peranan pers dalam masyarakat demokratis

advertisement
"PERANAN PERS DALAM
MASYARAKAT DEMOKRATIS"
TUGAS MAKALAH PKN
NAMA : TAUPIK HIDAYAT
KELAS : XII IPS PAKET C (SETARA SMA)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang "PERANAN PERS DALAM
MASYARAKAT DEMOKRATIS" ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Pers, Jurnalistik, Kode Etik Jurnalistik dan Sedikit Sejarah
Perjalanan Pers di Tanah AIr dari Masa ke Masa. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Bogor, OKTOBER 2015
TH06
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi, Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara
untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers
yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan
merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo,
bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat
(individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat,
yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada
berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam
menentukan langkah kebijakan suatu Negara. Pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance.
untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi
publik secara jujur dan berimbang. Disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga
harus bebas dari kapitalisme dan politik. Pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal
dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih
besar. Kemungkinan kebebasan lembaga pers yang terkapitasi oleh kepentingan kapitalisme dan politik
tersebut, mendorong semangat lahirnya citizen journalism. Istilah citizen journalism untuk menjelaskan
kegiatan pemrosesan dan penyajian berita oleh warga masyarakat bukan jurnalis profesional. Aktivitas
jurnalisme yang dilakukan oleh warga sebagai wujud aspirasi dan penyampaian pendapat rakyat inilah
yang menjadi latar belakang bahwa citizen journalism sebagai bagian dari pers merupakan sarana untuk
mencapai suatu demokrasi.
Wajah demokrasi sendiri terlihat pada dua sisi. Pertama, demokrasi sebagai realitas kehidupan
sehari-hari, kedua, demokrasi sebagaimana ia dicitrakan oleh media informasi. Di satu sisi ada citra, di
sisi lain ada realitas. Antara keduanya sangat mungkin terjadi pembauran, atau malah keterputusan
hubungan. Ironisnya yang terjadi sekarang justru terputusnya hubungan antara citra dan realitas
demokrasi itu sendiri. Istilah yang tepat digunakan adalah simulakrum demokrasi, yaitu kondisi yang
seolah-olah demokrasi padahal sebagai citra ia telah mengalami deviasi, distorsi, dan bahkan terputus
dari realitas yang sesungguhnya. Distorsi ini biasanya terjadi melalui citraan-citraan sistematis oleh
media massa.
Demokrasi bukan lagi realitas yang sebenarnya, ia adalah kuasa dari pemilik informasi dan
penguasa opini publik.
Proses demokratisasi disebuah negara tidak hanya mengandalkan parlemen, tapi juga ada
media massa, yang mana merupakan sarana komunikasi baik pemerintah dengan rakyat, maupun rakyat
dengan rakyat. Keberadaan media massa ini, baik dalam kategori cetak maupun elektronik memiliki
cakupan yang bermacam-macam, baik dalam hal isu maupun daya jangkau sirkulasi ataupun siaran.
Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi, dimana adanya
tranformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi negara yang menganut paham demokrasi,
sehingga ada persebaran informasi yang merata. Namun, pada pelaksanaannya, banyak faktor yang
menghambat proses komunikasi ini,terutama disebabkan oleh keterbatasan media massa dalam
menjangkau lokasi-lokasi pedalaman.
Keberadaan radio komunitas adalah salah satu jawaban dari pencarian solusi akan
permasalahan penyebaran akses dan sarana komunikasi yang menjadi perkerjaan media massa umum.
Pada perkembangannya radio komunitas telah banyak membuktikan peran pentingnya di tengah
persoalan pelik akan akses informasi dan komunikasi juga dalam peran sebagai kontrol sosial dan
menjalankan empat fungsi pers lainnya.
Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis,
kata Pers (Belanda), atau Press (inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari
kata premere, yang berarti ―Tekan‖ atau ―Cetak‖, definisi terminologisnya adalah ―media massa cetak‖
atau ―media cetak" Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia
(human communication), dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan
memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia.
Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa
yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala
jenis saluran yang tersedia.
BAB 2
A.
FUNGSI DAN PERANAN PERS
A.1. FUNGSI PERS
1. Pers sebagai Media Informasi
Media informasi merupakan bagian dari fungsi pers dari dimensi idealisme. Informasi
yang disajikan pers merupakan berita-berita yang telah diseleksi dari berbagai berita yang masuk ke
meja redaksi, dari berbagai sumber yang dikumpulkan oleh para reporter di lapangan. Menurut
Pembinaan Idiil Pers, pers mengemban fungsi positif dalam mendukung mendukung kemajuan
masyarakat, mempunyai
tanggung jawab menyebarluaskan informasi
tentang kemajuan dan
keberhasilan pembangunan kepada masyarakat pembacanya. Dengan demikian, diharapkan para
pembaca pers akan tergugah dalam kemajuan dan keberhasilan itu.
2. Pers sebagai Media Pendidikan
Dalam Pembinaan Idiil Pers disebutkan bahwa pers harus dapat membantu pembinaan swadaya,
merangsang prakarsa sehingga pelaksanaan demokrasi Pancasila, peningkatan kehidupan spiritual dan
kehidupan material benar-benar dapat terwujud. Untuk memberikan informasi yang mendidik itu, pers
harus menyeimbangkan arus informasi, menyampaikan fakta di lapangan secara objektif dan selektif.
Objektif artinya fakta disampaikan apa adanya tanpa dirubah sedikit pun oleh wartawan dan selektif
maksudnya hanya berita yang layak dan pantas saja yang disampaikan. Ada hal-hal yang tidak layak
diekspose ke masyarakat luas.
3. Pers sebagai Media Entertainment
Dalam UU No. 40 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1disebutkan bahwa salah satu fungsi pers adalah
sebagai hiburan. Hiburan yang diberikan pers semestinya tidak keluar dari koridor-koridor yang boleh dan
tidak boleh dilampaui. Hiburan yang sifatnya mendidik atau netral jelas diperbolehkan tetapi yang
melanggar nilai-nilai agama, moralitas, hak asasi seseorang, atau peraturan tidak diperbolehkan. Hiburan
yang diberikan pers kepada masyarakat yang dapat mendatangkan dampak negatif, terutama apabila
hiburan itu mengandung unsur-unsur terlarang seperti pornografi dan sebagainya seharusnya dihindari.
4. Pers sebagai Media Kontrol Sosial
Maksudnya pers sebagai alat kontrol sosial adalah pers memaparkan peristiwa yang buruk,
keadaan yang tidak pada tempatnya dan yang menyalahi aturan, supaya peristiwa itu tidak terulang lagi
dan kesadaran berbuat baik serta mentaati peraturan semakin tinggi. Makanya, pers sebagai alat kontrol
sosial bisa disebut ―penyampai berita buruk‖.
5. Pers sebagai Lembaga Ekonomi
Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebagian besar surat kabar dan majalah di Indonesia
memperlakukan pembacanya sebagai pangsa pasar dan menjadikan berita sebagai komoditas untuk
menarik pangsa pasar itu.
