pertukaran sosial di pedesaan : studi kasus

advertisement
PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN :
STUDI KASUS KOMERSIALISASI GANTANGAN DI TIGA
DESA MISKIN SUBANG
YANU ENDAR PRASETYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis Pertukaran Sosial di Pedesaan : Studi
Kasus Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang adalah karya
Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Yanu Endar Prasetyo
I 353100031
ABSTRACT
YANU ENDAR PRASETYO. Social Exchange In Rural Communities : Case
Study Of “Gantangan” Commercialization In The Three Poor Villages in
Subang West Java. Under direction of TITIK SUMARTI, NURAINI W.
PRASODJO and AKMADI ABBAS
Gantangan is a social exchange system that develops from the rural traditional
custom in Subang regency, West Java. Through this Gantangan we can see how
the general reciprocity in rural societies transformed into balanced reciprocity,
social exchange and lead to social commercialization. Gantangan that thrive in
this traditional celebration party (pesta hajatan) arena is a phenomenon that
reflects the changing values in the rural communities into individualistic and
contractual exchange. The study purpose is to analyze the transformation of the
pattern of Gantangan in three villages which have different poor sociodemographic characteristics, that is in the coastal area (North Subang),
lowlands (Central Subang) and uplands (South Subang). The results of this
study found the existence of three patterns of exchange in each community,
namely: type A (nyambungan), type B (gintingan), type C (golongan).
Commercialization rate realized in several stages, including the
commercialization on stage 1 (the commodification of traditional-celebration
party) and the commercialization on stage 2 (rent seeking).
Keywords : commercialization, gantangan, reciprocity, social exchange, rural,
subang
RINGKASAN
YANU ENDAR PRASETYO. Pertukaran Sosial di Pedesaan : Studi Kasus
Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang. Dibimbing oleh TITIK
SUMARTI, NURAINI W. PRASODJO dan AKMADI ABBAS
Gantangan adalah sistem pertukaran sosial yang terbangun dari kebiasaan atau
tradisi nyumbang di pedesaan Subang, Jawa Barat. Dari sistem pertukaran
sosial Gantangan ini kita dapat melihat bagaimana resiprositas umum di dalam
masyarakat berubah menjadi resiprositas sebanding, pertukaran sosial hingga
munculnya komersialisasi sosial. Pertukaran sosial Gantangan yang
berkembang dalam arena pesta hajatan ini adalah fenomena yang merefleksikan
perubahan nilai solidaritas dan pola relasi sosial di dalam masyarakat pedesaan
yang semakin individualistik dan kontraktual. Studi ini mencoba untuk melihat
bagaimana perubahan pola pertukaran sosial Gantangan ini di tiga desa miskin
yang memiliki perbedaan karakteristik sosio-demografis, yaitu di daerah pesisir
(Subang Utara), dataran rendah (Subang Tengah) dan daerah perbukitan
(Subang Selatan). Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
wawancara kelompok terfokus, wawancara mendalam, observasi dan
dokumentasi audio-visual.
Proses komersialisasi sosial di pedesaan yang tercermin dalam sistem
pertukaran Gantangan ini ternyata terjadi beriringan dengan perubahan nilainilai masyarakat pedesaan yang kolektif-idealistik menjadi individualmaterialistik. Perubahan ini menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat,
tidak terkecuali pada komunitas miskin di pedesaan Subang, baik di pesisir,
dataran rendah maupun perbukitan/pegunungan. Proses perubahan tersebut
dapat digambarkan melalui tipe-tipe resiprositas yang berkembang, yaitu mulai
melunturnya pemberian murni (gift) sebagai ciri gotong royong dan semakin
meningkatnya resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dalam pesta
hajatan dan pertukaran Gantangan.
Munculnya sistem pencatatan Gantangan (hutang-piutang), komodifikasi
hajatan (perubahan nilai anak, beras, dan uang) dan masuknya bandar hajatan
semakin mempertegas bahwa pesta hajatan dan Gantangan di pedesaan Subang
ini telah berubah fungsi dari sekedar raramean (seremonial) menjadi pasar
dalam sistem ekonomi lokal. Hasil dari studi ini menemukan adanya tiga pola
dalam sistem pertukaran Gantangan yang eksis secara bersamaan di masingmasing komunitas, yaitu tipe A (Non-Gantangan/Nyambungan), tipe B
(Gantangan umum/Gintingan) dan tipe C (Gantangan khusus/Golongan).
Pesta hajatan dan pertukaran Gantangan di pedesaan Subang ini tetap eksis
karena tradisi ini juga memiliki manfaat sosial (simbolik) dan ekonomi yang
cukup signifikan bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa motivasi personal
dan fungsi sosial dari pertukaran Gantangan ini antara lain : Hayang kapuji (ingin
dipuji), Hayang Kasohor (ingin terkenal), Hayang ditarima lingkungan (kontrol
sosial), Hayang katingali (ingin dilihat/kebanggaan), Loba babaturan (banyak teman),
Silih bantu (resiprositas), Raramean & Ngabring. Sedangkan fungsi ekonomi dari
Gantangan ini adalah untuk Nyimpen (nabung), Ngarep untung (leuwinhna), Itungitung Arisan, Neangan modal (mencari pinjaman modal), Ngagolangkeun simpenan
(memutar simpanan), Teu sampai potol (jangan sampai rugi) dan sebagai sumber
penghasilan tambahan.
Model teori permainan yang digunakan untuk menganalisis interaksi sosial
dalam pertukaran sosial Gantangan ini menunjukkan bagaimana kecenderungan
ekonomi tersebut, yaitu Gantangan sebagai suatu kegiatan investasi. Sehingga,
meskipun selama ini ruang ekonomi dan ruang sosial dianggap bertentangan
satu sama lain, namun rekonsilisasi keduanya justru nampak jelas secara
empiris dalam fenomena pertukaran sosial Gantangan ini. lebih dari itu, pola
pertukaran semacam ini sesungguhnya dapat diterapkan dalam tradisi-tradisi
lain (dengan beberapa konsensus tertentu yang tidak memberatkan) sebagai
senjata bagi kehidupan tradisional masyarakat pedesaan dalam menghadapi
kapitalisme modern.
Kata Kunci : komersialisasi, gantangan, resiprositas, pertukaran sosial,
pedesaan, subang
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah; untuk pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN :
STUDI KASUS KOMERSIALISASI GANTANGAN DI TIGA
DESA MISKIN SUBANG
Oleh :
YANU ENDAR PRASETYO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,
M.Sc.Agr
Judul Tesis
: Pertukaran
Sosial
di
Pedesaan
:
Studi
Kasus
Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang
Nama
: Yanu Endar Prasetyo
NIM
: I353100031
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS
Ketua
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS
M.Eng.Sc
Anggota
Dr. Ir. Akmadi Abbas,
Anggota
Diketahui :
Koordinator Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 19 September 2012
Tanggal Lulus : …………………..
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allas SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak Desember 2011 ini adalah Pertukaran Sosial
dan Kemiskinan di Pedesaan dengan judul “Pertukaran Sosial di Pedesaan Studi
Studi Kasus Komersialisasi Gantangan Tiga Desa Miskin di Kabupaten Subang
Jawa Barat”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS, Ir.
Nuraini W. Prasodjo, MS dan Dr. Ir. Akmadi Abbas M.Eng. Sc selaku
pembimbing, serta mas Hokky Situngkir dari Bandung Fe Institut yang telah
memperkaya tesis ini dengan perspektif sosiologi komputasional. Selain itu,
penulis memberikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang telah
memberikan beasiswa penuh kepada penulis, juga kepada Balai Besar
Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI Subang sebagai tempat pengabdian
penulis selama ini. Penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari Tita
Irama Susilawati dan Didi S. Sopyan yang telah membantu dalam pengumpulan
data dan juga dukungan dari seluruh aparat desa, tokoh masyarakat dan warga
di Desa Jayamukti (Kec. Blanakan), Desa Pasirmuncang (Kec. Cikaum) dan
Desa Cimenteng (Kec. Cijambe).
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2012
Yanu Endar Prasetyo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 23 Januari 1985 dari Ayah
bernama Supranta dan Ibu bernama Sudarti. Penulis merupakan anak pertama
dari dua bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Blitar dan
pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta melalui jalur PMDK. Penulis mengambil jurusan Sosiologi di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pada tahun 2006, penulis meraih predikat
juara I Mahasiswa Berprestasi FISIP UNS. Setelah lulus dari UNS tahun 2007,
penulis lulus tes penerimaan CPNS LIPI pada akhir tahun 2007. Penulis
kemudian bekerja di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna
(B2PTTG) LIPI Subang sejak tanggal 1 Januari 2008. Pada tahun 2010, penulis
lulus seleksi penerimaan Karyasiswa LIPI untuk mendapatkan beasiswa tugas
belajar dalam negeri dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT)
selama dua tahun (4 semester) di Intitut Pertanian Bogor (IPB). Penulis
mengambil mayor Sosiologi Pedesaan di Magister Sains dan Pengembangan
Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
1
1.1.1. Komersialisasi ekonomi di pedesaan Jawa
1
1.1.2. Gejala komersialisasi sosial di pedesaan Jawa
7
1.2. Rumusan masalah
15
1.3. Tujuan penelitian
17
1.4. Manfaat penelitian
17
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gantangan
18
2.2. Resiprositas
20
2.3. Pilihan Rasional, Pertukaran sosial dan Jaringan Pertukaran
2.3.1. Pilihan Rasional
22
2.3.2. Pertukaran Sosial
25
2.3.3. Jaringan Pertukaran
32
2.4. Komersialisasi sosial
38
2.5. Kemiskinan
39
2.6. Teori Permainan
41
BAB 3. METODOLOGI
3.1. Metode Penelitian Studi Kasus
44
3.2. Wawancara kelompok terfokus
45
3.3. Wawancara mendalam dan Pendekatan Informan Kunci
50
3.4. Observasi
51
3.5. Simulasi Model Permainan
52
BAB 4. LOKASI PENELITIAN
54
4.1. Subang Utara
56
4.2. Subang Tengah
58
4.3. Subang Selatan
61
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Sosio-Historis
5.1.1. Arkeologi kebudayaan masyarakat Sunda
65
5.1.2. Sistem sosial budaya masyarakat pedesaan Subang
70
5.2. Pengorganisasian Gantangan dalam Pesta Hajatan
74
5.2.1. Seremonial Hajatan
78
5.2.2. Fungsi Sosial Gantangan
88
5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan
95
5.3. Bentuk Pertukaran Sosial Gantangan di Pedesaan Subang
5.3.1. Gantangan di Subang Utara
98
5.3.2. Gantangan di Subang Tengah
108
5.3.3. Gantangan di Subang Selatan
114
5.4. Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke Pertukaran
120
Sosial
5.4.1. Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan Sosial-
121
Kontraktual
5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang
124
5.4.3. Peran Bandar dalam Pertukaran Sosial Gantangan
129
5.4.4. Komersialisasi Sosial dalam Pertukaran Sosial
131
Gantangan
5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan
5.5.1. Kelompok Non-Gantangan (Nyambungan)
134
5.5.2. Kelompok Gantangan Umum (Gintingan)
137
5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus (Golongan)
150
5.6. Permodelan Komputasional Pertukaran Sosial Gantangan
158
BAB 6. REFLEKSI TEORITIS
169
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
172
DAFTAR PUSTAKA
174
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Batas Tingkat Pengeluaran (Garis Kemiskinan) Untuk
Penduduk Perkotaan dan Penduduk Perdesaan Menurut
Kategori Kemiskinan
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 2007-2010 di
Provinsi Jawa Barat
Perbedaan penggunaan teori permainan dan analisis terkait
permainan dalam kajian sosiologi dari tahun 1950-2000
Perbandingan Pola Pendekatan dalam Wawancara
Kelompok terfokus
Halaman
39
40
42
45
5
Jadwal dan Jumlah Partisipan dalam Forum Komunitas
“Komersialisasi Gantangan” di 3 Desa
49
6
Payoff Matrix Prisoner’s Dilemma
52
7
Lokasi Penelitian dan Gambaran Umum Tradisi Sosial di 3
Desa
64
8
9
Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis
Aktor-Aktor dalam Modal Sosial Gantangan
67
76
10 Jenis dan Tarif Sewa Hiburan Untuk Hajatan di Wilayah
Blanakan (Desa Jayamukti)
80
11 Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Pada Tradisi
Telitian
101
12 Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan
118
13 Perbandingan Pola dalam Sistem Pertukaran Sosial
Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012)
119
14 Dinamika aktor dalam pertukaran sosial gantangan (contoh
kasus rumah tangga di 3 desa)
156
15 Struktur Dasar Permodelan Pra Simulasi Komputasional
160
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2
1
Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan
2
4
Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya.
Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang
terus meningkat (2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi
penyebab perceraian di Kab. Subang adalah Tidak ada
tanggung jawab dan alasan ekonomi.
Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya.
Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang
terus meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian
dan penipuan.
Perspektif dalam melihat Fenomena Gantangan
19
5
Relasi Mikro-Makro Coleman
23
6
Struktur dan Sistem Pertukaran Sosial
7
Perbandingan Jumlah Informan wawancara kelompok
terfokus di tiga desa lokasi penelitian
Rata-Rata Pengeluaran perkapita/bulan Penduduk
Kabupaten Subang tahun 2009
Komposisi Penduduk dan Etnis di Desa Jayamukti, Kec.
Blanakan, Kabupaten Subang
3
8
9
10 Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian di Desa Jayamukti
tahun 2011
11 Komposisi Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di
Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah)
12 Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian penduduk Ds.
Pasirmuncang tahun 2011
13 Komposisi Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) di
Ds. Cimenteng tahun 2010
14 Komposisi Pekerjaan Penduduk di Desa Cimenteng, Kec.
Cijambe tahun 2010
15 Perbandingan jumlah KK Total dan KK miskin di tga
kecamatan tempat lokasi penelitian tahun 2010
3
5
27-28
50
54
56
57
58
60
61
62
63
16 Gotong Royong di Pedesaan Subang
17 Hajatan dengan jamuan prasmanan yang sangat sederhana
(kiri) tetapi beras gantangan yang dikumpulkan mencapai
ratusan karung (kanan).
18 Proses dan mekanisme perijinan “rame-rame” di Kab.
Subang
19 Hiburan sisingaan untuk hajatan khitan dan jaipong untuk
pernikahan
20 Contoh undangan narik Gantangan
21 Warga yang bertugas atau ditunjuk oleh bapak hajat untuk
membagikan undangan Gantangan
22 Sesajen lengkap di Pendaringan (ruang penyimpanan)
23 Pencatatan oleh Juru Tulis Gantangan
24 Pulangan berupa kerupuk atau pisang dimasukkan kembali
oleh bapak hajat ke dalam wadah beras tamu undangan
25 Beras Hasil Gantangan
26 perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang
(2005-2009)
27 Pasar dadakan PKL diluar arena hajatan
28 Tradisi nyumbang sukarela (Kiri) dan pola Telitian di
Subang Utara (Kanan)
29 Frekuensi hajatan “rame-rame” di desa Jayamukti (Subang
Utara) yang semakin meningkat
30 Hasil Telitian
31 Tradisi Nyumbang Pola Golongan di Subang Utara
32 Pola Talitihan di Subang Tengah sama dengan pola Telitian
(Subang Utara)
33 Pola Rombol dalam pertukaran Sosial Gantangan
34 Hasil Rombol
35 Hasil Gintingan
36 Pola Gintingan di Subang Selatan sama dengan pola
Telitian (Subang Utara) dan Talitihan (Subang Tengah)
37 Buku Catatan Gantangan
38 Relasi mikro-makro dalam komersialisasi gantangan
39 Proses Transformasi Modal Sosial Gantangan
40 Aktifitas replikator dinamika populasi dengan motif
ekonomi ( ), motif sosial ( ), dan Aktor yang memilih
untuk absen/tidak mengikuti pertukaran sosial Gantangan
72
75
81
82
83
84
85
86
86
87
90
98
100
103
104
107
110
112
113
116
117
124
131
132
164
41 Keseimbangan antara dorongan ekonomi dan sosial aktor
gantangan dapat menjamin keberlanjutan pertukaran sosial
ini (The Lotka-Volterra-like phase-map of the interacting
social and economic spheres in evolutionarily harmonious
dynamics)
42 Dorongan/motif sosial yang terlalu kuat tanpa
memperhatikan kemampuan pemenuhan kebutuhan
ekonomi justru dapat merusak keberlanjutan tradisi
Gantangan
166
167
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
4
Hasil Telitian (umum) 10 rumah tangga di Dusun
tegaltangkil, Desa Jayamukti (tahun bervariasi, 2001 s.d
2009)
Catatan Panitia Rombol I. Simpanan ke. Rombol dari
Dusun Awilarangan kepada kel. Rombol Waladin,
Purwadadi
Catatan Panitia Rombol II . Simpanan Kel. Rombol
Waladin kepada Kel. Rombol Awilarangan, Pasir Muncang
Hasil Gintingan warga dusun Cimenteng (Subang Selatan)
5
Peta Desa Jayamukti, Kec. Blanakan (Subang Utara)
Xx
6
Peta Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah)
Xxi
7
Desa Cimenteng, Kec. Cijambe (Subang Selatan)
Xxii
8
Dokumentasi lainnya
Xxiii
2
3
Xvi
Xvii
Xviii
Xix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Komersialisasi Ekonomi di Pedesaan Jawa
Arus
modernisasi,
globalisasi dan bahkan
liberalisasi
ekonomi memang telah memberikan dampak nyata pada transformasi
struktur dan kultur masyarakat, khususnya di pedesaan. Meluasnya
kemiskinan, ketimpangan hingga memudarnya nilai-nilai dan ikatan
tradisional masyarakat desa adalah kondisi yang paling sering
dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut. Dengan
kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-sistem
ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan (pedesaan) juga
semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin lebar
(Tjondronegoro, 2008:167). Selain itu, hubungan sosial menjadi
bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan diri sendiri
(self fulfillment) serta determinasi manusia sebagai homo economicus
(Somantri, 2006:466). Dalam konteks memahami transformasi sosial,
institusional dan kebudayaan dalam arti luas inilah kemudian
sosiologi pedesaan berkembang.
Seberapa jauh dan dalam dampak modernisasi, globalisasi
dan liberalisasi ekonomi tersebut terhadap keterbukaan1 dan
transformasi kebudayaan masyarakat desa-tradisional merupakan
ranah penelitian yang menarik dan penting untuk dikaji. Mengingat,
1
Popkin (1986:1) menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desadesa yang terbuka (open villages), yaitu desa dengan tanggung jawab individual
terhadap pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia
luarnya, tiadanya pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian
kewargadesaan (village citizenship) dan pemilikan tanah secara pribadi.
seperti yang dikemukakan oleh Prof Sajogjo (1982), bahwasanya
untuk
memahami
sistem
ekonomi
masyarakat,
kita
harus
mempelajari budayanya dan untuk mempelajari budaya masyarakat,
haruslah memahami perilaku ekonominya. Salah satu kajian terkait
dampak sistem ekonomi pasar terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat pedesaan pernah dilakukan oleh D.H. Penny (1990),
dimana ia menyimpulkan bahwa kerawanan pangan dan kemiskinan
di pedesaan adalah akibat dari sistem ekonomi pasar (yang kini
bahkan diperkuat oleh gelombang modernisasi, globalisasi dan
liberalisasi).
Komersialisasi
Dimensi Ekonomi
1. Cara (moda) ekonomi yang
dominan
2. Peranan harga dalam alokasi
sumber daya
3. Pasar tenaga kerja
4. Persewaan tanah/lahan
5. Peminjaman dan gadai
tanah serta pemilikan yang
lainnya
6. Kemiskinan absolut dan
relatif
Dimensi Sosial Budaya
1. Frekuensi Gotong royong
2. Partisipasi dalam
acara/upacara sosial
3. Tingkat perceraian
4. Tingkat migrasi terpaksa
5. Tingkat apatisme individu
dan sosial
6. Tingkat
kejahatan/kriminalitas
Gambar 1. Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan (Peny, 1990:81-85).
Dalam kajiannya, D.H. Peny (1982) menyimpulkan bahwa
liberalisasi ekonomi telah gagal memberikan kemakmuran bagi
masyarakat petani di pedesaan Jawa. Liberalisme juga gagal
memberikan penjelasan serta petunjuk tentang langkah-langkah yang
harus diambil dalam memecahkan persoalan kemiskinan yang
membelenggu petani di pedesaan. Paham dan teori liberalisme - yang
diwujudkan
dalam
proses
komersialisasi
atau
pasarisasi
(marketization) – ini tidak cocok untuk masyarakat pedesaan di
Indonesia2. Buktinya, proses komersialisasi yang sama persis terjadi
di Barat dengan di Jawa, ternyata membawa hasil akhir yang bertolak
belakang.
Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010
Gambar 2. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya (Kiri).
Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat
(2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi penyebab perceraian di Kab. Subang
adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan ekonomi.
2
Liberalisme ekonomi yang diadopsi dan kemudian melahirkan pemiskinan dan kemiskinan
bagi petani juga diungkapkan dalam catatan Mohamad Sadly (1965) tentang “pemiskinan ilmu
ekonomi” dimana ilmu ekonomi yang diajarkan di UI mengikuti kelazimanan yang ada di
Belanda (ekonomi pemerintahan). Berbeda dengan di UI, ilmu ekonomi di UGM lebih bercorak
sosial ekonomi (ekonomi pertanian). Hal ini penting untuk dipahami, sebab jika dilacak secara
genealogi pengetahuan, di UI inilah kemudian lahir para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia
yang biasa disebut sebagai The Berkeley Mafia yaitu para murid dari Soemitro (seorang
sosialis) yang sepulang dari menempuh pendidikan di Amerika justru menjadi pembela utama
ekonomi pasar di tanah air, seperti Widjojo, Suhadi, Subroto, Emil Salim, Sumarlin dan Ali
Wardhana (Nugroho, 2010:249-254). Sementara itu, dari UGM lahir pemikir yang lebih
sosialis, seperti Mubyarto dengan ekonomi pancasila-nya yang terinspirasi pemikiran James C.
Scott. Todaro (1987) dalam Nugroho (2010:272) juga mengatakan bahwa teori ekonomi
tradisional (neoklasik dan keynesian) terbatas relevansinya untuk memahami segi-segi khusus
perekonomian di negara berkembang.
Jika masyarakat Barat mendapatkan kemakmuran melalui
proses komersialisasi, maka masyarakat di pedesaan Jawa – dan Asia
Tenggara pada umumnya - justru semakin kehilangan keterampilanketerampilan non-pertanian dan laju kemiskinan serta kemelaratan
jauh lebih cepat daripada sebelumnya (Soedjatmoko, 1980:46).
Ditandai dengan terjadi erosi bertahap dari berbagai bentuk hubungan
produksi lama dan meningkatnya dominasi buruh serabutan seiring
berkembangnya kapitalisme agraria (Pincus, 1994;38). Ditambah
dengan gejala pengasingan (alienasi), kemerosotan dalam hidup
bermasyarakat serta tidak adanya perhatian terhadap kepentingan
bersama telah melanda sebagian besar kehidupan wong cilik di
pedesaan Jawa.
Secara sosiologis, beberapa kelemahan dan dampak dari
komersialisasi telah secara nyata muncul ditengah masyarakat
pedesaan di Jawa. Sebagian pihak mungkin mengatakan fenomena
ini sebagai bentuk transisi masyarakat menuju “kemajuan”. Mereka
yang menganggap bahwa komersialisasi merupakan wujud transisi
masyarakat menuju kemajuan setidaknya memiliki lima dasar
argumentasi tentang keuntungan komersialisasi, yakni (1) mendorong
peningkatan produksi, kesejahteraan jasmani, bertambahnya pilihan
jenis pekerjaan, teman hidup dan paham-paham politik (2)
memungkinkan suatu bangsa melakukan spesialisasi (keuntungan
komparatif) (3) meningkatkan mobilitas bangsa-bangsa, terobosanterobosan baru yang berani di bidang intelektual (4) orang menjadi
lebih rasional dalam tindakan dan perilaku ekonomi, politik, dan
sosial lainnya serta (5) perbaikan komunikasi dan berkurangnya
kepercayaan kepada takhayul (Peny dalam Sajogyo, 1982:167-168).
Namun di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa
komersialisasi
merupakan
penyebab
“kemunduran”.
Sebab,
komersialisasi dianggap telah melahirkan ketidakseimbangan antara
“kekayaan
merosotnya
memperoleh
untuk
diri
“perasaan
teman,
sendiri”
dan
bermasyarakat”,
polusi,
kerusakan
“kesejahteraan
lunturnya
lingkungan
umum”,
kemampuan
dan
lain
sebagainya. Selain itu, kebanyakan rumah di kota maupun desa di
jawa kini berjeruji besi dan berpagar tinggi karena banyaknya
pencurian dan kriminalitas lainnya, ijon kerja diganti dengan upah,
upacara-upacara adat menjadi tidak lagi dihargai, ada beberapa petani
yang menjadi lebih kaya dan berkuasa daripada sebagian besar petani
lain di kampungnya, meningkatnya kebiasaan berhutang dalam
masyarakat, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, desa-desa yang
dulunya makmur dan aman dengan lumbung-lumbung pangan
mereka, kini bahkan tidak mampu lagi untuk berswasembada.
Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010:115
Gambar 3. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya.
Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus
meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan.
Meskipun demikian drastis perubahan sosial di pedesaan,
namun masyarakat desa terkadang memiliki cara penyelesaian dan
adaptasi terhadap perubahan yang unik. Sebagai contoh, ketika
involusi pertanian terjadi di pedesaan - sebagai akibat dari tekanan
penduduk dan sumber daya yang semakin menurun - maka struktur
sosial di pedesaan Jawa tidak lantas terpolarisasi3, melainkan
cenderung tetap berusaha untuk menjaga homogenisasi sosial dan
ekonomi diantara mereka. Dalam istilah Geertz (1983:102) fenomena
ini disebut sebagai “berbagi kemiskinan” atau “kemiskinan yang
dibagi rata” (shared poverty). Dalam konteks “memiskinkan
bersama” ini, masyarakat desa membagi-bagi rezeki yang mereka
punya bersama-sama, hingga lama-kelamaan makin sedikit bagian
yang diterima oleh setiap orang atau rumah tangga. Pola inilah yang
barangkali juga menular pada hubungan-hubungan sosial lainnya,
dimana aturan-aturan (rules) dalam masyarakat juga turut berubah
sedemikian hingga mengikuti semangat berbagi kemiskinan. Lebihlebih dengan makin kencangnya arus globalisasi-modernisasiliberalisasi ekonomi seperti saat
ini,
maka tidak
menutup
kemungkinan pola-pola berbagi kemiskinan ini telah berkembang,
bermutasi
dan
bahkan
menghilang
mengikuti
semangat
individualisme dan komersialisme yang menjadi ruh masyarakat hari
ini.
3
Meskipun mekanisasi atau modernisasi teknologi pertanian berlangsung, struktur
masyarakat di pedesaan Jawa tidak lantas juga terpolarisasi, melainkan yang terjadi
adalah masih dalam taraf stratifikasi. Hal inilah yang ditemukan dalam kajian
Hayami & Kikuchi (1981). Memang diakui kecenderungaan perubahan ke arah
polarisasi dapat saja terjadi, namun selama interaksi sosial dalam komunitas petani
yang diikat oleh prinsip moral tradisional bisa dijaga dan dipertahankan tentu saja
akan menghambat adanya polarisasi. Masalahnya adalah seberapa kuat dan
seberapa lama nilai moral tersebut mengikat dan dapat menghambat sifat
“personal/individualistik” dan menjaga dari pasar bebas (marketisasi)? Jika institusi
atau kelembagaan sosial gagal menjaga ikatan solidaritas antar anggotanya, maka
yang terjadi di pedesaan tidak hanya stratifikasi atau polarisasi akibat masuknya
teknologi saja, melainkan juga akan mengarah pada individualisme yang meluas
dan berakibat pada memudarnya ikatan tradisional komunitas, khususnya yang
selama ini bersifat altruistik, seperti gotong royong dan adat-istiadat.
1.1.2. Gejala Komersialisasi Sosial di Pedesaan Jawa
Kondisi pedesaan - di Pulau Jawa khususnya – yang timpang
secara struktural, baik dari segi kepemilikan, penguasaan, pendapatan
hingga distribusi sumber daya, ternyata juga diiringi dengan
perubahan sikap dan perilaku warganya yang semakin berwatak
“modern” yang ditandai dengan sikap komersil4, individualistik,
rasional, dan berorientasi material5. Pandangan kita tentang
masyarakat desa yang guyub, memiliki rasa solidaritas tinggi, gotong
royong, egaliter dan berorientasi nilai (ideal) hampir-hampir musnah
akibat terpaan modernisasi, globalisasi dan liberalisasi pasar ini.
Salah satu indikasi paling mencolok dari berubahnya pola relasi dan
mindset warga desa adalah makin terpinggirkannya tradisi-tradisi dan
ritual-ritual tertentu yang menjadi warisan nenek moyang mereka
secara turun menurun. Sebagian tradisi itu hilang, namun ada juga
yang masih bertahan, seperti misalnya tradisi nyumbang yang dapat
ditemui di hampir setiap etnis dan wilayah di Nusantara. Tradisi
nyumbang ini memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya
dapat bertahan meski ditempa oleh arus modernisasi yang demikian
kencang.
Beberapa alasan yang menyebabkan tradisi nyumbang ini
tetap eksis ditengah masyarakat adalah, pertama, tradisi ini
merepresentasikan sifat dan kepribadian asli orang Indonesia yang
terbiasa hidup secara komunal (extended family) dan oleh karena itu
bersifat suka menolong. Kedua, tradisi ini sangat terkait dengan
4
Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas,
maka golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung
individualistik (Peny, 1990:xvviii).
5
Yuniarto, 2009:197
pranata sosial lainnya seperti perkawinan, yang merupakan institusi
yang sangat dihargai di dalam kehidupan sosial. Ketiga, tradisi ini
disadari oleh setiap anggota masyarakat bersifat timbal balik
(resiprokal), sehingga orang tidak ragu melakukannya karena pada
suatu saat ia juga akan mendapatkan balasan pertolongan serupa dari
anggota masyarakat lainnya. Menariknya adalah, bagaimana tradisi
nyumbang ini beradaptasi dengan arus perubahan yang melanda desa
tersebut? Bagaimana orang desa menilai tradisi nyumbang ini
ditengah kondisi kehidupan (living condition) yang menurut para ahli
dikonstruksikan sebagai kondisi kemiskinan dan disharmonisasi
sosial pedesaan? Sebelum sampai kesana, barangkali dapat kita
simak sebagian contoh atau bentuk tradisi sosial (nyumbang) yang
ada di Pulau Jawa, antara lain :
Jagong : Tradisi Nyumbang di Jawa Tengah
Tradisi mendatangani undangan pernikahan di Jawa Tengah
biasa disebut Jagong. Masyarakat yang mengadakan upacara
pernikahan atau resepsi biasanya mengundang kerabat, tetangga, dan
teman-temannya. Orang-orang berdatangan ke acara resepsi dengan
membawa amplop berisi uang sumbangan maupun membawa kado.
Namun, pada beberapa acara pernikahan ada peraturan untuk tidak
menyumbang berupa barang ataupun karangan bunga. Ketentuan
tersebut dicantumkan dalam undangan, biasanya digambarkan
dengan gambar “kendi” atau “celengan” yang biasa digunakan untuk
menyimpan uang. Jika dalam undangan tertera gambar tersebut,
masyarakat
sudah
paham
bahwa
yang
mempunyai
hajat
menginginkan sumbangannya berupa uang. Besarnya sumbangan
juga disesuaikan dengan mewah atau tidaknya acara, jadi jumlah
sumbangan yang harus diberikan akan berbeda ketika acara tersebut
diselenggarakan di rumah atau di gedung pertemuan. Pada
masyarakat pedesaan, banyak yang masih memberikan bahan
makanan seperti beras, telur, gula, teh, sayuran, buah-buahan dan
sebagainya. Akan tetapi saat ini untuk kepentingan praktis,
masyarakat pedesaan pun mulai memilih nyumbang dalam bentuk
uang. Hanya anggota keluarga saja yang biasanya nyumbang dalam
bentuk bahan makanan. Jika yang mempunyai hajatan tersebut masih
ada hubungan saudara, maka jumlah sumbangan yang diberikan pun
semakin besar. Belakangan, di beberapa daerah muncul gejala
“standarisasi” jumlah sumbangan yang berupa uang.
De’-Nyande’ : Tradisi Nyumbang di Madura
Tidak jauh berbeda dengan tradisi nyumbang di Jawa Tengah,
pada umumnya,
masyarakat
Madura
juga
mengenal tradisi
nyumbang. Yang membedakan adalah, ketika mengisi buku tamu,
para tamu undangan juga dicatat jumlah sumbangannya dan
disebutkan namanya melalui pengeras suara beserta jumlah
sumbangannya. Sehingga para tamu undangan mengetahui besar
sumbangan dari masing-masing tamu. Kemudian catatan tersebut
akan disimpan orang yang mempunyai hajatan dan dipakai acuan
untuk mengembalikan sumbangan dengan jumlah yang sama dengan
yang diterimanya.
Mbecek : Tradisi Nyumbang di Jawa Timur
Tradisi mbecek atau buwuh sering kali diartikan sebagai
pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak
yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk
sumbangannya dapat berupa barang (beras, gula, kentang, mie, roti,
pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya) yang bisanya akan
dibawa oleh kaum perempuan disamping uang, Sedangkan untuk
laki-laki sumbangan tersebut biasanya berupa uang saja. Tradisi
mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang
memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu
keluarga yang menggelar hajatan (saudara dan tetangga) dan ada
yang berperan sebagai penyumbang (tetangga, saudara, sahabat,
teman dan kenalan). Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan
yang ada di desa seringkali aktivitas mbecek ini merupakan kebiasaan
yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat
yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena
keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya
keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari
usaha yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan tradisi hajatan
pada umumnya, tradisi mbecek bisa berlangsung beberapa hari. Dari
mulai persiapan (rewang), ketika berlangsungnya acara, hingga
selesainya acara. Selama itulah anggota masyarakat akan membantu.
Tradisi ini melibatkan semua orang dewasa, sehingga waktu yang
sedianya digunakan untuk bekerja terkuras untuk tradisi mbecek atau
buwuh ini.
Gantangan : Tradisi Nyumbang di Subang-Jawa Barat
Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Telitian”,
atau “Talitihan” adalah salah satu contoh kebiasaan yang
berkembang di Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Sistem hajat6
gantangan seperti ini dijalankan dengan kuat di Subang wilayah
6
Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti
perhitungan kalender/bulan “baik” dan “tidak baik/dilarang” untuk melakukan hajatan.
Bulan yang dijauhi untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid (2),
Muharram/Sura(4), dan Sapar (5). Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal (1),
Raya Agung (3), maulud (6), Silih Mulud (7), Jumadil Awal (8), Jumadil Akhir (9),
Rajab (10), Ruwah (11), dan Puasa (12).
tengah dan utara yang juga dikenal sebagai salah satu daerah
lumbung padi nasional. Nuansa pertukaran ekonomi dalam tradisi ini
terasa sangat kuat. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan
menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun
jauh, teman kerja, atau para tamu undangan bisa “menyimpan” beras
atau uang dalam jumlah tertentu. Sejumlah uang atau beras yang
diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang sifatnya
“pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat. Jika kelak
si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang serupa, maka
si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan sumbangan itu
dengan nilai yang sama (Prasetyo, 2010).
Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras (5
gantang) dan uang Rp. 200.000,- kepada tuan B yang sedang hajatan
menikahkan anaknya, maka ketika tuan B membuat hajatan untuk
mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik kembali beras dan
uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan nilai yang sama
ditambah dengan sejumlah simpanan yang ingin diinvestasikan oleh
tuan A. Sedangkan tuan A, mau tidak mau, punya tidak punya, harus
mengembalikan beras dan uang tuan B, bagaimanapun caranya.
Padahal, bisa jadi harga beras sudah naik beberapa kali lipat dari saat
menerimanya dulu. Akibat sistem “tabungan” seperti ini, maka orang
yang memiliki uang atau modal, berbondong-bondong untuk
menyimpan uang atau beras dalam jumlah yang besar. Dengan
harapan, kelak ketika dia hajat, dia akan memanen semua
“tabungannya” tadi.
Menurut kesimpulan dari hasil penelitian Ari Prasetiyo
(2003), tradisi nyumbang yang menunjukkan nilai-nilai solidaritas
dan gotong royong ini, ternyata belakangan sistem timbal baliknya
(resiprositi) semakin dirasa memberatkan oleh sebagian rumah
tangga atau anggota masyarakatnya. Namun mereka juga tidak dapat
serta merta meninggalkannya karena kontrol sosial yang masih kuat
berupa gunjingan dan juga karena faktor status, gengsi atau martabat.
Tradisi nyumbang
diatas,
menurut
Wolf,
sebenarnya
dapat
dikategorikan sebagai “biaya sosial” yang harus ditanggung oleh
rumah tangga di pedesaan atau disebut juga sebagai dana seremonial
(ceremonial fund) (Wolf, 1966:10). Beragam bentuk dan pola tradisi
nyumbang di atas menunjukkan ada banyaknya variasi tata cara
dalam tradisi nyumbang, tergantung pada kebiasaan dan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakatnya. Akan tetapi, semua tradisi sosial
diatas menunjukkan gejala perubahan ke arah yang hampir sama,
yaitu komersialisasi. Sebagai contoh dari gejala komersialisasi tradisi
nyumbang ini ada pada pola dan sifat-sifat dalam tradisi gantangan
di pedesaan Subang, Jawa Barat, antara lain :
a. Tidak Sukarela (Sumbangan = hutang). Sumbangan tidak
dianggap sebagai bantuan sukarela, melainkan dimaknai sebagai
hutang bagi penerima dan simpanan bagi si penyumbang.
b. Terbuka, siapapun boleh masuk dalam sistem gantangan ini
meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Namun jika
sudah masuk ke dalam sistem gantangan, maka seseorang tidak
dapat keluar sebelum semua hutang-hutangnya terlunasi.
c. Mengikat, karena tercatat hitam di atas putih. Baik penyumbang
maupun yang disumbang memegang catatannya masing-masing
dan diharapkan setiap orang memiliki komitmen yang kuat dan
kejujuran untuk saling menyimpan dan mengembalikan.
d. Memaksa,
ada
kewajiban
untuk
membalas/mengembalikan
sumbangan jika tiba pada waktunya. Seandainya tidak datang,
maka pemilik hajat akan mendatangi langsung untuk menarik
semua simpanannya.
e. Akumulatif, jumlah sumbangan terus bertambah dan pada kasus
tertentu dikenakan bunga dalam pengembaliannya (hutang yang
belum terlunasi, khususnya kepada Bandar)
f. Turun-menurun,
karena
hutang
gantangan
tersebut
dapat
diwariskan/dialihkan pada anak, istri, atau keluarga lainnya
(misalnya ketika yang bersangkutan meninggal dunia atau menjadi
TKI/TKW di luar negeri)
g. In-elastis terhadap naik turunnya pendapatan rumah tangga. Tidak
peduli sedang susah ataupun banyak rejeki, sedang panen atau
gagal panen,
jumlah
hutang dan simpanan tidak dapat
dikurangi/disesuaikan dengan pendapatan saat itu.
h. Negosiatif, dalam beberapa kasus terjadi tawar menawar besarnya
sumbangan antara tuan rumah/pemilik hajat dengan penyumbang.
Biasanya pemilik hajat akan melihat kemampuan dia dalam
membayar
kembali
setelah
hajat
selesai.
Sebab,
jumlah
sumbangan yang terlalu besar jika diterima begitu saja dapat
menjadi hutang yang menakutkan dan merugikan di kemudian
hari.
i. Sistem Bandar, bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki
modal untuk menyelenggarakan hajat, maka selain berharap
sumbangan dari tetangga, ia juga dapat meminjam (berhutang)
kepada Bandar (beras, daging, telur, gula, dan sebagainya).
Kemudian setelah hajatan usai, ia akan membayarnya kembali
dengan harga atau jumlah yang telah disepakati sebelumnya.
Dalam kondisi dan relasi seperti yang digambarkan diatas,
tindakan sosial dapat dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomi
(Damsar, 2006:13). Sebagaimana teori pertukaran yang dikemukakan
oleh George C. Homans, bahwa suatu tindakan adalah rasional
berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dengan kata lain, interaksi
sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Meskipun, tidak semua
pertukaran sosial dapat diukur dengan uang (Poloma, 2004:52).
Manusia, dalam interaksi sosial senantiasa dihadapkan pada pilihanpilihan yang mencerminkan cost dan reward yang membuat manusia
selalu mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio).
Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi
kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai kemiskinan
ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana masyarakat desa
yang “dipandang miskin” itu justru memelihara tradisi yang nampak
“mahal” tersebut? Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit,
bagaimana harus menolong dan berbagi dengan orang lain? Apakah
tesis dan proposisi yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa
“orang makin miskin makin bersikap komersil dan individualistik”
menjadi tidak berlaku? Atau justru tesis tersebut benar adanya,
mengingat pola tradisi nyumbang ini telah berubah sedemikian rupa
menjadi
medan
akumulasi
keuntungan
sebagian
anggota
masyarakatnya? Atau sejarah dan kultur masyarakat tertentulah yang
membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah dan derajat
komersialisasi yang berbeda-beda?
1.2. Rumusan Masalah
Serupa dengan tradisi nyumbang di tempat lain, pada mulanya
modal sosial Gantangan ini merupakan bentuk bantuan sosial untuk
meringankan beban orang-orang yang masih dalam kelompok primer
(ikatan keluarga dan tetangga dekat). Biasanya diberikan ketika si
penerima akan menjalankan hajatan, ketika dalam kesulitan atau
seremonial tradisi lainnya. Namun lambat laut, tradisi gantangan ini makin
meluas hingga melibatkan keluarga besar7 dan mereka yang berada di luar
kelompok primer (non-family) dan bahkan melintas batas desa. Orientasi
tradisi ini pun bergeser menjadi semakin bersifat ekonomi daripada sebagai
sebuah kebiasaan tolong-menolong biasa. Dari sisi budaya, jika dahulu
Gantangan adalah sebuah kebiasaan (folkways), maka kini ia telah menjadi
adat istiadat (custom) dengan beragam peran (roles), aturan (rules),
prosedur (procedures), dan sanksi (sanction) yang melingkupinya.
Perubahan ini juga membawa konsekuensi pada munculnya berbagai gejala
perilaku yang berbeda dari tujuan “sosial” 8 dari tradisi ini semula. Gejala
ini ditandai oleh resiprositas yang bersifat makin mengikat, memaksa,
formal (tercatat hitam di atas putih) serta dalam kondisi tertentu cenderung
memberatkan dan merugikan.
Namun yang lebih menarik dari itu adalah bagaimana persoalan
tradisi ini ketika dikaitkan dengan konsep kemiskinan di pedesaan. Sebab,
7
Enam ciri dan fungsi potensial dari keluarga besar antara lain (1) tinggal bersama (2)
rumah tangga bersama (3) produksi bersama (4) pembagiaan alat-alat produksi (5)
penopang solidaritas dan jaminan sosial (6) wewenang membuat keputusan ekonomi
yang sangat penting (Planck, 1990:32-33)
8
Kata “sosial” adalah salah satu kata sifat yang paling luas digunakan dalam bahasa
Inggris. Ini terkait dengan kata benda “masyarakat” yang berasal dari bahasa Latin
“socius” yang berarti “teman atau kawan”. Hal ini mengindikasikan bahwa apa itu
“sosial” aslinya diturunkan dari fenomena “pertemanan”, yang menyiratkan makna
kerjasama, solidaritas, saling respek/menghargai, dan kepekaan terhadap kepentingan
umum (Uphoff, 2000:222)
subjek atau pelaku-pelaku dalam tradisi gantangan ini notabene adalah
rumah tangga di pedesaan yang seringkali didefinisikan “miskin”, baik
oleh institusi negara maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi internasional. Bahkan dalam banyak kajian di perguruan tinggi
juga ditemukan kecenderungan fakta bahwa kehidupan rumah tangga di
pedesaan ini semakin sulit dan menderita. Bagi penulis, fenomena
gantangan yang semakin komersil di satu sisi, dengan fakta-fakta objektif
tentang kemiskinan di sisi lain adalah gejala yang menarik untuk dicari
kaitan atau benang merahnya.
Apakah fenomena tersebut sebenarnya mengindikasikan fenomena
terkikisnya solidaritas sosial yang telah tertanam dan mengakar di dalam
masyarakat selama bertahun-tahun? Jika ini benar, maka wacana tentang
kehancuran institusi-institusi di pedesaan itu semakin benar adanya. Atau
jangan-jangan letak permasalahan utamanya adalah pada konstruksi sosial
kita tentang kemiskinan itulah yang berbeda dengan konstruksi masyarakat
(perspektif emik)? Ibarat peribahasa “what we measures, affect what we
do”. Oleh karena itu, setelah memperhatikan berbagai permasalah diatas,
maka penelitian ini hadir untuk menjawab beberapa pertanyaan utama
sebagai berikut:
a) Bagaimana bentuk dan pola (relasi antar aktor) dalam sistem pertukaran
sosial gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda ?
b) Bagaimana transformasi pola hubungan dalam sistem pertukaran sosial
gantangan tersebut berlangsung (komersialisasi sosial) ?
c) Bagaimana model strategi dan pengambilan keputusan para aktor dan
kelompok dalam pertukaran sosial gantangan ini?
