5 - Publikasi Ilmiah Unwahas

advertisement
Muhammad Ali Azhar
Public Policy and
Public Policy Resistance
PUBLIC POLICY AND PUBLIC POLICY RESISTANCE:
Critical Analysis toward Badung Regency Government Policy in Operating
Mengwi Terminal
Oleh:
Muhammad Ali Azhar
Political Science Program
Faculty of Social and political Sciences
Udayana University
E-mail: [email protected]
Abstract
Policy is an instrument of government, not just in the sense of government as state
officials, but also various forms of governance that touches both private
institutions, businesses, and civil society. If they are not involved in government
policy, some institutional forms as mention above will be resistant to the policy.
This paper reviews resistance about the government's policy in Mengwi terminal
operations. Start at 22nd of June 2012, through decree number SK.1543/AJ.106/DR
JD in 2012, the government of Badung regency which is related to its ranks;
government of Denpasar, Bali's provincial and central government decided that
Mengwi terminal operated. However, operationally decision, not necessarily get a
positive response from the object being regulated. It is caused, they are not
engaged by the Badung regency government in their policy development terminal.
As a result, the terminal is operated only half-heartedly by the holders discretion.
Key words : policy, model and policy approaches, resistance policy
A. Latar Belakang
Kebijakan merupakan kata
kunci
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan. Pentingnya kebijakan
dalam pemerintahan karena segala
urusan pemerintahan senantiasa
berhubungan erat dengan pekerjaan;
mengurusi, memberi, dan melayani
kebutuhan warga masyarakat. Maka
untuk melaksanakan tugas-tugas
tersebut pemerintah butuh kebijakan
untuk mencapainya. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memberikan
perhatian kepada warga masyarakat,
baik berupa pelayanan kenyamanan
ataupun keamanan.
SPEKTRUM
Sejatinya sebuah kebijakan
akan
lebih
bermakna
apabila
kebijakan
itu
selaras
dengan
keinginan publiknya1. Karena yang
namanya kebijakan, pasti memiliki
obyek
yang
diaturnya
dalam
menanggapi isu-isu pokok yang
dihadapinya. Namun bagaimana
kalau kebijakan itu bertentangan
dengan obyek yang diaturnya
sendiri. Tentu kebijakan tersebut
akan
menimbulkan
resistensi
dikalangan elemen masyarakat yang
menjadi obyek dari pelaksanaan
Miftah Thoha, (1992). Dimensi-dimensi Prima
Ilmu Administrasi Negara. Jakarta; CV Rajawali
1
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
kebijakan tersebut. Pertentangan
antara kebijakan pemerintah dan
keinginan publiknya diatas, seperti
yang
terjadi
pada
kebijakan
pengoperasian “terminal mengwi”
oleh pemerintah daerah kabupaten
Badung provinsi Bali.
Terminal
Mengwi
merupakan terminal yang dibangun
secara tripartit oleh pemerintah
daerah Kabupaten Badung bersama
pemerintah provinsi Bali
dan
pemerintah pusat. Pemerintahan
tripartit ini, mulai mengoperasikan
terminal
tersebut
lewat
surat
keputusannya
bernomor
1543/AJ.106/DR JD tahun 2012.
Terminal ini merupakan terminal
terbesar di provinsi Bali yang
dibangun setaraf dengan standarstandar
terminal
terbesar
di
Indonesia2. Dengan kelengkapan
fasilitasnya terminal ini dibangun
untuk melayani arus penumpang
baik yang berasal dari dalam
maupun luar daerah Bali. Selain itu,
rencana membangun terminal ini
adalah untuk menggantikan terminal
lama, ‘terminal
Ubung’ yang
dianggap sudah tidak memadai lagi
untuk melayani arus mobilitas jasa
transportasi dan peningkatan arus
jumlah penumpang yang ada di Kota
Denpasar.
