BAB II TELAAH PUSTAKA A. Regionalisme Louise Fawcett dan Andrew Hurrel dalam bukunya yang berjudul Regionalisme in World Politics: Regional Organization and International Order, menjelaskan bahwa awal mula dari munculnya regionalisme dapat dilihat melalui dua tolak ukur utama. Pertama, yaitu dengan melihat adanya faktor pengikat yang menjadikan negara-negara mau untuk melakukan kerjasama regional. Faktor yang dimaksud adalah kesadaran regional, identitas bersama, serta adanya rasa saling memiliki di antara negara yang secara geografis berdekatan. Tolak ukur yang kedua adalah institusi regional dilihat sebagai wujud dari kerjasama regional. Adanya faktor pengikatlah yang kemudian menjadi pendorong sekaligus penentu terwujudnya kerjasama yang berujung pada pembentukan institusi regional. Sejarah tumbuhnya regionalisme dapat dikatakan terjadi pada sebelum tahun 1960-an, dimana pada tahun ini negara-negara membangun kerjasama bilateral dengan negara lainnya dengan membawa nama masing-masing negara. Sebelumnya kerjasama antar negara sifatnya lebih universal dan internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada masa ini regionalisme disebut sebagai regionalisme klasik, dimana sifatnya high politics. Dalam artian, aspek politik mendominasi kinerja organisasi1 organisasi tersebut. Pembentukan organisasi didorong oleh negara serta kerjasamanya dalam berbagai aspek, misalnya mengenai perdagangan antarnegara, kesepakatan pembentukan aliansi keamanan bersama, pertukaran pelajar, dan sebagainya. Tetapi regionalisme klasik ini lebih banyak diwarnai dimensi keamanan sebagai upaya untuk meredam konflik agar konflik tidak menyebar dan menyeret semua negara yang berada di dalam suatu kawasan untuk terlibat peperangan.1 Selanjutnya menurut Fawcett, setelah Perang Dunia II (1930-1940-an) regionalisme belum terlihat. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu pertama, Perang Dunia II membawa akibat berupa kerusakan parah yang diderita oleh hampir semua negara. Kedua yaitu adanya perubahan dalam tatanan masayarakat internasional saat itu. Sebelumnya masyarakat internasional bersifat Eurosentris, dimana Eropa adalah pusat segalanya karena menguasai negara-negara lain dengan praktik imperialisme serta kolonialisme. Namun pasca perang dunia yang kedua, Eropa mengalami kehancuran dan memerlukan bantuan Amerika Serikat dalam proses perbaikannya. Pada waktu yang bersamaan ini pula, negara-negara koloni mulai aktif menuntut hak untuk menentukan nasib mereka sendiri yang ditandai dengan banyaknya negara koloni mendeklarasikan kemerdekaannya. Hal inilah yang membuat tatanan dunia, yang tadinya Eurosentris berubah. 1 Nuraeni S, at al., 2010. Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 16 2 Dunia memasuki masa Perang Dingin, yaitu persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Rivalitas antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang berusaha memperluas pengaruhnya masing-masing menjadikan aspek wilayah adalah hal yang penting. Pada masa perang dingin inilah, dapat dikatakan sebagai munculnya regionalisme klasik. Regionalisme klasik dan legalitasnya tercermin dalam Piagam PBB yang mengakui keberadaan organisasi regional sebagai aktor yang penting dalam upaya untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang terjadi, sebelum dibawa ke Mahkamah Internasional PBB.2 Akan tetapi, regionalisme klasik mengalami kemunduran disebabkan beberapa faktor serta mendapat tantangan baik secara paham dan kinerja praktisnya. Berakhirnya Perang Dingin, menjadikan kerjasama yang bersifat high politics berkurang. Negara-negara di dunia mulai mengarah pada kerjasama yang lebih bersifat low politics, yang sifatnya mengedepankan ekonomi. Hal inilah yang merupakan berakhirnya regionalisme klasik dan digantikan