BAB IV ANALISIS A. Struktur Dualitas sebagai Landasan Kosmologi Gender KeEsaan Tuhan tercermin dalam kesatuan sistem perintah (amr) yang mengendalikan alam semesta. Kenyataan bahwa hanya ada satu sistem yang berlaku di alam semesta pada suatu saat, menunjukkan bahwa hanya ada satu sistem perintah yang berlaku. Sebab, jika ada dua atau lebih pemberi perintah, maka tidak mungkin dihindarkan adanya dua sistem kontrol yang berlaku di alam semesta. Dua sistem tersebut akan menyebabkan perseteruan dua kekuatan Ilahi yang akan berakhir dengan kehancuran alam semesta.1 Pada Tuhan, dualitas diprefigurasikan oleh Esensi dan Ketuhanan, dan mewujud dalam nama-nama Ilahi yang saling melengkapi. Namun, dualitas pertama yang mungkin dapat secara layak disebut “Ontologis”, tampak dalam perbedaan antara Tuhan dan segala sesuatu selain Tuhan. Suatu perbedaan ontologis dapat ditarik antara Tuhan dan kosmos. Dengan cara yang sama, perbedaan-perbedaan ontologis antara benda-benda yang ada didalam kosmos dapat pula ditetapkan, dimana masing-masing benda mewujudkan sifatsifat berlainan dari Zat yang Nyata. Pendeknya, kosmos 1 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, alam dan manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 5. 114 115 adalah lokus dari dualitas nyata dan kemajemukan nyata. Menempatkan konsep dualitas atau menganggapnya sebagai prinsip merupakan kewajaran. Setiap kali Tuhan menciptakan sesuatu yang bersifat sementara, Dia menciptakannya secara berpasangan, sebagai dua benda yang dikaitkan satu sama lain, atau berlawanan satu sama lain, misalnya; laki-laki dan perempuan, siang dan malam, langit dan bumi, daratan dan lautan, matahari dan bulan, jin dan manusia, keagungan dan kehinaan, kekuatan dan kelemahan, kehidupan dan kematian. Dia ciptakan sifatsifat dari makhluk-makhlukNya dengan cara yang saling berkaitan atau berlawanan satu sama lain sehingga mereka tidak akan sama dengan Sang Pencipta. KeEsaanNya dan Ketunggalannya menjadi termanifestasi dihadapan makhlukmakhlukNya. Tuhan itu Esa dan Unik. Esa dalam Esensi dan sifat-sifat, Unik dalam kemuliaan.2 Segala sesuatu yang berpasangan mempunyai dua realitas yang berbeda namun saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam gambaran keseluruhan kosmos, al-Qur‟an sering menyebutkan langit dan bumi sebagai contoh realitas pemahaman dualitas. Langit adalah sumber dari apa yang telah diturunkan Allah ke bumi untuk manusia, misalnya; air dan bahan makanan. Sedangkan bumi 2 Sachiko Murata, The TAO of Islam; The TAO of Islam; Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S Nasrullah, (Bandung: Mizan, 1992), h. 166. 116 adalah penerima atau penampung sumber yang diturunkan. Secara kualitatif langit adalah sesuatu yang tinggi dan bumi adalah sesuatu yang rendah. Langit tepatnya dikaitkan dengan ketinggian, cahaya, kenaikan, aktivitas, rahmat. Bumi dikaitkan dengan kerendahan, kegelapan, keturunan, penerimaan, kesuburan. Meskipun langit adalah pelimpah dan bumi adalah penerima limpahan, namun tingkatan bumi di atas tingkatan langit. Jadi jelas terbukti bahwa kosmos berjalan sesuai keseimbangan. Penggambaran al-Qur‟an tentang penciptaan langit dan bumi mengingatkan pada suatu tindakan primordial yang menimbulkan dualitas dan menetapkan “pasangan-pasangan” sebagai unsur-unsur dasar eksisensi. Al-Qur‟an menyatakan secara jelas bahwa langit dan bumi ada secara bersama-sama dalam keadaan yang takterbedakan atau bersatu sebelum penciptaan. “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara 117 keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”3 Al-Qur‟an menggambarkan sifat-sifat manusia yang diinginkan dalam kerangka yang bisa membantu menjelaskan hakikat tanggapan manusia pada ketakterbandingan dan keserupaan. Ditilik dari sudut pandang yang menekankan ketakterbandingan, kualitas-kualitas manusia yang dominan adalah Yin. Manusia adalah budak atau hamba (‘abd). Kualitas yang sangat diinginkan dari manusia adalah “tunduk” (Islam) pada kehendak Allah, yang memanifestasikan dirinya sebagai pelaksanaan syari‟atNya. Gambaran situasi manusia ini jelas bergantung pada seorang raja atau penguasa yang memberikan perintah. Langit menguasai bumi. Manusia harus mematuhi hukum guna menunjukkan penghormatan yang pantas diterima oleh Raja. Pada saat yang sama, tentu saja, manusia bebas mengacaukan keseimbangan antara langit dan bumi dengan tidak mematuhi perintah-perintah dari langit. Ditilik dari perspektif yang menekankan keserupan, al-Qur‟an melukiskan manusia sebagai wakil (khalifah) Allah yang telah diajari nama-nama dari segala sesuatu. Inilah manusia sebagai perwujudan bentuk Allah. Kenyataan bahwa manusia telah diajari nama-nama dari segala sesuatu menunjukkan bahwa mereka mempunyai sifat-sifat dari segala 3 Departeman Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2011), h. Q. S al-Anbiya‟ [21]: 30. 