Kariyoto 45 Konsep Auditing dalam Perspektif Praktik Audit Kariyoto Dosen STIE Asia Malang Abstrak Konsep bertugas menyeragamkan gagasan berlaku universal atau hampir universal tentang auditing, sehingga berbagai wacana tentang independensi, kesesuaian dengan tolok ukur tertentu, dan seterusnya dimungkinkan berada dalam domain auditing. Tidak ada yang lebih buruk dari pada kesalahan penentuan konsep. Penentuan konsep yang keliru, menyebabkan seluruh struktur pengetahuan auditing menjadi keliru. Tidak semua konsep auditing harus disetujui oleh semua pihak, kecuali beberapa konsep pokok. Konsep-konsep tersebut terakumulasi oleh perjalanan waktu penggunaan teknologi auditing yang membentuk suatu kerangka dasar yang menjadi inti dari teori auditing yang berkembang dinamis. Konsep-konsep berkembang melalui berbagai tahap yaitu tahap observasi fakta terkait aktivitas auditing, tahap perumusan atau generalisasi, tahap pengaitan antar hasil generalisasi dan tahap pengujian ulang untuk memastikan bahwa generalisasi benar-benar berlaku umum dan berguna. Metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan persepsi fan konsepsi yang merupakan hasil peristiwa observasi dikaitkan dengan persepsi lain, ditafsir, dan digeneralisasi. Generalisasi merupakan awal pembentukan suatu konsep dalam simbol-simbol verbal melalui penggunaan bahasa. Konsep muncul ketika suatu profesi mencapai suatu kemajuan berdasarkan pada pengalaman. Tujuan penelitian persepsi dan konsepsi auditing untuk menghasilkan pemahaman dalam praktik audit. Kata Kunci: Konsep, auditing, praktik, audit Abstract The concept of duty uniform notion of universal or nearly universal effect of the auditing , so that the various discourses on independence, compliance with certain benchmarks, and so it is possible to be in the domain of auditing . There is nothing worse than the error determination concept . Determination of the misconceptions, causing the entire structure into a false auditing knowledge . Not all concept of auditing should be approved by all parties, except for a few basic concepts . The concepts are accumulated by the passage of time usage auditing technology that forms a basic framework that became the core of the evolving dynamic auditing theory . The concepts evolved through various phases: observation of facts related to auditing activity, stage of formulation or generalization, association between stages of generalization results and re- testing phase to ensure that valid generalizations really common and useful . Qualitative descriptive method to describe the conception of fan perception is the result of observation events associated with another perception, interpreted, and generalized . Generalization is the initial formation of a concept in the verbal symbols through use of language. The concept emerged as a profession achieve an improvement based on experience . The purpose of the study of perception and conception auditing to produce understanding in the audit practice. Keywords : concept , auditing , practice , auditing Pendahuluan Pada awalnya konsep muncul sebagai pinjaman atau analogi bidang ilmu atau bidang profesi lain. Misalnya, konsep independensi profesional adalah pintu gerbang untuk semua standar profesi dan prosedur audit. Sebuah konsep menjalin hubungan saling menguatkan dan saling ketergantungan dengan konsep yang lain, secara integral membentuk konsep auditing yangfal safiah (terkait disiplin membangun konsep), konsep auditing ideal dan konsep auditing yang nyata (yaitu jenis konsep). Konsep falsafah tidak dimiliki secara eksklusif oleh auditing, misalnya konsep tentang kebenaran, bukti, dan eksistensi fisik. Misalnya, konsep tentang bukti dalam ilmu matematika, hukum, fisika atau hukum bersumber dari teori pengetahuan yang kemudian digunakan secara khusus dan berbeda pada masing-masing bidang ilmu tersebut. Perbedaan tersebut adalah tentang kriteria bukti berkonotasi bidang ilmu masing-masing. Kontrol internal (intemal control) pada awalnya adalah sarana pengendalian dalam manajemen, diadopsi oleh teknologi auditing, berfungsi sangat berbeda dalam domain ilmu auditing sebagai sarana strategis atau sebuah hampiran audit. Konsep harus dapat diterapkan pada praktik. Misalnya, konsep independensi memberi panduan mantap tentang kemerdekaan menyatakan opini audit, kemerdekaan 46 Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014 posisional auditor terhadap auditee, sesama auditor, dan masyarakat, serta tanggung jawab sosial auditor. Konsep utama dalam auditing laporan keuangan adalah konsep bukti, konsep kecermatan audit, konsep kelayakan saji, konsep kemerdekaan profesional, dan konsep perilaku etis profesional. proses design konsep auditing. Data informasi tambahan digali melalui pengalaman praktis sebagai auditor dilapangan. Organisasi hasil penelitian digambarkan melalui analisis deskriptif ditinjau dari beberapa konsep: (1) konsep bukti, (2) konsep kecermatan audit, (3) konsep kelayakan saji laporan, (4) konsep kemerdekaan profesional, (5) konsep perilaku etis professional, (6) konsep integelensi auditor, dan (5) kesimpulan. Metode Penelitian Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk mendapatkan pemahaman dan gambaran yang utuh mengenai sebuah fenomena pustaka tentang konsep auditing yang jarang ditemukan, mungkin merupakan akar penyebab mengapa praktik auditing "sangat berbeda" dengan cita-cita luhur auditing