Pengaruh Asam Asetil Salisilat terhadap Penurunan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Aktivasi reseptor vitamin D yang terdapat
pada VSMCs oleh pemberian vitamin D akan
menginhibisi sintesis kolagen tipe 1 yang berperan aktif dalam proses pembentukan osteoblast-like cells menjadi kalsifikasi dinding pembuluh darah; selain itu vitamin D juga dapat
mereduksi sintesis Cbfa-I, menstimulasi sintesis
MGP, dan menginhibisi produksi BMP-2. Hal
tersebut berdampak lebih besar pada mekanisme kalsifikasi dinding pembuluh darah
dibandingkan dengan efek vitamin D dalam
meningkatkan kadar calcium dan phosphor
darah yang berisiko kalsifikasi dinding pembuluh darah.16
Pencegahan gagal jantung dengan
asupan vitamin D
Kebutuhan vitamin D bervariasi tergantung
usia dan paparan sinar matahari (sinar ultraviolet B) (tabel 1). Angka tersebut diperhitungkan sebagai dosis optimal vitamin D
secara oral tanpa memperhitungkan sintesis
vitamin D kulit dengan bantuan sinar ultraviolet B (UV B). Pemberian vitamin D oral tidak
boleh lebih dari 2000 IU/hari pada semua
golongan umur untuk menghindari efek
samping.4,17,18
Tabel 1. Asupan vitamin D yang dianjurkan untuk
pria dan wanita 4
Umur
(tahun)
14-18
Asupan
yang
adekuat
(IU/hari)
200
Batas
maksimum
asupan
(IU/hari)
2000
19-50
200
2000
51-70
400
2000
>70
600
2000
Berger-Lux dkk. mengemukakan bahwa
asupan vitamin D oral 400 IU/hari hanya menaikkan kadar 25-hydroxyvitamin D3 darah
sebesar 7-12 nmol/L. Untuk dapat meningkatkan kadar 25-hydroxyvitamin D3 darah dari 50
nmol/L menjadi 80 nmol/L dibutuhkan asupan
vitamin D sebesar 1700 IU/hari. Suplementasi
vitamin D 1-400 IU/hari memberikan efek minimal, sedangkan dosis >400 IU/hari memberikan
efek lebih baik terhadap penurunan angka
kejadian penyakit kardiovaskular.18,20
C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011
Batas aman pemberian vitamin D oral harus
tetap diperhatikan agar tidak menimbulkan
efek samping; konsumsi makanan dengan
kadar vitamin D tinggi sangat dianjurkan
untuk mencegah defisiensi vitamin D yang
dapat menimbulkan gagal jantung.4,7,17,19
Simpulan
Vitamin D dalam makanan sehari-hari penting bagi berbagai organ tubuh selain tulang,
salah satunya adalah jantung. Asupan oral
vitamin D maupun pro-vitamin D yang ter-
dapat pada kulit manusia akan diubah di hati
dan ginjal serta beberapa organ tubuh lain
menjadi calcitriol, bentuk aktif vitamin D.
Calcitriol berfungsi mencegah gagal jantung
maupun memperingan tingkat keparahannya
melalui empat mekanisme, berupa regulasi
inflamasi, reduksi hipertrofi otot jantung,
regulasi sistem RAA, dan mencegah kalsifikasi dinding pembuluh darah. Asupan vitamin
D yang adekuat mengurangi risiko terjadinya
gagal jantung yang disebabkan oleh mekanisme tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Holick MF. Resurrection of vitamin D deficiency and rickets. J Clin Invest 2006; 116:2062-72.
2. Holick MF, Garabedian M. Vitamin D: photobiology, metabolism, mechanism of action, and clinical applications.
In: Favus MJ, ed. Primer on the metabolic bone diseases and disorders of mineral metabolism. 6th ed. Washington,
DC: American Society for Bone and Mineral Research, 2006:129-37.
3. McDonagh TA, Morrison CE, Lawrence A, Ford I, Tunstall-Pedoe H, McMurray JJV. Symptomatic and asymptomatic
left ventricular systolic dysfunction in an urban population. Lancet 1997;350: 829-33.
4. Hajjar V, Depta JP, Mountis MM. Does vitamin D deficiency play a role in the pathogenesis of chronic heart failure?
Do supplements improve survival? Cleveland Clin. J. Med. 2010; 77(5):290-3.
5. Pilz S, et al. Vitamin D deficiency and myocardial diseases. Mol Nutr Food Res 2010; 54:1-11.
6. Holick MF. Vitamin D deficiency. N Engl J Med 2007; 357:266-81.
7. Kim DH, et al. Prevalence of hypovitaminosis D in cardiovascular diseases (from the National Health and Nutrition
Examination Survey 2001 to 2004). Am J Cardiol 2008;102:1540-4.
8. Van den Berg H. Bioavailability of vitamin D. Eur J Clin Nutr 1997; 51:S76-9.
9. Levin A, Li YC. Vitamin D and its analogues: Do they protect against cardiovascular disease in patients with kidney
disease? Kidney International 2005; 68:1973-81
10. Timms PM, Mannann N, Hitman GA, et al. Circulating MMP9, vitamin D and variation in the TIMP-1 response with
VDR genotype: mechanisms for inflammatory damage in chronic disorders? QJM 2002; 95:787-96.
11. Weishaar RE, Simpson RU. The involvement of the endocrine system in regulating cardiovascular function: emphasis
on vitamin D3. Endocr Rev 1989;10:351-65.
