Konsep Auditing dalam Perspektif Praktik Audit - lp3m stie

advertisement
Kariyoto
45
Konsep Auditing dalam Perspektif Praktik Audit
Kariyoto
Dosen STIE Asia Malang
Abstrak
Konsep bertugas menyeragamkan gagasan berlaku universal atau hampir universal tentang auditing, sehingga
berbagai wacana tentang independensi, kesesuaian dengan tolok ukur tertentu, dan seterusnya dimungkinkan
berada dalam domain auditing. Tidak ada yang lebih buruk dari pada kesalahan penentuan konsep. Penentuan
konsep yang keliru, menyebabkan seluruh struktur pengetahuan auditing menjadi keliru. Tidak semua konsep
auditing harus disetujui oleh semua pihak, kecuali beberapa konsep pokok. Konsep-konsep tersebut terakumulasi
oleh perjalanan waktu penggunaan teknologi auditing yang membentuk suatu kerangka dasar yang menjadi inti
dari teori auditing yang berkembang dinamis. Konsep-konsep berkembang melalui berbagai tahap yaitu tahap
observasi fakta terkait aktivitas auditing, tahap perumusan atau generalisasi, tahap pengaitan antar hasil
generalisasi dan tahap pengujian ulang untuk memastikan bahwa generalisasi benar-benar berlaku umum dan
berguna. Metode deskriptif kualitatif untuk menjelaskan persepsi fan konsepsi yang merupakan hasil peristiwa
observasi dikaitkan dengan persepsi lain, ditafsir, dan digeneralisasi. Generalisasi merupakan awal pembentukan
suatu konsep dalam simbol-simbol verbal melalui penggunaan bahasa. Konsep muncul ketika suatu profesi
mencapai suatu kemajuan berdasarkan pada pengalaman. Tujuan penelitian persepsi dan konsepsi auditing untuk
menghasilkan pemahaman dalam praktik audit.
Kata Kunci: Konsep, auditing, praktik, audit
Abstract
The concept of duty uniform notion of universal or nearly universal effect of the auditing , so that the various
discourses on independence, compliance with certain benchmarks, and so it is possible to be in the domain of
auditing . There is nothing worse than the error determination concept . Determination of the misconceptions,
causing the entire structure into a false auditing knowledge . Not all concept of auditing should be approved by all
parties, except for a few basic concepts . The concepts are accumulated by the passage of time usage auditing
technology that forms a basic framework that became the core of the evolving dynamic auditing theory . The
concepts evolved through various phases: observation of facts related to auditing activity, stage of formulation or
generalization, association between stages of generalization results and re- testing phase to ensure that valid
generalizations really common and useful . Qualitative descriptive method to describe the conception of fan
perception is the result of observation events associated with another perception, interpreted, and generalized .
Generalization is the initial formation of a concept in the verbal symbols through use of language. The concept
emerged as a profession achieve an improvement based on experience . The purpose of the study of perception and
conception auditing to produce understanding in the audit practice.
Keywords : concept , auditing , practice , auditing
Pendahuluan
Pada awalnya konsep muncul sebagai
pinjaman atau analogi bidang ilmu atau bidang
profesi lain. Misalnya, konsep independensi
profesional adalah pintu gerbang untuk semua
standar profesi dan prosedur audit. Sebuah konsep
menjalin hubungan saling menguatkan dan saling
ketergantungan dengan konsep yang lain, secara
integral membentuk konsep auditing yangfal safiah
(terkait disiplin membangun konsep), konsep
auditing ideal dan konsep auditing yang nyata (yaitu
jenis konsep). Konsep falsafah tidak dimiliki secara
eksklusif oleh auditing, misalnya konsep tentang
kebenaran, bukti, dan eksistensi fisik. Misalnya,
konsep tentang bukti dalam ilmu matematika, hukum,
fisika atau hukum bersumber dari teori pengetahuan
yang kemudian digunakan secara khusus dan berbeda
pada masing-masing bidang ilmu tersebut. Perbedaan
tersebut adalah tentang kriteria bukti berkonotasi
bidang ilmu masing-masing. Kontrol internal
(intemal control) pada awalnya adalah sarana
pengendalian dalam manajemen, diadopsi oleh
teknologi auditing, berfungsi sangat berbeda dalam
domain ilmu auditing sebagai sarana strategis atau
sebuah hampiran audit. Konsep harus dapat
diterapkan pada praktik. Misalnya, konsep
independensi memberi panduan mantap tentang
kemerdekaan menyatakan opini audit, kemerdekaan
46
Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014
posisional auditor terhadap auditee, sesama auditor,
dan masyarakat, serta tanggung jawab sosial auditor.
Konsep utama dalam auditing laporan keuangan
adalah konsep bukti, konsep kecermatan audit,
konsep kelayakan saji, konsep kemerdekaan
profesional, dan konsep perilaku etis profesional.
proses design konsep auditing. Data informasi
tambahan digali melalui pengalaman praktis sebagai
auditor dilapangan. Organisasi hasil penelitian
digambarkan melalui analisis deskriptif ditinjau dari
beberapa konsep: (1) konsep bukti, (2) konsep
kecermatan audit, (3) konsep kelayakan saji laporan,
(4) konsep kemerdekaan profesional, (5) konsep
perilaku etis professional, (6) konsep integelensi
auditor, dan (5) kesimpulan.
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk
mendapatkan pemahaman dan gambaran yang utuh
mengenai sebuah fenomena pustaka tentang konsep
auditing yang jarang ditemukan, mungkin merupakan
akar penyebab mengapa praktik auditing "sangat
berbeda" dengan cita-cita luhur auditing tentang
kebenaran dan independensi auditor. Literatur
tentang teori auditing lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah pustaka tentang akuntansi. Pertanyaan
mendasar seperti "Jadi, kalau suatu hasil audit dapat
dibatalkan oleh audit selanjutnya, atau oleh audit
yang lain dengan hasil berbeda, sesungguhnya, apa
gunanya auditing?" atau "Apabila suatu kesimpulan
audit tidak dapat diterima sebagai bukti pengadilan,
lalu apa gunanya auditing?" merupakan fenomena
yang menunjukkan bahwa dunia membutuhkan
falsafah tentang auditing. Pada awalnya, kelaziman
pendapat tentang kecukupan jumlah uji sampel
ditentukan berdasarkan opini auditor lalu muncul
wacana apakah basis pengalaman dan intuisi auditor
dapat diandalkan menyebabkan tuntutan penggunaan
teori probabilitas dan hukum inferensi dalam
penentuan kecukupan sampel audit. Pertanyaan lebih
rumit adalah: apakah program audit minimum harus
diterapkan pada setiap tugas audit, dan apabila
demikian, bagaimana bentuk program audit tersebut?
