BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Sirsak ( Annona

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sirsak (Annona muricata L.)
a. Klasifikasi Tumbuhan
Menurut Tjitrosoepomo (1991), klasifikasi pada tanaman A.
muricata L. adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Ranales
Family
: Annonaceae
Genus
: Annona
Spesies
: Annona muricata L.
b. Habitat dan Penyebaran
Tanaman A. muricata L. berasal dari wilayah Amerika yang
beriklim tropis, terutama Amerika Tengah menyebar luas ke Asia di
antaranya Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri
tanaman A. muricata L. menyebar dan tumbuh baik mulai dari dataran
rendah beriklim kering sampai daerah basah dengan ketinggian 1.000
meter dari permukaan laut. Penyebaran hampir merata dibuktikan
dengan adanya nama-nama daerah yang berbeda-beda untuk tanaman A.
muricata L. (Radi, 2001).
Nama A. muricata L. berasal dari bahasa Belanda zuurzak yang
berarti kantung yang asam. A. muricata L. dalam bahasa Indonesia
disebut nangka sabrang, nangka landa atau nangka walanda (Jawa),
sirsak (Sunda), nangka buris (Madura), srikaya jawa (Bali), deureuyen
belanda (Aceh), durio ulondro (Nias), durian batawi (Minangkabau),
jambu landa (Lampung), langelo walanda (Gorontalo), sirikaya balanda
(Bugis dan Ujungpandang), wakano (Nusa Laut), naka walanda
(Ternate), naka (Flores), Ai ata malai (Timor) (Lakitan, 1996).
c. Morfologi Tumbuhan
Secara umum, pohon A. muricata L. memiliki tinggi 3-10 m,
bercabang rendah dan ranting batangnya sedikit rapuh. Bunga A.
muricata L. berwarna kuning dan berbentuk kerucut tidak beraturan
(Gambar 1a). Kulit buahnya berduri lunak (Gambar 1b). Bentuk daun A.
muricata L. memanjang, seperti lanset atau bulat telur sungsang
(Gambar 1c), ujung meruncing pendek, bertekstur kasar, permukaan atas
daun berwarna hijau tua, dan permukaan bawah berwarna hijau muda.
Daun A. muricata L. memiliki panjang 6-18 cm, lebar 3-7 cm dan
memiliki bau tajam menyengat dengan tangkai daun pendek sekitar 3-10
mm, jika masih muda berwarna hijau dan jaraknya rapat. Buah A.
muricata L. yang sudah tua berubah agak kehitaman dan duri lunaknya
merenggang. Daging buahnya berwarna putih gading dan berbiji banyak
(Radi, 2002).
Gambar 1. (a) Bunga A. muricata L., (b) Buah A. muricata L., dan (c)
Daun A. muricata L. (Popenoe, 1974).
Secara morfologis, tanaman A. muricata L. terdiri dari: daun
berbentuk bulat panjang, daun menyirip, berwarna hijau muda sampai
hijau tua, ujung daun meruncing, dan permukaan daun mengkilap.
Bunga tunggal, dalam satu bunga terdapat banyak putik sehingga
dinamakan bunga berpistil majemuk. Bagian bunga tersusun secara
hemicyclis, yaitu sebagian terdapat dalam lingkaran dan yang lain spiral
atau terpencar (Sunarjono, 2005).
d. Kandungan Senyawa Aktif
Hasil skrining fitokimia menunjukkan keberadaan alkaloid, tanin,
flavonoid, saponin, antrakuinon dan glikosida pada ekstrak etanol daun
sirsak (Ezirim et al., 2013). Penelitian Budiarti et al. (2014)
menunjukkan bahwa fraksi klorofom daun A. muricata L. dengan
konsentrasi 1000 µg/ml memiliki aktivitas antioksidan sebesar 35,509%
dan kandungan vitamin C sebesar 42,996%. Menurut Asprey &
Thornton (2000) daun A. muricata L. mengandung flavonoid, alkaloid,
asam lemak, fitosterol, mirisil alkohol dan anonol. Senyawa flavonoid
sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar,
kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Daun A. muricata L.
mengandung berbagai senyawa aktif yang berpotensi sebagai senyawa
antikanker yaitu terdiri dari alkaloid, flavonoid, triterpenoid/steroid, dan
acetogenin (Lisdawati, 2007).
1) Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang
terbesar. Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung
satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian
dari sistem siklik. Alkaloid mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol
sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne,
1987).
Golongan alkaloid yang ditemukan pada tanaman A. muricata L.
meliputi beberapa senyawa dari golongan benzil-tetrahidro-isoquinolin
dan salah satunya adalah liriodin yang bersifat antikanker, antibakteri dan
antijamur (Rahayu et al., 1993).
2) Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu metabolit sekunder dan
keberadaannya pada daun tanaman dipengaruhi oleh proses fotosintesis.
Flavonoid merupakan senyawa bahan alam dari golongan fenolik
(Sjahid, 2008).
Manfaat flavonoid dalam tubuh manusia adalah sebagai
antioksidan sehingga sangat baik digunakan untuk pencegahan kanker
melindungi
struktur
sel,
meningkatkan
efektivitas
vitamin
C,
antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan antibiotik (Subroto dan
Saputro, 2006).
3) Triterpenoid/Steroid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal
dari enam satuan isoprena (Gambar 2) dan secara biosintesis diturunkan
dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Steroid adalah triterpen
yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren
(Harborne, 1987).
Gambar 2. Struktur dasar steroid dan sistem penomorannya
(Harborne, 1987).
4) Poliketida
Daun, batang, kulit kayu, dan biji buah A. muricata L.
mengandung sejumlah bahan kimia yang dipercaya sebagai senyawa
bioaktif yang disebut Annonaceus acetogenin (Noller, 2005). Senyawa
acetogenin ini hanya ditemukan pada tumbuhan famili Annonaceae
yang merupakan senyawa poliketida dengan struktur C-34 atau C-37
rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada gugus 2-propanol pada
C-2 vivo (Gambar 3).
