PENGEMBANGAN SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PATOLOGI KLINIS PADA PERANGKAT MOBILE UNTUK DIAGNOSIS PENYAKIT DENGAN GEJALA DEMAM Sri Kusumadewi1, Linda Rosita2 1 Teknik Informatika Universitas Islam Indonesia 2 Kedokteran Universitas Islam Indonesia Jl. Kaliurang km 14 Yogyakarta 55510 Telp (0274) 895287, fax (0274) 895007 [email protected] Abstract. Penelitian ini bertujuan untuk membangun sebuah Model Sistem Pendukung Keputusan Patologi Klinis (SPKPK) yang mampu membantu para tenaga medis dalam memberikan keputusan diagnosis pada pasien yang akan diimplementasikan pada smartphone berbasis Android. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap: 1) melakukan kajian literatur; 2) analisis dan perancangan model sistem pendukung keputusan dengan mengambil data pada penelitian Tahun I; 3) membangun prototipe model SPKK berbasis Android; 4) mengujicoba sistem pada dokter pada rumah sakit yang menjadi rekanan peneliti. Bentuk produk akhir penelitian berupa prototipe aplikasi SPKPK berupa mobile application berbasis Android. Prototipe sudah berhasil dibuat dan diimplementasikan pada tablet. SPKPK mampu mendiagnosis sebanyak sepuluh penyakit berdasarkan sebelas gejala. Ada dua model basis pengetahuan yang dibangun, yaitu basis pengetahuan untuk diagnosis awal (BP1) dan basis pengetahuan untuk menentukan jenis item uji laboratorium klinik (BP2). Kedua basis pengetahuan tersebut direpresentasikan dengan menggunakan pohon keputusan. Selanjutnya dibuat juga model inference engine untuk melakukan penalaran. Ada dua inference engine yang dibuat, yaitu forward chaining untuk proses diagnosis awal (IE1) dan backward chaining untuk penentuan item uji laboratorium klinis (IE2). Proses pengujian telah dilakukan dan SPKPK ini telah berhasil menguji semua diagnosis awal dengan sempurna. Untuk selanjutnya akan dilakukan pengujian aplikasi ke dokter untuk mengukur seberapa besar kinerja dari SPKPK tersebut. Keywords: patologi, demam, diagnosis, model, keputusan 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Smartphone adalah perangkat mobile seperti layaknya ponsel yang tidak hanya dapat digunakan untuk berkomunikasi melalui suara (telpon) dan SMS, namun juga dapat digunakan untuk membantu memberikan layanan informasi lainnya bagi manusia. Beberapa aplikasi telah banyak dikembangkan pada smartphone termasuk aplikasi yang berkaitan dengan bidang medis. Beberapa aplikasi medis masih bersifat memberi layanan informasi dan belum dilengkapi kemampuan untuk mendukung proses pengambilan keputusan. Di sisi lain, sebagai negara yang terletak di daerah tropis, penyakit dengan gejala demam banyak dijumpai di Indonesia. Demam atau seringkali dikenal dengan istilah panas badan merupakan gejala 108 yang umumnya muncul katika seseorang merasa kurang enak badan. Bahkan hampir semua penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri umumnya ditandai dengan gejala demam. Hal ini juga didukung oleh kondisi tertentu seperti adanya musim pancaroba dan perubahan kualitas lingkungan pemukiman. Gejala demam yang timbul begitu mirip antara satu penyakit dengan penyakit yang lainnya sehingga diperlukan adanya diagnosis yang akurat serta dukungan pemeriksaan laboratorium untuk memutuskan jenis penyakit yang dialami oleh pasien10. Dalam mendiagnosis suatu penyakit, umumnya dokter telah memiliki mekanisme tersendiri yang didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki selama menduduki bangku kuliah atau pengalamanpengalamannya ketika mendiagnosis penyakit pada pasien-pasien sebelumnya. Namun pada kenyataannya, masih cukup banyak dijumpai kasus kesalahan diagnosis atau kesalahan dalam pengambilan keputusan terhadap penyakit9. Pada dasarnya, proses penegakan diagnosis dilakukan melalui urutan yang jelas, yaitu dimulai dengan anamnesis, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang apabila diperlukan. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Peran pemeriksaan laboratorium dalam membuat keputusan klinis diantaranya dalam menegakkan diagnosis, monitor terapi, dan menentukan prognosis penyakit. Dalam menegakkan diagnosis, tidak cukup hanya mempertimbangkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Peran pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk mengkonfirmasi dan memastikan kondisi klinis pasien. Pemeriksaan laboratorium yang tepat dan analisis yang akurat sebenarnya sudah dapat digunakan sebagai penentu penyakit dalam proses diagnosis, disamping juga karena alasan ekonomis dan kemudahan9. Diagnosis laboratorium hanya membutuhkan 1-2% dari seluruh biaya perawatan kesehatan, namun layanan laboratorium ini memberikan sumbangan paling banyak dalam memberikan dukungan keputusan3. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu kiranya dibuat model sistem pendukung keputusan klinis yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis penyakit dengan gejala demam dimana aplikasinya dapat dijalankan melalui smartphone. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan perangkat mobile sebagai media bantu untuk pengambilan keputusan diagnosis penyakit dengan gejala demam. Melalui aplikasi ini, para profesional di bidang kesehatan diharapkan dapat terbantu ketika akan melakukan peoses diagnosis dengan cukup membuka smartphone yang dimilikinya. 1.2 Tujuan Penelitian Smartphone adalah perangkat mobile seperti layaknya ponsel yang tidak hanya dapat digunakan untuk berkomunikasi melalui suara (telpon) dan SMS, namun juga dapat digunakan untuk membantu memberikan layanan informasi lainnya bagi manusia. Beberapa aplikasi telah banyak dikembangkan pada smartphone termasuk aplikasi yang berkaitan dengan bidang medis. Beberapa aplikasi medis masih bersifat memberi layanan informasi dan belum dilengkapi kemampuan untuk mendukung proses pengambilan keputusan. 109 2 Tinjauan Pustaka Sistem Pendukung Keputusan Klinis (SPKK) merupakan perangkat lunak yang dapat menerima input mengenai situasi klinis dan dapat menghasilkan output inferensi yang dapat membantu para praktisi dalam mengambil keputusan1. SPKK membantu para dokter dalam mengaplikasikan informasi baru untuk merawat pasien melalui analisis terhadap variabel-variabel klinis tertentu12. SPKK merupakan perangkat lunak yang dirancang untuk membantu memberikan keputusan klinis bagi pasien dengan cara mencocokkan karakteristik yang ada pada pasien dengan basis pengetahuan yang ada dalam komputer, kemudian dokter akan memberikan penilaian atau rekomendasi klinis4. Pada SPKK dibutuhkan basis pengetahuan klinis dan mesin inferensi (inference engine) Basis pengetahuan medis adalah kumpulan pengetahuan medis yang terorganisasi secara sistematis yang dapat diakses secara elektronis dan dapat diinterpretasikan oleh komputer. Basis pengetahuan medis biasanya mengandung suatu lexicon (perbendaharaan istilah yang diperbolehkan), dan hubungan khusus antar istilah dalam lexicon. Pengetahuan medis dapat diperoleh dari literaturliteratur medis (pengetahuan terdokumentasi), atau berasal dari