12. Weishaar RE, Kim SN, Saunders DE, et al. Involvement of vitamin D3 with cardiovascular function. III. Effects on
physical and morphological properties. Am J Physiol 1990;258:E134-42.
13. Wu J, Garamim, Cheng T, et al. 1,25(OH)2 vitaminD3, and retinoic acid antagonize endothelin-stimulated hypertrophy
of neonatal rat cardiac myocytes. J Clin Invest 1996;.97:1577-88.
14. Park CW, Oh YS, Shin YS, et al. Intravenous calcitriol regresses myocardial hypertrophy in hemodialysis patients
with secondary hyperparathyroidism. Am J Kidney Dis 1999; 33:73-81.
15. Mogonigle RJ, Fowler MB, Timmis AB, et al. Uremic cardiomyopathy: Potential role of vitamin D and parathyroid
hormone. Nephron 198;436:94-100
16. Verhave G, Siegert CEH. Role of vitamin D in cardiovascular disease. The Neth. J. Med. 2010; 68(3):113-8.
17. Vieth R, et al. The urgent need to recommend an intake of vitamin D that is effective. Am J Clin Nutr 2007; 85:649-50.
18. Wang L, et al. Systematic Review: Vitamin D and Calcium Supplementation in Prevention of Cardiovascular Events.
Ann Intern Med. 2010; 152:315-23.
19. Pilz S, et al. Association of vitamin D deficiency with heart failure and sudden cardiac death in a large cross-sectional
study of patients referred for coronary angiography. J Clin Endocrinol Metab 2008;93:3927-35.
20. Bostick RM, et al. Relation of calcium, vitamin D, and diary food intake to ischemic heart disease mortality among
postmenopausal women. Am J Epidemiol. 1999; 149:151-61.
349
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh Asam Asetil Salisilat
terhadap Penurunan Prevalensi Kanker Kolorektal
Anita Kurniawati, Riki Tenggara
Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya, Jakarta, Indonesia
PENDAHULUAN
Dewasa ini, perhatian terhadap kanker kolorektal makin meningkat. Data statistik mencatat, angka kejadian kanker kolorektal di
seluruh dunia meningkat tajam sejak tahun
1975.1 Sekitar 783.000 kasus baru kanker
kolorektal didiagnosis pada tahun 1990. Data
statistik juga menunjukkan bahwa di antara
berbagai keganasan, kanker kolorektal menduduki peringkat keempat teratas di seluruh
dunia.1
Di Indonesia, kanker kolorektal merupakan
jenis keganasan saluran cerna kedua terbanyak setelah keganasan hepatoseluler.2
Indonesian Cancer mencatat, pada tahun
2002 ditemukan sebanyak 3.572 kasus baru
kanker kolorektal di Indonesia.3 Hal ini sesuai
dengan perubahan gaya hidup masyarakat
Indonesia saat ini. Pola makan sehari-hari yang
salah masih saja diterapkan. Sebagai contoh,
makanan siap saji makin digemari, padahal
jenis makanan tersebut umumnya mengandung kadar lemak dan karbohidrat tinggi.
Daging merah juga makin digemari, padahal
makanan yang diolah dari daging merah dan
makanan tinggi lemak diketahui dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal.1,4,5,6 Kondisi
ini diperburuk dengan kurangnya aktivitas fisik
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
asupan energi dan penggunaan energi oleh
tubuh.1,7 Aktivitas fisik yang kurang akan
mengakibatkan menurunnya motilitas usus,
sehingga akan memperpanjang waktu singgah
zat-zat mutagen berbahaya di usus besar dan
dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal.8
Hasil penelitian dalam upaya pencegahan
kanker kolorektal menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi asam asetil salisilat dosis
rendah secara teratur dalam jangka lama dengan
rendahnya kejadian kanker kolorektal.9,10 Asam
asetil salisilat yang merupakan golongan obat
anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dapat menghambat aktivitas enzim cyclooxygenase (COX),
yang diketahui memegang peranan penting
untuk menginduksi pertumbuhan dan perkembangan sel-sel kanker.9,10
350
KARAKTERISTIK KLINIS KANKER KOLOREKTAL DI INDONESIA
Prevalensi kanker kolorektal diperkirakan akan
makin meningkat. Observasi Bagian Patologi
Anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta menunjukkan bahwa pada tahun
1986-1990, pengidap kanker kolorektal berjumlah 275 orang, meningkat menjadi 368
orang pada tahun 1991-1995, dan antara
tahun 1999-2003, mencapai 584 orang.13
Data tahun 1991-2000 juga menunjukkan
bahwa di antara 1.500 kasus keganasan saluran
cerna, kanker kolon dan kanker rektum, atau
biasa disebut kanker kolorektal, menduduki
peringkat pertama, dengan histopatologi yang
paling sering adalah tipe adenokarsinoma
(Tabel 1).13
EPIDEMIOLOGI
Di negara berkembang, kanker kolorektal merupakan penyakit penyebab kematian kedua
tertinggi di antara semua jenis keganasan.12
Insidens tertinggi kanker kolorektal dijumpai
di Eropa dan Amerika, sedangkan insidens
yang lebih rendah ditemukan di Asia.12
Prevalensi tinggi kanker kolorektal juga ditemukan pada populasi tingkat ekonomi
menengah ke atas. Perbedaan ini boleh jadi
disebabkan oleh pola diet dan gaya hidup
sehari-hari.1, 4-7 Kebanyakan kasus kanker
kolorektal ditemukan pada usia di atas 40
tahun dan puncaknya pada usia 70 tahun.12
Prevalensi kanker kolorektal yang makin
meningkat di seluruh dunia menjadikannya
sebagai salah satu masalah kesehatan global
yang serius. Setiap tahun, diperkirakan sebanyak
550.000 penduduk dunia meninggal akibat
kanker kolorektal.18 Penelitian terus dilakukan
untuk menemukan agen non-toksik potensial
yang dapat digunakan untuk mencegah kanker
kolorektal.
