BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Sirsak (Annona muricata L.) a. Klasifikasi Tumbuhan Menurut Tjitrosoepomo (1991), klasifikasi pada tanaman A. muricata L. adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Class : Dicotyledoneae Ordo : Ranales Family : Annonaceae Genus : Annona Spesies : Annona muricata L. b. Habitat dan Penyebaran Tanaman A. muricata L. berasal dari wilayah Amerika yang beriklim tropis, terutama Amerika Tengah menyebar luas ke Asia di antaranya Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri tanaman A. muricata L. menyebar dan tumbuh baik mulai dari dataran rendah beriklim kering sampai daerah basah dengan ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut. Penyebaran hampir merata dibuktikan dengan adanya nama-nama daerah yang berbeda-beda untuk tanaman A. muricata L. (Radi, 2001). Nama A. muricata L. berasal dari bahasa Belanda zuurzak yang berarti kantung yang asam. A. muricata L. dalam bahasa Indonesia disebut nangka sabrang, nangka landa atau nangka walanda (Jawa), sirsak (Sunda), nangka buris (Madura), srikaya jawa (Bali), deureuyen belanda (Aceh), durio ulondro (Nias), durian batawi (Minangkabau), jambu landa (Lampung), langelo walanda (Gorontalo), sirikaya balanda (Bugis dan Ujungpandang), wakano (Nusa Laut), naka walanda (Ternate), naka (Flores), Ai ata malai (Timor) (Lakitan, 1996). c. Morfologi Tumbuhan Secara umum, pohon A. muricata L. memiliki tinggi 3-10 m, bercabang rendah dan ranting batangnya sedikit rapuh. Bunga A. muricata L. berwarna kuning dan berbentuk kerucut tidak beraturan (Gambar 1a). Kulit buahnya berduri lunak (Gambar 1b). Bentuk daun A. muricata L. memanjang, seperti lanset atau bulat telur sungsang (Gambar 1c), ujung meruncing pendek, bertekstur kasar, permukaan atas daun berwarna hijau tua, dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Daun A. muricata L. memiliki panjang 6-18 cm, lebar 3-7 cm dan memiliki bau tajam menyengat dengan tangkai daun pendek sekitar 3-10 mm, jika masih muda berwarna hijau dan jaraknya rapat. Buah A. muricata L. yang sudah tua berubah agak kehitaman dan duri lunaknya merenggang. Daging buahnya berwarna putih gading dan berbiji banyak (Radi, 2002). Gambar 1. (a) Bunga A. muricata L., (b) Buah A. muricata L., dan (c) Daun A. muricata L. (Popenoe, 1974). Secara morfologis, tanaman A. muricata L. terdiri dari: daun berbentuk bulat panjang, daun menyirip, berwarna hijau muda sampai hijau tua, ujung daun meruncing, dan permukaan daun mengkilap. Bunga tunggal, dalam satu bunga terdapat banyak putik sehingga dinamakan bunga berpistil majemuk. Bagian bunga tersusun secara hemicyclis, yaitu sebagian terdapat dalam lingkaran dan yang lain spiral atau terpencar (Sunarjono, 2005). d. Kandungan Senyawa Aktif Hasil skrining fitokimia menunjukkan keberadaan alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, antrakuinon dan glikosida pada ekstrak etanol daun sirsak (Ezirim et al., 2013). Penelitian Budiarti et al. (2014) menunjukkan bahwa fraksi klorofom daun A. muricata L. dengan konsentrasi 1000 µg/ml memiliki aktivitas antioksidan sebesar 35,509% dan kandungan vitamin C sebesar 42,996%. Menurut Asprey & Thornton (2000) daun A. muricata L. mengandung flavonoid, alkaloid, asam lemak, fitosterol, mirisil alkohol dan anonol. Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Daun A. muricata L. mengandung berbagai senyawa aktif yang berpotensi sebagai senyawa antikanker yaitu terdiri dari alkaloid, flavonoid, triterpenoid/steroid, dan acetogenin (Lisdawati, 2007). 1) Alkaloid Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). Golongan alkaloid yang ditemukan pada tanaman A. muricata L. meliputi beberapa senyawa dari golongan benzil-tetrahidro-isoquinolin dan salah satunya adalah liriodin yang bersifat antikanker, antibakteri dan antijamur (Rahayu et al., 1993). 2) Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder dan keberadaannya pada daun tanaman dipengaruhi oleh proses fotosintesis. Flavonoid merupakan senyawa bahan alam dari golongan fenolik (Sjahid, 2008). Manfaat flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai antioksidan sehingga sangat baik digunakan untuk pencegahan kanker melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan antibiotik (Subroto dan Saputro, 2006). 3) Triterpenoid/Steroid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena (Gambar 2) dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren (Harborne, 1987). Gambar 2. Struktur dasar steroid dan sistem penomorannya (Harborne, 1987). 