Gambar 3. Struktur kimia dari Annonaceus acetogenin (Yang et al.,
2010).
Dalam tanaman sirsak ini telah ditemukan lebih dari 50 jenis
Annonaceous acetogenin dan 18 jenis di antaranya ditemukan pada
bagian daun sirsak (Geum-soog et al., 1998). Annonaceous acetogenin
dari daun ini telah diteliti sifat sitotoksiknya oleh peneliti luar negeri
dan dalam negeri. Sifatnya yang sitotoksik terhadap beberapa jenis sel
kanker, seperti kanker paru-paru, usus besar, pankreas, dan prostat telah
diteliti dan diterapkan pada berbagai pengobatan tradisional terutama di
Indonesia (Zeng et al., 1996; Geum-soog et al., 1998; Sudjari et al.,
2005).
Acetogenin adalah senyawa poliketida dengan struktur 30-32
rantai karbon tidak bercabang yang terikat pada gugus 5-methyl-2furanone. Rantai furan dalam gugus hydrofuranone pada C23 memiliki
aktifitas sitotoksik, dan derivate acetogenin yang berfungsi sitotoksik
adalah asimicin, bulatacin, dan squamocin. Daun A. muricata L.
mengandung 17 senyawa acetogenin
yang bersifat sitotoksik.
Annomuricin-E dan muricapentosin bersifat sitotoksik selektif terhadap
karsinoma pankreatik (PACA-2) dan adenokarsinoma kolon (HT-29)
(Zeng et al., 1996).
Aktivitas biologi dari Annonaceous acetogenin menghambat
kompleks I mitokondria (NADH-ubiquinone oxidoreductase) sehingga
dapat bersifat sitotoksik terhadap sel kanker dan terbukti sifatnya
berlaku secara spesifik. Aktivitas biologi lainnya yang telah diteliti
adalah penelitian sifat pestisida dan insektisida dari Annonaceous
acetogenin (Wijaya, 2012).
Annonaceous acetogenin merupakan inhibitor NADH pada enzim
uniquinone oxidoreductase. Enzim ini merupakan enzim esensial dalam
sistem transpor elektron yang memimpin ke proses selanjutnya yaitu
fosforilasi oksidatif di dalam mitokondria. Sumber utamanya aktivitas
biologi untuk aktivitas Annonaceous acetogenin melibatkan interaksi
dengan kompleks I mitokondria (NADH: ubiquinone oxidoreductase)
(Wijaya, 2012).
Robinson (1991). menjelaskan polketida adalah golongan
metabolit sekunder dari bakteri, jamur, tanaman, dan hewan. Poliketida
dibiosintesiskan dengan polimerisasi subunit asetil dan propionil dalam
proses yang mirip dengan sintesis asam lemak (kondensasi Claisen).
Poliketida adalah blok pembangun (building block) untuk berbagai
produk-produk alami.
Penelitian Dewangga (2015) mendapatkan hasil bahwa isolat
daun sirsak yang diujikan pada sel kanker mampu membunuh sel
kanker dan senyawa tersebut dianalisis merupakan satu senyawa
golongan poliketida. Secara umum golongan poliketida ini memiliki
manfaat sebagai senyawa antimikroba, antiparasit, dan antikanker
merupakan poliketida atau turunannya, seperti eritromisin, antibiotik
tetrasiklin, avermektin, dan antitumor epotilon (Minto and Blacklock,
2008).
2. Kanker
Kanker pada dasarnya merupakan sel dengan proliferasi yang tidak
terkendali akibat kerusakan gen, utamanya pada regulator daur sel (Sherr,
1996). Pertumbuhan kanker merupakan proses mikroevolusioner yang dapat
berlangsung dalam beberapa bulan atau beberapa tahun. Proses pertumbuhan
ini
dinamakan karsinogenesis, dimulai dari
satu
sel
kanker
yang
memperbanyak diri dan membentuk koloni kecil dalam jaringan yang sama.
Selanjutnya terjadi perubahan genetik (seperti aktivasi onkogen) yang
menyebabkan koloni dari sel abnormal menjadi malignan (Scheneider, 1997).
Perubahan genetik pada gen-gen yang mengatur pertumbuhan, yaitu onkogen
dan tumour supressor gene merupakan perubahan yang sering terjadi
(Meiyanto & Septisetyani, 2005). Akibatnya sel akan berproliferasi terus
menerus dan menimbulkan pertumbuhan jaringan yang abnormal.
American Cancer Society (2008) menyatakan, kanker adalah sekelompok
penyakit yang ditandai oleh pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang
tidak terkontrol dan abnormal. Kanker dapat dicetuskan oleh faktor eksternal
dan faktor internal yang memicu terjadinya proses karsinogenesis (proses
pembentukan kanker). Faktor ekternal dapat juga berupa infeksi, radiasi, zat
kimia tertentu dan juga konsumsi tembakau, sedangkan mutasi (baik yang
diturunkan maupun akibat metabolisme), hormon dan kondisi sistem imun
merupakan faktor internal.
3. Kanker Serviks
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah kanker kedua yang sering
terjadi pada perempuan di seluruh dunia. Pada tahun 2002, setengah juta kasus
dari kanker serviks dilaporkan dan terdapat lebih dari seperempat juta yang
meninggal dari penyakit ini (Parkin et al., 2005). Kanker serviks adalah
keganasan yang terjadi pada leher rahim. Kanker laher rahim adalah tumor
ganas yang tumbuh di daerah leher rahim (serviks), yaitu suatu daerah pada
organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang
terletak antara uterus dan vagina (Mamik, 2000).
