TINJAUAN PUSTAKA Aktivasi reseptor vitamin D yang terdapat pada VSMCs oleh pemberian vitamin D akan menginhibisi sintesis kolagen tipe 1 yang berperan aktif dalam proses pembentukan osteoblast-like cells menjadi kalsifikasi dinding pembuluh darah; selain itu vitamin D juga dapat mereduksi sintesis Cbfa-I, menstimulasi sintesis MGP, dan menginhibisi produksi BMP-2. Hal tersebut berdampak lebih besar pada mekanisme kalsifikasi dinding pembuluh darah dibandingkan dengan efek vitamin D dalam meningkatkan kadar calcium dan phosphor darah yang berisiko kalsifikasi dinding pembuluh darah.16 Pencegahan gagal jantung dengan asupan vitamin D Kebutuhan vitamin D bervariasi tergantung usia dan paparan sinar matahari (sinar ultraviolet B) (tabel 1). Angka tersebut diperhitungkan sebagai dosis optimal vitamin D secara oral tanpa memperhitungkan sintesis vitamin D kulit dengan bantuan sinar ultraviolet B (UV B). Pemberian vitamin D oral tidak boleh lebih dari 2000 IU/hari pada semua golongan umur untuk menghindari efek samping.4,17,18 Tabel 1. Asupan vitamin D yang dianjurkan untuk pria dan wanita 4 Umur (tahun) 14-18 Asupan yang adekuat (IU/hari) 200 Batas maksimum asupan (IU/hari) 2000 19-50 200 2000 51-70 400 2000 >70 600 2000 Berger-Lux dkk. mengemukakan bahwa asupan vitamin D oral 400 IU/hari hanya menaikkan kadar 25-hydroxyvitamin D3 darah sebesar 7-12 nmol/L. Untuk dapat meningkatkan kadar 25-hydroxyvitamin D3 darah dari 50 nmol/L menjadi 80 nmol/L dibutuhkan asupan vitamin D sebesar 1700 IU/hari. Suplementasi vitamin D 1-400 IU/hari memberikan efek minimal, sedangkan dosis >400 IU/hari memberikan efek lebih baik terhadap penurunan angka kejadian penyakit kardiovaskular.18,20 C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011 Batas aman pemberian vitamin D oral harus tetap diperhatikan agar tidak menimbulkan efek samping; konsumsi makanan dengan kadar vitamin D tinggi sangat dianjurkan untuk mencegah defisiensi vitamin D yang dapat menimbulkan gagal jantung.4,7,17,19 Simpulan Vitamin D dalam makanan sehari-hari penting bagi berbagai organ tubuh selain tulang, salah satunya adalah jantung. Asupan oral vitamin D maupun pro-vitamin D yang ter- dapat pada kulit manusia akan diubah di hati dan ginjal serta beberapa organ tubuh lain menjadi calcitriol, bentuk aktif vitamin D. Calcitriol berfungsi mencegah gagal jantung maupun memperingan tingkat keparahannya melalui empat mekanisme, berupa regulasi inflamasi, reduksi hipertrofi otot jantung, regulasi sistem RAA, dan mencegah kalsifikasi dinding pembuluh darah. Asupan vitamin D yang adekuat mengurangi risiko terjadinya gagal jantung yang disebabkan oleh mekanisme tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. Holick MF. Resurrection of vitamin D deficiency and rickets. J Clin Invest 2006; 116:2062-72. 2. Holick MF, Garabedian M. Vitamin D: photobiology, metabolism, mechanism of action, and clinical applications. In: Favus MJ, ed. Primer on the metabolic bone diseases and disorders of mineral metabolism. 6th ed. Washington, DC: American Society for Bone and Mineral Research, 2006:129-37. 3. McDonagh TA, Morrison CE, Lawrence A, Ford I, Tunstall-Pedoe H, McMurray JJV. Symptomatic and asymptomatic left ventricular systolic dysfunction in an urban population. Lancet 1997;350: 829-33. 4. Hajjar V, Depta JP, Mountis MM. Does vitamin D deficiency play a role in the pathogenesis of chronic heart failure? Do supplements improve survival? Cleveland Clin. J. Med. 2010; 77(5):290-3. 5. Pilz S, et al. Vitamin D deficiency and myocardial diseases. Mol Nutr Food Res 2010; 54:1-11. 6. Holick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med 2007; 357:266-81. 7. Kim DH, et al. Prevalence of hypovitaminosis D in cardiovascular diseases (from the National Health and Nutrition Examination Survey 2001 to 2004). Am J Cardiol 2008;102:1540-4. 8. Van den Berg H. Bioavailability of vitamin D. Eur J Clin Nutr 1997; 51:S76-9. 9. Levin A, Li YC. Vitamin D and its analogues: Do they protect against cardiovascular disease in patients with kidney disease? Kidney International 2005; 68:1973-81 10. Timms PM, Mannann N, Hitman GA, et al. Circulating MMP9, vitamin D and variation in the TIMP-1 response with VDR genotype: mechanisms for inflammatory damage in chronic disorders? QJM 2002; 95:787-96. 11. Weishaar RE, Simpson RU. The involvement of the endocrine system in regulating cardiovascular function: emphasis on vitamin D3. Endocr Rev 1989;10:351-65. 12. Weishaar RE, Kim SN, Saunders DE, et al. Involvement of vitamin D3 with cardiovascular function. III. Effects on physical and morphological properties. Am J Physiol 1990;258:E134-42. 