BAB I - PPS Unud

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upaya pencegahan penyakit merupakan hal yang sangat penting dalam
mewujudkan suatu tingkat kesehatan pada individu dan masyarakat. Ini juga
berkaitan dengan tercapainya “The Millennium Development Goals on Health”,
salah satunya menurunkan angka kematian anak < 5 tahun menjadi 2/3 pada tahun
2015 dari kematian pada tahun 1990 (WHO,2003). Kekurangan gizi masih
merupakan salah satu isu sentral yang melatarbelakangi kematian anak yang
disebabkan oleh penyakit infeksi (Black dkk, 2003). Pemberian air susu ibu (ASI)
merupakan salah satu strategi utama untuk memenuhi kecukupan gizi, mencegah
penyakit dan kematian akibat penyakit infeksi (diare) pada tahun-tahun awal
kehidupan. Hal ini berhubungan dengan kandungan nutrisi ASI termasuk, adanya
faktor imunitas
pada ASI baik imunitas nonspesifik (inat) maupun imunitas
spesifik (adaptif) (Morrow & Rangel, 2004).
ASI merupakan makanan alamiah utama bayi baru lahir hingga berusia 6
bulan. Kandungan nutrisinya cukup lengkap untuk tumbuh kembang bayi pada
usia tersebut (American Academy of Pediatrics and Work Group on
Breastfeeding, 1997). Di negara berkembang pemberian ASI secara eksklusif
(hanya memberi ASI sebagai makanan bayi) telah terbukti melindungi bayi dari
kematian maupun kesakitan akibat penyakit berat (WHO, 2000). Di negara maju,
1
2
pemberian ASI-eksklusif dapat menurunkan risiko anak dirawat karena penyakit
infeksi pada usia di bawah 1 tahun (Talayero dkk, 2006).
Dalam kaitannya dengan penyakit infeksi yang perlu perawatan, pemberian
ASI-eksklusif terbukti menurunkan angka kejadian rawat inap sebesar 53 % per
bulan. Sedangkan pada pemberian ASI non-eksklusif kejadian rawat inap akibat
penyakit infeksi hanya menurun sebanyak 31 %. Efek pencegahan tersebut terlihat
lebih nyata pada bayi-bayi yang tinggal di tempat yang penduduknya padat dan
tidak terurus (Quigley dkk, 2006). Khususnya terhadap penyakit diare yang
disebabkan oleh infeksi, terlihat adanya hubungan langsung antara pola pemberian
ASI dengan menurunnya insiden diare, persentase hari sakit dan lamanya episode
diare
(Lopez-Alarcon dkk,1997). Suatu studi kohort yang berkaitan dengan
pemberian ASI-eksklusif, memperlihatkan adanya hubungan antara penurunan
insiden penyakit infeksi pada traktus gastrointestinalis dan traktus respiratorius
dengan meningkatnya pemberian ASI-eksklusif di masyarakat (Wright dkk,
1998).
Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang termasuk Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian
dan kesakitan tertinggi pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun (Lukacik dkk,
2007). Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization = WHO)
mengestimasikan bahwa terdapat lebih dari 1,8 milyard kasus diare di dunia dan
3 juta di antaranya berakhir fatal (WHO, 2001). Dari seluruh kasus diare pada
anak, terdapat 125 juta kasus diare infantil yang menyebabkan kematian sebesar
440.000 anak pertahun, dengan tingkat kematian 1205 perhari, 82 % terjadi di
3
negara berkembang, dan sebagian besar disebabkan oleh infeksi rotavirus
(Parashar dkk, 2003).
Rotavirus merupakan penyebab terbanyak (40 %) dari seluruh penyakit diare
pada anak yang disebabkan oleh infeksi, yang menyebar melalui makanan dan
atau air yang terkontaminasi maupun dengan cara kontak langsung dengan orang
yang sedang terinfeksi rotavirus (Heesemann
& Hacker , 2002). Hasil
surveillance di beberapa rumah sakit di Vietnam, 56 % dari penyakit diare pada
anak di bawah usia 5 tahun yang dirawat disebabkan oleh rotavirus (Mann kk,
2001), sementara di Thailand besar kejadiannya adalah 48 %, meningkat
dibandingkan dengan sebelumnya (Intusuma dkk, 2008). Di negara maju,
walaupun terdapat perbaikan sanitasi, penyediaan air bersih, dan perawatan pada
anak, infeksi
rotavirus masih memberi kontribusi terhadap morbiditas dan
besarnya biaya pengobatan yang memerlukan perhatian khusus (Parashar dkk,
1999; Parashar dkk, 2006).
Pemberian ASI-eksklusif telah dicanangkan oleh WHO sebagai upaya
menurunkan kejadian penyakit infeksi di masyarakat. Suatu pertemuan Konsultasi
pemberian ASI
pada bulan Maret 2001 di Jenewa-Swiss,
menghasilkan
kesepakatan tentang pemberian ASI secara eksklusif pada bayi sejak usia 0-6
bulan sebagai upaya untuk menurunkan kejadian infeksi pada traktus
gastrointestinalis. Hal ini terutama ditujukan terhadap bayi-bayi yang dibesarkan
di dalam masyarakat di mana prevalensi ibu yang menderita kurang gizi maupun
bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intra uterin masih tinggi. Di dunia
khususnya di negara berkembang , pemberian ASI-eksklusif sampai bayi berusia 6
4
bulan dapat mengurangi paparan terhadap mikroba patogen, karena
terbukti
angka morbiditas dan mortalitas penyakit diare akibat infeksi meningkat setelah
bayi mendapat makanan tambahan (WHO, 2001).
Efek proteksi ASI merupakan hasil interaksi dari berbagai elemen imun ASI,
baik yang bersifat antigenik spesifik maupun yang berperan dalam respon imun
yang bersifat general (Harsono, 1995). Beberapa dari hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa ASI dapat berfungsi sebagai pembawa kekebalan pasif pada
saluran cerna bayi sementara sistem imun lokal maupun sistemik pada bayi masih
imatur. Selain itu ASI dapat beradaptasi dengan baik dan tetap utuh hingga tiba di
usus halus bayi. Kandungan protein ASI memiliki berbagai aktivitas biologis
diantaranya sebagai antimikrobial, imunomodulator dan terdapat asam amino
esensial dalam jumlah yang adekuat untuk pertumbuhan bayi (Lonnerdal, 2003).
Di awal masa kehidupan bayi, imunoglobulin A sekretorik (sIgA) yang
dihasilkan oleh mukosa usus bayi belum dapat berperan secara optimal di dalam
sistem pertahanan mukosa usus. Pada bayi yang menyusu, pertahanan imun pada
jaringan usus bayi dibantu oleh komponen imun ASI. Salah satunya adalah
antibodi sIgA yang merupakan komponen imun utama, yang dapat mengikat
mikroba patogen, mencegah perlekatannya pada sel enterosit
di usus dan
mencegah reaksi imun yang bersifat inflamasi (Jackson & Nazar , 2006; Hanson,
2007).
ASI mengandung pula zat-zat yang berfungsi sebagai antiviral dan memiliki
sifat bakteriostatik
yang
diduga ikut berperan
menurunkan
insiden dan
lamanya penyakit infeksi pada bayi yang sedang mendapat ASI. Demikian pula
5
efek-efek komponen ASI lainnya yang secara keseluruhan dapat menghambat
pertumbuhan mikroba patogen selama ASI tetap diberikan (Dewey dkk, 1995 ;
Hanson
dkk, 2002). Keunggulan ASI lainnya adalah perannya di dalam
menstimulasi respon imun inat lokal di dalam jaringan usus halus bayi dan
sebagai imunomodulator sehingga kerusakan yang diakibatkan oleh reaksi
inflamasi akibat infeksi dapat dibatasi (LeBouder dkk,2006).
Kelenjar mammaria ibu merupakan bagian integral dari kelenjar getah
bening mukosa. Bila pada masa laktasi terjadi stimulasi sel limfosit di dalam
kelenjar getah bening mukosa jaringan usus halus dan saluran nafas ibu oleh suatu
antigen, maka sel-sel limfosit yang telah tersensitisasi akan bermigrasi dan masuk
ke dalam kelenjar mammaria. Selanjutnya berubah menjadi sel plasma yang dapat
menghasilkan antibodi sIgA yang disekresi ke dalam ASI. Antibodi sIgA ASI
akan memiliki sifat spesifik terhadap mikroba patogen yang menyerang usus halus
bayi (Telemo & Hanson, 1996; Brandtzaeg, 2003; Lawrence dan Pane 2007).
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya kertekaitan tersebut, di mana
hampir 30 % wanita yang melahirkan di salah satu rumah sakit Umum di New
York pernah terinfeksi rotavirus grup C dan kekebalan ini dipindahkan kepada
bayinya. Dibuktikan dengan ditemukannya IgG-antirotavirus pada darah talipusat
bayi yang dilahirkan (Riepenhoff-Talty dkk, 1997). Peneliti lainnya melaporkan
bahwa 40 % kolostrum wanita yang melahirkan di suatu rumah sakit di Jerman
mengandung antibodi sIgA-antirotavirus (Brussow dkk, 1991).
Dari uraian tersebut di atas, baik berupa temuan para peneliti maupun
laporan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) terbukti bahwa ASI beserta zat imun
6
yang dikandungnya dapat berperan dalam menurunkan kejadian infeksi pada anak
yang menyusu. Khususnya pemberian ASI-eksklusif menurunkan insiden
penyakit diare akibat infeksi dan memperpendek lamanya episode diare (WHO,
2000; Wright dkk, 1998; Lopez-Alarcon dkk, 1997).
Terdapat berbagai pola pemberian ASI, yaitu ASI-eksklusif, dominan ASI,
pemberian ASI berimbang dengan makanan bukan ASI, dan lebih sedikit ASI
dibandingkan makanan bukan ASI pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan.
Temuan di beberapa negara berkembang, pemberian ASI-eksklusif maupun yang
”dominan ASI” memiliki tingkat proteksi yang paling baik terhadap penyakit
infeksi, dibandingkan pemberian ASI berimbang dan lebih sedikit ASI (Raisler
dkk, 1999).
Pada penyakit
diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri di antaranya
kholera, pemberian ASI khususnya yang mengandung antibodi sIgA antikholera
dapat mencegah terjadinya penyakit diare (Jason dkk, 2008). Sebaliknya buktibukti proteksi ASI terhadap infeksi virus masih kurang bahkan sering
kontroversial, kecuali pemberian ASI-eksklusif sampai usia 4 bulan atau lebih
dapat mencegah infeksi oleh rotavirus (Lawrence dan Pane, 2007).
ASI-eksklusif
Pemberian
maupun yang dominan ASI dapat menurunkan rasio Odds
penyakit diare rotavirus di tahun pertama kehidupan, akan tetapi pada usia di atas
1 tahun di mana jumlah pemberian ASI mulai berkurang, diare rotavirus justru
lebih sering terjadi pada bayi yang masih mendapat ASI (Clemens dkk, 1993).
Pola pemberian ASI berhubungan dengan volume ASI dan jumlah zat imun
yang diterima bayi. Adanya fakta bahwa tingkat proteksi paling tinggi pada
7
pemberian ASI-eksklusif maupun dominan ASI dalam pencegahan penyakit
infeksi, kemungkinan terdapat peran antibodi sIgA yang spesifik terhadap jenis
mikroba tertentu. Untuk dapat menghasilkan antibodi sIgA yang mengandung
antirotavirus, seorang ibu laktasi harus pernah terpapar oleh rotavirus. Akibat dari
paparan tersebut, selain sIgA yang bersifat spesifik juga terdapat zat imun non
spesifik dan aktivitas imun seluler terhadap rotavirus (Riordan dan Auerbach,
1999). Faktor yang juga berperan adalah jenis antibodi sIgA antirotavirus dengan
serotipe tertentu, yang sesuai dengan serotipe yang menginfeksi bayi. Belum jelas
apakah ada reaksi silang antara jenis antibodi antirotavirus serotipe tertentu
dengan antigen rotavirus tipe lainnya (Ray dan Kelkar, 2004).
Masalahnya adalah di Indonesia belum ada data mengenai tingkat paparan
para ibu laktasi terhadap rotavirus. Belum ada penelitian yang mengungkap hal
serupa di tempat lain yang situasi geografisnya maupun demografinya sesuai
dengan tempat penelitian dilakukan (Gianyar dan sekitarnya). Tingkat pemberian
ASI-eksklusif di Indonesia pada bayi masih rendah, mencapai 13,9 % untuk bayi
yang berusia 4-5 bulan berdasarkan hasil survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI, 2002). Dengan demikian tingkat proteksi ASI untuk melindungi anak dari
penyakit diare khususnya diare akibat infeksi rotavirus masih perlu dipertanyakan.
8
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan fakta-fakta yang telah terungkap di dalam latar belakang, dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut :
a. Apakah pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif
terjadinya
risiko
penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang
mendapat ASI non-eksklusif?
b. Apakah pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung
antibodi sIgA antirotavirus risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus
lebih rendah daripada yang mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi
sIgA antirotavirus?
c. Apakah pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif rerata
lamanya penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat
ASI non-eksklusif ?
d. Apakah
pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung
antibodi sIgA antirotavirus rerata lamanya penyakit diare akut rotavirus
lebih rendah daripada yang mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi
sIgA antirotavirus?
9
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan umum : mengetahui hubungan antara pemberian ASI dengan
penyakit diare akut rotavirus pada bayi usia 1- 6 bulan
1.3.2.Tujuan khusus :
a.
Mengetahui apakah pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif
risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus lebih rendah daripada
yang mendapat ASI non-eksklusif
b.
Mengetahui apakah pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI yang
mengandung antibodi sIgA antirotavirus risiko terjadinya penyakit diare
akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI yang tidak
mengandung antibodi sIgA antirotavirus
c.
Mengetahui apakah pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASIeksklusif rerata lama diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang
mendapat ASI non-eksklusif
d.
Mengetahui apakah pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI yang
mengandung antibodi sIgA antirotavirus rerata lama diare akut
rotavirus
lebih rendah daripada yang mendapat ASI yang tidak
mengandung antibodi sIgA antirotavirus
1.4. Manfaat Penelitian
a. Jika penelitian ini berhasil mengungkap adanya hubungan antara risiko
terjadinya penyakit diare akut rotavirus dan lama diare akut rotavirus
pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif dan ASI yang
10
mengandung antibodi sIgA antirotavirus, akan memberi kontribusi
keilmuan dalam hal peran imunologi terhadap pencegahan penyakit diare
akut rotavirus pada bayi 1-6 bulan.
b. Dengan adanya pemahaman akan peran ASI dalam hubungannya dengan
risiko terjadinya penyakit diare dan lama diare yang disebabkan oleh
infeksi rotavirus,diharapkan berguna bagi pengambil kebijakan dalam
rangka meningkatkan pemberian ASI- eksklusif di masyarakat.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
Di negara yang sedang berkembang, penyakit infeksi pada anak masih
merupakan masalah akibat pajanan mikroorganisme patogen yang masih tinggi.
Pada masa bayi (0-1 tahun) terdapat kepekaan yang tinggi terhadap infeksi
sebagai akibat dari fungsi imunologis yang masih imatur dan klirens patogen
intraseluler yang kurang. Pada masa intra uterin, terdapat imunoglobulin G (IgG)
transplacental yang memiliki peran penting untuk melindungi bayi hingga usia 612 bulan (Chirico dkk, 2008). Imunoglobulin M (IgM) dapat memberi proteksi
bayi di usia awal, terhadap invasi mikroba patogen di daerah mukosa sebagai
respon nonspesifik (Hanson dkk, 1985). Pada bayi yang menyusu, ASI merupakan
perlindungan yang ketiga, identik dengan ”transplacental blood” yaitu sebagai alat
transport nutrien, pengaruhnya pada sistim biokemikal, meningkatkan imunitas
dan merusak patogen (Riordan dan Auerbach, 1999). Antibodi sIgA yang
merupakan salah satu komponen utama ASI, beserta elemen imun lainnya dapat
berfungsi sebagai pembawa kekebalan pasif baik yang bersifat inat maupun
adaptif (Telemo & Hanson, 1996).
Air susu ibu merupakan sumber nutrisi utama yang dapat memenuhi seluruh
kebutuhan bayi untuk tumbuh dan berkembang hingga usia 6 bulan. Di negara
berkembang ASI sangat berperan dalam mencegah terjadinya infeksi maupun
penyakit diare. Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2001, tingkat mortalitas
akibat penyakit infeksi menurun secara mencolok pada bayi yang mendapat ASI
11
12
dibandingkan dengan yang mendapat susu formula. Khususnya bayi yang
mendapat ASI-eksklusif sampai dengan usia 6 bulan, memperlihatkan adanya
penurunan insiden dan incidence density penyakit infeksi. Terbukti pula bahwa
walaupun pemberian ASI-eksklusif hanya sampai usia 3 bulan, ada hubungannya
dengan episode diare yang lebih pendek (Baker dkk, 1998)
Diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi
defikasi lebih dari biasa (3 kali atau lebih) pada anak yang sebelumnya sehat,
konsistensi tinja lebih cair dari biasanya disertai dengan atau tanpa darah dan atau
lendir (Suraatmaja dan Soetjiningsih, 2000). Sebagian besar kasus diare terjadi
pada anak di bawah 5 tahun, dan sebagai penyebab terbanyak adalah infeksi
rotavirus
(Parashar
dkk, 2003). Di daerah yang penduduknya memiliki
pendapatan perkapita rendah, infeksi primer rotavirus yang menimpa anak pada
usia di bawah 1 tahun menunjukkan gejala diare yang lebih berat (Mann dkk,
2005). Berdasarkan laporan surveillance rotavirus di rumah sakit Sanglah pada
tahun 2007, terdapat peningkatan persentase rawat inap penderita diare pada anak
akibat infeksi rotavirus, sejalan dengan menurunnya tingkat pemberian ASI
(Surveillance Rotavirus, 2007).
Penyakit diare pada anak sebagian besar bersifat akut dan pada sebagian
kasus membawa beberapa akibat yaitu dehidrasi, gangguan keseimbangan asam
basa, dan renjatan hipovolemik manakala asupan cairan tidak memadai. Dapat
pula terjadi gangguan gizi akibat menurunnya nafsu makan selama anak sakit
(Suraatmaja & Soetjiningsih ,2000 ; Pusponegoro dkk, 2004).
13
2.2. Epidemiologi
Badan Kesehatan Dunia memperkirakan lebih dari 1,8 milyard kasus diare
terdapat di dunia, dan 3 juta diantaranya berakhir dengan kematian. Di negara
berkembang diare akut masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, dengan
tingkat kejadian lebih dari 12 episode diare pertahun pada anak yang berusia di
bawah 5 tahun. Diare akut pada anak juga menimbulkan kematian sebesar 4,6 juta
dan 25-30% dari padanya terjadi pada anak di bawah 5 tahun (Glass dkk, 1991;
Lundgren dkk, 2001). Berdasarkan hasil ”Riskesdas 2007, diare dapat
menyebabkan kematian sebesar 42% pada bayi (Juffrie & Mulyani, 2009). Di
Indonesia, terdapat 60 juta kejadian diare pertahun di mana pada setiap anak
mengalami lebih dari satu kejadian diare (Suraatmaja, 2002).
Rotavirus adalah mikroba penyebab infeksi pada sebagian besar penyakit
diare akut pada anak. Di daerah tropis infeksi rotavirus terjadi sepanjang tahun
dan kebanyakan menyebar melalui jalur fecal-oral dan sebagian melalui saluran
nafas maupun kontak langsung dengan penderita diare. Umumnya menyerang
anak berusia di bawah 2 tahun, dan mencapai puncaknya pada usia 6-24 bulan
(Elliott, 2007). Dari laporan surveillance di beberapa rumah sakit di Vietnam,
prevalensi diare akibat rotavirus pada anak yang berusia di bawah 5 tahun yang
dirawat, angkanya tertinggi pada anak di bawah 2 tahun. Dari penelitian tersebut
terungkap, infeksi rotavirus menimpa 46,3 % anak usia di bawah 1 tahun dan
34,28 % dari padanya terdiri dari anak yang berusia kurang dari 3 bulan. Ini
berarti infeksi rotavirus dapat mengenai anak pada usia dini (Nguyen dkk, 2004).
14
Penyakit diare akut rotavirus yang dilaporkan oleh peneliti lainnya adalah
56 % dari seluruh kasus diare pada anak yang dirawat. Kejadian diare pada anak
laki lebih besar dari pada anak perempuan dengan perbandingan dua banding satu,
dan sebanyak 12- 14 % terdapat pada anak di bawah 6 bulan (Mann dkk, 2001).
Hasil Surveillance Rotavirus di rumah sakit sanglah pada tahun 2007,
menunjukkan sebaran usia penderita diare rotavirus yang dirawat sebagai berikut,
kejadian tertinggi terdapat pada anak usia12-23 bulan (41 %), sedangkan yang
mengenai bayi kurang dari 6 bulan adalah 15 %. Sebanyak 3% terjadi pada bayi
usia 0-2 bulan (Surveillance Rotavirus, 2007). Ini memperlihatkan adanya
peningkatan kejadian penyakit diare rotavirus sejalan dengan menurunnya tingkat
pemberian ASI. Sedangkan data dari beberapa rumah sakit besar di Indonesia
menunjukkan 60 % diare akut pada balita yang dirawat dan 41 % dari yang tidak
dirawat disebabkan oleh rotavirus. Hal ini tak banyak dipengaruhi oleh keadaan
sanitasi (Soenarto dkk, 2009).
Gejala klinis diare akut yang berhubungan dengan infeksi rotavirus adalah
diare dengan tinja cair, disertai dengan panas yang tidak begitu tinggi atau tanpa
panas, muntah dan dehidrasi. Pada kasus diare yang pada tinjanya ditemukan
rotavirus sebagian besar menampakkan gejala diare cair (81,1 %), muntah (66,4
%), dehidrasi (89 %), dan panas (59,1 %). Gambaran ini sangat berbeda dengan
kasus diare yang tidak berhubungan dengan infeksi rotavirus. Pada beberapa kasus
diare rotavirus menunjukkan adanya infeksi simultan dengan jenis mikroba lain
terutama bakteri, tetapi tidak memberi pengaruh kolaboratif terhadap gejala klinis
diare rotavirus (Bardhan
dkk, 1992; Nguyen dkk, 2004). Tingkat kejadian
15
penyakit diare rotavirus kaitannya dengan anak dirawat dibandingkan dengan
penyakit infeksi lainnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gamb.2.1.
Tingkat Kejadian Anak usia < 5 th dirawat akibat infeksi rotavirus
(dikutip dari Noah & Henderson , 2002).
Keterangan gambar : Tingkat kejadian anak usia < 5 th dirawat karena penyakit
diare sebagai akibat infeksi rotavirus sebelas kali lebih tinggi dibandingkan oleh
karena meningitis yang disebabkan oleh berbagai penyebab.
Penyakit diare rotavirus juga membawa berbagai masalah pada anak usia < 5 th
seperti terlihat pada gambar di bawah ini :
16
Gambar.2.2. Gambaran infeksi rotavirus pada anak usia < 5 th (dikutip dari
Parashar dkk, 2003 ; Verstraeten dkk, 2005).
Keterangan gambar :
Infeksi rotavirus yang terjadi pada anak usia < 5 th dapat menimbulkan
penyakit yang menyebabkan anak dirawat di rumah sakit dan memiliki risiko
mengalami kematian. Risiko tertinggi terjadi pada anak-anak yang berasal dari
negara yang berpenghasilan rendah.
Pemberian ASI sebagai upaya untuk melindungi bayi dari penyakit infeksi
telah direkomendasi oleh WHO pada tahun 2001. Para ahli WHO menyatakan
untuk memberi ASI –eksklusif pada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan, untuk
menurunkan angka morbiditas maupun mortalitas akibat diare pada bayi-bayi di
negara berkembang. Selain itu juga tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi
pada usia tersebut (WHO,2001 ; Heesemann
& Hacker , 2002). Penelitian
ekologis yang menekankan pada efek ASI-eksklusif yang dilakukan di Amerika
17
Latin memperlihatkan bahwa pemberian ASI-eksklusif walaupun hanya
berlangsung 3 bulan dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian ASI bukan
eksklusif mempunyai dampak pada penurunan angka kematian bayi (Betran dkk,
2001). Peneltian di Navayo juga menunjukkan hasil yang serupa yaitu
menurunnya kejadian infeksi pada saluran nafas maupun saluran cerna setelah
terjadi peningkatan pemberian ASI-eksklusif di masyarakat (Wright dkk, 1998).
Tingkat proteksi ASI lebih berhubungan dengan dosis harian (eksklusivitas)
pemberian ASI daripada lamanya masa pemberian ASI. Hal ini berkaitan dengan
jumlah kandungan zat imun ASI yang ditelan bayi.Tingkat morbiditas paling
rendah terdapat pada bayi-bayi yang mendapat ASI-eksklusif, dan ini terjadi pada
semua tingkat sosial ekonomi di masyarakat (Sadeharju dkk, 2007; Raisler dkk,
1999). Efek proteksi ASI lebih nyata pada bayi-bayi yang tinggal di permukiman
yang padat penduduknya dan
berhubungan dengan banyaknya ASI yang
diminum. Terbukti setelah pemberian ASI terhenti, tingkat kejadian diare tidak
berbeda antara bayi yang pernah mendapat ASI dengan bayi yang tidak pernah
mendapat ASI (Quigley dkk, 2006).
Kaitan antara tingkat kejadian diare dengan pemberian ASI-eksklusif telah
dilaporkan oleh beberapa peneliti. Kejadian diare pada bayi yang berusia di bawah
4 bulan yang mendapat susu formula, 4 kali lebih besar dari pada bayi yang
mendapat ASI-eksklusif. Kasus diare yang perlu dirawat setiap bulannya dapat
dicegah sebanyak 53 % bila seluruh bayi mendapat ASI-eksklusif, dan 31% bila
seluruh bayi mendapat ASI non-eksklusif (ASI disertai pemberian makanan lain)
(Quigley dkk, 2007). Hal serupa juga ditemukan oleh Talayero dkk (2006), di
18
mana kasus diare yang perlu dirawat dapat dihindari sebanyak 30 % pada setiap
penambahan bulan ASI-eksklusif dan dapat dicegah sebanyak 56 % bila seluruh
bayi ditempat tersebut mendapat ASI-eksklusif.
Tingkat survival kumulatif menurun tajam pada kelompok bayi yang tidak
mendapat ASI-eksklusif, dibandingkan dengan kelompok bayi yang mendapat
ASI-eksklusif walaupun hanya berlangsung kurang dari 4 bulan. Tingkat survival
kumulatif tertinggi terdapat pada kelompok bayi yang mendapat ASI-eksklusif
sampai usia 4-6 bulan (Talayero dkk, 2006). Untuk lebih jelasnya hubungan
antara pemberian ASI dengan kejadian infeksi pada usia 0-1 tahun dapat di lihat
pada grafik di bawah ini:
Gambar 2.3. Kurva cumulative survival bayi dirawat karena infeksi berdasarkan
pola pemberian ASI ( Talayero dkk, 2006).
19
Keterangan gambar :
Terlihat perbedaan tingkat survival kumulatif antara kelompok bayi yang
tidak mendapat ASI-eksklusif dengan yang mendapat ASI-eksklusif (FB= full
breastfeeding). Penurunan kurva lebih tajam pada bayi yang tidak mendapat ASIeksklusif, menunjukkan adanya peningkatan risiko anak dirawat dengan masa
menyusu yang lebih lebih singkat.
Efek protektif ASI pada anak yang berusia < 1 tahun, kaitannya dengan
penyakit infeksi yang memerlukan perawatan dan faktor lainnya adalah jumlah
saudara yang lebih banyak yang tinggal serumah, serta memiliki berat lahir
kurang dari 3 kilogram. Demikian pula dengan lamanya pemberian ASI-eksklusif,
terdapat efek protektif sebesar 4,91 kali lebih besar pada anak yang mendapat
ASI-eksklusif dari usia 0 bulan hingga 4-6 bulan, dibandingkan dengan anak yang
tak mendapat ASI-eksklusif, dan sebesar 2,45 kali lebih besar dari anak yang
mendapat ASI-eksklusif kurang dari 4 bulan (Talayero dkk, 2006). Tingkat
pendidikan ibu yang relatif rendah, membawa dampak pada keterkaitan antara
kekerapan pemberian ASI dengan tingkat kematian bayi akibat penyakit diare,
seperti umumnya terjadi negara yang kurang berkembang (WHO, 2000).
