Upaya Meningkatkan Hasil Belajar dan Keaktifan Siswa Melalui

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan setiap teori-teori tentang hasil belajar,
pembelajaran Matematika, model pembelajaran TGT, Kajian yang relevan,
keaktifan, kerangka berfikir dan hipotesis tindakan.
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Belajar
Beberapa pengertian belajar akan di kemukakan di bawah ini sebagai salah
satu pengertian dasar tentang belajar bagi seorang guru.
Menurut Burten (dalam Usman dan Setiawati 1993:4) Belajar adalah
perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu
dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih
mampu berinteraksi dengan lingkungannya.
Pendapat H.C. Whiterington (dalam Usman dan Setiawati 1993) bahwa
belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu pola baru dari reaksi ysng berupa kecakapan, sikap, kebiasaan,
kepribadian atau suatu pengertian. Sedangkan menurut Slameto (2010:2)
berpendapat bahwa belajar adalah proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan
pendapat-pendapat
tentang
belajar
diatas
penulis
menyimpulkan bahwa belajar adalah perubahan pada kepribadian pada diri
seseorang karena akibat dari suatu interaksi dengan lingkungan atau keadaan yang
meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Dari definisi di atas, karena adanya ruang lingkup dan batasan dari
perubahan tingkah laku dalam belajar maka terdapat ciri-ciri perubahan tingkah
laku tersebut seperti yang dikemukakan oleh Slameto (2010:3-4) dalam bukunya
Belajar Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya yaitu:
1. Perubahan terjadi secara sadar
6
7
Ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya
perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya
perubahan dalam dirinya.
2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang
berlangsung secara kesinambungan, tidak statis. Satu perubahan yang
terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi
kehidupan atau proses belajar berikutnya.
3. Perubahan dalam belajar bersifat posisi dan aktif
Dalam perubahan belajar, perubahan-perubahan itusenantiasa
bertambah dan tertuju untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari
sebelumnya.
4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang terjadi karena proses belajar besifat menetap atau
permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan
bersifat menetap.
5. Perbahan dalam belajar bertujuan dan terarah
Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada
tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan
tingkah laku yang benar-benar disadari.
6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan yang dicapai seseorang setelah melalui proses belajar
meliputi suatu proses belajar dan perubahan keseluruhan tingkah laku.
2.1.2 Hasil Belajar
Hasil belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi 3 aspek ranah yaitu
Kegiatan proses belajar mengajar seorang guru dikatakan berhasil apabila hasil
belajar siswanya mencapai KKM. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang
dalam belajar maka perlu dilakukan evaluasi, tujuannya untuk mengetahui hasil
yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Tyler (dalam
Mardapi 1950:9), evaluasi adalah proses penentuan sejauh mana tujuan
pendidikan telah tercapai.Evaluasi sebagai proses mengumpulkan informasi untuk
8
mengetahui pencapaian belajar kelas atau kelompok. Hasil evaluasi diharapkan
dapat mendorong pendidik untuk mengajar lebih baik dan mendorong peserta
didik untuk belajar lebih baik. Jadi evaluasi memberikan informasi bagi kelas dan
pendidik untuk meningkatkan kualitas proses beljar mengajar.
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya (Sudjana,2011:22). Hasil belajar memiliki peranan penting
dalam proses pembelajaran. Penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan
informasi kepada guru mengenai kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan–
tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar. Informasi yang diperoleh guru dapat
digunakan oleh guru untuk menyusun kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik
untuk
keseluruhan
kelas
maupun
individu.
