HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI IL-10 DAN FasL

advertisement
HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI IL-10 DAN FasL (CD95L)
DENGAN STADIUM KLINIS KARSINOMA NASOFARING
TIPE III WHO
Oleh
Fitri Heryanti
131421110003
TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian
Guna Memperoleh Gelar Dokter Spesialis-1
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015
ABSTRACT
Tumor progression including nasopharyngeal carcinoma (NPC) influenced by
the immune system . T lymphocytes play an important role in immune surveillance
against NPC . There are several factors that produced by tumor cells or tumor
environment can decrease the expression and activity of tumor infiltrating T
lymphocytes . It can be used as mechanisms for tumor cells escape from the
immune system. These factors among others are the expression of
immunosuppressive molecules such as IL-10 that can interfere tumor antigen
presentation to T lymphocytes and expression of FasL on tumor that cause
apoptosis of tumor infiltrating lymphocytes.
This study aims to reveal the relationship between the expression of IL-10 and
FasL with clinical staging of type III WHO NPC.
This research is an analytic observational study with cross-sectional design.
The study was conducted at the Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery
Department and Pathology Anatomy, dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung from
July to August 2015, followed by 23 subjects which were done
immunohistochemistry examination from WHO type III nasopharyngeal
carcinoma patients.
Results of the analysis about the correlation between expression of IL-10 and
FasL with clinical stage of type III WHO NPC revealed p value > 0.05 .
Conclusion: There was no significant correlation between the expression of IL10 and FasL with clinical stage of NPC type III WHO.
Keyword: nasopharyngeal carcinoma, IL-10, FasL, clinical staging
iv
ABSTRAK
Progresivitas tumor termasuk KNF dipengaruhi oleh sistem imun. Limfosit T
berperan penting dalam survailans imun terhadap KNF. Berbagai faktor yang
dihasilkan sel tumor atau lingkungan sekitar tumor yang dapat menurunkan
ekspresi dan aktivitas limfosit T yang menginfiltrasi tumor, dapat digunakan sel
tumor untuk mekanisme pelolosan dari sistem imun. Faktor tersebut antara lain
adalah ekspresi molekul imunosupresif seperti IL-10 yang dapat mengganggu
presentasi antigen tumor kepada limfosit T dan ekspresi FasL pada sel tumor
yang menyebabkan apoptosis limfosit yang menginfiltrasi tumor.
Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi IL-10 dan
FasL dengan stadium klinis KNF tipe III WHO.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain
potong lintang. Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL dan
Patologi Anatomi Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung mulai bulan Juli
sampai Agustus 2015. Sampel menggunakan jaringan hasil biopsi 23 penderita
karsinoma nasofaring tipe III WHO yang kemudian dilakukan pemeriksaan
imunohistokimia IL-10 dan FasL.
Hasil analisis mengenai korelasi ekspresi IL-10 dan FasL dengan stadium
klinis KNF tipe III WHO diperoleh nilai p >0,05.
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan bermakna antara ekspresi IL-10 dan
FasL dengan stadium klinis KNF tipe III WHO.
Kata Kunci : Karsinoma nasofaring, IL-10, FasL, stadium klinis
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan hidayah, lindungan, dan kasih sayang kepada hamba-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Judul tesis dipilih karena karsinoma nasofaring (KNF) berada pada urutan
kelima dari seluruh keganasan di Indonesia dan mempunyai morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Penelitian mengenai biomolekular KNF telah banyak
dilakukan, antara lain mengenai IL-10 dan FasL. Atas dasar pertimbangan
tersebut maka dilakukan penelitian ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi
klinisi dan sejawat dokter spesialis Ilmu Kesehatan THT-KL.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dukungan, bantuan, dorongan
semangat, serta sumbangan pikiran dari banyak pihak, maka tesis ini tidak
mungkin dapat diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat,
penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada:
 Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad, dr., sebagai Rektor Universitas
Padjadjaran saat ini dan Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA, sebagai Rektor
Universitas Padjadjaran yang terdahulu beserta para pembantu rektor, penulis
vii
mengucapkan terima kasih atas memberikan kesempatan untuk menyelesaikan
program pendidikan dokter spesialis ini.
 Arief S. Kartasasmita, dr., M.Kes., Ph.D., Sp.M (K), sebagai Dekan Fakultas
Kedokteran saat ini dan Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad, dr., sebagai
Dekan Fakultas Kedokteran yang terdahulu beserta para pembantu dekan,
penulis mengucapkan terima kasih atas memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini.
 Dr. Dwi Prasetyo, dr.,SpA (K), sebagai Ketua Tim Koordinasi Program
Pendidikan Dokter Spesialis I dan Prof. H. Alex Chairulfatah, dr., SpA (K),
sebagai Ketua Tim Koordinasi Program Pendidikan Dokter Spesialis I yang
lama yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan
dokter spesialis kepada penulis.
 Ayi Djembarsari, dr., MARS dan seluruh staf RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
dan Bayu Wahyudi, dr., SpOG, MPHM, sebagai Direktur Utama yang
terdahulu yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar dan bekerja di
lingkungan rumah sakit ini.
 Dr. Ratna Anggraeni A. dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L (K), sebagai Kepala
Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis, memberikan bimbingan,
dorongan, nasihat, serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga
penyelesaian tesis ini.
viii
 Dr. Wijana, dr., Sp.T.H.T.K.L (K), FICS, sebagai Ketua Program Studi
Pendidikan Spesialis I Bagian Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L Universitas
Padjadjaran saat ini yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti program pendidikan spesialis ini.
 Bambang Purwanto, dr., MM., Sp.T.H.T.K.L (K), sebagai Ketua Program
Studi Pendidikan Spesialis I Bagian Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L Universitas
Padjadjaran sebelumnya, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti program pendidikan spesialis ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan, dorongan, bimbingan, petunjuk,
serta kesabaran kepada penulis sejak awal hingga penyelesaian tesis ini.
 Melati Sudiro, dr., M.Kes,. Sp.THT-KL (K) sebagai sekretaris bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Nur
Akbar Aroeman, dr., Sp.THT-KL (K), sebagai sekretaris bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran sebelumnya
selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis, atas
bimbingan, dorongan, nasihat, serta petunjuk sejak penulis memulai
pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.
 Agung Dinasti Permana, dr., M.Kes., Sp.THT-KL, FICS, sebagai pembimbing
I PPDS yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dorongan, dan nasihat
dengan penuh kesabaran dan perhatian kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tesis ini.
 Dr. Lina Lasminingrum, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), sebagai pembimbing II
PPDS yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dorongan, dan nasihat
ix
dengan penuh kesabaran dan perhatian kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tesis ini.
 Prof. Dr. Iwin Sumarman,dr., Sp.THT-KL (KAI-KRn), sebagai guru besar di
bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan, nasihat,
dorongan, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan dokter spesialis ini.
 Prof. Dr., M. Thaufiq S. Boesoirie, MS.,dr., Sp.THT-KL (K), sebagai guru
besar di bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan,
nasihat, dorongan, dan serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga
penyelesaian tesis ini.
 Prof. Teti Madiadipoera., dr., Sp.THT-KL (KAI)., FAAAAI, sebagai guru
besar di bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan,
nasihat, dorongan, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dokter spesialis ini.
 Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar lainnya di Bagian
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran, terima kasih kepada Dindy Samiadi, dr.,
Sp.THT-KL (K)., FAAOHNS., FICS., Tonny Basriyadi Sarbini, dr., M.Kes.,
Sp.THT-KL (K), Bogi Soeseno, dr., Sp.THT-KL (K), Ongka Muhammad
Saifuddin, dr., Sp.THT-KL (K), Sinta Sari Ratunanda, dr., M.Kes., Sp.THTKL (K), Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K).,
FICS, Arif
Dermawan, dr.,M.Kes., Sp.THT-KL (K), Denese MS Rully, dr., M.Kes.,
Sp.THT-KL, Dr. Shinta Fitri Boesoirie, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), dan
x
Sally Mahdiani, dr., M.Kes., Sp.THT-KL atas kesempatan, bimbingan,
pengajaran, dan dukungan selama mengikuti pendidikan.
 Dr. Hadyana Sukandar, Drs., MSc dan Nurvita Trianasari, S.Si., M. Stat, yang
telah memberikan arahan dan petunjuk dalam pembuatan desain dan analisis
statistik penelitian ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Bethy S. Hernowo, dr., Sp PA(K)., Phd., sebagai Kepala Departemen Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSHS, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan, dan
bimbingan kepada penulis, dimana diberikan kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan imunohistokimia untuk penelitian ini sejak awal hingga
penyelesaian tesis ini.

Rekan seperjuangan, Yulianti, Bekti Darmastuti, Muhamad Sidik H, Fahmi
Attaufany, Radian Nasution, Yurnita Arifin dan Rikha Fatmawati, terima kasih
atas persaudaraan, kebersamaan, dukungan yang telah diberikan, semua waktu
berbagi dalam senang dan susah selama melewati masa pendidikan ini.

Seluruh sejawat senior yang selama pendidikan telah memberikan bimbingan,
teladan, dorongan semangat dan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan
bekerja.
