LAPORAN PENELITIAN Pola Pembelajaran dalam Tradisi

advertisement
LAPORAN PENELITIAN
Pola Pembelajaran dalam Tradisi Pengajian Perempuan
di Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura
Disusun Oleh :
Alfisyah, S.Ag, M.Hum
Lumban Arofah, S.Sos. M.Sc
Tutung Nurdiyana, M.A. M.Pd
Sigit Ruswinarsih, S.Sos. M.Pd
Yusuf Hidayat, S.Sos. M.Si
Syahlan Mattiro, SH, M.Si.
Nasrullah, S.Sos.I, MA
Yuli Apriati, S.Sos. MA.
NIDN. 0005087407
NIDN. 0029118003
NIDN. 0021107607
NIDN. 0026017005
NIDN. 0020057607
NIDN. 0009038004
NIDN. 0026057907
NIDN. 0016048401
(Ketua)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
DESEMBER 2013
1
2
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN BOPTN
1. Judul Penelitian
: Pola Pembelajaran dalam Tradisi Pengajian
Perempuan di Gang Bersama Kelurahan
Sekumpul Martapura
2. Ketua Peneliti
:
a. Nama Lengkap
: Alfisyah, S.Ag. M.Hum
b. Jenis Kelamin
: Perempuan
c. NIDN
: 0005087407
d. Pangkat/Gol
: Penata/IIIc
e. Jabatan Fungsional
: Lektor
f. Bidang Keahlian
: Ilmu Sosial
g. Fakultas/Jurusan
: FKIP/Pendidikan IPS
h. No. HP
: 0818461259
i. Alamat Surel (e-mail) : [email protected]
3. Anggota
: 7 orang
(1) Sigit Ruswinarsih, S.Sos. M.Pd
(2) Tutung Nurdiyana, M,A. M.Pd
(3) Lumban Arofah, S.Sos. M.Sc
(4) Yusuf Hidayat, S.Sos. M.Si
(5) Nasrullah, S.Sos.I. MA
(6) Syahlan Mattiro, SH. M,Si
(7) Yuli Apriati, S.Sos. MA.
4. Biaya yang diusulkan
: Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah)
5. Sumber Dana
: BOPTN 2013/2014
Banjarmasin, Desember 2013
Mengetahui,
Dekan FKIP Unlam
Ketua Peneliti
Drs. H. Ahmad Sofyan. M.A
NIP. 19511110 197703 1003
Alfisyah, S.Ag. M.Hum
NIP. 19740805 200604 2002
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian
Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Ahmad Alim Bachri, SE. M.Si
NIP. 19671231 199512 1002
3
RINGKASAN
Pola Pembelajaran dalam Tradisi Pengajian Perempuan di Gang Bersama
Kelurahan Sekumpul Martapura
Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari,: Alfisyah, Sigit Ruswinarsih,
Lumban Arofah, Tutung Nurdiyana, Yusuf Hidayat, Nasrullah, Syahlan Mattiro dan
Yuli Apriati.
Peran lembaga Islam dalam mengembangkan pendidikan dan pengajaran sudah tidak
diragukan lagi. Meskipun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis
pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi ada
perguruan tinggi Islam namun kehadiran lembaga pengajian sebagai sebuah institusi
pendidikan untuk orang dewasa masih tetap dapat bertahan. Bahkan disaat lembaga
pendidikan makin berkembang dengan mengambil bentuk yang lebih modern
tampaknya lembaga pengajian dengan corak tradisional masih menunjukkan kekuatan
penting sebagai sebuah institusi pendidikan sekaligus sosial. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa model dan pola pembelajaran maupun pengajara yang digunakan
dalam tradisi pengajian telah berhasil menarik minat dan diterima di kalangan
masyarakat Banjar.
Minat masyarakat Banjar memanfaatkan lembaga pengajian sebagai tempat belajar
bahkan tidak hanya terbatas pada kaum laki-laki tetapi jga kaum perempuan. Bahkan
perempuan dalam konteks pembelajaran di lembaga pengajian tidak hanya berperan
pasif sebagai peserta atau jamaah tetapi juga aktif sebagai pengajar seperti yang
berlangsung pada lembaga pengajian dan majelis zikir Ibu Hajjah Nafsiyah di Gang
Bersama Sekumpul Martapura. Pengajian ini cukup diminati kalangan perempuan.
Model pembelajaran yang digunakan pada lembaga ini adalah model yang dipakai
oleh lembaga pendidikan Islam tradisional pada umumnya yaitu dengan metode
bandongan dengan memadukan model ceramah dan tanya jawab. Materi cabang
pengetahuan yang diajarkan meliputi tauhid, fikih dan tasawwuf. Tujuan pengajian ini
tidak sekedar memperkaya pikiran dengan pengetahuan agama tetapi juga
meninggikan moral.
Oleh karena itu diharapkan lembaga ini bisa mendapat perhatian yang lebih besar dari
pemerintah, agar keberadaannya terus berkembang sebagai sebuah alternatif
pendidikan untuk orang dewasa.
4
PRAKATA
Puji dan syukur pada Tuhan yang Maha Esa atas segala anugrahnya sehingga
kegiatan penelitian ini dapat terlaksana dan laporan kegiatan dapat terselesaikan
sesuai target dan jadwal yang telah direncanakan. Kegiatan penelitian tentang pola
pembelajaran dalam tradisi pengajian perempuan di Sekumpul Martapura ini
bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis pola-pola pembelajaran yang
berlangsung di institusi ini. Lebih khusus tujuan dari penelitian ini adalah menggali
model pembelajaran yang berlangsung di insrtitusi Pengajian dan Majelis Zikir Hajjah
Nafsiyah yang bertempat di Jalan Sekumpul Gang Bersama Kelurahan Sekumpul
Martapura Kabupaten Banjar.
Terlaksananya penelitian ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh
karena itu kami ingin mengucapkan terimakasih kepada Ketua Lembaga Penelitian
Unlam, Dekan FKIP Unlam, Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi antropologi
beserta seluruh stap pengajarnya yang juga turut teribat dalam kegiatan ini. Terkhusus
ucapan terima kepada pimpinan pengajian Ibu Hajjah Nafsiyah yang telah
memberikan waktu dan kesempatan sehingga kegiatan ini dapat terlaksana.
Kami menyadari bahwa kegiatan ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan
yang tentu saja akan terus dilakukan evaluasi untuk perbaikan ke depan. Semoga
kegiatan ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong untuk kegiatan berikutnya.
Banjarmasin, Desember 2013
Tim Penyusun
5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
RINGKASAN ............................................................................................
PRAKATA .................................................................................................
DAFTAR ISI ..............................................................................................
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
A. Latar Belakang ......................................................................
B. Perumusan Masalah ..............................................................
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................
A. Pola dan Model Pembelajaran ..............................................
B. Peran Pendidikan Pesantren ..................................................
C. Institusi Keagamaan dan Pengajian ......................................
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT .......................................................
A. Tujuan Penelitian ..................................................................
B. Manfaat Penelitian ................................................................
BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................
A. Paradigma Penelitian .............................................................
B. Lokasi Penelitian ...................................................................
C. Instrumen Penelitian .............................................................
D. Sumber Data ..........................................................................
E. Tehnik Pengumpulan Data ....................................................
F. Analisis Data .........................................................................
G. Pengujian Keabsahan Data ...................................................
BAB V Hasil dan Pembahasan ................................................................
A. Sekumpul: Sebuah Profil Kota Pengajian .............................
B. Dinamika Pengajian di Sekumpul .........................................
C. Pola Pembelajaran Pengajian Perempuan Sekumpul ............
BAB VI Kesimpulan dan Saran ................................................................
A. Kesimpulan ...........................................................................
B. Saran ....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
LAMPIRAN ...............................................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
1
1
4
6
6
11
15
20
20
20
22
22
23
24
25
25
27
39
31
31
43
49
54
54
55
56
58
6
DAFTAR GAMBAR
5.1.
Jalan Sekumpul ...................................................................................... 32
5.2. Gerbang dan Komplek ar-Raudlah Sekumpul ........................................ 33
5.3. Kran-kran Wudhu di Rumah Penduduk .................................................. 37
5.4. Suasana Pengajian Laki-laki di Sekumpul .............................................. 48
5.5. Suasana Pengajian Perempuan di Gang Bersama Sekumpul .................. 51
7
DAFTAR LAMPIRAN
1. Jadwal Penelitian ....................................................................................... 58
2. Pembiayaan Penelitian ............................................................................... 59
3. Personalia Peneliti ...................................................................................... 60
4. Izin Penelitian ............................................................................................ 62
8
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengajian merupakan salah satu institusi yang cukup lama hadir sebagai
lembaga yang memberi pendidikan kepada masyarakat. Dalam sejarah perjalanan
perkembangan Islam, pengajian memberi peran yang besar dalam menyampaikan
berbagai pengetahuan khususnya pengetahuan agama dan sosial.
Peran lembaga Islam dalam mengembangkan pendidikan dan pengajaran
sudah tidak diragukan lagi. Peran lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren
telah banyak dikaji dan ditulis. Peran pengajian atau pesantren setidak-tidaknya
ada tiga tempat seperti ditulis Rafiq (2005: 2) yaitu sebagai lembaga pendidikan,
lembaga penyiaran agama dan juga gerakan sosial keagamaan kepada masyarakat.
Sebagian besar pesantren yang ada tersebar di wilayah pedesaan. Hal tersebut
menjadikan lembaga ini memiliki posisi yang strategis dalam mengemban peranperan pengembangan pendidikan maupun sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Penelitian Zamakhsari Dhofier (1994: 16) tentang tradisi pesantren
menunjukkan bagaimana pesantren selama ini dikenal sebagai pemelihara
kehidupan keberagamaan umat Islam, khususnya yang berada di sekitar lokasi
pesantren tersebut. Hal ini juga diakui oleh para peneliti Barat semacam Van den
Berg, Snouck Hurgronye dan Clifford Geertz. Setelah melakukan penelitian
terhadap pesantren, mereka betul-betul menyadari tentang pengaruh kuat dari
pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik
dan keagaman masyarakat.
9
Meskipun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis
pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi ada
perguruan tinggi Islam namun kehadiran lembaga pengajian sebagai sebuah
institusi pendidikan untuk orang dewasa masih tetap dapat bertahan. Bahkan
disaat lembaga pendidikan makin berkembang dengan mengambil bentuk yang
lebih modern tampaknya lembaga pengajian dengan corak tradisional masih
menunjukkan kekuatan penting sebagai sebuah institusi pendidikan sekaligus
sosial.
Menurut Dzofier (1994: 44), lembaga pengajian merupakan cikal bakal
pesantren. Lembaga pengajian yang telah memenuhi lima elemen yaitu pondok,
mesjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kyai, biasanya akan
berubah statusnya menjadi pesantren. Dalam konteks ini maka pengajian adalah
lembaga yang hanya memenuhi beberapa komponen dari lima komponen tersebut
dan tidak memiliki beberapa komponen lainnya. Pada kenyataannya sebagian
besar pengajian memang tidak memiliki pondok dan mesjid. Lembaga pengajian
biasanya hanya memiliki tiga elemen, yaitu santri, pengajaran kitab-kitab klasik
serta kyai.
Di Kalimantan Selatan institusi pengajian bukan merupakan sesuatu yang
asing dan seperti telah diuraikan di atas maka hampir seluruh pengajian yang
tumbuh di wilayah ini tidak memiliki pondok dan mesjid. Lembaga-lembaga
pengajian yang ada di wilayah Kalimantan Selatan pada umumnya dilaksanakan
di rumah-rumah penduduk khususnya di rumah tuan guru (kyai) yang memberikan
pengajaran.
10
Lembaga pengajian di Kalimantan Selatan tersebar hampir di seluruh kota
namun tampaknya kota yang memiliki institusi pengajian terbanyak ada di
wilayah kota Martapura Kabupaten Banjar. Hal ini bisa dimengerti karena kota
Martapura merupakan kota santri dimana banyak ulama yang lahir, hidup dan
berkembang disini. Di kota ini berdiri cukup banyak pesantren sehingga kota ini
juga disebut sebagai kota santri. Banyaknya guru atau ustaz pengajar serta ulama
ini membuat institusi pengajian berkembang seiring dengan perkembangan tuan
guru.
Sejak awal tahun 2000 an, seiring dengan wafatnya Tuan Guru Zaini
Ghani, pengajian mulai ramai bermunculan khususnya di wilayah Martapura.
Hingga awal 2013, tidak kurang dari empat lembaga pengajian yang cukup
banyak jamaah berkembang di sekitar Martapura. Ada pengajian Guru Wildan,
pengajian Guru Syukri, pengajian Guru Munawwar, dan pengajian Guru Muaz.
Semakin banyaknya lembaga pengajian bermunculan di wilayah
Kalimantan Selatan dan semakin besarnya jumlah jamaah atau pengikut pengajian
adalah merupakan salah satu bukti bahwa pengajian di Kalimantan Selatan
memiliki vitalitas. Kehadiran dan keberadaan lembaga pengajian yang semakin
marak di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa lembaga ini masih memiliki
peran besar bagi masyarakat. Lembaga ini bahkan tidak hanya melibatkan kaum
laki-laki sebagai pengajar maupun pengikut (jamaah) tetapi juga perempuan. Di
beberapa pengajian di Kalimantan Selatan juga memberikan kesempatan bagi
perempuan untuk ambil bagian dalam kegiatan ini, bahkan di beberapa tempat
juga ditemukan adanya lembaga pengajian yang diprakarsai oleh perempuan dan
11
pengajar juga dari kalangan perempuan. Salah satunya adalah Majelis Zikir Ibu
Hajah Nafsiyah di Sekumpul Martapura.
Penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan pola pembelajaran yang
dilaksanakan dalam lembaga pengajian sebagai sebuah institusi pendidikan dalam
mengemban misi soaial dan pendidikan di kalangan masyarakat Banjar khususnya
perempuan di Sekumpul.
B. Perumusan Masalah
Azyumardi Azra (1997: ix-xi) dalam temuannya yang menyimpulkan
bahwa sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di
berbagai kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan Islam
tradisional yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh
ekspansi sistem pendidikan umum. Hal ini menurut Noer (1983: 49) terkait
dengan anggapan bahwa persoalan administrasi dan organisasi merupakan hal
yang penting sehingga banyak yang mencoba untuk memulai pengajaran yang
terorganisasi disertai kurikulum yang jelas.
Menurut Dhofier (1994: 19) di Jawa, pengajian yang diselenggarakan di
rumah-rumah guru ngaji di langgar atau di mesjid merupakan tempat memberikan
pelatihan atau pendidikan elementer tradisional bagi seorang Jawa untuk dapat
mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan kewajiban sembahyang lima
waktu dan membaca Qur’an. Penelitian ini berupaya mengkaji tentang keberadaan
pengajian sebagai sebuah institusi pendidikan dan gerakan sosial dengan fokus
kajian diarahkan pada pola pembelajaran yang berlangsung di pengajian ini.
12
Pengajian sebagai sebuah institusi memiliki dinamika yang terus
berkembang dari waktu ke waktu. Seiring dengan perkembangan kelembagaan
maka sebagai sebuah institusi yang dinamis, pengajian juga akan terus menerus
menghadapi persoalan. Dalam penelitian ini ada akan coba digali tentang model
pembelajaran yang berlangsung di institusi pengajian khususnya di Pengajian dan
Majelis Zikir Hajjah Nafsiyah yang bertempat di Jalan Sekumpul Gang Bersama
Kelurahan Sekumpul Martapura Kabupaten Banjar.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pola dan Model Pembelajaran
Model-model pembelajaran salah satunya mengacu pada model-model
pembelajaran Joyce, Weil dan Calhoun (2000). Model pembelajaran menurut
Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 3) adalah “…a plan of pattern that can be used to
shape curriculums (long-term course of studies) to design instructional materials,
and to guide instruction in the classroom and other setting.” (...suatu rencana atau
pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan
memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran ataupun
setting lainnya). Ditegaskan oleh Joyce, Weil dan Calhoun (2000: 6) “Models of
teaching are really models of learning. As we help students acquire information,
ideas, skills, values, ways of thinking, and means of expressing themselves, we are
also teaching them how to learn.” (Model pembelajaran merupakan perencanaan
suatu pola yang dapat digunakan sebagai desain dan petunjuk pembelajaran dalam
ruang kelas. Model pembelajaran merupakan bentuk nyata belajar sehingga dapat
membantu siswa mendapatkan informasi, idea, keterampilan, nilai, pandangan
berpikir, dan cara pemahaman diri, serta membantu siswa bagaimana belajar).
Ditegaskan oleh Eggen, Kauchak dan Harder (1979: 12) :
A model cannot take the place of fundamental qualities in a teacher, such
as knowledge of subject matter, creativity, and sensitivity to people.
Rather it is a tool to help good teachers teach more effectively, by making
their teaching more systematic and efficient. Models provide the flexibility
to allow teachers to use their own creativity, just as the builder uses
creativity in the construction. As with the blueprint, a teaching model is a
design for teaching, within which the teacher uses all the skill and insights
at his or her command. (Model tidak dapat mengganti tempat kualitas
fundamental guru seperti pengetahuan tentang materi pembelajaran,
14
kreativitas, dan sensitivitas terhadap masyarakat. Model pembelajaran
hanyalah sebuah alat untuk menolong guru mengajar lebih efektif,
sistematik dan efisien. Model pembelajaran digunakan secara fleksibel
sehingga guru dapat kreaktif).
Pada setiap model pembelajaran hendaknya memperhatikan : syntax,
social system, principles of reaction, support system, dan nurturant effect. (Joyce,
Weil dan Calhoun, 2000). Syntax adalah urut-urutan kegiatan pembelajaran dari
tahap awal hingga akhir pembelajaran. Social system adalah gambaran peranan
dan hubungan guru dengan murid serta norma yang mengikat di kelas. Principles
of reaction merupakan prinsip-prinsip reaksi, cara bagaimana memperhatikan
peserta didik, memberikan penghargaan dan merespon peserta didik. Support
system adalah segala sesuatu yang dapat membantu terlaksananya tujuan,
misalnya dengan mengusahakan sumber-sumber belajar atau perpustakaan.
Nurturant effect merupakan hasil sampingan atau hasil tidak langsung dari
pembelajaran dengan menggunakan model tertentu.
Joyce, Weil dan Calhoun (2000) telah mengembangkan model-model
pembelajaran dalam bukunya Models of Teaching yang menempatkan siswa
sebagai pusat pembelajaran, kebalikan dengan model konservatif yang berpusat
pada guru. Gagasan-gagasan dan keterampilan berpikir siswa dalam model
pembelajaran Joyce, Weil dan Calhoun (2000) dikembangkan sejalan dengan
pandangan UNESCO (1996) tentang learning throught life, berarti tumbuh
kesadarannya tentang makna belajar. Model pembelajaran Joyce, Weil dan
Calhoun (2000) terdiri dari empat rumpun, yaitu : the social family models, the
information-processing family models, the personal family models, behavioral
models.
15
The social family models adalah rumpun model pembelajaran tentang
hakekat manusia dan cara belajar. Rumpun model ini menekankan pada sifat dasar
masyarakat, dan belajar tingkah laku sosial, serta interaksi sosial dalam belajar.
Peranan sentral pendidikan model ini adalah mempersiapkan warganegara untuk
membangkitkan perilaku demokrasi, keduanya untuk mempertinggi kehidupan
personal dan sosial dan untuk menjamin hasil demokrasi. Cooperative menjadi
sifat mempertinggi kualitas hidup, membawa kegembiraan dan pengertian tentang
semangat dan menurunkan konflik sosial. Cooperative behavior adalah peransang
bukan hanya oleh masyakarat tetapi juga intelektual. Demikian juga memerlukan
interaksi sosial untuk dapat membangkitkan academic learning. Perkembangan
produk social behavior, academic skills dan knowledge saling bergabung (Joyce,
Weil dan Calhoun, 2000: 29). Kerjasama akan menghasilkan collective energy
yang disebut synergy. Model sosial dalam pembelajaran merupakan bangunan
untuk mendapatkan keuntungan phenomena ini dengan membangun komunitas
belajar. Pada dasarnya classroom management adalah bahan mengembangkan
kerjasama dalam kelas. Perkembangan positif pada budaya sekolah merupakan
proses pengembangan cara-cara integrative dan produktif pada tnteraksi dan
norma-norma yang mendukung semangat aktivitas belajar (Joyce, Weil dan
Calhoun, 2000: 14).
The information-processing family models memberi tekanan arah pada
peningkatan
pembawaan
manusia
dalam
membuat
arah
dunia
dengan
mendapatkan data, mengumpulkan data, temuan masalah, meningkatkan solusi
pada peserta didik, mengembangkan konsep-konsep, dan bahasa untuk
meningkatkan mereka. Beberapa model diadakan oleh pembelajar dengan
16
informasi dan konsep-konsep, penekanan pada formasi konsep, menguji hipotesis,
dan
peningkatan
keterampilan
berpikir.
Beberapa
desain
meningkatkan
kemampuan intelektual. Banyak model pemrosesan informasi berguna untuk
belajar bagi diri sendiri dan masyarakat, demikian juga untuk mencapai nilai-nilai
personal dan sosial bagi pendidikan (Joyce, Weil dan Calhoun, 2000: 17).
The
personal
family
berangkat
dari
kemanusiaan pada dasarnya terletak dalam
pemahaman
bahwa
realita
kesadaran individual. Kita
mengembangkan kepribadian unik dan melihat dunia dari perspektif yang
merupakan produk dari pengalaman dan posisi kita. Biasanya pemahaman adalah
produk perundingan individu-individu yang harus tinggal, bekerja, dan kreatif
bersama keluarga. Model personal memulai dari perspektif diri sendiri pada
individu. Mereka memelihara bentuk pendidikan dengan pemahaman yang baik,
tanggap terhadap pendidikan mereka, dan belajar mencari untuk menjadi kuat,
lebih sensitive, dan lebih kreatif
dalam mendapat kehidupan yang lebih
berkualitas. Model personal ini menekankan pada perkembangan diri individu
yang
mengutamakan
proses
menolong
individu
membentuk
dan
mengorganisasikan realita. Model ini mengajak siswa mengembangkan hubungan
produktif
dengan
lingkungan.
Kelompok
model
personal
menekankan
perhatiannya pada perspektif individu dan mencari untuk mendorong kebebasan
dalam memperoduksi, sehingga masyarakat memiliki kesadaran diri dan tanggap
terhadap nasib mereka.
Behavioral models atau pengembangan perilaku, berdasar pada teori social
learning theory, behavior modification, behavior therapy, dan cybernetics.
Dasarnya bahwa manusia melakukan self-correcting system komunikasi dengan
17
merekayasa perilaku dalam menanggapi informasi agar berhasil. Contoh imajinasi
manusia : cerita tentang mendaki tangga rumah dalam gelap yang tidak biasa
dilakukan. Secara berangsur-angsur perilakunya akan terbiasa dan mengalami
kemajuan mendaki tangga dan menyenangkan. Teori Skinner tahun 1953 menjadi
motor
behavioral
models.
Berdasarkan
aliran
behaviorisme,
kegiatan
pembelajaran diarahkan pada timbulnya tingkah laku baru sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Empat rumpun model pembelajaran Joyce, Weil dan Calhoun
(2000) di atas diharapkan dapat menumbuhkan aktifitas siswa dalam
pembelajaran, sehingga siswa memiliki kesadaran pentingnya subject matter yang
dipelajarinya dan pentingnya belajar, pada gilirannya siswa dapat merasakan
manfaat belajar.
Model pembelajaran lain yang banyak digunakan dalam pembelajaran
sosial di antaranya adalah pembelajaran kooperatif, model pembelajaran ini sering
disebut dengan pembelajaran gotong royong, karena menekankan pada kerja sama
dan berangkat dari falsafah homo homini socious (Lie, 2002: 27). Menurut Arends
(1989: 402): “The cooperative learning model grew out of an educational
tradition emphasizing democratic thought and practise, active learning,
cooperative behaviour, and respect for pluralism in multicultural societies.”
(Model belajar kooperatif tumbuh sebagai tradisi pendidikan dengan penekanan
pada demokrasi dalam berpikir dan bertindak, belajar aktif, prilaku kerjasama, dan
tanggap pada kemajemukan dalam masyatakat multikultur).
Pembelajaran kooperatif berangkat dari pemikiran John Dewey, Herbert
Thelan, dan kelas demokratis. Konsep Dewey tentang pendidikan (Arends, 1989:
403) “…that the classroom should mirror the larger society and be a laboratory
18
for real-life learning.” (...bahwa ruang kelas merupakan cermin masyarakat luas
dan sebuah laboratorium untuk belajat nyata tentang kehidupan). Pedagogi Dewey
diperlukan guru untuk menciptakan lingkungan belajar sebagai sebuah karakter
sistem sosial dengan prosedur demokrasi dan proses sains (ilmiah). Tanggung
jawab utama guru adalah melibatkan siswa menciptakan penyelidikan ke dalam
masalah interpersonal dan sosial. Prosedur ruang kelas oleh Dewey ditekankan
dalam bentuk kelompok kecil, problem-solving, pencarian jawaban dan prinsipprinsip demokrasi dengan interaksi satu sama lain (Arends, 1989: 403). Sesudah
Dewey, Herbert Thelen (Isjoni, 2009: 27) mengembangkan prosedur untuk
membantu siswa bekerja dalam kelompok. Kelas merupakan laboratorium atau
miniature democracy untuk tujuan studi dan penyelidikan masalah interpersonal
dan sosial. Thelen berdasarkan dinamika kelompok mengembangkan bentuk rinci
dan terstruktur tentang penyelidikan kelompok, dan mempersiapkan dasar
konseptual untuk mengembangkan pembelajaran kooperatif pada masa kini. Ciri
pembelajaran kooperatif (Arends,1989: 407) :
 Students work in teams to master academic materials
 Team are made up of high, average, and how achievers
 Teams are made up of racially and sexually mixed group of students
 Reward systems are group oriented rather than individually oriented.
(Para siswa bekerja dalam kelompok untuk menguasai material akademis,
kelompok dibentuk berdasarkan tinggi, rata-rata, kelompok terdiri dari
pencampuran ras dan jenis kelamin, Sistem Penghargaan secara kelompok
bukannya secara individu).