Sejak
terminal
Mengwi
dioperasikan perduapuluh dua Juni
tahun 2012 sudah mulai terlihat
adanya tanda-tanda penolakan dari
berbagai pihak, baik dari pengguna
jasa transportasi maupun penyedia
jasa transportasi umum3. Padahal
seyogyanya tujuan dari dibangunnya
Terminal Mengwi merupakan terminal yang
dibangun oleh pemerintah daerah setaraf dengan
pelayanan internasional, karena mengikuti ikon
Bali sebagai pusat pariwisata dunia.
3 Bali Pos, Denpasar, 16 Agustus 2012
2
SPEKTRUM
Public Policy and
Public Policy Resistance
sebuah terminal adalah untuk
melayani kebutuhan masyarakat
akan kemudahan pelayanan untuk
mengakses transportasi sesuai yang
diinginkan. Pembangunan terminal
yang seharusnya menjadi sebagai
sebuah produk kebijakan publik
yang mengayomi dan memuaskan
kebutuhan para pengguna dunia
transportasi, tetapi yang terjadi
malah sebaliknya.
Persoalan pun semakin tidak
dapat terurai, dimulai dari persoalan
akses lokasi yang sangat jauh dari
jangkauan
penumpang,
sampai
dengan kegamangan pemerintah
dalam
melakukan
tindakan
pemaksaan terhadap pengguna jasa
terminal menjadi tontotan menarik.
Penolakan pun semakin tidak bisa
dihindari, seperti ketidakpatuhan
para sopir angkot, terlebih para sopir
mobil lintas (trans) daerah dalam
menaikan
dan
menurunkan
penumpang di sana. Kondisi ini
semakin diperparah dengan ulah
penumpang
dan
sopir
yang
bekerjasama tidak bersedia turun di
terminal tersebut. Padahal, sebagai
sebuah terminal akhir sebaiknya naik
turunnya penumpang dilakukan
disana.
Melihat persoalan diatas,
tentu ada persoalan serius yang
terjadi dengan kebijakan pemerintah
dalam
pembangunan
terminal,
terlebih lagi pemindahan lokasi
terminal
tersebut
seolah
mengabaikan aspirasi dan keinginan
masyarakat luas. Kebijakan yang
semestinya mampu memberikan
pelayanan yang prima terhadap
publiknya, yang terjadi malah
sebaliknya.
Bahkan
kebijakan
tersebut bukan hanya menimbulkan
resistensi ditingkat masyarakat, akan
tetapi telah mengakibatkan konflik
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
ditingkat
jajaran
pengatur
transportasi
diantara
ketiga
pemerintahan tersebut.
Sehubungan
dengan
persoalan diatas, pertanyaan kunci
yang menarik untuk dijelaskan
dalam tulisan ini, “mengapa terjadi
penentangan
publik
terhadap
implementasi kebijakan tersebut”?
B. Kebijakan Publik
Kebijakan
pada
intinya
merupakan
keputusan-keputusan,
pilihan-pilihan tindakan yang secara
langsung mengatur pengelolaan dan
pendistribusian sumber daya alam,
financial
dan
manusia
demi
kepentingan publik, yakni rakyat
banyak, penduduk, masyarakat, atau
warga negara. Kebijakan merupakan
hasil dari adanya sinergi, kompromi
atau
bahkan
kompetisi
antar
berbagai,
gagasan,
teori,
dan
kepentingan yang mewakili sistem
politik suatu negara.
Banyak sekali mengenai
defenisi kebijakan. Dalam beberapa
defenisi sulit sekali membedakan
defenisi kebijakan itu terpisah
dengan defenisi kebijakan publik.
Sebagian besar para ahli langsung
memberikan pengertian kebijakan ini
disertai dengan kebijakan publik.
Sebagian besar mereka memberikan
pengertian kebijakan publik dalam
kaitannya keputusan atau ketetapan
pemerintah untuk melakukan suatu
tindakan yang dianggap akan
membawa
dampak
baik
bagi
kehidupan warganya. Bahkan dalam
pengertian yang lebih luas, kebijakan
(lih. publik) sering diartikan sebagai
‘apa
saja
yang
dipilih
oleh
pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan’. Seperti yang
dikemukakan oleh Thomas R. Dye
SPEKTRUM
Public Policy and
Public Policy Resistance
(1992;2) diartikan seperti “whatever
government choose to do or not to do”.