Kanker kolorektal di Indonesia banyak dijumpai pada usia produktif. Data tahun 19962000 menunjukkan bahwa puncak insidens
kanker kolorektal di Jakarta didapatkan pada
usia 40-49 tahun dan 50-69 tahun (Tabel 2).13
Tabel 1. Jumlah kasus keganasan saluran cerna di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,1991-2000.
Lokasi
Limfoma
Adenokarsinoma
Lain-lain
Jumlah
Esofagus
-
25
35
60
Lambung
3
78
17
98
Duodenum
27
30
11
68
Ileum
29
26
20
85
Kolon
17
258
33
308
Rektum
10
721
136
867
Jumlah
86
1138
252
1486
Sumber:
AW,
EU, ett al.l The
cancer managementt off
S b Sudoyo
S d
AW Gondhowiardjo
G dh i dj S,
S Hutagalung
H t l
EU
Th multidisciplinary
ltidi i li
solid tumor: today & tomorrow. breast cancer, sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004.
Tabel 2. Profil kanker kolorektal berdasarkan umur dan jenis kelamin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, tahun 1996-2000.
Umur
(tahun)
0-9 10-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89
Jumlah
Jenis
Kelamin
Wanita
-
1
21
30
30
23
32
10
1
148
Pria
-
1
12
28
38
28
38
10
-
155
Jumlah
-
2
33
58
68
51
70
20
1
303
Sumber: Sudoyo AW, Gondhowiardjo S, Hutagalung EU, et al. The multidisciplinary cancer management of
solid tumor: today & tomorrow. breast cancer, sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004.
C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pria memiliki kecenderungan lebih tinggi
untuk mengidap kanker kolorektal walaupun
secara umum angka kejadian kanker kolorektal di antara kedua jenis kelamin hampir
sama.13,14
PATOGENESIS
Kanker termasuk penyakit multifaktorial. Faktor
genetik dan lingkungan memberi kontribusi
penting untuk menginduksi pertumbuhan
sel-sel kanker (Gambar 1).15
Gambar 1. Patogenesis kanker.
Faktor genetik :
- aktivasi onkogenik
- inaktivasi gen
supresi tumor
Faktor lingkungan :
- induksi mutagenesis
sel-sel tubuh yang
normal (karena bahan
kimia, virus, radiasi)
Pada awalnya, kanker kolorektal berkembang dari adenoma polip akibat mutasi kromosom 5.15 Adenoma polip atau papiloma
yang bersifat jinak ini berasal dari pertumbuhan mukosa sel epitel usus besar. Makin besar
ukuran polip, makin besar risiko berkembang
menjadi kanker.15 Polip sebaiknya dideteksi
sedini mungkin, sebelum berubah menjadi
ganas. Oleh sebab itu, screening atau pemeriksaan penyaring sangatlah penting15,17.
FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko kanker kolorektal, antara lain, ialah diet
tinggi lemak dan rendah serat, usia lebih dari
50 tahun, riwayat adenoma atau kanker
kolorektal, serta penyakit-penyakit lain seperti
familial polyposis coli, kolitis ulseratif, dan
,
Crohn s disease.12
Gejala klinis kanker kolorektal sangat bervariasi, bergantung pada lokasi tumor.15 Tumor
di sekum dan kolon asendens biasanya tumbuh
lebih besar daripada tumor yang berada di
kolon desendens dan rektum. Tumor di sekum
dan kolon asendens menimbulkan gejala nyeri
perut, massa intra-abdominal, perubahan pola
defekasi, dan anemia. Tumor yang berkembang di kolon transversum akan menimbulkan keluhan obstruksi, nyeri perut, terabanya
massa intra-abdominal, perubahan pola defekasi, dan anemia. Tumor di kolon desendens
menyebabkan nyeri perut, perubahan pola
defekasi, darah pada tinja, dan obstruksi,
sedangkan kanker di kolon sigmoideum dan
rektum menimbulkan gejala perubahan pola
defekasi, darah pada tinja, dan rasa tidak
nyaman di rektum.15
Perubahan genetik
Inisiasi sel
Ekspansi klonal
Lesi preneoplastik
Perubahan genetik
Tumor jinak
Perubahan genetik
Tumor ganas
Perubahan genetik
dan invasi
Gejala-gejala klinis
Sumber: McCancre KL, Hueter SE. Pathophysiology :
The biologic basis for disease in adults and children.
St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby. 2006.
Perubahan gen p53, yaitu gen supresi pertumbuhan tumor, dijumpai pada 85% pengidap kanker kolorektal.16 Sementara itu,
delesi kromosom 5, 17, dan 18 menyebabkan
transisi sel-sel normal pada jaringan kolon
dan rektum menjadi sel-sel ganas.15 Studi terbaru menunjukkan, individu pengidap kanker
kolorektal memperlihatkan kelebihan jumlah
enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin, terutama prostaglandin E2 (PGE2).17-20
Faktor lingkungan, yang mencakup pola diet
serta gaya hidup sehari-hari, juga memainkan
peranan yang tak-kalah pentingnya dalam
patofisiologi kanker kolorektal.1,4-8
C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011
GEJALA KLINIS
Kanker kolorektal berkembang perlahan dan
sering tidak menimbulkan gejala klinis pada
lima tahun pertama, pada tahap awal perkembangannya.3 Gejala/tanda klinis yang paling
sering dijumpai ialah ditemukannya darah
samar pada tinja dan perdarahan nyata yang
dapat berupa hematokezia atau melena.