Pemberian ASI kaitannya dengan diare akut rotavirus telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Kejadian diare rotavirus pada bayi yang mendapat ASIeksklusif tidak jauh berbeda dengan yang mendapat ASI non-eksklusif yaitu 21,4
% pada bayi ASI-eksklusif, dan 20,4 % pada bayi yang masih mendapat ASI
disertai makanan padat. Kemungkinan ASI yang didapat tidak memberi proteksi
terhadap diare rotavirus, dan jumlah pemberian ASI yang sangat menurun ketika
20
pemberian makanan padat dimulai (de Wit dkk, 2003; Bucher dan Abei, 2006,
Dennehy, 2008). Peneliti lain melaporkan, pemberian ASI-eksklusif dapat
melindungi bayi dari penyakit diare rotavirus yang berat, tetapi pada usia di atas 1
tahun ketika pemberian ASI sangat menurun justru diare rotavirus labih banyak
terjadi pada bayi yang masih mendapat ASI (Clemens dkk, 1993).
2.3. Mekanisme Terjadinya Diare Akibat Infeksi Rotavirus
Rotavirus merupakan salah satu mikroba patogen penyebab infeksi pada
traktus gastrointestinalis, dan merupakan penyebab utama penyakit gastroenteritis
di dunia (Elliott , 2007). Virus memiliki sifat sebagai parasit yang obligat, di
mana virus memerlukan sel inang untuk memproduksi protein, memodifikasi
genom dalam proses replikasinya dan dalam propagasi virion agar memiliki sifat
infeksius. Akibat dari propagasi tersebut adalah kerusakan
sel inang yang
menyebabkan terjadinya penyakit. Dalam proses replikasinya beberapa virus
dapat menyebabkan infeksi laten sebagai hasil dari interaksi genom virus ke
dalam sel inang, dan beberapa jenis virus dapat menimbulkan transformasi pada
sel inang ( Heesemann & Hacker ,2002).
Rotavirus termasuk dalam anggota keluarga virus Reoviridae, memiliki
kapsid yang berbentuk icosahedral, berukuran 70 nm, dan tidak memiliki
envelope. Tiga kapsid terluar terbagi menjadi sub unit kapsid yang membentuk
gambaran seperti roda (rota= wheel). Kapsid tersebut berbentuk konsentris yang
mengitari suatu genom dan terdiri atas
11 segmen RNA untai ganda di dalam
lapisan inti. Masing-masing segmen mengkode satu jenis polipeptida
untuk
21
membentuk 6 struktur protein dan 5 struktur nonprotein (Ludert dkk, 1986).
Secara skematis bentuk rotavirus dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.4. Susunan virion dan partikel rotavirus (dikutip dari Cunliffe dkk,
2002 dalam Rotarix, 2006 ; Alan Philips dikutip oleh Elliot, 2007).
Rotavirus grup A yang merupakan golongan rotavirus yang paling banyak
menginfeksi manusia, dapat dibagi menjadi dua berdasarkan jenis kapsid protein
VP7 (viral protein-7) yang disebut sebagai tipe G, dan kapsid protein VP4 (viral
protein-4) yang disebut sebagai tipe P. Jadi terdapat 15 tipe G dan 21 tipe P yang
secara bersama-sama membentuk suatu kombinasi dan pada manusia yang
terbanyak adalah tipe G1P(8), G4P(8) G2P(4), dan G3P(8) (Rahman dkk, 2003).
22
Tipe G2P (4) dan subgrup I berhubungan dengan penyakit diare yang lebih berat
dan terjadi pada umur yang lebih tua dibandingkan dengan tipe G1P(8) / G4P(8)
dan subgrup II (Cascio dkk, 2001). Distribusi serotipe rotavirus yang berhubungan
dengan penyakit diare pada anak dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.5. Distribusi serotipe rotavirus sebagai penyebab diare pada anak
(dikutip dari Parashar dkk,1996).
Keterangan :
Berdasarkan serotipe virus, tipe G1P(8), merupakan penyebab terbanyak
penyakit diare pada anak. Disusul berikutnya secara berturut-turut yakni tipe
G2P(4), G4P(8), dan yang berada diurutan terendah adalah tipe G3P(8).
VP4 (viral protein-4) dan VP7 (viral protein-7) adalah bagian dari struktur
protein terluar dari rotavirus. VP4 membentuk tonjolan yang menyerupai spike
(paku), merupakan bagian dari virus yang nantinya melekat pada sel inang,
23
dipecah oleh ensim tripsin menjadi VP8 (viral protein-8) dan VP5 (viral protein5).VP7 adalah suatu glikoprotein yang membentuk bagian terbesar kapsid luar
dari rotavirus. Baik VP4 maupun VP7 dapat menginduksi terbentuknya antibodi
yang bersifat neutralizing maupun protective. Antibodi neutralizing yang
diinduksi oleh VP8 berfungsi menghambat perlekatan virus terhadap sel inang,
sedangkan antibodi neutralizing terhadap VP7 menghambat virus melalui proses
decapsidation (Ludert dkk, 2002).
Masuknya rotavirus ke dalam sel epitel melalui suatu proses yang kompleks
dan bertahap. Terjadi interaksi antara berbagai molekul protein yang berbeda
dibagian permukaan partikel virus dengan berbagai macam molekul yang ada
dipermukaan sel inang, yang bekerja sebagai reseptor. Molekul reseptor terdiri
dari integrin dan protein heat shock yang berhubungan dengan domain mikro
membran lemak dari sel (Lopez & Arias, 2004). Berbagai strain rotavirus
bergantung pada adanya asam sialik pada permukaan sel, akan tetapi ini bukan
suatu yang esensial. Strain yang lain memerlukan integrin alfa-2 beta-1. Dua
interaksi awal dimediasi oleh bagian spike dari VP4, setelah melekat pada sel
terdapat interaksi ketiga dengan integrin alfa-5 beta-3 dan protein heat shock 70.
Interaksi ini barangkali penting bagi rotavirus untuk dapat menembus ke bagian
dalam sel. Molekul dari sel inang yang berfungsi sebagai reseptor fungsionil
terdiri atas kolesterol dan glikospingolipid yang kaya dengan domain mikro dari
lemak. Pada keadaan di mana terjadi kekacauan dari struktur tersebut akan
berpengaruh besar terhadap tingkat infektifitas dari rotavirus, menyebabkan
penurunan tingkat infektifitas rotavirus (Arias dkk, 2002).
24
Integrin yang berfungsi sebagai reseptor memiliki beberapa jenis, salah
satunya adalah integrin alfa-2 beta-2 menjadi media untuk melekatnya rotavirus
strain variant nar3 yang resisten terhadap neuraminidase. Integrin VLA-2 tidak
begitu responsible pada proses perlekatan maupun masuknya virus ke dalam sel,
tetapi mungkin berperan pada tingkat pasca perlekatan virus pada sel (Zarate dkk,
2000; Ciarlet dkk, 2002).
Konsentrasi ion kalsium berpengaruh terhadap keutuhan sruktur rotavirus
pada tahap virus memasuki sel inang maupun pada saat replikasi virus di dalam
lingkungan mikronya. Dengan menggunakan biakan sel, peningkatan kadar ion
kalsium di dalam media biakan yang mencapai limakali lipat menyebabkan
peningkatan titer dari semua strain virus yang ditest. Terjadi perubahan
lingkungan residu triptofan ketika kadar ion kalsium meningkat, hal ini
menyebabkan perubahan konformasi dari partikel virus yang mengindikasikan
adanya efek ion kalsium terhadap infektifitas virus (Pando dkk, 2002).
Infeksi terjadi bila kapsid bagian luar dari rotavirus mengalami proses
destabilisasi
dan terurai di dalam sitoplasma. Ludert dan kawan-kawan
melaporkan proses ”destabilisasi” justru terjadi pada konsentrasi ion kalsium yang
rendah. Demikian pula dengan melekatkan antibodi monoklonal pada kapsid VP7,
proses decapsidation dapat dicegah sehingga infeksi tidak terjadi (Ludert dkk,
2002).
Temuan dari beberapa peneliti lainnya menunjukkan bahwa melekatnya
suatu antibodi monoklonal pada capsid VP7 secara tidak langsung dapat
mencegah membran menjadi permeabel melalui inhibisi terlarutnya VP7. Seperti
25
diketahui VP7 adalah kapsid yang paling luar dari rotavirus, yang membentuk
bangunan dasar dari virus yang berbentuk trimer. Infeksi dapat dihambat bila
kapsid tersebut tetap utuh. Dengan meningkatnya afinitas ion Ca2+, proses
disosiasi dari VP7 akan terhambat sehingga struktur kapsid tetap stabil (Dormitzer
dkk, 2000; Ludert dkk, 2002). Almela dan kawan-kawan (1991) berdasarkan
hasil penelitiannya terhadap virus polio membuktikan bahwa, suatu partikel virus
dapat membentuk suatu susunan yang dapat menghambat terjadinya uncoating
block
yang membuat membran menjadi permeabel terhadap toksin yang
dihasilkan virus. Kedua data itu menguatkan dugaan bahwa disassembly dari
virion merupakan tahap yang diperlukan oleh virus yang tidak memiliki envelop
seperti rotavirus untuk mencapai membran yang permeabel agar dapat melakukan
penetrasi ke dalam sel inang (Cuadras dkk,1997 ; Liprandi dkk, 1997).
VP5 yang merupakan salah satu kapsid rotavirus lainya, diduga secara
langsung merusak membran sel inang yang di dahului dengan proses uncoating
virion, dan karenanya virion dapat masuk ke dalam sitoplasma. Kemungkinan
VP5 mengawali efflux ion Ca2+ dari pori endosom awal yang tidak permanen.
VP5 memiliki 2 domain yaitu domain hidrophobic, yang diperlukan untuk
pembentukan pori pada membran sel agar menjadi permeabel dan berhubungan
dengan membran sel di bagian dalam. Sedangkan domain VP5 lainnya adalah Nterminal yang berfungsi sebagai media dalam hubungannya dengan membran sel
dibagian ferifer. Jadi 2 domain dari VP5 memilki tempat melekat yang terpisah
pada membran sel, yang berfungsi sebagai media, agar endosom (awal) permeabel
26
untuk memfasilitasi pelepasan bungkus virion dan masuknya virus ke dalam sel
inang (Golantsova dkk, 2004).
Penyakit
diare
sebagai akibat infeksi
rotavirus dapat terjadi melalui
berbagai mekanisme. Rotavirus melakukan replikasi pada epitel vilus usus halus,
yang menyebabkan hilangnya sel-sel absorptif yang masih viabel. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara fungsi penyerapan dan fungsi
sekresi di daerah usus halus. Akan tetapi pada pemeriksaan invitro dengan
menggunakan jaringan sel hewan coba menunjukkan, bahwa beratnya gejala diare
akibat rotavirus tidak sebanding dengan tingkat replikasi virus dan perubahan
histologi jaringan sel yang terinfeksi. Ini menunjukkan bahwa perlekatan virus
saja pada sel tanpa adanya replikasi sudah cukup menginduksi timbulnya gejala
diare. Penelitian lain yang serupa menunjukkan bahwa bila partikel virus sudah
menembus membran sel, akan terjadi aktivasi jalur signal di dalam sel yang
menyebabkan sekresi dari beberapa kemokin seperti interferon dan faktor
kemotaktik tanpa adanya replikasi virus. Hal ini disebabkan oleh adanya zat yang
menyerupai toksin yang diekskresi ketika terjadi kontak antara rotavirus dengan
sel inang (Rollo dkk, 1999; Shaw dkk, 1995). Hasil penelitian ini didukung pula
oleh hasil peneliti terdahulu, yang memperlihatkan bahwa rotavirus menghasilkan
enterotoksin yang dapat merangsang sistem saraf enterik sehingga terjadi
peningkatan sekresi air dan garam secara berlebihan ke dalam lumen usus
(Mavromichalis dkk, 1977).
Mekanisme terjadinya diare rotavirus (secara
rinci) dimulai dengan,
pertama rusaknya sel epitel yang melapisi permukaan dinding usus halus yang
27
fungsinya sebagai penyerap garam dan air yang berasal dari makanan. Hal ini
berakibat buang air besar yang lebih sering atau diare cair tanpa adanya darah dan
panas yang tidak begitu tinggi (Elliott , 2007). Sel enterosit yang rusak digantikan
oleh sel sekretorik yang berasal dari kripte vilus usus halus yang kemudian
mensekresi garam maupun air secara berlebihan ke dalam lumen usus
(Mavromichalis dkk, 1977).
Secara histologi perubahan pada jaringan sel akibat infeksi rotavirus ditandai
dengan adanya akumulasi sel-sel enterosit yang mengalami vakuolisasi, apoptosis
dan terjadinya proliferasi yang meningkat pada hari kesatu sampai hari ketujuh
pasca infeksi. Semua proses tersebut menyebabkan vilus atrofi, disamping itu juga
banyak sel yang hilang akibat proses apoptosis. Terjadi juga percepatan masa
penggantian antar sel yang berakibat terbentuknya sel-sel epitel yang kurang
terdeferensiasi yang kesemuanya berakibat pada penurunan fungsi absorpsi dari
sel epitel intestinal (Boshuizaen dkk, 2003).
Sebagian dari sel epitel yang melapisi permukaan dinding usus halus juga
bersifat sebagai sel endokrin penghasil ensim disakharidase. Rusaknya sel epitel
akibat invasi virus, menyebabkan kadar ensim disakharidase usus juga menurun
dan pencernaan disakharida terganggu. Disakharida yang tidak tercerna akan
menarik lebih banyak air sehingga terbentuk bolus ketika tiba di kolon dengan
akibat diare osmotik (Kerzner dkk, 1977). Lundgren dkk (2000) menyimpulkan
bahwa rotavirus menghasilkan enterotoksin yang dapat merangsang sistem saraf
28
enterik sehingga kadar kalsium di dalam sel meningkat dan keadaan ini akan
menginduksi terjadinya diare sekretorik .
2.4. Sistem Kekebalan Mukosa Traktus Gastrointestinal
Sistem pertahanan tubuh dibentuk, salah satunya adalah untuk melindungi
diri dari serangan mikroorganisme patogen. Manusia yang tergolong sebagai
organisme multiseluler memiliki sistem pertahanan tubuh yang bersifat nonspesifik yang muncul lebih awal, disebut juga innate immune system (sistem imun
inat). Bila paparan mikroorganisme berlanjut, maka berkembang sistem
pertahanan tubuh yang bersifat spesifik yang dikenal sebagai adaptive immune
system
(sistem imun adaptif). Kedua sistem imun tersebut bekerja dengan
melibatkan berbagai komponen seluler maupun zat terlarut, komunikasi melalui
jaringan kerja suatu substansi pengaturan zat terlarut yaitu sitokin, kemokin dan
faktor komplemen serta berhubungan dengan reseptor yang ada pada sel
(Heesemann , 2002).
Sistem pertahanan mukosa usus menyangkut peran komponen seluler yang
terdiri atas sel-sel limfoid maupun mieloid, yang muncul sebagai akibat paparan
yang terus menerus oleh mikroba patogen di dalam lumen usus halus dan usus
besar. Salah satu di antaranya adalah sel limfoid yang terkumpul di dalam jaringan
limfoid mukosa yang disebut MALT (mucosa associated lymphoid tissue),
merupakan bagian dari kompartemen sistem imun yang paling tinggi di dalam
tubuh dan fungsinya tidak tergantung pada sistem imun sistemik. Secara anatomis
MALT terdiri atas kompartemen mikro yaitu Peyer’s patches, kelenjar getah
29
bening mesenterikum, appendik, tonsil, adenoid dan kelenjar getah bening lainnya
(Holmgren & Czekinsky , 2005).
Kompartemen sistem imun lainnya adalah yang bersifat alamiah, terdiri atas
cairan asam lambung, ensim protease, asam empedu, asam lemak rantai pendek
dan laktoferin yang memiliki efek microbicidal. Terdapat pula lapisan musin yang
tebal di permukaan membran mukosa epitel usus yang dapat membuat virus
terperangkap di dalamnya, dan kemudian dihalau keluar oleh adanya gerakan
peristaltik usus yang disebut sebagai proses immune exclusion. Musin juga
mengandung zat-zat yang berguna untuk pertumbuhan jaringan usus yaitu pada
pergantian sel epitel dan deferensiasi sel epitel usus (Levine-LeMoal & Servin,
2006).
Di dalam lumen usus terdapat bakteri komensal (flora normal) yang dapat
menghambat kolonisasi maupun invasi
berbagai mikroorganisme patogen
maupun toksin yang dihasilkannya. Flora normal tersebut memiliki fungsi
microbicidal yaitu secara kompetitif mengambil nutrien yang juga dibutuhkan
untuk pertumbuhan mikroba patogen yang masuk ke dalam saluran cerna. Flora
normal usus juga memegang peran utama dalam menstimulasi perkembangan dan
diferensiasi organ limfatik yang membentuk sistem pertahanan spesifik di mukosa
traktus gastrointestinal. Khususnya flora normal yang berada di kolon mempunyai
fungsi prebiotik yaitu sebagai penghasil vitamin K dan vitamin B-kompleks, dan
beberapa sel lemak rantai pendek yang merupakan sumber energi bagi epitel
kolon (Heesemann , 2002).
30
2.4.1.
Sistem Imun Non-spesifik Antivirus di Mukosa Usus
Secara pilogenetik sistem pertahanan tubuh yang paling purba adalah sistem
imun nonspesifik, yang memiliki kemampuan mengenal dan merespon serangan
mikroorganisme melalui suatu reseptor (Medzhitov, 2001). Pada mamalia
ditemukan 10 anggota reseptor yang disebut sebagai toll like receptors (TLRs),
yang dapat mengenal komponen mikroorganisme secara spesifik. Bila terjadi
infeksi oleh mikroba patogen, akan terjadi aktivasi terhadap TLRs yang akan
menginduksi respon inflamasi dan memicu berkembangnya sistem imun adaptif
yang bersifat spesifik (Takeda & Akira , 2003).
Jaringan usus adalah salah satu bagian dari saluran cerna yang selalu
berhadapan dengan enteromikroflora yang bersifat patogen. Enteromikroflora
patogen memiliki
PAMPs (pathogen associated molecule patterns), yang
merupakan ligand dari mikroba yang dikenal secara spesifik oleh reseptor dari sel
inang. Proses pengenalan ini merupakan signal bagi sel-sel di usus yang terlibat
dalam sistem kekebalan non spesifik (innate immunity) yaitu sel epitel, sel
dendritik maupun sel M (microfold) yang mengekspresi suatu jenis reseptor yang
merupakan bagian dari TLRs (Toll-like receptors). TLRs tersebut akan berikatan
dengan PAMPs yang merupakan petanda dari suatu jenis patogen dan hal ini
merupakan upaya dari sel inang dalam memelihara homeostasis di usus untuk
mencegah terjadinya proses inflamasi (Abreu dkk , 2005).
ASI merupakan media transmisi imunokompeten dari ibu ke bayi sebagai
wujud adanya garis hubungan imunologis antara ibu dan bayi (Chirico dkk, 2008).
TLRs dalam bentuk terlarut (soluble TLRs) terdapat di dalam ASI, plasma dan
31
sel monosit. TLRs ASI merupakan protein yang terdiri atas 83 dan 70 k DA
sTLR2 yang diduga berasal dari sel epitel kelenjar mammaria yakni sel adiposit
yang mengelilingi duktus mammarius maupun alveoli. Sedangkan yang ada di
dalam plasma lebih banyak dalam bentuk 66-k DA sTLR2
yang boleh jadi
berasal dari sel monosit dan dalam jumlah yang relatif kecil diproduksi oleh sel
neutrofil (Kurt-Jones dkk, 2002).
Produksi sTLR2 melibatkan beberapa proses yaitu endositosis reseptor pada
permukaan sel, proses compartemen asam internal, pelepasan sTLR2 melalui
eksositosis dan yang terakhir terkumpulnya sTLR2 di dalam pool intrasel. STLR2 dapat menghambat produksi sitokin oleh monosit yang distimulasi oleh
lipopeptida, dan terbukti bahwa sensitifitas terhadap lipopeptida meningkat bila
terjadi penurunan kadar sTLR2 . Hal ini menunjukkan bahwa sTLR2 memiliki
kontribusi dalam pengaturan efesiensi respon imun alamiah terhadap mikroba
patogen. Aktivitas inhibisi ini mungkin terjadi melalui interaksi antara sCD14
(molekul koreseptor) ataupun dengan CD14 yang terikat pada membran sel.
Kemungkinan yang lain adalah sTLR2 mengalami hemodimerisasi dengan TLR2
di permukaan sel atau melalui terbentuknya decoy receptor yang akhirnya
menurunkan efesiensi signal TLR2. Jadi ASI selain mengandung koreseptor
sTLR2 tetapi juga sCD14 yang dapat mengatur signal TLR, dengan cara ini
inflamasi lokal yang excessive pada usus neonatus akibat kolonisasi bakteri dapat
dihindari (LeBouder dkk, 2003).
Sistem imun nonspesifik menghambat infeksi virus dengan mencegah
berlanjutnya replikasi virus. Pertama-tama virus diidentifikasi sebagai struktur
32
benda asing melalui petanda komponen dinding sel, sitoplasma maupun petanda
yang ada di bagian genom dari
virus tersebut, kemudian virus dilokalisir.
Berbagai zat kemotaktik akan ditarik menuju tempat infeksi yang menyebabkan
sel mast terdegranulasi sehingga terjadi pelepasan faktor vasoaktif. Salah satu
diantaranya adalah histamin, mengakibatkan permeabilitas vaskular meningkat
dan timbulnya reaksi inflamasi ditempat masuknya mikroba tersebut. Sekelompok
protein didalam serum yang disebut sebagai komplemen juga berperan di dalam
sistem imun nonspesifik, yang terdiri atas 20 macam protein yang bekerja sebagai
sebuah cascade. Fungsinya adalah mengenali mikroba patogen pada tahap dini,
mengeliminasi mikroba serta meregulasi respon imun selanjutnya yaitu respon
imun spesifik (Heesemann , 2002).
Antigen virus yang dapat bertahan dari perangkap musin maupun gerakan
peristaltik usus, akan ditangkap oleh sel epitel khusus disebut sel microfold (sel
M) yang terdapat di bagian lekukan tajam dari vili usus halus. Antigen virus
diangkut menyebrangi barier mukosa, kemudian diproses dan dipresentasikan
kepada sel dendritik yang ada di jaringan limfoid mukosa (Van Ginkel dkk,
2000).
Partikel virus atau virion masuk ke dalam sel M melalui proses endositosis
dan diproses di dalam vesikel sel M, setelah itu diambil oleh sel dendritik atau
dikeluarkan lagi ke permukaan basolateral dari sel M. Dari sini virion tersebut
menginvasi sel epitel usus halus lainnya atau difagositosis oleh makrofag serta
dapat pula sampai di daerah saraf otonom usus halus (Nathanson , 2002). Antigen
33
virus dapat langsung diambil oleh sel dendritik melalui tight junctions (celah)
antar sel epitel yang terbuka (Rescigno dkk , 2001).
Sel dendritik merupakan sel antigen presenting cells (APCs) yang paling
poten di dalam tubuh manusia, terdapat terutama di tempat yang potensial
terpapar patogen yaitu mukosa. Terdapat beberapa subpopulasi sel dendritik, salah
satunya CD11 b+ dapat menyajikan antigen virus pada sel T-CD4+, dan proses
ini merupakan hal yang paling penting di dalam menghasilkan respon imun yang
diperani oleh sel T-helper 1(Zhao dkk, 2003).
Sel dendritik interstitial (sel dendritik yang masih imatur)
mengambil
antigen di jaringan nonlimfoid melalui reseptor imunoglobulin yaitu Ig-FcR atau
reseptor scavenger. Reseptor Fc-alfa (CD89) bagian dari Ig-FcR, akan mengikat
antigen secara selektif. Selanjutnya terjadi stimulasi molekul kostimulator CD86
maupun MHC-II (major histocompatibility complex II) di dalam plasma membran
dan terjadi peningkatan produksi IL-10. Sel dendritik melalui reseptor Fc-alfa
dapat pula mengikat IgA1 dan IgA2, seperti telah diketahui IgA merupakan
imunoglobulin utama di dalam mukosa di mana sel dendritik banyak terdapat.
Selanjutnya terbentuk IgA polimer kompleks yang mengalami internalisasi ke
dalam sel dendritik dan mengaktivasi sel dendritik. Oleh karenanya diduga sel
dendritik interstitial menggunakan reseptor Fc-alfa untuk menangkap antigen di
daerah subepitel maupun mengikat imunoglobulin A (Geissmann dkk, 2001).
Aktivasi sel dendritik juga terjadi dengan mengenal molekul mikroba
melalui TLRs. Sel dendritik plasmacytoid (p-DC) memiliki
kemampuan
menskresi interferon (INF) tipe 1 sebagai respon terhadap infeksi virus pada saat
34
awal infeksi. Untuk mengaktivasi sel dendritik dibutuhkan lebih dari satu signal,
yaitu signal yang dapat menstimulasi molekul TLRs, dan juga signal yang
berasal dari molekul MYD88. Molekul MYD88 yang merupakan protein adaptor
hasil interaksi dengan Toll/ IL-1 receptor (TIR) akan merekrut serin/threonin
kinase domain death,
IL-1R –associated kinase (IRAK) (Medzhitov, 2001 ;
Asselin-Pasturel dkk, 2001).
TLRs adalah reseptor yang terlibat di dalam sistem imun nonspesifik, dapat
berasal dari protein humoral yang beredar di dalam plasma, reseptor endositik
yang diekspresikan pada permukaan sel, dan reseptor-reseptor signal yang
diekspresikan baik dipermukaan sel maupun di dalam sel. TLRs merupakan
protein transmembran tipe 1 yang diberi nama berdasarkan atas pola ekspresi sel
terhadap rangsangan mikroba tertentu, TLR3 sebagai salah satunya secara spesifik
mengenal RNA virus untai ganda, terdapat pada sel dendritik Struktur TLRs
terdiri atas domain ekstrasel dan domain sitoplasma yang berhubungan dengan
reseptor IL-1(interleukin1) yang kemudian membentuk komplek signal dengan
molekul MYD88, serin/Threonin –kinase yang selanjutnya menyebabkan aktivasi
faktor transkripsi di antaranya nuclear factor-Kb (NF-Kb) dan c-Jun/ATF2/TCF.
Setelah itu akan terjadi transkripsi beberapa gen sitokin dalam waktu yang cepat
(Muzio dkk, 2000; Muzio dkk, 1997; Wesche dkk, 1997 ; Cao dkk, 1996).
TLRs merupakan alat bagi sel inang untuk mencegah terbentuknya mutan
dari mikroba patogen, sebagai sensor terhadap keberadaan patogen dengan
memproduksi sitokin yang kemudian mengaktivasi cascade signal yang
menghasilkan sintesa berbagai molekul proinflamasi (Medzhitov & Janaway ,
35
1999). Pertautan TLRs dengan ligand yang dimiliki mikroba juga memicu sintesa
sitokin imunoregulator, kemokin dan molekul stimulator. Salah satunya adalah
TLR3, dapat mengenal virus yang memiliki RNA untai ganda melalui struktur
poly I:C yang dimiliki oleh virus. TLR3 kemudian berikatan dengan molekul
MYD88 untuk selanjutnya menginduksi sintesis IFN (interferon) tipe 1. Jadi yang
berperan pada infeksi virus adalah TLR3 selain TLR9 (Lund dkk, 2003).
Dalam rangkaian pengenalan ligand melalui TLRs yang dimiliki oleh sel
dendritik akan dihasilkan interferon tipe 1 yang akan mengaktivasi sel NK
(natural killer), untuk mencegah infeksi virus meluas
sebelum respon imun
adaptif terjadi. Sel NK mengenali patogen virus melalui suatu interaksi kompleks
molekul yang spesifik yang dapat menghambat maupun mengaktivasi reseptor
(Lee
dkk,2001; Daniels
dkk, 2001). Selama infeksi berlangsung, terjadi
komunikasi dua arah antara sel dendritik dan sel NK, di mana sel dendritik
menghasilkan sitokin (interferon) dan mengenal langsung patogen yang sangat
diperlukan agar sel NK
teraktivasi. Sel NK sebaliknya berpartisipasi
mempertahankan populasi sel dendritik (Andrews dkk, 2003).
Sel NK merupakan bagian dari sel limfosit di dalam pembuluh darah perifer.
Jumlahnya mencapai 15 % dari seluruh sel limfosit, konsentrasinya terus
meningkat dan mencapai kadar tertinggi di tempat masuknya antigen. Telah
dibuktikan bahwa pada awal proses infeksi virus, ada subpopulasi sel NK yang
dapat memproduksi IFN-gama yang kadarnya meningkat sampai lebih dari 80%
dari biasa. Untuk dapat memusnahkan antigen, sel NK harus mampu mengenal
secara selektif sel yang terinfeksi melalui NK-cel receptor disamping adanya
36
stimulasi dari sel yang tidak terinfeksi. Selain itu sel NK juga berfungsi sebagai
surveillance terhadap sel asing yang tidak mengekspresi reseptor, mengaktivasi
reseptor lainnya seperti integrin dan menjadi media bagi fungsi efektor dari sel
limfosit melalui pelepasan sitokin (Daniels dkk, 2001).