para pakar pada domain tertentu (pengalaman klinis)1. Inference engine merupakan komponen yang bertugas untuk melakukan penalaran berdasarkan faktafakta yang diberikan dan pengetahuan yang tersedia pada basis pengetahuan8. Apabila basis pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk aturan (IF-THEN rule), ada dua jenis alur penalaran yang dapat digunakan, yaitu forward chaining dan backward chaining. Pada penalaran dengan metode forward chaining, proses pencocokan fakta atau pernyataan dimulai dari bagian sebelah kiri (IF dulu). Penalaran dimulai dari fakta terlebih dahulu untuk menguji kebenaran hipotesis. Sebaliknya, pada penalaran dengan metode backward chaining, proses pencocokan fakta atau pernyataan dimulai dari bagian sebelah kanan (THEN dulu). Penalaran dimulai dari hipotesis terlebih dahulu, dan untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut dicari harus dicari fakta-fakta yang ada dalam basis pengetahuan. Ada tiga pilar utama untuk meningkatkan layanan perawatan kesehatan melalui SPKK 6, yaitu pengetahuan terbaik akan diperoleh pada saat dibutuhkan, banyak diadopsi & digunakan secara efektif, serta senantiasa dilakukan perbaikan secara terus-menerus baik metode maupun pengetahuan yang digunakan. Beberapa aplikasi SPKK telah dikembangkan di berbagai negara. Beberapa SPKK yang dibangun di berbagai area dengan tujuan untuk peningkatan pelayanan kesehatan antara lain2. Thorman (2010) telah melakukan riset untuk menilai aplikasi kesehatan apa saja yang paling banyak diminati oleh masyarakat pada perangkat mobile berbasis Android. Sebanyak 1200 aplikasi telah diidentifikasi11. Aplikasi isi berkaitan dengan tugas dokter, perawat dan mahasiswa yang berkecimpung di bidang kesehatan. Thorman mendapatkan delapanbelas kategori (enampuluh aplikasi) paling favorit 110 3 Gambaran Umum Sistem Sistem Pendukung Keputusan Patologi Klinis ini membantu tenaga medis dalam menangani dua tugas utama, yaitu: 1. Diagnosis awal dilakukan oleh dokter dengan mempertimbangkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien serta dukungan dari SPKK. Untuk mendapatkan rekomendasi penyakit yang sesuai pada diagnosis awal ini digunakan perangkat mobile dalam bentuk smartphone. 2. Untuk mendapatkan diagnosis akhir, dokter akan menyarankan untuk melakukan serangkaian uji di laboratorium patologi. Item apa saja yang harus diujikan akan didukung oleh SPKK. Selanjutnya SPKK akan merekomendasikan hasil yang dapat membantu dokter dalam menentukan diagnosis akhir ini dengan menggunakan perangkat mobile dalam bentuk smartphone juga. Sistem Pendukung Keputusan Klinis berbasis Mobile 3 Hasil Diagnosis Awal (jenis penyakit beserta probabilitasnya) 2 Fakta, hasil anamnesis 9 Hasil diagnosis akhir 1 Anamnesis Dokter 6 Item uji laboratorium Pasien 8 Hasil uji 5 7 Uji laboratorium Rekomendasi Item uji laboratorium Petugas Laboratorium 4 Fakta, Jenis (kategori) penyakit Gambar 1. Gambaran umum sistem. Adapun langkah-langkah secara lebih mendetil dalam perjalanan proses yang ada pada sistem adalah sebagai berikut (Gambar 1): 1. Dokter melakukan anamnesis terhadap pasien yang datang. 111 2. Dokter menggunakan SPKK untuk menentukan jenis (kategori) penyakit yang dialami pasien berdasarkan hasil anamnesis dan fakta-fakta pendukung yang lainnya. 3. SPKK akan mencari pengetahuan-pengetahuan yang relevan dengan hasil anamnesis dan faktafakta pendukung lainnya pada BP1, untuk mendapatkan solusi yang terbaik. 