1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan teknologi semakin pesat dengan didukung peralatan yang semakin canggih pula sehingga dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan media massa. Di lain pihak perkembangan media massa dapat menimbulkan dampak yang teramat kuat terhadap masyarakat. Media adalah pesan itu sendiri, artinya apa yang disampaikan media kepada masyarakat ternyata lebih dari apa yang akan diterima masyarakat itu jika mereka berkomunikasi tanpa media (Peterson, 2008:37) Media massa adalah media yang mampu menimbulkan keserempakan di antara khalayak yang sedang memperhatikan perasaan yang dilancarkan oleh media tersebut, dalam hal ini film. Media massa sebagai alat komunikasi massa memiliki empat fungsi: 1. Menyampaikan informasi (to inform), 2. Mendidik (to educate), 3. Menghibur (to entertain), 4. Mempengaruhi (to influence) (Effendy, 2011:26) Film merupakan salah satu media yang paling banyak dipakai secara kolektif dan terikat. Dengan demikian perubahan yang mengarah ke fleksibilitas yang lebih tinggi semakin tampak pada sebuah media. Film dapat melintasi batas-batas wilayah, bahkan sering kali mampu menembus beberapa kurun masa, namun sulit untuk diperoleh kembali. 2 Film mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung. Mula-mula hanya dikenal film hitam-putih dan tanpa suara. Pada akhir tahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film warna pada tahun 1930-an. Peralatan produksi film juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap mampu menjadikan film sebagai tontonan yang menarik khalayak luas. Dalam hal ini, ketika film ditemukan ia tidak langsung dianggap sebagai karya seni. Mula-mula film hanya dianggap sebagai tiruan mekanis dari kenyataan. Atau, paling-paling sebagai sarana untuk memproduksi karyakarya seni yang telah ada sebelumnya seperti teater (Sumarno, 1996:9) Media massa memiliki sifat atau karakteristik yang mampu menjangkau massa dalam jumlah besar dan luas (universality of reach), bersifat publik dan mampu memberikan popularitas kepada siapa saja yang muncul di media massa. Peran media massa tersebut menyebabkan media massa telah menjadi perhatian penting bagi masyarakat (McQuail, 2000) Sebagai salah satu media massa, McQuail mengatakan film merupakan alat komunikasi yang efektif karena memiliki kemampuan mengantarkan pesan secara unik. Hal ini dimungkinkan karena adanya unsur audio dan visual yang terdapat di dalam film sehingga memudahkan orang memahami pesan yang ingin disampaikan. Selain itu, film dapat menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat, dan kemampuan memanipulasi kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas 3 membuat film lebih mudah mendapatkan perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya. Kemajuan sebuah negara dapat dilihat dari kualitas film yang mereka produksi. Dalam film terdapat banyak unsur budaya, maka film akan memiliki pengaruh yang kuat pada kehidupan penontonnya sehari-hari. Demikian halnya film nasional dapat mempengaruhi fungsi sosialnya sebagai media massa dan berperan kultural edukatif yang menjadi cerminan dari manusia Indonesia. Film nasional yang dimulai dengan film Kuldesak (1997) sampai sekarang justru disalah artikan oleh para produser sebagai kesempatan untuk memperbanyak produksi film demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sebagian tema-tema perfilman di Indonesia terasa sangat monoton dan terkesan ikut-ikutan atas film-film sebelumnya yang telah meraih kesuksesan, hal ini dikarenakan oleh modal dan keuntungan yang menjadi prioritas utama dalam pembuatan film. Selera pasar menjadi penentu segalanya, sehingga film-film yang diproduksi harus berpatokan kepada selera pasar. Dominasi tema film terlihat sejak tahun 2005, ketika para produser mengangkat tema percintaan yang tak lekang oleh zaman dengan latar belakang gaya hidup para remaja pada masa itu. Tahun 2006 sampai pertengahan 2007 adalah tahun dimana film horror “bergentayangan”. Mengingat tema urban legend sangat jarang gagal di pasaran, maka tak heran tema horor menjadi tren perfilman Indonesia pada tahun tersebut. Menjelang akhir tahun 2007 sampai tahun 2008, film komedi menjadi barang dagangan 4 yang laris manis di pasaran. Pemicunya bisa saja dikarenakan oleh masyarakat Indonesia yang hidup susah sehingga membutuhkan hiburan untuk menghilangkan penat, dan film komedi menjadi salah satu solusinya. Tingginya jumlah produksi film ternyata dipicu oleh tingginya animo penonton untuk menonton film Indonesia (Effendy, 2008:13) Di era tahun 2008, sineas Indonesia mampu meneruskan tren perkembangan film nasional di tanah air, ditandai oleh banyaknya film Indonesia yang ditampilkan di bioskop di luar film-film yang bertemakan horor dan seks. Sineas Indonesia mampu melahirkan banyak karya film yang berkualitas internasional seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Perempuan Berkalung Sorban, Ayat-Ayat Cinta, sampai muncul film Garuda di Dadaku 2 dan Arisan 2 di tahun 2011. Film Indonesia perlahan tapi pasti mulai mengembalikan kejayaan tanah air. Namun, dengan tema yang hampir seragam akhirnya berdampak pada menurunnya jumlah penonton yang berkunjung ke bioskop untuk menonton film Indonesia. Masyarakat Indonesia mulai jenuh menonton film nasional karena unsur-unsur yang ada pada film Indonesia sangat monoton dan mudah ditebak alur ceritanya. Ketika penonton mulai bosan dengan keseragaman, muncul film yang menawarkan sesuatu yang berbeda dari film-film yang pernah ada sebelumnya. Dengan mengangkat tema aksi laga, Film “The Raid” mengisahkan tentang sebuah tim elit yang beranggotakan 20 orang dipimpin oleh Sersan Jaka (Joe Taslim), seorang perwira polisi elit baru yang juga akan menjadi 5 seorang ayah (Iko Uwais), dan dibawah petunjuk Letnan Wahyu (Pierre Gruno) ditugaskan untuk menyerbu bangunan sebuah gedung apartemen terlantar yang tak tertembus dan menjadi rumah aman bagi gangster, penjahat dan pembunuh paling berbahaya. Blok apartemen kumuh tersebut telah dianggap tak tersentuh oleh para rival gembong narkotik terkenal Tama Riyadi (Ray Sahetapy) bahkan perwira polisi yang paling berani sekalipun. Namun semuanya berubah ketika sebuah tim elit menyerbu bangunan tersebut dan mengakhiri teror Tama untuk selamanya. Film The Raid yang dibintangi oleh Iko Uwais ini pertama kali dipublikasikan pada Festival Film Internasional Toronto (Toronto International Film Festival, TIFF) 2011 sebagai film pembuka untuk kategori Midnight Madness, para kritikus dan penonton memuji film tersebut sebagai salah satu film aksi terbaik setelah bertahun-tahun sehingga memperoleh penghargaan The Cadillac People’s Choice Midnight Madness Award. Terpilihnya film ini untuk diputar pada beberapa festival film internasional berikutnya, seperti Festival Film Internasional Dublin Jameson (Irlandia), Festival Film Glasgow (Skotlandia), Festival Film Sundance (Utah, AS), South by Southwest Film (Austin, Texas, AS) dan Festival Film Busan (Korea Selatan), menjadikannya sebagai film komersial produksi Indonesia pertama yang paling berhasil di tingkat dunia. Film The Raid tayang perdana di Indonesia pada 23 Maret 2011. Film The Raid mencoba mengambil momentum di tengah keminiman film-film aksi laga yang beredar di Indonesia yang masih belum mencapai 6 titik kepuasan. Untuk itu sineas perfilman Indonesia berusaha untuk membuat “sesuatu yang baru” demi menarik minat penonton terhadap perfilman di Indonesia khususnya film dengan genre aksi laga. Sebuah hasil pemikiran akan selalu menghasilkan pro dan kontra. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pola pikir, sudut pandang, analisa, ilmu, wawasan, dan perbedaan pada beragam hal lainnya. Tak terkecuali hasil pemikiran yang berbentuk kritikan. Hal ini yang terjadi pada film The Raid. Banyak kritik yang bermunculan atas ketidaksetujuan terhadap film tersebut. Film yang lulus Lembaga Sensor Film (LSF) ini dinilai mempunyai nilai yang negatif dengan penayangan ultra kekerasan dan dihiasi ceceran darah di sepanjang film. Tidak jarang orang dewasa lalai dalam pemilihan tontonan yang tidak seharusnya dikonsumsi oleh anak-anak mereka yang masih di bawah umur, karena bisa saja hal ini menyebabkan pengaruh negatif pada kondisi psikologi anak tersebut. Kekerasan merupakan sebuah ekspresi, baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya. Namun di luar semua kontroversi yang ada, Gareth Evans sutradara yang aktif diperfilman Indonesia patut diacungi jempol karena telah memperkenalkan salah satu seni bela diri tanah air yaitu pencak silat kepada 7 dunia. Selain itu, sutradara juga berhasil mengangkat nama perfilman Indonesia di berbagai penjuru dunia dengan budget yang cukup minim. Film The Raid mendapat respon yang positif dari berbagai lapisan masyarakat, utamanya kalangan mahasiswa. Penulis mengambil obyek penelitian Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin mengingat film merupakan kajian disiplin Ilmu Komunikasi. Terbukti dengan mata kuliah yang terdapat dalam kurikulum pengajaran Ilmu Komunikasi seperti Komunikasi Massa, Fotografi, Produksi Media Audio Visual, dan Teknik Cinematografi. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin merupakan penonton potensial yang mempunyai kapasitas untuk memberikan pernyataan kritis dan penilaian terhadap Film The Raid. Berdasarkan fenomena Film The Raid dan identifikasi masalah di atas, maka penulis menetapkan judul: “TANGGAPAN MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS HASANUDDIN TERHADAP ISU KEKERASAN PADA FILM THE RAID” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana tanggapan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin terhadap isu kekerasan pada Film The Raid. 8 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin dalam menanggapi isu kekerasan pada film The Raid. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui tanggapan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin terhadap isu kekerasan pada Film The Raid. b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin dalam menanggapi isu kekerasan pada film The Raid. 2. Kegunaan Penelitian a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan teknologi teori dan disiplin ilmu komunikasi. b. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan untuk peneliti lebih lanjut dan bagi mahasiswa yang akan mengadakan penelitian tentang film Indonesia. D. Kerangka Konseptual Sebagai media komunikasi massa, film merupakan sarana berkomunikasi. Kekuatan film terletak pada perpaduan gambar dan suara 9 pada satu waktu penayangan, sehingga tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya dan mampu menjadi media yang efektif dalam menyampaikan pesan. Film sebagai seni yang sangat kuat pengaruhnya dapat memperkaya pengalaman hidup seseorang, dan bisa menutupi segi-segi kehidupan yang lebih dalam. Film bisa dianggap sebagai pendidik yang baik. Selain itu, film selalu diwaspadai karena kemungkinan pengaruhpengaruhnya yang buruk. Menurut Nurudin (2007:22) komunikan dalam suatu komunikasi massa sifatnya heterogen / beragam. Artinya, penonton film beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, memiliki jabatan yang beragam, memiliki agama atau kepercayaan yang tidak sama pula sehingga efek komunikasi massa yang diterima tiap individu berbeda-beda. Dalam Nurudin (2007:228) ada tiga pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa (film) yaitu: kognitif (pengetahuan), afektif (perasaan), konatif (sikap dan tindakan). Begitupun setiap reaksi individu dalam menerima dan menanggapi pesan yang bersifat umum dan universal dari komunikator. Hal ini dikarenakan pesan yang diterima, disaring, dipikirkan, dan dipertimbangkan. Menonton merupakan sebuah proses ketika panca indera kita bekerja menyerap informasi (pesan) baik itu secara verbal maupun non verbal. Ketika menonton, gambar-gambar yang disajikan dalam film terekam dalam memori kita dan memberikan stimulus pada organ-organ tubuh untuk memberi reaksi tanggapan terhadap film tersebut. 