MODUL PERKULIAHAN SUMBANGAN ISLAM DALAM MENCIPTAKAN PERADABAN DUNIA Modul Standar untuk digunakan dalam Perkuliahan di Universitas Mercu Buana Fakultas Program Studi FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS AKUNTANSI TM 2 Kode MK Disusun Oleh AHMAD LUTFI, SS.,MM Abstract Kompetensi Modul ini akan mengelaborasi tentang Sumbangan Islam Dalam Menciptakan Peradaban Dunia Diharapkan mahasiswa mengerti tentang Islam dan memahami islam dalam menciptakan peradaban dunia SUMBANGAN ISLAM DALAM MENCIPTAKAN PERADABAN DUNIA A. Ekonomi Pada Masa Awal Islam Ekonomi pada awal islam dimulai pada masa pemerintahan Rasulullah, perkembanagan ekonomi pada masa itu tidak begitu besar dikarenakan sumbersumber yang ada pada masa itu belum begitu banyak. Sampai tahun ke empat hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama datang dari bani Nadar, suatu suku yang tingggal di pinggiran Madinah. Kelompok ini masuk dalam fakta madinah tetapi mereka melanggar perjanjian bahkan berusaha untuk membunuh Rasulullah. Nabi meminta mereka untuk meninggalkan kota namun mereka menolaknya. Nabi pun menyerahkan tentara dan mengepung mereka. Akhirnya mereka menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan membawa barang-barang sebanyak daya angkutan Unta, kecuali baju baja-besi.Semua milik bani Nazir yang ditinggalkan menjadi milik kaum muslimin. Rasulullah membagikan tanah ini sebagian besar kepada Muhajirin dan orang-orang Anshar yang miskin. B. PendapatanUtama pada Masa Rasulullah. 1. Pendapatan Primer Pendapatan utama bagi negara di masa Rasulullah saw adalah zakat dan ushr. Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak.Zakat dan ushrmerupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran dan penyaluran zakat ini diatur secara jelas dalam al Qur’an surat at Taubah ayat 60 yang artinya “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orangorang fakir, miskin,badan kepengurusan zakat, para Mu’allaf-orang yang baru masuk islam-yang dibujuk hatinya, untuk-memerdekakan-budak,orang-orang yang berhutanguntuk keperluan agama,untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 2. Pendapatan Sekunder Sumber pendapatan sekunder pada masa Rasulullah saw adalah: 1. Uang tebusan untuk para tawanan perang, hanya dalam kasus perang Badar, pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang. 2. Pinjaman-pinjaman setelah menaklukan kota Mekah untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma atau sebelum pertempuran Hawazin 30.000 dirham (20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabia dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah. 3. Khumus atau rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam 4. Amwal fadhla, berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya. 5. Wakaf, harta benda yang diindikasikan kepada umat Islam yang disebabkan Allah dan pendapatannya akan didepositokan di Baitul Mal. 6. Nawaib, pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang Tabuk. 7. Zakat Fitrah, zakat yang ditarik di masa bulan Romadhon dan dibagi sebelum sholat id. 8. Bentuk lain shadaqah seperti kurban dan kaffarat. Kaffarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan, seperti berburu pada musim haji. Zakat dikenakan pada beberapa hal berikut: a. Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya. b. Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya. c. Binatang ternak unta, sapi, domba, kambing d. Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan e. Hasil pertanian termasuk buah-buahan f. Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh g. Barang temuan. Selanjutnya yang kedua yaitu ekonomi pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyiddin. 1. Abu Bakar as siddiq r.a. (632–634 M) Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul Mal ini.Menurut beberapa keterangan beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap hari hanya dari Baitul Mal dengan beberapa waktu.Ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham per tahun. Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat seperti yang ia katakan pada Anas (seorang Amil) bahwa: “jika seorang yang harus membayar satu unta beliau berumur setahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan untuk menberikan seekor unta betina yang berumur dua tahun. Hal tersebut dapat diterima. Kolektor zakat akan mengembalikan 20 dirham atau dua kambing padanya (sebagai kelebihan pembayarannya)” mengumpulkan zakat dari semua umat Islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda pembangkangan sepeninggal Rasulullah saw. Menurut Imam Shuyuti, ketika berita wafatnya Rasulullah saw tersebar ke seluruh penjuru Madinah, banyak suku-suku Arab yang meninggalkan Islam dan menolak membayar zakat. Abu Bakar memerintahkan pasukannya untuk menyerang suku-suku pembangkang tersebut. 2. Umar bin khattab (634–644 M) Dalam bidang ekonomi Umar bin Khatab menyadari pentingnya sektor pertanian untuk memajukan ekonomi negerinya. Karena itu, ia mengambil langkah-langkah pengembangannya dan juga mengembalikan kondisi orang-orang yang bekerja di bidang pertanian. Dia menghadiahkan kepada orang-orang yang sejak awal mengolahnya— mungkin dalam kondisi yang masih tandus. Namun siapa saja yang gagal mengelolanya selama 3 tahun, maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Pada masa Umar hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian secara sehat.Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma Syria sebesar 50%. Hal ini untuk memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota. Pada saat yang sama, juga dibangun pasar-pasar agar tercipta suasana persaingan yang bebas. Membanting harga dan menumpuk barang serta mengambil keuntungan secara berlebihan dipantau. Umar menetapkan beberapa peraturan : 1. Wilayah Iraq yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik muslim dan kepemilikan ini tidak diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada di bawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut adalah dialihkan. 2. Kharaj dibebankan pada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk Islam dengan demikian tanah seperti itu tidak dapat dikonversikan menjadi tanah ushr . 3. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka memberi kharajdan jizyah. 4. Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh muslim diperlakukan sebagai tanah ushr. 5. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (jenis gandum) dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan. 6. Di Mesir, menurut sebuah perjanjian Amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga Irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka dan madu dan rancangan ini telah disetujui khalifah. 7. Perjanjian Damaskus (Syria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanahdengan muslim. Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah. 3. Utsman bin affanr.a. (644–656 M) Pada enam tahun pertama kepemimpinan Utsman bin affan, Balkh, Kabul, Ghazni Kerman dan Sistan ditaklukan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama Islam mengakui empat kontrak dagang setelah negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon, buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.Dia juga mengurangi zakat dari pensiun. Tabri menyebutkan ketika khalifah Usman menaikkan pensiun sebesar seratus dirham.Tetapi tidak ada rinciannya.Dia menambahkan santunan dengan pakaian. Selain itu ia memperkenalkan kebiasaan membagikan makanan di masjid untuk orang-orang menderita, pengembara dan orang miskin Lahan luas yang dimiliki keluarga kerajaan Persia diambil alih oleh Umar tetapi dia menyimpannya sebagai lahan negara yang tidak dibagi-bagi.Sementara itu Usman menbaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan untuk kontribusi sebagian yang diprosesnya kepada Baitul Maal. Dilaporkan bahwa lahan ini