Utang Ekologis dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

advertisement
Utang Ekologis dalam Perspektif Hak Asasi Manusia1
Oleh: Adzkar Ahsinin2
Menyoal utang ekologis dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tidak
terlepas dari konteks perkembangan HAM yang selalu dinamis. Dinamika ini
dipengaruhi oleh faktor pola relasi hubungan internasional, peta dan tatanan
politik ekonomi internasional, dan situasi dan kondisi lingkungan hidup
kekinian. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat 5 (lima) norma-norma
internasional yang keberadaannya menyulut kontroversi karena bersinggungan
pada
titik-titik temu permasalahan-permasalahan HAM, pembangunan
ekonomi, dan perlindungan lingkungan hidup. Kelima norma tersebut adalah :
(1) Hak menentukan nasib sendiri
(self-determination); (2) kedaulatan
permanent atas kekayaan alam
(permanent sovereignty over natural
resources); (3) hak atas pembangunan (the right to development); (4) hak atas
lingkungan (the right to environment); dan (5) partisipasi (participation).3
Dalam titik ini, utang ekologis lebih menjadi persoalan komunitas internasional,
khusus negara-negara berkembang karena persoalan ini menyangkut locus di
mana manusia menjalani hidup dan kehidupannya yakni ruang lingkungan
hidup (environmental space).4
Namun ruang lingkungan hidup yang ada kini hanya dikuasai oleh negara-negara
maju yang tergabung dalam G 7 dan hanya menyisakan sedikit ruang lingkungan
hidup bagi 191 negara-negara berkembang. Negara maju melakukan over
eksploitasi terhadap bumi yang berdampak pada penduduk yang mempunyai
keterbatasan dalam mengakses pemanfaatan ruang lingkungan hidup.5 Kondisi
ini pada akhirnya mempengaruhi kemampuan bumi untuk menyediakan ruang
lingkungan hidup. Ruang lingkungan hidup semestinya dapat mencukupi
kebutuhan semua penghuni bumi apabila 2 (dua) prinsip ruang lingkungan
hidup terpenuhi. Konsep ruang lingkungan hidup itu terdiri atas 2 (dua) prinsip,
yakni :6
1. Bahwa
dunia hanya dapat berlanjut dengan
memperhitungan
keseluruhan tingkat polusi dan penggunaan sumber daya alam.
Tulisan ini menjadi bagian dari buku yang berjudul Utang Ekologis dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
terbitan E Law Indonesia, yang ditulis bersama dengan Arimbi Heroepoetri
2 Staf YPHA bergabung dengan PIELs (Public Interest for Environment Lawyers)
3 Greg Maggio dan Owen J. Lynch, Human Rights, Environment, and Economic Development: Existing and
Emerging Standards in International Law and Global Society, Center for International Environmental Law
, 1997
4 Asumsi dasar penghitungan ruang lingkungan hidup adalah : (i) Sumber daya alam terbaharukan hanya
dapat digunakan secara luas apabila tergantikan secara alami; (ii) Sumber daya alam tak terbaharukan
semestinya digunakan dengan siklus tertutup untuk meminimalkan limbah dan dampak kerusakan; dan
(iii) Keseluruhan jumlah polusi semestinya tidak lebih dari daya dukung biosfir. Lihat Martin Rocholl, From
Environmental Space to Ecological Debt– a European Perspective, makalah dalam Konferensi Globalisasi,
Utang Ekologis, Perubahan Iklim, dan Pembangunan Berkelanjutan, Benin 2001
5 Arimbi H.P., Berhitung dengan Utang Ekologis : Siapa yang Sebenarnya Berutang, Jakarta, ALIANSI,
debtWATCH Indonesia, GAPRI, dan JARI Indonesia, 2003, hal. 1
6 ibid
1
1
2. Bahwa setiap manusia di dunia semestinya memiliki hak yang sama untuk
menggunakan kekayaan sumber daya alam dunia.
Dengan kata lain, ruang lingkungan hidup adalah keseluruhan jumlah energi,
sumber daya alam yang tidak terbaharukan, tanah-tanah pertanian dan hutan di
mana setiap orang dapat menggunakan tanpa mengakibatkan kerusakan yang
tidak dapat diperbaharui bagi dunia. Berdasar konsepsi ini seberapa banyak
sumber daya alam secara aktual tersedia bagi setiap manusia di dunia dapat
dikalkulasi.7
Dalam pemanfaatan ruang lingkungan hidup prinsip-prinsip hukum
internasional mengenai lingkungan hidup, HAM, dan pembangunan ekonomi
semestinya menjadi pijakan bersama. Prinsip-prinsip tersebut meliputi : (1)
keadilan dalam suatu generasi dan antar generasi (inter- and intra-generational
equity); (2) tanggung jawab sama namun kewajiban berbeda (common but
differentiated responsibilities); (3) pembagian yang setara (equitable sharing);
(4) kedaulatan permanent negara atas hak menguasai sumber daya alam seiring
dengan kewajibannya untuk tidak menyebabkan kerusakan pada wilayah di luar
yurisdiksi negara (a state's right to permanent sovereignty over its natural
resources and concomitant duty not to cause harm to areas beyond its national
jurisdiction) ; dan (5) prinsip kehati-hatian (the precautionary principle).
Merujuk pada konsepsi di atas maka titik-titik pertautan antara lingkungan
hidup dan HAM paling tidak melingkupi 2 (dua) HAM yakni : pertama, hak
untuk menikmati sumber daya alam; dan kedua, hak untuk memperoleh
perlindungan atas dampak kerusakan lingkungan hidup. Kedua titik ini berujung
pada dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap lingkungan hidup dan
kehidupan setiap individu manusia.
Dalam perspektif hukum HAM
internasional permasalahan hak yang pertama dapat dikonstruksikan sebagai
hak menentukan nasib sendiri. Sedangkan hak yang kedua dikonstruksikan
sebagai hak atas lingkungan yang layak.
Konstruksi di atas jika ditilik dari sejarah dinamika perkembangan HAM, maka
kedua hak ini dikategorikan sebagai hak generasi ketiga atau hak solidaritas.
