Awal Artis Memasuki Periklanan Indonesia

advertisement
SEJARAH PERIKLANAN INDONESIA
Berawal dari Gerobak Sapi
Pada tahun 1930an, banyak poster dan papan reklame ditempel pada panel
samping gerobak sapi yang hilir mudik mengangkut barang. Pada masa itu, kebanyakan
papan reklame dicetak diatas lembar plat seng atau logam yang cukup tebal. Banyak
pula yang dilapis enamel agar tahan lama. Setelah tahun 1948, ketika bahan ”ajaib”
yang bernama scothlite ditemukan banyak pula papan reklame yang menggunakan
scothlite tadi karena mampu memantulkan cahaya dengan efek mengagumkan. Plat-plat
seng reklame itu kini merupakan kolekters item yang berharga di pasar benda-benda
antik. Ketika itu, produk yang paling banyak diiklankan melalui media luar ruang
bergerak (moving outdoor media) antara lain adalah produk-produk ban sepeda dari
goodyear dan michelin, produk sabun dan tapal lidi dari unilever, limun (soda pop)
merek regional, dan produk rokok dari berbagai produsen, termasuk cerutu impor.
Media opportunity pada waktu itu memang sangat terbatas, tetapi orang-orang
periklanan sudah sangat kreatif menggunakan setiap peluang yang ada-termasuk media
tradisional. Belum terbayangkan ketika itu bahwa jauh di kemudian hari kreativitas
iklan telah melahirkan berbagai media untuk menempatkan iklan diluar ruang. Transit
advertising telah menjadi sub bisnis besar dalam periklanan. Sisi-sisi bus dan kendaraan
umum dipasangan panel iklan, atau spanduk yang ditarik pesawat terbang rendah,
bahkan penutup velg roda (hubcaps) maupun lampung punggung taksi. Tetapi, gajah di
thailand yang sejak dulu sering ”ditempeli” papan iklan, sampai di zaman modern ini
pun masih menjadi media iklan yang efektif. Surat kabar, tentu saja, merupakan media
yang juga populer di indonesia sejak pertengahan awal abad ke 19. tetapi, berdasarkan
kriteria umumnya sebetulnya iklan surat kabar sudah hadir di indonesia sejak tahun
1621 ketika gubernur jenderal Jan Pieterszon Con (1619-1629) menerbitkan Memorie
De Nouvelles pamflet informasi semacam surat kabar yang memuat berbagai berita dari
pemerintah hindia belanda, khususnya yang menyangkut mutasi dan promosi para
pejabat penting di kawasan ini. Pamflet ini berupa tulisan indah (silografi) yang
diperbanyak dengan mesin cetak temuan Johannes Gutenberg (1445).
Berita-berita yang dimuat itu sebetulnya merupakan iklan karena pemuatannya di
Memorie De Nouvelles sepenuhnya di biayai oleh pemerintah hindia belanda. Sekalipun
sangat berbau perbenturan kepentingan (conflict of interest, bahasa masa kini = KKN),
tetapi sang gubernur jenderal Con adalah juga penerbit media itu dan sekaligus memiliki
reclame Bureau yang megatur pemuatan ”berita di pamflet itu”. Con juga memakai
Memorie de Nouvelles untuk memuat ”berita dengan pesan khusus ” untuk melemahkan
daya saing peniaga portugis di kawasan maluku. Tentu saja, ada VOC dibelakang siasat
perang dagang itu. Pada tahun 1744, terbitlah surat kabar pertama yang memakai
teknologi cetak tinggi, dengan (plat cetak dari timah) di nusantara. Namanya :
Bataviaasche Nouvelles. Tetapi, surat kabar yang juga disponsori oleh pemerintah
hindia belanda pada masa gubernur Jenderal Gustaav Willem Baron Van Imhovv itupun
sebetulnya lebih merupakan lembaran iklan karena memang lebih banyak menampilkan
iklan dan dibiayai hampir sepenuhnya oleh pendapatan iklan pula. Maklum, surat kabar
pada waktu itu hanya bertiras paling banyak hanya 2500 eks. Sehingga penghasilan
sirkulasinya tentulah sangat sedikit.
Dari berbagai surat kabar yang terbit di jakarta, bandung, semarang, surabaya,
makasar, manado, dan medan pada pertengahan abad ke 19, dapat dilihat hadirnya
berbagai iklan barang dan jasa yang memenuhi halaman-halaman media cetak.
Beberapa nama koran besar di masa itu antara lain adalah: Bataviaasch Nieuwsblad,
Nieuws van de Dag, Java Bode (batavia), Preanger Bode (Bandung), De Locomotief
(semarang, semula Samarangsche Nieuws en Advertentieblad), Nieuwe Vorstenlanden
(solo), Soerabaiasche Courant (Surabaya, semula Oostpost), Makassararsche Courant
(makasar), Tjahaja Siang (manado), Sumatra Post (Medan), dan Soematra Bode
(padang).
Selain itu, telah mulai hadir pula berbagai surat kabar dalam bahasa melayu
(sebelum kemudian menjadi bahasa indonesia sejak 1928.) surat kabar berbahasa
melayu yang populer pada masa itu antara lain adalah Medan Moeslimin, Medan Prijaji,
Sinar de Jawa, Sinar Terang, dan Soerat Kabar Minggoean. Kebijaksanaan kontrol
informasi yang diterapkan sangat ketat oleh pemerintah hindia belanda pun membuat
surat kabar tidak dapat menjalankan fungsinya secara penuh sebagai lembaga
pemberita. Peran pers indonesia sebagai alat politik baru muncul pada awal abad ke 20
seiring dengan kegerakkan kebangkitan nasional dan lahirnya ordonasi pers yang
mengatur pembredelan surat kabar.