Seberapa jauh dalam jasa penasihatan manajemen
atau jasa perpajakan boleh diberikan yang menjamin
independensi auditor tidak terdistorsi? Bolehkah
auditor mengungkapkan temuan kelemahan kendali
internal kepada publik, apabila dipertimbankan
membahayakan
umum?
Apakah
temuan
ketidaklaziman keputusan atau kebijakan manajemen
yang membahayakan kesinambungan usaha audit
boleh dipublikasi bagi masyarakat! Berapa jauh
tanggung jawab auditor untuk mengungkapkan
keterbatasan laporan keuangan pada situasi krisis
keuangan yang melanda negara? Apa dasar atau
mengapa
auditor
diizinkan
mengandalkan
kesimpulan hasil uji sistem kendali internal yang
dinilai memuaskan untuk mengurangi jumlah sampel
audit? Koleksi data dalam penelitian ini dilakukan
dengan observasi studi pustaka atau dokumentasi.
Peneliti
berperan
sebagai
key
instrument,
kehadirannya diketahui sebagai informan, dan
bersifat observative non participant. Peneliti
meninjau dan menelaah aspek-aspek yang menjadi
Konsep Bukti
Bukti adalah sarana persuasi atau memaksa
untuk percaya sesuai jenis audit dan tujuan audit.
Tujuan bukti sesuai bidang ilmu: bukti pada ilmu
hukum bertujuan menjaga keadilan, bukti pada ilmu
sejarah berguna untuk meyakinkan sesuatu nilai masa
lalu, sedang bukti pada ilmu auditing laporan
keuangan bertujuan untuk proteksi pembaca laporan
keuangan. Dengan demikian pada ilmu hukum, buktibukti yang berlawanan dipertentangkan, bukti lebih
meyakinkan memperoleh kemenangan. Auditee dapat
menyembunyikan bukti berlawanan atau secara
tersamar atau terang-terangan menghalangi auditor
memasuki wilayah bukti berlawanan agar kesimpulan
auditor sesuai dengan harapan auditee. Pembatasan
tersebut berisiko menyebabkan auditor tidak mampu
menyatakan kesimpulan audit secara konklusif.
Keputusan atau kesimpulan audit berbasis bukti
berada di atas opini berbasis perasaan atau emosi,
bukti dikumpulkan secara rasional dan sistematis
untuk membentuk opini. Tanpa bukti kompeten
memadai, auditor gagal melakukan evaluasi secara
efektif, kesimpulan audit tidak rasional dan tidak
berpamor. Bukti audit, antara lain bukti alamiah,
bukti reka cipta, dan argumen rasional. Inventarisasi
fisik aset berdasar bukti alamiah tentang eksistensi
kasat mata segala sesuatu merupakan bukti paling
meyakinkan. Bukti reka cipta tidak secara alamiah
tersedia harus dibuat oleh manusia. Sebagian bukti
reka cipta mungkin tidak dapat dipahami oleh
auditor, misalnya kalkulasi akuiuarial, penentuan tarif
diskonto nilai-kini-neto, tarif premi risiko, dan
lainlain yang menjadi dasar penilaian suatu pos
laporan keuangan. Bukti akuntansi dan catatan
akuntansi tergolong bukti reka cipta, prosedur analitis
dilakukan auditor dapat meruntuhkan bukti yang sah
secara hukum, misalnya kontrak sewa berjudul
operating lease ternyata mengandung pasal-pasal
bersyarat capital lease. Auditor mungkin menemukan
suatu
hubungan
istimewa
lalu
melakukan
penelusuran transaksi pihak-pihak tersebut. Auditor
mungkin menemukan tanggal penerimaan barang di
depan tanggal faktur atau
kontrak penjualan,
membutuhkan argumen atau penjelasan dari pelaku
transaksi. Argumen rasional sebagai jenis bukti yang
ketiga adalah logika yang mampu memberi
Kariyoto
kesimpulan logis berbeda dari apa yang tampak
secara fisik atau logika yang meruntuhkan bukti reka
cipta yang sah. Bukti dapat bertentangan dengan
bukti lain untuk memperoleh pengetahuan tertentu.
Bukti secara fisik juga dapat menyesatkan oleh salah
lihat, salah identifikasi, salah perhitungan jumlah
fisik dan malfungsi alat pengukur. Argumen rasional
mungkin menggunakan logika kimia, matematika,
dan fisika yang tidak dipahami semua orang. Auditor
menggunakan semua bukti tersebut di atas, auditor
forensik yang berpengalaman dipandu pula oleh indra
keenam atau semacam naluri detektif.
Konsep Kecermatan Audit
Kemahiran profesional harus digunakan
secara cermat dan saksama umumnya, kewaspadaan
bernuansa kecurigaan profesional yang sehat
(skeptisisme) khususnya, lebih khusus lagi selalu
mempertimbangkan
kemungkinan
pelanggaran
hukum dan kecurangan dalam pelaporan laporan
keuangan untuk menyampaikan kesimpulan audit
dengan keyakinan memadai sesuai kebenaran.
Kecermatan dan kesaksamaan auditor yang iuiur
dituntut agar aktivitas audit dan perilaku profesional
tidak berdampak merugikan orang lain, kepedulian
akan kerusakan masyarakat akibat kekurangcermatan
audit yang diseimbangkan dengan keperluan
menghindari risiko audit itu sendiri. Profesi auditing
ingin mendapat citra independen dan terhormat,
sehingga secara alamiah auditor berupaya
menghindari pernyaraan positif tentang tanggung
jawab umumnya, tuntutan hukum khususnya. Profesi
auditing juga menjelaskan pembagian tanggung
jawab sebagai misal manajemen auditee bertanggung
jawab atas akuntansi dan kendali internal yang
memadai, walaupun akuntansi dan kendali internal
telah memenuhi rekomendasi perbaikan kendali
internal sesuai saran auditor yang sama tahun lalu
karena pengetahuan tidak langsung auditor sebatas
data dan bukti yang diterimanya dari auditee.