B. Pengajaran dan Pendidikan Islam
Fenomena madrasah di Indonesia merupakan perkembangan dari surau
maupun pesantren adalah akibat dari semakin banyaknya kaum muslimin yang
menunaikan ibadah haji dan meneruskan domisilinya untuk menuntut ilmu
19
(Anwar, 2008: 11). Fenomena kehadiran madrasah juga disebabkan oleh adanya
semangat nasionalisme dan patriotism dari umat Islam dalam merespons sistem
pendidikan Barat yang mempunyai program yang lebih terkoordinasi dan
sistematis dan mampu menghasilkan lulusan terampil (Zuhairini, 1995: 157)
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia sudah mulai tumbuh sejalan dengan
proses penyebaran Islam di Indonesia meskipun masih bersifat individual. Para
pengajar agama ini mendekati masyarakat dengan cara yang persuasive dan
memberikan
pengertian
tentang
dasar-dasar
Islam.
Kemudian,
dengan
memanfaatkan lembaga-lembaga mesjid, surau dan langgar mulailah secara
bertahap berlangsung pengajian umum mengenai tulis baca al-Qur’an dan
wawasan keagamaan. Namun demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan
pendidikan bagi umat Islam di Indonesia baru terjadi dengan pendirian pesantren.
Lembaga ini diperkirakan muncul pada abad 13 dan mencapai perkembangannya
yang optimal pada abad 18. Para ahli agaknya sepakat bahwa pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia (Rahim, 2001: 6).
Pendirian lembaga-lembaga Islam di Indonesia, dalam berbentuk dan
coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai
munculnya pesantren, lembaga pendidikan di Indonesia sebelumnya cenderung
bersifat sangat eksklusif. Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu,
tidak semua orang dapat mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan
pada masa penjajahan, sekolah-sekolah pada umumnya didirikan untuk kalangan
bangsawan dan kaum penjajah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan
dan perjuangan kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka. Hal
20
ini berbeda dengan pendirian madrasah dan sekolah-sekolah Islam yang sejak
semula bersifat terbuka bagi masyarakat luas
(Steenbrink, 1986). Sebagian
lulusan pesantren kemudian melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke
beberapa pusat kajian Islam di Timur Tengah. Fenomena pelancongan (rihlah
ilmiyyah) yang secara intensif muncul pada akhir abad 18 ini pada akhirnya tidak
saja menambah keilmuan mereka, tetapi juga menambah pengalaman dan inspirasi
mereka dari gerakan modernisasi pendidikan di Timur Tengah. Lulusan-lulusan
pendidikan Timur Tengah pada masa itu kemudian menjadi pemrakarsa pendirian
madrasah-madrasah di Indonesia. Berbeda dengan lembaga pendidikan pesantren,
madrasah yang dicontoh dari Timur Tengah itu merupakan lembaga pendidikan
yang lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajaran (Rahim;
2001: 7).
Diakui pelembagaan Islam dalam bidang pendidikan bermula dari fungsi
dakwah dan ta’lim dari mesjid atau langgar dan kemudian melembaga menjadi
pesantren. Dalam masa yang sangat panjang, pesantren menjadi lembaga
pendidikan pas excellence di Indonesia, sampai akhirnya menghadapi tantangan
modernisasi. Tradisionalisme pesantren kemudian diuji dengan hadirnya lembaga
pendidikan sekolah yang diperkenalkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan
lembaga pendidikan madrasah yang dikembangkan oleh para pembaharu lulusan
Timur Tengah. Hal yang menarik untuk dicatat adalah perkembangan
kelembagaan pendidikan Islam terus berlangsung melalui proses dialektis dan
kompromis, sehingga ketiga jenis lembaga pendidikan itu –pesantren, madrasah
dan sekolah- tetap tumbuh dan berkembang hingga sekarang (Rahim, 2001: ix).
21
Melalui beberapa perkembangan maka posisi pendidikan Islam dalam
sistem pendidikan nasional menurut Rahim (2001: 11) dapat diidentifikasi
sedikitnya ke dalam tiga pengertian. Pertama, pendidikan Islam adalah lembagalembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren, pengajian dan madrasah
diniyyah. Kedua, pendidikan Islam adalah muatan atau materi pendidikan agama
Islam dalam kurikulum pendidikan nasional. Ketiga, pendidikan Islam merupakan
cirri khas dari lembaga pendidikan sekolah yang diselenggarakan oleh departemen
agama dalam bentuk madrasah, dan oleh organisasi serta yayasan keagamaan
Islam dalam bentuk sekolah-sekolah Islam.
Dalam kelembagaan pendidikan Islam ada dua diversifikasi penekanan
yaitu pengembanagan watak kesalehan individual dan usaha intelektualisasi
keIslaman. Usaha yang pertama biasanya tercermin pada proses pendidikan agama
di sekolah dan madrasah tingkat dasar dan menengah. Menanamkan watak
kesalehan lebih ditekankan kepada anak didik di kedua lembaga itu karena adanya
orientasi pencapaian keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Sampai pada tingkat tertentu, madrasah pada umumnya sama dengan sekolah
kecuali bahwa ia juga menekankan penanaman akidah dan pengamalan ajaran
agama sebagai tanda kesalehan (Rahim, 2001: x).
Perkembangan pendidikan Islam secara makro di satu sisi menunjukkan
potensi fleksibilitas pendidikan Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Namun
demikian, di sisi lain perkembangan ini mendatangkan tantangan pada level mikro
yang amat kompleks. Setiap bentuk kelembagaan memiliki masalahnya sendirisendiri yang menuntut penanganan sfesifik. Hal ini seringkali diperparah oleh
politik pendidikan suatu rezim, yang lebih memihak pada jenis lembaga
22
pendidikan tertentu. Selama periode pemerintahan Orde Baru misalnya, dukungan
pemerintah pemerintah terhadap pengembangan pendidikan pesantren yang
tersebar di berbagai pelosok daerah relative kecil, sehingga selama berpuluh-puluh
tahun lembaga pendidikan tradisional itu berkembang atas inisiatif dan dukungan
masyarakat. Pesantren dalam hal ini adalah contoh autentik dari pola pendidikan
berbasis masyarakat (society-base education) (Rahim, 2001: xi).
C. Institusi Keagamaan dan Pengajian
Peran pesantren sejak dulu tidak pernah lepas dengan peran edukatif yang
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Kurikulum pesantren menawarkan kajian yang
penting ya ng tidak hanya terbatas pada bagaimana membangun relasi dengan
Tuhan, namun juga dengan sesama manusia maupun lingkungan. Penyajian
pelajaran dibangun berdasarkan pada kekhasan budaya Indonesia. Minimal ada
tiga peran besar yang selama ini dimainkan pesantren. Yaitu: Pertama, pesantren
adalah lembaga penghasil ulama; Kedua, pesantren adalah pusat penyebaran
Islam. Ketiga, pesantren adalah pemelihara kehidupan keberagamaan umat.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, selama ini pesantren dikenal
sebagai pencetak para ulama handal di Indonesia. Ini terkait dengan misi utama
pesantren sebagai lembaga pencetak thâ`ifah mutafaqqihîna fiddîn (para ahli
agama). Tak terhitung jumlahnya ulama yang telah lahir dari pesantren. Kita
mengenal nama-nama seperti Imam Nawawi Al-Bantani, HOS Tjokroaminoto,
Hamka, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Imam Zarkasyi.
Mereka adalah sebagian kecil dari para alumni pesantren yang menjadi ulama
besar dikemudian hari.
23
Salah satu ciri khas ulama lulusan pesantren adalah, mereka bukan hanya
memiliki ilmu yang luas tapi juga akhlaq yang tinggi. Hal ini terkait dengan
metode pendidikan yang dikembangkan para kiai di pesantren. Tujun pendidikan
tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasanpenjelasan, tetapi juga untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi
semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap
dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup
sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar untuk menerima etik (peraturan
moral) agama di atas etik-etik lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk
mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi
ditanamankan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan
pengabdian kepada Allah. (Dhofier, 1994: 20-21).
Semua
lembaga-lembaga
pengajian
tidak
sama
jenisnya.
Dalam
kenyataannya lembaga-lembaga tersebut sangat bertingkat-tingkat (Dhofier, 1994:
20). Bentuk yang paling rendah bermula pada waktu anak-anak berumur kira-kira
5 tahun, menerima pelajaran dari orang tuanya menghafalkan beberapa surat
pendek dari Juz Qur’an yang terahir. Setelah mereka berumur 7 atau 8 tahun mulai
diajarkan membaca alphabet Arab dan secara bertahap diajar untuk dapat
membaca Qur’an. Pengajarnya biasanya orang tuanya sendiri; atau kalau orang
tuanya atau saudara-saudaranya tidak bisa membaca Arab, maka anak-anak
tersebut belajar di rumah tetangganya atau di langgar. Pelajaran biasanya
diberikan setelah sembahyang magrib. Program pengajaran ini biasanya berhenti
setelah seorang anak dapat membaca sendiri Qur’an tersebut dengan lancar dan
benar. Bagi beberapa anak dari keluarga tertentu (biasanya yang hidup
24
berkecukupan dan mempunyai tali hubungan kekeluargaan dengan kyai atau guru
ngaji) pendidikan pembacaan Qur’an ini hanya merupakan jenjang pertama.
Mereka masih melanjutkan pelajaran untuk dapat membaca dan menterjemahkan
buku-buku Islam klasik yang elementer yang ditulis dalam Bahasa Arab. Sebagian
dari mereka itu memiliki ambisi untuk menjadi ulama, sehingga setelah
berkenalan dengan beberapa kitab-kitab elementer, mereka memperdalam Bahasa
Arab sebagai alat untuk dapat memperdalam buku-buku tentang fiqh (hukum
Islam), usul fiqh (pengetahuan tentang sumber-sumber dan sistem jurisprudensi
Islam, hadis, adab (sastra Arab), tafsir tauhid (teologi Islam), tarikh (sejarah
Islam), tasawwuf dan akhlaq (etika Islam). Untuk menempuh mata-mata pelajaran
tersebut diperlukan guru-guru yang cukup terdidik dan cukup berbobot dan
diperlukan pula pendidikan yang lebih sistematis. Ini dapat diperoleh di pesantrenpesantren. Untuk masa sekarang mereka dapat memperolehnya pada Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) atau perguruan tinggi Islam lainnya.
Menurut Dhofier (1994: 19) di Jawa, pengajian yang diselenggarakan di
rumah-rumah guru ngaji di langgar atau di mesjid merupakan tempat memberikan
pelatihan atau pendidikan elementer tradisional bagi seorang Jawa untuk dapat
mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan kewajiban sembahyang lima
waktu dan membaca Qur’an.
Dalam periode sekarang sistem pengajian seperti disebut di atas telah
dilengkapi dengan bentuk sekolah formal, yaitu madrasah. Jumlah lembagalembaga pengajian dan madrasah yang selalu cukup banyak disebabkan oleh
adanya dorongan perasaan kewajiban yang dibebankan oleh Allah dan dibarengi
oleh penghargaan yang tinggi dari masyarakat kepada guru-guru pengajian dan
25
disamping itu tebalnya keyakinan pada orang-orang tua murid bahwa pendidikan
dasar tersebut merupakan kewajiban.
Di jaman kolonial lembaga pengajian dan madrasah dibiayai oleh
masyarakat sendiri, sedangkan kebanyakan madrasah pada waktu sekarang
dibantu sepenuhnya atau sebagian oleh pemerintah. Kebanyakan anak-anak
belajar tidak lebih dari hal-hal tersebut, yaitu sekedar dapat mengerjakan
sembahyang dan membaca Qur’an yang mereka tidak ketahui artinya dan juga
tidak dapat membaca buku-buku tentang Islam. Dalam zaman sekarang, dengan
tersedianya buku-buku tentang Islam dalam Bahasa Indonesia, banyak di antara
mereka yang kemudian berusaha menambah pengetahuan mereka tentang Islam.
Digambarkan Steenbrink (1986: 63), ketika diperkenalkan dengan lembaga
pendidikan yang lebih teratur dan modern, lembaga pendidikan tradisional
ternyata tidak begitu laku dan banyak ditinggalkan siswa nya. Seperti yang terjadi
pada lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau, surau, misalnya
mengalami kemerosotan karena ketika ada pembaruan sistem pendidikan. Bahkan
surau sekarang sudah punah dan ketika didirikan lembaga pendidikan Islam
tradisional disana, tidak lagi menggunakan nama surau tetapi menamakannya
pesantren. Hal ini diperkuat oleh Azyumardi Azra (1997: ix-xi) dalam temuannya
yang menyimpulkan bahwa sejak dilancarkan perubahan atau modernisasi
pendidikan Islam di berbagai kawasan dunia Muslim, tidak banyak lembaga
pendidikan Islam tradisional yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap
setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum.
Studi pendahuluan yang telah dilaksanakan melalui kajian-kajian pustaka
yang telah ada menunjukkan bahwa tulisan tentang ini masih sangat langka
26
bahkan hampir tidak ada tulisan yang cukup konfrehensif yang menggali tentang
institusi pengajian khusunya di Kalimantan Selatan. Kajian yang banyak
dilakukan oleh ahli pada umumnya lebih banyak mengkaji tentang institusi
pendidikan lainnya seperti pesantren dan madrasah.