Reseptor sel NK yang disebut sebagai molekul LY49H, merupakan suatu
membran
protein
yang
terdiri
atas
C-type
lectin
yang
mengandung
immunoreceptor tirosin associated motif (ITAM). Telah dibuktikan bahwa
molekul LY49H dapat mengikat ligand virus sitomegali (MCMV) yang
menyebabkan sel NK teraktivasi dengan melepaskan IFN-gama dan perforin.
Untuk mengaktivasi sel NK juga diperlukan signal ekstrinsik berupa pelepasan
IFN tipe 1 dan IL-12 oleh sel dendritik. Jadi untuk mengaktivasi sel NK
dibutuhkan sitokin yang dihasilkan oleh sel dendritik maupun pengenalan PAMPs
melalui TLRs yang diekspresi oleh sel imun lainnya (Tabeta dkk, 2004).
Sel NK yang telah teraktivasi melalui interferon ( INF ) gama yang
dihasilkannya akan mengaktivasi kembali sel dendritik dan sel limfosit T. Pada
tahap awal infeksi di mana respon imun spesifik belum terbentuk, sel NK akan
membunuh sel yang terinfeksi atau memecah sel yang mengandung patogen, yang
telah ditandai oleh antibodi alamiah yang disebut sebagai antibody-dependent
cell-mediated cytotoxicity (ADCC) (Heesemann , 2002).
Sel yang terinfeksi virus (sel dendritik) akan mensekresi interferon tipe 1
(INF-1), yang terdiri atas interferon alfa dan beta. Keduanya akan menghambat
replikasi virus pada fase awal infeksi dan menimbulkan keadaan antiviral pada sel
yang tidak terinfeksi. INF-1 juga meningkatkan ekspresi molekul MHC-I pada sel
37
yang terinfeksi sehingga mudah dikenal oleh sel limfosit tertentu untuk kemudian
dihancurkan. INF–beta (dari sel dendritik) bersama INF-gama (dari sel NK) akan
memacu sel untuk mengekspresikan molekul MHC-II untuk mencegah
berlangsungnya pembelahan sel. Sedangkan INF- alfa (dari sel dendritik)
menstimulasi aktivitas sel T dan sel NK-sitotoksik yang akan menghambat
terbentuknya antibodi pada awal-awal infeksi (Nathanson , 2002).
Pada infeksi virus, antibodi terbentuk setelah infeksi berlangsung lama, di
mana sel NK yang telah teraktivasi melalui INF-gama yang telah dihasilkan
akan merangsang terbentuknya antibodi. Proses tersebut diawali dengan sel NK
mengenali sel yang terinfeksi oleh virus yang sedang mengekspresikan molekul
MHC-I. Secara rinci bagaimana sel yang terinfeksi menghasilkan interferon dan
mekanisme kerja sistem interferon dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.6. Sistem Kerja Interferon (dikutip dari Nathanson , 2002).
38
Secara rinci produksi interferon oleh sel yang terinfeksi dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.7. Produksi Interferon oleh Sel yang Terinfeksi (bhn kuliah ”Imunologi
klinik” S3 tahun 2007, 2004 New Science Press Ltd).
2.4.2. Sistem Imun Spesifik Antivirus di Mukosa Usus.
Sistem imun spesifik akan mulai bekerja setelah respon imun nonspesifik
tidak mampu memusnahkan semua antigen yang telah menginfeksi sel.
Dikhawatirkan bila proses berlanjut maka gejala penyakit maupun kerusakan yang
diakibatkan lebih berat dan dapat menimbulkan kematian. Hal ini terjadi bila
jumlah sel yang terinfeksi cukup banyak sebelum respon imun yang spesifik
terjadi. Oleh karena itu semua komponen imun bergerak yang dimulai oleh sistem
imun nonspesifik, dilanjutkan oleh bekerjanya sistem imun spesifik (Nathanson ,
2002). Ketika tubuh manusia terinfeksi oleh virus maka respon pertama yang
timbul adalah terbentuknya keadaan antiviral pada sel yang terinfeksi, yang
bertujuan mencegah replikasi virus dan memberi signal untuk mengatur respon
39
imun adaptif melalui terbentuknya interferon tipe1 (IFN-1) (Levy & GraciaSastre, 2001).
Sistem imun adaptif terdiri atas sistem imun humoral dan sistem imun
seluler, masing-masing diperankan oleh sel limfosit B dan sel limfosit T. Sistem
imun humoral di dalam sistem pertahanan mukosa diperani oleh imunoglobulin A
tipe sekretorik (sIgA) dan bekerja lebih awal saat virus masih berada di luar sel.
Bila virus berhasil masuk ke dalam sel, komponen imunitas seluler dalam hal ini
sel limfosit T dengan dua subpopulasi sel yang dimiliki yaitu sel T-CD4+ dan sel
T-CD8+ mulai bekerja. Keduanya dibedakan berdasarkan atas jenis molekul
MHC (major histocompatibility complex) yang diekspresikan pada permukaan
selnya. Sel T-CD4+ mengekspresikan molekul MHC-II di mana dalam
menjalankan fungsinya akan berinteraksi dengan sel limfosit B naïve maupun sel
T-CD8+. Interaksi ini menimbulkan signal yang menginduksi sel limfosit B dan
sel T-CD8+ berploriferasi sebagai respon terhadap antigen yang dipresentasikan
oleh sel antigen presenting cells (APCs) (Nathanson, 2002).
Sistem pertahanan imun seluler mukosa di jaringan usus halus diperani oleh
sel T-CD8+ yang terdapat di jaringan limfoid intraepitel
usus halus yang
memiliki sifat spesifisitas terbatas. Sel imun yang lainnya berada di daerah lamina
propria yang terdiri atas campuran dari berbagai jenis sel imun, tetapi yang
terbanyak adalah sel T-CD4+
yang memiliki fenotif sebagai sel yang aktif.
Disamping itu terdapat sejumlah besar sel limfosit B yang aktif, sel plasma,
makrofag, sel dendritik, eosinofil dan sel mast (Abbas & Lichtman, 2005).
40
Seperti telah diuraikan sebelumnya, antigen virus yang telah berhasil
menginfeksi sel-sel di jaringan usus halus akan diproses oleh sel M dan kemudian
diambil
oleh sel dendritik, dan selanjutnya diolah lagi sebelum akhirnya
dipresentasikan kepada sel B. Agar dapat merangsang sistem imun, antigen akan
terikat pada reseptor yang ada pada sel limfosit B, yang menyebabkan sel B
mengalami maturasi menjadi sel plasma dan akan memproduksi antibodi yang
bersifat spesifik. Antigen juga dapat menempel pada reseptor yang
dimiliki
bersama oleh sel T dan sel antigen-presenting cells (APCs) dalam hal ini sel
dendritik yang merupakan rangkaian awal dari reaksi imun seluler. Sel limfosit B
dan T yang telah teraktivasi akan memacu ekspansi klonal dari kedua sel tersebut
yang sebagian terjadi di tempat masuknya mikroba dan sebagian lagi di jaringan
limfatik
yang berperan sebagai immunological memory. Sel-sel imun yang
dihasilkan oleh kedua sel limfosit tersebut akan bergerak ke lokasi infeksi jika
diperlukan (Heesemann, 2002).
Sel limfosit B yang sudah berubah menjadi sel plasma akan menghasilkan
antibodi yang bersifat neutralizing maupun opsonizing, yang hanya efektif untuk
mengeliminasi virus selama berada di luar sel inang. Sifat netralisasi dari antibodi
dimaksudkan untuk menetralisir antigen virus yang memiliki sifat merusak sel
(efek sitopatik), sedangkan fungsi opsonisasi adalah agar partikel virus mudah
dibersihkan oleh sel fagosit. Telah diketahui bahwa proses fagositosis juga
didukung oleh sistem komplemen yang mungkin secara langsung berperan dalam
memecah envelope yang dimiliki oleh virus (Abbas & Lichtman, 2005).
41
Antibodi sIgA yang dihasilkan oleh sel limfosit merupakan antibodi utama
yang berperan di dalam sistem imun lokal di jaringan usus halus. Memiliki
kemampuan mengaglutinasi agen infeksi dan memfasilitasi proses klirens mikroba
tersebut melalui gerakan peristaltik dan gerakan mukosilier usus halus (Mestecky
dkk,1999). Selain itu sIgA juga melekat secara selektif pada sel M, ikut terangkut
bersama antigen yang dibawa oleh sel M dan selanjutnya masuk ke dalam sel
dendritik (Corthesy, 2007). Sel M adalah sel epitel yang memiliki bentuk berbeda
yang melapisi bagian permukaan dari kelejar Peyer’s patches (PP), fungsinya
membawa antigen yang ada di lumen usus ataupun yang melekat pada sel M,
terangkut pula sIgA bersamanya yang kemudian mengalami internalisasi ke dalam
sel dendritik (DC) yang dimediasi oleh IgA moiety. S-IgA yang terbawa bersama
sel M maupun sel DC akan memudahkan pengambilan antigen berikutnya oleh
sel M, dan memicu migrasi sel DC ke dalam PP yang kaya akan sel limfosit
T.Selanjutnya akan terjadi pengaturan ekspresi sel T-CD80 dan T-CD86 di dalam
PP, kelenjar getah bening mesenterikum dan limpa. Ini memperlihatkan fungsi
sIgA di dalam penyebaran antigen di dalam jalur efektor dari kompartemen
mukosa usus (Rey
dkk, 2004 ; Favre
dkk, 2005). Untuk lebih jelasnya
bagaimana sistem imun di mukosa usus bekerja, dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :
42
Gambar.2.8. Proses Antigen menginduksi respon imun di usus halus (dikutif dari
Corthesy, 2007).
Keterangan :
1. Di jaringan GALT (gut associated lymphoid tissue), mikroorganisme
ditangkap oleh sel M, disajikan kepada sel DC yang masih imatur di
regio sub-epitel dome (SED).
2. Dengan membesarkan ukurannya sel DC langsung menangkap antigen
(Ags) yang ada di dalam sel epitel dan selanjutnya antigen tersebut
disajikan ke pada sel T yang masih naïve di dalam saluran kelenjar getah
bening bagian proksimal.
3. Terjadi aktivasi dan migrasi dari sel DC, yang dipengaruhi oleh signal
yang berasal dari antigen (makanan, bakteri patogen / komensal, virus,
toksin).
43
4. Sel plasma yang berada di dalam lamina propria (LP), akan
memproduksi IgA-polimer yang kemudian di sekresi sebagai sIgA.
Antibodi antiviral yang paling berperan
di mukosa usus adalah IgA. Hal
ini terlihat jelas pada penelitian yang menggunakan backpack tumor, di mana IgA
(bukan IgG) efektif mencegah diare rotavirus pada hewan coba tikus. IgA yang
telah dihasilkan di jaringan mukosa usus akan tersimpan di domain basolateral
dari sel epitel, melalui proses transitosis selanjutnya masuk ke domain apical sel
epitel usus (Ruggeri dkk, 1991). IgA adalah antibodi yang berbentuk dimer
tersimpan di dalam sel basal, diubah menjadi s-IgA
melalui penambahan
komponen sekretorik yang kemudian disekresi ke dalam lumen usus atau ke
bagian apeks dari epitel mukosa usus. S-IgA memiliki sifat resisten terhadap
ensim pencernaan sehingga dapat mengikat agen infeksi maupun toksin yang
menginvasi lumen maupun mukosa usus. Fungsi sIgA secara keseluruhan dapat
digambarkan sebagai berikut :
44
FUNGSI IgA PADA SISTIM IMUN MUKOSA USUS
(Kaetzel CS, dalam Proc.Natl.Sci. USA, 1991; 88: 8796-8800)
IgA
IgA-monomer
oleh Limfosit
dlm sumsum
tulang disekresi
ke sirkulasi darah
IgA polimer oleh
Sel epitel kelenjar
Mammaria
sIgA
IgA polimer
oleh sel plasma di
Lam.propria
mukosa usus
+ rantai J
+ pIgR
di epitel mukosa
Kapiler Villi usus
halus
Difusi ke lamina
propria
mukosa usus halus tak
dapat masuk ke
Peyer‟s
Patches.
Lumen
Usus
halus
Lumen Usus
sIgA + Ag
Excresi ke dlm
feses
Epitel mukosa
sIgA+Sel M+Ag
Kompleks imun
intraseluler
Sel APC dlm PP Sel B, sel T
Gambar.2.9 Fungsi IgA pada imun lokal di mukosa usus halus (Kaetzel, 1991).
2.5. Mekanisme Kerja ASI Sebagai Pembawa Kekebalan Pasif
Sistem pertahanan imun pada fetus dan neonatus masih imatur sehingga
mudah terserang infeksi. Terdapat IgG maternal yang ditransfer lewat plasenta
yang bekerja di jaringan (Hanson dkk, 1985). Pemberian ASI merupakan sarana
untuk mempertahankan link imunologis antara ibu dengan bayi sesaat setelah bayi
lahir (Chirico dkk, 2008).
Kelenjar mamaria yang merupakan bagian yang terintegrasi dalam sistem
imun mukosa, akan menghasilkan antibodi terutama imunoglobulin sekretorik
A(sIgA) sebagai hasil dari stimulasi antigen terhadap jaringan limfoid mukosa
45
pada saluran nafas dan saluran cerna ibu. S-IgA yang dihasilkan memiliki sifat
spesifik terhadap patogen yang menginvasi saluran cerna bayi (Telemo & Hanson,
1986). Jadi sIgA bersama komponen imun ASI lainnya ditargetkan untuk
mencegah infeksi terutama pada saluran cerna bayi. S-IgA ASI bekerja sebagai
immune exclusion, dan membatasi kerusakan jaringan akibat inflamasi
yang
menguras energi(Kaetzel 1991, LeBouder dkk, 2003).
Laktoferin dan oligosakharida yang ada di dalam ASI, berfungsi sebagai
reseptor analog terhadap mikroba dan mencegah perlekatannya pada mukosa
yang merupakan tahap awal dari proses infeksi (Hanson dkk, 2002; Brandtzaeg,
2003). Terdapat pula zat yang memiliki efek prebiotik yang dapat mendukung
kolonisasi flora normal di dalam usus dan oleh karenanya dapat mengurangi
koloni bakteri patogen pada jaringan usus (Newburg, 2000).
ASI dapat berfungsi sebagai imunomodulator, ini
terbukti dari ukuran
kelenjar timus bayi yang mendapat ASI (eksklusif) lebih besar dibandingkan
dengan yang mendapat ASI (non-eksklusif) maupun yang tidak mendapat ASI
(Hasselbach dkk, 1996). Sejumlah protein di dalam ASI memiliki aktivitas
sebagai antimikroba dan sebagai imunostimulator, di antaranya dalam bentuk
sitokin
berpengaruh terhadap menurunnya insiden infeksi pada masa bayi
khususnya pada masa neonatus (Chirico dkk, 2008). Juga terdapat “miRNA”
yang dapat meregulasi molekul di dalam sel maupun komunikasi antar sel dan
jumlahnya mencapai 1,3 kali 10 pangkat 7 copi/liter ASI pada masa 6 bulan
pertama laktasi (Kosaka dkk, 2010). Terdapat berbagai vitamin yang larut dalam
lemak maupun asam lemak esensial yang memiliki aktivitas biologis kuat untuk
46
mengatur berbagai proses di dalam sel dan jaringan (Koletzko & RodriguezPalmero, 1999).
Antibodi sIgA merupakan elemen imun utama ASI bekerja di garis terdepan
dalam sistem pertahanan di mukosa usus, dengan menghambat kolonisasi dan
ataupun pertumbuhan patogen (Newburg, 2000). Pada bayi baru lahir produksi
antibodi sIgA oleh sel Paneth di daerah kripte usus halus belum optimal,
demikian pula IgA yang berasal dari serum baru dapat diukur pada minggu ke 2-3
setelah lahir. Bila terjadi infeksi pada jaringan mukosa terdapat aliran IgMsekretorik dari kelenjar eksokrin membran mukosa (Kesarwala dkk, 1988).
S-IgA ASI diproduksi oleh sel sekretorik yang ada di kelenjar mammaria
ibu pada masa laktasi. Selama hamil dan masa laktasi, sel limfosit B yang telah
tersensitisasi
(IgA+B-lymphocyte)
akibat
paparan
antigen
sebelumnya
mengumpul di kelenjar mammaria dan memproduksi IgA spesifik (Goldman dkk,
1998). Struktur molekulnya berbentuk dimer yang tersusun dari 2 pasang rantai
ringan dan rantai berat yang diikat oleh rantai J.
Sensitisasi sel limfosit B
terutama terjadi di jaringan saluran nafas maupun saluran cerna ibu yang
selanjutnya bermigrasi melewati aliran getah bening dan masuk ke dalam sirkulasi
darah, dan akhirnya tiba di kelenjar mammaria. Kedua jalur migrasi sel limfosit B
disebut sebagai jalur bronchomammaria dan enteromammaria. Sel limfosit B
kemudian berdeferensiasi menjadi sel plasma dan siap memproduksi sIgA yang
selanjutnya di skresi ke dalam ASI (Telemo & Hanson, 1996; Hanson dkk, 2002).
Antibodi jenis lain yang juga dikandung ASI adalah IgM, IgG dan jenis antibodi
lainnya, akan tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan sIgA yang mencapai
47
>90 % dari jumlah seluruh imunoglobulin ASI (Rojas & Apodea, 2002).Adanya
jalur migrasi IgA+B-lymphocyte seperti tersebut di atas, diduga hal ini sebagai
alat transfer zat protektif yang bersifat spesifik dari ibu ke bayi (Goldman dkk,
1998).
Kolostrum adalah ASI yang keluar pada saat bayi baru lahir hingga berusia
7-9 hari. Dibandingkan dengan ASI yang keluar sesudah itu (ASI matur),
kolostrum memiliki kandungan sIgA paling tinggi dan pada manusia mencapai >1
g/l ASI (Wold & Hanson, 1994). Kadar sIgA ASI berkisar antara 5,0-7,5 mg/dl,
dan ibu yang menyusui secara eksklusif maka pada 4 bulan pertama bayi akan
mendapat sIgA sebanyak 0,5 g sIgA/hari atau sekitar 75-100 mg/kgBB/hari.
Konsentrasi sIgA yang tinggi dipertahankan sampai tahun kedua masa laktasi
(Akib dkk, 2008).
Terdapat pula sel limfosit B dalam jumlah > 10 % dari jumlah sel lekosit
yang telah termedikasi di dalam ASI (Wold & Adlerberth, 1998). Musin yang
terkandung di dalam ASI-kolostrum dapat menjadi perangkap bagi virus dan
karenanya memberi kontribusi dalam memperpendek masa infeksi maupun
menurunkan insiden infeksi (Yolken dkk, 1992; Ikeda dkk, 1998). Salah satu jenis
musin yaitu laktaderin merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul 46
kDa, akan menempel pada reseptor rotavirus di jaringan usus halus bayi, dapat
mengikat dan menghambat replikasi rotavirus dan bersifat dose dependent
(Newburg dkk, 1998; Yolken dkk, 1992).
Komponen ASI-kolostrum yang juga penting adalah sel neutrofil dengan
bentuk molekul CD15+ mengekspresi reseptor IgA-Fc (Fc-alfa R, CD89) yang
48
dapat mengikat sIgA, tetapi tidak memiliki rantai gama sehingga aktivitas
mikrobisidalnya lemah. Namun 70% dari sel neutrofil ASI menahan sIgA baik
dipermukaan sel maupun di dalam selnya. Terhadap kekurangan ini diduga fungsi
neutrofil ASI berperan pada proses non inflamasi dengan berfungsi sebagai alat
transport sIgA (Honorio-Franca dkk, 2001).
Telah diuraikan di atas bahwa sIgA dari ASI merupakan elemen imun ASI
yang paling berperan di dalam garis pertahanan terdepan di saluran cerna pada
bayi yang menyusu, karena memiliki efek protektif yang paling kuat. Telah
dibuktikan pula bahwa sIgA ASI bersifat efektif dalam sistem pertahanan mukosa
baik terhadap bakteri, virus antara lain rotavirus dan respiratory syncitial virus
(RSV) (Goldman, 1993). S-IgA dapat menetralisir agen infeksi dan pada waktu
yang sama membatasi kerusakan jaringan akibat proses inflamasi (Schandler,
2000 ; Labbok dkk, 2004).
Elemen antiinfeksi lainnya pada ASI adalah berbagai jenis protein, di
antaranya adalah laktoferin, lisosim, laktaderin, anti protease, dan komplemen.
Laktoferin disebut juga iron glycoprotein, dapat megikat zat besi sehingga
ketersediaan zat besi untuk pertumbuhan bakteri menjadi berkurang. Dalam
bentuk lactoferricin yang merupakan hasil enzymatic cleavage dari laktoferin,
dapat meningkatkan permeabilitas membran sel sehingga dapat mengikat bagian
lipid dari lipopolisakharida yang dimilki bakteri. Efek serupa juga ditunjukkan
terhadap virus, jamur dan protozoa. Efek antiviral dari laktoferin adalah pada
infeksi fase awal yaitu sebagai reseptor virus sehingga perlekatan virus pada sel
inang terhalang (Orsi, 2004).
49
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produksi ASI, di
antaranya adalah usia ibu, paritas, dan status gizi ibu. Seorang ibu yang berusia
lebih tua dan atau jumlah paritas yang lebih banyak, memiliki ASI dengan berat
jenis yang lebih rendah. Kadar sIgA dipengaruhi oleh berat jenis ASI dan
konsentrasi sIgA tetap stabil saat bayi berusia 8-52 minggu. Kondisi lingkungan
juga berpengaruh terhadap kadar sIgA-ASI. Pada saat makanan berlimpah
kandungan sIgA lebih tinggi dibandingkan ketika musim paceklik. Keadaan ini
ditemukan pada ibu-ibu yang tinggal di Gambia (Weaver dkk, 1998). Hal yang
berbeda ditemukan pada penelitian sebelumnya, di mana kadar sIgA ASI para ibu
di Gambia lebih tinggi pada ibu yang berusia lebih muda dan atau dengan jumlah
kehamilan yang lebih sedikit (Prentice dkk, 1983). Henart dan kawan-kawan
menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut mungkin dipengaruhi oleh lingkungan
setempat. Dilaporkan pula bahwa kadar sIgA-antimikrobial ASI ibu-ibu yang
tinggal di Zaire lebih tinggi pada ibu multipara, diduga ini sebagai hasil dari
pengalaman kehamilan sebelumnya (Henart dkk, 1991).
Tentang produksi ASI yang berkaitan dengan status gizi ibu, akan ada
pengaruhnya apabila seorang ibu menderita malnutrisi berat dan berkepanjangan
yang dapat mempengaruhi kandungan beberapa zat yang terdapat dalam ASI
(Diunduh dari http://familiedyka.multiply.com/journal/item/89/Tulisan Seputar
Gizi Ibu Menyusui dan Pe…5/13/2008). Perbedaan status gizi antara ibu-ibu di
Zaire yang tinggal di perkotaan dengan yang tinggal di pedesaan tidak
berpengaruh langsung terhadap kandungan sIgA-antimikrobial di dalam ASI-nya.
Kekerapan menyusui pada ibu-ibu yang tinggal di perkotaan lebih tinggi
50
dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan, karena ibu di pedesaan lebih lama
bekerja di luar rumah. Ini berakibat terhadap perbedaan jumlah antibodi sIgA-ASI
yang ditelan oleh bayi (Hennart dkk, 1991).
2.6. Pemberian ASI, ASI-eksklusif hubungannya dengan diare akut
rotavirus.
Seperti telah banyak disinggung sebelumnya bahwa, ASI yang merupakan
makanan alamiah utama pada bayi yang berusia 0-6 bulan, juga memberi proteksi
terhadap penyakit infeksi utamanya penyakit diare yang masih merupakan
masalah kesehatan pada anak di negara berkembang. Pada ASI terdapat elemen
imun baik yang bersifat antigenik spesifik maupun perannya pada respon umum
secara general (Harsono, 1995; Morrow & Rangel, 2004).
Pemberian ASI-eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan seperti dianjurkan
oleh WHO, terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas penyakit
infeksi terutama pada anak yang berasal dari negara berkembang dan tinggal di
permukiman padat (WHO, 2001; Quigley dkk, 2006). Demikian pula kaitannya
dengan tingkat survival kumulatif pada penyakit infeksi pada usia < 1 tahun,
tertinggi pada bayi yang mendapat ASI-eksklusif sejak berusia 0-4/6 bulan
dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI-eksklusif maupun menerima
ASI-eksklusif sampai usia kurang dari 4 bulan. Jadi bayi yang masa menyusu
eksklusif lebih pendek lebih tinggi risikonya menderita penyakit infeksi (Talayero
dkk, 2006).
51
Rotavirus merupakan mikroba penyebab dari 20-80 % penyakit diare pada
anak di dunia (Breese dkk, 2004), sedangkan data dari 6 rumah sakit besar di
Indonesia menunjukkan 55 % kasus diare akut pada balita disebabkan oleh
rotavirus (Soenarto dkk, 2009). Di rumah sakit Sanglah dari laporan surveillance
rotavirus memperlihatkan bahwa sebaran penyakit diare pada bayi meningkat
yang sejalan dengan menurunnya tingkat pemberian ASI (Surveillance Rotavirus,
2007). Diare akut rotavirus memberi dampak berupa kematian yang tinggi pada
anak usia <5 tahun yaitu 1 dari 500 anak dari negara berpenghasilan rendah
(Parashar dkk, 2003). Diare rotavirus dapat menyerang anak usia dini, selain
menyebabkan kematian juga komplikasi berupa dehidrasi dan gangguan gizi,
lebih berat dari pada penyakit diare yang disebabkan oleh bukan rotavirus
(Nguyen dkk, 2004).
Di daerah tropis infeksi rotavirus terjadi sepanjang tahun, terutama
menyebar melalui jalur fecal-oral, selain melalui saluran nafas maupun kontak
langsung (Elliot, 2007). Bagian dari rotavirus yang pertama melekat pada sel
inang adalah viral protein (VP) 4 yang memiliki tonjolan menyerupai paku
(spike), sebagai proses awal untuk terjadinya infeksi. Terdapat pula VP-7 yang
merupakan bagian terbesar dari bangunan luar kapsid rotavirus. VP-4 dan VP-7
dapat menginduksi terbentuknya antibodi yang bersifat neutralizing dan
protective. Hasil percobaan secara invitro menmperlihatkan bahwa antibodi
monoklonal yang dilekatkan pada
VP4 dan VP7 dapat mencegah partikel
rotavirus terurai dan dengan demikian infeksi tak akan terjadi (Ludert dkk, 2002).
52
Komponen imun yang ada di dalam ASI merupakan respon terhadap invasi
mikroba pada saluran nafas dan saluran cerna ibu pada masa laktasi (Telemo &
Hanson, 1996), memiliki sifat spesifik terhadap mikroba yang menyerang saluran
nafas maupun saluran cerna bayi (Hanson dkk, 2002; Chirico dkk, 2008). Hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa hampir 30 % wanita yang melahirkan di
salah satu rumah sakit Umum di New York pernah terinfeksi rotavirus grup C
dan kekebalan ini dipindahkan kepada bayinya yang dibuktikan dengan
terdapatnya IgG-antirotavirus pada darah talipusat bayi yang dilahirkan
(Riepenhoff-Talty dkk, 1997). Penelitian terhadap wanita pada masa post partum
di suatu rumah sakit di Jerman menunjukkan, 40 % dari kolostrumnya
mengandung antibodi sIgA-antirotavirus (Brussow dkk, 1991).
Suatu penelitian yang diadakan di rumah sakit di Melbourne terhadap ibu
postpartum bersama bayi pasangannya menunjukkan adanya peningkatan kadar
IgG dan IgA serum yang spesifik terhadap rotavirus sejalan dengan bertambahnya
usia dan paritas. Keadaan ini memiliki korelasi positif dengan titer IgGantirotavirus pada serum darah talipusat bayi yang dilahirkan. Sedangkan pada
kolostrum maupun ASI matur ditemukan sIgA yang spesifik terhadap rotavirus
hampir pada semua ibu yang diteliti dan ini juga ditemukan pada feses bayi yang
mendapat ASI walaupun kadar sIgA yang spesifik terhadap rotavirus ASI rendah
(McLean & Holmes, 1980).
Pada bayi usia dini (<6 bulan ) sistem imun endogen belum bekerja secara
optimal. S-IgA yang berasal dari produksi lokal di jaringan usus halus belum
berfungsi secara optimal untuk melindungi bayi dari infeksi (Kesarwala dkk, 1988
53
). IgA yang dihasilkan oleh sumsum tulang masuk ke dalam sirkulasi darah villi
usus halus tetapi tidak bisa menembus kelenjar getah bening usus tempat antigen
di proses. S-IgA yang berasal dari ASI masuk kedalam usus halus akan mengikat
antigen (rotavirus) yang masih berada di lumen usus halus. Bila beban virus
melebihi kemampuan mengikat dari sIgA yang ada di lumen usus halus, maka
antigen virus yang bebas akan menempel pada sel enterosit usus (Kaetzel, 1991).