Di zaman ”kuda gigit besi” itu, ikaln-iklan juga ramai diudarakan melalui radio,
diproyeksikan di gedung bioskop dan ditampilkan melalui pertunjukan keliling (mobil
propaganda) mirip tukang obat yang hingga kini masih banyak dijupai di berbagai kota
kecil. Iklan radio sebetulnya mash merupakan sebuah novelty pada awal bad ke-20
setelah radio commercial pertama dikumandangkan oleh stasiun WEAV di New York
City pada 28 Agustus 1922. Sebuah perusahaan real estate di Quinsboro membayar US
$50 untuk penyuaran pesan komersial selama 5 hari. Adventertie poenza kaperloean
soedah kentara , kerna advertentie perloenja boeat perkenalken barang-barang dagangan
kita ada publiek. Kaloe barang jang kita dagangken tidak dikenal, bagaiman bisa
dapatken pembeli
Liem Kha Tong
Sebelum iklan hadir di radio, pesan komersial sudah lebih dulu hadir melalui
saluran telepon. Pada tahun 193, perusahaan telepon di Hongaria ”menjual spot 12 detik
di antara musik dan berita yan dipanarkan lewat telepon dengan tarif sekitar US $0.50.
Perusahaan telepon AT&T di Amerika Serikat juga pada awal abad ke-20 menerima
pesan-pesan komersial yag dipancarkan melali cara call broadcasting ini. Di Indonesia,
radio sudah dikenal sejak awal abad ke-20. Tidak lama setelah Guglielmo Marconi
menemukan gelombang suara dan mengembangkannya menjadi alat komunikasi yang
bernama radio telegrafik, dan keudian berkembang lagi menjadi pemancar dan penerima
gelombang radio. Radio Nederland WERELDOMROEP yang memancarkan siarannya
ke seluruh dunia sejak taun 1920-an. Merupakan pemancar yang paling digemari kaum
elite, khususnya orang-orang belanda di Indonesia pada waktu itu.
Akan tetapi, radio swasta baru muai hadir cikal bakalnya di Indonesia sejak akhir tahun
1960-an, yitu sejak tumpasnya pemberontakan G30 S/PKI. Sebelumnya, di Indonesia
hanya dienal RRI yang telah mengudara sejak tahun 1945. RRI sendiri dapat dirunut
sejarahnya sejak stasiun radio bentukan pemerintah Hindia Belanda yang dikendalikan
oleh tentara pendudukan jepang.
Pada awalnya, beberapa mahasiswa di Bandung secara iseng-iseng mengudara
dengan pemancar sederhana berkekuatan rendah. Pada waktu itu mereka menyebutnya
sebaga radio amatir sebuah istilah yang salah kaprah kaena engertian amateur radio
menjeaskan kegiatan yang berbeda dengan teknologi radio dua arah.
Kata “amatir” disini agaknya dipakai sebagai antonym dari “professional.”
Stasiun-stasiun radio “amatir” ini meruakan bagian dari perlawanan politik kaum muda
terhadap sisa-sisa PKI. Sebelumnya, mereka juga telah melakukan perlawanan dengan
membentuk lascar dan batalyon, seperti LAskar Arif Rachman Hakim yang merupakan
onderboue dari KAMI. Maka, lahirlah radio ARH dan radio-radio semacam itu di
Indonesia.
Gerakan itu dengan cepet menyebar ke Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.
Radio Prambors kini telah mengembangkan jejarinnya dengan beberapa anak
perusahaan stasiun radio yang masing-masing memiliki pasar khas di jalan Borobudur,
Jakarta Pusat, juga dapat dirunut sejarahnya pada periode itu.
Kehadiran radio-radio ”Amatir” itu segera mendapat lirikan para pengiklan yang
memang sedang membutuhkan media alternatif. Salah satu perintis pengguna radio
”amatir” di Indoesia sebagai media iklan adalah Ajino moto. Embanjirnya iklan di
radio kemudian meningkatkan profesionalisme para pengelola radio ”amatir” apalagi
karena pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah no.55 tahun 1970
yang ewajibkan semua stasiun radio siaran niaga dipayungi dalm wadah badan hukum
berbentuk PT. Sejak saat itu, istilah ”radio amatir” berubah menjadi ”radio siaran
swasta niaga”.
Perintis Periklanan Indonesia
Sejarah memang membuktikan bahwa iklanlah yang mengembuskan nafas awal
bagi kehidupan surat kabar di Indonesia. Pada masa-masa awal keidupan pers Indonesia
dan keadaan ini berlanjut hingga awal abad ke-20 surat kabar tidak lain adalah
advertentieblad (media iklan) belaka. koran (dari bahasa Belanda: het krant, dan dari
bahasa perancis: courant ), sebagian besar isi beritanya adalah iklan tentang
perdagangan, pelelangan, dan pengumuman resmi Pemerintah Hindia Belanda. Sesuai
dengan khalayaknya, iklan disurat kabar menampilkan produk-produk yang merupakan
konsumsi kelas atas. Misalnya, sebuah toko P&D (provisien en dranken= kebutuhan
makanan dan minuman) yang mengumumkan datangnya kapal dari Negeri Belanda
membawa mentega dan stok keju baru. Cerutu dan bir juga merupakan komoditas impor
di masa itu, dan sering muncul diiklankan di surat kabar. Pada masa itu, mobil malah
jarang muncul di iklan surat kabar. Mungkin karena masih merupakan seller’s market
dan pembeli mobil malah harus antre sebelum mobil yang dipesan didatangkan dari
negri jauh. Berbeda sekali dengan kondisi pasar kendaraan bermotor yang sangat
kompetitif di masa sekarang.
Pada awal abad ke-20 perusahaan terbesar pada saat itu, Aneta, mendatangkan
tiga orang tenaga spesialis periklanan dari Negeri Belanda. Mereka adalah: F. Van
Bemmel, Is van Mens, dan Cor van Deutekom. Mereka didatangkan atas sponsorship
BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij, perusahaan minyak terbesar saat itu) dan
General Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka. Van Bemmel
kemudian ditawari pekerjaan oleh pemilik surat kabar De Locomotief di Semarang unuk
mendirikan sebuah perusahaan periklanan. Tidak lama kemudian, Van Bemmel pun
hengkang dari perusahaan yang dirintisnya itu, dan kemudian mendirikan sendiri sebuah
perusahaan periklanan bernama NV Overzeesche Handelsvereniging untuk menangani
berbagai produk impor seperti mobil dan sepeda. Van Bemmel hanya perlu bekerja
selama 10 tahun di Indonesia, dan pulang kembali ke Negeri Belanda untuk
membangun sebuah Bank dari hasil keuntungan yang diraupnya selama berusaha di
Indonesia. Pada masa perintisan periklanan Indonesia, hampir semua perusahaan
periklanan merupakan afiliasi perusahaan media sesuatu yang di masa sekarang justru
dianggap sebagai perbenturan kepentingan. Pemilik surat kabar Java Bode, misalnya,
juga memilki sebuah perusahaan periklanan HM van Drop yang diawaki oleh seorang
bernama C.A Kruseman. Ia dianggap sebagai salah seorang perintis dalam periklanan di
Indonesia.
