laporan penelitian dosen pemula analisa hukum mengenai

advertisement
LAPORAN PENELITIAN
DOSEN PEMULA
ANALISA HUKUM MENGENAI KEBIJAKAN PEMERINTAH
MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI TERKAIT DENGAN
KESEPAKATAN PERDAGANGAN REGIONAL AFTA-CHINA
(Studi Deskriptif Analitis Pada Pemerintah Sumatera Utara)
TIM PENYUSUN:
1. HALIMATUL MARYANI, SH., MH (NIDN.0120087804), Ketua
2. FERRY SUSANTO LIMBONG, SH.SpN.M.Hum (0105127302), Anggota
Dibiayai Oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan
Penelitian Dosen Pemula Bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun
Anggaran 2012 Nomor : 282/SP2H/PL/Dit.Litabmas/VI/2012,
tanggal 15 Juni 2012.
UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA
ALWASHLIYAH MEDAN
NOPEMBER, 2012
Halaman Pengesahan
Judul Penelitian
Bidang Ilmu
:Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah
Melindungi Industri Dalam Negeri Terkait Dengan
Kesepakatan Perdagangan Regional AFTA-China
(Studi Deskriptif Analitis Pada Pemerintah Sumatera
Utara)
: Hukum
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap
: Halimatul Maryani, SH. MH
b. NIDN
: 0120087804
c. Pangkat/Golongan
: III A
d. Jabatan Fungsional
: Asisten Ahli
e. Fakultas/Jurusan
: Hukum/Hukum Internasional
f. Pusat Penelitian
: LPPM UMN Al-Washliyah Medan
g. Alamat Institusi
: JL. Garu II No. 02 Medan
h. Telpon/Faks/E-mail
: 061 – 7867044, 7862747
Biaya yang diusulkan
: Rp. 10.000.000-,
Biaya yang direkomendasi
: Rp. 8.000.000-,
Medan, 18 Nopember 2012
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Ketua Peneliti,
(Hj. Adawiyah Nasution, SH. Sp.N, M. Kn )
NIDN. 0123037001
(Halimatul Maryani, SH. MH)
NIDN.0120087804
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian
(Drs. Firmansyah, M. Si)
NIP. 196711101993031003
ABSTRAK
Konsep dasar dari perdagangan bebas adalah penghilangan hambatanhambatan dalam
perdagangan internasional serta pelaksanaannya membentuk
globalisasi yang maknanya ialah universal mencakup bidang yang sangat luas.
Terkait dengan kesepakatan perdagangan bebas “Free Trade Agreement” regional,
sebenarnya ada sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistemsistem yang ada dalam kerangka
regional. Akan tetapi yang menjadi problema
adalah bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat dan tidak berjalan
dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan
regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan
langsung dan memajukan pertumbuhan ekonomi regional lebih maju dan
berkembang.
Sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut
dengan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), pada Framework Agreement
on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East
Asian Nation and The People’s Republic of China (Asean-China) yang
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Megawati) pada tanggal 4
Novenber 2002 di Phnom Penh, Kamboja, juga telah diratifikasi melalui Keputusan
Presiden Nomor 48 Tahun 2004, dengan UU.No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum
berlakunya kesepakatan perdagangan regional dalam ketentuan WTO, mengetahui
penerapan prinsip keadilan dalam pelaksanaan perdagangan bebas serta mengetahui
kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri dalam
negeri terhadap dampak negatif dari pelaksanaan AFTA-China. Maka metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah terfokus pada penelitian yuridis normatif dan
sifat penelitian deskriftif analitis dengan data skunder meliputi bahan hukum primer,
skunder dan tertier. Bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan
dianalisis secara kualitatif.
Kata kunci: Kebijakan Pemerintah, Perdagangan Regional, ACFTA
KATA PENGANTAR
Suhbanallah dengan ucapan Bismillaahirrahmaanirraahiim, ketika akan
memulai proses awal penelitian ini, mulai dari rencana penyusunan proposal dan
agenda penelitian, study kepustakaan, analisis sampai kepada penulisan dan
penyusunan penelitian ini, dan dilanjutkan dengan mengucap Alhamdulillahirabbil
„alamin, penulis bersyukur Kehadirat Ilahirabbi, tentunya yang telah memberikan
Taufik, Rahmat, Hidayah, Karunia serta kesehatan dan kesempatan bagi penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini dengan judul “Analisa
Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri Dalam Negeri
Terkait Dengan Kesepakatan Perdagangan Regional AFTA-China (Studi
Deskrptif Analistis Pada Pemerintah Sumatera Utara)”.
Sholawat dan salam atas junjungan kita nabi besar Muhammad Rasulullah
SAW.yang telah membawa kita dari zaman kejahiliyahan menuju zaman yang terang
benderang yang disinanari dengan iman dak taqwa serta ilmu pengetahuan.
Tujuan penyusunan laporan penelitian ini adalah sebagai salah satu bentuk
dari Tri Darma Perguruan Tinggi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan
peneliti khususnya sebagai sebagai tenaga pendidik profesi Dosen. Maka dalam
laporan penelitian ini penulis juga menyadari tentunya masih
banyak terdapat
kekurangan-kekurangan dikarenakan keterbatasan dan kemampuan yang penulis
miliki, untuk itu dengan senang hati penulis sangat mengharapkan saran-saran,
pengarahan maupun sumbangan pemikiran dari semua pihak agar laporan penelitian
ini lebih baik.
Dalam kesempatan ini sudah sepatut dan selayaknya penulis menyampaikan
rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah
membantu penulis, baik moril maupun meteriil dalam penyusunan laporan penelitian
ini. Ucapan terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada:
1. Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (dikti) yang telah
memberikan dana penuh untuk membiayai penulis selama menjalani dan
melaksanakan tugas penelitian sampai laporan penelitian ini selesai.
2.
Bapak Koordinator Kopertis Wilayah I Sumut-NAD, selaku pelaksana dan
monitoring kegiatan
atau penugas penelitian ini khususnya untuk dosen
pemula bagi dosen Perguruan Tinggi Swasta di lingkungan Kopertis Wilayah
I tahun anggaran 2012
3. Bapak Drs. H. Kondar Siregar, MA, selaku Rektor Universitas Muslim
Nusantara Al-washliyah Medan
4. Bapak Drs. Firmansyah, M.Si, selaku Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Muslim Nusanatar Al-washliyah
Medan
5. Bapak Dr. Ir. Tri Martial, MP, selaku Sekretaris Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Muslim Nusantara Al-washliyah
Medan
6. Ibu Adawiyah Nasution, SH. Sp.N, M. Kn, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muslim Nusantara Al-washliyah Medan
7. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara
Medan, sebagai tempat lokasi penelitian.
8. Terima kasih juga kepada kedua orang tua penulis yang tidak terhingga,
karena dengan doa mereka lah penulis bisa berjuang dalam belajar dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang penulis miliki.
9. Saya Halimatul Maryani, SH. MH (sebagai ketua peneliti) mengucapkan
terima kasih kepada suami dan anak-anak penulis, karena dengan dorongan
dan motivasi mereka jualah laporan penelitian ini dapat terselesaikan sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
10. Saya Ferrry Susanto Limbong, SH, SpN. M. Hum (sebagai anggota peneliti)
mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga tentunya istri dan anakanak penulis, karena dengan motivasi mereka jugalah laporan penelitian ini
dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
11. Terima kasih juga kepada seluruh civitas UMN dan teman-teman yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini, yang mohon
maaf saya dalam hal ini tidak bisa menyebutkan satu persatu.
Akhirnya semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin
Medan, 15 Nopember 2012
Tim Penulis,
1. Halimatul Maryani
2. Ferry Susanto Limbong
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul
Halaman Pengesahan
Abstrak………………………………………………………………
i
Kata Pengantar………………………………………………………
ii
Daftar Isi…………………………………………………………….
v
Daftar Singkatan…………………………………………………….
ix
Daftar Tabel………………………………………………………….
x
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………
1
A. Latar Belakang ………………..……………………………..
1
B. Perumusan Masalah…………………………………………...
9
C. Tujuan Penelitian……………………………………………..
9
D. Manfaat Penelitian……………………………………………
10
E. Keaslian Penelitian…………………………………………...
11
F. Target Luaran yang Ingin dicapai……………………………
11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA………………………………….
13
A. Kerangka Teori………………………………………….
13
1. Teori Kebijakan……………………………………..
13
2. Teori Perdagangan Bebas……………………………
16
B. Konsepsi………………………………………………...
24
C. Pengertian Perdagangan Regional………………………
27
D. Tinjauan Umum Tentang AFTA……………………......
32
E. Pengertian Industri Dalam Negeri………………………
35
BAB III : METODE PENELITIAN……………………………….
38
A. Lokasi Penelitian………………………………………….
38
B. Jenis dan Sifat Penelitian………………………………….
38
C. Sumber Data………………………………………………
39
D. Teknik Pengumpulan Data………………………………..
41
E. Analisis Data………………………………………………
41
BAB IV: PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN…………
42
A. Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi
Industri Dalam Negeri Terkait AFTA-China…………………
42
1. Penentuan Arah dan Prioritas Kebijakan………………….
42
2. Peranan/Wewenang Pemerintah Mengambil Kebijakan…..
44
3. Langkah-Langkah Kabijakan Pemerintah Melindungi
Industri dalam Negeri Terkait AFTA-China……………….
47
a. Kebijakan Secara Umum……………………………….
50
b. Kebijakan Pemerintah Sumut………………………….
53
B. Pengaturan Kesepakatan Perdagangan Regional dalam
Perdagangan Internasional……………………………………..
55
1. Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional………….
55
2. Perkembangan Pengaturan Perdagangan Bebas dalam
Ketentuan AFTA……………………………………………
60
3. Skema CEPT………………………………………………..
64
4. Dasar Hukum Perdagangan AFTA-China………………….
67
5. Manfaat dan Tujuan Perdagangan Regional…………………
73
C. Tantangan/Peluang Pemerintah Sumut Terkait AFTA-China…..
75
1. Sejarah dan Profil Sumut……………………………………
75
2. Pengertian Peluang dan Tantangan…………………………..
81
3. Kendalala dan Hambatan Sumut dalam Pelaksanaan
AFTA-China…………………………………………………
84
4. Bentuk-Bentuk Peluang Sumut Terkait AFTA-China…………
4.1.
86
Dikaji dari Aspek Ekonomi Daerah……………………….
86
4.2.
Dikaji dari Aspek Potensi SDA…………………………….
89
4.3.
Dikaji dari Sudut Potensi SDM…………………………….
93
4.4.
Dikaji dari Sudut Hukum Berlaku………………………….
95
BAB V : PENUTUP………………………………………………………
97
A. Kesimpulan…………………………………………………………
97
B. Saran………………………………………………………………..
99
Daftar Pustaka.............................................................................................
101
Lampiran-Lampiran
1. Bio Data Tim Peneliti
2. Surat Pengantar Riset dari LPPM UMN ke Dinas Perindag-SU
3. Surat Keterangan Telah Melakukan Riset dari Dinas Perindag-SU
DAFTAR SINGKATAN
AFTA-China/ACFTA
: Asean China Free Trade Agreement
AFTA
: ASEAN Free Trade Area
ASEAN
: Association of South East Asian Nations
APEC
: Asia Fasific Economi Cooperation
CEPT
: Common Efective Preferential Tariff
FTA
: Free Trade Agreement
GATT
: General Agreement on Tariffs and Trade
UMKM
: Usaha Masyarakat Kecil Menengah
UKM
: Usaha Kecil Menengah
WTO
: World Trade Organization
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perkembangan Kebijakan Perdagangan Indonesia…………….
47
2. Pembagian Wilayah Provinsi Sumatera Utara…………………
79
3. Pembagian Wilayah Sumut dalam kabupaten…………………
80
4. Ekspor Sumut ke Negara China 2005-2010…………………...
88
5. Impor Sumut dari Negara China……………………………….
89
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan World Trade Organization (WTO)
dan Indonesia
meratifikasi GATT/WTO ini dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994,1 dan
telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya
kepada negara-negara anggota, dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan
adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep ini
dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi2, yang maknanya ialah universal
dan mencakup bidang yang sangat luas.
Dari segi ekonomi dan perdagangan
globalisasi sudah terjadi pada saat mulainya perdagangan rempah-rempah,
kemudian tanam paksa di Jawa, sampai tumbuhnya perkebunan-perkebunan di
Hindia Belanda, dan pada saat itu globalisasi lahir dengan kekerasan dalam alam
kolonialisme. Berbeda dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan pada masa
kini dilakukan dengan jalan damai yaitu melalui perundingan dan perjanjian
1
Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, ,( Fakultas hukum Universitas Indonesia :
Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2011), hal. 31.
2
Eko Prilianto Sudradjat, Free Trade (Perdagangan Bebas) dan Fair Trade
( Perdagangan berkeadilan) Dalam Konsep Hukum, http://
Whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html, diakses pada
tanggal 18 Maret 2011.
internasional yang melahirkan aturan perdagangan bebas serta memfokuskan
pengembangan pasar bebas terbuka.3
Percepatan proses globalisasi dalam dua dekade terakhir ini secara
fundamental
telah mengubah struktur dan pola hubungan perdagangan dan
keuangan internasional. Hal ini menjadi fenomena penting sekaligus merupakan
suatu “era baru” yang ditandai dengan adanya pertumbuhan perdagangan
internasional yang tinggi, artinya Indonesia telah menjalankan dan melaksanakan
rezim perdagangan bebas (era globalisasi). Dalam era globalisasi perdagangan
bebas merupakan hal yang sering diperbincangkan karena diharapkan membawa
perubahan penting bagi dunia.
Untuk mencapai kondisi perdagangan bebas perlu cukup waktu, sebab
konsekuensi yang ditimbulkan tidak sedikit. Penghapusan hambatan perdagangan
internasional disatu sisi dapat membawa kebaikan, misalnya perdagangan bebas
memungkinkan arus masuk produk import lebih melaju, banyak beragam
sehingga menambah pilihan bagi konsumen. Proses kearah perdagangan bebas ini
disebut dengan liberalisasi perdagangan atau trade liberalization 4.
Namun disisi lain juga dapat membawa kejelekan dan diharapkan tidak
akan terjadi seperti,5 apabila pemerintah membebaskan pajak impor hingga 0 %
(nol persen), maka Indonesia tidak mendapat keuntungan dari produk impor, akan
3
Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi
Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia, (Jurnal hukum, Vol.01,No.1, 2005), hal. 12.
4
Ida susanti dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan
Hukum Indonesia Dalam melaksanakan perdagangan Bebas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),
hal. 5.
5
Administrator, ACFTA dan Dampak Terhadap Perindustrian dan UKM di Indonesia,
http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/02/acfta-dan-dampak-terhadap-perindustrian-sertaukm-di-indonesia, terakhir diakses pada tanggal 10 April 2011.
terjadi defisit perdagangan, perdagangan bebas akan mengganggu pasar domestik
dan mengancam barang produksi dalam negeri, produksi Indonesia akan
berkurang dikarenakan produk impor membanjiri Indonesia, pemutusan hubungan
kerja akibat pengurangan produksi dari perusahaan, gulung tikar terhadap
pengusaha lokal kemungkinan terjadi, termasuk Usaha Masyarakat Kecil dan
Menengah (UMKM) karena produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk
impor, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat konsumtif karena dibanjiri
barang-barang impor dengan relatif murah.
Perkembangan perdagangan yang semakin kompleks menuntut adanya
sebuah aturan atau hukum yang berbentuk tertulis dan berlaku secara universal.
Hukum adalah merupakan suatu kaidah sekaligus sebagai rujukan yang harus
dipatuhi bagi masyarakat internasional dalam hal melakukan kegiatan ekonomi
(perdagangan) untuk mengembangkan dan memperkuat struktur dan daya saing
industri, khususnya dalam business to business, baik secara bilateral dan regional
sampai pada tingkat internasional.
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) lahir dengan tujuan
untuk membuat suatu unifikasi hukum dibidang perdagangan internasional.
Meskipun pada awalnya masyarakat internasional ingin membentuk sebuah
organisasi perdagangan internasional di bawah PBB, namun dengan adanya
penolakan dari Amerika Serikat,
maka negara peserta GATT membuat
kesepakatan agar perjanjian dalam GATT ditaati oleh para pihak yang
menandatanganinya. Beragam kelemahan yang terdapat dalam GATT kemudian
diperbaiki melalui beberapa pertemuan. Salah satu pertemuan yang berhasil
adalah Putaran Uruguay antara tahun 1986-1994. Pada putaran tersebut dicapai
kesepakatan untuk membentuk sebuah lembaga perdagangan internasional World
Trade Organization (WTO).6
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat internasional yang
turut meratifikasi kerangka WTO ini, dengan sendirinya tunduk pada aturan
perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan tersebut. Untuk itu Indonesia tanpa
tawar menawar, harus menyesuaikan peraturan perundang-undangannya, dengan
kerangka WTO, khususnya dalam kaitannya dengan bidang yang diatur dalam
WTO,7 adalah murni multilateral. Kelahiran WTO menandakan adanya usaha
dari
negara-negara
untuk
melembagakan
ketentuan-ketentuan
tentang
perdagangan internasional yang telah disepakati dalam GATT. Upaya tersebut
membuktikan keinginan dunia internasional untuk membuat unifikasi dan
harmonisasi hukum perdagangan internasional dengan prinsip yang menganut
pada liberalisasi perdagangan dan kompetisi yang bebas.
Upaya untuk melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan
internasional yang dilakukan oleh WTO ternyata mengalami kesulitan untuk
mencapai kesepakatan multilateral. Hal ini disebabkan karena terlalu banyaknya
negara yang menjadi anggota dan tentunya anggota tersebut semua harus setuju.
Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral
sebenarnya sudah diambil jalan tengahnya dalam ketentuan Pasal 24 GATT
6
Administrator,
Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO,
http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/01/perjanjian-perdagangan-regional-rta-dalamkerangka-world-trade-organization-wto-study, terakhir diakses pada hari senin tanggal 18 April 2011
7
Sutiarnoto MS, Tantangan dan Peluang Investasi Asing, (Jurnal Hukum,Volume 6 No. 3,
Agustus 2001), hal. 271.
tentang diperbolehkannya pembentukan kerjasama-kerjasama regional dibidang
perdagangan. Ketentuan pasal tersebut memberi persyaratan bahwa pembentukan
perjanjian perdagangan regional tidak menjadi rintangan bagi perdagangan
multilateral.8
Perkembangan saat ini, banyak negara-negara membuat perjanjian
perdagangan regional, karena bersifat lebih mudah dan aplikatif tidak melibatkan
terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi dalam WTO.
Dengan kata lain ada pengecualian yang membolehkan bagi negara anggota WTO
untuk membentuk organisasi-organisasi ekonomi (perdagangan) secara regional
bilateral dan tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara
anggota lainnya9. Bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan utama dalam membuat kesepakatan, menjalin kerjasama dibidang
ekonomi dan perdagangan antar negara misalnya, dalam konteks custum union
atau free trade area.10
Salah satu perjanjian perdagangan regional yang ada saat ini adalah Asean
Free Trade Area (AFTA) yang diprakarsai oleh Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) sebuah organisasi regional negara-negara di Asia Tenggara.
AFTA lahir pada tahun 1995 dengan tujuan untuk memberikan keuntungankeuntungan perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari ASEAN. Upaya
AFTA untuk mewujudkan tujuannya adalah dengan melakukan kesepakatan
8
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2005), hal. 170.
9
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan
Perdagangan, ( Jakarta: BP. IBLAM, Cetakan I, 2005), hal. 21.
10
Huala Adolf dan A.Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan
Internasional, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 20.
preferensi terhadap barang-barang yang ada dari negara ASEAN.11 Selain itu juga
Uni Eropa, Asia Facific Economic Co-operation (APEC), North American Free
Trade Agreement (NAFTA) dan lainnya dengan syarat bahwa pembentukan
organisasi (perdagangan) regional tersebut tidak menjadi rintangan perdagangan
bagi pihak ketiga, hal ini berdasarkan pasal 24 GATT.
Kelahiran AFTA sendiri merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi
kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didomisi oleh
negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa
AFTA merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi terhadap pasar regionalnya
dan timbul atas perjanjian perdagangan regional yang lainnya, karena dengan
adanya perjanjian perdagangan regional ini akan melemahkan sistem perdagangan
multilateral. Padahal dalam ketentuan GATT sendiri mengatur tentang
diperbolehkannya untuk membentuk perjanjian pedagangan regional.12
Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas
“Free Trade Agreement” atau FTA yang bilateral dan regional, sebenarnya ada
sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada
dalam kerangka bilateral dan regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah
bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak
berjalan dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok
perdagangan regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan
11
12
Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO, Op.Cit.
Ibid.
meraih keuntungan langsung. Dimana saat ini perdagangan secara regional lebih
merebak, maju dan berkembang.13
Perdagangan bebas ASEAN atau AFTA sudah diputuskan terhitung mulai
sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan
Asean China Free Trade Agreement (ACFTA),14 pada Framework Agreement on
comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East
Asian and The People’s Republic of China (Asean-China). China cukup agresip
untuk mengejar FTA ini, karena ekonomi China yang tumbuh dengan laju 9 %
(sembilan persen) pertahunnnya sangat membutuhkan bahan mentah dan energi,
juga beberapa produk pertanian dan kehutanan yang ia ingin pastikan dengan
FTA tersebut.