118 sesuatu itu dalam diri mereka. Dan sifat-sifat ini adalah sifatsifat Allah atau “tanda-tanda” dari segenap nama Allah. Disini dikemukakan unsur Yang dalam diri manusia, karena manusia menempati kedudukan Allah sebagai penguasa atas kosmos.4 Prinsip pertama dalam hubungan antara Allah dan kosmos ialah bahwa kehakikian (haqqiyah) adalah milik Allah, sementara segenap makhluk adalah realitas-realitas derivatif. Allah menciptakan kosmos untuk menampakkan Khazanah Tersembunyi. Sebelum adanya kosmos, tidak ada “yang lain”. Tidak ada pengetahuan tentang yang lain, dan tidak ada kenikmatan rahmat dan cinta oleh yang lain. Pena dan Lembaran merupakan awal dualitas yang darinya muncul prinsip eksistensi ruhani yang melaluinya seluruh kosmos tercipta. Untuk menciptakan alam semesta, Pena membutuhkan tempat untuk menulis dan itu adalah Lembaran. Tanpa lembaran, Pena tidak dapat menulis. Pena menuliskan kata-kata Ilahi diatas Lembaran dalam rangka memanifestasikan esensi spiritual dari segala sesuatu. Pena mempunyai dua wajah dengan satu menghadap Allah dan wajah lainnya menatap Lembaran. Begitupun dengan Lembaran mempunyai dua wajah dengan satu wajah menatap Pena dan wajah lainnya menatap dunia di bawahnya. 4 Ayatullah Jawadi Amuli, Keindahan dan Keagungan Perempuan; Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian al-Qur’an, Filsafat dan ‘Irfan, (Jakarta: Sadra Press, 2011). 74. 119 Dalam hubungannya dengan Pena, Lembaran bersifat reseptif, namun dalam hubungannya dengan kosmos, Lembaran bersifat aktif dan memanifestasikan kontrol yang bersifat mengatur. Implikasi Yang dan Yin dari Pena dan Lembaran sangatlah jelas bahwa Pena identik dengan sifat maskulin sedangkan Lembaran identik dengan sifat pasrah feminin. Sifat Ilahi yang identik dengan karakter Maskulin digambarkan pada kosmos dengan kata langit dan karakter Feminin dengan kata bumi. Tuhan menempatkan diantara langit dan bumi sifat perhatian terhadap hasil yang akan dilahirkanNya di dalam bumi. Tuhan menjadikan bumi layaknya istri dan langit layaknya suami. Langit memberikan sebagian dari perintah yang diwahyukan Tuhan kepada bumi, sebagaimana laki-laki memberikan air ke dalam diri perempuan. Dikarenakan keindahan dan kebaikannya, bumi menjadi sangat dicintai. Sifat-sifat Tuhan yang tergolong menjadi dua kategori sebagaimana telah banyak dijelaskan pada pembahasan memiliki batas cakupan di dalamnya. Sifat maskulin dan feminin Tuhan teraplikasikan dalam penciptaan kosmos yakni langit dan bumi. Langit yang telah dilantik semagai makhluk yang mewakili sisi maskulin Tuhan bersifat menaungi bumi sehingga terciptalah makhluk-makhluk lainnya khususnya manusia. Tuhan sedemikian rupa mendesain manusia dengan mencakup dua sisi dari Tuhan. Laki-laki dan perempuan, dua 120 jenis dari makhluk yang bernama manusia. Laki-laki mewakili sifat maskulin Tuhan yang tegas dan keras dan perempuan memiliki sifat feminin Tuhan yang lemah lembut dan penyayang.. Pada tataran manusia, karakter maskulin diperuntukkan bagi laki-laki yang cenderung memiliki fisik yang kuat, sedangkan karakter feminin dikhususkan bagi perempuan yang cenderung lemah lembut. Secara potensialitas perempuanlah yang memiliki lebih besar fitrah feminitas, sebabnya perempuan-perempuan memiliki sifat dan karakter perasaan penuh perhatiannya, kelemah-lembutan dan kesabarannya. Gender atau sifat-sifat maskulinitas dan feminitas dapat bernilai dominan ataupun minor pada kedua jenis kelamin, lelaki dan perempuan. Sosok perempuan benar mempunyai peran penting dalam kehidupan dan kemanusiaan, bahwa di belakang seorang manusia agung, manusia sempurna, pemimpinpemimpin yang tangguh pasti ada perempuan hebat, bahwa Ia pasti lahir dari rahim, dididik dan didampingi oleh perempuan yang dengan feminitasnya telah melahirkan budaya, peradaban dan keseimbangan. Tuhan melalui perempuan mencipta, alam itulah perempuan. Alam melalui arena pengalaman, bagi manusia, merupakan ladang hikmah. Pada setiap individu pasti memiliki maskulinitas dan feminitas dengan dua dimensinya, positif dan negatif. 