A.2. PERANAN PERS DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
2. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan HAM,
serta menghormati kebhinekaan
3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar
4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum
5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
B. HUKUM ATAU UNDANG-UNDANG TENTANG PERS
Undang-undang Pers (secara resmi bernama Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers)
adalah undang-undang
yang
mengatur
tentang
prinsip,
ketentuan
dan
hak-hak
penyelenggara pers di Indonesia. Undang-undang Pers disahkan di Jakarta pada 23 September 1999
oleh Presiden Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie dan Sekretaris
Negara Muladi.
Undang-undang Pers mengandung 10 bab dan 21 pasal (Lihat Web Atau LInk Berikut :
https://pemerhatihukum.wordpress.com/2013/11/05/undang-undang-tentang-pers/.
Bab
dan
pasal
tersebut berisi aturan dan ketentuan tentang pembredelan, penyensoran, asas, fungsi, hak dan
kewajiban perusahaan pers, hak-hak wartawan, juga tentang Dewan Pers.[1]. Dewan Pers adalah
lembaga negara yang mengatur dan bertanggungjawab atas kegiatan jurnalistik di Indonesia. Dalam
Undang-undang Pers juga disebutkan bahwa subjek dan objek jurnalistik di Indonesia memiliki tiga
keistimewaan hak, yakni Hak tolak, Hak jawab, dan Hak koreksi. Ketiga hak tersebut juga telah diatur
dalam Kode etik jurnalistik Indonesia.
Dalam
Undang-undang
Pers
terdapat
pengertian
pers,
perusahaan
pers
dan
wartawan. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, media siber dan segala jenis
saluran yang tersedia. Perusahaan pers adalah badan
hukum
usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan
media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan,
Indonesia
menyiarkan,
yang
menyelenggarakan
atau
menyalurkan
informasi. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Terhitung sejak disahkan Undang-undang Pers oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, ada
beberapa peraturan dan undang-undang terkait pers yang dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang
dan aturan tersebut diantaranya adalah :
1.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang
Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia).
2.
Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang
Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang
menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan
penerbitan-penerbitan berkala.
Pernyataan tidak diberlakukannya undang-undang tersebut tertuang dalam pasal 20 bab 10 Undangundang Pers nomor 40 tahun 1999.
Seperti juga negara yang memiliki falsafah, pers pun memiliki falsafahnya sendiri. Falsafah atau
dalam bahasa Inggris philosophy salah satu artinya adalah tata nilai atau prinsip-prinsip untuk dijadikan
pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis. Falsafah pers disususn berdasarkan sistem politik
yang dianut oleh masyarakat dimana pers bersangkutan hidup. Falsafah pers yang dianut bangsa
Amerika yang liberalistis berlainan dengan falsafah pers yang dianut Cina atau Uni Soviet yang bersifat
komunistis sebelum negara tersebut dileburkan menjadi Rusia pada tahun 1991. falsafah pers yang
dianut Indonesia yang sistem politiknya (sekarang) demokratis berlainan dengan falsafah pers yang
dianut Myanmar yang militeristis. (Kusumaningrat, 2006:17-18)
Teori tentang pers ditulis dan dikemukakan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm dalam bukunya
yang berjudul Four Theories Of Press dengan maksud membagi sistem pers di dunia menjadi empat
kategori. Namun kesemuanya merupakan Teori Normative yang berasal dari pengamatan, bukan dari
hasil uji dan pembuatan hipotesis dengan menggunakan metode ilmu sosial. Berikut ini merupakan
penjelasan dari keempat teori itu yang dikutip dari berbagai sumber.
1. PERS KOMUNIS (Communist Press)
Kehidupan pers yang ada di negara-negara komunis (yang akan diwakili oleh sistem pers rusia)
pada umumnya adalah cerminan sistem sosial dan politik komunis. Bertolak dari konsep bahwa
kepemilikan atas sarana-sarana produksi dan distribusi berada yang ada dibawah kekuasaan negara,
maka pers di negara komunis dimiliki oleh pemerintah sepenuhnya, tidak ada kepemilikan baik itu
perorangan dan swasta. Tujuan Pers Komunis adalah sebagai instrumen yang terintegrasi dengan
kekuasaan pemerintah dan partai dalam kegiatan propaganda dan agitasi.
Menurut Heinz Ditriech Fisher dan John C. Merril yang dimuat dalam bukunya "International
Communication" yang dikutip oleh F Rachmadi, yang menyatakan bahwa sistem pers Uni Soviet (Rusia),
yang tidak dapat terlepas dari tiga nama tokoh dengan meletakkan dasar sistem pers soviet. Tiga nama
tokoh tersebut adalah Lenin, Stalin, dan Khrushchev. Menurut pendapat Lenin, pers harus melayani
kepentingan kaum buruh yang merupakan kelompok mayoritas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pers
menurut Lenin adalah pencetus teori pers komunis, Stalin adalah orang yang menerapkan ajaran Lenin.
Stalin adalah membuat lembaga sensor, penekanan-penekanan dan sebagainya. Sedangkan Khruschev
yang lebih menyadari bahwa pers itu dapat menjadi forum pertukaran pendapat.
Secara ringkas, Fungsi pers komunis di bekas negara Uni Soviet (Rusia) yang seperti ditulis oleh
F. Rachmadi. Fungsi Pers Komunis adalah sebagai berikut.... :
a). Sebagai alat seperti propaganda, agigator, dan organisator kolektif.
b). Sebagai tempat dalam pendidikan kader-kader komunis di kalangan massa.
c). Sebagai lembaga pemobilisasi dan mengorganisir massa untuk membangun ekonomi
d). Sebagai alat dalam melakukan kontrol dan kritik.
2. PERS OTORITER (Authoritarian Press)
Teori otoriter adalah pers yang mendukung dan menjadi kepanjangan tangan kebijakan
pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Teori ini muncul setelah mesin cetak ditemukan
dan menjadi dasar perkembangan pers komunis soviet. Dikenal sebagai sistem tertua yang lahir sekitar
abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut. saat itu , apa yang disebut kebenaran (truth) adalah milik
beberapa gelintir penguasa saja. Karena itu fungsi pers adalah dari puncak turun kebawah.
Ketika dasar dan teori pers pertama mendukung dan menjadi kepanjangan tangan kebijakan
pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Mesin cetak harus memiliki izin dan dalam
beberapa kondisi harus mendapat hak ijin pemakaian khusus dari kerajaan atau pemerintah agar bisa
digunakan dalam penerbitan. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung, dan peraturan
yang diterapkan sendiri dalam tubuh serikat pemilik mesin cetak, indvidu dijauhkan dari kemungkinan
mengkritik pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem otoriter, pers bisa dimiliki baik secara publik maupun
perorangan, namun demikian, tetap dianggap sebagai alat untuk menyebarkan kebijakan pemerintah.
Pers lebih digunakan untuk memberi informasi kepada rakyat mengenai apa yang penguasa pikirkan,
apa yang mereka inginkan, dan apa yang harus didukung oleh rakyat. Berbagai kejadian yang akan
diberitakan dikontrol oleh pemerintah karena kekuasaan raja sangat mutlak. Negara dengan raja sebagai
kekuatan adalah pusat segala kegiatan. Oleh karena itu, individu tidak penting, yang lebih penting adalah
negara sebagai tujuan akhir individu. Benito Mussolini (Italia) dan Adolf Hitler (Jerman) adalah dua
penguasa yang mewarisi sistem pers otoriter.