pada masa Umar menghasilkan sembilan juta dirham tetapi pada masa Usman penerimaan meningkat menjadi lima puluh juta. Pada periode selanjutnya dia juga mengizinkan menukar lahan tersebut dengan lahan yang ada di Hijaz dan Yaman, sementara kebijakan Umar tidak demikian. Dalam pemerintahan Usman komposisi kelas sosial di dalam masyarakat berubah demikian cepat sehingga semakin sulit menengahi berbagai kepentingan yang ada.Wajar kalau semasa pemerintahan Usman banyak sekali konflik yang muncul. Bukan tugas yang mudah untuk mengawasi orang Badui yang pada dasarnya mencintai kebebasan pribadi dan tidak mengenal otoritas pemerintah yang dominan. Tidak mudah pula mengakomodasi orang kota yang cepat kaya karena adanya peluang-peluang baru yang terbuka menyusul ditaklukannya propinsi-propinsi baru. 4. Ali bin abi thalib (656–661) Ali terkenal sangat sederhana, ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Mal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5.000 dirham setiap tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Suatu hari saudaranya Aqil datang kepadanya meminta bantuan uang, tetapi Ali menolak karena hal itu sama dengan mencuri uang milik masyarakat. Masalah apakah Ali membebankan khums atas ikan atau hasil hutan (ajmat) 4.000dirham.Baladhuri menulis kepada mereka sebuah pernyataan yang ditulis di atas sehelaiperkamen.Hutan-hutan ini terhampar di daerah istana raja Namruz di Babilonia.Di hutan ini terdapat ngarai yang dalam yang menurut beberapa orang, tanah untuk batu-batu istana dan menurut yang lainnya itu adalah tanah longsor. Pada saat pemerintahan di pegang khalifat Umar, Ali tidak hadir pada pertemuan Majelis Syuro di Djabiya (masuk wilayah Madinah) yang diadakan oleh Umar, tetapi ia menyepakati peraturan-peraturan yang sangat berkaitan dengan daerah taklukan. Pertemuan itu juga menyepakati untuk tidak mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul Mal, tetapi menyimpan sebagai bagian cadangan.Semua kesepakatan itu berlawanan dengan pendapat Ali. Oleh karena itu ketika menjabat sebagai khalifah dia mendistribusikan seluruh pendapatan provinsi yang ada di Baitul Mal Madinah, Busra, dan Kufah. Ali ingin mendistribusikan sawad, namun dia harus menahan diri karena takut akan terjadi perselisihan. Nahju Balagha lebih jauh menambahkan: “Prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat diperkenankan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi.Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran.Pada hari itu semua perhitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai perhitungan baru.” Dalam suratnya yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harith menunjukkan Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalahmasalah yang berkaitan dengannya. Surat ini mendeskripsikan tugas dan kewajiban dan tanggung jawab penguasa, menyusun prioritas dalam melakukan dispensasi terhadap keadilan, kontrol atas pejabat tinggi dan staf; menjelaskan kebaikan dan kekurangan jaksa, hakim dan abdi hukum, menguraikan pendapatan pegawai administrasi dan pengadaan bendahara. Kurang lebih alokasi pengeluaran masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa kepemimpinan Usman hampir dihilangkan seluruhnya, karena daerah sepanjang garis pantai seperti Syria, Palestina dan Mesir berada di bawah kekuasan Muawiyah. Tetapi dengan adanya penjaga malam dan patroli yang diciptakan oleh Umar, Ali tetap menyediakan polisi reguler yang terorganisir yang disebut Shurta, dan pemimpinnya diberi gelar Sahibush Shurta . C. Ekonomi pasca khulafaurrashidin Di masa dinasti Ummayah (611-750 M), khalifah Umar bin Abdul Aziz (60-101 H/608-720 M) memberlakukan peraturan yang mengatakan bahwa lahan pertanian adalah hak milik negara secara simbolis. Dalam hal ini lahan pertanian dipandang sebagai milik seluruh umat Islam yang diwakili oleh khalifah.Pemilik tanah pertanian yang sebenarnya dipandang sebagai pemakai hak guna atau penyewa.Ketika dinasti Abbasiyyah (700-850 M) memerintah, sistem tersebut mengalami perubahan.Lahan pertanian pada masa ini berubah menjadi milik negara, bukan milik umat Islam lagi. Negara pun menjadi berhak sepenuhnya atas tanah. Pajak terhadap lahan pertanian dibayar dalam bentuk uang, sementara pajak terhadap barang-barang dibayar dalam bentuk barang yang dihasilkan tersebut (in-natura), seperti yang berlaku di Byzantium.Penarikan pajak ini dilakukan oleh para pegawai negeri yang bertugas menangani bidang ini.Besar kecilnya pajak ditentukan berdasarkan keadaan, kesuburan dan luas bumi. Sejak masa Dinasti Abbasiyah diperbolehkan cara yang mempermudah dan memperlancar penarikan pajak, yakni pajak ini dibayar oleh seseorang penjamin atau pembayar panjar. Waktu itu sistem ini disebut dengan sistem dhaman atau qibalat. Sebelum Islam, pajak model ini juga diberlakukan orang-orang Byzantium terhadap pemeluk agama lain. Hal ini serupa juga dilakukan orang-orang Persia terhadap pemeluk agama Yahudi dan Kristen. Jizyah hanya dikenakan terhadap kaum pria yang telah dewasa dari kalangan para pemeluk agama non Islam. Sementara kaum wanita, anak-anak, orang yang telah lanjut usia, budak, dan tokoh agama tidak dikenakan pajak ini. Lagi pula, jizyahini bisa diubah sesuai dengan keadaan orang yang dikenai pajak ini, misalnya; para pemeluk agama non Islam yang kemudian memeluk Islam dengan secara langsung dibebaskan dari pajak tersebut. Semakin banyak para pemeluk agama bukan Islam yang kemudian memeluk Islam, menjadikan jizyah tidak lagi dipandang sebagai sumber pendapatan. Kemudian pajak ini lebih dikenal istilah aljawali. Istilah ini berasal darijaliyah yang artinya generasi.Hal ini menunjukkan bahwa waktu itu para pembayar jizyahtinggal sedikit jumlahnya. Pengaitan antara pendapatan dan pengeluaran dalam bentuk neraca waktu itu merupakan hal yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin. Neraca ini diperhitungkan setiap tahun berdasarkan tahun masehi, karena kharaj (sumber pemasukan terbesar waktu itu) dipungut berdasarkan tahun masehi. Sejak abad kedua hijrah muncul suatu diwanyang mirip dengan jasa akuntansi dewasa ini. Karyawan diwan ini bertugas meneliti pendapatan, mengatur pengeluaran, dan mengkaitkan antara pendapatan dan pengeluaran pada masa dinasti Abbasiyah diwan tersebut disebut diwan az-ziman. Sementara pada masa dinasti Fathimiyah di Mesir disebut diwan at-tahqiq. D. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam 1. Masa Awal (11 M) Pada masa ini perkembangan ilmu ekonomi Islam merupakan kombinasi hasil ijtihad dari fukaha, tasawuf dan filosof yang mengeksplorasi makna maslahah (utility) dan mafsadah yang berangkat dari Al-Qur’an dan Assunnah. Kajian ekonomi merupakan bagian dari kajian fikh terutama yang menyangkut topik muamalah Tokoh dan pemikiran ekonomi Islam pada masa awal ini adalah Zaid bin Ali (tentang transaksi kredit), Abu Hanifah (kajian tentang transaksi salam untuk menghindari resiko terjadi perselisihan), Abu Yusuf (kajian tentang keuangan negara seperti pajak, fa’I, ghanimah, ushr, shadaqah, dsb), al-Syaibani (kajian tentang pendapatan dan belanja rumah tangga seperti ijarah, tijarah, zira’ah dan shinaa’an), dan ibn Miskawaih (kajian tentang fungsi uang dalam perekonomian) 2. Masa Kemajuan (11-15 M) Masa terjadi krisis politik dan disintegrasi kekuasaan Islam Bani Abbasiyah dan kemudian menimbulkan kemerosotan akhlak dan kemunduran tradisi ilmu di kalangan umat Islam. Namun pada masa itu telah berkembang pemikiran ekonomi Islam sebagai buah dari periode sebelumnya dan muncul cendekiawan muslim seperti al-ghazali (perilaku individu yang didasarkan syariat Islam, peran negara sebagai pengambil kebijakan publik dan tentang pajak serta hutang negara), ibn Taimiyah (kajian tentang kesejahteraan masyarakat, pengawasan pasar, keuangan negara dan peranan negara serta membahas tentang makna adil), al-Syatibi, ibn Khaldun (membahas tentang faktor-faktor yang mendorong pembangunan suatu masyarakat dan negara) dan alMaqrizi (membahas tentang fluktuasi harga yang terjadi dimasa krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh faktor alam dan perilaku korupsi serta membahas tentang uang emas dan perak sebagai standar nilai dalam transaksi) 3. Masa Stagnasi (15-20 M) Kemunduran umat Islam dalam politik dan pemikiran karena banyak negara Islam yang menjadi negara jajahan barat serta munculnya pandangan bahwa pintu ijtihad telah ditutup . Ilmu ekonomi modern berkembang pesat di barat yang dipelopori oleh tokoh Adam Smith (1776), Joseph Schumpeter, Alfred Marshal, John Stuart Mill, Karl Marx, dsb dan mendominasi pemikiran ekonomi sampai sekarang. 4. Masa Reorientasi/Reformasi (21 M) Muncul kesadaran baru di tengah umat Islam tentang perlunya moral Islam dalam ilmu ekonomi dan kebijakan ekonomi sebagai respon dari terjadinya siklus ekonomi yang selalu memunculkan krisis ekonomi secara periodik .Berkembang pemikiran inovatif terutama di bidang keuangan dan perbankan Islam. Tokoh yang muncul pada masa ini seperti M. Nejatullah Siddiqi, Monzer Kahf, Khurshid Ahmad, Safii Antonio, Adiwarman A Karim, dsb E. Peta Pemikiran Ekonomi Islam A. Normatifisme Normatifisme merupakan pemikiran ekonomi islam yang mempopulerkan norma-norma yang terkandung dalam sumber-sumber ajaran Islam (Qur’an, Hadits, dan Fiqih). J ika merujuk pendapat Adiwarman Karim, model ini cenderung pada yang dikembangkan olehBaqir as-Shadr dengan bukunya Iqtishaduna[1]. Bahwa ilmu ekonomi (economics) tidak pernah bisa sejalan dengan islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan islam tetap islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Ash-Shadr menolak statemen bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Hal tersebut sangat tidak relevan, karena firman Allah dalam surat Al Qamar (54:49) dinyatakan “Sungguh telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.” B. Normatifisme-Positivisme Tesis Positivisme bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dalam positivism, segala keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta atau penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta akan ditolak. Metodologi filosofi positivism mengadopsi ilmu alam dan dengan menggunakan matematika, terutama statistika sebagai cara untuk menguji hipotesis dan sebagai landasan utama pengembangan sistem. Namu, Islam tidak selamanya harus positivisme. Dalam islam ada kehadiran Tuhan sebagai bagian yang berkuasa atas segala alam (innallaha ala kulli syar’in qadir; sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu), tetapi Tuhan juga menciptakan kekuasaan yang terletak pada manusia[2]. Menghadapi problem-problem ekonomi dapat dirujukkan pada konseptual yang bersifat normative dan diselesaikan dengan paradigma yang positivistik. C. Mazhab Kritis Dipelopori oleh Timur Kuran (ketua jurusan ekonomi di University of Southern California), yaitu mengkritisi kedua mazhab di atas. Mereka berpendapat yang perlu dikritisi tidak saja kapitalisme dan sosialisme, tetapi juga ekonomi islam juga itu sendiri[3]. Dari sekian literatur dan perkembangan perekonomian islam di dunia, tampaknya mazhab normativisme-positivisme lebih fleksibel dan dominan dalam berkiprah. Seperti yang ditulis oleh Muhammad Muslehuddin, bahwa sesungguhnya esensi daripada ekonomi islam adalah perilaku dan sistem ekonomi yang dibangun (established) dan ditegakkan berdasarkan syari’ah, dan (kemungkinan) menerima unsure ekonomi lainnya selama tidak bertentangan dengannya .[4] Daftar Pustaka Dasar-dasar Pemikiran Ekonomi Islam Muhammad Baqr ash-Shadr dapat dilihat pada Iqtishaduna (Beirut: Dar at-Taaruf Lilmathbu’at, 1401 H/1981 M) Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta; IIIT Indonesia, 2002) Muhammad Muslehuddin, Economic and Islam (New Delhi: Marzkaki Maktaba Islami, 1982).