Sebagian dari sIgA-ASI akan berikatan secara selektif dengan sel M yang
melapisi permukaan kelenjar Peyer patches di mukosa usus halus, bersama pula
antigen virus yang telah ditangkap oleh sel M untuk kemudian membentuk
kompleks imun intraseluler (Kaetzel, 1991). Komplek imun yang terbentuk
selanjutnya masuk ke dalam sel dendritik, diolah dan disajikan kepada sel lmfosit
T dan B yang ada di dalam kelenjar Peyer patches (Mestecky, 1999; Corthesy,
2007). Hasil percobaan dengan menggunakan jaringan backpack tumor yang
berasal dari tikus, memperlihatkan bahwa yang dapat mencegah penyakit diare
rotavirus adalah imunoglobulin s-IgA (bukan IgG) (Ruggeri dkk, 1991). Secara
skematis tergambar seperti di bawah ini :
54
Bagan: Peran sIgA – ASI kaitannya dengan infeksi rotavirus
IgA polimer oleh sel epitel
kel.mamaria ibu
Rotavirus
Ab.sIgA antirotavirus ASI
Lumen Usus
Ab.sIgA antirotavirus ASI
berikatan dgn Ag rotavirus
Proses Immune exclusion
Faeces
Sel enterosit usus halus, Sel
M + sIgA antirotavirus ASI +
Ag rotavirus
Kompleks imun intra seluler
Sel DC
Sel T, Sel B dalam PP & KGB
lainnya
55
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Diare masih merupakan penyakit yang banyak diderita oleh anak yang
berusia < 1 th dan salah satu penyebabnya adalah adanya imaturitas pada sistim
imun. Adanya imaturitas pada sistim imun mukosa, menyebabkan bayi mudah
terinfeksi oleh mikroba patogen yang menyerang jaringan usus halus. Data yang
dilaporkan oleh WHO dan beberapa peneliti lainnya menunjukkan bahwa, diare
akut yang disebabkan oleh infeksi rotavirus merupakan kasus terbanyak pada anak
di bawah 2 tahun, dan 46,3 % dari kasus tersebut terdapat pada anak yang berusia
di bawah 1 tahun.
Pemberian ASI-eksklusif, telah terbukti sangat berhubungan dengan
menurunnya kejadian diare yang disebabkan infeksi pada bayi. Keterkaitannya
lebih jelas terhadap penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri seperti kholera
dan E.coli, walaupun tak dapat mencegah infeksi asimtomatis. Sedangkan
hubungannya dengan kejadian diare yang disebabkan oleh rotavirus, berdasarkan
beberapa laporan dari para peneliti hasilnya masih kontroversial. Salah satu
laporan menunjukkan bahwa pemberian ASI-eksklusif dapat mencegah terjadinya
penyakit diare rotavirus yang berat, namun tidak berpengaruh ketika pemberian
ASI menurun. Peneliti lain menyimpulkan bahwa tingkat proteksi ASI
berhubungan dengan dosis harian (eksklusivitas) pemberian ASI.
55
56
Antibodi antiviral yang paling berperan di mukosa usus adalah IgA
sekretorik, dan s-IgA yang ada di dalam ASI merupakan antibodi sebagai respon
terhadap paparan mikroba patogen pada saluran cerna dan saluaran nafas ibu
pada masa laktasi. S-IgA ASI bersifat spesifik terhadap mikroba patogen yang
masuk ke dalam saluran cerna bayi.
3.2. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka dan permasalahan yang dihadapi, maka disusun
suatu kerangka konsep penelitian seperti gambar di bawah ini:
Ibu :
Faktor Internal :
Usia
Paritas
Status gizi
Faktor Eksternal :
Tk.Pendidikan
Jenis Pekerjaan
Higiene perorangan
AIR SUSU IBU :
ASI eksklusif
ASI non eksklusif
Mengandung Ab.sIgA antiRV
Tidak mengandung Ab.sIgA antiRV
antirotavirus
TERPAPAR ROTAVIRUS
Faktor Internal :
Usia
Jenis kelamin
Status gizi
Faktor Eksternal :
Jumlah saudara
BAYI : 1-6 bln, menyusu
Diare Akut Rotavirus :
Risiko diare
Lama diare
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
57
Keterangan :
-
Garis tebal menunjukkan alur variabel dependen dan independen yang
akan dibuktikan berdasarkan hipotesis yang ditetapkan yaitu risiko
terjadinya diare akut rotavirus, lama diare akut rotavirus dan hubungannya
dengan pola pemberian ASI (eksklusif dan non-eksksklusif), serta ASI
yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus
- Garis tipis dan garis putus-putus merupakan
variabel-variabel yang
dikendalikan .
3.3. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan hasil kajian pustaka maupun dari kerangka konsep penelitian
seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat disusun suatu hipotesis penelitian
sebagai berikut :
1.
Pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif risiko terjadinya
diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI non-eksklusif
2.
Pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi
sIgA-antirotavirus
risiko terjadinya diare akut rotavirus lebih rendah
daripada yang mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA
antirotavirus
3.
Pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif rerata lama penyakit
diare akut rotavirus lebih rendah daripada yang mendapat ASI non-eksklusif
4.
Pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi
sIgA-antirotavirus rerata lama penyakit diare akut rotavirus lebih rendah
58
daripada yang mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA
antirotavirus
59
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan studi kasus
kontrol dan studi potong lintang
4.1.1.Rancangan Studi Kasus Kontrol (case control study)
Rancangan ini bertujuan, pertama untuk mengetahui hubungan antara risiko
terjadinya penyakit diare akut rotavirus pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat
ASI-eksklusif. Tujuan yang kedua adalah mengetahui hubungan antara risiko
terjadinya penyakit diare akut rotavirus pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat
ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus.
4.1.2.Rancangan Studi Potong Lintang (Cross sectional study)
Rancangan ini bertujuan untuk mengetahui, pertama hubungan antara rerata
lama diare akut rotavirus pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif.
Tujuan yang kedua adalah untuk mengetahui hubungan antara rerata lama diare
akut rotavirus pada bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung
antibodi sIgA antirotavirus.
Kasus ditetapkan berdasarkan adanya antigen rotavirus pada spesimen feses.
Sampel feses dikumpulkan dan disimpan di dalam freezer hingga jumlahnya
mencapai 96, untuk satu kali pemeriksaan. Akhirnya jumlah sampel yang
terkumpul 161, tetapi hanya 148 sampel yang memenuhi syarat, selanjutnya
59
60
diperiksa untuk menemukan adanya antigen rotavirus. Sampel yang mengandung
antigen rotavirus
dikelompokkan menjadi kasus, dan sampel yang tidak
mengandung antigen rotavirus dikelompokkan menjadi kontrol. Jadi terdapat dua
kelompok yaitu subyek diare akut rotavirus dan diare akut bukan rotavirus.
Selanjutnya diidentifikasi karakteristik dari masing-masing kelompok, dilakukan
analisis terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko terjadinya diare
akut rotavirus maupun lamanya diare akibat infeksi rotavirus.
4.2. Penentuan Sumber Data
4.2.1 Populasi Penelitian
Populasi target adalah semua bayi yang sedang menderita diare akut,
mendapat ASI dan berusia 1-6 bulan. Populasi terjangkau dipilih dari populasi
target dan didapatkan 161 sampel. Sampel (intended sample) adalah sampel yang
dipilih dari populasi terjangkau secara berurutan (consecutive) setelah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek yang benar-benar diteliti (actual study
subjects) adalah subyek yang benar-benar mau ikut dalam penelitian setelah
mengisi formulir Persetujuan Setelah Penjelasan ( PSP = informed consent), dan
yang bisa dianalisis jumlahnya mencapai 148 sampel (13 sampel rusak).
Sampel yang dipilih, dikelompokkan menjadi diare rotavirus dan diare
bukan rotavirus dan disusun dalam bentuk tabel sampel berdasarkan urutan
kelompok usia. Terhadap masing-masing kelompok dilakukan identifikikasi
terhadap karakteristik subyek dan analisis terhadap faktor-faktor yang
memengaruhi risiko terjadinya diare rotavirus termasuk disini pola pemberian
(ASI-eksklusif dan ASI bukan eksklusif), pemberian ASI yang mengandung
61
antibodi sIgA-antirotavirus dan tidak mengandung antibodi sIgA-antirotavirus.
Demikian pula terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan lama diare akut
rotavirus.
Untuk lebih jelasnya seperti terlihat pada bagan di bawah ini :
1.
Pada studi kasus kontrol, kelompok subyek yang menderita diare akut
rotavirus ditetapkan sebagai kasus dan yang menderita diare akut bukan
rotavirus sebagai kontrol. Kasus dan
kontrol dipasangkan berdasarkan
kesamaan usia dengan perbandingan 1:3 dipilih dari kontrol yang telah
disusun secara berurutan dalam bentuk tabel. Pemilihan ini berdasarkan
jumlah pasangan yang didapat dari masing-masing kasus setelah
disesuaikan dengan usia (Sastroasmoro & Ismael, 2002). Secara skematis
digambarkan pada bagan di bawah ini:
Studi Kasus Kontrol
ASI –eksklusif
Ab-sIgA-antirotavirus
positif
Diare akut rotavirus
Matching Usia
ASI – non eksklusif
Ab-sIgA-antirotavirus
negatif
Diare akut non rotavirus
Gambar 4.1. Bagan Studi Kasus Kontrol
62
2.
Studi potong lintang
Pada studi potong lintang, kelompok subyek
diare akut rotavirus dan
subyek diare akut bukan rotavirus dibedakan menjadi subyek yang
mendapat
ASI-eksklusif,
ASI
non-eksklusif,
mendapat
ASI
yang
mengandung antibodi sIgA antirotavirus dan tidak mengandung antibodi
sIgA antirotavirus. Demikian pula terhadap rerata lama diare pada masingmasing kelompok. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah
ini.
Studi Potong Lintang (Cross sectional study)
ASI-eksklusif
Lama Diare Akut
Rotavirus
ASI non-eksklusif
Ab-sIgA-antirotavirus
ASI positif
Lama Diare Akut
Rotavirus
Ab-sIgA-antirotavirus
ASI negatif
Gambar 4.2.Bagan Penelitian Studi Potong Lintang (Cross sectional study).
63
4.2.2.Kriteria inklusi :
Kriteria inklusi :
- Bayi berusia 1-6 bulan menderita diare akut, mendapat ASI
- Lahir tunggal
- Lahir cukup bulan
- Berat lahir di atas atau sama dengan 2500 gr
- Status gizi baik
- Tidak menderita kelainan kongenital mayor
4.2.3.Kriteria eksklusi :
Subyek (bayi) yang diteliti akan dikeluarkan dari penelitian bila ibunya :
- Menderita malnutrisi berat
4.2.4. Teknik pengambilan sampel
Sampel adalah bayi yang sedang menderita diare berusia 1-6 bulan, masih
mendapat ASI, berkunjung ke poliklinik maupun di ruang praktek swasta dan atau
dirawat di ruang rawat inap di rumah sakit. Sampel dipilih secara berurutan
berdasarkan kriteria inklusi, dan tidak diikutkan dalam penelitian bila terdapat
keadaan yang termasuk di dalam kriteria eksklusi.Dari sampel yang telah dipilih
dilakukan uji skrining ELISA Capture test (diunduh dari: www.rapidtest.com 250
13485-203) untuk mengetahui adanya antigen rotavirus di dalam feses. Bila hasil
test positif (ditemukan antigen rotavirus), subyek dimasukkan dalam kelompok
diare rotavirus. Sedangkan pada kelompok yang hasil testnya negatif (tidak
64
ditemukan antigen rotavirus dalam feses) menjadi kelompok diare bukan
rotavirus. Pada kedua kelompok ditelusuri tentang pola pemberian ASI dan
diperiksa titer antibodi sIgA-antirotavirus ASI dengan teknik ELISA (Bishop dkk,
1984), serta karakteristik subyek (bayi dan ibu). Lama diare akan dihitung dari
subyek yang menderita diare akut rotavirus, kemudian dibagi menjadi kelompok
bayi yang mendapat ASI-eksklusif, mendapat ASI bukan eksklusif, mendapat ASI
yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus dan kelompok yang mendapat ASI
yang tidak mengandung antibodi sIgA-antirotavirus.
4.2.5.Besar sampel
Pada penelitian ini sampel yang berhasil dikumpulkan adalah 161 dan
sebanyak 13 sampel tidak memenuhi syarat (spesimen ASI dan atau feses rusak).
Besar sampel dihitung berdasarkan rumus studi Kasus Kontrol Berpasangan
dengan jumlah kontrol lebih dari satu untuk mengetahui risiko terjadinya penyakit
diare akut rotavirus. Untuk mengetahui rerata lamanya penyakit diare akut
rotavirus, dihitung berdasarkan rumus untuk studi Potong Lintang (uji hipotesis
terhadap rerata dua populasi, dua kelompok independen). Berdasarkan
penghitungan tersebut diperoleh ukuran besar sampel yang berbeda dan yang
dipakai adalah yang angkanya lebih besar. Penghitungan besar sampel
berdasarkan :
1.
Besar sampel untuk mengetahui risiko terjadinya diare akut rotavirus
Rumus Studi kasus kontrol berpasangan dan Studi kasus kontrol dengan
rasio kasus dibandingkan adalah 1:3 (Sastroasmoro & Ismael, 2002).
65
2
z / 2 z PQ
P 1/ 2
n
R
P
1 R
Berdasarkan rumus di atas, besar sampel pada studi kasus kontrol
berpasangan uji 1 arah, bergantung pada OR, z-alfa, dan z-beta. Pada
penelitian ini ditetapkan alfa = 0,05; beta = 0,20, di mana z-alfa = 1,645; zbeta = 0,842, OR = 2,5. Penghitungan besar sampel berdasarkan dengan
rasio kasus dan kontrol 1:1:
Bila OR = 2,5, P = 2,5/(1+2,5) = O,71; Q = 1-P = 0,29
2
n
(1,645 / 2 0,842 0,71x 0,29)
0,71 0,5
n
0,823 0,842 0,2059
0,21
n
(1,1447)
0,29
2
2
n1=n2= 32,89= 33
Untuk menghitung besar sampel bila rasio kasus dibanding kontrol adalah
1:3, maka penghitungan besar sampel adalah sebagai berikut:
n‟= (c + 1)n / 2c
n‟= (3 + 1)33 / 2x3
= 22
66
Jumlah kasus minimal adalah 22, pada penelitian jumlah kasus adalah 23
sedangkan jumlah kontrol adalah 3 x 23 (= 69) dan pada penelitian ini kasus
dan kontrol dipasangkan berdasarkan kesamaan usia.
2.
Untuk menghitung besar sampel rerata lama penyakit diare akut, digunakan
rumus uji hipotesis rerata dua populasi (Sastroasmoro & Ismael, 2002) :
2
(z
z )s
n1 n 2 2
( x1 x 2)
Lama penyakit diare akut yang mendapat ASI-ekskslusif (3,8 + 2,2 hari)
sebagai “x1) dan rata-rata simpang baku 3,4 hari (dikutip dari LopezAlarcon dkk, 1997). Rerata lama diare yang mendapat ASI non-eksklusif
adalah 4,56 hari (“x1” ditambah 20 %), z-alfa= 1,645,
z-beta= 0,842,
maka:
n1 n2
(1,645 0,842) s
2
(6,2 3,8)
2
2,487 3,4
2
2,4
2
2
(8,456)
n1 n2 2
2 (3,52) 2 2 12,39 24,8
(2,4)
n1 = n2 = 55; berarti jumlah sampel adalah 55 x 2= 110
Berdasarkan hasil penghitungan di atas maka besar sampel yang
dipakai adalah yang angkanya lebih besar yaitu 110 (pada penelitian yang
dianalisis 148 sampel)
4.3. Variabel Penelitian
4.3.1.Identifikasi variabel
Variabel dalam penelitian ini adalah :
67
1. Risiko penyakit diare akut (diare rotavirus, diare bukan rotavirus) dan
lamanya penyakit diare akut (rotavirus, bukan rotavirus)
2. Antibodi sIgA-antirotavirus ASI (positif, negatif)
3. Pola pemberian ASI (ASI eksklusif, ASI non-eksklusif )
4. Karakteristik bayi (usia, jenis kelamin, status gizi, jumlah saudara)
5. Karakteristik ibu (usia, paritas, status gizi, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, higiene perorangan)
4.3.2.Klasifikasi Variabel
a. Variabel tergantung adalah risiko terjadinya diare akut rotavirus dan
lamanya penyakit diare akut rotavirus.
b. Variabel bebas adalah :
Antibodi sIgA-antirotavirus ASI (positif, negatif)
Pola pemberian ASI (eksklusif, non-eksklusif)
c. Variabel kendali adalah karakteristik bayi (usia, jenis kelamin, status
gizi, jumlah saudara), karakteristik ibu (usia, status gizi,paritas, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, higiene perorangan)
4.3.3.Hubungan antar variabel
Hubungan variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk
diagram.
68
Variabel bebas
Antibodi sIgA-antirotavirus ASI
(positif, negatif)
Pola pemberian ASI( ASI –
eksklusif, ASI non- eksklusif )
Variabel tergantung
1.Risiko diare akut rotavirus
2.Lama penyakit diare akut
rotavirus
Variabel kendali
1. Karakteristik bayi: umur, jenis
kelamin,status
gizi,
jumlah
saudara.
2. Karakteristik ibu: usia, paritas,
status gizi, tingkat pendidikan,
jenis
pekerjaan,
higiene
perorangan.
Gambar 4.3. Hubungan antar variabel
4.3.4.Definisi operasional variabel
1.
Penyakit diare akut :
a. Diare akut adalah penyakit yang terjadi mendadak pada anak yang
sebelumnya sehat dan berlangsung kurang dari 14 hari. Penyakitnya
ditandai dengan buang air besar 3 kali atau lebih per hari, feses yang
lebih cair dari pada biasanya, dengan atau tanpa disertai darah dan atau
lendir.
69
b. Diare akut yang disertai dehidrasi dinilai berdasarkan pedoman yang
sesuai yang tertera pada Tabel Penilaian Dehidrasi, WHO (terlampir).
Disebut sebagai penyakit diare akut rotavirus bila ditemukan antigen
rotavirus pada pemeriksaan feses (WHO, 1984; Nguyen, 2004). Hasil
pemeriksaan dinyatakan sebagai diare akut rotavirus dan diare akut
bukan rotavirus
c. Risiko terjadinya diare akut rotavirus adalah besarnya risiko terjadinya
diare akut rotavirus pada subyek yang terpapar dibandingkan dengan
yang tidak terpapar oleh faktor risiko. Hasil penghitungan dinyatakan
dalam satuan rasio odds (RO)
d. Lamanya penyakit diare akut rotavirus adalah lamanya penyakit diare
berlangsung yang dihitung sejak feses mulai cair pada hari pertama
dinyatakan sebagai penderita penyakit diare sampai saat terakhir buang
air besar dengan feses cair
sebelum feses menjadi seperti sebelum
menderita penyakit. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan jam
2.
Pola pemberian ASI:
a. Pemberian ASI-eksklusif adalah pemberian makanan bayi yang hanya
memberi ASI, tanpa makanan/minuman lain termasuk air putih kecuali
sirup vitamin dan cairan pelarut obat
b. Pemberian ASI non-eksklusif adalah pemberian makanan pada bayi
selain ASI, disertai dengan susu formula, buah, bubur susu dan jenis
makanan cair/ lembek lainnya (dikutip dari Bland dkk, 2003)
70
Data didapat dari laporan ibu
3.
Antibodi sIgA-antirotavirus ASI adalah adanya antibodi sIgA-antirotavirus
di dalam ASI berdasarkan hasil pemeriksaan ELISA. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif bila titer ELISA mencapai 28 unit atau lebih, dan disebut
negatif bila titer ELISA mencapai di bawah 28 unit (Bishop dkk, 1984)
4.
Faktor karakteristik bayi adalah umur, jenis kelamin, status gizi, dan jumlah
saudara yang diukur dengan teknik yang sesuai dan hasil penghitungan
dinyatakan dalam satuan tertentu:
a. Umur : dihitung berdasarkan tanggal lahir yang tercantum di KMS
(kartu menuju sehat ) atau berdasarkan laporan, dinyatakan dalam satuan
bulan
b. Jenis kelamin ditetapkan berdasarkan bentuk fenotif organ genital yang
didapat dari pemeriksaan fisik, dinyatakan sebagai
laki-laki dan
perempuan
c. Status gizi: didapat dengan mengukur berat badan bayi memakai
timbangan bayi, saat diukur bayi dalam posisi terlentang, telanjang atau
memakai pakaian seminimal mungkin. Hasil pengukuran berat badan
dinyatakan dalam gram. Panjang badan bayi diukur menggunakan
meteran kayu, saat diukur bayi dalam posisi terlentang, dan hasil
pengukuran dinyatakan dalam satuan sentimeter. Status gizi bayi didapat
dengan mencantumkan berat badan (BB) bayi dan panjang badan (PB)
bayi pada garis yang sesuai pada grafik
Standards
(2006)
The WHO Child Growth
(Diunduh
dari
71
http://www.who.int/chidgrowth/standrds/Growth_standar.pdf
Bayi
dikatakan mempunyai gizi baik bila perpotongan garis yang ditarik dari
titik BB/PB pada grafik terletak di antara nilai persentil 15-85
d. Jumlah saudara adalah jumlah anak yang tinggal dalam satu rumah,
dinyatakan dalam satuan orang
e. Kelainan kongenital mayor adalah kelainan organ yang dapat
memengaruhi proses penyusuan, dan sudah ada sejak lahir antara lain
bibir sumbing maupun kelainan pada bibir dan atau hidung lainnya
(Indrasanto, 2008)
5.
A. Karakteristik ibu (internal) adalah usia, paritas, dan status gizi. Diukur
memakai teknik yang sesuai dan dinyatakan dalam satuan tertentu :
a. Usia ibu dihitung berdasarkan tanggal lahir, dinyatakan dalam satuan
tahun
b. Paritas adalah jumlah kehamilan yang pernah dialami ibu, didapat
melalui anamnesis dan dinyatakan dalam satuan kali
c. Status gizi ibu adalah keadaan gizi yang didapat dengan mengukur
berat badan ibu memakai timbangan orang dewasa, hasil pengukuran
dinyatakan dalam satuan kilogram. Tinggi badan ibu diukur
memakai meteran yang disebut sebagai microtoise atau stadiometer
dalam posisi berdiri. Hasil pengukuran dinyatakan dalam sentimeter.
Status gizi ditetapkan berdasarkan hasil penghitungan Indeks Masa
Tubuh yaitu : IMT = BB (kg)/ TB (meter) x TB (meter) berdasarkan
rumus Pedoman Perhitungan gizi orang dewasa. Jika hasil
72
penghitungan adalah 18,5-25,0 disebut normal, dan bila hasilnya
dibawah 17,0 disebut sebagai kurang energi kronis (KEK) berat
(diunduh
dari:
www.gizi.net/pedomangizi/download/Pedoman%20Praktis%20IMT.
doc. 1/1/2001)
B. Karakteristik eksternal ibu adalah tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
dan higiene perorangan Didapat dari hasil wawancara dan data yang
didapat dinyatakan dalam ukuran tertentu :
a. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang pernah dijalani
ibu, digolongkan menjadi : tamat SD, SLTP, SLTA, atau tamat
Perguruan Tinggi
b. Jenis pekerjaan : adalah pekerjaan yang dilakukan ibu pada saat bayi
berusia 1-6 bulan. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang dilakukan
di rumah adalah pekerjaan mengurus rumah tangga, wiraswasta dan
lainnya dan ibu tetap dapat menyusui bayi. Pekerjaan yang dilakukan
di luar rumah adalah pekerjaan yang menyebabkan ibu berada di luar
rumah lebih dari 3 jam sehingga tidak dapat menyusui bayi selama
melakukan pekerjaan
c. Higiene perorangan adalah kebiasaan ibu
mencuci tangan dengan
air dan sabun sebelum memegang bayi. Dinyatakan sebagai selalu
mencuci tangan bila setiap akan memegang bayi ibu mencuci tengan
memakai sabun. Kadang-kadang mencuci tangan bila akan
73
memegang bayi sesekali mencuci tangan dengan sabun dan tidak
pernah mencuci tangan setiap akan memegang bayi
4.4. Bahan Penelitian
1.
ASI, diperiksa kandungan antibodi IgA- antirotavirus dalam ASI
2.
Feses bayi, untuk menemukan adanya antigen rotavirus
3.
Kuesioner dan rekaman medik
4.5. Instrumen dan Prosedur Pengambilan Bahan Penelitian
4.5.1.Instrumen: Kit ELISA untuk pemeriksaan ASI dan feses
4.5.2.Prosedur Pelaksanaan Penelitian dan Pemeriksaan Bahan
Penelitian dimulai setelah didapat:
1.Persetujuan dari tim Komisi Etik
2.Izin dari rumah sakit tempat penelitian dilakukan
Sosialisasi dilakukan terhadap para dokter yang bertugas di tempat
perawatan pasien, poliklinik, tempat praktek swasta, serta paramedis maupun
petugas administrasi dan petugas laboratorium yang ditunjuk.
Penelitian diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan terhadap pasien diare
yang berusia 1-6 bulan dan masih mendapat ASI. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, bila bayi lahir spontan, tunggal dan cukup bulan dan berat lahir
lebih besar atau sama dengan 2500 gram, status gizi baik dan tidak menderita
kelainan bawaan yang memengaruhi proses penyusuan, bayi tersebut ditetapkan
74
sebagai subyek penelitian. Bila ternyata ibu bayi setelah diperiksa menderita
malnutrisi berat, bayi dikeluarkan sebagai subyek penelitian.
Orang tua yang bayinya dipilih sebagai subyek penelitian, diberikan
penjelasan perihal keadaan bayinya dan ditawarkan untuk disertakan dalam
penelitian.
Apabila
orang
tua
setuju,
kepada
mereka
diminta
untuk
menandatangani formulir Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP). Selanjutnya
spesimen ASI diambil dengan memeras ASI dari kedua payudara ibu, sedangkan
spesimen feses diambil dari feses yang keluar bila sedang buang air besar atau
melalui hapusan di daerah rektum memakai lidi kapas (cotton bud). ASI diambil
sebanyak 2 ml ditampung dalam botol steril dan segera di simpan di Freezer.
Demikian pula feses yang telah diambil dimasukan ke dalam tabung steril dan
segera disimpan ditempat yang sama dengan tempat penyimpanan ASI.
Sampel yang telah terkumpul akan dikirim secara berkala ke laboratorium
Virologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana di Denpasar. Saat
pengiriman, sampel ditempatkan di dalam termos berpendingin. Pemeriksaan
terhadap sampel dilakukan sekaligus bila jumlahnya telah mencapai 96 (1 kit).
Sampel feses diperiksa dengan menggunakan metode ELISA Capture Test
(diunduh dari: www.rapidtest.com 250 13485-203). Sampel feses diperiksa oleh
peneliti di laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan universitas
Udayana di Denpasar. Untuk mengukur titer antibodi IgA-antirotavirus pada ASI
digunakan teknik ELISA Test .
Sampel yang telah diperiksa ditetapkan sebagai penderita diare akut
rotavirus dan diare akut bukan rotavirus. Yang menderita diare akut rotavirus
75
berjumlah 23 orang, ditetapkan sebagai kasus. Untuk kontrol dipilih pasangannya
berdasarkan kelompok usia 1-2 bulan, > 2 bulan-4 bulan, dan >4 bulan-6 bulan.
Untuk sampel pada studi potong lintang dipilih dari kasus yang memiliki data
lama diare, dibedakan menjadi yang mendapat ASI-eksklusif, ASI non-eksklusif,
mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus, dan mendapat ASI
tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus.
Tata cara pemeriksaan pasien.
1.
Pasien ditetapkan sebagai subyek penelitian setelah sebelumnya diperoleh
persetujuan setelah penjelasan (PSP) dari orang tua, pasien dibaringkan
telanjang/ memakai pakaian seminimal mungkin, kemudian ditimbang dan
diukur panjang badan. Untuk menimbang badan dipakai timbangan digital
untuk bayi merek MISAKI, sedangkan panjang badan diukur memakai
meteran kayu. Hasil pengukuran dicatat dalam kuesioner dan dicocokan
dengan grafik BB/PB (WHO, 2006) untuk mendapatkan status gizi pasien
2.
Dilakukan anamnesis oleh paramedis untuk mendapatkan data riwayat
penyakit maupun pola pemberian makanan bayi serta data karakteristik
lainnya
3.
Dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik untuk menetapkan diagnosis diare dan
klarifikasi klinis lainnya
4.
Dokter mengisi formulir permintaan laboratorium rutin maupun khusus yang
berkaitan dengan penelitian yaitu pemeriksaan feses untuk rotavirus dan
ASI
76
Teknik Pemeriksaan Feses :
Pemeriksaan antigen rotavirus menggunakan Capture ELISA.
1.
Antibodi –antirotavirus di coat dalam sumuran plat mikro ELISA selama 2
jam pada suhu kamar
2.