Masuknya China dalam perdagangan bebas ASEAN ini meresahkan
kalangan produsen tekstil dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk
bebas masuk ke pasar ASEAN termasuk Indonesia.
Sikap Indonesia terhadap perdagangan bebas internasional khususnya
perdagangan bebas ACFTA sering mendua atau ambivalen. Artinya di satu pihak
Indonesia takut bahwa pasar dalam negeri akan direbut oleh asing, akan tetapi di
lain pihak juga disadari bahwa kalau tidak mengikuti mode dan trend FTA khusus
ACFTA maka Indonesia akan jauh ketinggalan dari negara lain.
13
Renegosiasi Perjanjian dagang ACFTA, Koran Waspada, kamis tanggal 14 Mei 2010.
Lihat juga M. Sadli, Kerja Sama Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia,
http://www.kolom.pasific.net.id/ind, terakhir diakses pada tanggal 16 Juli 2007.
14
Administrator, China Bergabung Dalam AFTA,
http://www./indosiar.com//ohas/83715/china-bergabung-dalam-afta, terakhir diakses pada 20 April
2011.
Akhirnya Indonesia juga membuka perundingan atau kesepakatan secara
bilateral untuk mencapai FTA dan prosesnya mengandung “give and take”. Jika
Indonesia menginginkan suatu konsesi atau fasilitas maka Indonesia harus bisa
menawarkan suatu konsesi secara “quid and pro”, dan berangsur-angsur
membuka Indonesia untuk perdagangan yang bebas.15
Kesepakatan multilateral dalam kerangka WTO lebih superior dari pada
kesepakatan FTA bilateral atau regional, maka pemerintah Indonesia sebaiknya
tetap berkiblat kepada pengaturan multilateral walaupun merundingkan FTA
secara bilateral. Demikian juga halnya FTA bilateral harus dikaitkan dengan FTA
regional dan harus disesuaikan dengan WTO. Artinya ketentuan-ketentuan yang
ada dalam aturan hukum perdagangan bebas secara regional tetap pondasinya
pada aturan ketentuan yang ada dalam WTO, serta tidak betentangan dengan
WTO.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini
diberi
judul “ Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi
Industri Dalam Negeri Terkait Dengan Kesepakatan Perdagangan Regional
AFTA-China (Studi Deskriptif Analitis Pada Pemerintah Sumatera Utara)”.
15
M. Sadli, Op.Cit.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal
yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana
analisis
hukum
mengenai
kebijakan
pemerintah
melindungi industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari
pelaksanaan perdagangan internasional AFTA-China ?
2. Bagaimana pengaturan kesepakatan perdagangan bebas regional dalam
ketentuan perdagangan internasional ?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi tantangan sekaligus peluang
bagi pemerintah, khususnya Sumatera Utara terhadap pelaksanaan
perdagangan internasional AFTA-China ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang
menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengkaji dan mengalisa mengenai kebijakan pemerintah
melindungi industri dalam negeri terhadap dampak negatif dari
pelaksanaan perdagangan internasional AFTA-China.
2. Untuk mengkaji dan mengetahui tentang pengaturan kesepakatan
perdagangan bebas regional dalam ketentuan perdagangan
internasional.
3. Untuk menganalisa dan mengetahui serta memberikan gambaran
mengenai faktor-faktor yang menjadi tantangan sekaligus peluang
bagi pemerintah, khususnya Sumatera Utara dengan ada dan
diterapkannya perdagangan internasional AFTA-China.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi
seluruh pihak dan kalangan yang dapat memanfaatkannya, khusunya bagi dosen
yang menerapkan prinsip Tri Darma Perguruan Tinggi. Maka dalam pemanfaatan
penelitian ini ada dua hal yang sangat penting, baik secara teoritis maupun secara
praktis antara lain sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Merupakan bahan untuk penelitian lebih lanjut, baik sebagai bahan dasar
maupun bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan
dengan rumusan dalam penelitian ini dan memberikan sumbangan pemikiran
hukum khususnya dalam bidang hukum perdagangan Internasional.
2. Secara praktis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum, negara dan
pemerintah khususnya Sumatera Utara akan pentingnya mengkaji lebih dalam
lagi mengenai kebijakan pemerintah melindungi industri dalam negeri terkait
dengan pelaksanaan perdagangan internasional, selanjutnya memahami ketantuan
diperbolehkannya perdagangan regional serta mengetahui faktor-faktor yang
menjadi tantangan sekaligus peluang pemerintah, khususnya pemerintah
Sumatera Utara dengan diterapkannya perdagangan AFTA-China.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan
informasi
dan
penelusuran
(studi
kepustakaan)
dibeberapa perpustakaan yang dilakukan terhadap penelitian-penelitian
sebelumnya, khususnya di lingkungan Program Studi Ilmu Hukum, LPPM
Universitas Muslim Nusantara Al-washliyah juga di lingkungan Program
Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat dan tidak ada penelitian yang benar-benar percis sama
dengan penelitian yang penulis lakukan, dan kalaupun ada, peneliti yang
terdahulu membahas terkait dengan tema atau judul yang diangkat, tentunya
dari segi judul, meteri, substansi, objek penelitian dan permasalahan serta
pengkajian dalam penelitiannya berbeda sama sekali. Oleh karena itu penulis
berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini dapat dipertanggung
jawabkan secara jujur, secara akademis dan secara ilmiah.
F. Target Luaran yang Ingin dicapai
Ada 4 (empat) poin target luaran yang ingin dicapai pada penelitian ini
adalah yaitu:
1) Bahwa untuk melindungi industri dalam negeri (produk lokal) pemerintah
harus melakukan kebijakan dan kebijakan pemerintah tersebut haarus sesuai
dengan prinsip keadilan dan harus benar-benar merupakan target utama yang
diperlukan untuk mengantisifasi dan melindungi terhadap dampak negatif dari
pelaksanaan kesepakatan perdagangan AFTA-China di Indonesia.
2) Bahwa para pelaku kegiatan ekonomi (pelaku usaha) yang terlibat dalam kerja
sama perdagangan bebas internasional khususnya dalam kesepakatan
perdagangan regional AFTA-China wajib mematuhi aturan-aturan yang sudah
ditetapkan dan tetap mengarah kepada ketentuan WTO secara multilateral.
Sehingga dalam proses kegiatan ekonomi (perdagangan) tersebut khususnya
para pelaku usaha hendaaknya tetap berlaku adil dan jujur.
3) Bahwa pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah Sumatera Utara harus
memanfaatkan perdagangan bebas ini sebagai motivasi dan peluang untuk
mengembangkan dan memajukan perekonomian Indonesia, khususnya
perekonomian Sumatera Utara, bukan sebaliknya, pemerintah jangan pesimis
atau tidak boleh takut terhadap perdagangan bebas AFTA-China ini, dengan
kata lain Indonesia, khususnya Sumatera Utara harus optimis serta bisa
memanfaatkan dampak positif dari terlaksananya perdagangan AFTA-China.
4) Bahwa hasil penelitian ini semoga dapat dimuat dalam jurnal, Insya Allah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Teori Kebijakan
Menurut Bruggink dalam bukunya “Refleksi Tentang Hukum” pengertian
teori adalah kaseluruhan pernyataan (statement, claim, bewenngen) yang saling
berkaitan.16 Tentunya terfokus pada teori hukum yang menjadi kajian atau analisis
hukum normatif.
17
Sedangkan pengertian “kebijakan” istilah lainnya adalah
“policy” disebut sebagai “wisdom”, dalam arti kebijakan atau kearifan adalah
pemikiran-pemikiran/pertimbangan
yang
mendalam
untuk
menjadi
dasar
(landasan) bagi perumusan kebijakan, dan kebijakan ini dalam arti “Kebijakan
Publik”. Kebijakan menurut Thomas R. Dye adalah sebagai pilihan pemerintah
untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat” (to do or not to
do).
Carl J. Friendrich juga menyebutkan bahwa kebijakan adalah serangkaian
konsep tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau sekelompok orang atau
pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-
16
M.Solly Lubis, (modul) Teori Hukum, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2006), hal 3.
Lihat juga B.Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, dan Filsafat
Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2008), hal. 31.
17
Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Teori) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi UndangUndang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup,
2009, hal. 17.
hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu.18
Selanjutnya Amara Raksasataya mendefinisikan bahwa kebijakan adalah
suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada 3 (tiga)
unsur dalam kebijakan menurut Amara:
1. Identifikasi tujuan yang akan dicapai
2. Strategi untuk mencapainya
3. Penyediaan
beberapa
input
atau
masukan
yang
memungkinkan
pelaksanaannya.
Menganalisa dari beberapa pengertian dan defenisi kebijakan tersebut,
maka ada tiga konotasi yang terkait dengan istilah kebijakan publik, khususnya
kata “publik” yaitu: (1). Pemerintah, (2). Masyarakat, dan (3).Umum.
Ini
tercermin, kata Said, dalam dimensi “subjek, objek dan lingkungan” dari kebijakan
itu.19 Adapun kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini hanya terfokus kepada
poin pertama “Kebijakan Pemerintah” saja, yakni dimensi subjek yang ditandai
oleh adanya kebijakan dari pemerintah, maka dikatakan bahwa salah satu ciri
kebijakan itu adalah “what government do or not to do”.
Dengan demikian kebijakan publik itu merupakan serangkaian tindakan
yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi
kepentingan masyarakat.
Jika suatu pemerintah negara melakukan pelayanan
dengan berorientasi kepada public interest atau public needs, maka yang harus
18
19
M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung : Mandar Maju, 2007), hal. 7
Ibid, hal. 8.
dipikirkan oleh pemerintah itu adalah “How to serve the public” ?, bagaimana
untuk melayani masyarakat ?, sehingga pemerintah tersebut bertindak sebagai
“public sevant” pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan public service
(layanan Publik).20
Hal ini bisa dilihat pada tataran negara Indonesia pada tahun 1999, yakni
disaat arus politik gerakan reformasi mulai bergelora, MPR RI, sebagai Lembaga
Negara Tertinggi menetapkan GBHN (Broadlines of the State Policy), sebagai
induk kebijakan public (public policy), yang bermuatan luas meliputi semua
bidang dan sektor pembangunan nasional, termasuk bidang hukum yang kemudian
berlanjut dengan rincian rencana pelaksanaanya dengan konsep Repelita (Rencana
Pembangunan Nasional Lima Tahun).21 Kalau dulu keseluruhan garis kebijakan
(state policy) itu dituangkan dalam GBHN, maka sekarang melalui RPJPN,
RPJMN, untuk skala nasional disusul RPJPD dan RPJMD untuk skala Daerah.22
Oleh karena itu kebijakan pembangunan dibidang perdagangan dipusatkan
bagi terciptanya kerangka landasan perdagangan yang memungkinkan bidang ini
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Peranan
perdagangan dalam pembangunan pada akhirnya dapat dilihat dari seberapa besar
sumbangannya dalam pembangunan dalam menunjang pertumbuhan dan stabilitas
ekonomi serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Keberhasilan
dibidang perdagangan dalam upaya meningkatkan ekspor sangat penting bagi
20
Ibid, hal. 9
M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam Rangka Ultah ke80 Prof. M. Solly Lubis, (Medan: PT. Sofmedia, 2010), hal. 60.
22
Ibid, hal. 73
21
tercapainya pembangunan nasional secara keseluruhan, maka dari aspek inilah
terdapat keterkaitan erat antara ekspor dengan pembangunan ekonomi.23
2. Teori Perdagangan Bebas
Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran serta teori yang akan
menjadi dasar kerangka bagi penelitian ini yang awalnya lahir dari adanya
hubungan-hubungan internasional baik secara bilateral, regional maupun
multilateral tentunya dengan prinsip-prinsip dan asas-asas yang berlaku dalam
ketentuan-ketentuan hukum internasional dan selanjutnya menjadi teori hukum
internasional.
Adapun teori tentang perdagangan bebas yang digunakan adalah teori yang
dikemukakan oleh Adam Smith (1723-1790), seorang guru besar dibidang Filosofi
moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus juga dikenal sebagai
ahli teori hukum, bapak ekonomi modern,24 telah melahirkan teori keadilan
(justice), bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian “the end of
justice is to secure from injure” yang berawal dari persepektif kapitalisme klasik
terhadap perdagangan bebas internasional didasarkan pada prinsip laissez faire
dalam karyanya yang sangat terkenal An Inquiry to the Nature and Causes of the
Wealth Natio. Awalnya kapitalisme dianggap cukup atraktif dimana versi Adam
Smith ini diyakini akan mampu memberikan kesejahteraan kepada mayarakat.
Dalam The Wealth of Nation Smith juga mendiskripsikan bahwa sistem harga akan
23
Administrator, Tinjauan Efektifitas implementasi Perjanjian ACFTA Bagi Perekonomian
Indonesia, http://accountry.blogspot.com/2011/02 tinjauan-efektifitas-implementasi.html. terakhir
diakses pada tanggal 25 Mei 2011.
24
Bismar Nasution, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Medan: Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 4.
bekerja dan bagaimana ekonomi yang bebas dan berkopetensi akan berfungsi
tanpa ada campur tangan pemerintah melalui pengalokasian sumber daya dengan
cara yang efesien. Smith juga mendiskripsikan pandangan laissez faire atau prinsip
bebas melakukan apa saja, bahwa berbagai transaksi ekonomi yang independen
akan terdapat harmoni alamiah di mana manusia mencari pekerjaan, produsen
menghasilkan barang, konsumen membelanjakan penghasilannya untuk membeli
produk yang berdasarkan pilihan masing-masing.25
Adam Smith percaya bahwa kepentingan pribadi tidak boleh dikekang oleh
negara. Lebih jauh dikatakan bahwa selama pasar bebas bersaing, tindakan
individu yang didorong oleh kepentingan diri akan berjalan bersama dengan
kebutuhan bersama khalayak ramai. Sebagaimana diuraikan Smith bahwa bila
dalam transaksi dengan orang lain setiap individu bebas mengejar kepentingannya
sendiri, maka bukan hanya individu itu yang beruntung, akan tetapi juga seluruh
masyarakat.26
Meskipun tidak setuju dengan campur tangan pemerintah, akan tetapi
seperti diuraikan Smith tersebut, peran negara tidak hilang sama sekali, hanya
dikurangi sampai tingkat minimal. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah punya
tugas yang amat sangat penting dan yang begitu luas serta jelas bagi pemahaman
25
Ningrum Natasya Sirait, Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Internasional,
disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional
Pada Fakultas Hukum, diucapkan dihadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, pada tanggal
2 September, 2006.
26
Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal : Studi kesiapan
Indonesia Dalam Perjanjian Inverstasi Multilateral, (Medan: Universitas Sumatera Utara, Sekolah
Pascasarjana, 2005), hal.191. dan lihat
juga dalam
“Adam Smith ,Teori Adam Smith,
http://www.nytimes.com/2006/06/26/business/26endbuffet.html?ex=1308974400&en=1a8df7bb4f340d38&ei=5088&partner=rssnyt&emc=rss,
diakses
pada 7 Maret 2011.
umum. Pertama tugas untuk melindungi masyarakat dari kekarasan dan serbuan
negara lain. Untuk melindungi sejauh mungkin setiap warga negara dari
ketidakadilan dan pemaksaan/pemerasan yang dilakukan oleh warga lain, atau
tugas menyelenggarakan secermat mungkin tata keadilan.27
Smith
juga mengajarkan bahwa
perdagangan bebas akan dengan
sendirinya menciptakan international devision of
labour (pembagian kerja
internasional) yang saling menguntungkan, di mana masing-masing negara akan
mengekspor barang maupun jasa ke pasar internasional yang dianggap paling
menguntungkan dari segi biaya produksi maupun jasa ke pasar internasional.28
Namun pada prinsipnya mengenai sistem perdagangan bebas ini juga
dikembangkan oleh John Meynard Keynes bahwa sistem perdagangan bebas ini
adalah sistem ekonomi kapitalis yang terkontrol melalui campur tangan negara.29
Artinya Keynes menyatakan bahwa perlunya campur tangan pemerintah
dan pendanaan langsung dari pemerintah untuk menanggulangi kemerosotan
investasi swasta dan daya beli demi untuk merangsang pemulihan ekonomi.
Anjuran Keynes ini memunculkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dan
membawa perubahan bahwa campur tangan negara dalam masyarakat sangat
mengubah pekerjaan yang bisa dilakukan oleh hukum tradisional,30 dimana peran
27
Ibid, hal. 194
Bob s. Hadiwinata dan Aknolt K. Pakpahan, Fair Trade Gerakan Perdagangan Alternatif,
(Bandung: Pustaka belajar Oxfam, 2004), hal. 2.
29
Ida susanti dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dalam Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan
Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003,
hal. 14. Lihat juga dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/22/opini/2068215.htm, diakses
pada tanggal 7 Maret 2011.
30
Satjipto Rahardjo,SH, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, (Mataram: Genta
Publishing, 2009), hal. 27.
28
negara yang besar diakui tidak saja untuk menjamin keamanan internal dan
ekternal, akan tetapi lebih jauh bertanggung jawab atas sejumlah besar
ketidakadilan. Negara harus mengambil peran dalam penghapusan ketidakadilan
tersebut dari sistem yang ada melalui sejumlah intervensi ekonomi dan sosial.31
Salah satu bentuk intervensi dalam konteks hukum adalah keadilan, dan
tentunya tidak terlepas dari ketentuan yang mengatur perdagangan bebas termasuk
prinsip-prinsip perdagangan yang tertuang dalam ketentuan WTO, bahwa
perdagangan bebas bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai
basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan hambatan non-bea
di lingkaran ASEAN dalam AFTA untuk menciptakan pasar yang terintegrasi
antara negara anggota ASEAN juga untuk meningkatkan kerja sama ekonomi
antara negara ASEAN guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
yang berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN dimana hal tersebut
sangat penting bagi pencapaian stabilitas dan kemakmuran di kawasan.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Jhon Rawls dalam
teori keadilannya (theory of justice), bahwa keadilan adalah sebagai suatu
kejujuran dan kesetaraan ( justice as fairness),32 yaitu memberikan keuntungan
terbesar bagi yang paling tidak diuntungkan serta membuka kesempatan yang fair.
Keadilan sebagai konsep yang didasarkan pada asas persamaan dan ketidaksamaan
( equality and inequality) dimana nilai-nilai sosial, kebebasan dan kesempatan,
31
Mahmul Siregar, Buku 1, Op. Cit., hal. 197
John Rawls, A Theory of Justice Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3.
32
pendapatan dan kemakmuran berdasarkan self respect harus didistribusikan
sesama.33
Namun demikian ketidaksamaan distribusi kemakmuran diperkenankan
selama hal tersebut untuk memberikan kebaikan kepada setiap orang. Dengan kata
lain, inequalities diperkenankan sepanjang everyone”s position be improved. Teori
keadilan Jhon Rawls (Rawlsian) yang juga dinamakan sebagai contract theory
mengandung maksud bahwa keadilan dalam konteks atau situasi kontraktual dan
prinsip timbal balik (reciprocity) yang merupakan salah satu prinsip terkait
hubungan dalam perdagangan internasional serta karakter hukum internasional
bercirikan suatu sistem hukum yang sifatnya horizontal (horizontal legal
system).34
Konsep keadilan internasional Rawls
digambarkan kedalam konteks
hukum internasional dan dapat diaplikasikan dalam hal perdebatan melalui
negosiasi pengadaan harus terhindar dari unsur manipulasi, dominasi, tekanan
terhadap kelompok inferior yang selanjutnya dinamakan kriteria resiprositas juga
melahirkan ketegangan internal dalam teori liberal itu sendiri yaitu adanya tensi
antara teori keadilan perdagangan utilitarian dan liberatarian. Pertama, bahwa
perdagangan internasional yang harus dikontruksi untuk perlindungan kesamaan
moral (morality equality) dari semua individu yang dikenakan aturan. Kedua,
keadilan dalam pandangan liberal memerlukan hukum perdagangan internasional
33
Ade Manan Suherman, “Perdagangan bebas (Free Trade) Dalam Perspektif Keadilan
Internasional”, (Jurnal Hukum, Vol. 5, No. 2, 2008), hal.252. Lihat juga dalam
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/520825126.pdf, diakses pada tanggal 17 Maret 2011
34
Ibid, hal. 253.
yang berlaku dan menguntungkan negara yang kurang beruntung. Ketiga, bahwa
keadilan liberal memasyarakatkan hukum internasional yang tidak mengorbankan
hak asasi manusia dan perlindungan efektif terhadap hak asasi manusia untuk
mencapai kesejahteraan (welfare gains), keadilan adalah suatu cita-cita dari segala
kepentingan hukum perdagangan internasional tidak lain adalah “keadilan”.