 Seluruh teman-teman sejawat residen yang selama pendidikan ini telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, bekerja sama dan saling
mendukung dalam kebersamaan.
 Seluruh karyawan dan perawat poliklinik, ruang rawat inap, kamar operasi
khususnya Ilmu Kesehatan THT-KL RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung
xi
 Seluruh staf, perawat dan karyawan RS. Dr. Hasan Sadikin di Kemuning V,
OK COT LT.3, OK COT LT.4 dan R. Pemulihan yang telah membantu dan
bekerjasama dengan penulis selama pendidikan ini.
 Seluruh staf pengajar dan karyawan RSUD Kota Bandung Ujung Berung, RS.
Dustira dan RSUD Waled yang telah memberikan banyak kesempatan pada
penulis untuk belajar, bekerja, dan mengabdikan ilmu selama penulis
menjalankan pendidikan dokter spesialis ini.

Rasa hormat, cinta dan terimakasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tuaku
tercinta, Lili Suherman (Alm.) dan ibu E. Harliah (Almh.) serta mertuaku
tercinta Drs. R. Dodo Iskandar (Alm) dan R. Ety Mulyati (Almh.) yang telah
sangat berjasa mengantarkan penulis menjalani pendidikan Dokter Spesialis,
begitu banyak doa yang tercurah, dorongan semangat, bantuan dan kasih
sayang yang diberikan.

Suamiku tercinta R. Oki Mulyana, S. Kom., yang senantiasa mendukung,
mendampingi dalam suka dan duka, memberikan pengorbanan yang besar,
perhatian,
doa, semangat dan tempat
keluh kesah segala kesulitan serta
hambatan, tak cukup untaian kata untuk mengungkapkan rasa cinta dan terima
kasih yang telah diberikan.
 Untuk kakakku Euis Hermawati, Edi Suardi, Achmad Hanafi, MM. dr.,
Nenden Irawaty dan Hamdan Muttaqien, S. Kom., serta ipar Drs. Wardaya
(Alm.), Dra. Widaningsih, Dra. Euis Maryani, Hanna Diana, terima kasih
untuk doa, semangat, dan segala bantuan selama penulis menjalani pendidikan
ini.
xii
 Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis selama pendidikan dokter spesialis dan penyusunan tesis ini.
Semoga penelitian ini dicatat sebagai amal soleh dan ilmu yang bermanfaat
bagi kita semua. Aamiin.
Bandung, Agustus 2015
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRACT...………………..………………...………………………………....iv
ABSTRAK……............……….………………………………………………….v
KATA PENGANTAR……………………………..……………………………vi
DAFTAR ISI..….………………………………………………………………xiii
DAFTAR GAMBAR….……………………………………………………….xvii
DAFTAR TABEL…….……………………………………………………....xviii
DAFTAR SINGKATAN...………………………………………………….. ...xix
DAFTAR LAMPIRAN.….…………………………………………………….xxi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ...………..………...…..................................…......1
1.2. Rumusan Masalah …………………………........….................….........……..6
1.3. Tujuan Penelitian …………………….………......……...........................…...6
1.4. Kegunaan Penelitian ..……………………………...........................…...........7
1.4.1. Kegunaan Ilmiah ….……….....…………….....………..............…..….7
1.4.2. Kegunaan Praktis …………….....……….….....……..............….…....7
BAB II.KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka................……….....…………..………........................….........8
2.1.1 Faktor RisikoKarsinoma Nasofaring..........…….…......…......................8
2.1.1.1 Faktor Lingkungan.......................................................................8
2.1.1.2 Faktor Genetik..............................................................................9
2.1.1.3 Infeksi Virus Epstein Barr..........................................................10
xiii
xiv
2.1.2 Histopatologi….…………......................................................................13
2.1.3 Stadium Klinis.........................................................................................13
2.1.4 Gambaran Klinis.....................................................................................16
2.1.5 Diagnosis.................................................................................................17
2.1.5.1 Pemeriksaan Nasofaring..............................................................18
2.1.5.2 Pemeriksaan Radiologi................................................................19
2.1.5.3 Pemeriksaan Patologi...................……...……............................20
2.1.5.3.1 Biopsi Aspirasi Jarum Halus......................................21
2.1.5.3.2 Biopsi..........................................................................21
2.1.5.3.3 Serologi.......................................................................21
2.2 Sistem Imun dan Kanker..................................................................................23
2.2.1 Immunoediting Kanker............................................................................25
2.2.1.1 Fase Eliminasi.............................................................................25
2.2.1.2 Fase Keseimbangan (Equilibrium).............................................27
2.2.1.3 Fase Meloloskan diri (Escape)....................................................28
2.2.2 Interleukin-10..........................................................................................32
2.2.3 FasL (CD95L).........................................................................................34
2.3 Kerangka Pemikiran.........................................................................................36
2.4 Hipotesis...........................................................................................................41
BAB III. SUBJEK, BAHAN, DAN METODE PENELITIAN
3.1 Subjek dan Alat Penelitian...............................................................................42
3.1.1 Subjek Penelitian....................................................................................42
3.1.1.1 Kriteria Inklusi............................................................................42
xv
3.1.1.2 Kriteria Eksklusi.........................................................................42
3.1.1.3 Besar Sampel...............................................................................42
3.1.2 Bahan dan Alat Penelitian.......................................................................43
3.1.2.1 Bahan Penelitian..........................................................................43
3.1.2.2 Alat Penelitian.............................................................................43
3.2 Metode Penelitian.............................................................................................44
3.2.1 Rancangan Penelitian..............................................................................44
3.2.2. Identifikasi Variabel ..............................................................................44
3.2.2.1 Variabel Penelitian......................................................................44
3.2.2.2 Definisi Operasional ...................................................................44
3.2.3. Alur Kerja dan Teknik Pengumpulan Data............................................48
3.2.3.1 Alur Kerja....................................................................................48
3.2.3.2 Prosedur Pembuatan Pulasan Imunohistokimia IL-10 dan
FasL (CD95L)............................................................................49
3.2.3.2.1 Alat.............................................................................49
3.2.3.2.2 Bahan..........................................................................49
3.2.3.2.3 Prosedur......................................................................50
3.2.3.3 Teknik Pengumpulan Data........................................................53
3.2.4 Rancangan Analisis.................................................................................53
3.2.5 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................55
3.3 Aspek Etik Penelitian......................................................................................55
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian dan Pembahasan.....................................................................57
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian...............................................................57
xvi
4.1.2 Perbandingan Karakteristik Umur dan Jenis Kelamin Berdasarkan
Stadium Klnis..........................................................................................58
4.1.3 Ekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) pada Penderita Karsinoma
Nasofaring Tipe III WHO.......................................................................59
4.1.4 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Stadium Klinis
KNF Tipe III WHO.................................................................................61
4.1.5 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Klasifikasi TNM..62
4.2 Pembahasan......................................................................................................62
4.3 Uji Hipotesis....................................................................................................75
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan..........................................................................................................77
5.1.1 Simpulan Umum.....................................................................................77
5.1.2 Simpulan Khusus....................................................................................77
5.2 Saran.................................................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................78
LAMPIRAN..........................................................................................................84
