Biomarker Biomarker (ASTM) : adalah teknik penentuan biologis (dalam tubuh organisme)mengenai dampak, pemaparan dan kerentanan dari tekanan lingkungan, menggunakan teknik-teknik molekuler, genetik, biokimia, histologi dan fisiologi. Oleh karena itu biomarker umumnya adalah perubahan-perubahan sub-lethal. Biomarker harus dapat dikuantifikasi sehingga dapat direplikasi di laboratorium lain. Umumnya biomarker menggunakan teknik histopatologi cenderung untuk bersifat kualitatif, sedang teknik-teknik biokimia dan fisiologis cenderung untuk bersifat kuantitatif. Biomarker dikembangkan pada beberapa level organisasi biologis. Pada level-level biologis yang organisasi tinggi (anatomis atau fisiologis) dianggap sebagai perpaduan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada level-level organisasi yang lebih rendah (molekuler dan seluler). Salah satu tantangan terberat dalam penelitian biomarker adalah bagaimana memahami perubahan yang terjadi pada suatu tingkatan, untuk selanjutnya memahami cara memadukan perubahan-perubahan tersebut ke tingkatantingkatan berikutnya, yang lebih tinggi. Lalu mengapa menggunakan biomarker dalam penilaian dampak dan resiko lingkungan? Pada penilaian resiko lingkungan, beberapa indikator titik-pengamatan akhir (endpoints) klasik digunakan, misalnya: kematian atau induksi tumor, yang salah satunya sangat parah sedang lainnya sangat lambat untuk berkembang. Penggunaan kematian sebagai titik-akhir pengamatan digunakan untuk menetapkan tingkat aman dari suatu pemaparan yang tidak menyisakan variasi dan sensitifitas diantara individuindividu uji, baik dalam spesies maupun antar spesies. Hal ini ditunjukkan oleh kebiasaan kita untuk menggunakan estimasi konsentrasi aman berdasarkan pada beberapa konsentrasi aman atau konsentrasi pemaparan yang dapat diterima, atau dikenal sebagai ‘no-effect concentration’ atau ‘effective concentration’ untuk 10% populasi (EC-10), lalu memadukan seluruh ketidakpastian dan faktor-faktor penilaian ke dalam persamaan. PENGANTAR Definisi Ekotoksikologi Terminologi Ekotoksikologi berasal dari kata ‘ekologi’ dan ‘toksikologi’ yang pertama kali digunakan oleh Truhaut pada tahun 1969 (Walker et al., 1996), merupakan cabang dari toksikologi yang mempelajari dampak toksik dari bahan-bahan alami dan buatan pada makhluk hidup (seperti: ikan, alga, krustase), di daratan maupun di perairan, penyusun biosfir. Sedang definisi lain dari ekotoksikologi adalah studi tentang dampak berbahaya dari bahan-bahan kimia terhadap ekosistem (Rand and Petrocelli, 1985). Fokus ekotoksikologi terutama pada dampak toksik bahan kimia dan radiasi terhadap tingkatan biologis dari individu hingga komunitas (Wright and Welbourn, 2002). Ekotoksikologi berakar pada toksikologi klasik yang terfokus pada manusia, walaupun seringkali menggunakan spesies lain sebagai model atau pengganti manusia. Sedangkan ekotoksikologi lebih menekankan pada studi tentang distribusi bahan-bahan kimia di lingkungan, termasuk deposisi dan dampak yang ditimbulkannya. Sejatinya, ilmu ekotoksikologi dapat dijadikan sebagai sumber informasi baik kepada pihak legislatif maupun badan-badan pengawas terhadap kemungkinan-kemungkinan dampak buruk dari penggunaan bahan kimia terhadap individu organisme dan ekosistem (van der Oost et al., 2003). Perkembangan Toksikologi Perairan Kepedulian terhadap lingkungan bukanlah fenomena baru. Sejak tahun 500 SM, para legislator di Athena telah mengajukan produk hukum tentang pelarangan pembuangan sampah di tempat-tempat yang telah ditentukan di luar tembok kota, dan kerajaan Roma Kuno memiliki hukum yang melarang pembuangan sampah di sungai Tiber (Zakrzewski, 2002). Berikutnya