INTERAKSI ORANGUTAN (Pongo pgymaeus wurmbii) BETINA BERKERABAT DENGAN INDIVIDU LAIN Abstrak Orangutan memiliki sistem sosial semi soliter dan peka terhadap perubahan kondisi habitat. Penelitian ini dilakukan pada 6 individu betina dengan status reproduksi (reproduktif, nullipara dan non-reproduktif) selama 10 bulan dengan metode focal animal instantaneous dan ad libitum sampling. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbedaan status reproduksi individu betina dan status sosial menpengaruhi respon individu betina terhadap long call yang di dengar dan jarak perjumpaan dengan individu lain. Respon individu betina reproduktif nullipara dan non-reproduktif terhadap long call yang didengar dalam hubungan berpasangan memberikan respon abaikan Kondor (44,4%), Kerry (38,9%), Milo dan Mindy (5,7%). Sedangakan diluar hubungan berpasangan betina nullipara lebih member respon positif terhadap long call Kondor (15,385) dan Milo (7,692%). Betina non reprodukti semua memberikan repon abaikan long call. Sebagian besar jarak perjumpaan yang terjadi antar individu betina nonreproduktif di 10-50m (84%), antar individu betina reproduktif di 2-10m (54,878%) dan antara individu reproduktif dengan non-reproduktif di 2-10m (41,176%). Individu betina reproduktif melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi umumnya dijarak 2-10m (69,293%) sedangkan individu betina non-reproduktif di 10-50m (33,155%). Perjumpaan antar individu betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi umumnya di 10-50m (38,357%) sementar individu betina non-reproduktif di 10-50m (48,951%). Selama hubungan berpasangan antara individu betina reproduktif dengan jantan dewasa tidak berpipi cenderung berjarak 2-10m (66,457%), sementara individu betina non-reproduktif pada 10-50m (58,155%). Kopulasi antara betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi dengan persentase kopulasi pasif (50%) dan aktif 50%. Kopulasi antara betina nullipara dengan jantan dewasa tidak berpipi kopulasi pasif 75%, 12,5% aktif dan 12,5% pemaksaan. Kategori kopulasi antara betina non-reproduktif dengan jantan dewasa tidak berpipi ataupun jantan dewasa berpipi semua dalam bentuk pasif Kata kunci: Orangutan, reproduktif, non-reproduktif, consortship, kopulasi Pendahuluan Orangutan kalimantan merupakan salah satu jenis primata yang memiliki sistem sosial semi-soliter berbeda dari suku Pongidae yaitu; bonobo (Pan paniscus), simpanse (Pan troglodytes) dan gorilla (Gorilla gorilla) dan monyet lainnya yang hidup berkelompok. Kontak sosial hanya terjadi dalam hubungan sosial reproduksi dan pengasuhan anak (Delgado & van Schaik 2006; Meijaard et al. 2001). Kehidupan soliter terlihat jelas pada individu jantan dewasa dan betina dewasa yang tidak membawa anak (reproduktif), individu tersebut melakukan 24 penjelajahan sendiri dengan tujuan mendapatkan pasangan yang siap kawin (Rijksen 1978; Galdikas 1984; Rodman & Mitani 1987; Atmoko et al. 2009a; van Schaik et al. 2009). Berbeda dengan orangutan betina yang mempunyai anak (non-reproduktif) interaksi sosial terjadi terutama saat induk memberikan pembelajaran kepada anak sampai anak mandiri (Galdikas 1985; van Schaik & van Hooff 1996). Anak orangutan yang telah memasuki masa remaja mulai menjauh dari induk, namun kehidupan sosial masih terlihat karena anak masih membayangi induk betina pada jarak tertentu. Orangutan remaja yang telah matang kelamin mulai menunjukkan ketertarikan dengan individu lain (Rodman & Mitani 1987). Pada orangutan jantan maupun betina terdapat perbedaan status sosial di suatu lokasi. Pada individu betina perbedaan status sosial dapat dilihat dari perbedaan umur dan tingginya frekuensi kebersamaan dengan jantan dewasa berpipi (Atmoko et al. 2009b). Individu betina berjuang sebagai penetap di suatu lokasi untuk mendapatkan keuntungkan selama reproduksi dan akses mendapatkan makanan. Strategi individu betina untuk mempertahankan status sosial di suatu lokasi yaitu dengan cara mempertahankan hubungan sosial reproduksi dengan jantan dewasa berpipi. Berbeda dengan individu betina, perbedaan status sosial pada individu jantan dapat dilihat dari status individu jantan sebagai penetap dan kemampuan individu jantan dalam berkompetisi dengan individu jantan lain (van Schaik 2006; Atmoko et al. 2009b). Daerah jelajah yang tumpang tindih menyebabkan semakin berkurang dan terbatasnya sumber makanan yang mengakibatkan peluang perjumpaan antar individu semakin besar. Kehadiran individu jantan di suatu lokasi dipengaruhi dengan ketanggapan individu betina untuk melakukan hubungan sosial reproduksi, namun individu betina merupakan sebagai pengambil keputusan untuk terjadi hubungan sosial reproduksi. Hubungan sosial reproduksi sering di awali dengan terjalinnya hubungan berpasangan (consortship) antara individu jantan dengan individu betina yang terjadi berhari-hari bahkan beberapa minggu. Individu betina lebih memilih berpasangan dengan jantan dewasa berpipi yang status sosialnya lebih tinggi dibandingkan dengan individu jantan tidak berpipi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perilaku sosial pada orangutan betina dengan status reproduksi yang berbeda yaitu individu betina betina nonreproduktif dan betina reproduktif yang berinteraksi dengan individu lain di satu lokasi. Diharapkan dari datanya diperoleh dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam penanganan orangutan di habitat asli ataupun di captive. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap; tahap pertama yaitu kegiatan lapangan meliputi pengkoleksian sampel feses dan pengamatan perilaku selama 10 bulan dimulai dari bulan Oktober 2009 - Juli 2010, di Stasiun Penelitian 25 Orangutan Tuanan Kalimantan Tengah (Gambar 8). Tahap kedua dilakukannya analisis hormon dilaboratorium. Lokasi pengambilan sampel feses terletak di dusun Tuanan yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Secara geografis Tuanan terletak pada posisi 020 09’ 06,1” LS dan 1140 26’ 26,3” BT, luas areal sebesar 2.730 km . Menurut van Schaik et al. (2005) rata-rata kepadatan orangutan di areal penelitian Tuanan adalah 4,25 ind/km2. Area penelitian merupakan daerah yang memiliki tipe hutan rawa gambut dengan kedalaman antara 3–4 meter. Suhu rata-rata pada pagi hari 26ºC dan pada waktu sore hari adalah 28º C. Kelembaban pagi dan sore hari memiliki rata-rata 92%, serta keasaman air (pH) di dalam hutan adalah 4,8. Struktur hutan sangat bervariasi, dengan tutupan kanopi sekitar 70%, tinggi pohon sekitar 15–25 m dan dengan diameter pohon berkisar antara 10–50 cm. Jenis vegetasi yang umum dijumpai terdiri dari famili Annonaceae, Euphorbiaceae, Dipterocarpaceae, Lauraceae, dan Ebenaceae. Berdasarkan hasil survey densitas populasi orangutan yang dilakukan oleh van Schaik et al (2005) diperkirakan kepadatan orangutan sangat tinggi pada area ini dengan densitas 4,25–4,50 individu/km² dengan jumlah kisaran individu pada seluruh area Konservasi Mawas (300.000 ha) adalah 3.000–4.000 orangutan. a. b. Gambar 8. a) Letak geografis Camp Tuanan dan b) Areal Hutan stasiun penelitian orangutan Tuanan (BOSF. 2009) Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari: binokuler 8 x 21 (Nikon), kompas (Sunto), Global Position System (Garmin 12 XL), pengatur waktu digital (Casio), kamera digital (10 x optical zoom, Olympus), tabulasi data, dan peta transek areal penelitian. Hewan Penelitian Sampel penelitian yang digunakan adalah 115 sampel feses dari 6 individu orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) betina dengan status reproduksi dan umur yang berbeda, estimasi umur individu yang diamati yaitu antara 8-26 tahun. 26 Individu objek digolongkan berdasaran status reproduksi yaitu betina reproduktif dan betina non-reproduktif. Individu betina yang membawa anak dapat dibedakan dengan memperhatikan perbedaan umur anak yang dibawa dan perbedaan morfologi masing-masing individu induk betina tersebut. 1. Betina reproduktif Individu betina orangutan pada masa reproduktif, yaitu betina dewasa yang tidak bersama anak atau sedang bersama anak yang berusia lebih dari 5 tahun. 2. Betina non-reproduktif Individu betina orangutan yang tidak dalam masa reproduktif, yaitu betina yang sedang menyusui atau bersama anak yang berusia kurang dari 5 tahun, betina hamil dan menopause. 3. Betina reproduktif nullipara Individu betina orangutan reproduktif nullipara yaitu betina yang sudah memasuki masa matang kelamin. Tabel 1. Individu orangutan betina pada saat pengamatan Oktober 2009-juli 2010 Individu Mindy Kerry Juni Jinak Milo Kondor Kelas sosial Tidak reproduktif Tidak reproduktif Tidak reproduktif Reproduktif Nullipara (♀ 8 Thn) Nullipara (♀ 9 Thn) Anak Mawas Kino Jip Jerry Estimasi umur anak ♂ 1 Thn 7 Bln ♂ 3 Thn ♂ 3 Thn 7 Bln ♂ 7 Thn 2 Bln Cara Kerja Pada penelitian ini beberapa teknik penelitian dilakukan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Pencarian (searching) Pencarian orangutan dilakukan pada saat berakhir target waktu pengambilan data satu individu atau saat individu tersebut hilang. Pencarian ini dimulai pada pukul. 07.00 – 16.00 WIB. Pencarian orangutan dilakukan dengan menelusuri jalur-jalur yang ada. Pencarian dilakukan dengan memperhatikan tanda–tanda yang dapat mengindikasikan keberadaan orangutan, yaitu antara lain: suara gerak pindah dari satu pohon ke pohon yang lain, vokalisasi (long calls, kiss-squeak, lork call), sisa makanan di sekitar pohon pakan, bau urine dan feses yang ditemukan. 2. Metode Pencatatan Jika pada waktu pencarian ditemukannya satu individu orangutan, maka akan dilakukan pengambilan data dengan mencatat semua perilaku sosial yang dilakukan sampai orangutan membuat sarang sore, kemudian diberikan tanda di sekitar sarang sore tersebut. Pengambilan data perilaku sosial keesokan hari cukup mengunjungi sarang terakhir yang dibuat pada hari sebelumnya. Biasanya orangutan memulai beraktivitas antara pukul. 04.00 – 06.00 WIB dan berhenti 27 beraktivitas sekitar pukul. 16.00 – 19.00 WIB. Setiap pengamatan untuk satu individu objek dalam satu periode pengamatan dilakukan maksimal selama 5 - 10 hari berturut-turut, kemudian individu objek tidak diikuti dan dilakukan pencarian kembali induvidu objek yang berbeda atau sampai objek tersebut hilang. Apabila individu yang sedang diamati hilang maka dilakukan pencarian kembali dengan cara yang sama. Metode pencatatan perilaku yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Focal Animal Sampling secara Instantaneous yaitu dengan mengikuti individu objek, mencatat perilaku per 2 menit mulai bangun dari sarang pagi hingga membuat sarang sore, setiap satu individu dalam satu periode pengamatan 5-10 hari. Pencatatan data sosial reproduksi yang terjadi di luar interval waktu pencatatan data dilakukan dengan cara Ad Libitum Sampling. Pencatatan data ruang perjumpaan meliputi penggunaan interval jarak perjumpaan antara individu betina reproduktif dan non-reproduktif terhadap individu betina berkerabat, individu jantan dewasa tidak berpipi, individu jantan dewasa berpipi, dan jarak perjumpaan individu betina dalam hubungan berpasangan (consortship) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Adapun interval jarak yang digunakan <2m, 2-10m dan 10-50m. 3. Pencatatan Perilaku Sosial a. Respon individu betina dengan status reproduksi yang berbeda terhadap long call Pencatatan berdasarkan respon pertama kali pada menit pertama yang teramati, setelah individu betina mendengar long call dari individu jantan yang dibedakan menjadi tiga respon yaitu positif (+), negatif (-) dan mengabaikan (0). Respon positif : Melihat kearah long call atau bergerak mendekati arah long call Respon negatif : Menjauhi long call Respon abaikan: Tidak memberikan respon apa pun atau tetap dengan aktifita sebelum mendengar long call b. Peluang perjumpaan antar individu betina dengan individu betina ataupun individu jantan Pencatatan data dilakukan dengan mengunakan interval jarak antara individu betina terhadap kehadiran individu betina ataupun individu jantan dewasa berpipi dan jantan dewasa tidak berpipi dengan jarak kurang dari 50 m. c. Kopulasi Bentuk kopulasi dibedakan menjadi 3 kategori berdasarkan bentuk kopulasinya: 1c. Kopulasi dengan suka sama suka/aktif, ditandai dengan inisiatif kedua individu untuk mengadakan kopulasi dan lebih sering terjadi dalam hubungan berpasangan (consortship). 2c. Kopulasi pemaksaan/pemerkosaan, ditandai dengan adanya kekerasan yang dilakukan oleh individu jantan dalam melakukan kopulasi atau adanya perlawanan yang dilakukan individu betina terhadap usaha individu jantan untuk melakukan kopulasi. 