Protokol Istanbul untuk tata laksana korban penyiksaan

advertisement
J Kedokter Trisakti
Mei-Agustus 2002, Vol.21 No.2
Protokol Istanbul untuk tata laksana
korban penyiksaan
A. Prayitno
Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT
Even though Human Rights and International Humanitarian Law has consistently forbid all forms of
torture, ill treatment is still practiced in almost all countries in the world today. In 1997 ill treatment has been
reported in 117 countries done by police and security forces. In the last two decades much has been studied on
torture and its effects, but no international guidelines has been available until the issuance of the Istanbul
Protocol. The protocol principles include minimal standards so that countries are able to compile effective
torture document. This protocol has been compiled for 23 years and consists of analysis, research, and document
compilation of more than 75 experts in the field of law, health, and human rights representing 40 organizations
and institutions from 15 countries. Definition of torture of the 1975 Tokyo Declaration of the World Medical
Association, is a deliberate, systematic and inhumane act that causes physical and mental burden on an individual
or persons done individually or as ordered by authority to force people to provide information, admittance or
for other reasons.
Key words : Istanbul protocol, torture, human rights
ABSTRAK
Penyiksaan dan perlakuan buruk masih dipraktekkan di sebagian besar negara di dunia, walaupun telah
dilarang hukum Hak Asasi Manusia dan Humaniter Internasional. Pada tahun 1997, Amnesti Internasional
melaporkan penyiksaan dan perlakuan buruk masih dilakukan di 117 negara oleh petugas keamanan. Sejak dua
dekade terakhir banyak dipelajari mengenai penyiksaan dan akibatnya, tetapi pedoman yang bertaraf internasional
belum tersedia. Protokol Instanbul yang diajukan kepada Komasaris Tinggi HAM PBB pada bulan Agustus
1999 secara resmi ditetapkan sebagai pedoman internasional untuk dokumentasi tentang penyiksaan dan akibatnya.
Penyiksaan adalah perbuatan yang disengaja, sistematik tidak mengenal belas kasihan yang mengakibatkan
penderitaan fisik dan mental, memaksa orang lain untuk memberikan pengakuan. Protokol Istanbul mencakup
anamnesis dan alloanamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikiatrik, dan pedoman untuk evaluasi medik
akibat penyiksaan. Para dokter yang menangani korban penyiksaan dituntut membuat laporan yang sesuai dengan
pedoman standar internasional.
Kata kunci : Protokol Istanbul, korban penyiksaan, hak asasi manusia
PENDAHULUAN
Meskipun Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)
dan Humaniter Internasional secara konsisten
melarang penyiksaan dalam keadaan apapun,
ternyata penyiksaan dan perlakuan buruk (ill
treatment) masih dipraktekkan pada sebagian besar
negara di dunia. Pada tahun 1997 penyiksaan dan
perlakuan buruk masih dilakukan di 117 negara oleh
68
petugas keamanan.(1) Kesenjangan antara larangan
absolut terhadap penyiksaan dan prevalensinya
menunjukkan bahwa semua negara perlu
mengidentifikasi dan berupaya secara efektif untuk
melindungi masyarakat.
Sejak dua dekade terakhir telah banyak
dipelajari mengenai penyiksaan dan akibatnya,
J Kedokter Trisakti
tetapi pedoman yang bertaraf internasional belum
tersedia hingga terbitnya Istanbul Protocol.(2) The
Manual on Effective Investigation and
Documentation of Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Istanbul Protocol) dimaksudkan sebagai pedoman
untuk penilaian (assessment) orang yang mendapat
penyiksaan dan perlakuan kejam, untuk investigasi
kasus-kasus penyiksaan, dan melaporkan hasilnya
kepada pengadilan dan badan penyelidik yang lain.
Prinsip-prinsip protokol meliputi standar
minimal untuk negara agar dapat menyusun
dokumen penyiksaan yang efektif. Protokol ini
disusun selama duapuluh tiga tahun yang meliputi
analisis, riset dan penyusunan naskah yang
dilakukan oleh lebih dari 75 orang ahli di bidang
hukum, kesehatan dan HAM yang mewakili 40
organisasi dan lembaga dari 15 negara.
