BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas
atau tingkat yang berbeda – beda (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang. Dari pengalaman penelitian tertulis bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan yang ingin dicari oleh penulis adalah pengetahuan perawat tentang
pencegahan infeksi nosokomial. Dalam pendidikan keperawatan pengetahuan
tentang pencegahan infeksi nosokomial sudah pernah disampaikan sehingga
perawat seharusnya mampu untuk melakukan tindakan pencegahan infeksi
nosokomial (Notoatmodjo, 2010).
2. Tingkat Pengetahuan
Dari pengalaman dan penelitian, ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih baik dibandingkan perilaku yang tidak baik didasari oleh
pengetahuan karena didasari oleh kesadaran, rasa tertarik, dan adanya
pertimbangan dan sikap positif. Tingkatan pengetahuan terdiri atas 6 tingkatan
yaitu (Notoatmodjo, 2012):
7
21
22
8
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk didalamnya adalah mengingat kembali (Recall)
terhadap suatu yang khusus dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, “Tahu” merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah gunanya untuk mengukur bahwa orang tahu
yang dipelajari seperti : menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan,
menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menjelaskan materi tersebut
secara benar.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen – komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian – bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
22
23
9
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian – penilaian ini didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria – kriteria
yang telah ada.
3. Cara Memperoleh Pengetahuan
Dari berbagai cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : a.
Cara tradisional atau nonilmiah, dan b. Cara modern atau cara ilmiah, yakni
melalui proses penelitian (Notoatmodjo, 2010).
a. Cara Memperoleh Kebenaran Nonilmiah
Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau
metode penemuan secara sistematik dan logis adalah dengan cara non
ilmiah, tanpa melalui penelitian.
Cara – cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain meliputi
:
1) Cara Coba Salah (Trial and Error)
Cara ini menggunakan kemungkinann dalam memecahkan masalah,
dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil maka di coba
kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua masih salah
maka dicoba lagi dengan kemungkinan yang ketiga dan seterusnya
sampai masalah dapat dipecahkan. Itu sebabnya cara ini disebut
motode trial (coba) dan error (gagal atau salah) atau metode coba
salah atau coba – coba.
23
10
24
2) Secara Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja
oleh orang yang bersangkutan.
3) Cara Kekuasaan atau Otoritas
Pengetahuan diperoleh berdasarkan tradisi pada otoritas atau
kekuasaa, baik tradisi pemerintah otoritas pemimpin agama maupun
ahli – ahli pengetahuan. Pada prinsipnya bahwa orang lain menerima
pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas
tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenarannya baik berdasarkan
fakta empiris maupun penalaran sendiri.
4) Berdasarkan Pengalam Pribadi
Pengalaman merupakan guru yang terbaik, pepatah ini mengandung
maksud bahwa pengalaman ini merupakan sumber pengetahuan atau
pengalaman
itu
merupakan
suatu
cara
untuk
memperoleh
pengetahuan.
5) Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan manusia maka cara berpikir manusia
juga ikut berkembang. Manusia telah mampu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain
dalam memperoleh pengetahuannya manusia telah menggunakan
jalan pikirannya baik melalui induksi maupun deduksi.
b. Cara Ilmiah dalam Memperoleh Pengetahuan
Cara yang terbaru dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih
sitematis, logis, dan ilmiah. Cara yang seperti ini disebut dengan metode
penelitian ilmiah atau lebih populer dengan metodelogi penelitian.
24
25
11
4. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2012) tingkat pengetahuan setiap orang bervariasi karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
a. Umur
Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat
beberapa tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi
kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada
orang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari
pengalaman jiwa (Nursalam, 2001).
b. Pendidikan
Tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita – cita tertentu
(Sarwono, 1992). Pendidikan adalah salah satu usaha untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup (Notoatmodjo, 1993). Pendidikan mempengaruhi proses
belajar, menurut IB Marta (1997), makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah orang tersebut untuk menerima informasi.Pendidikan diklasifikasikan
menjadi : Pendidikan tinggi : akademi /PT, Pendidikan menengah :
SLTP/SLTA, Pendidikan dasar : SD.
Dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan cenderung untuk
mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media masa,
sebaliknya tingkat pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan
dan sikap seseorang terhadap nilai – nilai yang baru diperkenalkan
(Koentjaraningrat,
1997).