1.3. Tujuan Penelitian
a) Menganalisis bentuk-bentuk pertukaran sosial gantangan di tiga tipe
agroekologi desa miskin yang berbeda
b) Menjelaskan sejarah dan proses komersialisasi sosial Gantangan di
pedesaan Subang
c) Membuat suatu model strategi dan pengambilan keputusan para aktor
dan kelompok dalam pertukaran sosial gantangan melalui pendekatan
analisi teori permainan evolusioner
1.4. Manfaat Penelitian
Studi tentang pertukaran sosial gantangan di tiga desa miskin di
pedesaan Subang ini akan dapat memberikan penjelasan historis maupun
sosiologis terkait peran dan keberadaan modal sosial terkini yang masih
tersisa di tengah masyarakat pedesaan, khususnya di Kabupaten Subang.
Dengan diperolehnya gambaran serta penjelasan tersebut, maka dapat
dibuat suatu model jaminan sosial informal berbasis modal sosial
gantangan yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat di pedesaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gantangan
Gantangan berasal kata dari “gantang”, yaitu satuan ukur dengan
nilai 1 gantang = 10 liter beras. Artinya, gantangan adalah pertukaran
beas (beras) dan artos (uang) yang dilakukan antar tetangga/kenalan
kepada bapak hajat (penyelenggara hajatan) sebelum atau ketika pesta
hajatan berlangsung dan jumlahnya dicatat dalam buku catatan oleh juru
tulis pencatat Gantangan. Beas dan artos tersebut akan menjadi simpanan
bagi tamu undangan/penyumbang dan menjadi hutang yang kelak harus
dibayarkan oleh bapak hajat.
Gantangan dapat dilihat sebagai suatu kelompok sosial (social
group) karena didalamnya terdapat “two or more individuals who are
connected by and within social relationships”. Kelompok sosial
gantangan ini juga memiliki struktur (the underlying pattern of roles,
norms,
and
relations
among
members
that
organizes
group),
kesalingtergantungan (the state of being dependent to some degree on
other people, as when one’s outcomes, actions, thoughts, feelings, and
experiences are determined in whole or in part by others) dan kohesivitas
kelompok (the strength of the bonds linking individuals to and in group)
(Forshyth, 2010:2-10)
Gantangan dapat pula dilihat sebagai kebiasaan (folkways) yang
berubah menjadi adat istiadat (custom) karena di dalamnya terkandung
beragam peran (roles), aturan (rules), prosedur (procedures), dan sanksi
(sanction) yang membangunnya. Segenap perangkat itulah yang
membentuk keteraturan dalam sistem sosial masyarakat pedesaan
sehingga pola pertukaran tersebut dapat terus dilakukan berulang-ulang.
Gantangan juga dapat dilihat sebagai sebuah sistem arisan, karena
gantangan ini memiliki pola yang mirip dengan arisan, dimana setiap
anggota yang terlibat di dalamnya pada waktu tertentu mendapatkan
giliran untuk mendapatkan akumulasi simpanan (narik) dari seluruh
anggota lainnya, tentu saja setelah dia juga secara rutin menyimpan
kepada rumah tangga lainnya.
Perspektif
Kelompok Sosial
Kebiasaan & Adat Istiadat
Arisan
Gantangan
Jaminan Sosial Informal
Resiprositas
Pertukaran Sosial
Modal Sosial
Gambar 4. Perspektif dalam melihat Fenomena Gantangan
Gantangan juga dapat dianggap sebagai sebuah sistem jaminan
sosial informal berbasis komunitas. Sebab, melalui gantangan yang bisa
digelar sewaktu-waktu ini, rumah tangga di pedesaan dapat memenuhi
kebutuhan mendesaknya melalui bantuan (pinjaman atau hutang) kepada
saudara dan tetangga di desanya. Tentu saja tanpa persyaratan atau
jaminan tertentu, kecuali janji dan kepercayaan antar sesama anggota
masyarakat itu sendiri. Gantangan juga dapat dilihat sebagai sebuah pola
resiprositas atau hubungan timbal balik, dimana setiap rumah tangga
saling memberi (menyimpan) dan menerima (narik) dalam jumlah dan
waktu pengembalian yang tidak tentu, tetapi pasti. Gantangan ini juga
dapat dilihat sebagai sebuah pola pertukaran sosial, dimana setiap anggota
gantangan ini telah mempertimbangkan secara rasional aspek biaya dan
manfaat dari keterlibatannya. Setiap rumah tangga berupaya untuk
mendapatkan keuntungan (sunda : aya leuwihna, indonesia : ada
lebihnya) melalui sistem gantangan ini. Selain itu, gantangan ini juga
merupakan bentuk modal sosial lokal, dimana pola jaringan (network),
norma (norms) dan kepercayaan (trust) telah terbangun dengan mapan
untuk mewadahi tujuan-tujuan individual maupun kolektif masyarakat di
pedesaan Subang.
2.2. Resiprositas
Resiprositas merupakan transaksi antara dua kelompok, dimana
barang dan jasa yang memiliki nilai setara dipertukarkan. Hal ini mencakup
pula pemberian hadiah. Motif dalam pertukaran adalah untuk memenuhi
kewajiban sosial dan mungkin untuk memperoleh semacam prestise dalam
proses tersebut. Bronislaw Malinowski (1884-1942) pada tahun 1922
melakukan sebuah studi tentang kegiatan ekonomi suku asli kepulauan
Papua Melanesia. Dari hasil studinya, selain menekankan pentingnya peran
kekeluargaan dan kepala suku dalam sistem produksi dan pertukaran, ia
juga mengidentifikasi adanya berbagai bentuk pemberian murni (suami
kepada istri, orang tua kepada anak). Selain itu, ada juga pertukaran
barang-barang untuk hal non-ekonomis, seperti hak (privileges) dan gelar.
Beberapa tahun kemudian, Marcell Mauss (1872-1950) menulis sebuah
buku berjudul “The Gift” (pemberian hadiah) yang mengungkapkan adanya
kewajiban-kewajiban yang mengikat kepada si pemberi untuk memberi, si
penerima untuk menerima dan si penerima untuk membalas (reciprocate)
dengan waktu dan jumlah pengembalian yang terbuka untuk berbagai
kemungkinan (Smelser, 1990:33-35).
Sementara itu, Karl Polanyi (1886-1964) mengatakan bahwa
resiprositas merupakan salah satu dari ciri yang melekat dalam masyarakat
pra-industri disamping redistribusi rumah tangga. Resiprositas itu sendiri
menurutnya merupakan gerakan di antara kelompok-kelompok simetris
yang saling berhubungan dan hal ini dapat terjadi jikalau hubungan timbal
balik antar individu itu sering dilakukan (Damsar, 2006:24). Dari berbagai
literatur yang ada, maka kita dapat klasifikasikan beberapa bentuk dari
resiprositas, antara lain:
2.2.1 Resiprositas umum (generalized reciprocity)
Suatu model pertukaran dimana nilai pemberian (hadiah)
maupun waktu pembayaran kembali tidak dikalkulasikan secara
spesifik. Misalnya, praktek pendistribusian makanan. Umumnya
resiprositas umum berlangsung antar kerabat dekat atau antar orang
yang memiliki ikatan sangat erat
2.2.2 Resiprositas seimbang (balanced reciprocity)
Suatu model pertukaran dimana si pemberi maupun si
penerima memiliki kekhususan dalam nilai barang dan waktu
pemberiannya. Misalnya, arisan. Pemberian, penerimaan, dan
berbagi bersama digambarkan membangun suatu bentuk jaminan
sosial atau asuransi sosial. Mekanisme bertingkat juga bekerja
dalam proses resiprositas umum maupun seimbang
2.2.3 Resiprositas negatif (negative reciprocity)
Suatu bentuk pertukaran dimana si pemberi mencoba
mendapat lebih baik dari pertukaran tersebut. Kelompok yang
terlibat memiliki kepentingan berbeda, dan tidak berhubungan
dekat. Bentuk ekstrim dari resiprositas negatif adalah mengambil
sesuatu dengan kekerasan atau paksaan
Dalam konteks pedesaan, norma-norma dan prosedur-prosedur yang
berlaku di sebuah desa tidak lain merupakan pencerminan dari masalahmasalah berat yang dihadapi oleh petani. Pada titik inilah etika subsistensi
menemukan ekspresi sosialnya dalam bentuk pola-pola kontrol sosial dan
resiprositas yang memberi struktur pada tindak-tanduk sehari-hari. Dalam
desa pra-kapitalis, lembaga-lembaga yang dikuasai para petani diorganisir
untuk memberi jaminan kepada yang lemah dari kejatuhan dengan
memberikan tuntutan-tuntutan tertentu kepada petani yang lebih kaya. Jadi,
dalam hubungan petani dengan sesama warga desanya, titik perhatiannya
adalah keterikatannya pada norma dan peran mereka (Popkin, 1986:8-9).
2.3. Pilihan Rasional, Pertukaran Sosial dan Jaringan Pertukaran
2.3.1. Pilihan Rasional
Seperti kita tahu, banyak dari para peletak dasar teori
sosiologi klasik menempatkan evolusi masyarakat sebagai titik tolak
bangunan teoritisnya, misalnya Comte yang melihat evolusi
masyarakat dari sisi tahap-tahap perkembangan intelektual, Sorokin
melihatnya dari mentalitas budaya, Marx dari konflik kelas,
Durkheim dengan konsep solidaritas sosial, dan Weber dengan
perkembangan rasionalitasnya (Johnson, 1986:207). Dalam konteks
tersebut, Teori Pilihan Rasional merupakan perkembangan lebih
lanjut dari teori tentang perkembangan rasionalitas manusia. Teori ini
adalah salah satu cabang sosiologi yang paling banyak dipengaruhi
oleh ilmu ekonomi. Meskipun demikian, teori pilihan rasional dalam
sosiologi berbeda dengan yang diterapkan dalam ilmu ekonomi.
Sosiologi dalam teori pilihan rasional ini mengasumsikan
bahwa aktor bertindak secara rasional dalam arti yang luas. Tidak
seperti teori-teori sosiologi lainnya yang menganggap bahwa
tindakan individu dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab yang
ada di belakangnya, teori pilihan rasional menganggap aktor sebagai
pembuat keputusan yang memiliki kesadaran penuh dan secara
signifikan dipengaruhi oleh nilai biaya dan manfaat dari berbagai
tindakan alternatif lainnya (Hedstrom & Steren, 2007:2). Sebagian
besar teori pilihan rasional tidak hanya menjelaskan tindakan
individu tunggal, tetapi juga berfokus pada penjelasan makro tentang
kemunculan sebuah norma, pola-pola kelembagaan dan beragam
bentuk tindakan kolektif. Oleh karenanya, teori ini berfokus pada
berbagai tindakan dan interaksi yang membentuk institusi sosial
tersebut (Hechter & Kanazawa, 1997:2009).
A
Makro :
D
B
Mikro :
C
Contoh :
Kapitalisme
Doktrin religius protestan
Nilai-nilai ekonomi
Perilaku
Gambar 5. Relasi Mikro-Makro Coleman (1986) dalam Hedtsrom & Stern
(2007:9, Coleman (2010:11)
Dalam teori pilihan rasional, kita harus lebih menekankan
perhatian pada hubungan antara makro-mikro. Kita harus berfokus
pada bagaimana jaringan, norma-norma sosial, proses sosialisasi, dan
lain
sebagainya
mempengaruhi
orientasi
tindakan
individu
(kepercayaan, preferensi, dan lain sebagainya) (A  B). Kemudian,
bagaimana orientasi tindakan tersebut mempengaruhi individu dalam
bertindak (B  C). Dari tindakan-tindakan individu itulah kemudian
kita dapat menerangkan tentang fenomena sosial sebagai hasil
interaksi sosial makro-mikro tersebut (CD). Berbeda dengan ilmu
ekonomi yang cenderung matematis, pendekatan dalam sosiologi
bersifat induktif dan empiris.
Selain itu, sebagaimana pemahaman Weber tentang tindakan
rasional, menurutnya tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai
manifestasi
dari
rasionalitas.
Emosi-emosi
tertentu
seperti
kemarahan, penderitaan, cinta, ketakutan dan lain sebagainya
seringkali diungkapkan individu dalam bentuk perilaku yang sepintas
lalu terlihat tidak rasional. Tetapi orang pasti dapat mengerti
(verstehen) perilaku itu kalau dia tahu emosi mendasar yang sedang
diungkapkannya.
Dengan
demikian,
tindakan
rasional
itu
berhubungan dengan pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan
itu dinyatakan/diwujudkan (Johnson, 1980:220).
Namun demikian, rasionalitas itu sendiri secara metodologi
dapat didekati melalui dua pendekatan, yaitu : pendekatan
individualistik dan komunitarian. Pendekatan individualistik berakar
dari pemikiran ekonom neoklasik dan filsafat pilihan rasional yang
dikemukakan oleh Hobbes, Hume dan Kant (Di Caccio, 2005:44).
Dalam pendekatan ini, individu dianggap sebagai makhluk yang
bebas dan independen dalam mengambil suatu keputusan. Sebagai
agen yang rasional, individu mengambil keputusan atau tindakan
hanya berdasarkan pada pertimbangan konsekuensi dan kegunaan
dari pilihan mereka (the consequences-utilities-of their acts).
Pendekatan ini sama sekali tidak mempertimbangkan aspek diluar
individu itu sendiri, seperti sistem nilai, kebudayaan, solidaritas dan
sebagainya.
Berlawanan
dengan
pendekatan
individualistik
adalah
pendekatan komunitarian, yaitu pendekatan yang percaya bahwa
pilihan rasional atau perilaku individu itu sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai kebudayaan yang melekat dalam diri individu yang
dipelajarinya secara pasif dalam komunitas tradisional. Seperti
dikemukakan oleh Becker (1996) dalam Di Caccio, 2005:49
“individual’s preferences are also inffluenced by the
decisions of the people whom the individual is
related to”.
Maka dari itu, implikasi dari pandangan komunitarian ini
adalah kita harus memberikan interpretasi yang holistik terhadap
struktur sosial yang mendasarinya. Selain itu, otomatis kebebasan
individual (individual’s freedom) dalam memilih menjadi masalah
nomor dua. Disinilah tarik menarik antara kebebasan (freedom) dan
solidaritas (solidarity) itu menjadi menarik, mana sebenarnya yang
lebih dominan mempengaruhi pilihan rasional individu?
2.3.2. Pertukaran Sosial
Jika teori pilihan rasional dapat menjelaskan mengapa orang
melakukan suatu tindakan/perilaku? maka kita dapat menggunakan
teori pertukaran sosial dengan tujuan untuk memprediksi (predict)
dan menjelaskan (explain) suatu perilaku. Teori pertukaran ini
merupakan hasil mutasi atau varian dari model pilihan rasional dan
behaviorisme. Ia adalah kombinasi antara asumsi dasar behaviorisme
(operant psychology) dan teori kegunaan (utility maximization)
dalam ilmu ekonomi (Zafirovski, 2005:31). Selain dari ekonomi dan
psikologi, teori pertukaran juga berhutang pada Simmel - yang
disebut Homans sebagai “the ancestor of small-group research” –
yang telah memberikan basis teori tentang perilaku sosial dasar
(elementary social behaviour) (Homans, 1958:597). Beberapa
definisi dan penjelasan tentang pertukaran sosial ini antara lain
(Cook, 1977:62-82):
ï‚· Hubungan pertukaran (exchange relations) (contoh Ax:By)
dibangun dari beragam transaksi intensif yang menghasilkan
transfer sumberdaya (x, y, …) antara dua aktor atau lebih (A,B,
…) untuk mendapatkan manfaat bersama (mutual benefit)
ï‚· Dalam berbagai hubungan pertukaran Ax:By maka kekuasaan
(power) A terhadap B (Pab) adalah kemampuan dari A untuk
menurunkan rasio x/y
ï‚· Ketergantungan A terhadap B (Dab) adalah fungsi dari (1)
penilaian A terhadap sumberdaya yang diterimanya dari B dan (2)
ada tidaknya alternatif lain untuk melakukan hubungan pertukaran
ï‚· Hubungan pertukaran Ax:By dikatakan seimbang jika Dab=Dba,
tidak seimbang jika Dab-Dba
Selain itu, teori pertukaran ini memiliki beberapa asumsi
dasar dan proposisi kunci, antara lain :
ï‚· Perilaku sosial adalah bentuk dari pertukaran, baik material
maupun non-material seperti simbol penerimaan dan gengsi
(G.C.Homans, 1958:597)
ï‚· Manusia memberikan sesuatu dengan harapan akan mendapatkan
balasannya kemudian (Marcell Mauss)
ï‚· Seseorang yang memberi banyak kepada orang lain sebenarnya
sedang berharap mendapatkan lebih banyak dari mereka dan
seseorang yang menerima banyak dari orang lain akan berada
dalam tekanan untuk memberi/mengembalikan lebih banyak pula.
This process of influence tends to work out at equilibrium to a
balance in the exchange (G.C. Homans:1958:606)
ï‚· Setiap hubungan sosial berbasis pada pertimbangan biaya dan
manfaat. Orang akan tetap mempertahankan hubungan jika
manfaat (material dan non-material) yang diperolehnya lebih besar
daripada biaya yang dikeluarkannya (G.C. Homans)
ï‚· Frekuensi dalam interaksi sosial (intensitas) akan mempengaruhi
struktur dan keseimbangan dalam pertukaran sosial (Peter M.
Blau)
b+j
b+j
B
A
b+j
6.1. Pertukaran Barter
Waktu 1
B
A
Pa
Pa
Waktu 2
B
A
b+j
6.2. Pertukaran dengan janji bayar
b+j
Waktu 1
B
A
Waktu 2
b+j
B
A
Pa
Pa
b+j
Waktu 3
A
B
Pa
6.3. Pertukaran dengan janji bayar pihak ketiga
E
Pa
Pa
b+j
b+j
A
Pb
B
Pd
b+j
b+j
Keterangan :
b = barang,
j = jasa,
P =janji
A-E = Aktor
D
Pa
Pa
C
6.4. Pertukaran dengan janji dari bank sentral
Gambar 6. Struktur dan Sistem Pertukaran Sosial (Coleman,
2010:165-166)
Konsep
pertukaran
sosial
Peter
M.
Blau
(1964)
mengungkapkan bahwa tindakan seseorang akan berhenti jika reaksi
yang diharapkan tidak kunjung datang. Artinya, ketika ikatan antara
individu dengan individu atau kelompok terbentuk, maka hadiah
yang saling mereka pertukarkan di dalamnya akan membantu
mempertahankan ikatan diantara mereka. Ketika hadiah dirasa tidak
memadai oleh satu pihak atau keduanya, maka ikatan diantara
mereka bisa jadi melemah atau hancur. Selain itu, ketika ada
seseorang membutuhkan sesuatu dari orang lain tetapi ia tidak
memiliki sesuatu yang sebanding untuk dipertukarkan, maka akan
terjadi empat kemungkinan, pertama, ia akan memaksa orang lain
untuk membantunya, kedua, ia akan mencari sumber lain untuk
memenuhi kebutuhannya, ketiga, ia akan terus mencoba bergaul
dengan baik tanpa mendapatkan apa yang dibutuhkannya dari orang
lain dan keempat, ia akan menundukkan diri terhadap orang lain (ciri
esensial dari kekuasaan).
Blau sendiri memulai dari premis dasar bahwasanya interaksi
sosial itu memiliki nilai bagi individu. Dengan mengeskplorasi
beragam nilai inilah kemudian Ia memahami hasil kolektif dari
interaksi sosial tersebut, termasuk didalamnya distribusi kekuasaan di
dalam masyarakat (Scott & Calhoun, 2004:10-11). Menurut Peter M.
Blau, seseorang melakukan interaksi sosial untuk satu alasan yang
sama, yaitu mereka membutuhkan sesuatu dari orang lain. Selain itu,
seseorang berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan orang lain
tidak semata hanya karena motif transaksi ekonomi dan norma
resiprositas saja, melainkan juga karena dengan pemberian (gives)
mereka itu dapat memberikan peluang untuk mendapatkan kekuasaan
(power).
“the tendency to help others is frequently motivated
by the expectation that doing so will bring social
rewards” (Blau, 1964)
Blau percaya bahwasanya struktur sosial itu terbentuk dari
interaksi sosial, akan tetapi ia juga meyakini bahwa segera setelah
struktur sosial itu terbentuk maka ia akan sangat mempengaruhi
interaksi sosial itu sendiri (fakta sosial). Dengan demikian,
pendekatan pertukaran sosial Blau bergerak dari aras mikro subjektif
hingga ke makro objektif (struktur sosial) dengan memberikan
penjelasan saling pengaruh diantara keduanya. Penghubung antara
kedua aras itu menurut Blau adalah Nilai dan Norma (konsensus)
yang berkembang dalam masyarakat setempat. Menurut Blau,
“konsensus mengenai nilai sosial menyediakan basis untuk
memperluas jarak transaksi sosial melampaui batas-batas kontak
sosial langsung dan untuk mengekalkan struktur sosial melampaui
batas umur manusia” (Ritzer & Goodman, 2010:373). Kita bisa
melihat dalam konteks modal sosial gantangan dimana norma dan
nilai silih bantu (resprositas) yang disepakati ini dapat tertanam
dengan kuat dan berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
sekalipun dengan perubahan dan transformasi pola yang terus
berkembang.
Sebagaimana dikemukakan oleh Peter M. Blau, terdapat
empat (4) langkah proses atau tahapan dari pertukaran antar pribadi
ke struktur sosial hingga perubahan sosial (Ritzer & Goodman,
2010:369) antara lain :
Langkah 1: pertukaran atau transaksi individu yang meningkat ke ….
Langkah 2: diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke ….
Langkah 3: Legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit
dari …
Langkah 4: oposisi dan perubahan
Pada tingkat kemasyarakatan, misalnya, Blau membedakan
antara dua jenis organisasi sosial, yaitu kelompok sosial asli dan
organisasi sosial yang dengan sengaja didirikan untuk mencapai
keuntungan maksimal (Ritzer & Goodman, 2010:371). Kedua jenis
organisasi sosial ini nantinya dapat menjadi dasar untuk menjelaskan
bagaimana munculnya varian tipe dan pola pertukaran dalam modal
sosial gantangan, yakni ketika tipe nyambungan (gift) yang asli
mampu melahirkan organisasi sosial baru dalam bentuk Gintingan
dan Golongan/Rombongan yang mirip dengan arisan dan bertujuan
untuk memaksimalkan keuntungan bagi anggotanya.
Gintingan dan Golongan ini nantinya dapat kita sebut sebagai
sebuah “jaringan pertukaran” yaitu sebuah struktur sosial khusus
yang dibentuk oleh dua aktor atau lebih yang menghubungkan
hubungan pertukaran diantara para aktor (Cook, 1977, 62-82). Dalam
jaringan
pertukaran
inilah
kemudian
kita
akan
memahami
bahawasanya kekuasaan seseorang atas orang lain dalam hubungan
pertukaran adalah kebalikan fungsi dari ketergantungannya terhadap
orang lain. Hal ini terjadi karena pemahaman bahwa setiap sistem
yang terstruktur itu cenderung terstratifikasi, sehingga komponen
tertentu pasti tergantung pada komponen lainnya. Dengan kata lain,
akses individu atau kelompok terhadap sumber daya yang bernilai itu
berbeda sehingga menimbulkan kekuasaan dan ketergantungan.
Maka premis dasar dalam teori pertukaran jaringan (network
exchange theory) adalah “semakin besar peluang aktor untuk
melakukan pertukaran, semakin besar kekuasaan si aktor” (Ritzer &
Goodman, 2010:387). Dengan memahami relasi antara pertukaran
sosial, jaringan pertukaran dan pertukaran jaringan inilah kita akan
mampu
menjelaskan
bagaimana proses komersialisasi
sosial
(komodifikasi dan sistem bandar) dalam pertukaran sosial gantangan
di pedesaan Subang ini.
2.3.3. Jaringan Pertukaran
Kekuasaan (power) adalah dimensi utama yang membentuk
ketidakseimbangan di dalam masyarakat. Kekuasaan juga merupakan
faktor yang menentukan pilihan-pilihan hidup (life chances) individu.
Ia adalah fokus utama yang dipelajari dalam ilmu-ilmu sosial dan
politik, bahkan sejak jaman Hobbes, Machiavelli, Marx dan Weber.
Apa yang menentukan seseorang/kelompok memiliki kekuasaan dan
bagaimana kekuasaan itu dimainkan adalah isu utama dari kajian
tentang kekuasaan ini. Salah satu teori paling berpengaruh dalam
membahas kekuasaan ini adalah hasil analisis dari Emerson (1972)
tentang
“relasi
kekuasaan-ketergantungan”
(power-dependence
relations). Kajian tersebut merupakan salah satu isu utama dalam
psikologi sosial kontemporer, dimana ia menyempurnakan karyakarya sebelumnya tentang teori pertukaran sosial yang dibangun oleh
Homans dan Blau (1964).
Menurut Blau dan Emerson, hubungan antara kekuasaan dan
pertukaran sosial ini sangatlah jelas. Faktanya adalah ketika
seseorang menguasai sumber daya yang paling bernilai di dalam
suatu masyarakat maka secara otomatis ia mendapat posisi sebagai
social debts dalam pertukaran serta menciptakan ketimpangan dan
subordinasi dalam relasi pertukaran tersebut. Dominasi oleh mereka
yang lebih berkuasa tersebut yang menimbulkan ketimpangan dalam
hubungan pertukaran. Ketimpangan dan diferensiasi kekuasaan inilah
yang dilihat oleh Blau sebagai sesuatu yang pasti muncul dalam
proses pertukaran sosial. Perbedaan alamiah dalam kepemilikan
sumberdaya yang bernilai diantara para aktor menghasilkan saling
ketergantungan dan kebutuhan untuk saling bertukar. Kondisi ini
juga menjadi dasar lahirnya ketimpangan dalam hasil pertukaran
(sesuai dengan perbedaan kekuasaan diantara para aktor dalam
jaringan pertukaran tersebut).
Hubungan pertukaran antara dua aktor, A dan B, menurut
Emerson (1972), dapat digambarkan sebagai berikut :
Kekuasaan aktor A terhadap aktor B dalam
hubungan pertukaran Ax:By (dimana x dan y
merepresentasikan nilai sumberdaya) meningkat
sebagai fungsi dari nilai y bagi A dan menurun
secara proporsional pada derajat ketersediaan y bagi
A dari alternatif sumberdaya yang ada (selain dari
B). Dua faktor ini, nilai sumberdaya dan ketersediaan
sumberdaya, mempengaruhi level ketergantungan B
terhadap A dan kekuasaan A terhadap B. Semakin
besar ketergantungan B terhadap A, semakin besar
kekuasaan A terhadap B. Postulat dalam hubungan
pertukaran ini adalah bahwa basis kekuasaan itu
adalah ketergantungan (power is based on
dependence) yang kemudian diformulasikan oleh
Emerson :
Pab = Dba
(Ketergantungan B terhadap A merupakan fungsi
positif dari “motivasi investasi” B dalam mencapai
“Tujuan yang dimediasi” oleh A dan menjadi fungsi
negatif dari “ketersediaan tujuan tersebut” bagi B
diluar hubungan A-B)
Dalam pertukaran Gantangan, teori diatas dapat menjelaskan
fenomena tentang mengapa ketika orang kaya (tokoh masyarakat,
tokoh berpengaruh, elit desa, penguasa=A) melakukan hajatan, maka
sebagain besar warga (B) berbondong-bondong menyimpan beras
dan uang dalam jumlah yang lebih banyak/besar dari biasanya.
Sebab, B termotivasi untuk mendapatkan pengembalian yang sama
besar atau lebih besar kelak ketika mereka hajatan (goals). B melihat
bahwa A memiliki sumberdaya yang mencukupi dan dapat dipercaya
untuk mengembalikan simpanan mereka. Disamping itu, tidak
banyak pilihan elit/orang kaya di desa tersebut, sehingga B akan
memaksimalkan kesempatan tersebut.
Meskipun formula dasar Emerson diatas berfokus pada
hubungan dua aktor (dyadic), namun ciri hubungan pertukaran A:B
tersebut melekat juga dalam jaringan pertukaran yang melibatkan
multi aktor (C,D,…N). Struktur sosial dari peluang pertukaran
dibangun dari basis teori struktural tentang kekuasaan dari Emerson.
Satu dari dua penentu utama kekuasaan adalah peluang adanya
pertukaran yang melekat di dalam jaringan. Jaringan (networks),
dalam kerangka Emerson, dibentuk oleh relasi sosial yang terhubung
untuk memperpanjang/memperluas pertukaran dalam satu hubungan
saling mempengaruhi. Menurut Emerson, koneksi tersebut dapat
bersifat positif atau negatif. Hubungan negatif berarti pertukaran
dalam satu relasi mengurangi jumlah atau frekuensi pertukaran dalam
relasi yang lain. Sebagaimana diungkapkan oleh Bourdieu bahwa
jaringan bukanlah sesuatu yang alamiah (natural given), melainkan
harus dikonstruksi oleh masing-masing individu sebagai sebuah
investasi yang strategis (Portes, 1998:3).
Contoh : A-B dan B-C, hubungan pertukaran
dikatakan negatif bagi B jika pertukaran dalam
hubungan A-B mengurangi frekuensi atau jumlah
pertukaran dalam hubungan B-C. Sebaliknya,
hubungan pertukaran dikatakan positif jika
pertukaran dalam hubungan A-B meningkatkan
jumlah atau frekuensi dalam hubungan B-C
Emerson sendiri mengadopsi operant psychology sebagai
pondasi perilaku dalam teorinya, sebab ia melihatnya sebagai teori
sosial yang bersifat mikro-level. Namun kemudian, Cook dan
Emerson (1978) memperkenalkan konsep lainnya termasuk resiko
(risk), ketidakpastian, dan kalkulasi rasional dari manfaat dan biaya
ke dalam teori “pertukaran sebagai perilaku sosial”. Dalam teori ini,
aktor
dimotivasi
oleh
keuntungan
masa
depan,
pertimbangan/antisipasi terhadap kehilangan atau biaya, atau secara
sederhana mereka belajar dari interaksi di masa lalu yang
menguntungkan. Asumsi dasar dalam pertukaran sosial diringkas
oleh Molm (1997) antara lain :
1. Perilaku dimotivasi oleh hasrat untuk meningkatkan keuntungan
dan menghindari kerugian/kehilangan, meningkatkan hasil positif
dan mengurangi dampak negatif.
2. Hubungan pertukaran dibangun dalam struktur hubungan saling
tergantung
3. Setiap aktor terlibat dalam pengulangan, saling tergantung dalam
pertukaran dengan partner khusus/spesifik sepanjang waktu (tidak
dalam satu transaksi pendek/sekali)
4. Keluaran yang dihasilkan sesuai dengan hukum ekonomi (law of
deminishing marginal utility) atau prinsip kejenuhan (principle of
satiation) dalam psikologi.
Beberapa konsep lain yang akan sangat membantu dalam
memahami pertukaran sosial antara lain : resiprositas, keseimbangan,
kohesi, dan power-balancing operations. Emerson, sebagaimana
Homans, memberikan perhatian utama pada pondasi mikro dari
pertukaran, khususnya pada bagian I dari formulasinya :
Suatu hubungan pertukaran dikatakan seimbang jika :
Dab=Dba, yaitu ketika masing-masing aktor saling tergantung secara
equal. Emerson membangun teori pertukaran untuk menjelaskan
pengaruh kekuasaan dalam hubungan sosial. Interaksi sosial yang
melampaui hubungan dua orang adalah bentuk dari jaringan sosial
(social network) yang hubungan satu sama lain diikat oleh hubungan
pertukaran. Cook dan Emerson (1978) telah secara spesifik
menggambarkan jaringan sosial ini sebagai suatu sistem yang
menghubungkan tiga atau lebih individu yang saling bertukar nilai
barang atau jasa. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi
dimana pertukaran dua individu (dyadic) saja tidak cukup, sebab
menganalisa kekuasaan akan selalu membutuhkan penjelasan tentang
jaringan, dimana alternatif sosial menjadi muncul dalam pertukaran
jaringan ini. Ada tidaknya alternatif itulah yang menjadi salah satu
faktor kuat berjalannya suatu hubungan pertukaran.
Selain jaringan sosial, kekuasaan dalam pertukaran sosial
juga sangat dipengaruhi oleh prinsip kompetisi. Kompetisi ini
merupakan basis fundamental dalam berbagai tipe ekonomi dan
hubungan pasar. Ide pokok dalam teori ketergantungan-kekuasaan
adalah peluang dan alternatif individu tergantung kepada penurunan
peluang dan alternatif individu lainnya. Dengan demikian, struktur
dalam jaringan ini pun secara terbuka memberi peluang bagi aktor
untuk menjadi penguasa yang dominan.
Dalam membahas dinamika kekuasaan ini Emerson juga
berbicara tentang keseimbangan kekuasaan (power balancing
operations). Dengan memfokuskan pada dua variabel yang
mempengaruhi ketergantungan, Emerson mengajukan empat proses
yang mungkin membuat kekuasaan menjadi lebih seimbang (equal)
di dalam berbagai hubungan yang tidak seimbang. Contohnya :
A lebih berkuasa dari B (Pab>Pba dan Dba>Dab). Untuk
menyeimbangkan hubungan ini maka :
ï‚· B dapat menurunkan level motivasinya dalam mencapai tujuan
yang dimediasi/difasilitasi oleh A
ï‚· B dapat menempatkan sumber alternatif lainnya (misal aktor C)
sebagai tujuan yang dimediasi oleh A (network extension)
ï‚· B dapat mencoba meningkatkan motivasi A dalam mencapai
tujuan-tujuannya yang dapat dimediasi oleh B
ï‚· B dapat mencoba untuk mengeliminasi sumber alternatif dari A
untuk tujuan yang dimediasi oleh B (bentuk koalisi atau tindakan
kolektif dengan aktor lainnya)
Dengan prinsip keseimbangan-kekuasaan ini Emerson dapat
memprediksi beragam tipe perubahan dalam jaringan pertukaran
yang diproduksi oleh para aktor untuk meraih kekuasaan atau
mengelola kekuasaan di dalam suatu jaringan. Jaringan kekuasaan itu
sendiri dapat didefinisikan sebagai (Cook, 1977, 62-82):
1. Kesatuan dari tiga atau lebih aktor yang masing-masing
menyediakan kesempatan untuk bertransaksi dengan sekurangkurangnya satu aktor lain di dalam jaringan. Dengan demikian,
jaringan
dapat
dianggap
sebagai
“struktur
kesempatan”
(opportunity structure) bagi masing-masing aktor di dalam
jaringan.
2. Dua hubungan pertukaran, A:B dan A:C adalah saling terhubung
jika frekuensi atau magnitude dari hubungan transaksi yang satu
merupakan fungsi dari hubungan transaksi yang lainnya.
3. Kategori pertukaran mewakili kesatuan dari seluruh aktor yang
memiliki sumber daya yang sama dan yang sama-sama bernilai
untuk dipertukarkan.
4. Kesatuan hubungan pertukaran mempertemukan satu aktor kepada
dua atau lebih anggota suatu kategori pertukaran yang kemudian
menghasilkan hubungan alternatif bagi aktor tersebut.
2.4. Komersialisasi Sosial
Komersialisasi adalah suatu proses sosial dimana kegiatankegiatan ekonomi secara garis besar diatur atas dasar prinsip pertukaran
pasar. Secara bahasa, komersial dan komersialisasi berarti (1) mempunyai
sifat dagang (2) bersifat mencari untung (3) membuat sesuatu seperti
perdagangan untuk mencari untung (Badudu-Zain, 1996:707-708). Untuk
kepentingan penelitian terhadap sistem pertukaran sosial Gantangan di
pedesaan Subang ini, maka penulis mendefinisikan Komersialisasi Sosial
Gantangan sebagai “penciptaan hubungan-hubungan pasar dalam
lingkup pesta hajatan dan ekonomi lokal, dimana alokasi sumber daya
sosial diwujudkan dalam mekanisme harga yang terbentuk dari proses
permintaan dan pernawaran”. Disini kewajiban timbal balik (resiprositi)
terwujud dalam bentuk “nilai terhadap uang”, “imbalan yang pantas bagi
jasa yang diberikan” dan hal-hal semacam itu. Proses komersialisasi ini
mempengaruhi banyak aspek kemasyarakatan sehingga kita dapat
membicarakan suatu masyarakat yang didominasi oleh prinsip pasar.
Diluar kegiatan yang diatur oleh prinsip pasar itu juga terdapat prinsip-
prinsip pengaturan ekonomi lainnya seperti prinsip keluarga, organisasi
sukarela, dan pemerintah (Peny, 1990:134-139).
2.5. Kemiskinan
Dalam perspektif tentang kemiskinan, salah satu indikator utama
individu atau rumah tangga disebut miskin adalah akibat ketidakmampuan
atau ketertutupan akses dalam memenuhi kebutuhan pangan. Meskipun
memang banyak sekali definisi dan cara pengukuran kemiskinan yang
digunakan para ahli atau pemerintah yang berbeda satu sama lain. Akan
tetapi, ada dua kategori tingkat kemiskinan yang berlaku umum, yaitu
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut merupakan
suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan
pendidikan). Sedangkan kemiskinan relatif merupakan perhitungan
kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah.
Dikatakan relatif karena berkaitan dengan distribusi pendapatan antar
lapisan sosial (Huraerah, 2008:168). Pendekatan kemiskinan absolut
pernah digunakan oleh Sajogyo pada tahun 1971, yaitu perhitungan
kemiskinan yang dikembangkan dengan memperhitungkan standar
kebutuhan pokok berdasarkan kebutuhan beras dan gizi (pendapatan per
kapita per tahun beras). Dari perhitungan Sajogyo ini lahir tiga golongan
orang miskin, yaitu golongan paling miskin, miskin sekali dan miskin.
Tabel 1. Batas Tingkat Pengeluaran (Garis Kemiskinan) Untuk Penduduk
Perkotaan dan Penduduk Perdesaan Menurut Kategori Kemiskinan9
Kategori
Kemiskinan
1. Miskin
2. Miskin Sekali
3. Paling Miskin
9
Batas Tingkat Pengeluaran
(setara beras per kapita per tahun)
Perkotaan
Perdesaan
480 kg
320 kg
360 kg
240 kg
270 kg
180 kg
Sajogyo (1978) dalam Said Rusli dkk (1995:6)
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 2007-2010 di Provinsi Jawa
Barat
Tahun
2007
2008
2009
2010
Jumlah Penduduk Miskin
(000)
Kota
Desa Kota+Desa
2
654.6 2 803.3
5 457.9
3
654.6 2 705.0
5 322.4
4
654.6 2 452.2
4 983.6
5
654.6 2423.2
4773.7
% Penduduk miskin
Kota
11.21
Desa
16.88
Kota+Desa
13.55
10.88
16.05
13.01
10.33
14.28
11.96
9.43
13.88
11.27
Sumber : BPS, 2010
Meskipun demikian, dialog tentang kemiskinan ini masih terus
berkembang dengan sudut pandang yang berbeda, di satu sisi banyak pihak
menekankan pada persoalan produksi dan produktivitas masyarakat sebagai
keseluruhan, dan di sisi lain lebih menekankan pada pembagian yang
merata, keadilan dan sebagainya. Kemudian, ukuran mutlak seperti
konsumsi pangan (beras) sebagai tolak ukur kemiskinan tidak akan
mencukupi lagi, walaupun faktor-faktor tersebut juga tidak dapat
ditiadakan karena menjadi kebutuhan dasar manusia. Artinya, semakin
kebutuhan dasar terpenuhi, maka semakin tinggi pula tuntutan akan
kebutuhan sekunder dan tersier (Tjondronegoro,2008:295).
Dengan demikian, secara filosofis, makna kemiskinan relatif yang
dikemukakan oleh Simmel (1908) nampaknya lebih tepat digunakan untuk
memahami fenomena kemiskinan di pedesaan ini. Ia menyatakan bahwa
orang miskin bukan sekedar mereka yang berada pada lapisan paling
bawah masyarakat, melainkan ditemukan pada seluruh strata masyarakat.
Anggota masyarakat kelas atas, misalnya, yang lebih miskin dari
sesamanya,
cenderung
merasa
miskin
jika
dibandingkan
dengan
sesamanya. Oleh karena itu, sekalipun orang-orang dalam lapisan bawah
itu dapat terangkat dari kemiskinan semula, maka banyak orang yang
berada dalam sistem stratifikasi masih akan merasa lebih miskin bila
dibandingkan dengan sesamanya (Ritzer & Goodman, 2010:183)
Jika diringkas, kemiskinan merupakan masalah kekurangan
(deprivation), meskipun kekurangan atau kemiskinan relatif ini tidak
pernah lengkap untuk dijadikan pendekatan dalam mengukur kemiskinan.
Sementara pendekatan yang lebih biologis seperti jumlah konsumsi kalori,
cenderung mereduksi hanya pada pengertian kemiskinan absolut.
Kemiskinan dan ketidakadilan (inequality) juga sering dihubungkan. Akan
tetapi keduanya adalah konsep yang berbeda. Apakah kemiskinan adalah
persoalan nilai (value judgement)? Pendekatan moral ini tidaklah cocok
untuk sebuah studi pengukuran tingkat kemiskinan. Dengan demikian,
alternatif pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur kemiskinan ini
adalah dengan identifikasi dan agregasi (identification of the poor and
agregation of their poverty characteristic into an over-all measure) (Sen,
1982:9-24).
2.6. Teori Permainan
Dengan asumsi bahwa para pelaku atau orang yang terlibat dalam
pertukaran sosial gantangan ini adalah mereka yang mampu mengambil
keputusan secara bebas dan rasional, maka di akhir penelitian ini dapat
direkonstruksi suatu model pengambilan keputusan berbasis teori
permainan. Secara sederhana, teori permainan yang dikembangkan oleh
John von Neumann dan Morgenstern (1944) ini merupakan sebuah
pendekatan terhadap kemungkinan strategi yang disusun secara matematis
(logis dan rasional) serta digunakan untuk mencari strategi terbaik dalam
suatu aktivitas, dimana setiap pemain (aktor) di dalamnya sama-sama
mencapai utilitas tertinggi (Osborne & Rubinstein, 1994:1).
Dalam kajian-kajian sosiologi, teori permainan ini mulai populer
digunakan sejak tahun 1980-an. Namun demikian, penggunaan teori
permainan oleh para sosiolog ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun
1950an
sampai
pertengahan
1970an.
Swedberg
(2001:1)
mengklasifikasikan bahwa teori permainan yang dikembangkan oleh para
sosiolog pada periode 1950-1970an itu sebagai “old sociological game
theory” dan teori permainan yang dikembangkan pada tahun 1980an
sebagai “new sociological game theory”. Tabel dibawah ini akan
membantu kita memahami penggunaan teori permainan dalam analisisanalisis sosiologis :
Tabel 3. Perbedaan penggunaan teori permainan dan analisis terkait
permainan dalam kajian sosiologi dari tahun 1950-2000
Tipe teori
permainan atau
pendekatan
terkait
permainan
1 Teori
permainan
high-tech
2
Teori
permainan
low-tech
3
Permainan
sebagai
metafora
umum
Karakteristik
umum
Contoh
penelitian/kajian
Topik
kajian
Penggunaan
standar teori
permainan dengan
teknik yang tinggi
(deduktif,
matematis, dan
model simulasi)
Raub (1988),
Raub dan Weesie
(1990),
Heckathorn (1988,
1989), Macy dan
Skvoretz (1988),
montgomery
(1998)
Bernard
(1964,1968)
Gamson (1961)
Boudon (1979)
Coleman (1990)
Dilema
sosial terkait
dengan
kerjasama,
tindakan
kolektif dan
normanorma
Konflik,
koalisi,
koordinasi,
pendidikan
dan normanorma
Goffman (1961),
Elias (1970),
Crozier dan
Thoenig (1975),
Kekuasaan,
kerja,
organisasi,
dilema
Penggunaan
logika dasar dan
bahasa konseptual
dari teori
permainan,
termasuk
penggunaan
payoff matrix
Kosa kata dalam
teori permainan
digunakan dengan
tanpa pendekatan
4
5
6
Permainan
khusus
digunakan
dalam
analisis
Studi tentang
permainan di
dalam
masyarakat
Kajian
laboratorium
teknis matematis
(permainan,
pemain, strategi,
dll)
Permainan khusus
digunakan untuk
menganalisis
peristiwa sosial
Permainan yang
ditemukan di
dalam masyarakat
dianalisis secara
sosiologis
Pengalaman
dengan orangorang
Crozier (1976),
Burawoy (1979)
dalam
penjara,
interaksi
strategis
Vinake dan Arkoff Pachisii,
(1954), Boorman
wei-ch’i,
(1967), Coleman
pengambilan
(1967,1969)
keputusan
kolektif,
Andersoon and
Permainan
moore (1960),
secara
Goffman (1961),
umum,
Leifer (1988,
contoh :
1991)
catur
Bonacich
Kekuasaan,
(1972,1976),
dilema
Snijders dan Raub dalam
(1998)
pernjara,
kerjasama
Sumber : Swedberg, 2001:309
Teori permainan ini digunakan untuk melihat kecenderungan
masyarakat pedesaan dalam menyikapi atau mengambil keputusan untuk
terlibat atau tidak terlibat ke dalam pertukaran sosial gantangan beserta
keuntungan yang mungkin mereka peroleh. Langkah awal yang dilakukan
dalam menerapkan teori ini dan membuat suatu model strategi
pengambilan keputusan adalah dengan terlebih dahulu menentukan empat
unsur utama, yaitu (1) pemain (2) strategi-strategi (3) preferensi dan (4)
reaksi dari setiap pemain. Model strategi yang dihasilkan pun dapat
diklasifikasikan ke dalam sejumlah cara, seperti (1) jumlah pemain (2)
jumlah keuntungan dan (3) jumlah strategi dan kemudian dituangkan dalam
matrik ganjaran (payoff matrix).