121 Maskulinitas positif adalah keberkuasaan diri atas akal diatas kecenderungan. Maskulinitas positif adalah seorang yang paling banyak bekerja dan menghasilkan namun hanya mengambil sedikit dan merahmati lebih banyak. Maskulinitas sekarang adalah mengeksplorasi segala kekayaan, meraup keuntungan dengan kekuasaan lalu memberi dampak buruk tindakannya itu kesemua. Bagi manusia, maskulinitas adalah segala keagungan sifat-sifat yang hanya pantas disandang Tuhan, kemahakuasaan kehendak, olehnya itu manusia adalah feminitas murni dalam hubungannya dengan Tuhan, ketundukan, kehambaan, ketaatan, ibadah, dan sebagainya. Olehnya itu, ketundukan seseorang pada orang lain adalah ketundukan akal karena kebenaran yang dibawahnya, bukan karena lainnya. Sedang feminitas negatif adalah penerimaan atas kecenderungan diri, ketakberdayaan atas nafsu, emosi, atas kebodohan atas ketakpahaman terhadap sesuatu dan kepasrahan semacam itu. Namun perlu digaris bawahi jika terlalu jatuh dalam sensitifitas perasaan itu sendiri merupakan feminitas negatif, jatuh dalam ketakmandirian diri. Feminitas positif adalah ketundukan pada kebenaran, ketaatan dan kesabaran memperjuangkan kebenaran itu, menghamba pada kebenaran. Kebenaran sebagai suatu realitas objektif yang 122 mengandung keharusan moral, keharusan untuk memperlakukan sesuatu dengan baik. Dunia yang sekarang ini mungkin telah terlalu maskulin, pengingkaran dan keberpalingan terhadap nilai. Makanya laki-laki dianggap lemah saat taat, menjadi terkesan letoy ketika bersabar dan mengendalikan amarah. Sebaliknya, kemalasan, mengumbar emosi dan kemarahan, bebas dan sebagainya, adalah karakter maskulinitas. Perempuan mungkin saja melalui iklim yang maskulin ini banyak yang kehilangan fitrahnya tersebut. Maka dari itu diperlukan membuka feminitas- feminitas dalam kehidupan ini, sekiranya maskulinitas adalah argumentasi rasional, feminitas adalah kunci yang membuka hati atas keharusan tindakan moral yang telah terungkap secara rasional. Misalkan secara sederhana, pencinta alam secara teoritis sudah mesti mengemban tugas melestarikan lingkungan sekitarnya, dan tak ada perdebatan lagi di dalamnya, hanya saja ketika bergerak ke tindakan, ditemuillah beberapa hambatan maskulinitas yang dimiliki perempuan. Hati mampu menafikan hal yang rasional tersebut, hati yang maskulin. Ini adalah problem antara teoritis dan praktis, segala nilai-nilai ideal untuk turun dalam tindakan, namun dengan kesabaran sang ibu (alam) yang terus menuntun pembelajaran bagi anaknya, tantangan bagi anakanaknya dalam berkhidmat hingga melahirkan feminitas 123 manusia. Maka dari itu untuk saat ini dimungkinkan sudah perlu membuka sedikit hati untuk feminitas, namun tak menjadi begitu letoy meninggalkan maskulinitas (akal). Sekiranya, sebelum sayang (feminitas) ibu berbalik menjadi murka (maskulinitas). Tersebutlah merupakan Prinsip Dualitas Ilahi yangmana harus saling melengkapi satu sama lain walaupun berlawanan. Hal ini sama dengan prinsip penciptaan Allah terhadap alam semesta. Dualitas Ilahi menjadi landasan kosmologi gender yang berarti alam tercipta dengan serba dua ragam seperti langit dan bumi, siang dan malam, pahit dan manis, laki-laki dan perempuan, dan semacamnya. Itu membuktikan bahwa dua kategori sifat Tuhan tidak bertentangan, melainkan saling membutuhkan satu sama lain. Bisa dibayangkan jika alam diciptakan didalamnya hanya ada satu jenis, betapa kehidupan ini tidak akan pernah bisa berkembang. Bagaikan langit yang hanya berwarna biru tak berpelangi. Karena keragaman ciptaan Tuhan inilah kehidupan menjadi berwarna. Sama halnya Tuhan menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin; laki-laki dan perempuan, agar keduanya saling melengkapi dan berbagi. Berbeda jenis kelamin tidak berarti bahwa Tuhan membedakan derajat mereka. Karena secara ruhani, ruh keduanya itu bersumber dari Yang Satu. Hanya 124 saja secara fisik mereka berbeda beserta rangkaian organ dalamnya. B. Gambaran Perempuan Dilihat dari Teologi Dualitas menurut Sachiko