Strategi Perlawanan Petani

advertisement
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
STRATEGI PERLAWANAN PETANI SEBAGAI RESPON TERHADAP
SENGKETA LAHAN PERTANIAN
TIKKA MUSLIMAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Strategi
Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa Lahan Pertanian” benarbenar hasil karya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada
perguruan tinggi atau lembaga manapun. Seumber informasi yang berasal atau dikutip
dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi
Pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor, Mei 2015
Tikka Muslimah
NIM. I34120029
ii
ABSTRAK
TIKKA MULIMAH. Strategi Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa
Lahan Pertanian. SATYAWAN SUNITO
Sengketa lahan pertanian hadir sebagai akibat dari aktivitas pembangunan dari para
pemilik modal besar. Lahan pertanian sebagai sumber penghidupan masyarakat petani
harus tergeser akibat rencana pembangunan oleh para aktor pembangunan. Menanggapi
hal tersebut menyebabkan petani melakukan gerakan protes melalui perlawanan petani.
Perlawanan yang dilakukan petani membentuk strategi yang digunakan sebagai senjata
dalam mencapai tujuan. Strategi perlawanan petani dapat diorganisir melalui suatu wadah
yaitu organisasi petani. Melalui organisasi petani baik dalam bentuk Organisasi NonPemerintah (Ornop) atau organisasi politik dapat mengumpulkan gerakan sebagai aksi
bersama. Gerakan perlawanan petani juga diatur dan diarahkan oleh pemimpin gerakan
yang mempunyai hubungan yang khas dengan pengikutnya. Oleh karena itu, tulisan ini
akan membahas mengenai strategi perlawanan petani sebagai respon terhadap sengketa
lahan pertanian.
Kata Kunci: sengketa lahan pertanian, organisasi petani, pemimpin gerakan, strategi
perlawanan
ABSTRACT
TIKKA MUSLIMAH. Strategy of Farmer’s Movement in Response to the Dispute of
Agricultural Land. SATYAWAN SUNITO
The dispute of agricultural land presented as a result of developmental activities of
capitalist. Agricultural land as livelihood of farmer had to be shifted as a result of
developmental plan by the actor of development. Perceiving the issue caused the peasants
did the protest movement through the farmer’s movement. It formed a strategy used as a
gun to reach their goal. Strategy of farmer’s movement could be organized by an
organisation The peasants could gather their movements as a collective action through
farmer’s organization which could be non-governmental organization (NGO) or political
organization. Farmer’s movement can also be arranged by the leader of movement who
has a special relation with the member. Therefore, this research is going to study the
strategy of farmer‘s movement in response to the dispute of agricultural land.
Key word: dispute of agricultural land, farmer’s organisation, leader of movement,
strategic of movement
iii
STRATEGI PERLAWANAN PETANI SEBAGAI REPON TERHADAP
SENGKETA LAHAN PERTANIAN
Oleh
TIKKA MUSLIMAH
I34120029
Laporan Studi Pustaka
Sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Tikka Muslimah
Nomor Pokok
: I34120029
Judul
: Strategi Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa
Lahan Pertanian
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Dr. Satyawan Sunito
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal pengesahan : _________________________
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Strategi Perlawanan Petani sebagai
Respon terhadap Sengketa Lahan Pertanian”. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk
memnuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor. Meskipun seringkali penulis mengalami kesulitan, namun berkat
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan secara tepat waktu
Uacapan terimakasih penulis sampaikan kepada Pak Setyawan Sunito, Ms sebagai
pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga
penyelsaian laporan Studi Pustaka ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada Mas Bayu Eka Yulian yang senantiasa bersedia untuk melakukan diskusi terkait
topik dalam laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimkasih
kepada Ibu Titi dan Bapak Edi Kenda, orang tua tercinta, serta Taryana Zayadi dan Rinny
Nurlaela, kaka-kaka tersayang, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih
sayangnya untuk penulis. Tidak lupa terimakasi juga penulis sampaikan kepada temanteman, terutama Mohamad Taufik Zainal Abidin, yang telah memberi semangat dan
menemani penulis dalam proses penulisan laporan ini.
Akhirnya penulis berharap nantinya laporan penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami tentang perlawanan petani, terutama
tentang Stratgei Perlawanan Petani sebagai Respon terhadap Sengketa Lahan Pertanian.
Bogor, Mei 2015
Tikka Muslimah
NIM.I34120029
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................vii
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
Latar Belakang .............................................................................................................. 1
Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 2
Metode Penulisan .......................................................................................................... 2
RINGKASAN DAN ANALISIS .................................................................................... 3
Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan atas Lahan....3
Pemberontakan Petani UNRA 1943 (Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di
Sulawesi Selatan pada Masa Pendudukan Jepang)........................................................4
Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan
Hidup Ditengah Rendahnya Imbal Jasa........................................................................6
Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan atas Pembebasan Tanah Rakyat untuk
Pembangunan (Studi Kasus: Pembebasan Tanah untuk Pemindahan Bandara Polonia
Medan ke Kuala Namu Deli Serdang)...........................................................................8
Gerakan Protes Sosial Petani di Jawa pada Masa Kolonial (dalam Perspektif Sejarah
Sosial Pedesaan)..........................................................................................................10
Gerakan Anti Tuan Tanah di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten
Ngawi (Studi Kasus Tentang Pemberontakan Petani di Desa Sambirejo, Kecamatan
Mantinga, Kabupaten Ngawi Tahun 1963-1965)........................................................12
Wajah Prakasa Partisipatif: Dinamika Gagasan Reforma Agraria dan Gerakan Sosial
di Indonesia Pasca 1998..............................................................................................13
Perjuangan Masyarakat Lokal di Tengah Pengembangan Lahan Sawit (Studi Kasus
Perusahaan Kelapa Sawit di Desa Wambes, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi
Papua).........................................................................................................................15
Komunikasi Penyadaran Kritis Gerakan Petani..........................................................17
Sengketa Kawasan Hutan Lindung antara Perhutani dengan Masyarakat Desa
Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung..........................................19
Evaluasi Advokasi Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah di Kabupaten Banggai,
Sulawesi Tengah.........................................................................................................21
Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial............................................23
Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa Banjaranyar
Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis).................................................................25
ANALISIS DAN SINTESIS ......................................................................................... 27
Sengketa Lahan Pertanian ........................................................................................... 27
vii
Gerakan Protes Petani ................................................................................................. 29
Organisasi Petani ......................................................................................................... 30
Kepemimpinan Gerakan Petani................................................................................... 31
Strategi Gerakan Petani ............................................................................................... 33
KESIMPULAN ............................................................................................................. 36
Rangkuman dan Pembahasan ...................................................................................... 36
Kerangka Berfikir........................................................................................................ 37
Pertanyaan Penelitian Skripsi ...................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 40
Riwayat Hidup .............................................................................................................. 43
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pola-pola hubungan pemimpin-bawahan ........................................................... 3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Berfikir...........................................................................................32
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kasus sengketa lahan akhir-akhir ini semakin banyak terjadi. Isu-isu mengenai
konflik agraria banyak dibicarakan terutama setelah beberapa kasus yang terjadi di
beberapa daerah diangkat ke publik melalui media masa seperti yang terjadi di Mesuji,
Sumatera Utara, Cianjur dan Karawang. Pada tahun 2010 telah terjadi 106 konflik agraria
dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 163 konflik agraria yang menewaskan 22
petani1. Sedangkan pada tahun 2012 KPA mencatat total telah terjadi 198 konflik agraria2.
Konflik muncul karena terdapat pihak yang merasa haknya diganggu, termasuk
hak atas lahan. Sengketa lahan sering menjadi pemicu adanya konflik agraria. Menurut
data Badan Pertanahan Nasional (2015) di Indonesia pada tahun 2013 terdapat 4223 kasus
sengketa lahan, 2014 dinyatakan kasus tersebut selesai namun masih menyisakan 2209
kasus sengketa yang harus segera diselesaikan. Penyelesaian sengketa lahan tentunya
bukanlah perkara yang mudah dan menjadi tanggung jawab berbagai pihak. Sebab konflik
pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok,
golongan, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecendrungan atau sudah
berdampak luas secara sosi-politik (BPN 2015).
Penyelesaian masalah sengketa menjadi tanggung jawab seluruh pihak terutama
menjadi tugas Badan Pertanahan Nasional yang mempuyai wewenang untuk menentukan
kebijakan pertanahan. Menurut Peraturan Presiden No 10 Tahun 2006 Bagian Kedelapan
Pasal 22 menyebutkan bahwa Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di
bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan. Namun pada
kenyataanya kasus sengketa semakin besar akibat hasil keputusan pengadilan pertanahan
yang tidak memihak kaum kecil seperti petani.
Objek-objek agraria terutama tanah menjadi sumber penghidupan bagi
masyarakat. Terusiknya persoalan agraria maka akan menimbulkan reaksi dari pihakpihak yang bersangkutan. Mereka akan berusaha untuk mempertahankan dan
memperjuangkan hak mereka atas sumber-sumber agraria. Sutedi (2008) menyatakan
bahwa konflik pertanahan di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh tekanan penduduk
tetapi lebih karena masalah tekanan manusia atas manusia atau tekanan penguasa
dan/atau pemilik modal. Sehingga munculah gerakan-gerakan upaya perlawanan petani.
Misalnya konflik agraria di Teluk Jambe Karawang yang terjadi pada tahun 2014. Konflik
terjadi antara petani Karawang dengan PT. Agung Podomoro Land yang mengalami
sengketa tanah seluas 350 Ha (Tribunews 2014). Akibat dari terjadinya sengketa tanah
ini munculah gerakan perlawanan petani yang merenggut banyak korban. Seperti yang
dikemukakan oleh Purwandari (2006)“Salah satu faktor yang menimbulkan ‘kemarahan’
petani yakni perubahan struktur agraria yang lebih disebabkan karena pengelolaan agraria
cenderung berubah dari pengelolaan subsisten/primitive menuju sistem pengelolaan yang
berorientasi kapitalis”. Ekspansi kapitalisme berwujud pembangunan infrastruktur
menjadi penguasa sumber-sumber agraria terutama lahan.
Sehingga menciptakan suatu gerakan perlawanan petani dalam melawan keadaan
yang dianggap merugikan mereka dengan melakukan pengumpulan masa. Hafid (2001)
mengemukakan “...kekuatan riil yang ditunjukan tersebut dapat menjadi alat penekanan
kepada para pengambil keputusan, termasuk kepada lawan mereka sendiri”. Perlawanan
1
2
Laporan Akhir tahun 2012 Konsorsium Pembaruan Agraria
Ibid
2
yang dilakukan oleh petani memiliki berbagai macam startegi atau pola. Santoso (2014)
menjelaskan bahwa perlawanan yang dilakukan petani menempuh berbagai cara yaitu
aksi kecil-kecilan, aksi simbolis, perbuatan sembrono, pembangkangan, perbanditan
hingga aksi-aksi terbuka. Strategi yang diterapkan dalam melakukan perlawanan tentunya
disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan hingga pada akhirnya gerakan perlawanan
petani memilih aksi radikal. Strategi perlawanan petani sekarang ini banyak dilakukan
dengan mengandalkan organisasi dan kepemimpinan dalam mengumpulkan aksi-aksi
kolektif sebagai ciri dari gerakan perlawanan petani. Syahyuti (2011) menyatakan bahwa
Indonesia memiliki berbagai organisasi dalam bidang pertanian mulai dari tingkat lokal
sampai internasional seperti Federasi Serikat Petani Indonesia (FSHPI). Sehingga
berbagai organisasi lokal di berbagai wilayah Indonesia tergabung dalam FSHPI. Oleh
karena itu, penulis ingin menganalisis bagaimana strategi perlawanan petani sebagai
respon terhadap sengketa lahan pertanian?
Tujuan Penelitian
Terusiknya hubungan subjek agraria terhadap objek agraria dalam hal ini lahan
menyebabkan perubahan hubungan-hubungan antara subjek agraria. Sengketa lahan
pertanian telah menyebabkan petani memberikan respon berupa perlawanan petani.
Perawanan dilakukan terhadap pihak-pihak yang telah mengusik keberadaan tanah
sebagai sumber penghidupan petani. Oleh karena itu, tujuan penulisan studi pustaka ini
adalah mengidentifikasi latar belakang petani melakukan upaya perlawanan terhadap
sengketa lahan pertanian, strategi yang digunakan petani dalam menghadapi sengketa
lahan pertanian, pengorganisasian gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani serta
peran pemimpin dalam mengorganisasikan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh
petani.
Metode Penulisan
Metode yang dilakukan dalam studi pustaka ini adalah dengan menganalisis data
sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Data sekunder tersebut mencakup,
antara lain jurnal, disertasi, tesis dan buku-buku mengenai agraria. Selanjutnya bahanbahan bacaan tersebut dipelajari, diringkas dan disusun menjadi sebuah ringkasan studi
pustaka. Kemudian ringkasan studi pustaka tersebut dianalisis dan sintesis. Sampai pada
akhirnya adalah penarikan hubungan dari semua langkah-langkah yang telah dilakukan
untuk dapat memunculkan kerangka teoritis yang akan menjadi rumusan pertanyaan bagi
penelitian yang akan dilakukan
3
RINGKASAN DAN ANALISIS
1. Judul Pustaka
: Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan
Penguasaan atas Lahan
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Giedy Tiara Ariendi dan Rilus A. Kinseng
Nama Jurnal
: Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunkasi dan Ekologi
Manusia
Volume(edisi)
: 5(01)
Alamat URL/doi : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5834
Tanggal Diunduh : 24 Febuari 2015 pukul 19:34 WIB
Ringkasan:
Desa Cisarua yang terletak di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi
merupakan daerah diantara wilayah perkebunan dan hutan lindung TN Gunung Gede
Pangrango. Sebagian besar masyarakat Desa Cisarua baik laki-laki maupun perempuan
memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani dan karyawan perkebunan. Namun
berdasarkan data tahun 2008, sebanyak 88,7 persen petani menggarap lahan seluas 0,10,3 hektar dan terkategori sebagai petani kecil. Terdapat tiga penggolongan petani di Desa
Cisarua yaitu petani kecil, petani sedang sebanyak 9,19 persen dengan luas lahan 0,311,00 hektar dan petani besar sebanyak 2,04 persen dengan luas lahan lebih dari 1,1 hektar.
Petani di Desa Cisarua tidak seluruhnya penduduk asli melainkan petani hasil bedol desa
dari Garut dan pendatang dari Lembang.
Upaya perjuangan petani dalam memperoleh akses atas lahan sebagian besar
dilakukan oleh petani kecil yang membutuhkan akses lahan yang lebih luas. Lahan yang
selama ini mereka garap merupakan lahan milik pihak perkebunan. Mereka hanya
menggarap lahan non-produktif milik pihak perkebunan melalui mandor dengan uang
sewa sebesar Rp15.000,00 per patok. Namun sebenarnya pihak perkebunan memiliki
lahan yang secara resmi dapat digarap oleh masyarakat yaitu lahan lamping. Tetapi lahan
tersebut memiliki letak yang jauh, berkontur ekstrim dan sulit air. Selain itu masyarakat
juga mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan yang membutuhkan proses
administrasi yang panjang dan modal besar sehingga petani enggan memanfaatkannya.
Oleh Scott (1981) gaya Perjuangan petani Desa Cisarua disebut sebagai bentuk
perlawanan “Gaya Asia” karena tidak memiliki organisasi formal, perjuangan dilakukan
sembunyi-sembunyi dan pura-pura bodoh serta tidak adanya koordinasi. Perlawanan kecil
petani Desa Cisarua dalam memperluas akses mereka atas lahan dilakukan secara diamdiam yang dikoordinasikan berdasarkan asas tahu sama tahu saja. Mereka seakan bodoh
tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU yang tidak
boleh digarap petani. Dilihat dari sifatnya, perjuangan petani Desa Cisarua tergolong
bersifat “insidental” yang dicirikan oleh tidak terorganisir, bersifat untung-untungan, dan
tidak mempunyai akibat-akibat revlusioner. Perjuangan petani lebih bersifat individu
karena masing-masing dari mereka berusaha untuk memperjuangankan keinginan
masing-masing. Pada intinya strategi yang dilakukan petani Desa Cisarua dalam
mendapatkan lahan yaitu (1)menyewa lahan garapan kepada mandor, (2)memperluas
4
lahan garapan secara diam-diam dan sedikit demi sedikit dan (3)petani besar terus
memperluas lahan dengan mengambil lahan garapan petani kecil. Selain itu menurut
Sitorus (2006) perjuangan petani Desa Cisarua termasuk perjuangan kultivasi, lahan
dikelola dan dimanfaatkan oleh petani namun disisi lain lahan tersebut masih dimiliki
oleh pihak perkebunan.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keterlibatan petani dalam upaya
mendapatkan lahan garapan yaitu pertama, faktor internal meliputi luas dan jumlah relasi
dengan hubungan yang bersifat positif terhadap keterlibatan petani. Kedua, faktor
eksternal yang meliputi organisasi pendukung, kesempatan politik, respon pemerintah
desa dan status lahan yang diinginkan petani. Petani Desa Cisarua tidak memiliki
keinginan untuk memiliki lahan tersebut secara pribadi karena mereka menyadari bahwa
lahan tersebut bukanlah lahan mereka yang mengalami sengketa kepemilikan dengan
pihak perkebunan tetapi merupakan tanah HGU yang diberikan pemerintah kepada
perkebunan. Sehingga mereka tidak melakukan aksi-aksi radikal untuk memiliki lahan
tersebut dan mereka sudah merasa cukup puas dengan status mereka sebagai penggarap
dilahan perkebunan tanpa kepastian jangka waktu.
Analisis:
Penelitian ini mengungkapkan bahwa perjuangan petani dalam upaya
memperoleh akses atas tanah tidak selalu bersifat radikal. Petani pada dasarnya lebih
memilih upaya-upaya yang cenderung mencari jalan aman untuk menghindari
pembalasan yang lebih merugikan mereka. Upaya perjuangan petani dilakukan tidak
selalu untuk memperjuangkan kepemilikan pribadi atas lahan namun juga hanya sekedar
untuk memperoleh akses. Perjuangan ini dilakukan oleh golongan petani kecil yang
dilakukan secara individu tanpa adanya aktor pemimpin atau organisasi. Meskipun
mereka menyadari bahwa tidak ada kepastian akan jangka waktu sampai kapan mereka
bisa mempunyai akses atas lahan. Strategi perjuangan petani juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri (internal) dan dari luar
(eksternal) yang akan mempengaruhi keberhaisilan perjuangan petani. Metode yang
digunakan peneliti cukup tepat karena tidak hanya menggunakan metode kuantitatif tetapi
juga kualitatif. Metode kualitatif sangat membantu untuk memperoleh informasi yang
lebih lengkap dan mendalam. Selain itu dalam pembahasan hasil penelitian menggunakan
dasar konsep yang kuat menurut ahli. Sehingga hasil penelitian ini dapat mendukung teori
atau konsep yang sudah diungkapkan pada bagian tinjauan pustaka. Dalam jurnal ini juga
diungkapkan secara lengkap sejara dari Desa Cisarua sehingga dapat memberikan
pandangan tambahan bagi pembaca.
2. Judul Pustaka
: Pemberontakan Petani UNRA 1943 (Studi Kasus Mengenai
Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan pada Masa Pendudukan Jepang)
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Syamsu A. Kamarudin
Nama Jurnal
: Jurnal Makara, Sosial Humaniora
Volume(edisi)
: 16(01)
Alamat URL/doi :
http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/1222/1127
Tanggal Diunduh : 24 Febuari 2015 pukul 19:21 WIB
5
Ringkasan:
Penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia tidak berakhir pada saat kolonial
Belanda pergi dari tanah air. Namun penderitaan rakyat Indonesia berlanjut ketika Jepang
menduduki Indonesia. Salah satunya yaitu yang dialami oleh masyarakat Desa Unra
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan pada 1943. Sistem “politik beras” yaitu kewajiban
masyarakat untuk menyerahkan padi hasil bertani mereka kepada pihak Jepang telah
membuat masyarakat sengsara. Kondisi perekonomian masyarakat yang sulit semakin
tertekan dengan adanya sistem politik beras tersebut. Hal ini lah yang menjadi salah satu
alasan masyarakat petani Unra melakukan pemberontakan. Pemberontakan Unra terjadi
hingga menimbulkan korban meninggal, tertangkapnya 300 orang serta terjadinya
eksodus rakyat Unra ke wilayah luar.
Pemberontakan yang dilakukan oleh masyarkat petani Unra dinilai sebagai bentuk
ketidakpuasan yang menciptakan aksi kolektif diantara mereka. Dalam perspektif teori
strukturis pemberontakan petani Unra adalah sebagai bentuk solidaritas komunal atas
dasar sentimen-sentimen, perasaan-perasaan, dan keterikatan-keterikatan antara sesama
warga desa. Pemberontakan Unra sebagai gerakan penolakan terhadap penetrasi sosial
yang ditawarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Selain itu terdapat faktor lain
sebagai penyebab munculnya pemberontakan petani Unra, yaitu faktor penghasilan warga
yang rendah disertai gagal panen akibat kemarau panjang namun tetap dipaksa oleh
pemerintah untuk menyetor padi. Faktor ekologis desa Unra yang terpencil dalam wilayah
kerajaan Bone dianggap tidak menguntungkan sehingga menciptakan motivasi
masyarakat Unra untuk melakukan pemberontakan. Selanjutnya yaitu faktor ekonomi
yang berkorelasi dengan struktur sosial rakyat Unra. Konflik sosial terjadi antara petani
kelas sosial rendah dengan pihak pemerintah Jepang dan penguasa lokal yang merupakan
perpanjangan tangan pemerintah Jepang. Pemerintah dan elit lokal telah masuk menjadi
golongan yang mempunyai hak istimewa dan berkuasa dengan sewenang-wenang, hal ini
yang menciptakan kejengkelan moral. Penggerusan sistem ekonomi dan poltik tradisonal
petani Unra juga sebagai pemicu munculnya pemberontakan.
Keresahan sosial di Unra menjadi pusat perhatian karena keresahan tersebut sudah
berkembang menjadi gerakan pemberontakan, ketegangan yang tidak menentu hingga
pada kejahatan sosial seperti pencurian dan perampokan. Dapat disimpulkan bahwa
terdapat beberapa aspek penyebab pemberontakan petani Unra diantaraya yaitu aspek
ekonomi berupa adanya aturan kewajiban petani Unra menyerahkan padi mereka kepada
pemerintah apalagi ketika terjadi krisis subsisten. Dari aspek politik, lembaga desa telah
mengalami perubahan misalnya dalam proses pemilihan dan pengangkatan kepala desa
tidak melibatkan rakyat yang artinya telah mengabaikan cara tradisional Unra.
Selanjutnya aspek ideologi dan kepemimpinan, dalam pemberontakan Unra telah
memunculkan aktor pemimpin pemberontak (Guru Mante). Pemimpin pemberontak
memberikan sugesti atau pengaruh kepada rakyat untuk ikut serta dalam aksi kolektif dan
tokoh agama mempunyai peranan terpenting. Namun dalam kasus Unra, tokoh agama
dijadikan alat progpaganda pemerintah melalui ideologinya.
Penyebab pemberontakan Unra memiliki dua faktor utama yaitu faktor lagsung
dan tidak langsung. Penyebab langsung meliputi perlakuan kasar yang dilakukan oleh
pihak pemerintah Jepang dalam menjalankan sistem ploitik berasnya. Mereka tidak segan
untuk menyakiti pihak-pihak yang dianggap menentang aturannya. Sedangkan penyebab
tidak langsung yaitu adanya kewajiban penyerahan beras kepada pemerintahan
6
pendudukan Jepang terlebih ketika terjadi paceklik. Selain itu juga terjadi penggerogotan
martabat tokoh-tokoh adat dan pemimpin lokal melalui perebutan otoritas pemimpin lokal
oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pemberontakan Unra bersifat spontan dan tidak
didukung oleh organisasi, selan itu bersifat non-politis dan tidak direncanakan secara
matang.
Analisis:
Pemberontakan petani muncul sebagai bentuk ketidakpuasan petani terhadap
sistem yang berlaku. Pemberontakan ini memunculkan aksi kolektif untuk menentang
dalam bentuk penolakan sampai pada kejahatan sosial seperti mencuri dan merampok.
Terdapat beberapa faktor penyebab munculnya pemberontakan petani yaitu faktor
ekonomi, sosial, politik dan ekologis. Faktor-faktor tersebut memunculkan
pemberontakan apabila dianggap tidak sesuai dengan sistem yang biasa berlaku
dikehidupan mereka. Karena rakyat akan memberontak apabila tardisi mereka atau cara
tani konvesional mereka tergerus oleh sistem yang dianggap merugikan. Selain itu aspek
penting dari pemberontakan yaitu hadirnya aktor sebagai pemimpin pemberontakan
(Guru Mante). Sebab aktor berperan untuk memberikan sugesti atau pengaruh terhadap
rakyat untuk melwawan. Sehingga munculah aksi-aksi kolektif yang dipimpin oleh aktor
tersebut. Karena pemberontakan petani Unra merupakan kejadian yang sudah terjadi
cukup lama maka mungkin seperti faktor penyebabnya sudah tidak relevan dengan fakta
zaman sekarang. Di zaman sekarang hal tersebut bisa terjadi bahkan lebih kompleks dan
lebih besar bentuk pemberontakannya serta melibatkan lebih banyak pihak.
Penelitian ini cukup sulit dilakukan karena menyangkut kejadian yang sudah lama
terjadi. Metode yang digunakan seperti pendekatan sejarah sosial, deskripsi historis dan
pendekatan dimenasional sudah cukup membantu dalam proses pencarian data. Namun
karena data-data atau arsip mengenai pemberontakan ini tidak ada membuat penelitian
ini tidak maksimal. Dalam menghadapi kekurangan data, maka penelitian menggunakan
konsep-konsep tertentu dan hasil penelitian sebelumnya serta menghubungkannya
dengan peristiwa sejarah sudah tepat karena hal tersebut sangat membantu.
3. Judul Pustaka
: Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga
Kelangsungan Hidup Ditengah Rendahnya Imbal Jasa
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Yudhanto
Nama Jurnal
: Jurnal Fisip UMRAH
Volume(edisi)
: 1(01)
Alamat URL/doi :
http://undana.ac.id/jsmallfib_top/JURNAL/TEKNIK%20PERTAMBANGAN/TEK
NIK%20PERTAMBANGAN%202011/STRATEGI-PERLAWANAN-PETANITAMBANG-TRADISIONAL.pdf
Tanggal Diunduh : 24 Febuari 2015 pukul 19:41 WIB
Ringkasan:
Sumber tambang di Desa Wonocolo merupakan peninggalan kolonial Belanda
berupa sumur-sumur minyak. Minyak yang dihasilkan pada masa itu digunakan sebagai
7
bahan bakar perang dan dimanfaatkan untuk perdagangan dunia berupa ekspor. Namun
setelah Belanda meninggalkan Indonesia, sumur-sumur tersebut terbengkalai hingga pada
akhirnya ditemukan dan dimanfaatkan oleh masayarakat Desa Wonocolo. Aktivitas
tambang di Desa Wonocolo telah dilakukan secara turun temurun sejak tahun 1942.
Jumlah sumur minyak tradisional peninggalan kolonial di Desa Wonocolo sebanyak 35
sumur tua yang aktif ditambang oleh masyarakat.
Pada awalnya, penambangan minyak ini dikelola dan dimotori oleh kepala desa
Wonocolo. Lurah Wattah merupakan kepala desa Wonocolo yang memiliki wewenang
untuk mengelola pertambangan. Pengelolaan tambang minyak oleh kepala desa dilakukan
dengan alasan bahwa kepala desa secara de facto berkuasa atas saran-sarana yang dimiliki
termasuk terhadap sumur minyak. Oleh karena itu tidak semua pihak memiliki akses
utnuk mengelola dan memanfaatkan sumur minyak. Hanya pihak-pihak yang memiliki
kedekatan secara emosional ataupun kekerabatan yang dapat memanfaatkan sumur
minyak. Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain sebagai penambang sumur, angkat
dan angkut hasil-hasil tambang. Dengan kata lain, kepala desa Wonocolo memiliki “peran
strategis” terhadap sejumlah keuntungan dari aktivitas pertambangan. Hingga hubungan
patron-clients pun dilakukan oleh kepala desa dalam pengelolaan pertambangan yang
lebih menunjukan ciri eksploitatif. Kondisi kesejahteraan Lurah Wattah pun jauh berbeda
dengan anggota masyarakat lain, kepala desa Wonocolo ini hidup dengan kekayaan
dilihat dari rumah dan aset yang dimilikinya.
Tahun 1988 merupakan akhir dari penguasaan sumur-sumur tua tradisional. Hal
ini ditandai dengan keluarnya SK Kementrian Pertambangan dan Energi
No.0714K/30/M.PE/88 tentang pola penanganan tambang minyak daerah Wonocolo dan
Hargomulyo, Kecamatan Kasiman, Bojonegoro, Jawa Timur. Keluarnya SK tersebut
membuat kepala desa Wonocolo tidak memiliki lagi kekuasaan untuk mengelola sumur
tua dengan sistem patron-client yang berdampak pada turunya kondisi Lurah Wattah.
Surat Keputusan tersebut juga memberikan perubahan pada tata kelola sumur-sumur tua
terdiri dari penentuan kebijakan dalam proses produksi dan pemasaran minyak, upah,
distribusi hasil penambangan dan akses terhadap sumur. Pada saat penguasaan oleh
kepala desa, penambang dapat menjual langsung hasil minyaknya kepada pembeli namun
setelah SK keluar berubah. Sistem upah, proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh
Pertamina serta pemasaran tambang yang dihasilkan diharuskan untuk disetorkan melalui
KUD Bogo Sasono.
Sebelum hadirnya koperasi Bogo Sasono kehidupan masyarakat cukup sejahtera
namun berbanding terbalik setelah koperasi tersebut berdiri. Setelah hadirnya koperasi
Bogo Sasono penambang hanya dijadikan sebagai buruh dan diupah dengan nominal
yang tidak sebanding atau rendah. Penambangan mengakui bahwa imbal jasa yang
diberikan oleh pihak KUD Bogo Sasono tidak mampu memenuhi keluarga.
Kondisi imbal jasa rendah yang menekan penambang membuat timbulnya
perlawanan dari penambang. Perlawanan tidak lagi dilakukan secara tertutup tetapi
dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Penambang memilih untuk melanggar
aturan yang ditetapkan, mereka memutuskan untuk tidak memasarkan hasil tembang
mereka melalui KUD Bogo Sasono. Petani tambang desa Wonocolo memutuskan untuk
menempuh jalan seperti penjualan tanpa memalui KUD Bogo Sasono, penyulingan secara
mandiri dan pengurangan supply tambang ke Pertamina. Hal ini mereka lakukan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dan rumah tangga petani yang tidak tercukupi apabil
mengikuti aturan main negara.
8
Analisis:
Bentuk perlawanan petani tambang yang dilakukan di Desa Wonocolo bersifat
terbuka dan nyata. Strategi yang mereka lakukan dengan tidak mengikuti aturan main
yang ditetapkan oleh negara melalui keluarnya SK Kementrian Pertambangan dan Energi
No.0714K/30/M.PE/88 yaitu dengan melakukan pemasaran hasil tambang tidak melalui
KUD Bogo Sasono, penyulingan secara mandiri dan pengurangan supply tambang ke
Pertamina. Strategi ini mereka lakukan sebagai bentuk ketidak setujuan petani tambang
desa Wonocolo atas intervensi negara dalam hal pengaturan pengelolaan sumber daya
alam lokal. Petani tambang desa Wonocolo melakukan perlawanan dipicu oleh tidak
terpenuhi kebutuhan subsisten petani. Mereka merasa sistem yang diterapkan tidak dapat
memenuhi kebutuhan produksi dan rumah tangga petani. Perlawanan dilakukan oleh
petani tambang tradisional yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas pertambang.
Jurnal ini sudah menggunakan konsep yang relevan dengan fakta yang terjadi
dilapangan. Selain itu metode penelitian dengan pendekatan Grounded Research sangat
efektif dalam pengumpulan data, karena pendekatan ini bersifat felksibel yang
memungkinkan peneliti memperoleh data dan informasi yang mendalam. Namun jumlah
informan yang dijadikan sebagai sumber dipandang tidak mencukupi. Sebab apabila
menggali informasi yang lebih banyak dari setiap stakeholder maka akan memperoleh
informasi yang lebih mendalam dan lengkap. Selain itu akan diperoleh sudut pandang
yang berbeda terhadap kasus ini.
4. Judul Pustaka
: Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan atas Pembebasan
Tanah Rakyat untuk Pembangunan (Studi Kasus: Pembebasan Tanah untuk
Pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang)
Tahun
: 2006
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Tania Dora Warokka, Zulkifli dan Muba Simanuhuruk
Nama Jurnal
: Jurnal Studi Pembangunan
Volume(edisi)
: 1(02)
Alamat URL/doi :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15378/1/stpapr2006-%20%287%29.pdf
Tanggal Diunduh : 5 Maret 2015 pukul 16:59 WIB
Ringkasan:
Pada tahun 1997 terjadi pembangunan bandara Kuala Namu sebagai pengganti
bandara Kolonia Medan. Pembangunan bandara Kuala Namu mengakibatkan terjadinya
pembebasan tanah sebanyak delapan desa yang tersebar di dua kecamatan yaitu
Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin. Pembebasan tanah dilakukan dari
pemilik asli kepada PT Angkasa Pura II. Tahap awal dalam upaya pembebasan tanah
yaitu pembentukan tim pembebasan tanah yang bertugas melakukan sosialisasi,
pengukuran, inventarisasi dan mengadakan musyawarah ganti rugi. Kegiatan ini dipantau
oleh perusahan untuk memastikan tidak terjadinya tekanan dalam proses pembebasan
tanah. Selanjutnya sosialisasi pebebasan tanah kepada masyarakat bahwa akan dibangun
bandara. Selain itu dilakukan pengukuran, inventarisasi dan pembayaran ganti rugi lewat
negosiasi dengan berpedoman pada Badan Pertanahan Nasional dan Dinas Pertanian dan
Perkebunan. Namun hasil negosisasi berlangsung tidak seimbang yang menyebabkan
9
pemegang tanah sering dirugikan. Pembayaran ganti rugi dipengaruhi oleh kelengkapan
surat atau bukti serta status tanah yang dimiliki.
Pembangunan bandara Kuala Namu menimbulkan konflik antara masyarakat
Desa Pasar VI Kuala Namu dengan pihak PTPN II. Konflik dipicu oleh pembayaran ganti
rugi yang diterima oleh masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu hanya atas tanamtanaman saja, ganti rugi atas tanah dan bangunan tidak dibayarkan karena 890 Ha
tanahnya miliki pihak perkebunan. Sedangkan pada desa yang lain dengan tanah berstatus
milik sendiri, ganti rugi tidak menimbulkan konflik. Selain itu konflik yang masih
berlangsung hingga sekarang disebabkan oleh tidak diikutsertakannya masyarakat dalam
sosialisasi, pengukuran, inventarisasi sampai pembayaran ganti rugi. Lalu PTPN II
memberikan tawaran ganti rugi kepada buruh aktif, buruh harian dan pensiunan. Namun
masyarakat menolaknya dan menganggap bahwa uang ganti rugi tersebut tidak dapat
berguna. Sehingga memunculkan gerakan perjuangan nasib atas terkurungnya mereka
oleh tembok bandara sejak tahun 1998 dan pada tahun 2000 dilakukan pengusiran.
Perlawanan dilakukan dengan meminta bantuan KWML yang melibatkan LSM, DPRD
Tk. II Sumut, Komnas HAM dan DPR-RI. Pasca konflik pembayaran ganti rugi sulit
diselesaikan sehingga dilakukan pengajuan penyedian lahan pemukiman seluas 47 Ha
dan tanah pengganti.
Tanah sebagai modal produksi menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik
sosial. Terdapatnya kepentingan yang berbeda antara berbagai pihak menciptakan kelas
pemilik tanah dan kelas pekerja (buruh). Kelas yang tidak memiliki tanah memiliki
ketergantungan terhadap tanah. Hubungan produksi dalam perkebunan telah melemahkan
buruh perkebunan serta tidak memiliki hak dan akses terhadap tanah menimbulkan
kekhawatiran. Tidak terpenuhinya tuntutan-tuntutan mereka dan pengambilan hak oleh
pihak yang berkuasa telah memunculkan kesadaran kelas untuk memperjuangkan nasib.
Kelompok masyarakat Pasar VI Kuala Namu melakukan perlawanan dengan menacari
dukungan untuk meredam tekanan. Namun pihak perkebunan mencoba melemahkan
perjuangan masyarkat dengan melakukan intimidasi misalnya melakukan pengusiran
warga. Lemahnya perjuangan kelompok disebabkan oleh lemahnya posisi kelompok
(jaringan sosial dan ketergantungan hubungan buruh-majikan).
Namun konflik yang berlangsung antara masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu
dengan pihak PTPN II tergolong tidak tinggi karena respon masyarakat yang pasrah. Hal
ini disebabkan oleh kesadaran masyarakat akan hak sosial dan ekonominya rendah serta
lemahnya demokratisasi. Masyarakat tidak mempunyai kemampuan mempertahankan
haknya terhadap pihak yang berkuasa, sehingga posisi mereka semakin termarjinalkan.
Analsis:
Pembebasan tanah yang dilakukan untuk mendukung pembangunan bandara
Kuala Namu menimbulkan konflik sosial. Konflik dipicu karena masalah ganti rugi yang
dipengaruhi oleh status tanah yang dimiliki. Status tanah yang menimbulkan konflik
bukanlah tanah milik sendiri sehingga ganti rugi hanya dilakukan atas tanam-tanaman
saja. Sengketa tanah akibat pembangunan bandara Kuala Namu menimbulkan gerakan
perlawanan petani masyarakat Desa Pasar VI Kuala Namu untuk memperjuangkan nasib.
Bentuk perjuangan kelompok yang dilakukan dengan mancari dukungan terhadap pihakpihak yang memiliki hubungan kepentingan terhadap kasus seperti KWML, Komnas
HAM, DPRD-RI dan DPRD Tk. II Sumut. Bentuk perjuangan yang dilakukan kelompok
masyarakat tergolong bersifat pasrah karena kurangnya kesadaran atas hak sosial dan
10
ekonominya. Golongan yang melakukan perlawanan yaitu golongan petani buruh yang
mendiami tanah milik perkebunan.
Dilihat dari penyajian datanya, jurnal penelitian yang ditulis oleh Tania dkk
dilengkapi oleh skema yang berisi alur konflik pembebasan tanah. Sehingga
memudahkan pembaca untuk memahami proses terjadinya konflik sengketa lahan.
Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif telah memberikan dukungan data yang
membantu memperjelas penyajian data. Namun dalam jurnal penelitian ini tidak
dilengkapi oleh data jumlah rumah atau bangunan yang terkena sengketa khususnya yang
menimbulkan konflik. Selain itu tidak dilengkapi dengan berbagai data yang berkaitan
dengan jumlah korban akibat pengusiran tahun 2000 meskipun perlawanan masih bersifat
pasrah. Rumusan permasalahan dan tujuan penelitianpun tidak disampaikan secara
langsung.
5. Judul Pustaka
: Gerakan Protes Sosial Petani di Jawa pada Masa Kolonial (dalam
Perspektif Sejarah Sosial Pedesaan)
Tahun
: 2009
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Abdu Muntholib
Nama Jurnal
: Jurnal Sejarahh FIS Unnes
Volume(edisi)
: 36(01)
Alamat URL/doi :
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS/article/view/1331/1421
Tanggal Diunduh : 18 Maret 2015 pukul 10:42 WIB
Ringkasan:
Gerkan sosial bukanlah sesuatu yang baru, bahkan sudah terjadi sebelum hadirnya
Kolonial di tanah air. Hadirnya Kolonial atau selama abad 19 dan awal abad 20, gerakan
sosial semakin meningkat. Gearakan sosial umunya terjadi di pedesaan seperti protes
sosial petani di Jawa. Meningkatnya gerakan sosial pada masa Kolonial disebabkan oleh
adanya ketidaksesuaian dengan cita-cita masyarakat pedesaan serta terjadinya ekspansi
dan dominasi politik, ekonomi dan budaya. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya
disorganisasi di kalangan masyarakat. Penyebab munculnya gerakan sosial pada aspek
ekonomi berupa komersialisasi seperti pemajakan, buruh upahan serta masalah
kepemilikan dan penggarapan tanah. Sedangkan pada aspek politik berupa semakin
meluasnya penetrasi sistem administrasi pemerintah Kolonial sehingga menimbulkan
ketidakstabilan, lembaga polittik tradisional terdesak serta menjadikan penguasa
tradisional sebagai alat birokrasi. Pemberontakan lokal, kepemimpinan kharismatik dan
kepercayaan terhadap kemampuan pelaku juga telah mendorong pemberontakan.
Misalnya pemberontakan di Banten yang besar dan meluas terjadi pada tahun
1888. Penghapusan kesultanan oleh pemerintah Kolonial menimbulkan pemberontakan
dimana loyalitas beralih ke pemimpin agama kharismastik seperti haji atau kyai, sehingga
semakin banyak memunculkan pesantren dan tarekat. Penyebab lain pemberontakan di
Banten yaitu kepemilikan tanah yang bersifat pribadi serta tidak adanya sistem tanam
paksa yang diberlakukan oleh pemerintahan Kolonial sehingga masyarakatnya bersifat
individualis. Pemimpin yang berperan di Banten bukanlah petani melainkan elit agama
11
bekas bangsawan Banten dan elit desa yaitu para tuan tanah serta penduduk desa yang
cukup berada.
Pemberontakan terjadi bukan karena kemiskinan tetapi pada masyarakat makmur
yang melakukan pembelaan terhadap miliknya. Keresahaan petani yang mendorong
pemberontakan atau gerakan radikal apabila (1)ada tradisi pemberontakan; (2)ketegangan
karena tersingkirnya lapisan besar; (3)dampak penetrasi dominasi; serta (4)adanya
pemimpin revolusioner. Terciptanya alat keoorganisasian untuk mengarahkan mobilisasi.
Gerakan radikal di Jawa mempunyai ideologi sebagai sumber motivasi dan tali
pengikat solidaritas untuk melawan dan didalamnya terdapat tokoh pemimpin gerakan.
Kegelisahan yang dialami oleh petani Jawa menimbulkan pemberontakan atau
kriminialitas, selain itu hadirnya ekonomi pasar membuat petani kecil melepaskan
tanahnya dan menimbulkan hutang. Protes sosial terjadi dalam bentuk kerusuhan,
perbanditan sosial dan pembegalan. Berdasarkan kesadaran politik perbanditan petani
dibedakan menjadi tiga yaitu (1) gerakan belum sadar politik berupa pencurian dan begal;
(2)setengah sadar berupa perampokan dan perkecuan; dan (3) sepenuhnya sadar berupa
gerilya dan pemberontakan. Perbanditan tersebut juga dibedakan menjadi kriminalitas,
perbanditan dan pemberontakan. Masuknya kepitalisme seperti perkebunan dan
lemahnya budaya lokal mengarahkan kepada eksploitasi sehingga menciptakan resistensi.
Otonomi petani mengalami degredasi oleh kekuatan asing menimbulkan rasa tidak puas
dan kerugian sehingga muncul gerakan sosial petani dalam bentuk penolakan. Resistensi
yang dilakukan oleh petani bukanlah untuk menggulingkan dominasi tetapi untuk
mempertahankan hidup pada masa itu. Akar terjadinya protes yang dilakukan petani
diantaranya yaitu (1)komersialisasi pertanian sehingga menimbulkan kemerosotan
keamanan petani; (2) pembentukan organisasi politik dari luar; serta (3)respon negara
diantara pilihan reformasi dan penindasan yang berdampak pada lingkup dan intensitas
mobilitas petani.
Analisis:
Gerakan sosial sudah hadir sejak lama namun setelah hadirnya Kolonialisme di
tanah air menyebabkan semakin meningkatnya gerakan sosial tersebut. Pada masa
pemerintahan kolonial, penyebab munculya gerakan sosial yaitu adanya penetrasi
dominasi administrasi kolonial serta komersialiasi pertanian misalnya melalui sistem
kerja paksa. Gerakan sosial tidak hanya muncul dari golongan miskin karena aksi
dominasi pemerintahan kolonial tetapi juga muncul dari golongan makmur yang mulai
tersingkir. Selain itu daerah yang bukan menjadi target sistem tanam paksa namun dengan
sistem kepemilikan pribadi juga memicu terjadinya gerakan sosial seperti pada kasus di
Banten. Kegelisahan yang dialami oleh petani Jawa membawa pada gerakan
pemberontakan atau protes sosial. Protes sosial terjadi dalam bentuk kerusuhan,
perbanditan sosial dan pembegalan. Aktor yang berperan sebagai pemimpin gerakan
muncul dari tokoh agama seperti haji dan kyai, elit desa dan penduduk yang cukup berada.
Peran pemimpin berperan sebagai pengorganisir gerakan melalui pengorganisasian yang
mengarahkan pada mobilitas. Upaya pertahanan yang dilakukan petani tidak bertujuan
untuk menggulikan dominasi namun untuk dapat mempertahankan hidup.
Penyajian jurnal penelitian ini tidak dilengkapi oleh metode penelitian dan tujuan
dilakukanya penelitian. Sehingga menyulitkan pembaca dalam memahami lebih
mendalam mengenai isi dari jurnal. Namun jurnal penelitian ini sudah dilengkapi oleh
hasil dari penelitian yang lain yang dijadikan sebagai contoh kasus yang dijadikan sebagai
perbandingan.
12
6. Judul Pustaka
: Gerakan Anti Tuan Tanah di Desa Sambirejo, Kecamatan
Mantingan, Kabupaten Ngawi (Studi Kasus Tentang Pemberontakan Petani di Desa
Sambirejo, Kecamatan Mantinga, Kabupaten Ngawi Tahun 1963-1965)
Tahun
: 2013
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Umi Rosyidah dan Sariyatun, Iswati
Nama Jurnal
: Jurnal Candi
Volume(edisi)
: 5 (01)
Alamat URL/doi :
http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sejarah/article/view/1894/1395
Tanggal Diunduh : 18 Maret 2015 pukul 10:53 WIB
Ringkasan:
Desa Sambirejo yang terletak di sebelah barat Kota Ngawi merupakan salah satu
dari 11 desa dalam wilayah Kecamatan Mantingan. Pada tahun 1963-1965 Desa
Sambirejo mengalami situasi yang tidak kondusif yaitu munculnya aksi-aksi seperti aksi
mogok buruh. Situasi ini terbentuk karena terjadinya penggugatan atas tanah yang
dilakukan oleh pihak Partai Komunis Indonesia atau Barisan Tani Indonesia.
Penggugatan dilakukan terhadap tanah wakaf milik Yayasan Pemiliharaan dan Perluasan
Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) Gontor seluas 163,879 hektar. Usaha penggugatan
yag dilakukan oleh pihak PKI/BTI dalam rangka usaha pembatalan Surat Keputusan
Mentri Agraria No. SK. 10/Depag/1964.
Tahun 1963 juga ditandai dengan aksi pemogokan oleh buruh di sektor pertanian
yang disebabkan oleh sistem bagi hasil dan aksi sepihak yang dilakukan oleh buruh tani
dari PKI/BTI. Pada tahun yang sama aksi pemogokan dipicu dengan memanasnya
persengketaan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) dan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA). Masyarakat pedesaan Jawa Timur memiliki tiga partai politik meliputi
Partai Nasional Kebangsan (PNI), Partai Nasional Keagamaan (NU) dan Partai Komunis
(PKI). Kelompok tuan tanah dan petani kaya di atur untuk melepaskan kekayaannya
berupa tanah dengan berbagai cara misalnya di jual, atau dihibahkan. Sehingga sistem ini
tidak disukai oleh golongan tuan tanah dan petani kaya yang berujung terjadinya
ketegangan politik.
Peristiwa gerakan anti tuan tanah di Dadung, Sambirejo telah melibatkan berbagai
pihak yaitu Pondok Modern Gontor, Partai Komunis Indonesia (PKI)/Barisan Tani
Indonesia (BTI) serta pejabat pemerintah. Gerakan anti tuan tanah ini juga termasuk
kedalam skala yang besar dbandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Gerakan anti tuan
tanah Desa Sambirejo dilancarkan mulai musim tanam antara tahun 1963-1965. Puncak
gerakan ini terjadi pada 1 Mei 1965 dengan keluarnya SK Menteri Agraria No. SK
10/Depag/1964 yang telah memberikan kepastian hukum terhadap tanah wakaf milik
YPPWPM Gontor di Maningan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak PKI/BTI semakin meluas melalui
tindakan liar para penggarap. Hal tersebut menyebabkan pihak YPPWPM Gontor merasa
tidak sanggup dalam menyelesaikan tindakan liar para penggarap. Pihak YPPWPM yang
mengalami kewalahan menyebabkan direncanakannya aksi balas dendam dari pihak
13
YPPWPM kepada pihak BTI. Abdullah Mustaqim Subroto Nadzir dari pihak YPPWPM
mengumpulkan masa yang terdiri atas para pemuda dari berbagai organisasi Islam di
Sekitar Ngawi. Sehingga pada tanggal 1 Mei 1965 diadakan suatu pertemuan dengan
pihak BTI yang diselenggrakan oleh Catur Tunggal Mantingan di lapangan dusun
Dadung yang dimulai pada pukul 10.00 pagi. Dengan ditiunya peluit maka munculah
ratusan pemuda Islam yang menggunakan senjata berupa pentungan yang mulai
menyerbu petani BTI. Petani BTI pun hanya melakuka perlawanan seadanya karena
mereka tidak menduga sebelumya. Sebagia dari merelka melarikan diri ke Kampung
Magersari. Pemuda Islam teta mengejar dan membakar rumah milik petani di Magersari.
Sehingga Abdullah Mustaqim Subroto dan rekannya ditangkap oleh polisi ke Polres
Ngawi.
Gerakan anti tuan tanah ini menimbulkan dampak sacara politik, ekonomi dan
sosial. Dampak politik yang ditimbulkan yaitu penanam ideologi kelas kepada kaum tidak
bertanah dan petani miskin oleh PKI kurang berhasil yang menyebabkan kandasnya
politik PKI. Selain itu secara politik telah memberikan dampak berupa hubungan dalam
organisasi Islam semakin kuat dalam berbagai bentuk hubungan patron-client seperti
yang tergambar di Desa Sambirejo berupa hubungan antara guru dan murid atau kiaisantri. Selanjutnya dampak secara ekonomi yaitu adanya korban luka tujuh orang dan
pembakaran sepuluh rumah, pihak Pondok Modern Gontor tetap tidak mendapatkan hasil
panen karena telah disita oleh BPPL Ngawi sehingga mengalami kesuliatan membayar
gaji para mandor dan buruh. Sedangkan dampak dalam bidang sosial yaitu perhatian yang
diarahkan pada pihak YPPWPM Gontor yang dianggap ragu apabila pihak mereka tidak
mengetahui atas peristiwa yang terjadi.
Analisis:
Gerakan anti tuan tanah Desa Sambirejo merupakan gerakan yang dilakukan oleh
golongan petani yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI). BTI merupakan
anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga gerakan anti tuan tanah
yang dilakukan oleh BTI dilatarbelakangi oleh ideologi-ideologi PKI. Upaya PKI untuk
tetap eksis dalam perpolitikan dilakukan dengan memanfaatkan BTI untuk melakukan
gerakan anti tuan tanah. Gerakan yang diwadahi oleh BTI terdiri atas petani penggarap
yaitu kalangan tuna wisam dan petani miskin dengan intruksi atau pimpinan dari pihak
PKI. Bentuk gerakan dilakukan dengan melakukan aksi sepihak terhadap pembatalan
tanah wakaf milik Yayasan Pemiliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern
(YPPWPM) melalui Surat Keputusan Mentri Agraria No. SK. 10/Depag/1964. Gerakan
perlawanan BTI mendapatkan respon berupa kekerasan dari pihak YPPWPM sehingga
berdampak secara sosial, ekonomi dan politik.
Jurnal penelitian ini memiliki latar belakang bahwa di Indonesia maraknya terjadi
permasalahan agraria. Permasalahan agraria mengarahkan pada munculnya gerkangerakan petani dalam berbagai bentuk dan strategi dengan dasar ideologi yang dipegang.
Sedangkan tujuan dari penelitian gerakan anti tuan tanah Desa Sambirejo yaitu untuk
melihat latar belakang terjadinya gerakan, proses gerakan dan dampak gerakan yang
ditimbulkan. Penelitian ini menggunakan metode berupa penggunaan data sekunder
untuk melihat alur sejarah karena terkait dengan peristiwa yang terjadi pada masa lalu
sehingga menghasilkan historiografi.
7. Judul Pustaka
: Wajah Prakasa Partisipatif: Dinamika Gagasan Reforma Agraria
dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca 1998
14
Tahun
: 2008
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Tri Chandra Aprianto
Nama Jurnal
: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Volume(edisi)
: 12 (01)
Alamat URL/doi :
http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/265
Tanggal Diunduh : 27 Febuari 2015 pukul 15:55 WIB
Ringkasan:
Reformas agraria yang merupakan perubahan struktur agraria telah menjadi
agenda reformasi dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (pidato
SBY 31 Januarri 2007). Maka dibuatlah Program Pembaharuan Agraria Nasional yang
bertujuan untuk mengakhiri konflik agraria. Gagasan mengenai reforma agraria juga
banyak diperbincangkan di berbagai belahan dunia. Sejak terjadinya peristiwa 1965 maka
dilakukan penataan ulang pengelolaan sumberdaya agraria dengan kebijakan ekonomi
liberal serta melibatkan militer. Sehingga dalam prakteknya petani tidak sebagai subjek
pembangunan. Lahirlah gerakan sosial baru di Indonesia yang digerakan oleh Organisasi
Non Pemerintah (Ornop) dengan menggunakan pendekatan HAM termasuk hak-hak
masyarakat adat Ornop. Gerakan sosial bentukan Ornop mengarah pada terbentuknya
organisasi yang terorganisir. Diawali oleh adanya protes kelompok masyarkat tani yang
menimbulkan kekerasan sehingga terbentuk perlawanan yang terorganisir.
Pada tahun 1990an terbukti hadirnya ornop dan kesadaran masyarakat telah
membentuk organisasi petani. Tahun 2005 organisasi lokal di berbagai provinsi
bergabung dalam Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Kemudian muncul organisasi
yang lebih spesifik mengenai isu reforma agraria yaitu Konsorium Pembaruan Agraria
(KPA). Isu yang diangkat tidak lagi hanya perlawanan atas hak masyarakat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Namun isu yangg diangkat lebih
luas yaitu mengenai krisis ekologi, bencana pembangunan dan krisis sosial karena
gagalnya kelembagaan dan kebijakan pembangunan. Terdapat dua pendekatan yang dapat
dilakukan oleh gerakan sosial untuk memasuki ruang politik kenegaraan, yaitu (1)
keterlibatan tokoh gerakan sosial ke ranah publik; dan (2) melakukan intervensi dan
mempengaruhi agenda negara. Misalnya pada Serikat Petani Bengkulu (STAB) yang
melakukan pembelaan dan pengorganisasian hukum pada kasus komunitas petani,
nelayan dan pedagang di wilayah Bengkulu. Selain itu yang dilakukan oleh Organisasii
Rakyat Independen (ORI) Sumatera yang didirikan karena rasa kebersamaan dalam
membangun kekuatan politik.
Upaya untuk melahirkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat khususnya
petani tidak cukup hanya melalui pendidikan. Sehingga harus adanya kader gerakan sosial
yang tidak hanya berjuang di arena politik tetapi juga setidaknya mempunyai kemampuan
mempengaruhi agenda-agenda politik formal. Tidak hanya pada level nasional juga dari
level yang rendah seperti kepala desa. Sehingga gagasan reforma agraria dapat dilakukan
pada tingkat desa. Praktek politik ini juga dilakukan oleh Organisasi Tani Jawa Tengah
(Ortaja) ditunjukan dengan terdapat beberapa anggotanya yang menjadi kepala desa.
Semetara dari pihak KPA menginisiasi lahirnya TAP MPR IX tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, namun kebijakan tersebut tidak
15
ada tindak lanjutnya. Sementara sepanjang tahun 1970-2001 KPA mencatat ada 1.753
kasus dengan objek sengketa tak kurang dari 10.892.203 Ha dan mengorbankan
1.189.482 KK. Dalam upaya penyelesaian dibentuklah Komisi Nasional untuk
Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang dimandatkan oleh Komnas HAM pada
masa presiden Megawati Soekarno Putri. Namun pada masa SBY tidak setuju akan
pembetukan kelembagan tersebut dan lebih menekankan pada penajaman fungsi dan
kewenangan BPN.
Dalam upaya penylesaiannya dibutuhkan prakasa transformatif yang
membutuhkan perubahan-perubahan dalam kebijakan dan implementasinya melalui
adapasi dari prakasa pada tingkat akar rumput sampi level pemerintah. Indonesia telah
mempraktekan perubahan transformatif dengan terbukanya ruang politik pasca 1998.
Pada level yang lebih tinggi adanya actor pro reform yang mau membicarakan isu
reforma agraria. Selain itu perlu peran akademisi untuk memiliki keberpihakan dan
bergabung dalam kelompok gerakan sosial Indonesia. Seperti Lingkar Pembaruan Desa
dan Agraria (KARSA) yang melakukan riset demi terwujudnya reforma agraria dan
pembaruan desa. Selain itu hadir Lingkar Belajar Reforma Agraria (LIBRA) yang
melakukan kegiatan belajar di perguruan tinggi Indonesia (IPB, UI, UGM, STPN, UIN
Ciputat).
Analisis:
Reforma agraria dijadikan sebagai gagasan untuk menangani permasalahan
agraria seperti sengekta hak masyarakat dan kerusakan ekologis. Gerakan sosial baru
Indonesia terbentuk dari ornop berdasarkan kesadaran masyarakat yang mengarah pada
terbentuknya organsasi yang terorganisir. Terdapat dua strategi yang digunakan oleh
gerakan sosial untuk masuk kedalam politik negara dalam rangka penyelesaian
permasalahan agraria yaitu pertama, masuknya anggota gerakan sosial kedalam ruanng
politik. Misalnya beberapa anggota gerakan sosial menjadi kepala desa sehingga gagasan
reforma agraria bisa dilakukan pada tingkat desa. Kedua, intervensi dan mempengaruhi
agenda negara dengan mengandalkan kader yang mempunyai kemampuan
mempengaruhi agenda politik formal. Kepemimpinan yang diandalkan yaitu pada level
atas berupa hadirnya actor pro reform yang mau membicarakan isu reforma agraria.
Golongan sosial yang terlibat dalam gerakan sosial yaitu dimulai dari petani kecil hingga
aktor yang memiliki kesempatan untuk masuk kedalam ruang politik baik ditingkat lokal
maupun nasional.
Tujuan penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui bagaimana gerakan sosial di
Indonesia melakukan dorongan dan bagaimana konsistensi gerakan sosial ketika
tersendat oleh gerakan penolakan. Variabel yang digunakan yaitu hubungan antara
reforma agraria dan gerakan sosial. Penulisan teoritis dilengkapi oleh contoh-contoh
gerakan sosial yang mewakili serta dikaitkan dengan isu-isu yang sedang berkembang.
Namun jurnal ini tidak menjelaskan mengenai metode yang digunakan dalam
pengumpulan data dan penulisan.
8. Judul Pustaka
: Perjuangan Masyarakat Lokal di Tengah Pengembangan Lahan
Sawit (Studi Kasus Perusahaan Kelapa Sawit di Desa Wambes, Distrik Arso,
Kabupaten Keerom, Provinsi Papua)
Tahun
: 2014
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
16
Penulis
: Liboria Genoveva Atek
Nama Jurnal
: Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin
Volume(edisi)
: 13 (01)
Alamat URL/doi :
http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/4807/ART_Liboria%20Geno
veva%20Atek_perjuangan%20masyarakat%20lokal_fulltext.pdf?sequence=2
Tanggal Diunduh : 6 Maret 2015 pukul 13:29 WIB
Ringkasan:
Pada masa Orde Baru, perkebunan digunakan oleh Indonesia sebagai alat untuk
menambah devisa negara. Perkebunan dijalankan melalui dua strategi yaitu (1)
rehabilitasi perkebunan negara yang sudah ada; dan (2) membangun perkebunan karet
dan kelapa sawit melalui Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sumber dana yang digunakan
dalam pengelolaan perkebunan yaitu dari pinjaman Bank Dunia. PIR berkerja dengan
melibatkan masyarakat sebagai pekebun yang mandiri sementara perusahaan perkebunan
sebagai pembina. Contohnya yaitu perusahaan PTPN 2 yang mengembangkan kelapa
sawit di Desa Wambes Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Sehingga terjadi
peralihan dari masyarakat petani subsisten menjadi buruh kelapa sawit. Namun dalam
prakteknya perusahaan menjadi semakin kaya sedangkan masyarakat menjadi semakin
miskin karena kesejahteraan mereka tidak jelas yang disebabkan oleh ketidak adilan.
Pelepasan tanah ulayat menjadi lahan perkebunan tidak berjalan mulus karena
disertai konflik. Hingga saat ini lahan dengan luas lebih 50.000 Ha yang digarap PTPN
II masih bermasalah dalam hal ganti dan belum adanya sertifikat. Perusahaan yang telah
berdiri selama 30 tahun (berdiri tahun 1982/1983) ini melakukan pengelolaan perkebunan
dengan pola PIR untuk mengembangkan mutu petani yang melibatkan mereka sebagai
petani plasma dengan sistem saling menguntungkan. Namun janji-janji yang diberikan
perusahaan tidak terbukti, hasil kerja para buruh tidak sebanding dengan yang mereka
dapatkan dari perusahaan. Perusahaan tidak menempati janji untuk memberikan upah
maksimal, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Ketidak adalian
masayarakat rasakan melalui sistem kerja buruh-majikan sehingga masyarakat
kehilangan haknya dalam membuat usaha lain untuk menambah pendapatnnya.
Saat ini sekitar 95% hektar tanah masyarakat dikontrakan kepada perusahan
dengan bayaran Rp300.000 perbulan. Alasan masyarakat mengontrakan tanahnya yaitu
(1)harga Tandan Buah Besar (TBS) kelapa sawit di bawah standar; (2)petani tidak mampu
membayar ongkos angkutan yang tinggi; dan (3)pungutan perusahaan kepada masyarakat
yang bekerja di pabrik, jika tidak membayar maka tidak akan dilakukan penimbangan dan
pembongkaran TBS. Terlihat bahwa aturan-aturan yang dibuat oleh perusahaan
memberikan dampak negatif kepada masyarakat. Semakin tingginya desakan ekonomi
mendorong masyarakat untuk melakukan perjuangan seperti demo di depan pabrik,
mogok kerja dan memalang jalan truk pengangkut kelapa sawit. Namuan pihak
perusahaan tidak menanggapi serius mengenai persoaln ini. Selain itu masyarakat juga
mengajukan aspirasi kepada pemerintah namun ternyata sama saja, pemerintah
memberikan respon yang negatif sehingga meminta bantuan kepada Dewan Adat Papua
(DAP) untuk menyelamatkan hutan mereka. Perjuangan merekapun mendapatkan
jawaban yang positif, para DAP mulai memberikan perahatian kapada hutan mereka yang
semakin tergusur oleh perusahaan sawit. Untuk mempertahankan hidup mereka,
17
masyarakat mulai membuka usaha seperti mengontrak tanah, membuka usaha baru
(menanam Kakao) dan mencari pekerjan diluar perusahaan perkebunan.
Hadirnya perkebunan kelapa sawit memberikan dampak positif yaitu menjadi
sumber pendapatan daerah yang tinggi. Selain itu bermanfaat dalam mengurangi tingkat
penganguran, mendapatkan pelayanan kesehatan, mendapatkan sarana dan prasarana
pendidikan, tranportasi dan akses masyarakat ke kota. Namun lebih banyak memberikan
dampak negatif yaitu ekonomi masyarakat yang belum sejahtera, banjir, tumbuhan dan
hewan punah, kesulitan air bersih dan penyakit. Kerusakan lingkungan merupakan
dampak terbesar atas hadirnya perkebunan sawit. LSM lingkungan Telapak menyatakan
bahwa tahun 2007 di hutan Papua sekitar 300 ribu meter kubik kayu ditebas sehingga
merusak sekitar 1 juta hektar per tahun hutan yang merupakan sumber oksigen dunia..
Analisis:
Perlawanan masyarakat Asro dilatar belakangi oleh hadirnya PTN II sebagai
perusahaan perkebuna kelapa sawit yang merusak hutan milik masyarakat. Selain itu
terjadinya penurunan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang diakibatkan ketidak
adalian dari sisrtem kerja buruh-majikan yang diterapkan oleh perusahaan kepada buruh
sawit. Pelalaian terhadap janji-janji perusahaan terhadap penjaminan kesejahteraan
masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan menjadi penyebab perlawanan. Perlawanan
dilakukan dengan berbagai stratgei yaitu demo, mogok kerja dan memalang jalan truk
pengangkut kelapa sawit. Masyarakat juga melakukan usaha mencari dukungan kepada
pemerintah namun diberikan respon negatif. Sehingga masyarakat memanfaatkan Dewan
Adat Papua (DAP) dalam menjaga hutan mereka sekaligus berperan sebagai pemimpin
perlawanan. Perlawanan dilakukan tidak terwadahi melalui organisasi khusus namun
hana berupa aksi-aksi kolektif masyarakat. Masyarakat yang terlibat dalam perjuangan
ini berasal dari gologan buruh kecil yang mengalami tekanan atau desakan ekonomi atas
hadrnya perusahaan perkebuanan sawit ini.
Latar belakang penulisan jurnal yaitu karena adaya masalah kesejahteraan yang
dialami oleh masyarakat Desa Wambes Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua akibat
ketidak adilan perusahaan. Varibel yang digunakan yaitu perjuangan masyarakat lokal
dan pengembangan lahan sawit dengan metode penelitian kualitatif. Penjelasan mengenai
perjuangan masyarakat terhadap perusahan sawit kurang mendalam karena tidak
memberikan infromasi yang lengkap mengenai perjuangan masyarakat yang didukung
oleh Dewa Adat Papua (DAP). Sebab jika dilihat dari latar belakang masayarakat Papua
masih memegang tradisi adat yang masih kental sehingga akan berpengaruh besar pula
pada upaya perjuangan mereka.
9. Judul Pustaka
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Penulis
Rangkuti
Nama Jurnal
Volume(edisi)
Alamat URL/doi
Tanggal Diunduh
: Komunikasi Penyadaran Kritis Gerakan Petani
: 2014
: Artikel jurnal
: Elektronik
: Wijanarko, Sarwititi Sarwoprasodjo dan Parlaungan Adil
: Makara Hubs-Asia
: 18 (01)
: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE25-1c.pdf
: 27 Febuari 2015 pukul 16:12 WIB
18
Ringkasan:
Sejak reformasi, gerakan perubahan mulai dari tingkat akar rumput banyak
dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) dalam bentuk Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Gerakan sosial memiliki dua tujuan yaitu anti status quo dan
pelembagaan politik. Komunikasi conciousness raising (penumbuhan kesadaran) sebagai
strategi gerakan perlawanan petani terhadap negara dilakukan dalam bentuk pelatihan,
diskusi publik dan aksi. Tujuan komunikasi conciousness raising untuk mengungkapkan
bentuk ketidakadilan dan identitas kolektif para aktor. Pendirian Serikat Petani Qoryah
Thabiyyah (SPPQT) yaitu mengembangkan masyarakat petani agar mampu mendapatkan
akses dan mengendalikan sumber daya serta mampu mengatasi masalah dalam
peningkatan kesejahteraan. Selain itu untuk membebaskan petani dari penindasan yang
dilakuan oleh ideologi kapitalisme dan feodalisme yang menyebabkan pemiskinan dan
ketidakberdayaan. Program-program yang dijalankan meliputi perjuangan alat produksi
bagi petani penggarap, sistem pertanian berkelanjutan yang mandiri dan ramah
lingkungan serta dikuasai petani dan lain-lain. Aktor penggerak serikat dari golongan
aktifis muda NU dengan ideologi pluralisme dan kesetaraan gender.
Keberhasilan gerakan petani dipengaruhi oleh media komunikasi yang dikelola
oleh serikat yaitu media cetak berupa buletin Caping, elektronik, berupa situs buletin
Caping serta Facebook dan alternatif berupa media inetrpersonal dan pertemuan
kelompok. Media alternatif berupa media interpersonal dan pertemuan kelompok di nilai
lebih diterima oleh masyarakat. Setiap paguyuban memiliki isu yang berbeda-beda,
secara umum isu tersebut dikelompokan menjadi empat kategori yaitu organisasi politik,
pertanian organik dan ekonomi, perempuan dan kepemudaan.
Proses penyadaran gerakan petani diakukan dengan menggunakan media
pembangkit kesadaran untuk menghadapi empat isu. Media kelompok merupakan media
yang palingg sering diunakan. Proses CR dapat menggunakan teknik berbagi pengalaman
dan cerita serta mengeksplore isu-isu keberagaman. Media alternatif yang sudah ada
dalam masyarakat seperti forum-forum di level desa dan pengajian dapat digunakan. Pada
isu pertanian organik, media CR yang digunakanyyaitu pengajian yang dikolaborasikan
dengan pertemuan kelompok, seminar, teater rakyat serta internet. Selanjutnya pada isu
perempuan melalui Forum Perempuan Desa Jombong dengan latar belakang isu
pemberdayaan yaitu ketidakadilan berupa partiarki dan kapitalisme. Teknik CR yang
digunakan berupa diskusi degan berbagi pengalaman dan cerita mengenai ketidakadilan
yang dialami perempuan dan fasilitator. Sedangkan teknik CR yang digunakan dalam isu
pemuda yaitu internet dan situs Caping. Meskipun akses pemuda terhadap internet tinggi
namun mereka malas untuk memberikan komentar dalam situs sebagai saran diskusi.
Tujuan komunikasi penyadaran kritis dalam kelompok yaiu agar terbentuknya
identitas petani yang kritis dan memiliki motivasi yang mengarahkan pada terbentuknya
aksi kolektif. Dari keempat kelompok tani dalam isu yang berbeda telah menunjukan
transformasi identitas individual menjadi kolektif. Komunikasi penyadaran kritis
merupakan solusi alernatif dalam pembentutkan gerakan petani. Fungsi komunikasi tidak
hanya menyampikan informasi tetapi juga untuk menyadarkan kau tani atas ideologi
dominasi yang menekan mereka. Dalam SPPQT memiliki karakteristik gerakan
perubahan yaitu identitas gerakannya berfokus ppada pengembangan ekonomi serta
secara struktural merupakan bentuk formalisasi oraganisasi. Selanjunya bentuk aksi dari
SPPQT tidak selalu demonstrasi atau protes tetapi juga aksi festival, seminar dan
audiensi.
19
Analisis:
Serikat Petani Qoryah Thabiyyah (SPPQT) merupakan bentuk gerakan perubahan
petani untuk membebaskan mereka dari penindasan dari berbagai bentuk kapitalisme dan
feodalisme serta fokus SPPQT yaitu untuk pengembangan ekonomi dari anggotanya.
SPPQT merupakan upaya struktural untuk forrmalitas organisasi sebagai wadah petani
dalam melakukan gerakan perubahan. Aktor yang berperan memimpin gerakan
peruabahan SPPQT berasal dari para aktivis NU dengan dieologi pluralisme dan
kesetaraan gender. Bentuk aksi yang dilakukan oleh SPPQT tidak hanya demonstrasi dan
protes juga aksi festival, seminar dan audiensi. Upaya gerakan perubahan ini dibentuk
melalui upaya penyadaran kritis melalui komunikasi conciousness raising (penumbuhan
kesadaran) dengan menggunakan media komunikasi alternatif berupa media
interpersonal dan pertemuan keompok. Media alternatif ini dinilai sesuai dengan kondisi
masyarakat dengan segala keterbatasannya seperti sarana dan prasarana komunikasi.
Komunikasi penyadaran kritis efektif dalam mentransformasi masyarakat dari identitas
individual ke kolektif serta mendorong terbentuknya gerakan petani. Golongan sosial
yang ikut serta dalam gerakan perubahan SPPQT berasal dari golongan petani bawah
yang megalami penindasan dari pihak negara.
Variabel yag digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi penyadaran kritis
dan gerakan sosial. Sedangkan metode peneliltian yang digunakan yaitu pendekatan
kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dengan pemilihan subjek dan informan
penelitian dilakukan secara purposif. Pembahasan penelitian ini disajikan secara lengkap
dengan menjelaskan dua konsep yang berbeda yaitu penyadaran kritis dan gerakan sosial.
Serta penjabaran SPPQT secara terperinci yang dilihat dari sudut teknik komunikasi kritis
yang digunakan.
10. Judul Pustaka
: Sengketa Kawasan Hutan Lindung antara Perhutani dengan
Masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung
Tahun
: 2014
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Asteris Meliza Koesume
Nama Jurnal
: Unnes Law Journal
Volume(edisi)
: 3 (01)
Alamat URL/doi : http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj
Tanggal Diunduh : 19 April 2015 pukul 18:24 WIB
Ringkasan:
Status, batas dan luas wilayah suatu kawasan hutan sudah ditetapkan dalam UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan ditegaskan dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status
dan Fungsi Kawasan Hutan. Pengelolaan hutan difokuskan kepada pemanfaatan,
konservasi dan perlindungan fungsi hutan namun dalam prakteknya lebih menonjolkan
fungsi pemanfaatannya. Kawasan hutan telah ditetapkan untuk dikelola oleh Perum
Perhutani namun sering masyarakat melakukan klaim bahwa lahan tersebut merupakan
milik mereka secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Sehingga munculah
sengketa yang diajukan oleh masyarakat kepada pengadilan atas pemilikan kawasan
hutan. Seperti sengketa kawasan hutan lindung petak 23 seluas sekitar 141 hektar di Resor
20
Pemangku Hutan (RPH) Kemloko, Bagian Kesatuan Pemangku Hukum (BKPH)
Temanggung, Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kedu Utara. Namun gugatan atas
kawasan hutan yang diajukan penggugat tidak dapat dibuktikan secara jelas sehingga
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Temanggung Nomor 20/1981/Pdt/G/PNT
memutuskan untuk menolak gugatan serta dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi
Jateng Nomor 448/1984/Pdt/PT.Jateng. Berdasarkan kedua keputusan tersebut
masyarakat menilai hakim tidak memihak kepada rakyat sehingga mengajukan kasasi
namun ditolak oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 1677 K/Pdt/1988. Tetapi
masyarakat tetap menuntut agar hutan dikembalikan kepemilikannya kepada rakyat atau
memberikan masyarakat kesempatan untuk mengelola hutan.
Berkaitan dengan sengketa yang terjadi, masyarakat Desa Kemloko menggunakan
jalan pengadilan sebagai upaya mereka untuk memperoleh kembali kawasan hutan yang
diklaim milik mereka. Meskipun keputusan sudah dikeluarkan melalui putusan MA,
masyarakat Desa Kemloko tidak dapat menerima begitu saja. Faktor yang melatar
belakangi masyarakat tidak dapat menerima keputusan MA yaitu karena mereka
mengkalim bahwa tanah yang menjadi sengketa merupakan milik nenek moyang secara
turun temurun. Selain itu mayarakat meyakini bahwa kawasan hutan lindung sebenarnya
milik mereka namun kemudian dialihan kepemilikannya oleh pemerintah melalui alasan
gadai. Fakto ekonomi juga menjadi latar belakang masyarakat menolak keputusan MA,
desakan memperbaiki kondisi ekonomi rakyat menuntut rakyat untuk memanfaatkan
hutan sebagai sumber pendapatan. Mereka juga merasa berhak untuk menfaatkan lahan
sebagai bentuk partisipasi mereka menjaga kawasan hutan melalui caranya sendiri
misalnya menanam tanaman semusim. Namun Perum Perhutani berpandangan bahwa
masyarakat akan merusak kawasan hutan apabila terus melakukan pemanfaatan
Upaya Perum Perhutani dalam menyelesaikan sengketa dengan membangun
kesadaran masyarakat desa hutan dan membuat model pemanfaatan hutan melalui
program PHBM. Berdasarkan SK Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat, kegiatan PHBM meliputi sosialisasi, dialog,
kelembagaan/pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH), negosiasi, perjanjian
kerjasama dan pelaksanaan. Namun mayarkat merasa keberatan terhadap sistem sewa
dalam PHBM sehingga tidak berjalan maksimal. Dalam pelaksanaan putusan MA pihak
Perum Perhutani mengalami berbagi hambatan internal dari para pihak yang bersengketa
dan objek sengketa serta hambatan eksternal dari pihak luar. Tingkat pemahaman
masyarakat mengenai kawasan hutan lindung Petak 23 KPH Kedu Utara masih lemah.
Mereka hanya memahami sebatas kawasan tersebut sebagai kawasan hutan tetapi tidak
memahmi arti dan fungsi sosial kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan. Selain itu
stigma masyarakat yang buruk terhadap Perhutani menjadi hambatan dalam pelaksanaan
putusan MA. Masyarakat memandang bahwa Perhutani melakukan program PHBM
hanya untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi Perhutani. Stigma buruk ini muncul
karena adanya pihak ketiga yang memiliki kepentingan individu, mereka memaksa pihakpihak yang bersengketa untuk mengajukan keberatan-keberatannya.
Analisis:
Strategi yang digunakan oleh masyarakat Desa Kemloko dalam upaya
memperoleh kembali kawan hutan yaitu dengan menggunakan jalan pengadilan. Mereka
melakukan tuntuan kepada Perum Perhutani melalui pengadilan serta mengajukan kasasi
terhadap MA. Namun kedua putusan tersebut tidak memberikan keuntungan kepada
pihak penggugat dengan alasan bahwa masyarakat tidak memliki bukti-bukti yang jelas.
21
Sengketa yang dialami oleh masyarakat golongan kecil dilatar belakangi oleh keyakinan
masyarakat bahwa kawasan hutan merupakan milik nenek moyang mereka secara turun
temurun sehingga masyarakat mempunyai hak untuk mengelola dan meamnfaatkannya.
Dalam upaya tuntutan ini tidak dijelaskan kepemimpinan serta pengorganisasiannya.
Meskpiun pihak Perum Perhutani sudah melakukan upaya penyelesaian melalui
pembentukan program PHBM namun tidak berjalan lancar karena adanya stigma buruk
yang dimiliki masyarakat terhadap Perum Perhutani.
Variabel yang di gunakan dalam penelitian yaitu sengketa kawasan hutan dengan
mengambil kasus di Resor Pemangku Hutan (RPH) Kemloko, Bagian Kesatuan
Pemangku Hukum (BKPH) Temanggung, Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kedu
Utara. Tujuan penulisan penelitian ini yaitu untuk (1) mengetahui latar belakang
masyarakat tidak menerima putusan MA; (2) upaya yang dilakukan Perum Perhutani
terhadap pelaksanaan putusan MA; dan (3) hambatan yang terjadi. Metode yang
digunakan yait penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yang
menghasilkan data deskriptif. Namun penelitian ini tidak mejelaskan secara rinci
mengenai aktor-aktor yang menggerakan masyarakat sehingga mempunyai keberanian
untuk melakukan gugatan kepada pengadilan dan MA.
11. Judul Pustaka
: Evaluasi Advokasi Penyelesaian Konflik Sengketa Tanah di
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Adriany Badrah
Nama Jurnal
: Jurnal Studi Pemerintah
Volume(edisi)
: 2 (02)
Alamat URL/doi :
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDet
ail&act=view&typ=html&buku_id=54019
Tanggal Diunduh : 20 April 2015 pukul 13:05 WIB
Ringkasan:
Konflik agraria terjadi sebagai akibat perampasan tanah oleh tuan tanah yang
sebagian besar dialami oleh kaum tani yang menempatkan tanah sebagai sumber
penghidupan mereka. Seperti konflik berupa sengketa tanah yang terjadi antara PT Kurnia
Luwuk Sejati (PT KLS) sebagai pemilik pekebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman
Industri (HTI) dengan masyarakat petani Kecamatan Toili Kabupaten Banggai Provinsi
Sulawesi Tengah. Kasus berawal ketika PT Berkat Hutan Pusaka (PT BHP) melakukan
konservasi hutan ke perkebunan kelapa sawit yang merupakan kerja sama antara PT KLS
dengan PT Inhutani. PT BHP merupakan pemegang izin HTI sluas 13.400 Ha di
Kecamatan Toili dan Toili Barat. Areal perkebunan petani Desa Piondo yang mengalami
tumpang-tindih dengan areal HTI perusahan seluas 184 Ha. Konflik yang terjadi
tergolong kedalam konflik kepentingan, bagi petani Toili tanah sebagai sumber
kehidupan dengan melakukan kegiatan pertanian tanaman komoditi dengan corak
pertanian yang tradisional dan subsisten. Sedangkan PT KLS membutuhkan tanah untuk
melakukan aktvitas pengelolan lahan melalui corak produksi modern dalam
22
menghasilkan minyak sawit mentah. Sehingga perusahaan melakukan perluasan areal
melalui konversi lahan.
Tanah yang bersengketa merupakan tanah HGU PT KLS yang pada tahun 1995
diadakan program transmigrasi Swakarsa Mandiri dengan pola Agroestate dan PT KLS
mengikuti tender. Perusahaan wajib membuat perumahan yang layak huni dan menanam
kakao untuk para transmigran. Namun hal tersebut berbeda dengan kenyataan sehingga
21 dari 100 KK transmigran kembali ke asal. Transmigran yang bertahanpun harus
melunasi kredit lahan serta harus menghadapi penggusuran oleh PT KLS dengan alasan
surat keterangan dari Disnakertrans. Penggusuran oleh PT KLS mendorong petani
meminta pendampingan kepada LSM dalam penyelesaian konflik. Hal tersebut mendapat
respon positif dari LBH dan Walhi yang diawali dengan melakukan investigasi
pengumpulan informasi.
Posisi petani Toili lemah dalam konflik sengketa ini karena berhadapan dengan
kekuatan eksternal seperti modal dan kebijakan investasi. Sehingga mereka melakukan
perjuangan dengan meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulawesi
Tengah dan Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Selawesi Tengah dengan melakukan
diskusi antara perwakilan dari petani dan pihak PT KLS. Semakin kompleksnya konflik
yang terjadi medorong LBH dan Walhi untuk melakukan advokasi dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat di Palu yang telah terbentuk Fornt Advokasi Sawit (FRAS)
Sulawesi Tengah. Advokasi dilakukan dengan membentuk lingkaran inti (allies) yaitu
kumpulan orang atau organisasi sebagai penggagas dan penggerak seluruh kegigatan
advokasi. Metode yang digunakan yaitu litigasi berupa pelaporan dan pengaduan ke
polres serta nonlitigasi yaitu dengan bersurat ke Menteri Kehutanan terkait pengungkapan
fakta pelanggaran di lapangan. Advokasi FRAS Sulteng memberikan dampak positif
yaitu memberikan banyak informasi kepada petani mengenai dampak lingkungan, sosialekonomi dan hukum. Sedangkan dampak negatif yang dihasilkan yaitu terjadinya saling
gugat, penangkapan petani karena perlawanan terbuka, teror dan intimidasi terhadap
petani.
Advokasi FRAS menggunakan metode aksi masa serta lobby dan negosiasi untuk
membangkitkan kedaulatan petani. Puncak konflik ini terjadi pada 26 Mei 2010 yang
berujung pada aksi pengrusakan dan pembakaran alat berat dan kantor milik perusahaan
serta penangkapan 13 orang petani termasuk koordinator FRAS. Secara umum gerakan
advokasi memiliki dua strategi yaitu penguatan kedalam dengan membentuk Forum
Petani Buol (FTB). Selanjutnya dengan strategi mendatangi instasi atau lembaga
pemerintah melalui aksi maupun lobi dan negosiasi namun lebih mengutamakan aksi
masa. Faktor yang menyebabkan gagalnya advokasi yaitu manajemen kerja lemah,
protokol komunikasi tidak efektif, kriminalisasi terhadap petani, umur oganisasi advokasi
pendek, pengawalan kasus tidak maksimal, regulasi tumpang tindih dan aparat keamanan
tidak netral.
Analisis:
Perlawanan dilakukan oleh petanidi Kecamatan Toili Kabupaten Luwuk Banggai,
Provinsi Sulawesi Tengah. Perlawanan didorong oleh terjadinya sengketa lahan antara
petani Toili dengan PT KLS yang merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Advokasi merupakan bentuk perlwanan yang dilakukan melalui aksi masa yang
didampingi oleh LSM berupa FRAS Sulteng. Advokasi dilakukan dengan metode ligitasi
yaitu jalur hukum dan non ligitasi berupa pelaporan kepada Menteri Kehutanan atas
pelanggaran yang dilakukan PT KLS. Selain itu terdapat dua startegi dalam advokasi
23
yang dilaukan yaitu pembetukan Forum Petani Buol (FTB) dan aksi masa kepada instasi
atau lembaga pemerintahan. Perlawana dilakukan oleh golongan petani kecil yang
bertahan atas program transmigrasi Agroestate serta korban penggusuran oleh PT KLS.
Aksi perlawanan dilakukan dengan melibatkan organisasi seperti LBH, Walhi dan FRAS
Sulteng.
Variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu advokasi dan konflik sengketa
tanah yang dilakukan melalui metode evaluasi dan penelitian kualitatif. Penelitian ini
telah mengaitkan atau membandingkan antara teori dengan kenyataan yang terjadi. Jurnal
ini tidak menunjukan secara langsung tujuan penulisannya, namun secara tersirat
memiliki tujuan untuk mengetahui gambaran penyebab terjadinya sengketa serta untuk
mengetahui proses advokasi yang dilakukan oleh FRAS Sulteng. Jurnal penelitian ini
memiliki bagian pendahuluan yang panjang sehingga sangat memberikan gambaran latar
belakang penulisan yaitu karena adanya konflik sengketa lahan anatar petani dan PT KLS
yang melakukan perluasan areal perkebunan melalui keonversi hutan.
12. Judul Pustaka
: Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial
Tahun
: 2005
Jenis Pustaka
: Artikel jurnal
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Sadikin
Nama Jurnal
: Jurnal Analisis Sosial
Volume(edisi)
: 10 (01)
Alamat URL/doi :
http://www.akatiga.org/index.php/publikasi/jurnal-analisissosial/206-edisi-10-volume-1
Tanggal Diunduh : 6 Maret 2015 pukul 13:29 WIB
Ringkasan:
Petani memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi perubahan sosial dan
sejarah suatu masyarakat. Petani memiliki stereotype sebagai orang yang bodoh dan
pasrah serta kelompok masyarakat yang tidak memiliki sejarah. Meskipun gerakan sosial
dikenal sebagai pemberontakan petani namun mereka belum ditempatkan sebagai subjek
gerakan. Di negara dunia ketiga hubungan masyarakat petani dengan negara yang
menggambarkan penetrasi kapitalisme barat menjadi fokus perhatian bagi kalangan
ilmuan sosial barat. Petani menjadi objek kajian bagi pertempuran idelogi politik
dominan.
Gerakan sosial lahir atas gejala kerumunan, acting mob, kelompok-kelompok
panik, perilaku yang berubah, kerusuhan masal, histeria, protes, dan tindakan koletif
lainnya yang bersifat brutal, tidak rasional dan destruktif. Gerakan sosial dianggap
sebagai penyakit sosial yang harus disembuhkan sebab studi gerakan sosial tahun 19401960an menekankan aspek irrasionalitas yang mendorong munculnya tindakan kolektif
melalui kekerasan. Karena pada masa itu di dominasi oleh pemikiran fungsionalisme
yang menekankan keseimbangan. Terdapat tiga perspektif dalam gerakan sosial yaitu
fungsionalisme (Emile Durkheim), Marxisme (Karl Mark) dan liberal-individualisme.
Dalam perspektif fungsionalisme memandang kehidupan sosial harus selalu ada dalam
keteraturan, segala sesuatu yang danggap mengancam keteraturan dianggap gangguan
penyakit. Sehingga melihat gerekan sosial sebagai gejala krisis dalam masyarakat.
Berbeda dalam pandangan Marxis yang percaya masyarakat tidaklah bersifat statis, selalu
24
ada konflik yaitu antara kelas proletar dan borjuis. Gerakan sosial muncul karena
terjadinya dominasi dan eksploitasi kelas oleh kelas yang lain atau karena adanya
kesadaran kelas. Sedangkan perspektif liberal-individualisme menekankan pentingnya
hak-hak dan kebebasan individu. Gerakan sosial terjadi karena adanya kepentingan
pribadi setiap individu yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan politik.
Teori gerakan sosial baru membawa pada pandangan positif gerakan sosial yang
telah berhasil mendorong proses demokratisasi. Terdapat dua teori dalam studi gerakan
sosial yaitu teori mobilisasi sumber daya yang memandang gerakan sosial secara nnegatif
sebagai anomie serta perilaku irasional dan gerakan sosial baru yang memandang gerakan
sosial sebagai perjuangan kelas. Terdapat beberapa hal sebagai karakter dan ciri dari
gerakan sosial yaitu (1)peilaku kolektif; (2)memiliki tujuan untuk melakukan perubahan
atau mempertahankan keadaan; (3)tidak identik dengan gerakan politik yang
memperebutkan kekuasaan langsung; (4)perilaku kolektif yang terorganisasi secara
formal atau informal; dan (5)gejala yang lahir dalam masyarakat yang berkonflik.
Gerakan sosial yang tergabung dalam organisasi non pemerintah dipandang lebih ampuh
dan relevan dengn perkembangan jaman dibandingkan gerakan sosial berbasis pada
ideologi dan kelas.
Konflik tanah dipandang sebagai (1)produk dari perilaku kolektif masyarakat
untuk memperoleh penguasaan; (2)kehadiran ornop telah memberikan pengaruh
pengetahuan, kesadaran dan keyakinan; (3)kehadiran ornop, pengetahuan dan kesadaran
membawa masyarakat untuk terlibat dalam jaringan yang lebih besar, formal, sistematis,
rumit dan terlembaga serta melintasi batas geografi, sosial dan budaya. Kegiatan
penelitian perlawanan petani dan konflik agraria lebih baik diletakan dalam kerangka
studi gerakan sosial. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh (1)peristiwa atau gejala konflik
sebagai produk dari gerakan sosial; (2)penelitian mengenai konflik agraria diarahkan
pada pembahasan mengenai penyelesaian konflik; (3)organisasi di Indonesia kebanyak
lahir atas dukungan organisasi non pemerintah. Sehingga penting untuk mengkaji
sejauhmana gerakan sosial yang diarahkan oleh organnisasi non pemerintah memberikan
dampak terhadap dinamika dan arah gerakan oraganisasi. Pemimpin gerakan petani
umumnya berasal dari kalangan elite desa, seperti pemuka adat, kaum ningrat, orang
dengan status sosial terhormat atau kalangan intelektual.
Analisis:
Gerakan sosial secara umum lebih dikenal sebagai gerakan yang bersifat
destruktif, kerusahan masal atau tindakan kolektif. Gerakan sosial memiliki ciri atau
karakteristik yaitu aksi kolektif, memiliki tujuan, tidak identik dengan gerakan politik,
terorganisasi secara formal atau informal dan terjadi pada masyarakat yang berkonflik.
Selain itu gerakan sosial telah menghasilkan suatu peristiwa atau gejala konflik. Pada
perspektif gerakan sosial baru, gerakan tersebut terorganisasi oleh organisasi-organisasi
non-pemerintah yang dipandang lebih tepat dan relevan dengan perkembangan zaman.
Organisasi non-pemerintah berfungsi memberikan pengetahuan baru, kesadaran dan
keyakinan pada masyarakat petani. Tujuan gerakan sosial tidak selalu menghendaki pada
terjadinya perubahan tetapi juga pada upaya mempertahankan suatu kondisi. Pemimpin
dalam gerakan sosial umumnya berasal dari golongan elite desa, tokoh adat, golongan
ningrat atau yang mempunya status sosial yang tinggi serta dari kalangan intelektual.
Namun secara de facto, pemimpin yang mempunyai pengaruh besar dalam geraka sosial
yaitu dari golongan elite desa.
25
Jurnal ini merupakan jurnal yang berisikan teori atau konsep mengenai
perlawanan petani, gerakan sosial dan konflik agraria. Sudut padang yang digunakan
yaitu untuk meninjau aliran-aliran pemikiran gerakan sosial lama dan baru. Meskipun
jurnal ini menggunakan tiga variabel dalam judulnya namun lebih banyak membahas
mengenai gerakan sosial. Tetapi ketiga variabel tersebut tetap dijelaskan hubungannya.
Karena jurnal ini merupakan jurnal teori sehingga dalam pembahasannyapun
menggunakan teori-teori dan konsep dari berbagai sumber.
13. Judul Pustaka
: Dinamika Gerakan Petani: Kemunculan dan Kelangsungannya
(Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis)
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Skripsi
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Penulis
: Mochamad Fajrin
Penerbit
: Intitut Pertanian Bogor
Alamat URL/doi : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48208
Tanggal Diunduh : 16 September 2014 pukul 21:17 WIB
Ringkasan:
Pada masa kolonial, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan Agrarische Wet
1870. Berdasarkan Agrarische Wet pemilik modal diberikan kebabasan untuk melakukan
usaha-usaha perkebunan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis
menetapkan hak erfpahct dimiliki oleh AGRIS NV dengan menanam kopi, karet, teh,
indigo dan kina. Namun setelah proklamasi, masyarakat mulai menggarap tanah dan
perkebunan asing tersebut. Pada masa itu terjadi dua kejadian penting yaitu pertama,
Konferensi Meja Bundar yang memutuskan bahwa perkebunan asing harus dikembalikan
dan pekebunan kolonial diambil oleh pemerintah Indonesia. Kedua, nasionasasi seluruh
aset terutama perkebunan oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan pada masa Orde Baru,
aktivitas penggarapan rakyat di tanah bekas perkebunan AGRIS NV diganggu oleh PT.
RSI. Berdasarkan SK.Men No. 1 perkebunan tersebut diberikan kuasa pengelolaanya
kepada PT Bukit Jonggol Asri yang merupakan perusahaan induk PT. RSI.
Aksi penyerangan yang dilakukan masyarakat terhadap lahan ex-perkebunan
diawali dengan akivitas penebangan pohon jati secara diam-diam untuk tujuan merusak
yang dipimpin oleh Bapak Oman. Sehingga Perhutani mulai melakukan penjagaan
dengan mengerahkan TNI dan Brimob di sekitar desa. Tuntunan masyarakat atas hak
mereka untuk tanah semakin besar setelah Abdurahman Wahid terpilih menjadi Presiden
Republik ke-4. Gus Dur menyatakan bahwa rakyat diberikan kebebasan untuk menggarap
dan tanah yang dahulu direbut oleh perkebunan akan dikembalikan kepada rakyat.
Sehingga pada tanggal 26 April 1999, warga Desa Banjaranyar membentuk Panitian
Pembebasan Tanah yang bertugas untuk memperjuangkan hak mereka atas tanah.
Organisasi yang diketuai oleh Oman juga melakukan pertemuan degan berbagai
pemangku kepentingan seperti Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Maysrakat meyakini bahwa akksi tukar guling lahan antara PT. Bukit Jonggol
Asri sebagai pemegang HGU di lahan eks-perkebunan dengan perhutani dianggap tidak
sah karena tidak ada bukti tertulis. Sehingga masyarakat semakin yakin untuk menggarap
karena lahan tersebut sebagai lahah tak bertuan. Setelah melakukan pertemuan dengan
BPN, Pak Oman juga melakukan pertemuan dengan Agustian selaku aktivis mahasiswa
26
Ciamis, Tasik dan Garut dalam YAPEMAS (Yayasan Pengembangan Masyrakat).
Agustian mengajak masyarakat Banjaranyar untuk membentuk Serikat Petani Pasundan
(SPP) dan membubarkan Panitian Pembebasan Tanah dan digantikan oleh Organisasi
Tani Lokal (OTL). SPP tidak hanya memperjuangkan hak tetapi juga untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan maka tanggal
24 Januari 2000 Serikat Petani Pasundan (SPP) dideklarasikan.
Organisasi Tani Lokal berperan menjaga kesinambungn gerakan di tingkat akar
rumput, menanamkan nilai gerakan serta sebagai penguhubung komunikasi. Hingga saat
ini terdapat 190 Kepala Keluarga yang terdaftar dalam OTL Banjaranyar. Dalam SPP
terdapat dua macam keanggotaan yaitu anggota yang berisi petani dan pendamping yaitu
mahasiswa yang bertugas dalam menggadvokasi petani. Panitia Pembebasan Tanah tidak
pernah melakukan demonsrasi namun setelah tergabung dalam OTL, aksi demontrasi
menjadi kewajiban bag seluruh anggota. Cara lain dalam gerakan petani Banjaranyar
yaiu penggunaan media masa dalam upaya untuk membentuk opini masyarakat terutama
dari luar desa. Pada tahun 2004 strategi baru yang digunakan yaitu intervensi ppada ranah
politik (eksekutif atau legislatif).
Kepemimpinan yang dilakukan oleh Oman tergolong tipe kepemimimpinan
paternalistik sebagai tokoh yang dihormati di desa. Sedangkan Agusian berperan sebagai
pemimpin di tingkat daerah yaitu Priyangan Timur yang bersifa kharismatik. Pada tahun
2000 perjuangan warga membuahkan hasil yaitu terjadinya redisribusi lahan perkebunan
seluas 708,35 hektar kepada warga desa sekitar perkebunn yaitu Desa Kalijaya,
Pasawahan, Cigayam, dan Banjaranyar. Setealah terjadi resdistribusi, semanga OTL
semakin menurun sehingga dibentuklah organisasi wanita OTL yang berperan dalam
mengmpulkan iuran aksi dan pendataan bagi anggota yang akan ikut aksi demonstrasi.
Analisis:
Perlawanan yang dilakukan oleh petani Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari,
Kabupaten Ciamis dilatarbelakangi oleh terusiknya aktivitas masyarakat dalam
menggarap lahan ex-perkebunan oleh PT RSI. Perlawanan diawali dengan penebangan
pohon jati dengan tujuan merusak. Untuk mengrorganisir gerakannya dibentuk Panitia
Pembebasan Lahan yang diketuai oleh Pak Oman yang bertujuan memperjungkan hak
petani. Namun untuk memperluas aksi maka dibentuk Organisasi Tani Lokal hasil
kerjasama dengan Serikat Petani Pasundan yang digerakan oleh Agustian yang berlatar
belakang intelektual. Gerakan dilakukan oleh masyarakat golongan kecil yang
menggantungkan hidupnya pada tanah untuk penggarapan. Kepemimpinan dilakukan
oleh tokoh desa (Pak Oman) dan inelektual. Strategi perlawanan dilakukan melalui aksi
demonstrasi terutama ketika tergabung dalam OTL. Aksi perlawananpun membuahkan
hasil berupa dilakukannya distribusi tanah kepada tiga desa dengan luasan sesuai jasa
yang sudah dilakukan.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif dengan metode observasi
partisipasi di lapangan. Tujuan penelitian in yaitu untuk mengetahui (1)latar belakang dan
proses perebutan tanah di Desa Banjaranyar; (2)apa makna tanah bagi petani Banjaanyar,
beraitan dengan keumculan gerakan petani (pra-reclaiming); dan (3)perkembangan
gerakan petani Banjaranyar, beserta hubungan gerakan petani dengan berbagai kekuata
sosial baik di dalam dan di luar desa. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
gerakan petani yangn ditinjau dari kemunculan dan kelangsungannya.
27
ANALISIS DAN SINTESIS
Sengketa Lahan Pertanian
Berkembangnya kasus-kasus mengenai sengketa lahan khususnya lahan pertanian
menjadi tanggung jawab bersama. Meskpiun penyelenggara negara sudah menciptakan
hukum yang mengatur atas kepemilikan dan pengelolaan sumber daya terutama tanah,
namun permasalahan selalu menyertai dalam pelaksanaannya. Menurut Fauzi (1999)
menyatakan bahwa meskpiun UUPA sudah secara tegas memihak kepada kepentingan
rakyat, namun disisi lain jiwa serta semangat kebijakan pertanahan masih bersifat
kapitalistis. Kebijakan negara mengenai pertanahan masih berpihak kepada golongan
pemilik modal. Kasus-kasus sengketa lahan identik selalu dimenangkan oleh pihak
pengusaha untuk dijadikan sebagai sarana memperluas skala usahanya. Koesume (2014)
menjelaskan bahwa gugatan yang diajukan oleh masyarakat Desa Kemloko Kecamatan
Tembarak Kabupaten Temanggung atas kawasan hutan ditolak berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri Temanggung Nomor 20/1981/Pdt/G/PNT serta dikuatkan oleh
putusan Pengadilan Tinggi Jateng Nomor 448/1984/Pdt/PT.Jateng. Sehingga masyarakat
menilai hakim tidak memihak kepada rakyat sehingga mengajukan kasasi namun ditolak
oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 1677 K/Pdt/1988. Upaya masyarakat untuk
merebut kembali hak mereka atas kawasan hutan yang mereka klaim sebagai milik
mereka secara turun temurun dari nenek moyang mereka tidak membuahkan hasil.
Gugatan yang diajukan terhadap Perum Perhutani tersebut ditolak karena dianggap tidak
dapat dibuktikan secara jelas. Semakin meningkatnya kepadatan penduduk menuntut
perlunya kepastian hukum akan kepemilikan lahan. Namun demikian Tjondronegoro
(1999) menyampaikan bahwa walaupun hukum nasional menentukan kepemilikan
pribadi atau individual, hukum adat tidak bisa diabaikan begitu saja. Terutama
kepemilikan bersama atau hak ulayat yang masih banyak dijalankan oleh masyarakat
khususnya di luar Jawa dan Bali.
Fauzi (1999) juga menjelaskan bahwa penegakan hukum lebih diarahkan kepada
pengamanan pelaksanaan pembangunan. Artinya jika hukum pertanahan berjalan tertib
maka memudahkan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang berorientasi
pembangunan ekonomi bukan untuk kepentingan rakyat dan kepastian hukum. Hal ini
juga sesuai dengan strategi nyata dari Badan Pertanahan Nasional bahwa penyediaan
tanah untuk kepentingan pembangunan. Penggunaaan tanah untuk pembangunan juga
terjadi dalam pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang. Seperti
yang dikemukana oleh Warokka et al (2006) dalam pembangunan bandara Kuala Namu
tahun 1997 mengakibatkan terjadinya pembebasan tanah sebanyak delapan desa yang
tersebar di dua kecamatan yaitu Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin.
Pembebasan tanah dilakukan dari pemilik asli kepada PT Angkasa Pura II. Namun hasil
negoisasi berlangsung tidak seimbang yang menyebabkan pemegang tanah sering
dirugikan terutama terkait masalah pembayaran ganti rugi. Hafid (2001) menjelaskan
bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto mengeluarkan undang-undang yang
ditujukan hanya untuk pembangunan yang mengutamakan keuntungan pemodal besar
melalui penyingkiran masyarakat kecil.
Tjondronegoro (1999) menyatakan bahwa konflik dalam penguasaan atas tanah
muncul karena terjadinya perbedaan konsep kepemilikan. Masing-masing pihak yang
bersengketa memiliki pandangan dan ideologinya sendiri yang memperkuat keyakinan
mereka akan kepemilikan sebidang tanah yang diperebutkan. Fajrin (2011) dalam
28
skripsinya menjelaskan bahwa gerakan petani masyarakat Desa Banjaranyar Kecamatan
Banjarsari Kabupaten Ciamis dilatar belakangi oleh keyakinan masyarakat bahwa aksi
tukar guling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri sebagai pemegang HGU di lahan eksperkebunan dengan perhutani dianggap tidak sah karena tidak ada bukti tertulis. Sehingga
masyarakat semakin yakin untuk menggarap karena lahan tersebut sebagai lahah tak
bertuan. Tuntunan masyarakat atas hak mereka untuk tanah semakin besar setelah
Abdurahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Presiden Republik ke-4. Gus Dur
menyatakan bahwa rakyat diberikan kebebasan untuk menggarap tanah dan tanah yang
dahulu direbut oleh perkebunan akan dikembalikan kepada rakyat. Sehingga masyarakat
semakin yakin untuk memperjuangkan haknya atas lahan dengan membentuk berbagai
bentuk organisasi sebagai wadah pengorganisasian gerakannya.
Pelakasanaan pembangunan melalui proyek-proyek pembangunan di Indonesia
mendapatkan dukungan atau penguatan dari Bank Dunia. Seperti pengembangan lahan
sawit di Desa Wambes Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua oleh Atek
(2014) menyatakan bahwa sumber dana yang digunakan dalam pengelolaan perkebunan
yaitu dari pinjaman Bank Dunia. Pengembangan lahan sawit dilakukan melalui strategi
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang berkerja dengan melibatkan masyarakat sebagai
pekebun yang mandiri sementara perusahaan perkebunan sebagai pembina. Sehingga
terjadi peralihan dari masyarakat petani subsisten menjadi buruh kelapa sawit. Namun
dalam prakteknya perusahaan menjadi semakin kaya sedangkan masyarakat menjadi
semakin miskin karena kesejahteraan mereka tidak jelas yang disebabkan oleh ketidak
adilan. Menurut Fauzi (1999) menyatakan bahwa dalam PELITA VI, kebijakan
pertanahan di Indonesia mendapatkan pengaruh dari Bank Dunia. Fenomena ini berkaitan
untuk mendukung kepentingan Bank Dunia untuk dapat mempertahankan bahkan
meningkatkan perekonomian Indonesia. Sehingga Indonesia dapat melunasi hutanghutangnya dan Bank Dunia harus memfasilitasi negera berkembang seperti Indonesia
dalam bentuk investasi asing maupun domestik.
Konflik pertanahan di Indonesia sudah berlangsung sejak pemerintahan Indonesia
berada dibawah kekuasaan kolonialisme. Melalui mekanisme tanam paksa membuat
masyarakat Indonesia harus menahan perihnya siksaan di atas tanahnya sendiri demi
memenuhi kebutuhan negara kolonial. Kamarudin (2011) menjelaskan bahwa pada jaman
Jepang terdapat sistem “politik beras” yaitu kewajiban masyarakat untuk menyerahkan
padi hasil bertani mereka kepada pihak Jepang telah membuat masyarakat sengsara.
Kondisi perekonomian masyarakat yang sulit semakin tertekan dengan adanya sistem
politik beras tersebut. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan masyarakat petani Unra
melakukan pemberontakan. Pemberontakan Unra terjadi hingga menimbulkan korban
meninggal, tertangkapnya 300 orang serta terjadinya eksodus rakyat Unra ke wilayah
luar. Berdasarkan pernyataan Tjondronegoro (1999) bahwa pada zaman pendudukan
Jepang terjadi konflik agraria sebagai akibat eksploitasi petani dan hasil panen petani
harus diserahkan kepada tentara petani.
Melihat kenyataan sengketa lahan pertanian yang marak terjadi di Indonesia maka
banyak kasus sengketa lahan dijadikan sebagai bagian dari permasalahan nasional.
Sehingga menurut Tjondronegoro (1999) masalah pertanahan dijadikan sebagai masalah
nasional setelah negara Republik Indonesia diproklamasikan. Sutedi (2008) menjelaskan
bahwa terdapat dua metode dalam perampasan tanah di pedesaan yaitu (1)menggunakan
aparat birokrasi lokal untuk mengelabui rakyat dan (2)melakukan kekerasan dengan
meminta bantuan tentara seperti penangkapan, pemukulan, pemenjaraan atau intimidasi.
29
Gerakan Protes Petani
Gerakan protes petani muncul sebagai respon golongan petani yang sadar
terhadap tekanan dan keadaan yang merugikan mereka. Sutedi (2008) mengungkapkan
bahwa kesadaran politik penduduk yang melakukan gerakan-gerakan sosial muncul
sebagai akibat terjadinya penggusuran lahan garapan petani yang merupakan suatu proses
pemiskinan penduduk pedesaan. Menurut Luthfi et al (2010) menyatakan bahwa
pemisahan tanah dari ikatan sosio-kulturalnya dan menempatkannya hanya sebagai
barang komoditi artinya mengingkari kehadiran tanah itu sendiri. Tanah masuk dalam
mekanisme pasar dan ditempatkan sebagai komoditi yang dinilai dengan uang. Muntholib
(2009) menjelaskan bahwa kegelisahan yang dialami oleh petani Jawa menimbulkan
pemberontakan atau kriminialitas, selain itu hadirnya ekonomi pasar membuat petani
kecil melepaskan tanahnya dan menimbulkan hutang. Sehingga menimbulkan protes
sosial yang terjadi dalam bentuk kerusuhan, perbanditan sosial dan pembegalan
Hafid (2001) menyatakan bahwa munculnya protes baik secara formal atau
informal terjadi sebagai akibat dari penggusuran hak-hak masyarakat serta adanya rasa
ketidakpuasan yang dirasakan oleh rakyat. Hal tersebut mendorong terbentuknya
solidaritas antara sesama rakyat untuk melakukan suatu aksi protes. Sesuai dengan
pernyataan Kamarudin (2011) bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh masyarkat
petani Unra tahun 1943 di Sulawesi Selatan dinilai sebagai bentuk ketidakpuasan yang
menciptakan aksi kolektif diantara mereka. Dalam perspektif teori strukturis
pemberontakan petani Unra adalah sebagai bentuk solidaritas komunal atas dasar
sentimen-sentimen, perasaan-perasaan, dan keterikatan-keterikatan antara sesama warga
desa.
Fauzi (1999) menjelaskan aksi protes memiliki berbagai ciri yaitu (1)protes
dilakukan dengan didampingi oleh Organisasi Non-pemerintah (Ornop); (2)protes
disalurkan kepada parlemen baik DPR atau DPRD dan pemerintah; (3)isu protes berisi
tuntunan untuk penyelesaian kasus; dan (4)media masa diberikan kepercayaan untuk
membantu penyelesaian masalah. Ciri-ciri tersebut umunya melekat dalam suatu gerakan
protes meskipun tidak harus semuanya tepenuhi dalam suatu gerakan sosial. Wijanarko
dkk (2014) menyatakan bahwa sejak reformasi, gerakan perubahan mulai dari tingkat
akar rumput banyak dilakukan oleh Non Government Organization (NGO) dalam bentuk
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peran Ornop dalam gerakan protes umunya
penting dalam menciptakan kesadaran masyarakat khususnya petani akan kondisi yang
sedang dihadapi mereka. Selain itu Badrah (2011) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa
telah terjadi kasus sengketa tanah di Kabupaten Bangai Sulawesi Tengah antara PT
Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) sebagai pemilik pekebunan kelapa sawit dan Hutan
Tanaman Industri (HTI) dengan masyarakat petani Kecamatan Toili Kabupaten Banggai
Provinsi Sulawesi Tengah. Posisi petani Toili lemah dalam konflik sengketa ini karena
berhadapan dengan kekuatan eksternal seperti modal dan kebijakan investasi. Sehingga
mereka melakukan perjuangan dengan meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Sulawesi Tengah dan Wahan Lingkungan Hidup (Walhi) Selawesi Tengah
dengan melakukan diskusi antara perwakilan dari petani dan pihak PT KLS. Semakin
kompleksnya konflik yang terjadi medorong LBH dan Walhi untuk melakukan advokasi
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Palu yang telah terbentuk Fornt Advokasi
Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah.
Gerakan protes yang disalurkan kepada parlemen (DPR atau DPRD) terjadi pada
kasus pembebasan tanah untuk pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli
30
Serdang. Warokka dkk (2006) menyatakan gerakan perjuangan nasib atas terkurungnya
mereka oleh tembok bandara sejak tahun 1998 dan pada tahun 2000 Perlawanan
dilakukan dengan meminta bantuan KWML yang melibatkan LSM, DPRD Tk. II Sumut,
Komnas HAM dan DPR-RI. Tindakan mencari dukungan tersebut dilakukan untuk
meredam tekanan. Namun pihak perkebunan mencoba melemahkan perjuangan
masyarkat dengan melakukan intimidasi misalnya melakukan pengusiran warga. Selain
itu pentingnya penggunaan media masa dalam upaya gerakan protes dijelaskan oleh
Wijanarko (2014) dalam jurnalnya. Keberhasilan gerakan petani dipengaruhi oleh media
komunikasi yang dikelola oleh serikat yaitu media cetak berupa buletin Caping,
elektronik, berupa situs buletin Caping serta Facebook dan alternatif berupa media
inetrpersonal dan pertemuan kelompok. Penggunaan media masa dilakukan untuk
menyebarkan infromasi terkait perkebangan gerakan protes. Media masa juga digunakan
dalam mengumpulkan semangat dan kesadaran petani untuk melakukan aksi kolektif.
Organisasi Petani
Pelaksanaan gerakan protes suatu masyarakat petani dalam melawan ketidak
sesuaian diperlukan suatu wadah dalam upaya pengorganisasian gerakan. Hafid (2001)
menyatakan bahwa terbentuknya sebuah komunitas merupakan kosekuensi dari hadirnya
kebijakan yang memperlakukan masyarakat dengan 3E (eksploitasi, eksplorasi dan
ekstrasi). Organisasi tumbuh diawali oleh adanya keadaan atau kondisi yang merugikan
mereka atau adanya tekanan. Syahyuti (2011) “...telah tumbuh pemahaman pada kalangan
pemerintah bahwa organisasi merupakan komponen yang dapat menjadi agent of
change...”. Melalui organisasi diharapkan dapat menjadi wadah bagi aktivitas perlawanan
petani yang dapat menciptakan perubahan. Organisasi dijadikan wadah bagi gerakan
petani dalam menentang berbagai tekanan yang merugikan. Etzioni (1964) menyatakan
bahwa tujuan organisasi yaitu untuk mengejar keadaan masa depan agar dapat
direalisasikan. Sedangkan tujuan pengorganisasian petani menurut Syahyuti (2011)
adalah untuk menggerakan tindakan kolektif yang mengarahkan pada tindakan kolektif
yang lebih murah dan efektif.
Syahyuti (2011) menyatakan bahwa Indonesia memiliki berbagai organisasi
dalam bidang pertanian mulai dari tingkat lokal sampai internasional seperti Federasi
Serikat Petani Indonesia (FSPI). Syahyuti (2011) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa
“FSPI merupakan organisasi perjuangan petani dan buruh tani yang fokus utamanya
untuk memperjuangkan hak-hak petani, pembaruan agraria, kedaulatan pangan,
perdagangan yang adil, keadilan gender dalam bidang pertanian, penguatan organisasi
tani, dan pertanian berkelanjutan bebasis keluarga...”. Sehingga FSPI berperan dalam
membantu organisasi petani dalam melakukan perlawanan pertanian. Seperti yang
dijelaskan oleh Aprianto (2008) bahwa gerakan sosial bentukan Ornop mengarah pada
terbentuknya organisasi yang terorganisir. Diawali oleh adanya protes kelompok
masyarakat tani yang menimbulkan kekerasan sehingga terbentuk perlawanan yang
terorganisir. Pada akhir tahun 1990an terbukti hadirnya ornop dan kesadaran masyarakat
telah membentuk organisasi petani. Tahun 2005 organisasi lokal di berbagai provinsi
bergabung dalam Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Kemudian muncul organisasi
yang lebih spesifik mengenai isu reforma agraria yaitu Konsorium Pembaruan Agraria
(KPA). Isu yang diangkat tidak lagi hanya perlawanan atas hak masyarakat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Namun isu yangg diangkat lebih
31
luas yaitu mengenai krisis ekologi, bencana pembangunan dan krisis sosial karena
gagalnya kelembagaan dan kebijakan pembangunan.
Strategi perlawanan petani salah satunya yaitu dengan menggunakan ruang politik
untuk memperjuangkan haknya. Sehingga dalam pengorganisasian gerakan tersebut
dibentuklah organisasi yang bergerak di aras politik. Syahyuti (2011) memaparkan
berbagai organisasi yang bergerak di aras politik yaitu Konsorium Pembaruan Agraria
(KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Petani
Mandiri, Dewan Tani Indonesia, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) serta Walhi.
Keberadaan organisasi-organisasi tersebut sangat memberikan kontribusi kepada
berbagai gerakan petani dalam upaya pencapaian tujuan gerakan. Seperti yang dilakukan
oleh petani Toili dalam upaya penyelesaian masalah sengketa tanah yang diungkapkan
oleh Badrah (2011). Penggusuran oleh PT Kurnia Luwuk Sejati sebagai pemilik
pekebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) mendorong petani meminta
pendampingan kepada LSM dalam penyelesaian konflik. Hal tersebut mendapat respon
positif dari LBH dan Walhi yang diawali dengan melakukan investigasi pengumpulan
informasi. Sehingga mereka melakukan perjuangan dengan meminta bantuan kepada
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulawesi Tengah dan Wahan Lingkungan Hidup
(Walhi) Selawesi Tengah dengan melakukan diskusi antara perwakilan dari petani dan
pihak PT KLS. Semakin kompleksnya konflik yang terjadi medorong LBH dan Walhi
untuk melakukan advokasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Palu yang telah
terbentuk Fornt Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah.
Kepemimpinan Gerakan Petani
Suatu gerakan petani dilakukan dengan mangadalkan aksi-aksi kolektif,
penggerakan aksi kolektif tersebut tentu diperlukan pengaturan. Fungsi pengaturan
biasanya dilakukan dengan mengandalkan seorang pemimpin. Berdasarkan pernyataan
yang dikemukakan oleh Afiff (2012) bahwa kepemimpinan tidak dapat terpisahkan dari
kehidupan manusia yang berkumpul bersama dalam rangka untuk pencapaian tujuan.
Kehadiran pemimpin selain berperan dalam fungsi pengaturan juga dibutuhkan dalam
mencapai cita-cita suatu kelompok orang. Begitu pula dengan kepemimpinan dalam
gerakan petani yang dibutuhkan untuk melakukan pengaturan gerakan dalam rangka
pencapaian tujuan gerakan seperti pembebasan dari tekanan dan penuntutan terhadap hakhak mereka. Sehingga Afiff (2012) mendefinisikan kepemimpinan sebagai “...upaya
manusia dalam mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja secara antusias untuk
mencapai tujuan...”. Sedangkan Syahyuti (2011) menyatakan bahwa pemimpin
organisasi mempunyai tugas untuk menjaga agar gerakan organisasi tetap relevan dan
mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Menurut Afiff (2012) pemimpin muda pada masa Orde Baru tidak mudah masuk
ke kancah elit, kecuali melalui saluran-saluran organisasi pemerintahan yang sudah
disediakan seperti KNPI serta organisasi ormas lainnya. Sehingga pemimpin-pemimpin
pada masa Orde Baru merupakan bagian dari organisasi kepemerintahan. Pemimpin
dalam gerakan petani tidak hanya berupa pemimpin formal tetapi lebih sering
mengandalkan pemimpin-pemimpin informal. Berdasarkan pernyataan yang
diungkapkan oleh Etzioni (1964) bahwa pemimpin informal memiliki kemampuan untuk
mengendalikan partispan oraganisasi lebih efektif. Selain itu Afiff (2012) menyatakan
bahwa pemimpin informal dibentuk dalam berbagai komunitas untuk berperilaku
32
akomodatif bagi lingkungannya. Kepemimpinan informal bisa muncul dalam bentuk
keagamaan, politik, sosial-budaya, wirasusaha dan pengusaha. Seperti yang dijelaskan
oleh Kamarudin (2011) bahwa pemberontakan petani Unra 1943 di Sulawesi Selatan
telah memunculkan aktor pemimpin pemberontak (Guru Mante). Pemimpin pemberontak
memberikan sugesti atau pengaruh kepada rakyat untuk ikut serta dalam aksi kolektif dan
tokoh agamalah yang mempunyai peranan terpenting. Namun dalam kasus Unra, tokoh
agama dijadikan alat progpaganda pemerintah melalui ideologinya. Selain itu, pemimpin
yang terlihat dalam gerakan petani bisa berdasarkan kelas sosial yang dimiliki oleh
masyarakat tersebut. Muntholib (2009) menjelaskan bahwa telah terjadi pemberontakan
di Banten yang besar dan meluas terjadi pada tahun 1888. Penghapusan kesultanan oleh
pemerintah Kolonial menimbulkan pemberontakan dimana loyalitas beralih ke pemimpin
agama kharismastik seperti haji atau kyai, sehingga semakin banyak memunculkan
pesantren dan tarekat. Pemimpin yang berperan di Banten bukanlah petani melainkan elit
agama bekas bangsawan Banten dan elit desa yaitu para tuan tanah serta penduduk desa
yang cukup berada.
Setiap tokoh yang berperan sebagai pemimpin memiliki bentuk atau cara yang
digunakan untuk mempengaruhi pengikutnya. Sehingga setiap pemimpin dapat
menggambarkan suatu bentuk kepemimpinan yang khas dalam melakukan fungsi dan
perannya. Sashkin (2003) menjelaskan tiga bentuk kepemimpinan yaitu transaksional,
transfomasional dan karsimatik. Pemimpin transaksional berdasarkan pada kebutuhannya
akan kekuasaan. Bentuk kepemimpinan ini akan menggunakan kekuasaan dan pengaruh
dengan berbagai kekuasaan dan memperluas pengaruhnya kepada pengikutnya serta
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Menetapkan tanggung jawab dan harapanharapan yang jelas bagi pengikutnya dalam rangka untuk menyelesaikan tugas dengan
baik. Pemimpin transaksional efektif dalam menyusun imbalan dan sanki yang adil bagi
pengikutnya. Selanjutnya yaitu kepemimpinan kharismatik yang bukan berasalah dari
golongan orang yang berprestasi secara sosial atau menajer. Hubungan antara pemimpin
dan pengikut dibentuk berdasarkan pada hubungan antarpribadi untuk membuat
pengikutnya bergantung dan patuh pada pemimipin. Pemimpin kharismastik akan
berusaha menciptakan perasaan kharismatik diantara pengikutnya. Sedangkan
kepemimpinan
transformasional
yang
membantu
pengikutnya
untuk
menginternalisasikan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan bersama. Pemimpin
transformasional memahami bagaimana membantu orang lain mengembangkan dan
mengarahkan motif-motif. Seperti yang diungkapkan oleh Fajrin (2011) gerakan petani
yang terjadi di Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis memiliki
pemimpin gerakan yang berlatar belakang sebagai intelektual. Pemimpin intektual
tersebut yaitu Agustian selaku aktivis mahasiswa Ciamis, Tasik dan Garut dalam
YAPEMAS (Yayasan Pengembangan Masyrakat). Agustian mengajak masyarakat
Banjaranyar untuk membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) dan membubarkan
Panitian Pembebasan Tanah dan digantikan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL). Agustian
berperan sebagai pemimpin di tingkat daerah yaitu Priyangan Timur yang bersifat
kharismatik. Kepemimpinan kharismastiknya membuat masyarakat Desa Banjaranyar
mau bergabung dalam SPP dan membentuk OTL.
33
Tabel 1 Pola-pola hubungan pemimpin-bawahan
Tipe
Kepemimpinan
Hasil
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Kharismatik
Kepatuhan
Dicapai
melalui
identifikasi
diri
dengan pemimpin
Kepemimpinan
Transaksional
Kinerja
Diperoleh melalui
imbalan dan/atau
hukuman
Motif Kekuasaan Kontrol atas orang Kontrol bersama
lain
orang lain (Tahap
Pemimpin
IIIb)
yang Orang-orang yang
Motif Kekuasaan Pengikut
memiliki
berprestasi secara
Bawahan
ketergantungan
independen (Tahap
II)
Kepemimpinan
Transformasional
Tindakan
independen
Dituntun
oleh
internalisasi nilainilai bersama
Pemimipin
dan
bawahan
yang
diberdayakan
dituntun oleh suatu
visi
bersama
(Tahap IV)
Saling tergantung,
bawahan
yang
diberdayakansebagai-mitra kerja
(Tahap III)
Sumber: Marshall Sashkin dan Molly G. Sashkin, 2003, halaman 77
Strategi Gerakan Petani
Perjuangan petani yang dilakukan di berbagai daerah memiliki strategi dan
pola tersendiri. Supriadi dkk (2005) menjelaskan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh
Serikat Petani Pasundan didasari oleh tiga semangat yaitu perasaan senasib,
sepenanggungan dan seperjuangan. Tiga semangat tersebut diwujudkan dalam beragai
bentuk upaya organisasi meliputi: (1)penguasaan, penggarapan dan penatagunaan tanah;
(2)perbaikan layanan alam; (3)penataan produksi bersama; (4)pembangunan usaha
ekonomi bersama; (5)pendidikan dan pelatihan; (6)pengorganisasian rakyat petani;
(7)mendorong keaktifan perempuan dalam organisasi; (8)kampanye; (9)penyelidikan;
(10)pembangunan
jaringan;
(11)demonstrasi
untuk
melakukan
tekanan;
(12)mempengaruhi dan merubah kebijakan pemerintah; (13)penggalangan dana;
(14)studi banding; (15)pembelaan lewat pengadilan; (16)pengolahan data dan
dokumentasi; dan (17)kaderisasi. Berbagai bentuk strategi gerakan tersebut umumnya
digunakan oleh suatu gerakan petani, seperti yang dijelaskan oleh Aprianto (2008) bahwa
upaya untuk melahirkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat khususnya petani
tidak cukup hanya melalui pendidikan. Sehingga harus adanya kader gerakan sosial yang
tidak hanya berjuang di arena politik tetapi juga setidaknya mempunyai kemampuan
mempengaruhi agenda-agenda politik formal. Tidak hanya pada level nasional juga dari
level yang rendah seperti kepala desa. Sehingga gagasan reforma agraria dapat dilakukan
pada tingkat desa. Praktek politik ini dilakukan oleh Organisasi Tani Jawa Tengah
(Ortaja) ditunjukan dengan terdapat beberapa anggotanya yang menjadi kepala desa.
Selain itu Aprianto (2008) juga menambahkan terdapat dua pendekatan yang dapat
dilakukan oleh gerakan sosial untuk memasuki ruang politik kenegaraan, yaitu (1)
keterlibatan tokoh gerakan sosial ke ranah publik; dan (2) melakukan intervensi dan
mempengaruhi agenda negara. Misalnya pada Serikat Petani Bengkulu (STAB) yang
34
melakukan pembelaan dan pengorganisasian hukum pada kasus komunitas petani,
nelayan dan pedagang di wilayah Bengkulu. Selain itu yang dilakukan oleh Organisasi
Rakyat Independen (ORI) Sumatera yang didirikan karena rasa kebersamaan dalam
membangun kekuatan politik.
Menurut Supriad dkk (2005) peran aktivis mahasiswa dan pemuda di perkotaan
sangat dibutuhkan untuk membangkitkan kesadaran penduduk dalam menerapkan caracara baru dalam melawan penindasasn yang terjadi dikampungnya. Aktivis dan pemuda
digunakan dalam gerakan perlawanan petani selain sebagai pembangkit kesadaran juga
berperan sebagai pendamping bagi mereka. Seperti yang dilakukan oleh Oman sebagai
pemimpin Panitia Pembebasan Tanah di Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari
Kabupaten Ciamis. Fajrin (2011) menjelaskan bahwa Pak Oman melakukan pertemuan
dengan Agustian selaku aktivis mahasiswa Ciamis, Tasik dan Garut dalam YAPEMAS
(Yayasan Pengembangan Masyrakat). Agustian mengajak masyarakat Banjaranyar untuk
membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) dan membubarkan Panitian Pembebasan
Tanah dan digantikan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL). SPP tidak hanya
memperjuangkan hak tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Setelah melakukan beberapa kali pertemuan maka tanggal 24 Januari 2000 Serikat Petani
Pasundan (SPP) dideklarasikan. Organisasi Tani Lokal berperan menjaga kesinambungn
gerakan di tingkat akar rumput, menanamkan nilai gerakan serta sebagai penguhubung
komunikasi. Hingga saat ini terdapat 190 Kepala Keluarga yang terdaftar dalam OTL
Banjaranyar. Dalam SPP terdapat dua macam keanggotaan yaitu anggota yang berisi
petani dan pendamping yaitu mahasiswa yang bertugas dalam mengadvokasi petani.
Ketika masyarakat tergabung dalam Panitia Pembebasan Tanah, mereka tidak pernah
melakukan demonstrasi namun setelah tergabung dalam OTL aksi demontrasi menjadi
kewajiban bagi seluruh anggota. Cara lain dalam gerakan petani Banjaranyar yaitu
penggunaan media masa dalam upaya untuk membentuk opini masyarakat terutama dari
luar desa.
Santoso (2014) dalam bukunya yang berjudul Perlawanan di Simpang Jalan:
Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa mengungkapkan bahwa:
“Barangkali, itulah mengapa perjalanan kehutanan di Jawa yang menempuh
waktu berabad-abad, tidak pernah sepi dari berbagai persoalan sosial, baik yang berupa
aksi kecil-kecilan, aksi-aksi simbolis, perbuatan-perbuatan sembrono yang disengaja,
pembangkangan, perbanditan, hingga aksi-aksi terbuka yang mempropagandakan...”
Gerakan sosial yang diungkapkan oleh Sanotos tersebut mengungkapkan berbagai
startegi yang digunakan oleh golongan petani dalam melakukan perlawanan. Misalnya
perlawanan dengan menggunakan strategi aksi kecil-kecilan seperti yang dilakukan oleh
petani Desa Cisarua Bogor Jawa Barat. Ariendi dan Kinseng (2011) menjelaskan bahwa
perlawanan kecil petani Desa Cisarua dalam memperluas akses mereka atas lahan
dilakukan secara diam-diam yang dikoordinasikan berdasarkan asas tahu sama tahu saja.
Mereka seakan bodoh tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan
tanah HGU yang tidak boleh digarap petani. Dilihat dari sifatnya, perjuangan petani Desa
Cisarua tergolong bersifat “insidental” yang dicirikan oleh tidak terorganisir, bersifat
untung-untungan, dan tidak mempunyai akibat-akibat revlusioner. Perjuangan petani
lebih bersifat individu karena masing-masing dari mereka berusaha untuk
memperjuangankan keinginan masing-masing. Pada intinya strategi yang dilakukan
petani Desa Cisarua dalam mendapatkan lahan yaitu (1)menyewa lahan garapan kepada
mandor, (2)memperluas lahan garapan secara diam-diam dan sedikit demi sedikit dan
35
(3)petani besar terus memperluas lahan dengan mengambil lahan garapan petani kecil.
Selain perlawanan melalui aksi kecil-kecilan, perlawanan petani yang dilakukan oleh
petani Unra di Selawesi Selatan dilakukan melalui startegi perbanditan. Kamarudin
(2011) menjelaskan keresahan sosial di Unra menjadi pusat perhatian karena keresahan
tersebut sudah berkembang menjadi gerakan pemberontakan, ketegangan yang tidak
menentu hingga pada kejahatan sosial seperti pencurian dan perampokan. Aksi
perbanditan juga terjadi pada gerakan protes petani di Jawa pada mas Kolonial seperti
yang diungkapkan oleh Muntholib (2009) protes sosial terjadi dalam bentuk kerusuhan,
perbanditan sosial dan pembegalan. Berdasarkan kesadaran politik perbanditan petani
dibedakan menjadi tiga yaitu (1) gerakan belum sadar politik berupa pencurian dan begal;
(2)setengah sadar berupa perampokan dan perkecuan; dan (3) sepenuhnya sadar berupa
gerilya dan pemberontakan.
Strategi lain yang umum dilakukan oleh gerakan perlawanan petani yaitu melalui
jalan pengadilan. Meskipun sering kali hasil pengadilan tidak memberikan keberpihakan
kepada petani. Koesume (2014) menjelaskan bahwa gugatan yang diajukan oleh
masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung atas kawasan
hutan ditolak berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Temanggung Nomor
20/1981/Pdt/G/PNT serta dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Jateng Nomor
448/1984/Pdt/PT.Jateng. Sehingga masyarakat menilai hakim tidak memihak kepada
rakyat sehingga mengajukan kasasi namun ditolak oleh putusan Mahkamah Agung
Nomor 1677 K/Pdt/1988. Upaya masyarakat untuk merebut kembali hak mereka atas
kawasan hutan yang mereka klaim sebagai milik mereka secara turun temurun dari nenek
moyang mereka tidak membuahkan hasil.
Strategi lain yang dilakukan oleh petani dala melakukan perlawanan yaitu
mengarah pada aksi-aksi radikal. Perlawanan dengan menggunakan aksi radikal menjadi
pilihan terkahir bagi mereka dalam upaya memperoleh hak-haknya kembali. Santoso
(2004) menyatakan bahwa aksi-aksi radikal tetapi pragmatis menjadi puncak bagi
perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang miskin. Aksi radikal tersebut Suntato
mengungkapkan misalnya berupa penyerbuan terhadap gudang-gudang bahan makanan
pemerintah dan rumah-rumah orang kaya. Seperti yang diungkapkan oleh Badrah (2011)
puncak konflik sengketa tanah terjadi pada 26 Mei 2010 di Kabupaten Banggai Sulawesi
Tengah berujung pada aksi pengrusakan dan pembakaran alat berat dan kantor milik
perusahaan serta penangkapan 13 orang petani termasuk koordinator Fornt Advokasi
Sawit (FRAS) yang dibentuk melalui advokasi.
36
KESIMPULAN
Rangkuman dan Pembahasan
Pembangunan yang diselenggarakan di Indonesia dilaksanakan dalam rangka
mencapai pertumbuhan ekonomi. Pelaksanaan pembangunan yang berorientasi ekonomi
menjadi pilihan negara Indonesia dengan mengutamakan keuntungan pemodal besar.
Pemilik modal besar melakukan aktivitas pembangunan dengan memanfaatkan
kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada hukum negara. Wujud kapitalisme
tersebut misalnya melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit, bandara udara dan
kawasan hutan milik perhutani. Pembangunan tersebut dilaksanakan dengan berpegang
pada izin negara berupa Hak Guna Usaha (HGU). Sehingga pelaksanaan pembangunan
menjadi ajang penggeseran atau penyingkiran pihak-pihak yang mencoba menghalangi
jalannya pembangunan. Pembangunan yang selama ini diselenggarakan di Indonesia
telah banyak menyisakan ketidakstabilan keadaan seperti terjadinya sengketa lahan.
Konsekuensi pelaksanaan pembangunan yaitu harus tergesernya sektor lain seperti lahan
untuk dijadikan sebagai sarana pembangunan. Sektor yang banyak tergeser oleh
pelaksanaan pembangunan Indonesia yaitu sektor pertanian. Sehingga pemilik dan lahanlahan pertanian yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya harus rela tergusur oleh
pembangunan. Peristiwa tersebut telah menciptakan sengketa lahan yang berkepanjangan
antara pihak-pihak pelaku pembangunan dengan masyarakat khususnya petani sebagai
pemilik de facto lahan yang diperebutkan.
Menanggapi sengketa lahan yang sudah terjadi sejak jaman kolonial membuat
masyarakat khususnya petani melakukan gerakan protes terhadap hegemoni pemilik
modal besar berwujud pembangunan di Indonesia. Gerakan protes dilakukan karena
mereka merasa dirugikan atas perebutan lahan yang selama ini menjadi milik mereka.
Lahan yang menjadi objek sengketa tidak hanya lahan dengan kepemilikan individual
tetapi sering juga berupa lahan adat milik masyarakat secara turun-temurun. Sehingga
terbentuklah aksi-aksi perlawanan untuk memperoleh kembali hak kepemilikan atau
hanya sekedar hak untuk mengelola. Perlawanan yang dilakukan oleh golongan petani
yang tertindas atas sengketa lahan tersebut memiliki berbagai macam bentuk strategi.
Strategi perlawanan dilakukan oleh gerakan protes petani di Indonesia yaitu pertama,
strategi kecil-kecilan berupa perlawanan secara diam-diam atau pura-pura bodoh dalam
bentuk perlawanan sehari-hari. Bentuk startegi perlawanan ini didasarkan oleh asas tahu
sama tahu saja atau bersifat “insidental” yaitu tidak terorganisir, bersifat untung-untungan
dan tidak mempunyai akibat revolusioner. Mereka seakan bodoh misalnya dengan tetap
menggarap tanah HGU meskipun mereka mengetahui adanya larangan penggarapan di
lahan tersebut. Kedua, perlawanan dilakukan dengan memasuki arena perpolitikan
Indonesia baik di tingkat lokal maupun nasional. Tujuan memasuki arena politik yaitu
agar dapat mempengaruhi agenda-agenda politik formal. Gerakan dilakukan melalui
keterlibatan tokoh gerakan ke ranah politik seperti menjadi kepala desa atau menjadi
bagian dari partai politik. Ketiga, pemanfaatan aktivis dan pemuda untuk membangkitkan
kesadaran petani korban kapitalisme untuk melakukan perlawanan. Peran aktivis dan
pemuda yang biasanya berlatar belakang sebagai intelektual juga sebagai pendamping
gerakan perlawanan. Mereka akan melakukan pertemuan dengan berbagai organisasi
petani atau LSM untuk diskusi mengenai perkembangan perlawanan. Keempat,
perlawanan melalui jalan pengadilan kepada pemegang hukum Indonesia. Gerakan protes
melakukan pengajuan kepada pengadilan negeri atas sengketa lahan yang terjadi. Upaya
37
ini dilakukan agar hakim dapat segera membuktikan secara jelas kepemilikan atas tanah
yang disengketakan. Serta kelima, strategi perlawanan melalui aksi-aksi radikal yang
memiliki resiko tinggi. Strategi perlawanan radikal pada umumnya menjadi pilihan
terakhir bagi gerakan protes petani dalam memperoleh haknya. Misalnya melakukan
penyerbuan terhadap gudang-gudang bahan makanan, pengrusakan dan pembakaran
kantor perusahaan, blokade jalan sampai pada serangan secara fisik. Strategi perlawanan
radikal memiliki resiko yang tinggi yaitu dapat merenggut banyak korban berupa
penangkapan pelaku aksi sampai pada korban jiwa.
Strategi perlawanan petani dalam memperjuangkan hak-hak mereka diperlukan
suatu wadah untuk mengorganisir gerakan. Wadah yang diperlukan petani tersebut yaitu
yang mampu mengarahkan gerakan petani dan mengumpulkan aksi-aksi kolektif petani.
Wadah tersebut yaitu berupa organisasi-organisasi yang dapat berperan dalam
mengadvokasi gerakan petani. Pengorganisasian perlawanan petani disertai oleh berbagai
bentuk pengorganisasian, dimulai dari yang sangat informal dan lokal sampai kepada
organisasi formal dengan jejaring luas pada tataran desa, nasional maupun internasional.
Indonesia sendiri memiliki berbagai organisasi dalam bidang pertanian mulai dari tingkat
lokal sampai internasional seperti Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dan Walhi.
Kebutuhan akan organisasasi dalam gerakan perlawanan petani dilakukan melalui
pembentukan berbagai Organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Ornop dalam gerakan
perlawanan berperan dalam membentuk kesadaran masyarakat serta melakukan
pendampingan. Selain itu pengorganisasian gerakan dapat dilakukan dengan membentuk
organisasi di aras politik. Organisasi yang bergerak di aras politik yaitu misalnya
Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API), Federasi Serikat
Petani Indonesia (FSPI), Petani Mandiri, Dewan Tani Indonesia, Aliansi Gerakan
Reforma Agraria (AGRA) serta Walhi. Dalam rangka mengorganisasikan gerakan, suatu
organisasi membutuhkan pihak yang berperan sebagai pengatur jalannya organisasi yaitu
pemimpin. Pemimpin selain berperan dalam menjalankan fungsi pengaturan juga
dibutuhkan dalam mencapai tujuan bersama. Pemimpin dalam menjalankan setiap
perannya pasti memiliki bentuk kepemimpinan yang khas. Bentuk kempemimpinan
tersebut menggambarkan hubungan antara pemimpin dan pengikut. Bentuk
kepemimpinan menurut Sashkin (2003) dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk yaitu
transaksional, transfomasional dan karsimatik. Masing-masing bentuk kepemimpinan
tersebut memiliki berbagai berbagai ciri yang membedakan satu sama lain dan
mempengaruhi efektifitas jalannya organisasi.
Kerangka Berfikir
Sengketa lahan pertanian sebagai suatu kondisi terjadinya saling klaim antara dua
pihak atau lebih dalam memperebutkan tanah. Tanah sebagai objek agraria merupakan
sumber penghidupan bagi masyarakat terutama masyarakat petani. Namun keberadaan
lahan sebagai objek agraria tersebut sering sekali mengalami tumpang tindih dalam hal
kepemilikannya. Tanah sering menjadi objek yang harus dikorbankan keberadaanya dari
kehidupan petani oleh aktivitas pemilik modal besar. Pemilik modal besar yang dimaksud
yaitu berwujud pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Sehingga
terusiknya tanah sebagai objek agraria akan mengubah hubungan antar subjek-subjek
agraria dalam hal ini yaitu masyarakat petani dengan pelaku pembangunan. Sengketa
lahan terjadi antara petani dan pelaku pembangunan dapat menyebabkan muncul gerakan-
38
gerakan protes dari pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan dalam kasus sengketa
lahan pada umumnya dialami oleh petani.
Petani dalam melakukan gerakan protes diperlukan suatu wadah yang beperan
dalam mengroganisir gerakan. Wadah tersebut berupa organisasi yang memobilisasi para
petani yang secara bertahap terbentuk. Organisasi yang bergerak dalam memobilisasi
petani dapat berupa Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) berperan sebagai pembentuk
kesadaran masyarakat akan keadaanya yang tertindas akibat sengketa lahan yang bersifat
organisasi akar rumput. Serta organisasi yang beregerak di aras politik sebagai organisasi
supra desa seperti Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Petani Indonesia (API),
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Petani Mandiri, Dewan Tani Indonesia, Aliansi
Gerakan Reforma Agraria (AGRA) serta Walhi. Selain itu dalam melakukan strategi
perlawanan petani biasanya terdapat aktor yang memimpin jalannya gerakan protes.
Pemimpin tersebut berperan dalam menjalankan fungsi pengaturan dan menciptakan
hubungan dengan pihak internal maupun eksternal. Pemimpin dalam hal hubungannya
dengan pengkikutnya yaitu petani yang melakukan perlawanan memiliki tiga bentuk
gaya. Tiga bentuk gaya kepemimpinan menurut Sashkin (2003) yaitu transaksional,
transfomasional dan karsimatik. Transaksional yaitu pemimpin yang memggunakan
kekuasaanya untuk mempengaruhi pengikutnya dan efektif dalam menyusun imbalan seta
sanksi bagi pengikutnya. Selanjutnya pemimpin transfromasional yaitu pemimpin yang
membantu pengikutnya untuk menginternalisasikan nilai dan keyakinan bersama.
Sedangkan pemimpin kharsimatik yaitu pempin yang menciptakan hubungan dengan
pengikutnya berdasarkan kepada hubungan anatarpribadi.
Melalui organisasi dan kepemimpinan tersebut akan membentuk strategi yang
digunakan dalam melakukan perlawanan. Perlawanan petani memiliki berbagai strategi
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan gerakan. Strategi perlawanan petani terdiri atas
pertama, strategi kecil-kecil yaitu tindakan yang berperilaku pura-pura bodoh
berdasarkan asas tahu sama tahu aja. Kedua, memasuki arena perpolitikan dengan
melibatkan diri kedalam ranah politik agar dapat mempengaruhi agenda-agenda politik
formal. Ketiga, memanfaatkan aktivis dan pemuda untuk meningkatkan kesadaran
gerakan dan pendampingan melalui dikusi. Keempat, melalui jalan pengadilan dengan
mengajukan kasus sengketa kepada pengadilan. Kelima, aksi-aksi radikal seperti
perusakan fasilitas, blokade jalan sampai pada serangan secara fisik.
39
Sengketa Lahan Pertanian
-Pembangunan infrastruktur
Organisasi Petani
- Organisasi akar
rumput
- Organisasi supra
desa
Pemimpin Gerakan
-
Transaksional
Transfomasional
Karsimatik
Strategi Perlawanan Petani
- Strategi kecil-kecilan
- Memasuki arena perpolitikan
- Pemanfaatan aktivis dan pemuda
- Jalan pengadilan
- Aksi-aksi radikal
Keterangan:
Hubungan pengaruh
Kuantitatif
Hubungan sebab
Kualitatif
Hubungan saling mempengaruhi
Gambar 1 Kerangka Berfikir
1.
2.
3.
4.
Pertanyaan Penelitian Skripsi
Berdasarkan kerangka analisis yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
Apa latar belakang sengketa lahan pertanian yang kini marak terjadi di Jawa ?
Bagaimana strategi yang digunakan petani dalam menghadapi sengketa lahan pertanian ?
Bagaimana pengorganisasian gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani ?
Seberapa besarkah peran pemimpin dalam mengorganisasikan gerakan perlawanan yang
dilakukan oleh petani ?
40
DAFTAR PUSTAKA
Afiff F. 2012. Spirit Kepemimpinan Era 2014. Yogyakarta (ID): Writing Revolution
Afriendi GT dan Kinseng RS. 2011. Strategi perjuangan petani dalam mendapakan akses
dan penguasaan atas lahan: farmer strtegy on access and land tenure. J Sodality.
[Internet]. [Dikutip 7 Oktober 2014]; 05(01):13-31. Dapat diunduh dari:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5834/4499
Aprianto TC. 2008. Wajah prakasa partisipatif: dinamika gagasan reforma agraria dan
gerakan sosial di Indonesia pasca 1998. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
[Internet]. [Dikutip 27 Febuari 2015 pukul 15:55 WIB]; 12(01):25-39. Dapat diunduh
dari: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/265
Atek LG. 2014. Perjuangan masyarakat lokal di tengah pengembangan lahan sawit (studi
kasus perusahaan kelapa sawit di Desa Wambes, Distrik Arso, Kabupaten Keerom,
Provinsi Papua). Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin. [Internet]. [Dikutip 6
Maret 2015 pukul 13:29 WIB]; 13(01):19-31. Dapat diunduh dari:
http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/4807/ART_Liboria%20Ge
noveva%20Atek_perjuangan%20masyarakat%20lokal_fulltext.pdf?sequence=2
Badrah A. 2011. Evealuasi advokasi penyelesaian konflik sengketa tanah di Kabupaten
Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Studi Pemerintah. [Internet]. [Diunduh 20 April
2015
pukul
13:05
WIB];
2(02):219-236.
Dapat
diunduh
dari:
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianD
etail&act=view&typ=html&buku_id=54019
[BPN]Badan Pertanahan Nasional. 2015. Jumlah kasus sengketa konflik pertanahan
nasional. [Internet]. [Diunduh tanggal 8 Maret 2015 pukul 16:35 WIB]. Diunduh
dari: http://www.bpn.go.id/Publikasi/Data-Pertanahan/Kasus-Pertanahan/Nasional
Etzioni A. 1964. Organisasi-Organisasi Modern. Suryatim, penerjemah; Alex Inkeles,
editor. Jakarta (ID): UI-Pers. Terjemahan dari: Modern Organizations
Fajrin M. 2011. Dinamika gerakan petani: kemunculan dan kelangsungannya (Desa
Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis). [Skripsi]. [Internet].
[Diunduh tanggal 16 September 2014 pukul 21:17 WIB]. Bogor (ID): Institut
Pertanian
Bogor.
Dapat
diunduh
dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48208
Fauzi N. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agaria Indonesia.
Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar Offset
Gunadha R. 2014 Juni 24. AGRA kecam penembakan petani yang aksi tolak eksekusi
lahan di Karawang. Tribunew.com. [Internet]. [Dikutip tanggal 11 September 2014].
Dikuti
dari:
http://www.tribunnews.com/regional/2014/06/24/agra-kecampenembakan-petani-yang-aksi-tolak-eksekusi-lahan-di-karawang
Hukum Unsrat. 2015. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006.
[Internet]. [Diunduh tanggal 8 Maret 2015 pukul 16:30 WIB]. Diunduh dari:
http://hukum.unsrat.ac.id/pres/perpres_10_2006.pdf
41
Kamarudin SA. 2011. Pemberontakan petani UNRA 1943 (studi kasus mengenai gerakan
sosial di Sulawesi Selatan pada masa pendudukan Jepang). Jurnal Makara, Sosial
Humaniora. [Internet]. [Dikutip 24 Febuari 2015 pukul 19:21 WIB]; 16(01):19-35.
Dapat
diunduh
dari:
http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/1222/1127
Koesume AM. 2014. Sengketa Kawasan Hutan Lindugn antara Perhutani dengan
Masyarakat Desa Kemloko Kecamatan Tembarak Kabupaten Temanggung. Unnes
Law Journal. [Internet]. [Dikutip 19 April 2015 pukul 18:24 WIB]; 03(1):1-9. Dapat
diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ulj
Konsorsium Pembaruan Agrara. 2012. Laporan akhir tahun 2012 konsorium agraria.
[Internet]. [Diunduh tanggal 17 September 2014]. Dapat diunduh dari:
http://www.kpa.or.id/?p=1094
Muntholib A. 2009. Gerakan protes sosial petani di Jawa pada masa kolonial (dalam
perspektif sejarah sosial pedesaan). Jurnal Sejarah FIS Unnes. [Internet]. [Dikutip
18 Maret 2015 pukul 10:42 WIB]; 36(01):73-80. Dapat diunduh dari:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS/article/view/1331/1421
Purwandari H. 2006. Perlawanan tersamar organisasi petani. [Tesis]. [Internet]. [Diunduh
23 Oktober 2013]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor . Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/9424/2006hpu.pdf
Rosyidah U, Sariyatun, Iswati. 2013. Gerakan anti tuan tanah di Desa Sambirejo,
Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi (studi kasus tentang pemberontakan petani
di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantinga, Kabupaten Ngawi tahun 1963-1965).
Jurnal Candi. [Internet]. [Dikutip 18 Maret 2015 pukul 10:53 WIB]; 5(01):1-16.
Dapat
diunduh
dari:
http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sejarah/article/view/1894/1395
Sadikin. 2005. Perlawanan petani, konflik agraria, dan gerakan sosial. Jurnal Analisis
Sosial. [Internet]. [Diunduh 6 Maret 2015 pukul 13:29 WIB]; 10 (01):19-41. Dapat
diunduh dari: http://www.akatiga.org/index.php/publikasi/jurnal-analisis-sosial/206edisi-10-volume-1
Santoso H. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar
Hutan di Jawa. Jogjakarta(ID): DAMAR
Sashkin M, Sashkin MG. 2003. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan. Rudolf Hutauruk,
penerjemah; Rikard Rahmat, Heidy Retnowulan, editor. Jakarta (ID): Erlangga.
Terjemahan dari: Leadership That Matters
Supriadi A, Nurdin IL, Agustiani I, Rahayu SM. 2005. Gerakan Rakyat untuk Pembaruan
Agraria. Garut(ID): Serikat Petani Pasundan
Syahyuti. 2011. Gampang-Gampang Susah Mengorganisasikan Petani: Kajian Teoritik
dan Praktik Sosiologi Lembaga dan Organisasi. Bogor (ID): IPB Pers
42
Tjondronegoro SMP. 1999. Sosiologi Agraria Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung (ID):
Yayasan AKATIGA
Warokka TD, Zulkifli, Simanuhuruk M. 2006. Sengketa tanah: suatu bentuk pertentangan
atas pembebasan tanah rakyat untuk pembangunan (studi kasus: pembebasan tanah
untuk pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang). Jurnal
Studi Pembangunan. [Internet]. [Dikutip 5 Maret 2015 pukul 16:59 WIB]; 1(02):6375.
Dapat
diunduh
dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15378/1/stp-apr2006%20%287%29.pdf
Wijanarko, sarwoprasodjo S, Rangkuti PA. 2014. Komunikasi penyadaran kritis gerakan
petani. Makara Hubs-Asia. [Internet]. [Dikutip 27 Febuari 2015 pukul 16:12 WIB];
18(01):1-14.
Dapat
diunduh
dari:
http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE25-1c.pdf
Yudhanto. 2011. Strategi perlawanan petani tambang tradisional dalam menjaga
kelangsungan hidup ditengah rendahnya imbal jasa. Jurnal Fisip UMRAH. [Internet].
[Dikutip 24 Febuari 2015 pukul 19:41 WIB]; 1(01):75-91. Dapat diunduh dari:
http://undana.ac.id/jsmallfib_top/JURNAL/TEKNIK%20PERTAMBANGAN/TEK
NIK%20PERTAMBANGAN%202011/STRATEGI-PERLAWANAN-PETANITAMBANG-TRADISIONAL.pdf
43
Riwayat Hidup
Tikka Muslimah (penulis) dilahirkan di Karawang pada tanggal 22 Desember
1994. Penulis merupakan anak ke tiga dari pasangan Edy Kenda dan Titi.
Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis yaitu mulai dari Sekolah Dasar
Negeri (SDN) Sarimulya II di Cikampek pada tahun 2000-2006. Setelah itu, penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pupuk Kujang Cikampek
pada tahun 2006-2009 dan menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMAN) 1
Cikampek pada tahun 2009-2012. Setelah penulis menyelesaikan jenjang SMA, pada
tahun 2012 penulis diterima sebagai sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur SNMPTN Undangan. Selain aktif dalam perkuliahan.
Setelah memasuki jenjang pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, terdapat
berbagai kegiatan dan organisasi yang pernah penulis ikuti. Pada tahun kedua di IPB yaitu
tahun 2013 penulis aktif bergabung dengan Himpunan Peminat Ilmu Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) dan menjadi salah satu pengurus di divisi
fotografi dan cinematografi selama satu periode. Selain itu penulis juga sempat menjadi
asisten praktikum di dua mata kuliah yaitu mata kuliah Berfikir dan Menulis Ilmiah serta
Pengantar Ilmu Kependudukan. Selanjutnya pada tahun ketiga penulis mengikuti
Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dan berhasil lolos
didanai oleh Dikti. Penulis melaksanakan PKM-M bersama mahasiswa dari Departemen
SKPM dan Fakultas Kehutanan dengan mengambil judul ‘“Super Mushroom”
Pengenalan Pembudidayaan Jamur Pangan untuk Meningkatkan Pengetahuan, Konsumsi,
Gizi dan Berpenghasilan di Desa Cibatok Satu’.
Download