3c. Kopulasi setengah kerjasama/pasif, ditandai oleh inisiatif individu jantan untuk melakukan kopulasi sedangkan individu betina tidak menghendaki terjadinya kopulasi namun tidak adanya perlawanan yang ditunjukan individu betina terhadap usaha individu jantan tersebut. 28 Analisa Data Pengujian hipotesis yang diajukan pada penelitian ini dilakukan secara deskripsi dan non-parametrik, karena data terdistribusi secara bebas dan data diambil dari objek yang bersifat observatif tanpa dilakukan perlakuan. Analisa data yang dijelaskan secara deskripsi untuk melihat perbedaan pola respon orangutan betina dengan status reproduksi betina non-reproduktif dan betina reproduktif terhadap suara long call, jarak perjumpaan antar individu betina berkerabat dan perilaku seksual kopulasi. Pengujian secara non-parametrik dengan uji Friedman adalah pengujian penggunaan jarak perjumpaan dengan individu jantan dewasa berpipi dan tidak berpipi, jarak hubungan kebersamaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi, inisiatif dalam perilaku seksual. Penghitungan analisa menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistic Programme for Scientific Social Science) versi 11.5. tingkat signifikan yang digunakan dalam analisa dilapangan adalah P<0.05α (Probabilitas (P) adalah nilai output Asymp. Sig 0.05; (α) adalah tingkat kesalahan penelitian) Hasil dan pembahasan Respon individu betina terhadap long call Orangutan jantan yang telah memasuki masa matang kelamin terlihat perkembangan kelamin sekunder salah satunya adalah perkembangan kantong suara, namun pada orangutan kalimantan khususnya di areal penelitian Tuanan perkembangan kantong suara hanya ditemukan pada individu jantan dewasa berpipi (flanged). Seruan panjang (long call) berfungsi sebagai memberitahukan keberadaan kepada individu lain yang ada disekitar, selain itu long call juga dimanfaatkan individu betina reproduktif untuk mengambil keputusan menentukan pasangannya dari jarak jauh (Setia et al. 2009). Pada saat pengamatan berlangsung tidak semua individu target mendengar long call, jarak masih dapat didengarnya long call ≤ 1 km dari individu target dengan respon yang berbeda-beda. Long call dapat didengar kapan saja diantaranya saat individu betina bersama dengan individu jantan lain ataupun saat individu betina dalam keadaan sendiri. 1. Respon individu betina terhadap long call di dalam hubungan berpasangan Daerah jelajah yang tumpang tindih memungkinkan terdengarnya long call dari jantan yang ada disekitarnya, pada jarak tertentu dengan respon yang berbeda-beda. Pada saat hubungan berpasangan berlangsung antara individu betina dengan jantan tidak menutup kemungkinan individu betina mendengar long call dari jantan lain. Menurut Galdikas (1985) lebih dari 90% kebersamaan antara individu jantan dan betina terdiri dari perilaku sosial reproduksi. Salah satu strategi yang dilakukan individu jantan dalam perilaku sosial reproduksi adalah mempertahankan kebersamaannya dengan individu betina dalam hubungan berpasangan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan didapatkan perbedaan respon yang diberikan individu betina terhadap long call yang didengar pada saat individu betina bersama dengan individu jantan lain yaitu hampir semua individu baik yang berstatus reproduksi reproduktif nullipara (Milo dan Kondor) maupun 29 non-reproduktif (Kerry) memberikan respon mengabaikan long call yang didengar. Namun, hal ini tidak terjadi oleh individu mindy yang bertatus nonreproduktif selain memberikan respon abaikan Mindy juga memberikan respon positif terhadap long call yang didengar. Respon abaikan tertinggi terjadi pada individu Kondor (44,4%), Kerry (38,9%), Milo dan Mindy yang relatif sama yaitu (5,7%) namun Mindy juga memberikan respon positif (5,7%) (Gambar 9). Individu betina yang sedang membawa anak lebih memilih menjauhi long call atau mengabaikan long call. Hal tersebut dikarenakan pertimbangan faktor keamanan anak menjadi alasan utama induk betina memberikan respon terhadap long call yang didengar. Hal ini sesuai dengan respon yang diberikan oleh Mindy dan Kerry yang mengabaikan long call yang didengar dikarenakan jarak cukup jauh dengan long call terebut ≤ 800-1000 m, namun Mindy juga memberikan respon yang positif terhadap long call yang didengar disebabkan long call tersebut cukup dekat ≤ 500 m. Respon yang ditunjukan Mindy yaitu melihat kearah long call menunjukan rasa waspada tanpa bergerak mendekati long call. Betina nonreproduktif yang sedang membawa anak memiliki kesiapan seksual yang menurun, sehingga betina non-reproduktif (Mindy) walaupun mendengar long call dengan jarak yang cukup dekat tidak memberikan respon mendekati long call tersebut. Menurut Setia et al. (2009) di Sumatera individu betina memberikan respon positif terhadap long call yang didengar berjarak 550-750 m. Menurut Galdikas (1985) semakin dekat jarak suatu individu betina membawa anak dengan sumber long call, maka akan semakin besar individu tersebut memberikan respon negatif (menjauhi). Gambar 9. Grafik persentase respon individu betina dengan status reproduksi yang berbeda terhadap long call di dalam kebersamaan dengan individu lain Keterangan: (n) Jumlah long call yang didengar Menurut Galdikas (1985), Setia et al. (2009) individu betina dewasa yang sedang tanggap reproduksi (reproduktif), lebih sering memberikan respon positif (mendekati) long call. Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan bahwa individu betina reproduktif (Jinak) yang sedang bersama dengan individu jantan di dalam hubungan berpasanga (consortship) memberikan respon abaikan terhadap long call yang didengar dan terus bersama jantan pasangannya sampai berharihari. Menurut Setia et al. (2009) individu jantan dewasa tidak berpipi lebih 30 memilih menghindari keberadaan individu jantan dewasa berpipi. Namun hal tersebut tidak terjadi pada individu jantan dewasa tidak berpipi yang sedang bersama Milo dan Kondor. Individu jantan dewasa tidak berpipi tidak terlihat menjauhi atau mendekati sumber long call disebabkan jarak yang cukup jauh dari sumber long call dan salah satu strategi dari individu jantan dewasa tidak berpipi yaitu mempertahankan kebersamaannya dengan individu betina reproduktif sampai mencapai sukses reproduksi. Menurut Galdikas (1985); Setia et al. (2009) perbedaan jarak antara individu target dengan sumber long call mempengaruhi respon yang diberikan individu betina terhadap long call yang didengar. 