Salah satu tulisan yang cukup lengkap yang mengkaji tentang pesantren
dengan segala seluk beluk didalamnya termasuk proses pembelajarannya adalah
tulisan Zamakhsyari Dhofier (1994) yang berjudul Tradisi Pesantren. Dalam
tulisan ini Dhofier menunjukkan bahwa pesantren hingga sekarang masih
memiliki vitalitasnya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan
pengetahuan Islam.
Sejauh ini peneliti sendiri sudah melakukan studi pendahuluan dengan
melakukan penelitian sederhana yang menghasilkan tulisan singkat berupa artikel
tentang gambaran umum pengajian yang berkembang di Martapura. Selanjutnya
akan ditindaklanjuti dengan melakukan pendataan lebih teliti tentang pengajian
yang berkembangsaat ini. Di samping itu peneliti juga melakukan penelusuran
pustaka tentang model-model pembelajaran secara teoritis untuk dapat digunakan
sebagai pengarah dalam studi di lapangan agar proses pengumpulan data terarah
dan sistematis. Langkah berikut adalah analisis data untuk menghasilkan sebuah
uraian diskriptif dan konprehensif.
27
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bukan sekedar upaya diskriptif tentang eksistensi iinstitusi
pengajian tetapi lebih jauh adalah upaya untuk menemukan dan menganalisis
pola-pola pembelajaran yang berlangsung di institusi ini. Lebih khusus tujuan dari
penelitian ini adalah menggali model pembelajaran yang berlangsung di insrtitusi
Pengajian dan Majelis Zikir Hajjah Nafsiyah yang bertempat di Jalan Sekumpul
Gang Bersama Kelurahan Sekumpul Martapura Kabupaten Banjar.
B. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
khususnya untuk menambah kajian konseptual tentang institusi pengajian serta
teori pola pembelajaran sosial di lembaga pendidikan Islam tradisional
khususnya di pengajian
2. Praktis
a. Institusi Pemerintah
Penelitian ini akan memberi gambaran tentang peran penting lembaga
pengajian sebagai sebuah institusi pendidikan alternatif berbasis kearipan
local. Gambaran ini akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam
membangun
b. Perguruan Tinggi
28
Penelitian ini akan menambah hasanah perbendaharaan pengetahuan serta
pustaka tentang lembaga pengajian sebagai suatu institusi pendidikan
berbasis kearifan local ditengah masih sangat langkanya tulisan tentang
institusi ini. Tulisan ini melengkapi banyaknya tulisan tentang lembaga
sejenis yaitu lembaga pesantren yang sudah cukup banyak dikaji oleh para
ahli.
29
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hal ini karena metode
kualitatif relatif dapat menganalisa realitas sosial secara mendalam. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain (Moleong, 2006: 6).
Pengajian sebagai sebuah institusi tentu memiliki dinamika yang berbedabeda. Untuk mengungkapkan dinamika tersebut dibutuhkan pendalaman atas
aktifitas, proses dan dinamika yang terjadi dalam lembaga pengajian. Metode
penelitian kualitatif digunakan untuk mempelajari, membuka dan mengerti apa
yang terjadi di belakang setiap fenomena yang baru sedikit diketahui. Oleh karena
itu metode penelitian kualitatif dipandang cocok untuk dapat mengungkap
dinamika pengajian serta tindakan orang-orang yang terlibat didalamnya baik itu
jamaah pengajian maupun tuan guru sebagai pemberi materi.
Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang peran lembaga
pengajian
sebagai
salah
satu
institusi
pendidikan
tradisional
dalam
mengembangkan nilai-nilai sosial di kalangan perempuan Banjar, maka penelitian
mengadopsi pendekatan kualitatif yang menekankan pada usaha untuk mencari
keunikan-keunikan masing-masing individu yang ada dalam institusi sebagai
producer of reality. Untuk itu, penelitian ini menggunakan wawancara yang
mendalam, panjang dan terbuka. Cara seperti itu, memungkinkan peneliti untuk
30
memberikan kesempatan yang luas bagi informan untuk mengungkapkan
pandangan- pandangannya menurut perspektif yang mereka yakini.
Penelitian ini banyak diwarnai oleh pendekatan grounded theory yang
menempatkan peneliti sebagai orang yang belajar dari informan dan menjadikan
diri peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Martapura khususnya di Kecamatan
Martapura Kota Kabupaten Banjar dimana di wilayah ini terdapat beberapa
institusi pengajian yang berkembang. Wilayah ini dipilih karena di wilayah ini
dapat ditemukan tidak kurang dari 4 lembaga pengajian yang dilaksanakan oleh
para pemuka agama baik laki-laki maupun perempuan. Dalam penelitian ini hanya
dipilih satu institusi pengajian yaitu pengajian Haji Nafsiyah.
Pengajian ini merupakan salah satu institusi pengajian yang cukup unik
karena baik peserta/jamaah maupun tuan guru yang memberi pengajaran adalah
seorang perempuan. Pengajian ini juga sudah cukup lama hadir sebagai sebuah
institusi pembelajaran dan masih terus berkembang hingga sekarang dengan
jumlah jamaah yang terus meningkat. Dari studi pendahuluan diketahui bahwa
jamaah pengajian ini mencapai sekitar 500 orang yang berasal dari sekitar wilayah
Martapura, Banjarbaru dan Binuang.
Selain itu, Martapura merupakan kota yang oleh beberapa tulisan disebut
sebagai kota ulama dan kota santri. Hal ini dikaitkan dengan banyaknya tokoh
agama yang lahir dari kota ini yang kemudian mereka meneruskan proses transfer
pengatahuan.
31
C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat mengumpulkan data dan informasi yang
diperoleh atau diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti
bertindak sebagai instrumen penelitian sekaligus pengumpul data. Dalam
penelitian ini, selain peneliti sendiri bertindak sebagai instrumen digunakan pula
instrumen selain manusia yang berfungsi sebagai pendukung tugas peneliti
sebagai instrumen. Oleh karena itu dalam penelitian ini, kehadiran peneliti dalam
penelitian dapat dikatakan sebagai pengamat partisipan, dimana peneliti yang
memiliki tugas sebagai orang yang terlibat langsung sebagaimana dimaksudkan
dalam fokus penelitian dapat dikatakan sebagai partisipan.
Alat bantu yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan penelitian ini
adalah:
a. Pedoman wawancara (interview guide)
Yaitu serangkaian pernyataan yang diajukan kepada aktor-aktor sumber dalam
penelitian.
Pengarah
wawancara
dipergunakan
dengan
maksud
agar
wawancara yang dilakukan sesuai dengan topik penelitian yang dilakukan
sesuai dengan topik penelitian yang ditetapkan dan pernyataan-pernyataan
yang akan diajukan tidak keluar dari jalur permasalahan.
b. Catatan Lapangan (field note)
Merupakan catatan penelitian dilapangan untuk mecatat hasil wawancara dan
pengamatan dari sumber data orang-orang yang terlibat dalam institusi
pengajian baik jamaah maupun tuan guru, khususnya jamaah dan tuan guru di
pengajian Guru Wildan dan Pengajian Ibu Hajjah Nafsiyah. Selain itu peneliti
32
juga akan menggunakan peralatan tulis menulis untuk mendokumentasi dan
untuk mencatat pendapat dari pihak-pihak yang bersangkutan.
D. Sumber Data
Sumber data adalah orang atau dokumen yang terkait langsung dengan
fokus permasalahan dalam penelitian dan bertindak sebagai sumber informasi dan
nara sumber. Dalam penelitian ini sumber datanya adalah :
a. Data primer: yaitu data yang digunakan peneliti langsung dari sumbernya
berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai.
Dalam hal ini data primernya adalah data yang didapat dari juamaah dan tuan
guru pengajian ibu Hajjah Nafsiyah.
b. Data sekunder : yaitu data tertulis yang lebih dahulu dikumpulkan dan
dilaporkan orang lain diluar peneliti. Data tersebut meliputi: dokumen atau
arsip yang ada relevansinya dengan fokus penilitian. Data sekunder diperoleh
dari instansi-instansi terkait seperti Departemen Agama, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) serta arsip-arsip internal yang mungkin dimiliki oleh jamaah
maupun tuan guru.
E. Tehnik Pengumpulan Data
Adapun prosedur pengumpulan data yang digunakan adalah tehnik yang
biasa digunakan dalam penelitian kualitatif diskriptif khususnya studi kasus.
Prosedur atau tehnik pengumpulan data yang dimaksud adalah cara yang
dipergunakan untuk mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam
melaksanakan penelitian ini, digunakan beberapa metode pengumpulan data,
sebagai berikut
a. Wawancara mendalam
33
Adalah usaha untuk memperoleh data atau informasi secara langsung guna
mendapatkan data-data yang berkaitan dengan subyek penelitian dengan
menggunakan pokok-pokok pertanyaan sebagai acuan
b. Observasi partisipasi
Dalam observasi ini peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang
sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil
melakukan pengamatan peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh
sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya (Sugiyono, 2009:310).
Observasi dilakukan di lokasi pengajian di Kelurahan Sekumpul, Kecamatan
Martapura Kota, Kabupaten Banjar. Peneliti berperan aktif serta terjun
langsung dalam kegiatan tersebut khusunya sebagai jamaah yang aktif
mendengarkan, menyimak dan mencatat berbagai hal yang terjadi di
pengajian.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui dokumen atau
arsip-arsip dari pihak terkait dengan penelitian. Menurut Gubah dan Licoln
dalam penelitian, karena sebagai sumber data ia bersifat stabil, data digunakan
sebagai bukti dalam suatu pengkajian, sifatnya yang alamiah sesuai dengan
konteks. Dengan demikian data dikumpulkan dari sejumlah sumber dokumen
data, seperti laporan, arsip, majalah, buletin dan sebagainya yang berhubungan
langsung dengan masalah yang sedang dilakukan penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan partisipasi observasi dan wawancara
mendalam (in-depth interview). Penggunaan metode ini bertujuan untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan apa yang oleh Sobary disebut
34
sebagai yang “ideal” dan yang “riil”. Partisipasi observasi, menurut Badgen dan
Taylor (dikutip Moleong, 2006: 3) mengarah pada usaha untuk mengungkapkan
latar belakang individu secara menyeluruh dan utuh.
Metode pertama adalah turun ke lapangan dan melibatkan diri dalam setiap
aktivitas pengajian yang dilaksanakan pada pengajian Sekumpul. Metode
observasi ini digunakan untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan pola
pembelajaran serta dinamika pengajian dan kegiatan yang mereka ikuti.
Penelitian yang hanya mengandalkan observasi tidaklah memadai, karena
tidak dapat mengungkapkan apa yang diamati dan dirasakan orang lain, karena itu
perlu dilengkapi dengan wawancara mendalam agar dapat memasuki dunia
pikiran dan perasaan informan (Nasution, 1992: 69). Metode wawancara ini
digunakan untuk data yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan, struktur
sosial mereka serta pandangan-pandangan mereka tentang pengajian itu sendiri.
Karena dengan wawancara inilah segala sesuatu yang dianggap ideal –dalam
pandangan agama mereka- dapat ditemukan.
F. Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan analisis data kualitatif yang meliputi
reduksi, penyajian dan verifikasi mengikuti proses analisis dari Miles dan
Huberman (2007). Adapun siklus dari keseluruhan proses analisis data oleh Miles
dan Huberman digambarkan dalam skema berikut.
35
SIKLUS PROSES ANALISIS DATA
Data
collection
Data display
Data reduction
Verifiying
Gambar 2. Komponen-Komponen Analisis Data: Model Interaktif
(Miles dan
Huberman, 2007:20)
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus
menerus selama penelitian di lapangan. Selama pengumpulan data
berlangsung, terjadi tahapan reduksi selanjutnya membuat ringkasan,
mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis
memo. Reduksi data/proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian
lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan rangkaian kalimat yang disusun secara logis dan
sistematis sehingga mudah dipahami. Kemampuan manusia sangat terbatas
dalam menghadapi catatan lapangan yang bias, jadi mencapai ribuan halaman.
Oleh karena itu diperlukan sajian data yang jelas dan sistematis dalam
membantu peneliti menyelesaikan pekerjaannya. Dalam penelitian ini peneliti
36
akan menyajikan data dalam bentuk uraian diskriptif dengan narasi yang
sistematis. Meskipun diuraikan dalam bentuk diskriptif namun penelitian ini
juga tidak menutup kemungkinan adanya data yang bersifat kuantitatif seperti
data tentang kuantitas jamaah jamaah maupun pertemuannya/
3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Penarikan kesimpulan sebagai dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh.
Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi
merupakan tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan dengan peninjauan
kembali sebagai upaya untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam
seperangkat data yang lain. Singkatnya, makna-makna yang muncul dari data
harus diuji kebenaranya, kekokohannya dan kecocokannya yakni yang
merupakan validitasnya.
G. Pengujian Keabsahan Data
Menurut Sugiyono (2009: 366) uji keabsahan data pada penelitian
kualitatif meliputi uji validitas internal (credibility), validitas eksternal
(transferability), reliabilitas (dependentbility), dan obyektivitas (confirmability).
Namun dalam penelitian ini hanya akan dilakukan uji validitas internal
(credibility). Uji validitas internal dilaksanakan untuk memenuhi nilai kebenaran
dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat
dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan.