Islamy
(1984;12),
memberikan
defenisi
kebijakan
publik adalah apa pun yang
pemerintah pilih untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu atau
apa yang pemerintah katakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan.
Leslie
A.
Pal
(1987;2)
mengkategorikan
defenisi
ini
menjadi dua macam. Kategori
pertama,
defenisi
yang
lebih
mengedepankan kepada maksud
dan tujuan utama sebagai kunci
kriteria kebijakan. Kategori kedua,
lebih mengedepankan pada dampak
tindakan
pemerintah
berkaitan
dengan pemerintah tersebut.
Sebagai
tulisan
yang
menganalisa dampak dari suatu
kebijakan pembangunan. Pendapat
Leslie A. Pal (1987;4) memberikan
defenisi yang tepat mengenai
kebijakan publik untuk tulisan ini
sebagai berikut; pertama, what
government actually do and why,
kedua, action taken by government dan
ketiga, a policy may usefull be
considered as a cource action or inaction
rather than specifik decision or action,
and such a course has to be perceived and
indentified by the analyst in question.
Berdasarkan defenisi diatas,
kebijakan atau kebijakan publik
adalah merupakan upaya untuk
memahami dan mengartikan apa
yang dilakukan atau yang tidak
dilakukan oleh pemerintah mengenai
suatu masalah, mengenai apa yang
menyebabkan
atau
mempengaruhinya
dan
apa
pengaruh
dan
dampak
dari
kebijakan tersebut4.
Joko Widodo, (2009). Analisis Kebijakan Publik;
konsep dan aplikasi analisa proses kebijakan
publik. Malang; Bayumedia Publishing, hal. 13
4
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
C. Model
dan
Pendekatan
Kebijakan
Sebagai sebuah hasil dari
proses kebijakan, pembangunan
terminal mengwi seharusnya tidak
menimbulkan persoalan seperti yang
terjadi saat ini. Bila ada persoalan
tentu ada sesuatu yang kontroversial
dalam
proses
pengambilan
keputusan pembangunan terminal.
Dalam hal ini penyebabnya adalah
para pengambil keputusan dalam
proses penentuan kebijakan tersebut.
Boleh jadi para pengambil keputusan
dalam pembangunan terminal ini
adalah para pengambil keputusan
yang menganut pola pemikiran
tertentu
dalam
mengambil
keputusan (kebijakan umum) ini.5
Dalam berbagai literatur
kebijakan, pola pemikiran yang
diambil oleh para pengambilan
keputusan tersebut, dapat dilihat
dalam model dan pendekatan
kebijakan publik oleh pemerintah.
Model kebijakan adalah representasi
sederhana mengenai aspek-aspek
yang terpilih dari suatu kondisi
masalah yang disusun untuk tujuantujuan tertentu. Seperti halnya
masalah-masalah kebijakan yang
merupakan bangunan mental yang
berdasarkan pada konseptualisasi
Dua bentuk keputusan politik (kebijakan umum)
yang mempunyai ruang lingkup pengaruh yang
berbeda. Pertama, kebijakan umum yang mampu
menimbulkan
perubahan
mendasar
dan
menyeluruh disebut sebagai keputusan yang
komprehensif. Keputusan yang komprehensif
biasanya lebih mungkin terjadi dalam sistem politik
totaliter karena jumlah orang yang membuat
keputusan pada umumnya relatif sedikit dan
dilakukan secara sentralisasi. Kedua, kebijakan
umum yang mampu menimbulkan perubahan
pada
perubahan
dan
“pingir-pinggir”
permasalahan saja atau keputusan yang bersifat
marjinal atau keputusan yang bersifat “tambal
sulam”. Paul Con dalam Ramlan Surbakti, (2007),
memahami ilmu politik, hal. 200
5
SPEKTRUM
Public Policy and
Public Policy Resistance
dan
spesifikasi
elemen-elemen
kondisi
masalah,
model-model
kebijakan merupakan rekonstruksi
artifisial dari realitas dalam wilayah
yang merentang dari energi dan
lingkungan sampai ke kemiskinan,
kesejahteraan
dan
kejahatan.