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Skema Immunoediting Kanker……………………………....................28
2.2
Jalur Sitokin dalam Respon Imun Antitumor…………………………...30
2.3
Mekanisme Penurunan Sel T Sitotoksik pada Kanker...............................36
2.4
Skema Kerangka Pemikiran…………………………………………....39
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
4.1
Karakteristik Subjek Penelitian ………………………………………….58
4.2
Perbandingan Karakteristik Umur dan Jenis Kelamin Berdasarkan
Stadium Klinis……………..………………..………………………...….59
4.3
Ekspresi IL-10 dan FasL pada Penderita KNF Tipe III WHO………..….60
4.4
Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Stadium Klinis KNF
Tipe III WHO………………..…………………………….……………..68
4.5
Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Klasifikasi TNM…..68
xix
DAFTAR SINGKATAN
AJCC
: American Joint Committee on Cancer
APC
: Antigen Presenting Cell
AMP
: Atigen Processing Machinary
CD
: Cluster of Differentiation
CYP
: Cytochrome
DNA
: Deoxyribonucleic Acid
EBNA
: Epstein Barr Nuclear antigen
EBER
: Epstein Barr Virus encoded small RNA
EA
: Early Antigen
FasL
: Fas ligand
FNAC
: Fine Needle Aspiration Cytology
FDG-PET
: fluor-18-Fluorodeoxyglucose- Positron Emission Tomorgaphy
HLA
: Human Lymphocyte Antigen
IL
: Interleukin
IFN
: Interferon
ICAM
: Intercelullar Adhesion Molecule
JAK
: Janus Kinase
LMP
: Latent Membrane Protein
MHC
: Major Histocompability Complex
β2m
: β2 microglobulin
MRI
: Magnetic Resonance Imaging
NCCN
: National Comprehensive Cancer Network
NDMA
: nitrosodimethyamine
xx
NFkB
: Natural factor-kB
NPYR
: N-nitrospyrrolidine
NDIP
: nitrospiperidine
NK
: Natural Killer
NKT
: Natural Killer T
RNA
: Ribonucleic Acid
RSHS
: Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
STAT
: Signal Transducer and Activator of Transcription
THT-K.L
: Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Treg
: T regulator
TAP
: Transporter associated with antigen processing
TGF
: Transforming Growth Factor
TH
: T helper
TIL
: Tumor Infiltrating Lymphocyte
TRAIL
: Tumor necrosis f actor-related apoptosis-inducing ligand
TGF-α
: Transforming Growth Factor Alpha
UICC
: Union Internationale Center Cancer
VCA
: Viral Capsid Antigen
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1
Rekomendasi Persetujuan Etik…………………………..……………….84
2
Lembar Informasi…………………….……..………………………...….85
3
Informed Consent………………………………………………………...94
4
Data Penelitian……………………………………………..…………….88
5
Gambar Hasil Pewarnaan Imunohistokimia IL-10 dan FasL…………….95
6
Daftar Riwayat Hidup……………………………………………………99
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang
berasal dari sel epitel nasofaring. Fossa Rosenmuller merupakan predileksi paling
sering dari penyakit ini.1- 2
Etiologi KNF bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik, lingkungan dan
infeksi virus Epstein Barr (VEB). Penyakit ini memiliki kekhasan dalam distribusi
geografi dan ras. Hampir di seluruh negara di dunia, KNF merupakan penyakit
keganasan yang termasuk jarang dengan prevalensi biasanya kurang dari 1/
100.000 namun bersifat endemik pada daerah tertentu di dunia seperti Cina
Selatan dan Asia Tenggara. Berdasarkan data statistik global kanker dari
International Agency for Research on Cancer, terdapat 84.000 kasus baru KNF
pada tahun 2008, 80% kasus berasal dari Asia dan 5% dari Eropa. Insidensi KNF
yang paling tinggi ditemukan di daerah Cina Selatan, terutama Provinsi
Guangdong, yaitu 17,8/100.000, 100 kali lebih tinggi frekuensinya dibandingkan
ras Kaukasia di Amerika Utara dan negara barat lainnya1, 4-7
Di Indonesia, KNF menempati urutan keempat dari seluruh keganasan dan
menempati urutan pertama dari seluruh keganasan kepala leher. Insidensi KNF di
Indonesia mencapai 6,7 / 100.000, tertinggi pada dekade 4-5 dengan perbandingan
antara laki-laki dan perempuan adalah 2-3:1. Insidensi KNF di Departemen Ilmu
Kesehatan THT-KL RS. Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode 1995-2000
1
2
adalah 49,7 % dan di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung selama periode tahun 2005-2010 adalah 42,1% dari keseluruhan
keganasan kepala dan leher. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adriana dkk
pada tahun 2015 di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung mengenai kesintasan dan faktor yang mempengaruhi penderita KNF,
didapatkan bahwa hasil pemeriksaan histopatologi terbanyak (85,2%) adalah KNF
tipe III WHO. Adham dkk di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Cipto
Mangunkusumo melakukan penelitian terhadap penderita KNF selama periode
1996–2005 menemukan bahwa frekuensi tersering terjadi pada populasi Jawa dan
hasil pemeriksaan histopatologi terbanyak adalah KNF tipe III WHO.8-11
Kebanyakan penderita KNF datang dengan stadium lanjut (stadium III atau
IV) karena gejala dan tanda awal yang timbul akibat penyakit ini sering tidak khas
atau tanpa gejala. Modalitas terapi primer untuk semua stadium KNF adalah
radioterapi sedangkan pada pasien dengan stadium lanjut diberikan modalitas
terapi kombinasi dengan kemoterapi. Radioterapi memberikan angka kesembuhan
yang tinggi untuk penderita KNF stadium dini. Selama lebih dari 20 tahun,
berbagai mode kombinasi kemoiradiasi telah diberikan bagi penderita KNF
stadium lanjut namun hasil terapi untuk stadium lanjut tersebut masih tetap tidak
memuaskan. Angka harapan hidup keseluruhan 5 tahun adalah 53-80% pada KNF
stadium III dan 28-61% pada KNF stadium IV. Pemahaman mengenai target
molekular pada kanker membantu dalam perkembangan terapi KNF bertarget dan
imunoterapi. Kombinasi kemoiradiasi dengan terapi bertarget (targeted therapy)
dan imunoterapi dapat memperbaiki hasil pengobatan. Perkembangan dalam
3
penemuan terapi baru KNF memberikan potensi untuk terjadinya perubahan
dalam pengobatan KNF yang sudah baku.2,7,12-14
Sistem imun mempunyai peranan penting dalam pencegahan terjadinya tumor,
antara lain melalui proses imunosurvailans. Pada proses ini sistem imun
mengidentifikasi sel kanker dan atau prekanker serta mengeliminasinya sebelum
menjadi tumor yang dapat terdeteksi dan merugikan. Pada kenyataannya tumor
tetap dapat mengalami perkembangan meskipun terdapat sistem imun yang
kompeten. Hal tersebut berhubungan dengan proses immunoediting. Pada proses
ini, tumor dapat mengalami fase eliminasi, keseimbangan dan fase meloloskan
diri. Lolosnya tumor dari sistem imun berhubungan dengan pertumbuhan tumor,
invasi, dan matastasis yang akan mementukan stadium penyakit penderita KNF.1518
Berbagai penelitian membuktikan terdapat hubungan antara KNF dengan
infeksi VEB. Virus Epstein Barr ditemukan pada KNF tipe III sebanyak 100%.
Komponen sistem imun yang berperan penting pada tumor yang berkaitan dengan
VEB, termasuk KNF adalah limfosit T. Berbagai faktor yang dihasilkan oleh sel
tumor atau lingkungan sekitar tumor yang dapat menurunkan ekspresi dan
aktivitas limfosit T yang menginfiltrasi tumor dapat digunakan sel tumor untuk
mekanisme meloloskan diri dari sistem imun. Faktor tersebut antara lain adalah
produksi molekul imunosupresif seperti IL-10 yang dapat mengganggu presentasi
antigen tumor kepada limfosit T dan ekspresi FasL (CD95L) pada sel tumor yang
menyebabkan apoptosis dari sel limfosit T yang menginfiltrasi tumor.8,15-25
4
Diantara beberapa sitokin yang ditemukan pada lingkungan sekitar tumor yang
mempunyai efek imunosupresif serta toleransi terhadap tumor adalah IL-10 dan
TGF-β. Kedua efek tersebut dapat meningkatkan progresivitas tumor. Ekspresi,
dan aksi dari kedua sitokin ini saling berhubungan. Pada penelitian ini IL-10 lebih
dipilih daripada TGF-β karena pada kenyataannya IL-10 dapat memperkuat
produksi TGF-β dan juga mengendalikan kemampuan sel target untuk berespons
terhadap TGF-β. Interleukin-10 mempunyai fungsi pleotropik (bermacam-macam)
dalam regulasi imun dan inflamasi. Meskipun IL-10 terlibat dalam berbagai aspek
proses inflamasi, namun aktivitas utamanya adalah berkaitan dengan penurunan
regulasi fungsi sel T. Sitokin IL-10 menyebabkan supresi respon sel T helper
(H)1. Hal tersebut terjadi terutama melalui mekanisme yang melibatkan presentasi
antigen, termasuk antigen tumor sehingga tidak dikenali oleh sel limfosit T.21-22
Superfamili ligan tumor necrosis factor (TNF) memiliki berbagai macam
fungsi dalam sistem imun, salah satunya adalah induksi apoptosis dari sel target.
Fungsi tersebut diperankan oleh sub grup famili yang termasuk ke dalam ligan
penginduksi kematian, diantaranya adalan TNF dan FasL. Aktivitas biologi FasL
dalam hal apoptosis sel target lebih menonjol dibandingkan TNF. FasL terutama
diekspresikan pada sel limfosit T yang berperan dalam respon imun terhadap
KNF. 23
Ogino dari Departemen THT-KL Asahikawa Medical College, Asahikawa,
Jepang,
melakukan
penelitian
mengenai
hubungan
antara
mekanisme
immunoescape dengan infeksi virus Epstein-Barr pada KNF pada tahun 2006.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan FasL dan IL-10 diekspresikan pada 60%
5
lesi KNF, secara statistik terdapat hubungan signifikan antara ekspresi IL-10
dengan ekspresi onkoprotein EBV LMP1, ekspresi FasL berhubungan dengan
peningkatan regulasi IL-10 pada penderita KNF dengan EBV positif, ekspresi
berlebihan (overexpression) FasL secara signifikan berhubungan dengan
penurunan angka harapan hidup penderita KNF dan analisis multivariat
mengidentifikasi bahwa ekspresi berlebihan (overexpression) FasL merupakan
penanda prognostik buruk.26
Ekspresi IL-10 dan FasL pada sel karsinoma nasofaring Tipe III WHO dapat
dideteksi
dengan
menggunakan
pemeriksaan
imunohistokimia.