Saat ini penyensoran, baik oleh pemerintah maupun swasta, masih hidup dan berkembang di
berbagai belahan dunia, termasuk yang menyatakan yang menganut demokrasi. Misalnya perselisihan
yang sering terjadi antara wartawan dengan pemerintahan Singapura yang terkenal dengan kontrol
media yang ketat dimana petugas berwenang melakukan sensor atau pengeditan pada program dan
pengeditan. Harian seperti Asian Wall Street Journal, Far Eastern Economic Review, dan International
Herald Tribune merupakan harian yang pernah berselisih dengan pemerintah Singapura, dan harus
membayar denda serta menghadapi kontrol yang ketat.
3. PERS LIBERAL (Libertarian Press)
Sistem pers liberal (libertarian) berkembang pada abad ke 17-18 sebagai akibat munculnya
revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara barat yang disebut aufklarung
(pencerahan). Teori ini berkembang sebagai dampak dari masa pencerahan dan teori umum tentang
rasionalisasi serta hak-hak alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter. Esensi dasar
sistem ini memandang manusia mempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bisa
mengembangkan pemikirannya secara baik jika diberi kebebasan.
Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur
sekelilingnya untuk tujuan yang mulia. Kebebasan adalah hal yang utama untuk mewujudkan esensi
dasar itu, sedangkan control pemerintah dipandang sebagai menifestasi ―pemerkosaan‖ kebebasan
berpikir. Oleh karena itu, pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk mencari kebenaran.
Kebenaran akan diperoleh jika pers diberi kebebasan sehingga kebebasan pers menjadi tolak ukur
dihormatinya hak bebas yang dimiliki oleh manusia.
Libertarian theory menjadi dasar modifikasi social responsibility theory, dan merupakan kebalikan
dari Authoritarian Theory dalam hal hubungan posisi manusia terhadap negara. Manusia tidak lagi
dianggap bebas untuk dipimpin dan diarahkan. Kebenaran bukan lagi milik kodrati manusia. Dan pers
dianggap partner dalam mencari kebenaran. Untuk selama dua ratus tahun, pers Amerika dan Inggris
menganut teori liberal ini, bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai Fourth Estate
(kekuasaan keempat) dalam proses pemerintahan, setelah kekuasaan pertama lembaga eksekutif,
kekuasaan kedua lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga lembaga yudikatif.
Teori liberal pers berkembang di Inggris selama abad ke 18 tetapi tidak diperbolehkan dijalankan
di koloni Inggris di Amerika Utara sampai putusnya hubungan dengan Negara induk tersebut. Setelah
tahun 1776, teori ini diimplementasikan diseluruh wilayah yang lepas dari pemerintahan colonial dan
secara resmi diadopsi dengan adanya Amandemen pertama pada piagam Hak Asasi Manusia baru yang
ditambahkan ke dalam Undang-undang dasar. Dari tulisan Milton, Locke, dan Mill dapat dimunculkan
sebagai pemahaman bahwa pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan
mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari
keuntungan. Di bawah teori liberal, pers bersifat swasta, dan siapaun yang mempunyai uang yang cukup
dapat menerbitkan media. Media dikontrol dalam dua cara. Dengan beragamnya pendapat ―proses
pembuktian kebenaran‖ dalam ―pasar bebas gagasan‖ akan memungkinkan individu membedakan mana
yang benar dan yang salah. Demikian pula dengan sistem hokum yang memiliki ketentuan untuk
menindak tindakan fitnah, tindakan senonoh, ketidaksopanan, dan hasutan dalam masa peperangan.
4. PERS PANCASILA (Pancasila Press)
Negara sebagai sebuah kesatuan wilayah, sebuah kesatuan politik yang memiliki otonomi untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara warga negaranya dapat dikatakan
sebagai sebuah sistem makro yang mencakup beragam sistem-sistem lain didalamnya. Sudah sebuah
kewajiban mutlak bagi sebuah negara untuk mampu melindungi, mengatur, dan menjaga kelangsungan
sistem-sistem lainnya yang berada dibawah ruang lingkupnya. Tentunya agar dapat berputar secara
seirama. Hal ini dalam kaitannya dengan sebuah peran negara sebagai pengayom tidak terlepas
didalamnya ketika suatu negara harus mampu menjamin kebebasan bagi warga negaranya untuk
berekspresi dan berpendapat, sejalan dengan semangat pembaharuan, kebebasan, dan demokrasi yang
kerap didengngkan selama ini.
Pers sebagai sebuah keran untuk menyalurkan, untuk mewujudkan kebebasan itu sudah pasti
tentunya harus mendapatkan porsi jaminan yang besar. Dalam mewujudkannya setiap negara pastilah
memiliki latar belakang dan cita-cita yang berbeda, ini pulalah yang setidaknya berdampak pada
diferensiasi pedoman dan aktualisasi peran negara dalam menjamin terus berjalannya sistem – pers
yang dipergunakan. Untuk hal yang satu ini Indonesia terbilang berbeda dibandingkan dengan negaranegara lainnya yang cenderung mengikuti teori-teori para ahli terkemuka. Indonesia ―sekali lagi‖
mempergunakan nama Pancasila untuk mendefinisikan sistem pers yang dianutnya. Seolah terlihat
begitu sakral begitu nama Pancasila dilekatkan. Tetapi benarkah sedemikian hebat nama Pancasila yang
digunakan sebagai sistem pers kita.
Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggung jawab. Konsep
ini mengacu ke teori "pers tanggung jawab sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan
mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggung jawab
pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat
modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggung jawab pada pemerintah.Kebebasan Pers
Indonesia baru didapatkan pada era B.J Habibie, setelah 32 tahun pers Indonesia terkungkung oleh
aturan yang dikeluarkan pemerintah orde baru, pergerakan pers amat sangat terbatas pada saat itu. Pers
Indonesia yang dikenal dengan nama ―Pers Pancasila‖. Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember
1984) merumuskan Pers Pancasila sebagai berikut: "Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti
pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945." Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif,
penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Pers pancasila harus meletakkan kepentingan individu maupun masyarakat sebagai sosialitas
yang lebih luas, secara seimbang an adil. Dengan demikian pemberitaan mengenai sesuatu hal,
hendaknya dilakukan secara seimbang. Misalnya terdapat sebuah kasus mengenai seorang pejabat yang
mempunyai penerbitan surat kabar tertentu, dan menjadi angota sebuah parpol tertentu.ketika parpol
tersebut terlibat kasus money politics, maka hendaknya kasus tersebut diberitakan secara terbuka dalam
surat kabar yang dimiliki pejabat tersebut. Nilai keadilan umum, tetap harus diutamakan dalam sebuah
pemberitaaan media massa.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
Diterapkan mekanisme kerja yang menjalin hubungan timbal balik antara pers, pemerintah dan
masyarakat.
Dinamika dikembangkan bukan dari pertentangan menurut paham, melainkan atas paham hidup
menghidupi, saling membantu dan bukan saling mematikan.