tentang kebenaran dan independensi auditor. Literatur tentang teori auditing lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pustaka tentang akuntansi. Pertanyaan mendasar seperti "Jadi, kalau suatu hasil audit dapat dibatalkan oleh audit selanjutnya, atau oleh audit yang lain dengan hasil berbeda, sesungguhnya, apa gunanya auditing?" atau "Apabila suatu kesimpulan audit tidak dapat diterima sebagai bukti pengadilan, lalu apa gunanya auditing?" merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa dunia membutuhkan falsafah tentang auditing. Pada awalnya, kelaziman pendapat tentang kecukupan jumlah uji sampel ditentukan berdasarkan opini auditor lalu muncul wacana apakah basis pengalaman dan intuisi auditor dapat diandalkan menyebabkan tuntutan penggunaan teori probabilitas dan hukum inferensi dalam penentuan kecukupan sampel audit. Pertanyaan lebih rumit adalah: apakah program audit minimum harus diterapkan pada setiap tugas audit, dan apabila demikian, bagaimana bentuk program audit tersebut? Seberapa jauh dalam jasa penasihatan manajemen atau jasa perpajakan boleh diberikan yang menjamin independensi auditor tidak terdistorsi? Bolehkah auditor mengungkapkan temuan kelemahan kendali internal kepada publik, apabila dipertimbankan membahayakan umum? Apakah temuan ketidaklaziman keputusan atau kebijakan manajemen yang membahayakan kesinambungan usaha audit boleh dipublikasi bagi masyarakat! Berapa jauh tanggung jawab auditor untuk mengungkapkan keterbatasan laporan keuangan pada situasi krisis keuangan yang melanda negara? Apa dasar atau mengapa auditor diizinkan mengandalkan kesimpulan hasil uji sistem kendali internal yang dinilai memuaskan untuk mengurangi jumlah sampel audit? Koleksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi studi pustaka atau dokumentasi. Peneliti berperan sebagai key instrument, kehadirannya diketahui sebagai informan, dan bersifat observative non participant. Peneliti meninjau dan menelaah aspek-aspek yang menjadi Konsep Bukti Bukti adalah sarana persuasi atau memaksa untuk percaya sesuai jenis audit dan tujuan audit. Tujuan bukti sesuai bidang ilmu: bukti pada ilmu hukum bertujuan menjaga keadilan, bukti pada ilmu sejarah berguna untuk meyakinkan sesuatu nilai masa lalu, sedang bukti pada ilmu auditing laporan keuangan bertujuan untuk proteksi pembaca laporan keuangan. Dengan demikian pada ilmu hukum, buktibukti yang berlawanan dipertentangkan, bukti lebih meyakinkan memperoleh kemenangan. Auditee dapat menyembunyikan bukti berlawanan atau secara tersamar atau terang-terangan menghalangi auditor memasuki wilayah bukti berlawanan agar kesimpulan auditor sesuai dengan harapan auditee. Pembatasan tersebut berisiko menyebabkan auditor tidak mampu menyatakan kesimpulan audit secara konklusif. Keputusan atau kesimpulan audit berbasis bukti berada di atas opini berbasis perasaan atau emosi, bukti dikumpulkan secara rasional dan sistematis untuk membentuk opini. Tanpa bukti kompeten memadai, auditor gagal melakukan evaluasi secara efektif, kesimpulan audit tidak rasional dan tidak berpamor. Bukti audit, antara lain bukti alamiah, bukti reka cipta, dan argumen rasional. Inventarisasi fisik aset berdasar bukti alamiah tentang eksistensi kasat mata segala sesuatu merupakan bukti paling meyakinkan. Bukti reka cipta tidak secara alamiah tersedia harus dibuat oleh manusia. Sebagian bukti reka cipta mungkin tidak dapat dipahami oleh auditor, misalnya kalkulasi akuiuarial, penentuan tarif diskonto nilai-kini-neto, tarif premi risiko, dan lainlain yang menjadi dasar penilaian suatu pos laporan keuangan. Bukti akuntansi dan catatan akuntansi tergolong bukti reka cipta, prosedur analitis dilakukan auditor dapat meruntuhkan bukti yang sah secara hukum, misalnya kontrak sewa berjudul operating lease ternyata mengandung pasal-pasal bersyarat capital lease. Auditor mungkin menemukan suatu hubungan istimewa lalu melakukan penelusuran transaksi pihak-pihak tersebut. Auditor mungkin menemukan tanggal penerimaan barang di depan tanggal faktur atau kontrak penjualan, membutuhkan argumen atau penjelasan dari pelaku transaksi. Argumen rasional sebagai jenis bukti yang ketiga adalah logika yang mampu memberi Kariyoto kesimpulan logis berbeda dari apa yang tampak secara fisik atau logika yang meruntuhkan bukti reka cipta yang sah. Bukti dapat bertentangan dengan bukti lain untuk memperoleh pengetahuan tertentu. Bukti secara fisik juga dapat menyesatkan oleh salah lihat, salah identifikasi, salah perhitungan jumlah fisik dan malfungsi alat pengukur. Argumen rasional mungkin menggunakan logika kimia, matematika, dan fisika yang tidak dipahami semua orang. Auditor menggunakan semua bukti tersebut di atas, auditor forensik yang berpengalaman dipandu pula oleh indra keenam atau semacam naluri detektif. Konsep Kecermatan Audit Kemahiran profesional harus digunakan secara cermat dan saksama umumnya, kewaspadaan bernuansa kecurigaan profesional yang sehat (skeptisisme) khususnya, lebih khusus lagi selalu mempertimbangkan kemungkinan pelanggaran hukum dan kecurangan dalam pelaporan laporan keuangan untuk menyampaikan kesimpulan audit dengan keyakinan memadai sesuai kebenaran. Kecermatan dan kesaksamaan auditor yang iuiur dituntut agar aktivitas audit dan perilaku profesional tidak berdampak merugikan orang lain, kepedulian akan kerusakan masyarakat akibat kekurangcermatan audit yang diseimbangkan dengan keperluan