Laporan Studi Pustaka (KPM 403) STRATEGI PERLAWANAN PETANI SEBAGAI RESPON TERHADAP SENGKETA LAHAN PERTANIAN TIKKA MUSLIMAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Strategi Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa Lahan Pertanian” benarbenar hasil karya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Seumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Mei 2015 Tikka Muslimah NIM. I34120029 ii ABSTRAK TIKKA MULIMAH. Strategi Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa Lahan Pertanian. SATYAWAN SUNITO Sengketa lahan pertanian hadir sebagai akibat dari aktivitas pembangunan dari para pemilik modal besar. Lahan pertanian sebagai sumber penghidupan masyarakat petani harus tergeser akibat rencana pembangunan oleh para aktor pembangunan. Menanggapi hal tersebut menyebabkan petani melakukan gerakan protes melalui perlawanan petani. Perlawanan yang dilakukan petani membentuk strategi yang digunakan sebagai senjata dalam mencapai tujuan. Strategi perlawanan petani dapat diorganisir melalui suatu wadah yaitu organisasi petani. Melalui organisasi petani baik dalam bentuk Organisasi NonPemerintah (Ornop) atau organisasi politik dapat mengumpulkan gerakan sebagai aksi bersama. Gerakan perlawanan petani juga diatur dan diarahkan oleh pemimpin gerakan yang mempunyai hubungan yang khas dengan pengikutnya. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai strategi perlawanan petani sebagai respon terhadap sengketa lahan pertanian. Kata Kunci: sengketa lahan pertanian, organisasi petani, pemimpin gerakan, strategi perlawanan ABSTRACT TIKKA MUSLIMAH. Strategy of Farmer’s Movement in Response to the Dispute of Agricultural Land. SATYAWAN SUNITO The dispute of agricultural land presented as a result of developmental activities of capitalist. Agricultural land as livelihood of farmer had to be shifted as a result of developmental plan by the actor of development. Perceiving the issue caused the peasants did the protest movement through the farmer’s movement. It formed a strategy used as a gun to reach their goal. Strategy of farmer’s movement could be organized by an organisation The peasants could gather their movements as a collective action through farmer’s organization which could be non-governmental organization (NGO) or political organization. Farmer’s movement can also be arranged by the leader of movement who has a special relation with the member. Therefore, this research is going to study the strategy of farmer‘s movement in response to the dispute of agricultural land. Key word: dispute of agricultural land, farmer’s organisation, leader of movement, strategic of movement iii STRATEGI PERLAWANAN PETANI SEBAGAI REPON TERHADAP SENGKETA LAHAN PERTANIAN Oleh TIKKA MUSLIMAH I34120029 Laporan Studi Pustaka Sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 iv LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Tikka Muslimah Nomor Pokok : I34120029 Judul : Strategi Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa Lahan Pertanian dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Dr. Satyawan Sunito Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal pengesahan : _________________________ v PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Strategi Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa Lahan Pertanian”. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memnuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Meskipun seringkali penulis mengalami kesulitan, namun berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan secara tepat waktu Uacapan terimakasih penulis sampaikan kepada Pak Setyawan Sunito, Ms sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelsaian laporan Studi Pustaka ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Mas Bayu Eka Yulian yang senantiasa bersedia untuk melakukan diskusi terkait topik dalam laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimkasih kepada Ibu Titi dan Bapak Edi Kenda, orang tua tercinta, serta Taryana Zayadi dan Rinny Nurlaela, kaka-kaka tersayang, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa terimakasi juga penulis sampaikan kepada temanteman, terutama Mohamad Taufik Zainal Abidin, yang telah memberi semangat dan menemani penulis dalam proses penulisan laporan ini. Akhirnya penulis berharap nantinya laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami tentang perlawanan petani, terutama tentang Stratgei Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa Lahan Pertanian. Bogor, Mei 2015 Tikka Muslimah NIM.I34120029 vi DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ......................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................vii PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1 Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 2 Metode Penulisan .......................................................................................................... 2 RINGKASAN DAN ANALISIS .................................................................................... 3 Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan atas Lahan....3 Pemberontakan Petani UNRA 1943 (Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan pada Masa Pendudukan Jepang)........................................................4 Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup Ditengah Rendahnya Imbal Jasa........................................................................6 Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan atas Pembebasan Tanah Rakyat untuk Pembangunan (Studi Kasus: Pembebasan Tanah untuk Pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang)...........................................................................8 Gerakan Protes Sosial Petani di Jawa pada Masa Kolonial (dalam Perspektif Sejarah Sosial Pedesaan)..........................................................................................................10 Gerakan Anti Tuan Tanah di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi (Studi Kasus Tentang Pemberontakan Petani di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantinga, Kabupaten Ngawi Tahun 1963-1965)........................................................12 Wajah Prakasa Partisipatif: Dinamika Gagasan Reforma Agraria dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca 1998..............................................................................................13 Perjuangan Masyarakat Lokal di Tengah Pengembangan Lahan Sawit (Studi Kasus Perusahaan Kelapa Sawit di Desa Wambes, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua).........................................................................................................................15 Komunikasi Penyadaran Kritis Gerakan Petani..........................................................17 Sengketa Kawasan Hutan Lindung antara Perhutani dengan Masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung..........................................19 Evaluasi Advokasi Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.........................................................................................................21 Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial............................................23 Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis).................................................................25 ANALISIS DAN SINTESIS ......................................................................................... 27 Sengketa Lahan Pertanian ........................................................................................... 27 vii Gerakan Protes Petani ................................................................................................. 29 Organisasi Petani ......................................................................................................... 30 Kepemimpinan Gerakan Petani................................................................................... 31 Strategi Gerakan Petani ............................................................................................... 33 KESIMPULAN ............................................................................................................. 36 Rangkuman dan Pembahasan ...................................................................................... 36 Kerangka Berfikir........................................................................................................ 37 Pertanyaan Penelitian Skripsi ...................................................................................... 39 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 40 Riwayat Hidup .............................................................................................................. 43 DAFTAR TABEL Tabel 1 Pola-pola hubungan pemimpin-bawahan ........................................................... 3 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka Berfikir...........................................................................................32 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kasus sengketa lahan akhir-akhir ini semakin banyak terjadi. Isu-isu mengenai konflik agraria banyak dibicarakan terutama setelah beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah diangkat ke publik melalui media masa seperti yang terjadi di Mesuji, Sumatera Utara, Cianjur dan Karawang. Pada tahun 2010 telah terjadi 106 konflik agraria dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 163 konflik agraria yang menewaskan 22 petani1. Sedangkan pada tahun 2012 KPA mencatat total telah terjadi 198 konflik agraria2. Konflik muncul karena terdapat pihak yang merasa haknya diganggu, termasuk hak atas lahan. Sengketa lahan sering menjadi pemicu adanya konflik agraria. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (2015) di Indonesia pada tahun 2013 terdapat 4223 kasus sengketa lahan, 2014 dinyatakan kasus tersebut selesai namun masih menyisakan 2209 kasus sengketa yang harus segera diselesaikan. Penyelesaian sengketa lahan tentunya bukanlah perkara yang mudah dan menjadi tanggung jawab berbagai pihak. Sebab konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecendrungan atau sudah berdampak luas secara sosi-politik (BPN 2015). Penyelesaian masalah sengketa menjadi tanggung jawab seluruh pihak terutama menjadi tugas Badan Pertanahan Nasional yang mempuyai wewenang untuk menentukan kebijakan pertanahan. Menurut Peraturan Presiden No 10 Tahun 2006 Bagian Kedelapan Pasal 22 menyebutkan bahwa Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan. Namun pada kenyataanya kasus sengketa semakin besar akibat hasil keputusan pengadilan pertanahan yang tidak memihak kaum kecil seperti petani. Objek-objek agraria terutama tanah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. Terusiknya persoalan agraria maka akan menimbulkan reaksi dari pihakpihak yang bersangkutan. Mereka akan berusaha untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak mereka atas sumber-sumber agraria. Sutedi (2008) menyatakan bahwa konflik pertanahan di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh tekanan penduduk tetapi lebih karena masalah tekanan manusia atas manusia atau tekanan penguasa dan/atau pemilik modal. Sehingga munculah gerakan-gerakan upaya perlawanan petani. Misalnya konflik agraria di Teluk Jambe Karawang yang terjadi pada tahun 2014. Konflik terjadi antara petani Karawang dengan PT. Agung Podomoro Land yang mengalami sengketa tanah seluas 350 Ha (Tribunews 2014). Akibat dari terjadinya sengketa tanah ini munculah gerakan perlawanan petani yang merenggut banyak korban. Seperti yang dikemukakan oleh Purwandari (2006)“Salah satu faktor yang menimbulkan ‘kemarahan’ petani yakni perubahan struktur agraria yang lebih disebabkan karena pengelolaan agraria cenderung berubah dari pengelolaan subsisten/primitive menuju sistem pengelolaan yang berorientasi kapitalis”. Ekspansi kapitalisme berwujud pembangunan infrastruktur menjadi penguasa sumber-sumber agraria terutama lahan. Sehingga menciptakan suatu gerakan perlawanan petani dalam melawan keadaan yang dianggap merugikan mereka dengan melakukan pengumpulan masa. Hafid (2001) mengemukakan “...kekuatan riil yang ditunjukan tersebut dapat menjadi alat penekanan kepada para pengambil keputusan, termasuk kepada lawan mereka sendiri”. Perlawanan 1 2 Laporan Akhir tahun 2012 Konsorsium Pembaruan Agraria Ibid 2 yang dilakukan oleh petani memiliki berbagai macam startegi atau pola. Santoso (2014) menjelaskan bahwa perlawanan yang dilakukan petani menempuh berbagai cara yaitu aksi kecil-kecilan, aksi simbolis, perbuatan sembrono, pembangkangan, perbanditan hingga aksi-aksi terbuka. Strategi yang diterapkan dalam melakukan perlawanan tentunya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan hingga pada akhirnya gerakan perlawanan petani memilih aksi radikal. Strategi perlawanan petani sekarang ini banyak dilakukan dengan mengandalkan organisasi dan kepemimpinan dalam mengumpulkan aksi-aksi kolektif sebagai ciri dari gerakan perlawanan petani. Syahyuti (2011) menyatakan bahwa Indonesia memiliki berbagai organisasi dalam bidang pertanian mulai dari tingkat lokal sampai internasional seperti Federasi Serikat Petani Indonesia (FSHPI). Sehingga berbagai organisasi lokal di berbagai wilayah Indonesia tergabung dalam FSHPI. Oleh karena itu, penulis ingin menganalisis bagaimana strategi perlawanan petani sebagai respon terhadap sengketa lahan pertanian? Tujuan Penelitian Terusiknya hubungan subjek agraria terhadap objek agraria dalam hal ini lahan menyebabkan perubahan hubungan-hubungan antara subjek agraria. Sengketa lahan pertanian telah menyebabkan petani memberikan respon berupa perlawanan petani. Perawanan dilakukan terhadap pihak-pihak yang telah mengusik keberadaan tanah sebagai sumber penghidupan petani. Oleh karena itu, tujuan penulisan studi pustaka ini adalah mengidentifikasi latar belakang petani melakukan upaya perlawanan terhadap sengketa lahan pertanian, strategi yang digunakan petani dalam menghadapi sengketa lahan pertanian, pengorganisasian gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani serta peran pemimpin dalam mengorganisasikan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani. Metode Penulisan Metode yang dilakukan dalam studi pustaka ini adalah dengan menganalisis data sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Data sekunder tersebut mencakup, antara lain jurnal, disertasi, tesis dan buku-buku mengenai agraria. Selanjutnya bahanbahan bacaan tersebut dipelajari, diringkas dan disusun menjadi sebuah ringkasan studi pustaka. Kemudian ringkasan studi pustaka tersebut dianalisis dan sintesis. Sampai pada akhirnya adalah penarikan hubungan dari semua langkah-langkah yang telah dilakukan untuk dapat memunculkan kerangka teoritis yang akan menjadi rumusan pertanyaan bagi penelitian yang akan dilakukan 3 RINGKASAN DAN ANALISIS 1. Judul Pustaka : Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan atas Lahan Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Giedy Tiara Ariendi dan Rilus A. Kinseng Nama Jurnal : Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunkasi dan Ekologi Manusia Volume(edisi) : 5(01) Alamat URL/doi : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5834 Tanggal Diunduh : 24 Febuari 2015 pukul 19:34 WIB Ringkasan: Desa Cisarua yang terletak di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi merupakan daerah diantara wilayah perkebunan dan hutan lindung TN Gunung Gede Pangrango. Sebagian besar masyarakat Desa Cisarua baik laki-laki maupun perempuan memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani dan karyawan perkebunan. Namun berdasarkan data tahun 2008, sebanyak 88,7 persen petani menggarap lahan seluas 0,10,3 hektar dan terkategori sebagai petani kecil. Terdapat tiga penggolongan petani di Desa Cisarua yaitu petani kecil, petani sedang sebanyak 9,19 persen dengan luas lahan 0,311,00 hektar dan petani besar sebanyak 2,04 persen dengan luas lahan lebih dari 1,1 hektar. Petani di Desa Cisarua tidak seluruhnya penduduk asli melainkan petani hasil bedol desa dari Garut dan pendatang dari Lembang. Upaya perjuangan petani dalam memperoleh akses atas lahan sebagian besar dilakukan oleh petani kecil yang membutuhkan akses lahan yang lebih luas. Lahan yang selama ini mereka garap merupakan lahan milik pihak perkebunan. Mereka hanya menggarap lahan non-produktif milik pihak perkebunan melalui mandor dengan uang sewa sebesar Rp15.000,00 per patok. Namun sebenarnya pihak perkebunan memiliki lahan yang secara resmi dapat digarap oleh masyarakat yaitu lahan lamping. Tetapi lahan tersebut memiliki letak yang jauh, berkontur ekstrim dan sulit air. Selain itu masyarakat juga mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan yang membutuhkan proses administrasi yang panjang dan modal besar sehingga petani enggan memanfaatkannya. Oleh Scott (1981) gaya Perjuangan petani Desa Cisarua disebut sebagai bentuk perlawanan “Gaya Asia” karena tidak memiliki organisasi formal, perjuangan dilakukan sembunyi-sembunyi dan pura-pura bodoh serta tidak adanya koordinasi. Perlawanan kecil petani Desa Cisarua dalam memperluas akses mereka atas lahan dilakukan secara diamdiam yang dikoordinasikan berdasarkan asas tahu sama tahu saja. Mereka seakan bodoh tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU yang tidak boleh digarap petani. Dilihat dari sifatnya, perjuangan petani Desa Cisarua tergolong bersifat “insidental” yang dicirikan oleh tidak terorganisir, bersifat untung-untungan, dan tidak mempunyai akibat-akibat revlusioner. Perjuangan petani lebih bersifat individu karena masing-masing dari mereka berusaha untuk memperjuangankan keinginan masing-masing. Pada intinya strategi yang dilakukan petani Desa Cisarua dalam mendapatkan lahan yaitu (1)menyewa lahan garapan kepada mandor, (2)memperluas 4 lahan garapan secara diam-diam dan sedikit demi sedikit dan (3)petani besar terus memperluas lahan dengan mengambil lahan garapan petani kecil. Selain itu menurut Sitorus (2006) perjuangan petani Desa Cisarua termasuk perjuangan kultivasi, lahan dikelola dan dimanfaatkan oleh petani namun disisi lain lahan tersebut masih dimiliki oleh pihak perkebunan. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan yaitu pertama, faktor internal meliputi luas dan jumlah relasi dengan hubungan yang bersifat positif terhadap keterlibatan petani. Kedua, faktor eksternal yang meliputi organisasi pendukung, kesempatan politik, respon pemerintah desa dan status lahan yang diinginkan petani. Petani Desa Cisarua tidak memiliki keinginan untuk memiliki lahan tersebut secara pribadi karena mereka menyadari bahwa lahan tersebut bukanlah lahan mereka yang mengalami sengketa kepemilikan dengan pihak perkebunan tetapi merupakan tanah HGU yang diberikan pemerintah kepada perkebunan. Sehingga mereka tidak melakukan aksi-aksi radikal untuk memiliki lahan tersebut dan mereka sudah merasa cukup puas dengan status mereka sebagai penggarap dilahan perkebunan tanpa kepastian jangka waktu. Analisis: Penelitian ini mengungkapkan bahwa perjuangan petani dalam upaya memperoleh akses atas tanah tidak selalu bersifat radikal. Petani pada dasarnya lebih memilih upaya-upaya yang cenderung mencari jalan aman untuk menghindari pembalasan yang lebih merugikan mereka. Upaya perjuangan petani dilakukan tidak selalu untuk memperjuangkan kepemilikan pribadi atas lahan namun juga hanya sekedar untuk memperoleh akses. Perjuangan ini dilakukan oleh golongan petani kecil yang dilakukan secara individu tanpa adanya aktor pemimpin atau organisasi. Meskipun mereka menyadari bahwa tidak ada kepastian akan jangka waktu sampai kapan mereka bisa mempunyai akses atas lahan. Strategi perjuangan petani juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri (internal) dan dari luar (eksternal) yang akan mempengaruhi keberhaisilan perjuangan petani. Metode yang digunakan peneliti cukup tepat karena tidak hanya menggunakan metode kuantitatif tetapi juga kualitatif. Metode kualitatif sangat membantu untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dan mendalam. Selain itu dalam pembahasan hasil penelitian menggunakan dasar konsep yang kuat menurut ahli. Sehingga hasil penelitian ini dapat mendukung teori atau konsep yang sudah diungkapkan pada bagian tinjauan pustaka. Dalam jurnal ini juga diungkapkan secara lengkap sejara dari Desa Cisarua sehingga dapat memberikan pandangan tambahan bagi pembaca. 2. Judul Pustaka : Pemberontakan Petani UNRA 1943 (Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan pada Masa Pendudukan Jepang) Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Syamsu A. Kamarudin Nama Jurnal : Jurnal Makara, Sosial Humaniora Volume(edisi) : 16(01) Alamat URL/doi : http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/1222/1127 Tanggal Diunduh : 24 Febuari 2015 pukul 19:21 WIB 5 Ringkasan: Penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia tidak berakhir pada saat kolonial Belanda pergi dari tanah air. Namun penderitaan rakyat Indonesia berlanjut ketika Jepang menduduki Indonesia. Salah satunya yaitu yang dialami oleh masyarakat Desa Unra Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan pada 1943. Sistem “politik beras” yaitu kewajiban masyarakat untuk menyerahkan padi hasil bertani mereka kepada pihak Jepang telah membuat masyarakat sengsara. Kondisi perekonomian masyarakat yang sulit semakin tertekan dengan adanya sistem politik beras tersebut. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan masyarakat petani Unra melakukan pemberontakan. Pemberontakan Unra terjadi hingga menimbulkan korban meninggal, tertangkapnya 300 orang serta terjadinya eksodus rakyat Unra ke wilayah luar. Pemberontakan yang dilakukan oleh masyarkat petani Unra dinilai sebagai bentuk ketidakpuasan yang menciptakan aksi kolektif diantara mereka. Dalam perspektif teori strukturis pemberontakan petani Unra adalah sebagai bentuk solidaritas komunal atas dasar sentimen-sentimen, perasaan-perasaan, dan keterikatan-keterikatan antara sesama warga desa. Pemberontakan Unra sebagai gerakan penolakan terhadap penetrasi sosial yang ditawarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Selain itu terdapat faktor lain sebagai penyebab munculnya pemberontakan petani Unra, yaitu faktor penghasilan warga yang rendah disertai gagal panen akibat kemarau panjang namun tetap dipaksa oleh pemerintah untuk menyetor padi. Faktor ekologis desa Unra yang terpencil dalam wilayah kerajaan Bone dianggap tidak menguntungkan sehingga menciptakan motivasi masyarakat Unra untuk melakukan pemberontakan. Selanjutnya yaitu faktor ekonomi yang berkorelasi dengan struktur sosial rakyat Unra. Konflik sosial terjadi antara petani kelas sosial rendah dengan pihak pemerintah Jepang dan penguasa lokal yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah Jepang. Pemerintah dan elit lokal telah masuk menjadi golongan yang mempunyai hak istimewa dan berkuasa dengan sewenang-wenang, hal ini yang menciptakan kejengkelan moral. Penggerusan sistem ekonomi dan poltik tradisonal petani Unra juga sebagai pemicu munculnya pemberontakan. Keresahan sosial di Unra menjadi pusat perhatian karena keresahan tersebut sudah berkembang menjadi gerakan pemberontakan, ketegangan yang tidak menentu hingga pada kejahatan sosial seperti pencurian dan perampokan. Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa aspek penyebab pemberontakan petani Unra diantaraya yaitu aspek ekonomi berupa adanya aturan kewajiban petani Unra menyerahkan padi mereka kepada pemerintah apalagi ketika terjadi krisis subsisten. Dari aspek politik, lembaga desa telah mengalami perubahan misalnya dalam proses pemilihan dan pengangkatan kepala desa tidak melibatkan rakyat yang artinya telah mengabaikan cara tradisional Unra. Selanjutnya aspek ideologi dan kepemimpinan, dalam pemberontakan Unra telah memunculkan aktor pemimpin pemberontak (Guru Mante). Pemimpin pemberontak memberikan sugesti atau pengaruh kepada rakyat untuk ikut serta dalam aksi kolektif dan tokoh agama mempunyai peranan terpenting. Namun dalam kasus Unra, tokoh agama dijadikan alat progpaganda pemerintah melalui ideologinya. Penyebab pemberontakan Unra memiliki dua faktor utama yaitu faktor lagsung dan tidak langsung. Penyebab langsung meliputi perlakuan kasar yang dilakukan oleh pihak pemerintah Jepang dalam menjalankan sistem ploitik berasnya. Mereka tidak segan untuk menyakiti pihak-pihak yang dianggap menentang aturannya. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu adanya kewajiban penyerahan beras kepada pemerintahan 6 pendudukan Jepang terlebih ketika terjadi paceklik. Selain itu juga terjadi penggerogotan martabat tokoh-tokoh adat dan pemimpin lokal melalui perebutan otoritas pemimpin lokal oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pemberontakan Unra bersifat spontan dan tidak didukung oleh organisasi, selan itu bersifat non-politis dan tidak direncanakan secara matang. Analisis: Pemberontakan petani muncul sebagai bentuk ketidakpuasan petani terhadap sistem yang berlaku. Pemberontakan ini memunculkan aksi kolektif untuk menentang dalam bentuk penolakan sampai pada kejahatan sosial seperti mencuri dan merampok. Terdapat beberapa faktor penyebab munculnya pemberontakan petani yaitu faktor ekonomi, sosial, politik dan ekologis. Faktor-faktor tersebut memunculkan pemberontakan apabila dianggap tidak sesuai dengan sistem yang biasa berlaku dikehidupan mereka. Karena rakyat akan memberontak apabila tardisi mereka atau cara tani konvesional mereka tergerus oleh sistem yang dianggap merugikan. Selain itu aspek penting dari pemberontakan yaitu hadirnya aktor sebagai pemimpin pemberontakan (Guru Mante). Sebab aktor berperan untuk memberikan sugesti atau pengaruh terhadap rakyat untuk melwawan. Sehingga munculah aksi-aksi kolektif yang dipimpin oleh aktor tersebut. Karena pemberontakan petani Unra merupakan kejadian yang sudah terjadi cukup lama maka mungkin seperti faktor penyebabnya sudah tidak relevan dengan fakta zaman sekarang. Di zaman sekarang hal tersebut bisa terjadi bahkan lebih kompleks dan lebih besar bentuk pemberontakannya serta melibatkan lebih banyak pihak. Penelitian ini cukup sulit dilakukan karena menyangkut kejadian yang sudah lama terjadi. Metode yang digunakan seperti pendekatan sejarah sosial, deskripsi historis dan pendekatan dimenasional sudah cukup membantu dalam proses pencarian data. Namun karena data-data atau arsip mengenai pemberontakan ini tidak ada membuat penelitian ini tidak maksimal. Dalam menghadapi kekurangan data, maka penelitian menggunakan konsep-konsep tertentu dan hasil penelitian sebelumnya serta menghubungkannya dengan peristiwa sejarah sudah tepat karena hal tersebut sangat membantu. 3. Judul Pustaka : Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup Ditengah Rendahnya Imbal Jasa Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Yudhanto Nama Jurnal : Jurnal Fisip UMRAH Volume(edisi) : 1(01) Alamat URL/doi : http://undana.ac.id/jsmallfib_top/JURNAL/TEKNIK%20PERTAMBANGAN/TEK NIK%20PERTAMBANGAN%202011/STRATEGI-PERLAWANAN-PETANITAMBANG-TRADISIONAL.pdf Tanggal Diunduh : 24 Febuari 2015 pukul 19:41 WIB Ringkasan: Sumber tambang di Desa Wonocolo merupakan peninggalan kolonial Belanda berupa sumur-sumur minyak. Minyak yang dihasilkan pada masa itu digunakan sebagai 7 bahan bakar perang dan dimanfaatkan untuk perdagangan dunia berupa ekspor. Namun setelah Belanda meninggalkan Indonesia, sumur-sumur tersebut terbengkalai hingga pada akhirnya ditemukan dan dimanfaatkan oleh masayarakat Desa Wonocolo. Aktivitas tambang di Desa Wonocolo telah dilakukan secara turun temurun sejak tahun 1942. Jumlah sumur minyak tradisional peninggalan kolonial di Desa Wonocolo sebanyak 35 sumur tua yang aktif ditambang oleh masyarakat. Pada awalnya, penambangan minyak ini dikelola dan dimotori oleh kepala desa Wonocolo. Lurah Wattah merupakan kepala desa Wonocolo yang memiliki wewenang untuk mengelola pertambangan. Pengelolaan tambang minyak oleh kepala desa dilakukan dengan alasan bahwa kepala desa secara de facto berkuasa atas saran-sarana yang dimiliki termasuk terhadap sumur minyak. Oleh karena itu tidak semua pihak memiliki akses utnuk mengelola dan memanfaatkan sumur minyak. Hanya pihak-pihak yang memiliki kedekatan secara emosional ataupun kekerabatan yang dapat memanfaatkan sumur minyak. Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain sebagai penambang sumur, angkat dan angkut hasil-hasil tambang. Dengan kata lain, kepala desa Wonocolo memiliki “peran strategis” terhadap sejumlah keuntungan dari aktivitas pertambangan. Hingga hubungan patron-clients pun dilakukan oleh kepala desa dalam pengelolaan pertambangan yang lebih menunjukan ciri eksploitatif. Kondisi kesejahteraan Lurah Wattah pun jauh berbeda dengan anggota masyarakat lain, kepala desa Wonocolo ini hidup dengan kekayaan dilihat dari rumah dan aset yang dimilikinya. Tahun 1988 merupakan akhir dari penguasaan sumur-sumur tua tradisional. Hal ini ditandai dengan keluarnya SK Kementrian Pertambangan dan Energi No.0714K/30/M.PE/88 tentang pola penanganan tambang minyak daerah Wonocolo dan Hargomulyo, Kecamatan Kasiman, Bojonegoro, Jawa Timur. Keluarnya SK tersebut membuat kepala desa Wonocolo tidak memiliki lagi kekuasaan untuk mengelola sumur tua dengan sistem patron-client yang berdampak pada turunya kondisi Lurah Wattah. Surat Keputusan tersebut juga memberikan perubahan pada tata kelola sumur-sumur tua terdiri dari penentuan kebijakan dalam proses produksi dan pemasaran minyak, upah, distribusi hasil penambangan dan akses terhadap sumur. Pada saat penguasaan oleh kepala desa, penambang dapat menjual langsung hasil minyaknya kepada pembeli namun setelah SK keluar berubah. Sistem upah, proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh Pertamina serta pemasaran tambang yang dihasilkan diharuskan untuk disetorkan melalui KUD Bogo Sasono. Sebelum hadirnya koperasi Bogo Sasono kehidupan masyarakat cukup sejahtera namun berbanding terbalik setelah koperasi tersebut berdiri. Setelah hadirnya koperasi Bogo Sasono penambang hanya dijadikan sebagai buruh dan diupah dengan nominal yang tidak sebanding atau rendah. Penambangan mengakui bahwa imbal jasa yang diberikan oleh pihak KUD Bogo Sasono tidak mampu memenuhi keluarga. Kondisi imbal jasa rendah yang menekan penambang membuat timbulnya perlawanan dari penambang. Perlawanan tidak lagi dilakukan secara tertutup tetapi dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Penambang memilih untuk melanggar aturan yang ditetapkan, mereka memutuskan untuk tidak memasarkan hasil tembang mereka melalui KUD Bogo Sasono. Petani tambang desa Wonocolo memutuskan untuk menempuh jalan seperti penjualan tanpa memalui KUD Bogo Sasono, penyulingan secara mandiri dan pengurangan supply tambang ke Pertamina. Hal ini mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dan rumah tangga petani yang tidak tercukupi apabil mengikuti aturan main negara. 8 Analisis: Bentuk perlawanan petani tambang yang dilakukan di Desa Wonocolo bersifat terbuka dan nyata. Strategi yang mereka lakukan dengan tidak mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh negara melalui keluarnya SK Kementrian Pertambangan dan Energi No.0714K/30/M.PE/88 yaitu dengan melakukan pemasaran hasil tambang tidak melalui KUD Bogo Sasono, penyulingan secara mandiri dan pengurangan supply tambang ke Pertamina. Strategi ini mereka lakukan sebagai bentuk ketidak setujuan petani tambang desa Wonocolo atas intervensi negara dalam hal pengaturan pengelolaan sumber daya alam lokal. Petani tambang desa Wonocolo melakukan perlawanan dipicu oleh tidak terpenuhi kebutuhan subsisten petani. Mereka merasa sistem yang diterapkan tidak dapat memenuhi kebutuhan produksi dan rumah tangga petani. Perlawanan dilakukan oleh petani tambang tradisional yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas pertambang. Jurnal ini sudah menggunakan konsep yang relevan dengan fakta yang terjadi dilapangan. Selain itu metode penelitian dengan pendekatan Grounded Research sangat efektif dalam pengumpulan data, karena pendekatan ini bersifat felksibel yang memungkinkan peneliti memperoleh data dan informasi yang mendalam. Namun jumlah informan yang dijadikan sebagai sumber dipandang tidak mencukupi. Sebab apabila menggali informasi yang lebih banyak dari setiap stakeholder maka akan memperoleh informasi yang lebih mendalam dan lengkap. Selain itu akan diperoleh sudut pandang yang berbeda terhadap kasus ini. 4. Judul Pustaka : Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan atas Pembebasan Tanah Rakyat untuk Pembangunan (Studi Kasus: Pembebasan Tanah untuk Pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang) Tahun : 2006 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Tania Dora Warokka, Zulkifli dan Muba Simanuhuruk Nama Jurnal : Jurnal Studi Pembangunan Volume(edisi) : 1(02) Alamat URL/doi : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15378/1/stpapr2006-%20%287%29.pdf Tanggal Diunduh : 5 Maret 2015 pukul 16:59 WIB Ringkasan: Pada tahun 1997 terjadi pembangunan bandara Kuala Namu sebagai pengganti bandara Kolonia Medan. Pembangunan bandara Kuala Namu mengakibatkan terjadinya pembebasan tanah sebanyak delapan desa yang tersebar di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin. Pembebasan tanah dilakukan dari pemilik asli kepada PT Angkasa Pura II. Tahap awal dalam upaya pembebasan tanah yaitu pembentukan tim pembebasan tanah yang bertugas melakukan sosialisasi, pengukuran, inventarisasi dan mengadakan musyawarah ganti rugi. Kegiatan ini dipantau oleh perusahan untuk memastikan tidak terjadinya tekanan dalam proses pembebasan tanah. Selanjutnya sosialisasi pebebasan tanah kepada masyarakat bahwa akan dibangun bandara. Selain itu dilakukan pengukuran, inventarisasi dan pembayaran ganti rugi lewat negosiasi dengan berpedoman pada Badan Pertanahan Nasional dan Dinas Pertanian dan Perkebunan. Namun hasil negosisasi berlangsung tidak seimbang yang menyebabkan 9 pemegang tanah sering dirugikan. Pembayaran ganti rugi dipengaruhi oleh kelengkapan surat atau bukti serta status tanah yang dimiliki. Pembangunan bandara Kuala Namu menimbulkan konflik antara masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu dengan pihak PTPN II. Konflik dipicu oleh pembayaran ganti rugi yang diterima oleh masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu hanya atas tanamtanaman saja, ganti rugi atas tanah dan bangunan tidak dibayarkan karena 890 Ha tanahnya miliki pihak perkebunan. Sedangkan pada desa yang lain dengan tanah berstatus milik sendiri, ganti rugi tidak menimbulkan konflik. Selain itu konflik yang masih berlangsung hingga sekarang disebabkan oleh tidak diikutsertakannya masyarakat dalam sosialisasi, pengukuran, inventarisasi sampai pembayaran ganti rugi. Lalu PTPN II memberikan tawaran ganti rugi kepada buruh aktif, buruh harian dan pensiunan. Namun masyarakat menolaknya dan menganggap bahwa uang ganti rugi tersebut tidak dapat berguna. Sehingga memunculkan gerakan perjuangan nasib atas terkurungnya mereka oleh tembok bandara sejak tahun 1998 dan pada tahun 2000 dilakukan pengusiran. Perlawanan dilakukan dengan meminta bantuan KWML yang melibatkan LSM, DPRD Tk. II Sumut, Komnas HAM dan DPR-RI. Pasca konflik pembayaran ganti rugi sulit diselesaikan sehingga dilakukan pengajuan penyedian lahan pemukiman seluas 47 Ha dan tanah pengganti. Tanah sebagai modal produksi menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik sosial. Terdapatnya kepentingan yang berbeda antara berbagai pihak menciptakan kelas pemilik tanah dan kelas pekerja (buruh). Kelas yang tidak memiliki tanah memiliki ketergantungan terhadap tanah. Hubungan produksi dalam perkebunan telah melemahkan buruh perkebunan serta tidak memiliki hak dan akses terhadap tanah menimbulkan kekhawatiran. Tidak terpenuhinya tuntutan-tuntutan mereka dan pengambilan hak oleh pihak yang berkuasa telah memunculkan kesadaran kelas untuk memperjuangkan nasib. Kelompok masyarakat Pasar VI Kuala Namu melakukan perlawanan dengan menacari dukungan untuk meredam tekanan. Namun pihak perkebunan mencoba melemahkan perjuangan masyarkat dengan melakukan intimidasi misalnya melakukan pengusiran warga. Lemahnya perjuangan kelompok disebabkan oleh lemahnya posisi kelompok (jaringan sosial dan ketergantungan hubungan buruh-majikan). Namun konflik yang berlangsung antara masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu dengan pihak PTPN II tergolong tidak tinggi karena respon masyarakat yang pasrah. Hal ini disebabkan oleh kesadaran masyarakat akan hak sosial dan ekonominya rendah serta lemahnya demokratisasi. Masyarakat tidak mempunyai kemampuan mempertahankan haknya terhadap pihak yang berkuasa, sehingga posisi mereka semakin termarjinalkan. Analsis: Pembebasan tanah yang dilakukan untuk mendukung pembangunan bandara Kuala Namu menimbulkan konflik sosial. Konflik dipicu karena masalah ganti rugi yang dipengaruhi oleh status tanah yang dimiliki. Status tanah yang menimbulkan konflik bukanlah tanah milik sendiri sehingga ganti rugi hanya dilakukan atas tanam-tanaman saja. Sengketa tanah akibat pembangunan bandara Kuala Namu menimbulkan gerakan perlawanan petani masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu untuk memperjuangkan nasib. Bentuk perjuangan kelompok yang dilakukan dengan mancari dukungan terhadap pihakpihak yang memiliki hubungan kepentingan terhadap kasus seperti KWML, Komnas HAM, DPRD-RI dan DPRD Tk. II Sumut. Bentuk perjuangan yang dilakukan kelompok masyarakat tergolong bersifat pasrah karena kurangnya kesadaran atas hak sosial dan 10 ekonominya. Golongan yang melakukan perlawanan yaitu golongan petani buruh yang mendiami tanah milik perkebunan. Dilihat dari penyajian datanya, jurnal penelitian yang ditulis oleh Tania dkk dilengkapi oleh skema yang berisi alur konflik pembebasan tanah. Sehingga memudahkan pembaca untuk memahami proses terjadinya konflik sengketa lahan. Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif telah memberikan dukungan data yang membantu memperjelas penyajian data. Namun dalam jurnal penelitian ini tidak dilengkapi oleh data jumlah rumah atau bangunan yang terkena sengketa khususnya yang menimbulkan konflik. Selain itu tidak dilengkapi dengan berbagai data yang berkaitan dengan jumlah korban akibat pengusiran tahun 2000 meskipun perlawanan masih bersifat pasrah. Rumusan permasalahan dan tujuan penelitianpun tidak disampaikan secara langsung. 5. Judul Pustaka : Gerakan Protes Sosial Petani di Jawa pada Masa Kolonial (dalam Perspektif Sejarah Sosial Pedesaan) Tahun : 2009 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Abdu Muntholib Nama Jurnal : Jurnal Sejarahh FIS Unnes Volume(edisi) : 36(01) Alamat URL/doi : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS/article/view/1331/1421 Tanggal Diunduh : 18 Maret 2015 pukul 10:42 WIB Ringkasan: Gerkan sosial bukanlah sesuatu yang baru, bahkan sudah terjadi sebelum hadirnya Kolonial di tanah air. Hadirnya Kolonial atau selama abad 19 dan awal abad 20, gerakan sosial semakin meningkat. Gearakan sosial umunya terjadi di pedesaan seperti protes sosial petani di Jawa. Meningkatnya gerakan sosial pada masa Kolonial disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian dengan cita-cita masyarakat pedesaan serta terjadinya ekspansi dan dominasi politik, ekonomi dan budaya. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya disorganisasi di kalangan masyarakat. Penyebab munculnya gerakan sosial pada aspek ekonomi berupa komersialisasi seperti pemajakan, buruh upahan serta masalah kepemilikan dan penggarapan tanah. Sedangkan pada aspek politik berupa semakin meluasnya penetrasi sistem administrasi pemerintah Kolonial sehingga menimbulkan ketidakstabilan, lembaga polittik tradisional terdesak serta menjadikan penguasa tradisional sebagai alat birokrasi. Pemberontakan lokal, kepemimpinan kharismatik dan kepercayaan terhadap kemampuan pelaku juga telah mendorong pemberontakan. Misalnya pemberontakan di Banten yang besar dan meluas terjadi pada tahun 1888. Penghapusan kesultanan oleh pemerintah Kolonial menimbulkan pemberontakan dimana loyalitas beralih ke pemimpin agama kharismastik seperti haji atau kyai, sehingga semakin banyak memunculkan pesantren dan tarekat. Penyebab lain pemberontakan di Banten yaitu kepemilikan tanah yang bersifat pribadi serta tidak adanya sistem tanam paksa yang diberlakukan oleh pemerintahan Kolonial sehingga masyarakatnya bersifat individualis. Pemimpin yang berperan di Banten bukanlah petani melainkan elit agama 11 bekas bangsawan Banten dan elit desa yaitu para tuan tanah serta penduduk desa yang cukup berada. Pemberontakan terjadi bukan karena kemiskinan tetapi pada masyarakat makmur yang melakukan pembelaan terhadap miliknya. Keresahaan petani yang mendorong pemberontakan atau gerakan radikal apabila (1)ada tradisi pemberontakan; (2)ketegangan karena tersingkirnya lapisan besar; (3)dampak penetrasi dominasi; serta (4)adanya pemimpin revolusioner. Terciptanya alat keoorganisasian untuk mengarahkan mobilisasi. Gerakan radikal di Jawa mempunyai ideologi sebagai sumber motivasi dan tali pengikat solidaritas untuk melawan dan didalamnya terdapat tokoh pemimpin gerakan. Kegelisahan yang dialami oleh petani Jawa menimbulkan pemberontakan atau kriminialitas, selain itu hadirnya ekonomi pasar membuat petani kecil melepaskan tanahnya dan menimbulkan hutang. Protes sosial terjadi dalam bentuk kerusuhan, perbanditan sosial dan pembegalan. Berdasarkan kesadaran politik perbanditan petani dibedakan menjadi tiga yaitu (1) gerakan belum sadar politik berupa pencurian dan begal; (2)setengah sadar berupa perampokan dan perkecuan; dan (3) sepenuhnya sadar berupa gerilya dan pemberontakan. Perbanditan tersebut juga dibedakan menjadi kriminalitas, perbanditan dan pemberontakan. Masuknya kepitalisme seperti perkebunan dan lemahnya budaya lokal mengarahkan kepada eksploitasi sehingga menciptakan resistensi. Otonomi petani mengalami degredasi oleh kekuatan asing menimbulkan rasa tidak puas dan kerugian sehingga muncul gerakan sosial petani dalam bentuk penolakan. Resistensi yang dilakukan oleh petani bukanlah untuk menggulingkan dominasi tetapi untuk mempertahankan hidup pada masa itu. Akar terjadinya protes yang dilakukan petani diantaranya yaitu (1)komersialisasi pertanian sehingga menimbulkan kemerosotan keamanan petani; (2) pembentukan organisasi politik dari luar; serta (3)respon negara diantara pilihan reformasi dan penindasan yang berdampak pada lingkup dan intensitas mobilitas petani. Analisis: Gerakan sosial sudah hadir sejak lama namun setelah hadirnya Kolonialisme di tanah air menyebabkan semakin meningkatnya gerakan sosial tersebut. Pada masa pemerintahan kolonial, penyebab munculya gerakan sosial yaitu adanya penetrasi dominasi administrasi kolonial serta komersialiasi pertanian misalnya melalui sistem kerja paksa. Gerakan sosial tidak hanya muncul dari golongan miskin karena aksi dominasi pemerintahan kolonial tetapi juga muncul dari golongan makmur yang mulai tersingkir. Selain itu daerah yang bukan menjadi target sistem tanam paksa namun dengan sistem kepemilikan pribadi juga memicu terjadinya gerakan sosial seperti pada kasus di Banten. Kegelisahan yang dialami oleh petani Jawa membawa pada gerakan pemberontakan atau protes sosial. Protes sosial terjadi dalam bentuk kerusuhan, perbanditan sosial dan pembegalan. Aktor yang berperan sebagai pemimpin gerakan muncul dari tokoh agama seperti haji dan kyai, elit desa dan penduduk yang cukup berada. Peran pemimpin berperan sebagai pengorganisir gerakan melalui pengorganisasian yang mengarahkan pada mobilitas. Upaya pertahanan yang dilakukan petani tidak bertujuan untuk menggulikan dominasi namun untuk dapat mempertahankan hidup. Penyajian jurnal penelitian ini tidak dilengkapi oleh metode penelitian dan tujuan dilakukanya penelitian. Sehingga menyulitkan pembaca dalam memahami lebih mendalam mengenai isi dari jurnal. Namun jurnal penelitian ini sudah dilengkapi oleh hasil dari penelitian yang lain yang dijadikan sebagai contoh kasus yang dijadikan sebagai perbandingan. 12 6. Judul Pustaka : Gerakan Anti Tuan Tanah di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi (Studi Kasus Tentang Pemberontakan Petani di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantinga, Kabupaten Ngawi Tahun 1963-1965) Tahun : 2013 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Umi Rosyidah dan Sariyatun, Iswati Nama Jurnal : Jurnal Candi Volume(edisi) : 5 (01) Alamat URL/doi : http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sejarah/article/view/1894/1395 Tanggal Diunduh : 18 Maret 2015 pukul 10:53 WIB Ringkasan: Desa Sambirejo yang terletak di sebelah barat Kota Ngawi merupakan salah satu dari 11 desa dalam wilayah Kecamatan Mantingan. Pada tahun 1963-1965 Desa Sambirejo mengalami situasi yang tidak kondusif yaitu munculnya aksi-aksi seperti aksi mogok buruh. Situasi ini terbentuk karena terjadinya penggugatan atas tanah yang dilakukan oleh pihak Partai Komunis Indonesia atau Barisan Tani Indonesia. Penggugatan dilakukan terhadap tanah wakaf milik Yayasan Pemiliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) Gontor seluas 163,879 hektar. Usaha penggugatan yag dilakukan oleh pihak PKI/BTI dalam rangka usaha pembatalan Surat Keputusan Mentri Agraria No. SK. 10/Depag/1964. Tahun 1963 juga ditandai dengan aksi pemogokan oleh buruh di sektor pertanian yang disebabkan oleh sistem bagi hasil dan aksi sepihak yang dilakukan oleh buruh tani dari PKI/BTI. Pada tahun yang sama aksi pemogokan dipicu dengan memanasnya persengketaan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Masyarakat pedesaan Jawa Timur memiliki tiga partai politik meliputi Partai Nasional Kebangsan (PNI), Partai Nasional Keagamaan (NU) dan Partai Komunis (PKI). Kelompok tuan tanah dan petani kaya di atur untuk melepaskan kekayaannya berupa tanah dengan berbagai cara misalnya di jual, atau dihibahkan. Sehingga sistem ini tidak disukai oleh golongan tuan tanah dan petani kaya yang berujung terjadinya ketegangan politik. Peristiwa gerakan anti tuan tanah di Dadung, Sambirejo telah melibatkan berbagai pihak yaitu Pondok Modern Gontor, Partai Komunis Indonesia (PKI)/Barisan Tani Indonesia (BTI) serta pejabat pemerintah. Gerakan anti tuan tanah ini juga termasuk kedalam skala yang besar dbandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Gerakan anti tuan tanah Desa Sambirejo dilancarkan mulai musim tanam antara tahun 1963-1965. Puncak gerakan ini terjadi pada 1 Mei 1965 dengan keluarnya SK Menteri Agraria No. SK 10/Depag/1964 yang telah memberikan kepastian hukum terhadap tanah wakaf milik YPPWPM Gontor di Maningan. Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak PKI/BTI semakin meluas melalui tindakan liar para penggarap. Hal tersebut menyebabkan pihak YPPWPM Gontor merasa tidak sanggup dalam menyelesaikan tindakan liar para penggarap. Pihak YPPWPM yang mengalami kewalahan menyebabkan direncanakannya aksi balas dendam dari pihak 13 YPPWPM kepada pihak BTI. Abdullah Mustaqim Subroto Nadzir dari pihak YPPWPM mengumpulkan masa yang terdiri atas para pemuda dari berbagai organisasi Islam di Sekitar Ngawi. Sehingga pada tanggal 1 Mei 1965 diadakan suatu pertemuan dengan pihak BTI yang diselenggrakan oleh Catur Tunggal Mantingan di lapangan dusun Dadung yang dimulai pada pukul 10.00 pagi. Dengan ditiunya peluit maka munculah ratusan pemuda Islam yang menggunakan senjata berupa pentungan yang mulai menyerbu petani BTI. Petani BTI pun hanya melakuka perlawanan seadanya karena mereka tidak menduga sebelumya. Sebagia dari merelka melarikan diri ke Kampung Magersari. Pemuda Islam teta mengejar dan membakar rumah milik petani di Magersari. Sehingga Abdullah Mustaqim Subroto dan rekannya ditangkap oleh polisi ke Polres Ngawi. Gerakan anti tuan tanah ini menimbulkan dampak sacara politik, ekonomi dan sosial. Dampak politik yang ditimbulkan yaitu penanam ideologi kelas kepada kaum tidak bertanah dan petani miskin oleh PKI kurang berhasil yang menyebabkan kandasnya politik PKI. Selain itu secara politik telah memberikan dampak berupa hubungan dalam organisasi Islam semakin kuat dalam berbagai bentuk hubungan patron-client seperti yang tergambar di Desa Sambirejo berupa hubungan antara guru dan murid atau kiaisantri. Selanjutnya dampak secara ekonomi yaitu adanya korban luka tujuh orang dan pembakaran sepuluh rumah, pihak Pondok Modern Gontor tetap tidak mendapatkan hasil panen karena telah disita oleh BPPL Ngawi sehingga mengalami kesuliatan membayar gaji para mandor dan buruh. Sedangkan dampak dalam bidang sosial yaitu perhatian yang diarahkan pada pihak YPPWPM Gontor yang dianggap ragu apabila pihak mereka tidak mengetahui atas peristiwa yang terjadi. Analisis: Gerakan anti tuan tanah Desa Sambirejo merupakan gerakan yang dilakukan oleh golongan petani yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI). BTI merupakan anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga gerakan anti tuan tanah yang dilakukan oleh BTI dilatarbelakangi oleh ideologi-ideologi PKI. Upaya PKI untuk tetap eksis dalam perpolitikan dilakukan dengan memanfaatkan BTI untuk melakukan gerakan anti tuan tanah. Gerakan yang diwadahi oleh BTI terdiri atas petani penggarap yaitu kalangan tuna wisam dan petani miskin dengan intruksi atau pimpinan dari pihak PKI. Bentuk gerakan dilakukan dengan melakukan aksi sepihak terhadap pembatalan tanah wakaf milik Yayasan Pemiliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) melalui Surat Keputusan Mentri Agraria No. SK. 10/Depag/1964. Gerakan perlawanan BTI mendapatkan respon berupa kekerasan dari pihak YPPWPM sehingga berdampak secara sosial, ekonomi dan politik. Jurnal penelitian ini memiliki latar belakang bahwa di Indonesia maraknya terjadi permasalahan agraria. Permasalahan agraria mengarahkan pada munculnya gerkangerakan petani dalam berbagai bentuk dan strategi dengan dasar ideologi yang dipegang. Sedangkan tujuan dari penelitian gerakan anti tuan tanah Desa Sambirejo yaitu untuk melihat latar belakang terjadinya gerakan, proses gerakan dan dampak gerakan yang ditimbulkan. Penelitian ini menggunakan metode berupa penggunaan data sekunder untuk melihat alur sejarah karena terkait dengan peristiwa yang terjadi pada masa lalu sehingga menghasilkan historiografi. 7. Judul Pustaka : Wajah Prakasa Partisipatif: Dinamika Gagasan Reforma Agraria dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca 1998 14 Tahun : 2008 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Tri Chandra Aprianto Nama Jurnal : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume(edisi) : 12 (01) Alamat URL/doi : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/265 Tanggal Diunduh : 27 Febuari 2015 pukul 15:55 WIB Ringkasan: Reformas agraria yang merupakan perubahan struktur agraria telah menjadi agenda reformasi dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (pidato SBY 31 Januarri 2007). Maka dibuatlah Program Pembaharuan Agraria Nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik agraria. Gagasan mengenai reforma agraria juga banyak diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Sejak terjadinya peristiwa 1965 maka dilakukan penataan ulang pengelolaan sumberdaya agraria dengan kebijakan ekonomi liberal serta melibatkan militer. Sehingga dalam prakteknya petani tidak sebagai subjek pembangunan. Lahirlah gerakan sosial baru di Indonesia yang digerakan oleh Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dengan menggunakan pendekatan HAM termasuk hak-hak masyarakat adat Ornop. Gerakan sosial bentukan Ornop mengarah pada terbentuknya organisasi yang terorganisir. Diawali oleh adanya protes kelompok masyarkat tani yang menimbulkan kekerasan sehingga terbentuk perlawanan yang terorganisir. Pada tahun 1990an terbukti hadirnya ornop dan kesadaran masyarakat telah membentuk organisasi petani. Tahun 2005 organisasi lokal di berbagai provinsi bergabung dalam Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Kemudian muncul organisasi yang lebih spesifik mengenai isu reforma agraria yaitu Konsorium Pembaruan Agraria (KPA). Isu yang diangkat tidak lagi hanya perlawanan atas hak masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Namun isu yangg diangkat lebih luas yaitu mengenai krisis ekologi, bencana pembangunan dan krisis sosial karena gagalnya kelembagaan dan kebijakan pembangunan. Terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh gerakan sosial untuk memasuki ruang politik kenegaraan, yaitu (1) keterlibatan tokoh gerakan sosial ke ranah publik; dan (2) melakukan intervensi dan mempengaruhi agenda negara. Misalnya pada Serikat Petani Bengkulu (STAB) yang melakukan pembelaan dan pengorganisasian hukum pada kasus komunitas petani, nelayan dan pedagang di wilayah Bengkulu. Selain itu yang dilakukan oleh Organisasii Rakyat Independen (ORI) Sumatera yang didirikan karena rasa kebersamaan dalam membangun kekuatan politik. Upaya untuk melahirkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat khususnya petani tidak cukup hanya melalui pendidikan. Sehingga harus adanya kader gerakan sosial yang tidak hanya berjuang di arena politik tetapi juga setidaknya mempunyai kemampuan mempengaruhi agenda-agenda politik formal. Tidak hanya pada level nasional juga dari level yang rendah seperti kepala desa. Sehingga gagasan reforma agraria dapat dilakukan pada tingkat desa. Praktek politik ini juga dilakukan