pada tahun 1775 seorang dokter di London, Percival Pott, menghubungkan peningkatan tajam kasus kanker skrotum pada pembersih cerobong asap yang mengandung banyak debu batu bara (Zakrzewski, 2002). Kemudian pada tahun 1815, M.J.B. Orfila menerbitkan buku pertama tentang dampak berbahaya bahan kimia pada organisme (Rand and Petrocelli, 1985). Pada tahun 1920-an kajian sistematik tentang dampak dari bahan perasa makanan, obat-obatan dan pestisida pada hewan percobaan (Rand and Petrocelli, 1985). Akan tetapi, kebanyakan hasil dari studi-studi awal tentang toksikologi hanya terpusat pada deteksi dan penentuan bahan kimia contoh pada hewan tumbuhan, sangat sedikit perhatian yang diberikan pada dampak dari bahan-bahan kimia ini pada individu hewan atau pada ekosistem (Walker et al., 1996). Selama dan sesaat setelah Perang Dunia II, industri bahan kimia mulai secara cepat mengembangkan bahan-bahan kimia, termasuk pupuk, pestisida dan herbisida yang dengan sangat cepat pula digunakan secara global. Penggunaan bahan-bahan kimia tersebut berdampak positif pada beberapa aspek seperti peningkatan hasil pertanian, penurunan kasus kejadian malaria. Hal mendorong produksi bahan-bahan kimia seperti PCBs, OCPs, PAHs, PCDFs dan PCDDs, yang semakin menambah beban lingkungan terhadap bahan-bahan kimia organic asing ini (van der Oost et al., 2003). Sejalan dengan perkembangan waktu, masyarakat mulai menyadari dan peduli dengan dampak dari bahan-bahan kimia sintetis (seperti DDT dan PCBs), baik dari aspek penyebaran residunya maupun pada aspek dampak yang mulai terlihat pada ikan dan hewan-hewan lainnya di perairan (Rand and Petrocelli, 1985). Hal ini terlihat dari maraknya uji coba dalam toksikologi perairan yang menggunakan uji akut menggunakan bahanbahan kimia sintetik pada berbagai laboratorium (Rand and Petrocelli, 1985). Pencemaran Lingkungan Perairan Pemantauan pencemaran laut menjadi hal penting sejalan dengan semakin banyaknya bahan pencemar yang masuk ke lingkungan laut setiap tahun (Livingstone et al., 2000). Sedang kenyataan menunjukkan bahwa kondisi lingkungan laut tidak selamanya dapat didiagnosa hanya dengan melakukan analisis kimia air, karena tidak mampu untuk memberikan informasi tentang kesehatan organisme dan lingkungan tempat hidupnya. Selain itu, analisis kimia air juga dapat mengalami kegagalan dalam mendeteksi kehadiran bahan pencemar karena rendahnya konsentrasi yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi yang sangat lambat, namun bisa jadi memiliki dampak biologis yang signifikan. Oleh Walker et al. (1996), bahan pencemar (pollutant) didefinisikan sebagai suatu bahan kimia melampaui konsentrasi awalnya dan memiliki potensi menyebabkan bahaya (harm). Bahaya yang dimaksud disini termasuk perubahan-perubahan biokimiawi dan fisiologis yang dapat menghasilkan dampak buruk pada kemampuan organisme untuk beranak atau bertelur, tumbuh dan bertahan hidup. Sedangkan Rand and Petrocelli (1985) menggunakan istilah toxicant (bahan toksik) untuk menggambarkan suatu bahan kimia yang mampu menghasilkan suatu dampak buruk (adverse effect) dalam suatu sistem biologis melalui perusakan struktur dan fungsi atau menyebabkan kematian. Toxicant disini adalah bahan kimia asing (xenobiotics) yang dapat memasuki lingkungan perairan baik oleh unsur kesengajaan atau karena suatu kecelakaan yang menyebabkan terganggunya kualitas air dan membuatnya tidak layak untuk kehidupan periaran (Heath, 1995). Suatu senyawa kimia asing tidak mendapat tempat dalam suatu proses biokimia normal dari suatu organisme (Walker et al., 1996). Bahan pencemar (pollutant) berbeda dengan toxicant dalam konteks keluasan artinya, yaitu bahan