Menjelang akhir abad ke-19 perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki
dan dikelola oleh Cina keturunan mulai bermunculan. Resesi ekonomi yang melanda
dunia tahun 1890 rupanya berdampak sangat buruk bagi dunia usaha. Termasuk banyak
percetakan pers milik orang-orang Belanda. Peluang inilah yang ternyata mampu
dimanfaatkan oleh kelompok Cina keturunan. Pelopor periklanan dari kelompok ini
adalah Yap Goan Ho, yang memiliki perusahaan periklanan sendiri di Batavia. Yap
Goan Ho sebelumnya adalah seorang copywriter di perusahaan periklanan De
Locomotief. Perusahaan periklanannya diberi nama Yap Goan Ho, mulanya dikontrak
olah suratkabar berbahasa Melayu, Sinar Terang (terbit 1888-1891). Perusahaan
periklanan ini hanya bertahan tiga tahun, akibat bangkrutnya surat kabar Sinar Terang.
Iklan-iklan yang ditangani Yap Goan ho kebanyakan untuk produk buku.
Khususnya yang diterbitkan untuk masyarakat Cina. Setelah ditutupnya Sinar Terang,
Yap Goan Ho kembali berusaha mengembangkan sendiri perusahaan periklanannya.
Untuk itu dia mengumpulkan modal dari bekerja mencari iklan bagi beberapa
suratkabar. Dia mengkhususkan diri pada iklan-iklan pelelangan barang milik para
pejabat Belanda. Kebanyakan barang-barang milik para pejabat yang akan mengakhiri
masa jabatannya di Hindia Belanda. Iklan-iklan pelelangan ini utamanya ditujukan pada
khalayak pribumi, dan sebagian besar dimuat di suratkabar De Locomotief. Tokoh Cina
keturunan lain adalah Liem Bie Goan. Seperti juga Yap Goan Ho, perusahaan
periklanan Liem Bie Goan juga dikontrak oleh suratkabar. Suratkabar yang
mengontraknya adalah Pertja Barat yang terbit di Padang tahun 1890-1912. Iklan yang
menonjol dari perusahaan periklanan ini adalah produk pecah belah. Khalayak
sasarannya adalah penduduk Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Dari luar Jawa tercatat juga nama Kadhool sebagai tokoh lain periklanan.
Seperti Yap Goan Ho, dia juga mantan penulis naskah di perusahaan periklanan De
Locomotief. Kadhool sekolah di Hwee Koan, Cina. Perusahan periklanannya bernama
Firma Tie Ping Goan, namun dikelola dan dimiliki sendiri oleh Kadhool. Tidak ada
catatan mengapa nama perusahaan periklanan ini tidak menggunakan namanya. Di
duga, Tie Ping Goan adalah nama lain dari Kadhool. Iklan-iklan Tie Ping Goan
umumnya dipesan oleh suratkabar Tjaja Sumatra yang terbit dari tahun 1899-1933 di
Sumatera Timur (sekarang Riau). Produk-produk yang ditangani perusahaan periklanan
Kadhool kebanyakan hotel-hotel di sekitar Bandung. Bagi masyarakat Belanda masa itu,
daerah Bandung dikenal sebagai Parisj van Java (Paris-nya Pulau Jawa), sehingga
menjadi tempat peristirahatan sangat bergengsi bagi para pengusaha perkebunan Eropa
yang tinggal di Sumatera. Tie Ping Goan bertahan hingga terjadinya depresi ekonomi
tahun 1930. Rintisan yang banyak dilakukan oleh kelompok Cina keturunan ini,
menurut F. Wiggeres yang menulis dalam Pemberita Betawi, 1909, karena merekalah
yang sangat mementingkan perdagangan. Untuk dapat lebih berhasil, kata Wiggeres
pula, perdagangan tidak bisa lepas dari kebutuhan periklanan. Orang pribumi yang
memiliki percetakan dan suratkabar, baru pada tahun 1906 dengan munculnya NV
Medan Prijaji. Tiras suratkabar yang dipimpin oleh RM Tirto Adisoerjo ini utamanya
beredar di Batavia, Bogor dan Bandung. Suratkabar ini sebenarnya punya misi politik,
karena banyak memuat berita-berita tentang kebobrokan sistem kolonial. Dia sekaligus
memberi juga perlindungan hukum bagi kaum pribumi. Namun untuk menjaga
kelangsungan hidupnya, ia memerlukan juga perusahaan periklanan. Orang yang
mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji adalah Raden Goenawan.
Raden Goenawan, lulusan HIS (Holland Inlandsche School), Batavia, menjadi
teman dekat Tirto Adisoerjo sejak di sekolah itu. Selain dalam jabatan tersebut,
Adisoerjo dan Raden Goenawan juga merangkap bersama-sama menangani bidang
percetakan Medan Prijaji. Suratkabar ini mereka beri nama kecil Surat Kabar
Minggoean dan Advertentie.Raden Goenawan juga pernah bekerja di perusahaan
periklanan NV Soesman’s yang berkedudukan di Batavia. NV Soesman’s banyak
mengiklankan penyediaan tenaga kerja pendatang dari Jawa ke Sumatera Timur.
Raden Goenawan mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji sejak berdirinya
tahun 1906. Meskipun hanya mampu bertahan hingga tahun 1912, Medan Prijaji tercatat
memperoleh keuntungan sebesar f.75.000 pada tahun terakhir hidupnya.