Sementara pendekatan kebijakan
adalah pilihan strategis pemerintah
melakukan pendekatan terhadap
jalannya kebijakan6.
Dalam tulisan ini pilihan
penulis kepada model kebijakan
elitis dan pendekatan kelompok
merupakan pilihan paling tepat
sebagaimana dijelaskan berikut ini;
1. Model Elitis
Kalau kita menyelami lebih
jauh
kebijakan
publik,
orientasinya tunggalnya adalah
pada kepentingan publik. Maka
tiap-tiap
kebijakan
publik
seyogyanya memiliki ‘semangat
kepublikan’ yang mau tidak mau
implikasinya harus menempatkan
publik sebagai aktor utama dalam
tiap proses kebijakan publik’7.
Namun seringkali kebijakan
itu
berjalan
hanya
menguntungkan segelintir orang.
Pada umumnya kebijakan seperti
ini dilakukan hanya berdasarkan
preferensi dan nilai dari kalangan
tertentu, misalnya kalangan elite
penguasa. Hal itu sejalan dengan
teori elite yang menyatakan
bahwa masyarakat bersifat apatis
dan
kekurangan
informasi
mengenai kebijakan publik. Oleh
karena itu, kelompok elitelah
yang akan memproduksi dan
mempertajam pendapat umum.
Shilatul Hamri, Makalah Model dan pendekatan
kebijakan (2012),
7 Fadilah Putra, (2005). Kebijakan tidak untuk
publik, Yogyakarta; Resist book, hal. 34
6
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
Semantara pejabat administrator
hanyalah pelaksana kebijakan
yang telah ditentukan oleh
kelompok elite tersebut.
Tidak dipungkiri memang
pada awal perkembangannya
kebijakan publik sering disebut
sebagai ilmunya para penguasa.
Pada
masa
awal
perkembangannya
kebijakan
publik itu benar-benar hanya
menjadi bahan pembicaraan di
tingkat elit politik saja. Yaitu para
pemegang kekuasaan politik dan
pakar-pakar kebijakan publik
umum dan sektoral.
Hal itu, dibuktikan di negara
kita sendiri di Indonesia pada
dekade
80-an,
perumusan
kebijakan yang terjadi bersifat
sangat elitis8. Agenda kebijakan
lebih
didasarkan
pada
kepentingan pemerintah bukan
negara sebagai suatu keseluruhan
dengan
komponen
swasta
maupun masyarakat. Pemerintah
memiliki kekuatan besar dalam
menentukan arah kebijakan yang
diambil. Keterlibatan stakeholder
lain seperti swasta maupun
masyarakat
sangat
dibatasi.
Swasta sebagai pemilik modal
dilibatkan karena memiliki akses
terhadap peluang untuk investasi
bagi berkembangnya industri.
Sedangkan
masyarakat
yang
diwakili oleh lembaga perwakilan
(DPR) kurang berperan bahkan
cenderung sebagai ‘stempel’ atas
kebijakan
yang
diputuskan
pemerintah.
Dalam proses implementasi
kebijakan, perumusan kebijakan
elitis diatas sejalan dengan model
elitis. Model ini mempuyai
Parsons, Wayne, ……, Public Policy: Pengantar
Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, hal 251
8
SPEKTRUM
Public Policy and
Public Policy Resistance
asumsi bahwa kebijakan publik
dapat dipandang sebagai nilainilai dan pilihan-pilihan dari elit
yang memerintah. Argumentasi
pokok dari model ini adalah
bahwa
bukan
rakyat
atau
“massa”
yang
menentukan
kebijakan
publik
melalui
tuntutan-tuntutan dan tindakan
mereka, tetapi kebijakan publik
ditentukan
oleh
elit
yang
memerintah dan dilaksanakan
oleh pejabat-pejabat dan badanbadan pemerintah yang berada di
bawahnya.
