Modul Pendidikan Agama Islam [TM1]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
SUMBANGAN ISLAM DALAM
MENCIPTAKAN PERADABAN
DUNIA
Modul Standar untuk
digunakan dalam Perkuliahan
di Universitas Mercu Buana
Fakultas
Program Studi
FAKULTAS EKONOMI
DAN BISNIS
AKUNTANSI
TM 2
Kode MK
Disusun Oleh
AHMAD LUTFI, SS.,MM
Abstract
Kompetensi
Modul ini akan mengelaborasi
tentang
Sumbangan Islam Dalam
Menciptakan Peradaban
Dunia
Diharapkan mahasiswa mengerti
tentang Islam dan memahami islam
dalam menciptakan peradaban dunia
SUMBANGAN ISLAM DALAM MENCIPTAKAN PERADABAN DUNIA
A. Ekonomi Pada Masa Awal Islam
Ekonomi pada awal islam dimulai pada masa pemerintahan Rasulullah,
perkembanagan ekonomi pada masa itu tidak begitu besar dikarenakan sumbersumber yang ada pada masa itu belum begitu banyak. Sampai tahun ke empat hijrah,
pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang
dari bani Nadar, suatu suku yang tingggal di pinggiran Madinah. Kelompok ini masuk
dalam fakta madinah tetapi mereka melanggar perjanjian bahkan berusaha untuk
membunuh Rasulullah. Nabi meminta mereka untuk meninggalkan kota namun mereka
menolaknya. Nabi pun menyerahkan tentara dan mengepung mereka. Akhirnya mereka
menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan membawa barang-barang sebanyak
daya angkutan Unta, kecuali baju baja-besi.Semua milik bani Nazir yang ditinggalkan
menjadi milik kaum muslimin. Rasulullah membagikan tanah ini sebagian besar kepada
Muhajirin dan orang-orang Anshar yang miskin.
B. PendapatanUtama pada Masa Rasulullah.
1. Pendapatan Primer
Pendapatan utama bagi negara di masa Rasulullah saw adalah zakat dan ushr.
Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak.Zakat
dan ushrmerupakan
kewajiban
agama
dan
termasuk
salah
satu
pilar
Islam. Pengeluaran dan penyaluran zakat ini diatur secara jelas dalam al Qur’an surat
at Taubah ayat 60 yang artinya “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orangorang fakir, miskin,badan kepengurusan zakat, para Mu’allaf-orang yang baru masuk
islam-yang dibujuk hatinya, untuk-memerdekakan-budak,orang-orang yang berhutanguntuk keperluan agama,untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2. Pendapatan Sekunder
Sumber pendapatan sekunder pada masa Rasulullah saw adalah:
1. Uang tebusan untuk para tawanan perang, hanya dalam kasus perang Badar, pada
perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang.
2. Pinjaman-pinjaman setelah menaklukan kota Mekah untuk pembayaran uang
pembebasan kaum muslimin dari Judhayma atau sebelum pertempuran Hawazin
30.000 dirham (20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabia dan meminjam
beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah.
3. Khumus atau rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam
4. Amwal fadhla, berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris
atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
5. Wakaf, harta benda yang diindikasikan kepada umat Islam yang disebabkan Allah dan
pendapatannya akan didepositokan di Baitul Mal.
6. Nawaib, pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin
yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini
pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
7. Zakat Fitrah, zakat yang ditarik di masa bulan Romadhon dan dibagi sebelum sholat id.
8. Bentuk lain shadaqah seperti kurban dan kaffarat. Kaffarat adalah denda atas
kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan, seperti berburu
pada musim haji.
Zakat dikenakan pada beberapa hal berikut:
a. Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam
bentuk lainnya.
b. Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam
bentuk lainnya.
c. Binatang ternak unta, sapi, domba, kambing
d. Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan
e. Hasil pertanian termasuk buah-buahan
f. Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh
g. Barang temuan.
Selanjutnya yang kedua yaitu ekonomi pada masa kepemimpinan Khulafaur
Rasyiddin.
1. Abu Bakar as siddiq r.a. (632–634 M)
Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan
dari Baitul Mal ini.Menurut beberapa keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua
setengah atau dua tiga perempat dirham setiap hari hanya dari Baitul Mal dengan
beberapa waktu.Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan
2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham per tahun.
Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat seperti yang ia
katakan pada Anas (seorang Amil) bahwa: “jika seorang yang harus membayar satu
unta beliau berumur setahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan
untuk menberikan seekor unta betina yang berumur dua tahun. Hal tersebut dapat
diterima. Kolektor zakat akan mengembalikan 20 dirham atau dua kambing padanya
(sebagai kelebihan pembayarannya)”
mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali
memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rasulullah saw. Menurut
Imam Shuyuti, ketika berita wafatnya Rasulullah saw tersebar ke seluruh penjuru
Madinah, banyak suku-suku Arab yang meninggalkan Islam dan menolak membayar
zakat.
Abu
Bakar
memerintahkan
pasukannya
untuk
menyerang
suku-suku
pembangkang tersebut.
2. Umar bin khattab (634–644 M)
Dalam bidang ekonomi Umar bin Khatab menyadari pentingnya sektor pertanian
untuk memajukan ekonomi negerinya. Karena itu, ia mengambil langkah-langkah
pengembangannya dan juga mengembalikan kondisi orang-orang yang bekerja di
bidang pertanian.
Dia menghadiahkan kepada orang-orang yang sejak awal mengolahnya—
mungkin dalam kondisi yang masih tandus. Namun siapa saja yang gagal
mengelolanya selama 3 tahun, maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah
tersebut.
Pada masa Umar hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna
menciptakan perekonomian secara sehat.Umar mengurangi beban pajak terhadap
beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma Syria sebesar 50%. Hal ini
untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota. Pada saat yang
sama, juga dibangun pasar-pasar agar tercipta suasana persaingan yang bebas.
Membanting harga dan menumpuk barang serta mengambil keuntungan secara
berlebihan dipantau.
Umar menetapkan beberapa peraturan :
1. Wilayah Iraq yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik muslim dan
kepemilikan ini tidak diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada di bawah
perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut
adalah dialihkan.
2. Kharaj dibebankan pada semua tanah yang berada di bawah kategori
pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk Islam dengan demikian tanah
seperti itu tidak dapat dikonversikan menjadi tanah ushr .
3. Bekas
pemilik
tanah
diberi
hak
kepemilikan,
sepanjang
mereka
memberi kharajdan jizyah.
4. Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang
diklaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh muslim diperlakukan sebagai tanah
ushr.
5. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran
lokal) gandum dan barley (jenis gandum) dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui
air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan
perkebunan.
6. Di Mesir, menurut sebuah perjanjian Amar, dibebankan dua dinar, bahkan
hingga tiga Irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka dan madu dan
rancangan ini telah disetujui khalifah.
7. Perjanjian Damaskus (Syria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian
tanahdengan muslim. Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat)
yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.
3. Utsman bin affanr.a. (644–656 M)
Pada enam tahun pertama kepemimpinan Utsman bin affan, Balkh, Kabul,
Ghazni Kerman dan Sistan ditaklukan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar
diikuti. Tidak lama Islam mengakui empat kontrak dagang setelah negara-negara
tersebut
ditaklukkan,
kemudian
tindakan
efektif
diterapkan
dalam
rangka
pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon,
buah-buahan
ditanam
dan
keamanan
perdagangan
diberikan
dengan
cara
pembentukan organisasi kepolisian tetap.Dia juga mengurangi zakat dari pensiun. Tabri
menyebutkan ketika khalifah Usman menaikkan pensiun sebesar seratus dirham.Tetapi
tidak ada rinciannya.Dia menambahkan santunan dengan pakaian. Selain itu ia
memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang
menderita, pengembara dan orang miskin
Lahan luas yang dimiliki keluarga kerajaan Persia diambil alih oleh Umar tetapi
dia menyimpannya sebagai lahan negara yang tidak dibagi-bagi.Sementara itu Usman
menbaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan untuk kontribusi sebagian
yang diprosesnya kepada Baitul Maal. Dilaporkan bahwa lahan ini pada masa Umar
menghasilkan sembilan juta dirham tetapi pada masa Usman penerimaan meningkat
menjadi lima puluh juta. Pada periode selanjutnya dia juga mengizinkan menukar lahan
tersebut dengan lahan yang ada di Hijaz dan Yaman, sementara kebijakan Umar tidak
demikian. Dalam pemerintahan Usman komposisi kelas sosial di dalam masyarakat
berubah demikian cepat sehingga semakin sulit menengahi berbagai kepentingan yang
ada.Wajar
kalau
semasa
pemerintahan
Usman
banyak
sekali
konflik
yang
muncul. Bukan tugas yang mudah untuk mengawasi orang Badui yang pada dasarnya
mencintai kebebasan pribadi dan tidak mengenal otoritas pemerintah yang dominan.