10 Rakhmat (2007:51) menjelaskan tanggapan adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Proses yang terjadi antara pembuat film dan penonton menghasilkan reaksi berupa tanggapan. Kognisi berupa kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki tentang film. Motif merupakan latar belakang alasan menonton film tersebut. Sikap merupakan perilaku setiap individu dalam menonton sebuah film. Film sebagai komunikasi massa sifatnya satu arah antara komunikator (pembuat film) dan komunikan (penonton). Artinya tidak ada interaksi dengan para peserta komunikasi sehingga terjadi pengendalian arus informasi atau umpan balik tidak berlangsung pada saat itu juga (delayed feedback) oleh pihak pengirim pesan. Menurut Rakhmat (2007:191) umpan balik adalah pesan yang dikirim kembali dari penerima ke sumber, memberi tahu sumber tentang reaksi penerima, dan memberikan landasan kepada sumber untuk menentukan perilaku selanjutnya. Dalam hal ini, umpan balik (feedback) berperan penting dalam kelanjutan atau terhentinya komunikasi yang dilancarkan komunikator. Pada saat seseorang selesai menonton sebuah film, proses umpan balik pun terjadi melalui tanggapan terhadap film yang ditontonnya. Adanya perbedaan presepsi individual dikarenakan setiap orang mempunyai potensi pengalaman belajar dan lingkungan yang berbeda-beda, hal ini dapat menyebabkan pengaruh media massa yang berbeda pula. Setiap individu akan memberikan perhatian secara selektif terhadap pesan 11 komunikasi massa yang cocok dengan kepentingannya dan mengintepretasikannya terhadap isi pesan yang diterimanya sesuai dengan sikap dan kepercayaan yang sudah dimiliki. Adanya selektifitas terhadap media, setiap individu berperan aktif untuk memilih dan menggunakan media yang sesuai dengan kepribadiannya, sehingga setiap individu dalam memilih isi media berdasarkan motif-motif tertentu untuk memenuhi kebutuhannya. Dari pendekatan di atas lahirlah Uses and Gratification Theory, oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitich. Teori ini mengajukan gagasan bahwa perbedaan individu menyebabkan audien mencari, menggunakan dan memberikan tanggapan terhadap isi media secara berbeda-beda, yang disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan psikologis yang berbeda di antara individu penonton. Menurut Blumer dan Katz dalam Nurudin (2007:192) : Pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Ada beberapa kebutuhan individu yang mampu dipenuhi oleh media massa. Pada saat yang bersamaan, kebutuhan tersebut dapat dipuaskan oleh sumber lain. Setiap individu mengetahui alasan untuk menggunakan media massa, oleh karena itu setiap individu mempunyai tingkat pemanfaatan media massa yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang menyebabkan individu mempunyai tanggapan yang berbeda-beda terhadap isi media massa. 12 Tanggapan memiliki peran penting, sebab dari umpan balik yang terjadi dapat dilihat apakah media massa sudah mampu memenuhi kebutuhan setiap individu, dalam hal ini Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Media massa memang sangat berpengaruh terhadap individu, tetapi pengaruh tersebut dapat disaring, diseleksi bahkan mungkin ditolak sesuai dengan faktor-faktor personal yang dapat mempengaruhi tanggapan mereka. Asumsi ini didukung dengan teori perbedaan individu yang menyatakan bahwa, perbedaan respon yang muncul disebabkan setiap individu memiliki kepribadian berbeda-beda yang akan mempengaruhi perilaku mereka dalam menanggapi sesuatu yang disesuaikan dengan kepercayaan dan nilai sosial mereka, dalam hal ini Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Sebagai hasil penelitian, yaitu tanggapan terhadap Film The Raid dan teori Use and Gratification dipakai dalam memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi responden dalam menonton film The Raid. 13 Berdasarkan uraian tersebut maka kerangka konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Isu Kekerasan pada film The Raid: Skenario Konflik Kelogisan/Isi cerita Pengadeganan / penyutradaraan Faktor-faktor yang mempengaruhi Mahasiswa Ilmu Komunikasi UnHas: Angkatan Umur Jenis kelamin Hobi Tanggapan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin Terhadap Isu Kekerasan pada Film The Raid Gambar 1.1 Kerangka Konseptual E. Definisi Operasional 1. Tanggapan. Tanggapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanggapan subyektif dari mahasisiwa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin terhadap isu kekerasan pada film The Raid. 14 2. Film aksi laga. Genre utama dalam film yang satu atau beberapa tokohnya terlibat dalam tantangan yang memerlukan kekuatan fisik ataupun kemampuan khusus. Pemain yang dilibatkan umumnya adalah kaum pria. 3. Kekerasan. Kekerasan adalah suatu perbuatan terhadap seseorang yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, seksual, finansial dan spiritual. 4. Film The Raid. Film aksi laga yang berdurasi 101 menit disutradarai oleh Gareth Evans pada tahun 2011. 5. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin adalah mahasiswa reguler pagi di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin angkatan 2008, 2009, 2010 dan 2011. F. Metode Penelitian 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini berlangsung selama bulan Desember 2012 hingga Februari 2013. Pengambilan data penelitian berlokasi di laboratorium radio Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin pada bulan Desember 2012. 2. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif yaitu menggambarkan atau menjelaskan objek penelitian berdasarkan analisis dari jawaban responden yang diisi melalui kuesioner. 15 3. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer Observasi Pengumpulan data dengan pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti, dalam hal ini Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Kuesioner Pengumpulan data dengan menyebarkan sejumlah daftar pertanyaan yang berkenaan dengan masalah penelitian dan jawaban atas pertanyaan tanggapan menggunakan skala Likert. Wawancara Pengumpulan data dengan tanya jawab secara langsung kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. b. Data Sekunder Data yang diperoleh dengan kajian pustaka yang relevan dengan permasalahan penelitian. 4. Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, kemudian ditarik suatu kesimpulan (Sugiyono, 2010:80) 16 Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin yang berjumlah 187 orang sesuai dengan jumlah mahasiswa aktif yang terdaftar pada semester awal tahun akademik 2008 / 2011. Berikut bagan jumlah Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Per tahun masuk 2008 – 2011 No. Tahun Masuk Jumlah Mahasiswa 1. 2008 30 2. 2009 36 3. 2010 43 4. 2011 78 Jumlah 187 Gambar 1.2 Bagan Jumlah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Sumber: Akademik Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin 2012 Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, lengkap yang dianggap dapat mewakili populasi (Sugiyono, 2010:81) Penetapan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis metode (probability sampling) yaitu peluang masingmasing responden dapat diketahui. Sedangkan teknik samplingnya menggunakan sampel berstrata proporsional (propotionate stratified random sampling). Adapun penentuan besaran sampel menggunakan tabel yang dikembangkan oleh Isaac dan Michael. Populasi dalam penelitian ini 17 berjumlah 187 orang dengan taraf kesalahan 5% sehingga berdasarkan tabel Isaac dan Michael diperoleh sampel sebesar 123 mahasiswa. Jumlah sampel per-angkatan di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin: 1. Angkatan 2008 : 30 / 187 x 123 = 19,7 = 20 2. Angkatan 2009 : 36 / 187 x 123 = 23,6 = 24 3. Angkatan 2010 : 43 / 187 x 123 = 28,2 = 28 4. Angkatan 2011 : 78 / 187 x 123 = 51,3 = 51 Jadi N = 123 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Data yang diperoleh melalui wawancara dan studi pustaka digunakan sebagai data penunjang. Memanfaatkan software SPSS dalam pengolahan data dan menggunakan skala Likert sebagai pedoman. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah dan Perkembangan Film Film merupakan seni mutakhir di abad ke-20. Ia dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran, dan memberikan dorongan. Film dan pendekatan yang serius terhadapnya – sebagaimana studi sastra, musik, teater – dapat menyumbang kepada pemahaman seseorang terhadap pengalaman dan nilai-nilai kemanusiaan. Thomas Alfa Edison (1847 – 1931), ilmuan Amerika Serikat yang terkenal dengan penemuan lampu listrik dan fonograf (phonograph) atau piringan hitam. Pada tahun 1887 ia merancang alat untuk merekam dan memproduksi gambar. Alat itu mirip dengan fungsi fonograf untuk suara. Meskipun Edison menciptakan sebuah mekanisme, tetapi ia belum menemukan bahan dasar untuk membuat gambar. Masalah ini terpecahkan dengan bantuan George Eastman yang menawarkan gulungan pita seluloid, mirip plastik tembus pandang yang cukup ulet, sekaligus mudah digulung. Ciptaan Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope). Bentuknya menyerupai sebuah kotak berlubang untuk mengintip pertunjukkan. Pada tahun 1894, di kota New York, mulai diadakan pertunjukkan kinetoskop untuk umum. Pertunjukkan yang dipertontonkan berupa fragmen-fragmen pertandingan tinju dan sketsa-sketsa hiburan kurang dari semenit. Atraksi ini segera populer di seluruh Amerika Serikat dan selanjutnya menyebar ke luar 19 negeri, terutama di negeri-negeri Eropa. Di antara mereka yang dikagumi, yakni kakak-beradik Auguste dan Louis Lumiere dari Perancis yang lebih dikenal dengan nama Lumiere Bersaudara. Lumiere Bersaudara mulai memikirkan kemungkinan untuk membuat film-film mereka sendiri untuk alat kinetoskop. Bahkan mereka juga merancang perkembangan kinetoskop berupa piranti yang mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Piranti ini disebut sinematografi (cinematographe), yang dipatenkan Maret, 1895 (Sumarno, 1996:3) Keunggulan sinematograf terletak pada adanya mekanisme gerakan tersendat (intermittent movement). Gerakan tersendat ini mirip dengan mekanisme mesin jahit, yang memungkinkan setiap frame dari film yang diputar akan berhenti sesaat untuk disinari lampu proyektor. Akibatnya, hasil proyeksi tidak tampak berkedi-kedip. Sinematograf digunakan untuk merekam adegan-adegan singkat, seperti para pekerja yang pulang pabrik, kereta api memasuki stasiun, dan anak-anak kecil bermain di pantai. Film mengalami perkembangan seiiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung. Mula-mulanya hanya dikenal dengan film hitamputih tanpa suara. Pada akhir tahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film warna pada tahun 1930-an. Peralatan produksi film juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap mampu menjadikan film sebagai tontonan yang menarik khalayak luas. 20 Dalam hal ini, ketika film ditemukan ia tidak langsung dianggap sebagai karya seni. Mula-mula film hanya dianggap sebagai tiruan mekanis dan kenyataan. Atau, paling-paling sebagai sarana untuk memproduksi karyakarya seni yang telah ada sebelumnya seperti teater (Sumarno, 1996:9) Dewasa ini terdapat pelbagai ragam film. Meskipun cara pendekatan berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah-masalah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk melayani keperluan publik terbatas maupun publik yang seluas-luasnya. Film adalah medium komunikasi massa, yaitu alat penyampai berbagai jenis pesan dalam peradaban modern ini. Film menjadi medium ekspresi artistik, yaitu menjadi alat bagi seniman-seniman film untuk mengutarakan gagasan, ide, lewat suatu wawasan keindahan. Secara unik, kedua pemanfaatan itu terjalin dalam perangkat teknologi film yang dari waktu ke waktu makin canggih. Film menjadi ‘anak kandung’ teknologi modern. Menurut James Monaco, pengalaman dalam menikmati film menyerupai pengalaman dalam menghayati bahasa. Artinya, orang yang berpengalaman dan menghayati film, akan lebih banyak melihat dan mendengar dibandingkan dengan orang yang jarang melihat film. Film adalah karya seni yang lahir dari suatu kreatifitas orang-orang yang terlibat dalam proses penciptaan film. Sebagai karya seni, film terbukti mempunyai kemampuan kreatif. Ia mempunyai kesanggupan untuk 21 menciptakan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas imajiner itu dapat menawarkan rasa keindahan, renungan, atau sekedar hiburan. Film, secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk yakni, unsur naratif dan unsur sinematik. Dua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masingmasing unsur tersebut tidak akan dapat membentuk film jika hanya berdiri sendiri. Dapat dikatakan bahwa unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik atau juga sering diistilahkan gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film. Ahli-ahli teori Perancis senang sekali membeda-bedakan “film” dari “sinema”. “Filmis” adalah aspek seni yang berkenaan dengan hubungannya dengan dunia sekitarnya; “sinematis” khusus mempersoalkan estetika dan struktur internal dari seni film. Since the birth of the cinema, we have chanted a mantra: “Film is a visual medium.” Filmis must tell their stories visually editing, deep focus, lighting, camera movement, and nifty special effects are what really count. Sejak film muncul, kita mengatakan: “Film sebagai media visual.” Film-film harus menceritakan kisahnya secara visual dengan editing, fokus, pencahayaan, pergerakan kamera dan special efek yang baik (Kozloff, 2000:15) Film yang pertama kali lahir di pertengahan kedua abad 19, dibuat dengan bahan dasar seluloid yang sangat mudah terbakar bahkan dengan 22 percikan abu rokok sekalipun. Sesuai perjalanan waktu, para ahli berlombalomba untuk menyempurnakan film agar lebih aman, lebih mudah diproduksi dan enak ditonton. Film merupakan salah satu media massa modern yang bersifat audio visual. Film merupakan rentetan gambar-gambar yang bergerak disertai dengan suara dan warna, dilatarbelakangi oleh cerita yang mengandung pesan-pesan dan diproyeksikan di atas layar putih yang kemudian nampak di depan mata penonton. Thomas Edison membangun studio gambar bergerak pertama dekat laboratoriumnya di New Jersey. Ia menyebutnya Black Maria, nama yang biasa digunakan pada waktu itu untuk sebuah mobil tua polisi. Studio tersebut memiliki atap terbuka hingga mudah berputar mengikuti matahari agar para pemain yang difilmkan selalu diterangi (Baran, 2011:200) Seorang sutradara Amerika, David Wark Griffith menghasilkan sebuah film berjudul The Birth of a Nation pada tahun 1915. Griffith menggunakan film tersebut untuk menciptakan hasrat dan menggerakkan emosi dan suspensi. Ini merupakan film paling populer dan menguntungkan hingga dipecahkan oleh Gone with the Wind pada tahun 1939. Dengan karya Griffith, Intolerance (1916) dan Broken Blossoms (1919), The Birth of a Nation menampilkan standar baru untuk film Amerika. Pada tahun 1952, dalam Burstyn vs. Wilson¸ Mahkamah Agung menyatakan bahwa film adalah “media mengomunisasikan ide-ide, dirancang untuk yang signifikan untuk menghibur juga untuk 23 menginformasikan.” Film akhirnya diberikan perlindungan amandemen pertama (membatalkan keputusan Mahkamah Agung tahun 1915 pada kasus mutual Film Corp vs. Ohio Industrial Commision yang telah memutuskan bahwa film tersebut hanya sesuatu yang baru dan sebuah hiburan, tidak layak diberikan perlindungan sebagai ekspresi) (Baran, 2011:210) Pada tahun 1955, Preminger dan United Artists kembali berperang dengan MPPC (Motion Picture Production Code) atas film The Man with Golden Arm, film yang dibintangi aktor ternama Frank Sinatra sebagai pecandu narkoba dan Eleanor Parker sebagai istrinya yang cacat. MPPC tidak mengizinkan film tersebut dirilis karena penggambaran moral yang buruk. Sutradara dan studio menantang kembali industri sensor dengan menempatkan film ini di bioskop. Film ini secara seketika menjadi laku keras dan banyak mendapat kritikan, namun tetap menjuarai box office. Selama periode tersebut, Hollywood telah menantang televisi dengan produksi film yang mengandung pesan tentang masalah sosial kontroversial, termasuk rasisme, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan alkohol. Tidak ada lagi yang harus dibuat apa dan bagaimana dengan para pembuat film. Sebaliknya, penonton yang diperingatkan tentang apa yang dapat dilakukan oleh film. Idenya adalah untuk memberikan kebebasan artistik kepada para pembuat film sebanyak yang mereka inginkan, tetapi juga memberikan penonton film dengan beberapa indikasi sifat dari isi film. Sesudah masa itulah, perkembangan teknologi dan usaha-usaha untuk menyempurnakan film terus dilakukan. Kesadaran akan film dari segi 24 sinemanya (estetikanya) turut pula ditumbuhkan tanpa mengesampingkan perhitungan ekonominya. Kini hampir semua negara mengembangkan film termasuk era penghargaan pada karya film melalui ajang festival film bergengsi. Film dengan kata lain menjadi tempat yang sangat istimewa dalam budaya kita. Film seperti juga buku, secara budaya merupakan media khusus dan media penting. Dalam hal ini, hubungan film-penonton memiliki lebih banyak kesamaan dengan buku daripada dengan televisi. Sama seperti orang membeli buku, mereka membeli tiket film. Karena penonton sebenarnya adalah konsumen yang benar, kekuasaan berada di tangan isi film daripada isi cerita di televisi. Apa yang menjadikan film sebagai media yang penting, para pembela film mengatakan, sangat tergantung pada kita yaitu penonton. Ini tentang masyarakat. Masyarakat mendapatkan jenis politik dan budaya yang layak. Kondisi saat ini adalah hasil dari kurangnya (suatu sifat) fundamental dan yang penting yaitu rasa ingin tahu (McKenna, 2000:70) Dalam praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksibisinya. Bahkan lebih luas lagi, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi. 25 B. Film Sebagai Media Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca / pendengar / penonton yang akan coba diraihnya, dan efeknya terhadap mereka. Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Dalam hal ini kita juga perlu membedakan massa dalam arti “umum” dengan massa dalam arti komunikasi massa. Kata massa dalam arti umum lebih mendekati arti secara sosiologis. Dengan kata lain, massa yang dimaksud dalam hal ini adalah kumpulan individu yang berada di suatu lokasi tertentu. Massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain, massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa. Oleh karena itu, massa di sini menunjuk kepada khalayak, audience, penonton, pemirsa, atau pembaca. Media massa dalam komunikasi massa bentuknya antara lain seperti media elektronik (televisi, radio), media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), buku, dan film. Media massa juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan orang perorangan (individu) atau organisasi. Media massa yang membawa pesan-pesan publik kepada masyarakat luas juga dapat memuat pesan-pesan pribadi (personal). Industri film adalah industri yang tidak ada habisnya. Sebagai media massa, film digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau bahkan membentuk realitas. Cerita yang ditayangkan lewat film dapat 26 berbentuk fiksi atau non-fiksi. Lewat film, informasi dapat dikonsumsi dengan lebih mendalam karena film adalah media audio visual. Media ini banyak digemari banyak orang karena dapat dijadikan sebagai hiburan dan penyalur hobi. Film sebagai komunikasi massa juga dapat memberikan informasi kepada penontonnya. Ketika melihat film, penonton juga dapat merasakan hiburan yang ada dalam film tersebut. Sutradara dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikannya melalui media film. Dengan begitu ia juga bisa ikut mendidik masyarakat dengan pesan yang ada di dalam filmnya. Selain mampu untuk menginformasikan, menghibur, dan mendidik, film juga mampu untuk mempengaruhi seseorang. Karena film merupakan salah satu komunikasi massa, maka film tidak hanya mempengaruhi satu orang saja, tetapi sekumpulan orang yang biasa disebut ‘masyarakat’. Tanda-tanda dan simbol-simbol yang ada dalam film merupkan sebuah propaganda pembuat film untuk menyampaikan pesan kepada penonton. C. Kekerasan Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian, kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang dilukai. 27 Kata kekerasan sepadan dengan kata violence dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Menurut para ahli kriminologi, “kekerasan” yang mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan merupakan kejahatan. Kekerasan adalah suatu perbuatan terhadap seseorang yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, seksual, finansial, dan spiritual. Bentuk-bentuk atau dimensi kekerasan mencakup: 1. Kekerasan fisik adalah tindakan yang benar-benar merupakan gerakan fisik manusia untuk menyakiti tubuh atau merusak harta orang lain. kekerasan fisik mencakup: memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau menggunakan senjata, membunuh. 2. Kekerasan psikologis : berteriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut. 3. Kekerasan seksual : melakukan tindakan yang mengarah keajakan atau desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan 28 dengan mengarah kepada aspek jenis kelamin atau seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan fisik maupun tidak memaksa melakukan aktifitas-aktifitas seksual yang tidak disukai, menyakiti atau melukai korban. 4. Kekerasan finansial : mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sekecil-kecilnya, semua dengan maksud untuk dapat mengendalikan tindakan korban. 5. Kekerasan spiritual : merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban melakukan ritual dan keyakinan tertentu. D. Tanggapan Tanggapan atau presepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Tanggapan adalah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Sensasi adalah bagian dari presepsi. Menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tanggapan / presepsi: 1. Perhatian. Perhatian merupakan proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada 29 salah satu alat indera kita, dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain. Dalam perhatian terdapat faktor eksternal dan faktor internal. a. Faktor Eksternal. Apa yang kita perhatikan ditentukan oleh faktorfaktor situasional dan personal. Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat eksternal atau penarik perhatian. Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain: - Gerakan. Seperti organisme lain, manusia secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak. - Intensitas stimuli. Kita akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. - Kebaruan. Hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda, akan menarik perhatian. - Perulangan. Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan sedikit variasi akan menarik perhatian. Di sini, unsur “familiarity” (yang sudah kita kenal) berpadu dengan unsur “novelty” (yang baru kita kenal). Perulangan juga mengandung unsur sugesti: mempengaruhi bawah sadar kita. b. Faktor Internal Peristiwa bukan saja menunjukkan betapa lemahnya alat indera kita, tetapi juga menunjukkan perhatian yang selektif. Apa yang menjadi perhatian kita lolos dari perhatian orang lain, atau sebaliknya. Ada 30 kecenderungan kita melihat apa yang ingin kita lihat, kita mendengar apa yang ingin kita dengar. Perbedaan perhatian ini timbul dari faktorfaktor internal dalam diri kita seperti: 2. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan halhal lain yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor yang menentukan presepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yang pertama: Persepsi bersifat selektif secara fungsional yang artinya bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. 3. Faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Menurut teori Gestalt, bila kita mempresepsi sesuatu, kita mempresepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya, lalu menghimpunnya. E. Teori Uses and Gratifications Herbert Blumer dan Elihu Katz adalah orang pertama yang mengenalkan teori ini. Teori uses and gratification (kegunaan dan kepuasan) ini dikenalkan pada tahun 1974 dalam bukunya The Uses on Mass Communication: Current Perspective on Gratification Research. Teori uses 31 dan gratifications milik Blumer dan Katz ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya, teori uses and gratifications mengasumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Dalam teori ini ditekankan bahwa audien aktif untuk menentukan media mana yang harus dipilih untuk memuaskan kebutuhannya. Teori uses and gratifications lebih menekankan pada pendekatan manusiawi dalam melihat media massa. Artinya, manusia itu mempunyai otonomi, wewenang untuk memperlakukan media. Blumer dan Katz percaya bahwa tidak hanya ada satu jalan bagi khalayak untuk menggunakan media. Sebaliknya, mereka percaya bahwa ada banyak alasan khalayak untuk menggunakan media. Menurut pendapat teori ini, konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagimana (lewat media mana) mereka menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya. Teori ini juga menyatakan bahwa media dapat mempunyai pengaruh jahat dalam kehidupan. Kita bisa memahami interaksi orang dengan media melalui pemanfaatan media oleh orang itu (uses) dan kepuasan yang diperoleh (gratification). Gratifikasi yang sifatnya umum antara lain pelarian dan rasa 32 khawatir, peredaan rasa kesepian, dukungan emosional, perolehan informasi, dan kontak sosial (Nurudin, 2007:191) Teori ini mengajukan gagasan bahwa perbedaan individu menyebabkan audien mencari, menggunakan dan memberikan tanggapan terhadap isi media secara berbeda-beda, yang disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan psikologis yang berbeda di antara individu dan audien. Sebagian besar riset dalam wilayah teori penggunaan dan kepuasan berupaya meneliti apa yang terjadi di balik penggunaan media dan audien. Dengan kata lain, peneliti mencari tahu mengapa orang menonton program televisi tertentu atau mengapa mereka terpengaruh oleh iklan tertentu dan bukan oleh iklan lainnya. Teori ini tidak memberikan pada efek langsung media terhadap audien, tetapi memfokuskan perhatian pada motivasi atau perilaku audien terhadap media atau bagaimana dan mengapa mereka menggunakan atau mengonsumsi media. Singkatnya, teori ini berupaya menjelaskan, what do people do with the media? (Klapper, 1963: Rubin, 199) Teori penggunaan dan kepuasan memfokuskan perhatian pada audien sebagai konsumen media massa dan bukan pada pesan yang disampaikan. Audien dinilai mengetahui kebutuhan mereka dan mengetahui serta bertanggung jawab terhadap pilihan media yang dapat memenuhi kebutuhan mereka tersebut. Dalam perkembangannya, teori ini menghasilkan teori-teori lain, namun teori ini juga dikembangkan dari teori yang sudah ada sebelumnya. Pada bagian ini, kita akan meninjau gagasan asli dari teori uses and gratifications dan teori-teori lainnya sebagai pengembangan teori 33 tersebut serta bagaimana implikasinya terhadap perkembangan studi mengenai media massa hingga saat ini (Morissan, 2010: 77) Teori penggunaan dan kepuasan menjelaskan mengenai kapan dan bagaimana audien sebagai konsumen media menjadi lebih aktif atau kurang aktif dalam menggunakan media dan akibat atau konsekuensi dan penggunaan media itu. Dalam hal ini terdapat sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti gagasan teori penggunaan dan kepuasan sebagaimana dikemukakan Katz, Blumler, dan Gurevitch (1974), yang mengembangkan teori ini. Mereka menyatakan lima asumsi dasar teori penggunaan dan kepuasan sebagai berikut: 1. Audien Aktif dan Berorientasi pada Tujuan Ketika Menggunakan Media. Dalam perspektif teori penggunaan dan kepuasan, audien dipandang sebagai partisipan yang aktif dalam proses komunikasi, namun tingkat keaktifan setiap individu tidaklah sama. Dengan kata lain, tingkat keaktifan audien merupakan variabel. Perilaku komunikasi audien mengacu pada target dan tujuan yang ingin dicapai serta berdasarkan motivasi; audien melakukan pilihan terhadap isi media berdasarkan motivasi, tujuan dan kebutuhan personal mereka. McQuail dan rekan (1972) mengemukakan empat alasan mengapa audien menggunakan media: a. Pengalihan, yaitu melarikan diri dari rutinitas bekerja seharian atau masalah sehari-hari sehingga membutuhkan media sebagai pengalih perhatian rutinitas. 34 b. Hubungan personal, hal ini terjadi ketika orang menggunakan media sebagai pengganti teman. c. Identitas personal, sebagai cara untuk memperkuat nilai-nilai individu. d. Pengawasan, yaitu informasi mengenai bagaimana media membantu individu mencapai sesuatu. 2. Inisiatif untuk Mendapatkan Kepuasan Media Ditentukan Audien. Asumsi ini berhubungan dengan kebutuhan terhadap kepuasan yang dihubungkan dengan pilihan media tertentu yang ditentukan oleh audien sendiri. Karena sifatnya yang aktif, maka audien mengambil inisiatif. Kita memilih menonton program komedi di televisi karena kita menyukai acara yang dapat membuat kita tertawa atau menonton program berita karena kita ingin mendapatkan informasi. Tidak seorang pun dapat menentukan apa yang kita inginkan terhadap isi media. Dengan demikian, audien memiliki kewenangan penuh dalam proses komunikasi massa. 3. Media Bersaing dengan Sumber Kepuasan Lain. Media dan audien tidak berada dalam ruang hampa yang tidak menerima pengaruh apa-apa. Keduanya menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas, dan hubungan antara media dan audien dipengaruhi oleh masyarakat. Media bersaing dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dalam hal pilihan, perhatian dan penggunaan untuk memuaskan kebutuhan 35 seseorang dan keinginan seseorang. Individu yang tidak memiliki inisiatif diri yang cukup kuat akan mudah dipengaruhi media. 4. Audien Sadar Sepenuhnya terhadap Ketertarikan, Motif, dan Penggunaan Media Kesadaran diri yang cukup akan adanya ketertarikan dan motif yang muncul dalam diri yang dilanjutkan dengan penggunaan media memungkinkan peneliti mendapatkan gambaran yang tepat mengenai penggunaan media oleh audien. Audien melakukan pilihan secara sadar terhadap media tertentu yang akan digunakannya. 5. Penilaian Isi Media Ditentukan oleh Audien Menurut teori penggunaan dan kepuasan ini, isi media hanya dapat dinilai oleh audien sendiri. Program televisi yang dianggap tidak bermutu bisa menjadi berguna bagi audien tertentu karena merasa mendapatkan kepuasan dengan menonton program tersebut. Teori penggunaan dan kepuasan yang mendasarkan asumsinya pada gagasan bahwa konsumen atau audien media bersifat aktif harus betul-betul dapat menjelaskan apa yang dimaksudkannya sebagai audien yang aktif. Hal ini berarti adanya sifat sukarela serta pilihan selektif audien terhadap proses komunikasi. Singkatnya, penggunaan media didorong oleh adanya kebutuhan dan tujuan yang ditentukan oleh audien sendiri, dan bahwasannya partisipasi 36 aktif dalam proses komunikasi dapat mempermudah, membatasi atau sebaliknya, mempengaruhi kepuasan dan menimbulkan berbagai efek yang terkait dengan terpaan media. Jay G. Blumler (1979) mengemukakan sejumlah gagasan mengenai jenis-jenis kegiatan yang dilakukan audien ketika menggunakan media, yang mencakup: kegunaan (utility), kehendak (intentionally), seleksi (selectivity), dan tidak terpengaruh hingga terpengaruh (imperviousness to influence). Harold D. Lasswell (1948) mengemukakan mengenai mengapa masyarakat menggunakan media. Lasswell mengemukakan tiga fungsi utama media terhadap masyarakat: 1. Media berfungsi untuk memberi tahu audien mengenai apa yang terjadi di sekitar mereka. 2. Melalui pandangan yang diberikan media terhadap berbagai hal yang terjadi, maka audien dapat memahami lingkungan sekitarnya secara lebih akurat. 3. Pesan media berfungsi menyampaikan tradisi dan nilai-nilai sosial kepada generasi audien selanjutnya. Penyampaian warisan sosial ini, menurut Lasswell, merupakan fungsi media yang dinilai paling kuat. 37 BAB III GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Film The Raid 1. Plot Film The Raid Gambar 2.1 Cover Film The Raid Sutradara : Gareth Evans Produser : Ario Sagantoro Penulis : Gareth Evans Pemeran : Iko Uwais, Ray Sahetapy, Joe Taslim, Donny Alamsyah, Yayan Ruhiah, Pierre Gruno, Tegar Satrya Musik : Fajar Yuskemal, Aria Prayogi (edisi TIFF 2011 dan perdana Indonesia), Mike Shinoda, Joseph Trapanese (edisi Sundance 2012 dan perdana AS/Internasional) Sinematografi : Matt Flannery 38 Editing : Gareth Evans Distribusi : Celluloid Nightmares (seluruh dunia), Sony Pictures Classics (AS) Tanggal rilis : 8 September 2011 (TIFF) 21 Maret 2012 (Indonesia) 22 Maret 2012 (Australia) 23 Maret 2012 (Amerika) Durasi : 101 menit Negara : Indonesia Bahasa : Indonesia Penghargaan : The Cadillac People’s Choice Midnight Madness Award, TIFF 2011. Salah satu dari 11 film yang menjadi Spotlight dalam Festival Film Sundance 2012. Terpilih menjadi penutup sesi FrightFest dalam Festival Film Glasgow 2012. Audience Award dan Dublin Film Critics Best Film dalam Festival Film Internasional Dublin Jameson 2012. Prix du Public dalam 6ème Festival Mauvais Genre di Tours, Prancis. Sp!ts Silver Scream Award pada Festival Film Imagine ke-28 di Amsterdam, Belanda. 