Maka keadilan dalam pandangan internasional memerlukan komitmen
terhadap perdagangan bebas sebagai elemen fundamental dari hubungan
perekonomian yang adil, artinya bahwa prinsip dasar perdagangan bebas tetap
menelaah dari aturan-aturan dasar yang terdapat dalam GATT 1994 dan didukung
dengan pendapat para ahli hukum khususnya hukum internasional.
Dengan demikian pada dasarnya prinsip liberalisasi perdagangan
internasional menganggap semua pihak sama kedudukannya dan dalam prinsip ini
tersirat prinsip persaingan yang bebas melalui kesempatan yang sama misalnya
perdagangan baik secara bilateral maupun regional tetap ketentuannya dalam
kerangka WTO dan dengan bergabungnya China dalam AFTA terkait WTO, maka
negara-negara berkembang memiliki suara yang lebih berpengaruh pada satu
pihak, walaupun terdapat kepentingan China dan kepentingan dari negara-negara
berkembang lainnya tidak sepenuhnya berjalan seiring.
Selanjutnya mengenai uraian teori di atas tersebut adalah akan menjadi
pisau analis untuk membuktikan bahwa norma-norma hukum internasional yang
terkait dengan judul penelitian yaitu “Analisa Hukum Mengenai kebijakan
pemerintah melindungi industri dalam negeri terkait dengan kesepakatan
perdagangan regional AFTA-China (Studi Deskriptif Analitis Pada Pemerintah
Sumatera Utara) ”. Dalam rangka kajian terhadap analisa hukum mengenai
kebijakan pemerintah melindungi industri dalam negeri terkait dengan
kesepakatan perdagangan AFTA-China tersebut, perlu memperhatikan sebagai
mana diamati hasil studi yang dilakukan Burg‟s
mengenai hukum dan
pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan agar tidak
menghambat ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictibily), keadilan
(fairness), pendidikan (education), dan pengembangan khusus dari sarjana hukum
( the special development abilities of the lawyer).35
Selanjutnya Burg‟s
mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di
atas ini merupakan persyaratan supaya ekonomi berfungsi dengan baik. Dalam hal
ini “stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingankepentingan yang saling bersaing, dan dalam hukum internasional stabilitas
berfungsi untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi persaingan kepentingan
antara kelompok negara berkembang dengan kelompok negara maju dengan
kapasitas masih dalam lingkup kerangka WTO .
Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara36. Hal ini
sejalan dengan J.D. Ny. Hart, yang mengemukakan konsep hukum sebagai dasar
35
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International and
Policy, Vol.9, 1980), hal. 232, dikutip dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I , (Bandung
: Books Terrace & Library, 2009), hal. 37.
36
Ibid.
pembangunan ekonomi yaitu predictability, procedural capability, codification of
goals, education, balance, definition and clarity of status serta accommodation.37
Aspek keadilan “fairness” adalah ukuran yang menyeimbangkan
kepentingan-kepentingan lembaga WTO di satu pihak, dengan kepentingan
masyarakat di negara-negara berkembang di pihak lainnya, terutama
yang
berkenaan dengan hubungan-hubungan internasional, contoh dalam kesepakatan
perdagangan bebas internasional AFTA-China dan setiap problema perdagangan
yang timbul sebagai akibat perjanjian dalam kerangka WTO harus benar-benar
diselesaikan dengan ketentuan atau norma-norma hukum internasional.
Keadilan yang diharapkan dari perdagangan bebas AFTA-China ini adalah
memperoleh keuntungan yang besar bagi semua negara anggota khususnya AFTAChina dengan tidak membedakan antara negara-negara maju dengan negaranegara berkembang. Kaitannya dengan perdagangan, dalam bentuk apapun ada
kelompok besar dan kelompok kecil yang terlibat dalam kegiatan dagang atau
pelaku usaha. Keadilan yang diharapkan dalam hal ini, ketika keduanya bersatu
harus berdasarkan prinsip kesetaraan tanpa harus menghilangkan perbedaanperbedaan tersebut. Dengan kata lain, nilai dasar yang hendak dicari dan diperoleh
oleh berbagai peraturan hukum adalah keadilan. Masyarakat ASEAN khususnya
yang tergabung dalam AFTA-China merasakan, bahwa keadilan tercapai apabila
seseorang yang tidak bersalah tidak dikenakan hukuman, juga dirasakan adil jika
seorang kreditur dilindungi haknya untuk mendapatkan kembali uangnya dari
37
J.D.Ny. Hart, “ The Rule of Law in Economic Development” dikutip dalam Erman
Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1995), hal. 365-367.
sidebitur. Keadilan tercermin pula apabila negara yang sudah cukup memiliki
modal, mengalirkan modalnya ke negara yang kekurangan modal.38
Jelas, bahwa semua sistem hukum ASEAN mempunyai persamaan yang
besar dan mendasar adalah sama-sama mencari keadilan yang benar-benar adil,
seperti yang dicita-citakan orang cerdik pandai Aristotels, Adam Smith, John
Rawls dan lain-lainnya yang tidak disebutkan dalam tulisan penelitian ini,
tentunya mereka banyak mengajukan analisis tentang keadilan.39
Artinya jika dikaitkan dalam perdagangan AFTA-China, Indonesia dan
China tentunya terdapat perbedaan, misalnya produk China terkenal dengan harga
murah dan relatif bagus sehingga dapat bersaing dengan produk lokal. Namun
harga saja bukan faktor yang menentukan konsumen untuk membeli. Oleh karena
itu, sebaiknya konsumen juga harus memperhatikan kualitas, purna jual,
pelayanan, dan faktor-faktor lainnya. Maka ada baiknya keputusan pembelian
konsumen dipengaruhi oleh 4P yaitu Product atau produk, Price atau harga, Place
atau distribusi, dan Promotion atau promosi, sehingga perbedaan-perbedaan
tersebut jangan dihilangkan, artinya penentuan untuk membeli ada pada pihak
konsumen.
B. Konsepsi
Kerangka konsepsional ini penting untuk dirumuskan agar tidak tersesat
kepemahaman yang lain di luar maksud penulis dalam penelitian ini.
Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur
38
39
Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, ( Jakarta: Buku Kompas, 2006), hal. 42.
Ibid, hal. 43
lainnya seperti asas dan standart. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk
konsepsional merupakan salah satu inti sari hal-hal yang dirasakan penting dalam
hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang
dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk
keperluan analisis.
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan
beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan. Adapun konsep yang dimaksud pada penelitian ini
antara lain:
1. Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan azas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara
dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau
subjek hukum bukan negara satu sama lain.
2. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan
apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis
oleh pemrintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,
organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia
yang bersifat hukum Publik.40 Perjanjian Internasional dalam hal ini
adalah Asean-China Free Trade Agreement.
40
Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri ,dan pasal 1 butir
1 UU No. 24 tahun 2000 tentang “Perjanjian Internasional”. Lihat juga I Wayan Parthiana. Hukum
Perjanjian Internasional ,bag.I, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 12.
3. Perdagangan bebas adalah masuknya barang dan jasa dari satu unsur ke
unsur lain tanpa dikenai tarif, dan merupakan sebuah konsep ekonomi
yang mengacu kepada Harmonizet Commodity Deskription and Coding
System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization. Dengan
kata lain perdagangan bebas disebut juga sebagai tidak adanya hambatan
buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antara
individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang
berbeda.
4. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang bersifat lintas batas
yang dilintasi oleh negara dalam suatu perdagangan internasional yang
sering dibatasi oleh berbagai pajak negara.
5. Kebijakan pemerintah adalah suatu kearifan atau seperangkat keputusan
yang diambil oleh pelaku-pelaku politik termasuk pemerintah dalam
rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk mencapai tujuan
tersebut.
6. Industri Dalam Negeri adalah suatu industri atau perusahaan (pabrik) yang
menghasilkan barang-barang dalam negeri secara domestik.
7. ACFTA (Asean China Free Trade Agreement) atau juga dikenal dengan
AFTA-China adalah perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara
ASEAN yang tergabung dalam AFTA dengan China.
C. Pengertian Perdagangan Regional
Mengenai istilah regional sebenarnya sudah tercakup dalam katagori
istilah kesepakatan atau perjanjian internasional dengan konsep bilateral, regional
dan multilateral. Konsep ini banyak ditemui dalam hukum internasional dan pada
prinsipnya hukum internasional lebih banyak mengatur hubungan-hubungan yang
sifatnya lintas batas dibidang hukum publik, bukan hukum perdata.41 Dalam
ruang lingkup hukum internasional yakni hukum yang mengatur hubungan antar
negara.42
Namun demikian ada baiknya pengertian tersebut dijelaskan secara
harfiah. Menurut kamus hukum, pengertian bilateral
43
adalah timbal balik, dan
dilakukan oleh kedua belah pihak. Sedangkan kesepakatan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang lain atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Artinya apabila dua orang mengadakan kata sepakat (konsensus)
tentang sesuatu hal, maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian dan akibat
perjanjian ini adalah terikat pada isi perjanjian.
44
Hal ini disebut dengan Pacta
Sunt Servanda yaitu bahwa perjanjian adalah mengikat, ditaati, ditepati, serta
menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Dengan kata lain
kesepakatan (perjanjian) yang diadakan hanya dua negara disebut dengan
perjanjian bilateral.
41
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Edisi Revisi, (Bandung : Refika
Aditama, 2010), hal. 172.
42
Peter de cruz, Perbandingan Sistem Hukum Comman Law, civil law dan/socialist law,
(Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 35.
43
Rahmad A. dan M. Halimi, Tata Negara Penuntun Belajar, (Bandung: Ganeca Exxact,
1996), hal. 273. Lihat juga J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum,
cetakan keenam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 20.
44
Lihat pasal 1313 KUHperdata
Sedangkan kesepakatan multilateral adalah kesepakatan yang diadakan
oleh para pihak dengan jumlah negara yang sangat banyak. Maka dalam hal
penulisan ini objek penelitian yang akan dianalisa hanya terfokus pada
kesepakatan atau perjanjian regional saja.
Regional adalah daerah, satu daerah, mengandung arti kedaerahan atau
bersifat daerah.45 Sedangkan regionalisme atau regionalism‟ adalah paham untuk
mengadakan kerja sama antara negara-negara di satu kawasan misalnya negaranegara di kawasan ASEAN.46 Maka dengan demikian regional mengandung dua
pengertian antara lain;
a. Daerah-daerah dalam suatu negara tertentu.
b. Daerah-daerah atau wilayah dalam satu kawasan tertentu (misalnya negaranegara di kawasan Asia).
Dalam studi hubungan internasional, regionalisme memiliki irisan studi
yang sangat erat dengan studi kawasan atau Area Studies. Bahkan dalam aplikasi
analisis istilah regionalisme atau kawasan sering kali tumpang tindih. Oleh karena
itu defenisi regionalisme akan banyak mengambil dari definisi yang berkembang
dalam studi kawasan.
Menurut
Mansbaach,
regional
adalah
pengelompokan
regional
diidentifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling
ketergantungan
45
ekonomi
yang
saling
mengutungkan,
komunikasi
serta
J.C.T. Simorangkir, dkk, Op.Cit., hal. 146.
C.S.T. kansil, dan Cristine Kansil, Modul Hukum Internasional, (Jakarta: Djambatani,
2002), hal. 233.
46
keikutsertaan dalam organisasi internasional.47 Untuk organisasi regional adalah
organisasi kerjasama ekonomi perdagangan yang anggotanya terdiri dari beberapa
negara di kawasan wilayah tertentu seperti AFTA, ASEAN, APEC, EFTA,
NAFTA, LAFTA dan lain-lain.48
Selanjutnya dengan menganalisa definisi tersebut, maka untuk lebih
memahami makna dari regional ada 4 (empat) kriteria yang bisa dipergunakan
dalam hal menunjuk sebuah kawasan atau regional yaitu:49
a. Kriteria geografis
Artinya mengelompokkan negara berdasarkan lokasinya dalam benua, sub
benua, kepulauan dan lain sebagainya seperti Eropa dan Asia.
b. Kriteria politik/ militer
Artinya pengelompokan negara tersebut dilakukan pada keikutsertaanya
dalam berbagai aliansi atau berdasarkan pada orientasi politik, misalnya blok
sosialis, blok kapitalis, NATO, dan non blok.
c. Kriteria ekonomi
yaitu pengelompokan negara-negara tersebut dilakukan berdasarkan pada
kriteria terpilah dalam perkembangan pembangunan ekonomi, misalnya
output industri, seperti negara-negara industri, negara yang sedang
berkembang dan negara yang terbelakang.
d. Kriteria transaksional
yaitu mengelompokkan negara-negara berdasarkan pada jumlah frekwensi
mobilitas penduduk, barang dan jasa, seperti imigran, turis, perdagangan dan
berita, contoh Amerika, Kanada, dan Pasar Tunggal Eropa.
Dengan demikian peristiwa-peristiwa yang menyangkut peristiwa yang terjadi
dalam satu kawasan (regional), jika disebutkan, maka akan dapat mengetahui
dikawasan mana peristiwa itu berlangsung, karena telah mengetahui ciri-ciri dari
47
Nuraeni, Deasy Silvya dan Arifin sudirman, Regionalisme Dalam Studi Hubungan
Internasional, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 1.
48
Handy Hady, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hal. 97.
49
Nuraeni, dkk, Op.Cit., hal. 2.
suatu kawasan itu, misalnya batas wilayah, batas idiologis, atau batas wewenang
hukum.
Sebagai upaya untuk memahami regionalisme, ada 5 (lima) proses
berlangsungnya regionalisme yaitu:50
1) Regionalisasi
Regionalisasi merujuk pada proses pertumbuhan integrasi societal, integrasi
kemasyarakatan, dalam suatu wilayah dalam proses sosial dan ekonomi yang
cenderung tidak terarah (undirected). Proses ini bersifat alam dan dengan
sendirinya negara-negara yang saling bertetangga, yang secara geografis
berdekatan melakukan serangkaian kerjasama guna memahami berbagai
kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri.
Jadi dengan demikian dalam proses ini ada dua istilah regionalisme yakni,
51
soft
regionalism dan transnational regionalism. Soft regionalism, yaitu mengarah
kepada otonom meningkatnya derajat interdependensi ekonomi yang lebih tinggi
dalam wilayah geografis tertentu. Dorongan yang paling penting dalam proses
terbentuknya proses regionalisasi ekonomi berasal dari pasar, arus perdagangan
dan investasi pribadi, dan dari kebijakan dan kebutuhan perusahaan-perusahaan,
contoh regionalisme di kawasan Asia Fasifik. Terbentuknya regionalisme di
kawasaan ini lebih didorong oleh berkembangnya jaringan (network) bisnis
regional dan firma-firma trans-nasional.
50
Andre H. Pareira, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 154.
51
Nuraeni, dkk, Op.Cit., hal. 7.
Transnasional Regionalism, yaitu mencakup meningkatnya arus mobilitas orangorang, perkembangan jaringan (netwok) sosial yang kompleks dan melalui
berbagai saluran dimana ide-ide, sikap-sikap politis dan aliran-aliran pemikiran
terbesar dari satu area ke area lain dengan mudah, serta terciptanya satu
masyarakat aliansi antar pemerintah, serta munculnya identitas baru, atau
mengurangi batas wilayah.
2) Kesadaran dan identitas regional
Kesadaran dan identitas regional (regional awareness and identity), semua
kawasan dipahami dengan istilah cognitive region yang berarti bahwa, sama
halnya dengan bangsa, maka satu kawasan tersebut seperti komunitas
masyarakat yang berada pada satu tempat (peta) yang menonjolkan segi-segi
tertentu. Artinya sebuah kawasan itu hanyalah pengistilahan terhadap wilayah
geografis yang pengelompokannya didasarkan pada ciri-ciri tertentu, dan
dengan adanya ciri-ciri tersebut lebih mudah untuk mengenalinya. Proses
kesadaran regional menekankan pada bahasa dan retorika, wacana tentang
identitas regional, pemahaman umum dan pengertian yang diberikan pada
berbagai kegiatan, rasa memiliki pada suatu komunitas atau kelompok tertentu
baik melalui faktor internal maupun external.
3) Kerjasama regional antar negara
Aktivitas kerjasama regional antar negara (regional interstate co-operation)
yang menunjukkan interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi bilateral
sampai
pembentukan
rezim
yang
dikembangkan
untuk
memelihara
kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai bersama, serta memecahkan masalah
bersama terutama yang timbul dari meningkatnya tingkat interdependensi
regional. Aktivitas tersebut meliputi negosiasi, konstruksi, kesepakatan,
dimana kerjasama tersebut bisa bersifat formal dan informal.
4) Integrasi regional yang didukung negara
Untuk integrasi regional yang didukung negara (state promoted regional
integration) melibatkan perbuatan kebijakan khusus pemerintah yang disusun
untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan-hambatan dalam pertukaran
barang, jasa dan orang-orang. Kebijakan-kebijakan tersebut telah melahirkan
literatur dalam jumlah yang banyak.
5) Kohesi regional
Kombinasi dari keempat proses regionalisme ini mengarah pada terbentuknya
unit regional yang kohesif dan terkonsolidasi. Hal ini dapat dilihat dalam
berbagai model termasuk pembentukan organisasi supranasional secara
bertahap dalam konteks peningkatan integrasi ekonomi melalui intensitas
kerjasama dan pembentukan rezim-rezim atau gabungan dari tradisional
dengan supranasional.
D. Tinjauan Umum Tentang AFTA
ASEAN Free Trade Area selanjutnya disingkat dengan AFTA adalah suatu
bentuk kerja sama perdagangan antara ASEAN yang dirumuskan dalam The
ASEAN Preferential Trading Arrangements/PTA dan ditandatangani pada tahun
1977, kemudian disempurnakan dalam The Protokol on Improvegents On
Extention of Tariff Preferences Under the ASEAN Preferential Trading
Arrangemnts/PTA. Pada tahun 1992 dihubungkan dan ditingkatkan dalam kerja
sama dibidang ekonomi melalui pembentukan AFTA dan mulai berlaku tahun
1993 dan berlaku sepenuhnya setelah jangka 15 tahun dan dipercepat pada tahun
2003 yang lalu.
Awal pembentukan AFTA tidak terlepas dari pembentukan ASEAN pada
tahun 1967 yang memberikan kontribusi yang sangat penting dalam menciptakan
keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara, sehingga dengan demikian
memungkinkan
negara-negara
ASEAN
tersebut
dapat
melaksanakan
pembangunan ekonomi dengan baik.
Proses menuju kawasan perdagangan bebas yang ditetapkan selama lebih
kurang sepuluh tahun yang dilakukan melalui Common Effective Propential Tariff
(CEPT) dimana penurunan tarif komoditi tertentu secara bersama sampai tingkat
0-5 persen, telah terwujud pada tahun 2003 yang lalu. Untuk negara-negara yang
bergabung seperti Vietnam tahun 2006 serta Laos dan Myammar tahun 2008.
Isi CEPT adalah merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama
oleh negara ASEAN dalam melaksanakan AFTA. Berdasarkan hasil pertemuan
Menteri Perdagangan ASEAN-6 di Singapura tanggal 28 Januari 1992 telah
disepakati bahawa untuk melaksanakan penurunan tarif/bea masuk perdagangan
antara ASEAN menjadi 0-15 %. Pada KTT ke-4 telah diputuskan bahwa AFTA
akan dicapai dalam waktu 15 (lima belas) tahun yaitu terhitung pada 1 Januari
1993- 1 Januari 2008 dan hanya menyangkut produk manufaktur, kemudian
dipercepat menjadi 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Produk
manufaktur tersebut termasuk dalam barang-barang modal dan produk pertanian
yang diproses, serta produk-produk yang berada diluar katagori produk pertanian
yang belum diproses juga tercakup dalam program CEPT.52
Persyaratan suatu produk yang dapat diperdagangkan melalui program
CEPT apabila produk tersebut memenuhi tiga kriteria yaitu:53
a. Produk tersebut harus terdaftar dalam Inclusion List baik di negara
pengekspor maupun pengimpor dan memiliki rentang tarif yang sama yaitu di
atas 20 % atau di bawah 20 %.
b. Produk tersebut mempunyai program pengurangan tarif yang telah disetujui
oleh Dewan AFTA.
c. Produk tersebut harus merupakan produk ASEAN yaitu harus memenuhi
muatan lokal ASEAN sekurang-kurangnya 40 %.
Produk yang telah memiliki tingkat tarif 0-5 % secara otomatis telah
memenuhi persyaratan program CEPT dan dengan sendirinya akan menikmati
kemudahan-kemudahan yang diberikan program tersebut.54
Tujuan dibentuknya AFTA adalah untuk mengurangi segala hambatan
arus transaksi perdagangan dan modal di kawasan ASEAN, juga untuk
mempertinggi tingkat pertumbuhan dan memciptakan keunggulan kompetitif
kawasan ASEAN yang mengacu kepada ketentuan World Trade Organization
(WTO). Selain itu tujuan AFTA yang harus dicapai ialah sebagai berikut:55
1. Untuk meningkatkan keunggulan kompetetif sebagai basis produksi pasar
dunia.
52
Hendera Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), hal. 246.
53
Ibid, hal. 28.
