LAPORAN PENELITIAN DOSEN PEMULA ANALISA HUKUM MENGENAI KEBIJAKAN PEMERINTAH MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI TERKAIT DENGAN KESEPAKATAN PERDAGANGAN REGIONAL AFTA-CHINA (Studi Deskriptif Analitis Pada Pemerintah Sumatera Utara) TIM PENYUSUN: 1. HALIMATUL MARYANI, SH., MH (NIDN.0120087804), Ketua 2. FERRY SUSANTO LIMBONG, SH.SpN.M.Hum (0105127302), Anggota Dibiayai Oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Dosen Pemula Bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun Anggaran 2012 Nomor : 282/SP2H/PL/Dit.Litabmas/VI/2012, tanggal 15 Juni 2012. UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA ALWASHLIYAH MEDAN NOPEMBER, 2012 Halaman Pengesahan Judul Penelitian Bidang Ilmu :Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri Dalam Negeri Terkait Dengan Kesepakatan Perdagangan Regional AFTA-China (Studi Deskriptif Analitis Pada Pemerintah Sumatera Utara) : Hukum Ketua Peneliti a. Nama Lengkap : Halimatul Maryani, SH. MH b. NIDN : 0120087804 c. Pangkat/Golongan : III A d. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli e. Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Internasional f. Pusat Penelitian : LPPM UMN Al-Washliyah Medan g. Alamat Institusi : JL. Garu II No. 02 Medan h. Telpon/Faks/E-mail : 061 – 7867044, 7862747 Biaya yang diusulkan : Rp. 10.000.000-, Biaya yang direkomendasi : Rp. 8.000.000-, Medan, 18 Nopember 2012 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Ketua Peneliti, (Hj. Adawiyah Nasution, SH. Sp.N, M. Kn ) NIDN. 0123037001 (Halimatul Maryani, SH. MH) NIDN.0120087804 Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian (Drs. Firmansyah, M. Si) NIP. 196711101993031003 ABSTRAK Konsep dasar dari perdagangan bebas adalah penghilangan hambatanhambatan dalam perdagangan internasional serta pelaksanaannya membentuk globalisasi yang maknanya ialah universal mencakup bidang yang sangat luas. Terkait dengan kesepakatan perdagangan bebas “Free Trade Agreement” regional, sebenarnya ada sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistemsistem yang ada dalam kerangka regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat dan tidak berjalan dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan langsung dan memajukan pertumbuhan ekonomi regional lebih maju dan berkembang. Sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), pada Framework Agreement on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian Nation and The People’s Republic of China (Asean-China) yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Megawati) pada tanggal 4 Novenber 2002 di Phnom Penh, Kamboja, juga telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, dengan UU.No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum berlakunya kesepakatan perdagangan regional dalam ketentuan WTO, mengetahui penerapan prinsip keadilan dalam pelaksanaan perdagangan bebas serta mengetahui kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari pelaksanaan AFTA-China. Maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah terfokus pada penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian deskriftif analitis dengan data skunder meliputi bahan hukum primer, skunder dan tertier. Bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Kata kunci: Kebijakan Pemerintah, Perdagangan Regional, ACFTA KATA PENGANTAR Suhbanallah dengan ucapan Bismillaahirrahmaanirraahiim, ketika akan memulai proses awal penelitian ini, mulai dari rencana penyusunan proposal dan agenda penelitian, study kepustakaan, analisis sampai kepada penulisan dan penyusunan penelitian ini, dan dilanjutkan dengan mengucap Alhamdulillahirabbil „alamin, penulis bersyukur Kehadirat Ilahirabbi, tentunya yang telah memberikan Taufik, Rahmat, Hidayah, Karunia serta kesehatan dan kesempatan bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini dengan judul “Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri Dalam Negeri Terkait Dengan Kesepakatan Perdagangan Regional AFTA-China (Studi Deskrptif Analistis Pada Pemerintah Sumatera Utara)”. Sholawat dan salam atas junjungan kita nabi besar Muhammad Rasulullah SAW.yang telah membawa kita dari zaman kejahiliyahan menuju zaman yang terang benderang yang disinanari dengan iman dak taqwa serta ilmu pengetahuan. Tujuan penyusunan laporan penelitian ini adalah sebagai salah satu bentuk dari Tri Darma Perguruan Tinggi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan peneliti khususnya sebagai sebagai tenaga pendidik profesi Dosen. Maka dalam laporan penelitian ini penulis juga menyadari tentunya masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dikarenakan keterbatasan dan kemampuan yang penulis miliki, untuk itu dengan senang hati penulis sangat mengharapkan saran-saran, pengarahan maupun sumbangan pemikiran dari semua pihak agar laporan penelitian ini lebih baik. Dalam kesempatan ini sudah sepatut dan selayaknya penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik moril maupun meteriil dalam penyusunan laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada: 1. Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (dikti) yang telah memberikan dana penuh untuk membiayai penulis selama menjalani dan melaksanakan tugas penelitian sampai laporan penelitian ini selesai. 2. Bapak Koordinator Kopertis Wilayah I Sumut-NAD, selaku pelaksana dan monitoring kegiatan atau penugas penelitian ini khususnya untuk dosen pemula bagi dosen Perguruan Tinggi Swasta di lingkungan Kopertis Wilayah I tahun anggaran 2012 3. Bapak Drs. H. Kondar Siregar, MA, selaku Rektor Universitas Muslim Nusantara Al-washliyah Medan 4. Bapak Drs. Firmansyah, M.Si, selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Muslim Nusanatar Al-washliyah Medan 5. Bapak Dr. Ir. Tri Martial, MP, selaku Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Muslim Nusantara Al-washliyah Medan 6. Ibu Adawiyah Nasution, SH. Sp.N, M. Kn, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara Al-washliyah Medan 7. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara Medan, sebagai tempat lokasi penelitian. 8. Terima kasih juga kepada kedua orang tua penulis yang tidak terhingga, karena dengan doa mereka lah penulis bisa berjuang dalam belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang penulis miliki. 9. Saya Halimatul Maryani, SH. MH (sebagai ketua peneliti) mengucapkan terima kasih kepada suami dan anak-anak penulis, karena dengan dorongan dan motivasi mereka jualah laporan penelitian ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 10. Saya Ferrry Susanto Limbong, SH, SpN. M. Hum (sebagai anggota peneliti) mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga tentunya istri dan anakanak penulis, karena dengan motivasi mereka jugalah laporan penelitian ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 11. Terima kasih juga kepada seluruh civitas UMN dan teman-teman yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini, yang mohon maaf saya dalam hal ini tidak bisa menyebutkan satu persatu. Akhirnya semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin Medan, 15 Nopember 2012 Tim Penulis, 1. Halimatul Maryani 2. Ferry Susanto Limbong DAFTAR ISI Halaman Halaman Sampul Halaman Pengesahan Abstrak……………………………………………………………… i Kata Pengantar……………………………………………………… ii Daftar Isi……………………………………………………………. v Daftar Singkatan……………………………………………………. ix Daftar Tabel…………………………………………………………. x BAB I : PENDAHULUAN………………………………………… 1 A. Latar Belakang ………………..…………………………….. 1 B. Perumusan Masalah…………………………………………... 9 C. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 9 D. Manfaat Penelitian…………………………………………… 10 E. Keaslian Penelitian…………………………………………... 11 F. Target Luaran yang Ingin dicapai…………………………… 11 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA…………………………………. 13 A. Kerangka Teori…………………………………………. 13 1. Teori Kebijakan…………………………………….. 13 2. Teori Perdagangan Bebas…………………………… 16 B. Konsepsi………………………………………………... 24 C. Pengertian Perdagangan Regional……………………… 27 D. Tinjauan Umum Tentang AFTA……………………...... 32 E. Pengertian Industri Dalam Negeri……………………… 35 BAB III : METODE PENELITIAN………………………………. 38 A. Lokasi Penelitian…………………………………………. 38 B. Jenis dan Sifat Penelitian…………………………………. 38 C. Sumber Data……………………………………………… 39 D. Teknik Pengumpulan Data……………………………….. 41 E. Analisis Data……………………………………………… 41 BAB IV: PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN………… 42 A. Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri Dalam Negeri Terkait AFTA-China………………… 42 1. Penentuan Arah dan Prioritas Kebijakan…………………. 42 2. Peranan/Wewenang Pemerintah Mengambil Kebijakan….. 44 3. Langkah-Langkah Kabijakan Pemerintah Melindungi Industri dalam Negeri Terkait AFTA-China………………. 47 a. Kebijakan Secara Umum………………………………. 50 b. Kebijakan Pemerintah Sumut…………………………. 53 B. Pengaturan Kesepakatan Perdagangan Regional dalam Perdagangan Internasional…………………………………….. 55 1. Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional…………. 55 2. Perkembangan Pengaturan Perdagangan Bebas dalam Ketentuan AFTA…………………………………………… 60 3. Skema CEPT……………………………………………….. 64 4. Dasar Hukum Perdagangan AFTA-China…………………. 67 5. Manfaat dan Tujuan Perdagangan Regional………………… 73 C. Tantangan/Peluang Pemerintah Sumut Terkait AFTA-China….. 75 1. Sejarah dan Profil Sumut…………………………………… 75 2. Pengertian Peluang dan Tantangan………………………….. 81 3. Kendalala dan Hambatan Sumut dalam Pelaksanaan AFTA-China………………………………………………… 84 4. Bentuk-Bentuk Peluang Sumut Terkait AFTA-China………… 4.1. 86 Dikaji dari Aspek Ekonomi Daerah………………………. 86 4.2. Dikaji dari Aspek Potensi SDA……………………………. 89 4.3. Dikaji dari Sudut Potensi SDM……………………………. 93 4.4. Dikaji dari Sudut Hukum Berlaku…………………………. 95 BAB V : PENUTUP……………………………………………………… 97 A. Kesimpulan………………………………………………………… 97 B. Saran……………………………………………………………….. 99 Daftar Pustaka............................................................................................. 101 Lampiran-Lampiran 1. Bio Data Tim Peneliti 2. Surat Pengantar Riset dari LPPM UMN ke Dinas Perindag-SU 3. Surat Keterangan Telah Melakukan Riset dari Dinas Perindag-SU DAFTAR SINGKATAN AFTA-China/ACFTA : Asean China Free Trade Agreement AFTA : ASEAN Free Trade Area ASEAN : Association of South East Asian Nations APEC : Asia Fasific Economi Cooperation CEPT : Common Efective Preferential Tariff FTA : Free Trade Agreement GATT : General Agreement on Tariffs and Trade UMKM : Usaha Masyarakat Kecil Menengah UKM : Usaha Kecil Menengah WTO : World Trade Organization DAFTAR TABEL Halaman 1. Perkembangan Kebijakan Perdagangan Indonesia……………. 47 2. Pembagian Wilayah Provinsi Sumatera Utara………………… 79 3. Pembagian Wilayah Sumut dalam kabupaten………………… 80 4. Ekspor Sumut ke Negara China 2005-2010…………………... 88 5. Impor Sumut dari Negara China………………………………. 89 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembentukan World Trade Organization (WTO) dan Indonesia meratifikasi GATT/WTO ini dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994,1 dan telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota, dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep ini dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi2, yang maknanya ialah universal dan mencakup bidang yang sangat luas. Dari segi ekonomi dan perdagangan globalisasi sudah terjadi pada saat mulainya perdagangan rempah-rempah, kemudian tanam paksa di Jawa, sampai tumbuhnya perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda, dan pada saat itu globalisasi lahir dengan kekerasan dalam alam kolonialisme. Berbeda dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan pada masa kini dilakukan dengan jalan damai yaitu melalui perundingan dan perjanjian 1 Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, ,( Fakultas hukum Universitas Indonesia : Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2011), hal. 31. 2 Eko Prilianto Sudradjat, Free Trade (Perdagangan Bebas) dan Fair Trade ( Perdagangan berkeadilan) Dalam Konsep Hukum, http:// Whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html, diakses pada tanggal 18 Maret 2011. internasional yang melahirkan aturan perdagangan bebas serta memfokuskan pengembangan pasar bebas terbuka.3 Percepatan proses globalisasi dalam dua dekade terakhir ini secara fundamental telah mengubah struktur dan pola hubungan perdagangan dan keuangan internasional. Hal ini menjadi fenomena penting sekaligus merupakan suatu “era baru” yang ditandai dengan adanya pertumbuhan perdagangan internasional yang tinggi, artinya Indonesia telah menjalankan dan melaksanakan rezim perdagangan bebas (era globalisasi). Dalam era globalisasi perdagangan bebas merupakan hal yang sering diperbincangkan karena diharapkan membawa perubahan penting bagi dunia. Untuk mencapai kondisi perdagangan bebas perlu cukup waktu, sebab konsekuensi yang ditimbulkan tidak sedikit. Penghapusan hambatan perdagangan internasional disatu sisi dapat membawa kebaikan, misalnya perdagangan bebas memungkinkan arus masuk produk import lebih melaju, banyak beragam sehingga menambah pilihan bagi konsumen. Proses kearah perdagangan bebas ini disebut dengan liberalisasi perdagangan atau trade liberalization 4. Namun disisi lain juga dapat membawa kejelekan dan diharapkan tidak akan terjadi seperti,5 apabila pemerintah membebaskan pajak impor hingga 0 % (nol persen), maka Indonesia tidak mendapat keuntungan dari produk impor, akan 3 Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, (Jurnal hukum, Vol.01,No.1, 2005), hal. 12. 4 Ida susanti dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam melaksanakan perdagangan Bebas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 5. 5 Administrator, ACFTA dan Dampak Terhadap Perindustrian dan UKM di Indonesia, http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/02/acfta-dan-dampak-terhadap-perindustrian-sertaukm-di-indonesia, terakhir diakses pada tanggal 10 April 2011. terjadi defisit perdagangan, perdagangan bebas akan mengganggu pasar domestik dan mengancam barang produksi dalam negeri, produksi Indonesia akan berkurang dikarenakan produk impor membanjiri Indonesia, pemutusan hubungan kerja akibat pengurangan produksi dari perusahaan, gulung tikar terhadap pengusaha lokal kemungkinan terjadi, termasuk Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah (UMKM) karena produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat konsumtif karena dibanjiri barang-barang impor dengan relatif murah. Perkembangan perdagangan yang semakin kompleks menuntut adanya sebuah aturan atau hukum yang berbentuk tertulis dan berlaku secara universal. Hukum adalah merupakan suatu kaidah sekaligus sebagai rujukan yang harus dipatuhi bagi masyarakat internasional dalam hal melakukan kegiatan ekonomi (perdagangan) untuk mengembangkan dan memperkuat struktur dan daya saing industri, khususnya dalam business to business, baik secara bilateral dan regional sampai pada tingkat internasional. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) lahir dengan tujuan untuk membuat suatu unifikasi hukum dibidang perdagangan internasional. Meskipun pada awalnya masyarakat internasional ingin membentuk sebuah organisasi perdagangan internasional di bawah PBB, namun dengan adanya penolakan dari Amerika Serikat, maka negara peserta GATT membuat kesepakatan agar perjanjian dalam GATT ditaati oleh para pihak yang menandatanganinya. Beragam kelemahan yang terdapat dalam GATT kemudian diperbaiki melalui beberapa pertemuan. Salah satu pertemuan yang berhasil adalah Putaran Uruguay antara tahun 1986-1994. Pada putaran tersebut dicapai kesepakatan untuk membentuk sebuah lembaga perdagangan internasional World Trade Organization (WTO).6 Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat internasional yang turut meratifikasi kerangka WTO ini, dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan tersebut. Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar, harus menyesuaikan peraturan perundang-undangannya, dengan kerangka WTO, khususnya dalam kaitannya dengan bidang yang diatur dalam WTO,7 adalah murni multilateral. Kelahiran WTO menandakan adanya usaha dari negara-negara untuk melembagakan ketentuan-ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah disepakati dalam GATT. Upaya tersebut membuktikan keinginan dunia internasional untuk membuat unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional dengan prinsip yang menganut pada liberalisasi perdagangan dan kompetisi yang bebas. Upaya untuk melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional yang dilakukan oleh WTO ternyata mengalami kesulitan untuk mencapai kesepakatan multilateral. Hal ini disebabkan karena terlalu banyaknya negara yang menjadi anggota dan tentunya anggota tersebut semua harus setuju. Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral sebenarnya sudah diambil jalan tengahnya dalam ketentuan Pasal 24 GATT 6 Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO, http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/01/perjanjian-perdagangan-regional-rta-dalamkerangka-world-trade-organization-wto-study, terakhir diakses pada hari senin tanggal 18 April 2011 7 Sutiarnoto MS, Tantangan dan Peluang Investasi Asing, (Jurnal Hukum,Volume 6 No. 3, Agustus 2001), hal. 271. tentang diperbolehkannya pembentukan kerjasama-kerjasama regional dibidang perdagangan. Ketentuan pasal tersebut memberi persyaratan bahwa pembentukan perjanjian perdagangan regional tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral.8 Perkembangan saat ini, banyak negara-negara membuat perjanjian perdagangan regional, karena bersifat lebih mudah dan aplikatif tidak melibatkan terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi dalam WTO. Dengan kata lain ada pengecualian yang membolehkan bagi negara anggota WTO untuk membentuk organisasi-organisasi ekonomi (perdagangan) secara regional bilateral dan tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya9. Bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam membuat kesepakatan, menjalin kerjasama dibidang ekonomi dan perdagangan antar negara misalnya, dalam konteks custum union atau free trade area.10 Salah satu perjanjian perdagangan regional yang ada saat ini adalah Asean Free Trade Area (AFTA) yang diprakarsai oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebuah organisasi regional negara-negara di Asia Tenggara. AFTA lahir pada tahun 1995 dengan tujuan untuk memberikan keuntungankeuntungan perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari ASEAN. Upaya AFTA untuk mewujudkan tujuannya adalah dengan melakukan kesepakatan 8 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 170. 9 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan, ( Jakarta: BP. IBLAM, Cetakan I, 2005), hal. 21. 10 Huala Adolf dan A.Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 20. preferensi terhadap barang-barang yang ada dari negara ASEAN.11 Selain itu juga Uni Eropa, Asia Facific Economic Co-operation (APEC), North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan lainnya dengan syarat bahwa pembentukan organisasi (perdagangan) regional tersebut tidak menjadi rintangan perdagangan bagi pihak ketiga, hal ini berdasarkan pasal 24 GATT. Kelahiran AFTA sendiri merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didomisi oleh negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi terhadap pasar regionalnya dan timbul atas perjanjian perdagangan regional yang lainnya, karena dengan adanya perjanjian perdagangan regional ini akan melemahkan sistem perdagangan multilateral. Padahal dalam ketentuan GATT sendiri mengatur tentang diperbolehkannya untuk membentuk perjanjian pedagangan regional.12 Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas “Free Trade Agreement” atau FTA yang bilateral dan regional, sebenarnya ada sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada dalam kerangka bilateral dan regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak berjalan dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan 11 12 Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO, Op.Cit. Ibid. meraih keuntungan langsung. Dimana saat ini perdagangan secara regional lebih merebak, maju dan berkembang.13 Perdagangan bebas ASEAN atau AFTA sudah diputuskan terhitung mulai sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA),14 pada Framework Agreement on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian and The People’s Republic of China (Asean-China). China cukup agresip untuk mengejar FTA ini, karena ekonomi China yang tumbuh dengan laju 9 % (sembilan persen) pertahunnnya sangat membutuhkan bahan mentah dan energi, juga beberapa produk pertanian dan kehutanan yang ia ingin pastikan dengan FTA tersebut. Masuknya China dalam perdagangan bebas ASEAN ini meresahkan kalangan produsen tekstil dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk bebas masuk ke pasar ASEAN termasuk Indonesia. Sikap Indonesia terhadap perdagangan bebas internasional khususnya perdagangan bebas ACFTA sering mendua atau ambivalen. Artinya di satu pihak Indonesia takut bahwa pasar dalam negeri akan direbut oleh asing, akan tetapi di lain pihak juga disadari bahwa kalau tidak mengikuti mode dan trend FTA khusus ACFTA maka Indonesia akan jauh ketinggalan dari negara lain. 13 Renegosiasi Perjanjian dagang ACFTA, Koran Waspada, kamis tanggal 14 Mei 2010. Lihat juga M. Sadli, Kerja Sama Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia, http://www.kolom.pasific.net.id/ind, terakhir diakses pada tanggal 16 Juli 2007. 14 Administrator, China Bergabung Dalam AFTA, http://www./indosiar.com//ohas/83715/china-bergabung-dalam-afta, terakhir diakses pada 20 April 2011. Akhirnya Indonesia juga membuka perundingan atau kesepakatan secara bilateral untuk mencapai FTA dan prosesnya mengandung “give and take”. Jika Indonesia menginginkan suatu konsesi atau fasilitas maka Indonesia harus bisa menawarkan suatu konsesi secara “quid and pro”, dan berangsur-angsur membuka Indonesia untuk perdagangan yang bebas.15 Kesepakatan multilateral dalam kerangka WTO lebih superior dari pada kesepakatan FTA bilateral atau regional, maka pemerintah Indonesia sebaiknya tetap berkiblat kepada pengaturan multilateral walaupun merundingkan FTA secara bilateral. Demikian juga halnya FTA bilateral harus dikaitkan dengan FTA regional dan harus disesuaikan dengan WTO. Artinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam aturan hukum perdagangan bebas secara regional tetap pondasinya pada aturan ketentuan yang ada dalam WTO, serta tidak betentangan dengan WTO. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini diberi judul “ Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri Dalam Negeri Terkait Dengan Kesepakatan Perdagangan Regional AFTA-China (Studi Deskriptif Analitis Pada Pemerintah Sumatera Utara)”. 15 M. Sadli, Op.Cit. B. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Bagaimana analisis hukum mengenai kebijakan pemerintah melindungi industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari pelaksanaan perdagangan internasional AFTA-China ? 2. Bagaimana pengaturan kesepakatan perdagangan bebas regional dalam ketentuan perdagangan internasional ? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah, khususnya Sumatera Utara terhadap pelaksanaan perdagangan internasional AFTA-China ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengkaji dan mengalisa mengenai kebijakan pemerintah melindungi industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari pelaksanaan perdagangan internasional AFTA-China. 2. Untuk mengkaji dan mengetahui tentang pengaturan kesepakatan perdagangan bebas regional dalam ketentuan perdagangan internasional. 3. Untuk menganalisa dan mengetahui serta memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah, khususnya Sumatera Utara dengan ada dan diterapkannya perdagangan internasional AFTA-China. D. Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi seluruh pihak dan kalangan yang dapat memanfaatkannya, khusunya bagi dosen yang menerapkan prinsip Tri Darma Perguruan Tinggi. Maka dalam pemanfaatan penelitian ini ada dua hal yang sangat penting, baik secara teoritis maupun secara praktis antara lain sebagai berikut: 1. Secara teoritis Merupakan bahan untuk penelitian lebih lanjut, baik sebagai bahan dasar maupun bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan rumusan dalam penelitian ini dan memberikan sumbangan pemikiran hukum khususnya dalam bidang hukum perdagangan Internasional. 2. Secara praktis Memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum, negara dan pemerintah khususnya Sumatera Utara akan pentingnya mengkaji lebih dalam lagi mengenai kebijakan pemerintah melindungi industri dalam negeri terkait dengan pelaksanaan perdagangan internasional, selanjutnya memahami ketantuan diperbolehkannya perdagangan regional serta mengetahui faktor-faktor yang menjadi tantangan sekaligus peluang pemerintah, khususnya pemerintah Sumatera Utara dengan diterapkannya perdagangan AFTA-China. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran (studi kepustakaan) dibeberapa perpustakaan yang dilakukan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya, khususnya di lingkungan Program Studi Ilmu Hukum, LPPM Universitas Muslim Nusantara Al-washliyah juga di lingkungan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat dan tidak ada penelitian yang benar-benar percis sama dengan penelitian yang penulis lakukan, dan kalaupun ada, peneliti yang terdahulu membahas terkait dengan tema atau judul yang diangkat, tentunya dari segi judul, meteri, substansi, objek penelitian dan permasalahan serta pengkajian dalam penelitiannya berbeda sama sekali. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini dapat dipertanggung jawabkan secara jujur, secara akademis dan secara ilmiah. F. Target Luaran yang Ingin dicapai Ada 4 (empat) poin target luaran yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah yaitu: 1) Bahwa untuk melindungi industri dalam negeri (produk lokal) pemerintah harus melakukan kebijakan dan kebijakan pemerintah tersebut haarus sesuai dengan prinsip keadilan dan harus benar-benar merupakan target utama yang diperlukan untuk mengantisifasi dan melindungi terhadap dampak negatif dari pelaksanaan kesepakatan perdagangan AFTA-China di Indonesia. 2) Bahwa para pelaku kegiatan ekonomi (pelaku usaha) yang terlibat dalam kerja sama perdagangan bebas internasional khususnya dalam kesepakatan perdagangan regional AFTA-China wajib mematuhi aturan-aturan yang sudah ditetapkan dan tetap mengarah kepada ketentuan WTO secara multilateral. Sehingga dalam proses kegiatan ekonomi (perdagangan) tersebut khususnya para pelaku usaha hendaaknya tetap berlaku adil dan jujur. 3) Bahwa pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah Sumatera Utara harus memanfaatkan perdagangan bebas ini sebagai motivasi dan peluang untuk mengembangkan dan memajukan perekonomian Indonesia, khususnya perekonomian Sumatera Utara, bukan sebaliknya, pemerintah jangan pesimis atau tidak boleh takut terhadap perdagangan bebas AFTA-China ini, dengan kata lain Indonesia, khususnya Sumatera Utara harus optimis serta bisa memanfaatkan dampak positif dari terlaksananya perdagangan AFTA-China. 4) Bahwa hasil penelitian ini semoga dapat dimuat dalam jurnal, Insya Allah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Teori Kebijakan Menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi Tentang Hukum” pengertian teori adalah kaseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling berkaitan.16 Tentunya terfokus pada teori hukum yang menjadi kajian atau analisis hukum normatif. 17 Sedangkan pengertian “kebijakan” istilah lainnya adalah “policy” disebut sebagai “wisdom”, dalam arti kebijakan atau kearifan adalah pemikiran-pemikiran/pertimbangan yang mendalam untuk menjadi dasar (landasan) bagi perumusan kebijakan, dan kebijakan ini dalam arti “Kebijakan Publik”. Kebijakan menurut Thomas R. Dye adalah sebagai pilihan pemerintah untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat” (to do or not to do). Carl J. Friendrich juga menyebutkan bahwa kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan- 16 M.Solly Lubis, (modul) Teori Hukum, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2006), hal 3. Lihat juga B.Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, dan Filsafat Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2008), hal. 31. 17 Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Teori) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi UndangUndang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup, 2009, hal. 17. hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.18 Selanjutnya Amara Raksasataya mendefinisikan bahwa kebijakan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada 3 (tiga) unsur dalam kebijakan menurut Amara: 1. Identifikasi tujuan yang akan dicapai 2. Strategi untuk mencapainya 3. Penyediaan beberapa input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaannya. Menganalisa dari beberapa pengertian dan defenisi kebijakan tersebut, maka ada tiga konotasi yang terkait dengan istilah kebijakan publik, khususnya kata “publik” yaitu: (1). Pemerintah, (2). Masyarakat, dan (3).Umum. Ini tercermin, kata Said, dalam dimensi “subjek, objek dan lingkungan” dari kebijakan itu.19 Adapun kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini hanya terfokus kepada poin pertama “Kebijakan Pemerintah” saja, yakni dimensi subjek yang ditandai oleh adanya kebijakan dari pemerintah, maka dikatakan bahwa salah satu ciri kebijakan itu adalah “what government do or not to do”. Dengan demikian kebijakan publik itu merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat. Jika suatu pemerintah negara melakukan pelayanan dengan berorientasi kepada public interest atau public needs, maka yang harus 18 19 M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung : Mandar Maju, 2007), hal. 7 Ibid, hal. 8. dipikirkan oleh pemerintah itu adalah “How to serve the public” ?, bagaimana untuk melayani masyarakat ?, sehingga pemerintah tersebut bertindak sebagai “public sevant” pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan public service (layanan Publik).20 Hal ini bisa dilihat pada tataran negara Indonesia pada tahun 1999, yakni disaat arus politik gerakan reformasi mulai bergelora, MPR RI, sebagai Lembaga Negara Tertinggi menetapkan GBHN (Broadlines of the State Policy), sebagai induk kebijakan public (public policy), yang bermuatan luas meliputi semua bidang dan sektor pembangunan nasional, termasuk bidang hukum yang kemudian berlanjut dengan rincian rencana pelaksanaanya dengan konsep Repelita (Rencana Pembangunan Nasional Lima Tahun).21 Kalau dulu keseluruhan garis kebijakan (state policy) itu dituangkan dalam GBHN, maka sekarang melalui RPJPN, RPJMN, untuk skala nasional disusul RPJPD dan RPJMD untuk skala Daerah.22 Oleh karena itu kebijakan pembangunan dibidang perdagangan dipusatkan bagi terciptanya kerangka landasan perdagangan yang memungkinkan bidang ini menunjang pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Peranan perdagangan dalam pembangunan pada akhirnya dapat dilihat dari seberapa besar sumbangannya dalam pembangunan dalam menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Keberhasilan dibidang perdagangan dalam upaya meningkatkan ekspor sangat penting bagi 20 Ibid, hal. 9 M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah ke80 Prof. M. Solly Lubis, (Medan: PT. Sofmedia, 2010), hal. 60. 22 Ibid, hal. 73 21 tercapainya pembangunan nasional secara keseluruhan, maka dari aspek inilah terdapat keterkaitan erat antara ekspor dengan pembangunan ekonomi.23 2. Teori Perdagangan Bebas Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran serta teori yang akan menjadi dasar kerangka bagi penelitian ini yang awalnya lahir dari adanya hubungan-hubungan internasional baik secara bilateral, regional maupun multilateral tentunya dengan prinsip-prinsip dan asas-asas yang berlaku dalam ketentuan-ketentuan hukum internasional dan selanjutnya menjadi teori hukum internasional. Adapun teori tentang perdagangan bebas yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Adam Smith (1723-1790), seorang guru besar dibidang Filosofi moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus juga dikenal sebagai ahli teori hukum, bapak ekonomi modern,24 telah melahirkan teori keadilan (justice), bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian “the end of justice is to secure from injure” yang berawal dari persepektif kapitalisme klasik terhadap perdagangan bebas internasional didasarkan pada prinsip laissez faire dalam karyanya yang sangat terkenal An Inquiry to the Nature and Causes of the Wealth Natio. Awalnya kapitalisme dianggap cukup atraktif dimana versi Adam Smith ini diyakini akan mampu memberikan kesejahteraan kepada mayarakat. Dalam The Wealth of Nation Smith juga mendiskripsikan bahwa sistem harga akan 23 Administrator, Tinjauan Efektifitas implementasi Perjanjian ACFTA Bagi Perekonomian Indonesia, http://accountry.blogspot.com/2011/02 tinjauan-efektifitas-implementasi.html. terakhir diakses pada tanggal 25 Mei 2011. 24 Bismar Nasution, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 4. bekerja dan bagaimana ekonomi yang bebas dan berkopetensi akan berfungsi tanpa ada campur tangan pemerintah melalui pengalokasian sumber daya dengan cara yang efesien. Smith juga mendiskripsikan pandangan laissez faire atau prinsip bebas melakukan apa saja, bahwa berbagai transaksi ekonomi yang independen akan terdapat harmoni alamiah di mana manusia mencari pekerjaan, produsen menghasilkan barang, konsumen membelanjakan penghasilannya untuk membeli produk yang berdasarkan pilihan masing-masing.25 Adam Smith percaya bahwa kepentingan pribadi tidak boleh dikekang oleh negara. Lebih jauh dikatakan bahwa selama pasar bebas bersaing, tindakan individu yang didorong oleh kepentingan diri akan berjalan bersama dengan kebutuhan bersama khalayak ramai. Sebagaimana diuraikan Smith bahwa bila dalam transaksi dengan orang lain setiap individu bebas mengejar kepentingannya sendiri, maka bukan hanya individu itu yang beruntung, akan tetapi juga seluruh masyarakat.26 Meskipun tidak setuju dengan campur tangan pemerintah, akan tetapi seperti diuraikan Smith tersebut, peran negara tidak hilang sama sekali, hanya dikurangi sampai tingkat minimal. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah punya tugas yang amat sangat penting dan yang begitu luas serta jelas bagi pemahaman 25 Ningrum Natasya Sirait, Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Internasional, disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum, diucapkan dihadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, pada tanggal 2 September, 2006. 26 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal : Studi kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Inverstasi Multilateral, (Medan: Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pascasarjana, 2005), hal.191. dan lihat juga dalam “Adam Smith ,Teori Adam Smith, http://www.nytimes.com/2006/06/26/business/26endbuffet.html?ex=1308974400&en=1a8df7bb4f340d38&ei=5088&partner=rssnyt&emc=rss, diakses pada 7 Maret 2011. umum. Pertama tugas untuk melindungi masyarakat dari kekarasan dan serbuan negara lain. Untuk melindungi sejauh mungkin setiap warga negara dari ketidakadilan dan pemaksaan/pemerasan yang dilakukan oleh warga lain, atau tugas menyelenggarakan secermat mungkin tata keadilan.27 Smith juga mengajarkan bahwa perdagangan bebas akan dengan sendirinya menciptakan international devision of labour (pembagian kerja internasional) yang saling menguntungkan, di mana masing-masing negara akan mengekspor barang maupun jasa ke pasar internasional yang dianggap paling menguntungkan dari segi biaya produksi maupun jasa ke pasar internasional.28 Namun pada prinsipnya mengenai sistem perdagangan bebas ini juga dikembangkan oleh John Meynard Keynes bahwa sistem perdagangan bebas ini adalah sistem ekonomi kapitalis yang terkontrol melalui campur tangan negara.29 Artinya Keynes menyatakan bahwa perlunya campur tangan pemerintah dan pendanaan langsung dari pemerintah untuk menanggulangi kemerosotan investasi swasta dan daya beli demi untuk merangsang pemulihan ekonomi. Anjuran Keynes ini memunculkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dan membawa perubahan bahwa campur tangan negara dalam masyarakat sangat mengubah pekerjaan yang bisa dilakukan oleh hukum tradisional,30 dimana peran 27 Ibid, hal. 194 Bob s. Hadiwinata dan Aknolt K. Pakpahan, Fair Trade Gerakan Perdagangan Alternatif, (Bandung: Pustaka belajar Oxfam, 2004), hal. 2. 29 Ida susanti dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dalam Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 14. Lihat juga dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/22/opini/2068215.htm, diakses pada tanggal 7 Maret 2011. 30 Satjipto Rahardjo,SH, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, (Mataram: Genta Publishing, 2009), hal. 27. 28 negara yang besar diakui tidak saja untuk menjamin keamanan internal dan ekternal, akan tetapi lebih jauh bertanggung jawab atas sejumlah besar ketidakadilan. Negara harus mengambil peran dalam penghapusan ketidakadilan tersebut dari sistem yang ada melalui sejumlah intervensi ekonomi dan sosial.31 Salah satu bentuk intervensi dalam konteks hukum adalah keadilan, dan tentunya tidak terlepas dari ketentuan yang mengatur perdagangan bebas termasuk prinsip-prinsip perdagangan yang tertuang dalam ketentuan WTO, bahwa perdagangan bebas bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan hambatan non-bea di lingkaran ASEAN dalam AFTA untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antara negara anggota ASEAN juga untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antara negara ASEAN guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN dimana hal tersebut sangat penting bagi pencapaian stabilitas dan kemakmuran di kawasan. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Jhon Rawls dalam teori keadilannya (theory of justice), bahwa keadilan adalah sebagai suatu kejujuran dan kesetaraan ( justice as fairness),32 yaitu memberikan keuntungan terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan serta membuka kesempatan yang fair. Keadilan sebagai konsep yang didasarkan pada asas persamaan dan ketidaksamaan ( equality and inequality) dimana nilai-nilai sosial, kebebasan dan kesempatan, 31 Mahmul Siregar, Buku 1, Op. Cit., hal. 197 John Rawls, A Theory of Justice Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3. 