Tokoh periklanan pribumi yang sangat patut diperhitungkan adalah Tjokroamidjojo.
Dia memimpin NV Handel Maatschppij dan Drukkerij “Serikat Dagng Islam”,
Semarang, yang menerbitkan suratkabar Sinar Djawa. Suratkabar ini merupakan
suratkabar pribumi yang dapat bertahan agak lama (1914-1924). Karir Tjokroamidjojo
dimulai dengan bekerja sebagai pembantu redaksi di suratkabar De locomotief pada
tahun 1906. Kemudian menjadi penulis naskah iklan di suratkabar Pemberita Betawi.
Pada tahun 1908 dia mendirikan perusahaan batik di Pekalongan. Dari hasil perusahaan
batik ini, dia membeli perusahaan penerbitan dan percetakan di Semarang. Perusahaan
periklanan Sinar Djawa tercatat sebagai satu-satunya perusahaan periklanan di Hindia
Belanda yang mempunyai “agen besar” (perwakilan) untuk benua Eropa dan Amerika.
Perwakilan ini berkedudukan di Societie Europeenne de Publicitie, 10 Rue de la
Victoire, Paris. Fungsi perwakilan ini pun cukup efektif dan bersifat timbal-balik. Yang
utama adalah untuk menangani komoditas impor dari Eropa dan Amerika. Namun juga
untuk mengiklankan tour keliling Jawa dengan kereta api, ataupun hotel-hotel Eropa di
Hindia Belanda. Laba usaha Sinar Djawa mengalami pasang surut. Merosot pada tahun
1915-1916, akibat terkena dampak Perang Dunia I, sehingga hanya mencapai f. 25.000
pada periode ini. Padahal pada tahun sebelumnya telah mencapai f. 45.000. Sepanjang
kepemimpinan Tjokroamidjojo hingga tahun 1924, Sinar Djawa berhasil menggaet total
keuntungan senilai f. 200.000,-.
M.Sastrositojo adalah pemilik dan pengelola perusahaan periklanan NV Medan
Moeslimin. Perusahaan periklanan ini mengkhususkan diri pada iklan-iklan produk
buku, terutama buku-buku yang dicetak oleh Albert Rusche & Co.. Buku-buku yang
diiklankannya pun khusus beraksara Jawa. Kebijaksanaan mengkhususkan pada iklaniklan buku ini dilakukan, untuk menyesuaikan diri dengan suratkabar Medan Moeslimin
yang memang dikhususkan untuk pembaca orang Jawa yang baru melek huruf. Itu pun
terbatas pada bacaan yang menggunakan aksara Jawa. Misi yang diemban Medan
Moeslimin tampaknya tidak dapat sepenuhnya ditunjang dari penghasilan usaha
periklanan. Karena tercatat adanya dukungan keuangan dari beberapa perusahaan batik
di Solo. Salah satu pendukung utama keuangannya adalah perusahaan batik milik Hadji
Misbach. M. Sastrositojo adalah lulusan HIS, yang kemudian magang selama 2 tahun di
perusahaan periklanan NV Doenia Bergerak, sebagai penulis naskah iklan.
Perusahaan Periklanan Perintis
Salah satu perusahaan consumer products yang aktif beriklan pada masa itu
adalah Unilever-amalgamasi perusahaan Margarine Union (Belanda) dan Lever
Brothers (Inggris)- yang sejak tahun 1933 telah membangun pabrik sabun di
Bacherachtsgracht, Batavia (sekarang Angke, Jakarta Barat). Setelah berdirinya pabrik
sabun itu,Unilever juga membangun pabrik margarin. Sebelumnya, produk-produk
Unilever diimpor langsung dari Negeri Belanda. Hadirnya Unilever juga kemudian
membawa masuknya cikal bakal Lintas (singkatan dari Lever International Advertising
Services) ke Nusantara. Semula, Lintas adalah divisi periklanan dari Lever Brothers,
sebelum kemudian berdiri sendiri menjadi perusahaan periklanan independen. Apa yang
dilakukan Lintas yang berlogo bola dunia pada masa-masa awal itu sebetulnya tidak lain
adalah melakukan adaptasi bentuk-bentuk iklan yang telah mereka luncurkan terhadap
produk-produk serupa di bagian dunia lainnya, serta melakukan media placement. Perlu
dicatat bahwa Lintas pada saat itu sudah memiliki keberanian membuat iklan dalam
bahasa daerah. Misalnya, iklan Margarine Blue Band dalam bahasa Sunda memakai
judul ”Pamoeda Sehat… Rajat Kiat” (Pemuda Sehat…Rakyat Kuat), dengan tagline
”Blue Band Mengandoeng Seueur Vitamin” (Mengandung Banyak Vitamin).
”Model organisasi” seperti Lintas itulah yang agaknya kemudian ditiru oleh beberapa
usahawan di Batavia dan kota-kota besar Indonesia lainnya. Sebelum masa
kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa perusahaan periklanan (ketika itu disebut
reclamebureau atau advertentiebureau) sudah beroperasi di Indonesia. Hingga masa
pendudukan Jepang, beberapa perusahaan periklanan ynag terkenal di Jakarta adalah,
antara lain:
–
A de la Mar, di Koningsplein (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara, dekat
Istana Merdeka),
–
Aneta (sebagai bagian dari kantor berita bernama sama), di Passer Baroe
(sekarang Museum LKBN Antara di Jalan Antara),
–
–
Globe, di Jalan Kali Besar Timur,
IRAB (Indonesia Reclame en Advertentiebureau), semula berkantor di
Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk), tetapi kemudian pindah ke Asem Reges
(kemudian menjadi Sawah Besar, sekarang Jalan KH Samanhudi),
–
Preciosa, di Gang Secretarie (kantor Sekretariat Negara sekarang, Jalan Veteran
IV ),
–
Elite
Hampir semua perusahaan periklanan itu dipimpin oleh orang-orang Belanda, kecuali
IRAB dan Elite yang diselenggarakan oleh kaum Bumiputra. Pada masa pendudukan
Jepang, terjadi perubahan lanskap periklanan Indonesia. Karena banyak warga Belanda
yang mengungsi-sebagian lagi ditawan maka kondisi vakum itu diisi dengan munculnya
berbagai perusahaan periklanan baru milik kaum pribumi. Sayangnya, tidak cukup
catatan tentang kehadiran perusahaan periklanan yang dijalankan etnis Tionghoa.