Kanker serviks terbentuk sangat perlahan dimulai beberapa sel berubah
dari normal menjadi sel-sel pra-kanker yang mulai membelah dan biasa
disebut sebagai tumor dan kemudian menjadi sel kanker. Ini dapat terjadi
bertahun-tahun, tapi kadang-kadang terjadi lebih cepat. Perubahan ini sering
disebut displasia. Mereka dapat ditemukan dengan tes Pap Smear dan dapat
diobati untuk mencegah terjadinya kanker (Walboomers et al., 1999). Kanker
serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker
serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya
berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke
dalam rahim.
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi onkogenik jenis Human
Papilloma Virus (HPV) (Bosch et al., 2002). Meskipun vaksin untuk
mencegah infeksi HPV onkogenik sekarang tersedia, akan memakan waktu
bertahun-tahun untuk mengenali pengaruhnya terhadap morbiditas kanker
serviks (Goldie et al., 2004; Prayitno, 2006).
4. Siklus Sel
De Vita et al. (1997) menyatakan bahwa siklus sel adalah proses duplikasi
secara akurat untuk menghasilkan jumlah DNA kromosom yang cukup
banyak dan untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik.
Proses ini berlangsung terus dan siklik. Pada Gambar 4, siklus sel secara
normal terbagi dal am empat fase, yaitu G1, S, G2, M dan diselingi fase
istirahat, yaitu G0. Fase awal dimulai dengan G1, pada fase ini sel mulai
mempersiapkan untuk melakukan sintesis DNA dan juga melakukan
biosintesis RNA dan protein, dilanjutkan dengan fase S, dimana pada fase ini
terjadi replikasi DNA (David and Shivdasani, 2001). Pada akhir fase ini sel
telah berisi DNA ganda dan kromosom telah mengalami replikasi (McDonald
and Ford, 1997).
Gambar 4. Siklus sel (Campbell et al., 2004)
Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap
2 (G2), dan M (Mitosis). Lamanya siklus tersebut berbeda-beda pada berbagai
macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20-24 jam. Fase G1
membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam, fase G2 5 jam dan fase M 1
jam. Waktu generasi untuk kultur sel pada umumnya sama dengan sel normal
(Freshney, 2000).
Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui
perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut
siklin. Pada tahapan tertentu siklus sel, kadar berbagai siklin meningkat
setelah didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut.
Siklin menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan
(sehingga akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang
disebut kinase bergantung siklin. Kombinasi yang berbeda dari siklin dan
Cyclin Dependent Kinase (CDK) berkaitan dengan setiap transisi penting
dalam siklus sel, dan kombinasi ini menggunakan efeknya dengan
memfosforilasi sekelompok substrat protein tertentu (Kumar et al., 2003).
1. Fase G1
Pada fase G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan
tumbuh,
struktur
sitoplasma
tertentu
akan
berdiferensiasi
(Mutschler, 1999). Selama fase ini nukleus membesar dan volume
sitoplasma meningkat dengan cepat sehingga disebut fase sintesis,
protein yang dapat memacu pembelahan sel, tubulin dan protein
yang akan membentuk spindel (Suryo, 2007).
2. Fase-S
Pada fase-S ini dibentuk untai DNA baru melalui proses
replikasi. Replikasi DNA terjadi dengan bantuan enzim DNApolimerase. Dengan dibentuknya DNA baru maka rantai tunggal
DNA menjadi rantai ganda (Sukardja, 2000). Pada fase S dengan
pembentukan asam deoksiribonukleat baru, jumlah kromosom
akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan dipersiapkan
(Mutschler, 1999). Suryo (2007) menyebutkan bahwa pada akhir
fase ini terbentuk 2 kromatid.
3. Fase-G2
Pada fase ini dibentuk RNA, protein, enzim, dan
sebagainya untuk persiapan fase berikutnya yaitu fase-M
(Sukardja, 2000). Fase ini disebut juga fase pramitosis dengan ciri
sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak
daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis DNA dan
protein (Nafrialdi dan Gan, 1995). Selain itu, pada fase G2
kromosom sudah ada dalam bentuk kromatida (Mutschler, 1999).
Apabila terjadi kerusakan DNA dan DNA tidak bereplikasi dengan
sempurna, maka proliferasi sel manuju fase M diblok dan
dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini dilakukan oleh
protein kinase ChkI yang memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25
sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini menyebabkan fase M diblok
karena tidak terbentuknya cdk1 / siklin B sebagai regulator menuju
fase M. Penghentian pada fase G2 dilakukan untuk perbaikan
DNA, tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan maka
terjadi apoptosis (Freshney, 2000).
4. Fase-M
Pada fase ini sintesis protein dan RNA berkurang secara
tiba-tiba dan terjadi pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan
Gan, 1995). Pembelahan menjadi dua sel ini terdiri dari empat
tahap, yaitu profase, metaphase, anaphase, dan telofase. Pada awal
fase mitosis ditandai dengan terbentuknya benang spindel dan pada
akhirnya terjadi pemisahan kromosom (Pusztai et al., 1996).
Perubahan dari satu fase ke fase berikutnya dalam siklus sel diatur oleh
beberapa checkpoint (pada masing-masing fasenya). Checkpoint berfungsi
untuk memastikan bahwa kromosom utuh dan tahap-tahap kritis siklus sel
telah sempurna sebelum memasuki tahap selanjutnya (Livingstone and
Shivdasani, 2001).
Pada
kanker
terjadi
perubahan
pengaturan
siklus
sel.
Selama
perkembangan sel kanker biasanya mempengaruhi ekspresi protein-protein
pengatur siklus sel. Pada sel kanker juga terjadi ketidakmampuan kontrol
checkpoint, mengakibatkan respon menyimpang terhadap adanya kerusakan
seluler. Ketidakmampuan kontrol checkpoint menyebabkan inisiasi fase S atau
mitosis tetap berlangsung meskipun ada kerusakan seluler dan ketidakstabilan
genetik yang selanjutnya menimbulkan clone maligna (De Vita et al.,1997;
McDonald and Ford, 1997).