13. Wu J, Garamim, Cheng T, et al. 1,25(OH)2 vitaminD3, and retinoic acid antagonize endothelin-stimulated hypertrophy of neonatal rat cardiac myocytes. J Clin Invest 1996;.97:1577-88. 14. Park CW, Oh YS, Shin YS, et al. Intravenous calcitriol regresses myocardial hypertrophy in hemodialysis patients with secondary hyperparathyroidism. Am J Kidney Dis 1999; 33:73-81. 15. Mogonigle RJ, Fowler MB, Timmis AB, et al. Uremic cardiomyopathy: Potential role of vitamin D and parathyroid hormone. Nephron 198;436:94-100 16. Verhave G, Siegert CEH. Role of vitamin D in cardiovascular disease. The Neth. J. Med. 2010; 68(3):113-8. 17. Vieth R, et al. The urgent need to recommend an intake of vitamin D that is effective. Am J Clin Nutr 2007; 85:649-50. 18. Wang L, et al. Systematic Review: Vitamin D and Calcium Supplementation in Prevention of Cardiovascular Events. Ann Intern Med. 2010; 152:315-23. 19. Pilz S, et al. Association of vitamin D deficiency with heart failure and sudden cardiac death in a large cross-sectional study of patients referred for coronary angiography. J Clin Endocrinol Metab 2008;93:3927-35. 20. Bostick RM, et al. Relation of calcium, vitamin D, and diary food intake to ischemic heart disease mortality among postmenopausal women. Am J Epidemiol. 1999; 149:151-61. 349 TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh Asam Asetil Salisilat terhadap Penurunan Prevalensi Kanker Kolorektal Anita Kurniawati, Riki Tenggara Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya, Jakarta, Indonesia PENDAHULUAN Dewasa ini, perhatian terhadap kanker kolorektal makin meningkat. Data statistik mencatat, angka kejadian kanker kolorektal di seluruh dunia meningkat tajam sejak tahun 1975.1 Sekitar 783.000 kasus baru kanker kolorektal didiagnosis pada tahun 1990. Data statistik juga menunjukkan bahwa di antara berbagai keganasan, kanker kolorektal menduduki peringkat keempat teratas di seluruh dunia.1 Di Indonesia, kanker kolorektal merupakan jenis keganasan saluran cerna kedua terbanyak setelah keganasan hepatoseluler.2 Indonesian Cancer mencatat, pada tahun 2002 ditemukan sebanyak 3.572 kasus baru kanker kolorektal di Indonesia.3 Hal ini sesuai dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia saat ini. Pola makan sehari-hari yang salah masih saja diterapkan. Sebagai contoh, makanan siap saji makin digemari, padahal jenis makanan tersebut umumnya mengandung kadar lemak dan karbohidrat tinggi. Daging merah juga makin digemari, padahal makanan yang diolah dari daging merah dan makanan tinggi lemak diketahui dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal.1,4,5,6 Kondisi ini diperburuk dengan kurangnya aktivitas fisik sehingga terjadi ketidakseimbangan antara asupan energi dan penggunaan energi oleh tubuh.1,7 Aktivitas fisik yang kurang akan mengakibatkan menurunnya motilitas usus, sehingga akan memperpanjang waktu singgah zat-zat mutagen berbahaya di usus besar dan dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal.8 Hasil penelitian dalam upaya pencegahan kanker kolorektal menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi asam asetil salisilat dosis rendah secara teratur dalam jangka lama dengan rendahnya kejadian kanker kolorektal.9,10 Asam asetil salisilat yang merupakan golongan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dapat menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase (COX), yang diketahui memegang peranan penting untuk menginduksi pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kanker.9,10 350 KARAKTERISTIK KLINIS KANKER KOLOREKTAL DI INDONESIA Prevalensi kanker kolorektal diperkirakan akan makin meningkat. Observasi Bagian Patologi Anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta menunjukkan bahwa pada tahun 1986-1990, pengidap kanker kolorektal berjumlah 275 orang, meningkat menjadi 368 orang pada tahun 1991-1995, dan antara tahun 1999-2003, mencapai 584 orang.13 Data tahun 1991-2000 juga menunjukkan bahwa di antara 1.500 kasus keganasan saluran cerna, kanker kolon dan kanker rektum, atau biasa disebut kanker kolorektal, menduduki peringkat pertama, dengan histopatologi yang paling sering adalah tipe adenokarsinoma (Tabel 1).13 EPIDEMIOLOGI Di negara berkembang, kanker kolorektal merupakan penyakit penyebab kematian kedua tertinggi di antara semua jenis keganasan.12 Insidens tertinggi kanker kolorektal dijumpai di Eropa dan Amerika, sedangkan insidens yang lebih rendah ditemukan di Asia.12 Prevalensi tinggi kanker kolorektal juga ditemukan pada populasi tingkat ekonomi menengah ke atas. Perbedaan ini boleh jadi disebabkan oleh pola