BAB II POLITIK LUAR NEGERI CINA 1949 – 1976

advertisement
BAB II
POLITIK LUAR NEGERI CINA 1949 – 1976
1. 1949 – 1953 Aliansi Kepada Komunisme Internasional
Kebijakan luar negeri pada masa ini sangat di pengaruhi oleh kondisi
internal dalam negeri RRC dan hubungan RRC dengan Uni Soviet dan Amerika
Serikat.
Pada masa awal berdirinya pada tahun 1949, kebijakan luar negeri RRC
dicurahkan pada usaha-usaha dalam level internasional
untuk mendukung
konsolidasi kekuatan, penyatuan wilayah, dan pencegahan terhadap bahaya dari
luar negeri. Dimana pada waktu itu masih terdapat beberapa daerah yang dikuasai
oleh sisa-sisa Pemerintahan Nasionalis. Kekuatan pokok Pemerintah Nasionalis
sendiri berhasil melarikan diri dengan meyeberang ke Pulau Taiwan (Mei 1950),
yang kemudian bahkan Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat dikerahkan
ke Selat Taiwan untuk melindungi Pemerintahan Nasionalis Cina, sehingga untuk
sementara RRC tidak dapat menjamahnya. 1
Dalam usahanya itu RRC pertama-tama mengadakan pendekatan dengan
Uni Soviet. Kunjungan Mao Tse Tung ke Moscow untuk mengadakan perundingan
dengan Perdana Menteri Josef Stalin, empat bulan setelah RRC diproklamasikan,
kunjungan ini menjadi kebijakan luar negeri RRC yang pertama. 2 Dalam
perundingan ini, RRC dan Uni Soviet menandatangani perjanjian saling
membantu, serta bantuan dana dan tenaga ahli untuk RRC dan janji Uni Soviet
1
WD Sukisman, Sejarah Cina Kontemporer dari Revolusi Nasional Melalui Revolusi Kebudayaan
Sampai Modernisasi Sosialis, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 1992, hal. 47
2
Aa Kustia Sukarnaprawira, China, Peluang Atau Ancaman, Jakarta, Restu Agung, 2009, hal. 178
Universitas Sumatera Utara
untuk mengembalikan kota-kota pelabuhan Dairen dan Port Arthur yang diuasai
Uni Soviet selambat-lambatnya pada tahun 1952.
Kunjungan ini juga menunjukkan hasrat Mao untuk mengkonsolidasikan
RRC dengan kekuatan komunis dunia dan menyebarkan paham komunis ke negara
sekitarnya. RRC menjadikan kemenangan Partai Komunis Cina melawan Jepang
dan kaum nasionalis di negaranya sebagai model perjuangan untuk negara-negara
lain, untuk melawan kekuatan-kekuatan kolonialis dan imperialis dengan
menganjurkan perjuangan revolusi bersenjata di negara-negara non-komunis.
Sesuai dengan teori “Dua Blok” yang digunakan oleh Uni Soviet, yang untuk
pertama kalinya diperkenalkan dalam rapat Komitern pada bulan September 1947. 3
Oleh sebab itu pada akhir tahun 1949 sampai awal 1950-an RRC berkontribusi
pada pemberontakan-pemberontakan di beberapa negara-negara asia termasuk
Burma, Filipina, Indonesia, Malaya setidaknya dengan bantuan material yang
terbatas.4 Akibat berbagai peristiwa di atas dan kampanye penolakan terhadap
penerimaan rezim komunis RRC di dunia internasional yang dilakukan oleh
Amerika Serikat, RRC menjadi terpencil.
Sekembalinya dari Moskow Mao Tse Tung mulai mencurahkan
perhatiannya dalam penertiban dan pengembangan dalam negeri, antara lain
penyusunan konstitusi dan gerakan land reform. Semua lahan milik tuan tanah
disita oleh negara untuk dibagikan secara merata kepada para petani dan
penggarap.
Ditengah kesibukkan dengan urusan dalam negerinya itu, terjadilah suatu
ketegangan di semenanjung Korea. Yang menjadi masalah adalah bahwa sejak
3
Lilian Craig Harris, China’s foreign Policy Toward The Third World, Praegers Publishers, New York,
1985, Hal. 31
4
Ibid, Hal. 27
Universitas Sumatera Utara
berakhirnya perang dunia semenanjung Korea terbagi menjadi dua negara, yaitu
Republik Rakyat Korea (di bagian utara) yang komunis dan Republik Korea (di
bagian selatan) yang liberal, dimana pada bulan juni 1950 Korea Selatan menjalin
Perjanjian Pertahanan Bersama dengan Amerika Serikat yang kemudian membawa
serta dibuatnya negara tersebut menjadi pangkalan militer Amerika Serikat. 5
Setelah ketegangan semakin meningkat terjadilah bentrokan senjata pada tanggal
25 Juni 1950 yang kemudian membawa Amerika Serikat dan PBB mengirimkan
pasukan dan mengutuk Korea Utara sebagai aggressor. Uni Soviet yang kebetulan
sedang memboikot sidang PBB tidak sempat menggunakan hak veto. Kondisi ini
mendapat tentangan keras dari RRC. Ketika bentrokan semakin membesar dan
sudah mendekati perbatasan RRC – Korea Utara, maka RRC mengerahkan sejuta
tentara sukarelawan untuk masuk ke Korea Utara dan melawan pasukan Amerika.
Kondisi ini juga membuat PBB mengutuk RRC sebagai negara agresor.
Minimnya bantuan Uni Soviet dalam Perang Korea membuat Mao Tse
Tung kecewa kepada Stalin apa lagi setelah salah satu anaknya tewas dalam perang
itu. Di samping itu rencana penyerahan kembali Dairen dan Port Arthur yang
dalam perjanjian akan diserahkan dari Uni Soviet ke RRC pada tahun 1952,
terpaksa ditunda dengan alasan keamanan.