Perludikembangkan
kultur
politik
dan
mekanisme
yang
memungkinkan
berfungsinya
sistemkontrol social dan kritik yang konstruktif secara efektif. Namun demikian control social itu
pun substansinya serta caranya tetaptidak terlepas dari asas keselarasan dan keseimbangan
serta ketertiban untuk saling hidup menghidupi bukan saling mematikan dalam control yang
dilakukan tetap berpijak pada nilai-nilai dalam system Pers Pancasila, termasuk bebas dan
bertanggung jawab. Mengamati dengan cermat prinsip-prinsip interaksi positif antara pemerintah,
pers dan masyarakat seperti tertuang dalam rumusan pers pancasila tersebut, dapat dikatakan
bahwa pers pancasila masih sangat relevan untuk dikembangkan dan dijadikan tolok ukur bagi
keberadaan pers di Indonesia. Hal ini terutama jika ditilik dari landasan filosofis yang
melatarbelakangi keberadaan prinsip-prinsip tersebut.
C. JURNALISTIK
Seiring kemajuan teknologi informasi maka yang bermula dari laporan harian maka tercetak
manjadi surat kabar harian. Dari media cetak berkembang ke media elektronik, dari kemajuan elektronik
terciptalah media informasi berupa radio. Tidak cukup dengan radio yang hanya berupa suara muncul
pula terobosan baru berupa media audio visual yaitu TV (televisi). Media informasi tidak puas hanya
dengan televisi, lahirlah berupa internet, sebagai jaringan yang bebas dan tidak terbatas. Dan sekarang
dengan perkembangan teknologi telah melahirkan banyak media (multimedia).
Jurnalistik bisa dibatasi secara singkat sebagai kegiatan penyiapan, penulisan, penyuntingan,
dan penyampaian berita kepada khalayak melalui saluran media tertentu. Jurnalistik mencakup kegiatan
dari peliputan sampai kepada penyebarannya kepada masyarakat. Sebelumnya, jurnalistik dalam
pengertian sempit disebut juga dengan publikasi secara cetak. Pengertian tersebut tidak hanya sebatas
melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, dan sebagainya, akan tetapi meluas menjadi media
elektronik seperti radio atau televisi.
Berdasarkan media yang digunakan meliputi jurnalistik cetak (print journalism), elektronik
(electronic journalism). Akhir-akhir ini juga telah berkembang jurnalistik secara tersambung (online
journalism). Dahulu kegiatan jurnalistik dilakukan dengan cara-cara manual, mulai dari pencarian berita
hingga kepada kegiatan pelaporan berita atau pengumpulan berita dilakukan dengan cara yang masih
sangat sederhana. Hal ini dikarenakan dahulu alat-alat pendukung kegiatan jurnalistik masih minim
sekali. Selain itu juga jurnalistik pada zaman dahulu hanya dipahami sebagai publikasi secara cetak.
Tetapi sekarang tidak hanya dari situ saja, media elektronik juga ikut andil dalam hal pemberitaan serta
sebagai pelaku media massa.
Dapat dilihat bahwa sekarang ini dunia teknologi semakin berkembang. Perkembangan teknologi
tersebut juga memengaruhi perkembangan jurnalistik. Pada zaman dahulu hanya seorang jurnalis
profesional yang mampu melakukan kegiatan jurnalistik. Dimana kegiatan jurnalistik yang dimaksud
adalah mencari, mengumpulkan, mengolah, dan melaporkan berita kepada masyarakat luas. Akan tetapi
saat ini, kegiatan jurnalistik tidak hanya dapat dilakukan oleh jurnalis profesional.
Dengan ditemukan teknologi internet, kegiatan jurnalistik dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa
harus memiliki background sebagai jurnalis profesional. Setiap orang bisa melakukan kegiatan mencari,
mengumpulkan, mengolah, dan melaporkan berita kepada masyarakat luas. Istilah yang digunakan untuk
perkembangan jurnalistik tersebut yakni citizen journalism. Dalam citizen journalism, semua anggota
masyarakat mampu melakukan kegiatan jurnalistik tanpa memandang latar belakang pendidikan dan
keahlian. Kehadiran citizen journalism mendorong setiap orang untuk berani menulis dan melaporkan
informasi/berita kepada banyak orang tanpa memerlukan label atau status jurnalis profesional.
Pengertian jurnalistik menurut para ahli sebagai berikut:
Fraser Bond dalam bukunya, ―An introduction to Journalism,‖ terbitan tahun 1961, mengatakan:
Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita agar sampai
pada kelompok pemerhati.
Roland E. Wolseley dalam bukunya UndeJurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran,
pemrosesan dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan umum secara
sistematik dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada SK, majalah dan disiarkan stasiun siaran.
Adinegoro dalam buku: ―Hukum Komunikasi Jurnalistik,‖ karya M. Djen Amar terbitan tahun 1984,
mengatakan: Jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberikan
pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekas’a agar tersiar luas.
Astrid Susanto dalam bukunya: ,‖Komunikasi massa,‖ terbitan tahun 1986, menyebutkan: dalam
Jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kegiatan
sehari-hari.
Onong Uchjana Effendy dalam bukunya: ―Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,‖ terbitan tahun
1993 menyebutkan, Jurnalistik adalah teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan
sampai menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Djen Amar bukunya: ―Hukum komunikasi Jurnalistik,‖ terbitan tahun 1984 mengatakan: Jurnalistik
adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita kepada khalayak seluasluasnya dengan secepat-cepatnya.
Erik Hodgins, redaktur majalah Time seperti yang dikutip Kustadi Suhandang dalam bukunya:
Pengantar Jurnalistik, Seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik, terbitan tahun 2004,
mengatakan : Jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama
dan cepat dalam rangka membela kebenaran dan keadilan berfikir yang selalu dapat dibuktikan.
Kustadi Suhandang dalam buku yang sama mengatakan, Jurnalistik adalah seni dan atau
keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang
pristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati
nurani khalayaknya.
Drs. A.S. Haris Sumadiria, M.Si, dalam bukunya, jurnalistik Indonesia, Menulis berita dan feature,
panduan Praktis Jurnalis professional, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2005, merumuskan
definisi jurnalistik sebagai: Kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah,
menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya
dengan secepat-cepatnya
Seiring dengan berjalannya waktu, difasilitasi dengan lingkungan regulasi yang semakin longgar,
perusahaan media yang besar bergabung atau membeli perusahaan media lainnya untuk membuat
konglomerasi media yang lebih besar dan juga global. Dilihat dari sudut pandang ―pasar‖, hal ini wajar
dalam rangka untuk memperbesar penjualan, efisiensi dalam produksi, dan memposisikan diri terhadap
kompetitor. Namun bila dilihat dari sudut pandang ruang publik, hal ini tidak menjamin terlayaninya
kepentingan publik (public interest). Jumlah outlet media yang banyak belum tentu menjamin
terpenuhinya content yang menjadi kepentingan publik.
Tren yang berlaku pada struktur industri media akhir-akhir ini adalah Pertumbuhan, Integrasi,
Globalisasi, dan Pemusatan Kepemilikan. Proses restrukturisasi pada industri media telah mengizinkan
para konglomerat untuk menjalankan strategi-strategi yang diarahkan untuk memaksimalkan keuntungan,
mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Perubahan dalam struktur media serta prakteknya
berpengaruh nyata pada isi media. Pengejaran keuntungan menjuruskan media pada homogenisasi dan
trivialisasi (membuat sesuatu yang tidak penting). Isi pada media akan sering berbenturan dan
menyesuaikan pada kepentingan bisnis yang mengejar keuntungan.