Menurut
Winkel
(dalam
Purwanto,2010:45), mengemukakan bahwa “hasil belajar adalah perubahan yang
mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya”. Penekanan
dari pendapat Winkel dalam Purwanto yaitu hasil belajar adalah perubahan sikap
dan tingkah laku.
kognitif, afektif, dan psikomotor. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
Benyamin S. Bloom (dalam Sagala,2012:33-34), mengusulkan hasil belajar
dikelompokkan ke dalam tiga taksonomi yang disebut dengan ranah belajar yaitu
ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Pertama domain kognitif
mencakup kemampuan intelektual mengenal lingkungan yang terdiri dari enam
macam kemampuan yang disusun secara hierarkis yaitu pengetahuan (kemampuan
mengingat kembali hal–hal yang telah dipelajari), pemahaman (kemampuan
menangkap makna atau arti sesuatu hal), penerapan (kemampuan mempergunakan
hal–hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi–situasi baru dan nyata),
analysis (kemampuan menjabarkan sesuatu menjadi bagian–bagian sehingga
struktur organisasinya dapat difahami), sintesis (kemampuan memadukan bagia–
bagian menjadi satu keseluruhan yang berarti), dan penilaian (kemampuan
memberikan harga sesuatu hal berdasarkan kriteria intern, kelompok, ekstern, atau
yang telah ditetapkan terlebih dahulu). Kedua domain afektif mencakup
kemampuan–kemampuan emosional dalam mengalami dan menghayati sesuatu
hal yang meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara hierarkis
9
yaitu kesadaran (kemampuan untuk ingin memperhatikan sesuatu hal), partisipasi
(kemampuan untuk turut serta dalam sesuatu hal), penghayatan nilai (kemampuan
untuk menerima nilai dan terikat kepadanya), pengorganisasian nilai (kemampuan
untuk memiliki sistem nilai dalam dirinya), dan karakteristik diri (kemampuan
untuk memiliki pola hidup dimana sistem nilai yang terbentuk dalam dirinya
mampu mengawasi tingkah lakunya). Ketiga domain psikomotor yaitu
kemampuan–kemampuan motorik menggiatkan dan mengkoordinasikan gerakan
terdiri dari gerakan refleks, gerakan dasar, kemampuan perseptual, kemampuan
jasmani, gerakan–gerakan terlatih dan komunikasi nondiskrsif.
Dari pendapat para ahli tentang hasil belajar dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar adalah hasil dari proses kegiatan belajar siswa dalam dalam
mengikuti pembelajaran melalui evaluasi untuk mencapai kompetensi yang
berupa aspek kognitif dengan hasil yang dinyatakan dalam bentuk nilai, aspek
afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran berupa
diskusi, menyimak dan belajar kelompok, dan aspek psikomotor yang
menunjukkan keterampilan dan kemampuan siswa dalam bertindak pada saat
mengikuti pembelajaran.
Hasil belajar digunakan oleh guru sebagai tolak ukur atau kriteria dalam
mencapai suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar diperoleh dari aktivitas
pengukuran. Pengukuran pada dasarya merupakan kegiatan penentuan angka bagi
suatu objek secara sistematik. Penentuan angka ini merupakan usaha untuk
menggambarkan karakteristik suatu objek. Kemampuan seseorang dalam bidang
tertentu dinyatakan dalam angka. Hopkins dan Antes (dalam Purwanto,2010:2)
mendefinisikan pengukuran sebagai pemberian angka pada atribut dari obyek,
orang atau kejadian yang dilakukan untuk menunjukkan perbedaan dalam jumlah.
Perolehan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan
instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk
mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara,
skala sikap dan angket. Berdasarkan pengertian pengukuran yang telah dipaparkan
untuk mengukur hasil belajar siswa digunakan dalam asesmen pembelajaran
10
untuk mengukur hasil belajar siswa dengan menggunakan teknik tes dan non tes,
antara lain :
a. Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang
digunakan untuk mrngukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan
atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. (Arikunto,Suharsimi,
2010:193). Dalam penelitian ini, tes yang digunakan adalah tes formatif pada
pertemuan kedua tiap siklusnya. Bentuk tes yang akan digunakan yaitu pilihan
ganda.
b. Non Tes (Tidak Tertulis)
Teknik non tes digunakan untuk mengukur kemampuan siswa pada ranah
afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada
aspek kognitif. Penilaian ini juga menggunakan tekniknon tes yang berupa angket
atau kusioner. Pertanyaan tentang sikap atau keaktifan meminta responden
menunjukkan perasaan yang positif atau negatif terhadap suatu objek, atau satu
kebijakan. Kat–kata yang digunakan pada pertanyaan sikap menyatakan arah
perasaan seseorang, menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baikburuk, dingini-tidak diingini. Alat yang dipergunakan untuk mengukur
ketrcapaian tujuan pembelajaran yaitu instrumen.
