(ber)politik uang - ePrints Sriwijaya University

advertisement
(BER)POLITIK UANG
Alamsyah
Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Unsri & penggiat
Center for Election and Political Party (CEPP) FISIP Unsri
FISIP Universitas Sriwijaya
Pemilu legislatif 2014 dalam hitungan hari. Potret diri calon anggota DPRD
kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPD, dan DPR RI bertebaran di pelosok negeri. Mereka
menebar slogan dan janji agar para pemilih bersimpati. Tetapi, para caleg harus ekstra hatihati. Sebab, para pemilih sudah mencoblos berkali-kali. Para pemilih tidak belajar dari teori,
tetapi belajar dari eksperimentasi.
Salah satu temuan eksperimentasi para pemilih adalah opini bahwa banyak caleg tidak
memenuhi janji. Begitu para caleg terpilih, mereka lari. Para pemilih merasa dibohongi.
Peristiwa ini bukan sekali, tetapi berkali-kali. Maka, tak mengherankan jika banyak para
pemilih dalam Pemilu legislatif 2014 merubah persepsi mereka tentang relasi politisi-pemilih.
Para pemilih tetap membuka komunikasi dengan politisi, meski isinya bukan sekedar narasi
yang cepat basi. Para pemilih seringkali menuntut para caleg agar menutup proses komunikasi
dengan bukti sebagai tanda komitmen diri.
Dari sudut pandang politisi, tidak semua tuntutan para pemilih bisa segera dipenuhi.
Sebab, ada tuntutan para pemilih yang manusiawi, tetapi banyak juga yang tidak manusiawi.
Semua ini muncul karena pemahaman para pemilih tentang negara, pemerintah, dan sistem
politik sangat bervariasi. Sebetulnya, para politisi dari beragam parpol sangat senang jika para
pemilih bisa didekati hanya dengan dialog dan diskusi. Tetapi, rakyat Indonesia belum sampai
pada titik ini. Butuh beberapa generasi untuk sampai pada titik ini.
Pertanyaanya, mengapa situasi negeri kita seperti ini? Saya coba berargumentasi
terhadap persoalan ini. Saya ingin mengatakan bahwa menerima dan memberi adalah sesuatu
yang manusiawi. Tindakan take and give yang dilandasi prinsip resiprokal hampir bisa
ditemukan di seluruh peradaban manusia. Bahkan, syurga dan neraka yang dijanjikan Tuhan
dalam beragam kitab suci, diatur dengan mekanisme take and give dan resiprokal. Jika patuh
dengan Tuhan, maka syurga. Jika tidak patuh dengan Tuhan, maka neraka.
Dalam sistem demokrasi, prinsip take and give juga menyelimuti keseluruhan proses
demokrasi itu sendiri. Para pemilih yang memilih parpol/kandidat tertentu dalam pemilu
berharap agar mereka dapat memproduksi beragam kebijakan yang pro-pemilih. Jika mereka
tidak memenuhi hal ini, maka para pemilih akan memilih parpol/kandidat lainnya di pemilu
yang akan datang.
Proses take and give menjadi salah menurut hukum positif dan etika demokrasi ketika ia
didefenisikan secara dangkal sebagai membeli suara (vote buying), baik dengan mata uang
maupun dengan barang. Mengapa membeli suara itu salah? Karena ia mencederai demokrasi
dan melanggar hak asasi manusia yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia. Bahkan,
Tuhan sendiri pun menghormati kebebasan manusia untuk memilih. Jika tidak ada paksaan
dalam agama, maka tidak ada paksaan dalam demokrasi.
Meskipun transaksi jual beli dilandasi prinsip kepercayaan, suka sama suka, tetapi ia
membuka peluang terjadinya unsur pemaksaan. Sebab, dalam transaksi jual beli terjadi
mekanisme peralihan hak milik. Jika seorang penjual X menjual barang Y kepada pembeli Z,
Dimuat di SKH Sumatera Ekspress, 25 Februari 2014
maka barang Y menjadi hak milik pembeli Z. Jika barang Y yang sudah dibeli Z tidak
diserahkan penjual X, maka pembeli Z sah menurut hukum positif untuk melakukan tindakantindakan pemaksaan terhadap penjual X.
Kembali ke pertanyaan “mengapa situasi negeri kita seperti ini”, maka yang salah itu
bukan prinsip take and give yang sudah given. Sebaliknya, yang keliru itu adalah serangkaian
tindakan memberi (give) secara sistemik yang dilakukan lembaga-lembaga politik di negeri
ini, terutama eksekutif, legislatif, dan partai politik. Di antara ketiga lembaga ini, parpol
menjadi pihak yang paling berdosa. Sebab, orang-orang yang duduk di jabatan eksekutif dan
legislatif adalah orang-orang partai politik. Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa
proses menerima (take) yang salah. Rakyatlah yang salah, bukan lembaga politik yang salah.