4) Poliketida Daun, batang, kulit kayu, dan biji buah A. muricata L. mengandung sejumlah bahan kimia yang dipercaya sebagai senyawa bioaktif yang disebut Annonaceus acetogenin (Noller, 2005). Senyawa acetogenin ini hanya ditemukan pada tumbuhan famili Annonaceae yang merupakan senyawa poliketida dengan struktur C-34 atau C-37 rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada gugus 2-propanol pada C-2 vivo (Gambar 3). Gambar 3. Struktur kimia dari Annonaceus acetogenin (Yang et al., 2010). Dalam tanaman sirsak ini telah ditemukan lebih dari 50 jenis Annonaceous acetogenin dan 18 jenis di antaranya ditemukan pada bagian daun sirsak (Geum-soog et al., 1998). Annonaceous acetogenin dari daun ini telah diteliti sifat sitotoksiknya oleh peneliti luar negeri dan dalam negeri. Sifatnya yang sitotoksik terhadap beberapa jenis sel kanker, seperti kanker paru-paru, usus besar, pankreas, dan prostat telah diteliti dan diterapkan pada berbagai pengobatan tradisional terutama di Indonesia (Zeng et al., 1996; Geum-soog et al., 1998; Sudjari et al., 2005). Acetogenin adalah senyawa poliketida dengan struktur 30-32 rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada gugus 5-methyl-2furanone. Rantai furan dalam gugus hydrofuranone pada C23 memiliki aktifitas sitotoksik, dan derivate acetogenin yang berfungsi sitotoksik adalah asimicin, bulatacin, dan squamocin. Daun A. muricata L. mengandung 17 senyawa acetogenin yang bersifat sitotoksik. Annomuricin-E dan muricapentosin bersifat sitotoksik selektif terhadap karsinoma pankreatik (PACA-2) dan adenokarsinoma kolon (HT-29) (Zeng et al., 1996). Aktivitas biologi dari Annonaceous acetogenin menghambat kompleks I mitokondria (NADH-ubiquinone oxidoreductase) sehingga dapat bersifat sitotoksik terhadap sel kanker dan terbukti sifatnya berlaku secara spesifik. Aktivitas biologi lainnya yang telah diteliti adalah penelitian sifat pestisida dan insektisida dari Annonaceous acetogenin (Wijaya, 2012). Annonaceous acetogenin merupakan inhibitor NADH pada enzim uniquinone oxidoreductase. Enzim ini merupakan enzim esensial dalam sistem transpor elektron yang memimpin ke proses selanjutnya yaitu fosforilasi oksidatif di dalam mitokondria. Sumber utamanya aktivitas biologi untuk aktivitas Annonaceous acetogenin melibatkan interaksi dengan kompleks I mitokondria (NADH: ubiquinone oxidoreductase) (Wijaya, 2012). Robinson (1991). menjelaskan polketida adalah golongan metabolit sekunder dari bakteri, jamur, tanaman, dan hewan. Poliketida dibiosintesiskan dengan polimerisasi subunit asetil dan propionil dalam proses yang mirip dengan sintesis asam lemak (kondensasi Claisen). Poliketida adalah blok pembangun (building block) untuk berbagai produk-produk alami. Penelitian Dewangga (2015) mendapatkan hasil bahwa isolat daun sirsak yang diujikan pada sel kanker mampu membunuh sel kanker dan senyawa tersebut dianalisis merupakan satu senyawa golongan poliketida. Secara umum golongan poliketida ini memiliki manfaat sebagai senyawa antimikroba, antiparasit, dan antikanker merupakan poliketida atau turunannya, seperti eritromisin, antibiotik tetrasiklin, avermektin, dan antitumor epotilon (Minto and Blacklock, 2008). 2. Kanker Kanker pada dasarnya merupakan sel dengan proliferasi yang tidak terkendali akibat kerusakan gen, utamanya pada regulator daur sel (Sherr, 1996). Pertumbuhan kanker merupakan proses mikroevolusioner yang dapat berlangsung dalam beberapa bulan atau beberapa tahun. Proses pertumbuhan ini dinamakan karsinogenesis, dimulai dari satu sel kanker yang memperbanyak diri dan membentuk koloni kecil dalam jaringan yang sama. Selanjutnya terjadi perubahan genetik (seperti aktivasi onkogen) yang menyebabkan koloni dari sel abnormal menjadi malignan (Scheneider, 1997). Perubahan genetik pada gen-gen yang mengatur pertumbuhan, yaitu onkogen dan tumour supressor gene merupakan perubahan yang sering terjadi (Meiyanto & Septisetyani, 2005). Akibatnya sel akan berproliferasi terus menerus dan menimbulkan pertumbuhan jaringan yang abnormal. American Cancer Society (2008) menyatakan, kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang tidak terkontrol dan abnormal. Kanker dapat dicetuskan oleh faktor eksternal dan faktor internal yang memicu terjadinya proses karsinogenesis (proses pembentukan kanker). Faktor ekternal dapat juga berupa infeksi, radiasi, zat kimia tertentu dan juga konsumsi tembakau, sedangkan mutasi (baik yang diturunkan maupun akibat metabolisme), hormon dan kondisi sistem imun merupakan faktor internal. 3. Kanker Serviks Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah kanker kedua yang sering terjadi pada perempuan di seluruh dunia. Pada tahun 2002, setengah juta kasus dari kanker serviks dilaporkan dan terdapat lebih dari seperempat juta yang meninggal dari penyakit ini (Parkin et al., 2005). Kanker serviks adalah keganasan yang terjadi pada leher rahim. Kanker laher rahim adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah leher rahim (serviks), yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara uterus dan vagina (Mamik, 2000). Kanker serviks terbentuk sangat perlahan dimulai beberapa sel berubah dari normal menjadi sel-sel pra-kanker yang mulai membelah dan biasa disebut sebagai tumor dan kemudian menjadi sel kanker. Ini dapat terjadi bertahun-tahun, tapi kadang-kadang terjadi lebih cepat. Perubahan ini sering disebut displasia. Mereka dapat ditemukan dengan tes Pap Smear dan dapat diobati untuk mencegah terjadinya kanker (Walboomers et al., 1999). Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi onkogenik jenis Human Papilloma Virus (HPV) (Bosch et al., 2002). Meskipun vaksin untuk mencegah infeksi HPV onkogenik sekarang tersedia, akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mengenali pengaruhnya terhadap morbiditas kanker serviks (Goldie et al., 2004; Prayitno, 2006). 4. Siklus Sel De Vita et al. (1997) menyatakan bahwa siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk menghasilkan jumlah DNA kromosom yang cukup banyak dan untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik. Proses ini berlangsung terus dan siklik. Pada Gambar 4, siklus sel secara normal terbagi dal am empat fase, yaitu G1, S, G2, M dan diselingi fase istirahat, yaitu G0. Fase awal dimulai dengan G1, pada fase ini sel mulai mempersiapkan untuk melakukan sintesis DNA dan juga melakukan biosintesis RNA dan protein, dilanjutkan dengan fase S, dimana pada fase ini terjadi replikasi DNA (David and Shivdasani, 2001). Pada akhir fase ini sel telah berisi DNA ganda dan kromosom telah mengalami replikasi (McDonald and Ford, 1997). Gambar 4. Siklus sel (Campbell et al., 2004) Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap 2 (G2), dan M (Mitosis). Lamanya siklus tersebut berbeda-beda pada berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20-24 jam. Fase G1 membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam, fase G2 5 jam dan fase M 1 jam. Waktu generasi untuk kultur sel pada umumnya sama dengan sel normal (Freshney, 2000). Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut siklin. Pada tahapan tertentu siklus sel, kadar berbagai siklin meningkat setelah didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut. Siklin menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan (sehingga akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang disebut kinase bergantung siklin. Kombinasi yang berbeda dari siklin dan Cyclin Dependent Kinase (CDK) berkaitan dengan setiap transisi penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini menggunakan efeknya dengan memfosforilasi sekelompok substrat protein tertentu (Kumar et al., 2003). 1. Fase G1 Pada fase G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan tumbuh, struktur sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi (Mutschler, 1999). Selama fase ini nukleus membesar dan volume sitoplasma meningkat dengan cepat sehingga disebut fase sintesis, protein yang dapat memacu pembelahan sel, tubulin dan protein yang akan membentuk spindel (Suryo, 2007). 2. Fase-S Pada fase-S ini dibentuk untai DNA baru melalui proses replikasi. Replikasi DNA terjadi dengan bantuan enzim DNApolimerase. Dengan dibentuknya DNA baru maka rantai tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja, 2000). Pada fase S dengan pembentukan asam deoksiribonukleat baru, jumlah kromosom akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan dipersiapkan (Mutschler, 1999). Suryo (2007) menyebutkan bahwa pada akhir fase ini terbentuk 2 kromatid. 3. Fase-G2 Pada fase ini dibentuk RNA, protein, enzim, dan sebagainya untuk persiapan fase berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase ini disebut juga fase pramitosis dengan ciri sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis DNA dan protein (Nafrialdi dan Gan, 1995). Selain itu, pada fase G2 kromosom sudah ada dalam bentuk kromatida (Mutschler, 1999). Apabila terjadi kerusakan DNA dan DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka proliferasi sel manuju fase M diblok dan dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini dilakukan oleh protein kinase ChkI yang memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25 sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini menyebabkan fase M diblok karena tidak terbentuknya cdk1 / siklin B sebagai regulator menuju fase M. Penghentian pada fase G2 dilakukan untuk perbaikan DNA, tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan maka terjadi apoptosis (Freshney, 2000). 4. Fase-M Pada fase ini sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba dan terjadi pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan, 1995). Pembelahan menjadi dua sel ini terdiri dari empat tahap, yaitu profase, metaphase, anaphase, dan telofase. Pada awal fase mitosis ditandai dengan terbentuknya benang spindel dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom (Pusztai et al., 1996). Perubahan dari satu fase ke fase berikutnya dalam siklus sel diatur oleh beberapa checkpoint (pada masing-masing fasenya). Checkpoint berfungsi untuk memastikan bahwa kromosom utuh dan tahap-tahap kritis siklus sel telah sempurna sebelum memasuki tahap selanjutnya (Livingstone and Shivdasani, 2001). Pada kanker terjadi perubahan pengaturan siklus sel. Selama perkembangan sel kanker biasanya mempengaruhi ekspresi protein-protein pengatur siklus sel. Pada sel kanker juga terjadi ketidakmampuan kontrol checkpoint, mengakibatkan respon menyimpang terhadap adanya kerusakan seluler. Ketidakmampuan kontrol checkpoint menyebabkan inisiasi fase S atau mitosis tetap berlangsung meskipun ada kerusakan seluler dan ketidakstabilan genetik yang selanjutnya menimbulkan clone maligna (De Vita et al.,1997; McDonald and Ford, 1997). 