32 pendapatan dan kemakmuran berdasarkan self respect harus didistribusikan sesama.33 Namun demikian ketidaksamaan distribusi kemakmuran diperkenankan selama hal tersebut untuk memberikan kebaikan kepada setiap orang. Dengan kata lain, inequalities diperkenankan sepanjang everyone”s position be improved. Teori keadilan Jhon Rawls (Rawlsian) yang juga dinamakan sebagai contract theory mengandung maksud bahwa keadilan dalam konteks atau situasi kontraktual dan prinsip timbal balik (reciprocity) yang merupakan salah satu prinsip terkait hubungan dalam perdagangan internasional serta karakter hukum internasional bercirikan suatu sistem hukum yang sifatnya horizontal (horizontal legal system).34 Konsep keadilan internasional Rawls digambarkan kedalam konteks hukum internasional dan dapat diaplikasikan dalam hal perdebatan melalui negosiasi pengadaan harus terhindar dari unsur manipulasi, dominasi, tekanan terhadap kelompok inferior yang selanjutnya dinamakan kriteria resiprositas juga melahirkan ketegangan internal dalam teori liberal itu sendiri yaitu adanya tensi antara teori keadilan perdagangan utilitarian dan liberatarian. Pertama, bahwa perdagangan internasional yang harus dikontruksi untuk perlindungan kesamaan moral (morality equality) dari semua individu yang dikenakan aturan. Kedua, keadilan dalam pandangan liberal memerlukan hukum perdagangan internasional 33 Ade Manan Suherman, “Perdagangan bebas (Free Trade) Dalam Perspektif Keadilan Internasional”, (Jurnal Hukum, Vol. 5, No. 2, 2008), hal.252. Lihat juga dalam http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/520825126.pdf, diakses pada tanggal 17 Maret 2011 34 Ibid, hal. 253. yang berlaku dan menguntungkan negara yang kurang beruntung. Ketiga, bahwa keadilan liberal memasyarakatkan hukum internasional yang tidak mengorbankan hak asasi manusia dan perlindungan efektif terhadap hak asasi manusia untuk mencapai kesejahteraan (welfare gains), keadilan adalah suatu cita-cita dari segala kepentingan hukum perdagangan internasional tidak lain adalah “keadilan”. Maka keadilan dalam pandangan internasional memerlukan komitmen terhadap perdagangan bebas sebagai elemen fundamental dari hubungan perekonomian yang adil, artinya bahwa prinsip dasar perdagangan bebas tetap menelaah dari aturan-aturan dasar yang terdapat dalam GATT 1994 dan didukung dengan pendapat para ahli hukum khususnya hukum internasional. Dengan demikian pada dasarnya prinsip liberalisasi perdagangan internasional menganggap semua pihak sama kedudukannya dan dalam prinsip ini tersirat prinsip persaingan yang bebas melalui kesempatan yang sama misalnya perdagangan baik secara bilateral maupun regional tetap ketentuannya dalam kerangka WTO dan dengan bergabungnya China dalam AFTA terkait WTO, maka negara-negara berkembang memiliki suara yang lebih berpengaruh pada satu pihak, walaupun terdapat kepentingan China dan kepentingan dari negara-negara berkembang lainnya tidak sepenuhnya berjalan seiring. Selanjutnya mengenai uraian teori di atas tersebut adalah akan menjadi pisau analis untuk membuktikan bahwa norma-norma hukum internasional yang terkait dengan judul penelitian yaitu “Analisa Hukum Mengenai kebijakan pemerintah melindungi industri dalam negeri terkait dengan kesepakatan perdagangan regional AFTA-China (Studi Deskriptif Analitis Pada Pemerintah Sumatera Utara) ”. Dalam rangka kajian terhadap analisa hukum mengenai kebijakan pemerintah melindungi industri dalam negeri terkait dengan kesepakatan perdagangan AFTA-China tersebut, perlu memperhatikan sebagai mana diamati hasil studi yang dilakukan Burg‟s mengenai hukum dan pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan agar tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictibily), keadilan (fairness), pendidikan (education), dan pengembangan khusus dari sarjana hukum ( the special development abilities of the lawyer).35 Selanjutnya Burg‟s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya ekonomi berfungsi dengan baik. Dalam hal ini “stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingankepentingan yang saling bersaing, dan dalam hukum internasional stabilitas berfungsi untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi persaingan kepentingan antara kelompok negara berkembang dengan kelompok negara maju dengan kapasitas masih dalam lingkup kerangka WTO . Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara36. Hal ini sejalan dengan J.D. Ny. Hart, yang mengemukakan konsep hukum sebagai dasar 35 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International and Policy, Vol.9, 1980), hal. 232, dikutip dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I , (Bandung : Books Terrace & Library, 2009), hal. 37. 36 Ibid. pembangunan ekonomi yaitu predictability, procedural capability, codification of goals, education, balance, definition and clarity of status serta accommodation.37 Aspek keadilan “fairness” adalah ukuran yang menyeimbangkan kepentingan-kepentingan lembaga WTO di satu pihak, dengan kepentingan masyarakat di negara-negara berkembang di pihak lainnya, terutama yang berkenaan dengan hubungan-hubungan internasional, contoh dalam kesepakatan perdagangan bebas internasional AFTA-China dan setiap problema perdagangan yang timbul sebagai akibat perjanjian dalam kerangka WTO harus benar-benar diselesaikan dengan ketentuan atau norma-norma hukum internasional. Keadilan yang diharapkan dari perdagangan bebas AFTA-China ini adalah memperoleh keuntungan yang besar bagi semua negara anggota khususnya AFTAChina dengan tidak membedakan antara negara-negara maju dengan negaranegara berkembang. Kaitannya dengan perdagangan, dalam bentuk apapun ada kelompok besar dan kelompok kecil yang terlibat dalam kegiatan dagang atau pelaku usaha. Keadilan yang diharapkan dalam hal ini, ketika keduanya bersatu harus berdasarkan prinsip kesetaraan tanpa harus menghilangkan perbedaanperbedaan tersebut. Dengan kata lain, nilai dasar yang hendak dicari dan diperoleh oleh berbagai peraturan hukum adalah keadilan. Masyarakat ASEAN khususnya yang tergabung dalam AFTA-China merasakan, bahwa keadilan tercapai apabila seseorang yang tidak bersalah tidak dikenakan hukuman, juga dirasakan adil jika seorang kreditur dilindungi haknya untuk mendapatkan kembali uangnya dari 37 J.D.Ny. Hart, “ The Rule of Law in Economic Development” dikutip dalam Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995), hal. 365-367. sidebitur. Keadilan tercermin pula apabila negara yang sudah cukup memiliki modal, mengalirkan modalnya ke negara yang kekurangan modal.38 Jelas, bahwa semua sistem hukum ASEAN mempunyai persamaan yang besar dan mendasar adalah sama-sama mencari keadilan yang benar-benar adil, seperti yang dicita-citakan orang cerdik pandai Aristotels, Adam Smith, John Rawls dan lain-lainnya yang tidak disebutkan dalam tulisan penelitian ini, tentunya mereka banyak mengajukan analisis tentang keadilan.39 Artinya jika dikaitkan dalam perdagangan AFTA-China, Indonesia dan China tentunya terdapat perbedaan, misalnya produk China terkenal dengan harga murah dan relatif bagus sehingga dapat bersaing dengan produk lokal. Namun harga saja bukan faktor yang menentukan konsumen untuk membeli. Oleh karena itu, sebaiknya konsumen juga harus memperhatikan kualitas, purna jual, pelayanan, dan faktor-faktor lainnya. Maka ada baiknya keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh 4P yaitu Product atau produk, Price atau harga, Place atau distribusi, dan Promotion atau promosi, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut jangan dihilangkan, artinya penentuan untuk membeli ada pada pihak konsumen. B. Konsepsi Kerangka konsepsional ini penting untuk dirumuskan agar tidak tersesat kepemahaman yang lain di luar maksud penulis dalam penelitian ini. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur 38 39 Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, ( Jakarta: Buku Kompas, 2006), hal. 42. Ibid, hal. 43 lainnya seperti asas dan standart. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu inti sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Adapun konsep yang dimaksud pada penelitian ini antara lain: 1. Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain. 2. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemrintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum Publik.40 Perjanjian Internasional dalam hal ini adalah Asean-China Free Trade Agreement. 40 Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri ,dan pasal 1 butir 1 UU No. 24 tahun 2000 tentang “Perjanjian Internasional”. Lihat juga I Wayan Parthiana. Hukum Perjanjian Internasional ,bag.I, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 12. 3. Perdagangan bebas adalah masuknya barang dan jasa dari satu unsur ke unsur lain tanpa dikenai tarif, dan merupakan sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonizet Commodity Deskription and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization. Dengan kata lain perdagangan bebas disebut juga sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antara individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. 4. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang bersifat lintas batas yang dilintasi oleh negara dalam suatu perdagangan internasional yang sering dibatasi oleh berbagai pajak negara. 5. Kebijakan pemerintah adalah suatu kearifan atau seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik termasuk pemerintah dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. 6. Industri Dalam Negeri adalah suatu industri atau perusahaan (pabrik) yang menghasilkan barang-barang dalam negeri secara domestik. 7. ACFTA (Asean China Free Trade Agreement) atau juga dikenal dengan AFTA-China adalah perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN yang tergabung dalam AFTA dengan China. C. Pengertian Perdagangan Regional Mengenai istilah regional sebenarnya sudah tercakup dalam katagori istilah kesepakatan atau perjanjian internasional dengan konsep bilateral, regional dan multilateral. Konsep ini banyak ditemui dalam hukum internasional dan pada prinsipnya hukum internasional lebih banyak mengatur hubungan-hubungan yang sifatnya lintas batas dibidang hukum publik, bukan hukum perdata.41 Dalam ruang lingkup hukum internasional yakni hukum yang mengatur hubungan antar negara.42 Namun demikian ada baiknya pengertian tersebut dijelaskan secara harfiah. Menurut kamus hukum, pengertian bilateral 43 adalah timbal balik, dan dilakukan oleh kedua belah pihak. Sedangkan kesepakatan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lain atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Artinya apabila dua orang mengadakan kata sepakat (konsensus) tentang sesuatu hal, maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian dan akibat perjanjian ini adalah terikat pada isi perjanjian. 44 Hal ini disebut dengan Pacta Sunt Servanda yaitu bahwa perjanjian adalah mengikat, ditaati, ditepati, serta menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Dengan kata lain kesepakatan (perjanjian) yang diadakan hanya dua negara disebut dengan perjanjian bilateral. 41 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Edisi Revisi, (Bandung : Refika Aditama, 2010), hal. 172. 42 Peter de cruz, Perbandingan Sistem Hukum Comman Law, civil law dan/socialist law, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 35. 43 Rahmad A. dan M. Halimi, Tata Negara Penuntun Belajar, (Bandung: Ganeca Exxact, 1996), hal. 273. Lihat juga J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 20. 44 Lihat pasal 1313 KUHperdata Sedangkan kesepakatan multilateral adalah kesepakatan yang diadakan oleh para pihak dengan jumlah negara yang sangat banyak. Maka dalam hal penulisan ini objek penelitian yang akan dianalisa hanya terfokus pada kesepakatan atau perjanjian regional saja. Regional adalah daerah, satu daerah, mengandung arti kedaerahan atau bersifat daerah.45 Sedangkan regionalisme atau regionalism‟ adalah paham untuk mengadakan kerja sama antara negara-negara di satu kawasan misalnya negaranegara di kawasan ASEAN.46 Maka dengan demikian regional mengandung dua pengertian antara lain; a. Daerah-daerah dalam suatu negara tertentu. b. Daerah-daerah atau wilayah dalam satu kawasan tertentu (misalnya negaranegara di kawasan Asia). Dalam studi hubungan internasional, regionalisme memiliki irisan studi yang sangat erat dengan studi kawasan atau Area Studies. Bahkan dalam aplikasi analisis istilah regionalisme atau kawasan sering kali tumpang tindih. Oleh karena itu defenisi regionalisme akan banyak mengambil dari definisi yang berkembang dalam studi kawasan. Menurut Mansbaach, regional adalah pengelompokan regional diidentifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan 45 ekonomi yang saling mengutungkan, komunikasi serta J.C.T. Simorangkir, dkk, Op.Cit., hal. 146. C.S.T. kansil, dan Cristine Kansil, Modul Hukum Internasional, (Jakarta: Djambatani, 2002), hal. 233. 46 keikutsertaan dalam organisasi internasional.47 Untuk organisasi regional adalah organisasi kerjasama ekonomi perdagangan yang anggotanya terdiri dari beberapa negara di kawasan wilayah tertentu seperti AFTA, ASEAN, APEC, EFTA, NAFTA, LAFTA dan lain-lain.48 Selanjutnya dengan menganalisa definisi tersebut, maka untuk lebih memahami makna dari regional ada 4 (empat) kriteria yang bisa dipergunakan dalam hal menunjuk sebuah kawasan atau regional yaitu:49 a. Kriteria geografis Artinya mengelompokkan negara berdasarkan lokasinya dalam benua, sub benua, kepulauan dan lain sebagainya seperti Eropa dan Asia. b. Kriteria politik/ militer Artinya pengelompokan negara tersebut dilakukan pada keikutsertaanya dalam berbagai aliansi atau berdasarkan pada orientasi politik, misalnya blok sosialis, blok kapitalis, NATO, dan non blok. c. Kriteria ekonomi yaitu pengelompokan negara-negara tersebut dilakukan berdasarkan pada kriteria terpilah dalam perkembangan pembangunan ekonomi, misalnya output industri, seperti negara-negara industri, negara yang sedang berkembang dan negara yang terbelakang. d. Kriteria transaksional yaitu mengelompokkan negara-negara berdasarkan pada jumlah frekwensi mobilitas penduduk, barang dan jasa, seperti imigran, turis, perdagangan dan berita, contoh Amerika, Kanada, dan Pasar Tunggal Eropa. Dengan demikian peristiwa-peristiwa yang menyangkut peristiwa yang terjadi dalam satu kawasan (regional), jika disebutkan, maka akan dapat mengetahui dikawasan mana peristiwa itu berlangsung, karena telah mengetahui ciri-ciri dari 47 Nuraeni, Deasy Silvya dan Arifin sudirman, Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 1. 48 Handy Hady, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hal. 97. 49 Nuraeni, dkk, Op.Cit., hal. 2. suatu kawasan itu, misalnya batas wilayah, batas idiologis, atau batas wewenang hukum. Sebagai upaya untuk memahami regionalisme, ada 5 (lima) proses berlangsungnya regionalisme yaitu:50 1) Regionalisasi Regionalisasi merujuk pada proses pertumbuhan integrasi societal, integrasi kemasyarakatan, dalam suatu wilayah dalam proses sosial dan ekonomi yang cenderung tidak terarah (undirected). Proses ini bersifat alam dan dengan sendirinya negara-negara yang saling bertetangga, yang secara geografis berdekatan melakukan serangkaian kerjasama guna memahami berbagai kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri. Jadi dengan demikian dalam proses ini ada dua istilah regionalisme yakni, 51 soft regionalism dan transnational regionalism. Soft regionalism, yaitu mengarah kepada otonom meningkatnya derajat interdependensi ekonomi yang lebih tinggi dalam wilayah geografis tertentu. Dorongan yang paling penting dalam proses terbentuknya proses regionalisasi ekonomi berasal dari pasar, arus perdagangan dan investasi pribadi, dan dari kebijakan dan kebutuhan perusahaan-perusahaan, contoh regionalisme di kawasan Asia Fasifik. Terbentuknya regionalisme di kawasaan ini lebih didorong oleh berkembangnya jaringan (network) bisnis regional dan firma-firma trans-nasional. 50 Andre H. Pareira, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 154. 51 Nuraeni, dkk, Op.Cit., hal. 7. Transnasional Regionalism, yaitu mencakup meningkatnya arus mobilitas orangorang, perkembangan jaringan (netwok) sosial yang kompleks dan melalui berbagai saluran dimana ide-ide, sikap-sikap politis dan aliran-aliran pemikiran terbesar dari satu area ke area lain dengan mudah, serta terciptanya satu masyarakat aliansi antar pemerintah, serta munculnya identitas baru, atau mengurangi batas wilayah. 2) Kesadaran dan identitas regional Kesadaran dan identitas regional (regional awareness and identity), semua kawasan dipahami dengan istilah cognitive region yang berarti bahwa, sama halnya dengan bangsa, maka satu kawasan tersebut seperti komunitas masyarakat yang berada pada satu tempat (peta) yang menonjolkan segi-segi tertentu. Artinya sebuah kawasan itu hanyalah pengistilahan terhadap wilayah geografis yang pengelompokannya didasarkan pada ciri-ciri tertentu, dan dengan adanya ciri-ciri tersebut lebih mudah untuk mengenalinya. Proses kesadaran regional menekankan pada bahasa dan retorika, wacana tentang identitas regional, pemahaman umum dan pengertian yang diberikan pada berbagai kegiatan, rasa memiliki pada suatu komunitas atau kelompok tertentu baik melalui faktor internal maupun external. 3) Kerjasama regional antar negara Aktivitas kerjasama regional antar negara (regional interstate co-operation) yang menunjukkan interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi bilateral sampai pembentukan rezim yang dikembangkan untuk memelihara kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai bersama, serta memecahkan masalah bersama terutama yang timbul dari meningkatnya tingkat interdependensi regional. Aktivitas tersebut meliputi negosiasi, konstruksi, kesepakatan, dimana kerjasama tersebut bisa bersifat formal dan informal. 4) Integrasi regional yang didukung negara Untuk integrasi regional yang didukung negara (state promoted regional integration) melibatkan perbuatan kebijakan khusus pemerintah yang disusun untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan-hambatan dalam pertukaran barang, jasa dan orang-orang. Kebijakan-kebijakan tersebut telah melahirkan literatur dalam jumlah yang banyak. 5) Kohesi regional Kombinasi dari keempat proses regionalisme ini mengarah pada terbentuknya unit regional yang kohesif dan terkonsolidasi. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai model termasuk pembentukan organisasi supranasional secara bertahap dalam konteks peningkatan integrasi ekonomi melalui intensitas kerjasama dan pembentukan rezim-rezim atau gabungan dari tradisional dengan supranasional. D. Tinjauan Umum Tentang AFTA ASEAN Free Trade Area selanjutnya disingkat dengan AFTA adalah suatu bentuk kerja sama perdagangan antara ASEAN yang dirumuskan dalam The ASEAN Preferential Trading Arrangements/PTA dan ditandatangani pada tahun 1977, kemudian disempurnakan dalam The Protokol on Improvegents On Extention of Tariff Preferences Under the ASEAN Preferential Trading Arrangemnts/PTA. Pada tahun 1992 dihubungkan dan ditingkatkan dalam kerja sama dibidang ekonomi melalui pembentukan AFTA dan mulai berlaku tahun 1993 dan berlaku sepenuhnya setelah jangka 15 tahun dan dipercepat pada tahun 2003 yang lalu. Awal pembentukan AFTA tidak terlepas dari pembentukan ASEAN pada tahun 1967 yang memberikan kontribusi yang sangat penting dalam menciptakan keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara, sehingga dengan demikian memungkinkan negara-negara ASEAN tersebut dapat melaksanakan pembangunan ekonomi dengan baik. Proses menuju kawasan perdagangan bebas yang ditetapkan selama lebih kurang sepuluh tahun yang dilakukan melalui Common Effective Propential Tariff (CEPT) dimana penurunan tarif komoditi tertentu secara bersama sampai tingkat 0-5 persen, telah terwujud pada tahun 2003 yang lalu. Untuk negara-negara yang bergabung seperti Vietnam tahun 2006 serta Laos dan Myammar tahun 2008. Isi CEPT adalah merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam melaksanakan AFTA. Berdasarkan hasil pertemuan Menteri Perdagangan ASEAN-6 di Singapura tanggal 28 Januari 1992 telah disepakati bahawa untuk melaksanakan penurunan tarif/bea masuk perdagangan antara ASEAN menjadi 0-15 %. Pada KTT ke-4 telah diputuskan bahwa AFTA akan dicapai dalam waktu 15 (lima belas) tahun yaitu terhitung pada 1 Januari 1993- 1 Januari 2008 dan hanya menyangkut produk manufaktur, kemudian dipercepat menjadi 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Produk manufaktur tersebut termasuk dalam barang-barang modal dan produk pertanian yang diproses, serta produk-produk yang berada diluar katagori produk pertanian yang belum diproses juga tercakup dalam program CEPT.52 Persyaratan suatu produk yang dapat diperdagangkan melalui program CEPT apabila produk tersebut memenuhi tiga kriteria yaitu:53 a. Produk tersebut harus terdaftar dalam Inclusion List baik di negara pengekspor maupun pengimpor dan memiliki rentang tarif yang sama yaitu di atas 20 % atau di bawah 20 %. b. Produk tersebut mempunyai program pengurangan tarif yang telah disetujui oleh Dewan AFTA. c. Produk tersebut harus merupakan produk ASEAN yaitu harus memenuhi muatan lokal ASEAN sekurang-kurangnya 40 %. Produk yang telah memiliki tingkat tarif 0-5 % secara otomatis telah memenuhi persyaratan program CEPT dan dengan sendirinya akan menikmati kemudahan-kemudahan yang diberikan program tersebut.54 Tujuan dibentuknya AFTA adalah untuk mengurangi segala hambatan arus transaksi perdagangan dan modal di kawasan ASEAN, juga untuk mempertinggi tingkat pertumbuhan dan memciptakan keunggulan kompetitif kawasan ASEAN yang mengacu kepada ketentuan World Trade Organization (WTO). Selain itu tujuan AFTA yang harus dicapai ialah sebagai berikut:55 1. Untuk meningkatkan keunggulan kompetetif sebagai basis produksi pasar dunia. 