islam dan negara - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
PENDIDIKAN
AGAMA
ISLAM
Islam dan Negara
Fakultas
Program Studi
Fakultas?
Program
Studi
TatapMuka
11
Kode MK
DisusunOleh
Kode MK?
Dra. Eva Maulina. M.M
Abstract
Kompetensi
Negara dalam al-qur’an dikenal dengan
sebutan balad. Islam menekankan
bahwa segala kenikmatan di negara itu
merupakan pemberian Allah yang harus
disyukuri. Azab Allah bagi penduduk
negara yang berbuat kemungkaran
Mahasiswa dapat menjelaskan tujuan
pembentukan
Negara
serta
pandangan Islam terhadap negara
dan
mengaplikasikannya
dalam
kehidupan.
2
MODUL 11
ISLAM DAN NEGARA
Artinya: “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu bisa saling
mengenal dan kenal:……”. QS. Al-Hujuraat (49): 13 1
A. ASAL MULA TERBENTUKNYA NEGARA
Manusia sebagai mahluk sosial diciptakan Allah dalam keadalan lemah,
tanpa bantuan Orang lain, manusia tidak bisa memenuhi semua kebutuhan
hidup, yang diperlukan. Watak dasar penciptaan diri yang serba terbatas ini,
mendorong manusia untuk bekerjasama dan saling membantu. Dari peroses
Interaksi Sosial itu secara Evolutif membentuk komunitas hidup bermasyarakat
dan akhirnya sepakat membuat kontrak politik untuk mendirikan negara.
“Organisasi kemasyarakatan merupakan keharusan bagi kehidupan
manusia. Manusia adalah mahluk politik atau sosial, dia tidak dapat hidup tanpa
organisasi kemasyarakatan atau Negara”.2
Negara merupakan persekutuan
hidup, memiliki sejumlah penduduk dan merumuskan negara sebagai negara
hukum dalam suatu Permusyawaratan. Menurut Al – Maswardi “Lembaga
Negara dan Pemerintahan adalah sebagai pengganti fungsi kenabian dalam
menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”
sisni negara
3
Dengan demikian, dimulai dari
dapat difahami sebagai lembaga politik
atau Organisasi
pemerintahan sebagai Manifestasi keberserikatan hidup didalam wilayah suatu
masyarakan bangsa untuk mewujudkan ketertiban umum dan kesejahteraan
bersama dengan berdasarkan sistem hukum.
Dalam teori kontrak sosial terbentuknya negara Madinah adah setelah
Nabi Muhammad Saw. Yang didukung seluruh komponen penduduk setempat
2016
2
Pendidikan Agama Islam
Dra. Eva Maulina, MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3
sepakat menerima “Piagam Madinah” sebagai kontrak politik bersama. Aspirasi
yang multi etnis, kultur dan agama diakomodir dalam piagam yang terdiri 47
pasal , memuat peraturan dan hubungan antara berbagai Komunitas dalam
masyarakat Madinah yang majmuk. Di negara baru ini Nabi bertindak layaknya
seorang kepala Negara dengan Piagam Madinah sebagai Konstitusinya. Pada
periode Madinah inilah totalitas ajaran Islam yang berkaitan dengan aspek sosial
politik dan kenegaraan dapat diterapkan secara Efektif, karena agama dan
kekuasaan politik berjalan seiring .