4. Jenis penyakit yang terpilih tersebut akan dijadikan sebagai masukan pada SPKK untuk ditentukan item uji laboratorium apa saja yang harus dilakukan oleh pasien. 5. SPKK akan mencari pengetahuan-pengetahuan yang relevan dengan jenis penyakit terpilih pada BP2, untuk mendapatkan solusi yang terbaik. IE2 akan menghasilkan item uji laboratorium yang direkomendasi. 6. Dengan mempertimbangkan hasil pada poin (5), dokter akan menyarankan kepada petugas laboratorium untuk melakukan uji laboratorium. Proses ini juga dilakukan dengan menggunakan smartphone. 7. Petugas akan melakukan uji laboratorium. 8. Petugas menyerahkan hasil uji laboratorium kepada dokter. 9. Dokter menyampaikan hasil diagnosis akhir kepada pasien. 4 Model Basis Pengetahuan Sistem pendukung keputusan patologi klinis ini membutuhkan basis pengetahuan dan mesin inferensi untuk mendiagnosa penyakit. Basis pengetahuan berisi fakta-fakta yang dibutuhkan oleh sistem, sedangkan mesin inferensi digunakan untuk menganalisa fakta-fakta yang dimasukkan pengguna sehingga dapat ditentukan suatu kesimpulan. Data yang diperlukan sebagai isi basis pengetahuan terdiri dari penyakit, gejala penyakit, dan hubungan antara keduanya (diagnosis) yang merupakan hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya5. Data yang diperoleh dari rekam medis kemudian dioleh dengan menggunakan metode ID3. Ada dua model keputusan yang dibuat yaitu model basis pengetahuan dan mesin inferensi. Basis pengetahuan dibuat dalam dua model, yaitu basis pengetahuan I untuk diagnosis awal (BP1) dan basis pengetahuan II untuk penentuan item uji dalam rangka membantu diagnosis akhir (BP2). Kedua model dibuat dalam bentuk pohon keputusan dengan metode ID3. Metode ini dilengkapi dengan seleksi fitur sehingga pada BP1, tidak semua gejala yang ditawarkan akan dilibatkan sebagai node pohon keputusan. Berikut merupakan gejala-gejala yang digunakan setelah dilakukan seleksi fitur: G1: Sering buang air besar konsentrasi cair G2: Batuk G3: Retraksi (kontraksi yang terjadi pada otot perut dan iga) G4: Nyeri dada G5: Sakit kepala G6: Pilek G7: Faring Keputihan G8: Kulit Kemerahan G9: Ruam Kulit 112 G10: Nafsu makan berkurang G11: Turgor kulit menurun Gambar 2 menunjukkan pohon keputusan pada BP1. Sebagai contoh, jika pasien mengalami gejala sering buang air besar konsentrasi cair (G1), nafsu makan berkurang (G10) dan turgor kulit menurun (G11) maka pasien tersebut dimungkinkan terdiagnosis diare. Jika pasien tidak sering buang air besai konsentrasi cair (G1), batuk (G2), tidak mengalami retraksi (G2), dan mengalami nyeri dada (G4) maka pasien tersebut dimungkinkan terdiagnosis pneumonia. G1 Y Y Y Diare G10 G11 Y Dengue Fever Y T Sepsis T G8 T T Tyfoid Fever Y G3 Bronkhiolitis G2 T T Y Pneumonia Y G4 T G9 G5 Y Bronkhitis T Y Bronkhitis G6 G7 T Y T Y Rubella Faringitis Akut Dengue Fever G8 T Pneumonia T Asma Gambar 2. Basis pengetahuan diagnosis awal penyakit (BP1). Hal serupa dilakukan pada BP2, tidak semua item uji yang ditawarkan akan dilibatkan semua sebagai node pada pohon keputusan. Seleksi fitur hanya akan melibatkan node-node yang memiliki banyak kontribusi dalam mendukung hipotesis. Berikut merupakan beberapa item uji yang digunakan setelah dilakukan seleksi fitur: LT : Limfosit T MN : Monosit LB : Limfosit B PU : Protein Urine HT : Hematokrit HB : Haemoglobin ER : Eritrosit MCV : MCV AT : Trombosit AL : Leukosit 113 Kurang LT Lebih Normal Kurang Positif Tyfoid Fever PU HT Negatif Faringitis Akut Normal Lebih Kurang Normal Kurang ER Kurang Kurang HB AT Lebih