Padahal, dari mulut ke mulut kita sering mendengar bukti-bukti peran mereka dalam
perintisan periklanan Indonesia. Yang jelas, etnis Tionghoa sangat berperan dalam
menumbuhkan dunia persuratkabaran di Indonesia, sehingga dengan demikian dapat
dilihat pula keterlibatan mereka dalam periklanan secara langsung maupun tidak.
Sekalipun kebanyakan perusahaan periklanan baru itu berukuran kecil, tetapi tercatat
lima perusahaan periklanan yang berskala cukup besar, yakni Elite, RAB, Korra, Pikat,
Tandjoeng. Selama masa pendudukan Jepang, merosotnya aktivitas ekonomi ikut
mengkerdilkan dunia periklanan Indonesia. Setelah proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia, kepercayaan kepada Republik yang muda ini tampak dengan kembali
bergairahnya
kehidupan
perekonomian.
Sayangnya,
kecenderungan
itu
tidak
berlangsung lama karena Belanda mulai menggelar aksi militernya terhadap Indonesia.
Keadaan perekonomian pun redup kembali. Pemerintah Republik Indonesia sempat
hijrah ke Yogyakarta selama empat tahun. Keadaan ini berakhir setelah dicapainya
kesepakatan pengakuan kedaulatan dalam KMB pada akhir tahun 1949.
Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Jakarta menandai kebangkitan
baru perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan nasional mulai bertumbuhan,
seiring dengan masuknya kembali beberapa perusahaan multinasional. Perusahaanperusahaan Belanda yang semula mengungsi, pun kembali lagi melakukan usahanya.
Salah satunya adalah Unilever. Era baru itu juga disambut oleh Unilever dengan
meluncurkan berbagai produk baru. Dunia periklanan seakan berdarah kembali.
Beberapa perusahaan periklanan yang tercatat hadir di Jakarta pada masa itu antara lain
adalah: Azeta, Contact, Cotecy, De Unie, Elite, IRAB, Studi Berk, dan Titi. Pada awal
dasawarsa 1950’an yang paling banyak ditempatkan di dunia cetak adalah iklan obatobatan. Sayangnya, menjamurnya iklan obat-obatan itu tidak dibarengi dengan etika dan
tanggung jawab para insan periklanan. Banyak obat-obatan yang diiklankan itu
sebetulnya diragukan manfaatnya, atau malah membahayakan kesehatan penggunanya.
Keadaan yang nyaris lepas kendali ini akhirnya ditata dengan terbitnya ketentuan
Menteri Kesehatan pada tahun 1954 yang mengatur keharusan untuk mendapatkan
lisensi manfaat dan keselamatan obat sebelum dipasarkan, dan ketentuan agar iklan obat
harus menjelaskan manfaat obat secara jelas.
Kebangkitan Asosiasi Periklanan Indonesia
Menurut catatan, pada tahun 1951, istilah periklanan pertama kali diperkenalkan
oleh seorang tokoh pers indonesia, Soedarjo Tjokrosisworo, untuk menggantikan istilah
reklame atau advertensi yang ke belanda-belandaan. Senapas dengan semangat
kebangsaan itu, sebuah biro reklame di bandung yang sebelumnya bernama Medium,
juga mengubah nama menjadi Balai Iklan. Atas prakarsa beberapa perusahaan
periklanan yang berdomisili di Jakarta dan Bandung, pada awal September 1949
dilembagakan sebuah asosiasi bagi perusaaan-perusahaan periklanan. Asosiasi ini diberi
nama Bond van Reclamebureaux in Indonesia atau dalam bahasa indonesia Perserikatan
Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama asosiasi yang masih menggunakan bahasa
Belanda ini tidak lain karena mayoritas anggotanya adalah memang perusahaanperusahaan periklanan yang dimiliki oleh orang Belanda.
Sebelas perusahaan periklanan tercatat sebagai anggota PBRI, yaitu: Budi
Ksatria, Contact, De Unie, F. Bodmer, Franklijn, Grafika, Life, Limas, Lintas, Rosada,
dan Studio Berk. Akan tetapi, kehadiran PBRI dianggap hanya mewakili perusahaanperusahaan periklanan besar khususnya yang dimiliki atau dikuasai oleh orang-orang
Belanda. Perusahaan-perusahaan periklanan kecil merasa bahwa aspirasi mereka tidak
memukau jalan untuk disampaikan ke dalam PBRI. Suasana seperti itu kemudian
memicu lahirnya sebuah asosiasi perusahaan periklanan nasional yang dimliki dan
diawaki oleh orang-orang Indonesia. Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) dibentuk
pada tahun 1953, dan sertamerta menjadi organisasi tandingan bagi PBRI. Tidak jelas
mengapa semangat nasionalisme di dalam SBRN tidak memunculkan istilah iklan yang
sudah dikenal sejak dua tahun sebelumnya, dan masih menggunakan istilah biro
reklame yang berbau Belanda. Anggota SBRN yang tercatat adalah 13 perusahaan
periklanan: Azeta, Elite, Garuda, IRAB, Kilat, Kusuma, Patriot, Pikat, Reka, Lingga,
Titi, dan Trio. Tidak semua perusahaan perilanan bersedia bergabung ke dalam asosiasi.
Contonya adalah Medium yang telah bertukar nama menjadi Balai Iklan. Ia memilih
untuk tidak bergabung dengan salah satu dari dua asosiasi tersebut. Tjetje Senaputra,
pemiliknya berdalih bahwa Balai Iklan tidak menangani iklan display dan karena itu
tidak menganggap perusahaan sebagai full-service agency. Balai Iklan memang
mengkhususkan diri pada iklan-iklan klasika berukuran kecil tentang lowongan kerja
dan berita keluarga.