B. TUJUAN PEMBENTUKAN NEGARA
Tujuan bermasyarakat dan bernegara ialah untuk mewujudkan kebaikan
dan melindungi kepentingan bersama untuk kesejahteraan yang mereka
harapkan. Menurut Al-Farabi “dalam kehidupan bernegara tidak hanya bertujuan
memenuhi kebutuhan pokok dan kelengkapan kehidupan, tetapi yang lebih
penting adalah terciptanya kebahagiaan lahir batin, material dan spiritual. 4
Negara dalam usahanya mencapai tujuan dan cita-citanya diperlukan
landasan
moral
Solidaritas
Sosial
dengan
dan
menjaga
ahlak
yang
terpeliharanya
luhur
sebagai
kehidupan
beragama,
proses kondisioning
terbentuknya mas yarakat yang sejahtera. Di samping itu suasana yang nyaman,
aman dan tertib. Sebagai tujuan asasi bernegara diperlukan pemimpin yang adil
dan berwibawa serta pemerintahan yang bersih dari penyimpangan dan
kezaliman. Dalam hal ini sistem hukum dan penegakan hukum oleh hakim-hakim
yang adil menjadi jaminan terwujudnya cita-cita luhur tujuan bermasyarakat dan
bernegara yang baik, yakni memanusiakan kehidupan manusia yang manusiawi
sesuai Fitrah yang dikehendaki Allah SWT.
C. PANDANGAN ISLAM TERHADAP NEGARA
Dalam tradisi politik Islam terdapat tiga corak pemikiran tentang
hubungan agama dan negara. Perbedaan cara pandang ketiga pemikiran ini
terletak pada konseptualisasi yang diberikan kedua istilah tersebut kendati Islam
difahami sebagai agama yang ajarannya meliputi totalitas kehidupan manusia
termasuk politik dan kenegaraan.
Paradigma pertama adalah cara pemikiran konservatif yang terdiri dari
ulama Syi,ah dan kelompok Fundamentalis seperti M. Rasyid Ridha, Sayyid
Qutub dan Al-Maududi. Mereka memahami Islam sebagai Agama yang
4
Komprehensip mengatur berbagai aspek kehidupan termasuk politik lenegaraan.
Dalam Syaria’at Islam juga tidak ada pemisahan antara agama dan politik, antara
agama dan negara. Dengan demikian. Urusan agama dan negara terintegrasi
sebagai satu sistem yang tidak terpisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik
kenegaraan.
Negara
sebagai
lembaga
politik
juga
merupakan wilayah
keagamaan.
Negara dalam perspektif Syi’ah dan kelompok Fundamentalisme
tersebut
diatas
adalah
negara
Theokrasi
dimana
kekuasaan
negara
diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan dan menjadikan Syari’at Islam
sebagai hukum dasar negara. Agama Islam juga menjadi agama resmi negara.
Oleh karena
itu
dalam
negara
Teokrasi
tidak
dibenarkan menempuh
kebijaksanaan politik, Hukum dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran
dan hukum Tuhan atau Syari’at Islam.
Dalam konteks ini, Al- Maududi mengatakan: “dalam bernegara umat
Islam tidak perlu bahkan dilarang meniru sistem barat, cukup kembali kepada
sistem politik Al-Khulafa, Al- Rasyidin sebagai model atau contoh sistem menurut
Islam”. 5
Paradigma
kedua
adalah
pemikiran
yang
bercorak
akomodatif
sebagaimana pendapat Al – Mawardi (W. 1058). Bahwa “Lembaga Negara dan
Pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga
agama dan mengatur dunia”.6
“Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia
merupakan dua hal yang berbeda, tapi berhubungan secara simbolik, keduanya
merupakan dua dimensi dari misi kenabian”.7 Dengan demikian antara agama
dan negara terdapat hubungan yang bersifat komplementer. Karena dengan
negara, agama dapat berkembang dan sebaliknya dengan agama, negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Dalam konsepsi Al – Mawardi tersebut ditas menunjukkan tentang
hubungan agama dan negara, syari’ah mempunyai posisi sentral sebagai
sumber legitimasi terhadap realitas politik atau menjadikan agama sebagai alat
jastifikasi kepatuhan politik. Dengan demikian Al – Mawardi memperkenalkan
sebuah pendekatan pragmatis dalam penyelesaian politik ketika dihadapkan
dengan prinsip – prinsip agama.