dengan regionalisme baru. Regionalisme baru berkembang pada awal 1990-an dan bersifat low politics, dimana faktor ekonomi dan budaya lebih mendominasi kerjasama antar negara. Pencegahan konflik ataupun peperangan tentunya tetap menjadi salah satu fokus, akan tetapi negara juga membutuhkan kerjasama dalam merespon perubahan global yang terjadi. Secara umum, menurut Fawcett ada 2 Ibid, hal. 18 3 empat faktor yang menyebabkan regionalisme baru muncul, yaitu: 1) berakhirnya Perang Dingin, 2) perubahan yang terjadi dalam aspek perekonomian dunia, 3) berakhirnya paham tentang istilah ‘Dunia Ketiga”, dan 4) Demokratisasi.3 Aspek politik meskipun telah dikesampingkan dengan lahirnya regionalisme baru, tetap memiliki andil yang cukup besar dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sebuah organisasi regional. Hal ini dapat dilihat pada Uni Eropa yang awalnya merupakan kerjasama yang dikembangkan atas dasar ekonomi, tetapi pada akhirnya Uni Eropa juga berupaya untuk menyesuaikan kebijakan politik domestik dengan kawasan dan menyusun pertahanan bersama. “In the course of a process of regional integration, the EU has gradually become an important factor in the domestic affairs of states as well as in the relations between them. Initially responsible for the regulation of specific sectors of the economy (coal, steel, agriculture), over time the European institutions have been entrusted with responsibility over an ever increasing range of tasks. At the end of the century, these included monetary policy, military defence, and the protection of human rights, thus encroaching on what many regard as the core of state sovereignty”4 Dinamika perkembangan yang dilalui Uni Eropa seringkali menggambarkan dan menjadi contoh nyata regionalisme. Uni Eropa seringkali dijadikan acuan bagi negara-negara lain, akan tetapi karakteristik setiap kawasan berbeda dan menentukan keberhasilan regionalismenya. 3 Ibid John Baylis and Steve Smith, 2001. The Globalization of world Politics: An Introduction to International Relations Second Edition, New York: Oxford University Press, hal. 495 4 4 Regionalisme sendiri dalam studi Hubungan Internasional sangat erat kaitannya dengan studi kawasan. Oleh karenanya, definisi regionalisme banyak mengambil dari definisi-definisi yang berkembang dalam studi kawasan. Menurut Mansbaach, region atau kawasan adalah “Pengelompokan regional diidentifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional.”5 Jadi regionalisme dengan kata lain merupakan sebuah proses penyatuan dari negara-negara yang terletak dalam satu lingkup geografis yang sama dan memiliki latar belakang yang pada umumnya sama pula. Columbis dan Wolfe dalam bukunya yang berjudul Introductions to International Relations, Power and Justice, menjelaskan bahwa terdapat empat cara atau kriteria yang bisa digunakan untuk mendefinisikan dan menunjuk sebuah kawasan yang sebenarnya sangat ditentukan oleh tujuan analisis kita. Keempat kriteria yang dimaksud tersebut adalah : 1. Kriteria geografis, mengelompokkan negara dalam berdasarkan lokasinya dalam benua, sub-benua, kepulauan dan lain sebagainya seperti: Eropa dan Asia. 2. Kriteria politik atau militer, mengelompokkan negara-negara dengan berdasarkan pada keikutsertaannya dalam berbagai aliansi, atau 5 Nuraeni S, at al., 2010. Regionalisme dalam Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 1 5 berdasarkan pada orientasi ideologis dan orientasi politik, misalnya blok sosialis, blok kapitalis, NATO dan Non-Blok. 3. Kriteria ekonomi, mengelompokkan negara-negara berdasarkan pada kriteria terpilih dalam perkembangan pembangunan ekonomi, seperti GNP, dan output industri, misalnya negara-negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang atau yang terbelakang. 