oleh Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja) ditunjukan dengan terdapat beberapa anggotanya yang menjadi kepala desa. Semetara dari pihak KPA menginisiasi lahirnya TAP MPR IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, namun kebijakan tersebut tidak 15 ada tindak lanjutnya. Sementara sepanjang tahun 1970-2001 KPA mencatat ada 1.753 kasus dengan objek sengketa tak kurang dari 10.892.203 Ha dan mengorbankan 1.189.482 KK. Dalam upaya penyelesaian dibentuklah Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang dimandatkan oleh Komnas HAM pada masa presiden Megawati Soekarno Putri. Namun pada masa SBY tidak setuju akan pembetukan kelembagan tersebut dan lebih menekankan pada penajaman fungsi dan kewenangan BPN. Dalam upaya penylesaiannya dibutuhkan prakasa transformatif yang membutuhkan perubahan-perubahan dalam kebijakan dan implementasinya melalui adapasi dari prakasa pada tingkat akar rumput sampi level pemerintah. Indonesia telah mempraktekan perubahan transformatif dengan terbukanya ruang politik pasca 1998. Pada level yang lebih tinggi adanya actor pro reform yang mau membicarakan isu reforma agraria. Selain itu perlu peran akademisi untuk memiliki keberpihakan dan bergabung dalam kelompok gerakan sosial Indonesia. Seperti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) yang melakukan riset demi terwujudnya reforma agraria dan pembaruan desa. Selain itu hadir Lingkar Belajar Reforma Agraria (LIBRA) yang melakukan kegiatan belajar di perguruan tinggi Indonesia (IPB, UI, UGM, STPN, UIN Ciputat). Analisis: Reforma agraria dijadikan sebagai gagasan untuk menangani permasalahan agraria seperti sengekta hak masyarakat dan kerusakan ekologis. Gerakan sosial baru Indonesia terbentuk dari ornop berdasarkan kesadaran masyarakat yang mengarah pada terbentuknya organsasi yang terorganisir. Terdapat dua strategi yang digunakan oleh gerakan sosial untuk masuk kedalam politik negara dalam rangka penyelesaian permasalahan agraria yaitu pertama, masuknya anggota gerakan sosial kedalam ruanng politik. Misalnya beberapa anggota gerakan sosial menjadi kepala desa sehingga gagasan reforma agraria bisa dilakukan pada tingkat desa. Kedua, intervensi dan mempengaruhi agenda negara dengan mengandalkan kader yang mempunyai kemampuan mempengaruhi agenda politik formal. Kepemimpinan yang diandalkan yaitu pada level atas berupa hadirnya actor pro reform yang mau membicarakan isu reforma agraria. Golongan sosial yang terlibat dalam gerakan sosial yaitu dimulai dari petani kecil hingga aktor yang memiliki kesempatan untuk masuk kedalam ruang politik baik ditingkat lokal maupun nasional. Tujuan penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui bagaimana gerakan sosial di Indonesia melakukan dorongan dan bagaimana konsistensi gerakan sosial ketika tersendat oleh gerakan penolakan. Variabel yang digunakan yaitu hubungan antara reforma agraria dan gerakan sosial. Penulisan teoritis dilengkapi oleh contoh-contoh gerakan sosial yang mewakili serta dikaitkan dengan isu-isu yang sedang berkembang. Namun jurnal ini tidak menjelaskan mengenai metode yang digunakan dalam pengumpulan data dan penulisan. 8. Judul Pustaka : Perjuangan Masyarakat Lokal di Tengah Pengembangan Lahan Sawit (Studi Kasus Perusahaan Kelapa Sawit di Desa Wambes, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua) Tahun : 2014 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik 16 Penulis : Liboria Genoveva Atek Nama Jurnal : Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Volume(edisi) : 13 (01) Alamat URL/doi : http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/4807/ART_Liboria%20Geno veva%20Atek_perjuangan%20masyarakat%20lokal_fulltext.pdf?sequence=2 Tanggal Diunduh : 6 Maret 2015 pukul 13:29 WIB Ringkasan: Pada masa Orde Baru, perkebunan digunakan oleh Indonesia sebagai alat untuk menambah devisa negara. Perkebunan dijalankan melalui dua strategi yaitu (1) rehabilitasi perkebunan negara yang sudah ada; dan (2) membangun perkebunan karet dan kelapa sawit melalui Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sumber dana yang digunakan dalam pengelolaan perkebunan yaitu dari pinjaman Bank Dunia. PIR berkerja dengan melibatkan masyarakat sebagai pekebun yang mandiri sementara perusahaan perkebunan sebagai pembina. Contohnya yaitu perusahaan PTPN 2 yang mengembangkan kelapa sawit di Desa Wambes Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Sehingga terjadi peralihan dari masyarakat petani subsisten menjadi buruh kelapa sawit. Namun dalam prakteknya perusahaan menjadi semakin kaya sedangkan masyarakat menjadi semakin miskin karena kesejahteraan mereka tidak jelas yang disebabkan oleh ketidak adilan. Pelepasan tanah ulayat menjadi lahan perkebunan tidak berjalan mulus karena disertai konflik. Hingga saat ini lahan dengan luas lebih 50.000 Ha yang digarap PTPN II masih bermasalah dalam hal ganti dan belum adanya sertifikat. Perusahaan yang telah berdiri selama 30 tahun (berdiri tahun 1982/1983) ini melakukan pengelolaan perkebunan dengan pola PIR untuk mengembangkan mutu petani yang melibatkan mereka sebagai petani plasma dengan sistem saling menguntungkan. Namun janji-janji yang diberikan perusahaan tidak terbukti, hasil kerja para buruh tidak sebanding dengan yang mereka dapatkan dari perusahaan. Perusahaan tidak menempati janji untuk memberikan upah maksimal, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Ketidak adalian masayarakat rasakan melalui sistem kerja buruh-majikan sehingga masyarakat kehilangan haknya dalam membuat usaha lain untuk menambah pendapatnnya. Saat ini sekitar 95% hektar tanah masyarakat dikontrakan kepada perusahan dengan bayaran Rp300.000 perbulan. Alasan masyarakat mengontrakan tanahnya yaitu (1)harga Tandan Buah Besar (TBS) kelapa sawit di bawah standar; (2)petani tidak mampu membayar ongkos angkutan yang tinggi; dan (3)pungutan perusahaan kepada masyarakat yang bekerja di pabrik, jika tidak membayar maka tidak akan dilakukan penimbangan dan pembongkaran TBS. Terlihat bahwa aturan-aturan yang dibuat oleh perusahaan memberikan dampak negatif kepada masyarakat. Semakin tingginya desakan ekonomi mendorong masyarakat untuk melakukan perjuangan seperti demo di depan pabrik, mogok kerja dan memalang jalan truk pengangkut kelapa sawit. Namuan pihak perusahaan tidak menanggapi serius mengenai persoaln ini. Selain itu masyarakat juga mengajukan aspirasi kepada pemerintah namun ternyata sama saja, pemerintah memberikan respon yang negatif sehingga meminta bantuan kepada Dewan Adat Papua (DAP) untuk menyelamatkan hutan mereka. Perjuangan merekapun mendapatkan jawaban yang positif, para DAP mulai memberikan perahatian kapada hutan mereka yang semakin tergusur oleh perusahaan sawit. Untuk mempertahankan hidup mereka, 17 masyarakat mulai membuka usaha seperti mengontrak tanah, membuka usaha baru (menanam Kakao) dan mencari pekerjan diluar perusahaan perkebunan. Hadirnya perkebunan kelapa sawit memberikan dampak positif yaitu menjadi sumber pendapatan daerah yang tinggi. Selain itu bermanfaat dalam mengurangi tingkat penganguran, mendapatkan pelayanan kesehatan, mendapatkan sarana dan prasarana pendidikan, tranportasi dan akses masyarakat ke kota. Namun lebih banyak memberikan dampak negatif yaitu ekonomi masyarakat yang belum sejahtera, banjir, tumbuhan dan hewan punah, kesulitan air bersih dan penyakit. Kerusakan lingkungan merupakan dampak terbesar atas hadirnya perkebunan sawit. LSM lingkungan Telapak menyatakan bahwa tahun 2007 di hutan Papua sekitar 300 ribu meter kubik kayu ditebas sehingga merusak sekitar 1 juta hektar per tahun hutan yang merupakan sumber oksigen dunia.. Analisis: Perlawanan masyarakat Asro dilatar belakangi oleh hadirnya PTN II sebagai perusahaan perkebuna kelapa sawit yang merusak hutan milik masyarakat. Selain itu terjadinya penurunan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang diakibatkan ketidak adalian dari sisrtem kerja buruh-majikan yang diterapkan oleh perusahaan kepada buruh sawit. Pelalaian terhadap janji-janji perusahaan terhadap penjaminan kesejahteraan masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan menjadi penyebab perlawanan. Perlawanan dilakukan dengan berbagai stratgei yaitu demo, mogok kerja dan memalang jalan truk pengangkut kelapa sawit. Masyarakat juga melakukan usaha mencari dukungan kepada pemerintah namun diberikan respon negatif. Sehingga masyarakat memanfaatkan Dewan Adat Papua (DAP) dalam menjaga hutan mereka sekaligus berperan sebagai pemimpin perlawanan. Perlawanan dilakukan tidak terwadahi melalui organisasi khusus namun hana berupa aksi-aksi kolektif masyarakat. Masyarakat yang terlibat dalam perjuangan ini berasal dari gologan buruh kecil yang mengalami tekanan atau desakan ekonomi atas hadrnya perusahaan perkebuanan sawit ini. Latar belakang penulisan jurnal yaitu karena adaya masalah kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat Desa Wambes Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua akibat ketidak adilan perusahaan. Varibel yang digunakan yaitu perjuangan masyarakat lokal dan pengembangan lahan sawit dengan metode penelitian kualitatif. Penjelasan mengenai perjuangan masyarakat terhadap perusahan sawit kurang mendalam karena tidak memberikan infromasi yang lengkap mengenai perjuangan masyarakat yang didukung oleh Dewa Adat Papua (DAP). Sebab jika dilihat dari latar belakang masayarakat Papua masih memegang tradisi adat yang masih kental sehingga akan berpengaruh besar pula pada upaya perjuangan mereka. 9. Judul Pustaka Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Penulis Rangkuti Nama Jurnal Volume(edisi) Alamat URL/doi Tanggal Diunduh : Komunikasi Penyadaran Kritis Gerakan Petani : 2014 : Artikel jurnal : Elektronik : Wijanarko, Sarwititi Sarwoprasodjo dan Parlaungan Adil : Makara Hubs-Asia : 18 (01) : http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE25-1c.pdf : 27 Febuari 2015 pukul 16:12 WIB 18 Ringkasan: Sejak reformasi, gerakan perubahan mulai dari tingkat akar rumput banyak dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Gerakan sosial memiliki dua tujuan yaitu anti status quo dan pelembagaan politik. Komunikasi conciousness raising (penumbuhan kesadaran) sebagai strategi gerakan perlawanan petani terhadap negara dilakukan dalam bentuk pelatihan, diskusi publik dan aksi. Tujuan komunikasi conciousness raising untuk mengungkapkan bentuk ketidakadilan dan identitas kolektif para aktor. Pendirian Serikat Petani Qoryah Thabiyyah (SPPQT) yaitu mengembangkan masyarakat petani agar mampu mendapatkan akses dan mengendalikan sumber daya serta mampu mengatasi masalah dalam peningkatan kesejahteraan. Selain itu untuk membebaskan petani dari penindasan yang dilakuan oleh ideologi kapitalisme dan feodalisme yang menyebabkan pemiskinan dan ketidakberdayaan. Program-program yang dijalankan meliputi perjuangan alat produksi bagi petani penggarap, sistem pertanian berkelanjutan yang mandiri dan ramah lingkungan serta dikuasai petani dan lain-lain. Aktor penggerak serikat dari golongan aktifis muda NU dengan ideologi pluralisme dan kesetaraan gender. Keberhasilan gerakan petani dipengaruhi oleh media komunikasi yang dikelola oleh serikat yaitu media cetak berupa buletin Caping, elektronik, berupa situs buletin Caping serta Facebook dan alternatif berupa media inetrpersonal dan pertemuan kelompok. Media alternatif berupa media interpersonal dan pertemuan kelompok di nilai lebih diterima oleh masyarakat. Setiap paguyuban memiliki isu yang berbeda-beda, secara umum isu tersebut dikelompokan menjadi empat kategori yaitu organisasi politik, pertanian organik dan ekonomi, perempuan dan kepemudaan. Proses penyadaran gerakan petani diakukan dengan menggunakan media pembangkit kesadaran untuk menghadapi empat isu. Media kelompok merupakan media yang palingg sering diunakan. Proses CR dapat menggunakan teknik berbagi pengalaman dan cerita serta mengeksplore isu-isu keberagaman. Media alternatif yang sudah ada dalam masyarakat seperti forum-forum di level desa dan pengajian dapat digunakan. Pada isu pertanian organik, media CR yang digunakanyyaitu pengajian yang dikolaborasikan dengan pertemuan kelompok, seminar, teater rakyat serta internet. Selanjutnya pada isu perempuan melalui Forum Perempuan Desa Jombong dengan latar belakang isu pemberdayaan yaitu ketidakadilan berupa partiarki dan kapitalisme. Teknik CR yang digunakan berupa diskusi degan berbagi pengalaman dan cerita mengenai ketidakadilan yang dialami perempuan dan fasilitator. Sedangkan teknik CR yang digunakan dalam isu pemuda yaitu internet dan situs Caping. Meskipun akses pemuda terhadap internet tinggi namun mereka malas untuk memberikan komentar dalam situs sebagai saran diskusi. Tujuan komunikasi penyadaran kritis dalam kelompok yaiu agar terbentuknya identitas petani yang kritis dan memiliki motivasi yang mengarahkan pada terbentuknya aksi kolektif. Dari keempat kelompok tani dalam isu yang berbeda telah menunjukan transformasi identitas individual menjadi kolektif. Komunikasi penyadaran kritis merupakan solusi alernatif dalam pembentutkan gerakan petani. Fungsi komunikasi tidak hanya menyampikan informasi tetapi juga untuk menyadarkan kau tani atas ideologi dominasi yang menekan mereka. Dalam SPPQT memiliki karakteristik gerakan perubahan yaitu identitas gerakannya berfokus ppada pengembangan ekonomi serta secara struktural merupakan bentuk formalisasi oraganisasi. Selanjunya bentuk aksi dari SPPQT tidak selalu demonstrasi atau protes tetapi juga aksi festival, seminar dan audiensi. 19 Analisis: Serikat Petani Qoryah Thabiyyah (SPPQT) merupakan bentuk gerakan perubahan petani untuk membebaskan mereka dari penindasan dari berbagai bentuk kapitalisme dan feodalisme serta fokus SPPQT yaitu untuk pengembangan ekonomi dari anggotanya. SPPQT merupakan upaya struktural untuk forrmalitas organisasi sebagai wadah petani dalam melakukan gerakan perubahan. Aktor yang berperan memimpin gerakan peruabahan SPPQT berasal dari para aktivis NU dengan dieologi pluralisme dan kesetaraan gender. Bentuk aksi yang dilakukan oleh SPPQT tidak hanya demonstrasi dan protes juga aksi festival, seminar dan audiensi. Upaya gerakan perubahan ini dibentuk melalui upaya penyadaran kritis melalui komunikasi conciousness raising (penumbuhan kesadaran) dengan menggunakan media komunikasi alternatif berupa media interpersonal dan pertemuan keompok. Media alternatif ini dinilai sesuai dengan kondisi masyarakat dengan segala keterbatasannya seperti sarana dan prasarana komunikasi. Komunikasi penyadaran kritis efektif dalam mentransformasi masyarakat dari identitas individual ke kolektif serta mendorong terbentuknya gerakan petani. Golongan sosial yang ikut serta dalam gerakan perubahan SPPQT berasal dari golongan petani bawah yang megalami penindasan dari pihak negara. Variabel yag digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi penyadaran kritis dan gerakan sosial. Sedangkan metode peneliltian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dengan pemilihan subjek dan informan penelitian dilakukan secara purposif. Pembahasan penelitian ini disajikan secara lengkap dengan menjelaskan dua konsep yang berbeda yaitu penyadaran kritis dan gerakan sosial. Serta penjabaran SPPQT secara terperinci yang dilihat dari sudut teknik komunikasi kritis yang digunakan. 10. Judul Pustaka : Sengketa Kawasan Hutan Lindung antara Perhutani dengan Masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung Tahun : 2014 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Asteris Meliza Koesume Nama Jurnal : Unnes Law Journal Volume(edisi) : 3 (01) Alamat URL/doi : http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj Tanggal Diunduh : 19 April 2015 pukul 18:24 WIB Ringkasan: Status, batas dan luas wilayah suatu kawasan hutan sudah ditetapkan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan ditegaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. Pengelolaan hutan difokuskan kepada pemanfaatan, konservasi dan perlindungan fungsi hutan namun dalam prakteknya lebih menonjolkan fungsi pemanfaatannya. Kawasan hutan telah ditetapkan untuk dikelola oleh Perum Perhutani namun sering masyarakat melakukan klaim bahwa lahan tersebut merupakan milik mereka secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Sehingga munculah sengketa yang diajukan oleh masyarakat kepada pengadilan atas pemilikan kawasan hutan. Seperti sengketa kawasan hutan lindung petak 23 seluas sekitar 141 hektar di Resor 20 Pemangku Hutan (RPH) Kemloko, Bagian Kesatuan Pemangku Hukum (BKPH) Temanggung, Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kedu Utara. Namun gugatan atas kawasan hutan yang diajukan penggugat tidak dapat dibuktikan secara jelas sehingga berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Temanggung Nomor 20/1981/Pdt/G/PNT memutuskan untuk menolak gugatan serta dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jateng Nomor 448/1984/Pdt/PT.Jateng. Berdasarkan kedua keputusan tersebut masyarakat menilai hakim tidak memihak kepada rakyat sehingga mengajukan kasasi namun ditolak oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 1677 K/Pdt/1988. Tetapi masyarakat tetap menuntut agar hutan dikembalikan kepemilikannya kepada rakyat atau memberikan masyarakat kesempatan untuk mengelola hutan. Berkaitan dengan sengketa yang terjadi, masyarakat Desa Kemloko menggunakan jalan pengadilan sebagai upaya mereka untuk memperoleh kembali kawasan hutan yang diklaim milik mereka. Meskipun keputusan sudah dikeluarkan melalui putusan MA, masyarakat Desa Kemloko tidak dapat menerima begitu saja. Faktor yang melatar belakangi masyarakat tidak dapat menerima keputusan MA yaitu karena mereka mengkalim bahwa tanah yang menjadi sengketa merupakan milik nenek moyang secara turun temurun. Selain itu mayarakat meyakini bahwa kawasan hutan lindung sebenarnya milik mereka namun kemudian dialihan kepemilikannya oleh pemerintah melalui alasan gadai. Fakto ekonomi juga menjadi latar belakang masyarakat menolak keputusan MA, desakan memperbaiki kondisi ekonomi rakyat menuntut rakyat untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber pendapatan. Mereka juga merasa berhak untuk menfaatkan lahan sebagai bentuk partisipasi mereka menjaga kawasan hutan melalui caranya sendiri misalnya menanam tanaman semusim. Namun Perum Perhutani berpandangan bahwa masyarakat akan merusak kawasan hutan apabila terus melakukan pemanfaatan Upaya Perum Perhutani dalam menyelesaikan sengketa dengan membangun kesadaran masyarakat desa hutan dan membuat model pemanfaatan hutan melalui program PHBM. Berdasarkan SK Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, kegiatan PHBM meliputi sosialisasi, dialog, kelembagaan/pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH), negosiasi, perjanjian kerjasama dan pelaksanaan. Namun mayarkat merasa keberatan terhadap sistem sewa dalam PHBM sehingga tidak berjalan maksimal. Dalam pelaksanaan putusan MA pihak Perum Perhutani mengalami berbagi hambatan internal dari para pihak yang bersengketa dan objek sengketa serta hambatan eksternal dari pihak luar. Tingkat pemahaman masyarakat mengenai kawasan hutan lindung Petak 23 KPH Kedu Utara masih lemah. Mereka hanya memahami sebatas kawasan tersebut sebagai kawasan hutan tetapi tidak memahmi arti dan fungsi sosial kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan. Selain itu stigma masyarakat yang buruk terhadap Perhutani menjadi hambatan dalam pelaksanaan putusan MA. Masyarakat memandang bahwa Perhutani melakukan program PHBM hanya untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi Perhutani. Stigma buruk ini muncul karena adanya pihak ketiga yang memiliki kepentingan individu, mereka memaksa pihakpihak yang bersengketa untuk mengajukan keberatan-keberatannya. Analisis: Strategi yang digunakan oleh masyarakat Desa Kemloko dalam upaya memperoleh kembali kawan hutan yaitu dengan menggunakan jalan pengadilan. Mereka melakukan tuntuan kepada Perum Perhutani melalui pengadilan serta mengajukan kasasi terhadap MA. Namun kedua putusan tersebut tidak memberikan keuntungan kepada pihak penggugat dengan alasan bahwa masyarakat tidak memliki bukti-bukti yang jelas. 