Burns Weston mengidentifikasi paling sedikit 6 (enam) kategori hak generasi
ketiga ini :
1. Hak atas penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi, politik, sosial, dan
kultural;
2. Hak atas pembangunan ekonomi dan sosial;
3. Hak untuk berpartisipasi dalam dan memperoleh manfaat dari warisan
bersama umat manusia (common heritage of mankind) serta informasi
dan kemajuan lain;
4. Hak atas perdamaian;
7
ibid
2
5. Hak atas lingkungan yang sehat;
6. Hak atas bantuan kemanusiaan.
Munculnya hak generasi ketiga atau hak solidaritas terkait dengan bangkitnya
nasionalisme Dunia Ketiga dan persepsi negara-negara berkembang bahwa
tatanan internasional yang ada cenderung melemahkan dan memarjinalkan
mereka. Hal itu juga dapat dipandang sebagai tuntutan negara-negara
berkembang untuk perlakuan yang adil dan membangun suatu sistem dan
tatanan dunia yang dapat memperlancar keadilan distributif.8 Perkembangan
tersebut menampakkan 2 (dua) ciri hak generasi ketiga yakni : (1) hak-hak ini
bersifat kolektif; dan (2) perwujudan hak-hak ini bergantung pada kerjasama
internasional.9
Dalam konteks globalisasi ekonomi, tuntutan pemenuhan hak generasi ketiga
mendapatkan justifikasi karena realitanya, globalisasi ekonomi setidaknya
melahirkan 3 (tiga) model :10
1. Globalisasi tidak terelakan lagi mengalihkan kekayaan dari kaum miskin
kepada kaum kaya dan meningkatkan ketidaksetaraan baik di dalam
maupun antar bangsa;11
2. Globalisasi menggeser kedaulatan suatu negara yang demokratis kepada
kesatuan yang tidak dipilih, tidak transparan, tidak bertanggung jawab,
yang justru menganggap demokrasi tidak relevan dan merupakan
rintangan bagi efisiensi ekonomi;12
3. Globalisasi menimbulkan jauh lebih besar kekalahan daripada
kemenangan, namun mereka yang paling bertanggung jawab atas
penyebarannya sama sekali tidak memiliki rencana bagi mereka yang
kalah.
Ketiga model globalisasi tidak satupun memberikan kemanfaatan, malahan
menghasilkan banyak pihak yang mengalami kekalahan. Susan George dalam
Scott Davidson, ibid, hal. 60
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia : Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional,
Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1994, hal. 61-62. Paul Sieghart mengidentifikasi sedikitnya 6 (enam)
rumpun hak-hak kolektif yang meliputi : (1) Hak penentuan nasib sendiri; (2) Hak atas perdamaian dan
keamanan internasional; (3) Hak untuk menggunakan kekayaan dan sumber daya alam; (4) Hak atas
pembangunan; (5) Hak kaum minoritas; dan (6) Hak atas lingkungan hidup. Lihat M. Ridha Saleh, Ecoside
: Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005, hal. 34
10 Susan George, Republik Pasar Bebas : Menjual Kekuasaan Negara, Demokrasi dan Civil Society kepada
Kapitalisme Global, Jakarta, Bina Rena Pariwara & INFID, 2002, hal.63
11 Indeks Pembangunan Manusia UNDP dan “champagne-glass graph” (grafik gelas sampanye)
menunjukkan bahwa lapisan puncak 20% kini merebut 86% dari semua kekayaan (dibandingkan dengan
70% tigapuluh tahun lalu) sementara lapisan bawah 20% kekayaannya berkurang menjadi hanya 1,3%.
Pada abad ke – 18, perbandingan Utara- Selatan adalah 2 banding 1. Tahun 1965 perbandingannya 30
banding 1, dan kini 80 banding 1 dan terus meningkat. Lihat Susan George , ibid, hal. 64
12 Kini aturan baru banyak lahir dari institusi-institusi global seperti IMF, World Bank, WTO yang
memaksakan negara untuk menjamin adanya kekuatan pasar yang bebas. MAI ( the multilateral Agreement
on Invesment) merupakan kasus yang merusak kedaulatan negara kepada korporasi transnasional serta
spekulator keuangan. Lihat George Susan, ibid, hal. 67
8
9
3
penjelasan butir ketiga, memasukkan lingkungan hidup sebagai pihak yang kalah
dalam percaturan globalisasi. Kekalahan lingkungan hidup ini dikarenakan :13
1. Negara-negara bersaing menurunkan standar buruh dan lingkungan
untuk mendapatkan investasi langsung dari luar negeri;
2. Mengeruk wilayah yang dianugerahi modal alam dan berpindah ketika
sumber daya telah terkuras dan meninggalkan kerusakan ekologis;
3. Secara sistematik meniadakan biaya untuk urusan lingkungan dan sosial.
Kekalahan lingkungan tersebut memunculkan beberapa macam utang. Pertama,
utang manusia kepada bumi atas sumber daya yang diberikan. Kedua, utang
manusia kepada bumi atas kerusakan bumi akibat pemanfaatan sumber daya.
Ketiga, utang manusia yang satu kepada manusia yang lain khususnya kepada
kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan termiskinkan.14 Lebih
jauh, paradigma globalisasi pada akhirnya, menurut Martin Khor mengakibatkan
krisis pembangunan berkelanjutan15. Indikasinya nampak pada kegagalan
negara-negara berkembang dalam merealisasikan komponen-komponen
pembangunan
berkelanjutan.
Adapun
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan itu meliputi : (1) alokasi sumber daya yang efisien dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar manusia; (2) alokasi sumber daya yang berkeadilan
berdasarkan kemanfaatan; (3) keberlanjutan secara ekologi; (4) keberlanjutan
secara sosial; (5) pertanggungjawaban institusi pemerintah; (6) memaknai
partisipasi publik; (7) memperkuat demokrasi lokal; (8) fokus pada pemenuhan
hak atas lingkungan; dan (9) keberlangsungan secara ekonomi.16
Pada akhirnya kondisi tersebut berdampak pada ketidakmampuan negara untuk
memantau krisis lingkungan yang terjadi di negaranya. 17 Faktanya krisis
lingkungan tersebut menurut Walden Bello, salah satunya dipicu akibat sebagian
besar dari 15 (lima belas) negara pengutang terbesar di dunia ketiga telah
melipat-tigakan eksplotasi hutan mereka sejak akhir tahun 1970-an. Hal
tersebut sangat terkait dengan kebutuhan untuk membayar utang melalui
Susan George, ibid, hal. 70-71
Arimbi H.P., op. cit, hal. 7
15 Martin Khor, Globalisasi dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas, 2002, hal. 5. Kelompok yang termarjinalkan dan termiskinkan dalam perspektif HAM disebut
sebagai kelompok rentan (vulnerable group). Kerentanan ini disebabkan karena struktur politik, ekonomi,
dan social yang berlaku ditataran masyarakat mendiskriminasikan kelompok ini dalam menikmati hak-hak
asasinya. Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Commitee on Economic, Social, and
Cultural Rights) yang mengidentifikasi kelompok rentan sebagai berikut : petani yang tidak memiliki tanah,
pekerja di desa, pengangguran di desa, pengangguran di kota, kaum miskin kota, anak-anak, usia lanjut, dan
masyarakat adat. Lihat Asbjorn Eide, Hak Atas Standar Hidup yang Layak Termasuk Hak Pangan dalam
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (ed.),
Jakarta, 2001, hal. 108. Lihat pulaRevised general guidelines regarding the form and contents of reports to
be submitted by states parties under articles 16 and 17 of the International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights :17/06/91. E/C.12/1991/1. Khususnya pembahasan hak untuk memperoleh pangan
yang layak (r ight to adequate food)
16 Center for International Environmental Law (CIEL), One Spescies, One Planet : Environmental Justice
and Sustainable Development, Washington DC, 2002, hal. 2
17 Martin Khor, Globalisasi dan Krisis Pembangunan Berkelanjutan, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat
Cerdas, 2002, hal. 5
13
14
4
perluasan ekspor berbagai sumber daya alam dan komoditas seperti kayu dan
bahan galian. Akibatnya basis-basis sumber daya alam di negara-negara tersebut
mengalami laju penipisan dan degradasi secara cepat. 18 Dalam titik ini, negaranegara maju semestinya bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang
terjadi di negara-negara berkembang. Prinsip ”common but differentiated
responsibility” yang menjadi basis kerjasama antarnegara sebagaimana tertera
dalam Deklarasi Rio De Jainero menjadi signifikan diterapkan dalam
memecahkan krisis lingkungan hidup global. Prinsip ini menyatakan bahwa
negara-negara maju secara historis hingga sampai saat ini bertanggung jawab
atas penjarahan lingkungan global sehingga secara proporsional memiliki
tanggung jawab yang lebih besar dalam memecahkan persoalan-persoalan
lingkungan.19
Prinsip ini sebangun dengan konsep utang ekologis yang sudah semestinya
dibebankan kepada negara-negara maju.