Pada saat yang bersamaan dengan Perang korea, RRC juga mengerahkan
Tentara Pembebasan Rakyat untuk menguasai Tibet, tepatnya pada oktober 1952
dalam rangka mencapai keutuhan wilayah. Pada masa-masa ini juga, walaupun
pimpinan RRC masih sangat curiga terhadap negara-negara non-komunis, tetapi
nampaknya ada sedikit perubahan, yang terlihat dari dukungan secara lisan RRC
terhadap rencana Iran untuk menasionalisasi konsesi minyak milik asing; dan
5
Sukisman, op. cit, Hal. 53
Universitas Sumatera Utara
untuk kebijakan-kebijakan anti Inggris oleh Mesir pada tahun 1951, serta
mengadakan Konferensi Perdamaian Asia Pasifik yang juga diikuti beberapa
negara Amerika Latin pada tahun 1952.
Perang Korea sendiri mengalami kejenuhan, selain masing-masing
menderita korban dalam jumlah yang besar, mereka juga bersepakat mengakui
kembali garis bujur 38 derajat sebagai garis perbatasan, sehingga pada tanggal 27
Juli 1957 tercapai gencatan senjata.6
2. 1954 – 1959 Hidup Berdampingan Secara Damai
Keterlibatan RRC pada perang Korea, serangan terhadap Tibet, dan
gerakan pembebasan Taiwan membuat RRC dicap sebagai negara agresor yang
berbahaya oleh dunia. Untuk menghilangkan cap itu, meningkatkan pengaruh RRC
terhadap negara-negara netral, dan tercapainya kemantapan politik dan keamanan
dalam negeri RRC yang memungkinkan dilancarkannya Rencana Pembangunan
Lima Tahun Pertama, RRC mulai menganut kebijakan politik luar negeri Hidup
Berdampingan Secara Damai. Yang pertama kali terdengar dalam laporan politik
Menteri Luar Negeri Zhou En Lai kepada Komite Nasional pada Konferensi Badan
Penasihat Politik Rakyat di bulan Februari 1953.
Diawali hubungan RRC dengan India menyangkut masalah Tibet. Yang
kemudian Perdana Menteri kedua negara, Pandit Jawaharlal Nehru dan Zhou En
Lai menandatangani Perjanjian pada bulan April 1954 mengenai hubungan dagang
RRC-India di Daerah Tibet yang pada intinya pengakuan dan penarikan pasukan
India dari Tibet. Kemudian Kebijakan Politik Luar Negeri Hidup Berdampingan
Secara Damai ini mendapat kesempatan untuk diaplikasikan pada bulan April 1955
6
Ibid, Hal. 54
Universitas Sumatera Utara
dalam Konferensi negara-negara Asia
di
New Delhi yang kemudian diikuti
dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia pada bulan yang sama. Pada
Konferensi Asia Afrika inilah perinsip hidup berdampingan secara damai yang
dibawa oleh RRC di kembangkan menjadi Dhasa Sila Bandung.
Mulai bulan November 1956 sampai Januari 1957, Zhou En Lai
mengunjungi delapan negara Asia, dan mulai menjalin hubungan dengan berbagai
negara Timur Tengah dan Afrika sambil mengkampanyekan lima perinsip hidup
berdampingan secara damai ( Dhasa Sila Bandung) sebagai perilaku hubungan luar
negeri yang bertanggung jawab.
Ditengah dijalankannya perinsip hidup berdampingan secara damai - mulai
Juni 1954 sampai 1958 - RRC justru menghadapi masalah di Selat Taiwan pada
bulan Juli 1954. Yang diawali oleh dikerahkannya armada ke-7 Angkatan Laut
Amerika ke Selat Taiwan untuk mencegah RRC menggunakan kekuatan bersenjata
untuk merebut Taiwan yang menyebabkan terjadinya ketegangan di Selat Taiwan.
Untuk menyelesaikan masalah ini maka diadakanlah perundingan tingkat Duta
Besar antar RRC dan Amerika Serikat di Warsawa, Polandia. Dalam perundingan
tersebut Amerika Serikat mendesak RRC untuk tidak menggunakan kekerasan
senjata terhadap Taiwan. Sebaliknya RRC menuntut dihapusnya kehadiran tentara
Amerika Serikat di Taiwan dan sekitarnya.
Nyatanya Amerika Serikat justru memberi bantuan besar-besaran kepada
tentara Taiwan, bahkan Pulau Quey Moy dan Matsu di lepas pantai timur RRC
yang semula telah dijadikan suatu pertahanan militer biasa, kemudian dibangun
menjadi pos komando untuk batu loncatan bagi serangan pihak Taiwan terhadap
RRC dikemudian hari, sementara itu RRC juga mengerahkan pasukannya ke pantai
timur yang berbatasan dengan Taiwan. Sehingga terjadilah tembak-menembak
Universitas Sumatera Utara
dengan meriam antara pasukan di daratan Cina dengan pasukan Taiwan di Pulau
Que Moy dan Matsu. 7
Dalam konfrontasi RRC – Amerika Serikat ini, Amerika menjalankan
politik membendung RRC sepanjang pantai lautnya mulai dari timur sampai
selatan, dimana selain dengan Korea Selatan dan Taiwan, Amerika Serikat juga
mengadakan hubungan militer bilateral dengan Jepang, dan Filipnina, sedangkan
untuk membendung RRC dari Selatan, Amerika Serikat membentuk SEATO
(1954) dimana juga ikut serta Thailand, dan Filiphina selain Inggris, Perancis,
Australia, Selandia Baru dan Pakistan. 8
Pada saat ketegangan yang semakin meningkat di Selat Taiwan, pada
September 1954 berlangsung kunjungan Perdana Menteri Nikita Khrushchev dan
Menteri Pertahanan Rodion Maliovski ke Beijing. Perundingan antara Uni Soviet
dan RRC yang sebelumnya sempat mengalami keretakan pada masa Perang Korea
serta penundaan pengembalian dua daerah RRC yang dikuasai Uni Soviet,
menghasilkan suatu pernyataan bersama yang pada pokoknya, kedua negara akan
bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang sama-sama dihadapinya di Asia
dan Eropa. Sebulan setelah kunjungan tersebut, Khrushchev menyatakan bahwa:
“Serangan terhadap RRC dianggap pula sebagai serangan terhadap Uni Soviet”. 9
Setelah pernyataan itu RRC dan Amerika Serikat bersepakat untuk menghentikan
tembak-menembak.
