Hubungan Filsafat Manusia dan Psikologi.

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Filsafat Manusia
Pendahuluan
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
01
Kode MK
Disusun Oleh
61008
Firman Alamsyah AB, MA
Abstract
Kompetensi
Mata
kuliah
ini
memberikan
pemahaman tentang filsafat manusia
pada khususnya, pengertian dan ruang
lingkup filsafat manusia,
konsep dan pemahaman terkait
manusia dari sisi filsafat manusia yang
mencakup tujuan belajar filsafat,
pandangan-pandangan dalam filsafat
manusia.
Mahasiswa
diharapkan
mampu
memahami manusia ditinjau dari studi
filsafat. Mendefinisikan manusia dari
sudut pandang filsafat. Memahami
pandangan-pandangan filsafat manusia
yang melatar belakanginya.
Pendahuluan
Sumber: http://thinkingaboutphilosophy.blogspot.com/2012/10/human-nature-quotes.html
Filsafat manusia atau antropologi filsafati adalah bagian integral dari dari sistem
filsafat yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Sebagai bagian dari
sistem filsafat, secara metodis filsafat manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih
setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya seperti etika, kosmologi, epistemologi, filsafat
sosial, dan estetika.
Secara ontologis (berdasarkan kajian obyek kajiannya) filsafat manusia mempunyai
kedudukan yang relatif lebih penting, karena semua cabang filsafat tersebut pada prinsipnya
bermuara pada persoalan asasi mengenai esensi manusia, yang tidak lain merupakan
persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat manusia.
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain tentang manusia (human studies), filsafat
manusia mempunyai kedudukan yang kurang lebih sejajar juga terutama kalau dilihat dari
objek materialnya. Objek material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tenang manusia (misalnya
psikologi dan antropologi) adalah gejala manusia. Baik filsafat manusia maupun ilmu-ilmu
tentang manusia, pada dasarnya bertujuan untuk menyelidiki, menginterpretasi, dan
memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia. Ini berarti bahwa gejala atau
ekspresi manusia, baik merupakan objek kajian untuk filsafat manusia maupun untuk ilmuilmu tentang manusia.
Akan tetapi, ditinjau dari objek formal atau metodenya, kedua jenis ilmu tersebut
memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Secara umum, dapat dikatakan, bahwa setiap
cabang ilmu-ilmu tentang manusia mendasarkan penyelidikannya pada gejala empiris, yang
bersifat objektif dan bisa diukur, dan gejala itu kemudian diselidiki dengan menggunakan
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
metode yang bersifat observasional atau eksperimental. Sebaliknya, filsafat manusia tidak
membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk atau jenis gejala apapun tentang manusiasejauh
bisa dipikirkan dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi bahan
kajian filsafat manusia.
Aspek-aspek, dimensi-dimensi atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spiritual, dan
universal dari manusia yang tidak bisa diobservasi dan diukur melalui metode-metode
keilmuwan, bisa menjadi bahan kajian terpenting bagi filsafat manusia. Aspek-aspek,
dimensi-dimensi, atau nilai-nilai tersebut merupakan sesuatu yang hendak dipikirkan,
dipahami, dan diungkap maknanya oleh filsafat manusia.
Karena luas dan tidak terbatasnya gejala manusia yang diselidiki oleh filsafat
manusia, maka tidak mungkin filsafat manusia menggunakan metode yang bersifat
observasional atau eksperimental. Observasi dan eksperimentasi hanya mungkin dilakukan
kalau gejalanya bisa diamati (empiris), bisa diukur (misalnya menggunakan metode
statistik), dan bisa dimanipulasi (misalnya dalam eksperimen-eksperimen di laboratorium).
Sedangkan aspek-aspek atau dimensi-dimensi metafisis, spiritual, dan universal
hanya bisa diselidiki dengan menggunakan metode yang lebih spesifik, misalnya melalui
sintesis dan refleksi. Sintesis dan refleksi bisa dilakukan sejauh gejalanya bisa dipikirkan.
Dan karena apa yang bisa dipikirkan jauh lebih luas daripada apa yang bisa diamati secara
empiris, maka pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di dalam filsafat
manusia, pada akhirnya jauh lebih ekstensif (menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada
informasi atau teori yang didapatkan oleh ilmu-ilmu tentang manusia.
Sumber: http://www.mandalabooks.com/Metaphysics-and-the-Supernatural
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia
Perbedaan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Dalam pembahasan
ini, akan dibatasi ilmu-ilmu tentang manusia sebagai ilmu-ilmu yang bersifat positivistik atau
ilmu-ilmu
tentang
manusia
yang
di
dalam
penelitian-penelitian
dan
penjelasan-
penjelasannya menggunakan model metodologi ilmu-ilmu alam fisik.
Akan dijelaskan bagaimana konsekuensi-konsekuensi dari penggunaan metode
seperti itu (yang wujud nyatanya berupa metode-metode yang bersifat observasional atau
ekperimental) di dalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Suatu ilmu yang membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan
penggunaan metode yang bersifat observasional dan eksperimental, bisa dipastikan
mempunyai konsekuensi-konsekuensi teoritis yang positif dan negatif sekaligus. Demikian
pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia, pertama-pertama tampaknya dari ruang
lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu-ilmu tentang manusia bersangkut paut hanya dengan
aspek-aspek atau dimensi-dimensi tertentu dari manusia, yakni sejauh yang tampak secara
empiris dan dapat diselidiki secara observasional atau eksperimental. Aspek-aspek atau
dimensi-dimensi
diluar
pengalaman
inderawi
yang
tidak
dapat
dioservasi
atau
dieksperimentasi tidak mendapat tempat di dalam ilmu.
Oleh sebab itu ilmu-ilmu tenang manusia tidak mampu menjawab menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang manusia, seperti pertanyaan:
1. Apakah esensi atau hakikat manusia itu bersifat material atau spiritual?
2. Siapakah sesungguhnya manusia itu dan bagaimana kedudukannya di alam
raya semesta ini?
3. Apakah arti, nilai, atau makna hidup manusia itu?
4. Apakah ada kebebasan pada manusia?
5. Kalau ada kebebasan, sejauh mana pertanggungjawaban yang harus dipikul
oleh manusia?
6. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan asasi dari hidup manusia?
7. Apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia didalam dunia yang serba
tidak menentu ini?
8. Bagaimana sebaiknya bersikap dan berperilaku, sehingga bukan saja tidak
merugikan diri sendiri, tetapi juga tidak merugikan orang lain dan lingkungan
sekitarnya. Dan masih banyak lagi pertanyaan mendasar lainnya.
Kemudian, cara kerja ilmu pun
(terpaksa) menjadi fragmentaris. Keterbatasan
metode observasi dan eksperimentasi tidak memungkinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh. Hanya aspek-aspek atau bagianbagian tertentu dari manusia, yang bisa disentuh oleh ilmu-ilmu tersebut. Psikologi sebagai
suatu ilmu, misalnya lebih menekankan aspek-aspek psikis dan fisiologis manusia sebagai
suatu organisme, dan tidak (atau enggan) bersentuhan dengan pengalaman –pengalaman
subjektif, spiritual, dan eksistensial.
Antropologi dan sosiologi lebih memfokuskan diri pada gejala budaya dan pranata
sosial manusia dan enggan bersentuhan dengan pengalaman dan gejala individual. Bahkan
di dalam satu cabang ilmu itu sendiri bisa terjadi spesialisasi-spesialisasi dalam menelaah
sub-sub aspek gejala manusia. Di dalam ilmu psikologi misalnya, terdapat cabang-cabang
psikologi seperti psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi
komunitas, psikologi industri dan organisasi. Disamping itu terdapat pendekatan-pendekatan
psikologi, seperti pendekatan kognitif, pendekatan behavioristik, pendekatan psikoanalitik.