diet dan gaya hidup sehari-hari.1, 4-7 Kebanyakan kasus kanker kolorektal ditemukan pada usia di atas 40 tahun dan puncaknya pada usia 70 tahun.12 Prevalensi kanker kolorektal yang makin meningkat di seluruh dunia menjadikannya sebagai salah satu masalah kesehatan global yang serius. Setiap tahun, diperkirakan sebanyak 550.000 penduduk dunia meninggal akibat kanker kolorektal.18 Penelitian terus dilakukan untuk menemukan agen non-toksik potensial yang dapat digunakan untuk mencegah kanker kolorektal. Kanker kolorektal di Indonesia banyak dijumpai pada usia produktif. Data tahun 19962000 menunjukkan bahwa puncak insidens kanker kolorektal di Jakarta didapatkan pada usia 40-49 tahun dan 50-69 tahun (Tabel 2).13 Tabel 1. Jumlah kasus keganasan saluran cerna di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,1991-2000. Lokasi Limfoma Adenokarsinoma Lain-lain Jumlah Esofagus - 25 35 60 Lambung 3 78 17 98 Duodenum 27 30 11 68 Ileum 29 26 20 85 Kolon 17 258 33 308 Rektum 10 721 136 867 Jumlah 86 1138 252 1486 Sumber: AW, EU, ett al.l The cancer managementt off S b Sudoyo S d AW Gondhowiardjo G dh i dj S, S Hutagalung H t l EU Th multidisciplinary ltidi i li solid tumor: today & tomorrow. breast cancer, sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004. Tabel 2. Profil kanker kolorektal berdasarkan umur dan jenis kelamin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, tahun 1996-2000. Umur (tahun) 0-9 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 Jumlah Jenis Kelamin Wanita - 1 21 30 30 23 32 10 1 148 Pria - 1 12 28 38 28 38 10 - 155 Jumlah - 2 33 58 68 51 70 20 1 303 Sumber: Sudoyo AW, Gondhowiardjo S, Hutagalung EU, et al. The multidisciplinary cancer management of solid tumor: today & tomorrow. breast cancer, sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004. C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1 TINJAUAN PUSTAKA Pria memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengidap kanker kolorektal walaupun secara umum angka kejadian kanker kolorektal di antara kedua jenis kelamin hampir sama.13,14 PATOGENESIS Kanker termasuk penyakit multifaktorial. Faktor genetik dan lingkungan memberi kontribusi penting untuk menginduksi pertumbuhan sel-sel kanker (Gambar 1).15 Gambar 1. Patogenesis kanker. Faktor genetik : - aktivasi onkogenik - inaktivasi gen supresi tumor Faktor lingkungan : - induksi mutagenesis sel-sel tubuh yang normal (karena bahan kimia, virus, radiasi) Pada awalnya, kanker kolorektal berkembang dari adenoma polip akibat mutasi kromosom 5.15 Adenoma polip atau papiloma yang bersifat jinak ini berasal dari pertumbuhan mukosa sel epitel usus besar. Makin besar ukuran polip, makin besar risiko berkembang menjadi kanker.15 Polip sebaiknya dideteksi sedini mungkin, sebelum berubah menjadi ganas. Oleh sebab itu, screening atau pemeriksaan penyaring sangatlah penting15,17. FAKTOR RISIKO Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal, antara lain, ialah diet tinggi lemak dan rendah serat, usia lebih dari 50 tahun, riwayat adenoma atau kanker kolorektal, serta penyakit-penyakit lain seperti familial polyposis coli, kolitis ulseratif, dan , Crohn s disease.12 Gejala klinis kanker kolorektal sangat bervariasi, bergantung pada lokasi tumor.15 Tumor di sekum dan kolon asendens biasanya tumbuh lebih besar daripada tumor yang berada di kolon desendens dan rektum. Tumor di sekum dan kolon asendens menimbulkan gejala nyeri perut, massa intra-abdominal, perubahan pola defekasi, dan anemia. Tumor yang berkembang di kolon transversum akan menimbulkan keluhan obstruksi, nyeri perut, terabanya massa intra-abdominal, perubahan pola defekasi, dan anemia. Tumor di kolon desendens menyebabkan nyeri perut, perubahan pola defekasi, darah pada tinja, dan obstruksi, sedangkan kanker di kolon sigmoideum dan rektum menimbulkan gejala perubahan pola defekasi, darah pada tinja, dan rasa tidak nyaman di rektum.15 Perubahan genetik Inisiasi sel Ekspansi klonal Lesi preneoplastik Perubahan genetik Tumor jinak Perubahan genetik Tumor ganas Perubahan genetik dan invasi Gejala-gejala klinis Sumber: McCancre KL, Hueter SE. Pathophysiology : The biologic basis for disease in adults and children. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby. 2006. Perubahan gen p53, yaitu gen supresi pertumbuhan tumor, dijumpai pada 85% pengidap kanker kolorektal.16 Sementara itu, delesi kromosom 5, 17, dan 18 menyebabkan transisi sel-sel normal pada jaringan kolon dan rektum menjadi sel-sel ganas.15 Studi terbaru menunjukkan, individu pengidap kanker kolorektal memperlihatkan kelebihan jumlah enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin, terutama prostaglandin E2 (PGE2).17-20 Faktor lingkungan, yang mencakup pola diet serta gaya hidup sehari-hari, juga memainkan peranan yang tak-kalah pentingnya dalam patofisiologi kanker kolorektal.1,4-8 C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011 GEJALA KLINIS Kanker kolorektal berkembang perlahan dan sering tidak menimbulkan gejala klinis pada lima tahun pertama, pada tahap awal perkembangannya.3 Gejala/tanda klinis yang paling sering dijumpai ialah ditemukannya darah samar pada tinja dan perdarahan nyata yang dapat berupa hematokezia atau melena. Gejala klinis umumnya meliputi anemia dan perubahan pola defekasi (diare atau konstipasi). Rasa tidak nyaman di perut atau nyeri perut serta terabanya massa intra-abdominal biasanya timbul bila kanker sudah mencapai stadium lanjut (Gambar 2). Gambar 2. Gejala/tanda klinis yang sering dijumpai pada kanker kolorektal. Insidens (%) 60 53 50 40 27,1 30 20 7,2 10 6,8 4,4 1,6 Beberapa tahun terakhir, penanggulangan masalah ini tampaknya mencapai titik terang dengan ditemukannya inhibitor enzim COX yang dapat dikembangkan sebagai salah satu obat pencegah kanker kolorektal. Hal tersebut memberi sumbangan penting dalam bidang kesehatan, terutama karena kanker kolorektal merupakan salah satu keganasan saluran cerna yang prevalensinya makin meningkat. ENZIM COX-2 DAN SINTESIS PROSTAGLANDIN Bila sel tubuh mengalami trauma atau luka, asam arakidonat (asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat) akan dilepaskan oleh fosfolipid membran sel dengan bantuan enzim fosfolipase. Enzim COX akan mengkatalisis proses siklooksigenasi dan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2). Enzim COX juga akan mengatalisis proses peroksidasi yang mengubah PGG2 menjadi prostaglandin H2 (PGH2) yang merupakan prekursor untuk semua jenis prostaglandin, yaitu prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin D2 (PGD2), prostasiklin (PGI2), prostaglandin F2 (PGF2), serta tromboksan (TXA2) (Gambar 3).17 0 Hematokezia Diare Massa Intraabdominal Nyeri perut Konstipasi Anemia Gejala Kanker Kolorektal Sumber: Sudoyo AW, Gondhowiardjo S, Hutagallung EU, et al. The multidisciplinary cancer management of solid tumor: today & tomorrow breast cancer, sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004. Biosintesis prostaglandin dapat dihambat dengan OAINS. Golongan obat ini bekerja menghambat dua enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2, yang bertugas menginisiasi produksi berbagai macam prostaglandin.17 351 TINJAUAN PUSTAKA Gambar 3. Biosintesis prostaglandin(18). Trauma atau luka pada sel Gangguan pada membran sel Fosfolipid pada membran sel Fosfolipase Asam arakidonat Siklooksigenase COX-1 dan COX-2 PGG2 Peroksidase PGH2 PGI2 PGI2 PGI2 PGI2 PGI2 Prostaglandin merupakan pembawa informasi (messenger) kimia dalam tubuh yang memiliki banyak pengaruh hampir di semua organ tubuh, antara lain sistem reproduksi, sistem respirasi, sistem genitourinaria, sistem digestivus, sistem saraf, sistem endokrin, sistem sirkulasi, metabolisme lemak, dan sistem defensi tubuh.21 Penelitian terbaru menyebutkan bahwa jumlah prostaglandin yang meningkat akibat peningkatan aktivitas enzim COX dapat menginduksi karsinogenesis. Kadar enzim COX, terutama enzim COX-2 dan prostaglandin ditemukan dalam konsentrasi yang berlebih pada penderita kanker kolorektal.17,20,22 ENZIM COX-2 DALAM KARSINOGENESIS Enzim COX, terutama enzim COX-2 berperan penting dalam memfasilitasi karsinogenesis melalui aktivitasnya, yaitu menghasilkan prostaglandin. Ekspresi enzim COX-2 yang berlebih akan menginisisasi karsinogenesis melalui berbagai mekanisme, antara lain: 1. meningkatkan produksi malondialdehid dan oksigen reaktif lain yang bersifat karsinogen 2. meningkatkan produksi PGE-2 dan faktor lain yang menyebabkan proliferasi sel 3. merangsang vascular endothelial growth factor (VEGF) yang bertugas dalam angiogenesis 4. meningkatkan produksi metaloproteinase yang dapat meningkatkan potensi metastasis sel ganas ke jaringan atau organ lain 5. merangsang protein antiapoptosis, Bcl-2, sehingga kematian sel akan terhambat, tetapi pertumbuhan sel-sel baru tetap berjalan 6. menghambat proliferasi limfosit B dan limfosit T sehingga akan menurunkan imunitas tubuh.23 352 EKSPRESI ENZIM COX-2 PADA KANKER KOLOREKTAL Penelitian Eberhart, dkk. membuktikan adanya peningkatan ekspresi enzim COX-2 yang bermakna pada 85% pengidap kanker kolorektal dan pada 50% pengidap adenoma kolorektal.24 Enzim COX-2 memegang peranan yang lebih penting dalam patofisiologi kanker kolorektal dibandingkan dengan