Paradigma ketiga, konsep pemikiran sekularistik yang menghendaki
pemisahan antara agama dan politik atau negara. Diantara tokoh sekularis
muslim ialah Ali Abd. Raziq (W. 1905 M). Ahmad Lutfi Sayyid (W. 1973 M). Ali
2016
4
Pendidikan Agama Islam
Dra. Eva Maulina, MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
5
Abd Raziq memahami “Islam tidak berbeda dengan agama – agama yang lain
yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan urusan
politik dan negara terserah sepenuhnya kepada umat tentang atau pola
pengaturan yang akandipakai pemerintahan menurut Islam tidak harus berbentuk
Khalifah atau teokrasi, melainkan dapat beraneka ragam bentuk dan sifatnya
sesuai konteks budaya”. 8
“Sistem Pemerintahan tidak disinggung – singgung oleh Al – Qur’an dan
Hadits, oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan – ketentuan
tentang corak negara. Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai tugas kerasulan
dan dalam misi beliau tidak termasuk pembentukan negara”. Sistem Khalifah
timbul sebagai perkembangan yang seharusnya dari sejarah Islam. Sistem
Pemerintahan
Khalifah
merupakan
proses
histories
dan
bukan
misi
keagamaan.soal corak dan bentuk negara bukanlah soal agama, tetapi soal
duniawi dan urusannya sepenuhnya diserahkan kepada akal manusia untuk
menentukannya”. 9
Konsep pemikiran tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa umat Islam
hendaknya bersikap rasional dan realistis dalam mewujudkan cita – cita politik
yang diperjuangkan dengan cara yang etis dan yang sesuai dengan konteks
budaya dan peradaban masyarakatnya. Agama Islam memang tidak mengatur
urusan politik, negara dan sistem pemerintahan, tetapi umat Islam tidak dilarang
berpolitik dan berijtihad untuk urusan negara dan bahkan kekuasaan politik
membangun pemerintahan yang adil justru sangat penting dan diperlukan oleh
umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi
social dan politik itu sendiri atau keniscayaan sejarah yang sedang berkembang.
Dengan jalan pikiran seperti ini Islam dapat dihadirkan sebagai agama rakhmat
dan perekat peradaban masyarakatnya, bukan sebagai kekuatan politik
ideologis.
D. SISTEM POLITIK ISLAM
Dalam tradisi politik Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek
sejarah perkembangan politik dunia Islam dan kedua aspek pemikiran politik
Islam, yaitu sebagai berikut :
6
1. Perkembangan Bentuk Pemerintahan Islam
Dari segi bentuk negara maupun system pemerintahan, terdpat
perbedaan antara masa Nabi, masa Al – Khulafa’ Al Rasyidin dan
sesudahnya. System pemerintahan pada masa Nabi lebih tepat disebut
sebagai system teokrasi, karena beliau memang memerintah atas nama
Tuhan, melalui syari’at-Nya yang diwahyukan kepada Nabi, baik dalam
bentuk Qur’an dan Hadis. Kekuasaan negara, baik dalam hal legislative,
eksekutif maupun yudikatif berada ditangan beliau sendiri, meskipun
kadang – kadang
beliau juga mendelegasikan kepada salah seorang
sahabat. Sebagaimana yang diberikan kepada Mu’adz Ibn Jabal. Sebagai
seorang Nabi yang memiliki sifat ma’shum, semua tindakan yang beliau
lakukan selalu dikontrol allah, sehingga loyalitas kaum muslimin kepada
beliau pun bersifat absolut.
Namun demikian dalam memecahkan persoalan – persoalan yang
muncul
sering
juga Nabi
melakukan “msuyawarah”
dengan
para
sahabatnya, dan tidak jarang beliau memutuskan secara demokratis (suara
terbanyak). Bahkan sebelum terjadinya penghianatan kelompok non
muslim, terutama kauh Yahudi terhadap Piagam Madina, mereka juga ikut
dalam musyawarah ini. Piagam ini pun sebenarnya merupakan konsesus
bersama antara kelompok agama yang ada di Madina untuk membangun
sebuah masyarakat atau sebuah negara yang anggotanya terdiri dari
masyarakat yang majemuk.