Gejala klinis umumnya meliputi anemia dan
perubahan pola defekasi (diare atau konstipasi). Rasa tidak nyaman di perut atau nyeri
perut serta terabanya massa intra-abdominal
biasanya timbul bila kanker sudah mencapai
stadium lanjut (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala/tanda klinis yang sering dijumpai
pada kanker kolorektal.
Insidens (%)
60
53
50
40
27,1
30
20
7,2
10
6,8
4,4
1,6
Beberapa tahun terakhir, penanggulangan
masalah ini tampaknya mencapai titik terang
dengan ditemukannya inhibitor enzim COX
yang dapat dikembangkan sebagai salah satu
obat pencegah kanker kolorektal. Hal tersebut
memberi sumbangan penting dalam bidang
kesehatan, terutama karena kanker kolorektal
merupakan salah satu keganasan saluran cerna
yang prevalensinya makin meningkat.
ENZIM COX-2 DAN SINTESIS PROSTAGLANDIN
Bila sel tubuh mengalami trauma atau luka,
asam arakidonat (asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat) akan dilepaskan oleh fosfolipid membran
sel dengan bantuan enzim fosfolipase. Enzim
COX akan mengkatalisis proses siklooksigenasi dan mengubah asam arakidonat menjadi
prostaglandin G2 (PGG2). Enzim COX juga
akan mengatalisis proses peroksidasi yang
mengubah PGG2 menjadi prostaglandin H2
(PGH2) yang merupakan prekursor untuk
semua jenis prostaglandin, yaitu prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin D2 (PGD2),
prostasiklin (PGI2), prostaglandin F2 (PGF2),
serta tromboksan (TXA2) (Gambar 3).17
0
Hematokezia
Diare
Massa
Intraabdominal
Nyeri
perut
Konstipasi
Anemia
Gejala Kanker Kolorektal
Sumber: Sudoyo AW, Gondhowiardjo S, Hutagallung
EU, et al. The multidisciplinary cancer management
of solid tumor: today & tomorrow breast cancer,
sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004.
Biosintesis prostaglandin dapat dihambat
dengan OAINS. Golongan obat ini bekerja
menghambat dua enzim COX, yaitu COX-1
dan COX-2, yang bertugas menginisiasi
produksi berbagai macam prostaglandin.17
351
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 3. Biosintesis prostaglandin(18).
Trauma atau luka pada sel
Gangguan pada membran sel
Fosfolipid pada membran sel
Fosfolipase
Asam arakidonat
Siklooksigenase
COX-1 dan COX-2
PGG2
Peroksidase
PGH2
PGI2
PGI2
PGI2
PGI2
PGI2
Prostaglandin merupakan pembawa informasi
(messenger) kimia dalam tubuh yang memiliki banyak pengaruh hampir di semua organ
tubuh, antara lain sistem reproduksi, sistem
respirasi, sistem genitourinaria, sistem digestivus, sistem saraf, sistem endokrin, sistem
sirkulasi, metabolisme lemak, dan sistem defensi
tubuh.21 Penelitian terbaru menyebutkan
bahwa jumlah prostaglandin yang meningkat akibat peningkatan aktivitas enzim COX
dapat menginduksi karsinogenesis. Kadar
enzim COX, terutama enzim COX-2 dan prostaglandin ditemukan dalam konsentrasi yang
berlebih pada penderita kanker kolorektal.17,20,22
ENZIM COX-2 DALAM KARSINOGENESIS
Enzim COX, terutama enzim COX-2 berperan penting dalam memfasilitasi karsinogenesis melalui aktivitasnya, yaitu menghasilkan prostaglandin. Ekspresi enzim COX-2 yang
berlebih akan menginisisasi karsinogenesis
melalui berbagai mekanisme, antara lain:
1. meningkatkan produksi malondialdehid dan
oksigen reaktif lain yang bersifat karsinogen
2. meningkatkan produksi PGE-2 dan faktor
lain yang menyebabkan proliferasi sel
3. merangsang vascular endothelial growth
factor (VEGF) yang bertugas dalam angiogenesis
4. meningkatkan produksi metaloproteinase
yang dapat meningkatkan potensi metastasis sel ganas ke jaringan atau organ lain
5. merangsang protein antiapoptosis, Bcl-2,
sehingga kematian sel akan terhambat, tetapi
pertumbuhan sel-sel baru tetap berjalan
6. menghambat proliferasi limfosit B dan limfosit T sehingga akan menurunkan imunitas tubuh.23
352
EKSPRESI ENZIM COX-2 PADA KANKER
KOLOREKTAL
Penelitian Eberhart, dkk. membuktikan adanya peningkatan ekspresi enzim COX-2 yang
bermakna pada 85% pengidap kanker kolorektal dan pada 50% pengidap adenoma
kolorektal.24 Enzim COX-2 memegang peranan
yang lebih penting dalam patofisiologi kanker
kolorektal dibandingkan dengan enzim COX-1.