Namun kembali terciptanya hubungan yang baik dengan Uni Soviet ini
tidak berlangsung lama. Perpecahan kembali terjadi dan menjadi lebih buruk pada
Februari 1956, setelah Khruschev menganjurkan politik destalinisasi pada Kongres
7
Ibid, Hal. 63
Umar, S. Bakri, Cina Quo Vadis? Pasca Deng Xiaopeng, Putaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal.
131
9
Sukisman, op. cit, Hal. 63
8
Universitas Sumatera Utara
Partai Komunis Soviet ke dua puluh, dan kembali diulangi ketika Mao berkunjung
ke Moscow pada November 1957, ditambah dengan kecurigaan RRC terhadap
peningkatan aktivitas militer Uni Soviet di perbatasan kedua negara. Pada saat itu
kedua pemimpin negara komunis terbesar di dunia itu saling melemparkan
kecaman satu sama lain, dimana Khruschev menuduh Mao Tse Tung sebagai
fanatik dan terlalu kekiri-kirian, yang dijawab Mao dengan mengatakan Khruschev
seorang revisionis. Perbedaan politik kedua negara tersebut juga tercermin dari
tindakan masing-masing, misalnya pada saat Mao Tse Tung sedang hangathangatnya melancarkan “Gerakan Loncatan Jauh ke Depan” pada tahun 1959
untuk merealisasikan kebijakan “Berdiri di Atas Kaki Sendiri” maka Khruschev
justru mengadakan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat, Dwight
Eisenhower, di Camp David. Sejak saat itu sengketa ideologi kedua negara
semakin menjadi-jadi.
Sebenarnya, antara RRC dan Uni Soviet terdapat pula sengketa teritorial
karena faktor sejarah, walaupun masalah perbatasan ini telah diseleaikan lewat
Perjanjian Persahabatan pada tanggal 14 Februari 1950, tetapi hal-hal yang
disebutkan di dalam perjanjian tidak dilaksanakan oleh Uni Soviet. 10
Bukan itu saja, RRC juga terlibat perselisihan yang sangat serius dengan
tetangganya India -mengenai garis perbatasan kedua negara pada tahun 1959 yang
kemudian pada
tahun 1962 berkembang sampai mengakibatkan bentrokan
bersenjata di daerah perbatasan - dan juga dengan Indonesia mengenai
kewarganegaraan warga keturunan Cina di Indonesia pada tahun 1959. Politik
dalam negeri RRC juga mengalami dinamika, dimana kampanye anti-kanan
10
Poltak Partogi, Reformasi Ekonomi RRC Era Deng Xiaoping, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995, hal. 131
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan posisi dari elemen-elemen yang lebih militan di dalam hirearkis
politik RRC.
Berbagai peristiwa diatas berangsur-angsur mulai memberi tekanan
kembali kepada aspek perjuangan bersenjata pada politik luar negeri RRC. Seperti
yang digambarkan dalam pidato oleh pemimpin RRC mengenai krisis Timur
Tengah yang memperlihatkan sikap anti terhadap PBB. Jadi, akhir tahun 1950-an
menandakan suatu titik balik dalam politik luar negeri RRC, dimana RRC dengan
cepat menjauhkan diri dari semangat Bandung dan menjadi jauh lebih militan, dan
menyimpulkan bahwa hidup berdampingan secara damai yang sebenarnya tidaklah
mungkin sehingga dukungan aktif RRC kepada perjuangan revolusioner itu
penting. 11
Memasuki tahun 1960 RRC merasa dirinya benar-benar terisoler dari
semua negara non-komunis, termasuk negara-negara yang sebelumnya mendukung
RRC di Bandung pada tahun 1955 dengan pernyataan mereka terhadap komitmen
RRC mengenai hidup berdampingan secara damai.