54
Dibyo Prabowo dan Sonia Wardono, AFTA Suatu Pengantar, (Yogjakarta : BPFE, 2005),
hal. 27.
55
Ade Manan, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hal
125.
2. Leberalisasi perdagangan, mengurangi kendala tarif dan non tarif antar
negara.
3. Efesinsi produksi dalam meningkatkan daya saing jangka panjang
4. Ekspansi perdagangan intra regional memberikan konsumen di ASEAN lebih
pilihan serta kualitas produk tersebut lebih baik.
E. Pengertian Industri Dalam Negeri
Industri adalah suatu prusahan untuk membuat atau menghasilkan,
mengolah serta memproduksi barang-barang baik sebagai barang dagangan
maupun lainnya.56 Industri dalam negeri adalah pembuatan atau pengolahan
suatu barang yang dibuat dalam negeri. Sedangkan perlindungan hukum
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum bagi individu
atau kelompok, termasuk melindungi industri barang-barang atau produk
lokal dalam negeri terkait dari dampak negatif
perdagangan bebas
internasional regional AFTA-China
Dalam artikel 4.1 (c) Safeguards Agreement (SA) diberikan dua
kreteria dalam mengidentifikasi “industri dalam negeri” yang terkait. Pertama
industri dalam negeri didefinisikan sebagai perudusen yang menghasilkan
barang tertentu “serupa” atau “secara langsung tersaingi” dengan barang
impor yang diselidiki. Kedua, dalam pengkajian keseriusan serius dapat
dilakukan evaluasi terdapat seluruh atau sebagian besar (major proportion),
dari industri dalam negeri.
56
Sudarsona, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal. 182.
Dalam penentuan industri dalam negeri penekanannya adalah pada
angka atau jumlah yang dapat dianggap mewakili industri dalam negeri yang
memproduksi barang yang diselidiki. Penyelidikan untuk membuktikan
kerugian harus dilakukan terhadap seluruh industri attau hanya sebahagian
besar industri saja.57 Mengenai batasan “sebahagian besar” tidak ada pedoman
yang jelas dalam artikel yang 4.1 (c) SA tersebut, sehingga dalam
penentuannya hanya dapat dilakukan kasus perkasus dan sangat tergantung
keadaan tertentu pada penyelidikannya. Bahkan Appalate Body WTO
membolehkan dalam pengumpulan data kerugian hanya dari sebagian industri
yang masuk dalam kelompok sebahagian besar yang dianggap cukup dan
dapat mewakili.
Selain itu juga industri dalam negeri dapat diartikan sebagai kegiatan
ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi
dan/atau barang jadi menjadi barang yang siap pakai dengan nilai yang lebih
tinggi untuk penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan
perekayasaan industri dalam wilayah dalam republik Indonesia.
Dilihat dari sudut hukum positif Indonesia pengaturan mengenai
perlindungan industri dalam negeri terkait dengan perdagangan regional
AFTA-China diatur dalam Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang
Persetujuan Kerangka Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara
Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China
57
Tim KPPI, perlindungan Industri Dalam Negeri Melelui Tindakan Safeguard World Trade
Organization, (KPPI, 2005), hal. 16.
berupa tindakan penyelamatan terhadap industri dalam negeri, juga terdapat
dalam beberapa peraturan hukum lainnya.
Akan tetapi semua ketentuan ini tetap didasarkan adanya perjanjian
atau kesepakatan terlebih dahulu oleh para pihak yang terkait dalam perjanjian
(kesepakatan) itu secara internasional. Karena perjanjian internasional adalah
salah satu merupakan sumber hukum internasional yang terdapat dalam pasal
38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, tepatnya pada sub (a).58
“international convention, wether general or particular, establishing rules
expressly recognizet by the contesting States”
58
Lihat I Wayan, Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Mandar Maju,
1990), hal. 149.
BAB III
METODE PENELITIAN
Rangkaian kegiatan penyusunan serta penulisan penelitian ini adalah
mengikuti metode penelitian yang ditetapkan dan diterapkan secara umum dalam
penulisan karya ilmiah antara sebagai berikut:
A. Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi analisis penelitian ini secara umum adalah
pada pemerintahan Indonesia yaitu Negara Republik Indonesia. Akan tetapi
dalam hal ini penulis melakukan penelitian lebih terfokus khususnya pada
pemerintah Sumatera Utara (Studi Deskriptif Analitis).
B. Jenis dan Sifat Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Penelitian Yuridis Normatif59 dengan sifat Penelitian adalah deskriptif analitis.60
Maksud dari yuridis normatif adalah penelitian ini dilakukan dengan
memfokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
hukum positif
yang terkait dengan Undang-undang mengenai pengaturan
perdagangan bebas internasional. Kemudian yang dimaksud dengan deskriptif
analitis adalah bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan
secara analitis keadaan atau gejala berupa perdagangan bebas internasional dalam
59
Mahmul Siregar, Buku 1, Op. Cit., hal. 28. Lihat juga Peter Mahmud Marjuki, Penelitian
Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 35.
60
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia,
2005), hal. 46.
lingkup AFTA-China, baik yang bersifat normatif maupun empiris dengan tujuan
untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan dalam isu hukum, seterusnya
mencakup atas asas-asas hukum, sistematika hukum, singkronisasi hukum,
sejarah hukum dan perbandingan hukum,61 dan pada prinsipnya tidak lain adalah
semua ketentuan-ketentuan mengenai hukum internasional yang terkait dengan
materi perdaganganAFTA-China.
C. Sumber Data
Mengenai bahan-bahan yang dipakai untuk menganalisa permasalahan
dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan
bahan hukum tertier.62 Dimana ketiga bahan hukum ini adalah sebagai data pokok
dan dalam hal ini disebut dengan data sekunder, yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan atau ketentuan perundang-undangan
sebagai hukum yang tertulis dan terkait di bidang hukum internasional
termasuk konvensi-konvensi internasional, kesepakatan atau perjanjian
internasional, kovenan-kovenan internasional, dan juga peraturan perundang
undangan nasional (Indonesia) antara lain: Undang-undang Nomor 7 Tahun
1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian
Internasional, Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan
Luar negeri, Keputusaan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 tanggal 15
61
Soerjono Soekanto dan dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal.1
62
Peter Mahmud Marjuki, Op.Cit., hal. 142.
Juni 2004 tentang kerja sama perdagangan bebas ACFTA atau “Framework
Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The
Associaton of South East Asian Nations and The People`s Republic of China
(Asean-China)”. Keputusan Menteri keuangan Republik Indonesia Nomor
355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk
atas Import barang dalam rangka Early Harvest Package Asean-China Free
Trade Area, peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005, Nomor 04/PMK.011/2007, tanggal 25
Januari 2007, Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007, Nomor
235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk Dalam Rangka Normal Track Asean-China Free Trade Area,
b. Bahan hukum skunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
hukum primer seperti buku-buku teks yang berkaitan dengan materi
kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan perlindungan industri dalam
negeri serta faktor penghambat kebijakan tersebut dan materi tentang
kesepakatan AFTA-China, laporan-laporan penelitian, jurnal ilmiah, majalah,
koran, situs internet, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan isu
hukum dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus umum, kamus hukum,
ekonomi dan juga bibliografi
kamus bahasa Indonesia, kamus
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menperoleh bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini,
maka digunakan metode pengumpulan data (bahan hukum) tersebut
dengan
penelitian kepustakaan (library Research) dan alat yang dipergunakan untuk
mengumpulkan bahan hukum tersebut adalah melalui studi dokumen.
E. Analisis Data
Semua bahan hukum yang sudah diperoleh baik berupa bahan hukum
primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tersier, dianalisis
secara
kualitatif. Bahan hukum yang telah diperoleh dibuat sistematikanya sehingga
akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan rumusan masalah yang
dibahas dalam penelitian ini, kemudian diedit
dengan mengkelompokkan,
menyusun secara sistematis, dan selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan
dengan menggunakan logika berfikir dari deduktif ke induktif.63
63
Bambang Sunggono, Metode penelitian hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 114.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisa Hukum Mengenai Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri
Dalam Negeri Terkait dengan Kesepakatan Perdagangan AFTA-China
1. Penentuan Arah dan Prioritas Kebijakan
Arah kebijakan adalah salah satu menata sistem hukum
nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperaharui
perundang-undangan warisan kolonial
dan hukum nasional yang
diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaiannya
dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Selanjutnya
mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung
kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas
tanpa merugikan kepentingan nasional.64
Perioritas kebijakan juga merupakan salah satu sasaran utama
untuk dicapai dan langkah yang terpenting yang dilakukan oleh
pemerintah dalam mengambil atau memutuskan suatu kebijakan.
Maka dalam ketentuan kebijaksanaan (policy) kebijakan adalah
penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap lebih
menjamin terhadap terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau
64
Untuk lebih jelasnya lihat poin 2 dan poin 7 dalam “ GBHN 1999-2004”, (sinar grafika:
Jakarta, 1999), hal. 15 dan 16.
keadaan yang dikehendaki65. Jadi dalam arti kebijaksanaan, titik
beratnya adalah adanya proses pertimbangan untuk menjamin
terlaksananya suatu usaha, pencapaian cita-cita atau keinginan yang
dicapai tersebut, sehingga menghasilkan suatu bukti kebijakan untuk
kepentingan umum yang merobah keadaan untuk yang lebih baik.
Untuk
menentukan
suksesnya
percepatan
pembangunan
Sumatera Utara saat ini juga masa depan terkait dengan penerapan
perdagangan bebas dalam kesepakatan regional AFTA-China, maka
salah satu arah dan prioritas kebijakan yang akan dilaksanakan adalah
pemulihan (recovery) ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mendorong dan memberi arahan kepada setiap daerah untuk secara
sungguh-sungguh dan sistematis melaksanakan pemulihan ekonomi
guna untuk meningkatkan kesejahteraan raakyat.
Selanjutnya juga yang terpenting lagi dalam kegiatan ekonomi
(perdagangan)
signifikansi
ini
penegakan
masalah
supremasi
penengakan
hukum.
supremasi
Mengingat
hukum
dalam
perdagangan serta kegiatan ekonomi bisnis lainnya serta juga dalam
perwujudan good governance dan clean government, pemulihan dan
percepatan semua program kebijakan pembangunan dan peningkatan
ekonomi rakyat Indonesia, khususnya Sumatera Utara.
65
Ismed Batu Bara, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, (Citapustaka
Media Perintis: Bandung, 2010), hal. 151.
2. Peranan
dan
Wewenang
Pemerintah
Dalam
Mengambil
Kebijakan
Pada era globalisasi “era keterbukaan” dewasa ini, siapa yang
tidak siap atau siapa yang lemah daya saingnya, maka tidak akan
mampu untuk mengikuti peran-peran strategis baik lingkungan skala
nasional, skala regional apalagi skala internasional. Justru sebaliknya
akan digilas oleh yang siap, yang matng dan yang lebih kuat daya
saingnya. Gambaran realita empirik inilah yang tidak bisa untuk
dihindarkan oleh pemerintah sebagai penguasa dan juga masyarakat.
Dalam konteks dinamika masyarakat yang demikian, kita
masih mempunyai ruang lingkup peran yang cukup, tergantung
bagaimana untuk mengaktualisasikan potensi tersebut secara maksimal
dan kualitatif agar bisa melahirkan peran-peran yang strategis. Di era
persaingan internasional yang sangat kompetitif ini, kita perlu untuk
mengantisipasi fenomena tersebut, sehingga persoalan kualitas
Sumber Daya Manusia menjadi sangat substansial, strategis untuk
diperankan karena terminologi, globalisasi persaingan internasional,
kualitas Sumber Daya Manusia dan daya saing serta kompetensi
menjadi pembicaraan yang sangat menarik.
Bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Provinsi
Sumatera Utara perlu reposisi peran dari gerakan politik ke titik tekan
penguatan kualitas Sumber Daya Manusia. Maka dalam hal ini
peranan pemerintah sangat diharapkan demi terwujudnya perdagangan
internasional yang sehat, termasuk perdagangan regional AFTAChina, serta tidak kalah pentingnya otonomi daerah. Artinya dalam
ketentuan ini bahwa pemerintah daerah (Sumatera Utara), selain
menghadapi beban-beban interen secara lokal dan nasional, dalam
kerangka manajemen strategis nasional harus berhadapan dengan
tugas-tugas pemerintah baik skala nasional, mapun internasional, yang
secara geo-politik strategis pasti melibatkan daerahnya, rakyat dan
instansinya yang terkait untuk mendukung realisasi kebijakan
pemerintah Indonesia pada umumnya, kebijakan pemerintah sumatera
khususnya.
Artinya dengan menghubungkan region dan globalnya ada
suatu ikatan yaitu perjanjian dan persetujuan (treaties and agreement)
yang telah disepakti oleh pemerintah, khususnya pemerintah Sumatera
Utara. Karena dengan adanya perjanjian tersebut, merupakan sumber
hukum yang mengikat kerja sama yang akan dilaksanakan tersebut.
Semua ini tidak tercapai jika tidak mengandalkan
potensi
nasional yang pada hakikatnya berasal dari potensi yang terdapat di
daerah, tentunya wilayah Republik Indonesia, dan daerah Sumatera
Utara khususnya. Dalam rangka kebijakan regional dan globalnya
seperti perjanjian yang diikuti oleh Indonesia dalam AFTA yang
ditandatangai oleh Presiden dan selanjutnya menjadi undang-undang,
maka dalam hal ini menjadi tanggung jawab presiden juga DPR,
AFTA telah dilaksanakan, termasuk juga dengan perjanjian AFTAChina yang telah disepakati.
Namaun dalam pelaksanaan dan kegiatan perdagangan
internasional antar ASEAN menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera
Utara masih belum optimal, keadaan ini terutama dalam komoditi
ekspor Sumatera Utara belum mengikuti banyak dikenal di Negara
ASEAN, termasuk China. Hal ini disebabkan karena kurangnya
promosi dan informasi yang baik, terutama dalam setiap media massa
diseluruh Negara khususnya Negara ASEAN, termasuk China.
Secara
umum
perkembangan
kebijakan
perdagangan
Indonesia, sejak terbentuknya WTO tahun 1995, perkembangan
perdagangan dunia mengalami pertumbuhan sangat pesat. Jaringan
produksi mendunia dan China muncul sebagia kekuatan produksi dan
perdagangan yang cukup maju, artinya perubahan pola perdagangan
dunia ini ikut mempengaruhi kenerja perdagangan Indonesia, juga
Sumatera Utara tetap terkena imbas.
Melirik dari hal
tersebut, maka kebijakan-kebijakan
yang
ditempuh oleh pemerintah seyogianya harus tetap memperhatikan
kepentingan domestik (produk Lokal) atau Industri dalam negeri,
seperti mutu dan kualitas dan lain sebagainya, sehingga produk dalam
negeri tetap dapat bersaing di pasar internasional termasuk China.
Secara ringkas mengenai perkembangan kebijakan Indonesia dapat di
lihat pada tabel berikut ini:
Tabel : 1
Perkembangan kebijakan Perdagangan Indonesia
Periode
Kebijakan
1948-1966
Ekonomi nasionalis, nasionalisasi perusahaan Belanda
1967-1973
Sedikit Leberalisasi Perdagangan
1974-1981
Substitusi impor, booming komoditas primer dan
minyak
1982-sekarang
Liberalisasi Perdagangan dan orientasi ekspor
Sumber : Nurhemi, kerjasama perdagangan internasional, 2007, diolah
3. Langkah-Langkah Kebijakan Pemerintah Melindungi Industri
Dalam Negeri Terkait AFTA-China
Globalisasi yang semakin melanda dunia dengan sistem
perdagangan menembus pasar internasional, termasuk perdagangan
regional AFTA-China di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, yang
tentunya ada kaitan erat dengan apa yang disampaikan oleh Presiden
Republik Indonesia (alm.Bapak Soeharto) dalam amanatnya bahwa
suka tidak suka, mau tidak mau globalisasi itu tetap datang melanda
Indonesia.66
AFTA-China merupakan salah satu bentuk kerja sama
liberalisasi ekonomi yang banyak dilakukan Indonesia dalam 10 tahun
terakhir ini, awal Januari 2010 yang lalu mulainya pemberlakuan
66
Ibid, hal 145
mengenai Asean China Free Trade Agreement, sepertinya sudah
merupakan perang mutu, harga, kuantitas akan suatu pelayanan barang
dan jasa serta industri pasar global China, karena harga barang
produksi China relatif murah dan diminati konsumen Indonesia. Hal
ini tidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China,
misalnya dilihat dari dampak negatif pelaksanaan perdagangan
regional AFTA-China terhadap perekonomian di Indonesia antara lain
:67
Pertama, serbuan produk asing terutama dari China
dapat
mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi dalam negeri
(produk lokal), padahal sebelum tahun 2009 saja. Indonesia sudah
mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan
data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri
pengolahan mengalami penurunan dari 28,1 % pada tahun 2004
menjadi 27,9 % pada 2008, dan diproyeksikan lima tahun ke depan
penanaman modal disektor industri pengolahan mengalami penurunan
US$ 5 miliar yang sebahagian besar dipicu oleh penutupan sentrasentra usaha strategis Industri Kecil Menengah (IKM). Jumlah IKM
yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai
16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga 5 miliar. Maka 85 %
67
Lihat, http://www.scribd.com/doc/25830743/dampak-ACFTA/terhadap-perekonomianIndonesia, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012.
diantaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan
dengan produk yang berasal dari China.
Kedua, pasar dalam negeri yang dibnajiri oleh produk asing
dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong
pengusaha alam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai
sektor ekonomi menjadi importer atau pedagang saja, contoh harga
tekstil dan produk tekstil China lebih murah antara 15 % hingga 25 %,
sedangkan selisih 5 % saja sudah membuat industri dalam negeri
(produk lokal) sudah kewalahan, apalagi lebih dari 5 %. Dalam hal ini
tentunya bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup harus bersikap
pragmatis banting setir.
Ketiga karakter perekonomian dalam negeri akan semakin
tidak mandiri dan lemah, artinya segalanya tergantung pada ketentuan
asing (produk asing) bahkan produk yang kecil-kecil dan produk yang
sangat sederhana saja dan produk yang mudah di dalam negeri saja
seperti jarum, jamu harus diimpor.
Keempat, jika produk-produk yang ada saja di dalam negeri
sudah kalah bersaing, begaimana produk Indonesia memiliki
kemampuan hebat untuk bersaing di pasar global seperti pasar
persaingan ACFTA-China. Jika dilihat dalam perhitngan ekonominya
data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas
Indonesia ke China sejak 2004 hingga 2008 24.95 %, sedangkan tren
pertumbuhan ekspor China ke Indonesia mencapai 35,09 % , dalam
hal ini tentunya produk asal China membanjiri Indonesia.
Kelima, peranan produksi terutama sektor industri manufaktur
dan IKM dalam pasar nasional akan berangsur-angsur merosot dan
digantikan dengan impor, dampaknya ketersedian lapangan kerja akan
semakin menurun, padahal setiap tahun angkatan kerja baru semakin
bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus
2009 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta
orang.
Dengan adanya fenomena ini, Indonesia khususnya Provinsi
Sumatera Utara perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu
memberi kontribusi positif untuk memperkuat daya saing global,
termasuk juga pemerintah harus mempersiapkan kebijakan-kebijakan
terkait perdagangan AFTA-China ini seperti berikut ini :
a. Kebijakan Secara Umum
1). Safeguard
Salah satu keijakan atau langkah-langkah kebijakan yang
diberikan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri adalah
melalui Tindakan pengamanan (Safeguard) adalah tindakan yang
diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau untuk
mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai
akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara
langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan
agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau
ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian
struktural.
2). Subsidi
Selain safeguard, kebijakan pemerintah untuk melindungi
industri dalam negeri juga termasuk subsidi. Subsidi adalah
merupakan kontribusi keuangan oleh pemerintah atau badan publik
yang memberikan keuntungan. Perdagangan yang disubsidi hanya
diterapkan kepada subsidi yang spesifik yaitu subsidi yang diberikan
kepada sebuah perusahaan atau kelompok industri) dan subsidi yang
secara luas tidak dianggap spesifik. Subsidi yang dilarang adalah
subsidi ekspor yaitu subsidi yang diberikan secara hokum “de yure”
atau kenyataan “de facto”, baik secara tunggal atau beberapa kondisi
tergantung pada performa ekspor dan subsidi pengganti impor yaitu
subsidi yang diberikan secara tunggal atau beberapa kondisi
tergantung pada penggunaan barang domestik dari pada barng impor.
Agar produksi dalam Negeri khususnya produk lokal dapat
ditingkatkan, maka kabijakan pemerintah salah satunya harus
memberikan subsidi kepada produsen dalam negeri, terlebih lagi untuk
pemerintah Sumut juga harus memberikan kebijakan berpa bantuan
mesin-mesin atau peralatan-peralatan yang sifatnya membangun
misalnya, kemudian tenaga ahli, pelatihan-pelatihan, keringanan pajak,
pasilitas-pasilitas atau sarana dan prasarana, kredit bantuan dan lainlain.