Murata Membahas tentang konsep Dualitas Ilahi disini tidak terlepas dari Kosmologi Cina. Dalam kosmologi Cina terdapat prinsip Yang dan Yin dimana kedua prinsip tersebut berbeda namun saling berkaitan satu sama lain. Perpaduan Yang dan Yin inilah yang menyebabkan alam semesta menjadi harmonis dan seimbang serta berfungsi dengan baik. Yang mengandung sifat-sifat gerak, cair, terang, jantan, panas, menentang, keras dan semacamnya. Sedangkan Yin mengandung sifat-sifat diam, beku, padat, gelap, betina, dingin, menyerap, lembut dan sebagainya. Namun perpaduannya merupakan suatu keharusan untuk alam ini agar berfungsi dengan baik dan harmonis. Perpaduan Yang dan Yin merupakan syarat berlangsungnya dunia dan seisinya.5 Jika dikaitkan dengan teologi Islam maka keduanya sangat relevan. Sifat Allah yang memiliki dua kategori yakni Keagungan dan Keindahan sangat berpadu dengan prinsip kosmologi Cina tidak ada pertentangan. Keagungan Allah berbanding arah dengan karakter Yang sedangkan Keindahan berbanding arah dengan karakter Yin. 5 Takwin, Bagus., Filsafat Timur: Sebuah Pengantar ke Pemikiranpemikiran Timur, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 78. 125 Prinsip Yang dan Yin berpengaruh pada konsep Tao. Tao menghasilkan ketunggalan dari yang dua, yakni langit dan bumi. Dan dari yang dua tersebut menghasilkan yang tiga yaitu manusia. Hasil dari perenungan Tuhan yang memunculkan alam semesta. Diantara makhluk Tuhan yang ada di alam semesta, manusialah yang secara biologis paling lengkap dan paling rumit. Pada dirinya terkandung semua unsur yang membentuk alam semesta dari mulai unsur-unsur mineral, tumbuhtumbuhan, hewan dan manusia itu sendiri, dengan masingmasing dayanya yang istimewa. Itulah sebabnya manusia sering disebut sebagai “mikrokosmos”. Manusia merupakan cermin potensial bagi seluruh sifat-sifat Tuhan.6 Tuhan menciptakan manusia dalam citranya sendiri dan karenannya manusia merupakan bentuk yang paling sempurna di dalam kosmos, tujuan penciptaan manusia adalah puncak dari kosmos. Manusia adalah nama lain dari mikrokosmos. Makrokosmos adalah kejayaan tertinggi dari kosmos, sebab ia mengatur mikrokosmos melalui pengetahuan dan kesadarannya. Kosmos menjadi simbol pengenalan manusia terhadap Tuhan. Penciptaan kosmos didasarkan pada rasa cinta Tuhan terhadap makhlukmakhluknya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa selain 6 10. Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat..., h. 126 Tuhan adalah berpasangan, maka dari itu kosmos diciptakan beserta pasangannya masing-masing. Misalnya dalam tataran kosmos yakni langit dan bumi. Hubungan antara langit dan bumi seperti halnya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Seperti dalam kutipan Rumi dalam baris-baris puisinya; Dalam pandangan akal, langit adalah pria dan bumi adalah wanita. Apapun yang dijatuhkan oleh yang satu, akan dipelihara oleh yang lain. Ciptaan itu mustahil tanpa dualitas, sebab hanya Tuhanlah yang tunggal.7 Tanpa perempuan, laki-laki bukanlah seorang laki-laki, sebab dia didefinisikan oleh perempuan. Keberadaan kosmos membuat yang nyata menjadi Tuhan, dan keberadaan perempuan mengubah laki-laki menjadi lakilaki. Tanpa kosmos, tidak ada Tuhan. Tanpa perempuan, tidak ada laki-laki. Maka manusia dijadikan wakil Tuhan di bumi sebab mereka diciptakan dalam bentuk Ilahi dan mewujudkan apa yang dimiliki oleh kedua tangan Tuhan dicerminkan dalam tabiat ganda dari dua ruh, sebagaimana yang diwakili 7 19 Sachiko Murata, The TAO of Islam, (Bandung: Mizan, 1996)., h. 127 oleh Ruh Terbesar (Akal Pertama) dan jiwa universal. Melalui jaraknya dari penciptaan, ruh mencerminkan keagungan dan kekerasan. Sebaliknya, jiwa mencerminkan sifat-sifat pemelihara yaitu kelembutan dan kebaikan melalui kedekatan relatifnya dengan penciptaan, keserbaragaman, dan perbedaan. Ruh dan jiwa selanjutnya dicerminkan dalam diri pasangan manusia, Adam dan Hawa, dan dalam ruh dan jiwa setiap individu manusia. Baik laki-laki maupun perempuan mewujudkan ruh dan jiwa setiap individu manusia. Baik laki-laki maupun perempuan mewujudkan mendominasi 8 perempuan. laki-laki Ruh dan sementara jiwa, namun ruh jiwa mendominasi Di antara tanda kekuasaan Allah adalah penciptaan manusia (QS. 30: 20), dan penjelasan tentang penciptaan diulang dalam ayat demi ayat.9 Sifat-sifat