Tidak mudah pula mengakomodasi orang kota yang cepat kaya karena adanya
peluang-peluang baru yang terbuka menyusul ditaklukannya propinsi-propinsi baru.
4. Ali bin abi thalib (656–661)
Ali terkenal sangat sederhana, ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar
penerima dana bantuan Baitul Mal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan
5.000 dirham setiap tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara.
Suatu hari saudaranya Aqil datang kepadanya meminta bantuan uang, tetapi Ali
menolak karena hal itu sama dengan mencuri uang milik masyarakat.
Masalah apakah Ali membebankan khums atas ikan atau hasil hutan (ajmat)
4.000dirham.Baladhuri menulis kepada mereka sebuah pernyataan yang ditulis di atas
sehelaiperkamen.Hutan-hutan ini terhampar di daerah istana raja Namruz di
Babilonia.Di hutan ini terdapat ngarai yang dalam yang menurut beberapa orang, tanah
untuk batu-batu istana dan menurut yang lainnya itu adalah tanah longsor. Pada saat
pemerintahan di pegang khalifat Umar, Ali tidak hadir pada pertemuan Majelis Syuro di
Djabiya (masuk wilayah Madinah) yang diadakan oleh Umar, tetapi ia menyepakati
peraturan-peraturan yang sangat berkaitan dengan daerah taklukan. Pertemuan itu
juga menyepakati untuk tidak mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul Mal, tetapi
menyimpan sebagai bagian cadangan.Semua kesepakatan itu berlawanan dengan
pendapat Ali. Oleh karena itu ketika menjabat sebagai khalifah dia mendistribusikan
seluruh pendapatan provinsi yang ada di Baitul Mal Madinah, Busra, dan Kufah. Ali
ingin mendistribusikan sawad, namun dia harus menahan diri karena takut akan terjadi
perselisihan. Nahju Balagha lebih jauh menambahkan: “Prinsip utama dari pemerataan
distribusi uang rakyat diperkenankan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk
pertama
kalinya
diadopsi.Hari
Kamis
adalah
hari
pendistribusian
atau
hari
pembayaran.Pada hari itu semua perhitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai
perhitungan baru.”
Dalam suratnya yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harith menunjukkan Ali
memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalahmasalah yang berkaitan dengannya. Surat ini mendeskripsikan tugas dan kewajiban
dan tanggung jawab penguasa, menyusun prioritas dalam melakukan dispensasi
terhadap keadilan, kontrol atas pejabat tinggi dan staf; menjelaskan kebaikan dan
kekurangan jaksa, hakim dan abdi hukum, menguraikan pendapatan pegawai
administrasi dan pengadaan bendahara.
Kurang lebih alokasi pengeluaran masih tetap sama sebagaimana halnya pada
masa kepemimpinan Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya
pada masa kepemimpinan Usman hampir dihilangkan seluruhnya, karena daerah
sepanjang garis pantai seperti Syria, Palestina dan Mesir berada di bawah kekuasan
Muawiyah. Tetapi dengan adanya penjaga malam dan patroli yang diciptakan oleh
Umar, Ali tetap menyediakan polisi reguler yang terorganisir yang disebut Shurta, dan
pemimpinnya diberi gelar Sahibush Shurta .
C. Ekonomi pasca khulafaurrashidin
Di masa dinasti Ummayah (611-750 M), khalifah Umar bin Abdul Aziz (60-101
H/608-720 M) memberlakukan peraturan yang mengatakan bahwa lahan pertanian
adalah hak milik negara secara simbolis. Dalam hal ini lahan pertanian dipandang
sebagai milik seluruh umat Islam yang diwakili oleh khalifah.Pemilik tanah pertanian
yang sebenarnya dipandang sebagai pemakai hak guna atau penyewa.Ketika dinasti
Abbasiyyah (700-850 M) memerintah, sistem tersebut mengalami perubahan.Lahan
pertanian pada masa ini berubah menjadi milik negara, bukan milik umat Islam lagi.