Hegemoni, menurut pandangan Gramsci (1971) tidak hanya menunjukkan dominasi dalam
kontrol ekonomi dan politik saja, namun juga menunjukkan keampuan dari suatu kelas sosial yang
dominan untuk memproyeksikan cara mereka dalam memandang dunia. Jadi, mereka yang mempunyai
posisi di bawahnya menerima hal tersebut sebagai anggapan umum yang sifatnya alamiah.
Budaya yang tersebar merata di dalam masyarakat pada waktu tertentu dapat diinterpretasikan
sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari penerimaan ―konsesual‖ oleh kelompokkelompok gagasan subordinat, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok dominan tersebut. Menurut
Gramsci, kelompok dominan tampaknya bukan semata-mata bisa mempertahankan dominasi karena
kekuasaan, bisa jadi karena masyarakat sendiri yang mengijinkan.
Singkatnya, hegemoni dapat dikatakan sebagai reproduksi ketaatan, kesamaan pandangan,
dengan cara yang lunak. Lewat media massa lah hegemoni dilakukan. Media secara perlahan-lahan
memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu kepada khalayak.
Konsep-konsep hegemoni yang dipaparkan di atas mungkin masih agak membingungkan,
karena itu akan kita kupas penerapan hegemoni media dalam contoh yang lebih ringan.
Amerika Serikat dengan Hollywood-nya telah berhasil menjadi kiblat perfilman internasional.
Kondisi ini tidak disia-siakan oleh mereka untuk menyetir pandangan masyarakat dunia terhadap negara
mereka. Amerika Serikat berusaha membangun pandangan bahwa negara mereka adalah negara
terkuat, superhero,penyelamat dunia. Coba perhatikan film-film science fiction seperti Armageddon,
Independence Day,dan lain sebagainya.Disini Amerika Serikat selalu digambarkan sebagai sosok
―jagoan‖.
1. FUNGSI DAN TUGAS JURNALISTIK
1.A. FUNGSI
Pers atau bidang kerja jurnalistik pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai:
Pemberi informasi – Fungsi utama pers adalah pemberi informasi atau menyiarkan informasi
kepada pembaca (publik). Informasi yang disajikan melalui karya-karya jurnalistik, seperti berita
(straight news), feature, reportase dan lainnya, memang sesuatu yang sangat diharapkan publik
pembaca, ketika membaca, membeli dan berlangganan media pers. Informasi yang disampaikan
pun beragam jenisnya. Tidak hanya sebatas informasi yang berkaitan dengan suatu peristiwa,
tetapi juga bersifat ide, gagasan-gagasan, pendapat atau pikiran-pikiran orang lain yang memang
layak untuk disampaikan ke publik pembaca.
Pemberi hiburan – Media pers juga punya fungsi untuk menghibur publik pembaca. Menghibur
dalam kaitan meredakan atau melemaskan ketegangan-ketegangan pikiran karena kesibukan
aktivitas kehidupan. Jadi, informasi yang disajikan media pers tidak hanya berita-berita serius
atau berita-berita berat (hard news), tapi juga berita-berita atau karya jurnalistik lainnya yang
mampu membuat pembaca tersenyum, dan melemaskan otot-otot pikirannya. Karya-karya
menghibur itu bias ditemukan dalam bentuk karya fiksi, seperti cerpen, cerita bersambung, cerita
bergambar, karikatur, gambar-gambar kartun, bahkan juga tulisan-tulisan yang bersifat human
interest.
Pemberi kontrol (alat kontrol sosial) – Fungsi pemberi kontrol atau sebagai alat kontrol sosial
merupakan fungsi penting yang dimiliki pers. Sebagai media penyampai informasi, media pers
tidak hanya sebatas menyampaikan atau memberikan informasi yang berkaitan dengan suatu
peristiwa, akan tetapi berkewajiban juga menyampaikan gagasan-gagasan maupun pendapat
yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Bila ada suatu kebijakan, baik dari
pemerintah maupun lembaga-lembaga tertentu, yang dipandang tidak sesuai atau berlawanan
dengan kepentingan masyarakat, media pers punya kewajiban untuk mengingatkan. Cara
mengingatkannya dilakukan melalui tulisan di tajuk rencana maupun karya jurnalistik lainnya.
Pendidik masyarakat – Fungsi sebagai pendidik masyarakat ini juga merupakan fungsi penting
yang disandang media pers. Dalam pengertian yang luas, pers berkewajiban mendidik
masyarakat pembacanya dengan memberikan beragam pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi
peningkatan nilai kehidupan. Sajian-sajian karya jurnalistiknya haruslah mencerahkan dan
memberikan tambahan pengetahuan serta wawasan yang luas, sehingga masyarakat
memperoleh pemahaman atau pengertian baru tentang kehidupan yang lebih maju dibanding
sebelumnya.
Dengan fungsi-fungsinya itu pers memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat.
Melalui pengaruhnya, pers (media cetak dan media elektronik) dapat membawa dan menyampaikan
pesan-pesan maupun gagasan-gagasan (dikemas dalam karya jurnalistik) yang membangun dan
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian pula dalam pembangunan di bidang sosial-budaya, atau bentuk-bentuk kehidupan di
dalam masyarakat, misalnya dalam mewujudkan terjadinya perubahan sosial atau peralihan masyarakat
tradisional ke masyarakat modern, pers dengan pengaruhnya dapat mempercepat proses perubahan
sosial maupun peralihan itu.
Pers melalui karya-karya jurnalistik yang disajikannya mempunyai fungsi dan peranan yang besar
dalam menciptakan suatu sikap pembaharuan dalam perilaku dan tatanan sosial serta sikap budaya
masyarakat. Khususnya dalam memperbaharui pola pikir masyarakat yang tradisional ke pola pikir
modern.
Berdasar pada fungsi dan peranannya yang besar itu, Wilbur Schramm (1982), menyebut pers
sebagai ―Agen Pembaharu‖.
Sebagai agen pembaharu, pers dapat memainkan perannya yang besar dalam proses
perubahan sosial yang berlangsung dalam suatu masyarakat atau suatu bangsa. Melalui informasiinformasi sebagai hasil kerja jurnalistik yang disajikan kepada masyarakat pembaca (publik), pers dapat
merangsang proses pengambilan keputusan di dalam masyarakat, serta membantu mempercepat proses
peralihan masyarakaty yang semula berpikir tradisional ke alam pikiran dan sikap masyarakat modern.
1.B. TUGAS
Wartawan atau jurnalis adalah seseorang yang melakukan jurnalisme atau orang yang secara
teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/dimuat di media massa secara
teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film
dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan
mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut
tertentu untuk melayani masyarakat.
Istilah jurnalis baru muncul di Indonesia setelah masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang
cenderung berkiblat ke Amerika Serikat. Istilah ini kemudian berimbas pada penamaan seputar posisiposisi kewartawanan. Misalnya, "redaktur" menjadi "editor."
Pada saat Aliansi Jurnalis Independen berdiri, terjadi kesadaran tentang istilah jurnalis ini.
Menurut aliansi ini, jurnalis adalah profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan
dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas,fotografer, dan desain
grafis editorial. Akan tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada
definisi wartawan.