39 Film ini mengisahkan tentang sebuah tim elit polisi berjumlah 20 orang ditugaskan untuk menyerbu apartemen kumuh yang telah menjadi rumah aman bagi para gangster, penjahat dan pembunuh yang paling berbahaya. Di bawah kegelapan dan keheningan fajar, Rama (Iko Uwais), seorang calon ayah dan anggota perwira polisi elit baru, dalam tim elit yang dipimpin oleh Sersan Jaka (Joe Taslim), tiba di blok apartemen Tama (Ray Sahetapy) di bawah petunjuk Letnan Wahyu (Pierre Gruno). Setelah berpapasan dengan Gofar (Iang Darmawan) salah seorang penghuni apartemen yang membawa obat untuk isterinya yang sakit, mereka menerobos ke dalam gedung dan secara hati-hati mengamankan para penjahat penghuni gedung dengan dibungkam dan diikat. Mulai dari lantai dasar dan bergerak naik, mereka dengan terencana menyusup dalam blok apartemen sampai mereka mencapai lantai enam, tapi kemudian tim ini dilihat oleh seorang anak pengintai yang lari untuk memberi tahu temannya yang kedua sebelum dia ditembak dan terbunuh oleh peluru senapan serbu Letnan Wahyu. Peringatan tersebut mencapai Tama dan anak buah kepercayaannya, Mad Dog (Yayan Ruhian) lewat interkom. Di sini perang dimulai. Tama segera memanggil bala bantuan dan anak buahnya. Dua penembak runduk di gedung tetangga melumpuhkan anggota tim SWAT yang berada di lantai dasar. Mendengar jeritan mereka, seorang anggota tim elit lain melihat keluar jendela apartemen dari lantai lima, dan segera tewas seketika ditembak oleh penembak runduk. Tahanan mereka segera mengambil kesempatan dalam keributan tersebut – 40 membunuh dua anggota polisi lain dan mendapatkan kontrol di lantai lima kembali. Mobil pengikut tim polisi juga hancur dan pengemudinya tewas dalam serangan mendadak. Tama kemudian mematikan listrik di seluruh gedung dan mengumumkan bahwa terdapat “tamu tak diundang” sedang terjebak di lantai enam dan memperingati bahwa dia akan memberikan sewa gratis kepada mereka yang membunuh penyusup-penyusup tersebut. Tim polisi Sersan Jaka melihat sebuah pintu akan terbuka, sehingga mereka mempersiapkan diri untuk menyerang siapapun di belakangnya, namun ini merupakan jebakan karena anak buah Tama di lantai atas berhasil menggunakan cahaya dari tembakan untuk menyerbu tim polisi dan menembak mati banyak anggota tim elit. Sersan Jaka segera mengetahui bahwa misi tersebut ternyata tidak ditugaskan oleh pihak Kepolisian, melainkan Letnan Wahyu, sehingga tidak akan ada bala bantuan yang akan tiba menyelamatkan mereka. Setelah adegan tembakmenembak yang panjang, tim polisi Jaka terdampar di lantai enam, kalah secara jumlah maupun amunisi dan sedang diburu oleh anak buah Tama yang beringas. Para anggota yang selamat dari serangan ini adalah: Sersan Jaka, Letnan Wahyu, Bowo (Tegar Satrya), Dagu (Eka Rahmadia), dan Rama. Setelah nyaris lolos dari ledakan bom improvisasi Rama yang membunuh sejumlah besar penjahat, mereka terbagi menjadi dua kelompok: Jaka, Wahyu dan Dagu di lantai lima sedangkan Rama dan Bowo yang terluka mencari keselamatan di lantai tujuh. 41 Rama membopong Bowo yang terluka harus bertarung menerobos koridor lantai tujuh dan tiba di apartemen 726 yang dihuni Gofar bersama istrinya, memohon tempat persembunyian dari kejaran anak buah Tama. Mereka bersembunyi di dalam lorong rahasia di balik dinding apartemen. Geng para anak buah Tama dan pimpinan mereka (Alfridus Godfred) tiba dan memeriksa apartemen Gofar, bahkan menusuk dinding lalu melukai pipi Rama dan hampir menewaskan Bowo, tetapi mereka tidak berhasil ditemukan dan akhirnya pergi meninggalkan apartemen Gofar. Setelah memberikan pertolongan pertama pada Bowo, Rama meninggalkan Bowo dalam perawatan Gofar untuk mencari jalan keluar. Dia harus kembali bertempur sengit dengan geng parang yang segera menemukannya setelah dia keluar dari persembunyian. Rama dengan sekuat tenaga mengalahkan geng tersebut, namun kembali dikejar dengan anak buah Tama yang lain. Setelah menjatuhkan diri ke lantai enam untuk meloloskan diri, Rama akhirnya ditangkap oleh Andi (Donny Alamsyah), tangan kanan dan otak bisnis narkoba Tama. Pada saat yang sama, Jaka berseteru dengan Wahyu setelah Wahyu menolak untuk mempertaruhkan nyawanya untuk mencari Rama dan Bowo, sehingga membuat Jaka marah dan mempertanyakan integritas kepolisian Wahyu di balik misi yang berakhir fatal tersebut. Beranjak dari persembunyian mereka, kelompoknya ditemukan oleh Mad Dog, tangan kanan Tama yang paling kejam dan brutal. Letnan Wahyu melarikan diri, dan Dagu diperintahkan Jaka untuk mengikutinya, tetapi Jaka yang hanya memiliki pisau, harus beradu nyali dengan Mad Dog yang 42 menodongkan pistol padanya. Mad Dog menyuruh Jaka masuk ke kamar di mana ia memutuskan untuk tidak membunuhnya dengan pistol namun menantang dia untuk berkelahi dengan tangan kosong sebagai gantinya. Mad Dog akhirnya mengalahkan Jaka dan mengakhiri hidup Jaka dengan mematahkan lehernya. Sementara itu di apartemen Andi, Andi terungkap sebagai kakak Rama yang telah terasing dan memilih untuk meninggalkan keluarganya dengan tidak meninggalkan jejak keberadaannya. Andi menolak untuk pulang ke keluarganya, namun berjanji untuk mengeluarkan Rama dari gedung maut tersebut setelah memastikan situasi aman. Tak disangka, saat kembali untuk melapor pada Tama, Tama ternyata telah mengetahui pengkhianatan Andi karena kamera tersembunyi yang merekam Andi saat menyembunyikan Rama. Tama dengan marah menyerahkannya ke Mad Dog (yang sudah membenci Andi) untuk disingkirkan. Rama bergabung kembali dengan Letnan Wahyu dan Dagu. Mereka memutuskan satu-satunya jalan keluar dari gedung maut tersebut adalah dengan membekuk Tama dan menggunakannya sebagai tiket keluar mereka. Mereka bertiga kemudian bertempur dengan tangan kosong melalui laboratorium narkotika menuju ke markas besar Tama di lantai 15. Dalam perjalanan ke atas, Rama menemukan sebuah ruangan di mana Andi tergantung pada rantai dan sedang dipukuli oleh Mad Dog. Saat ia masuk, Mad Dog menurunkan rantai membiarkan Rama membebaskan Andi. Mereka berdua kemudian bertarung sengit bekerja sama melawan 43 Mad Dog, tetapi kekuatan Mad Dog terlalu besar. Rama hampir dijemput ajal saat Mad Dog hendak mematahkan lehernya, namun digagalkan oleh Andi. Rama dan Andi akhirnya berhasil mengalahkan Mad Dog menggunakan sepotong pecahan dari tabung lampu neon. Sementara itu, Wahyu dan Dagu berhadapan dengan Tama, tetapi Wahyu malah tiba-tiba menembak Dagu, menyandera Tama sebagai tiket keluarnya dari gedung maut tersebut. Kemudian, Rama dan Andi berpapasan dengan mereka berdua di tangga, tapi Wahyu menembakkan peluru pada mereka, menyuruh mereka untuk tidak ikut campur. Tama menggertak Wahyu bahwa ia hanyalah seorang polisi kotor dalam sebuah satuan kepolisian yang secara keseluruhan telah sangat korup, di mana banyak perwira atas sudah dibayar oleh Tama. Tama juga mengungkapkan bahwa dia telah mengetahui misi maut tersebut dari atasan Wahyu, dan walaupun Wahyu berhasil lolos dari gedung tersebut, atasannya akan mengatur supaya Wahyu ditangkap atau dibunuh. Wahyu malah marah dan dengan kalap mengakhiri omongan Tama dengan menembak kepala gembong penjahat tersebut. Wahyu yang putus asa berupaya bunuh diri dengan pistolnya, namun gagal karena dia kehabisan peluru dan ditangkap tanpa perlawanan oleh Rama. Andi yang sekarang berada di posisi menggantikan Tama, memberitakan bahwa situasi telah aman dan menyuruh penghuni apartemen untuk kembali ke kamar mereka masing-masing. Ia memberikan Rama sebuah kotak yang berisikan informasi tentang daftar hitam polisi korup, memberitahu saudaranya bahwa tidak setiap polisi itu 44 busuk, dan memberikan nama salah satu perwira kepolisian yang adalah orang yang baik untuk diberikan daftar hitam tersebut. Andi kemudian berjalan dengan Rama, Bowo dan Wahyu yang diikiat keluar dari gedung, tapi menolak tawaran Rama bergabung dengan mereka. Andi kembali ke gedung sementara Rama berjalan keluar gerbang, menuju masa depan yang tak pasti. 2. Tentang Gareth Evans Gambar 2.1 Sutradara Film The Raid Gareth Huw Evans adalah sutradara film dari Wales yang aktif di perfilman Indonesia. Dia paling dikenal karena menemukan aktor laga Iko Uwais dan melambungkan nama Iko dalam film-filmnya yang menjadi terkenal secara global, seperti Merantau (2009) dan Serbuan Maut (2011). 45 Gareth adalah alumnus jurusan film di Universitas Cardiff dan penulisan skenario di Universitas Glamorgan. Istri Gareth adalah seorang berdarah Jepang – Indonesia yang berdomisili di Jakarta. Gareth pertama kali menyutradarai film pendek “Samurai Monogatari” pada tahun 2003 yang menceritakan tentang kisah seorang samurai yang menunggu untuk dieksekusi. Cerita tersebut menggunakan bahasa Jepang dan ditampilkan oleh mahasiswa dari Tokyo yang sedang belajar di Universitas Cardiff pada saat itu. Pada tahun 2003, Gareth lulus dengan gerlar MA pada jurusan penulisan skenario untuk film dan televisi di Universitas Glamorgan. Pada tahun 2006 produksi pertamanya “Footsteps” dipertunjukkan di festival film Swansea Bay dan mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik. Karier filmnya di Indonesia dimulai ketika dia menyutradarai film dokumenter untuk Christine Hakim, seorang aktris Indonesia, dengan judul “Mystic Arts of Indonesia : Pencak Silat”. Film dokumenter yang disutradarainya ini adalah salah satu dari lima episode yang memunculkan budaya warisan Indonesia dan dirilis pada tahun 2008. 3. Credit / Cast & Crew The Raid Screenwriter : Gareth Evans Director : Gareth Evans Action Director : Gareth Evans Editor : Gareth Evans 46 Producer : Ario Sugantoro Executive Producer : Irwan D. Mussry, Nate Bolotin, Rangga Maya Barrack Evans, Todd Brown Line Producer : Daiwanne Ralie Original Music : Mike Shinoda, Joseph Trapanese Cinematography : Matt Flannery, Dimas Imam Subhono Art Director : T. Moty D. Setyanto First Assistant Director : Dondy Adrian Set Builder : M. Aji, Geor, Ginawan, Imam, Karmiadi, Muin, Ridwan, Tohar Set Dresser : Syahidan Arief, Daniel Christian, Reza Akmal Syah, M. Syarifudin Designer Original Poster : Omar Orn Hauksson Property : Kibo Hikmah, Zulfahmy Art Finance : Gemi Nuramdhiani Property Master : Ekki M. Nurutama, Andi Setiawan Graphic Designer : Jafar Shiddiq Sound Mixer : Bonar Abraham, Aria Prayogi, Jack Simanjuntak, Sandika Widjaja, Fajar Yuskemal Boom & Cable Puller : R. Asep Allawi Boom Operator : Syaiful Anwar Sound Designer : Aria Prayogi, Fajar Yuskemal Production Sound : Suhadi Arthur 47 Additional Sound re-recording Mixer : Ethan Beigel Sound Recordist : Paul Hammond Mock Up Special Effect : Rizky Jay Ardana, Sumiadi Idris Armoury Mock Up : Use Badhu, Iwan Gunawan, Yudi M Nugraha Special Effects : Fadlan, Mukri, Imam D Santoso, Untung Sepriana, Sugeng, Sumanto, Wanto Visual Effect Artist : Andi Novianto As. Visual Effect Artist : Didik Juwandi A, Budi Alam, Idris Azhari, Modestus Darwis, Hadibowo, Eduard Hakim, Firman Husani, Hendra Nurdiansyah, Erik Rahmadi, Eri Rahman, Hendarto Raksajaya, Septa A Rismanto, Edi Sanjaya, Helmi Setiawan, Markus Sinaga, Herry Suntoro, Arifin Tata, Ardi. Action Choreographer : Gareth Evans, Yayan Ruhian, Iko Uwais Stunt Coordinator : Eka Rahmadia, Esa W Sie, Yandi Sutsina Stunt Performer : Rama Ramadhan Videographer : Dody Amaya, Erwin Sujatmiko, Supardi Card Loader : Miller Anderson Situmorang, Yayat Abdul Soleh Special Rigging : Fahri Anugrah, Saripudin, Niman Syafari, Yudi Grip : Yuli Arfan, Berliyonda, Nana Suhana Generator Operator : Rully Chaniago Photographer : Gunawan Dharmaputra, Mufti Nur Khrom, Ewet Akhirwan N, Gumilar Triyoga 48 Assistant Camera : Wahyudi Fouriestia, Helmi Focus Puller : Wahyudi Fouriestia, Helmi Lighting Technician : M Priyatna, Putra Marbun, Winarto Gaffer : Harotno Maskot Casting As. Performer : Fadiptya Hadi, Yoghi AM Casting Director Action : Melisa Hana K, Aji Muslim Roles Talent Coordinator : Adi Nurahman, Deary Yunda Wardrobe Supervisor : Upay Maryani Editing Supervisor : Andi Novianto Asistant Editor : Yayat Abdul Soleh Color Timer : Gilbert Carreras Supervising Music Editor : Brian Richards Music Editor : Bruno Roussel Music Supervisor : Kier Lehman Co-Production : Oke Bayuaji, Hesti Purwaningsih, Suhendar Production As. : Harry Dharyanto, Hirup Hadi Office As. : Adam G Damanik, Abdul Goffar, Wahidi Location Manager : Agus Sunaryo Script Supervisor : Abdul Rohim M Jannah Legal Advisor (Makes & Partners) : Lenggo G Leiwakabessy Script Translator : Sinar Ayu Massie Office Production : Intan Melvina, Hesti Purwaningsih Behind The Scene