Konsentrasi enzim COX-2 pada sel kanker
dijumpai lebih tinggi dibandingkan pada sel
normal, sedangkan kadar enzim COX-1 yang
diidentifikasi pada sel kanker maupun sel
normal hampir sama.18
ASAM ASETIL SALISILAT DAN PENCEGAHAN KANKER KOLOREKTAL
Penelitian retrospektif dan prospektif membuktikan bahwa konsumsi asam asetil salisilat atau OAINS lain selama 10-15 tahun
dapat mengurangi risiko kanker kolorektal
hingga 40-50%.25 Konsumsi asam asetil
salisilat lebih dari 16 kali per bulan dalam
jangka waktu paling tidak 1 tahun akan mengurangi risiko kematian akibat kanker kolorektal sebanyak 40%.26 Konsumsi asam asetil
salisilat dengan dosis 81 - 325 mg/hari akan
mengurangi risiko kanker kolorektal secara
bermakna.10 Selain itu, konsumsi asam asetil
salisilat juga dapat mencegah pertumbuhan
adenoma polip di epitel usus besar serta menunda pertumbuhan adenoma polip tersebut.9
Konsumsi asam asetil salisilat dapat mengurangi pertumbuhan adenoma polip lebih
lanjut menjadi kanker kolorektal yang ganas.
SIMPULAN
Sejalan dengan upaya penyelesaian berbagai
masalah kesehatan, berkembang teori bahwa
asam asetil salisilat dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif penyelesaian masalah
kanker kolorektal. Asam asetil salisilat dapat
menghambat produksi enzimatik prostaglandin,17 yang dilepaskan bila sel tubuh mengalami trauma atau kerusakan. Asam asetil
salisilat menghambat aktivitas enzim COX,
baik COX-1 maupun COX-2, sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin
akan terhambat. Proses karsinogenesis dan
angiogenesis akan diperlambat. Sel-sel baru
tumbuh menggantikan sel-sel lama yang telah
rusak atau mengalami kematian, sehingga
pertumbuhan sel tetap berjalan normal dan
terkontrol.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Boyle P, Langman JS. ABC of colorectal cancer. BMJ 2000;321:805-8.
2. Pusponegoro AD. Epidemiologi keganasan saluran cerna. Proceeding Temu Ilmiah Multimodalitas Terapi pada Keganasan
Saluran Cerna. Jakarta. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors: breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 36-42.
3. Abdullah M. Clinical characteristics of colorectal cancer in Indonesia. Dalam: The multidisciplinary cancer management of
solid tumors: breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 36-42.
4. Sinha R, Chow WH, Kulldorff M, et al. Well-done, grilled red meat increases the risk of colorectal adenomas. Cancer Res. 1999; 59: 4320-4.
5. Ann Chao, Michael JT, Cari J, et al.. Meat consumption and risk of colorectal cancer. JAMA 2005; 293: 172-82.
6. Bidoli E, Franceschi S, Talamini R, et al. Food consumption and cancer of the colon and rectum in northeastern Italy. Int.
J. Cancer 1992;50:223-9.
7. Slattery ML, et al. Lifestyle and colon cancer : an assessment of factors associated with risk. Am. J. Epidemiol. 1999; 150(8):869.
8. Virshup DM & McCancre KL. Biology of cancer. Philadelphia: Elsevier, Mosby. 2006. 333-74.
9. Sandler RS, Halabi S, Baron JA, et al. A randomized trial of aspirin to prevent colorectal adenomas in patients with previous
colorectal cancer. N. Engl. J. Med. 2003; 348: 883-90.
10. Baron JA, Cole BF, Sandler RS, et al. A randomized trial of aspirin to prevent colorectal adenomas. N. Engl. J. Med. 2003; 348: 891-9.
11. Jänne PA, Mayer RJ. Chemoprevention of colorectal cancer. N. Engl. J. Med. 2000; 342(26): 1960-8.
12. Murna IW. Imaging of colorectal cancer. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors : breast, colorectal
and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 1-13.
13. Krisnuhoni E. Colorectal cancer profile in Cipto Mangunkusumo hospital: histopathological aspects. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors : breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 24-30.
14. Mayer RJ. Gastrointestinal tract cancer: Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill. 2005.
15. Garewal HS. Aspirin in the prevention of colorectal cancer. Ann. Intern. Med. 1994; 121(4): 303-4.
16. Hueter SE. Alterations of digestive function. Philadelphia: Elsevier, Mosby. 2006. pp. 1385-445.
17. Anhen JD. The genetic basis of colorectal cancer risk. Adv. Intern. Med. 1996; 41: 531-2.
18. Brown JR & DuBois RN. COX-2: A molecular target for colorectal cancer prevention. J. Clin. Oncol. 2005; 23(12): 2840-55.
19. Gupta RA, DuBois RN. Cyclooxygenase-2, prostaglandins and colorectal carcinogenesis, dalam : COX-2 Blockade in Cancer
Prevention and Therapy. 2003. Totowa: NJ. 313-40.
20. Bennett A, Tacca MD, Stamford IF, et. al. Prostaglandins form tumors of human large bowel. Br. J. Cancer 1997;35:881-4.
21. Bendardaf R, Lamlun H, Pyrhonen S. Prognostic and predictive molecular markers in colorectal carcinoma. Anticancer Res.
2004; 24(4): 2519-30.
22. Anderson WF, Umar A, Viner JL, et. al. Potential role of NSAIDs and COX-2 blockade in cancer therapy. Dalam: COX-2
blockade in cancer prevention and therapy. 2003. Totowa: NJ. 313-40.
