PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN : STUDI KASUS KOMERSIALISASI GANTANGAN DI TIGA DESA MISKIN SUBANG YANU ENDAR PRASETYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis Pertukaran Sosial di Pedesaan : Studi Kasus Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2012 Yanu Endar Prasetyo I 353100031 ABSTRACT YANU ENDAR PRASETYO. Social Exchange In Rural Communities : Case Study Of “Gantangan” Commercialization In The Three Poor Villages in Subang West Java. Under direction of TITIK SUMARTI, NURAINI W. PRASODJO and AKMADI ABBAS Gantangan is a social exchange system that develops from the rural traditional custom in Subang regency, West Java. Through this Gantangan we can see how the general reciprocity in rural societies transformed into balanced reciprocity, social exchange and lead to social commercialization. Gantangan that thrive in this traditional celebration party (pesta hajatan) arena is a phenomenon that reflects the changing values in the rural communities into individualistic and contractual exchange. The study purpose is to analyze the transformation of the pattern of Gantangan in three villages which have different poor sociodemographic characteristics, that is in the coastal area (North Subang), lowlands (Central Subang) and uplands (South Subang). The results of this study found the existence of three patterns of exchange in each community, namely: type A (nyambungan), type B (gintingan), type C (golongan). Commercialization rate realized in several stages, including the commercialization on stage 1 (the commodification of traditional-celebration party) and the commercialization on stage 2 (rent seeking). Keywords : commercialization, gantangan, reciprocity, social exchange, rural, subang RINGKASAN YANU ENDAR PRASETYO. Pertukaran Sosial di Pedesaan : Studi Kasus Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI, NURAINI W. PRASODJO dan AKMADI ABBAS Gantangan adalah sistem pertukaran sosial yang terbangun dari kebiasaan atau tradisi nyumbang di pedesaan Subang, Jawa Barat. Dari sistem pertukaran sosial Gantangan ini kita dapat melihat bagaimana resiprositas umum di dalam masyarakat berubah menjadi resiprositas sebanding, pertukaran sosial hingga munculnya komersialisasi sosial. Pertukaran sosial Gantangan yang berkembang dalam arena pesta hajatan ini adalah fenomena yang merefleksikan perubahan nilai solidaritas dan pola relasi sosial di dalam masyarakat pedesaan yang semakin individualistik dan kontraktual. Studi ini mencoba untuk melihat bagaimana perubahan pola pertukaran sosial Gantangan ini di tiga desa miskin yang memiliki perbedaan karakteristik sosio-demografis, yaitu di daerah pesisir (Subang Utara), dataran rendah (Subang Tengah) dan daerah perbukitan (Subang Selatan). Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain wawancara kelompok terfokus, wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi audio-visual. Proses komersialisasi sosial di pedesaan yang tercermin dalam sistem pertukaran Gantangan ini ternyata terjadi beriringan dengan perubahan nilainilai masyarakat pedesaan yang kolektif-idealistik menjadi individualmaterialistik. Perubahan ini menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pada komunitas miskin di pedesaan Subang, baik di pesisir, dataran rendah maupun perbukitan/pegunungan. Proses perubahan tersebut dapat digambarkan melalui tipe-tipe resiprositas yang berkembang, yaitu mulai melunturnya pemberian murni (gift) sebagai ciri gotong royong dan semakin meningkatnya resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dalam pesta hajatan dan pertukaran Gantangan. Munculnya sistem pencatatan Gantangan (hutang-piutang), komodifikasi hajatan (perubahan nilai anak, beras, dan uang) dan masuknya bandar hajatan semakin mempertegas bahwa pesta hajatan dan Gantangan di pedesaan Subang ini telah berubah fungsi dari sekedar raramean (seremonial) menjadi pasar dalam sistem ekonomi lokal. Hasil dari studi ini menemukan adanya tiga pola dalam sistem pertukaran Gantangan yang eksis secara bersamaan di masingmasing komunitas, yaitu tipe A (Non-Gantangan/Nyambungan), tipe B (Gantangan umum/Gintingan) dan tipe C (Gantangan khusus/Golongan). Pesta hajatan dan pertukaran Gantangan di pedesaan Subang ini tetap eksis karena tradisi ini juga memiliki manfaat sosial (simbolik) dan ekonomi yang cukup signifikan bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa motivasi personal dan fungsi sosial dari pertukaran Gantangan ini antara lain : Hayang kapuji (ingin dipuji), Hayang Kasohor (ingin terkenal), Hayang ditarima lingkungan (kontrol sosial), Hayang katingali (ingin dilihat/kebanggaan), Loba babaturan (banyak teman), Silih bantu (resiprositas), Raramean & Ngabring. Sedangkan fungsi ekonomi dari Gantangan ini adalah untuk Nyimpen (nabung), Ngarep untung (leuwinhna), Itungitung Arisan, Neangan modal (mencari pinjaman modal), Ngagolangkeun simpenan (memutar simpanan), Teu sampai potol (jangan sampai rugi) dan sebagai sumber penghasilan tambahan. Model teori permainan yang digunakan untuk menganalisis interaksi sosial dalam pertukaran sosial Gantangan ini menunjukkan bagaimana kecenderungan ekonomi tersebut, yaitu Gantangan sebagai suatu kegiatan investasi. Sehingga, meskipun selama ini ruang ekonomi dan ruang sosial dianggap bertentangan satu sama lain, namun rekonsilisasi keduanya justru nampak jelas secara empiris dalam fenomena pertukaran sosial Gantangan ini. lebih dari itu, pola pertukaran semacam ini sesungguhnya dapat diterapkan dalam tradisi-tradisi lain (dengan beberapa konsensus tertentu yang tidak memberatkan) sebagai senjata bagi kehidupan tradisional masyarakat pedesaan dalam menghadapi kapitalisme modern. Kata Kunci : komersialisasi, gantangan, resiprositas, pertukaran sosial, pedesaan, subang © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; untuk pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN : STUDI KASUS KOMERSIALISASI GANTANGAN DI TIGA DESA MISKIN SUBANG Oleh : YANU ENDAR PRASETYO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Judul Tesis : Pertukaran Sosial di Pedesaan : Studi Kasus Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang Nama : Yanu Endar Prasetyo NIM : I353100031 Disetujui : Komisi Pembimbing Dr. Ir. Titik Sumarti, MS Ketua Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS M.Eng.Sc Anggota Dr. Ir. Akmadi Abbas, Anggota Diketahui : Koordinator Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 19 September 2012 Tanggal Lulus : ………………….. PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allas SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Desember 2011 ini adalah Pertukaran Sosial dan Kemiskinan di Pedesaan dengan judul “Pertukaran Sosial di Pedesaan Studi Studi Kasus Komersialisasi Gantangan Tiga Desa Miskin di Kabupaten Subang Jawa Barat”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS, Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS dan Dr. Ir. Akmadi Abbas M.Eng. Sc selaku pembimbing, serta mas Hokky Situngkir dari Bandung Fe Institut yang telah memperkaya tesis ini dengan perspektif sosiologi komputasional. Selain itu, penulis memberikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa penuh kepada penulis, juga kepada Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI Subang sebagai tempat pengabdian penulis selama ini. Penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari Tita Irama Susilawati dan Didi S. Sopyan yang telah membantu dalam pengumpulan data dan juga dukungan dari seluruh aparat desa, tokoh masyarakat dan warga di Desa Jayamukti (Kec. Blanakan), Desa Pasirmuncang (Kec. Cikaum) dan Desa Cimenteng (Kec. Cijambe). Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2012 Yanu Endar Prasetyo RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 23 Januari 1985 dari Ayah bernama Supranta dan Ibu bernama Sudarti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Blitar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta melalui jalur PMDK. Penulis mengambil jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pada tahun 2006, penulis meraih predikat juara I Mahasiswa Berprestasi FISIP UNS. Setelah lulus dari UNS tahun 2007, penulis lulus tes penerimaan CPNS LIPI pada akhir tahun 2007. Penulis kemudian bekerja di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI Subang sejak tanggal 1 Januari 2008. Pada tahun 2010, penulis lulus seleksi penerimaan Karyasiswa LIPI untuk mendapatkan beasiswa tugas belajar dalam negeri dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) selama dua tahun (4 semester) di Intitut Pertanian Bogor (IPB). Penulis mengambil mayor Sosiologi Pedesaan di Magister Sains dan Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xiii DAFTAR LAMPIRAN xv BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 1.1.1. Komersialisasi ekonomi di pedesaan Jawa 1 1.1.2. Gejala komersialisasi sosial di pedesaan Jawa 7 1.2. Rumusan masalah 15 1.3. Tujuan penelitian 17 1.4. Manfaat penelitian 17 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gantangan 18 2.2. Resiprositas 20 2.3. Pilihan Rasional, Pertukaran sosial dan Jaringan Pertukaran 2.3.1. Pilihan Rasional 22 2.3.2. Pertukaran Sosial 25 2.3.3. Jaringan Pertukaran 32 2.4. Komersialisasi sosial 38 2.5. Kemiskinan 39 2.6. Teori Permainan 41 BAB 3. METODOLOGI 3.1. Metode Penelitian Studi Kasus 44 3.2. Wawancara kelompok terfokus 45 3.3. Wawancara mendalam dan Pendekatan Informan Kunci 50 3.4. Observasi 51 3.5. Simulasi Model Permainan 52 BAB 4. LOKASI PENELITIAN 54 4.1. Subang Utara 56 4.2. Subang Tengah 58 4.3. Subang Selatan 61 BAB 5. PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Sosio-Historis 5.1.1. Arkeologi kebudayaan masyarakat Sunda 65 5.1.2. Sistem sosial budaya masyarakat pedesaan Subang 70 5.2. Pengorganisasian Gantangan dalam Pesta Hajatan 74 5.2.1. Seremonial Hajatan 78 5.2.2. Fungsi Sosial Gantangan 88 5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan 95 5.3. Bentuk Pertukaran Sosial Gantangan di Pedesaan Subang 5.3.1. Gantangan di Subang Utara 98 5.3.2. Gantangan di Subang Tengah 108 5.3.3. Gantangan di Subang Selatan 114 5.4. Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke Pertukaran 120 Sosial 5.4.1. Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan Sosial- 121 Kontraktual 5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang 124 5.4.3. Peran Bandar dalam Pertukaran Sosial Gantangan 129 5.4.4. Komersialisasi Sosial dalam Pertukaran Sosial 131 Gantangan 5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan 5.5.1. Kelompok Non-Gantangan (Nyambungan) 134 5.5.2. Kelompok Gantangan Umum (Gintingan) 137 5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus (Golongan) 150 5.6. Permodelan Komputasional Pertukaran Sosial Gantangan 158 BAB 6. REFLEKSI TEORITIS 169 BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN 172 DAFTAR PUSTAKA 174 LAMPIRAN xv DAFTAR TABEL 1 2 3 4 Batas Tingkat Pengeluaran (Garis Kemiskinan) Untuk Penduduk Perkotaan dan Penduduk Perdesaan Menurut Kategori Kemiskinan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 2007-2010 di Provinsi Jawa Barat Perbedaan penggunaan teori permainan dan analisis terkait permainan dalam kajian sosiologi dari tahun 1950-2000 Perbandingan Pola Pendekatan dalam Wawancara Kelompok terfokus Halaman 39 40 42 45 5 Jadwal dan Jumlah Partisipan dalam Forum Komunitas “Komersialisasi Gantangan” di 3 Desa 49 6 Payoff Matrix Prisoner’s Dilemma 52 7 Lokasi Penelitian dan Gambaran Umum Tradisi Sosial di 3 Desa 64 8 9 Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis Aktor-Aktor dalam Modal Sosial Gantangan 67 76 10 Jenis dan Tarif Sewa Hiburan Untuk Hajatan di Wilayah Blanakan (Desa Jayamukti) 80 11 Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Pada Tradisi Telitian 101 12 Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan 118 13 Perbandingan Pola dalam Sistem Pertukaran Sosial Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012) 119 14 Dinamika aktor dalam pertukaran sosial gantangan (contoh kasus rumah tangga di 3 desa) 156 15 Struktur Dasar Permodelan Pra Simulasi Komputasional 160 DAFTAR GAMBAR Halaman 2 1 Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan 2 4 Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya. Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat (2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi penyebab perceraian di Kab. Subang adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan ekonomi. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya. Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan. Perspektif dalam melihat Fenomena Gantangan 19 5 Relasi Mikro-Makro Coleman 23 6 Struktur dan Sistem Pertukaran Sosial 7 Perbandingan Jumlah Informan wawancara kelompok terfokus di tiga desa lokasi penelitian Rata-Rata Pengeluaran perkapita/bulan Penduduk Kabupaten Subang tahun 2009 Komposisi Penduduk dan Etnis di Desa Jayamukti, Kec. Blanakan, Kabupaten Subang 3 8 9 10 Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian di Desa Jayamukti tahun 2011 11 Komposisi Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah) 12 Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian penduduk Ds. Pasirmuncang tahun 2011 13 Komposisi Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Ds. Cimenteng tahun 2010 14 Komposisi Pekerjaan Penduduk di Desa Cimenteng, Kec. Cijambe tahun 2010 15 Perbandingan jumlah KK Total dan KK miskin di tga kecamatan tempat lokasi penelitian tahun 2010 3 5 27-28 50 54 56 57 58 60 61 62 63 16 Gotong Royong di Pedesaan Subang 17 Hajatan dengan jamuan prasmanan yang sangat sederhana (kiri) tetapi beras gantangan yang dikumpulkan mencapai ratusan karung (kanan). 18 Proses dan mekanisme perijinan “rame-rame” di Kab. Subang 19 Hiburan sisingaan untuk hajatan khitan dan jaipong untuk pernikahan 20 Contoh undangan narik Gantangan 21 Warga yang bertugas atau ditunjuk oleh bapak hajat untuk membagikan undangan Gantangan 22 Sesajen lengkap di Pendaringan (ruang penyimpanan) 23 Pencatatan oleh Juru Tulis Gantangan 24 Pulangan berupa kerupuk atau pisang dimasukkan kembali oleh bapak hajat ke dalam wadah beras tamu undangan 25 Beras Hasil Gantangan 26 perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang (2005-2009) 27 Pasar dadakan PKL diluar arena hajatan 28 Tradisi nyumbang sukarela (Kiri) dan pola Telitian di Subang Utara (Kanan) 29 Frekuensi hajatan “rame-rame” di desa Jayamukti (Subang Utara) yang semakin meningkat 30 Hasil Telitian 31 Tradisi Nyumbang Pola Golongan di Subang Utara 32 Pola Talitihan di Subang Tengah sama dengan pola Telitian (Subang Utara) 33 Pola Rombol dalam pertukaran Sosial Gantangan 34 Hasil Rombol 35 Hasil Gintingan 36 Pola Gintingan di Subang Selatan sama dengan pola Telitian (Subang Utara) dan Talitihan (Subang Tengah) 37 Buku Catatan Gantangan 38 Relasi mikro-makro dalam komersialisasi gantangan 39 Proses Transformasi Modal Sosial Gantangan 40 Aktifitas replikator dinamika populasi dengan motif ekonomi ( ), motif sosial ( ), dan Aktor yang memilih untuk absen/tidak mengikuti pertukaran sosial Gantangan 72 75 81 82 83 84 85 86 86 87 90 98 100 103 104 107 110 112 113 116 117 124 131 132 164 41 Keseimbangan antara dorongan ekonomi dan sosial aktor gantangan dapat menjamin keberlanjutan pertukaran sosial ini (The Lotka-Volterra-like phase-map of the interacting social and economic spheres in evolutionarily harmonious dynamics) 42 Dorongan/motif sosial yang terlalu kuat tanpa memperhatikan kemampuan pemenuhan kebutuhan ekonomi justru dapat merusak keberlanjutan tradisi Gantangan 166 167 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 4 Hasil Telitian (umum) 10 rumah tangga di Dusun tegaltangkil, Desa Jayamukti (tahun bervariasi, 2001 s.d 2009) Catatan Panitia Rombol I. Simpanan ke. Rombol dari Dusun Awilarangan kepada kel. Rombol Waladin, Purwadadi Catatan Panitia Rombol II . Simpanan Kel. Rombol Waladin kepada Kel. Rombol Awilarangan, Pasir Muncang Hasil Gintingan warga dusun Cimenteng (Subang Selatan) 5 Peta Desa Jayamukti, Kec. Blanakan (Subang Utara) Xx 6 Peta Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah) Xxi 7 Desa Cimenteng, Kec. Cijambe (Subang Selatan) Xxii 8 Dokumentasi lainnya Xxiii 2 3 Xvi Xvii Xviii Xix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Komersialisasi Ekonomi di Pedesaan Jawa Arus modernisasi, globalisasi dan bahkan liberalisasi ekonomi memang telah memberikan dampak nyata pada transformasi struktur dan kultur masyarakat, khususnya di pedesaan. Meluasnya kemiskinan, ketimpangan hingga memudarnya nilai-nilai dan ikatan tradisional masyarakat desa adalah kondisi yang paling sering dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut. Dengan kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-sistem ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan (pedesaan) juga semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin lebar (Tjondronegoro, 2008:167). Selain itu, hubungan sosial menjadi bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan diri sendiri (self fulfillment) serta determinasi manusia sebagai homo economicus (Somantri, 2006:466). Dalam konteks memahami transformasi sosial, institusional dan kebudayaan dalam arti luas inilah kemudian sosiologi pedesaan berkembang. Seberapa jauh dan dalam dampak modernisasi, globalisasi dan liberalisasi ekonomi tersebut terhadap keterbukaan1 dan transformasi kebudayaan masyarakat desa-tradisional merupakan ranah penelitian yang menarik dan penting untuk dikaji. Mengingat, 1 Popkin (1986:1) menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desadesa yang terbuka (open villages), yaitu desa dengan tanggung jawab individual terhadap pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia luarnya, tiadanya pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian kewargadesaan (village citizenship) dan pemilikan tanah secara pribadi. seperti yang dikemukakan oleh Prof Sajogjo (1982), bahwasanya untuk memahami sistem ekonomi masyarakat, kita harus mempelajari budayanya dan untuk mempelajari budaya masyarakat, haruslah memahami perilaku ekonominya. Salah satu kajian terkait dampak sistem ekonomi pasar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan pernah dilakukan oleh D.H. Penny (1990), dimana ia menyimpulkan bahwa kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan adalah akibat dari sistem ekonomi pasar (yang kini bahkan diperkuat oleh gelombang modernisasi, globalisasi dan liberalisasi). Komersialisasi Dimensi Ekonomi 1. Cara (moda) ekonomi yang dominan 2. Peranan harga dalam alokasi sumber daya 3. Pasar tenaga kerja 4. Persewaan tanah/lahan 5. Peminjaman dan gadai tanah serta pemilikan yang lainnya 6. Kemiskinan absolut dan relatif Dimensi Sosial Budaya 1. Frekuensi Gotong royong 2. Partisipasi dalam acara/upacara sosial 3. Tingkat perceraian 4. Tingkat migrasi terpaksa 5. Tingkat apatisme individu dan sosial 6. Tingkat kejahatan/kriminalitas Gambar 1. Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan (Peny, 1990:81-85). Dalam kajiannya, D.H. Peny (1982) menyimpulkan bahwa liberalisasi ekonomi telah gagal memberikan kemakmuran bagi masyarakat petani di pedesaan Jawa. Liberalisme juga gagal memberikan penjelasan serta petunjuk tentang langkah-langkah yang harus diambil dalam memecahkan persoalan kemiskinan yang membelenggu petani di pedesaan. Paham dan teori liberalisme - yang diwujudkan dalam proses komersialisasi atau pasarisasi (marketization) – ini tidak cocok untuk masyarakat pedesaan di Indonesia2. Buktinya, proses komersialisasi yang sama persis terjadi di Barat dengan di Jawa, ternyata membawa hasil akhir yang bertolak belakang. Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010 Gambar 2. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya (Kiri). Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat (2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi penyebab perceraian di Kab. Subang adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan ekonomi. 2 Liberalisme ekonomi yang diadopsi dan kemudian melahirkan pemiskinan dan kemiskinan bagi petani juga diungkapkan dalam catatan Mohamad Sadly (1965) tentang “pemiskinan ilmu ekonomi” dimana ilmu ekonomi yang diajarkan di UI mengikuti kelazimanan yang ada di Belanda (ekonomi pemerintahan). Berbeda dengan di UI, ilmu ekonomi di UGM lebih bercorak sosial ekonomi (ekonomi pertanian). Hal ini penting untuk dipahami, sebab jika dilacak secara genealogi pengetahuan, di UI inilah kemudian lahir para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia yang biasa disebut sebagai The Berkeley Mafia yaitu para murid dari Soemitro (seorang sosialis) yang sepulang dari menempuh pendidikan di Amerika justru menjadi pembela utama ekonomi pasar di tanah air, seperti Widjojo, Suhadi, Subroto, Emil Salim, Sumarlin dan Ali Wardhana (Nugroho, 2010:249-254). Sementara itu, dari UGM lahir pemikir yang lebih sosialis, seperti Mubyarto dengan ekonomi pancasila-nya yang terinspirasi pemikiran James C. Scott. Todaro (1987) dalam Nugroho (2010:272) juga mengatakan bahwa teori ekonomi tradisional (neoklasik dan keynesian) terbatas relevansinya untuk memahami segi-segi khusus perekonomian di negara berkembang. Jika masyarakat Barat mendapatkan kemakmuran melalui proses komersialisasi, maka masyarakat di pedesaan Jawa – dan Asia Tenggara pada umumnya - justru semakin kehilangan keterampilanketerampilan non-pertanian dan laju kemiskinan serta kemelaratan jauh lebih cepat daripada sebelumnya (Soedjatmoko, 1980:46). Ditandai dengan terjadi erosi bertahap dari berbagai bentuk hubungan produksi lama dan meningkatnya dominasi buruh serabutan seiring berkembangnya kapitalisme agraria (Pincus, 1994;38). Ditambah dengan gejala pengasingan (alienasi), kemerosotan dalam hidup bermasyarakat serta tidak adanya perhatian terhadap kepentingan bersama telah melanda sebagian besar kehidupan wong cilik di pedesaan Jawa. Secara sosiologis, beberapa kelemahan dan dampak dari komersialisasi telah secara nyata muncul ditengah masyarakat pedesaan di Jawa. Sebagian pihak mungkin mengatakan fenomena ini sebagai bentuk transisi masyarakat menuju “kemajuan”. Mereka yang menganggap bahwa komersialisasi merupakan wujud transisi masyarakat menuju kemajuan setidaknya memiliki lima dasar argumentasi tentang keuntungan komersialisasi, yakni (1) mendorong peningkatan produksi, kesejahteraan jasmani, bertambahnya pilihan jenis pekerjaan, teman hidup dan paham-paham politik (2) memungkinkan suatu bangsa melakukan spesialisasi (keuntungan komparatif) (3) meningkatkan mobilitas bangsa-bangsa, terobosanterobosan baru yang berani di bidang intelektual (4) orang menjadi lebih rasional dalam tindakan dan perilaku ekonomi, politik, dan sosial lainnya serta (5) perbaikan komunikasi dan berkurangnya kepercayaan kepada takhayul (Peny dalam Sajogyo, 1982:167-168). Namun di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa komersialisasi merupakan penyebab “kemunduran”. Sebab, komersialisasi dianggap telah melahirkan ketidakseimbangan antara “kekayaan merosotnya memperoleh untuk diri “perasaan teman, sendiri” dan bermasyarakat”, polusi, kerusakan “kesejahteraan lunturnya lingkungan umum”, kemampuan dan lain sebagainya. Selain itu, kebanyakan rumah di kota maupun desa di jawa kini berjeruji besi dan berpagar tinggi karena banyaknya pencurian dan kriminalitas lainnya, ijon kerja diganti dengan upah, upacara-upacara adat menjadi tidak lagi dihargai, ada beberapa petani yang menjadi lebih kaya dan berkuasa daripada sebagian besar petani lain di kampungnya, meningkatnya kebiasaan berhutang dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, desa-desa yang dulunya makmur dan aman dengan lumbung-lumbung pangan mereka, kini bahkan tidak mampu lagi untuk berswasembada. Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010:115 Gambar 3. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya. Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan. Meskipun demikian drastis perubahan sosial di pedesaan, namun masyarakat desa terkadang memiliki cara penyelesaian dan adaptasi terhadap perubahan yang unik. Sebagai contoh, ketika involusi pertanian terjadi di pedesaan - sebagai akibat dari tekanan penduduk dan sumber daya yang semakin menurun - maka struktur sosial di pedesaan Jawa tidak lantas terpolarisasi3, melainkan cenderung tetap berusaha untuk menjaga homogenisasi sosial dan ekonomi diantara mereka. Dalam istilah Geertz (1983:102) fenomena ini disebut sebagai “berbagi kemiskinan” atau “kemiskinan yang dibagi rata” (shared poverty). Dalam konteks “memiskinkan bersama” ini, masyarakat desa membagi-bagi rezeki yang mereka punya bersama-sama, hingga lama-kelamaan makin sedikit bagian yang diterima oleh setiap orang atau rumah tangga. Pola inilah yang barangkali juga menular pada hubungan-hubungan sosial lainnya, dimana aturan-aturan (rules) dalam masyarakat juga turut berubah sedemikian hingga mengikuti semangat berbagi kemiskinan. Lebihlebih dengan makin kencangnya arus globalisasi-modernisasiliberalisasi ekonomi seperti saat ini, maka tidak menutup kemungkinan pola-pola berbagi kemiskinan ini telah berkembang, bermutasi dan bahkan menghilang mengikuti semangat individualisme dan komersialisme yang menjadi ruh masyarakat hari ini. 3 Meskipun mekanisasi atau modernisasi teknologi pertanian berlangsung, struktur masyarakat di pedesaan Jawa tidak lantas juga terpolarisasi, melainkan yang terjadi adalah masih dalam taraf stratifikasi. Hal inilah yang ditemukan dalam kajian Hayami & Kikuchi (1981). Memang diakui kecenderungaan perubahan ke arah polarisasi dapat saja terjadi, namun selama interaksi sosial dalam komunitas petani yang diikat oleh prinsip moral tradisional bisa dijaga dan dipertahankan tentu saja akan menghambat adanya polarisasi. Masalahnya adalah seberapa kuat dan seberapa lama nilai moral tersebut mengikat dan dapat menghambat sifat “personal/individualistik” dan menjaga dari pasar bebas (marketisasi)? Jika institusi atau kelembagaan sosial gagal menjaga ikatan solidaritas antar anggotanya, maka yang terjadi di pedesaan tidak hanya stratifikasi atau polarisasi akibat masuknya teknologi saja, melainkan juga akan mengarah pada individualisme yang meluas dan berakibat pada memudarnya ikatan tradisional komunitas, khususnya yang selama ini bersifat altruistik, seperti gotong royong dan adat-istiadat. 1.1.2. Gejala Komersialisasi Sosial di Pedesaan Jawa Kondisi pedesaan - di Pulau Jawa khususnya – yang timpang secara struktural, baik dari segi kepemilikan, penguasaan, pendapatan hingga distribusi sumber daya, ternyata juga diiringi dengan perubahan sikap dan perilaku warganya yang semakin berwatak “modern” yang ditandai dengan sikap komersil4, individualistik, rasional, dan berorientasi material5. Pandangan kita tentang masyarakat desa yang guyub, memiliki rasa solidaritas tinggi, gotong royong, egaliter dan berorientasi nilai (ideal) hampir-hampir musnah akibat terpaan modernisasi, globalisasi dan liberalisasi pasar ini. Salah satu indikasi paling mencolok dari berubahnya pola relasi dan mindset warga desa adalah makin terpinggirkannya tradisi-tradisi dan ritual-ritual tertentu yang menjadi warisan nenek moyang mereka secara turun menurun. Sebagian tradisi itu hilang, namun ada juga yang masih bertahan, seperti misalnya tradisi nyumbang yang dapat ditemui di hampir setiap etnis dan wilayah di Nusantara. Tradisi nyumbang ini memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya dapat bertahan meski ditempa oleh arus modernisasi yang demikian kencang. Beberapa alasan yang menyebabkan tradisi nyumbang ini tetap eksis ditengah masyarakat adalah, pertama, tradisi ini merepresentasikan sifat dan kepribadian asli orang Indonesia yang terbiasa hidup secara komunal (extended family) dan oleh karena itu bersifat suka menolong. Kedua, tradisi ini sangat terkait dengan 4 Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas, maka golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung individualistik (Peny, 1990:xvviii). 5 Yuniarto, 2009:197 pranata sosial lainnya seperti perkawinan, yang merupakan institusi yang sangat dihargai di dalam kehidupan sosial. Ketiga, tradisi ini disadari oleh setiap anggota masyarakat bersifat timbal balik (resiprokal), sehingga orang tidak ragu melakukannya karena pada suatu saat ia juga akan mendapatkan balasan pertolongan serupa dari anggota masyarakat lainnya. Menariknya adalah, bagaimana tradisi nyumbang ini beradaptasi dengan arus perubahan yang melanda desa tersebut? Bagaimana orang desa menilai tradisi nyumbang ini ditengah kondisi kehidupan (living condition) yang menurut para ahli dikonstruksikan sebagai kondisi kemiskinan dan disharmonisasi sosial pedesaan? Sebelum sampai kesana, barangkali dapat kita simak sebagian contoh atau bentuk tradisi sosial (nyumbang) yang ada di Pulau Jawa, antara lain : Jagong : Tradisi Nyumbang di Jawa Tengah Tradisi mendatangani undangan pernikahan di Jawa Tengah biasa disebut Jagong. Masyarakat yang mengadakan upacara pernikahan atau resepsi biasanya mengundang kerabat, tetangga, dan teman-temannya. Orang-orang berdatangan ke acara resepsi dengan membawa amplop berisi uang sumbangan maupun membawa kado. Namun, pada beberapa acara pernikahan ada peraturan untuk tidak menyumbang berupa barang ataupun karangan bunga. Ketentuan tersebut dicantumkan dalam undangan, biasanya digambarkan dengan gambar “kendi” atau “celengan” yang biasa digunakan untuk menyimpan uang. Jika dalam undangan tertera gambar tersebut, masyarakat sudah paham bahwa yang mempunyai hajat menginginkan sumbangannya berupa uang. Besarnya sumbangan juga disesuaikan dengan mewah atau tidaknya acara, jadi jumlah sumbangan yang harus diberikan akan berbeda ketika acara tersebut diselenggarakan di rumah atau di gedung pertemuan. Pada masyarakat pedesaan, banyak yang masih memberikan bahan makanan seperti beras, telur, gula, teh, sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Akan tetapi saat ini untuk kepentingan praktis, masyarakat pedesaan pun mulai memilih nyumbang dalam bentuk uang. Hanya anggota keluarga saja yang biasanya nyumbang dalam bentuk bahan makanan. Jika yang mempunyai hajatan tersebut masih ada hubungan saudara, maka jumlah sumbangan yang diberikan pun semakin besar. Belakangan, di beberapa daerah muncul gejala “standarisasi” jumlah sumbangan yang berupa uang. De’-Nyande’ : Tradisi Nyumbang di Madura Tidak jauh berbeda dengan tradisi nyumbang di Jawa Tengah, pada umumnya, masyarakat Madura juga mengenal tradisi nyumbang. Yang membedakan adalah, ketika mengisi buku tamu, para tamu undangan juga dicatat jumlah sumbangannya dan disebutkan namanya melalui pengeras suara beserta jumlah sumbangannya. Sehingga para tamu undangan mengetahui besar sumbangan dari masing-masing tamu. Kemudian catatan tersebut akan disimpan orang yang mempunyai hajatan dan dipakai acuan untuk mengembalikan sumbangan dengan jumlah yang sama dengan yang diterimanya. Mbecek : Tradisi Nyumbang di Jawa Timur Tradisi mbecek atau buwuh sering kali diartikan sebagai pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk sumbangannya dapat berupa barang (beras, gula, kentang, mie, roti, pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya) yang bisanya akan dibawa oleh kaum perempuan disamping uang, Sedangkan untuk laki-laki sumbangan tersebut biasanya berupa uang saja. Tradisi mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu keluarga yang menggelar hajatan (saudara dan tetangga) dan ada yang berperan sebagai penyumbang (tetangga, saudara, sahabat, teman dan kenalan). Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan yang ada di desa seringkali aktivitas mbecek ini merupakan kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari usaha yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan tradisi hajatan pada umumnya, tradisi mbecek bisa berlangsung beberapa hari. Dari mulai persiapan (rewang), ketika berlangsungnya acara, hingga selesainya acara. Selama itulah anggota masyarakat akan membantu. Tradisi ini melibatkan semua orang dewasa, sehingga waktu yang sedianya digunakan untuk bekerja terkuras untuk tradisi mbecek atau buwuh ini. Gantangan : Tradisi Nyumbang di Subang-Jawa Barat Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Telitian”, atau “Talitihan” adalah salah satu contoh kebiasaan yang berkembang di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sistem hajat6 gantangan seperti ini dijalankan dengan kuat di Subang wilayah 6 Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti perhitungan kalender/bulan “baik” dan “tidak baik/dilarang” untuk melakukan hajatan. Bulan yang dijauhi untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid (2), Muharram/Sura(4), dan Sapar (5). Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal (1), Raya Agung (3), maulud (6), Silih Mulud (7), Jumadil Awal (8), Jumadil Akhir (9), Rajab (10), Ruwah (11), dan Puasa (12). tengah dan utara yang juga dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional. Nuansa pertukaran ekonomi dalam tradisi ini terasa sangat kuat. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun jauh, teman kerja, atau para tamu undangan bisa “menyimpan” beras atau uang dalam jumlah tertentu. Sejumlah uang atau beras yang diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang sifatnya “pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat. Jika kelak si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang serupa, maka si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan sumbangan itu dengan nilai yang sama (Prasetyo, 2010). Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras (5 gantang) dan uang Rp. 200.000,- kepada tuan B yang sedang hajatan menikahkan anaknya, maka ketika tuan B membuat hajatan untuk mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik kembali beras dan uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan nilai yang sama ditambah dengan sejumlah simpanan yang ingin diinvestasikan oleh tuan A. Sedangkan tuan A, mau tidak mau, punya tidak punya, harus mengembalikan beras dan uang tuan B, bagaimanapun caranya. Padahal, bisa jadi harga beras sudah naik beberapa kali lipat dari saat menerimanya dulu. Akibat sistem “tabungan” seperti ini, maka orang yang memiliki uang atau modal, berbondong-bondong untuk menyimpan uang atau beras dalam jumlah yang besar. Dengan harapan, kelak ketika dia hajat, dia akan memanen semua “tabungannya” tadi. Menurut kesimpulan dari hasil penelitian Ari Prasetiyo (2003), tradisi nyumbang yang menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan gotong royong ini, ternyata belakangan sistem timbal baliknya (resiprositi) semakin dirasa memberatkan oleh sebagian rumah tangga atau anggota masyarakatnya. Namun mereka juga tidak dapat serta merta meninggalkannya karena kontrol sosial yang masih kuat berupa gunjingan dan juga karena faktor status, gengsi atau martabat. Tradisi nyumbang diatas, menurut Wolf, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai “biaya sosial” yang harus ditanggung oleh rumah tangga di pedesaan atau disebut juga sebagai dana seremonial (ceremonial fund) (Wolf, 1966:10). Beragam bentuk dan pola tradisi nyumbang di atas menunjukkan ada banyaknya variasi tata cara dalam tradisi nyumbang, tergantung pada kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Akan tetapi, semua tradisi sosial diatas menunjukkan gejala perubahan ke arah yang hampir sama, yaitu komersialisasi. Sebagai contoh dari gejala komersialisasi tradisi nyumbang ini ada pada pola dan sifat-sifat dalam tradisi gantangan di pedesaan Subang, Jawa Barat, antara lain : a. Tidak Sukarela (Sumbangan = hutang). Sumbangan tidak dianggap sebagai bantuan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang bagi penerima dan simpanan bagi si penyumbang. b. Terbuka, siapapun boleh masuk dalam sistem gantangan ini meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Namun jika sudah masuk ke dalam sistem gantangan, maka seseorang tidak dapat keluar sebelum semua hutang-hutangnya terlunasi. c. Mengikat, karena tercatat hitam di atas putih. Baik penyumbang maupun yang disumbang memegang catatannya masing-masing dan diharapkan setiap orang memiliki komitmen yang kuat dan kejujuran untuk saling menyimpan dan mengembalikan. d. Memaksa, ada kewajiban untuk membalas/mengembalikan sumbangan jika tiba pada waktunya. Seandainya tidak datang, maka pemilik hajat akan mendatangi langsung untuk menarik semua simpanannya. e. Akumulatif, jumlah sumbangan terus bertambah dan pada kasus tertentu dikenakan bunga dalam pengembaliannya (hutang yang belum terlunasi, khususnya kepada Bandar) f. Turun-menurun, karena hutang gantangan tersebut dapat diwariskan/dialihkan pada anak, istri, atau keluarga lainnya (misalnya ketika yang bersangkutan meninggal dunia atau menjadi TKI/TKW di luar negeri) g. In-elastis terhadap naik turunnya pendapatan rumah tangga. Tidak peduli sedang susah ataupun banyak rejeki, sedang panen atau gagal panen, jumlah hutang dan simpanan tidak dapat dikurangi/disesuaikan dengan pendapatan saat itu. h. Negosiatif, dalam beberapa kasus terjadi tawar menawar besarnya sumbangan antara tuan rumah/pemilik hajat dengan penyumbang. Biasanya pemilik hajat akan melihat kemampuan dia dalam membayar kembali setelah hajat selesai. Sebab, jumlah sumbangan yang terlalu besar jika diterima begitu saja dapat menjadi hutang yang menakutkan dan merugikan di kemudian hari. i. Sistem Bandar, bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki modal untuk menyelenggarakan hajat, maka selain berharap sumbangan dari tetangga, ia juga dapat meminjam (berhutang) kepada Bandar (beras, daging, telur, gula, dan sebagainya). Kemudian setelah hajatan usai, ia akan membayarnya kembali dengan harga atau jumlah yang telah disepakati sebelumnya. Dalam kondisi dan relasi seperti yang digambarkan diatas, tindakan sosial dapat dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomi (Damsar, 2006:13). Sebagaimana teori pertukaran yang dikemukakan oleh George C. Homans, bahwa suatu tindakan adalah rasional berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dengan kata lain, interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Meskipun, tidak semua pertukaran sosial dapat diukur dengan uang (Poloma, 2004:52). Manusia, dalam interaksi sosial senantiasa dihadapkan pada pilihanpilihan yang mencerminkan cost dan reward yang membuat manusia selalu mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio). Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai kemiskinan ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana masyarakat desa yang “dipandang miskin” itu justru memelihara tradisi yang nampak “mahal” tersebut? Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit, bagaimana harus menolong dan berbagi dengan orang lain? Apakah tesis dan proposisi yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa “orang makin miskin makin bersikap komersil dan individualistik” menjadi tidak berlaku? Atau justru tesis tersebut benar adanya, mengingat pola tradisi nyumbang ini telah berubah sedemikian rupa menjadi medan akumulasi keuntungan sebagian anggota masyarakatnya? Atau sejarah dan kultur masyarakat tertentulah yang membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah dan derajat komersialisasi yang berbeda-beda? 1.2. Rumusan Masalah Serupa dengan tradisi nyumbang di tempat lain, pada mulanya modal sosial Gantangan ini merupakan bentuk bantuan sosial untuk meringankan beban orang-orang yang masih dalam kelompok primer (ikatan keluarga dan tetangga dekat). Biasanya diberikan ketika si penerima akan menjalankan hajatan, ketika dalam kesulitan atau seremonial tradisi lainnya. Namun lambat laut, tradisi gantangan ini makin meluas hingga melibatkan keluarga besar7 dan mereka yang berada di luar kelompok primer (non-family) dan bahkan melintas batas desa. Orientasi tradisi ini pun bergeser menjadi semakin bersifat ekonomi daripada sebagai sebuah kebiasaan tolong-menolong biasa. Dari sisi budaya, jika dahulu Gantangan adalah sebuah kebiasaan (folkways), maka kini ia telah menjadi adat istiadat (custom) dengan beragam peran (roles), aturan (rules), prosedur (procedures), dan sanksi (sanction) yang melingkupinya. Perubahan ini juga membawa konsekuensi pada munculnya berbagai gejala perilaku yang berbeda dari tujuan “sosial” 8 dari tradisi ini semula. Gejala ini ditandai oleh resiprositas yang bersifat makin mengikat, memaksa, formal (tercatat hitam di atas putih) serta dalam kondisi tertentu cenderung memberatkan dan merugikan. Namun yang lebih menarik dari itu adalah bagaimana persoalan tradisi ini ketika dikaitkan dengan konsep kemiskinan di pedesaan. Sebab, 7 Enam ciri dan fungsi potensial dari keluarga besar antara lain (1) tinggal bersama (2) rumah tangga bersama (3) produksi bersama (4) pembagiaan alat-alat produksi (5) penopang solidaritas dan jaminan sosial (6) wewenang membuat keputusan ekonomi yang sangat penting (Planck, 1990:32-33) 8 Kata “sosial” adalah salah satu kata sifat yang paling luas digunakan dalam bahasa Inggris. Ini terkait dengan kata benda “masyarakat” yang berasal dari bahasa Latin “socius” yang berarti “teman atau kawan”. Hal ini mengindikasikan bahwa apa itu “sosial” aslinya diturunkan dari fenomena “pertemanan”, yang menyiratkan makna kerjasama, solidaritas, saling respek/menghargai, dan kepekaan terhadap kepentingan umum (Uphoff, 2000:222) subjek atau pelaku-pelaku dalam tradisi gantangan ini notabene adalah rumah tangga di pedesaan yang seringkali didefinisikan “miskin”, baik oleh institusi negara maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi internasional. Bahkan dalam banyak kajian di perguruan tinggi juga ditemukan kecenderungan fakta bahwa kehidupan rumah tangga di pedesaan ini semakin sulit dan menderita. Bagi penulis, fenomena gantangan yang semakin komersil di satu sisi, dengan fakta-fakta objektif tentang kemiskinan di sisi lain adalah gejala yang menarik untuk dicari kaitan atau benang merahnya. Apakah fenomena tersebut sebenarnya mengindikasikan fenomena terkikisnya solidaritas sosial yang telah tertanam dan mengakar di dalam masyarakat selama bertahun-tahun? Jika ini benar, maka wacana tentang kehancuran institusi-institusi di pedesaan itu semakin benar adanya. Atau jangan-jangan letak permasalahan utamanya adalah pada konstruksi sosial kita tentang kemiskinan itulah yang berbeda dengan konstruksi masyarakat (perspektif emik)? Ibarat peribahasa “what we measures, affect what we do”. Oleh karena itu, setelah memperhatikan berbagai permasalah diatas, maka penelitian ini hadir untuk menjawab beberapa pertanyaan utama sebagai berikut: a) Bagaimana bentuk dan pola (relasi antar aktor) dalam sistem pertukaran sosial gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda ? b) Bagaimana transformasi pola hubungan dalam sistem pertukaran sosial gantangan tersebut berlangsung (komersialisasi sosial) ? c) Bagaimana model strategi dan pengambilan keputusan para aktor dan kelompok dalam pertukaran sosial gantangan ini? 1.3. Tujuan Penelitian a) Menganalisis bentuk-bentuk pertukaran sosial gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda b) Menjelaskan sejarah dan proses komersialisasi sosial Gantangan di pedesaan Subang c) Membuat suatu model strategi dan pengambilan keputusan para aktor dan kelompok dalam pertukaran sosial gantangan melalui pendekatan analisi teori permainan evolusioner 1.4. Manfaat Penelitian Studi tentang pertukaran sosial gantangan di tiga desa miskin di pedesaan Subang ini akan dapat memberikan penjelasan historis maupun sosiologis terkait peran dan keberadaan modal sosial terkini yang masih tersisa di tengah masyarakat pedesaan, khususnya di Kabupaten Subang. Dengan diperolehnya gambaran serta penjelasan tersebut, maka dapat dibuat suatu model jaminan sosial informal berbasis modal sosial gantangan yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat di pedesaan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gantangan Gantangan berasal kata dari “gantang”, yaitu satuan ukur dengan nilai 1 gantang = 10 liter beras. Artinya, gantangan adalah pertukaran beas (beras) dan artos (uang) yang dilakukan antar tetangga/kenalan kepada bapak hajat (penyelenggara hajatan) sebelum atau ketika pesta hajatan berlangsung dan jumlahnya dicatat dalam buku catatan oleh juru tulis pencatat Gantangan. Beas dan artos tersebut akan menjadi simpanan bagi tamu undangan/penyumbang dan menjadi hutang yang kelak harus dibayarkan oleh bapak hajat. Gantangan dapat dilihat sebagai suatu kelompok sosial (social group) karena didalamnya terdapat “two or more individuals who are connected by and within social relationships”. Kelompok sosial gantangan ini juga memiliki struktur (the underlying pattern of roles, norms, and relations among members that organizes group), kesalingtergantungan (the state of being dependent to some degree on other people, as when one’s outcomes, actions, thoughts, feelings, and experiences are determined in whole or in part by others) dan kohesivitas kelompok (the strength of the bonds linking individuals to and in group) (Forshyth, 2010:2-10) Gantangan dapat pula dilihat sebagai kebiasaan (folkways) yang berubah menjadi adat istiadat (custom) karena di dalamnya terkandung beragam peran (roles), aturan (rules), prosedur (procedures), dan sanksi (sanction) yang membangunnya. Segenap perangkat itulah yang membentuk keteraturan dalam sistem sosial masyarakat pedesaan sehingga pola pertukaran tersebut dapat terus dilakukan berulang-ulang. Gantangan juga dapat dilihat sebagai sebuah sistem arisan, karena gantangan ini memiliki pola yang mirip dengan arisan, dimana setiap anggota yang terlibat di dalamnya pada waktu tertentu mendapatkan giliran untuk mendapatkan akumulasi simpanan (narik) dari seluruh anggota lainnya, tentu saja setelah dia juga secara rutin menyimpan kepada rumah tangga lainnya. Perspektif Kelompok Sosial Kebiasaan & Adat Istiadat Arisan Gantangan Jaminan Sosial Informal Resiprositas Pertukaran Sosial Modal Sosial Gambar 4. Perspektif dalam melihat Fenomena Gantangan Gantangan juga dapat dianggap sebagai sebuah sistem jaminan sosial informal berbasis komunitas. Sebab, melalui gantangan yang bisa digelar sewaktu-waktu ini, rumah tangga di pedesaan dapat memenuhi kebutuhan mendesaknya melalui bantuan (pinjaman atau hutang) kepada saudara dan tetangga di desanya. Tentu saja tanpa persyaratan atau jaminan tertentu, kecuali janji dan kepercayaan antar sesama anggota masyarakat itu sendiri. Gantangan juga dapat dilihat sebagai sebuah pola resiprositas atau hubungan timbal balik, dimana setiap rumah tangga saling memberi (menyimpan) dan menerima (narik) dalam jumlah dan waktu pengembalian yang tidak tentu, tetapi pasti. Gantangan ini juga dapat dilihat sebagai sebuah pola pertukaran sosial, dimana setiap anggota gantangan ini telah mempertimbangkan secara rasional aspek biaya dan manfaat dari keterlibatannya. Setiap rumah tangga berupaya untuk mendapatkan keuntungan (sunda : aya leuwihna, indonesia : ada lebihnya) melalui sistem gantangan ini. Selain itu, gantangan ini juga merupakan bentuk modal sosial lokal, dimana pola jaringan (network), norma (norms) dan kepercayaan (trust) telah terbangun dengan mapan untuk mewadahi tujuan-tujuan individual maupun kolektif masyarakat di pedesaan Subang. 2.2. Resiprositas Resiprositas merupakan transaksi antara dua kelompok, dimana barang dan jasa yang memiliki nilai setara dipertukarkan. Hal ini mencakup pula pemberian hadiah. Motif dalam pertukaran adalah untuk memenuhi kewajiban sosial dan mungkin untuk memperoleh semacam prestise dalam proses tersebut. Bronislaw Malinowski (1884-1942) pada tahun 1922 melakukan sebuah studi tentang kegiatan ekonomi suku asli kepulauan Papua Melanesia. Dari hasil studinya, selain menekankan pentingnya peran kekeluargaan dan kepala suku dalam sistem produksi dan pertukaran, ia juga mengidentifikasi adanya berbagai bentuk pemberian murni (suami kepada istri, orang tua kepada anak). Selain itu, ada juga pertukaran barang-barang untuk hal non-ekonomis, seperti hak (privileges) dan gelar. Beberapa tahun kemudian, Marcell Mauss (1872-1950) menulis sebuah buku berjudul “The Gift” (pemberian hadiah) yang mengungkapkan adanya kewajiban-kewajiban yang mengikat kepada si pemberi untuk memberi, si penerima untuk menerima dan si penerima untuk membalas (reciprocate) dengan waktu dan jumlah pengembalian yang terbuka untuk berbagai kemungkinan (Smelser, 1990:33-35). Sementara itu, Karl Polanyi (1886-1964) mengatakan bahwa resiprositas merupakan salah satu dari ciri yang melekat dalam masyarakat pra-industri disamping redistribusi rumah tangga. Resiprositas itu sendiri menurutnya merupakan gerakan di antara kelompok-kelompok simetris yang saling berhubungan dan hal ini dapat terjadi jikalau hubungan timbal balik antar individu itu sering dilakukan (Damsar, 2006:24). Dari berbagai literatur yang ada, maka kita dapat klasifikasikan beberapa bentuk dari resiprositas, antara lain: 2.2.1 Resiprositas umum (generalized reciprocity) Suatu model pertukaran dimana nilai pemberian (hadiah) maupun waktu pembayaran kembali tidak dikalkulasikan secara spesifik. Misalnya, praktek pendistribusian makanan. Umumnya resiprositas umum berlangsung antar kerabat dekat atau antar orang yang memiliki ikatan sangat erat 2.2.2 Resiprositas seimbang (balanced reciprocity) Suatu model pertukaran dimana si pemberi maupun si penerima memiliki kekhususan dalam nilai barang dan waktu pemberiannya. Misalnya, arisan. Pemberian, penerimaan, dan berbagi bersama digambarkan membangun suatu bentuk jaminan sosial atau asuransi sosial. Mekanisme bertingkat juga bekerja dalam proses resiprositas umum maupun seimbang 2.2.3 Resiprositas negatif (negative reciprocity) Suatu bentuk pertukaran dimana si pemberi mencoba mendapat lebih baik dari pertukaran tersebut. Kelompok yang terlibat memiliki kepentingan berbeda, dan tidak berhubungan dekat. Bentuk ekstrim dari resiprositas negatif adalah mengambil sesuatu dengan kekerasan atau paksaan Dalam konteks pedesaan, norma-norma dan prosedur-prosedur yang berlaku di sebuah desa tidak lain merupakan pencerminan dari masalahmasalah berat yang dihadapi oleh petani. Pada titik inilah etika subsistensi menemukan ekspresi sosialnya dalam bentuk pola-pola kontrol sosial dan resiprositas yang memberi struktur pada tindak-tanduk sehari-hari. Dalam desa pra-kapitalis, lembaga-lembaga yang dikuasai para petani diorganisir untuk memberi jaminan kepada yang lemah dari kejatuhan dengan memberikan tuntutan-tuntutan tertentu kepada petani yang lebih kaya. Jadi, dalam hubungan petani dengan sesama warga desanya, titik perhatiannya adalah keterikatannya pada norma dan peran mereka (Popkin, 1986:8-9). 2.3. Pilihan Rasional, Pertukaran Sosial dan Jaringan Pertukaran 2.3.1. Pilihan Rasional Seperti kita tahu, banyak dari para peletak dasar teori sosiologi klasik menempatkan evolusi masyarakat sebagai titik tolak bangunan teoritisnya, misalnya Comte yang melihat evolusi masyarakat dari sisi tahap-tahap perkembangan intelektual, Sorokin melihatnya dari mentalitas budaya, Marx dari konflik kelas, Durkheim dengan konsep solidaritas sosial, dan Weber dengan perkembangan rasionalitasnya (Johnson, 1986:207). Dalam konteks tersebut, Teori Pilihan Rasional merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori tentang perkembangan rasionalitas manusia. Teori ini adalah salah satu cabang sosiologi yang paling banyak dipengaruhi oleh ilmu ekonomi. Meskipun demikian, teori pilihan rasional dalam sosiologi berbeda dengan yang diterapkan dalam ilmu ekonomi. Sosiologi dalam teori pilihan rasional ini mengasumsikan bahwa aktor bertindak secara rasional dalam arti yang luas. Tidak seperti teori-teori sosiologi lainnya yang menganggap bahwa tindakan individu dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab yang ada di belakangnya, teori pilihan rasional menganggap aktor sebagai pembuat keputusan yang memiliki kesadaran penuh dan secara signifikan dipengaruhi oleh nilai biaya dan manfaat dari berbagai tindakan alternatif lainnya (Hedstrom & Steren, 2007:2). Sebagian besar teori pilihan rasional tidak hanya menjelaskan tindakan individu tunggal, tetapi juga berfokus pada penjelasan makro tentang kemunculan sebuah norma, pola-pola kelembagaan dan beragam bentuk tindakan kolektif. Oleh karenanya, teori ini berfokus pada berbagai tindakan dan interaksi yang membentuk institusi sosial tersebut (Hechter & Kanazawa, 1997:2009). A Makro : D B Mikro : C Contoh : Kapitalisme Doktrin religius protestan Nilai-nilai ekonomi Perilaku Gambar 5. Relasi Mikro-Makro Coleman (1986) dalam Hedtsrom & Stern (2007:9, Coleman (2010:11) Dalam teori pilihan rasional, kita harus lebih menekankan perhatian pada hubungan antara makro-mikro. Kita harus berfokus pada bagaimana jaringan, norma-norma sosial, proses sosialisasi, dan lain sebagainya mempengaruhi orientasi tindakan individu (kepercayaan, preferensi, dan lain sebagainya) (A ïƒ B). Kemudian, bagaimana orientasi tindakan tersebut mempengaruhi individu dalam bertindak (B ïƒ C). Dari tindakan-tindakan individu itulah kemudian kita dapat menerangkan tentang fenomena sosial sebagai hasil interaksi sosial makro-mikro tersebut (Cïƒ D). Berbeda dengan ilmu ekonomi yang cenderung matematis, pendekatan dalam sosiologi bersifat induktif dan empiris. Selain itu, sebagaimana pemahaman Weber tentang tindakan rasional, menurutnya tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai manifestasi dari rasionalitas. Emosi-emosi tertentu seperti kemarahan, penderitaan, cinta, ketakutan dan lain sebagainya seringkali diungkapkan individu dalam bentuk perilaku yang sepintas lalu terlihat tidak rasional. Tetapi orang pasti dapat mengerti (verstehen) perilaku itu kalau dia tahu emosi mendasar yang sedang diungkapkannya. Dengan demikian, tindakan rasional itu berhubungan dengan pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan/diwujudkan (Johnson, 1980:220). Namun demikian, rasionalitas itu sendiri secara metodologi dapat didekati melalui dua pendekatan, yaitu : pendekatan individualistik dan komunitarian. Pendekatan individualistik berakar dari pemikiran ekonom neoklasik dan filsafat pilihan rasional yang dikemukakan oleh Hobbes, Hume dan Kant (Di Caccio, 2005:44). Dalam pendekatan ini, individu dianggap sebagai makhluk yang bebas dan independen dalam mengambil suatu keputusan. Sebagai agen yang rasional, individu mengambil keputusan atau tindakan hanya berdasarkan pada pertimbangan konsekuensi dan kegunaan dari pilihan mereka (the consequences-utilities-of their acts). Pendekatan ini sama sekali tidak mempertimbangkan aspek diluar individu itu sendiri, seperti sistem nilai, kebudayaan, solidaritas dan sebagainya. Berlawanan dengan pendekatan individualistik adalah pendekatan komunitarian, yaitu pendekatan yang percaya bahwa pilihan rasional atau perilaku individu itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kebudayaan yang melekat dalam diri individu yang dipelajarinya secara pasif dalam komunitas tradisional. Seperti dikemukakan oleh Becker (1996) dalam Di Caccio, 2005:49 “individual’s preferences are also inffluenced by the decisions of the people whom the individual is related to”. Maka dari itu, implikasi dari pandangan komunitarian ini adalah kita harus memberikan interpretasi yang holistik terhadap struktur sosial yang mendasarinya. Selain itu, otomatis kebebasan individual (individual’s freedom) dalam memilih menjadi masalah nomor dua. Disinilah tarik menarik antara kebebasan (freedom) dan solidaritas (solidarity) itu menjadi menarik, mana sebenarnya yang lebih dominan mempengaruhi pilihan rasional individu? 2.3.2. Pertukaran Sosial Jika teori pilihan rasional dapat menjelaskan mengapa orang melakukan suatu tindakan/perilaku? maka kita dapat menggunakan teori pertukaran sosial dengan tujuan untuk memprediksi (predict) dan menjelaskan (explain) suatu perilaku. Teori pertukaran ini merupakan hasil mutasi atau varian dari model pilihan rasional dan behaviorisme. Ia adalah kombinasi antara asumsi dasar behaviorisme (operant psychology) dan teori kegunaan (utility maximization) dalam ilmu ekonomi (Zafirovski, 2005:31). Selain dari ekonomi dan psikologi, teori pertukaran juga berhutang pada Simmel - yang disebut Homans sebagai “the ancestor of small-group research” – yang telah memberikan basis teori tentang perilaku sosial dasar (elementary social behaviour) (Homans, 1958:597). Beberapa definisi dan penjelasan tentang pertukaran sosial ini antara lain (Cook, 1977:62-82): ï‚· Hubungan pertukaran (exchange relations) (contoh Ax:By) dibangun dari beragam transaksi intensif yang menghasilkan transfer sumberdaya (x, y, …) antara dua aktor atau lebih (A,B, …) untuk mendapatkan manfaat bersama (mutual benefit) ï‚· Dalam berbagai hubungan pertukaran Ax:By maka kekuasaan (power) A terhadap B (Pab) adalah kemampuan dari A untuk menurunkan rasio x/y ï‚· Ketergantungan A terhadap B (Dab) adalah fungsi dari (1) penilaian A terhadap sumberdaya yang diterimanya dari B dan (2) ada tidaknya alternatif lain untuk melakukan hubungan pertukaran ï‚· Hubungan pertukaran Ax:By dikatakan seimbang jika Dab=Dba, tidak seimbang jika Dab-Dba Selain itu, teori pertukaran ini memiliki beberapa asumsi dasar dan proposisi kunci, antara lain : ï‚· Perilaku sosial adalah bentuk dari pertukaran, baik material maupun non-material seperti simbol penerimaan dan gengsi (G.C.Homans, 1958:597) ï‚· Manusia memberikan sesuatu dengan harapan akan mendapatkan balasannya kemudian (Marcell Mauss) ï‚· Seseorang yang memberi banyak kepada orang lain sebenarnya sedang berharap mendapatkan lebih banyak dari mereka dan seseorang yang menerima banyak dari orang lain akan berada dalam tekanan untuk memberi/mengembalikan lebih banyak pula. This process of influence tends to work out at equilibrium to a balance in the exchange (G.C. Homans:1958:606) ï‚· Setiap hubungan sosial berbasis pada pertimbangan biaya dan manfaat. Orang akan tetap mempertahankan hubungan jika manfaat (material dan non-material) yang diperolehnya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya (G.C. Homans) ï‚· Frekuensi dalam interaksi sosial (intensitas) akan mempengaruhi struktur dan keseimbangan dalam pertukaran sosial (Peter M. Blau) b+j b+j B A b+j 6.1. Pertukaran Barter Waktu 1 B A Pa Pa Waktu 2 B A b+j 6.2. Pertukaran dengan janji bayar b+j Waktu 1 B A Waktu 2 b+j B A Pa Pa b+j Waktu 3 A B Pa 6.3. Pertukaran dengan janji bayar pihak ketiga E Pa Pa b+j b+j A Pb B Pd b+j b+j Keterangan : b = barang, j = jasa, P =janji A-E = Aktor D Pa Pa C 6.4. Pertukaran dengan janji dari bank sentral Gambar 6. Struktur dan Sistem Pertukaran Sosial (Coleman, 2010:165-166) Konsep pertukaran sosial Peter M. Blau (1964) mengungkapkan bahwa tindakan seseorang akan berhenti jika reaksi yang diharapkan tidak kunjung datang. Artinya, ketika ikatan antara individu dengan individu atau kelompok terbentuk, maka hadiah yang saling mereka pertukarkan di dalamnya akan membantu mempertahankan ikatan diantara mereka. Ketika hadiah dirasa tidak memadai oleh satu pihak atau keduanya, maka ikatan diantara mereka bisa jadi melemah atau hancur. Selain itu, ketika ada seseorang membutuhkan sesuatu dari orang lain tetapi ia tidak memiliki sesuatu yang sebanding untuk dipertukarkan, maka akan terjadi empat kemungkinan, pertama, ia akan memaksa orang lain untuk membantunya, kedua, ia akan mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya, ketiga, ia akan terus mencoba bergaul dengan baik tanpa mendapatkan apa yang dibutuhkannya dari orang lain dan keempat, ia akan menundukkan diri terhadap orang lain (ciri esensial dari kekuasaan). Blau sendiri memulai dari premis dasar bahwasanya interaksi sosial itu memiliki nilai bagi individu. Dengan mengeskplorasi beragam nilai inilah kemudian Ia memahami hasil kolektif dari interaksi sosial tersebut, termasuk didalamnya distribusi kekuasaan di dalam masyarakat (Scott & Calhoun, 2004:10-11). Menurut Peter M. Blau, seseorang melakukan interaksi sosial untuk satu alasan yang sama, yaitu mereka membutuhkan sesuatu dari orang lain. Selain itu, seseorang berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan orang lain tidak semata hanya karena motif transaksi ekonomi dan norma resiprositas saja, melainkan juga karena dengan pemberian (gives) mereka itu dapat memberikan peluang untuk mendapatkan kekuasaan (power). “the tendency to help others is frequently motivated by the expectation that doing so will bring social rewards” (Blau, 1964) Blau percaya bahwasanya struktur sosial itu terbentuk dari interaksi sosial, akan tetapi ia juga meyakini bahwa segera setelah struktur sosial itu terbentuk maka ia akan sangat mempengaruhi interaksi sosial itu sendiri (fakta sosial). Dengan demikian, pendekatan pertukaran sosial Blau bergerak dari aras mikro subjektif hingga ke makro objektif (struktur sosial) dengan memberikan penjelasan saling pengaruh diantara keduanya. Penghubung antara kedua aras itu menurut Blau adalah Nilai dan Norma (konsensus) yang berkembang dalam masyarakat setempat. Menurut Blau, “konsensus mengenai nilai sosial menyediakan basis untuk memperluas jarak transaksi sosial melampaui batas-batas kontak sosial langsung dan untuk mengekalkan struktur sosial melampaui batas umur manusia” (Ritzer & Goodman, 2010:373). Kita bisa melihat dalam konteks modal sosial gantangan dimana norma dan nilai silih bantu (resprositas) yang disepakati ini dapat tertanam dengan kuat dan berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sekalipun dengan perubahan dan transformasi pola yang terus berkembang. Sebagaimana dikemukakan oleh Peter M. Blau, terdapat empat (4) langkah proses atau tahapan dari pertukaran antar pribadi ke struktur sosial hingga perubahan sosial (Ritzer & Goodman, 2010:369) antara lain : Langkah 1: pertukaran atau transaksi individu yang meningkat ke …. Langkah 2: diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke …. Langkah 3: Legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari … Langkah 4: oposisi dan perubahan Pada tingkat kemasyarakatan, misalnya, Blau membedakan antara dua jenis organisasi sosial, yaitu kelompok sosial asli dan organisasi sosial yang dengan sengaja didirikan untuk mencapai keuntungan maksimal (Ritzer & Goodman, 2010:371). Kedua jenis organisasi sosial ini nantinya dapat menjadi dasar untuk menjelaskan bagaimana munculnya varian tipe dan pola pertukaran dalam modal sosial gantangan, yakni ketika tipe nyambungan (gift) yang asli mampu melahirkan organisasi sosial baru dalam bentuk Gintingan dan Golongan/Rombongan yang mirip dengan arisan dan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan bagi anggotanya. Gintingan dan Golongan ini nantinya dapat kita sebut sebagai sebuah “jaringan pertukaran” yaitu sebuah struktur sosial khusus yang dibentuk oleh dua aktor atau lebih yang menghubungkan hubungan pertukaran diantara para aktor (Cook, 1977, 62-82). Dalam jaringan pertukaran inilah kemudian kita akan memahami bahawasanya kekuasaan seseorang atas orang lain dalam hubungan pertukaran adalah kebalikan fungsi dari ketergantungannya terhadap orang lain. Hal ini terjadi karena pemahaman bahwa setiap sistem yang terstruktur itu cenderung terstratifikasi, sehingga komponen tertentu pasti tergantung pada komponen lainnya. Dengan kata lain, akses individu atau kelompok terhadap sumber daya yang bernilai itu berbeda sehingga menimbulkan kekuasaan dan ketergantungan. Maka premis dasar dalam teori pertukaran jaringan (network exchange theory) adalah “semakin besar peluang aktor untuk melakukan pertukaran, semakin besar kekuasaan si aktor” (Ritzer & Goodman, 2010:387). Dengan memahami relasi antara pertukaran sosial, jaringan pertukaran dan pertukaran jaringan inilah kita akan mampu menjelaskan bagaimana proses komersialisasi sosial (komodifikasi dan sistem bandar) dalam pertukaran sosial gantangan di pedesaan Subang ini. 2.3.3. Jaringan Pertukaran Kekuasaan (power) adalah dimensi utama yang membentuk ketidakseimbangan di dalam masyarakat. Kekuasaan juga merupakan faktor yang menentukan pilihan-pilihan hidup (life chances) individu. Ia adalah fokus utama yang dipelajari dalam ilmu-ilmu sosial dan politik, bahkan sejak jaman Hobbes, Machiavelli, Marx dan Weber. Apa yang menentukan seseorang/kelompok memiliki kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu dimainkan adalah isu utama dari kajian tentang kekuasaan ini. Salah satu teori paling berpengaruh dalam membahas kekuasaan ini adalah hasil analisis dari Emerson (1972) tentang “relasi kekuasaan-ketergantungan” (power-dependence relations). Kajian tersebut merupakan salah satu isu utama dalam psikologi sosial kontemporer, dimana ia menyempurnakan karyakarya sebelumnya tentang teori pertukaran sosial yang dibangun oleh Homans dan Blau (1964). Menurut Blau dan Emerson, hubungan antara kekuasaan dan pertukaran sosial ini sangatlah jelas. Faktanya adalah ketika seseorang menguasai sumber daya yang paling bernilai di dalam suatu masyarakat maka secara otomatis ia mendapat posisi sebagai social debts dalam pertukaran serta menciptakan ketimpangan dan subordinasi dalam relasi pertukaran tersebut. Dominasi oleh mereka yang lebih berkuasa tersebut yang menimbulkan ketimpangan dalam hubungan pertukaran. Ketimpangan dan diferensiasi kekuasaan inilah yang dilihat oleh Blau sebagai sesuatu yang pasti muncul dalam proses pertukaran sosial. Perbedaan alamiah dalam kepemilikan sumberdaya yang bernilai diantara para aktor menghasilkan saling ketergantungan dan kebutuhan untuk saling bertukar. Kondisi ini juga menjadi dasar lahirnya ketimpangan dalam hasil pertukaran (sesuai dengan perbedaan kekuasaan diantara para aktor dalam jaringan pertukaran tersebut). Hubungan pertukaran antara dua aktor, A dan B, menurut Emerson (1972), dapat digambarkan sebagai berikut : Kekuasaan aktor A terhadap aktor B dalam hubungan pertukaran Ax:By (dimana x dan y merepresentasikan nilai sumberdaya) meningkat sebagai fungsi dari nilai y bagi A dan menurun secara proporsional pada derajat ketersediaan y bagi A dari alternatif sumberdaya yang ada (selain dari B). Dua faktor ini, nilai sumberdaya dan ketersediaan sumberdaya, mempengaruhi level ketergantungan B terhadap A dan kekuasaan A terhadap B. Semakin besar ketergantungan B terhadap A, semakin besar kekuasaan A terhadap B. Postulat dalam hubungan pertukaran ini adalah bahwa basis kekuasaan itu adalah ketergantungan (power is based on dependence) yang kemudian diformulasikan oleh Emerson : Pab = Dba (Ketergantungan B terhadap A merupakan fungsi positif dari “motivasi investasi” B dalam mencapai “Tujuan yang dimediasi” oleh A dan menjadi fungsi negatif dari “ketersediaan tujuan tersebut” bagi B diluar hubungan A-B) Dalam pertukaran Gantangan, teori diatas dapat menjelaskan fenomena tentang mengapa ketika orang kaya (tokoh masyarakat, tokoh berpengaruh, elit desa, penguasa=A) melakukan hajatan, maka sebagain besar warga (B) berbondong-bondong menyimpan beras dan uang dalam jumlah yang lebih banyak/besar dari biasanya. Sebab, B termotivasi untuk mendapatkan pengembalian yang sama besar atau lebih besar kelak ketika mereka hajatan (goals). B melihat bahwa A memiliki sumberdaya yang mencukupi dan dapat dipercaya untuk mengembalikan simpanan mereka. Disamping itu, tidak banyak pilihan elit/orang kaya di desa tersebut, sehingga B akan memaksimalkan kesempatan tersebut. Meskipun formula dasar Emerson diatas berfokus pada hubungan dua aktor (dyadic), namun ciri hubungan pertukaran A:B tersebut melekat juga dalam jaringan pertukaran yang melibatkan multi aktor (C,D,…N). Struktur sosial dari peluang pertukaran dibangun dari basis teori struktural tentang kekuasaan dari Emerson. Satu dari dua penentu utama kekuasaan adalah peluang adanya pertukaran yang melekat di dalam jaringan. Jaringan (networks), dalam kerangka Emerson, dibentuk oleh relasi sosial yang terhubung untuk memperpanjang/memperluas pertukaran dalam satu hubungan saling mempengaruhi. Menurut Emerson, koneksi tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Hubungan negatif berarti pertukaran dalam satu relasi mengurangi jumlah atau frekuensi pertukaran dalam relasi yang lain. Sebagaimana diungkapkan oleh Bourdieu bahwa jaringan bukanlah sesuatu yang alamiah (natural given), melainkan harus dikonstruksi oleh masing-masing individu sebagai sebuah investasi yang strategis (Portes, 1998:3). Contoh : A-B dan B-C, hubungan pertukaran dikatakan negatif bagi B jika pertukaran dalam hubungan A-B mengurangi frekuensi atau jumlah pertukaran dalam hubungan B-C. Sebaliknya, hubungan pertukaran dikatakan positif jika pertukaran dalam hubungan A-B meningkatkan jumlah atau frekuensi dalam hubungan B-C Emerson sendiri mengadopsi operant psychology sebagai pondasi perilaku dalam teorinya, sebab ia melihatnya sebagai teori sosial yang bersifat mikro-level. Namun kemudian, Cook dan Emerson (1978) memperkenalkan konsep lainnya termasuk resiko (risk), ketidakpastian, dan kalkulasi rasional dari manfaat dan biaya ke dalam teori “pertukaran sebagai perilaku sosial”. Dalam teori ini, aktor dimotivasi oleh keuntungan masa depan, pertimbangan/antisipasi terhadap kehilangan atau biaya, atau secara sederhana mereka belajar dari interaksi di masa lalu yang menguntungkan. Asumsi dasar dalam pertukaran sosial diringkas oleh Molm (1997) antara lain : 1. Perilaku dimotivasi oleh hasrat untuk meningkatkan keuntungan dan menghindari kerugian/kehilangan, meningkatkan hasil positif dan mengurangi dampak negatif. 2. Hubungan pertukaran dibangun dalam struktur hubungan saling tergantung 3. Setiap aktor terlibat dalam pengulangan, saling tergantung dalam pertukaran dengan partner khusus/spesifik sepanjang waktu (tidak dalam satu transaksi pendek/sekali) 4. Keluaran yang dihasilkan sesuai dengan hukum ekonomi (law of deminishing marginal utility) atau prinsip kejenuhan (principle of satiation) dalam psikologi. Beberapa konsep lain yang akan sangat membantu dalam memahami pertukaran sosial antara lain : resiprositas, keseimbangan, kohesi, dan power-balancing operations. Emerson, sebagaimana Homans, memberikan perhatian utama pada pondasi mikro dari pertukaran, khususnya pada bagian I dari formulasinya : Suatu hubungan pertukaran dikatakan seimbang jika : Dab=Dba, yaitu ketika masing-masing aktor saling tergantung secara equal. Emerson membangun teori pertukaran untuk menjelaskan pengaruh kekuasaan dalam hubungan sosial. Interaksi sosial yang melampaui hubungan dua orang adalah bentuk dari jaringan sosial (social network) yang hubungan satu sama lain diikat oleh hubungan pertukaran. Cook dan Emerson (1978) telah secara spesifik menggambarkan jaringan sosial ini sebagai suatu sistem yang menghubungkan tiga atau lebih individu yang saling bertukar nilai barang atau jasa. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi dimana pertukaran dua individu (dyadic) saja tidak cukup, sebab menganalisa kekuasaan akan selalu membutuhkan penjelasan tentang jaringan, dimana alternatif sosial menjadi muncul dalam pertukaran jaringan ini. Ada tidaknya alternatif itulah yang menjadi salah satu faktor kuat berjalannya suatu hubungan pertukaran. Selain jaringan sosial, kekuasaan dalam pertukaran sosial juga sangat dipengaruhi oleh prinsip kompetisi. Kompetisi ini merupakan basis fundamental dalam berbagai tipe ekonomi dan hubungan pasar. Ide pokok dalam teori ketergantungan-kekuasaan adalah peluang dan alternatif individu tergantung kepada penurunan peluang dan alternatif individu lainnya. Dengan demikian, struktur dalam jaringan ini pun secara terbuka memberi peluang bagi aktor untuk menjadi penguasa yang dominan. Dalam membahas dinamika kekuasaan ini Emerson juga berbicara tentang keseimbangan kekuasaan (power balancing operations). Dengan memfokuskan pada dua variabel yang mempengaruhi ketergantungan, Emerson mengajukan empat proses yang mungkin membuat kekuasaan menjadi lebih seimbang (equal) di dalam berbagai hubungan yang tidak seimbang. Contohnya : A lebih berkuasa dari B (Pab>Pba dan Dba>Dab). Untuk menyeimbangkan hubungan ini maka : ï‚· B dapat menurunkan level motivasinya dalam mencapai tujuan yang dimediasi/difasilitasi oleh A ï‚· B dapat menempatkan sumber alternatif lainnya (misal aktor C) sebagai tujuan yang dimediasi oleh A (network extension) ï‚· B dapat mencoba meningkatkan motivasi A dalam mencapai tujuan-tujuannya yang dapat dimediasi oleh B ï‚· B dapat mencoba untuk mengeliminasi sumber alternatif dari A untuk tujuan yang dimediasi oleh B (bentuk koalisi atau tindakan kolektif dengan aktor lainnya) Dengan prinsip keseimbangan-kekuasaan ini Emerson dapat memprediksi beragam tipe perubahan dalam jaringan pertukaran yang diproduksi oleh para aktor untuk meraih kekuasaan atau mengelola kekuasaan di dalam suatu jaringan. Jaringan kekuasaan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai (Cook, 1977, 62-82): 1. Kesatuan dari tiga atau lebih aktor yang masing-masing menyediakan kesempatan untuk bertransaksi dengan sekurangkurangnya satu aktor lain di dalam jaringan. Dengan demikian, jaringan dapat dianggap sebagai “struktur kesempatan” (opportunity structure) bagi masing-masing aktor di dalam jaringan. 2. Dua hubungan pertukaran, A:B dan A:C adalah saling terhubung jika frekuensi atau magnitude dari hubungan transaksi yang satu merupakan fungsi dari hubungan transaksi yang lainnya. 3. Kategori pertukaran mewakili kesatuan dari seluruh aktor yang memiliki sumber daya yang sama dan yang sama-sama bernilai untuk dipertukarkan. 4. Kesatuan hubungan pertukaran mempertemukan satu aktor kepada dua atau lebih anggota suatu kategori pertukaran yang kemudian menghasilkan hubungan alternatif bagi aktor tersebut. 2.4. Komersialisasi Sosial Komersialisasi adalah suatu proses sosial dimana kegiatankegiatan ekonomi secara garis besar diatur atas dasar prinsip pertukaran pasar. Secara bahasa, komersial dan komersialisasi berarti (1) mempunyai sifat dagang (2) bersifat mencari untung (3) membuat sesuatu seperti perdagangan untuk mencari untung (Badudu-Zain, 1996:707-708). Untuk kepentingan penelitian terhadap sistem pertukaran sosial Gantangan di pedesaan Subang ini, maka penulis mendefinisikan Komersialisasi Sosial Gantangan sebagai “penciptaan hubungan-hubungan pasar dalam lingkup pesta hajatan dan ekonomi lokal, dimana alokasi sumber daya sosial diwujudkan dalam mekanisme harga yang terbentuk dari proses permintaan dan pernawaran”. Disini kewajiban timbal balik (resiprositi) terwujud dalam bentuk “nilai terhadap uang”, “imbalan yang pantas bagi jasa yang diberikan” dan hal-hal semacam itu. Proses komersialisasi ini mempengaruhi banyak aspek kemasyarakatan sehingga kita dapat membicarakan suatu masyarakat yang didominasi oleh prinsip pasar. Diluar kegiatan yang diatur oleh prinsip pasar itu juga terdapat prinsip- prinsip pengaturan ekonomi lainnya seperti prinsip keluarga, organisasi sukarela, dan pemerintah (Peny, 1990:134-139). 