2. Respon individu betina terhadap long call di luar hubungan berpasangan Orangutan memiliki sistem sosial semi soliter, hubungan sosial terlihat pada masa pengasuhan anak dan reproduksi. Menurut Rijksen (1978) yang menyatakan bahwa jantan-jantan dewasa berusaha untuk menjadi penghuni tetap dalam suatu kawasan tertentu dengan menggabungkan daerah jelajah dari dua atau lebih betina siap kawin, sehingga peluang terjadi perjumpaan langsung dengan individu lain ataupun mendengar long call dari individu jantan dewasa berpipi di lokasi yang sama semakin besar. Salah satu tujuan individu jantan dewasa berpipi mengeluarkan long call adalah untuk menarik perhatian individu betina disekitarnya yang tanggap reproduksi. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa individu betina dengan status reproduksi non-reproduktif (Mindy dan Juni) memberikan respon abaikan long call yang didengar, dengan persentase masing-masing (15,385%). Individu betina yang berstatus non-reproduktif atau sedang mengasuh anak lebih memilih bertoleransi terhadap anak sehingga menghindari perjumpaan dengan individu jantan, termasuk mengabaikan long call yang didengarnya karena pada masa tersebut ketanggapan dan kesediaan reproduksi individu betina menurun. Respon abaikan terhadap long call juga terjadi pada individu betina dengan status reproduksi reproduktif nullipara, persentase tertinggi terjadi pada individu Jinak 30,769% kemudian Milo dan Kondor masing-masing 7,692%. Individu Jinak masuk dalam kategori sebagai betina dewasa yang sudah memasuki masa reproduksi repoduktif dimana anak sudah remaja dan mulai mandiri meskipun anak masih terlihat membayangi induk pada jarak tertentu. Memberikan respon abaikan tertinggi terhadap long call merupakan usaha Jinak mempertimbangkan faktor keselamatan anak yang baru remaja. Milo dan Kondor masuk dalam kategori betina nullipara yang sudah memasuki masa matang kelamin. Hasil pengamatan menunjukan bahwa Milo dan Kondor selain memberikan respon abaikan juga memberikan respon positif terhadap long call yang didengar (Gambar 10). Respon positif tertinggi terjadi pada Kondor (15,385%) dan Milo (7,692%), individu yang telah memasuki matang kelamin berusaha mendekati diri dengan lawan jenis salah satunya dengan cara mendekati sumber long call, mendorong dirinya kearah jantan, ataupun berbaring. Perilaku ini yang dilakukan Milo dan Kondor yait salah satunya memberikan respon positif terhadap long call yang didengar dengan cara mendekat ke arah sumber long call, tetapi respon tersebut tidak semua diakhiri dengan terjadinya perjumpaan dengan individu jantan tersebut. Individu betina yang sedang reproduktif memiliki ketanggapan dan kesedian reproduksi yang 31 tinggi (Galdikas 1985; van Schaik 2006; Atmoko et al.2009b). Long call yang terdengar dapat dimanfaatkan individu betina untuk menentukan pilihan pasangan dari jarak jauh. Gambar 10. Grafik persentase respon individu betina dengan status reproduksi yang berbeda terhadap long call di luar hubungan kebersamaan individu jantan Keterangan: (n) Jumlah long call yang didengar Interval Jarak Perjumpaan antar Individu Betina Berkerabat Masa pengasuhan anak orangutan berlangsung hingga anak berumur kurang lebih 6 tahun, kemudian anak memasuki masa remaja dan mulai hidup mandiri pada umur 7-15 tahun. Orangutan remaja masih terlihat membayangi induk dengan jarak tertentu dan mulai melakukan interaksi dengan individu lain. Anak orangutan yang berjenis kelamin jantan melakukan penjelajahan jauh dari tempat kelahirannya, sampai mendapatkan tempat yang banyak terdapat sumber pakan dan individu betina reproduktif. Berbeda dengan individu jantan, individu betina berusaha keras menetap ditempat kelahirannya (phylopatric) atau tidak jauh dari tempat dilahirkan. Pada saat pengamatan dilapangan perjumpaan antara individu betina berkerabat dekat sering terjadi. Data tersebut didukung dengan penelitian sebelumnya sehingga mendapatkan silsilah garis keturunan (Gambar 11). Individu betina yang berkerabat dekat juga memiliki perbedaan status reproduksi sehingga mempengaruhi bentuk interaksi. Selama interaksi sosial berlangsung terdapat perbedaan interval jarak perjumpaan antar individu betina berstatus reproduksi berbeda sehingga dapat mengetahui kedekatan antar individu betina. Menurut van Schaik dan van Hooff (1996) interaksi sosial antar individu betina yang berkerabat dekat terjalin hubungan kerjasama, jarang terjadi perilaku agresi ataupun agonistik. Aktifitas yang sering teramati antar individu betina diantaranya adalah makan disatu pohon, bermain bersama antara anak dan berjalan bersama-sama. Namun dari data yang teramati berbanding terbalik, dengan pendapat tersebut. Interaksi sosial antara individu betina yang berkerabat dekat dengan status reproduksi yang sama yaitu antar betina non-reproduksi 32 (Mindy dengan Kerry) terlihat adanya perilaku agresi yang ditunjukan kakak terhadap adiknya. Persentase penggunaan jarak tertinggi pada jarak 10-50 m (84%). Namun sebaliknya, anak terlihat bermain bersama disatu pohon dibawah pengawasan induk masing-masing. Kerry beberapa kali menunjukan rasa takut dengan cara menarik anaknya (Kino) yang sedang bermain dengan anak mindy (Mawas). Perbedaan status sosial antara individu betina disuatu lokasi ditentukan dari perbedaan tingkatan umur dan banyaknya perkawinan dengan individu jantan dewasa berpipi (Galdikas 1985; van Schaik & van Hooff 1996). Jinak Kerry Juni Jerry Mindy Jip Kondor Kino Milo Mawas Gambar 11. Silsilah keturunan orangutan betina berkerabat di areal penelitian orangutan Tuanan Sementara perjumpaan yang terjadi antara nenek (betina reproduktif Jinak) dengan kedua cucunya (betina reroduktif nullipara Milo dan Kondor) cenderung terjadi pada jarak 2-10 m (54,878%; Gambar 12). Hal ini terjadi karena keberadaan Jerry (putra Jinak seumur dengan Milo) yang masih bersama Jinak. Selama pengamatan Milo dan Kondor lebih memilih bermain dengan Jerry dibandingkan interaksi dengan Jinak, sehingga diketahui bahwa status reproduksi dan status sosial individu mempengaruhi penggunaan jarak perjumpaan. Terbukti pada saat betina reproduktif nullipara