enzim COX-1. Konsentrasi enzim COX-2 pada sel kanker dijumpai lebih tinggi dibandingkan pada sel normal, sedangkan kadar enzim COX-1 yang diidentifikasi pada sel kanker maupun sel normal hampir sama.18 ASAM ASETIL SALISILAT DAN PENCEGAHAN KANKER KOLOREKTAL Penelitian retrospektif dan prospektif membuktikan bahwa konsumsi asam asetil salisilat atau OAINS lain selama 10-15 tahun dapat mengurangi risiko kanker kolorektal hingga 40-50%.25 Konsumsi asam asetil salisilat lebih dari 16 kali per bulan dalam jangka waktu paling tidak 1 tahun akan mengurangi risiko kematian akibat kanker kolorektal sebanyak 40%.26 Konsumsi asam asetil salisilat dengan dosis 81 - 325 mg/hari akan mengurangi risiko kanker kolorektal secara bermakna.10 Selain itu, konsumsi asam asetil salisilat juga dapat mencegah pertumbuhan adenoma polip di epitel usus besar serta menunda pertumbuhan adenoma polip tersebut.9 Konsumsi asam asetil salisilat dapat mengurangi pertumbuhan adenoma polip lebih lanjut menjadi kanker kolorektal yang ganas. SIMPULAN Sejalan dengan upaya penyelesaian berbagai masalah kesehatan, berkembang teori bahwa asam asetil salisilat dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah kanker kolorektal. Asam asetil salisilat dapat menghambat produksi enzimatik prostaglandin,17 yang dilepaskan bila sel tubuh mengalami trauma atau kerusakan. Asam asetil salisilat menghambat aktivitas enzim COX, baik COX-1 maupun COX-2, sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin akan terhambat. Proses karsinogenesis dan angiogenesis akan diperlambat. Sel-sel baru tumbuh menggantikan sel-sel lama yang telah rusak atau mengalami kematian, sehingga pertumbuhan sel tetap berjalan normal dan terkontrol.8 DAFTAR PUSTAKA 1. Boyle P, Langman JS. ABC of colorectal cancer. BMJ 2000;321:805-8. 2. Pusponegoro AD. Epidemiologi keganasan saluran cerna. Proceeding Temu Ilmiah Multimodalitas Terapi pada Keganasan Saluran Cerna. Jakarta. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors: breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 36-42. 3. Abdullah M. Clinical characteristics of colorectal cancer in Indonesia. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors: breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 36-42. 4. Sinha R, Chow WH, Kulldorff M, et al. Well-done, grilled red meat increases the risk of colorectal adenomas. Cancer Res. 1999; 59: 4320-4. 5. Ann Chao, Michael JT, Cari J, et al.. Meat consumption and risk of colorectal cancer. JAMA 2005; 293: 172-82. 6. Bidoli E, Franceschi S, Talamini R, et al. Food consumption and cancer of the colon and rectum in northeastern Italy. Int. J. Cancer 1992;50:223-9. 7. Slattery ML, et al. Lifestyle and colon cancer : an assessment of factors associated with risk. Am. J. Epidemiol. 1999; 150(8):869. 8. Virshup DM & McCancre KL. Biology of cancer. Philadelphia: Elsevier, Mosby. 2006. 333-74. 9. Sandler RS, Halabi S, Baron JA, et al. A randomized trial of aspirin to prevent colorectal adenomas in patients with previous colorectal cancer. N. Engl. J. Med. 2003; 348: 883-90. 10. Baron JA, Cole BF, Sandler RS, et al. A randomized trial of aspirin to prevent colorectal adenomas. N. Engl. J. Med. 2003; 348: 891-9. 11. Jänne PA, Mayer RJ. Chemoprevention of colorectal cancer. N. Engl. J. Med. 2000; 342(26): 1960-8. 12. Murna IW. Imaging of colorectal cancer. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors : breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 1-13. 13. Krisnuhoni E. Colorectal cancer profile in Cipto Mangunkusumo hospital: histopathological aspects. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors : breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 24-30. 14. Mayer RJ. Gastrointestinal tract cancer: Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill. 2005. 15. Garewal HS. Aspirin in the prevention of colorectal cancer. Ann. Intern. Med. 1994; 121(4): 303-4. 16. Hueter SE. Alterations of digestive function. Philadelphia: Elsevier, Mosby. 2006. pp. 1385-445. 17. Anhen JD. The genetic basis of colorectal cancer risk. Adv. Intern. Med. 1996; 41: 531-2. 18. Brown JR & DuBois RN. COX-2: A molecular target for colorectal cancer prevention. J. Clin. Oncol. 2005; 23(12): 2840-55. 19. Gupta RA, DuBois RN. Cyclooxygenase-2, prostaglandins and colorectal carcinogenesis, dalam : COX-2 Blockade in Cancer Prevention and Therapy. 2003. Totowa: NJ. 313-40. 20. Bennett A, Tacca MD, Stamford IF, et. al. Prostaglandins form tumors of human large bowel. Br. J. Cancer 1997;35:881-4. 21. Bendardaf R, Lamlun H, Pyrhonen S. Prognostic and predictive molecular markers in colorectal carcinoma. Anticancer Res. 2004; 24(4): 2519-30. 