Untuk hasil penelitian yang kredibel, maka dalam penelitian ini dilakukan
teknik pengujian validitas internal yaitu:
a. Triangulasi
37
Trianggulasi dalam pengujian kredibilitas adalah pengecekan data dari
berbagai sumber, berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam konteks ini
peneliti tidak hanya melakukan observasi pada saat berlangsungnya acara tapi
peneliti juga akan melakukan wawancara di waktu-waktu lain di luar jadwal
pengajian. Hal ini dimaksudkan agar sumber data yaitu informan lebih leluasa
memberikan informasi khususnya di waktu-waktu luang informan. Sumber
data atau informan juga akan dicari bukan hanya jamaah yang sering hadir
tetapi juga jamaah yang jarang hadir, baik yang tua maupun yang muda, baik
yang biasa duduk di deretan depan maupun yang di deretan belakang, baik
yang telah lama terlibat maupun yang baru bergabung. Hal yang terpenting
dalam pemilihan sumber data ini adalah berkaitan dengan kualitas data yang
diberikan oleh karena itu maka trianggulasi sumber menjadi penting untuk
dilakukan.
b. Menggunakan bahan referensi
Peneliti menggunakan pendukung rekaman wawancara untuk membuktikan
data penelitian. Selain itu berbagai bahan referensi baik yang berhubungan
dengan pendidikan maupun sosial juga digunakan untuk mendukung
kemudahan dan kelancaran proses penelitian.
38
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sekumpul: Sebuah Profil Kota Pengajian
1. Sejarah dan Dinamika Sekumpul
Secara formal, Sekumpul pada awalnya dikenal sebagai nama salah
satu jalan yang berada di wilayah kampung Sungai Kacang1. Jalan ini
memanjang mulai dari Jalan Ahmad Yani Km 38 hingga desa Indrasari dan
berujung di Kecamatan Matraman. Namun bagi penduduk sekitar kawasan ini,
Sekumpul lebih dikenal sebagai sebutan untuk wilayah sekitar komplek
Pengajian Guru Sekumpul dengan batasan yang sangat kabur. Namun sejak
tahun
2011,
Sekumpul
kemudian
dijadikan
sebagai
nama
wilayah
administratif sebagai bagian dari Kecamatan Martapura Kota yaitu Kelurahan
Sekumpul.
Di sekitar jalan Sekumpul terdapat sekitar selusin gang dengan lebar
sekitar tiga meter. Di sebelah utara kawasan ini berbatasan dengan kelurahan
Tanjung Rema yang merupakan wilayah yang menghubungkan Sekumpul
dengan pasar Martapura. Di sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan
Sungai Paring. Di sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Keraton yang
padat penduduk dan dibatasi oleh sebuah jalan besar propinsi yaitu Jalan
Ahmad Yani, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan desa Indrasari
yang sebagian besar wilayahnya relatif kering dan jarang penduduk.
1
Menurut Rosyadi dalam buku Bertamu ke Sekumpul (2004, 3), nama Sekumpul merupakan
pemberian dari Guru Sekumpul untuk menyebut kawasan hutan karamunting di sekitar Sungai Kacang.
39
Sekumpul berada dipinggiran Kota Martapura berbatasan dengan
Kabupaten Banjarbaru. Ia berjarak sekitar lima kilometer ke arah utara pusat
Kota Martapura, ibukota Kabupaten Banjar, dan sekitar lima kilometer ke arah
selatan dari pusat kota administratif Banjarbaru. Dengan hanya membayar tiga
ribu rupiah, orang dapat pergi ke pasar kota Martapura maupun pasar
Banjarbaru dalam waktu 10 menit dengan menggunakan angkutan kota (taksi
hijau) dari mulut jalan Sekumpul. Sekumpul dapat dilihat sebagai pintu
gerbang yang strategis tempat keluar masuknya orang, baik yang akan ke kota
Martapura serta Hulu Sungai maupun yang akan ke ibukota Banjarmasin dan
Banjarbaru. Jarak ke Banjarmasin sekitar 40 km yang bisa ditempuh dengan
menggunakan mobil dalam waktu satu setengah jam. Banjarmasin bisa dicapai
dengan menggunakan angkutan mobil antar kota, baik jurusan MartapuraBanjarmasin maupun Banjarmasin-Hulu Sungai. Mobil angkutan umum antar
kota yang digunakan di daerah ini adalah taksi kol,kendaraan Colt L 300
Gambar 5.1
Jalan Sekumpul
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2004
40
Pada awal tahun 1990-an, disepanjang jalan Sekumpul mulai dibangun
berbagai toko-toko kecil. Keadaan ini diawali dengan berdirinya sebuah
kompleks pengajian oleh tuan guru Haji Zaini Ghani atau guru Ijai atau lebih
akrab dipanggil Guru Sekumpul, yang kemudian diberi nama kompleks arRaudah. Kompleks ini terdiri dari kompleks perumahan berpagar semen
(beregol) sekelilingnya dengan sebuah pintu gerbang berbentuk menara
mesjid.
Gambar 5.2
Gerbang dan Kompleks ar-Raudlah Sekumpul
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2004
Masih pada bagian dalam
regol, di bagian barat mushalla berdiri
sebuah kompleks pemakaman yang dilengkapi dengan bangunan beratap
untuk lebih memudahkan orang yang akan berziarah ketempat ini. Dibagian
utara mushalla terdapat sebuah bangunan tempat tinggal para murid-murid
guru yang biasa mengurusi segala keperluan yang berhubungan dengan
pengajian ini. Di bagian selatan mushalla terdapat beberapa buah bak besar
berisi air yang dialirkan ke kran-kran yang berada disekeliling mushalla
menempel pada dinding-dinding regol.
41
Orang yang mengunjungi wilayah ini akan segera menyadari bahwa
Sekumpul secara fisik berbeda dari kampung-kampung di sekitarnya.
Sekumpul memiliki jalan aspal yang lebar dengan bangunan rumah-rumah
baru yang berderet di sepanjang jalan hingga ke dalam gang-gang kecil serta
bangunan-bangunan pertokoan dan kios yang juga tampak baru didirikan.
Jalan-jalan cukup bersih dan licin serta gang-gang yang dibuat cukup untuk
dilalui oleh sebuah mobil. Sebagian besar penghuni gang-gang ini adalah
kelompok ekonomi menengah ke atas dengan pengecualian beberapa rumah
yang berada agak jauh kedalam.
Rumah-rumah yang baru yang dibangun di sekitar Sekumpul ini juga
terasa bersahabat. Beberapa rumah tampak dibiarkan tanpa pagar, khususnya
rumah-rumah yang berada dekat kompleks pengajian. Bagi rumah yang
berpagar, mereka biasanya membiarkan sebagian pagar rumah mereka
terbuka. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi setiap orang
yang ingin menggunakan rumah atau bagian pelataran rumah tersebut sebagai
tempat sholat berjama’ah.
Seiring dengan didirikannya kompleks perumahan Guru Sekumpul
maka daerah ini mulai ramai oleh orang-orang yang bermaksud membeli tanah
atau membangun rumah di sekitar kompleks Guru Sekumpul. Keadaan ini
menyebabkan harga tanah di sekitar daerah ini terus melonjak dari tahun ke
tahun, semakin dekat posisi dan keberadaan tanah tersebut dengan rumah
Guru Sekumpul, maka semakin tinggilah harga tanah tersebut. Pada tahun
1990, harga tanah yang berjarak sekitar 50 meter dari kompleks Guru
Sekumpul hanya Rp.20.000,00 permeter, bahkan sebelum tahun 1990 harga
42
tanah di wilayah itu hanya Rp. 5000,00 permeter. Pada tahun 1992 tanah yang
berlokasi di pinggir jalan Sekumpul dan berjarak sekitar 200 meter dari
kompleks Guru Sekumpul hanya Rp. 100.000,00 permeter. Sekarang, seiring
dengan pesatnya perkembangan pengajian Sekumpul, harga tanah di wilayah
tersebut pun turut melonjak naik. Sekarang harga tanah di sekitar lokasi yang
terdekat dengan regol Guru Sekumpul tersebut telah mencapai antara Rp.
750.000,00 permeter hingga Rp.1.000.000,00 permeter. Harga ini tentu saja
sangat luar biasa untuk daerah Kalimantan yang masih memiliki lahan begitu
luas. Sementara harga tanah yang berada di wilayah Sungai Kacang, desa yang
bersebelahan dengan Sekumpul hanya berharga antara Rp.50.000,00 hingga
Rp.100.000,00 permeter persegi.
Sejak awal tahun 1990-an, penampilan fisik Sekumpul telah berubah
dramatis. Sekumpul sekarang menjadi satu bagian kota yang sangat
berkembang. Perkembangan yang dilatar belakangi oleh kehadiran sebuah
institusi keagamaan atau yang oleh Mc. Gee disebut sebagai “sacred city”,
kota yang pertumbuhan dan perkembangannya dilatarbelakangi oleh agama.
Disini sekarang telah berdiri 2 buah mini market. Di sepanjang jalan
Sekumpul kini telah berdiri berbagai bangunan toko, warung maupun kios
yang tidak saja menjual keperluan sehari-hari penduduk tetapi juga keperluankeperluan lainnya. Mulai dari toko kelontong, alat-alat listrik, bahan
bangunan, foto copy, warung makan, wartel, mini market, kios seluler,
perlengkapan jahit menjahit dan yang terbanyak adalah warung makan. Semua
ini merupakan simbol kekinian Sekumpul: simbol-simbol dari proses
proletarisasi desa serta memperlihatkan ‘agresivitas’ orang-orang Sekumpul.
43
Secara fisik, sebagian besar rumah penduduk yang tinggal di jalan
Sekumpul ini terbuat dari semen batako dengan arsitektur modern. Rumahrumah mewah ini memberi simbol bagaimana kekuatan ekonomi memainkan
peranan yang besar dalam kehidupan penduduk Sekumpul. Hal ini sedikit
berbeda dengan daerah sekitarnya yang kebanyakan terbuat dari kayu. Padahal
sebelum tahun 1990-an rumah di Sekumpul hampir seluruhnya terbuat dari
kayu, saat itu hanya ada sekitar 15 buah rumah yang dibangun di areal ini.
Kenyataan tentang rumah-rumah kayu yang dibangun sebelum tahun 1990-an
ini masih bisa ditemukan hingga sekarang. Selain itu, perabotan rumah yang
digunakan penduduk Sekumpul juga memperlihatkan bahwa para penghuninya merupakan kelompok ekonomi menengah ke atas. Sehingga tidak
mengherankan jika sebagian orang menganggap wilayah ini sebagai
“kampung urang sugih”.
Rumah-rumah di sekitar lokasi pengajian ini akan terasa berbeda dari
kebanyakan rumah penduduk di luar Sekumpul. Sebagian besar rumah-rumah
ini dilengkapi dengan kran-kran untuk mengambil air wudlu. Kran-kran yang
selalu mengalirkan air ini berjejer menempel di dinding rumah yang terletak di
depan atau disamping rumah dengan jumlah antara tiga hingga sepuluh buah.
Selain itu, jika orang memasuki rumah-rumah ini akan selalu tampak
beberapa foto Guru Sekumpul, baik foto beliau sendirian maupun foto Guru
Sekumpul bersama tuan rumah2. Foto-foto ini selalu dipajang di ruang depan
rumah dengan ukuran yang besar, sehingga setiap orang yang berkunjung akan
2
Foto Guru Sekumpul bersama tuan rumah ini mulai nampak ramai terlihat sejak ahir tahun
90-an, ketika Guru Sekumpul memberikan kesempatan para jama’ahnya untuk mushafahah
(bersalaman) dan kegiatan ini diakhiri dengan foto bersama antara Guru Sekumpul dengan orang yang
telah mushafahah dengan guru
44
dapat menyaksikan foto-foto ini. Pemajangan foto Guru Sekumpul ini tidak
hanya berlangsung di rumah-rumah penduduk sekitar Sekumpul tetapi juga di
rumah-rumah orang Banjar pada umumnya. Toko tekstil, toko bangunan,
hingga warung-warung makan juga memajang foto tuan guru kharismatisk ini,
melebihi pemajangan foto penguasa negeri ini.
Gambar 5.3
Kran-kran Wudhu di Rumah Penduduk: Simbol Agama di Sekumpul
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Untuk melakukan perjalanan keluar maupun masuk wilayah Sekumpul,
penduduk yang tidak memiliki fasilitas kendaraan bermotor pribadi dapat
menggunakan jasa tukang becak, ojek maupun mikrolet (taksi kota) yang
sesekali lewat di daerah Sekumpul. Para tukang ojek ini umumnya mangkal di
muara jalan Sekumpul. Tukang becak, selain mereka mangkal di muara jalan
Sekumpul mereka juga mangkal di muara-muara gang yang ada di sekitar
jalan Sekumpul. Taksi kota hanya sesekali masuk daerah ini, khususnya pada
jam-jam berangkatnya para murid Pesantren Darussalam yaitu sekitar jam
09.00 pagi. Pada jam-jam tersebut Sekumpul akan terlihat lebih sibuk, baik
45
oleh para santri Darussalam yang akan berangkat ke sekolah maupun oleh para
pedagang yang akan berangkat menuju ke pasar tempat mereka berjualan.