Sementara itu wartawan, dalam pendefinisian Persatuan Wartawan Indonesia, hubungannya
dengan kegiatan tulis menulis yang di antaranya mencari data (riset, liputan, verifikasi) untuk melengkapi
laporannya. Wartawan dituntut untuk objektif, hal ini berbeda dengan penulis kolom yang bisa
mengemukakan subjektivitasnya.
Dalam awal abad ke-19, jurnalis berarti seseorang yang menulis untuk jurnal, seperti Charles
Dickens pada awal kariernya. Dalam abad terakhir ini artinya telah menjadi seorang penulis untuk koran
dan juga majalah.
Banyak orang mengira jurnalis sama dengan reporter, seseorang yang mengumpulkan informasi
dan menciptakan laporan, atau cerita. Tetapi, hal ini tidak benar karena dia tidak meliputi tipe jurnalis
lainnya, seperti kolumnis, penulis utama, fotografer, dan desain editorial.
Tanpa memandang jenis media, istilah jurnalis membawa konotasi atau harapan profesionalitas
dalam membuat laporan, dengan pertimbangan kebenaran dan etika.
Tugas wartawan yakni :
authenticator, yakni konsumen memerlukan wartawan yang bisa memeriksa keautentikan suatu
informasi.
sense maker yakni menerangkan apakah informasi itu masuk akal atau tidak.
investigator yakni wartawan harus terus mengawasi kekuasaan dan membongkar kejahatan.
witness bearer yakni kejadian-kejadian tertentu harus diteliti dan dipantau kembali dan dapat
bekerja sama dengan reporter warga.
empowerer yakni saling melakukan pemberdayaan antara wartawan dan warga untuk
menghasilkan dialog yang terus-menerus pada keduanya.
smart aggregator yakni wartawan cerdas harus berbagi sumber berita yang bisa diandalkan,
laporan-laporan yang mencerahkan, bukan hanya karya wartawan itu sendiri.
forum organizer yakni organisasi berita, baik lama dan baru, dapat berfungsi sebagai alun-alun di
mana warga bisa memantau suara dari semua pihak, tak hanya kelompok mereka sendiri.
role model, yakni tak hanya bagaimana karya dan bagaimana cara wartawan menghasilkan
karya tersebut.
2. ASAL-USUL JURNALISTIK
Berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada ―Acta Diurna‖ pada zaman
Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
―Acta Diurna‖, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi
sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian
pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai ―Bapak Pers Dunia‖.
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada
permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting
dicatat pada ―Annals‖, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis
itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat
setiap hari diumumkan pada ―Acta Diurna‖. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturanperaturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu
ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut ―Forum Romanum‖ (Stadion Romawi) untuk
diketahui oleh umum.
Berita di ―Acta Diurna‖ kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para ―Diurnarii‖, yakni
orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan ―Acta Diurna‖
itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata ―Acta Diurna‖ inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata ―Diurnal‖ dalam
Bahasa Latin berarti ―harian‖ atau ―setiap hari.‖ Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi ―Du Jour‖ dan
bahasa Inggris ―Journal‖ yang berarti ―hari‖,―catatan harian‖, atau ―laporan‖. Dari kata ―Diurnarii‖ muncul
kata ―Diurnalis‖ dan ―Journalist‖ (wartawan).
Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang
pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh
berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.
Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar
kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya
melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk
dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun
disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.
Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar
(wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.
Adapun Sejarah Jurnalistik Indonesia Awal mulanya, sejarah jurnalistik diawali dari komunikasi
antar manusia yang bergantung dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan
media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Getenberg.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Sebagian pejuang
kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah
Bintang Timoer, Java Bode, Bintang Barat, dan Medan Prijaji terbit.
Pada masa kedudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, dimana setiap korang dilarang.
namun pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Sinar Baru, Asia Raja, Suara Asia,
Tjahaja, dan Sinar Matahari.
Dan semenjak kemerdekaan Indonesia yang membawa keuntungan bagi kewartawanan.
Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang
penyelenggaraan Asia Games IV, peemrintah memasukkan proyek televisi. Sejah tahun 1962 tersebut
Televisi Republik Indonesia hadir dengan teknologi yang layar hitam putih.
Di Era Presiden Soeharto, media massa banyak dibatasi. Seperti kasus Majalah Tempo dan
Harian Indonesia Raya merupakan dua contoh bukti sensor dalam kekuasaan Era Soeharto. Kontrol
yang dipegang oleh PWI (Departemen Penerangan dan persatuan Wartawan Indonesia). Dari situasi
tersebut muncullah Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wiswa Sirna Galih, Jawa
Barat. Sebagian dari aktivitasnya berada di sel tahanan.
Sejarah kemerdekaan Pers/jurnalis beradap di titik saat Soeharto di gantikan oleh BJ Habibie.
Disaat itulah banyak media massa yang muncul dan PWI bukan satu-satunya organisasi profesi.
Kegiatan kewartawanan diatur oleh UU Pers No. 40. Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan UU
Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.
3. KODE ETIK JURNALISTIK
Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.[1] Wartawan selain dibatasi
oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang
kepada kode etik jurnalistik.[2] Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan
profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.
Ditinjau dari segi bahasa, kode etik berasal dari dua bahasa, yaitu ―kode‖ berasal dari bahasa
Inggris ―code‖ yang berarti sandi, pengertian dasarnya dalah ketetuan atau petunjuk yang sistematis.[3]
Sedangkan ―etika‖ berasal dari bahasa Yunani ―ethos‖ yang berarti watak atau moral.[3] Dari pengertian
itu, kemudian dewasa ini kode etik secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan atau kumpulan
etika.
Di Indonesia terdapat banyak Kode Etik Jurnalistik.[2] Hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya
organisasi wartawan di Indonesia, untuk itu kode etik juga berbagai macam, antara lain Kode Etik
Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), Kode Etik
Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (KEJ-AJI), Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia, dan lainnya.[2]
Sejarah perkembangan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah
perkembangan pers di Indonesia. Jika diurutkan, maka sejarah pembentukan, pelaksanaan, dan
pengawasan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia terbagi dalam lima periode.
Berikut kelima periode tersebut
1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik
Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka tanggal 17 Agustus
1945. Meski baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan pers baru.[4] Berhubung masih
baru, pers pada saat itu masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat menerbitkan atau
memberikan informasi kepada masyarakat di era kemerdekaan, maka belum terpikir soal pembuatan
Kode Etik Jurnalistik. Akibatnya, pada periode ini pers berjalan tanpa kode etik.
2. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1
Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo, tapi ketika organisasi
ini lahir pun belum memiliki kode etik.[4] Saat itu baru ada semacam konvensi yang ditungakan dalam
satu kalimat, inti kalimat tersebut adalah PWI mengutamakan prinsip kebangsaan. Setahun kemudian,
pada 1947, lahirlah Kode Etik PWI yang pertama.