Instrument sebagai alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian
tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah
valid, artinya instrumen ini adalah instrumen yang dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur. Maka perlu digunakan kisi–kisi untuk ketercapaian tujuan
pembelajaran. Membuat kisi–kisi yang mencanangkan tentang perincian SK/KD
dan indikator. Jenis instrumen yang akan digunakan untuk mengukur setiap
indikator yang bersangkutan. Indikator dalam kisi–kisi merupakan pedoman
dalam merumuskan soal yang akan dibuat. Kisi–kisi adalah format pemetaan soal
yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau pokok bahasan
berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan tertentu
Penyusunan kisi–kisi ini dimaksudkan sebagai pedoman merakit atau menulis soal
menjadi perangkat tes. Format kisi– kisi soal berisi antara lain identitas sekolah,
11
Kompetensi Dasar, Indikator, proses berfikir, jumlah butir soal, pertanyaan atau
pernyataan dan skala. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan hasil belajar yang
dimaksud dalam penelitian adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor
tes formatif.
2.1.3 Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai sudut pandang terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu
proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi dan melatari
pendekatan pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu. Pembelajaran
matematika merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses
belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun
sedemikian rupa untuk mempengaruhi terjadinya proses belajar siswa yang
bersifat internal ( Gagne dan Briggs, 1979:3).
Pembelajaran matematika perlu disesuaikan dengan perkembangan kognitif
siswa, dimulai dari yang kongkret menuju abstrak. Meskipun obyek pembelajaran
matematika adalah abstrak, tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa Sekolah
Dasar yang masih dalam tahap operasional kongkret, maka untuk memahami
konsep dan prinsip masih diperlukan pengalaman melalui obyek kongkret (
Soedjadi, 2000 ).
Pengertian pembelajaran matematika menurut Mudjiono (1993) adalah
suatu proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa guna
memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan matematika. Suatu proses
pembelajaran yang dimaksud adalah suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk
menciptakan situasi agar siswa belajar dengan
menggunakan pendekatan
pembelajaran.
Menurut kurikulum ( Standar Isi ) tahun 2006 bahwa pembelajaran
matematika merupakan mengembangkan kemampuan memecahkan masalah,
dimana kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi hasil belajar siswa.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran matematika adalah proses
belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh
12
pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai
pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman menghubungkannya dengan
konsep lain yang telah dipahaminya.
a. Karakteristik Pembelajaran Matematika
Karakteristik pembelajaran Matematika di sekolah dasar menurut Karso
(2007:2.16) antara lain :
1) Pembelajaran Matematika adalah berjenjang (bertahap).
2) Pembelajaran Matematika mengikuti metode spiral.
3) Pembelajaran Matematika menekankan pola pendekatan induktif.
4) Pembelajaran Matematika menganut kebenaran konsistensi.
b. Matematika Sebagai Mata Pelajaran
Ruseffendi (dalam Karso,2008:1.39) menyatakan bahwa, Matematika itu
terorganisasikan dari unsur–unsur yang tidak didefinisikan, definisi–definisi,
aksioma–aksioma
dan
dalil–dalil
dimana
dalil–dalil
setelah
dibuktikan
kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu
deduktif. Sedangkan Kline dalam Karso (2008: 1.40) menyatakan bahwa,
Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena
dirinya sendiri, tetapi beradanya itu terutama untuk membantu manusia dalam
memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Matematika adalah ilmu deduktif,
aksiomatik dan abstrak yang unsur–unsur di dalamnya telah dibuktikan
kebenarannya, Matematika juga memiliki peran yang sangat esensial untuk ilmu
lain seperti dalam permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Matematika sebagai
ilmu yang memiliki sumbangan dalam memacu perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
13
c. Tujuan Mata Pelajaran Matematika
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD/MI 2006 bahwa mata pelajaran
matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
1) Memahami konsep Matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau agloritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat
dalam pemecahan masalah.