Utang ekologis merupakan utang
akumulatif negara-negara maju kepada negara-negara berkembang karena
perampasan sumber daya ala, timbulnya kerusakan lingkungan, dan pemakaian
lingkungan secara bebas untuk menimbun limbah berbahaya.20 Dalam titik ini
terdapat keterkaitan antara utang ekologis dengan pelanggaran hak menentukan
nasib sendiri dan hak tas lingkungan yang layak. Titik-titik persinggungannya
terdapat pada ukuran-ukuran yang dipergunakan untuk menghitung utang
ekologis, yakni :21 (i) defisit dalam jejak ekologi (eclological footprints);22 (ii)
utang biologis;23 dan utang karbon.24 Penghitungan utang ekologis yang
dilakukan oleh Acción Ecológica in Ecuador and Friends of the Earth
International
juga
merefleksikan
keterkaitan
yang
serupa.
Dasar
penghitungannya dilandasi dengan pertambahan utang ekologis yang semestinya
ditanggung oleh negara-negara maju karena telah melakukan kerusakan
lingkungan yang berdampak pada penduduk di suatu wilayah. Ukuran-ukuran
tersebut dikembangkan dari kasus-kasus lingkungan yang terjadi seperti : kasus
pisang di Costa Rika; kasus pembangun pembangkit listrik tenaga air Bujagali di
Martin Khor, ibid, hal. 62
Martin Khor, ibid, 12
20 Arimbi H.P., locit
21 Arimbi H.P. ibid, hal. 11
22 Penghitungan jejak ekologis didasarkan pada rata-rata per kapita konsumsi makan, hasil hutan, dan
bahan baker salam suatu wilayah tertentu. Jika jejak ekologis suatu negara lebih besar dibanding kapasitas
persediaan sumber daya alamnya, negara tersebut harus mengimpor kapasitas penyediaan sumber daya
alam dari tempat lain dan/atau menghabiskan kekayaan alamnya lebh cepat ketimbang kemampuan
memperbaiki dirinya. Secara global, 77% populasi dunia memiliki ekologis yang lebih kecil ketimbang ratarata dunia. Rata-rata jejak ekologis kelompok kreditor ekologis Cuma 1,02 hektar, sedangkan 23% populasi
dunia, yaitu kelompok debitor ekologis menduduki 67% jejak ekologis seluruh manusia. Lihat Arimbi H.P. ,
ibid
23 Menurut RAFI (The Rural Advancement Foundation Internasional) pencurian keanekaragaman hayati
dan khasanah pengetahuan tradisional milik masyarakat adat dan komunitas petani di negara-negara
berkembang apabila dihitung secara ekonomi menghasilkan sedikitnya 30 trilyun US $ setahun kepada
industri farmasi di negara-negara maju. Lihat Arimbi H.P, ibid, hal, 12-13
24 Tingginya emisi CO2 per kapita negara-negara maju yang jauh melampai rata-rata emisi negara-negara
berkembang menghasilkan utang karbon yang dapat dikonversikan ke dalam bentuk US $. Lihat Arimbi
H.P., ibid, hal. 15
18
19
5
Uganda; kasus modernisasi pertanian di India; kasus tambang di Canada Utara;
dan kasus gugatan Suku India terhadap Texaco Oil di Equador. 25
Berdasar kasus tersebut dikembangkan ukuran-ukuran utang ekologi yang
menjadi tanggung jawab negara-negara maju yang mencakup : (i) perampasan
sumber daya alam; (ii) kerusakan lingkungan hidup; (iii) perampasan paru-paru
dunia sebagai penyimpan udara; (iv) pembuangan limbah beracun; dan (v)
perampokan keanekaragaman hayati.
Titik taut antara utang ekologis dengan hak menentukan nasib sendiri dapat
ditilik dari dinamika sejarah dan perkembangan konsep hak menentukan nasib
sendiri dan implementasi hak ini dalam praktik-praktik hubungan internasional.
Pada awalnya,
konsep hak menentukan nasib sendiri, ditujukan untuk
membebaskan rakyat dari belenggu kolonial (persoalan dekolonisasi). Namun
penerapannya kemudian mengalami perluasan makna tidak hanya berlaku bagi
rakyat negara kolonial, tetapi juga rakyat yang ditindas oleh pemerintah
despotik, rakyat yang berada di bawah dominasi asing, dan rakyat multibangsa
yang haknya ditentukan oleh penguasa pusat.26 Dalam titik ini hak menentukan
nasib sendiri lebih berdimensi politik, yakni upaya untuk mendapatkan sebuah
pengakuan (recognition) terhadap eksistensi secara yuridis dan politis suatu
bangsa yang hak-haknya dilanggar karena penaklukan dan pendudukan.27
Dimensi ekonomi dari hak menentukan nasib sendiri terkait dengan
pemanfaatan sumber daya alam yang berada dalam teritori suatu bangsa.