pencemar dapat menyebabkan terjadinya perubahan faktor-faktor abiotik seperti pH, salinitas dan suhu dari sistem perairan yang terkena dampak pencemaran. Adapun terminologi kontaminan adalah mencakup semua senyawa atau bahan yang melampaui konsentrasi awalnya, baik berupa xenobiotics, bahan kimia yang terdapat secara alamiah maupun sengaja dimasukkan, yang tidak harus senantiasa menimbulkan bahaya bagi kemampuan organisme untuk tetap hidup. Kontaminan akan berubah menjadi bahan pencemar apabila kehadirannya dalam suatu lingkungan mampu merubah kondisi faktor-faktor biotik atau abiotik (atau keduanya) yang selanjutnya akan berdampak pada kemampuan biota perairan untuk tetap hidup di lingkungan tersebut. Baik bahan pencemar maupun toxicant adalah bahan kimia yang konsentrasinya jauh di atas konsentrasi yang umumnya terdapat di lingkungan. Kebanyakan dari bahan-bahan kimia toksik yang merupakan bahan pencemar potensial, seperti logam berat, dioksida sulfur, oksida nitrogen, methyl mercury dan PAHs, terdapat di alam sebelum keberadaan manusia di bumi ini. Namun akibat aktifitas manusia, maka terjadilah apa yang kita kenal sebagai pencemaran dan menurut sumbernya dibedakan atas ‘point sources’ (pembuangan yang dilakukan secara sengaja: limbah kota, limbah pabrik, dsbnya) dan ‘non-point sources’ (dari berbagai sumber yang sulit secara langsung diidentifikasi, misalnya: pembakaran bahan bakar minyak tidak sempurna pada kendaraan bermotor). Bahan pencemar juga dapat diklasifikasikan menurut cara aksi dan target lokasi (misalnya: ginjal, hati), dampak fisiologisnya (misal: kanker, mutasi, respon immun), jenis penggunaannya (misal: pestisida), bentuk fisik (misal: cairan, gas), potensi toksiknya (misal: rendah, tinggi atau ekstrim) atau dampaknya pada sumberdaya perairan (Rand and Petrocelli, 1985). Selanjutnya, bahan pencemar dikategorisasikan menurut bentuk kimianya (ion anorganik, bahan organik, senyawa organometalik, isotop radioaktif atau lainnya. Bahan organik yang membusuk, baik yang berasal dari limbah domestik dan limbah industri yang tidak atau belum terolah baik, kemudian dirombak oleh mikroba yang mengkonsumsi banyak DO selama proses dekomposisi. Konsumsi oksigen mikroba ini disebut kebutuhan oksigen biologis (BOD: biological oxygen demand). Bila tidak terjadi pengadukan yang cukup baik dalam perairan, maka peningkatan nilai BOD akan mengakibatkan peningkatan beban bahan organik yang berakhir pada kondisi dengan DO rendah/hypoxia (Heath, 1995). Hypoxia dapat memiliki dampak signifikan pada proses fisiologis pada ikan dan biota perairan lainnya, seperti semakin meningkatnya toksisitas suatu bahan kimia pada kondisi DO rendah. Penelitian Heath (1991) tentang pemaparan sublethal logam Cu selama seminggu meningkatkan respon stress ikan bluegill (Lepomis macrochirus) pada kondisi hypoxia. Kandungan nitrogen dan/atau posfor dalam limbah domestik, run-off pertanian dan deterjen, dapat berdampak toksik pada organisme perairan bahkan pada konsentrasi rendah karena kondisi eutrofikasi yang disebabkannya (Connel et al., 1999). Eutrofikasi menyebabkan perubahan harian yang sangat besar dalam DO perairan akibat fotosintesis pada siang hari dan respirasi pada malam hari. Respirasi fitoplankton dapat menyebabkan DO rendah hingga saat matahari terbit (Heath, 1995). Terhentinya eutrofikasi akibat habisnya nutrien bagi fitoplankton pada akhirnya akan menimbulkan nilai BOD yang tinggi. Kelompok utama dari bahan kimia toksik terhadap biota perairan adalah logam, chlorine, sianida, ammonia, deterjen, asam, pesitisida, PCBs, hidrokarbon minyak dan beberapa bahan kimia lainnya (Heath, 1995). Logam Logam adalah bahan alami yang