Melalui
pemeriksaan ini dapat dideteksi antigen spesifik dalam sel tumor, dapat
menentukan lokasi antigen pada sitoplasma atau nukleus, karakteristik, dan
membantu menegakkan diagnosis patologi. 27
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dirumuskan tema sentral penelitian
sebagai berikut :
Sebagian besar pasien KNF datang dengan stadium lanjut. Berbagai mode
kombinasi kemoiradiasi telah diberikan bagi penderita KNF stadium lanjut,
namun hasil terapi untuk stadium lanjut tersebut masih tetap tidak memuaskan.
Pemahaman mengenai target molekular pada KNF dapat membantu dalam
perkembangan terapi KNF bertarget dan imunoterapi.
Progresivitas tumor termasuk KNF dipengaruhi oleh sistem imun. Limfosit T
berperan penting dalam imunosurvailans imun terhadap KNF. Berbagai faktor
yang dihasilkan sel tumor atau lingkungan sekitar tumor yang dapat menurunkan
ekspresi dan aktivitas limfosit T yang menginfiltrasi tumor, dapat digunakan sel
tumor untuk mekanisme meloloskan dari sistem imun. Faktor tersebut antara lain
adalah ekspresi molekul imunosupresif seperti IL-10 yang dapat mengganggu
presentasi antigen tumor kepada limfosit T dan ekspresi FasL pada sel sel tumor
yang menyebabkan apoptosis limfosit T yang menginfiltrasi tumor.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa FasL dan IL-10 diekspresikan
pada 60% lesi KNF, ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan regulasi IL10 pada penderita KNF dengan EBV positif, ekspresi berlebihan (overexpression)
FasL secara signifikan berhubungan dengan penurunan angka harapan hidup
penderita KNF dan analisis multivariat mengidentifikasi bahwa ekspresi
6
berlebihan (overexpression) FasL merupakan penanda prognostik buruk. Atas
dasar hal tersebut di atas maka diperlukan penelitian mengenai hubungan ekspresi
IL-10 dan FasL(CD95L) dengan stadium klinis KNF tipe III WHO.
Atas dasar latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
observasional analitik dengan rancangan studi potong lintang untuk mengetahui
hubungan antara ekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) dengan stadium klinis
penderita KNF tipe III WHO.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apakah peningkatan ekspresi IL-10 berhubungan dengan peningkatan
stadium klinis KNF tipe III WHO ?
2.
Apakah peningkatan ekspresi FasL (CD95L) berhubungan dengan
peningkatan stadium klinis KNF tipe III WHO ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.
Menganalisis hubungan antara peningkatan ekspresi IL-10 dengan stadium
klinis KNF tipe III WHO .
2.
Menganalisis hubungan antara peningkatan ekspresi FasL (CD95L) dengan
stadium klinis KNF tipe III WHO.
7
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Ilmiah
Dapat digunakan sebagai kontribusi untuk pengembangan ilmu yang berkaitan
dengan rancangan tertapi bertarget dan imunoterapi khususnya pada KNF tipe III
WHO sebagai tambahan dari terapi standar.
1.4.2. Kegunaan Praktis
1.
Dapat dijadikan dasar pemberian terapi tambahan dari prosedur terapi baku
yang sudah ada pada penderita karsinoma nasofaring.
2.
Dapat digunakan sebagai sumber data untuk penelitian selanjutnya
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1
Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring memiliki kekhasan dalam hal etiologi dan distribusi
endemiknya. Faktor etnik dan geografi juga mempengaruhi risiko penyakitnya.
Penyebab
KNF tidak hanya berhubungan dengan tembakau dan penggunaan
alkohol tetapi multifaktorial seperti lingkungan, genetik dan infeksi virus.1,3,19
2.1.1.1 Faktor Lingkungan
Tingginya insidensi KNF pada lokasi geografi tertentu menunjukkan adanya
faktor atau bahan kimia lingkungan yang dapat menginduksi terjadinya KNF,
antara lain adat kebiasaan atau gaya hidup termasuk kebiasaan makan. Karsinogen
lingkungan bertindak sebagai kofaktor atau promotor timbulnya KNF.1,4,19
Sejumlah besar penelitian yang dilakukan pada populasi berbeda yang berada
di berbagai daerah di Asia dan Amerika Utara menunjukan bahwa budaya Kanton
sering mengkonsumsi ikan asin dan makanan lain yang diawetkan. Makanan
tersebut mengandung sejumlah besar nitrosodimehyamine
(NDMA), N-
nitrospyrrolidne (NPYR), dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan
ko-faktor karsinogenik untuk KNF. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan
asin dengan pemanasan sinar matahari dapat terjadi reaksi biokimiawi berupa
nitrosasi. Gugus nitrat dan nitrit yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan
9
asin menjadi nitrosamin yang merupakan prokarsinogen dan promotor aktivasi
EBV. Prokarsinogen memerlukan perubahan metabolisme agar menjadi
karsinogen aktif. Karsinogen aktif dapat menimbulkan perubahan DNA, RNA,
atau protein sel tubuh.1,4,19
Paparan usia dini dengan ikan asin menunjukkan risiko tinggi terjadinya KNF
bagian selatan Cina. Paparan asap rokok serta formaldehid dan debu kayu juga
dikenal sebagai faktor risiko KNF. Penggunaan obat-obatan herbal Cina juga
diduga meningkatkan risiko KNF dengan menyebkan reaktivasi infeksi VEB pada
pejamu.21,4,19
2.1.1.2 Faktor Genetik
Tingginya insidensi KNF pada daerah tertentu seperti di Asia Tenggara, Cina
Selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia, Taiwan, Alaska, Greenland dan Tunisia
serta adanya familial clustering menunjukkan bahwa kerentanan genetik
merupakan faktor predisposisi KNF. Hal ini didukung oleh penelitian yang
menunjukkan tingginya risiko KNF pada populasi Kanton dan pada penderita
dengan riwayat keluarga KNF.1,4,19
Beberapa penelitian menduga adanya hubungan antara kerentanan human
leucocyte antigen (HLA) haplotipe dengan perkembangan KNF. Sebagian besar
penelitian yang dilakukan pada populasi Cina menunjukkan peningkatan risiko
pada individu dengan HLA-A2. Human Leukocyte Antigen (HLA) tipe AW19,
BW46 dan B17 juga pernah dilaporkan berhubungan dengan peningkatan risiko
KNF. Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II
pada gen HLA tertentu
10
diperkirakan menyebabkan kegagalan interaksi HLA-peptide complex dengan
limfosit T sitotoksik (CD8) atau limfosit T helper (CD4). Hal ini disebabkan
karena tidak didapatkannya antigen virus/tumor pada epitop sehingga VEB
didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau sel kanker tidak dapat
dikenali oleh sel imunokompeten seperti sel makrofag, dendritik, limfosit.4,19
Polimorfisme genetik pada gen yang berperan pada metabolisme karsinogen
juga diduga berhubungan dengan kerentanan terhadap KNF. Cytochrome P450
2E1 (CYP2E1) adalah salah satu sitokrom P450 dan berperan pada aktivasi
metabolik nitrosamin dan karsinogen terkait. Sitokrom CYP2A6 juga diduga
berperan pada kerentanan terhadap KNF.19
2.1.1.3 Infeksi Virus Epstein Barr
Virus Epstein Barr, pertama kali ditemukan oleh Anthony Epstein dan Yvonne
Barr pada tahun 1964. Virus ini merupakan virus yang menginfeksi limfosit B
manusia, berhubungan dengan infeksi mononukleosis, limfoma burkitt’s, dan
KNF.19,28-33
Infeksi primer VEB dapat terjadi mulai masa kanak-kanak, menimbulkan
gejala yang ringan seperti demam dan faringitis dan dapat sembuh sendirinya. 8,2833
Infeksi
VEB
bermula dari kontak dengan sekret mulut yang terinfeksi
kemudian virus bereplikasi di sel epitel orofaring maupun di nasofaring. Virus
menetap dalam sel epitel sehingga menginfeksi sel limfosit B resting, kemudian
bersirkulasi berubah menjadi sel limfosit B yang terinfeksi. Pada infeksi pertama
11
oleh VEB, sel limfosit B mengalami infeksi litik dengan menghasilkan virus hasil
replikasi yang menyerang sel limfosit B lainnya, mengekspresikan komponen
virus laten, sebagian virus yang lain akan menyerang sel epitel yang lain dan
menyebar ke air liur. Sebagian sel limfosit B yang terinfeksi kemudian tertangkap
oleh sel natural killer (NK) dan sel T sitotoksik. Selanjutnya didalam sel dapat
mengalami reaktivasi dan mengekspresikan protein fase laten sehingga dapat
dirusak oleh sel T sitotoksik. Beberapa sel laten yang terinfeksi dapat mengalami
replikasi litik kembali. Replikasi virus menyebabkan peningkatan jumlah VEB
yang
menginfeksi sel B dalam darah perifer. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan titer IgA antibodi terhadap struktur protein VEB. 28-33
Infeksi sel epitel oleh VEB mengakibatkan replikasi yang aktif dan produksi
virus yang bertambah serta lisis dari sel, bila VEB menyerang sel limfosit B
akan mengakibatkan infeksi laten dengan immortalisasi
sel. Setelah VEB
menginfeksi limfosit B, DNA yang semula linear akan berubah menjadi sirkuler
sehingga menetap menjadi laten di limfosit B.
