BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit infeksi masih

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan
dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini
menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Infeksi nosokomial itu
sendiri dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh seseorang selama di rumah
sakit.
Selama 10-20 tahun belakang ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
mencari masalah utama meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial dan di
beberapa negara, kondisinya justru sangat memprihatinkan. Keadaan ini justru
memperlama waktu perawatan dan perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal
akibat resistensi kuman, serta penggunaan jasa di luar rumah sakit. Karena itu di
negara-negara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial lebih
diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien di rumah sakit.
Perawatan pasien dilakukan pada fasilitas kesehatan yang sangat
lengkap hingga rumah sakit dengan fasilitas dasar. Meskipun terjadi
kemajuan dalam kesehatan masyarakat dan perawatan rumah sakit, infeksi
terus berkembang pada pasien rawat inap dan juga mempengaruhi staf
rumah sakit. Infeksi nosokomial mempengaruhi lebih dari 2 juta pasien setiap
tahunnya di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, suatu penelitian yang
dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004, menunjukkan
bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat.
Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia.
Banyak faktor yang mendorong terjadinya infeksi di antara pasien
rumah sakit, seperti penurunan imunitas pasien, peningkatan prosedur medis
dan teknik invasif, dan transmisi terhadap bakteri resisten obat di antara
pasien rumah sakit yang penuh, serta pengendalian infeksi yang buruk akan
mempermudah penularan. Hal ini akan menyebabkan waktu atau perawatan
1
yang lebih lama atau bahkan kematian penderita. Rumah sakit juga akan
merugi karena masa perawatan menjadi lebih panjang sehingga hunian
rumah sakit. Perusahaan atau orang yang menanggung biaya perawatan
penderita merugi karena kehilangan waktunya yang produktif selama dirawat
di rumah sakit.
Saat ini, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu
tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit.
Inti dari pencegahan dan
pengendalian infeksi nosokomial adalah mencegah penyebaran mikroba
patogen, di antaranya melalui perilaku atau kebiasaan petugas yang terakit
dengan layanan medis, termasuk dokter muda. Peran dokter muda dalam
mencegah infeksi nosokomial sangat penting, terutama di rumah sakit
pendidikan, mengingat dokter muda berinteraksi langsung dengan pasien
dalam melaksanakan kegiatan sehari – hari, termasuk tindakan medis.
1.2
Rumusan masalah
Bagaimana peran dokter muda dalam pencegahan infeksi nosokomial selama
bertugas di bagian bedah?
1.3
Tujuan
1. Untuk menambah pengetahuan dokter muda tentang infeksi nosokomial.
2. Untuk menambah pengetahuan dokter muda tentang cara pencegahan
infeksi nosokomial selama bertugas di bagian bedah.
1.4
Manfaat
1.4.1 Bagi penulis
a. Menambah pengetahuan penulis tentang infeksi nosokomial.
b. Menambah pengetahuan penulis tentang perannya selama di
bagian bedah.
c. Menambah pengetahuan penulis tentang cara pencegahan infeksi
nosokomial selama bertugas di bagian bedah dan aplikasinya.
1.4.2 Bagi masyarakat
a. Bagi pasien yang dirawat, meminimalkan risiko terjadinya infeksi
nosokomial.
2
b. Bagi keluarga pasien dan masyarakat yang berada di lingkungan
rumah sakit, dapat memberikan informasi dan edukasi tentang cara
merawat pasien dengan lebih baik sehingga tidak terjadi penularan
infeksi nosokomial.
c. Tidak memperpanjang waktu perawatan dan beratnya biaya
perawatan.
1.4.3 Bagi institusi
a. Meminimalkan
terjadinya
risiko
infeksi
nosokomial
sehingga
menurunkan morbiditas dan mortalitas.
b. Menjaga nama rumah sakit agar tetap menjadi rumah sakit yang
bermutu dan dipercaya.
c. Tidak memperberat biaya perawatan yang harus ditanggung oleh
rumah sakit.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang diperoleh dari rumah sakit
dimana infeksi tersebut tidak diderita pasien saat masuk ke rumah sakit,
melainkan + 72 jam setelah berada di tempat tersebut.
2.2
Epidemiologi infeksi nosokomial
Di Indonesia, masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah
yang cukup serius. Pada negara maju, kejadian infeksi ini diperkirakan 5%
dan angka ini makin tinggi di negara berkembang. Penelitian yang dilakukan
WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara
yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap
menunjukkan adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak
10%.
Pada penelitian yang dilakukan National Infection Surveillance (NNIS)
dan Center Disease Control and Prevention, didapatkan 5 – 6 kasus infeksi
nosokomial dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit. Pada beberapa
penyakit yang berat, infeksi nosokomial meningkatkan angka kematian
menjadi 2x lipat.
The journals of infections control nursing (1996) menunjukkan bahwa
kira – kira 20% pasien rumah sakit terkena infeksi dan 10% nya merupakan
infeksi nosokomial dengan lokasi pada saluran kemih (30%), luka operasi
(20%), saluran pernafasan (20%), dan lain-lain (30%).
2.3
Etiologi infeksi nosokomial
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit
dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau
disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection).
Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit disebabkan karena faktor
eksternal, yaitu melalui makanan, udara, dan benda atau bahan tidak steril.
a. Bakteri
4
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia
yang sehat, seperti Escherichia coli yang paling banyak dijumpai sebagai
penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri lain seperti bakteri patogen lebih
berbahaya dan menyebabkan infeksi bai secara sporadik maupun
endemik. Contohnya adalah sebagai berikut :