Saya kira, rakyat tidak salah. Sebab, posisi mereka diatur bukan mengatur.
Idealnya, parpol adalah lembaga yang paling powerful di suatu negara. Ia menyeleksi
warga negara untuk mengikuti pemilu dalam rangka memperebutkan kursi eksekutif dan
legislatif. Parpol mengendalikan eksekutif dan legislatif melalui ideologi dan platform yang
dimilikinya. Tetapi, situasi di Indonesia sangat jauh dari kondisi ideal ini. Di Indonesia,
parpol yang memiliki ideologi yang jelas, terang benderang, dan maujud dalam kebijakankebijakan politik bisa dihitung dengan jari. Para warga negara yang berkecimpung dalam
parpol juga hanya melihat parpol sebatas kendaraan rental. Hari ini partai A, besok partai B,
dan lusa partai C. Bahkan, beberapa politisi menganggap parpol tak ubahnya seperti
perusahaan keluarga. Orang lain boleh ikut dan menumpang, tetapi tidak boleh mengatur.
Di Indonesia, parpol itu lemah secara ekonomi dan politik. Dari sisi ekonomi, sumber
keuangan parpol hanya terbatas kepada iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum,
dan bantuan keuangan dari APBN/APBD. Dari ketiga sumber keuangan ini, yang terakhir
adalah yang paling pasti. Sedangkan sumber pertama dan kedua sangat absurd dan membuka
praktek-praktek ketidakjujuran. Dari sisi politik, parpol mampu mengantarkan sekelompok
orang menduduki jabatan eksekutif dan legislatif, tetapi ia seringkali tidak pernah disiram
sehingga berkembang dengan sempurna. Ideologi parpol seringkali kalah dengan
kepentingan-kepentingan politik pragmatis para elit parpol yang sedang duduk di jabatan
eksekutif dan legislatif. Kondisi ini yang menciptakan proses memberi (give) yang dilakukan
parpol menjadi bias. Rakyat pun kecewa dan antipati dengan partai politik.
Oleh karena itu, parpol harus diperkuat dengan meningkatkan kesadaran politik
masyarakat. Sebab, akar parpol adalah warga negara yang memiliki kesadaran politik. Hidup
dan matinya parpol, baik dan buruknya parpol, kuat dan lemahnya kelembagaan parpol, akan
sangat bergantung kepada dukungan warga negara yang sadar hak dan kewajibannya.
Kesadaran politiklah yang menjadi kata kunci untuk merubah status parpol dari sebatas
shortcut menjadi operation system. Kesadaran politik inilah yang akan membentengi para
pemilih dari rayuan para politisi yang berusaha membeli suara para pemilih.
Meskipun kesadaran politik itu bersarang dalam kognisi orang per orang, tetapi ia bisa
diekspor keluar sehingga menjadi kesadaran kolektif. Proyek penyadaran ini yang pernah
dilakukan rezim Orde Baru melalui kegiatan P4. Sayangnya, kegiatan ini tidak manusiawi
karena cenderung doktrinisasi, anti-kritik, dan jauh dari prinsip learning by doing.
Rakyat yang memiliki kecerdasan dan kesadaran politik mampu melihat visi bahwa
parpol hanyalah salah satu alat mengorganisir kepentingan-kepentingan kolektif. Di luar
parpol, masih banyak saluran-saluran politik yang bisa digunakan warga negara untuk
mengorganisir kepentingan-kepentingan politik mereka.
Saya membayangkan parpol di Indonesia di masa mendatang merupakan sumber
pengetahuan dan ide-ide kreatif untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Parpol
adalah pusat pemikiran dan pusat aksi. Pengurus parpol tak perlu gemuk, tetapi ia mampu
menggerakkan warga negara dengan ide-ide inspiratif dalam konteks kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pengurus parpol tidak mesti mencalonkan diri sebagai kandidat eksekutif dan
Dimuat di SKH Sumatera Ekspress, 25 Februari 2014
legislatif. Ia hanyalah petugas yang menyeleksi warga negara yang sejalan dengan ideologi
dan platform partainya untuk dipromosikan sebagai kandidat di lembaga eksekutif dan
legislatif. Dalam situasi ini, saya yakin, praktek-praktek membeli suara (vote buying) sudah
terkubur bersama masa lalu.
Dimuat di SKH Sumatera Ekspress, 25 Februari 2014
Download