Pendekatan-pendekatan tersebut menyoroti aspek-aspek tertentu dari manusia, seperti
aspek kognisi, emosi, dan psikomotor.
Sejumlah filsuf moderen mengecam keras gejala fragmentarisme seperti itu. Menurut
mereka, munculnya ilmu-ilmu baru tentang manusia dan tumbuh pesatnya spesialisasispesialisasi di dalam ilmu baru tentang manusia tidak dengan sendirinya membantu kita
memahami manusia secara utuh dan menyeluruh, melainkan justru mengaburkan dan
mencerai beraikan pemahamana kita tentang manusia.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa terdapat banyak aspek positif yang bisa
ditinjau dari kegunaan dan aplikasi praktisnya, maupun dari akumulasi teoretisnya. Banyak
teori yang berasal dari ilmu-ilmu tentang manusia (misalnya dari ilmu psikologi, sosiologi,
antropologi) yang secara langsung bisa dimanfaatkan dan diaplikasikan untuk tujuan-tujuan
praktis, entah itu untuk kesehatan mental, perbaikan organisasi, kemajuan masyarakat, atau
transformasi kebudayaan. Disamping itu, keterbatasan ruang lingkup ilmu, justru membuat
ilmu-ilmu tersebut mampu menjelaskan gejala atau kejadian tertentu dari manusia, secara
lebih spesifik dan mendetail.
Dalam batas-batas tertentu, gejala-gejala psikis dan psikologis manusia misalnya
secar cermat dan mendetail, mampu dijelaskan oleh psikologi sehingga sebab musabab,
dinamika, dan kemungkinan perilaku manusia bisa dijelaskan secara rinci dan lengkap.
Demikian pula dengan gejala sosial manusia oleh ilmu sosiologi atau gejala budaya dan
perubahan-perubahannya oleh antropologi budaya. Untuk itu harus kita akui bahwa berkat
spesifikasi dan spesialisasi ilmu-ilmu, pada masa kini informasi-informasi ilmiah hasil
penjelasan ilmu pengetahuan bukan hanya banyak dan beragam, tetapi juga semakin
cermat dan mendetail.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Antara Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Religiusitas: Pendahuluan Menuju Filsafat
Manusia.
Kini pengetahuan manusia semakin luas, semakin spesifik, juga termasuk
pengetahuan mengenai manusia sendiri. Keluasan dan spesifiknya ilmu pengetahuan yang
berkembang saat ini tak bisa lepas dari sejarah perkembangannya. Karakter ilmu
pengetahuan yang positif bermula dari pembagian bidang-bidang ilmu dengan membagibagi dan memisahkan objek formal (sudut pandang) untuk setiap ilmu dalam menangkap
materi yang sama atau berbeda yang kemudian berkembang sendiri-sendiri secara spesifik.
Karakter ilmu pengetahuan yang positif itu ditandai dengan ilmu pengetahuan yang harus
dapat teruji, terukur yang didasarkan pada gejala-gejala dan fenomena yang bisa diuruturutkan melalui metode-metode yang dikembangkan secara spesifik untuk masing-masing
ilmu. Ilmu pengetahuan ini sering dikatakan sebagai ilmu pengetahuan positif.
Perkembangan ilmu-ilmu positif (dalam bidang sosial; memahami manusia) bermula
dari Auguste Comte seorang pemikir awal abad 18-an. Ia melihat bahwa untuk kedalaman
dan keluasan jangkauan pengetahuan yang bisa terukur dan teruji, ilmu pengetahuan harus
memiliki metode dan sudut pandang yang fokus terhadap sebuah pokok permasalahan yang
juga dapat berkembang sendiri dan lebih dekat dengan realitasnya. Hal ini dibutuhkan agar
ilmu pengetahuan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis manusia, kemudian ilmu
pengetahuan menjadi bersifat pragmatis yang diupayakan untuk memenuhi kebutuhan
praktis manusia.
Titik tolak perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana diatas berbeda dengan
filsafat. Filsafat sudah hadir jauh sebelum mulai berdirinya ilmu-ilmu positif. Filsafat bahkan
melatari lahir dan berkembangnya ilmu-ilmu positif dikemudian hari. Filsafat itu dikatakan
sebagai ‘mother of knowledge’ (ibu pertiwi pengetahuan) karena kelahirannya ditandai lewat
spirit rasionalitas dalam upaya memahami realitas alam sekeliling yang sebelumnya hanya
dimengerti sebagai mitos (Khayalan) yang sulit untuk diterima oleh rasio. Rasionalitas
filsafat itu berasal dari rasa heran dan kemudian menyangsikan setiap fenomena dalam
hikmat kesadaran akan keterbatasan.
Filsafat dalam pencariannya bukan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan praktis
sebagaimana ilmu pengetahuan positif, melainkan untuk memenuhi hasrat primordial
manusia untuk mengetahui. Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan yang
timbul. Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergulir sampai pada batas pengetahuan yang
paling dalam dan paling jauh dari kemungkinan-kemungkinan hasrat untuk mengetahui,
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pertanyaan mengenai asal-usul, hakikat, makna hidup dll yang bahkan tidak terjawab oleh
ilmu pengetahuan.
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh filsafat.
Namun, filsafat adalah tempat dimana pertanyaan-pertanyaan itu dikumpulkan, diterangkan
dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu
segi dari kenyataan saja, melainkan apa-apa saja yang menarik perhatian manusia. Oleh
sebab itu, fisafat objek formalnya (sudut pandangnya) terhadap segala yang ada tak
terbatas oleh sekat-sekat dengan cara-cara tertentu yang diarahkan pada kebutuhan praktis.
Hal itu dikarenakan upaya filsafat yang menempuh jalan yang radikal dalam memenuhi
hasrat untuk mengetahui, secara radix (radikal=mengakar, mendalam) melihat segala gejala
dan fenomena sejauh dan sedalam mungkin.
Sementara itu, filsafat juga menyadari sepenuhnya keterbatasan manusia. Pun
sebebas-bebasnya pemikiran juga tetap ada batasnya. Filsafat tetap harus dimulai dari
sebuah titik dalam satu sudut pandang (objek formal) atau satu pandangan terhadap realitas
tertentu (objek material) untuk sampai pada keseluruhan dalam kedalaman makna dan
keluasan cakrawala pengetahuan. Itu sebabnya dalam pemikiran filsafati objek formal (pisau
analisa) menjadi poin penting, tak heran muncul banyak sekali metode dalam filsafat untuk
menangkap setiap gejala dan fenomena, yang bisa jadi memberikan insight kepada ilmu
pengetahuan positif dalam rangka memperluas cakrawala dalam batas-batasnya.
Filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan. Sebelumnya, karena
semua ilmu khusus telah dimulai sebagai bagian dari filsafat yang kemudian menjadi
dewasa. Sesudahnya, karena semua ilmu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang
mengatasi batas-batas spesialisasi mereka. Oleh sebab itu banyak ilmuwan sekaligus juga
filsuf-filsuf kenamaan, seperti Aristoteles, Descartes, Foucoult, Sigmund Freud, Karl Marx
dll.
Secara singkat pada paparan diatas kiranya dapat kita bedakan antara ilmu
pengetahuan dan filsafat. Jika ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai pengetahuan
metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan.
Dan menjadi bersifat positif jika suatu bidang tertentu dari kenyataan itu juga dilihat dari satu
sudut pandang tertentu. Maka filsafat didefinisikan sebagai pengetahuan metodis,
sistematis, koheren tentang seluruh kenyataan dalam seluruh sudut pandang seluas dan
sejauh yang dapat diterima oleh rasio (akal pikiran).