5. Apoptosis
Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram. Apoptosis terjadi
normal selama proses perkembangan dan penuaan sebagai mekanisme
homeostatik untuk memelihara populasi sel dalam jaringan. Apoptosis penting
untuk
mengatur kematian sel
untuk
mengkontrol
jumlah sel
dan
membersihkan sel yang rusak yang mempunyai peran penting untuk supresi
tumor. Sel yang apoptosis akan menunjukkan sel melisut (cell shrinkage),
pemadatan kromatin (chromatin condensation) kemudian menjadi sel
apoptosis atau badan apoptosis yang akan memudahkan untuk difagositosis
oleh makrofag (Ford et al., 2004).
Mekanisme terjadinya apoptosis melibatkan suatu kaskade aktivasi
berbagai molekul bergantung energi (energy-dependent). Saat ini diketahui
ada 2 jalur utama apoptosis yaitu jalur ekstrinsik atau jalur reseptor kematian
(death receptor pathway) dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria (Kresno,
2011).
a. Jalur ekstrinsik
Jalur ekstrinsik diawali oleh sel surface death receptor dari
berbagai macam sel. Death receptor adalah anggota dari tumor
necrosis factor receptor family (TNF) mempunyai cytoplasmic
domain yang berisi protein interaksi disebut death domain, yang
penting untuk mengirim apoptotic signals. Mekanisme apoptosis
yang diinduksi oleh death receptor diawali Fas ligand (FasL) yang
melepaskan Fas dari ligandnya. Molekul Fas menuju ke
sitoplasma yang terdapat death domain, tempat untuk berikatan
dengan adapter protein yang juga mempunyai death domain dan
disebut FADD (fas-associated death domain). FADD yang
dilekatkan pada death receptors kembali berikatan dengan
procaspase-8 melalui death domain. Setelah caspase-8 diaktivasi,
enzim tersebut akan mengaktifkan cascade-caspase dengan
mengikat
dan
mengaktifkan
pro-caspase
yang
lain
serta
mengaktifkan enzim yang melaksanakan execution phase dari
apoptosis. Mekanisme apoptosis dapat dihambat oleh protein yang
disebut FLIP, yang berikatan dengan procaspase-8 tetapi tidak
dapat
berikatan
dan
mengaktifkan
enzim
karena
kurang
mempunyai aktifitas enzim. Beberapa virus dan sel normal
memproduksi FLIP dan digunakan untuk menghambat dan
memproteksi infeksi dan memproteksi sel normal dari Fas
mediatedapoptosis (Kresno, 2011).
b. Jalur intrinsik
Jalur intrinsik yang mengawali apoptosis melibatkan
sejumlah besar stimulus yang tidak dimediasi reseptor (nonreceptor-mediated) yang menghasilkan sinyal intraseluler yang
langsung bereaksi dengan sasaran intrasel dan berkaitan erat
dengan mitokondria. Jalur intrinsik disebabkan oleh peningkatan
permiabilitas mitokondria dan pelepasan molekul pro apoptotic ke
sitoplasma (Kresno, 2011).
Pengontrolan dan pengaturan proses dan jalur mitokonria
dilakukan melalui keluarga protein Bcl-2. Bcl-2 family mempunyai
lebih dari 20 macam protein, yang semuanya berfungsi untuk
regulasi apoptosis. Dua protein yang berfungsi anti apoptosis
adalah Bcl-2 dan Bcl-X. Protein anti-apoptosis dalam keadaan
normal berada disekitar membran mitokondria dan sitoplasma.
Ketika sel kehilangan
kemampuan mempertahankan diri atau
mengalami stress, Bcl-2 dan/atau Bcl-x akan menghilang dari
membran mitokondria dan digantikan kelompok protein proapoptotis seperti Bad,Bax atau Bid . Ketika Bcl-2/Bcl-x menurun,
terjadi
peningkatan
permeabilitas
membran
mitokondria
menyebabkan keluarnya beberapa protein yang akan mengaktifkan
caspase cascade. Salah satu dari protein tersebut adalah
cytochrome c. Di dalam cytosol cytochrome c berikatan dengan
Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengaktifkan caspase9. ( Bcl-2 dan Bcl-x secara langsung menghambat aktivasi Apaf-1
dan kemudian menghilang dari sel yang menyebabkan dapat terjadi
aktivasi Apaf-1). Protein mitokondria yang lain seperti apoptosis
initiating factor (AIF) memasuki sitoplasma yang akan berikatan
untuk menetralkan berbagai macam inhibitor apoptosis. Hal
tersebut akan mengaktifkan caspase cascade (Wataguli, 2008).
6. Human Papilloma Virus (HPV)
Human Papilloma Virus (HPV) adalah virus DNA-circular dengan genom
7800-8000 pasang basa. HPV ada lebih dari 70 jenis yang tidak dapat
diidentifikasi secara serologis, tetapi dengan hibridisasi DNA dan PCR
spesifik primer dapat teridentifikasi (Prayitno dkk., 2005). Data yang
dikumpulkan menunjukkan bahwa HPV tipe 16, 18, 31, dan 45 terdapat pada
80% kasus kanker serviks (Novel et al., 2010). Beberapa tipe HPV resiko
tinggi secara signifikan ditemukan di daerah tertentu (Tambunan dkk., 2007).
Human Papilloma Virus (HPV) merupakan virus penyebab paling utama
kanker serviks yang ditularkan secara seksual (Sjamsuddin, 2001). Lebih dari
70 jenis HPV yang tidak teridentifikasi secara serologis, tetapi dapat terdeteksi
dengan DNA hybridization dan Polymerase Chain Reaction (PCR) spesifik
primer (Smetana et al., 1995). Virus HPV berdiameter 55 µm (Gambar 5),
mengandung DNA circular double stranded dengan panjang kira-kira 8.000
pasang basa (Sjamsuddin, 2001).