3. 1960 – 1965 Anti-revisionisme dan Anti-imprealisme
Perpecahan antara RRC dan Uni Soviet berlanjut pada periode ini. Juli
1960 Uni Soviet menghentikan bantuan ekonominya kepada RRC, dan menarik
pulang semua ahlinya dari RRC, akibatnya pembangunan ekonomi maupun
proyek-proyek penting di bidang penelitian ilmiahnya RRC benar-benar terpukul
. 12
November 1960 Uni Soviet memprakarsai suatu Rapat Segenap Partai
Komunis di dunia. Dimana Uni Soviet menganjurkan agar kubu sosialis
11
Harris, op.cit, hal. 114
12
Sukisman, op. cit, hal. 83
Universitas Sumatera Utara
menghindarkan perang terbuka dengan kubu Imprealis, melainkan menunjukkan
keunggulan kubu sosialis dengan menunjukkan produksi ekonomi yang melebihi
kubu imprealis. Sebaliknya Mao Tse Tung menganjurkan agar segenap Partai
komunis mendukung “perang pembebasan nasional” di seluruh dunia, dan
disebutkan pula perjuangan komunisme
melalui jalan damai adalah impian
kosong. Dalam perdebatan tersebut ternyata partai Komunis Uni Soviet mendapat
dukungan dari Partai-Partai Komunis lainnya, sehingga komunike yang
dikeluarkan oleh Konferensi adalah sesuai dengan aliran politik Uni Soviet. 13
Dengan sikap Khruschev yang baru ini, RRC menganggap perjuangan
masyarakat komunisnya dikhianati, lalu terjadilah perubahan orientasi politik luar
negeri RRC, dari teori Dua Blok (Two Camp) ke teori Tiga Dunia (Three World). 14
Dimana RRC menempatkan dirinya sebagai bagian dari Dunia Ketiga, yaitu
kelompok negara-negara yang terjajah yang telah merdeka atau disebut juga
negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan Dunia Kedua didefinisikan
sebagai kelompok negara-negara yang bangkit maju setelah Perang Dunia II atau
disebut juga negara-negara yang sudah berkembang, yang terdiri dari negaranegara Eropa Barat, Kanada, Jepang dan lain sebagainya. Dunia pertama yang
terdiri dari negara adikuasa Amerika dan Uni Soviet yang merupakan kekuatan
hegemoni dunia yang harus ditentang oleh aliansi dari kekuatan Dunia Ketiga dan
Dunia Kedua. Mulailah persaingan dengan Uni Soviet untuk menguasai gerakangerakan komunis dan organisasi-organisasi Internasional di seluruh dunia.
Atas dasar itulah, maka pada 28 Maret 1961 Menteri Luar Negeri RRC,
Chen Yi, mengadakan kunjungan ke negara-negara pemerakarsa Konferensi Asia
Afrika I, yaitu: Burma, Srilangka, Indonesia, India, Pakistan. Di Burma Chen Yi
13
14
Ibid
Partogi, op.cit, hal. 120
Universitas Sumatera Utara
mengemukakan gagasan RRC untuk menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika II,
usul Chen Yi tersebut pada dasarnya mendapat sambutan baik dari Ketua Dewan
Revolusi Burma, Jenderal Newin. Dalam konferensi persnya
Chen Yi
menyatakan, bahwa “Konferensi Asia Afrika II akan berperan positif dalam
perjuangan melawan imprealisme. 15
Kunjungan
berikutnya
adalah
Indonesia.
Pertama-tama
Chen
Yi
menyelesaikan perselisihan Indonesia – RRC mengenai warga negara keturunan
Cina di Indonesia, setelah itu Chen Yi bertemu dengan Presiden Soekarno dan
berhasil memperoleh persetujuan beliau mengenai gagasan penyelenggaraan
Konferensi Asia Afrika II, Komunike bersama Indonesia – RRC pada April 1961
menyebutkan bahwa kedua negara bersangkutan menganggap perlu agar
konferensi Asia-Afrika II diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya. 16
Pada bulan Juni 1961 diadakan sidang Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia
Afrika (Afro-Asian People’s Solidarity Organization) atau yang juga disingkat
AAPSO di Canakry, Guinea di Afrika Barat. Dimana sidang ini menjadi tempat
pesaingan antar RRC – Uni Soviet dalam merebut pengaruh, yang mengakibatkan
terjadinya pertengkaran-pertengkaran yang sengit antara delegasi-delegasi RRC
dan Uni Soviet dan negara-negara yang mendukung mereka. RRC mengkritik
strategi luar negeri Uni Soviet untuk hidup berdampingan secara damai dan
menuduh Uni Soviet sebagai rasis dan non-Asia sehingga tidak berhak untuk
menjadi anggota AAPSO, sekaligus juga RRC terus mempromosikan perjuangan
bersenjata dan pembebasan nasional.
15
16
Sukisman, op. cit, hal. 79
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Tujuh bulan kemudian delegasi RRC dalam Konferensi Sastrawan AsiaAfrika di Cairo (Februari 1962) sekali lagi mengecam Uni Soviet sebagai orang
Eropa jahat yang harus dilawan dengan persatuan dari bangsa-bangsa berwarna.
Di bulan November 1962 terjadilah krisis misil Kuba, dimana letak Kuba
yang sangat dekat dengan Amerika Serikat dimanfaatkan Uni Soviet dengan
memasang peluncur-peluncur peluru kendalinya. Amerika menganggap ini sebagai
ancaman yang serius kepadanya. Maka ketika diketahui bahwa kapal-kapal Uni
Soviet yang membawa peluru kendali tersebut mendekati Kuba, datanglah kapal
Amerika Serikat yang memaksa kapal-kapal tersebut untuk kembali ke Uni Soviet.
Bahkan Amerika Serikat mendesak Uni Soviet untuk membongkar peluru-peluru
kendali yang sudah terpasang di Kuba. Dalam keadaan yang genting ini, akhirnya
Uni Soviet menerima permintaan Amerika Serikat. Kondisi ini dikecam oleh Mao
Tse Tung sebagai tindakan pengecut oleh Uni Soviet, apalagi peristiwa ini
didahului dengan penandatanganan Perjanjian Pembatasan Percobaan Nuklir oleh
Amerika Serikat dan Uni Soviet.17
Februari 1963 RRC berperan banyak dalam Konferensi Solidaritas AsiaAfrika di kota Moshi, Tanzania. Pada kesempatan itu delegasi RRC mengutuk Uni
Soviet
sebagai Imprealisme sosialis, dan mendesak agar
negara-negara
berkembang memencilkannya, disamping itu delegasi RRC juga mengemukakan
penilainnya, bahwa bangsa-bangsa Afrika sudah matang untuk mengobarkan
revolusi terhadap imprealis dunia, yang ditanggapi oleh Presiden Julius Nyerere
dengan menyatakan, bahwa Afrika tidak mau lagi dijadikan rebutan oleh negaranegara adidaya. 18
17
18
Ibid, hal. 77
Ibid, hal. 81
Universitas Sumatera Utara
Pada bulan Maret 1963 RRC dan Pakistan berhasil menandatangani
perjanjian perbatasan. Ini menjadi penting untuk kedua negara dalam rangka
mengimbangi koalisi India dan Uni soviet. Pakistan juga mendukung usul tentang
penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika II.
