BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional Hubungan internasional merupakan disiplin ilmu yang mencakup suatu hubungan atau interaksi baik dalam hubungan antar negara dengan pemerintah maupun antar organisasi, dan hubungan antar negara dengan pemerintah maupun antarorganisasi dan hubungan antar orang perorangan sebagai salah satu bagian dari masyarakat internasional. Definisi hubungan internasional menurut Holsti adalah sebagai berikut: “Hubungan internasional akan berkaitan erat dengan segala bentuk interaksi di antara masyarakat negara-negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah atau warga negara. Pengkajian hubungan internasional, termasuk di dalamnya pengkajian terhadap politik luar negeri atau politik internasional, dan meliputi segala segi hubungan di antara berbagai negara di dunia meliputi kajian terhadap lembaga perdagangan internasional, Palang Merah Internasional, pariwisata, perdagangan internasional, transformasi komunikasi dan perkembangan nilai-nilai dan etika internasional”. Pada dasarnya hubungan internasional lebih mencakup pada segala macam hubungan antar bangsa dalam masyarakat dunia, dengan kekuatan-kekuatan pada proses-proses yang menentukan cara hidup, cara bertindak, dan cara berpikir manusia sebagai unit politik internasional. Definisi Clelland tentang hubungan internasional adalah: “Hubungan internasional merupakan studi tentang interaksi antara jenis-jenis kesatuan-kesatuan sosial tertentu, termasuk studi tentang keadaan relevan yang mengelilingi interaksi. Hubungan internasional akan berkaitan dengan segala bentuk interaksi antara masyarakat negara-negara, baik yang dilakukan oleh pemerintah atau pun warga negara” (Perwita dan Yani, 2005:4). 26 27 Hubungan internasional sebagai studi tentang interaksi antar beberapa aktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, kesatuan sub-nasional seperti birokrasi dan pemerintah domestik serta individu-individu. Tujuan dasar studi hubungan internasional adalah mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku para aktor negara maupun non-negara, di dalam arena transaksi internasional. Perilaku ini bisa berwujud kerjasama, pembentukan aliansi, perang konflik, serta interaksi dalam organisasi internasional (Perwita dan Yani, 2005:4). Hubungan internasional secara terminologis menyangkut segala macam bentuk hubungan yang melintasi batas-batas negara, baik hubungan yang dilakukan oleh aktor negara dengan aktor negara, aktor negara dengan aktor nonnegara, maupun aktor non-negara dengan aktor non-negara lainnya. Sehingga dalam pengertian yang luas, hubungan internasional merupakan interaksi yang terjadi antara aktor-aktor, baik negara maupun non-negara, dimana tindakantindakan aktor tersebut beserta kondisi yang melingkupinya, memberikan konsekuensi pada aktor-aktor lain yang berada di luar batas teritorialnya (Chan, 1984:5). Jika dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, disiplin hubungan internasional merupakan disiplin yang paling muda. Usia yang relatif muda membuat hubungan internasional tergantung pada disiplin ilmu lain (ilmu politik, ekonomi, sosiologi, hukum dan filsafat) dalam hal pengembangan metodologi penelitian, tingkat generalisasi konsep dan/ atau teori, dan kemampuan memprediksi perilaku subyek rujukan (referent object). Namun 28 demikian, dari sisi dinamika perkembangan (terutama yang menyangkut rujukan, isu, maupun aktornya), HI termasuk sebuah disiplin yang paling cepat mengalami perkembangan. Dari sisi rujukan, jika pada awalnya sekitar akhir abad ke-19, disiplin HI hanya memfokuskan pada aktor negara saja, maka dalam perkembangan selanjutnya HI tidak dapat mengesampingkan peran penting aktoraktor non-negara (perusahaan multinasional, organisasi non-pemerintah, gerakan sosial, dan bahkan individu). Dari sisi isu, jika pada awal kemunculannya pada akhir abad ke-19 disiplin HI lebih memfokuskan pada isu di seputar masalah peperangan dan perdamaian (war and peace), maka pada perkembangan selanjutnya HI mulai merambah ke persoalan yang menyangkut kerjasama ekonomi antar-negara, untuk memerangi kemiskinan global, memahami ketimpangan hubungan antara kelompok negara kaya dengan negara miskin, upaya memahami dan memerangi kriminalitas antar negara (transnational crime), upaya untuk mengatasi konflik dan separatisme, dan sebagainya. Kombinasi antara faktor perubahan struktur politik global, teknologi, dan globalisasi telah mengubah secara substansial karakter masalah keamanan dan ekonomi global. Makin merebaknya konflik internal (separatisme, konflik etniskeagamaan, dan lain-lain) yang melibatkan kelompok militan, ekstrimis, chauvinis, mafia dan sebagainya telah membuat masalah peperangan dan perdamaian tidak lagi didominasi oleh negara. Isu baru dalam HI merupakan topik yang dianggap penting. Oleh karena itu, proposisi isu baru mencakup nilai dan juga teori. Nilai-nilai muncul dalam gambaran sebab keputusan tentang apa yang penting dan apa yang tidak selalu 29 berdasarkan pada nilai-nilai tertentu. Teori muncul disebabkan karena dalam menyatakan dukungan atas isu baru harus berdasarkan pada sebagian pemikiran teoritis bahwa isu itu penting bagi studi HI. Karena alasan ini pernyataan mengenai “isu-isu baru” seringkali melibatkan pendekatan-pendekatan baru HI (Jackson dan Sorensen, 2005:322). Dari sisi aktor, karena membahas isu yang berkaitan dengan peperangan dan perdamaian, maka pada awalnya (dan bahkan hingga saat ini) disiplin HI sesungguhnya lebih menitikberatkan pada “negara” (state) sebagai subjek rujukannya. Jika seorang pakar HI berbicara mengenai perilaku, kepentingan, pembuatan keputusan, dan sebagainya, maka semuanya itu mengarah kepada negara. Bagi para pakar HI negara adalah “pemegang kekerasan yang dominan” (legitimate violence dominator) yang dapat menggunakan kekerasan secara absah (legitimate) karena berhak mengerahkan kekuatan militer, kepolisian dan kehakiman untuk menegakkan keamanan, ketertiban, dan hukum. Negara adalah juga merupakan “pemilik modal yang berdaulat” (sovereign entrepreneur) karena negara berdaulat atas wilayah tertentu termasuk berhak untuk mengelola segala macam asset kekayaan alam dan mineral yang ada di wilayah tersebut. Dengan demikian, negara memegang monopoli anggaran belanja yang meliputi hampir seluruh bidang kehidupan manusia: kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, budaya, seni, dan sebagainya. Keistimewaan yang dimiliki oleh negara tersebut cukup untuk menundukkan negara sebagai aktor dominan dalam HI, setidaktidaknya menurut keyakinan kaum Realis. 