menghindari risiko audit itu sendiri. Profesi auditing ingin mendapat citra independen dan terhormat, sehingga secara alamiah auditor berupaya menghindari pernyaraan positif tentang tanggung jawab umumnya, tuntutan hukum khususnya. Profesi auditing juga menjelaskan pembagian tanggung jawab sebagai misal manajemen auditee bertanggung jawab atas akuntansi dan kendali internal yang memadai, walaupun akuntansi dan kendali internal telah memenuhi rekomendasi perbaikan kendali internal sesuai saran auditor yang sama tahun lalu karena pengetahuan tidak langsung auditor sebatas data dan bukti yang diterimanya dari auditee. Namun, saran koreksi akuntansi dan laporan keuangan yang dipatuhi auditee, menyebabkan auditor berpeluang memilih kesimpulan audit atau opini yang lebih menyenangkan auditee. Batasan tanggung jawab juga ditentukan berdasarkan penugasan audit, misalnya pa datugas audit umum (general audit) laporan keuangan tidak bertanggung jawab untuk menemukan ketidaklaziman atau kecurangan, dan auditor hanya menjadi bertanggung jawab atas tidak terdeteksinya ketidaklaziman atau kecurangan bila tidak melaksanakan audit sesuai standar audit. Pada suatu penugasan audit kecuranganpun dilakukan pembatasan tanggung jawab auditor, misalnya oleh indikasi, jenis, dan periode kecurangan. 47 Pada umumnya, asosiasi profesi apa pun secara alamiah berupaya membatasi penularan citra buruk akibat malpraktik atau kecerobohan profesional anggota profesi, pengurus asosiasi secara alamiah juga berupaya meminimumkan tuntutan hukum kepada asosiasi profesi. Secara diam-diam atau terang-terangan asosiasi profesi atau rekan seprofesi sebagian merasa citra profesi dirugikan oleh malpraktik tersebut, merasa tidak layak melakukan pembelaan profesi. Pengungkapan kasus pelanggaran kode etik atau standar profesi dapat dilakukan pihak yang merasa dirugikan oleh pelanggaran, otoritas atau pihak lain yang merasa wajib melapor sebagai peniup pluit, membuat posisi tidak nyaman bagi profesional tertuduh. Proses hukum mencakupi berbagai aspek teknis audit dan berbagai masalah yang abstrak, membutuhkan jumlah energi dan waktu cukup besar unruk penjelasan bela diri. Asosiasi dapat menjadi reaktif berlebih dan membuat berbagai aturan, kemestian, batasan, dan sanksi baru dengan dalih membangun perlindungan anggota yang lurus, mungkin justru berdampak sebagai "bumerang". Makin banyak batasan kemestian profesi dan proses litigasi, bidang profesi itu makin tidak menarik bagi pendatang baru. Konsep Kelayakan Saji Laporan Auditing peduli akan ketulusan laporan dan informasi manajemen yang harus dievaluasi dan disimpulkan auditor, apakah realiras disajikan secara layak sesuai prinsip berterima umum, sesuai kesepakatan kesepakatan dan tolok ukur tertentu. Untuk menguji kelayakan saji, auditor harus dibekali pengetahuan dan atau didukung tenaga ahli cukup sesuai bidang ilmu isu yang diaudit. Audit manajemen membutuhkan keahlian bidang ilmu manajemen umumnya, prinsip manajemen khususnya, audit pemasaran membutuhkan pengetahuan konsep pemasaran umumnya, prinsip pemasaran khususnya, audit laporan keuangan membutuhkan auditor berbidang ilmu akuntansi. Apabila isu audit lintas bidang ilmu, atau apabila untuk menuju kesimpulan audit harus menggunakan bidang ilmu lain atau pergetahuan lain, maka dibutuhkan penguasaan pengetahuan lain dan bidangbidang ilmu tertentu untuk memecahkan masalah audit tersebut. Walaupun tidak ada benturan kepentingan yang perlu tatkala auditor menggunakan hampiran pengungkapan paripurna, kecenderungan pengungkapan pihak manajemen auditee tidak selalu sejalan dengan auditor, calon investor dan kreditor, pialang sekuritas, serikat buruh dan pemerintah karena alasan persaingan usaha, sentimen pasar dan harga sekuritas. Penyajian paripurna berdampak 48 Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014 langsung kepada bingkai waktu audit dan biaya karena perluasan informasi hasil audit. independensi membuat pernyataan kesimpulan atau opini. Sebagai bagian dari integritas professional, independensi keputusan, kesimpulan atau opini audit berarti mengunggulkannya di atas kehendak pemberi tugas audit, auditee atau pihak lain. Oleh karena independensi itu maka muncullah tanggung jawab paripurna auditor akan kualitas proses audit, saran, nasihat, rekomendasi perbaikan, dan opini tanpa dapat dialihkan kepada siapa pun. Apabila pemberi kerja, auditee atau suatu pihak tidak suka bahkan tidak setuju dengan saran dan opini tersebut, sikap tersebut tidak dapat menggoyahkan atau mengubah opini. Permintaan pembatalan atau perubahan suatu opini audit dengan ancaman pembalasan pun, sekalikali tidak dapat dipenuhi auditor. Inilah konsekuensi profesional dari independensi, yang harus dipikul auditor. Ancaman pembalasan misalnya pemutusan hubungan kerja dan penundaan pembayaran imbalan audit. Apabila pendapat, kesimpulan atau opini disubordinasikan terhadap kehendak klien, pemerintah dan pihak lain, maka auditing umumnya, opini audit khususnya tidak mempunyai nilai ekonomis lagi. Auditor harus independen dari kepentingan pribadi yang secara sadar atau bawah sadar menyesatkan dirinya untuk mengambil kesimpulan audit atau keputusan pendapat audit secara tidak sesuai realitas (Cashin dan Levy, 2001). Independensi di sini berarti ketidaktertarikan yang jujur antuk mengambil manfaat atau keuntungan dari rekayasa opini. Oleh karena tugas kuasi judisial itu, auditor tidak boleh