52 Hendera Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 246. 53 Ibid, hal. 28. 54 Dibyo Prabowo dan Sonia Wardono, AFTA Suatu Pengantar, (Yogjakarta : BPFE, 2005), hal. 27. 55 Ade Manan, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hal 125. 2. Leberalisasi perdagangan, mengurangi kendala tarif dan non tarif antar negara. 3. Efesinsi produksi dalam meningkatkan daya saing jangka panjang 4. Ekspansi perdagangan intra regional memberikan konsumen di ASEAN lebih pilihan serta kualitas produk tersebut lebih baik. E. Pengertian Industri Dalam Negeri Industri adalah suatu prusahan untuk membuat atau menghasilkan, mengolah serta memproduksi barang-barang baik sebagai barang dagangan maupun lainnya.56 Industri dalam negeri adalah pembuatan atau pengolahan suatu barang yang dibuat dalam negeri. Sedangkan perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum bagi individu atau kelompok, termasuk melindungi industri barang-barang atau produk lokal dalam negeri terkait dari dampak negatif perdagangan bebas internasional regional AFTA-China Dalam artikel 4.1 (c) Safeguards Agreement (SA) diberikan dua kreteria dalam mengidentifikasi “industri dalam negeri” yang terkait. Pertama industri dalam negeri didefinisikan sebagai perudusen yang menghasilkan barang tertentu “serupa” atau “secara langsung tersaingi” dengan barang impor yang diselidiki. Kedua, dalam pengkajian keseriusan serius dapat dilakukan evaluasi terdapat seluruh atau sebagian besar (major proportion), dari industri dalam negeri. 56 Sudarsona, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal. 182. Dalam penentuan industri dalam negeri penekanannya adalah pada angka atau jumlah yang dapat dianggap mewakili industri dalam negeri yang memproduksi barang yang diselidiki. Penyelidikan untuk membuktikan kerugian harus dilakukan terhadap seluruh industri attau hanya sebahagian besar industri saja.57 Mengenai batasan “sebahagian besar” tidak ada pedoman yang jelas dalam artikel yang 4.1 (c) SA tersebut, sehingga dalam penentuannya hanya dapat dilakukan kasus perkasus dan sangat tergantung keadaan tertentu pada penyelidikannya. Bahkan Appalate Body WTO membolehkan dalam pengumpulan data kerugian hanya dari sebagian industri yang masuk dalam kelompok sebahagian besar yang dianggap cukup dan dapat mewakili. Selain itu juga industri dalam negeri dapat diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi dan/atau barang jadi menjadi barang yang siap pakai dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri dalam wilayah dalam republik Indonesia. Dilihat dari sudut hukum positif Indonesia pengaturan mengenai perlindungan industri dalam negeri terkait dengan perdagangan regional AFTA-China diatur dalam Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang Persetujuan Kerangka Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China 57 Tim KPPI, perlindungan Industri Dalam Negeri Melelui Tindakan Safeguard World Trade Organization, (KPPI, 2005), hal. 16. berupa tindakan penyelamatan terhadap industri dalam negeri, juga terdapat dalam beberapa peraturan hukum lainnya. Akan tetapi semua ketentuan ini tetap didasarkan adanya perjanjian atau kesepakatan terlebih dahulu oleh para pihak yang terkait dalam perjanjian (kesepakatan) itu secara internasional. Karena perjanjian internasional adalah salah satu merupakan sumber hukum internasional yang terdapat dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, tepatnya pada sub (a).58 “international convention, wether general or particular, establishing rules expressly recognizet by the contesting States” 58 Lihat I Wayan, Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Mandar Maju, 1990), hal. 149. BAB III METODE PENELITIAN Rangkaian kegiatan penyusunan serta penulisan penelitian ini adalah mengikuti metode penelitian yang ditetapkan dan diterapkan secara umum dalam penulisan karya ilmiah antara sebagai berikut: A. Lokasi Penelitian Adapun yang menjadi lokasi analisis penelitian ini secara umum adalah pada pemerintahan Indonesia yaitu Negara Republik Indonesia. Akan tetapi dalam hal ini penulis melakukan penelitian lebih terfokus khususnya pada pemerintah Sumatera Utara (Studi Deskriptif Analitis). B. Jenis dan Sifat Penelitian Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Yuridis Normatif59 dengan sifat Penelitian adalah deskriptif analitis.60 Maksud dari yuridis normatif adalah penelitian ini dilakukan dengan memfokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif yang terkait dengan Undang-undang mengenai pengaturan perdagangan bebas internasional. Kemudian yang dimaksud dengan deskriptif analitis adalah bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis keadaan atau gejala berupa perdagangan bebas internasional dalam 59 Mahmul Siregar, Buku 1, Op. Cit., hal. 28. Lihat juga Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 35. 60 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), hal. 46. lingkup AFTA-China, baik yang bersifat normatif maupun empiris dengan tujuan untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan dalam isu hukum, seterusnya mencakup atas asas-asas hukum, sistematika hukum, singkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum,61 dan pada prinsipnya tidak lain adalah semua ketentuan-ketentuan mengenai hukum internasional yang terkait dengan materi perdaganganAFTA-China. C. Sumber Data Mengenai bahan-bahan yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier.62 Dimana ketiga bahan hukum ini adalah sebagai data pokok dan dalam hal ini disebut dengan data sekunder, yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan atau ketentuan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis dan terkait di bidang hukum internasional termasuk konvensi-konvensi internasional, kesepakatan atau perjanjian internasional, kovenan-kovenan internasional, dan juga peraturan perundang undangan nasional (Indonesia) antara lain: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar negeri, Keputusaan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 tanggal 15 61 Soerjono Soekanto dan dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal.1 62 Peter Mahmud Marjuki, Op.Cit., hal. 142. Juni 2004 tentang kerja sama perdagangan bebas ACFTA atau “Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Associaton of South East Asian Nations and The People`s Republic of China (Asean-China)”. Keputusan Menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Import barang dalam rangka Early Harvest Package Asean-China Free Trade Area, peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005, Nomor 04/PMK.011/2007, tanggal 25 Januari 2007, Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007, Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Normal Track Asean-China Free Trade Area, b. Bahan hukum skunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer seperti buku-buku teks yang berkaitan dengan materi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan perlindungan industri dalam negeri serta faktor penghambat kebijakan tersebut dan materi tentang kesepakatan AFTA-China, laporan-laporan penelitian, jurnal ilmiah, majalah, koran, situs internet, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, ekonomi dan juga bibliografi kamus bahasa Indonesia, kamus D. Teknik Pengumpulan Data Untuk menperoleh bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini, maka digunakan metode pengumpulan data (bahan hukum) tersebut dengan penelitian kepustakaan (library Research) dan alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan bahan hukum tersebut adalah melalui studi dokumen. E. Analisis Data Semua bahan hukum yang sudah diperoleh baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tersier, dianalisis secara kualitatif. Bahan hukum yang telah diperoleh dibuat sistematikanya sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, kemudian diedit dengan mengkelompokkan, menyusun secara sistematis, dan selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir dari deduktif ke induktif.63 63 Bambang Sunggono, Metode penelitian hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 114. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri Dalam Negeri Terkait dengan Kesepakatan Perdagangan AFTA-China 1. Penentuan Arah dan Prioritas Kebijakan Arah kebijakan adalah salah satu menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Selanjutnya mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.64 Perioritas kebijakan juga merupakan salah satu sasaran utama untuk dicapai dan langkah yang terpenting yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengambil atau memutuskan suatu kebijakan. Maka dalam ketentuan kebijaksanaan (policy) kebijakan adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin terhadap terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau 64 Untuk lebih jelasnya lihat poin 2 dan poin 7 dalam “ GBHN 1999-2004”, (sinar grafika: Jakarta, 1999), hal. 15 dan 16. keadaan yang dikehendaki65. Jadi dalam arti kebijaksanaan, titik beratnya adalah adanya proses pertimbangan untuk menjamin terlaksananya suatu usaha, pencapaian cita-cita atau keinginan yang dicapai tersebut, sehingga menghasilkan suatu bukti kebijakan untuk kepentingan umum yang merobah keadaan untuk yang lebih baik. Untuk menentukan suksesnya percepatan pembangunan Sumatera Utara saat ini juga masa depan terkait dengan penerapan perdagangan bebas dalam kesepakatan regional AFTA-China, maka salah satu arah dan prioritas kebijakan yang akan dilaksanakan adalah pemulihan (recovery) ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mendorong dan memberi arahan kepada setiap daerah untuk secara sungguh-sungguh dan sistematis melaksanakan pemulihan ekonomi guna untuk meningkatkan kesejahteraan raakyat. Selanjutnya juga yang terpenting lagi dalam kegiatan ekonomi (perdagangan) signifikansi ini penegakan masalah supremasi penengakan hukum. supremasi Mengingat hukum dalam perdagangan serta kegiatan ekonomi bisnis lainnya serta juga dalam perwujudan good governance dan clean government, pemulihan dan percepatan semua program kebijakan pembangunan dan peningkatan ekonomi rakyat Indonesia, khususnya Sumatera Utara. 65 Ismed Batu Bara, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, (Citapustaka Media Perintis: Bandung, 2010), hal. 151. 2. Peranan dan Wewenang Pemerintah Dalam Mengambil Kebijakan Pada era globalisasi “era keterbukaan” dewasa ini, siapa yang tidak siap atau siapa yang lemah daya saingnya, maka tidak akan mampu untuk mengikuti peran-peran strategis baik lingkungan skala nasional, skala regional apalagi skala internasional. Justru sebaliknya akan digilas oleh yang siap, yang matng dan yang lebih kuat daya saingnya. Gambaran realita empirik inilah yang tidak bisa untuk dihindarkan oleh pemerintah sebagai penguasa dan juga masyarakat. Dalam konteks dinamika masyarakat yang demikian, kita masih mempunyai ruang lingkup peran yang cukup, tergantung bagaimana untuk mengaktualisasikan potensi tersebut secara maksimal dan kualitatif agar bisa melahirkan peran-peran yang strategis. Di era persaingan internasional yang sangat kompetitif ini, kita perlu untuk mengantisipasi fenomena tersebut, sehingga persoalan kualitas Sumber Daya Manusia menjadi sangat substansial, strategis untuk diperankan karena terminologi, globalisasi persaingan internasional, kualitas Sumber Daya Manusia dan daya saing serta kompetensi menjadi pembicaraan yang sangat menarik. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Provinsi Sumatera Utara perlu reposisi peran dari gerakan politik ke titik tekan penguatan kualitas Sumber Daya Manusia. Maka dalam hal ini peranan pemerintah sangat diharapkan demi terwujudnya perdagangan internasional yang sehat, termasuk perdagangan regional AFTAChina, serta tidak kalah pentingnya otonomi daerah. Artinya dalam ketentuan ini bahwa pemerintah daerah (Sumatera Utara), selain menghadapi beban-beban interen secara lokal dan nasional, dalam kerangka manajemen strategis nasional harus berhadapan dengan tugas-tugas pemerintah baik skala nasional, mapun internasional, yang secara geo-politik strategis pasti melibatkan daerahnya, rakyat dan instansinya yang terkait untuk mendukung realisasi kebijakan pemerintah Indonesia pada umumnya, kebijakan pemerintah sumatera khususnya. Artinya dengan menghubungkan region dan globalnya ada suatu ikatan yaitu perjanjian dan persetujuan (treaties and agreement) yang telah disepakti oleh pemerintah, khususnya pemerintah Sumatera Utara. Karena dengan adanya perjanjian tersebut, merupakan sumber hukum yang mengikat kerja sama yang akan dilaksanakan tersebut. Semua ini tidak tercapai jika tidak mengandalkan potensi nasional yang pada hakikatnya berasal dari potensi yang terdapat di daerah, tentunya wilayah Republik Indonesia, dan daerah Sumatera Utara khususnya. Dalam rangka kebijakan regional dan globalnya seperti perjanjian yang diikuti oleh Indonesia dalam AFTA yang ditandatangai oleh Presiden dan selanjutnya menjadi undang-undang, maka dalam hal ini menjadi tanggung jawab presiden juga DPR, AFTA telah dilaksanakan, termasuk juga dengan perjanjian AFTAChina yang telah disepakati. Namaun dalam pelaksanaan dan kegiatan perdagangan internasional antar ASEAN menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Utara masih belum optimal, keadaan ini terutama dalam komoditi ekspor Sumatera Utara belum mengikuti banyak dikenal di Negara ASEAN, termasuk China. Hal ini disebabkan karena kurangnya promosi dan informasi yang baik, terutama dalam setiap media massa diseluruh Negara khususnya Negara ASEAN, termasuk China. Secara umum perkembangan kebijakan perdagangan Indonesia, sejak terbentuknya WTO tahun 1995, perkembangan perdagangan dunia mengalami pertumbuhan sangat pesat. Jaringan produksi mendunia dan China muncul sebagia kekuatan produksi dan perdagangan yang cukup maju, artinya perubahan pola perdagangan dunia ini ikut mempengaruhi kenerja perdagangan Indonesia, juga Sumatera Utara tetap terkena imbas. Melirik dari hal tersebut, maka kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah seyogianya harus tetap memperhatikan kepentingan domestik (produk Lokal) atau Industri dalam negeri, seperti mutu dan kualitas dan lain sebagainya, sehingga produk dalam negeri tetap dapat bersaing di pasar internasional termasuk China. Secara ringkas mengenai perkembangan kebijakan Indonesia dapat di lihat pada tabel berikut ini: Tabel : 1 Perkembangan kebijakan Perdagangan Indonesia Periode Kebijakan 1948-1966 Ekonomi nasionalis, nasionalisasi perusahaan Belanda 1967-1973 Sedikit Leberalisasi Perdagangan 1974-1981 Substitusi impor, booming komoditas primer dan minyak 1982-sekarang Liberalisasi Perdagangan dan orientasi ekspor Sumber : Nurhemi, kerjasama perdagangan internasional, 2007, diolah 3. Langkah-Langkah Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri Dalam Negeri Terkait AFTA-China Globalisasi yang semakin melanda dunia dengan sistem perdagangan menembus pasar internasional, termasuk perdagangan regional AFTA-China di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, yang tentunya ada kaitan erat dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia (alm.Bapak Soeharto) dalam amanatnya bahwa suka tidak suka, mau tidak mau globalisasi itu tetap datang melanda Indonesia.66 AFTA-China merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakukan Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini, awal Januari 2010 yang lalu mulainya pemberlakuan 66 Ibid, hal 145 mengenai Asean China Free Trade Agreement, sepertinya sudah merupakan perang mutu, harga, kuantitas akan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global China, karena harga barang produksi China relatif murah dan diminati konsumen Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China, misalnya dilihat dari dampak negatif pelaksanaan perdagangan regional AFTA-China terhadap perekonomian di Indonesia antara lain :67 Pertama, serbuan produk asing terutama dari China dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi dalam negeri (produk lokal), padahal sebelum tahun 2009 saja. Indonesia sudah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1 % pada tahun 2004 menjadi 27,9 % pada 2008, dan diproyeksikan lima tahun ke depan penanaman modal disektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebahagian besar dipicu oleh penutupan sentrasentra usaha strategis Industri Kecil Menengah (IKM). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga 5 miliar. Maka 85 % 67 Lihat, http://www.scribd.com/doc/25830743/dampak-ACFTA/terhadap-perekonomianIndonesia, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. diantaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk yang berasal dari China. Kedua, pasar dalam negeri yang dibnajiri oleh produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha alam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importer atau pedagang saja, contoh harga tekstil dan produk tekstil China lebih murah antara 15 % hingga 25 %, sedangkan selisih 5 % saja sudah membuat industri dalam negeri (produk lokal) sudah kewalahan, apalagi lebih dari 5 %. Dalam hal ini tentunya bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup harus bersikap pragmatis banting setir. Ketiga karakter perekonomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah, artinya segalanya tergantung pada ketentuan asing (produk asing) bahkan produk yang kecil-kecil dan produk yang sangat sederhana saja dan produk yang mudah di dalam negeri saja seperti jarum, jamu harus diimpor. Keempat, jika produk-produk yang ada saja di dalam negeri sudah kalah bersaing, begaimana produk Indonesia memiliki kemampuan hebat untuk bersaing di pasar global seperti pasar persaingan ACFTA-China. Jika dilihat dalam perhitngan ekonominya data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke China sejak 2004 hingga 2008 24.95 %, sedangkan tren pertumbuhan ekspor China ke Indonesia mencapai 35,09 % , dalam hal ini tentunya produk asal China membanjiri Indonesia. Kelima, peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan berangsur-angsur merosot dan digantikan dengan impor, dampaknya ketersedian lapangan kerja akan semakin menurun, padahal setiap tahun angkatan kerja baru semakin bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Dengan adanya fenomena ini, Indonesia khususnya Provinsi Sumatera Utara perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu memberi kontribusi positif untuk memperkuat daya saing global, termasuk juga pemerintah harus mempersiapkan kebijakan-kebijakan terkait perdagangan AFTA-China ini seperti berikut ini : a. Kebijakan Secara Umum 1). Safeguard Salah satu keijakan atau langkah-langkah kebijakan yang diberikan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri adalah melalui Tindakan pengamanan (Safeguard) adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau untuk mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural. 2). Subsidi Selain safeguard, kebijakan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri juga termasuk subsidi. Subsidi adalah merupakan kontribusi keuangan oleh pemerintah atau badan publik yang memberikan keuntungan. Perdagangan yang disubsidi hanya diterapkan kepada subsidi yang spesifik yaitu subsidi yang diberikan kepada sebuah perusahaan atau kelompok industri) dan subsidi yang secara luas tidak dianggap spesifik. Subsidi yang dilarang adalah subsidi ekspor yaitu subsidi yang diberikan secara hokum “de yure” atau kenyataan “de facto”, baik secara tunggal atau beberapa kondisi tergantung pada performa ekspor dan subsidi pengganti impor yaitu subsidi yang diberikan secara tunggal atau beberapa kondisi tergantung pada penggunaan barang domestik dari pada barng impor. Agar produksi dalam Negeri khususnya produk lokal dapat ditingkatkan, maka kabijakan pemerintah salah satunya harus memberikan subsidi kepada produsen dalam negeri, terlebih lagi untuk pemerintah Sumut juga harus memberikan kebijakan berpa bantuan mesin-mesin atau peralatan-peralatan yang sifatnya membangun misalnya, kemudian tenaga ahli, pelatihan-pelatihan, keringanan pajak, pasilitas-pasilitas atau sarana dan prasarana, kredit bantuan dan lainlain. 3) Anti Dumping Tindakan dumping adalah menjual barang diluar negeri lebih murah dari pada harga di dalam negeri, atau menjual barang di suatu Negara lebih murah dari pada di Negara lain, atau menjual barang keluar negeri atau lebih rendah dari biaya produksi dan tranformasi, di mana tindakan dumping ini baru melanggar ketentuan perdagangan internasional apabila mengakibatkan injury kepada produksi dalam negeri.68 Dengan kata lain dumping diartikan sebagai salah satu cara menjual suatu komoditi di luar negeri dengan harga yang murah dibandingkan dengan harga jual di dalam negeri. Namun pelaksanaan dumping dalam praktek perdagangan internasional dianggap sebagai tindakan yang tidak terpuji “Unfair Trade” yang tentunya dapat merugikan Negara lain. 4). Mencintai Produk Dalam Negeri/SNI Masyarakat secara nasionalisme harus mencintai buatan dalam negeri, atau dengan kata lain setiap konsumen wajib memiliki barangbarang yang dibutuhkannnya dengan membeli produk dalam negeri atau produk lokal sendiri atau juga dengan standar nasional Indonesia. Karena dengan adanya komsumen yang mencintai produk sendiri 68 Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, (Jakarta : lembaga Studi Hukum fakultas Hukum Universitas Indonesia, cetakan 1, 2011), hal. 32. Lihar juga sukarmi, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Malang : Sinar Grafika, 2002), hal. 25. (produk dalam lokal), ketentuan semacam ini akan membatasi impor dari Negara lain terutama dari Negara China. b. Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara Setiap Negara mempunyai kebijakan-kebijakan tersendiri untuk melindungi perekonomian dalam negeri masing-masing dari dampak negatif persaingan yang ditimbulkan dalam perdagangan interasional. Perdagangan internasional memungkinkan masuknya barang-barang dan jasa-jasa dari luar negeri ke dalam negeri. Jika barang dan jasa dari luar negeri lebih banyak dan lebih diminati oleh masyarakat (dibidang produk luar negeri tersebut), maka dalam hal ini akan berdampak buruk bagi perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat suatu kebijakan perdagangan internasional,69 tanpa terkecuali pemerintah secara lingkup kecil dalam hal ini pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga mempunya kebijakan-kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri (produk lokal Sumatera Utara) dari dampak negatif perdagangan internasional seperti perdagangan regional AFTA-China ini. Kebijakan tersebut, memang disatu sisi dapat menguntungkan suatu Negara, akan tetapi sekaligus juga dapat merugikan merugikan Negara lain. Oleh karena itu disebut juga sebagai hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional. Dalam hal perdagangan bebas, 69 Lihat dalam ardiyan sarutobi.blgspot.com.2010/h/kebijakan-perdaganganinternasional.html, dan terakhir diakses pada tanggal 11 Nopember 2012. hambatan-hambatan tersebut sangat kecil, bahkan sama sekali tidak ada,70 misalnya seperti tarif bea masuk. Untuk tarif bea masuk ini pemerintah menetapkan kebijakan bahwa setiap barang yang diimpor harus membayar pajak, ketentuan ini dikenal sebagai tarif bea masuk, termasuk juga anti dumping, safeguard, dan subsidi. Selain ketentuan dan kebijakan yang diterapkan kepada konsumen bahwa konsumen senatiasa tetap mencintai produk-produk dalam negeri atau juga konsomen harus mengutamakan produk yang mempunyai Standart Nasional Indonesia (SNI). Ada beberapa Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara untuk meningkatkan daya saing produk lokal, khususnya Sumatera Utara agar tetap eksis dalam persaiangan pemerintah bebas internasional memberikan bantuan AFTA-China alat-alat ini, kepada misalnya pengusaha- pengusaha lokal, kemudian memberikan pelatihan-pelatihan seperti sektor, pembukuan, kemasan dan pemasaran. Selanjutnya pemerintah Sumut juga memberikan kabijakan modal bergulir pada UKM-UKM lokal dengan pinjaman atau modal yang diberikan tersebut tetap dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh pemohon. 70 Ibid. B. Pengaturan Kesepakatan Perdagangan Regional dalam Ketentuan Perdagangan Internasional 1. Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional dalam WTO Pengaturan perdagangan regional (Regional Trading Arrangements) dimana satu kelompok negara sepakat untuk menghilangkan atau mengurangi rintangan-rintangan terhadap import dari sesama anggotanya dan telah berlangsung dibeberapa negara regional dunia, seperti European Union dengan pasar tunggalnya, ASEAN dengan AFTA-nya dan lain-lain GATT. Dalam Pasal 24 GATT dijelaskan bahwa mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang ekonomi melalui perdagangan yang lebih bebas, yaitu mengakui pengelompokan-pengelompokan regional sebagai suatu pengecualian dan aturan umum klausul prinsip umum MFN,71 dengan syarat dipenuhi ktriteriakriteria tertentu secara ketat. Ketentuan GATT dimaksud agar pengaturan regional memudahkan perdagangan diantara negara-negara yang bersangkutan, tanpa menimbulkan hambatan terhadap perdagangan dengan dunia luar. Pengecualian dan aturan klausal MFN ini ada yang ditetapkan dalam pasal GATT sendiri dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan komferensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip tersebut berdasarkan pasal XXV pengecualian dimaksud adalah:72 1. Keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic advantage), tidak boleh dikenakan terhadap anggota GATT, 71 Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Loc. Cit., hal. 25. Hata, Perdagaangan Internasional Dalam system GATT dan WTO:Aspek-aspek Hukum dan non hukum, ( Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 59. 72 2. Perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada seperti kerjasama ekonomi dalam British Commonwelth the French Union (Perancis dengan negara-negara bekas koloninya) , tetap boleh terus dilaksanakan namun tingkat batas prefensinya tidak boleh dinaikkan, 3. Anggota-anggota GATT membentuk suatu Customs Unions atau Free Trade Area harus memenuhi persyaratan pasal XXIV GATT. 4. Pemberian preferensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara-negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas sistem preferensi umum dan juga pengamanan (safeguard rule) yaitu upaya pemerintah untuk melindungi dan memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya. Pada hakikatnya pengelompokan tersebut ada syaratnya, yaitu bahwa pengelompokan harus dibuat dengan maksud agar mendorong perdagangan diantara negara-negara tersebut, tanpa menimbulkan rintangan atau hambatan perdagangan terhadap negara ketiga. Dengan demikian integrasi regional seperti itu harus berfungsi sebagai pelengkap bagi sistem perdagangan multilateral, bukan sebagai ancaman terhadapnya dalam free trade area setiap anggota tetap menjalankan kebijaksanaan perdagangan ekternalnya, termasuk tarif terhadap non anggota. Sedangkan dalam cutom union, negara anggotanya melaksanakan suatu bea tarif yang seragam terhadap bukan negara anggotanya. Ketentuan WTO juga mengatur mengenai pengecualian atas integrasi nasional, Pasal XXIV GATT 1994 (sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Understanding on Article XXIV) dan Pasal V GATS memperbolehkan anggota WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat diantara anggota-anggota tertentu yang membentuk suatu kelompok, Ketika anggota WTO membentuk, sebagai contoh, integrasi kepabeanan (customs union), mereka memberikan perlakuan berbeda yang lebih baik di antara mereka dalam hal perdagangan (seperti penghapusan seluruh bea masuk) yang mana tidak diberikan kepada anggota WTO lainnya yang bukan merupakan bagian dari customs union tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan kewajiban MFN yang terdapat dalam pasal I GATT 1994. Pengecualian atas integrasi regional dapat dijadikan dasar untuk membenarkan suatu tindakan yang melanggar kewajiban MFN tersebut atau kewajiban lainnya dalam kerangka GATT 1994 dan GATS.73 Dalam beberapa tahun terakhir, perjanjian integrasi regional antara anggota WTO semakin berkembang. Saat ini, terdapat sekitar 200 perjanjian perdagangan regional yang berlaku, dan angka ini kemungkinan besar akan berlipat ganda pada tahun-tahun berikutnya. Terdapat suatu kekhawiran besar karena banyaknya customs union dan area perdagangan bebas (free trade areas) (yang pada pada hakekatnya mendiskriminasi anggota WTO yang bukan bagian darinya) menimbulkan ancaman terhadap sistem perdagangan multilateral (yang berdasarkan pada prinsip non-diskriminasi).74 Pasal XXIV GATT 1994 dan Pasal V GATS mengatur persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan pengecualian ini: Pasal XXIV untuk perjanjian integrasi regional yang berkaitan dengan perdagangan barang, dan Pasal V untuk perjanjian integrasi regional yang berkaitan dengan perdagangan jasa, persyaratan dari kedua Pasal tersebut haruslah dipenuhi. Suatu tindakan yang seharusnya dilarang oleh GATT 1994 dapat dibenarkan berdasarkan Pasal XXIV: 5 GATT 1994: 73 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, pengantar Hukum WTO (World Trade Organisation) ,(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. 76. 74 Ibid, a. jika tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pembentukan suatu customs union, suatu area perdagangan bebas, atau suatu perjanjian perdahuluan (interim agreement), yang memenuhi seluruh persyaratan yang diatur dalam ketentuan WTO. b. jika pembentukan customs union atau area perdagangan bebas tersebut akan terhambat, atau tidak dapat dilaksanakan, jika penerapan tindakan tersebut tidak diperkenankan. Anggota WTO dapat memilih antara membentuk suatu area perdagangan bebas atau suatu customs union. Dalam area perdagangan bebas, integrasi yang dilakukan lebih sedikit jika dibandingkan dengan dalam suatu customs union. Perdagangan internal diliberalisasikan dan perdagangan dengan negara ketiga secara bersama-sama diatur, sementara dalam area perdagangan bebas hanya perdagangan internal yang diliberalisasikan. Dalam customs unions dan area perdagangan bebas, dipersyaratkan penghapusan bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya antara anggota customs union atau area perdagangan bebas tersebut harus mencakup seluruh perdagangan secara substansial; dan sebagai akibat dari pembangkitan customs union atau area perdagangan bebas tersebut, perdagangan dengan negara ketiga tidak boleh dibuat lebih sulit atau lebih terhambat. Persyaratan tambahan yang berlaku terhadap customs union; bea masuk dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan perdagangan yang dibelakukan oleh anggota customs union tersebut terhadap perdagangan dengan negara ketiga harus sama secara substansial. Persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh sebuah customs union atau area perdagangan bebas bisa dilihat dalam Pasal XXIV ayat (5) dan (8) GATT 1994 dan the WTO Understanding on the Interpretation of Article XXIV. Ketentuan WTO ini juga mengatur tentang kemungkinan untuk membuat sebuah interim agreement (perjanjian permulaan), atau sebuah perjanjian yang mengarah, dalam priode tertentu, kepada pembentukan sebuah customs union atau area perdagangan bebas. Priode yang diajukan untuk membentuk customs union atau area perdagangan bebas tersebut, haruslah dilakukan dalam reasonable length of time (jangka waktu yang pantas). Menurut Understanding on the Interpretation of Article XXIV, jangka waktu yang pantas ini tidak boleh melebihi sepuluh tahun. Namun dalam kedua pengelompokan ini bea dan pengaturan-pengaturan lain yang mempengaruhi perdagangan dari anggota kelompok dengan nonmembers disyaratkan untuk tidak boleh restriktif daripada yang sebelumnya diterapkan sebelum kelompok itu didirikan. Khusus bagi negara berkembang sekitar dua pertiga negara-negara anggota GATT adalah negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan tersebut, pada tahun 1995, suatu bagian baru yaitu part IV, ditambahkan ke dalam GATT. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong negara-negara industri membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang. Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan dan tidak membolehkan negara-negara maju membuat rintangan baru terhadap ekspor negara-negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan penurunan atau penghilangan tarif daan rintangan lainnya terhadap perdagangan negara-negara berkembang. Pada waktu Putaran Tokyo 1979 berakhir, negara-negara sepakat dan mengeluarkan putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih besar bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia (abling clause). Keputusan tersebut mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku atau bentuk hukum yang permanen dalam sistem perdagangan dunia. Perlakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi negara industri dalam memberikan General System Preference (GSP) kepada negara-negara berkembang.75 2. Perkembangan tentang Pengaturan Perdagangan Bebas dalam Ketentuan AFTA Jika melihat sejarah perkembangan internasional, maka akan terlihat pada awalnya hubungan internasional itu dilakukan secara bilateral. Hubungan ini terjadi karena kedekatan wilayah dan dilakukan berdasarkan motif kepentingan nasional khusus dalam perdagangan. Kesepakatan perdagangan secara bilateral ini dinyatakan belum memberikan hasil yang maksimal dalam hal memajukan anggotanya, karena kebutuhan antara negara yang semakin kompleks. Menguatnya regionalisme pada awal tahun 1960 menarik perhatian negara-negara untuk menguatkan kembali kerjasama regional tentunya dibidang perdagangan. Perkembangan berikutnya adalah mulai bermunculan kesepakatan-kesepakatan atau perjanjian regional dalam perdagangan. 75 Huala Adolf dan Chandrawulan, Op.Cit., hal. 22. Sebelum lahirnya kesepakatan perdagangan regional, dunia internasional telah menyepakati perjanjian internasional multilateral yaitu GATT. Dalam ketentuan GATT sendiri telah mengatur tentang diperbolehkannya pembentukan perjanjian perdagangan regional dengan syarat tidak mengganggu proses liberalisasi perdagangan dan kompetensi bebas.76 Dalam ketentuan kerjasama di antara negara-negara baik secara bilateral maupun regional telah lama berkembang dan makin banyak orang untuk mengadakan kerjasama internasional yang dibentuk setelah usianya perang dunia II. Namun belum semua organisasi-organisasi internasional itu menghimpun negara anggotanya ke dalam bentuk integrasi perekonomian. Ada empat macam tahapan-tahapan atau proses integrasi ekonomi, yaitu sebagai berikut:77 1) Areal perdagangan bebas/free trade area/FTA Yaitu proses integrasi mulai terjadi antara anggota secara interen, sesama negara anggota menghapuskan pemberlakuan tarif (bea cukai), tetapi masingmasing negara anggota tetap memberlakukan tarif sendiri-sendiri dalam perdagangan dengan negara non anggota. 2) Kesatuan pabean/custum union Custum union merupakan kelanjutan dari kawasan perdagangan bebas (FTA). Selain pembebasan tarif sesama anggota, juga terhadap non anggota 76 Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) Dalam Kerangka WTO, Loc.Cit. T. May Rudy, Bisnis Internasional Teori, Aplikasi dan Operasional, (Jakarta: Refika Aditama, 2002), hal. 43. Lihat juga Donald A. Ball, dkk, Bisnis Internasional, (Jakarta: Salemba Empat, 2004), hal. 205, dan Ade Manan Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 158. 77 diperlukan tarif yang sama besarnya, kemudian penggabungan anggota ke dalam kesatuan tunggal dengan satu masalah saja yaitu administrasi bea dan cukai contoh Central America Common Market (CACM). 3) Pasar bersama/commom market Tahap ketiga perkembangan regional dan merupakan lanjutan dari custum union. Negara anggota saling melakukan kebijakan liberalisasi arus faktorfaktor produksi sekaligus menjalankan perdagangan. Dalam hal ini tetap sama dengan custom union ditambah dengan penghapusan segala macam pembatasan terhadap mobilitas faktor (tenaga kerja boleh bekerja di tempat lain). 4). Integrasi ekonomi sepenuhnya/economic union Yaitu merupakan bentuk integrasi yang paling sempurna dan semua negara anggota telah menyatukan serta mengharmonisasikan kebijakan ekonomi nasionalnya dan bahkan diikuti dengan kebijakan sosial. Suatu lembaga Supra Nasional untuk mengatur ekonomi dengan berbagai kaitannya seperti moneter, perpajakan, fiscal, sosial, industri, perdagangan, pertanian dan sebagainya Ada beberapa motif yang dimiliki oleh negara dengan membuat perjanjian perdagangan regional yaitu:78 1. Motif ekonomi, maksudnya adalah bahwa dalam ketentuan motif ekonomi ini merupakan hal yang penting untuk membuka akses pasar, adanya wahana 78 http://ewanksweet.blogspot.com/2010/05/perjanjian -regional-rta-html, terakhir diakses pada tanggal 2 Mei 2011. promosi untuk menciptakan integrasi ekonomi dan fungsi ganda menghilangkan kompetensi dan menerik investasi. 