Thomas R. Dye dan Harmon
dalam The Irony of Democracy
memberikan suatu ringkasan
pemikiran
menyangkut
perumusan kebijakan model elit
ini, yakni 9:
1. Masyarakat terbagi dalam
suatu kelompok kecil yang
mempunyai
kekuasaan
(power)
dan massa yang
tidak
mempunyai
kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang
mengalokasikan
nilai-nilai
untuk masyarakat sementara
massa tidak memutuskan
kebijakan.
2. Kelompok
kecil
yang
memerintah itu bukan tipe
massa yang dipengaruhi.
Para elit ini (the rulling class)
biasanya berasal dari lapisan
masyarakat
yang
ekonominya tinggi.
3. Perpindahan
dari
kedudukan non-elit ke elitis
sangat
pelan
dan
Muhammad Afif Bizri, Model-Model dalam
Analisis Kebijakan Publik, jurnal online edisi 29
November, 2011
9
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
berkesinambungan
untuk
memelihara stabilitas dan
menghindari
revolusi.
Hanya kalangan non-elit
yang
telah
menerima
konsensus
elit
yang
mendasar
yang
dapat
diterima ke dalam lingkaran
yang memerintah.
4. Elit memberikan konsensus
pada nilai-nilai dasar sistem
sosial dan pemeliharaan
sistem. Misalnya, di Amerika
Serikat
konsensus
elit
mencakup
perusahaan
swasta, hak milik pribadi,
pemerintahan terbatas dan
kebebasan individu.
5. Kebijakan
publik
tidak
merefleksikan
tuntutantuntutan massa, tetapi nilainilai elit yang berlaku.
Perubahan-perubahan dalam
kebijakan publik adalah
secara inkremental daripada
secara
revolusioner.
Perubahan-perubahan secara
inkremental memungkinkan
tanggapan-tanggapan yang
timbul hanya mengancam
sistem
sosial
dengan
perubahan
sistem
yang
relatif kecil dibandingkan
bila
perubahan
tersebut
didasarkan teori rasional
komprehensif.
6. Para elit secara relatif
memperoleh
pengaruh
langsung yang kecil dari
massa
yang
apatis.
Sebaliknya,
para
elit
mempengaruhi massa yang
lebih besar.
Dalam pandangan diatas,
sebenarnya
kebijakan
pemerintah
membangun
terminal merupakan contoh
SPEKTRUM
Public Policy and
Public Policy Resistance
nyata tentang kebijakan yang
elitis. Keterlibatan pemerintah
daerah sebagai
stakeholder
sangat kuat bahkan menjadi
penentu
pengambilan
keputusan
atas
sebuah
kebijakan. Pemerintah berhak
mengeluarkan
ijin
operasi
terminal dalam bentuk hak
pengusahaan terminal yang
kemudian diikuti oleh unit
pemerintahan
dibawahnya
tanpa bisa menolak.
2.
Pendekatan Kelembagaan
Dalam
kaitan
dengan
pembangunan sarana ini, rupanya
pemerintah memakai pendekatan
secara
kelembagaan
dalam
memproduksi
kebijakannya.
Pendekatan
kelembagaan
diasumsikan
bahwa
sebuah
kebijakan
publik
diambil,
dilaksanakan, dan dipaksakan
secara otoritatif oleh lembaga
yang ada dalam pemerintahan,
misalnya parlemen, kepresidenan,
pemerintah daerah, kehakiman,
partai politik dan sebagainya.
Kebijakan publik model ini
memiliki beberapa karakteristik
yaitu
pemerintah
mampu
memberikan
legitimasi
atas
kebijakan
yang
dikeluarkan,
kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah
mampu
bersifat
universal artinya menjangkau
semua
lapisan
masyarakat,
terakhir adalah kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah mampu
memonopoli
paksa
semua
masyarakat, dalam artian mampu
menjatuhkan
sanksi
bagi
pelanggar kebijakan.
Salah
satu
kelemahan
pemerintahan dalam pendekatan
seperti
ini
tidak
adanya
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
keterlibatan
aktor-aktor
lain
dalam memutuskan kebijakan.