telah ada sejak bumi terbentuk. Dalam banyak hal, logam menjadi bahan pencemar dimana aktifitas manusia memaparkan dan melepaskannya dari formasi batuan (melalui penambangan dan pelarutan) yang kemudian menempatkan logam-logam pada posisi yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan (Heath, 1995; Walker et al., 1996). Logam disini termasuk logam berat (misal: Cu, Zn, Hg), logam alkali tanah (misal: Ca, Mg), logam alkali (misal: Na, K), lantanida, aktinida (misal: Uranium) dan metalloida (misal: Si, As dan Se). Logam memasuki lingkungan perairan dari buangan berbagai jenis industri, limbah domestik, limbah ban bekas, bekas tambang, dsbnya (Heath, 1995; Swan River Trust, 1999). Pada kelompok logam dikenal istilah logam esensial (Ca, P, K, Mg, Na dan S) yang dibutuhkan dalam proses fisiologis organisme, dan juga dikenal ‘trace metals’ yaitu beberapa jenis logam yang dibutuhkan dalam konsentrasi rendah untuk fungsi normal proses-proses fisiologis hewan dan tumbuhan (termasuk: Cu, Zn, Fe, Mn, Co, Se, I). Sedang banyak jenis logam lainnya bersifat non-esensial (misal: Cd, Hg, Pb) yang bersifat sangat toksik pada konsentrasi tertentu, yang dapat menimbulkan dampak defisiensi karena berkompetisi dengan elemen-elemen penting pada bagian aktif molekul-molekul yang secara biologis penting (Walker et al., 1996). Bahan Kimia Anorganik Bahan-bahan kimia toksik non-metal termasuk: Klorin, Sianida, Boron, Ammonia, Nitrit, Nitrat dan Sulfida. Sifat-sifat kimia dan toksisitas bahan-bahan anorganik tersebut dapat bervariasi, tergantung pada spesies dan kondisi perairan (Rand and Petrocelli, 1985). Bentuk klorin yang sangat berbahaya bagi spesies perairan adalah HOCl atau OCl- yang terbentuk dari gas klorin yang digunakan sebagai bahan anti-fouling dalam industri pendinginan atau sebagai bahan disinfektan limbah cair. Kedua bahan ini, dengan kehadiran ammonia, akan dikonversi menjadi monochloramine (NH2Cl) yang merupakan bahan kimia stabil yang dapat bertahan dalam lingkungan perairan dalam waktu yang sangat lama. Radikal bebas sianida terdapat pada beberapa proses industri, termasuk pada industri-industri kain sintetis, plastik, penyulingan minyak, lempeng-lempeng elektronik, limbah pembangkit listrik dan pembakaran limbah padat (Eisler, 1991). Di lingkungan perairan CN- terserap ke dalam insang ikan dan secara cepat menyebabkan kondisi anoxia pada jaringan dan berdampak hypoksia sitotoksik (Eisler, 1991). Ammonia terdapat dalam limbah cair industri mengandung bahan organik yang kemudian mengalami dekomposisi. Bentuk ammonia yang tidak terionisasi bersifat sangat toksik pada ikan, namun tingkat toksisitasnya banyak bergantung pada pH dan suhu perairan. Peningkatan pH dan suhu air akan meningkatkan toksisitas ammonia, yang disebabkan oleh semakin meningkatnya konsentrasi ammonia yang tidak terionisasi (Heath, 1995). Sifat toksik tersebut juga disebabkan oleh peningkatan konsentrasi CO2 pada insang ikan saat pH dan suhu air meningkat, yang selanjutnya akan membentuk asam karbonat melalui katalisis CO2 oleh enzim anhidrase karbonat yang terdapat dalam mukus insang (Heath, 1995). Walaupun nitrat dan posfat tidak secara langsung bersifat toksik, namun dapat menyebabkan masalah dalam lingkungan perairan jika penggunaannya terlalu banyak. Beberapa jenis pupuk mengandung nitrat (NO2-) dan posfat (PO4-2) yang digunakan secara luas dalam kegiatan pertanian. Baik nitrat maupun posfat memasuki lingkungan perairan melalui proses run-off, nitrat juga dikeluarkan selama proses dekomposisi tumbuhan mati yang kemudian memasuki tanah lalu mencemari air bawah tanah yang pada akhirnya menemukan jalannya untuk memasuki perairan terbuka. Di