melakukan perjumpaan dengan betina nonreproduktif terlihat bahwa persentase penggunaan jarak tertinggi pada jarak 10-50 m (75%). Perjumpaan antar individu betina reproduktif dengan non-reproduktif cenderung pada jarak 2-10 m (41,176%). Betina reproduktif (Jinak) merupakan ibu dari semua betina non-reproduktif yang ada di dalam pengamatan sehingga terlihat adanya kerjasama diantara mereka. Interaksi sosial yang teramati selama pengamatan berupa penjelajahan bersama, makan di satu pohon pakan dan terkadang individu betina reproduktif bermain bersama. Galdikas (1985) menyatakan dapat terjalinnya hubungan kerjasama antar betina dewasa yang mempunyai anak dengan betina dewasa lain. 33 Gambar 12. Grafik persentase interval jarak perjumpaan antar individu betina berkerabat berdasarkan perbedaan status reproduksi. Keterangan: (n) Hari Interval Jarak Perjumpaan Individu Betina dengan Individu Jantan Dewasa Berpipi dan Tidak Berpipi Individu jantan berdasarkan sifat jelajahnya dibedakan atas tiga kategori yaitu penetap, penjelajah dan pengembara sedangkan individu betina memilih bertahan ditempat kelahirannya (Meijaard et al. 2001). Daerah jelajah yang saling tumpang tindih antara individu betina dan individu jantan menyebabkan kemungkinan terjadi perjumpaan. Diketahui bahwa daerah jelajah harian individu betina dewasa yang tidak terlalu luas sekitar 600-700 m, lebih pendek dibandingkan individu jantan sekitar 700-800 m (Putra 2012). Berdasarkan analisa frekuensi didapat bahwa terdapatnya perbedaan penggunaan jarak perjumpaan antara individu betina berstatus reproduksi nonreproduktif dan reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi ataupun jantan dewasa berpipi (Gambar 13). Berdasarkan uji Friedman terdapat perbedaan nyata antara penggunaan jarak perjumpaan antara individu betina dengan individu jantan tidak berpipi (signifikasi 0,005). Terdapat perbedaan pola penggunaan jarak perjumpaan individu betina non-reproduktif (Mindy, Kerry dan Juni) dan individu betina reproduktif nullipara (Kondor) pada saat melakukan perjumpaan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Perbedaan pola penggunaan jarak perjumpaan antara individu betina nonreproduktif dan betina reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi disebabkan perbedaan status reproduksi betina. Orangutan betina reproduktif memberikan respon positif terhadap kehadiran individu jantan (Atmoko et al. 2009). Hal yang sama juga terjadi pada betina reproduktif nullipara yang merupakan salah satu strategi perilaku seksual individu betina. Individu betina 34 nullipara mulai menunjukan ketertarikannya dengan individu lain khusunya lawan jenis sehingga banyak melakukan perjumpaan dengan banyak jantan. Menurut van Schaik (2006) individu betina non-reproduktif lebih memilih menjaga jarak dengan kehadiran individu jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Atmoko et al. (2009) individu jantan dewasa tidak berpipi selalu mencari individu betina reproduktif yang siap kawin dengan cara memperluas daerah jelajah. Individu jantan dewasa tidak berpipi selalu menjaga kedekatannya dengan individu betina reproduktif pada jarak yang dekat sehingga terjadi perilaku sosial seksual. Individu jantan dewasa tidak berpipi selalu menjaga kedekatannya dengan individu betina reproduktif pada jarak yang dekat sehingga terjadi perilaku sosial reproduksi. Gambar 13. Grafik persentase interval jarak perjumpaan individu betina reproduktif dan non-reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi dan berpipi. Keterangan: (n) Hari Selama pengamatan selain perjumpaan antara individu betina dengan individu jantan dewasa tidak berpipi, individu betina non-reproduktif maupun reproduktif terlihat melakukan perjumpaan dengan jantan dewasa berpipi. Berdasarkan perbedaan status reproduksinya individu betina memiliki perbedaan penggunaan jarak saat perjumpaan terjadi (Gambar 13). Berdasarkan uji Friedman tidak berbeda nyata antara penggunaan jarak perjumpaan antara individu betina reproduktif dan betina non-reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi (signifikasi 0.133). Pengunaan jarak yang cukup jauh yang dilakukan individu betina non-reproduksi dengan jantan dewasa berpipi yaitu diantara 10-50 m (48,951%) disebabkan karena menurunnya ketanggapan dan kesediaan reproduksi. Hal yang sama juga terjadi antara individu betina reproduktif dengan jantan dewasa berpipi, jarak 10-50 m (38,357%), dikarenakan 2 dari 3 individu betina reproduktif merupakan individu betina belum pernah punya anak (nullipara), jarak tersebut merupakan jarak yang jauh untuk dimulainya interaksi sosial reproduksi. Merurut Delgado dan van Schaik (2000); Atmoko (2009a) yang menyatakan bahwa orangutan jantan dewasa lebih memilih berpasangan dengan 35 individu betina dewasa yang pernah mempunyai anak (reproduktif), tetapi tidak dengan individu betina dewasa yang sedang mengasuh anak (non-reproduktif). Menurut Atmoko (2000); Atmoko (2009a) kehadiran jantan berpipi di suatu lokasi penelitian berkorelasi positif dengan kehadiran betina reproduktif dan tidak berpengaruh pada jantan tidak berpipi. Interval Jarak Antar Individu Betina dengan Individu Jantan Dewasa Tidak Berpipi Pada Saat Berpasanga (Consort) Hubungan berpasangan atau consortship adalah hubungan kerjasama antara individu jantan dan betina, hubungan kerjasama tersebut dalam bentuk berjalan bersama atau beriringan. Interaksi seksual pada orangutan sering sekali didahului dengan melakukan hubungan berpasangan antara individu betina dan jantan yang berlangsung cukup lama berhari-hari sampai berminggu-minggu. Pada saat hubungan berpasangan berlangsung terjadi peningkatan perilaku sosial reproduksi. Hubungan berpasangan sangat ditentukan dari status reproduksi individu betina reproduktif atau non-reproduktif. Berdasarkan uji Friedman terdapatnya perbedaan nyata antara penggunaan jarak hubungan berpasangan antara individu betina non-reproduktif dan reproduktif dengan individu jantan tidak berpipi (signifikasi 0,000). Terdapat perbedaan pola penggunaan jarak hubungan berpasangan individu betina nonreproduktif (Mindy, dan Kerry) dan individu betina reproduktif (Kondor) pada saat melakukan hubungan berpasangan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Namun selama penelitian tidak ditemukannya