Kurang AL Lebih Normal Kurang Dengue Fever Normal Kurang HB Lebih Lebih Asma AT MN HT Kurang Normal AT Lebih Bronkhitis Kurang HT Normal Kurang Faringitis Akut Tyfoid fever AL Kurang AT LB Diare Normal Dengue Fever Kurang MCV Rubella Normal Lebih Normal AL Normal Kurang Lebih Faringitis Akut Pneumonia Bronkhitis Tyfoid fever Kurang AT Normal Dengue Fever Kurang Tyfoid fever Lebih Tyfoid fever Pneumonia Normal Dengue Fever Sepsis Lebih Pneumonia Bronkhitis Dengue Fever Tyfoid fever Bronkhiolitis Gambar 3. Basis pengetahuan uji klinis (BP2). Gambar 3 menunjukkan pohon keputusan pada BP2. Sebagai contoh, jika uji laboratorium menunjukkan LT kurang, HT kurang dan PU positif maka pasien dimungkinkan terdiagnosis tyfoid-fever. Jika uji laboratorium menunjukkan LT lebih, AL kurang dan HT lebih maka pasien dimungkinkan terdiagnosis dengue-fever. 5 Model Inference Engine Model inference engine I (IE1) akan menggunakan metode forward chaining untuk menentukan diagnosis awal (kategori penyakit). Sehingga proses penalaran akan dimulai dengan menanyakan sejumlah gejala secara berurutan untuk menghasilkan keputusan berupa diagnosis awal penyakit. Sebagai contoh untuk apabila pasien mengalami gejala sering buang air besar konsentrasi cair (G1), maka proses pelacakan akan dilanjutkan ke gejala nafsu makan berkurang (G10). Jika G2 benar maka proses pelacakan akan dilanjutkan ke turgor kulit menurun (G11). Jika G11 benar maka pasien tersebut dimungkinkan terdiagnosis diare. Sedangkan model inference engine II (IE2), akan digunakan metode backward chaining untuk menentukan rekomendasi jenis item uji apa saja yang harus dilakukan untuk diagnosis akhir. Sebagai contoh untuk apabila pasien terdiagnosis diare maka perlu dipastikan kebenaran bahwa AT kurang, HT normal, HB kurang dan LT normal. Demikian pula apabila pasien terdiagnosis bronkhitis maka perlu dipastikan kebenaran bahwa MCV kurang, AT normal, HB normal dan LT normal; atau AL lebih, AT lebih, HB normal dan LT normal; atau HB lebih dan LT normal. 6 Implementasi dan Pengujian Prototipe telah dibuat berbasis Android. Aplikasi ini dapat digunakan oleh dokter, petugas laboratorium klinis maupun mahasiswa kedokteran yang sedang CoAs. Antarmuka aplikasi ini dibuat cukup sederhana sehingga memudahkan dalam peoses pengoperasian. 114 Pengujian aplikasi dilakukan dengan cara memberikan input data gejala pada aplikasi kemudian aplikasi akam memberikan hasil berupa kemungkinan diagnosis dan item uji laboratorium yang akan dilakukan. Sebagai contoh apabila pasien mengalami gejala sering buang air besar konsentrasi cair (Gambar 4), nafsu makan berkurang (Gambar 5) dan turgor kulit menurun (Gambar 6), maka pasien tersebut dimungkinkan terdiagnosis diare (Gambar 7). Gambar 4. Gejala pertama dijawab Ya. Gambar 5. Gejala kedua dijawab Ya. Gambar 6. Gejala ketiga dijawab Ya. Gambar 7. Hasil diagnosis awal: “Diare”. Sehingga uji laboratorium yang direkomendasikan adalah trombosit kurang, hematokrit normal, haemoglobin kurang dan limfosit normal (Gambar 8). Gambar 8. Daftar uji laboratorium klinis untuk gejala awal “Diare”. 115 Aplikasi ini juga telah diujikan ke pungguna yaitu dokter spesialis patologi klinis. Dokter memberikan respon positif terhadap aplikasi ini sebagai media yang dapat membatu aktivitasnya dalam melakukan diagnosis penyakit. 7 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pohon keputusan, dapat diterapkan sebagai basis pengetahuan untuk menentukan jenis uji laboratorium yang relevan berdasarkan diagnosis awal dan diaplikasikan pada Android. 