perairan terbuka, NO2dan PO4-2 kemudian menyebabkan kondisi eutrofikasi yang memicu timbulnya blooming alga yang berlanjut pada kondisi anoxia, seperti telah dijelaskan sebelumnya (Walker et al., 1996). Deterjen sintetik, hingga dua dekade lalu, umumnya masih berbasis posfat dan beberapa diantaranya masih memiliki kandungan PO4-2yang sangat tinggi (Wright and Welbourn, 2002). Namun sejak 1965, terjadi perubahan dari alkyl benzene sulphonate (ABS) dari kandungan utama deterjen digantikan oleh linear alkylate sulphonates (LAS) yang jauh lebih mudah terdegradasi oleh proses-proses biologis di lingkungan perairan. Walaupun LAS bersifat lebih toksik terhadap ikan dibandingkan ABS, namun potensi toksiknya dapat secara cepat direduksi oleh degradasi yang juga terjadi secara cepat (Heath, 1995). Pestisida Pestisida merupakan bahan kimia dengan keragaman kelompok yang sangat tinggi, mulai dari bahan anorganik yang sangat sederhana hingga molekul organik kompleks (Rand and Petrocelli, 1985). Pestisida organik dapat dihasilkan dari tumbuhan (misalnya: Pyrethrins), senyawa sintetik derivatif bahan alami (misalnya: Fenvalerate) atau bahan kimia yang sepenuhnya sintetik (misalnya: Dieldrin) (Radhaiah and Rao, 1990; Walker et al., 1996). Seluruh pestisida (insektisida, herbisida, fungisida, pengawet kayu dan bahan anti-fouling) bersifat toksik terhadap beberapa bentuk kehidupan yang measuki lingkungan perairan dari berbagai jalur masuk. Umumnya, pestisida yang efektif didisain untuk selektif dengan dampaknya yang sangat toksik bagi organisme targetnya. Akan tetapi, hanya sedikit pestisida yang dapat dikategorikan benar-benar selektif terhadap targetnya, sehingga tidak sedikit organisme non-target juga terkena dampaknya. Toksisitas akut pestisida terhadap ikan dan biota perairan lainnya cenderung lebih besar pada golongan senyawa organoklorin dan pyrethroids dibandingkan dengan senyawa organoposfat. Untuk pembanding, herbisida memiliki toksisitas yang lebih rendah pada ikan, namun dampak sekundernya akan lebih besar saat diaplikasikan sebagai pengendali tumbuhan gulma perairan yang disebabkan oleh proses dekomposisi tumbuhan air yang menguras DO perairan dan sangat mematikan bagi ikan (Heath, 1995). Senyawa Organik Sintetis Masalah senyawa kimia organik mulai mengemuka sesaat setelah PD II (Rand and Petrocelli, 1985; Walker, 2001). Hal ini terutama ditunjukkan oleh bahan-bahan kimia sintetik seperti: PCBs (polychlorinated biphenyls), PBBs (polybrominated biphenyls), TCDD (2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-pdioxin) dan dioksin-dioksin terkait, furan, PAHs (polycyclic aromatic hydrocarbons), PFCs (perfluorchemicals), dan berbagai bahan pelarut (solvent) organik. PCBs dan PBBs adalah bahan kimia industri bersifat lipofilik yang sangat stabil baik secara kimia maupun biokimia, dan dapat mengalami proses biokonsentrasi dan bioakumulasi yang sangat kuat yang dapat secara cepat mencapai konsentrasi yang tinggi dalam jaringan tubuh organisme, terutama predator puncak. Karena konsekuensi ekologisnya yang sangat tinggi, bahan-bahan kimia tersebut dilarang secara total atau penggunaannya sangat dibatasi di banyak Negara (Walker, 2001). PCBs adalah kelompok dari sekitar 209 bahan/unsur penyusun (congeners) yang diproduksi oleh industry kimia. PCBs dengan 5 atau lebih kelompok klorin adalah yang terbanyak dan terluas diproduksi oleh fabrikan bahan kimia (Walker et al., 1996). PCBs umumnya digunakan dalam industri elektronika, penerus panas, sistem hydraulic, penyusun minyak pelumas, bahan pencampur cat dan tinta pada kertas cetak tanpa karbon (Walker, 2001). Pemaparan pada PCBs dapat berdampak pada perubahan