Ada pula dugaan bahwa terbentuknya SBRN diilhami oleh keterbelahan penerbit
surat kabar yang juga memiliki dua asosiasi, yaitu: Perserikatan Persuratkabaran
Indonesia (PPI), dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), PPI merupakan kelanjutan dari
Verenigde Dagblad Pers di masa Hindia Belanda. Tentu saja keterbelahan perusahaanperusahaan periklanan itu membuat prihatin F. Berkhout, Ketua PBRI pada saat itu. Ia
kemudian menghubungi beberapa pimpinan SBRN dan mnawarkan dibentuknya fusi
atau peleburan dari kedua asosiasi tersebut. Bila tujuannya sama, mengapa harus
memakai dua kendraan yang justru menyulitkan pembinaan ke luar maupun ke dalam,
di samping juga tidak mencuatkan kesan persatuan.
Gagasan fusi itu tampaknya diterima secara umum oleh kedua belah pihak.
Orang-orang Belanda yang semula menguasai berbagai posisi dan fungsi di PBRI
sepakat untuk mengundurkan diri agar digantikan oleh orang-orang Indonesia. Tetapi
fusi itu secara organisatoris ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Dalam tubuh
SBRN terjadi perpecahan, sehingga semua anggotanya mengundurkan diri dan
bergabung ke dalam PBRI. Baru pada tahun 1956, melalui forum rapat umum anggota,
secara aklamasi Muhammad Napis dikukuhkan sebagai ketua PBRI. Pada tahun 1957,
PBRI menyelenggarakan Kongres Reklame seluruh Indonesia yang pertama. Dalam
kongres tersebut, kata ”perserikatan” diubah menjadi ”persatuan”.
Awal Artis Memasuki Periklanan Indonesia
Iklan sebgai salah satu alat pemasaran yang ampuh langsung saja berdenyut
dengan nafas baru yang segar. Beberapa perusahaan periklanan muncup pada masa ini.
Demikian juga media untuk beriklan. Dan periklanan pun menjadi marak. Dasawarsa
1970an juga ditandai dengan tampilanya selebritis Indonesia sebagai bintang iklan.
Sabun Lux produksi Unilever boleh jadi merupakan trendsetter di bidang itu. Sejak
dasawarsa 1950an, Lux sudah memakai slogan ”dipakai oleh 9 dari 10 bintang-bintang
film”. Lux diidentifikasikan dengan bintang-bintang film rupawan berkelas dunia,
antara lain : Sophia Loren.
Pada dasawarsa 1970an, slogan itu diubah sedikit menjadi ”sabun kecantikan
bintang-bintang film”. Unilever juga mulai memakai bintang-bintang film Indonesia
untuk menjadi duta produknya. Widyawati, bintang film populer berpribadi lembut
dengan kecantikkan memukau, tampil sebagai spokesperson Lux. Beberapa bintang film
papan atas pun silih berganti tampil sebagai ”The Lux Lady”. Salah satu yang
legendaris adalah Christine Hakim, bintang film temuan Teguh Karya. Produk detergen
bermerk rinso pun memilih Krisbiantoro sebgai duta produk. Kris adalah seorang
penyanyi merangkap master of ceremony yang kocak dan menjadi presenter berbagai
program televisi populer pada saat itu. Popularitas Krisbiantoro pun serta merts menjadi
tuas yang ampuh untuk mendongkrak popularitas rinso.level International Advertising
Services (Lintas) perusahaan periklanan yang menganai produk-produk Unilever tidak
hanya menumpang popularitas selebritis, melainkan juga melahirkan bintang-bintang
baru. Robby Sugara, misalnya, ”hanyalah” seorang head waiter di sebuah restoran
ketika terpilih menjadi bintang ”The Brisk Man”. Kehidupannya pun melejit seperti
meteor.
Kelahiran Periklanan Modern Indonesia
Berbagai merk internasional mulai bermunculan di Indonesia dan dengan
garangnya berupaya meraup pangsa pasar sebesar-sebesarnya. Coca cola, Toyota,
Mitsubishi, Fuji Film, American Express, Citibank, adalah sebagian dari nama-nama
besar yang mulai membanjiri pasar Indonesia. Pada saat yang sama, muncul pula local
brands yang dipicu oleh kemudahan mendapatkan kredit penanaman modal dari
lembaga-lembaga perbankan yang juga sedang bertumbuh pesat. Salah satu sektor yang
paling hidup pada dasawarsa 1970an itu adalah industri farmasi dengan berbagai jenis
obat baru yang diluncurkan pada saat itu antara lain adalah Bodrex-obat sakit kepala
yang populer hingga saat ini. Begitu populernya nama Bodrex bahkan sampai dijadikan
ikon jurnalistik Indonesia untuk menyebut wartawan yang datang tak diundang.
Suasana baru di dunia usaha itu memicu berbagai kelahiran perusahaan
periklanan. Tentu saja, yang pertama kali muncul justru perusahaan-perusahaan
periklanan yang secara ilmiah terbawa oleh masuknya perusahaan multinasional ke
Indonesia. Contohnya adalah Olgilvy & Mather yang berkibar di Jakarta dengan nama
IndoAd di bawah pimpinan Emir Muchtar, karena hadirnya klien-klien O&M di
Indonesia, seperti: American Express, dll. Sebelumnya O&M lahir di Indonesia dengan
nama SH Benson, kemudian berubah menjadi Olgivy &Mather. Perubahan nama O&M
menjadi IndoAd terkait Peraturan Menteri Perdagangan pada tahun 1970 yang melarang
perusahaan periklanan asing di Indonesia. Contoh lain adalah McCann Erickson yang
dibawa oleh Coca cola dan kemudian mengibarkan bendera Perwanal Utama di bawah
pimpinan Savrinus Suardi.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan periklanan nasional lama pun mendapat
angin dari transformasi ekonomi yang terjadi. Perusahaan itu antara lain: Bhineka yang
dipimpin oleh tokoh lama Muhammad Napis, dan InterVista yang dipimpin oleh Nuradi
seorang mantan diplomat yang beralih ke dunia periklanan. InterVista adalah sebuah
fenomena yang perlu dicatat secara khusus dalam sejarah periklanan Indonesia,
khususnya karena Nuradi, pendirinya, dianggap sebagai perintis periklanan modern
Indonesia. Setelah Proklamasi kemerdeaan Indonesia, Nuradi diangkat menjadi pegawai
Departemen Luar Negri, Nuradi bertugas sebagai jurubahasa yang mendampingi
Presiden Soekarno. Sebagai karyawan Departemen Penerangan, tugas Nuradi adalah
penyiar siaran bahasa Inggris di RRI. Pada tahun 1950, Nuradi ditunjuk untuk
menjalankan misi khusus Uni soviet, dan kemudian menjadi anggota Perwakilan Tetap
Republik Indonesia di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa di New York selama
di Amerika Serikat, Nuradi juga sempat menyelesaikan studi di Harvard University.