Antara tahun 1964 – 1965, Perdana Menteri Zhou En Lai melakukan
perjalanan yang luas di Afrika, selama perjalanan tersebut Zhou mempromosikan
cita-cita RRC yang dinyatakan sebagai anti-revisionisme dan anti-imprealisme dan
persatuan Asia dan Afrika. Beberapa negara yang dikunjungi antara lain Aljazair,
Tunisia, Mali, Eithiopia, Ghana, Sudan, Somalia, Guinea. Diantara sepuluh negara
yang dikunjungi hanya enam negara saja yang sepenuhnya mendukung gagasan
penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika II.
Pada saat yang sama RRC memelihara dan berusaha untuk memperluas
hubungan-hubungan dengan berbagai organisasi revolusioner afrika yang sedang
berusaha untuk menggulingkan pemerintahan yang berkuasa, suatu kebijakan yang
sangat oportunis, yang membawa RRC untuk memberi dukungan kepada
kelompok-kelompok yang kemungkinan untuk dapat berhasil dalam perjuangannya
sangat kecil. Politik oportunis dan revolusioner ini mengakibatkan banyaknya
ketegangan dalam hubungan diplomatik RRC di Afrika. Usaha RRC ini hanya
berhasil di Algeria, dimana RRC telah memberikan bantuannya sejak akhir 1950.
Pada pertengahan 1960an para diplomat RRC dipaksa untuk keluar dari
Burundi atas tuduhan memakai negara itu sebagai basis untuk mensponsori
pemberontakan di Kongo, serta juga dipaksa keluar dari Niger, Benin, Republik
Sntral Afrika, dan dari Ghana atas tuduhan mengajak untuk aktivitas subversi. 19
19
Harris, op.cit, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
Selain Afrika, Beijing juga berusaha untuk memperluas pengaruhnya di
Amerika Latin, seperti juga ditempat lain, tujuan utama RRC adalah untuk
melawan pengaruh Uni Soviet, akan tetapi kecuali dengan Kuba – itu pun terlihat
adanya benih-benih keretakan – ikatan diplomatik RRC dengan satu pun negara
Amerika Latin tidak terlaksana di dalam permulaan tahun 1960. Walaupun RRC
melihat keberhasilan Fidel Castro di Kuba sebagai tempat berpijak bagi
Komunisme di belahan bumi barat, tetapi RRC tidak suka melihat ketergantungan
Kuba kepada Uni Soviet yang semakin meningkat, dan usaha Kuba untuk lebih
mempromosikan model revolusi Kuba ketimbang model revolusi RRC di Amerika
Latin. 20
Dalam usahanya untuk meningkatkan pengaruh di Afrika dan Amerika
Latin, maka pada permulaan tahun 1960-an RRC membentuk asosiasi-asosiasi
seperti
Asosiasi
Persahabatan
Cina-Afrika
(Chinese-African
Friendship
Association), dan Asosiasi Persahabatan Cina-Amerika Latin (Sino-Latin America
Friendship Association), yang adalah cabang dari Chinese Peoples Association for
Friendship with Foreign Countries.
Pada februari 1965 Vietnam Utara mulai dijatuhi bom oleh pesawat
Amerika Serikat. Ini mengawali apa yang kemudian dikenal
sebagai Perang
Vietnam, dimana setengah juta pasukan Amerika Serikat dikerahkan membantu
Pemerintah Vietnam Selatan melawan Republik Demokrasi Vietnam Utara, dan
dimana lebih dari 60% persenjataan Vietnam Utara adalah bantuan dari RRC.
Dalam perayaan hari ulang tahun ke-20 Kemenangan Perang Rakyat
Melawan Jepang pada setember 1965, RRC mempublikasikan makalah Menteri
Pertahanan Lin Piao yang berjudul Long Live The Victory of People’s War yang
20
Ibid, hal. 34
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan bahwa strategi perang rakyat, yaitu pengepungan desa-desa terhadap
kota-kota yang menghasilkan kemenangan total adalah sumbangan besar RRC bagi
perjuangan revolusi segenap rakyat tertindas di seluruh dunia. Menurut Lin Bao,
strategi “desa mengepung kota” bila dilihat secara global dapat digambarkan
bahwa, Amerika Utara dan Eropa Barat dapat disebut sebagai “kota-kota dunia”
sedangkan Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah “daerah pedesaan dari dunia”.