proses biokimia, struktur sel, dan juga berdampak pada kapasitas reproduksi ikan dan hewan periaran lainnya (Niimi, 1990). PCBs menjadi penyebab penurunan populasi beberapa jenis burung pemakan ikan, mamalia laut di Laut Utara (Walker, 2001). Sedangkan PBBs, yang dibentuk dari proses brominasi biphenyl, mulai diperkenalkan pada awal 1970an sebagai bahan pemadam api, namun produksinya dihentikan pada tahun 1974 setelah ditemukannya dampak toksik yang sangat mematikan bagi hewan ternak. Konsentrasi PBBs yang sangat tinggi ditemukan pada burung Falcon, burung Camar herring, paus biru, singa laut, kerang dan beberapa jenis ikan di wilayah perairan Norwegia (Walker, 2001; Brown, 2003). PFCs adalah rantai atom-atom karbon yang terfluorinasi penuh yang panjangnya bervariasi, menghasilkan bahan kimia yang sangat tahan terhadap panas, bahan kimia, serta tahan terhadap air dan minyak (Brown, 2003). Karena sifat-sifat yang dimilikinya, PFCs banyak digunakan sebagai surfaktan, pengemulsi dan produk-produk komersial seperti pewarna atau penahan air karpet, tekstil, bahan interior mobil, penyamak kulit, bahan kemasan makanan, shampoo, pembersih gigi, roll film dan pelumas kendaraan, sejak tahun 1950-an. Sejak tahun 1980-an, hasil degradasi PFCs seperti PFOA (perfluorooctanoic acid) dan PFOS (Perfluorooctane sulfonate) telah menjadi bahan pencemar persisten di lautan yang banyak ditemukan pada paus, ikan tuna, ikan makaira, ikan salmon, 3 spesies lumba-lumba, burung laut Cormorant, singa laut, elang laut, penyu dan beruang es, terutama didominasi oleh PFOS (Brown, 2003). Hasil studi laboratorium menunjukkan bahwa PFOS mampu menembus otak melalui aliran darah, mengganggu produksi hormon serta bersifat karsinogenik (Austin et al., 2003). PAHs terdapat di lingkungan secara alami pada deposit-deposit minyak dan batu bara. PAHs juga memasuki lingkungan melalui aktifitas manusia (misalnya dari hasil pembakaran tidak sempurna bahan-bahan organik), dan beberapa kejadian alam seperti kebakaran hutan dan meledaknya gunung berapi. Molekul-molekul PAHs bersifat hidrofobik dan lipofilik yang berinteraksi kuat dengan karbon organik yang terdapat di sedimen, sangat jarang terlarut dalam air dan dengan daya uap rendah (Burgess et al., 2003). Hidrokarbon aromatik tersusun oleh karbon dan hidrogen dalam satu atau lebih cincin aromatik, yang memiliki konfigurasi ikatan ganda stabil. Kelompok PAHs, seperti Naphthalene, Anthracene dan Pyrene (Gambar…) memiliki 2 atau lebih ikatan ganda yang tergabung (Wright and Welbourne, 2002). Sumber antropogenik penting PAHs termasuk dari pembakaran batu bara, minyak bumi, gas alam dari berbagai jenis industri, dan dari penggunaan bahan-bahan tersebut dalam berbagai kegiatan industri pengoperasian mesin pabrik dan pembangkit listrik, kendaraan bermotor, dsbnya. Input PAHs di lingkungan perairan ditemukan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah estuarin dan pesisir dekat pusatpusat kota. Jalur masuk PAHs ke dalam wilayah perairan diketahui berasal dari 2 sumber utama: (1) aliran air mengandung unsur-unsur PAHs baik yang terlarut maupun partikel dari sumber-sumber point-sources dan non-point sources, dan (2) deposisi atmosfir baik dalam bentuk hujan maupun debudebu kering (Latimer and Zheng, 2003). Walaupun PAHs adalah merupakan bahan kimia yang bersifat tidak reaktif dari strukturnya yang tidak memiliki kelompok fungsional., mereka dapat dapat mengalami oksidasi baik di lingkungan alam atau secara biokimiawi. Adalah hasil atau produk-produk transformasi PAHs yang bersifat reaktif yang menentukan toksisitasnya, terutama pada cincin-cincin yang menerima oksigen yang akhirnya bersifat polar (Walker, 2001). Proses dekomposisi di udara akibat cahaya matahari, diantaranya, menghasilkan produk-produk oksidatif toksik seperti quinon dan endoperoksida. Gambar… Struktur PAHs penting yang merupakan bahan pencemar prioritas WHO (US.EPA, 2002). Tempat penumpukan jenis-jenis PAHs berukuran besar, dengan 4 - 6 cincin aromatik, dalam lingkungan perairan adalah pada sedimen (Latimer and Zheng, 2003). Hal ini secara jelas akan memberikan konsekuensi pemaparan PAHs terberat pada organisme bentik di wilayah-wilayah estuarin dan pesisir (den Besten et al., 2003). PAHs dapat mengalami biokonsentrasi dan/atau bioakumulasi oleh beberapa jenis avertebrata perairan yang terletak pada posisi rendah di rantai makanan yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan proses biotransformasi secara efektif. Sedangkan ikan dan beberapa jenis vertebrata perairan lainnya umumnya mampu melakukan transformasi dan eliminasi PAHs dari dalam tubuhnya. Oleh karena itu, bioakumulasi PAHs pada spesies-spesies yang berada pada posisi tinggi di rantai makanan memiliki kecenderungan menurun atau dapat dikatakan rendah (den Besten et al., 2003). Namun beberapa jenis ikan, burung dan mamalia laut yang memakan avertebrata dapat mengakumulasi PAHs dengan konsentrasi tinggi, dari kandungan bahan makanan yang dikonsumsinya. Meskipun mereka mampu untuk melakukan metabolism secara cepat dari kandungan PAHs dalam bahan makanannya, metabolisme oksidatif berpotensi untuk menghasilkan radikal bebas yang sangat merusak karena sifat-sifat mutagenik dan karsinogenik yang dimilikinya (Walker, 2001; Payne et al., 2003). PAHs dapat dikategorikan bersifat pyrogenik, petrogenik, diagenetik atau biogenik tergantung sumbernya (Neff, 1979). PAHs pyrogenik terbentuk dari pembakaran tidak sempurna dari bahan-bahan organik pada suhu tinggi dalam waktu singkat, yang membentuk interaksi kuat dengan partikel debu karbon yang penting bagi ketersediaan biologis dan pemilahan PAHs. Sedangkan PAHs petrogenik terbentuk pada suhu relatif rendah selama periode waktu geologis tertentu (misal: minyak mentah dan batu bara). PAHs petrogenik utamanya dalam bentuk molekul ter-alkilasi sebagai bentuk pencerminan dari jenis-jenis tanaman kuno pembentuknya. Sedangkan PAHs diagenetik berasal dari senyawa terpen tumbuhan yang pada kahirnya memnetuk senyawa-senyawa perylene, retene, phenantrene dan chrysene. Jenis-jenis PAHs ini banyak ditemukan pada sedimen saat ini dan sangat dominan pada sedimen sebelum adanya kegiatan industri. Adapun PAHs biogenik terbentuk oleh bakteri, jamur, tumbuhan dan hewan, yang terdapat pada lapisan sedimen paling bawah. PAHs pyrogenik dan petrogenik menjadi perhatian utama dalam kajian-kajian lingkungan. PAHs pyrogenik berasosiasi dengan partikel debu karbon bersifat lebih persisten dan terlindung dari proses degradasi lingkungan karena hampir tidak mengalami oksidasi fotokimia dan mampu melawan aktifitas degradasi mikroba. Sedang PAHs petrogenik nampaknya lebih mudah terdegradasi melalui proses perubahan biokimiawi. PAHs petrogenik berberat molekul rendah bisa dengan mudah terdegradasi oleh oleh mikroba, sementara PAHs berberat molekul tinggi dihilangkan dari kolom air melalui proses sedimentasi. Oleh karena itu PAHs petrogenik umumnya lebih tersedia dalam air bagi organisme karena sifatnya yang lebih larut dalam air (Neff, 1979; Burgess et al., 2003). Seluruh jenis bahan pencemar tersebut di atas dapat mempengaruhi sistem kehidupan pada beberapa tingkatan organisasi biologis yang berbeda. Dampaknya tergantung pada sifat-sifat kimia yang dimilikinya, lingkungan dimana mereka berada dan organisme yang mengabsorpsi bahan-bahan pencemar tersebut.