Ada dugaan, karena keluasan dan jauhnya jangkauannya menunjukkan bahwa
filsafat sebagaimana diatas hanya merupakan spekulasi terhadap sesuatu yang tidak
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
berakar pada realitas, dan karenanya tidak mempunyai nilai apapun untuk kenyataan dalam
kehidupan. Dengan kata lain, filsafat dalam hal ini dipandang sebagai sekedar idealisasi
semata karena sifatnya yang universal. Selain itu ada juga yang menduga, bahwa filsafat
adalah suatu kegiatan kontemplasi yang bertujuan mencapai pengetahuan tentang hakikat
daripada segala yang nyata, dimana filsafat dalam hal ini dimengerti sebagai sebuah ikhtiar
untuk sampai pada pengertian-pengertian yang lebih dari sekedar hasil persepsi belaka.
Dalam hubungan ini, maka filsafat merupakan kegiatan mental yang ciri khasnya adalah
konseptualisasi, yakni aktivitas akal budi untuk memperoleh pengertian-pengertian dengan
kejelasan-kejelasan. Konseptual dalam hal ini juga berarti kejelasan, disajikan dengan jelas
struktur-strukturnya. Demikian itu menunjukkan bahwa filsafat seringnya menggeluti
abstraksi terakhir dari abstraksi-abstraksi yang yang telah dilakukan oleh ilmu pengetahuan
lewat pengamatan dan abstraksi matematis terhadap kesatuan dan perubahan setiap
fenomena (peristiwa).
Tanggapan yang keliru adalah yang menganggap filsafat identik dengan logika, atau
etika, terkadang juga estetika, meskipun yang disebut ini ketiganya merupakan cabangcabang filsafat juga. Lebih keliru lagi menyamakan filsafat dengan religi, meskipun dalam
perkembangannya suatu filsafat bisa saja mengambil corak relijius. Hal ini terutama karena
kesadaran akan keterbatasan, maka untuk lebih dekat dan meresapi kenyataan terkadang
filsafat juga diharuskan mengambil tempat subordinatif pada setiap bidang kenyataan,
termasuk juga pada religi.
Apapun ragamnya sebuah jalan filsafat, yang pasti bahwa filsafat adalah upaya
berpikir radikal, dari radix-nya suatu gejala, berpikir dari dan hingga akarnya pada suatu hal
yang hendak dipermasalahkan. Upaya radikal sedemikian menuntut juga penyelidikanpenyelidikan yang spesifik sifatnya dalam dinamikanya pada upaya menemukan hakikat,
yang dengan kata lain filsafat juga harus bersentuhan dan dekat dengan kenyataan. Dan
dengan jalan penjajagan yang radikal ini, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulankesimpulan yang bersifat universal. Bagaimana cara ataupun metode yang ditempuh
seorang filsuf untuk mencapai sasaran pemikirannya bisa berbeda-beda, akan tetapi tetap
yang dituju merupakan keumuman universal dari realitas yang terpecah-pecah dalam
kenyataan. Oleh sebab itu, maka kebebasan berpikir harus menjadi tonggak dalam filsafat.
Kebebasan berpikir yang ditandai oleh hasrat keakraban dengan kebenaran yang dikandung
dalam penampilan setiap realitas. Hasrat mencari hakikat terdalam dan kebenaran membuat
filsafat berupaya untuk membuka selubung-selubung misteri yang menyelimuti realitas,
dalam upaya ini filsafat dituntun oleh tata fikiran yang didasari pada kebebasan tanpa harus
dibatas-batasi oleh kekangan objek formal apalagi dogma.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Deskripsi diatas menunjukkan letak perbedaan antara ilmu pengetahuan yang
berkembang sampai saat ini dengan filsafat, yakni berupa proses dari tujuan dan cara
memperolehnya. Untuk sebuah pengertian agar ‘tahu’, akal adalah alat bagi ilmu
pengetahuan, sedang filsafat lebih dari itu, termasuk juga rasa, intuisi dan feeling. Akan
tetapi, bagi orang-orang yang berkecimpung didalamnya, sebagaimana juga ilmu
pengetahuan, maka filsafat juga harus memiliki keterbukaan, maksudnya sejauh sesuatu hal
itu terbuka bagi mereka yang berminat. Dengan demikian, bagaimanapun kesulitankesulitan yang harus dihadapi pemikir filsafat untuk merumuskan pikirannya, akan tetapi
mengumumkan alam pikirannya merupakan bagian yang integral dari filsafat itu sendiri.
Filsafat bukan berarti pikiran yang mengawang-awang ataupun kebatinan yang tak
terjelaskan, tapi harus mendarat pada bahasa untuk dapat dikomunikasikan. Sebagaimana
juga ilmu pengetahuan, dinamisme berpikir dalam filsafat tidak mengenal titik henti, karena
filsafat tidak memiliki pretensi untuk tiba pada kebenaran-kebenaran yang absolut, persis
karena alam kesadaran filsafat selalu menyadari adanya keterbatasan. Jika religi atau
keyakinan batin hadir dengan menyadari keterbatasan itu dan untuk keluar dari batas itu lalu
meloncat ke dalam iman yang dogmatis dan statis, maka filsafat sebagaimana cita-cita
diawal kemunculannya yaitu mendobrak/ mendorong batas-batas itu sejauh mungkin. Maka
kiranya tepat, posisi filsafat sebagaimana yang dikatakan oleh Bertrand Russell salah
seorang pemikir abad ini bahwa antara religiusitas dan ilmu pengetahuan terletak suatu
daerah tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh religi maupun oleh ilmu pengetahuan.
Daerah tak bertuan ini adalah filsafat.
Filsafat bagi ilmu pengetahuan dan juga religi dengan demikian berfungsi sebagai
‘forum’ dan juga wadah bagi keduanya. Bagi ilmu pengetahuan, filsafat dibutuhkan sebagai
suatu ‘forum’, suatu ‘tempat’ dimana dibicarakan soal-soal yang datang sebelum dan
sesudah semua ilmu lain. Sedang bagi religi, filsafat dibutuhkan sebagai suatu ‘forum’, suatu
‘tempat’ dimana religi dapat dibicarakan secara terbuka untuk dikritisi dan dirasionalisasi
untuk mendapatkan jalan bagi hikmat kesadaran. Lalu bagi keduanya, antara ilmu
pengetahuan yang materialistis yang tanpa batas dan religiusitas yang idealistis dengan
batas-batas keyakinan (dogma), filsafat menjadi jalan tengah yang mempertemukan
keduanya sebagai sikap dan jalan hidup yang dihayati.
Pengertian Filsafat Manusia Secara Umum
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Gambaran tentang filsafat dalam ilmu pengetahuan dan religiusitas sebagaimana
diatas sedikit banyak menghantarkan kita pada perbedaan antara ilmu pengetahuan tentang
manusia dengan filsafat manusia, dan pemahaman religiusitas tentang manusia dengan
filsafat manusia. Jika ilmu pengetahuan tentang manusia berkembang secara positif yang
karena luasnya kemudian memecahnya dan secara spesifik masuk kedalam bagianbagiannya, yang melahirkan ilmu-ilmu spesifik dalam menjawab permasalahan manusia
sebagaimana, Antropologi, Psikologi, Sosiologi dll, maka filsafat manusia memasukkan ilmu
pengetahuan itu ke dalam ‘forum’ untuk berupaya mengabstraksikan ilmu-ilmu itu dalam
mencapai segala keumuman tentang manusia disamping juga memberikan insight bagi
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia pada tataran metode-metode yang
muncul sebagai buah dari spekulasi pemikiran filsafati.
Sementara, pada pemahaman religiusitas tentang manusia berkembang dalam
penghayatan hidup untuk menjalankan kehidupan manusia dari batas kesadaran tentang
manusia, baik sebagai harmonisasi dengan alam, maupun pengabdian kepada pemberi
hidup. Maka, filsafat manusia memasukkan religiusitas ke dalam ‘forum’ untuk dikritisi dan
dirasionalisasi dalam laku kehidupan sebagai jalan hidup (way of life) dari kesadaran akan
batas-batas yang penuh hikmat.
Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia tahu tentang pekerjaannya, tentang
rumahnya dan keluarganya, dan tentang kepandaian dan kekurangan-kekurangannya. Ia
membawa serta pengalaman dan macam-macam warisan; ia menyusun rencana dan
proyek-proyek baru. Aneka unsur dan aspek keadaan manusia diselidiki secara metodissistematis di dalam pelbagai ilmu pengetahuan; dan kemudian pengetahuan itu
dipergunakan secara terarah di dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, ilmu-ilmu eksakta
meneliti manusia menurut unsur-unsur yang menyerupakannya dengan hal-hal bukan
manusiawi. Unsur-unsur yang lebih khas manusiawi dipelajari oleh ilmu-ilmu sosial, seperti
ilmu sejarah, sosiologi, ilmu hukum, psikologi, dan antropologi budaya. Namun, semua ilmu
pengetahuan
itu,
dan
mempersoalkan taraf
pada
dan
umumnya
bidang
seluruh
pengetahuan
hidup
sehari-hari,
mengenai
yang
tidak
paling
sampai
dasariah.
Pengetahuan itu selalu diandaikan saja sebab dianggap jelas dan eviden. Pengetahuan itu
ialah pemahaman apa dan siapa sebenarnya manusia.
Sebetulnya dasar itulah yang paling dikenal manusia, sebab tidak ada yang lebih
intim dan karib bagi kita daripada berada-manusia kita sendiri. Pemahaman fundamental itu
mendasari segala kegiatan dan pengetahuan kita, dan dengan tetap meresapinya
seanteronya pula. Namun, di dalam pengetahuan sehari-hari, dan yang ilmiah pun, dasar
manusia ini hanya dipahami secara implisit saja, dan dengan tersembunyi di dalam gejala2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
gejala lain. Pengertian yang terpendam itu disebut pra ilmiah atau pra refleksif. Pengertian
ini melulu merupakan suatu conscientia, yakni pengetahuan sambilan saja. Kesadaran ini
menyertai dan mengiringi segala pengertian dan kegiatan manusia; tidak merumuskan inti
itu dengan jelas, melainkan hanya diketahui dengan ”intuisi” atau pengalaman konkret.
Sejak dahulu kala, orang berusaha menyelami dan menjelaskan inti manusia itu.
Filsafat ialah ilmu yang menyelidiki dan mentematisasi kesadaran mengenai inti itu. Filsafat
berusaha menguraikannya sebagai objek langsung dan eksplisit (objek formal). Filsafat
bermaksud mengeksplisitkan, membeberkan, dan menjelaskan hakikat manusia itu. Filsafat
berikhtiar agar pengertian akan inti itu, yang hanya ”tersirat” saja, menjadi ”tersurat”.
Dalam sistematika pemikiran filsafat, filsafat manusia berada dalam kajian metafisika
tentang manusia, sebagai abstraksi terakhir dari pengetahuan manusia tentang manusia.
Metafisika yang tidak seperti pengertian awam tentangnya semacam ‘klenik’ misalnya, akan
tetapi pembicaraan mengenai esensi dan hakikat manusia dari keseluruhan data yang telah
terhimpun tentang manusia. Menurut Aristoteles, ada 3 jenis tahapan pengetahuan manusia
dari abstraksi (kata latin ‘abstrahere’ berarti ‘menjauhkan diri’, ‘mengambil dari’). Setiap jenis
abstraksi menghasilkan salah satu jenis pengetahuan. Tahap pertama, ketika kita mulai
berpikir kalau kita mengamati sesuatu, akal kita mengabstrahir (melepaskan) dari
pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yakni ‘materi yang dapat dirasakan. Akal kita
menghasilkan, bersama materi yang ‘abstrak’ ini, pengetahuan yang disebut ‘fisika’ (yang
dalam bahasa Yunani berarti ‘alam’).
Tahap kedua: yakni matesis (matematika). Kita masih dapat melepaskan,
‘mengabstrahir’ lebih banyak lagi. Kita dapat melepaskan materi yang kelihatan dari semua
perubahan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat
dimengerti. Berkat abstraksi ini kita dapat menghitung dan mengukur, karena menghitung
dan mengukur itu mungkin lepas dari semua gejala dan semua perubahan, dengan mata
tertutup. Pengetahuan dari abstraksi jenis ini biasa disebut ‘matesis’ yang dalam bahasa
Yunani ‘mathesis’ berarti ‘pengetahuan’ atau ‘ilmu’.
Sedang tahap ketiga, menurut Aristoteles adalah filsafat pertama. Akhirnya kita juga
dapat mengbstrahir dari semua materi, baik materi yang dapat diamati, maupun materi yang
dapat diketahui. Kalau kita berpikir tentang keseluruhan kenyataan, tentang asal dan
tujuannya, tentang jiwa manusia, tentang kenyataan yang paling luhur, tentang Tuhan, lalu
tidak hanya bidang fisika, melainkan juga bidang matesis yang ditinggalkan. Semua jenis
pengamatan tidak lagi berguna disini, inilah jenis penbgetahuan yang disebut Aristoteles
sebagai ‘filsafat pertama’.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ketiga jenis pengetahuan diatas dalam tradisi pemikiran Aristoteles maupun
setelahnya dalam keseluruhannya dikatakan sebagai ‘Metafisika’ disebut untuk bidang ilmu
yang datang setelah (meta) fisika (penampakan). Meta ta physica, meta artinya ‘dibalik’ dan
physica berati yang menampak, maksudnya dalam mencari esensi dan hakikat fenomen
yang menampak secara mendalam dari segala seginya tanpa meninggalkan setiap jenis
abstraksi terhadap fenomen itu sendiri. Disinilah maksud dari penyataan diatas bahwa
filsafat manusia merupakan kajian ‘metafisik’ tentang manusia dalam membicarakan
manusia seluruhnya dalam kesadaran semua jenis abstraksi tentang manusia.
Untuk menjelaskan bahwa filsafat manusia membicarakan manusia seluruhnya,
dengan segala sudutnya, maka zaman sekarang makin terpakai nama ”antropologi”. Nama
itu berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti ”manusia”. Akan tetapi, nama ini juga
dipakai untuk menunjukkan ilmu-ilmu yang menyelidiki manusia secara positif, misalnya
menurut aspek budaya, turunan, dan sebagainya; terutama dalam bahasa Inggris:
anthropology. Maka perlu diberi penjelasan tambahan, dan disebut entah ”antropologi
filsafati” (philosophical anthropology) / “filsafat antropologi” untuk menunjukkan orientasi
umum agar dengan khusus dipentingkan metode filosofis yang dipergunakan.
Dalam buku ‘Antropologi Metafisik’ Anton Bakker juga dinyatakan bahwa, Filsafat
manusia adalah bagian integral dari sistem filsafat yang secara spesifik menyoroti hakikat
atau esensi manusia. Objek material filsafat manusia adalah gejala atau ekspresi
manusia, sama seperti ilmu-ilmu tentang manusia yang lain. Menyoroti hakikat atau esensi
manusia dari segala segi ini sama artinya dengan metafisika manusia atau yang disebut
Anton Bakker dengan ”Antropologi Metafisik”.
Titik Tolak Filsafat Manusia
Kemajuan yang begitu pesat akhir-akhir ini, membuat kehidupan terasa sangat
mengasyikkan, penuh harapan, memuat sejuta janji dan sekaligus tantangan. Kemajuan
tersebut terjadi di segala bidang kehidupan, dan di dalam masing-masing bidang muncul
cabang-cabang yang begitu subur menggairahkan. Bahkan kemajuan tersebut tidak hanya
terjadi di dalam masing-masing bidang, namun terjadi saling terkait dan terlibat antar satu
bidang dengan bidang yang lain, sehingga kemajuan yang satu akan memacu dan memicu
kemajuan yang lain.