Gambar 5. Model Human Papilloma Virus (HPV) (Sjamsuddin, 2001).
Genom virus ini terdiri dari the early region (E) yang mengkode protein
yang berperan pada replikasi genom, mengontrol transkripsi dan replikasi
serta transformasi sel. The late region (L) berisi L-genes yang mengkode
protein capsid. Definisi tipe HPV yang terbaru tidak lebih dari 90% terlihat
adanya homologi pada sequence DNA E6, E7 dan L1. Protein E6 (oncoprotein) high-risk HPV (tipe 16 dan 18) mempunyai peran dalam proliferasi
sel yang dihubungkan dengan keberadaan tumor supressor gen p53. HPV
berdiameter sekitar 55 nm dan mengandung genom yang cukup besar (BM 5 x
106 berbanding 3 x 106) (Prayitno dkk., 2005).
Infeksi dengan HPV bisa menyebabkan kutil pada epitel kulit, sedangkan
di wilayah serviks virus ini dapat menyebabkan kedua kutil kelamin dan
berbagai bentuk kanker pada pria dan wanita (Parkin et al., 2005). Virus HPV
merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya
gangguan sel serviks. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh
merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi. Genom HPV
berbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb, mempunyai 8 Open Reading Frames
(ORFs) dan dibagi menjadi gene early (E) dan late (L). Gen E mengsintesis 6
protein E yaitu E1, E2, E4, E5, E6 dan E7 yang banyak terkait dalam proses
replikasi virus dan onkogen, sedangkan gen L mengsintesis 2 protein L yaitu
L1 dan L2 yang terkait dengan pembentukan kapsid (Prayitno dkk., 2005).
7. Sel HeLa
Sel HeLa adalah cell line yang immortal, sel ini tidak dapat mati karena
tua dan dapat membelah secara tidak terbatas selama memenuhi kondisi dasar
bagi sel untuk tetap hidup masih ada (Rahbari et al., 2009; Capes et al., 2010;
Watts, 2010). Sel ini merupakan continuous cell line yang tumbuh sebagai sel
yang semi melekat. Cell line ini berasal dari sel-sel kanker serviks yang
diambil dari Henrietta Lacks yang meninggal karena kanker pada tahun 1951.
Awalnya, cell line ini dinamai “Helen Lane” untuk menjaga nama Lacks
(Patel et al., 2009). Sel ini cukup aman dan merupakan sel manusia yang
umum digunakan untuk kepentingan kultur sel.
Sel kanker leher rahim (sel HeLa) terjadi akibat infeksi HPV 18 sehingga
mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher rahim normal. Sel kanker
leher rahim yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu
E6 dan E7. Protein tersebut menekan fungsi p53 dan pRb. Kedua gen tersebut
secara normal berfungsi mengontrol sinyal jalur yang mengatur siklus sel serta
memonitor dan melindungi integritas keseluruhan genom. Kedua onkogen
tersebut merupakan protein yang dapat menghambat ekspresi gen p53 sebagai
gen penekan kanker. Pada peristiwa ini onkogen lebih tinggi jumlahnya
dibandingkan p53 sehingga proliferasi sel kanker menjadi tidak terkendali
(Prayitno, 2006; Goodwin and DiMaio, 2000). Gen p53 merupakan salah satu
gen penekan terjadinya tumor. Gen p53 merupakan “penjaga gawang”
stabilitas genomic yang berperan dalam siklus regulasi DNA, apoptosis dan
kontrol proliferasi sel (Cernochova et al., 2004; Baran et al., 2005).
8. Protein Retinoblastoma (pRb)
Protein Retinoblastoma (pRb) adalah protein dengan berkas genetik RB1
yang berperan sebagai mitogen di dalam siklus sel dan memelihara struktur
kromatin, serta merupakan faktor transkripsi yang mengikat faktor transkripsi
E2F, dan berfungsi untuk menekan pertumbuhan tumor. Pada siklus sel, pRb
mencegah sel dari replikasi DNA yang rusak dengan menghentikan siklus sel
pada transisi fase G0 ke G1. Defisiensi pada gen RB1 dapat mengakibatkan
kanker retinoblastoma, kanker kandung kemih, kanker serviks dan sarkoma
osteogenik (Kresno, 2010).
Gen RB1 merupakan gen supresor yang pertama kali ditemukan. Berbeda
dengan onkogen yang produk proteinnya berperan dalam meneruskan sinyalsinyal pertumbuhan sel pada semua tahap, produk gen supresor pada
umumnya memberikan sinyal untuk menghambat pertumbuhan. Setiap gen
supresor menyandi signal transducing protein yang membawa pesan
menghambat pertumbuhan (growth inhibition) dari bagian sel yang satu ke
bagian sel yang lain melalui suatu signaling cascade dan disampaikan kepada
responder protein. Bila salah satu protein supresor hilang atau tidak berfungsi,
maka salah satu mata rantai sinyal hilang sehingga pesan yang dibawanya
tidak sampai ke tujuan (Kresno, 2010).
Banyak jenis tumor yang dikaitkan dengan efek atau disfungsi gen
supresor. Disfungsi atau inaktivasi gen supresor karena delesi atau mutasi
genetik dapat mengakibatkan sel kehilangan kontrol pertumbuhan, sehingga
terjadi pertumbuhan tidak terkendali. Mutasi dapat terjadi karena banyak hal,
misalnya akibat virus, bahan kimia karsinogenik atau radiasi. Walaupun gen
Rb ditemukan pertama kali pada pasien-pasien yang rentan terhadap
retinoblastoma, mutasi gen Rb tidak hanya dijumpai pada retinoblastoma
tetapi juga dapat ditemukan pada berbagai jenis kanker lain pada orang
dewasa, misalnya kanker paru, payudara, ginjal, kanker serviks dan lain-lain.