Ilahi menjadi tampak dalam diri manusia dan melukiskan hubungan erat antara mikrokosmos dan makrokosmos.10 8 Sachiko Murata, The TAO of Islam,..., h. 400. Misalnya: “…….Dia menciptakan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina” (QS. 32: 7-8. QS. 36: 77, QS. 73: 37. QS. 76: 2). “Kemudian dia menyempurnakan dan menciptakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya ruh- Nya….” (QS. 32: 9). “Allah menciptakan kita semua dari satu orang dan kemudian menciptakan pasangannya” (QS. 75: 75, QS.92: 3). “Manusia diciptakan manusia dari tanah, debu bumi” (QS. 32: 7, QS. 30: 20) dan keturunannya dari air mani “Allah menciptakan manusia dari tanah dengan beragam, warna kulit dan bahasa” (QS. 30: 22). 10 Sachiko Murata, Op. Cit., hlm. 254. 9 128 Mitos Adam adalah sebuah titik referensi dalam teksteks ini, namun aspek kesejarahannya memang tidak dikemukakan, karena yang demikian itu tidak sesuai dengan makna kisah itu, dan makna kisah itu dapat dijumpai dalam kualitas yang dinisbatkan kepada Adam dan karakter-karakter lain yang disebut dalam kisah itu. hubungan timbal balik antara Tuhan dan manusia di satu pihak, dan antara laki-laki dan perempuan di pihak lain. Dalam kaitannya dengan realitas, perempuan identik dengan laki-laki, namun dalam kaitannya dengan entifikasi, masing-masing berbeda satu sama lainnya. Pada akarnya, perempuan menjadi terwujud karena laki-laki, maka dia seperti menjadi bagian darinya. perempuan menjadi terpisah dan terwujud dalam bentuk feminim. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ada persesuaian dan bentuk antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ada persesuaian antara Tuhan dan manusia: “Bentuk adalah persesuaian yang paling besar, agung dan sempurna. Sebab ia adalah “salah satu dari pasangan” (zauj). Dengan kata lain, ia membuat zat yang nyata menjadi dua. Dengan cara yang sama, wanita membuat pria menjadi dua melalui eksistensinya. Perempuan mengubahnya menjadi salah satu dari pasangannya”. Dengan kata lain, bentuk manusia membuat bentuk dari Yang Maha Pengasih menjadi salah satu dari pasangan, sebagaimana bentuk perempuan membuat bentuk laki-laki 129 menjadi salah satu dari pasangan. Di sini, Sachiko Murata memahami ajaran-ajaran Ibn „Arabi, mengenai kebutuhan Tuhan akan seorang pelayan dan kebutuhan Tuhan akan hamba Ilahi. Sebaliknya, kaum perempuan (sebagai Yin) mempunyai keunggulan dari kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuan di bidang lahiriah. Jadi mereka tidak begitu berkecenderungan untuk membuat tuntutan-tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mereka mempunyai keuntungan dari semacam sifat bawaannya sebagai hamba. Dalam berbicara tentang peran laki-laki dan perempuan paling tidak ada dua teori yang bisa digunakan untuk menilik peran laki-laki dan perempuan. Dua teori tersebut adalah teori nature dan nurture. Kedua tahap ini berjalan berlawanan satu sama lain. Laki-laki dan perempuan tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori tersebut, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, berani, rasional, dan seterusnya sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional, manja, dan seterusnya sebagai kodrat perempuan sesungguhnya hanyalah skenario dari kultur patriarkhi.11 11 Umi Sumbulah, Spektrum Gender; Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 26-27. 130 Perlu diketahui bahwa laki-laki mempunyai satu keunggulan atas perempuan bukan berarti karena Hawa tercipta dari Adam. Hawa tidak akan pernah setara dengan Adam karena lokus yang menerima aktivitas tidak sama dengan lokus yang bertindak atasnya. Hawa adalah lokus yang menerima aktivitas Adam maka Adam mempunyai satu tingkat aktivitas atas diri Hawa. Maka dalam hal ini Hawa tidak setara dengan Adam.12 Inilah pengertian dari laki-laki mempunyai satu tingkat dengan perempuan. Laki-laki dan perempuan menurut Sachiko Murata dan juga diakui oleh Ayatullah Jawadi Amuli bahwa adalah dua mahluk yang saling membutuhkan dan saling melengkapi untuk menciptakan keseimbangan kosmos maupun social kemasyarakatan. Walaupun laki-laki mempunyai satu tingkat derajat lebih tinggi dari perempuan namun keduanya tetap harus berjalan seimbang dan saling melengkapi. Sebab dalam artian laki-laki mempunyai satu derajat lebih tinggi itu tidak menjamin laki-laki bisa kuat tanpa perempuan. Karena perempuan mempunyai peran penting untuk laki-laki, yakni memberikan kasih sayang. C. Implikasi Teologi Dualitas terhadap Kesetaraan Gender Dualitas berlaku didalamnya, Allah mempunyai dua kategori sifat yakni Jalal (Keagungan) dan Jamal (Keindahan) yang dengan keduanya menjadikan Tuhan mempunyai sifat 12 Sachiko Murata, The TAO of Islam..., h. 243. 