BAB III
METODOLOGI
3.1. Metode Penelitian Studi Kasus
Untuk
mendapatkan
informasi umum tentang sejarah,
pola
pertukaran, komersialisasi dan praktek-praktek lain dalam tradisi
Gantangan di masyarakat pedesaan Subang, maka peneliti menggunakan
beberapa teknik pengambilan data dalam metode penelitian kualitatif,
seperti forum komunitas (community forum) atau Wawancara Kelompok
Terfokus (Focus Group Interviews), pendekatan informan kunci (key
informant approach), wawancara mendalam (indepth interview), dan
observasi. Penelitian kualitatif bermakna bahwa penelitian ini dilakukan
dalam situasi yang wajar (natural setting). Salah satu jenis penelitian
kualitatif yang digunakan disini adalah studi kasus (case study).
Studi
kasus
adalah
suatu
pendekatan
untuk
mempelajari,
menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya yang
alamiah tanpa intervensi dari pihak luar (peneliti) (Salim, 2006:118). Studi
kasus ini sangat tepat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang bersifat
“mengapa” (why?) dan bagaimana (how?). Metode studi kasus ini
menekankan pada tujuan untuk mengetahui keragaman (diversity) dan
kekhususan (particularity) dari objek studi, dalam hal ini sistem pertukaran
sosial gantangan di komunitas pedesaan Subang. Hasil utamanya adalah
menemukan keunikan kasus yang diteliti, yang meliputi : (1) hakekat kasus
(2) latar belakang historis (3) setting fisik (4) konteks kasus (5) persoalan
lain disekitar kasus dan (6) informan atau segala hal berkaitan dengan
kasus tersebut.
3.2. Wawancara Kelompok Terfokus
Forum Komunitas merupakan sebuah teknik untuk mengumpulkan
data dengan cara menyelenggarakan sebuah pertemuan yang sifatnya
umum. Dalam forum tersebut semua anggota komunitas yang hadir akan
mendiskusikan masalah tertentu dan mereka didorong untuk mengeluarkan
pendapat masing-masing mengenai isu-isu yang menjadi target penelitian
(Rudito & Famiola, 2008:179-180). Nama lain dari Forum Komunitas ini
adalah Wawancara Kelompok Terfokus. Teknik ini dimaksudkan untuk
menggali pemahaman dan kesan anggota masyarakat di pedesaan terhadap
modal sosial Gantangan secara objektif dan kolektif, karena ada proses
aksi-reaksi dan koreksi langsung terhadap berbagai pendapat yang
disampaikan di dalam Forum melalui pola pendekatan yang terstruktur.
Tabel 4. Perbandingan Pola Pendekatan dalam Wawancara Kelompok terfokus
Terstruktur
Tujuan : Menjawab
pertanyaan/kegelisahan peneliti
Kepentingan peneliti lebih
dominan
Lebih banyak pertanyaan khusus
dan spesifik
Moderator memimpin langsung
dan mengarahkan diskusi
Moderator memfokuskan kembali
arah dan substansi diskusi
Partisipan memusatkan
perhatiannya pada moderator
Tidak Terstruktur
Tujuan : memahami pemikiran
partisipan
Kepentingan partisipan lebih
dominan
Lebih banyak pertanyaan yang
bersifat umum
Moderator memfasilitasi interaksi
antar partisipan
Moderator dapat mengeksplorasi
topik baru di dalam diskusi
Partisipan berbicara satu sama lain
Sumber : Marvasti, 2004:23
Sebagai pengarah, penengah dan pengontrol jalannya Forum
Komunitas ini adalah peneliti itu sendiri. Selain sebagai sebuah teknik
pengumpulan data, Forum Komunitas ini juga bermanfaat sebagai ajang
memperkenalkan diri dan diharapkan komunitas sasaran lebih mengenal
dan memahami maksud dari penelitian yang sedang dilakukan. Dengan
demikian, pada proses pengambilan data selanjutnya peneliti tidak akan
mengalami kesulitan karena sudah dikenal dan diterima kehadirannya.
Dalam perencanaan penelitian, sasaran yang dilibatkan dalam Forum
Komunitas adalah minimum 10 rumah tangga dan maksimum 15 rumah
tangga di setiap Dusun yang dipilih dengan kriteria sebagai salah satu
Dusun yang masuk dalam wilayah Desa termiskin di 3 Kecamatan yang
memiliki karakteristik agro-ekologi dan sosial-ekonomi yang berbeda,
yaitu Kecamatan Blanakan (pesisir, Subang utara), Kecamatan Cikaum
(dataran rendah, Subang tengah) dan Kecamatan Cijambe (dataran tinggi
dan perbukitan, Subang Selatan). Ketiga kecamatan tersebut juga dipilih
karena memiliki jumlah rumah tangga miskin atau pra-sejahtera paling
tinggi diantara seluruh Kecamatan di Kabupaten Subang. Peneliti
mengaitkan kemiskinan dan modal sosial Gantangan dengan tujuan
membuktikan beberapa proposisi dan teori yang secara lengkap telah
dibahas dalam bab pendahuluan dan tinjauan pustaka.
Teknik pelaksanaan forum komunitas ini dilakukan dalam beberapa
tahapan, yaitu :
(1) Peneliti menghubungi dan mewawancarai terlebih dahulu kepala dusun,
aparat desa atau tokoh masyarakat di lokasi penelitian terkait praktik
modal sosial gantangan di wilayahnya
(2) Peneliti meminta bantuan kepada kepala dusun, aparat desa atau tokoh
masyarakat tersebut untuk memilih dan mengumpulkan warganya
(minimum 10 RT) secara acak-insidental sebagai peserta Forum
Komunitas untuk membahas Gantangan
(3) Peneliti menyerahkan sepenuhnya penentuan waktu dan tempat untuk
pelaksanaan Forum Komunitas kepada kepala dusun, aparat desa atau
tokoh masyarakat tersebut
(4) Peneliti membagi Forum Komunitas di setiap dusun ke dalam dua sesi
yang berbeda, yaitu sesi Suami dan sesi istri. Maksud pembedaan sesi
diskusi kelompok terfokus ini adalah semata-mata untuk menjamin
bahwa pendapat suami maupun istri dapat tergali secara lebih terbuka
dan masing-masing dapat mewakili pendapatnya sendiri. Peneliti
memiliki kekhawatiran jika suami istri dihadirkan bersamaan dalam satu
kelompok diskusi maka akan terjadi bias pendapat, seperti dominasi
salah satu pasangan karena ia merasa sebagai kepala rumah tangga atau
juru bicara rumah tangga. Akibatnya, aspirasi dan pendapat salah satu
pihak tidak akan tergali atau tersampaikan.
(5) Dalam pelaksanaan Forum Komunitas peneliti dibantu oleh dua orang
asisten10 untuk membantu proses diskusi agar lebih dinamis dan
menjaga agar pengumpulan data dapat dilakukan secara efektif
(penggalian, pencatatan, pendokumentasian)
(6) Susunan acara Forum Komunitas biasanya dengan pembukaan,
perkenalan (dengan permainan dinamika kelompok tertentu), penggalian
kesan (dengan alat bantu kertas, spidol, papan tulis, dan selotip),
diskusi, penguatan dan penyimpulan atas beberapa sub topik
(7) Pada sesi perkenalan peserta diminta mengisi daftar hadir dan form
profil informan yang telah disiapkan oleh peneliti. Peserta yang buta
huruf didampingi fasilitator dalam proses pengisiannya.
(8) Di akhir Forum, peneliti memberikan sekedar ucapan terima kasih
berupa bingkisan kecil11 kepada masing-masing peserta. Keberadaan
bingkisan ini tidak diketahui sebelumnya oleh peserta (agar tidak
10
Peneliti dibantu oleh satu (1) orang Sarjana Kesejahteraan Sosial (Tita Irama) dan satu (1)
orang mahasiswa S1 Sejarah dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung (Didi S.
Sopyan)
11
Bingkisan tersebut berisi gula pasir ¼ kg, minyak goreng ¼ kg, kopi 1 bungkus, mie instan 3
bungkus, biskuit 2 buah kepada masing-masing peserta perempuan dan bingkisan berisi mie
instan 3 bungkus, kopi 1 bungkus, biskuit 2 bungkus dan rokok 1 bungkus kepada masingmasing peserta laki-laki.
mempengaruhi motivasi kehadiran) dan dimaksudkan sebagai ucapan
terima kasih dan kompensasi atas waktu yang telah diluangkan oleh
warga masyarakat.
Setiap tahapan yang direncanakan tersebut dilakukan sama di setiap
lokasi penelitian. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya selalu terdapat
penyesuaian dan perbedaan dari perencanaan, meskipun perbedaan tersebut
tidak menyebabkan substansi Forum Komunitas berubah. Misalnya, ketika
Forum Komunitas di Dusun Cimenteng, Desa Cimenteng, Kecamatan
Cijambe yang dilakukan pada Jumat 9 Maret 2012, jumlah peserta yang
datang lebih banyak dari biasanya, yaitu 19 orang peserta perempuan.
Padahal maksimum jumlah peserta diskusi yang optimal (secara teori
maupun pengalaman peneliti) adalah tidak lebih dari 12 Orang (Rudito &
Famiola, 2008:183).
Penambahan peserta ini juga tidak dapat diantisipasi oleh tokoh
masyarakat yang mengundang dikarenakan antusiasme warga yang
penasaran melihat kegiatan yang sedang dilakukan tersebut sangat tinggi.
Untungnya, tempat yang dipakai untuk Forum Komunitas cukup memadai
untuk menampung semua sehingga setiap peserta pun dapat menyalurkan
pendapatnya secara bebas. Akan tetapi disisi lain, bertambahnya jumlah
peserta Forum Komunitas dan sebagian peserta bukan pasangan suami istri
(satu rumah tangga), membawa implikasi pada proses pengolahan data
penelitian. Hal ini mendorong peneliti untuk memisahkan pembahasan
pada unit analisis individu dan pada level rumah tangga yang berbeda.
Secara keseluruhan, Forum Komunitas untuk pengumpulan data
penelitian ini telah dilakukan sebanyak 6 kali, antara lain :
Tabel 5. Jadwal dan Jumlah Partisipan dalam Forum Komunitas
“Komersialisasi Gantangan” di 3 Desa
No Hari/Tanggal Lokasi
Waktu
Tempat
Jumlah
Partisipan
L
P
1
Senin, 27
Dusun
19.00 s.d Rumah
12
Februari 2012 Awilarangan,
20.30
Bapak
Desa
WIB
Sarna
Pasirmuncang,
(Kadus)
Kec. Cikaum
2
Selasa, 28
Dusun
19.00 s.d Rumah
12
Februari 2012 Awilarangan,
20.30
Bapak
Desa
WIB
Sarna
Pasirmuncang,
(Kadus)
Kec. Cikaum
3
Jum’at, 3
Dusun Cimenteng, 14.00 s.d Rumah
19
Maret 2012
Desa Cimenteng,
15.30
Bapak
Kec. Cijambe
WIB
Barjuk
(Kaur
Kesra)
4
Jum’at, 3
Dusun Cimenteng, 15.30 s.d. Rumah
10
Maret 2012
Desa Cimenteng,
17.00
Bapak
Kec. Cijambe
WIB
Barjuk
(Kaur
Kesra)
5
Rabu, 4 April Dusun
15.30 s.d. Rumah
16
2012
Tegaltangkil,
17.00
Bapak
Desa Jayamukti,
WIB
Nuridi
Kec. Blanakan
(warga)
6
Rabu, 4 April Dusun
19.30 s.d. Rumah
19
2012
Tegaltangkil,
21.00
Bapak
Desa Jayamukti,
WIB
Nuridi
Kec. Blanakan
(warga)
Total Partisipan
47
41
Gambar 7. Perbandingan Jumlah Informan wawancara kelompok
terfokus di tiga desa lokasi penelitian
3.3. Wawancara Mendalam dan Pendekatan Informan Kunci
Wawancara mendalam dilakukan sebelum dan setelah wawancara
kelompok terfokus atau Forum Komunitas dilakukan. Tujuannya adalah
untuk mendalami berbagai isu-isu atau informasi yang relevan dengan
penelitian akan tetapi belum begitu jelas. Wawancara Mendalam PraForum Komunitas dilakukan oleh peneliti kepada tokoh masyarakat, seperti
pengurus desa dan kepala dusun. Dalam wawancara tersebut, peneliti
berusaha untuk mendapatkan gambaran umum dari desa atau dusun yang
akan menjadi lokasi penelitian, baik dari segi sosial, ekonomi, budaya,
mata pencaharian hingga data-data lainnya terkait profil desa dan dusun
setempat. Dari wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat ini,
biasanya peneliti akan mendapatkan informasi gantangan dari perspektif
elit, sebab mereka yang menjadi tokoh masyarakat ini memang biasanya
menempati posisi sosial yang tinggi (golongan menengah ke atas) ditengah
warganya. Selain itu, karena banyak permasalahan warga dan komunitas
yang diselesaikan melalui perantara mereka, maka para tokoh masyarakat
ini juga sangat memahami karakteristik maupun masalah-masalah yang
dihadapi oleh warganya, sehingga sangat relevan untuk menjadi
narasumber penelitian.
Sedangkan
wawancara
mendalam
pasca-forum
komunitas
dilakukan kepada orang-orang yang namanya sering disebut-sebut oleh
warga lainnya ketika proses forum komunitas berlangsung. Biasanya
mereka adalah orang-orang yang memegang peran tertentu dalam sistem
pertukaran sosial Gantangan ini, seperti bandar, panitia hajat, bapak hajat
dan aktor-aktor lain yang peran dan posisinya masih belum begitu terang
bagi peneliti. Dalam sebuah sistem pertukaran sosial seperti gantangan ini,
kepemimpinan memang tidak selalu berada di tangan para pejabat formal
(kepala desa atau kepala dusun). Terkadang pemimpin atau orang-orang
yang dianut oleh masyarakat adalah mereka yang bukan pejabat
pemerintahan atau tokoh-tokoh formal, seperti sesepuh, tokoh pengajian
ibu-ibu, mandor di perkebunan, pemilik warung, dan lain sebagainya.
Mereka yang namanya selalu disebut adalah yang memiliki peran besar
dalam pertukaran sosial gantangan ini, sehingga sangat relevan untuk
menjadi informan kunci (key informan) dalam penelitian.
3.4. Observasi
Observasi atau pengamatan dilakukan secara langsung oleh penulis,
baik terhadap pelaksanaan pesta hajatan, gantangan maupun terhadap
kondisi umum dari desa-desa di lokasi penelitian. Pengamatan terhadap
pesta hajatan dan gantangan dilakukan misalnya dengan keterlibatan secara
langsung, baik sebagai tamu kondangan biasa maupun secara khusus
meminta ijin kepada bapak hajat untuk mengamati seluruh aktivitas
persiapan, pelaksanaan hingga pasca hajat gantangan. Pengamatan ini
sangat membantu penulis dalam menghayati kondisi kehidupan sehari-hari
dari komunitas di tiga desa miskin yang berbeda satu sama lain. Misalnya
saja di desa Jayamukti (Subang Utara) yang berhawa panas, berdebu, dan
sulit mendapatkan air bersih tentu saja memiliki pola perilaku masyarakat
yang berbeda dengan di desa Cimenteng (Subang Selatan) yang relatif
dingin, berbukit-bukit dan memiliki banyak mata air. Selain dicatat dalam
log book penulis, hasil pengamatan ini sebagian juga didokumentasikan
dalam bentuk rekaman audio visual maupun dalam bentuk foto.
3.5. Simulasi Model Permainan
Basis dalam membangun model komputasional (computational
sociology) untuk pertukaran gantangan ini sebenarnya berakar dari teori
permainan dilema dalam penjara (prisoner’s dilemma). Dalam prisoner’s
dilemma diceritakan Polisi menangkap 2 tersangka sebuah kasus kriminal.
Mereka diinterogasi secara terpisah, dan tidak ada komunikasi di antara
mereka. Karena bukti-bukti belum cukup, maka polisi memberi mereka 2
pilihan: menyangkal atau mengakui keterlibatan mereka berdua. Jika
keduanya menyangkal, maka A dan B akan mendapat hukuman penjara 1
tahun. Jika A menyangkal dan B mengaku, maka A akan diganjar 10 tahun
penjara, dan B bebas. Jika A mengaku dan B menyangkal, maka A bebas
dan B mendapat hukuman 10 tahun. Jika keduanya mengaku, masingmasing akan diganjar 8 tahun. Dari berbagai pilihan yang tersedia itu, hasil
akhir pengambilan keputusan digambarkan dalam bentuk payoff matrix
sebagai berikut :
Tabel 6. Payoff Matrix Prisoner’s Dilemma
Strategi
Napi A
Menyangkal
Mengaku
Napi B
Menyangkal
-1, -1
0,-10
Mengaku
-10,0
-8,-8
Dari model dasar Prisoner’s dilemma tersebut, permodelan
matematis untuk petukaran sosioal Gantangan juga berusaha dibangun.
Agar permainan “gantangan” dapat dimodelkan secara matematis,
diperlukan 4 elemen dasar dari sebuah permainan, yaitu : (1) Pemain, (2)
Tindakan (3) Payoff dan (4) Informasi. Keempat elemen itu disebut juga
Rules of The Game. Para pemain – dalam konteks ini para aktor gantangan
- berusaha memaksimalkan ganjaran mereka, dengan cara memilih strategi
yang tepat berdasarkan informasi yang mereka miliki. Keadaan di mana
setiap
pemain
telah
menentukan
strategi
yang
optimal
disebut
kesetimbangan (equilibrium). Dengan mengetahui kesetimbangan dari
suatu game, pemodel dapat mengetahui tindakan/strategi apa yang dipilih
oleh para pemain yang terlibat, dan juga outcome dari permainan tersebut.
Payoff adalah sebuah bilangan yang merepresentasikan derajat hasil
(utilitas) yang diinginkan oleh pemain yang terlibat. Semakin besar nilai
payoff, semakin menguntungkan bagi pemain. Dalam sebuah permainan,
ganjaran atau payoff dapat direpresentasikan dalam bentuk matrik.
BAB IV
LOKASI PENELITIAN
4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi
pertimbangan
dalam
ilmiah
dipertanggungjawabkan.
penelitian
dan
ini
ditentukan
melalui
berbagai
yang
dapat
tahapan-tahapan
Pertimbangan
ilmiah
adalah
dalam
rangka
membuktikan proposisi (tesis) dari D.H. Peny (1999) yang mengatakan
bahwasanya “orang semakin miskin, maka semakin bertindak komersil” dan
“semakin rawan pangan kondisi suatu tempat, maka akan membuat orang
semakin bersikap individualistik”. Tesis tersebut dibangun berdasarkan hasil
penelitian tentang pengaruh ekonomi pasar terhadap kemiskinan. Jika kita
memahami kerawanan pangan dalam konteks rendahnya daya beli
masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa golongan yang mengalami kondisi
rawan pangan adalah masyarakat golongan miskin itu sendiri. Oleh karena
itu, untuk membuktikan ada tidaknya perilaku komersil dan individualistik
pada komunitas miskin, maka untuk menentukan lokasi penelitian ini dicari
desa miskin di kabupaten Subang sebagai kriteria pertama.
Sumber : Data Susenas 2009
Gambar 8. Rata-Rata Pengeluaran perkapita/bulan Penduduk
Kabupaten Subang tahun 2009
Kemiskinan suatu masyarakat atau wilayah tentu saja disebabkan
oleh beragam faktor (multidimensional), mulai dari faktor sumber daya
alam, sumber daya manusia, hingga persoalan struktural (akses, kontrol,
kebijakan, marginalisasi, dll) dan kultural (adat istiadat, pandangan hidup
masyarakat, kebiasaan, dll) lainnya. Dalam konteks ini, penelitian bukan
menitikberatkan pada apa penyebab kemiskinan itu? melainkan lebih kepada
tipe-tipe kemiskinan seperti apa yang ada di pedesaan. Tipe kemiskinan ini
berkaitan erat dengan kondisi lingkungan dimana masyarakat tinggal.
Berangkat dari keyakinan bahwa orang miskin di desa tentu saja berbeda
dengan orang miskin di kota, orang miskin di pegunungan tentu saja berbeda
dengan orang miskin di pesisir, dan seterusnya. Oleh karena itu, kriteria
kedua dari lokasi penelitian komersialisasi sosial di pedesaan ini adalah
kondisi agro-ekologis dan sosial-ekonomi yang khas, seperti wilayah pesisir,
ekosistem sawah dan pegunungan atau hutan.
Kedua kriteria utama diatas kemudian dioperasionalisasikan ke
dalam pemilihan lokasi dengan melihat data-data Badan Pusat Statistik
(BPS) kabupaten Subang terbaru (2010-2011) sekaligus dengan melakukan
verivikasi langsung ke lapangan secara bertahap, yaitu verivikasi di tingkat
Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Dusun/Kampung. Khusus untuk pemilihan
desa dan dusun, peneliti menganggap bahwa aparat dan masyarakat setempat
adalah yang paling tahu dan memahami kondisi wilayahnya. Oleh karena itu,
penentuan lokasi desa dan dusun didasarkan pada informasi petugas
Kecamatan dan aparat Desa/Kelurahan setempat. Dari proses semacam ini,
peneliti memperoleh tiga lokasi, yaitu Desa Jayamukti Kec. Blanakan
(Subang Utara), Desa Pasirmuncang Kec. Cikaum (Subang Tengah) dan
Desa Cimenteng Kec. Cijambe (Subang Selatan) dengan gambaran sebagai
berikut :
4.1. Subang Utara
Wilayah Subang Utara dikenal juga dengan sebutan Pantura
Subang atau Pantai Utara Subang. Terdapat tiga kecamatan yang
memiliki bentang pantai di wilayah ini (dari Barat ke Timur), yaitu
kecamatan Blanakan, Kecamatan Legon Kulon dan Kecamatan
Pusakanegara. Penilitian ini mengambil salah satu wilayah kecamatan
yang terpadat populasinya dan memiliki banyak rumah tangga
prasejahtera (miskin) menurut kriteria BPS, yaitu kecamatan Blanakan,
yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Karawang di sebelah
baratnya. Kecamatan Blanakan terdiri dari 9 Desa/Kelurahan dan 49
Dusun. Meskipun tergolong masyarakat pesisir, sebagian besar
penduduk di Subang Utara ini mayoritas masih bekerja di dunia
pertanian padi (sawah), lalu sebagian menjadi petambak dan nelayan.
Namun demikian, karakteristik masyarakatnya memang cenderung
lebih terbuka karena sebagian besar dulunya merupakan pendatang
dari Jawa.
Sumber : Profil desa Jayamukti tahun 2011
Gambar 9. Komposisi Penduduk dan Etnis di Desa Jayamukti, Kec.
Blanakan, Kabupaten Subang
Sumber : Profil desa Jayamukti tahun 2011
Gambar 10. Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian di Desa Jayamukti tahun
2011
4.2. Subang Tengah
Mayoritas penduduk desa pasir muncang bekerja sebagai buruh
tani di perkebunan tebu (PG. Rajawali). Sebagian besar areal lahan di
desa ini ditanami tebu yang sekaligus menjadi pemasok utama untuk
produksi gula di pabrik yang juga berlokasi dan beroperasi di daerah
ini. Hanya sebagian kecil saja lahan yang masih menjadi milik petani
setempat dan biasanya ditanami padi. Dulunya, areal perkebunan tebu
ini adalah bekas kebun karet. Lokasi dusun-dusun di desa pasir
muncang ini berkelompok-kelompok (semacam berpetak-petak) dan
satu sama lain dipisahkan oleh kebun tebu yang cukup luas. Sehingga
jalan penghubung antar dusun dan antar desa juga masih berupa tanah
berlumpur dan berbatu (sebagian hasil pengerasan) yang sulit dilalui
ketika musim penghujan. Selain menjadi buruh tani, ada juga
penduduk yang menjadi buruh pabrik, pedagang dan tukang ojek.
Sumber : data dasar desa Pasirmuncang tahun 2011
Gambar 11. Komposisi Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK)
di Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah)
Pabrik gula yang beroperasi di pasirmuncang ini sudah masuk
kontrak tahap II. Setiap sekali kontrak memiliki jangka waktu hingga
20 tahun. Kontrak pertama dimulai tahun 1982 s.d. 2002, lalu kontrak
kedua tahun 2002 s.d. 2022. Beberapa warga menuturkan, “kalau
boleh memilih, lebih baik pabrik gula ini pergi dari sini. Sebab, jika
dihitung-hitung, kami warga masyarakat banyak dirugikan”. Selain
memberikan lapangan pekerjaan bagi sebagian warga, adanya
perkebunan tebu ini memang juga menyebabkan beberapa kerugian
bagi warga lainnya, seperti :
ï‚·
Kerusakan infrastruktur dan lingkungan karena banyaknya truktruk besar yang lewat setiap hari
ï‚·
Pada waktu tertentu, alat-alat berat juga masuk untuk pengolahan
tanah (penggemburan/pembalikan)
ï‚·
Akibatnya, pada musim kemarau, debu berterbangan kemanamana, jalanan rusak dan berlubang tanpa pernah diperbaiki.
Diperbaiki pun percuma, pasti rusak lagi.
ï‚·
Pada musim penghujan, tanah-tanah dari kebun tebu yang
berlumpur merah itu longsor dan masuk ke sawah-sawah milik
warga. Dari tahun ke tahun, sawah-sawah di desa ini semakin
dangkal akibat longsor tersebut.
Menurut penuturan beberapa informan, kebanyakan warga di
desa Pasimuncang ini memiliki kebiasaan “nganjuk” (hutang), baik ke
warung, toko, maupun ke tetangga. Sebab, mereka sudah dari dulu
terbiasa mengandalkan upah dari PT (pabrik gula). Oleh karena itu,
siapapun yang mau jadi pedagang atau buka warung di Pasirmuncang,
konon harus punya modal 7 kali lipat dari biasanya, untuk
mengantisipasi kebiasaan nganjuk dari warga tersebut. jika modal
usaha/berdagang terlalu sedikit, maka kemungkinan besar akan
rugi/bangkrut karena kebiasaan nganjuk tersebut.
Sumber : Data dasar desa Pasirmuncang tahun 2011
Gambar 12. Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian penduduk Ds.
Pasirmuncang tahun 2011
4.3. Subang Selatan
Subang selatan merupakan daerah yang berbukit-bukit dan
bergunung-gunung. Orang Subang menyebut daerah selatan ini
sebagai daerah tonggoh (atas). Sebagai daerah dengan topografi
pegunungan
semacam
itu,
menyebabkan
bentuk-bentuk
perkampungan/desa yang khas pula, yaitu menggerombol satu sama
lain. Salah satu kecamatan yang paling padat penduduknya di wilayah
Subang Selatan ini adalah Kecamatan Cijambe. Di Kecamatan
Cijambe ini, penelitian dilakukan di desa Cimenteng, salah satu desa
yang berlangganan mendapat kategori sebagai desa tertinggal sejak
tahun 1982. Desa berpenduduk 3.961 jiwa ini berjarak kurang lebih 20
km dari jalan raya utama Cijambe (Subang-Bandung).
Sumber : profil desa Cimenteng tahun 2010
Gambar 13. Komposisi Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) di
Ds. Cimenteng tahun 2010
Meskipun desa-desa di tonggoh ini nampak terisolasi, bukan
berarti tidak tersentuh oleh perubahan. Justru yang mengherankan,
rumah-rumah penduduk disini tidak kalah bagus dengan rumah-rumah
di perkotaan (berlantai keramik, bertembok bata, memiliki parabola,
dan sebagainya). Infrastruktur jalan yang kurang memadai tidak
menghalangi warga desa Cimenteng, misalnya, untuk membangun
kehidupan yang lebih baik. Meskipun sebagian besar warga
menggantungkan kehidupan dari hasil hutan dan ladang, banyak pula
yang mengadu nasib ke luar negeri (Arab dan Malaysia) serta yang
menikah dengan penduduk dari luar desa/kota. Dengan demikian,
jangan
dibayangkan
masyarakat
tonggoh
ini
sebagai
sebuah
masyarakat yang tertutup dan homogen seperti jaman dahulu,
melainkan kini sudah cukup heterogen dan dinamis layaknya desadesa di dataran rendah. Teknologi komunikasi dan transportasi
memudahkan mereka untuk mencapai kemajuan yang setara itu.
Sumber : Profil desa Cimenteng tahun 2010
Gambar 14. Komposisi Pekerjaan Penduduk di Desa Cimenteng, Kec.
Cijambe tahun 2010
Sumber : Subang dalam Angka, BPS, 2010:12
Gambar 15. Perbandingan jumlah KK Total dan KK miskin di tga
kecamatan tempat lokasi penelitian tahun 2010
Tabel 7. Lokasi Penelitian dan Gambaran Umum Tradisi Sosial di 3 Desa
Kecamatan
Desa
Dusun
Kondisi
Geografis
Mata
pencaharian
Istilah untuk
tradisi
Gantangan
Blanakan
(Subang Utara)
Jaya Mukti
Tegaltangkil
Pesisir, Dataran Rendah, komunitas petambak
dan pertanian padi
Petambak, Petani, buruh tani
Pendapatan petambak benur rata-rata Rp.
900.000/bulan
(dengan luas tambak 1 ha)
Cikaum
(Subang Tengah)
Pasir Muncang
Awilarangan
Dataran rendah, komunitas sekitar
perkebunan tebu dan pertanian padi
Mayoritas pekerjaan petani/buruh tani
di perkebunan tebu dengan beberapa
jenis pekerjaan, antara lain :
Nanem : diupah Rp. 15.000/ ½ hari
Babat : diupah Rp. 30.000/ ½ hari
Nglethek : diupah Rp. 15.000/ ½ hari
Nebang : diupah Rp. 50.000/ ½ hari
Cijambe
(Subang Selatan)
Cimenteng
Cimenteng
Dataran tinggi, perbukitan, komunitas sekitar
hutan (peladang) dan pertanian padi
Mayoritas penduduk bermatapencaharian
sebagai petani, buruh tani, dan peladang
ï‚· Telitian = pertukaran uang dan beras dalam ï‚· Rombol = Pertukaran uang dan beras
ï‚· Andilan = uleman Rp. 1000, (jaman harita
satu desa (antar dusun), dilakukan ketika
dalam satu dusun, dilakukan ketika
dicatet, tapi artos hungkul).
rumah tangga melakukan hajat atau
rumah tangga memiliki kebutuhan
ï‚· Persatuan = Pertukaran uang dan beras
membangun rumah. Jumlah minimum
mendesak, seperti membangun rumah,
ketika hajatan dengan sesama warga satu
sumbangan ½ gantang s.d. 1 gantang, tidak
sumur, dll
kampung/dusun
diatur oleh panitia, melainkan oleh masing- ï‚· Gantangan = Pertukaran uang dan
ï‚· Gintingan = Pertukaran uang dan beras
masing bapak hajat (menyebarkan undangan
beras antara warga dusun Awilarangan
ketika Hajatan dengan warga di luar
seminggu sebelum hari H)
dan warga Dusun Waladin, dilakukan
kampung/dusun
ï‚· Golongan/Lawangan = pertukaran uang dan
ketika hajatan
ï‚· Kondangan : Uleman (Undangan) untuk
beras (arisan) yang dilakukan dalam satu
ï‚· Talitihan = Sumbangan/simpanan
bapak, simpanan berupa artos (uang),
kelompok terdiri dari 20-30 orang. Jumlah
yang diberikan sebelum hajatan,
Uleman untuk istri, simpanan berupa beas
minimum beras dan uang adalah 50 kg,
biasanya berupa bumbu dapur atau
(beras)
daging 25 kg, dll. Dikoordinir oleh panitia
sembako.
ï‚· Liliuran : iuran/gintingan untuk
(Bpk. Cartiwan dan Bapak H. Abdul
pembangunan rumah warga
Rohman)
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Sosio-Historis
5.1.1. Arkeologi Kebudayaan Masyarakat Sunda
Masyarakat asli nusantara memiliki kepercayaan dan keyakinan
(sistem nilai) yang khas dan dapat ditelusuri secara arkeologis maupun
hermeneutis-historis. Jakob Sumardjo (2002) adalah salah satu ilmuwan
yang mencoba untuk menelusuri arkeologi kebudayaan asli masyarakat
Nusantara tersebut dan melahirkan tulisan tentang sejarah ringkas
kerohanian Indonesia (2007:3-84). Di dalam salah satu bab penelitiannya,
Jakob Sumardjo mencoba membandingkan karakteristik masyarakat asli
Indonesia dari beragam latar ekologis, seperti masyarakat berburu-meramu
(hutan), pesisir-laut, ladang-pegunungan, dan sawah-dataran. Berbagai tipe
masyarakat tersebut ternyata memiliki alam berpikir primordial yang khas
dan menjadi akar kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam konteks
penelitian modal sosial Gantangan di Kabupaten Subang (Sunda-Jawa
Barat) ini, akan sangat relevan jika kita memahami karakteristik primordial
masyarakat Sunda terlebih dahulu, sehingga kita akan lebih memahami
akar budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya melanggengkan
kebudayaan, struktur dan hubungan-hubungan sosialnya saat ini.
Dalam sistem kepercayaan asli masyarakat Nusantara ini,
sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk pemahaman ruang yang disebut
dengan (1) pembagian dua (dualisme-antagonistik) (2) pembagian tiga atau
kesatuan tiga dan (3) kesatuan lima atau sembilan. Pembagian dua
merupakan pemahaman ruang yang berkembang dalam masyarakat
pemburu-peramu, peladang, dan maritim (Sumardjo, 2007:18). Prinsip
pembagian dua ini tidak hanya digunakan untuk memaknai ruang dan
waktu, melainkan juga untuk memaknai sistem kekerabatan, sistem
pekerjaan, alam binatang, alam tumbuhan dan lain sebagainya. Pembagian
dua itu selanjutnya diklasifikasikan dalam dua oposisi dasar “laki-laki”
(luar, atas, muka, kanan, langit, timur, utara, matahari) dan “perempuan”
(dalam, bawah, belakang, kiri, bumi, barat, selatan, bulan). Wujud lain
filosofi pembagian dua ini nampak menonjol di dalam pola kain tenun dan
sarung tradisionalnya yang bermotif “kotak-kotak”, dimana garis vertikal
menggambarkan pasangan-pasangan oposisi tersebut dan garis horizontal
menggambarkan harmoni atau kesatuan dari pasangan oposisi tersebut.
Selain ditemukan dalam budaya primordial suku-suku di papua, filosofi
dualisme antagonistik tersebut juga nampak dalam cerita Cupak-Grantang,
Bubukshah-Gagangaking, Panji dan Topeng Cirebon.
Selanjutnya, pembagian tiga atau kesatuan tiga banyak dijumpai di
masyaraka
perladangan.
Pembagian
tiga
ini
lebih
menekankan
independensi ruang dan egaliterianisme yang masih dapat disaksikan
dalam masyarakat Baduy (Kanekes, Banten) melalui kesatuan tiga
kampung sucinya (Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana) (Adimihardja,
2008:127), atau di Minangkabau dengan pembagian tiga luhaknya (Tanah
Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota), prinisp triangtu (Sunda), tigo
sejarangan (Minang) dan dalian na tolu (Batak). (Sumardjo, 2007:21).
Dalam kesatuan tiga ini dikenal hubungan “dalam” (kebebasan) dan “luar”
(persamaan). Orang dalam adalah orang sekampung yang mandiri dan
orang luar adalah orang dari kampung lain yang memiliki kemandirian
yang sama. Biasanya mereka menganut prinsip perkawinan eksogami (lain
darah). Kesatuan tiga juga nampak menonjol dalam tenunan kain ulos
Batak maupun Baduy yang selalu ada bidang “dalam” (bagian terluas
bidang hias) dan bidang “luar” (sisi kiri dan kanan bidang utama).
Pembagian ruang masyarakat Indonesia purba yang terakhir adalah
prinsip pembagian lima atau sembilan yang banyak berkembang dalam
masyarakat sawah. Sebagai masyarakat yang memproduksi makanan,
maka mereka tinggal menetap dan hidup bersama-sama dalam satu ruang.
Konsentrasi manusia pada satu wilayah ini membutuhkan pengaturanpengaturan kolektif (membuka lahan, mengolah lahan, irigasi dan
pengairan, pengerjaan lahan, dan lain-lain) yang memungkinkan lahirnya
“pusat” pengaturan (papat keblat, kalimo pancer-jawa). Kesatuan lima ini
berorientasi pada lokalitas, dimana manusia itu terikat dengan tanah
dimana ia berada (Sumardjo, 2007:23). Masyarakat sawah adalah
masyarakat kerja, sehingga ia tidak mengenal “ruang/orang dalam” atau
“ruang/orang luar”. Semua akan diakui menjadi orang dalam sepanjang
menunjukkan fungsinya di dalam masyarakat dan setia kepada pusat. Etika
moral tertingginya adalah solidaritas kerja. Ekspresi keterbukaan ini juga
dominan dalam batik Jawa, misalnya, yang memiliki pola terbuka dan
tanpa pembatas.
Tabel 8. Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis
Masyarakat berburuMeramu/Nelayan-Laut
Konsumtif (food gathering
people)
Keasatuan dua
Unsur waktu dan
kerohanian Dinamistik
Berjiwa merdeka,
konsumtif, egaliter,
mobilitas tinggi,
humoristik (menyadari
kelemahan diri), “manja”,
etos kerja dan
profesionalitas rendah
karena terdidik dalam
kemurahan alam yang
terberi, kuat koletivitasnya,
fanatik pada lingkungan
“orang dalam”nya sendiri
Masyarakat Peladang
Masyarakat Sawah
Setengah produktif dan
konsumtif (peramu)
Kesatuan tiga
Unsur waktu dan
kerohanian Animistik
Mentalitas ganda,
konsumtif-produktif,
dependen-independen,
kolektivisme berdasarkan
pertalian darah sangat
kuat, kedudukan keluarga
inti amat penting,
solidaritas hanya terbatas
pada lingkungan keluarga
inti, kategori “orang
dalam” dan “orang luar”
ditonjolkan, mudah “iri
hati” dengan kesuksesan
orang lain (sebab dalam
masyarakat peladang yang
serba terbatas, kelebihan
satu orang berarti
merampas milik bersama)
Produktif (food
producing people)
Kesatuan lima
Unsur waktu dan
kerohanian Animistik
Komunal (dependenkolektif), solidaritas
yang kuat, produktif
dan lokalitas yang kuat
(tanah pertanian adalah
segalanya),
konvensional, sulit
menerima perubahan,
semua yang dari “luar”
diintegrasikan dengan
pihak “dalam”
Raja tetap sebagai
manusia, dewa adalah
sesembahannya
Kurang agresif
Raja tetap sebagai
Raja dianggap memiliki
manusia, dewa adalah
kekuasaan adikodrati
sesembahannya
(paham dewaraja)
Kurang agresif
Agresif
Sumber : Sumardjo, 2007:22-26
Masyarakat Sunda (Jawa Barat) sebenarnya masuk dalam kategori
masyarakat peladang. Namun demikian, sejak jaman Hindu-Budha,
masyarakat Sunda juga sudah mengenal dunia persawahan dan kelautan.
Peradaban Sunda pada masa itu lebih mirip dengan peradaban melayu
(Sriwijaya) yang juga dekat dengan perladangan dan kelautan. Dengan ciri
kesatuan tiga yang dimiliki masyarakat peladang dan perbukitan ini, maka
kita menjadi mengerti mengapa di Sunda tidak muncul kerajaan besar yang
menguasai seluruh Sunda.
Kerajaan-kerajaan di Sunda (Taruma,
Padjajaran, Galuh, Saunggalah) merupakan kerajaan Hindu-Budha yang
relatif mandiri satu sama lain dan tidak agresif (Sumardjo, 2007:36).
Sekalipun pusat-pusat kerajaan Sunda ini berada di peradaban Sawah,
namun sebagain besar kampung-kampung Sunda berada di perbukitan dan
diberikan otonomi penuh dari kerajaan (elit). Akibatnya, peradaban HinduBudha cenderung hanya menjadi milik para elit, sementara rakyat jelata
memegang keyakinannya sendiri-sendiri sampai pada akhirnya Islam
masuk ke pelosok-pelosok kampung ini. Maka tidak heran, meskipun
peradaban Hindu-Budha pernah bercokol hingga 1100 tahun di tatar
Sunda, tetapi sisa-sisa cara berpikir dan kepercayaan Hinduisme justru
tidak terlalu dominan pada masyarakatnya sebagaimana di Jawa Tengah
dan Timur. Sunda justru identik dengan Islam.
Pada masa peradaban Hindu, wilayah Kabupaten Subang (dulu
merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Purwakarta) menjadi bagian
dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama
berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang
diperkirakan sudah ada kontak dengan beberapa kerajaan maritim hingga
di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik
asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7
hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah
yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah
Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’
Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara
menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah
timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda 12.
Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya
wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat
kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan
Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk
dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia.
Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di
kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang
akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara
Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung
kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang,
tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang
memerintah secara turun-temurun.
Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa.
Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah
yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en
Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan
sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan
12
Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kabupaten Subang (2011:14-17)
Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai
212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di
daerah
ini,
pemerintah
Belanda
membentuk
distrik-distrik
yang
membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah
pimpinan
seorang
kontrilor
BB
(bienenlandsch
bestuur)
yang
berkedudukan di Subang.
Berbagai pengalaman sejarah diatas menunjukkan bahwasanya
masyarakat Sunda-Subang yang memiliki karakteristik sebagai masyarakat
peladang-sawah telah bersentuhan dengan berbagai kebudayaan luar,
seperti Hindu-Budha, Islam, Eropa (Belanda) dan kebudayaan dari Jawa.
Modernisasi di segala bidang yang hadir belakangan juga menambah
warna akulturasi kebudayaan Sunda-Subang itu sendiri. Meskipun
demikian, akar kebudayaan asli masyarakatnya (egaliter-independen) tidak
lantas hilang sama sekali, tetapi juga sudah tidak ada yang utuh sama
sekali. Semua gejala akulturasi tersebut masih dapat kita amati dalam
simbol-simbol yang hadir di perayaan pesta hajatan masyarakat pedesaan
Subang hari ini. Misalnya peninggalan Hindu yang masih tersisa seperti
hadirnya sesajen, pawang hujan, wayang kulit, lalu upacara dan doa-doa
yang dilakukan merupakan sinkretisme antara ritualisme Hindu-Budha
tetapi dengan isi Islam, kesenian seperti Sisingaan merupakan peninggalan
dari kolonialisme dimana menunggangi replika singa merupakan simbol
pengusiran kepada penjajah (Inggris dan Belanda), hingga hiburan-hiburan
kontemporer seperti dangdut, organ tunggal, dan jaipong tampil mewakili
modernitas yang diadopsi.
5.1.2. Sistem Nilai Sosial dan Budaya Masyarakat Pedesaan Subang
Masyarakat Subang, secara sosio-historis maupun ekologis adalah
suatu bentuk masyarakat yang sangat lekat dengan kehidupan agraris.
Berbagai bentuk aktivitas produksi pertanian, mulai dari pertanian sawah
(padi), perkebunan, perikanan darat dan laut serta perladangan-hutan, telah
menjadi matapencaharian pokok masyarakat Subang secara turun
menurun. Dengan bentang alam yang sangat mendukung pengembangan
pertanian, maka sistem sosial budaya masyarakatnya pun tidak lepas dari
siklus-siklus alami dunia pertanian itu sendiri. Aktivitas-aktivitas yang
sedang dilakukan di dunia pertanian akan sangat berpengaruh kepada
aktivitas-aktivitas keseharian mereka. Karena kedekatan dengan alam itu
pula, ketergantungan masyarakat terhadap “kebaikan”, “kemurahan” atau
“anugerah” alam pun menjadi sangat tinggi. Sebuah sikap mental yang
khas dimiliki petani.