2. Motor inferensi dengan metode forward chaining dapat digunakan untuk melakukan penalaran dalam rangka diagnosis awal pasien, dengan didasarkan pada basis pengetahuan dan fakta-fakta yang ada pada pasien yang diaplikasikan pada Android. 3. Motor inferensi dengan metode backward chaining dapat digunakan untuk melakukan penalaran untuk menentukan item uji laboratorium, dengan didasarkan pada basis pengetahuan dan fakta-fakta yang ada pada pasien yang diaplikasikan pada Android. 4. Secara umum Sistem Pendukung Keputusan Patologi Klinis (SPKPK) berbasis Android dapat diterapkan untuk diagnosis penyakit dengan gejala demam. 8 Pustaka 1. Bemmel J.H.N., & Musen M.A. (1997). Modelling of Decision Support in Handbook of Medical Informatics. Diegem: Bohn Stafleu Van Loghum 2. Berner E.S. (2009). Clinical Decision Support Systems: State of the Art. Tersedia pada AHRQ Agency for Healthcare Research and Quality, http://healthit.ahrq.gov/images/ jun09cdsreview/09_0069_ef.html diakses tanggal 10 September 2011. 3. Hilbourne L.H. (2010). Pathologies Future: A View from Leader in Health Care. Tersedia pada American Society For Clinical Pathology, http://www.ascpresources.org/e-books/future/files/future.pdf diakses tanggal 17 Agustus 2011. 4. Hunt D., Haynes B.L.R., Hanna S.E. & Smith K. (1998). Effects of Computer-Based Clinical Decision Support Systems on Physician Performance and Patient Outcomes (A Systematic Review). JAMA, vol. 280, no. 15, pp: 1339-1346. 5. Mulyati, S. Dan Kusumadewi, S. (2012). Model Sistem Pendukung Keputusan Untuk Diagnosis Penyakit Anak Dengan Gejala Demam Menggunakan Naive Bayesian Classification. Prosiding Seminar Nasional Informatika Medis. Yogyakarta: Jurusan Teknik Informatika. 6. Osheroff J.A., Teich J.M., Middleton B., Steven E.B., Wrigth A., dan Detmer D.E. (2007). A Roadmap for National Action On Clinical Decision Support. J Am Med Inform Assoc. 2007 Mar-Apr; 14(2):141-5. Tersedia pada http://www.ncbi. nlm.nih.gov/ pubmed/17213487 diakses tanggal 05 September 2011. 7. Ramnarayan P., Kulkarni G., Tomlinson A., & Britto J. (2004). ISABEL: A Novel Internet-Delivered Clinical Decision Support System Healthcare Computing. Tersedia pada http://www.health-informatics.org/hc2004/P28_Ramnara yan, diakses pada tanggal 12 Nopember 2004. 8. Rich E., dan Kevin K. (1991). Artificial Intelligence. New York: McGraw-hill Inc. 9. Speicher C.E. & Smith J.W. (1996). Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif: Choosing Effective Laboratory Tests. Terjemahan. Jakarta: EGC. Tersedia pada http://books.google.co.id/books?id=oe1InBky1Y4C&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage &q&f=false, diakses tanggal 17 Agustus 2011. 116 10. Sudayasa I.P. (2010). Diagnosis Banding Penyakit dengan Gejala Demam. Tersedia pada SobatSehat.com, http://www.sobatsehat.com/kesehatan-umum/5-diagnosis-banding-penyakit-dengan-gejala-demam/, diakses pada tanggal 17 Agustus 2011. 11. Thorman C. (2010). The Best Android Apps for Doctors, Nurses and Health Care Professionals. Tersedia pada Software Advice, http://blog.softwareadvice.com/ articles/medical/the-best-android-apps-for-doctors-nurses-and-health-careprofessionals-1062810/ diakses tanggal 11 September 2011. 12. Trowbridge, and Weingarten. (2005). Clinical Decision Support Systems. Tersedia pada AHRQ Agency for Healthcare Research and Quality, http://www.ahrq.gov/CLINIC/PTSAFETY/ chap53.htm diakses tanggal 10 September 2007. 117