30 Namun demikian, proses delegitimasi dominasi negara dalam menggunakan kekerasan dan erosi monopoli negara sebagai pemilik modal (yang digantikan oleh perusahaan transnasional) tampak makin menggeser negara sebagai aktor dominan dalam HI. Hal ini yang menyadarkan beberapa pakar HI seperti Richard Mansbach, James Rosenau, John Burton, Robert Keohane dan Joseph Nye, yang kemudian dikenal sebagai kaum pluralis, untuk memperhitungkan aktor-aktor lain di luar negara sebagai “pemain penting” di dalam hubungan tingkat dunia (Hermawan, 2007:2-3). 2.2 Politik Luar Negeri Terdapat beberapa dimensi kebijakan yang dikeluarkan oleh pembuat keputusan, yaitu stage dan dynamics. Dalam dimensi stage, keputusan dibagi menjadi dua tipe, yaitu basic (dasar) dan sequential (bertahap). Keputusan atau kebijakan yang dihasilkan dapat saja mengalami perubahan akibat respon terhadap lingkungan yang mempengaruhi para pembuat kebijakan (Lentner, 1974:173). Keputusan atau kebijakan dalam hal politik luar negeri merupakan action theory dari kebijakan suatu negara yang ditujukan kepada negara lain untuk mencapai kepentingan tertentu. Politik luar negeri merupakan suatu sistem tindakan-tindakan dari suatu pemerintah terhadap pemerintah lainnya. Politik luar negeri adalah sekumpulan kebijakan yang berperan dan berpengaruh, dalam hubungan suatu negara (pemerintah) dengan negara (pemerintah) lainnya, dengan mempertimbangkan juga tanggapan (respon terhadap kejadian dan masalah di lingkungan dunia internasional). Dengan kata lain politik luar negeri merupakan sintesa dari pengejawantahan tujuan dan kemampuan (kapabilitas) nasional (Columbis, 1990:89-90). 31 Langkah-langkah dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri mencakup: 1. Menjabarkan pertimbangan kepentingan nasional ke dalam bentuk tujuan dan sasaran yang spesifik. 2. Menetapkan faktor situasional di lingkungan domestik dan internasional yang berkaitan dengan tujuan kebijakan luar negeri. 3. Menganalisis kapabilitas nasional untuk menjangkau hasil yang dikehendaki. 4. Mengembangkan perencanaan atau strategi untuk memaksa kapabilitas nasional dalam menanggulangi variabel tertentu sehingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 5. Melaksanakan tindakan yang diperlukan. 6. Secara periodik meninjau dan melakukan evaluasi perkembangan yang telah berlangsung dalam menjangkau tujuan atau hasil yang dikehendaki (Plano dan Olson, 1999:5). Menurut Hans Morgenthau seperti yang dikutip oleh Supri Yusuf dalam bukunya, Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri: Sebuah Analisis Teoritis dan Uraian Tentang Pelaksaannya, terdapat delapan faktor yang mempengaruhi politik luar negeri sebagai unsur kekuatan nasional, yaitu: (1) Geografi, (2) Sumber-sumber nasional, (3) Kemampuan industri, (4) Kesiapsiagaan militer, (5) Penduduk, (6) Watak nasional, (7) Moral nasional, (8) Kualitas diplomasi. Faktor geografi merupakan faktor terbanyak dihubungkan dengan politik luar negeri. yang 32 Sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan kebijakan luar negeri yaitu: 1. Sumber sistematik (systematic sources), merupakan sumber yang berasal dari lingkungan eksternal suatu negara. Sumber ini menjelaskan struktur hubungan antara negara-negara besar, pola-pola aliansi yang terbentuk negara-negara dan faktor situasional eksternal yang dapat berupa isu area atau krisis. Yang dimaksud dengan struktur hubungan antara negara besar adalah jumlah negara besar yang ikut andil dalam struktur hubungan internasional dan bagaimana pembagian kapabilitas diantara mereka. Sementara faktor situasional eksternal merupakan stimulant tiba-tiba yang berasal dari situasi internasional yang terakhir. 2. Sumber masyarakat (societal sources), merupakan sumber yang berasal dari lingkungan internal. Sumber ini mencakup faktor kebudayaan dan sejarah, pembangunan ekonomi, struktur sosial dan perubahan opini publik. Kebudayaan dan sejarah mencakup nilai, norma, tradisi dan pengalaman masa lalu yang mendasari hubungan antar anggota masyarakat. Pembangunan ekonomi mencakup kemampuan suatu negara untuk mencapai kesejahteraan sendiri. Hal ini dapat mendasari kepentingan negara tersebut untuk berhubungan dengan negara lain. Struktur sosial mencakup sumberdaya manusia yang dimiliki suatu negara atau seberapa besar konfik dan harmoni internal dalam masyarakat. Opini publik juga dapat menjadi faktor dimana penstudi dapat melihat perubahan sentimen masyarakat terhadap dunia luar. 33 3. Sumber pemerintahan (governmental sources), merupakan sumber internal yang menjelaskan tentang pertanggungjawaban politik dan struktur dalam pemerintahan. Pertanggungjawaban politik seperti pemilihan umum, kompetisi partai dan tingkat kemampuan di mana pembuat keputusan dapat secara fleksibel merespon situasi eksternal. Sementara dari struktur kepemimpinan dari berbagai kelompok dan individu yang terdapat dalam pemerintahan. 