Perintis periklanan yang bernama Nuradi ini. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926.
Seperti juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak memperoleh
pendidikan formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia (darurat). Kemudian masuk Akademi Dinas Luar Negeri
Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun berikutnya dia banyak mengenyam
pendidikan di Amerika Serikat. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang diterima di
Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC. Selanjutnya belajar
penelitian sosial di New School, New York (1952-1954) dan menyelesaikan studi
bidang administrasi publik di Harvard University, Cambridge, Massachusetts.
Kemudian selama setahun belajar bahasa di Universitas Sorbone dan Universitas
Besancon, Perancis.Tahun 1945, dia juga dikenal sebagai orang pertama diangkat
sebagai pegawai negeri di Departemen Luar Negeri dan di Departemen Penerangan.
Yang terakhir ini, karena ia juga menjadi penyiar siaran Bahasa Inggris di Radio
Republik Indonesia. Antara tahun 1946-1950, dia menjadi juru bahasa pribadi untuk
Bung Karno, Bung Hatta dan Ir. Juanda dan tahun 1949 sempat menjadi kepala bagian
penerjemah pada delegasi Indonesia ke Konperensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri
Belanda. Tahun 1950 dia ditunjuk untuk menjalankan misi khusus ke Uni Soviet dan
menjadi anggota perwakilan tetap Indonesia di markas PBB, New York. Karier sebagai
pegawai negeri telah membawanya terlibat dalam banyak lagi tugas sebagai anggota
delegasi, baik untuk kepentingan nasional, maupun internasional. Dia mengundurkan
diri dari Dinas Luar Negeri pada tahun 1957, untuk bergabung dengan Perwakilan PRRI
Sementara untuk Singapura dan Hongkong.
Perjalanan hidup Nuradi di dunia periklanan dimulai ketika tahun 1961-1962
mengikuti Management Training Course di SH Benson Ltd., London, perusahaan
periklanan terbesar di Eropa saat itu. Sedangkan pengalaman praktek periklanan
diperolehnya melalui cabang perusahaan tersebut di Singapura. Sekembalinya ke
Jakarta (1963) dia mendirikan perusahaan periklanannya sendiri, InterVista Advertising
Ltd..
Pada awalnya, Nuradi hanya mengiklankan produk-produk milik ayahnya (Hotel
Tjipajung) dan kenalannya (PT Masayu, agen alat-alat berat). Ia juga membuat iklan
untuk usaha milik Judith Wawaruntu, sahabatnya yang secara timbal balik menjadi
pembuat gambar untuk iklan-iklan Intervista. Ketika menangani klien Lambretta, merek
Scooter masa lalu, Nuradi untuk pertama kali membuat slide untuk iklan di Bioskop.
Terobosan ini merupakan awal dari gebrakkan-gebrakkan Nuradi selanjutnya. Pada
dasawarsa 1970an, InterVista telah mampu membuat film iklan produksi dalam negri,
bahkan memperkerjakan seorang sutradara pribumi untuk menanganinya secara khusus.
Tidak heran bila dalam waktu singkat InterVista mendapat kepercayaan dari nama-nama
besar seperti, Indomilk, Anker Bir, berbagai merek rokok keluaran British American
Tobacco, Vespa dan lain-lain. Beberapa karya iklan InterVista di masa itu, selalu
mengundang decak kagum dan menjadi pengingat (mnemonic) dibenak masyarakat,
misalnya: Ini Bir Baru, Ini Baru Bir (Anker), Indomilk…..sedaaap, Makin Mesra
dengan Mascot (rokok).
Awal dasawarsa 1970an juga ditandai oleh lahirnya berbagai perusahaan
periklanan ketika itu lebih umum disebut biro iklan seperti: Libelle pimpinan Yo
Wijayakusumah, Trinanda Chandra pimpinan Abdoel Moeid Chandra (juga pemilik
radio swasta niaga dengan nama sama), Prima Advera pimpinana Usamah, AdForce
pimpinan Sjahrial Djalil, Fortune pimpinan Indra Abidin bekerja sama dengan Mochtar
Lubis, Hikmad & Chusen pimpianan H. Hamid Moerni, Metro pimpinan Henry Saputra,
Rama Perwira, dan lain-lain.
Berdirinya PPPI
Popularitas The Jakarta Admen Club bahkan melebihi organisasi resmi yang
sebetulnya lebih dulu terbentuk pada tahun 1972, yaitu Persatuan Perusahaan Periklanan
Indonesia (PPPI)
Seperti telah dikemukakan pada Bab 1, asosiasi perusahaan periklanan yang pertama
berdiri di Indonesia pada tahun 1949 dengan nama Bond van Reclame Bureaux in
Indonesia atau dalam bahasa Indonesia disebut Persatuan Biro Reklame Indonesia
(PBRI). Nama resminya justru yang berbahasa Belanda, karena pada waktu itu sebagian
besar pelaku di industri periklanan adalah orang-orang Belanda maupun keturunan
Belanda. Demikian juga para pengurusnya adalah orang-orang belanda dan
keturunannya. Baru setelah PBRI diketuai oleh orang Indonesia, Muh.Napis,maka pada
tahun 1957 diputuskan perhgantian namanya resmi menjadi PBRI. Dengan nama baru
itu juga dilekukan penyesuaian istilah dari “perserikatan” menjadi “persatuan”.