5. Apoptosis Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram. Apoptosis terjadi normal selama proses perkembangan dan penuaan sebagai mekanisme homeostatik untuk memelihara populasi sel dalam jaringan. Apoptosis penting untuk mengatur kematian sel untuk mengkontrol jumlah sel dan membersihkan sel yang rusak yang mempunyai peran penting untuk supresi tumor. Sel yang apoptosis akan menunjukkan sel melisut (cell shrinkage), pemadatan kromatin (chromatin condensation) kemudian menjadi sel apoptosis atau badan apoptosis yang akan memudahkan untuk difagositosis oleh makrofag (Ford et al., 2004). Mekanisme terjadinya apoptosis melibatkan suatu kaskade aktivasi berbagai molekul bergantung energi (energy-dependent). Saat ini diketahui ada 2 jalur utama apoptosis yaitu jalur ekstrinsik atau jalur reseptor kematian (death receptor pathway) dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria (Kresno, 2011). a. Jalur ekstrinsik Jalur ekstrinsik diawali oleh sel surface death receptor dari berbagai macam sel. Death receptor adalah anggota dari tumor necrosis factor receptor family (TNF) mempunyai cytoplasmic domain yang berisi protein interaksi disebut death domain, yang penting untuk mengirim apoptotic signals. Mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh death receptor diawali Fas ligand (FasL) yang melepaskan Fas dari ligandnya. Molekul Fas menuju ke sitoplasma yang terdapat death domain, tempat untuk berikatan dengan adapter protein yang juga mempunyai death domain dan disebut FADD (fas-associated death domain). FADD yang dilekatkan pada death receptors kembali berikatan dengan procaspase-8 melalui death domain. Setelah caspase-8 diaktivasi, enzim tersebut akan mengaktifkan cascade-caspase dengan mengikat dan mengaktifkan pro-caspase yang lain serta mengaktifkan enzim yang melaksanakan execution phase dari apoptosis. Mekanisme apoptosis dapat dihambat oleh protein yang disebut FLIP, yang berikatan dengan procaspase-8 tetapi tidak dapat berikatan dan mengaktifkan enzim karena kurang mempunyai aktifitas enzim. Beberapa virus dan sel normal memproduksi FLIP dan digunakan untuk menghambat dan memproteksi infeksi dan memproteksi sel normal dari Fas mediatedapoptosis (Kresno, 2011). b. Jalur intrinsik Jalur intrinsik yang mengawali apoptosis melibatkan sejumlah besar stimulus yang tidak dimediasi reseptor (nonreceptor-mediated) yang menghasilkan sinyal intraseluler yang langsung bereaksi dengan sasaran intrasel dan berkaitan erat dengan mitokondria. Jalur intrinsik disebabkan oleh peningkatan permiabilitas mitokondria dan pelepasan molekul pro apoptotic ke sitoplasma (Kresno, 2011). Pengontrolan dan pengaturan proses dan jalur mitokonria dilakukan melalui keluarga protein Bcl-2. Bcl-2 family mempunyai lebih dari 20 macam protein, yang semuanya berfungsi untuk regulasi apoptosis. Dua protein yang berfungsi anti apoptosis adalah Bcl-2 dan Bcl-X. Protein anti-apoptosis dalam keadaan normal berada disekitar membran mitokondria dan sitoplasma. Ketika sel kehilangan kemampuan mempertahankan diri atau mengalami stress, Bcl-2 dan/atau Bcl-x akan menghilang dari membran mitokondria dan digantikan kelompok protein proapoptotis seperti Bad,Bax atau Bid . Ketika Bcl-2/Bcl-x menurun, terjadi peningkatan permeabilitas membran mitokondria menyebabkan keluarnya beberapa protein yang akan mengaktifkan caspase cascade. Salah satu dari protein tersebut adalah cytochrome c. Di dalam cytosol cytochrome c berikatan dengan Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengaktifkan caspase9. ( Bcl-2 dan Bcl-x secara langsung menghambat aktivasi Apaf-1 dan kemudian menghilang dari sel yang menyebabkan dapat terjadi aktivasi Apaf-1). Protein mitokondria yang lain seperti apoptosis initiating factor (AIF) memasuki sitoplasma yang akan berikatan untuk menetralkan berbagai macam inhibitor apoptosis. Hal tersebut akan mengaktifkan caspase cascade (Wataguli, 2008). 6. Human Papilloma Virus (HPV) Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus DNA-circular dengan genom 7800-8000 pasang basa. HPV ada lebih dari 70 jenis yang tidak dapat diidentifikasi secara serologis, tetapi dengan hibridisasi DNA dan PCR spesifik primer dapat teridentifikasi (Prayitno dkk., 2005). Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa HPV tipe 16, 18, 31, dan 45 terdapat pada 80% kasus kanker serviks (Novel et al., 2010). Beberapa tipe HPV resiko tinggi secara signifikan ditemukan di daerah tertentu (Tambunan dkk., 2007). Human Papilloma Virus (HPV) merupakan virus penyebab paling utama kanker serviks yang ditularkan secara seksual (Sjamsuddin, 2001). Lebih dari 70 jenis HPV yang tidak teridentifikasi secara serologis, tetapi dapat terdeteksi dengan DNA hybridization dan Polymerase Chain Reaction (PCR) spesifik primer (Smetana et al., 1995). Virus HPV berdiameter 55 µm (Gambar 5), mengandung DNA circular double stranded dengan panjang kira-kira 8.000 pasang basa (Sjamsuddin, 2001). Gambar 5. Model Human Papilloma Virus (HPV) (Sjamsuddin, 2001). Genom virus ini terdiri dari the early region (E) yang mengkode protein yang berperan pada replikasi genom, mengontrol transkripsi dan replikasi serta transformasi sel. The late region (L) berisi L-genes yang mengkode protein capsid. Definisi tipe HPV yang terbaru tidak lebih dari 90% terlihat adanya homologi pada sequence DNA E6, E7 dan L1. Protein E6 (oncoprotein) high-risk HPV (tipe 16 dan 18) mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan keberadaan tumor supressor gen p53. HPV berdiameter sekitar 55 nm dan mengandung genom yang cukup besar (BM 5 x 106 berbanding 3 x 106) (Prayitno dkk., 2005). Infeksi dengan HPV bisa menyebabkan kutil pada epitel kulit, sedangkan di wilayah serviks virus ini dapat menyebabkan kedua kutil kelamin dan berbagai bentuk kanker pada pria dan wanita (Parkin et al., 2005). Virus HPV merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi. Genom HPV berbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb, mempunyai 8 Open Reading Frames (ORFs) dan dibagi menjadi gene early (E) dan late (L). Gen E mengsintesis 6 protein E yaitu E1, E2, E4, E5, E6 dan E7 yang banyak terkait dalam proses replikasi virus dan onkogen, sedangkan gen L mengsintesis 2 protein L yaitu L1 dan L2 yang terkait dengan pembentukan kapsid (Prayitno dkk., 2005). 7. Sel HeLa Sel HeLa adalah cell line yang immortal, sel ini tidak dapat mati karena tua dan dapat membelah secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup masih ada (Rahbari et al., 2009; Capes et al., 2010; Watts, 2010). Sel ini merupakan continuous cell line yang tumbuh sebagai sel yang semi melekat. Cell line ini berasal dari sel-sel kanker serviks yang diambil dari Henrietta Lacks yang meninggal karena kanker pada tahun 1951. Awalnya, cell line ini dinamai “Helen Lane” untuk menjaga nama Lacks (Patel et al., 2009). Sel ini cukup aman dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel. Sel kanker leher rahim (sel HeLa) terjadi akibat infeksi HPV 18 sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher rahim normal. Sel kanker leher rahim yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein tersebut menekan fungsi p53 dan pRb. Kedua gen tersebut secara normal berfungsi mengontrol sinyal jalur yang mengatur siklus sel serta memonitor dan melindungi integritas keseluruhan genom. Kedua onkogen tersebut merupakan protein yang dapat menghambat ekspresi gen p53 sebagai gen penekan kanker. Pada peristiwa ini onkogen lebih tinggi jumlahnya dibandingkan p53 sehingga proliferasi sel kanker menjadi tidak terkendali (Prayitno, 2006; Goodwin and DiMaio, 2000). Gen p53 merupakan salah satu gen penekan terjadinya tumor. Gen p53 merupakan “penjaga gawang” stabilitas genomic yang berperan dalam siklus regulasi DNA, apoptosis dan kontrol proliferasi sel (Cernochova et al., 2004; Baran et al., 2005). 8. Protein Retinoblastoma (pRb) Protein Retinoblastoma (pRb) adalah protein dengan berkas genetik RB1 yang berperan sebagai mitogen di dalam siklus sel dan memelihara struktur kromatin, serta merupakan faktor transkripsi yang mengikat faktor transkripsi E2F, dan berfungsi untuk menekan pertumbuhan tumor. Pada siklus sel, pRb mencegah sel dari replikasi DNA yang rusak dengan menghentikan siklus sel pada transisi fase G0 ke G1. Defisiensi pada gen RB1 dapat mengakibatkan kanker retinoblastoma, kanker kandung kemih, kanker serviks dan sarkoma osteogenik (Kresno, 2010). Gen RB1 merupakan gen supresor yang pertama kali ditemukan. Berbeda dengan onkogen yang produk proteinnya berperan dalam meneruskan sinyalsinyal pertumbuhan sel pada semua tahap, produk gen supresor pada umumnya memberikan sinyal untuk menghambat pertumbuhan. Setiap gen supresor menyandi signal transducing protein yang membawa pesan menghambat pertumbuhan (growth inhibition) dari bagian sel yang satu ke bagian sel yang lain melalui suatu signaling cascade dan disampaikan kepada responder protein. Bila salah satu protein supresor hilang atau tidak berfungsi, maka salah satu mata rantai sinyal hilang sehingga pesan yang dibawanya tidak sampai ke tujuan (Kresno, 2010). Banyak jenis tumor yang dikaitkan dengan efek atau disfungsi gen supresor. Disfungsi atau inaktivasi gen supresor karena delesi atau mutasi genetik dapat mengakibatkan sel kehilangan kontrol pertumbuhan, sehingga terjadi pertumbuhan tidak terkendali. Mutasi dapat terjadi karena banyak hal, misalnya akibat virus, bahan kimia karsinogenik atau radiasi. Walaupun gen Rb ditemukan pertama kali pada pasien-pasien yang rentan terhadap retinoblastoma, mutasi gen Rb tidak hanya dijumpai pada retinoblastoma tetapi juga dapat ditemukan pada berbagai jenis kanker lain pada orang