Pada masa Al-Khulafa’ Al-Rasydin (11-41 H / 623-661 M) bentuk
negara atau system pemerintahan lebih tepat disebut sebagai Republik,
karena system pemilihan kepala negara dilakukan dengan cara pemilihan
atau pengangkatan oleh rakyat atau wakilnya serta berdasarkan kriteria
kesalehan dan kemampuannya, bukan berdasarkan criteria kekeluargaan
secara turun temurun. Dalam pengambilan keputusan para Khalifah itu
terbiasa melakukannya melalui musyawarah, terutama dengan para
sahabat senior, yang kemudian para ulama disebut sebagai “Ahlul hal wa
Al-Aqd”, kumpulan para ahli yang kini dapat disamakan dengan lembaga
permusyawaratan rakyat (Majlis Syura). Pada periode Al-Khulafa’ AlRasydin system pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi karena pada
Khalifah itu bukan sebagai wakil tuhan di bumi ini. Mereka hanya sebagai
pengganti nabi dalam menjaga urusan keagamaan dan keduniaan.
2016
6
Pendidikan Agama Islam
Dra. Eva Maulina, MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
7
Setelah periode Al-Khulafa’ Al-Rasydin, yakni sejak munculnya
dinasti Umayah sampai berakhirnya dinasti Turki Usmani, bentuk negara
kemudian berkembang menjadi monarki meskipun negara ini masih
bernama kekhalifahan yang bersifat universal dengan bentuk ini kepala
negara (Khalifah atau Sultan) tidak lagi dipilih oleh rakyat atau wakilnya,
tetapi secara turun temurun di lingkungan dinasti tertentu saja. Syari’at
Islam pun masih tetap menjadi hokum positif, meskipun dalam prakteknya
sering terjadi campur tangan penguasa.
Pada masa kontemporer, terutama sejah berakhirnya dinasti
Usmani pada tahun 1923 M. praktek kenegaraan di lingkugan umat Islam
banyak dipengaruhi oleh praktek kenegaraan barat. Hal ini terjadi akibat
penjajahan Barat, pendidikan modern dan kombinasi politik barat atas
negara – negara dunia ketiga, termasuk dunia Islam. Menurut Samuel P.
Huntington meskipun secara tioritis (doktriner) Islam itu kompatibel dengan
nilai – nilai demokratis, dalam praktiknya jarang sekali system demokrasi
dilaksanakan di negara – negara muslim.10
2. Pemikiran Politik Islam
Ali Abd. Al – Razaq bahwa system politik pemerintahan menurut
Islam boleh mengambil bentuk apa saja, bahkan secara ekstrim beliau
mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Mendakwahkan agama, dan tidak
ada kaitannya dengan urusan kenegaraan. Dengan demikian, monarki,
republik dan sosialis, asal disana terdapat prinsip syura’. Al–Qur’an tidaklah
memberikan suatu pola ketatanegaraan tertentu secara pasti, yang harus
diikuti oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Dalam hal ini
dikemukakan dua argumen. Pertama, Al-Qur’an pada prinsipnya adalah
petunjuk etis bagi manusia, ia bukanlah sebuah kita ilmu politik. Kedua,
sudah menjadi sunatullah bahwa institusi – institusi social politik dan
organisasi selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. 11
Menurut Nurcholis Madjid, nilai negara dan pemerintahan dalam
istilah Islam adalah instrumental dan bukan tujuan itu sendiri. Prinsip dari
segala prinsip yang dikehendaki oleh umat Islam adalah taqwa kepada
Tuhan. Jadi bentuk pemerintahan atau negara adalahdiwujudkan untuk
menciptakan ruang dan sebagai tempat bagi setiap manusia dalam
8
mengembangkan taqwanya kepada Tuhan. Jadi masalahnya adalah
masalah etika moral, dan kalau seseorang betul – betul mengikuti etika
yang bersumber dari ketataan dan tauhid, hasilnya adalah sikap
demokratis.
Negara Islam sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah. Masalah
kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari ajaran Islam. Umat Islam
menurut negara atau pemerintahan ini menjadi negara atau pemerintahan
Islam. Yang penting adalah isi atau substansinya, bukan bentuk formalnya.