hubungan berpasangan antara individu jantan dewasa berpipi dengan individu betina. Menurut Mardianah (2009) individu jantan dewasa berpipi akan terus menjaga hubungan berpasangan dengan individu betina dewasa sampai berminggu-minggu bahkan bulan. Jantan dewasa berpipi lebih memilih berpasangan dengan betina dewasa yang pernah mempunyai anak (reproduktif) untuk mencapai sukses reproduksi. Hubungan berpasangan pada orangutan tidak hanya dilakukan dengan satu individu yang sama, individu betina dapat berpasangan dengan banyak jantan dan sebaliknya. Berdasarkan hasil pengamatan Kondor melakukan hubungan berpasangan dengan beberapa jantan kurang lebih dengan 6 individu jantan dewasa tidak berpipi yang berbeda, hal yang sama juga dilakukan oleh individu Mindy dan Kerry. Berpasangan dengan banyak jantan merupakan salah satu strategi individu betina untuk mendapatkan keuntungan dari individu jantan seperti mendapat perlindungan dari individu jantan (Rodman & Mitani 1987; Atmoko 2009a). Pada saat hubungan berpasangan berlangsung antara betina reproduktif (Kondor) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi terjadi peningkatan perilaku sosial reproduksi beberapakali terlihat interaksi seksual kopulasi ataupun invenstigasi kelamin, sebaliknya individu betina non-reproduktif (Mindy dan Kerry) lebih memilih menjaga jarak dengan individu jantan didalam hubungan berpasangan. Individu betina yang mempunyai anak memilih menghindari perjumpaan dan kebersamaan dengan individu jantan, sehingga dalam pengamatan terlihat individu betina yang membawa anak menjaga jarak terhadap kehadiran individu jantan. Menurut Schurmann (1982); Galdikas (1985); Atmoko (2009a) hubungan berpasangan sangat penting untuk menentukan keberhasilan 36 kopulasi. Berdasarkan hasil pengamatan pada saat hubungan berpasangan berlangsung antara betina reproduktif nullipara (Kondor) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi lebih memilih dijarak 2-10m (66,457%), pada jarak tersebut terjadi peningkatan perilaku sosial reproduksi beberapakali terlihat interaksi seksual kopulasi ataupun invenstigasi kelamin. Hal ini disebabkan peningkatan hormon individu betina reproduktif nullipara yang menunjukan ketertarikan pada individu jantan. Sedangkan individu betina non-reproduktif (Mindy dan Kerry) lebih memilih menjaga jarak 10-50m (58,155%) dengan individu jantan didalam hubungan berpasangan. Individu betina yang mempunyai anak memilih menghindari perjumpaan dan kebersamaan dengan individu jantan, sehingga dalam pengamatan terlihat individu betina yang membawa anak menjaga jarak terhadap kehadiran individu jantan. Sesuai dengan pernyataan Schurmann (1982); Galdikas (1985); Atmoko et al. (2009) hubungan berpasangan sangat penting untuk menentukan keberhasilan kopulasi. Individu betina merupakan pengambil keputusan didalam interaksi seksual termasuk hubungan berpasangan, individu betina yang sedang mempunyai anak bertoleransi kepada anak selama proses pengasuhan berlangsung. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan penggunaan jarak 10-50 m yang dilakukan individu betina yang sedang mengasuh anak (non-reproduktif) terhadap kehadiran individu jantan. Gambar 14. Grafik persentase interval jarakantar individu betina reproduktif dan non-reproduktif dengan individu jantan dewasa tidak berpipi pada saat hubungan berpasangan (Consort) Keterangan: (n) Hari Inisiatif Individu Betina dalam Perilaku Seksual Inisiatif didalam hubungan seksual adalah keinginan suatu individu untuk terjadinya perilaku seksual. Umumnya inisiatif untuk terjadinya perilaku seksual dimulai dari keinginan individu jantan. Menurut data frekuensi yang didapatkan bahwa inisiatif untuk memulai perilaku seksual lebih banyak dilakukan individu 37 jantan dibandingkan dengan individu betina reproduktif ataupun betina nonreproduktif (Tabel 2). Berdasarkan pengamatan di lapangan semua inisiatif perilaku seksual yang terjadi pada individu betina reproduktif (kondor) diawali dari inisiatif individu jantan dewasa tidak berpipi. Inisiatif jantan dewasa tidak berpipi lebih tinggi dibandingkan dengan individu jantan dewasa berpipi. Jantan-jantan dewasa tidak berpipi mempunyai kesempatan kecil untuk mendapatkan akses betina reproduktif maupun betina non-reproduktif untuk melakukan hubungan reproduksi, sehingga jantan dewasa tidak berpipi memiliki inisiatif yang lebih besar dibandingkan jantan dewasa berpipi (Atmoko 2000). Menurut Fox (2002) 99% kopulasi yang terjadi pada orangutan sumatera merupakan inisiatif dari individu jantan dewasa tidak berpipi. Tabel. 2 Inisiatif individu betina dan jantan dalam perilaku seksual Status individu betina Betina reproduktif Betina non-reproduktif Total inisiatif jantan dewasa tidak berpipi 22 4 26 inisiatif betina terhadap jantan dewasa berpipi 2 0 2 Strategi yang berbeda dilakukan oleh individu betina dewasa yang berstatus reproduksi reproduktif (jinak), individu betina tersebut lebih cenderung berinisiatif memulai perilaku seksual atau mempertahankan kebersamaannya dengan individu jantan dewasa berpipi dibandingkan dengan individu jantan dewasa tidak berpipi dengan tujuan untuk mendapatkan akses makanan dan perlindungan dari individu jantan. Sesuai dengan peryataan Reijksen (1987); Atmoko (2000); Atmoko et al. (2009a) menyatakan bahwa individu betina dewasa reproduktif lebih berinisiatif mendekati individu jantan dewasa berpipi atau jantan dominan. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan akses perlindungan dan makanan dari jantan terhadap keturunannya (Schurmann & van Hoof 1986). Menurut Fox (2002) inisiatif indvidu betina dilakukan sebagai respon atas gangguan seksual yang dilakukan oleh jantan dewasa tidak berpipi. Pada individu betina dewasa non-reproduktif memiliki inisiatif yang rendah terhadap individu jantan untuk melakukan perilaku seksual. Beberapakali teramati adanya inisiatif individu jantan dewasa tidak berpipi untuk mendekati individu betina dewasa non-reproduktif, namun tidak berakhir dengan terjadinya perilaku seksual. Individu betina non-reproduktif memilih menghindari terjadinya perilaku reproduksi dengan individu jantan. Perilaku Seksual Kopulasi Kopulasi terjadi setelah kedua individu melakukan perjumpaan (nonconsort) ataupun di dalam hubungan berpasangan (consort). Kopulasi yang teramati selama pengamatan dibagi menjadi 3 kategori; suka sama suka (aktif), pemaksaan (pemerkosaan), dan setengah kerjasama (pasif). Kopulasi terjadi antara betina dewasa dan remaja dengan jantan dewasa tidak berpipi ataupun betina dewasa dengan jantan dewasa berpipi (Tabel 3). 