Wujud ketergantungan kepada kebaikan alam itu, misalnya,
terwujud dalam bentuk-bentuk pola perilaku13 yang lebih kongkrit seperti
dalam upacara-upacara adat atau norma-norma kehidupan bermasyarakat.
Misalnya upacara sebelum menanam padi, upacara ketika panen (mapag
sri/mapag pare), upacara ruwat bumi, pesta laut atau ruwat laut, dan lain
sebagainya. Sistem sosial masyarakat agraris semacam ini dilakukan
dalam semangat kolektivitas dan tolong menolong yang kemudian lebih
dikenal dalam konsep Gotong Royong 14.
Upacara-upacara ataupun
seremonial di dunia pertanian itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri,
tetapi harus disokong sebagian besar komunitas karena memiliki rasa
ketergantungan dan nilai-nilai penghormatan terhadap alam yang relatif
sama.
13
Menurut Koentjaraningrat (1982:5-6)., kebudayaan manusia itu terbangun dan terwujud ke dalam
tiga unsur, (1) wujud ideal (gagasan, ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dsbnya) (2) wujud
perilaku (sistem sosial, aktivitas kompleks) dan (3) wujud fisik (artefak, benda-benda hasil karya
manusia)
14
Konsep ini kemudian diangkat menjadi slogan pembangunan kabupaten Subang yang berbunyi
“Rakyat Subang Gotong Royong, Subang Maju”, dan diangkat juga dalam program pembangunan
pedesaan dengan konsep “Desa Mandiri Gotong Royong”.
Gambar 16. Gotong royong di Pedesaan Subang
Kolektivitas Sosial yang mengakar dalam gotong royong itulah
yang kemudian tercermin dalam perilaku sosial dan sistem sosial seharihari masyarakat pedesaan Subang. Berbagai siklus kehidupan senantiasa
dirayakan beramai-ramai, mulai dari kelahiran, khitanan, perkawinan,
hingga kematian seseorang. Semua aktivitas itu dilakukan dalam kerangka
untuk menjaga harmoni sosial. Kolektivitas ini juga kentara dalam bentukbentuk kesenian lokal yang digemari masyarakat, seperti jaipong,
sisingaan, film (layar tancap), hingga organ tunggal pun selalu meriah dan
melibatkan banyak orang, baik di atas panggung maupun dibawah
(penonton dan pengiring). Kolektivitas paling utama dahulu tercermin di
dalam dunia pertanian, dimana sejak pengolahan lahan, pemeliharaan
hingga pemanenan dilakukan dengan gotong royong (sebelum mengenal
sistem upah), baik dalam satu lingkungan keluarga maupun tetangga dekat.
Kolektivitas ini tidak hanya nampak sebagai sebuah perilaku kolektif,
melainkan juga melahirkan mentalitas yang ingin agar diri dan
kelompoknya dapat terlihat baik di mata orang atau kelompok lain
Meskipun pada akhirnya, ketika desa-desa kian terbuka dan dunia
pertanian mengalami komersialisasi ekonomi akibat keberhasilan revolusi
hijau, kolektivitas masyarakat pedesaan Subang ini juga mengalami
kemunduran. Sistem upah (monetisasi) yang dibawa masuk oleh sistem
ekonomi pasar telah mengubah nilai-nilai solidaritas dan kolektivitas
masyarakat ini menjadi semakin individualis dan komersil. Nilai-nilai dan
norma-norma adat mengalami desakralisasi akibat ilmu pengetahuan,
teknologi, dan mekanisasi pertanian yang terus masuk hingga ke pelosokpelosok desa. Ciri penanda ekonomi pra-kapitalis yang dahulu melekat
(redistribusi pangan melalui lumbung padi dan resiprositas dalam tolongmenolong, silih genten) kini telah mengalami perubahan bentuk akibat
pengaruh komersialisasi atau ekonomi pasar/kapitalis tersebut.
Namun, kolektivitas sosial dan sistem ekonomi pra-kapitalis khas
pedesaan tradisional itu tidak sepenuhnya hilang atau sepenuhnya
bertahan, melainkan terjadi perpaduan antara nilai-nilai lama (tradisionalkolektif) dan nilai-nilai baru (modern-individualistik) yang menghasilkan
sebuah sistem sosial baru yang unik. Contohnya, kolektivitas yang
merupakan
modal
sosial
masyarakat
tradisional kemudian
harus
berkompromi (comformity) dengan kepentingan-kepentingan individu
yang berorientasi pada kemakmuran pribadi (homo economicus).
Akibatnya, kita akan melihat bagaimana muncul transaksi-transaksi
ekonomi di dalam sebuah hubungan yang seharusnya bersifat sosial.
Dengan kata lain, kita akan melihat bagaimana tindakan dan tradisi sosial
ini ekuivalen (sama) dengan tindakan ekonomi. Salah satu bentuk sistem
sosial baru ini tercermin dalam gotong royong dan tolong menolong itu
sendiri, yakni ketika resiprositas umum (generalized reciprocity) bergeser
menjadi resiprositas yang sebanding (balanced reciprocity) dan bahkan
menjadi sistem pertukaran sosial dan ekonomi yang baru.
Sistem pertukaran sosial dan ekonomi baru inilah yang akan
didalami dalam penelitian ini. Salah satu topik yang dapat diangkat dan
diharapkan
mampu
memberikan
gambaran
secara
komprehensif
bagaimana perpaduan nilai-nilai tradisional dan modern ini dapat berjalan
adalah dengan mencari bentuk aktivitas yang menyentuh seluruh lapisan
masyarakat. Banyak peneliti sosial dan ekonom di masa lalu yang menera
persoalan ini dari kegiatan di dunia pertanian. Akan tetapi, dengan
perubahan struktur masyarakat dan diferensiasi pekerjaan yang semakin
luas, nampaknya menggali hanya dari aktivitas di dunia pertanian belum
menggambarkan kondisi seluruh lapisan masyarakat (karena semakin
banyak orang desa yang meninggalkan dunia pertanian).
Oleh karena itu, peneliti mencoba mengangkat fenomena atau
bentuk kegiatan dalam hubungan-hubungan sosial, hingga ditemukan pesta
hajatan sebagai medan penelitian. Sebab, hampir seluruh anggota
masyarakat di pedesaan (apapun latar belakang pekerjaannya) masih
memegang teguh tradisi mengadakan perayaan pada momen atau siklus
hidup tertentu. Dari fenomena pesta hajatan inilah kita akan menemukan
bagaimana sosok homo economicus dan homo sociologicus di pedesaan ini
muncul bersamaan dalam modal sosial gantangan yang mereka bangun
dan lestarikan dalam setiap pesta hajatan di pedesaan Subang.
5.2. Pengorganisasian Gantangan dalam Pesta Hajatan
Pesta hajatan15 di pedesaan adalah sebuah kesibukan massal yang unik
dan khas. Di dalamnya terdapat perpaduan antara aktivitas sosial, religius,
ekonomi, kesenian dan bahkan politik. Pesta hajatan itu sendiri memiliki
berbagai sebutan, istilah, aturan main, dan makna yang berbeda antara satu
daerah dengan daerah yang lainnya. Bukan hanya antar daerah, bahkan antar
dusun dan desa yang berdekatan pun bisa sangat berbeda. Ibarat peribahasa “lain
ladang, lain belalang. Lain tempat, lain pula tradisinya”. Oleh karena itu, dilihat
dari perspektif sosiologi, pesta hajatan ini bukan hanya sekedar “upacara
seremonial” yang ajeg dan rutin saja, melainkan juga merupakan sebuah sistem
15
Hajatan = berasal dari kata “hajat” yang berarti “keinginan atau harapan”. Maknanya
adalah apabila seseorang atau keluarga memiliki hajat, maka pengharapan tersebut dapat
diwujudkan dalam sebuah upacara atau pesta dengan mengundang orang banyak yang
biasanya disertai jamuan makan dan hiburan tertentu. Pelaksanaan hajatan disesuaikan
dengan tuntunan adat atau religi yang dianut. Tujuannya adalah agar keinginan tersebut
terkabul sekaligus sebagai bentuk rasa syukur dan secara simbolik menjadi penanda status
sosial seseorang/keluarga.
tindakan dan perilaku yang kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan
oleh keterlibatan banyak orang (massal) sehingga memungkinkan lahirnya
banyak motif serta hubungan sosial, melainkan juga berbagai elemen dan faktor
pembentuk sistem itu sendiri yang beragam, mulai dari struktur sosial
masyarakat, kondisi agro-ekologis, religi dan alam pemikiran yang berkembang
serta keterbukaan masyarakat terhadap pengaruh dari luar, seperti teknologi dan
sistem ekonomi pasar.
Gambar 17. Hajatan dengan jamuan prasmanan yang sangat sederhana
(kiri) tetapi beras gantangan yang dikumpulkan mencapai ratusan karung
(kanan)
Kompleksitas sebuah pesta hajatan di pedesaan ini paling tidak dapat
ditandai dalam pola pertukaran sosial yang terbentuk, misalnya dalam gotong
royong dan kebiasaan nyumbang antar warga. Di beberapa daerah di Pulau Jawa,
solidaritas dalam bentuk gotong royong dan nyumbang/nyambungan ini
terindikasi mengalami evolusi atau perubahan, dari semula yang bersifat altruis
(murni tolong menolong) menjadi cenderung selfish dan materialis. Sebagai
Indikator adalah munculnya standarisasi, monetisasi dan bahkan komersialisasi
hajatan itu sendiri. Lahirnya sistem pencatatan sumbangan menandai
berakhirnya sumbangan sukarela menjadi suatu kewajiban (hutang-piutang).
Kewajiban sosial inilah yang seringkali bersifat in-elastis terhadap kondisi
ekonomi rumah tangga dan pada akhirnya menimbulkan gesekan horizontal
maupun vertikal. Meskipun, jika dilihat dari sisi lain, kewajiban resiprokal
tersebut dapat pula bermakna sebagai investasi, tabungan atau arisan sosial yang
dimiliki oleh rumah tangga pedesaan dan berfungsi sebagai pengikat satu sama
lain (modal sosial dan jaminan sosial informal).
Dengan pemahaman bahwa tradisi sosial seperti pesta hajatan di
pedesaan ini sebagai suatu sistem tindakan dan perilaku yang kompleks,
penelitian ini mencoba untuk melihat lebih dalam dan mengangkat ke
permukaan berbagai kompleksitas yang dimaksud. Mulai dari aktor-aktor yang
terlibat, simbol-simbol dan barang-barang yang dipertukarkan, jejaring yang
terbentuk, norma-norma yang terbangun, nilai-nilai kolektif dan subjektif yang
diakui, pola-pola pengelompokan secara sosiologis, frekuensi dan ukuran
ekonomis, serta faktor-faktor signifikan lainnya yang menyebabkan tradisi sosial
di pedesaan ini dapat tetap adaptif. Sebagai arena untuk membedah itu semua,
penelitian ini akan mengangkat fenomena tradisi pesta hajatan dan pertukaran
sosial Gantangan di pedesaan Subang yang diindikasikan telah mengalami
komodifikasi dan komersialisasi secara sosial dan ekonomi, yakni menjadikan
hajatan adalah ajang untuk mencari untung (usaha).
Tabel 9. Aktor-Aktor dalam Hajatan dan Gantangan
Aktor-Aktor
Bapak Hajat
Pengantin hajat
Kebayan
Panitia Gantangan
Tamu Undangan
Keterangan
Pemilik hajat atau penarik simpanan
Gantangan
Misalnya anak yang dikhitan, perawan
yang dinikahkan, cucu yang dilahirkan
dan lain sebagainya
Panitia atau penyelenggara hajatan,
ditunjuk oleh keluarga bapak hajat
terdiri dari :
Tukang nyangu (masak)
Juru tulis gantangan
Tukang cuci piring
Tukang parkir
Pembawa dan penimbang beras
Penerima tamu
wakil Bapak hajat dalam mengundang,
mencatat, dan menagih simpanan atau
hutang Gantangan
Orang-orang yang menerima
undangan, baik Gantangan maupun
Pola Relasi
Pengundang
komoditas hajat
Disewa/dikontrak
Resiprokal
Disewa/dikrontrak
Jatah desa (karang
taruna)
Disewa
Keluarga
Dibayar &
Diongkosi
Resiprokal
Bandar hajatan
Perlengkapan
hajatan
Tatanggapan
Pawang hajat
Individu atau
Perusahaan Jasa
Penikmat hiburan
(penyawer)
Penyedia
minuman keras
Kondangan/surat undangan
penyedia kebutuhan hajatan, seperti
beras, daging, sayuran, dan sembako
lainnya yang bersedia meminjamkan
bahan-bahan tersebut kepada bapak
Hajat sesuai dengan kesepakatan dan
biasanya dibayar setelah hajatan
selesai. Bandar Beras (pembeli beras
hasil Gantangan, dengan selisih harga
Rp. 500-Rp.1000/kg lebih murah dari
harga pasar. Biasanya ia juga berperan
sebagai bandar Hajatan)
tenda, kursi, panggung, soundsystem,
dekorasi, baju pengantin dan tata rias,
piring dan gelas, dan lain sebagainya
Sinden, gamelan, kelompok kesenian
jaipong, sisingaan, tardug, tarling,
organ tunggal, qosidahan, ceramah,
kuda renggong, degung, wayang golek,
wayang kulit, layar tancap
Dukun atau “orang pinter” untuk
pemilihan “hari baik”, pawang hujan,
orang yang menyusun dan menjaga
peperen (tempat sesajen)
Percetakan undangan
Video shooting
Tukang listrik/genset
Penyedia mobil pick up (sarana
transportasi massal untuk menghadiri
hajatan yang jauh jaraknya)
Biasanya saudara atau keluarga bapak
hajat yang ingin ikut memeriahkan
acara hiburan atau para tamu undangan
yang ingin menikmati hiburan dengan
sambil berjoged dan menyawer kepada
penyanyi/penari diatas panggung.
Biasanya ada pembawa acara yang
bertugas mengundang orang untuk
nyawer, karena dari saweran inilah
tambahan pendapatan bagi kelompok
hiburan ini diperoleh.
Minuman keras disediakan untuk anakanak muda atau kaum pria yang
bertugas menggotong singa atau
mereka yang ingin meramaikan acara
hiburan dengan berjoged. Minuman
keras ini berfungsi untuk
menghilangkan rasa malu untuk
berjoged dan konon menambah
Dibayar selesai
hajat
Disewa
Disewa/dikontrak
Dibayar
Resiprokal
Hanya meramaikan
acara
Lebe
Pedagang Kaki
Lima
Aparat Keamanan
stamina dan percaya diri, meskipun
seringkali minuman keras ini jugalah
yang memicu keributan-keributan kecil
dalam pesta hajatan. Biasanya
dilakukan sembunyi-sembunyi (di
belakang panggung) tetapi juga
seringkali terbuka dan dianggap wajar.
Naib atau penghulu dan juru khitan,
yaitu orang-orang tertentu yang
memiliki keahlian dan atau dipercaya
oleh bapak hajat untuk melakukan
tugas-tugas ritualnya. Penghulu
biasanya petugas resmi dari KUA.
Penjual mainan anak-anak, penjual
makanan dan minuman yang biasa
memadati area hajatan. Semakin besar
pesta hajatan maka akan semakin
ramai para PKL yang datang.
Aparat desa, satgas/hansip, kepolisian,
tentara
Dibayar dan
diongkosi
Hanya meramaikan
acara
Dibayar lewat
biaya perijinan
5.2.1. Seremonial Hajatan
Untuk membuktikan bahwa sebuah pergelaran pesta hajatan di
pedesaan ini merupakan sebuah kompleksitas sosial dan “kesibukan
massal” adalah dengan mangamati sejak seseorang atau suatu keluarga
merencanakan hajatan, melaksanakan, hingga memanfaatkan hasil
hajatannya. Betapa sebuah pesta hajatan – sekecil dan sesederhana apapun
– tetap melibatkan dan mempengaruhi banyak orang. Bahkan, secara
langsung maupun tidak langsung, lingkungan alam (musim) dan
lingkungan sosial saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
adanya
hajatan ini. Berikut beberapa detail tahapan yang dijalankan oleh
seseorang atau keluarga yang akan mengadakan hajatan
Persiapan Hajatan
Ketika seseorang atau rumah tangga terbesit niat untuk hajatan,
biasanya mereka akan melakukan beberapa tindakan, antara lain :
a. Berunding dengan keluarga. Berunding dengan orang tua atau
keluarga besar biasanya dilakukan untuk memberi kabar sekaligus
meminta persetujuan dan menagih “komitmen” keluarga untuk turut
membantu secara material maupun tenaga.
b. Mencari “hari baik”. Jika sudah mendapat persetujuan, mereka akan
mendatangi “orang pintar” seperti kokolot16, dukun atau kyai untuk
meminta hari baik (tanggal pelaksanaan hajatan). Termasuk juga ke
tukang nyarang hujan (menangkal hujan/pawang hujan). Tarif pawang
hujan Rp. 200.000,- biasanya H-10.
c. Mengumpulkan modal. Jika hari baik atau tanggal sudah diperoleh,
maka bapak hajat akan mengumpulkan modal, baik dari dompet
sendiri, keluarga, maupun meminta “panjer17” dari Bandar. Biasanya,
Bandar akan melihat status ekonomi bapak hajat, jika dianggap
mampu mengembalikan, maka ia bisa memberi modal hingga Rp.
5.000.000,-, jika dianggap kurang mampu/tidak meyakinkan, biasanya
maksimal hanya diberi panjer Rp. 3.500.000,d. Membentuk panitia. Bapak hajat akan membentuk pemangku
hajat/panitia hajat dengan cara mengumpulkan keluarga dan beberapa
tetangga dekat untuk melakukan musyawarah dan pembagian tugas.
Misalkan siapa yang menjadi juru tulis. Panitia hajat ini paling sedikit
15 orang.
e. Menyewa perlengkapan. Bapak hajat dibantu panitia yang telah
dipercaya akan mempersiapkan berbagai perlengkapan hajat, seperti
sewa tenda, sewa panggung, sewa kursi, sewa sound system, sewa
16
Kokolot = orang yang dituakan, sesepuh
Panjer = modal awal yang dipinjam bapak hajat dari orang tertentu (Bandar), biasanya
orang kaya. Bandar itu kemudian akan meminjami sejumlah uang tertentu dengan jaminan
beras hasil hajatannya tidak akan dijual kepada orang lain, melainkan hanya kepada Bandar
yang meminjami modal tersebut. Harga jual beras hajat itu pun disepakati bersama ketika
transaksi peminjaman panjer ini berlangsung.
17
hiburan, dan sewa berbagai kebutuha lain yang disesuaika dengan
modal dan kemampuan yang dimiliki. Akan tetapi, sekalipun tidak
memiliki modal cukup, semua perlengkapan tersebut biasanya juga
melayani pinjaman dengan sistem “dibayar setelah hajat”.
Tabel 10. Jenis dan Tarif Sewa Hiburan Untuk Hajatan di Subang Utara
No
Hiburan
Tarif Murah
Tarif Mahal
1
Wayang
Kulit
Rp. 5.000.000,-
Rp. 7.000.000,-
2
3
Sandiwara
Organ
Tunggal
4
Karedok
(Karaoke
Dodok/Tanpa
Panggung)
Odog-Odong
(Pengantin
Singa)
5
6
Qosidahan
7
Film (Layar
Tancap)
8
9
Tarling
Jaipong
Jumlah
Orang
Asal Grup
Indramayu
Meskipun di daerah Sunda, namun wayang kulit disini tetap
berbahasa Jawa. Mengingat warga Pantura banyak keturunan
Pantura Jawa (Indramayu, Cirebon, Tegal, dll)
Rp. 9.000.000,- Rp. 12.000.000,Indramayu
Rp. 3.500.000,- Rp. 14.000.000,- Lokal = 5
Lokal dan
orang
Luar
Luar Kota = Blanakan
30 orang
Rp. 1.500.000,2 orang
Lokal
penyanyi
Rp. 5.500.000,-
Rp. 9.000.000,-
8 Singa –
20 Singa
Lokal
Setiap saudara atau tetangga yang anaknya ingin ikut membayar
Rp. 300.000/gotongan kepada bapak hajat. Pertunjukan
berlangsung selama 4 jam, dengan berkeliling di jalan raya,
missal 500 m ke barat dan 500 meter ke timur, plus atraksi.
10 sak semen
Lokal
Para penyanyi dan penabuh rebana tidak dibayar dan semen
tersebut akan disumbangkan/digunakan untuk pembangunan
masjid dusun tegaltangkil
Rp. 2.500.000,Sukamandi,
Cilamaya
Saat ini boleh dibilang sudah
punah.
Rp. 6.000.000,40-50 orang Indramayu
Rp. 3.500.000,- Rp. 5.000.000,Lokal dan
luar kota
f. Mengurus Perijinan. Jika berencana mengadakan hiburan besar
seperti diatas, Bapak hajat akan mengajukan perijinan “rame-rame”
kepada aparat dan instansi terkait sejak 2 minggu sebelum hari H.
Proses ini biasanya dibantu dan dilakukan oleh Satgas Desa. Berikut
ini adalah alur perijinan rame-rame yang biasa dilakukan di
Kabupaten Subang :
Bapak Hajat
Kepala Desa
Satgas Desa
Kepala Dusun
Ketua RT
Kapolsek
Danramil
Gambar 18. Proses dan mekanisme perijinan “rame-rame” di Kab. Subang
Biaya perijinan diatas menurut Peraturan Desa seharusnya adalah Rp.
500.000,-/hajatan. Pada kenyataannya, kebanyakan membayar kurang
dari itu. Menurut penuturan Satgas18, rata-rata pembagian biaya
Perijinan adalah sebagai berikut :
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Satgas dan anak buah : 3 orang @Rp. 20.000,Ketua RT : Rp. 30.000,Kepala Dusun : Rp. 30.000,Kepala Desa : Rp. 30.000,Kapolsek : Rp. 85.000,Danramil : Rp. 80.000,-
g. Memilih hiburan. Jenis hiburan yang akan diundang akan sangat
dipertimbangkan oleh Bapak Hajat. Sebab, hiburan ini tidak hanya
berfungsi untuk memeriahkan acara saja, melainkan juga sebagai
“magnet” untuk mengundang lebih banyak orang datang. Semakin
18
Hasil wawancara tanggal 25/04/2012
banyak orang datang, harapannya semakin besar pula hasil telitian
yang diperoleh. Selain itu, mewah tidaknya hiburan juga aka dibaca
masyarakat sebagai perlambang status sosial ekonomi seseorang di
tengah masyarakat. Jika sudah dipaggil “pak haji” maka semacam ada
tuntutan bahwa kepantasan seorang haji (orang kaya) adalah
menyelenggarakan hiburan yang mewah dan meriah. Jika sebaliknya
yang terjadi maka akan dianggap turun status sosialnya oleh
masyarakat sekitar.
Gambar 19. Hiburan Sisingaan untuk hajat khitanan (kiri) dan
Jaipong untuk Perkawinan (kanan)
h. Mencetak undangan. Biasanya, undangan telitian untuk satu
kampung hanya menggunakan sabun colek, permen atau vetcin.
Namun demikian, banyak juga bapak hajat yang mencetak undangan
resmi untuk kenalan-kenalan mereka di luar kampung atau untuk
orang-orang yang dianggap penting. Order pencetakan biasanya
ditangani oleh tetangga atau kenalan bapak hajat yang sudah dikenal
sebagai tukang cetak undangan.
Gambar 20. Contoh undangan narik Gantangan
i. Membagi undangan. Tugas ini biasanya dilakukan oleh wakil bapak
hajat dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah sambil
membagikan undangan sejak H-7. Bentuk-bentuk undangan ini
mengalami perubahan dengan mengikuti perkembangan ekonomi
(harga-harga barang). Dahulu, pada tahun 1970-1987an, undangan
telitian awalnya adalah Rokok (misal, Gudang Garam Filter
Rp.500//batang artinya penerima undangan harus membayar telitian
minimal Rp. 5.000, Djinggo Rp. 250/atang artinya penerima undangan
harus membayar telitian minimal Rp. 2.500. Pada tahun-tahun 1990an sampai krisis moneter, harga rokok terus naik. Akhirnya, undangan
menggunakan rokok hilang setelah krisis moneter (1998) akibat dari
kenaikan harga rokok. Sejak saat itu undangan berganti menjadi vetcin
(penyedap rasa), permen atau sabun colek. Misalnya, vetcin 1 sashet =
½ gantang beras.
Gambar 21. Warga yang bertugas atau ditunjuk oleh bapak hajat untuk
membagikan undangan Gantangan
j. Melekan semalam suntuk. H-1, biasanya akan ada acara melekan
(bergadang semalam suntuk). Bersaman dengan acara melekan itu
biasanya bapak hajat juga menyiapkan sesajen untuk mesin lampu
penerangan/diesel, dengan harapan agar malam itu dan besok ketika
hari H tidak ada masalah dengan lampu penerangan (tidak ada
halangan).
Pelaksanaan Hajatan
a. Menyiapkan sesajen. Sesajen tidak hanya dibuat sebelum hari H,
tetapi juga ketika hari H. Sesajen untuk kelancaran seluruh acara
tersebut diletakkan diatas Goah/Padaringan (tempat menyimpan beras).
Isi sesajen antara lain : rujak kelapa, kopi hitam/pait, kopi manis, cauk,
rokok upet/tambang, rokok srutu/cerutu, daun hanjuang, bubur
merah/beureum, bubur putih/bodas, sisir, cermin, kembang 7 rupa,
parupuyan, kemenyan, beras, uang koin, menyak kolonyet/putri duyung,
boeh/kain kafan, nyiru/tampah, telur ayam mentah, minuman
orson/limun, dan kendi.
Gambar 22. Sesajen lengkap di Pendaringan (ruang penyimpanan)
b. Jamuan makan/Prasmanan. Ketika pelaksanaan hajatan, salah satu
panitia hajatan yang paling sibuk adalah “Peperen piring”, yaitu panitia
yang bertugas mengambil piring-piring yang telah selesai digunakan
oleh tamu hidangan. Konsep jamuan makan yang diterapkan biasanya
di pedesaan adalah prasmanan, sehingga para pengambil piring ini
harus sigap agar tamu yang datang belakang tidak kehabisan piring
untuk makan. Selain peperen piring, yang juga terlihat sibuk adalah
tukang angkut/jemput karung beras. Mereka adalah panitia yang
bertugas membawakan karung beras dari sepeda motor tamu undangan
untuk ditimbang dan dicatat di meja telitian.
c. Mencatat Gantangan/Telitian. Mereka yang harus selalu siap sedia
dalam hajatan di Subang adalah Juru tulis, yaitu panitia pencatat
telitian. Juru tulis laki-laki bersiap-siap di meja penerima amplop dan
juru tulis perempuan bersiap-siap di meja beras. Tugas mereka adalah
membuka mencatat nama tamu penyimpan, jumlah simpanannya, dan
asal desa/dusunnya ke dalam buku catatan telitian.
Gambar 23. Catatan Juru Tulis Gantangan
d. Menyiapkan pulangan. Memberikan berkat ke dalam karung beras
yang baru saja dibawa oleh para penyimpan/tamu undangan.
Gambar 24. Pulangan berupa kerupuk atau pisang dimasukkan
kembali oleh bapak hajat ke dalam wadah beras tamu undangan
e. Mengelola parkir. Biasanya dilakukan oleh karang taruna. Selain
parkir, bersama dengan satgas mereka mengatur pedagang kaki lima di
sepanjang jalan masuk lokasi hajatan.
f. Dokumentasi menggunakan audio visual (Video shooting) yang disewa
dari usaha video shooting yang ada disekitar desa maupun dari kota.
g. Sesajen untuk penerangan. Sesajen ini dimaksudkan agar tidak
mengalami gangguan penerangan/listri sepanjang acara dilangsungkan.
Biasanya berupa ayam hurip yang diikat ke diesel dan bekakak (ayam
panggang).
h. Beberes Hutang tahap I. Artinya, begitu hajatan selesai (sekitar jam
21.00 s.d. 24.00) maka tuan rumah akan segera membayar hutanghutang yang harus segera dilunasi, seperti membayar grup hiburan,
membayar tukang masak, atau membayar bandar yang memberikan
modal. Sehingga dengan cekatan bapak hajat dibantu juru tulis dan
keluarga akan langsung menghitung hasil narik telitian malam itu juga.
i. Menjaga keamanan. Seperti, mengatur hiburan agar berjalan tertib dan
meredam keributan yang disebabkan oleh tamu yang mabuk minuman
keras. Untuk masalah keamanan ini biasanya diserahkan kepada hansip
atau satgas desa.
Pasca Hajatan
a. Menghitung dan menjual beras hajat. Beras hajat bisanya dijual
kepada bandar (tempat meminjam panjer sebelumnya) atau kepada yang
mau membeli dengan harga yang telah disepakati sebelumnya.
Biasanya bapak hajat tidak menjual semua tetapi menyisihkan 1-5
karung untuk cadangan telitian berikutnya.
Gambar 25. Beras Hasil Gantangan
b. Beberes Hutang tahap II. Artinya, hutang-hutang yang tidak terlalu
mendesak juga akan segera dilunasi oleh bapak hajat dengan
menggunakan uang dan hasil penjualan beras hajat.
c. Memanfaatkan hasil/sesa. Setelah seluruh hutang dan modal pinjaman
dilunasi, sisanya akan digunakan untuk keperluan bapak hajat, semisal
modal usaha, membeli motor, gadai empang, dan sebagainya.
5.2.2. Fungsi Sosial Gantangan
Sudah menjadi suatu hukum sosial bahwasanya suatu tradisi atau
adat-istiadat akan ditinggalkan jika ia tidak lagi memiliki fungsi bagi
anggota masyarakatnya. Banyak tradisi lokal yang sama sekali
ditinggalkan dan bahkan punah, misalnya saja ratusan jenis permainan
tardisional anak-anak, lagu-lagu lokal, cerita-cerita rakyat, ritual
menyembah benda mati dan lain sebagainya. Berbagai tradisi yang hilang
tersebut selain disebabkan oleh datangnya pengetahuan yang baru
(modern), juga karena ia telah kehilangan fungsi sosial dan ekonominya.
Berbeda dengan tradisi di pedesaan lainnya yang perlahan-lahan
semakin ditinggalkan akibat arus modernisasi, gantangan di pedesaan
Subang ini masih eksis sampai sekarang. Bahkan, tiga dasawarsa terakhir
(1980an-2010-an) justru semakin menguat dan meluas ke berbagai
wilayah. Pertukaran sosial gantangan ini secara substansi masih eksis
disebabkan oleh beberapa alasan, Pertama, ciri kolektivitas masyarakat
pedesaan di Subang ini belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Jiwa tolong
menolong dan “selalu ingin tahu” masalah orang lain di dalam
komunitasnya menjadi perilaku yang memperkuat kontrol sosial antar
anggota masyarakat sehingga tradisi gantangan ini masih dapat
dilestarikan atau diwariskan. Kedua, pertukaran sosial gantangan ini
masih bertahan karena terkait dengan eksistensi pranata sosial lainnya,
yaitu perkawinan. Sepanjang perkawinan di pedesaan ini masih
disakralkan dan dibuat pesta meriah untuk merayakannya (resepsi), maka
gantangan
ini
masih
mendapatkan
medan
atau
arena
untuk
mempraktekkannya.
Ketiga, pertukaran sosial gantangan masih eksis karena basis
ekonomi sebagian besar masyarakat desa masih ditopang oleh pertanian
padi. Sebagai komoditas utama yang dipertukarkan, produktivitas
padi/beras menjadi faktor utama keberlanjutan tradisi ini. Sepanjang
lahan-lahan pertanian padi masih terjaga dan tidak terjadi penurunan
produksi yang drastis (kerawanan pangan), ditambah daya beli
masyarakat terhadap beras masih tinggi, maka pertukaran gantangan ini
masih akan terus eksis. Keempat, untuk menjalankan pertukaran
gantangan ini dibutuhkan satu modal yang semakin hari sebenarnya
semakin
mahal,
yaitu
rasa
saling
percaya
(trust).
Dalam
perkembangannya pertukaran gantangan ini telah diwarnai oleh berbagai
tindakan dan perilaku tidak jujur dari anggota maupun panitianya. Di
beberapa desa, akibat dari ketidakjujuran ini adalah menurunnya jumlah
orang yang terlibat dalam pertukaran sosial ini. Sementara bagi rumah
tangga yang masih menyimpan sedikit kepercayaan kepada yang lain,
mereka menjadi jauh lebih berhati-hati dalam menentukan kehadiran dan
jumlah simpanan yang akan diberikan kepada orang lain (lebih
perhitungan). Integritas, status ekonomi dan perilaku sehari-hari
seseorang kemudian menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh
calon penyimpan.
Kelima, pesta hajatan ini diakui atau tidak merupakan salah satu
wahana dalam pelestarian kesenian tradisional. Dengan kata lain,
raramean dalam pesta hajatan ini juga menjadi mata pencaharian atau
sumber penghidupan bagi para seniman atau grup-grup kesenian di
daerah. Bayangkan jika masyarakat pedesaan tidak lagi “meniscayakan”
adanya hiburan kesenian ketika pesta hajatan, barangkali akan semakin
banyak kelompok-kelompok kesenian dan seniman yang kehilangan
lahan usahanya (gulung tikar).
Sumber : Diolah dari BPS, Subang dalam angka tahun 2010
Gambar 26. perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang (20052009)
Keenam, selain sebagai mata pencaharian para seniman,
pertukaran gantangan dalam setiap pesta hajatan (khitanan, perkawinan,
kelahiran, dll) ini sekarang juga menjadi pasar bagi para pedagang beras,
daging, dan sembako lainnya. Mereka memanfaatkan momen pesta
hajatan ini untuk meraih untung dengan cara menawarkan modal hajat
(panjer), baik secara langsung maupun melalui para perantara. Selain
modal yang kembali, para pedagang (atau lebih dikenal sebagai bandar
hajatan) ini juga mengikat beras hasil hajatan (beas hajat) untuk dibeli
dengan harga dibawah harga pasar. Kehadiran pedagang/bandar ini
semakin memudahkan seseorang untuk menyelenggarakan hajatan,
sekalipun tidak memiliki cukup modal.
Selain keenam hal diatas yang menyebabkan pesta hajatan dan
pertukaran gantangan di pedesaan ini tetap eksis, secara individual tradisi
ini juga memiliki manfaat sosial (simbolik) dan ekonomi yang cukup
signifikan bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa motivasi personal dan
fungsi sosial dari pertukaran gantangan ini antara lain :
a) Hayang kapuji (ingin dipuji)
Menyelenggarakan pesta hajatan yang meriah, dihadiri tamu
undangan yang banyak, dengan hasil gantangan yang besar pada
akhirnya akan meletakkan keluarga bapak hajat pada posisi sosial
yang terhormat ditengah komunitas masyarakat desa. Kondisi seperti
diatas akan mengundang decak kagum dan selanjutnya akan menjadi
buah bibir di tengah masyarakat, bahwa “pak haji A hebat euy,
hajatan tiasa menang sakitu”. Menjadi buah bibir semacam itu
kemudian akan meningkatkan pengaruh dari keluarga hajat tersebut
dan
semakin
dipercaya
oleh
masyarakatnya.
Di
sisi
lain,
menyelenggarakan pesta hajatan juga adalah pertaruhan gengsi bagi
keluarga bapak hajat. Jika sampai meleset (misalnya hajatan
orang/keluarga kaya) dari perkiraan bahwa yang terjadi hajatannya tiis
(dingin, sepi) dan hasil gantangannya sedikit (rugi), maka harga diri
orang/keluarga tersebut akan turun di mata masyarakat, berikut
pengaruh dan posisi sosialnya juga ikut merosot.
b) Hayang Kasohor (ingin terkenal)
Karena kemeriahan dan hasil gantangan dalam suatu hajatan
menjadi salah satu parameter tinggi rendahnya status dan posisi sosial
seseorang/keluarga, maka ada juga yang mencoba menaikkan status
keluarganya dengan mengadakan pesta semeriah mungkin dengan
modal besar (diluar kemampuan sebenarnya). Spekulasi semacam ini
(mengadakan hiburan mewah, misalnya) dilakukan dengan harapan
agar menarik perhatian warga masyarakat lainnya sehingga dapat
menjadi buah bibir bahwa keluarga A itu mampu dan kaya/sukses.
Namun, seringkali warga masyarakat juga mempertimbangkan aspek
lainnya, seperti apakah orang itu punya posisi tertentu dalam
pemerintahan/pejabat, apakah punya pengaruh/disegani, pendatang
atau pribumi, dan track record lainnya sebelum mengambil keputusan
untuk nyimpen banyak atau sedikit dalam hajatan/gantangan tersebut.
Ada juga beberapa kasus dimana pesta yang sangat meriah, tetapi
hasil gantangannya sangat kecil (rugi), sehingga lahir istilah “budak
Bogor” (Biar Tekor yang penting Kesohor) sebagai sindiran.
c) Hayang ditarima lingkungan (kontrol sosial)
Sebagian besar informan menyatakan bahwa keikutsertaan
mereka dalam pertukaran gantangan adalah murni inisiatif pribadi dan
tanpa adanya paksaan dari orang lain (keluarga atau panitia). Namun
ketika ditanya lebih lanjut, seringkali mereka mengungkapkan bahwa
gantangan itu sudah menjadi tradisi dan dilakukan sejak dulu, jadi
maksud tanpa paksaan sebenarnya lebih bermakna “ikut-ikutan”
daripada inisiatif pribadi. Sebab, sekalipun tidak ikut dalam gantang
tidak apa-apa, tetapi mereka mempertimbangkan rasa “tidak enak”
jikalau saudara yang lain ikut tetapi kita sendiri tidak ikut. Perasaan
ingin “sama dengan yang lain (orang dekat)” menjadi motivasi untuk
bergabung. Sejauh peneliti mendalami, memang untuk terlibat atau
tidak ini tidaklah mengandung instrumen pemaksa, sebab beberapa
tokoh masyarakat (kadus awilarangan, sekdes pasirmuncang) pun
tidak ikut serta dalam gantangan yang ramai dilakukan warganya.
d) Hayang katingali (ingin dilihat/kebanggaan)
Sifat masyarakat pedesaan yang feodalistik dan berorientasi
vertikal (mengikuti pemimpin/orang besar) masih belum sepenuhnya
hilang. Dalam penyelenggaraan sebuah pesta hajatan dengan hiburan
dan gantangan ini menjadi ajang bagi bapak hajat maupun tamu
undangan untuk sama-sama “terlihat” di depan publik, baik terlihat
kekayaannya, kekuasaannya, pengaruhnya, dan lain sebagainya.
Misalnya, melalui saweran19 orang bisa menunjukkan “identitas
sosial”nya. Semakin besar uang saweran, menunjukkan status orang
tersebut yang tinggi, baik dimata kelompok kesenian maupun dimata
tamu undangan lainnya. Biasanya, tokoh-tokoh masyarakat atau
pejabat yang kebetulan datang menjadi tamu undangan, akan dengan
sengaja dipanggil oleh MC dan diundang untuk menyawer. Tamu
pejabat itu pun sudah hafal dan menyiapkan beberapa lembar uang
untuk
disawerkan.
Seperti
sudah
menjadi
tuntutan.
Selain
pejabat/tokoh masyarakat, para keluarga dan kerabat juga akan ikut
menyawer dengan tujuan membuat pesta hajatan terlihat meriah di
mata tamu undangan.
19
Kebiasaan para tamu undangan yang ikut berjoget memberikan uang kepada penari
jaipong atau penyanyi dangdut diatas panggung, beberapa lembar uang itu diberikan dengan
cara saling berpegangan tangan dan digoyang-goyangkan beberapa kali. Setiap penyawer
menunjukkan “identitas”nya dari jumlah sawerannya.
e) Loba babaturan (banyak teman)
Fungsi sosial gantangan yang lain adalah untuk memeperluas
pergaulan. Sebab, gantangan di suatu desa biasanya bersifat terbuka,
artinya orang luar desa pun boleh ikut “menyimpan”. Semakin banyak
orang menyimpan kepada orang lain, maka semakin banyak pula hasil
yang akan dia peroleh kelak ketika “narik gantangan”. Maka wajib
hukumnya bagi yang ingin mendapatkan untung dari gantangan ini
adalah dengan memperluas koneksi dan pertemanannya, sehingga
tamu undangan yang akan datang ke pesta hajatannya pun
kemungkinan juga bisa semakin banyak. Selain memperbanyak
teman, memperbanyak simpanan, seseorang juga perlu memperbesar
volume (jumlah uang dan beras) yang disimpannya kepada orang lain
agar hasil gantangannya bisa besar.
f) Silih bantu (resiprositas)
Hukum sosial hidup di pedesaan adalah “siapa yang banyak
membantu orang lain, maka orang lain juga akan membantunya”.
Hukum timbal balik ini masih sangat berlaku sampai sekarang. Oleh
karena itu, kebanyakan rumah tangga ikut serta dalam gantangan ini
juga dimotivasi harapan bahwa suatu saat mereka juga membutuhkan
bantuan dari warga masyarakat lainnya. Dengan adanya pertukaran
gantangan ini, timbal balik itu menjadi semakin kontraktual, karena
jelas besar pemberian dan kapan pemberian itu harus dikembalikan.
Meskipun masih dalam kerangka “saling membantu” yang sama,
namun nuansa ekonomi dan resiprositas sebanding-nya memang lebih
kentara dalam pertukaran gantangan ini.
g) Raramean & Ngabring
Pesta hajatan di pedesaan Subang adalah momen untuk
berkumpul antar warga desa. Ketika berlangsung pesta hajatan, ada
kebiasaan masyarakat, baik ibu-ibu atau bapak-bapak, untuk ngabring
(berjalan bersama-sama, beriringan) sambil membawa/menjinjing
beras menuju tempat hajatan. Bahkan, mereka saling tunggu untuk
disampeur dari rumah yang terjauh sampai rumah yang terdekat
(pasampeur-sampeur). Ngabring ini menunjukkan kebersamaan dan
saling “mengontrol” antara satu warga dengan warga lainnya,
sehingga apabila disampeur tidak ikut/datang akan muncul rasa malu.
Kebiasaan ngabring ini masih ada sampai sekarang meskipun sudah
sangat jauh berkurang. Penyebabnya ada dua, pertama, sudah banyak
warga yang memiliki kendaraan bermotor, sehingga mereka merasa
lebih praktis untuk berangkat sendiri-sendiri atau nyampeur orang
yang dekat saja. Kedua, jumlah beras yang disimpan/dibayarkan sudah
tidak lagi 1-2 gantang (10-20 liter), melainkan sudah sampai 50 kg, 1
karung bahkan lebih, sehingga lebih praktis jika menggunakan
kendaraan bermotor. Ngabring ini juga biasa dilakukan oleh warga
yang desanya dengan tempat hajatan jauh jaraknya. Biasanya mereka
akan menyewa mobil bak terbuka (pick up) untuk kemudian ramairamai menuju tempat hajatan. Selain lebih irit (biaya transportasi) juga
bisa menolong mereka yang tidak memiliki sepeda motor sendiri.
5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan
a) Ngarep leuwihna (untung)
Gantangan ini memiliki fungsi ekonomi bagi rumah tangga
karena dalam pertukaran tersebut tersedia kemungkinan untuk
mendapatkan “selisih” antara “hasil gantangan – (modal hajat +
biaya hajat) = untung”. Kebanyakan warga tidak melihat
bahwasanya “untung” tersebut sebenarnya adalah bentuk lain dari
“hutang” atau “kewajiban yang tertunda” saja, sebab di lain waktu ia
harus mengembalikan “kelebihan tersebut”. Mereka memandang jika
ada selisih diatas maka disebut “untung” dan jika sebaliknya disebut
“rugi”. Keuntungan tersebut biasanya dicari dengan cara efisiensi
hajatan, misalnya menu makanan yang seadanya (tidak perlu mewah)
dan pulangan/anteran yang murah meriah (misalnya kerupuk atau
pisang). Sebaliknya, mereka akan mempertahankan hiburan yang
meriah karena dianggap sebagai “penarik” tamu undangan agar
datang berbondong-bondong sehingga menghasilkan uang dan beras
yang lebih banyak.
b) Nyimpen (nabung)
Sebagian besar informan menyatakan bahwa ikut serta dalam
gantangan sebagai salah satu bentuk “tabungan” kepada masyarakat
yang dapat ditarik sewaktu-waktu membutuhkan. Dengan adanya dua
skema “nyimpen” dan mayar”, maka meskipun sudah melunasi hutang
ia tetap bisa menyimpan lagi untuk “tabungan” hajatan berikutnya.