131 Kamal (sempurna). Keduanya merupakan nama Allah yang memiliki berbagai fenomena. Keagungan terkandung dalam KeindahanNya, dan Keindahan tertutupi oleh KeagunganNya. Sesuatu yang menjadi fenomena Keagungan Tuhan memiliki Keindahan dan sesuatu yang menjadi fenomena KeindahanNya pasti memiliki KeagunganNya. Bukti yang menunjukkan bahwa keindahan Allah tersembunyi dalam keagunganNya adalah ungkapan yang mengatakan bahwa untuk memperoleh ganjaran syurga, harus melalui berbagai macam kesusahan, kesulitan, kesabaran dan istiqomah dalam berjihad, baik jihad yang kecil, menengah maupun besar.13 Contoh konkret tersembunyinya keindahan Allah dalam keagunganNya adalah ayat yang menjelaskan tentang qisâs, pembunuhan, dan sebagainya. Dalam Q.S al-Baqarah [2]: 179, “Dan dalam hukum qisâs itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal”. Hukuman qisâs yang secara lahiriah terkesan sadis, pada hakikatnya justru memberi kehidupan kepada banyak orang karena bisa mencegah kesewenangan orang dzalim untuk menghabisi nyawa orang lain. Kematian seseorang tersebut merupakan jaminan dan kelangsungan hidup masyarakat bersama. 13 ..., h. 5. Ayatullah Jawadi Amuli, Keindahan dan Keagungan Perempuan 132 Keserasiaan antara murka dan Rahmat Allah serta keagungan dan keindahanNya tidak hanya ada pada masalah qisâs, namun juga terkandung dalam setiap ketetapan syari‟at yang diturunkanNya. Segala sesuatu yang tidak disukai sang hamba secara lahir didalamnya terkandung kehendak Allah. Sebaliknya kebencianNya terhadap sesuatu berada di balik kecenderungan hamba untuk menyukainya. Keindahan (Jamâl) dan keagungan (Jalâl) Allah ditegaskan kembali keserupaan. Nama dengan ketakterbandingan Keagungan berkaitan erat dan dengan ketakterbandingan sedangkan nama Keindahan berkaitan dengan keserupaan, namun bagaimanapun nama-nama Allah bisa dipandang sebagai berbeda satu sama lain hanya dalam hubungnannya dengan segala sesuatu yang tercipta. Ketakterbandingan berkaitan dengan kualitas-kualitas keagungan (jalâl), kekerasan (qahr), kemurkaan (ghadhab), keadilan (‘adl), kemarahan (sakhth), dan sebagainya. Sedangkan keserupaan umumnya berkaitan dengan keindahan (jamâl), kelembutan (lutfh), rahmat (rahmah), keridhaan (ridha), maaf (‘afw), cinta (mahabah), dan sebagainya. Berbeda dengan kaum sufi dalam pengetahuan psikologi spiritualnya melihat bahwa respon manusia atas kualitas ketakterbandingan menyebutnya dengan berbagai istilah seperti kehebatan (haybah), ketakutan (khawf), dan kontraksi (qabdh). Sedangkan mengenai kualitas keserupaan respon 133 manusia adalah kedekatan (uns), harapan (raja’), ekspansi (basth).14 Agar kesetaraan gender berjalan seimbang, konsep Dualitas Ilahi harus diterapkan didalamnya. Terciptanya alam ini adalah hasil dari cinta kasih yang mutlak dariNya. Sifatsifat Ilahi menjadi isi rohani semesta, yang mana sifat tersebut melingkupi sifat Jâlal dan Jâmal. Kedua sifat tersebut ada dalam Allah. Kesetaraan gender bukan berarti keseimbangan sama rata dan sama besar. Keseimbangan adalah saling melengkapi satu sama lain. Wacana pembahasan yang kesetaraan tidak gender asing bagi sudah menjadi semua kalangan masyarakat. Kesetaraan gender merupakan suatu tujuan untuk menyetarakan dua perbedaan agar keduanya tidak saling terlepas. Gender merupakan suatu kajian konstruk sosial yang disepakati oleh masyarakat dalam menentukan perilaku terhadap laki-laki dan perempuan. Dalam berbagai aspek, perempuan selalu berada pada tataran nomor dua. Menurut hukum patriarkhi, perempuan berada di luar kelas karena tidak memiliki penanda kelas yakni pendidikan, penghasilan, profesi dan kepemilikan. Identitas laki-laki dan perempuan dibangun melalui budaya namun tetap selalu terejawantahkan. Hukum-hukum tak tertulis masyarakat yang dibangun dalam budaya 14 Sachiko Murata, The TAO of Islam..., h. 103. 