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan Matematika.
3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram,atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
d. Ruang Lingkup Matematika
Ruang lingkup pembelajaran Matematika pada standar isi satuan
pendidikan SD/MI (dalam BSNP,2006: 417) meliputi :
1) Bilangan
2) Geometri
3) Pengukuran serta pengolahan data
2.1.4 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Pencapaian tujuan Matematika dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik
yang standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam
Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minimum yang
secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan
kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada
pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan
14
pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. SK dan KD untuk mata pelajaran
Matematika yang ditujukan bagi bagi siswa kelas IV SD (lampiran no. 9).
2.1.5 TGT (Team Games Tournament)
a. Pengertian TGT
Team Games Tournaments adalah suatu model pembelajaran yang
didahului dengan penyajian materi pembelajaran oleh guru dan diakhiri dengan
memberikan sejumlah pertanyaan kepada siswa (Asma,Nur,2006:54). Sedangkan
menurut Rusman (2011:224) TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif
yang menempatkan siswa dalam kelompok–kelompok belajar yang beranggotakan
5 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku atau
ras yang berbeda. Nur dan Wikandari (2000) menjelaskan bahwa TGT (Team
Games Tournament) telah digunakan dalam berbagai macam mata pelajaran, dan
paling cocok digunakan untuk mengajar tujuan pembelajaran yang dirumuskan
dengan tajam dengan satu jawaban benar seperti perhitungan dan penerapan
berciri matematika, dan fakta– fakta serta konsep IPA.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajarn Team
Games Tournament adalah model pembelajaran yang digunakan dalam proses
belajar mengajar yang diawali dengan pemberian materi kepada siswa dan setelah
itu diakhiri dengan pemberian pertanyaan dalam bentuk permainan tournament
yang terdiri dari beberapa kelompok dan dalam satu kelompok terdiri dari 5
sampai 6 orang siswa. Model pembelajaran TGT cocok digunakan untuk
pembelajaran yang hanya memiliki satu jawaban benar seperti perhitungan dan
penerapan berciri matematika dan fakta–fakta serta konsep IPA.
Model pembelajaran TGT merupakan salah satu tipe model pembelajaran
kooperatif. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok–kelompok
yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang
diberikan guru, Slavin (dalam Trianto,2009: 56). Johnson & Johnson (dalam
Trianto,2009:57) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah
memaksimalkan siswa belajar untuk peningkatan prestasi akademik dan
pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Selanjutnya Stahl
15
(dalam Isjoni,2009:15) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatife dapat
meningkatkan belajar siswa lebih baik dan meningkatkan sikap saling tolong–
menolong dalam perilaku sosial.
Dari pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dlam
kelompok–kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk bekerja sama
menguasai materi guna memaksimalkan prestasi akademik baik secara individu
maupun kelompok. Pembelajaran secara berkelompok juga dapat meningkatkan
sikap tolong menolong dalam perilaku sosial.
b. Langkah–langkah Model Pembelajaran Teams Games Tournaments
(TGT)
Menurut Robert E. Slavin (2008), pembelajaran TGT terdiri dari 5
komponen utama yaitu presentasi di kelas atau penyajian materi, tim (kelompok),
game (permainan), tournament (pertandingan), dan rekognisi tim (penghargaan
kelompok). Secara rinci, penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Presentasi Kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian
kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah,
dan diskusi yang dipimpin guru. Di samping itu, guru juga menyampaikan
tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberikan
motivasi.
2) Belajar Kelompok (Tim)
Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Siswa bekerja
dalam kelompok yang terdiri atas 5 orang yang anggotanya heterogen dilihat
dari kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik yang berbeda.
Dengan adanya heteronitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotivasi
siswa untuk saling membantu antarsiswa yang berkemampuan lebih dengan
siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran.