Negara pun menjadi berhak sepenuhnya atas tanah. Pajak terhadap lahan pertanian
dibayar dalam bentuk uang, sementara pajak terhadap barang-barang dibayar dalam
bentuk barang yang dihasilkan tersebut (in-natura), seperti yang berlaku di
Byzantium.Penarikan pajak ini dilakukan oleh para pegawai negeri yang bertugas
menangani bidang ini.Besar kecilnya pajak ditentukan berdasarkan keadaan,
kesuburan dan luas bumi.
Sejak masa Dinasti Abbasiyah diperbolehkan cara yang mempermudah dan
memperlancar penarikan pajak, yakni pajak ini dibayar oleh seseorang penjamin atau
pembayar panjar. Waktu itu sistem ini disebut dengan sistem dhaman atau qibalat.
Sebelum Islam, pajak model ini juga diberlakukan orang-orang Byzantium terhadap
pemeluk agama lain. Hal ini serupa juga dilakukan orang-orang Persia terhadap
pemeluk agama Yahudi dan Kristen. Jizyah hanya dikenakan terhadap kaum pria yang
telah dewasa dari kalangan para pemeluk agama non Islam. Sementara kaum wanita,
anak-anak, orang yang telah lanjut usia, budak, dan tokoh agama tidak dikenakan pajak
ini. Lagi pula, jizyahini bisa diubah sesuai dengan keadaan orang yang dikenai pajak ini,
misalnya; para pemeluk agama non Islam yang kemudian memeluk Islam dengan
secara langsung dibebaskan dari pajak tersebut. Semakin banyak para pemeluk
agama bukan Islam yang kemudian memeluk Islam, menjadikan jizyah tidak lagi
dipandang sebagai sumber pendapatan. Kemudian pajak ini lebih dikenal istilah aljawali. Istilah ini berasal darijaliyah yang artinya generasi.Hal ini menunjukkan bahwa
waktu itu para pembayar jizyahtinggal sedikit jumlahnya.
Pengaitan antara pendapatan dan pengeluaran dalam bentuk neraca waktu itu
merupakan hal yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin. Neraca ini diperhitungkan
setiap tahun berdasarkan tahun masehi, karena kharaj (sumber pemasukan terbesar
waktu itu) dipungut berdasarkan tahun masehi. Sejak abad kedua hijrah muncul
suatu diwanyang mirip dengan jasa akuntansi dewasa ini. Karyawan diwan ini bertugas
meneliti pendapatan, mengatur pengeluaran, dan mengkaitkan antara pendapatan dan
pengeluaran pada masa dinasti Abbasiyah diwan tersebut disebut diwan az-ziman.
Sementara pada masa dinasti Fathimiyah di Mesir disebut diwan at-tahqiq.
D. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam
1. Masa Awal (11 M)
Pada masa ini perkembangan ilmu ekonomi Islam merupakan kombinasi hasil
ijtihad dari fukaha, tasawuf dan filosof yang mengeksplorasi makna maslahah (utility)
dan mafsadah yang berangkat dari Al-Qur’an dan Assunnah. Kajian ekonomi
merupakan bagian dari kajian fikh terutama yang menyangkut topik muamalah
Tokoh dan pemikiran ekonomi Islam pada masa awal ini adalah Zaid bin Ali
(tentang transaksi kredit), Abu Hanifah (kajian tentang transaksi salam untuk
menghindari resiko terjadi perselisihan), Abu Yusuf (kajian tentang keuangan negara
seperti pajak, fa’I, ghanimah, ushr, shadaqah, dsb), al-Syaibani (kajian tentang
pendapatan dan belanja rumah tangga seperti ijarah, tijarah, zira’ah dan shinaa’an),
dan ibn Miskawaih (kajian tentang fungsi uang dalam perekonomian)
2. Masa Kemajuan (11-15 M)
Masa terjadi krisis politik dan disintegrasi kekuasaan Islam Bani Abbasiyah dan
kemudian menimbulkan kemerosotan akhlak dan kemunduran tradisi ilmu di kalangan
umat Islam.
Namun pada masa itu telah berkembang pemikiran ekonomi Islam sebagai
buah dari periode sebelumnya dan muncul cendekiawan muslim seperti al-ghazali
(perilaku individu yang didasarkan syariat Islam, peran negara sebagai pengambil
kebijakan publik dan tentang pajak serta hutang negara), ibn Taimiyah (kajian tentang
kesejahteraan masyarakat, pengawasan pasar, keuangan negara dan peranan negara
serta membahas tentang makna adil), al-Syatibi, ibn Khaldun (membahas tentang
faktor-faktor yang mendorong pembangunan suatu masyarakat dan negara) dan alMaqrizi (membahas tentang fluktuasi harga yang terjadi dimasa krisis ekonomi yang
ditimbulkan oleh faktor alam dan perilaku korupsi serta membahas tentang uang emas
dan perak sebagai standar nilai dalam transaksi)
3. Masa Stagnasi (15-20 M)
Kemunduran umat Islam dalam politik dan pemikiran karena banyak negara
Islam yang menjadi negara jajahan barat serta munculnya pandangan bahwa pintu
ijtihad telah ditutup .