38 Hubungan berpasangan (consortship) umumnya dilakukan oleh individu orangutan diawal perilaku seksual. Hubungan berpasangan terjadi segera setelah perjumpaan individu jantan dan betina. Selama masa berpasangan terjadi peningkatan perilaku seksual namun tidak selalu diakhiri dengan kopulasi, kopulasi dapat juga terjadi tanpa didahului dengan hubungan berpasangan. Strategi individu jantan dewasa tidak berpipi dalam melakukan hubungan seksual kopulasi adalah menjaga hubungan berpasangan dengan banyak individu betina reproduktif. Sesuai dengan hasil pengamatan bahwa individu jantan dewasa tidak berpipi sangat menjaga hubungan berpasangan dengan individu betina reproduktif (Kondor) pada waktu yang cukup lama. Consortship umumnya dilakukan oleh individu betina dewasa dengan individu jantan dewasa berpipi, hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan akses perlindungan dari individu jantan terhadap keturunannya (Schurmann & van Hoof 1986). Namun selama pengamatan berlangsung consortship tidak hanya terjadi pada individu betina dewasa dengan jantan dewasa berpipi, consortship juga sering dilakukan oleh individu betina remaja dengan jantan dewasa tidak berpipi dapat berlangsung berhari-hari. Berdasarkan hasil pengamatan kopulasi antara jantan dewasa tidak berpipi dengan betina reproduktif nullipara hanya terlihat pada individu Kondor, hal ini disebabkan Kondor memiliki umur yang lebih tua dibandingkan Milo (nullipara). Pada Kondor copulation intromistion sebanyak 25 kali, sedangkan Milo hanya melakukan copulation attempt sebanyak 2 kali. Percobaan kopulasi (copulation attempt) lebih banyak dilakukan oleh jantan dewasa tidak berpipi ataupun betina nullipara dibandingkan dengan jantan dewasa berpipi atau betina dewasa reproduktif (Galdikas 1985; van Schaik 2006). Copulation attempt atau percobaan kopulasi lebih sering dilakukan individu jantan remaja ataupun betina remaja, bersifat mencoba-coba melakukan kopulasi dan perilaku seksual lain. Percobaan kopulasi terjadi apabila individu jantan melakukan perilaku pendahuluan seperti sex investigate, merangsang individu betina dan menempatkannya pada posisi siap kawin, namun usaha individu jantan dihalang-halangi individu betina sebelum jantan melakukkan intromisi. Jantan remaja atau jantan tidak berpipi melakukan copulation attempt dengan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu jantan dewasa berpipi dan betina remaja lebih sering dibandingkan betina dewasa (Galdikas 1985; van Schaik 2006). Selama pengamatan dilapangan copulation attempt lebih sering dilakukan individu remaja (Milo dan Kondor) dengan jantan tidak berpipi dan tidak pernah teramati pada individu betina dewasa. Menurut Fox (2002) percobaan kopulasi antara individu individu remaja bersifat aktif kedua-duanya. Pada orangutan sumatera individu jantan dewasa tidak berpipi melakukan percobaan kopulasi dengan frekuensi yang lebih tinggi ketika individu betina sedang melakukan hubungan berpasangan dengan jantan dewasa berpipi dibandingkan pada saat individu betina tidak dalam masa berpasangan dengan tingkat keberhasilan berbanding terbalik. Copulation attempt juga sering dilakukan oleh anak jantan terhadap induk betina dengan tujuan pembelajaran perilaku seksual. Hal ini terjadi pada individu induk betina jinak dan jerry (anak) sebanyak dua kali. Teramati jinak dengan sabar memberikan pembelajaran seksual kepada jerry, jinak memposisiskan sebagai individu betina yang siap dikawinkan. Jerry mencoba melakukkan 39 kopulasi diawali dengan sex investigate dan diakhiri dengan intromisi beberapa kali. Menurut Maple (1980); van Schaik (2006) antar orangutan remaja melakukan pembelajaran kopulasi dengan menggunakan alat ataupun dengan induk betina. Tujuan akhir perilaku sosial reproduksi adalah kopulasi, kopulasi dikatakan sempurna apabila terjadi ejakulasi dan intromisi. Selama pengamatan berlangsung semua kopulasi yang terjadi dilakukan dengan adanya intromisi, namun ejakulasi tidak selalu teramati karena terhalang dahan pohon. Bentuk kopulasi Kondor dengan jantan dewasa tidak berpipi dengan persentase tertinggi kopuasi pasif 75%, 12,5% pemaksaan, dan 12,5% aktif, kopulasi tersebut hampir semua didalam consort tercatat 21 kejadian (Tabel 2). Pada saat consortship terjadi peningkatan perilaku seksual kopulasi. Berdasarkan hasil pengamatan kopulasi pemaksaan hanya dilakukan oleh individu jantan dewasa tidak berpipi terhadap individu betina nullipara (Kondor). Hal ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh individu jantan dewasa tidak berpipi untuk keberhasilan reproduksi, walaupun masih harus dibuktikan dengan tes DNA (apakah anak yang dilahirkan adalah hasil kopulasi pemaksaan. Pada penelitian ini tidak ditemukan kopulasi pemaksaan antara individu jantan dewasa berpipi dengan individu betina reproduktif disebabkan ketanggapan seksual individu betina meningkat dan status sosial individu jantan sehingga keduanya mendapatkan keuntungan. Perilaku kopulasi sering diawali dengan tindakan pendahuluan yaitu merangsang pasangannya. Sex investigate merupakan salah satu perilaku seksual yang bertujuan untuk merangsang pasangan untuk mengawali kopulasi. Sex investigate (genital inspection) yaitu perilaku menyentuh vulva atau genital dengan jari atau bibir yang dilakukan individu jantan dewasa berpipi atau jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Maple (1980) sex investigate dilakukan untuk menyingkirikan rambut disekitar organ genital individu betina yang dilakukan individu jantan sebelum kopulasi. Sex investigate dilakukan segera setelah bertemu dengan individu betina dapat bertujuan untuk memeriksa masa reproduktif individu betina sehingga memungkinkan untuk terjadinya kopulasi. Menurut Maple (1980) aktifitas sex investigate tidak selalu diakhiri dengan aktifitas kopulasi, sesuai dengan hasil pengamatan dilapangan yang terjadi pada individu betina reproduktif (Kondor) dengan individu jantan dewasa tidak berpipi. Menurut Maple (1980); van Schaik (2006) sex investigate