21 Sengketa yang dialami oleh masyarakat golongan kecil dilatar belakangi oleh keyakinan masyarakat bahwa kawasan hutan merupakan milik nenek moyang mereka secara turun temurun sehingga masyarakat mempunyai hak untuk mengelola dan meamnfaatkannya. Dalam upaya tuntutan ini tidak dijelaskan kepemimpinan serta pengorganisasiannya. Meskpiun pihak Perum Perhutani sudah melakukan upaya penyelesaian melalui pembentukan program PHBM namun tidak berjalan lancar karena adanya stigma buruk yang dimiliki masyarakat terhadap Perum Perhutani. Variabel yang di gunakan dalam penelitian yaitu sengketa kawasan hutan dengan mengambil kasus di Resor Pemangku Hutan (RPH) Kemloko, Bagian Kesatuan Pemangku Hukum (BKPH) Temanggung, Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kedu Utara. Tujuan penulisan penelitian ini yaitu untuk (1) mengetahui latar belakang masyarakat tidak menerima putusan MA; (2) upaya yang dilakukan Perum Perhutani terhadap pelaksanaan putusan MA; dan (3) hambatan yang terjadi. Metode yang digunakan yait penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yang menghasilkan data deskriptif. Namun penelitian ini tidak mejelaskan secara rinci mengenai aktor-aktor yang menggerakan masyarakat sehingga mempunyai keberanian untuk melakukan gugatan kepada pengadilan dan MA. 11. Judul Pustaka : Evaluasi Advokasi Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Adriany Badrah Nama Jurnal : Jurnal Studi Pemerintah Volume(edisi) : 2 (02) Alamat URL/doi : http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDet ail&act=view&typ=html&buku_id=54019 Tanggal Diunduh : 20 April 2015 pukul 13:05 WIB Ringkasan: Konflik agraria terjadi sebagai akibat perampasan tanah oleh tuan tanah yang sebagian besar dialami oleh kaum tani yang menempatkan tanah sebagai sumber penghidupan mereka. Seperti konflik berupa sengketa tanah yang terjadi antara PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) sebagai pemilik pekebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan masyarakat petani Kecamatan Toili Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah. Kasus berawal ketika PT Berkat Hutan Pusaka (PT BHP) melakukan konservasi hutan ke perkebunan kelapa sawit yang merupakan kerja sama antara PT KLS dengan PT Inhutani. PT BHP merupakan pemegang izin HTI sluas 13.400 Ha di Kecamatan Toili dan Toili Barat. Areal perkebunan petani Desa Piondo yang mengalami tumpang-tindih dengan areal HTI perusahan seluas 184 Ha. Konflik yang terjadi tergolong kedalam konflik kepentingan, bagi petani Toili tanah sebagai sumber kehidupan dengan melakukan kegiatan pertanian tanaman komoditi dengan corak pertanian yang tradisional dan subsisten. Sedangkan PT KLS membutuhkan tanah untuk melakukan aktvitas pengelolan lahan melalui corak produksi modern dalam 22 menghasilkan minyak sawit mentah. Sehingga perusahaan melakukan perluasan areal melalui konversi lahan. Tanah yang bersengketa merupakan tanah HGU PT KLS yang pada tahun 1995 diadakan program transmigrasi Swakarsa Mandiri dengan pola Agroestate dan PT KLS mengikuti tender. Perusahaan wajib membuat perumahan yang layak huni dan menanam kakao untuk para transmigran. Namun hal tersebut berbeda dengan kenyataan sehingga 21 dari 100 KK transmigran kembali ke asal. Transmigran yang bertahanpun harus melunasi kredit lahan serta harus menghadapi penggusuran oleh PT KLS dengan alasan surat keterangan dari Disnakertrans. Penggusuran oleh PT KLS mendorong petani meminta pendampingan kepada LSM dalam penyelesaian konflik. Hal tersebut mendapat respon positif dari LBH dan Walhi yang diawali dengan melakukan investigasi pengumpulan informasi. Posisi petani Toili lemah dalam konflik sengketa ini karena berhadapan dengan kekuatan eksternal seperti modal dan kebijakan investasi. Sehingga mereka melakukan perjuangan dengan meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulawesi Tengah dan Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Selawesi Tengah dengan melakukan diskusi antara perwakilan dari petani dan pihak PT KLS. Semakin kompleksnya konflik yang terjadi medorong LBH dan Walhi untuk melakukan advokasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Palu yang telah terbentuk Fornt Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah. Advokasi dilakukan dengan membentuk lingkaran inti (allies) yaitu kumpulan orang atau organisasi sebagai penggagas dan penggerak seluruh kegigatan advokasi. Metode yang digunakan yaitu litigasi berupa pelaporan dan pengaduan ke polres serta nonlitigasi yaitu dengan bersurat ke Menteri Kehutanan terkait pengungkapan fakta pelanggaran di lapangan. Advokasi FRAS Sulteng memberikan dampak positif yaitu memberikan banyak informasi kepada petani mengenai dampak lingkungan, sosialekonomi dan hukum. Sedangkan dampak negatif yang dihasilkan yaitu terjadinya saling gugat, penangkapan petani karena perlawanan terbuka, teror dan intimidasi terhadap petani. Advokasi FRAS menggunakan metode aksi masa serta lobby dan negosiasi untuk membangkitkan kedaulatan petani. Puncak konflik ini terjadi pada 26 Mei 2010 yang berujung pada aksi pengrusakan dan pembakaran alat berat dan kantor milik perusahaan serta penangkapan 13 orang petani termasuk koordinator FRAS. Secara umum gerakan advokasi memiliki dua strategi yaitu penguatan kedalam dengan membentuk Forum Petani Buol (FTB). Selanjutnya dengan strategi mendatangi instasi atau lembaga pemerintah melalui aksi maupun lobi dan negosiasi namun lebih mengutamakan aksi masa. Faktor yang menyebabkan gagalnya advokasi yaitu manajemen kerja lemah, protokol komunikasi tidak efektif, kriminalisasi terhadap petani, umur oganisasi advokasi pendek, pengawalan kasus tidak maksimal, regulasi tumpang tindih dan aparat keamanan tidak netral. Analisis: Perlawanan dilakukan oleh petanidi Kecamatan Toili Kabupaten Luwuk Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Perlawanan didorong oleh terjadinya sengketa lahan antara petani Toili dengan PT KLS yang merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Advokasi merupakan bentuk perlwanan yang dilakukan melalui aksi masa yang didampingi oleh LSM berupa FRAS Sulteng. Advokasi dilakukan dengan metode ligitasi yaitu jalur hukum dan non ligitasi berupa pelaporan kepada Menteri Kehutanan atas pelanggaran yang dilakukan PT KLS. Selain itu terdapat dua startegi dalam advokasi 23 yang dilaukan yaitu pembetukan Forum Petani Buol (FTB) dan aksi masa kepada instasi atau lembaga pemerintahan. Perlawana dilakukan oleh golongan petani kecil yang bertahan atas program transmigrasi Agroestate serta korban penggusuran oleh PT KLS. Aksi perlawanan dilakukan dengan melibatkan organisasi seperti LBH, Walhi dan FRAS Sulteng. Variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu advokasi dan konflik sengketa tanah yang dilakukan melalui metode evaluasi dan penelitian kualitatif. Penelitian ini telah mengaitkan atau membandingkan antara teori dengan kenyataan yang terjadi. Jurnal ini tidak menunjukan secara langsung tujuan penulisannya, namun secara tersirat memiliki tujuan untuk mengetahui gambaran penyebab terjadinya sengketa serta untuk mengetahui proses advokasi yang dilakukan oleh FRAS Sulteng. Jurnal penelitian ini memiliki bagian pendahuluan yang panjang sehingga sangat memberikan gambaran latar belakang penulisan yaitu karena adanya konflik sengketa lahan anatar petani dan PT KLS yang melakukan perluasan areal perkebunan melalui keonversi hutan. 12. Judul Pustaka : Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial Tahun : 2005 Jenis Pustaka : Artikel jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Sadikin Nama Jurnal : Jurnal Analisis Sosial Volume(edisi) : 10 (01) Alamat URL/doi : http://www.akatiga.org/index.php/publikasi/jurnal-analisissosial/206-edisi-10-volume-1 Tanggal Diunduh : 6 Maret 2015 pukul 13:29 WIB Ringkasan: Petani memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi perubahan sosial dan sejarah suatu masyarakat. Petani memiliki stereotype sebagai orang yang bodoh dan pasrah serta kelompok masyarakat yang tidak memiliki sejarah. Meskipun gerakan sosial dikenal sebagai pemberontakan petani namun mereka belum ditempatkan sebagai subjek gerakan. Di negara dunia ketiga hubungan masyarakat petani dengan negara yang menggambarkan penetrasi kapitalisme barat menjadi fokus perhatian bagi kalangan ilmuan sosial barat. Petani menjadi objek kajian bagi pertempuran idelogi politik dominan. Gerakan sosial lahir atas gejala kerumunan, acting mob, kelompok-kelompok panik, perilaku yang berubah, kerusuhan masal, histeria, protes, dan tindakan koletif lainnya yang bersifat brutal, tidak rasional dan destruktif. Gerakan sosial dianggap sebagai penyakit sosial yang harus disembuhkan sebab studi gerakan sosial tahun 19401960an menekankan aspek irrasionalitas yang mendorong munculnya tindakan kolektif melalui kekerasan. Karena pada masa itu di dominasi oleh pemikiran fungsionalisme yang menekankan keseimbangan. Terdapat tiga perspektif dalam gerakan sosial yaitu fungsionalisme (Emile Durkheim), Marxisme (Karl Mark) dan liberal-individualisme. Dalam perspektif fungsionalisme memandang kehidupan sosial harus selalu ada dalam keteraturan, segala sesuatu yang danggap mengancam keteraturan dianggap gangguan penyakit. Sehingga melihat gerekan sosial sebagai gejala krisis dalam masyarakat. Berbeda dalam pandangan Marxis yang percaya masyarakat tidaklah bersifat statis, selalu 24 ada konflik yaitu antara kelas proletar dan borjuis. Gerakan sosial muncul karena terjadinya dominasi dan eksploitasi kelas oleh kelas yang lain atau karena adanya kesadaran kelas. Sedangkan perspektif liberal-individualisme menekankan pentingnya hak-hak dan kebebasan individu. Gerakan sosial terjadi karena adanya kepentingan pribadi setiap individu yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Teori gerakan sosial baru membawa pada pandangan positif gerakan sosial yang telah berhasil mendorong proses demokratisasi. Terdapat dua teori dalam studi gerakan sosial yaitu teori mobilisasi sumber daya yang memandang gerakan sosial secara nnegatif sebagai anomie serta perilaku irasional dan gerakan sosial baru yang memandang gerakan sosial sebagai perjuangan kelas. Terdapat beberapa hal sebagai karakter dan ciri dari gerakan sosial yaitu (1)peilaku kolektif; (2)memiliki tujuan untuk melakukan perubahan atau mempertahankan keadaan; (3)tidak identik dengan gerakan politik yang memperebutkan kekuasaan langsung; (4)perilaku kolektif yang terorganisasi secara formal atau informal; dan (5)gejala yang lahir dalam masyarakat yang berkonflik. Gerakan sosial yang tergabung dalam organisasi non pemerintah dipandang lebih ampuh dan relevan dengn perkembangan jaman dibandingkan gerakan sosial berbasis pada ideologi dan kelas. Konflik tanah dipandang sebagai (1)produk dari perilaku kolektif masyarakat untuk memperoleh penguasaan; (2)kehadiran ornop telah memberikan pengaruh pengetahuan, kesadaran dan keyakinan; (3)kehadiran ornop, pengetahuan dan kesadaran membawa masyarakat untuk terlibat dalam jaringan yang lebih besar, formal, sistematis, rumit dan terlembaga serta melintasi batas geografi, sosial dan budaya. Kegiatan penelitian perlawanan petani dan konflik agraria lebih baik diletakan dalam kerangka studi gerakan sosial. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh (1)peristiwa atau gejala konflik sebagai produk dari gerakan sosial; (2)penelitian mengenai konflik agraria diarahkan pada pembahasan mengenai penyelesaian konflik; (3)organisasi di Indonesia kebanyak lahir atas dukungan organisasi non pemerintah. Sehingga penting untuk mengkaji sejauhmana gerakan sosial yang diarahkan oleh organnisasi non pemerintah memberikan dampak terhadap dinamika dan arah gerakan oraganisasi. Pemimpin gerakan petani umumnya berasal dari kalangan elite desa, seperti pemuka adat, kaum ningrat, orang dengan status sosial terhormat atau kalangan intelektual. Analisis: Gerakan sosial secara umum lebih dikenal sebagai gerakan yang bersifat destruktif, kerusahan masal atau tindakan kolektif. Gerakan sosial memiliki ciri atau karakteristik yaitu aksi kolektif, memiliki tujuan, tidak identik dengan gerakan politik, terorganisasi secara formal atau informal dan terjadi pada masyarakat yang berkonflik. Selain itu gerakan sosial telah menghasilkan suatu peristiwa atau gejala konflik. Pada perspektif gerakan sosial baru, gerakan tersebut terorganisasi oleh organisasi-organisasi non-pemerintah yang dipandang lebih tepat dan relevan dengan perkembangan zaman. Organisasi non-pemerintah berfungsi memberikan pengetahuan baru, kesadaran dan keyakinan pada masyarakat petani. Tujuan gerakan sosial tidak selalu menghendaki pada terjadinya perubahan tetapi juga pada upaya mempertahankan suatu kondisi. Pemimpin dalam gerakan sosial umumnya berasal dari golongan elite desa, tokoh adat, golongan ningrat atau yang mempunya status sosial yang tinggi serta dari kalangan intelektual. Namun secara de facto, pemimpin yang mempunyai pengaruh besar dalam geraka sosial yaitu dari golongan elite desa. 25 Jurnal ini merupakan jurnal yang berisikan teori atau konsep mengenai perlawanan petani, gerakan sosial dan konflik agraria. Sudut padang yang digunakan yaitu untuk meninjau aliran-aliran pemikiran gerakan sosial lama dan baru. Meskipun jurnal ini menggunakan tiga variabel dalam judulnya namun lebih banyak membahas mengenai gerakan sosial. Tetapi ketiga variabel tersebut tetap dijelaskan hubungannya. Karena jurnal ini merupakan jurnal teori sehingga dalam pembahasannyapun menggunakan teori-teori dan konsep dari berbagai sumber. 13. Judul Pustaka : Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Skripsi Bentuk Pustaka : Elektronik Penulis : Mochamad Fajrin Penerbit : Intitut Pertanian Bogor Alamat URL/doi : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48208 Tanggal Diunduh : 16 September 2014 pukul 21:17 WIB Ringkasan: Pada masa kolonial, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Agrarische Wet 1870. Berdasarkan Agrarische Wet pemilik modal diberikan kebabasan untuk melakukan usaha-usaha perkebunan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis menetapkan hak erfpahct dimiliki oleh AGRIS NV dengan menanam kopi, karet, teh, indigo dan kina. Namun setelah proklamasi, masyarakat mulai menggarap tanah dan perkebunan asing tersebut. Pada masa itu terjadi dua kejadian penting yaitu pertama, Konferensi Meja Bundar yang memutuskan bahwa perkebunan asing harus dikembalikan dan pekebunan kolonial diambil oleh pemerintah Indonesia. Kedua, nasionasasi seluruh aset terutama perkebunan oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan pada masa Orde Baru, aktivitas penggarapan rakyat di tanah bekas perkebunan AGRIS NV diganggu oleh PT. RSI. Berdasarkan SK.Men No. 1 perkebunan tersebut diberikan kuasa pengelolaanya kepada PT Bukit Jonggol Asri yang merupakan perusahaan induk PT. RSI. Aksi penyerangan yang dilakukan masyarakat terhadap lahan ex-perkebunan diawali dengan akivitas penebangan pohon jati secara diam-diam untuk tujuan merusak yang dipimpin oleh Bapak Oman. Sehingga Perhutani mulai melakukan penjagaan dengan mengerahkan TNI dan Brimob di sekitar desa. Tuntunan masyarakat atas hak mereka untuk tanah semakin besar setelah Abdurahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik ke-4. Gus Dur menyatakan bahwa rakyat diberikan kebebasan untuk menggarap dan tanah yang dahulu direbut oleh perkebunan akan dikembalikan kepada rakyat. Sehingga pada tanggal 26 April 1999, warga Desa Banjaranyar membentuk Panitian Pembebasan Tanah yang bertugas untuk memperjuangkan hak mereka atas tanah. Organisasi yang diketuai oleh Oman juga melakukan pertemuan degan berbagai pemangku kepentingan seperti Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Maysrakat meyakini bahwa akksi tukar guling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri sebagai pemegang HGU di lahan eks-perkebunan dengan perhutani dianggap tidak sah karena tidak ada bukti tertulis. Sehingga masyarakat semakin yakin untuk menggarap karena lahan tersebut sebagai lahah tak bertuan. Setelah melakukan pertemuan dengan BPN, Pak Oman juga melakukan pertemuan dengan Agustian selaku aktivis mahasiswa 26 Ciamis, Tasik dan Garut dalam YAPEMAS (Yayasan Pengembangan Masyrakat). Agustian mengajak masyarakat Banjaranyar untuk membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) dan membubarkan Panitian Pembebasan Tanah dan digantikan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL). SPP tidak hanya memperjuangkan hak tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan maka tanggal 24 Januari 2000 Serikat Petani Pasundan (SPP) dideklarasikan. Organisasi Tani Lokal berperan menjaga kesinambungn gerakan di tingkat akar rumput, menanamkan nilai gerakan serta sebagai penguhubung komunikasi. Hingga saat ini terdapat 190 Kepala Keluarga yang terdaftar dalam OTL Banjaranyar. Dalam SPP terdapat dua macam keanggotaan yaitu anggota yang berisi petani dan pendamping yaitu mahasiswa yang bertugas dalam menggadvokasi petani. Panitia Pembebasan Tanah tidak pernah melakukan demonsrasi namun setelah tergabung dalam OTL, aksi demontrasi menjadi kewajiban bag seluruh anggota. Cara lain dalam gerakan petani Banjaranyar yaiu penggunaan media masa dalam upaya untuk membentuk opini masyarakat terutama dari luar desa. Pada tahun 2004 strategi baru yang digunakan yaitu intervensi ppada ranah politik (eksekutif atau legislatif). Kepemimpinan yang dilakukan oleh Oman tergolong tipe kepemimimpinan paternalistik sebagai tokoh yang dihormati di desa. Sedangkan Agusian berperan sebagai pemimpin di tingkat daerah yaitu Priyangan Timur yang bersifa kharismatik. Pada tahun 2000 perjuangan warga membuahkan hasil yaitu terjadinya redisribusi lahan perkebunan seluas 708,35 hektar kepada warga desa sekitar perkebunn yaitu Desa Kalijaya, Pasawahan, Cigayam, dan Banjaranyar. Setealah terjadi resdistribusi, semanga OTL semakin menurun sehingga dibentuklah organisasi wanita OTL yang berperan dalam mengmpulkan iuran aksi dan pendataan bagi anggota yang akan ikut aksi demonstrasi. Analisis: Perlawanan yang dilakukan oleh petani Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis dilatarbelakangi oleh terusiknya aktivitas masyarakat dalam menggarap lahan ex-perkebunan oleh PT RSI. Perlawanan diawali dengan penebangan pohon jati dengan tujuan merusak. Untuk mengrorganisir gerakannya dibentuk Panitia Pembebasan Lahan yang diketuai oleh Pak Oman yang bertujuan memperjungkan hak petani. Namun untuk memperluas aksi maka dibentuk Organisasi Tani Lokal hasil kerjasama dengan Serikat Petani Pasundan yang digerakan oleh Agustian yang berlatar belakang intelektual. Gerakan dilakukan oleh masyarakat golongan kecil yang menggantungkan hidupnya pada tanah untuk penggarapan. Kepemimpinan dilakukan oleh tokoh desa (Pak Oman) dan inelektual. Strategi perlawanan dilakukan melalui aksi demonstrasi terutama ketika tergabung dalam OTL. Aksi perlawananpun membuahkan hasil berupa dilakukannya distribusi tanah kepada tiga desa dengan luasan sesuai jasa yang sudah dilakukan. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan metode observasi partisipasi di lapangan. Tujuan penelitian in yaitu untuk mengetahui (1)latar belakang dan proses perebutan tanah di Desa Banjaranyar; (2)apa makna tanah bagi petani Banjaanyar, beraitan dengan keumculan gerakan petani (pra-reclaiming); dan (3)perkembangan gerakan petani Banjaranyar, beserta hubungan gerakan petani dengan berbagai kekuata sosial baik di dalam dan di luar desa. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gerakan petani yangn ditinjau dari kemunculan dan kelangsungannya. 27 ANALISIS DAN SINTESIS Sengketa Lahan Pertanian Berkembangnya kasus-kasus mengenai sengketa lahan khususnya lahan pertanian menjadi tanggung jawab bersama. Meskpiun penyelenggara negara sudah menciptakan hukum yang mengatur atas kepemilikan dan pengelolaan sumber daya terutama tanah, namun permasalahan selalu menyertai dalam pelaksanaannya. Menurut Fauzi (1999) menyatakan bahwa meskpiun UUPA sudah secara tegas memihak kepada kepentingan rakyat, namun disisi lain jiwa serta semangat kebijakan pertanahan masih bersifat kapitalistis. Kebijakan negara mengenai pertanahan masih berpihak kepada golongan pemilik modal. Kasus-kasus sengketa lahan identik selalu dimenangkan oleh pihak pengusaha untuk dijadikan sebagai sarana memperluas skala usahanya. Koesume (2014) menjelaskan bahwa gugatan yang diajukan oleh masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung atas kawasan hutan ditolak berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Temanggung Nomor 20/1981/Pdt/G/PNT serta dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jateng Nomor 448/1984/Pdt/PT.Jateng. Sehingga masyarakat menilai hakim tidak memihak kepada rakyat sehingga mengajukan kasasi namun ditolak oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 1677 K/Pdt/1988. Upaya masyarakat untuk merebut kembali hak mereka atas kawasan hutan yang mereka klaim sebagai milik mereka secara turun temurun dari nenek moyang mereka tidak membuahkan hasil. Gugatan yang diajukan terhadap Perum Perhutani tersebut ditolak karena dianggap tidak dapat dibuktikan secara jelas. Semakin meningkatnya kepadatan penduduk menuntut perlunya kepastian hukum akan kepemilikan lahan. Namun demikian Tjondronegoro (1999) menyampaikan bahwa walaupun hukum nasional menentukan kepemilikan pribadi atau individual, hukum adat tidak bisa diabaikan begitu saja. Terutama kepemilikan bersama atau hak ulayat yang masih banyak dijalankan oleh masyarakat khususnya di luar Jawa dan Bali. Fauzi (1999) juga menjelaskan bahwa penegakan hukum lebih diarahkan kepada pengamanan pelaksanaan pembangunan. Artinya jika hukum pertanahan berjalan tertib maka memudahkan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang berorientasi pembangunan ekonomi bukan untuk kepentingan rakyat dan kepastian hukum. Hal ini juga sesuai dengan strategi nyata dari Badan Pertanahan Nasional bahwa penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Penggunaaan tanah untuk pembangunan juga terjadi dalam pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang. Seperti yang dikemukana oleh Warokka et al (2006) dalam pembangunan bandara Kuala Namu tahun 1997 mengakibatkan terjadinya pembebasan tanah sebanyak delapan desa yang tersebar di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin. Pembebasan tanah dilakukan dari pemilik asli kepada PT Angkasa Pura II. Namun hasil negoisasi berlangsung tidak seimbang yang menyebabkan pemegang tanah sering dirugikan terutama terkait masalah pembayaran ganti rugi. Hafid (2001) menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto mengeluarkan undang-undang yang ditujukan hanya untuk pembangunan yang mengutamakan keuntungan pemodal besar melalui penyingkiran masyarakat kecil. Tjondronegoro (1999) menyatakan bahwa konflik dalam penguasaan atas tanah muncul karena terjadinya perbedaan konsep kepemilikan. Masing-masing pihak yang bersengketa memiliki pandangan dan ideologinya sendiri yang memperkuat keyakinan mereka akan kepemilikan sebidang tanah yang diperebutkan. Fajrin (2011) dalam 28 skripsinya menjelaskan bahwa gerakan petani masyarakat Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis dilatar belakangi oleh keyakinan masyarakat bahwa aksi tukar guling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri sebagai pemegang HGU di lahan eksperkebunan dengan perhutani dianggap tidak sah karena tidak ada bukti tertulis. Sehingga masyarakat semakin yakin untuk menggarap karena lahan tersebut sebagai lahah tak bertuan. Tuntunan masyarakat atas hak mereka untuk tanah semakin besar setelah Abdurahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden Republik ke-4. Gus Dur menyatakan bahwa rakyat diberikan kebebasan untuk menggarap tanah dan tanah yang dahulu direbut oleh perkebunan akan dikembalikan kepada rakyat. Sehingga masyarakat semakin yakin untuk memperjuangkan haknya atas lahan dengan membentuk berbagai bentuk organisasi sebagai wadah pengorganisasian gerakannya. Pelakasanaan pembangunan melalui proyek-proyek pembangunan di Indonesia mendapatkan dukungan atau penguatan dari Bank Dunia. Seperti pengembangan lahan sawit di Desa Wambes Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua oleh Atek (2014) menyatakan bahwa sumber dana yang digunakan dalam pengelolaan perkebunan yaitu dari pinjaman Bank Dunia. Pengembangan lahan sawit dilakukan melalui strategi Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang berkerja dengan melibatkan masyarakat sebagai pekebun yang mandiri sementara perusahaan perkebunan sebagai pembina. Sehingga terjadi peralihan dari masyarakat petani subsisten menjadi buruh kelapa sawit. Namun dalam prakteknya perusahaan menjadi semakin kaya sedangkan masyarakat menjadi semakin miskin karena kesejahteraan mereka tidak jelas yang disebabkan oleh ketidak adilan. Menurut Fauzi (1999) menyatakan bahwa dalam PELITA VI, kebijakan pertanahan di Indonesia mendapatkan pengaruh dari Bank Dunia. Fenomena ini berkaitan untuk mendukung kepentingan Bank Dunia untuk dapat mempertahankan bahkan meningkatkan perekonomian Indonesia. Sehingga Indonesia dapat melunasi hutanghutangnya dan Bank Dunia harus memfasilitasi negera berkembang seperti Indonesia dalam bentuk investasi asing maupun domestik. Konflik pertanahan di Indonesia sudah berlangsung sejak pemerintahan Indonesia berada dibawah kekuasaan kolonialisme. Melalui mekanisme tanam paksa membuat masyarakat Indonesia harus menahan perihnya siksaan di atas tanahnya sendiri demi memenuhi kebutuhan negara kolonial. Kamarudin (2011) menjelaskan bahwa pada jaman Jepang terdapat sistem “politik beras” yaitu kewajiban masyarakat untuk menyerahkan padi hasil bertani mereka kepada pihak Jepang telah membuat masyarakat sengsara. Kondisi perekonomian masyarakat yang sulit semakin tertekan dengan adanya sistem politik beras tersebut. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan masyarakat petani Unra melakukan pemberontakan. Pemberontakan Unra terjadi hingga menimbulkan korban meninggal, tertangkapnya 300 orang serta terjadinya eksodus rakyat Unra ke wilayah luar. Berdasarkan pernyataan Tjondronegoro (1999) bahwa pada zaman pendudukan Jepang terjadi konflik agraria sebagai akibat eksploitasi petani dan hasil panen petani harus diserahkan kepada tentara petani. Melihat kenyataan sengketa lahan pertanian yang marak terjadi di Indonesia maka banyak kasus sengketa lahan dijadikan sebagai bagian dari permasalahan nasional. Sehingga menurut Tjondronegoro (1999) masalah pertanahan dijadikan sebagai masalah nasional setelah negara Republik Indonesia diproklamasikan. Sutedi (2008) menjelaskan bahwa terdapat dua metode dalam perampasan tanah di pedesaan yaitu (1)menggunakan aparat birokrasi lokal untuk mengelabui rakyat dan (2)melakukan kekerasan dengan meminta bantuan tentara seperti penangkapan, pemukulan, pemenjaraan atau intimidasi. 29 Gerakan Protes Petani Gerakan protes petani muncul sebagai respon golongan petani yang sadar terhadap tekanan dan keadaan yang merugikan mereka. Sutedi (2008) mengungkapkan bahwa kesadaran politik penduduk yang melakukan gerakan-gerakan sosial muncul sebagai akibat terjadinya penggusuran lahan garapan petani yang merupakan suatu proses pemiskinan penduduk pedesaan. Menurut Luthfi et al (2010) menyatakan bahwa pemisahan tanah dari ikatan sosio-kulturalnya dan menempatkannya hanya sebagai barang komoditi artinya mengingkari kehadiran tanah itu sendiri. Tanah masuk dalam mekanisme pasar dan ditempatkan sebagai komoditi yang dinilai dengan uang. Muntholib (2009) menjelaskan bahwa kegelisahan yang dialami oleh petani Jawa menimbulkan pemberontakan atau kriminialitas, selain itu hadirnya ekonomi pasar membuat petani kecil melepaskan tanahnya dan menimbulkan hutang. Sehingga menimbulkan protes sosial yang terjadi dalam bentuk kerusuhan, perbanditan sosial dan pembegalan Hafid (2001) menyatakan bahwa munculnya protes baik secara formal atau informal terjadi sebagai akibat dari penggusuran hak-hak masyarakat serta adanya rasa ketidakpuasan yang dirasakan oleh rakyat. Hal tersebut mendorong terbentuknya solidaritas antara sesama rakyat untuk melakukan suatu aksi protes. Sesuai dengan pernyataan Kamarudin (2011) bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh masyarkat petani Unra tahun 1943 di Sulawesi Selatan dinilai sebagai bentuk ketidakpuasan yang menciptakan aksi kolektif diantara mereka. Dalam perspektif teori strukturis pemberontakan petani Unra adalah sebagai bentuk solidaritas komunal atas dasar sentimen-sentimen, perasaan-perasaan, dan keterikatan-keterikatan antara sesama warga desa. Fauzi (1999) menjelaskan aksi protes memiliki berbagai ciri yaitu (1)protes dilakukan dengan didampingi oleh Organisasi Non-pemerintah (Ornop); (2)protes disalurkan kepada parlemen baik DPR atau DPRD dan pemerintah; (3)isu protes berisi tuntunan untuk penyelesaian kasus; dan (4)media masa diberikan kepercayaan untuk membantu penyelesaian masalah. Ciri-ciri tersebut umunya melekat dalam suatu gerakan protes meskipun tidak harus semuanya tepenuhi dalam suatu gerakan sosial. Wijanarko dkk (2014) menyatakan bahwa sejak reformasi, gerakan perubahan mulai dari tingkat akar rumput banyak dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peran Ornop dalam gerakan protes umunya penting dalam menciptakan kesadaran masyarakat khususnya petani akan kondisi yang sedang dihadapi mereka. Selain itu Badrah (2011) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa telah terjadi kasus sengketa tanah di Kabupaten Bangai Sulawesi Tengah antara PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) sebagai pemilik pekebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan masyarakat petani Kecamatan Toili Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah. Posisi petani Toili lemah dalam konflik sengketa ini karena berhadapan dengan kekuatan eksternal seperti modal dan kebijakan investasi. Sehingga mereka melakukan perjuangan dengan meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulawesi Tengah dan Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Selawesi Tengah dengan melakukan diskusi antara perwakilan dari petani dan pihak PT KLS. Semakin kompleksnya konflik yang terjadi medorong LBH dan Walhi untuk melakukan advokasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Palu yang telah terbentuk Fornt Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah. Gerakan protes yang disalurkan kepada parlemen (DPR atau DPRD) terjadi pada kasus pembebasan tanah untuk pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli 30 Serdang. Warokka dkk (2006) menyatakan gerakan perjuangan nasib atas terkurungnya mereka oleh tembok bandara sejak tahun 1998 dan pada tahun 2000 Perlawanan dilakukan dengan meminta bantuan KWML yang melibatkan LSM, DPRD Tk. II Sumut, Komnas HAM dan DPR-RI. Tindakan mencari dukungan tersebut dilakukan untuk meredam tekanan. Namun pihak perkebunan mencoba melemahkan perjuangan masyarkat dengan melakukan intimidasi misalnya melakukan pengusiran warga. Selain itu pentingnya penggunaan media masa dalam upaya gerakan protes dijelaskan oleh Wijanarko (2014) dalam jurnalnya. Keberhasilan gerakan petani dipengaruhi oleh media komunikasi yang dikelola oleh serikat yaitu media cetak berupa buletin Caping, elektronik, berupa situs buletin Caping serta Facebook dan alternatif berupa media inetrpersonal dan pertemuan kelompok. Penggunaan media masa dilakukan untuk menyebarkan infromasi terkait perkebangan gerakan protes. Media masa juga digunakan dalam mengumpulkan semangat dan kesadaran petani untuk melakukan aksi kolektif. Organisasi Petani Pelaksanaan gerakan protes suatu masyarakat petani dalam melawan ketidak sesuaian diperlukan suatu wadah dalam upaya pengorganisasian gerakan. Hafid (2001) menyatakan bahwa terbentuknya sebuah komunitas merupakan kosekuensi dari hadirnya kebijakan yang memperlakukan masyarakat dengan 3E (eksploitasi, eksplorasi dan ekstrasi). Organisasi tumbuh diawali oleh adanya keadaan atau kondisi yang merugikan mereka atau adanya tekanan. Syahyuti (2011) “...telah tumbuh pemahaman pada kalangan pemerintah bahwa organisasi merupakan komponen yang dapat menjadi agent of change...”. Melalui organisasi diharapkan dapat menjadi wadah bagi aktivitas perlawanan petani yang dapat menciptakan perubahan. Organisasi dijadikan wadah bagi gerakan petani dalam menentang berbagai tekanan yang merugikan. Etzioni (1964) menyatakan bahwa tujuan organisasi yaitu untuk mengejar keadaan masa depan agar dapat direalisasikan. Sedangkan tujuan pengorganisasian petani menurut Syahyuti (2011) adalah untuk menggerakan tindakan kolektif yang mengarahkan pada tindakan kolektif yang lebih murah dan efektif. Syahyuti (2011) menyatakan bahwa Indonesia memiliki berbagai organisasi dalam bidang pertanian mulai dari tingkat lokal sampai internasional seperti Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Syahyuti (2011) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa “FSPI merupakan organisasi perjuangan petani dan buruh tani yang fokus utamanya untuk memperjuangkan hak-hak petani, pembaruan agraria, kedaulatan pangan, perdagangan yang adil, keadilan gender dalam bidang pertanian, penguatan organisasi tani, dan pertanian berkelanjutan bebasis keluarga...”. Sehingga FSPI berperan dalam membantu organisasi petani dalam melakukan perlawanan pertanian. Seperti yang dijelaskan oleh Aprianto (2008) bahwa gerakan sosial bentukan Ornop mengarah pada terbentuknya organisasi yang terorganisir. Diawali oleh adanya protes kelompok masyarakat tani yang menimbulkan kekerasan sehingga terbentuk perlawanan yang terorganisir. Pada akhir tahun 1990an terbukti hadirnya ornop dan kesadaran masyarakat telah membentuk organisasi petani. Tahun 2005 organisasi lokal di berbagai provinsi bergabung dalam Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Kemudian muncul organisasi yang lebih spesifik mengenai isu reforma agraria yaitu Konsorium Pembaruan Agraria (KPA). Isu yang diangkat tidak lagi hanya perlawanan atas hak masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Namun isu yangg diangkat lebih 31 luas yaitu mengenai krisis ekologi, bencana pembangunan dan krisis sosial karena gagalnya kelembagaan dan kebijakan pembangunan. Strategi perlawanan petani salah satunya yaitu dengan menggunakan ruang politik untuk memperjuangkan haknya. Sehingga dalam pengorganisasian gerakan tersebut dibentuklah organisasi yang bergerak di aras politik. Syahyuti (2011) memaparkan berbagai organisasi yang bergerak di aras politik yaitu Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Petani Mandiri, Dewan Tani Indonesia, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) serta Walhi. Keberadaan organisasi-organisasi tersebut sangat memberikan kontribusi kepada berbagai gerakan petani dalam upaya pencapaian tujuan gerakan. Seperti yang dilakukan oleh petani Toili dalam upaya penyelesaian masalah sengketa tanah yang diungkapkan oleh Badrah (2011). Penggusuran oleh PT Kurnia Luwuk Sejati sebagai pemilik pekebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) mendorong petani meminta pendampingan kepada LSM dalam penyelesaian konflik. Hal tersebut mendapat respon positif dari LBH dan Walhi yang diawali dengan melakukan investigasi pengumpulan informasi. Sehingga mereka melakukan perjuangan dengan meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulawesi Tengah dan Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Selawesi Tengah dengan melakukan diskusi antara perwakilan dari petani dan pihak PT KLS. Semakin kompleksnya konflik yang terjadi medorong LBH dan Walhi untuk melakukan advokasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Palu yang telah terbentuk Fornt Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah. Kepemimpinan Gerakan Petani Suatu gerakan petani dilakukan dengan mangadalkan aksi-aksi kolektif, penggerakan aksi kolektif tersebut tentu diperlukan pengaturan. Fungsi pengaturan biasanya dilakukan dengan mengandalkan seorang pemimpin. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Afiff (2012) bahwa kepemimpinan tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia yang berkumpul bersama dalam rangka untuk pencapaian tujuan. Kehadiran pemimpin selain berperan dalam fungsi pengaturan juga dibutuhkan dalam mencapai cita-cita suatu kelompok orang. Begitu pula dengan kepemimpinan dalam gerakan petani yang dibutuhkan untuk melakukan pengaturan gerakan dalam rangka pencapaian tujuan gerakan seperti pembebasan dari tekanan dan penuntutan terhadap hakhak mereka. Sehingga Afiff (2012) mendefinisikan kepemimpinan sebagai “...upaya manusia dalam mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja secara antusias untuk mencapai tujuan...”. Sedangkan Syahyuti (2011) menyatakan bahwa pemimpin organisasi mempunyai tugas untuk menjaga agar gerakan organisasi tetap relevan dan mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Menurut Afiff (2012) pemimpin muda pada masa Orde Baru tidak mudah masuk ke kancah elit, kecuali melalui saluran-saluran organisasi pemerintahan yang sudah disediakan seperti KNPI serta organisasi ormas lainnya. Sehingga pemimpin-pemimpin pada masa Orde Baru merupakan bagian dari organisasi kepemerintahan. Pemimpin dalam gerakan petani tidak hanya berupa pemimpin formal tetapi lebih sering mengandalkan pemimpin-pemimpin informal. Berdasarkan pernyataan yang diungkapkan oleh Etzioni (1964) bahwa pemimpin informal memiliki kemampuan untuk mengendalikan partispan oraganisasi lebih efektif. Selain itu Afiff (2012) menyatakan bahwa pemimpin informal dibentuk dalam berbagai komunitas untuk berperilaku 32 akomodatif bagi lingkungannya. Kepemimpinan informal bisa muncul dalam bentuk keagamaan, politik, sosial-budaya, wirasusaha dan pengusaha. Seperti yang dijelaskan oleh Kamarudin (2011) bahwa pemberontakan petani Unra 1943 di Sulawesi Selatan telah memunculkan aktor pemimpin pemberontak (Guru Mante). Pemimpin pemberontak memberikan sugesti atau pengaruh kepada rakyat untuk ikut serta dalam aksi kolektif dan tokoh agamalah yang mempunyai peranan terpenting. Namun dalam kasus Unra, tokoh agama dijadikan alat progpaganda pemerintah melalui ideologinya. Selain itu, pemimpin yang terlihat dalam gerakan petani bisa berdasarkan kelas sosial yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Muntholib (2009) menjelaskan bahwa telah terjadi pemberontakan di Banten yang besar dan meluas terjadi pada tahun 1888. Penghapusan kesultanan oleh pemerintah Kolonial menimbulkan pemberontakan dimana loyalitas beralih ke pemimpin agama kharismastik seperti haji atau kyai, sehingga semakin banyak memunculkan pesantren dan tarekat. Pemimpin yang berperan di Banten bukanlah petani melainkan elit agama bekas bangsawan Banten dan elit desa yaitu para tuan tanah serta penduduk desa yang cukup berada. Setiap tokoh yang berperan sebagai pemimpin memiliki bentuk atau cara yang digunakan untuk mempengaruhi pengikutnya. Sehingga setiap pemimpin dapat menggambarkan suatu bentuk kepemimpinan yang khas dalam melakukan fungsi dan perannya. Sashkin (2003) menjelaskan tiga bentuk kepemimpinan yaitu transaksional, transfomasional dan karsimatik. Pemimpin transaksional berdasarkan pada kebutuhannya akan kekuasaan. Bentuk kepemimpinan ini akan menggunakan kekuasaan dan pengaruh dengan berbagai kekuasaan dan memperluas pengaruhnya kepada pengikutnya serta untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Menetapkan tanggung jawab dan harapanharapan yang jelas bagi pengikutnya dalam rangka untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Pemimpin transaksional efektif dalam menyusun imbalan dan sanki yang adil bagi pengikutnya. Selanjutnya yaitu kepemimpinan kharismatik yang bukan berasalah dari golongan orang yang berprestasi secara sosial atau menajer. Hubungan antara pemimpin dan pengikut dibentuk berdasarkan pada hubungan antarpribadi untuk membuat pengikutnya bergantung dan patuh pada pemimipin. Pemimpin kharismastik akan berusaha menciptakan perasaan kharismatik diantara pengikutnya. Sedangkan kepemimpinan transformasional yang membantu pengikutnya untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan bersama. Pemimpin transformasional memahami bagaimana membantu orang lain mengembangkan dan mengarahkan motif-motif. Seperti yang diungkapkan oleh Fajrin (2011) gerakan petani yang terjadi di Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis memiliki pemimpin gerakan yang berlatar belakang sebagai intelektual. Pemimpin intektual tersebut yaitu Agustian selaku aktivis mahasiswa Ciamis, Tasik dan Garut dalam YAPEMAS (Yayasan Pengembangan Masyrakat). Agustian mengajak masyarakat Banjaranyar untuk membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) dan membubarkan Panitian Pembebasan Tanah dan digantikan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL). Agustian berperan sebagai pemimpin di tingkat daerah yaitu Priyangan Timur yang bersifat kharismatik. Kepemimpinan kharismastiknya membuat masyarakat Desa Banjaranyar mau bergabung dalam SPP dan membentuk OTL. 33 Tabel 1 Pola-pola hubungan pemimpin-bawahan Tipe Kepemimpinan Hasil Kepemimpinan Kepemimpinan Kharismatik Kepatuhan Dicapai melalui identifikasi diri dengan pemimpin Kepemimpinan Transaksional Kinerja Diperoleh melalui imbalan dan/atau hukuman Motif Kekuasaan Kontrol atas orang Kontrol bersama lain orang lain (Tahap Pemimpin IIIb) yang Orang-orang yang Motif Kekuasaan Pengikut memiliki berprestasi secara Bawahan ketergantungan independen (Tahap II) Kepemimpinan Transformasional Tindakan independen Dituntun oleh internalisasi nilainilai bersama Pemimipin dan bawahan yang diberdayakan dituntun oleh suatu visi bersama (Tahap IV) Saling tergantung, bawahan yang diberdayakansebagai-mitra kerja (Tahap III) Sumber: Marshall Sashkin dan Molly G. Sashkin, 2003, halaman 77 Strategi Gerakan Petani Perjuangan petani yang dilakukan di berbagai daerah memiliki strategi dan pola tersendiri. Supriadi dkk (2005) menjelaskan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan didasari oleh tiga semangat yaitu perasaan senasib, sepenanggungan dan seperjuangan. Tiga semangat tersebut diwujudkan dalam beragai bentuk upaya organisasi meliputi: (1)penguasaan, penggarapan dan penatagunaan tanah; (2)perbaikan layanan alam; (3)penataan produksi bersama; (4)pembangunan usaha ekonomi bersama; (5)pendidikan dan pelatihan; (6)pengorganisasian rakyat petani; (7)mendorong keaktifan perempuan dalam organisasi; (8)kampanye; (9)penyelidikan; (10)pembangunan jaringan; (11)demonstrasi untuk melakukan tekanan; (12)mempengaruhi dan merubah kebijakan pemerintah; (13)penggalangan dana; (14)studi banding; (15)pembelaan lewat pengadilan; (16)pengolahan data dan dokumentasi; dan (17)kaderisasi. Berbagai bentuk strategi gerakan tersebut umumnya digunakan oleh suatu gerakan petani, seperti yang dijelaskan oleh Aprianto (2008) bahwa upaya untuk melahirkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat khususnya petani tidak cukup hanya melalui pendidikan. Sehingga harus adanya kader gerakan sosial yang tidak hanya berjuang di arena politik tetapi juga setidaknya mempunyai kemampuan mempengaruhi agenda-agenda politik formal. Tidak hanya pada level nasional juga dari level yang rendah seperti kepala desa. Sehingga gagasan reforma agraria dapat dilakukan pada tingkat desa. Praktek politik ini dilakukan oleh Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja) ditunjukan dengan terdapat beberapa anggotanya yang menjadi kepala desa. Selain itu Aprianto (2008) juga menambahkan terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh gerakan sosial untuk memasuki ruang politik kenegaraan, yaitu (1) keterlibatan tokoh gerakan sosial ke ranah publik; dan (2) melakukan intervensi dan mempengaruhi agenda negara. Misalnya pada Serikat Petani Bengkulu (STAB) yang 34 melakukan pembelaan dan pengorganisasian hukum pada kasus komunitas petani, nelayan dan pedagang di wilayah Bengkulu. Selain itu yang dilakukan oleh Organisasi Rakyat Independen (ORI) Sumatera yang didirikan karena rasa kebersamaan dalam membangun kekuatan politik. Menurut Supriad dkk (2005) peran aktivis mahasiswa dan pemuda di perkotaan sangat dibutuhkan untuk membangkitkan kesadaran penduduk dalam menerapkan caracara baru dalam melawan penindasasn yang terjadi dikampungnya. Aktivis dan pemuda digunakan dalam gerakan perlawanan petani selain sebagai pembangkit kesadaran juga berperan sebagai pendamping bagi mereka. Seperti yang dilakukan oleh Oman sebagai pemimpin Panitia Pembebasan Tanah di Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis. Fajrin (2011) menjelaskan bahwa Pak Oman melakukan pertemuan dengan Agustian selaku aktivis mahasiswa Ciamis, Tasik dan Garut dalam YAPEMAS (Yayasan Pengembangan Masyrakat). Agustian mengajak masyarakat Banjaranyar untuk membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) dan membubarkan Panitian Pembebasan Tanah dan digantikan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL). SPP tidak hanya memperjuangkan hak tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan maka tanggal 24 Januari 2000 Serikat Petani Pasundan (SPP) dideklarasikan. Organisasi Tani Lokal berperan menjaga kesinambungn gerakan di tingkat akar rumput, menanamkan nilai gerakan serta sebagai penguhubung komunikasi. Hingga saat ini terdapat 190 Kepala Keluarga yang terdaftar dalam OTL Banjaranyar. Dalam SPP terdapat dua macam keanggotaan yaitu anggota yang berisi petani dan pendamping yaitu mahasiswa yang bertugas dalam mengadvokasi petani. Ketika masyarakat tergabung dalam Panitia Pembebasan Tanah, mereka tidak pernah melakukan demonstrasi namun setelah tergabung dalam OTL aksi demontrasi menjadi kewajiban bagi seluruh anggota. Cara lain dalam gerakan petani Banjaranyar yaitu penggunaan media masa dalam upaya untuk membentuk opini masyarakat terutama dari luar desa. Santoso (2014) dalam bukunya yang berjudul Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa mengungkapkan bahwa: “Barangkali, itulah mengapa perjalanan kehutanan di Jawa yang menempuh waktu berabad-abad, tidak pernah sepi dari berbagai persoalan sosial, baik yang berupa aksi kecil-kecilan, aksi-aksi simbolis, perbuatan-perbuatan sembrono yang disengaja, pembangkangan, perbanditan, hingga aksi-aksi terbuka yang mempropagandakan...” Gerakan sosial yang diungkapkan oleh Sanotos tersebut mengungkapkan berbagai startegi yang digunakan oleh golongan petani dalam melakukan perlawanan. Misalnya perlawanan dengan menggunakan strategi aksi kecil-kecilan seperti yang dilakukan oleh petani Desa Cisarua Bogor Jawa Barat. Ariendi dan Kinseng (2011) menjelaskan bahwa perlawanan kecil petani Desa Cisarua dalam memperluas akses mereka atas lahan dilakukan secara diam-diam yang dikoordinasikan berdasarkan asas tahu sama tahu saja. Mereka seakan bodoh tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU yang tidak boleh digarap petani. Dilihat dari sifatnya, perjuangan petani Desa Cisarua tergolong bersifat “insidental” yang dicirikan oleh tidak terorganisir, bersifat untung-untungan, dan tidak mempunyai akibat-akibat revlusioner. Perjuangan petani lebih bersifat individu karena masing-masing dari mereka berusaha untuk memperjuangankan keinginan masing-masing. Pada intinya strategi yang dilakukan petani Desa Cisarua dalam mendapatkan lahan yaitu (1)menyewa lahan garapan kepada mandor, (2)memperluas lahan garapan secara diam-diam dan sedikit demi sedikit dan 35 (3)petani besar terus memperluas lahan dengan mengambil lahan garapan petani kecil. Selain perlawanan melalui aksi kecil-kecilan, perlawanan petani yang dilakukan oleh petani Unra di Selawesi Selatan dilakukan melalui startegi perbanditan. Kamarudin (2011) menjelaskan keresahan sosial di Unra menjadi pusat perhatian karena keresahan tersebut sudah berkembang menjadi gerakan pemberontakan, ketegangan yang tidak menentu hingga pada kejahatan sosial seperti pencurian dan perampokan. Aksi perbanditan juga terjadi pada gerakan protes petani di Jawa pada mas Kolonial seperti yang diungkapkan oleh Muntholib (2009) protes sosial terjadi dalam bentuk kerusuhan, perbanditan sosial dan pembegalan. Berdasarkan kesadaran politik perbanditan petani dibedakan menjadi tiga yaitu (1) gerakan belum sadar politik berupa pencurian dan begal; (2)setengah sadar berupa perampokan dan perkecuan; dan (3) sepenuhnya sadar berupa gerilya dan pemberontakan. Strategi lain yang umum dilakukan oleh gerakan perlawanan petani yaitu melalui jalan pengadilan. Meskipun sering kali hasil pengadilan tidak memberikan keberpihakan kepada petani. Koesume (2014) menjelaskan bahwa gugatan yang diajukan oleh masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung atas kawasan hutan ditolak berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Temanggung Nomor 20/1981/Pdt/G/PNT serta dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jateng Nomor 448/1984/Pdt/PT.Jateng. Sehingga masyarakat menilai hakim tidak memihak kepada rakyat sehingga mengajukan kasasi namun ditolak oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 1677 K/Pdt/1988. Upaya masyarakat untuk merebut kembali hak mereka atas kawasan hutan yang mereka klaim sebagai milik mereka secara turun temurun dari nenek moyang mereka tidak membuahkan hasil. Strategi lain yang dilakukan oleh petani dala melakukan perlawanan yaitu mengarah pada aksi-aksi radikal. Perlawanan dengan menggunakan aksi radikal menjadi pilihan terkahir bagi mereka dalam upaya memperoleh hak-haknya kembali. Santoso (2004) menyatakan bahwa aksi-aksi radikal tetapi pragmatis menjadi puncak bagi perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang miskin. Aksi radikal tersebut Suntato mengungkapkan misalnya berupa penyerbuan terhadap gudang-gudang bahan makanan pemerintah dan rumah-rumah orang kaya. Seperti yang diungkapkan oleh Badrah (2011) puncak konflik sengketa tanah terjadi pada 26 Mei 2010 di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah berujung pada aksi pengrusakan dan pembakaran alat berat dan kantor milik perusahaan serta penangkapan 13 orang petani termasuk koordinator Fornt Advokasi Sawit (FRAS) yang dibentuk melalui advokasi. 36 KESIMPULAN Rangkuman dan Pembahasan Pembangunan yang diselenggarakan di Indonesia dilaksanakan dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan pembangunan yang berorientasi ekonomi menjadi pilihan negara Indonesia dengan mengutamakan keuntungan pemodal besar. Pemilik modal besar melakukan aktivitas pembangunan dengan memanfaatkan kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada hukum negara. Wujud kapitalisme tersebut misalnya melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit, bandara udara dan kawasan hutan milik perhutani. Pembangunan tersebut dilaksanakan dengan berpegang pada izin negara berupa Hak Guna Usaha (HGU). Sehingga pelaksanaan pembangunan menjadi ajang penggeseran atau penyingkiran pihak-pihak yang mencoba menghalangi jalannya pembangunan. Pembangunan yang selama ini diselenggarakan di Indonesia telah banyak menyisakan ketidakstabilan keadaan seperti terjadinya sengketa lahan. Konsekuensi pelaksanaan pembangunan yaitu harus tergesernya sektor lain seperti lahan untuk dijadikan sebagai sarana pembangunan. Sektor yang banyak tergeser oleh pelaksanaan pembangunan Indonesia yaitu sektor pertanian. Sehingga pemilik dan lahanlahan pertanian yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya harus rela tergusur oleh pembangunan. Peristiwa tersebut telah menciptakan sengketa lahan yang berkepanjangan antara pihak-pihak pelaku pembangunan dengan masyarakat khususnya petani sebagai pemilik de facto lahan yang diperebutkan. Menanggapi sengketa lahan yang sudah terjadi sejak jaman kolonial membuat masyarakat khususnya petani melakukan gerakan protes terhadap hegemoni pemilik modal besar berwujud pembangunan di Indonesia. Gerakan protes dilakukan karena mereka merasa dirugikan atas perebutan lahan yang selama ini menjadi milik mereka. Lahan yang menjadi objek sengketa tidak hanya lahan dengan kepemilikan individual tetapi sering juga berupa lahan adat milik masyarakat secara turun-temurun. Sehingga terbentuklah aksi-aksi perlawanan untuk memperoleh kembali hak kepemilikan atau hanya sekedar hak untuk mengelola. Perlawanan yang dilakukan oleh golongan petani yang tertindas atas sengketa lahan tersebut memiliki berbagai macam bentuk strategi. Strategi perlawanan dilakukan oleh gerakan protes petani di Indonesia yaitu pertama, strategi kecil-kecilan berupa perlawanan secara diam-diam atau pura-pura bodoh dalam bentuk perlawanan sehari-hari. Bentuk startegi perlawanan ini didasarkan oleh asas tahu sama tahu saja atau bersifat “insidental” yaitu tidak terorganisir, bersifat untung-untungan dan tidak mempunyai akibat revolusioner. Mereka seakan bodoh misalnya dengan tetap menggarap tanah HGU meskipun mereka mengetahui adanya larangan penggarapan di lahan tersebut. Kedua, perlawanan dilakukan dengan memasuki arena perpolitikan Indonesia baik di tingkat lokal maupun nasional. Tujuan memasuki arena politik yaitu agar dapat mempengaruhi agenda-agenda politik formal. Gerakan dilakukan melalui keterlibatan tokoh gerakan ke ranah politik seperti menjadi kepala desa atau menjadi bagian dari partai politik. Ketiga, pemanfaatan aktivis dan pemuda untuk membangkitkan kesadaran petani korban kapitalisme untuk melakukan perlawanan. Peran aktivis dan pemuda yang biasanya berlatar belakang sebagai intelektual juga sebagai pendamping gerakan perlawanan. Mereka akan melakukan pertemuan dengan berbagai organisasi petani atau LSM untuk diskusi mengenai perkembangan perlawanan. Keempat, perlawanan melalui jalan pengadilan kepada pemegang hukum Indonesia. Gerakan protes melakukan pengajuan kepada pengadilan negeri atas sengketa lahan yang terjadi. Upaya 37 ini dilakukan agar hakim dapat segera membuktikan secara jelas kepemilikan atas tanah yang disengketakan. Serta kelima, strategi perlawanan melalui aksi-aksi radikal yang memiliki resiko tinggi. Strategi perlawanan radikal pada umumnya menjadi pilihan terakhir bagi gerakan protes petani dalam memperoleh haknya. Misalnya melakukan penyerbuan terhadap gudang-gudang bahan makanan, pengrusakan dan pembakaran kantor perusahaan, blokade jalan sampai pada serangan secara fisik. Strategi perlawanan radikal memiliki resiko yang tinggi yaitu dapat merenggut banyak korban berupa penangkapan pelaku aksi sampai pada korban jiwa. Strategi perlawanan petani dalam memperjuangkan hak-hak mereka diperlukan suatu wadah untuk mengorganisir gerakan. Wadah yang diperlukan petani tersebut yaitu yang mampu mengarahkan gerakan petani dan mengumpulkan aksi-aksi kolektif petani. Wadah tersebut yaitu berupa organisasi-organisasi yang dapat berperan dalam mengadvokasi gerakan petani. Pengorganisasian perlawanan petani disertai oleh berbagai bentuk pengorganisasian, dimulai dari yang sangat informal dan lokal sampai kepada organisasi formal dengan jejaring luas pada tataran desa, nasional maupun internasional. Indonesia sendiri memiliki berbagai organisasi dalam bidang pertanian mulai dari tingkat lokal sampai internasional seperti Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan Walhi. Kebutuhan akan organisasasi dalam gerakan perlawanan petani dilakukan melalui pembentukan berbagai Organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Ornop dalam gerakan perlawanan berperan dalam membentuk kesadaran masyarakat serta melakukan pendampingan. Selain itu pengorganisasian gerakan dapat dilakukan dengan membentuk organisasi di aras politik. Organisasi yang bergerak di aras politik yaitu misalnya Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Petani Mandiri, Dewan Tani Indonesia, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) serta Walhi. Dalam rangka mengorganisasikan gerakan, suatu organisasi membutuhkan pihak yang berperan sebagai pengatur jalannya organisasi yaitu pemimpin. Pemimpin selain berperan dalam menjalankan fungsi pengaturan juga dibutuhkan dalam mencapai tujuan bersama. Pemimpin dalam menjalankan setiap perannya pasti memiliki bentuk kepemimpinan yang khas. Bentuk kempemimpinan tersebut menggambarkan hubungan antara pemimpin dan pengikut. Bentuk kepemimpinan menurut Sashkin (2003) dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk yaitu transaksional, transfomasional dan karsimatik. Masing-masing bentuk kepemimpinan tersebut memiliki berbagai berbagai ciri yang membedakan satu sama lain dan mempengaruhi efektifitas jalannya organisasi. Kerangka Berfikir Sengketa lahan pertanian sebagai suatu kondisi terjadinya saling klaim antara dua pihak atau lebih dalam memperebutkan tanah. Tanah sebagai objek agraria merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat terutama masyarakat petani. Namun keberadaan lahan sebagai objek agraria tersebut sering sekali mengalami tumpang tindih dalam hal kepemilikannya. Tanah sering menjadi objek yang harus dikorbankan keberadaanya dari kehidupan petani oleh aktivitas pemilik modal besar. Pemilik modal besar yang dimaksud yaitu berwujud pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Sehingga terusiknya tanah sebagai objek agraria akan mengubah hubungan antar subjek-subjek agraria dalam hal ini yaitu masyarakat petani dengan pelaku pembangunan. Sengketa lahan terjadi antara petani dan pelaku pembangunan dapat menyebabkan muncul gerakan- 38 gerakan protes dari pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan dalam kasus sengketa lahan pada umumnya dialami oleh petani. Petani dalam melakukan gerakan protes diperlukan suatu wadah yang beperan dalam mengroganisir gerakan. Wadah tersebut berupa organisasi yang memobilisasi para petani yang secara bertahap terbentuk. Organisasi yang bergerak dalam memobilisasi petani dapat berupa Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) berperan sebagai pembentuk kesadaran masyarakat akan keadaanya yang tertindas akibat sengketa lahan yang bersifat organisasi akar rumput. Serta organisasi yang beregerak di aras politik sebagai organisasi supra desa seperti Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Petani Mandiri, Dewan Tani Indonesia, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) serta Walhi. Selain itu dalam melakukan strategi perlawanan petani biasanya terdapat aktor yang memimpin jalannya gerakan protes. Pemimpin tersebut berperan dalam menjalankan fungsi pengaturan dan menciptakan hubungan dengan pihak internal maupun eksternal. Pemimpin dalam hal hubungannya dengan pengkikutnya yaitu petani yang melakukan perlawanan memiliki tiga bentuk gaya. Tiga bentuk gaya kepemimpinan menurut Sashkin (2003) yaitu transaksional, transfomasional dan karsimatik. Transaksional yaitu pemimpin yang memggunakan kekuasaanya untuk mempengaruhi pengikutnya dan efektif dalam menyusun imbalan seta sanksi bagi pengikutnya. Selanjutnya pemimpin transfromasional yaitu pemimpin yang membantu pengikutnya untuk menginternalisasikan nilai dan keyakinan bersama. Sedangkan pemimpin kharsimatik yaitu pempin yang menciptakan hubungan dengan pengikutnya berdasarkan kepada hubungan anatarpribadi. Melalui organisasi dan kepemimpinan tersebut akan membentuk strategi yang digunakan dalam melakukan perlawanan. Perlawanan petani memiliki berbagai strategi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan gerakan. Strategi perlawanan petani terdiri atas pertama, strategi kecil-kecil yaitu tindakan yang berperilaku pura-pura bodoh berdasarkan asas tahu sama tahu aja. Kedua, memasuki arena perpolitikan dengan melibatkan diri kedalam ranah politik agar dapat mempengaruhi agenda-agenda politik formal. Ketiga, memanfaatkan aktivis dan pemuda untuk meningkatkan kesadaran gerakan dan pendampingan melalui dikusi. Keempat, melalui jalan pengadilan dengan mengajukan kasus sengketa kepada pengadilan. Kelima, aksi-aksi radikal seperti perusakan fasilitas, blokade jalan sampai pada serangan secara fisik. 39 Sengketa Lahan Pertanian -Pembangunan infrastruktur Organisasi Petani - Organisasi akar rumput - Organisasi supra desa Pemimpin Gerakan - Transaksional Transfomasional Karsimatik Strategi Perlawanan Petani - Strategi kecil-kecilan - Memasuki arena perpolitikan - Pemanfaatan aktivis dan pemuda - Jalan pengadilan - Aksi-aksi radikal Keterangan: Hubungan pengaruh Kuantitatif Hubungan sebab Kualitatif Hubungan saling mempengaruhi Gambar 1 Kerangka Berfikir 1. 2. 3. 4. Pertanyaan Penelitian Skripsi Berdasarkan kerangka analisis yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apa latar belakang sengketa lahan pertanian yang kini marak terjadi di Jawa ? Bagaimana strategi yang digunakan petani dalam menghadapi sengketa lahan pertanian ? Bagaimana pengorganisasian gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani ? Seberapa besarkah peran pemimpin dalam mengorganisasikan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani ? 40 DAFTAR PUSTAKA Afiff F. 2012. Spirit Kepemimpinan Era 2014. Yogyakarta (ID): Writing Revolution Afriendi GT dan Kinseng RS. 2011. Strategi perjuangan petani dalam mendapakan akses dan penguasaan atas lahan: farmer strtegy on access and land tenure. J Sodality. [Internet]. [Dikutip 7 Oktober 2014]; 05(01):13-31. Dapat diunduh dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5834/4499 Aprianto TC. 2008. Wajah prakasa partisipatif: dinamika gagasan reforma agraria dan gerakan sosial di Indonesia pasca 1998. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. [Internet]. [Dikutip 27 Febuari 2015 pukul 15:55 WIB]; 12(01):25-39. Dapat diunduh dari: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/265 Atek LG. 2014. Perjuangan masyarakat lokal di tengah pengembangan lahan sawit (studi kasus perusahaan kelapa sawit di Desa Wambes, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua). Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin. [Internet]. [Dikutip 6 Maret 2015 pukul 13:29 WIB]; 13(01):19-31. Dapat diunduh dari: http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/4807/ART_Liboria%20Ge noveva%20Atek_perjuangan%20masyarakat%20lokal_fulltext.pdf?sequence=2 Badrah A. 2011. Evealuasi advokasi penyelesaian konflik sengketa tanah di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Studi Pemerintah. [Internet]. [Diunduh 20 April 2015 pukul 13:05 WIB]; 2(02):219-236. Dapat diunduh dari: http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianD etail&act=view&typ=html&buku_id=54019 [BPN]Badan Pertanahan Nasional. 2015. Jumlah kasus sengketa konflik pertanahan nasional. [Internet]. [Diunduh tanggal 8 Maret 2015 pukul 16:35 WIB]. Diunduh dari: http://www.bpn.go.id/Publikasi/Data-Pertanahan/Kasus-Pertanahan/Nasional Etzioni A. 1964. Organisasi-Organisasi Modern. Suryatim, penerjemah; Alex Inkeles, editor. Jakarta (ID): UI-Pers. Terjemahan dari: Modern Organizations Fajrin M. 2011. Dinamika gerakan petani: kemunculan dan kelangsungannya (Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis). [Skripsi]. [Internet]. [Diunduh tanggal 16 September 2014 pukul 21:17 WIB]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48208 Fauzi N. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agaria Indonesia. Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar Offset Gunadha R. 2014 Juni 24. AGRA kecam penembakan petani yang aksi tolak eksekusi lahan di Karawang. Tribunew.com. [Internet]. [Dikutip tanggal 11 September 2014]. Dikuti dari: http://www.tribunnews.com/regional/2014/06/24/agra-kecampenembakan-petani-yang-aksi-tolak-eksekusi-lahan-di-karawang Hukum Unsrat. 2015. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006. [Internet]. [Diunduh tanggal 8 Maret 2015 pukul 16:30 WIB]. Diunduh dari: http://hukum.unsrat.ac.id/pres/perpres_10_2006.pdf 41 Kamarudin SA. 2011. Pemberontakan petani UNRA 1943 (studi kasus mengenai gerakan sosial di Sulawesi Selatan pada masa pendudukan Jepang). Jurnal Makara, Sosial Humaniora. [Internet]. [Dikutip 24 Febuari 2015 pukul 19:21 WIB]; 16(01):19-35. Dapat diunduh dari: http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/1222/1127 Koesume AM. 2014. Sengketa Kawasan Hutan Lindugn antara Perhutani dengan Masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung. Unnes Law Journal. [Internet]. [Dikutip 19 April 2015 pukul 18:24 WIB]; 03(1):1-9. Dapat diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj Konsorsium Pembaruan Agrara. 2012. Laporan akhir tahun 2012 konsorium agraria. [Internet]. [Diunduh tanggal 17 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.kpa.or.id/?p=1094 Muntholib A. 2009. Gerakan protes sosial petani di Jawa pada masa kolonial (dalam perspektif sejarah sosial pedesaan). Jurnal Sejarah FIS Unnes. [Internet]. [Dikutip 18 Maret 2015 pukul 10:42 WIB]; 36(01):73-80. Dapat diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS/article/view/1331/1421 Purwandari H. 2006. Perlawanan tersamar organisasi petani. [Tesis]. [Internet]. [Diunduh 23 Oktober 2013]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor . Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/9424/2006hpu.pdf Rosyidah U, Sariyatun, Iswati. 2013. Gerakan anti tuan tanah di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi (studi kasus tentang pemberontakan petani di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantinga, Kabupaten Ngawi tahun 1963-1965). Jurnal Candi. [Internet]. [Dikutip 18 Maret 2015 pukul 10:53 WIB]; 5(01):1-16. Dapat diunduh dari: http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sejarah/article/view/1894/1395 Sadikin. 2005. Perlawanan petani, konflik agraria, dan gerakan sosial. Jurnal Analisis Sosial. [Internet]. [Diunduh 6 Maret 2015 pukul 13:29 WIB]; 10 (01):19-41. Dapat diunduh dari: http://www.akatiga.org/index.php/publikasi/jurnal-analisis-sosial/206edisi-10-volume-1 Santoso H. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa. Jogjakarta(ID): DAMAR Sashkin M, Sashkin MG. 2003. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan. Rudolf Hutauruk, penerjemah; Rikard Rahmat, Heidy Retnowulan, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Leadership That Matters Supriadi A, Nurdin IL, Agustiani I, Rahayu SM. 2005. Gerakan Rakyat untuk Pembaruan Agraria. Garut(ID): Serikat Petani Pasundan Syahyuti. 2011. Gampang-Gampang Susah Mengorganisasikan Petani: Kajian Teoritik dan Praktik Sosiologi Lembaga dan Organisasi. Bogor (ID): IPB Pers 42 Tjondronegoro SMP. 1999. Sosiologi Agraria Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung (ID): Yayasan AKATIGA Warokka TD, Zulkifli, Simanuhuruk M. 2006. Sengketa tanah: suatu bentuk pertentangan atas pembebasan tanah rakyat untuk pembangunan (studi kasus: pembebasan tanah untuk pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang). Jurnal Studi Pembangunan. [Internet]. [Dikutip 5 Maret 2015 pukul 16:59 WIB]; 1(02):6375. Dapat diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15378/1/stp-apr2006%20%287%29.pdf Wijanarko, sarwoprasodjo S, Rangkuti PA. 2014. Komunikasi penyadaran kritis gerakan petani. Makara Hubs-Asia. [Internet]. [Dikutip 27 Febuari 2015 pukul 16:12 WIB]; 18(01):1-14. Dapat diunduh dari: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE25-1c.pdf Yudhanto. 2011. Strategi perlawanan petani tambang tradisional dalam menjaga kelangsungan hidup ditengah rendahnya imbal jasa. Jurnal Fisip UMRAH. [Internet]. [Dikutip 24 Febuari 2015 pukul 19:41 WIB]; 1(01):75-91. Dapat diunduh dari: http://undana.ac.id/jsmallfib_top/JURNAL/TEKNIK%20PERTAMBANGAN/TEK NIK%20PERTAMBANGAN%202011/STRATEGI-PERLAWANAN-PETANITAMBANG-TRADISIONAL.pdf 43 Riwayat Hidup Tikka Muslimah (penulis) dilahirkan di Karawang pada tanggal 22 Desember 1994. Penulis merupakan anak ke tiga dari pasangan Edy Kenda dan Titi. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis yaitu mulai dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sarimulya II di Cikampek pada tahun 2000-2006. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pupuk Kujang Cikampek pada tahun 2006-2009 dan menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMAN) 1 Cikampek pada tahun 2009-2012. Setelah penulis menyelesaikan jenjang SMA, pada tahun 2012 penulis diterima sebagai sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan. Selain aktif dalam perkuliahan. Setelah memasuki jenjang pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, terdapat berbagai kegiatan dan organisasi yang pernah penulis ikuti. Pada tahun kedua di IPB yaitu tahun 2013 penulis aktif bergabung dengan Himpunan Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) dan menjadi salah satu pengurus di divisi fotografi dan cinematografi selama satu periode. Selain itu penulis juga sempat menjadi asisten praktikum di dua mata kuliah yaitu mata kuliah Berfikir dan Menulis Ilmiah serta Pengantar Ilmu Kependudukan. Selanjutnya pada tahun ketiga penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dan berhasil lolos didanai oleh Dikti. Penulis melaksanakan PKM-M bersama mahasiswa dari Departemen SKPM dan Fakultas Kehutanan dengan mengambil judul ‘“Super Mushroom” Pengenalan Pembudidayaan Jamur Pangan untuk Meningkatkan Pengetahuan, Konsumsi, Gizi dan Berpenghasilan di Desa Cibatok Satu’.