Muhammad Ali Azhar Public Policy and Public Policy Resistance PUBLIC POLICY AND PUBLIC POLICY RESISTANCE: Critical Analysis toward Badung Regency Government Policy in Operating Mengwi Terminal Oleh: Muhammad Ali Azhar Political Science Program Faculty of Social and political Sciences Udayana University E-mail: [email protected] Abstract Policy is an instrument of government, not just in the sense of government as state officials, but also various forms of governance that touches both private institutions, businesses, and civil society. If they are not involved in government policy, some institutional forms as mention above will be resistant to the policy. This paper reviews resistance about the government's policy in Mengwi terminal operations. Start at 22nd of June 2012, through decree number SK.1543/AJ.106/DR JD in 2012, the government of Badung regency which is related to its ranks; government of Denpasar, Bali's provincial and central government decided that Mengwi terminal operated. However, operationally decision, not necessarily get a positive response from the object being regulated. It is caused, they are not engaged by the Badung regency government in their policy development terminal. As a result, the terminal is operated only half-heartedly by the holders discretion. Key words : policy, model and policy approaches, resistance policy A. Latar Belakang Kebijakan merupakan kata kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pentingnya kebijakan dalam pemerintahan karena segala urusan pemerintahan senantiasa berhubungan erat dengan pekerjaan; mengurusi, memberi, dan melayani kebutuhan warga masyarakat. Maka untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut pemerintah butuh kebijakan untuk mencapainya. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perhatian kepada warga masyarakat, baik berupa pelayanan kenyamanan ataupun keamanan. SPEKTRUM Sejatinya sebuah kebijakan akan lebih bermakna apabila kebijakan itu selaras dengan keinginan publiknya1. Karena yang namanya kebijakan, pasti memiliki obyek yang diaturnya dalam menanggapi isu-isu pokok yang dihadapinya. Namun bagaimana kalau kebijakan itu bertentangan dengan obyek yang diaturnya sendiri. Tentu kebijakan tersebut akan menimbulkan resistensi dikalangan elemen masyarakat yang menjadi obyek dari pelaksanaan Miftah Thoha, (1992). Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta; CV Rajawali 1 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar kebijakan tersebut. Pertentangan antara kebijakan pemerintah dan keinginan publiknya diatas, seperti yang terjadi pada kebijakan pengoperasian “terminal mengwi” oleh pemerintah daerah kabupaten Badung provinsi Bali. Terminal Mengwi merupakan terminal yang dibangun secara tripartit oleh pemerintah daerah Kabupaten Badung bersama pemerintah provinsi Bali dan pemerintah pusat. Pemerintahan tripartit ini, mulai mengoperasikan terminal tersebut lewat surat keputusannya bernomor 1543/AJ.106/DR JD tahun 2012. Terminal ini merupakan terminal terbesar di provinsi Bali yang dibangun setaraf dengan standarstandar terminal terbesar di Indonesia2. Dengan kelengkapan fasilitasnya terminal ini dibangun untuk melayani arus penumpang baik yang berasal dari dalam maupun luar daerah Bali. Selain itu, rencana membangun terminal ini adalah untuk menggantikan terminal lama, ‘terminal Ubung’ yang dianggap sudah tidak memadai lagi untuk melayani arus mobilitas jasa transportasi dan peningkatan arus jumlah penumpang yang ada di Kota Denpasar. Sejak terminal Mengwi dioperasikan perduapuluh dua Juni tahun 2012 sudah mulai terlihat adanya tanda-tanda penolakan dari berbagai pihak, baik dari pengguna jasa transportasi maupun penyedia jasa transportasi umum3. Padahal seyogyanya tujuan dari dibangunnya Terminal Mengwi merupakan terminal yang dibangun oleh pemerintah daerah setaraf dengan pelayanan internasional, karena mengikuti ikon Bali sebagai pusat pariwisata dunia. 