Kebijakan top down, model ini
tidak
memberikan
curahan
perhatian kepada hubungan antar
lembaga-lembaga pemerintahan
dan substansi dari kebijakan
publik. Setelah diambil alihnya
tindakan
pengoperasioanalan,
banyak
tindakan
dan
aksi
perlawanan
masyarakat
mengabaikan
perintah
yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Hal
tersebut nampak jelas bahwa
kebijakan ini tidak melibatkan
banyak aktor yang mempunyai
kepentingan dengan target group
atau penerima kebijakan ini.
Padahal keterlibatan aktoraktor itu sangat penting untuk
mengkondisikan
dan
memunculkan suatu kebijakan
yang
memuaskan.
Misalnya
dengan melakukan pendekatan
terhadap
suatu
lingkungan
tertentu. Lingkungan menjadi
titik awal untuk mengadaptasikan
kebijakan yang akan dibuat.
Seorang
analis
akan
mengidentifikasikan potret suatu
lingkungan sebagai arah dalam
pembuatan kebijakan. Dengan
mengetahui kondisi lingkungan
terhadap suatu implementasi
kebijakan maka akan dengan
mudah
mengeliminir
resiko
kegagalan suatu kebijakan karena
analisanya mencoba meramalkan
kemungkinan yang akan datang.
Memang terkesan sedikit
mendasar, akan tetapi dengan
mencoba mengetahui hal-hal
yang mendasar untuk memulai
membuat suatu kebijakan sangat
penting. Karena sesuatu yang
mungkin hanya dianggap sepele
tapi
ternyata
sangat
SPEKTRUM
Public Policy and
Public Policy Resistance
mempengaruhi terhadap suatu
kebijakan. Pada proses awal akan
sangat
detail
sekali
dalam
melakukan analisis kebijakan
karena menjadi fondasi utama
dalam
suatu
pembuatan
kebijakan.
Hal lain yang menyebabkan
kebijakan
ini
mendapatkan
perlawanan dari obyek yang
diaturnya, karena tidak adanya
pertimbangan suatu nilai, fakta
dan tindakan yang hendak
dicapai. Nilai sangat penting
karena masyarakat selalu dinamis
sehingga akan diimplementasikan
pada tindakan publik. Nilai yang
didapat, merupakan hasil dari
pencarian,
pendefinisian,
spesifikasi, pengenalan masalah
sehingga benar-benar tahu dan
mengerti mengenai masalah yang
dihadapi.
Namun
ketika
kebijakan yang dijalankan tidak
berorientasi kepada nilai, maka
kebijakan akan terjadi benturan
dan berujung kepada tidak
terimplementasikannya
kebijakan.
Persoalan semakin lengkap,
setelah kebijakan pembangunan
terminal
ini
disinyalir
mengabaikan
proses
analisa
kebijakan tanpa merujuk pada
suatu kajian yang eksploratif. 10
Kecenderungannya banyak yang
bersifat politis dan kadang
mengabaikan
nilai
substansi
suatu kebijakan. Memang suatu
kebijakan
tidak
sepenuhnya
rasional karena ada muatanmuatan politis yang masuk.
Dominannya kekuatan politis
tersebut
mengabaikan
sisi
rasionalitas dengan berlindung
Wawancara dengan salah seorang pegawai
dishub kota Denpasar. Kamis 27 September 2012
10
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
dibawah kepentingan publik atau
sosial. Namun dengan mengacu
pada sisi rasionalitas publik
seharusnya bisa memberikan
acuan
mengenai
alternatif
kebijakan
karena
dengan
mengacu pada sisi rasionalitas
publik dapat diketahui pilihan
yang terbaik.
D. Resistensi Kebijakan
Sekali kebijakan diputuskan dan
disahkan
oleh
pihak
yang
berwenang,
maka
keputusan
kebijakan itu telah siap untuk
diimplementasikan
(Islamy,
2004:102). Namun,
persoalan
muncul jika tidak diikuti dengan
proses penyebaran atau sosialisasi
kebijakan
negara
secara
baik,
masyarakat
akan
mengalami
kesulitan
dalam
memahami
kebijakan atau keputusan tersebut.