3) Persiapan Permainan Pertandingan
16
Guru mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
materi, dan masing-masing siswa mewakili tim yang berbeda yang dipilih
secara acak.
4) Tournament
Turnamen
merupakan
struktur
game
yang
dimainkan.
Biasanya
diselenggarakan pada akhir pekan atau unit, setelah guru melaksanakan
penyajian materi dan tim telah berlatih dengan lembar kerja.
5) Penghargaan Kelompok
Tim dimungkinkan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lain apabila
skor rata-rata mereka melebihi kriteria tertentu.
c. Implementasi Model Pembelajaran TGT
Dalam pengimplementasian hal yang harus diperhatikan yaitu :
1) Pembelajaran terpusat pada siswa.
2) Proses pembelajaran dengan suasana berkompetisi.
3) Pembelajaran bersifat aktif (siswa berlomba untuk dapat menyelesaikan
persoalan)
4) Pembelajaran diterapkan dengan mengelompokkan siswa menjadi tim–
tim.
5) Dalam kompetisi diterapkan sistem point.
6) Dalam kompetisi disesuaikan dengan kemampuan siswa atau dikenal
kesetaraan dalam kinerja akademik.
7) Kemajuan kelompok dapat diikuti oleh seluruh kelas melalui jurnal kelas
yang diterbitkan secara mingguan.
8) Dalam pemberian bimbingan guru mengacu pada jurnal.
9) Adanya sistem penghargaan bagi siswa yang memperoleh point banyak.
d. Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran TGT
Kelebihan dan kelemahan Pembelajaran TGT Metode pembelajaran
kooperatif Teams Games Tournament (TGT) ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan.
17
1) Kelebihan TGT
Menurut Suarjana (2000:10) dalam Istiqomah (2006), yang merupakan
kelebihan dari pembelajaran TGT antara lain :
a) Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas.
b) Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu.
c) Dengan materi yang sedikit dapat menguasai materi secara mendalam.
d) Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa.
e) Mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain.
f) Motivasi belajar lebih tinggi.
g) Hasil belajar lebih baik.
h) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi.
2) Kelemahan TGT
a)
Bagi Guru
Sulitnya pengelompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen
dari segi akademis. Kelemahan ini akan dapat diatasi jika guru yang bertindak
sebagai pemegang kendali teliti dalam menentukan pembagian kelompok
waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak sehingga
melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika guru
mampu menguasai kelas secara menyeluruh.
b)
Bagi Siswa
Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit
memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi kelemahan ini,
tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa yang mempunyai
kemampuan
akademik
tinggi
agar
dapat
dan
mampu
menularkan
pengetahuannya kepada siswa yang lain.
2.1.6 Keaktifan
Salah satu komponen yang terdapat dalam PAKEM yaitu aktif. Aktif
merupakan proses didalam pembelajaran dimana guru harus menciptakan suasana
sedemikian rupa, sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan
mengemukakan gagasan (Asmani, 2011:60). Jika pembelajaran tidak memberikan
18
kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut
bertentangan dengan hakikat belajar. Menurut Glasgow (dalam Asmani,2011:66)
berpendapat bahwa siswa aktif adalah siswa yang bekerja keras untuk mengambil
tanggung jawab lebih besar dalam proses belajarnya sendiri. Mereka mengambil
suatu peran yang lebih dinamis dalam mengetahui, memutuskan, dan melakukan
sendiri.