Terjadinya kemajuan yang semakin laju ini bukanlah tanpa sejarah. Pesatnya
kemajuan ini boleh dikatakan baru terjadi setelah umat manusia menjalani kehidupan di
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bawah tekanan alam dan kodrat yang selama itu tidak bisa dihindari dan diatasi. Sudah
sekian lama manusia berbongkok-bongkok hidup dalam lembah kepasrahan di bawah belas
kasihan sang nasib. Namun, manusia yang seolah tunduk pada tindihan sang nasib itu
ternyata sedang menghimpun kekuatan dan memperkokoh sayapnya. Pada titik ini filsafat
lahir sebagai garda penegak akal budi manusia. Setelah kekuatan akal budi tidak bisa
dikerangkeng lagi, penindih yang semula dirasa begitu menghimpit mampu dilemparkannya
jauh-jauh. Sejak saat itu terasa tidak ada batas alagi yang mampu membentengi arena
terbang akal budi manusia. Dia mulai menjelajah ke segenap penjuru dengan kecepatan
yang berlipat ganda dibandingkan kecepatan cahaya. Bukan hanya itu tapi kecepatan
menjadi percepatan, sehingga manusia tak sempat menoleh ke belakang lagi.
Kemajuan yang dahsyat akhir-akhir ini merupakan hasil kerja manusia selama
berabad-abad. Terjadinya perkembangan yang begitu dasyat sebenarnya merupakan akibat
dari kerja keras daya akal budi manusia yang telah tertanam di dalam jiwanya untuk mencari
terobosan dan pembaruan. Manusialah yang menciptakan sistem-sistem sehingga terjadi
gerak laju yang tak terbendung lagi. Namun, keadaan kemajuan yang demikian tidak
semuanya membawa dampak yang serba enak dan menteramkan. Hingar-bingar kehidupan
semakin terasa menjadi tantangan, kalau bukan kegaduhan. Manusialah yang mencipta
situasi, namun sekarang ciptaannya itu telah menjadi begitu perkasa, seolah menjadi
monster yang mengancam penciptanya. Begitu hebatnya hasil kerja keras dan segala usaha
manusia itu, bahkan sesuatu yang mengancam kehidupan manusia, ternyata juga
merupakan hasil ciptaan manusia sendiri.
Akibat yang sangat nyata ialah bahwa manusia dewasa ini, baik secara individu
maupun sebagai umat manusia secara keseluruhan, ditantang untuk menentukan
tempatnya di dalam gerak maju roda kehidupan yang semakin laju tak kenal henti, apatah
lagi mundur. Arus yang begitu deras telah menjadi banjir yang melebihi banjir tahunan
Jakarta dengan menyeret kehidupan manusia, sehingga dia tidak sempat lagi berhenti untuk
mengenali diri. Seolah-olah manusia digelandang dan harus mengikuti gerak dunia jika ia
‘ogah’ terlindas dan menjadi kerangka nestapa yang tertinggal di museum purbakala.
Keadaan demikian itu justeru semakin keras meneriakkan pertanyaan; Apa dan
Siapakah
sebenarnya
manusia
itu?
Begitu
hebatkah
manusia
sehingga
mampu
menciptakan sesuatu yang justeru memangsanya? Kalau dulu manusia begitu nestapa di
bawah tindihan sang nasib dalam alam kayangan (mitos) yang berhasil dia dobrak melalui
akal budi (filsafat), namun bukankah kini manusia justeru menjadi korban dari akal budinya
sendiri dalam rekayasa dan tingkahnya sendiri? Darimanakah sebenarnya manusia berasal
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan berkembang sehingga dia menjadi begitu kuasa menciptakan kekuatan yang tak bisa
dikontrolnya lagi? Kemanakah manusia mau menuju dengan segala geraknya itu? Dan
akhirnya, sampai kepada pertanyaan; apa sebenarnya esensi atau hakikat manusia itu?.
Manusia yang bertanya, tahu tentang keberadaannya dan ia menyadari juga dirinya
sebagai yang bertanya. Manusia mencari dan dalam pencariannya, ia mengandaikan bahwa
ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu segala kemungkinan-kemungkinannya. Apakah
saya ini? Apakah manusia? Apakah kemungkinan-kemungkinan saya dan manusia pada
umumnya? Apakah makna kehidupan saya? Benar-benar pertanyaan yang mendasar dan
menawan hati. Bahkan dapat ditanyakan lebih mendasar lagi: Apakah kehidupan saya
masih mempunyai makna?
Tak salah kiranya kalau kita memandang sebentar kata ‘makna’ itu. Kata ini memiliki
berbagai arti. ‘makna’ terutama menunjukkan: arti, nilai, pengertian, rasionalitas juga
kesesuaian dengan tujuan. Dalam bahasa Inggris kata makna berarti juga sense dan kata ini
sebaiknya dimengerti sebagai kebalikannya yakni nonsense. Karenanya, ‘makna’ dapat kita
mengerti sebagai kebalikan dari ‘omong kosong’ atau ‘absurditas’ yang tidak mempunyai
arti sama sekali, tidak dapat dimengerti dan bertentangan dengan rasionalitas, tidak bernilai
dan sama sekali tidak sesuai dengan suatu tujuan. Yang omong kosong atau absurd itu
tidak memiliki hak untuk berada dan tidak memiliki hubungan dengan akal budi dan rasio.
Jika kita berbicara tentang ‘makna kehidupan kita’, maka kita bertanya: Apakah arti
kehidupan itu, apa nilainya, bagaimana kita dapat mengerti dan menangkapnya? Kemudian
yang terutama kita maksudkan bila kita menanyakan kehidupan kita ialah; Di mana
kehidupan itu akan berakhir, apakah tujuannya, dan apakah peruntukannya? Justeru
dengan pertanyaan terakhir ini, dapat tampak lebih baik menurut totalitasnya, karena akhir
suatu hal biasanya paling baik menunjukkan ‘makna’nya. Dan dalam filsafat manusia, inilah
yang disebut dengan ‘kemungkinan ultim’ kehidupan kita sebagai manusia, sebagai cahaya
yang menyampaikan pengertian dan arti kepada seluruh kehidupan kita.
Namun, bagaimana saya dapat mengetahui apakah saya ini, terutama kemampuan
saya dan makna kehidupan saya? Inilah pertanyaan yang menjadi poin dari pokok bahasan
filsafat manusia. Pertanyaan yang selalu menimbulkan pertanyaan selanjutnya dan
kemudian hanya menyisakan sikap mental tentang manusia dan laku manusia dalam
memaknai hidupnya sebagai sesuatu yang sangat subjektif sifatnya bagi individu manusia
yang merasakannya. Dan pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja menuntut pemahaman
tentang manusia yang serba konkrit dari yang selama ini tertutup dan misterius.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Untuk membuka selubung misteri manusia, maka pemahaman tentang manusia itu
di candra dengan filsafat melalui metafisis yang beranjak mulai dari kondisi dan situasinya,
struktur-strukturnya, sosialitasnya, kesejarahan dalam kemewaktuannya, kemungkinannya,
juga segala dimensi-dimensinya, bahkan batas kematiannya sendiri. Jika kita hendak
berbicara mengenai esensi atau hakikat manusia sebagai manusia yang utuh. Kita selalu
menjumpai pengertian yang yang ganda atau tak pernah penuh. Hal ini karena manusia
menyadari dirinya yang ganda diantara tubuh dan jiwa dalam segala dimensi-dimensi yang
melekat padanya. Lebih dari itu semua, manusia dalam kesadaran sedemikian juga mampu
berhadapan dengan dirinya sendiri (dengan kesadarannya sendiri) disamping hanyut dalam
kesadaran lingkungannya. Manusia mampu mempertanyakan dirinya, keluar dari dirinya
untuk berhadap-hadapan dengan diri sendiri. Inilah yang dikatakan bahwa manusia itu
bersifat eksistensial. Eksistensial yang berasal dari ex sistensi (keluar memahami diri) tidak
seperti benda atau makhluk hidup lain yang in sistensi (paham dalam dirinya sendiri).