Jadi, problemnya ketika tidak adanya
tindakan sosialisasi pemerintah,
menyebabkan warga masyarakat
merasa kaget dengan kebijakan yang
diputuskan oleh pemerintah. Kondisi
diatas
tepat
sekali
untuk
menggambarkan permasalahan yang
kini tengah dihadapi oleh terminal
Mengwi dan stakeholdernya.
Melihat persoalan diatas, penulis
mengutip
pendapat
James
E.
Anderson (dalam Irfan Islamy
2004:108)
yang
mengemukakan
beberapa sebab mengapa setiap
anggota masyarakat tidak mematuhi
dan melaksanakan kebijakan negara.
Faktor-faktor
yang
menjadi
penyebabnya adalah sebagai berikut
;
Pertama, kebijakan negara yang
bertentangan dengan sistem nilai
masyarakat. Bila suatu kebijakan
dipandang bertentangan secara tajam
dengan sistem nilai yang dianut
SPEKTRUM
Public Policy and
Public Policy Resistance
masyarakat luas atau kelompokkelompok tertentu, maka kebijakan
seperti itu tidak akan dilaksanakan
atau dipatuhi.
Kedua, adanya ketidak patuhan
selektif terhadap hukum. Ada
beberapa peraturan perundangan
atau kebijakan yang bersifat kurang
mengikat pada individu-individu.
Ketiga, keanggotaan seseorang
dalam suatu perkumpulan atau
kelompok. Seseorang bisa patuh
pada peraturan perundangan atau
keputusan/kebijakan
negara
keterlibatannya dalam keanggotaan
suatu perkumpulan atau kelompok
kadang-kadang mempunyai ide-ide
atau gagasan-gagasan yang tidak
sesuai/bertentangan dengan hukum
atau
keinginan
pemerintah.
Akibatnya mereka cenderung untuk
tidak patuh atau melawan peraturan
atau kebijakan negara.
Keempat,
ketidak
adanya
kepastian hukum. Tidak adanya
kepastian hukum, ketidakjelasan
ukuran kebijakan yang saling
bertentangan satu sama lain dapat
menjadi sumber ketidak patuhan
orang pada hukum atau kebijakan
negara.
Suatu
peraturan
perundangan atau kebijakan negara
yang tidak pasti, tidak jelas atau
isinya bertentangan satu sama lain
dapat menyebabkan adanya salah
pengertian
terhadap
penafsiran
peraturan atau kebijakan tersebut.
Disamping itu adanya perbedaan
pandangan dan kepentingan antara
pejabat pemerintah dan masyarakat
menyebabkan penafsiran mereka
terhadap peraturan atau kebijakan
itu juga berbeda-beda. Ini semua
menyebabkan orang tidak mematuhi
peraturan atau kebijakan negara.
Berangkat dari beberapa sebab
diatas, poin penting yang mendekati
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
ketidak patuhan atau tindak resisten
elemen
masyarakat
terhadap
pengimplementasian
terminal;
pertama, kebijakan negara yang
bertentangan dengan nilai yang
dianut masyarakat. Masyarakat dan
kalangan pengusaha transportasi
(swasta) merasa dirugikan dengan
dioperasikannya terminal tersebut.
Dari kalangan penumpang mereka
merasa dirugikan secara ekonomi,
waktu dan tenaga karena masyarakat
sebagai
pihak
pengguna
jasa
transportasi melihat pemindahan
lokasi terminal dianggap sangat
merugikan. Hal tersebut karena
akses lokasi pemindahan sangat jauh
dengan pusat Denpasar sebagai kota
tujuan.
Kedua, adanya ketidak patuhan
selektif terhadap hukum. Yakni
adanya perundangan atau kebijakan
yang sifatnya kurang mengikat pada
individu-individu atau lembaga. Hal
tersebut dibuktikan dengan tidak
adanya regulasi yang optimal
menyebabkan
pemerintah
tidak
dapat
memaksakan
kehendak
kepada masyarakat untuk mematuhi
kebijakan yang telah diputuskan.
