbook of
War Studies, hal. 259-288
[33] Marx, K. dan Engels, F., 2008. The
Communist Manifesto, with The Condition of
the Working Class in England, and
Socialism Utopian and Scientific.
Hertfordshire: Wordsworth Editions.
[34] Miller, Christian T., 2006. Blood Money :
Wasted Billions, Lost Lives, and Corporate
Greed in Iraq. Back Bay Books.
[35] Mills, John, 2002. A Critical History of
Economics. Hampshire: Palgrave
Macmillan.
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5 No. 3, Oktober 2016
73
Joshua Francis
[36] Mintz, Alex, 1985. “Military-Industrial
Complex: The American Concepts and
Israeli Realities”, dalam The Journal of
Conflict Resolution, Vol 29, No.4 pp. 623639
[37] Naidu, M.V., 2001. "Anti-American Islamic
Terrorism and War of Self Defence", dalam
Peace Research 33, no. 2 p. 1-33.
[38] Pauwels, Jacques R., 2003. “Why America
Needs Wars?”, dalam Indy Media Belgium
and Global Research.
[39] Robinson, Edward Van Dyke, 1900. “War
and Economics in History and in Theory”,
dalam Political Science Quarterly 15, no. 4:
581-628.
[40] Roniger, Luis, 2004. “Political Clientelism,
Democracy and Market Economy”, dalam
Comparative Politics, Vol. 36 no. 3, April,
353-37
[41] Schwedler, Jillian dan Gerner, Deborah,
2008. “Understanding the Contemporary:
Middle East”, dalam Lynne Rienner
Publishers, Inc, hal. 248–251.
[42] Shultz, George Pratt, 1993. Turmoil and
Triumph: My Years as Secretary of State.
New York: Scribner's.
[43] SIGIR, 2010. “Quarterly Report to the
United States Congress”, dalam Special
Inspector General for Iraq Reconstruction
Reports, p. 90.
[44] SIGIR, 2009. “Iraq Reconstruction: Lessons
in Program”, dalam Special Inspector
General for Iraq Reconstruction Reports
[45] SIGI, 2006. “Quarterly Report to the United
States Congress”, dalam Special Inspector
General for Iraq Reconstruction Reports.
[46] Singer, P.W., 2005. “Outsourcing War”,
dalam Foreign Affairs. Vol. 84, No. 2 (Mar.
- Apr., 2005), hal. 119-132.
[47] Spagat, Michael, 2010. “Truth and Death in
Iraq Under Sanctions”, dalam Significance
Journal Vol.7 No.3 pp. 116-120.
[48] Steinberg, Michael, 2002. “Rumsfeld‟s
“Feith and Bum” Corps: What Is Defemse
Policy Board”. Executive Intelligence
Review.
74
[49] Stokes, Susan C; Dunning, Thad; Nazareno,
Marcelo; Brusco, Valeria, 2013. Brokers,
Voters, and Clientelism: The Puzzle of
Distributive Politics. Cambridge: Cambridge
University Press.
[50] UNICEF, 2003. “Iraq Watching Briefs:
Water and Environmental Sanitation,”
7/2003, hal. 2, 7–8.
[51] UN/World Bank, 2010 “Joint Iraq Needs
Assessment,” United Nations/World Bank
Reports.
[52] UN, Inter-Agency Information and Analysis
Unit. 2011 “Water in Iraq Factsheet,” United
Nations Reports.
[53] USLAW. 2003. Profile of US Corporations
Awarded Contracts in British/US Occupied
Iraq. USLAW Publications
[54] Waltz, K.N, 2001. Man, the State and War,
a theoretical analysis. New York: Columbia
University Press.
[55] Zizek, Slavoj, 2004. “Iraq‟s False
Promises”, dalam Foreign Policy, No. 140
(Jan. - Feb., 2004), hal. 42-49
[56] Gilfeather, Paul, 2002. "War, Whatever.
Bush Aid: Inspections or Not, We'll attack
Iraq," Mirror (U.K.).
[57] Milbank, Dana & Deane, Claudia, 2003.
"Hussein Link to 9/11 Lingers in Many
Minds," Washington Post.
[58] Milbank, Dana & Pincus, Walter, 2003.
"Cheney Defends U.S. Actions in Bid to
Revive Public Support". Washington Post p.
1, A19.
[59] MSNBC, 2004. "Transcript for Sept. 14 Meet the Press", MSNBC.
[60] MSNBC, 2004. “9/11 panel sees no link
between Iraq, al-Qaida” MSNBC.
[61] White House Press Release, 2001. "The
Vice President Appears on NBC's Meet the
Press". The White House.
[62] Coalition Provisional Authorit, 2003.
“Coalition Provisional Authority Regulation
Number 1, CPA/REG/16 May 2003/01”.
Coalition Provisional.
Download