Selain penduduk asli Martapura, wilayah Sekumpul juga banyak
didiami oleh para pendatang dari berbagai daerah di Hulu Sungai hingga
Kalimantan Tengah dan Timur. Kemasyhuran Guru Sekumpul membuat nama
daerah Sekumpul menjadi tambah populer. Kepopuleran nama Sekumpul juga
sering digunakan untuk menamai sebuah produk atau menjadi merek dagang.
Bahkan, P.T. Mandrapura Aditama, menjadikan Sekumpul sebagai merek
dagang untuk produk air mineral dalam kemasan. Kejayaan air merk
Sekumpul ini berhasil mengalahkan pesaingnya, semisal Aqua dan Club,
setidaknya untuk kawasan Martapura dan sekitarnya.
2. Struktur Sosial Masyarakat
Ada banyak hal yang menentukan posisi dan status seseorang di
Sekumpul, diantaranya asal-usul geneologis, asal usul bubuhan, kapasitas
keagamaan serta kehidupan ekonomi. Struktur sosial tertinggi di Sekumpul
ditempati oleh para tuan guru. Penempatan status sosial yang tinggi bagi tuan
guru karena mereka dianggap memiliki banyak pengetahuan agama serta
merupakan penuntun moral masyarakat. Menurut Sobari (1999: 80), ulama
dan tuan guru memperoleh posisi prestisius dalam masyarakat bukan karena
memiliki wewenang formal melainkan karena kelebihan intelektual mereka.
Baik ulama maupun tuan guru biasanya dianggap sebagai pemimpin moral,
keagamaan, sosial dan kadang-kadang politis.
Di Sekumpul, tuan guru yang paling utama dan paling dihormati
adalah Tuan guru Zaini atau Guru Sekumpul. Setelah itu adalah para tuan
46
guru yang telah dikenal masyarakat karena kepandaian dan penguasaanya
terhadap pengetahuan tentang Islam. Selain karena kepandaiannya dalam ilmu
agama, beberapa tuan guru dihormati juga karena asal-usul geneologisnya
sebagai keturunan dan pewaris ilmu dari tokoh tuan guru terkenal
sebelumnya. Guru Sekumpul mendapatkan penghormatan yang besar dari
masyarakat karena ia dianggap menguasai banyak ilmu agama. Ia juga pernah
mangaji (berguru atau menuntut ilmu agama) pada beberapa ulama terkemuka
baik lokal, nasional maupun internasional. Jama’ahnya yang banyak mencapai
puluhan ribu pada setiap pengajian yang diadakan di Sekumpul tambah
memperkuat eksistensi Guru Sekumpul sebagai seorang tuan guru.
Tugas
ulama
menurut
Horikoshi
(1987:
149)
adalah
untuk
mengajarkan doktrin agama, yaitu seperangkat nilai-nilai untuk membimbing
tingkah laku moral anggota-anggota masyarakat. Dalam masyarakat Banjar
tradisional pengakuan terhadap seorang tuan guru didasarkan pada kriteria
lamanya masa menuntut ilmu di tanah suci Mekkah, atau paling tidak berguru
pada tuan guru-tuan guru lokal yang dianggap sangat ‘alim dalam berbagai
cabang ilmu agama, khususnya dalam perihal ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu
batin. Selain itu, pengaruh seorang tuan guru juga ditentukan oleh seberapa
besar kharisma yang dimiliki oleh tuan guru, serta berapa banyak jumlah
jama’ahnya (Syadzali, 2003: 54).
Menurut Syadzali (2003: 54), meskipun tanpa institusi (pendidikan
khusus seperti pesantren), kedudukan para tuan guru dalam masyarakat Banjar
tradisional tergolong dominan, sebagai gantinya adalah majelis pengajian.
47
Jenis pengajian yang berkembang tergantung pada orientasi tuan guru dan
kecenderungan masyarakat yang berkembang pada saat itu.
Habib yang dianggap sebagai keturunan nabi dan dianggap sebagai
orang yang sholeh dan alim juga memilki status yang tinggi dalam struktur
sosial masyarakat Sekumpul. Ketinggian status mereka dapat dilihat dari
posisi tempat duduk mereka dalam kegiatan pengajian yang dilaksanakan di
Sekumpul. Dalam majlis pengajian para habib umumnya mendapat tempat
duduk di barisan paling depan sejajar dengan Guru Sekumpul dan mereka juga
mendapat kesempatan untuk memimpin pembacaan do’a maupun raw3i.
Dalam beberapa kegiatan sosial keagamaan di lingkungan Sekumpul, para
tuan guru dan habib ini juga sering dimintai bantuan oleh penduduk untuk
memimpin upacara keagamaan serta menbacakan doa penutup dalam setiap
kegiatan. Mereka juga selalu ditempatkan di barisan paling depan diruang
utama pusat tempat berlangsungnya sebuah ritual keagamaan.
Tingkatan selanjutnya ditempati oleh para pemegang kekuasaan
pemerintahan kampung, yang terdiri dari ketua Rukun Tetangga (RT) dan
ketua Rukun Warga (RW). Mereka merupakan wakil terendah dari
pemerintahan sipil di Indonesia. Ketua RT maupun RW biasanya bertindak
sebagai pemegang kendali administrasi kampung. Keberartian mereka tampak
terlihat jelas pada aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan administrasi
kampung seperti pembuatan surat keterangan tidak mampu (miskin), atau
ketika berlangsung kegiatan-kegiatan seremonial nasional seperti peringatan
17 agustus atau pemilihan umum.
3
Rawi adalah sejarah atau cerita para nabi dan ulama yang kehidupannya dianggap layak
untuk diteladani.
48
Para birokrat kampung ini biasanya bekerjasama dengan kelompokkelompok pengajian yang ada di Sekumpul untuk mengkoordinir berbagai
kegiatan keagamaan besar yang diadakan di Sekumpul seperti pada acara haul
dan nisfu sya’ban. Mereka mengkoordinir pengumpulan dan pendistribusian
dana penduduk untuk membantu tersedianya berbagai fasilitas yang
dibutuhkan dalam acara-acara tersebut seperti tenda, bak-bak penampungan
air, pengeras suara, saluran wudlu, lokasi dan petugas parkir, wc darurat
hingga pembersihan kampung. Di Sekumpul, ketua RT merupakan arena
“perebutan kekuasaan” bagi para pegawai negeri. Pegawai negeri dianggap
lebih pantas menempati jabatan ketua RT, karena mereka diyakini lebih
mengerti persoalan administrasi dan politik pemerintahan. Sedangkan ketua
kelompok pengajian atau arisan menjadi ‘lahan’ para tuan guru. Posisi para
pedagang kaya dalam hal ini selalu menjadi rebutan dua kelompok
kepentingan di atas. Mereka selalu diperebutkan untuk ditempatkan pada
posisi bendahara. Status ekonomi telah menempatkan mereka pada posisi yang
prestisius.
Kelompok sosial lainnya adalah masyarakat awam pada umumnya
yang terdiri dari para pedagang, pegawai negeri, pensinan, petani serta
wiraswasta. Kelompok ini dalam struktur sosial di Sekumpul cenderung
memiliki posisi yang sama. Kecuali itu, status sosial mereka akan meningkat
jika mereka dianggap memiliki ‘kelebihan’. Beberapa hal yang dapat
mempengaruhi dan meningkatkan status seseorang diantaranya tingkat
kealiman dan keberhasilan. Kealiman biasanya diukur dari keahlian dalam
bidang ilmu agama dan tingkat pelaksanaan rukun Islam (paibadat).
49
Sedangkan keberhasilan diukur dari tingkat kepemilikan kekayaan serta
penggunaan
kekayaan
tersebut
untuk
kepentingan
agama
seperti
melaksanakan ibadah haji dan bersedekah. Untuk itu beberapa orang yang
memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri atau pedagang terkadang juga
mendapat penghormatan yang tinggi di masyarakat karena mereka dianggap
alim, memiliki keahlian dalam bidang agama, dapat memimpin pelaksanaan
kegiatan-kegiatan keagamaan atau karena mereka memiliki kekayaan (urang
sugih) yang banyak mendermakan dan menyedekahkan hartanya untuk
kegiatan-kegiatan keagamaan.
Orang asli Martapura dalam kehidupan keseharian di Sekumpul
cenderung memiliki status yang lebih tinggi dari pendatang, khususnya
mereka yang memang memiliki hubungan geneologis dengan Guru Sekumpul.
Status yang lebih tinggi yang dimiliki oleh orang asli Martapura ini,
disebabkan karena mereka dianggap satu bubuhan dengan Guru Sekumpul,
yaitu bubuhan Martapura dan mereka dianggap lebih dahulu berguru dan
memiliki keterikatan dengan Guru Sekumpul. Mereka juga dianggap sebagai
“orang dekat” Guru Sekumpul karena dalam beberapa hal mereka sering
dipanggil dan dimintai bantuan oleh keluarga Guru Sekumpul. Dalam
beberapa hal, seseorang harus berhubungan dengan mereka ini terlebih dahulu
ketika akan berhubungan dengan Guru Sekumpul, karena tidak semua orang
dapat berinteraksi langsung dengan Guru Sekumpul, Rumah kelompok ini
umumnya berada dilapis pertama dari kompleks pengajian Guru Sekumpul,
berhimpitan langsung dengan tembok (regol) kompleks ar-Raudlah.
50
Para pendatang akan mendapatkan status yang lebih tinggi dalam
struktur sosial masyarakat Sekumpul jika ia dinggap memilki banyak
pengetahuan agama Islam (alim) atau karena ia memiliki kemampuan
ekonomi yang lebih (sugih) dan sering mendermakan hartanya untuk kegiatan
keagamaan. Syarat yang belakangan ini biasanya dimiliki oleh golongan
pedagang. Para pedagang kaya yang sering memberikan sumbangan terhadap
kegiatan keagamaan akan mendapat simpati dari masyarakat. Dalam hal ini
menjadi orang alim dan menjadi orang sugih menjadi dambaan penduduk,
karena hal tersebut dapat menaikkan status sosial mereka di masyarakat.
Para pendatang meskipun secara fisik tempat tinggal mereka tidak
mengelompok tetapi ikatan kekeluargaan mereka sebagai sesama pendatang
yang datang dari satu daerah atau biasa disebut sebagai satu bubuhan, lebih
kuat. Dalam beberapa hal mereka cenderung berkomunikasi maupun meminta
bantuan kepada bubuhan mereka sendiri.
B. Dinamika Pengajian di Sekumpul
Pengajian4 sebagai sebuah institusi pendidikan informal di daerah ini
telah mentradisi sejak abad ke-185. sehingga berbicara tentang daerah ini maka
4
Pengajian merupakan sebuah institusi yang memiliki peranan besar dalam proses identifikasi
seseorang di daerah ini. Pengajian juga merupakan cikal bakal dari lahirnya sebuah institusi pengajaran
yang kemudian dikenal dengan punduk pesantren di daerah ini. Sistem pengajian yang pada mulanya
dikenalkan oleh seorang penghulu dari Demak, Khatib Dayyan ini kemudian dikembangkan oleh
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary menjadi suatu sistem yang mendekati institusi pesantren. Ia
mengembangkan suatu model belajar mengajar baru dimana pengajian yang sebelumnya dilaksanakan
di rumah, mushalla atau istana raja kemudian dilaksanakan dalam suatu kompleks yang ada mushalla,
tempat belajar mengajar dan asrama untuk para santri (Daud, 1997: 54).
5
Pengajian yang dilaksanakan pada masa itu oleh para tuan guru khususnya mereka yang baru
kembali dari Mekkah seperti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menandai dimulainya suatu proses
intensifikasi penyebaran Islam di daerah ini Lihat A Hafiz Anshari, ZA., “Peran Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari di dalam Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan” dalam Majalah Ilmiah
51
tidak akan dapat dipisahkan dari institusi ini dan berbicara mengenai
Sekumpul, maka tidak bisa dilepaskan dari pengajian yang dilaksanakan oleh
Kyai Haji Zaini Abdul Gani atau Guru Sekumpul6.
Pengajian ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari pengajian yang
sebelumnya sudah dilaksanakan oleh Guru Sekumpul di tempat tinggal
sebelumnya di Mushalla Darul Aman Kelurahan Keraton, bahkan kegiatan
pengajian ini merupakan kegiatan yang telah diwariskan secara turun temurun
oleh para ulama Banjar sebelumnya. Pengajian adalah sebuah institusi dimana
seorang guru -biasanya merupakan orang yang alim dan memiliki pengetahuan
agama yang luas, keluaran pondok pesantren atau mangaji duduk –
mengajarkan berbagai ilmu agama, baik tauhid, fiqh, maupun tasawwuf
dengan acuan sebuah kitab yang dianggap mu’tabaroh kepada muridmuridnya. Pengajian biasanya dilakukan secara rutin baik di mesjid, langgar
maupun di rumah guru yang bersangkutan. Pengajian dapat diikuti oleh
siapapun, tanpa memandang usia, latar belakang pendidikan maupun status
seseorang. Murid hanya cukup datang dan mendengarkan apa yang
disampaikankan oleh guru. Bagi yang telah mengerti tulisan Arab akan
membawa kitab yang diajarkan guru, sehingga selain mendengarkan dia juga
menyimak isi kitab. Proses ini dilakukan secara monolog sehingga tidak ada
tanya jawab antara murid dan guru.