Ketidaktahuan
dapat
disebabkan
karena
pendidikan yang rendah, seseorang dengan tingkat pendidikan yang terlalu
rendah akan sulit menerima pesan, mencerna pesan, dan informasi yang
disampaikan (Effendi, 1998).
25
26
12
c. Pengalaman
Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experient is the best), pepatah
tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan,
atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu
kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat
dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan
dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam
memecahkan persoalan yang dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 2002).
Pengalaman akan menghasilkan pemahaman yang berbeda bagi tiap
individu, maka pengalaman mempunyai kaitan dengan pengetahuan.
Seseorang
yang
mempunyai
pengalaman
banyak
akan
menambah
pengetahuan (Cherin, 2009).
B. Infeksi Nosokomial
1. Pengertian Infeksi Nosokomial
Rumah sakit sebagai tempat pengobatan, juga merupakan sarana pelayanan
kesehatan yang dapat menjadi sumber infeksi dimana orang sakit dirawat.
Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan, dan juga
setiap orang yang datang ke rumah sakit. Infeksi yang ada di pusat pelayanan
kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang
sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi rumah sakit (Betty,
2012).
Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan,
dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi nosokomial.
Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. (Betty,
2012).Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata noso yang artinya
penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk
26
27
13
merawat/rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi
yang diperoleh atau terjadi di Rumah sakit (Darmadi, 2008).
Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit atau dalam sistem
pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran di sumber pelayanan
kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber
lainnya (Hidayat, 2008).
2. Sumber Infeksi Nosokomial
Menurut Hidayat (2008) beberapa sumber penyebab terjadinya infeksi
nosokomial adalah :
a. Pasien
Pasien merupakan unsur pertama yang dapat menyebarkan infeksi kepada
pasien lainnya, petugas kesehatan, pengunjung, atau benda dan alat
kesehatan lainnya.
b. Petugas kesehatan
Petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak langsung, yang
dapat menularkan berbagai kuman ke tempat lain.
c. Pengunjung
Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam
lingkungan rumah sakit, atau sebaliknya, yang didapat dari dalam rumah
sakit ke luar rumah sakit.
d. Sumber lain
Sumber lain yang dimaksud di sini adalah lingkungan rumah sakit yang
meliputi lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah sakit atau alat
yang ada di rumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau petugas
kesehatan kepada pasien, dan sebaliknya.
27
28
14
3. Penyebab Infeksi Nosokomial
Mikroorganisme penyebab infeksi dapat berupa : bakteri, virus, fungi dan
parasit, penyebab utamanya adalah bakteri dan virus. kadang – kadang jamur
dan jarang disebabkan oleh parasit. Peranannya dalam menyebabkan infeksi
nosokomial tergantung dari patogenesis atau virulensi dan jumlahnya (Razi,
2011).
4. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum faktor – faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial
terdiri dari dua bagian yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen
meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan tubuh dan kondisi –
kondisi tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat,
kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan (Parhusip, 2005).
Menurut WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial
adalah tindakan invasif dan pemasangan infus, ruangan terlalu penuh dan kurang
staf, penyalahgunaan antibiotik, prosedur strilisasi yang tidak tepat dan
ketidaktaatan terhadap peraturan pengendalian infeksi nosokomial khususnya
mencuci tangan.
Wenstein (1998), menyatakan bahwa meningkatnya kejadian infeksi nosokomial
dipengaruhi oleh 3 hal utama yaitu pemakaian antibiotik dan fasilitas perawatan
yang lama, beberapa staf rumah sakit gagal mengikuti program pengendalian
infeksi dasar seperti mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien dan kondisi
pasien rumah sakit yang semakin immunocompromised.
5. Cara Penularan Infeksi Nosokomial
Menurut Betty (2012) Cara penularan infeksi nosokomial yaitu:
a. Penularan secara kontak
28
29
15
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung,
dan droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber infeksi berhubungan
langsung dengan penjamu, misalnya person to person pada penularan infeksi
virus hepatitis A secara oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan
membutuhkan objek perantara ( biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena
benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminasi
peralatan medis oleh mikroorganisme.
b. Penularan melalui common vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman, dan
dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun jenisjenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intravena, obat –
obatan, dan sebagainya.
c. Penularan melalui udara, dan inhalasi
Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang
sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh,
dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat
dalam sel- sel kulit yang terlepas (staphylococcus), dan tuberculosis.
d. Penularan dengan perantara vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut
penularan secara eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara mekanis
dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vektor, misalnya
shigella,dan salmonella oleh lalat.Penularan secara internal apabila
mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vektor, dan dapat terjadi perubahan
secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak
mengalami perubahan biologis, misalnya yersenia pestis pada ginjal (flea).