3 Bali Pos, Denpasar, 16 Agustus 2012 2 SPEKTRUM Public Policy and Public Policy Resistance sebuah terminal adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan kemudahan pelayanan untuk mengakses transportasi sesuai yang diinginkan. Pembangunan terminal yang seharusnya menjadi sebagai sebuah produk kebijakan publik yang mengayomi dan memuaskan kebutuhan para pengguna dunia transportasi, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Persoalan pun semakin tidak dapat terurai, dimulai dari persoalan akses lokasi yang sangat jauh dari jangkauan penumpang, sampai dengan kegamangan pemerintah dalam melakukan tindakan pemaksaan terhadap pengguna jasa terminal menjadi tontotan menarik. Penolakan pun semakin tidak bisa dihindari, seperti ketidakpatuhan para sopir angkot, terlebih para sopir mobil lintas (trans) daerah dalam menaikan dan menurunkan penumpang di sana. Kondisi ini semakin diperparah dengan ulah penumpang dan sopir yang bekerjasama tidak bersedia turun di terminal tersebut. Padahal, sebagai sebuah terminal akhir sebaiknya naik turunnya penumpang dilakukan disana. Melihat persoalan diatas, tentu ada persoalan serius yang terjadi dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan terminal, terlebih lagi pemindahan lokasi terminal tersebut seolah mengabaikan aspirasi dan keinginan masyarakat luas. Kebijakan yang semestinya mampu memberikan pelayanan yang prima terhadap publiknya, yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan kebijakan tersebut bukan hanya menimbulkan resistensi ditingkat masyarakat, akan tetapi telah mengakibatkan konflik Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar ditingkat jajaran pengatur transportasi diantara ketiga pemerintahan tersebut. Sehubungan dengan persoalan diatas, pertanyaan kunci yang menarik untuk dijelaskan dalam tulisan ini, “mengapa terjadi penentangan publik terhadap implementasi kebijakan tersebut”? B. Kebijakan Publik Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan, pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, financial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antar berbagai, gagasan, teori, dan kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara. Banyak sekali mengenai defenisi kebijakan. Dalam beberapa defenisi sulit sekali membedakan defenisi kebijakan itu terpisah dengan defenisi kebijakan publik. Sebagian besar para ahli langsung memberikan pengertian kebijakan ini disertai dengan kebijakan publik. Sebagian besar mereka memberikan pengertian kebijakan publik dalam kaitannya keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan (lih. publik) sering diartikan sebagai ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’. Seperti yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye SPEKTRUM Public Policy and Public Policy Resistance (1992;2) diartikan seperti “whatever government choose to do or not to do”. Islamy (1984;12), memberikan defenisi kebijakan publik adalah apa pun yang pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau apa yang pemerintah katakan dan dilakukan atau tidak dilakukan. Leslie A. Pal (1987;2) mengkategorikan defenisi ini menjadi dua macam. Kategori pertama, defenisi yang lebih mengedepankan kepada maksud dan tujuan utama sebagai kunci kriteria kebijakan. Kategori kedua, lebih mengedepankan pada dampak tindakan pemerintah berkaitan dengan pemerintah tersebut. Sebagai tulisan yang menganalisa dampak dari suatu kebijakan pembangunan. Pendapat Leslie A. Pal (1987;4) memberikan defenisi yang tepat mengenai kebijakan publik untuk tulisan ini sebagai berikut; pertama, what government actually do and why, kedua, action taken by government dan ketiga, a policy may usefull be considered as a cource action or inaction rather than specifik decision or action, and such a course has to be perceived and indentified by the analyst in question. Berdasarkan defenisi diatas, kebijakan atau kebijakan publik adalah merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh pemerintah mengenai suatu masalah, mengenai apa yang menyebabkan atau mempengaruhinya dan apa pengaruh dan dampak dari kebijakan tersebut4. Joko Widodo, (2009). Analisis Kebijakan Publik; konsep dan aplikasi analisa proses kebijakan publik. Malang; Bayumedia Publishing, hal. 13 4 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar C. Model dan Pendekatan Kebijakan Sebagai sebuah hasil dari proses kebijakan, pembangunan terminal mengwi seharusnya tidak menimbulkan persoalan seperti yang terjadi saat ini. Bila ada persoalan tentu ada sesuatu yang kontroversial dalam proses pengambilan keputusan pembangunan terminal. Dalam hal ini penyebabnya adalah para pengambil keputusan dalam proses penentuan kebijakan tersebut. Boleh jadi para pengambil keputusan dalam pembangunan terminal ini adalah para pengambil keputusan yang menganut pola pemikiran tertentu dalam mengambil keputusan (kebijakan umum) ini.5 Dalam berbagai literatur kebijakan, pola pemikiran yang diambil oleh para pengambilan keputusan tersebut, dapat dilihat dalam model dan pendekatan kebijakan publik oleh pemerintah. Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuantujuan tertentu. Seperti halnya masalah-masalah kebijakan yang merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi Dua bentuk keputusan politik (kebijakan umum) yang mempunyai ruang lingkup pengaruh yang berbeda. Pertama, kebijakan umum yang mampu menimbulkan perubahan mendasar dan menyeluruh disebut sebagai keputusan yang komprehensif. Keputusan yang komprehensif biasanya lebih mungkin terjadi dalam sistem politik totaliter karena jumlah orang yang membuat keputusan pada umumnya relatif sedikit dan dilakukan secara sentralisasi. Kedua, kebijakan umum yang mampu menimbulkan perubahan pada perubahan dan “pingir-pinggir” permasalahan saja atau keputusan yang bersifat marjinal atau keputusan yang bersifat “tambal sulam”. Paul Con dalam Ramlan Surbakti, (2007), memahami ilmu politik, hal. 200 5 SPEKTRUM Public Policy and Public Policy Resistance dan spesifikasi elemen-elemen kondisi masalah, model-model kebijakan merupakan rekonstruksi artifisial dari realitas dalam wilayah yang merentang dari energi dan lingkungan sampai ke kemiskinan, kesejahteraan dan kejahatan. Sementara pendekatan kebijakan adalah pilihan strategis pemerintah melakukan pendekatan terhadap jalannya kebijakan6. Dalam tulisan ini pilihan penulis kepada model kebijakan elitis dan pendekatan kelompok merupakan pilihan paling tepat sebagaimana dijelaskan berikut ini; 1. Model Elitis Kalau kita menyelami lebih jauh kebijakan publik, orientasinya tunggalnya adalah pada kepentingan publik. Maka tiap-tiap kebijakan publik seyogyanya memiliki ‘semangat kepublikan’ yang mau tidak mau implikasinya harus menempatkan publik sebagai aktor utama dalam tiap proses kebijakan publik’7. Namun seringkali kebijakan itu berjalan hanya menguntungkan segelintir orang. Pada umumnya kebijakan seperti ini dilakukan hanya berdasarkan preferensi dan nilai dari kalangan tertentu, misalnya kalangan elite penguasa. Hal itu sejalan dengan teori elite yang menyatakan bahwa masyarakat bersifat apatis dan kekurangan informasi mengenai kebijakan publik. Oleh karena itu, kelompok elitelah yang akan memproduksi dan mempertajam pendapat umum. Shilatul Hamri, Makalah Model dan pendekatan kebijakan (2012), 7 Fadilah Putra, (2005). Kebijakan tidak untuk publik, Yogyakarta; Resist book, hal. 34 6 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar Semantara pejabat administrator hanyalah pelaksana kebijakan yang telah ditentukan oleh kelompok elite tersebut. Tidak dipungkiri memang pada awal perkembangannya kebijakan publik sering disebut sebagai ilmunya para penguasa. Pada masa awal perkembangannya kebijakan publik itu benar-benar hanya menjadi bahan pembicaraan di tingkat elit politik saja. Yaitu para pemegang kekuasaan politik dan pakar-pakar kebijakan publik umum dan sektoral. Hal itu, dibuktikan di negara kita sendiri di Indonesia pada dekade 80-an, perumusan kebijakan yang terjadi bersifat sangat elitis8. Agenda kebijakan lebih didasarkan pada kepentingan pemerintah bukan negara sebagai suatu keseluruhan dengan komponen swasta maupun masyarakat. Pemerintah memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah kebijakan yang diambil. Keterlibatan stakeholder lain seperti swasta maupun masyarakat sangat dibatasi. Swasta sebagai pemilik modal dilibatkan karena memiliki akses terhadap peluang untuk investasi bagi berkembangnya industri. Sedangkan masyarakat yang diwakili oleh lembaga perwakilan (DPR) kurang berperan bahkan cenderung sebagai ‘stempel’ atas kebijakan yang diputuskan pemerintah. Dalam proses implementasi kebijakan, perumusan kebijakan elitis diatas sejalan dengan model elitis. Model ini mempuyai Parsons, Wayne, ……, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, hal 251 8 SPEKTRUM Public Policy and Public Policy Resistance asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilainilai dan pilihan-pilihan dari elit yang memerintah. Argumentasi pokok dari model ini adalah bahwa bukan rakyat atau “massa” yang menentukan kebijakan publik melalui tuntutan-tuntutan dan tindakan mereka, tetapi kebijakan publik ditentukan oleh elit yang memerintah dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badanbadan pemerintah yang berada di bawahnya. Thomas R. Dye dan Harmon dalam The Irony of Democracy memberikan suatu ringkasan pemikiran menyangkut perumusan kebijakan model elit ini, yakni 9: 1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan. 2. Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini (the rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonominya tinggi. 3. Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elitis sangat pelan dan Muhammad Afif Bizri, Model-Model dalam Analisis Kebijakan Publik, jurnal online edisi 29 November, 2011 9 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah. 4. Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan pemeliharaan sistem. Misalnya, di Amerika Serikat konsensus elit mencakup perusahaan swasta, hak milik pribadi, pemerintahan terbatas dan kebebasan individu. 5. Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutantuntutan massa, tetapi nilainilai elit yang berlaku. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik adalah secara inkremental daripada secara revolusioner. Perubahan-perubahan secara inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam sistem sosial dengan perubahan sistem yang relatif kecil dibandingkan bila perubahan tersebut didasarkan teori rasional komprehensif. 6. Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya, para elit mempengaruhi massa yang lebih besar. Dalam pandangan diatas, sebenarnya kebijakan pemerintah membangun terminal merupakan contoh SPEKTRUM Public Policy and Public Policy Resistance nyata tentang kebijakan yang elitis. Keterlibatan pemerintah daerah sebagai stakeholder sangat kuat bahkan menjadi penentu pengambilan keputusan atas sebuah kebijakan. Pemerintah berhak mengeluarkan ijin operasi terminal dalam bentuk hak pengusahaan terminal yang kemudian diikuti oleh unit pemerintahan dibawahnya tanpa bisa menolak. 2. Pendekatan Kelembagaan Dalam kaitan dengan pembangunan sarana ini, rupanya pemerintah memakai pendekatan secara kelembagaan dalam memproduksi kebijakannya. Pendekatan kelembagaan diasumsikan bahwa sebuah kebijakan publik diambil, dilaksanakan, dan dipaksakan secara otoritatif oleh lembaga yang ada dalam pemerintahan, misalnya parlemen, kepresidenan, pemerintah daerah, kehakiman, partai politik dan sebagainya. Kebijakan publik model ini memiliki beberapa karakteristik yaitu pemerintah mampu memberikan legitimasi atas kebijakan yang dikeluarkan, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu bersifat universal artinya menjangkau semua lapisan masyarakat, terakhir adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mampu memonopoli paksa semua masyarakat, dalam artian mampu menjatuhkan sanksi bagi pelanggar kebijakan. Salah satu kelemahan pemerintahan dalam pendekatan seperti ini tidak adanya Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar keterlibatan aktor-aktor lain dalam memutuskan kebijakan. Kebijakan top down, model ini tidak memberikan curahan perhatian kepada hubungan antar lembaga-lembaga pemerintahan dan substansi dari kebijakan publik. Setelah diambil alihnya tindakan pengoperasioanalan, banyak tindakan dan aksi perlawanan masyarakat mengabaikan perintah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebut nampak jelas bahwa kebijakan ini tidak melibatkan banyak aktor yang mempunyai kepentingan dengan target group atau penerima kebijakan ini. Padahal keterlibatan aktoraktor itu sangat penting untuk mengkondisikan dan memunculkan suatu kebijakan yang memuaskan. Misalnya dengan melakukan pendekatan terhadap suatu lingkungan tertentu. Lingkungan menjadi titik awal untuk mengadaptasikan kebijakan yang akan dibuat. Seorang analis akan mengidentifikasikan potret suatu lingkungan sebagai arah dalam pembuatan kebijakan. Dengan mengetahui kondisi lingkungan terhadap suatu implementasi kebijakan maka akan dengan mudah mengeliminir resiko kegagalan suatu kebijakan karena analisanya mencoba meramalkan kemungkinan yang akan datang. Memang terkesan sedikit mendasar, akan tetapi dengan mencoba mengetahui hal-hal yang mendasar untuk memulai