Pada hakikatnya revolusi dunia yang sedang berkembang juga menggambarkan
pengepungan daerah pedesaan terhadap daerah perkotaan yang akhirnya nasib dari
revolusi dunia tergantung dari rakyat Asia, Afrika, dan Amerika latin yang
menduduki bagian terbesar dari umat manusia. 21
Persaingan dengan Uni Soviet dalam memperebutkan pengaruh membuat
RRC banyak melakukan salah perhitungan yang membawa RRC mengalami
kemunduran yang serius dalam hubungan-hubungannya dengan dunia. Di Asia
kemunduran-kemunduran ini mencakup kecurigaan yang semakin besar terhadap
RRC sebagai akibat dari konflik perbatasan pada tahun 1962 dengan India dan
putusnya hubungan diplomatik dengan Indonesia, sesudah percobaan kudeta yang
diilhami oleh Partai Komunis, lagipula RRC tidak mempunyai hubunganhubungan diplomatik dan hanya memiliki sedikit hubungan dengan beberapa
negara Asia yang besar termasuk Jepang, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea
Selatan, satu-satunya keberhasilan politik luar negeri RRC di Asia selama periode
ini adalah terjalinnya hubungan persahabatan dengan Pakistan yang saling
menguntungkan, dimana RRC berusaha untuk melawan koalisi India-Uni Soviet,
dan Pakistan berusaha untuk memagari dirinya terhadap ancaman India. 22
21
22
Sukisman, op. cit, hal. 90
Harris, op.cit, hal. 35
Universitas Sumatera Utara
Politik luar negeri RRC pada periode ini yang terlihat lebih militan
cenderung untuk ditolak oleh negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka
dengan alasan
masing-masing, dan penolakan itu semakin ditegaskan karena
keretakan hubungan RRC dengan Uni Soviet juga akan menyebabkan mereka tidak
mendapat bantuan asing dan akan ditolak dari keanggotaan PBB apabila mereka
memihak kepada RRC. Ditambah dengan dukungan RRC kepada kelompokkelompok yang menghendaki penggulingan pemerintahan yang sah, yang bahkan
pemerintahan tersebut mempunyai hubungan diplomatik dengan RRC, terbukti
menjadi sangat dibenci di Afrika.
Selain itu, di dalam negeri, perselisihan di tingkat elit pimpinan sebagai
akibat dari kegagalan Gerakan Loncatan Jauh Kedepan (1957), dan Kampanye
Seratus Bunga Berkembang (1958) serta perbedaan-perbedaan politik yang
disebabkan Rencana Ekonomi Lima Tahun pertama (1953-1957) menuntun kepada
Revolusi Kebudayaan. 23
4. 1966 – 1970 Revolusi Kebudayaan
Revolusi Kebudayaan berawal dari kritikan terhadap suatu seni drama
yang disebut menyindir kebijakan Mao tse tung yang memecat Peng Du Hai dan
mengandung unsur-unsur anti partai, bersifat kapitalis, dan feodal. Kemudian
berkembang menjadi gerakan penertiban besar-besaran terhadap orang-orang yang
dituduh revisionis dan oportunis kanan. Juni 1966 Partai Komunis Cina
menyerukan kepada mahasiswa untuk memobilisasi rakyat massa guna digerakkan
memberantas seni budaya yang ingin merubah diktator proletariat menjadi
23
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kepemimpinan borjuis. 24 Atas seruan itulah maka mahasiswa turun ke jalan dan
membentuk Pengawal Merah. Gerakan Pengawal Merah tersebut dari hari ke hari
semakin menjadi-jadi. Terjadi kerusuhan massa di seantero RRC. Selain
dari
lawan-lawan politik Mao Tse Tung yang dijadikan sasaran kritik dan penangkapan,
berbagai kantor pemerintah, tempat-tempat peribadahan, dan peninggalan
purbakala pun menjadi sasaran pengrusakan. 25 Bahkan Gerakan Pengawal Merah
berulang kali menyerang anggota perwakilan diplomatik, termasuk para diplomat
negara Eropa Timur yang dikecam sebagai revisionis. Dunia dipertunjukan
kericuhan politik dalam negeri RRC yang sebelumnya berlangsung tertutup, kali
ini secara terbuka. 26
Kebijakan Luar negeri RRC pada periode ini, merefleksikan apa yang
terjadi di dalam negeri RRC sendiri. Doktrin Perang Rakyat yang diperkenalkan
Lin Piao pada tahun 1965 mencerminkan kesibukan RRC dengan ideologi pada
periode ini, dimana melihat Uni Soviet yang disebut revisionis lebih berbahaya
daripada Imprealis Amerika Serikat.
Pada masa ini upaya RRC untuk tetap mendorong dan mengkampanyekan
perjuangan revolusi kepada dunia internasional meningkat, terutama
kepada
negara-negara dunia ketiga, sebagai akibat dari tekanan yang diberikan pada
kemurnian ideologi. Tetapi karena terbentur masalah kemampuan keuangan,
upayanya tersebut lebih banyak bersifat lisan, melalui dukungan-dukungan
diplomatik. Pada periode ini RRC juga menjadi lebih selektif dalam mendukung
negara-negara maupun gerakan-gerakan revolusioner, mengingat kesalahankesalahan yang dilakukan RRC sebelumnya. Pada akhir 1965 tercatat RRC telah
24
Sukisman, op. cit, hal. 92
Ibid
26
Harris, op.cit, hal. 37
25
Universitas Sumatera Utara
mengalami pemutusan ataupun penangguhan hubungan diplomatik dengan enam
negara yaitu Burundi, Republik Afrika Tengah, Dahomey, Ghana, Indonesia, dan
Tunisia.
Pada akhir 1965 terjadi peningkatan aktivitas militer Uni Soviet di
perbatasannya dengan RRC, dengan alasan untuk mencegah RRC menuntut
kembali wilayah yang telah dikuasainya, RRC marah sekali dan menganggap ini
sebagai usaha Uni Soviet yang lain dalam mencari daerah ekspansi baru di
negerinya – setelah sebelumnya pada tahun 1956 Uni Soviet mengirimkan
pasukannya untuk menduduki Bulgaria. 27 Ketegangan semakin meningkat,
terutama setelah Uni Soviet melancarkan invasi ke Cekoslovakia pada tahun 1968,
dan mencapai klimaksnya dengan pertempuran di Sungai Ussuri tahun 1969,
dimana kemudian Uni Soviet melakukan invasi terang-terangan atas daerah
Hsinkiang, RRC. 28 Bahkan kemudian ancaman dari Uni Soviet menjadi lebih
serius lagi, dengan munculnya gagasan pembentukan Sistem Keamanan Kolektif
Asia dari Brezhnev yang diartikan RRC sebagai maksud terkordinasi Uni Soviet
untuk mengepung RRC dari segala arah, dimana Uni Soviet telah mempunyai
ikatan yang kuat dengan India, mempengaruhi Laos secara luas, bersekutu dengan
Republik Rakyat Mongolia sejak dulu. Kemudian ancaman dan keterpencilan ini
membuat RRC mulai membuka hubungan dengan dunia barat.