disebabkan oleh VEB terjadi
Proses karsinogenesis yang
pada infeksi laten. Masuknya VEB ke dalam
limfosit B terjadi karena adanya ikatan selektif pada komponen cluster of
differentiation (CD)21 pada limfosit B dengan glikoprotein cangkang virus, yaitu
glikoprotein (gp) 350/220 dan melalui glikoprotein kedua yaitu gp42 dengan
koreseptor molekul HLA kelas II.28-33
Penelitian menunjukkan adanya ekspresi gen laten VEB, yaitu EBNA, LMP1,
LMP2 dan Epstein Barr Virus encoded small RNA (EBER) pada sel KNF. Hal
tersebut mengkonfirmasi infeksi sel tumor oleh VEB. Ekspresi Epstein Barr Virus
12
(EBV) early antigen (EA) secara positif berhubungan dengan konsumsi makanan
yang diasinkan dan diawetkan, menduga bahwa perkembangan KNF dengan VEB
positif dapat berkaitan dengan kebiasaan makan. Hampir 90% penderita KNF tipe
III WHO dewasa di dunia menunjukkan positif VEB secara serologi. Pada
sebagaian besar penderita KNF ditemukan titer antibodi yang lebih tinggi,
khususnya IgA VEB terkait kanker. Dengan demikian Pengukuran kadar IgA
spesifik VEB
merupakan metode yang sangat berguna untuk deteksi dini
KNF.1,9,28-32
Virus Epstein Barr menginisiasi perkembangan KNF. Hipotesis terbaru
menyatakan bahwa VEB memegang peranan penting dalam menyebabkan
transformasi sel epitel nasofaring menjadi kanker invasif. Infeksi VEB selalu
mendahului ekspansi klon sel ganas sehingga VEB dikatakan berkontribusi pada
sebagian atau keseluruhan patogenesis KNF. Penelitian mengenai hubungan KNF
dengan infeksi VEB terus berkembang dan terbukti VEB ditemukan pada100%
penderita KNF tipe III.1,9,28-32
2.1.2 Histopatologi
Mukosa nasofaring terdiri dari berbagai macam epitel permukaan dan
komponen jaringan lunak. Pada orang dewasa, sel epitel gepeng mendominasi
mukosa nasofaring. Epitel yang melapisi nasofaring terdiri dari epitel silindris
berlapis semu bersilia, yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel
gepeng berlapis. Dinding belakang nasofaring sebagian besar (60%-80%) dilapisi
oleh epitel gepeng berlapis, sebagian sisanya dilapisi oleh epitel silindris bersilia.
13
Diantara keduanya terdapat epitel peralihan (transitional epithelium) yang
terutama didapatkan pada dinding lateral, di daerah fosa Rosenmuller. Adanya
perubahan atau pergantian epitel di fosa Rosenmuller ini, ternyata merupakan
predileksi terjadinya keganasan di nasofaring.1,4,34
Klasifikasi gambaran histopatologi karsinoma nasofaring yang dikemukakan
oleh WHO tahun 1978 dibedakan dalam tiga tipe, yaitu :1,4,34
1.
Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO tipe I).
2.
Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin (WHO tipe II).
3.
Karsinoma
tidak
berdiferensiasi/karsinoma
berdiferensiasi
buruk/tipe
anaplastik (WHO tipe III).
2.1.3 Stadium Klinis
American Joint Committee on Cancer (AJCC) mengembangkan suatu sistem
klasifikasi untuk menjelaskan ekstensi maupun progresivitas penyakit pada pasien
KNF dengan menggunakan sistem penilaian TNM, yaitu ukuran tumor, ukuran
dan KGB yang terlibat serta metastasis. 1,4,35
Penentuan stadium terbaru KNF berdasarkan National Comprehensive Cancer
Network (NCCN) pada tahun 2013 adalah sebagai berikut :35
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai.
T0 : Tumor primer tidak ditemukan.
Tis : Karsinoma in situ
14
T1 : Tumor terbatas di nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan / atau
kavum nasi tanpa ekstensi parafaring.
T2 : Tumor dengan ekstensi ke parafaring.
T3 : Tumor invasi ke struktur tulang dari dasar tengkorak, dan / atau sinus
paranasal
T4 : Tumor dengan ekstensi ke intrakranial dan atau mengenai syaraf
pusat,hipofaring, orbita, atau ekstensi ke fossa intratemporal atau ruang
mastikator.
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
NX: Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 :
Tidak ditemukan metastasis ke kelenjar getah bening
N1 :
Metastasis unilateral pada kelenjar getah bening(s), berukuran ≤ 6 cm dan
diatas fossa supraklavicula, dan atau unilateral atau bilateral, kelenjar
getah bening retrofaring, ≤ 6 cm dan atau ke fosa supraklavikula.
N2:
Metastasis ke kelenjar getah bening bilateral, berukuran ≤ 6 cm dan diatas
fossa supraklavikula
N3 :
Metastasis ke kelenjar getah bening, berukuran > 6 cm dan atau ke fossa
supraklavikula
N3a:
Kelenjar getah bening berukuran > 6 cm.
N3b: Ekstensi ke fossa supraklavikula
M = Metastasis, menggambarkan metastasis jauh
M0 :
tidak ada metastasis jauh
M1 :
terdapat metastasis jauh
15
Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium 0
:
Tis N0 M0
Stadium I
:
T1 N0 M0
Stadium II
:
T1 N1 M0
T2 N0 M0
T2 N1 M0
Stadium III
:
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N0M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA :
T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stadium IV B :
Tiap T N3 M0
Stadium IV C :
Tiap T Tiap N M1
2.1.4 Gambaran Klinis
Karsinoma nasofaring cenderung mengenai penderita yang realtif lebih muda
dibandingkan dengan karsinoma kepala leher lainnya. Insidensi mulai meningkat
pada dekade kedua kehidupan dan puncaknya adalah pada dekade keempat dan
kelima. Gejala dan tanda awal KNF tidak jelas dan bervariasi sehingga sering
terabaikan baik oleh penderita maupun klinisi. Gejala KNF dapat meliputi satu
16
atau lebih kelompok gejala. Kelompok gejala tersebut berkaitan dengan lokasi
awal tumor primer, infiltrasi sel tumor ke struktur yang berdekatan atau metastasis
ke kelenjar getah bening (KGB) servikal.1,4,34
Massa tumor pada nasofaring dapat menyebabkan keluhan hidung tersumbat
dan beringus. Jika masa tumor berukuran kecil keluhan bersifat unilateral dan jika
besar obstruksi menjadi bilateral. Ketika tumor mengalami ulserasi, pasien akan
mengeluh epistaksis. Jumlah darah biasanya sedikit dan sering dirasakan sebagai
postnasal drip, terutama di pagi hari.1,4,34
Disfungsi tuba eustakius dapat tejadi dengan adanya massa tumor di nasofaring
dengan atau tanpa ekstensi ke ruang paranasofaring. Hal tersebut dapat
menimbulkan pengumpulan cairan di telinga tengah sehingga pasien mengeluh
gangguan dengar unilateral yang bersifat konduktif. Keluhan telinga lainnya
adalah otalgia dan tinitus.1,4,34
Ekstensi tumor primer ke superior hingga menginfiltrasi dasar tulang tengkorak
penderita dapat mengalami keluhan sakit kepala. Jika perluasan tumor mengenai
sinus kavernosus dan dinding lateralnya maka saraf kranialis III, IV dan IV dapat
terinfiltrasi sehingga pasien mengeluh diplopia. Keluhan kebas atau nyeri pada
wajah dapat menyertai penderita KNF jika massa meluas ke tingkap lonjong
hingga menginfiltrasi saraf kranialis V. Keterlibatan saraf kranialis akibat KNF
terjadi pada 13% kasus, tergantung dari stadium klinis. 1,4,34
Karsinoma nasofaring mempunyai kecenderungan bermetastasis ke kelenjar
getah bening. Keluhan sering berupa benjolan
tidak nyeri di leher atas.