Interviewer : Hesti Purwaningsih 49 B. Sejarah dan Perkembangan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin Keberadaan Jurusan Ilmu Komunikasi diawali dengan berdirinya sebuah Perguruan Tinggi Swasta dengan nama Perguruan Tinggi ‘Pers dan Publisiteit’ pada tahun 1960-an di Makassar. Hal ini diawali dengan kekhawatiran mahasiswa yang menjalani studi pada “Akademi Kewartawanan” yang dikelola oleh Universitas Sawerigading. Mereka khawatir karena akademi ini nantinya akan mencetak wartawan berpendidikan tinggi yang memiliki proses belajar mengajar yang kurang efektif antara lain seperti dosen yang tidak pernah hadir, dan masalahmasalah lainnya. Permasalahan tersebut akhirnya mencuak melalui gerakan yang dilakukan mahasiswa dengan keinginan untuk normalisasi akademik. Gerakan tersebut dipelopori oleh dua orang mahasiswa yaitu A.S. Achmad dan Abdullah Suara. Pernyataan Rektor Universitas Sawerigading yang saat itu dijabat oleh Prof. Nurdin Syahadat bersama Dekan Akademik yang dijabat oleh Idrus Effendi dalam menanggapi permasalahan tersebut karena tidak adanya dana. Akhirnya kedua mahasiswa tersebut sepakat mengajukan permintaan dana pada Panglima Kodam M. Yusuf. Permintaan mereka terpenuhi dengan syarat dana dalam bentuk uang tersebut harus dikelola secara khusus. Kedua mahasiswa tersebut akhirnya menghadap kepada rektor untuk menyerahkan 50 dana beserta persyaratan yang diajukan. Namun ternyata mereka dipecat melalui keputusan rektor. Kedua mahasiswa tersebut kemudian menghubungi Idrus Effendi dan menyampaikan ide dan keinginan mereka untuk mendirikan sebuah perguran tinggi swasta baru. Dengan diawali oleh pembentukkan yayasan baru, dengan ketua Idrus Effendi dan disahkan di depan notaris M. Zulkarnaen. Akhirnya terbentuklah sebuah perguruan tinggi ‘Pers dan Publisteit’ Sulawesi. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan kader wartawan yang berpendidikan tinggi. Jumlah mahasiswanya sebanyak 100 orang. Dengan tempat perkuliahan di sebuah gedung di jalan Riburane (sekarang Kantor Pembantu Gubernur Wilayah III Makassar). Tetapi tidak lama kemudian, Panglima M. Yusuf saat itu juga sudah menyelesaikan izin di pusat untuk membuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Perguruan Tinggi ‘Pers dan Publisteit’ akhirnya melebur kedalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Publisteit. Orang pertama kali memimpin jurusan Publisteit adalah G.R Pantou. Program Studi Pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin Dalam perkembangan selanjutnya, Jurusan Publisteit kemudian berganti nama menjadi Jurusan Ilmu Komunikasi. Jumlah program studi yang telah dikembangkan mengalami penambahan dan pengurangan, sesuai kurikulum yang dilaksanakan. Untuk saat ini kurikulum yang berlaku adalah 51 2009/2010. Adapun nama-nama dosen yang mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi antara lain sebagai berikut: NO. Nama NIP 1. Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc. 195204121976031017 2. Dr. Muh. Nadjib, M.Ed., M.lib. 195403061978031002 3. Drs. Abdul Gaffar, M.Si. 195702271985031003 4. Prof. Dr. Alimuddin Unde, M.Si. 196201181987021001 5. Dr. H. Muhammad Farid, M.Si. 196107161987021001 6. Dr. Jeanny Maria Fatimah, M.Si. 195910011987022001 7. Drs. Kahar, M.Hum. 195910101985031005 8. Dr. Hasrullah, MA. 196203071988111002 9. Drs. Mursalim, M.Si. 196004201989031001 10. Drs. Sudirman Karnay, M.Si. 196410021990021001 11. Dr. Moeh. Iqbal Sultan, M.Si. 196312101991031002 12. Dr. H. Muh. Akbar, M.Si. 196506271991031004 13. Drs. H. Aswar Hasan, M.Si. 196308171992021001 14. Drs. Syamsuddin Aziz, M.Phil. 196304251993031003 15. Muliadi Mau, S.Sos., M.Si. 197012311998021002 16. Sitti Murniati Mukhtar, S.Sos., S.H. 196610132000032001 17. Alem Febri Sonni, S.Sos., M.Si. 197402232001121002 18. Andi Subhan Amir, S.Sos., M.Si. 197705252003121003 19. Dr. Tuti Bahfiarti, S.Sos., M.Si. 197306172006042001 20. Das’ad Latief, S.Sos., S.Ag., M.Si. 197306172006042001 21. Indrayanti, S.Sos., M.Si. 197603292010122002 52 Berdasarkan kurikulum tersebut, Jurusan Ilmu Komunikasi mengembangkan misi untuk menghasilkan Sarjana Strata 1 yang memiliki bekal, kemampuan pengolahan dan pelaksanaan dalam bidang-bidang jurnalistik (kewartawanan) dan Public Realtions (kehumasan). Demikian pula mampu menghasilkan produktivitas perhatian yang bersifat mengembangkan aspek teoritis, praktisi, dan analisis komprehensif serta pemecahan masalah berdasarkan bidang masing-masing. Melaksanakan pengabdian masyarakat yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan sesuai bidang studi. Saat ini Jurusan Ilmu Komunikasi berdasarkan kurikulum yang berlaku, mengembangkan dua konsentrasi, yaitu: 1. Program Studi Jurnalistik (Kewartawanan) 2. Program Studi Public Relations / Kehumasan Keluaran sarjana S1 Ilmu Komunikasi diharapkan memiliki kemampuan penguasaan dalam bidang analisis komunikasi, antara lain: 1. Memiliki pengetahuan yang baik tentang kelembagaan (institutional setting) 2. Mampu menerjemahkan konsep-konsep pembangunan dalam bahasa yang praktis dan mudah diserap. 3. Mampu memahami tingkah laku manusia, memiliki adaptabilitas, keluwesan, keinovatifan dalam berfikir dan bersikap. 4. Memiliki pendekatan kreatif dalam pemecahan masalah. 5. Tanggap dan peka terhadap perkembangan lingkungan. 53 Di atas telah dijelaskan mengenai tujuan-tujuan khusus yang ingin dicapai oleh Jurusan Ilmu Komunikasi. Berikut ini akan diuraikan mengenai tujuan program studi pada Jurusan Ilmu Komunikasi sesuai dengan tertulis pada kurikulum yang berlaku: 1. Jurnalistik a. Menguasai pengetahuan dan keterampilan khusus dunia kewartawanan dan komunikasi massa pada umumnya. b. Memahami dengan baik organisasi dan teknik bekerjanya media kontemporer (elektronik/cetak) serta perangkat-perangkat kerasnya (hardware). c. Mampu menerapkan dan mengembangkan jurnalistik pembangunan dan jurnalisme lain yang berorientasi terhadap keobyektifan fakta dan kebenaran. d. Dapat memimpin dan mengelola organisasi perusahaan siaran (media massa) khususnya dalam bidang perangkat lunak (software). e. Menguasai dengan baik berbagai teknik penulisan kreatif (creative writing) dan pelaporan jurnalistik (jurnal report). 2. Public Relations a. Memiliki kemampuan analisis kebijaksanaan dan perencanaan Public Relations / Kehumasan (skill human relation). b. Menguasai kemampuan human relation. c. Menguasai penggunaan berbagai saluran komunikasi massa secara efektif. 54 d. Mampu menjadi komunikator dan mediator berbagai instansi ke dalam dan keluar negeri (internal dan eksternal). e. Sanggup memimpin dan mengelola sumber-sumber informasi yang berhubungan bagi kegunaan instansinya. f. Terampil dalam mengelola dan melaksanakan kegiatan promosi dan periklanan. g. Mampu berperan sebagai Manager Public Relations yang menjunjung tinggi hak etik. Fasilitas laboratorium Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP-Unhas sebagai berikut: a. Laboratorium Radio b. Laboratorium Komputer c. Laboratorium Produksi Siaran TV d. Laboratorium Photografi e. Ruang Baca f. Pemancar Radio g. Kamera Video h. Kamera Foto i. Komputer : 15 unit j. Printer : 2 unit 55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sesuai dengan judul penelitian yaitu, “Tanggapan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin terhadap Isu Kekerasan pada Film The Raid”, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanggapan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi terhadap isu kekerasan yang ada pada film The Raid dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi mahasiswa dalam menonton film tersebut. Penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner dan observasi mendalam. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan sejumlah daftar pertanyaan kepada responden berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan pada BAB I. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi dari angkatan 2008 sampai dengan angkatan 2011. Jumlah responden yang menjadi sampel diperoleh dengan menggunakan tabel penentuan jumlah sampel Isaac dengan jumlah 123 responden. Untuk lebih jelasnya maka hasil penelitian ini dapat kita lihat pada tabel-tabel di bawah ini: 56 1. Identitas Responden 1.1 Angkatan Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Angkatan N = 123 Angkatan 2008 2009 2010 2011 Total Frekuensi 20 24 28 51 123 Persentase 16.3 19.5 22.8 41.5 100.0 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Berdasarkan tabel 4.1 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah responden angkatan 2011 sebanyak 51 responden (41,5%), disusul responden angkatan 2010 sebanyak 28 responden (22,8%), responden angkatan 2009 sebanyak 24 responden (19,5%), dan responden angkatan 2008 sebanyak 20 responden (16,3%). 1.2 Usia Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia N = 123 Usia 17 – 18 Tahun 19 – 20 Tahun 21 – 22 Tahun 23 – 24 Tahun Total Frekuensi 3 65 47 8 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Persentase 2.4 52.8 38.2 6.5 100.0 57 Berdasarkan tabel 4.2 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang berusia 19-20 tahun berada pada persentase tertinggi yaitu sebanyak 65 responden (52,8%), kemudian responden berusia 21-22 tahun yaitu sebanyak 47 responden (38,2%), disusul yang berusia 2324 tahun sebanyak 8 responden (6,5%), serta responden yang berumur 17-18 tahun sebanyak 3 responden (2,4%). 1.3 Jenis Kelamin Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin N = 123 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Frekuensi 60 63 123 Persentase 48.8 51.2 100.0 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Berdasarkan tabel 4.3 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa responden perempuan berada pada persentase tertinggi yaitu sebanyak 63 responden (51,2%), responden (48,8%). kemudian responden laki-laki sebanyak 60 58 2. Frekuensi Menonton Film The Raid 2.1 Frekuensi Menonton Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Menonton N = 123 Frekuensi Menonton 1 kali 2 – 3 kali 4 – 5 kali > 5 kali Total Frekuensi 77 38 3 5 123 Persentase 62.6 30.9 2.4 4.1 100.0 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Berdasarkan tabel 4.4 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase terbesar mengenai frekuensi menonton adalah frekuensi menonton 1 kali sebanyak 77 responden (62,6%), kemudian frekuensi menonton 23 kali sebanyak 38 responden (30,9%), disusul frekuensi menonton lebih dari 5 kali sebanyak 5 responden (4,1%), serta frekuensi menonton 4-5 kali sebanyak 3 responden (2,4%). 2.2 Penggunaan Media Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Media N = 123 Penggunaan Media Bioskop VCD DVD Lainnya Total Frekuensi 73 1 15 34 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Persentase 59.3 8 12.2 27.6 100.0 59 Berdasarkan tabel 4.5 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah dengan menggunakan media bioskop sebanyak 73 responden (59,3%), kemudian menggunakan media lainnya seperti: mengunduh file film dari internet dan menonton di televisi sebanyak 34 responden (27,6%), disusul dengan penggunaan DVD sebanyak 15 responden (12,2%), serta penggunaan VCD sebanyak 1 responden (0,8%). 2.3 Perolehan DVD/VCD Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Perolehan VCD/DVD N = 123 Perolehan VCD/DVD Menyewa di rental Meminjam teman Membeli Frekuensi 4 10 2 107 Lainnya (bioskop) Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Persentase 3.3 8.1 1.6 87.0 100.0 Berdasarkan tabel 4.6 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah meminjam DVD di teman sebanyak 10 responden (8,1%), kemudian menyewa di rental dan membeli sebanyak 2 responden (1,6%). 