berada pada posisi berbaik atau berburuk sangka, posisi terikat perjanlian atau komitmen tertentu, serta tidak dapat melakukan tugas non-audit atau jabatan lain pada objek audit yang sama, selain tugas audit tersebut. Independensi dapat tererosi secara gradual oleh serial godaan penyimpangan kecil dan tidak terasa. Independensi dapat dikorbankan untuk perolehan nilai sosial atau spiritual yang mulia lain, misalnya rekayasa proses audit dan opini berbasis iba hati untuk menolong pihak yang akan mendapat bencana akibat opini objektif, tanpa imbalan khusus. Apabila independensi disubordinasi oleh nilai mulia lain seperti membela keadilan, keberpihakan pada yang lemah atau bela rasa dengan kebohongan opini, maka auditing kehilangan roh. Independensi dapat tumbuh subur atau terdistorsi oleh tegak atau runtuhnya etika profesi. Dalam kalbu praktisi kemampuan memelihara independensi auditor di lapangan, strategi sertifikasi profesi auditor, kondisi pasar jasa audit dan iklim persaingan sangat berdampak pada independensi. Suksesi dan regenerasi profesi audit, kualitas standar profesi dan spesialisasi profesi auditing juga berdampak positif Konsep Kemerdekaan Profesional Secara falsafiah, auditor apa pun, termasuk auditor internal harus memiliki kemerdekaan profesional. Sebagian pasar memersepsi laporan audit hanya sebagai sebuah elemen kecil dalam bisnis, sebagai sebuah sarana bisnis atau komoditas yang diperoleh karena imbalan jasa profesional. Sebagian publik menganut konsep "pembeli adalah raja" karena itu sepantasnya berkuasa menentukan opini. Bila auditor adalah akuntan dan karena banyak akuntan bekeria sebagai juru buku, juru upah-gaji, juru gudang, juru administrasi keuangan dan sistem informasi manajemen, bagaimana publik diminta memandang dan memperlakukan auditor secara khusus dari akuntan berprofesi lain, dan bahwa pemberi kerja "tidak ikut campur" dalam kegiatan dan keputusan audit? Independensi profesional, keahlian profesional dalam auditing dan kejujuran profesionil adalah "merek dagang' bagi opini audit, merupakan pemicu nilai ekonomis profesi auditing. Mengapa orang membutuhkan opini? Kredibilitas laporan internal dibutuhkan pembuat laporan karena laporan akan digunakan sebagai sarana pengambilan keputusan pihak luar manajemen yang menggunakan laporan tersebut untuk kepentingan pembuat laporan, maka muncullah profesi asersi. Pendapat, opini atau kesimpulan audit menambah kredibilitas laporan internal hanya apabila pemberi pendapat tentang laporan itu independen. Apabila pendapat independen tersebut dinilai sebagai pendapat ahli yang kompeten dan juiur maka kredibilitas laporair internal itu makin meningkat. Karena penilaian publik tentang hal itu berdasarkan gejala atau penampakan, auditor harus menampakkan independensi, keahlian dan kejujuran secara sengaja. Auditor menghindari risiko tuduhan tidak independen, misalnya karena hubungan akrab, rahasia dan kekerabatan, ketergantungan keuangan, jasa konsultasi manajemen pada auditee, berkantor pada gedung auditee utama, dan perilaku terlampau berorientasi pada permasaran, de facto independen tidak cukup, auditor harus mencegah dirinya masuk ke suatu situasi yang berisiko menimbulkan kesan tidak independen. Auditor secara jujur perlu selalu memandang dirinya sebagaimana publik memandang dirinya sebagai dasar memperbaiki citra profesional. Independensi praktisi diterapkan mulai dari evaluasi risiko pra-penugasan independensi untuk menolak penugasan bersyarat, sehingga yang tidak mungkin bermuara pada kesimpulan atau opini konklusif, independensi dalam menerapkan program audit terutama akses kepada data basis opini, dan Kariyoto terhadap profesi auditor. Disamping komposisi dan kompatibilitas jasa non-audit dengan jasa audit. Kebijakan pembangunan bangsa berorientasi pada good governance dan peraturan perundang-undangan tentang auditing, ketergantungan keuangan pada pemberi kerja audit, pasar audit. Kuasi oligopoli yang tercipta otoritas perbankan dan pasar modal, serta kegiatan promosi pemasaran jasa audit berciri komersial juga berpengaruh luar biasa terhadap independensi auditor. Konsep Perilaku Etis Profesional Etika audit dibangun berdasarkan etika berlaku umum, terjalin pada karakteristik profesi yang menurut Arens and Beasley (2009:13) kegiatan intelektual dengan tanggung jawab individual yang besar, bahan baku diperoleh dari ilmu dan pembelajaran, praktik atau aplikasi, teknik dapat diajarkan dan dikomunikasikan, kecenderungan mengarur diri sendiri, motif abruist makin benambah. Agar profesi berkesinambungan, tanggung jawab individual tersebut meliputi tanggung jawab pada pemberi kerja, masyarakat, sesama rekan seprofesi dan pada diri sendiri. Auditor adalah abdi masyarakat dan auditing memberi manfaat bagi sebagian besar kehidupan manusia, sehingga dari sudut pandang etika utilitarian, masyarakat penerima manfaat jasa audit harus melindungi, membina dan melestarikan teknologi auditing. Etika adalah ilmu tentang tingkah laku, adat istiadat, perbuatan baik dan buruk, sifat utama dan baik, budi pekerti mulia dan agung. Etika bukan sekadar konsep atau pengetahuan, namun nilai yang memengaruhi kehendak manusia untuk sengaja memilih hidup suci, berbuat kebaikan, member faedah bagi sesama dan mengeiar kesempurnaan susila (adab, kelakuan, sopan santun, budi pekerti luhur). Ethos mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan, ethos mengatur disiplin diri