Dalam menyimpan uang dan beras atau sembako lainnya ini, biasanya
informan akan mempertimbangan kredibilitas calon bapak hajat,
apakah
ia
bisa
dipercaya
dan
dianggap
mampu
mengembalikan/membayarkan simpanannya kelak atau tidak?
c) Itung-itung Arisan
Ada juga informan yang menganggap pertukaran gantangan
ini sebagai layaknya arisan, dimana kita akan menerima dan
mengembalikan sejumlah uang dari anggota masyarakat lainnya
dalam satu periode tertentu. Dengan menganalogikan dengan arisan,
maka pertukaran gantangan ini dianggap tidak rugi dan tidak untung,
“plus-plas” bahasa lokalnya (impas).
d) Neangan modal (mencari pinjaman modal)
Pertukaran gantangan juga dapat berfungsi menjadi katup
penyelamat ekonomi rumah tangga disaat mendesak. Misalnya ketika
rumah tangga membutuhkan biaya untuk membangun rumah,
merehab rumah, membangun kamar mandi atau untuk membuka
usaha baru (menggadai sawah, membeli angkot, dll) mereka dapat
mengadakan hajatan “narik gantangan” ini. Hasil narik gantangan
inilah yang kemudian dijadikan modal oleh rumah tangga tersebut.
e) Ngagolangkeun simpenan (memutar simpanan)
Beberapa informan mengatakan bahwa mereka tidak perlu
pusing untuk melunasi hutang gantangan ini. Sebab, selain memiliki
hutang yang harus dibayar, mereka juga terus menyimpan kepada
anggota masyarakat lain setiap ada hajatan. Ada istilah “membayar
hutang lama plus menyimpan simpanan baru”. Misalnya, jika nyonya
A memiliki hutang beras 10 liter kepada nyonya B. Ketika nyonya B
mengadakan hajatan maka nyonya A akan membayar 10 liter beras itu
ditambah simpanan baru 10 liter (total yang dibawa ketika hajatan
oleh nyonya A menjadi 20 liter). Demikian seterusnya, sehingga
pertukaran gantangan ini dapat terus-menerus dilakukan.
f) Teu sampai potol (tekor)
Salah satu gagasan/pemikiran dari warga masyarakat tetap
melanggengkan pertukaran gantangan salah satunya adalah untuk
“menghindari kerugian”. Dengan skema “pinjaman” beras dan uang
dalam gantangan ini memungkinkan bapak hajat untuk dapat
menyelenggarakan hajatan tanpa kekurangan bahan maupun modal.
Sekalipun tidak untung, setidaknya tidak rugi, demikian prinsip
sebagian besar informan pelaku gantangan dalam penelitian ini.
g) Sumber penghasilan tambahan
Pesta hajatan dan pertukaran gantangan ini bukan hanya
seremonial yang bersifat sosial saja, justru sebaliknya, merupakan
aktivitas
ekonomi
yang
bagi
sebagian
orang
dianggap
menghasilkan/menguntungkan. Mulai dari petugas keamanan (satgas
desa, hansip, polisi, TNI), aparat desa, kelompok kesenian (hiburan),
persewaan tenda, tukang masak, pemuda karang taruna (tukang parkir
dan tukang angkat beras), dan pedagang kaki lima turut menikmati
keuntungan (setoran, upah, hasil berjualan) dari diadakannya pesta
hajatan rame-rame. Sekalipun tidak besar rupiah yang dapat mereka
peroleh, namun dengan frekuensi pesta hajatan yang semakin sering
dan pertukaran gantangan yang semakin besar, mampu menjadi
sumber penghasilan tambahan yang menguntungkan.
h) Pasar kaget (pasar bagi pedagang kaki lima)
Setiap pesta hajatan ramai-ramai akan selalu diwarnai oleh
deretan pedagang kaki lima (penjual bakso, siomay, bakso tahu,
mainan anak-anak, penjual minuman, pedagang kelontong, mie ayam,
dan lain sebagainya) yang menjajakan dagangannya sepanjang jalan
masuk maupun keluar tempat hajatan. Semakin besar pesta hajatan,
atau semakin terkenal bapak hajat, maka semakin ramai dan panjang
pula deretan PKL ini. Kehadiran PKL ini memang sudah dianggap
sebagai bagian dari penyemarak hajatan dan penarik bagi anak-anak
maupun tetangga sekitar untuk terus berkumpul di sekitar lokasi
hajatan/hiburan. Sehingga kesan ramai dan meriah bisa terus terjaga.
Gambar 27. Pasar dadakan PKL diluar arena hajatan
5.3. Bentuk Pertukaran Sosial di Pedesaan Subang
5.3.1. Gantangan di Subang Utara
a. Telitian
Setelah dilakukan pendalaman, pesta hajatan di wilayah Subang
Utara (Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan) ternyata menerapkan
beberapa sistem pertukaran sosial di dalamnya. Pertama, adalah apa
yang disebut dengan telitian, yaitu sistem pertukaran beras dan uang
yang dilakukan antar warga dusun/desa yang dilakukan sebelum atau
ketika pesta hajatan berlangsung. Pesta hajatan yang dimaksud seperti
pernikahan dan khitanan. Telitian ini sebenarnya adalah nama lain dari
Gantangan. Menurut tokoh masyarakat, asal istilah telitian ini berasal
dari kata “gentenan” atau “silih genten” yang berarti
“saling
bergantian”. Gentenan atau silih genten itu sendiri merupakan bahasa
campuran antara Jawa dan Sunda yang melahirkan bahasa dan logat
khas masyarakat Pantura. Dilihat dari aspek sejarah, masyarakat
Pantura Subang ini memang dulunya adalah pendatang dari wilayah
timur, seperti Indramayu, Cirebon, hingga Tegal. Wajar jika kemudian
secara budaya masyarakat Pantura ini agak berbeda dengan masyarakat
Subang pedalaman (tengah dan selatan) yang lebih lebih kental corak
Sunda-nya.
Aturan main dalam telitian ini adalah bahwa setiap rumah tangga
masing-masing diperbolehkan menyimpan minimum ½ Gantang (5
liter beras) dan uang Rp. 10.000,- untuk perempuan (istri) dan uang
minimum Rp. 15.000,- untuk laki-laki (suami) yang kemudian akan
dicatat oleh Bapak Hajat20 melalui bantuan juru tulis telitian. Biasanya,
sebelum
menyelenggarakan
pesta
hajatan,
Bapak
hajat
akan
membentuk panitia kecil yang terdiri dari keluarga dan tetangga dekat
untuk membantu teknis penyelenggaraan hajatan. Panitia kecil ini ada
yang ditugaskan untuk menjadi penerima tamu, tukang masak, pencuci
piring, perlengkapan hajatan, dan yang cukup penting perannya adalah
petugas pencatat telitian. Pencatat telitian ini dibagi dua, yaitu pencatat
telitian perempuan (meja beras) dan pencatat telitian laki-laki (meja
amplop/uang). Tugas pencatat telitian adalah mencatat siapa saja
nama-nama penyimpan beras dan uang (serta sembako lainnya) di
dalam buku catatan telitian yang sudah disediakan di masing-masing
meja. Kedua meja tersebut adalah tempat yang pertama kali akan
dituju oleh tetangga dan para tamu undangan yang memang terlibat
dalam sistem telitian ini.
Gambar 28. Tradisi nyumbang sukarela (Kiri) dan pola Telitian di Subang
Utara (Kanan)
Sesuatu yang membuat telitian ini berbeda dengan tradisi
nyumbang atau kondangan di tempat lain adalah bahwa beras dan uang
serta bahan kebutuhan pokok lainnya itu tidaklah dianggap sebagai
20
Bapak hajat atau Shohibul hajat adalah orang/keluarga yang menyelenggarakan pesta hajatan
(tuan rumah).
sumbangan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang piutang oleh
masyarakat Subang Utara. Hutang piutang tersebut nampak dalam
istilah lokal yang digunakan ketika menyumbang telitian, yaitu istilah
“nyimpen” dan “mayar”. Nyimpen berarti tamu undangan (kerabat,
tetangga, dan kenalan) itu menitipkan beras atau uang kepada bapak
hajat, sedangkan Mayar berarti kelak ketika tamu undangan tersebut
menyelenggarakan hajat maka bapak hajat harus membayarnya
kembali sesuai dengan jumlah simpanan yang tertera dalam buku
catatan telitian. Dengan demikian, buku catatan telitian (buku beas dan
buku artos) tersebut adalah pedoman dan panduan baku dalam
pertukaran telitian ini. Kehilangan buku catatan tersebut sama artinya
dengan kehilangan catatan simpanan dan hutang rumah tangga.
Frekuensi telitian di Subang utara ini dari tahun ke tahun
semakin sering dijalankan. Sebab, masyarakat tidak lagi berpatok
kepada pernikahan atau khitanan untuk menarik simpanan telitian,
melainkan
lebih
kepada
kebutuhan
yang
mendesak,
seperti
membangun rumah, merehab rumah, atau ketika membutuhkan modal
untuk usaha keluarga. Kondisi ini menyebabkan telitian semakin sering
digelar, sehingga muncul keluhan dari warga lainnya perihal
“kerepotan” dan “beratnya” beban hajatan telitian ini.
Keluhan semacam ini cukup masuk akal, sebab disisi lain
pendapatan mereka dari bertani atau yang lainnya tidak bertambah
secara signifikan. Bahkan, bagi golongan buruh tani justru semakin
terancam eksistensinya di sawah. Penyebabnya adalah mulai maraknya
mekanisasi pertanian khususnya penggunaan mesin pemisah jerami
dan gabah (Combine) yang menghilangkan gabah-gabah sisa panen
yang biasanya dikeprik (dipungut) oleh keluarga buruh tani ini. Hasil
ngeprik ini terbilang lumayan, dalam sehari satu orang bisa mendapat
sampai 20 kg. jika suami istri ngeprik, maka keluarga itu bisa
mengumpulkan 40 kg per hari. Hasil sebanyak itu dulu cukup untuk
cadangan telitian sewaktu-waktu. Kini, dengan digunakannya mesin
oleh para pemilik lahan, mereka kehilangan pendapatan yang pada
akhirnya membuat malas dan berat ketika harus membayar hutang
telitian di masa lalu.
Tabel 11. Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Pada Tradisi Telitian
Sudut Pandang Buruh Tani
Sudut Pandang Pemilik Sawah
Ketimpangan
pemilikan
lahan Banyak kebiasaan gadai dan
sawah. Sebagian kecil warga berhutang membuat warga dengan
memiliki sebagian besar besar lahan mudah
menjual/menggadai
sawah dan sebagian besar warga sawahnya. Hal ini menguntungkan
menjadi buruh taninya.
bagi mereka yang memiliki modal
untuk lembat laun memiliki dan
menguasai sawah di desa tersebut.
Selama ini, ketika sudah tidak Banyak buruh tani yang tidak jujur
punya lahan, mengandalkan hidup sehingga menyebabkan hasil panen
dari menjadi buruh tani dengan tidak optimal. Timbul pemikiran
mengerjakan berbagai kegiatan untuk menggunakan mesin agar
pertanian seperti mengolah lahan, lebih
efisien
dan
hasilnya
21
nandur, nyabit, nggebot , dan panennya lebih banyak. Biaya
ngeprik22.
sewa
mesin
Combine
dan
tenaganya untuk setiap 500 bata (1
are) adalah Rp. 500.000,Begitu
mekanisasi
diterapkan, Ketika mesin pemisah gabah dan
otomatis pemilik sawah tidak jerami digunakan, hasil produksi
membutuhkan banyak tenaga kerja meningkat pesat dan waktu
sehingga buruh tani (terutama pemanenan cukup 1 hari. Padahal
perempuan) kehilangan sisa-sisa sebelumnya dengan menggunakan
panen yang biasanya diandalkan buruh membutuhkan waktu 2 hari
untuk cadangan telitian dan pangan dan hasil produksi tidak maksimal
keluarga. Pemilik sawah dianggap (banyak sisa yang jatuh/tidak
21
Nggebot / ngegebuk : teknik panen manual, menggunakan salome/alat tradisional untuk
menggebot. Dalam sistem ini, bagi hasil antara buruh tani dan pemilik adalah 1:5. Upah buruh gebot
Rp. 30.000/bedug (5 jam). Untuk lahan 1 are biasanya diperluakan waktu 2 hari (nyabit dulu,
ngengebot) untuk memanen, jika memakai mesin Combine hanya 1 hari saja sudah beres.
22
Ngeprik / ngajaplin : Memungut sisa-sisa hasil panen
tidak manusiawi dan egois.
terkumpul).
Sumber : Hasil Wawancara Mendalam
Pada tahun 2010, sekitar 400-an buruh tani demonstrasi ke desa
dan ke sawah untuk melakukan protes dan menolak kehadiran mesin
comben tersebut. Mediasi yang dilakukan pihak desa kurang berhasil
sehingga pemilik sawah mendatangkan polisi untuk turun tangan
menghadapi warga. Konon, warga hampir melakukan perusakan dan
pembakaran terhadap mesin Combine tersebut, tetapi berhasil dicegah.
Tahun-tahun ini dan mungkin ke depan, hilangnya pendapatan dari
ngeprik ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi
masyarakat dalam tradisi telitian, yang notabene merupakan pertukaran
beras dan uang yang keduanya semakin sulit didapat oleh golongan
miskin. Sebaliknya, para petani kaya dan golongan menengah ke atas
lainnya yang mengikuti golongan, justru semakin eksis dan mapan
dengan sistem golongannya (telitian khusus) tersebut.
Gambar 29. frekuensi hajatan “rame-rame” di desa Jayamukti
(Subang Utara) yang semakin meningkat.
Sementara itu, makin banyaknya kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi, justru tidak menyurutkan “biaya sosial” dan “kewajiban
sosial” yang harus dibayarkan, seperti telitian dalam pesta hajatan yang
justru semakin lama semakin sering frekuensi dan berdekatan jaraknya
satu sama lain. Frekuensi pesta hajatan “rame-rame” (dengan hiburan)
di desa Jayamukti dapat dilihat dari buku catatan satgas desa (tahun
2005-2012) pada gambar 11 diatas.
Selain dengan melihat frekuensi hajatan diatas, kita juga dapat
melihat seberapa besar hasil telitian suatu rumah tangga dengan
melihat buku catatan telitian yang mereka miliki. Setiap rumah tangga
memiliki buku catatan telitian tersebut, namun terkadang kita akan
menemui buku catatan telitian yang sudah kusut, penuh coretan, dan
beberapa bagian yang robek. Biasanya kondisi demikian disebabkan
oleh usia buku yang memang sudah lama (hajatan lebih dari 10 tahun
yang lalu) dan disimpan di tempat yang lembab atau sembarangan.
Walaupun demikian, buku catatan telitian ini akan tetap dijaga dan
disimpan oleh pemiliknya setidaknya sampai dengan seluruh hutanghutangnya lunas.
Sumber : diolah dari buku catatan telitian/gantangan
Gambar 30. Hasil Telitian
Selain beras dan uang, telitian di Subang utara ini umumnya juga
menerima pertukaran timbal balik dalam berbagai bentuk barang atau
kebutuhan lainnya, seperti : Air Minum dalam Kemasan, Minyak
Goreng, Gula Pasir, Ikan Laut, Daging, Rokok, Bolu (Kue Basah),
Gula Merah, Bumbu Dapur, dan lain-lain. Jumlah barang yang
disimpan adalah sesuai dengan keinginan si penyimpan dan juga
kesepakatan dengan bapak hajat. Terkadang bapak hajat juga bisa
menolak jika dianggap barang yang disimpan kurang diperlukan atau
terlalu banyak. Akan tetapi, kebanyakan bapak hajat akan menerima
apa saja yang disimpankan, tidak terlalu pilih-pilih. Sebab, menjadi
bapak hajat sama yang dititipi simpanan tersebut sama artinya sebagai
“orang yang dipercaya” oleh penyimpan, bahwa ia layak menerima
kepercayaan itu dan dianggap mampu untuk mengembalikannya kelak.
b. Golongan
Sistem pertukaran sosial yang kedua adalah golongan, yaitu
bentuk telitian yang lebih khusus dan eksklusif. Letak perbedaannya
dengan model telitian pertama adalah pada cara pengelolaan, jumlah
anggota dan jumlah simpanan yang lebih terstandarisasi. Golongan di
Subang Utara ini dikelola oleh seorang ketua panitia golongan yang
biasanya adalah inisiator dan pencetus sistem golongan ini. Dalam
pembentukannya, ketua panitia golongan mengumpulkan orang-orang
atau rumah tangga yang dinilai akan tertarik dan sanggup berkomitmen
dalam golongan ini. Dalam musyawarah tersebut, ketua panitia
golongan menawarkan aturan main yang akan dijalankan, misalnya
berapa jumlah minimum untuk beras, uang, gula pasir, daging sapi,
daging ayam dan barang-barang lainnya yang akan dipertukarkan
dalam golongan? Mereka yang tertarik kemudian mendaftar menjadi
anggota golongan dan menjalankan aturan main yang telah disepakati
bersama-sama. Boleh dikatakan, secara administratif Golongan ini
memiliki kemiripan dengan arisan, hanya saja pola dan sistem
pertukarannya menggunakan telitian.
Dari hasil penelitian, Golongan di Desa Jayamukti, Kec.
Blanakan misalnya, diketuai oleh Haji Abdul yang dibantu oleh
seorang petugas lapangan. Kelompok Golongan Haji Abdul didirikan 3
tahun lalu (2009) dan sampai saat ini memiliki jumlah anggota 45
orang. Ide mengadakan golongan ini diperoleh H. Abdul dari sistem
serupa yang sukses diterapkan di Karawang, tempat keluarga istrinya
berasal. H. Abdul dan keluarga sudah sejak tahun 1998 mengikuti
sistem golongan ini di Desa Bayur, Karawang. Pada tahun 2000, H
Abdul melaksanakan hajatan dan menganggap sistem golongan yang
ada di Karawang ini bermanfaat dan menguntungkan bagi ekonomi
rumah tangga.
Di sisi lain, sebagai warga Dusun Tegaltangkil, Desa Jayamukti,
ia malah melihat berbagai bentuk kecurangan dalam telitian di
kampungnya. Semisal banyak yang tidak jujur dan melebihkan jumlah
timbangan simpanannya (8 liter mengaku 10 liter). Kecurangan
semacam itu dapat terjadi pada saat-saat jam tamu undangan yang
membludak, yaitu pada pukul 18.00 s.d. 19.30 WIB, dimana panitia
dan tuan rumah sudah kewalahan mencatat dan tidak sempat
menimbang satu persatu simpanan warga. Kegelisahannya yang lain
adalah terkait waktu pelaksanaan hajatan yang tidak teratur, kadang
sering kadang jarang. Pada waktu sering, banyak warga tidak mampu
membayar hutang-hutangnya karena panen sedang buruk atau
pendapatan sedang menurun.
Dengan berbekal pengalaman di Karawang itulah, kemudian H.
Abdul memberanikan diri untuk membentuk golongan di dusun
tegaltangkil,
desa
Jayamukti,
yakni
agar
warga
yang
ingin
menyelenggarakan hajatan tidak “keduman blesake doang” (mendapat
ruginya saja) dan “orang hajat biar nggak potol” (tidak bangkrut).
Beberapa aturan main dalam kelompok Golongan ini antara lain :
Jumlah simpanan minimum untuk :
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Beras = 50 kg,
Gula pasir = 5 kg,
Daging sapi = 1-3 kg,
Daging ayam potong = 3 kg.
Uang = Rp. 50.000/orang
Dengan mengelola golongan ini, panitia mendapatkan Rp.
300.000/hajatan.
Melihat aturan main yang disepakati diatas, tentu saja mereka
yang dapat ikut serta dalam Golongan H. Abdul ini adalah rumah
tangga menengah ke atas. Hampir tidak mungkin rumah tangga miskin
dapat menjadi anggota (karena akan kurang dipercaya kemampuannya)
atau melibatkan diri (karena merasa dirinya tidak mampu memenuhi
tuntutan tersebut). Kehadiran golongan sebagai bentuk telitian yang
lebih eksklusif ini sekaligus menjadi penanda pelapisan sosial dalam
hajatan. Mereka yang menjadi anggota Golongan H. Abdul, ketika
hajatan akan menerima beras beras minimum 2,250 Ton dari hasil
simpanan 45 anggotanya (belum ditambah uang dan sembako lainnya
serta telitian biasa dari warga non-anggota golongan). Sementara beras
atau uang yang diterima oleh warga biasa yang bukan anggota
golongan akan sangat ditentukan oleh jumlah tamu undangan yang
datang. Ketimpangan dan kesenjangan sosial itu pada akhirnya akan
nampak jelas dengan membandingkan proses dan hasil pesta hajatan
antara satu orang dengan orang lainnya di desa tersebut.
Gambar 31. Tradisi Nyumbang Pola Golongan di Subang Utara
Menurut warga yang menjadi anggota golongan H. Abdul, sistem
golongan ini dinilai sangat menguntungkan. Sebab, selain hasilnya
lebih signifikan, lebih pasti dan lebih terjamin jumlahnya, golongan ini
juga lebih menghemat biaya bapak hajat. Penghematannya terletak
pada konsumsi yang harus dikeluarkan. Sebab, dalam sistem golongan
ini, pihak yang mengumpulkan beras, uang, dan sembako lainnya
adalah ketua golongan (H. Abdul). Baik dengan cara diambil atau
diantar oleh anggota. Setelah semua tertagih dan terkumpul, lalu ketua
panitia dengan dibantu beberapa orang mengantarkannya ke bapak
hajat (anggota yang hajatan). Dengan demikian, bapak hajat hanya
memberikan makan/jamuan kepada ketua golongan dan yang
membantunya saja. Ia tidak harus menyiapkan makanan untuk 45
anggota seluruhnya, karena sebagian besar mereka sudah diwakili
kehadirannya oleh ketua golongan.
Sampai dengan wawancara dilakukan (April 2012), Golongan H.
Abdul ini telah sebanyak 12 kali anggota yang melaksanakan hajatan
dan menarik telitian dari seluruh anggota golongan lainnya. Sepanjang
12 kali hajatan tersebut, belum ada kasus kecurangan yang terjadi.
Dengan kata lain setiap anggota berkomitmen dengan pembayaran
yang harus dilakukan. Strategi yang dilakukan oleh H. Abdul dalam
meringankan beban anggota adalah dengan melakukan pembatasan
jumlah
hajatan
setiap
musimnya23,
yaitu
maksimal
2
kali
hajatan/musim. Dengan pengaturan semacam ini, maka anggota
golongan dapat menyiapkan cadangan untuk tiap musimnya dan tidak
23
Satu musim hajatan kurang lebih 6 bulan. Biasanya musim hajatan mengikuti musim
panen padi di desa tersebut.
terbebani oleh frekuensi hajatan yang seringkali tidak pasti.
Pembatasan jumlah hajatan inilah yang tidak diberlakukan dalam
tradisi telitian yang pertama (umum), sehingga meskipun jumlahnya
hanya sekitar 5 liter dan uang Rp. 15.000,- s.d. Rp. 20.000,-, tetap saja
bagi kebanyakan masyarakat yang kurang mampu (mayoritas buruh
tani), telitian bisa jadi memberatkan tatkala jumlah panggung24 dalam
satu musimnya terlalu sering.
5.3.2. Gantangan di Subang Tengah
a. Talitihan
Gantangan di Subang Tengah (Desa Pasirmuncang, Kec.
Cikaum) baru berkembang dan meluas sekitar tahun 1999. Tahun–
tahun sebelumnya sudah ada sistem pencatatan tetapi tidak semuanya.
Masih ada warga yang menyumbang murni (memberikan beras < 5
liter) dengan tanpa kewajiban untuk mengembalikannya dalam jumlah
yang sama. Baru sejak krisis moneter melanda Indonesia, sumbangan
murni tersebut mulai hilang dan digantikan dengan sistem pencatatan
(minimal sumbangan/simpanan 5 liter) dengan kewajiban untuk
mengembalikan dalam jumlah yang sama.
Sistem pencatatan simpanan dan pembayaran gantangan tersebut
diadopsi oleh warga Pasirmuncang dari desa-desa tetangga, seperti
desa Belendung, Waladin, dan Pasirbungur (Kec. Purwadadi). Adopsi
sistem pencatatan ini berlangsung melalui hubungan-hubungan sosial
yang terbangun antara warga desa dengan penduduk atau keluarga di
desa sekitarnya itu. Ketika warga desa Pasirmuncang mendapat
undangan hajatan dari desa lain, mereka melihat dan berpikir
bahwasanya hajatan seperti pernikahan dan khitanan ternyata bisa
dijadikan lahan usaha, atau minimal tidak perlu rugi. Akhirnya, sistem
24
Masyarakat lokal menyebut hajatan dengan panggung, sebagai asosiasi terhadap hiburan
yang diselenggarakan.
pencatatan dan hutang piutang gantangan ini pun mereka terapkan
sampai sekarang.
Desa Pasirmuncang ini, sebagaimana desa Jayamukti di
Blanakan (Subang Utara), juga termasuk dalam kategori desa
tertinggal atau miskin. Penyebab utama kemiskinan di desa ini
disebabkan karena sebagain besar wilayah dan lahan yang mereka
tempati merupakan lahan perkebunan tebu yang dikelola oleh PT.
Pabrik Gula Rajawali II. Sebelum kehadiran pabrik gula dan hamparan
tebu pada tahun 1982 (kontrak selama 20 tahun, saat ini kontrak sudah
diperpanjang sampai dengan tahun 2022), wilayah tersebut merupakan
perkebunan karet yang luas. Alhasil, mayoritas penduduk di desa
Pasirmuncang ini berprofesi sebagai buruh tani di perkebunan tebu
tersebut. Mereka tidak mampu berkembang karena memang potensi
alamnya terbatas dan dibatasi oleh kehadiran perkebunan tebu tersebut.
Meskipun demikian, kemiskinan tidak lantas menyurutkan minat
mereka terhadap Gantangan. Bagi mereka, saling menyimpan dan
membayar beras atau uang ketika warga memiliki hajat adalah cukup
meringankan beban bagi tuan rumah. Besar simpanan gantangan di
desa Pasirmuncang ini minimum adalah 5 liter beras (1/2 gantang) dan
uang Rp. 10.000,- untuk perempuan, sedangkan laki-laki memberikan
amplop (kondangan) minimum Rp. 15.000 s.d. Rp. 25.000,-. Meskipun
hasilnya kecil – jika dibandingkan desa-desa lain yang berbasis
tanaman padi – tetapi cukup lumayan untuk menutupi kebutuhan saat
itu. Minimal mereka tidak rugi ketika melangsungkan hajatan.
A
r+m
B
r+m
r+m
C
Gambar 32. Pola Talitihan di Subang Tengah sama dengan pola Telitian Subang Utara
Selain sistem gantangan yang sudah umum, tiga hari sebelum
hari H hajatan, biasanya saudara dan tetangga dekat (ibu-ibu) akan
datang kepada bapak hajat untuk menyimpan berbagai bumbu dapur,
sayur-mayur dan kebutuhan dapur lainnya. Simpanan ini disebut
dengan Talitihan. Berbagai bahan makanan dan bumbu dapur seperti
garam, minuman dalam kemasan, gula, penyedap rasa, minyak goreng,
opak dan lain sebagainya itu juga akan dicatat oleh bapak hajat di
dalam buku gantangan (dengan halaman dan kolom tersendiri). Pada
saat nanti si penyimpan melakukan hajatan, maka bapak hajat
berkewajiban membayar kembali simpanan tersebut dalam bentuk
yang sama. Demikian pula dengan mereka yang membantu memasak
(nyangu) di dapur, hampir tidak ada lagi yang sukarela, semuanya
mengharapkan diupah, baik dengan uang maupun beras.
b. Rombol
Jika di Desa Jayamukti, Blanakan, terdapat golongan, maka di
desa Pasirmuncang, Cikaum terdapat rombol. Mirip dengan golongan,
rombol ini dikelola oleh seorang ketua rombol (panitia), dengan jumlah
anggota dan sumbangan tertentu yang telah disepakati bersama
(disatandarkan). Sebagai contoh, di Dusun Awilarangan, desa
Pasirmuncang, rombol ini dikelola dan diketuai oleh ibu Warsih.
Menurut penuturan bu Warsih, kelompok rombol ini ia dirikan tahun
2005 bersama kelompok ibu-ibu yang sering bertemu dalam arisan,
pengajian maupun kegiatan dusun lainnya. Awal berdiri, anggota
rombol ini berjumlah 21 orang ibu-ibu dengan jumlah simpanan
minimal beras 5 liter (1/2 gantang) dan uang Rp. 20.000,-. Simpanan
ini sedikit lebih besar daripada simpanan gantangan (tahun tersebut
rata-rata Rp. 10.000,-).
Salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya rombol ini adalah
kebutuhan ekonomi yang semakin banyak. Jika hanya mengandalkan
gantangan sebagai dana tambahan/cadangan keluarga, para ibu-ibu itu
merasa tidak cukup. Diperlukan sistem yang sama tetapi lebih fleksibel
dalam penarikannya. Misalnya, tidak perlu harus menunggu hajatan
pernikahan atau khitanan, melainkan ketika mereka butuh untuk
membangun rumah, merehab rumah, atau membangun WC, mereka
bisa menarik simpanan rombol tersebut. Meskipun, sebagian besar
rombol ini pada akhirnya tetap ditarik ketika ada anggotanya yang
hajat, untuk menghindari panitia bekerja dua kali (sekalian menyebar
undangan hajatan, sekaligus menarik rombolan).
Perbedaan sistem rombol dengan gantangan biasa adalah
jejaringnya. Sistem rombol yang dijalankan bu Warsih ini contohnya,
ia tidak hanya mengelola rombolan di satu dusunnya, melainkan juga
menghubungkan kelompok di dusunnya itu dengan dusun lainnya,
yaitu dusun Waladin (Kec. Purwadadi) yang berjarak sekitar 4 km dari
dusunnya. Hubungan pertukaran dua kelompok rombol ini terjadi
karena ketua rombolnya saling bersaudara (ketua rombol dusun
Waladin/ibu manih kadira, adalah sepupu ketua rombol dusun
Awilarangan/ibu warsih). Dengan demikian, anggota rombol di
masing-masing dusun saling menyimpan dan membayar dengan
difasilitasi oleh ketua rombol masing-masing.
Tidak saling kenal tapi saling bertukar
Bapak
Hajat
Panitia
Rombol
Dusun/Desa X
Panitia
Rombol
Bapak
Hajat
Dusun/Desa Y
Gambar 33. Pola Rombol dalam Pertukaran Sosial Gantangan
Tugas seorang panitia seperti bu Warsih ini sangat sentral dalam
kelangsungan kelompok Rombol. Sebab, seorang panitia adalah orang
yang paling sibuk ketika ada anggotanya yang ingin menarik
simpanannya. Tugas dan kewenangan panitia rombol, antara lain :
1. Menyebarkan undangan kepada seluruh anggota (bagi-bagi sabun)
2. Menarik dan mencatat simpanan setiap anggota
3. Menagih kepada anggota yang tidak datang/belum membayar
4. Jika yang ditagih belum ada uang/beras, panitia biasanya yang
menalangi lebih dulu sampai yang ditagih memiliki uang
5. Mengantarkan pamulang/berkat dari bapak hajat kepada anggota
lainnya.
6. Mendapatkan “uang sabun” dari bapak hajat, biasanya jika
terkumpul hasil rombol Rp. 700.000 – Rp. 1.000.000, bu warsih
mendapat Rp. 30.000, jika yang terkumpul lebih kecil, < Rp.
500.000, bu warsih biasanya hanya mendapat Rp. 15.000. di luar
“uang sabun”, terkadang bapak hajat ada yang memberi “uang
bensin/ojek” Rp. 20.000-Rp.40.000.
Menurut Bu Warsih, menjadi panitia rombol atau hajatan itu
“sudah capek, dapetnya sedikit”. Tetapi ia anggap hal itu sebagai
kewajiban sosial yang harus dijalankan, karena ia telah terlanjur
dipercaya oleh anggota lainnya. Di mata ketua Rombol seperti bu
Warsih, ke depan ia berharap gantangan/undangan umum itu berhenti
saja (rugi, banyak modal keluar, untung sedikit), sedangkan Rombol
kalau bisa diperbanyak jumlah anggotanya biar hasil dan manfaat yang
diperoleh juga lebih banyak. Nyatanya, dari anggota awal yang
berjumlah 21 orang, kini (2012) anggota rombol sudah bertambah
menjadi 39 orang di dusun Awilarangan dan sekitar 60 orang di dusun
Waladin (sebagai jaringan pertukaran).
Sumber : diolah dari catatan rombol
Gambar 34. Hasil Rombol
Warga yang menjadi anggota kelompok rombol, selain
mendapatkan simpanan rombol juga mendapat simpanan dari
gantangan biasa warga lainnya. Bedanya, hasil dari rombol ini
meskipun terlihat kecil, tetapi relatif utuh dan tidak menghabiskan
modal yang besar. Misalnya, bapak hajat hanya memberikan jamuan
makan kepada panitia rombol yang datang menyerahkan hasil
rombolan dari anggota di kelompoknya. Sementara itu, para
penyimpan dari kelompok rombol lain tidak wajib untuk datang di
hajatan, hanya cukup menyerahkan/menitipkan simpanan beras dan
uangnya kepada ketua panitia rombol. Meskipun demikian, beberapa
tuan
rumah/bapak
hajat
seringkali
menitipkan
pula
nyambungan/pulangan (berkat/bingkisan) kepada ketua rombol untuk
diberikan kepada anggota yang telah ikut menyimpan.
5.3.3. Gantangan di Subang Selatan
a. Gintingan
Salah satu pengaruh dari luar tonggoh yang saat ini eksis di
tengah desa pegunungan ini adalah Gintingan, yang tidak lain adalah
sebutan untuk tradisi Gantangan. Gintingan ini diakui warga
Cimenteng sebagai pengaruh dari luar sebab dulunya tidak pernah ada.
Dahulu, gotong royong masyarakat dalam saling membantu satu-sama
lain sangat kuat dan tanpa pamrih. Misalnya jika ada salah satu warga
yang sedang membangun rumah, maka warga desa lainnya akan
berduyun-duyun dan bergantian membantu mendirikan rumah tersebut.
Tradisi ini mereka sebut sebagai liliuran. Bahkan sampai hari ini
beberapa dusun masih melakukan hal yang sama, meskipun tidak
sebanyak dan seramai dahulu. Tetapi hari ini, dirasakan oleh
masyarakat (diwakili partisipan wawancara kelompok terfokus) bahwa
setiap orang semakin perhitungan dalam segala hal, termasuk dalam
tradisi nyumbang (Gintingan) ini.
Gintingan di desa Cimenteng (dan mungkin Subang Selatan
pada umumnya) sudah serupa dengan Gantangan di Subang Utara dan
Tengah, yaitu menggunakan sistem pencatatan terbuka dan menjadikan
sumbangan
sebagai
hutang-piutang
(kewajiban).
Warga
desa
Cimenteng menyebut Gintingan sebagai pertukaran beras dan uang
antar warga satu kampung dan luar kampung yang dibayarkan ketika
dilangsungkan pesta hajatan. Di luar gintingan tersebut, mereka juga
melakukan pertukaran beras dan uang serta iuran lain-lain antar warga
satu kampung yang disebut sebagai persatuan atau satuan. Adanya
bermacam-macam kegiatan kolektif semacam itu selain menunjukkan
kentalnya kehidupan komunal, juga menunjukkan bahwasanya setiap
rumah tangga sangat menggantungkan kehidupannya kepada rumah
tangga lainnya (interdependensi).
Secara historis, menurut penuturan beberapa informan, sampai
dengan tahun 1960-an, belum ada sistem pencatatan sumbangan
hajatan itu. “masing-masing ge emut, dicatet di hate” (setiap orang
ingat dan dicatat didalam hati). Barangkali karena jumlah penduduk
yang masih belum sebanyak sekarang dan hubungan yang masih
sangat dekat. Pada tahun 1964, mulai banyak orang yang lupa, “seeur
nu hilap”, sehingga masing-masing rumah tangga mulai mencatat
sumbangan yang diterimanya, agar ketika mengembalikan tidak lupa.
Akan tetapi pencatatan ini dilakukan diam-diam, tidak secara kolektif,
catatan pribadi. Akhirnya pada tahun 1985-an, mulai muncul
penggunaan sabun colek dan rokok sebagai undangan hajatan. Konon
ini pengaruh dari utara, “pengaruh ti kaler”, yaitu saudara-saudara
atau kenalan mereka yang tinggal di desa-desa utara (Kec. Pagaden)
mengundang mereka dengan cara seperti itu. Dinilai praktis, pada
akhirnya cara tersebut mulai ditiru dan meluas penggunannya.
Ingatan warga merujuk pada Ceu Rohimah, sebagai orang yang
pertama kali mengajak dan mengenalkan hajatan gintingan secara utuh
pada saat hajatannya di tahun 1995. Mulai dari situ, kemudian pola
pesta hajatan dan tradisi nyumbang di Cimenteng ini serupa dengan
desa di utara, yaitu ada juru tulis Gintingan, ada batas minimal
gintingan, dan kewajiban-kewajiban dalam pengembalian gintingan.
Hingga hari ini, minimal gintingan untuk beras adalah 5 liter (1/2
gantang) dan maksimal 50 kg (1/2 Kw). Pembatasan jumlah gintingan
inilah yang unik dan membedakan daerah tonggoh dengan di utara.
Nampaknya, mereka tahu benar terhadap kemampuan mereka, baik
secara ekonomi atau ekologi, bahwa hasil panen padi mereka tidaklah
sebagus dan sebanyak di dataran rendah (banyak hama). Sehingga
mereka merasa perlu membatasi gintingan agar tetap pada batas
kemampuan mereka untuk membayar.
Sumber : diolah dari buku catatan Gantangan
Gambar 35. Hasil Gintingan
Untung rugi dalam pesta hajatan, nampaknya juga bukan hal
yang tabu menjadi bahan perbincangan masyarakat. Menurut warga,
“hajatan teh kumaha perbuatan. Saha nu rajin nyimpen ya loba
hasilna, saha nu kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging
artos” (untung/ruginya hajatan itu tergantung pada perbuatan
seseorang, barang siapa rajin datang dan menyimpan ke orang lain
maka akan banyak menuai hasil gintingan, sebaliknya yang malas
menyimpan yang mungkin tidak akan terbayar modalnya/rugi, tidak
akan mendapat kelebihan uang). Perbedaan lain di daerah tonggoh ini
adalah
frekuensi
hajatan
setiap
musim
yang
tidak
terlalu
memberatkan/sering. Rata-rata hanya 6-7 kali panggung dalam setiap
musimnya (6 bulan). Biasanya hajatan ramai di bulan Raya Agung, di
Musim kemarau, dan di Bulan haji.
A
r+m
B
r+m
r+m
C
r = beras, m = uang
Gambar 36. Pola Gintingan di Subang Selatan sama dengan pola Telitian
(Subang Utara) dan Talitihan (Subang Tengah)
Keterlibatan dalam pertukaran gintingan ini adalah sukarela,
tidak ada paksaan. Banyak juga warga yang tidak mengikuti sistem ini,
artinya dia hanya menyumbang seikhlasnya dan tidak dicatat dalam
buku gintingan (tidak wajib dikembalikan). Toleransi terhadap mereka
yang belum bisa membayar hutang (mengembalikan gintingan) juga
masih cukup besar, yaitu ditunggu sampai mampu membayar. Bahkan
mereka yang pindah domisili pun tidak menjadi masalah berarti,
sepanjang di domisilinya yang baru masih terjangkau dan bersedia
datang jika diundang. Contohnya adalah Bu Nane, seorang Bidan yang
pernah bertugas di Cimenteng. Suatu ketika ia pindah dinas ke
Indramayu, warga pun tetap mengantarkan undangannya ke ibu Nane,
sebaliknya, Bidan tersebut juga tetap berkomitmen dengan membayar
hutang/simpanan warga ketika ia hajatan dahulu.
Tabel 12. Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan
TIPE A
TIPE B
TIPE
CIRI-CIRI
(Nyambungan) (Gintingan)
Norma resiprositas
TIPE C
(Golongan)
Mengikat
Memaksa
Sanksi tegas
Volume pertukaran pasti
Waktu pengembalian terjadwal
Jaringan
Antar keluarga dan Tetangga dekat
Satu desa
Luar desa
Ikatan antar aktor yang kuat
Kepercayaan (trust)
Ditagih
Dicatat Sendiri
Dicatat Juru Tulis (panitia hajat)
Dicatat oleh Ketua kelompok
V
v
v
v
v
v
v
v
V
V
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Karakteristik
Komunitas
Istilah Modal Sosial
Sejarah Mulainya
Gantangan
Penyebaran
Pola resiprositas
dan pertukaran
Bandar Hajatan
Waktu hajatan
Kesan terhadap
gantangan
Tabel 13. Perbandingan Pola Pertukaran Sosial Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012)
Subang Utara
Subang Tengah
Subang Selatan
Masyarakat pesisir, petani/petambak, buruh
Masyarakat sekitar perkebunan karet dan tebu, Masyarakat sekitar hutan, petani,
tani, nelayan, jasa dan perdagangan
buruh tebas, petani dan buruh pabrik
peladang, dan peternak.
Terbuka, miskin = tidak memiliki lahan
Terbuka, miskin = sumberdaya minim
Terisolir, miskin = minim akses
Telitian
Talitihan atau Gantangan
Gintingan
Pengaruh/meniru dari Karawang dan
Pengaruh/meniru dari Subang Utara
Pengaruh/meniru dari Subang Tengah
Indramayu
dan Utara
Melalui perkawinan, perpindahan penduduk
Melalui perkawinan, perpindahan penduduk
Melalui jaringan pertemanan,
dan jaringan pertemanan
dan jaringan pertemanan
perpindahan penduduk dan perkawinan
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak
dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai
dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai
dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai
menghilang.
menghilang.
menghilang.
Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang >
Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang >
Pola B. Menyimpan beras minimum 5
Rp. 15.000, dan sembako lainnya, dicatat,
Rp. 10.000, dan sembako lainnya, dicatat,
liter dan maksimum 50 kg, uang > Rp.
wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai
wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai
10.000, dan sembako lainnya, dicatat,
menurun karena ketidakjujuran dan frekuensi
menurun karena frekuensi hajatan yang tidak
wajib dikembalikan, masih eksis dengan
hajatan yang tidak diatur (21 kali setahun
diatur (19 kali setahun) dan kesulitan ekonomi frekuensi hajatan relatif rendah (7-8 kali
hajatan rame-rame ditambah hajatan tanpa
Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah
setahun)
hiburan yang tidak tercatat)
kelompok mirip arisan sebanyak @10 liter,
Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah
uang Rp. 20.000, dan sembako lainnya yang
kelompok mirip arisan sebanyak @50 kg, uang dikelola oleh Ketua Rombol, dicatat, wajib
Rp. 50.000, daging sapi, daging ayam, dan
dibayarkan, jumlah anggota 40
sembako lainnya yang dikelola oleh Ketua
orang/kelompok, waktu pengembalian/hajatan
Golongan, dicatat, wajib dibayarkan, jumlah
tidak/belum dibatasi/diatur.
anggota 45 orang, waktu pengembalian/hajatan
dibatasi 4 kali setahun
Memiliki power sentral dalam pertukaran
Memiliki pengaruh kuat dalam pertukaran
Belum terlalu memiliki pengaruh/power
Musim panen, pernikahan, khitanan, kelahiran, Musim panen, Pernikahan, khitanan, kelahiran, Musim panen, Pernikahan, khitanan,
naik haji, membangun/merehab rumah, dan
naik haji, membangun/merehab rumah, dan
kelahiran
kebutuhan mendesak lainnya
kebutuhan mendesak lainnya
ï‚· Perempuan : (1) Bayar (2) Makan (3) Beras
ï‚· Perempuan: (1) Hutang (2) Uang (3) Beras
ï‚· P: (1) Simpanan (2) Usaha (3) Hutang
ï‚· Laki-laki : (1) Bayar (2) Utang (3) Pusing
ï‚· Laki-laki : (1) Hutang (2) Pusing (3) Bayar
ï‚· L : (1) Hutang (2) Simpanan (3)
Pusing
5.4. Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke Pertukaran Sosial
Dalam Sosiologi Ekonomi (ekonomi distribusi), hubungan timbal balik antar
warga masyarakat seperti dalam tradisi nyumbang, gantangan, gotong royong dan
lain sebagainya itu disebut sebagai resiprositas. Hubungan timbal balik atau
resiprositas tersebut dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok dan
kelompok dengan kelompok yang memiliki posisi dan peran sosial relatif sama serta
saling bergantian. Misalnya peran sebagai pengundang (bapak hajat) dan yang
diundang (tamu undangan). Secara garis besar, terdapat dua bentuk resiprositas, yaitu
resiprositas umum (generalized reciprocity) dan resiprositas sebanding (balanced
reciprocity) (Damsar, 2009:105).
Resiprositas umum artinya kewajiban memberi atau membantu orang atau
kelompok lain dengan tanpa mengharapkan pengembalian, pembayaran atau balasan
yang setara dan langsung. Sekalipun terdapat pamrih dalam melakukan pemberian,
namun tidak ada batasan waktu dan jumlahnya serta tidak ada mekanisme untuk
menagih pengembaliannya. Resiprositas umum ini biasanya didorong oleh nilai-nilai
dan norma dalam masyarakat bahwasanya menolong dan memberi kepada orang lain
itu adalah suatu perbuatan yang dianjurkan dan bernilai sosial.