Siswa aktif akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Active
learning adalah suatu pendekatan untuk mendidik para siswa agar berperan lebih
aktif di dalam proses pembelajaran Joe Wein (dalam Asmani,2011:67). Unsur
umum didalam pendekatan ini adalah mengganti peran guru yang pada awalnya
selalu di depan kelas dan mempresentasikan materi pelajaran menjadi para siswa
yang berada pada posisi pengajaran diri sendiri. Guru hanya sebagai fasilitator
dalam proses pembelajaran. Suasana belajar yang mendukung juga berperan
penting dalam pembelajaran yang aktif. Suasana belajar yang dapat menciptakan
siswa aktif dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu pengalaman siswa dalam
pembelajaran akan menjadikan siswa ikut berpartisipasi aktif, interaksi siswa
dengan siswa lain, maupun siswa dengan guru dapat meningkatkan keaktifan
siswa, komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran akan menghidupkan suasana
belajar kondusif. Menurut Asmani (2011:92) siswa dikatakan aktif apabila
memenuhi beberapa kriteria berikut ini:
1. Membangun konsep bertanya
2. Bertanya
3. Bekerja,terlibat, dan berpartisipasi
4. Menemukan dan memecahkan masalah
5. Mengemukakan gagasan
6. Mempertanyakan gagasan
Keaktifan siswa yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu tingkah laku siswa pada
saat pembelajaran atau keikutsertaan siswa dalam pembelajaran.
19
2.2
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Joko Kurniawan pada tahun 2010 dengan
judul “Pembelajaran Kooperatif TGT untuk meningkatkan motivasi dan prestasi
belajar matematika pokok bahasan kubus dan balok siswa kelas IVII A SMP
Negeri 10 Malang”.
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan ternyata pembelajaran
kooperatif tipe TGT pada mata pelajaran matematika di SMP Negeri 10 Malang
terbukti mampu meningkatkan motivasi belajar siswa. Dalam akhir kegiatan
penelitian tindakan ini dapat diketahui bahwa rata-rata motivasi belajar meningkat
sebesar 7,03% dari 64,98% pada siklus 1 menjadi 72,03% pada siklus 2. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa siswa sangat antusias menyelesaikan soal
latihan secara kelompok dan aktif bertanya ketika guru menyampaikan materi. Di
samping itu pembelajaran kooperatif tipe TGT juga mampu meningkatkan
prestasi belajar siswa. Persentase ketuntasan belajar siswa aspek kognitif pada
pembelajaran tanpa TGT sebesar 46,15% meningkat pada siklus 1 menjadi
76,92% sedangkan siklus 2 mencapai angka 92,30% dan dikategorikan tuntas dari
persyaratan sebesar 75%. Siswa mengaku bahwa adanya interaksi antarkelompok
dan penghargaan, mampu memotivasi secara individu untuk tekun belajar guna
memperoleh nilai yang baik.
Lidya Tri Maharani pada tahun 2010, dalam penelitiannya yang berjudul
“Penerapan Pendekatan Kooperatif Teams Games Tournaments (TGT) untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Operasi Hitung Pecahan Kelas V SDN Purwodadi 3
Kota Malang”, menemukan bahwa: 1) Penggunaan model pembelajaran Teams
Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2) Model
pembelajaran Teams Games Tournaments (TGT) mampu membuat siswa
termotivasi untuk turut aktif dalam pembelajaran, karena model pembelajaran
tersebut sangat sesuai dengan karakteristik anak-anak usia sekolah dasar, yaitu
suka bermain. 3) Siswa dapat memahami materi pembelajaran yang diberikan
oleh guru serta dapat menyelesaikan soal-soal yang diberikan dengan baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Diyanto pada tahun 2006 dengan judul
”Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Melalui Tipe TGT (Teams
20
Games Tournaments) dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas
IVI.6 MTs. Filial Al Iman Adiwerna Tegal pada Pokok Bahasan Bilangan Bulat”
menunjukkan bahwa: 1) Dengan model pembelajaran cooperative learning
melalui tipe TGT (Teams Games Tournaments) dapat meningkatkan motifasi dan
hasil belajar siswa kelas IVI6 MTs. Filial Al Iman Adiwerna Tegal pada pokok
bahasan bilangan bulat. 2) Model pembelajaran cooperative learning melalui tipe
TGT (Teams Games Tournaments) maka aktifitas belajar siswa meningkat dan
pola pikir anak terbentuk dalam menyelesaikan suatu permainan matematika
sehingga ketuntasan belajar siswa dapat dicapai.