23. Harris RE. Cyclooxygenase-2 blockade in cancer prevention and therapy. Dalam: COX-2 blockade in cancer prevention and
therapy. 2003. Totowa: NJ. 341-65.
24. Eberhart CE, Coffey RJ, Radhika A, et al. Up-regulation of cyclooxygenase-2 gene expression in human colorectal adenomas
and adenocarcinomas. Gastroenterology 1994; 107: 1183-8.
25. Giovannucci E, Rimm EB, Stampfer MJ, et al. 1994. Aspirin use and the risk for colorectal cancer and adenoma in male health
professionals. Ann. Intern. Med. 121: 241-6.
26. Thun MJ, Namboodiri MM, Heath CWJ. Aspirin use and reduced risk of fatal colon cancer. N. Engl. J. Med. 1991; 325:1593-6.
C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pria memiliki kecenderungan lebih tinggi
untuk mengidap kanker kolorektal walaupun
secara umum angka kejadian kanker kolorektal di antara kedua jenis kelamin hampir
sama.13,14
PATOGENESIS
Kanker termasuk penyakit multifaktorial. Faktor
genetik dan lingkungan memberi kontribusi
penting untuk menginduksi pertumbuhan
sel-sel kanker (Gambar 1).15
Gambar 1. Patogenesis kanker.
Faktor genetik :
- aktivasi onkogenik
- inaktivasi gen
supresi tumor
Faktor lingkungan :
- induksi mutagenesis
sel-sel tubuh yang
normal (karena bahan
kimia, virus, radiasi)
Pada awalnya, kanker kolorektal berkembang dari adenoma polip akibat mutasi kromosom 5.15 Adenoma polip atau papiloma
yang bersifat jinak ini berasal dari pertumbuhan mukosa sel epitel usus besar. Makin besar
ukuran polip, makin besar risiko berkembang
menjadi kanker.15 Polip sebaiknya dideteksi
sedini mungkin, sebelum berubah menjadi
ganas. Oleh sebab itu, screening atau pemeriksaan penyaring sangatlah penting15,17.
FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan
risiko kanker kolorektal, antara lain, ialah diet
tinggi lemak dan rendah serat, usia lebih dari
50 tahun, riwayat adenoma atau kanker
kolorektal, serta penyakit-penyakit lain seperti
familial polyposis coli, kolitis ulseratif, dan
,
Crohn s disease.12
Gejala klinis kanker kolorektal sangat bervariasi, bergantung pada lokasi tumor.15 Tumor
di sekum dan kolon asendens biasanya tumbuh
lebih besar daripada tumor yang berada di
kolon desendens dan rektum. Tumor di sekum
dan kolon asendens menimbulkan gejala nyeri
perut, massa intra-abdominal, perubahan pola
defekasi, dan anemia. Tumor yang berkembang di kolon transversum akan menimbulkan keluhan obstruksi, nyeri perut, terabanya
massa intra-abdominal, perubahan pola defekasi, dan anemia. Tumor di kolon desendens
menyebabkan nyeri perut, perubahan pola
defekasi, darah pada tinja, dan obstruksi,
sedangkan kanker di kolon sigmoideum dan
rektum menimbulkan gejala perubahan pola
defekasi, darah pada tinja, dan rasa tidak
nyaman di rektum.15
Perubahan genetik
Inisiasi sel
Ekspansi klonal
Lesi preneoplastik
Perubahan genetik
Tumor jinak
Perubahan genetik
Tumor ganas
Perubahan genetik
dan invasi
Gejala-gejala klinis
Sumber: McCancre KL, Hueter SE. Pathophysiology :
The biologic basis for disease in adults and children.
St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby. 2006.
Perubahan gen p53, yaitu gen supresi pertumbuhan tumor, dijumpai pada 85% pengidap kanker kolorektal.16 Sementara itu,
delesi kromosom 5, 17, dan 18 menyebabkan
transisi sel-sel normal pada jaringan kolon
dan rektum menjadi sel-sel ganas.15 Studi terbaru menunjukkan, individu pengidap kanker
kolorektal memperlihatkan kelebihan jumlah
enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin, terutama prostaglandin E2 (PGE2).17-20
Faktor lingkungan, yang mencakup pola diet
serta gaya hidup sehari-hari, juga memainkan
peranan yang tak-kalah pentingnya dalam
patofisiologi kanker kolorektal.1,4-8
C DK 1 8 6 / Vo l. 38 no. 5/Jul i -A g us tus 2011
GEJALA KLINIS
Kanker kolorektal berkembang perlahan dan
sering tidak menimbulkan gejala klinis pada
lima tahun pertama, pada tahap awal perkembangannya.3 Gejala/tanda klinis yang paling
sering dijumpai ialah ditemukannya darah
samar pada tinja dan perdarahan nyata yang
dapat berupa hematokezia atau melena.
Gejala klinis umumnya meliputi anemia dan
perubahan pola defekasi (diare atau konstipasi). Rasa tidak nyaman di perut atau nyeri
perut serta terabanya massa intra-abdominal
biasanya timbul bila kanker sudah mencapai
stadium lanjut (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala/tanda klinis yang sering dijumpai
pada kanker kolorektal.
Insidens (%)
60
53
50
40
27,1
30
20
7,2
10
6,8
4,4
1,6
Beberapa tahun terakhir, penanggulangan
masalah ini tampaknya mencapai titik terang
dengan ditemukannya inhibitor enzim COX
yang dapat dikembangkan sebagai salah satu
obat pencegah kanker kolorektal. Hal tersebut
memberi sumbangan penting dalam bidang
kesehatan, terutama karena kanker kolorektal
merupakan salah satu keganasan saluran cerna
yang prevalensinya makin meningkat.