Ilmu ekonomi modern berkembang pesat di barat yang dipelopori oleh tokoh
Adam Smith (1776), Joseph Schumpeter, Alfred Marshal, John Stuart Mill, Karl Marx,
dsb dan mendominasi pemikiran ekonomi sampai sekarang.
4. Masa Reorientasi/Reformasi (21 M)
Muncul kesadaran baru di tengah umat Islam tentang perlunya moral Islam
dalam ilmu ekonomi dan kebijakan ekonomi sebagai respon dari terjadinya siklus
ekonomi yang selalu memunculkan krisis ekonomi secara periodik .Berkembang
pemikiran inovatif terutama di bidang keuangan dan perbankan Islam.
Tokoh yang muncul pada masa ini seperti M. Nejatullah Siddiqi, Monzer Kahf,
Khurshid Ahmad, Safii Antonio, Adiwarman A Karim, dsb
E. Peta Pemikiran Ekonomi Islam
A. Normatifisme
Normatifisme merupakan pemikiran ekonomi islam yang mempopulerkan
norma-norma yang terkandung dalam sumber-sumber ajaran Islam (Qur’an, Hadits, dan
Fiqih). J
ika merujuk pendapat Adiwarman Karim, model ini cenderung pada yang
dikembangkan
olehBaqir
as-Shadr dengan
bukunya Iqtishaduna[1].
Bahwa
ilmu
ekonomi (economics) tidak pernah bisa sejalan dengan islam. Ekonomi tetap ekonomi,
dan islam tetap islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya
berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Ash-Shadr menolak statemen bahwa
masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia tersebut jumlahnya
terbatas. Hal tersebut sangat tidak relevan, karena firman Allah dalam surat Al Qamar
(54:49) dinyatakan “Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang
setepat-tepatnya.”
B. Normatifisme-Positivisme
Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dalam positivism,
segala keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta atau penggunaan metode
di luar yang digunakan untuk menelaah fakta akan ditolak.
Metodologi filosofi positivism mengadopsi ilmu alam dan dengan menggunakan
matematika, terutama statistika sebagai cara untuk menguji hipotesis dan sebagai
landasan utama pengembangan sistem.
Namu, Islam tidak selamanya harus positivisme. Dalam islam ada kehadiran
Tuhan sebagai bagian yang berkuasa atas segala alam (innallaha ala kulli syar’in qadir;
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), tetapi Tuhan juga menciptakan
kekuasaan yang terletak pada manusia[2].
Menghadapi problem-problem ekonomi dapat dirujukkan pada konseptual yang
bersifat normative dan diselesaikan dengan paradigma yang positivistik.
C. Mazhab Kritis
Dipelopori oleh Timur Kuran (ketua jurusan ekonomi di University of Southern
California), yaitu mengkritisi kedua mazhab di atas. Mereka berpendapat yang perlu
dikritisi tidak saja kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga ekonomi islam juga itu
sendiri[3].
Dari sekian literatur dan perkembangan perekonomian islam di dunia,
tampaknya mazhab normativisme-positivisme lebih fleksibel dan dominan dalam
berkiprah.
Seperti yang ditulis oleh Muhammad Muslehuddin, bahwa sesungguhnya esensi
daripada ekonomi islam adalah perilaku dan sistem ekonomi yang dibangun
(established) dan ditegakkan berdasarkan syari’ah, dan (kemungkinan) menerima
unsure ekonomi lainnya selama tidak bertentangan dengannya .[4]
Daftar Pustaka
Dasar-dasar Pemikiran Ekonomi Islam Muhammad Baqr ash-Shadr dapat dilihat
pada Iqtishaduna (Beirut: Dar at-Taaruf Lilmathbu’at, 1401 H/1981 M)
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta; IIIT Indonesia, 2002)
Muhammad Muslehuddin, Economic and Islam (New Delhi: Marzkaki Maktaba
Islami, 1982).
Download