sendiri dan dengan sesama, etika mengatur hubungan sosial antar manusia, dan estetika mendorong peningkatan diri dan lingkungan menjadi lebih baik, indah dan nyaman. Etika terkelompok sebagai etika hedonism (kesenangan), etika utilitarian (maslahat bagi orang banyak), dan etika deontologist (kewajiban). Sebagai ilmu tentang moralitas, etika terbagi meniadi tiga konteks yaitu etika deskriptif, etika normatif dan metaetika. Etika normatif bersifat preskriptif (memerintahkan), tidak menggambarkan melukiskan, namun menentukan benar salah perilaku dengan argumen berlandaskan norma atau prinsip etis yang tidak dapat ditawar terdiri atas (1) etika umum (berlaku universal), dan (2) etika khusus (prinsip etis berlaku umum yang diterapkan atas suatu wilayah perilaku khusus, etika terapan (applied ethics), misalnya auditing. Ilmu sosiologi dan psikologi 49 adalah ilmu-ilmu tentang tingkah laku manusia dengan demikian ilmu tentang tingkah Iaku (behavioral science) tersebut mencakup pula tingkah laku etis. Shaw (1996: 2431 menguraikan bahwa etika terkait sifat individu dan aruran moral yang mengatur dan membatasi perilaku seseorang dalam konteks salah atau benar, kewajiban atau tugas, dan tanggung jawab moral. Standar-standar moral adalah kepedulian perilaku yang berdampak serius pada kesejahteraan manusia. Kualitas standar moral tergantung dari kekuatan alasan yang mendukung standar tersebut. Moralitas sebagai suatu code-of conduct dipisahkan dari moralitas dalam konteks nilai, cita-cita, dan aspirasi individu yang lebih luas. Falsafah audit tentang benturan nilai etis antara auditor dan auditee. Sasaran perusahaan adalah laba, dan norma etis sering kali merupakan pembatas atau penghalang pencapaian sasaran laba. Oleh karena itu, upaya optimalisasi pencapaian laba berpotensimenyurutkan perilaku bermoral dan para manajer mendapat tekanan untuk mengompromikan standar moral pribadi untuk mencapai sasaran perusahaan. Organisasi juga menuntut komitmen, kesetiaan dan konformitas anggota organisasi pada nilai yang dianut perusahaan, yang berarti mengorbankan kepentingan pribadi dan ukuran moral pribadi karyawan. Korporasi tidak mempunyai roh, karena itu tidak dapat beretika. Bakan (2004:79) menyitir pendapat Edward Thurlow, Lord Chansellor of England pada abad ke-19 yang menyatakan bahwa korporasi tidak mempunyai roh atau jiwa untuk dipersalahkan. Frank Easterbrook, hakim dan komentator legal dan professor hukum Daniel Fishel menyatakan bahwa "Corpoftttions can no more be said to haue moral obligations than does a building, an organization cbart, or a contract". Hanya manusia yang punya kewajiban moral, korporasi hanya punya kewajiban hukum. Bakan (2004: 134) menyitir Noam Qhomsky yang menyatakan bahwa "The corporation, after all, is deliberately designed to be a psychopath: purely self-interested, incapable of concern for others, amoral, and without conscience to ensure the human beings who (it is) interacting witht you and me, also become inhuman". Manajemen korporasi adalah manusia yang mempunyai kesadaran etis dan rasa tanggung jawab sosial, namun ia dibatasi oleh tugas utamanya dari pemegang saham untuk optimalisasi laba. Oleh karena itu, pemerintah melalui berbagai undangundang perseroan terbatas, anti monopoli dan persaingan tidak sehat, bertugas melakukan pengendalian korporasi dengan pengendalian secara demokratis untuk menjamin hak dan kepentingan masyarakat dan lingkungan. Korporasi didirikan sebagai entitas laba, bukan entitas moral. Joel Bakan (2004: 33-34) menyitir Milton Friedman yang 50 Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014 percaya bahwa moralisme baru dalam bisnis adalah imoral. Korporasi adalah milik pemegang saham, karena itu kepentingan korporasi adalah kepentingan pemegang saham, tanggung jawab sosial eksekutif korporasi adalah menghasilkan uang sebanyak mungkin bagi pemegang saham. Kebijakan perusahaan yang berkandungan tanggung jawab sosial secara moral harus mendukung pencarian laba berkesinambungan, karena kelangsungan hidup korporasi dalam bahaya apabila korporasi itu dianggap sebagai sebuah masalah oleh publik sebagai suatu entitas yang mengeksploitasi dan membahayakan lingkungan, etika dan hak azasi manusia. Sebagian besar penugasan audit adalah untuk menjaga kesinambungan usaha, sesuai ungkapan Friedman yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah sematamata mengejar laba dalam aturan hukum. Drutman dan Cray (2004: 130-131) menyatakan bahwa pengutamaan kepentingan pemegang saham umumnya, maksimalisasi pengembalian pemegang saham dengan segala akal dan cara adalah akar utama penyebab perilaku destruktif perusahaan, sehingga ancangan paling efektif adalah pelebaran tujuan perusahaan dari semata-mata optimalisasi pengembalian bagi pemegang saham kepada akuntabilitas terhadap semua stakeholders khususnya, melayani dan berguna bagi masyarakat umumnya. Oleh karena itu, muncul berbagai kegiatan audit social dan lingkungan. Drutman dan Cray menyitir Code for Corporate Responsibility yang pada intinya menyatakan bahwa direktur dan karyawan bertanggungjawab untuk optimalisasi laba bagi pemegang saham dan optimalisasi kepentingan publik, antara lain tanpa merugikan lingkungan, HAM, kesehatan atau keselamatan publik dan komunitas tempat perusahaan beroperasi, atau mengorbankan kehormatan karyawan (the dignity of its employees). Drutman dan Cray (2004: 131) mengutip Monks yang menyatakan sebagai berikut: "the corporation is an externalizing machine, in the same way that a shark is a hilling machine.... There isn't any question of malevolence or of will; the enterprise has within it, and the sharks has within it, those characteristics that enable it to do that for which it was designed...