2.5. Kemiskinan Dalam perspektif tentang kemiskinan, salah satu indikator utama individu atau rumah tangga disebut miskin adalah akibat ketidakmampuan atau ketertutupan akses dalam memenuhi kebutuhan pangan. Meskipun memang banyak sekali definisi dan cara pengukuran kemiskinan yang digunakan para ahli atau pemerintah yang berbeda satu sama lain. Akan tetapi, ada dua kategori tingkat kemiskinan yang berlaku umum, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan). Sedangkan kemiskinan relatif merupakan perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah. Dikatakan relatif karena berkaitan dengan distribusi pendapatan antar lapisan sosial (Huraerah, 2008:168). Pendekatan kemiskinan absolut pernah digunakan oleh Sajogyo pada tahun 1971, yaitu perhitungan kemiskinan yang dikembangkan dengan memperhitungkan standar kebutuhan pokok berdasarkan kebutuhan beras dan gizi (pendapatan per kapita per tahun beras). Dari perhitungan Sajogyo ini lahir tiga golongan orang miskin, yaitu golongan paling miskin, miskin sekali dan miskin. Tabel 1. Batas Tingkat Pengeluaran (Garis Kemiskinan) Untuk Penduduk Perkotaan dan Penduduk Perdesaan Menurut Kategori Kemiskinan9 Kategori Kemiskinan 1. Miskin 2. Miskin Sekali 3. Paling Miskin 9 Batas Tingkat Pengeluaran (setara beras per kapita per tahun) Perkotaan Perdesaan 480 kg 320 kg 360 kg 240 kg 270 kg 180 kg Sajogyo (1978) dalam Said Rusli dkk (1995:6) Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 2007-2010 di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 2008 2009 2010 Jumlah Penduduk Miskin (000) Kota Desa Kota+Desa 2 654.6 2 803.3 5 457.9 3 654.6 2 705.0 5 322.4 4 654.6 2 452.2 4 983.6 5 654.6 2423.2 4773.7 % Penduduk miskin Kota 11.21 Desa 16.88 Kota+Desa 13.55 10.88 16.05 13.01 10.33 14.28 11.96 9.43 13.88 11.27 Sumber : BPS, 2010 Meskipun demikian, dialog tentang kemiskinan ini masih terus berkembang dengan sudut pandang yang berbeda, di satu sisi banyak pihak menekankan pada persoalan produksi dan produktivitas masyarakat sebagai keseluruhan, dan di sisi lain lebih menekankan pada pembagian yang merata, keadilan dan sebagainya. Kemudian, ukuran mutlak seperti konsumsi pangan (beras) sebagai tolak ukur kemiskinan tidak akan mencukupi lagi, walaupun faktor-faktor tersebut juga tidak dapat ditiadakan karena menjadi kebutuhan dasar manusia. Artinya, semakin kebutuhan dasar terpenuhi, maka semakin tinggi pula tuntutan akan kebutuhan sekunder dan tersier (Tjondronegoro,2008:295). Dengan demikian, secara filosofis, makna kemiskinan relatif yang dikemukakan oleh Simmel (1908) nampaknya lebih tepat digunakan untuk memahami fenomena kemiskinan di pedesaan ini. Ia menyatakan bahwa orang miskin bukan sekedar mereka yang berada pada lapisan paling bawah masyarakat, melainkan ditemukan pada seluruh strata masyarakat. Anggota masyarakat kelas atas, misalnya, yang lebih miskin dari sesamanya, cenderung merasa miskin jika dibandingkan dengan sesamanya. Oleh karena itu, sekalipun orang-orang dalam lapisan bawah itu dapat terangkat dari kemiskinan semula, maka banyak orang yang berada dalam sistem stratifikasi masih akan merasa lebih miskin bila dibandingkan dengan sesamanya (Ritzer & Goodman, 2010:183) Jika diringkas, kemiskinan merupakan masalah kekurangan (deprivation), meskipun kekurangan atau kemiskinan relatif ini tidak pernah lengkap untuk dijadikan pendekatan dalam mengukur kemiskinan. Sementara pendekatan yang lebih biologis seperti jumlah konsumsi kalori, cenderung mereduksi hanya pada pengertian kemiskinan absolut. Kemiskinan dan ketidakadilan (inequality) juga sering dihubungkan. Akan tetapi keduanya adalah konsep yang berbeda. Apakah kemiskinan adalah persoalan nilai (value judgement)? Pendekatan moral ini tidaklah cocok untuk sebuah studi pengukuran tingkat kemiskinan. Dengan demikian, alternatif pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur kemiskinan ini adalah dengan identifikasi dan agregasi (identification of the poor and agregation of their poverty characteristic into an over-all measure) (Sen, 1982:9-24). 2.6. Teori Permainan Dengan asumsi bahwa para pelaku atau orang yang terlibat dalam pertukaran sosial gantangan ini adalah mereka yang mampu mengambil keputusan secara bebas dan rasional, maka di akhir penelitian ini dapat direkonstruksi suatu model pengambilan keputusan berbasis teori permainan. Secara sederhana, teori permainan yang dikembangkan oleh John von Neumann dan Morgenstern (1944) ini merupakan sebuah pendekatan terhadap kemungkinan strategi yang disusun secara matematis (logis dan rasional) serta digunakan untuk mencari strategi terbaik dalam suatu aktivitas, dimana setiap pemain (aktor) di dalamnya sama-sama mencapai utilitas tertinggi (Osborne & Rubinstein, 1994:1). Dalam kajian-kajian sosiologi, teori permainan ini mulai populer digunakan sejak tahun 1980-an. Namun demikian, penggunaan teori permainan oleh para sosiolog ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1950an sampai pertengahan 1970an. Swedberg (2001:1) mengklasifikasikan bahwa teori permainan yang dikembangkan oleh para sosiolog pada periode 1950-1970an itu sebagai “old sociological game theory” dan teori permainan yang dikembangkan pada tahun 1980an sebagai “new sociological game theory”. Tabel dibawah ini akan membantu kita memahami penggunaan teori permainan dalam analisisanalisis sosiologis : Tabel 3. Perbedaan penggunaan teori permainan dan analisis terkait permainan dalam kajian sosiologi dari tahun 1950-2000 Tipe teori permainan atau pendekatan terkait permainan 1 Teori permainan high-tech 2 Teori permainan low-tech 3 Permainan sebagai metafora umum Karakteristik umum Contoh penelitian/kajian Topik kajian Penggunaan standar teori permainan dengan teknik yang tinggi (deduktif, matematis, dan model simulasi) Raub (1988), Raub dan Weesie (1990), Heckathorn (1988, 1989), Macy dan Skvoretz (1988), montgomery (1998) Bernard (1964,1968) Gamson (1961) Boudon (1979) Coleman (1990) Dilema sosial terkait dengan kerjasama, tindakan kolektif dan normanorma Konflik, koalisi, koordinasi, pendidikan dan normanorma Goffman (1961), Elias (1970), Crozier dan Thoenig (1975), Kekuasaan, kerja, organisasi, dilema Penggunaan logika dasar dan bahasa konseptual dari teori permainan, termasuk penggunaan payoff matrix Kosa kata dalam teori permainan digunakan dengan tanpa pendekatan 4 5 6 Permainan khusus digunakan dalam analisis Studi tentang permainan di dalam masyarakat Kajian laboratorium teknis matematis (permainan, pemain, strategi, dll) Permainan khusus digunakan untuk menganalisis peristiwa sosial Permainan yang ditemukan di dalam masyarakat dianalisis secara sosiologis Pengalaman dengan orangorang Crozier (1976), Burawoy (1979) dalam penjara, interaksi strategis Vinake dan Arkoff Pachisii, (1954), Boorman wei-ch’i, (1967), Coleman pengambilan (1967,1969) keputusan kolektif, Andersoon and Permainan moore (1960), secara Goffman (1961), umum, Leifer (1988, contoh : 1991) catur Bonacich Kekuasaan, (1972,1976), dilema Snijders dan Raub dalam (1998) pernjara, kerjasama Sumber : Swedberg, 2001:309 Teori permainan ini digunakan untuk melihat kecenderungan masyarakat pedesaan dalam menyikapi atau mengambil keputusan untuk terlibat atau tidak terlibat ke dalam pertukaran sosial gantangan beserta keuntungan yang mungkin mereka peroleh. Langkah awal yang dilakukan dalam menerapkan teori ini dan membuat suatu model strategi pengambilan keputusan adalah dengan terlebih dahulu menentukan empat unsur utama, yaitu (1) pemain (2) strategi-strategi (3) preferensi dan (4) reaksi dari setiap pemain. Model strategi yang dihasilkan pun dapat diklasifikasikan ke dalam sejumlah cara, seperti (1) jumlah pemain (2) jumlah keuntungan dan (3) jumlah strategi dan kemudian dituangkan dalam matrik ganjaran (payoff matrix). BAB III METODOLOGI 3.1. Metode Penelitian Studi Kasus Untuk mendapatkan informasi umum tentang sejarah, pola pertukaran, komersialisasi dan praktek-praktek lain dalam tradisi Gantangan di masyarakat pedesaan Subang, maka peneliti menggunakan beberapa teknik pengambilan data dalam metode penelitian kualitatif, seperti forum komunitas (community forum) atau Wawancara Kelompok Terfokus (Focus Group Interviews), pendekatan informan kunci (key informant approach), wawancara mendalam (indepth interview), dan observasi. Penelitian kualitatif bermakna bahwa penelitian ini dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting). Salah satu jenis penelitian kualitatif yang digunakan disini adalah studi kasus (case study). Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya yang alamiah tanpa intervensi dari pihak luar (peneliti) (Salim, 2006:118). Studi kasus ini sangat tepat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang bersifat “mengapa” (why?) dan bagaimana (how?). Metode studi kasus ini menekankan pada tujuan untuk mengetahui keragaman (diversity) dan kekhususan (particularity) dari objek studi, dalam hal ini sistem pertukaran sosial gantangan di komunitas pedesaan Subang. Hasil utamanya adalah menemukan keunikan kasus yang diteliti, yang meliputi : (1) hakekat kasus (2) latar belakang historis (3) setting fisik (4) konteks kasus (5) persoalan lain disekitar kasus dan (6) informan atau segala hal berkaitan dengan kasus tersebut. 3.2. Wawancara Kelompok Terfokus Forum Komunitas merupakan sebuah teknik untuk mengumpulkan data dengan cara menyelenggarakan sebuah pertemuan yang sifatnya umum. Dalam forum tersebut semua anggota komunitas yang hadir akan mendiskusikan masalah tertentu dan mereka didorong untuk mengeluarkan pendapat masing-masing mengenai isu-isu yang menjadi target penelitian (Rudito & Famiola, 2008:179-180). Nama lain dari Forum Komunitas ini adalah Wawancara Kelompok Terfokus. Teknik ini dimaksudkan untuk menggali pemahaman dan kesan anggota masyarakat di pedesaan terhadap modal sosial Gantangan secara objektif dan kolektif, karena ada proses aksi-reaksi dan koreksi langsung terhadap berbagai pendapat yang disampaikan di dalam Forum melalui pola pendekatan yang terstruktur. Tabel 4. Perbandingan Pola Pendekatan dalam Wawancara Kelompok terfokus Terstruktur Tujuan : Menjawab pertanyaan/kegelisahan peneliti Kepentingan peneliti lebih dominan Lebih banyak pertanyaan khusus dan spesifik Moderator memimpin langsung dan mengarahkan diskusi Moderator memfokuskan kembali arah dan substansi diskusi Partisipan memusatkan perhatiannya pada moderator Tidak Terstruktur Tujuan : memahami pemikiran partisipan Kepentingan partisipan lebih dominan Lebih banyak pertanyaan yang bersifat umum Moderator memfasilitasi interaksi antar partisipan Moderator dapat mengeksplorasi topik baru di dalam diskusi Partisipan berbicara satu sama lain Sumber : Marvasti, 2004:23 Sebagai pengarah, penengah dan pengontrol jalannya Forum Komunitas ini adalah peneliti itu sendiri. Selain sebagai sebuah teknik pengumpulan data, Forum Komunitas ini juga bermanfaat sebagai ajang memperkenalkan diri dan diharapkan komunitas sasaran lebih mengenal dan memahami maksud dari penelitian yang sedang dilakukan. Dengan demikian, pada proses pengambilan data selanjutnya peneliti tidak akan mengalami kesulitan karena sudah dikenal dan diterima kehadirannya. Dalam perencanaan penelitian, sasaran yang dilibatkan dalam Forum Komunitas adalah minimum 10 rumah tangga dan maksimum 15 rumah tangga di setiap Dusun yang dipilih dengan kriteria sebagai salah satu Dusun yang masuk dalam wilayah Desa termiskin di 3 Kecamatan yang memiliki karakteristik agro-ekologi dan sosial-ekonomi yang berbeda, yaitu Kecamatan Blanakan (pesisir, Subang utara), Kecamatan Cikaum (dataran rendah, Subang tengah) dan Kecamatan Cijambe (dataran tinggi dan perbukitan, Subang Selatan). Ketiga kecamatan tersebut juga dipilih karena memiliki jumlah rumah tangga miskin atau pra-sejahtera paling tinggi diantara seluruh Kecamatan di Kabupaten Subang. Peneliti mengaitkan kemiskinan dan modal sosial Gantangan dengan tujuan membuktikan beberapa proposisi dan teori yang secara lengkap telah dibahas dalam bab pendahuluan dan tinjauan pustaka. Teknik pelaksanaan forum komunitas ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu : (1) Peneliti menghubungi dan mewawancarai terlebih dahulu kepala dusun, aparat desa atau tokoh masyarakat di lokasi penelitian terkait praktik modal sosial gantangan di wilayahnya (2) Peneliti meminta bantuan kepada kepala dusun, aparat desa atau tokoh masyarakat tersebut untuk memilih dan mengumpulkan warganya (minimum 10 RT) secara acak-insidental sebagai peserta Forum Komunitas untuk membahas Gantangan (3) Peneliti menyerahkan sepenuhnya penentuan waktu dan tempat untuk pelaksanaan Forum Komunitas kepada kepala dusun, aparat desa atau tokoh masyarakat tersebut (4) Peneliti membagi Forum Komunitas di setiap dusun ke dalam dua sesi yang berbeda, yaitu sesi Suami dan sesi istri. Maksud pembedaan sesi diskusi kelompok terfokus ini adalah semata-mata untuk menjamin bahwa pendapat suami maupun istri dapat tergali secara lebih terbuka dan masing-masing dapat mewakili pendapatnya sendiri. Peneliti memiliki kekhawatiran jika suami istri dihadirkan bersamaan dalam satu kelompok diskusi maka akan terjadi bias pendapat, seperti dominasi salah satu pasangan karena ia merasa sebagai kepala rumah tangga atau juru bicara rumah tangga. Akibatnya, aspirasi dan pendapat salah satu pihak tidak akan tergali atau tersampaikan. (5) Dalam pelaksanaan Forum Komunitas peneliti dibantu oleh dua orang asisten10 untuk membantu proses diskusi agar lebih dinamis dan menjaga agar pengumpulan data dapat dilakukan secara efektif (penggalian, pencatatan, pendokumentasian) (6) Susunan acara Forum Komunitas biasanya dengan pembukaan, perkenalan (dengan permainan dinamika kelompok tertentu), penggalian kesan (dengan alat bantu kertas, spidol, papan tulis, dan selotip), diskusi, penguatan dan penyimpulan atas beberapa sub topik (7) Pada sesi perkenalan peserta diminta mengisi daftar hadir dan form profil informan yang telah disiapkan oleh peneliti. Peserta yang buta huruf didampingi fasilitator dalam proses pengisiannya. (8) Di akhir Forum, peneliti memberikan sekedar ucapan terima kasih berupa bingkisan kecil11 kepada masing-masing peserta. Keberadaan bingkisan ini tidak diketahui sebelumnya oleh peserta (agar tidak 10 Peneliti dibantu oleh satu (1) orang Sarjana Kesejahteraan Sosial (Tita Irama) dan satu (1) orang mahasiswa S1 Sejarah dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung (Didi S. Sopyan) 11 Bingkisan tersebut berisi gula pasir ¼ kg, minyak goreng ¼ kg, kopi 1 bungkus, mie instan 3 bungkus, biskuit 2 buah kepada masing-masing peserta perempuan dan bingkisan berisi mie instan 3 bungkus, kopi 1 bungkus, biskuit 2 bungkus dan rokok 1 bungkus kepada masingmasing peserta laki-laki. mempengaruhi motivasi kehadiran) dan dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih dan kompensasi atas waktu yang telah diluangkan oleh warga masyarakat. Setiap tahapan yang direncanakan tersebut dilakukan sama di setiap lokasi penelitian. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya selalu terdapat penyesuaian dan perbedaan dari perencanaan, meskipun perbedaan tersebut tidak menyebabkan substansi Forum Komunitas berubah. Misalnya, ketika Forum Komunitas di Dusun Cimenteng, Desa Cimenteng, Kecamatan Cijambe yang dilakukan pada Jumat 9 Maret 2012, jumlah peserta yang datang lebih banyak dari biasanya, yaitu 19 orang peserta perempuan. Padahal maksimum jumlah peserta diskusi yang optimal (secara teori maupun pengalaman peneliti) adalah tidak lebih dari 12 Orang (Rudito & Famiola, 2008:183). Penambahan peserta ini juga tidak dapat diantisipasi oleh tokoh masyarakat yang mengundang dikarenakan antusiasme warga yang penasaran melihat kegiatan yang sedang dilakukan tersebut sangat tinggi. Untungnya, tempat yang dipakai untuk Forum Komunitas cukup memadai untuk menampung semua sehingga setiap peserta pun dapat menyalurkan pendapatnya secara bebas. Akan tetapi disisi lain, bertambahnya jumlah peserta Forum Komunitas dan sebagian peserta bukan pasangan suami istri (satu rumah tangga), membawa implikasi pada proses pengolahan data penelitian. Hal ini mendorong peneliti untuk memisahkan pembahasan pada unit analisis individu dan pada level rumah tangga yang berbeda. Secara keseluruhan, Forum Komunitas untuk pengumpulan data penelitian ini telah dilakukan sebanyak 6 kali, antara lain : Tabel 5. Jadwal dan Jumlah Partisipan dalam Forum Komunitas “Komersialisasi Gantangan” di 3 Desa No Hari/Tanggal Lokasi Waktu Tempat Jumlah Partisipan L P 1 Senin, 27 Dusun 19.00 s.d Rumah 12 Februari 2012 Awilarangan, 20.30 Bapak Desa WIB Sarna Pasirmuncang, (Kadus) Kec. Cikaum 2 Selasa, 28 Dusun 19.00 s.d Rumah 12 Februari 2012 Awilarangan, 20.30 Bapak Desa WIB Sarna Pasirmuncang, (Kadus) Kec. Cikaum 3 Jum’at, 3 Dusun Cimenteng, 14.00 s.d Rumah 19 Maret 2012 Desa Cimenteng, 15.30 Bapak Kec. Cijambe WIB Barjuk (Kaur Kesra) 4 Jum’at, 3 Dusun Cimenteng, 15.30 s.d. Rumah 10 Maret 2012 Desa Cimenteng, 17.00 Bapak Kec. Cijambe WIB Barjuk (Kaur Kesra) 5 Rabu, 4 April Dusun 15.30 s.d. Rumah 16 2012 Tegaltangkil, 17.00 Bapak Desa Jayamukti, WIB Nuridi Kec. Blanakan (warga) 6 Rabu, 4 April Dusun 19.30 s.d. Rumah 19 2012 Tegaltangkil, 21.00 Bapak Desa Jayamukti, WIB Nuridi Kec. Blanakan (warga) Total Partisipan 47 41 Gambar 7. Perbandingan Jumlah Informan wawancara kelompok terfokus di tiga desa lokasi penelitian 3.3. Wawancara Mendalam dan Pendekatan Informan Kunci Wawancara mendalam dilakukan sebelum dan setelah wawancara kelompok terfokus atau Forum Komunitas dilakukan. Tujuannya adalah untuk mendalami berbagai isu-isu atau informasi yang relevan dengan penelitian akan tetapi belum begitu jelas. Wawancara Mendalam PraForum Komunitas dilakukan oleh peneliti kepada tokoh masyarakat, seperti pengurus desa dan kepala dusun. Dalam wawancara tersebut, peneliti berusaha untuk mendapatkan gambaran umum dari desa atau dusun yang akan menjadi lokasi penelitian, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya, mata pencaharian hingga data-data lainnya terkait profil desa dan dusun setempat. Dari wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat ini, biasanya peneliti akan mendapatkan informasi gantangan dari perspektif elit, sebab mereka yang menjadi tokoh masyarakat ini memang biasanya menempati posisi sosial yang tinggi (golongan menengah ke atas) ditengah warganya. Selain itu, karena banyak permasalahan warga dan komunitas yang diselesaikan melalui perantara mereka, maka para tokoh masyarakat ini juga sangat memahami karakteristik maupun masalah-masalah yang dihadapi oleh warganya, sehingga sangat relevan untuk menjadi narasumber penelitian. Sedangkan wawancara mendalam pasca-forum komunitas dilakukan kepada orang-orang yang namanya sering disebut-sebut oleh warga lainnya ketika proses forum komunitas berlangsung. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memegang peran tertentu dalam sistem pertukaran sosial Gantangan ini, seperti bandar, panitia hajat, bapak hajat dan aktor-aktor lain yang peran dan posisinya masih belum begitu terang bagi peneliti. Dalam sebuah sistem pertukaran sosial seperti gantangan ini, kepemimpinan memang tidak selalu berada di tangan para pejabat formal (kepala desa atau kepala dusun). Terkadang pemimpin atau orang-orang yang dianut oleh masyarakat adalah mereka yang bukan pejabat pemerintahan atau tokoh-tokoh formal, seperti sesepuh, tokoh pengajian ibu-ibu, mandor di perkebunan, pemilik warung, dan lain sebagainya. Mereka yang namanya selalu disebut adalah yang memiliki peran besar dalam pertukaran sosial gantangan ini, sehingga sangat relevan untuk menjadi informan kunci (key informan) dalam penelitian. 3.4. Observasi Observasi atau pengamatan dilakukan secara langsung oleh penulis, baik terhadap pelaksanaan pesta hajatan, gantangan maupun terhadap kondisi umum dari desa-desa di lokasi penelitian. Pengamatan terhadap pesta hajatan dan gantangan dilakukan misalnya dengan keterlibatan secara langsung, baik sebagai tamu kondangan biasa maupun secara khusus meminta ijin kepada bapak hajat untuk mengamati seluruh aktivitas persiapan, pelaksanaan hingga pasca hajat gantangan. Pengamatan ini sangat membantu penulis dalam menghayati kondisi kehidupan sehari-hari dari komunitas di tiga desa miskin yang berbeda satu sama lain. Misalnya saja di desa Jayamukti (Subang Utara) yang berhawa panas, berdebu, dan sulit mendapatkan air bersih tentu saja memiliki pola perilaku masyarakat yang berbeda dengan di desa Cimenteng (Subang Selatan) yang relatif dingin, berbukit-bukit dan memiliki banyak mata air. Selain dicatat dalam log book penulis, hasil pengamatan ini sebagian juga didokumentasikan dalam bentuk rekaman audio visual maupun dalam bentuk foto. 3.5. Simulasi Model Permainan Basis dalam membangun model komputasional (computational sociology) untuk pertukaran gantangan ini sebenarnya berakar dari teori permainan dilema dalam penjara (prisoner’s dilemma). Dalam prisoner’s dilemma diceritakan Polisi menangkap 2 tersangka sebuah kasus kriminal. Mereka diinterogasi secara terpisah, dan tidak ada komunikasi di antara mereka. Karena bukti-bukti belum cukup, maka polisi memberi mereka 2 pilihan: menyangkal atau mengakui keterlibatan mereka berdua. Jika keduanya menyangkal, maka A dan B akan mendapat hukuman penjara 1 tahun. Jika A menyangkal dan B mengaku, maka A akan diganjar 10 tahun penjara, dan B bebas. Jika A mengaku dan B menyangkal, maka A bebas dan B mendapat hukuman 10 tahun. Jika keduanya mengaku, masingmasing akan diganjar 8 tahun. Dari berbagai pilihan yang tersedia itu, hasil akhir pengambilan keputusan digambarkan dalam bentuk payoff matrix sebagai berikut : Tabel 6. Payoff Matrix Prisoner’s Dilemma Strategi Napi A Menyangkal Mengaku Napi B Menyangkal -1, -1 0,-10 Mengaku -10,0 -8,-8 Dari model dasar Prisoner’s dilemma tersebut, permodelan matematis untuk petukaran sosioal Gantangan juga berusaha dibangun. Agar permainan “gantangan” dapat dimodelkan secara matematis, diperlukan 4 elemen dasar dari sebuah permainan, yaitu : (1) Pemain, (2) Tindakan (3) Payoff dan (4) Informasi. Keempat elemen itu disebut juga Rules of The Game. Para pemain – dalam konteks ini para aktor gantangan - berusaha memaksimalkan ganjaran mereka, dengan cara memilih strategi yang tepat berdasarkan informasi yang mereka miliki. Keadaan di mana setiap pemain telah menentukan strategi yang optimal disebut kesetimbangan (equilibrium). Dengan mengetahui kesetimbangan dari suatu game, pemodel dapat mengetahui tindakan/strategi apa yang dipilih oleh para pemain yang terlibat, dan juga outcome dari permainan tersebut. Payoff adalah sebuah bilangan yang merepresentasikan derajat hasil (utilitas) yang diinginkan oleh pemain yang terlibat. Semakin besar nilai payoff, semakin menguntungkan bagi pemain. Dalam sebuah permainan, ganjaran atau payoff dapat direpresentasikan dalam bentuk matrik. BAB IV LOKASI PENELITIAN 4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Lokasi pertimbangan dalam ilmiah dipertanggungjawabkan. penelitian dan ini ditentukan melalui berbagai yang dapat tahapan-tahapan Pertimbangan ilmiah adalah dalam rangka membuktikan proposisi (tesis) dari D.H. Peny (1999) yang mengatakan bahwasanya “orang semakin miskin, maka semakin bertindak komersil” dan “semakin rawan pangan kondisi suatu tempat, maka akan membuat orang semakin bersikap individualistik”. Tesis tersebut dibangun berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh ekonomi pasar terhadap kemiskinan. Jika kita memahami kerawanan pangan dalam konteks rendahnya daya beli masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa golongan yang mengalami kondisi rawan pangan adalah masyarakat golongan miskin itu sendiri. Oleh karena itu, untuk membuktikan ada tidaknya perilaku komersil dan individualistik pada komunitas miskin, maka untuk menentukan lokasi penelitian ini dicari desa miskin di kabupaten Subang sebagai kriteria pertama. Sumber : Data Susenas 2009 Gambar 8. Rata-Rata Pengeluaran perkapita/bulan Penduduk Kabupaten Subang tahun 2009 Kemiskinan suatu masyarakat atau wilayah tentu saja disebabkan oleh beragam faktor (multidimensional), mulai dari faktor sumber daya alam, sumber daya manusia, hingga persoalan struktural (akses, kontrol, kebijakan, marginalisasi, dll) dan kultural (adat istiadat, pandangan hidup masyarakat, kebiasaan, dll) lainnya. Dalam konteks ini, penelitian bukan menitikberatkan pada apa penyebab kemiskinan itu? melainkan lebih kepada tipe-tipe kemiskinan seperti apa yang ada di pedesaan. Tipe kemiskinan ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan dimana masyarakat tinggal. Berangkat dari keyakinan bahwa orang miskin di desa tentu saja berbeda dengan orang miskin di kota, orang miskin di pegunungan tentu saja berbeda dengan orang miskin di pesisir, dan seterusnya. Oleh karena itu, kriteria kedua dari lokasi penelitian komersialisasi sosial di pedesaan ini adalah kondisi agro-ekologis dan sosial-ekonomi yang khas, seperti wilayah pesisir, ekosistem sawah dan pegunungan atau hutan. Kedua kriteria utama diatas kemudian dioperasionalisasikan ke dalam pemilihan lokasi dengan melihat data-data Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten Subang terbaru (2010-2011) sekaligus dengan melakukan verivikasi langsung ke lapangan secara bertahap, yaitu verivikasi di tingkat Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Dusun/Kampung. Khusus untuk pemilihan desa dan dusun, peneliti menganggap bahwa aparat dan masyarakat setempat adalah yang paling tahu dan memahami kondisi wilayahnya. Oleh karena itu, penentuan lokasi desa dan dusun didasarkan pada informasi petugas Kecamatan dan aparat Desa/Kelurahan setempat. Dari proses semacam ini, peneliti memperoleh tiga lokasi, yaitu Desa Jayamukti Kec. Blanakan (Subang Utara), Desa Pasirmuncang Kec. Cikaum (Subang Tengah) dan Desa Cimenteng Kec. Cijambe (Subang Selatan) dengan gambaran sebagai berikut : 4.1. Subang Utara Wilayah Subang Utara dikenal juga dengan sebutan Pantura Subang atau Pantai Utara Subang. Terdapat tiga kecamatan yang memiliki bentang pantai di wilayah ini (dari Barat ke Timur), yaitu kecamatan Blanakan, Kecamatan Legon Kulon dan Kecamatan Pusakanegara. Penilitian ini mengambil salah satu wilayah kecamatan yang terpadat populasinya dan memiliki banyak rumah tangga prasejahtera (miskin) menurut kriteria BPS, yaitu kecamatan Blanakan, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Karawang di sebelah baratnya. Kecamatan Blanakan terdiri dari 9 Desa/Kelurahan dan 49 Dusun. Meskipun tergolong masyarakat pesisir, sebagian besar penduduk di Subang Utara ini mayoritas masih bekerja di dunia pertanian padi (sawah), lalu sebagian menjadi petambak dan nelayan. Namun demikian, karakteristik masyarakatnya memang cenderung lebih terbuka karena sebagian besar dulunya merupakan pendatang dari Jawa. Sumber : Profil desa Jayamukti tahun 2011 Gambar 9. Komposisi Penduduk dan Etnis di Desa Jayamukti, Kec. Blanakan, Kabupaten Subang Sumber : Profil desa Jayamukti tahun 2011 Gambar 10. Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian di Desa Jayamukti tahun 2011 4.2. Subang Tengah Mayoritas penduduk desa pasir muncang bekerja sebagai buruh tani di perkebunan tebu (PG. Rajawali). Sebagian besar areal lahan di desa ini ditanami tebu yang sekaligus menjadi pemasok utama untuk produksi gula di pabrik yang juga berlokasi dan beroperasi di daerah ini. Hanya sebagian kecil saja lahan yang masih menjadi milik petani setempat dan biasanya ditanami padi. Dulunya, areal perkebunan tebu ini adalah bekas kebun karet. Lokasi dusun-dusun di desa pasir muncang ini berkelompok-kelompok (semacam berpetak-petak) dan satu sama lain dipisahkan oleh kebun tebu yang cukup luas. Sehingga jalan penghubung antar dusun dan antar desa juga masih berupa tanah berlumpur dan berbatu (sebagian hasil pengerasan) yang sulit dilalui ketika musim penghujan. Selain menjadi buruh tani, ada juga penduduk yang menjadi buruh pabrik, pedagang dan tukang ojek. Sumber : data dasar desa Pasirmuncang tahun 2011 Gambar 11. Komposisi Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah) Pabrik gula yang beroperasi di pasirmuncang ini sudah masuk kontrak tahap II. Setiap sekali kontrak memiliki jangka waktu hingga 20 tahun. Kontrak pertama dimulai tahun 1982 s.d. 2002, lalu kontrak kedua tahun 2002 s.d. 2022. Beberapa warga menuturkan, “kalau boleh memilih, lebih baik pabrik gula ini pergi dari sini. Sebab, jika dihitung-hitung, kami warga masyarakat banyak dirugikan”. Selain memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian warga, adanya perkebunan tebu ini memang juga menyebabkan beberapa kerugian bagi warga lainnya, seperti : ï‚· Kerusakan infrastruktur dan lingkungan karena banyaknya truktruk besar yang lewat setiap hari ï‚· Pada waktu tertentu, alat-alat berat juga masuk untuk pengolahan tanah (penggemburan/pembalikan) ï‚· Akibatnya, pada musim kemarau, debu berterbangan kemanamana, jalanan rusak dan berlubang tanpa pernah diperbaiki. Diperbaiki pun percuma, pasti rusak lagi. ï‚· Pada musim penghujan, tanah-tanah dari kebun tebu yang berlumpur merah itu longsor dan masuk ke sawah-sawah milik warga. Dari tahun ke tahun, sawah-sawah di desa ini semakin dangkal akibat longsor tersebut. Menurut penuturan beberapa informan, kebanyakan warga di desa Pasimuncang ini memiliki kebiasaan “nganjuk” (hutang), baik ke warung, toko, maupun ke tetangga. Sebab, mereka sudah dari dulu terbiasa mengandalkan upah dari PT (pabrik gula). Oleh karena itu, siapapun yang mau jadi pedagang atau buka warung di Pasirmuncang, konon harus punya modal 7 kali lipat dari biasanya, untuk mengantisipasi kebiasaan nganjuk dari warga tersebut. jika modal usaha/berdagang terlalu sedikit, maka kemungkinan besar akan rugi/bangkrut karena kebiasaan nganjuk tersebut. Sumber : Data dasar desa Pasirmuncang tahun 2011 Gambar 12. Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian penduduk Ds. Pasirmuncang tahun 2011 4.3. Subang Selatan Subang selatan merupakan daerah yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Orang Subang menyebut daerah selatan ini sebagai daerah tonggoh (atas). Sebagai daerah dengan topografi pegunungan semacam itu, menyebabkan bentuk-bentuk perkampungan/desa yang khas pula, yaitu menggerombol satu sama lain. Salah satu kecamatan yang paling padat penduduknya di wilayah Subang Selatan ini adalah Kecamatan Cijambe. Di Kecamatan Cijambe ini, penelitian dilakukan di desa Cimenteng, salah satu desa yang berlangganan mendapat kategori sebagai desa tertinggal sejak tahun 1982. Desa berpenduduk 3.961 jiwa ini berjarak kurang lebih 20 km dari jalan raya utama Cijambe (Subang-Bandung). Sumber : profil desa Cimenteng tahun 2010 Gambar 13. Komposisi Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Ds. Cimenteng tahun 2010 Meskipun desa-desa di tonggoh ini nampak terisolasi, bukan berarti tidak tersentuh oleh perubahan. Justru yang mengherankan, rumah-rumah penduduk disini tidak kalah bagus dengan rumah-rumah di perkotaan (berlantai keramik, bertembok bata, memiliki parabola, dan sebagainya). Infrastruktur jalan yang kurang memadai tidak menghalangi warga desa Cimenteng, misalnya, untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Meskipun sebagian besar warga menggantungkan kehidupan dari hasil hutan dan ladang, banyak pula yang mengadu nasib ke luar negeri (Arab dan Malaysia) serta yang menikah dengan penduduk dari luar desa/kota. Dengan demikian, jangan dibayangkan masyarakat tonggoh ini sebagai sebuah masyarakat yang tertutup dan homogen seperti jaman dahulu, melainkan kini sudah cukup heterogen dan dinamis layaknya desadesa di dataran rendah. Teknologi komunikasi dan transportasi memudahkan mereka untuk mencapai kemajuan yang setara itu. Sumber : Profil desa Cimenteng tahun 2010 Gambar 14. Komposisi Pekerjaan Penduduk di Desa Cimenteng, Kec. Cijambe tahun 2010 Sumber : Subang dalam Angka, BPS, 2010:12 Gambar 15. Perbandingan jumlah KK Total dan KK miskin di tga kecamatan tempat lokasi penelitian tahun 2010 Tabel 7. Lokasi Penelitian dan Gambaran Umum Tradisi Sosial di 3 Desa Kecamatan Desa Dusun Kondisi Geografis Mata pencaharian Istilah untuk tradisi Gantangan Blanakan (Subang Utara) Jaya Mukti Tegaltangkil Pesisir, Dataran Rendah, komunitas petambak dan pertanian padi Petambak, Petani, buruh tani Pendapatan petambak benur rata-rata Rp. 900.000/bulan (dengan luas tambak 1 ha) Cikaum (Subang Tengah) Pasir Muncang Awilarangan Dataran rendah, komunitas sekitar perkebunan tebu dan pertanian padi Mayoritas pekerjaan petani/buruh tani di perkebunan tebu dengan beberapa jenis pekerjaan, antara lain : Nanem : diupah Rp. 15.000/ ½ hari Babat : diupah Rp. 30.000/ ½ hari Nglethek : diupah Rp. 15.000/ ½ hari Nebang : diupah Rp. 50.000/ ½ hari Cijambe (Subang Selatan) Cimenteng Cimenteng Dataran tinggi, perbukitan, komunitas sekitar hutan (peladang) dan pertanian padi Mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani, buruh tani, dan peladang ï‚· Telitian = pertukaran uang dan beras dalam ï‚· Rombol = Pertukaran uang dan beras ï‚· Andilan = uleman Rp. 1000, (jaman harita satu desa (antar dusun), dilakukan ketika dalam satu dusun, dilakukan ketika dicatet, tapi artos hungkul). rumah tangga melakukan hajat atau rumah tangga memiliki kebutuhan ï‚· Persatuan = Pertukaran uang dan beras membangun rumah. Jumlah minimum mendesak, seperti membangun rumah, ketika hajatan dengan sesama warga satu sumbangan ½ gantang s.d. 1 gantang, tidak sumur, dll kampung/dusun diatur oleh panitia, melainkan oleh masing- ï‚· Gantangan = Pertukaran uang dan ï‚· Gintingan = Pertukaran uang dan beras masing bapak hajat (menyebarkan undangan beras antara warga dusun Awilarangan ketika Hajatan dengan warga di luar seminggu sebelum hari H) dan warga Dusun Waladin, dilakukan kampung/dusun ï‚· Golongan/Lawangan = pertukaran uang dan ketika hajatan ï‚· Kondangan : Uleman (Undangan) untuk beras (arisan) yang dilakukan dalam satu ï‚· Talitihan = Sumbangan/simpanan bapak, simpanan berupa artos (uang), kelompok terdiri dari 20-30 orang. Jumlah yang diberikan sebelum hajatan, Uleman untuk istri, simpanan berupa beas minimum beras dan uang adalah 50 kg, biasanya berupa bumbu dapur atau (beras) daging 25 kg, dll. Dikoordinir oleh panitia sembako. ï‚· Liliuran : iuran/gintingan untuk (Bpk. Cartiwan dan Bapak H. Abdul pembangunan rumah warga Rohman) BAB V PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Sosio-Historis 5.1.1. Arkeologi Kebudayaan Masyarakat Sunda Masyarakat asli nusantara memiliki kepercayaan dan keyakinan (sistem nilai) yang khas dan dapat ditelusuri secara arkeologis maupun hermeneutis-historis. Jakob Sumardjo (2002) adalah salah satu ilmuwan yang mencoba untuk menelusuri arkeologi kebudayaan asli masyarakat Nusantara tersebut dan melahirkan tulisan tentang sejarah ringkas kerohanian Indonesia (2007:3-84). Di dalam salah satu bab penelitiannya, Jakob Sumardjo mencoba membandingkan karakteristik masyarakat asli Indonesia dari beragam latar ekologis, seperti masyarakat berburu-meramu (hutan), pesisir-laut, ladang-pegunungan, dan sawah-dataran. Berbagai tipe masyarakat tersebut ternyata memiliki alam berpikir primordial yang khas dan menjadi akar kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam konteks penelitian modal sosial Gantangan di Kabupaten Subang (Sunda-Jawa Barat) ini, akan sangat relevan jika kita memahami karakteristik primordial masyarakat Sunda terlebih dahulu, sehingga kita akan lebih memahami akar budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya melanggengkan kebudayaan, struktur dan hubungan-hubungan sosialnya saat ini. Dalam sistem kepercayaan asli masyarakat Nusantara ini, sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk pemahaman ruang yang disebut dengan (1) pembagian dua (dualisme-antagonistik) (2) pembagian tiga atau kesatuan tiga dan (3) kesatuan lima atau sembilan. Pembagian dua merupakan pemahaman ruang yang berkembang dalam masyarakat pemburu-peramu, peladang, dan maritim (Sumardjo, 2007:18). Prinsip pembagian dua ini tidak hanya digunakan untuk memaknai ruang dan waktu, melainkan juga untuk memaknai sistem kekerabatan, sistem pekerjaan, alam binatang, alam tumbuhan dan lain sebagainya. Pembagian dua itu selanjutnya diklasifikasikan dalam dua oposisi dasar “laki-laki” (luar, atas, muka, kanan, langit, timur, utara, matahari) dan “perempuan” (dalam, bawah, belakang, kiri, bumi, barat, selatan, bulan). Wujud lain filosofi pembagian dua ini nampak menonjol di dalam pola kain tenun dan sarung tradisionalnya yang bermotif “kotak-kotak”, dimana garis vertikal menggambarkan pasangan-pasangan oposisi tersebut dan garis horizontal menggambarkan harmoni atau kesatuan dari pasangan oposisi tersebut. Selain ditemukan dalam budaya primordial suku-suku di papua, filosofi dualisme antagonistik tersebut juga nampak dalam cerita Cupak-Grantang, Bubukshah-Gagangaking, Panji dan Topeng Cirebon. Selanjutnya, pembagian tiga atau kesatuan tiga banyak dijumpai di masyaraka perladangan. Pembagian tiga ini lebih menekankan independensi ruang dan egaliterianisme yang masih dapat disaksikan dalam masyarakat Baduy (Kanekes, Banten) melalui kesatuan tiga kampung sucinya (Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana) (Adimihardja, 2008:127), atau di Minangkabau dengan pembagian tiga luhaknya (Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota), prinisp triangtu (Sunda), tigo sejarangan (Minang) dan dalian na tolu (Batak). (Sumardjo, 2007:21). Dalam kesatuan tiga ini dikenal hubungan “dalam” (kebebasan) dan “luar” (persamaan). Orang dalam adalah orang sekampung yang mandiri dan orang luar adalah orang dari kampung lain yang memiliki kemandirian yang sama. Biasanya mereka menganut prinsip perkawinan eksogami (lain darah). Kesatuan tiga juga nampak menonjol dalam tenunan kain ulos Batak maupun Baduy yang selalu ada bidang “dalam” (bagian terluas bidang hias) dan bidang “luar” (sisi kiri dan kanan bidang utama). Pembagian ruang masyarakat Indonesia purba yang terakhir adalah prinsip pembagian lima atau sembilan yang banyak berkembang dalam masyarakat sawah. Sebagai masyarakat yang memproduksi makanan, maka mereka tinggal menetap dan hidup bersama-sama dalam satu ruang. Konsentrasi manusia pada satu wilayah ini membutuhkan pengaturanpengaturan kolektif (membuka lahan, mengolah lahan, irigasi dan pengairan, pengerjaan lahan, dan lain-lain) yang memungkinkan lahirnya “pusat” pengaturan (papat keblat, kalimo pancer-jawa). Kesatuan lima ini berorientasi pada lokalitas, dimana manusia itu terikat dengan tanah dimana ia berada (Sumardjo, 2007:23). Masyarakat sawah adalah masyarakat kerja, sehingga ia tidak mengenal “ruang/orang dalam” atau “ruang/orang luar”. Semua akan diakui menjadi orang dalam sepanjang menunjukkan fungsinya di dalam masyarakat dan setia kepada pusat. Etika moral tertingginya adalah solidaritas kerja. Ekspresi keterbukaan ini juga dominan dalam batik Jawa, misalnya, yang memiliki pola terbuka dan tanpa pembatas. Tabel 8. Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis Masyarakat berburuMeramu/Nelayan-Laut Konsumtif (food gathering people) Keasatuan dua Unsur waktu dan kerohanian Dinamistik Berjiwa merdeka, konsumtif, egaliter, mobilitas tinggi, humoristik (menyadari kelemahan diri), “manja”, etos kerja dan profesionalitas rendah karena terdidik dalam kemurahan alam yang terberi, kuat koletivitasnya, fanatik pada lingkungan “orang dalam”nya sendiri Masyarakat Peladang Masyarakat Sawah Setengah produktif dan konsumtif (peramu) Kesatuan tiga Unsur waktu dan kerohanian Animistik Mentalitas ganda, konsumtif-produktif, dependen-independen, kolektivisme berdasarkan pertalian darah sangat kuat, kedudukan keluarga inti amat penting, solidaritas hanya terbatas pada lingkungan keluarga inti, kategori “orang dalam” dan “orang luar” ditonjolkan, mudah “iri hati” dengan kesuksesan orang lain (sebab dalam masyarakat peladang yang serba terbatas, kelebihan satu orang berarti merampas milik bersama) Produktif (food producing people) Kesatuan lima Unsur waktu dan kerohanian Animistik Komunal (dependenkolektif), solidaritas yang kuat, produktif dan lokalitas yang kuat (tanah pertanian adalah segalanya), konvensional, sulit menerima perubahan, semua yang dari “luar” diintegrasikan dengan pihak “dalam” Raja tetap sebagai manusia, dewa adalah sesembahannya Kurang agresif Raja tetap sebagai Raja dianggap memiliki manusia, dewa adalah kekuasaan adikodrati sesembahannya (paham dewaraja) Kurang agresif Agresif Sumber : Sumardjo, 2007:22-26 Masyarakat Sunda (Jawa Barat) sebenarnya masuk dalam kategori masyarakat peladang. Namun demikian, sejak jaman Hindu-Budha, masyarakat Sunda juga sudah mengenal dunia persawahan dan kelautan. Peradaban Sunda pada masa itu lebih mirip dengan peradaban melayu (Sriwijaya) yang juga dekat dengan perladangan dan kelautan. Dengan ciri kesatuan tiga yang dimiliki masyarakat peladang dan perbukitan ini, maka kita menjadi mengerti mengapa di Sunda tidak muncul kerajaan besar yang menguasai seluruh Sunda. Kerajaan-kerajaan di Sunda (Taruma, Padjajaran, Galuh, Saunggalah) merupakan kerajaan Hindu-Budha yang relatif mandiri satu sama lain dan tidak agresif (Sumardjo, 2007:36). Sekalipun pusat-pusat kerajaan Sunda ini berada di peradaban Sawah, namun sebagain besar kampung-kampung Sunda berada di perbukitan dan diberikan otonomi penuh dari kerajaan (elit). Akibatnya, peradaban HinduBudha cenderung hanya menjadi milik para elit, sementara rakyat jelata memegang keyakinannya sendiri-sendiri sampai pada akhirnya Islam masuk ke pelosok-pelosok kampung ini. Maka tidak heran, meskipun peradaban Hindu-Budha pernah bercokol hingga 1100 tahun di tatar Sunda, tetapi sisa-sisa cara berpikir dan kepercayaan Hinduisme justru tidak terlalu dominan pada masyarakatnya sebagaimana di Jawa Tengah dan Timur. Sunda justru identik dengan Islam. Pada masa peradaban Hindu, wilayah Kabupaten Subang (dulu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Purwakarta) menjadi bagian dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda 12. Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan 12 Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kabupaten Subang (2011:14-17) Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang. Berbagai pengalaman sejarah diatas menunjukkan bahwasanya masyarakat Sunda-Subang yang memiliki karakteristik sebagai masyarakat peladang-sawah telah bersentuhan dengan berbagai kebudayaan luar, seperti Hindu-Budha, Islam, Eropa (Belanda) dan kebudayaan dari Jawa. Modernisasi di segala bidang yang hadir belakangan juga menambah warna akulturasi kebudayaan Sunda-Subang itu sendiri. Meskipun demikian, akar kebudayaan asli masyarakatnya (egaliter-independen) tidak lantas hilang sama sekali, tetapi juga sudah tidak ada yang utuh sama sekali. Semua gejala akulturasi tersebut masih dapat kita amati dalam simbol-simbol yang hadir di perayaan pesta hajatan masyarakat pedesaan Subang hari ini. Misalnya peninggalan Hindu yang masih tersisa seperti hadirnya sesajen, pawang hujan, wayang kulit, lalu upacara dan doa-doa yang dilakukan merupakan sinkretisme antara ritualisme Hindu-Budha tetapi dengan isi Islam, kesenian seperti Sisingaan merupakan peninggalan dari kolonialisme dimana menunggangi replika singa merupakan simbol pengusiran kepada penjajah (Inggris dan Belanda), hingga hiburan-hiburan kontemporer seperti dangdut, organ tunggal, dan jaipong tampil mewakili modernitas yang diadopsi. 5.1.2. Sistem Nilai Sosial dan Budaya Masyarakat Pedesaan Subang Masyarakat Subang, secara sosio-historis maupun ekologis adalah suatu bentuk masyarakat yang sangat lekat dengan kehidupan agraris. Berbagai bentuk aktivitas produksi pertanian, mulai dari pertanian sawah (padi), perkebunan, perikanan darat dan laut serta perladangan-hutan, telah menjadi matapencaharian pokok masyarakat Subang secara turun menurun. Dengan bentang alam yang sangat mendukung pengembangan pertanian, maka sistem sosial budaya masyarakatnya pun tidak lepas dari siklus-siklus alami dunia pertanian itu sendiri. Aktivitas-aktivitas yang sedang dilakukan di dunia pertanian akan sangat berpengaruh kepada aktivitas-aktivitas keseharian mereka. Karena kedekatan dengan alam itu pula, ketergantungan masyarakat terhadap “kebaikan”, “kemurahan” atau “anugerah” alam pun menjadi sangat tinggi. Sebuah sikap mental yang khas dimiliki petani. Wujud ketergantungan kepada kebaikan alam itu, misalnya, terwujud dalam bentuk-bentuk pola perilaku13 yang lebih kongkrit seperti dalam upacara-upacara adat atau norma-norma kehidupan bermasyarakat. Misalnya upacara sebelum menanam padi, upacara ketika panen (mapag sri/mapag pare), upacara ruwat bumi, pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya. Sistem sosial masyarakat agraris semacam ini dilakukan dalam semangat kolektivitas dan tolong menolong yang kemudian lebih dikenal dalam konsep Gotong Royong 14. Upacara-upacara ataupun seremonial di dunia pertanian itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus disokong sebagian besar komunitas karena memiliki rasa ketergantungan dan nilai-nilai penghormatan terhadap alam yang relatif sama. 13 Menurut Koentjaraningrat (1982:5-6)., kebudayaan manusia itu terbangun dan terwujud ke dalam tiga unsur, (1) wujud ideal (gagasan, ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dsbnya) (2) wujud perilaku (sistem sosial, aktivitas kompleks) dan (3) wujud fisik (artefak, benda-benda hasil karya manusia) 14 Konsep ini kemudian diangkat menjadi slogan pembangunan kabupaten Subang yang berbunyi “Rakyat Subang Gotong Royong, Subang Maju”, dan diangkat juga dalam program pembangunan pedesaan dengan konsep “Desa Mandiri Gotong Royong”. Gambar 16. Gotong royong di Pedesaan Subang Kolektivitas Sosial yang mengakar dalam gotong royong itulah yang kemudian tercermin dalam perilaku sosial dan sistem sosial seharihari masyarakat pedesaan Subang. Berbagai siklus kehidupan senantiasa dirayakan beramai-ramai, mulai dari kelahiran, khitanan, perkawinan, hingga kematian seseorang. Semua aktivitas itu dilakukan dalam kerangka untuk menjaga harmoni sosial. Kolektivitas ini juga kentara dalam bentukbentuk kesenian lokal yang digemari masyarakat, seperti jaipong, sisingaan, film (layar tancap), hingga organ tunggal pun selalu meriah dan melibatkan banyak orang, baik di atas panggung maupun dibawah (penonton dan pengiring). Kolektivitas paling utama dahulu tercermin di dalam dunia pertanian, dimana sejak pengolahan lahan, pemeliharaan hingga pemanenan dilakukan dengan gotong royong (sebelum mengenal sistem upah), baik dalam satu lingkungan keluarga maupun tetangga dekat. Kolektivitas ini tidak hanya nampak sebagai sebuah perilaku kolektif, melainkan juga melahirkan mentalitas yang ingin agar diri dan kelompoknya dapat terlihat baik di mata orang atau kelompok lain Meskipun pada akhirnya, ketika desa-desa kian terbuka dan dunia pertanian mengalami komersialisasi ekonomi akibat keberhasilan revolusi hijau, kolektivitas masyarakat pedesaan Subang ini juga mengalami kemunduran. Sistem upah (monetisasi) yang dibawa masuk oleh sistem ekonomi pasar telah mengubah nilai-nilai solidaritas dan kolektivitas masyarakat ini menjadi semakin individualis dan komersil. Nilai-nilai dan norma-norma adat mengalami desakralisasi akibat ilmu pengetahuan, teknologi, dan mekanisasi pertanian yang terus masuk hingga ke pelosokpelosok desa. Ciri penanda ekonomi pra-kapitalis yang dahulu melekat (redistribusi pangan melalui lumbung padi dan resiprositas dalam tolongmenolong, silih genten) kini telah mengalami perubahan bentuk akibat pengaruh komersialisasi atau ekonomi pasar/kapitalis tersebut. Namun, kolektivitas sosial dan sistem ekonomi pra-kapitalis khas pedesaan tradisional itu tidak sepenuhnya hilang atau sepenuhnya bertahan, melainkan terjadi perpaduan antara nilai-nilai lama (tradisionalkolektif) dan nilai-nilai baru (modern-individualistik) yang menghasilkan sebuah sistem sosial baru yang unik. Contohnya, kolektivitas yang merupakan modal sosial masyarakat tradisional kemudian harus berkompromi (comformity) dengan kepentingan-kepentingan individu yang berorientasi pada kemakmuran pribadi (homo economicus). Akibatnya, kita akan melihat bagaimana muncul transaksi-transaksi ekonomi di dalam sebuah hubungan yang seharusnya bersifat sosial. Dengan kata lain, kita akan melihat bagaimana tindakan dan tradisi sosial ini ekuivalen (sama) dengan tindakan ekonomi. Salah satu bentuk sistem sosial baru ini tercermin dalam gotong royong dan tolong menolong itu sendiri, yakni ketika resiprositas umum (generalized reciprocity) bergeser menjadi resiprositas yang sebanding (balanced reciprocity) dan bahkan menjadi sistem pertukaran sosial dan ekonomi yang baru. Sistem pertukaran sosial dan ekonomi baru inilah yang akan didalami dalam penelitian ini. Salah satu topik yang dapat diangkat dan diharapkan mampu memberikan gambaran secara komprehensif bagaimana perpaduan nilai-nilai tradisional dan modern ini dapat berjalan adalah dengan mencari bentuk aktivitas yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Banyak peneliti sosial dan ekonom di masa lalu yang menera persoalan ini dari kegiatan di dunia pertanian. Akan tetapi, dengan perubahan struktur masyarakat dan diferensiasi pekerjaan yang semakin luas, nampaknya menggali hanya dari aktivitas di dunia pertanian belum menggambarkan kondisi seluruh lapisan masyarakat (karena semakin banyak orang desa yang meninggalkan dunia pertanian). Oleh karena itu, peneliti mencoba mengangkat fenomena atau bentuk kegiatan dalam hubungan-hubungan sosial, hingga ditemukan pesta hajatan sebagai medan penelitian. Sebab, hampir seluruh anggota masyarakat di pedesaan (apapun latar belakang pekerjaannya) masih memegang teguh tradisi mengadakan perayaan pada momen atau siklus hidup tertentu. Dari fenomena pesta hajatan inilah kita akan menemukan bagaimana sosok homo economicus dan homo sociologicus di pedesaan ini muncul bersamaan dalam modal sosial gantangan yang mereka bangun dan lestarikan dalam setiap pesta hajatan di pedesaan Subang. 5.2. Pengorganisasian Gantangan dalam Pesta Hajatan Pesta hajatan15 di pedesaan adalah sebuah kesibukan massal yang unik dan khas. Di dalamnya terdapat perpaduan antara aktivitas sosial, religius, ekonomi, kesenian dan bahkan politik. Pesta hajatan itu sendiri memiliki berbagai sebutan, istilah, aturan main, dan makna yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Bukan hanya antar daerah, bahkan antar dusun dan desa yang berdekatan pun bisa sangat berbeda. Ibarat peribahasa “lain ladang, lain belalang. Lain tempat, lain pula tradisinya”. Oleh karena itu, dilihat dari perspektif sosiologi, pesta hajatan ini bukan hanya sekedar “upacara seremonial” yang ajeg dan rutin saja, melainkan juga merupakan sebuah sistem 15 Hajatan = berasal dari kata “hajat” yang berarti “keinginan atau harapan”. Maknanya adalah apabila seseorang atau keluarga memiliki hajat, maka pengharapan tersebut dapat diwujudkan dalam sebuah upacara atau pesta dengan mengundang orang banyak yang biasanya disertai jamuan makan dan hiburan tertentu. Pelaksanaan hajatan disesuaikan dengan tuntunan adat atau religi yang dianut. Tujuannya adalah agar keinginan tersebut terkabul sekaligus sebagai bentuk rasa syukur dan secara simbolik menjadi penanda status sosial seseorang/keluarga. tindakan dan perilaku yang kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan oleh keterlibatan banyak orang (massal) sehingga memungkinkan lahirnya banyak motif serta hubungan sosial, melainkan juga berbagai elemen dan faktor pembentuk sistem itu sendiri yang beragam, mulai dari struktur sosial masyarakat, kondisi agro-ekologis, religi dan alam pemikiran yang berkembang serta keterbukaan masyarakat terhadap pengaruh dari luar, seperti teknologi dan sistem ekonomi pasar. Gambar 17. Hajatan dengan jamuan prasmanan yang sangat sederhana (kiri) tetapi beras gantangan yang dikumpulkan mencapai ratusan karung (kanan) Kompleksitas sebuah pesta hajatan di pedesaan ini paling tidak dapat ditandai dalam pola pertukaran sosial yang terbentuk, misalnya dalam gotong royong dan kebiasaan nyumbang antar warga. Di beberapa daerah di Pulau Jawa, solidaritas dalam bentuk gotong royong dan nyumbang/nyambungan ini terindikasi mengalami evolusi atau perubahan, dari semula yang bersifat altruis (murni tolong menolong) menjadi cenderung selfish dan materialis. Sebagai Indikator adalah munculnya standarisasi, monetisasi dan bahkan komersialisasi hajatan itu sendiri. Lahirnya sistem pencatatan sumbangan menandai berakhirnya sumbangan sukarela menjadi suatu kewajiban (hutang-piutang). Kewajiban sosial inilah yang seringkali bersifat in-elastis terhadap kondisi ekonomi rumah tangga dan pada akhirnya menimbulkan gesekan horizontal maupun vertikal. Meskipun, jika dilihat dari sisi lain, kewajiban resiprokal tersebut dapat pula bermakna sebagai investasi, tabungan atau arisan sosial yang dimiliki oleh rumah tangga pedesaan dan berfungsi sebagai pengikat satu sama lain (modal sosial dan jaminan sosial informal). Dengan pemahaman bahwa tradisi sosial seperti pesta hajatan di pedesaan ini sebagai suatu sistem tindakan dan perilaku yang kompleks, penelitian ini mencoba untuk melihat lebih dalam dan mengangkat ke permukaan berbagai kompleksitas yang dimaksud. Mulai dari aktor-aktor yang terlibat, simbol-simbol dan barang-barang yang dipertukarkan, jejaring yang terbentuk, norma-norma yang terbangun, nilai-nilai kolektif dan subjektif yang diakui, pola-pola pengelompokan secara sosiologis, frekuensi dan ukuran ekonomis, serta faktor-faktor signifikan lainnya yang menyebabkan tradisi sosial di pedesaan ini dapat tetap adaptif. Sebagai arena untuk membedah itu semua, penelitian ini akan mengangkat fenomena tradisi pesta hajatan dan pertukaran sosial Gantangan di pedesaan Subang yang diindikasikan telah mengalami komodifikasi dan komersialisasi secara sosial dan ekonomi, yakni menjadikan hajatan adalah ajang untuk mencari untung (usaha). Tabel 9. Aktor-Aktor dalam Hajatan dan Gantangan Aktor-Aktor Bapak Hajat Pengantin hajat Kebayan Panitia Gantangan Tamu Undangan Keterangan Pemilik hajat atau penarik simpanan Gantangan Misalnya anak yang dikhitan, perawan yang dinikahkan, cucu yang dilahirkan dan lain sebagainya Panitia atau penyelenggara hajatan, ditunjuk oleh keluarga bapak hajat terdiri dari : Tukang nyangu (masak) Juru tulis gantangan Tukang cuci piring Tukang parkir Pembawa dan penimbang beras Penerima tamu wakil Bapak hajat dalam mengundang, mencatat, dan menagih simpanan atau hutang Gantangan Orang-orang yang menerima undangan, baik Gantangan maupun Pola Relasi Pengundang komoditas hajat Disewa/dikontrak Resiprokal Disewa/dikrontrak Jatah desa (karang taruna) Disewa Keluarga Dibayar & Diongkosi Resiprokal Bandar hajatan Perlengkapan hajatan Tatanggapan Pawang hajat Individu atau Perusahaan Jasa Penikmat hiburan (penyawer) Penyedia minuman keras Kondangan/surat undangan penyedia kebutuhan hajatan, seperti beras, daging, sayuran, dan sembako lainnya yang bersedia meminjamkan bahan-bahan tersebut kepada bapak Hajat sesuai dengan kesepakatan dan biasanya dibayar setelah hajatan selesai. Bandar Beras (pembeli beras hasil Gantangan, dengan selisih harga Rp. 500-Rp.1000/kg lebih murah dari harga pasar. Biasanya ia juga berperan sebagai bandar Hajatan) tenda, kursi, panggung, soundsystem, dekorasi, baju pengantin dan tata rias, piring dan gelas, dan lain sebagainya Sinden, gamelan, kelompok kesenian jaipong, sisingaan, tardug, tarling, organ tunggal, qosidahan, ceramah, kuda renggong, degung, wayang golek, wayang kulit, layar tancap Dukun atau “orang pinter” untuk pemilihan “hari baik”, pawang hujan, orang yang menyusun dan menjaga peperen (tempat sesajen) Percetakan undangan Video shooting Tukang listrik/genset Penyedia mobil pick up (sarana transportasi massal untuk menghadiri hajatan yang jauh jaraknya) Biasanya saudara atau keluarga bapak hajat yang ingin ikut memeriahkan acara hiburan atau para tamu undangan yang ingin menikmati hiburan dengan sambil berjoged dan menyawer kepada penyanyi/penari diatas panggung. Biasanya ada pembawa acara yang bertugas mengundang orang untuk nyawer, karena dari saweran inilah tambahan pendapatan bagi kelompok hiburan ini diperoleh. Minuman keras disediakan untuk anakanak muda atau kaum pria yang bertugas menggotong singa atau mereka yang ingin meramaikan acara hiburan dengan berjoged. Minuman keras ini berfungsi untuk menghilangkan rasa malu untuk berjoged dan konon menambah Dibayar selesai hajat Disewa Disewa/dikontrak Dibayar Resiprokal Hanya meramaikan acara Lebe Pedagang Kaki Lima Aparat Keamanan stamina dan percaya diri, meskipun seringkali minuman keras ini jugalah yang memicu keributan-keributan kecil dalam pesta hajatan. Biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi (di belakang panggung) tetapi juga seringkali terbuka dan dianggap wajar. Naib atau penghulu dan juru khitan, yaitu orang-orang tertentu yang memiliki keahlian dan atau dipercaya oleh bapak hajat untuk melakukan tugas-tugas ritualnya. Penghulu biasanya petugas resmi dari KUA. Penjual mainan anak-anak, penjual makanan dan minuman yang biasa memadati area hajatan. Semakin besar pesta hajatan maka akan semakin ramai para PKL yang datang. Aparat desa, satgas/hansip, kepolisian, tentara Dibayar dan diongkosi Hanya meramaikan acara Dibayar lewat biaya perijinan 5.2.1. Seremonial Hajatan Untuk membuktikan bahwa sebuah pergelaran pesta hajatan di pedesaan ini merupakan sebuah kompleksitas sosial dan “kesibukan massal” adalah dengan mangamati sejak seseorang atau suatu keluarga merencanakan hajatan, melaksanakan, hingga memanfaatkan hasil hajatannya. Betapa sebuah pesta hajatan – sekecil dan sesederhana apapun – tetap melibatkan dan mempengaruhi banyak orang. Bahkan, secara langsung maupun tidak langsung, lingkungan alam (musim) dan lingkungan sosial saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh adanya hajatan ini. Berikut beberapa detail tahapan yang dijalankan oleh seseorang atau keluarga yang akan mengadakan hajatan Persiapan Hajatan Ketika seseorang atau rumah tangga terbesit niat untuk hajatan, biasanya mereka akan melakukan beberapa tindakan, antara lain : a. Berunding dengan keluarga. Berunding dengan orang tua atau keluarga besar biasanya dilakukan untuk memberi kabar sekaligus meminta persetujuan dan menagih “komitmen” keluarga untuk turut membantu secara material maupun tenaga. b. Mencari “hari baik”. Jika sudah mendapat persetujuan, mereka akan mendatangi “orang pintar” seperti kokolot16, dukun atau kyai untuk meminta hari baik (tanggal pelaksanaan hajatan). Termasuk juga ke tukang nyarang hujan (menangkal hujan/pawang hujan). Tarif pawang hujan Rp. 200.000,- biasanya H-10. c. Mengumpulkan modal. Jika hari baik atau tanggal sudah diperoleh, maka bapak hajat akan mengumpulkan modal, baik dari dompet sendiri, keluarga, maupun meminta “panjer17” dari Bandar. Biasanya, Bandar akan melihat status ekonomi bapak hajat, jika dianggap mampu mengembalikan, maka ia bisa memberi modal hingga Rp. 5.000.000,-, jika dianggap kurang mampu/tidak meyakinkan, biasanya maksimal hanya diberi panjer Rp. 3.500.000,d. Membentuk panitia. Bapak hajat akan membentuk pemangku hajat/panitia hajat dengan cara mengumpulkan keluarga dan beberapa tetangga dekat untuk melakukan musyawarah dan pembagian tugas. Misalkan siapa yang menjadi juru tulis. Panitia hajat ini paling sedikit 15 orang. e. Menyewa perlengkapan. Bapak hajat dibantu panitia yang telah dipercaya akan mempersiapkan berbagai perlengkapan hajat, seperti sewa tenda, sewa panggung, sewa kursi, sewa sound system, sewa 16 Kokolot = orang yang dituakan, sesepuh Panjer = modal awal yang dipinjam bapak hajat dari orang tertentu (Bandar), biasanya orang kaya. Bandar itu kemudian akan meminjami sejumlah uang tertentu dengan jaminan beras hasil hajatannya tidak akan dijual kepada orang lain, melainkan hanya kepada Bandar yang meminjami modal tersebut. Harga jual beras hajat itu pun disepakati bersama ketika transaksi peminjaman panjer ini berlangsung. 17 hiburan, dan sewa berbagai kebutuha lain yang disesuaika dengan modal dan kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi, sekalipun tidak memiliki modal cukup, semua perlengkapan tersebut biasanya juga melayani pinjaman dengan sistem “dibayar setelah hajat”. Tabel 10. Jenis dan Tarif Sewa Hiburan Untuk Hajatan di Subang Utara No Hiburan Tarif Murah Tarif Mahal 1 Wayang Kulit Rp. 5.000.000,- Rp. 7.000.000,- 2 3 Sandiwara Organ Tunggal 4 Karedok (Karaoke Dodok/Tanpa Panggung) Odog-Odong (Pengantin Singa) 5 6 Qosidahan 7 Film (Layar Tancap) 8 9 Tarling Jaipong Jumlah Orang Asal Grup Indramayu Meskipun di daerah Sunda, namun wayang kulit disini tetap berbahasa Jawa. Mengingat warga Pantura banyak keturunan Pantura Jawa (Indramayu, Cirebon, Tegal, dll) Rp. 9.000.000,- Rp. 12.000.000,Indramayu Rp. 3.500.000,- Rp. 14.000.000,- Lokal = 5 Lokal dan orang Luar Luar Kota = Blanakan 30 orang Rp. 1.500.000,2 orang Lokal penyanyi Rp. 5.500.000,- Rp. 9.000.000,- 8 Singa – 20 Singa Lokal Setiap saudara atau tetangga yang anaknya ingin ikut membayar Rp. 300.000/gotongan kepada bapak hajat. Pertunjukan berlangsung selama 4 jam, dengan berkeliling di jalan raya, missal 500 m ke barat dan 500 meter ke timur, plus atraksi. 10 sak semen Lokal Para penyanyi dan penabuh rebana tidak dibayar dan semen tersebut akan disumbangkan/digunakan untuk pembangunan masjid dusun tegaltangkil Rp. 2.500.000,Sukamandi, Cilamaya Saat ini boleh dibilang sudah punah. Rp. 6.000.000,40-50 orang Indramayu Rp. 3.500.000,- Rp. 5.000.000,Lokal dan luar kota f. Mengurus Perijinan. Jika berencana mengadakan hiburan besar seperti diatas, Bapak hajat akan mengajukan perijinan “rame-rame” kepada aparat dan instansi terkait sejak 2 minggu sebelum hari H. Proses ini biasanya dibantu dan dilakukan oleh Satgas Desa. Berikut ini adalah alur perijinan rame-rame yang biasa dilakukan di Kabupaten Subang : Bapak Hajat Kepala Desa Satgas Desa Kepala Dusun Ketua RT Kapolsek Danramil Gambar 18. Proses dan mekanisme perijinan “rame-rame” di Kab. Subang Biaya perijinan diatas menurut Peraturan Desa seharusnya adalah Rp. 500.000,-/hajatan. Pada kenyataannya, kebanyakan membayar kurang dari itu. Menurut penuturan Satgas18, rata-rata pembagian biaya Perijinan adalah sebagai berikut : ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Satgas dan anak buah : 3 orang @Rp. 20.000,Ketua RT : Rp. 30.000,Kepala Dusun : Rp. 30.000,Kepala Desa : Rp. 30.000,Kapolsek : Rp. 85.000,Danramil : Rp. 80.000,- g. Memilih hiburan. Jenis hiburan yang akan diundang akan sangat dipertimbangkan oleh Bapak Hajat. Sebab, hiburan ini tidak hanya berfungsi untuk memeriahkan acara saja, melainkan juga sebagai “magnet” untuk mengundang lebih banyak orang datang. Semakin 18 Hasil wawancara tanggal 25/04/2012 banyak orang datang, harapannya semakin besar pula hasil telitian yang diperoleh. Selain itu, mewah tidaknya hiburan juga aka dibaca masyarakat sebagai perlambang status sosial ekonomi seseorang di tengah masyarakat. Jika sudah dipaggil “pak haji” maka semacam ada tuntutan bahwa kepantasan seorang haji (orang kaya) adalah menyelenggarakan hiburan yang mewah dan meriah. Jika sebaliknya yang terjadi maka akan dianggap turun status sosialnya oleh masyarakat sekitar. Gambar 19. Hiburan Sisingaan untuk hajat khitanan (kiri) dan Jaipong untuk Perkawinan (kanan) h. Mencetak undangan. Biasanya, undangan telitian untuk satu kampung hanya menggunakan sabun colek, permen atau vetcin. Namun demikian, banyak juga bapak hajat yang mencetak undangan resmi untuk kenalan-kenalan mereka di luar kampung atau untuk orang-orang yang dianggap penting. Order pencetakan biasanya ditangani oleh tetangga atau kenalan bapak hajat yang sudah dikenal sebagai tukang cetak undangan. Gambar 20. Contoh undangan narik Gantangan i. Membagi undangan. Tugas ini biasanya dilakukan oleh wakil bapak hajat dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah sambil membagikan undangan sejak H-7. Bentuk-bentuk undangan ini mengalami perubahan dengan mengikuti perkembangan ekonomi (harga-harga barang). Dahulu, pada tahun 1970-1987an, undangan telitian awalnya adalah Rokok (misal, Gudang Garam Filter Rp.500//batang artinya penerima undangan harus membayar telitian minimal Rp. 5.000, Djinggo Rp. 250/atang artinya penerima undangan harus membayar telitian minimal Rp. 2.500. Pada tahun-tahun 1990an sampai krisis moneter, harga rokok terus naik. Akhirnya, undangan menggunakan rokok hilang setelah krisis moneter (1998) akibat dari kenaikan harga rokok. Sejak saat itu undangan berganti menjadi vetcin (penyedap rasa), permen atau sabun colek. Misalnya, vetcin 1 sashet = ½ gantang beras. Gambar 21. Warga yang bertugas atau ditunjuk oleh bapak hajat untuk membagikan undangan Gantangan j. Melekan semalam suntuk. H-1, biasanya akan ada acara melekan (bergadang semalam suntuk). Bersaman dengan acara melekan itu biasanya bapak hajat juga menyiapkan sesajen untuk mesin lampu penerangan/diesel, dengan harapan agar malam itu dan besok ketika hari H tidak ada masalah dengan lampu penerangan (tidak ada halangan). Pelaksanaan Hajatan a. Menyiapkan sesajen. Sesajen tidak hanya dibuat sebelum hari H, tetapi juga ketika hari H. Sesajen untuk kelancaran seluruh acara tersebut diletakkan diatas Goah/Padaringan (tempat menyimpan beras). Isi sesajen antara lain : rujak kelapa, kopi hitam/pait, kopi manis, cauk, rokok upet/tambang, rokok srutu/cerutu, daun hanjuang, bubur merah/beureum, bubur putih/bodas, sisir, cermin, kembang 7 rupa, parupuyan, kemenyan, beras, uang koin, menyak kolonyet/putri duyung, boeh/kain kafan, nyiru/tampah, telur ayam mentah, minuman orson/limun, dan kendi. Gambar 22. Sesajen lengkap di Pendaringan (ruang penyimpanan) b. Jamuan makan/Prasmanan. Ketika pelaksanaan hajatan, salah satu panitia hajatan yang paling sibuk adalah “Peperen piring”, yaitu panitia yang bertugas mengambil piring-piring yang telah selesai digunakan oleh tamu hidangan. Konsep jamuan makan yang diterapkan biasanya di pedesaan adalah prasmanan, sehingga para pengambil piring ini harus sigap agar tamu yang datang belakang tidak kehabisan piring untuk makan. Selain peperen piring, yang juga terlihat sibuk adalah tukang angkut/jemput karung beras. Mereka adalah panitia yang bertugas membawakan karung beras dari sepeda motor tamu undangan untuk ditimbang dan dicatat di meja telitian. c. Mencatat Gantangan/Telitian. Mereka yang harus selalu siap sedia dalam hajatan di Subang adalah Juru tulis, yaitu panitia pencatat telitian. Juru tulis laki-laki bersiap-siap di meja penerima amplop dan juru tulis perempuan bersiap-siap di meja beras. Tugas mereka adalah membuka mencatat nama tamu penyimpan, jumlah simpanannya, dan asal desa/dusunnya ke dalam buku catatan telitian. Gambar 23. Catatan Juru Tulis Gantangan d. Menyiapkan pulangan. Memberikan berkat ke dalam karung beras yang baru saja dibawa oleh para penyimpan/tamu undangan. Gambar 24. Pulangan berupa kerupuk atau pisang dimasukkan kembali oleh bapak hajat ke dalam wadah beras tamu undangan e. Mengelola parkir. Biasanya dilakukan oleh karang taruna. Selain parkir, bersama dengan satgas mereka mengatur pedagang kaki lima di sepanjang jalan masuk lokasi hajatan. f. Dokumentasi menggunakan audio visual (Video shooting) yang disewa dari usaha video shooting yang ada disekitar desa maupun dari kota. g. Sesajen untuk penerangan. Sesajen ini dimaksudkan agar tidak mengalami gangguan penerangan/listri sepanjang acara dilangsungkan. Biasanya berupa ayam hurip yang diikat ke diesel dan bekakak (ayam panggang). h. Beberes Hutang tahap I. Artinya, begitu hajatan selesai (sekitar jam 21.00 s.d. 24.00) maka tuan rumah akan segera membayar hutanghutang yang harus segera dilunasi, seperti membayar grup hiburan, membayar tukang masak, atau membayar bandar yang memberikan modal. Sehingga dengan cekatan bapak hajat dibantu juru tulis dan keluarga akan langsung menghitung hasil narik telitian malam itu juga. i. Menjaga keamanan. Seperti, mengatur hiburan agar berjalan tertib dan meredam keributan yang disebabkan oleh tamu yang mabuk minuman keras. Untuk masalah keamanan ini biasanya diserahkan kepada hansip atau satgas desa. Pasca Hajatan a. Menghitung dan menjual beras hajat. Beras hajat bisanya dijual kepada bandar (tempat meminjam panjer sebelumnya) atau kepada yang mau membeli dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Biasanya bapak hajat tidak menjual semua tetapi menyisihkan 1-5 karung untuk cadangan telitian berikutnya. Gambar 25. Beras Hasil Gantangan b. Beberes Hutang tahap II. Artinya, hutang-hutang yang tidak terlalu mendesak juga akan segera dilunasi oleh bapak hajat dengan menggunakan uang dan hasil penjualan beras hajat. c. Memanfaatkan hasil/sesa. Setelah seluruh hutang dan modal pinjaman dilunasi, sisanya akan digunakan untuk keperluan bapak hajat, semisal modal usaha, membeli motor, gadai empang, dan sebagainya. 5.2.2. Fungsi Sosial Gantangan Sudah menjadi suatu hukum sosial bahwasanya suatu tradisi atau adat-istiadat akan ditinggalkan jika ia tidak lagi memiliki fungsi bagi anggota masyarakatnya. Banyak tradisi lokal yang sama sekali ditinggalkan dan bahkan punah, misalnya saja ratusan jenis permainan tardisional anak-anak, lagu-lagu lokal, cerita-cerita rakyat, ritual menyembah benda mati dan lain sebagainya. Berbagai tradisi yang hilang tersebut selain disebabkan oleh datangnya pengetahuan yang baru (modern), juga karena ia telah kehilangan fungsi sosial dan ekonominya. Berbeda dengan tradisi di pedesaan lainnya yang perlahan-lahan semakin ditinggalkan akibat arus modernisasi, gantangan di pedesaan Subang ini masih eksis sampai sekarang. Bahkan, tiga dasawarsa terakhir (1980an-2010-an) justru semakin menguat dan meluas ke berbagai wilayah. Pertukaran sosial gantangan ini secara substansi masih eksis disebabkan oleh beberapa alasan, Pertama, ciri kolektivitas masyarakat pedesaan di Subang ini belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Jiwa tolong menolong dan “selalu ingin tahu” masalah orang lain di dalam komunitasnya menjadi perilaku yang memperkuat kontrol sosial antar anggota masyarakat sehingga tradisi gantangan ini masih dapat dilestarikan atau diwariskan. Kedua, pertukaran sosial gantangan ini masih bertahan karena terkait dengan eksistensi pranata sosial lainnya, yaitu perkawinan. Sepanjang perkawinan di pedesaan ini masih disakralkan dan dibuat pesta meriah untuk merayakannya (resepsi), maka gantangan ini masih mendapatkan medan atau arena untuk mempraktekkannya. Ketiga, pertukaran sosial gantangan masih eksis karena basis ekonomi sebagian besar masyarakat desa masih ditopang oleh pertanian padi. Sebagai komoditas utama yang dipertukarkan, produktivitas padi/beras menjadi faktor utama keberlanjutan tradisi ini. Sepanjang lahan-lahan pertanian padi masih terjaga dan tidak terjadi penurunan produksi yang drastis (kerawanan pangan), ditambah daya beli masyarakat terhadap beras masih tinggi, maka pertukaran gantangan ini masih akan terus eksis. Keempat, untuk menjalankan pertukaran gantangan ini dibutuhkan satu modal yang semakin hari sebenarnya semakin mahal, yaitu rasa saling percaya (trust). Dalam perkembangannya pertukaran gantangan ini telah diwarnai oleh berbagai tindakan dan perilaku tidak jujur dari anggota maupun panitianya. Di beberapa desa, akibat dari ketidakjujuran ini adalah menurunnya jumlah orang yang terlibat dalam pertukaran sosial ini. Sementara bagi rumah tangga yang masih menyimpan sedikit kepercayaan kepada yang lain, mereka menjadi jauh lebih berhati-hati dalam menentukan kehadiran dan jumlah simpanan yang akan diberikan kepada orang lain (lebih perhitungan). Integritas, status ekonomi dan perilaku sehari-hari seseorang kemudian menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh calon penyimpan. Kelima, pesta hajatan ini diakui atau tidak merupakan salah satu wahana dalam pelestarian kesenian tradisional. Dengan kata lain, raramean dalam pesta hajatan ini juga menjadi mata pencaharian atau sumber penghidupan bagi para seniman atau grup-grup kesenian di daerah. Bayangkan jika masyarakat pedesaan tidak lagi “meniscayakan” adanya hiburan kesenian ketika pesta hajatan, barangkali akan semakin banyak kelompok-kelompok kesenian dan seniman yang kehilangan lahan usahanya (gulung tikar). Sumber : Diolah dari BPS, Subang dalam angka tahun 2010 Gambar 26. perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang (20052009) Keenam, selain sebagai mata pencaharian para seniman, pertukaran gantangan dalam setiap pesta hajatan (khitanan, perkawinan, kelahiran, dll) ini sekarang juga menjadi pasar bagi para pedagang beras, daging, dan sembako lainnya. Mereka memanfaatkan momen pesta hajatan ini untuk meraih untung dengan cara menawarkan modal hajat (panjer), baik secara langsung maupun melalui para perantara. Selain modal yang kembali, para pedagang (atau lebih dikenal sebagai bandar hajatan) ini juga mengikat beras hasil hajatan (beas hajat) untuk dibeli dengan harga dibawah harga pasar. Kehadiran pedagang/bandar ini semakin memudahkan seseorang untuk menyelenggarakan hajatan, sekalipun tidak memiliki cukup modal. Selain keenam hal diatas yang menyebabkan pesta hajatan dan pertukaran gantangan di pedesaan ini tetap eksis, secara individual tradisi ini juga memiliki manfaat sosial (simbolik) dan ekonomi yang cukup signifikan bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa motivasi personal dan fungsi sosial dari pertukaran gantangan ini antara lain : a) Hayang kapuji (ingin dipuji) Menyelenggarakan pesta hajatan yang meriah, dihadiri tamu undangan yang banyak, dengan hasil gantangan yang besar pada akhirnya akan meletakkan keluarga bapak hajat pada posisi sosial yang terhormat ditengah komunitas masyarakat desa. Kondisi seperti diatas akan mengundang decak kagum dan selanjutnya akan menjadi buah bibir di tengah masyarakat, bahwa “pak haji A hebat euy, hajatan tiasa menang sakitu”. Menjadi buah bibir semacam itu kemudian akan meningkatkan pengaruh dari keluarga hajat tersebut dan semakin dipercaya oleh masyarakatnya. Di sisi lain, menyelenggarakan pesta hajatan juga adalah pertaruhan gengsi bagi keluarga bapak hajat. Jika sampai meleset (misalnya hajatan orang/keluarga kaya) dari perkiraan bahwa yang terjadi hajatannya tiis (dingin, sepi) dan hasil gantangannya sedikit (rugi), maka harga diri orang/keluarga tersebut akan turun di mata masyarakat, berikut pengaruh dan posisi sosialnya juga ikut merosot. b) Hayang Kasohor (ingin terkenal) Karena kemeriahan dan hasil gantangan dalam suatu hajatan menjadi salah satu parameter tinggi rendahnya status dan posisi sosial seseorang/keluarga, maka ada juga yang mencoba menaikkan status keluarganya dengan mengadakan pesta semeriah mungkin dengan modal besar (diluar kemampuan sebenarnya). Spekulasi semacam ini (mengadakan hiburan mewah, misalnya) dilakukan dengan harapan agar menarik perhatian warga masyarakat lainnya sehingga dapat menjadi buah bibir bahwa keluarga A itu mampu dan kaya/sukses. Namun, seringkali warga masyarakat juga mempertimbangkan aspek lainnya, seperti apakah orang itu punya posisi tertentu dalam pemerintahan/pejabat, apakah punya pengaruh/disegani, pendatang atau pribumi, dan track record lainnya sebelum mengambil keputusan untuk nyimpen banyak atau sedikit dalam hajatan/gantangan tersebut. Ada juga beberapa kasus dimana pesta yang sangat meriah, tetapi hasil gantangannya sangat kecil (rugi), sehingga lahir istilah “budak Bogor” (Biar Tekor yang penting Kesohor) sebagai sindiran. c) Hayang ditarima lingkungan (kontrol sosial) Sebagian besar informan menyatakan bahwa keikutsertaan mereka dalam pertukaran gantangan adalah murni inisiatif pribadi dan tanpa adanya paksaan dari orang lain (keluarga atau panitia). Namun ketika ditanya lebih lanjut, seringkali mereka mengungkapkan bahwa gantangan itu sudah menjadi tradisi dan dilakukan sejak dulu, jadi maksud tanpa paksaan sebenarnya lebih bermakna “ikut-ikutan” daripada inisiatif pribadi. Sebab, sekalipun tidak ikut dalam gantang tidak apa-apa, tetapi mereka mempertimbangkan rasa “tidak enak” jikalau saudara yang lain ikut tetapi kita sendiri tidak ikut. Perasaan ingin “sama dengan yang lain (orang dekat)” menjadi motivasi untuk bergabung. Sejauh peneliti mendalami, memang untuk terlibat atau tidak ini tidaklah mengandung instrumen pemaksa, sebab beberapa tokoh masyarakat (kadus awilarangan, sekdes pasirmuncang) pun tidak ikut serta dalam gantangan yang ramai dilakukan warganya. d) Hayang katingali (ingin dilihat/kebanggaan) Sifat masyarakat pedesaan yang feodalistik dan berorientasi vertikal (mengikuti pemimpin/orang besar) masih belum sepenuhnya hilang. Dalam penyelenggaraan sebuah pesta hajatan dengan hiburan dan gantangan ini menjadi ajang bagi bapak hajat maupun tamu undangan untuk sama-sama “terlihat” di depan publik, baik terlihat kekayaannya, kekuasaannya, pengaruhnya, dan lain sebagainya. Misalnya, melalui saweran19 orang bisa menunjukkan “identitas sosial”nya. Semakin besar uang saweran, menunjukkan status orang tersebut yang tinggi, baik dimata kelompok kesenian maupun dimata tamu undangan lainnya. Biasanya, tokoh-tokoh masyarakat atau pejabat yang kebetulan datang menjadi tamu undangan, akan dengan sengaja dipanggil oleh MC dan diundang untuk menyawer. Tamu pejabat itu pun sudah hafal dan menyiapkan beberapa lembar uang untuk disawerkan. Seperti sudah menjadi tuntutan. Selain pejabat/tokoh masyarakat, para keluarga dan kerabat juga akan ikut menyawer dengan tujuan membuat pesta hajatan terlihat meriah di mata tamu undangan. 