Namun, saran koreksi akuntansi dan laporan
keuangan yang dipatuhi auditee, menyebabkan
auditor berpeluang memilih kesimpulan audit atau
opini yang lebih menyenangkan auditee. Batasan
tanggung jawab juga ditentukan berdasarkan
penugasan audit, misalnya pa datugas audit umum
(general audit) laporan keuangan tidak bertanggung
jawab untuk menemukan ketidaklaziman atau
kecurangan, dan auditor hanya menjadi bertanggung
jawab atas tidak terdeteksinya ketidaklaziman atau
kecurangan bila tidak melaksanakan audit sesuai
standar audit. Pada suatu penugasan audit
kecuranganpun dilakukan pembatasan tanggung
jawab auditor, misalnya oleh indikasi, jenis, dan
periode kecurangan.
47
Pada umumnya, asosiasi profesi apa pun
secara alamiah berupaya membatasi penularan citra
buruk akibat malpraktik atau kecerobohan
profesional anggota profesi, pengurus asosiasi secara
alamiah juga berupaya meminimumkan tuntutan
hukum kepada asosiasi profesi. Secara diam-diam
atau terang-terangan asosiasi profesi atau rekan
seprofesi sebagian merasa citra profesi dirugikan oleh
malpraktik tersebut, merasa tidak layak melakukan
pembelaan profesi. Pengungkapan kasus pelanggaran
kode etik atau standar profesi dapat dilakukan pihak
yang merasa dirugikan oleh pelanggaran, otoritas
atau pihak lain yang merasa wajib melapor sebagai
peniup pluit, membuat posisi tidak nyaman bagi
profesional tertuduh. Proses hukum mencakupi
berbagai aspek teknis audit dan berbagai masalah
yang abstrak, membutuhkan jumlah energi dan waktu
cukup besar unruk penjelasan bela diri. Asosiasi
dapat menjadi reaktif berlebih dan membuat berbagai
aturan, kemestian, batasan, dan sanksi baru dengan
dalih membangun perlindungan anggota yang lurus,
mungkin justru berdampak sebagai "bumerang".
Makin banyak batasan kemestian profesi dan proses
litigasi, bidang profesi itu makin tidak menarik bagi
pendatang baru.
Konsep Kelayakan Saji Laporan
Auditing peduli akan ketulusan laporan dan
informasi manajemen yang harus dievaluasi dan
disimpulkan auditor, apakah realiras disajikan secara
layak sesuai prinsip berterima umum, sesuai
kesepakatan kesepakatan dan tolok ukur tertentu.
Untuk menguji kelayakan saji, auditor harus dibekali
pengetahuan dan atau didukung tenaga ahli cukup
sesuai bidang ilmu isu yang diaudit. Audit
manajemen membutuhkan keahlian bidang ilmu
manajemen
umumnya,
prinsip
manajemen
khususnya,
audit
pemasaran
membutuhkan
pengetahuan konsep pemasaran umumnya, prinsip
pemasaran khususnya, audit laporan keuangan
membutuhkan auditor berbidang ilmu akuntansi.
Apabila isu audit lintas bidang ilmu, atau apabila
untuk menuju kesimpulan audit harus menggunakan
bidang ilmu lain atau pergetahuan lain, maka
dibutuhkan penguasaan pengetahuan lain dan bidangbidang ilmu tertentu untuk memecahkan masalah
audit tersebut.
Walaupun tidak ada benturan kepentingan
yang perlu tatkala auditor menggunakan hampiran
pengungkapan
paripurna,
kecenderungan
pengungkapan pihak manajemen auditee tidak selalu
sejalan dengan auditor, calon investor dan kreditor,
pialang sekuritas, serikat buruh dan pemerintah
karena alasan persaingan usaha, sentimen pasar dan
harga sekuritas. Penyajian paripurna berdampak
48
Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014
langsung kepada bingkai waktu audit dan biaya
karena perluasan informasi hasil audit.
independensi membuat pernyataan kesimpulan atau
opini.
Sebagai bagian dari integritas professional,
independensi keputusan, kesimpulan atau opini audit
berarti mengunggulkannya di atas kehendak pemberi
tugas audit, auditee atau pihak lain. Oleh karena
independensi itu maka muncullah tanggung jawab
paripurna auditor akan kualitas proses audit, saran,
nasihat, rekomendasi perbaikan, dan opini tanpa
dapat dialihkan kepada siapa pun. Apabila pemberi
kerja, auditee atau suatu pihak tidak suka bahkan
tidak setuju dengan saran dan opini tersebut, sikap
tersebut tidak dapat menggoyahkan atau mengubah
opini. Permintaan pembatalan atau perubahan suatu
opini audit dengan ancaman pembalasan pun, sekalikali tidak dapat dipenuhi auditor. Inilah konsekuensi
profesional dari independensi, yang harus dipikul
auditor. Ancaman pembalasan misalnya pemutusan
hubungan kerja dan penundaan pembayaran imbalan
audit.
Apabila pendapat, kesimpulan atau opini
disubordinasikan
terhadap
kehendak
klien,
pemerintah dan pihak lain, maka auditing umumnya,
opini audit khususnya tidak mempunyai nilai
ekonomis lagi. Auditor harus independen dari
kepentingan pribadi yang secara sadar atau bawah
sadar menyesatkan dirinya untuk mengambil
kesimpulan audit atau keputusan pendapat audit
secara tidak sesuai realitas (Cashin dan Levy, 2001).
Independensi di sini berarti ketidaktertarikan yang
jujur antuk mengambil manfaat atau keuntungan dari
rekayasa opini. Oleh karena tugas kuasi judisial itu,
auditor tidak boleh berada pada posisi berbaik atau
berburuk sangka, posisi terikat perjanlian atau
komitmen tertentu, serta tidak dapat melakukan tugas
non-audit atau jabatan lain pada objek audit yang
sama, selain tugas audit tersebut.