3) Anti Dumping
Tindakan dumping adalah menjual barang diluar negeri lebih
murah dari pada harga di dalam negeri, atau menjual barang di suatu
Negara lebih murah dari pada di Negara lain, atau menjual barang
keluar negeri atau lebih rendah dari biaya produksi dan tranformasi, di
mana tindakan dumping ini baru melanggar ketentuan perdagangan
internasional apabila mengakibatkan injury kepada produksi dalam
negeri.68 Dengan kata lain dumping diartikan sebagai salah satu cara
menjual suatu komoditi di luar negeri dengan harga yang murah
dibandingkan dengan harga jual di dalam negeri. Namun pelaksanaan
dumping dalam praktek perdagangan internasional dianggap sebagai
tindakan yang tidak terpuji “Unfair Trade” yang tentunya dapat
merugikan Negara lain.
4). Mencintai Produk Dalam Negeri/SNI
Masyarakat secara nasionalisme harus mencintai buatan dalam
negeri, atau dengan kata lain setiap konsumen wajib memiliki barangbarang yang dibutuhkannnya dengan membeli produk dalam negeri
atau produk lokal sendiri atau juga dengan standar nasional Indonesia.
Karena dengan adanya komsumen yang mencintai produk sendiri
68
Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, (Jakarta : lembaga Studi Hukum fakultas
Hukum Universitas Indonesia, cetakan 1, 2011), hal. 32. Lihar juga sukarmi, Regulasi Antidumping di
Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Malang : Sinar Grafika, 2002), hal. 25.
(produk dalam lokal), ketentuan semacam ini akan membatasi impor
dari Negara lain terutama dari Negara China.
b. Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara
Setiap Negara mempunyai kebijakan-kebijakan tersendiri
untuk melindungi perekonomian dalam negeri masing-masing dari
dampak negatif persaingan yang ditimbulkan dalam perdagangan
interasional. Perdagangan internasional memungkinkan masuknya
barang-barang dan jasa-jasa dari luar negeri ke dalam negeri. Jika
barang dan jasa dari luar negeri lebih banyak dan lebih diminati oleh
masyarakat (dibidang produk luar negeri tersebut), maka dalam hal ini
akan berdampak buruk bagi perekonomian dalam negeri. Oleh karena
itu, pemerintah perlu membuat suatu kebijakan perdagangan
internasional,69 tanpa terkecuali
pemerintah secara lingkup kecil
dalam hal ini pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga mempunya
kebijakan-kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri (produk
lokal Sumatera Utara) dari dampak negatif perdagangan internasional
seperti perdagangan regional AFTA-China ini.
Kebijakan tersebut, memang disatu sisi dapat menguntungkan
suatu Negara, akan tetapi sekaligus juga dapat merugikan merugikan
Negara lain. Oleh karena itu disebut juga sebagai hambatan-hambatan
dalam perdagangan internasional. Dalam hal perdagangan bebas,
69
Lihat dalam ardiyan sarutobi.blgspot.com.2010/h/kebijakan-perdaganganinternasional.html, dan terakhir diakses pada tanggal 11 Nopember 2012.
hambatan-hambatan tersebut sangat kecil, bahkan sama sekali tidak
ada,70 misalnya seperti tarif bea masuk. Untuk tarif bea masuk ini
pemerintah menetapkan kebijakan bahwa setiap barang yang diimpor
harus membayar pajak, ketentuan ini dikenal sebagai tarif bea masuk,
termasuk juga anti dumping, safeguard, dan subsidi.
Selain ketentuan dan kebijakan yang diterapkan kepada
konsumen bahwa konsumen senatiasa tetap mencintai produk-produk
dalam negeri atau juga konsomen harus mengutamakan produk yang
mempunyai Standart Nasional Indonesia (SNI). Ada beberapa
Kebijakan Pemerintah Sumatera Utara untuk meningkatkan daya saing
produk lokal, khususnya Sumatera Utara agar tetap eksis dalam
persaiangan
pemerintah
bebas
internasional
memberikan
bantuan
AFTA-China
alat-alat
ini,
kepada
misalnya
pengusaha-
pengusaha lokal, kemudian memberikan pelatihan-pelatihan seperti
sektor, pembukuan, kemasan dan pemasaran. Selanjutnya pemerintah
Sumut juga memberikan kabijakan modal bergulir pada UKM-UKM
lokal dengan pinjaman atau modal yang diberikan tersebut tetap
dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh
pemohon.
70
Ibid.
B. Pengaturan Kesepakatan Perdagangan Regional dalam Ketentuan
Perdagangan Internasional
1. Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional dalam WTO
Pengaturan perdagangan regional (Regional Trading Arrangements)
dimana satu kelompok negara sepakat untuk menghilangkan atau mengurangi
rintangan-rintangan terhadap import dari sesama anggotanya dan telah
berlangsung dibeberapa negara regional dunia, seperti European Union
dengan pasar tunggalnya, ASEAN dengan AFTA-nya dan lain-lain GATT.
Dalam Pasal 24 GATT dijelaskan bahwa mengakui adanya integrasi yang erat
dalam bidang ekonomi melalui perdagangan yang lebih bebas, yaitu mengakui
pengelompokan-pengelompokan regional sebagai suatu pengecualian dan
aturan umum klausul prinsip umum MFN,71 dengan syarat dipenuhi ktriteriakriteria tertentu secara ketat. Ketentuan GATT dimaksud agar pengaturan
regional
memudahkan
perdagangan
diantara
negara-negara
yang
bersangkutan, tanpa menimbulkan hambatan terhadap perdagangan dengan
dunia luar. Pengecualian dan aturan klausal MFN ini ada yang ditetapkan
dalam pasal GATT sendiri dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam
putusan-putusan komferensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan
prinsip tersebut berdasarkan pasal XXV pengecualian dimaksud adalah:72
1. Keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic
advantage), tidak boleh dikenakan terhadap anggota GATT,
71
Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Loc. Cit., hal. 25.
Hata, Perdagaangan Internasional Dalam system GATT dan WTO:Aspek-aspek Hukum
dan non hukum, ( Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 59.
72
2. Perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada seperti
kerjasama ekonomi dalam British Commonwelth the French Union (Perancis
dengan negara-negara bekas koloninya) , tetap boleh terus dilaksanakan
namun tingkat batas prefensinya tidak boleh dinaikkan,
3. Anggota-anggota GATT membentuk suatu Customs Unions atau Free Trade
Area harus memenuhi persyaratan pasal XXIV GATT.
4. Pemberian preferensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari
negara-negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang
beruntung (least developed) melalui fasilitas sistem preferensi umum dan juga
pengamanan (safeguard rule) yaitu upaya pemerintah untuk melindungi dan
memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.
Pada hakikatnya pengelompokan tersebut ada syaratnya, yaitu bahwa
pengelompokan harus dibuat dengan maksud agar mendorong perdagangan diantara
negara-negara tersebut, tanpa menimbulkan rintangan atau hambatan perdagangan
terhadap negara ketiga. Dengan demikian integrasi regional seperti itu harus
berfungsi sebagai pelengkap bagi sistem perdagangan multilateral, bukan sebagai
ancaman terhadapnya dalam free trade area setiap anggota tetap menjalankan
kebijaksanaan perdagangan ekternalnya, termasuk tarif terhadap non anggota.
Sedangkan dalam cutom union, negara anggotanya melaksanakan suatu bea tarif yang
seragam terhadap bukan negara anggotanya.
Ketentuan WTO juga mengatur mengenai pengecualian atas integrasi
nasional, Pasal XXIV GATT 1994 (sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam
Understanding on Article XXIV) dan Pasal V GATS memperbolehkan anggota
WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat diantara anggota-anggota tertentu
yang membentuk suatu kelompok, Ketika anggota
WTO membentuk, sebagai
contoh, integrasi kepabeanan (customs union), mereka memberikan perlakuan
berbeda yang lebih baik di antara mereka dalam hal perdagangan (seperti
penghapusan seluruh bea masuk) yang mana tidak diberikan kepada anggota WTO
lainnya yang bukan merupakan bagian dari customs union tersebut. Hal ini sangat
bertentangan dengan kewajiban MFN yang terdapat dalam pasal I GATT 1994.
Pengecualian atas integrasi regional dapat dijadikan dasar untuk membenarkan suatu
tindakan yang melanggar kewajiban MFN tersebut atau kewajiban lainnya dalam
kerangka GATT 1994 dan GATS.73 Dalam beberapa tahun terakhir, perjanjian
integrasi regional antara anggota WTO semakin berkembang. Saat ini, terdapat
sekitar 200 perjanjian perdagangan regional yang berlaku, dan angka ini
kemungkinan besar akan berlipat ganda pada tahun-tahun berikutnya. Terdapat suatu
kekhawiran besar karena banyaknya customs union dan area perdagangan bebas (free
trade areas) (yang pada pada hakekatnya mendiskriminasi anggota WTO yang bukan
bagian darinya) menimbulkan ancaman terhadap sistem perdagangan multilateral
(yang berdasarkan pada prinsip non-diskriminasi).74
Pasal XXIV GATT 1994 dan Pasal V GATS mengatur persyaratan yang
harus dipenuhi untuk dapat menggunakan pengecualian ini: Pasal XXIV untuk
perjanjian integrasi regional yang berkaitan dengan perdagangan barang, dan Pasal V
untuk perjanjian integrasi regional yang berkaitan dengan perdagangan jasa,
persyaratan dari kedua Pasal tersebut haruslah dipenuhi.
Suatu tindakan yang seharusnya dilarang oleh GATT 1994 dapat dibenarkan
berdasarkan Pasal XXIV: 5 GATT 1994:
73
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, pengantar Hukum
WTO (World Trade Organisation) ,(Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. 76.
74
Ibid,
a. jika tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pembentukan suatu customs
union, suatu area perdagangan bebas, atau suatu perjanjian perdahuluan
(interim agreement), yang memenuhi seluruh persyaratan yang diatur dalam
ketentuan WTO.
b. jika pembentukan customs union atau area perdagangan bebas tersebut akan
terhambat, atau tidak dapat dilaksanakan, jika penerapan tindakan tersebut
tidak diperkenankan.
Anggota WTO dapat memilih antara membentuk suatu area perdagangan
bebas atau suatu customs union. Dalam area perdagangan bebas, integrasi yang
dilakukan lebih sedikit jika dibandingkan dengan dalam suatu customs union.
Perdagangan internal diliberalisasikan dan perdagangan dengan negara ketiga secara
bersama-sama diatur, sementara dalam area perdagangan bebas hanya perdagangan
internal yang diliberalisasikan. Dalam customs unions dan area perdagangan bebas,
dipersyaratkan penghapusan bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya antara
anggota customs union atau area perdagangan bebas tersebut harus mencakup seluruh
perdagangan secara substansial; dan sebagai akibat dari pembangkitan customs union
atau area perdagangan bebas tersebut, perdagangan dengan negara ketiga tidak boleh
dibuat lebih sulit atau lebih terhambat. Persyaratan tambahan yang berlaku terhadap
customs union; bea masuk dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan perdagangan
yang dibelakukan oleh anggota customs union tersebut terhadap perdagangan dengan
negara ketiga harus sama secara substansial. Persyaratan khusus yang harus dipenuhi
oleh sebuah customs union atau area perdagangan bebas bisa dilihat dalam Pasal
XXIV ayat (5) dan (8) GATT 1994 dan the
WTO Understanding on the
Interpretation of Article XXIV. Ketentuan WTO ini juga mengatur tentang
kemungkinan untuk membuat sebuah interim agreement (perjanjian permulaan), atau
sebuah perjanjian yang mengarah, dalam priode tertentu, kepada pembentukan
sebuah customs union atau area perdagangan bebas. Priode yang diajukan untuk
membentuk customs union atau area perdagangan bebas tersebut, haruslah dilakukan
dalam
reasonable length of time (jangka waktu yang pantas). Menurut
Understanding on the Interpretation of Article XXIV, jangka waktu yang pantas ini
tidak boleh melebihi sepuluh tahun.
Namun dalam kedua pengelompokan ini bea dan pengaturan-pengaturan lain
yang mempengaruhi perdagangan dari anggota kelompok dengan nonmembers
disyaratkan untuk tidak boleh restriktif daripada yang sebelumnya diterapkan
sebelum kelompok itu didirikan.
Khusus bagi negara berkembang sekitar dua pertiga negara-negara anggota
GATT adalah negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap
awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan tersebut, pada
tahun 1995, suatu bagian baru yaitu part IV, ditambahkan ke dalam GATT. Hal ini
dimaksudkan untuk
mendorong negara-negara industri membantu pertumbuhan
ekonomi negara-negara sedang berkembang. Bagian IV ini mengakui kebutuhan
negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan
dan tidak membolehkan negara-negara maju membuat rintangan baru terhadap ekspor
negara-negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima
bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan penurunan atau
penghilangan tarif daan rintangan lainnya terhadap perdagangan negara-negara
berkembang.
Pada waktu Putaran Tokyo 1979 berakhir, negara-negara sepakat dan
mengeluarkan putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih besar bagi negara
sedang berkembang dalam perdagangan dunia (abling clause). Keputusan tersebut
mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku atau bentuk hukum
yang permanen dalam sistem perdagangan dunia. Perlakuan ini juga merupakan dasar
hukum bagi negara industri dalam memberikan General System Preference (GSP)
kepada negara-negara berkembang.75
2. Perkembangan
tentang
Pengaturan
Perdagangan
Bebas
dalam
Ketentuan AFTA
Jika melihat sejarah perkembangan internasional, maka akan terlihat pada
awalnya hubungan internasional itu dilakukan secara bilateral. Hubungan ini
terjadi karena kedekatan wilayah dan dilakukan berdasarkan motif kepentingan
nasional khusus dalam perdagangan.
Kesepakatan perdagangan secara bilateral ini dinyatakan belum
memberikan hasil yang maksimal dalam hal memajukan anggotanya, karena
kebutuhan antara negara yang semakin kompleks. Menguatnya regionalisme
pada awal tahun 1960 menarik perhatian negara-negara untuk menguatkan
kembali kerjasama regional tentunya dibidang perdagangan. Perkembangan
berikutnya adalah mulai bermunculan kesepakatan-kesepakatan atau perjanjian
regional dalam perdagangan.
75
Huala Adolf dan Chandrawulan, Op.Cit., hal. 22.
Sebelum lahirnya kesepakatan perdagangan regional, dunia internasional
telah menyepakati perjanjian internasional multilateral yaitu GATT. Dalam
ketentuan GATT sendiri telah mengatur tentang diperbolehkannya pembentukan
perjanjian perdagangan regional dengan syarat tidak mengganggu proses
liberalisasi perdagangan dan kompetensi bebas.76
Dalam ketentuan kerjasama di antara negara-negara baik secara bilateral
maupun regional telah lama berkembang dan makin banyak orang untuk
mengadakan kerjasama internasional yang dibentuk setelah usianya perang dunia
II. Namun belum semua organisasi-organisasi internasional itu menghimpun
negara anggotanya ke dalam bentuk integrasi perekonomian.
Ada empat macam tahapan-tahapan atau proses integrasi ekonomi, yaitu
sebagai berikut:77
1) Areal perdagangan bebas/free trade area/FTA
Yaitu proses integrasi mulai terjadi antara anggota secara interen, sesama
negara anggota menghapuskan pemberlakuan tarif (bea cukai), tetapi masingmasing negara anggota tetap memberlakukan tarif sendiri-sendiri dalam
perdagangan dengan negara non anggota.
2) Kesatuan pabean/custum union
Custum union merupakan kelanjutan dari kawasan perdagangan bebas (FTA).
Selain pembebasan tarif sesama anggota, juga terhadap non anggota
76
Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) Dalam Kerangka WTO, Loc.Cit.
T. May Rudy, Bisnis Internasional Teori, Aplikasi dan Operasional,
(Jakarta: Refika Aditama, 2002), hal. 43. Lihat juga Donald A. Ball, dkk, Bisnis
Internasional, (Jakarta: Salemba Empat, 2004), hal. 205, dan Ade Manan Suherman, Organisasi
Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), hal. 158.
77
diperlukan tarif yang sama besarnya, kemudian penggabungan anggota ke
dalam kesatuan tunggal dengan satu masalah saja yaitu administrasi bea dan
cukai contoh Central America Common Market (CACM).
3) Pasar bersama/commom market
Tahap ketiga perkembangan regional dan merupakan lanjutan dari custum
union. Negara anggota saling melakukan kebijakan liberalisasi arus faktorfaktor produksi sekaligus menjalankan perdagangan. Dalam hal ini tetap sama
dengan custom union ditambah dengan penghapusan segala macam
pembatasan terhadap mobilitas faktor (tenaga kerja boleh bekerja di tempat
lain).
4). Integrasi ekonomi sepenuhnya/economic union
Yaitu merupakan bentuk integrasi yang paling sempurna dan semua negara
anggota telah menyatukan serta mengharmonisasikan kebijakan ekonomi
nasionalnya dan bahkan diikuti dengan kebijakan sosial. Suatu lembaga Supra
Nasional untuk mengatur ekonomi dengan berbagai kaitannya seperti
moneter, perpajakan, fiscal, sosial, industri, perdagangan, pertanian dan
sebagainya
Ada beberapa motif yang dimiliki oleh negara dengan membuat perjanjian
perdagangan regional yaitu:78
1. Motif ekonomi, maksudnya adalah bahwa dalam ketentuan motif ekonomi ini
merupakan hal yang penting untuk membuka akses pasar, adanya wahana
78
http://ewanksweet.blogspot.com/2010/05/perjanjian -regional-rta-html, terakhir diakses
pada tanggal 2 Mei 2011.
promosi untuk menciptakan integrasi ekonomi
dan fungsi ganda
menghilangkan kompetensi dan menerik investasi.
2. Motif politik, yaitu terciptanya keamanan serta perdamaian regional dan
kesulitan pengaturan dalam kerangka multilateral.
Kedua
motif
ini
adalah
merupakan
kunci
dalam
keberhasilan
pembentukan perjanjian perdagangan regional. Kesepakatan-kesepakatan atas
motif tersebut lebih dapat diakomodasi dalam kerangka regional daripada
multilateral. Beberapa kegagalan yang dialami oleh negara-negara dalam
perundingan perdagangan multilateral membuktikan bahwa usaha untuk
menyelaraskan kepentingan antar negara sangat sulit. Pilihan yang paling
regional adalah dengan membentuk perjanjian perdagangan regional karena
relatif lebih mudah dan fleksibel.
Berkaitan dengan hal tersebut tentunya tipologi dalam perdagangan
regional saat ini dibagi menjadi 3 (tiga) katagori yaitu:
1. Area perdagangan bebas (FTA)
2. Penyeragaman cukai (Custom Union)
3. Pembentukan ruang lingkup (Partial Scope Agreement)
Tipologi ini sebenarnya sesuai dengan aturan yang terdapat dalam pasal
24 GATT. Pada dasarnya kesepakatan perdagangan regional didasarkan pada
pemberian freferensi kepada negara-negara anggotanya. Tujuannnya adalah untuk
menghilangkan hambatan perdagangan. Namun apabila diadakan dan dilakukan
tanpa batas maka kekhawatiran sebagian pihak bahwa kesepakatan perdagangan
regional akan merusak sistem perdagangan multilateral akan terwujud.79
Kekhawatiran
tersebut
sebenarnya
berhasil
diselesaikan
dengan
dikeluarkannya putusan oleh GATT Council on Differential and favourable
Traatment (Enabling Clause) pada tahun 1979. Dalam paragraph 2 (1) putusan
tersebut ditentukan apabila negara berkembang melakukan tindakan preferensi
maka wajib untuk melaksanakan ketentuan GATT tentang MFN.
Kesepakatan perdagangan regional tidak hanya meliputi perdagangan
barang saja. Dalam General on Trade on Services (GATS) Pasal V juga
ditentukan mengenai kebebasan untuk membuat perjanjian perdagangan jasa
regional dengan syarat tidak boleh melanggar ketentuan dan prinsip yang diatur
dalam GATT
3. Skema CEPT
ASEAN merupakan organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang
salah satu tujuannya adalah untuk memajukan pertumbuhan ekonomi di kawasan
tersebut. Upaya dalam mewujudkan tujuan tersebut, maka ASEAN membentuk
ASEAN Free Trade Area (AFTA) dengan skema CEPT sebagai instrumennya.
CEPT merupakan mekanisme untuk melaksanakan AFTA. AFTA melalui CEPT
merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk
membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya
saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai
basis produksi dunia.