dewasa, misalnya kanker paru, payudara, ginjal, kanker serviks dan lain-lain. Pada tumor-tumor ini mutasi Rb terjadi somatik dan bukan karena diwariskan. Gen Rb juga berperan penting pada tumor yang diinduksi oleh berbagai virus, khusunya SV40, adenovirus dan HPV (Kresno, 2010). Gen RB1 menduduki sepanjang 200 kb DNA dan terdiri atas 23 exon. Produknya, yaitu protein Rb yang besarnya 105-110 kDa bergantung pada jenis spesies. Protein ini merupakan protein nukleus yang terlibat dalam proses siklus sel. Dalam sel yang beristirahat (fase G0 dan G1) protein Rb dapat ditemukan dalam bentuk kompleks dengan faktor transkripsi seluler yang disebut E2F. Protein Rb sendiri berfungsi sebagai regulator transkripsi, walaupun protein ini sendiri tidak berikatan langsung dengan sekuen DNA sasaran. E2F memperantarai aktivitas transkripsi beberapa gen seluler yang terlibat dalam proliferasi sel dan sintesis DNA termasuk gen yang menyandi timidin-kinase dan DNA polimerase (Kresno, 2010). Selama fase G0 dan awal fase G1 protein Rb tidak terfosfolirasi, tetapi pada akhir fase G1 atau awal fase S terjadi fosfolirasi protein Rb secara progresif pada berbagai sisi protein Rb. Kinase yang menyebabkan reaksi fosfolirasi ini adalah Cdk yang diaktifkan oleh cyclin dan mengatur siklus sel. Tingkat fosfolirasi protein Rb tetap tinggi sampai fase akhir mitosis pada saat enzim fosfatase memecah kompleks ini (defosfolirasi) dan siklus sel masuk ke fase G0/G1. Dengan demikian diduga bahwa fosfolirasi protein Rb merupakan mekanisme yang mengatur aktivitas Rb dan interaksinya dengan protein lain. Jadi fungsi Rb dalam siklus sel adalah berinteraksi dengan faktor transkripsi dan mengatur fungsi gen lain yang diperlukan untuk memasuki fase S (Kresno, 2010). Aktivitas Rb diatur melalui fosfolirasi oleh kinase dan aktivitas Cdk sehingga terjadi interaksi antara Rb dengan proses lain dalam siklus sel. Pada fase awal G1 protein Rb tidak difosofolirasi, tetapi pada akhir fase G1 pRb difosfolirasi secara ekstensif pada semua sisi dan tetap terfosfolirasi hingga akhir fase mitotik, dimana segera terjadi defosfolirasi. Faktor transkripsi E2F lebih suka berikatan dengan Rb pada saat Rb tidak tidak terfosfolirasi pada fase G1. E2F adalah suatu faktor transkripsi positif bila ia tidak terikat pada protein Rb, tetapi menjadi elemen negatif bila ia terikat pada Rb. Kompleks E2F dengan Rb merupakan kompleks stabil yang menghambat kemampuan E2F untuk mengaktivasi berbagai gen promoter untuk sintesis DNA. Kompleks Rb-E2F menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1. Fosfolirasi Rb maupun E2F oleh cyclin D-Cdk4 dan cyclin D-Cdk2 pada fase akhir G1 menyebabkan E2F terlepas sehingga ia bisa berinteraksi dengan gen promoter yang diperlukan untuk masuk dalam fase S. Ekspresi berlebihan dari E2F dapat menstimulasi proliferasi sedangkan aktivitas Rb sebagai gen supresor berkolerasi dengan pengikatannya dengan E2F, sehingga disimpulkan bahwa salah satu fungsi Rb adalah menghambat fungsi E2F sebagai transkriptor (Kresno,2010). Sel kanker leher rahim yang diinfeksi virus yang dikenal dengan Human Papiloma Virus (HPV) diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Kedua onkogen tersebut merupakan protein yang dapat menghambat ekspresi gen p53 dan pRb sebagai gen penekan kanker. Pada peristiwa ini onkogen lebih tinggi jumlahnya dibandingkan p53 dan pRb sehingga proliferasi sel kanker menjadi tidak terkendali (Prayitno, 2006; Goodwin and DiMaio, 2000). Protein E6 dan E7 disebut onkogen karena kemampuannya mengikat protein proapoptotik, p53 dan pRb sehingga sel yang terinfeksi aktif berproliferasi yang mengakibatkan terjadinya lesi pre kanker yang kemudian dapat berkembang menjadi kanker. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRb. E6 mempunyai kemampuan yang khas mampu berikatan dengan p53. p53 yaitu protein yang termasuk supresor tumor yang meregulasi siklus sel baik pada G1/S maupun G2/M. Pada saat terjadi kerusakan DNA, p53 teraktifasi dan meningkatkan ekspresi p21, menghasilkan cell arrest atau apoptosis. Proses apoptosis ini juga merupakan cara pertahanan sel untuk mencegah penularan virus pada sel-sel didekatnya. Kebanyakan virus tumor menghalangi induksi apoptosis. E6 membentuk susunan kompleks dengan regulator p53 seluler ubiquitin ligase/E6AP yang meningkatkan degradasi p53. Inaktifasi p53 menghilangkan kontrol siklus sel, arrest dan apoptosis. Penurunan p53 menghalangi proses proapoptotik, sehingga terjadi peningkatan proliferasi (Utari, 2010). Penghentian siklus sel pada fase G1 oleh P53 bertujuan memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. p53 menghentikan siklus sel dengan cara menghambat kompleks cdk-cyclin yang berfungsi merangsang siklus sel untuk memasuki fase selanjutnya. Jika penghentian sel pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, maka sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang tanpa kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai perangsang apoptosis, yaitu proses kematian sel yang dimulai dari kehancuran gen intrasel. Apoptosis merupakan upaya fisiologis tubuh untuk mematikan sel yang tidak dapat diperbaiki. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan (Utari, 2010). E6 mempunyai fungsi lain yang penting yaitu mengaktifasi telomerase pada sel yang terinfeksi HPV. Pada keadaan normal replikasi DNA akan memperpendek telomere, namun bila ada E6, telomer akan tetap diperpanjang melalui aktifitas katalitik sub unit telomerase, Human Reverse Transcriptase (hTERT). E6 membuat komplek dengan Myc/Mac protein dan Sp-1 yang akan mengikat ensim hTERT di regio promoter dan menyebabkan peningkatan aktifitas telomerase sel. Sel akan terus berproliferasi atau imortalisasi (Kresno, 2011). Protein E7 merupakan HPV onkoprotein kedua yang berperan penting dalam patogenesis selain E6. Protein E7 mampu berikatan dengan famili Rb. Protein Rb famili berfungsi untuk mencegah perkembangan siklus sel yang berlebihan sampai sel siap membelah diri dengan baik. pRb yang tidak berfungsi menyebabkan proliferasi sel. Pada proses regulasi siklus sel di fase G0 dan G1 tumor suppressor gene pRb berikatan dengan E2F. Ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif E2F merupakan gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, dan N-myc. Protein E7 masuk ke dalam sel dan mengikat pRb yang menyebabkan E2F bebas terlepas, lalu merangsang proto-onkogen c-myc dan N-myc sehingga akan terjadi proses transkripsi atau proses siklus sel (Prayitno dkk., 2005). 9. Teknik Kultur Sel Teknik kultur jaringan (tissue culture) adalah teknik mengisolasi sel, jaringan, dan organ hewan pada lingkungan buatan yang mendukung pertumbuhannya. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik kultur cryopreservation. Teknik ini menggunakan sel stok beku (frozen stok) yang disimpan dalam nitrogen cair, apabila akan digunakan maka sel tersebut langsung bisa digunakan dengan cara distarvasi terlebih dahulu. Kultur sel yang didapat dari jaringan secara langsung disebut kultur sel primer, sedangkan kultur sel yang telah mengalami penanaman berulang-kali (passage) disebut kultur cell line atau sel strain (Freshney, 2000). Sel kultur (cell line) adalah sel yang digunakan dalam penelitian yang dikembangbiakan dan berploriferasi pada media kultur secara in vitro. Sel kultur dapat diambil dari jaringan asal atau memperbanyak sel yang sudah ada. Dalam proses kultur sel selalu terkontrol dan terjaga aseptiknya agar tidak terjadi kontaminasi. Mather and Roberts (1998) mengungkapkan sel kultur sering dipakai dalam penelitian kanker secara in vitro karena mudah penangannya, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas, dan homogenitas yang tinggi serta mudah diganti dengan frozen stock jika terjadi kontaminasi. Sistem kultur sel hewan menurut Ryan (2008) ada dua jenis, yaitu : a. Sistem kultur monolayer atau adherent yaitu sistem kultur yang digunakan untuk tipe sel yang hidup dengan melekat dengan substrat. b. Sistem kultur suspensi yaitu sistem kultur untuk tipe sel yang hidup tersuspensi pada medium. Menurut Butler (2005) sel hewan yang ditumbuhkan dalam media kultur memiliki beberapa variasi morfologi, diantaranya: a. Sel Epithelial-like yaitu sel yang menempel pada substrat dengan bentuk poligonal. b. Sel lymphoblast-like yaitu sel yang tidak menempel pada substrat namun tersuspensi dalam medium dengan bentuk menyerupai lingkaran. c. Sel fibroblast-like yaitu sel yang menempel pada substrat dan berbentuk memanjang. 10. Sitotoksitas Sitotoksik adalah sifat toksis atau beracun yang dimiliki oleh suatu senyawa tertentu terhadap sel hidup. Uji sitotoksik adalah suatu uji secara in vitro yang dilakukan menggunakan kultur sel dalam mengevaluasi keamanan suatu obat, makanan, kosmetika, maupun bahan-bahan kimia lainnya. Pengujian ini selain menggunakan kultur sel, juga dilakukan uji farmakokinetika in vitro untuk mengembangkan obat-obat dan mengamati toksisitas akut maupun kronik (Freshney, 1986). Salah satu metode uji sitotoksik adalah Colometric Cell Viability with (3[4,5- dimethylthiazol-2-yl] -2,5 diphenyl tetrazolium bromide) (MTT assay) yang memiliki kelebihan yaitu relatif cepat, sensitif, akurat, digunakan untuk mengukur sampel dalam jumlah besar dan hasilnya bisa digunakan untuk memprediksi sifat sitotoksik suatu bahan. Dasar uji enzimatik MTT adalah dengan mengukur kemampuan sel hidup berdasarkan aktivitas mitokondria dari kultur sel. Metode ini dapat digunakan untuk mengukur proliferasi sel secara kolorimeter (Walter, 1986). Dasar uji sitotoksitas adalah kemampuan sel untuk bertahan hidup karena adanya senyawa toksik. Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan sebagai tidak hilangnya metabolism atau proliferasi. Bertambahnya jumlah sel, dapat diukur dengan naiknya jumlah protein, atau DNA yang disintesis. Uji ini dinyatakan dengan penelitian mencari efek sitotoksitas terhadap sel HeLa dengan tolok ukur LC50 yakni sebesar 166,32 µg/mL (Astirin et al., 2014). Salah satu metode uji sitotoksik adalah MTT Assay. Prinsip dari metode MTT adalah adanya pemecahan garam tetrazolium MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromid) oleh sistem enzim reduktase suksinat tetrazolium yang terdapat di dalam mitokondria sel hidup sehingga terbentuklah kristal formazan berwarna ungu. Intensitas warna ini selanjutnya dapat dibaca dengan (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) ELISA Reader (Freshney, 1986). 11. Immunohistokimia (IHC) Immunohistokimia merupakan suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya ekspresi suatu protein spesifik atau antigen dalam sel dengan menggunakan antibodi spesifik yang akan berikatan dengan protein atau antigen. Ada dua jenis metode Immunohistokimia, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Pada metode langsung, antibodi yang mengikat fluoresen atau zat warna langsung berikatan dengan antigen pada sel. Sedangkan pada metode tidak langsung, antigen diikatkan pada antibodi primer secara langsung, kemudian ditambahkan antibodi sekunder yang mengikat enzim seperti peroksidase, alkali fosfatase, atau glukosa oksidase. Antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer. Selanjutnya ditambahkan substrat kromogen yang akan diubah oleh enzim sehingga terjadi pembentukan warna (pigmen) yang akan mewarnai sel (CCRC, 2010). Untuk menjamin antibodi agar dapat mengikat antigen, sel harus difiksasi dengan ditempelkan pada bahan pendukung padat sehingga antigen akan immobile. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan sel pada slide mikroskop, coverslip, atau bahan pendukung plastik yang sesuai. Ada dua macam metode fiksasi, yaitu pelarut organik dan reagen cross-linking. Pelarut organik seperti alkohol dan aseton akan memindahkan lipid, mendehidrasi sel, dan mengendapkan protein. Reagen cross-linking seperti paraformaldehid membentuk jembatan intermolekuler melalui gugus amino bebas. Immunohistokimia melibatkan inkubasi sel dengan antibodi. Antibodi akan berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi yang tidak berikatan dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang berikatan dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel, maupun secara tidak langsung dengan antibodi sekuder berlabel enzim atau fluoresen (CCRC, 2010). B. Kerangka Pemikiran Kanker serviks yang menyerang pada serviks uterus wanita adalah kanker yang paling sering ditemukan terutama di negara-negara berkembang dan sekaligus merupakan penyebab kematian pada perempuan di dunia pada umumnya. Kanker leher rahim (serviks) terjadi karena adanya infeksi virus HPV (Yohanes, 2008; Prayitno dkk., 2005; Prayitno, 2006). Di Indonesia kanker serviks ini menduduki peringkat pertama diantara jenis kanker lainnya (Badan Registrasi Kanker, 1998). Alternatif pengobatan kanker dapat dilakukan dengan memanfaatkan senyawa yang terkandung dalam bahan alam. Tumbuhan obat yang dijadikan sebagai obat antikanker harus mengandung metabolit sekunder yang mempunyai tiga sifat antara lain: sifat antitoksis serta Kemampuan sitotoksisitas dan antiangiogenesis. Oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai alternatif pengobatan kanker serviks yang efektif dan efisien berbasis bahan alam. Daun A. muricata L. dapat digunakan sebagai sumber produk alami dalam pengembangan obat antikanker (Astirin et al., 2014). Pada penelitian ini akan dicari bagaimana efek dari senyawa aktif golongan poliketida daun A. muricata L. pada ekspresi protein Rb terhadap sel HeLa dengan pengecatan IHC. Kerangka pemikiran penelitian dapat di gambarkan dalam bagan seperti pada Gambar 6. Potensi bahan alam sebagai obat antikanker (Tan et al., 2011). Kanker serviks merupakan penyebab kematian wanita pada umumnya (Badan Registrasi Kanker, 1998) Obat khemoterapi merusak jaringan sehat Daun sirsak (A. muricata L.) berpotensi sebagai antikanker (Hai Jun & Xiang, 2008). Fraksi kloroform daun A. muricata L. memiliki efek antiproliferatif terhadap sel HeLa (Astirin et al., 2013; Astirin et al., 2014) Isolasi senyawa tunggal golongan poliketida daun A. muricata L. Senyawa golongan poliketida merupakan senyawa yang dapat membunuh sel kanker (Dewangga, 2015) Uji sitotoksisitas dan menentukan LC50 isolat aktif golongan poliketida daun A. muricata L. Uji Immunohistokimia (IHC) sel HeLa dengan protein Rb Peranan senyawa aktif golongan poliketida daun A. muricata L.Pada ekspresi protein Rb terhadap sel HeLa dengan pengecatan immunohistokimia (IHC) Gambar 6. Diagram alir kerangka pemikiran C. HIPOTESIS Hipotesis dari penelitian ini antara lain : 1. Apabila nilai LC50 dari isolat aktif golongan poliketida daun A. muricata L. terhadap sel HeLa adalah < 100 μg/ml maka isolat aktif tersebut bersifat sitotoksik. 2. Apabila terdapat perubahan warna atau bentuk dari sel HeLa yang normal setelah dilakukan pengecatan immunohistokimia menggunakan protein Rb, maka menunjukan adanya peranan senyawa aktif golongan poliketida daun A. muricata L. terhadap ekspresi protein Rb.