Namun kesadaran mengenai esensi atau hakikat manusia tetap mengandaikan adanya
kesatuan yang utuh di dalam diri manusia.
Kesatuan yang utuh dalam segala dimensi manusia begitu mutlak sehingga terasa
jelas ketunggalan di dalam dirinya sendiri tanpa bisa dibagi-bagi lagi, yang mengkerucut
pada manusia sebagai ‘Aku’. Aku adalah aku, baik pada waktu bekerja, berdo’a, belajar,
jalan-jalan, bercinta dll. Keutuhan manusia sebagai dirinya, sebagai individu yang unik tak
pernah bisa ditawar, ditambah atau dikurangi. Aku yang dulu sama dengan aku yang
sekarang, dan tetap sama sampai kapanpun sebagai aku. Demikian pun lingkungan
berubah, pergaulan sosial berganti, aku tetaplah aku. Oleh sebab itu, maka titik tolak filsafat
manusia dalam upaya mencari esensi atau hakikat manusia itu adalah ‘Aku’ dalam segala
struktur dan dimensi-dimensinya.
Objek filsafat manusia itu terdiri dari manusia seluruhnya menurut semua sudutnya.
Maka objek itu bukan manusia umum saja sebab lalu diabaikan corak paling khusus di
dalam manusia, yaitu keunikan dan kesendiriannya. Setiap manusia adalah seorang ”aku”
yang sangat konkret. Jadi, juga istilah ”manusia” harus diungkapkan dengan sangat konkret,
sebagai ”aku”. Seorang pemikir filsafat manusia terutama memikirkan kenyataannya sendiri.
”Aku”-nya sendiri merupakan persoalan pokok, dan persoalan itu perlu pertama-tama aku
jelaskan sendiri. Memang, masing-masing pemikir filsafat manusia juga harus sedia
mendengarkan apa yang telah dikatakan oleh ahli-ahli filsafat lain, tetapi tidak dapat puas
dengan hanya mengulang-ulang saja pernyataan orang lain itu. Masing-masing harus
mencapai pemahaman dan keyakinan pribadi yang mendalam.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Objek Filsafat Manusia
Bagi filsafat manusia, semua gejala maupun fenomena manusiawi merupakan objek
materil. Mereka dianggap sebagai bahan atau materi untuk penyelidikan. Phainomenon
berasal dari bahasa Yunani phainoman yang berarti ‘menampak’. Filsafat manusia tidak
berhenti pada fenomena saja melainkan bermaksud menerobos sampai ke dasarnya. Objek
formal bagi filsafat manusia ialah struktur – struktur hakiki manusia yang sedalam-dalamnya,
yang berlaku selalu dan dimana-mana dan untuk sembarangan orang.
Hakikat manusia sebagai objek formal filsafat manusia meliputi dua aspek:
a. Manusia mau dipahami seekstensif atau seluas mungkin. Bukan berupa sifat atau
gejala saja, seperti misalnya berjalan, bekerja, malu, rasa takut, cinta kasih.
Pemahaman manusia harus meliputi semua sifat, serta semua kegiatan manusia
yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam segala bidang yang
seluruhnya dipandang sebagai satu kesatuan utuh.
b. Manusia dipahami secara intensif atau sepadat mungkin. Tidak cukup diselidiki
fungsi atau kegiatan manusia pada taraf tertentu saja, yaitu sejauh manusia hanya
serupa dengan sesamanya ataupun dengan makhluk yang bukan-manusia lainnya,
misalnya pada taraf biokimia, maupun biologis saja. Penyelidikan demikian hanya
bersifat ‘regional’ atau sebagian saja. Seluruh manusia harus dipahami secara
manusia dan manusiawi. Keseluruhan aspek manusia perlu dilihat di dalam
keseluruhan manusia, sejauh berhubungan dengan intisari manusia, dan sekedar
diresapi dengan keberadaannya dengan manusia lain.
Metode Filsafat Manusia
Fisafat selalu tergantung dari konteks kebudayaan dimana dia berkembang, namun
dia tetap merupakan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan
segala pengetahuan dari suatu zaman. Filsafat tidak dituntut untuk mempergunakan
kesimpulan-kesimpulan sebagai titik tolak yang wajib bagi pemikirannya. Maka filsafat
manusia seharusnya bertolak dari pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang
secara wajar ada pada setiap individu yang dimiliki oleh semua orang secara bersamasama.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Filsafat manusia pada dasarnya tidak menemukan fakta-fakta baru, tidak
memberikan informasi baru mengenai manusia. Cuma filsafat manusia berusaha
memberikan ‘insight’ radikal mengenai fenomen-fenomen yang telah diketahui dengan
cukup pasti. Oleh karena itu, filsafat selalu bersifat refleksi (Gabriel Marcel: reflexion
seconde). Refleksi ialah pengetahuan manusia jika melengkungkan diri kembali kepada diri
sendiri dan merenungkan kesadaran mengenai diri, mengenai kegiatannya, dan mengenai
objeknya.
Berhubungan dengan sifat refleksif itu, sesaat pun filsafat manusia tidak boleh dan
tidak lepas dari fenomen-fenomen. Selalu berefleksi mengenai kenyataan manusiawi dan
mengenai manusia seluruhnya. Satu gejala pun tidak boleh diabaikan. Tidak ada jalan lain
untuk menemukan kembali inti realitas dan pengalaman dasar daripada melalui la
perception (M.Ponty), yaitu melalui pengamatan; dan tidak ada hal lain yang mau dijelaskan
kecuali realitas kehidupan manusia yang konkret.
Di dalam filsafat manusia, refleksi itu dilaksanakan menurut bermacam-macam
metode. Masing-masing metode sebenarnya juga memiliki latar belakang filosofis.
Sekurang-kurangnya menghasilkan suatu filsafat pengetahuan atau epistemologi sendiri;
bahkan biasanya memperkembangkan suatu filsafat sistematis yang lengkap. Itu karena
metode dan objek dalam ilmu pengetahuan mana saja tidak dapat dipisahkan dan saling
ditentukan. Menurut Anton Bakker hanya diajukan beberapa metode pokok, tanpa
menyinggung filsafat yang melatarbelakanginya. Beberapa metode itu adalah;
1. Metode Kritis (Negatif)
Metode kritis bertitik tolak dari pendapat filsuf-filsuf lain, atau juga dari teori-teori
ilmu-ilmu lain, atau pula dari keyakinan-keyakinan sehari-hari yang agak sentral. Diselidiki
konsistensi teori-teori atau keyakinan-keyakinan itu, yaitu apakah unsur-unsurnya dapat
disesuaikan satu sama lain atau tidak. Jikalau mungkin, ditunjukkan kontradiksi-kontradiksi
di dalamnya. Atau diperlihatkan bahwa jikalau jalan pikiran demikian dilangsungkan dengan
konsekuen, akan tercapai suatu kesimpulan yang terang-terangan absurd. Atau dibuktikan
bahwa pandangan tersebut tidak dapat dicocokkan dengan data-data lain. Dengan jalan
demikian, disusun suatu pemahaman sendiri yang lebih memuaskan.