Sebaliknya, resiprositas sebanding adalah kewajiban memberi atau membayar
apa yang orang dan kelompok lain berikan kepada kita, dan biasanya jumlah dan
waktu pengembaliannya setara, terjadwal dan langsung. Resiprositas sebanding
inilah potret yang terjadi dalam tradisi pesta hajatan dan gantangan di pedesaan
Subang, dimana kewajiban timbal balik dilakukan dalam sebuah kesepakatan yang
terbuka, setara dan tercatat secara jelas segala sesuatunya di dalam buku gantangan.
Setiap orang dalam jaringan resiprositas sebanding ini telah mengkalkulasikan
pengorbanan dan keuntungan yang akan mereka peroleh masing-masing (pertukaran
sosial). Secara teoritis, resiprositas sebanding ini masih menekankan pada
“kesetaraan” antara apa yang pernah diberikan dengan apa yang akan diterima
(balasan). Namun, secara praktik, nampaknya resiprositas sebanding ini bisa menjadi
pintu masuk bagi komersialisasi sosial dan bahkan tidak menutup kemungkinan pada
akhirnya melahirkan eksploitasi sosial dan ekonomi.
Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Resiprositas
Produksi
Resiprositas
Konsumsi
Proses Ekonomi Distribusi dalam Bentuk Pertukaran
Konsumsi
Produksi
Distribusi
Keuntungan
Sumber : Swedberg (2003) dalam Damsar (2009:112)
5.4.1. Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan Sosial-Kontraktual
Transformasi tradisi Nyumbang yang bersifat sukarela menjadi tradisi
Gantangan yang bersifat kontraktual pada mulanya ditandai dengan adanya
sistem pencatatan. Hadirnya pencatatan ini dimulai pada akhir tahun 1960-an
hingga awal 1970-an. Berbagai informasi yang dikumpulkan oleh penulis di
ketiga lokasi penelitian menunjukkan kemiripan satu sama lain terkait kapan
dimulainya pencatatan Gantangan ini? Tetapi, masayarakat di Subang Utara
memang lebih dulu memulai model pencatatan Gantangan yang mereka adopsi
dari tradisi di wilayah Karawang (Barat) dan Indramayu (Timur) daripada
masyarakat di Subang Selatan.
Tujuan pencatatan jumlah sumbangan oleh bapak hajat, baik yang
berupa uang dalam amplop, beras, maupun sumbangan-sumbangan lain ini
pada mulanya adalah bertujuan untuk menghindari lupa (seeur nu hilap /
banyak yang lupa). Beberapa informan yang sudah sepuh (tua) mengatakan
bahwa dimulainya pencatatan tersebut disebabkan oleh makin banyaknya
orang yang mampu untuk menyelenggarakan pesta hajatan, sehingga setiap
orang atau rumah tangga juga semakin sering menerima undangan. Barangkali
ini terkait pula dengan laju pertambahan penduduk di pedesaan dan mulai
membaiknya perekonomian mereka. Ditambah, sudah mulai banyak warga
desa yang mulai mengenal baca tulis dan anak-anak mereka mulai mampu
untuk melakukannya. Pencatatan sederhana pun mereka lakukan, agar ketika
membalas undangan dari saudara atau tetangga, sumbangan mereka minimal
sama atau tidak kurang dari yang pernah diberikan oleh si pengundang. Mereka
akan sangat malu jika sumbangan yang mereka berikan ternyata lebih kecil dari
yang pernah diterimanya.
Pada perkembangan selanjutnya, pencatatan yang dilakukan untuk
tujuan menghindari lupa (informal) itu kemudian menyebar dan berkembang
menjadi salah satu instrumen dalam penyelenggaraan hajat. Meja khusus untuk
pencatatan pun disediakan oleh bapak hajat di depan pintu masuk sebelum
tamu undangan bersalaman dengan bapak hajat atau memasuki pelataran
rumah. Saudara atau orang yang dipercaya kemudian diminta tolong untuk
mencatat setiap tamu undangan yang datang beserta barang bawaannya.
Dengan demikian, tidak ada satu pun tamu undangan yang terlewat untuk
dicatat nama dan barang bawaannya atau jumlah sumbangannya. Namun, pada
masa awal mengenal sistem pencatatan ini, belum muncul standar jumlah
sumbangan. Setiap tamu undangan yang merupakan saudara, tetangga, kenalan
di dalam kampung maupun diluar desanya itu memberikan jumlah sumbangan
yang sangat bervariasi sesuai dengan kemampuannya. Ada yang hanya ½
gantang (5 liter) beras, 1 gantang, 10 gantang dan seterusnya sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Tidak ada tuntutan dari tuan rumah terkait besar
sumbangan tersebut.
Namun, kehadiran meja juru tulis tersebut tentu saja membawa
konsekuensi lain, yaitu orang menjadi tahu berapa jumlah sumbangan tamu
undangan lainnya. Setiap orang yang datang pun mulai memperhitungkan
jumlah sumbangannya dengan status sosial yang disandangnya. Tentu saja
akan ada tamu yang malu jika ternyata orang yang lebih miskin darinya
ternyata menyumbang lebih besar daripada yang Ia berikan. Apalagi juru tulis
mencatat dan akan tersebar dengan cepat melalui mulut ke mulut tentang
“kedermawanan” atau “kekikiran” seseorang dilihat dari besar sumbangannya.
Menyadari konsekuensi sosial semacam itu, hadirnya pencatatan di meja juru
tulis kemudian melahirkan stratifikasi jumlah undangan yang mengerucut pada
tiga besaran sumbangan, yaitu sumbangan orang kaya, kelas menengah dan
sumbangan warga kelas tidak mampu. Penulis menyebut fenomena ini sebagai
“standarisasi alamiah” yang terjadi ketika jumlah sumbangan menjadi “rahasia
umum” (mirip dengan penentuan iuran dalam konteks yang lebih modern).
Ketika semakin banyak hajatan di desa yang mengadopsi sistem
pencatatan dan meja juru tulis di depan, maka semakin banyak rumah tangga
yang memiliki dan menyimpan buku catatan gantangan itu, baik yang sudah
melakukan hajat maupun yang belum menyelenggarakan pesat hajatan. Mereka
yang belum menyelenggarakan hajatan mulai berpikir soal “menabung”
melalui pesta hajatan ini. Hadirnya buku catatan yang dimiliki oleh bapak hajat
melahirkan anggapan bahwa “setiap bapak hajat pasti akan mengembalikan
sumbangan yang diberikan oleh para tamu undangan”. Anggapan tersebut
kemudian terbukti dalam kenyataan, dimana ternyata setiap orang yang pernah
menjadi bapak hajat sebagian besar “mengembalikan” atau “membalas”
sumbangan sama besarnya dengan yang pernah diterimanya dahulu. Pola
perilaku semacam ini kemudian ditangkap oleh mereka yang belum menjadi
bapak hajat untuk juga mencatat semua sumbangan yang telah maupun akan
mereka berikan kepada tetangganya. Disinilah mulai luntur unsur kesukarelaan
dan diganti dengan pamrih baru, yaitu sumbangan gantangan sebagai
“simpanan” atau “tabungan” yang nanti dapat ditarik ketika ia melakukan
hajat.
Gambar 37. Buku Catatan Gantangan
Pada saat pencatatan sudah dilakukan oleh kedua belah pihak,
pengundang dan yang diundang, serta pergeseran persepsi dari sumbangan
yang “ikhlas-sukarela” menjadi “pamrih-simpanan” berlangsung, maka lahirlah
aturan main baru yang dijalankan dan disepakati bersama terkait pertukaran
gantangan
ini.
Berbagai
bentuk
sanksi
mulai
diawacanakan
untuk
memperingatkan mereka yang menganggap remeh buku catatan gantangan
yang mereka pegang. Dengan kata lain, mereka yang sebelumnya tidak
mencatat pun menjadi ikut dalam sistem pencatatan ini karena merasa tidak
enak jika tidak mengembalikan apa yang pernah diberikan orang lain ketika
hajatan dalam jumlah yang sama. Bahkan, bukan hanya jumlah yang sama,
pada akhirnya mereka pun berbondong-bondong “melebihkan” jumlah
sumbangan dari yang dulu pernah diberikannya. Kelebihan itu pun kemudain
akan dicatat oleh bapak hajat menjadi simpanannya (nyimpen bari mayar).
Demikianlah hubungan sosial dalam pesta hajatan berubah menjadi hubungan
kontraktual (hutang-piutang) dalam pertukaran Gantangan.
5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang
Transformasi sumbangan sukarela menjadi hutang-piutang dalam
pertukaran Gantangan tentu saja turut mengubah makna dan penilaian terhadap
komponen dalam pesta hajatan maupun pertukaran Gantangan ini. Pertamatama yang kemudian berubah adalah nilai terhadap anak. Mengapa demikian?
Sebab, salah satu alasan utama suatu keluarga atau rumah tangga dapat
menyelenggarakan hajat yang “wajar” secara tradisi adalah anak. Ketika lakilaki dan perempuan di desa menikah, maka pesta pernikahan itu bukanlah
“milik”-nya atau menjadi kewajibannya, melainkan menjadi pestanya orang
tua. Orang tua yang menyiapkan segala sesuatunya, termasuk keseluruhan
biaya dan pengaturan-pengaturan upacara lainnya. Pengantin itu justru menjadi
simbol status sosial orang tuanya, misalnya apakah orang tuanya berhasil
mendapatkan menantu yang dianggap baik, pesta yang dianggap meriah, dan
kepantasan-kepantasan sosial lainnya.
Baru kemudian ketika pengantin baru di desa itu menjalani kehidupan
rumah tangganya sendiri, maka segala hal terkait dengan kewajiban sosial
menjadi tanggung jawabnya sendiri. Mula-mula ketika mereka istrinya hamil,
kemudian melahirkan anak, lalu mengkhitan anak (jika anaknya laki-laki) saat
memasuki usia dewasa, sampai akhirnya menikahkan anaknya tersebut. segala
pesta yang menyertai siklus kehidupan keluarga di desa itu kemudian menjadi
tanggung jawabnya sebagai orang tua. Semakin banyak anak yang dimiliki,
maka akan semakin banyak “tuntutan” untuk menjalankan berbagai upacara
sosial-keagamaan seperti diatas. Pada keluarga tertentu yang kurang mapan
secara ekonomi, banyaknya kewajiban sosial seperti menyelenggarakan hajat
ini dianggap memberatkan dan merepotkan. Namun, bagi sebagian petani atau
orang desa lainnya, banyaknya anak ini sangat disyukuri karena memberikan
kesempatan untuk menunjukkan status, gengsi dan nama besar keluarganya.
Pada kondisi terakhir, anak dapat dianggap sebagai komoditas untuk
menaikkan atau mempertahankan status sosial orang tuanya.
Apakah memiliki anak laki-laki dan perempuan bernilai berbeda? tentu
saja. Di pedesaan Subang pada umumnya dan di lokasi penelitian pada
khususnya, makna anak laki-laki dan perempuan berbeda dimata sebagian
besar orang tua. Anak perempuan atau perawan, dianggap sebagai aset utama
hajatan. Mengapa? Karena dalam penyelenggaraan perkawinan, maka adat
Sunda umumnya menuntut pesta perkawinan itu diadakan oleh pihak keluarga
perempuan. Pesta hajat di keluarga perempuan adalah yang diutamakan,
sedangkan pesta di keluarga laki-laki bukanlah suatu keharusan. Pada titik ini,
ketika pertukaran gantangan telah mengakar, maka orang tua yang memiliki
anak perempuan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk “narik”
gantangan dibandingkan dengan mereka yang memiliki anak laki-laki.
Sehingga kesempatan untuk mendapatkan “untung” melalui gantangan menjadi
lebih besar.
Sebaliknya, orang tua yang memiliki anak laki-laki justru harus
“membayar”, baik berupa uang, mahar, maupun seserahan lainnya kepada
pihak perempuan. Dalam kasus pra-pernikahan seperti tunangan, berkembang
juga pola pembayaran yang nampak menguntungkan bagi pihak perempuan.
Yaitu jika dalam tunangan pihak laki-laki memberikan perhiasan emas seberat
10 gram, maka ketika menikah nanti maharnya menjadi sepuluh kali lipat (100
gr) yang harus dibayarkan. Dengan demikian, nilai anak perempuan dalam
masyarakat di pedesaan Subang termasuk dianggap tinggi dan bernilai bagi
orang tuanya. Dalam istilah sehari-hari masyarakat lokal, anak perempuan
bahkan dianalogikan sebagai “barang dagangan” dalam konteks perkawinan.
Nilai ekonomi seorang anak perempuan juga tidak hanya dalam
lapangan hajat, dasawarsa terakhir anak perempuan makin bernilai secara
ekonomi karena dianggap mudah untuk mendapatkan pekerjaan diluar usaha
pertanian. Dua lapangan pekerjaan utama itu adalah menjadi buruh pabrik dan
menjadi buruh migran (TKW) ke Malaysia atau Arab Saudi. Dalam konteks
ini, perempuan desa memang diandalkan sebagai katup penyelamat ekonomi
rumah tangga, khususnya bagi mereka yang miskin dan kurang mampu. Bukan
hanya sebagai komoditas hajatan, perempuan harus menyandang peran sebagai
komoditas ekonomi rumah tangga, sehingga lahir banyak kasus-kasus
pemaksaan, perdagangan perempuan, prostitusi, perceraian yang bermuasal
dari nilai ekonomi perempuan ini.
Bagaimana dengan anak laki-laki? Dalam konteks hajatan dan
pertukaran gantangan, memiliki anak laki-laki sebenarnya lebih cepat untuk
“dipanen”. Artinya, ketika anak tersebut lahir dan memasuki usia balita hingga
remaja, maka orang tuanya dapat mengadakan hajat “khitanan” sebagai arena
untuk “narik gantangan”. Inilah sebabnya, anak remaja laki-laki yang dikhitan
pun biasa disebut sebagai “pengantin khitan” dan pesta hajatan yang
diselenggarakan juga tidak kalah mewah. Salah satu ciri khas pesta khitanan ini
adalah dengan mengundang grup sisingaan.
Selain nilai anak sebagai komoditas, uang dan beras juga memiliki nilai
yang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, beras juga
bukan hanya sebagai bahan pangan pokok, melainkan keduanya telah menjadi
instrumen untuk menjamin keberlanjutan hubungan sosial di pedesaan. uang
dan beras yang dicatat dalam buku catatan gantangan adalah simbol yang
mengikat hubungan antar individu maupun antar keluarga. Uang dan beras
tidak hanya dilihat dari jumlah dan nilainya, melainkan juga dilihat sebagai
sebuah “komitmen moral” untuk saling membantu dan menepati janji satu
sama lain di pedesaan. Kesediaan menyimpan sejumlah uang dan beras itu
menunjukkan tingkat kepercayaan (trust) seseorang kepada orang lainnya.
Kesediaan membayar kembali sejumlah uang dan beras yang pernah
diterimanya juga menunjukkan tanggung jawab seseorang kepada warga
lainnya. Melupakan salah satunya, berarti keluar dari sistem dan berarti pula
merusak hubungan sosial satu sama lain.
Selain bermakna secara simbolik, beras dan uang juga bermakna secara
psikologis sebagai jaminan rasa aman warga masyarakat di pedesaan,
khususnya yang terlibat dalam pola pertukaran gantangan. Dengan terlibat
dalam pertukaran gantangan, rumah tangga tersebut merasa aman ketika
sewaktu-waktu ia membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar. Sebab,
ia yakin bahwa warga desa lainnya akan berkenan “meminjamkan” beras dan
uang mereka melalui pertukaran gantangan ini. sebagian besar dari mereka
tidak melihat pinjaman tersebut sebagai hutang semata, melainkan juga sebagai
instrumen penolong pada saat rumah tangga mengalami darurat ekonomi. Bagi
orang kaya, banyaknya beras dan uang yang diberikan semakin memberikan
penegasan atas kekuasaan dan pengaruh mereka ditengah masyarakat.
Dalam proses pertukaran gantangan, beras diasosiasikan dengan “uang
perempuan”, karena dibawa oleh perempuan. Sedangkan uang diasosiasikan
dengan “uang laki-laki” karena dibawa dalam amplop oleh laki-laki. Ketika
anak, uang dan beras menyatu dalam sebuah pesta hajatan, maka dalam alam
berpikir orang desa ketiganya menjadi sesuatu yang dianggap dapat
menghasilkan secara ekonomi. Mengatur dan memainkan irama antara anak,
beras dan uang ini adalah seni mendasar dalam kehidupan rumah tangga orang
desa. Mereka harus pandai-pandai berhitung, mulai dari sisi bagaimana
memperlakukan anak? Bagaimana mengatur produktivitas di lahan pertanian?
hingga bagaimana mendapatkan pekerjaan-pekerjaan alternatif lainnya untuk
mendapatkan uang sehingga cukup untuk memenuhi berbagai kewajiban sosial
sekaligus mendapatkan untung untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka.
Terlihat sederhana, namun pada kenyataannya pengaturan-pengaturan tersebut
sangatlah kompleks.
Komodifikasi hajatan, sebagai bentuk komersialisasi sosial tahap awal
ini, kemudian melahirkan pola-pola pesta hajatan yang mungkin tidak terjadi di
daerah lain, termasuk pada komunitas Sunda lainnya. Contoh perilaku dan pola
pesta hajatan yang khas dari akibat kmodifikasi hajatan ini antara lain :
1.
Orang dapat melaksanakan hajatan khitan tanpa harus mengkhitan
anaknya. Bisa jadi khitan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya atau
nanti setelah pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena orang tuanya lebih
mengedepankan perhitungan kebutuhan ekonomi untuk narik gantangan
daripada perhitungan melaksanakan ritual tradisinya.
2.
Pihak keluarga laki-laki dalam sebuah pernikahan dapat melakukan hajat
“narik gantangan” sebelum pesta hajatan pernikahan (resepsi) di pihak
perempuan. Bahkan pesta itu dilakukan sebelum akad nikah terjadi.
Mengapa demikian? karena pihak keluarga laki-laki membutuhkan
sejumlah modal untuk dibayarkan kepada pihak perempuan, sehingga
mereka harus narik simpanan gantangannya terlebih dahulu.
3.
Orang atau keluarga tidak perlu menunggu memiliki kelebihan rejeki
untuk mengadakan pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena ia dapat
menyelenggarakan pesta hajatan dengan seluruh modalnya berasal dari
pinjaman/hutang, baik dari bandar maupun saudara. Konsekuensinya
adalah ia harus membayar seluruh pinjaman tersebut langsung setelah
hajatan berakhir. Hal ini berlaku sangat umum dan bukan menjadi sebuah
aib (hal buruk).
5.4.3. Peran Bandar dalam Pertukaran Sosial Gantangan
Akhir-akhir ini, kehadiran bandar menjadi suatu entitas yang sulit
dilepaskan dari hajatan maupun pertukaran sosial gantangan itu sendiri. Bandar
atau pemodal hajatan ini mulai marak muncul sekitar dua dasawarsa terakhir.
Kehadiran bandar semakin akrab setelah krisis ekonomi 1998, dimana dampak
dari krisis ekonomi tersebut sangat terasa hingga ke pedesaan. Bandar hajatan
ini merupakan tokoh protagonis sekaligus antagonis di dalam masyarakat
pedesaan Subang. Dalam dunia pertanian – sebagai mata pencaharian pokok
warga – kehadiran bandar sudah mendarah daging sejak lama. Kehadiran
mereka juga kerap dianggap sebagai penolong sekaligus penghisap dalam tata
niaga pertanian tersebut.
Mengapa peran bandar demikian penting? Dalam sistem pertukaran
sosial gantangan, bandar ini berperan sebagai alternatif pemberi modal. Ketika
bapak hajat terdesak kebutuhan ekonomi maupun kewajiban sosial (seperti
harus menikahkan anak) dan tidak memiliki uang untuk menyelenggarakan
hajatan, maka ia bisa datang kepada bandar untuk meminjam uang sebagai
modal awal hajatannya (panjer). Tetapi tidak selalu bapak hajat yang datang ke
bandar, saat ini justru seringkali bandar – melalui kaki-tangan atau orang-orang
kepercayaannya – yang door to door menawarkan jasanya kepada para calon
bapak hajat. Sebelum “kontrak”nya dengan bandar dijalankan, terjadi negosiasi
antara bapak hajat dengan bandar, terutama soal bagaimana mekanisme
pengembalian pinjaman tersebut.
Biasanya, bandar akan meminta pengembalian pinjaman dengan
disertai bunga yang disepakati ketika perjanjian awal. Selain tambahan bunga,
bandar juga biasanya mendapatkan akses tunggal terhadap beras hasil hajatan
tersebut. Artinya, beras yang diperoleh bapak hajat tidak boleh dijual kepada
orang lain, akan tetapi hanya kepada bandar tersebut. Itu pun dengan harga jual
yang lebih rendah dari harga beras di pasar. Rasionalisasinya adalah karena
beras hajat tersebut merupakan beras campuran dari berbagai jenis, bahkan
banyak mengandung raskin (beras miskin) atau beras dengan kualitas kurang
bagus. Hal ini menjadi legitimasi bagi bandar untuk menurunkan harganya.
Setelah dapat membeli beras hajatan, bandar pun akan menjual kembali pada
para tengkulak yang masuk dalam jaringan bisnis mereka.
Seiring dengan makin seringnya masyarakat menggunakan jasa bandar
ini, maka lama-kelamaan bandar menempati posisi yang penting pula dalam
jaringan pertukaran gantangan ini. Ada bandar-bandar yang memang orang
lokal setempat, namun banyak pula bandar yang berada jauh di luar desa
tersebut. Bandar-bandar yang berada jauh ini – terkadang di kota – biasanya
menempatkan orang-orang kepercayaannya (perantara) di pelosok-pelosok
desa. Sebagai contoh orang kaya pemilik pemotongan hewan besar, biasanya ia
memiliki orang-orang khusus untuk menawarkan jasanya kepada calon bapak
hajat. Jika berhasil mendapat kesepakatan, maka si perantara akan
mendapatkan komisi dari si bandar daging. Demikian pula yang dilakukan oleh
bandar beras maupun bandar-bandar lainnya. Bagi bandar lokal,. Semakin
sering dan banyak warga yang meminjam kepadanya, maka ia akan menjadi
orang yang semakin memiliki pengaruh di tengah masyarakatnya. Orang
menjadi segan dan menghormati si bandar karena banyak orang yang
berhutang kepadanya. Dalam benak warga, suatu saat bukan tidak mungkin
dialah yang akan menjadi peminjam berikutnya kepada si bandar.
5.4.4. Komersialisasi Sosial dalam Pertukaran Gantangan
Konsep komersialisasi sosial disini bermakna “menjadikan hubunganhubungan sosial itu seperti pasar (hubungan kontraktual), dimana terdapat
mekanisme pembentukan harga dan berorientasi pada keuntungan”. Dalam
konteks pesta hajatan dan modal sosial Gantangan di pedesaan Subang ini,
komersialisasi sosial berarti sebuah penggambaran bahwasanya pesta hajatan
di pedesaan Subang ini telah menjadi komoditas bagi rumah tangga untuk
mencari untung, baik dalam bentuk materi (uang, beras, dan sembako lainnya)
maupun non-materi (status, gengsi, kehormatan). Mekanisme komersialisasi itu
adalah dengan pengesahan norma hutang-piutang dalam berhajatan secara
terstuktur dan kolektif, sehingga memungkinkan rumah tangga yang terlibat
untuk mendapatkan keuntungan materi dan non-materi ketika ia melaksanakan
pesta hajatan dengan sistem gantangan.
Komersialisasi Ekonomi
Nilai-nilai Individualisme
Komersialisasi
Sosial
Perilaku mengejar
untung
Gambar 38. Relasi mikro-makro dalam komersialisasi sosial Gantangan
Beberapa istilah dalam bahasa lokal yang menunjukkan bahwasanya
pesta hajatan di pedesaan ini tidak lagi menjadi media berbagi dan bersifat
sosial (syukuran) tetapi telah berubah menjadi media yang lebih bersifat
ekonomi, antara lain : “orang hajat jangan sampai potol” (orang hajat jangan
sampai rugi), “urang hajat mah neangan leuwihna” (kita mengadakan pesat
hajatan ya untuk mencari lebihnya = total sumbangan dikurangi modal), “di
wilayah urang mah can aya hajatan nu rugi” (di desa kami sampai sekarang
belum ada orang hajatan sampai rugi), “itung-itung dapet pinjeman” (hajatan
itu anggap saja seperti kita dapat pinjaman dari tetangga), “hajatan mah
kumaha perbuatan, saha nu rajin nyimpen ya loba hasilna, kedul nyimpen
ya teu kabayar modal, moal kenging artos” (berhajatan itu sesuai dengan
perbuatan, kalau dulunya rajin menyimpan ya akan mendapatkan hasil banyak,
kalau malas menyimpan ya bisa tidak terbayar modalnya, tidak akan mendapat
uang banyak), dan lain sebagainya.
ï‚· Liberalisasi ï‚· Revolusi hijau ï‚· Swasembada beras
ekonomi
ï‚· Belum muncul ï‚· muncul sistem
istilah/sistem
pencatatan oleh
masing-masing
gantangan
bapak hajat
ï‚· Gotong royong
dan tolong
ï‚· undangan hajatan
menolong
berupa rokok
murni
1970
Pemberian
Resiprositas umum
ï‚· Sistem pancatatan
mulai dilakukan oleh
juru tulis hajatan
(gantangan)
ï‚· Hajat = komoditas
ï‚· Anak = komoditas
hajat
1980
1990
Resiprositas sebanding
ï‚· Krisis moneter
ï‚· Sistem
gantangan
makin meluas
ï‚· Undangan
diturunkan
menjadi vetcin &
sabun colek
ï‚· Bandar hajat
bermunculan
ï‚· Muncul kelompokkelompok yang
menerapkan sistem
gantangan (rombol,
golongan,
rombongan)
ï‚· Bandar hajat makin
eksis
2000
Komersialisasi tahap I
2010
Komersialisasi tahap II
Gambar 39. Proses Transformasi Pertukaran Sosial Gantangan
Bersamaan dengan semakin memudarnya gotong royong, ternyata
tradisi nyumbang hajatan di pedesaan ini pun berubah haluan dari yang semula
bersifat sukarela dan tanpa pamrih, menjadi bersifat kewajiban dan
mengharapkan timbal-baliknya secara terbuka. Hampir semua perlengkapan
dan sumber daya manusia yang dikerahkan untuk menyelenggarakan pesta
hajatan kini harus disewa atau dibayar oleh bapak hajat. Tidak peduli apakah ia
tetangga dekat atau jauh, hubungan transaksional lebih dikedepankan daripada
hubungan kedekatan. Orang tidak akan tergerak atau kapok (jera) membantu
tetangganya yang hajatan jika tidak mendapatkan sesuatu sebagai timbal
baliknya (upah), seperti uang, beras atau makanan. Bahkan dalam aspek
kehadiran/kedatangan sebagai tamu undangan pun akan menjadi pertimbangan
bagi bapak hajat. Misalnya, ketika ia hajatan ada tetangga atau kenalan tidak
datang memenuhi undangan, maka ketika mereka hajatan, bisa jadi bapak hajat
akan membalas untuk tidak datang. Catatan kehadiran dan jumlah sumbangan
(dalam buku catatan gantangan) itulah kemudian pedoman bagi ada tidaknya
tolong-menolong atau hubungan timbal balik antar warga di pedesaan Subang
ini.
Komersialisasi dalam bentuk komodifikasi hajat barangkali masih
bersifat halus, bentuk komersialisasi sosial yang lebih kentara adalah
masuknya Bandar hajatan, yakni orang-orang yang memiliki modal atau
memiliki koneksi dengan pemodal yang menjadikan hajatan seseorang sebagai
pasar untuk mencari untung. Caranya adalah dengan menawarkan pinjaman
(panjer) modal kepada calon bapak hajat, baik modal dalam bentuk uang,
beras, daging, hiburan, atau apapun. Dari hubungan panjer itulah kemudian
Bandar atau pemodal tersebut akan mengikat hasil hajatan, khususnya beras
dan uang, untuk nanti dibeli olehnya (tidak dijual kepada orang lain). Sebagian
hasil hajatan sebagai pembayaran hutang (panjer modal), sebagian besar
lainnya adalah untuk dibeli dengan harga dibawah harga pasar (sesuai hasil
kesepakatan sebelumnya/saat meminta panjer).
Perilaku seperti inilah
yang disebut
Kunio
sebagai perilaku
“menunggangi” (rent seeking) atau kemurahan hati monopolistik (monopolistic
favours) (Breman & Wiradi, 2004:192). Selain Bandar hajatan, hadirnya
kelompok-kelompok gantangan (Golongan, Rombol, Rombongan) yang
diketuai oleh elit terkaya di desa ini telah melahirkan struktur jaringan
pertukaran yang baru dan memberi peluang pertukaran yang semakin besar
(volume dan jaringannya) bagi lapisan atas hingga pada akhirnya makin
memperkuat pengaruh dan kekuasaan mereka (Ritzer, 2010:387)
5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan
5.5.1. Kelompok Non-Gantangan (Nyambungan)
Pak Sholeh (48) dan Istrinya, bu Ida (45) adalah salah satu profil
keluarga keturunan pendatang dari Jawa yang menetap di Subang Utara. Dalam
Jejaring pertukaran sosial Gantangan, posisi keluarga Sholeh ini berada di
dalam namun tidak mengikatkan diri dalam jejaring tersebut. sebagai salah satu
generasi awal yang berpendidikan hingga level sarjana (S1), pak sholeh
memang memiliki cara pandang yang seringkali berbeda dengan kebanyakan
masyarakat di sekitarnya. Misalnya dalam melihat tradisi Gantangan atau
Telitian yang berkembang di desanya, ia melihat bahwa tradisi ini telah
“melenceng” dari niat atau tujuan sebenarnya, yaitu tolong menolong atau
gotong royong. Telitian yang bermakna “silih genteng” (saling bergantian) ini
dimata pak Sholeh tidak lagi simpatik dan kehilangan nilai-nilai sosialnya.
Oleh karena itu, sejak telitian pertama kali masuk ke Subang utara dan semakin
meluas perkembangannya, keluarga Pak Sholeh memutuskan untuk tidak
mengikuti pola pertukaran Telitian ini. Ia lebih memilih untuk tetap pada
tradisi nyumbang/nyambungan biasa, dimana setiap datang ke kondangan Ia
hanya memberikan amplop tanpa mencatatkan jumlahnya kepada juru tulis
Gantangan. Sebaliknya, ketika pak Sholeh hajatan, Ia juga tidak mengharapkan
semua orang memberikan sejumlah uang atau beras dalam jumlah tertentu.
Seikhlasnya.
“Telitian di sini ramai dari tahun 90-an ke atas sampai dengan
bubarnya panitia tahun 2000-an. Tradisi ini berasal dari
karawang. Bahkan di karawang masih menggunakan sistem
panitia sampai sekarang. Sebaliknya di desa Jayamukti semakin
hari semakin menurun jumlah orang yang datang memenuhi
undangan hajatan. Jika dipersentase, dari undangan untuk 1 desa
(di undang semua) hanya 30% yang datang. Hal ini menunjukan
rasa sosial antar warga semakin menurun. Dulu orang khan
datang hajat karena ada perasaan dekat dan malu. Sekarang
“ada unsur dendam”, jika pernah tidak datang dibalas juga tidak
datang oleh yang pernah mengundang…”
Ketidakikutsertaan Pak Sholeh dalam sistem Telitian ini menjadi unik
disebabkan oleh posisinya sebagai tokoh masyarakat (Sekretaris Desa). Jabatan
sekretaris desa tersebut tidak lantas memaksanya untuk mengikuti seluruh
norma dan kebiasaan yang berlangsung di tengah masyarakatnya. Pak Sholeh
menegaskan posisinya bahwa meski dia tidak ikut serta dalam telitian, bukan
berarti dia melarang telitian tersebut. Padahal, jika dia mampu memanfaatkan
status sosialnya sebagai sekretaris desa, kemungkinan besar ia bisa
mendapatkan keuntungan dari sistem telitian tersebut. Pak Sholeh lebih
didorong oleh pertimbangan rasional dan mencoba belajar dari pengalaman. Ia
sangat memahami seperti apa karakter masyarakat di desanya. Karena paham
tersebut, akhirnya ia memilih untuk tidak mengikuti telitian.
“…Perhitungan mereka (masyarakat-pen) itu kalau ikut
undangan hajatan ada 3 yang menonjol, (satu) “kalau gak akrab
ya gak datang”, (dua) “undangan hanya ngasih dua puluh ribu,
itung-itung ajang makan-makan sepuasnya” dan (tiga) “kalau
bisa hajatan itu tanpa modal, itung-itung dipinjami…”
Sebagai seorang PNS, tokoh masyarakat, dan orang yang pernah
mengenyam pendidikan tinggi, Pak Sholeh dan Istri juga sangat memahami
bagaimana perhitungan ekonomi dari Telitian di desanya. Ia sama sekali tidak
menampik bahwa sistem Telitian ini jika diterapkan dengan benar akan
membawa keuntungan bagi bapak hajat, atau setidaknya tidak akan mengalami
kerugian. Sebaliknya, orang-orang seperti dirinya yang tidak menerapkan
Telitian ini memang selalu “rugi” secara material. Tetapi “untung” dan “rugi”
itu dilihat dengan cara berbeda oleh Pak Sholeh. Menurutnya, konsep “untung”
dan “rugi” yang dipahami oleh kebanyakan anggota masyarakatnya itu adalah
pemahaman yang sempit dan bersifat materi belaka. Mereka tidak terlalu
memperhitungkan masalah tanggung jawab dalam mengembalikan, beban
hutang, kepercayaan, pendapatan dan beban-beban seremonial lainnya.
Meskipun Ia tidak untung ketika hajatan (jumlah sumbangan warga selalu lebih
kecil dari modal dan biaya hajat), namun ia terbebas dari berbagai
kewajiban/hutang kepada tetangganya (orang lain). Hal inilah justru yang
disebut keuntungan bagi pak Sholeh.
“..Iya, manfaat telitian ini ya mendapatkan untung misalnya,
biaya dan modal hajatan 20 jt (pinjaman dari warung, toko,
bandar dll) lalu dapat sumbangan talitian sampai 50 jt. Selisih
itulah yang kemudian akan digunakan untuk menggadai sawah,
empang, meningkatkan perekonomian keluarga dan cadangan
pembayaran ke depan. Meski kelihatannya menguntungkan,
sebagian besar warga Jaya Mukti khan tergolong miskin dan
kurang berpendidikan….Pendidikan yang minim menyebabkan
sering terjadi cek-cok akibat nama penyumbang yang tidak
tercatat, banyak yang tidak bisa membaca, curang dalam
pencatatan (misal 8 ltr di tulis 10 ltr), bahkan buku catatan
telitiannya ilang, gimana coba?”
Pak Sholeh memang selalu menggarisbawahi soal nilai kejujuran di
tengah masyarakat. Pengalaman menunjukkan sulit sekali mengharapkan
seluruh orang bersikap jujur. Pak Sholeh hafal sekali beberapa kasus
penyelewengan Telitian di desanya ini. Dirinya pula yang beberapa kali harus
menjadi penengah dari pihak-pihak yang berselisih paham. Menurut
penuturannya, menjelang tahun 2000-an, muncul kasus penipuan yang
dilakukan oleh beberapa panitia telitian. Empat orang dari delapan panitia
telitian di desanya telah bertindak tidak jujur, yaitu tidak mencatatkan seluruh
sumbangan dari tamu undangan (korupsi). Akibatnya, ketika tamu tersebut
mengadakan hajatan dan menarik kembali simpanannya, banyak tamu yang
tidak datang karena merasa tidak ada nama si pengundang dalam buku catatan
telitiannya. Ketika bapak hajat menagih kepada tamu tersebut, si tamu
bersikukuh bahwa tidak ada nama bapak hajat itu dalam buku catatannya.
Sementara bapak hajat yakin dia sudah menyetor simpanan kepada panitia.
Kemudian perdebatan ini berujung cek-cok dan berakhir pada kecurigaan
terhadap panitia. Sejak saat itu, panitia telitian dibubarkan dan tidak dipakai
lagi oleh masyarakat. Beberapa insiden semacam itu menjadi salah satu
pertimbangan utama kenapa pak Sholeh dan istri memutuskan untuk tidak
mengikuti Telitian.
Selain masalah kepercayaan (trust), rendahnya tingkat ekonomi warga
juga menyebabkan pak Sholeh ragu terhadap kemampuan dan keberlanjutan
ekonomi sebagian besar warganya. Dari tahun ke tahun, pak Sholeh merasakan
bahwa jumlah keluarga yang miskin di wilayahnya semakin meningkat.
Banyak orang yang dulunya petani kini hanya menjadi buruh tani.
Pengangguran juga semakin banyak, khususnya kaum perempuan dan anak
muda. Jika kondisi ekonomi masyarakat tidak berubah atau beranjak naik, Ia
pesimis tradisi seperti Telitian ini dapat bertahan lama. Sebab, beban ekonomi
rumah tangga yang semakin berat masih harus ditambah dengan beban sosial
(hutan dan kewajiban sosial) yang juga semakin berat.
“…Pada waktu panen seharusnya suami mendapat dukungan
penuh (ngeprik atau memungut sisa-sisa panen) tapi sekarang
nggak ada. Padahal, ini terkait dengan telitian, pendapatan
berkurang tapi hutang jalan terus. Faktor pendukung dari kaum
ibu ini nggak ada. Untuk sementara ini, meskipun kelihatan agak
berkurang, tapi telitian masih jalan. Tapi kalau begini terus,
mungkin ke depan hanya tinggal dibawah 50% saja yang ikut
telitian, asalkan tanggungan hutang mereka itu sudah selesai…”
5.5.2. Kelompok Gantangan Umum (Gintingan)
Menurut penuturan Pak Rusdi (50 tahun), salah seorang Kepala Dusun
di Desa Jayamukti, adanya Telitian ini bermanfaat dan merupakan wujud dari
sikap “saling mendukung” antar warga desa. Pendapatnya ini muncul karena
keluarga Pak Rusdi pernah mengenyam manisnya hasil atau keuntungan dari
telitian ini, yaitu ia mampu membeli sebidang tanah dan membangun rumah
dari bilik bambu diatasnya. Keluarga pak Rusdi adalah contoh profil rumah
tangga ekonomi lemah (bawah) di Desa Jayamukti, Subang Utara. Ia tidak
memiliki pekerjaan tetap, selain sebagai pak wakil (kepala dusun). Sehingga
dalam kesehariannya ia lebih banyak melayani warga, membantu urusan atau
pekerjaan administrasi untuk desa, pertemuan-pertemuan dengan warga
hingga terlibat dalam proyek-proyek pembangunan seperti PNPM mandiri
dan sebagainya. Posisinya sebagai pak wakil inilah yang membuatnya cukup
disegani warga meskipun secara ekonomi ia berada dibawah rata-rata warga
masyarakat yang diwakilinya.
“…tahun 2004 Saya hajatan dengan modal Rp. 7.000.000,- saya
dapet hasil telitian Rp. 9.000.000. Keuntungannya ini (sambil
menginjakkan kaki ke lantai tanah rumahnya), Saya belikan
tanah dan bangun rumah. Itu pun tahun 2004, saat ini hasil
telitian bisa lebih besar. Misalnya keluarga yang kelas menengah
bawah, dengan modal hajat Rp. 15.000.000,- ia bisa mendapat
rata-rata Rp. 20.000.000 s.d. Rp. 30.000.000, sedangkan
keluarga menengah ke atas, dengan modal Rp. 25.000.000,- ia
bisa mendapat rata-rata Rp. 50.000.000,- s.d. Rp. 70.000.000,…”
Di dusun wilayah dusun Pak Rusdi ini, urusan hajatan cenderung sangat
mudah. Bahkan setiap RT sudah memiliki masing-masing 20 kursi plastik
yang dapat dipakai secara gratis oleh warganya yang hajatan. Terdapat 4 RT
di dusun ini, sehingga sudah terdapat 80 kursi hasil swadaya dusun.
“…Dalam satu musim hajat (6 bulan) biasanya ada 6-7
panggung (hajatan), kalau ramai ya bisa sampai 15 panggung…”
Menurut Pak Rusdi, masyarakat dusun Tegaltangkil ini sudah terbiasa
dengan swadaya, termasuk dulu pernah ada Perelek dan juga swadaya dalam
pembangunan masjid di dusun mereka. Perelek adalah Sumbangan atau iuran
berupa beras yang diberikan oleh warga dan secara teknis dikumpulkan oleh
pak RT untuk digunakan sebagai iuran ronda malam. Jumlah sumbangan
perelek adalah beras sejumlah ½ s.d. 1 gelas air minum dalam kemasan.
Namun perelek ini kemudian dihilangkan atau dialihkan sejak terbentuk
panitia pembangunan masjid.
Dimulainya pembangunan masjid, melahirkan tradisi “swadaya”
lainnya, yaitu meminta sumbangan di jalan raya atau yang disebut dengan
Kencrengan. Kencrengan ini adalah cara meminta sumbangan dari warga
yang kebetulan melintas di jalan raya. Jumlah sumbangan sukarela dan
biasanya digunakan untuk pembangunan masjid atau perbaikan jalan.
Kencrengan biasanya melibatkan 5 – 10 orang. Pak RT dan RW adalah orang
yang kemudian menyusun jadwal “bergiliran” warganya tersebut. Peralatan
untuk menjalankan kencrengan biasanya adalah : jaring ikan, tong
bekas/batang pisang (untuk pembatas/pembagi jalan), tenda/ terpal, pengeras
suara (untuk orasi), bendera merah (untuk tanda pelan-pelan). Terkadang
panitia dan petugas kencrengan juga memiliki seragam, memakai topi dan
masker untuk menghindari debu. Di jalanan yang sepi, menurut pak Rusdi,
bisanya mereka bisa mendapat Rp. 200.000/hari untuk jalan desa. Untuk
jalanan yang ramai atau jalan raya besar, biasanya bisa diperoleh hingga lebih
dari Rp. 400.000/hari.
Terlepas dari kebiasaan swadaya masyarakat dusun Tegaltangkil itu,
keikutsertaan keluarga Pak Rusdi dalam Gantangan atau Telitian ini didorong
oleh norma sosial dan kebutuhan ekonomi sekaligus. Posisinya sebagai Pak
Wakil menunjukkan kedekatannya dengan masyarakat, baik secara vertikal
maupun horizontal. Ia harus selalu hadir dalam setiap aktivitas publik
warganya, termasuk ketika hajatan. Berkaca dari pengalaman warga desa di
Karawang yang diuntungkan dengan Telitian, pak Rusdi berniat untuk
memperoleh hasil yang sama. Namun, ajakan pertama kali sebenarnya bukan
dari dirinya, melainkan dari sang istri, Ai (40 tahun) yang sering bergaul dan
mengikuti kumpulan dan arisan dengan ibu-ibu lainnya. Dari berbagai
kumpulan tersebut informasi tentang Telitian mereka peroleh dan tertarik
untuk ikut serta. Sebab, bagi Pak Rusdi dan bu Ai, “pinjaman” dari tetangga
atau warga desa itulah salah satu yang paling bisa diandalkan jika mereka
membutuhkan uang sewaktu-waktu.
Senada dengan keluarga Pak Rusdi, keluarga Pak Adul juga profil
rumah tangga yang terlibat dan melibatkan diri dalam pertukaran sosial
Gantangan. Meskipun secara ekonomi keluarga pak Adul (52 tahun) dan bu
Asmi (50 tahun) termasuk dalam kelompok menengah ke bawah, namun
secara status sosial Pak Adul merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa
Jayamukti, Kecamatan Blanakan. Ketokohan Pak Adul tumbuh dan diperkuat
oleh posisinya sebagai Satgas (kepala hansip) di desa Jayamukti. Posisi yang
dijabatnya sejak enam tahun yang lalu (2006) ini memungkinkan pak Adul
untuk bertemu dan berkomunikasi dengan hampir seluruh lapisan masyarakat,
khususnya di desa Jayamukti. Posisi sebagai Satgas ini pun cukup strategis
karena fungsi dan tugasnya sebagai penjaga keamanan Desa, mediator
konflik, dan yang membuatnya paling sering berhubungan dengan
masyarakat adalah sebagai petugas yang mengurus perijinan ketika ada warga
yang akan melakukan hajatan rame-rame.
Menurut beberapa warga dan aparat desa lainnya, keluarga Pak Adul ini
juga tercatat sebagai salah satu pelopor dari pertukaran sosial Gantangan di
desa Jayamukti. Bapak dua anak yang beristrikan seorang buruh tani ini
adalah salah satu warga yang paling bersemangat mengadopsi Gantangan,
khususnya setelah melihat kasus keberhasilan Gantangan dalam mengangkat
ekonomi rumah tangga di Kabupaten Karawang. Meskipun pada waktu itu
pak Adul belum menjadi Satgas, namun melalui hajatan keluarga dekat dan
kerabat-kerabatnya, pertukaran Gantangan ini disosialisasikan dan dijalankan
hingga eksis sampai sekarang.