60 3. Pengetahuan Responden Terhadap Isu Kekerasan pada Film The Raid 3.1 Penayangan Unsur Kekerasan Tabel 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Penayangan Unsur Kekerasan N = 123 Penayangan Unsur Kekerasan Sangat Banyak Banyak Cukup Banyak Frekuensi 54 53 13 2 Tidak Banyak Sangat Tidak Banyak 1 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Persentase 43.9 43.1 10.6 1.6 0.8 100.0 Berdasarkan tabel 4.7 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase terbesar mengenai penayangan unsur kekerasan pada film The Raid sebanyak 54 responden (43,9%) menyatakan sangat banyak, disusul sebanyak 53 responden (43,1%) menyatakan banyak, kemudian 13 responden (10,6%) yang menyatakan cukup banyak, lalu 2 responden (1,6%) yang menyatakan tidak banyak, serta 1 responden (0,8%) yang menyatakan sangat tidak banyak penayangan unsur kekerasan. 61 3.2 Persentase Penayangan Kekerasan Tabel 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Persentase Penayangan Kekerasan N = 123 Penayangan Unsur Kekerasan 90 – 100 (%) 70 – 80 (%) 50 – 60 (%) Frekuensi 27 77 14 4 30 – 40 (%) 10 – 20 (%) 1 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Persentase 22.0 62.6 11.4 3.3 0.8 100.0 Berdasarkan tabel 4.8 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai persentase penayangan unsur kekerasan pada film The Raid sebanyak 77 responden (62,6%) menyatakan 70-80% persentase penayangan unsur kekerasan, disusul sebanyak 27 responden (22,0%) menyatakan 90-100% penayangan unsur kekerasan, kemudian sebanyak 14 responden (11,4%) menyatakan 50-60% penayangan unsur kekerasan, lalu sebanyak 4 responden (3,3%) menyatakan 3040% penayangan unsur kekerasan, serta sebanyak 1 responden (0,8%) menyatakan 10-20% penayangan unsur kekerasan. 62 3.3 Penggunaan Bahasa atau Ungkapan Kasar Tabel 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Bahasa atau Ungkapan Kasar N = 123 Penggunaan Bahasa / Ungkapan Kasar Sangat Banyak Banyak Cukup Banyak Frekuensi 6 48 42 26 Tidak Banyak Sangat Tidak Banyak 1 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Persentase 4.9 39.0 34.1 21.1 0.8 100.0 Berdasarkan tabel 4.9 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai penggunaan bahasa / ungkapan kasar sebanyak 48 responden (39,0%) menyatakan banyak menggunakan bahasa / ungkapan kasar, disusul sebanyak 42 responden (34,1%) yang menyatakan cukup banyak menggunakan bahasa / ungkapan kasar, kemudian sebanyak 26 responden (21,1%) menyatakan tidak banyak penggunaan bahasa / ungkapan kasar, lalu sebanyak 6 responden (4,9%) menyatakan sangat banyak menggunakan bahasa / ungkapan kasar, serta 1 responden (0,8%) menyatakan sangat tidak banyak menggunakan bahasa / ungkapan kasar. 63 3.4 Penggunaan Benda Tajam / Senjata Api Tabel 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Benda Tajam / Senjata Api N = 123 Penggunaan Benda Tajam / Senjata Api Sangat Banyak Banyak Cukup Banyak Frekuensi 40 51 24 8 Tidak Banyak Sangat Tidak Banyak Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Persentase 32.5 41.5 19.5 6.5 100.0 Berdasarkan tabel 4.10 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai penggunaan benda tajam / senjata api sebanyak 51 responden (41,5%) yang menyatakan banyak meggunakan benda tajam / senjata api, disusul sebanyak 40 responden (32,5%) yang menyatakan sangat banyak menggunakan benda tajam / senjata api, kemudian 24 responden (19,5%) yang menyatakan cukup banyak menggunakan benda tajam / senjata api, serta sebanyak 8 responden (6,8%) yang menyatakan tidak banyak menggunakan benda tajam / senjata api. 64 3.5 Pengaruh Kondisi Psikologis Penonton terhadap Unsur Kekerasan Tabel 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Pengaruh Kondisi Psikologis Penonton N = 123 Pengaruh Kondisi Psikologis Penonton terhadap Unsur Kekerasan Sangat Setuju Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Frekuensi Persentase 8 56 28 29 6.5 45.5 22.8 23.6 2 123 1.6 100.0 Total Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 Berdasarkan tabel 4.11 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai pengaruh unsur kekerasan pada film The Raid terhadap kondisi psikologis penonton sebanyak 56 responden (45,5%) menyatakan bahwa setuju dapat mempengaruhi kondisi psikologi penonton, disusul 29 responden (23,6%) menyatakan tidak setuju dapat mempengaruhi kondisi psikologis penonton, kemudian 28 responden (22,8%) menyatakan ragu-ragu dapat mempengaruhi kondisi psikologis penonton, lalu 8 responden (6,5%) menyatakan sangat setuju unsur kekerasan pada film The Raid dapat mempengaruhi kondisi psikologi penonton, serta 2 responden (1,6%) menyatakan tidak setuju dapat mempengaruhi kondisi psikologis penonton. 65 4. Tanggapan Responden Terhadap Isu Kekerasan Pada Film The Raid 4.1 Film The Raid Identik dengan Kekerasan Tabel 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Film The Raid Identik dengan Kekerasan N = 123 Film The Raid Identik dengan Kekerasan Sangat Setuju Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Frekuensi Persentase 27 73 7 15 22.0 59.3 5.7 12.2 1 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 0.8 100.0 Berdasarkan tabel 4.12 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai keidentikan film The Raid terhadap kekerasan sebanyak 73 responden (59,3%) menyatakan setuju film The Raid identik dengan kekerasan, disusul sebanyak 27 responden (22,0%) menyatakan sangat setuju, kemudian sebanyak 15 responden (12,2%) menyatakan tidak setuju film The Raid identik dengan kekerasan, serta sebanyak 1 responden (0,8%) yang menyatakan sangat tidak setuju film The Raid identik dengan kekerasan. 66 4.2 Skenario Menonjolkan Unsur Kekerasan Tabel 4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Unsur Kekerasan pada Skenario N = 123 Unsur Kekerasan pada Skenario Film The Raid Sangat Banyak Banyak Ragu-ragu Tidak Banyak Sangat Tidak Banyak Frekuensi Persentase 14 70 31 11.4 56.9 25.2 8 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 6.5 100.0 Berdasarkan tabel 4.13 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai unsur kekerasan pada skenario film The Raid sebanyak 70 responden (56,9%) menyatakan banyak mengandung unsur kekerasan dalam skenario film The Raid, disusul sebanyak 31 responden (25,2%) menyatakan tidak banyak unsur kekerasan dalam skenario film The Raid, kemudian sebanyak 14 responden (11,4%) menyatakan sangat banyak unsur kekerasan pada skenario film The Raid, serta sebanyak 8 responden (6,5%) menyatakan sangat tidak banyak unsur kekerasan pada skenario film The Raid. 67 4.3 Unsur Kekerasan pada Kelogisan Film The Raid Tabel 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Unsur Kekerasan pada Kelogisan Film N = 123 Unsur Kekerasan pada Kelogisan Film The Raid Sangat Banyak Banyak Ragu-ragu Tidak Banyak Sangat Tidak Banyak Frekuensi Persentase 9 67 35 7.3 54.5 28.5 12 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 9.8 100.0 Berdasarkan tabel 4.14 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai unsur kekerasan dalam kelogisan cerita film The Raid sebanyak 67 responden (54,5%) menyatakan banyak mengandung unsur kekerasan dalam kelogisan film The Raid, disusul sebanyak 35 responden (28,5%) menyatakan tidak banyak mengandung unsur kekerasan dalam film The Raid, kemudian sebanyak 12 responden (9,8%) menyatakan sangat tidak banyak unsur kekerasan dalam kelogisan film The Raid, serta sebanyak 9 responden (7,3%) menyatakan sangat banyak mengandung unsur kekerasan dalam kelogisan film The Raid. 68 4.4 Unsur Kekerasan dalam Konflik yang Diciptakan Film The Raid Tabel 4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Unsur Kekerasan dalam Konflik yang Diciptakan N = 123 Unsur Kekerasan dalam Konflik yang diciptakan Film The Raid Sangat Banyak Banyak Ragu-ragu Tidak Banyak Sangat Tidak Banyak Frekuensi Persentase 16 66 32 14,6 53.7 26.0 7 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 5.7 100.0 Berdasarkan tabel 4.15 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai unsur kekerasan dalam konflik yang diciptakan oleh sutradara adalah sebanyak 66 responden (53,7%) menyatakan banyak mengandung unsur kekerasan dalam konflik yang diciptakan oleh sutradara pada film The Raid, disusul sebanyak 32 responden (26,0%) yang menyatakan tidak banyak mengandung unsur kekerasan pada konflik film The Raid, kemudian sebanyak 16 responden (14,6%) menyatakan sangat banyak mengandung unsur kekerasan pada konflik film The Raid, serta sebanyak 7 responden (5,7%) yang menyatakan sangat tidak banyak mengandung unsur kekerasan pada konflik yang diciptakan film The Raid. 69 4.5 Unsur Kekerasan dalam Pengadeganan/Penyutradaraan pada Film The Raid Tabel 4.16 Distribusi Responden Berdasarkan Unsur Kekerasan dalam Pengadeganan/Penyutradaraan N = 123 Unsur Kekerasan pada Pengadeganan/Penyutradaraan Sangat Banyak Banyak Ragu-ragu Tidak Banyak Sangat Tidak Banyak Frekuensi Persentase 18 74 27 4 14.6 60.2 22.0 3.3 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 100.0 Berdasarkan tabel 4.16 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai unsur kekerasan dalam pengadeganan / penyutradaraan pada film The Raid adalah sebanyak 74 responden (60,2%) menyatakan banyak unsur kekerasan dalam pengadeganan / penyutradaraan film The Raid, disusul sebanyak 27 responden (22,0%) menyatakan ragu-ragu akan unsur kekerasan dalam pengadeganan / penyutradaraan film The Raid, lalu sebanyak 18 responden (14,6%) menyatakan bahwa sangat banyak unsur kekerasan dalam pengadeganan / penyutradaraan film The Raid, serta sebanyak 4 responden (3,3%) yang menyatakan bahwa tidak banyak unsur kekerasan dalam pengadeganan / penyutradaraan film The Raid. 70 4.6 Kepantasan Unsur Kekerasan yang Ditampilkan pada Film The Raid Tabel 4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Kepantasan Penayangan Unsur Kekerasan pada Film N = 123 Kepantasan Penayangan Unsur Kekerasan pada Film Sangat Setuju Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju Frekuensi Persentase 8 48 46 21 6.5 39.0 37.4 17.1 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 100.0 Berdasarkan tabel 4.17 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai kepantasan penayangan unsur kekerasan pada film The Raid, sebanyak 48 responden (37,4%) menyatakan setuju akan pantasnya penyangan unsur kekerasan pada film The Raid, disusul sebanyakn 46 responden (37,4%) menyatakan ragu-ragu atas kepantasan penayangan unsur kekerasan pada film The Raid, kemudian sebanyak 21 responden (17,1%) menyatakan tidak setuju atas kepantasan penayangan unsur kekerasan pada film The Raid, serta sebanyak 8 responden (6,5%) menyatakan sangat setuju akan kepantasan penayangan unsur kekerasan pada film The Raid. 71 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Responden dalam Menonton Film The Raid 5.1 Hal yang Membuat Tertarik Menonton Film The Raid Tabel 4.18 Distribusi Responden Berdasarkan Hal yang Membuat Tertarik Menonton N = 123 Hal yang Membuat Tertarik Menonton Mengisi waktu luang Mencari hiburan Menambah pengetahuan Frekuensi Persentase 32 56 18 17 26.0 45.5 14.6 13.8 Lainnya Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 100.0 Berdasarkan tabel 4.18 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai hal apa yang membuat tertarik untuk menonton film The Raid sebanyak 56 responden (45,5%) menyatakan ketertarikan menonton film The Raid untuk mencari hiburan, disusul sebanyak 32 responden (26,0%) menyatakan ketertarikan menonton film The Raid untuk mengisi waktu luang, kemudian sebanyak 18 responden (14,6%) menyatakan ketertarikan menonton film The Raid adalah untuk menambah pengetahuan, serta sebanyak 17 responden (13,8%) menyatakan ketertarikan menonton film The Raid untuk lainnya seperti, pendapat dari orang lain mengenai film ini, perolehan penghargaan yang diajang festival film luar negeri, rasa penasaran, diajak menonton oleh teman, hobi menonton, dan genre film. 72 5.2 Faktor yang Menarik untuk Menonton Film Tabel 4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor yang Menarik untuk Menonton N = 123 Faktor yang Menarik untuk Menonton Sutradara Skenario Pemain Frekuensi Persentase 2 18 42 3 1.6 14.6 34.1 2.4 Seting Lokasi Isu / Kontroversi 43 Lainnya 15 Total 123 Sumber: Data Primer diolah dari kuisioner, 2013 35.0 12.2 100.0 Berdasarkan tabel 4.19 di atas sesuai hasil pengolahan data dari 123 responden dalam penelitian ini menunjukkan persentase terbesar mengenai faktor yang menarik untuk menonton film The Raid sebanyak 43 responden (35,0%) menyatakan faktor yang menarik untuk menonton film ini adalah isu / kontroversi, disusul sebanyak 42 responden (34,1%) yang menyatakan bahwa para pemain merupakan faktor yang menarik, kemudian sebanyak 18 responden (14,6%) yang menyatakan bahwa skenario merupakan faktor yang menarik, lalu sebanyak 15 responden (12,2%) menyatakan lainnya seperti: film seni bela diri, genre film, tema film, dan rasa ingin tahu sebagai faktor yang menarik, sebanyak 3 responden (2,4%) menyatakan seting lokasi sebagai faktor yang menarik, serta sebanyak 2 responden (1,6%) menyatakan sutradara sebagai faktor yang menarik untuk menonton. 