Sementara itu, penawaran damai yang diajukan Presiden Lyndon Jhonson
terhadap Vietnam, dilihat oleh RRC sebagai pelonggaran tekanan Amerika Serikat
kepada RRC, pada saat hubungan RRC-Soviet memburuk secara dramatis. 29
Kemudian direspon oleh RRC dengan melunakkan sikapnya terhadap Amerika
27
Donald S. Zagoria, Soviet Policy in East Asia, New Haven: Yale University Press, 1982, hal.95
Partogi, op.cit, hal. 132
29
Harris, op.cit, hal. 41
28
Universitas Sumatera Utara
Serikat dimana pada November 1968 RRC mengusulkan untuk meneruskan
pembicaraan dengan Amerika Serikat dengan perantara Duta Besar masing-masing
di Warsawa, walaupun pembicaraan-pembicaraan itu sebenarnya baru dimulai
pada Januari 1970.
Pada bulan Maret 1969 RRC mengundang salah satu pimpinan Uni Soviet
Alexsei Kosygin untuk mengunjungi Beijing, ini adalah upaya Zhou En Lai untuk
mencegah konflik kedua negara menjadi lepas kendali. Pembicaraan kedua negara
dimulai pada bulan Oktober, ini juga sebagai usaha RRC untuk menunjukkan
kepada dunia bahwa RRC juga tidak tertarik untuk menjadi bagian dari Amerika
Serikat.
Satu bulan kemudian, Kongres Partai Komunis Cina yang kesembilan
(April 1969) mengisyaratkan kepada sebuah akhir dari masa-masa yang paling
penuh kekerasan pada masa Revolusi Kebudayaan, dan pada bulan Mei 1969 RRC
memulai membangun kembali hubungan-hubungan luar negerinya kepada seluruh
dunia. 30
Tahun 1969 – 1971 merupakan suatu peralihan bagi RRC dari politik luar
negeri revolusioner kepada politik luar negeri pasca revolusioner karena Revolusi
Kebudayaan sendiri telah berakhir, maka sekali lagi politik luar negeri RRC
berganti menjadi lebih kepada peningkatan hubungan-hubungan diplomatik dan
mengurangi bantuan dan dukungan lisan kepada gerakan-gerakan dan kelompokkelompok revolusioner. 31
30
31
Ibid
Ibid
Universitas Sumatera Utara
5. 1971 – 1976 Pasca Revolusi Kebudayaan
Berakhirnya revolusi kebudayaan, menghasilkan peningkatan pengaruh
dan otoritas Mao di dalam negeri, dimana Mao telah berhasil menyingkirkan para
penentangnya yang berpuncak pada kematian Lin Piao – pada kongres Partai
Komunis Cina (April 1969) Lin Piao dinobatkan sebagai Wakil Ketua Partai
Komunis Cina dan ahli waris Mao Tse Tung – akibat kecelakaan pesawat pada saat
pelariannya setelah gagal melakukan kudeta. Kemudian kondisi ini juga
menghasilkan perdebatan di dalam negeri tentang siapa yang akan menggantikan
posisi Mao nantinya, serta tentang usaha-usaha RRC untuk memodernisasi dan
pembangunan kembali setelah kerusakan yang disebabkan Revolusi Kebudayaan.
Kondisi-kondisi dalam negeri ini kemudian menentukan pandangan politik luar
negeri RRC menyangkut apa yang harus dilakukan untuk menciptakan suatu
keamanan lingkungan internasional dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dalam
negeri dan politik luar negeri yang independen. 32
Pada periode ini perhatian utama RRC
adalah untuk mengakhiri
keterpencilannya sebagai akibat dari kebijakan luar negerinya pada masa Revolusi
Kebudayaan dan sebagai respon terhadap perubahan keseimbangan kekuatan
dimana terjadi peningkatan ancaman dari Uni Soviet sementara pengaruh Amerika
Serikat semakin berkurang.
Setelah didahului pembicaraan pada bulan Oktober 1969 hubungan baik
RRC – Amerika Serikat berlanjut. Pada awal 1970 Presiden Nixon menyatakan
kehendaknya untuk menarik tentara Amerika di Vietnam disusul dengan
pernyataan bahwa “ masalah-masalah besar Asia tidak akan dapat diselesaikan
32
Ibid, hal. 43
Universitas Sumatera Utara
tanpa mengikutsertakan RRC”. 33 Setahun kemudian, setelah didahului oleh
diplomasi kebudayaan, olahraga dan berbagai pendekatan, Menteri Luar Negeri
Henry Kisinger berkunjung ke Beijing (Juli 1871). Kunjungan tersebut
menghasilkan rencana kunjungan Presiden Nixon ke RRC.
Perkembangan pendekatan RRC – Amerika Serikat yang demikian cepat
tersebut membawa pengaruh kepada Sidang Umum PBB pada bulan Oktober 1971,
dimana dalam sidang tersebut RRC diakui oleh PBB sebagai negara yang sah
berkuasa di Cina sehingga diberi hak untuk menjadi anggotanya. Sebaliknya maka
Pemerintah Nasionalis Cina di Taiwan menjadi batal keanggotaanya. Bahkan RRC
yang sebelumnya telah dicap oleh PBB sebagai aggressor, secara mendadak
menjadi negara pemegang Hak Veto di PBB.