4. Kriteria transaksional, mengelompokkan negara-negara berdasarkan pada jumlah frekuensi mobilitas penduduk, barang, dan jasa, seperti imigran, turis, perdagangan dan berita. Contoh ini dapat kita lihat pada wilayah seperti Amerika, Kanada, dan Pasar Tunggal Eropa.6 Bruce Russet mengemukakan pula kriteria suatu region atau kawasan, yaitu sebagai berikut:7 1. Adanya kemiripan sosiokultural 2. Sikap politik atau perilaku eksternal yang mirip, yang biasanya tercermin pada voting dalam sidang PBB 3. Keanggotaan yang sama dalam organisasi-organisasi supranasional atau antar pemerintah 4. Interdependensi ekonomi, yang diukur dengan kriteria perdagangan sebagai proporsi pendapatan nasional 6 Ibid Andre H. Pareira, 1999. Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 154 7 6 5. Kedekatan geografik, yang diukur dengan jarak terbang antara ibukota-ibukota negara-negara tersebut. Adapun proses-proses yang mejadi ciri-ciri dari berlangsungnya regionalisme menurut Andrew Hurrel, adalah sebagai berikut:8 1. Regionalisasi, merupakan proses pertumbuhan integrasi masyarakat dalam suatu wilayah dalam proses interaksi sosial dan ekonomi yang cenderung tidak terarah. Proses ini sifatnya alami dimana negaranegara yang bertetangga ataupun secara geografis berdekatan melakukan serangkaian kerjasama dengan sendirinya. Kerjasama dilakukan dengan dasar untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri oleh sebuah negara. 2. Kesadaran dan identitas regional,merupakan persepsi bersama tentang rasa memiliki pada suatu komunitas tertentu dengan faktor internal sebagai pengikat yang pada umumnya adalah kesamaan budaya, sejara atau tradisi agama. Kesadaran regional sering pula didefinisikan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan pihak lain, misalnya menyangkut ancaman keamanan. 3. Kerjasama regional antarnegara, merujuk pada akitivitas kerjasama regional yang menunjukkan interdependensi termasuk negosiasinegosiasi bilateral sampai pembentukan rezim yang dikembangkan 8 Nuraeni S, at al., 2010. Regionalisme Dalam Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 6 7 untuk memelihara kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai bersama, serta memecahkan masalah bersama terutama yang timbul dari meningkatnya tingkat interdependensi regional. 4. Integrasi regional yang didukung negara, integrasi ekonomi regional merupakan salah satu hal penting dalam kerjasama regional. Tahap awal integrasi biasanya berpusat pada pengurangan hambatan perdagangan dan pembentukan custom union, yaitu tahap integrasi ekonomi yang ditandai dengan adanya kesepakatan penentuan tarif bersama secara internal serta mempermudah mobilisasi orang dan barang. Hal ini kemudian berlanjut pada perluasan dengan penghapusan hambatan non-tarif, regulasi pasar dan pengembangan kebijakan bersama baik dalam tataran mikro maupun makro. Regionalisme seringkali disimpulkan sebagai integrasi ekonomi regional bila melihat model Eropa, walaupun ekonomi hanya merupakan salah satu aspek dari keseluruhan proses. 5. Kohesi regional, yaitu kemungkinan kombinasi dari keempat proses yang telah disebutkan sebelumnya mengarah pada terbentuknya unit regional yang kohesif dan terkonsolidasi. Hal ini terlihat dari berbagai model termasuk pembentukan organisasi supranasional secara bertahap dalam konteks peningkatan integrasi ekonomi. 8 B. Organisasi Internasional Kehadiran dari sebuah organisasi internasional menjadi penting bagi sebuah negara dalam keadaan ketika negara tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang menyangkut isu politik, ekonomi, ataupun isu-isu lainnya. Presiden Woodrow Wilson dengan visinya yaitu mengubah hubungan internasional dari “hutan” politik kekuasaan yang kacau ke “kebun binatang” pergaulan erat yang diatur dan damai percaya bahwa perubahan dapat dicapai melalui pembentukan organisasi internasional, dalam hal ini Liga BangsaBangsa. Dia percaya bahwa institusi internasional dapat membuat kerjasama lebih muda dan jauh lebih mungkin. Menurut kaum liberal institusional, institusi internasional adalah suatu organisasi internasional, seperti NATO atau Uni Eropa, atau merupakan seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara dalam bidang tertentu.9 Daniel S. Cheever dan H. Field Haviland Jr, dalam buku mereka “Organizing For Peace: International Organization In World Affairs” mengemukakan bahwa definisi dari organisasi internasional yaitu “any cooperative arrangement instituted among states, usually by a basic agreement to perform some mutually advantageous functions implemented through periodic meetings and staff activies”10, dimana menurutnya 9 Robert Jackson and Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional, terj. Dadan Suryadipura, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 154 10 Daniel S. Cheever and H. Field Haviland Jr dalam Teuku May Rudy, 1998. Administrasi dan Organisasi Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, hal. 2 9 organisasi internasional merupakan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antar negara dan berlandaskan atas sebuah perjanjian dasar untuk melaksanakan fungsi yang memberikan manfaat timbal balik yang dilaksanakan melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan staf secara berkala. Teuku May Rudy sendiri dalam bukunya berpendapat bahwa organisasi internasional didefinisikan sebagai pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok nonpemerintah pada negara yang berbeda.11 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa organisasi internasional merupakan sebuah wadah nyata kerjasama dari negara-negara yang memiliki legalitas hukum yang mengatur bagi anggotaanggotanya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Coulumbis dan Wolfe memberikan definisi mengenai organisasi internasional dengan menggunakan pendekatan atas tiga peringkat berbeda12: 11 Ade Maman Suherman, 2003. Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 51-52 12 Theodore Coulombis and James Walfe, 1998. Pengantar Hubungan Internasional: Power and Justice, terj. Marcedes Marbun, Bandung: Putra A.Bardin, hal 279 10 1. Organisasi internasional dapat didefinisikan menurut tujuan-tujuan yang diinginkannya. a. Regulasi internasional terutama melalui teknik teknik pertikaian antara negara secara damai. b. Meminimalkan atau paling tidak mengendalikan konflik perang internasional. c. Memajukan aktifitas aktifitas kerjasama pembangunan antarnegara demi keuntungan keuntungan sosial dan ekonomi kawasan tertentu atau untuk manusia pada umumnya. d. Pertahanan kolektif sekelompok negara untuk menghadapi ancaman eksternal. 2. Organisasi internasional dapat didefinisikan menurut lembaga-lembaga internasional yang ada atau menurut model-model ideal dan cetak biru institusi-institusi masa depan. 3. Organisasi internasional dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemikiran regulasi pemerintah mengenai hubungan antar aktor-aktor negara dan aktor-aktor bukan negara. Pengklasifikasian organisasi internasional merujuk pada indikator- indikator yang digunakan, seperti fungsi, tujuan, maupun ruang lingkup aktifitasnya. Penggolongan organisasi international dimaksudkan untuk memudahkan dalam menentukan fungsi, tujuan, dan ruang lingkup 11 aktifitasnya, tetapi hal ini sulit dilakukan karena organisasi-organisasi internasional yang ada memiliki fungsi dan tujan ganda serta memiliki wewenang yang luas. Sebagai contoh, PBB, yang selain memiliki fungsi politis, fungsi yudisial dan administratif juga melekat padanya. Suatu organisasi internasional dapat sekaligus menyandang lebih dari satu macam penggolongan, tergantung dari segi yang ditinjau dalam menggolongkannya. Secara terperinci penggolongan organisasi internasional ada bermacam-macam menurut segi tinjauan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:13 1. Kegiatan administrasi: (Intergovernmental organisasi internasional organization/IGO) dan antarpemerintah organisasi internasional nonpemerintah (Nongovernmental Organization/NGO). 2. Ruang Lingkup (wilayah) kegiatan dan keanggotaan: organisasi internasional global dan organisasi internasional regional. 3. Bidang kegiatan (operasional) organisasi, seperti bidang ekonomi, lingkungan hidup, pertambangan, komoditi, bidang bea cukai dan perdagangan internasional, dan lain-lain. 4. Tujuan dan luas bidang kegiatan organisasi: organisasi internasional umum dan organisasi internasional khusus 5. Ruang lingkup dan bidang kegiatan: global-umum, global-khusus, regional umum, regional-khusus. 13 Ade Maman Suherman,op.cit, hal.59 12 6. Taraf kewenangan atau kekuasaan: organisasi supranasional dan organisasi kerjasama 7. Bentuk dan pola kerjasama: kerjasama pertahanan-keamanan (collective security) atau “institutionalized alliance” dan kerjasama fungsional 8. Fungsi organisasi: organisasi politik, organisasi administratif, organisasi peradilan. Setiap organisasi internasional tentunya dibentuk untuk melaksanakan peran dan fungsi sesuai dengan tujuan pendirian organisasi internasional tersebut oleh para anggotanya. Peran organisasi internasional adalah sebagai berikut:14 1. Wadah atau forum untuk menggalang kerjasama serta untuk mencegah atau mengurangi intensitas konflik (sesama anggota) 2. Sebagai sarana untuk perundingan dan menghasilkan keputusan bersama yang saling menguntungkan 3. Adakalanya bertindak sebagai lembaga yang mandiri untuk melaksanakan kegiatan yang diperlukan (antara lain kegiatan sosial kemanusiaan, bantuan untuk pelestarian lingkungan hidup, pemugaran monumen bersejarah, peace keeping operation dan lain-lain) 14 Teuku May Rudy, 1998. Administrasi dan Organisasi Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, hal. 27 13 Sedangkan fungsi organisasi internasional adalah:15 1. Tempat berhimpun bagi negara-negara anggota bila organisasi internasional itu IGO (antar-negara/pemerintah) dan bagi kelompok masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat apabila organisasi internasional itu termasuk kategori INGO (nonpemerintah). 2. Untuk menyusun atau merumuskan agenda bersama (yang menyangkut kepentingan semua anggota) dan memprakarsai berlangsungnya perundingan untuk menghasilkan perjanjianperjanjian internasional. 3. Untuk menyusun dan menghasilkan kesepakatan mengenai aturan/norma atau rejim-rejim internasional. 4. Penyediaan saluran untuk berkomunikasi di antara sesama anggota dan adakalanya merintis akses komunikasi bersama dengan nonanggota. 5. Penyebarluasan informasi yang bisa dimanfaatkan sesama anggota. C. Konflik dan Resolusi Konflik Konflik adalah hal yang tidak terpisahkan dari hidup manusia. Dalam berinteraksi manusia akan menemukan dua hal besar, yaitu kerjasama dan sebaliknya bisa saja hal yang bersifat konfliktual. Secara umum, istilah konflik merujuk ke suatu keadaan dimana sekelompok orang yang 15 Ibid hal. 27-28 14 teridentifikasi menurut kategori tertentu (suku, etnis, bahasa, kebudayaan, agama, sosial, ekonomi, politik ataupun kategori lainnya) secara sadar terlibat dalam perselisihan atau pertentangan dengan satu atau lebih kelompok orang lainnya karena mereka sama-sama berupaya mengejar tujuan-tujuan yang bertentangan.16 Louise Kriesberg dalam bukunya Constructive Conflicts, From Escalation to Resolution mengemukakan bahwa konflik merupakan fenomena sosial yang eksis ketika dua atau lebih orang atau kelompok orang menunjukkan tujuan yang berbeda. Elemen-elemen yang ditekankan oleh Kriesberg antara lain yaitu: interaksi antar-orang atau kelompok orang, pihak atau kelompok yang terlibat menganggap pihak lain sebagai lawan dalam mencapai tujuan. Pihak-pihak yang terlibat dapat berupa individu, kelompok atau organisasi misalnya pemerintah, kelas, komunitas, etnis, adanya ketidaksamaan keyakinan di satu pihak yang terlibat, dan berpendapat bahwa upaya mencapai tujuan yang diinginkan mendapat hambatan dari pihak lain sehingga dibutuhkan upaya untuk menghilangkan hal yang dianggap menjadi penghambat.17 Pada dasarnya konflik merupakan hal yang terjadi ketika ada perbedaan antara dua pihak atau lebih. Johan Galtung seorang sosiolog dan salah satu dari perintis terkenal kajian perdamaian (peace research) modern pasca Perang Dunia II 16 17 Vinsensio Dugis, 2011. Konflik dan Resolusi Konflik, Surabaya: CSGS Publisher, hal.5 Louis Kriesberg, 1998. Constructive Conflicts From Escalation to Resolution, Maryland: Rowman and Littlefield, hal. 1 15 memperkenalkan model segitiga konflik (conflict triangle) ABC untuk memberi makna dan pengertian mengenai konflik. Menurutnya, situasi konflik dapat digambarkan dengan sebuah segitiga yang masing-masing sudutnya menggambarkan tiga hal, yaitu A adalah Attitude (sikap), B adalah Behaviour (perilaku/tindakan), dan C adalah Contradiction (kontradiksi).18 Sudut A (attitude) atau sikap merujuk pada asumsi-asumsi, kognisi dan emosi yang dimiliki oleh satu pihak mengenai pihak lain atau lawannya. Dalam hal ini termasuk adanya mispersepsi dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Sikap dapat berupa sikap yang negatif atau positif, akan tetapi dalam konflik kekerasan yang muncul cenderung negatif dimana pihak yang berkonflik cenderung merasa lebih benar daripada lawannya. Sudut B (behavior) atau perilaku merujuk kepada ekspresi-ekspresi mental, verbal, fisik yang diekspresikan ketika konflik terjadi. Perilaku ini merupakan pernyataan dan tindakan yang muncul ketika konflik berlangsung. Dan yang terakhir yaitu sudut C (contradiction) atau kontradiksi yaitu menyangkut aspek ketidaksepakatan mengenai tujuan. Kontradiksi merupakan benturan kepentingan-kepentingan pihak yang berkonflik dan menjadi akar penyebab konflik yang menimbulkan sikap dan perilaku kekerasan. Dengan demikian konflik adalah suatu proses dinamis yang ditandai oleh perubahan yang 18 Johan Galtung, 1996. Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict Development and Civilization, London: SAGE, hal. 72 16 konstan dan saling mempengaruhi pada struktur, sikap, dan perilaku.19 Dalam prosesnya konflik bisa melebar atau semakin dalam dan dapat mengakibatkan konflik berkelanjutan yang melibatkan pihak-pihak luar. Ada tiga hal penting dalam sebuah konflik, berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, yaitu: pihak-pihak yang berkonflik memiliki persepsi atau sikap tertentu terhadap lawannya, ketidaksepahaman dan ketidaksepakatan atau dengan kata lain perbedaan, dan tindakan atau aksi dari pihak yang berkonflik yang diekspresikan ketika konflik terjadi. Perbedaan konflik yang terjadi dilihat dari latar belakang dan penyebab konflik membutuhkan upaya penyelesaian konflik yang berbedabeda pula. Penyelesaian konflik merupakan berbagai upaya yang dilakukan baik oleh pihak-pihak yang berkonflik maupun pihak-pihak lain dengan tujuan mengakhiri konflik tersebut. Sumber-sumber penyebab konflik perlu dicermati agar dapat berubah menjadi pintu terciptanya kerjasama. Terdapat empat bentuk penyelesaian konflik pada umumnya yaitu:20 1. Negosiasi langsung, yaitu perundingan antara pihak-pihak yang berkonflik yang dalam prosesnya dapat saja melibatkan pihak lain di luar pihak-pihak yang terlibat secara langsung di dalam konflik. Pada bentuk ini penyelesaian konflik dilaksanakan melalui proses perundingan secara 19 20 Vinsensio Dugis, 2011. Konflik dan Resolusi Konflik, Surabaya: CSGS Publisher, hal. 11-12 Ibid hal. 56 17 langsung. Inisiatif untuk memulai perundingan berasal dari pihak-pihak yang berkonflik. 