Pada umumnya, metode ini tidak membawa orang ke arah pemahaman yang benarbenar positif. Kesimpulan-kesimpulan hanya tercapai karena pemecahan-pemecahan lain
disingkirkan satu per satu, dengan metode asimilasi.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Metode Analitika Bahasa (Linguistic Analysis)
Metode analitika bahasa bertitik tolak dari bahasa sehari-hari (the ordinary
language), menyelidiki hubungan antara bahasa dan pikiran, dan guna bahasa bagi ilmu
pengetahuan dan filsafat. Sebagai metode, analitika bahasa terutama meneliti bermacammacam ”permainan bahasa” (language games) yang de facto dipergunakan orang di
berbagai bidang. Lalu berusaha membahas cara pemakaian bahasa itu; dan membersihkan
darinya kekaburan, unsur dwiarti dan metaforis, dan semua corak bukan-logis. Sampai
akhirnya berusaha pula menyusun ”bahasa” buatan yang bersih dan serba logis, yaitu
”logika terformalisasi” atau ”logistik” (mathematical atau symbolic logic).
Bahaya metode ini ialah membekukan bahasa yang sudah ada, dengan tidak
mengizinkan atau mengakui perkembangan pengungkapan dan pemahaman yang baru dan
kreatif. Apalagi, pengertian apakah yang ”logis” itu pada umumnya terlalu ditentukan oleh
gaya ilmu eksakta. Padahal, setiap ilmu mempunyai dan memperkembangkan logikanya
sendiri-sendiri.
3. Metode Fenomenologis
Metode fenomenologis dirintis oleh Husserl (1859-1938) dengan semboyan: zuruck
zu den Scahen selbst, artinya: kembali kepada hal-hal sendiri, atau kepada apa adanya,
tanpa mulai dengan salah satu interpretasi apriori. Perincian metode ini berlain-lainan dan
tergantung pada filsuf yang mempergunakannya. Bentuk yang paling berpengaruh ialah
yang seperti sekarang dipakai dalam mazhab fenomenologi eksistensial (Heidegger, M.
Ponty, Sartre, dan lain-lain).
Setiap pengungkapan jelas, entah sehari-hari entah ilmiah, yang semua disebut
Ponty suatu expression seconde, akhirnya berakar di dalam suatu pengalaman langsung
yang bersifat prailmiah dan pra-refleksif. Pengalaman yang asli itu berisi utuh dan kaya,
tetapi dalam pengungkapan biasa atau ilmiah pun hanya muncul secara sempit dan cacat.
Metode fenomenologis berusaha menemukan kembali pengalaman asli dan fundamental itu
melalui beberapa langkah atau ”penjabaran” (reduction) tertentu:
a. Gejala atau fenomen hanya diselidiki sejauh disadari secara langsung dan spontan
sebagai yang lain dari kesadaran sendiri.
b. Apalagi fenomen itu hanya diselidiki sejauh merupakan bagian dunia yang dihidupi
sebagai keseluruhan (lebenswelt atau lived-world), dan bukan menjadi objek bidang
ilmiah yang terbatas.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Maka segala gejala dan pengungkapannya, entah ilmiah entah sehari-hari, dianalisis
menurut prinsip-prinsip tadi. Lalu dibersihkan dari segala penyempitan atau interpretasi yang
berat sebelah dan terlalu dangkal; sampai akhirnya ditemukan dasar asali untuk gejalagejala itu. Dengan proses penyelidikan itu, lama-kelamaan tampaklah kembali susunan
dunia manusiawi yang benar, yang selalu telah dialami.
Pada Heidegger dan Sartre, metode fenomenologis itu diperluas dan dikembangkan
menjadi metode yang sungguh-sungguh metafisis.
4. Metode (Metafisik-) Transendental
Metode
transendental
dirintis
oleh
Joseph
Marechal
(1878-1944)
dengan
melangsungkan pola pemikiran Kant; dna kemudian dipergunakan antara lain oleh K.
Rahner, A. Marck, B. Lonergan, Coreth, Lotz. Kadang-kadang juga disebut metode kritis,
tetapi menurut arti yang berlainan dengan hal yang diurai di atas tadi.
Metode ini bertitik tolak dari fakta kegiatan berbicara dan berpikir di dalam manusia.
Di dalam setiap pernyataan termuat pengandaian-pengandaian yang ikut menentukannya
secara operatif (dengan aktif bekerja); dan walaupun hanya hadir secara implisit saja,
pengandaian-pengandaian itu di-ia-kan saja dalam setiap pengungkapan. Maka, analisis
transendental menyelidiki pengandaian-pengandaian operatif yang implisit itu, dan mencari
syarat-syarat apriori (the a priori conditions) yang mutlak perlu untuk memungkinkan
kegiatan atau pernyataan seperti itu, baik pada pihak manusia sendiri yang berbicara,
maupun
pada pihak
objek
yang
dinyatakan.
Dengan demikian,
ditemukan dan
dieksplisitasikan struktur-struktur hakiki di dalam manusia dan dunianya yang merupakan
akar mutlak-konstitutif untuk kegiatan manusia itu. Tahap ini disebut ”reduksi transendental”.
Tahap kedua ialah ”pemutarbalikan” (retortion), sebagai pembuktian keharusan
mutlak yang berlaku untuk syarat-syarat apriori tadi. Setiap pengingkaran atau kesangsian
eksplisit mengenai syarat-syarat itu telah dibohongkan secara implisit. Sebab, justru
kegiatan pengingkaran atau kesangsian tadi sudah mengandaikan pula hal-hal yang
diingkarkan atau disangsikan. Jadi, diperlihatkan bahwa ada ketidaksesuaian fundamental
antara adanya pernyataan sendiri dan isi pernyataan.
Tahap ketiga ialah ”deduksi transendental”. Pegangan yang telah terdapat di atas
diterapkan kembali pada fenomena dan sifat-sifat manusia; dibicarakan semua gejala
sentral yang secara tradisional di dalam filsafat. Jikalau rupanya ada pertentangan antara
beberapa pernyataan mengenai manusia itu, maka isi pernyataan dibandingkan
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
(dikonfrontasikan) dengan pengandaian-pengandaian yang dinyatakan secara implisit di
dalam kegiatan itu sendiri (retortion). Lalu entah pengandaian-pengandaian sendiri mungkin
perlu dibetulkan; atau, kalau pengandaian-pengandaian fundamental itu betul, cukup saja
merumuskan kembali si pernyataan sesuai dengan dasar lebih dalam yang telah ditemukan.
Pada umumnya, metode yang dipergunakan di dalam filsafat manusia tergantung
pada gaya dan tabiat masing-masing filsuf. Seorang filsuf, misalnya, dapat menggunakan
suatu metode metafisik yang sangat serupa dengan metode transendental. Berpangkal dari
fenomena konkret diupayakan mencapai satu pemahaman fundamental dan sentral yang
telah mengandung seluruh struktur pokok seperti dihayati manusia. Kemudian, semua aspek
yang termuat di dalam inti itu dieksplisitasikan tahap demi tahap, menurut susunan
sistematis.
Refleksi itu terus-menerus berusaha bersentuhan dengan fenomena jangan-jangan
kehilangan hubungan dengan realitas konkret yang justru ingin dijelaskan. Akhirnya, semua
fenomen seharusnya dapat disesuaikan dengan pemahaman yang dihasilkan penyelidikan
ini. Dengan demikian, juga metode fenomenolois tidak diabaikan, melainkan diintegrasikan
sedapat mungkin.
Refleksi metafisis ini berusaha menerangkan gejala-gejala kenyataan manusia.