ENZIM COX-2 DAN SINTESIS PROSTAGLANDIN
Bila sel tubuh mengalami trauma atau luka,
asam arakidonat (asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat) akan dilepaskan oleh fosfolipid membran
sel dengan bantuan enzim fosfolipase. Enzim
COX akan mengkatalisis proses siklooksigenasi dan mengubah asam arakidonat menjadi
prostaglandin G2 (PGG2). Enzim COX juga
akan mengatalisis proses peroksidasi yang
mengubah PGG2 menjadi prostaglandin H2
(PGH2) yang merupakan prekursor untuk
semua jenis prostaglandin, yaitu prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin D2 (PGD2),
prostasiklin (PGI2), prostaglandin F2 (PGF2),
serta tromboksan (TXA2) (Gambar 3).17
0
Hematokezia
Diare
Massa
Intraabdominal
Nyeri
perut
Konstipasi
Anemia
Gejala Kanker Kolorektal
Sumber: Sudoyo AW, Gondhowiardjo S, Hutagallung
EU, et al. The multidisciplinary cancer management
of solid tumor: today & tomorrow breast cancer,
sarcomas, colorectal cancer. Jakarta: FKUI. 2004.
Biosintesis prostaglandin dapat dihambat
dengan OAINS. Golongan obat ini bekerja
menghambat dua enzim COX, yaitu COX-1
dan COX-2, yang bertugas menginisiasi
produksi berbagai macam prostaglandin.17
351
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 3. Biosintesis prostaglandin(18).
Trauma atau luka pada sel
Gangguan pada membran sel
Fosfolipid pada membran sel
Fosfolipase
Asam arakidonat
Siklooksigenase
COX-1 dan COX-2
PGG2
Peroksidase
PGH2
PGI2
PGI2
PGI2
PGI2
PGI2
Prostaglandin merupakan pembawa informasi
(messenger) kimia dalam tubuh yang memiliki banyak pengaruh hampir di semua organ
tubuh, antara lain sistem reproduksi, sistem
respirasi, sistem genitourinaria, sistem digestivus, sistem saraf, sistem endokrin, sistem
sirkulasi, metabolisme lemak, dan sistem defensi
tubuh.21 Penelitian terbaru menyebutkan
bahwa jumlah prostaglandin yang meningkat akibat peningkatan aktivitas enzim COX
dapat menginduksi karsinogenesis. Kadar
enzim COX, terutama enzim COX-2 dan prostaglandin ditemukan dalam konsentrasi yang
berlebih pada penderita kanker kolorektal.17,20,22
ENZIM COX-2 DALAM KARSINOGENESIS
Enzim COX, terutama enzim COX-2 berperan penting dalam memfasilitasi karsinogenesis melalui aktivitasnya, yaitu menghasilkan prostaglandin. Ekspresi enzim COX-2 yang
berlebih akan menginisisasi karsinogenesis
melalui berbagai mekanisme, antara lain:
1. meningkatkan produksi malondialdehid dan
oksigen reaktif lain yang bersifat karsinogen
2. meningkatkan produksi PGE-2 dan faktor
lain yang menyebabkan proliferasi sel
3. merangsang vascular endothelial growth
factor (VEGF) yang bertugas dalam angiogenesis
4. meningkatkan produksi metaloproteinase
yang dapat meningkatkan potensi metastasis sel ganas ke jaringan atau organ lain
5. merangsang protein antiapoptosis, Bcl-2,
sehingga kematian sel akan terhambat, tetapi
pertumbuhan sel-sel baru tetap berjalan
6. menghambat proliferasi limfosit B dan limfosit T sehingga akan menurunkan imunitas tubuh.23
352
EKSPRESI ENZIM COX-2 PADA KANKER
KOLOREKTAL
Penelitian Eberhart, dkk. membuktikan adanya peningkatan ekspresi enzim COX-2 yang
bermakna pada 85% pengidap kanker kolorektal dan pada 50% pengidap adenoma
kolorektal.24 Enzim COX-2 memegang peranan
yang lebih penting dalam patofisiologi kanker
kolorektal dibandingkan dengan enzim COX-1.
Konsentrasi enzim COX-2 pada sel kanker
dijumpai lebih tinggi dibandingkan pada sel
normal, sedangkan kadar enzim COX-1 yang
diidentifikasi pada sel kanker maupun sel
normal hampir sama.18
ASAM ASETIL SALISILAT DAN PENCEGAHAN KANKER KOLOREKTAL
Penelitian retrospektif dan prospektif membuktikan bahwa konsumsi asam asetil salisilat atau OAINS lain selama 10-15 tahun
dapat mengurangi risiko kanker kolorektal
hingga 40-50%.25 Konsumsi asam asetil
salisilat lebih dari 16 kali per bulan dalam
jangka waktu paling tidak 1 tahun akan mengurangi risiko kematian akibat kanker kolorektal sebanyak 40%.26 Konsumsi asam asetil
salisilat dengan dosis 81 - 325 mg/hari akan
mengurangi risiko kanker kolorektal secara
bermakna.10 Selain itu, konsumsi asam asetil
salisilat juga dapat mencegah pertumbuhan
adenoma polip di epitel usus besar serta menunda pertumbuhan adenoma polip tersebut.9
Konsumsi asam asetil salisilat dapat mengurangi pertumbuhan adenoma polip lebih
lanjut menjadi kanker kolorektal yang ganas.