Anaerobik gram positif : Clostridium pada gangrene

Bakteri gram positif : Staphylococcus aureus yang menjadi parasit
di kulit dan hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru,
tulang, jantung, dan infeksi pembuluh darah serta seringkali telah
resisten terhadap antibiotika.

Bakteri gram negatif : Enterobacteriaceae, seperti Escherichia
coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering kali
ditemukan di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi
di saluran pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram
negatif bertanggug jawab sekitar setegah dari semua infeksi di
rumah sakit.

Serratia marcescens menyebabkan infeksi serius pada luka
bekas jahitan, paru, dan peritoenum.
b. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial oleh berbagai macam virus,
seperti virus hepatitis B dan virus hepatitis C dengan media penularan
tranfusi, dialisis, suntikan, dan endoskopi. RSV, rotavirus, dan enterovirus
ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau rute fecal-oral. Hepatitis dan
HIV ditularkan melalui pemakaian jarum, suntik, dan tranfusi darah. Virus
lain yang menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus,
ebola, influenza, virus herpes simpleks, dan virus varicella-zoster.
c. Parasit dan jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dari orang
dewasa ke anak – anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama
pemberian obat antibiotika bakteri dan obat imunosupresan, seperti
5
Candida albicans, Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans, dan
Cryptosporidium.
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit,
infeksi dari luka operasi, dan septikemia.
2.4
Faktor yang mempengaruhi perkembangan infeksi nosokomial
1.
Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama
dirawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam
mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena
banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
nosokomial.
Kemungkinan
terjadinya
infeksi
tergantung
pada
karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika,
tingkat virulensi, dan banyaknya materi infeksius. Penyakit yang didapat
dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme
yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau
jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.
2.
Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon
tubuh pasien adalah usia, status imunitas penderita, penyakit yang
diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan
imunosupresan dan steroid, intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk
melakukan diagnosa dan terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi
tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita
penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal
ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi
tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik.
Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan
6
terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan
pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.
3.
Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak
langsung dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui
tangan, kulit dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat
juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis
dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril,
tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan
terjadinya infeksi silang.
4.
Resistensi antibiotika
Banyak mikroorganisme yang kini menjadi resisten. Meningkatnya
resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap
pasien yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri ditransmisikan
antar pasien dan faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri.
Penyebab utamanya karena penggunaan antibiotika yang tidak sesuai
dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan
pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat, dan kesalahan
diagnosa.
Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan
dari gen yang resisten terhadap antibiotika mengakibatkan timbulnya
multiresistensi kuman terhadap obat-obatan tersebut. Penggunaan
antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor
utama terjadinya resistensi.
5.
Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi
kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan
kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Komplikasi kanulasi intravena
ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi
7
tersebut berupa ekstravasasi infiltrat, penyumbatan, flebitis, trombosis,
kolonisasi kanul, septikemia, dan supurasi.
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan
komplikasi
kanula
intravena
yaitu:
jenis
kateter, ukuran
kateter,
pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam,
kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip
anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena
merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan
pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering
pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal
infeksi tempat infus dan bakteremia.
2.5
Cara transmisi infeksi nosokomial
Penularan infeksi nosokomial dapat terjadi melalui beberapa jalur.
Penularan dapat terjadi secara kontak, melalui common vehicle, udara dan
inhalasi, atau melalui perantara vektor.
a. Penularan secara kontak
Penularan dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak
langsung, dan droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber infeksi
berhubungan langsung dengan penjamu. Sebagai contoh adalah person
to person pada penularan infeksi virus hepatitis A secara fekal-oral.
Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek
perantara, seperti benda mati. Hal ini dapat terjadi karena benda mati itu
terkontaminasi oleh mikroorganisme.
b. Penularan melalui common vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh
kuman dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari 1 penjamu.
Contohnya adalah darah / produk darah, cairan intravena, obat – obatan,
dan sebagainya.
c. Penularan melalui udara dan inhalasi
8
Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang
sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup
jauh dan melalui saluran pernafasan.