Sumuran yang berisi antibodi-antirotavirus dicuci sebanyak tiga kali
dengan PBS, kemudian dari setiap sumuran diblok dengan BSA 1%
dalam PBS selama 1 jam pada suhu kamar
3.
Plat dicuci dengan PBS, selanjutnya ditambahkan sampel feses ke dalam
setiap sumuran. Sebagai standar untuk menentukan adanya antigen rotavirus
sampel, dipakai antibodi-antirotavirus standar dan diencerkan berkelipatan
dua (BMS 603 Viena Austria)
4.
Plat mikro diinkubasikan dua jam pada suhu kamar dan dicuci dengan PBS.
Ditambahkan antibodi-antirotavirus ke dalam setiap sumuran yang dilabel
dengan Biotin lalu diinkubasikan pada suhu kamar selama 2 jam
5.
Plat mikro dicuci dengan PBS , kemudian ditambahkan Avidin HRP dan
diinkubasi selama 20 menit. Ditambahkan substrat TMB dan dibaca
kepekatan warna yang dihasilkan
6.
Dilakukan pembacaan dengan memakai ELISA DA X 80 (Diagnostic
Automatic, USA) menggunakan filter dengan panjang gelombang 450 nm
7.
Adanya antigen rotavirus pada feses ditentukan berdasarkan perbandingan
nilai optical density (OD) setiap sampel tinja dengan nilai OD antigen
rotavirus standar menggunakan regresi parameter logistik
77
Pemeriksaan kadar antibodi sIgA-antirotavirus pada ASI : Uji ELISA dengan
menggunakan antihuman IgA sebagai konjugat
Prosedur Pemeriksaan ASI :
1.
Mikroplate ELISA dilapisi dengan Ag-rotavirus selama 1 malam dalam
larutan Karbonat-Bikarbonat Buffer pada suhu 4 derajat celcius
2.
Setelah itu dicuci dengan PBS ( Phosphorus Buffered Saline ) sebanyak 3
kali, selanjutnya ke dalam setiap sumuran mikroplate ditambahkan sampel
ASI dengan berbagai pengenceran. Mikroplate tersebut kembali diinkubasi
pada suhu 37 derajat celcius selama 1 jam
3.
Mikroplate dicuci kembali dengan larutan PBS dan kedalam setiap sumuran
ditambahkan antihuman IgA yang dilabel dengan ensim peroksidase .
Setelah itu mikroplate kembali diinkubasi pada suhu 37 derajat celcius
selama 1 jam
4.
Mikroplate dicuci kembali dengan PBS sebanyak 3 kali dan ke dalam setiap
sumuran ditambahkan substrat TMB kemudian dibiarkan pada suhu kamar
selama 20 menit
5.
Kepekatan warna substrat dibaca dengan Multiscan Spektrofotometer
dengan filter 405 nm, kemudian konsentrasi IgA ditentukan dengan
membandingkan pada kontrol IgA yang konsentrasinya telah diketahui
sebelumnya
78
4.5.3.Alur Penelitian
Pasien bayi 0 – 6 bulan yang berkunjung ke poliklinik,
praktek swasta dan atau dirawat di rumah sakit
POPULASI TERJANGKAU
Diare akut
Mendapat ASI
Status gizi baik
Lahir tunggal
Berat lahir > 2500 gr / lebih
Tidak menderita kelainan kongenital mayor
KRITERIA INKLUSI
Ibu menderita malnutrisi berat
KRITERIA EKSKLUSI
Demografi
Data pemberian ASI
Status nutrisi
Data penyakit
Obat - obatan
Data higiene perorangan
INTENDED SAMPLES
Pengisian PSP
Anamnesis,
pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan
fisik, diagnosis klinis
Pengambilan
spesimen tinja dan
ASI
ASI
Feses
Hasil pemeriksaan
laboratorium
: ELISA TEST
: ELISA Capture Test
Antigen rotavirus feses, antibodi sIgA –
antirotavirus ASI
Pemberian ASI (eksklusif, non eksklusif)
Kasus
Risiko Diare
Kontrol
Lama Diare
Diare RV
Diare non RV
Analisis Deskriptip
TABULASI DATA, ANALISIS DATA
KESIMPULAN
Mantel- Haenzel
Uji Chi Square
Uji T tak berpasangan
Risiko diare akut rotavirus
Lama diare akut rotavirus
Gambar 4.4 Alur Penelitian
79
4.6. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Ruang Rawat Inap Penyakit Anak dan Poliklinik
Anak RSUD Sanjiwani Gianyar dan di tempat praktek swasta. Pemeriksaan
spesimen feses dan ASI dilakukan di Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran
Hewan universitas Udayana Denpasar.
4.7
Analisis Data
1.
Statistik Deskriptif.
Teknik statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik data
penelitian. Dari penelitian ini didapat data berskala pengukuran katagorik yang
terdiri atas skala pengukuran nominal dan skala pengukuran ordinal. Yang
termasuk data berskala nominal adalah jenis kelamin bayi, jenis pekerjaan ibu,
pola pemberian ASI (eksklusif, non eksklusif). Data yang berukuran skala ordinal
adalah tingkat pendidikan ibu, status higiene perorangan (selalu cuci tangan,
kadang-kadang cuci tangan, tak pernah cuci tangan), dan adanya antibodi sIgAantirotavirus di dalam ASI (positif, negatif).Dari data yang berskala katagorik
dihitung frekuensi tiap katagori (n) dan persentase tiap katagori (%) disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Berkaitan dengan gambaran karakteristik data dengan skala pengukuran
numerik yang terdiri atas skala rasio dan interval, pada penelitian ini didapat data
yang berskala rasio
yaitu usia bayi, usia ibu, berat badan bayi, dan lama
diare.Yang berskala interval adalah jumlah saudara bayi dan paritas.
Dari data yang berskala numerik dan berdistribusi normal dilakukan
pengukuran terhadap mean,standar deviasi. Data variabel dengan skala
80
pengukuran numerik disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mengetahui
karakteristik sebaran data disajikan berdasarkan hasil analisis uji KolmogorovSmirnov untuk sampel yang jumlahnya >50 (Kountur, 2005; Dahlan, 2009).
2.
Statistik analitik.
Uji hipotesis merupakan bagian dari penghitungan dalam statistik analitik,
yang dipilih berdasarkan sebaran data. Pada data yang memiliki sebaran normal
dilakukan uji hipotesis parametrik, sedangkan pada data yang sebarannya tidak
normal, dilakukan transformasi data terlebih dahulu. Jika tetap menghasilkan data
dengan sebaran tidak normal dilakukan uji hipotesis non-parametrik (Dahlan,
2004). Untuk dua kelompok data yang berskala numerik tidak berpasangan dan
memenuhi syarat sebaran datanya normal, uji hipotesis yang digunakan adalah uji
hipotesis komparatif t tidak berpasangan.
Pada data yang berskala pengukuran katagorik dan berpasangan,
digunakan Mantel-Haenszael dan penghitungan Chi-Square (Dahlan, 2004).
Uji hipotesis analisis bivariat bertujuan untuk mencari hubungan antara
satu variabel tergantung yang berskala dikotom dengan satu variabel bebas. Pada
penelitian ini dicari hubungan antara:
a.
Risiko terjadinya diare akut rotavirus yang merupakan variabel
tergantung
berskala katagorik dan variabel pola pemberian ASI (ASI-
eksklusif, ASI
non-eksklusif) merupakan variabel bebas berskala
katagorik (nominal).
Uji statistik yang digunakan adalah uji
komparatif Mantel-Haenszel
81
b.
c.
Risiko terjadinya diare akut rotavirus dan pemberian ASI yang
mengandung
antibodi sIgA-antirotavirus yang bersakala katagorik,
digunakan uji
Mantel-Haenszel
Rerata lama diare akut rotavirus merupakan variabel tergantung yang
berskala numerik dan pola pemberian ASI sebagai variabel bebas yang
berskala nominal, termasuk data dari dua kelompok yang tidak
berpasangan.
Uji hipotesis komparatif t tidak berpasangan dipakai
karena memenuhi syarat uji parametrik
d.
Rerata lama diare akut rotavirus dan pemberian ASI yang mengandung
antibodi sIgA-antirotavirus sebagai variabel bebas berskala nominal,
termasuk data dari dua kelompok tidak berpasangan. Uji hipotesis yang
digunakan adalah uji t tak berpasangan
Unalisis multivariat digunakan untuk studi kasus kontrol untuk
menemukan hubungan antara variabel “outcome” (terikat) dengan
faktor-faktor yang memengaruhi (variabel bebas maupun variabel
perancu). Berdasarkan jenis variabel terikatnya dalam hal ini risiko
diare akut rotavirus yang merupakan variabel katagorik, yang
digunakan adalah analisis regresi logistik. Untuk variabel terikatnya
yang merupakan variabel numerik dalam hal ini lama diare, digunakan
analisis regresi linier (Dahlan, 2009). Pada penelitian ini, dari hasil
analisis bivariat tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara
berbagai faktor yang berhubungan dengan risiko dan lama diare akut
rotavirus, sehingga tidak memenuhi syarat untuk analisis multivariat.
82
3.
Nilai Probabilitas (P) dan Interval Kepercayaan
Nilai p dan interval kepercayaan (IK) digunakan untuk inferensi (penarikan
kesimpulan). Interpretasi terhadap nilai p adalah untuk menyatakan
besarnya kemungkinan hasil yang diperoleh atau hasil yang lebih ekstrim
diperoleh karena faktor peluang, bila hipotesis nol benar. Interval
kepercayaan (IK) menunjukkan taksiran rentang nilai pada populasi yang
dihitung dengan nilai yang diperoleh pada sampel (Dahlan, 2009;
Sastroasmoro & Ismael, 2002) Tingkat kemaknaan (alfa) penelitian ini
detetapkan pada nilai probabilitas (p) kurang dari 0,05. Nilai variabel utama
(main endpoint) dinyatakan dengan interval kepercayaan 95 % (IK 95%),
sesuai dengan alfa <0,05. Interval kepercayaan ini penting, karena dapat
dipakai untuk :
a. Mengestimasi nilai di populasi
b. Melihat variansi data dengan demikian dapat melihat besarnya sampel
dan homogenitas data
c. Secara tidak langsung dapat dipakai untuk uji hipotesis
4.8
Interpretasi hasil Uji Hipotesis Statistik
Uji hipotesis bertujuan untuk menentukan apakah perbedaan variabel yang
dijumpai pada sampel tidak terjadi secara kebetulan, dengan asumsi variabel
tersebut di populasi dari mana sampel itu diambil tidak berbeda.
Dari hipotesis penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
83
U1 = U2, artinya risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus pada bayi
1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif tidak berbeda dengan bayi yang
mendapat ASI bukan eksklusif. Demikian pula risiko terjadinya penyakit
diare akut rotavirus tidak berbeda antara bayi yang mendapat ASI yang
mengandung antibodi sIgA-antirotavirus dengan bayi yang mendapat ASI
yang tidak mengandung antibodi sIgA-antirotavirus. Rerata lamanya
penyakit diare akut rotavirus pada bayi 1- 6 bulan tidak berbeda antara bayi
yang mendapat ASI-eksklusif dengan bayi yang mendapat ASI bukan
eksklusif. Demikian pula rerata lama diare akut rotavirus tidak berbeda
antara bayi usia 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi
sIgA-antirotavirus
dengan yang mendapat ASI yang tidak mengandung
antibodi sIgA-antirotavirus.
Pada penelitian
studi kasus kontrol, dengan menggunakan tabel 2x2
didapat rasio odds. Rasio prevalens pada studi potong lintang didapat dengan
membandingkan rerata lama diare akut rotavirus pada subyek yang mendapat
ASI-eksklusif dan atau ASI yang mengandung antibodi
dengan subyek yang
sIgA-antirotavirus
mendapat ASI non-eksklusif dan atau ASI yang tidak
mengandung antibodi sIgA-antirotavirus.
Interpretasi hasil penghitungan rasio odds (RO) ditetapkan sesuai dengan interval
kepercayaan yang telah dipilih, pada penelitian ini :
RO= 1 atau mencakup angka 1 berarti faktor yang diteliti bukan
merupakan faktor risiko
84
Hasil penghitungan rasio prevalen (RP) pada penelitian ini:
RP =1 (menyangkut angka 1), artinya rerata lama diare akut rotavirus pada
subyek yang terpapar sama dengan rerata lama penyakit diare akut
rotavirus pada subyek yang tidak terpapar
85
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1.
Karakteristik Subyek Penelitian
5.1.1. Karakteristik bayi
POPULASI TERJANGKAU
KRITERIA INKLUSI
KRITERIA EKSKLUSI
INTENDED SAMPLES
161 Orang
148
Bisa dianalisis
Rotavirus 23
Resiko Diare
Kasus 23
Non Rotavirus
125
Kontrol 69
ASI-eksklusif / Non eksklusif
Ab.sIgA antirotavirus positif/negatif
Lama Diare 17 rotavirus
a.
Usia bayi
Pada penelitian ini terdapat 161 sampel yang diambil sebagai subyek
penelitian, terdapat 148 orang yang memenuhi syarat penelitian. Berdasarkan
pemeriksaan ditemukannya antigen rotavirus pada feses, terdapat dua kelompok
subyek bayi yaitu kelompok diare rotavirus dan diare bukan rotavirus.
Kelompok diare rotavirus berjumlah 23 orang (15,5 %) dan 125 orang
(84,5 %) termasuk dalam kelompok diare bukan rotavirus. Berdasarkan sebaran
umur (Tabel 1), besaran kejadian diare rotavirus tertinggi pada kelompok usia 56 bulan hampir sama pada kedua kelompok. Kejadian diare akut baik pada diare
85
86
rotavirus maupun diare bukan rotavirus, cendrung meningkat pada usia yang lebih
besar.
b.
Jenis kelamin
Subyek yang menderita diare rotavirus, terdiri atas 11orang ( 47,8 %)
lelaki
dan
12 orang (47,8 %) perempuan. Sedangkan pada subyek yang
menderita diare bukan rotavirus adalah 62 orang (49,6 %) lelaki dan sebanyak 63
orang (50,4 %) perempuan. Berdasarkan jenis kelamin (tabel 1), tingkat kejadian
diare rotavirus hampir sama antara anak lelaki dan perempuan (1:1). Perbandingan
yang serupa juga terdapat pada kelompok diare bukan rotavirus.
c.
Berat badan
Rerata berat badan dinyatakan dalam gram.
Pada kelompok yang
menderita diare rotavirus memiliki rerata berat badan 6,582 + 1,295 gram, dan
rerata berat badan pada kelompok diare bukan rotavirus adalah 6,634 + 1,225
gram. Dari data tersebut tidak ada perbedaan yang nyata rerata berat badan
antara subyek yang menderita diare rotavirus dengan subyek yang menderita
diare yang bukan rotavirus (Tabel 1).
d.
Jumlah saudara
Berdasarkan jumlah saudara yang tinggal dalam satu rumah, subyek
penelitian dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok yang tidak memiliki
saudara (merupakan anak pertama/anak tunggal), memiliki satu saudara, dan
memiliki dua saudara atau lebih. Pada kelompok diare rotavirus sebanyak 12
orang (52,2 %) tidak memiliki saudara, yang memiliki satu saudara adalah 8
orang (34,8 %), dan yang memiliki dua saudara atau lebih adalah 3 orang (13,%).
87
Proporsi jumlah saudara pada kelompok diare bukan rotavirus hampir serupa,
yaitu sebanyak 61 orang (48,8 %) tidak memiliki saudara, sebanyak 40 orang (32
%) memiliki satu saudara, dan sebanyak 24 orang (19,2 %) yang memiliki dua
saudara atau lebih (Tabel1).
5.1.2. Karakteristik Ibu
a.
Usia ibu.
Rerata usia ibu pada subyek yang menderita diare rotavirus adalah 28 ,22
tahun + 6,48 bulan, dan pada kelompok diare bukan rotavirus adalah 28,51 tahun
+ 5,17 bulan . Berdasarkan data tersebut di atas, rerata usia ibu antara kelompok
subyek yang menderita diare rotavirus tidak berbeda dengan kelompok subyek
yang menderita diare bukan rotavirus (Tabel 1).
b.
Paritas
Tingkat paritas (jumlah kehamilan yang dialami ibu) pada kelompok
subyek yang menderita diare rotavirus terdiri atas 12 orang (52,2 %) hamil
pertama kali, 8 orang (34,8 %) merupakan kehamilan yang kedua, 3 orang (13 %)
hamil yang ketiga kali. Pada kelompok subyek yang menderita diare bukan
rotavirus tingkat paritas terdistribusi sebagai berikut, yaitu 61 orang (48,8 %)
merupakan kehamilan yang pertama, 40 orang (32 %) merupakan kehamilan
yang kedua, dan 24 orang (19,2 %) merupakan kehamilan yang ketiga.
Berdasarkan tingkat paritas, sebagian besar subyek yang menderita diare rotavirus
lahir dari ibu yang mengalami kehamilan pertama kali, demikian pula pada
88
kelompok subyek yang menderita diare bukan rotavirus. Tampak
tidak ada
perbedaan yang nyata dalam hal tingkat paritas pada kedua kelompok (Tabel 1).
c.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan ibu pada kelompok diare rotavirus, sebagian besar
adalah
SLTA yaitu 12 orang (52,2 %). Pada kelompok diare bukan rotavirus,
sebanyak 65 orang (52,0 %) berpendidikan setingkat SLTA. Jadi berdasarkan
tingkat pendidikan ibu (Tabel 1), proporsinya tidak berbeda antara kelompok
subyek yang menderita diare rotavirus dengan yang menderita diare bukan
rotavirus.
d.
Pekerjaan ibu.
Para ibu dari kelompok diare rotavirus sebagian besar bekerja di luar
rumah yaitu 16 orang (69,6 %), dan yang bekerja di dalam rumah sebanyak 7
orang (30,4 %). Pada kelompok subyek diare bukan rotavirus, sebanyak 69 orang
(55,2 %) para ibunya bekerja di luar rumah dan sebanyak 56 orang (44,8 %)
bekerja di dalam rumah. Jadi duapertiga para ibu dari kelompok diare rotavirus
bekerja di luar rumah, sedangkan pada kelompok diare bukan rotavirus tidak ada
perbedaan antara jumlah ibu yang bekerja di luar rumah dan di dalam rumah.
Perbedaan proporsi dalam hal jenis pekerjaan pada kedua kelompok terlihat pada
tabel 1.
e.
Higiene Perorangan
Dari seluruh subyek yang memenuhi syarat penelitian, sebagian besar
higiene perorangan para ibu kelompok diare rotavirus termasuk katagori kadangkadang mencuci tangan yaitu 12 orang (52,2 %). Sedangkan pada kelompok
89
diare bukan diare rotavirus terdapat perbandingan yang seimbang antara jumlah
yang kadang-kadang mencuci tangan yaitu 54 orang (43,2 %) dengan yang
termasuk tidak/jarang mencuci tangan yaitu 51 orang (40,8 %). Persamaan dari
kedua kelompok subyek adalah kecilnya tingkat higiene perorangan yang
termasuk katagori selalu mencuci tangan, masing-masing sebanyak 3 orang (13,0
%) pada kelompok diare rotavirus dan sebanyak 20 orang (16,0%) pada kelompok
diare bukan rotavirus (Tabel 1).
90
Tabel 1. Karakteristik Bayi dan Ibu yang berkaitan dengan penyakit diare akut
rotavirus
Karakteristik Subyek
Diare Akut RV
n = 23
Usia Bayi (bulan)
1–2
2–3
3–4
4–5
5–6
Jenis kelamin
Laki – laki
Perempuan
Berat bayi (kg)
Mean
SD
Jumlah saudara
Tidak memiliki saudara
Satu saudara
Dua saudara atau lebih
Usia ibu
Mean
SD
Paritas
1
2
3
Tingkat pendidikan
SD tamat
SLTP
SMU
PT
Jenis pekerjaan
Di rumah
Di luar rumah
Higiene perorangan
Selalu mencuci tangan
Kadang – kadang mencuci tangan
Tidak / jarang sekali mencuci tangan
Keterangan:
RV = rotavirus
Diare Akut Non
RV
n = 125
3 (13,0%)
3 (13,0%)
6 (26,1%)
4 (17,4%)
7 (30,4%)
13 (10,4%)
16 (12,8%)
28 (22,4%)
26 (20,8%)
42 (33,6%)
11 (47,8%)
12 (52,2%)
62 (49,6%)
63 (50,4%)
6,58
1,30
6,63
1,23
12 (52,2%)
8 (34,8%)
3 (13,0%)
61 (48,8%)
40 (32,0%)
24 (19,2%)
28,22
6,48
28,47
5,14
12 (52,2%)
8 (34,8%)
3 (13,%)
61 (48,8%)
40 (32,0%)
24 (19,2%)
2 (8,7%)
5 (21,7%)
12 (52,2%)
4 (17,4%)
8 (6,4%)
22 (17,6%)
65 (52,0%)
30 (24,0%)
7 (30,4%)
16 (69,5%)
56 (44,8%)
69 (55,2%)
3 (13,0%)
12 (52,2%)
8 (34,8%)
20 (16,0%)
54 (43,2%)
51 (40,8%)
91
5.2.
Karakteristik Pemberian ASI.
Pemberian ASI dibedakan berdasarkan tingkat eksklusivitas pemberian
ASI, frekuensi pemberian ASI dan lama menyusu, lama menyusu eksklusif
5.2.1. Eksklusivitas Pemberian ASI
Subyek (bayi) yang mendapat ASI-eksklusif
pada kelompok diare
rotavirus adalah 8 orang (34,8 %) dan yang mendapat ASI non-eksklusif adalah
sebanyak 15 orang (65,2%). Pada kelompok diare bukan rotavirus, sebanyak 43
orang (34,4%) mendapat ASI- eksklusif dan yang mendapat ASI non-eksklusif
adalah 82 orang (65,6 %). Proporsi penderita diare rotavirus yang mendapat ASI
non-eksklusif adalah dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan yang
mendapat ASI-eksklusif, demikian pula pada kelompok subyek diare bukan
rotavirus (Tabel 2).
5.2.2. Frekuensi Menyusu.
Frekuensi menyusu pada bayi dihitung berdasarkan jumlah menyusu
selama 24 jam. Rerata jumlah menyusu pada kelompok diare rotavirus adalah 8,65
+2,82 kali, sedangkan pada kelompok diare bukan rotavirus adalah 8,61 + 2,95
kali. Tidak terdapat perbedaan rerata frekuensi menyusu antara kedua kelompok
diare ( Tabel 2).
92
5.2.3. Lama Menyusu
Lama bayi menyusu diperoleh dari anamnesa pada ibu, dihitung
berdasarkan penghitungan waktu yang dibutuhkan sejak bayi mulai menyusu
hingga berhenti sendiri menyusu/tertidur, dari satu payudara maupun kedua
payudara. Rerata lama menyusu pada bayi yang menderita diare rotavirus adalah
15,65 + 7,73 menit , sedangkan pada bayi yang menderita diare bukan rotavirus
adalah 16,22 + 8,79 menit. Dari data yang didapat, lama menyusu antara kedua
kelompok tidak jauh berbeda (Tabel 2).
5.2.4. Lama menyusu ASI-eksklusif
Pada kelompok diare akut rotavirus yang mendapat ASI-eksklusif adalah 8
orang dengan rerata lama menyusu eksklusif adalah 116,63+/- 48,27 hari. Pada
kelompok diare akut bukan rotavirus terdapat 43 orang yang mendapat ASIeksklusif dengan rerata lama menyusu eksklusif adalah 104,60 +/- 45,45 hari.
Tidak terdapat perbedaan lama menyusu eksklusif antara kedua subyek penelitian
(Tabel 2).
5.2.5. Kandungan antibodi s-IgA antirotavirus ASI
Pemeriksaan ASI dilakukan dengan teknik ELISA, hasil pemeriksaan
dinyatakan sebagai titer ELISA dalam ukuran unit. Hasil dinyatakan positif bila
titer mencapai 28 unit atau lebih, dinyatakan hasil negatif bila titer ELISA di
bawah 28 unit (Bishop dkk, 1984). Dari seluruh sampel yang diperiksa, terdapat 4
(17,39 %) sampel yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus (> 28 unit) pada
93
kelompok diare rotavirus, sedangkan pada kelompok diare bukan rotavirus yang
hasilnya positif adalah 29 (23,2 %) sampel. Sampel pada kelompok diare rotavirus
yang tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus adalah 19 (82,61 %), dan pada
kelompok diare bukan rotavirus yang mencapai hasil negatif adalah 96 (76,8 %)
sampel.
Rerata titer antibodi sIgA antirotavirus pada ASI yang diberikan secara
eksklusif adalah 30,64 + 12,88 unit, sedangkan pada ASI non-eksklusif adalah
21,00 + 15,45 unit. Proporsi kandungan antibodi sIgA antirotavirus pada ASI
antara kedua kelompok subyek yang diteliti tidak berbeda bermakna (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik pemberian ASI dan antibodi sIgA antirotavirus
dalam ASI pada penderita diare akut
Diare akut
rotavirus
(n=23)
Diare akut nonrotavirus
(n=125)
Eksklusivitas pemberian ASI:
ASI Eksklusif
8 (34,8%)
43 (34,4%)
ASI Non – eksklusif
15 (65,2%)
82 (65,6%)
Frekuensi menyusu
8,65 + 2,82
8,61 + 2,95
Lama menyusu (menit)
15,65 + 7,73
16,22 + 8,79
Lama menyusu eksklusif (hari)
116,63+48,27
104,60+45,45
Positif
4 (17,39 %)
29 (23,2 %)
Negatif
19 (82,61 %)
96 (76,8 %)
Ab – sIgA antirotavirus ASI:
94
5.3.
Karakteristik penyakit diare
5.3.1. Frekuensi diare
Rerata frekuensi diare pada kelompok rotavirus adalah 5,43 + 2,25 kali,
dan pada kelompok diare bukan rotavirus memiliki rerata frekuensi diare
sebanyak 5,29+/- 2,25 kali dalam 24 jam. Berdasarkan data tersebut di atas, rerata
frekuensi diare pada diare yang disebabkan oleh rotavirus hampir sama dengan
diare yang disebabkan oleh bukan rotavirus (Tabel 3).
5.3.2. Darah dan lendir pada feses.
Pada kelompok diare rotavirus, darah dan atau lendir ditemukan pada 7
(30,4 %) sampel, sedangkan pada kelompok diare bukan rotavirus terdapat
sebanyak 36 (28,8 %) sampel mengandung darah dan atau lendir. Terdapat darah
dan atau lendir pada 16 (69,6 %) sampel dari kelompok diare rotavirus, dan
sebanyak 89 sampel (71,2 %) pada kelompok diare bukan rotavirus. Jadi sebagian
besar feses dari subyek penelitian tidak ditemukan adanya darah dan atau lendir
(Tabel 3).
5.3.3. Pemberian obat anti diare.
Pada kelompok diare rotavirus hanya 1 orang (4,34 %) yang mendapat
obat antidiare, dan sebagian besar lainnya yaitu 22 orang (95,65 %) tidak
mendapat obat antidiare. Pada kelompok diare bukan rotavirus, terdapat 15 orang
(12 %) yang telah mendapat obat antidiare, dan yang tidak mendapat obat
antidiare adalah sebanyak 110 orang (88 %). Jadi baik dari kelompok diare
95
rotavirus maupun diare bukan rotavirus hanya sebagian kecil yang telah mendapat
obat antidiare sebelum diambil sebagai subyek penelitian (Tabel 3).
5.3.4. Gejala penyerta diare.
Penyebaran rotavirus sebagian besar melalui jalur fecal oral, dan sebagian
kecil melalui udara/jalur respiratorik maupun kontak langsung terhadap penderita
diare rotavirus. Oleh karenanya sering didapatkan gejala lain yang menyertai
diare. Pada penelitian ini gejala penyerta diare yang ditemukan adalah panas,
muntah, panas disertai muntah; panas, muntah disertai
batuk pilek, dan ada
beberapa kasus yang tanpa gejala penyerta. Dari 23 kasus diare rotavirus, hanya
11 kasus (47,83 %) yang disertai
gejala penyerta. Pada kelompok diare bukan
rotavirus terdapat 74 kasus (59,20 %) dengan gejala penyerta. Terdapat
perbandingan yang hampir sama jumlah kasus yang disertai gejala penyerta pada
kedua kelompok (Tabel 3).
5.3.5. Beratnya penyakit diare.
Beratnya penyakit diare dapat dinilai dengan menggunakan sistem skor
sesuai dengan kriteria Ruuska dan Vesikari (1990), terdiri atas adanya diare,
muntah, dehidrasi, panas yang memerlukan perawatan medis. Digolongan sebagai
penyakit diare derajat ringan bila jumlah skor 1-10, dan bila jumlah skor 11 atau
lebih digolongkan sebagai penyakit diare derajat berat. Pada penelitian ini dari
seluruh subyek yang terpilih (148 orang), hanya 2 orang (1,35 %) yang disertai
gejala dehidrasi ringan dan tidak ditemukan adanya komplikasi. Sebagian besar
96
adalah pasien rawat jalan dan selama penelitian berlangsung hanya 2 pasien rawat
inap (Tabel 3).