Keagamaan dan Kemasyarakatan Khazanah, Vol. I, No. 1, Januari-Februari 2002. Banjarmasin: IAIN
Antasari, hlm. 19.
6
Sapaan akrab “Guru Sekumpul” dimulai sejak Kyai Haji Zaini Abdul Ghani mulai
menempati tempat tinggal baru di wilayah jalan Sekumpul. Di tempat lain, panggilan akrab kyai ini
cenderung berbeda-beda. Ada yang menyapa dengan sebutan Guru Ijai dan Guru Zaini. Bahkan orangorang yang telah menjadi anak angkat Guru Ijai menyebutnya dengan sebutan Abah Guru. Bagi
sebagian warga Martapura, terutama warga asli, sapaan Guru Ijai dianggap sedikit “kasar’. Karenanya
mereka lebih suka menggunakan sapaan Guru Sekumpul.
52
Pengajian yang dilaksanakan oleh Guru Sekumpul terdiri dari
pengajaran tasawwuf (sufisme), fiqh (hukum Islam) dan tauhid (teologi).
Dalam materi ini diajarkan diantaranya tentang berbagai sikap dan sifat baik
yang patut di contoh. Diantaranya adalah sikap hidup zuhud yang berorientasi
pada ajaran tarikat Sammaniyah dan Syekh besar Abdul Qodir Zailani, yaitu
zuhud dalam pengertian askese duniawi, intensifikasi pengabdian agama
dengan kegairahan kerja bukan melarikan diri dari dunia. Dalam pengajian ini
disampaikan pula bahwa sebagai orang Islam “memperkaya diri” adalah
bagian dari upaya membuktikan bahwa Islam itu kaya dan bahkan mampu
menyaingi Cina7. Akumulasi modal tidak dilarang tetapi harus digunakan
untuk kepentingan syi’ar agama8.
Pada saat kondisi sehat biasanya Guru Sekumpul akan menyampaikan
pengajian dari mushalla al- Raudhah, langsung berhadapan vis to vis dengan
murid-muridnya. Namun jika kondisi beliau sedang kurang sehat maka
pengajian akan disampaikan dari rumah dan diliput oleh saluran televisi
Sekumpul. Jama’ah atau murid-murid cukup mengikuti pengajian lewat
televisi yang disediakan di mushalla dan di rumah-rumah penduduk sekitar
yang menyiarkan kegiatan tersebut.
7
Penyebutan khusus terhadap Cina tampaknya terkait dengan anggapan bahwa Cina
merupakan pesaing ekonomi terberat dan mereka adalah orang kafir yang tidak boleh dibiarkan
menjadi kaya melebihi orang Islam. Anggapan bahwa orang Cina sebagai orang kafir ini menyebabkan
perlawanan terhadap etnis ini lebih besar dibanding etnis lain yang juga banyak menguasai pasar
seperti Arab dan India.
8
Guru Sekumpul sendiri telah mempraktekkan ajaran ini. Ia membangun mushalla rumah
yang megah serta memilki mobil yang bagus. Ia juga melengkapi mushallanya dengan berbagai
perlengkapan yang bagus mulai dari hambal (permadani), air conditioner (AC), kipas angin, lampulampu hias serta mimbar dengan ukiran-ukiran yang elegan.
53
Pengajian Guru Sekumpul sebagian besar diikuti oleh orang-orang
dengan usia antara 12 hingga 60-an tahun dengan latar belakang pendidikan
dan pekerjaan yang berbeda-beda, mulai dari santri, mahasiswa, dosen,
pedagang, pegawai negri dan swasta, petani, pensiunan, guru agama, bahkan
pejabat pemerintahan. Pengajian untuk laki-laki dipisahkan dengan pengajian
untuk perempuan berdasarkan hari yang berbeda. Berkaitan dengan volume
dan waktu pelaksanaan, pengajian ini telah beberapa kali mengalami
perubahan intensitas dan waktu pelaksanaan. Sampai dengan akhir bulan Juni
2004, pengajian ini hanya melaksanakan satu kali pengajian untuk laki-laki
yaitu pada hari minggu sore dilanjutkan dengan pembacaan maulud pada
malam harinya serta satu kali pembacaan burdah pada kamis malam.
Sebelumnya pengajian ini dilaksanakan dua kali dalam seminggu. Satu kali
untuk laki-laki dan satu kali untuk perempuan.
Pengajian perempuan berlangsung setiap hari Sabtu dan laki-laki hari
Minggu. Selain pengajian, pada setiap minggu malam diadakan pembacaan
maulid habsyi dan pada kamis malam dilakukan pembacaan burdah yang
hanya diikuti oleh jama’ah laki-laki. Pada saat berlangsung pengajian lakilaki, suasana Sekumpul terasa seperti suasana di sebuah pondok pesantren
dimana laki-laki dengan pakaian putih berkain sarung serta kopiah haji putih
nampak hilir mudik dengan menenteng kitab di tangan. Sedangkan pada
pengajian perempuan, pakaian yang mereka kenakan lebih variatif, kecuali
menutup aurat, pakaian yang dikenakan para jamaah perempuan ini biasanya
berbeda antara satu dengan lainnya baik dari segi bentuk maupun warna.
Suasana pada pengajian perempuan juga cenderung lebih ramai oleh
54
banyaknya para pedagang musiman dan oleh anak-anak kecil yang
diikitsertakan oleh ibu mereka ke pengajian.
Sejak pertengahan tahun 2003 pengajian untuk perempuan mulai
ditiadakan, sehingga hanya tinggal pengajian laki-laki yang berlangsung satu
minggu satu kali setiap minggu sore setelah sholat asar. Sedangkan
pembacaan burdah yang berlangsung setiap kamis malam masih terus
dilaksanakan. Menurut penduduk, pemberhentian pengajian perempuan lebih
disebabkan karena kesalahan jama’ah sendiri yang cenderung tidak mengikuti
kaidah-kaidah serta aturan main tak tertulis yang telah diketahui bersama
berkaitan dengan larangan-larangan untuk tidak melakukan hal-hal yang telah
diperingatkan oleh guru, seperti kesopanan dalam berpakaian dan kesopanan
dalam bertingkah laku. Dalam beberapa kesempatan pernah disampaikan
bahwa perempuan yang mau mengikuti pengajian diharapkan untuk tidak
menggunakan celana panjang karena hal itu dianggap menyerupai laki-laki.
Selain itu, pada jam-jam pengajian dilarang mondar mandir berseleweran di
jalan yang memungkinkan bertemunya laki-laki dan perempuan dalam satu
majlis (tempat).
Pengajian yang diadakan oleh Guru Sekumpul sangat menarik minat
tidak saja dari orang-orang sekitar Martapura tetapi juga dari luar Martapura
bahkan hingga luar Kalimantan. Mereka yang cukup memiliki kemampuan
finansial akan membangun rumah baik untuk tempat tinggal tetap, maupun
rumah persinggahan yang hanya ditempati pada saat-saat ada aktivitas
pengajian. Namun bagi yang kurang mampu atau karena alasan-alasan khusus
pekerjaan, mereka cukup datang pada saat-saat dilaksanakan pengajian.
55
Orang-orang tipe ini akan berangkat dari kota tempat mereka tinggal secara
berkelompok dengan menggunakan angkutan khusus yang akan mengantar,
menunggui hingga membawa kembali mereka pulang ke daerah masingmasing.
Gambar 5.4
Suasana Pengajian Laki-laki di Sekumpul
Sumber: Dokumen Pribadi
Namun sejak tahun 2005 Pengajian guru Sekumpul tidak dilaksanakan
lagi seiring dengan wafatnya Guru Sekumpul pada tanggal 10 Agustus 2005,
Namun pengaruh dan dampak dari kehadiran pengajian tersebut masih dapat
dirasakan hingga sekarang. Kehidupan di wilayah Sekumpul tampak lebih
religius dibanding wilayah-wilayah sekitarnya. Aktifitas keagamaan masih
cukup inten dilaksanakan di wilayah ini baik ritual sembahyang berjamaah
maupun pembacaan maulid di malam-malam tertentu. Mushalla al-Raudhah
sebagai mushalla yang berada dalam kompleks guru Sekumpul masih ramai
dikunjungi baik untuk melakukan sholat lima waktu berjamaah maupun untuk
56
kegiatan ritual pembacaan mauled yang masih secara rutin dilaksanakan setiap
minggu malam dan kamis malam.
Sepeninggal Guru Sekumpul kemudian mulai bermunclan pengajianpengajian yang digagas oleh para tuan guru yang dahulunya mereka tidak
membuka majlis pengajian dikarenakan mereka lebih memilih menjadi jamaah
pengajian guru Sekumpul. Bahkan pada tahun 2006 lahir juga sebuah institusi
pengajian yang digagas oleh Ibu Nafsiyah yang sekaligus bertindak sebagai
guru yang member materi dan mengisi kegiatan di pengajian tersebut.
Pengajian ini agak berbeda dengan kebanyakan pengajian yang berkembang di
Martapura karena pengajian ini dilaksanakan oleh perempuan dengan jamaah
perempuan.
C. Pola Pembelajaran di Pengajian Perempuan Sekumpul
Sejarah proses pelaksanaan pengajian ini diawali oleh keinginan seorang
qoriah (orang yang pandai melantunkan ayat Al-Quran) untuk mempelajari agama
secara mendalam khususnya fiqih dan ibadah. Hal ini dilatari oleh kesadaran akan
kurangnya pengetahuan agama yang ia miliki karena latar pendidikan yang bukan
berasal dari sekolah agama, sementara lingkungan pergaulannya dalam
kapasitasnya sebagai seorang qariah menuntutnya untuk memiliki pengetahuan
agama yang lebih baik. Keinginan itu disambut baik oleh Ibu Hajjah Nafsiyah
yang bersedia memberi pendidikan dan pengajaran secara informal dan privat.
Keinginan ini juga diikuti oleh ketertarikan beberapa orang dekat ibu Nafsiyah
untuk juga turut serta dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
57
Pada awal pelaksanaan pengajian ini hanya diikuti oleh dua orang,
beberapa hari kemudian beberapa orang yang mengetahui kegiatan ini tertarik ikut
serta sehingga pengajian ini menjadi semakin banyak diikuti. Hingga akhir tahun
2013 tidak kurang dari 700 orang yang terdaftar sebagai jamaah majelis zikir ini.
Dalam setiap minggu pelaksanaan kegiatan ini rata-rata dihadiri 400 hingga 500
jamaah. Kehadiran jamaah dapat diketahui dari sistem presensi kehadiran yang
berfungsi unuk mengetahui banyaknya jumlah jamaah. Hal ini diperlukan karena
dalam pembecaan zikir, kuantitas banyaknya hitungan zikir yang harus dibaca
setiap orang sangat tergantung dari berapa banyak jamaah yang hadir.
Di awal penyelenggaraan, saat pengajian hanya diikuti beberapa orang
kegiatan pengajian dilaksanakan setiap hari, namun seiring dengan semakin
banyaknya peserta maka pengajian kemudian dilaksanakan satu minggu sekali
pada kamis sore setelah sholat asar. Beberapa tahun kemudian pengajian berubah
jadwal menjadi senen sore setelah sholat asar. Namun jika ada tambahan kegiatan
lain seperti perayaan maulid nabi (kelahiran nabi) atau ada pembacaan manakib
(sejarah) tokoh-tokoh agama, maupun ritual haul (setahun kematian) tokoh-tokoh
agama, maka biasanya jadwal kegiatan lebih diawalkan, yaitu siang setelah sholat
zuhur. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan memiliki waktu yang lebih
panjang karena ada tambahan acara tersebut dan acara masih tetap dapat diakhiri
sebelum tiba sholat magrib.
58
Gambar 5.5
Suasana Pengajian Perempuan di Gang Bersama Sekumpul
Sumber: Dokumen Pribadi
Materi yang disampaikan di pengajian Hajjah Nafsiyah pada awalnya
diarahkan pada pembelajaran pengetahuan keagamaan melalui pembacaan
kitab Hidayatus Salihin karangan Syaikh Abdus Samad Palimbangi,
pembacaan manakib (sejarah), akhlak (moral), fiqh (hukum) dan aqidah
(theology).
Metode yang digunakan dalam pengajian ini menggunakan sistem
ceramah dimana murid atau jamaah mendengar seorang guru membaca,
menerjemahkan, menafsir, menerangkan dan mengulas buku atau kitab yang
sedang dipelajari. Kitab yang digunakan bisa berbahasa Arab dan bisa juga
berbahasa Indonesia dengan aksara Arab atau yang dalam tradisi pesantren
disebut sebagai Arab Melayu. Setiap murid memperhatikan buku mereka
sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun penjelasan) tentang
59
kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Catatan juga bisa berupa amalan atau
zikir yang dapat mereka praktekkan sebagai bagian dari manivestasi praktek
sebuah pengetahuan. Sistem ini dalam tradisi pesantren di Jawa seperti ditulis
Dhofier (1994: 28).biasa disebut dengan sistem bandungan atau weton.