Pada tumor-tumor ini mutasi Rb terjadi somatik dan bukan karena diwariskan.
Gen Rb juga berperan penting pada tumor yang diinduksi oleh berbagai virus,
khusunya SV40, adenovirus dan HPV (Kresno, 2010).
Gen RB1 menduduki sepanjang 200 kb DNA dan terdiri atas 23 exon.
Produknya, yaitu protein Rb yang besarnya 105-110 kDa bergantung pada
jenis spesies. Protein ini merupakan protein nukleus yang terlibat dalam
proses siklus sel. Dalam sel yang beristirahat (fase G0 dan G1) protein Rb
dapat ditemukan dalam bentuk kompleks dengan faktor transkripsi seluler
yang disebut E2F. Protein Rb sendiri berfungsi sebagai regulator transkripsi,
walaupun protein ini sendiri tidak berikatan langsung dengan sekuen DNA
sasaran. E2F memperantarai aktivitas transkripsi beberapa gen seluler yang
terlibat dalam proliferasi sel dan sintesis DNA termasuk gen yang menyandi
timidin-kinase dan DNA polimerase (Kresno, 2010).
Selama fase G0 dan awal fase G1 protein Rb tidak terfosfolirasi, tetapi
pada akhir fase G1 atau awal fase S terjadi fosfolirasi protein Rb secara
progresif pada berbagai sisi protein Rb. Kinase yang menyebabkan reaksi
fosfolirasi ini adalah Cdk yang diaktifkan oleh cyclin dan mengatur siklus sel.
Tingkat fosfolirasi protein Rb tetap tinggi sampai fase akhir mitosis pada saat
enzim fosfatase memecah kompleks ini (defosfolirasi) dan siklus sel masuk ke
fase G0/G1. Dengan demikian diduga bahwa fosfolirasi protein Rb merupakan
mekanisme yang mengatur aktivitas Rb dan interaksinya dengan protein lain.
Jadi fungsi Rb dalam siklus sel adalah berinteraksi dengan faktor transkripsi
dan mengatur fungsi gen lain yang diperlukan untuk memasuki fase S
(Kresno, 2010).
Aktivitas Rb diatur melalui fosfolirasi oleh kinase dan aktivitas Cdk
sehingga terjadi interaksi antara Rb dengan proses lain dalam siklus sel. Pada
fase awal G1 protein Rb tidak difosofolirasi, tetapi pada akhir fase G1 pRb
difosfolirasi secara ekstensif pada semua sisi dan tetap terfosfolirasi hingga
akhir fase mitotik, dimana segera terjadi defosfolirasi. Faktor transkripsi E2F
lebih suka berikatan dengan Rb pada saat Rb tidak tidak terfosfolirasi pada
fase G1. E2F adalah suatu faktor transkripsi positif bila ia tidak terikat pada
protein Rb, tetapi menjadi elemen negatif bila ia terikat pada Rb. Kompleks
E2F dengan Rb merupakan kompleks stabil yang menghambat kemampuan
E2F untuk mengaktivasi berbagai gen promoter untuk sintesis DNA.
Kompleks Rb-E2F menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1.
Fosfolirasi Rb maupun E2F oleh cyclin D-Cdk4 dan cyclin D-Cdk2 pada fase
akhir G1 menyebabkan E2F terlepas sehingga ia bisa berinteraksi dengan gen
promoter yang diperlukan untuk masuk dalam fase S. Ekspresi berlebihan dari
E2F dapat menstimulasi proliferasi sedangkan aktivitas Rb sebagai gen
supresor
berkolerasi
dengan
pengikatannya
dengan
E2F,
sehingga
disimpulkan bahwa salah satu fungsi Rb adalah menghambat fungsi E2F
sebagai transkriptor (Kresno,2010).
Sel kanker leher rahim yang diinfeksi virus yang dikenal dengan Human
Papiloma Virus (HPV) diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan
E7. Kedua onkogen tersebut merupakan protein yang dapat menghambat
ekspresi gen p53 dan pRb sebagai gen penekan kanker. Pada peristiwa ini
onkogen lebih tinggi jumlahnya dibandingkan p53 dan pRb
sehingga
proliferasi sel kanker menjadi tidak terkendali (Prayitno, 2006; Goodwin and
DiMaio, 2000).
Protein E6 dan E7 disebut onkogen karena kemampuannya mengikat
protein
proapoptotik, p53 dan pRb sehingga sel yang terinfeksi aktif
berproliferasi yang mengakibatkan terjadinya lesi pre kanker yang kemudian
dapat berkembang menjadi kanker. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah
E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak berfungsinya E2
menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53
dan pRb.
E6 mempunyai kemampuan yang khas mampu berikatan dengan p53. p53
yaitu protein yang termasuk supresor tumor yang meregulasi siklus sel baik
pada G1/S maupun G2/M. Pada saat terjadi kerusakan DNA, p53 teraktifasi
dan meningkatkan ekspresi p21, menghasilkan cell arrest atau apoptosis.
Proses apoptosis ini juga merupakan cara pertahanan sel untuk mencegah
penularan virus pada sel-sel didekatnya. Kebanyakan virus tumor menghalangi
induksi apoptosis. E6 membentuk susunan kompleks dengan regulator p53
seluler ubiquitin ligase/E6AP yang meningkatkan degradasi p53. Inaktifasi
p53 menghilangkan kontrol siklus sel, arrest dan apoptosis. Penurunan p53
menghalangi proses proapoptotik, sehingga terjadi peningkatan proliferasi
(Utari, 2010).
Penghentian siklus sel pada fase G1 oleh P53 bertujuan memberi
kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah
perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. p53 menghentikan siklus sel
dengan cara menghambat kompleks cdk-cyclin yang berfungsi merangsang
siklus sel untuk memasuki fase selanjutnya. Jika penghentian sel pada fase
G1 tidak terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, maka sel akan terus masuk ke
fase S tanpa ada perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan
berkembang tanpa kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai perangsang
apoptosis, yaitu proses kematian sel yang dimulai dari kehancuran gen
intrasel. Apoptosis merupakan upaya fisiologis tubuh untuk mematikan sel
yang tidak dapat diperbaiki. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan proses
apoptosis tidak berjalan (Utari, 2010).