Artinya, setiap bangsa harus secara bebas menguasa kekayaan alam dan sumber
dayanya.28 Kedua dimensi tersebut terefleksi dalam Pasal 1, pada 2 (dua)
kovenan hak asasi manusia utama, yakni Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) dan Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights/ICESCR). Rumusan hak menentukan nasib sendiri pada kedua
kovenan ini sama. Dimensi politik hak menentukan nasib sendiri terbaca pada
Pasal 1 (1) menyatakan bahwa ”semua bangsa mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara
bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan
ekonomi, sosial dan budaya mereka.” Kemudian Pasal 1 (2) menegasan dimensi
ekonomi hak menentukan nasib sendiri. Pasal tersebut menyebutkan bahwa
”semua bangsa, untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas
Judy Kelso, Credit Where it’s Due - The Ecological Debt Education Project, Friends of the Earth
Scotland, 2003, hal. 16-25
25
Antonio Cassese, Hak Menentukan Nasib Sendiri, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal
Kasim (editor), Jakarta, ELSAM, 2001, hal. 83-84
27 J.A. Walkate, Perjanjian Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Instrumen
Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Peter Baehr, et.al (Penyunting) Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,
2001, hal. 126
28 J.A. Walkate, ibid, hal. 127
26
6
mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi
kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional
berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional.”29
Membaca kesamaan rumusan Pasal 1 dari kedua kovenan di atas menunjukkan
bahwa pada prinsipnya, kedua jenis kategori hak ini tidak dapat dipisahkan,
karena berpijak pada salah satu hak dasar, yaitu hak untuk menentukan nasib
sendiri.30
Secara yuridis jaminan suatu negara atas kedaulatan sumber daya alam telah
diatur dalam instrumen hukum internasional. Ruang lingkup pengaturannya
tidak terbatas hanya pada penguasaan atas sumber daya alam semata, namun
meluas terbangunannya tatanan ekonomi internasional yang berkeadilan dan
berkesetaraan. Pasal 22 Deklarasi Universal HAM secara implisit menjamin hak
atas penentuan nasib sendiri karena pasal ini berkenaan dengan realisasi hakhak ekonomi, sosial, dan budaya melalui kerjasama internasional. Kemudian
Pasal 28 menambahkan bahwa setiap orang berhak atas suatu tatanan sistem
sosial internasional di mana hak-hak dan kebebasan yang tercantum dalam
seklrasi dapat dilaksanakan.31
Lebih lanjut, Resolusi MU PBB Nomor 1803 (XVII) tahun 1962 juga menyatakan
bahwa Kedaulatan Permanen terhadap Sumber Daya Alam, merupakan
konsekuensi logis dari hak menentukan nasib sendiri.
Perkembangan
selanjutnya, aspek ekonomi hak menentukan nasib sendiri diarahkan untuk
memperbaiki sistem dan tatanan hukum internasional dan ekonomi
internasional. Resolusi MU PBB tahun 1965 Nomor 2131 (XX) tentang
Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of
States and the Protection of Their Independence and Sovereignty mengutuk
berbagai jenis campur tangan yang merusak nilai-nilai kememerdekaan suatu
negara dibidang ekonomi. Resolusi MU PBB Nomor 2625 (XXV) tahun 1970
mengenai Declaration on Principles of International Law concerning Friendly
Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the
United Nations prinsip hak menentukan nasib sendiri ditingkatkan menjadi
salah satu dari enam kaidah fundamental yang mengatur hubungan
persahabatan antarnegara. Resolusi ini menegaskan bahwa setiap negara
mempunyai hak untuk bebas memilih sistem ekonomi maupun politiknya sendiri
tanpa campur tangan negara asing. Selain itu tidak diakuinya hak suatu negara
Persoalan yang muncul dalam pasal ini adalah siapakah yang dimaksud dengan masyarakat (peoples).
Peoples menurut Geoffrey Robertson QC adalah semua penghuni dari setiap warga negara yang ada dan ini
mengandaikan lebih sari sekedar hak penduduk setiap negara berdaulat untuk menentukan bentuk
pemerintahan yang mereka pilih tanpa campur tangan dari luar. Lihat Geoffrey Robertson QC, Kejahatan
terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta, Komnas HAM, 2000,
hal. 184
30 Emil Kleden, Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Masyarakat Adat, makalah dalam Seminar Sehari
“Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Melalui Kebijakan Pemerintah” diselenggarakan oleh
Komnas HAM, hotel Sheraton Media, Jakarta, 9 Desember 2005.
31 Philip Alston, Hukum Internasional dan Hak atas Pangan, dalam Hak Asasi Manusia dalam
Masyarakat di Dunia yang Berubah, , Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1994, hal. 139
29
7
untuk menggunakan atau mendorong penggunaan ukuran ekonomi atau politik
maupun jenis ukuran lain untuk memaksakan suatu negara lain dengan tujuan
mempengaruhi kedaulatannya. 32
Kecenderungan untuk merubah tatanan ekonomi kembali diperkuat oleh MU
PBB pada tahun 1974 dengan mengeluarkan 3 (tiga) dokumen penting, yaitu :33
1. Resolusi Nomor 3201 (S-VI) tentang Declaration on the Establishment of
the New International Economic Order yang menyebutkan bahwa tata
ekonomi baru tersebut harus dilandasi prinsip hak menentukan nasib
sendiri. Kemudian Resolusi 3202 (S-VI) tentang Programme of Action on
the Establishment of a New International Economic Order menjabarkan
dokumen pertama yang mencakup spectrum yang lebih luas dan meliputi
sektor yang beraneka ragam dalam kerja sama ekonomi internasional.
2. Resolusi Nomor 3281 tentang Charter of Economic Rights and Duties of
State yang menyebutkan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan dan
hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk memilih sistem ekonomi,
politik, social, dan kebudayaan sendiri sesuai dengan kehendak rakyat
tanpa campur tangan dari luar.