5.3.6. Lama diare
Lama diare didapat dari laporan hasil pengamatan orang tua yang dihitung
sejak feses mulai cair sampai feses cair yang terakhir kali sebelum feses yang
keluar padat. Diukur memakai satuan ukuran jam, dikelompokkan menjadi lama
diare kurang dari 24 jam, antara 24 jam s/d 72 jam, lebih dari 72 jam s/d 120 jam,
dan lebih dari 120 jam s/d 168 jam adalah lebih dari 168 jam adalah. Dari data
yang dapat dianalisa, pada kelompok diare rotavirus terdapat 17 kasus (73,91 %)
yang dapat dianalisis, dengan rerata lama diare 143,76 + 72,06 jam. Sedangkan
pada kelompok diare bukan rotavirus terdapat 85 kasus (68 %) dengan rerata lama
diare 136,62 + 85,8 jam. Hasilnya tidak berbeda antara kelompok diare rotavirus
dan diare bukan rotavirus (Tabel 3).
5.3.7. Hasil pemeriksaan feses
Feses diperiksa dengan teknik ELISA capture test, hasil pemeriksaan
dinyatakan sebagai unit Positive Ratio dengan rumus = ((Ave,Sampel O.D. –
Ave.Neg. O.D.) dibagi (Ave.Positive O.D. – Ave.Neg. O.D)) X 100. Yang
diamaksud dengan “ave= average” rata-rata kepekatan optik (OD=optical
density). Pada kedua kelompok kasus yaitu yang mendapat ASI-eksklusif, rerata
rasio titer ELISA feses adalah 0,10 + 0,14. Sedangkan pada kelompok penderita
diare akut yang mendapat ASI non-eksklusif adalah 0,12 + 0,15. Tampak disini
97
rasio titer ELISA feses (viral load) pada kelompok yang mendapat ASI-eksklusif
lebih rendah dari kelompok yang mendapat ASI non-eksklusif. Sebagai catatan
penilaian terhadap ada tidaknya rotavirus pada feses, dapat pula dinilai
berdasarkan adanya perubahan warna absorben (menjadi biru) yang bisa dilihat
dengan penglihatan kasat mata. Hasil pemeriksaan dinyatakan sebagai positif dan
negatif (Tabel 3).
Tabel 3.Karakteristik penyakit diare akut dan rasio antigen rotavirus feses
Diare Akut
Rotavirus
(n=23)
Non-rotavirus
(n=125)
1. Frekuensi diare (mean + SD
5,43 + 2,25
5,29 + 2,25
2. Darah dan atau lendir dalam feses
Ya.
Tidak
7 (30,1 %)
16 (69,9 %)
36 (28,8 %)
89 (71,2 %)
3. Pemberian obat diare
Ya
Tidak
1 (4,5 %)
22 (95,5 %)
4. Gejala penyerta diare
Panas
Muntah
Panas dan muntah
Batuk, pilek, panas dan muntah
4 (36,4 %)
0
2 (18,2 %)
5 (45,5 %)
5. Lama diare (jam)
(mean + SD)
143,76 + 72,06
6. Rasio antigen rotavirus feses
ASI-eksklusif
ASI non-eksklusif
0,10 + 0,14
0,12 + 0,15
15 (12,3 %)
110 (87,7 %)
15 (12,3 %)
1 (1,4 %)
3 (4,1%)
55 (74,3 %)
136,62 + 85,8
98
5.4.
Hubungan antara faktor karakteristik subyek dengan risiko dan lama diare
akut rotavirus
Analisis terhadap faktor karakteristik subyek yang berhubungan dengan risiko
dan lama diare akut rotavirus menunjukkan, bahwa faktor usia bayi, jenis kelamin
, jumlah saudara, tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, dan higiene
perorangan ibu, tidak terbukti memengaruhi kejadian diare akut rotavirus. Semua
nilai RO tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p> 0,05
(Tabel 4).
Tabel 4.Hubungan antara faktor-faktor karakteristik subyek dengan risiko dan
lama diare akut rotavirus
Karakteristik Subyek
Usia Bayi
5 – 6 bulan
Jenis kelamin
Laki – laki
Jumlah saudara
1*
Tingkat pendidikan
SMU
Jenis pekerjaan
Didalam rumah
Higiene perorangan
Kadang – kadang
mencuci tangan
Diare
Akut RV
n = 23
Diare Akut
Non RV
n = 125
OR (95% Cl)
Nilai
P
Lama Diare Akut
< Median
> Median
7
(30,4%)
42 (33,6%)
1,39(0,31-6,14)
0,98
1(12,5%)
5(55,6%)
11
(47,8%)
62 (49,6%)
1,07(0,44-2,62)
0,88
5(62,5%)
2(22,2%)
20
(87,0%)
101 (80,8%)
0,63(0,15-2,62)
0,51
8(100%)
8(88,9%)
12
(52,2%)
65 (52,0%)
1,35(0,2607,18)
0,72
2(25,0%)
2(22,2%)
7
(30,4%)
56 (44,8%)
0,54(0,21-1,4)
0,2
5(62,5%)
5(55,6%)
12
(52,2%)
54 (43,2%)
0,68(0,17-2,64)
0,57
3(37,5%)
7(77,8%)
Catatan: dari hasil analisis bivariat, semua variabel menunjukkan nilai p> 0,25 ,
oleh karenanya uji analisis multivariat tidak dilakukan karena tidak ada
nilai p variabel yang bernilai < 0,25 sebagai syarat uji analisis
multivariat.
99
5.5.
Hubungan antara pola pemberian ASI dengan risiko terjadinya diare akut
rotavirus
Proporsi penderita diare akut rotavirus yang mendapat ASI-eksklusif lebih
kecil dari pada yang mendapat ASI non-eksklusif, demikian pula pada penderita
diare akut bukan rotavirus perbandingan proporsinya hampir sama. Dari 23 kasus
diare akut rotavirus sebanyak 8 orang (34,8 %) mendapat ASI-eksklusif dan 15
orang (65,2 %) mendapat ASI non-eksklusif.
Risiko terjadinya penyakit diare akut rotavirus pada yang mendapat ASIeksklusif dan ASI non-eksklusif tidak berbeda bermakna. Berdasarkan hasil
analisis statistik didapatkan nilai RO 1,21 (CI 95 %: 0,45-3,28), dan nilai P = 0,28
(Tabel 5).
Tabel 5. Hubungan antara pemberian ASI- eksklusif dan risiko terjadinya diare
akut rotavirus (analisis Mantel-Haenszel)
Pasangan
Ks pos,jum.pos kr=0
Ks pos,jum.pos kr=1
Ks pos,jum.pos kr=2
Ks pos,jum.pos kr=3
Ks neg,jum.pos kr=0
Ks neg,jum. pos kr=1
Ks neg,jum. pos kr=2
Ks neg,jum. pos kr=3
Total
Frek.(N)
2
4
3
1
3
7
2
1
23
Persent.(%)
8,7
17,4
13,0
4,3
13,0
30,4
8,7
4,3
100
Keterangan
Ks pos: diare rotavirus + ASI Eksklusif
Ks neg : diare rotavirus + ASI non eksklusif
Kr pos: diare non rotavirus + ASI eksklusif
Kr neg : diare non rotavirus + ASI non eksklusif
Nilai X2-Square Mantel-Haenszel adalah RO 1,21 (CI 95 %: 0,45-3,28)
,p= 0,28
100
5.6.
Hubungan antara pemberian ASI yang mengandung antibodi sIgA
antirotavirus dengan risiko terjadinya diare akut rotavirus
Kelompok subyek yang mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA
antirotavirus 4 orang (17,39 %), dan yang mendapat ASI yang tidak mengandung
antibodi sIgA antirotavirus adalah 19 orang (82,61 %), proporsinya adalah satu
dibanding empat. Pada kelompok diare akut bukan rotavirus, sebanyak 29 orang
(23,29 %) mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus dan 96
orang (76,71 %) mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA
antirotavirus. Perbandingannya adalah satu banding tiga.
Risiko terjadinya diare akut rotavirus yang mendapat ASI yang
mengandung antibodi sIgA antirotavirus, nilai RO adalah 1,12 (CI 95 %: 0,29 –
4,29) dengan nilai p = 0,203 (Tabel 6).
Tabel 6. Hubungan antara Ab-sIgA antirotavirus ASI dengan risiko diare akut
rotavirus (analisis Mantel-Haenszel)
Pasangan
Ks pos,jum.pos kr=0
Ks pos,jum.pos kr=1
Ks neg,jum.pos kr=0
Ks neg,jum.pos kr=1
Ks neg,jum.pos kr=2
Total
Frek.(N) Persent.(%)
1
3
13
4
2
23
4,2
12,9
56,4
17,4
8,7
100
Keterangan
Ks pos: diare rotavirus + Ab-sIgA positif
Ks neg : diare rotavirus + Ab-sIgA negatif
101
Kr pos: diare nonrotavirus + Ab-sIgA positif
Kr neg: diare nonrotavirus + Ab-sIgA negatif
Nilai X2-Square Mantel-Haenszel adalah RO 1,12 (CI 95 %: 0,29-4,29),
p= 0,203
5.7
Hubungan antara faktor-faktor yang memengaruhi lama diare akut
rotavirus.
Pada penelitian ini faktor yang berhubungan dengan lama diare akut
rotavirus adalah pola pemberian ASI, kandungan antibodi sIgA antirotavirus di
dalam ASI. Dari 8 kasus diare akut rotavirus yang mendapat ASI-eksklusif,
terdapat 4 kasus yang ada data mengenai lama diare. Rerata antibodi sIgA
antirotavirus pada kasus yang mendapat ASI-eksklusif 30,46 (+ 12,87) unit, dan
pada kelompok ASI non-eksklusif adalah 20,99 (+15,44) unit. Perbedaan rerata
kadar sIgA antirotavirus antara kelompok diare rotavirus yang mendapat ASIeksklusif dan yang mendapat ASI non-ekklusif tidak signifikan di mana nilai p =
0,20 (p> 0,05).
Sebagai tambahan, hasil pemeriksaan antigen rotavirus feses berdasarkan
rasio, didapat rerata rasio antigen rotavirus pada feses (viral load) yang mendapat
ASI-eksklusif adalah 0,098 (+ 0,185), dan yang mendapat ASI non-eksklusif
adalah 0,119 (+ 0,145) dengan nilai p = 0,76 (p> 0,05). Rerata lama diare pada
kelompok dengan ASI-eksklusif 150,75 (+ 99) jam, dan pada kelompok noneksklusif adalah 141,62 (+ 66,71) jam dengan nilai p = 0,83 (p> 0,05).
102
Tabel 7. Hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan lama diare akut
rotavirus.
Lama Diare akut rotavirus (jam)
ASI – eksklusif
ASI non eksklusif
150,75 + 99,06
141,62 + 66,71
Nilai
P
0,83
Lama diare akut rotavirus hubungannya dengan pemberian ASI yang
mengandung antibodi sIgA antirotavirus, dibedakan menjadi yang mendapat ASI
yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus dan tidak mengandung antibodi
sIgA antirotavirus. Dari 23 kasus diare akut rotavirus, sebanyak 17 kasus yang
dapat dianalisis data lama diarenya. Dari jumlah tersebut 4 orang (26,1 %)
mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus (> 28 unit), dan 13
orang (73,9 %) mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus
(< 28 unit). Hasil analisis menunjukkan bahwa, rerata lama diare pada kelompok
yang mendapat ASI mengandung antibodi sIgA antirotavirus 135,62 (+ 84,74)
jam dan kelompok
yang mendapat ASI tidak mengandung antibodi sIgA
antirotavirus sebesar 138,53 (+ 83,48) jam. Perbedaan tersebut tidak signifikan, di
mana nilai p= 0,88 (Tabel 8).
Tabel 8. Hubungan antara antibodi sIgA antirotavirus ASI dengan Lama Diare
Akut Rotavirus
s-IgA antirotavirus
positif (>28)
n=6
Lama diare akut
Rotavirus
135,62 + 84,74
sIgA antirotavirus
negatif (< 28)
n = 11
Nilai p
138,53 + 83,48
0,88
103
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1.
Karakteristik Subyek Penelitian
6.1.1. Karakteristik Bayi
a.
Usia bayi
Dari 161 sampel yang didapat (sejak bulan November 2008 s/d Januari
2011), terdapat 148 orang bayi yang memenuhi syarat penelitian. Subyek yang
menderita diare rotavirus adalah 23 orang (15,5 %). Berdasarkan sebaran umur,
proporsi diare rotavirus terbanyak pada kelompok usia 5-6 bulan, tidak berbeda
dengan proporsi pada kelompok diare bukan rotavirus.
Berdasarkan sebaran umur, hasil pada penelitian ini tidak berbeda dengan
yang dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Kejadian diare akut rotavirus
pada anak yang berusia < 6 bulan yang dirawat karena penyakit berkisar antara
12-17 % (Mann dkk,2001; Lawrence dan Pane, 2007).
Demikian pula hasil
Surveilance Rotavirus di rumah sakit Sanglah Denpasar (Surv.RV, 2007),
kejadian diare akut rotavirus sebesar 15 % pada anak yang berusia < 6 bulan yang
dirawat dan proporsi diare akut rotavirus meningkat dengan bertambahnya usia.
Temuan yang berbeda dilaporkan oleh Grace dan Jerald (2010) di Zaire,
kejadian diare rotavirus pada anak usia 1-6 bulan mencapai 25,3 % yang dirawat
dan proporsinya tertinggi dibandingkan kelompok umur lainnya. Kejadian diare
akut rotavirus di negara Amerika Latin bervariasi antara masing-masing daerah
yang berbeda dalam hal geografis, demografis dan situasi sosial lainya. Pada anak
103
104
berusia < 6 bulan proporsi diare akut rotavirus 20-60 % dan kejadiannya tertinggi
pada usia 6-11 bulan (Kane dkk, 2004).
Berdasarkan sebaran usia, terdapat kecendrungan meningkatnya kejadian
diare rotavirus pada usia yang lebih tua.
b.
Jenis kelamin.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan, tingkat kejadian diare rotavirus
tidak berbeda antara pada anak lelaki dengan anak perempuan. Temuan ini hampir
sama dengan yang dilaporkan oleh Wobudeya dkk (2011). Kejadian diare
rotavirus pada usia di bawah 6 bulan yang dirawat
antara anak laki dan
perempuan adalah 45,1 % : 54,9 %. Pada anak yang berusia > 6 bulan, terdapat
perbedaan kejadian diare akut rotavirus antara anak laki dengan anak perempuan.
Nakawesi dkk (2010), melaporkan kejadian diare rotavirus pada anak berusia <
24 bulan lebih tinggi pada anak laki daripada anak perempuan dengan
perbandingan 3:1. Sedangkan Mann dkk (2001) menemukan kejadian diare akut
rotavirus pada anak yang berusia < 5 tahun pada anak laki dua kali lebih besar
daripada anak perempuan. Berdasarkan
temuan
Intusuma dkk (2008),
perbandingan kejadian diare akut rotavirus antara anak laki dan perempuan adalah
1,7:1.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kejadian penyakit diare
akut rotavirus antara anak laki dengan perempuan dengan meningkatnya usia.
Sebagai salah satu penyebabnya adalah ketika anak mulai aktif mengeksplorasi
105
lingkungan anak laki lebih aktif daripada anak perempuan sehingga kemungkinan
kontak dengan mikroba patogen lebih besar.
c.
Berat badan.
Rerata berat badan pada kelompok diare rotavirus adalah 6.582 gram dan
6.634 gram pada kelompok diare bukan rotavirus. Tidak ditemukan perbedaan
rerata berat badan antara kedua kelompok subyek. Subyek pada penelitian ini
adalah
memiliki
status gizi baik dan sedang mendapat ASI, seperti telah
diketahui ASI merupakan sumber nutrisi utama pada bayi yang berusia < 6 bulan.
Pemberian ASI-eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan, cukup untuk memenuhi
kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang pada usia tersebut (WHO,2001).
Perbandingan bayi yang mendapat ASI-eksklusif maupun ASI bukan eksklusif
pada kedua kelompok hampir sama. Selain itu kelompok yang mendapat ASI
yang
proporsinya lebih sedikit dari pada makanan bukan ASI sangat kecil
sehingga tidak berpengaruh terhadap rerata berat badan bayi secara keseluruhan.
d.
Jumlah saudara dalam satu rumah.
Adanya saudara dalam satu rumah berhubungan dengan sumber penularan
penyakit, dan merupakan salah satu faktor risiko diare akut rotavirus (Grace dan
Jerald, 2010). Pada penelitian ini, sebagian besar subyek termasuk anak tunggal
atau tidak memiliki saudara. Ini terjadi pada kedua kelompok subyek, secara
statistik tidak berbeda bermakna (p= 0,51).
106
Tingkat paparan terhadap mikroba pada anak sampai berusia 6 bulan
berhubungan dengan kontak dengan anggota keluarga termasuk orang
tua/pengasuh yang berfungsi sebagai pembawa virus, selain malalui makanan
yang terkontaminasi. Di Indonesia belum ada data mengenai tingkat paparan anak
atau orang dewasa terhadap rotavirus. Suatu penelitian yang berkaitan dengan
tingkat paparan terhadap rotavirus pada anak sehat yang berusia 6 bulan sampai
usia 3 tahun, yang pernah di rawat di ruang rawat sehari, rotavirus ditemukan pada
5,58 % anak yang diperiksa fesesnya (Tasic dkk, 2006). Pemeriksaan terhadap
ibu laktasi yang dirawat di rumah sakit Umum di New York (Riepenhoff-Talty
dkk, 1997), dan ibu postpartum di Jerman (Brussow dkk, 1991) menunjukkan,
tingkat paparan terhadap rotavirus masing-masing sebesar 30 % dan 40 %. Ini
menunjukkan tingkat paparan meningkat pada usia yang lebih tua.
Tingkat paparan ibu laktasi terhadap rotavirus pada penelitian ini relatif
rendah, mencapai 22 % (berdasarkan kandungan antibodi sIgA antirotavirus di
dalam ASI).Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian terdahulu. Perbedaan
tersebut disebabkan pada kriteria sampel yang dipakai. Pada penelitian
Riepenhoff-Talty dkk (1997) sampel yang diperiksa adalah kadar antibodi IgG
serum darah ibu, sedangkan pada penelitian Brussow dkk (1991) adalah ASIkolostrum yang kandungan antibodi sIgA-nya lebih tinggi daripada ASI matur.
Walaupun demikian hasil penelitian ini belum mencerminkan tinggkat paparan
ibu laktasi terhadap rotavirus di masyarakat, karena sampel yang terpilih berasal
dari penderita diare yang berobat ke rumah sakit maupun tempat pelayanan
kesehatan swasta.
107
6.1.2. Karakteristik Ibu
a.
Usia Ibu
Rerata usia ibu pada kelompok diare rotavirus adalah 28,22 tahun, dan
pada kelompok diare bukan rotavirus adalah 28,47 tahun. Berdasarkan data yang
ada, usia ibu tidak berpengaruh terhadap kejadian diare yang disebabkan
rotavirus. Hasil penelitian Sethi dkk (2001) menunjukkan bahwa usia ibu dibawah
20 tahun merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
diare rotavirus pada bayi. Dari penelitian ini, ibu yang berusia di bawah 20 tahun
proporsinya sangat kecil sehingga tidak memengaruhi hasil secara keseluruhan.
b.
Paritas
Rerata jumlah kehamilan (paritas) ibu pada kedua kelompok subyek tidak
berbeda. Sebagian besar ibu mengalami kehamilan yang pertama kali, proporsinya
adalah 52,2 % kelompok diare rotavirus, dan 48,8 % pada ibu dari kelompok
diare bukan rotavirus, keduanya tak berbeda secara bermakna (p= 0,51).
Tingkat paritas berhubungan dengan kualitas ASI yang dihasilkan,
termasuk pula komponen imun ASI yang berkaitan dengan pengalaman ibu
terpapar mikroba pada masa laktasi. Prentice dkk (1983) melaporkan bahwa para
ibu Gambia, yang berusia lebih muda dengan tingkat paritas yang lebih kecil
memiliki ASI dengan kadar antibodi sIgA yang lebih tinggi. Weaver dkk (1998)
menemukan bahwa, jumlah paritas yang lebih besar dan pada usia yang lebih tua
memiliki ASI dengan berat jenis lebih rendah yang memengaruhi kadar antibodi
sIgA ASI.
108
Hasil-hasil dari penelitian di atas tidak secara khusus berkaitan dengan
tingkat paparan ibu terhadap mikroba tertentu. Pada penelitian ini yang dikaitkan
dengan tingkat paparan ibu terhadap rotavirus menunjukkan bahwa sekitar
limapuluh persen
ibu
mengalami hamil yang pertama kali dan kandungan
antibodi sIgA antirotavirus ASI yang diperiksa hanya terdapat pada 22 % sampel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, terdapat perbedaan kandungan antibodi
sIgA antirotavirus yang rendah pada tingkat paritas yang rendah. Penyebabnya
adalah antibodi yang diukur hanya berhubungan dengan sIgA antirotavirus.
c.
Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu pada kedua kelompok subyek diare hampir sama,
sebagian besar
berpendidikan setingkat SLTA masing-masing 52,2 % pada
kelompok diare rotavirus, dan 52 % pada kelompok diare bukan rotavirus. Secara
statistik tidak berbeda bermakna. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu
tidak berpengaruh terhadap kejadian diare akut rotavirus.
Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan pemahaman ibu terhadap
cara merawat anak, termasuk
memberi makan dan menjaga kebersihan diri.
Seperti yang tertuang dalam laporan WHO (2000), tingkat pendidikan ibu yang
relatif rendah berkaitan dengan kekerapan pemberian ASI dan tingkat kematian
bayi yang disebabkan oleh penyakit diare. Nakawesi dkk (2010) menemukan
bahwa, pendidikan ibu pada tingkat menengah ke atas pada anak < 2 tahun yang
dirawat karena diare, secara bermakna berhubungan dengan kejadian diare
rotavirus. Sedangkan Dennehy dkk (2006), tingkat pendidikan ibu yang rendah
109
berpengaruh terhadap kejadian diare akut rotavirus pada anak yang dirawat karena
diare di Amerika Serikat. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian
terdahulu disebabkan oleh perbedaan dalam hal usia subyek dan derajat berat
diare yang diteliti. Pada penelitian ini subyek berusia 1-6 bulan, dengan diare
derajat ringan.
d.
Jenis Pekerjaan ibu
Pekerjaan ibu dibedakan menjadi, ibu yang bekerja di dalam rumah dan di
luar rumah. Ibu yang bekerja di luar rumah kemungkinan lebih jarang memberi
ASI dan lebih mungkin anaknya tertular mikroba melalui makanan pendamping
ASI yang tercemar. Terdapat perbedaan proporsi ibu yang bekerja di luar rumah
dan yang bekerja di dalam rumah, tetapi secara statistik tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna. Ini berarti, jenis pekerjaan ibu tidak berhubungan
dengan kejadian diare akut rotavirus.
Sebagai perbandingan, pada penyakit diare akut rotavirus yang
memerlukan perawatan, faktor pekerjaan ibu tidak memengaruhi prevalensi diare
akut rotavirus, hal ini tampak dari hasil penelitian pada para ibu di Uganda
(Nakawesi dkk, 2010). Jadi berdasarkan hasil temuan Nakawesi dkk (2010)
maupun berdasarkan hasil yang ditemukan pada penelitian ini, faktor pekerjaan
ibu tidak berhubungan dengan kejadian diare akut rotavirus.
e.
Higiene perorangan.
Yang dimaksud dengan higiene perorangan pada penelitian ini adalah
kekerapan ibu mencuci tangan dengan cara yang benar ketika akan memegang
110
bayinya. Para ibu dari kelompok diare rotavirus, 52,2 % termasuk pada katagori
kadang-kadang mencuci tangan, sedangkan para ibu dari kelompok diare bukan
rotavirus adalah 43,2 %. Demikian pula para ibu yang termasuk jarang sekali
mencuci tangan juga serupa (34,8 % VS 40,8 %). Perbedaan proporsi ini tidak
bermakna berdasarkan penghitungan statistik (nilai p= 0,57).
Dalam beberapa kepustakaan yang memuat kaitan antara kejadian diare
akut rotavirus pada anak berusia < 5 tahun dengan higiene dan sanitasi, kejadian
diare akut rotavirus tidak berbeda antara tempat-tempat yang dengan status
higiene dan sanitasi yang berbeda-beda. Salah satu laporan menyatakan bahwa
kejadian diare akut rotavirus tetap tinggi dan tidak berbeda anara negara industri
dan negara berkembang. Ini menunjukkan bahwa, faktor sanitasi tidak begitu
berperan dalam menurunkan penyebaran rotavirus (WHO, 2001). Parashar dkk
(2006) menyimpulkan bahwa, terjadi peningkatan proporsi diare akut rotavirus di
masyarakat sebagai akibat menurunnya kejadian diare yang disebabkan bakteri
maupun parasit. Ini merupakan dampak dari perbaikan sanitasi, penyediaan air
bersih dan perawatan pada anak. Jadi status higiene perorangan tidak berhubungan
dengan kejadian diare akut rotavirus.
6.2
Karakteristik Pemberian ASI
6.2.1. Eksklusivitas pemberian ASI
Pada penelitian ini, proporsi yang mendapat ASI-eksklusif tidak berbeda
antara kelompok diare rotavirus dan diare bukan rotavirus, dengan nilai p= 0,28.
Hubungan antara pemberian ASI dengan penyakit diare dibedakan menjadi:
111
a.Hubungan antara pemberian ASI-eksklusif dengan kejadian diare
Pemberian ASI dan ASI-eksklusif berhubungan dengan kejadian diare
yang lebih rendah. Studi kasus kontrol yang berbasis komunitas pada anak usia di
bawah satu tahun menunjukkan, adanya asosiasi antara pemberian ASI (eksklusif,
non-eksklusif) dengan menurunnya kejadian penyakit diare dibandingkan pada
anak yang tidak mendapat ASI. Efek proteksi ini terlihat lebih kuat pada anakanak yang tinggal di rumah sewaan dan tempat hunian yang lebih padat (Quigley
dkk, 2006). Penelitian kohort mengenai kejadian diare pada anak yang dirawat
menunjukkan, bahwa pemberian ASI-eksklusif dapat mencegah anak dirawat
karena penyakit diare dan efek pencegahannya lebih besar daripada pemberian
ASI non-eksklusif (Quigley dkk, 2007; Talayero dkk, 2006). Jadi pemberian ASI
(eksklusif maupun non-eksklusif), dapat memberi proteksi terhadap penyakit diare
terutama pada anak yang tinggal di lingkungan padat hunian. Pemberian ASIeksklusif dapat mengurangi paparan terhadap mikroba yang berasal dari
lingkungan yang terkontaminasi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan perbedaan dengan penelitian
terdahulu, beberapa faktor dapat menjadi penyebab. Pertama dalam hal kepadatan
hunian, lebih dari limapuluh persen subyek tidak memiliki saudara di dalam satu
rumah. Jadi bukan tempat hunian yang padat. Kedua, efek proteksi ASI pada
penelitian ini hanya ditujukan terhadap diare akut rotavirus, berbeda dengan
penelitian tersebut di atas yang menilai efek proteksi ASI tarhadap penyakit diare
secara keseluruhan. Penelitian Quigley dkk (2006), dilakukan diberbagai tempat
di Inggris yang mewakili daerah kota yang padat maupun pedesaan dengan
112
memakai “skor Jarman”. Berdasarkan adanya
perbedaan tersebut hasil dari
penelitian ini tidak dapat dibandingkan.
Tingkat proteksi ASI terhadap penyakit infeksi, paling baik pada pemberian
ASI-eksklusif dan dominan ASI. Hal ini tidak berhubungan dengan status sosial
dan meliputi semua lapisan masyarakat (Sadeharjau dkk, 2007; Raisler dkk,
1999). Pada penelitian ini pemberian ASI dikelompokkan menjadi ASI-eksklusif
dan non-eksklusif. Pemberian ASI secara eksklusif
berhubungan dengan
kekerapan mendapat ASI yang lebih tinggi dan kemungkinan yang lebih kecil
untuk terpapar mikroba patogen melalui makanan yang dikonsumsi. Pada
penelitian ini proporsi yang mendapat ASI-eksklusif jauh lebih kecil daripada
yang mendapat ASI non-eksklusif dengan lama menyusu ASI-eksklusif rata-rata
kurang dari empat bulan. Hal ini memberi efek terhadap kejadian diare akut
(rotavirus, bukan rotavirus) yang lebih tinggi pada kelompok usia 4 bulan ke atas.
b. Hubungan antara pemberian ASI-eksklusif dengan kejadian diare akut
rotavirus
Suatu studi kasus kontrol pada anak berusia < 6 bulan yang dirawat karena
diare dibandingkan dengan anak diare yang tidak dirawat, menunjukkan adanya
asosiasi antara pemberian ASI-eksklusif dengan risiko diare akut rotavirus berat
(Clemens dkk,1993). Kurugol dkk (2003) dengan metodologi yang sama
membandingkan dengan penderita yang dirawat bukan karena penyakit diare,
menemukan adanya asosiasi antara pemberian ASI-eksklusif dan risiko diare akut
rotavirus. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Wobudeya dkk (2011), di mana
pemberian ASI-eksklusif maupun dominan ASI tidak berhubungan dengan
113
kejadian diare rotavirus. Penelitian yang dilakukan secara prospektif pada anak
sampai usia < 24 bulan, menunjukkan insiden diare rotavirus yang lebih rendah
pada anak yang mendapat ASI-eksklusif. Namun proporsi anak yang mendapat
ASI-eksklusif sangat rendah, tidak cukup representatif untuk dinilai kekuatan
proteksinya (Naficy dkk, 1999). Misra dkk (2007) pada penelitian longitudinal
terhadap anak usia < 1 tahun, menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan insiden
diare akut rotavirus antara anak yang mendapat ASI-eksklusif dan ASI noneksklusif. Jadi berdasarkan temuan dari beberapa peneliti terdahulu terdapat hasil
yang berbeda-beda dalam hal tingkat proteksi ASI-eksklusif terhadap kejadian
diare akut rotavirus.