134 merupakan suatu tingkatan produk masyarakat, yang mana terdapat dua tubuh yakni jantan dan betina (male and female). Bagi perempuan yang menurutnya tubuh dipresi oleh wacana patriarkhi, identitas dirasakan sebagai sesuatu yang patah.15 Masing-masing gender hanya memiliki eksistensi bersifat relasional. Karenanya masing-masing merupakan produk dari kerja konstruksi sosial yang bersifat dikritis, yaitu sekaligus bersifat teori dan praktik. Regularitas terletak pada tatanan fisik dan tatanan sosial memberlakukan dan menggandakan disposisi-disposisi itu dengan cara mengeklusi perempuan dari pekerjaan-pekerjaan paling terhormat, dengan cara memberikan tempat lebih rendah kepada perempuan, mengajarkan kepada perempuan tentang bagaimana membawa diri dengan tubuh mereka.16 Berdasar pada suatu agama yakni Islam, salah satu tafsir ayat al-Qur‟an menyebutkan bahwa perempuan menjadi makhluk kedua setelah laki-laki.17 Hal ini menjadikan perempuan menjadi merasa terasing dan mengalah. Hukumhukum Islam yang membahas tentang wanita dikelompokkan menjadi empat persoalan pokok: perkawinan dan topik yang 15 Sue Thornham, Teori Feminis dan Cultural Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2000), h. 42. 16 Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 33-34. 17 Hal ini sama dengan istilah The Second Sex karya Simone de Beauvoir. Karya tersebut merupakan teks yang amat penting dalam narasi apapun tentang teori budaya feminis. Lihat selengkapnya Sue Thornham, Teori Feminis ..., h. 44. 135 terkait, perceraian, warisan dan kepemilikan harta, cadar dan pingitan. Hukum-hukum tersebut pada dasarnya terbentuk atas konstruk sosial. Jauh dalam pandangan bahwa konsep dualitas Ilahi tidak teraplikasikan pada konsep kesetaraan gender. Keseimbangan yang dijelaskan dalam dualitas tersebut sudah jelas adanya bahwa sisi negatif membutuhkan sisi positif. Kedua sisi tersebut tidak bisa berdiri sendiri. Bukan mengelompokkan tapi mencari solusi untuk menggabungkan yang berbeda. Seperti halnya laki-laki dan perempuan, perempuan yang pada dasarnya tercipta dari tulang rusuk lakilaki tidak harus menjadi lemah karena faktor tersebut. Begitupun laki-laki tidak boleh merasa kuat dan berkuasa dari perempuan. Menjadi lemah dan merasa kuat adalah sisi negatif, namun hal itu bisa juga dimaknai dalam sisi positif. Misalanya sepasang suami isteri, isteri menjadi lemah untuk menjaga nama baik suami, sedangkan suami merasa kuat untuk melindungi isteri. D. Titik Temu Prinsip Dualitas terhadap Keseimbangan Gender Seperti yang telah dipaparkan dalam pembahasan bahwa pada dasarnya Allah mempunyai nama-nama dan sifatsifat yang dikategorikan menjadi dua, dan itulah yang dinamakan dengan Dualitas. Dalam teologi Cina dualitas tersebut dinamakan dengan Yin dan Yang, dalam teologi Islam 136 dikenal dengan Jamâl dan Jalâl, sedangkan dalam bahasa Filsafat disebut dengan Maskulinitas dan Feminitas. Realitas Allah dilukiskan dengan alam semesta yang mana didalamnya ada dua unsur tersebut. Salah satu makhluk Allah yang memiliki dua unsur tersebut adalah manusia. Manusia memanifestasikan seluruh nama dan sifat Allah, baik nama yang melukiskan kekerasan maupun kelembutan. Manusialah makhluk yang mewakili gambaran dan citra lengkap Realitas Ilahi. Dualitas merupakan konsep serba dua yang bersumber dari yang Satu (Tuhan). Berbicara tentang Tuhan pasti tidak akan meninggalkan pembahasan tentang alam (kosmos). Karena alam merupakan manifestasi sifat Tuhan. Tuhan adalah relitas mutlak, sedangkan kosmos memiliki realitas derivatif. Maka dari itu Tuhan sangat menguasai kosmos. Prinsip dualitas teraplikasikan pada hasil manifestasiNya, yakni kosmos. Dalam kosmologi Cina disebutkan bahwa keharmonisan kosmos adalah bersumber dari dua unsur, yakni Yin dan Yang. Dapat dikatakan bahwa Yin-Yang merupakan sebuah gambaran kongkrit dari siklus dunia ini. Yin-Yang merupakan sebuah prinsip kehidupan yang dinamis. Yin dan Yang memiliki dua arti. Pertama sebagai sebuah ketentraman dan kesederhanaan dalam menjalin kehidupan nyata dan kedua sebagai sebuah siklus kehidupan, artinya dalam 137 kehidupannya, kehidupan manusia tentunya akan terus berjalan. Yin-Yang juga harus terus berjalan seimbang, sehingga keharmonisan antara makrokosmos dan mikrokosmos tercipta. Prinsip Yin-Yang perlu dipertahankan berkenaan dengan keberadaan manusia dewasa ini. Yin-Yang pada dasarnya mewakili dua kekuatan mendasar