E6 mempunyai fungsi lain yang penting yaitu mengaktifasi telomerase
pada sel yang terinfeksi HPV. Pada keadaan normal replikasi DNA akan
memperpendek telomere, namun bila ada E6, telomer akan tetap diperpanjang
melalui aktifitas katalitik sub unit telomerase, Human Reverse Transcriptase
(hTERT). E6 membuat komplek dengan Myc/Mac protein dan Sp-1 yang akan
mengikat ensim hTERT di regio promoter dan menyebabkan peningkatan
aktifitas telomerase sel. Sel akan terus berproliferasi atau imortalisasi (Kresno,
2011).
Protein E7 merupakan HPV onkoprotein kedua yang berperan penting
dalam patogenesis selain E6. Protein E7 mampu berikatan dengan famili Rb.
Protein Rb famili berfungsi untuk mencegah perkembangan siklus sel yang
berlebihan sampai sel siap membelah diri dengan baik. pRb yang tidak
berfungsi menyebabkan proliferasi sel. Pada proses regulasi siklus sel di fase
G0 dan G1 tumor suppressor gene pRb berikatan dengan E2F. Ikatan ini
menyebabkan E2F menjadi tidak aktif E2F merupakan gen yang akan
merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, dan N-myc.
Protein E7 masuk ke dalam sel dan mengikat pRb yang menyebabkan E2F
bebas terlepas, lalu merangsang proto-onkogen c-myc dan N-myc sehingga
akan terjadi proses transkripsi atau proses siklus sel (Prayitno dkk., 2005).
9. Teknik Kultur Sel
Teknik kultur jaringan (tissue culture) adalah teknik mengisolasi sel,
jaringan, dan organ hewan pada lingkungan buatan yang mendukung
pertumbuhannya. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
teknik kultur cryopreservation. Teknik ini menggunakan sel stok beku (frozen
stok) yang disimpan dalam nitrogen cair, apabila akan digunakan maka sel
tersebut langsung bisa digunakan dengan cara distarvasi terlebih dahulu.
Kultur sel yang didapat dari jaringan secara langsung disebut kultur sel
primer, sedangkan kultur sel yang telah mengalami penanaman berulang-kali
(passage) disebut kultur cell line atau sel strain (Freshney, 2000).
Sel kultur (cell line) adalah sel yang digunakan dalam penelitian yang
dikembangbiakan dan berploriferasi pada media kultur secara in vitro. Sel
kultur dapat diambil dari jaringan asal atau memperbanyak sel yang sudah
ada. Dalam proses kultur sel selalu terkontrol dan terjaga aseptiknya agar tidak
terjadi kontaminasi. Mather and Roberts (1998) mengungkapkan sel kultur
sering dipakai dalam penelitian kanker secara in vitro karena mudah
penangannya, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas, dan
homogenitas yang tinggi serta mudah diganti dengan frozen stock jika terjadi
kontaminasi. Sistem kultur sel hewan menurut Ryan (2008) ada dua jenis,
yaitu :
a. Sistem kultur monolayer atau adherent yaitu sistem kultur yang
digunakan untuk tipe sel yang hidup dengan melekat dengan substrat.
b. Sistem kultur suspensi yaitu sistem kultur untuk tipe sel yang hidup
tersuspensi pada medium.
Menurut Butler (2005) sel hewan yang ditumbuhkan dalam media kultur
memiliki beberapa variasi morfologi, diantaranya:
a. Sel Epithelial-like yaitu sel yang menempel pada substrat dengan
bentuk poligonal.
b. Sel lymphoblast-like yaitu sel yang tidak menempel pada substrat
namun tersuspensi dalam medium dengan bentuk menyerupai
lingkaran.
c. Sel fibroblast-like yaitu sel yang menempel pada substrat dan
berbentuk memanjang.
10. Sitotoksitas
Sitotoksik adalah sifat toksis atau beracun yang dimiliki oleh suatu
senyawa tertentu terhadap sel hidup. Uji sitotoksik adalah suatu uji secara in
vitro yang dilakukan menggunakan kultur sel dalam mengevaluasi keamanan
suatu obat, makanan, kosmetika, maupun bahan-bahan kimia lainnya.
Pengujian
ini
selain
menggunakan
kultur
sel,
juga
dilakukan
uji
farmakokinetika in vitro untuk mengembangkan obat-obat dan mengamati
toksisitas akut maupun kronik (Freshney, 1986).
Salah satu metode uji sitotoksik adalah Colometric Cell Viability with (3[4,5- dimethylthiazol-2-yl] -2,5 diphenyl tetrazolium bromide) (MTT assay)
yang memiliki kelebihan yaitu relatif cepat, sensitif, akurat, digunakan untuk
mengukur sampel dalam jumlah besar dan hasilnya bisa digunakan untuk
memprediksi sifat sitotoksik suatu bahan. Dasar uji enzimatik MTT adalah
dengan mengukur kemampuan sel hidup berdasarkan aktivitas mitokondria
dari kultur sel. Metode ini dapat digunakan untuk mengukur proliferasi sel
secara kolorimeter (Walter, 1986).
Dasar uji sitotoksitas adalah kemampuan sel untuk bertahan hidup karena
adanya senyawa toksik. Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan
sebagai tidak hilangnya metabolism atau proliferasi. Bertambahnya jumlah
sel, dapat diukur dengan naiknya jumlah protein, atau DNA yang disintesis.
Uji ini dinyatakan dengan penelitian mencari efek sitotoksitas terhadap sel
HeLa dengan tolok ukur LC50 yakni sebesar 166,32 µg/mL (Astirin et al.,
2014).