2. Mediasi, bentuk penyelesaian konflik ini terjadi ketika ada pihak lain yang hadir dan berfungsi sebagai penengah. Melalui mediasi, pihak ketiga yang disebut sebagai mediator berfungsi sebagai fasilisator yang memfasilitasi upaya-upaya pihak yang terlibat konflik memperkecil perbedaan sikap dan memperbesar kemungkinan menemukan kesepakatan terhadap kontradiksi atas konflik dimana para pihak terlibat. Mediasi sendiri diklasifikasikan menjadi beberapa macam21: a. Mediasi murni (pure mediation), tugas mediator dalam model ini adalah memfasilitasi negosiasi langsung mengenai isu-isu terpenting dengan tujuan menciptakan penyelesaian masalah secara permanen. Mediator menggunakan pengalaman-pengalaman sebelumnya yang dimiliki untuk mendorong pemecahan permasalahan pada pihak yang berkonflik. b. Konsiliasi (conciliation), merujuk pada peran pihak ketiga untuk menyediakan jalur-jalur komunikasi bagi pihak yang terlibat dalam konflik. Dalam model ini, pihak-pihak yang bertikai tidak harus bertemu secara langsung. Peran pihak ketiga di dalam proses ini tidak 21 Peter Harris and Ben Reilly,1998. Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiatiors, Stockholm: IDEA, hal. 104-113 18 sampai pada penentuan hasil akhir yang harus dipatuhi pihak yang berkonflik. c. Fasilitasi (facilitation), dalam proses ini mediator membawa wakilwakil pihak yang berkonflik secara bersama. Fasilitator memimpin pertemuan-pertemuan antara kedua pihak dan menyelidiki persepsi bersama dan mendorong berlangsungnya komunikasi secara aman. d. Mediasi dengan kekuasaan (power mediation), mediator memiliki kekuasaan sehingga dianggap berpotensi membujuk kedua pihak yang berkonflik agar taat terhadap kesepakatan yang dibuat. 3. Arbitrasi (arbitration), di dalam proses ini pihak ketiga berada di posisi yang lebih menentukan proses perundingan, hal ini disebabkan karena kewibawaan atau kekuatan lain misalnya politik dan ekonomi yang dimiliki oleh pihak ketiga dan adanya legitimasi. Dalam proses penyelesaian konflik, arbitrator member kesempatan pada pihak yang berkonflik untuk mengemukakan pandangan mereka, tetapi pada akhirnya arbitrator yang mengambil keputusan. 4. Pengadilan, bentuk penyelesaian ini mirip dengan arbitrasi akan tetapi pada bentuk ini pengadilan memiliki sifat otonom dan daya paksa. Pengadilan dapat menggunakan kekuasaannya untuk menyelesaikan konflik tanpa melalui persetujuan pihak yang berkonflik terlebih dahulu. Dalam penyelesaian konflik, peranan mediasi sangat penting. Mediasi dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu individu, organisasi pemerintah atau 19 non-pemerintah, atau pemerintah itu sendiri. Tugas utama mediator adalah sebagai komunikator serta memfasilitasi proses perundingan. Hal ini dikarenakan pada situasi konflik, komunikasi antara pihak-pihak yang berkonflik tidak berjalan dengan baik.22 Di samping itu, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah manajemen pasca konflik. Ketika sebuah konflik mencapai titik kesepakatan penyelesaian antara pihak yang berkonflik, hal ini belum dapat dikatakan sebagai akhir dari resolusi konflik. Situasi perdamaian yang diinginkan pada akhirnya yaitu sebuah perdamaian yang berkelanjutan. Keadaan ini tidak hanya ditandai oleh berakhirnya konflik atau perang, tetapi keadaan dimana tersedianya berbagai mekanisme penyelesaian konflik, adanya keadilan, serta terjaminnya kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kerjasama yang baik jika memungkinkan.23 22 23 Vinsensio Dugis, op. cit, hal. 71 Ibid, hal.77 20