Independensi dapat tererosi secara gradual
oleh serial godaan penyimpangan kecil dan tidak
terasa. Independensi dapat dikorbankan untuk
perolehan nilai sosial atau spiritual yang mulia lain,
misalnya rekayasa proses audit dan opini berbasis iba
hati untuk menolong pihak yang akan mendapat
bencana akibat opini objektif, tanpa imbalan khusus.
Apabila independensi disubordinasi oleh nilai mulia
lain seperti membela keadilan, keberpihakan pada
yang lemah atau bela rasa dengan kebohongan opini,
maka auditing kehilangan roh. Independensi dapat
tumbuh subur atau terdistorsi oleh tegak atau
runtuhnya etika profesi. Dalam kalbu praktisi
kemampuan memelihara independensi auditor di
lapangan, strategi sertifikasi profesi auditor, kondisi
pasar jasa audit dan iklim persaingan sangat
berdampak pada independensi. Suksesi dan
regenerasi profesi audit, kualitas standar profesi dan
spesialisasi profesi auditing juga berdampak positif
Konsep Kemerdekaan Profesional
Secara falsafiah, auditor apa pun, termasuk
auditor internal harus memiliki kemerdekaan
profesional. Sebagian pasar memersepsi laporan audit
hanya sebagai sebuah elemen kecil dalam bisnis,
sebagai sebuah sarana bisnis atau komoditas yang
diperoleh karena imbalan jasa profesional. Sebagian
publik menganut konsep "pembeli adalah raja"
karena itu sepantasnya berkuasa menentukan opini.
Bila auditor adalah akuntan dan karena banyak
akuntan bekeria sebagai juru buku, juru upah-gaji,
juru gudang, juru administrasi keuangan dan sistem
informasi manajemen, bagaimana publik diminta
memandang dan memperlakukan auditor secara
khusus dari akuntan berprofesi lain, dan bahwa
pemberi kerja "tidak ikut campur" dalam kegiatan
dan keputusan audit? Independensi profesional,
keahlian profesional dalam auditing dan kejujuran
profesionil adalah "merek dagang' bagi opini audit,
merupakan pemicu nilai ekonomis profesi auditing.
Mengapa orang membutuhkan opini? Kredibilitas
laporan internal dibutuhkan pembuat laporan karena
laporan akan digunakan sebagai sarana pengambilan
keputusan pihak luar manajemen yang menggunakan
laporan tersebut untuk kepentingan pembuat laporan,
maka muncullah profesi asersi. Pendapat, opini atau
kesimpulan audit menambah kredibilitas laporan
internal hanya apabila pemberi pendapat tentang
laporan itu independen.
Apabila pendapat independen tersebut
dinilai sebagai pendapat ahli yang kompeten dan
juiur maka kredibilitas laporair internal itu makin
meningkat. Karena penilaian publik tentang hal itu
berdasarkan gejala atau penampakan, auditor harus
menampakkan independensi, keahlian dan kejujuran
secara sengaja. Auditor menghindari risiko tuduhan
tidak independen, misalnya karena hubungan akrab,
rahasia dan kekerabatan, ketergantungan keuangan,
jasa konsultasi manajemen pada auditee, berkantor
pada gedung auditee utama, dan perilaku terlampau
berorientasi pada permasaran, de facto independen
tidak cukup, auditor harus mencegah dirinya masuk
ke suatu situasi yang berisiko menimbulkan kesan
tidak independen. Auditor secara jujur perlu selalu
memandang dirinya sebagaimana publik memandang
dirinya sebagai dasar memperbaiki citra profesional.
Independensi praktisi diterapkan mulai dari evaluasi
risiko pra-penugasan independensi untuk menolak
penugasan bersyarat, sehingga yang tidak mungkin
bermuara pada kesimpulan atau opini konklusif,
independensi dalam menerapkan program audit
terutama akses kepada data basis opini, dan
Kariyoto
terhadap profesi auditor. Disamping komposisi dan
kompatibilitas jasa non-audit dengan jasa audit.
Kebijakan pembangunan bangsa berorientasi pada
good governance dan peraturan perundang-undangan
tentang auditing, ketergantungan keuangan pada
pemberi kerja audit, pasar audit. Kuasi oligopoli yang
tercipta otoritas perbankan dan pasar modal, serta
kegiatan promosi pemasaran jasa audit berciri
komersial juga berpengaruh luar biasa terhadap
independensi auditor.
Konsep Perilaku Etis Profesional
Etika audit dibangun berdasarkan etika
berlaku umum, terjalin pada karakteristik profesi
yang menurut Arens and Beasley (2009:13) kegiatan
intelektual dengan tanggung jawab individual yang
besar, bahan baku diperoleh dari ilmu dan
pembelajaran, praktik atau aplikasi, teknik dapat
diajarkan dan dikomunikasikan, kecenderungan
mengarur diri sendiri, motif abruist makin benambah.
Agar profesi berkesinambungan, tanggung jawab
individual tersebut meliputi tanggung jawab pada
pemberi kerja, masyarakat, sesama rekan seprofesi
dan pada diri sendiri. Auditor adalah abdi masyarakat
dan auditing memberi manfaat bagi sebagian besar
kehidupan manusia, sehingga dari sudut pandang
etika utilitarian, masyarakat penerima manfaat jasa
audit harus melindungi, membina dan melestarikan
teknologi auditing.