Melihat
kondisi
tersebut,
perbedaan
pandangan
dan
kepentingan antara pemerintah dan
masyarakat serta sektor swasta tidak
bisa dihindari. Pihak penyedia jasa
transportasi tidak bisa mematuhi
aturan
pemerintah
karena
menghadapi dua tekanan arus besar,
pertama dari pihak penumpang atau
masyarakat
pengguna
jasa
transportasi tidak bersedia di
turunkan di terminal baru (mengwi)
tersebut. Kedua, ada kekuatan
tersembunyi di balik pro dan kontra
pemindahan terminal yang merasa
akan
kehilangan
sumber
dan
SPEKTRUM
Public Policy and
Public Policy Resistance
keuntungan ekonomis akibat dari
pemindahan terminal 11.
Ketegasan pemerintah semakin
tidak optimal, setelah diantara dua
terminal (pihak pemerintah) tidak
saling koordinasi dan kerjasama
untuk
mendukung
bagi
terlaksananya operasional terminal.
Walaupun telah terjadi penurunan
tingkat pada terminal Ubung dari
tipe A turun menjadi tipe B. Hal
tersebut disebabkan, antara pihak
pemerintah kota Denpasar dan
pemerintah kabupaten Badung tidak
terjadi kesepahaman karena salah
satunya (pemerintah Kota Denpasar)
menganggap proyek pembangunan
terminal mengwi dilakukan tanpa
koordinasi dengan pihak mereka12.
E. Kesimpulan
Dari penjelasan dan argumentasi
diatas
penulis
mengambil
kesimpulan
bahwa
terjadinya
tindakan pengabaian komponen
masyarakat
terhadap
pengoperasionalan terminal mengwi
saat ini, disebabkan karena ada
persoalan serius disekitar munculnya
kebijakan pemerintah kabupaten
Badung
dalam
rencana
pembangunan terminal.
Diantaranya
yang
menjadi
penyebab kebijakan atau keputusan
tersebut ditolak dalam proses
implementasinya, pertama, kelompok
sasaran tidak mengetahui kebijakan
atau keputusan tersebut dibuat.
Dalam arti tidak ada pelibatan dalam
rencana pembuatan kebijakan. Bisa
ditebak bahwa keputusan yang
ditolak tersebut dulunya dirumuskan
dalam suatu proses konversi yang
elitis. Kebijakan mengalir secara top
Wawancara dengan salah seorang staf dishub
kota Denpasar
12 Ibid.
11
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Muhammad Ali Azhar
Public Policy and
Public Policy Resistance
down dari kehendak elit ke
administrator atau birokrat dan
bersasaran pada rakyat.
Kedua, dampak dari ditolaknya
keputusan atau kebijakan oleh target
group
menyebabkan
kebijakan
dijalankan hanya setengah hati oleh
pemangku
kepentingan
atau
pemerintah daerah, sehingga sampai
saat ini terjadi dualisme terminal
yang beroperasi di provinsi Bali.
Daftar Pustaka
Budi
Winarno (2007). Kebijakan
Publik; Teori dan Proses.
Yogyakarta:
Media
Pressindo.
Fadillah Putra, (2005). Kebijakan
Tidak
untuk
Publik,
Yogyakarta: Resist Book
Miftah Toha (2005). DimensiDimensi
Prima
Ilmu
Aministrasi Negara. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Muhammad Afif Bizri, (2011).
Model-Model dalam Analisis
Kebijakan Publik, Jurnal
Edisi 29 November 2011.
Riant Nugroho, (2003). Kebijakan
Publik:
formulasi,
implementasi, dan evaluasi.
Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Samodra Wibawa, (2005), Politik
Perumusan Kebijakan Publik”.
Yogyakarta;
William N. Dunn (1999). Pengantar
Analisis Kebijakan Publik,
Yogyakarta:Gadjah
Mada
University Press.
SPEKTRUM
Vol. 14, No. 2, Juli 2013
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional
Download