3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI
Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan lainnya.[4] Walaupun
dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi lain, Kode Etik Jurnalistik PWI hanya berlaku bagi
anggota PWI sendiri, padahal organisai wartawan lain juga memerlukan Kode Etik Jurnalistik.[4]
Berdasarkan pemikiran itulah Dewan Pers membuat dan mengeluarkan pula Kode Etik Jurnalistik.[4]
Waktu itu Dewan Pers membentuk sebuah panitia yang terdiri dari tujuh orang, yaitu Mochtar Lubis,
Nurhadi Kartaatmadja, H.G Rorimpandey , Soendoro, Wonohito, L.E Manuhua dan A. Aziz.[4] Setelah
selesai, Kode Etik Jurnalistik tersebut ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Pers masingmasing Boediarjo dan T. Sjahril, dan disahkan pada 30 September 1968.[4] Dengan demikian, waktu itu
terjadi dualisme Kode Etik Jurnalistik.[4] Kode Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan yang menjadi
anggota PWI, sedangkan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers berlaku untuk non PWI.[4]
4. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2
Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan.[4] Menurut pasal 4
Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/ 1969 mengenai wartawan, ditegaskan, wartawan
Indonesia diwajibkan menjadi
anggota organisasi
wartawan Indonesia yang telah disahkan
pemerintah.[4] Namun, waktu itu belum ada organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah.[4] Baru
pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah mengesahkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan
Indonesia.[4] Sebagai konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut, maka secara otomatis Kode Etik
Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia adalah milik PWI.
5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era Reformasi, paradigma
dan tatanan dunia pers pun ikut berubah. Pada tahun 1999, lahir Undang-Undang No 40 tahun 1999
tentang Pers yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang ini membebaskan wartawan dalam memilih
organisasinya. Dengan Undang-Undang ini, munculah berbagai organisasi wartawan baru. Akibatnya,
dengan berlakunya ketentuan ini maka Kode Etik Jurnalistik pun menjadi banyak. Pada tanggal 6
Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode Etik Wartawan Indonesia
(KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000. Kemudian pada 14 Maret 2006, sebanyak 29
organisasi pers membuat Kode Etik Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.
Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat vital bagi wartawan, bahkan dibandingkan
dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun, Kode Etik Jurnalistik memiliki
kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan. M. Alwi Dahlan sangat menekankan betapa pentingnya
Kode Etik Jurnalistik bagi wartawan.[5] Menurutnya, Kode Etik setidak-tidaknya memiliki lima fungsi,
yaitu:
a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malpraktek oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers dan
ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan Dewan
Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas,
yaitu:
1. Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen, selain itu, Pers
wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik. Asas
demokratis ini juga tercermin dari pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indoensia melayani hak
jawab dan hak koreksi secara proposional.[4] Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers
tidak boleh menzalimi pihak manapun.[4] Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk
menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara proposional.
2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya,
baik dari segi teknis maupun filosofinya.[4] Misalnya Pers harus membuat, menyiarkan, dan
menghasilkan berita yang akurat dan faktual.[4] Dengan demikian, wartawan indonesia terampil secara
teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai filosofi profesinya. Hal lain
yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas kepada
narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang
didapat, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang , dan off the record, serta pers harus
segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.
3. Asas Moralita
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang
sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan
kepercayaan. Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan
profesi wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi, secara langsung sudah
melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain
Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang
miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan
diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas
korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran
berita yang tidak akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku.[4] Untuk itu,
wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.[4] Dalam memberitakan sesuatu
wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga tak bersalah.
4. UNDANG UNDANG TENTANG JURNALISTIK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS
Menimbang :
Bahwa kemerdekaan pers merupakan salah
satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi
unsur yang sangat penting untuk mencip takan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
bernegaraa yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran
dan
dan pendapat
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin;
Bahwa
dalam
kemerdekaan
kehidupan
menyatakan
bermasyarakat,
pikiran
berbangsa dan bernegara yang
emokratis,
dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak
memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan
untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran, memajukan kesejahteraan
umum,
dan
informasi,
dan
mencerdaskan kehidupan bangsa;
Bahwa pers nasional sebagai wahana
komunikasi
massa,
penyebar
pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan pera nannya
dengan sebaik-baiknya berdasarkan
kemerdekaan
pers
yang
profesional, sehingga
harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan
paksaan dari manapun;
Bahwa pers nasional berperan ikut
menjaga
ketertiban
dunia
yang
berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
Bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers
sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 4 Tahun 1967 dan iubah
dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah
tidak sesuai dengan
tuntutan
perkembangan zaman;
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai mana dimaksud dalam huruf a, b,c,d dan e, perlu
dibentuk Undang-undang tentang pers.
Pasal 1
Dalam undang-undang ini, yang dimaksud dengan:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik
meliputi
mencari,
memperoleh,
memiliki, menyimpan,
mengolah
dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers
meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan
media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan
informasi.
Kantor Berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau
media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Organisasi Pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Pers Nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
Pers Asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing.
Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang
akan
diterbitkan atau
disiarkan atau tindakan teguran
atau
peringatan yang
bersifat
mengancam dari pihak manapun dan atau kewajiban melapor, serrta memperoleh izin dari
pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau
penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan
atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan anggapan atau
sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan keleliruan informasi
yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi,
data,
fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah
diberitakan oleh pers yang
bersangkutan.
Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Pasal 3

Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan dan kontrol
sosial.

Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat
1 pers
nasional
dapat berfungsi sebagai lembaga
ekonomi.
Pasal 4

Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

Terhadap
pers
nasional tidak
dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan
penyiaran.

Untuk menjamin kemerdekan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak.
Pasal 5

Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati normanorma dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Pers wajib melayani Hak Jawab.

Pers wajib melayani Hak Koreksi.
Pasal 6

Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut;

Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

Menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan.

Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
(Untuk Pasal Selengkapnya Baca https://pemerhatihukum.wordpress.com)
D. FAKTOR PENGHALANG TERJADINYA KEBEBASAN PERS
Perubahan regulasi media ternyata tidak sungguh-sungguh dimaksudkan untuk menyerahkan
urusan publik kepada publik, mengeliminir determinasi sistem terhadap domain kehidupan masyarakat
dan individu. Perubahan regulasi
itu belakangan justru kembali memfasilitasi gerak rebirokratisasi
informasi dan surplus ekonomi, penghargaan terhadap kemajemukan dan kebinekaan tergusur oleh
orientasi untuk mempertahankan establishmen kepentingan ekonomi dan politik dibalik bisnis media.
Semangat untuk menjadikan media sebagai urusan publik dikalahkan gerak reorganisasi kekuatan modal
dan birokrasi.
Artinya ekonomi-politik yang demikian menghalangi media dalam menjalankan keutamaan ruang
publik. Ketika produk media menjadi sepenuhnya komoditas komersial, pembentukan watak sosial
masyarakat melalui media semakin tidak ditentukan oleh persoalan dan pertanyaan di seputar
kewargaan, melainkan oleh pertanyaan tentang konsumen. Maka, muncul beberapa kecendrungan
anomali. Ketika logika akumulasi modal menjadi satu-satunya determinan dalam bisnis media, kinerja
media terarah pada proses komersialisasi dan komodifikasi hampir tanpa batas. Lalu ruang publik media
mengalami pendangkalan.kemasan dianggap lebih penting dibandingkan dengan isinya.