Pelaksanaannya dimulai pada pertemuan “Medicine
and Human Rights” oleh Asosiasi Dokter Turki
pada tahun 1966 dan diselesaikan di Istanbul pada
bulan Maret 1999. Dokumen tersebut diserahkan
kepada Komisaris Tinggi HAM PBB pada bulan
Agustus 1999 sebagai bahan pertimbangan untuk
pedoman internasional. (2) Protokol tersebut
disyahkan pada suatu sidang pleno dari VIII
Internasional Symposium on Torture di New Delhi
pada bulan September 1999.(2)
Definisi penyiksaan yang digunakan adalah
berdasarkan Deklarasi Tokyo 1975 dari World
Medical Association,(3) yaitu: “Penyiksaan adalah
perbuatan yang disengaja, sistematik dan tidak
mengenal belas kasihan yang mengakibatkan
penderitaan fisik dan mental oleh satu atau lebih
orang yang dilakukan secara sendiri atau atas
perintah penguasa, memaksa orang lain untuk
memberikan informasi, membuat pengakuan atau
untuk alasan lain”.
Protokol Intanbul mencakup antara lain
anamnesis pada pasien korban penyiksaan,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan psikiatrik dan
pedoman evaluasi medik akibat penyiksaan.(1,4,5)
Anamnesis pada pasien korban penyiksaan
Hampir semua pasien korban penyiksaan
menderita gangguan kesehatan jiwa. Autoanamnesis
dimulai dengan cara membina hubungan yang baik
antara dokter dan pasien (doctor-patient
Vol.21 No.2
relationship). Biasanya pasien tidak ingin
mengungkapkan pengalamannya yang mengerikan.
Dengan demikian, dokter perlu menyampaikan rasa
empati, hormat, perhatian dan mampu menunjukkan
suatu hubungan yang baik (rapport) sehingga
pasien bersedia untuk berbicara secara jujur, akrab
dan jelas. Sambil melakukan wawancara, dokter
mengamati atau mengobservasi pasien untuk
menilai alam perasaan dan perilakunya.
Alloanamnesis sangat bermanfaat untuk
memperoleh informasi yang seringkali sulit
diperoleh dari pasien. Semakin banyak fakta yang
diberikan kepada dokter, semakin mudah untuk
menegakkan diagnosis, prognosis dan terapi. Pada
umumnya, semakin parah keadaan pasien, misalnya
depresi, gagasan bunuh diri atau psikosis, semakin
tepat bagi dokter untuk memperoleh fakta dari
keluarga atau pihak lain.
Aspek yang penting adalah pembicaraan
dengan keluarga pasien harus dilakukan secara
konfidensial. Tetapi apabila masalahnya mengenai
kecenderungan bunuh diri dan membunuh orang
lain, informasi tersebut tidak boleh dirahasiakan
untuk memberikan perlindungan kepada pasien dan
orang lain.
Tujuan dari kesaksian lisan atau tertulis dari
dokter adalah agar dokter dapat memberikan
pendapat ahli mengenai derajat hasil pemeriksaan
medik yang berkaitan dengan dugaan penyiksaan
kepada pasien, dan mengkomunikasikan secara
efektif kepada pengadilan dan badan penyelidik
yang lain. Sebagai tambahan, kesaksian medik
sering dapat mendidik pengadilan atau pejabat
pemerintah yang lain serta masyarakat mengenai
kelainan fisik dan psikologis korban penyiksaan.
Pemeriksa harus mempersiapkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Menilai kemungkinan adanya cedera
penyiksaan, walaupun tidak ada pengakuan
oleh orang-orang, atau oleh penegak hukum
dan pejabat pengadilan.
2. Mendokumentasikan bukti-bukti fisik dan
psikologis dari cedera dan penyiksaan.
3. Mengkaitkan derajat konsistensi antara hasil
pemeriksaan dan pernyataan penyiksaan oleh
pasien.
4. Mengkaitkan derajat konsistensi antara hasil
pemeriksaan terhadap seseorang dengan
69
Prayitno
pengetahuan metode penyiksaan dan efek
lanjutan yang lazim di daerah tertentu.
5. Menggunakan informasi yang diperoleh
dengan cara yang cocok untuk meningkatkan
pencarian fakta penyiksaan dan dokumentasi
selanjutnya.
Riwayat metode penyiksaan perlu diperoleh,
baik metode fisik maupun psikologis, atau keduaduanya. Untuk memperoleh riwayat ini perlu
dipertimbangkan apabila pasien sudah mampu
menceritakan, walaupun harus dilaksanakan secara
bertahap, yang meliputi:
1. Trauma tumpul: dipukul, ditendang, falanga
(dipukul pada telapak kaki), telefono (dipukul
pada kedua telinga), dijatuhkan dan
sebagainya.
2. Penyiksaan posisional: digantung, posisi yang
dipaksa dan sebagainya.
3. Dibakar: rokok, alat yang dipanasi, bahan
kimia.