Kedua deklarasi ini menurut P. van Dijk ditunjang oleh prinsip Hukum
Internasional yang salah satu diantaranya adalah principle of freedom or
sovereignty of state, yang di dalamnya mencakup : (i) the principle of the selfdetermination; (b) the right of permanent sovereignty over natural resources;
(c) the right of territory integrity; (d) prohibition of intervention. Pendapat yang
sama dikemukakan oleh Perhimpunan Ahli Hukum Internasional dalam sidang
ke-62 yang menghasilkan 12 (dua belas) asas yang mendorong Tata Ekonomi
Internasional Baru, yakni : (1) berdasarkan ketentuan hukum internasional; (2)
pacta sunt servanda; (3) equity dan solidarity; (4) kewajiban untuk
menyelenggarakan kerja sama dalam pembangunan global; (5) kedaulatan
penuh atas sumber daya alam ; (6) asas hak untuk membangun; (7) partisipasi
yang sama diantara negara; (8) warisan bersama; (9) persamaan dan non
diskriminasi; (10) asas substantive; (11) akses yang sama dalam ilmu
pengetahuan; (12) penyelesaian sengketa secara damai.34
Lebih jauh Muhammed Bedjaoui, mengemukakan bahwa sasaran yang hendak
dicapai oleh Charter of Economic Rights and Duties of State ialah dekolonisasi
ekonomi. Piagam ini merupakan rangkaian upaya yuridis dalam rangka
pengembangan hukum internasional yang berdasar Resolusi MU PBB Nomor
2625 (XXV) yang mengatur dimensi ekonomi hak menentukan nasib sendiri.35
Piagam ini kembali mendapatkan kekuatan yuridis dengan dikeluarkannya
Resolusi MU PBB Nomor 41/128 tahun 1986 tentang Deklarasi Hak atas
Mohammed Bedjaoui, Menggugat Tata Ekonomi Baru, Jakarta, Gunung Agung, 1983, hal. 94 dan 168
Mohammed Bedjaoui, ibid
34 Jerzy Makarscy, The Principle of a New International Economic Order, Martinus Nijhoff, Publisher
Dordrecht, Bostonm London, 1990, hal, 122-123
35 Mohammed Bedjaoui, loc. cit
32
33
8
Pembangunan. Pemenuhan hak ini merupakan condition sine qua non bagi
perolehan HAM yang lain. 36 Terkait dengan hak atas pembangunan jauh
sebelumnya pada tahun 1969 MU PBB menetapkan Resolusi Nomor 2542
(XXIV) tentang Declaration on Social Progress and Development. Deklarasi ini
menyatakan bahwa untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan social yang
progresif semestinya dibangun atas dasar kondisi : (i) national independence
based on the right of peoples to self-determination; (ii) Permanent sovereignty
of each nation over its natural wealth and resources; (iii) the right and
responsibility of each State and, as far as they are concerned, each nation and
people to determine freely its own objectives of social development, to set its
own priorities and to decide in conformity with the principles of the Charter of
the United Nations the means and methods of their achievement without any
external interference.
Dalam perkembangannya, menurut Antonio Cassesse, prinsip hak menentukan
nasib sendiri mengandung pengertian eksternal dan internal. Penentuan nasib
sendiri bersifat ekternal terkandung pengertian hak kemerdekaan atau hak untuk
menentukan nasib sendiri dan bebas dari hegemoni negara lain. Sedangkan
penentuan nasib sendiri bersifat internal dalam arti hak untuk menegakkan
pemerintahan sendiri secara otentik terbebas dari rezim yang totalitarian.37
Lebih jauh, rumusan Pasal 1 Kovenan di atas bermaksud menyampaikan 2 (dua)
gagasan: pertama, pilihan atas lembaga dan penguasa politik dalam negeri harus
bebas dari campur tangan pihak luar; kedua, pilihan tersebut hendaknya tidak
dikondisikan, dimanipulasi, atau dirusak oleh penguasa mereka sendiri. 38
Dalam konteks globalisasi pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri secara
eksternal masih relevan untuk diperjuangkan oleh negara-negara berkembang
untuk menuntut 2 (dua) hal, yakni : pertama, kedaulatan untuk menentukan
sistem ekonomi; dan kedua, kedaulatan untuk mengelola sumber daya alam,
tanpa intervensi dari negara lain. Tuntutan ini semestinya menjadi wahana
penggerak dan symbol perlawanan bagi negara-negara berkembang sebagai
upaya merestrukrurisasi, meredefinisi, dan mendekonstruksi sistem dan tatanan
globalisasi ekonomi yang diskenario dan didesain oleh negara-negara maju yang
nyata-nyata telah menafikan hak menentukan nasib sendiri. Karena hak
menentukan nasib sendiri merupakan payung bagi terwujudnya hak-hak sipil,
politik, ekonomi, social, dan budaya. Artinya pelanggaran terhadap hak
menentukan nasib sendiri berarti juga melanggar hak-hak sipil, politik, ekonomi,
social, dan budaya setiap orang yang mendiami suatu negara. Upaya negaranegara maju melalui skenario utang finansial, penerapan program penyesuaian
struktural, dan investasi asing jelas melanggar hak negara untuk menentukan
nasib sendiri. Skenario tersebut merupakan cara-cara untuk memaksakan
tatanan ekonomi neoliberal untuk diadopsi dan diimplementasikan ke dalam
kebijakan publik. Apabila ditelisik lebih jauh globalisasi ekonomi sebagai
J.A. Walkate, op. cit, hal. 264
Antonio Cassese, ibid, hal. 87
38 Antonio Cassese, ibid
36
37
9
fenomena mondial memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi
ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua,
dimensi politik dan negara (political and state globalization).39
Kedua dimensi direalisasikan melalui program-program 3 (tiga) mesin
globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International
Financial Institutions/IFI’s),40 kedua Organisasi Perdangangan Dunia (World
Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational
Corporation/MNC atau Transnational Corporation/TNC).41
Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin
memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumbersumber di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan
dunia.42 Melalui lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan
negara mana yang dapat menikmati kucuran uang.
Kemudian dengan
meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan
deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.43 Padahal skenario tersebut bertujuan
untuk menerapkan 3 (tiga) kebebasan fundamental dari neo-liberalisme :44
M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta,
Walhi, 2005, hal. 50
40 Lembaga Keuangan Internasional yakni : Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank
Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Afrika (AfDB), Bank Pembangunan Eropa (EBRD), Bank
Pembangunan antar Amerika (IADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB).
41 Selain melalui institusi-institusi tersebut, negara-negara maju dengan menciptakan lembaga keuangan
untuk mendukung investasi mereka di luar negeri. Lembaga ini umumnya disebut sebagai Lembga Kredit
Ekspor (Export Credit Agencies/ECA) seperti JBIC (Jepang), Exim Bank (AS), EDC (Kanada), Hermes
Jerman). Kemudian mereka juga menciptakan lembaga penjamin yang ditujukan untuk menjamin investasi
atas aset-aset negara tersebut di luar negeri, misalnya OPIC (AS). Lihat Konspirasi Global : Kejahatan yang
Terorganisir dalam Aflina Mustafainah, et. al. Manual Pendidikan Dasar Globalisasi, Jakarta, debtWATCH
Indonesia, JK-LPK, dan Community Development Bethesda, 2004, hal. 14
42 Salah satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI)/Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan
instrumen hukum internasional untuk melindungi kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk
hidup yang salah satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk hidup,
seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan atau menjual jenis atau
varietas yang telah dipatenkan. Bila orang lain ingin memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang
sama mereka harus membayar pada pemilik paten. Implikasinya para petani dan masyarakat adat tidak
dapat lagi menjalankan aktivitas seperti menyimpan benih, mempertukarkan, menanam, dan menjual
tanpa seijin pemilik paten. Lihat Posisi Koalisi Ornop terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard
Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan
Analisis,Kupang, Yayasan PIKUL, 2001. hal. 38
43 Aflina Mustafainah et. al, loc. cit. Kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga keuangan multilateral
selalu mengarah kepada privatisasi (yang selalu didahului oleh restrukturisasi) dan liberalisasi lewat mesin
mereka : pinjaman (loan). Setiap pinjaman yang diberikan kepada negara-negara debitor selalu disertai
syarat-syarat (conditionalities) yang lebih dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural (Structural
Adjusment Program/SAP). Fungsi utama SAP adalah untuk meromabk sistem lama disuatu negara agar
sesuai dengan mekanisme pasar bebas murni yang diusung oleh aliran neoliberalisme. Lihat Arimbi
Heroepoetri dalam Fabby Tumiwa, Listrik yang Menyengat Rakyat : Menggugat Peranan Bank-Bank
Pembangunan Multilarel, Jakarta, WGPSR, 2002, hal. Xii. Berdasarkan kesepakatan dengan IMF,
Indonesia akan membuka keran impor beras dengan bea masuk 0% pada bulan Agustus 2002. Artinya
beras dari luar akan membanjiri pasar eras di Indonesia dengan harga murah. Harga beras di pasar dunia
pada tahun 2000 berkisar 1500 rupaiah sementara harga beras lokal berkisar antara 2000 hingga 3000
rupiah perkila gram. Lihat Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, ibid. hal 34