“…yang dilakukan sekarang ini, dalam hajatan/kondangan ini
sepertinya telitihan. Jika kita ada keperluan, boleh kita
menanyakan. Misalnya, mereka kondangan 1 gantang (10 liter),
uangnya 50 ribu, lha nanti waktu kondangan bisa ditarik. Ya, itu
hutang piutang. Jadi kalau pada waktu hajat itu mereka tidak
membayar bisa ditanyakan…”
Ketika pertukaran sosial Gantangan atau yang lebih dikenal sebagai
Telitian ini diadopsi oleh sebagian besar warga Desa dan menjadi tradisi baru,
kesibukan Pak Adul sebagai Satgas otomatis juga bertambah. Terlebih ketika
prinsip “jangan sampai rugi” dan “mencari untung” dalam Telitian ini
semakin menguat. Prinsip mencari untung ini mendorong warga untuk
melakukan berbagai cara agar hajatan mereka ramai didatangi oleh tamu
undangan. Dengan semakin ramai tamu yang datang, diharapkan semakin
banyak beras dan uang yang dapat dikumpulkan. Salah satu cara yang
ditempuh adalah dengan menggelar hiburan yang meriah, sehingga menarik
orang untuk hadir ke dalam pesta hajatan. Dengan hadirnya hiburan ini, maka
fungsi dan peran pak Adul sebagai Satgas desa menjadi sangat diperlukan.
“…namanya hajatan, kadang-kadang bisa bareng-bareng sampai
tiga kali, lima kali dan seterusnya. Tidak semua hajatan
dilaporkan ke desa, hanya yang rame-rame saja. Menurut aturan
memang harus dilaporkan ke kapolsek, tapi besar biayanya
bervariasi. Kalau hiburannya hanya “karedok” (karaokean bari
dodok/karaoke sambil duduk) itu tidak perlu dilaporkan. Tapi
kalau wayang, jaipong, organ tunggal, tarling itu harus
dilaporkan kepada tiga instansi. Pertama, diurus oleh Satgas,
lalu Kepala Desa, Kecamatan, Danramil dan yang mengeluarkan
ijin Kapolsek…”
Dengan pendapatannya sebagai Satgas yang tidak seberapa dari desa,
istri yang hanya menjadi buruh tani, dua anak yang harus dihidupi, serta tidak
memiliki sawah ataupun empang (tambak) untuk digarap, kehidupan ekonomi
keluarga Adul memang lebih banyak bertumpu pada kelincahan pak Adul
dalam mencari nafkah tambahan. Baik melalui iuran-iuran keamanan maupun
kerja-kerja serabutan yang diberikan oleh warga desa lainnya. Oleh karena
itu, jaringan dan pelayanan pak Adul kepada warga desa lainnya juga akan
menentukan rejeki atau nafkah yang akan ia terima. Oleh karena itu, ia sangat
menerapkan toleransi dan fleksibilitas yang tinggi dalam menarik iuran
perijinan atau hajatan dari warga desa. Tidak lain agar warga tidak merasa
terbebani dan puas dengan pelayanan pak Adul.
“…Menurut APPKD, (hiburan dengan) organ tunggal itu
biayanya 500 ribu. Tapi namanya kita manusia, nggak semua
membayar segitu, kebanyakan kurang. Bahkan ada yang
membayar hanya 250 ribu. Tekor, tapi ya gapapa, ini khan bukan
sekedar mengambil keuntungan. Dibandingkan kelurahan lain,
daerah saya ini yang paling murah. Jadi, kalau kurang, kita
nunggu yang lain lalu kita gabungkan. Daerah lain organ
tunggal 700rb-1 juta tuh. Saya mah bukan tidak butuh pak, tapi
sebagai pelayan masyarakat walau bagaimana kita harus
melayani masyarakat…Kadang-kadang ada hajatan bareng tiga
atau empat, jadi agar tidak bolak-balik saya mengurusnya
sekalian. Hajatan tidak menentu juga soalnya…”
Diluar hajatan yang mengundang hiburan rame-rame ini, sebagian
warga juga banyak yang mengadakan hajatan tanpa hiburan atau dengan
hiburan bernuansa agamis dan lebih sederhana. Biasanya mereka yang
memilih model hajatan ini, menurut Pak Adul, adalah keluarga yang
menengah ke bawah atau keluarga santri (Haji) yang lebih suka hiburan
bernuansa Islami. Pesta hajatan dengan model semacam ini cenderung kurang
memerlukan pengamanan yang penuh, sebab hampir dapat dipastikan
sumber-sumber keributan seperti minuman keras, musik keras dan
kerumunan massa tidak ada di lokasi hajatan.
“…lalu untuk hajatan yang tanpa hiburan atau yang berbau
agama seperti marawisan, ketimplingan, itu hanya
mengetahui/tidak perlu ijin, kalau tidak ada hiburan ya hanya
lapor ke RT lalu kepala dusun, sudah. Selama ini, kalau kita
hitung satu tahun, kebanyakan ya yang ada hiburannya. Yang
punya modal mah hiburannya yang besar, organ tunggalnya juga
yang mahal…”
Pemahaman pak Adul tentang seluk beluk hiburan yang disukai oleh
warga desanya ini juga tidak diragukan lagi. Bahkan ia hafal diluar kepala
tentang jenis hiburan, tarif atau biaya sewa hingga asal hiburan dan berapa
jumlah orang yang terlibat di dalam kelompok hiburan tersebut.
“…Harga hiburan itu relatif, kalau dari wetan itu wayang 7 juta
(paling mahal) 5 juta paling murah. Kalau sandiwara itu paling
murah 11 juta, ada juga yang 12 juta. Kebanyakan organ
tunggal, klasifikasinya, yang model “asrolani” itu sampai 12
juta, “nunung alvis” itu 14 juta, semua dari daerah Indramayu.
Memang grup dari sana lebih bagus dari yang disini. Setiap grup
itu ada 30 orang lebih, bagian peralatan, sound system dan
sebagainya. Ya kalau yang punya hajat nyimpen banyak ke orang
lain yang bisa nutup modal itu semua. Kalau organ tunggal
jumlah penyanyinya 4-5 orang, biayanya 3,5 juta. Karedok itu
sama seperti organ, tapi nggak pake panggung, paling-paling 1,5
juta, penyanyi 2 orang. Kalau odong-odong itu khusus arakarakan pengantin sunat, 5,5 juta, biasanya hanya berisi 8
singa/gotongan. Kalau ada 10, 15, 25 bisa mencapai 9 juta.
Terkadang begini, saya pesen untuk keluarga sendiri satu set,
maka tetangga yang anaknya ingin ikut bayar 300 ribu/gotongan.
Kalau orang di luar desa mah gak tau berapa.
Odong-odong itu keliling, misalnya 500 meter ke barat, dan 500
meter ke timur, total waktunya 4 jam sudah termasuk atraksi dan
sebagainya. Kalau qosidah itu ada rombongan khusus desa
jayamukti (al badar), itu bisa dipakai apa saja, biasanya yang
memakai orang yang haji atau islam yang tekun. Nanti
membayarnya dengan semen 10 sak/500 ribuan, nanti itu untuk
membangun masjid. Kalau pemutaran film sekarang sudah nggak
ada. Dulu, layar tancep itu tarifnya 2,5 juta dari sukamandi dan
cilamaya. Tapi sudah 3 tahun ini nggak ada lagi. Kalau Tarling
atau lalakon itu sekitar 6 jutaan, ini juga dari Indramayu, karena
disini tidak ada (40an orang). Dangdut atau orkes melayu disini
nggak ada, 6 tahun ini saya nggak pernah lihat.
Selain gambaran umum tentang peran dan posisi pak Adul dalam
dinamika pesta hajatan di desa Jayamukti, hal lain yang menarik untuk kita
dalami adalah sejauh mana keterlibatan pak Adul dan keluarganya dalam
pertukaran sosial gantangan itu sendiri. Sebagai keluarga yang memiliki
status sosial cukup berpengaruh dan dikenal secara luas namun menengah ke
bawah secara ekonomi, keterlibatan pak Adul di dalam pertukaran Gantangan
merupakan potret kasus yang menarik. Di satu sisi ia memiliki peluang untuk
selalu mendapatkan hasil Gantangan yang besar karena jumlah tamu
undangan yang banyak, namun disisi lain ia juga terbatas dalam segi
ekonomi.
“Saya bulan 3 tahun kemarin hajat (rasulan), habis (modal) 17,8
juta, mendapat uang 34 juta, masih ada lebihannya. Jika ratarata 20.000, itu hampir 2000 orang yang datang. Tokoh
masyarakat seperti saya ya, pembantu keamanan, ada
kelebihannya karena dikenal satu desa. Mereka seolah melihat
ya. Apalagi kalau keluarga besar begitu. Sekarang kondangan 20
ribu aja sudah malu pak, makannya berapa? Ke saya aja ada
yang 200 rb, 300 rb, 500 ribu, dan 50 ribu itu hampir 30%. Tapi
ya itu, kalau mereka hajat kita harus mengembalikannya
hahaha…nah itu beratnya…Hari ini saja saya telitian pada pak
haji di Blanakan sana habis 100 ribu, berasnya 1 gantang,
itungannya 60 ribu, berarti udah 160 ribu sehari, belum
keponakan (yang hari itu juga sedang hajatan-pen)…”
Dari pengalaman hajatan keluarga Pak Adul diatas, menunjukkan
bagaimana ia dan keluarganya meskipun bukan termasuk golongan ekonomi
atas, tetapi memiliki jejaring dan status sosial yang berpengaruh ditengah
masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah tamu undangan dan
simpanan gantangan yang diberikan. Besarnya jumlah sumbangan merupakan
simbol bahwa pak Adul dipercaya mampu mengembalikan simpanan
Gantangan itu. Banyaknya jumlah tamu undangan yang datang menandakan
luasnya pergaulan pak Adul khususnya. Jumlah simpanan Gantangan yang
berbanding lurus dengan jumlah tamu undangan mengindikasikan bahwa
setiap tamu yang datang memang berniat menyimpan beras atau uang kepada
keluarga pak Adul. Sebab, ada juga hajatan yang dihadiri banyak tamu,
namun hasilnya sedikit. Artinya, tidak semua tamu berniat menyimpan atau
menyimpan tetapi dalam jumlah yang kecil.
“…Kemaren setelah hajat saya bereskan hutang-hutang
semuanya. Sekarang ini semua orang di dapur dibayar, tukang
cuci piring, tukang masak, tukang air, semuanya dibayar. Tukang
masak 250 ribu/orang, cuci piring 100 ribu/orang, tukang
pendaringan (tukang nunggu beras, kue, dsbnya) dibayar 200
ribu, ditotal-total bisa lebih dari 1 juta itu. Kalau kebayan
(panitia-pen) tidak dibayar. Belum tenda, piring, prasmanan, dan
dekorasinya aja sampai 7 juta itu…”
Namun, meskipun hasil hajatan yang merupakan hutang Gantangan
tersebut cukup besar, namun pengeluaran yang harus dibayar oleh bapak
hajat, dalam hal ini Pak Adul, juga besar. Sebab, hampir tidak ada lagi istilah
membantu sukarela seperti jaman dahulu. Setiap bantuan dari tetangga, mau
tidak mau harus “dinilai” dan diberikan kompensasi berupa uang atau upah.
Pola semacam ini semakin umum di tengah masyarakat desa Jayamukti.
Bahkan, upah-upah tersebut cenderung menuju pada standarisasi, bukan
sekedar sukarela atau semampu dari bapak hajatnya. Intinya, semua harus
dibayar, sehingga bapak hajat harus benar-benar berhitung agar tidak merugi.
Termasuk dalam perhitungan utama adalah soal apakah akan menggunakan
hiburan atau tidak? Jika ya, maka hiburan apa yang akan disewa? Jika salah
memilih, bisa-bisa modal hajatan tidak tertutup oleh hasil Gantangannya.
“Jadi cerita hajat mah, tergantung hiburannya. Kalau
hiburannya mahal ya modal lebih gedhe. Disini juga ada yang
pake jaipong, 3,5 juta yang termurah dan termahalnya 5 juta.
Saya tiga kali hajat pakenya jaipong wae, seneng jaipong sih
hehe…sekarang jaipong pake kaos seragam, dan penarinya
paling banyak 15 orang…”
Pengalaman pak Adul dan keluarga dalam menyelenggarakan hajat
Gantangan menunjukkan bahwa hasil Gantangan dalam setiap hajatan tidak
sama (fluktuatif), yaitu tergantung pada jarak antara satu hajatan dengan
hajatan lainnya dan jumlah simpanan Gantangan sebelum hajat. Hal ini
ditunjukkan dengan 3 kali hajatan keluarga Pak Adul mengusung “judul”
yang sama, yaitu khitanan (baik anak maupun cucu), menyewa hiburan yang
sama, yaitu jaipongan, namun hasil Gantangannya (selisih antara modal dan
hasil) berbeda-beda. Tetapi, meskipun berbeda tetapi tidak pernah sekalipun
rugi.
“… Hajat pertama (khitanan) saya dapet 9,4 juta dengan modal
5,7 juta. Lagi murah itu sebelum krismon. Hajat kedua (khitanan
cucu) habis 17,5 juta dapetnya 28 juta (tahun 1985, ini padi juga
masih 80 ribu), karena sering hajat jadi sebenarnya makin lama
makin menurun….Saya enggak pernah mengalami rugi, bahkan,
saya sendiri setiap hajat itu yang olok beras pak, pernah
kebayannya saya yang hajat 2011 itu sampai 140 orang kebayan.
Habisnya, dari hari pertama bikin tarub sampai besoknya 5,4
kuintal habis, total dengan kondangan ya 1 ton beras habis untuk
makan semua…”
Kunci kesuksesan hajat menurut pak Adul adalah rajin tidaknya
seseorang menghadiri undangan hajat orang lain. Pak Adul meyakini,
semakin sering kita menyimpan atau menghadiri undangan hajat orang lain,
maka ketika kita hajat pasti akan mendapatkan hasil lebih atau minimal tidak
rugi. Solidaritas dalam hajatan ini memang diikat dan diperkuat dalam
kontrak tertulis yang tertera dalam buku catatan Gantangan. Maka, jika kita
semakin sering mencatatkan nama ke dalam buku Gantangan orang lain,
maka orang lain akan membalas dengan menghadiri undangan kita.
“Seperti saya (ketika) hajat ke 2, saya naruh ke 1400 orang,
bayar-naruh, hasilnya khan jadi kena. Jadi, makin banyak kita
naruh ke orang, hasilnya juga akan lebih banyak. Ya itu
catatannya semua orangnya bener. Kalau orang yang jarang
kondangan ya alhamdulillah kalau dia kondangan ya nggak ada
yang datang. Ada tetangga saya hajatan, cuman dapat beras 3
karung, uang Cuma 8 juta…padahal (sewa) organ berapa? Itu
katanya jebol sampai 20 juta. Kemarin itu barengan saya. Itu dia
berlebihan, padahal enggak gaul”.
Pada beberapa rumah tangga menengah ke atas, solidaritas kontraktual
semacam ini dikembangkan dengan lebih intensif dengan membentuk
kelompok-kelompok Gantangan yang sifatnya terbatas (hanya bagi yang
mampu) dan mengandalkan rasa saling percaya pada komitmen serta
kemampuan para anggotanya. Bahkan, beberapa orang dengan pendapatan
tidak menentu seperti pak Adul pun memberanikan diri untuk terikat di
dalamnya.
“Disini juga ada telitian yang diketuai ketua, nanti dia dapetnya
10%, orangnya memang tidak datang, tapi berkatnya tetep
dikasih dan diantar oleh ketua rombongannya. Jadi tetep sama
saja. Masih jalan sampai sekarang. Saya ikut rombongan di sana
di Purwadadi. Boleh ikut di tempat lain, misalnya istri kita orang
sana. Disini namanya “golongan” itu”
Bagaimana Pak Adul menyiasatinya?
“Alhamdulillah, pada saat musim hajatan, saya dapet
laporan/perijinan itu jadi bisa saya gunakan untuk 2-3 orang
yang hajat. Saya mah blank tidak punya apa-apa, tapi ya gitu
kadang (dapat) dari desa dapet insentif dari Lurah, kalau proyek
masuk ya adalah…saya mah belum pernah orang nagih ke saya
sampai nggak ada untuk bayar. Malu saya pak kalau sampai gak
bisa bayar ke masyarakat. Sawah, emapang juga gak punya saya
pak…”
Maraknya pertukaran sosial Gantangan dalam pesta hajatan di desa
Jayamukti selain melahirkan kelompok-kelompok mirip arisan yang disebut
Golongan juga mengundang masuknya para Bandar, yaitu mereka yang
menawarkan
pinjaman
modal
hajatan
kepada
warga
yang
ingin
menyelenggarakan hajatan. Proses pinjamn-meminjam ini dalam istilah lokal
disebut “panjer”. Uang panjer inilah yang kemudian mengikat kesepakatan
antara Bandar dan Bapak Hajat. Misalnya dalam soal jatuh tempo
pengembalian, mekanisme pengembalian, dan bentuk pembayaran. Salah satu
kesepakatan umum biasanya adalah Bandar memberikan sejumlah uang
panjer, lalu Bandar meminta kepada Bapak hajat agar beras hasil hajatan
nanti tida dijual kepada pihak lain, tetapi hanya kepada si Bandar tersebut.
kemudian disepakati berapa harga beras hajat itu per kilogram atau per
karungnya. Menurut penuturan dan pengalaman pak Adul, biasanya harga
yang ditawarkan Bandar lebih murah Rp. 500/kg dari harga pasar pada
umumnya. Alasan lebih murah adalah salah satunya karena kualitas beras
yang tidak rata (campuran).
“…Jadi terkadang gini, sebelum hajatan saya minta panjer
karena butuh uang khan, 4-5 juta lah. Yang memberi panjer itu
ngelihat, ini yang pinjem kelas menengah ke bawah (3 juta) atau
menengah ke atas. Tapi harganya memang lebih murah, misalnya
di pasar beras Rp. 6.500, maka dengan bandar Rp. 6.000/kg. ini
kita sudah ada perjanjian…”
Bandar ini merupakan salah satu aktor yang memiliki peran sangat
penting saat ini. Kehadiran Bandar ini dianggap sebagai “penolong” oleh
sebagian masyarakat, khususnya mereka yang ingin menyelenggarakan
hajatan tetapi tidak memiliki cukup modal. Bandar juga dianggap solusi
paling cepat untuk menguangkan seluruh hasil hajatan, sehingga bapak hajat
bisa dengan segera melunasi hutang-hutang keluarga lainnya.
Jadi gini, terkadang hiburan belum dibayar, taruhlah modal lain
seperti daging itu bisa dibayar besok. Biasanya malam langsung
dihitung dapet nariknya lalu untuk bayar hiburan, nah sisanya
baru dihitung besok untuk bayar sisa modal lainnya. Kebanyakan
orang sini kalau hajatan habis 15 juta pendapatannya 20-30 juta,
walaupun mereka harus memberikan untuk nanti orang hajatan
yang baru. jadi jaranglah disini ini orang hajatan sampai harus
jual sawah atau empang.
Bandar ini tidak hanya ada satu, bahkan ada beberapa lapis atau
kepanjangan tangan dari Bandar sebenarnya. Seorang Bandar akan memiliki
orang-orang kepercayaan di beberapa desa yang dianggap sebagai “pasar”
hajatan yang ramai. Berubahnya pesta hajatan dari tradisi menjadi komoditas
ekonomi ini benar-benar dimanfaatkan oleh para Bandar. Orang-orang
kepercayaan inilah yang kemudian bertugas mendatangi atau menawarkan
“panjer” kepada calon bapak hajat. Dengan pendekatan sebagai warga satu
desa, biasanya lebih mudah atau lebih dipercaya, daripada bandar langsung
yang datang. Selain bandar-bandar besar ini, beberapa orang kaya di desa
Jayamukti juga sering menjadi Bandar. Bandar lokal ini biasanya lebih
selektif dalam memberikan bantuan, sebab dia lebih tau seluk beluk atau
riwayat hidup tetangganya, sehingga dapat mengukur dengan lebih teliti
kemampuan calon bapak hajat ini dalam mengundang tamu atau
mendapatkan keuntungan dari Gantangan.
“…Bandar ini bisa siapa saja. Anak saya juga kalau ada yang
hajat dia suka jadi bandar. Kadang rebutan dengan yang lain,
jadi nggak harus satu bandarnya. Orang pasar biasanya punya
“tangan kanan”. Seperti anak saya, kalau ada yang hajat dia
datangi “berasnya untuk saya lah..” “berapa?” “saya sekian,
panjer sekian..” dia mah bukan untuk diri sendiri, kadang dia
oper juga kepada temannya yang lain…ya, mencari keuntungan
sedikit lah…”
Kasus keluarga pak Adul ini merupakan sebuah potret keterhubungan
antara status sosial, jejaring sosial, kewajiban sosial dan pilihan-pilihan
rasional beserta strategi ekonomi sebuah rumah tangga menengah ke bawah
dalam sebuah jaring pertukaran sosial Gantangan. Bagi keluarga Adul,
pertukaran sosial Gantangan merupakan kesempatan untuk mendapatkan
sekedar kelebihan untuk menutup kebutuhan ekonomi keluarga sekaligus
sebagai cara simbolis untuk menunjukkan prestise sebagai tokoh masyarakat
yang meskipun secara ekonomi terbatas namun secara pengaruh masih cukup
mendapat tempat di tengah masyarakatnya.
5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus (Golongan)
Bu Warsih (44 tahun) tinggal di dusun Awilarangan, Desa
Pasirmuncang Kec. Cikaum (Subang Tengah). Ia merupakan pendatang dari
Kadipaten, Majalengka dan masuk ke Subang sejak tahun 1983. perempuan
lulusan SD ini adalah ketua rombol di Awilarangan sejak tahun 2005. Ia dan
sepupunya (Ibu Manih Kadira) dari Dusun Waladin adalah inisiator sekaligus
orang yang mengkoordinir para anggota kelompok rombol di dusunnya
masing-masing dan melakukan pertukaran antara kedua dusun tersebut.
Selain kelompok rombol bu Warsih, kemungkinan juga ada kelompok rombol
lainnya.
Menurut Bu Warsih, di dusun Awilarangan ini terdapat beberapa
“sistem pertukaran” barang dan uang yang mirip dalam penerapannya, tetapi
berbeda dalam sifat keanggotaan dan besar atau volume pertukarannya.
Beberapa sistem pertukaran sosial tersebut antara lain gantangan, rombol dan
talitihan.
Pertama,
Gantangan
dalam terminologi dan pemahaman
masyarakat setempat dipahami sebagai pertukaran beras dan uang yang
dilakukan antar tetangga dan warga satu desa maupun luar desa ketika hajatan
dan dilakukan pencatatan, baik oleh penyimpan (kaondang) maupun
penerima (kahutangan). Gantangan ini mulai ramai sejak tahun 2000-an.
Minimum simpanan gantangan adalah Rp. 10.000,- untuk uang dan 5 liter
untuk beras. Jumlah warga yang terlibat dalam gantangan ini kurang lebih
300-an orang (satu dusun), karena memang spiritnya adalah gotong royong
dan saling menolong. Gantangan ini biasanya dilakukan ketika hajatan
pernikahan dan khitanan.
Kedua, Talitihan, yaitu pertukaran beras dan uang serta barang-barang
lainnya seperti bumbu dapur, minyak, minuman dalam kemasan, rokok, dan
lain-lain sebelum hari hajatan (H-3). Biasanya dilakukan oleh para saudara
dan tetangga dekat. Terhadap berbagai barang yang disimpan juga dilakukan
pencatatan oleh penerima/bapak hajat (yaitu menjadi hutang bagi mereka).
Jumlah atau besar talitihan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Ketiga, Rombol, yaitu pertukaran beras dan uang yang dilakukan oleh
sekelompok ibu-ibu dengan diketuai oleh seorang ketua panitia. Rombol ini
“mirip” dengan arisan tetapi menggunakan sistem “gantangan”, sebab
penarikan dan penyimpanan uang/beras dilakukan ketika hajatan. Namun,
untuk rombol tidak terbatas pada hajatan pernikahan atau khitanan, melainkan
juga dapat dilakukan ketika kebutuhan mendesak, seperti pembangunan
rumah, menggali sumur, dan lain sebagainya.
Menurut penuturan Bu Warsih, kelompok rombol ini dimulai tahun
2005 dengan anggota awal 21 orang Ibu-Ibu. Saat ini, anggota rombol
bertambah mencapai 50-an orang. Meskipun anggota dan hasilnya terlihat
“lebih kecil” dari gantangan, tetapi modal anggota rombol juga lebih sedikit,
sebab ia tidak perlu memberi makan anggota lainnya, karena yang melakukan
penarikan uang dan datang ke rumah cukup ketua panitia saja. Anggota
rombol yang menyelenggarakan hajat cukup memberikan “uang sabun”
seikhlasnya kepada ketua panitia. Sehingga hasil narik rombol tersebut relatif
“utuh” dan menguntungkan. Minimum simpanan Rombol adalah Rp. 20.000
untuk uang dan 5 liter untuk beras.
Dengan adanya ketiga sistem pertukaran tersebut, maka setiap warga
boleh ikut menyimpan di ketiga sistem itu dan bahkan boleh untuk tidak ikut
sama sekali dalam tiga sistem pertukaran sosial tersebut. tidak ada paksaan
untuk masuk, tetapi jika sudah masuk semua dipaksa untuk mematuhi aturan
mainnya (membayar tepat waktu). Tugas seorang panitia seperti bu Warsih
ini sangat sentral dalam kelangsungan kelompok Rombol. Sebab, seorang
panitia adalah orang yang paling sibuk ketika ada anggotanya yang ingin
menarik simpanannya. Tugas yang biasa dikerjakan oleh Bu Warsih ketika
ada tetangganya yang hajatan antara lain : Menyebarkan undangan kepada
seluruh anggota (bagi-bagi sabun), menarik dan mencatat simpanan setiap
anggota, menagih kepada anggota yang tidak datang/belum membayar. Jika
yang ditagih belum ada uang/beras, panitia biasanya yang menalangi lebih
dulu sampai yang ditagih memiliki uang. Mengantarkan pamulang/berkat dari
bapak hajat kepada anggota lainnya.
Sebagai kompensasi, Bu Warsih mendapatkan “uang sabun” dari bapak
hajat. Besarnya bervariatif. Biasanya jika terkumpul hasil rombol Rp.
700.000 – Rp. 1.000.000, bu warsih mendapat Rp. 30.000, jika yang
terkumpul lebih kecil, < Rp. 500.000, bu warsih biasanya hanya mendapat
Rp. 15.000. di luar “uang sabun”, terkadang bapak hajat ada yang memberi
“uang bensin/ojek” Rp. 20.000-Rp.40.000. Bu Warsih memiliki penilaian
sendiri terhadap Gantangan dan Rombol ini, yakni :
“…mendingan gantangan (undangan) itu berhenti saja. Rugi,
banyak modal kaluar, untungna saeutik. Tapi lamun Rombol,
bagusnya diperbanyak jumlah anggotanya, biar dapetnya juga
lebih banyak…”
Tentu saja Bu Warsih memberikan penilaian yang lebih positif terhadap
rombol, sebab ia adalah ketua sekaligus pelopor dari rombol ini. bersama
saudaranya dari dusun lain ia membuka jejaring pertukaran. Ia berperan
sebagai perwakilan anggota kelompoknya jika diperlukan hadir pada hajatan
warga dusun Awilarangan. Secara tidak langsung ia juga berusaha menjaga
kepercayaan yang diberikan anggota kelompoknya. Terlebih di dusun dan
desa tempat ia tinggal, ada beberapa kelompok rombol lain yang menerapkan
pola yang sama. Jika saja ia tidak jujur atau bertanggungjawab terhadap
kelompoknya, besar kemungkinan anggotanya akan keluar atau beralih
kepada kelompok lainnya. Namun, dengan terus meningkatnya jumlah
anggota kelompoknya, dari 21 menjadi 50 orang, menunjukkan Bu Warsih
cukup dipercaya untuk mengelola rombol. Menariknya lagi, rombol ini murni
dikelola oleh kelompok perempuan (ibu-ibu), dimana selain rombol ini
mereka juga memiliki berbagai perkumpulan lainnya seperti pengajian (majlis
taklim), arisan, dan posyandu balita.
Pola pertukaran sosial Gantangan yang dikelola dalam kelompok mirip
arisan yang lebih besar muncul dalam Golongan di Subang Utara. Salah
seorang pelopornya adalah H. Abdul, yang membawa masuk pola Golongan
(Gantangan khusus) ke dusunnya pada tahun 2009 lalu. Pada saat dimulai,
anggota kelompok Golongan ini berjumlah 45 orang dan sampai saat ini
(pertengahan 2012), sudah terdapat 13 Anggota yang narik golongan.
Menurutnya, pola golongan ini sangat menguntungkan karena semuanya
diatur sedemikian rupa tidak memberatkan anggota, terutama soal waktu hajat
(frekuensi) tiap musim dan jumlah simpanannya.
“..Sampai sekarang ini yang keluar (hajat) sudah 12 orang.
Anggotanya 45 orang. Iya ini kayak arisan. Cuma jangan sampai
terbebani masyarakat ini, misalnya dikeluarkan 4-5 hajat pasti
berat, makanya dibatasin satu musim 2 orang saja. Sementara ini
masih bisa diatur. Masih sesuai dengan musyawarah pertama.
Peraturannya disepakati, misalnya harus beras murni bukan
beras dolog, lalu ada fee-nya buat panitia, agar bertanggung
jawab. Saya juga nggak sendiri, dibantu satu orang…”
Lahirnya pola Golongan ini semula bertujuan untuk mengatasi berbagai
kecurangan yang terjadi dalam telitian umumnya, misalnya terkait jumlah
simpanan yang tidak sesuai dengan catatan, jenis beras yang dibawah standar,
dan waktu pengembalian yang sering tertunda. Selain itu, H. Abdul sendiri
sebagai pelopor juga sudah merasakan keuntungan dari menjadi anggota
Golongan ini sebelumnya, yaitu di daerah Bayur, Karawang, tempat keluarga
istrinya berada.
“..Sistem golongan ini pertamanya tahun 1998-an saya ikut
orang Bayur, Karawang, tahun 2000 saya hajat. Nah baru tiga
tahunan ini kita mencoba mengadakan sendiri. Maksudnya
jangan sampai orang “dikibuli”. Misalnya ngasih beras bagus,
kembalinya beras raskin. Nah gitu. Sekarang kalu beras nggak
diterima sama bandar/bakul ya dikembaliin lagi… Supaya
masyarakat yang kecil-kecil yang mau hajat itu bisa terbantu.
Soalnya pengembaliannya khan diatur.
.
Dengan menjadi ketua kelompok Golongan ini, kedudukan H.Abdul di
tengah masyarakat di desanya memang semakin tinggi. Kesuksesan sistem
golongan ini membuat banyak warga lainnya ingin menjadi anggota, bahkan
jika semua diikutkan bisa mencapai 100 orang. Akan tetapi, dengan
pertimbangan kesepakatan yang telah dibuat di awal, H. Abdul justru
menyarankan agar orang lain saja yang membuat kelompok baru, tapi dengan
pola yang sama dan dengan jumlah beras atau barang yang dipertukarkan
lebih kecil, agar lebih banyak orang yang merasakan manfaatnya.
Orang lain mah sukses, bahkan ada yang mengadakan gula pasir,
daging, dan lainnya sesuai kemampuan lah. Kalau dikatakan
orang sini hajatan itu nggak potol-lah (rugi-pen). Ya ada
kelebihan, hiburan jangan mewah-mewah, hanya asal merayakan
saja. Sekarang beras harga Rp. 7000, trus dia dapat beras 2 ton 2
kw, udah berapa itu? Belum dari yang lain-lain.
Tabel 14. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan (Contoh Kasus RT dari 3 Desa)
No
Nama
Pekerjaan
Status
Ekonomi
RT
Status
Sosial RT
Keikutsertaan
dalam
Pertukaran
Gantangan
Ya
Tidak
(8)
(9)
X
Alasan Ikut/Tidak ikut
Gantangan
(1)
1
Suami
(2)
Sholeh
Istri
(3)
Ida
Suami
(4)
PNS
Istri
(5)
(6)
Pedagang Menengah
2
Rusdi
Ai
Kadus
IRT
Bawah
Berpengaruh,
jaringan luas
X
Bentuk tolong menolong
dan saling mendukung
sesama warga masyarakat,
hitung-hitung dipinjami
modal hajatan
3
Adul
Asmi
Hansip
Buruh
Tani
Bawah
X
Bentuk lain dari gotong
royong, untuk menghindari
kerugian, untuk bergaul
dengan masyarakat lain
(mengikuti tradisi)
4
Abdul
Lilis
Petani
IRT
Atas
Berpengaruh,
jaringan luas,
memiliki
anak yang
berperan
sebagai
Bandar hajat
Bepengaruh,
jaringan luas,
ketua
Golongan
X
Mendirikan Golongan
untuk menghindari
kecurangan dalam telitian
(gantangan), meniru sistem
dari Karawang yang
dianggap menguntungkan
(7)
Cukup
Berpengaruh
(10)
Memberatkan, gantangan
dianggap tidak lagi murni
gotong royong, tidak ingin
memiliki beban hutang.
Sikap terhadap
Gantangan
(11)
Tidak ikut tetapi tidak
melarang. Jika ekonomi
masyarakat tidak
beranjak tumbuh, maka
hutang gantangan akan
semakin memberatkan
Sangat menerima karena
dianggap membantu
golongan miskin,
khususnya untuk
mendapatkan
pinjaman/modal.
Mendukung, masyarakat
harus rajin bergaul dan
menyimpan, sehingga
hasil gantangannya
menguntungkan.
Gantangan biasa (tanpa
berkelompok) dianggap
merugikan karena
banyak kecurangan,
lebih baik dengan sistem
golongan yang dapat
diatur frekuensi hajat
dan jumlah simpanan
5
Nuridi
Wacih
Pedagang Pedagang Menegah
atas
Kurang
berpengaruh
X
Untuk investasi, hitunghitung tabungan untuk
keperluan dimasa
mendatang
Untuk memenuhi
kebutuhan mendesak,
bertanggung jawab sebagai
Pelopor Rombol (gantangan
dengan sistem mirip arisan)
6
Darman
Warsih
Buruh
Tani
Buruh
Tani
Menengah
bawah
Jaringan
luas, ketua
Rombol
X
7
Askim
Nur
Sekdes
(belum
PNS)
IRT
Menengah
Berpengaruh,
calon Kades
X
8
Sarna
Mimih
Kadus
Kantin
Pabrik
Menengah
Bepengaruh
X
9
Barjuk
Eti
Sekdes
IRT
Menengah
Berpengaruh
X
10
Jujun
Karyati
Pedagang Menengah
Kurang
berpengaruh
X
Memberatkan, tidak mau
terlibat hutang piutang,
melenceng dari asas
sukarela
Menghitung kemampuan
ekonomi diri sendiri yang
tidak pasti (merasa tidak
mampu)
Mengikuti tradisi atau
kebiasaan dalam
masyarakat
Untuk simpanan, ajang
bergaul dan menolong
sesama warga desa
anggotanya (lebih pasti)
Mendukung, sepanjang
saling jujur dan
konsekuen
Leih baik pola
Gantangan atau
kondangan yang tidak
pasti kedatangan dan
jumlah simpanannya itu
dihilangkan saja, diganti
sistem rombol (arisan)
yang lebih terjadwal
Kurang cocok untuk
orang yang
pekerjaan/pendapatannya
tidak pasti
Tidak menolak atau
melarang, hanya saja
kasihan pada warga yang
tidak bisa bayar hutang
Sepanjang tidak
memberatkan bisa tetap
dilanjutkan/dipelihara
agar masyarakat tetap
guyub dan bersatu
Asalkan tidak terlalu
sering, gantangan ini
menguntungkan
Sumber : Diolah dari hasil wawancara mendalam, 2012
5.6. Permodelan Komputasional Pertukaran Sosial Gantangan
Kita semua hidup dalam dua bidang sekaligus, ekonomi dan sosial. Kehidupan
modern kapitalisme telah melahirkan kita ke dalam kondisi yang tidak memiliki
batas yang jelas diantara kedua bidang itu. Bidang ekonomi sering dikaitkan dengan
aset lingkungan, yang dianggap sebagai modal alami yang memiliki kedua
kecenderungan yaitu terbatas dan rapuh. Sedangkan bidang sosial sering dikaitkan
dengan setiap bentuk budaya dan kewajiban simbolis dalam bermasyarakat, yang
disebut juga sebagai modal sosial dimana didalamnya ekonomi bekerja (ElMaraghy,
2011). Terjalinnya hubungan dari kedua bidang ini ternyata sering berhubungan
dengan perilaku "irasionalitas" sebagaimana dibahas dalam beberapa karya populer
dari kehidupan sosial manusia modern (Ariely, 2008)
Ketika budaya tradisional Indonesia, seperti “nyumbang” dan “gantangan” ini
mempraktekkan kecenderungan dan nilai-nilai yang sangat kuat untuk berbagi
(O'Connor, 2006:285-92), terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, maka
nilai ekspektasi ekonomi, sebagai konsekuensi dari hidup di era kapitalisme modern,
kadang-kadang bertentangan satu sama lain (Situngkir, 2010). Nilai-nilai sosial untuk
berbagi dalam masyarakat pedesaan Indonesia secara konvensional muncul dalam
kehidupan sosial yang relatif homogen. Berbagi harta secara tradisional adalah hal
yang umum, misalnya untuk mencapai kepemilikan barang ekonomi yang sama.
Bahkan, ketika semua orang dalam desa itu berada dalam kemiskinan, sebuah fakta
yang diperkenalkan oleh Geertz, C. (1963) sebagai "berbagi kemiskinan".
Tradisi Gantangan itu sendiri merupakan praktek memberikan sebagian
kekayaan dan harta untuk orang lain sebagai tindakan membantu orang lain.
Biasanya datang dari mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih
baik. Dalam prakteknya, gantangan ini dilakukan pada momen-momen tertentu,
misalnya ketika ada perayaan atau pesta hajatan dalam pernikahan, khitanan,
kelahiran, dan masih banyak lagi. Orang menyumbang dalam Gantangan memiliki
harapan bahwa orang lain akan membalas melakukan hal yang sama ketika mereka
akan menggelar hajatan yang sama. Meskipun awalnya harapan sosial-ekonomi
dalam tradisi gantangan ini cenderung kurang, namun interaksi dari praktek-praktek
tradisional kedalam kehidupan modern akan meningkatkan ekspektasi ekonomi
dalam praktek nyumbang ini (Situngkir, 2009).
Gantangan ini memiliki sebutan berbeda di setiap desa di Kabupaten Subang,
ada yang menyebutnya gintingan, narik, rombongan, golongan, rombol dan lain
sebagainya. Ketika seseorang mengatur sebuah pesta, orang lain, baik itu kerabat
atau tetangga datang dengan membawa sejumlah "setoran" beras atau uang. Jumlah
beras atau uang dipandang sebagai "pinjaman" dan kemudian menjadi semacam
"utang" dalam perspektif penyelenggara. Suatu hari, ketika orang yang menyetorkan
beras atau uang itu menyelenggarakan pesta hajatan, maka yang lain akan kembali
dan memberikan beras dan uang dalam jumlah yang sama seperti yang telah ia terima
sebelumnya. Dengan demikian, gantangan menjadi semacam tabungan kredit bagi
siapa saja anggota masyarakat. Itulah bidang ekonomi dari gantangan tersebut.
Tabel 15. Struktur Dasar Permodelan Pra Simulasi Komputasional
Level
Faktor
Level
Struktur
Level Aktor
Perilaku Sosial
 Harmoni Sosial
 Upacara-upacara (upacara sebelum menanam padi, upacara ketika panen (mapag
sri/mapag pare), upacara ruwat bumi, pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya.





 Perilaku Gotong Royong
 redistribusi pangan melalui lumbung padi dan resiprositas dalam tolong-menolong,
silih genten
 sistem pertukaran sosial dan ekonomi: gantangan sebagai konsepsi “pasar”







Mentalitas (ingin terlihat baik)
Konsepsi tolong-menolong
Kelas-kelas/kategori aktor dalam proses gantangan.
Proposisi mikro-sosial:
• Orang atau keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi cenderung
menyimpan beras maupun uang dalam jumlah lebih besar (volume), lebih sering
(hajatan) dan lebih banyak (orang).



• Semakin tinggi status sosial-ekonomi (kaya, berpengaruh, pejabat/memiliki
otoritas) bapak hajat, akan cenderung mengadakan pesta hajatan yang semakin
meriah (rame-rame, dengan hiburan) karena tuntutan sosial maupun
pribadi/keluarga.
• Semakin tinggi status sosial-ekonomi (kaya, berpengaruh, pejabat/memiliki
otoritas) bapak hajat, akan cenderung mendatangkan tamu undangan yang lebih
banyak dan hasil gantangan yang lebih besar dari warga biasa.
• Warga miskin dan tidak mampu semakin tersisih dalam pertukaran sosial
(gantangan umum) karena semakin kurang dipercaya untuk diberikan pinjaman dan
ia juga tidak mampu untuk mengikuti gantangan khusus yang jumlah pertukarannya
cukup besar (>50 kg beras/hajatan).


Dinamika
Frekuensi dan nilai ekonomis
Pertumbuhan ekonomi desa
Sistem ketenagakerjaan desa
Pola kesenian desa
Jumlah penyumbang dan besar
sumbangan (agregat)
Nyumbang/nyambungan
Golongan (cluster) sosial: konsep
rombol, bandar hajatan, dll.
Prosesi hajatan: Persiapan 
Pelaksanaan  Pasca Hajatan
Konsep “hajatan” =
keinginan/harapan
Ekspektasi sosial (hayang kapuji,
hayang kasohor, hayang ditarima
lingkungan, hayang katingali, loba
babaturan)
Ekspektasi ekonomi: “menyimpan”
(nyimpen &mayar) sejumlah
resources (beras, uang, dsb.) –
dicatat melalui Buku Catatan – silih
bantu, ngarep untung (lewihna),
nyimpen, itung-itung arisan,
neangan modal, ngagolangkeun
simpenan, teu sampai potol).
Ekspektasi untuk kebutuhan
domestik (membangun rumah,
modal untuk usaha, dsb.)
Ekspektasi hiburan (raramean &
ngabring
Memodelkan ekspektasi sosial dan ekonomi yang melekat dalam gantangan,
maka aktor (anggota masyarakat dari berbagai kelas sosial-ekonomi) memiliki
beberapa pilihan sikap, antara lain :
1. Pola C =
= menyimpan beras dan uang lebih banyak daripada rata-rata orang
lain, dengan harapan untuk mendapatkan kembali kemudian (dengan demikian,
aktor ini memanfaatkan proses gantangan sebagai semacam "investasi" atau
menyimpan),
2. Pola B =
= menyimpan dalam jumlah rata-rata atau "standar" atau minimum
beras dan atau uang dalam sebuah pesta, untuk hanya menjaga hubungan
sosialnya dengan masyarakat (lebih banyak dorongan sosial atau mengikuti
kebanyakan orang lain)
3. Pola A =
= tidak cocok atau "abstain" dengan gantangan atau proses hajatan
lainnya. Pilihan ini mungkin mengandung risiko mengesampingkan satu aspek
yang lebih luas dari hubungan sosial dalam keluarga, lingkungan, atau bahkan
persahabatan.
Dari ketiga pilihan sikap tersebut, aktor bebas memilih apakah akan
berpartisipasi atau tidak, dan partisipasi mereka akan menghasilkan hasil yang dapat
ditulis dalam matriks hasil sebagai berikut :
Payoff Matrix (Situngkir & Prasetyo, 2012)
Aktor yang memainkan peran , akan menempatkan dirinya memiliki martabat
sosial
yang lebih tinggi di dalam masyarakat setara dengan sejumlah beras dan
uang
yang ia berikan sebagai imbalan untuk Aktor atau pemain yang lain, di
mana,
. Sementara itu, Aktor yang bermain strategi
hanya memberi
sekedar untuk memenuhi atau menjaga hubungan sosial dalam masyarakat. Namun,
ada juga beberapa Aktor bermain strategi , semacam strategi oportunistik untuk
memperoleh keuntungan tanpa 'investasi' sama sekali.
Variabel
ini berkaitan dengan aspek lain tanpa memperhatikan ekspektasi
ekonomi dari partisipasi dalam gantangan ini. Aktor dengan status sosial dan
ekonomi yang lebih tinggi cenderung memberikan lebih banyak beras atau uang.
Mereka juga cenderung mengorganisir pesta hajatan menjadi lebih meriah dan
mengundang lebih banyak tamu. Dengan kondisi semacam itu, maka tingkat
kepercayaan anggota masyarakat atau aktor lain terhadap penyelenggara hajat ini
menjadi lebih tinggi, karena mereka dipercaya memiliki kapasitas untuk memberikan
balasan yang lebih. Orang-orang miskin pada akhirnya cenderung tereksklusi dari
proses gantangan ini akibat dari ketidakmampuan mereka memberi beras dan uang
sebagai imbalan.