4. Disetrum.
5. Asfiksia: metode basah dan kering,
ditenggelamkan, bahan kimia dan sebagainya.
6. Cedera yang meremukkan: jari, beban berat
di atas punggung dan tungkai.
7. Luka tusuk: kawat, peluru, benda tajam.
8. Bahan kimia: garam, lada, bensin.
9. Seksual: penyiksaan genital, diperkosa,
digunakan alat.
10. Pencabutan kuku atau jari tangan dan kaki.
11. Tindakan medik: amputasi jari atau tungkai,
menghilangkan organ.
12. Penyiksaan farmakologik: dosis toksis
sedativa, neuroleptika, paralitika dan
sebagainya.
13. Kondisi penahanan: sel yang sempit dan
berdesakkan, dikucilkan, tidak higienis, tak ada
fasilitas toilet, air dan makanan yang kotor,
temperatur, dipaksa telanjang.
14. Deprivasi: rangsangan suara, cahaya, isolasi,
kebutuhan fisiologis yang kurang dan
sebagainya.
15. Penghinaan dengan kata-kata dan perbuatan.
16. Ancaman: kematian, terhadap keluarga dan
sebagainya.
17. Ancaman diserang oleh hewan.
18. Teknik psikologik untuk meruntuhkan mental.
19. Pelanggaran terhadap tabu dan keagamaan.
70
Protokol Istanbul untuk korban penyiksaan
20. Pemaksaan perilaku: menyiksa orang lain,
merusak barangnya dan sebagainya.
21. Pemaksaan menyaksikan penyiksaan atau
kekejaman yang dilakukan terhadap orang lain.
Korban penyiksaan dapat meninggalkan cedera
yang secara substansial berbeda dengan bentuk
trauma yang lain. Meskipun lesi akut merupakan
cedera yang khas, pada umumnya lesi dapat sembuh
dalam waktu enam minggu setelah penyiksaan tanpa
meninggalkan cacat dan cacat non-spesifik. Hal ini
terjadi pada kasus-kasus apabila penyiksa
menggunakan teknik yang dapat mencegah atau
membatasi gejala yang dapat dideteksi. Dalam
keadaan demikian, pemeriksaan fisik dapat
dilaporkan dalam batas-batas normal, tetapi ini
tidak meniadakan pembuktian penyiksaan.
Pemeriksaan fisik
Sebagai tindak lanjut dari anamnesis, dan
setelah diperoleh persetujuan korban (informed
consent), pemeriksaan fisik yang lengkap oleh
seorang dokter yang memenuhi syarat harus
dilaksanakan. Apabila dimungkinkan pasien dapat
memilih dokter yang sama gendernya dan
penterjemah. Pasien perlu memahami bahwa ia
dalam kontrol, dan mempunyai hak membatasi
pemeriksaan atau menghentikan pemeriksaan pada
setiap saat.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Kulit, yang meliputi seluruh permukaan tubuh
untuk mendeteksi gejala-gejala:
a. Kulit secara umum: meliputi kekurangan
vitamin A, B dan C
b. Lesi sebelum penyiksaan
c. Lesi yang diakibatkan oleh penyiksaan
seperti lecet, kontusi, laserasi, luka tusuk,
luka bakar karena rokok atau atau alat yang
dipanasi, cedera karena listrik, alopesia dan
kuku yang dicabut. Lesi penyiksaan harus
dideskripsikan lokalisasinya, simetri,
bentuk, ukuran, warna dan permukaan.
Foto perlu dibuat apabila memungkinkan.
2. Wajah: jaringan wajah dipalpasi untuk
memeriksa fraktur, krepitasi, bengkak atau
nyeri. Komponen motorik dan sensorik
meliputi fungsi bau dan rasa dari semua saraf
kranial. CT scan lebih baik daripada radiografi.
J Kedokter Trisakti
Cedera intrakranial dan tulang servikal sering
berkaitan dengan trauma wajah.
3. Mata: banyak bentuk trauma pada mata,
meliputi perdarahan, dislokasi lensa dan
kehilangan penglihatan.
4. Telinga: pecahnya membrana tympani
diperiksa dengan otoskop terutama akibat dari
telefono dan berkurangnya pendengaran, juga
cairan yang keluar.
5. Hidung: bentuk, krepitasi dan deviasi dari
septum nasi.
6. Rahang, orofaring dan leher: fraktur
mandibula dan dislokasi, sindrom temporomandibular.
7. Rongga mulut dan gigi: pemeriksaan oleh
dokter gigi akan lebih lengkap untuk
memeriksa kondisi gigi dan mulut.