4. Sumber idiosinkratik (idiosyncratic sources), merupakan sumber internal yang melihat nilai-nilai pengalaman, bakat serta kepribadian elit politik yang mempengaruhi persepsi, kalkulasi dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar negeri. Di sini tercakup juga persepsi seorang elit politik tentang keadaan alamiah dari arena internasional dan tujuan nasional yang hendak dicapai (Perwita dan Yani, 2005:57-58). Kebijakan luar negeri adalah upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya (Rosenau, 1976:27). Rosenau menambahkan bahwa kebijakan luar negeri bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara (Rosenau, 1976:32). Kebijakan luar negeri memiliki tiga konsep untuk menjelaskan hubungan suatu negara dengan kejadian dan situasi di luar negaranya, yaitu: 1. Kebijakan luar negeri sebagai sekumpulan orientasi (as a cluster of orientation). Politik luar negeri sebagai sekumpulan orientasi merupakan pedoman bagi para pembuat keputusan untuk menghadapi 34 kondisi-kondisi eksternal yang menuntut pembuatan keputusan dan tindakan berdasarkan orientasi, yang terdiri dari sikap, persepsi, dan nilai-nilai yang dijabarkan dari pengalaman sejarah dan keadaan strategis yang menentukan posisi negara dalam politik internasional. 2. Politik luar negeri sebagai seperangkat komitmen dan rencana untuk bertindak (as a set of commitments to plan for action). Dalam hal ini kebijakan luar negeri berupa rencana dan komitmen konkrit yang dikembangkan oleh para pembuat keputusan untuk membina dan mempertahankan situasi lingkungan eksternal yang konsisten dengan orientasi kebijakan luar negeri. Rencana tindakan ini termasuk tujuan yang spesifik serta alat atau cara untuk mencapainya yang dianggap cukup memadai untuk menjawab peluang dan tantangan dari luar negeri. Rencana tindakan ini merupakan terjemahan dari orientasi umum dan reaksi terhadap keadaan yang konkret (immediate context). Dalam fase ini rencana tindakan politik luar negeri akan memberikan pedoman bagi: (1) Tindakan yang ditujukan pada situsi yang berlangsung lama, (2) Tindakan yang ditujukan kepada negara-negara tertentu, (3) Tindakan yang ditujukan pada isu-isu khusus, dan (4) Tindakan yang ditujukan pada berbagai sasaran lainnya. Politik luar negeri pada fase ini lebih mudah di amati daripada orientasi umum karena biasanya diartikulasikan dalam pernyataan-pernyataan formal dalam konferensi pers atau dalam komunitas diplomatik. 35 3. Kebijakan luar negeri sebagai bentuk perilaku atau aksi (as a form of behaviour). Pada tingkat ini kebijakan luar negeri berada dalam tingkat yang lebih empiris, yaitu berupa langkah-langkah nyata yang diambil oleh para pembuat keputusan yang berhubungan dengan kejadian serta situasi di lingkungan eksternal. Langkah-langkah tersebut dilakukan berdasarkan orientasi umum yang dianut serta dikembangkan berdasarkan komitmen dan sasaran yang lebih spesifik (Perwita dan Yani, 2005:53-55). Ditinjau dari sifatnya, tujuan politik luar negeri dapat bersifat konkret dan abstrak. Sedangkan dilihat dari waktunya, tujuan politik luar negeri dapat bertahan lama dalam suatu periode waktu tertentu dan dapat pula bersifat sementara, berubah sesuai dengan kondisi waktu tertentu. Menurut Holsti, sebagaimana yang dikutip oleh Perwita dan Yani dalam bukunya Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu: 1. Nilai (values) yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan. 2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan. Dengan kata lain ada tujuan jangka pendek (short term), jangka menengah (middle term), dan jangka panjang (long term). 3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain (Perwita dan Yani, 2005:51). Setiap strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara didalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional 36 lainnya, dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Menurut Plano dan Olton (1999:5-6), tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional terhadap situasi internasional yang sedang dirancang, dipilih dan ditetapkan oleh pembuat keputusan dan dikendalikan untuk mengubah kebijakan (revisionist policy) atau untuk mempertahankan kebijakan (status quo policy) ihwal kenegaraan tertentu dilingkungan eksternal. Konsep kepentingan nasional sendiri merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan suatu negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Kepentingan nasional suatu negara secara khas merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara yang paling vital, seperti pertahanan, keamanan, militer dan kesejahteraan ekonomi (Plano dan Olton, 1999:11). Para penganut realis menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power, dimana power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui teknik pemaksaan atau kerjasama. Karena itu kekuasaan dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk bertahan hidup (survival) dalam politik internasional (Perwita dan Yani, 2005:35). 37 2.3 Ekonomi Makro Teori ekonomi makro memang harus dibedakan dengan teori ekonomi mikro. Teori ekonomi makro adalah berkenaan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi sebagai keseluruhan yaitu keseluruhan dimensi daripada kehidupan ekonomi. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa teori ekonomi makro adalah berkenaan dengan variabel-variabel seperti volume total dari pada output suatu perekonomian, tingkat dan luas penggunaan sumber-sumber ekonomi, besarnya pendapatan nasional. Sementara teori ekonomi mikro lebih menitikberatkan persolan-persoalan seperti tingkat harga yang beredar dimasyarakat, kesehatan dunia usaha dalam perusahaan dan lain-lain. Variabel terpenting dalam analisa ekonomi makro adalah pendapatan nasional karena pendapatan nasional adalah cara untuk mengukur kemakmuran suatu bangsa. Pendapatan nasional suatu negara sendiri dapat didefinsikan sebagai total jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara- Produk Nasional Bruto, Gross Domestic Product (GDP) dikurangi penyusutan dari peralatan produksi. Jadi dalam hal ini pendapatan nasional sangatlah ditentukan oleh besarnya GDP suatu negara. Sementara GDP sendiri dipengaruhi oleh: 1. Produksi Produksi yang dimaksud disini adalah produksi barang dan jasa yang dihasilkan baik oleh industri maupun rumah tangga konsumen, jumlah totalnya kemudian yang akan dihitung untuk pembentukkan GDP. 38 2. Konsumsi Konsumsi dapat berupa pengeluaran dari rumah tangga konsumen untuk membeli barang dan jasa dan juga konsumsi dari pemerintah untuk membeli barang dari luar negeri (impor). 