22. Anderson WF, Umar A, Viner JL, et. al. Potential role of NSAIDs and COX-2 blockade in cancer therapy. Dalam: COX-2 blockade in cancer prevention and therapy. 2003. Totowa: NJ. 313-40. 23. Harris RE. Cyclooxygenase-2 blockade in cancer prevention and therapy. Dalam: COX-2 blockade in cancer prevention and therapy. 2003. Totowa: NJ. 341-65. 24. Eberhart CE, Coffey RJ, Radhika A, et al. Up-regulation of cyclooxygenase-2 gene expression in human colorectal adenomas and adenocarcinomas. Gastroenterology 1994; 107: 1183-8. 25. Giovannucci E, Rimm EB, Stampfer MJ, et al. 1994. Aspirin use and the risk for colorectal cancer and adenoma in male health professionals. Ann. Intern. Med. 121: 241-6. 26. Thun MJ, Namboodiri MM, Heath CWJ. Aspirin use and reduced risk of fatal colon cancer. N. Engl. J. Med. 1991; 325:1593-6. C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1 TINJAUAN PUSTAKA Pria memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengidap kanker kolorektal walaupun secara umum angka kejadian kanker kolorektal di antara kedua jenis kelamin hampir sama.13,14 PATOGENESIS Kanker termasuk penyakit multifaktorial. Faktor genetik dan lingkungan memberi kontribusi penting untuk menginduksi pertumbuhan sel-sel kanker (Gambar 1).15 Gambar 1. Patogenesis kanker. Faktor genetik : - aktivasi onkogenik - inaktivasi gen supresi tumor Faktor lingkungan : - induksi mutagenesis sel-sel tubuh yang normal (karena bahan kimia, virus, radiasi) Pada awalnya, kanker kolorektal berkembang dari adenoma polip akibat mutasi kromosom 5.15 Adenoma polip atau papiloma yang bersifat jinak ini berasal dari pertumbuhan mukosa sel epitel usus besar. Makin besar ukuran polip, makin besar risiko berkembang menjadi kanker.15 Polip sebaiknya dideteksi sedini mungkin, sebelum berubah menjadi ganas. Oleh sebab itu, screening atau pemeriksaan penyaring sangatlah penting15,17. FAKTOR RISIKO Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal, antara lain, ialah diet tinggi lemak dan rendah serat, usia lebih dari 50 tahun, riwayat adenoma atau kanker kolorektal, serta penyakit-penyakit lain seperti familial polyposis coli, kolitis ulseratif, dan , Crohn s disease.12 Gejala klinis kanker kolorektal sangat bervariasi, bergantung pada lokasi tumor.15 Tumor di sekum dan kolon asendens biasanya tumbuh lebih besar daripada tumor yang berada di kolon desendens dan rektum. Tumor di sekum dan kolon asendens menimbulkan gejala nyeri perut, massa intra-abdominal, perubahan pola defekasi, dan anemia. Tumor yang berkembang di kolon transversum akan menimbulkan keluhan obstruksi, nyeri perut, terabanya massa intra-abdominal, perubahan pola defekasi, dan anemia. Tumor di kolon desendens menyebabkan nyeri perut, perubahan pola defekasi, darah pada tinja, dan obstruksi, sedangkan kanker di kolon sigmoideum dan rektum menimbulkan gejala perubahan pola defekasi, darah pada tinja, dan rasa tidak nyaman di rektum.15 Perubahan genetik Inisiasi sel Ekspansi klonal Lesi preneoplastik Perubahan genetik Tumor jinak Perubahan genetik Tumor ganas Perubahan genetik dan invasi Gejala-gejala klinis Sumber: McCancre KL, Hueter SE. Pathophysiology : The biologic basis for disease in adults and children. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby. 2006. Perubahan gen p53, yaitu gen supresi pertumbuhan tumor, dijumpai pada 85% pengidap kanker kolorektal.16 Sementara itu, delesi kromosom 5, 17, dan 18 menyebabkan transisi sel-sel normal pada jaringan kolon dan rektum menjadi sel-sel ganas.15 Studi terbaru menunjukkan, individu pengidap kanker kolorektal memperlihatkan kelebihan jumlah enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin, terutama prostaglandin E2 (PGE2).17-20 Faktor lingkungan, yang mencakup pola diet serta gaya hidup sehari-hari, juga memainkan peranan yang tak-kalah pentingnya dalam patofisiologi kanker kolorektal.1,4-8 C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011 GEJALA KLINIS Kanker kolorektal berkembang perlahan dan sering tidak menimbulkan gejala klinis pada lima tahun pertama, pada tahap awal perkembangannya.3 Gejala/tanda klinis yang paling sering dijumpai ialah ditemukannya darah samar pada tinja dan perdarahan nyata yang dapat berupa hematokezia atau melena. Gejala klinis umumnya meliputi anemia dan perubahan pola defekasi (diare atau konstipasi). Rasa tidak nyaman di perut atau nyeri perut serta terabanya massa intra-abdominal biasanya timbul bila kanker sudah mencapai stadium lanjut (Gambar 2). Gambar 2. Gejala/tanda klinis yang sering dijumpai pada kanker kolorektal. Insidens (%) 