8. Dada dan abdomen: pemeriksaan diarahkan
pada bagian yang nyeri, yang merupakan
refleksi cedera pada otot, iga atau organ-organ
di dalamnya. Pemeriksaan rutin sistem
kardiovaskuler, paru dan perut perlu dilakukan.
9. Sistem muskuloskeletal: keluhan nyeri pada
sistem ini sering terjadi akibat seringkali
dipukul atau digantung. Juga perlu diperiksa
sendi-sendi, tulang punggung dan ekstremitas.
10. Sistem urogenital: dapat ditunda apabila
pasien keberatan. Dicari bekas perkosaan dan
penyakit-penyakit akibat hubungan seksual.
11. Sistem saraf pusat dan perifer.
Pemeriksaan neurologis meliputi saraf kranial,
organ-organ sensorik dan sistem saraf perifer.
Pemeriksaan psikiatrik
Penyiksa
umumnya
membenarkan
perbuatannya untuk kebutuhan memperoleh
informasi dari si korban. Umumnya si korban tidak
mempunyai informasi yang diharapkan walaupun
telah disiksa. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua
korban penyiksaan dapat ditegakkan diagnosis
psikiatrinya walaupun ia menunjukkan gejala-gejala
gangguan kesehatan jiwa. Dalam hal ini perlu
dilaporkan dalam penegakan diagnosis bahwa
terdapat kondisi kejiwaan yang perlu memperoleh
perhatian untuk terapi.
Gangguan mental yang sering terjadi adalah
gangguan stres pasca-trauma (GSPT) dan depresi.(6)
Respons psikologis yang sering terjadi adalah:
Vol.21 No.2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pengalaman kembali (re-experiencing)
terhadap trauma. Peristiwa traumatik seperti
terjadi kembali, walaupun pasien dalam
keadaan bangun dan sadar. Juga mimpi-mimpi
menakutkan dalam bentuk kejadian yang
dialami maupun yang secara simbolik. Rasa
kurang percaya dan takut terhadap orangorang atau petugas, termasuk dokter dan
perawat.
Penghindaran dan penumpulan emosi.
Terdapat isolasi sosial, menghindari
pembicaraan, aktivitas, tempat atau orang
yang dapat merekoleksi traumanya.
Rangsangan yang berlebihan, misalnya sukar
tidur, mudah marah, kewaspadaan berlebihan,
cemas, keluhan gastro-intestinal.
Gejala depresi: sedih, anhedonia, kurang nafsu
makan, insomnia atau hipersomnia, rasa
bersalah dan berdosa, pikiran untuk mati dan
bunuh diri.
Keluhan somatik: sakit kepala, nyeri punggung
dan otot.
Disfungsi seksual.
Gejala psikosis: waham, halusinasi, perilaku
dan pikiran aneh, efek yang tidak serasi.
Ketergantungan zat sebagai akibat sekunder
penyiksaan.
Hendaya neuropsikologis akibat pukulan pada
kepala, asfiksia dan malnutrisi.
Pedoman untuk evaluasi medik(7)
I. Informasi kasus: tanggal evaluasi, lamanya
evaluasi, identitas kasus, identitas dokter,
penterjemah, persetujuan korban (informed
consent).
II. Kualifikasi dokter (untuk kesaksian
pengadilan): pendidikan dan latihan,
pengalaman kerja, publikasi.
III. Pernyataan mengenai kejujuran dan kesaksian.
IV. Informasi yang melatarbelakangi: umur,
pekerjaan, komposisi keluarga, pendidikan,
riwayat medik yang dulu, riwayat psikososial
sebelum ditahan.
V. Pernyataan mengenai penyiksaan dan perilaku
buruk: ringkasan penahanan dan penyiksaan,
lingkungan tempat ditahan, kronologi,
ringkasan metode penyiksaan.
71
Prayitno
VI. Gejala dan disabilitas fisik: gejala dan
disabilitas akut dan kronik dan proses
penyembuhannya.