3. Tabungan/Investasi Tabungan sangat menentukan cadangan keuangan suatu negara tabungan di sini dapat dimaksudkan yaitu tabungan dari setiap rumah tangga konsumen dan tabungan/investasi pemerintah (cadangan dana yang dimilki pemerintah) (Ackley, 1961: 4-15). Dahulu ilmu ekonomi dipelajari dalam satu paket, mencakup aspek mikro dan makro. Tetapi karena materi yang akan diajarakan semakin berkembang, dirasa perlu memisahkan pembahasan “ekonomi mikro” dengan “ekonomi makro”. Jika ditelusuri asal-usulnya, kata-kata “mikro” dan “makro” – seperti halnya kata “ekonomi” – juga berasal dari bahasa Yunani. Mikro berarti unit-unit yang lebih kecil, sedang makro berarti unit yang lebih besar, atau menyeluruh dan agregatif sifatnya. Perbedaan utama antara pembahasan secara mikro dengan pembahasan secara makro ialah bahwa pembahasan mikro dilakukan pada tingkat individu atau perorangan, sedang pembahasan makro dilakukan secara menyeluruh, agregatif. Titik berat pembahasan dalam dalam Ekonomi Makro adalah pendapatan nasional berikut variabel-variabel yang mempengaruhinya seperti konsumsi, tabungan, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, impor dan sebagainya. 39 Pakar ekonomi dari Indonesia, misalnya Ace Partadiredja, dalam bukunya: Perhitungan Pendapatan Nasional (1983) mengidentikkan Ekonomi Makro dengan “Analisis Pendapatan Nasional”, yang disebutkan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku perekonomian secara keseluruhan, yang mempelajari faktor-faktor yang menentukan tinggi rendahnya pendapatan nasional, ayunan (fluktuasi) pendapatan nasional dari tahun ke tahun, dan saling ketergantungan antara berbagai sektor dan sub-subsektor dalam perekonomian. Banyak pihak ingin mengetahui apakah perekonomian suatu negara atau kawasan tumbuh dan berkembang dengan baik, atau justru mengalami kemacetan atau kemunduran. Untuk itu perlu diukur laju pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara bisa dilihat dengan cara melihat laju pertumbuhan pertahun. Untuk menghitung laju pertumbuhan ekonomi dengan cara melihat laju petumbuhan pertahun, bisa digunakan formula sebagai berikut: G = PDB1-PDB0 x 100 persen PNB0 Di mana: G PDB1 PDB0 PNB0 : Laju Pertumbuhan (rate of growth); : Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun tertentu; : Produk Domestik Bruto pada tahun sebelumnya; dan : Produk Nasional Bruto (PNB) pada tahun sebelumnya. Untuk mendapatkan gambaran lebih konkret dapat dilihat dari contoh berikut. PDB suatu negara pada tahun 2001(tahun dasar) adalah sebesar 115, 447 miliar dollar, dan PDB tahun 2002 adalah sebesar 122, 705 miliar dollar. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi negara tersebut tahun 2001-2002 adalah: 40 G = 122, 705 -115, 447 115, 447 x 100 persen = 6,3 persen (Deliarnov, 1995: 8-55). 2.4 Perjanjian Internasional Sebelum tahun 1969 hukum perjanjian internasional terdiri dari kaidahkaidah hukum kebiasaan internasional. Kaidah-kaidah ini untuk sebagian besar telah dikodifikasikan dan disusun kembali dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties), yang dibentuk pada tanggal 23 Mei 1969 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Januari 1980 menyusul masuknya 35 ratifikasi atau aksesi sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 84 Konvensi. Sesuai dengan definisi yang dipakai dalam Pasal 2 Konvensi, sebuah perjanjian internasional dapat didefinisikan sebagai: Suatu perjanjian dimana dua negara atau lebih mengadakan hubungan antara mereka yang diatur oleh hukum internasional. Memang istilah traktat dapat dianggap sebagai nama umum dalam hukum internasional dan dapat mencakup perjanjian antara organisasi-organisasi internasional disatu pihak dan sebuah negara di pihak lain meskipun harus diingat bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi Wina tidak berlaku terhadap instrumen lain tersebut, melainkan menunjuk pada perjanjian antara negara-negara yang dibuat dalam bentuk tertulis. Di lingkungan internasional, perjanjian itulah yang digunakan untuk hampir setiap jenis perbuatan hukum atau transaksi, mulai dari persetujuan yang sifatnya bilateral sematamata antara negara-negara sampai suatu perjanjian yang paling pokok seperti instrumen konstitusi multilateral sebuah organisasi internasional. Hampir dalam semua kasus, tujuan sebuah perjanjian internasional adalah untuk membebankan kewajiban-kewajiban yang mengikat terhadap negara-negara pesertanya . Tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian internasional adalah: 1. Perundingan (negotiation). 41 Kebutuhan negara akan hubungan dengan negara lain untuk membicarakan dan memecahkan berbagai masalah yang timbul diantara negaranegara itu akan menimbulkan kehendak negara-negara untuk mengadakan perundingan, yang melahirkan suatu treaty. 2. Penandatanganan (signature). Setelah berakhirnya perundingan tersebut, maka pada teks treaty yang telah disetujui itu oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tandatangan di bawah treaty. Akibat penandatanganan suatu treaty tergantung pada ada-tidaknya ratifikasi treaty itu, apabila traktat harus diratifikasi maka penandatanganan hanya berarti bahwa utusan-utusan telah menyetujui teks dan bersedia menerimanya. 