JIPB, Vol. 01, No. 02, Mei 2014 ISSN: 2303-2820 BENTUK DAN MAKNA WACANA KELAHIRAN BAYI DALAM GUYUB TUTUR KOLOR DI FLORES Fransiskus Bustan dan Santri E. P. Djahimo Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Undana Kupang ABSTRAK Penelitian ini mengkaji bentuk dan makna wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor. Kerangka teori yang dipakai bersifat eklektik karena memadukan beberapa teori termasuk linguistik kebudayaan sebagai kerangka teori utama dengan dukungan teori wacana, strukturalisme, hermeneutika, dan interaksionisme simbolik. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang beraras pada filsafat fenomenologi. Metode pengumpulan data adalah wawancara dan studi dokumentasi. Teknik pengumpulan data adalah rekam dan simak-catat. Lokasi penelitian adalah Kampung Mbapo, Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur. Sumber data utama adalah guyub tutur Kolor yang tinggal di Kampung Mbapo, yang diwakili dua informan kunci. Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode induksi-konseptualisasi. Hasil penelitian menunjukkan, apabila terjadi peristiwa kelahiran bayi dalam suatu keluarga batih, salah seorang anggota keluarga memukul dinding rumah sebanyak lima kali sambil mengajukan pertanyaan: Ata wone ko ata we’an? “Orang luar atau orang dalam?”. Anggota keluarga yang berada dalam rumah memberikan jawaban, ata wone atau ata we’an, sesuai jenis kelamin bayi. Apabila bayi itu laki-laki, maka jawabannya ata wone (orang dalam), dan apabila perempuan, maka jawabannya ata we’an (orang luar). Kedua ungkapan verbal itu memiliki karateristik bentuk dan makna khas. Dilihat dari aspek bentuk, ungkapan verbal ata wone menunjuk pada laki-laki sebagai pemilik klen dan ata we’an menunjuk pada perempuan bukan pemilik klen karena setelah menikah dia harus mengikuti klen suaminya. Merujuk pada esensi isi pesannya, ungkapan verbal itu menyiratkan makna yuridis, sosiologis, dan politis. Makna sosiologis bertautan dengan keberadaan wa’u sebagai klen patrilineal-genealogis karena dirunut menurut garis keturunan ayah. Makna yuridis berkenaan dengan konfigurasi sistem pewarisan harta dalam suatu keluarga batih, sebagaimana tercermin dalam ungkapan ata wone yang mengesahkan hak laki-laki untuk mendapat harta warisan dan bukan perempuan. Makna itu menunjukkan pula adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam struktur sosial guyub tutur Kolor yang ditandai dengan pemilahan status antara laki-laki dan perempuan dalam konfigurasi sistem pewarisan harta. Ungkapan verbal tersebut menyiratkan makna politis berupa pengesahan status laki-laki yang dipahami memiliki struktur kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan dalam guyub tutur Kolor. Kata kunci: bentuk, makna, wacana budaya, kelahiran bayi, guyub tutur Kolor PENDAHULUAN Berbicara tentang suatu bahasa (a language) berarti berbicara tentang suatu masyarakat (a society or community) sebagai suatu guyub tutur (a language society or speech community). Dikatakan demikian karena selain menjadi pemarkah kedirian suatu masyarakat sebagai suatu guyub tutur, bahasa yang dipakai suatu guyub tutur merupakan fitur pembeda 93 Bentuk dan Makna Wacana Kelahiran Bayi dalam Guyub Tutur Kolor di Flores (Fransiskus Bustan dan Santri E. P. Djahimo) dengan guyub tutur yang lain. Perbedaan bahasa yang dipakai suatu guyub tutur, jika disanding dalam tolok bandingan dengan bahasa yang dipakai guyub tutur yang lain, sesungguhnya tidak saja berkaitan dengan perbedaan dalam tataran sistem bahasa, tetapi juga bertalian dengan perbedaan kebudayaan, karena bahasa dalam pemakaiannya sebagai sarana komunikasi merupakan cerminan kebudayaan guyub tutur yang menjadi subjek penutur bahasa bersangkutan. Realitas pemakaian bahasa sebagai cerminan kebudayaan suatu guyub tutur dapat dilihat dalam wacana karena wacana bergayut dengan bahasa