17
Nasofaring merupakan struktur yang terletak di garis tengah sehingga sering juga
ditemukan pembesaran KGB servikal bilateral.1,37
Pasien KNF yang datang dengan keluhan berkaitan dengan metastasis jauh
jarang dijumpai. Vertebra, liver dan paru merupakan organ yang sering terkena
akibat metastasis jauh KNF.1,34
Kebanyakan pasien KNF berobat terlambat dan datang sudah dengan stadium
lanjut (III dan IV) karena gejala aural dan nasal tidak spesifik dan benjolan di
leher tidak terasa nyeri. 1,4,8,13,34
Penelitian retrospektif pada 4.768 pasien menunjukkan gejala pada saat datang
berobat 76% dengan keluhan benjolan di leher, keluhan hidung 73%, keluhan
telinga 62% dan paralisis saraf kranial sebesar 20%. 34
2.1.5 Diagnosis
Karsinoma
nasofaring
sulit
untuk
didiagnosis,
dikarenakan
letaknya
tersembunyi dan pada keadaan dini pasien tidak datang untuk berobat. Pasien
datang berobat bila gejala yang dirasakan telah mengganggu dan tumor telah
menginfiltrasi luas serta telah terjadi metastasis.1,4,8,13-14
Pasien yang dicurigai sebagai penderita KNF, melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik harus dievaluasi adanya pembesaran KGB leher, cairan di
telinga tengah dan keterlibatan saraf kranialis. Pemeriksaan tidak langsung
menggunakan kaca untuk menilai daerah postnasal harus dilakukan. Variasi
anatomi harus disingkirkan dengan pemeriksaan yang teliti. Bila secara klinis
dicurigai menderita KNF dan tumor tidak terlihat secara endoskopi, maka dapat
18
dilakukan pencitraan dengan potongan lintang (CT Scan / MRI). Pada 10% pasien
penderita KNF ditemukan masa submukosa.1,4,8,13-14
Pemeriksaan histopatologi biopsi dari nasofaring sampai saat ini merupakan
standar baku untuk diagnosis pasti. Biopsi dari benjolan di leher kadang
diperlukan untuk diagnosis. Fine needle aspiration citology (FNAC) adalah
metode yang paling aman dan cepat untuk diagnosis jaringan. Biopsi terbuka, baik
insisi atau eksisi harus dihindari karena penelitian membuktikan adanya efek
buruk terhadap ketahanan hidup.1,4,34
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis KNF
meliputi pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi, dan pemeriksaan serologi.1,4,34
2.1.5.1 Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi
posterior (tidak langsung) dengan menggunakan kaca laring yang kecil dan cara
nasofaringoskopi (langsung) dengan alat endoskop/nasofaringoskop kaku atau
dengan rinolaringoskopi serat lentur. Endoskopi rigid 0o dan 30o memberikan
lapang pandang yang sangat baik dari nasofaring. Endoskopi rigid 70o yang
diinsersikan dibelakang palatum mole memberikan visualisasi atap nasofaring dan
kedua orifisium tuba eustakius.1,34
2.1.5.2 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi adanya tumor,
perluasaan serta kondisi setelah terapi. Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma
19
nasofaring yaitu foto polos tengkorak, tomografi komputer, dan magnetic
resonance imaging (MRI).1,4,34
Foto polos tengkorak dilakukan untuk menilai ada tidaknya infiltrasi ke
jaringan lunak di dinding posterior pada proyeksi lateral dan untuk mengetahui
ekstensi tumor ke hidung serta sinus paranasal pada proyeksi antero-posterior
dan Waters.1,4,34
Tomografi komputer dapat memperlihatkan ekstensi tumor pada nasofaring
dan ke lateral, yaitu ke ruang paranasofaring. Pemeriksaan ini sensitif untuk
mendeteksi erosi tulang, khususnya pada dasar tulang tengkorak. Ekstensi tumor
ke intrakranial melalui tingkap lonjong dengan keterlibatan perineural dan sinus
kavernosus dapat dinilai juga dengan pemeriksaan ini. Informasi yang diperoleh
dari pemeriksaan tomografi computer penting untuk menentukan stadium klinis
pasien dan juga untuk pemilihan terapi. Pemeriksaan ini juga mempunyai
kemampuan untuk menunjukkan regenerasi tulang setelah terapi dan hal tersebut
menunjukkan eradikasi tumor seluruhnya. Pemeriksaan MRI lebih baik dalam
menilai jaringan lunak dibandingkan tomografi komputer. Kelebihan lain dari
MRI dibandingkan dengan tomografi computer adalah bersifat multiplanar dan
dapat membedakan jaringan tumor dengan inflamasi jaringan lunak, khususnya di
daerah sinus paranasal. Magnetic resonance imaging (MRI) juga lebih sensitif
dalam mengevaluasi retrofaring dan metastasis ke daerah KGB servikal dalam.
Pencitraan MRI juga mampu mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang,
sementara tomografi komputer hanya bisa mendeteksi infiltrasi yang melibatkan
20
erosi tulang. Kekurangan pemeriksaan MRI adalah tidak dapat mengevaluasi
secara cermat dari erosi tulang.1,4,34
Positron emission tomography (PET) berguna untuk menilai KNF primer
dengan metastasis ke KGB. Untuk kasus KNF lokal lanjut dapat dilakukan
pemeriksaan fluor-18-fluorodeoxyglucose (FDG-PET) dengan melihat adanya
tangkapanfluor-18-fluorodeoxyglucose oleh tumor. Pada lokasi tumor terjadi
hipermetabolik
dari
fluor-18-fluorodeoxyglucose.
Pemeriksaan
FDG-PET
memberikan hasil yang lebih sensitif untuk mendeteksi KNF rekuren dan
persisten.1,4,34
Pemeriksaan MRI terutama menjadi pilihan untuk penentuan stadium pada
kasus lokal dan mendeteksi rekurensi lokal. Pada pasien dengan stadium lanjut,
pemeriksaan PET/CT dari dasar tulang tengkorak sampai pertengahan paha
berguna untuk menentukan ekstensi penyakit pada tubuh penderita. 1
2.1.5.3. Pemeriksaan Patologi
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
jaringan tumor nasofaring.1,34 Pemeriksaan patologi anatomi untuk karsinoma
nasofaring terdiri dari :
2.1.5.3.1
Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Biopsi aspirasi jarum halus dapat dilakukan pada KGB servikalis. Sejumlah
kasus KNF diketahui berdasarkan pemeriksaan biopsi sitologi dari aspirasi KGB
21
servikal. Pemeriksaan sitologi dapat membedakan karsinoma sel skuamosa dan
karsinoma tidak berdiferensiasi. 1,34
2.1.5.3.2 Biopsi
Konfirmasi diagnostik KNF diperoleh dengan hasil biopsi positif yang diambil
dari tumor di nasofaring. Prosedur standar saat ini adalah biopsi transnasal dengan
panduan endoskopi. Endoskopi Rigid 00 dan 300 memberikan visualisasi yang
baik. Jika terdapat deviasi septum, endoskopi 70 0 dimasukkan melalui rongga
hidung yang berlawanan dapat memberikan gambaran tumor yang adekuat. Darah
dan mukus yang menutupi tumor harus dibuang dengan penghisap untuk
mendapatkan lapang pandang yang baik pada daerah patologis. Sebelum
dilakukan tindakan biopsi diberikan anestesi topikal berupa xylocain 10% semprot
hidung.1,34
2.1.5.3.3 Serologi
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, diagnosis KNF sangat ditunjang
oleh beberapa pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan serologis misalnya
imunohistokimia, imunoglobulin A anti VCA (Ig A anti VCA), Ig G anti EA. 1,34
Pada tumor, DNA Epstein Barr bersifat homogen dan pembuatan klon DNA
dapat dilakukan. Ekspresi spesific viral messenger RNAs atau produk gen secara
konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor dengan pemeriksaan hibridisasi
insitu, teknik imunohistokimia, dan PCR. Antibodi VEB baik IgG dan IgA
penderita KNF meningkat 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor
22
lain atau orang sehat. Titer IgA terhadap VEB spesifik untuk kapsul virus VCA
dan EA. Deteksi antibodi IgG (yang dijumpai pada masa awal infeksi virus) dan
antibodi IgA (yang dijumpai VCA) digunakan untuk mendukung diagnosis
karsinoma nasofaring.1,34,36
Polymerase chain reaction (PCR) dapat mendeteksi sel yang bebas dari DNA
VEB pada pasien KNF dan digunakan sebagai penanda tumor. Peningkatan
salinan DNA EBV ditemukan dalam darah selama fase inisial radioterapi seiring
dengan dilepaskannya DNA virus ke dalam sirkulasi setelah mengalami kematian.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemeriksaan ini lebih sensitif jika dibandingkan
dengan pemeriksaan titer antibodi terhadap berbagai antigen virus dalam
mendiagnosis KNF. Kuantitas plasma yang bebas dari DNA EBV berhubungan
dengan stadium penyakit dan dapat digunakan untuk menilai adanya metastasis
jauh. Kuantitas salinan DNA VEB yang dideteksi sebelum dan sesudah terapi
secara signifikan berhubungan dengan overall dan disease free survival.
Pemeriksaan ini juga digunakan untuk memonitor rekurensi setelah terapi, akan
tetapi peningkatan kadar DNA VEB hanya dapat dideteksi pada 67% pasien
rekurensi lokoregional kecil.1,34,36
Imunohistokimia merupakan teknik deteksi yang sangat baik, untuk
menunjukkan secara tepat protein tertentu di dalam jaringan yang diperiksa.
Teknik ini telah digunakan dalam penelitian untuk memeriksa ekspresi protein.
Kekurangan teknik ini tidak spesifik terhadap protein tertentu. Imunoblotting
dapat mendeteksi berat molekul protein dan sangat spesifik. Teknik ini banyak
digunakan dalam diagnostik patologi bedah terhadap kanker dan tumor jinak.