44 Susan George, op. cit, hal. 21
39
10
1. Kebebasan sirkulasi modal;
2. Kebebasan perdagangan atas barang dan jasa;
3. Kebebasan investasi.
Dampak dari penerapan skenario tersebut mereduksi kekuasaan negara atas
pengelolaan sumber daya alamnya. Proses reduksi kekuasaan tersebut nampak
dari kegagalan pemerintah untuk mengambil tindakan politis yakni : (i)
membatasi pasar pada tempat yang tepat; dan (2) memperkuat kembali peran
esensial atas barang public dan negara demokratis.45
Kondisi di atas jika dilihat dari relasi kepentingan antara 3 (tiga) pelaku yakni
negara, pasar, dan masyarakat sipil (civil society), dalam tatanan ekonomi politik
saat ini, maka dapat dipastikan masyarakat sipil menjadi korbannya. Dalam
situasi dan kondisi demikian, masyarakat sipil yang tuna kuasa (powerless)
harus berhadapan vis a vis dengan 2 (dua) pihak yang berpotensi melakukan
pelaku pelanggaran HAM yakni ; pertama negara; dan kedua, pemilik modal.
Namun realitanya, kecenderungannya yang terjadi pasar melalui kekuatan
modalnya malah memanfaatkan otoritas yang dimiliki negara untuk menetapkan
kebijakan publik yang menguntungkan kepentingannya dan sekaligus mereduksi
otoritas negara dalam mengurusi sektor-sektor kesejahteraan.
Dalam konteks Indonesia, tanda-tanda hal ini sudah semakin jelas dengan
adanya (1) tekanan internasional untuk menciptakan suatu tata pemerintah baru
yang disebut dengan good governence dan memperkecil peran negara – dengan
tekanan penurun subsidi dalam segala bidang, serta penghapusan kegiatan
negara yang berorientasi social; (2) derasnya TNC untuk berinvestasi dilapangan
agraria, baik pada sektor pertanian, pertambangan, perkebunan, dan kehutanan;
(3) dirancangnya dan kemudian dijalankannya program-program pemerintah
dengan utang (debt related programs) yang secara langsung maupun tidak
langsung menyediakan fasilitas yang subur untuk melayani kepentingan investasi
dalam negeri maupun laur negeri; dan (4) ikatan-ikatan perjanjian internasional
yang memaksa pemerintah menghilangkan arus transaksi pasar.46
Dalam perspektif pelanggaran HAM, maka potensi pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh kedua pihak tersebut tampak dalam tabel berikut :47
Tabel 1 : Tiga pelaku dan tiga peranan dalam HAM
Negara
Modal
Masyarakat Sipil
Pelaku
Ya
Ya
Bukan
Korban
Bukan
Ya
Ya
Pemberdaya
Ya
Bukan
Ya
Susan George, ibid, hal. 3
Ichsan Malik, et.al, Buku Sumber, Menyeimbangkan Kekuatan : Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik
atas Sumber Daya Alam, Jakarta, Yayasan Kemala, 2003, hal.46
47 Hari Wibowo, Kampanye Hak Asasi Manusia, dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia : Perspektif dan
Aksi, E. Shobirin Nadj, Naning Mardiniah (Editor), Jakarta, CESDA LP3ES, 2000, hal.245
45
46
11
Dalam konteks perolehan dan penikmatan hak atas lingkungan yang layak,
dampak operasionalisasi TNC dalam mengeksploitasi sumber daya alam
menempatkan korporasi sebagai pelaku pelanggaran HAM (non state actor),
disamping negara (state actor). Setidaknya ada 3 (tiga) jenis perusak lingkungan
yang hadir di dunia dan mengancam keselamatan dan kesejahteraan masyarakat
lokal di negara-negara berkembang: pertama, adalah industri pertanian global;
kedua, industri pertambangan; dan ketiga, adalah industri kehutanan.48 Karena
potensi pelanggaran HAM begitu besar, Matthew Lippman mengetengahkan 4
(empat) factor bagi masuknya korporasi global sebagai actor yang berkewajiban
menjamin dan melindungi HAM yang tertuang dalam berbagai konvensi HAM.
Keempat argument tersebut meliputi : (i) kekuasaan ekonomi perusahaan multi
nasional; (ii) sifat internasional dari perusahaan multinasional; (iii) dampak
operasi perusahaan multi nasional; dan (iv) terbatasnya kemampuan negaranegara berkembang dalam mengatur tingkah laku perusahaan multinasional. 49
Ketidakmampuan negara untuk mengatur TNC dalam ajaran HAM dapat
melalui, pertama, act of commission, yaitu tindakan-tindakannya nyata-nyata
bertentangan dengan HAM rakyatnya. Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004
yang memberikan izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk meneruskan
kegiatan penambangan secara terbuka (open-pit mining) di hutan lindung,
merupakan bentuk pelanggaran HAM melalui act of commission. Pembiaran
negara atas penebangan ilegal, terjadinya pencemaran lingkungan di Teluk Buyat
oleh PT Newmont Minahasa Raya, rusaknya lingkungan di wilayah Timika oleh
PT Freeport merupakan bentuk pelanggaran HAM melalui act of ommission.50
Dalam titik ini pula negara berati telah melanggar hak menentukan nasib sendiri
secara internal karena negara dalam pemanfaatan sumber daya alam merugikan
kepentingan publik.51
Kemudian, terdapat satu dokumen penting yang dikeluarkan Komisi HAM
(CHR) Sub Komisi Promosi dan Perlindungan HAM PBB. Dokumen ini berjudul
“Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business
enterprises with regard to human rights”. Membaca dokumen CHR ini, maka
‘corporate crime’ secara sederhana, dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan
(crime) yang dilakukan korporasi (badan usaha) mencakup antara lain kejahatan
HAM.52 Dalam hal ini, norma tentang Tanggungjawab korporasi global menjadi
penting karena 2 (dua) alasan pokok: pertama, untuk menegaskan prinsipprinsip hukum internasional (international legal principle) yang dapat
diterapkan pada sektor bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi
hukum hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup,
Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op.cit, hal. 33
ibid
50 Ichsan Malik, et. al, op. cit, hal. 48
51 Antonio Cassese, op. cit, hal. 105
52
A. Patra M. Zen, Kejahatan Korporasi dan Norma tentang Akuntabilitas Korporasi, dalam Tak Ada
Hak Asasi yang Diberi, Jakarta, YLBHI, 2005 hal. 89 – 90
48
49
12
konsumen, dan hukum anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memberikan norma
sekaligus alat analisis untuk menilai apakah sebuah korporasi melanggar HAM. 53
Dengan demikian, untuk mengukur sampai sejauh mana TNC melakukan
pelanggaran HAM maka dapat menggunakan instrumen hukum HAM
internasional.