membuat suatu kebijakan sangat penting. Karena sesuatu yang mungkin hanya dianggap sepele tapi ternyata sangat SPEKTRUM Public Policy and Public Policy Resistance mempengaruhi terhadap suatu kebijakan. Pada proses awal akan sangat detail sekali dalam melakukan analisis kebijakan karena menjadi fondasi utama dalam suatu pembuatan kebijakan. Hal lain yang menyebabkan kebijakan ini mendapatkan perlawanan dari obyek yang diaturnya, karena tidak adanya pertimbangan suatu nilai, fakta dan tindakan yang hendak dicapai. Nilai sangat penting karena masyarakat selalu dinamis sehingga akan diimplementasikan pada tindakan publik. Nilai yang didapat, merupakan hasil dari pencarian, pendefinisian, spesifikasi, pengenalan masalah sehingga benar-benar tahu dan mengerti mengenai masalah yang dihadapi. Namun ketika kebijakan yang dijalankan tidak berorientasi kepada nilai, maka kebijakan akan terjadi benturan dan berujung kepada tidak terimplementasikannya kebijakan. Persoalan semakin lengkap, setelah kebijakan pembangunan terminal ini disinyalir mengabaikan proses analisa kebijakan tanpa merujuk pada suatu kajian yang eksploratif. 10 Kecenderungannya banyak yang bersifat politis dan kadang mengabaikan nilai substansi suatu kebijakan. Memang suatu kebijakan tidak sepenuhnya rasional karena ada muatanmuatan politis yang masuk. Dominannya kekuatan politis tersebut mengabaikan sisi rasionalitas dengan berlindung Wawancara dengan salah seorang pegawai dishub kota Denpasar. Kamis 27 September 2012 10 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar dibawah kepentingan publik atau sosial. Namun dengan mengacu pada sisi rasionalitas publik seharusnya bisa memberikan acuan mengenai alternatif kebijakan karena dengan mengacu pada sisi rasionalitas publik dapat diketahui pilihan yang terbaik. D. Resistensi Kebijakan Sekali kebijakan diputuskan dan disahkan oleh pihak yang berwenang, maka keputusan kebijakan itu telah siap untuk diimplementasikan (Islamy, 2004:102). Namun, persoalan muncul jika tidak diikuti dengan proses penyebaran atau sosialisasi kebijakan negara secara baik, masyarakat akan mengalami kesulitan dalam memahami kebijakan atau keputusan tersebut. Jadi, problemnya ketika tidak adanya tindakan sosialisasi pemerintah, menyebabkan warga masyarakat merasa kaget dengan kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah. Kondisi diatas tepat sekali untuk menggambarkan permasalahan yang kini tengah dihadapi oleh terminal Mengwi dan stakeholdernya. Melihat persoalan diatas, penulis mengutip pendapat James E. Anderson (dalam Irfan Islamy 2004:108) yang mengemukakan beberapa sebab mengapa setiap anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan kebijakan negara. Faktor-faktor yang menjadi penyebabnya adalah sebagai berikut ; Pertama, kebijakan negara yang bertentangan dengan sistem nilai masyarakat. Bila suatu kebijakan dipandang bertentangan secara tajam dengan sistem nilai yang dianut SPEKTRUM Public Policy and Public Policy Resistance masyarakat luas atau kelompokkelompok tertentu, maka kebijakan seperti itu tidak akan dilaksanakan atau dipatuhi. Kedua, adanya ketidak patuhan selektif terhadap hukum. Ada beberapa peraturan perundangan atau kebijakan yang bersifat kurang mengikat pada individu-individu. Ketiga, keanggotaan seseorang dalam suatu perkumpulan atau kelompok. Seseorang bisa patuh pada peraturan perundangan atau keputusan/kebijakan negara keterlibatannya dalam keanggotaan suatu perkumpulan atau kelompok kadang-kadang mempunyai ide-ide atau gagasan-gagasan yang tidak sesuai/bertentangan dengan hukum atau keinginan pemerintah. Akibatnya mereka cenderung untuk tidak patuh atau melawan peraturan atau kebijakan negara. Keempat, ketidak adanya kepastian hukum. Tidak adanya kepastian hukum, ketidakjelasan ukuran kebijakan yang saling bertentangan satu sama lain dapat menjadi sumber ketidak patuhan orang pada hukum atau kebijakan negara. Suatu peraturan perundangan atau kebijakan negara yang tidak pasti, tidak jelas atau isinya bertentangan satu sama lain dapat menyebabkan adanya salah pengertian terhadap penafsiran peraturan atau kebijakan tersebut. Disamping itu adanya perbedaan pandangan dan kepentingan antara pejabat pemerintah dan masyarakat menyebabkan penafsiran mereka terhadap peraturan atau kebijakan itu juga berbeda-beda. Ini