juga dilakukkan oleh orangutan yang berada di dalam reintroduksi ataupun dikebun binatang. Pengambil keputusan untuk terjadinyanya kopulasi dilakukan individu betina (decision maker). Beberapa jenis kopulasi yang teramati adalah kopulasi pemaksaan atau pemerkosaan (forced copulation), kopulasi aktif dan kopulasi pasif. Kopulasi pemaksaan terjadi apabila individu jantan berusaha melakukan kopulasi dengan individu betina, tetapi terlihat usaha individu betina menolak usaha jantan untuk ditempatkan pada posisi tertentu yang memungkinkan terjadinya intromisi. Beberapa usaha penolakan yang dilakukan individu betina diantaranya adalah memukul, mendorong, mengigit, berteriak dan membrontak. Kopulasi pemaksaan lebih banyak dilakukan oleh individu jantan dewasa tidak berpipi terhadap individu betina reproduktif. Hal ini merupakan strategi yang efektif dilakukan oleh individu jantan dewasa tidak berpipi untuk keberhasilan reproduksi. Kopulasi pemaksaan tidak ditemukan pada individu 40 jantan dewasa berpipi, namun menurut Delgado & van Schaik (2000) menemukan bahwa jantan dewasa berpipi melakukan kopulasi pemaksaan dengan frekuensi lebih rendah dibandingkan dengan jantan dewasa tidak berpipi. Tabel 3. Durasi waktu (menit) interaksi seksual antara betina dengan jantan tidak berpipi dan jantan berpipi Jantan dewasa tidak berpipi Jantan dewasa berpipi Consort Non-consort SI CA CI FC Pasif Aktif Consort Non-consort SI CA CI FC Pasif Aktif Kerry 0 1 1 0 5 (1) 0 1 0 Individu betina Juni Jinak 0 1 1 0 3 (1) 0 0 2 0 6 (1) 0 0 0 0 0 1 0 0 1 2 1 0 0 0 4 (1) 24 (2) 0 0 1 14 (1) 0 10 (1) Milo 0 2 2 8 (2) 0 0 0 0 Kondor 21 7 23 4 219 (25) 2 21 2 Keterangan: Semua data dalam menit; angka dalam kurung“()”/n=Jumlah kejadian S.I= Sex Investigate, CA= Copulation Attemp, C.I= Copulation Intromistion, F.C= Forced Copulation Kopulasi aktif merupakan kopulasi yang dimulai dari inisiatif individu betina untuk memulai kopulasi serta adanya kerjasama antara individu jantan dan betina. Berdasarkan pengamatan kopulasi aktif hanya terjadi satu kali pada individu jinak yang berstatus reproduksi reproduktif dengan jantan dewasa berpipi. Kopulasi pasif kebalikan dari kopulasi aktif dimana kopulasi dimulai dari inisiatif individu jantan yang menginginkan terjadinya kopulasi. Kopulasi pasif banyak terjadi pada individu betina remaja dengan individu jantan dewasa tidak berpipi ataupun jantan remaja. Strategi seksual individu jantan adalah mendapatkan akses individu betina reproduktif untuk SIMPULAN dan SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka didapatkan kesimpulan bahwa adanya perbedaa respon individu betina terhadap seruan panjang (long call) yang didengar di dalam di luar hubungan berpasangan. Status reproduksi dan status sosial mempengaruhi interval perjumpaan antar individu betina berkerabat. Selain itu dalam penelitian ini diketahui bahwa betina reproduktif nullipara berinteraksi dengan jantan dewasa tidak berpipi pada interval jarak 2-10m sedangkan betina non reproduktif jarak 10-50m. Perjumpaan antara jantan dewasa berpipi dengan betina non-reproduktif dan reproduktif berada di interval jarak 10-50m. Pada saat hubungan berpasangan betina reproduktif menjaga jarak di interval 10-50m, sedangkan betina reproduktif di interval 2-10m. Insiatif dalam memulai interaksi 41 perilaku sosial dilakukan oleh individu jantan. Perilaku seksual kopulasi banyak dilakukan oleh betina reprodukti dan reproduktif nullipara. Saran Hasil penelitian ini dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai interaksi dan respon orangutan dengan individu lain pada keadaan lingkungan yang berbeda seperti pada saat banyak buah dan sedikit buah. DAFTAR PUSTAKA Atmoko SSU, Mitra ST, Goossens B, James SS, Knott CD, Bernard M, van Schaik CP, van Noordwijk MA. 2009 a. Orangutan Matting Behavior and Strategi, eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Atmoko SSU, Singleton I, van Noordwijk MA, van Schaik, Mitra ST. 2009 b. Male-male Relationships in Orangutan. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Atmoko SSU. 2000. Bimaturism in Orangutan Males: Reproductive and Ecological Strategies. (Thesis). Faculty Biology Utrecht University. The Nederlands. Delgado RAJR van Schaik CP. 2000. The Behavioral Ecology and Conservation The Orangutan (Pongo pymaeus): A Tale of Two Island. Evolutionary Antrophology. 20: 201-218. Fox EA. 2002. Female Tactics to Reduce Sexsual Harassment in The Sumatera Orangutan (Pongo pymaeus abelii). Behavior Ecology Sociology Biology. Springer. 52: 93-101. Galdikas BMF. 1984. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Galdikas BMF. 1985. Adult Male Sociality and Reproductive Tactic Among Orangutan at Tanjung Puting. American Journal of Primatology. 45; 9-24. Maple TL. 1980. Orangutan Behavior. Primate Behavior and Development Series van Nostrand Reinhold Company. Meijaard E, Rijksen, HR, Kartikasari SN. 2001. Di Ambang Kepunahan, Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta. Rijksen HD. 1978. A Field Study on Sumatra Orangutans (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827) Ecology Behaivior and Conservation, (Disseration) Argricultur University Wageningen. 42 Rodman CG, Mitani JC. 1987. Orangutans Sexual Dimorpisme in A Solitary Spesies in Primate Societies. The University of Chicago Press. US. Mitra ST, Delgado R, Atmoko SSU, Singleton I, van Schaik CP. 2009. Social Organization and Male-Female Relationships. eds. Orangutans: Geographic Variation in Behavior Ecology and Conservation. Oxford University Press. US. Schurmann CL, Van Hooff JARAM. 1986. Reproduktive Strategies of the Orangutan. New data and a reconsideration of existing sosiosexsual model. International Journal of Primatology. 7: 265-287. Schurmann CL. 1982. Courtship and Mating Behavior of Wild Orangutan in Sumatera dalam Primate Behavior and Sociobiology, A. B. Chiarelli dan R. S. Corruccini, Springer Verlag, Berlin Heidelberg. van Schaik CP, van Hooff JARAM. 1996. Toward an Understanding of The Orangutan’s Social System in McGrew, WC, Marchout, LF, and Nishida T, eds. Grear Ape Societies. University Press, Canbreidge, pp 3-15. van Schaik CP. 2006. Diantara Orangutan. Kera Merah Dan Kebangkitannya Kebudayaan Manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Bormeo (BOS), Jakarta. 43