Oleh karena hak atas lingkungan tidak secara spesifik
dirumuskan secara hukum dalam instrument internasional HAM, maka
keberadaan hak atas lingkungan dihadirkan dengan membuat penafsiran yang
luas terhadap isi dari hak atas hidup (right to life) dengan merujuk pada survey
R.G. Ramcharan. Berdasarkan survey tersebut keterkaitan antara hak atas hidup
dengan hak atas lingkungan sebagai berikut: (i) there is a strict duty upon
States, as well as upon the international community as a whole, to take effective
measures to prevent and safeguard of human being; (ii) every states, as well as
the UN, should establish and operate adequate monitoring and early-warning
system to detect hazard or threats before actually occur; (iii) the right to life, as
an imperative norm, takes priority above economic considerations and should,
in all circumstances, be accorded priority; (iv) States and other responsible
entities (corporations or individuals) may be criminally or civilly responsible
under international law for causing serious environmental hazard posing grave
risks to life.54
Kemudian Prinsip 1 Deklarasi Stockholm juga menyatakan hak serupa. Prinsip
tersebut berdiri atas dasar keterkaitan antara HAM dengan perlindungan
lingkungan, pendeklarasian bahwa setiap manusia memiliki hak atas kebebasan,
persamaan dan kehidupan yang layak, kualitas lingkungan yang menjamin hidup
yang bermatabat sesuai dengan kemanusiaannya. Prinsip ini juga ditegakkan
atas dasar responsibilitas setiap orang untuk melindungi dan memanfaatkan
lingkungan untuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Lebih jauh,
prinsip ini diimplementasikan melalui langkah-langkah prosedur yang luas
untuk melindungi lingkungan dan pemenuhan HAM yang terformulasikan dalam
Konferensi Rio de Janeiro. 55
Sebuah langkah tindak lanjut dari norma yang ditelurkan oleh Komisi HAM PBB, Sekjen PBB Kofi Anan
mengeluarkan Global Compact pada Forum Ekonomi Dunia pada 31 Januari 1999. Saat itu, Anan meminta
para pemilik korporasi untuk bergabung dengan badan-badan PBB, organisasi/serikat buruh, dan organisasi
masyarakat sipil lain bekerjasama dan melakukan aksi-aksi menjawab tantangan global, termasuk
menjawab problem-problem yang ditimbulkan ekonomi global. Secara singkat, merujuk pada dokumen
Global Compact, penilaian HAM atas kinerja korporasi meliputi 9 isu, sebagai berikut: (1) dukungan dan
penghormatan HAM yang diterima secara internasional (internationally proclaimed human rights)
berdasarkan pengaruh yang dimilikinya; (2) aktivitas yang dilakukan dipastikan tidak melanggar dan
menyebabkan timbulnya kejahatan HAM (human rights abuses); (3) mewujudkan kebebasan berserikat dan
pengakuan terhadap hak atas posisi tawar kolektif buruh (the right to collective bargaining); (4) turut serta
menghapus segala bentuk perbudakkan dan pemaksaan kerja (forced and compulsory labor); (5)
berpartisipasi menghapus buruh anak; (6) menghapus praktek-praktek diskriminasi dalam pekerjaan dan
lapangan kerja; (7) mendukung pendekatan pencegahan kerusakan lingkungan; (8) mengambil inisiatif
mempromosikan tanggungjawab lingkungan yang lebih besar; (9) mendorong pengmbangan dan difusi
tekonologi yang ramah lingkungan. Lihat A. Patra M. Zen, Kejahatan Korporasi dan Norma tentang
Akuntabilitas Korporasi, dalam Tak Ada Hak Asasi yang Diberi, Jakarta, YLBHI, 2005
54 Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi Internasional, SUAR,
Volume 5 No. 10 & 11 Tahun 2004, hal. 24
55 Dinah Shelton, Human Rights and Environment Issues in Multilateral Treaties Adopted between 1991
and 2001, BACKGROUND PAPER No. 1, Joint UNEP-OHCHR Expert Seminar on Human Rights and the
53
13
Dengan merujuk konsep di atas, perlu sekiranya menilik instrument-instrument
hukum internasional yang secara substansi memberikan jaminan perlindungan
dan pemenuhan HAM. Adapun instrumen hukum internasional yang
berperspektif lingkungan antara lain sebagai berikut :56
1. General Comment U.N. Human Rights Committee
Nomor 14
mengenai Nuclear weapons and the right to life (Art. 6 ICCPR)
2. International Covenant on Economis, Social, and Cultural Rights yang
mengatur hak atas hak atas standar lingkungan yang layak, tindakan
yang diambil untuk mencegah degradasi sumber daya alam, khususnya
erosi, dan mengenai tindakn pencegahan terkontaminasinya pangan
(Pasal 11)57
3. General Comment U.N. Committee on Economic, Social and Cultural
Rights Nomor 12 mengenai the Right to Adequate Food. Komentar ini
sebagai interpretasi hukum Komisi atas Pasal 11 ICESCR yakni setiap
negara semestinya mengadopsi keamanan pangan dan tindakan
proteksi lain untuk melindungi terkontaminasinya pangan melalui
jaminan atas kesehatan lingkungan
4. General Comment U.N. Committee on Economic, Social and Cultural
Rights Nomor mengenai 4 mengenai the Right to Adequate Housing.
Komisi dalam komentarnya menyatakan bahwa pembangunan
permukinan yang dilakukan oleh setiap negara semestinya tidak
berada di lokasi sumber pencemar karena terkait dengan hak
masyarakat untuk mendapatkan hunian yang layak.