Pengajian ini dapat dikatakan sebagai pengajian tingkat lanjut, karena
pelajaran tidak lagi sekedar pengetahuan berupa hafalan-hafalan, ataupun
pelajaran mengenal huruf alphabet Arab tetapi sudah diarahkan pada
pemahaman. Sebagaimana ditemukan oleh Dhofier (1994: 20) dalam
penelitiannya tentang pendidikan Islam tradisional bahwa bentuk paling
rendah dari sebuah sistem pengajian bermula pada waktu anak-anak berumur
kira-kira 5 tahun, menerima pelajaran dari oran tuanya menghafalkan beberapa
surat pendek dari berbagian (juz) Quran yang terakhir. Setelah berusia 7 atau 8
tahun mulai diajarkan membaca alphabet Arab dan secara bertahap diajar
untuk dapat membaca Qur’an.
Pada pengajian Hajjah Nafsiyah ini, pengajaran diarahkan pada upaya
memahami berbagai pengetahuan agama baik itu fiqh (hukum Islam), tauhid
(teologi) dan tasawwuf dan akhlak (etika Islam). Dengan harapan peserta atau
jamaah dapat mengemplementasikan berbagai pengetahuan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun kitab yang diajarkan adalah Hidayatus Salikin,
sebuah kitab karangan Abdussamad Alpalimbangi ditulis dengan hurup Arab
berbahasa Melayu. Kitab ini banyak membahas tentang tauhid, fiqh dan
tasawwuf.
Meskipun pada umumnya sistem pengajian dilengkapi dengan sekolah
formal berupa madrasah seperti ditemukan oleh Dhofier (1994: 19), namun di
60
pangajian dan majelis zikir ini tidak dilengkapi dengan sekolah formal.
Pengajian ini hanya memfokuskan kajian pada pengajaran ilmu-ilmu agama
khususnya tauhid, fiqih dan tasawwuf. Pengajian ini juga dalam pembiayaan
sepenuhnya dibiayai oleh masyarakat sendiri tanpa ada bantuan pemerintah.
Kebanyakan orang-orang yang belajar pada pengajian bertujuan untuk
mengetahui berbagai aturan ibadah agar dalam pelaksanaan ajaran Islam tidak
menyimpang atau salah, seperti mengerjakan sembahyang dan aturan-aturan
menbersihkan diri serta mengetahui bacaan-bacaan dan doa-doa saat shalat.
Pengajian ini juga merupakan pengajian tingkat lanjut, di pengajian ini
tidak lagi diajarkan tentang baca tulis Qur’an maupun hafalan surah pendek
seperti pada umumnya bentuk pengajian paling rendah atau awal. Semua
jamaah diasumsikan telah mempelajari hal tersebut dan dianggap telah
melewati tahapan awal tersebut. Meskipun pada kenyataannya masih ada
beberapa jamaah dengan latar belakang pendidikan agama yang kurang, tidak
memiliki kemampuan baca Qur’an yang baik. Selain itu pengajian ini juga
bukan merupakan pengajian tingkat tinggi yang mengajarkan baca tulis Arab
seperti pada umumnya pesantren. Hal ini disebabkan karena tujuan
pembelajaran di pengajian ini bukan dimaksudkan agar jamaah dapat
membaca dan menterjemahkan buku atau kitab klasik yang ditulis dalam
bahasa Arab tetapi hanya untuk member pemahaman tentang berbagai ajaran
agama.
61
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengajian Hajjah Nafsiyah merupakan pengajian yang lebih diarahkan
pada pemberian pemahaman tentang pengetahuan agama dengan harapan agar
dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari. Dengan kata lain, pengajian ini
bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan tentang ibadah kepada murid atau
jamaah
Kajiannya hanya terbatas kepada pengetahuan praktis yang dapat langsung
dijalankan oleh murid atau jamaah yang meliputi pengetahuan tauhid, fiqih dan
tasawwuf serta akhlak. Metode pembelajaran dilakukan dengan cara bandongan
dimana guru membacakan materi disertai penjelasan kepada sekelompok orang,
sementara murid menyimak pembelajaran sambil memberi catatan terhadap
beberapa penjelasan.
Pengajian ini tanpa dilengkapi sekolah formal, kegiatan hanya diarahkan
pada zikir dan pembelajaran dengan menggunakan kitab tertentu yang dipelajari
secara berkelanjutan dengan intensitas pertemuan satu minggu sekali. Pembiayaan
pengajian ini sepenuhnya dibiayai oleh masyarakat. Adapun tujuan pembelajaran
di pengajian ini bukan dimaksudkan agar jamaah dapat membaca dan
menterjemahkan buku atau kitab klasik yang ditulis dalam bahasa Arab seperti
pada umumnya di pesantren tetapi hanya untuk memberi pemahaman tentang
berbagai ajaran agama.
62
B. Saran
Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki peran tinggi dalam
pemberian pemahaman pengetahuan keagamaan dalam rangka pembentukan
karakter yang baik maka pemerintah melalui instansi terkait dapat memberi
dukungan baik dalam bentuk materi maupun fasiltas pendukung lainnya. Karena
sebagaimana lembaga pendidikan lainnya lembaga pengajian juga tidak terlepas
dari berbagai kendala tehnis terkait keterbatasan sarana dan prasarana.
63
DAFTAR PUSTAKA
Anshary, Hafiz. 2002a. “Islam di Selatan Borneo Sebelum Kerajaan Banjar”, (Orasi
Ilmiah yang disampaikan dalam rangka pembukan kuliah semester ganjil
tahun 2002/2003 IAIN Antasari, Senen 2 September 2002), Banjarmasin:
IAIN Antasari. hlm 14-24.
Anwar, Ali. 2008. “Eksistensi Pendidikan Islam Tradisional di Tengah Arus
Modernisasi Pendidikan Studi terhadap Kelangsungan Madrasah Hidayatul
Mubtadiin Lirboyo Kediri Jawa Timur” dalam Irwan Abdullah (ed.) Agama
Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Arend, R.I. 1989. Learning to Teach. New York. McGraw-Hill
Azra, Azyumardi. 1997. Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan dalam Nurcholis
Majid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina
Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa
Kebudayaan Banjar, Jakarta: Rajawali Pers
Dhofir, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES
Eggen PD, Kauchak & Harder. 1979. Strategies for Techers: Information Processing
Models in The Classroom. Prentice Hall PTR
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya
Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial di Jawa Barat. Jakarta: P3M
Isjoni, 2009. M.Si,Ph.D, Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan
Komuniksi Antar Peserta Didik, Yogyakrta: Pustaka Pelajar
Joyce, Weil & Calhom. 2000. Model of Teaching. Pearson Education International
Lie, Anita. 2002. ”Cooperative Learning : Mempraktikan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas”. Jakarta : PT. Gramedia.
Mile and Huberman, 1994. Kualitative Data Analysis. Sage Publication
64
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Nasution, 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Penerbit Tarsito.
Noer, Deliar. 1983. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali
Rahim, Husin. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos
Rosyadi, Ahmad. 2004. Bertamu ke Sekumpul. Martapura: Lembaga Pengkajian Ilmu
Pengetahuan dan Keislaman Kabupaten Banjar.
Sobary, Mohammad.1999. Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya
Steenbrink, Karel. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern. Jakarta: LP3ES
Sugiono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta.
Syadzali, Ahmad. 2003. “Tradisi Mangaji Duduk dalam Masyarakat Banjar”. Jurnal
Kebudayaan Kandil. Edisi 3, Tahun I, Desember 2003. Banjarmasin: LK-3.
hal 50-60.
Zuhairini, et. Al., 1985. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara-Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
65
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. JADWAL PENELITIAN
Penelitian dengan judul “Pola Pembelajaran di Institusi Pengajian (Studi atas
Pengajian dan Majelis Zikir Hajjah Nafsiyah Sekumpul Martapura) ini berlangsung
selama 3 bulan dengan 10 minggu efektif. Adapun rincian jadwal penelitian sebagai
berikut:
Bulan/Minggu keNo.
Kegiatan
Agustus
September
1 2 3 4 1 2 3 4
November
1
2
x x x x
x
3
4
x
x
Persiapan
1
a. Perizinan
b. Pembuatan proposal
x
x
Pelaksanaan
2
a. Pengumpulan Data
b. Analisis Data
c. Pembuatan Laporan
x x x x x
66
Lampiran 2. PEMBIAYAAN PENELITIAN
No
1
Komponen Pembiayaan
Biaya (Rp)
Transportasi, Akomodasi dan Konsumsi
a. Sewa Mobil PP Banjarmasin-Martapura @
Rp. 250.000
b. Akomodasi selama satu bulan
c. Konsumsi pengumpulan data 8 orang 10
hari @ 45.000
Jumlah
2
3
Rp. 500.000,Rp. 750.000,Rp. 3.600.000,-
4.850.000,-
Bahan Habis Pakai
a. Katrit hitam 1 buah @ 132.200
Rp. 132.200
b. Tinta hitam Canon botol 1 pak @ 180.000
Rp.180.000
c. Kertas HVS A4 3 rim @ 35.000
Rp. 105.000
d. Buku kerja 8 buah @ 12.000
Rp. 96.000
e. Ballpoin 1 pak @ 25.000
Rp. 25.000
f. Flashdisk 8 buah @ 35.000
Rp.280.000
Jumlah
818.200
a. Pembuatan dan Penggandaan Laporan 16
eksemplar @ Rp. 21.250
340.000
Jumlah
340.000
Jumlah keseluruhan anggaran
6.008.200
Penggandaan dan Publikasi
67
Lampiran 3. PERSONALIA PENELITI
1. Ketua Pelaksana
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin
c. NIP
d. Disiplin Ilmu
e. Pangkat dan Golongan /
f. Jabatan Fungsional
g. Fakultas / Jurusan
h. Waktu untuk Kegiatan Ini
:
:
:
:
:
:
:
:
Alfisyah, S.Ag. M.Hum
Perempuan
197400805 200604 2002
Ilmu Sosial
Penata/ IIIc
Lektor
FKIP / PIPS
100 Jam/minggu
2. Anggota Pelaksana
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin
c. NIP
d. Disiplin Ilmu
e. Pangkat dan Golongan /
f. Jabatan Fungsional
g. Fakultas / Jurusan
h. Waktu untuk Kegiatan Ini
:
:
:
:
:
:
:
:
Sigit Ruswinarsih, S.Sos. M.Pd
Perempuan
19700126 200501 2001
Ilmu Sosial
Penata Muda Tk. I/ IIIb
Asisten Ahli
FKIP / PIPS
100 Jam/minggu
3. Anggota Pelaksana
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin
c. NIP
d. Disiplin Ilmu
e. Pangkat dan Golongan /
f. Jabatan Fungsional
g. Fakultas / Jurusan
h. Waktu untuk Kegiatan Ini
:
:
:
:
:
:
:
:
Lumban Arofah, S.Sos. M.Sc
Laki-laki
19801129 200501 1002
Ilmu Sosial
Penata / IIIc
Lektor
FKIP / PIPS
100 Jam/minggu
4. Anggota Pelaksana
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin
c. NIP
d. Disiplin Ilmu
e. Pangkat dan Golongan /
f. Jabatan Fungsional
g. Fakultas / Jurusan
h. Waktu untuk Kegiatan Ini
:
:
:
:
:
:
:
:
Tutung Nurdiyana, S.Sos. MA
Perempuan
19761021 200501 2004
Ilmu Sosial
Penata / IIId
Lektor
FKIP / PIPS
100 Jam/minggu
5. Anggota Pelaksana
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin
: Yuli Apriati, S.Sos. M.Si
: Perempuan
68
c.
d.
e.
f.
g.
h.
NIP
Disiplin Ilmu
Pangkat dan Golongan /
Jabatan Fungsional
Fakultas / Jurusan
Waktu untuk Kegiatan Ini
:
:
:
:
:
:
19840416 200812 2 006
Ilmu Sosial
Penata Muda/ IIIa
Tenaga Pengajar
FKIP / PIPS
100 Jam/minggu
6. Anggota Pelaksana
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin
c. NIP
d. Disiplin Ilmu
e. Pangkat dan Golongan /
f. Jabatan Fungsional
g. Fakultas / Jurusan
h. Waktu untuk Kegiatan Ini
:
:
:
:
:
:
:
:
Syahlan Mattiro,S.H M.Si
Laki-laki
19800309 200912 1 001
Ilmu Sosial
Penata Muda Tk. I/ IIIb
Tenaga Pengajar
FKIP / PIPS
100 Jam/minggu
7. Anggota Pelaksana
a. Nama Lengkap
b. Jenis Kelamin
c. NIP
d. Disiplin Ilmu
e. Pangkat dan Golongan /
f. Jabatan Fungsional
g. Fakultas / Jurusan
h. Waktu untuk Kegiatan Ini
:
:
:
:
:
:
:
:
Nasrullah, S.Sos.I MA
Laki-laki
19790526 200912 1 001
Ilmu Sosial
Penata Muda Tk. I/ IIIb
Tenaga Pengajar
FKIP / PIPS
100 Jam/minggu
8. Anggota Pelaksana
i. Nama Lengkap
j. Jenis Kelamin
k. NIP
l. Disiplin Ilmu
m. Pangkat dan Golongan /
n. Jabatan Fungsional
o. Fakultas / Jurusan
p. Waktu untuk Kegiatan Ini
:
:
:
:
:
:
:
:
Yusuf Hidayat, S.Sos. M.Si
Laki-laki
19760520 200501 1001
Ilmu Sosial
Penata Muda Tk I/ IIIb
Tenaga Pengajar
FKIP / PIPS
100 Jam/minggu
Download