Droplet : partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin,
bicara, jarak sebar pendek, tidak bertahan lama di udara,
“deposit”
pada
mukosa
konjungtiva,
hidung,
mulut
contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus
influenza type b (Hib), Virus Influenza, mumps, rubella.

Airborne : partikel kecil ukuran < 5 μm, bertahan lama di
udara,
jarak
penyebaran
contoh: Mycobacterium
jauh,
tuberculosis,
dapat
virus
terinhalasi,
campak,
Varisela (cacar air), spora jamur
d. Penularan dengan perantara vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal.
Penularan eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari
mikroorganisme yang menempel pada tubuh vektor, misalnya shigella dan
salmonela oleh lalat. Penularan secara internal bila mikroorganisme masuk
ke dalam tubuh vektor dan dapat terjadi perubahan secara biologis,
misalnya parasit malaria dalam nyamuk, atau tidak terjadi perubahan
biologis, seperti Yersenia pestis pada flea.
2.6
Kriteria diagnosis
Infeksi nosokomial disebut juga sebagai “Hospital aqcuired infection”
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijmupai tanda – tanda klinis
infeksi tersebut.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi
tersebut.
c. Tanda – tanda infeksi baru timbul sekurang – kurangnya 3x24 jam sejak
mulai dirawat.
d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.
9
Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda – tanda infeksi, tetapi
terbukti
bahwa
infeksi
didapat
penderita
pada
waktu
perawatan
sebelumnya dan belum pernah dilaporkan sebagai indeksi nosokomial.
2.7
Pengendalian infeksi nosokomial
Untuk meniadakan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang
dirawat di rumah sakit, perlu diperhatikan beberapa hal yang pokok dalam
kewaspadaan universal. Kewaspadaan universal adalah suatu konsep
penanggulangan infeksi dimana strategi pelaksanaannya dititikberatkan pada
pengendalian penyeberangan infeksi yang terjadi melalui darah dan cairan
tubuh secara universal tanpa memandang status infeksi dan pasien. Hal ini
didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial
menularkan penyakit. Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal
kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi individu, ruangan, dan streilisasi
peralatan. Kegiatan pokok kewaspadaan universal adalah :
1. Cuci tangan
Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting
yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk mencegah
penyebaran kuman. Mencuci tangan adalah tindakan aktif, singkat
dengan menggosok bersamaan semua permukaan tangan dengan
memakai sabun, yang kemudian diikuti dengan membasuhnya
dibawah air hangat yang mengalir. Tujuannya adalah untuk
membuang kotoran dan organisme yang menempel dari tangan
dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada saat itu. Cuci tangan
harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan
atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi
mikroorganisme yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit
dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus
dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan
tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Aspek
terpenting
dari
mencuci
tangan
adalah
pergesekan
yang
ditimbulkan dengan menggosok tangan bersamaan mencuci tangan
10
dengan sabun, dengan air mengalir dan pergesekan yang
dilakukan secara rutin.
Ada beberapa sarana cuci tangan yaitu sebagai berikut:
a. Air Mengalir Sarana utama untuk cuci tangan adalah
ketersediaan air mengalir dengan saluran pembuangan atau
bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air
mengalir tersebut maka mikroorganisme yang terlepas
karena gesekan mekanis atau kimiawi saat cuci tangan akan
bersih dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air
mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara
mengguyur dengan gayung. Namun cara mengguyur
dengan gayung memiliki risiko cukup besar untuk terjadinya
pencemaran, baik melalui gagang gayung ataupun percikan
air bekas cucian kembali ke bak penampungan air bersih. Air
kran bukan berarti harus dari PAM, namun dapat diupayakan
secara sederhana degan tangki berkran di ruang pelayanan
atau perawatan kesehatan agar mudah dijangkau oleh para
petugas kesehatan yang memerlukannya.
b.
Sabun
dan
Deterjen
Bahan
ini
tidak
membunuh
mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi jumlah
mikroorganisme
permukaan
dengan
sehingga
jalan
mengurangi
mikroorganisme
tegangan
terlepas
dari
permukaan kulit dan mudah terhalau oleh air. Jumlah
mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkatnya
frekuensi
cuci
tangan.
Namun
dilain
pihak,
dengan
seringnya menggunakan sabun atau deterjen maka lapisan
lemak akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan
pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi
peluang untuk tumbuhnya kembali mikroorganisme.
c. Larutan Antiseptik Larutan antiseptik atau disebut juga
antimikroba topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan
hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh
mikroorganisme pada kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia
yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit dan selaput
11
mukosa.
Antiseptik
memiliki
keragaman
dalam
hal
efektivitas, aktivitas, akibat dan rasa pada kulit setelah
dipakai sesuai dengan keragaman jenis antiseptik tersebut
dan reaksi kulit masing-masing individu. Kulit manusia tidak
dapat
disterilkan.
penurunan
jumlah
Tujuan
yang
ingin
mikroorganisme
dicapai
pada
kulit
adalah
secara
maksimal terutama kuman transien.
Prosedur cuci tangan adalah sebagai berikut:
a. Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air
mengalir.
b. Taruh sabun di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat
busa secukupnya tanpa percikan.
c. Gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak
tangan, gosokan telapak tangan kanan di atas punggung
tangan kiri dan sebaliknya, gosok kedua telapak tangan
dengan jari saling mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara
menggenggam dan memutar, gosok telapak tangan. Proses
berlangsung selama 10-15 detik.
d. Bilas kembali dengan air sampai bersih.
e. Keringkan tangan dengan handuk atau kertas yang bersih
atau tisu atau handuk katun kain sekali pakai.
f. Matikan kran dengan kertas atau tisu.
g. Pada cuci tangan aseptik/ bedah diikuti larangan menyentuh
permukaan yang tidak steril.
12
Gambar 2.1 Enam Langkah Mencuci Tangan
Gambar 2.2 Lima Saat Mencuci Tangan
b. APD (Alat Pelindung Diri)
13
Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang digunakan untu
melindungi diri dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari
pekerjaan maupun dari lingkungan kerja dan berguna dalam usaha
untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan cidera atau cacat,
dan terdiri dari berbagai jenis APD di rumah sakit yaitu sarung
tangan, masker, penutup kepala, gaun pelindung dan sepatu
pelindung.
1) Sarung Tangan
2) Masker
3) Alat pelindung mata
4) Topi
5) Gaun pelindung
6) Apron
7) Pelindung kaki
Gambar 2.3 Alat Perlindungan Diri Tenaga Medis
c. Keselamatan Menggunakan Jarum Suntik
14
Keselamatan
menggunakan
jarum
suntik
sebaiknya
menggunakan tiap-tiap jarum dan spuit hanya sekali pakai, tidak
melepas jarum dari spuit setelah digunakan, tidak menyumbat,
membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang dan
membuang jarum dan spuit di wadah anti bocor. Apabila jarum dan
spuit sekali pakai tidak tersedia dan perlu memasang kembali
penutup jarum, maka gunakan metode penutupan “satu tangan”
dengan cara:

Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan
kokoh, kemudian angkat tangan anda.

Kemudian dengan satu tangan memegang spuit,
gunakan jarum untuk menyekop tutup tersebut
dengan penutup di ujung jarum, putar spuit tegak
lurus sehingga jarum dan spuit mengarah ke atas.

Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup
ujung jarum sepenuhnya, peganglah spuit ke arah
atas dengan pangkal dekat pusat (dimana jarum itu
bersatu dengan spuit dengan satu tangan, dan
gunakan tangan lainnya untuk menyegel tutup itu
dengan baik).
d. Sterilisasi Alat
Dekontaminasi adalah langkah pertama dalam mensterilkan
instrumen bedah/tindakan, sarung tangan dan peralatan lainnya
yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan
tangan misalnya, merendam barang-barang yang terkontaminasi
dalam larutan klorin 0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia
dengan cepat dapat membunuh HBV dan HIV. Dengan demikian,
menjadikan instrumen lebih aman ditangani sewaktu pembersihan.
Setelah
instrumen
dan
barang-barang
lain
didekontaminasi,
kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat disterilisasi atau
didisinfeksi tingkat tinggi. Proses yang dipilih untuk pemrosesan
akhir bergantung pada apakah instrumen ini akan bersinggungan
15
dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang terkelupas atau
jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.
e. Isolasi pasien
Tempatkan pasien yang mengkontaminasi lingkungan atau yang
tidak dapat menjaga higiene lingkungan dalam ruangan tersendiri.
Bila fasilitas isolasi tidak memadai, berikut ini petunjuk pokok yang
bisa digunakan :
1) Untuk mengontrol kontak pernapasan :

Tempatkan pasien di ruang terpisah atau sejauh
mungkin dari pasien-pasien lain.