(the corporation) is potentially very, very damaging to society" dan mengutip pernyataan Frank H. Easterbrook dan Danjel R. Fischel bahwa: "managers do not have an ethical duty to obey economic regulatory laws just because the laws exist. They must determine the importance of these laws. The penalties Congress names for disobedience are a measure of how much it wants firms to sacrifice in order to adhere to the rules; the idea of optional sanctions is based on the supposition that managers not only may but also should violate the rules when it is profitable to do so." Pada sisi lain, konsep audit yang menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan yang perlu di antara auditor dan auditee didukung oleh Shaw (1995: 202-236) yang menemukan bahwa beberapa perusahaan yang sangat sukses ternyata menjadi pemuka dalam menghormati hak dan harga diri karyawan, laba dan efisiensi selaras dengan lingkungan kerja yang adil, perlakuan setara melalui kebilakan, penetapan standar dan pengambilan keputusan tanpa pertimbangan jenis kelamin, cacat tubuh, usia, etnik, kebangsaan dan agama. Uraian tugas harus jelas, promosi iabatanharus berbasis kualifikasi tugas, nepotisme harus dihindari, sistem kendali disiplin harus mengandung sistem peringatan, pesangon, dan konseling. Sistem penggajian adil mempertimbangkan hukum, tarif upah industri, tingkat upah masyarakat, jenis pekerjaan, keamanan tugas dan kemampuan keuangan perusahaan. Brooks (2003:1,47) menyatakan bahwa dimensi program pembangunan etika meliputi (1) kode etik formal, (2) badan atau komite khusus yang merumuskan kebijakan, etika, evaluasi pelaksanaan etika, investigasi pelanggaran etika, (3) sistem komunikasi etika, (4) petugas khusus etika atau ombudsman, (5) program pelatihan etika, (5) proses pendisiplinan bagi perilaku tidak etis. Kode etik dapat berupa sekadar (1) kredo, menjadi (2) kode etik, diperinci dalam (3) kode perilaku, sampai (4) kode praktik. Berbagai studi menemukan sistem kendali internal berbasis kepatuhan dan sanksi kurang efektif dibanding hampiran demokratis dan partisipatif, sehingga lebih baik berbasis pemberdayaan. Kepedulian pada konsumen pengguna laporan audit juga diperkuat oleh studi Shaw (1 995: 344-386) yang menyimpulkan bahwa meningkatnya ketergantungan konsumen meningkatkan tanggung jawab entitas akan keamanan produk, terjadi tren bahwa entitas bertanggung jawab atas kerugian konsumen karena produk cacat sekali pun tidak disengaja, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk mengatur keamanan produk, pemerintah menjamin entitas memenuhi tanggung jawabnya kepada konsumen (legal paternalism). Entitas perlu mengutamakan keselamatan konsumen, mencegah salah guna produk, memantau ketat proses produksi, menelaah implikasi keamanan akibat strategi pemasaran dan periklanan produk, pengungkapan paripurna informasi produk, dan investigasi keluhan pelanggan. Ikatan profesi audit perlu memperbaiki sembilan lingkungan etis profesi, sesuai studi Connell, B. (2006) meliputi kepentingan pribadi, Kariyoto laba, efisiensi, persahabatan, kepentingan tim, tanggung jawab sosial, moral pribadi, peraturan dan prosedur audit, hukum dan standar profesi. Dari berbagai studi disimpulkan bahwa iklim etis terbukti ada pada tingkat kelompok kerja, berpengaruh positif pada pengambilan keputusan etis dan kepuasan kerja, mempunyai hubungan negatif dengan pelanggaran etis, dan mempunyai dampak moderasi pada perilaku etis setiap individu. Konsep Intelegensi Auditor Mengerjakan sesuatu yang benar tidak selalu mudah, namun selalu benar, etika tidak selalu mempunyai nilai ekonomis dalam jangka pendek, namun dipastikan mempunyai nilai ekonomis jangka panjang bagi profesi audit. Auditing mempunyai hubungan erat dengan lima komponen intelegensi spiritual yaitu (a) kapasitas transendensi secara fisik dan materlal, (b) kemampuan memasuki tingkat kesadaran spiritual yang lebih tinggi, (c) kemampuan mengalami kejadian atau melakukan berbagai kegiatan harian dengan kesadaran kesucian (sense of sacred) dan tujuan yang suci, (d) kemampuan menggunakan sumberdaya spiritual untuk memecahkan masalah kehidupan, (e) kapasitas untuk berhubungan dalam perilaku yang baik sempurna (seperti menunjukkan rasa syukur berterima kasih, sikap memaafkan, rendah hati, atau iba hati). Intelegensi spiritual merupakan basis dari independensi profesional yang menjadi merek dagang auditor. Lopez dan Wu (2007) mengangkat opini audit berkredibilitas sebagai sebuah "komoditas" perekonomian dunia membutuhkan kapasitas kepemimpinan berbasis profesi. Menurut beberapa pakar menyimpulkan bahwa kepemimpinan sebagai suatu hubungan dan sebuah perilaku mempunyai nilai sebagai dimensi inti. Nilai terkait pada kepercayaan (trust) dan kredibilitas, di atas mana kepemimpinan dibangun dan dilestarikan, menginformasikan pelaksanaan penalaran, komunikasi, pemikiran strategis, dan penggunaan kekuasaan. Audit berbasis etika adalah amanah, Chakraborty & Chakraborty (2004: 194, 198) melakukan studi pustaka dan studi pendapat berbagai pakar Timur dan Barat untuk memperoleh kedalaman pemahaman konseptual dan contoh praktik