29
1630
Skema 2.1
Rantai penularan infeksi nosokomial (Spritia, 2006 dalam Razi 2011)
Tempat Keluar
Penjamu yang
Rentan
Sumber
Penyebab
b
Cara Penularan
Kontak Langsung
Dan Tidak
Langsung
Tempat Masuk
Dari skema tersebut dijelaskan bahwa awal rantai penularan infeksi
nosokomial dimulai dari penyebab (di bagian tengah gambar) dimana
penyebabnya seperti jamur, bakteri, virus atau parasit menuju ke sumber
menuju ke tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan penularan
tertentu (baik itu kontak langsung maupun tidak langsung) melalui udara,
benda ataupun vektor masuk ke tempat tertentu (pasien lain). Di karenakan
di rumah sakit banyak pasien yang rentan terhadap infeksi maka dapat
tertular. Selanjutnya kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan
meneruskan rantai penularan lagi.
6. Pengendalian Infeksi Nosokomial
Dalam mengendalikan infeksi nosokomial di Rumah Sakit, ada tiga hal yang
perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial di rumah Sakit,
diantaranya ( Betty, 2012) :
a. Adanya sistem surveilan yang mantap. Surveilan suatu penyakit adalah
tindakan pengamatan yang sistemik, dan dilakukan terus menerus terhadap
penyakit tersebut yang terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan
untuk dapat melakukan pencegahan, dan pengendalian. Jadi tujuan dari
surveilan adalah untuk menurunlkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
Perlu ditegaskan di sini bahwa keberhasilan pengendalian infeksi
30
31
17
nosokomial bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada, tetapi
ditentukan oleh kesempurnaan perilaku secar benar. Dalam pelaksanaan
surveilan ini perawat sebagai petugas lapangan di garis paling depan
mempunyai peran yang sangat menentukan.
b. Adanya peraturan yang jelas, dan tegas serta dapat dilaksanakan dengan
tujuan untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi. Adanya peraturan yang
jelas, dan tegas serta dapat dilaksanakan merupakan hal yang snagat penting
adanya. Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan
setelah dimengerti semua petugas. Standar ini meliputi standar diagnosis
ataupun standar pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan, dan pengawasan
pelaksanaan peraturan ini peran perawat sangat besar sekali.
c. Adanya program pendidikan yang terus – menerus bagi semua petugas
rumah Sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam
merawat penderita.Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku
petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita.
Perubahan perilaku inilah yang memerlukan proses belajar, dan mengajar
yang terus menerus. Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan
pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juag aspek
epidemiologi dari infeksi nosokomial ini. Jadi jelaslah bahwa dalam seluruh
lini program peengendalian infeksi nosokomial perawat mempunyai peran
yang sangat menentukan.
7. Upaya – Upaya Yang Dilakukan Untuk Mencegah Terjadinya Infeksi
Nosokomial
Pada tahun ( 1995) centre of disease control and prevention menetapkan dua
bentuk pencegahan yaitu : a. tindakan pencegahan standart, didedasin untuk
semua perawatan pasien di rumah sakit tanpa memperhatikan diagnosis mereka
atau status infeksi sebelumnya. b. Tindakan pencegahan transmisi, yang dibagi
dalam kategori udara, droplet dan kontak dan digunakan pada pasien yang
31
32
18
diketahui atau dicurigai terinfeksi atau terkontaminasi patogen secara
epidemiologis dapat ditularkan melalui udara dan kontak. Tindakan pencegahan
standart diterapkan untuk darah, sekresi, dan ekskresi cairan tubuh tanpa
memperhatikan apakah mengandung darah yang terlihat dan membran mukosa.
Tindakan pencegahan berdasarkan transmisi yang dirancang untuk pasien yang
telah
didokumentasi
mengalami
atau
dicurigai
terinfeksi
yang
dapat
ditransmisikan melalui udara atau droplet, organisme yang penting secara
epidemiologis, termasuk isolasi penyakit menular ( Habni, 2009).
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi harus disesuaikan dengan
rantai terjadinya infeksi nosokomial sebagai berikut menurut Patricia (2005)
yaitu:
a. Kontrol atau eliminasi agen infeksius
Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi terhadap objek yang terkontaminasi
secara signifikan mengurangi dan seringkali memusnahkan mikroorganisme.