Penelitian ini bersifat retrospektif, subyek adalah penderita diare derajat
ringan dengan rentang usia 1-6 bulan dan pembandingnya adalah penderita diare
bukan rotavirus. Pada penelitian
retrospektif memungkinkan terjadinya bias
“recall”, yang dalam penelitian ini dapat berasal dari data mengenai pemberian
ASI. Faktor pembanding dapat pula menjebabkan hasil yang berbeda. Dengan
memakai pembanding penderita diare, perbedaan tingkat proteksi ASI-eksklusif di
antara penyakit diare dengan berbagai etiologi amat kecil karena ASI-eksklusif
memberi proteksi terhadap kejadian diare secara keseluruhan (diare rotavirus dan
diare bukan rotavirus).
6.2.2. Frekuensi Menyusu
Yang dimaksud dengan frekuensi menyusu pada penelitian ini adalah
jumlah menyusu yang dilakukan bayi dalam 24 jam. Dari penelitian ini kekerapan
114
menyusu pada kelompok diare rotavirus tidak berbeda dengan kelompok diare
bukan rotavirus, frekuensi masing-masing adalah 8,65 kali dan 8,61 kali. Sebagai
perbandingan pada penelitian pendahuluan yang dilakukan di rumah sakit
Sanjiwani Gianyar pada bayi sehat yang berusia 0-6 bulan, frekuensi menyusu
eksklusif 11,6 kali dalam 24 jam.
Pengamatan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kekerapan
menyusui dilakukan oleh Cohen dkk (1995). Pengamatan dilakukan dalam 12 jam
perhari, menunjukkan bahwa rerata frekuensi menyusu pada bayi yang mendapat
ASI-eksklusif adalah 6,7-8,9 kali, dan yang mendapat ASI non-eksklusif adalah
5,4-8,1 kali. Ibu multipara lebih banyak menggunakan waktu untuk menyusui
dibandingkan dengan ibu primipara. Jadi bila dibandingkan dengan penelitian
yang dilakukan Cohen dkk (1995), penelitian ini yang menggunakan metode
retrospektif hasilnya tidak begitu berbeda.
6.2.3. Lama Menyusu
Pada bayi yang menderita diare akut rotavirus rerata lama menyusu adalah
15,65 menit, hampir sama dengan kelompok diare bukan rotavirus yaitu 16,22
menit, dengan nilai p = 0,77.
Lama menyusu dan frekuensi menyusu berkaitan dengan kapasitas bayi
mengatur kebutuhannya akan ASI. Menurut Nevile dkk (1988 Dalam : Riordan
dan Auerbach, 1999). Volume ASI meningkat pelan-pelan dan mencapai 750 ml
perhari pada bulan ketiga sampai bulan kelima pada bayi ASI-eksklusif dan ratarata masukan ASI pada bulan keenam adalah 800 ml/hari. “Intake” menurun
ketika bayi mulai mendapat makanan padat. Jadi perolehan ASI dari menyusu
115
meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan untuk pertumbuhan, yang
pada penelitian ini tidak dibedakan lama menyusu antar kelompok usia. Walaupun
demikian kapasitas kelenjar mammaria untuk memproduksi ASI tidak melebihi
yang dibutuhkan bayi (Daly dkk, 1993 ; Dalam: Riordan dan Auerbach, 1999).
Jadi lama dan frekuensi menyusu tampaknya sangat spesifik bagi setiap bayi,
belum ada penjelasan kenapa terjadi hal demikian, dan pada penelitian ini tidak
memengaruhi kejadian diare akut rotavirus.
Tingkat proteksi ASI tidak berhubungan dengan lamanya bayi mendapat
ASI/ASI-eksklusif, terbukti setelah bayi tidak lagi mendapat ASI kejadian diare
tidak berbeda antara yang pernah mendapat ASI dan tidak pernah mendapat ASI
(Quigley dkk, 2006).
6.2.4. Titer antibodi sIgA antirotavirus ASI
Pada penelitian ini subyek pada kelompok diare rotavirus yang mendapat
ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus adalah 17,39 %, sedangkan
pada kelompok diare bukan rotavirus adalah 23,2 %. Secara statistik perbedaan
tersebut tidak bermakna dengan nilai RO 1,12 (CI 95 %: 0,29-4,29), nilai p=
0,203. Pada pemeriksaan didapatkan rerata titer ELISA untuk antibodi sIgA yang
berhubungan dengan rotavirus pada ASI yang diberikan eksklusif adalah 30,46
unit. Hal-hal yang berhubungan dengan ASI dan kandungan zat imun pada ASI,
telah dilaporkan oleh beberapa peneliti menyangkut:
a. Hubungan antara usia dan paritas dengan kandungan antibodi sIgA
Pada ibu yang berusia lebih muda dengan jumlah paritas yang lebih
kecil memiliki ASI yang mengandung antibodi sIgA yang lebih tinggi (Prentice
116
dkk, 1983). Tetapi pada penelitian Henart dkk (1991), justru kadar antibodi sIgA
yang lebih tinggi ditemukan pada ibu yang lebih tua dengan jumlah paritas yang
lebih tinggi. Pada penelitian ini yang diperiksa adalah kandungan antibodi sIgA
yang berhubungan dengan rotavirus. Usia dan paritas dari ibu yang diperiksa ASInya sebagian besar berusia < 30 tahun dengan tingkat paritas rendah (kehamilan
pertama kali). Jadi adanya perbedaan hasil dengan penelitian sebelumnya
disebabkan oleh perbedaan jenis antibodi yang diperiksa, di mana pada penelitian
ini terdapat titer antibodi sIgA antirotavirus yang rendah pada ibu yang berusia
lebih muda dengan jumlah paritas satu.
b.Hubungan antibodi sIgA antirotavirus ASI dengan kejadian diare akut
rotavirus
Pemberian ASI yang mengandung antibodi sIgA antimikroba tertentu
dapat berfungsi sebagai pemberian imunisasi pasif untuk mencegah timbulnya
penyakit diare yang disebabkan oleh jenis mikroba tertentu. Antibodi sIgA ASI
termasuk antibodi yang bersifat “neutralizing” yang bekerja di dalam lumen usus
halus bayi. Apabila mengandung antirotavirus, antibodi tersebut akan mengikat
dan menetralisir antigen rotavirus yang ada di dalam lumen usus halus (Kaetzel,
1991; Pareno dkk, 1999).
Hubungan antara pemberian antibodi sIgA antirotavirus dengan pencegahan
terhadap diare akut rotavirus dilaporkan oleh Corthesy dkk (2006). Dengan
memakai “hewan coba”, antibodi sekretorik IgA monoklonal melalui pemberian
secara pasif per oral, tidak dapat mencegah replikasi rotavirus yang ada di dalam
sel inang. Feng dkk (2002), yang juga memakai “hewan coba” memerlukan kadar
117
antibodi yang tinggi (3 mg perhari selama 9 hari) untuk mencapai tingkat proteksi
yang tinggi. Pada pemberian antibodi dengan dosis yang lebih rendah, diperoleh
proteksi yang terbatas. Ini menunjukkan bahwa dosis dan cara pemberian antibodi
memengaruhi tingkat proteksi.
Peneliti lainnya menemukan bahwa pada pemberian antibodi IgA yang
memiliki spektrum luas ataupun yang bersifat spesifik terhada capsid rotavirus
VP4 dan VP7, merupakan antibodi yang paling baik tingkat proteksinya pada
pemberian secara oral (Corthesy dkk, 2006; Ludert dkk, 2002). Ray dan Kelkar
(2004), menunjukkan bahwa rendahnya kadar antibodi “neutralizing”maternal
terhadap serotipe rotavirus tertentu, dapat merupakan penyebab infeksi rotavirus
pada anak dengan serotipe tersebut.
Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah pemberian konsentrat susu
yang mengandung antibodi antirotavirus pada anak yang dirawat oleh karena diare
akut rotavirus. Konsentrat susu tersebut diperoleh dari air susu sapi pada sapi
yang sebelumnya diberi vaksin rotavirus yang bersifat “hiperimmunized”. Pada
anak-anak yang diberi konsetrat susu yang mengandung antibodi “neutralizing”
antirotavirus tinggi, menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap durasi
ekskresi rotavirus pada feses dibandingkan dengan yang mendapat susu konsentrat
yang mengandung antibodi “neutralizing” antirotavirus rendah
(Hilpert dkk,
1987). Jadi pada pemberian air susu untuk tujuan pencegahan terjadinya penyakit
diare akut rotavirus pada anak, dibutuhkan air susu yang mengandung antibodi
sIgA antirotavirus dengan titer tinggi, dan atau memiliki sifat spektrum luas
maupun bersifat spesifik terhadap protein rotavirus VP4 dan VP7.
118
Sejak ratusan tahun yang lalu, telah diketahui ASI adalah living tissue
yang mengandung imunoglobulin. Telah terbukti bahwa pemberian ASI dapat
mencegah diare infantil (Riordan dan auerbach, 1999). Antibodi sekretorik IgA
merupakan hasil dari sensitisasi limfosit oleh antigen yang spesifik pada mukosa
usus halus maupun mukosa saluran nafas. Sel limfosit tersebut kemudian
bermigrasi ke kelenjar mamaria, berubah menjadi sel plasma dan menghasilkan
antibodi sIgA yang bersifat spesifik (Telemo dan Hanson, 1996; Goldman dkk,
1983; Hanson, 2007). S-IgA ASI yang mencapai lumen usus halus bayi akan
mengikat antigen mikroba yang bersifat spesifik, kemudian dinetralisir dan
dikeluarkan melalui proses immune exclusion.
Pada penelitian ini rerata titer antibodi sIgA antirotavirus ASI pada bayi
yang mendapat ASI-eksklusif amat rendah. Ini merupakan salah satu penyebab
pemberian ASI-ekskusif pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap risiko
diare akut rotavirus. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah tingkat
spesifisifitas antibodi “neutralizing” pada ASI yang tidak diteliti pada penelitian
ini.
6.3.
Karateristik penyakit diare.
6.3.1. Frekuensi Diare
Diare yang disebabkan oleh infeksi rotavirus menimbulkan gejala klinis
berupa diare cair, diare bersifat “profuse” sehingga sering menimbulkan
komplikasi dehidrasi maupun lainnya. Gejala ini sebagai akibat kerusakan pada
sel enterosit yang fungsinya menyerap garam dan air (Elliot, 2007).
119
Dari penelitian ini rerata frekuensi buang air besar pada diare rotavirus
hampir sama dengan diare bukan rotavirus, yaitu kurang lebih lima kali dalam 24
jam.
6.3.2. Darah dan lendir dalam feses.
Pada penelitian ini ditemukan gejala klinis berupa diare cair, beberapa
kasus
disertai lendir dan atau darah pada kedua kelompok diare, dengan
perbandingan yang hampir sama. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, dapat
terjadi infeksi simultan antara rotavirus dengan mikroba yang lain terutama
bakteri, akan tetapi tidak memberi pengaruh kolaboratif terhadap gejala klinis
diare rotavirus (Nguyen dkk, 2004; Bardhan dkk, 1992).
Diare cair merupakan gejala yang predominan pada infeksi rotavirus dan
juga pada anak yang usianya lebih besar. Feses berdarah dan lendir hanya
ditemukan pada diare rotavirus bayi prematur (Bass dkk, 2007). Pada penelitian
ini adanya gejala klinis berupa adanya darah dan lendir pada feses pada beberapa
kasus, boleh jadi merupakan hasil kolaborasi antara infeksi rotavirus dengan jenis
mikroba patogen lainnya.
6.3.3. Pemberian obat antidiare.
Belakangan
terdapat
berbagai
macam
obat
yang
diduga
dapat
memengaruhi perjalanan diare antara lain probiotik, prebitotik dikombinasi
dengan preobiotik dan obat pengental feses yang mengandung kaolin dan pectin.
Dari penelitian ini hampir 95 % subyek tidak mendapat obat antidiare. Dalam
120
kepustakaan disebutkan bahwa obat antidiare yang mengandung adsorben seperti
kaolin dan pectin tidak terbukti memberikan efek terhadap perjalanan penyakit
diare (Zaid dkk, 1995; Dalam Bass dkk, 2007). Mengenai obat yang tergolong
probiotik spesies lactobacillus dan bifidobacterium, berfungsi sebagai barier
terhadap spesies enterik yang lebih patogen dan mengatur imunitas humoral
terhadap infeksi rotavirus (Van Niel dkk, 2002; Dalam: Bass dkk, 2007). Dalam
beberapa penelitian lainnya, tidak cukup bukti efek dari probiotik untuk terapi
penyakit diare kecuali terhadap diare yang disebabkan oleh infeksi nosokomial
maupun pada kasus antibiotic-associated diarrhea (de Vrese dan Marteau, 2007).
6.3.4. Gejala penyerta diare.
Gejala klinis yang timbul pada penyakit diare rotavirus diakibatkan oleh
adanya hipersekresi dan menurunnya penyerapan
oleh keadaan postiskemik,
hiperemi yang diinduksi oleh perubahan mekanisme counter current osmotik
lokal (Osborne dkk, 1991; Dalam Bass dkk, 2007). Terdapat beberapa gejala yang
menyertai diare di antaranya panas (1-2 hari), muntah (1-3 hari), gejala ekstraintestinal berupa otitis media, pneumonia dan ensefalitis, yang sangat jarang
terjadi. Naficy dkk (1999) menemukan, gejala penyerta diare yang lebih ringan
pada bayi yang mendapat ASI. Pada diare yang disebabkan oleh infeksi rotavirus
gejala klinisnya lebih berat daripada diare bukan rotavirus (Kurugol dkk, 2003).
Dari penelitian ini ditemukan gejala penyerta diare seperti panas, muntah,
panas dan muntah, panas dan muntah disertai gejala lain seperti batuk dan pilek.
Pada sebagian kasus (45%) diare rotavirus tanpa gejala penyerta. Pada diare
121
rotavirus gejala panas disertai muntah proporsinya lebih tinggi daripada diare
bukan rotavirus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya di mana
muntah merupakan gejala yang menonjol pada diare rotavirus ( Dennehy dkk,
2000).
6.3.5. Beratnya penyakit diare.
Beratnya penyakit diare dinilai dengan menggunakan sistem skor
berdasarkan kriteria adanya gejala diare, muntah, dehidrasi, gangguan
kaseimbangan elektrolit maupun lainnya sehingga memerlukan perawatan di
rumah sakit (Ruuska dan Vesikari, 1990). Pada kasus dengan jumlah skor 1-10
dikatagorikan sebagai diare ringan, dan jumlah skor > 10 sebagai diare berat. Pada
penelitian ini sebagian besar penderita diare adalah penderita rawat jalan, tidak
ditemukan komplikasi, dan hanya 2 kasus diare bukan rotavirus yang mengalami
dehidrasi ringan.
Kurugol dkk (2003), pada anak yang berusia < 1 tahun yang dirawat
gejala dehidrasi pada diare rotavirus lebih banyak daripada pada diare bukan
rotavirus (45 % : 19 %), sebanyak 69,1 % tergolong diare berat. Demikian pula
dengan lama perawatan, diare rotavirus memerlukan perawatan yang lebih lama
daripada diare bukan rotavirus. Jadi perbedaan hasil dalam hal beratnya diare pada
penelitian ini disebabkan oleh perbedaan populasi subyek yang diteliti dan kontrol
yang dipakai.
122
6.3.6. Lama diare akut rotavirus
Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan lama diare akut
rotavirus, satu di antaranya tingkat kerusakan villi usus halus sebagai tempat
replikasi rotavirus dan ada tidaknya kerusakan sel epitel di daerah kripte (Little
dan Shadduck, 1982). Di dalam sel villus terdapat reseptor dan ensim tempat
melekatnya rotavirus yang telah mengalami proses „uncoating”. Pada hewan coba
yang mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus, antigen
rotavirus ditemukan dalam jumlah kecil di jaringan usus halus dan segera
menghilang, namun tidak berpengaruh terhadap lama gejala diare (Holmes dkk,
1976).
Pada infeksi yang disebabkan oleh rotavirus, kerusakan yang terjadi pada
villi usus halus akan diganti oleh sel kripte dalam waktu kurang dari 4 hari yang
belum terdeferensiasi (Boshuizaen dkk, 2003; Mavromichalis dkk, 1977). Bila
kerusakan juga terjadi pada sel kripte, pergantian sel didaerah villi akan terhambat
dan gangguan fungsi penyerapan akan terus berlangsung (Moon dkk, 1973;
Dalam: Little dan Shadduck, 1982). Gejala diare dapat juga timbul oleh adanya
rangsangan saraf di jaringan usus halus akibat toksin yang dikeluarkan oleh
rotavirus setelah melekat pada sel enterosit. Selanjutnya akan terjadi sekresi
interferon maupun zat kemotaktik lainya yang mempengaruhi lama diare (Rollo
dkk, 1999; Shaw dkk, 1995).
Jadi lama diare akibat infeksi rotavirus dipengaruhi oleh banyak faktor
yang berhubungan dengan sistem pertahanan lokal di jaringan usus halus bayi.
Faktor tersebut dapat berasal dari ASI yang berfungsi sebagai imunitas pasif ,
123
maupun yang berasal dari sistem pertahanan imun lokal di usus halus yang pada
usia < 6 bulan belum berfungsi secara optimal. Pada penelitian ini pemberian
ASI-eksklusif maupun ASI yang mengandung antibodi sIgA antirotavirus tidak
berpengaruh terhadap lama diare akut rotavirus. Sebagai penyebab adalah titer
antibodi sIgA antirotavirus yang rendah sehingga tidak cukup kuat untuk
mencegah perlekatan antigen rotavirus pada sel enterosit maupun menghambat
replikasi rotavirus di dalam sel villus. Selain itu jumlah sampel yang kecil tidak
cukup kuat untuk menilai hubungan antara antibodi sIgA antirotavirus dengan
lama diare akut rotavirus pada penelitian ini.
Faktor yang berasal dari rotavirus antara lain jenis serotipe, beban virus
maupun toksisitas toksin yang disekresi oleh rotavirus. Beberapa jenis serotipe
rotavirus (G2P4 dan subgrup 1) memberikan gejala diare yang lebih berat
dibandingkan serotipe lainnya (Cascio dkk, 2001). Pada penelitian ini tidak
dilakukan analisis terhadap serotipe rotavirus yang mungkin berhubungan dengan
lama diare akut rotavirus pada subyek yang diteliti.
6.3.7. Hasil pemeriksaan feses
Rasio (viral load) feses yang mengandung antigen rotavirus tidak berbeda
antara kelompok yang mendapat ASI-eksklusif dan yang mendapat ASI noneksklusif, dengan nilai p= 0,760. Dari data di atas tampaknya ASI-eksklusif tidak
berhubungan menurunnya viral load pada feses. Beberapa faktor mungkin dapat
sebagai penyebab, dari serotipe antibodi sIgA ASI maupun serotipe rotavirus yang
menginfeksi bayi. Seperti yang dilaporkan oleh Ray dan Kelkar (2004), bahwa
124
bayi dapat terinfeksi oleh serotipe rotavirus tertentu yang tidak pernah
menginfeksi ibu pada masa laktasi.
Jadi berdasarkan semua temuan peneliti terdahulu, terdapat perbedaan
hasil dengan penelitian ini desebabkan oleh beberapa hal. Pertama, yang
dibandingkan pada penelitian terdahulu adalah antara pemberian ASI-eksklusif
dan susu formula, sedangkan pada penelitian ini adalah dengan ASI non-eksklusif.
Kedua dalam hal kasus, pada penelitian terdahulu adalah kasus diare akut
rotavirus yang di rawat (diare derajat berat) dibandingkan dengan penderita yang
dirawat bukan karena diare. Pada penelitian ini kasus adalah diare akut rotavirus
(sebagian besar diare derajat ringan) dibandingkan dengan diare bukan rotavirus
yang tidak dirawat (diare derajat ringan). Jadi ada perbedaan pada kasus maupun
kontrol.
6.4.
Temuan Baru
Manfaat pemberian ASI-eksklusif pada bayi 1-6 bulan yang mengandung
antibodi sIgA antirotavirus, selain dapat mengurangi paparan terhadap mikroba
patogen penyebab diare, juga mencegah terjadinya diare akut yang disebabkan
oleh rotavirus.
Pada penelitian ini antibodi sIgA antirotavirus ASI tidak dapat melindungi
bayi dari diare akut rotavirus disebabkan oleh titer yang rendah. Sebagai telah
diketahui bahwa, antara antibodi dan antigen berlaku penomena “gembok dan
kunci”, artinya
“jumlah tangan-tangan” antibodi sIgA antirotavirus yang ada di
lumen usus halus bayi harus cukup seimbang agar dapat mengikat seluruh antigen
125
rotavirus yang ada. Selain itu juga harus cocok (bersifat spesifik) sehingga ikatan
tersebut dapat terjadi. Demikian pula terhadap antigen rotavirus yang telah
melekat pada sel enterosit, diperlukan antibodi IgA yang memiliki spesifisitas
terhadap protein rotavirus
VP5 dan VP7 agar dapat menetralisir rotavirus
sehingga replikasi tidak berlanjut (Ruggeri dan Greenberg, 1991).
Berdasarkan fakta tersebut di atas dapat dihasilkan suatu teori bahwa
untuk mencegah bayi usia 0-6 bulan dari penyakit diare akut rotavirus melalui
pemberian ASI-eksklusif, diperlukan ASI yang mengandung antibodi sIgA
antirotavirus yang titernya tinggi. Ini mungkin dapat dicapai melalui pemberian
imunisasi rotavirus pada ibu yang memasuki fase laktasi.
6.5
Keterbatasan Penelitian
1.
Keterwakilan populasi pada sampel. Sampel pada penelitian ini sebagian
besar berasal dari pasien rawat jalan yang tergolong penyakit diare derajat
ringan.
2.
Penentuan
kasus diare rotavirus dan diare bukan rotavirus tidak bisa
dilakukan pada awal penelitian, baru ditetapkan setelah terdapat hasil
pemeriksaan laboratorium.
3.
Adanya keterbatasan jumlah kasus diare rotavirus dan jumlah ASI yang
mengandung sIgA antirotavirus, menyebabkan jumlah kontrol yang dipakai
adalah satu banding tiga, tentu memiliki keterbatasan dibandingkan bila
rasio kasus kontrol satu banding satu
126
3.
Data yang didapat secara retrospektif dapat menimbulkan bias “recall”
termasuk disini data mengenai lama diare, dan frekuensi menyusu
127
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Simpulan
1. Pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif risiko diare akut
rotavirus tidak berbeda dengan yang mendapat ASI non-eksklusif
2. Pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA
antirotavirus risiko diare akut rotavirus tidak berbeda dengan yang
mendapat ASI yang tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus
3. Pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI-eksklusif rerata lama diare akut
rotavirus tidak berbeda dengan yang mendapat ASI non-eksklusif
4. Pada bayi 1-6 bulan yang mendapat ASI yang mengandung antibodi sIgA
antirotavirus rerata lama diare tidak berbeda dengan yang mendapat ASI
yang tidak mengandung antibodi sIgA antirotavirus
7.2
Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diperoleh pada penelitian ini
dapat disarankan sebagai berikut :
1. Perlu diteliti lebih lanjut tingkat paparan ibu laktasi terhadap rotavirus
melalui pemeriksaan serotipe antibodi rotavirus di dalam ASI
2. Penelitian multisenter untuk mendapat
kasus yang lebih bervariasi
sehingga memungkinkan untuk merekrut kasus yang tergolong berat agar
dapat mengungkap tentang peran ASI-eksklusif dan kandungan antibodi
sIgA antirotavirus ASI terhadap penyakit diare akut rotavirus
127
128
DAFTAR PUSTAKA
Abreu MT, Fukata M and Arditi M, dkk. TLR Signaling in The gut in Health and
disease. J Immunol, 2005 ; 174 : 4453 – 4460.
Abbas AK, Lichtman AH. Celluler and Moleculer Immunology. Fifth Ed. Elsevier
Saunders, Philadelphia, 2005 ; 33, 321 : 355 – 357.
Akib AP. Imunologi ASI. Dalam: Bedah ASI, Kajian dari Berbagai Sudut Pandang
Ilmiah halm.64-70. Hegar B dkk. Penyunting. IDAI cabang DKI, Jakarta
2008.
Almela MJ, Gonzales ME and Carrasco I. Inhibition of poliovirus unconting
efficiently block the early membrane permeabilization injduced by virus
particles. J. Viral, 1991 ; 65 : 2572 – 2577.
American Academy of Pediatrics & Work Group on Breasfeeding. Breastfeeding
and the use of human milk. Pediatrics.1997;100:1035-1039.
Andrews DM, Sealzo AA, Yokoham WM, dkk. Functional interactions between
dendritic cells and NK cells during viral infections. Nat.Immunol, 2003 ; 4 :
175 – 181.
Arias CF, Isa P, Guerrero CA, dkk. Molecular biology of rotavirus cell entry.
Arch Med Res 2002; 33:356-361.
Asselin – Pasturel CA, Boostira M, Dalod I, dkk. Mouse type 1 IFN – producing
cells are immature APCs with plasmacy toid morphology. Nat.Immunol
2001, 2 : 114 – 115.
Bahan Kulias, Immunologi Klinik, Program S – 3 Ilmu Kedokteran Program
Pasca Sarjana UNUD, th 2006 – 2007, dikutip dari New Sciene Press Ltd.
2004.
Baker D, Taylor H, dan Henderson J. Inequality in infant morbidity : Causes and
Consequences in England in the 1990s. ALPAC Study Team. Avon
Longitudinal Study of Pregnancy and Childhood. J Epidemiol Community
Health 1998;52:451-458.
Bardhan PK, Salam MA, and Molla AM. Gastric emptying of liquid in children
suffering from acutegastroentristis. Gut. 1992 ; 33 : 26 – 29.
Bass ES, Pappano DA, Humiston SG. Rotavirus. Pediatrics in Review 2007; 5:
183-191.
128
129
Betran AP, Mercedes de Onis, Lauer JA, Villar J. Ecological study of effect of
breastfeeding on Infant mortality in Latin America. BMJ 2001; 323: 1-5.
Bishop RF, Cipriani E, Lund JS, dkk. Estimation of Immunoglobulin G
Antibodies in Human Serum Samples by Enzyme – Linked Immunosorbent
Assay : Expression of Results as Units Derived from a Standard Curve. J
Clin Microbiol 1984; 19: 447 – 452.
Black RE, Morris SS, dan Bryce J. Where and why are 10 million children dying
every year? Lancet, 2003; 361: 2265-2234.
Bland RM, Collins NC, Solarsh G, dkk. Maternal recall of exclusive breast
feeding duration. Arch Dis Child 2003; 88: 778-783.
Boshuizen JA, Reismerink JHJ, Korteland-van Male AM, dkk. Changes in Small
Intestinal Homeostasis, Morphology, and Gene Expression during Rotavirus
Infection of Infant Mice. J Virol 2003; 77:13005-13016.
Brandtzaeg P. Mucosal immunity: integration between mother and the breast-fed
infant. Vaccine 2003; 21: 3382-3388.
Bresee JS, Hummelman E, Nelson EA, Glass RI, dkk. Rotavirus in Asia : the
Value of Surveilance for informing decisions about the Introduction of new
Vaccine. J. Infect Dis. 2005 ; 192 (supli) : S1 – 5.
Brussow dkk. Antibodies to seven RV Serotypes in Cord Sera, Maternal Sera, and
Colostrum of German Women. J Clin Microbial, 1991; 24 : 2856 – 2859.
Cao Z, Hunzel W, Gao X. IRAK : a kinase associated with the interleukin 1
receptor. Sciene, 1996 ; 21 : 1128 – 1131.