Etika adalah ilmu tentang tingkah laku, adat
istiadat, perbuatan baik dan buruk, sifat utama dan
baik, budi pekerti mulia dan agung. Etika bukan
sekadar konsep atau pengetahuan, namun nilai yang
memengaruhi kehendak manusia untuk sengaja
memilih hidup suci, berbuat kebaikan, member
faedah bagi sesama dan mengeiar kesempurnaan
susila (adab, kelakuan, sopan santun, budi pekerti
luhur). Ethos mengatur hubungan seseorang dengan
Tuhan, ethos mengatur disiplin diri sendiri dan
dengan sesama, etika mengatur hubungan sosial antar
manusia, dan estetika mendorong peningkatan diri
dan lingkungan menjadi lebih baik, indah dan
nyaman. Etika terkelompok sebagai etika hedonism
(kesenangan), etika utilitarian (maslahat bagi orang
banyak), dan etika deontologist (kewajiban). Sebagai
ilmu tentang moralitas, etika terbagi meniadi tiga
konteks yaitu etika deskriptif, etika normatif dan
metaetika. Etika normatif bersifat preskriptif
(memerintahkan), tidak menggambarkan melukiskan,
namun menentukan benar salah perilaku dengan
argumen berlandaskan norma atau prinsip etis yang
tidak dapat ditawar terdiri atas (1) etika umum
(berlaku universal), dan (2) etika khusus (prinsip etis
berlaku umum yang diterapkan atas suatu wilayah
perilaku khusus, etika terapan (applied ethics),
misalnya auditing. Ilmu sosiologi dan psikologi
49
adalah ilmu-ilmu tentang tingkah laku manusia
dengan demikian ilmu tentang tingkah Iaku
(behavioral science) tersebut mencakup pula tingkah
laku etis. Shaw (1996: 2431 menguraikan bahwa
etika terkait sifat individu dan aruran moral yang
mengatur dan membatasi perilaku seseorang dalam
konteks salah atau benar, kewajiban atau tugas, dan
tanggung jawab moral. Standar-standar moral adalah
kepedulian perilaku yang berdampak serius pada
kesejahteraan manusia. Kualitas standar moral
tergantung dari kekuatan alasan yang mendukung
standar tersebut. Moralitas sebagai suatu code-of
conduct dipisahkan dari moralitas dalam konteks
nilai, cita-cita, dan aspirasi individu yang lebih luas.
Falsafah audit tentang benturan nilai etis antara
auditor dan auditee. Sasaran perusahaan adalah laba,
dan norma etis sering kali merupakan pembatas atau
penghalang pencapaian sasaran laba. Oleh karena itu,
upaya optimalisasi pencapaian laba berpotensimenyurutkan perilaku bermoral dan para manajer
mendapat tekanan untuk mengompromikan standar
moral pribadi untuk mencapai sasaran perusahaan.
Organisasi juga menuntut komitmen, kesetiaan dan
konformitas anggota organisasi pada nilai yang
dianut perusahaan, yang berarti mengorbankan
kepentingan pribadi dan ukuran moral pribadi
karyawan. Korporasi tidak mempunyai roh, karena
itu tidak dapat beretika. Bakan (2004:79) menyitir
pendapat Edward Thurlow, Lord Chansellor of
England pada abad ke-19 yang menyatakan bahwa
korporasi tidak mempunyai roh atau jiwa untuk
dipersalahkan. Frank Easterbrook, hakim dan
komentator legal dan professor hukum Daniel Fishel
menyatakan bahwa "Corpoftttions can no more be
said to haue moral obligations than does a building,
an organization cbart, or a contract". Hanya manusia
yang punya kewajiban moral, korporasi hanya punya
kewajiban hukum. Bakan (2004: 134) menyitir Noam
Qhomsky yang menyatakan bahwa "The corporation,
after all, is deliberately designed to be a psychopath:
purely self-interested, incapable of concern for
others, amoral, and without conscience to ensure the
human beings who (it is) interacting witht you and
me, also become inhuman".
Manajemen korporasi adalah manusia yang
mempunyai kesadaran etis dan rasa tanggung jawab
sosial, namun ia dibatasi oleh tugas utamanya dari
pemegang saham untuk optimalisasi laba. Oleh
karena itu, pemerintah melalui berbagai undangundang perseroan terbatas, anti monopoli dan
persaingan tidak sehat, bertugas melakukan
pengendalian korporasi dengan pengendalian secara
demokratis untuk menjamin hak dan kepentingan
masyarakat dan lingkungan. Korporasi didirikan
sebagai entitas laba, bukan entitas moral. Joel Bakan
(2004: 33-34) menyitir Milton Friedman yang
50
Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014
percaya bahwa moralisme baru dalam bisnis adalah
imoral. Korporasi adalah milik pemegang saham,
karena itu kepentingan korporasi adalah kepentingan
pemegang saham, tanggung jawab sosial eksekutif
korporasi adalah menghasilkan uang sebanyak
mungkin bagi pemegang saham. Kebijakan
perusahaan yang berkandungan tanggung jawab
sosial secara moral harus mendukung pencarian laba
berkesinambungan, karena kelangsungan hidup
korporasi dalam bahaya apabila korporasi itu
dianggap sebagai sebuah masalah oleh publik sebagai
suatu
entitas
yang
mengeksploitasi
dan
membahayakan lingkungan, etika dan hak azasi
manusia. Sebagian besar penugasan audit adalah
untuk menjaga kesinambungan usaha, sesuai
ungkapan Friedman yang menyatakan bahwa
tanggung jawab sosial perusahaan adalah sematamata mengejar laba dalam aturan hukum. Drutman
dan Cray (2004: 130-131) menyatakan bahwa
pengutamaan
kepentingan
pemegang
saham
umumnya, maksimalisasi pengembalian pemegang
saham dengan segala akal dan cara adalah akar utama
penyebab perilaku destruktif perusahaan, sehingga
ancangan paling efektif adalah pelebaran tujuan
perusahaan
dari
semata-mata
optimalisasi
pengembalian bagi pemegang saham kepada
akuntabilitas
terhadap
semua
stakeholders
khususnya, melayani dan berguna bagi masyarakat
umumnya. Oleh karena itu, muncul berbagai kegiatan
audit social dan lingkungan. Drutman dan Cray
menyitir Code for Corporate Responsibility yang
pada intinya menyatakan bahwa direktur dan
karyawan bertanggungjawab untuk optimalisasi laba
bagi pemegang saham dan optimalisasi kepentingan
publik, antara lain tanpa merugikan lingkungan,
HAM, kesehatan atau keselamatan publik dan
komunitas tempat perusahaan beroperasi, atau
mengorbankan kehormatan karyawan (the dignity of
its employees). Drutman dan Cray (2004: 131)
mengutip Monks yang menyatakan sebagai berikut:
"the corporation is an externalizing machine, in the
same way that a shark is a hilling machine.... There
isn't any question of malevolence or of will; the
enterprise has within it, and the sharks has within it,
those characteristics that enable it to do that for
which it was designed...(the corporation) is
potentially very, very damaging to society" dan
mengutip pernyataan Frank H. Easterbrook dan
Danjel R. Fischel bahwa:
"managers do not have an ethical duty to obey
economic regulatory laws just because the laws exist.