27
23
Teknik imunohistokimia dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Prinsip imunohistokimia secara langsung adalah menggunakan antibodi
primer yang sudah terlabel dan berikatan langsung dengan antigen target,
dilakukan pengecatan satu langkah. Untuk imunohistokimia secara tidak langsung
digunakan antibodi primer tidak berlabel, digunakan antibodi sekunder yang
sudah memiliki label dan akan bereaksi dengan IgG dari antibodi primer. 27
2.2 Sistem Imun dan Kanker
Berbagai mekanisme yang bertanggung jawab untuk terjadinya disfungsi imun
pada pasien kanker telah dapat diidentifikasi. Beberapa diantaranya dimediasi
langsung oleh faktor yang dihasilkan tumor, sementara yang lainnya terjadi karena
perubahan homeostasis jaringan normal akibat keberadaan kanker. Instabilitas
genetik saat ini diketahui sebagai karakteristik dasar dari semua tumor yang
menyebabkan terjadinya perubahan pada profil epitop. Perubahan molekuler
sudah dapat dideteksi selama tahap dini tumorigenesis dan menjadi lebih jelas
sejalan dengan progresivitas tumor. Hasil akhir dari semua perubahan ini adalah
peningkatan resistensi sel tumor terhadap imunosurvailans. Tumor muncul dengan
kemampuan mengganggu perkembangan sel imun, diferensiasi, fungsi dan bahkan
eliminasinya.15-18,24-25
Sistem imun mempunyai 3 peran penting dalam pencegahan tumor, yaitu :
1. Melindungi pejamu dari tumor yang diinduksi virus melalui proses eliminasi
atau supresi infeksi virus.
24
2. Eliminasi patogen
dan resolusi segera dari proses inflamasi. Inflamasi
merupakan salah satu faktor pendukung terbentuknya lingkungan yang
kondusif untuk terjadinya tumorigenesis.
3. Sistem imun dapat mengidentifikasi secara spesifik dan mengeliminasi sel
tumor berdasarkan pada ekspresi antigen spesifik tumor atau molekul yang
diinduksi oleh stres seluler.15-18,24-25
Proses yang ketiga disebut sebagai imunosurvailans terhadap tumor. Pada
proses ini sistem imun mengidentifikasi sel kanker dan atau prekanker serta
mengeliminasinya sebelum sel tersebut dapat menimbulkan tumor yang dapat
terdeteksi dan merugikan.
Pada kenyataannya, tumor tetap dapat mengalami
perkembangan meskipun terdapat sistem imun yang kompeten sehingga timbul
konsep baru yaitu immunoediting terhadap tumor. Konsep ini memberikan
penjelasan yang lebih lengkap tentang peranan sistem imun dalam perkembangan
tumor.15-18,24-25
Immunoediting akan berlangsung terus dalam seluruh kehidupan sel tumor
sehingga fenotipe tumor yang terbentuk dikendalikan oleh respon imun pejamu.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa imunitas bawaan dan didapat memiliki
sisi buruk yang dapat mendorong progresi tumor selain memliki sisi baik yang
dapat memediasi penghancuran tumor. Inflamasi kronik, terutama yang
berhubungan dengan kanker juga berkaitan dengan peningkatan resiko tumor
yaitu polarisasi imunitas yang memfasilitasi pertumbuhan tumor melalui produksi
berbagai efektor. Dengan demikian, maka sistem imun mempunyai potensi untuk
menyokong ataupun
memperlambat timbul dan progresi dari tumor serta
25
mempengaruhi efektifitas imunosurvailans dan efektivitas terapi yang tergantung
pada kesimbangan imunitas antitumor dan protumor. 15-18,24-25
2.2.1 Immunoediting Kanker
Konsep immunoediting terhadap tumor dibagi menjadi 3 fase, yaitu eliminasi,
kesetimbangan (equilibrium) dan meloloskan diri (escape). 15-18,24-25
2.2.1.1 Fase Eliminasi
Fase eliminasi dari immunoediting kanker adalah sama dengan proses
imunosurvailans terhadap tumor seperti yang dijelaskan pada teori awal. Proses
eliminasi melibatkan respon imun bawaan dan didapat terhadap sel tumor.
Beberapa sel efektor respon imun bawaan yang diaktivasi oleh sitokin inflamasi
adalah sel natural killer (NK), sel natural killer T (NKT) dan sel Tγδ. Sitokin
tersebut dilepaskan oleh sel tumor, makrofag dan sel stroma yang berada di sekitar
sel tumor. Sitokin yang disekresikan akan merekrut sel imun lebih banyak lagi
yang akan memproduksi sitokin proinflamasi lainnya seperti IL-12 dan interferon
(IFN)-γ. Eradikasi sel tumor oleh sel NK yang dimediasi oleh perforin, FasL dan
tumor
necrosis
factor-related
apoptosis-inducing
ligand
(TRAIL)
akan
menyebabkan timbulnya respon imun didapat. Komunikasi antara sel NK dan sel
dendritik akan menginduksi maturasi dan migrasi sel dendritik ke kelenjar getah
bening sesuai dengan drainase lokasi tumor. Hal tersebut akan memperkuat
penyajian antigen kepada sel T naif untuk ekspansi klonal dari sel T sitotoksik.
Limfosit T spesifik antigen tumor selanjutnya akan direkrut ke daerah tumor
26
primer dan secara langsung akan menyerang dan membunuh sel tumor melalui
produksi IFN-γ. Sitotoksisitas IFN-γ bekerja melalui efek antiproliperasi dan anti
angiogenik serta menginduksi apoptosis. 15-18,22,24-25
Antigen yang berasal dari tumor pada dasarnya adalah suatu self antigen.
Bagaimana sistem imun dapat mengenali dan diaktivasi oleh sel tumor yang
merupakan self antigen, telah menjadi perdebatan, meskipun antigen spesifik
tumor mungkin diekspresikan sebagai suatu molekul berbeda. Sesuai dengan
hipotesis danger theory, dipertimbangkan bahwa transformasi seluler tidak
menyediakan sinyal proinflamasi yang cukup untuk mengaktivasi sistem imun
dalam berespon terhadap tumor yang sedang berkembang. Tidak timbulnya sinyal
tersebut mengakibatkan tidak adanya respon imun dan terjadi toleransi terhadap
tumor. Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sinyal berbahaya seperti asam
urat, ligan potensial toll like receptor seperti heat stroke protein dapat
menginduksi respon imun proinflamasi. Sel mamalia yang mati juga dapat
melepaskan sinyal berbahaya. Meskipun inflamasi lokal dapat menginisiasi respon
imun tetapi inflamasi yang berlebihan dapat mempromosikan progresivitas tumor.
Hal ini mungkin terjadi karena adanya reaksi antiinflamasi pada sel penyaji
antigen yang melepaskan sitokin antiinflamasi seperti IL-10 yang dapat
menghambat aktivasi sel efektor. Fase eliminasi dapat terjadi secara komplit
ketika semua tumor dapat dieliminasi atau tidak komplit ketika hanya sebagian
tumor
yang tereliminasi.
Pada
kasus
eliminasi
tumor
immunoediting tumor berlanjut ke fase keseimbangan. 15-18,22
parsial,
proses
27
2.2.1.2 Fase Keseimbangan (Equilibrium)
Pada fase keseimbangan pembentukan sel tumor dapat menjadi dorman atau
terus berlanjut sehingga terakumulasi berbagai perubahan seperti mutasi
deoksyribonucleic acid (DNA) atau perubahan ekspresi gen. Berbagai perubahan
tersebut dapat memodulasi ekspresi antigen spesifik tumor dan antigen yang
diinduksi stres oleh sel tumor. Sejalan dengan berlangsungnya proses ini, sistem
imun berusaha untuk mengeliminasi klon tumor yang sensitif jika memungkinkan.
Bila usaha yang dilakukan sistem imun adekuat maka progresivitas tumor dapat
dikendalikan, pada akhirnya jika respon imun masih gagal mengeliminasi sel
tumor secara komplit maka pada fase ini akan dihasilkan seleksi varian sel tumor
yang mempunyai kemampuan bertahan, menghindar atau menekan respon imun
anti tumor yang menyebabkan terjadinya fase meloloskan diri. Varian sel tumor
yang dihasilkan pada fase ini bersifat resisten terhadap sel efektor imun, lebih
tidak stabil dan mempunyai fenotipe dengan imunogenisitas rendah bahkan non
imunogenik. Sel tersebut mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup pada
pejamu imunokompeten. Hal ini
menjelaskan bagaimana tumor dapat
berkembang pada individu dengan fungsi imun intak. 15-18
Berkaitan dengan proses eliminasi sel tumor yang berlangsung terus sejalan
dengan produksi varian tumor yang resisten pada fase keseimbangan, tampak
bahwa fase ini memiliki periode paling lama dibandingkan kedua fase lainnya,
dapat berlangsung hingga bertahun-tahun. Pada proses keseimbangan ini, limfosit
dan IFN-γ memegang peranan penting dalam seleksi imun pada tumor. 15-18
28
Gambar 2.1 Skema immunoediting kanker.