Pembersihan adalah membuang sampah material asing seperti kotoran dan
materi organik dari suatu objek. Desinfeksi menggambarkan proses yang
memusnahkan banyak atau semua mikroorganisme, dengan pengecualian
spora bakteri dari objek yang mati biasanyan menggunakan desinfeksi kimia
atau
pasteurisasi
basah.sterilisasi
adalah
pemusnahan
seluruh
mikroorganisme termasuk spora.
b. Kontrol atau eliminasi reservoir
Untuk mengeliminasi reservoir perawat harus membersihkan cairan tubuh,
drainase, atau larutan yang dapat merupakan tempat mikroorganisme.
Perawat juga membuang sampah dengan hati-hati alat yang terkontaminasi
material infeksius. Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk
membuang materi sampah infeksius menurut kebijakan lokal dan negara.
32
33
19
c. Kontrol terhadap portal keluar
Perawat mengikuti praktik pencegahan dan kontrol untuk meminimalkan
atau mencegah organisme yang keluar melalui saluran pernafasan. Perawat
harus selalu menghindari berbicara langsung menghadap pasien. Perawat
harus selalu menggunakan sarung tangan sekali pakai bila menangani
eksudat. Masker, gown jika terdapat kemungkinan adanya percikan dan
kontak cairan. Perawat yang demam ringan namun tetap bekerja harus
memakai masker, khusunya bila mengganti balutan atau melakukan prosedur
steril. Perawat bertanggung jawab mengajarkan klien untuk melindungi
orang lain pada saat bersin dan batuk. Cara lain mengontrol pengeluaran
mikroorganisme adalah penanganan yang hati-hati terhadap eksudat. Cairan
yang terkontaminasi dapat dengan mudah terpercik saat dibuang di toilet
atau bak sampah.
d. Pengendalian penularan
Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat harus tetap
waspada tentang jenis penularan dan cara mengontrolnya. Bersihkan dan
sterilkan semua peralatan yang reversibel. Tekinik yang paling penting
adalah mencuci tangan dengan aseptik. Untuk mencegah penularan
mikroorganisme melalui kontak tidak langsung, peralatan dan bahan yang
kotor harus dijaga supaya tidak bersentuhan dengan baju perawat. Tindakan
yang salah sering dilakukan adalah mengangkat linen yang kotor langsung
dengan tangan mengenai seragam.
e. Kontrol terhadap portal masuk
Dengan mempertahankan integritas kulit dan membran mukosa menurunkan
kemungkinan penjamu. Tenaga kesehatan harus berhati-hati terhadap resiko
jarum suntik. Perawat harus menjaga kesterilan alat dan tindakan invasif
klien, tenaga kesehatan beresiko mendapat infeksi dari tususkan jarum secara
tidak sengaja. Pada saat pembersihan luka perawat menyeka bagian dalam
dulu kemudian bagian luar.
33
34
20
f. Perlindungan terhadap penjamu yang rentan
Tindakan isolasi atau barrier termasuk penggunaan gown, sarung tangan,
kacamata dan masker serta alat pelindung lainnya untuk perawatan semua
klien, kewaspadaan berdasarkan penularan perlukaan untuk mengurangi
resiko infeksi untuk klien tanpa memandang jenis sistem isolasi, perawat
harus mengikuti prinsip dasar yaitu: harus mencuci tangan sebelum masuk
dan meninggalkan ruang isolasi, benada yang terkontaminasi harus dibuang
untuk mencegah penyebaran mikroorganisme, pengetahuan tentang proses
penyakit dan jenis penularan infeksi harus diaplikasikan pada saat
penggunaan barrier pelindung, semua orang yang kemungkinanterpapar
selama perpindahan klien diluar kamar isolasi harus dilindungi. Lingkungan
yang protektif yang digunakan untuk isolasi dapat memiliki tekanan udara
yang negatif untuk mencegah partikel infeksius mengalir keluar dari
ruangan. Ada juga kamar khusus dengan tekanan aliran positif dugunakan
pada pasien yang rentan seperti resepien transplantasi.
g. Perlindungan bagi perawat
Perlindungan barrier harus selalu tersedia bagi pekerja yang memasuki
kamar isolasi, penggunaan gown, sarung tangan, masker dan sepatu
pelindung. Perawat menggunakan sarung tangan bila beresiko terpapar
materi infeksius, khususnya sarung tangan di rekomendasikan saat perawat
ada goresan atau luka pada kulit, saat melakukan fungsi vena, karena
beresiko terkena tumpahan darah atau cairan tubuh lainnya atau cairan tubuh
lainnya pada tangan, dan bila mereka kurang pengalaman. Centre of disease
control and prevention (CDC) lebih lanjut hanya merekomendasikan bahwa
sarung tangan hanya digunakan sekali pakai.