They must determine the importance of these laws.
The penalties Congress names for disobedience are a
measure of how much it wants firms to sacrifice in
order to adhere to the rules; the idea of optional
sanctions is based on the supposition that managers
not only may but also should violate the rules when it
is profitable to do so."
Pada sisi lain, konsep audit yang
menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan
yang perlu di antara auditor dan auditee didukung
oleh Shaw (1995: 202-236) yang menemukan bahwa
beberapa perusahaan yang sangat sukses ternyata
menjadi pemuka dalam menghormati hak dan harga
diri karyawan, laba dan efisiensi selaras dengan
lingkungan kerja yang adil, perlakuan setara melalui
kebilakan, penetapan standar dan pengambilan
keputusan tanpa pertimbangan jenis kelamin, cacat
tubuh, usia, etnik, kebangsaan dan agama. Uraian
tugas harus jelas, promosi iabatanharus berbasis
kualifikasi tugas, nepotisme harus dihindari, sistem
kendali disiplin harus mengandung sistem peringatan,
pesangon, dan konseling. Sistem penggajian adil
mempertimbangkan hukum, tarif upah industri,
tingkat upah masyarakat, jenis pekerjaan, keamanan
tugas dan kemampuan keuangan perusahaan.
Brooks (2003:1,47) menyatakan bahwa
dimensi program pembangunan etika meliputi (1)
kode etik formal, (2) badan atau komite khusus yang
merumuskan kebijakan, etika, evaluasi pelaksanaan
etika, investigasi pelanggaran etika, (3) sistem
komunikasi etika, (4) petugas khusus etika atau
ombudsman, (5) program pelatihan etika, (5) proses
pendisiplinan bagi perilaku tidak etis. Kode etik
dapat berupa sekadar (1) kredo, menjadi (2) kode
etik, diperinci dalam (3) kode perilaku, sampai (4)
kode praktik. Berbagai studi menemukan sistem
kendali internal berbasis kepatuhan dan sanksi
kurang efektif dibanding hampiran demokratis dan
partisipatif,
sehingga
lebih
baik
berbasis
pemberdayaan.
Kepedulian pada konsumen pengguna
laporan audit juga diperkuat oleh studi Shaw (1 995:
344-386) yang menyimpulkan bahwa meningkatnya
ketergantungan konsumen meningkatkan tanggung
jawab entitas akan keamanan produk, terjadi tren
bahwa entitas bertanggung jawab atas kerugian
konsumen karena produk cacat sekali pun tidak
disengaja, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk
mengatur keamanan produk, pemerintah menjamin
entitas memenuhi tanggung jawabnya kepada
konsumen (legal paternalism). Entitas perlu
mengutamakan keselamatan konsumen, mencegah
salah guna produk, memantau ketat proses produksi,
menelaah implikasi keamanan akibat strategi
pemasaran dan periklanan produk, pengungkapan
paripurna informasi produk, dan investigasi keluhan
pelanggan.
Ikatan profesi audit perlu memperbaiki
sembilan lingkungan etis profesi, sesuai studi
Connell, B. (2006) meliputi kepentingan pribadi,
Kariyoto
laba, efisiensi, persahabatan, kepentingan tim,
tanggung jawab sosial, moral pribadi, peraturan dan
prosedur audit, hukum dan standar profesi. Dari
berbagai studi disimpulkan bahwa iklim etis terbukti
ada pada tingkat kelompok kerja, berpengaruh positif
pada pengambilan keputusan etis dan kepuasan kerja,
mempunyai hubungan negatif dengan pelanggaran
etis, dan mempunyai dampak moderasi pada perilaku
etis setiap individu.
Konsep Intelegensi Auditor
Mengerjakan sesuatu yang benar tidak selalu
mudah, namun selalu benar, etika tidak selalu
mempunyai nilai ekonomis dalam jangka pendek,
namun dipastikan mempunyai nilai ekonomis jangka
panjang bagi profesi audit. Auditing mempunyai
hubungan erat dengan lima komponen intelegensi
spiritual yaitu (a) kapasitas transendensi secara fisik
dan materlal, (b) kemampuan memasuki tingkat
kesadaran spiritual yang lebih tinggi, (c) kemampuan
mengalami kejadian atau melakukan berbagai
kegiatan harian dengan kesadaran kesucian (sense of
sacred) dan tujuan yang suci, (d) kemampuan
menggunakan
sumberdaya
spiritual
untuk
memecahkan masalah kehidupan, (e) kapasitas untuk
berhubungan dalam perilaku yang baik sempurna
(seperti menunjukkan rasa syukur berterima kasih,
sikap memaafkan, rendah hati, atau iba hati).
Intelegensi spiritual
merupakan basis dari
independensi profesional yang menjadi merek dagang
auditor.
Lopez dan Wu (2007) mengangkat opini
audit berkredibilitas sebagai sebuah "komoditas"
perekonomian dunia membutuhkan kapasitas
kepemimpinan berbasis profesi. Menurut beberapa
pakar menyimpulkan bahwa kepemimpinan sebagai
suatu hubungan dan sebuah perilaku mempunyai nilai
sebagai dimensi inti. Nilai terkait pada kepercayaan
(trust) dan kredibilitas, di atas mana kepemimpinan
dibangun dan dilestarikan, menginformasikan
pelaksanaan penalaran, komunikasi, pemikiran
strategis, dan penggunaan kekuasaan. Audit berbasis
etika adalah amanah, Chakraborty & Chakraborty
(2004: 194, 198) melakukan studi pustaka dan studi
pendapat berbagai pakar Timur dan Barat untuk
memperoleh kedalaman pemahaman konseptual dan
contoh
praktik
tentang
kepemimpinan,
menyimpulkan bahwa pemimpin tertransformasi
adalah sebab, transformasi para pengikut adalah
dampak. Infusi aspek spiritual dalam kepemimpinan
diharapkan memberi kedalaman pemahaman lebih
jauh, menggeser konsep transaksional, dagang,
tawar-menawar antata pemimpin dan yang dipimpin
dengan peningkatan mutualistik ketingkatan lebih
tinggi motivasi dan moralitas, kesadaran spiritual dan
51
pengungkapan diri sebagai yang ditunjuk atau
ditugasi oleh Yang Maha Kuasa, mempersilakan
Yang Maha Kuasa bekerja lewat dirinya, mengajukan
proposisi suara nurani dalam formula: sincerity +
silence + no preference = divine voice.