60 53 50 40 27,1 30 20 7,2 10 6,8 4,4 1,6 Beberapa tahun terakhir, penanggulangan masalah ini tampaknya mencapai titik terang dengan ditemukannya inhibitor enzim COX yang dapat dikembangkan sebagai salah satu obat pencegah kanker kolorektal. Hal tersebut memberi sumbangan penting dalam bidang kesehatan, terutama karena kanker kolorektal merupakan salah satu keganasan saluran cerna yang prevalensinya makin meningkat. ENZIM COX-2 DAN SINTESIS PROSTAGLANDIN Bila sel tubuh mengalami trauma atau luka, asam arakidonat (asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat) akan dilepaskan oleh fosfolipid membran sel dengan bantuan enzim fosfolipase. Enzim COX akan mengkatalisis proses siklooksigenasi dan mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2). Enzim COX juga akan mengatalisis proses peroksidasi yang mengubah PGG2 menjadi prostaglandin H2 (PGH2) yang merupakan prekursor untuk semua jenis prostaglandin, yaitu prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin D2 (PGD2), prostasiklin (PGI2), prostaglandin F2 (PGF2), serta tromboksan (TXA2) (Gambar 3).17 0 Hematokezia Diare Massa Intraabdominal Nyeri perut Konstipasi Anemia Gejala Kanker Kolorektal Sumber: Sudoyo AW, Gondhowiardjo S, Hutagallung EU, et al. The multidisciplinary cancer management of solid tumor: today & tomorrow breast cancer, sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004. Biosintesis prostaglandin dapat dihambat dengan OAINS. Golongan obat ini bekerja menghambat dua enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2, yang bertugas menginisiasi produksi berbagai macam prostaglandin.17 351 TINJAUAN PUSTAKA Gambar 3. Biosintesis prostaglandin(18). Trauma atau luka pada sel Gangguan pada membran sel Fosfolipid pada membran sel Fosfolipase Asam arakidonat Siklooksigenase COX-1 dan COX-2 PGG2 Peroksidase PGH2 PGI2 PGI2 PGI2 PGI2 PGI2 Prostaglandin merupakan pembawa informasi (messenger) kimia dalam tubuh yang memiliki banyak pengaruh hampir di semua organ tubuh, antara lain sistem reproduksi, sistem respirasi, sistem genitourinaria, sistem digestivus, sistem saraf, sistem endokrin, sistem sirkulasi, metabolisme lemak, dan sistem defensi tubuh.21 Penelitian terbaru menyebutkan bahwa jumlah prostaglandin yang meningkat akibat peningkatan aktivitas enzim COX dapat menginduksi karsinogenesis. Kadar enzim COX, terutama enzim COX-2 dan prostaglandin ditemukan dalam konsentrasi yang berlebih pada penderita kanker kolorektal.17,20,22 ENZIM COX-2 DALAM KARSINOGENESIS Enzim COX, terutama enzim COX-2 berperan penting dalam memfasilitasi karsinogenesis melalui aktivitasnya, yaitu menghasilkan prostaglandin. Ekspresi enzim COX-2 yang berlebih akan menginisisasi karsinogenesis melalui berbagai mekanisme, antara lain: 1. meningkatkan produksi malondialdehid dan oksigen reaktif lain yang bersifat karsinogen 2. meningkatkan produksi PGE-2 dan faktor lain yang menyebabkan proliferasi sel 3. merangsang vascular endothelial growth factor (VEGF) yang bertugas dalam angiogenesis 4. meningkatkan produksi metaloproteinase yang dapat meningkatkan potensi metastasis sel ganas ke jaringan atau organ lain 5. merangsang protein antiapoptosis, Bcl-2, sehingga kematian sel akan terhambat, tetapi pertumbuhan sel-sel baru tetap berjalan 6. menghambat proliferasi limfosit B dan limfosit T sehingga akan menurunkan imunitas tubuh.23 352 EKSPRESI ENZIM COX-2 PADA KANKER KOLOREKTAL Penelitian Eberhart, dkk. membuktikan adanya peningkatan ekspresi enzim COX-2 yang bermakna pada 85% pengidap kanker kolorektal dan pada 50% pengidap adenoma kolorektal.24 Enzim COX-2 memegang peranan yang lebih penting dalam patofisiologi kanker kolorektal dibandingkan dengan enzim COX-1. Konsentrasi enzim COX-2 pada sel kanker dijumpai lebih tinggi dibandingkan pada sel normal, sedangkan kadar enzim COX-1 yang diidentifikasi pada sel kanker maupun sel normal hampir sama.18 ASAM ASETIL SALISILAT DAN PENCEGAHAN KANKER KOLOREKTAL Penelitian retrospektif dan prospektif membuktikan bahwa konsumsi asam asetil salisilat atau OAINS lain selama 10-15 tahun dapat mengurangi risiko kanker kolorektal hingga 40-50%.25 Konsumsi asam asetil salisilat lebih dari 16 kali per bulan dalam jangka waktu paling tidak 1 tahun akan mengurangi risiko kematian akibat kanker kolorektal sebanyak 40%.26 Konsumsi asam asetil salisilat dengan dosis 81 - 325 mg/hari akan mengurangi risiko kanker kolorektal secara bermakna.10 Selain itu, konsumsi asam asetil salisilat juga dapat mencegah pertumbuhan adenoma polip di epitel usus besar serta menunda pertumbuhan adenoma polip tersebut.9 Konsumsi asam asetil salisilat dapat mengurangi