8. Kewaspadaan Universal (universal precation)
Menurut Depkes (2003) dalam Rawati (2011), kewaspadaan universal
merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi disarana pelayanan
34
35
21
kesehatan. Penerapan kewaspadaan di dasarkan pada keyakinan bahwa darah
dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari
pasien maupun petugas kesehatan.
a. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
Mikroorganisme pada manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok :
yaitu flora residen dan flira transien. Flora residen adalah mikroorganisme
yang secara konsisten dapat diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah
dihilangkan dengan gesekan mekanis yang telah beradaptasi pada kehidupan
tangan manusia. Flora transient yang juga disebut flora transit atau flora
kontaminasi
jenisnya
tergantung
dari
lingkungan
tempat
kerja.
Mikroorganisme ini dengan mudah dapat dihilangkan dari permukaan
dengan gesekan mekanis dan pencucian dengan sabun atau deterjen oleh
karena itu cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang paling penting.
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukkan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan atau
alat pelindung lain untuk menghilangkan, mengurangi mikroorganisme yang
ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan
terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai
sarung tangan.
Menurut Depkes (2003), tiga cara mencuci tangan yang dilaksanakan
sesuaidengan kebutuhan, yaitu :
1) Cuci tangan higienik atau rutin mengurangi kotoran dan flora yang ada
ditangan dengan menggunakan sabun atau deterjen.
2) Cuci tangan aseptik- sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan
menggukan antiseptik.
3) Cuci tangan bedah (surgical handscrub) sebelum melakukkan tindakan
bedah cara aseptik – dengan antiseptik dan sikap steril.
35
36
22
b. Pemakaian alat pelindung
Alat pelindung tubuh digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir
petugas dari resiko pejanan darah, semua jenis cairan tubuh, secret, ekskreta,
kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien, jenis tindakan beresiko
mencakup tindakan rutin, tindakan berat ulang.Jenis – jenis alat pelindung :
1)Sarung tangan, 2)Pelindung wajah / masker / kaca mata, 3)Penutup kepala,
4)Gaun pelidung ( baju / celemek ), 5)Sepatu pelindung (study foot wear ).
Indikasi pemakaian alat pelindung yaitu saat tindakan semua alat pelindung
tubuh harus dipakai. Jenis pelindung tubuh yang dipakai tergantung pada
jenis tindakan atau kegiatan yang dikerjakan. Sebagai contoh, untuk tindakan
bedah minor, (misalnya vasektomi) sebaiknya pelindunng tubuh dipakai oleh
petugas untuk mengurangi kemungkinan terpajam darah / cairan tubuh
lainnya.
c. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
Pengelolaan alat – alat bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi
melalui alat kesehatan, atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi
steril dan siap pakai. Semua alat, bahan dan obat yang akan dimasukkan
kedalam jaringan dibawah kulit harus dalam keadaan steril.
d. Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti tertusuk jarum
suntik bekas pasien atau terpecik bahan infeksius maka perlu pengelolahan
yang cermat dan tepat serta efektif untuk mencegah semaksimal mungkin
terjadinya infeksi nosokomial yang tidak diinginkan. Yang terpenting disini
adalah segera mencucinya dengan sabun antiseptik, dan usahakan untuk
meminimalkan kuman yang masuk kedalam aliran darah dan menekan luka
hingga darah keluar. Bila darah mengenai mulut, ludahkan dan kumur –
kumur dengan air beberapa kali, bila mengenai mata cucilah mata dengan air
36
37
23
mengalir (irigasi) atau garam fisiologis atau bila percikan mengenai hidung
hembuskan keluar hidung, dan bersihkan dengan air.
e. Pengelolahan limbah dan sanitasi ruangan
Secara umum limbah dapat dibedakan menjadi limbah cair dan padat.
Limbah padat biasa juga disebut sampah, tidak semua sampah rumah sakit
berbahaya. Petugas yang mengenai sampah ada kemungkinan terinfeksi,
terutama sebagian besar disebabkan karena luka benda tajam yang
terkontaminasi.
C. Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Infeksi Nosokomial Dengan Perilaku
Pencegahan infeksi Nosokomial
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek
melalui
indera
yang
dimilikinya
(mata,
hidung,
telinga,
dan
sebagainya).Kemampuan perawat dalam mencegah transmisi infeksi di rumah sakit
dan upaya pencegahan adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan
bermutu. Perawat berperan dalam pencegahan infeksi nosokomial, hal ini
disebabkan perawat merupakan salah satu anggota tim kesehatan yang berhubungan
langsung dengan klien dan bahan infeksius di ruang rawat. Perawat juga
bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di rumah sakit melalui pencegahan
kecelakaan, cidera, trauma, dan melalui penyebaran infeksi nosokomial (Handayani,
1999 dalam Habni, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Mahardini,Fina (2009) dengan judul hubungan antara
tingkat pengetahuan perawat dengan perilaku pencegahan penularan dari klien
hiv/aids di ruang melati 1 RSUD dr.Moewardi Surakarta didapatkan hasil tingkat
pengetahuan perawat dengan perilaku pencegahan penularan menunjukkan bahwa
pada tigkat pengetahuan sedang dengan perilaku pencegahan penularan kurang
terdapat 1 orang responden (4,3%), pada tingkat pengetahuan sedang dengan
perilaku pencegahan penularan cukup terdapat 2 orang responden (8,7%), namun
tidak ada (0%) responden pada tingkat pengetahuan sedang dengan perilaku
37
38
24
pencegahan penularan baik. Sedangkan pada tingkat pengetahuan baik dengan
perilaku pencegahan penularan kurang terdapat 1 orang responden (4,3%), pada
tingkat pengetahuan baik dengan perilaku pencegahan penularan cukup terdapat 3
orang responden (13%), dan pada tingkat pengetahuan baik dengan perilaku
pencegahan penularan baik terdapat 16 orang responden (69,6%). p= 0,003 ,α= 0,05,
maka di simpulkan ada hubungan yang signifikan anatara tingkat pengetahuan
perawat dengan perilaku pencegahan penularan dari klien HIV/AIDS.
Menurut penelitian (Yulia, 2009) didapat hasil bahwa responden yang memiliki
pengetahuan tinggi adalah sebanyak 48 orang (56,5%) dengan pencegahan tinggi
berjumlah 33 orang (68,8%). Dari uji statistik didapat nilai P = 0,004 , P< 0,05 ,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan
pencegahan infeksi nosokomial.
Menurut penelitian Rawati (2011) tentang pengetahuan perawat terhadap infeksi
nosokomial di ruang Melati, Mawar, Vip, Dahlia, Melur dan Ruang Anggrek RSUD
Sidikalang. Penelitian ini dilakukan terhadap 56 responden yaitu perawat.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling. Dalam tabel hasil
analisa atau uji statistik yang telah dilakukan menunjukkan hasil uji statistik
diperoleh nilai p=0,002 maka dapat disimpulkan ada hubungan pengetahuan
perawat tentang infeksi nosokomial dengan tindakan pencegahan infeksi
nosokomial.
Menurut penelitian Razi (2011) tentang pengaruh faktor internal dan eksternal
perawat terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di ruang rawat bedah
RSUD kota Langsa menunjukkan bahwa 62,9% pengetahuan perawat mayoritas
berada pada kategori baik, selebihnya 37,1% perawat berada pada kategori tidak
baik. Hal ini menunjukkan pengetahuan perawat sangat penting diperhatikan dalam
upaya pencegahan infeksi nosokomial atau keadaan yang memungkinkan dan
berpotensi terhadap terjadinya infeksi nosokomial, karena infeksi nosokomial
38
39
25
merupakan jenis infeksi yang berasal dari lingkungan rumah sakit sebagai akibat
perilaku perawat atau tenaga medis yang berisiko seperti tidak menggunakan sarung
tangan yang steril, atau kondisi nlingkungan rumah sakit yang berisiko infeksi
nosokomial.
D. Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka konsep peneliti mengenai hubungan
pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial dengan pencegahan infeks
inosokomial di IGD dan ICU RSU Sari Mutiara Medan tahun 2014 sebagai berikut
:
Skema 2.2
Kerangka Konsep
Variabel independenVariabel dependen
Pengetahuan Perawat Tentang
Infeksi Nosokomial
Pencegahan Infeksi Nosokomial
E. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan signifikan pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial terhadap
pencegahan infeksi nosokomial di IGD dan ICU RSU Sari Mutiara Medan 2014.
39
Download