Napis adalah seorang tokoh periklanan Indonesia yang ternyata berhasil
memimpin PBRI secara terus-menerus hingga memasuki dasawarsa 1970-an. Napis
sendiri ternyata sudah jenuh menjadi Ketua PBRI selama belasan tahun, dan
menganggap bahwa situasi seperti itu dapat mengarah kepada hal-hal yang tidak
demokratis.
Pada tahun 1971, Napis menyelenggarakan referendum di antara anggota PBRI
untuk memilih ketua yang baru, di samping juga meminta usulan perubahan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta usulan perubahan kebijakan dan strategi.
Namun, ternyata referendum itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Napis tetap
secara aklamasi diterima sebagai ketua PBRI.
Pada tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia tiba-tiba merasa perlu untuk
mengatur industri periklanan. Harsono yang ketika itu menjabat sebagai Direktur
Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) Departemen penerangan,
memprakarsai diselenggarakannya Seminar Periklanan-forum nasional resmi pertama
yang diselenggarakan di Indonesia untuk membicarakan arah industri periklanan.
Seminar ini diseenggarakan di restoran Geliga, Jalan wahid Hasyim, Jakarta Pusat,
dengan ketua penyelenggaraan H.G. Rorimpandey, Ketua Umum Serikat Penerbit
Suratkabar (SPS) yang ketika itu juga Pemimpin Umum Harian Sinar Harapan.
(catatan penulis: sebetulnya, Christianto Wibisono yang ketika itu menjadi Direktur
Majalah Tempo pada tahun 1971 telah menyelenggarakan sebuah seminar periklanan
untuk mendiskusikan dalam menyikapi masuknya elemen asing ke dalam industri
perikalanan Industri Indonesia. Tetapi, lingkup seminar ini masih bersifat terbatas di
tataran pelaksana periklanan-bukan pengambil keputusan di tingkat asosiasi dan
regulator).
Dalam kesempatan itu pemerintah menyatakan bahwa PBRI adalah satu-satunya wadah
perusahaan periklanan yang diakui Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan ini
tampaknya didorong oleh kenyataan telah hadirnya berbagai perusahaan periklanan
yang disponsori pihak asing, dan tidak merasa berkepentingan untuk menjadi anggota
PBRI. Sekalipun pada tahun 1970 Menteri Perdagangan Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusumo telah menerbitkan surat keputusan yang melarang kehadiran
perusahaan periklanan asing di Indonesia, namun kenyataannya praktik “Ali Baba”
tetap menghadirkan banyak negara asing di industri periklanan Indonesia. Pernyataan
Pemerintah itu membuat hampir semua perusahaan periklanan yang baru didirikan
sekitar 1970-an kemudian mendaftar-kan diri menjadi anggota PBRI.
Seminar periklanan itu juga memuncukan napas dan harapan baru akan munculnya
generasi modern periklanan Indonesia. Keinginan untuk berorganisasi secara serius pun
mulai tampak hidup. Napis pun semakin berharap bahwa penggantinya akan segera
muncul.
Kebetulan, pada tahun 1972 itu juga berlangsung Asian Advertising Congress
(AAC) VIII di Bangkok. Masih dengan semangat Seminar Periklanan, beberapa tokoh
periklanan Indonesia pun segera berangkat menghadiri kongres tersebut. Mereka antara
lain adalah: Christian Wibisono, Ken Sudarto, Sjahrial Djalil, Ernst Katoppo, Abdul
Moeid Chandra, Jacoba Muaja, Usamah, dan Yo Wijayakusumah. Tidak tanggungtanggung, delegasi Indonesia pada waktu itu secara nekat juga menawarkan diri untuk
menjadi tuan rumah AAC IX pada tahun 1974. hebatnya lagi, usulan itu ternyata
diterima. Pertumbuhan pesat industri periklanan Indonesia tentulah menjadi faktor
pembobot yang menghasilkan keputusan itu.
Semangat untuk menjadi tuan rumah Aac IX itulah yang membuat insan periklanan
Indonesia semakin membulatkan tekad untuk berorganisasi secara rapi. Pada tanggal 20
Desember 1972, bertempat di restoran Chez Mario milik Muhammad Napis di jalan Ir.
H. Juanda III/23, jakarta Pusat, diselenggarakan Rapat Anggota PBRI.
Rapat itu juga dihadiri Direktur Bina Pers dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan
Grafika Departmen Penerangan, Drs. Tjoek Atmadi. Rapat itu mengagendakan
pemilihan pengurus baru, serta membahas kemungkinan dibentuknya sebuah asosiasi
periklanan dengan visi dan lingkup yang lebih luas.
Abdul Maeid Chandra, seorang putra Madura aktivis PBRI yang memiliki
stasiun radio Trinanda Chandra dan perusahaan perilanan dengan nama yang sama,
akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum. Di jajaran pengurus tercatat beberapa orang
tokoh periklanan Indonesia, seperti: Savrinus Suardi, Usamah, Sjahrial Djalil, dan Yo
Wijayakusumah. Mereka adalah muka-muka baru yang sebelumnya bukan merupakan
aktivis PBRI.
Rapat Anggota juga menyepakati pembubaran PBRI dan pembentukan asosiasi yang
baru dengan nama Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Dengan
pembentukan PPPI, secara resmi hilang pula istilah ”biri reklame” yang berbau
kebelanda-belandaan, digantikan dengan istilah yang lebih sesuai dengan tuntutan
zaman: ”perusahaan periklanan”. Desakan untuk mengganti istilah ”biro reklame” juga
didasari pada kenyataan bahwa tukang pembuat stempel di pinggir jalan pun menyebut
diri mereka sebagai biro reklame.
Pada saat didirikan, PPPI beranggotakan 30 perusahaan periklanan. Sahrial
Djalil AdForce menyumbangkan logo bagi asosiasi yang baru itu. PPPI juga segera
merumuskan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga yang baru untuk
menampung aspirasi periklanan modern.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Iklan
http://en.wikipedia.org/wiki/Advertising
Download