79
Ibid,
Isi CEPT adalah merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama
oleh negara ASEAN dalam melaksanakan AFTA. Berdasarkan hasil pertemuan
Menteri Perdagangan ASEAN-6 di Singapura tanggal 28 Januari 1992 telah
disepakati bahawa untuk melaksanakan penurunan tarif/bea masuk perdagangan
antara ASEAN menjadi 0-15 %. Pada KTT ke-4 telah diputuskan bahwa
AFTA akan dicapai dalam waktu 15 (lima belas) tahun yaitu terhitung pada 1
Januari 1993- 1 Januari
2008 dan hanya menyangkut produk manufaktur,
kemudian dipercepat menjadi 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun
2002. Produk manufaktur tersebut termasuk dalam barang-barang modal dan
produk pertanian yang diproses, serta produk-produk yang berada diluar katagori
produk pertanian yang belum diproses juga tercakup dalam program CEPT.80
Persyaratan suatu produk yang dapat diperdagangkan melalui program
CEPT apabila produk tersebut memenuhi tiga kriteria yaitu:81
a. Produk tersebut harus terdaftar dalam Inclusion List baik di negara
pengekspor maupun pengimpor dan memiliki rentang tarif yang
sama yaitu di atas 20 % atau di bawah 20 %.
b. Produk tersebut mempunyai program pengurangan tarif yang telah
disetujui oleh Dewan AFTA.
c. Produk tersebut harus merupakan produk ASEAN yaitu harus
memenuhi muatan lokal ASEAN sekurang-kurangnya 40 %.
80
Hendera Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), hal. 246.
81
Ibid, hal. 28.
Produk yang telah memiliki tingkat tarif 0-5 % secara otomatis telah
memenuhi persyaratan program CEPT dan dengan sendirinya akan menikmati
kemudahan-kemudahan yang diberikan program tersebut.
Mengenai produk dalam CEPT diklasifikasikan kedalam empat golongan,
yaitu: 82
1. Inclusion List (IL)
Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus
mengalami leberalisasi secepatnya secara terjadwal dalam penurunan tarif di
bawah program CEPT, penghapusan hambatan kuantitatif dan hambatan non
tarif. Tarif dari produk ini diturunkan sampai maksimum 20 % pada tahun
1998 dan 0-5 % pada tahun 2002. Sedangkan untuk Negara baru anggota
ASEAN dijadwalkan yaitu Vietman
2006, Laos dan Myammar 2008,
Kamboja 2010.
2. General Exeption List (GEL)
Yaitu daftar produk yang dikecualikan dari program CEPT oleh suatu
negara karena dianggap penting atas alasan perlindungan: keamanan nasional,
moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, hewan atau
tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis.
82
hal. 27.
Dibyo Prabowo dan Sonia Wardoyo, AFTA Suatu Pengantar, (Yokyakarta; BPFE, 2005),
3. Temporary Exclution List (TEL)
Yaitu daftar yang berisi produk-produk sensitif yang dikecualikan
sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT karena merasa belum siap.
Produk TEL barang manufaktur harus dimasukkan ke dalam IL paling lambat
paling lambat 1 Januari 2002. Produk-produk dalam TEL
tidak dapat
menikmati kemudahan tarif CEPT dari negara anggota ASEAN lainnya.
Produk TEL tidak ada hubungannya sama sekali dalam produk-produk yang
tercakup dalam ketentuan General Exceptions.
4. Sensitif List (SL)
Yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan
(Unprocessed Agricultural Products = UAP), dimana:
a. Produk pertanian bukan olahan adalah bahan baku pertanian dan bahan
baku bukan olahan yang tercakup dalam pos tarif 1-24 dari Harmanized
System Code (HS), dan bahan baku pertanian sejenis serta produk-produk
bukan olahan yang tercakup dalam pos-pos tarif HS.
b. Produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding
bentuk asalnya.
4. Dasar Hukum Perdagangan AFTA-China
Dasar hukum perjanjian ACFTA adalah Framework Agreement on
Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of
Southeast Asian Nations and the People’s Republic of China, yang
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Megawati) pada tanggal
4 Novenber 2002 di Phnom Penh, Kamboja,83 dan telah diratifikasi oleh
Presiden Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Pengesahan Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the
Association of Southeast Asian Nations and the People’s Republic of
China.
Ratifikasi perjanjian ACFTA ini
secara hukum adalah sah, di
mana dalam pasal 11 ayat 3 Undang-undang Dasar NKRI Tahun 1945
disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional
diatur dengan undang-undang. Sesuai dengan amanah UUD NKRI tahun
1945 tersebut, maka terbitlah undang-undang Nomor
24 tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional.
Dengan
demikian
dasar
hukum
penandatanganan
dan
pemberlakuan perjanjian ACFTA mengacu kepada Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2000 tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 11 UU No. 24 tahun 2000 dinyatakan
bahwa perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 dilakukan dengan Keputusan
Presiden. Maka dalam konteks pasal 11 ini secara tegas dan meyakinkan
bahwa pengesahan perjanjian internasional ACFTA yang termasuk
83
Administrator, Kajian Hukum Mengenai ACFTA,
http//www.abdurrahmancenter.com/index.php/artikel/1237-kajian-hukum-acfta, terakhir diakses pada
tanggal 11 Mei 2011.
katagori perdagangan dilakukan melalui Kepres, sehingga ratifikasi
ACFTA adalah sah secara hukum.
Kemudian secara berturut-turut terjadi perkembangan negosiasi di
mana
secara
formal
ACFTA
pertama
kali
ada
pada
saat
ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement
Mechanism 29
November 2004 di Vientiane, Laos. Kemudian
persetujuan Jasa ACFTA ditandatangani pada saat pertemuan ke-41
Tingkat Menteri Ekonomi, 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand. Oleh
karena itu telah disahkannya ACFTA secara formal, maka Indonesia perlu
untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal yang diperjanjian dalam ACFTA,
dimana pada pokoknya dalam 10 tahun akan dikuatkan kerjasama
ekonomi antara China dan Asean dengan melakukan berbagai strategi
yang diharapkan dapat menguatkan kerjasama ekonomi tersebut.84
Berkaitan dengan kerjasama ekonomi tersebut, maka ada
7
(tujuh) pokok kesepakatan yang tedapat dalam Framework Agreement on
Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of
Southeast Asian Nations and the People’s Republic of China antara lain
adalah:85
1. Adanya kesepakatan untuk memfasilitasi akses pasar bagi beberapa buahbuahan tropis (pisang, nenas, rambutan) dan sarang burung walet Indonesia
untuk dapat memasuki pasar China.
84
Administrator, Implikasi ACFTA Terhadap Hukum Investasi Di Indonesia,
http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/02/implikasi-asean-%E2%80%93-China-free-tradearea-acfta-terhadap-hukum-investasi-di-indonesia, terakhir diakses 12 Mei 2011.
85
Administrator, ACFTA,RI-China Membuat Tujuh Kesepakatan, http://id.co.id/beritaindonesia/ekonomi -dan-keuangan/2602-acfta-ri-china-membuat-tujuh-kesepaktan.html, terakhir pada
tanggal 12 April 2011.
2. Adanya kesepakatan untuk membentuk Kelompok Kerja Resolusi
Perdagangan (Working Group on Trade Resolution) yang bertujuan untuk
memfasilitasi perdagangan yang lancar dan pembukaan Cabang Bank Mandiri
di RRC demi memperkuat hubungan transaksi langsung perbankan.
3. Atas permintaan Indonesia, dalam Pertemuan Komisi Bersama (Joint
Commistion Meeting) ini delegasi RRC menyetujui pembukaan Cabang Bank
Mandiri tersebut, sehingga akan memperkuat hubungan transaksi perbankan
antara kedua negara.
4. Kerjasama antara Lembaga Pembiayaan Ekpor Indonesia (LPEI) dan China
Exim Bank, dimana kedua pihak menandatangani perjanjian pinjaman sebesar
US$ 100 juta dari CEB kepada LPEI. Saat ini juga LPEI dalam tahap
finalisasi MoU dan Industrial dan Commersial Bank of China (ICBC) untuk
menyediakan kredit sebanyak US$ 250 juta kepada LPEI. Pinjaman ini
digunakan LPEI sebagai fasilitas kredit untuk mendukung perusahaanperusahaan dua negara terkait dengan proyek-proyek perdagangan dan
investasi dalam berbagai sektor prioritas yang disetujui termasuk
perdagangan, investasi barang modal, proyek infrastruktur, energy dan
kostruksi.
5. Adanya kesepakatan untuk memaksimalkan penggunaan Pinjaman Kredit
Ekspor Preferensi sebesar US$ 1,8 milliar dan Pinjaman Konsesi Pemerintah
sebesar 1,8 RMB untuk dapat dipergunakan oleh Indonesia dalam
mengembangkan berbagai proyek inprastruktur. Proyek yang telah selesai
adalah proyek Jembatan Suramadu dan Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara
Labugan Angin. Sementara Proyek yang masih dalam proses adalah
Pembangunan Waduk Jati. Kemudian masih terdapat 6 proyek baru yang telah
disetujui oleh kedua belah pihak yaitu, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Parit
Baru Kalimantan Barat, pengadaan material untuk jalur sepanjang 1.000 km
dan 200 unit turn out yang masih dalam proses pengadaan, serta konstruksi
jalan tol antara Medan dan Kuala Namu Sumatera Utara, Jembatan Tayan
Kalimantan Barat, pengembangan jalan tol tahap I Cileunyi-SumedangDawuan Jawa Barat, dan Jembatan Kendari Sulawesi Tenggara.
6. Kedua belah pihak telah menyelesaikan Perjanjian Perluasan dan Pendalaman
Kerjasama Bilateral Ekonomi dan Perdagangan (Agreement on Expanding
and Deepening Bilateral Economic Cooperation) yang akan ditandatangani
pada saat kunjungan Perdana Meneteri Wen Jiabao ke Indonesia (masih dalam
rencana).
7. Membahas agreed Minutes of the Meeting for Further Strengthening
Economic and Trde Cooperation antara lain isinya adalah:
a. Deklarasi bersama Indonesia dan RRC mengenai kemitraan srategis yang
telah ditandatangani oleh kedua pimpinan negara pada bulan April 2005,
dan ini menjadi dasar untuk lebih memperkuat kerjasama perdagangan
dan ekonomi kedua negara tersebut.
b. Kedua belah pihak akan mengembangkan perspektif strategis dalam
mengatsi kepentingan jangka panjang dan membawa hubungan ketingkat
yang baru.
c. Untuk mencapai tujuan tersebut, perjanjian ACFTA tetap menjadi dasar
strategis masing-masing pihak harus penuh pengimplementasikan
perjanjian tersebut secara menyeluruh dan saling menguntungkan bagi
kedua belah pihak.
d. Kedua pihak akan menetapkan pertumbuhan perdagangan bilateral yang
tinggi dan berkelanjutan, dimana jika terdapat ketidakseimbangan
perdagangan, maka pihak yang mengalami surplus perdagangan
berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan, termasuk mendorong
import lebih lanjut dan yang paling penting adalah memberikan dukungan
kepada pihak yang mengalami surplus perdagangan tersebut.
e. Agereed Minutes ini merupakan upaya untuk menindaklanjuti concern
beberapa industri di Indonesia terkait dengan dampak perdagangan
ACFTA.
Pasca berdirinya perdagangan bebas kawasan tertentu di beberapa wilayah
seperti yang dimulai di Uni Eropa, North America Free Trade Area (NAFTA)
serta tidak terlepas dari ketentuan WTO (World Trade Organization), trend
baru ini kemudian menjadikan meningkatnya Regional Free Trade Area di
wilayah lainnnya, termasuk AFTA, ACFTA, APEC dan lain-lain dimana
perdagangan bebas regional ini berdiri di akhir tahun 1960-an. 86
Tidak hanya itu, perdagangan bebas menjadi daya tarik sendiri dalam
usaha menciptakan pasar bebas lebih luas lagi, sehingga negara-negara besar
seperti Amerika Serikat, China, Rusia, India, dan Arab Saudi menggandeng
kawasan-kawasan agar dapat menjalin kerjasama perdagangan bebas, sebagai
basis pasar (market) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi
negara
anggota. Perdagangan bebas ini menjadi trend di negara-negara besar dalam
rangka menyaingi pasar milik AS dan Uni Eropa yang sangat besar.87
86
Administrator, Sekilas Tentang ACFTA, http://
politik.kompasiana.com/2011/01/12/sekilas-tentang-acfta, diakses pada tanggal 28 April 2011.
87
Ibid.
Asean-China Free Trade Area (ACFTA)
merupakan sebuah
kesepakatan yang dibuat antara negara-negara ASEAN dengan China.
ACFTA ini dirancang sebagai kerjasama perdagangan antara kedua belah
pihak dengan menghilangkan atau mengurangi batasan-batasan seperti
penerapan non tarif, peningkatan akses pasar jasa, penentuan dan ketentuan
arus investasi, peningkatan kerjasama ekonomi dalam rangka meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan diantara kedua belah pihak.
ACFTA dimulai ketika pada tahun 2001 digelar ASEAN-China
Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Pertemuan kelima
antara ASEAN dengan China ini menyetujui usulan China untuk membentuk
ACFTA dalam waktu 10 tahun. Lima bidang kunci yang disepakati untuk
dilakukan kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan
Sumber Daya Manusia, investasi antar-negara dan pembangunan di sekitar
area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan pertemuan antar
Menteri Ekonomi dalam ASEAN-China Summit tahun 2002 di Phnom Penh,
Vietnam. Dalam pertemuan ini menyepakati “Framework Agreement on
Comprehensive Economic Cooperation” (CEC), yang didalamnya termasuk
FTA. Sejak pertemuan itulah ACFTA dideklarasikan.88
Kesepakatan CEC dalam pertemuan itu mengandung tiga pilar:
liberalisasi, fasilitasi dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi meliputi meliputi
perdagangan bebas barang, jasa dan investasi dalam kawasan ACFTA. Dalam
88
Administrator, ACFTA dan Indonesia,
http://map.ugm.ac.id/index.php/component/arcile/11-olicy/forum/64.acfta-dan-ind, terakhir diakses
pada tanggal 28 April 2011.
hal ini juga diberikan differential treatment and flexibility bagi anggotaanggota yang belum berkembang di ASEAN, seperti Kamboja, Laos,
Myanmar dan Vietnam yang baru akan berlaku pada tahun 2015. CEC juga
mengatur mekanisme implementasi, termasuk tata cara penyelesaian sengketa.
Sebagai titik awal dari kerjasama ini ialah penandatanganan ASEANChina Comprehensive Economic Cooperation yang ditandatangani pada 6
November 2001 di Bandar Sri Begawan- Brunai Darussalam. Kemudian
negara-negara
yang terlibat di dalamnya
melakukan penandatangan
Framework Agreement ASEAN- China Free Trade Agreement yang bergilir
dilakukan oleh seluruh anggota ASEAN ataupun China. Kemudian pada 29
November 2004 proses negosiasi pun telah mencapai kata sepakat dengan
menandatangani Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement
Mechanism Agreement di Vientiane, Laos. Dimana ACFTA ini akan mulai
efektif pada 2010 bagi ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam,
Thailand, Singapura dan Filiphina) dan 2015 bagi ASEAN 4 (Kamboja,
Laos, Myanmar dan Vietnam).
5. Manfaat dan Tujuan Perdagangan Regional
Dalam pelaksanaan perdagangan bebas secara regional, tentunya
diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap perkembanngan dan
kemajuan ekonomi, diantaranya adalah:
a. Terbukanya akses pasar produk pertanian menjadi 0 % (nol
persen) Indonesia ke China pada tahun 2004
b. Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China pada
Tahun 2005 yang mendapatkan tambahan 40 %
(empat
puluh persen) dari Normal Track ( lebih kurang 1880 pos
tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menadi 0-5 % (nollima persen)
c. Terbukanya ekspor pasar Indonesia ke China pada tahun 2007
yang mendapatkan tambahan 20 % (dua puluh persen) dari
Normal Track (lebih kurang 940 pos tarif), yang diturunkan
tingkat tarifnya menjadi 0-5 % (nol-lima persen)
d. Pada tahun 2010, Indonesia memperoleh tambahan akses
pasar ekspor ke China sebagai akibat penghapusan seluruh
pos tarif dalam Normal Track China
e. Sampai tahun 2010 Indonesia akan menghapuskan 93,39 %
pos tarif (6.683 pos tarif dari total 7.156 pos tarif yang
berada di Normal Track), dan 100 % (seratus persen) pada
tahun 2012
Selanjutnya tujuan perdagangan regional khususnya ASEAN-China
FTA adalah:
a. Memperkuat dan meningkatkan kerja sama ekonomi, perdagangan
investasi antara Negara-negara anggota
b. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan
jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk
mempermudah investasi.
c. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan
kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara Negaranegara anggota
d. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota
ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myammar, dan Vietnam-CLMV) dan
menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara Negaranegara anggota.
C. Tantangan dan Peluang Pemerintah Sumut Terkait AFTA-China
1. Sejarah dan Profil Sumatera Utara
Sepintas jika dilihat dari aspek sejarah, pada Zaman
Pemerintahan
Belanda
pemerintahan
yang bernama “Gauverment Van Sumatera” yang
meliputi seluruh Sumatera
Sumatera
Utara
adalah
merupakan
dan dikepalai oleh seorang Goverenur
yang berkedudukan di kota Medan. Provinsi SumateraUtara terdiri
dari daerah-daerah Administratif yang dinamakan Keresidenan. Pada
awal kemerdekaan Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara tetap
merupakan satu kesatuan pemerintahan yakni, Provinsi Sumatera
Utara dikepalai oleh seorang Gubernur dan terdiri daerah Keresidenan
yang dikepalai oleh seorang Residen.
Pada Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) Provinsi
Sumatera Utara, mengingat adanya adanya kesulitan-kesulitan tentang
perhubungan yang dilihat dari aspek pertahanannya, maka dalam hal
ini diputuskan untuk membagi Provinsi Sumatera Utara menjadi tiga
sub Provinsi yaitu :
a) Sub Provinsi Sunatera Utara, yang terdiri dari keresidenan
Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.
b) Sub Provinsi Tengah
c) Sub Provinsi Selatan
Selanjutnya, tepatnya pada tanggal 7
diundangkanlah Undang-undang Nomor 24
Desember 1956
tahun 1956 tentang
Pembentukan Derah Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Sumatera Utara, tepatnya pada pasal 1.89
Jumlah daerah otonomi tingkat II di Provinsi Sumatera Utara,
berdasarkan Undang-undang Darurat nomor 8
1956
tentang
Pembentukan Kota-kota Besar, Undang-undang Darurat nomor 9
tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Kota-kota kecil serta
Perpu tahun 1964 tentang Pembentukan Derah Tingkat II ada 17
(tujuh belas) buah yang terdiri dari:
a. 11 (sebelas) Kabupaten, yakni terdiri dari Tapanuli Tengah,
Tapanuli Utara, Nias, Tapanuli Selatan, Langkat, Karo, Deli
Serdang, Simalungun, Asahan, Labuhan Batu, Dairi
89
Isi pasal 1 tersebut adalah (1). Bahwa daerah Aceh Besar, Aceh Pidie, Aceah Selatan,
Kota Besar, Kuta Raja, dipisahkan dari lingkungan daerah otonom Provinsi Sumatera Utara
dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 5 tahun 1950 dan
dibentuk menjadi daerah yang berhak mengatur dan mengurusi Republik Indonesia Sendiri dengan
nama Provinsi Aceh. (2). Bahwa Provinsi Sumatera Utara tersebut dalam ayat (1) yang wilayahnya
telah dikurangi dengan bagian yang dibentuk sebagai daerah otonomi Provinsi Aceh tetap disebut
Provinsi Sumatera Utara.
b. 3 (tiga) Administratif, yakni terdiri dari Padang Sidimpuan,
Kiasaran, Rantau Parapat.
c. 6 (enam) Kota Madya, yakni terdiri dari Kota Medan,
Pematang Siantar, Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai, Kota
Binjai, Kota Tebing Tainggi.
Letak geografis Provinsi Sumatera Utara adalah antara 10 LU40 LU dan 980 BT – 1000 BT, dengan ketinggian daerah dari
permukaan laut tersebut antara 0-1418 M, di mana sebelah Utara
berbatasan dengan Provinsi Aceh, sebelah Timur dengan Sumatera
Barat, sedangkan sebelah Barat Daya adalah Samudera Hindia.
Luas Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680 Km2 (persegi)
atau 3,5 % dari luas Indonesia yang terdiri dari pantai Timur dan
pantai Barat, dengan dataran tinggi dan dataran rendah. Untuk daerah
pantai Timur meliputi Labuhan Batu, Asahan, Tanjung Balai, Tebing
Tinggi, Deli Serdang, Medan, Langkat dan Binjai. Selanjutnya daerah
pantai Barat meliputi Nias, Tapanuli Utara, Dairi, Karo, Simalungun,
dan Pematang Siantar, dimana suhu udaranya rata-rata berkisar 150 C320 C dan kelembaban udaranya rata-rata berkisar 83 %-89 %.
Selain itu juga dataran rendah pantai Timur merupakan daerah
pertanian dan perkebunan yang sangat luas dan memiliki kesuburan
tanah yang lebih baik disbanding wilayah pantai Barat sedangkan
dataran tingginya sebahagian besar diusahan untuk tanaman pangan
serta perkebunan rakyat dan perkebunan besar untuk kebutuhan
masyarakat. Wilayah pantai barat tersebut mempunyai iklim yang
agak kering dan areal pertanian yang agak kurang subur, tanahnya
berbukit-bukit, dimana sebahagian tanah tersebut kurang subur apabila
digunakan untuk areal pertanian.