Proses penyelidikan ini lalu tidak akan menerima dengan percuma dan tanpa ujian semua
pengartian istilah-istilah tradisional. Filsafat bersifat vorauszunglos; artinya filsafat tidak
mengandaikan sesuatu apapun, tidak dari pengertian sehari-hari, tidak dari ilmu-ilmu lain,
bahkan tidak dari filsuf siapa pun. Data-data, keterangan-keterangan, teori-teori itu semua
melulu dipandang sebagai pernyataan, tantangan, persoalan, bahan penyelidikan saja; dan
secara metodis dan teratur dicurigai semua. Pertangguhan atau suspension peng-ia-an ini
disebut juga e poche, yaitu hal menghindarkan diri dari keputusan dahulu. Sifat berusaha
menemukan arti dasariah dan radikal dari semua istilah yang dipergunakan itu. Dengan
jalan ini, kenyataan yang ditemukan kerap cukup berbeda dengan pengertian sehari-hari,
sebab itu terbukti cukup dangkal dan berat sebelah. Dengan demikian, metode metafisis ini
juga berdekatan dengan metode analitika bahasa.
Metode kritis yang telah bersifat negatif hanya dipergunakan dengan sangat
terbatas. Berkali-kali akan dilaporkan pandangan-pandangan dan pemecahan-pemecahan
yang telah diberikan oleh ahli-ahli filsafat lain; dan kemudian juga kerap diberikan bahasan
yang pendek. Namun, dianggap lebih perlu memberikan uraian positif menurut metode
tersebut di atas ini, untuk mencapai insight yang lebih mendalam.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Manfaat Mempelajari Filsafat Manusia
1. Mencari jawab siapa sesunguhnya manusia
2. Mengetahui lebih jauh apa dan siapa manusia secara menyeluruh
3. Memahami kompleksitas manusia
4. Memahami diri dalam konsep menyeluruh yang pada gilirannya memudahkan
menjalani kehidupan, mengambil makna dari setiap peristiwa
Perbedaan Filsafat Dengan Ilmu-Ilmu Tentang Manusia Lainnya
Ilmu-ilmu manusia yang lain, seperti misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, juga
menyelidiki manusia. Berdasarkan gejala-gejala dan data-data yang dapat disimpulkan
dengan metode-metode positif, dirumuskan hukum-hukum tetap dan disusun teori-teori
umum yang sungguh-sungguh memberikan pemahaman mengenai manusia pula. Namun,
ilmu-ilmu itu tidak mengajukan pertanyaan sedalam seperti diselidiki di dalam filsafat:
apakah manusia, apakah cinta kasih, apakah kebebasan. Ilmu-ilmu yang lain itu tidak
mempunyai maksud menyelidiki aci-acian yang paling fundamental melainkan diandaikan
saja. Mereka menyelidiki gejala-gejala itu dengan lebih dangkal, hal ini terutama karena
upayanya untuk memenuhi kebutuhan praktis manusia, itulah sebabnya ilmu-ilmu positif
dikatakan bersifat pragmatis.
Ilmu tentang manusia membatasi penyelidikan pada gejala empiris, yang besifat
observasional maupun eksperimental, sebaliknya filsafat manusia tidak membatasi diri.
sejauh masih bahan kajian pemikiran tentang manusia. Ilmu tentang manusia, cara kerjanya
fragmentaris, hanya aspek atau bagian tertentu dari manusia yang disentuh. Bebeda
dengan filsafat manusia, filsafat manusia berusaha melihat gejala manusia secara utuh dan
menyeluruh dari setiap sudut dan celah-celah yang mungkin untuk dijangkau.
Kemudian yang terakhir, jika ilmu-ilmu tentang manusia lain karena sifatnya adalah
netral dan bebas nilai, sedang pada filsafat manusia, nilai-nilai, apakah itu personal, moral,
sosial,
religius,
atau
kemanusiaan,
diperbolehkan
dikomunikasikan berdasarkan atas otoritas rasio.
Hubungan Filsafat Manusia dan Psikologi.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sepanjang
dapat
sajikan
dan
Menurut Anton Bakker, sampai saat ini, filsafat manusia lazimnya disebut ”psikologi”.
Agar dibedakan dengan ilmu jiwa positif, maka diberi tambahan menjadi ”psikologi rasional”
atau ”psikologi spekulatif”, atau ”psikologi metafisis”. Nama ini menimbulkan keberatan,
karena tampak terlalu menekankan satu sudut manusia saja, yaitu kehidupan sadar sebab
psyche berarti ”jiwa”. Padahal filsafat manusia dalam kerangka metafisik tentang manusia
berupaya untuk mencari esensi dan hakikat manusia, dengan demikian filsafat manusia juga
tidak boleh mengabaikan sudut lainnya tentang manusia.
Psikologi sebagai imu tentang manusia hanya membicarakan manusia dalam satu
sudut saja dalam bentuk yang terfragmentaris (bagian-bagian) baik sudut pandang maupun
materinya tentang manusia. Hal itu menjadi dangkal jika dikatakan sebagai filsafat manusia
yang berupaya mencari esensi dan hakikat manusia dalam keseluruhannya, yang tentu saja
tidak cukup sampai disana. Misalnya, psikologi eksperimental menelaah reaksi mata, daya
ingatan, kemampuan belajar; dalam ilmu hayat, senyuman diterangkan sebagai gerak otot;
psikologi klinis mempelajari proses-proses dan bidang-bidang kesadaran manusia. Oleh
sebab itu, konsep-konsep dan istilah-istilah yang dipakainya juga tidak diteliti sampai pada
akarnya tetapi diartikan sesuai dengan pemahaman pada taraf ilmu itu sendiri.
Filsafat manusia karena upayanya yang radikal dan komprehensip dalam memahami
manusia dengan demikian dapat memberi insight kepada perkembangan ilmu-ilmu positif
tentang manusia termasuk psikologi untuk mengambil spirit-spirit baru dari spekulasi filsafat
yang menembus berbagai celah dan sudut yang kabur pada batas-batas ilmu-ilmu positif
tentang manusia. Sebaliknya, upaya filsafat manusia untuk mencari kedalaman hakikat
manusia juga sulit untuk mencapai keumuman universal tentang manusia jika mengabaikan
fakta-fakta empiri tentang manusia dari hasil observasi dan pengamatan ilmu-ilmu positif
tentang manusia.
Data-data positif dari psikologi tentang manusia dapat dipakai oleh filsafat sebagai
contoh-contoh dan ilustrasi-ilustrasi untuk uraiannya sendiri; sebab, jika memang benar,
mereka akan cocok dengan struktur-struktur yang ditemukan filsafat. Ilmu-ilmu itu juga dapat
memberikan rangsangan psikologis untuk mempelajari soal-soal tertentu, ataupun untuk
mencari jalan-jalan ke jurusan tertentu. Namun, pengaruh ini tetap bersifat ekstrinsik saja;
dan ilmu filsafat wajib menemukan simpul-simpulnya sendiri dengan memakai metodenya
sendiri. Sebaliknya, filsafat dapat memberikan petunjuk-petunjuk atau peringatan kepada
ilmu psikologi tentang hal-hal atau pola-pola yang dialpakannya sebagai pengaruh
psikologis-ekstrinsik. Namun, ilmu psikologi berkewajiban menyelidiki soal-soal menurut
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
metodenya sendiri, tanpa dipengaruhi secara logis, dengan mengambil alih hasil-hasil
filsafat manusia.
Oleh sebab itu, hubungan antara filsafat manusia dan psikologi adalah hubungan
yang saling topang menopang, dimana filsafat memberikan wawasan dan spirit untuk
berkembangnya psikologi sementara psikologi memberikan data-data untuk direfleksikan
oleh pemikiran filsafat tentang manusia.
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Bakker, Anton, 2000, Antropologi Metafisik, Kanisius, Yogyakarta.
Jujun S. Suriasumantri, 2001, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Leahy, Louis, S.J., 2001, Siapakah Manusia? Sintesis Filosofis tentang Manusia,
Kanisius, Yogyakarta.
Van der Weij, P.A.Dr, 2000, Filsuf-filsuf besar tentang manusia, Kanisius,
Yogyakarta.
http://www.iep.utm.edu -Internet encyclopedia of philosophy (IEP)-
2015
1
Filsafat Manusia
Firman Alamsyah, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download