Bentuk formal tidak ada manfaatnya kalau isinya tidak berubah. Jadi, boleh
negara ini dikehendaki oleh Allah, yang diridhai-Nya. Negara seperti ini
bias ditumbuhkan melalui pendekatan budaya dalam arti seluas – luasnya.
Termasuk didalamnya pendidikan, dakwah, kesenian, dan diantaranya
yang terpenting adalah dinamika intelektual. Abdurrahman Wahid juga
mengemukakan bahwa negara harus dilihat dari segi fungsinya, bukan dari
normal formalnya, atau negara Islam atau bukan. Selama kaum Muslim
dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh.
Maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran yang
urgen. 12
E. KONSEP DEMOKRASI ISLAM
Asas demokrasi dalam tinjauan al-Qur’an surat Ali Imran (3): 159:
Artinya:
“….. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
(duniawi) itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertaqwalah kepada Allah….” 13
Diantara system politik barat yang kini banyak direspon oleh umat Islam adalah
system demokrasi yang dianggap identik dengan konsep syura yang terdapat
dalam ayat Al-Qur’an tersebut diatas. Secara prinsip, Sistem demokrasi dinilai
sebagai sebuah system yang paling bias menghargai semua nilai – nilai
kemanusiaan dan sejalan dengan proses globalisasi, persamaan, kebebasan,
2016
8
Pendidikan Agama Islam
Dra. Eva Maulina, MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
9
dan kemajemukan ( pluralisme ). Demokrasi tidak hanya sebatas dalam sebuah
masyarakat atau negara, tetapi juga antar negara. Dengan demikian demokrasi
kini sudah menjadi ide yang bersifat universal, hampir seluruh negara didunia
termasuk negara – negara muslim, meskipun dengan disertai mondifikasi baik
dari segi konsep maupun bentuknya, sesuai dengan system keyakinan dan
budaya local masing – masing negara.
Kata “demokrasi” atau “democracy”, berasal dari kata Yunani “demos”
yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Jadi secara harfiah
demokrasi berarti pemerintahan rakyat. Secara histories demokrasi ini muncul
sebagai respons terhadap system monarki dictator Yunani pada abag SM.
Namun demokrasi modern yang muncul sejak abad 16 M. telah mengalami
perkembangan dimana demokrasi tidak hanya dipafami sebagai kelembagaan
trias politika, tetapi juga mengandung nilai – nilai universal, terutama persamaan,
kebebasan dan prulalisme.
Dalam tradisi pemikiran Islam, para cendekiawan Muslim yang
mendukung ide demokrasi beranggapan bahw system demokrasi ini merupakan
system pemerintahan mayoritas yang menerapkan metode permusyawaratan
dalam pengambilan keputusan. Mereka menyamakan konsep demokrasi dengan
konsep syura yang terdpat dalam Al – Qur’an, hal ini didukung juga oleh fakta
sejarah bahwa Nabi juga pernah mengambil keputusan berdasarkan suara
terbanyak atau demokratis, yakni ketika beliau memutuskan posisi kaum
muslimin dalam perang Uhud untuk melakukan tindakan opensip menghadapi
serbuan kaum Musyrikin.
Nilai – nilai demokrasi atau syura dalam penerapannya secara histories
dapat dilihat dari proses permusyawaratan yang terjadi pada pertemuan di Balai
Saidah (Madinah) segera setelah Nabi Saw. wafat. Pada waktu itu Abu Bakar
yang terpilih sebagai khalifah pertama menyampaikan pidato pelantikannya,
yang isinya menerima mandat dari rakyat untuk melaksanakan Al-Qur’an dan AlSunnah. Selama ia melaksanakan mandat ini, ia harus dipertahankan.