Pakailah masker atau kain penutup hidung dan mulut
bila berdekatan dengan pasien.

Instruksikan pada pasien untuk menutup mulut saat
batuk.
2) Untuk mengontrol kontak langsung :

Luka harus segera tertutup

Cucilah tangan dengan baik sebelum dan sesudah setiap
kontak dengan pasien

Buanglah pembalut, sputum dan cairan tubuh dengan
cara yang aman
3) Untuk mengontrol kontak tak langsung :

Jauhkanlah benda-benda yang berhubungan dengan
pasien isolasi dari pasien-pasien lain.

Cuci semua peralatan dan linen dengan baik

Cucilah tangan dengan baik sebelum dan sesudah setiap
kontak dengan pasien
4) Untuk mengontrol kontak melalui vektor :

Pakailah kelambu atau kawat nyamuk untuk kamar
pasien pada musim nyamuk.

Cegah adanya air tergenang di seluruh fasilitas medis
16
2.8
Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial
Upaya dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat vital.
Upaya – upaya yang dapat dilakukan dokter muda dalam mencegah infeksi
nosokomial adalah sebagai berikut :
a. Menerapkan kewaspadaan universal dalam semua tindakan.
b. Imunisasi dan menjaga kesehatan untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
c.
Profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan aseptik,
sterilisasi, dan desinfeksi dengan benar.
d. Manajemen setelah terpapar sumber infeksi.
17
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Pengertian dari infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang didapat
atau timbul pada waktu pasien dirawat di rumah sakit. Terjadinya infeksi
nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian bagi penderita, seperti
semakin lamanya perawatan, rasa sakit yang dirasakan lebih lama, dan
masalah biaya pengobatan.
Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial sangat
penting, mengingat dokter muda berinteraksi langsung setiap hari dengan
pasien saat melakukan pemeriksaan dan tindakan medis. Upaya yang dapat
dilakukan dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial adalah
menerapkan kewaspadaan universal dalam semua tindakan, yang meliputi
cuci tangan, penggunaan APD (Alat Perlindungan Diri), manajemen
keselamatan penggunaan jarum suntik, sterilisasi alat, dan isolasi pasien.
Selain itu, dokter muda juga sebaiknya melakukan imunisasi untuk
meningkatkan daya tahan tubuh, bekerja secara profesionalisme dalam
menerapkan prinsip septik dan aseptik, sterilisasi, dan desinfeksi, serta
manajemen setelah terpapar sumber infeksi.
Dengan upaya tersebut, diharapkan infeksi nosokomial dapat dicegah
dan peningkatan pelayanan kesehatan dapat tercapai sesuai tujuan mencapai
kesehatan yang optimal.
3.2
Saran
1. Perlu pembelajaran lebih lanjut mengenai infeksi nosokomial kepada dokter
muda sebelum memulai tugasnya di rumah sakit.
2. Perlu pelatihan tindakan septik, aseptik, sterilisasi, dan desinfeksi.
3. Penerapan kewaspadaan universal dalam semua tindakan medis.
4. Imunisasi bagi dokter muda sebelum memulai tugas di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
18
Babb, JR. Liffe, AJ. Pocket Reference to Hospital Acquired infection. Science
Press limited, Cleveland Street, London; 2000
Ducel, G. et al. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd
edition. World Health Organization. Department of Communicable
disease, Surveillance and Response; 2002
Light RW. 2001.Infectious disease, noscomial infection. Harrison’s Principle of
Internal Medicine 15 Edition.-CD Room; 2001
Parhusip,
2005,
Faktor-faktor
Yang
Mempengaruhi
Terjadinya
Infeksi
NosokomialSerta Pengendaliannya Di BHG. UPF. Paru RS. Dr.
Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK-USU Medan.
Soeroso dr. H Santoso, SpA (K), 2010, Kewaspadaan Universal Pencegahan
Infeksi Nosokomial, http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=16,
diakses tanggal 20 November 2015
WHO.
2003.
Health
Care
Worker
Safety.
http://www.who.int/injection_safety/toolbox/docs/en/AM_HCW_Safety.pd
f, diakses tanggal 22 November 2015
19
Download