yang menyelaraskan alam semesta ini. Yin-Yang memengaruhi banyak hal dalam hidup. Ketika salah satu sifat mencapai puncaknya, maka dengan sendirinya akan menimbulkan sifat yang sebaliknya. Yin-Yang selalu saling melengkapi dan membentuk keutuhan. Kombinasi di antara Yin dan Yang merupakan syarat berlangsungnya dunia dan segala isinya. Dalam hubungannya dengan penciptaan Tuhan adalah Yang dan kosmos adalah Yin. Namun, dalam hubungannya dengan sifat, Tuhan adalah Yin dan sekaligus Yang. Yin-Yang diaplikasikan pada dua hal yang sifatnya bertentangan namun dinamis. Dua hal itu dapat digambarkan dengan garis putusputus untuk Yin dan garis lurus untuk Yang. Penekanan Tuhan sebagai Yang, dijelaskan dengan kategori sifat Keagungan. Allah Mahaagung dan Maha keras. Maka manusia haruslah pasrah dan tunduk kepadaNya serta menjadi hambaNya patuh dan taat. Sedangkan penekanan Tuhan sebagai Yin, dijelaskan dengan kategori sifat Keindahan. “Rahmat Allah mendahului kemurkaanNya”. Dia 138 menciptakan alam semesta atas dasar rahmat dan cinta. Satusatunya maksud yang ditujuNya dalam menciptakan alam semesta ialah melayani kesejahteran manusia. Seperti halnya Yin dan Yang saling melengkapi satu sama lain, Keagungan dan Keindahan juga menjadi prinsip yang saling melengkapi. Jamâl dan Jalâl bukanlah kedua sifat yang bertentangan. Dalam kosmos keduanya berpartisipasi untuk jalan yang harmonis dan seimbang. Allah dengan segala sifat keagunganNya sungguh anggun dengan keindahan yang tersembunyi dibalik keagunganNya. Aspek-aspek ganda Allah diungkapkan dalam segala sesuatu di muka bumi; Dia Maha Pengasih dan Maha Pemurka; Dia adalah Jamâl, keindahan di atas segala keindahan, dan Jalâl, keagungan yang mengatasi segala keagungan. Sifat Jamâl (keindahan) sangat erat kaitannya dengan kualitas feminin seperti cinta, lemah lembut, pengertian, dan semacamnya. Sedangkan sifat Jalâl (keagungan) sangat erat kaitannya dengan kualitas maskulin seperti murka, keras, cuek dan semacamnya. Sifat Allah meliputi keduanya, Jamâl (keindahan) dan Jalâl (keagungan). Perpaduan antara sifat Keagungan Allah dan KeindahanNya tampak dalam setiap maujud, sesuai dengan kapasitas keberadaannya. Penampakan kedua sifat ini lebih kuat dalam entitas yang abstrak (ruh) secara maksimal, daripada entitas-entitas yang semi abstrak (jiwa). 139 Keindahan dan keagungan sifat Allah ini termanifestasikan pada manusia. Manusia menjadi makhluk yang sempurna karena dia dapat menghimpun keduanya dan merupakan cerminan dari nama-nama Allah. Manusia tercipta dengan dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Dimana laki-laki merupakan cerminan dengan dominasi sifat Keagungan (Jalâl) Allah dan perempuan merupakan cerminan dengan dominasi sifat Keindahan (Jamâl). Walaupun antara laki-laki dan perempuan masing-masing mempunyai sifat keindahan dan keagungan Allah namun masing-masing kuantitas keduanya berbeda. Dilihat dari jenisnya manusia ada dua yakni laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya laki-laki dikategorikan dengan sifat Keagungan (Jâlal) dan maskulin, sedangkan perempuan termasuk dalam kategori Keindahan (Jâmal) dan feminin. Keduanya mempuanyai jenis fisik yang berbeda, namun pada hakikatnya sama-sama bersumber dari Allah. Sifat yang melekat pada merekapun pada intinya sama, hanya saja kuantitasnya berbeda. Misalnya laki-laki mempunyai perasaan sama halnya perempuan akan tetapi penggunaannya berbeda dengan perempuan. Perempuan akan lebih mendahulukan perasaannya sehingga mudah menangis, sedangkan laki-laki lebih mendahulukan tindakannya sehingga terlihat tegar dan tidak cenggeng. 140 Tujuan dari Prinsip Dualitas adalah keseimbangan bukan kesetaraan. Keseimbangan adalah dasar dari keharmonisan alam semesta. Kesetaraan akan menimbulkan kecemburuan sosial yang mana akan merambah pada keegoisan manusia. Munculnya sifat ambisius yang berlebihan dan individualis. Prinsip dualitas merupakan puncak kesempurnaan tujuan hidup. Tidak hanya pada alam semesta, keseimbangan tersebut harus diterapkan pada konsep keseimbangan gender. Dimana dua perbedaan itu disatukan dengan konsep Dualitas Ilahi, yakni Yin dan Yang serta Jamâl dan Jalâl. Gender bukanlah seharusnya saling menghina dan memojokkan setu sama lain antara laki-laki dan perempuan, namun harus selalu melengkapi antara keduanya.