Salah satu metode uji sitotoksik adalah MTT Assay. Prinsip dari metode
MTT adalah adanya pemecahan garam tetrazolium MTT (3-(4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-dipheniltetrazolium bromid) oleh sistem enzim reduktase
suksinat tetrazolium yang terdapat di dalam mitokondria sel hidup sehingga
terbentuklah kristal formazan berwarna ungu. Intensitas warna ini selanjutnya
dapat dibaca dengan (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) ELISA Reader
(Freshney, 1986).
11. Immunohistokimia (IHC)
Immunohistokimia merupakan suatu metode yang digunakan untuk
mendeteksi adanya ekspresi suatu protein spesifik atau antigen dalam sel
dengan menggunakan antibodi spesifik yang akan berikatan dengan protein
atau antigen. Ada dua jenis metode Immunohistokimia, yaitu metode langsung
dan metode tidak langsung. Pada metode langsung, antibodi yang mengikat
fluoresen atau zat warna langsung berikatan dengan antigen pada sel.
Sedangkan pada metode tidak langsung, antigen diikatkan pada antibodi
primer secara langsung, kemudian ditambahkan antibodi sekunder yang
mengikat enzim seperti peroksidase, alkali fosfatase, atau glukosa oksidase.
Antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer. Selanjutnya
ditambahkan substrat kromogen yang akan diubah oleh enzim sehingga terjadi
pembentukan warna (pigmen) yang akan mewarnai sel (CCRC, 2010).
Untuk menjamin antibodi agar dapat mengikat antigen, sel harus difiksasi
dengan ditempelkan pada bahan pendukung padat sehingga antigen akan
immobile. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan sel pada slide
mikroskop, coverslip, atau bahan pendukung plastik yang sesuai. Ada dua
macam metode fiksasi, yaitu pelarut organik dan reagen cross-linking. Pelarut
organik seperti alkohol dan aseton akan memindahkan lipid, mendehidrasi sel,
dan mengendapkan protein. Reagen cross-linking seperti paraformaldehid
membentuk jembatan intermolekuler melalui gugus amino bebas.
Immunohistokimia melibatkan inkubasi sel dengan antibodi. Antibodi
akan berikatan dengan antigen atau protein spesifik di dalam sel. Antibodi
yang tidak berikatan dipisahkan dengan pencucian, sedangkan antibodi yang
berikatan dideteksi secara langsung dengan antibodi primer berlabel, maupun
secara tidak langsung dengan antibodi sekuder berlabel enzim atau fluoresen
(CCRC, 2010).
B. Kerangka Pemikiran
Kanker serviks yang menyerang pada serviks uterus wanita adalah kanker
yang paling sering ditemukan terutama di negara-negara berkembang dan
sekaligus merupakan penyebab kematian pada perempuan di dunia pada
umumnya. Kanker leher rahim (serviks) terjadi karena adanya infeksi virus HPV
(Yohanes, 2008; Prayitno dkk., 2005; Prayitno, 2006). Di Indonesia kanker
serviks ini menduduki peringkat pertama diantara jenis kanker lainnya (Badan
Registrasi Kanker, 1998).
Alternatif pengobatan kanker dapat dilakukan dengan memanfaatkan
senyawa yang terkandung dalam bahan alam. Tumbuhan obat yang dijadikan
sebagai obat antikanker harus mengandung metabolit sekunder yang mempunyai
tiga sifat antara lain: sifat antitoksis serta Kemampuan sitotoksisitas dan
antiangiogenesis. Oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai alternatif
pengobatan kanker serviks yang efektif dan efisien berbasis bahan alam. Daun A.
muricata L. dapat digunakan sebagai sumber produk alami dalam pengembangan
obat antikanker (Astirin et al., 2014).
Pada penelitian ini akan dicari bagaimana efek dari senyawa aktif golongan
poliketida daun A. muricata L. pada ekspresi protein Rb terhadap sel HeLa dengan
pengecatan IHC. Kerangka pemikiran penelitian dapat di gambarkan dalam bagan
seperti pada Gambar 6.
Potensi bahan alam
sebagai obat antikanker
(Tan et al., 2011).
Kanker serviks merupakan
penyebab kematian wanita
pada umumnya (Badan
Registrasi Kanker, 1998)
Obat khemoterapi
merusak jaringan sehat
Daun sirsak (A. muricata L.)
berpotensi sebagai antikanker
(Hai Jun & Xiang, 2008).
Fraksi kloroform daun A. muricata L. memiliki
efek antiproliferatif terhadap sel HeLa
(Astirin et al., 2013; Astirin et al., 2014)
Isolasi senyawa tunggal golongan poliketida
daun A. muricata L.
Senyawa golongan poliketida merupakan
senyawa yang dapat membunuh sel kanker
(Dewangga, 2015)
Uji sitotoksisitas dan
menentukan LC50 isolat aktif golongan poliketida daun A. muricata L.
Uji Immunohistokimia (IHC)
sel HeLa dengan protein Rb
Peranan senyawa aktif golongan poliketida daun A. muricata
L.Pada ekspresi protein Rb terhadap sel HeLa dengan pengecatan
immunohistokimia (IHC)
Gambar 6. Diagram alir kerangka pemikiran
C. HIPOTESIS
Hipotesis dari penelitian ini antara lain :
1. Apabila nilai LC50 dari isolat aktif golongan poliketida daun A. muricata
L. terhadap sel HeLa adalah < 100 μg/ml maka isolat aktif tersebut bersifat
sitotoksik.
2. Apabila terdapat perubahan warna atau bentuk dari sel HeLa yang normal
setelah dilakukan pengecatan immunohistokimia menggunakan protein
Rb, maka menunjukan adanya peranan senyawa aktif golongan poliketida
daun A. muricata L. terhadap ekspresi protein Rb.
Download