3. Ratifikasi (ratification). Ratifikasi yaitu pengesahan atau penguatan terhadap perjanjian yang telah ditandatangani. Ada tiga sistem menurut mana ratifikasi didakan yaitu: Ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif Ratifikasi dilakukan oleh badan perwakilan (legislatif) Sistem dimana ratifikasi perjanjian dilakukan bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif. Bentuk-bentuk perjanjian internasional adalah: 1. Traktat (Treaty) Dalam arti sempit adalah perjanjian internasional yang sering dipakai dalam persoalan-persoalan politik, ekonomi, treaty dalam arti luas merupakan alat yang paling formal, yang dipakai untuk mencatat perjanjian antar negara yang 42 ketentuan-ketentuannya bersifat menyeluruh. Tujuan dari traktat atau treaty adalah untuk meletakan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta, baik secara bilateral maupun multilateral. 2. Konvensi Istilah konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan bersifat multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat-aparat lembaga internasional. 3. Protokol Protokol merupakan suatu persetujuan yang sifatnya kurang resmi dibandingkan treaty atau konvensi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepalakepala negara. Istilah ini meliputi hal: Sebagai tambahan pada konvensi, dan dibuat oleh para perunding itu juga. Terkadang disebut protokol penandatanganan, misalnya protokol yang mengatur hal-hal tambahan seperti penafsiran klausul-klausul tertentu dari konvensi, ketentuan tambahan yang sifatnya kurang penting, klausulklausul resmi yang tidak dimasukkan dalam konvensi atau pembatasan oleh beberapa negara penandatangan. Sebagai alat tambahan bagi konvensi, tetapi sifat dan operasinya bebas dan tidak perlu diratifikasi, misalnya Protokol Den Haag 1930 tentang ketakbernegaraan yang ditandatangani pada waktu yang sama dengan Konvensi Den Haag 1930 mengenai konflik hukum kewarganegaraan. Traktat yang sama sekali berdiri sendiri. Sebagai catatan mengenai pemufakatan, lebih sering disebut proses verbal. 43 4. Persetujuan Persetujuan (agreement) sifatnya kurang resmi dibanding traktat dan konvensi, dan umumnya tidak dilakukan oleh kepala-kepala negara. Biasanya bentuk ini dipakai untuk persetujuan-persetujuan yang ruang lingkupnya lebih sempit dan pihak-pihak yang terlibat lebih sedikit dibanding ini juga hanya digunakan untuk persetujuan-persetujuan yang sifatnya teknis dan administratif. Pada umumnya agreement tidak memerlukan ratifikasi dan berlaku sesudah dilakukan exchange of notes. 5. Arrangement Bentuk ini kurang lebih sama dengan agreement. Umumnya lebih banyak dipakai untuk transaksi-transaksi yang sifatnya mengatur dan temporer. 6. Proses Verbal Istilah ini pada mulanya berarti rangkuman dari jalannya serta kesimpulan dari suatu konferensi diplomatik, tetapi dewasa ini juga untuk catatan-catatan istilah dari suatu persetujuan yang dicapai oleh para peserta. Istilah ini juga dipakai untuk mencatat suatu pertukaran atau himpunan ratifikasi atau untuk suatu persetujuan administratif yang sifatnya kurang penting atau untuk membuat perubahan kecil dalam konvensi. 7. Statuta Himpunan peraturan-peraturan penting mengenai pelaksanaan fungsi lembaga internasional, misalnya Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945. 44 Himpunan peraturan-peraturan yang dibentuk berdasarkan persetujuan internasional mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi dari suatu entitas khusus dibawah pengawasan internasional, misalnya Statuta Sanjak Alexandra 1973. Sebagai alat tambahan pada konvensi yang menetapkan peraturanperaturan yang akan diterapkan, misalnya Statuta tentang kebebasan transit yang dilampirkan pada konvensi mengenai Kebebasan Transit, Barcelona, 1921. 8. Deklarasi Istilah ini dapat berarti: Traktat yang sebenarnya, misalnya Deklarasi Paris 1856 Dokumen yang tak resmi yang dilampirkan pada suatu traktat atau konvensi yang memberi penafsiran atau menjelaskan ketentuan-ketentuan traktat atau konvensi Persetujuan tak resmi mengenai hal-hal yang kurang penting Resolusi atau konferensi diplomatik yang mengungkapkan suatu prinsip atau asas atau desideratum untuk ditaati oleh semua negara, misalnya deklarasi tentang larangan paksaan militer, politik atau ekonomi dalam penutupan traktat yang diterima oleh Konferensi Wina 1968-1969 mengenai Hukum Traktat. 9. Modus Vivendi Modus Vivendi adalah suatu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat temporer atau provisional yang dimaksudkan untuk diganti dengan arrangement yang sifatnya lebih permanen dan terinci. Biasanya Modus Vivendi dibuat secara sangat tidak resmi dan tidak memerlukan ratifikasi. 45 10. Pertukaran Nota atau Surat Pertukaran Nota atau Surat merupakan suatu metode tak resmi yang seringkali digunakan pada tahun-tahun terakhir ini. Dengan pertukaran nota ini negara-negara mengakui suatu pengertian bersama atau mengakui kewajibankewajiban tertentu yang mengikat mereka. Adakalanya pertukaran nota dilakukan melalui perwakilan-perwakilan diplomatik atau militer negara yang bersangkutan. Ratifikasi biasanya tidak perlu, tetapi akan menjadi perlu jika hal ini sesuai dengan niat para pihak. 11. Ketentuan Penutup (Final Act) Ketentuan Penutup adalah suatu dokumen yang mencatat laporan akhir suatu konferensi yang mengadakan suatu konvensi. Ketentuan penutup juga merangkum istilah-istilah rujukan dalam suatu konferensi, dan menyebutkan satu persatu negara atau kepala negara yang hadir, delegasi-delegasi yang turut serta dalam konferensi, dan dokumen-dokumen yang diterima oleh konferensi. Final Act juga memuat resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang diterima konferensi yang tak dicantumkan sebagai ketentuan-ketentuan konvensi. Ketentuan penutup ditandatangani tetapi tidak diratifikasi. 12. Ketentuan Umum Ketentuan Umum (General Act) sebenarnya adalah traktat, tetapi dapat bersifat resmi atau tidak resmi. Traktat atau perjanjian internasional dapat diakhiri oleh: (1) hukum; dan (2) tindakan-tindakan negara peserta. 