Empat bulan kemudian pada 1 Februari 1972, sebagaimana yang telah
direncanakan, Presiden Richard Nixon berkunjung ke RRC. Kunjungan pemimpin
tertinggi pemerintah Amerika Serikat yang pertama kali ini, menghasilkan
persetujuan bersama antara kedua negara yang tertuang dalam Komunike Shanghai
1972. Yang isi pokoknya adalah pengakuan Amerika Serikat atas RRC sebagai
sebuah negara besar di dunia dan pengakuan tentang perlunya eksistensi RRC
dalam percaturan politik global. 34 Dan juga kedua negara mengeluarkan
pernyataan sikap, bahwa kedua belah pihak sepakat untuk tidak mencari suatu
hegemoni di wilayah pasifik dan akan menentang setiap negara atau kelompok
manapun yang berusaha menanamkan hegemoni. Siaran televise Amerika Serikat
yang meliput peristiwa tersebut menunjukkan cara berbicara Mao Tse Tung yang
33
34
Sukisman, op. cit, hal. 109
Michael B. Yahuda, China Role in World affairs, New York, St. Martin Press, 1978, hal. 212
Universitas Sumatera Utara
terputus-putus, dan gerak tangannya yang tersendat-sendat, menjadi pertanda
bahwa Pemimpin RRC itu telah lapuk dimakan usia. 35
Sebagai tindak lanjut dari kunjungan Richard Nixon tersebut, RRC
memulihkan hubungan dagangnya dengan negara-negara Eropa Barat dan Jepang.
Pada tanggal 25 September 1972 Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka
berkunjung ke Beijing, dimana pada kesempatan ini, Tanaka menyampaikan
permintaan maaf pemerintah Jepang kepada rakyat RRC atas kekejaman tentara
Jepang semasa Perang Cina-Jepang, yang disambut oleh Perdana Menteri Zhou En
Lai dengan membatalkan tuntutan RRC atas perampasan perang terhadap Jepang. 36
Selanjutnya kedua belah pihak mencapai persetujuan yang pada pokoknya
menjalin hubungan diplomatik antara RRC dan Jepang serta pengakuan Jepang
bahwa Taiwan merupakan wilayah yang tak terpisahkan dari RRC. Perjanjian ini
segera diikuti dengan pemutusan hubungan diplomatik oleh Taiwan terhadap
Jepang (April 1974).
Pada tanggal 24 sampai 28 Agustus 1973 diadakan Kongres Partai
Komunis Cina X, dalam kesempatan ini Zhou En Lai mengatakan bahwa, dunia
international sedang mengalami kekacauan, Uni Soviet dan Amerika Serikat saling
berebut hegemoni, sedangkan rakyat-rakyat dari dunia berkembang justru
menjelang masa kebangkitan. Uni Soviet dinilai merosot derajatnya dalam jangka
waktu dua dasawarsa terakhir, yaitu dari negara sosialis menjadi negara revisionis,
bahkan menjadi negara imprealis sosial. 37 Sikap Uni Soviet mencirikan sikap
campur tangan dalam urusan negara lain, seperti penyerbuan tentara Uni Soviet ke
35
Sukisman, op. cit, hal. 110
Partogi, op.cit, hal. 111
37
Sukisman, op. cit, hal. 113
36
Universitas Sumatera Utara
Chekoslovakia, dan pengerahan tentaranya disepanjang perbatasan dengan RRC,
bahkan telah memasuki wilayah Republik Rakyat Mongolia.
Pada kongres Rakyat Nasional IV Tahun 1975, Zhou En Lai dalam laporan
poltiknya menyatakan bahwa politik luar negeri yang dianut RRC pada dasarnya
tidak berbeda dengan yang dilaporkan pada Kongres Partai Komunis X (1973)
hanya tekanannya saja yang berbeda. 38 Dalam hal ini Zhou En Lai menekankan
bahwa situasi internasional dalam keadaan yang sangat buruk, sehingga tidak
mungkin diciptakan perdamaian. Selanjutnya Zhou mengutarakan bahwa Dunia
Ketiga merupakan pokok kekuatan dalam melawan kolonialisme, imprealisme, dan
hegemonisme. Mengenai hubungan antara RRC dan Amerika Serikat, Zhou
menilai, kendati ada perbedaan yang fundamental, namun hubungan antara RRC
dan Amerika Serikat dapat berkembang baik, selama Komunike Shanghai tahun
1972 dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. 39 Berbeda halnya dengan hubungan
antara RRC dan Uni Soviet, dimana perundingan perundingan mengenai
perbatasan negara yang sudah berlangsung selama lima tahun terakhir itu tidak
menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu disebutkan juga bahwa, hubungan RRCUni Soviet dilaksanakan atas dasar kelaziman hubungan antara negara sematamata. 40
Pada masa ini Mao Tse Tung yang sudah semakin uzur dan dinyatakan oleh
Komite Sentral untuk tidak lagi menerima tamu mancanegara setelah menjamu
Presiden Pakistan Zulfikar Ali Bhuto. Kemudian pada tanggal 9 September 1976
Pemimpin Besar Rakyat dan Ketua Partai Komunis Cina Mao Tse Tung meninggal
dunia. Kematian Mao Tse Tung ini adalah sebuah kehilangan dan perubahan besar
38
Ibid, hal. 123
Ibid
40
ibid
39
Universitas Sumatera Utara
bagi RRC serta sistem politik dan ketatanegaraan. Karena sebagai suatu rezim
yang otoriter dimana posisi Mao Tse Tung selama 30 tahun terakhir sebagai
pemimpin tertinggi RRC dan Partai Komunis Cina merupakan faktor yang sangat
dominan dalam pembentukan kebijakan RRC, dimana berbagai tuliasn dan hasil
pemikirannya dan bahkan namanya dijadikan konstitusi dan anggaran dasar bagi
Partai Komunis Cina.
Universitas Sumatera Utara
Download