Dari kajian teori-teori yang sudah di teliti oleh peneliti mengenai
pembelajaran cooperatife dengan model TGT sangat baik untuk dilaksanakan
karena akan memacu siswa untuk berkompetensi, sehingga pembelajaran
matematika dengan menggunakan permainan akan mengubah pola piker siswa
bahwa matematika itu sangat mudah dan menyenangkan. Dari uraian diatas
pembelajaran cooperative tipe TGT ini sangat baik digunakan untuk menekankan
kepada siswa bahwa matematika itu menyenangkan dan minat serta ketuntasan
belajar pun akan tercapai sesuai dengan kriterian ketuntasan minimal.
2.3
Kerangka Pikir
Rutinitas pembelajaran yang berlangsung di kelas, adalah pembelajaran
yang berpusat pada guru. Guru menggunakan metode konvensional dalam
pembelajaran. Dimana guru mendominasi proses belajar mengajar dengan
ceramah dan langsung penugasan. Respon siswa terhadap pembelajaran yang
dilakukan guru adalah diam, mendengarkan, bermain sendiri, dan mengantuk,
tidak segera dapat peduli dengan situasi yang ada baik yang diadakan oleh guru
atau siswa yang lain, sehingga siswa cenderung untuk pasif dan hanya
mendengarkan penjelasan guru. Kondisi ini jika siswa diberi pertanyaan atau tes,
hasilnya tidak dapat mengerjakan secara optimal, sehingga skor yang diperoleh
rendah.
Penelitian ini menerapkan model pembelajaran TGT untuk mengatasi
masalah yang terjadi. Untuk memperbaiki paparan tersebut digunakan KD setelah
21
pembelajaran konvensional yang dilakukan oleh guru. KD yang digunakan untuk
pembelajaran TGT pada Siklus 1 yaitu mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang
sederhana (balok dan kubus). Sedangkan pada siklus 2 KD yang digunakan yaitu
menentukan jaring-jaring balok dan kubus.
Teknik ini, setelah guru menyampaikan materi siswa bekerja sama dalam
kelompok untuk mengerjakan LKS yang telah diberikan oleh guru. Setiap
kelompok berdiskusi membandingkan dan memperbaiki kesalahan konsep teman
satu kelompok dari LKS yang dibagikan guru. Setiap kelompok menunjuk satu
perwakilan kelompok untuk bermain secara bergantian. Pemain yang dapat
menjawab benar berhak mendapatkan kartu poin atau bintang. Jika pemain
menjawab salah maka poin diberikan kepada kelompok lain yang memberikan
jawaban benar.
Setelah selesai tournament siswa diberikan tes formatif sebagai penilaian
hasil belajar. Dengan menggunakan model pembelajaran TGT akan meningkatkan
hasil belajar dan keaktifan siswa. Dalam TGT ini siswa yang mengalami kesulitan
dalam belajar menyelesaikan masalah maka akan terbantu oleh kelompok atau
teamnya. Untuk itu, perlu dilakukan dengan pemantapan tindakan yaitu
mengulang kembali dengan model pembelajaraan TGT dengan indikator yang lain
sehingga tujuan pembelajaran lebih meningkat. Gambar kerangka pikir lebih rinci
sebagai berikut :
22
KONDISI
AWAL
Menggunakan model pembelajaran
konvensional/ ceramah, hasil belajar
siswa ≤ KKM
Penggunaan TGT dapat meningkatkan hasil
belajar
TINDAKAN
1. siswa belajar dengan kelompok
2. dilakukan permainan dengan berbagai
pertanyaan antar kelompok
3. siswa merasa berkompetisi
KONDISI
AKHIR
Menggunakan model pembelajaran
TGT dapat meningkatan hasil belajar
dan keaktifan siswa sudah ≥ KKM
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir Penggunaan TGT untuk Meningkatkan Hasil
Belajar dan Keaktifan Siswa
2.4 Hipotesis Tindakan
Dari refleksi kajian teori, penelitian yang relevan dan kerangka pikir
masalah maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut dengan
penerapan pembelajaran kooperatif model TGT ( Teams Games Tournament )
diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan keaktifan siswa pada mata
pelajaran matematika kelas IV SDN Rowoboni 02 Semester II Tahun 2013/2014.
Download