Sesuai dengan kondisi alamnya, provinsi Sumatera Utara
merupakan suatu provinsi dimana sektor pertanian, dengan kata lain
tanah agraris nya menjadi tulang punggung struktur perekonomiannya,
disamping sektor industri yang berperan semakin dominan. Diantara
hasil pertanian yang menjadi mata pencaharian penduduk Provinsi
Sumatera Utara adalah padi, jagung, buah-buahan dan sayuran,
sedangkan untuk sektor perkebunan seperti kelapa sawit, karet, coklat,
kopi, teh, tembakau, penile, dan bagian sektor kehutanan termasuk
alamnya seperi kayu, rotan dan kemenyan.
Kondisi
demografis
Provinsi
Sumatera
Utara
dengan
ibukotanya “MEDAN” adalah terdiri dari sebelas kabupaten, enam
kota Madya dan tiga kota Administratif dengan lebih kurang 209
kecamatan, 390 kelurahan, dan 5038 pedesaan. Pembagian wilayah
Provinsi Sumatera Utara jika dilihat dari segi kewilayahannya serta
untuk mengidentifikasikan permasalahan dan keadaan daerah tersebut,
dalam rangka melancarkan pelaksanaan dan pengolahan pembagian
berdasarkan pendekatan tata ruang, maka Provinsi Sumatera Utara
dibagi atas empat bagian wilayah.(seperti terlihat dalam tabel berikut
ini).
Tabel : 2
Pembagian Wilayah Provinsi SUMUT
Wilayah Pembangunan
Luas Wilayah (Km)
WP I : Sibolga, Tapteng, Tapsel dan Nias
WP II : Pematang Siantar, Simalungun, Karo,
26.414
Dairi
20.317
WP III : Medan, Langkat, Deli Serdang, Binjai dan
10.987
dan Tapanuli Utara
Tebing Tinggi
WP IV : Tanjung Balai, Labuhan batu, Asahan
13.967
Sumut
71.690
:
Sumber : Biro Pusat Statistik Sumut
Selanjutnya perkembangan wilayah Sumatera Utara dengan
adanya beberapa kabupaten yang sudah dimekarkan saat ini bahwa
luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai 71.680,68 km2 atau
3,72 % dari luas wilayah Negara Republik Indonesia dengan memiliki
162 pulau yaitu 6 pulau pantai Timur dan 156 pulau pantai Barat.
Batas wilayah Sumatera Utara meliputi Provinsi NAD di sebelah
Utara, Provinsi Riau dan Sumatera Barat di sebelah selatan, Samudera
Hindia di sebelah Barat serta selat Malaka sebelah Timur, di mana
letak geografis Sumatera Utara berada pada jalur strategis pelayaran
internasional, yaitu selat Malaka yang dekat dengan Singapura,
Malaysia dan Thailand, dengan jumlah kabupaten sekitar 27
kabupaten, 383 kecamatan dan 5736 pedesaan dengan pembagian
wilayah administrasi Sumatera Utara saat ini berikut dirinci dalam
tabel berikut:
Tabel : 3
Pembagian wilayah Sumatera Utara
Jumlah
No.
Kabupaten/Kota
kecamatan
Desa/kelurahan
1.
Nias
32
443
2.
Mandailing Natal
22
376
3.
Tapanuli Selatan
11
511
4.
Tapanuli Tengah
19
172
5.
Tapanuli Utara
15
243
6.
Taba Samosir
14
192
7.
Labuhan Batu
22
242
8.
Asahan
13
17
9.
Simalungun
31
351
10.
Dairi
15
169
11.
Karo
17
267
12.
Deli Serdang
22
394
13.
Langkat
20
260
14.
Nias Selatan
8
260
15.
Kumbanghasundutan
10
144
16.
Pak-pak Bharat
8
52
17.
Samosir
9
117
18.
Serdang Bedagai
11
243
18.
Batu Bara
7
100
19.
Padang Lawas Utara
8
379
20.
Padang Lawas
9
303
21.
Sibolga
4
17
22.
Tanjung Balai
6
31
23.
Pematang Siantar
7
43
24.
Tebing Tinggi
5
35
25.
Medan
21
151
26.
Binjai
5
37
27.
Padang Sidimpuan
6
37
383
5.736
Sumut
Sumber : Biro Pusat Statistik Sumut
Penduduk Sumatera Utara terdiri dari berbagai suku, seperti
Melayu, Batak, Nias, Aceh, Minangkabau, Jawa, dan tetap beragama.
Walaupun berbeda agama dan adat istiadat, kehidupan bersama tetap
berlangsung rukun dan damai dengan Pancasila sebagai pedoman hidup.
Pada tahun 2003, jumlah penduduk Sumut bertambah 11.890.399
jiwa dan terdiri darai 5.942.682 laki-laki dan 5.947.717 perempuan
dengan kepadatan rata-rata 166 jiwa/KM2, sekitar 56,75 % penduduk
bertempat tinggal di desa dan 43,25 % tinggal di Kota. Selanjutnya pada
tahun 2007, penduduk Sumut bertambah menjadi 12.834.371 jiwa yang
terdiri dari 6.405.076 jiwa penduduk laki-laki atau 49, 91 % dan sekitar
6.429.925 jiwa penduduk perempuan atau sekitar 50,09 %, dengan
kepadatan rata-rata 179 jiwa/ Km2.
2. Pengertian Peluang dan Tantangan
Peluang, dengan kata asingnya adalah “opportunities” yaitu
merupakan kesempatan yang diperoleh misalnya gerakan reformasi
disegala bidang kehidupan menciptakan peluang bagi perwujudan
good governance dan eskalasi social bagi seluruh masyarakat tanpa
membedakan lingkungan geografi, tempat tinggal dan etnis. Kemudian
juga sebagai daya tarik investasi yang tetap tinggi dan memberi
kecenderungan investor (regional dan global) untuk menanamkan
investasi90, misalnya di Indonesia, khususnya Provinsi Sumatera
Utara. Selanjutnya banyaknya putera daerah yang berhasil di daerah
lain yang menyebabkan arus informrasi, komoditi dan investasi lebih
cepat diperoleh serta berkembangnya kerjasama regional dan sub
regional yang akan membawa manfaat bagi perkembangan kemajuan
yang amat luat untuk daerah Sumatera Utara.
Indonesia
mempunyai
peluang
cukup
besar
untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi dari China, hal ini
didukung peningkatan volume maupun komoditas yang diekspor ke
Negara China sebagai kekuatan ekonomi baru, tidak kalah pentingnya
Sumatera Utara juga cukup berpeluang untuk merebut ekonomi pasar
dalam hal meningkatkan pertumbuhan ekonomi sumut.
Selanjutnya tantangan adalah merupakan suatu usaha yang
bersifat menggugah kemampuan91, untuk merebut dan meraih sesuatu
yang ingin kita dapatkan.
Tantangan terberat Indonesia sebenarnya lebih kepada faktor di
dalam negeri yaitu, pembenahan sektor pendukung industri dan
90
Lihat, Chairuman Harahap, H.N. Serta Ginting, Melangkah Bersama Untuk Maju : Visi,
Misi dan Rencana Kebijakan Pembangunan Sumatera Utara Periode 2003-2008, makalah disampaikan
pada rapat paripurna dewan perwakilan rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 25 April
2003, hal. 12.
91
Kailan, M.S, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, ( Yokyakarta : Paradigma, 2010), hal.
147.
pertanian seperti kesiapan energi, kualitas tenaga kerja, sistem
perbankan baik dari segi suku bunga pinjaman, pembiayaan dan lainlain agar dapat mendorong pertumbuhan industri.
Berikutnya perlu memperbaiki sistem logistik nasional yang
memungkinkan pergerakan barang, modal dan tenaga kerja agar
semakin
efesien
di
berbagai
sektor.
Kemudian
peningkatan
pengawasan di batas perdagangan Indonesia, hal ini untuk
menghindari serbuan produk illegal.
Hal lain yang tak kalah pentingya adalah peningkatan
pengamanan pasar, antara lain dengan menerapkan Standart Nasional
Indonesia (SNI) yang didukung
kesiapan, baik secara infrastruktur,
laboratorium, maupun Sumber Daya Manusia yang kompeten, serta
bantuan atau program pembinaan dan peningkatan mutu produk yang
diharapkan dapat mengungguli kualitas produk luar negeri.
Untuk ruang lingkup Provinsi Sumatera Utara, terdapat
beberapa hal tantangan dan kendala bagi Pemerintahan Sumut terkait
dalam pelaksanaan Perdagangan regional AFTA-China ini, misalnya
produk yang berasal dari China (impor China) membanjir di Sumatera
Utara, hal ini dikarenakan produk dari China terkesan lebih murah
walaupun sebenarnya secara kualitas paroduk China kurang. Inilah
yang menjadi ancaman bagi Indonesia juga Sumatera Utara.
3.
Kendala dan Hambatan Sumut dalam Pelaksanaan AFTA-China
Setiap pelaku usaha, pelaku kegiatan ekonomi, pelaku bisnis
tentunya harus mempunyai strategi yang baik dalam melakukan
kegiatan bisnis tersebut. Strategi adalah merupakan hal pokok yang
harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara menghadapi
persaingan yang tepat dan efesien diperlukan, guna memenangkan
persaingan bebas tersebut, namun pada kenyataannya Indonesia masih
kurang strategi dibanding dengan China, dengan kata lain Indonesia
dalam menghadapi AFTA-China ini masih terdapat beberapa kendala
atau hambatan seperti kurangnya strategi, dalam hal ini dapat dilihat
dari 4 (empat) aspek yaitu:
a. Sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China memilih
untuk memprioritaskan penyediaan listrik murah. Listrik
merupakan faktor yang paling penting untuk menciptakan
daya saing dan akan menerik investasi. Oleh karena itu
dalam penyediaan listrik, China memilih memanfaatkan
batu bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia,
rendahnya daya tarik industry manufaktur antara lain akibat
kegagalan PLN menjaga patokan listrik dan tingkat harga.
Tingginya biaya produksi terjadi karena PLN tidak
mendapat dukungan pasokan energi murah baik batu bara
maupun gas dari pemerintah. Padahal Indonesia memiliki
kekayaan energi alam yang tidak kalah jika dibanding
dengan China. Akan tetapi Indonesia lebih memilih
menjadikan batu bara dan gas sebagai komoditas ekspor,
bukan modal untuk membangun industri.
b. Demikian juga pada pengolahan timah, China tidak
menjadikan pada komoditas ekspor yang didasarkan pada
visi dan strategi China untuk membangun struktur industri
elektronik
yang
deep
dan
kompetetitif.
Sedangkan
pengelolaan timah di Indonesia dibiarkan untuk diolah oleh
negara lain.
c. Dalam hal sumber daya energi, Negara China dalam hal
membangun industri elektronika yang terintegrasi mulai
dari pembangunan industri pendudkung yaitu dengan
mengolah bahan baku. Hal ini berbeda dengan Indonesia,
Indonesia hanya memiliki industri perakitan (hulu) untuk
produk elektronika dan produksi.
d. Dalam hal kebijakan keuangan, kegigihan China untuk
tetap menjaga nilai tukar yang lemah dilakukan sesuai
dengan strategi untuk menjaga daya saing produk industri.
Bahkan pada saat krisis, China membantu Negara lain
lewat special credit facility yakni memberikan kemudahan
pembayaran bagi importer yang dilakukan untuk menjaga
permintaan produk China. Indonesia tidak demikian.
Seiring dengan hal tersebut, dengan lingkup yang agak mengecil
maka
Provinsi Sumatera Utara juga tetap memiliki kendala atau
hambatan-hanbatan dalam persaingan terkait dengan perdagangan regional
AFTA-China. Menurut analisa penulis kendala atau hambatan-hambatan
tersebut salah satunya adalah infrastruktur untuk mendukung dan
mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan investasi Indonesia
termasuk Sumut masih belum memadai, juga hal lain disebabkan isu
tingginya tingkat korupsi di Indonesia, termasuk Sumatera Utara adalah
merupakan hal yang menjadi pertimbangan investor asing untuk
menanamkan modal di Indonesia.
4. Bentuk-Bentuk Peluang Sumut Terkait dengan AFTA-China
4.1.
Dikaji dari Aspek Ekonomi Potensi Unggulan Daerah
Secara universal potensi Sumber Daya Sumut cukup berlimpah
antar tanaman pangan dan hortikultura perkebunan, perikanan dan
pariwisata. Potensi pertanian Sumut diantaranya sayuran, jeruk, buahbuahan yang sebahagian besar telah dipasarkan dengan baik dan sudah
di ekspor ke luar negeri maupun ke luar provinsi lain. Luas areal
pertanian Sumut adalah 1.634.772 ha atau 22,73 % dari luas Sumut
dengan produksi sebesar lebih kurang 3.738.516 ton untuk 23
komoditi, diantaranya adalah sawit, karet, kopi, kakau, tembakau, dan
kelapa.
Rata-rata pertambahan luas lahan perkebunan 0,72 % pertahun
dengan produksi sebesar 2,74 % pertahun. Potensi perikanan laut selat
malaka (pantai timur) sebesar 276,030 ton pertahun dan sudah
dimanfaatkan sekitar 90,75 %, sedangkan potensi Samudera Hindia di
pantai Barat sebesar 1.076.960 ton pertahun dan baru dimanfaatkan
8,79 %. Maka potensi pantai Barat ini perlu dikembangkan mengingat
tingkat pemanfaatannya masih rendah.
Sumatera Utara juga merupakan salah satu tujuan wisata
(DTW) yang mempunyai 399 objek wisata yang terbesar di seluruh
daerah, dari 120 wisata yang dipasarkan melalui potensi alam seperti
danau toba, wisata bahari terutama di Nias, Agrowisata, seni dan
budaya, serta etnis yang masing-masing mempunyai nilai tersendiri.
Kemudian kawasan agropolitan dataran tinggi bukit barisan
Sumatera Utara, seperti jagung, kentang, kopi, ikan mas, sapi, bawang
merah dan sebagainya sangat berpotensi untuk dikembangkan.
Pengembangan kawasan Agromaripolitan wilayah posisi
pulau-pulau kecil dan terluar, dengan luas laut Sumut sekitar 110.000
Km2, panjang pantai 1.300 Km (pantai Timur 545 Km dan potensi
Barat 375 Km serta Pulau Nias 380 Km). jumlah pulau sebanyak 419
buah, yang bernama 237 buah dan tidak bernama 182 buah, ini sangat
berpotensi untuk dikembangkan.
Potensi Sumber Daya Ikan di kawasan Pantai Barat mencapai
1.076.960 ton pertahun, dengan potensi jenis ikan unggulan di laut
pesisir seperti Tuna, Tongkol, Cakalang, Kerapu, Kakap, Gembung,
Tenggiri, Teri dan Ikan Hias, (tingkat pemanfaatannya baru sekitar
8,79 %). Potensi Sumber Daya Ikan unggulan di laut pesisir seperti,
Tuna, Barondong, Tongkol, Cakalang, Kerapu, Kakap, Gembung,
Tenggiri, Teri (tingkat pemanfaatannya baru sekitar 90, 75 %. Potensi
kepariwisataan
bahari banyak memiliki pantai seperti, Langundri,
Saroke, Pulau Pandan yang amat diminati oleh wisata manca negara
untuk berselancar, diving dan lain-lain sebagainya.
Potensi bahan tambang dan bahan galian yang cukup besar
seperti Energi Panas Bumi, Timah Putih, Pasir Kuarsa, Koalin dan
Bauksit. Di samping itu juga, letak gografis Sumut merupakan
kawasan Jalur Perdagangan Internasional sebab dekat dengan selat
malaka (Malaysia) dan Singapura.
Tabel : 4
Ekspor Provinsi Sumut ke Negara China
periode 2005-2010 (Jan-Jul)
Nilai (US$)
Volume (KG)
Jan-Jul
uraian
2005
2006
2007
2008
Jan-Jul
2009
2005
2009
Migas
-
-
-
-
-
-
Non
377,
545,
620.
718,
527,
314,
migas
795,
974,
430,
974,
512,
124
857
199
971
454
2006
2007
2008
2009
2010
2009
2010
-
-
-
-
-
-
-
413,
635,
819,
672,
656,
794,
474,
384,
931,
202,
810,
057,
538,
230,
064,
791,
095,
509
012
994
410
158
201
831
077
909
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah Pusdatin Kementerian Perdagangan)
Tabel : 5
Impor Provinsi Sumut dari negara China
periode 2005-2010 (Jan-Jul)
Nilai (US$)
Volume (KG)
Jan-Jul
uraian
2005
2006
2007
2008
Jan-Jul
2009
2005
2009
Migas
-
-
-
-
-
-
Non
7,738,
10,79
14,26
20,74
8,042,
4,975,
migas
232
1,666
5,036
0,801
719
150
2006
2007
2008
2009
2010
2009
2010
-
-
-
-
-
-
-
924,
27,35
36,90
45,84
454,27
14,50
6,618,
899,
204
0,989
8,879
8,936
1,421
2,075
338
336
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah Pusdatin Kementerian Perdagangan
4.2. Dikaji dari Sudut Potensi Sumber Daya Alam (SDA)
Jika ditinjau dari sudut Potensi Sumber Daya Alam, ada tiga sektor yang
dapat diandalkan dalam meningkatkan perekonomian Sumatera Utara antara lain
sektor pertanian dan perkebunan, sektor pariwisata dan sektor perindustrian.
Sektor petanian identik dengan perkebunan, artinya antara pertanian dengan
perkebunan tidak dapat dipisahkan dan rasanya kurang enak membicarakan
pertanian saja atau perkebunan saja. Sebagaimana kita ketahui bahwa penduduk
atau masyarakat Provinsi Sumatera Utara mayoritas penghasilannya adalah
bertani. Dalam hal ini Provinsi Sumatera Utara memeliki beraneka ragam hasil
pertanian termasuk kehutanan, perikanan dan peternakan, misalnya padi sebagai
makanan pokok, jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, buah-buahan dan lainlain sebagainya, artinya cukup banyak hasil pertanian yang ada di wilayah Provinsi
Sumatera Utara. Begitu juga dengan hasil yang didapat dari sektor perkebunan
antara lain karet, kelapa sawit, vanili, kemiri, tmbakau dan banyak lagi jenis
tanaman lainnya.
Sementara itu jika dibandingkan dengan apa yang terdapat dikawasan
ASEAN, Negara Thailand dan Malaysia merupakan penghasil beberapa kamoditas
dan tetap menjadi saingan yang ditingkatketat dalam merebut pasar bebas AFTA,
termasuk juga saat ini persaingan dalam pasar bebas AFTA-China. Hal ini juga
merupakan salah satu tantangan yang harus dijadikan persaingan dan bagaimana
solusinya terhadap persaingan tersebut. Namaun demikian beberapa komoditas
yang andal dapat ditingkatkan teknologi produksinya sehingga menghasilkan mutu
dan kualitas yang baik, dan ini tentunya diharapkan dapat mengimbangi daya saing
terhadap produksi Negara ASEAN lainnya. Maka sektor pertanian dan
perkebunan, dimana program agroindustri atau pengolahan hasil pertaniannya
sangat diperlukan dan paling sedikit ada lima alasan utama kenapa agroindustri
sangat penting untuk menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi masa depan, yakni
karena :
1. Agroindustri mampu menstransformasikan keunggulan kompratif menjadi
keunggulan bersaing, yang pada kahirnya akan memperkuat daya saing
produk agribisnis Indonesia secara umum, khususnya memperkuat daya
saing produk agribisnis Provinsi Sumatera Utara.
2. Produk memiliki nilai tambah dan pangsa yang besar sehngga kemajuan
yang dicapai dapat mempengaruhi perekonomian nasional secara
keseluruhan.
3. Memiliki keterkaitan yang besar baik ke hulu maupun ke hilir (forward
and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sectorsektor lainnya.
4. Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan komparatif) yang dapat
diperbaharui, sehingga terjamin sustainabilitasnya.
5. Memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi
nasional dari sektor pertanian ke sektor perindustrian.
Pengembangan industri pangan di Indonesia terbuka sangat luas, hal
ini karena adanya dukungan faktor internal maupun ekternal yang sangat kuat.
Faktor internal seperti besarnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan
masyarakat yang semakin meningkat, cukup tersedianya faktor-faktor
produksi, kafasitas produksi yang ideal, teknologi dasar pengolahan pangan
yang sudah dikuasai. Untuk faktor eksternal misalnya, liberalisasi
perdagangan dunia, perekonomian dunia yang semakin membaik, naiknya
permintaan pangan dunia, tingginya komsumsi pangan olahan di masyarakat
Negara maju.
Melihat dari hasil pertanian dan perkebunan terhitung sangat banyak,
maka sebahagian hasil pertanian dan perkebunan yang ada di Sumatera Utara
layak untuk diekspor. Ada 23 (dua puluh tiga ) kelompok produk ekspor
tertentu yang terdiri dari 60 HS 9 digit yang tercakup dalam SK Menteri
Perindustrian dan Perdagangan nomor 164 tahun 1996 sebagai berikut:
1. Standart Indonesia Rubber (SIR)
2. Karet konvensional
3. Gaplek
4. Minyak sereh
5. Minyak nilam
6. Minyak kenanga
7. Minyak akar wangi
8. Lada putih
9. Lada hitam
10. Buah pala
11. Fuli
12. Cassia vera
13. Kopi
14. Teh
15. Minyak kayu putih
16. Minyak daun cengkeh
17. Minyak pala
18. Minyak fuli
19. Minyak cendana
20. Vanili
21. Kayu lapis penggunaan umum
22. Biji kakau
23. Pinang, bukan untuk obat.
4.3.