5. Convention on the Elimination of Discrimination against Women
CEDAW. Konvensi ini mengkaitkan lingkungan dengan hak
perempuan dalam terkait dengan aktivitas industri yang berdampak
pada kesehatan perempuan58
Environment 14-16 January 2002 Geneva, hal. 1. Dalam perspektif pembangunan berbasis ekologi,
memperhatikan kepentingan anak merupakan operasionalisasi konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). kepentingan anak-anak menjadi signifikan untuk diperhatikan karena hal
berikut : (1) anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan menderita dampak kerusakan lingkungan;
(2) anak-anak berkepentingan terhadap keberadaan SDA untuk jaminan kehidupan yang lebih baik di masa
yang akan datang; dan (3) anak-anak merupakan pewaris utama sumber daya alam (the rigth to being
primary benefeciaries). Prinsip kepentingan terbaik untuk anak menjadi basis operasionalisasi setiap pihak
yang akan memanfaatkan sumber daya alam (Pasal 4 KHA).
56 Dinah Shelton,
BACKGROUND PAPER No. 1, ibid, hal. 21-22, dan BACKGROUND PAPER No. 2,
Human Rights and the Environment: Jurisprudence of Human Rights Bodies, hal. 1-6
57 Berdasarkan periodic reporting kepada U.N. Committee on Economic, Social and Cultural Rights. yang
disampaikan oleh Tunisia pada tahun 1986 dalam konteks isu perlindungan lingkungan dan dampaknya
terhadap jaminan pemenuhan HAM. Laporan serupa juga disampaikan oleh Ukraina mengenai situasi
lingkungan akibat eksploitasi di Chernobyl yang berdampak pada hak atas hidup. Lihat Denah Shelton,
Background Paper No. 2, ibid, hal. 5
58 Berdasarkan Concluding Observations Committee on the Elimination of Discrimination against Women
(2000) atas laporan periodik negara Rumania mengenai kondisi lingkungan yang berdampak pada
pemenuhan hak asasi perempuan
14
6. Convention on the Rights of the Child (New York, November 20, 1989),
merujuk pada aspek perlindungan lingkungan dan penghargaan
terhadap hak anak atas kesehatan (Pasal 24(2)(c)). Kemudian
informasi dan pendidikan semestinya diberikan kepada setiap elemen
masyarakat mengenai kesehatan dan sanitasi lingkungan (Pasal 24
(2)(e)).
7. ILO Convention No. 169 concerning Indigenous and Tribal Peoples in
Independent Countries (Geneva, June 27, 1989) substansinya merujuk
pada persoalan tanah, sumber daya, dan lingkungan hidup masyarakat
adat. (Pasal 2, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12, dan Pasal 15).59
Selain hal di atas, dampak kerusakan lingkungan, selain berdampak secara
langsung bagi manusia yang berdimensi pelanggaran HAM, lingkungan sebagai
locus di mana manusia hidup juga terkena dampak dari eksploitasi sumber daya
alam. Oleh karenanya hukum internasional telah mengatur perlindungan hukum
terhadap lingkungan dengan isu-isu yang spesifik. Adapun instrument global
yang melindungi lingkungan hidup sebagai : 60
1. Annex II to the Protocol on Environmental Protection on the
Conservation of Antarctic Fauna and Flora (Madrid, 1991)
2. Convention on Climate Change (June 4, 1992)
3. Protocol to amend the International Convention on the Establishment
of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage
and the Protocol to amend the International Convention on Civil
Liability for Oil Pollution Damage (London, November 27, 1992)
4. Convention on Biological Diversity
5. International Convention to Combat Desertification in those Countries
Experiencing Serious Drought and/or Desertification, particularly in
Africa (Paris, June 17, 1994)
6. IAEA Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and
on the Safety of Radioactive Waste Management (Vienna, September 5,
1997)
7. International Convention on Liability and Compensation for Damage
in Connection with the Carriage of Hazardous and Noxious Substances
by Sea (London, May 3, 1996)
8. UN Convention on the Law of the Non-navigational Uses of
International Watercourses (New York, May 21, 1997)
9. Joint Protocol to amend the Vienna Convention on Civil Liability for
Nuclear Damage (21 May 1963) and the Paris Convention on Third
Party Liability in the Field of Nuclear Energy (29 July 1960) as
amended (September 12, 1997)
Lihat pula General Comment General Comment U.N. Human Rights Committee Nomor 23 mengenai The
rights of minorities (Art. 27)
60 Dinah Shelton, Background Paper No. 1, op.cit, hal. 4-8
59
15
10. Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for
Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade
(September 10, 1998)
11. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological
Diversity (Montreal, January 29, 2000),
12. Convention on Persistent Organic Pollutants (Stockholm, May 22,
2001)
Instrument-instrumen hukum internasional yang melindungi lingkungan di atas
pada dasarnya dibangun dan merupakan implementasi prinsip “common but
differentiated responsibility” (tanggung jawab sama namun kewajiban berbeda).
Dengan demikian tanggung jawab negara-negara maju atas kerusakan
lingkungan hidup semestinya diletakkan dalam kerangka mewujudkan keadilan
lingkungan hidup (environmental justice) yang didasari prinsip-prinsip :61
1. Ketidaksepadanan beban perlindungan lingkungan hidup;
2. Kemanfaatan perlindungan lingkungan bagi semua;
3. Transparansi dan kesempatan untuk memaknai partisipasi publik
dalam pembuatan kebijakan;
4. Setiap orang mempunyak akses untuk mendapatkan pemulihan secara
efektif akibat pelanggaran hak atas lingkungan hidup dan hukum
semestinya ditegakkan dengan mengabaikan kekuatan ekonomi
maupun politik pihak yang melanggar;
5. Perlindungan lingkungan hidup untuk
keberlanjutan kesehatan
manusia dan pencapaian dan pemeliharaan keseimbangan ekosistem.
Perwujudan keadilan lingkungan hidup ini dapat tercapai salah satunya dengan
cara menghapus utang finansial negara-negara berkembang karena :
1. Negara-negara maju pada masa kolonisasi tidak hanya menganeksasi
dan mengokupasi wilayah-wilayah negara-negara berkembang,
namun sekaligus mengekspolitasi sumber-sumber kekayaan alam
negara-negara berkembang. Pada titik ini negara-negara maju
berutang secara historis kepada negara-negara berkembang.
2. Negara-negara maju pada era globalisasi ekonomi telah
menyalahgunakan biosfer, melanggar batas ekologis, dan memaksakan
pola ekstrasi sumber daya alam yang tidak lestari. Pada titik ini
negara-negara maju berutang secara ekologis sangat besar kepada
rakyat-rakyat di negara-negara berkembang.
3. Negara-negara maju melalui TNC yang beroperasi di negara-negara
berkembang melanggar 2 (dua) HAM yang mendasar yakni hak
menentukan nasib sendiri dan hak atas lingkungan yang layak. Pada
titik ini pula hak-hak individu-individu baik hak sipil, hak politik, hak
ekonomi, hak sosial, dan hak budaya penduduk yang bertempat tinggal
61
Center for International Environmental Law (CIEL), op. cit., hal. 5
16
di wilayah TNC beroperasi telah dilanggar secara sistematis dan
terstruktur.
17
Download