Temuan berbagai riset tentang dampak
spiritual pada dalam kompetensi kesadaran diri atau
kompetensi pribadi adalah selalu tahu dir:i atau sadar
diri, sadar emosi diri, penilaian diri positif, dan
esteem yang meningkat sejalan dengan peningkatan
spiritualitas, sejalan dengan kompetensi pribadi pada
emotional intelligence (El).
Filsafat
auditing
berkaitan
dengan
intelegensi spiritual, auditor ideal adalah individu
berintelegensi spiritual. Zohar dan Marshall (2004)
menengarai bahwa Spritual Quotient (SQ) mengajak
manusia menjawab pertanyaan besar, seperti
mengapa saya dilahirkan?; apa makna hidup saya?;
mengapa saya mencurahkan hidup pada hubungan,
pekerjaan atau persoalan tertentu?; apa yang
sungguh-sungguh ingin saya capai dalam hidup ini?
SQ memaksa melihat konteks lebih luas atau skema
besar dari peristiwa. Suatu sumber transpersonal yang
melampaui baias-batas kemampuan deskripsi
manusia. SQ adalah kapasitas bawaan otidak manusia
yang memberi kemampuan membentuk makna, nilai
dan keyakinan. Falsafat auditing pemahaman hakikat
sejati perubahan, membangkitkan kesadaran akan
nilai dan rasa tidak puas spiritual. SQ juga
membangkitkan hasrat atau motivasi akan nilai yang
lebih tinggi, agung atau mulia, membangkitkan
kemampuan mengetahui dan menemukan makna
segala sesuatu pada wawasan pemahaman nirbatas
dan lebih holistik. Benang merah berbagai postulat
auditing dapat dijumpai dalam dua belas ciri
kecerdasan spiritual adalah kesadaran diri,
mengetahui keyakinan diri, mengetahui faktor-faktor
yang sungguh-sungguh memotivasi diri. Kesadaran
akan tujuan hidup diri sendiri yang paling dalam
spontanitas, menghayati dan menanggapi setiap
moment dalam kandungan setiap momen, terbimbing
oleh visi dan nilai. Bertindak berdasar prinsip dan
keyakinan yang dalam, hidup sesuai prinsip dan
keyakinan akan sistem atau konektivitas.
Menurut Bertens (1993), hati nurani adalah
penghayatan tentang baik dan buruk terkait perilaku
konkret diri, memberi perintah atau melarang
melakukan sesuatu dalam situasi khusus dan konkret.
Penolakan atas perintah berbasis moralitas itu
menghancurkan integritas pribadi dan martabat
terdalam, membangkitkan kegelisahan nurani (bad
conscience) bahkan perasaan tidak bahagia, yang
berbasis pada (1) kesadaran diri (self consciousness),
(2) kemampuan melihat diri sebagai objek. Hati
nurani
retrospektif
melakukan
penilaian,
penghakiman dan penghukuman pada perbuatan diri
52
Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014
masa lalu, hati nurani prospektif melihat masa depan,
mengajak atau melarang melakukan sesuatu terkait
moral. Perbuatan mulia atau baik menghasilkan
pujian dari hati nurani, menghasilkan ketenangan
nurani, kepuasan nurani bahkan kebahagiaan.
Perbuatan amoral mendapat kecaman dan celaan dari
hati nurani, menghasilkan kegelisahan jiwa dan
perasaan tidak berbahagia.
Lebih
lanjut
Bertens (1993), mengungkapkan hati nurani bersifat
personal (diwarnai pengalaman hidup dan
kepribadian individu) dan bersifat adipersonal
(seolah-olah instansi di atas diri individu) yang
mempunyai aspek transenden (melebihi pribadi kita).
Bertens mengungkapkan bahwa hati nurani berarti
hati yang diterangi (nur adalah cahaya dari luar yang
menerangi hati), hati yang menangkap signal dari
luar dengan berbagai penamaan seperti "suara hati,"
"suara batin," "kata hati" yang melebihi pribadi kita.
Nilai yang hampir cross cultur itu adalah kejujuran
(honesty), keadilan (fairness), bersungguh hati
(compassion),
integritas
(integrity),
dapat
diperkirakan (predictability), rasa tanggung jawab
(responsibility), secara umum diindikasikan oleh
aturan etika yang berupaya membatasi mendorong
kecenderungan etis atau tindakan tertentu yang paling
banyak terjadi secara global, seperti (1) pembayaran
tidak wajar, suap, pengaruh tidak wajar, (2) konflik
kepentingan, (3) pengamanan kepemilikan informasi,
(4) menerima hadiah, (5) diskriminasi atau perlakuan
setara, (5) memberi hadiah, (7) proteksi lingkungan,
(8) pelecehan seksual, (9) antimonopoli (10)
keamanan kerja, (11) aktivitas politik, (12) hubungan
komunitas atau publik, (13) kerahasiaan informasi
pribadi, (14) program pengaduan dan proteksi
pengadu, (15) tindakan semena-mena, (16)
nepotisme, dan (17) pekerja di bawah umur. Kode
etik formal adalah pernyataan prinsip-prinsip berlaku
umum yang tidak mampu melayani suatu organisasi
mengartikulasi aspirasi moral tertinggi, karena itu
tidak mempunyai praktikabilitas memandu berbagai
perilaku tertentu; bagaimana setiap individu menafsir
prinsip-prinsip etika dalam memecahkan berbagai
dilema
etis
tergantung
pada
faktor-faktor
individualistik seperti ideologi dan nilai-nilai etis.
Independensi sebagai
merek dagang
auditor, kapasitas independensi dalam diri seseorang
merupakan elemen intelegensi spiritual terpenting.