Dikaji dari Sudut Potensi Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia (SDM) adalah merupakan menu yang
tersedia di alam, dimana SDM tersebut adalah sebagai pengolah,
pengelola menu yang tersedia di alam itu. Selain potensi Sumber Daya
Alam yang dimiliki Provinsi Sumatera Utara juga memiliki Sumber Daya
Manusia yang cukup besar, yang mana pada saat ini penduduk Sumatera
jiwa92. Dari
Utara cukup banyak mencapai lebih kurang 12.834.371
jumlah penduduk tersebut serta tenaga kerja (Sumber Daya Manusianya)
juga pasti ada dan sering dijadikan promosi untuk menarik insvestor Luar
Negeri guna menanamkan modal di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini
tentunya
merupakan
potensi
sebagai
peluang dalam
penerapan
perdagangan internasional yaitu salah satunya perdagangan regional
AFTA-China.
Ada
beberapa
cara
yang
dapat
dilakukan
demi
untuk
mempercepat peningkatan mutu dan kualitas Sumber Daya Manusia di
lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Utara, antara lain adalah:
a. Ketertiban Dunia Usaha
b. Dalam hal ini terutama menyangkut industri nasional
maupun
internasional
untuk
menciptakan
dan
meningkatkan mutu dan kualitas Sumber Daya Manusia di
Indonesia, khususnya Sumatera Utara.
92
Jumlah penduduk Sumut pada tahun 2007
c. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pemerintah
Jika dilihat dari segi aparat pemerintah, perbaikan mutu
dan kualitas harus dimulai sejak rekrutmen dengan
menggunakan suatu sistem yang benar-benar menjamin
serta diperolehnya sumber daya yang mempunyai mutu dan
kualitas dasar yang baik, pembinaan melalui penegasan
yang mendidik serta yang mengkadernya, juga termasuk
pengembangan program pelatihan yang memungkinkan
tersedianya tenaga siap kerja, peningkaatan kesejahteraan
yang memadai, dan pemberian jaminan hari tua secara
nyata. Karena Negara yang baik bias dipelihara jika
dikelola pemerintah yang baik pula, dan pemerintah
menjadi baik jika berada ditangan orang yang bain dan
terbaik.
d. Pengembangan Sumber Daya Manusia Secara Universal
Meskipun secara substantive berbeda, strategi serupa
seperti apa yang diterapkan dijajaran aparatur pemerintah.
Tetapi juga digunakan untuk pengembangan legeslatif.
Tentunya
dengan
modifikasi
yang
sesuai
dengan
kebutuhan, kepentingaan dan karakter gerakan politik. Jika
pengembangan Sumber Daya Manusia Pemeintah adalah
tanggung jawab pemerintah dan untuk legeslatif adalah
partai-partai
politik.
Karena
di
samping
ada
area
kewenangan yang berbeda, partai politk adalah institusi
yang berkepentingan untuk menempatkan kader-kadernya
sebanyak mungkin di Lembaga Perwakilan Rakyat.
e. Dunia Pendidikan dan Sistem Pendidikannya
Mengenai kerja sama dunia pendidikan sekaligus sistem
pendidikannya dengan pangsa usaha hendaknya dilakukan
dalam bentuk penilaian dan pendidikan atau disebut dengan
praktek lapangan yaitu System Link and Matchs.
4.4.
Dikaji dari Sudut Potensi Hukum yang Berlaku
Bicara mengenai hukum adalah sebuah aturan dan pedoman yang
sebaiknya harus dipatuhi oleh siapapun termasuk para pelaku usaha
dalam kegiatan perdagangan, khususnya perdagangan regional AFTAChina ini, kepastian hukum dan harmonisasi hukum sangat dibutuhkan.
Artinya dengan adanya hukum, berarti ada yang mengendalikan dan
mengatur sistem perdagangan yang telah diterapkan, sehingga ke
depannya tidak menimbulkan komplik, dan kalaupun seandainya terdapat
perselisihan atau komplik, maka solusinya adalah hukum.
Hukum akan memegang peranan yang sangat penting dalam
kegiatan ekonomi (perdagangan) serta transaksi bisnis di era globalisasi,
salah satu diantaranya adalah perdagangan regional AFTA-China,
terutama dalam perkembangan dan prospek bisnis di Asia Pasifik.
Hukum dapat memberikan hal yang diperlukan dalam dunia bisnis untuk
mengestimasikan keuntungan yang diinginkan dan dapat menghindarkan
kerugian.
Penerapan hukum ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau
membatasi kepentingan individu, melainkan untuk memberikan kepastian
hukum dengan berusahan penuh untuk mewujudkan
keadilan yang
hakiki, dengan ketentuan bahwa apabila hukum dilaksanakan dengan
baik, maka hokum tersebut sangat membantu dunia bisnis termasuk
kegiatan ekonomi dan perdagangan, bahkan dapat menentukan arah
bisnis sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh sebab itu jaminan dan
ketetapan berlaku suatu sistem hukum di Indonesia, khususnya Sumatera
Utara perlu untuk dikaji, dipahami, diterapkan dan dilaksanakan,
sehingga setiap individu siapapun dia tetap sadar hukum.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam babbab serta sub-sub bab tersebut yang diawali dengan abstrak, latar belakang,
perumusan masalah, analisa dan pembahasan. Maka untuk merangkum apa
yang telah diuraikan tersebut dapat dikemukakan kesimpulannya sebagai
berikut:
1. Kebijakan adalah merupakan serangkaian konsep tindakan yang diusulkan
oleh seseorang atau pemerintah untuk mengambil sebuah keputusan,
dalam hal inisebuah konsep untuk melindungi industri dalam negeri
dengan kata lain produk lokal, bahwa pemerintah Indonesia, khususnya
Sumatera Utara harus melakukan kebijakan, dan kebijakan tersebut harus
sesuai dengan prinsip keadilan demi kepentingan bersama untuk
memajukan pertumbuhan ekonomi, khususnya Sumatera Utara. Adapun
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi Industri
dalam negeri secara umum yaitu melalui tindakan anti dumping, tindakan
safeguard, subsidi, mencintai produk-produk lokal, termasuk para
konsumen harus membeli produk dengan barang berstandar SNI. Oleh
pemerintah Sumatera Utara juga selain melakukan kebijakan secara umum
tersebut, ada kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan pemerintah
Sumatera Utara untuk mengimbangi pelaksanaan dan penerapan AFTAChina ini antara lain seperti, misalnya pemerintah memberikan bantuan
alat-alat kepada pengusaha-pengusaha lokal, kemudian memberikan
pelatihan-pelatihan seperti sektor, pembukuan, kemasan dan pemasaran.
Selanjutnya pemerintah Sumut juga memberikan kabijakan
bergulir pada UKM-UKM
modal
lokal dengan pinjaman atau modal yang
diberikan tersebut tetap dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan oleh pemohon.
2. Bahwa terkait dalam perdagangan bebas internasional secara multilateral
(WTO), maka pembentukan kesepakatan perdagangan bebas secara
regional dalam ketentuan WTO tersebut, dibenarkan dan dibolehkan. Hal
ini disadarkan pada ketentuan pasal 24 General Agreement on Tariffs
and Trade (GATT) yaitu tentang diperbolehkannya pembentukan
kerjasama
regional
dibidang
perdagangan.
Namun
demikian
dipersyaratkan bahwa perjanjian perdagangan regional tersebut tidak
boleh menjadi rintangan bagi perdagangan secara multilateral. Dengan
kata lain perdagangan regional ini diperbolehkan dengan pengecualianpengecualian terhadap prinsip Most Favoured Nation (MFN) berdasarkan
ketentuan GATT tersebut,
3. Adapun faktor-faktor yang menjadi tantangan terberat Indonesia
sebenarnya lebih kepada faktor di dalam negeri yaitu, pembenahan sektor
pendukung industri dan pertanian seperti kesiapan energi, kualitas tenaga
kerja, sistem perbankan baik dari segi suku bunga pinjaman, pembiayaan
dan lain-lain agar dapat mendorong pertumbuhan industry, begitu juga
dengan Sumatera Utara bahwa tantangan Sumut dalam mengikuti trend
persaingan internasional AFTA-China ini masih banyak yang harus
dipermaharui
dan
terdapatnya
kelemanahan-kelemahan
seperti
infrastruktur untuk mendukung dan mendorong pertumbuhan ekonomi
dan investasi di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, serta ancaman
yang paling terberat adalah bahwa produk-produk dari China semakin
membanjiri pasar Indonesia, kkususnya pasar tradisional Sumatera Utara.
Sedangkan untuk peluang terkait dengan pelaksanaan AFTA-China ini,
bahwasanya Indonesia secara umum mempunyai peluang yang sangat
besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi dari China
dan semakin terbukanya pasar bebas, Sumatera Utara juga dengan
mengandalkan potensi daerahnya cukup berpeluang ikut dalam persaingan
internasional AFTA-China, seperti dilihat dari SDA, termasuk sektor
pertanian, perkebunan dan perikanan, SDM Sumut, sektor pariwisata, laju
pertumbuhan ekonomi Sumut, dan lain sebagainya.
B. Saran
1. Dalam mengikuti trend persaingan internasional, termasuk trend
perdagangan regional AFTA-China ini pemerintah Indonesia, khususnya
pemerintah Sumatera Utara harus memberikan kebijakan-kebijakan, akan
tetapi kebijakan yang akan dilakuakan pemerintah tersebut, sebaiknya
harus memperhatikan ketentuan-ketentuan atau kebijakan-kebijakan untuk
melindungi industri dalam negeri (produk lokal), agar produk-produk
yang berasal dari lokal tetap bisa bersaing di pasar internasional, terutama
di lingkungan pasar China, sehingga laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia, khususnya Sumatera Utara semakin meningkat, bukan
sebaliknya.
2. Berkaitan dengan ketentuan-ketentuan pembentukan perdagangan regional
yang telah dibenarkan berdasarkan pasal 24 GATT, sehingga dengan
kegiatan perdagangan regional tersebut terlihat maju dan berkembang,
walaupun masih ada terdapat kelemahan-kelemahan dalam ketentuan
peraturan regional itu, maka sebaiknya setiap pelaku usaha atau pelaku
kegiatan ekonomi yang tergabung dalam kegiatan kerjasama internasional
AFTA-China harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
lingkup perdagangan regional itu sendiri dengan membuat peraturan
nasional masing-masing, sehingga mudah untuk diterapkan serta tetap
mengarah kepada ketentuan internasional dan tidak bertentangan dengan
ketentuan WTO.
3. Sehubungan dengan berlangsung dan telah diterapkannya persaingan atau
perdagangan regional AFTA-China ini, maka sebaiknya Indonesia tidak
perlu takut dan pesimis, Indonesia khususnya Sumatera utara harus kuat
dan siap dengan selalu optimis bahwa dengan adanya perdagangan
regional AFTA-China ini adalah memberikan peluang berdanpak positif
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi Indonsia dari
China, sehingga Indonesia diharapkan semakin maju dan sejahtera secara
keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku:
Adolf, Huala, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005.
………………, Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Umum
Mengenai Tarif dan Perdagangan, Jakarta: BP. IBLAM,
Cetakan I, 2005.
………………., Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (edisi revisi),
Bandung : Refika Aditama, 2010.
Ali, Achmad, Menguat Teori Hukum (Legal Teori) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi UndangUndang
(Legisprudence), Jakarta: Kencana Prenada MediaGroup,
2009
Balfas, Hamud M, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta : PT Tanu Nusa,
2006.
Dirdjosisworo, Kaidah-Kaidah Perdagangan Internasional (Perdagangan
Multilateral) Versi Oraganisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization = WTO), Bandung : CV. Utomo, 2004.
Dibyo Prabowo dan Sonia Wardono, AFTA Suatu Pengantar, Yogjakarta :
BPFE, 2005
Hadiwinata, Bob.S dan Aknolt K. Pakpahan, Fair Trade Gerakan
Perdagangan Alternatif, Bandung: Pustaka Belajar Oxfam,
2004.
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek
Hukum dan Non Hukum, Bandung : Refika Aditama, 2006.
Hart, H.L.A, Konsep Hukum “The Concept of Law, Bandung : Nusa Media,
2009.
Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima, Jakarta : Kompas, 2006.
Ibrahim, Jhonny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia, 2005.
Kaelan,Dkk,
Pendidikan Kewarganegaan Untuk Perguruan Tinggi,
Yogyakarta : Paradigma, 2012.
Lubis, M. Solly, (modul) Teori Hukum, Medan : Universitas Sumatera Utara,
2006,
………………., Kebijakan Publik, (Bandung : Mandar Maju, 2007)
………………., Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi Dalam
Rangka Ultah ke- 80 Prof. M. Solly Lubis, Medan: PT. Sofmedia, 2010,
Marjuki, Peter, Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005.
M.Friedman, Lawrence, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial “The Legal
System A Social Science Perspektive, Bandung : Nusa Media, 2009.
Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi I , Bandung : Books Terrace &
Library, 2009.
Nuraeni,
Dkk, Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional,
Yogyokarta : Pustaka Belajar, 2010.
Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Mandar
Maju, 1990.
Rawls, John, A Theory of Justice Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik
Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006,
Rahardjo, Satjipto, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya,
Mataram: Genta Publishing, 2009.
……………..., Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis tentang Pergaulan
Manusia dan Hukum, Jakarta : Kompas, 2008.
Rajagukguk,
Erman, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Fakultas hukum
Universitas
Indonesia : Lembaga Studi Hukum dan
Ekonomi, 2011
Saliman, Abdul R, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group , 2005.
Siregar, Mahmul, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal : Studi
kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Inverstasi Multilateral,
Medan: Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pascasarjana,
2005.
……………….., Hukum Penanaman Modal Dalam Kerangka WTO, Medan :
Pustaka Bangsa Press, 2011.
Sidharta, B. Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
dan Filsafat Hukum, (Bandung : Refika Aditama, 2008),
Soekanto, Soerjono dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.
Sunggono, Bambang, Metode penelitian hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2001
Susanti, Ida dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas:
Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam melaksanakan
perdagangan Bebas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Tim, Perlindungan Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Safeguard
World Trade Oranization, KPPI, 2005.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional,
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1993.
b. Makalah, Jurnal, Pidato, Diktat
MS, Sutiarnoto, “Tantangan dan Peluang Investasi
Hukum,Volume 6 No. 3, Agustus 2001.
Asing”, Jurnal
Nasution, Bismar, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,
Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,
2005.
Rajagukguk, Erman, “Globalisasi
Hukum dan Kemajuan Teknologi:
Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan
Hukum Indonesia”, Jurnal hukum, Vol.01,No.1, 2005
Sirait, Natasya, Ningrum, Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan
Internasional, disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional Pada
Fakultas Hukum, diucapkan dihadapan Rapat Terbuka
Universitas Sumatera Utara, pada tanggal 2 September, 2006
Suherman, Ade Manan, Perdagangan bebas (Free Trade) Dalam Perspektif
Keadilan Internasional, Jurnal Hukum, Vol. 5, No. 2, 2008
c. Koran
Renegosiasi Perjanjian ACFTA, Koran Waspada, kamis tanggal 14 Mei
2010.
Peningkatan Daya Saing Industri Perlu Waktu, Koran Portibi DNP, Kamis
tanggal 21 April 2011.
75 % Baju Anak-Anak Inpor dari China, Koran Medan Bisnis, Kamis 21
April 2011.
Saparini, Hendri, Keseimbangan ACFTA, Koran Portibi DNP, Sabtu tanggal
23 April 2011.
Industri Indonesia Salah Kelola, Koran Portibi DNP, Senin tanggal 25 April
2011.
UKM Terancam, Impor Harus Dikendalikan, Koran Portibi DNP, Senin
tanggal 25 April 2011.
RI Kewalahan Serbuan Produk China, Koran Waspada, Senin tanggal 25
April 2011.
Naibaho, Yuni, Buah Inpor China dan AS Melonjak Ke Sumut, Koran Medan
Bisnis, Senin Tanggal 25 April 2011.
………………, Penggunaan SKA (Surat Keterangan Asal) Tujuan China
Meningkat, Koran Medan Bisnis Kamis tanggal 28 April
2011.
Pemerintah Harus Berani Bereskan “PR”, Koran Portibi DNP, Rabu tanggal
27 April 2011.
Enam Sektor Paling Rawan Serbuan Produk China, Koran Waspada Rabu
tanggal 27 April 2011.
Ekspor Sayur Sumatera Utara Naik, Koran Waspada Kamis tanggal 28 April
2011
Pasca ACFTA, Tujuh Produk Industri Dievaluasi, Koran wasapada Senin
tanggal 11 April 2011.
d. Situs Internet
Administrator, ACFTA dan Dampak Terhadap Perindustrian dan UKM di
Indonesia,
http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/02/acfta-dandampak-terhadap-perindustrian-serta-ukm-di-indonesia
………………, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka
WTO,
http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/01/perjanjianperdagangan-regional-rta-dalam-kerangka-world-tradeorganization-wto-sudy,
………………, China Bergabung Dalam AFTA, Teori Adam Smith,
http://www.nytimes.com/2006/06/26/business/26endbuffet.html?ex=1308974400&en=1a8df7bb4f340d38&ei=508
8&partner=rssnyt&emc=rss
Sadli, M, Kerja Sama Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia,
http://www.kolom.pasific.net.id/ind
Sudradjat, Eko Prilianto, Free Trade (Perdagangan Bebas) dan Fair Trade (
Perdagangan berkeadilan) Dalam Konsep Hukum, http://
Whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsephukum-fair-trade.html
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/22/opini/2068215.htm
http://www./indosiar.com//ohas/83715/china-bergabung-dalam-afta
http:// www.gambaran-umum-sumut.fdf.stdu viewer
LAMPIRAN : Bio Data Tim Peneliti
1. Ketua Peneliti
a. Keterangan diri
Nama lengkap
: Halimatul Maryani, SH.,MH
Tempat tanggal lahir
: Bagan Bilah, 20 Agustus 1978
Jenis kelamin/Agama
: Perempuan/Islam
Alamat
: Jln Nusantara Gg. Rukun No. 4 tembung
No.Hp.
: 0813 6125 0506
NIDN
: 0120087804
Pangkat/Golongan
: III A
Jabatan Fungsional
: Asisten Ahli
Fakultas/Jurusan
: Hukum/Hukum Internasional
b. Mata kuliah yang diampu
1). Hukum Perdata Internasional
2). Hukum Waris
c. Riwayat Pendidikan
SD Negeri No. 118165 Bagan Bilah, tamat tahun 1992 berijazah
MTs. Swasta Ponpes Al-Ma,shum Rantau Prapat, tamat tahun
1995 berijazah
MAS Swasta Ponpes Darul Falah Langga Payung, tamat tahun
1998 berijazah
S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
jurusan Hukum Internasional, tamat tahun 2003 berijazah
S2 Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, lulus tanggal 6 juni 2011
d. Pengalaman penelitian dan pengabdiam masyarakat
Skripsi dan tesis
e. Pengalaman publikasi ilmiah
Seminar Skripsi dan Tesis
Medan, 18 Nopember 2012
(HALIMATUL MARYANI,SH., MH)
2. Anggota Peneliti
a. Keterangan diri
Nama lengkap
: Ferry Susanto Limbong,SH,SpN.M.Hum
Tempat tanggal lahir
: Medan/ 05 Desember 1973
Jenis kelamin/Agama
: laki-laki/ Islam
Alamat
: Jl. Karya IV No. 193/21 Helvetia Medan
No.Hp.
: 08126349182
NIDN
: 0105127302
Pangkat/Golongan
: III A
Jabatan Fungsional
: Asisten Ahli
Fakultas/Jurusan
: Hukum/Perdata
b. Mata kuliah yang diampu
1). Hukum Perbankan
2). Hukum Pasar Modal
c. Riwayat Pendidikan
Tahun 1986
Tahun 1989
Tahun 1992
Tahun 1996
Tahun 2001
Tahun 2002
: Lulus SD Markus Medan
: Lulus SMP Negeri 16 Medan
: Lulus SMA 4 Nehgeri Medan
: Lulus Fakultas Hukum Universitas Islam
Sumatera Utara Jurusan Hukum
Keperdataan
: Lulus Program Psaca Sarjana Universitas
Sumatera Utara Jurusan Ilmu Hukum
: Lulus Program Pendidikan Spesialis
Notariat Universitas Sumatera Utara
d. Pengalaman penelitian dan pengabdiam masyarakat
Skripsi dan tesis
e. Pengalaman publikasi ilmiah
Seminar Skripsi dan Tesis
Medan, 18 Nopember 2012
(FERRY SUSANTO LIMBONG,SH,SpN.M.Hum)
Download