19 Kebiasaan para tamu undangan yang ikut berjoget memberikan uang kepada penari jaipong atau penyanyi dangdut diatas panggung, beberapa lembar uang itu diberikan dengan cara saling berpegangan tangan dan digoyang-goyangkan beberapa kali. Setiap penyawer menunjukkan “identitas”nya dari jumlah sawerannya. e) Loba babaturan (banyak teman) Fungsi sosial gantangan yang lain adalah untuk memeperluas pergaulan. Sebab, gantangan di suatu desa biasanya bersifat terbuka, artinya orang luar desa pun boleh ikut “menyimpan”. Semakin banyak orang menyimpan kepada orang lain, maka semakin banyak pula hasil yang akan dia peroleh kelak ketika “narik gantangan”. Maka wajib hukumnya bagi yang ingin mendapatkan untung dari gantangan ini adalah dengan memperluas koneksi dan pertemanannya, sehingga tamu undangan yang akan datang ke pesta hajatannya pun kemungkinan juga bisa semakin banyak. Selain memperbanyak teman, memperbanyak simpanan, seseorang juga perlu memperbesar volume (jumlah uang dan beras) yang disimpannya kepada orang lain agar hasil gantangannya bisa besar. f) Silih bantu (resiprositas) Hukum sosial hidup di pedesaan adalah “siapa yang banyak membantu orang lain, maka orang lain juga akan membantunya”. Hukum timbal balik ini masih sangat berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu, kebanyakan rumah tangga ikut serta dalam gantangan ini juga dimotivasi harapan bahwa suatu saat mereka juga membutuhkan bantuan dari warga masyarakat lainnya. Dengan adanya pertukaran gantangan ini, timbal balik itu menjadi semakin kontraktual, karena jelas besar pemberian dan kapan pemberian itu harus dikembalikan. Meskipun masih dalam kerangka “saling membantu” yang sama, namun nuansa ekonomi dan resiprositas sebanding-nya memang lebih kentara dalam pertukaran gantangan ini. g) Raramean & Ngabring Pesta hajatan di pedesaan Subang adalah momen untuk berkumpul antar warga desa. Ketika berlangsung pesta hajatan, ada kebiasaan masyarakat, baik ibu-ibu atau bapak-bapak, untuk ngabring (berjalan bersama-sama, beriringan) sambil membawa/menjinjing beras menuju tempat hajatan. Bahkan, mereka saling tunggu untuk disampeur dari rumah yang terjauh sampai rumah yang terdekat (pasampeur-sampeur). Ngabring ini menunjukkan kebersamaan dan saling “mengontrol” antara satu warga dengan warga lainnya, sehingga apabila disampeur tidak ikut/datang akan muncul rasa malu. Kebiasaan ngabring ini masih ada sampai sekarang meskipun sudah sangat jauh berkurang. Penyebabnya ada dua, pertama, sudah banyak warga yang memiliki kendaraan bermotor, sehingga mereka merasa lebih praktis untuk berangkat sendiri-sendiri atau nyampeur orang yang dekat saja. Kedua, jumlah beras yang disimpan/dibayarkan sudah tidak lagi 1-2 gantang (10-20 liter), melainkan sudah sampai 50 kg, 1 karung bahkan lebih, sehingga lebih praktis jika menggunakan kendaraan bermotor. Ngabring ini juga biasa dilakukan oleh warga yang desanya dengan tempat hajatan jauh jaraknya. Biasanya mereka akan menyewa mobil bak terbuka (pick up) untuk kemudian ramairamai menuju tempat hajatan. Selain lebih irit (biaya transportasi) juga bisa menolong mereka yang tidak memiliki sepeda motor sendiri. 5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan a) Ngarep leuwihna (untung) Gantangan ini memiliki fungsi ekonomi bagi rumah tangga karena dalam pertukaran tersebut tersedia kemungkinan untuk mendapatkan “selisih” antara “hasil gantangan – (modal hajat + biaya hajat) = untung”. Kebanyakan warga tidak melihat bahwasanya “untung” tersebut sebenarnya adalah bentuk lain dari “hutang” atau “kewajiban yang tertunda” saja, sebab di lain waktu ia harus mengembalikan “kelebihan tersebut”. Mereka memandang jika ada selisih diatas maka disebut “untung” dan jika sebaliknya disebut “rugi”. Keuntungan tersebut biasanya dicari dengan cara efisiensi hajatan, misalnya menu makanan yang seadanya (tidak perlu mewah) dan pulangan/anteran yang murah meriah (misalnya kerupuk atau pisang). Sebaliknya, mereka akan mempertahankan hiburan yang meriah karena dianggap sebagai “penarik” tamu undangan agar datang berbondong-bondong sehingga menghasilkan uang dan beras yang lebih banyak. b) Nyimpen (nabung) Sebagian besar informan menyatakan bahwa ikut serta dalam gantangan sebagai salah satu bentuk “tabungan” kepada masyarakat yang dapat ditarik sewaktu-waktu membutuhkan. Dengan adanya dua skema “nyimpen” dan mayar”, maka meskipun sudah melunasi hutang ia tetap bisa menyimpan lagi untuk “tabungan” hajatan berikutnya. Dalam menyimpan uang dan beras atau sembako lainnya ini, biasanya informan akan mempertimbangan kredibilitas calon bapak hajat, apakah ia bisa dipercaya dan dianggap mampu mengembalikan/membayarkan simpanannya kelak atau tidak? c) Itung-itung Arisan Ada juga informan yang menganggap pertukaran gantangan ini sebagai layaknya arisan, dimana kita akan menerima dan mengembalikan sejumlah uang dari anggota masyarakat lainnya dalam satu periode tertentu. Dengan menganalogikan dengan arisan, maka pertukaran gantangan ini dianggap tidak rugi dan tidak untung, “plus-plas” bahasa lokalnya (impas). d) Neangan modal (mencari pinjaman modal) Pertukaran gantangan juga dapat berfungsi menjadi katup penyelamat ekonomi rumah tangga disaat mendesak. Misalnya ketika rumah tangga membutuhkan biaya untuk membangun rumah, merehab rumah, membangun kamar mandi atau untuk membuka usaha baru (menggadai sawah, membeli angkot, dll) mereka dapat mengadakan hajatan “narik gantangan” ini. Hasil narik gantangan inilah yang kemudian dijadikan modal oleh rumah tangga tersebut. e) Ngagolangkeun simpenan (memutar simpanan) Beberapa informan mengatakan bahwa mereka tidak perlu pusing untuk melunasi hutang gantangan ini. Sebab, selain memiliki hutang yang harus dibayar, mereka juga terus menyimpan kepada anggota masyarakat lain setiap ada hajatan. Ada istilah “membayar hutang lama plus menyimpan simpanan baru”. Misalnya, jika nyonya A memiliki hutang beras 10 liter kepada nyonya B. Ketika nyonya B mengadakan hajatan maka nyonya A akan membayar 10 liter beras itu ditambah simpanan baru 10 liter (total yang dibawa ketika hajatan oleh nyonya A menjadi 20 liter). Demikian seterusnya, sehingga pertukaran gantangan ini dapat terus-menerus dilakukan. f) Teu sampai potol (tekor) Salah satu gagasan/pemikiran dari warga masyarakat tetap melanggengkan pertukaran gantangan salah satunya adalah untuk “menghindari kerugian”. Dengan skema “pinjaman” beras dan uang dalam gantangan ini memungkinkan bapak hajat untuk dapat menyelenggarakan hajatan tanpa kekurangan bahan maupun modal. Sekalipun tidak untung, setidaknya tidak rugi, demikian prinsip sebagian besar informan pelaku gantangan dalam penelitian ini. g) Sumber penghasilan tambahan Pesta hajatan dan pertukaran gantangan ini bukan hanya seremonial yang bersifat sosial saja, justru sebaliknya, merupakan aktivitas ekonomi yang bagi sebagian orang dianggap menghasilkan/menguntungkan. Mulai dari petugas keamanan (satgas desa, hansip, polisi, TNI), aparat desa, kelompok kesenian (hiburan), persewaan tenda, tukang masak, pemuda karang taruna (tukang parkir dan tukang angkat beras), dan pedagang kaki lima turut menikmati keuntungan (setoran, upah, hasil berjualan) dari diadakannya pesta hajatan rame-rame. Sekalipun tidak besar rupiah yang dapat mereka peroleh, namun dengan frekuensi pesta hajatan yang semakin sering dan pertukaran gantangan yang semakin besar, mampu menjadi sumber penghasilan tambahan yang menguntungkan. h) Pasar kaget (pasar bagi pedagang kaki lima) Setiap pesta hajatan ramai-ramai akan selalu diwarnai oleh deretan pedagang kaki lima (penjual bakso, siomay, bakso tahu, mainan anak-anak, penjual minuman, pedagang kelontong, mie ayam, dan lain sebagainya) yang menjajakan dagangannya sepanjang jalan masuk maupun keluar tempat hajatan. Semakin besar pesta hajatan, atau semakin terkenal bapak hajat, maka semakin ramai dan panjang pula deretan PKL ini. Kehadiran PKL ini memang sudah dianggap sebagai bagian dari penyemarak hajatan dan penarik bagi anak-anak maupun tetangga sekitar untuk terus berkumpul di sekitar lokasi hajatan/hiburan. Sehingga kesan ramai dan meriah bisa terus terjaga. Gambar 27. Pasar dadakan PKL diluar arena hajatan 5.3. Bentuk Pertukaran Sosial di Pedesaan Subang 5.3.1. Gantangan di Subang Utara a. Telitian Setelah dilakukan pendalaman, pesta hajatan di wilayah Subang Utara (Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan) ternyata menerapkan beberapa sistem pertukaran sosial di dalamnya. Pertama, adalah apa yang disebut dengan telitian, yaitu sistem pertukaran beras dan uang yang dilakukan antar warga dusun/desa yang dilakukan sebelum atau ketika pesta hajatan berlangsung. Pesta hajatan yang dimaksud seperti pernikahan dan khitanan. Telitian ini sebenarnya adalah nama lain dari Gantangan. Menurut tokoh masyarakat, asal istilah telitian ini berasal dari kata “gentenan” atau “silih genten” yang berarti “saling bergantian”. Gentenan atau silih genten itu sendiri merupakan bahasa campuran antara Jawa dan Sunda yang melahirkan bahasa dan logat khas masyarakat Pantura. Dilihat dari aspek sejarah, masyarakat Pantura Subang ini memang dulunya adalah pendatang dari wilayah timur, seperti Indramayu, Cirebon, hingga Tegal. Wajar jika kemudian secara budaya masyarakat Pantura ini agak berbeda dengan masyarakat Subang pedalaman (tengah dan selatan) yang lebih lebih kental corak Sunda-nya. Aturan main dalam telitian ini adalah bahwa setiap rumah tangga masing-masing diperbolehkan menyimpan minimum ½ Gantang (5 liter beras) dan uang Rp. 10.000,- untuk perempuan (istri) dan uang minimum Rp. 15.000,- untuk laki-laki (suami) yang kemudian akan dicatat oleh Bapak Hajat20 melalui bantuan juru tulis telitian. Biasanya, sebelum menyelenggarakan pesta hajatan, Bapak hajat akan membentuk panitia kecil yang terdiri dari keluarga dan tetangga dekat untuk membantu teknis penyelenggaraan hajatan. Panitia kecil ini ada yang ditugaskan untuk menjadi penerima tamu, tukang masak, pencuci piring, perlengkapan hajatan, dan yang cukup penting perannya adalah petugas pencatat telitian. Pencatat telitian ini dibagi dua, yaitu pencatat telitian perempuan (meja beras) dan pencatat telitian laki-laki (meja amplop/uang). Tugas pencatat telitian adalah mencatat siapa saja nama-nama penyimpan beras dan uang (serta sembako lainnya) di dalam buku catatan telitian yang sudah disediakan di masing-masing meja. Kedua meja tersebut adalah tempat yang pertama kali akan dituju oleh tetangga dan para tamu undangan yang memang terlibat dalam sistem telitian ini. Gambar 28. Tradisi nyumbang sukarela (Kiri) dan pola Telitian di Subang Utara (Kanan) Sesuatu yang membuat telitian ini berbeda dengan tradisi nyumbang atau kondangan di tempat lain adalah bahwa beras dan uang serta bahan kebutuhan pokok lainnya itu tidaklah dianggap sebagai 20 Bapak hajat atau Shohibul hajat adalah orang/keluarga yang menyelenggarakan pesta hajatan (tuan rumah). sumbangan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang piutang oleh masyarakat Subang Utara. Hutang piutang tersebut nampak dalam istilah lokal yang digunakan ketika menyumbang telitian, yaitu istilah “nyimpen” dan “mayar”. Nyimpen berarti tamu undangan (kerabat, tetangga, dan kenalan) itu menitipkan beras atau uang kepada bapak hajat, sedangkan Mayar berarti kelak ketika tamu undangan tersebut menyelenggarakan hajat maka bapak hajat harus membayarnya kembali sesuai dengan jumlah simpanan yang tertera dalam buku catatan telitian. Dengan demikian, buku catatan telitian (buku beas dan buku artos) tersebut adalah pedoman dan panduan baku dalam pertukaran telitian ini. Kehilangan buku catatan tersebut sama artinya dengan kehilangan catatan simpanan dan hutang rumah tangga. Frekuensi telitian di Subang utara ini dari tahun ke tahun semakin sering dijalankan. Sebab, masyarakat tidak lagi berpatok kepada pernikahan atau khitanan untuk menarik simpanan telitian, melainkan lebih kepada kebutuhan yang mendesak, seperti membangun rumah, merehab rumah, atau ketika membutuhkan modal untuk usaha keluarga. Kondisi ini menyebabkan telitian semakin sering digelar, sehingga muncul keluhan dari warga lainnya perihal “kerepotan” dan “beratnya” beban hajatan telitian ini. Keluhan semacam ini cukup masuk akal, sebab disisi lain pendapatan mereka dari bertani atau yang lainnya tidak bertambah secara signifikan. Bahkan, bagi golongan buruh tani justru semakin terancam eksistensinya di sawah. Penyebabnya adalah mulai maraknya mekanisasi pertanian khususnya penggunaan mesin pemisah jerami dan gabah (Combine) yang menghilangkan gabah-gabah sisa panen yang biasanya dikeprik (dipungut) oleh keluarga buruh tani ini. Hasil ngeprik ini terbilang lumayan, dalam sehari satu orang bisa mendapat sampai 20 kg. jika suami istri ngeprik, maka keluarga itu bisa mengumpulkan 40 kg per hari. Hasil sebanyak itu dulu cukup untuk cadangan telitian sewaktu-waktu. Kini, dengan digunakannya mesin oleh para pemilik lahan, mereka kehilangan pendapatan yang pada akhirnya membuat malas dan berat ketika harus membayar hutang telitian di masa lalu. Tabel 11. Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Pada Tradisi Telitian Sudut Pandang Buruh Tani Sudut Pandang Pemilik Sawah Ketimpangan pemilikan lahan Banyak kebiasaan gadai dan sawah. Sebagian kecil warga berhutang membuat warga dengan memiliki sebagian besar besar lahan mudah menjual/menggadai sawah dan sebagian besar warga sawahnya. Hal ini menguntungkan menjadi buruh taninya. bagi mereka yang memiliki modal untuk lembat laun memiliki dan menguasai sawah di desa tersebut. Selama ini, ketika sudah tidak Banyak buruh tani yang tidak jujur punya lahan, mengandalkan hidup sehingga menyebabkan hasil panen dari menjadi buruh tani dengan tidak optimal. Timbul pemikiran mengerjakan berbagai kegiatan untuk menggunakan mesin agar pertanian seperti mengolah lahan, lebih efisien dan hasilnya 21 nandur, nyabit, nggebot , dan panennya lebih banyak. Biaya ngeprik22. sewa mesin Combine dan tenaganya untuk setiap 500 bata (1 are) adalah Rp. 500.000,Begitu mekanisasi diterapkan, Ketika mesin pemisah gabah dan otomatis pemilik sawah tidak jerami digunakan, hasil produksi membutuhkan banyak tenaga kerja meningkat pesat dan waktu sehingga buruh tani (terutama pemanenan cukup 1 hari. Padahal perempuan) kehilangan sisa-sisa sebelumnya dengan menggunakan panen yang biasanya diandalkan buruh membutuhkan waktu 2 hari untuk cadangan telitian dan pangan dan hasil produksi tidak maksimal keluarga. Pemilik sawah dianggap (banyak sisa yang jatuh/tidak 21 Nggebot / ngegebuk : teknik panen manual, menggunakan salome/alat tradisional untuk menggebot. Dalam sistem ini, bagi hasil antara buruh tani dan pemilik adalah 1:5. Upah buruh gebot Rp. 30.000/bedug (5 jam). Untuk lahan 1 are biasanya diperluakan waktu 2 hari (nyabit dulu, ngengebot) untuk memanen, jika memakai mesin Combine hanya 1 hari saja sudah beres. 22 Ngeprik / ngajaplin : Memungut sisa-sisa hasil panen tidak manusiawi dan egois. terkumpul). Sumber : Hasil Wawancara Mendalam Pada tahun 2010, sekitar 400-an buruh tani demonstrasi ke desa dan ke sawah untuk melakukan protes dan menolak kehadiran mesin comben tersebut. Mediasi yang dilakukan pihak desa kurang berhasil sehingga pemilik sawah mendatangkan polisi untuk turun tangan menghadapi warga. Konon, warga hampir melakukan perusakan dan pembakaran terhadap mesin Combine tersebut, tetapi berhasil dicegah. Tahun-tahun ini dan mungkin ke depan, hilangnya pendapatan dari ngeprik ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam tradisi telitian, yang notabene merupakan pertukaran beras dan uang yang keduanya semakin sulit didapat oleh golongan miskin. Sebaliknya, para petani kaya dan golongan menengah ke atas lainnya yang mengikuti golongan, justru semakin eksis dan mapan dengan sistem golongannya (telitian khusus) tersebut. Gambar 29. frekuensi hajatan “rame-rame” di desa Jayamukti (Subang Utara) yang semakin meningkat. Sementara itu, makin banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, justru tidak menyurutkan “biaya sosial” dan “kewajiban sosial” yang harus dibayarkan, seperti telitian dalam pesta hajatan yang justru semakin lama semakin sering frekuensi dan berdekatan jaraknya satu sama lain. Frekuensi pesta hajatan “rame-rame” (dengan hiburan) di desa Jayamukti dapat dilihat dari buku catatan satgas desa (tahun 2005-2012) pada gambar 11 diatas. Selain dengan melihat frekuensi hajatan diatas, kita juga dapat melihat seberapa besar hasil telitian suatu rumah tangga dengan melihat buku catatan telitian yang mereka miliki. Setiap rumah tangga memiliki buku catatan telitian tersebut, namun terkadang kita akan menemui buku catatan telitian yang sudah kusut, penuh coretan, dan beberapa bagian yang robek. Biasanya kondisi demikian disebabkan oleh usia buku yang memang sudah lama (hajatan lebih dari 10 tahun yang lalu) dan disimpan di tempat yang lembab atau sembarangan. Walaupun demikian, buku catatan telitian ini akan tetap dijaga dan disimpan oleh pemiliknya setidaknya sampai dengan seluruh hutanghutangnya lunas. Sumber : diolah dari buku catatan telitian/gantangan Gambar 30. Hasil Telitian Selain beras dan uang, telitian di Subang utara ini umumnya juga menerima pertukaran timbal balik dalam berbagai bentuk barang atau kebutuhan lainnya, seperti : Air Minum dalam Kemasan, Minyak Goreng, Gula Pasir, Ikan Laut, Daging, Rokok, Bolu (Kue Basah), Gula Merah, Bumbu Dapur, dan lain-lain. Jumlah barang yang disimpan adalah sesuai dengan keinginan si penyimpan dan juga kesepakatan dengan bapak hajat. Terkadang bapak hajat juga bisa menolak jika dianggap barang yang disimpan kurang diperlukan atau terlalu banyak. Akan tetapi, kebanyakan bapak hajat akan menerima apa saja yang disimpankan, tidak terlalu pilih-pilih. Sebab, menjadi bapak hajat sama yang dititipi simpanan tersebut sama artinya sebagai “orang yang dipercaya” oleh penyimpan, bahwa ia layak menerima kepercayaan itu dan dianggap mampu untuk mengembalikannya kelak. b. Golongan Sistem pertukaran sosial yang kedua adalah golongan, yaitu bentuk telitian yang lebih khusus dan eksklusif. Letak perbedaannya dengan model telitian pertama adalah pada cara pengelolaan, jumlah anggota dan jumlah simpanan yang lebih terstandarisasi. Golongan di Subang Utara ini dikelola oleh seorang ketua panitia golongan yang biasanya adalah inisiator dan pencetus sistem golongan ini. Dalam pembentukannya, ketua panitia golongan mengumpulkan orang-orang atau rumah tangga yang dinilai akan tertarik dan sanggup berkomitmen dalam golongan ini. Dalam musyawarah tersebut, ketua panitia golongan menawarkan aturan main yang akan dijalankan, misalnya berapa jumlah minimum untuk beras, uang, gula pasir, daging sapi, daging ayam dan barang-barang lainnya yang akan dipertukarkan dalam golongan? Mereka yang tertarik kemudian mendaftar menjadi anggota golongan dan menjalankan aturan main yang telah disepakati bersama-sama. Boleh dikatakan, secara administratif Golongan ini memiliki kemiripan dengan arisan, hanya saja pola dan sistem pertukarannya menggunakan telitian. Dari hasil penelitian, Golongan di Desa Jayamukti, Kec. Blanakan misalnya, diketuai oleh Haji Abdul yang dibantu oleh seorang petugas lapangan. Kelompok Golongan Haji Abdul didirikan 3 tahun lalu (2009) dan sampai saat ini memiliki jumlah anggota 45 orang. Ide mengadakan golongan ini diperoleh H. Abdul dari sistem serupa yang sukses diterapkan di Karawang, tempat keluarga istrinya berasal. H. Abdul dan keluarga sudah sejak tahun 1998 mengikuti sistem golongan ini di Desa Bayur, Karawang. Pada tahun 2000, H Abdul melaksanakan hajatan dan menganggap sistem golongan yang ada di Karawang ini bermanfaat dan menguntungkan bagi ekonomi rumah tangga. Di sisi lain, sebagai warga Dusun Tegaltangkil, Desa Jayamukti, ia malah melihat berbagai bentuk kecurangan dalam telitian di kampungnya. Semisal banyak yang tidak jujur dan melebihkan jumlah timbangan simpanannya (8 liter mengaku 10 liter). Kecurangan semacam itu dapat terjadi pada saat-saat jam tamu undangan yang membludak, yaitu pada pukul 18.00 s.d. 19.30 WIB, dimana panitia dan tuan rumah sudah kewalahan mencatat dan tidak sempat menimbang satu persatu simpanan warga. Kegelisahannya yang lain adalah terkait waktu pelaksanaan hajatan yang tidak teratur, kadang sering kadang jarang. Pada waktu sering, banyak warga tidak mampu membayar hutang-hutangnya karena panen sedang buruk atau pendapatan sedang menurun. Dengan berbekal pengalaman di Karawang itulah, kemudian H. Abdul memberanikan diri untuk membentuk golongan di dusun tegaltangkil, desa Jayamukti, yakni agar warga yang ingin menyelenggarakan hajatan tidak “keduman blesake doang” (mendapat ruginya saja) dan “orang hajat biar nggak potol” (tidak bangkrut). Beberapa aturan main dalam kelompok Golongan ini antara lain : Jumlah simpanan minimum untuk : ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· ï‚· Beras = 50 kg, Gula pasir = 5 kg, Daging sapi = 1-3 kg, Daging ayam potong = 3 kg. Uang = Rp. 50.000/orang Dengan mengelola golongan ini, panitia mendapatkan Rp. 300.000/hajatan. Melihat aturan main yang disepakati diatas, tentu saja mereka yang dapat ikut serta dalam Golongan H. Abdul ini adalah rumah tangga menengah ke atas. Hampir tidak mungkin rumah tangga miskin dapat menjadi anggota (karena akan kurang dipercaya kemampuannya) atau melibatkan diri (karena merasa dirinya tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut). Kehadiran golongan sebagai bentuk telitian yang lebih eksklusif ini sekaligus menjadi penanda pelapisan sosial dalam hajatan. Mereka yang menjadi anggota Golongan H. Abdul, ketika hajatan akan menerima beras beras minimum 2,250 Ton dari hasil simpanan 45 anggotanya (belum ditambah uang dan sembako lainnya serta telitian biasa dari warga non-anggota golongan). Sementara beras atau uang yang diterima oleh warga biasa yang bukan anggota golongan akan sangat ditentukan oleh jumlah tamu undangan yang datang. Ketimpangan dan kesenjangan sosial itu pada akhirnya akan nampak jelas dengan membandingkan proses dan hasil pesta hajatan antara satu orang dengan orang lainnya di desa tersebut. Gambar 31. Tradisi Nyumbang Pola Golongan di Subang Utara Menurut warga yang menjadi anggota golongan H. Abdul, sistem golongan ini dinilai sangat menguntungkan. Sebab, selain hasilnya lebih signifikan, lebih pasti dan lebih terjamin jumlahnya, golongan ini juga lebih menghemat biaya bapak hajat. Penghematannya terletak pada konsumsi yang harus dikeluarkan. Sebab, dalam sistem golongan ini, pihak yang mengumpulkan beras, uang, dan sembako lainnya adalah ketua golongan (H. Abdul). Baik dengan cara diambil atau diantar oleh anggota. Setelah semua tertagih dan terkumpul, lalu ketua panitia dengan dibantu beberapa orang mengantarkannya ke bapak hajat (anggota yang hajatan). Dengan demikian, bapak hajat hanya memberikan makan/jamuan kepada ketua golongan dan yang membantunya saja. Ia tidak harus menyiapkan makanan untuk 45 anggota seluruhnya, karena sebagian besar mereka sudah diwakili kehadirannya oleh ketua golongan. Sampai dengan wawancara dilakukan (April 2012), Golongan H. Abdul ini telah sebanyak 12 kali anggota yang melaksanakan hajatan dan menarik telitian dari seluruh anggota golongan lainnya. Sepanjang 12 kali hajatan tersebut, belum ada kasus kecurangan yang terjadi. Dengan kata lain setiap anggota berkomitmen dengan pembayaran yang harus dilakukan. Strategi yang dilakukan oleh H. Abdul dalam meringankan beban anggota adalah dengan melakukan pembatasan jumlah hajatan setiap musimnya23, yaitu maksimal 2 kali hajatan/musim. Dengan pengaturan semacam ini, maka anggota golongan dapat menyiapkan cadangan untuk tiap musimnya dan tidak 23 Satu musim hajatan kurang lebih 6 bulan. Biasanya musim hajatan mengikuti musim panen padi di desa tersebut. terbebani oleh frekuensi hajatan yang seringkali tidak pasti. Pembatasan jumlah hajatan inilah yang tidak diberlakukan dalam tradisi telitian yang pertama (umum), sehingga meskipun jumlahnya hanya sekitar 5 liter dan uang Rp. 15.000,- s.d. Rp. 20.000,-, tetap saja bagi kebanyakan masyarakat yang kurang mampu (mayoritas buruh tani), telitian bisa jadi memberatkan tatkala jumlah panggung24 dalam satu musimnya terlalu sering. 5.3.2. Gantangan di Subang Tengah a. Talitihan Gantangan di Subang Tengah (Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum) baru berkembang dan meluas sekitar tahun 1999. Tahun– tahun sebelumnya sudah ada sistem pencatatan tetapi tidak semuanya. Masih ada warga yang menyumbang murni (memberikan beras < 5 liter) dengan tanpa kewajiban untuk mengembalikannya dalam jumlah yang sama. Baru sejak krisis moneter melanda Indonesia, sumbangan murni tersebut mulai hilang dan digantikan dengan sistem pencatatan (minimal sumbangan/simpanan 5 liter) dengan kewajiban untuk mengembalikan dalam jumlah yang sama. Sistem pencatatan simpanan dan pembayaran gantangan tersebut diadopsi oleh warga Pasirmuncang dari desa-desa tetangga, seperti desa Belendung, Waladin, dan Pasirbungur (Kec. Purwadadi). Adopsi sistem pencatatan ini berlangsung melalui hubungan-hubungan sosial yang terbangun antara warga desa dengan penduduk atau keluarga di desa sekitarnya itu. Ketika warga desa Pasirmuncang mendapat undangan hajatan dari desa lain, mereka melihat dan berpikir bahwasanya hajatan seperti pernikahan dan khitanan ternyata bisa dijadikan lahan usaha, atau minimal tidak perlu rugi. Akhirnya, sistem 24 Masyarakat lokal menyebut hajatan dengan panggung, sebagai asosiasi terhadap hiburan yang diselenggarakan. pencatatan dan hutang piutang gantangan ini pun mereka terapkan sampai sekarang. Desa Pasirmuncang ini, sebagaimana desa Jayamukti di Blanakan (Subang Utara), juga termasuk dalam kategori desa tertinggal atau miskin. Penyebab utama kemiskinan di desa ini disebabkan karena sebagain besar wilayah dan lahan yang mereka tempati merupakan lahan perkebunan tebu yang dikelola oleh PT. Pabrik Gula Rajawali II. Sebelum kehadiran pabrik gula dan hamparan tebu pada tahun 1982 (kontrak selama 20 tahun, saat ini kontrak sudah diperpanjang sampai dengan tahun 2022), wilayah tersebut merupakan perkebunan karet yang luas. Alhasil, mayoritas penduduk di desa Pasirmuncang ini berprofesi sebagai buruh tani di perkebunan tebu tersebut. Mereka tidak mampu berkembang karena memang potensi alamnya terbatas dan dibatasi oleh kehadiran perkebunan tebu tersebut. Meskipun demikian, kemiskinan tidak lantas menyurutkan minat mereka terhadap Gantangan. Bagi mereka, saling menyimpan dan membayar beras atau uang ketika warga memiliki hajat adalah cukup meringankan beban bagi tuan rumah. Besar simpanan gantangan di desa Pasirmuncang ini minimum adalah 5 liter beras (1/2 gantang) dan uang Rp. 10.000,- untuk perempuan, sedangkan laki-laki memberikan amplop (kondangan) minimum Rp. 15.000 s.d. Rp. 25.000,-. Meskipun hasilnya kecil – jika dibandingkan desa-desa lain yang berbasis tanaman padi – tetapi cukup lumayan untuk menutupi kebutuhan saat itu. Minimal mereka tidak rugi ketika melangsungkan hajatan. A r+m B r+m r+m C Gambar 32. Pola Talitihan di Subang Tengah sama dengan pola Telitian Subang Utara Selain sistem gantangan yang sudah umum, tiga hari sebelum hari H hajatan, biasanya saudara dan tetangga dekat (ibu-ibu) akan datang kepada bapak hajat untuk menyimpan berbagai bumbu dapur, sayur-mayur dan kebutuhan dapur lainnya. Simpanan ini disebut dengan Talitihan. Berbagai bahan makanan dan bumbu dapur seperti garam, minuman dalam kemasan, gula, penyedap rasa, minyak goreng, opak dan lain sebagainya itu juga akan dicatat oleh bapak hajat di dalam buku gantangan (dengan halaman dan kolom tersendiri). Pada saat nanti si penyimpan melakukan hajatan, maka bapak hajat berkewajiban membayar kembali simpanan tersebut dalam bentuk yang sama. Demikian pula dengan mereka yang membantu memasak (nyangu) di dapur, hampir tidak ada lagi yang sukarela, semuanya mengharapkan diupah, baik dengan uang maupun beras. b. Rombol Jika di Desa Jayamukti, Blanakan, terdapat golongan, maka di desa Pasirmuncang, Cikaum terdapat rombol. Mirip dengan golongan, rombol ini dikelola oleh seorang ketua rombol (panitia), dengan jumlah anggota dan sumbangan tertentu yang telah disepakati bersama (disatandarkan). Sebagai contoh, di Dusun Awilarangan, desa Pasirmuncang, rombol ini dikelola dan diketuai oleh ibu Warsih. Menurut penuturan bu Warsih, kelompok rombol ini ia dirikan tahun 2005 bersama kelompok ibu-ibu yang sering bertemu dalam arisan, pengajian maupun kegiatan dusun lainnya. Awal berdiri, anggota rombol ini berjumlah 21 orang ibu-ibu dengan jumlah simpanan minimal beras 5 liter (1/2 gantang) dan uang Rp. 20.000,-. Simpanan ini sedikit lebih besar daripada simpanan gantangan (tahun tersebut rata-rata Rp. 10.000,-). Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya rombol ini adalah kebutuhan ekonomi yang semakin banyak. Jika hanya mengandalkan gantangan sebagai dana tambahan/cadangan keluarga, para ibu-ibu itu merasa tidak cukup. Diperlukan sistem yang sama tetapi lebih fleksibel dalam penarikannya. Misalnya, tidak perlu harus menunggu hajatan pernikahan atau khitanan, melainkan ketika mereka butuh untuk membangun rumah, merehab rumah, atau membangun WC, mereka bisa menarik simpanan rombol tersebut. Meskipun, sebagian besar rombol ini pada akhirnya tetap ditarik ketika ada anggotanya yang hajat, untuk menghindari panitia bekerja dua kali (sekalian menyebar undangan hajatan, sekaligus menarik rombolan). Perbedaan sistem rombol dengan gantangan biasa adalah jejaringnya. Sistem rombol yang dijalankan bu Warsih ini contohnya, ia tidak hanya mengelola rombolan di satu dusunnya, melainkan juga menghubungkan kelompok di dusunnya itu dengan dusun lainnya, yaitu dusun Waladin (Kec. Purwadadi) yang berjarak sekitar 4 km dari dusunnya. Hubungan pertukaran dua kelompok rombol ini terjadi karena ketua rombolnya saling bersaudara (ketua rombol dusun Waladin/ibu manih kadira, adalah sepupu ketua rombol dusun Awilarangan/ibu warsih). Dengan demikian, anggota rombol di masing-masing dusun saling menyimpan dan membayar dengan difasilitasi oleh ketua rombol masing-masing. Tidak saling kenal tapi saling bertukar Bapak Hajat Panitia Rombol Dusun/Desa X Panitia Rombol Bapak Hajat Dusun/Desa Y Gambar 33. Pola Rombol dalam Pertukaran Sosial Gantangan Tugas seorang panitia seperti bu Warsih ini sangat sentral dalam kelangsungan kelompok Rombol. Sebab, seorang panitia adalah orang yang paling sibuk ketika ada anggotanya yang ingin menarik simpanannya. Tugas dan kewenangan panitia rombol, antara lain : 1. Menyebarkan undangan kepada seluruh anggota (bagi-bagi sabun) 2. Menarik dan mencatat simpanan setiap anggota 3. Menagih kepada anggota yang tidak datang/belum membayar 4. Jika yang ditagih belum ada uang/beras, panitia biasanya yang menalangi lebih dulu sampai yang ditagih memiliki uang 5. Mengantarkan pamulang/berkat dari bapak hajat kepada anggota lainnya. 6. Mendapatkan “uang sabun” dari bapak hajat, biasanya jika terkumpul hasil rombol Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000, bu warsih mendapat Rp. 30.000, jika yang terkumpul lebih kecil, < Rp. 500.000, bu warsih biasanya hanya mendapat Rp. 15.000. di luar “uang sabun”, terkadang bapak hajat ada yang memberi “uang bensin/ojek” Rp. 20.000-Rp.40.000. Menurut Bu Warsih, menjadi panitia rombol atau hajatan itu “sudah capek, dapetnya sedikit”. Tetapi ia anggap hal itu sebagai kewajiban sosial yang harus dijalankan, karena ia telah terlanjur dipercaya oleh anggota lainnya. Di mata ketua Rombol seperti bu Warsih, ke depan ia berharap gantangan/undangan umum itu berhenti saja (rugi, banyak modal keluar, untung sedikit), sedangkan Rombol kalau bisa diperbanyak jumlah anggotanya biar hasil dan manfaat yang diperoleh juga lebih banyak. Nyatanya, dari anggota awal yang berjumlah 21 orang, kini (2012) anggota rombol sudah bertambah menjadi 39 orang di dusun Awilarangan dan sekitar 60 orang di dusun Waladin (sebagai jaringan pertukaran). Sumber : diolah dari catatan rombol Gambar 34. Hasil Rombol Warga yang menjadi anggota kelompok rombol, selain mendapatkan simpanan rombol juga mendapat simpanan dari gantangan biasa warga lainnya. Bedanya, hasil dari rombol ini meskipun terlihat kecil, tetapi relatif utuh dan tidak menghabiskan modal yang besar. Misalnya, bapak hajat hanya memberikan jamuan makan kepada panitia rombol yang datang menyerahkan hasil rombolan dari anggota di kelompoknya. Sementara itu, para penyimpan dari kelompok rombol lain tidak wajib untuk datang di hajatan, hanya cukup menyerahkan/menitipkan simpanan beras dan uangnya kepada ketua panitia rombol. Meskipun demikian, beberapa tuan rumah/bapak hajat seringkali menitipkan pula nyambungan/pulangan (berkat/bingkisan) kepada ketua rombol untuk diberikan kepada anggota yang telah ikut menyimpan. 5.3.3. Gantangan di Subang Selatan a. Gintingan Salah satu pengaruh dari luar tonggoh yang saat ini eksis di tengah desa pegunungan ini adalah Gintingan, yang tidak lain adalah sebutan untuk tradisi Gantangan. Gintingan ini diakui warga Cimenteng sebagai pengaruh dari luar sebab dulunya tidak pernah ada. Dahulu, gotong royong masyarakat dalam saling membantu satu-sama lain sangat kuat dan tanpa pamrih. Misalnya jika ada salah satu warga yang sedang membangun rumah, maka warga desa lainnya akan berduyun-duyun dan bergantian membantu mendirikan rumah tersebut. Tradisi ini mereka sebut sebagai liliuran. Bahkan sampai hari ini beberapa dusun masih melakukan hal yang sama, meskipun tidak sebanyak dan seramai dahulu. Tetapi hari ini, dirasakan oleh masyarakat (diwakili partisipan wawancara kelompok terfokus) bahwa setiap orang semakin perhitungan dalam segala hal, termasuk dalam tradisi nyumbang (Gintingan) ini. Gintingan di desa Cimenteng (dan mungkin Subang Selatan pada umumnya) sudah serupa dengan Gantangan di Subang Utara dan Tengah, yaitu menggunakan sistem pencatatan terbuka dan menjadikan sumbangan sebagai hutang-piutang (kewajiban). Warga desa Cimenteng menyebut Gintingan sebagai pertukaran beras dan uang antar warga satu kampung dan luar kampung yang dibayarkan ketika dilangsungkan pesta hajatan. Di luar gintingan tersebut, mereka juga melakukan pertukaran beras dan uang serta iuran lain-lain antar warga satu kampung yang disebut sebagai persatuan atau satuan. Adanya bermacam-macam kegiatan kolektif semacam itu selain menunjukkan kentalnya kehidupan komunal, juga menunjukkan bahwasanya setiap rumah tangga sangat menggantungkan kehidupannya kepada rumah tangga lainnya (interdependensi). Secara historis, menurut penuturan beberapa informan, sampai dengan tahun 1960-an, belum ada sistem pencatatan sumbangan hajatan itu. “masing-masing ge emut, dicatet di hate” (setiap orang ingat dan dicatat didalam hati). Barangkali karena jumlah penduduk yang masih belum sebanyak sekarang dan hubungan yang masih sangat dekat. Pada tahun 1964, mulai banyak orang yang lupa, “seeur nu hilap”, sehingga masing-masing rumah tangga mulai mencatat sumbangan yang diterimanya, agar ketika mengembalikan tidak lupa. Akan tetapi pencatatan ini dilakukan diam-diam, tidak secara kolektif, catatan pribadi. Akhirnya pada tahun 1985-an, mulai muncul penggunaan sabun colek dan rokok sebagai undangan hajatan. Konon ini pengaruh dari utara, “pengaruh ti kaler”, yaitu saudara-saudara atau kenalan mereka yang tinggal di desa-desa utara (Kec. Pagaden) mengundang mereka dengan cara seperti itu. Dinilai praktis, pada akhirnya cara tersebut mulai ditiru dan meluas penggunannya. Ingatan warga merujuk pada Ceu Rohimah, sebagai orang yang pertama kali mengajak dan mengenalkan hajatan gintingan secara utuh pada saat hajatannya di tahun 1995. Mulai dari situ, kemudian pola pesta hajatan dan tradisi nyumbang di Cimenteng ini serupa dengan desa di utara, yaitu ada juru tulis Gintingan, ada batas minimal gintingan, dan kewajiban-kewajiban dalam pengembalian gintingan. Hingga hari ini, minimal gintingan untuk beras adalah 5 liter (1/2 gantang) dan maksimal 50 kg (1/2 Kw). Pembatasan jumlah gintingan inilah yang unik dan membedakan daerah tonggoh dengan di utara. Nampaknya, mereka tahu benar terhadap kemampuan mereka, baik secara ekonomi atau ekologi, bahwa hasil panen padi mereka tidaklah sebagus dan sebanyak di dataran rendah (banyak hama). Sehingga mereka merasa perlu membatasi gintingan agar tetap pada batas kemampuan mereka untuk membayar. Sumber : diolah dari buku catatan Gantangan Gambar 35. Hasil Gintingan Untung rugi dalam pesta hajatan, nampaknya juga bukan hal yang tabu menjadi bahan perbincangan masyarakat. Menurut warga, “hajatan teh kumaha perbuatan. Saha nu rajin nyimpen ya loba hasilna, saha nu kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging artos” (untung/ruginya hajatan itu tergantung pada perbuatan seseorang, barang siapa rajin datang dan menyimpan ke orang lain maka akan banyak menuai hasil gintingan, sebaliknya yang malas menyimpan yang mungkin tidak akan terbayar modalnya/rugi, tidak akan mendapat kelebihan uang). Perbedaan lain di daerah tonggoh ini adalah frekuensi hajatan setiap musim yang tidak terlalu memberatkan/sering. Rata-rata hanya 6-7 kali panggung dalam setiap musimnya (6 bulan). Biasanya hajatan ramai di bulan Raya Agung, di Musim kemarau, dan di Bulan haji. A r+m B r+m r+m C r = beras, m = uang Gambar 36. Pola Gintingan di Subang Selatan sama dengan pola Telitian (Subang Utara) dan Talitihan (Subang Tengah) Keterlibatan dalam pertukaran gintingan ini adalah sukarela, tidak ada paksaan. Banyak juga warga yang tidak mengikuti sistem ini, artinya dia hanya menyumbang seikhlasnya dan tidak dicatat dalam buku gintingan (tidak wajib dikembalikan). Toleransi terhadap mereka yang belum bisa membayar hutang (mengembalikan gintingan) juga masih cukup besar, yaitu ditunggu sampai mampu membayar. Bahkan mereka yang pindah domisili pun tidak menjadi masalah berarti, sepanjang di domisilinya yang baru masih terjangkau dan bersedia datang jika diundang. Contohnya adalah Bu Nane, seorang Bidan yang pernah bertugas di Cimenteng. Suatu ketika ia pindah dinas ke Indramayu, warga pun tetap mengantarkan undangannya ke ibu Nane, sebaliknya, Bidan tersebut juga tetap berkomitmen dengan membayar hutang/simpanan warga ketika ia hajatan dahulu. Tabel 12. Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan TIPE A TIPE B TIPE CIRI-CIRI (Nyambungan) (Gintingan) Norma resiprositas TIPE C (Golongan) Mengikat Memaksa Sanksi tegas Volume pertukaran pasti Waktu pengembalian terjadwal Jaringan Antar keluarga dan Tetangga dekat Satu desa Luar desa Ikatan antar aktor yang kuat Kepercayaan (trust) Ditagih Dicatat Sendiri Dicatat Juru Tulis (panitia hajat) Dicatat oleh Ketua kelompok V v v v v v v v V V v v v v v v v v v v v v v v Karakteristik Komunitas Istilah Modal Sosial Sejarah Mulainya Gantangan Penyebaran Pola resiprositas dan pertukaran Bandar Hajatan Waktu hajatan Kesan terhadap gantangan Tabel 13. Perbandingan Pola Pertukaran Sosial Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012) Subang Utara Subang Tengah Subang Selatan Masyarakat pesisir, petani/petambak, buruh Masyarakat sekitar perkebunan karet dan tebu, Masyarakat sekitar hutan, petani, tani, nelayan, jasa dan perdagangan buruh tebas, petani dan buruh pabrik peladang, dan peternak. Terbuka, miskin = tidak memiliki lahan Terbuka, miskin = sumberdaya minim Terisolir, miskin = minim akses Telitian Talitihan atau Gantangan Gintingan Pengaruh/meniru dari Karawang dan Pengaruh/meniru dari Subang Utara Pengaruh/meniru dari Subang Tengah Indramayu dan Utara Melalui perkawinan, perpindahan penduduk Melalui perkawinan, perpindahan penduduk Melalui jaringan pertemanan, dan jaringan pertemanan dan jaringan pertemanan perpindahan penduduk dan perkawinan Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang. menghilang. menghilang. Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Pola B. Menyimpan beras minimum 5 Rp. 15.000, dan sembako lainnya, dicatat, Rp. 10.000, dan sembako lainnya, dicatat, liter dan maksimum 50 kg, uang > Rp. wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai 10.000, dan sembako lainnya, dicatat, menurun karena ketidakjujuran dan frekuensi menurun karena frekuensi hajatan yang tidak wajib dikembalikan, masih eksis dengan hajatan yang tidak diatur (21 kali setahun diatur (19 kali setahun) dan kesulitan ekonomi frekuensi hajatan relatif rendah (7-8 kali hajatan rame-rame ditambah hajatan tanpa Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah setahun) hiburan yang tidak tercatat) kelompok mirip arisan sebanyak @10 liter, Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah uang Rp. 20.000, dan sembako lainnya yang kelompok mirip arisan sebanyak @50 kg, uang dikelola oleh Ketua Rombol, dicatat, wajib Rp. 50.000, daging sapi, daging ayam, dan dibayarkan, jumlah anggota 40 sembako lainnya yang dikelola oleh Ketua orang/kelompok, waktu pengembalian/hajatan Golongan, dicatat, wajib dibayarkan, jumlah tidak/belum dibatasi/diatur. anggota 45 orang, waktu pengembalian/hajatan dibatasi 4 kali setahun Memiliki power sentral dalam pertukaran Memiliki pengaruh kuat dalam pertukaran Belum terlalu memiliki pengaruh/power Musim panen, pernikahan, khitanan, kelahiran, Musim panen, Pernikahan, khitanan, kelahiran, Musim panen, Pernikahan, khitanan, naik haji, membangun/merehab rumah, dan naik haji, membangun/merehab rumah, dan kelahiran kebutuhan mendesak lainnya kebutuhan mendesak lainnya ï‚· Perempuan : (1) Bayar (2) Makan (3) Beras ï‚· Perempuan: (1) Hutang (2) Uang (3) Beras ï‚· P: (1) Simpanan (2) Usaha (3) Hutang ï‚· Laki-laki : (1) Bayar (2) Utang (3) Pusing ï‚· Laki-laki : (1) Hutang (2) Pusing (3) Bayar ï‚· L : (1) Hutang (2) Simpanan (3) Pusing 5.4. Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke Pertukaran Sosial Dalam Sosiologi Ekonomi (ekonomi distribusi), hubungan timbal balik antar warga masyarakat seperti dalam tradisi nyumbang, gantangan, gotong royong dan lain sebagainya itu disebut sebagai resiprositas. Hubungan timbal balik atau resiprositas tersebut dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok yang memiliki posisi dan peran sosial relatif sama serta saling bergantian. Misalnya peran sebagai pengundang (bapak hajat) dan yang diundang (tamu undangan). Secara garis besar, terdapat dua bentuk resiprositas, yaitu resiprositas umum (generalized reciprocity) dan resiprositas sebanding (balanced reciprocity) (Damsar, 2009:105). Resiprositas umum artinya kewajiban memberi atau membantu orang atau kelompok lain dengan tanpa mengharapkan pengembalian, pembayaran atau balasan yang setara dan langsung. Sekalipun terdapat pamrih dalam melakukan pemberian, namun tidak ada batasan waktu dan jumlahnya serta tidak ada mekanisme untuk menagih pengembaliannya. Resiprositas umum ini biasanya didorong oleh nilai-nilai dan norma dalam masyarakat bahwasanya menolong dan memberi kepada orang lain itu adalah suatu perbuatan yang dianjurkan dan bernilai sosial. Sebaliknya, resiprositas sebanding adalah kewajiban memberi atau membayar apa yang orang dan kelompok lain berikan kepada kita, dan biasanya jumlah dan waktu pengembaliannya setara, terjadwal dan langsung. Resiprositas sebanding inilah potret yang terjadi dalam tradisi pesta hajatan dan gantangan di pedesaan Subang, dimana kewajiban timbal balik dilakukan dalam sebuah kesepakatan yang terbuka, setara dan tercatat secara jelas segala sesuatunya di dalam buku gantangan. Setiap orang dalam jaringan resiprositas sebanding ini telah mengkalkulasikan pengorbanan dan keuntungan yang akan mereka peroleh masing-masing (pertukaran sosial). Secara teoritis, resiprositas sebanding ini masih menekankan pada “kesetaraan” antara apa yang pernah diberikan dengan apa yang akan diterima (balasan). Namun, secara praktik, nampaknya resiprositas sebanding ini bisa menjadi pintu masuk bagi komersialisasi sosial dan bahkan tidak menutup kemungkinan pada akhirnya melahirkan eksploitasi sosial dan ekonomi. Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Resiprositas Produksi Resiprositas Konsumsi Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Pertukaran Konsumsi Produksi Distribusi Keuntungan Sumber : Swedberg (2003) dalam Damsar (2009:112) 5.4.1. Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan Sosial-Kontraktual Transformasi tradisi Nyumbang yang bersifat sukarela menjadi tradisi Gantangan yang bersifat kontraktual pada mulanya ditandai dengan adanya sistem pencatatan. Hadirnya pencatatan ini dimulai pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an. Berbagai informasi yang dikumpulkan oleh penulis di ketiga lokasi penelitian menunjukkan kemiripan satu sama lain terkait kapan dimulainya pencatatan Gantangan ini? Tetapi, masayarakat di Subang Utara memang lebih dulu memulai model pencatatan Gantangan yang mereka adopsi dari tradisi di wilayah Karawang (Barat) dan Indramayu (Timur) daripada masyarakat di Subang Selatan. Tujuan pencatatan jumlah sumbangan oleh bapak hajat, baik yang berupa uang dalam amplop, beras, maupun sumbangan-sumbangan lain ini pada mulanya adalah bertujuan untuk menghindari lupa (seeur nu hilap / banyak yang lupa). Beberapa informan yang sudah sepuh (tua) mengatakan bahwa dimulainya pencatatan tersebut disebabkan oleh makin banyaknya orang yang mampu untuk menyelenggarakan pesta hajatan, sehingga setiap orang atau rumah tangga juga semakin sering menerima undangan. Barangkali ini terkait pula dengan laju pertambahan penduduk di pedesaan dan mulai membaiknya perekonomian mereka. Ditambah, sudah mulai banyak warga desa yang mulai mengenal baca tulis dan anak-anak mereka mulai mampu untuk melakukannya. Pencatatan sederhana pun mereka lakukan, agar ketika membalas undangan dari saudara atau tetangga, sumbangan mereka minimal sama atau tidak kurang dari yang pernah diberikan oleh si pengundang. Mereka akan sangat malu jika sumbangan yang mereka berikan ternyata lebih kecil dari yang pernah diterimanya. Pada perkembangan selanjutnya, pencatatan yang dilakukan untuk tujuan menghindari lupa (informal) itu kemudian menyebar dan berkembang menjadi salah satu instrumen dalam penyelenggaraan hajat. Meja khusus untuk pencatatan pun disediakan oleh bapak hajat di depan pintu masuk sebelum tamu undangan bersalaman dengan bapak hajat atau memasuki pelataran rumah. Saudara atau orang yang dipercaya kemudian diminta tolong untuk mencatat setiap tamu undangan yang datang beserta barang bawaannya. Dengan demikian, tidak ada satu pun tamu undangan yang terlewat untuk dicatat nama dan barang bawaannya atau jumlah sumbangannya. Namun, pada masa awal mengenal sistem pencatatan ini, belum muncul standar jumlah sumbangan. Setiap tamu undangan yang merupakan saudara, tetangga, kenalan di dalam kampung maupun diluar desanya itu memberikan jumlah sumbangan yang sangat bervariasi sesuai dengan kemampuannya. Ada yang hanya ½ gantang (5 liter) beras, 1 gantang, 10 gantang dan seterusnya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tidak ada tuntutan dari tuan rumah terkait besar sumbangan tersebut. Namun, kehadiran meja juru tulis tersebut tentu saja membawa konsekuensi lain, yaitu orang menjadi tahu berapa jumlah sumbangan tamu undangan lainnya. Setiap orang yang datang pun mulai memperhitungkan jumlah sumbangannya dengan status sosial yang disandangnya. Tentu saja akan ada tamu yang malu jika ternyata orang yang lebih miskin darinya ternyata menyumbang lebih besar daripada yang Ia berikan. Apalagi juru tulis mencatat dan akan tersebar dengan cepat melalui mulut ke mulut tentang “kedermawanan” atau “kekikiran” seseorang dilihat dari besar sumbangannya. Menyadari konsekuensi sosial semacam itu, hadirnya pencatatan di meja juru tulis kemudian melahirkan stratifikasi jumlah undangan yang mengerucut pada tiga besaran sumbangan, yaitu sumbangan orang kaya, kelas menengah dan sumbangan warga kelas tidak mampu. Penulis menyebut fenomena ini sebagai “standarisasi alamiah” yang terjadi ketika jumlah sumbangan menjadi “rahasia umum” (mirip dengan penentuan iuran dalam konteks yang lebih modern). Ketika semakin banyak hajatan di desa yang mengadopsi sistem pencatatan dan meja juru tulis di depan, maka semakin banyak rumah tangga yang memiliki dan menyimpan buku catatan gantangan itu, baik yang sudah melakukan hajat maupun yang belum menyelenggarakan pesat hajatan. Mereka yang belum menyelenggarakan hajatan mulai berpikir soal “menabung” melalui pesta hajatan ini. Hadirnya buku catatan yang dimiliki oleh bapak hajat melahirkan anggapan bahwa “setiap bapak hajat pasti akan mengembalikan sumbangan yang diberikan oleh para tamu undangan”. Anggapan tersebut kemudian terbukti dalam kenyataan, dimana ternyata setiap orang yang pernah menjadi bapak hajat sebagian besar “mengembalikan” atau “membalas” sumbangan sama besarnya dengan yang pernah diterimanya dahulu. Pola perilaku semacam ini kemudian ditangkap oleh mereka yang belum menjadi bapak hajat untuk juga mencatat semua sumbangan yang telah maupun akan mereka berikan kepada tetangganya. Disinilah mulai luntur unsur kesukarelaan dan diganti dengan pamrih baru, yaitu sumbangan gantangan sebagai “simpanan” atau “tabungan” yang nanti dapat ditarik ketika ia melakukan hajat. Gambar 37. Buku Catatan Gantangan Pada saat pencatatan sudah dilakukan oleh kedua belah pihak, pengundang dan yang diundang, serta pergeseran persepsi dari sumbangan yang “ikhlas-sukarela” menjadi “pamrih-simpanan” berlangsung, maka lahirlah aturan main baru yang dijalankan dan disepakati bersama terkait pertukaran gantangan ini. Berbagai bentuk sanksi mulai diawacanakan untuk memperingatkan mereka yang menganggap remeh buku catatan gantangan yang mereka pegang. Dengan kata lain, mereka yang sebelumnya tidak mencatat pun menjadi ikut dalam sistem pencatatan ini karena merasa tidak enak jika tidak mengembalikan apa yang pernah diberikan orang lain ketika hajatan dalam jumlah yang sama. Bahkan, bukan hanya jumlah yang sama, pada akhirnya mereka pun berbondong-bondong “melebihkan” jumlah sumbangan dari yang dulu pernah diberikannya. Kelebihan itu pun kemudain akan dicatat oleh bapak hajat menjadi simpanannya (nyimpen bari mayar). Demikianlah hubungan sosial dalam pesta hajatan berubah menjadi hubungan kontraktual (hutang-piutang) dalam pertukaran Gantangan. 5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang Transformasi sumbangan sukarela menjadi hutang-piutang dalam pertukaran Gantangan tentu saja turut mengubah makna dan penilaian terhadap komponen dalam pesta hajatan maupun pertukaran Gantangan ini. Pertamatama yang kemudian berubah adalah nilai terhadap anak. Mengapa demikian? Sebab, salah satu alasan utama suatu keluarga atau rumah tangga dapat menyelenggarakan hajat yang “wajar” secara tradisi adalah anak. Ketika lakilaki dan perempuan di desa menikah, maka pesta pernikahan itu bukanlah “milik”-nya atau menjadi kewajibannya, melainkan menjadi pestanya orang tua. Orang tua yang menyiapkan segala sesuatunya, termasuk keseluruhan biaya dan pengaturan-pengaturan upacara lainnya. Pengantin itu justru menjadi simbol status sosial orang tuanya, misalnya apakah orang tuanya berhasil mendapatkan menantu yang dianggap baik, pesta yang dianggap meriah, dan kepantasan-kepantasan sosial lainnya. Baru kemudian ketika pengantin baru di desa itu menjalani kehidupan rumah tangganya sendiri, maka segala hal terkait dengan kewajiban sosial menjadi tanggung jawabnya sendiri. Mula-mula ketika mereka istrinya hamil, kemudian melahirkan anak, lalu mengkhitan anak (jika anaknya laki-laki) saat memasuki usia dewasa, sampai akhirnya menikahkan anaknya tersebut. segala pesta yang menyertai siklus kehidupan keluarga di desa itu kemudian menjadi tanggung jawabnya sebagai orang tua. Semakin banyak anak yang dimiliki, maka akan semakin banyak “tuntutan” untuk menjalankan berbagai upacara sosial-keagamaan seperti diatas. Pada keluarga tertentu yang kurang mapan secara ekonomi, banyaknya kewajiban sosial seperti menyelenggarakan hajat ini dianggap memberatkan dan merepotkan. Namun, bagi sebagian petani atau orang desa lainnya, banyaknya anak ini sangat disyukuri karena memberikan kesempatan untuk menunjukkan status, gengsi dan nama besar keluarganya. Pada kondisi terakhir, anak dapat dianggap sebagai komoditas untuk menaikkan atau mempertahankan status sosial orang tuanya. Apakah memiliki anak laki-laki dan perempuan bernilai berbeda? tentu saja. Di pedesaan Subang pada umumnya dan di lokasi penelitian pada khususnya, makna anak laki-laki dan perempuan berbeda dimata sebagian besar orang tua. Anak perempuan atau perawan, dianggap sebagai aset utama hajatan. Mengapa? Karena dalam penyelenggaraan perkawinan, maka adat Sunda umumnya menuntut pesta perkawinan itu diadakan oleh pihak keluarga perempuan. Pesta hajat di keluarga perempuan adalah yang diutamakan, sedangkan pesta di keluarga laki-laki bukanlah suatu keharusan. Pada titik ini, ketika pertukaran gantangan telah mengakar, maka orang tua yang memiliki anak perempuan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk “narik” gantangan dibandingkan dengan mereka yang memiliki anak laki-laki. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan “untung” melalui gantangan menjadi lebih besar. Sebaliknya, orang tua yang memiliki anak laki-laki justru harus “membayar”, baik berupa uang, mahar, maupun seserahan lainnya kepada pihak perempuan. Dalam kasus pra-pernikahan seperti tunangan, berkembang juga pola pembayaran yang nampak menguntungkan bagi pihak perempuan. Yaitu jika dalam tunangan pihak laki-laki memberikan perhiasan emas seberat 10 gram, maka ketika menikah nanti maharnya menjadi sepuluh kali lipat (100 gr) yang harus dibayarkan. Dengan demikian, nilai anak perempuan dalam masyarakat di pedesaan Subang termasuk dianggap tinggi dan bernilai bagi orang tuanya. Dalam istilah sehari-hari masyarakat lokal, anak perempuan bahkan dianalogikan sebagai “barang dagangan” dalam konteks perkawinan. Nilai ekonomi seorang anak perempuan juga tidak hanya dalam lapangan hajat, dasawarsa terakhir anak perempuan makin bernilai secara ekonomi karena dianggap mudah untuk mendapatkan pekerjaan diluar usaha pertanian. Dua lapangan pekerjaan utama itu adalah menjadi buruh pabrik dan menjadi buruh migran (TKW) ke Malaysia atau Arab Saudi. Dalam konteks ini, perempuan desa memang diandalkan sebagai katup penyelamat ekonomi rumah tangga, khususnya bagi mereka yang miskin dan kurang mampu. Bukan hanya sebagai komoditas hajatan, perempuan harus menyandang peran sebagai komoditas ekonomi rumah tangga, sehingga lahir banyak kasus-kasus pemaksaan, perdagangan perempuan, prostitusi, perceraian yang bermuasal dari nilai ekonomi perempuan ini. Bagaimana dengan anak laki-laki? Dalam konteks hajatan dan pertukaran gantangan, memiliki anak laki-laki sebenarnya lebih cepat untuk “dipanen”. Artinya, ketika anak tersebut lahir dan memasuki usia balita hingga remaja, maka orang tuanya dapat mengadakan hajat “khitanan” sebagai arena untuk “narik gantangan”. Inilah sebabnya, anak remaja laki-laki yang dikhitan pun biasa disebut sebagai “pengantin khitan” dan pesta hajatan yang diselenggarakan juga tidak kalah mewah. Salah satu ciri khas pesta khitanan ini adalah dengan mengundang grup sisingaan. Selain nilai anak sebagai komoditas, uang dan beras juga memiliki nilai yang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, beras juga bukan hanya sebagai bahan pangan pokok, melainkan keduanya telah menjadi instrumen untuk menjamin keberlanjutan hubungan sosial di pedesaan. uang dan beras yang dicatat dalam buku catatan gantangan adalah simbol yang mengikat hubungan antar individu maupun antar keluarga. Uang dan beras tidak hanya dilihat dari jumlah dan nilainya, melainkan juga dilihat sebagai sebuah “komitmen moral” untuk saling membantu dan menepati janji satu sama lain di pedesaan. Kesediaan menyimpan sejumlah uang dan beras itu menunjukkan tingkat kepercayaan (trust) seseorang kepada orang lainnya. Kesediaan membayar kembali sejumlah uang dan beras yang pernah diterimanya juga menunjukkan tanggung jawab seseorang kepada warga lainnya. Melupakan salah satunya, berarti keluar dari sistem dan berarti pula merusak hubungan sosial satu sama lain. Selain bermakna secara simbolik, beras dan uang juga bermakna secara psikologis sebagai jaminan rasa aman warga masyarakat di pedesaan, khususnya yang terlibat dalam pola pertukaran gantangan. Dengan terlibat dalam pertukaran gantangan, rumah tangga tersebut merasa aman ketika sewaktu-waktu ia membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar. Sebab, ia yakin bahwa warga desa lainnya akan berkenan “meminjamkan” beras dan uang mereka melalui pertukaran gantangan ini. sebagian besar dari mereka tidak melihat pinjaman tersebut sebagai hutang semata, melainkan juga sebagai instrumen penolong pada saat rumah tangga mengalami darurat ekonomi. Bagi orang kaya, banyaknya beras dan uang yang diberikan semakin memberikan penegasan atas kekuasaan dan pengaruh mereka ditengah masyarakat. Dalam proses pertukaran gantangan, beras diasosiasikan dengan “uang perempuan”, karena dibawa oleh perempuan. Sedangkan uang diasosiasikan dengan “uang laki-laki” karena dibawa dalam amplop oleh laki-laki. Ketika anak, uang dan beras menyatu dalam sebuah pesta hajatan, maka dalam alam berpikir orang desa ketiganya menjadi sesuatu yang dianggap dapat menghasilkan secara ekonomi. Mengatur dan memainkan irama antara anak, beras dan uang ini adalah seni mendasar dalam kehidupan rumah tangga orang desa. Mereka harus pandai-pandai berhitung, mulai dari sisi bagaimana memperlakukan anak? Bagaimana mengatur produktivitas di lahan pertanian? hingga bagaimana mendapatkan pekerjaan-pekerjaan alternatif lainnya untuk mendapatkan uang sehingga cukup untuk memenuhi berbagai kewajiban sosial sekaligus mendapatkan untung untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Terlihat sederhana, namun pada kenyataannya pengaturan-pengaturan tersebut sangatlah kompleks. Komodifikasi hajatan, sebagai bentuk komersialisasi sosial tahap awal ini, kemudian melahirkan pola-pola pesta hajatan yang mungkin tidak terjadi di daerah lain, termasuk pada komunitas Sunda lainnya. Contoh perilaku dan pola pesta hajatan yang khas dari akibat kmodifikasi hajatan ini antara lain : 1. Orang dapat melaksanakan hajatan khitan tanpa harus mengkhitan anaknya. Bisa jadi khitan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya atau nanti setelah pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena orang tuanya lebih mengedepankan perhitungan kebutuhan ekonomi untuk narik gantangan daripada perhitungan melaksanakan ritual tradisinya. 2. Pihak keluarga laki-laki dalam sebuah pernikahan dapat melakukan hajat “narik gantangan” sebelum pesta hajatan pernikahan (resepsi) di pihak perempuan. Bahkan pesta itu dilakukan sebelum akad nikah terjadi. Mengapa demikian? karena pihak keluarga laki-laki membutuhkan sejumlah modal untuk dibayarkan kepada pihak perempuan, sehingga mereka harus narik simpanan gantangannya terlebih dahulu. 3. Orang atau keluarga tidak perlu menunggu memiliki kelebihan rejeki untuk mengadakan pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena ia dapat menyelenggarakan pesta hajatan dengan seluruh modalnya berasal dari pinjaman/hutang, baik dari bandar maupun saudara. Konsekuensinya adalah ia harus membayar seluruh pinjaman tersebut langsung setelah hajatan berakhir. Hal ini berlaku sangat umum dan bukan menjadi sebuah aib (hal buruk). 5.4.3. Peran Bandar dalam Pertukaran Sosial Gantangan Akhir-akhir ini, kehadiran bandar menjadi suatu entitas yang sulit dilepaskan dari hajatan maupun pertukaran sosial gantangan itu sendiri. Bandar atau pemodal hajatan ini mulai marak muncul sekitar dua dasawarsa terakhir. Kehadiran bandar semakin akrab setelah krisis ekonomi 1998, dimana dampak dari krisis ekonomi tersebut sangat terasa hingga ke pedesaan. Bandar hajatan ini merupakan tokoh protagonis sekaligus antagonis di dalam masyarakat pedesaan Subang. Dalam dunia pertanian – sebagai mata pencaharian pokok warga – kehadiran bandar sudah mendarah daging sejak lama. Kehadiran mereka juga kerap dianggap sebagai penolong sekaligus penghisap dalam tata niaga pertanian tersebut. Mengapa peran bandar demikian penting? Dalam sistem pertukaran sosial gantangan, bandar ini berperan sebagai alternatif pemberi modal. Ketika bapak hajat terdesak kebutuhan ekonomi maupun kewajiban sosial (seperti harus menikahkan anak) dan tidak memiliki uang untuk menyelenggarakan hajatan, maka ia bisa datang kepada bandar untuk meminjam uang sebagai modal awal hajatannya (panjer). Tetapi tidak selalu bapak hajat yang datang ke bandar, saat ini justru seringkali bandar – melalui kaki-tangan atau orang-orang kepercayaannya – yang door to door menawarkan jasanya kepada para calon bapak hajat. Sebelum “kontrak”nya dengan bandar dijalankan, terjadi negosiasi antara bapak hajat dengan bandar, terutama soal bagaimana mekanisme pengembalian pinjaman tersebut. Biasanya, bandar akan meminta pengembalian pinjaman dengan disertai bunga yang disepakati ketika perjanjian awal. Selain tambahan bunga, bandar juga biasanya mendapatkan akses tunggal terhadap beras hasil hajatan tersebut. Artinya, beras yang diperoleh bapak hajat tidak boleh dijual kepada orang lain, akan tetapi hanya kepada bandar tersebut. Itu pun dengan harga jual yang lebih rendah dari harga beras di pasar. Rasionalisasinya adalah karena beras hajat tersebut merupakan beras campuran dari berbagai jenis, bahkan banyak mengandung raskin (beras miskin) atau beras dengan kualitas kurang bagus. Hal ini menjadi legitimasi bagi bandar untuk menurunkan harganya. Setelah dapat membeli beras hajatan, bandar pun akan menjual kembali pada para tengkulak yang masuk dalam jaringan bisnis mereka. Seiring dengan makin seringnya masyarakat menggunakan jasa bandar ini, maka lama-kelamaan bandar menempati posisi yang penting pula dalam jaringan pertukaran gantangan ini. Ada bandar-bandar yang memang orang lokal setempat, namun banyak pula bandar yang berada jauh di luar desa tersebut. Bandar-bandar yang berada jauh ini – terkadang di kota – biasanya menempatkan orang-orang kepercayaannya (perantara) di pelosok-pelosok desa. Sebagai contoh orang kaya pemilik pemotongan hewan besar, biasanya ia memiliki orang-orang khusus untuk menawarkan jasanya kepada calon bapak hajat. Jika berhasil mendapat kesepakatan, maka si perantara akan mendapatkan komisi dari si bandar daging. Demikian pula yang dilakukan oleh bandar beras maupun bandar-bandar lainnya. Bagi bandar lokal,. Semakin sering dan banyak warga yang meminjam kepadanya, maka ia akan menjadi orang yang semakin memiliki pengaruh di tengah masyarakatnya. Orang menjadi segan dan menghormati si bandar karena banyak orang yang berhutang kepadanya. Dalam benak warga, suatu saat bukan tidak mungkin dialah yang akan menjadi peminjam berikutnya kepada si bandar. 5.4.4. Komersialisasi Sosial dalam Pertukaran Gantangan Konsep komersialisasi sosial disini bermakna “menjadikan hubunganhubungan sosial itu seperti pasar (hubungan kontraktual), dimana terdapat mekanisme pembentukan harga dan berorientasi pada keuntungan”. Dalam konteks pesta hajatan dan modal sosial Gantangan di pedesaan Subang ini, komersialisasi sosial berarti sebuah penggambaran bahwasanya pesta hajatan di pedesaan Subang ini telah menjadi komoditas bagi rumah tangga untuk mencari untung, baik dalam bentuk materi (uang, beras, dan sembako lainnya) maupun non-materi (status, gengsi, kehormatan). Mekanisme komersialisasi itu adalah dengan pengesahan norma hutang-piutang dalam berhajatan secara terstuktur dan kolektif, sehingga memungkinkan rumah tangga yang terlibat untuk mendapatkan keuntungan materi dan non-materi ketika ia melaksanakan pesta hajatan dengan sistem gantangan. Komersialisasi Ekonomi Nilai-nilai Individualisme Komersialisasi Sosial Perilaku mengejar untung Gambar 38. Relasi mikro-makro dalam komersialisasi sosial Gantangan Beberapa istilah dalam bahasa lokal yang menunjukkan bahwasanya pesta hajatan di pedesaan ini tidak lagi menjadi media berbagi dan bersifat sosial (syukuran) tetapi telah berubah menjadi media yang lebih bersifat ekonomi, antara lain : “orang hajat jangan sampai potol” (orang hajat jangan sampai rugi), “urang hajat mah neangan leuwihna” (kita mengadakan pesat hajatan ya untuk mencari lebihnya = total sumbangan dikurangi modal), “di wilayah urang mah can aya hajatan nu rugi” (di desa kami sampai sekarang belum ada orang hajatan sampai rugi), “itung-itung dapet pinjeman” (hajatan itu anggap saja seperti kita dapat pinjaman dari tetangga), “hajatan mah kumaha perbuatan, saha nu rajin nyimpen ya loba hasilna, kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging artos” (berhajatan itu sesuai dengan perbuatan, kalau dulunya rajin menyimpan ya akan mendapatkan hasil banyak, kalau malas menyimpan ya bisa tidak terbayar modalnya, tidak akan mendapat uang banyak), dan lain sebagainya. ï‚· Liberalisasi ï‚· Revolusi hijau ï‚· Swasembada beras ekonomi ï‚· Belum muncul ï‚· muncul sistem istilah/sistem pencatatan oleh masing-masing gantangan bapak hajat ï‚· Gotong royong dan tolong ï‚· undangan hajatan menolong berupa rokok murni 1970 Pemberian Resiprositas umum ï‚· Sistem pancatatan mulai dilakukan oleh juru tulis hajatan (gantangan) ï‚· Hajat = komoditas ï‚· Anak = komoditas hajat 1980 1990 Resiprositas sebanding ï‚· Krisis moneter ï‚· Sistem gantangan makin meluas ï‚· Undangan diturunkan menjadi vetcin & sabun colek ï‚· Bandar hajat bermunculan ï‚· Muncul kelompokkelompok yang menerapkan sistem gantangan (rombol, golongan, rombongan) ï‚· Bandar hajat makin eksis 2000 Komersialisasi tahap I 2010 Komersialisasi tahap II Gambar 39. Proses Transformasi Pertukaran Sosial Gantangan Bersamaan dengan semakin memudarnya gotong royong, ternyata tradisi nyumbang hajatan di pedesaan ini pun berubah haluan dari yang semula bersifat sukarela dan tanpa pamrih, menjadi bersifat kewajiban dan mengharapkan timbal-baliknya secara terbuka. Hampir semua perlengkapan dan sumber daya manusia yang dikerahkan untuk menyelenggarakan pesta hajatan kini harus disewa atau dibayar oleh bapak hajat. Tidak peduli apakah ia tetangga dekat atau jauh, hubungan transaksional lebih dikedepankan daripada hubungan kedekatan. Orang tidak akan tergerak atau kapok (jera) membantu tetangganya yang hajatan jika tidak mendapatkan sesuatu sebagai timbal baliknya (upah), seperti uang, beras atau makanan. Bahkan dalam aspek kehadiran/kedatangan sebagai tamu undangan pun akan menjadi pertimbangan bagi bapak hajat. Misalnya, ketika ia hajatan ada tetangga atau kenalan tidak datang memenuhi undangan, maka ketika mereka hajatan, bisa jadi bapak hajat akan membalas untuk tidak datang. Catatan kehadiran dan jumlah sumbangan (dalam buku catatan gantangan) itulah kemudian pedoman bagi ada tidaknya tolong-menolong atau hubungan timbal balik antar warga di pedesaan Subang ini. Komersialisasi dalam bentuk komodifikasi hajat barangkali masih bersifat halus, bentuk komersialisasi sosial yang lebih kentara adalah masuknya Bandar hajatan, yakni orang-orang yang memiliki modal atau memiliki koneksi dengan pemodal yang menjadikan hajatan seseorang sebagai pasar untuk mencari untung. Caranya adalah dengan menawarkan pinjaman (panjer) modal kepada calon bapak hajat, baik modal dalam bentuk uang, beras, daging, hiburan, atau apapun. Dari hubungan panjer itulah kemudian Bandar atau pemodal tersebut akan mengikat hasil hajatan, khususnya beras dan uang, untuk nanti dibeli olehnya (tidak dijual kepada orang lain). Sebagian hasil hajatan sebagai pembayaran hutang (panjer modal), sebagian besar lainnya adalah untuk dibeli dengan harga dibawah harga pasar (sesuai hasil kesepakatan sebelumnya/saat meminta panjer). Perilaku seperti inilah yang disebut Kunio sebagai perilaku “menunggangi” (rent seeking) atau kemurahan hati monopolistik (monopolistic favours) (Breman & Wiradi, 2004:192). Selain Bandar hajatan, hadirnya kelompok-kelompok gantangan (Golongan, Rombol, Rombongan) yang diketuai oleh elit terkaya di desa ini telah melahirkan struktur jaringan pertukaran yang baru dan memberi peluang pertukaran yang semakin besar (volume dan jaringannya) bagi lapisan atas hingga pada akhirnya makin memperkuat pengaruh dan kekuasaan mereka (Ritzer, 2010:387) 5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan 5.5.1. Kelompok Non-Gantangan (Nyambungan) Pak Sholeh (48) dan Istrinya, bu Ida (45) adalah salah satu profil keluarga keturunan pendatang dari Jawa yang menetap di Subang Utara. Dalam Jejaring pertukaran sosial Gantangan, posisi keluarga Sholeh ini berada di dalam namun tidak mengikatkan diri dalam jejaring tersebut. sebagai salah satu generasi awal yang berpendidikan hingga level sarjana (S1), pak sholeh memang memiliki cara pandang yang seringkali berbeda dengan kebanyakan masyarakat di sekitarnya. Misalnya dalam melihat tradisi Gantangan atau Telitian yang berkembang di desanya, ia melihat bahwa tradisi ini telah “melenceng” dari niat atau tujuan sebenarnya, yaitu tolong menolong atau gotong royong. Telitian yang bermakna “silih genteng” (saling bergantian) ini dimata pak Sholeh tidak lagi simpatik dan kehilangan nilai-nilai sosialnya. Oleh karena itu, sejak telitian pertama kali masuk ke Subang utara dan semakin meluas perkembangannya, keluarga Pak Sholeh memutuskan untuk tidak mengikuti pola pertukaran Telitian ini. Ia lebih memilih untuk tetap pada tradisi nyumbang/nyambungan biasa, dimana setiap datang ke kondangan Ia hanya memberikan amplop tanpa mencatatkan jumlahnya kepada juru tulis Gantangan. Sebaliknya, ketika pak Sholeh hajatan, Ia juga tidak mengharapkan semua orang memberikan sejumlah uang atau beras dalam jumlah tertentu. Seikhlasnya. “Telitian di sini ramai dari tahun 90-an ke atas sampai dengan bubarnya panitia tahun 2000-an. Tradisi ini berasal dari karawang. Bahkan di karawang masih menggunakan sistem panitia sampai sekarang. Sebaliknya di desa Jayamukti semakin hari semakin menurun jumlah orang yang datang memenuhi undangan hajatan. Jika dipersentase, dari undangan untuk 1 desa (di undang semua) hanya 30% yang datang. Hal ini menunjukan rasa sosial antar warga semakin menurun. Dulu orang khan datang hajat karena ada perasaan dekat dan malu. Sekarang “ada unsur dendam”, jika pernah tidak datang dibalas juga tidak datang oleh yang pernah mengundang…” Ketidakikutsertaan Pak Sholeh dalam sistem Telitian ini menjadi unik disebabkan oleh posisinya sebagai tokoh masyarakat (Sekretaris Desa). Jabatan sekretaris desa tersebut tidak lantas memaksanya untuk mengikuti seluruh norma dan kebiasaan yang berlangsung di tengah masyarakatnya. Pak Sholeh menegaskan posisinya bahwa meski dia tidak ikut serta dalam telitian, bukan berarti dia melarang telitian tersebut. Padahal, jika dia mampu memanfaatkan status sosialnya sebagai sekretaris desa, kemungkinan besar ia bisa mendapatkan keuntungan dari sistem telitian tersebut. Pak Sholeh lebih didorong oleh pertimbangan rasional dan mencoba belajar dari pengalaman. Ia sangat memahami seperti apa karakter masyarakat di desanya. Karena paham tersebut, akhirnya ia memilih untuk tidak mengikuti telitian. “…Perhitungan mereka (masyarakat-pen) itu kalau ikut undangan hajatan ada 3 yang menonjol, (satu) “kalau gak akrab ya gak datang”, (dua) “undangan hanya ngasih dua puluh ribu, itung-itung ajang makan-makan sepuasnya” dan (tiga) “kalau bisa hajatan itu tanpa modal, itung-itung dipinjami…” Sebagai seorang PNS, tokoh masyarakat, dan orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, Pak Sholeh dan Istri juga sangat memahami bagaimana perhitungan ekonomi dari Telitian di desanya. Ia sama sekali tidak menampik bahwa sistem Telitian ini jika diterapkan dengan benar akan membawa keuntungan bagi bapak hajat, atau setidaknya tidak akan mengalami kerugian. Sebaliknya, orang-orang seperti dirinya yang tidak menerapkan Telitian ini memang selalu “rugi” secara material. Tetapi “untung” dan “rugi” itu dilihat dengan cara berbeda oleh Pak Sholeh. Menurutnya, konsep “untung” dan “rugi” yang dipahami oleh kebanyakan anggota masyarakatnya itu adalah pemahaman yang sempit dan bersifat materi belaka. Mereka tidak terlalu memperhitungkan masalah tanggung jawab dalam mengembalikan, beban hutang, kepercayaan, pendapatan dan beban-beban seremonial lainnya. Meskipun Ia tidak untung ketika hajatan (jumlah sumbangan warga selalu lebih kecil dari modal dan biaya hajat), namun ia terbebas dari berbagai kewajiban/hutang kepada tetangganya (orang lain). Hal inilah justru yang disebut keuntungan bagi pak Sholeh. “..Iya, manfaat telitian ini ya mendapatkan untung misalnya, biaya dan modal hajatan 20 jt (pinjaman dari warung, toko, bandar dll) lalu dapat sumbangan talitian sampai 50 jt. Selisih itulah yang kemudian akan digunakan untuk menggadai sawah, empang, meningkatkan perekonomian keluarga dan cadangan pembayaran ke depan. Meski kelihatannya menguntungkan, sebagian besar warga Jaya Mukti khan tergolong miskin dan kurang berpendidikan….Pendidikan yang minim menyebabkan sering terjadi cek-cok akibat nama penyumbang yang tidak tercatat, banyak yang tidak bisa membaca, curang dalam pencatatan (misal 8 ltr di tulis 10 ltr), bahkan buku catatan telitiannya ilang, gimana coba?” Pak Sholeh memang selalu menggarisbawahi soal nilai kejujuran di tengah masyarakat. Pengalaman menunjukkan sulit sekali mengharapkan seluruh orang bersikap jujur. Pak Sholeh hafal sekali beberapa kasus penyelewengan Telitian di desanya ini. Dirinya pula yang beberapa kali harus menjadi penengah dari pihak-pihak yang berselisih paham. Menurut penuturannya, menjelang tahun 2000-an, muncul kasus penipuan yang dilakukan oleh beberapa panitia telitian. Empat orang dari delapan panitia telitian di desanya telah bertindak tidak jujur, yaitu tidak mencatatkan seluruh sumbangan dari tamu undangan (korupsi). Akibatnya, ketika tamu tersebut mengadakan hajatan dan menarik kembali simpanannya, banyak tamu yang tidak datang karena merasa tidak ada nama si pengundang dalam buku catatan telitiannya. Ketika bapak hajat menagih kepada tamu tersebut, si tamu bersikukuh bahwa tidak ada nama bapak hajat itu dalam buku catatannya. Sementara bapak hajat yakin dia sudah menyetor simpanan kepada panitia. Kemudian perdebatan ini berujung cek-cok dan berakhir pada kecurigaan terhadap panitia. Sejak saat itu, panitia telitian dibubarkan dan tidak dipakai lagi oleh masyarakat. Beberapa insiden semacam itu menjadi salah satu pertimbangan utama kenapa pak Sholeh dan istri memutuskan untuk tidak mengikuti Telitian. Selain masalah kepercayaan (trust), rendahnya tingkat ekonomi warga juga menyebabkan pak Sholeh ragu terhadap kemampuan dan keberlanjutan ekonomi sebagian besar warganya. Dari tahun ke tahun, pak Sholeh merasakan bahwa jumlah keluarga yang miskin di wilayahnya semakin meningkat. Banyak orang yang dulunya petani kini hanya menjadi buruh tani. Pengangguran juga semakin banyak, khususnya kaum perempuan dan anak muda. Jika kondisi ekonomi masyarakat tidak berubah atau beranjak naik, Ia pesimis tradisi seperti Telitian ini dapat bertahan lama. Sebab, beban ekonomi rumah tangga yang semakin berat masih harus ditambah dengan beban sosial (hutan dan kewajiban sosial) yang juga semakin berat. “…Pada waktu panen seharusnya suami mendapat dukungan penuh (ngeprik atau memungut sisa-sisa panen) tapi sekarang nggak ada. Padahal, ini terkait dengan telitian, pendapatan berkurang tapi hutang jalan terus. Faktor pendukung dari kaum ibu ini nggak ada. Untuk sementara ini, meskipun kelihatan agak berkurang, tapi telitian masih jalan. Tapi kalau begini terus, mungkin ke depan hanya tinggal dibawah 50% saja yang ikut telitian, asalkan tanggungan hutang mereka itu sudah selesai…” 5.5.2. Kelompok Gantangan Umum (Gintingan) Menurut penuturan Pak Rusdi (50 tahun), salah seorang Kepala Dusun di Desa Jayamukti, adanya Telitian ini bermanfaat dan merupakan wujud dari sikap “saling mendukung” antar warga desa. Pendapatnya ini muncul karena keluarga Pak Rusdi pernah mengenyam manisnya hasil atau keuntungan dari telitian ini, yaitu ia mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah dari bilik bambu diatasnya. Keluarga pak Rusdi adalah contoh profil rumah tangga ekonomi lemah (bawah) di Desa Jayamukti, Subang Utara. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, selain sebagai pak wakil (kepala dusun). Sehingga dalam kesehariannya ia lebih banyak melayani warga, membantu urusan atau pekerjaan administrasi untuk desa, pertemuan-pertemuan dengan warga hingga terlibat dalam proyek-proyek pembangunan seperti PNPM mandiri dan sebagainya. Posisinya sebagai pak wakil inilah yang membuatnya cukup disegani warga meskipun secara ekonomi ia berada dibawah rata-rata warga masyarakat yang diwakilinya. “…tahun 2004 Saya hajatan dengan modal Rp. 7.000.000,- saya dapet hasil telitian Rp. 9.000.000. Keuntungannya ini (sambil menginjakkan kaki ke lantai tanah rumahnya), Saya belikan tanah dan bangun rumah. Itu pun tahun 2004, saat ini hasil telitian bisa lebih besar. Misalnya keluarga yang kelas menengah bawah, dengan modal hajat Rp. 15.