Independensi terhadap lingkungan sebagai sebuah
faktor SQ (spiritual quotient) adalah suatu tingkat
keyakinan diri yang amat kuat yang menyebabkan
independensi terhadap sikap atau pilihan terhadap
apa yang telah diputuskan. Semula dengan risiko
disebut tidak konsisten, mendapat tekanan
kelompoknya, terisolasi atau tidak popular. Melihat
melampaui arus dan menentang arus kekuatan
organisasi atau budaya, mengambil jarak dengan
keadaan sekitar, menemukan jalan sendiri,
mengambil jarak dari paradigma dan kebiasaan diri
sendiri.
Bebas dari batasan, kebutuhan dan
kecenderungan diri mampu berdiri pada ketinggian
perspektif. Wawasan pandang yang luas dan
independen
secara
teguh,
terfokus,
tabah,
berkomitmen. Berpikiran independen, kemampuan
menahan derita terisolasi, berbagai sifat lain yang
terdapat pada para ilmuwan dan seniman yang
menemukan cara baru dalam melihat atau melakukan
sesuatu yang baru secara inovatif.
Disisi lain
sebagian orang menilai sebagai keras kepala dan
subversif. Sebaliknya, sifat tidak independen
terhadap lingkungan adalah sifat konvensional,
umum, mudah dipengaruhi lingkungan, butuh
dukungan kelompok. Tradisi dan konvensi
kesepakatan,
bergantung
pada
persetujuan,
bergantung pada opini orang lain, bergantung pada
keadaan, berisiko tidak mandiri, buta dorongan dari
dalam diri atau motivasi diri, dan tidak kritis atas diri.
Kesimpulan
Apakah seseorang merasa terpanggil
menjadi auditor? Apakah ia merasa bersyukur atas
anugerah kepercayaan dari masyarakat, sehingga ia
merasa terpanggil untuk melaksanakan tugasnya
secara baik? Rasa keterpanggilan vocational sebagai
sebuah aspek SQ adalah suatu dorongan visioner
perasaan, kemauan, hasrat batin. Praktik audit adalah
melakukan sesuatu hal yang bernilai spiritual, lebih
baik dan mulia. Praktik audit berdasar cita-cita atau
nilai terdalam dalam diri konsep auditing yang
benar, bukan dorongan ambisi atau tujuan kefanaan
tertentu. Suatu keinginan kuat untuk memenuhi dan
mewujudkan panggilan itu secara konkret penuh
perhatian, damai dan membumi.
Rasa keterpanggilan dapat disebabkan rasa
syukur yang mendalam karena menerima anugerah
sangat berlimpah dan ingin membalas dan
mengembalikannya dalam bentuk yang sama atau
lain. Suatu campuran rasa syukur, rasa terima kasih,
rasa kasih, dan rasa hormat atas anugerah kehidupan.
Pemeliharaan rasa keterpanggilan spiritual yang sehat
dilakukan dengan renungan berkala tentang apa yang
telah dimiliki dan dicapai. Konsep auditing yang
luhur yang tercermin dalam implementasi praktik
audit. Rasa bersyukur, bersuka cita dan berterima
kasih, menyalurkan sebagian anugerah kepada yang
lain, melakukan introspeksi dengan berbagai
pertanyaan seperti apakah dalam hidup ini terasa ada
dorongan keinginan melakukan suatu perubahan
menuju kebenaran dan praktik audit yang
perfeksionis? Apakah merasa ingin berbagi
kebahagiaan atau anugerah dengan orang lain tentang
kebenaran laporan keuangan? Apakah merasa
Kariyoto
bertanggung jawab kepada orang lain, masyarakat,
dunia melampaui tugas resmi atau komitmen resmi?
Apakah merasa bahwa hidup ini mempunyai arah
atau tujuan mulia yang seharusnya diikuti?
Kekuatan utama praktik audit terletak pada
kode etik prasetia pada dirinya sendiri sebagai
anggota asosiasi untuk selalu bersikap dan perilaku
sesuai dengan kode etik bukan karena sanksi etika.
Kode etik menjaga integritas anggota auditor,
melayani publik tanpa pembedaan apapun, dengan
atau tanpa imbalan, berjuang untuk menegakkan
hukum dan kebenaran secara iujur, bertanggung
jawab, menjunjung tugas sebagai profesi terhormat
(officium nobile), bekerja dengan bebas dan mandiri,
setia kawan antara sesama rekan seprofesi,
menunjukkan
keteladanan,
sopan
santun,
mempertahankan hak dan martabat dimanapun.
Mendahulukan kepentingan klien di atas kepentingan
pribadi, tidak membatasi kebebasan klien untuk
mempercayakan kepentingannya kepada auditor lain,
menentukan besar uang jasa audit dalam batas layak,
memegang rahasia jabatan, tidak mempunyai
kepentingan terhadap usaha klien, menjadi penjaga
perilaku etis rekan seprofesi, tidak menarik klien
rekan seprofesi, menerbirkan opini sesuai peraturan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Arens, Alvin A., Randal J. Elder, dan Mark S.
Beasley. 2009. Auditing and Assurance Services
and Integrated Approach. Edisi ketiga Belas.
Pearson Prentice Hall.
Bertens, 1993. Etika. Jakarta. PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bakan, J. 2004. The Corporation The
Pasthological Pursuit of Profotand Power. New
York. Free Press.
Brooksm 2003. Menyitir hasil studi The
Conference Board Research Report. Global
Corporat Ethics Practice.
Connel, B. Professional Accountants in Business
at the Heart of Sustainability. IFAC.
www.ifac.org. diakses Desember 2013.
Chakraborty & Chakraborty.
2004. The
Transformed Leader And Spiritual Psychology:
A Few Insights. 17,2,ABI/INFORM Global.
Cashin, James A., Paul D. Neuwirth, dan J.F.
Levi. 2001. Auditing Practical Manual for
Auditor. Mc.Graw-Hill.
Drutman, Lee dan Cray CF. 2004. The People’s
Businness. San Fransisco: Berrett Koehler
Publisher, Inc.
Lopez,T., S.D. Vanderelde, dan Wu. 2007. The
Auditor’s Opinion on Internal Controls: an
53
experemintal investigation of relevance. Working
Paper: University of South Carolina.
10. Shaw, William H.
1995. Business Ethics.
California: Wadsworth Publishing Company.
11. Zohar dan Marshall. 2004. Spiritual Capital.
London: Bloomsburypbks.
Download