Dominasi rasionalitas strategi-instrumental mendorong sikap minimalis terhadap berbagai
keutamaan media. Minimalis dalam mengejawantahkan maksud kebebasan pers dalam berkomitmen
terhadap realitas kemajemukan dan kebhinekaan kehidupan, serta dalam memproyeksikan diri sebagai
institusi pengembangan potensi-potensi komunitas individu. Media tanggap terhadap dinamika sosial
politik, namun dengan ekspresi dan stabilitas yang minimalis, tanpa penghayatan penuh dan skema
moral tertentu. Praktik media juga menjadi sangat berorientasi pada sensasi dan citra.
Dan disisi lain, media juga institusi ekonomi yang beroperasi berdasarkan rasionalitas bisnis.
Karena modal yang digunakan untuk menggerakan instirusi media tidaklah sedikit, maka besar pula
ekspektsi bisnis terhadapnya. Orang berinvestasi dibidang media bukan hanya karena idealisme, tetapi
juga dan terutama untuk berbisnis. Lalu sebagaimana enitas bisnis lainnya, media harus tunduk kepad
hukum ekonomi: efisiensi, intesnsifikasi, konvergensi dan sterusnya. Maka, tidak mengherankan jika
rasionalitas strategis menjadi sangat deteminan dalam dunia media. Bisnis media juga harus
diintegrasikan dalam sistem ekonomi secara lebih luas.
1. Perjalanan Pers di Indonesia
Pers di Indonesia mengalami banyak perkembangan dimulai dengan Dr. De Haan dalam
bukunya, ―Oud Batavia‖ (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas tentang awal mula
dimulainya dunia persuratkabaran di Indonesia, bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah
koran dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah koran
bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Koran yang memuat berbagai berita dari
Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham
Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu
Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat
kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Pers paska kemerdekaan, beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari
kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, trmasuk pers. Yang
direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di
perusahaan koran milik Jepang, yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe
(Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 (tahun Jepang) koran-koran tersebut telah terbit dengan
mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat
secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh
Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata
Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh
mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent,
Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Dimasa itulah koran
dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman
dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa
klas pertama tahun 1947, pers Indonesia terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang
diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI.
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding dimasa penjajahan
Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, karena beritanya selalu untuk
kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan
masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi,
maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau ketinggalan
mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan
orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa.
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah
disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang
mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan
aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement
tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan,
hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi
dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan
dalam bidang pers dilanjutkan kembali.
Pers era orde baru , aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi
sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah
Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan
yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksinya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena
dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum
dibicarakan di parlemen (Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181)
Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers
baru yang ―orisinil‖ yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development
journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social
responsibility pers). Konsep ―Pers Pembangunan‖ atau ―Pers Pancasila‖ (sering didefinisikan sebagai
bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno
Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan1980-an.
Pers dalam melawan tirani Pada era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan
pers dan arus informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal
organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap pers. Faktor-faktor itu lah
yang telah berhasil menghambat arus informasi dan memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga
kontrol.
Wartawan Indonesia, selama 52 tahun, sejak Republik Indonesia berdiri, cuma mengenal satu
organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini setiap kali terperangkap
dalam korporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan menggunakannya sebagai operator untuk
merepresi dan mengintimidasi pers. Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki organisasi yang bisa
mewakili dalam memperjuangkan hak, melindungi dan meningkatkan profesinya.
Pada akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelan tiga media
terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbeda dari berbagai pembredelan pers yang
sering terjadi di Indonesia, penutupan tiga media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Pers di indonesia mempunyai sejarah yang panjang dan berliku, dimulai dari pers yang masih di
bredel oleh penguasa pada masa itu sampai pers yang sudah merdeka saat ini. Namun disayangkan
kebebasan perssaat ini hanyalah kebebasan semu karena disadari atau tidak pers kini dijajah secara
halus oleh kapitalisme dan juga politik pemilik modal. Pers seakan kehilangan jati diri dan idealismenya
dimana pers berdiri bukan hanya untuk memberikan informasi kepada masyarakat namun juga untuk
dasar ekonomi kepentingan bisnis dimana berita yang dibuat harus juga merupakan berita yang menjual
dan menguntungkan pemilik modal.
Disisi ini pers lebih mengedepankan menjual informasi yang memang diinginkan oleh konsumen
daripada tentang informasi yang dianggap tidak menjual, terlebih jika pemilik modal media tersebut juga
aktif dalam ranah politik maka media disini seolah ada peraturan tidak tertulis yang mengharuskan pers
menciptakan citra positif untuk pemilik modal tersebut sehingga lambat laun idealitas dari penulis hilang
ditelan kapitalisme dan kepentingan dari pemilik modal.
Sebenarnya jika pers pancasila dapat dilaksanakan dengan baik bukan hanya pengakuan secara
de jure saja kebebasan pers di Indonesia pasti akan jauh lebih baik dan tertata karena pada hakikatnya
walaupun kata ―bebas‖ tapi tetap saja tetap ada batasan yang memang membatasinya. Kareana tidak
ada sesuatu yang memang benar-benar bebas seutuhnya. Selama pers bisa menjalankan pers pancasila
maka kebebasan pers itu akan jauh lebih baik.
BAB IV
REFERENSI
http://www.kompasiana.com/tya.listya/kebebasan-pers
https://kewarganegaraan3.wordpress.com/2010/01/29/peranan-pers-dalam-masyarakat-demokratis/
https://pemerhatihukum.wordpress.com/2013/11/05/undang-undang-tentang-pers/
https://www.wikipedia.org/
https://www.google.co.id/
RIWAYAT PENULIS
Taufiq Hidayat Lahir pada hari Jum'at 06 Agustus
1993 di Brebes,Jawa Tengah. Lahir dari sebuah keluarga
miskin pedesaan dan terpaksa mengadu nasib ke perantauan
mengikuti orang tua pada usia 9 tahun atau saat kelas 4
Sekolah Dasar ke Kota Bandung dan menjadi murid baru di
salah satu SD Negeri di Bandung(Namun lulus SD di Bogor :v
wkwkwkwk).
Besar dan Tumbuh dengan sejuknya kota kembang
hingga Lulus Sekolah Menengah Pertama di sebuah SMP
swasta di kota tersebut pada tahun 2010. Karena keadaan
ekonomi yang semakin ganas dan keras, tidak dapat
meneruskan ke jenjang yang selanjutnya dan akhirnya
berpindah ke Kota Hujan Bogor pada Tahun 2011.
Menetap dan Bekerja di Kota Bogor, bekerja pada
sebuah Restoran yang benama FLO RESTO di Pancasan
Atas.
Ingin mengenal dan tahu lebih lanjut tentang penulis?
Follow
Twitter
nya
@taufiqH06
atau
Https//www.facebook.com/TAUFIQHIDAYAT
atau
Facebook
bisa
ke
EMAIL : [email protected]
Itulah Riwayat Singkat dari Penulis, Mohon Maaf Jika Ada salah-salah kata atau ucapan,
kebenaran datangnya dari ALLAH SWT dengan cara Ikhtiar Kita dan Kesalahan Dari Hawa Nafsu saya.
Semoga Tulisan saya(hasil referensi dari dunia maya) ini dapat bermakna untuk khalayak banyak.
Terima Kasih dan Wassalam... :-D
Taufiq Hidayat (TH06)
Download