73 B. Pembahasan Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggapan mahasiswa Ilmu Komunikasi terhadap isu kekerasan pada film The Raid dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian tanggapan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin terhadap isu kekerasan pada film The Raid. Dalam penelitian ini tanggapan dibutuhkan untuk mengetahui seberapa banyak unsur kekerasan yang ditampilkan dalam film ini, seberapa baik dan kurang baiknya dan seberapa besar manfaat dan kurang manfaatnya tayangan unsur kekerasan dalam film The Raid, apakah unsur-unsur yang terdapat di dalam film ini dapat mempengaruhi kondisi psikologis bagi yang menonton film dengan genre aksi laga tersebut. Dalam penelitian ini, penilaian terhadap isu kekerasan pada film The Raid ditinjau dari sudut pandang mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin karena mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi dianggap dapat memberikan tanggapan dan masukan terhadap isu kekerasan pada film The Raid karena ditinjau dari beberapa mata kuliah seperti Komunikasi Massa, Fotografi, Teknik Cinematografi, dan Produksi Media Audio Visual. Oleh karena itu, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin dianggap sebagai mahasiswa yang dapat memberikan tanggapan yang kritis dan masukan serta penilaian yang dapat meningkatkan kredibilitas mahasiswa dalam menonton film. 74 Berikut pembahasan mengenai tanggapan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin terhadap Isu Kekerasan pada Film The Raid dan faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam menanggapi Isu Kekerasan pada Film The Raid. A. Dari hasil penelitian dengan mengedarkan kuesioner kepada 123 responden mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin dengan point penilaian yaitu film The Raid identik / tidak dengan kekerasan, banyak atau tidaknya unsur kekerasan yang terkandung dalam skenario, kelogisan atau alur cerita, konflik yang diciptakan, pengadeganan / penyutradaraan, serta pantas / tidaknya unsur-unsur kekerasan tersebut ditampilkan dalam menonton film The Raid menyatakan bahwa banyak unsur kekerasan yang ditampilkan dalam film The Raid dengan berbagai alasan dan aspek. Tanggapan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin mengenai apakah film The Raid identik dengan kekerasan (pada tabel 4.12) menyatakan setuju bahwa film The Raid identik dengan kekerasan dengan persentase 59,3% ditambah dengan pernyataan sangat setuju yaitu dengan persentase 22,0%. Responden menyatakan bahwa unsur-unsur kekerasan dalam skenario yang ditonjolkan pada film The Raid banyak terkandung unsur kekerasan (pada tabel 4.13) dengan persentase 56,9%. Responden menyatakan bahwa unsur-unsur kekerasan dalam kelogisan atau alur cerita pada film The Raid banyak mengandung kekerasan (pada tabel 4.14) dengan persentase 56,9%. Rseponden menyataka bahwa unsur-unsur kekerasan dalam konflik yang diciptakan 75 pada film The Raid banyak mengandung kekerasan (pada tabel 4.15) dengan persentase 53,7%. Responden menyatakan bahwa unsur-unsur kekerasan dalam pengadeganan / penyutradaraan pada film The Raid banyak mengandung kekerasan (pada tabel 4.16) dengan persentase 60,2%. Sebagian besar responden menyatakan bahwa mereka setuju akan pantasnya unsur-unsur kekerasan yang ditampilkan dalam film The Raid (pada tabel 4.17) dengan persentase 39,0%, namun beberapa responden menjawab ragu-ragu akan unsur kekerasan yang ditampilkan dalam film The Raid dengan persentase 37,4%. B. Faktor-faktor yang mempengaruhi responden dalam menanggapi Isu Kekerasan pada film The Raid. Beberapa faktor yang menunjang yang dapat mempengaruhi responden dalam menanggapi isu kekerasan pada film The Raid ialah berdasarkan angkatan, umur, jenis kelamin serta hobi. Tujuan menonton film The Raid (pada tabel 4.18) dari 123 responden, keseluruhuan menyatakan bahwa tujuannya dalam menonton film The Raid adalah guna untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan dengan persentase tertinggi 45,5%, lalu mengisi waktu luang dengan urutan persentase kedua yaitu 26,0%. 76 Komunikasi adalah proses pengiriman pesan antara sumber pesan (komunikator) ke penerima pesan (komunikan) dengan timba balik (dua arah). Jika seseorang menyampaikan pesan kepada orang lain dan orang itu memberikan respon, maka proses komunikasi dapat dikatakan berlangsung. Komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca / pendengar / penonton yang akan coba diraihnya, dan efeknya terhadap mereka. Tiap responden memiliki cara yang berbeda-beda dalam memberikan tanggapan. Seseorang akan mempresepsi sesuatu ketika dia memperhatikan hal tersebut dan perhatian akan timbul ketika salah satu alat indera menonjol dan mengesampingkan stimulus yang timbul dari alat indra lainnya. Dalam penelitian ini, yang menjadi dasar atau pijakan teori yaitu teori Uses and Gratifications yang menyatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya, teori uses and gratifications mengasumsikan bahwa pengguna mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Dalam teori ini ditekankan bahwa audien aktif untuk menentukan media mana yang harus dipilih untuk memuaskan kebutuhannya. Menurut pendapat teori ini, konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana (lewat media mana) mereka menggunakan 77 media itu akan berdampak pada dirinya. Teori ini juga menyatakan bahwa media dapat mempunyai pengaruh jahat dalam kehidupan. Teori ini mengajukan gagasan bahwa perbedaan individu menyebabkan audien mencari, menggunakan dan memberikan tanggapan terhadap isi media secara berbeda-beda, yang disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan psikologis yang berbeda di antara individu dan audien. Dalam model teori uses and gratifications, memfokuskan perhatian pada responden sebagai konsumen media massa dan bukan pada pesan yang disampaikan. Fokus perhatian responden sebagai konsumen media massa di sini menyatakan bahwa penayangan unsur kekerasan pada film The Raid sangat banyak (tabel 4.7) dengan persentase 43,9% dengan ditambah responden yang menyatakan banyaknya penayangan unsur kekerasan pada film The Raid dengan persentase 43,1%. 78 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari penelitian yang penulis lakukan dengan menggunakan metode Kuantitatif Deskriptif kepada responden dengan kriteria yang telah ditentukan yaitu dengan membagikan sejumlah pertanyaan dalam bentuk kuesioner terkait dengan isu kekerasan pada film The Raid, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Tanggapan mengenai film The Raid dengan genre aksi laga bahwa, dalam film ini banyak terdapat isu kekerasan, baik dari segi skenario (dapat dilihat pada tabel 4.13), kelogisan / alur cerita (pada tabel 4.14), konflik yang diciptakan (pada tabel 4.15), serta pengadeganan / penyutradaraan (pada tabel 4.16) sehingga film ini jelas identik dengan kekerasan. Responden juga menyatakan bahwa penggunaan bahasa / ungkapan kasar (pada tabel 4.9) dan penggunaan benda tajam / senjata api (pada tabel 4.10) besar kemungkinan dapat mempengaruhi kondisi psikologis bagi yang menonton, sehingga film ini identik dengan kekerasan. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi responden dalam ketertarikan utuk menonton film ini adalah guna untuk mencari hiburan, sedangkan faktor 79 yang menarik dari film ini untuk ditonton adalah isu / kontroversi yang terdapat pada film ini. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti memiliki saran yang diharapkan dapat berguna dan bermanfaat yaitu, apapun media yang ingin digunakan sebagai penyampai pesan dan informasi kepada khalayaknya harus berangkat pada pemikiran seberapa efektif media tersebut dapat menyalurkan informasi sekalipun namun peristiwa hingga kejadian lintas dunia pun mampu kita ketahui. 80 DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro. 2004. Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Baran, Stanley J. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950. Depok: Komunitas Bambu. Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana. Cangara, Hafied. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Effendy, Heru. 2008. Industri Perfilman Indonesia. Jakarta: PT. Erlangga. Effendy, Onong Uchjana. 1990. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Eriyanto. 2011. Analisis Isi Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hendrarti, I.M & Herudjati Purwoko. 2008. Aneka Sifat Kekerasan (Fisik, Simbolik, Birokratik & Struktural). Jakarta: PT. Indeks. Jhon, Little. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta Selatan: Salemba Humanika. Kriyantono, Rachmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. McQuail, Dennis. 1989. Teori Komunikasi Massa (Edisi Kedua). Jakarta: Erlangga. Morissan, Dkk. 2010. Pengantar Komunikasi Massa. Bogor: Ghalia Indonesia. Mulyana, Deddy. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 81 Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Prasetyo, Bambang & Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta. Homerian Pustaka. Severin, J Werner & James W. Tankard, Jr. 2008. Teori Komunikasi Massa Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media. Edisi kelima. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT. Gramedia. Suprapto, Tommy. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: CAPS. Rakhmat, Jalalluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rivers, W.L & Jay Peterson. 2008. Media Massa & Masyarakat Modern. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Edisi Kedelapan. Jakarta: Kencana. Wimmer, Roger D & Joseph R Dominick. 1991. Mass Media Researh. Edisi Ketiga. California: Wodsworth Publishing Company. http://id.www.wikipedia.org/wiki/film_action http://id.wikipedia.org/wiki/The_Raid http://theraid_movie.blogspot.com http://imdb.com/title/tt1899353/fullcredits http://fandango.com/theraid:redemption http://rollingstone.co.id