Sebaliknya, jika ia berbuat kesalahan fatal, ia harus diturunkan. 14
Adapun bentuk demokrasi dapat berbeda – beda sesuai kondisi yang
ada dalam suatu masyarakat Islam, yang penting adalah pelaksanaan prinsip
syura yang secara sadar dihormati dan dipertahankan. Dalam konteks ini ijtihad
politik berperan untuk merumuskan bentuk demokrasi yang sesuai dengan
10
budaya masyarakat Islam setempat. Oleh karena itu umat Islam bebas
menentukan tipe system politik demokrasi yang mereka inginkan. Secara
histories, institusi semacam syura ini sudah ada sejak masyarakat pra Islam,
dalam urusan bersama mereka menjalankan melalui permusyawaratan. Tentu
saja Al-Qur’an melakukan perubahan mendasar terutama merubah syura dari
sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan
hubungan darah dengan hubungan iman.
Menurut Muhammad Iqbal kohesi antara Islam dengan ide demokrasi
terletak pada prinsip persamaan (equality), yang didalam Islam dimanipestasikan
oleh ajaran Tauhid sebagai suatu gagasan kerja dalam kehidupan sosio-politik
umat Islam. Hakikat Tauhid satu gagasan kerja itu bias membumi, hendaklah
umat Islam secara sadar kreatif membangun kembali sosio-politiknya dengan
menciptakan demokrasi spiritual di muka bumi.
Bagi Iqbal, kekurangan demokrasi barat tampaknya pada aspek
spiritualnya itu, selebihnya demokrasi barat tidak ada persoalan untuk diterima
dan diterapkan sebagai system politik. Dalam kontek ini konsep syura
merupakan gagasan politik utama pada Al-Qur’an, maka system demokrasi
nampak lebih cocok atau mendekati kepada cita – cita utama politik Al-Qur’an,
sekalipun tidak harus identik dengan system politik demokrasi barat. 15
Sistem politik demokrasi Islam oleh Amien Rais disebut “theo demokrasi”
yang cirri – cirinya sebagai berikut :
1.
Harus dijalankan atas dasar keadilan dalam berbagai bidang kehidupan
sejalan dengan Al-Qur’an surah An-Nisa’ (3) : 135
2.
Ditegakkan atas dasar syura bukan elitisme dan diskriminasi etnis.
Kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan mandat dari Tuhan,
sedangkan pemimpin hanyalah pelayan umat (Al-Qur’an surah an-Nisa
(3) : 159)
3.
Ditegakkan atas dasar persaudaraan Islam tanpa diskriminasi. Konsep
syura sebagai theo demokrasi merupakan prinsip fundamental dalam
menjamin negara dan masyarakat agar tidak hancur dan hanyut dalam
kultus individu. 16
2016
10
Pendidikan Agama Islam
Dra. Eva Maulina, MM
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
11
DAFTAR KUTIPAN
Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Qur’an wa Tarjamatu
1
ma’aniyatu ila Lughati al-Indunisiya, ( Medinah Munawwarah: khadim alHaramain asy-Syarifain, Tahun 1411 H ), h. 847
2
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, ( Jakarta: UI-Press, 1993 ),
3
Al – Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam
h. 99
Takaran Islam, ( Jakarta: Gema Insani, 2000 ), h. 15
4
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Op.Cit. h. 51
5
Ibid. h . 166
6
Al – Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam
Takaran Islam, Loc. Cit.
7
Ulumul Qur’an, Nomor 2, Vol. IV. 1993. h. 6
8
Bandingkan : Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara. Loc.Cit. h. 141
dan 208
9
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang,
1975), h . 85
10
Masykuri Abdillah, Makalah, Gagasan dan Tradisi Bernegara Dalam
Islam, h. 3 – 6
11
Ismail SM. & Abdul Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan
Masyarakat Madani, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000 ) h. 38 – 39
12
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1995). h. 188
13
Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit., h. 103
14
Masykuri Abdillah, Loc.Cit. h. 1 – 2
15
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Op.Cit.
16
Ismail SM & Abdul Mukti, Pendidikan Islam, Demokrasi dan
223
Masyarakat Madani, Op.Cit. h.43
2
h.
Download