2. Motif politik, yaitu terciptanya keamanan serta perdamaian regional dan kesulitan pengaturan dalam kerangka multilateral. Kedua motif ini adalah merupakan kunci dalam keberhasilan pembentukan perjanjian perdagangan regional. Kesepakatan-kesepakatan atas motif tersebut lebih dapat diakomodasi dalam kerangka regional daripada multilateral. Beberapa kegagalan yang dialami oleh negara-negara dalam perundingan perdagangan multilateral membuktikan bahwa usaha untuk menyelaraskan kepentingan antar negara sangat sulit. Pilihan yang paling regional adalah dengan membentuk perjanjian perdagangan regional karena relatif lebih mudah dan fleksibel. Berkaitan dengan hal tersebut tentunya tipologi dalam perdagangan regional saat ini dibagi menjadi 3 (tiga) katagori yaitu: 1. Area perdagangan bebas (FTA) 2. Penyeragaman cukai (Custom Union) 3. Pembentukan ruang lingkup (Partial Scope Agreement) Tipologi ini sebenarnya sesuai dengan aturan yang terdapat dalam pasal 24 GATT. Pada dasarnya kesepakatan perdagangan regional didasarkan pada pemberian freferensi kepada negara-negara anggotanya. Tujuannnya adalah untuk menghilangkan hambatan perdagangan. Namun apabila diadakan dan dilakukan tanpa batas maka kekhawatiran sebagian pihak bahwa kesepakatan perdagangan regional akan merusak sistem perdagangan multilateral akan terwujud.79 Kekhawatiran tersebut sebenarnya berhasil diselesaikan dengan dikeluarkannya putusan oleh GATT Council on Differential and favourable Traatment (Enabling Clause) pada tahun 1979. Dalam paragraph 2 (1) putusan tersebut ditentukan apabila negara berkembang melakukan tindakan preferensi maka wajib untuk melaksanakan ketentuan GATT tentang MFN. Kesepakatan perdagangan regional tidak hanya meliputi perdagangan barang saja. Dalam General on Trade on Services (GATS) Pasal V juga ditentukan mengenai kebebasan untuk membuat perjanjian perdagangan jasa regional dengan syarat tidak boleh melanggar ketentuan dan prinsip yang diatur dalam GATT 3. Skema CEPT ASEAN merupakan organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang salah satu tujuannya adalah untuk memajukan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Upaya dalam mewujudkan tujuan tersebut, maka ASEAN membentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA) dengan skema CEPT sebagai instrumennya. CEPT merupakan mekanisme untuk melaksanakan AFTA. AFTA melalui CEPT merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. 79 Ibid, Isi CEPT adalah merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam melaksanakan AFTA. Berdasarkan hasil pertemuan Menteri Perdagangan ASEAN-6 di Singapura tanggal 28 Januari 1992 telah disepakati bahawa untuk melaksanakan penurunan tarif/bea masuk perdagangan antara ASEAN menjadi 0-15 %. Pada KTT ke-4 telah diputuskan bahwa AFTA akan dicapai dalam waktu 15 (lima belas) tahun yaitu terhitung pada 1 Januari 1993- 1 Januari 2008 dan hanya menyangkut produk manufaktur, kemudian dipercepat menjadi 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Produk manufaktur tersebut termasuk dalam barang-barang modal dan produk pertanian yang diproses, serta produk-produk yang berada diluar katagori produk pertanian yang belum diproses juga tercakup dalam program CEPT.80 Persyaratan suatu produk yang dapat diperdagangkan melalui program CEPT apabila produk tersebut memenuhi tiga kriteria yaitu:81 a. Produk tersebut harus terdaftar dalam Inclusion List baik di negara pengekspor maupun pengimpor dan memiliki rentang tarif yang sama yaitu di atas 20 % atau di bawah 20 %. b. Produk tersebut mempunyai program pengurangan tarif yang telah disetujui oleh Dewan AFTA. c. Produk tersebut harus merupakan produk ASEAN yaitu harus memenuhi muatan lokal ASEAN sekurang-kurangnya 40 %. 80 Hendera Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 246. 81 Ibid, hal. 28. Produk yang telah memiliki tingkat tarif 0-5 % secara otomatis telah memenuhi persyaratan program CEPT dan dengan sendirinya akan menikmati kemudahan-kemudahan yang diberikan program tersebut. Mengenai produk dalam CEPT diklasifikasikan kedalam empat golongan, yaitu: 82 1. Inclusion List (IL) Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus mengalami leberalisasi secepatnya secara terjadwal dalam penurunan tarif di bawah program CEPT, penghapusan hambatan kuantitatif dan hambatan non tarif. Tarif dari produk ini diturunkan sampai maksimum 20 % pada tahun 1998 dan 0-5 % pada tahun 2002. Sedangkan untuk Negara baru anggota ASEAN dijadwalkan yaitu Vietman 2006, Laos dan Myammar 2008, Kamboja 2010. 2. General Exeption List (GEL) Yaitu daftar produk yang dikecualikan dari program CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting atas alasan perlindungan: keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, hewan atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis. 82 hal. 27. Dibyo Prabowo dan Sonia Wardoyo, AFTA Suatu Pengantar, (Yokyakarta; BPFE, 2005), 3. Temporary Exclution List (TEL) Yaitu daftar yang berisi produk-produk sensitif yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT karena merasa belum siap. Produk TEL barang manufaktur harus dimasukkan ke dalam IL paling lambat paling lambat 1 Januari 2002. Produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati kemudahan tarif CEPT dari negara anggota ASEAN lainnya. Produk TEL tidak ada hubungannya sama sekali dalam produk-produk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions. 4. Sensitif List (SL) Yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products = UAP), dimana: a. Produk pertanian bukan olahan adalah bahan baku pertanian dan bahan baku bukan olahan yang tercakup dalam pos tarif 1-24 dari Harmanized System Code (HS), dan bahan baku pertanian sejenis serta produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos-pos tarif HS. b. Produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk asalnya. 4. Dasar Hukum Perdagangan AFTA-China Dasar hukum perjanjian ACFTA adalah Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of Southeast Asian Nations and the People’s Republic of China, yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Megawati) pada tanggal 4 Novenber 2002 di Phnom Penh, Kamboja,83 dan telah diratifikasi oleh Presiden Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of Southeast Asian Nations and the People’s Republic of China. Ratifikasi perjanjian ACFTA ini secara hukum adalah sah, di mana dalam pasal 11 ayat 3 Undang-undang Dasar NKRI Tahun 1945 disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Sesuai dengan amanah UUD NKRI tahun 1945 tersebut, maka terbitlah undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dengan demikian dasar hukum penandatanganan dan pemberlakuan perjanjian ACFTA mengacu kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tersebut. Selanjutnya dalam pasal 11 UU No. 24 tahun 2000 dinyatakan bahwa perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 dilakukan dengan Keputusan Presiden. Maka dalam konteks pasal 11 ini secara tegas dan meyakinkan bahwa pengesahan perjanjian internasional ACFTA yang termasuk 83 Administrator, Kajian Hukum Mengenai ACFTA, http//www.abdurrahmancenter.com/index.php/artikel/1237-kajian-hukum-acfta, terakhir diakses pada tanggal 11 Mei 2011. katagori perdagangan dilakukan melalui Kepres, sehingga ratifikasi ACFTA adalah sah secara hukum. Kemudian secara berturut-turut terjadi perkembangan negosiasi di mana secara formal ACFTA pertama kali ada pada saat ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism 29 November 2004 di Vientiane, Laos. Kemudian persetujuan Jasa ACFTA ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi, 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand. Oleh karena itu telah disahkannya ACFTA secara formal, maka Indonesia perlu untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal yang diperjanjian dalam ACFTA, dimana pada pokoknya dalam 10 tahun akan dikuatkan kerjasama ekonomi antara China dan Asean dengan melakukan berbagai strategi yang diharapkan dapat menguatkan kerjasama ekonomi tersebut.84 Berkaitan dengan kerjasama ekonomi tersebut, maka ada 7 (tujuh) pokok kesepakatan yang tedapat dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of Southeast Asian Nations and the People’s Republic of China antara lain adalah:85 1. Adanya kesepakatan untuk memfasilitasi akses pasar bagi beberapa buahbuahan tropis (pisang, nenas, rambutan) dan sarang burung walet Indonesia untuk dapat memasuki pasar China. 84 Administrator, Implikasi ACFTA Terhadap Hukum Investasi Di Indonesia, http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/02/implikasi-asean-%E2%80%93-China-free-tradearea-acfta-terhadap-hukum-investasi-di-indonesia, terakhir diakses 12 Mei 2011. 85 Administrator, ACFTA,RI-China Membuat Tujuh Kesepakatan, http://id.co.id/beritaindonesia/ekonomi -dan-keuangan/2602-acfta-ri-china-membuat-tujuh-kesepaktan.html, terakhir pada tanggal 12 April 2011. 2. Adanya kesepakatan untuk membentuk Kelompok Kerja Resolusi Perdagangan (Working Group on Trade Resolution) yang bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan yang lancar dan pembukaan Cabang Bank Mandiri di RRC demi memperkuat hubungan transaksi langsung perbankan. 3. Atas permintaan Indonesia, dalam Pertemuan Komisi Bersama (Joint Commistion Meeting) ini delegasi RRC menyetujui pembukaan Cabang Bank Mandiri tersebut, sehingga akan memperkuat hubungan transaksi perbankan antara kedua negara. 4. Kerjasama antara Lembaga Pembiayaan Ekpor Indonesia (LPEI) dan China Exim Bank, dimana kedua pihak menandatangani perjanjian pinjaman sebesar US$ 100 juta dari CEB kepada LPEI. Saat ini juga LPEI dalam tahap finalisasi MoU dan Industrial dan Commersial Bank of China (ICBC) untuk menyediakan kredit sebanyak US$ 250 juta kepada LPEI. Pinjaman ini digunakan LPEI sebagai fasilitas kredit untuk mendukung perusahaanperusahaan dua negara terkait dengan proyek-proyek perdagangan dan investasi dalam berbagai sektor prioritas yang disetujui termasuk perdagangan, investasi barang modal, proyek infrastruktur, energy dan kostruksi. 5. Adanya kesepakatan untuk memaksimalkan penggunaan Pinjaman Kredit Ekspor Preferensi sebesar US$ 1,8 milliar dan Pinjaman Konsesi Pemerintah sebesar 1,8 RMB untuk dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam mengembangkan berbagai proyek inprastruktur. Proyek yang telah selesai adalah proyek Jembatan Suramadu dan Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Labugan Angin. Sementara Proyek yang masih dalam proses adalah Pembangunan Waduk Jati. Kemudian masih terdapat 6 proyek baru yang telah disetujui oleh kedua belah pihak yaitu, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Parit Baru Kalimantan Barat, pengadaan material untuk jalur sepanjang 1.000 km dan 200 unit turn out yang masih dalam proses pengadaan, serta konstruksi jalan tol antara Medan dan Kuala Namu Sumatera Utara, Jembatan Tayan Kalimantan Barat, pengembangan jalan tol tahap I Cileunyi-SumedangDawuan Jawa Barat, dan Jembatan Kendari Sulawesi Tenggara. 6. Kedua belah pihak telah menyelesaikan Perjanjian Perluasan dan Pendalaman Kerjasama Bilateral Ekonomi dan Perdagangan (Agreement on Expanding and Deepening Bilateral Economic Cooperation) yang akan ditandatangani pada saat kunjungan Perdana Meneteri Wen Jiabao ke Indonesia (masih dalam rencana). 7. Membahas agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening Economic and Trde Cooperation antara lain isinya adalah: a. Deklarasi bersama Indonesia dan RRC mengenai kemitraan srategis yang telah ditandatangani oleh kedua pimpinan negara pada bulan April 2005, dan ini menjadi dasar untuk lebih memperkuat kerjasama perdagangan dan ekonomi kedua negara tersebut. b. Kedua belah pihak akan mengembangkan perspektif strategis dalam mengatsi kepentingan jangka panjang dan membawa hubungan ketingkat yang baru. c. Untuk mencapai tujuan tersebut, perjanjian ACFTA tetap menjadi dasar strategis masing-masing pihak harus penuh pengimplementasikan perjanjian tersebut secara menyeluruh dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. d. Kedua pihak akan menetapkan pertumbuhan perdagangan bilateral yang tinggi dan berkelanjutan, dimana jika terdapat ketidakseimbangan perdagangan, maka pihak yang mengalami surplus perdagangan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan, termasuk mendorong import lebih lanjut dan yang paling penting adalah memberikan dukungan kepada pihak yang mengalami surplus perdagangan tersebut. e. Agereed Minutes ini merupakan upaya untuk menindaklanjuti concern beberapa industri di Indonesia terkait dengan dampak perdagangan ACFTA. Pasca berdirinya perdagangan bebas kawasan tertentu di beberapa wilayah seperti yang dimulai di Uni Eropa, North America Free Trade Area (NAFTA) serta tidak terlepas dari ketentuan WTO (World Trade Organization), trend baru ini kemudian menjadikan meningkatnya Regional Free Trade Area di wilayah lainnnya, termasuk AFTA, ACFTA, APEC dan lain-lain dimana perdagangan bebas regional ini berdiri di akhir tahun 1960-an. 86 Tidak hanya itu, perdagangan bebas menjadi daya tarik sendiri dalam usaha menciptakan pasar bebas lebih luas lagi, sehingga negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Rusia, India, dan Arab Saudi menggandeng kawasan-kawasan agar dapat menjalin kerjasama perdagangan bebas, sebagai basis pasar (market) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi negara anggota. Perdagangan bebas ini menjadi trend di negara-negara besar dalam rangka menyaingi pasar milik AS dan Uni Eropa yang sangat besar.87 86 Administrator, Sekilas Tentang ACFTA, http:// politik.kompasiana.com/2011/01/12/sekilas-tentang-acfta, diakses pada tanggal 28 April 2011. 87 Ibid. Asean-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan sebuah kesepakatan yang dibuat antara negara-negara ASEAN dengan China. ACFTA ini dirancang sebagai kerjasama perdagangan antara kedua belah pihak dengan menghilangkan atau mengurangi batasan-batasan seperti penerapan non tarif, peningkatan akses pasar jasa, penentuan dan ketentuan arus investasi, peningkatan kerjasama ekonomi dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan diantara kedua belah pihak. ACFTA dimulai ketika pada tahun 2001 digelar ASEAN-China Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Pertemuan kelima antara ASEAN dengan China ini menyetujui usulan China untuk membentuk ACFTA dalam waktu 10 tahun. Lima bidang kunci yang disepakati untuk dilakukan kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan Sumber Daya Manusia, investasi antar-negara dan pembangunan di sekitar area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan pertemuan antar Menteri Ekonomi dalam ASEAN-China Summit tahun 2002 di Phnom Penh, Vietnam. Dalam pertemuan ini menyepakati “Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation” (CEC), yang didalamnya termasuk FTA. Sejak pertemuan itulah ACFTA dideklarasikan.88 Kesepakatan CEC dalam pertemuan itu mengandung tiga pilar: liberalisasi, fasilitasi dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi meliputi meliputi perdagangan bebas barang, jasa dan investasi dalam kawasan ACFTA. Dalam 88 Administrator, ACFTA dan Indonesia, http://map.ugm.ac.id/index.php/component/arcile/11-olicy/forum/64.acfta-dan-ind, terakhir diakses pada tanggal 28 April 2011. hal ini juga diberikan differential treatment and flexibility bagi anggotaanggota yang belum berkembang di ASEAN, seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam yang baru akan berlaku pada tahun 2015. CEC juga mengatur mekanisme implementasi, termasuk tata cara penyelesaian sengketa. Sebagai titik awal dari kerjasama ini ialah penandatanganan ASEANChina Comprehensive Economic Cooperation yang ditandatangani pada 6 November 2001 di Bandar Sri Begawan- Brunai Darussalam. Kemudian negara-negara yang terlibat di dalamnya melakukan penandatangan Framework Agreement ASEAN- China Free Trade Agreement yang bergilir dilakukan oleh seluruh anggota ASEAN ataupun China. Kemudian pada 29 November 2004 proses negosiasi pun telah mencapai kata sepakat dengan menandatangani Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement di Vientiane, Laos. Dimana ACFTA ini akan mulai efektif pada 2010 bagi ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Singapura dan Filiphina) dan 2015 bagi ASEAN 4 (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam). 5. Manfaat dan Tujuan Perdagangan Regional Dalam pelaksanaan perdagangan bebas secara regional, tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembanngan dan kemajuan ekonomi, diantaranya adalah: a. Terbukanya akses pasar produk pertanian menjadi 0 % (nol persen) Indonesia ke China pada tahun 2004 b. Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China pada Tahun 2005 yang mendapatkan tambahan 40 % (empat puluh persen) dari Normal Track ( lebih kurang 1880 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menadi 0-5 % (nollima persen) c. Terbukanya ekspor pasar Indonesia ke China pada tahun 2007 yang mendapatkan tambahan 20 % (dua puluh persen) dari Normal Track (lebih kurang 940 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5 % (nol-lima persen) d. Pada tahun 2010, Indonesia memperoleh tambahan akses pasar ekspor ke China sebagai akibat penghapusan seluruh pos tarif dalam Normal Track China e. Sampai tahun 2010 Indonesia akan menghapuskan 93,39 % pos tarif (6.683 pos tarif dari total 7.156 pos tarif yang berada di Normal Track), dan 100 % (seratus persen) pada tahun 2012 Selanjutnya tujuan perdagangan regional khususnya ASEAN-China FTA adalah: a. Memperkuat dan meningkatkan kerja sama ekonomi, perdagangan investasi antara Negara-negara anggota b. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi. c. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara Negaranegara anggota d. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myammar, dan Vietnam-CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara Negaranegara anggota. C. Tantangan dan Peluang Pemerintah Sumut Terkait AFTA-China 1. Sejarah dan Profil Sumatera Utara Sepintas jika dilihat dari aspek sejarah, pada Zaman Pemerintahan Belanda pemerintahan yang bernama “Gauverment Van Sumatera” yang meliputi seluruh Sumatera Sumatera Utara adalah merupakan dan dikepalai oleh seorang Goverenur yang berkedudukan di kota Medan. Provinsi SumateraUtara terdiri dari daerah-daerah Administratif yang dinamakan Keresidenan. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara tetap merupakan satu kesatuan pemerintahan yakni, Provinsi Sumatera Utara dikepalai oleh seorang Gubernur dan terdiri daerah Keresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen. Pada Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) Provinsi Sumatera Utara, mengingat adanya adanya kesulitan-kesulitan tentang perhubungan yang dilihat dari aspek pertahanannya, maka dalam hal ini diputuskan untuk membagi Provinsi Sumatera Utara menjadi tiga sub Provinsi yaitu : a) Sub Provinsi Sunatera Utara, yang terdiri dari keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. b) Sub Provinsi Tengah c) Sub Provinsi Selatan Selanjutnya, tepatnya pada tanggal 7 diundangkanlah Undang-undang Nomor 24 Desember 1956 tahun 1956 tentang Pembentukan Derah Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Sumatera Utara, tepatnya pada pasal 1.89 Jumlah daerah otonomi tingkat II di Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan Undang-undang Darurat nomor 8 1956 tentang Pembentukan Kota-kota Besar, Undang-undang Darurat nomor 9 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Kota-kota kecil serta Perpu tahun 1964 tentang Pembentukan Derah Tingkat II ada 17 (tujuh belas) buah yang terdiri dari: a. 11 (sebelas) Kabupaten, yakni terdiri dari Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Nias, Tapanuli Selatan, Langkat, Karo, Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Labuhan Batu, Dairi 89 Isi pasal 1 tersebut adalah (1). Bahwa daerah Aceh Besar, Aceh Pidie, Aceah Selatan, Kota Besar, Kuta Raja, dipisahkan dari lingkungan daerah otonom Provinsi Sumatera Utara dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 5 tahun 1950 dan dibentuk menjadi daerah yang berhak mengatur dan mengurusi Republik Indonesia Sendiri dengan nama Provinsi Aceh. (2). Bahwa Provinsi Sumatera Utara tersebut dalam ayat (1) yang wilayahnya telah dikurangi dengan bagian yang dibentuk sebagai daerah otonomi Provinsi Aceh tetap disebut Provinsi Sumatera Utara. b. 3 (tiga) Administratif, yakni terdiri dari Padang Sidimpuan, Kiasaran, Rantau Parapat. c. 6 (enam) Kota Madya, yakni terdiri dari Kota Medan, Pematang Siantar, Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai, Kota Binjai, Kota Tebing Tainggi. Letak geografis Provinsi Sumatera Utara adalah antara 10 LU40 LU dan 980 BT – 1000 BT, dengan ketinggian daerah dari permukaan laut tersebut antara 0-1418 M, di mana sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh, sebelah Timur dengan Sumatera Barat, sedangkan sebelah Barat Daya adalah Samudera Hindia. Luas Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680 Km2 (persegi) atau 3,5 % dari luas Indonesia yang terdiri dari pantai Timur dan pantai Barat, dengan dataran tinggi dan dataran rendah. Untuk daerah pantai Timur meliputi Labuhan Batu, Asahan, Tanjung Balai, Tebing Tinggi, Deli Serdang, Medan, Langkat dan Binjai. Selanjutnya daerah pantai Barat meliputi Nias, Tapanuli Utara, Dairi, Karo, Simalungun, dan Pematang Siantar, dimana suhu udaranya rata-rata berkisar 150 C320 C dan kelembaban udaranya rata-rata berkisar 83 %-89 %. Selain itu juga dataran rendah pantai Timur merupakan daerah pertanian dan perkebunan yang sangat luas dan memiliki kesuburan tanah yang lebih baik disbanding wilayah pantai Barat sedangkan dataran tingginya sebahagian besar diusahan untuk tanaman pangan serta perkebunan rakyat dan perkebunan besar untuk kebutuhan masyarakat. Wilayah pantai barat tersebut mempunyai iklim yang agak kering dan areal pertanian yang agak kurang subur, tanahnya berbukit-bukit, dimana sebahagian tanah tersebut kurang subur apabila digunakan untuk areal pertanian. Sesuai dengan kondisi alamnya, provinsi Sumatera Utara merupakan suatu provinsi dimana sektor pertanian, dengan kata lain tanah agraris nya menjadi tulang punggung struktur perekonomiannya, disamping sektor industri yang berperan semakin dominan. Diantara hasil pertanian yang menjadi mata pencaharian penduduk Provinsi Sumatera Utara adalah padi, jagung, buah-buahan dan sayuran, sedangkan untuk sektor perkebunan seperti kelapa sawit, karet, coklat, kopi, teh, tembakau, penile, dan bagian sektor kehutanan termasuk alamnya seperi kayu, rotan dan kemenyan. Kondisi demografis Provinsi Sumatera Utara dengan ibukotanya “MEDAN” adalah terdiri dari sebelas kabupaten, enam kota Madya dan tiga kota Administratif dengan lebih kurang 209 kecamatan, 390 kelurahan, dan 5038 pedesaan. Pembagian wilayah Provinsi Sumatera Utara jika dilihat dari segi kewilayahannya serta untuk mengidentifikasikan permasalahan dan keadaan daerah tersebut, dalam rangka melancarkan pelaksanaan dan pengolahan pembagian berdasarkan pendekatan tata ruang, maka Provinsi Sumatera Utara dibagi atas empat bagian wilayah.(seperti terlihat dalam tabel berikut ini). Tabel : 2 Pembagian Wilayah Provinsi SUMUT Wilayah Pembangunan Luas Wilayah (Km) WP I : Sibolga, Tapteng, Tapsel dan Nias WP II : Pematang Siantar, Simalungun, Karo, 26.414 Dairi 20.317 WP III : Medan, Langkat, Deli Serdang, Binjai dan 10.987 dan Tapanuli Utara Tebing Tinggi WP IV : Tanjung Balai, Labuhan batu, Asahan 13.967 Sumut 71.690 : Sumber : Biro Pusat Statistik Sumut Selanjutnya perkembangan wilayah Sumatera Utara dengan adanya beberapa kabupaten yang sudah dimekarkan saat ini bahwa luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72 % dari luas wilayah Negara Republik Indonesia dengan memiliki 162 pulau yaitu 6 pulau pantai Timur dan 156 pulau pantai Barat. Batas wilayah Sumatera Utara meliputi Provinsi NAD di sebelah Utara, Provinsi Riau dan Sumatera Barat di sebelah selatan, Samudera Hindia di sebelah Barat serta selat Malaka sebelah Timur, di mana letak geografis Sumatera Utara berada pada jalur strategis pelayaran internasional, yaitu selat Malaka yang dekat dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, dengan jumlah kabupaten sekitar 27 kabupaten, 383 kecamatan dan 5736 pedesaan dengan pembagian wilayah administrasi Sumatera Utara saat ini berikut dirinci dalam tabel berikut: Tabel : 3 Pembagian wilayah Sumatera Utara Jumlah No. Kabupaten/Kota kecamatan Desa/kelurahan 1. Nias 32 443 2. Mandailing Natal 22 376 3. Tapanuli Selatan 11 511 4. Tapanuli Tengah 19 172 5. Tapanuli Utara 15 243 6. Taba Samosir 14 192 7. Labuhan Batu 22 242 8. Asahan 13 17 9. Simalungun 31 351 10. Dairi 15 169 11. Karo 17 267 12. Deli Serdang 22 394 13. Langkat 20 260 14. Nias Selatan 8 260 15. Kumbanghasundutan 10 144 16. Pak-pak Bharat 8 52 17. Samosir 9 117 18. Serdang Bedagai 11 243 18. Batu Bara 7 100 19. Padang Lawas Utara 8 379 20. Padang Lawas 9 303 21. Sibolga 4 17 22. Tanjung Balai 6 31 23. Pematang Siantar 7 43 24. Tebing Tinggi 5 35 25. Medan 21 151 26. Binjai 5 37 27. Padang Sidimpuan 6 37 383 5.736 Sumut Sumber : Biro Pusat Statistik Sumut Penduduk Sumatera Utara terdiri dari berbagai suku, seperti Melayu, Batak, Nias, Aceh, Minangkabau, Jawa, dan tetap beragama. Walaupun berbeda agama dan adat istiadat, kehidupan bersama tetap berlangsung rukun dan damai dengan Pancasila sebagai pedoman hidup. Pada tahun 2003, jumlah penduduk Sumut bertambah 11.890.399 jiwa dan terdiri darai 5.942.682 laki-laki dan 5.947.717 perempuan dengan kepadatan rata-rata 166 jiwa/KM2, sekitar 56,75 % penduduk bertempat tinggal di desa dan 43,25 % tinggal di Kota. Selanjutnya pada tahun 2007, penduduk Sumut bertambah menjadi 12.834.371 jiwa yang terdiri dari 6.405.076 jiwa penduduk laki-laki atau 49, 91 % dan sekitar 6.429.925 jiwa penduduk perempuan atau sekitar 50,09 %, dengan kepadatan rata-rata 179 jiwa/ Km2. 2. Pengertian Peluang dan Tantangan Peluang, dengan kata asingnya adalah “opportunities” yaitu merupakan kesempatan yang diperoleh misalnya gerakan reformasi disegala bidang kehidupan menciptakan peluang bagi perwujudan good governance dan eskalasi social bagi seluruh masyarakat tanpa membedakan lingkungan geografi, tempat tinggal dan etnis. Kemudian juga sebagai daya tarik investasi yang tetap tinggi dan memberi kecenderungan investor (regional dan global) untuk menanamkan investasi90, misalnya di Indonesia, khususnya Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya banyaknya putera daerah yang berhasil di daerah lain yang menyebabkan arus informrasi, komoditi dan investasi lebih cepat diperoleh serta berkembangnya kerjasama regional dan sub regional yang akan membawa manfaat bagi perkembangan kemajuan yang amat luat untuk daerah Sumatera Utara. Indonesia mempunyai peluang cukup besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi dari China, hal ini didukung peningkatan volume maupun komoditas yang diekspor ke Negara China sebagai kekuatan ekonomi baru, tidak kalah pentingnya Sumatera Utara juga cukup berpeluang untuk merebut ekonomi pasar dalam hal meningkatkan pertumbuhan ekonomi sumut. Selanjutnya tantangan adalah merupakan suatu usaha yang bersifat menggugah kemampuan91, untuk merebut dan meraih sesuatu yang ingin kita dapatkan. Tantangan terberat Indonesia sebenarnya lebih kepada faktor di dalam negeri yaitu, pembenahan sektor pendukung industri dan 90 Lihat, Chairuman Harahap, H.N. Serta Ginting, Melangkah Bersama Untuk Maju : Visi, Misi dan Rencana Kebijakan Pembangunan Sumatera Utara Periode 2003-2008, makalah disampaikan pada rapat paripurna dewan perwakilan rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 25 April 2003, hal. 12. 91 Kailan, M.S, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, ( Yokyakarta : Paradigma, 2010), hal. 147. pertanian seperti kesiapan energi, kualitas tenaga kerja, sistem perbankan baik dari segi suku bunga pinjaman, pembiayaan dan lainlain agar dapat mendorong pertumbuhan industri. Berikutnya perlu memperbaiki sistem logistik nasional yang memungkinkan pergerakan barang, modal dan tenaga kerja agar semakin efesien di berbagai sektor. Kemudian peningkatan pengawasan di batas perdagangan Indonesia, hal ini untuk menghindari serbuan produk illegal. Hal lain yang tak kalah pentingya adalah peningkatan pengamanan pasar, antara lain dengan menerapkan Standart Nasional Indonesia (SNI) yang didukung kesiapan, baik secara infrastruktur, laboratorium, maupun Sumber Daya Manusia yang kompeten, serta bantuan atau program pembinaan dan peningkatan mutu produk yang diharapkan dapat mengungguli kualitas produk luar negeri. Untuk ruang lingkup Provinsi Sumatera Utara, terdapat beberapa hal tantangan dan kendala bagi Pemerintahan Sumut terkait dalam pelaksanaan Perdagangan regional AFTA-China ini, misalnya produk yang berasal dari China (impor China) membanjir di Sumatera Utara, hal ini dikarenakan produk dari China terkesan lebih murah walaupun sebenarnya secara kualitas paroduk China kurang. Inilah yang menjadi ancaman bagi Indonesia juga Sumatera Utara. 3. Kendala dan Hambatan Sumut dalam Pelaksanaan AFTA-China Setiap pelaku usaha, pelaku kegiatan ekonomi, pelaku bisnis tentunya harus mempunyai strategi yang baik dalam melakukan kegiatan bisnis tersebut. Strategi adalah merupakan hal pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara menghadapi persaingan yang tepat dan efesien diperlukan, guna memenangkan persaingan bebas tersebut, namun pada kenyataannya Indonesia masih kurang strategi dibanding dengan China, dengan kata lain Indonesia dalam menghadapi AFTA-China ini masih terdapat beberapa kendala atau hambatan seperti kurangnya strategi, dalam hal ini dapat dilihat dari 4 (empat) aspek yaitu: a. Sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China memilih untuk memprioritaskan penyediaan listrik murah. Listrik merupakan faktor yang paling penting untuk menciptakan daya saing dan akan menerik investasi. Oleh karena itu dalam penyediaan listrik, China memilih memanfaatkan batu bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia, rendahnya daya tarik industry manufaktur antara lain akibat kegagalan PLN menjaga patokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya produksi terjadi karena PLN tidak mendapat dukungan pasokan energi murah baik batu bara maupun gas dari pemerintah. Padahal Indonesia memiliki kekayaan energi alam yang tidak kalah jika dibanding dengan China. Akan tetapi Indonesia lebih memilih menjadikan batu bara dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun industri. b. Demikian juga pada pengolahan timah, China tidak menjadikan pada komoditas ekspor yang didasarkan pada visi dan strategi China untuk membangun struktur industri elektronik yang deep dan kompetetitif. Sedangkan pengelolaan timah di Indonesia dibiarkan untuk diolah oleh negara lain. c. Dalam hal sumber daya energi, Negara China dalam hal membangun industri elektronika yang terintegrasi mulai dari pembangunan industri pendudkung yaitu dengan mengolah bahan baku. Hal ini berbeda dengan Indonesia, Indonesia hanya memiliki industri perakitan (hulu) untuk produk elektronika dan produksi. d. Dalam hal kebijakan keuangan, kegigihan China untuk tetap menjaga nilai tukar yang lemah dilakukan sesuai dengan strategi untuk menjaga daya saing produk industri. Bahkan pada saat krisis, China membantu Negara lain lewat special credit facility yakni memberikan kemudahan pembayaran bagi importer yang dilakukan untuk menjaga permintaan produk China. Indonesia tidak demikian. Seiring dengan hal tersebut, dengan lingkup yang agak mengecil maka Provinsi Sumatera Utara juga tetap memiliki kendala atau hambatan-hanbatan dalam persaingan terkait dengan perdagangan regional AFTA-China. Menurut analisa penulis kendala atau hambatan-hambatan tersebut salah satunya adalah infrastruktur untuk mendukung dan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan investasi Indonesia termasuk Sumut masih belum memadai, juga hal lain disebabkan isu tingginya tingkat korupsi di Indonesia, termasuk Sumatera Utara adalah merupakan hal yang menjadi pertimbangan investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia. 4. Bentuk-Bentuk Peluang Sumut Terkait dengan AFTA-China 4.1. Dikaji dari Aspek Ekonomi Potensi Unggulan Daerah Secara universal potensi Sumber Daya Sumut cukup berlimpah antar tanaman pangan dan hortikultura perkebunan, perikanan dan pariwisata. Potensi pertanian Sumut diantaranya sayuran, jeruk, buahbuahan yang sebahagian besar telah dipasarkan dengan baik dan sudah di ekspor ke luar negeri maupun ke luar provinsi lain. Luas areal pertanian Sumut adalah 1.634.772 ha atau 22,73 % dari luas Sumut dengan produksi sebesar lebih kurang 3.738.516 ton untuk 23 komoditi, diantaranya adalah sawit, karet, kopi, kakau, tembakau, dan kelapa. Rata-rata pertambahan luas lahan perkebunan 0,72 % pertahun dengan produksi sebesar 2,74 % pertahun. Potensi perikanan laut selat malaka (pantai timur) sebesar 276,030 ton pertahun dan sudah dimanfaatkan sekitar 90,75 %, sedangkan potensi Samudera Hindia di pantai Barat sebesar 1.076.960 ton pertahun dan baru dimanfaatkan 8,79 %. Maka potensi pantai Barat ini perlu dikembangkan mengingat tingkat pemanfaatannya masih rendah. Sumatera Utara juga merupakan salah satu tujuan wisata (DTW) yang mempunyai 399 objek wisata yang terbesar di seluruh daerah, dari 120 wisata yang dipasarkan melalui potensi alam seperti danau toba, wisata bahari terutama di Nias, Agrowisata, seni dan budaya, serta etnis yang masing-masing mempunyai nilai tersendiri. Kemudian kawasan agropolitan dataran tinggi bukit barisan Sumatera Utara, seperti jagung, kentang, kopi, ikan mas, sapi, bawang merah dan sebagainya sangat berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan kawasan Agromaripolitan wilayah posisi pulau-pulau kecil dan terluar, dengan luas laut Sumut sekitar 110.000 Km2, panjang pantai 1.300 Km (pantai Timur 545 Km dan potensi Barat 375 Km serta Pulau Nias 380 Km). jumlah pulau sebanyak 419 buah, yang bernama 237 buah dan tidak bernama 182 buah, ini sangat berpotensi untuk dikembangkan. Potensi Sumber Daya Ikan di kawasan Pantai Barat mencapai 1.076.960 ton pertahun, dengan potensi jenis ikan unggulan di laut pesisir seperti Tuna, Tongkol, Cakalang, Kerapu, Kakap, Gembung, Tenggiri, Teri dan Ikan Hias, (tingkat pemanfaatannya baru sekitar 8,79 %). Potensi Sumber Daya Ikan unggulan di laut pesisir seperti, Tuna, Barondong, Tongkol, Cakalang, Kerapu, Kakap, Gembung, Tenggiri, Teri (tingkat pemanfaatannya baru sekitar 90, 75 %. Potensi kepariwisataan bahari banyak memiliki pantai seperti, Langundri, Saroke, Pulau Pandan yang amat diminati oleh wisata manca negara untuk berselancar, diving dan lain-lain sebagainya. Potensi bahan tambang dan bahan galian yang cukup besar seperti Energi Panas Bumi, Timah Putih, Pasir Kuarsa, Koalin dan Bauksit. Di samping itu juga, letak gografis Sumut merupakan kawasan Jalur Perdagangan Internasional sebab dekat dengan selat malaka (Malaysia) dan Singapura. Tabel : 4 Ekspor Provinsi Sumut ke Negara China periode 2005-2010 (Jan-Jul) Nilai (US$) Volume (KG) Jan-Jul uraian 2005 2006 2007 2008 Jan-Jul 2009 2005 2009 Migas - - - - - - Non 377, 545, 620. 718, 527, 314, migas 795, 974, 430, 974, 512, 124 857 199 971 454 2006 2007 2008 2009 2010 2009 2010 - - - - - - - 413, 635, 819, 672, 656, 794, 474, 384, 931, 202, 810, 057, 538, 230, 064, 791, 095, 509 012 994 410 158 201 831 077 909 Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah Pusdatin Kementerian Perdagangan) Tabel : 5 Impor Provinsi Sumut dari negara China periode 2005-2010 (Jan-Jul) Nilai (US$) Volume (KG) Jan-Jul uraian 2005 2006 2007 2008 Jan-Jul 2009 2005 2009 Migas - - - - - - Non 7,738, 10,79 14,26 20,74 8,042, 4,975, migas 232 1,666 5,036 0,801 719 150 2006 2007 2008 2009 2010 2009 2010 - - - - - - - 924, 27,35 36,90 45,84 454,27 14,50 6,618, 899, 204 0,989 8,879 8,936 1,421 2,075 338 336 Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah Pusdatin Kementerian Perdagangan 4.2. Dikaji dari Sudut Potensi Sumber Daya Alam (SDA) Jika ditinjau dari sudut Potensi Sumber Daya Alam, ada tiga sektor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan perekonomian Sumatera Utara antara lain sektor pertanian dan perkebunan, sektor pariwisata dan sektor perindustrian. Sektor petanian identik dengan perkebunan, artinya antara pertanian dengan perkebunan tidak dapat dipisahkan dan rasanya kurang enak membicarakan pertanian saja atau perkebunan saja. Sebagaimana kita ketahui bahwa penduduk atau masyarakat Provinsi Sumatera Utara mayoritas penghasilannya adalah bertani. Dalam hal ini Provinsi Sumatera Utara memeliki beraneka ragam hasil pertanian termasuk kehutanan, perikanan dan peternakan, misalnya padi sebagai makanan pokok, jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, buah-buahan dan lainlain sebagainya, artinya cukup banyak hasil pertanian yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Begitu juga dengan hasil yang didapat dari sektor perkebunan antara lain karet, kelapa sawit, vanili, kemiri, tmbakau dan banyak lagi jenis tanaman lainnya. Sementara itu jika dibandingkan dengan apa yang terdapat dikawasan ASEAN, Negara Thailand dan Malaysia merupakan penghasil beberapa kamoditas dan tetap menjadi saingan yang ditingkatketat dalam merebut pasar bebas AFTA, termasuk juga saat ini persaingan dalam pasar bebas AFTA-China. Hal ini juga merupakan salah satu tantangan yang harus dijadikan persaingan dan bagaimana solusinya terhadap persaingan tersebut. Namaun demikian beberapa komoditas yang andal dapat ditingkatkan teknologi produksinya sehingga menghasilkan mutu dan kualitas yang baik, dan ini tentunya diharapkan dapat mengimbangi daya saing terhadap produksi Negara ASEAN lainnya. Maka sektor pertanian dan perkebunan, dimana program agroindustri atau pengolahan hasil pertaniannya sangat diperlukan dan paling sedikit ada lima alasan utama kenapa agroindustri sangat penting untuk menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi masa depan, yakni karena : 1. Agroindustri mampu menstransformasikan keunggulan kompratif menjadi keunggulan bersaing, yang pada kahirnya akan memperkuat daya saing produk agribisnis Indonesia secara umum, khususnya memperkuat daya saing produk agribisnis Provinsi Sumatera Utara. 2. Produk memiliki nilai tambah dan pangsa yang besar sehngga kemajuan yang dicapai dapat mempengaruhi perekonomian nasional secara keseluruhan. 3. Memiliki keterkaitan yang besar baik ke hulu maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sectorsektor lainnya. 4. Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan komparatif) yang dapat diperbaharui, sehingga terjamin sustainabilitasnya. 5. Memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional dari sektor pertanian ke sektor perindustrian. Pengembangan industri pangan di Indonesia terbuka sangat luas, hal ini karena adanya dukungan faktor internal maupun ekternal yang sangat kuat. Faktor internal seperti besarnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat yang semakin meningkat, cukup tersedianya faktor-faktor produksi, kafasitas produksi yang ideal, teknologi dasar pengolahan pangan yang sudah dikuasai. Untuk faktor eksternal misalnya, liberalisasi perdagangan dunia, perekonomian dunia yang semakin membaik, naiknya permintaan pangan dunia, tingginya komsumsi pangan olahan di masyarakat Negara maju. Melihat dari hasil pertanian dan perkebunan terhitung sangat banyak, maka sebahagian hasil pertanian dan perkebunan yang ada di Sumatera Utara layak untuk diekspor. Ada 23 (dua puluh tiga ) kelompok produk ekspor tertentu yang terdiri dari 60 HS 9 digit yang tercakup dalam SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 164 tahun 1996 sebagai berikut: 1. Standart Indonesia Rubber (SIR) 2. Karet konvensional 3. Gaplek 4. Minyak sereh 5. Minyak nilam 6. Minyak kenanga 7. Minyak akar wangi 8. Lada putih 9. Lada hitam 10. Buah pala 11. Fuli 12. Cassia vera 13. Kopi 14. Teh 15. Minyak kayu putih 16. Minyak daun cengkeh 17. Minyak pala 18. Minyak fuli 19. Minyak cendana 20. Vanili 21. Kayu lapis penggunaan umum 22. Biji kakau 23. Pinang, bukan untuk obat. 4.3. Dikaji dari Sudut Potensi Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia (SDM) adalah merupakan menu yang tersedia di alam, dimana SDM tersebut adalah sebagai pengolah, pengelola menu yang tersedia di alam itu. Selain potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki Provinsi Sumatera Utara juga memiliki Sumber Daya Manusia yang cukup besar, yang mana pada saat ini penduduk Sumatera jiwa92. Dari Utara cukup banyak mencapai lebih kurang 12.834.371 jumlah penduduk tersebut serta tenaga kerja (Sumber Daya Manusianya) juga pasti ada dan sering dijadikan promosi untuk menarik insvestor Luar Negeri guna menanamkan modal di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentunya merupakan potensi sebagai peluang dalam penerapan perdagangan internasional yaitu salah satunya perdagangan regional AFTA-China. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan demi untuk mempercepat peningkatan mutu dan kualitas Sumber Daya Manusia di lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Utara, antara lain adalah: a. Ketertiban Dunia Usaha b. Dalam hal ini terutama menyangkut industri nasional maupun internasional untuk menciptakan dan meningkatkan mutu dan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia, khususnya Sumatera Utara. 92 Jumlah penduduk Sumut pada tahun 2007 c. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pemerintah Jika dilihat dari segi aparat pemerintah, perbaikan mutu dan kualitas harus dimulai sejak rekrutmen dengan menggunakan suatu sistem yang benar-benar menjamin serta diperolehnya sumber daya yang mempunyai mutu dan kualitas dasar yang baik, pembinaan melalui penegasan yang mendidik serta yang mengkadernya, juga termasuk pengembangan program pelatihan yang memungkinkan tersedianya tenaga siap kerja, peningkaatan kesejahteraan yang memadai, dan pemberian jaminan hari tua secara nyata. Karena Negara yang baik bias dipelihara jika dikelola pemerintah yang baik pula, dan pemerintah menjadi baik jika berada ditangan orang yang bain dan terbaik. d. Pengembangan Sumber Daya Manusia Secara Universal Meskipun secara substantive berbeda, strategi serupa seperti apa yang diterapkan dijajaran aparatur pemerintah. Tetapi juga digunakan untuk pengembangan legeslatif. Tentunya dengan modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan, kepentingaan dan karakter gerakan politik. Jika pengembangan Sumber Daya Manusia Pemeintah adalah tanggung jawab pemerintah dan untuk legeslatif adalah partai-partai politik. Karena di samping ada area kewenangan yang berbeda, partai politk adalah institusi yang berkepentingan untuk menempatkan kader-kadernya sebanyak mungkin di Lembaga Perwakilan Rakyat. e. Dunia Pendidikan dan Sistem Pendidikannya Mengenai kerja sama dunia pendidikan sekaligus sistem pendidikannya dengan pangsa usaha hendaknya dilakukan dalam bentuk penilaian dan pendidikan atau disebut dengan praktek lapangan yaitu System Link and Matchs. 4.4. Dikaji dari Sudut Potensi Hukum yang Berlaku Bicara mengenai hukum adalah sebuah aturan dan pedoman yang sebaiknya harus dipatuhi oleh siapapun termasuk para pelaku usaha dalam kegiatan perdagangan, khususnya perdagangan regional AFTAChina ini, kepastian hukum dan harmonisasi hukum sangat dibutuhkan. Artinya dengan adanya hukum, berarti ada yang mengendalikan dan mengatur sistem perdagangan yang telah diterapkan, sehingga ke depannya tidak menimbulkan komplik, dan kalaupun seandainya terdapat perselisihan atau komplik, maka solusinya adalah hukum. Hukum akan memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi (perdagangan) serta transaksi bisnis di era globalisasi, salah satu diantaranya adalah perdagangan regional AFTA-China, terutama dalam perkembangan dan prospek bisnis di Asia Pasifik. Hukum dapat memberikan hal yang diperlukan dalam dunia bisnis untuk mengestimasikan keuntungan yang diinginkan dan dapat menghindarkan kerugian. Penerapan hukum ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau membatasi kepentingan individu, melainkan untuk memberikan kepastian hukum dengan berusahan penuh untuk mewujudkan keadilan yang hakiki, dengan ketentuan bahwa apabila hukum dilaksanakan dengan baik, maka hokum tersebut sangat membantu dunia bisnis termasuk kegiatan ekonomi dan perdagangan, bahkan dapat menentukan arah bisnis sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh sebab itu jaminan dan ketetapan berlaku suatu sistem hukum di Indonesia, khususnya Sumatera Utara perlu untuk dikaji, dipahami, diterapkan dan dilaksanakan, sehingga setiap individu siapapun dia tetap sadar hukum. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisa dan uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam babbab serta sub-sub bab tersebut yang diawali dengan abstrak, latar belakang, perumusan masalah, analisa dan pembahasan. Maka untuk merangkum apa yang telah diuraikan tersebut dapat dikemukakan kesimpulannya sebagai berikut: 1. Kebijakan adalah merupakan serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau pemerintah untuk mengambil sebuah keputusan, dalam hal inisebuah konsep untuk melindungi industri dalam negeri dengan kata lain produk lokal, bahwa pemerintah Indonesia, khususnya Sumatera Utara harus melakukan kebijakan, dan kebijakan tersebut harus sesuai dengan prinsip keadilan demi kepentingan bersama untuk memajukan pertumbuhan ekonomi, khususnya Sumatera Utara. Adapun kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi Industri dalam negeri secara umum yaitu melalui tindakan anti dumping, tindakan safeguard, subsidi, mencintai produk-produk lokal, termasuk para konsumen harus membeli produk dengan barang berstandar SNI. Oleh pemerintah Sumatera Utara juga selain melakukan kebijakan secara umum tersebut, ada kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan pemerintah Sumatera Utara untuk mengimbangi pelaksanaan dan penerapan AFTAChina ini antara lain seperti, misalnya pemerintah memberikan bantuan alat-alat kepada pengusaha-pengusaha lokal, kemudian memberikan pelatihan-pelatihan seperti sektor, pembukuan, kemasan dan pemasaran. Selanjutnya pemerintah Sumut juga memberikan kabijakan bergulir pada UKM-UKM modal lokal dengan pinjaman atau modal yang diberikan tersebut tetap dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh pemohon. 2. Bahwa terkait dalam perdagangan bebas internasional secara multilateral (WTO), maka pembentukan kesepakatan perdagangan bebas secara regional dalam ketentuan WTO tersebut, dibenarkan dan dibolehkan. Hal ini disadarkan pada ketentuan pasal 24 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yaitu tentang diperbolehkannya pembentukan kerjasama regional dibidang perdagangan. Namun demikian dipersyaratkan bahwa perjanjian perdagangan regional tersebut tidak boleh menjadi rintangan bagi perdagangan secara multilateral. Dengan kata lain perdagangan regional ini diperbolehkan dengan pengecualianpengecualian terhadap prinsip Most Favoured Nation (MFN) berdasarkan ketentuan GATT tersebut, 3. Adapun faktor-faktor yang menjadi tantangan terberat Indonesia sebenarnya lebih kepada faktor di dalam negeri yaitu, pembenahan sektor pendukung industri dan pertanian seperti kesiapan energi, kualitas tenaga kerja, sistem perbankan baik dari segi suku bunga pinjaman, pembiayaan dan lain-lain agar dapat mendorong pertumbuhan industry, begitu juga dengan Sumatera Utara bahwa tantangan Sumut dalam mengikuti trend persaingan internasional AFTA-China ini masih banyak yang harus dipermaharui dan terdapatnya kelemanahan-kelemahan seperti infrastruktur untuk mendukung dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, serta ancaman yang paling terberat adalah bahwa produk-produk dari China semakin membanjiri pasar Indonesia, kkususnya pasar tradisional Sumatera Utara. Sedangkan untuk peluang terkait dengan pelaksanaan AFTA-China ini, bahwasanya Indonesia secara umum mempunyai peluang yang sangat besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi dari China dan semakin terbukanya pasar bebas, Sumatera Utara juga dengan mengandalkan potensi daerahnya cukup berpeluang ikut dalam persaingan internasional AFTA-China, seperti dilihat dari SDA, termasuk sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, SDM Sumut, sektor pariwisata, laju pertumbuhan ekonomi Sumut, dan lain sebagainya. B. Saran 1. Dalam mengikuti trend persaingan internasional, termasuk trend perdagangan regional AFTA-China ini pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah Sumatera Utara harus memberikan kebijakan-kebijakan, akan tetapi kebijakan yang akan dilakuakan pemerintah tersebut, sebaiknya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan atau kebijakan-kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri (produk lokal), agar produk-produk yang berasal dari lokal tetap bisa bersaing di pasar internasional, terutama di lingkungan pasar China, sehingga laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya Sumatera Utara semakin meningkat, bukan sebaliknya. 2. Berkaitan dengan ketentuan-ketentuan pembentukan perdagangan regional yang telah dibenarkan berdasarkan pasal 24 GATT, sehingga dengan kegiatan perdagangan regional tersebut terlihat maju dan berkembang, walaupun masih ada terdapat kelemahan-kelemahan dalam ketentuan peraturan regional itu, maka sebaiknya setiap pelaku usaha atau pelaku kegiatan ekonomi yang tergabung dalam kegiatan kerjasama internasional AFTA-China harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam lingkup perdagangan regional itu sendiri dengan membuat peraturan nasional masing-masing, sehingga mudah untuk diterapkan serta tetap mengarah kepada ketentuan internasional dan tidak bertentangan dengan ketentuan WTO. 3. Sehubungan dengan berlangsung dan telah diterapkannya persaingan atau perdagangan regional AFTA-China ini, maka sebaiknya Indonesia tidak perlu takut dan pesimis, Indonesia khususnya Sumatera utara harus kuat dan siap dengan selalu optimis bahwa dengan adanya perdagangan regional AFTA-China ini adalah memberikan peluang berdanpak positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi Indonsia dari China, sehingga Indonesia diharapkan semakin maju dan sejahtera secara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA a. Buku: Adolf, Huala, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. ………………, Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan, Jakarta: BP. IBLAM, Cetakan I, 2005. ………………., Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (edisi revisi), Bandung : Refika Aditama, 2010. Ali, Achmad, Menguat Teori Hukum (Legal Teori) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi UndangUndang (Legisprudence), Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup, 2009 Balfas, Hamud M, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta : PT Tanu Nusa, 2006. Dirdjosisworo, Kaidah-Kaidah Perdagangan Internasional (Perdagangan Multilateral) Versi Oraganisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization = WTO), Bandung : CV. Utomo, 2004. Dibyo Prabowo dan Sonia Wardono, AFTA Suatu Pengantar, Yogjakarta : BPFE, 2005 Hadiwinata, Bob.S dan Aknolt K. Pakpahan, Fair Trade Gerakan Perdagangan Alternatif, Bandung: Pustaka Belajar Oxfam, 2004. Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, Bandung : Refika Aditama, 2006. Hart, H.L.A, Konsep Hukum “The Concept of Law, Bandung : Nusa Media, 2009. Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima, Jakarta : Kompas, 2006. Ibrahim, Jhonny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2005. Kaelan,Dkk, Pendidikan Kewarganegaan Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta : Paradigma, 2012. Lubis, M. Solly, (modul) Teori Hukum, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2006, ………………., Kebijakan Publik, (Bandung : Mandar Maju, 2007) ………………., Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah ke- 80 Prof. M. Solly Lubis, Medan: PT. Sofmedia, 2010, Marjuki, Peter, Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005. M.Friedman, Lawrence, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial “The Legal System A Social Science Perspektive, Bandung : Nusa Media, 2009. Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi I , Bandung : Books Terrace & Library, 2009. Nuraeni, Dkk, Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, Yogyokarta : Pustaka Belajar, 2010. Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Mandar Maju, 1990. Rawls, John, A Theory of Justice Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, Rahardjo, Satjipto, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Mataram: Genta Publishing, 2009. ……………..., Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis tentang Pergaulan Manusia dan Hukum, Jakarta : Kompas, 2008. Rajagukguk, Erman, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Fakultas hukum Universitas Indonesia : Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2011 Saliman, Abdul R, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Jakarta : Kencana Prenada Media Group , 2005. Siregar, Mahmul, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal : Studi kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Inverstasi Multilateral, Medan: Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pascasarjana, 2005. ……………….., Hukum Penanaman Modal Dalam Kerangka WTO, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2011. Sidharta, B. Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, dan Filsafat Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2008), Soekanto, Soerjono dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Sunggono, Bambang, Metode penelitian hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001 Susanti, Ida dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam melaksanakan perdagangan Bebas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Tim, Perlindungan Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Safeguard World Trade Oranization, KPPI, 2005. Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1993. b. Makalah, Jurnal, Pidato, Diktat MS, Sutiarnoto, “Tantangan dan Peluang Investasi Hukum,Volume 6 No. 3, Agustus 2001. Asing”, Jurnal Nasution, Bismar, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005. Rajagukguk, Erman, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia”, Jurnal hukum, Vol.01,No.1, 2005 Sirait, Natasya, Ningrum, Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Internasional, disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum, diucapkan dihadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, pada tanggal 2 September, 2006 Suherman, Ade Manan, Perdagangan bebas (Free Trade) Dalam Perspektif Keadilan Internasional, Jurnal Hukum, Vol. 5, No. 2, 2008 c. Koran Renegosiasi Perjanjian ACFTA, Koran Waspada, kamis tanggal 14 Mei 2010. Peningkatan Daya Saing Industri Perlu Waktu, Koran Portibi DNP, Kamis tanggal 21 April 2011. 75 % Baju Anak-Anak Inpor dari China, Koran Medan Bisnis, Kamis 21 April 2011. Saparini, Hendri, Keseimbangan ACFTA, Koran Portibi DNP, Sabtu tanggal 23 April 2011. Industri Indonesia Salah Kelola, Koran Portibi DNP, Senin tanggal 25 April 2011. UKM Terancam, Impor Harus Dikendalikan, Koran Portibi DNP, Senin tanggal 25 April 2011. RI Kewalahan Serbuan Produk China, Koran Waspada, Senin tanggal 25 April 2011. Naibaho, Yuni, Buah Inpor China dan AS Melonjak Ke Sumut, Koran Medan Bisnis, Senin Tanggal 25 April 2011. ………………, Penggunaan SKA (Surat Keterangan Asal) Tujuan China Meningkat, Koran Medan Bisnis Kamis tanggal 28 April 2011. Pemerintah Harus Berani Bereskan “PR”, Koran Portibi DNP, Rabu tanggal 27 April 2011. Enam Sektor Paling Rawan Serbuan Produk China, Koran Waspada Rabu tanggal 27 April 2011. Ekspor Sayur Sumatera Utara Naik, Koran Waspada Kamis tanggal 28 April 2011 Pasca ACFTA, Tujuh Produk Industri Dievaluasi, Koran wasapada Senin tanggal 11 April 2011. d. Situs Internet Administrator, ACFTA dan Dampak Terhadap Perindustrian dan UKM di Indonesia, http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/02/acfta-dandampak-terhadap-perindustrian-serta-ukm-di-indonesia ………………, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO, http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/01/perjanjianperdagangan-regional-rta-dalam-kerangka-world-tradeorganization-wto-sudy, ………………, China Bergabung Dalam AFTA, Teori Adam Smith, http://www.nytimes.com/2006/06/26/business/26endbuffet.html?ex=1308974400&en=1a8df7bb4f340d38&ei=508 8&partner=rssnyt&emc=rss Sadli, M, Kerja Sama Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia, http://www.kolom.pasific.net.id/ind Sudradjat, Eko Prilianto, Free Trade (Perdagangan Bebas) dan Fair Trade ( Perdagangan berkeadilan) Dalam Konsep Hukum, http:// Whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsephukum-fair-trade.html http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/22/opini/2068215.htm http://www./indosiar.com//ohas/83715/china-bergabung-dalam-afta http:// www.gambaran-umum-sumut.fdf.stdu viewer LAMPIRAN : Bio Data Tim Peneliti 1. Ketua Peneliti a. Keterangan diri Nama lengkap : Halimatul Maryani, SH.,MH Tempat tanggal lahir : Bagan Bilah, 20 Agustus 1978 Jenis kelamin/Agama : Perempuan/Islam Alamat : Jln Nusantara Gg. Rukun No. 4 tembung No.Hp. : 0813 6125 0506 NIDN : 0120087804 Pangkat/Golongan : III A Jabatan Fungsional : Asisten Ahli Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Internasional b. Mata kuliah yang diampu 1). Hukum Perdata Internasional 2). Hukum Waris c. Riwayat Pendidikan SD Negeri No. 118165 Bagan Bilah, tamat tahun 1992 berijazah MTs. Swasta Ponpes Al-Ma,shum Rantau Prapat, tamat tahun 1995 berijazah MAS Swasta Ponpes Darul Falah Langga Payung, tamat tahun 1998 berijazah S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara jurusan Hukum Internasional, tamat tahun 2003 berijazah S2 Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, lulus tanggal 6 juni 2011 d. Pengalaman penelitian dan pengabdiam masyarakat Skripsi dan tesis e. Pengalaman publikasi ilmiah Seminar Skripsi dan Tesis Medan, 18 Nopember 2012 (HALIMATUL MARYANI,SH., MH) 2. Anggota Peneliti a. Keterangan diri Nama lengkap : Ferry Susanto Limbong,SH,SpN.M.Hum Tempat tanggal lahir : Medan/ 05 Desember 1973 Jenis kelamin/Agama : laki-laki/ Islam Alamat : Jl. Karya IV No. 193/21 Helvetia Medan No.Hp. : 08126349182 NIDN : 0105127302 Pangkat/Golongan : III A Jabatan Fungsional : Asisten Ahli Fakultas/Jurusan : Hukum/Perdata b. Mata kuliah yang diampu 1). Hukum Perbankan 2). Hukum Pasar Modal c. Riwayat Pendidikan Tahun 1986 Tahun 1989 Tahun 1992 Tahun 1996 Tahun 2001 Tahun 2002 : Lulus SD Markus Medan : Lulus SMP Negeri 16 Medan : Lulus SMA 4 Nehgeri Medan : Lulus Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Jurusan Hukum Keperdataan : Lulus Program Psaca Sarjana Universitas Sumatera Utara Jurusan Ilmu Hukum : Lulus Program Pendidikan Spesialis Notariat Universitas Sumatera Utara d. Pengalaman penelitian dan pengabdiam masyarakat Skripsi dan tesis e. Pengalaman publikasi ilmiah Seminar Skripsi dan Tesis Medan, 18 Nopember 2012 (FERRY SUSANTO LIMBONG,SH,SpN.M.Hum)