1. Berakhirnya perjanjian karena hukum 46 Hilangnya salah satu peserta pada sebuah perjanjian bilateral atau keseluruhan pokok persoalan dari suatu perjanjian dapat membubarkan instrumen tersebut. Perjanjian dapat berakhir bagi berlakunya karena pecahnya perang antara para peserta. Suatu pelanggaran materi dari sebuah perjanjian bilateral oleh salah satu peserta akan memberikan hak kepada peserta lain untuk mengakhiri perjanjian, sedangkan suatu pelanggaran materil atas suatu perjanjian multilateral oleh salah satu pesertanya, akan dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian diantara semua peserta. Ketidakmungkinan melaksanakan perjanjian karena hapusnya atau rusaknya secara permanen suatu tujuan yang sangat diperlukan untuk melaksanakan perjanjian. Perjanjian yang dibubarkan sebagai akibat dari apa yang secara tradisional disebut sebagai doktrin rebus sic scantibus. Suatu perjanjian yang secara spesifik ditutup untuk jangka waktu yang ditentukan kan berakhir pada saat berakhirnya jangka waktu tersebut. Apabila adanya denunsiasi. Pasal 64 Konvensi Wina menentukan bahwa apabila suatu norma jus congen yang menentukan muncul, maka perjanjian 47 yang ada bertentangan dengan norma tersebut menjadi batal dan berakhir. 2. Berakhirnya perjanjian internasional oleh tindakan peserta Berakhirnya perjanjian atau penarikan diri peserta dapat terjadi sesuai dengan ketentuan perjanjian atau setiap waktu dengan persetujuan semua peserta setelah dilakukan konsultasi satu sama lain. Apabila suatu negara peserta ingin menarik diri dari sebuah perjanjian, maka biasanya ia melakukan hal tersebut dengan cara memberitahukan pengakhiran itu, atau dengan tindakan denunsiasi (Rudy, 2002: 123-135). 2.5 Pendekatan Keamanan Non-Tradisional Isu keamanan non-tradisional mulai mengemuka pada akhir dekade 1990an ketika sekelompok pakar yang dikenal dengan sebutan “the Copenhagen School” seperti Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde mencoba memasukkan aspek-aspek di luar hiruan tradisional kajian keamanan- seperti misalnya masalah kerawanan pangan, kemiskinan, kesehatan, lingkungan hidup, perdagangan manusia, terorisme, bencana alam dan sebagainya- sebagai bagian dari studi keamanan. Menurut Buzan, keamanan berkaitan dengan masalah lingkungan hidup (survival). Isu-isu yang mengancam kelangsungan hidup suatu unit kolektif tertentu akan dipandang sebagai ancaman yang eksistensial. Untuk itu diperlukan tindakan untuk memprioritaskan isu tersebut agar ditangani sesegera mungkin dan menggunakan sarana-sarana yang ada untuk menangani 48 masalah tersebut. Berdasarkan kriteria isu keamanan, Buzan membagi keamanan ke dalam lima dimensi, yaitu politik, militer, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan memasukkan hal-hal tersebut ke dalam lingkup kajian keamanan, maka the Copenhagen School mencoba memperluas objek rujukan (referent object) isu keamanan dengan tidak lagi berbicara melulu keamanan “negara”, tetapi juga menyangkut keamanan “manusia”. Pandangan ini mengemuka sejak berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan penurunan ancaman militer terhadap kedaulatan suatu negara, tetapi pada saat yang sama adanya peningkatan ancaman terhadap eksistensi manusia pada aspek-aspek lain seperti kemiskinan, penyakit menular, bencana alam, kerusakan lingkungan hidup, terorisme, dan sebagainya. Kepedulian terhadap “keamanan manusia” (human security) semakin meningkat, terutama setelah laporan tahunan UNDP, Human Development Report 1994, mencoba untuk mengetengahkan tujuh dimensi yang patut dijadikan bahan pertimbangan untuk menciptakan “keamanan manusia”, yang mencakup: (1) keamanan ekonomi; (2) keamanan pangan; (3) keamanan kesehatan; (4) keamanan lingkungan; (5) keamanan individu; (6) keamanan komunitas; dan (7) keamanan politik. Sejak saat itu perhatian terhadap isu keamanan manusia mulai melanda tidak saja para pakar tetapi juga para pembuat keputusan. Secara etimologis konsep keamanan (security) berasal dari bahasa latin “securus” (se + cura) yang bermakna terbebas dari bahaya, terbebas dari ketakutan (free from danger, free from fear). Kata ini juga bisa bermakna dari gabungan kata se (yang berarti tanpa/without) dan curus (yang berarti uneasiness). Sehingga bila digabungkan kata ini bermakna ‘liberation from uneasiness, or a 49 peaceful situation without any risks or threats’(kebebasan dari rasa gelisah, atau suatu situasi yang damai tanpa gangguan ataupun ancaman). Dalam hubungan internasional, setiap aktor akan mempertaruhkan segalanya demi pencapaian keamanan (nasional). Dalam Realisme, elemen-elemen utama dalam hubungan internasional terdiri dari beberapa gagasan utama, yakni aktor dominan tetap berada pada negara-bangsa (nation-state), kepentingan nasional merupakan aspek utama yang harus diraih setiap negara-bangsa untuk bisa tetap eksis/survive dengan hirauan utama pada isu high politics seperti keamanan melalui instrumen military power. Bahkan setiap negara akan selalu berupaya untuk memaksimalkan posisi kekuatan (power) relatifnya dibandingkan negara lainnya atau setidaknya tercipta balance of power. Semakin besar keuntungan kekuatan militernya akan semakin besar pula jaminan keamanan yang dimiliki negara tersebut. Dengan demikian Realisme sangat menekankan tesis stabilitas hegemonik (hegemonic stability) yang bisa dimiliki suatu negara. Sebagai konsekuensinya, kerjasama antar negara dalam institusi internasional pun akan semakin sulit terwujud. Kalaupun tercipta sebuah kerjasama institusional yang bersifat multilateral, Realisme berpendapat bentuk kerjasama multilateral itu adalah hegemonic cooperation yang didominasi oleh kekuatan hegemoni. Alhasil, negara hegemoni hanya akan memanfaatkan kerjasama multilateral ini untuk mencapai kepentingan (keamanan) nasional dan tujuan politik luar negerinya semata. Sementara itu Neo- Realisme mengemuka sebagai kritik terhadap Realisme yang cenderung menganggap aktor negara sebagai satu-satunya aktor 50 dominan dalam hubungan internasional. Sementara itu, globalisasi