VII. Pemeriksaan fisik:
1. Keadaan umum
2. Kulit
3. Kepala / wajah
4. Mata / THT
5. Rongga mulut dan gigi
6. Dada / perut (termasuk gejala vital)
7. Sistem urogenital
8. Sistem muskuloskeletal
9. Sistem saraf (pusat dan perifer)
VIII.Riwayat / Pemeriksaan Psikologik
1. Metode penilaian
2. Keluhan psikologis yang sekarang
3. Riwayat pasca-penyiksaan
4. Riwayat sebelum penyiksaan
5. Riwayat psikologik /psikiatrik yang lampau
6. Penyalahgunaan zat
7. Pemeriksaan status mental
8. Penilaian fungsi sosial
IX. Foto
X. Hasil pemeriksaan diagnostik / penunjang
XI. Konsultasi
XII. Interpretasi hasil
1. Bukti hasil
a. Hubungan derajat konsistensi antara
riwayat keluhan dan disabilitas fisik
yang akut dan kronik dengan pernyataan
disiksa.
b. Hubungan derajat konsistensi antara
hasil pemeriksaan fisik dan pernyataan
disiksa (tidak adanya hasil pemeriksaan
fisik tidak menyingkirkan kemungkinan
penyiksaan).
c. Hubungan derajat konsistensi antara
hasil pemeriksaan fisik dengan
pengetahuan metode penyiksaan dan
efek lanjutan yang digunakan di suatu
daerah tertentu.
2. Bukti psikologis
a. Hubungkan derajat konsistensi antara
hasil pemeriksaan psikologis dengan
laporan dari si korban.
b. Menilai hasil pemeriksaan psikologis
yang berupa reaksi khas terhadap stres
72
Protokol Istanbul untuk korban penyiksaan
berat dalam konteks budaya dan sosial
dari si korban.
c. Indikasikan status si korban dalam
perjalanan fluktuatif gangguan mental
yang berkaitan dengan trauma.
d. Identifikasikan stresor tambahan yang
menimpa si korban (misalnya
penuntutan,
migrasi
paksa,
pembuangan, kehilangan peran sosial
dan keluarga).
e. Sebutkan kondisi fisik yang dapat
mengakibatkan gambaran klinik,
terutama pada trauma kepala selama
penyiksaan.
XIII. Kesimpulan dan Saran
1. Pernyataan pendapat terhadap konsistensi
antara semua sumber bukti yang disebut
di atas (hasil pemeriksaan diagnostik,
pengetahuan mengenai praktek
penyiksaan di daerah tertentu, laporan
konsultasi dan sebagainya) dan
pernyataan penyiksaan dan perlakuan
buruk.
2. Mengulangi gejala dan/atau disabilitas
yang terus menerus diderita sebagai akibat
penyiksaan.
3. Saran untuk evaluasi lanjutan dan/ atau
perawatan bagi si korban.
XIV. Pernyataan kejujuran dari pemeriksa
XV. Pernyataan restriksi untuk investigasi/
evaluasi medik
XVI. Tanda tangan dokter, tanggal dan tempat.
XVII.Lampiran yang relevan: curriculum vitae
dokter, gambaran anatomi untuk identifikasi
penyiksaan, foto, konsultasi, hasil
pemeriksaan diagnostik dan sebagainya.
PENUTUP
Protokol Istanbul sebagai upaya untuk
mendokumentasi hasil pemeriksaan terhadap korban
penyiksaan dan perlakuan buruk, merupakan
laporan minimal bagi setiap dokter yang memeriksa
dan memberikan terapi.
Dengan arus globalisasi yang makin deras,
para dokter yang menangani korban penyiksaan
dituntut untuk membuat laporan yang sesuai dengan
standar internasional.
J Kedokter Trisakti
Vol.21 No.2
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
Amnesty International. Amnesty international
report. London; AIP, 1999 available from
U R L : h t t p : / / w w w. p h r u s a . o r g / r e s e a r c h /
Istanbul_protocol/ispsych.html.
United Nations Office of the High Commisioner
for Human Rights. The istanbul protocol. The
manual on effective investigation and
documentation of torture and other cruel,
inhuman or degrading treatment or punishment.
VIII International symposium on torture. New
Delhi, India; 1999.
World Medical Association. Declaration
guidelines for medical doctors concerning torture
and other cruel, inhuman or degrading treatment
or punishment in relation to detention and
4.
5.
6.
7.
imprisonment. Tokyo, Japan; 1975. Available
from URL: http://www.wma.net/e/policy/17f_e.html.
Ikatan Dokter Indonesia. Buku panduan
penatalaksanaan korban penyiksaan. Jakarta
2000.
Prayitno, A. Penanganan aspek kejiwaan korban
akibat tindakan kekerasan. Lokakarya aspek
medis korban tindakan kekerasan, IDI, Makassar,
19-22 Februari 1998.
Phychological evidence of torture. Available from
U R L : h t t p : / / w w w. p h r u s a . o r g / r e s e a r c h /
istanbul_protocol/ispsych.html.
Guidelines for medical evaluations of torture and
Ill-treatment. Available from URL: http://
www.phrusa.org/research/istanbul_protocol/
isapdx4.html.
73
Download