tentang kepemimpinan, menyimpulkan bahwa pemimpin tertransformasi adalah sebab, transformasi para pengikut adalah dampak. Infusi aspek spiritual dalam kepemimpinan diharapkan memberi kedalaman pemahaman lebih jauh, menggeser konsep transaksional, dagang, tawar-menawar antata pemimpin dan yang dipimpin dengan peningkatan mutualistik ketingkatan lebih tinggi motivasi dan moralitas, kesadaran spiritual dan 51 pengungkapan diri sebagai yang ditunjuk atau ditugasi oleh Yang Maha Kuasa, mempersilakan Yang Maha Kuasa bekerja lewat dirinya, mengajukan proposisi suara nurani dalam formula: sincerity + silence + no preference = divine voice. Temuan berbagai riset tentang dampak spiritual pada dalam kompetensi kesadaran diri atau kompetensi pribadi adalah selalu tahu dir:i atau sadar diri, sadar emosi diri, penilaian diri positif, dan esteem yang meningkat sejalan dengan peningkatan spiritualitas, sejalan dengan kompetensi pribadi pada emotional intelligence (El). Filsafat auditing berkaitan dengan intelegensi spiritual, auditor ideal adalah individu berintelegensi spiritual. Zohar dan Marshall (2004) menengarai bahwa Spritual Quotient (SQ) mengajak manusia menjawab pertanyaan besar, seperti mengapa saya dilahirkan?; apa makna hidup saya?; mengapa saya mencurahkan hidup pada hubungan, pekerjaan atau persoalan tertentu?; apa yang sungguh-sungguh ingin saya capai dalam hidup ini? SQ memaksa melihat konteks lebih luas atau skema besar dari peristiwa. Suatu sumber transpersonal yang melampaui baias-batas kemampuan deskripsi manusia. SQ adalah kapasitas bawaan otidak manusia yang memberi kemampuan membentuk makna, nilai dan keyakinan. Falsafat auditing pemahaman hakikat sejati perubahan, membangkitkan kesadaran akan nilai dan rasa tidak puas spiritual. SQ juga membangkitkan hasrat atau motivasi akan nilai yang lebih tinggi, agung atau mulia, membangkitkan kemampuan mengetahui dan menemukan makna segala sesuatu pada wawasan pemahaman nirbatas dan lebih holistik. Benang merah berbagai postulat auditing dapat dijumpai dalam dua belas ciri kecerdasan spiritual adalah kesadaran diri, mengetahui keyakinan diri, mengetahui faktor-faktor yang sungguh-sungguh memotivasi diri. Kesadaran akan tujuan hidup diri sendiri yang paling dalam spontanitas, menghayati dan menanggapi setiap moment dalam kandungan setiap momen, terbimbing oleh visi dan nilai. Bertindak berdasar prinsip dan keyakinan yang dalam, hidup sesuai prinsip dan keyakinan akan sistem atau konektivitas. Menurut Bertens (1993), hati nurani adalah penghayatan tentang baik dan buruk terkait perilaku konkret diri, memberi perintah atau melarang melakukan sesuatu dalam situasi khusus dan konkret. Penolakan atas perintah berbasis moralitas itu menghancurkan integritas pribadi dan martabat terdalam, membangkitkan kegelisahan nurani (bad conscience) bahkan perasaan tidak bahagia, yang berbasis pada (1) kesadaran diri (self consciousness), (2) kemampuan melihat diri sebagai objek. Hati nurani retrospektif melakukan penilaian, penghakiman dan penghukuman pada perbuatan diri 52 Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014 masa lalu, hati nurani prospektif melihat masa depan, mengajak atau melarang melakukan sesuatu terkait moral. Perbuatan mulia atau baik menghasilkan pujian dari hati nurani, menghasilkan ketenangan nurani, kepuasan nurani bahkan kebahagiaan. Perbuatan amoral mendapat kecaman dan celaan dari hati nurani, menghasilkan kegelisahan jiwa dan perasaan tidak berbahagia. Lebih lanjut Bertens (1993), mengungkapkan hati nurani bersifat personal (diwarnai pengalaman hidup dan kepribadian individu) dan bersifat adipersonal (seolah-olah instansi di atas diri individu) yang mempunyai aspek transenden (melebihi pribadi kita). Bertens mengungkapkan bahwa hati nurani berarti hati yang diterangi (nur adalah cahaya dari luar yang menerangi hati), hati yang menangkap signal dari luar dengan berbagai penamaan seperti "suara hati," "suara batin," "kata hati" yang melebihi pribadi kita. Nilai yang hampir cross cultur itu adalah kejujuran (honesty), keadilan (fairness), bersungguh hati (compassion), integritas (integrity), dapat diperkirakan (predictability), rasa tanggung jawab (responsibility), secara umum diindikasikan oleh aturan etika yang berupaya membatasi mendorong kecenderungan etis atau tindakan tertentu yang paling banyak terjadi secara global, seperti (1) pembayaran tidak wajar, suap, pengaruh tidak wajar, (2) konflik kepentingan, (3) pengamanan kepemilikan informasi, (4) menerima hadiah, (5) diskriminasi atau perlakuan setara, (5) memberi hadiah, (7) proteksi lingkungan, (8) pelecehan seksual, (9) antimonopoli (10) keamanan kerja, (11) aktivitas politik, (12) hubungan komunitas atau publik, (13) kerahasiaan informasi pribadi, (14) program pengaduan dan proteksi pengadu, (15) tindakan semena-mena, (16) nepotisme, dan (17) pekerja di bawah umur. Kode etik formal adalah pernyataan prinsip-prinsip berlaku umum yang tidak mampu melayani suatu organisasi mengartikulasi aspirasi moral tertinggi, karena itu tidak mempunyai praktikabilitas memandu berbagai perilaku tertentu; bagaimana setiap individu menafsir prinsip-prinsip etika dalam memecahkan berbagai dilema etis tergantung pada faktor-faktor individualistik seperti ideologi dan nilai-nilai etis. Independensi sebagai merek dagang auditor, kapasitas independensi dalam diri seseorang merupakan elemen intelegensi spiritual