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp. 20.000.000 s.d. Rp. 30.000.000, sedangkan keluarga menengah ke atas, dengan modal Rp. 25.000.000,- ia bisa mendapat rata-rata Rp. 50.000.000,- s.d. Rp. 70.000.000,…” Di dusun wilayah dusun Pak Rusdi ini, urusan hajatan cenderung sangat mudah. Bahkan setiap RT sudah memiliki masing-masing 20 kursi plastik yang dapat dipakai secara gratis oleh warganya yang hajatan. Terdapat 4 RT di dusun ini, sehingga sudah terdapat 80 kursi hasil swadaya dusun. “…Dalam satu musim hajat (6 bulan) biasanya ada 6-7 panggung (hajatan), kalau ramai ya bisa sampai 15 panggung…” Menurut Pak Rusdi, masyarakat dusun Tegaltangkil ini sudah terbiasa dengan swadaya, termasuk dulu pernah ada Perelek dan juga swadaya dalam pembangunan masjid di dusun mereka. Perelek adalah Sumbangan atau iuran berupa beras yang diberikan oleh warga dan secara teknis dikumpulkan oleh pak RT untuk digunakan sebagai iuran ronda malam. Jumlah sumbangan perelek adalah beras sejumlah ½ s.d. 1 gelas air minum dalam kemasan. Namun perelek ini kemudian dihilangkan atau dialihkan sejak terbentuk panitia pembangunan masjid. Dimulainya pembangunan masjid, melahirkan tradisi “swadaya” lainnya, yaitu meminta sumbangan di jalan raya atau yang disebut dengan Kencrengan. Kencrengan ini adalah cara meminta sumbangan dari warga yang kebetulan melintas di jalan raya. Jumlah sumbangan sukarela dan biasanya digunakan untuk pembangunan masjid atau perbaikan jalan. Kencrengan biasanya melibatkan 5 – 10 orang. Pak RT dan RW adalah orang yang kemudian menyusun jadwal “bergiliran” warganya tersebut. Peralatan untuk menjalankan kencrengan biasanya adalah : jaring ikan, tong bekas/batang pisang (untuk pembatas/pembagi jalan), tenda/ terpal, pengeras suara (untuk orasi), bendera merah (untuk tanda pelan-pelan). Terkadang panitia dan petugas kencrengan juga memiliki seragam, memakai topi dan masker untuk menghindari debu. Di jalanan yang sepi, menurut pak Rusdi, bisanya mereka bisa mendapat Rp. 200.000/hari untuk jalan desa. Untuk jalanan yang ramai atau jalan raya besar, biasanya bisa diperoleh hingga lebih dari Rp. 400.000/hari. Terlepas dari kebiasaan swadaya masyarakat dusun Tegaltangkil itu, keikutsertaan keluarga Pak Rusdi dalam Gantangan atau Telitian ini didorong oleh norma sosial dan kebutuhan ekonomi sekaligus. Posisinya sebagai Pak Wakil menunjukkan kedekatannya dengan masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal. Ia harus selalu hadir dalam setiap aktivitas publik warganya, termasuk ketika hajatan. Berkaca dari pengalaman warga desa di Karawang yang diuntungkan dengan Telitian, pak Rusdi berniat untuk memperoleh hasil yang sama. Namun, ajakan pertama kali sebenarnya bukan dari dirinya, melainkan dari sang istri, Ai (40 tahun) yang sering bergaul dan mengikuti kumpulan dan arisan dengan ibu-ibu lainnya. Dari berbagai kumpulan tersebut informasi tentang Telitian mereka peroleh dan tertarik untuk ikut serta. Sebab, bagi Pak Rusdi dan bu Ai, “pinjaman” dari tetangga atau warga desa itulah salah satu yang paling bisa diandalkan jika mereka membutuhkan uang sewaktu-waktu. Senada dengan keluarga Pak Rusdi, keluarga Pak Adul juga profil rumah tangga yang terlibat dan melibatkan diri dalam pertukaran sosial Gantangan. Meskipun secara ekonomi keluarga pak Adul (52 tahun) dan bu Asmi (50 tahun) termasuk dalam kelompok menengah ke bawah, namun secara status sosial Pak Adul merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan. Ketokohan Pak Adul tumbuh dan diperkuat oleh posisinya sebagai Satgas (kepala hansip) di desa Jayamukti. Posisi yang dijabatnya sejak enam tahun yang lalu (2006) ini memungkinkan pak Adul untuk bertemu dan berkomunikasi dengan hampir seluruh lapisan masyarakat, khususnya di desa Jayamukti. Posisi sebagai Satgas ini pun cukup strategis karena fungsi dan tugasnya sebagai penjaga keamanan Desa, mediator konflik, dan yang membuatnya paling sering berhubungan dengan masyarakat adalah sebagai petugas yang mengurus perijinan ketika ada warga yang akan melakukan hajatan rame-rame. Menurut beberapa warga dan aparat desa lainnya, keluarga Pak Adul ini juga tercatat sebagai salah satu pelopor dari pertukaran sosial Gantangan di desa Jayamukti. Bapak dua anak yang beristrikan seorang buruh tani ini adalah salah satu warga yang paling bersemangat mengadopsi Gantangan, khususnya setelah melihat kasus keberhasilan Gantangan dalam mengangkat ekonomi rumah tangga di Kabupaten Karawang. Meskipun pada waktu itu pak Adul belum menjadi Satgas, namun melalui hajatan keluarga dekat dan kerabat-kerabatnya, pertukaran Gantangan ini disosialisasikan dan dijalankan hingga eksis sampai sekarang. “…yang dilakukan sekarang ini, dalam hajatan/kondangan ini sepertinya telitihan. Jika kita ada keperluan, boleh kita menanyakan. Misalnya, mereka kondangan 1 gantang (10 liter), uangnya 50 ribu, lha nanti waktu kondangan bisa ditarik. Ya, itu hutang piutang. Jadi kalau pada waktu hajat itu mereka tidak membayar bisa ditanyakan…” Ketika pertukaran sosial Gantangan atau yang lebih dikenal sebagai Telitian ini diadopsi oleh sebagian besar warga Desa dan menjadi tradisi baru, kesibukan Pak Adul sebagai Satgas otomatis juga bertambah. Terlebih ketika prinsip “jangan sampai rugi” dan “mencari untung” dalam Telitian ini semakin menguat. Prinsip mencari untung ini mendorong warga untuk melakukan berbagai cara agar hajatan mereka ramai didatangi oleh tamu undangan. Dengan semakin ramai tamu yang datang, diharapkan semakin banyak beras dan uang yang dapat dikumpulkan. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menggelar hiburan yang meriah, sehingga menarik orang untuk hadir ke dalam pesta hajatan. Dengan hadirnya hiburan ini, maka fungsi dan peran pak Adul sebagai Satgas desa menjadi sangat diperlukan. “…namanya hajatan, kadang-kadang bisa bareng-bareng sampai tiga kali, lima kali dan seterusnya. Tidak semua hajatan dilaporkan ke desa, hanya yang rame-rame saja. Menurut aturan memang harus dilaporkan ke kapolsek, tapi besar biayanya bervariasi. Kalau hiburannya hanya “karedok” (karaokean bari dodok/karaoke sambil duduk) itu tidak perlu dilaporkan. Tapi kalau wayang, jaipong, organ tunggal, tarling itu harus dilaporkan kepada tiga instansi. Pertama, diurus oleh Satgas, lalu Kepala Desa, Kecamatan, Danramil dan yang mengeluarkan ijin Kapolsek…” Dengan pendapatannya sebagai Satgas yang tidak seberapa dari desa, istri yang hanya menjadi buruh tani, dua anak yang harus dihidupi, serta tidak memiliki sawah ataupun empang (tambak) untuk digarap, kehidupan ekonomi keluarga Adul memang lebih banyak bertumpu pada kelincahan pak Adul dalam mencari nafkah tambahan. Baik melalui iuran-iuran keamanan maupun kerja-kerja serabutan yang diberikan oleh warga desa lainnya. Oleh karena itu, jaringan dan pelayanan pak Adul kepada warga desa lainnya juga akan menentukan rejeki atau nafkah yang akan ia terima. Oleh karena itu, ia sangat menerapkan toleransi dan fleksibilitas yang tinggi dalam menarik iuran perijinan atau hajatan dari warga desa. Tidak lain agar warga tidak merasa terbebani dan puas dengan pelayanan pak Adul. “…Menurut APPKD, (hiburan dengan) organ tunggal itu biayanya 500 ribu. Tapi namanya kita manusia, nggak semua membayar segitu, kebanyakan kurang. Bahkan ada yang membayar hanya 250 ribu. Tekor, tapi ya gapapa, ini khan bukan sekedar mengambil keuntungan. Dibandingkan kelurahan lain, daerah saya ini yang paling murah. Jadi, kalau kurang, kita nunggu yang lain lalu kita gabungkan. Daerah lain organ tunggal 700rb-1 juta tuh. Saya mah bukan tidak butuh pak, tapi sebagai pelayan masyarakat walau bagaimana kita harus melayani masyarakat…Kadang-kadang ada hajatan bareng tiga atau empat, jadi agar tidak bolak-balik saya mengurusnya sekalian. Hajatan tidak menentu juga soalnya…” Diluar hajatan yang mengundang hiburan rame-rame ini, sebagian warga juga banyak yang mengadakan hajatan tanpa hiburan atau dengan hiburan bernuansa agamis dan lebih sederhana. Biasanya mereka yang memilih model hajatan ini, menurut Pak Adul, adalah keluarga yang menengah ke bawah atau keluarga santri (Haji) yang lebih suka hiburan bernuansa Islami. Pesta hajatan dengan model semacam ini cenderung kurang memerlukan pengamanan yang penuh, sebab hampir dapat dipastikan sumber-sumber keributan seperti minuman keras, musik keras dan kerumunan massa tidak ada di lokasi hajatan. “…lalu untuk hajatan yang tanpa hiburan atau yang berbau agama seperti marawisan, ketimplingan, itu hanya mengetahui/tidak perlu ijin, kalau tidak ada hiburan ya hanya lapor ke RT lalu kepala dusun, sudah. Selama ini, kalau kita hitung satu tahun, kebanyakan ya yang ada hiburannya. Yang punya modal mah hiburannya yang besar, organ tunggalnya juga yang mahal…” Pemahaman pak Adul tentang seluk beluk hiburan yang disukai oleh warga desanya ini juga tidak diragukan lagi. Bahkan ia hafal diluar kepala tentang jenis hiburan, tarif atau biaya sewa hingga asal hiburan dan berapa jumlah orang yang terlibat di dalam kelompok hiburan tersebut. “…Harga hiburan itu relatif, kalau dari wetan itu wayang 7 juta (paling mahal) 5 juta paling murah. Kalau sandiwara itu paling murah 11 juta, ada juga yang 12 juta. Kebanyakan organ tunggal, klasifikasinya, yang model “asrolani” itu sampai 12 juta, “nunung alvis” itu 14 juta, semua dari daerah Indramayu. Memang grup dari sana lebih bagus dari yang disini. Setiap grup itu ada 30 orang lebih, bagian peralatan, sound system dan sebagainya. Ya kalau yang punya hajat nyimpen banyak ke orang lain yang bisa nutup modal itu semua. Kalau organ tunggal jumlah penyanyinya 4-5 orang, biayanya 3,5 juta. Karedok itu sama seperti organ, tapi nggak pake panggung, paling-paling 1,5 juta, penyanyi 2 orang. Kalau odong-odong itu khusus arakarakan pengantin sunat, 5,5 juta, biasanya hanya berisi 8 singa/gotongan. Kalau ada 10, 15, 25 bisa mencapai 9 juta. Terkadang begini, saya pesen untuk keluarga sendiri satu set, maka tetangga yang anaknya ingin ikut bayar 300 ribu/gotongan. Kalau orang di luar desa mah gak tau berapa. Odong-odong itu keliling, misalnya 500 meter ke barat, dan 500 meter ke timur, total waktunya 4 jam sudah termasuk atraksi dan sebagainya. Kalau qosidah itu ada rombongan khusus desa jayamukti (al badar), itu bisa dipakai apa saja, biasanya yang memakai orang yang haji atau islam yang tekun. Nanti membayarnya dengan semen 10 sak/500 ribuan, nanti itu untuk membangun masjid. Kalau pemutaran film sekarang sudah nggak ada. Dulu, layar tancep itu tarifnya 2,5 juta dari sukamandi dan cilamaya. Tapi sudah 3 tahun ini nggak ada lagi. Kalau Tarling atau lalakon itu sekitar 6 jutaan, ini juga dari Indramayu, karena disini tidak ada (40an orang). Dangdut atau orkes melayu disini nggak ada, 6 tahun ini saya nggak pernah lihat. Selain gambaran umum tentang peran dan posisi pak Adul dalam dinamika pesta hajatan di desa Jayamukti, hal lain yang menarik untuk kita dalami adalah sejauh mana keterlibatan pak Adul dan keluarganya dalam pertukaran sosial gantangan itu sendiri. Sebagai keluarga yang memiliki status sosial cukup berpengaruh dan dikenal secara luas namun menengah ke bawah secara ekonomi, keterlibatan pak Adul di dalam pertukaran Gantangan merupakan potret kasus yang menarik. Di satu sisi ia memiliki peluang untuk selalu mendapatkan hasil Gantangan yang besar karena jumlah tamu undangan yang banyak, namun disisi lain ia juga terbatas dalam segi ekonomi. “Saya bulan 3 tahun kemarin hajat (rasulan), habis (modal) 17,8 juta, mendapat uang 34 juta, masih ada lebihannya. Jika ratarata 20.000, itu hampir 2000 orang yang datang. Tokoh masyarakat seperti saya ya, pembantu keamanan, ada kelebihannya karena dikenal satu desa. Mereka seolah melihat ya. Apalagi kalau keluarga besar begitu. Sekarang kondangan 20 ribu aja sudah malu pak, makannya berapa? Ke saya aja ada yang 200 rb, 300 rb, 500 ribu, dan 50 ribu itu hampir 30%. Tapi ya itu, kalau mereka hajat kita harus mengembalikannya hahaha…nah itu beratnya…Hari ini saja saya telitian pada pak haji di Blanakan sana habis 100 ribu, berasnya 1 gantang, itungannya 60 ribu, berarti udah 160 ribu sehari, belum keponakan (yang hari itu juga sedang hajatan-pen)…” Dari pengalaman hajatan keluarga Pak Adul diatas, menunjukkan bagaimana ia dan keluarganya meskipun bukan termasuk golongan ekonomi atas, tetapi memiliki jejaring dan status sosial yang berpengaruh ditengah masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah tamu undangan dan simpanan gantangan yang diberikan. Besarnya jumlah sumbangan merupakan simbol bahwa pak Adul dipercaya mampu mengembalikan simpanan Gantangan itu. Banyaknya jumlah tamu undangan yang datang menandakan luasnya pergaulan pak Adul khususnya. Jumlah simpanan Gantangan yang berbanding lurus dengan jumlah tamu undangan mengindikasikan bahwa setiap tamu yang datang memang berniat menyimpan beras atau uang kepada keluarga pak Adul. Sebab, ada juga hajatan yang dihadiri banyak tamu, namun hasilnya sedikit. Artinya, tidak semua tamu berniat menyimpan atau menyimpan tetapi dalam jumlah yang kecil. “…Kemaren setelah hajat saya bereskan hutang-hutang semuanya. Sekarang ini semua orang di dapur dibayar, tukang cuci piring, tukang masak, tukang air, semuanya dibayar. Tukang masak 250 ribu/orang, cuci piring 100 ribu/orang, tukang pendaringan (tukang nunggu beras, kue, dsbnya) dibayar 200 ribu, ditotal-total bisa lebih dari 1 juta itu. Kalau kebayan (panitia-pen) tidak dibayar. Belum tenda, piring, prasmanan, dan dekorasinya aja sampai 7 juta itu…” Namun, meskipun hasil hajatan yang merupakan hutang Gantangan tersebut cukup besar, namun pengeluaran yang harus dibayar oleh bapak hajat, dalam hal ini Pak Adul, juga besar. Sebab, hampir tidak ada lagi istilah membantu sukarela seperti jaman dahulu. Setiap bantuan dari tetangga, mau tidak mau harus “dinilai” dan diberikan kompensasi berupa uang atau upah. Pola semacam ini semakin umum di tengah masyarakat desa Jayamukti. Bahkan, upah-upah tersebut cenderung menuju pada standarisasi, bukan sekedar sukarela atau semampu dari bapak hajatnya. Intinya, semua harus dibayar, sehingga bapak hajat harus benar-benar berhitung agar tidak merugi. Termasuk dalam perhitungan utama adalah soal apakah akan menggunakan hiburan atau tidak? Jika ya, maka hiburan apa yang akan disewa? Jika salah memilih, bisa-bisa modal hajatan tidak tertutup oleh hasil Gantangannya. “Jadi cerita hajat mah, tergantung hiburannya. Kalau hiburannya mahal ya modal lebih gedhe. Disini juga ada yang pake jaipong, 3,5 juta yang termurah dan termahalnya 5 juta. Saya tiga kali hajat pakenya jaipong wae, seneng jaipong sih hehe…sekarang jaipong pake kaos seragam, dan penarinya paling banyak 15 orang…” Pengalaman pak Adul dan keluarga dalam menyelenggarakan hajat Gantangan menunjukkan bahwa hasil Gantangan dalam setiap hajatan tidak sama (fluktuatif), yaitu tergantung pada jarak antara satu hajatan dengan hajatan lainnya dan jumlah simpanan Gantangan sebelum hajat. Hal ini ditunjukkan dengan 3 kali hajatan keluarga Pak Adul mengusung “judul” yang sama, yaitu khitanan (baik anak maupun cucu), menyewa hiburan yang sama, yaitu jaipongan, namun hasil Gantangannya (selisih antara modal dan hasil) berbeda-beda. Tetapi, meskipun berbeda tetapi tidak pernah sekalipun rugi. “… Hajat pertama (khitanan) saya dapet 9,4 juta dengan modal 5,7 juta. Lagi murah itu sebelum krismon. Hajat kedua (khitanan cucu) habis 17,5 juta dapetnya 28 juta (tahun 1985, ini padi juga masih 80 ribu), karena sering hajat jadi sebenarnya makin lama makin menurun….Saya enggak pernah mengalami rugi, bahkan, saya sendiri setiap hajat itu yang olok beras pak, pernah kebayannya saya yang hajat 2011 itu sampai 140 orang kebayan. Habisnya, dari hari pertama bikin tarub sampai besoknya 5,4 kuintal habis, total dengan kondangan ya 1 ton beras habis untuk makan semua…” Kunci kesuksesan hajat menurut pak Adul adalah rajin tidaknya seseorang menghadiri undangan hajat orang lain. Pak Adul meyakini, semakin sering kita menyimpan atau menghadiri undangan hajat orang lain, maka ketika kita hajat pasti akan mendapatkan hasil lebih atau minimal tidak rugi. Solidaritas dalam hajatan ini memang diikat dan diperkuat dalam kontrak tertulis yang tertera dalam buku catatan Gantangan. Maka, jika kita semakin sering mencatatkan nama ke dalam buku Gantangan orang lain, maka orang lain akan membalas dengan menghadiri undangan kita. “Seperti saya (ketika) hajat ke 2, saya naruh ke 1400 orang, bayar-naruh, hasilnya khan jadi kena. Jadi, makin banyak kita naruh ke orang, hasilnya juga akan lebih banyak. Ya itu catatannya semua orangnya bener. Kalau orang yang jarang kondangan ya alhamdulillah kalau dia kondangan ya nggak ada yang datang. Ada tetangga saya hajatan, cuman dapat beras 3 karung, uang Cuma 8 juta…padahal (sewa) organ berapa? Itu katanya jebol sampai 20 juta. Kemarin itu barengan saya. Itu dia berlebihan, padahal enggak gaul”. Pada beberapa rumah tangga menengah ke atas, solidaritas kontraktual semacam ini dikembangkan dengan lebih intensif dengan membentuk kelompok-kelompok Gantangan yang sifatnya terbatas (hanya bagi yang mampu) dan mengandalkan rasa saling percaya pada komitmen serta kemampuan para anggotanya. Bahkan, beberapa orang dengan pendapatan tidak menentu seperti pak Adul pun memberanikan diri untuk terikat di dalamnya. “Disini juga ada telitian yang diketuai ketua, nanti dia dapetnya 10%, orangnya memang tidak datang, tapi berkatnya tetep dikasih dan diantar oleh ketua rombongannya. Jadi tetep sama saja. Masih jalan sampai sekarang. Saya ikut rombongan di sana di Purwadadi. Boleh ikut di tempat lain, misalnya istri kita orang sana. Disini namanya “golongan” itu” Bagaimana Pak Adul menyiasatinya? “Alhamdulillah, pada saat musim hajatan, saya dapet laporan/perijinan itu jadi bisa saya gunakan untuk 2-3 orang yang hajat. Saya mah blank tidak punya apa-apa, tapi ya gitu kadang (dapat) dari desa dapet insentif dari Lurah, kalau proyek masuk ya adalah…saya mah belum pernah orang nagih ke saya sampai nggak ada untuk bayar. Malu saya pak kalau sampai gak bisa bayar ke masyarakat. Sawah, emapang juga gak punya saya pak…” Maraknya pertukaran sosial Gantangan dalam pesta hajatan di desa Jayamukti selain melahirkan kelompok-kelompok mirip arisan yang disebut Golongan juga mengundang masuknya para Bandar, yaitu mereka yang menawarkan pinjaman modal hajatan kepada warga yang ingin menyelenggarakan hajatan. Proses pinjamn-meminjam ini dalam istilah lokal disebut “panjer”. Uang panjer inilah yang kemudian mengikat kesepakatan antara Bandar dan Bapak Hajat. Misalnya dalam soal jatuh tempo pengembalian, mekanisme pengembalian, dan bentuk pembayaran. Salah satu kesepakatan umum biasanya adalah Bandar memberikan sejumlah uang panjer, lalu Bandar meminta kepada Bapak hajat agar beras hasil hajatan nanti tida dijual kepada pihak lain, tetapi hanya kepada si Bandar tersebut. kemudian disepakati berapa harga beras hajat itu per kilogram atau per karungnya. Menurut penuturan dan pengalaman pak Adul, biasanya harga yang ditawarkan Bandar lebih murah Rp. 500/kg dari harga pasar pada umumnya. Alasan lebih murah adalah salah satunya karena kualitas beras yang tidak rata (campuran). “…Jadi terkadang gini, sebelum hajatan saya minta panjer karena butuh uang khan, 4-5 juta lah. Yang memberi panjer itu ngelihat, ini yang pinjem kelas menengah ke bawah (3 juta) atau menengah ke atas. Tapi harganya memang lebih murah, misalnya di pasar beras Rp. 6.500, maka dengan bandar Rp. 6.000/kg. ini kita sudah ada perjanjian…” Bandar ini merupakan salah satu aktor yang memiliki peran sangat penting saat ini. Kehadiran Bandar ini dianggap sebagai “penolong” oleh sebagian masyarakat, khususnya mereka yang ingin menyelenggarakan hajatan tetapi tidak memiliki cukup modal. Bandar juga dianggap solusi paling cepat untuk menguangkan seluruh hasil hajatan, sehingga bapak hajat bisa dengan segera melunasi hutang-hutang keluarga lainnya. Jadi gini, terkadang hiburan belum dibayar, taruhlah modal lain seperti daging itu bisa dibayar besok. Biasanya malam langsung dihitung dapet nariknya lalu untuk bayar hiburan, nah sisanya baru dihitung besok untuk bayar sisa modal lainnya. Kebanyakan orang sini kalau hajatan habis 15 juta pendapatannya 20-30 juta, walaupun mereka harus memberikan untuk nanti orang hajatan yang baru. jadi jaranglah disini ini orang hajatan sampai harus jual sawah atau empang. Bandar ini tidak hanya ada satu, bahkan ada beberapa lapis atau kepanjangan tangan dari Bandar sebenarnya. Seorang Bandar akan memiliki orang-orang kepercayaan di beberapa desa yang dianggap sebagai “pasar” hajatan yang ramai. Berubahnya pesta hajatan dari tradisi menjadi komoditas ekonomi ini benar-benar dimanfaatkan oleh para Bandar. Orang-orang kepercayaan inilah yang kemudian bertugas mendatangi atau menawarkan “panjer” kepada calon bapak hajat. Dengan pendekatan sebagai warga satu desa, biasanya lebih mudah atau lebih dipercaya, daripada bandar langsung yang datang. Selain bandar-bandar besar ini, beberapa orang kaya di desa Jayamukti juga sering menjadi Bandar. Bandar lokal ini biasanya lebih selektif dalam memberikan bantuan, sebab dia lebih tau seluk beluk atau riwayat hidup tetangganya, sehingga dapat mengukur dengan lebih teliti kemampuan calon bapak hajat ini dalam mengundang tamu atau mendapatkan keuntungan dari Gantangan. “…Bandar ini bisa siapa saja. Anak saya juga kalau ada yang hajat dia suka jadi bandar. Kadang rebutan dengan yang lain, jadi nggak harus satu bandarnya. Orang pasar biasanya punya “tangan kanan”. Seperti anak saya, kalau ada yang hajat dia datangi “berasnya untuk saya lah..” “berapa?” “saya sekian, panjer sekian..” dia mah bukan untuk diri sendiri, kadang dia oper juga kepada temannya yang lain…ya, mencari keuntungan sedikit lah…” Kasus keluarga pak Adul ini merupakan sebuah potret keterhubungan antara status sosial, jejaring sosial, kewajiban sosial dan pilihan-pilihan rasional beserta strategi ekonomi sebuah rumah tangga menengah ke bawah dalam sebuah jaring pertukaran sosial Gantangan. Bagi keluarga Adul, pertukaran sosial Gantangan merupakan kesempatan untuk mendapatkan sekedar kelebihan untuk menutup kebutuhan ekonomi keluarga sekaligus sebagai cara simbolis untuk menunjukkan prestise sebagai tokoh masyarakat yang meskipun secara ekonomi terbatas namun secara pengaruh masih cukup mendapat tempat di tengah masyarakatnya. 5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus (Golongan) Bu Warsih (44 tahun) tinggal di dusun Awilarangan, Desa Pasirmuncang Kec. Cikaum (Subang Tengah). Ia merupakan pendatang dari Kadipaten, Majalengka dan masuk ke Subang sejak tahun 1983. perempuan lulusan SD ini adalah ketua rombol di Awilarangan sejak tahun 2005. Ia dan sepupunya (Ibu Manih Kadira) dari Dusun Waladin adalah inisiator sekaligus orang yang mengkoordinir para anggota kelompok rombol di dusunnya masing-masing dan melakukan pertukaran antara kedua dusun tersebut. Selain kelompok rombol bu Warsih, kemungkinan juga ada kelompok rombol lainnya. Menurut Bu Warsih, di dusun Awilarangan ini terdapat beberapa “sistem pertukaran” barang dan uang yang mirip dalam penerapannya, tetapi berbeda dalam sifat keanggotaan dan besar atau volume pertukarannya. Beberapa sistem pertukaran sosial tersebut antara lain gantangan, rombol dan talitihan. Pertama, Gantangan dalam terminologi dan pemahaman masyarakat setempat dipahami sebagai pertukaran beras dan uang yang dilakukan antar tetangga dan warga satu desa maupun luar desa ketika hajatan dan dilakukan pencatatan, baik oleh penyimpan (kaondang) maupun penerima (kahutangan). Gantangan ini mulai ramai sejak tahun 2000-an. Minimum simpanan gantangan adalah Rp. 10.000,- untuk uang dan 5 liter untuk beras. Jumlah warga yang terlibat dalam gantangan ini kurang lebih 300-an orang (satu dusun), karena memang spiritnya adalah gotong royong dan saling menolong. Gantangan ini biasanya dilakukan ketika hajatan pernikahan dan khitanan. Kedua, Talitihan, yaitu pertukaran beras dan uang serta barang-barang lainnya seperti bumbu dapur, minyak, minuman dalam kemasan, rokok, dan lain-lain sebelum hari hajatan (H-3). Biasanya dilakukan oleh para saudara dan tetangga dekat. Terhadap berbagai barang yang disimpan juga dilakukan pencatatan oleh penerima/bapak hajat (yaitu menjadi hutang bagi mereka). Jumlah atau besar talitihan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Ketiga, Rombol, yaitu pertukaran beras dan uang yang dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu dengan diketuai oleh seorang ketua panitia. Rombol ini “mirip” dengan arisan tetapi menggunakan sistem “gantangan”, sebab penarikan dan penyimpanan uang/beras dilakukan ketika hajatan. Namun, untuk rombol tidak terbatas pada hajatan pernikahan atau khitanan, melainkan juga dapat dilakukan ketika kebutuhan mendesak, seperti pembangunan rumah, menggali sumur, dan lain sebagainya. Menurut penuturan Bu Warsih, kelompok rombol ini dimulai tahun 2005 dengan anggota awal 21 orang Ibu-Ibu. Saat ini, anggota rombol bertambah mencapai 50-an orang. Meskipun anggota dan hasilnya terlihat “lebih kecil” dari gantangan, tetapi modal anggota rombol juga lebih sedikit, sebab ia tidak perlu memberi makan anggota lainnya, karena yang melakukan penarikan uang dan datang ke rumah cukup ketua panitia saja. Anggota rombol yang menyelenggarakan hajat cukup memberikan “uang sabun” seikhlasnya kepada ketua panitia. Sehingga hasil narik rombol tersebut relatif “utuh” dan menguntungkan. Minimum simpanan Rombol adalah Rp. 20.000 untuk uang dan 5 liter untuk beras. Dengan adanya ketiga sistem pertukaran tersebut, maka setiap warga boleh ikut menyimpan di ketiga sistem itu dan bahkan boleh untuk tidak ikut sama sekali dalam tiga sistem pertukaran sosial tersebut. tidak ada paksaan untuk masuk, tetapi jika sudah masuk semua dipaksa untuk mematuhi aturan mainnya (membayar tepat waktu). Tugas seorang panitia seperti bu Warsih ini sangat sentral dalam kelangsungan kelompok Rombol. Sebab, seorang panitia adalah orang yang paling sibuk ketika ada anggotanya yang ingin menarik simpanannya. Tugas yang biasa dikerjakan oleh Bu Warsih ketika ada tetangganya yang hajatan antara lain : Menyebarkan undangan kepada seluruh anggota (bagi-bagi sabun), menarik dan mencatat simpanan setiap anggota, menagih kepada anggota yang tidak datang/belum membayar. Jika yang ditagih belum ada uang/beras, panitia biasanya yang menalangi lebih dulu sampai yang ditagih memiliki uang. Mengantarkan pamulang/berkat dari bapak hajat kepada anggota lainnya. Sebagai kompensasi, Bu Warsih mendapatkan “uang sabun” dari bapak hajat. Besarnya bervariatif. Biasanya jika terkumpul hasil rombol Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000, bu warsih mendapat Rp. 30.000, jika yang terkumpul lebih kecil, < Rp. 500.000, bu warsih biasanya hanya mendapat Rp. 15.000. di luar “uang sabun”, terkadang bapak hajat ada yang memberi “uang bensin/ojek” Rp. 20.000-Rp.40.000. Bu Warsih memiliki penilaian sendiri terhadap Gantangan dan Rombol ini, yakni : “…mendingan gantangan (undangan) itu berhenti saja. Rugi, banyak modal kaluar, untungna saeutik. Tapi lamun Rombol, bagusnya diperbanyak jumlah anggotanya, biar dapetnya juga lebih banyak…” Tentu saja Bu Warsih memberikan penilaian yang lebih positif terhadap rombol, sebab ia adalah ketua sekaligus pelopor dari rombol ini. bersama saudaranya dari dusun lain ia membuka jejaring pertukaran. Ia berperan sebagai perwakilan anggota kelompoknya jika diperlukan hadir pada hajatan warga dusun Awilarangan. Secara tidak langsung ia juga berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan anggota kelompoknya. Terlebih di dusun dan desa tempat ia tinggal, ada beberapa kelompok rombol lain yang menerapkan pola yang sama. Jika saja ia tidak jujur atau bertanggungjawab terhadap kelompoknya, besar kemungkinan anggotanya akan keluar atau beralih kepada kelompok lainnya. Namun, dengan terus meningkatnya jumlah anggota kelompoknya, dari 21 menjadi 50 orang, menunjukkan Bu Warsih cukup dipercaya untuk mengelola rombol. Menariknya lagi, rombol ini murni dikelola oleh kelompok perempuan (ibu-ibu), dimana selain rombol ini mereka juga memiliki berbagai perkumpulan lainnya seperti pengajian (majlis taklim), arisan, dan posyandu balita. Pola pertukaran sosial Gantangan yang dikelola dalam kelompok mirip arisan yang lebih besar muncul dalam Golongan di Subang Utara. Salah seorang pelopornya adalah H. Abdul, yang membawa masuk pola Golongan (Gantangan khusus) ke dusunnya pada tahun 2009 lalu. Pada saat dimulai, anggota kelompok Golongan ini berjumlah 45 orang dan sampai saat ini (pertengahan 2012), sudah terdapat 13 Anggota yang narik golongan. Menurutnya, pola golongan ini sangat menguntungkan karena semuanya diatur sedemikian rupa tidak memberatkan anggota, terutama soal waktu hajat (frekuensi) tiap musim dan jumlah simpanannya. “..Sampai sekarang ini yang keluar (hajat) sudah 12 orang. Anggotanya 45 orang. Iya ini kayak arisan. Cuma jangan sampai terbebani masyarakat ini, misalnya dikeluarkan 4-5 hajat pasti berat, makanya dibatasin satu musim 2 orang saja. Sementara ini masih bisa diatur. Masih sesuai dengan musyawarah pertama. Peraturannya disepakati, misalnya harus beras murni bukan beras dolog, lalu ada fee-nya buat panitia, agar bertanggung jawab. Saya juga nggak sendiri, dibantu satu orang…” Lahirnya pola Golongan ini semula bertujuan untuk mengatasi berbagai kecurangan yang terjadi dalam telitian umumnya, misalnya terkait jumlah simpanan yang tidak sesuai dengan catatan, jenis beras yang dibawah standar, dan waktu pengembalian yang sering tertunda. Selain itu, H. Abdul sendiri sebagai pelopor juga sudah merasakan keuntungan dari menjadi anggota Golongan ini sebelumnya, yaitu di daerah Bayur, Karawang, tempat keluarga istrinya berada. “..Sistem golongan ini pertamanya tahun 1998-an saya ikut orang Bayur, Karawang, tahun 2000 saya hajat. Nah baru tiga tahunan ini kita mencoba mengadakan sendiri. Maksudnya jangan sampai orang “dikibuli”. Misalnya ngasih beras bagus, kembalinya beras raskin. Nah gitu. Sekarang kalu beras nggak diterima sama bandar/bakul ya dikembaliin lagi… Supaya masyarakat yang kecil-kecil yang mau hajat itu bisa terbantu. Soalnya pengembaliannya khan diatur. . Dengan menjadi ketua kelompok Golongan ini, kedudukan H.Abdul di tengah masyarakat di desanya memang semakin tinggi. Kesuksesan sistem golongan ini membuat banyak warga lainnya ingin menjadi anggota, bahkan jika semua diikutkan bisa mencapai 100 orang. Akan tetapi, dengan pertimbangan kesepakatan yang telah dibuat di awal, H. Abdul justru menyarankan agar orang lain saja yang membuat kelompok baru, tapi dengan pola yang sama dan dengan jumlah beras atau barang yang dipertukarkan lebih kecil, agar lebih banyak orang yang merasakan manfaatnya. Orang lain mah sukses, bahkan ada yang mengadakan gula pasir, daging, dan lainnya sesuai kemampuan lah. Kalau dikatakan orang sini hajatan itu nggak potol-lah (rugi-pen). Ya ada kelebihan, hiburan jangan mewah-mewah, hanya asal merayakan saja. Sekarang beras harga Rp. 7000, trus dia dapat beras 2 ton 2 kw, udah berapa itu? Belum dari yang lain-lain. Tabel 14. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan (Contoh Kasus RT dari 3 Desa) No Nama Pekerjaan Status Ekonomi RT Status Sosial RT Keikutsertaan dalam Pertukaran Gantangan Ya Tidak (8) (9) X Alasan Ikut/Tidak ikut Gantangan (1) 1 Suami (2) Sholeh Istri (3) Ida Suami (4) PNS Istri (5) (6) Pedagang Menengah 2 Rusdi Ai Kadus IRT Bawah Berpengaruh, jaringan luas X Bentuk tolong menolong dan saling mendukung sesama warga masyarakat, hitung-hitung dipinjami modal hajatan 3 Adul Asmi Hansip Buruh Tani Bawah X Bentuk lain dari gotong royong, untuk menghindari kerugian, untuk bergaul dengan masyarakat lain (mengikuti tradisi) 4 Abdul Lilis Petani IRT Atas Berpengaruh, jaringan luas, memiliki anak yang berperan sebagai Bandar hajat Bepengaruh, jaringan luas, ketua Golongan X Mendirikan Golongan untuk menghindari kecurangan dalam telitian (gantangan), meniru sistem dari Karawang yang dianggap menguntungkan (7) Cukup Berpengaruh (10) Memberatkan, gantangan dianggap tidak lagi murni gotong royong, tidak ingin memiliki beban hutang. Sikap terhadap Gantangan (11) Tidak ikut tetapi tidak melarang. Jika ekonomi masyarakat tidak beranjak tumbuh, maka hutang gantangan akan semakin memberatkan Sangat menerima karena dianggap membantu golongan miskin, khususnya untuk mendapatkan pinjaman/modal. Mendukung, masyarakat harus rajin bergaul dan menyimpan, sehingga hasil gantangannya menguntungkan. Gantangan biasa (tanpa berkelompok) dianggap merugikan karena banyak kecurangan, lebih baik dengan sistem golongan yang dapat diatur frekuensi hajat dan jumlah simpanan 5 Nuridi Wacih Pedagang Pedagang Menegah atas Kurang berpengaruh X Untuk investasi, hitunghitung tabungan untuk keperluan dimasa mendatang Untuk memenuhi kebutuhan mendesak, bertanggung jawab sebagai Pelopor Rombol (gantangan dengan sistem mirip arisan) 6 Darman Warsih Buruh Tani Buruh Tani Menengah bawah Jaringan luas, ketua Rombol X 7 Askim Nur Sekdes (belum PNS) IRT Menengah Berpengaruh, calon Kades X 8 Sarna Mimih Kadus Kantin Pabrik Menengah Bepengaruh X 9 Barjuk Eti Sekdes IRT Menengah Berpengaruh X 10 Jujun Karyati Pedagang Menengah Kurang berpengaruh X Memberatkan, tidak mau terlibat hutang piutang, melenceng dari asas sukarela Menghitung kemampuan ekonomi diri sendiri yang tidak pasti (merasa tidak mampu) Mengikuti tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat Untuk simpanan, ajang bergaul dan menolong sesama warga desa anggotanya (lebih pasti) Mendukung, sepanjang saling jujur dan konsekuen Leih baik pola Gantangan atau kondangan yang tidak pasti kedatangan dan jumlah simpanannya itu dihilangkan saja, diganti sistem rombol (arisan) yang lebih terjadwal Kurang cocok untuk orang yang pekerjaan/pendapatannya tidak pasti Tidak menolak atau melarang, hanya saja kasihan pada warga yang tidak bisa bayar hutang Sepanjang tidak memberatkan bisa tetap dilanjutkan/dipelihara agar masyarakat tetap guyub dan bersatu Asalkan tidak terlalu sering, gantangan ini menguntungkan Sumber : Diolah dari hasil wawancara mendalam, 2012 5.6. Permodelan Komputasional Pertukaran Sosial Gantangan Kita semua hidup dalam dua bidang sekaligus, ekonomi dan sosial. Kehidupan modern kapitalisme telah melahirkan kita ke dalam kondisi yang tidak memiliki batas yang jelas diantara kedua bidang itu. Bidang ekonomi sering dikaitkan dengan aset lingkungan, yang dianggap sebagai modal alami yang memiliki kedua kecenderungan yaitu terbatas dan rapuh. Sedangkan bidang sosial sering dikaitkan dengan setiap bentuk budaya dan kewajiban simbolis dalam bermasyarakat, yang disebut juga sebagai modal sosial dimana didalamnya ekonomi bekerja (ElMaraghy, 2011). Terjalinnya hubungan dari kedua bidang ini ternyata sering berhubungan dengan perilaku "irasionalitas" sebagaimana dibahas dalam beberapa karya populer dari kehidupan sosial manusia modern (Ariely, 2008) Ketika budaya tradisional Indonesia, seperti “nyumbang” dan “gantangan” ini mempraktekkan kecenderungan dan nilai-nilai yang sangat kuat untuk berbagi (O'Connor, 2006:285-92), terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, maka nilai ekspektasi ekonomi, sebagai konsekuensi dari hidup di era kapitalisme modern, kadang-kadang bertentangan satu sama lain (Situngkir, 2010). Nilai-nilai sosial untuk berbagi dalam masyarakat pedesaan Indonesia secara konvensional muncul dalam kehidupan sosial yang relatif homogen. Berbagi harta secara tradisional adalah hal yang umum, misalnya untuk mencapai kepemilikan barang ekonomi yang sama. Bahkan, ketika semua orang dalam desa itu berada dalam kemiskinan, sebuah fakta yang diperkenalkan oleh Geertz, C. (1963) sebagai "berbagi kemiskinan". Tradisi Gantangan itu sendiri merupakan praktek memberikan sebagian kekayaan dan harta untuk orang lain sebagai tindakan membantu orang lain. Biasanya datang dari mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih baik. Dalam prakteknya, gantangan ini dilakukan pada momen-momen tertentu, misalnya ketika ada perayaan atau pesta hajatan dalam pernikahan, khitanan, kelahiran, dan masih banyak lagi. Orang menyumbang dalam Gantangan memiliki harapan bahwa orang lain akan membalas melakukan hal yang sama ketika mereka akan menggelar hajatan yang sama. Meskipun awalnya harapan sosial-ekonomi dalam tradisi gantangan ini cenderung kurang, namun interaksi dari praktek-praktek tradisional kedalam kehidupan modern akan meningkatkan ekspektasi ekonomi dalam praktek nyumbang ini (Situngkir, 2009). Gantangan ini memiliki sebutan berbeda di setiap desa di Kabupaten Subang, ada yang menyebutnya gintingan, narik, rombongan, golongan, rombol dan lain sebagainya. Ketika seseorang mengatur sebuah pesta, orang lain, baik itu kerabat atau tetangga datang dengan membawa sejumlah "setoran" beras atau uang. Jumlah beras atau uang dipandang sebagai "pinjaman" dan kemudian menjadi semacam "utang" dalam perspektif penyelenggara. Suatu hari, ketika orang yang menyetorkan beras atau uang itu menyelenggarakan pesta hajatan, maka yang lain akan kembali dan memberikan beras dan uang dalam jumlah yang sama seperti yang telah ia terima sebelumnya. Dengan demikian, gantangan menjadi semacam tabungan kredit bagi siapa saja anggota masyarakat. Itulah bidang ekonomi dari gantangan tersebut. Tabel 15. Struktur Dasar Permodelan Pra Simulasi Komputasional Level Faktor Level Struktur Level Aktor Perilaku Sosial  Harmoni Sosial  Upacara-upacara (upacara sebelum menanam padi, upacara ketika panen (mapag sri/mapag pare), upacara ruwat bumi, pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya.       Perilaku Gotong Royong  redistribusi pangan melalui lumbung padi dan resiprositas dalam tolong-menolong, silih genten  sistem pertukaran sosial dan ekonomi: gantangan sebagai konsepsi “pasar”        Mentalitas (ingin terlihat baik) Konsepsi tolong-menolong Kelas-kelas/kategori aktor dalam proses gantangan. Proposisi mikro-sosial: • Orang atau keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi cenderung menyimpan beras maupun uang dalam jumlah lebih besar (volume), lebih sering (hajatan) dan lebih banyak (orang).    • Semakin tinggi status sosial-ekonomi (kaya, berpengaruh, pejabat/memiliki otoritas) bapak hajat, akan cenderung mengadakan pesta hajatan yang semakin meriah (rame-rame, dengan hiburan) karena tuntutan sosial maupun pribadi/keluarga. • Semakin tinggi status sosial-ekonomi (kaya, berpengaruh, pejabat/memiliki otoritas) bapak hajat, akan cenderung mendatangkan tamu undangan yang lebih banyak dan hasil gantangan yang lebih besar dari warga biasa. • Warga miskin dan tidak mampu semakin tersisih dalam pertukaran sosial (gantangan umum) karena semakin kurang dipercaya untuk diberikan pinjaman dan ia juga tidak mampu untuk mengikuti gantangan khusus yang jumlah pertukarannya cukup besar (>50 kg beras/hajatan).   Dinamika Frekuensi dan nilai ekonomis Pertumbuhan ekonomi desa Sistem ketenagakerjaan desa Pola kesenian desa Jumlah penyumbang dan besar sumbangan (agregat) Nyumbang/nyambungan Golongan (cluster) sosial: konsep rombol, bandar hajatan, dll. Prosesi hajatan: Persiapan ïƒ Pelaksanaan ïƒ Pasca Hajatan Konsep “hajatan” = keinginan/harapan Ekspektasi sosial (hayang kapuji, hayang kasohor, hayang ditarima lingkungan, hayang katingali, loba babaturan) Ekspektasi ekonomi: “menyimpan” (nyimpen &mayar) sejumlah resources (beras, uang, dsb.) – dicatat melalui Buku Catatan – silih bantu, ngarep untung (lewihna), nyimpen, itung-itung arisan, neangan modal, ngagolangkeun simpenan, teu sampai potol). Ekspektasi untuk kebutuhan domestik (membangun rumah, modal untuk usaha, dsb.) Ekspektasi hiburan (raramean & ngabring Memodelkan ekspektasi sosial dan ekonomi yang melekat dalam gantangan, maka aktor (anggota masyarakat dari berbagai kelas sosial-ekonomi) memiliki beberapa pilihan sikap, antara lain : 1. Pola C = = menyimpan beras dan uang lebih banyak daripada rata-rata orang lain, dengan harapan untuk mendapatkan kembali kemudian (dengan demikian, aktor ini memanfaatkan proses gantangan sebagai semacam "investasi" atau menyimpan), 2. Pola B = = menyimpan dalam jumlah rata-rata atau "standar" atau minimum beras dan atau uang dalam sebuah pesta, untuk hanya menjaga hubungan sosialnya dengan masyarakat (lebih banyak dorongan sosial atau mengikuti kebanyakan orang lain) 3. Pola A = = tidak cocok atau "abstain" dengan gantangan atau proses hajatan lainnya. Pilihan ini mungkin mengandung risiko mengesampingkan satu aspek yang lebih luas dari hubungan sosial dalam keluarga, lingkungan, atau bahkan persahabatan. Dari ketiga pilihan sikap tersebut, aktor bebas memilih apakah akan berpartisipasi atau tidak, dan partisipasi mereka akan menghasilkan hasil yang dapat ditulis dalam matriks hasil sebagai berikut : Payoff Matrix (Situngkir & Prasetyo, 2012) Aktor yang memainkan peran , akan menempatkan dirinya memiliki martabat sosial yang lebih tinggi di dalam masyarakat setara dengan sejumlah beras dan uang yang ia berikan sebagai imbalan untuk Aktor atau pemain yang lain, di mana, . Sementara itu, Aktor yang bermain strategi hanya memberi sekedar untuk memenuhi atau menjaga hubungan sosial dalam masyarakat. Namun, ada juga beberapa Aktor bermain strategi , semacam strategi oportunistik untuk memperoleh keuntungan tanpa 'investasi' sama sekali. Variabel ini berkaitan dengan aspek lain tanpa memperhatikan ekspektasi ekonomi dari partisipasi dalam gantangan ini. Aktor dengan status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi cenderung memberikan lebih banyak beras atau uang. Mereka juga cenderung mengorganisir pesta hajatan menjadi lebih meriah dan mengundang lebih banyak tamu. Dengan kondisi semacam itu, maka tingkat kepercayaan anggota masyarakat atau aktor lain terhadap penyelenggara hajat ini menjadi lebih tinggi, karena mereka dipercaya memiliki kapasitas untuk memberikan balasan yang lebih. Orang-orang miskin pada akhirnya cenderung tereksklusi dari proses gantangan ini akibat dari ketidakmampuan mereka memberi beras dan uang sebagai imbalan. Berdasarkan matriks diatas, kita dapat melihat bahwa keseimbangan permainan akan tergantung pada nilai dan termasuk dalam permainan. Semakin besar akan mendorong permainan ke dalam posisi yang lebih kuat dan akan didominasi Aktor yang bermain strategi , dan nilai yang lebih besar membuat posisi yang lebih kuat dari strategi . Permodelan ini mencoba menunjukkan matriks pay-off di atas sebagai , dan merumuskan dinamika replikator-mutator deterministik dengan menunjukkan frekuensi strategi ( ), , (1) dimana kesesuaian strategi (2) dan average fitness dari keseluruhan populasi (3) dan probabilitas strategi memiliki keturunan menggunakan strategi , .. , dimana, Gambar 40. Aktifitas replikator dinamika populasi dengan motif ekonomi ( ), motif sosial ( ), dan Aktor yang memilih untuk absen/tidak mengikuti pertukaran sosial Gantangan Kita dapat menarik dinamika replikator-mutator dan mengetahui keadaan stasioner masing-masing untuk variasi sesuai dengan dan seperti pada gambar 1. Dari tiga strategi diatas, kita bisa melihat ada empat keadaan stasioner yang dihasilkan dari berbagai strategi murni didominasi dari adalah bentuk asimetris dari dan , dan dua di antaranya mencerminkan dan . Fakta menarik yang bisa kita amati disini dan seperti yang ditunjukkan dalam proses "gantangan". Sebagai ruang ekonomi (economic status/ES) memberikan harapan yang lebih besar, secara ketat dapat mendominasi populasi, namun, harapan lebih besar untuk keuntungan di ruang sosial (social status/SS) masih sedikit mengembalikan sejumlah kecil dari seluruh penduduk. Bahkan, ES dan SS asimetris dalam tren perkembangan proses "gantangan" yang nampak jelas secara empiris. Disini muncul jenis "komersialisasi" dari tradisi "gantangan" sebagai proses yang akan menyertai sampai hari ini. Tradisi "gantangan" hari ini telah menunjukkan cara bagaimana orang memanfaatkan budaya tradisional untuk mendapatkan sumber daya ekonomi. Selain itu, ada variasi "gantangan" di beberapa desa tertentu di mana keanggotaan dari proses gantangan ini bersifat eksklusif. Karena fenomena ini, proses "gantangan" tidak lagi menjadi milik seluruh anggota masyarakat/populasi, melainkan menjadi milik beberapa kelompok keluarga di dalam masyarakat. Dengan demikian, dari tiga desa miskin yang diamati, rekonsiliasi ruang ekonomi dan sosial terjadi dengan didominasi untuk kepentingan ekonomi, lebih dari sekadar aksentuasi motif sosial dan budaya dalam masyarakat. Tradisi "gantangan" telah berubah menjadi arisan yang anggotanya saling berkontribusi dan secara bergantian mendapatkan keuntungan (jumlah keseluruhan beras dan sejumlah uang) dari penyelenggaraan pesta hajatan di pedesaan ini. Gambar 41. Keseimbangan antara dorongan ekonomi dan sosial aktor gantangan dapat menjamin keberlanjutan pertukaran sosial ini (The Lotka-Volterra-like phasemap of the interacting social and economic spheres in evolutionarily harmonious dynamics) (Situngkir & Prasetyo, 2012) Sumberdaya (sejumlah beras atau uang) dapat berkontribusi dalam meningkatkan status sosial seseorang dalam proses "gantangan". Tradisi "nyumbang" dalam "gantangan" bisa dilihat sebagai cara mengorbankan sejumlah aset ekonomi ( ) demi status dalam ruang sosial (Weibull, 1997). Dalam dunia sederhana di mana ruang ekonomi tidak memberikan kontribusi secara sosial, status atau martabat sosial yang ada ( ) menurun dalam proporsionalitas tertentu. Hal tersebut dapat ditulis secara matematis sebagai berikut : (4) Dalam kesederhanaan serupa, aset ekonomi ( ) juga berkurang pada proporsionalitas tertentu untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi : (5) Kedua persamaan (4) & (5) mengingatkan kita pada persamaan terkenal LotkaVolterra, yaitu sebuah persamaan yang mengungkapkan interaksi antara predator dan mangsa dalam sistem ekologis. Tidak adanya kekayaan ekonomi, , sulit untuk Aktor sosial bertahan hidup dalam lingkup sosial mereka, dan sebagai imbalannya (tanpa mempedulikan status sosial), aset ekonomi diasumsikan untuk peningkatan linier. Ruang interaksi ekonomi dan sosial secara dinamis akan mematuhi satu sama lain, sebagaimana dapat kita lihat dalam pertukaran sosial "gantangan" ini. Menarik untuk melihat kedua ruang ini, seperti yang terlihat jelas dalam "rekonsiliasi" antara ekspektasi ekonomi dan sosial. Solusi dari keduanya (4 dan 5) ditunjukkan pada gambar 2, dalam lanskap yang dibentuk oleh kecenderungan kolektif untuk ruang sosial dan ekonomi masing-masing. Gambar 42. Dorongan/motif sosial yang terlalu kuat tanpa memperhatikan kemampuan pemenuhan kebutuhan ekonomi justru dapat merusak keberlanjutan tradisi Gantangan (The large tendency for social sphere regardless the ability to cope with the economic estates may disrupt the tradition of “gantangan”) (Situngkir & Prasetyo, 2012) Pada kasus ini, pertukaran "gantangan" yang cenderung bersifat sosial mungkin tidak cocok dalam proses evolusi masyarakat dan mungkin akan punah. Jadi, harus ada semacam konvensi diantara penduduk di pedesaan ini untuk melestarikan pesta "hajatan" yang seharusnya tidak memperberat kehidupan ekonomi penduduk, termasuk dalam proses pertukaran "gantangan" ini. Pertukaran sosial Gantangan saat ini dapat dipandang sebagai cara organik masyarakat di pedesaan Subang untuk menginvestasikan sebagian kekayaan mereka dengan beberapa harapan untuk kembali (dapat ditarik) di masa depan. Fenomena ini mungkin semacam potret rekonsiliasi antara bidang ekonomi dan sosial yang terjalin dalam masyarakat tradisional di Indonesia. Model teori permainan yang digunakan untuk menganalisis interaksi sosial dalam "gantangan" menunjukkan bagaimana kecenderungan ekonomi tersebut ("gantangan" sebagai suatu kegiatan investasi) dapat menyerang isi sosial dari motif tradisional untuk kepentingan kohesi sosial. Pandangan yang melihat "gantangan" sebagai jenis investasi adalah evolusi fit dan menyerang kohesi sosial. Ini adalah kesempatan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi di desa, sekaligus tetap menjaga pandangan lokal dan tradisional di bidang sosial. Sehingga, meskipun selama ini ruang ekonomi dan ruang sosial dianggap bertentangan satu sama lain, namun rekonsilisasi keduanya justru nampak jelas secara empiris dalam fenomena pertukaran sosial Gantangan ini. lebih dari itu, pola pertukaran semacam ini sesungguhnya dapat diterapkan dalam tradisi-tradisi lain (dengan beberapa konvensi tertentu yang tidak memberatkan) sebagai senjata bagi kehidupan tradisional dalam menghadapi kapitalisme modern. BAB VI REFLEKSI TEORITIS Berkaca dari teori pertukaran Peter M. Blau (1964) yang meletakkan tujuan sosiologi untuk mempelajari interaksi tatap muka sebagai landasan guna memahami struktur sosial yang lebih luas (Ritzer & Goodman, 2010:368), maka demikian halnya penelitian ini berusaha memahami pertukaran sosial gantangan untuk mendapatkan penjelasan tentang struktur sosial masyarakat pedesaan Subang kontemporer. Mula-mula penelitian ini berusaha mengkaji tentang motivasi dan dorongan orang desa dalam proses-proses membangun hubungan sosial dengan sesamanya, baik yang termasuk dalam kategori keluarga/kerabat (family) maupun di luar hubungan pertalian darah tersebut (non-family). Mendalami hubungan sosial antar warga desa ini menjadi penting karena pada akhirnya nanti interaksi tersebut akan mampu merefleksikan gejala-gejala sosial umum dalam masyarakat pedesaan itu sendiri, maupun masyarakat pada umumnya. Seperti apakah orang desa sudah semakin berwatak komersil? Apakah gotong royong sudah benar-benar ditinggalkan? dan seterusnya. Perkembangan mutakhir dari pertukaran sosial gantangan ini menunjukkan dan membuktikan hipotesa tersebut, yaitu pola-pola hubungan sosial telah semakin nyata terkomersialisasi. Hal ini ternyata sejalan dengan arus transformasi sosial di bidang kehidupan lainnya, seperti makin meluasnya peranan pasar dalam kehidupan ekonomi masyarakat desa, keterbukaan informasi, liberalisasi dalam tindak maupun gagasan yang makin meluas dan itu semua berhasil menyuburkan nilai-nilai individualisme di tengah kehidupan masyarakat desa sekalipun. Dengan demikian, bayangan tentang desa yang penuh semangat solidaritas, kebersamaan, dan gotongroyong perlahan-lahan makin bergeser pada semangat individualis, komersil dan kontraktual. Kondisi ini adalah konsekuensi logis dan sekaligus ekses dari berbagai pola-pola pembangunan yang selama ini dianut dan diterapkan di pedesaan. Hubungan-hubungan sosial yang terkomersialisasi merupakan konsep sosiologis untuk menggambarkan bagaimana hubungan sosial itu - baik antara dua orang maupun dalam kelompok - lebih banyak didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari pihak lain, baik jangka pendek maupun jangka panjang, material maupun non material. Komersialisasi sosial ini merupakan analog dari komersialisasi ekonomi, dengan hubungan sosial sebagai komoditasnya. Polapola komersialisasi yang tercermin dalam perayaan/hajatan menunjukkan bagaimana organisasi sosial baru seperti gantangan ini dapat tumbuh dari hubungan pertukaran murni (nyumbang) dalam masyarakat pedesaan. Menariknya, organisasi sosial baru yang berupa jaringan pertukaran gantangan ini ternyata mampu menembus batas-batas ekologis, seperti karakteristik agroekologis maupun perbedaan geografis. Jaringan pertukaran gantangan ini begitu cepat menyebar dan meluas serta mudah diadopsi oleh kelompok komunitas lain, sekalipun berbeda karakteristik ekologis. Mengapa demikian? Sebagaimana dikemukakan oleh Blau (1964), bahwasanya mekanisme yang mampu menjembatani antara struktur sosial yang kompleks tersebut adalah adanya norma dan nilai. Norma dan nilai inilah yang berperan sebagai mata rantai yang menghubungkan sebuah transaksi sosial. Sepanjang norma dan nilai tersebut disepakati dan dianggap rasional oleh masyarakat, maka sangat memungkinkan terjadinya proses integrasi dalam struktur sosial yang kompleks. Artinya, jaringan pertukaran sosial gantangan – yang komersil - ini dapat menyebar dari Subang utara (pesisir) ke Subang selatan (pegunungan) adalah karena tidak ada perbedaan yang signifikan dari sistem nilai dan norma yang dianut masyarakatnya. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik dan watak komersil warga desa di pesisir dan di pegunungan saat ini sudah tidak lagi jauh berbeda. Lantas, apakah watak komersil ini memang nyata-nyata didorong oleh kondisi kemiskinan dan kerawanan pangan yang disebabkan sistem pasar – seperti tesis D.H. Penny – atau justru oleh hal lain? Dari hasil penelitian ini tidak serta merta dapat dikatakan bahwa semakin miskin orang maka semakin komersil dan semakin rawan pangan orang semakin individualis. Sebab, terbukti di tiga desa miskin yang menjadi daerah penelitian ketiganya menunjukkan bahwa golongan masyarakat termiskin justru semakin tersisih dalam jaringan pertukaran sosial gantangan ini. Mereka yang paling miskin diantara yang miskin ini justru tidak mendapat kepercayaan dari anggota masyarakat lainnya. Artinya, warga lain enggan menyimpan beras atau uang dalam jumlah yang banyak, sebab mereka ragu bahwa si miskin ini akan dapat mengembalikan simpanan tersebut kelak. Warga miskin di desa miskin ini benarbenar tidak memiliki apapun untuk dijadikan komoditas pertukaran yang menguntungkan. Bahkan, warga miskin ini semakin sulit jika hanya hidup mengandalkan hubungan atau jaringan sosial saja. Sebab, nyata-nyata bahwa jaringan sosial orang miskin ini adalah orang miskin lainnya, yang meskipun mereka bersatu dan saling bertukar tidak akan memberikan penambahan yang signifikan bagi perkembangan ekonomi mereka. Inilah satu kondisi dan keprihatinan nyata yang patut mendapat perhatian, dimana dengan adanya pertukaran sosial gantangan yang berbasis mencari keuntungan ini ternyata justru menyisihkan golongan miskin yang seharusnya bisa terbantu oleh sistem kolektif semacam gantangan ini. Pertukaran sosial gantangan yang ada di pedesaan Subang saat ini belum mampu menghasilkan pemerataan distribusi kekayaan atau mengurangi jurang kesenjangan antara si miskin dan kaya, melainkan justru menghasilkan pengelompokan-pengelompokan baru dalam masyarakat berdasarkan kapasitas sumber daya yang mereka miliki dan mampu untuk saling dipertukarkan. BAB VII KESIMPULAN Pola pertukaran sosial gantangan di tiga desa miskin di Kabupaten Subang menunjukkan kemiripan satu sama lain, yaitu hadirnya tiga tipe pertukaran yang disebut nyambungan, gintingan dan golongan di masing-masing wilayah (kecuali di Subang Selatan belum ada pola Golongan). Meskipun memiliki kemiripan pola, namun secara historis Subang Utara merupakan titik mula berkembangnya pertukaran sosial gantangan hingga kemudian diikuti oleh masyarakat di Subang bagian Tengah dan Selatan. Gantangan ini bukan asli tumbuh dari komunitas desa miskin, melainkan diadopsi dari desa-desa yang makmur, subur dan berkembang pertanian padinya, khususnya dari daerah Karawang dan Indramayu. Transformasi nyambungan menjadi gintingan dan golongan merupakan akibat dari komersialisasi ekonomi yang kian melembaga. Proses komersialisasi sosial di pedesaan yang tercermin dalam pola pertukaran sosial gantangan ini merefleksikan perubahan nilai-nilai masyarakat pedesaan yang kolektif-idealistik menjadi individual-materialistik. Perubahan ini menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pada komunitas miskin di pedesaan Subang, baik di pesisir, dataran rendah maupun perbukitan/pegunungan. Proses perubahan tersebut dapat digambarkan melalui tipe-tipe resiprositas yang berkembang, yaitu mulai melunturnya pemberian murni sebagai ciri gotong royong dan semakin meningkatnya resiprositas sebanding dalam pesta hajatan dan pertukaran gantangan. Komodifikasi hajatan – yang ditandai dengan perubahan nilai anak, beras serta uang - dan masuknya bandar hajatan semakin mempertegas bahwa pesta hajatan dan gantangan di pedesaan Subang ini telah bertransformasi dari sekedar syukuran dan raramean (orientasi sosial) menjadi pasar (market) dalam sistem ekonomi lokal. Namun, menurut hemat penulis, dari simulasi permodelan komputasional yang dibangun diatas, transformasi pertukaran sosial Gantangan ini sebenarnya dapat kita pandang sebagai kesempatan untuk membangun ekonomi lokal yang berbasis pada rekonsiliasi antara pola relasi tradisional (motif sosial) dengan cara pandang modern (motif ekonomi/komersialiasi), sehingga ruang sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan dapat berevolusi secara lebih harmonis. SARAN Untuk dapat membangun model jaminan sosial informal pedesaan berbasis tradisi sosial bagi masyarakat pedesaan maka rancangan permodelan komputasional dari pola pertukaran gantangan di pedesaan Subang ini harus disempurnakan dengan simulasi aktor yang lebih heterogen. Selain itu, ruang lingkup penelitian Pola Pertukaran Sosial Gantangan ini juga harus diperluas, khususnya di wilayah pedesaan yang maju secara ekonomi agar nantinya dapat diperbandingkan dengan pola pertukaran sosial di desa-desa miskin. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Bandung : Pusat Kajian LBPB Anonim. 2011. Kabupaten Subang : Rakyat Subang Gotong Royong Subang Maju. Subang : Bagian Humas dan Protokol Sekretarian Daerah Kabupaten Subang Anonim. 2011. Kecamatan Blanakan dalam Angka 2011. Subang : Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang Anonim. 2011. Kecamatan Cikaum dalam Angka Tahun 2011. Subang : Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang Anonim. 2011. Kecamatan Cijambe dalam Angka Tahun 2011. Subang : Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang Anonim. 2010. Penyusunan Data Sosial Ekonomi Masyarakat Provinsi Jawa Barat Tahun 2009. Bandung : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Anonim. 2011. Subang Dalam Angka Tahun 2010. Subang : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang Ariely, D. 2008.Predictably Irrational: The Hidden Forces that Shape Our Decisions. Harper Collins. Coleman, James S. 2010. Dasar-Dasar Teori Sosial (Foundations of Social Theory). Edisi Revisi. Bandung : Nusamedia Damsar, Prof. Dr. 2006. Sosiologi Uang. Padang : Andalas University Press Damsar, Prof. Dr. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Kencana Di Caccio, Simona. 2005. Social Capital : Social Relations and Economic Rationality. Italy : Crossroad, ISSN 1825-7208, vol 5, no 1, pp. 43-77 El Maraghy, H. A. (eds.). 2011. Enabling Manufacturing Competitiveness and Economic Sustainability. Springer. Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta : Bhratara Karya Aksara Geertz, Clifford 1963. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia.California UP. Hayami, Yujiro & Masao Kikuchi. 1981. Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Hecter, Michael and Satoshi Kanazawa. 1997. Sosiological Rational Choice Theory. Annual Revies Inc. Hedstrom, Peter & Charlotta Stern. 2007. Rational Choice and Sociology. The New Palgrave Dictionary of Economics Homans, George C. 1958. Social Behaviour as Exchange. The American Journal of Sociology Huraerah, Drs. Abu, M.Si. 2008. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat : Model & Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung : Humaniora Johnson, Doyle Paul. 1980. Teori Sosilogi Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Marvasti, Amir. B. 2004. Qualitative Research in Sociology : An Introduction. London, Thousand Oaks, New Delhi : SAGE Publications Nugroho, Tarli, Ahmad Nashih Luthfi, dan Amien Tohari. 2010. Pemikiran Agraria Bulaksumur : Telaah Awal Atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun dan Mubyarto. Yogyakarta : STPN-Sajogyo Institute Bogor O'Connor, M. 2006. “The Four Spheres Framework for Sustainability”. Ecological Complexity 3: 285-92. Elsevier. Osborne, J & Ariel Rubinstein. 1994. A Course in Game Theory. (Electronic Version 2011-1-19. MIT Press Peny, D.H. 1990. Kemiskinan : Peranan Sistem Pasar. Jakarta : UI Press Pincus, Jonathan. 1994. Ekonomi Pedesaan Asia : Sebuah Tinjauan Ulang. PRISMA Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial, No 3, Maret, Jakarta ; LP3ES Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Raja Grafindo Persada Planck, Ulrich (penyunting). 1990. Sosiologi Pertanian. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Popkin, Samuel. L. 1986. Petani Rasional. Jakarta : Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri Portes, Alejandro. 1998. Social Capital : Its Origins and Applications in Modern Sociology. Annual Review of Sociology, Vol 24, pp.1-24 Prasetiyo, Ari. 2003. Tradisi Nyumbang Dalam Masyarakat Desa Tamantirto : Suatu Studi tentang Sistem Pertukaran Dalam Masyarakat Transisi. Depok : Tesis Pascasarjana Sosiologi FISIP UI Prasetyo, Yanu Endar. 2010. Mengenal Tradisi Bangsa. Yogyakarta : Insist Media Utama Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wacana Rudito, Bambang dan Melia Famiola. 2008. Social Mapping Metode Pemetaan Sosial : Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Bandung : Rekayasa Sains Rusli, Said. Dkk. 1995. Metode Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin : Suatu Tinjauan dan Alternatif. Jakarta : Grasindo & Faperta IPB Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Edisi Kedua). Yogyakarta : Tiara Wacana Sajogyo (penyunting). 1982. Bunga Rampai Perekonomian Pedesaan. Bogor: Yayasan Obor Indonesia & IPB Sen, Amartya. 1982. Poverty and Famines : an Essay on Entitlement and Deprivation. Oxford Situngkir, H. 2009. “Evolutionary Economics Celebrates Innovation and CreativityBased Economy”. The Icfai University Journal of Knowledge Management 7(2):7-17. Situngkir, H. 2010. "Landscape in the Economy of Conspicuous Consumptions". BFI Working Paper Series WP-5-2010. Bandung Fe Institute. Situngkir, H. & Yanu Endar Prasetyo. 2012. On Social dan Economic Spheres : An Observation of the “Gantangan” Indonesian Tradition. BFI Working Paper Series No. WP-5-2012 (22. June 2012) & Social Science Research Network (SSRN) Smelser, J. 1990. Sosiologi Ekonomi. Penerbit Wira Sari Soedjatmoko. 1980. Dimensi-Dimensi Struktural Kemiskinan (dalam Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai, dihimpun oleh Alfian, Mely G. Tan, dan Selo Soemardjan). Jakarta : Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) dan HIPIS Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Masalah Pangan dan Revitalisasi Ilmu Sosial : Sebuah Usul Untuk Mengembangkan Sosiologi Konvergen. Dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban Hal 464-479. Jakarta : Penerbit Kompas Sumardjo, Jakob. 2007. Arkeologi Budaya Indonesia : Pelacakan HermeneutisHistoris terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Qalam Swedberg, Richard. 2001. Sociology and Game Theory : Contemporary and Historical Perspectives. Theory and Society : 301-335. Kluwer Academic Publisher Tjondronegoro, S.M.P. 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan : 80 tahun Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro. Bogor : KPM IPB Uphoff, Norman. 2000. Understanding Social Capital : Learning Form The Analysis and Experience of Participation (Social Capital a Multifaced Perspective, edited by Dasgupta & Serageldin): . Washington D.C. : The World Bank Weibull, J. W. 1997. Evolutionary Game Theory.MIT Press. Wolf, Eric R. 1966. Petani : Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta : CV. Rajawali & Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Yuniarto, Paulus Rudolf. 2009. Siasat Bertahan Rumah Tangga Buruh Migran : Persoalan Sehari-Hari dan Implikasinya bagi Upaya Pengentasan Kemiskinan. LIPI : Masyarakat Indonesia (Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, edisi khusus 2009) Zain, Prof. Sutan Mohammad & Prof. Dr. J.S. Badudu. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Zafirovski, Milan. 2005. Social Exchange Theory Under Scrutiny : A Positive Critique of its Economic-Behaviorist Formulations. Electronic Journal of Sociology LAMPIRAN Lampiran 1. Hajatan Rame-Rame di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan* No Nama 1 Salcan 2 3 4 5 6 Raip/Surinah Kadir Karsiyah Wartim/Tawi Danu/Mastani Umur Hajat 45 Khitanan 35 35 35 55 38 Khitanan Pernikahan Pernikahan Pernikahan Pernikahan Tgl Bulan 6 Mei 13-14 13-14 19-20 25-26 4 mei mei mei mei Juni 7 carman/Patonah 8 Sumarta 46 Pernikahan 45 Pernikahan 9 Olil 35 Khitanan 21-22 Oktober 10 Waskim 28 Khitanan 23-24 Oktober 11 Warya 37 Khitanan 27-28 Oktober 12 Enja 35 Khitanan 27-28 Oktober 13 14 15 16 34 40 52 41 Nawi Supandi Amir H. Rastim Khitanan Khitanan Khitanan Khitanan 31-1 Juni 9 Juni 21 Warlim 22 Salim Hajatan Hajatan 2 November 9 November November 15 November 16 November 12 Desember 13 Desember 23 Desember 29-30 Desember 20 Agustus 22 Agustus 23 Agustus 24 Agustus 23 Kanpan Hajatan 30-31 Agustus 17 Amir 51 Khitanan 18 Ojot 19 Ratim 20 Siwan 50 Khitanan 35 Khitanan Hajatan 24 Tirta 41 Pernikahan 18-19 April 25 Suhandi 26 Kanta 51 Pernikahan 35 Khitanan 24-25 April 22 Oktober xv Jenis Tahun Hiburan 2005 Film Organ 2005 Tunggal 2005 Film 2005 Film 2005 Jaipongan 2005 Film Organ 2005 Tunggal 2005 Film Organ 2007 Tunggal Organ 2007 Tunggal Organ 2007 Tunggal Organ 2007 Tunggal Organ 2007 Tunggal 2007 Wayang Kulit 2007 Wayang Kulit 2007 Sandiwara 2007 Wayang Kulit 2007 Wayang Kulit 2007 Arak-arakan 2007 Odong-Odong 2007 Karedok 2008 Qosidah 2008 Odong-Odong 2008 Odong-Odong 2008 Odong-Odong Organ 2008 Tunggal Organ 2009 Tunggal Organ 2009 Tunggal 2009 Arak-arakan Dusun Kertamukti Kertajaya Tegaltangkil Kertajaya Kertajaya Kertamukti Tegaltangkil Kertamulya Kertamukti Kertamulya Kertamulya Tegaltangkil Kertajaya tegaltangkil tegaltangkil tegaltangkil tegaltangkil tegaltangkil kertamukti Tegaltangkil Kertamulya Kertamulya Kertamulya Kertamulya Kertajaya Kertamukti kertamulya Tegaltangkil 27 H. Rasmin 28 H. Basir 43 Khitanan 57 Pernikahan 24 November 24-25 November 2009 2009 29 Sukim 53 Pernikahan 8 Desember 2009 30 Oyok 31 Tofin 34 Pernikahan 35 Pernikahan 8 Desember 16 Desember 2009 2009 32 33 34 35 36 37 Sidem/Sinta Casim RT Tarjo H. Amin Daryono Goak 37 42 45 45 28 30 Pernikahan Pernikahan Pernikahan Khitanan Khitanan Khitanan 6-7 26 8 5 8 9 38 39 40 41 Sukim So Bawon Solihin 45 57 34 32 Khitanan Pernikahan Khitanan Pernikahan 17 26 28 28 Februari Maret April Mei Mei Mei 2010 2010 2010 2010 2010 2010 Mei Mei Mei Mei 2010 2010 2010 2010 42 Darsam 45 Khitanan 22-23 Juni 2010 43 Sukarman 43 Khitanan 23 Juni 2010 44 WK. Encim 35 Pernikahan 45 Karso 46 Ratam 47 Cayem 35 Khitanan 40 Khitanan 35 Khitanan 28 18 19 20 September September September September 2010 2010 2010 2010 48 Ganden 49 Udin 42 Pernikahan 43 Khitanan 4 Oktober 21 November 2010 2010 50 H. Durahim 45 Pernikahan 24 November 2010 51 Warmah 31 Pernikahan 26 November 2010 52 53 54 55 56 57 60 41 31 45 35 55 Uju Djuneiji Anan Topik Caskim Ali Abdul AB Pernikahan Pernikahan Rosulan Pernikahan Pernikahan Rosulan 8-9 Agustus 27 16 16 19 28 30-31 xvi November maret Maret April Maret Maret 2010 2010 2011 2011 2011 2011 2011 Arak-arakan Sandiwara Tarling & Drama humor Organ Tunggal Karedok Organ Tunggal Karedok Marawis Wayang Kulit Arak-arakan Arak-arakan Organ Tunggal Wayang Kulit Arak-arakan Karedok Organ Tunggal Organ Tunggal Organ Tunggal Organ Tunggal Odong-Odong Odong-Odong Sintren Organ Tunggal Arak-arakan Organ Tunggal Organ Tunggal Organ Tunggal Marawis Sintren Band Karedok Jaipongan Kertamukti Tegaltangkil Kertajaya kertamukti Kertajaya Kertamukti Kertajaya Kertajaya Kertajaya Kertamukti Kertamukti Tegaltangkil Tegaltangkil Kertamukti Kertamulya Tegaltangkil Tegaltangkil Kertamulya Kertamukti Kertamukti Kertamulya Kertamulya Tegaltangkil Kertamulya Kertajaya Tegaltangkil Kertamukti Kertamukti Kertamulya Kertamulya Kertamulya Kertamulya Organ Tunggal Tegaltangkil Arak-arakan Wayang 60 A.A. Aliudin 49 Khitanan 28 April 2011 Purwa Tegaltangkil 61 Warkam 42 Khitanan 7 Mei 2011 Arak-arakan 62 Cardi 45 Pernikahan 11 mei 2011 Karedok Organ 63 Salim 36 Pernikahan 16-17 Mei 2011 Mini/Lemprak Kertamulya Organ 64 Taryono 35 Khitanan 18 Mei 2011 Tunggal Kertamukti 65 Asinah 36 Khitanan 14 April 2011 Arak-arakan Tegaltangkil 66 Atim 35 Khitanan 2 September 2011 Arak-arakan Kertajaya 67 Enung 41 Khitanan 5 September 2011 Karedok Kertajaya Organ 68 Yanto 41 Khitanan 15 September 2011 Tunggal Tegaltangkil Organ 69 Udin 35 Khitanan 21 September 2011 Tunggal kertamulya Organ 70 Dirja Atmaja 35 Pernikahan 30 September 2011 Tunggal tegaltangkil Organ 71 Aji Sapturi 45 Khitanan 1 November 2011 Tunggal tegaltangkil 72 Atim 45 Khitanan 2 November 2011 Arak-arakan Kertajaya 73 Enung 35 Khitanan 5 November 2011 Karedok kertajaya Organ 74 H. Nadil 45 Khitanan 9 mei 2012 Tunggal Kertajaya Organ 75 H. Ratim 40 Pernikahan 14 Mei 2012 Tunggal Kertamulya (*) tabel diatas hanya catatan hajatan dengan hiburan, hajatan tanpa hiburan tidak perlu meminta ijin ke desa, cukup sampai di Rw/Dusun saja. Namun demikian, menurut informasi Satgas, jumlah hajatan rame-rame lebih banyak daripada jumlah hajatan tanpa hiburan. 58 Maslani 59 Bawon 43 Khitanan 53 Khitanan 13-14 April 27 April xvii 2011 2011 Lampiran 2. Hasil Telitian (umum) 10 rumah tangga di Dusun tegaltangkil, Desa Jayamukti (tahun bervariasi, 2001 s.d 2009) No RT 1** RT 2** RT 3** RT 4** RT 5** RT 6** RT 7** RT 8** RT 9** RT 10** RT 11*** RT 12*** RT 13*** RT 14*** RT 15*** RT 16*** RT 17*** RT 18*** RT 19*** Rata-rata Beras (ltr*) 1,815 515 110 513 1,080 1,180 800 1,155 1,565 750 0 800 0 0 2,000 1,000 Uang (Rp) Rp 4,268,000 Rp 1,725,000 Rp 2,580,000 Rp 2,062,000 Rp 5,810,000 Rp 1,452,000 Rp 1,067,000 Rp 2,957,000 Rp 4,545,000 Rp 3,237,000 Rp 12,000,000 Rp 3,000,000 Rp 5,000,000 Rp 5,000,000 Rp 3,000,000 Rp 7,000,000 Total (Rp) Rp 16,973,000 Rp 5,330,000 Rp 3,350,000 Rp 5,653,000 Rp 13,370,000 Rp 9,712,000 Rp 6,667,000 Rp 11,042,000 Rp 15,500,000 Rp 8,487,000 Rp 12,000,000 Rp 8,600,000 Rp 5,000,000 Rp 5,000,000 Rp 17,000,000 Rp 14,000,000 Jumlah Penyumbang (org) 433 120 248 100 251 190 147 222 383 200 - 500 0 600 500 120 0 0 0 625 Rp 5,000,000 Rp 5,000,000 Rp 2,000,000 Rp 4,000,000 Rp 500,000 Rp 9,400,000 Rp 28,000,000 Rp 34,000,000 6,358,458 Rp 8,500,000 Rp 5,000,000 Rp 6,200,000 Rp 7,500,000 Rp 1,340,000 Rp 9,400,000 Rp 28,000,000 Rp 34,000,000 10,734,333 229 (*) asumsi harga beras adalah Rp. 7.000/liter (**) hasil mengolah buku catatan telitian (***) hasil wawancara xviii Lampiran 3. Catatan Panitia Rombol I. Simpanan ke. Rombol dari Dusun Awilarangan kepada kel. Rombol Waladin, Purwadadi Bapak Hajat* Beras Penyimpan No (RT) (ltr**) Uang Total (Rp) (org) RT 1 Eneng/Madun 15 Rp 845,000 Rp 950,000 67 RT 2 Atun/Sukana 0 Rp 645,000 Rp 645,000 57 RT 3 Eros/Dudi 0 Rp 705,000 Rp 705,000 62 RT 4 Eno/Deyot 0 Rp 705,000 Rp 705,000 60 RT 5 Uun/Japar 0 Rp 690,000 Rp 690,000 60 RT 6 Engkok/Ujang 20 Rp 735,000 Rp 875,000 66 RT 7 Elas/Oeng 35 Rp 620,000 Rp 865,000 62 RT 8 Een 120 Rp 505,000 Rp 1,345,000 54 RT 9 Nunung 100 Rp 600,000 Rp 1,300,000 67 RT 10 Rusniti/Ade 85 Rp 598,000 Rp 1,193,000 60 RT 11 Uum/Kasan 50 Rp 710,000 Rp 1,060,000 66 RT 12 Sumi/Dayat 30 Rp 750,000 Rp 960,000 68 RT 13 Dede/Ernah 35 Rp 625,000 Rp 870,000 56 RT 14 Sukeni/Walpi 10 Rp 205,000 Rp 275,000 26 RT 15 Ida/Rodi 0 Rp 500,000 Rp 500,000 51 RT 16 Uneng 0 Rp 180,000 Rp 180,000 14 RT 17 Sali/Karti 55 Rp 490,000 Rp 875,000 46 RT 18 Item/Ujud 110 Rp 415,000 Rp 1,185,000 47 RT 19 Indah/Nasir 0 Rp 140,000 Rp 140,000 10 *bapak hajat dalam tabel diatas berarti rumah tangga dari dusun Waladin **asumsi harga beras = Rp. 7000/liter (Maret 2012) xix Lampiran 4. Catatan Panitia Rombol II . Simpanan Kel. Rombol Waladin kepada Kel. Rombol Awilarangan, Pasir Muncang Beras penyumbang No Bapak Hajat *(RT) (ltr**) Uang Total (Rp) (org) RT 1 Upi/taspin 35 Rp 380,000 Rp 625,000 36 RT 2 Warsa/Dacih 35 Rp 395,000 Rp 640,000 34 RT 3 Raskim/Ade 10 Rp 365,000 Rp 435,000 32 RT 4 Karyono 5 Rp 212,000 Rp 247,000 20 RT 5 Manih Kadira 10 Rp 315,000 Rp 385,000 25 RT 6 Ehen/Eha 5 Rp 395,000 Rp 430,000 35 RT 7 Asir/Sawinah 5 Rp 360,000 Rp 395,000 31 RT 8 Asep/Rosani 0 Rp 395,000 Rp 395,000 33 RT 9 Tarum/Urtem 10 Rp 265,000 Rp 335,000 24 RT 10 H.Nanang/Hj.Atiyah 5 Rp 265,000 Rp 300,000 24 RT 11 Enin/Manah 0 Rp 287,000 Rp 287,000 28 RT 12 Pasman/Engkur 0 Rp 265,000 Rp 265,000 26 RT 13 Darma/Engkar 0 Rp 262,000 Rp 262,000 25 RT 14 jaenal/wati 5 Rp 237,000 Rp 272,000 24 RT 15 Wasim/Nyai 10 Rp 270,000 Rp 340,000 28 RT 16 Juanedi/Mimi 5 Rp 255,000 Rp 290,000 25 RT 17 Ade/Peno 0 Rp 237,000 Rp 237,000 22 RT 18 encim/Uning 23 Rp 297,000 Rp 458,000 28 RT 19 Tapsir/Dayi 5 Rp 180,000 Rp 215,000 15 RT 20 Endi/Suti 25 Rp 240,000 Rp 415,000 26 RT 21 Saryad/Isah 5 Rp 295,000 Rp 330,000 27 RT 22 Ayim/Darsinah 20 Rp 255,000 Rp 395,000 28 RT 23 Casita/Titi 45 Rp 230,000 Rp 545,000 27 RT 24 Asim/ratini 20 Rp 285,000 Rp 425,000 27 RT 25 Usman/Tapen 20 Rp 275,000 Rp 415,000 26 RT 26 Wandi/Cartem 10 Rp 375,000 Rp 445,000 30 RT 27 ita/neng 0 Rp 385,000 Rp 385,000 32 RT 28 Jagur 5 Rp 380,000 Rp 415,000 34 RT 29 Empan/Eng 5 Rp 390,000 Rp 425,000 34 RT 30 Kasum 5 Rp 360,000 Rp 395,000 31 RT 31 Ata/Narsiti 5 Rp 355,000 Rp 390,000 31 RT 32 Aep/darsini 5 Rp 365,000 Rp 400,000 32 RT 33 Boin 20 Rp 350,000 Rp 490,000 32 RT 34 Uju/Risni 20 Rp 365,000 Rp 505,000 34 RT 35 walim/esti 20 Rp 370,000 Rp 510,000 34 xx Rp 360,000 Carna/Dasih 25 Ujang/Tawi 37 Rp 410,000 Sajum/bawon 25 Rp 410,000 Sakum/Endes 20 Rp 320,000 Tarkim/Acih 15 Rp 395,000 Rakim/Iri 10 Rp 405,000 karya/encar 15 Rp 360,000 Watimin/ade 10 Rp 360,000 iwang/sapnah 5 Rp 355,000 Ukim/sawen 25 Rp 375,000 Cardam/Irot 10 Rp 335,000 Sarwa/Tisem 15 Rp 320,000 Rokib/Sumiyati 10 Rp 390,000 Manta/eras 5 Rp 385,000 Sutar/Ratmi 5 Rp 340,000 Didi/Minah 5 Rp 365,000 Pupung/yadi 5 Rp 420,000 Nosin/Yanah 5 Rp 410,000 Pandi/Ruwi 0 Rp 380,000 Herman/Nanih 0 Rp 350,000 Warta/Resih 5 Rp 150,000 Nunela 5 Rp 55,000 Rata-Rata 11 Rp 325,649 *bapak hajat berarti rumah tangga (RT) dari dusun Awilarangan **asumsi harga beras Rp. 7.000/liter RT 36 RT 37 RT 38 RT 39 RT 40 RT 41 RT 42 RT 43 RT 44 RT 45 RT 46 RT 47 RT 48 RT 49 RT 50 RT 51 RT 52 RT 53 RT 54 RT 55 RT 56 RT 57 xxi Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 535,000 669,000 585,000 460,000 500,000 475,000 465,000 430,000 390,000 550,000 405,000 425,000 460,000 420,000 375,000 400,000 455,000 445,000 380,000 350,000 185,000 90,000 406,088 33 15 33 27 32 33 28 28 27 29 27 27 27 27 28 30 29 29 29 26 12 4 27.72 Lampiran 5. Hasil Gintingan warga dusun Cimenteng (Subang Selatan) Bapak Hajat (RT) Maman Baihaqi ** Edi/Mar* Rubai/Nia* Mamah/enyi* Oman/Umas* Cecen/Tita* Darman/Oyah* Jamaludin/Amasih* Adang/Irum * Lili/Mimih* Oneng* Keram/Usmah* Adeh/Ndih* Rudi/Siti khadijah* Odit/Juju* Rubai/Sukaesih* Ramlan/Ikah* Ahmad/Kastem* Darman/Siti Rukoyah* Odang/Irum* Cashlim* RATA2/DUSUN Beras (ltr***) 2,606 500 0 130 140 2,100 1000 1000 125 600 300 0 0 0 170 400 0 500 1000 800 1000 600 400 800 2000 2400 2500 500 1000 1000 400 700 900 100 Uang Rp 28,166,000 Rp 2,000,000 Rp 2,000,000 Rp 9,000,000 Rp 500,000 Rp 7,000,000 Rp 9,000,000 Rp 1,500,000 Rp 200,000 Rp 5,000,000 Rp 4,000,000 Rp 3,000,000 Rp 8,000,000 Rp 4,000,000 Rp 800,000 Rp 6,000,000 Rp 5,000,000 Rp 8,000,000 Rp 10,000,000 Rp 800,000 Rp 1,000,000 Rp 5,000,000 Rp 3,500,000 Rp 7,000,000 Rp 15,000,000 Rp 17,000,000 Rp 20,000,000 Rp 1,000,000 Rp 2,000,000 Total Rp 46,408,000 Rp 5,500,000 Rp 2,000,000 Rp 9,910,000 Rp 1,480,000 Rp 21,700,000 Rp 16,000,000 Rp 8,500,000 Rp 1,075,000 Rp 9,200,000 Rp 6,100,000 Rp 3,000,000 Rp 8,000,000 Rp 4,000,000 Rp 1,990,000 Rp 8,800,000 Rp 5,000,000 Rp 11,500,000 Rp 17,000,000 Rp 6,400,000 Rp 8,000,000 Rp 9,200,000 Rp 6,300,000 Rp 12,600,000 Rp 29,000,000 Rp 33,800,000 Rp 37,500,000 Rp 4,500,000 Rp 9,000,000 Penyumbang (org) 1,406 - Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 9,000,000 Rp 4,800,000 Rp 7,900,000 Rp 11,300,000 Rp 2,100,000 Rp 11,134,206 - 2,000,000 2,000,000 3,000,000 5,000,000 1,400,000 5,849,000 (*) diolah dari catatan hasil wawancara (**) diolah dari buku catatan gantangan pak maman baihaqi (Lurah Cimenteng) (***) asumsi harga beras Rp. 7.000/liter xxii Lampiran 6. Peta Desa Jayamukti, Kec. Blanakan (Subang Utara) xxiii Lampiran 7. Peta Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah) xxiv Lampiran 8. Desa Cimenteng, Kec. Cijambe (Subang Selatan) xxv Gambaran Umum Pedesaan di Subang Utara Gambar 14. Gambaran Umum Subang Tengah xxvi Gambar 17. Gambaran Umum Pedesaan di Subang Selatan xxvii DOKUMENTASI FORUM KOMUNITAS DI SUBANG SELATAN (Dusun Cimenteng, Desa Cimenteng, KEC. CIJAMBE) Jumat, 9 Maret 2012 xxviii DOKUMENTASI FORUM KOMUNITAS DI SUBANG TENGAH (Dusun Awilarangan, Desa Pasirmuncang, KEC. CIKAUM) Senin, 28 Februari 2012 xxix DOKUMENTASI FORUM KOMUNITAS DI SUBANG UTARA (Dusun Tegaltangkil, Desa Jayamukti, Kecamatan. Blanakan) Rabu, 4 April 2012 xxx