SIMPULAN
Sejalan dengan upaya penyelesaian berbagai
masalah kesehatan, berkembang teori bahwa
asam asetil salisilat dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif penyelesaian masalah
kanker kolorektal. Asam asetil salisilat dapat
menghambat produksi enzimatik prostaglandin,17 yang dilepaskan bila sel tubuh mengalami trauma atau kerusakan. Asam asetil
salisilat menghambat aktivitas enzim COX,
baik COX-1 maupun COX-2, sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin
akan terhambat. Proses karsinogenesis dan
angiogenesis akan diperlambat. Sel-sel baru
tumbuh menggantikan sel-sel lama yang telah
rusak atau mengalami kematian, sehingga
pertumbuhan sel tetap berjalan normal dan
terkontrol.8
DAFTAR PUSTAKA
1. Boyle P, Langman JS. ABC of colorectal cancer. BMJ 2000;321:805-8.
2. Pusponegoro AD. Epidemiologi keganasan saluran cerna. Proceeding Temu Ilmiah Multimodalitas Terapi pada Keganasan
Saluran Cerna. Jakarta. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors: breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 36-42.
3. Abdullah M. Clinical characteristics of colorectal cancer in Indonesia. Dalam: The multidisciplinary cancer management of
solid tumors: breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 36-42.
4. Sinha R, Chow WH, Kulldorff M, et al. Well-done, grilled red meat increases the risk of colorectal adenomas. Cancer Res. 1999; 59: 4320-4.
5. Ann Chao, Michael JT, Cari J, et al.. Meat consumption and risk of colorectal cancer. JAMA 2005; 293: 172-82.
6. Bidoli E, Franceschi S, Talamini R, et al. Food consumption and cancer of the colon and rectum in northeastern Italy. Int.
J. Cancer 1992;50:223-9.
7. Slattery ML, et al. Lifestyle and colon cancer : an assessment of factors associated with risk. Am. J. Epidemiol. 1999; 150(8):869.
8. Virshup DM & McCancre KL. Biology of cancer. Philadelphia: Elsevier, Mosby. 2006. 333-74.
9. Sandler RS, Halabi S, Baron JA, et al. A randomized trial of aspirin to prevent colorectal adenomas in patients with previous
colorectal cancer. N. Engl. J. Med. 2003; 348: 883-90.
10. Baron JA, Cole BF, Sandler RS, et al. A randomized trial of aspirin to prevent colorectal adenomas. N. Engl. J. Med. 2003; 348: 891-9.
11. Jänne PA, Mayer RJ. Chemoprevention of colorectal cancer. N. Engl. J. Med. 2000; 342(26): 1960-8.
12. Murna IW. Imaging of colorectal cancer. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors : breast, colorectal
and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 1-13.
13. Krisnuhoni E. Colorectal cancer profile in Cipto Mangunkusumo hospital: histopathological aspects. Dalam: The multidisciplinary cancer management of solid tumors : breast, colorectal and the sarcomas today & tomorrow. 2004: 24-30.
14. Mayer RJ. Gastrointestinal tract cancer: Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill. 2005.
15. Garewal HS. Aspirin in the prevention of colorectal cancer. Ann. Intern. Med. 1994; 121(4): 303-4.
16. Hueter SE. Alterations of digestive function. Philadelphia: Elsevier, Mosby. 2006. pp. 1385-445.
17. Anhen JD. The genetic basis of colorectal cancer risk. Adv. Intern. Med. 1996; 41: 531-2.
18. Brown JR & DuBois RN. COX-2: A molecular target for colorectal cancer prevention. J. Clin. Oncol. 2005; 23(12): 2840-55.
19. Gupta RA, DuBois RN. Cyclooxygenase-2, prostaglandins and colorectal carcinogenesis, dalam : COX-2 Blockade in Cancer
Prevention and Therapy. 2003. Totowa: NJ. 313-40.
20. Bennett A, Tacca MD, Stamford IF, et. al. Prostaglandins form tumors of human large bowel. Br. J. Cancer 1997;35:881-4.
21. Bendardaf R, Lamlun H, Pyrhonen S. Prognostic and predictive molecular markers in colorectal carcinoma. Anticancer Res.
2004; 24(4): 2519-30.
22. Anderson WF, Umar A, Viner JL, et. al. Potential role of NSAIDs and COX-2 blockade in cancer therapy. Dalam: COX-2
blockade in cancer prevention and therapy. 2003. Totowa: NJ. 313-40.
23. Harris RE. Cyclooxygenase-2 blockade in cancer prevention and therapy. Dalam: COX-2 blockade in cancer prevention and
therapy. 2003. Totowa: NJ. 341-65.
24. Eberhart CE, Coffey RJ, Radhika A, et al. Up-regulation of cyclooxygenase-2 gene expression in human colorectal adenomas
and adenocarcinomas. Gastroenterology 1994; 107: 1183-8.
25. Giovannucci E, Rimm EB, Stampfer MJ, et al. 1994. Aspirin use and the risk for colorectal cancer and adenoma in male health
professionals. Ann. Intern. Med. 121: 241-6.
26. Thun MJ, Namboodiri MM, Heath CWJ. Aspirin use and reduced risk of fatal colon cancer. N. Engl. J. Med. 1991; 325:1593-6.
C D K 1 8 6 / V o l . 3 8 n o . 5 / J u l i- Ag u s t u s 2 0 1 1
Download