Berdasarkan matriks diatas, kita dapat melihat bahwa keseimbangan permainan
akan tergantung pada nilai
dan
termasuk dalam permainan. Semakin besar
akan mendorong permainan ke dalam posisi yang lebih kuat dan akan didominasi
Aktor yang bermain strategi , dan nilai
yang lebih besar membuat posisi yang
lebih kuat dari strategi .
Permodelan ini mencoba menunjukkan matriks pay-off di atas sebagai
, dan merumuskan dinamika replikator-mutator deterministik dengan
menunjukkan frekuensi strategi ( ),
,
(1)
dimana kesesuaian strategi
(2)
dan average fitness dari keseluruhan populasi
(3)
dan probabilitas strategi memiliki keturunan menggunakan strategi ,
..
, dimana,
Gambar 40. Aktifitas replikator dinamika populasi dengan motif ekonomi ( ), motif sosial ( ), dan
Aktor yang memilih untuk absen/tidak mengikuti pertukaran sosial Gantangan
Kita dapat menarik dinamika replikator-mutator dan mengetahui keadaan
stasioner masing-masing untuk variasi sesuai dengan
dan
seperti pada
gambar 1. Dari tiga strategi diatas, kita bisa melihat ada empat keadaan stasioner
yang dihasilkan dari berbagai
strategi murni didominasi dari
adalah bentuk asimetris dari
dan
, dan dua di antaranya mencerminkan
dan . Fakta menarik yang bisa kita amati disini
dan
seperti yang ditunjukkan dalam proses
"gantangan". Sebagai ruang ekonomi (economic status/ES) memberikan harapan
yang lebih besar, secara ketat dapat mendominasi populasi, namun, harapan lebih
besar untuk keuntungan di ruang sosial (social status/SS) masih sedikit
mengembalikan sejumlah kecil dari seluruh penduduk.
Bahkan, ES dan SS asimetris dalam tren perkembangan proses "gantangan"
yang nampak jelas secara empiris. Disini muncul jenis "komersialisasi" dari tradisi
"gantangan" sebagai proses yang akan menyertai sampai hari ini. Tradisi "gantangan"
hari ini telah menunjukkan cara bagaimana orang memanfaatkan budaya tradisional
untuk mendapatkan sumber daya ekonomi. Selain itu, ada variasi "gantangan" di
beberapa desa tertentu di mana keanggotaan dari proses gantangan ini bersifat
eksklusif. Karena fenomena ini, proses "gantangan" tidak lagi menjadi milik seluruh
anggota masyarakat/populasi, melainkan menjadi milik beberapa kelompok keluarga
di dalam masyarakat. Dengan demikian, dari tiga desa miskin yang diamati,
rekonsiliasi ruang ekonomi dan sosial terjadi dengan didominasi untuk kepentingan
ekonomi, lebih dari sekadar aksentuasi motif sosial dan budaya dalam masyarakat.
Tradisi "gantangan" telah berubah menjadi arisan yang anggotanya saling
berkontribusi dan secara bergantian mendapatkan keuntungan (jumlah keseluruhan
beras dan sejumlah uang) dari penyelenggaraan pesta hajatan di pedesaan ini.
Gambar 41. Keseimbangan antara dorongan ekonomi dan sosial aktor gantangan
dapat menjamin keberlanjutan pertukaran sosial ini (The Lotka-Volterra-like phasemap of the interacting social and economic spheres in evolutionarily harmonious
dynamics) (Situngkir & Prasetyo, 2012)
Sumberdaya (sejumlah
beras atau uang)
dapat
berkontribusi dalam
meningkatkan status sosial seseorang dalam proses "gantangan". Tradisi "nyumbang"
dalam "gantangan" bisa dilihat sebagai cara mengorbankan sejumlah aset ekonomi
( ) demi status dalam ruang sosial (Weibull, 1997). Dalam dunia sederhana di mana
ruang ekonomi tidak memberikan kontribusi secara sosial, status atau martabat sosial
yang ada ( ) menurun dalam proporsionalitas tertentu. Hal tersebut dapat ditulis
secara matematis sebagai berikut :
(4)
Dalam kesederhanaan serupa, aset ekonomi ( ) juga berkurang pada
proporsionalitas tertentu untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi :
(5)
Kedua persamaan (4) & (5) mengingatkan kita pada persamaan terkenal LotkaVolterra, yaitu sebuah persamaan yang mengungkapkan interaksi antara predator dan
mangsa dalam sistem ekologis. Tidak adanya kekayaan ekonomi,
, sulit untuk
Aktor sosial bertahan hidup dalam lingkup sosial mereka, dan sebagai imbalannya
(tanpa mempedulikan status sosial), aset ekonomi diasumsikan untuk peningkatan
linier. Ruang interaksi ekonomi dan sosial secara dinamis akan mematuhi satu sama
lain, sebagaimana dapat kita lihat dalam pertukaran sosial "gantangan" ini. Menarik
untuk melihat kedua ruang ini, seperti yang terlihat jelas dalam "rekonsiliasi" antara
ekspektasi ekonomi dan sosial. Solusi dari keduanya (4 dan 5) ditunjukkan pada
gambar 2, dalam lanskap yang dibentuk oleh kecenderungan kolektif untuk ruang
sosial dan ekonomi masing-masing.
Gambar 42. Dorongan/motif sosial yang terlalu kuat tanpa memperhatikan
kemampuan pemenuhan kebutuhan ekonomi justru dapat merusak keberlanjutan
tradisi Gantangan (The large tendency for social sphere regardless the ability to cope with
the economic estates may disrupt the tradition of “gantangan”) (Situngkir & Prasetyo,
2012)
Pada kasus ini, pertukaran "gantangan" yang cenderung bersifat sosial mungkin
tidak cocok dalam proses evolusi masyarakat dan mungkin akan punah. Jadi, harus
ada semacam konvensi diantara penduduk di pedesaan ini untuk melestarikan pesta
"hajatan" yang seharusnya tidak memperberat kehidupan ekonomi penduduk,
termasuk dalam proses pertukaran "gantangan" ini. Pertukaran sosial Gantangan saat
ini dapat dipandang sebagai cara organik masyarakat di pedesaan Subang untuk
menginvestasikan sebagian kekayaan mereka dengan beberapa harapan untuk
kembali (dapat ditarik) di masa depan. Fenomena ini mungkin semacam potret
rekonsiliasi antara bidang ekonomi dan sosial yang terjalin dalam masyarakat
tradisional di Indonesia.
Model teori permainan yang digunakan untuk menganalisis interaksi sosial
dalam "gantangan" menunjukkan bagaimana kecenderungan ekonomi tersebut
("gantangan" sebagai suatu kegiatan investasi) dapat menyerang isi sosial dari motif
tradisional untuk kepentingan kohesi sosial. Pandangan yang melihat "gantangan"
sebagai jenis investasi adalah evolusi fit dan menyerang kohesi sosial. Ini adalah
kesempatan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi di desa, sekaligus tetap
menjaga pandangan lokal dan tradisional di bidang sosial. Sehingga, meskipun
selama ini ruang ekonomi dan ruang sosial dianggap bertentangan satu sama lain,
namun rekonsilisasi keduanya justru nampak jelas secara empiris dalam fenomena
pertukaran sosial Gantangan ini. lebih dari itu, pola pertukaran semacam ini
sesungguhnya dapat diterapkan dalam tradisi-tradisi lain (dengan beberapa konvensi
tertentu yang tidak memberatkan) sebagai senjata bagi kehidupan tradisional dalam
menghadapi kapitalisme modern.
BAB VI
REFLEKSI TEORITIS
Berkaca dari teori pertukaran Peter M. Blau (1964) yang meletakkan tujuan
sosiologi untuk mempelajari interaksi tatap muka sebagai landasan guna memahami
struktur sosial yang lebih luas (Ritzer & Goodman, 2010:368), maka demikian
halnya penelitian ini berusaha memahami pertukaran sosial gantangan untuk
mendapatkan penjelasan tentang struktur sosial masyarakat pedesaan Subang
kontemporer. Mula-mula penelitian ini berusaha mengkaji tentang motivasi dan
dorongan orang desa dalam proses-proses membangun hubungan sosial dengan
sesamanya, baik yang termasuk dalam kategori keluarga/kerabat (family) maupun di
luar hubungan pertalian darah tersebut (non-family). Mendalami hubungan sosial
antar warga desa ini menjadi penting karena pada akhirnya nanti interaksi tersebut
akan mampu merefleksikan gejala-gejala sosial umum dalam masyarakat pedesaan
itu sendiri, maupun masyarakat pada umumnya. Seperti apakah orang desa sudah
semakin berwatak komersil? Apakah gotong royong sudah benar-benar ditinggalkan?
dan seterusnya.
Perkembangan mutakhir dari pertukaran sosial gantangan ini menunjukkan dan
membuktikan hipotesa tersebut, yaitu pola-pola hubungan sosial telah semakin nyata
terkomersialisasi. Hal ini ternyata sejalan dengan arus transformasi sosial di bidang
kehidupan lainnya, seperti makin meluasnya peranan pasar dalam kehidupan
ekonomi masyarakat desa, keterbukaan informasi, liberalisasi dalam tindak maupun
gagasan yang makin meluas dan itu semua berhasil menyuburkan nilai-nilai
individualisme di tengah kehidupan masyarakat desa sekalipun. Dengan demikian,
bayangan tentang desa yang penuh semangat solidaritas, kebersamaan, dan gotongroyong perlahan-lahan makin bergeser pada semangat individualis, komersil dan
kontraktual. Kondisi ini adalah konsekuensi logis dan sekaligus ekses dari berbagai
pola-pola pembangunan yang selama ini dianut dan diterapkan di pedesaan.
Hubungan-hubungan
sosial
yang
terkomersialisasi
merupakan
konsep
sosiologis untuk menggambarkan bagaimana hubungan sosial itu - baik antara dua
orang maupun dalam kelompok - lebih banyak didorong oleh keinginan untuk
mendapatkan keuntungan dari pihak lain, baik jangka pendek maupun jangka
panjang, material maupun non material. Komersialisasi sosial ini merupakan analog
dari komersialisasi ekonomi, dengan hubungan sosial sebagai komoditasnya. Polapola komersialisasi yang tercermin dalam perayaan/hajatan menunjukkan bagaimana
organisasi sosial baru seperti gantangan ini dapat tumbuh dari hubungan pertukaran
murni (nyumbang) dalam masyarakat pedesaan.
Menariknya, organisasi sosial baru yang berupa jaringan pertukaran gantangan
ini ternyata mampu menembus batas-batas ekologis, seperti karakteristik
agroekologis maupun perbedaan geografis. Jaringan pertukaran gantangan ini begitu
cepat menyebar dan meluas serta mudah diadopsi oleh kelompok komunitas lain,
sekalipun berbeda karakteristik ekologis. Mengapa demikian? Sebagaimana
dikemukakan oleh Blau (1964), bahwasanya mekanisme yang mampu menjembatani
antara struktur sosial yang kompleks tersebut adalah adanya norma dan nilai. Norma
dan nilai inilah yang berperan sebagai mata rantai yang menghubungkan sebuah
transaksi sosial. Sepanjang norma dan nilai tersebut disepakati dan dianggap rasional
oleh masyarakat, maka sangat memungkinkan terjadinya proses integrasi dalam
struktur sosial yang kompleks. Artinya, jaringan pertukaran sosial gantangan – yang
komersil - ini dapat menyebar dari Subang utara (pesisir) ke Subang selatan
(pegunungan) adalah karena tidak ada perbedaan yang signifikan dari sistem nilai
dan norma yang dianut masyarakatnya. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan
bahwa karakteristik dan watak komersil warga desa di pesisir dan di pegunungan saat
ini sudah tidak lagi jauh berbeda.
Lantas, apakah watak komersil ini memang nyata-nyata didorong oleh kondisi
kemiskinan dan kerawanan pangan yang disebabkan sistem pasar – seperti tesis D.H.
Penny – atau justru oleh hal lain? Dari hasil penelitian ini tidak serta merta dapat
dikatakan bahwa semakin miskin orang maka semakin komersil dan semakin rawan
pangan orang semakin individualis. Sebab, terbukti di tiga desa miskin yang menjadi
daerah penelitian ketiganya menunjukkan bahwa golongan masyarakat termiskin
justru semakin tersisih dalam jaringan pertukaran sosial gantangan ini. Mereka yang
paling miskin diantara yang miskin ini justru tidak mendapat kepercayaan dari
anggota masyarakat lainnya. Artinya, warga lain enggan menyimpan beras atau uang
dalam jumlah yang banyak, sebab mereka ragu bahwa si miskin ini akan dapat
mengembalikan simpanan tersebut kelak. Warga miskin di desa miskin ini benarbenar tidak memiliki apapun untuk dijadikan komoditas pertukaran yang
menguntungkan. Bahkan, warga miskin ini semakin sulit jika hanya hidup
mengandalkan hubungan atau jaringan sosial saja. Sebab, nyata-nyata bahwa
jaringan sosial orang miskin ini adalah orang miskin lainnya, yang meskipun mereka
bersatu dan saling bertukar tidak akan memberikan penambahan yang signifikan bagi
perkembangan ekonomi mereka.
Inilah satu kondisi dan keprihatinan nyata yang patut mendapat perhatian,
dimana dengan adanya pertukaran sosial gantangan yang berbasis mencari
keuntungan ini ternyata justru menyisihkan golongan miskin yang seharusnya bisa
terbantu oleh sistem kolektif semacam gantangan ini. Pertukaran sosial gantangan
yang ada di pedesaan Subang saat ini belum mampu menghasilkan pemerataan
distribusi kekayaan atau mengurangi jurang kesenjangan antara si miskin dan kaya,
melainkan justru menghasilkan pengelompokan-pengelompokan baru dalam
masyarakat berdasarkan kapasitas sumber daya yang mereka miliki dan mampu
untuk saling dipertukarkan.
BAB VII
KESIMPULAN
Pola pertukaran sosial gantangan di tiga desa miskin di Kabupaten Subang
menunjukkan kemiripan satu sama lain, yaitu hadirnya tiga tipe pertukaran yang
disebut nyambungan, gintingan dan golongan di masing-masing wilayah (kecuali di
Subang Selatan belum ada pola Golongan). Meskipun memiliki kemiripan pola,
namun secara historis Subang Utara merupakan titik mula berkembangnya
pertukaran sosial gantangan hingga kemudian diikuti oleh masyarakat di Subang
bagian Tengah dan Selatan. Gantangan ini bukan asli tumbuh dari komunitas desa
miskin, melainkan diadopsi dari desa-desa yang makmur, subur dan berkembang
pertanian padinya, khususnya dari daerah Karawang dan Indramayu. Transformasi
nyambungan menjadi gintingan dan golongan merupakan akibat dari komersialisasi
ekonomi yang kian melembaga.
Proses komersialisasi sosial di pedesaan yang tercermin dalam pola pertukaran
sosial gantangan ini merefleksikan perubahan nilai-nilai masyarakat pedesaan yang
kolektif-idealistik menjadi individual-materialistik. Perubahan ini menyentuh hampir
seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pada komunitas miskin di pedesaan
Subang, baik di pesisir, dataran rendah maupun perbukitan/pegunungan. Proses
perubahan tersebut dapat digambarkan melalui tipe-tipe resiprositas yang
berkembang, yaitu mulai melunturnya pemberian murni sebagai ciri gotong royong
dan semakin meningkatnya resiprositas sebanding dalam pesta hajatan dan
pertukaran gantangan.
Komodifikasi hajatan – yang ditandai dengan perubahan nilai anak, beras serta
uang - dan masuknya bandar hajatan semakin mempertegas bahwa pesta hajatan dan
gantangan di pedesaan Subang ini telah bertransformasi dari sekedar syukuran dan
raramean (orientasi sosial) menjadi pasar (market) dalam sistem ekonomi lokal.
Namun, menurut hemat penulis, dari simulasi permodelan komputasional yang
dibangun diatas, transformasi pertukaran sosial Gantangan ini sebenarnya dapat kita
pandang sebagai kesempatan untuk membangun ekonomi lokal yang berbasis pada
rekonsiliasi antara pola relasi tradisional (motif sosial) dengan cara pandang modern
(motif ekonomi/komersialiasi), sehingga ruang sosial dan ekonomi masyarakat
pedesaan dapat berevolusi secara lebih harmonis.
SARAN
Untuk dapat membangun model jaminan sosial informal pedesaan berbasis
tradisi sosial bagi masyarakat pedesaan maka rancangan permodelan komputasional
dari pola pertukaran gantangan di pedesaan Subang ini harus disempurnakan
dengan simulasi aktor yang lebih heterogen. Selain itu, ruang lingkup penelitian Pola
Pertukaran Sosial Gantangan ini juga harus diperluas, khususnya di wilayah
pedesaan yang maju secara ekonomi agar nantinya dapat diperbandingkan dengan
pola pertukaran sosial di desa-desa miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal. Bandung : Pusat Kajian
LBPB
Anonim. 2011. Kabupaten Subang : Rakyat Subang Gotong Royong Subang Maju.
Subang : Bagian Humas dan Protokol Sekretarian Daerah Kabupaten
Subang
Anonim. 2011. Kecamatan Blanakan dalam Angka 2011. Subang : Badan Pusat
Statistik Kabupaten Subang
Anonim. 2011. Kecamatan Cikaum dalam Angka Tahun 2011. Subang : Badan Pusat
Statistik Kabupaten Subang
Anonim. 2011. Kecamatan Cijambe dalam Angka Tahun 2011. Subang : Badan
Pusat Statistik Kabupaten Subang
Anonim. 2010. Penyusunan Data Sosial Ekonomi Masyarakat Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009. Bandung : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat
Anonim. 2011. Subang Dalam Angka Tahun 2010. Subang : Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang
Ariely, D. 2008.Predictably Irrational: The Hidden Forces that Shape Our
Decisions. Harper Collins.
Coleman, James S. 2010. Dasar-Dasar Teori Sosial (Foundations of Social Theory).
Edisi Revisi. Bandung : Nusamedia
Damsar, Prof. Dr. 2006. Sosiologi Uang. Padang : Andalas University Press
Damsar, Prof. Dr. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Kencana
Di Caccio, Simona. 2005. Social Capital : Social Relations and Economic
Rationality. Italy : Crossroad, ISSN 1825-7208, vol 5, no 1, pp. 43-77
El Maraghy, H. A. (eds.). 2011. Enabling Manufacturing Competitiveness and
Economic Sustainability. Springer.
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.
Jakarta : Bhratara Karya Aksara
Geertz, Clifford 1963. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change
in Indonesia.California UP.
Hayami, Yujiro & Masao Kikuchi. 1981. Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan
Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia
Hecter, Michael and Satoshi Kanazawa. 1997. Sosiological Rational Choice Theory.
Annual Revies Inc.
Hedstrom, Peter & Charlotta Stern. 2007. Rational Choice and Sociology. The New
Palgrave Dictionary of Economics
Homans, George C. 1958. Social Behaviour as Exchange. The American Journal of
Sociology
Huraerah, Drs. Abu, M.Si. 2008. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat :
Model & Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung :
Humaniora
Johnson, Doyle Paul. 1980. Teori Sosilogi Klasik dan Modern. Jakarta: PT.
Gramedia
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta :
Gramedia
Marvasti, Amir. B. 2004. Qualitative Research in Sociology : An Introduction.
London, Thousand Oaks, New Delhi : SAGE Publications
Nugroho, Tarli, Ahmad Nashih Luthfi, dan Amien Tohari. 2010. Pemikiran Agraria
Bulaksumur : Telaah Awal Atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri
Singarimbun dan Mubyarto. Yogyakarta : STPN-Sajogyo Institute
Bogor
O'Connor, M. 2006. “The Four Spheres Framework for Sustainability”. Ecological
Complexity 3: 285-92. Elsevier.
Osborne, J & Ariel Rubinstein. 1994. A Course in Game Theory. (Electronic Version
2011-1-19. MIT Press
Peny, D.H. 1990. Kemiskinan : Peranan Sistem Pasar. Jakarta : UI Press
Pincus, Jonathan. 1994. Ekonomi Pedesaan Asia : Sebuah Tinjauan Ulang. PRISMA
Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial, No 3, Maret, Jakarta ; LP3ES
Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Planck, Ulrich (penyunting). 1990. Sosiologi Pertanian. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia
Popkin, Samuel. L. 1986. Petani Rasional. Jakarta : Lembaga Penerbit Yayasan
Padamu Negeri
Portes, Alejandro. 1998. Social Capital : Its Origins and Applications in Modern
Sociology. Annual Review of Sociology, Vol 24, pp.1-24
Prasetiyo, Ari. 2003. Tradisi Nyumbang Dalam Masyarakat Desa Tamantirto : Suatu
Studi tentang Sistem Pertukaran Dalam Masyarakat Transisi. Depok :
Tesis Pascasarjana Sosiologi FISIP UI
Prasetyo, Yanu Endar. 2010. Mengenal Tradisi Bangsa. Yogyakarta : Insist Media
Utama
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.
Yogyakarta : Kreasi Wacana
Rudito, Bambang dan Melia Famiola. 2008. Social Mapping Metode Pemetaan
Sosial : Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti.
Bandung : Rekayasa Sains
Rusli, Said. Dkk. 1995. Metode Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin : Suatu
Tinjauan dan Alternatif. Jakarta : Grasindo & Faperta IPB
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Edisi Kedua). Yogyakarta
: Tiara Wacana
Sajogyo (penyunting). 1982. Bunga Rampai Perekonomian Pedesaan. Bogor:
Yayasan Obor Indonesia & IPB
Sen, Amartya. 1982. Poverty and Famines : an Essay on Entitlement and
Deprivation. Oxford
Situngkir, H. 2009. “Evolutionary Economics Celebrates Innovation and CreativityBased Economy”. The Icfai University Journal of Knowledge
Management 7(2):7-17.
Situngkir, H. 2010. "Landscape in the Economy of Conspicuous Consumptions". BFI
Working Paper Series WP-5-2010. Bandung Fe Institute.
Situngkir, H. & Yanu Endar Prasetyo. 2012. On Social dan Economic Spheres : An
Observation of the “Gantangan” Indonesian Tradition. BFI Working
Paper Series No. WP-5-2012 (22. June 2012) & Social Science
Research Network (SSRN)
Smelser, J. 1990. Sosiologi Ekonomi. Penerbit Wira Sari
Soedjatmoko. 1980. Dimensi-Dimensi Struktural Kemiskinan (dalam Kemiskinan
Struktural Suatu Bunga Rampai, dihimpun oleh Alfian, Mely G. Tan,
dan Selo Soemardjan). Jakarta : Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) dan
HIPIS
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Masalah Pangan dan Revitalisasi Ilmu Sosial :
Sebuah Usul Untuk Mengembangkan Sosiologi Konvergen. Dalam
Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban Hal 464-479. Jakarta :
Penerbit Kompas
Sumardjo, Jakob. 2007. Arkeologi Budaya Indonesia : Pelacakan HermeneutisHistoris terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta
: Penerbit Qalam
Swedberg, Richard. 2001. Sociology and Game Theory : Contemporary and
Historical Perspectives. Theory and Society : 301-335. Kluwer
Academic Publisher
Tjondronegoro, S.M.P. 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan : 80 tahun Prof. Dr.
Sediono M.P. Tjondronegoro. Bogor : KPM IPB
Uphoff, Norman. 2000. Understanding Social Capital : Learning Form The Analysis
and Experience of Participation (Social Capital a Multifaced
Perspective, edited by Dasgupta & Serageldin): . Washington D.C. :
The World Bank
Weibull, J. W. 1997. Evolutionary Game Theory.MIT Press.
Wolf, Eric R. 1966. Petani : Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta : CV. Rajawali &
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial
Yuniarto, Paulus Rudolf. 2009. Siasat Bertahan Rumah Tangga Buruh Migran :
Persoalan Sehari-Hari dan Implikasinya bagi Upaya Pengentasan
Kemiskinan. LIPI : Masyarakat Indonesia (Majalah Ilmu-Ilmu Sosial
Indonesia, edisi khusus 2009)
Zain, Prof. Sutan Mohammad & Prof. Dr. J.S. Badudu. 1996. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Zafirovski, Milan. 2005. Social Exchange Theory Under Scrutiny : A Positive
Critique of its Economic-Behaviorist Formulations. Electronic
Journal of Sociology
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hajatan Rame-Rame di Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan*
No Nama
1 Salcan
2
3
4
5
6
Raip/Surinah
Kadir
Karsiyah
Wartim/Tawi
Danu/Mastani
Umur Hajat
45 Khitanan
35
35
35
55
38
Khitanan
Pernikahan
Pernikahan
Pernikahan
Pernikahan
Tgl Bulan
6 Mei
13-14
13-14
19-20
25-26
4
mei
mei
mei
mei
Juni
7 carman/Patonah
8 Sumarta
46 Pernikahan
45 Pernikahan
9 Olil
35 Khitanan
21-22 Oktober
10 Waskim
28 Khitanan
23-24 Oktober
11 Warya
37 Khitanan
27-28 Oktober
12 Enja
35 Khitanan
27-28 Oktober
13
14
15
16
34
40
52
41
Nawi
Supandi
Amir
H. Rastim
Khitanan
Khitanan
Khitanan
Khitanan
31-1 Juni
9 Juni
21 Warlim
22 Salim
Hajatan
Hajatan
2 November
9 November
November
15 November
16 November
12 Desember
13 Desember
23 Desember
29-30 Desember
20 Agustus
22 Agustus
23 Agustus
24 Agustus
23 Kanpan
Hajatan
30-31 Agustus
17 Amir
51 Khitanan
18 Ojot
19 Ratim
20 Siwan
50 Khitanan
35 Khitanan
Hajatan
24 Tirta
41 Pernikahan
18-19 April
25 Suhandi
26 Kanta
51 Pernikahan
35 Khitanan
24-25 April
22 Oktober
xv
Jenis
Tahun Hiburan
2005
Film
Organ
2005
Tunggal
2005
Film
2005
Film
2005
Jaipongan
2005
Film
Organ
2005
Tunggal
2005
Film
Organ
2007
Tunggal
Organ
2007
Tunggal
Organ
2007
Tunggal
Organ
2007
Tunggal
Organ
2007
Tunggal
2007
Wayang Kulit
2007
Wayang Kulit
2007
Sandiwara
2007
Wayang Kulit
2007
Wayang Kulit
2007
Arak-arakan
2007
Odong-Odong
2007
Karedok
2008
Qosidah
2008
Odong-Odong
2008
Odong-Odong
2008
Odong-Odong
Organ
2008
Tunggal
Organ
2009
Tunggal
Organ
2009
Tunggal
2009
Arak-arakan
Dusun
Kertamukti
Kertajaya
Tegaltangkil
Kertajaya
Kertajaya
Kertamukti
Tegaltangkil
Kertamulya
Kertamukti
Kertamulya
Kertamulya
Tegaltangkil
Kertajaya
tegaltangkil
tegaltangkil
tegaltangkil
tegaltangkil
tegaltangkil
kertamukti
Tegaltangkil
Kertamulya
Kertamulya
Kertamulya
Kertamulya
Kertajaya
Kertamukti
kertamulya
Tegaltangkil
27 H. Rasmin
28 H. Basir
43 Khitanan
57 Pernikahan
24 November
24-25 November
2009
2009
29 Sukim
53 Pernikahan
8 Desember
2009
30 Oyok
31 Tofin
34 Pernikahan
35 Pernikahan
8 Desember
16 Desember
2009
2009
32
33
34
35
36
37
Sidem/Sinta
Casim
RT Tarjo
H. Amin
Daryono
Goak
37
42
45
45
28
30
Pernikahan
Pernikahan
Pernikahan
Khitanan
Khitanan
Khitanan
6-7
26
8
5
8
9
38
39
40
41
Sukim
So
Bawon
Solihin
45
57
34
32
Khitanan
Pernikahan
Khitanan
Pernikahan
17
26
28
28
Februari
Maret
April
Mei
Mei
Mei
2010
2010
2010
2010
2010
2010
Mei
Mei
Mei
Mei
2010
2010
2010
2010
42 Darsam
45 Khitanan
22-23 Juni
2010
43 Sukarman
43 Khitanan
23 Juni
2010
44 WK. Encim
35 Pernikahan
45 Karso
46 Ratam
47 Cayem
35 Khitanan
40 Khitanan
35 Khitanan
28
18
19
20
September
September
September
September
2010
2010
2010
2010
48 Ganden
49 Udin
42 Pernikahan
43 Khitanan
4 Oktober
21 November
2010
2010
50 H. Durahim
45 Pernikahan
24 November
2010
51 Warmah
31 Pernikahan
26 November
2010
52
53
54
55
56
57
60
41
31
45
35
55
Uju Djuneiji
Anan
Topik
Caskim
Ali
Abdul AB
Pernikahan
Pernikahan
Rosulan
Pernikahan
Pernikahan
Rosulan
8-9 Agustus
27
16
16
19
28
30-31
xvi
November
maret
Maret
April
Maret
Maret
2010
2010
2011
2011
2011
2011
2011
Arak-arakan
Sandiwara
Tarling &
Drama humor
Organ
Tunggal
Karedok
Organ
Tunggal
Karedok
Marawis
Wayang Kulit
Arak-arakan
Arak-arakan
Organ
Tunggal
Wayang Kulit
Arak-arakan
Karedok
Organ
Tunggal
Organ
Tunggal
Organ
Tunggal
Organ
Tunggal
Odong-Odong
Odong-Odong
Sintren
Organ
Tunggal
Arak-arakan
Organ
Tunggal
Organ
Tunggal
Organ
Tunggal
Marawis
Sintren
Band
Karedok
Jaipongan
Kertamukti
Tegaltangkil
Kertajaya
kertamukti
Kertajaya
Kertamukti
Kertajaya
Kertajaya
Kertajaya
Kertamukti
Kertamukti
Tegaltangkil
Tegaltangkil
Kertamukti
Kertamulya
Tegaltangkil
Tegaltangkil
Kertamulya
Kertamukti
Kertamukti
Kertamulya
Kertamulya
Tegaltangkil
Kertamulya
Kertajaya
Tegaltangkil
Kertamukti
Kertamukti
Kertamulya
Kertamulya
Kertamulya
Kertamulya
Organ
Tunggal
Tegaltangkil
Arak-arakan
Wayang
60 A.A. Aliudin
49 Khitanan
28 April
2011
Purwa
Tegaltangkil
61 Warkam
42 Khitanan
7 Mei
2011
Arak-arakan
62 Cardi
45 Pernikahan
11 mei
2011
Karedok
Organ
63 Salim
36 Pernikahan
16-17 Mei
2011
Mini/Lemprak Kertamulya
Organ
64 Taryono
35 Khitanan
18 Mei
2011
Tunggal
Kertamukti
65 Asinah
36 Khitanan
14 April
2011
Arak-arakan
Tegaltangkil
66 Atim
35 Khitanan
2 September 2011
Arak-arakan
Kertajaya
67 Enung
41 Khitanan
5 September 2011
Karedok
Kertajaya
Organ
68 Yanto
41 Khitanan
15 September 2011
Tunggal
Tegaltangkil
Organ
69 Udin
35 Khitanan
21 September 2011
Tunggal
kertamulya
Organ
70 Dirja Atmaja
35 Pernikahan
30 September 2011
Tunggal
tegaltangkil
Organ
71 Aji Sapturi
45 Khitanan
1 November 2011
Tunggal
tegaltangkil
72 Atim
45 Khitanan
2 November 2011
Arak-arakan
Kertajaya
73 Enung
35 Khitanan
5 November 2011
Karedok
kertajaya
Organ
74 H. Nadil
45 Khitanan
9 mei
2012
Tunggal
Kertajaya
Organ
75 H. Ratim
40 Pernikahan
14 Mei
2012
Tunggal
Kertamulya
(*) tabel diatas hanya catatan hajatan dengan hiburan, hajatan tanpa hiburan tidak perlu meminta ijin ke
desa, cukup sampai di Rw/Dusun saja. Namun demikian, menurut informasi Satgas, jumlah hajatan
rame-rame lebih banyak daripada jumlah hajatan tanpa hiburan.
58 Maslani
59 Bawon
43 Khitanan
53 Khitanan
13-14 April
27 April
xvii
2011
2011
Lampiran 2. Hasil Telitian (umum) 10 rumah tangga di Dusun tegaltangkil, Desa Jayamukti
(tahun bervariasi, 2001 s.d 2009)
No
RT 1**
RT 2**
RT 3**
RT 4**
RT 5**
RT 6**
RT 7**
RT 8**
RT 9**
RT 10**
RT 11***
RT 12***
RT 13***
RT 14***
RT 15***
RT 16***
RT 17***
RT 18***
RT 19***
Rata-rata
Beras (ltr*)
1,815
515
110
513
1,080
1,180
800
1,155
1,565
750
0
800
0
0
2,000
1,000
Uang (Rp)
Rp 4,268,000
Rp 1,725,000
Rp 2,580,000
Rp 2,062,000
Rp 5,810,000
Rp 1,452,000
Rp 1,067,000
Rp 2,957,000
Rp 4,545,000
Rp 3,237,000
Rp 12,000,000
Rp 3,000,000
Rp 5,000,000
Rp 5,000,000
Rp 3,000,000
Rp 7,000,000
Total (Rp)
Rp 16,973,000
Rp 5,330,000
Rp 3,350,000
Rp 5,653,000
Rp 13,370,000
Rp 9,712,000
Rp 6,667,000
Rp 11,042,000
Rp 15,500,000
Rp 8,487,000
Rp 12,000,000
Rp 8,600,000
Rp 5,000,000
Rp 5,000,000
Rp 17,000,000
Rp 14,000,000
Jumlah Penyumbang (org)
433
120
248
100
251
190
147
222
383
200
-
500
0
600
500
120
0
0
0
625
Rp 5,000,000
Rp 5,000,000
Rp 2,000,000
Rp 4,000,000
Rp
500,000
Rp 9,400,000
Rp 28,000,000
Rp 34,000,000
6,358,458
Rp 8,500,000
Rp 5,000,000
Rp 6,200,000
Rp 7,500,000
Rp 1,340,000
Rp 9,400,000
Rp 28,000,000
Rp 34,000,000
10,734,333
229
(*) asumsi harga beras adalah Rp. 7.000/liter
(**) hasil mengolah buku catatan telitian
(***) hasil wawancara
xviii
Lampiran 3. Catatan Panitia Rombol I. Simpanan ke. Rombol dari Dusun Awilarangan
kepada kel. Rombol Waladin, Purwadadi
Bapak Hajat*
Beras
Penyimpan
No
(RT)
(ltr**)
Uang
Total (Rp)
(org)
RT 1
Eneng/Madun
15
Rp
845,000 Rp
950,000
67
RT 2
Atun/Sukana
0
Rp
645,000 Rp
645,000
57
RT 3
Eros/Dudi
0
Rp
705,000 Rp
705,000
62
RT 4
Eno/Deyot
0
Rp
705,000 Rp
705,000
60
RT 5
Uun/Japar
0
Rp
690,000 Rp
690,000
60
RT 6
Engkok/Ujang
20
Rp
735,000 Rp
875,000
66
RT 7
Elas/Oeng
35
Rp
620,000 Rp
865,000
62
RT 8
Een
120
Rp
505,000 Rp 1,345,000
54
RT 9
Nunung
100
Rp
600,000 Rp 1,300,000
67
RT 10 Rusniti/Ade
85
Rp
598,000 Rp 1,193,000
60
RT 11 Uum/Kasan
50
Rp
710,000 Rp 1,060,000
66
RT 12 Sumi/Dayat
30
Rp
750,000 Rp
960,000
68
RT 13 Dede/Ernah
35
Rp
625,000 Rp
870,000
56
RT 14 Sukeni/Walpi
10
Rp
205,000 Rp
275,000
26
RT 15 Ida/Rodi
0
Rp
500,000 Rp
500,000
51
RT 16 Uneng
0
Rp
180,000 Rp
180,000
14
RT 17 Sali/Karti
55
Rp
490,000 Rp
875,000
46
RT 18 Item/Ujud
110
Rp
415,000 Rp 1,185,000
47
RT 19 Indah/Nasir
0
Rp
140,000 Rp
140,000
10
*bapak hajat dalam tabel diatas berarti rumah tangga dari dusun Waladin
**asumsi harga beras = Rp. 7000/liter (Maret 2012)
xix
Lampiran 4. Catatan Panitia Rombol II . Simpanan Kel. Rombol Waladin kepada Kel.
Rombol Awilarangan, Pasir Muncang
Beras
penyumbang
No
Bapak Hajat *(RT) (ltr**)
Uang
Total (Rp)
(org)
RT 1
Upi/taspin
35
Rp
380,000
Rp
625,000
36
RT 2
Warsa/Dacih
35
Rp
395,000
Rp
640,000
34
RT 3
Raskim/Ade
10
Rp
365,000
Rp
435,000
32
RT 4
Karyono
5
Rp
212,000
Rp
247,000
20
RT 5
Manih Kadira
10
Rp
315,000
Rp
385,000
25
RT 6
Ehen/Eha
5
Rp
395,000
Rp
430,000
35
RT 7
Asir/Sawinah
5
Rp
360,000
Rp
395,000
31
RT 8
Asep/Rosani
0
Rp
395,000
Rp
395,000
33
RT 9
Tarum/Urtem
10
Rp
265,000
Rp
335,000
24
RT 10 H.Nanang/Hj.Atiyah
5
Rp
265,000
Rp
300,000
24
RT 11 Enin/Manah
0
Rp
287,000
Rp
287,000
28
RT 12 Pasman/Engkur
0
Rp
265,000
Rp
265,000
26
RT 13 Darma/Engkar
0
Rp
262,000
Rp
262,000
25
RT 14 jaenal/wati
5
Rp
237,000
Rp
272,000
24
RT 15 Wasim/Nyai
10
Rp
270,000
Rp
340,000
28
RT 16 Juanedi/Mimi
5
Rp
255,000
Rp
290,000
25
RT 17 Ade/Peno
0
Rp
237,000
Rp
237,000
22
RT 18 encim/Uning
23
Rp
297,000
Rp
458,000
28
RT 19 Tapsir/Dayi
5
Rp
180,000
Rp
215,000
15
RT 20 Endi/Suti
25
Rp
240,000
Rp
415,000
26
RT 21 Saryad/Isah
5
Rp
295,000
Rp
330,000
27
RT 22 Ayim/Darsinah
20
Rp
255,000
Rp
395,000
28
RT 23 Casita/Titi
45
Rp
230,000
Rp
545,000
27
RT 24 Asim/ratini
20
Rp
285,000
Rp
425,000
27
RT 25 Usman/Tapen
20
Rp
275,000
Rp
415,000
26
RT 26 Wandi/Cartem
10
Rp
375,000
Rp
445,000
30
RT 27 ita/neng
0
Rp
385,000
Rp
385,000
32
RT 28 Jagur
5
Rp
380,000
Rp
415,000
34
RT 29 Empan/Eng
5
Rp
390,000
Rp
425,000
34
RT 30 Kasum
5
Rp
360,000
Rp
395,000
31
RT 31 Ata/Narsiti
5
Rp
355,000
Rp
390,000
31
RT 32 Aep/darsini
5
Rp
365,000
Rp
400,000
32
RT 33 Boin
20
Rp
350,000
Rp
490,000
32
RT 34 Uju/Risni
20
Rp
365,000
Rp
505,000
34
RT 35 walim/esti
20
Rp
370,000
Rp
510,000
34
xx
Rp
360,000
Carna/Dasih
25
Ujang/Tawi
37
Rp
410,000
Sajum/bawon
25
Rp
410,000
Sakum/Endes
20
Rp
320,000
Tarkim/Acih
15
Rp
395,000
Rakim/Iri
10
Rp
405,000
karya/encar
15
Rp
360,000
Watimin/ade
10
Rp
360,000
iwang/sapnah
5
Rp
355,000
Ukim/sawen
25
Rp
375,000
Cardam/Irot
10
Rp
335,000
Sarwa/Tisem
15
Rp
320,000
Rokib/Sumiyati
10
Rp
390,000
Manta/eras
5
Rp
385,000
Sutar/Ratmi
5
Rp
340,000
Didi/Minah
5
Rp
365,000
Pupung/yadi
5
Rp
420,000
Nosin/Yanah
5
Rp
410,000
Pandi/Ruwi
0
Rp
380,000
Herman/Nanih
0
Rp
350,000
Warta/Resih
5
Rp
150,000
Nunela
5
Rp
55,000
Rata-Rata
11
Rp
325,649
*bapak hajat berarti rumah tangga (RT) dari dusun Awilarangan
**asumsi harga beras Rp. 7.000/liter
RT 36
RT 37
RT 38
RT 39
RT 40
RT 41
RT 42
RT 43
RT 44
RT 45
RT 46
RT 47
RT 48
RT 49
RT 50
RT 51
RT 52
RT 53
RT 54
RT 55
RT 56
RT 57
xxi
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
535,000
669,000
585,000
460,000
500,000
475,000
465,000
430,000
390,000
550,000
405,000
425,000
460,000
420,000
375,000
400,000
455,000
445,000
380,000
350,000
185,000
90,000
406,088
33
15
33
27
32
33
28
28
27
29
27
27
27
27
28
30
29
29
29
26
12
4
27.72
Lampiran 5. Hasil Gintingan warga dusun Cimenteng (Subang Selatan)
Bapak Hajat (RT)
Maman Baihaqi **
Edi/Mar*
Rubai/Nia*
Mamah/enyi*
Oman/Umas*
Cecen/Tita*
Darman/Oyah*
Jamaludin/Amasih*
Adang/Irum *
Lili/Mimih*
Oneng*
Keram/Usmah*
Adeh/Ndih*
Rudi/Siti khadijah*
Odit/Juju*
Rubai/Sukaesih*
Ramlan/Ikah*
Ahmad/Kastem*
Darman/Siti
Rukoyah*
Odang/Irum*
Cashlim*
RATA2/DUSUN
Beras (ltr***)
2,606
500
0
130
140
2,100
1000
1000
125
600
300
0
0
0
170
400
0
500
1000
800
1000
600
400
800
2000
2400
2500
500
1000
1000
400
700
900
100
Uang
Rp 28,166,000
Rp 2,000,000
Rp 2,000,000
Rp 9,000,000
Rp
500,000
Rp 7,000,000
Rp 9,000,000
Rp 1,500,000
Rp
200,000
Rp 5,000,000
Rp 4,000,000
Rp 3,000,000
Rp 8,000,000
Rp 4,000,000
Rp
800,000
Rp 6,000,000
Rp 5,000,000
Rp 8,000,000
Rp 10,000,000
Rp
800,000
Rp 1,000,000
Rp 5,000,000
Rp 3,500,000
Rp 7,000,000
Rp 15,000,000
Rp 17,000,000
Rp 20,000,000
Rp 1,000,000
Rp 2,000,000
Total
Rp 46,408,000
Rp 5,500,000
Rp 2,000,000
Rp 9,910,000
Rp 1,480,000
Rp 21,700,000
Rp 16,000,000
Rp 8,500,000
Rp 1,075,000
Rp 9,200,000
Rp 6,100,000
Rp 3,000,000
Rp 8,000,000
Rp 4,000,000
Rp 1,990,000
Rp 8,800,000
Rp 5,000,000
Rp 11,500,000
Rp 17,000,000
Rp 6,400,000
Rp 8,000,000
Rp 9,200,000
Rp 6,300,000
Rp 12,600,000
Rp 29,000,000
Rp 33,800,000
Rp 37,500,000
Rp 4,500,000
Rp 9,000,000
Penyumbang (org)
1,406
-
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp
Rp 9,000,000
Rp 4,800,000
Rp 7,900,000
Rp 11,300,000
Rp 2,100,000
Rp 11,134,206
-
2,000,000
2,000,000
3,000,000
5,000,000
1,400,000
5,849,000
(*) diolah dari catatan hasil wawancara (**) diolah dari buku catatan gantangan pak maman baihaqi (Lurah Cimenteng) (***)
asumsi harga beras Rp. 7.000/liter
xxii
Lampiran 6. Peta Desa Jayamukti, Kec. Blanakan (Subang Utara)
xxiii
Lampiran 7. Peta Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah)
xxiv
Lampiran 8. Desa Cimenteng, Kec. Cijambe (Subang Selatan)
xxv
Gambaran Umum Pedesaan di Subang Utara
Gambar 14. Gambaran Umum Subang Tengah
xxvi
Gambar 17. Gambaran Umum Pedesaan di Subang Selatan
xxvii
DOKUMENTASI
FORUM KOMUNITAS DI SUBANG SELATAN (Dusun Cimenteng, Desa Cimenteng,
KEC. CIJAMBE) Jumat, 9 Maret 2012
xxviii
DOKUMENTASI
FORUM KOMUNITAS DI SUBANG TENGAH (Dusun Awilarangan, Desa
Pasirmuncang, KEC. CIKAUM) Senin, 28 Februari 2012
xxix
DOKUMENTASI
FORUM KOMUNITAS DI SUBANG UTARA (Dusun Tegaltangkil, Desa Jayamukti,
Kecamatan. Blanakan) Rabu, 4 April 2012
xxx
Download