terpenting. Independensi terhadap lingkungan sebagai sebuah faktor SQ (spiritual quotient) adalah suatu tingkat keyakinan diri yang amat kuat yang menyebabkan independensi terhadap sikap atau pilihan terhadap apa yang telah diputuskan. Semula dengan risiko disebut tidak konsisten, mendapat tekanan kelompoknya, terisolasi atau tidak popular. Melihat melampaui arus dan menentang arus kekuatan organisasi atau budaya, mengambil jarak dengan keadaan sekitar, menemukan jalan sendiri, mengambil jarak dari paradigma dan kebiasaan diri sendiri. Bebas dari batasan, kebutuhan dan kecenderungan diri mampu berdiri pada ketinggian perspektif. Wawasan pandang yang luas dan independen secara teguh, terfokus, tabah, berkomitmen. Berpikiran independen, kemampuan menahan derita terisolasi, berbagai sifat lain yang terdapat pada para ilmuwan dan seniman yang menemukan cara baru dalam melihat atau melakukan sesuatu yang baru secara inovatif. Disisi lain sebagian orang menilai sebagai keras kepala dan subversif. Sebaliknya, sifat tidak independen terhadap lingkungan adalah sifat konvensional, umum, mudah dipengaruhi lingkungan, butuh dukungan kelompok. Tradisi dan konvensi kesepakatan, bergantung pada persetujuan, bergantung pada opini orang lain, bergantung pada keadaan, berisiko tidak mandiri, buta dorongan dari dalam diri atau motivasi diri, dan tidak kritis atas diri. Kesimpulan Apakah seseorang merasa terpanggil menjadi auditor? Apakah ia merasa bersyukur atas anugerah kepercayaan dari masyarakat, sehingga ia merasa terpanggil untuk melaksanakan tugasnya secara baik? Rasa keterpanggilan vocational sebagai sebuah aspek SQ adalah suatu dorongan visioner perasaan, kemauan, hasrat batin. Praktik audit adalah melakukan sesuatu hal yang bernilai spiritual, lebih baik dan mulia. Praktik audit berdasar cita-cita atau nilai terdalam dalam diri konsep auditing yang benar, bukan dorongan ambisi atau tujuan kefanaan tertentu. Suatu keinginan kuat untuk memenuhi dan mewujudkan panggilan itu secara konkret penuh perhatian, damai dan membumi. Rasa keterpanggilan dapat disebabkan rasa syukur yang mendalam karena menerima anugerah sangat berlimpah dan ingin membalas dan mengembalikannya dalam bentuk yang sama atau lain. Suatu campuran rasa syukur, rasa terima kasih, rasa kasih, dan rasa hormat atas anugerah kehidupan. Pemeliharaan rasa keterpanggilan spiritual yang sehat dilakukan dengan renungan berkala tentang apa yang telah dimiliki dan dicapai. Konsep auditing yang luhur yang tercermin dalam implementasi praktik audit. Rasa bersyukur, bersuka cita dan berterima kasih, menyalurkan sebagian anugerah kepada yang lain, melakukan introspeksi dengan berbagai pertanyaan seperti apakah dalam hidup ini terasa ada dorongan keinginan melakukan suatu perubahan menuju kebenaran dan praktik audit yang perfeksionis? Apakah merasa ingin berbagi kebahagiaan atau anugerah dengan orang lain tentang kebenaran laporan keuangan? Apakah merasa Kariyoto bertanggung jawab kepada orang lain, masyarakat, dunia melampaui tugas resmi atau komitmen resmi? Apakah merasa bahwa hidup ini mempunyai arah atau tujuan mulia yang seharusnya diikuti? Kekuatan utama praktik audit terletak pada kode etik prasetia pada dirinya sendiri sebagai anggota asosiasi untuk selalu bersikap dan perilaku sesuai dengan kode etik bukan karena sanksi etika. Kode etik menjaga integritas anggota auditor, melayani publik tanpa pembedaan apapun, dengan atau tanpa imbalan, berjuang untuk menegakkan hukum dan kebenaran secara iujur, bertanggung jawab, menjunjung tugas sebagai profesi terhormat (officium nobile), bekerja dengan bebas dan mandiri, setia kawan antara sesama rekan seprofesi, menunjukkan keteladanan, sopan santun, mempertahankan hak dan martabat dimanapun. Mendahulukan kepentingan klien di atas kepentingan pribadi, tidak membatasi kebebasan klien untuk mempercayakan kepentingannya kepada auditor lain, menentukan besar uang jasa audit dalam batas layak, memegang rahasia jabatan, tidak mempunyai kepentingan terhadap usaha klien, menjadi penjaga perilaku etis rekan seprofesi, tidak menarik klien rekan seprofesi, menerbirkan opini sesuai peraturan. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Arens, Alvin A., Randal J. Elder, dan Mark S. Beasley. 2009. Auditing and Assurance Services and Integrated Approach. Edisi ketiga Belas. Pearson Prentice Hall. Bertens, 1993. Etika. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Bakan, J. 2004. The Corporation The Pasthological Pursuit of Profotand Power. New York. Free Press. Brooksm 2003. Menyitir hasil studi The Conference Board Research Report. Global Corporat Ethics Practice. Connel, B. Professional Accountants in Business at the Heart of Sustainability. IFAC. www.ifac.org. diakses Desember 2013. Chakraborty & Chakraborty. 2004. The Transformed Leader And Spiritual Psychology: A Few Insights. 17,2,ABI/INFORM Global. Cashin, James A., Paul D. Neuwirth, dan J.F. Levi. 2001. Auditing Practical Manual for Auditor. Mc.Graw-Hill. Drutman, Lee dan Cray CF. 2004. The People’s Businness. San Fransisco: Berrett Koehler Publisher, Inc. Lopez,T., S.D. Vanderelde, dan Wu. 2007. The Auditor’s Opinion on Internal Controls: an 53 experemintal investigation of relevance. Working Paper: University of South Carolina. 10. Shaw, William H. 1995. Business Ethics. California: Wadsworth Publishing Company. 11. Zohar dan Marshall. 2004. Spiritual Capital. London: Bloomsburypbks.