dalam pemakaian (language in use). Dalam penelitian ini, dikaji realitas pemakaian bahasa Kolor sebagai cerminan sosok kebudayaan Kolor, dalam tautan dengan fungsinnya sebagai pemarkah kedirian dan fitur pembeda guyub tutur Kolor di Kabupaten Manggarai Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Guyub tutur Kolor adalah suatu guyub tutur yang mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Komba di Kabupaten Manggarai Timur, khususnya di wilayah Waerana dan sekitarnya, sehingga dalam konteks tertentu bahasa Kolor disebut bahasa Waerana. Salah satu kekhasaan sebagai kekhususan pembeda atau ciri pemerlain bahasa Kolor dengan beberapa bahasa lain yang tercakup dalam kelompok bahasa Manggarai, seperti bahasa Rongga dan bahasa Manggarai Tengah, ditandai dengan pemarkah sangkalan (negative marker) mbaen (tidak) yang berpadanan makna dengan mbiwa dalam bahasa Rongga dan toe dalam bahasa Manggarai Tengah, yang berarti ‘tidak’ dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, selain disebut bahasa Waerana, bahasa Kolor sering pula disebut bahasa Mbaen sebagai fitur pembeda atau ciri pemerlain dengan bahasa Rongga yang dikenal dengan sebutan bahasa Mbiwa dan bahasa Manggarai Tengah yang dikenal dengan sebutan bahasa Toe. Mengingat realitas pemakaian bahasa Kolor sebagai cerminan kebudayaan guyub tutur Kolor memiliki cakupan begitu luas, maka masalah pokok menjadi 94 objek utama penelitian ini adalah wacana kelahiran bayi, dengan titik utama yang menjadi sasaran pencandraan mencakup bentuk (form) dan makna (meaning). Peneliti tertarik melakukan penelitian ini dengan beberapa alasan. Pertama, bahasa yang dipakai dalam teks wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor memiliki karakteristik bentuk dan makna khas. Kedua, esensi isi pesan yang terkandung dalam bentuk dan makna wacana kelahiran bayi itu menyingkap pandangan dunia guyub tutur Kolor tentang keberadaan mereka sebagai suatu kelompok masyarakat adat penganut ideologi kebapakan (patriarchat). Ketiga, belum ada hasil kajian yang mencandra secara khusus dan mendalam tentang bentuk dan makna wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor ditinjau dari perspektif linguistik kebudayaan dalam paduan dengan ancangan etnografi dialogis dan emik dalam menafsirkan makna yang tersurat dan tersirat di balik bentuk bahasa yang dipakai. TINJAUAN PUSTAKA Kerangka teori yang dipakai sebagai anjungan berpikir dalam penelitian ini bersifat elektik karena memadukan beberapa teori dalam satu kesatuan dalam menjawab masalah yang ditelaah. Selain linguistik kebudayaan sebagai kerangka teori utama, penelitian ini ditunjang pula dengan beberapa teori terkait, termasuk teori wacana, strukturalisme, hermeneutika, dan interaksionisme simbolik. Linguistik Kebudayaan Linguistik kebudayaan adalah salah satu perspektif teoritis dalam linguistik kognitif yang mengkaji hubungan bahasa dan kebudayaan suatu masyarakat. Dalam perspektif linguistik kebudayaan, bahasa dikaji melalui prisma kebudayaan dengan tujuan untuk menyingkap makna budaya yang dianut masyarakat bersangkutan, yang di dalamnya tergurat seperangkat kerangka konseptual yang membentuk peta pengetahuan atau skemata budaya mereka tentang dunia. Oleh karena itu, analisis linguistik kebudayaan disasarkan pada telaah bentuk bahasa untuk menge- JIPB, Vol. 01, No. 02, Mei 2014 tahui makna budaya yang tersurat dan tersirat di dalamnya (Palmer, 1996:10-26; bdk Foley, 1991:3-5). Analisis hubungan bahasa dan kebudayaan dalam linguistik kebudayaan bukan sekedar menjejaki masalah makna sebagai sesuatu yang murni bermuatan simbol atau sistem simbol. Masalah adat-istiadat atau perilaku masyarakatnya mesti diamati pulakarena suatu kebudayaan menemukan artikulasinya melalui alur tindakan sosial sebagai refleksi dan ekspresi dari sistem budaya yang dianut bersama masyarakat bersangkutan. Pengejawantahan