semua menyebabkan orang tidak mematuhi peraturan atau kebijakan negara. Berangkat dari beberapa sebab diatas, poin penting yang mendekati Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar ketidak patuhan atau tindak resisten elemen masyarakat terhadap pengimplementasian terminal; pertama, kebijakan negara yang bertentangan dengan nilai yang dianut masyarakat. Masyarakat dan kalangan pengusaha transportasi (swasta) merasa dirugikan dengan dioperasikannya terminal tersebut. Dari kalangan penumpang mereka merasa dirugikan secara ekonomi, waktu dan tenaga karena masyarakat sebagai pihak pengguna jasa transportasi melihat pemindahan lokasi terminal dianggap sangat merugikan. Hal tersebut karena akses lokasi pemindahan sangat jauh dengan pusat Denpasar sebagai kota tujuan. Kedua, adanya ketidak patuhan selektif terhadap hukum. Yakni adanya perundangan atau kebijakan yang sifatnya kurang mengikat pada individu-individu atau lembaga. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya regulasi yang optimal menyebabkan pemerintah tidak dapat memaksakan kehendak kepada masyarakat untuk mematuhi kebijakan yang telah diputuskan. Melihat kondisi tersebut, perbedaan pandangan dan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat serta sektor swasta tidak bisa dihindari. Pihak penyedia jasa transportasi tidak bisa mematuhi aturan pemerintah karena menghadapi dua tekanan arus besar, pertama dari pihak penumpang atau masyarakat pengguna jasa transportasi tidak bersedia di turunkan di terminal baru (mengwi) tersebut. Kedua, ada kekuatan tersembunyi di balik pro dan kontra pemindahan terminal yang merasa akan kehilangan sumber dan SPEKTRUM Public Policy and Public Policy Resistance keuntungan ekonomis akibat dari pemindahan terminal 11. Ketegasan pemerintah semakin tidak optimal, setelah diantara dua terminal (pihak pemerintah) tidak saling koordinasi dan kerjasama untuk mendukung bagi terlaksananya operasional terminal. Walaupun telah terjadi penurunan tingkat pada terminal Ubung dari tipe A turun menjadi tipe B. Hal tersebut disebabkan, antara pihak pemerintah kota Denpasar dan pemerintah kabupaten Badung tidak terjadi kesepahaman karena salah satunya (pemerintah Kota Denpasar) menganggap proyek pembangunan terminal mengwi dilakukan tanpa koordinasi dengan pihak mereka12. E. Kesimpulan Dari penjelasan dan argumentasi diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa terjadinya tindakan pengabaian komponen masyarakat terhadap pengoperasionalan terminal mengwi saat ini, disebabkan karena ada persoalan serius disekitar munculnya kebijakan pemerintah kabupaten Badung dalam rencana pembangunan terminal. Diantaranya yang menjadi penyebab kebijakan atau keputusan tersebut ditolak dalam proses implementasinya, pertama, kelompok sasaran tidak mengetahui kebijakan atau keputusan tersebut dibuat. Dalam arti tidak ada pelibatan dalam rencana pembuatan kebijakan. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang elitis. Kebijakan mengalir secara top Wawancara dengan salah seorang staf dishub kota Denpasar 12 Ibid. 11 Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Muhammad Ali Azhar Public Policy and Public Policy Resistance down dari kehendak elit ke administrator atau birokrat dan bersasaran pada rakyat. Kedua, dampak dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group menyebabkan kebijakan dijalankan hanya setengah hati oleh pemangku kepentingan atau pemerintah daerah, sehingga sampai saat ini terjadi dualisme terminal yang beroperasi di provinsi Bali. Daftar Pustaka Budi Winarno (2007). Kebijakan Publik; Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo. Fadillah Putra, (2005). Kebijakan Tidak untuk Publik, Yogyakarta: Resist Book Miftah Toha (2005). DimensiDimensi Prima Ilmu Aministrasi Negara. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Muhammad Afif Bizri, (2011). Model-Model dalam Analisis Kebijakan Publik, Jurnal Edisi 29 November 2011. Riant Nugroho, (2003). Kebijakan Publik: formulasi, implementasi, dan evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Samodra Wibawa, (2005), Politik Perumusan Kebijakan Publik”. Yogyakarta; William N. Dunn (1999). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. SPEKTRUM Vol. 14, No. 2, Juli 2013 Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional