Hak Anak atas Permukiman yang Layak:

advertisement
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
Hak Anak atas Permukiman yang Layak:
Analisis Kritis Terhadap RUU Perumahan dan Permukiman1
A. Pendahuluan
Permasalahan hak anak atas permukiman yang layak tidak terlepas dari situasi kemiskinan keluarga
di Indonesia karena keluarga menurut Mukadimah Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan
lingkungan yang alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Selanjutnya Mukadimah KHA
menegaskan bahwa demi perkembangan kepribadiannya secara penuh dan serasi, anak harus
dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga, dalam suatu suasana yang bahagia, penuh kasih sayang
dan pengertian. Untuk mewujudkan pertumbuhan dan kesejahteraan anak-anak dibutuhkan
prasyarat khusus agar hak atas hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang dapat dinikmati.
Permukiman yang layak bagi keluarga yang menaungi hidup dan kehidupan anak menjadi prasyarat
khusus yang mendasar bagi realisasi penuh hak-hak anak. Bahkan hak istirahat, hak bersenangsenang untuk menikmati waktu luang, dan hak bermain yang merupakan karakteristik yang paling
khas dari hak anak mensyaratkan permukiman yang layak.
Namun permukiman yang layak yang menjadi hak dasar bagi anak masih merupakan impian bagi
sebagian besar anak-anak khususnya bagi anak-anak yang orang tuanya hidup dalam kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia), menurut
Data BPS, pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk
miskin turun sebesar 2,43 juta.2 Sementara pada bulan Maret 2007 penduduk miskin berjumlah 37,17
juta orang (16,58 persen). 3 Pada Bulan Maret 2009 jumlah penduduk miskin yang bertempat tingga
di perkotaan besar 63,38 persen dan penduduk miskin yang berada di daerah perdesaan sebesar
36,62 persen.4 Sementara itu, persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan pada bulan
Maret 2008, sebesar 63,47 persen dan penduduk miskin yang berada di daerah perdesaan sebesar
36,53 persen.5 Persentase jumlah penduduk miskin perkotaan yang demikian besar menunjukkan
bahwa kemiskinan terkait dengan terjadinya urbanisasi. Konsekuensi logis urbanisasi adalah
meningkatnya kebutuhan rumah, namun karenanya tingginya harga rumah di perkotaan, penduduk
miskin tidak dapat mengakses rumah yang layak. Pada akhirnya Penduduk miskin di perkotaan
terpaksa hidup di wilayah perkotaan dikantung-kantung kemiskinan yang kumuh.
Wilayah permukiman kumuh yang didominasi oleh penduduk miskin, merupakan wilayah tempat
hidup yang tidak aman, dan memiliki lingkungan fisik yang buruk. Di Indonesia, data permukiman
kumuh diperoleh dari data kepemilikan permukiman. Data menunjukkan bahwa berdasar
kepemilikan permukiman tercatat persentase total penghuni permukiman kumuh hanya 15% (2005).
Data yang lain menunjukkan bahwa perkampungan kumuh pada 2004 berjumlah 54.000 hektar,
kemudian meningkat menjadi 59.000 hektar pada tahun 2009 dengan pertumbuhan 1,37%.6
1
Kertas Posisi untuk mengadvokasikan isu hak anak atas perumahan yang layak bersama KOALISI PEDULI PERUMAHAN
DAN PEMUKIMAN UNTUK RAKYAT (KP3R)
2 http://www.bps.go.id/index.php?news=697
3 http://www.bps.go.id/index.php?news=623
4 http://www.bps.go.id/index.php?news=697
5 http://www.bps.go.id/index.php?news=623
6 http://geo.ugm.ac.id/perkim/seminar%20nasional.php
1|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
Sampai saat ini penggusuran paksa (forced eviction) yang ditujukan terhadap permukiman warga
miskin dan kegiatan ekonomi non formal masih menjadi metode yang dilakukan oleh hampir seluruh
pemerintah daerah di Indonesia. Penggusuran tersebut dilakukan karena penduduk miskin tidak
memiliki bukti kepemilikan secara hukum sehingga sering disebut penghuni liar. Stigma sebagai
penghuni liar dilegalkan melalui peraturan daerah (perda) karena mereka dianggap menganggu
dan melanggar ketertiban umum.
Padahal penggusuran permukiman warga miskin agar semakin memperbesar jumlah kekurangan
rumah (backlog) yang semakin cenderung meningkat. Menteri Perumahan Rakyat Iskandar Saleh
mengungkapkan bahwa jumlah kekurangan rumah terhadap perumahan mengalami peningkatan
dari 5,8 juta pada 2004 menjadi 7,4 juta unit pada akhir 2009. Kondisi tersebut diperkirakan akan
terus berakumulasi pada masa yang akan datang akibat adanya pertumbuhan rumah tangga baru
sebesar 710.000 per tahun. Selain itu, semakin meluas-nya lingkungan permukiman kumuh dan masih
terdapat rumah tangga yang menempati rumah tidak layak huni dan tidak didukung oleh prasarana
sarana lingkungan dan utilitas umum yang memadai.7 Situasi ini diperburuk dengan keterbatasan
Negara dalam mengemban kewajibannya untuk menyediakan rumah yang layak bagi setiap warga
Negara khususnya kelompok masyarakat miskin.
Setiap terjadinya penggusuran, anak dan perempuan merupakan kelompok yang rentan menerima
dampaknya. Penggusuran tidak hanya berdampak pada traumatis pada anak karena seringkali
dilakukan dengan kekerasan, penggusuran juga akan menganggu kemampuan anak untuk
mengakses menikmati pendidikan. Seringkali penggusuran menyebabkan buku, perlengkapan
sekolah, seragam sekolah rusak atau hilang. Lebih jauh ikatan sosial dan psikologis anak dengan
teman sebaya juga akan rusak. Situasi ini akan menganggu pertumbuhan dan perkembangan anak
secara optimal.
Rumah yang tidak layak berpotensi menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, di mana korbannya didominasi oleh perempuan dan anak. Terjadinya incest merupakan
ancaman tersendiri bagi setiap anak perempuan apabila rumahnya tidak menyediakan kamar
tersendiri. Oleh karenanya untuk mencegah anak perempuan mengalami tindak kekerasan seksual
(sexsual abuse) membutuhkan penyediaan rumah yang memberikan privasi bagi mereka.
Berdasarkan hal di atas, maka kebijakan di bidang perumahan dan pemukiman sudah seharusnya
mengakomodasi kebutuhan khusus anak-anak mengingat secara demografis jumlah anak di bawah
usia 18 tahun pada tahun 2006 sebesar 78,96 juta (35,5 persen) dari total seluruh penduduk
Indonesia. Sebanyak 40% atau 33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan dan 45,8 juta sisanya
tinggal di perdesaan.8 Menurut data BPS dari jumlah tersebut yang masuk kategori terlantar dan
hampir terlantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen,9 sedangkan menurut laporan Depsos pada
tahun 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar.10 Terkait dengan
7
http://bataviase.co.id/node/84799
Suwardi, Fenomena Anak Jalanan, http://www.isei.or.id/page.php?id=5okt075
9 http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/02/09/jumlah-anak-jalanan-meledak
10 Suwardi, op.cit
8
2|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
permasalahan anak terlantar, fenomena anak jalanan11 juga perlu mendapatkan perhatian yang
serius dari pembuat kebijakan karena jumlah mereka disebutkan kini membengkak menjadi 200 ribu
lebih dari 36.000-an pada tahun 1997.12 Jika anak-anak tersebut tidak mendapatkan akses untuk
menikmati hak atas perumahan yang layak maka akan mengalami berbagai tindakan kekerasan dan
menderita penyakit yang mengancam kesehatan dan kehidupan mereka.
B. Hak Anak atas Permukiman yang Layak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Saat ini, hak anak telah mendapatkan jaminan perlindungan di bawah rezim hukum hak asasi
manusia (HAM) internasional. Anak telah menjadi subyek hak (rights holders) setara dengan
kelompok manusia yang lain. Artinya anak juga mempunyai hak atas rumah yang layak agar hidup
sebagai manusia yang bermartabat. Perlindungan hak anak untuk menikmati permukiman yang
layak di awali dengan ditetapkannya Deklarasi Hak Anak (Declaration on the Rights of the Child)
pada 1959. Prinsip 4 dari deklarasi ini menyatakan bahwa:
Setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan nutrisi yang cukup, perumahan, rekreasi,
dan pelayanan medis.
Selanjutnya Prinsip 2 juga mengatur hal senada bahwa:
Anak harus menikmati perlindungan khusus, dan harus diberikan fasilitas yang dijamin oleh
hukum dan cara yang lain guna mengembankan fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial
dalam kondisi yang bebas dan bermartabat. Dalam memberlakukan suatu peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan tujuan ini maka kepentingan terbaik bagi anak
harus menjadi pertimbangan yang penting.
Prinsip "kepentingan terbaik anak" merupakan salah satu prinsip yang penting bagi para pembuat
kebijakan untuk merespon isu anak-anak termasuk hak anak atas perumahan dan pemukiman
yang layak. Dengan kata lain, Negara, khususnya pengambil kebijakan, harus menerapkan prinsip
ini dalam semua hal yang berkaitan dengan kebijakan perumahan.13 Prinsip Ini telah menjadi pusat
pengembangan hak anak di bawah hukum internasional dengan ditetapkan Konvensi Hak Anak.
(KHA). Pasal 3 KHA yang menyatakan bahwa:
Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan
sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif,
kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama.
11
Seseorang bisa dikatakan anak jalanan, bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari
nafkah dan berada di jalan lebih dari 6 jam sehari. Ada beberapa tipe anak jalanan, yaitu : (1) anak jalanan yang masih
memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua, (2) anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan
orang tua, (3) anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga, dan (4) anak jalanan yang
sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga. Lihat Suwardi, op.cit
12 http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/02/09/jumlah-anak-jalanan-meledak
13 Mayra Gómez, Defending The Housing Rights of Children, Centre on Housing Rights and Evictions (COHRE), 2006
3|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
Implementasi prinsip kepentingan terbaik bagi anak menurut Komentar Umum Komite Hak Anak
No. 6 tentang Perlakuan terhadap anak-anak tanpa pendamping dan terpisah di luar negara asal
mereka (Treatment of unaccompanied and separated children outside their country of origin) harus
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak baik yang meliputi:14
a. kepentingan terbaik harus menjadi faktor penentu bagi tindakan spesifik;
b. kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama (tetapi bukan satu-satunya) bagi
semua tindakan lainnya yang mempengaruhi anak-anak, apakah dilakukan oleh pemerintah
atau swasta lembaga kesejahteraan sosial, pengadilan, penguasa administratif atau badan
legislatif.
Kemudian menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) prinsip implementasi
prinsip kepentingan terbaik bagi anak harus memperhatikan dampaknya baik anak sebagai individu
maupun anak sebagai kelompok (kolektif).15 Makna yang terkandung dalam konsep rumusan
kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama, pertama konsep ini
berimplikasi pada aturan prosedur, yakni setiap kali keputusan akan diambil yang akan
mempengaruhi anak sebagai individu atau sekelompok anak tertentu, proses pengambilan
keputusan harus hati-hati dengan mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi (positif dan
negatif) terhadap anak-anak yang bersangkutan.
Kedua, prinsip kepentingan terbaik juga merupakan salah satu fondasi untuk hak substantif, yakni
jaminan bahwa prinsip ini akan diterapkan apabila keputusan harus diambil terkait dengan
kepentingan seorang anak atau sekelompok anak-anak. Negara berkewajiban untuk memberikan
akses dan mekanisme sehingga
pertimbangan kepentingan terbaik anak akan terfasilitasi.
Kemudian Negara juga harus menyediakan langkah-langkah legislatif untuk memastikan bahwa
mereka yang memiliki otoritas untuk membuat keputusan mengenai permasalahan anak-anak harus
mempertimbangkan kepentingan terbaik.16
Hak anak atas permukiman yang layak dalam KHA diatur dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa:
1. Negara mengakui hak setiap anak atas suatu standar kehidupan yang memadai bagi
perkembanga fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.
3. Negara sesuai dengan keadaan-keadaan nasional dan di dalam sarana-sarana mereka,
harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membantu orang tua dan orangorang lain yang bertanggung jawab atas anak itu untuk melaksanakan hak ini, dan akan
memberikan bantuan material dan mendukung program-program, terutama mengenai
gizi, pakaian dan perumahan.
Dalam konteks ini Komite Hak Anak, telah mengakui bahwa: 17
14
United Nations High Commissioner for Refugees , UNHCR Guidelines on Determining the Best Interests of the Child, 2008
United Nations High Commissioner for Refugees , ibid
16 Jean Zermatten, The Best Interests of the Child: Literal Analysis, Function and Implementation, Institut Internasional des
Droits de Lenfant, 2010
17 Mayra Gómez, The Housing Rights of Children, Centre on Housing Rights and Evictions, tanpa tahun
15
4|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
Komite memandang penting untuk menekankan karakter universal dari hak atas perumahan
yang berlaku untuk setiap anak, tanpa pembatasan atau perbedaan apapun.
Terkait dengan prinsip non diskriminasi di samping menjadi salah satu prinsip KHA (Pasal2), larangan
memperlakukan setiap manusia secara diskriminatif juga menjadi semangat utama dari International
Bill of Rights, yakni DUHAM yang tercantum pada Pasal 1, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang
tercantum pada Pasal 2, dan Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya yang tercantum
pada Pasal 2. Berdasarkan prinsip non diskriminasi seharusnya anak tidak mendapatkan perlakuan
diskriminatif dalam menikmati haknya atas perumahan yang layak.
Jaminan penikmatan hak atas perumahan yang layak bagi setiap anak kembali dikukuhkan dalam Sesi
Khusus Majelis Umum PBB dengan menetapkan Resolusi S 27/2 yang menyerukan seluruh anggota
masyarakat untuk bergabung dalam gerakan global untuk membangun dunia yang layak bagi anak
(to help to build a world fit for children). Perlindungan hak anak atas perumahan merupakan elemen
esensial dari visi untuk memastikan anak dapat menikmati seluruh hak-haknya sehingga
kesejahteraan, keamanan, dan kehormatan anak dapat terwujud. Tentu saja penyelesaian
permasalahan krisis perumahan yang layak yang dialami oleh anak-anak merupakan upaya
mewujudkan dunia yang layak bagi anak. 18
Pengakuan hak atas perumahan yang layak telah mendapatkan pengakuan yang jelas dan diatur
dalam instrumen HAM internasional utama lainnya termasuk DUHAM (Pasal 25 ayat (1)), Kovenan
Ekososbud (Pasal 11 ayat (1)), Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (Pasal 5 (e)
(iii)), dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan (Pasal 14 ayat (2)).
Hak atas perumahan yang layak merupakan kebutuhan yang bersifat mendasar sama mendasarnya
dengan kebutuhan manusia terhadap pangan dan sandang. Pangan, sandang, dan papan merupakan
tiga serangkai HAM (triumvirate) yang menjadi elemen kritis bagi setiap manusia karena martabat
manusia dapat tercapai apabila ketiga hak ini dapat dinikmati secara penuh. Keluarga yang hidup
dengan rumah yang di bawah standar layak huni berpotensi menghambat anak menikmati hak atas
pendidikan, mengurangi kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak, dan dapat
mencerabut penghuninya dari layanan publik yang bersifat mendasar.19
Lebih jauh hak atas rumah yang layak juga dimaknai sebagai :20
1. Orang seharusnya tidak menerima perlakuan yang diskriminatif;
2. Pemerintah harus mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk menyediakan kebutuhan
rumah;
3. Orang seharusnya tidak digusur tanpa dilakukan konsultasi secara layak;
4. Penggusuran seharusnya tidak dilakukan karena mengakibatkan semakin meningkatnya
jumlah orang yang tidak memiliki rumah (tuna wisma).
18
Mayra Gómez, The Housing Rights of Children …, ibid
19
Rachel G. Bratt, Michael E. Stone, & Chester Hartman, Why a Rights to Housing is Needed and Makes Senses:
Editors’ Introduction, tanpa tahun
20
Centre for Equality Rights in Accommodation Social Rights Advocacy Centre, THE RIGHT TO ADEQUATE HOUSING: How to
fight for your rights, 2006
5|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
Di samping sebagai prasyarat untuk mencapai standar kehidupan yang memadai, hak atas
perumahan yang layak, juga harus ditafsirkan merupakan bagian dari upaya mewujudkan hak atas
lingkungan yang sehat sebagai ruang hidup dan ruang sosial tempat di mana rumah tersebut berada.
Pasal 24 KHA menegaskan bahwa :
Negara mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dengan
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:
a.
c.
Mengurangi kematian bayi dan anak
Memerangi penyakit dan kekurangan gizi melalui perawatan kesehatan primer antara
lain dengan penerapan teknologi yang mudah tersedia, penyediaan pangan bergizi
yang memadai dan air minum bersih, dan mempertimbangkan bahaya-bahaya dan risikorisiko pencemaran lingkungan;
Ketentuan pasal di atas relevan dengan situasi anak-anak yang hidup dengan kondisi rumah yang
tidak layak sebagai contoh anak yang berada pada perumahan yang kumuh akan kesulitan untuk
mengakses air minum yang sehat dan mengalami dampak dari terjadinya degradasi lingkungan.21
Menurut hasil studi, terdapat keterkaitan antara kondisi rumah yang tidak layak dengan derajat
tekanan mental (stress) dan gangguan kesehatan. Terkait dengan hal ini, seorang arsitek feminis,
Dolores Heyden menyatakan pentingnya rumah secara emosional terhadap penghuninya. Rumah
tidak hanya berfungsi secara fisik namun juga berfungsi sebagai tempat memelihara. Rumah yang
tidak layak berpengaruh terhadap berfungsinya sebuah keluarga karena menurunkan kualitas
kesehatan mental penghuninya. 22 Dalam konteks yang sama, Pelapor Khusus, Miloon Khotari dalam
Laporannya menyatakan bahwa kemiskinan berkelanjutan pada akhirnya akan menempatkan
perempuan untuk hidup di dalam rumah dan dalam kondisi kehidupan yang tidak layak dan tidak aman,
memperbesar risiko perempuan mengalami bentuk-bentuk kekerasan berbasis jender. Tanpa perumahan
yang layak, perempuan menjadi lebih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan. Dengan kata lain,
kekerasan terhadap perempuan juga bermuara pada pelanggaran hak perempuan atas perumahan yang
layak. Faktor seperti kepadatan, buruknya situasi pemukiman dan tak tersedianya layanan publik (air,
listrik, sanitasi) mempertinggi kerentanan perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. 23
Situasi kekerasan berbasis jender yang diakibatkan karena perempuan tidak dapat menikmati perumahan
yang layak tentu akan berdampak lebih terhadap anak-anak perempuan. Artinya tingkat kerentanan
mengalami kekerasan akan semakin tinggi bagi anak pere mpuan apabila mereka menghuni perumahan
yang tidak layak.
Kemudian melalui Sub Komisi PBB on the preventiom of discrimination and protection of minorities
yang sekarang menjadi Sub Commission on the promotion and protection of human right mengajukan
rancangan suatu prinsip deklarasi HAM dan lingkungan hidup. Dalam rancangan tersebut ditegaskan
bahwa semua manusia mempunyai hak untuk merasa aman dan sehat secara ekologis. Tanpa sebuah
lingkungan hidup yang layak dan bersih, hak-hak kemanusian lainnya menjadi tidak dapat tercapai
21
Mayra Gómez, Defending The Housing Rights of Children, op.cit
22
Rachel G. Bratt, Michael E. Stone, & Chester Hartman, ibid
23
Lihat Dokumen Komisi Hak Asasi Manusia E/CN.4/2005/43 25 Februari 2005 dalam Komnas Perempuan, Kajian Oleh
Pelapor Khusus mengenai Perumahan yang Layak: Perempuan dan Perumahan yang Layak, Seri Dokumen Kunci No. 7,
Publikasi Komnas Perempuan, 2006
6|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
atau tidak ada artinya. 24 Demikian pula dalam Strategi Pemukiman Global PBB (Global Strategy for
Settlement), tahun 2000 perumahan yang layak diartikan juga mencakup : privasi yang memadai,
ventilasi dan penerangan yang layak, keamanan memadai, ruangan yang layak, infrastruktur dasar
yang layak, dan fasilitas-fasilitas dasar.25 MDG’s juga telah menetapkan kewajiban mengenai hak
atas perumahan bagi penduduk miskin melalui peningkatan kehidupan setidaknya 100 juta penghuni
kawasan kumuh pada tahun 2015. Realisasi tujuan MDG’s ini tentu saja dapat mewujudkan
perlindungan terhadap anak-anak yang hidup dan mendiami perumahan yang tidak layak.
Pemenuhan hak atas perumahan yang layak menurut tujuan MDGs juga dikaitkan dengan
pemenuhan atas air minum layak, sanitasi, dan lingkungan yang memadai.
Terkait dengan hal ini, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya itu telah mencatat bahwa:26
Hak atas perumahan tidak boleh ditafsirkan dalam arti sempit hanya sebagai tempat
berteduh, melainkan harus dilihat sebagai hak untuk hidup dalam situasi yang aman, damai
dan bermartabat.
Lebih jauh, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengidentifikasi 7 unsur-unsur kunci agar
hak
atas
perumahan
dapat
dikatakan
layak.
Dari
perspektif
hak
anak,
setiap unsur hak atas perumahan sangat penting untuk menjamin setiap anak dapat menikmatinya.
Ketujuh unsur tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:27
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah (legal security of tenure), melindungi
anak-anak dari trauma terhadap penggusuran paksa.
Ketersediaan (availability) atas pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur akan
memastikan bahwa anak-anak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan
fasilitas sanitasi dapat meningkatkan peluang bagi bayi dan anak usia dini untuk
bertahan hidup.
Keterjangkauan (affordability), memastikan bahwa anak-anak memiliki akses terhadap
rumah yang memadai terlepas anak tersebut hidup dalam kondisi miskin. Negara harus
memberikan perlindungan untuk mencegah komodifikasi perumahan karena akan
berdampak pada tereduksinya penikmatan hak atas pendidikan, kesehatan, dan pangan
anak-anak akibat pendapatan keluarga dialokasi untuk biaya perumahan tinggi.
Habitabilitas (habitability) melindungi fisik, psikologis, dan kesehatan anak-anak dari
ancaman lingkungan terkait dengan lingkungan yang padat dan/ atauu berada pada
lingkungan permukiman yang kumuh .
Aksesibilitas (accessibility) memastikan bahwa semua anak-anak khususnya kelompok
yang membutuhkan perlindungan khusus dapat tertampung secara memadai.
Sebuah lokasi yang
layak (adequate location) untuk memastikan bahwa anak-anak
cukup dekat dengan fasilitas sosial yang memungkinkan mereka dapat mengakses hak
atas kesehatan dan pendidikan. Selain itu juga dapat melindungi anak-anak dari polusi
24
Hak-hak yang dimaksudkan antara lain : (i) Memperoleh standar kesehatan yang tinggi; (ii) Memperoleh makanan,
minuman, dan lingkungan yang sehat dan aman; dan (iii) Perumahan yang memadai dan kondisi hidup yang aman, sehat,
dan tertata baik secara ekologis. Lihat M. Ridha Saleh, Ecoside, Jakarta, Walhi, 2005,
25 Scott Leckie, Hak atas Perumahan, dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya : Esai-Esai Pilihan, Jakarta, Elsam, 2001
26 Mayra Gómez, The Housing Rights of Children, op.cit
27 Mayra Gómez, The Housing Rights of Children, ibid
7|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
sehingga terhindar dari risiko terhambatnya pengembangan dan kelangsungan hidup
mereka.
7. Kecukupan secara budaya (cultural adequacy) memungkinkan anak-anak untuk melalui
rumah yang ditempati dapat mengekspresikan identitas budaya mereka.
Ketujuh unsur di atas harus terpenuhi agar anak-anak dapat menikmati hak atas perumahan yang
layak karena ketika hak perumahan mereka dilanggar, anak-anak berpotensi terjebak dalam spiral
ketidakamanan dan kerentanan. Hal ini dapat terjadi karena pelanggaran atas hak yang satu akan
berdampak pada pelanggaran hak yang lain.
Anak dalam perspektif HAM dikategorikan sebagai kelompok rentan (vulnerable groups) karena
statusnya sebagai anak mereka seringkali mengalami perlakuan diskriminasi sehingga memerlukan
perhatian dan perlindungan khusus untuk menghindari potensi tereksploitasi. Menurut Human
Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:28
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Pengungsi (Refugees);
Pengungsi dalam negeri (Internally Displaced Persons/IDPs);
Kelompok minoritas (National Minorities);
Pekerja Migran (Migrant Workers);
Masyarakat adat (Indigenous Peoples);
Anak (Children); dan
Perempuan (Women).
Anak karena kondisinya yang lebih rentan dibanding kelompok lain diposisikan secara khusus dalam
kerangka HAM. Anak-anak rentan terhadap penyalahgunaan dan penelantaran karena mereka
belum memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap perlakuan buruk yang dialami
mereka. Pembukaan KHA secara jelas menegaskan bahwa karena alasan ketidakdewasaan fisik dan
jiwanya, anak-anak membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan
hukum yang tepat. Bahkan dalam kelompok anak terdapat kelompok yang perlu mendapatkan
perlindungan khusus karena terdapat situasi yang menyebabkan mereka terhalang menikmati hakhaknya. Kelompok ini disebut dengan Anak dalam situasi khusus (childern in need of special
protection). Mengacu pada Komite Hak Anak PBB terdapat setidak-tidaknya 4 (empat) kelompok
anak yang termasuk kategori ini29 :
a. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak
(children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally
displaced people)30dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation
of armed conflict)31
28
Iskandar Hoesin, Perlindungan terhadap Kelompok Rentan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Seminar Pembangunan
Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003
29 Lihat Overview of the reporting procedured : 24/10/94 CRC/C/33
30 Lihat Pasal 22 KHA
31 Lihat Pasal 38 KHA
8|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
b. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi32, penyalahgunaan obat (drug
abuse)33, eksplotasi seksual34, perdagangan anak (trafficking35), dan ekploitasi bentuk
lainnya36
c. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law)37
d. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous
people and minorities)38
Anak-anak yang termasuk dalam kelompok ini tentu harus mendapatkan perhatian lebih agar mereka
dapat menikmati hak atas perumahan yang layak. Dengan demikian, konsep perumahan harus
diperluas agar dapat mengakomodasi kebutuhan khusus anak-anak yang membutuhkan
perlindungan khusus. Dalam konteks penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak anak atas
perumahan yang layak harus melihat kebutuhan spesifik anak-anak. Perumahan yang layak di mana
anak-anak bertempat tinggal akan memiliki dampak terhadap pemenuhan kesehatan, kemajuan
pendidikan dan kesejahteraan anak-anak secara individu maupun secara keseluruhan sebagai
kelompok.
Secara khusus merujuk pada Federation of National Organisations Working with the Homeless
(FEANTSA), kelompok rentan yang memiliki permasalahan terkait dengan pemenuhan hak atas
perumahan adalah :39
a. Orang tanpa perumahan yang layak atau tanpa rumah;
b. Orang yang perumahannya terancam karena ketidakadaan kepastian hukum dan tanpa
keamanan termasuk:
 Penyewa tanpa perlindungan hukum (tidak ada kontrak sewa atau tanpa perlindungan
hukum);
 Penyewa dengan posisi perumahan yang secara hukum tidak pasti (mereka mempunyai
kontrak dan/atau memiliki perlindungan hukum tertentu namun undang-undang dan/atau
praktik pengadilan tidak memadai secara hukum untuk menjamin kepastian hukum atas
kontrak tersebut).
c. Orang yang terancam posisi perumahan mereka karena status ekonomi yang disandangnya;
 Pemilik miskin, baik secara individu maupun kelompok, memiliki rumah namun tidak
memiliki kemampuan untuk membiayai kebutuhan operasional rumah miliknya;
 Penyewa yang tidak mampu membayar dan membiayai kebutuhan operasional rumah
sewanya.
d. Orang yang tidak dapat menjangkau akses kepemilikan rumah.
Berdasarkan kelompok rentan yang memiliki permasalahan pemenuhan hak atas permukiman di
atas, hambatan yang menutup akses mereka memiliki rumah yang layak terkait dengan:40
32
Lihat Pasal 32 KHA
Lihat Pasal 33 KHA
34 Lihat Pasal 34 KHA
35 Lihat pasal 35 KHA
36 Lihat Pasal 36 KHA
37 Lihat Pasal 37, 39, dan 40 KHA
38 Lihat Pasal 30 KHA
39 Council of Europe Publishing, Housing policy and vulnerable social groups, 2008
40
Council of Europe Publishing, ibid
33
9|hal.
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
a.
b.
c.
d.
Sistem ekonomi ;
Rezim Kesejahteraan (isu jaminan pengaman sosial);
Rezim perumahan (kerangka hukum dan kelembagaan);
Faktor sosial (diskriminasi, dll).
Bertalian dengan masalah ini, Laporan dari Pelapor Khusus Miloon Kothari mengenai mengenai
perumahan yang layak khususnya bagi perempuan dapat dijadikan rujukan mengenai perluasan
konsep perumahan. Dalam Laporannya Miloon Kothari mengungkap seharusnya konsep perumahan
menjangkau lebih dari sekedar konsep kepemilikan rumah pribadi juga mencakup berbagai bentuk
tempat tinggal yang dapat dipakai oleh perempuan baik sementara maupun permanen, seperti
rumah singgah, penjara, kamp pengungsian, dan asrama pabrik. Pada kesemua jenis tempat tinggal
ini, unsur-unsur perumahan yang layak harus terpenuhi, termasuk jaminan bebas dari pelecehan dan
kekerasan. Selanjutnya dikatakan bahwa rumah ini harus dilihat sebagai tempat kehidupan anak
di mana anak-anak memperoleh makanan, tertawa, bermain, dan menemukan cinta dan
kedamaian.41
Dalam kasus pelanggaran hak anak atas perumahan yang layak maka akan berdampak pada
pemenuhan hak anak khususnya hak-hak sebagai berikut:42
1.
2.
3.
4.
5.
Hak untuk hidup;
Hak menikmati standar kesehatan yang tertinggi;
Hak untuk bebas dari eksploitasi;
Hak atas pendidikan;
Hak untuk bebas dari penyiksaan dan hukum lain yang kejam, perlakuan tidak manusiawi
atau merendahkan martabat.
Perlindungan dan pemenuhan hak atas rumah yang layak bagi anak juga harus dikaitkan dengan
permukiman sebagai lingkungan sosial bagi anak yang lebih luas. Dalam hal ini anak menjadi bagian
dari komunitas setempat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Khusus di lingkungan perkotaan
perlindungan dan pemenuhan hak anak atas perumahan yang layak harus memperhatikan indikator
kota yang ramah anak (child friendly cities). Indikator-indikator dari kota yang ramah anak antara
lain sebagai berikut:
a. Anak dapat terlibat untuk mempengaruhi kebijakan yang terkait dengan kota
b. Anak dapat mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang diinginkan oleh anak
sebagai warga kota
c. Anak dapat berpartisipasi di lingkungan keluarga, komunitas, dan kehidupan sosial yang
melingkupi kehidupan anak di kota
d. Anak menerima layanan air bersih dan memilik akses atas sanitasi yang layak
e. Anak dapat terlindungi dari eksploitasi, kekerasan, dan penelantaran
f. Anak memiliki sarana sebagai tempat untuk berjumpa dengan teman-temannya dan tempat
untuk bermain
41
Komnas Perempuan, Kajian Oleh Pelapor Khusus mengenai Perumahan yang Layak: Perempuan dan Perumahan yang
Layak, Seri Dokumen Kunci No. 7, Publikasi Komnas Perempuan, 2006
42 Mayra Gómez, Defending The Housing Rights of Children, op.cit.
10 | h a l .
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
g. Anak dapat mengakses ruang hijau, tanaman (flora) dan binatang (fauna) yang menjadi satu
kesatuan ekosistem kota
h. Anak dapat terlindungi dari lingkungan yang tercemar polusi
i. Anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan budaya
j. Anak berhak atas akses yang adil terhadap setiap layanan sebagai warga kota tanpa
diskriminasi atas dasar, etnis, asal usul, agama, pendapatan, gender, atau disabilitas (Unicef
Innocenti , 2004).
Untuk mewujudkan kota yang ramah anak tidak bisa dipisahkan dengan konsep kota yang berbasis
HAM (human rights cities). Kota berbasis HAM pada dasarnya dibangun berdasarkan partisipasi
warga kota secara setara dalam proses pembuatan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan warga
kota. Kota berbasis HAM juga mengedepankan inisatif berbasis komunitas, direncanakan oleh
kelompok local yang menggabungkan partisipasi dan perubahan sosial dengan solidaritas
internasional yang berdasarkan prinsip pendidikan HAM dan pembangunan berkelanjutan. Di
samping itu, kota berbasis HAM juga menawarkan sebuah struktur untuk identifikasi, evaluasi, dan
analisa terhadap apa yang dibutuhkan untuk mencegah kekerasan dan memajukan terwujudnya
HAM (Stephen P. Marks & Kathleen Modrowski, 2008).
Pada tataran hukum nasional Indonesia, konstitusi telah menjamin hak atas perumahan. Demikian
pula undang-undang yang secara hirarkis berfungsi sebagai peraturan yang mengelaborasi konstitusi
telah mengatur hak ini. 43 Hak anak untuk mengakses perumahan yang layak telah diatur dalam UUD
1945 pada Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan bahwa:
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pemenuhan hak atas perumahan yang layak bagi anak merupakan hak konstitusional anak untuk
mendapatkan mendapatkan pemenuhan atas hak hidup dan tumbuh kembang dan perlindungan
dari tindak kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat (2)). Hak konstitusional anak ini juga semakin
dipertegas dalam Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara. Membaca pasal ini maka anak-anak miskin dan terlantar dipelihara
oleh Negara dengan cara memberikan akses bagi mereka untuk mendapatkan perumahan yang
layak, misal rumah penampungan, panti asuhan, dan layanan perlindungan yang lain.
Pemenuhan perumahan bagi anak sebagai bagian dari kelompok rentan dapat dilakukan melalui
tindakan afirmatif sebagaimana telah ditetapkan sebagai hak konstitusionalitas setiap warga
negara, termasuk anak-anak. Pasal 28H ayat (2) menegaskan bahwa:
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
43
Lihat Pasal 4, UU Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman. Lihat pula UU No.16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun, khususnya Pasal 3 (1).
11 | h a l .
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai undang-undang yang dimandati untuk
mengatur lebih jauh jaminan penikmatan HAM setiap warga Negara juga telah mengatur hal serupa.
Pasal 27 ayat (1) mengatur bahwa:
Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan
bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia
Kemudian Pasal 40 menyatakan juga bahwa :
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur perumahan dan permukiman yakni UU No.
4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman khususnya Pasal 5 ayat (2) mengatur jaminan
yang sama bahwa:
Setiap warganegara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau
memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Senada dengan hal di atas UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dalam Pasal 3 dinyatakan
bahwa pembangunan rumah susun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak
bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjami kepastian
hukum dalam pemanfaatannya.
Namun demikian, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jaminan anak untuk
mendapatkan hak atas perumahan yang layak tidak diatur dalam UU ini. Seharusnya UU No. 23
Tahun 2002, di samping untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 28B ayat (2); Pasal 28H ayat (1)
dan ayat (2) ; dan Pasal 34 ayat (1), UU ini juga seharusnya mengadopsi prinsip-prinsip dan normanorma KHA dan instrument Hukum HAM Internasional lainnya khususnya dalam menjamin
pemenuhan hak anak atas permukiman.
C. Catatan Kritis RUU Perumahan dari Perspektif Hak Anak
1. RUU Perumahan dan Permukiman belum mengakomodasi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA
dan sejumlah instrument hukum HAM internasional lainnya terkait dengan pemenuhan hak anak
atas perumahan yang layak.
2. RUU Perumahan belum mengatur secara khusus hak-hak kelompok rentan terhadap hak atas
perumahan dan permukiman yang layak sesuai dengan kebutuhan mereka yang bersifat khas dan
khusus. Kebutuhan khas dan khusus tersebut harus melihat baik pada karakteristik yang melekat
pada setiap kelompok rentan. Dalam konteks perlindungan anak, karakteristik anak-anak yang
membutuhkan perlindungan khusus (children in need special protection) juga belum diatur untuk
menjamin penikmatan penuh hak anak atas perumahan yang layak.
3. Kondisi Kelompok rentan, termasuk kelompok anak yang tidak memiliki apabila
tidak
diintervensi oleh Negara maka setiap kelompok rentan tersebut akan mengalami tingkat
kesulitan yang lebih besar dalam menikmati hak-haknya. Untuk itu negara perlu menetapkan
pendekatan khusus untuk menjamin bahwa mereka dapat menikmati sebesar mungkin HAM
mereka, termasuk hak atas perumahan yang layak.RUU Perumahan dan Permukiman belum
12 | h a l .
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
4.
5.
6.
7.
8.
melihat bahwa hak-hak khusus yang secara spesifik harus mendapat perlakuan khusus untuk
menjamin hak-hak terpenuhi agar mereka dapat hidup secara bermartabat. Perlakuan khusus
tersebut dapat diberikan melalui tindakan khusus sementara atau diskriminasi positif sehingga
mereka dapat memiliki posisi dan kesempatan setara dengan kelompok sehingga terdapat upaya
percepatan peningkatan akses mereka atas perumahan yang layak. Kendatipun sudah menjadi hak
konstitusional setiap warga Negara untuk mendapatkan perlakuan khusus, RUU ini luput
mengakomodasi hak konstitusional warga Negara yang termasuk kelompok yang rentan.
Kewajiban negara untuk membantu orang tua dan orang lain yang bertanggung jawab apabila
mereka mendapatkan kesulitan untuk mengemban kewajiban memenuhi hak anak atas
perumahan yang layak tidak juga belum diatur dalam RUU Perumahan dan Permukiman. Padahal
KHA memandatkan bahwa Negara berkewajiban untuk mengambilalih tanggung jawab orang
tua apabila orang tua anak tidak dapat menjalani tanggung jawabnya sebagai orang tua. Artinya
apabila orang tua si anak tidak dapat menyediakan perumahan yang layak bagi anaknya karena
keterbatasan ekonomi maka Negara wajib menggantikan peran orang tua.
RUU Perumahan dan Permukiman mereduksi kewajiban Negara untuk menyediakan perumahan
yang layak dan menyerahkannya kepada sektor swasta. Dengan kata lain, kemampuan finansial
menjadi prasyarat seseorang dapat menikmati hak atas perumahan yang layak.
RUU Perumahan dan Permukiman belum mengatur akses dan mekanisma bagi anak-anak
berpartisipasi dalam pembangunan perumahan dan permukiman, padahal kualitas kehidupan
seorang anak ditentukan oleh kondisi perumahan dan permukiman di mana anak menjalani hidup
dan kehidupannya. Lebih jauh, RUU Perumahan dan Permukiman juga tidak memaknai konsep
perumahan dan pemukiman menjadi bagian integral dari penataan kota sehingga konsep kota
yang ramah terhadap anak dan responsif terhadap anak-anak, termasuk anak-anak dengan
kebutuhan khusus belum terakomodasi dalam RUU ini.
Pengaturan hak perempuan atas kepemilikan (right to property) terhadap sumber daya termasuk
perumahan, tanah, dan kontrak belum diatur dalam RUU Perumahan dan Permukiman. Realita
menunjukkan kelompok perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terkait hak untuk
mengklaim hak atas kepemilikan termasuk kepemilikan rumah. Lebih jauh kepemilikan tanah
mencakup soal hubungan sosial yang akan menentukan siapa yang dapat mengakses tanah dan
relasi kepemilikan yang terkait dengan struktur masyarakat, termasuk struktur keluarga,
perkawinan dan sistem waris.44 Dampaknya dapat berakibat kepada kehidupan anak-anak apabila
perempuan mengalami perceraian maka perempuan sangat sulit mendapatkan haknya termasuk
kepemilikan atas rumah. Diskriminasi secara kultural dan struktural masih menjadi hambatan
terbesar kelompok perempuan untuk dapat menikmati hak kepemilikan atas perumahan.45 Oleh
karenanya RUU Perumahan dan Permukiman seharusnya dapat menghilangkan praktik budaya
yang mendiskriminasi kelompok perempuan dalam mengakses kepemilikan tanah.
Hak atas perumahan yang layak menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dimaknai
secara luas termasuk hak untuk mendapatkan perlindungan dari pengusiran paksa (forced
eviction) dan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas kepemilikan tanah (right to land
tenure).46 Perlindungan dari pengusiran paksa dan keadilan akses kepemilikan bagi pemilikan
tanah bagi kelompok miskin juga seharusnya juga diatur dalam RUU Perumahan dan Permukiman.
44
United Nations Centre for Human Settlements (Habitat), Women’s Rights to Land, Housing and Property in Postconflict
Situations and During Reconstruction:A Global Overview, Nairobi 1999
45 Lihat Komentar Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, KOMENTAR UMUM (1997) Hak atas Tempat Tinggal
yang Layak
46 KOMENTAR UMUM 4 Hak atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 [1]
13 | h a l .
Kertas Posisi 2010:
Hak atas Perumahan yang Layak
D. Rekomendasi
1. RUU Perumahan dan Permukiman harus memasukkan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak sebagai
asas-asas yang melandasi operasionalisasi dan implementasi norma-norma yang diatur dalam RUU
tersebut sehingga kepentingan dan kebutuhan anak yang spesifik dan khas dapat terpenuhi.
2. RUU Perumahan dan Permukiman harus mengatur kebutuhan khusus dari kelompok rentan dan
anak dalam situasi khusus agar mereka tidak terhambat dalam menikmati hak untuk mendapatkan
rumah yang layak.
3. RUU Perumahan dan Permukiman harus menjamin kepastian hukum atas kepemilikan kelompok
miskin untuk mencegah mereka tergusur dan dipindahkan secara paksa.
4. RUU Perumahan dan Permukiman harus dimaknai secara luas bahwa hak atas perumahan yang
layak terkait dengan pemenuhan atas hak yang lain seperti hak atas hidup, hak atas kesehatan,
hak atas pendidikan, hak atas perlindungan, dan hak atas lingkungan yang sehat. Di samping itu
konsep perumahan harus diperluas tidak hanya terbatas rumah pribadi tetapi rumah yang
berdimensi public.
5. RUU Perumahan dan Permukiman harus memberikan perlindungan terhadap perempuan dari
tindakan kekerasan.
6. RUU Perumahan dan Permukiman harus memperhatikan indicator-indikator kota yang ramah bagi
anak;
7. RUU Perumahan dan Permukiman harus memperhatikan keadilan gender, keadilan ekologis, dan
keadilan sosial.
8. Pengalokasian anggaran untuk memenuhi hak anak atas perumahan yang layak harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Prinsip-prinsip dan norma-norma dalam KHA menjadi acuan dalam mengalokasikan anggaran;
b. Kewajiban Negara untuk memprioritaskan alokasi anggaran,memanfaatkan batas maksimal
anggaran yang tersedia, dan langkah-langkah yang telah diambil untuk memenuhi hak anak
atas perumahan yang layak
14 | h a l .
Download