tindakan sosial tersebut menyata dalam perilaku bahasa yang ditampilkan dalam peristiwa tutur dan tindak tutur (Bustan, 2005). Wacana Seperti disinggung sebelumnya, realitas pemakaian bahasa sebagai sarana komunikasi yang mencerminkan sosok kebudayaan suatu masyarakat sebagai guyub tutur tercemin dalam wacana. Menurut Tarigan (dalam Bustan, 2005), wacana adalah satuan kebahasaan paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, yang memiliki kohesi dan koherensi yang baik serta mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Oleh karena itu, dilihat dari media penyampaiannya, wacana dapat dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis. Mencermati esensi dan orientasi isi pesannya, acana merupakan suatu wadah makna yang di dalamnya tergurat seperangkat makna yang menghubungkan bentuk bahasa yang dipakai dengan konteks sosial-budaya yang melatari pemakaian bentuk bahasa tersebut dalam suatu peristiwa komunikasi. Hubungan itu dibingkai penutur bahasa bersangkutan menjadi teks wacana sebagai tempat berlangsungnya proses produksi dan tafsir makna. Mengingat wacana merupakan dialektika antara peristiwa dan makna, maka dalam perspektif ini wacana dapat pula dipahami dan dimaknai sebagai suatu peristiwa bahasa. ISSN: 2303-2820 Strukturalisme Perspektif teoretis lain yang dipakai dalam menelaah karakteristik bentuk wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor adalah strukturalisme karena teori ini beranggapan bahwa suatu sistem tidak memiliki makna dalam dirinya sendiri, kecuali dalam hubungan dengan unsurunsur lain dalam sistem tersebut (Foley, 1997:105). Strukturalisme memandang produksi makna sebagai efek dari bentuk atau struktur bahasa yang dipakai, yang manifestasinya tercermin dalam satuan budaya tertentu atau dalam diri manusia yang menjadi subjek penutur bahasa bersangkutan. Strukturalisme, menurut Barker (2005), tidak saja berbicara tentang bagaimana makna budaya dibangun, tetapi juga memahami sosok kebudayaan yang mewadahi makna tersebut. Salah satu prinsip dasar dalam pengkajian bentuk bahasa yang dipakai dalam suatu teks wacana adalah bahwa unsur bahasa dalam dirinya sama sekali tidak mengandung makna. Makna muncul apabila unsurunsur bahasa bergabung membentuk suatu struktur (Sudikan, 2001:32-33). Hal itu selaras dengan pandangan Pike (dalam Bustan, 2005) yang menyatakan, setiap unsur bahasa disebut bermakna hanya dalam hubungan dengan tingkat lebih tinggi atau satuan lebih besar. Setiap kalimat yang dipilih sebagai dasar pengkajian makna lokal suatu teks wacana tidak dilihat sebagai sebuah bongkah sintaksis lepas konteks, tetapi suatu fragmen wacana sebagai satuan ekspresi tuturan (Duranti, 2001:9). Kalimat semacam itu dipandang sebagai wacana pendek berdasarkan spesifikasi tertentu sebagai ciri pemerlain dalam hubungannya dengan wacana secara keseluruhan. Hermeneutika Hermeneutika menjadi salah satu perspektif teoretis dalam menafsirkan makna dalam penelitian ini karena ide tentang makna merupakan konsep fundamental dalam hermeneutika. Hermeneutika merupakan studi pemahaman, khususnya pemahaman makna teks sebagai uraian kesan manusia terhadap karya tersebut. Hal itu 95 Bentuk dan Makna Wacana Kelahiran Bayi dalam Guyub Tutur Kolor di Flores (Fransiskus Bustan dan Santri E. P. Djahimo) berkaitan dengan pendapat Bleicher dan Gadamer (dalam Ochs, 1988:20) yang menyatakan, makna diperoleh melalui interaksi yang kompleks antara penutur dan penafsir, termasuk di dalamnya kondisi produksi dan penafsiran. Penafsiran adalah ikhtiar untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung dalam suatu teks wacana. Simbol berupa kata dan bahasa merupakan eksplisitasi makna. Menurut Mannheim (dalam Muhadjir, 1992:138139), empat langkah pokok dalam proses pemaknaan adalah terjemah, tafsir, ekstrapolasi, dan pemaknaan. Terjemah merupakan upaya untuk mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan menggunakan media berbeda. Dengan berpegang pada materi terjemahan, penafsiran dilakukan untuk mencari latar belakang dan konteksnya guna menemukan konsep yang lebih jelas. Ekstrapolasi bertujuan menangkap berbagai fenomena di balik yang tersajikan berdasarkan kemampuan daya pikir manusia pada tataran empirik logik. Ekstrapolasi dapat disejajarkan dengan pemaknaan, namun pemaknaan merupakan upaya lebih jauh daripada penafsiran karena ekstrapolasi memerlukan kemampuan integratif manusia. Selain tuntutan akan pemilikan kemampuan inderawi, daya pikir, dan akal budi, pemaknaan juga menjangkau hal-hal yang bersifat etik dan transendental. Interaksionisme Simbolik Interaksionisme simbolik dipakai sebagai perspektif teoretis dalam penelitian ini karena dimensi paling penting yang menjadi fokus utama dalam interaksionisme simbolik adalah mencari atau menemukan makna di balik yang sensual. Perilaku dan interaksi antarmanusia dapat diperbedakan karena ditampilkan melalui simbol bermakna (Muhadjir, 1998:135). Dengan merujuk pada pandangan Blumer, menurut Muhadjir (1998) dan Bustan (2005), tiga premis utama sebagai acuan dalam menafsirkan makna adalah sebagai berikut: (1) Individu memberi tanggapan terhadap sesuatu secara simbolik sesuai batasan yang mereka berikan terhadap situasi yang dihadapinya; (2) Makna adalah hasil interaksi sosial yang 96 dinegoisasi melalui bahasa; dan (3) Makna yang ditafsirkan individu dapat saja berubah dari waktu ke waktu sesuai perubahan situasi interaksi sosial tersebut. Beberapa prinsip metodologis yang menjadi anjungan berpikir dalam interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut: (1) Simbol dan interaksi menyatu, sehingga simbol dan makna tidak dapat ditelaah dengan hanya merekam fakta, tetapi juga menelusuri konteksnya; (2) Memahami konsep jati diri subjek sangat penting karena simbol dan makna bergayut dengan masalah jati diri; (3) Mengaitkan simbol dan jati diri dengan lingkungan sosial karena konsep jati diri berkaitan dengan struktur sosial, dan (4) Selain fakta sensual, situasi yang menggambarkan simbol dan makna perlu direkam. Proposisi paling mendasar dalam interaksionisme simbolik adalah bahwa perilaku dan interaksi manusia dapat dibedakan karena ditampilkan melalui simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual adalah dimensi paling penting yang menjadi sasaran pemerian dalam interaksionisme simbolik. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif dengan beraras pada kerangka berpikir fenomenologis sebagai landasan filosofis karena memaparkan data tentang bentuk dan makna wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor sebagaimana dan apanya sesuai yang ditemukan pada saat penelitian dilakukan. Metode pengumpulan data adalah wawancara dan studi dokumentasi serta teknik pengumpulan data adalah rekam dan simak-catat. Lokasi utama penelitian adalah Kampung Mbapo di Desa Lembur. Sumber data utama adalah guyub tutur Kolor yang berdomisili di Kampung Mbapo, yang diwakili dua orang informan kunci. Dengan merujuk pada pandangan Faisal (1990:44-45), Spradley (1997:3552), dan Sudikan (2001:9), beberapa kriteria utama yang digunakan sebagai pedoman dalam pemilihan kedua informan kunci tersebut adalah sebagai berikut: (1) penutur asli bahasa Kolor yang berdomisili di Kampung Mbapo; (2) memiliki wawa- JIPB, Vol. 01, No. 02, Mei 2014 san pengetahuan relatif luas tentang hubungan bahasa dan kebudayaan Kolor, sebagaimana tercermin dalam karakteristik bentuk dan makna wacana kelahiran bayi; (2) laki-laki dewasa berusia minimal 40 tahun; (3) sehat jasmani dan rohani termasuk tidak tuna wicara dan tuna rungu; dan (4) tokoh masyarakat. Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode induktif, dalam pengertian analisis bergerak dari data menuju abstraksi dan konsep. HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai fokus masalah dan cakupan aspek yang menjadi sasaran pencandraan dalam penelitian ini, berikut dipaparkan dan dijelaskan bentuk dan makna wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor sesuai data yang ditemukan pada saat penelitian dilakukan. Mengingat konteks selalu hadir mendahului teks, maka pertama-tama dipaparkan konteks yang melatari kehadiran teks wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor dengan karakteristik bentuk dan makna bahasanya yang khas sebagai kekhususan pembeda dengan bahasa yang dipakai dalam konteks yang lain. Konteks Sesuai kebiasaan yang sudah berlaku secara mentradisi dalam konteks kehidupan guyub tutur Kolor, apabila terjadi peristiwa kelahiran seorang bayi dalam suatu keluarga batih, salah seorang anggota keluarga berada di luar rumah dan memukul dinding rumah dengan kayu atau bahan sejenisnya sebanyak lima kali. Sambil memukul kayu itu pada dinding rumah, dia mengajukan pertanyaan yang berbunyi sebagai berikut: Ata wone ko ata we’an? “Orang luar atau orang dalam?” Ketika mendengar pertanyaan itu, anggota keluarga yang berada di dalam rumah memberikan jawaban antara ata wone (orang dalam) atau ata we’an (orang luar) sesuai jenis kelamin bayi. Apabila bayi itu seorang anak laki-laki, maka jawaban yang mesti diberikan adalah ata wone (orang dalam), atau sebaliknya apabila bayi itu seorang anak perempuan, maka jawaban ISSN: 2303-2820 yang mesti diberikan adalah ata we’an (orang luar). Tata urut pertanyaan dan jawaban berlangsung sebanyak lima kali dalam suatu mekanisme yang bersifat alihgilir antaram pihak yang mengajukan pertanyaan dan pihak yang memberikan jawaban. Bentuk Sesuai kenyataan bentuk tekstual yang tampak secara fisik, kalimat Ata wone ko ata we’an? adalah sebuah kalimat tanya yang tampil sebagai kalimat majemuk setara yang terbentuk dari dua klausa independen, yakni ata we’an ‘orang luar’ dan ata wone ‘orang dalam’. Perpaduan kedua klausa independen itu membentuk sebuah konstruksi kalimat majemuk setara yang bersifat polisindenton karena hubungan kedua klausa independen itu dirangkaikan dengan pemakaian konjungsi kordinatif ko ‘atau’. Kedua klausa independen itu memiliki kesejajaran bentuk atau struktur sintaksis yang menumpang pada pertentangan makna antara kata we’an ‘luar’ dan kata wone ‘dalam’ yang berfungsi sebagai pemarkah lokatif terhadap kata (nomina) ata yang berarti “orang”. Ungkapan verbal ata we’an dan ata wone adalah frasa nomina. Unsur bawahan yang membentuk frasa nominal ata we’an adalah kata (nomina) ata sebagai induk dan kata (adverbia pemarklah lokatif) we’an sebagai atribut. Unsur bawahan yang membentuk frasa nomina ata wone adalah kata (nomina) ata sebagai induk dan kata (adverbia pemarkah lokatif) we’an sebagai atribut. Dilihat dari peran yang diemban para pelibat yang berperanserta dalam proses pembentukannya, wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor merupakan wacana dialogis. Dicirikan demikian karena dalam wacana tersebut terdapat dialog yang berlangsung antara dua pelibat, yakni orang yang berada di luar rumah (pihak yang mengajukan pertanyaan Ata we’an ko ata wone?) dan orang yang berada di dalam rumah (pihak yang memberikan jawaban antara Ata we’an atau Ata wone sesuai jenis kelamin bayi). Dilihat dari media yang dipakai untuk mewahai penyampaian pesannya, 97 Bentuk dan Makna Wacana Kelahiran Bayi dalam Guyub Tutur Kolor di Flores (Fransiskus Bustan dan Santri E. P. Djahimo) wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor dicirikan sebagai wacana lisan. Dicirikan demikian karena media penyampaian pesannya berwujud bahas lisan sesuai kebiasaan yang sudah berlaku secara mentradisi dalam realitas sosial guyub tutur Kolor. Mecermati esensi isi pesan yang terkandung di dalamnya, wacana kelahiran dalam guyub tutur Kolor dicirikan sebagai wacana budaya karena menyingkap peristiwa budaya yang mencerminkan pandangan dunia guyub tutur Kolor. Esensi makna budaya yang tersurat dan tersirat dalam wacana itu bergayut dengan perbedaan peran dan status antara anak laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial guyub tutur Kolor. Makna Sesuai esensi isi pesan yang terkandung di dalamnya, wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor menyiratkan seperangkat makna yang mencerminkan dan menyingkap pandangan dunia guyub tutur Kolor. Makna paling menonjol yang terkandung dalam wacana wacana kelahiran bayi dalam l guyub tutur Kolor adalah makna yuridis, makna sosiologis, dan makna politis, yang salingterkait dalam satu kesatuan. Makna Yuridis Bentuk bahasa yang dipakai dalam teks wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor menyiratkan makna yuridis tentang konfigurasi sistem pewarisan harta yang berlaku dalam suatu keluarga batih sebagai elemen dasar pembentuk hubungan atau temali kekerabatan wa’u sebagai klen patrilineal-genealogis dalam stuktur sosial guyub tutur Kolor. Sesuai kerangka konseptual yang tertera dalam peta pengetahuan guyub tutur Kolor, ungkapan verbal ata wone sebagai atribut untuk anak laki-laki menyiratkan makna yuridis bahwa anak laki-laki berhak mendapatkan harta warisan dalam suatu keluarga batih dan bukan anak perempuan karena setelah menikah dia mesti mengikuti klen suaminya, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam ungkapan verbal ata we’an sebagai atribut untuk anak perempuan. Ungkapan verbal ata we’an menyiratkan 98 pula makna bahwa peran dan status seorang anak perempuan selama hidup bersama dengan saudara laki-lakinya dan orang-tua atau sebelum dia menikah hanya bersifat sementara atau peripheral. Sesuai kerangka konseptual yang terpatri dalam peta pengetahuan atau skemata guyub tutur Kolor, ungkapan verbal ata wone dan ata we’an merupakan piranti hukum adat yang dipakai sebagai sumber rujukan dan kerangka acuan utama dalam menengarai terjadinya konflik sosial yang berkaitan dengan sengketa perebutan harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam suatu keluarga batih. Makna Sosiologis Ditinjau dari perspektif sosiologis, ungkapan verbal ata wone dan ata we’an menunjukkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial guyub tutur Kolor. Hal itu dikonstruksi secara sosial-budayawi sesuai pigura makna yang sudah diamanatkan leluhurnya melalui penerapan sistem kekerabatan patrilinealgenealogis. Gambaran ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender ditandai dengan pemilahan status dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam konfigurasi sistem pewarisan harta yang berlaku dalam suatu keluarga batih. Pelabelan ata we’an sebagai atribut ajektif untuk anak perempuan menyiratkan makna bahwa, dalam tatanan kehidupan guyub tutur Kolor, anak perempuan tidak berhak memiliki harta warisan dalam suatu keluarga. Sebaliknya pelabelan ata wone untuk anak laki-laki menyiratkan makna bahwa anak laki-laki adalah pemilik klen dan berhak memiliki semua harta warisan dalam suatu keluarga. Kedua ungkapan verbal tersebut merupakan fakta lingual dan fakta kultural yang esensi isi pesannya menggambarkan adanya marginalisasi atau peminggiran terhadap kaum perempuan dalam guyub tutur Kolor. Makna Politis Ungkapan verbal ata we’an dan ata wone menyiratkan pula makna politis karena esensi isi pesannya memberikan pengesahan bahwa anak laki-laki memiliki JIPB, Vol. 01, No. 02, Mei 2014 struktur kekuasaan lebih tinggi daripada anak perempuan dalam struktur sosial guyub tutur Kolor. Guratan makna politis tersebut, selain menggambarkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, juga menyiratkan adanya realitas peminggiran kaum perempuan dalam struktur sosial guyub tutur Kolor. Makna politis tersebut bertautan erat dengan penerapan ideologi kebapakan yang berlaku dalam realitas sosial guyub tutur Kolor yang merunut hubungan atau temali kekerabatan darah menurut garis kebapakan sehingga, dalam perspektif budaya guyub tutur Kolor, wa’u dipahami dan dimaknai sebagai klen patrilineal-genealogis. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sebagai resapan gagasan yang dipaparkan dan dijelaskan dalam penelitian ini, berikut disampaikan beberapa simpulan. Pertama, wacana kelahiran bayi dalam realitas sosial guyub tutur Kolor memiliki karakteristik bentuk yang khas, sebagai tercemin dalam ungkapan verbal ata we’an dan ata one. Sesuai mekanisme penyampaiannya, wacana budaya tersebut berbentuk wacana dialogis yang ditandai adanya alih gilir antara pelibat dalam konteks penuturannya. Dilihat dari media penyampaiannya, wacana itu merupakan sebuah wacana lisan karena disampaikan secara lisan sesuai kebiasaan yang secara mentradisi sejak dari leluhurnya. Kedua, sesuai esensi isi pesannya, wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor bersifat multidimensional dan sarat makna dengan guratan makna paling menonjol adalah makna yuridis, sosiologis, dan politis. Makna yuridis bergayut dengan konfigurasi sistemem pewarisan harta dalam suatu keluarga batih, di mana anak laki-laki berhak mendapat harta warisan dan bukan anak perempuan karena setelah menikah, dia harus mengikuti klen suaminya. Status anak perempuan selama hidup bersama dengan orang-tuanya atau sebelum menikah bersifat sementara atau periferal. Makna sosiologis bergayut dengan realitas ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Makna politis berkenaan ISSN: 2303-2820 dengan pengesahan peran dan status anak laki-laki yang memiliki struktur kekuasaan lebih tinggi daripada anak perempuan dalam struktur sosial guyub tutur Kolor. Saran Selaras dengan simpulan yang dikemukakan di atas, berikut penulis sampaikan pula saran. Pertama, disarankan kepada warga guyub tutur Kolor, agar ungkapan verbal ata wone dan ata we’an dalam wacana budaya kelahiran bayi dapat dijadikan sebagai salah satu piranti hukum adat dalam menengarai konflik harta warisan intraklen dan antarklen dalam realitas kehidupan guyub tutur Kolor. Meski demikian, penerapan piranti adat itu perlu didukung dengan fakta lain seperti hasil jejakan sejarah proses pemerolehan harta milik tersebut. Kedua, disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur, agar wacana kelahiran bayi dalam guyub tutur Kolor menjadi salah satu materi mata pelajaran Muatan Lokal (MULOK) pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah di wilayah Kabupaten Manggarai Timur, khususnya di wilayah sebaran guyub tutur Kolor, dalam kerangka pewarisan nilai budaya warisan leluhur yang terkandung di dalamnya agar tetap lestari. REFERENSI Bakker, J. W. M. 1984. Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Bustan, F. 2005. “Wacana budaya tudak dalam ritual penti pada kelompok etnik Manggarai di Flores Barat: sebuah kajian linguistik budaya.” Disertasi. Denpasar: Program Doktor (S3) Linguistik Universitas Udayana Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Faisal, S. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh (YA3). Foley, W. A.1997. Anthropological Linguistics: an Introduction. Oxford: Blackwell. Muhadjir, N. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasiona 99 Bentuk dan Makna Wacana Kelahiran Bayi dalam Guyub Tutur Kolor di Flores (Fransiskus Bustan dan Santri E. P. Djahimo) Ochs, E. 1988. Culture and Language Development: a Language Acquisition in a Samoan Village. Cambridge: Cambridge University Press. Palmer, G. B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: The University of Texas Press. Spradley, J. P. 1997. Metode Etnografi. 100 Diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Sudikan, S. Y. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Unesa Unipress bekerjasama dengan Citra Wacana.