pertumbuhan adenoma polip lebih lanjut menjadi kanker kolorektal yang ganas. SIMPULAN Sejalan dengan upaya penyelesaian berbagai masalah kesehatan, berkembang teori bahwa asam asetil salisilat dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah kanker kolorektal. Asam asetil salisilat dapat menghambat produksi enzimatik prostaglandin,17 yang dilepaskan bila sel tubuh mengalami trauma atau kerusakan. Asam asetil salisilat menghambat aktivitas enzim COX, baik COX-1 maupun COX-2, sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin akan terhambat. Proses karsinogenesis dan angiogenesis akan diperlambat. Sel-sel baru tumbuh menggantikan sel-sel lama yang telah rusak atau mengalami kematian, sehingga pertumbuhan sel tetap berjalan normal dan terkontrol.8 DAFTAR PUSTAKA 1. Boyle P, Langman JS. ABC of colorectal cancer. BMJ 2000;321:805-8. 2. Pusponegoro AD. Epidemiologi keganasan saluran cerna. Proceeding Temu Ilmiah Multimodalitas Terapi pada Keganasan Saluran Cerna. Jakarta. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors: breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 36-42. 3. Abdullah M. Clinical characteristics of colorectal cancer in Indonesia. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors: breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 36-42. 4. Sinha R, Chow WH, Kulldorff M, et al. Well-done, grilled red meat increases the risk of colorectal adenomas. Cancer Res. 1999; 59: 4320-4. 5. Ann Chao, Michael JT, Cari J, et al.. Meat consumption and risk of colorectal cancer. JAMA 2005; 293: 172-82. 6. Bidoli E, Franceschi S, Talamini R, et al. Food consumption and cancer of the colon and rectum in northeastern Italy. Int. J. Cancer 1992;50:223-9. 7. Slattery ML, et al. Lifestyle and colon cancer : an assessment of factors associated with risk. Am. J. Epidemiol. 1999; 150(8):869. 8. Virshup DM & McCancre KL. Biology of cancer. Philadelphia: Elsevier, Mosby. 2006. 333-74. 9. Sandler RS, Halabi S, Baron JA, et al. A randomized trial of aspirin to prevent colorectal adenomas in patients with previous colorectal cancer. N. Engl. J. Med. 2003; 348: 883-90. 10. Baron JA, Cole BF, Sandler RS, et al. A randomized trial of aspirin to prevent colorectal adenomas. N. Engl. J. Med. 2003; 348: 891-9. 11. Jänne PA, Mayer RJ. Chemoprevention of colorectal cancer. N. Engl. J. Med. 2000; 342(26): 1960-8. 12. Murna IW. Imaging of colorectal cancer. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors : breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 1-13. 13. Krisnuhoni E. Colorectal cancer profile in Cipto Mangunkusumo hospital: histopathological aspects. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors : breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 24-30. 14. Mayer RJ. Gastrointestinal tract cancer: Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill. 2005. 15. Garewal HS. Aspirin in the prevention of colorectal cancer. Ann. Intern. Med. 1994; 121(4): 303-4. 16. Hueter SE. Alterations of digestive function. Philadelphia: Elsevier, Mosby. 2006. pp. 1385-445. 17. Anhen JD. The genetic basis of colorectal cancer risk. Adv. Intern. Med. 1996; 41: 531-2. 18. Brown JR & DuBois RN. COX-2: A molecular target for colorectal cancer prevention. J. Clin. Oncol. 2005; 23(12): 2840-55. 19. Gupta RA, DuBois RN. Cyclooxygenase-2, prostaglandins and colorectal carcinogenesis, dalam : COX-2 Blockade in Cancer Prevention and Therapy. 2003. Totowa: NJ. 313-40. 20. Bennett A, Tacca MD, Stamford IF, et. al. Prostaglandins form tumors of human large bowel. Br. J. Cancer 1997;35:881-4. 21. Bendardaf R, Lamlun H, Pyrhonen S. Prognostic and predictive molecular markers in colorectal carcinoma. Anticancer Res. 2004; 24(4): 2519-30. 22. Anderson WF, Umar A, Viner JL, et. al. Potential role of NSAIDs and COX-2 blockade in cancer therapy. Dalam: COX-2 blockade in cancer prevention and therapy. 2003. Totowa: NJ. 313-40. 23. Harris RE. Cyclooxygenase-2 blockade in cancer prevention and therapy. Dalam: COX-2 blockade in cancer prevention and therapy. 2003. Totowa: NJ. 341-65. 24. Eberhart CE, Coffey RJ, Radhika A, et al. Up-regulation of cyclooxygenase-2 gene expression in human colorectal adenomas and adenocarcinomas. Gastroenterology 1994; 107: 1183-8. 25. Giovannucci E, Rimm EB, Stampfer MJ, et al. 1994. Aspirin use and the risk for colorectal cancer and adenoma in male health professionals. Ann. Intern. Med. 121: 241-6. 26. Thun MJ, Namboodiri MM, Heath CWJ. Aspirin use and reduced risk of fatal colon cancer. N. Engl. J. Med. 1991; 325:1593-6. C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1