yang sangat dicirikan dengan revolusi teknologi informasi, komunikasi diyakini akan mengubah secara signifikan peta hubungan internasional. Realisme dengan kata lain dianggap sudah tidak mampu lagi menyediakan ‘usable map of the world’. Sebaliknya, globalisasi dengan berbagai variannya telah mengubah politik internasional menjadi “post-international politics” dimana aktor non-negara mulai mengemuka sebagai aktor dominan selain aktor negara dengan kapasitas dan kapabilitas interaksi yang telah melebihi aktor negara. Sebagai konsekuensinya, tata interaksi internasional semakin rumit dan kompleks dimana dunia menjadi semakin multi centric. Aktor non-negara seperti kelompok teroris, perusahaan multinasional, LSM internasional mulai beroperasi dan berinteraksi secara interdependen melampaui batas-batas tradisional negara. Dengan kata lain, para aktor non-negara ini secara meyakinkan telah menunjukkan bahwa dalam hubungan internasional berlaku “no fixed traditional boundaries”. Agenda keamanan pun meluas meliputi pula aspek-aspek non-militer lainnya. Dengan kata lain globalisasi memaksa aktor negara untuk meninjau kembali konsep keamanan dan juga konsep power. Para teoritisi hubungan internasional seperti Ken Booth mulai memasukkan isu-isu seperti peran organisasi internasional, lingkungan hidup, demokrasi, terorisme, kebijakan publik, kesenjangan yang terjadi antara negaranegara Utara-Selatan, dan bahkan feminisme sebagai kajian dari kajian keamanan. Perubahan-perubahan mendasar yang melanda dunia sejak akhir dekade 80-an ini kemudian memunculkan suatu kombinasi ‘baru’ antara kajian 51 perdamaian dan keamanan/strategis yang dikenal sebagai Peace Strategies. Konsep ini menekankan pembahasannya pada upaya pencapaian keamanan dan perdamaian nasional, regional serta internasional melalui suatu pendekatan holistik yang menggabungkan penerapan teori perdamaian, konflik, pembangunan dan peradaban umat manusia. Atau dengan kata lain, peace strategies memfokuskan pencapaian keamanan dan perdamaian tanpa harus berperang (security and peace without war). Dengan demikian, kajian keamanan, menurut Neo-Realisme, dapat dikatakan sebagai suatu kajian yang indispensable dalam hubungan internasional (Hermawan, 2007: 13-43). Dimensi pertama yang perlu diketahui dari konsep keamanan adalah “the origin of threats”. Bila pada masa Perang Dingin, ancaman-ancaman yang dihadapi selalu dianggap datang dari pihak luar/eksternal sebuah negara maka pada masa kini, ancaman-ancaman dapat berasal dari domestik dan global. Dimensi kedua adalah “the nature of threats”. Secara tradisional, dimensi ini menyoroti ancaman yang bersifat militer, namun berbagai perkembangan nasional dan internasional telah mengubah sifat ancaman menjadi jauh lebih rumit. Dengan demikian, persoalan keamanan menjadi jauh lebih komprehensif dikarenakan menyangkut aspek-aspek lain seperti ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup dan bahkan isu-isu lain seperti demokratisasi, dan hak asasi manusia. Dimensi ketiga adalah “the responses of security”. Pada masa Perang Dingin respon terhadap ancaman keamanan selalu ditanggapi dengan kekuatan militer, tetapi setelah Perang Dingin respon terhadap ancaman keamanan 52 bervariasi dan dapat berupa ancaman terhadap ekonomi, demokratisasi, hak asasi manusia dan sebagainya. Dimensi keempat adalah “changing responsibility of security”. Bagi para pengusung konsep pendekatan keamanan tradisional, negara adalah ‘organisasi politik’ terpenting yang berkewajibkan menyediakan keamanan bagi seluruh warganya. Sementara itu, para penganut konsep pendekatan keamanan nontradisional menyatakan bahwa tingkat keamanan yang begitu tinggi akan bergantung pada seluruh interaksi individu pada tataran gobal. Dimensi terakhir adalah “core values of security”. Berbeda dengan kaum tradisional yang memfokuskan keamanan pada ‘national independence’, kedaulatan, dan integritas teritorial, kaum non-tradisional mengemukakan nilainilai baru baik dalam tataran individual maupun global yang perlu dilindungi. Nilai-nilai baru ini antara lain penghormatan pada HAM, demokratisasi, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan upaya-upaya memerangi kejahatan lintas batas (transnational crime). Perlindungan terhadap nilai-nilai baru diatas menjadi puncak mengemukanya keamanan non-tradisional dalam konteks global kini. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dua persoalan besar yakni perkembangan yang terjadi di dunia internasional (globalisasi) dan semangat partikularisme domestik dan transnasional (reaction against globalization) (Perwita dan Yani, 2005: 123-126). Secara sederhana, perbedaan antara Realisme dan Neo-Realisme dalam memandang konsep pendekatan keamanan dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut: 53 Tabel 2.1 Perbedaan Antara Realis dan Neo-Realis Dalam Memandang Konsep Pendekatan Keamanan (Tradisional dan Non-Tradisional) Tradisional Asal ancaman (origin of threats) Negara rival Sifat ancaman (nature of threats) Kapabilitas militer Respon (the responses) Militer Pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan keamanan (the responsibility for providing security) Negara Nilai inti (core values) Kemerdekaan nasional, integritas territorial, kedaulatan Non-Tradisional Negara dan non-negara: domestik dan transnasional Non-militer: ekonomi, politik domestik, lingkungan hidup, terorisme, penyakit menular, narkoba Non-militer: liberalisasi ekonomi, demokratisasi, hak asasi manusia Negara, organisasi/institusi internasional, individu Kesejahteraan ekonomi, hak asasi manusia, perlindungan terhadap lingkungan hidup Sumber: disarikan dari Benyamin Miller, 2001. The concept of security: Should it redefined. The Journal of Strategic Studies.13-42 2.6 Lingkungan Hidup Dalam Hubungan Internasional Topik lingkungan hidup muncul semakin sering dalam agenda internasional lebih dari tiga dekade terakhir. Jumlah masyarakat dunia semakin meningkat, paling tidak di negara-negara Barat, yakin bahwa aktivitas sosial dan ekonomi manusia sedang berlangsung dengan cara yang mengancam lingkungan hidup. Dalam lima dekade terakhir, semakin banyaknya manusia telah memperbesar jumlah penduduk dunia dibanding dalam seluruh milenia keberadaan manusia sebelumnya. Populasi global yang sangat cepat meningkat mengejar standar kehidupan yang lebih tinggi merupakan ancaman potensial terhadap lingkungan hidup. 