Ciarlet M, Crawford SE, Chery E, dkk.VLA-2 (alf-2 beta-1) Integrin Promotes
Rotavirus Entry into Cells but Is Not Necessary for Rotavirus Attachment. J
Virol 2002; 76: 1109-1123.
Clemens J, Rao M, Ahmed F, dkk. Breastfeeding and the Risk of Life-Treatening
Rotavirus Diarrhea: Prevention or Postponement ?. Pediatrics 1993; 92:
680-685.
Cohen RJ, Haddix K, Hurtado E, dan Dewey KG. Maternal activity budgets:
feasibility of exclusive breastfeeding for six months among urban women in
Honduras. Soc Sci Med 1995; 41 (4): 527-36.
Cuadras MA, Areas CF and Lopez S. Rotavirus induce an early membrane
permeabilization of MA 104 cells and do not require a low intracelluler Ca
130
– Ca concentration to initiate their replication cycle. J. Virol, 1997 ; 71 :
9065 – 9074.
Corthesy B. Round Trip Ticket for Secretary IgA : Role in Mucosal Homeostasis?
J Immunol, 2007, 178 : 27 – 32.
Corthesy B, Benureau Y, Perrier C, dkk. Rotavirus Anti-VP6 Secretory
Immunoglbuline A Contributes to Protection via Intraceller Neutralization
but Not via Immune Exclusion J Virol 2006; 80 (21): 10692-10699.
Coste A, Sirard JC, Johansen K, dkk. Nasal immunization of mice with virus-like
particles protecs offspring against rotavirus diarrhea. J Virol 2000; 74:
8966-8971.
Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Seri Evidence Based
Medicine 1.Ed.4. Salemba Medika, Jakarta 2009.
Dahlan MS. Statistik Diskriptif dan Uji Hipotesis. Dalam: Statistik Untuk
Kedokteran Dan Kesehatan. Cetakan kesatu, halm.61-142. Jakarta,
Arkansas, 2004.
Dahlan MS. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Seri 2,
halm.1-50. Jakarta, Arkansas 2005.
Daniels KA, Devora G, Lai WC, O‟Donnell CL, dkk. Murine Cytomegalovirus Is
Regulated by a Discrete Subset of Reactive with Monoclonal Antibody to
Ly49H. J.Exp.Med. 2001 ; 194 : 29 – 44.
Dewey KG, Heimig MJ, Nommsen – River LA. Differences in moebidity between
breastfed and formula – fed infants. J. Pediatric, 1995 ; 126 : 696 – 702.
De Vrese M dan Marteau PR. Probiotics and Prebiotics: Effects on Diarrhea. J
Nutr.2007; 137: 803S-811S.
Dennehy PH. Transmission of rotavirus and other enteric pathogens in the home.
Pediatr Infect Dis J 2000; 19: S103-S105.
Dennehy PH, Cortese MM, Begue RE, dkk. A case-control study to determine risk
factors for hospitalization for rotavirus gastroenteritis in U.S,children.
Pediatr Infect Dis J 2006; 25 (12): 1123-1131.
Diagnostic Automation, INC. Rotavirus (Fecal) Antigen Detection ELISA.Web
site: www.rapidtest.com ISO 13485-203.
131
Dormitzer PR, Greenberg HB, dan Harrison SC. Purified recombinant rotavirus
VP7 forms soluble, calcium-dependent trimers. Virology 2000; 277: 420428.
Duffy LC, Byers TE, Riepenhoff-Talty M, La Scolea LJ, dkk. The Effects of
Infant Feeding on Rotavirus-Induced Gastroenteritis: A Prospective Study.
Am J Public Health 1986; 76: 259-263.
Elliott EJ. Acute gastroenteritis in children. BMJ 2007;334:35-40.
Favre L, dkk. Secretory IgA Prossesses Intrinsic Modulatory Properties
Stimulating Mucosal and Systemic Immune Responses. J of Immunology.
2005, 175 : 2793 – 2800.
Feachem RG, dan Koblinsky MA. Interventions for the control of diarrhoeal
diseases among young children: promotion of breast-feeding. Bull World
Health Organ 1984; 62 (2): 271-291.
Feng N, Lawton JA, Gilbert J, dkk. Inhibition of rotavirus replication by a nonneutralizing rotavirus VP6-specific IgA mAb. J Clin.Investig.2002; 109:
1203-1213.
Geissmann F, Launay Pasquler B, Lepellfier Y, dkk. A Subset of Human
Dendritic Cells Expresses IgA Fc Receptor (CD 89), which Mediates
Interalization and Activation upon Cross – Linking by IgA Complexes. J. of
Immunology , 2001 ; 166 : 346 – 352.
Glass RI, Lew JF, Gangorosa RO, Le Baron CW and HOMS. Estimates of
morbidity and mortality rates for diarrheal dissease in American Children.
J.Pediatric, 1991 ; 118 : S 27 – S 23.
Golantsova NE, dkk. Discrete Domains Within the Rotavirus VP 5 Direct
Peripheral Membrane Association and Membrane Permeability. J. of
Virology. 2004 ; 78 : 2037 – 2044.
Grace P, dan Jerald U. The Prevalence of Group A Rotavirus Infection and Some
Risk Factors in Pediatric Diarrhea in Zaren, North Central Nigeria.
African J Microbiol Research 2010 ; 4 (14) : 1532 - 1536
Hanson LA, Ahlstedt S, Andersson B, dkk. Protective Factors in Milk and the
Development of the Immune System. Pediatrics 1985; 75(suppl): 172-176.
Hanson LA, Hahn ZM, Berdes M, dkk. Breasfeeding overview and breast milk
immunology. Acta Pediatr JPN, 1994 ; 36 : 557 – 561.
132
Hanson LA. Symposium on ‘Nutrition in early life: new horizon in a new century’.
Sesion 1: Feeding and infant development, Breast-feeding and immune
function. Proceeding of the Nutrition Society 2007; 66: 384-396.
Harsono A. Immunologic Defense Mechanism in Human Milk. Paediatr Indones
1995; 35: 53-64.
Hasselbalch H, Engelmann MDM, Ersball AK, dkk. Breast-feeding influences
thymic size in late infancy. Eur J Pediatr 1999; 158: 964-967.
Heesemann J, Host. Defense against microorganisme : nonspecific defense.
Dalam Molecular infection biology interactions between microorganisme
and cells. Wiley – Liss USA, 2002 ; 7 – 26.
Heesemann J dan Hacker J. Medically Significant Pathogens, Dalam : Molecular
Infection Biology Interactions Between Microorganism and Cell’s. English
Ed. USA ; Willey – Liss, 2002 : 29 – 23.
Henart PF, Bressean DJ, Decologne – Desnoech JB, dkk. Lysozyme, Lactoferin,
and secretary immunoglobulin A content in breasr milk influence of
duration of lactotion. Am.J.Clin Nutr, 1991 ; 53 : 32 – 39.
Hilpert H, Brussow H, Mieteus C, dkk. Use of Bovine Milk Concentrate
Containing Antibody to Rotavirus to Treat Rotavirus Gastroenteritis in
Infants. J Infect Dis 1987; 156 (1): 158- 161.
Holmes LH, Kodger SM, Schnagi RD, dan Ruck BJ. Is lactase the receptor and
uncoating enzyme for infantile enteritis (rota) virusis ? Lancet 1976; 1:
1387-1389.
Holmgren J dan Czerkinsky C. Mucosal immunity and vaccines. Nat Med.Supply,
2005 ; 11 : S 45 – S 51.
Honorio – Franca AC, Launary P, Carneiro – Samhaio MMS, and Monteiro RC,
dkk. Colostrol neutrophils express Fc α receptors (CD89) lacking γ chain
association and mediate noninflamantary properties of secretory IgA. J.
Leukoc.Biol. 2001; 69 : 289 – 296.
Ikeda M, Sugiyama K, Tanaka T, Tanaka K, dkk. Lactoferin markedly inhibits
hepatitic virus infection in cultured human hepatocytes. Biochem Biophys
Res Common, 1998 ; 245 (s) : 549 – 553.
Indrasanto E. Kelainan Kongenital/Bawaan. Buletin Perinasia 2008; 3: 1-8.
133
Intusuma U, Sornsrivichai V, Jiraphongsa C, dan Varavithaya W. Epidemiology,
Clinical Presentations and Burden of Rotavirus Diarrhea in Children under
Five Seen at Ramathibodi Hospital, Thailand. J Med Assoc Thai 2008; 91
(9): 1350-1355.
Jason JM, Nieburg P, dan Marks JS. Mortality and Infectious Disease Associated
with Infant-Feeding Practices in Developing Countries. Disitirisasi dari:
www.pediatrics.org at Indonesia :AAP Sponsored on June 27, 2008.
Jackson KM and Naza AM. Breastfeeding, the immune response, and long – term
health. J. Am Osteopath Assoc, 2006 ; 106 : 203 – 207.
Jensen RG, 1995. Handbook of Milk Composition. Dalam: Marquis GS, Penny
ME, Zimmer JP, dkk. An Overlap of Breastfeeding during Late Pregnancy
Is Associated with Subsequent Changes in Colostrum Composition and
Morbidity Rates Among Peruvian Infants and Their Mothers . J Nutr.
2003;133:2585-2591.
Joneja JMV. Breast Milk A vital defense against infection. Can Fam Physician
1992; 38: 1849-1855.
Juffrie M dan Mulayani NS. Diare (Modul Pelatihan). UKK Gastro-Hepatologi
IDAI. Edisi Pertama, 2009.
Kaetzel CS, Robinson JK, Chintalacharuna KR, dkk. The Polymeric
Immnunoglobulin Receptor (Secretory Component) Mediates Transport of
Immunoe Complexcs Across Epithelial Cells : A Local Defense Function for
IgA. Proc. Natl. Acad. Sci USA, 1991, 88 : 8796 – 8800.
Kane EM, Turcios RM, Arvay ML. The epidemiology of rotavirus diarrhea in
Latin America. Anticipating rotavirus vaccines. Rev Panam Salud Pan Am J
Public Health 2004; 16 (6): 371-377.
Kerzner B. Kelly MH, Gall DG, Butler DG, dkk. Transmissible Gastroenteritis :
Sodium transport and the intestinal epithelium during the course of viral
enteritis. Gastroenterology, 1977
Kesarwala HH, Fischer TJ. Introduction to the immune system. Dalam : Joneja
JMV. Breast Milk A vital defense against infection. Can Fam Physician
1992; 38: 1849-1855.
Koletzko B dan Rodriguez-Palmero M. Polyunsaturated fatty acids in human milk
and their role in early infant development. J Mammary Gland Biol
Neoplasia 1999; 4: 269-284.
134
Kountur R. Statistik Praktis. Pengolahan Data Untuk Penyusunan Skripsi dan
Tesis. Yuwono Y penyunting. PPM Jakarta, 2005.
Kurt – Jones EA, Mandell L, Whitney C, dkk. Role of Toll – like Receptors 2
(TLR2) in neutrophil activation : G M – CSF enhances TLR 2 expression
and TLR 2 – mediated interleukin responses in neutrophil. Blood, 2002 ;
100 : 1860 – 1868.
Kurugol Z, Geylani S, Karaca Y, dkk. Rotavirus gastroenteritis among children
under five years of age in Izmir, Turkey. The Turkish J Pediatr 2003; 45:
290-294.
Labbok MH, Clark DC, dan Goldman AS. Breastfeeding : maintaining an
irreplaceable immunological reasonce. Nat.Rev.Immunol,2004;4:565-571.
Lawwrence RM dan Pane CA. Human Breast Milk: Current Concepts of
Immunology and Infectious Diseases. Curr Probiol Pediatr Adolesc Health
Care 2007; 37: 7-36.
LeBouder E, Rey – Nores JE, Raby AC, Affolter M, dkk. Modulation of Neonatal
Microbial Recognitim TLR – Mediated Innate Immune Responses are
Specifically and Differentially Modulated by Human Milk. J Immunol, 2006
; 176 : 3742 – 3752.
LeBouder R, Rey-Nores JE, Rushmere NK, dkk. Soluble forms of Toll – like
Receptors (TLR)2 capable of Modulating TLR 2 signaling are present in
human and breast milk. J Immunol, 2003 ; 171 : 6680 – 6689.
Lee SH, Girard S, Macinn D, dkk . Susceptibility to mouse cytomegalovirus is
associated with deletion of an activating natural killer cells receptor of the
C-type lectin superfamily. Nat.Genet. 2001 ; 28 : 42 – 45.
Levine – L Moal dan Servin AL. The front line of enteric host defense against
unwelcome intrusion of harmful microorganism : mucins, antimcrobial
peptide and microbiota. Clin Microbiol Rev. 2006 ; 19 : 315 – 337.
Levy DE dan Gracia – Sastre A. The virus battles: IFN induction of the antiviral
state and mechanism of viral evasion.Cytokine Growth Factor Rev.
2001;12:143-156.
Liprandi F, Moros Z, Gerder M, dkk. Productive penetration of rotavirus in
cultured cells induces coentry of the translation inhibitor α – sarcin.
Virology, 1997 ; 237 : 430 – 438.
Little LM dan Shadduck JA. Pathogenesis of Rotavirus Infection in Mice.
Infection and Immunity 1982; 38: 755-763.
135
Lonnerdal B. Nutritional and physiologic significance of human milk proteins.
Am J. Clin Nutr, 2003 ; 77 (suppl) : 1537 S – 1543 S.
Lonnerdal B. Biochemistry an physiological function of human milk proteins. Am.
J. Clin Nutr, 1985 ; 42 : 1299 – 1317.
Lopez-Alarcon M, Villalpando S dan Fajardo A. Breast-feeding Lowers the
Frequency and Duration of Acute Respiratory Infection and Diarrhea in
Infants Under Six Month of Age. J Nutr 1997;127:436-443.
Lopez S dan Arias CF. Multistep entry of rotavirus into cells : a Versailles que
dance. Trends Microbiol 2004; 12: 271-278.
Ludert JE, Gil F, Liprandi F, Esparza J. The structure of the rotavirus inner capsid
studies by electron microscopy of chemically disrupted particles. J.Gen
Virol, 1986 ; 67 : 1721 – 1725.
Ludert JE, Ruiz MC, dan Hidalgo C. Antibodies to Rotavirus outer Capsid
Glycoprotein VP7 Neutralize Infectivity by inhibiting virion
Decapsidatiaon. J Virol, 2002;76:6643-6651.
Lukacik M, Thomas RL, Aranda JV. 2007. A Meta-Analysis of the effect of Oral
Zinc in the Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. Disitirisasi dari
http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/121/2/326.
Lund J, Sato A, Akira S, dkk. Toll – like receptor g – mediated recognition of
herpes simplex virus – 2 by plasma cytoid Dendritic cells. J. Exp.Med. 2003
; 198 : 513 – 520.
Lundgreen O and Suensson . Pathogenesis of rotavirus diarrhea. Microbes Infect,
2002 ; 3 : 1145 – 1156.
Lundgren O, Peregrin AT, Persson K, Kordasti S, Uhnoo I, Svensson L, Role of
the enteric nervous system in the fluid and electrolyte scretion of rotavirus
diarrhea. Science, 2000 ; 287 : 491 – 495.
Madiono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, dkk. Perkiraan Besar Sampel. Dalam
: Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Sastroasmoro S dan Ismael S,
editor. Edisi ke-2 hal.259-287. CV SAGUNG SETO Jakarta 2002
Man NV, Trang NV, Lien HP dkk. The epidemiology and Disease Burden of
Rotavirus in Vietnam: Sentinal Surveillance at 6 Hospital. J Infect Dis
2001;192:S127- 132.
136
Mavromichalis J, Evans N, Mc Neish AS, Bryden AS, Davies HA, Flewett TH.
Intestinal damage in rotavirus and adenovirus gastroenteirits assesd by
dxylose malabsorption. Arch Dis Child, 1977 ; 52 : 589 – 591.
Medzhitov R dan Janaway CA. Innate Immunity : the virtues of monoclonal
system for recognition. Cell, 1997; 91 : 295 – 298
Medzhitov R. Toll – like Receptors and Innate Immunity. Nat. Rev. Immunol,
2001 ; 1 : 135 – 145.
Mestecky J, Russel MW, and Elson CO. Intestinal IgA ; novel views on its
intestinal in the defence of the largest mucosal surface. Gut, 1999 ; 44 : 2 –
5.
Misra S, Sabui T, Basu S, dan Pal NM. A Prospective Study of Rotavirus
Diarrhea in Children under 1 year of Age. Clin Pediatr (Phila) 2007; 46 (8):
683-688.
Moon H W. Mechanism in the patogenesis of diarrhea: a review.
J.Am.Vet.Med.Assoc.1978; 172: 443-448.
Morrow AL dan Rangel JM. Human milk protection against infectious diarrhea:
implications for prevention and clinical care. Semin Pediatr Infect Dis
2004; 15: 221-228.
Muzio M, Bosisio D, Polentarutti N, D‟amico G, dkk. Differential Expression and
Regulation of Toll – Like Receptor (TLR) in Human Leukocytes : Selective
Expression of TLR 3 in Dendritic Cells. J Immunol, 2000 ; 164 : 5998 –
6004
Muzio M, Ni J, Feng P, Dixit UM. IRAK (Pelle) family member IRAK – 2 and my
D88 as proximal mediators od IL – 1 signaling. Sciene, 1997 ; 278 : 1612 –
1615.
Naficy AB, Abu-Elyazeed R, Holmes JL, dkk. Epidemiology of Rotavirus
Diarrhea in Egyptian Children and Implication for Disease Control.
American J Epidemiol 1999; 150 (7): 770-777.
Nakawesi JS, Wobudeya E, Ndeezi G, dkk. Prevalence and factors associated
with rotavirus infection among children admitted with acute diarrhea in
Uganda.
BMC
Pediatrics
2010;
10:
69
http://www.biomedcentral.com/1471-2431/10/69/.
Nathanson N. Immune response to viral infection. Dalam : Viral pathogenesis and
immunity. Lippincott Williams & Walkins, Philadelphia, 2002: 53-59.
137
Newburg DS, Peterson JA, Ruiz-Palacios GM, dkk. Role of human-milk
lactadherin in protection against symptomatic rotavirus infection. Lancet
1998; 351: 1160-1164.
Nguyen TV. Diarrhea caused by rotavirus in children less than 5 years of Age in
Hanoi, Vietnam. J. of Clin. Microbiol. 2004 ; 42 : 5745 – 5750.
Noah N. and Henderson B. Rotavirus : Leading of Hospitalization for Diarhea in
Children Under 5. Proc 23rd Ann Meeting Eur Soc Paediatric Infect Dis
(E581D). Spain, May 18 – 21, 2005.
Orsi N. The antimicrobial activity of lactoferrin: current status and perspectives.
Biometals 2004; 17: 189-196.
Pando V, Isa P, Arias CF, dan Lopez S. Influence of calcium on the early steps of
rotavirus infection. Virology 2002; 295: 190-200.
Parashar UD, Chung MA, Holman RC, Ryder RW dkk. Use of state hospital
discharge data to asses the morbidity from rotavirus diarrhea and to
monitor the impact of a rotavirus immunize from program : a pilot study in
connecticut. Pediatric, 1999 ; 104 : 484 – 489.
Parashar UD, Hummelman FG, Bresee JS, Miller MA, Glass RI. Global illness
and death caused by rotavirus desease in children. Emerg. Infect Dis, 2003
; 9 : 565 – 572.
Parashar UD, Gibson CJ, Bresee JS, dan Glass RI. Rotavirus and Severe
Childhood Diarrhea. Emerg.Infect.Dis.2006; 12: 204-206.
Parreno V, Hodgins DC, de Arriba L, dkk. Serum and intestinal isotype antibody
responses to Wa human rotavirus in gnotobiotic pigs are modulated by
maternal antibodies. J General Virology 1999; 80: 1417-1428.
Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa. Diunduh dari http:
//www.gizi.net/pedoman-gizi/download/Pedoman%20Praktis%20IMT.doc.
Halaman sejenis 1/1/2001.
Pertemuan Hasil Penelitian ( belum dipublikasi ) : Extension for Hospital Based
Surveillance and Strain Characterization of Rotavirus Diarrhoea in
Indonesia. Yogyakarta, 7 Mei 2007.
Prentice A, Prentice AM, Cole TJ, dkk. Determination of variations in breast milk
protective factor concentration of Gambrain mothers. Arch.Dis.Child, 1983
; 58 : 518 – 522.
138
Pusponegoro, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta, 2004.
Quigley MA, Kelly Y, Sacker A. Breastfeeding and Hospitalization for Diarrheal
and Resporatory infection in the United Kingdom Millenium Cohors Study.
Pediatric. 2007 ; 119 : e 837 – e 842.
Quigley MA, Curberland P, Cowden JM, Rodrigue‟s LC, dkk. How protective is
breasfeeding against dearrheal desease in infants in 1990’s England ? A
Case Control Study. Arch Dis Child, 2006 ; 91 : 245 – 250.
Rahman M, dkk. Genetic Characterization of a Novel, Naturally Occuring
Recombinant Human G6P[6] Rotavirus. J. of clin. Microbiol. 2003 ; 41 :
2088 – 2095.
Ranoldi M. Chieppa M, Salucci V, Avogadri F, dkk. Intestinal immune
homeostosin in regulated by the crosstalk between epithelial cells and
denditric cells. Nat Immunol, 2005 ; 6 : 507 – 514.
Ray PB dan Kelkar SD. Prevalence of Neutralizing Antibodies against Different
Rotavirus Serotypes in Children with Severe Rotavirus-Induced Diarrhea
and Their Mothers. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology 2004;
11: 186-194.
Referensi Kesehatan. Produksi ASI dan Faktor yang Mempengaruhinya.
(Diunduh dari http://creasoft.wordpress.com/2008/05/08/produksi-asi-danfaktor-yang-mempengaruhinya/ 1/1/2001.
Rescigno M, Urbano M, Valzasina B, dkk. Dendritic Cells express fight junction
proteins and penetrate gut epithelia monolayer to sample bacteria.
Nat.Immunol, 2001 ; 2 : 361 – 367.
Rey J, Garin N, Spertini F, dan Corthesy R. Targeting of secretory IgA to Peyer’s
Patch Dendritic and T cells After Transport by Intestional M Cells. J.
Immunology, 2004 ; 172 : 3026 – 3033.
Reipenhoff – Talty M, dkk. Epidemiology of ofGroup C RV Infection in Women
Childbearing Age. J Clin Microbiol, 1997; 35 : 486 – 488.
Riordan J. The Biological Specificity of Breastmilk. Dalam: Breastfeeding and
Human Lactation. Edisi kedua, halm.121-143. Riordan J dan Auerbach K
editor. Jones and Bartlett Publisher, Boston 1999.
Rojas R dan Apodea G. Immunoglobulin transfort across polarized epithelial
cells. Nat.Rev.Mol.Cell.Biol 2002; 31: 944-955.
139
Rollo EE, Kumar KP, Reich NC, dkk. The Epithelial Cell Response to Rotavirus
Infection. J Immunol 1999; 163: 4442-4452.
Rotavirus Vaccine Monograph. The Global Burden of Rotavirus Disease :
Responding to the Challenge. Glaxo Smith Klime, 2006.
Ruggeri FM dan Greenberg HB. Antibody to the Trypsin Cleavage Peptide VP8
Neutralize Rotavirus by inhibiting Binding of virion to Target cells in
Culture. J Virol 1991; 65: 2211-2259.
Ruggeri FM, Johansen K, Basile G, dkk. Antirotavirus Immunoglobulin A
Neutralizes Virus In Vitro after Trancytosis through Epithelial Cells and
Protect Infant Mice from Diarrhea. J Virol 1991; 65: 2211-2219.
Ruuska T dan Vesikari T. Rotavirus disease in Finnish children: use of numerical
scors for clinical severity of diarrhoeal episodes. Scand J Infect Dis 1990;
22(3): 259-267.
Sadeharju K, Knip M, Virtranen SM, dkk. Maternal Antibodies in Breast Milk
Protect the Child From Enterovirus Infections. Pediatrics 2007; 119: 941946.
Schandler RJ. Overview : the clinical prospective. J. Nutr, 2000 ; 130 : 417 S –
419 S.
Schlesselman JJ. Matched Analysis with Three or More Controls per Case. Dalam
Case – Control Studies Design, Conduct, Analysis. New York, Oxford
University Press 1982
Seputar
Gizi
Ibu
Menyusui.Available
at:
http://familiedyka.multiplay.com/journal/item/89/TulisanSeputarGiziIbuMe
nyusuidanPe....5/13/2008.
Sethi D, Cumberland P, Hudson MJ. A study of infectious intestinal disease in
England: risk factors associated with group A rotavirus in children.
Epidemiol Infect 2001; 126 (1): 63-70.
Shaw RD, Hempson SJ, Mackow ER. Rotavirus Diarrhea Is Caused by
Nonreplicating Viral Particles. J Virol 1995; 69: 5946-5940.
Soenarto Y, Aman AB, Bakri A, dkk Burden of Severe Rotavirus Diarrhea in
Indonesia. JID 2009; 200 (Suppl 1): S188 – S194.
Suraatmaja S & Soetjiningsih. Diare Akut : Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Lab / SMF Ilmu Kesehatan Anak / RS Sanglah, Edisi
Kedua, Denpasar. 2000 : Hal 26 – 36.
140
Suraatmaja S. Buku Ajar Gastroenterologi. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UNUD / RSUP Sanglah, Denpasar, 2002 : 1 – 3.
Talayero JMP, Lizan – Garcin M, Puime AO, Muncharaz MJB. Full
breastfeeding and hospitalization as a result of infection in the first year.
Pediatric, 2006 ; 118 : 3 92 – e 99.
Tabeta K, Georgel P, Jansen E, Dux, dkk. Toll – like receptors 9 and 3 as
assential components of innate immune defense against mouse
cytomegalovirus infection. PNAS, 2004 ; 101 : 3516-3521.
Takeda K, Kaishu T, and Akira S. Toll – like Receptors. Annu Rev.Immunol,
2003 ; 21 : 335 – 376.
Tasic G, Stankovic-Djordjevic D, Dinic M, dkk. Rotavirus Infection in Infants
and young Children. Biotechnol & Biotechnol.Eq.20/2006/2.halm.:141-145.
Telemo E, Hanson LA. Antibodies in milk. J Mammary Gland Biol Neopl 1996; 1:
243-249.
Van Ginkel FW, Wahl SM, kearney JF, Kweon M, dkk. Partial IgA – Deficiency
with Increased Th2 – type Cytokines in TGF – B1, Knockout Mice. J
Immunol, 1999 ; 163 : 1951 – 1957.
Verstraeten Ter al. Paediatric Infect Dis (ESPID). Proc 23rd Ann Meeting Eur
Soc. May 18 – 21, 2005. Spain.
Weaver LT, Arthur HML, Bunn JEG and Thomas JE. Human milk IgA
concentrations during the first year of lactation. Arch.Dis.Child, 1998 ; 78 :
225 – 239.
Wesche H, Hensel WJ, Shillinglaw W, Lis, Cao Z. My D88 an adaptor that
recruits IRAK to the IL – 1 receptor complexs. Immunity. 1997 ; 7 : 837 –
847.
Wold AE dan Adlerberth I. Does breasfeeding affect’s immune responsiveness ?
Acta Pediatr, 1998 ; 87 : 19 – 22.
Wold AE dan Adlerberth I. Does breastfeeding affect’s immune responsiveness?
Acta Pediatr 1998; 87: 19-22.
Wold AE, Hanson LA. Defense factors I human milk. Curr. Opin. Gastroenteral,
1994 ; 10 : 652 – 658.
141
World Health Organization. Indicators for assessing breastfeeding practices.
Report of an informal meeting. Division of Child Health and Development.
WHO/CDD/SER/91. In Geneva : World Health Organizatian.June 1991.
World Health Organization. Collaborative study team on the role of breastfeeding
on the prevention of infant mortality. Effect of breastfeeding and child
mortality due to infection disesases in less developed countries : apooled
analysis. Lancet, 2000 ; 355 : 451 – 5.
World Health Organization. The Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding,
WHO, Geneva, Swaitzerland, 2001
World Health Organization. En-gendering’ the Millennium Development Goals
(MDGs) on Healt. Departemen of Gender and Women‟s Health, 2003.
Wright AL, Bauer M, Naylor A, Sutcliffec, Clark L. Increasing breastfeeding
rates to reduce infant illness at the community level. Pediatric, 1998 ; 101 :
837 – 844.
Yolken RH, Peterson JA, Vonderfechr SL, Fonts, dkk. Human milk mucin
inhibits rotavirus replication and prevents experimental gastroenternis.
J.Clin Invest, 1992 ; 90 (s) : 1984 – 1991.
Zarate S, Espinosa R, Romero P, dkk. Integrin alpha2beta1 mediates the cell
attachment of the rotavirus neuraminidase-resistant variant nar3. Virology
2000; 278: 50-54.
Zhao XY, Deak E, Soderberg M, dkk. Vaginal Submucosal dendritic cells but not
Lengerhans cells, induce protective th 1 responses to herpes simplex virus –
2. J Exp Med. 2003;197:153-162.
Download