54 Produksi massal industri mengancam akan menghabiskan sumber daya material dan energi yang langka. Masalah lokal tentang degradasi lingkungan sementara tidak berhenti di perbatasan. Sebagai contoh produksi gas CFC (Chlorofluorocarbon), yang di gunakan untuk mesin pendingin, penyejuk ruangan, bahan kimia dan produk industri lainnya, merupakan ancaman besar bagi lapisan ozon. CFC berinteraksi secara kimiawi dengan lapisan ozon sehingga menipiskannya. Karbondioksida dan kandungan kimia lainnya terkunci dalam panas dekat pada permukaan bumi dan oleh karena itu menghasilkan pemanasan global, yang disebut efek rumah kaca ( Jackson dan Sorensen, 2005:322-324). Jika keamanan internasional dan ekonomi global adalah dua issue area utama tradisional dalam politik dunia, sebagian penstudi sekarang menyatakan bahwa lingkungan hidup telah muncul sebagai issue area utama ketiga (Porter dan Brown, 1996:1). Kaum “modernis” yakin bahwa perbaikan terus menerus dalam pengetahuan ilmiah dan dalam persaingan teknologi akan meningkatkan kemampuan dalam menguasai lingkungan. Sementara kaum “ekoradikal” yang berpikir bahwa ekosistem memiliki daya tampung yang terbatas. Keterbatasan tersebut didefinisikan sebagai seberapa besar suatu populasi spesies dapat tumbuh sebelum spesies tersebut berlebihan menggunakan sumber daya yang tersedia di ekosistem (Hughes, 1991:410). Kaum “ekoradikal” menyatakan bahwa masyarakat di muka bumi terancam bergerak mendekati batas daya tampung planet dan tidak ada perbaikan teknologis yang sederhana yang dapat mengurusi masalah tersebut. Oleh karena itu, banyak kaum “ekoradikal” menyerukan 55 pengendalian populasi yang keras dan perubahan dramatis dalam gaya hidup modern menuju cara hidup yang lebih ramah lingkungan, berorientasi sedikit mengkonsumsi dan sedikit menghasilkan sampah (Hughes, 1991:409). Kaum ekoradikal menyerukan perubahan mendalam bukan hanya dalam organisasi ekonomi tetapi juga dalam organisasi politik. Mereka berpendapat bahwa negara lebih merupakan masalah daripada sebagai solusi bagi masalah lingkungan hidup. Negara adalah bagian dari masyarakat modern, dan masyarakat modern adalah sebab dari krisis lingkungan hidup (Carter, 1993). Kepedulian terhadap lingkungan hidup menjadi isu global karena: 1. Permasalahan lingkungan hidup ini selalu mempunyai efek global. Misalnya, permasalahan yang menyangkut CFC (Chlorofluorocarbon) berefek pada pemanasan global dan meningkatnya jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon yang dirasakan di seluruh dunia. 2. Isu lingkungan hidup juga menyangkut eksploitasi terhadap sumber daya global seperti lautan dan atmosfir. 3. Permasalahan lingkungan hidup selalu bersifat transnasional, sehingga kerusakan lingkungan di suatu negara akan berdampak pula bagi wilayah di sekitarnya. 4. Banyak kegiatan ekspoitasi atau degradasi lingkungan memiliki skala lokal atau nasional, dan dilakukan di banyak tempat di seluruh dunia sehingga dapat dianggap sebagai masalah global, misalnya erosi dan degradasi tanah, penebangan hutan, polusi air, dan sebagainya. 56 5. Proses yang menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan degradasi lingkungan berhubungan dengan proses-proses politik dan sosialekonomi yang lebih luas, dimana proses-proses tersebut merupakan bagian dari ekonomi-politik global. Kemudian kerusakan lingkungan menjadi hirauan dalam hubungan internasional dimana aktor-aktor non-negara memainkan peranan penting dalam merespon permasalahan lingkungan hidup internasional. Respon terhadap permasalahan lingkungan hidup berfokus pada perkembangan dan implentasi dari rezim lingkungan hidup internasional. Secara khusus makna lingkungan hidup itu sendiri yaitu seluruh kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan dan peranan organisme. Dalam konteks hubungan internasional dikenal adanya konsep International politics of the environment, yakni suatu proses dimana persetujuan antar negara mengenai isu lingkungan hidup dinegiosasikan, apakah dengan cara menciptakan rezim maupun dengan cara menciptakan institusi internasional yang diperlukan. Lebih lanjut proses international politics of the environment meliputi: 1. Adanya proses perjanjian atau negoisasi mengenai lingkungan hidup yang dilakukan oleh negara atau institusi. 2. Ada peraturan atau rezim yang dibuat untuk bekerjasama dalam bidang lingkungan hidup. 3. Adanya konflik dari kekuatan politik yang penyelesaiannya tergantung dari keberhasilan interaksi para aktor dalam lingkungan hidup. 57 Kerjasama internasional dalam menangani isu lingkungan hidup global diarahkan untuk mencari kesepakatan ukuran-ukuran, patokan-patokan dan norma-norma internasional yang sah serta cara penerapannya. Pembuatan patokan, ukuran dan norma standar ini dibutuhkan untuk mendefinisikan prinsip umum penanganan kolektif dan membuat aturan serta proses yang tepatpembentukan rezim internasional- dalam dimensi lingkungan hidup. Lebih lanjut, proses implementasi rezim lingkungan hidup internasional nantinya akan merupakan suatu proses dimana anggota rezim harus mengumpulkan, menukar serta membahas informasi yang berkaitan dengan isu yang diangkat rezim tersebut. Proses implementasi rezim ini terdiri dari tahap pertukaran data dan informasi, analisis data, serta penilaian terhadap proses implementasi yang telah dilakukan oleh negara anggota (Perwita dan Yani, 2005: 144-145).