Dikutip dari : Kim.16
2.2.1.3 Fase Meloloskan diri (Escape)
Selama fase meloloskan diri, sistem imun tidak lagi mempunyai kemampuan
untuk membatasi pertumbuhan tumor sehingga menjadi tumor dengan stadium
lebih lanjut.15-18
Respon imun antitumor yang efektif melibatkan berbagai komponen sistem
imun, meskipun demikian dipertimbangkan bahwa sel T memegang peranan
penting.30 Respon imun antitumor melalui jalur sitokin terdiri dari beberapa proses
yaitu antigen tumor akan dipresentasikan oleh sel dendritik (APC) kepada sel T
CD4+ melaui MHC kelas II. Jika antigen dikenali, maka sel dendritik akan
teraktivasi yang akan menyebabkan dilepaskannya IL-12 oleh sel dendritik dan
mencetuskan sel T CD8+ spesifik antigen. Interleukin-12 mempunyai peranan
29
penting dalam proliferasi dan diferensiasi sel T CD4 + naïf menjadi sel TH1.
Melalui sitokin yang dilepaskan oleh sel TH1 CD4 +, yaitu IFN-γ, menyebabkan
proliferasi dan diferensiasi sel T CD8+ naif menjadi sel limfosit T sitotoksik yang
mempunyai kemampuan melisis sel antigen tumor.37
Pengenalan sel tumor oleh sel limfosit sitotoksik dimediasi oleh kompleks
yang dihasilkan dari muatan molekul HLA kelas I dengan peptida antigenik.
Kompleks ini dibangkitkan oleh HLA kelas I dan antigen processing machinery
(APM) melalui 4 tahap, yaitu :
1) Pemecahan protein antigen menjadi peptida. Proses ini terjadi dalam
imunoproteosom.
2) Transportasi peptida ke dalam retikulum endoplasma. Pada proses ini dibantu
oleh komponen APM, yaitu transporter associated with antigen processing
(TAP) yang terdisri dari 2 subunit, TAP1 dan TAP2. Tanpa transporter
tersebut, HLA kelas I tidak dapat dimuati oleh peptida sehingga antigen tumor
tidak dapat disajikan kepada sel T sitotoksik (CD8+). Ekspresi TAP yang
menurun dapat menyebabkan pengenalan sel target oleh sel limfosit T menjadi
tidak efektif.
3) Pemasangan peptida dengan rantai berat HLA kelas I dan β2mikroglobulin
(β2m)
4) Transportasi kompleks peptida-antigen HLA kelas I ke membran sel.
Kompleks tersebut selanjutnya akan disajikan kepada sel limfosit T CD8+.
Selanjutnya sel limfosit T sitotoksik akan mengenali, menyerang dan
melakukan eliminasi sel tumor. 24,37
30
Gambar 2.2 Jalur sitokin dalam respon imun antitumor
Dikutip dari : Anchini37
Virus Epstein Barr dapat menimbulkan respon imun sel limfosit T sitotoksik
spesifik antigen dan penurunan ekspresi HLA kelas I pada individu yang
terinfeksi. Respon tersebut berperan penting dalam mengendalikan baik infeksi
primer VEB maupun status pembawa infeksi (carrier) jangka panjang. Epitop sel
T imunoreaktif pada antigen EBNA3, EBNA4, EBNA6, LMP1 dan LMP2 telah
31
dapat diidentifikasi. Melalui kultur in vitro juga telah dapat dibuktikan timbulnya
epitop sel T sitotoksik terhadap LMP1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sel T
memori spesifik untuk LMP1 merupakan bagian dari respon imun terhadap
antigen tersebut.
Latent membrane protein-1 dapat lolos dari surveilans imun
pada penderita KNF melalui berbagai mekanisme. Tumor dapat lolos dari sistem
imun dengan menggunakan mekanisme yang dapat menekan respon imun sel T
sitotoksik spesifik terhadap VEB.38,24-25
Lolosnya tumor dari sistem imun berhubungan dengan pertumbuhan tumor,
invasi dan matastasis. Terdapat berbagai mekanisme meloloskan diri yang
dikembangkan oleh sel tumor, antara lain :18-19
1) Gangguan ekspresi antigen pada permukaan sel tumor.
2) Hilangnya atau berkurangnya ekspresi molekul major histocompability
complex (MHC) kelas I atau human leukocyte antigen (HLA) kelas I
3) Hilangnya ekspresi molekul kostimulasi.
4) Produksi molekul imunosupresif seperti transforming growth factor (TGF)-β,
prostaglandin (PG)-E2 dan adenosine serta sitokin seperti interleukin (IL)-6
dan IL-10.
5) Resistensi sel tumor terhadap apoptosis.
6) Ekspresi Fas ligand (FasL)/CD95L pada sel tumor yang menyebabkan
kematian dari limfosit yang menginfiltrasi tumor. 15-18,24-25
32
2.2.2 Interleukin-10
Interleukin-10 adalah suatu glikoprotein homodimerik dengan struktur αhelikal tersier yang mengirimkan sinyal melalui jalur kompleks Janus kinase
(JAK)/signal transducer and activator of transcription (STAT). Sitokin ini
dihasilkan oleh berbagai macam sel, termasuk sel limfosit T, limfosit B, monosit,
dendritik, sel NK dan sel tumor. Secara umum IL-10 berfungsi sebagai sitokin
imunosupresif. Interleukin-10 memberikan efek pleotrofik pada sel imun bawaan
dan adaptif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa IL-10 memegang peranan
kunci dalam perkembangan tumor dan metastasis yang mempengaruhi stadium
klinis dari pejamu. Interleukin-10 yang berada di sekitar tumor dihasilkan oleh sel
tumor, sel mononuklear, dan sel leukosit yang menginfiltrasi tumor serta sel
supresor mieloid. Keberadaan IL-10 dalam lingkungan sekitar tumor juga
dikaitkan dengan pengerahan dan ekspansi sel Treg. Isolasi sel Treg yang berasal
dari jaringan tumor menunjukkan bahwa sel Treg dapat mensekresikan IL-10.
Gambaran tersebut berkorelasi dengan fungsi supresor kuat dari sel Treg pada sel
limfosit yang menginfiltrasi tumor. Interleukin-10 yang dihasilkan sel Treg
merupakan faktor kunci terjadinya supresi sistem imun pada daerah tumor. 1618,21,24-25,37,39,42
Produksi IL-10 akan mendorong komponen respon imun humoral melalui
inhibisi sitokin yang terlibat dalam respon imun seluler. Hasil akhir dari proses
tersebut adalah inhibisi fungsi tumorisidal sel T, NK, dan makrofag. Sitokin yang
dihasilkan oleh TH1 dihambat oleh IL-10 secara tidak langsung. Interleukin-10
yang bekerja pada monosit dan makrofag akan mencegah peyajian antigen melalui
33
MHC kelas II ke permukaan sel melalui inhibisi pengangkutan antigen dari
kompartemen intrasel ke permukaan sel. Selanjutnya IL-10 akan menghambat
produksi IL-12 oleh makrofag yang berperan untuk mendorong produksi IFN-γ
sehingga perkembangan TH1 menjadi terganggu.25,37
Penelitian in vitro menunjukkan terdapat efek penurunan regulasi ekspresi
komponen antigen presenting machinery (APM)
dan major histocompability
complex (MHC) kelas I yang disebabkan oleh IL-10. Akibat penurunan regulasi
ekspresi APM adalah penurunan regulasi human leukocyte antigen (HLA) kelas I
pada permukaan sel. Interleukin-10 juga secara langsung menyebabkan gangguan
pada rantai berat HLA kelas I, yaitu β2m atau transkripsi tapasin. Komponen
APM yang mengalami penurunan regulasi akibat IL-10 antara lain molekul
transporter for antigen presentation (TAP)1 dan TAP2. Perubahan pada kadar
TAP1 yang diinduksi IL-10 mempunyai implikasi fungsional berupa penurunan
transportasi peptida hasil penguraian antigen ke retikulum endoplasma. Akibat
dari hal tersebut adalah terakumulasinya molekul HLA kelas I imatur dalam
retikulum endoplasma sehingga terekspresi buruk pada membran sel. Hasil akhir
dari penurunan regulasi APM dan HLA kelas I adalah reduksi pengenalan antigen
melalui MHC kelas I oleh sel limfosit T sitotoksik dan sel NK. Pada saat yang
sama, IL-10 juga meningkatkan kerentanan sel NK untuk lisis melalui aktivasi
ligan dan membuat sel tumor menjadi tidak sensitif terhadap sitotoksisitas sel
limfosit T sitotoksik.25,37
Penelitian lain membuktikan bahwa IL-10 juga dapat dapat menurunkan
ekspresi molekul adhesi interseluler (misalnya intercellulae adhesion molecule
34
(ICAM)-1) dan molekul kostimulasi (misalnya cluster of differentiation
(CD)80/B7-1 dan CD86/B7-2). Pada akhirnya proses tersebut menyebabkan
penurunan perangkat presentasi antigen. Interleukin-10 bekerja sama dengan
prostaglandin E2 (PGE2) dan vascular endothelial growth factor A (VEGF-A)
juga dapat menginduksi ekspresi FasL pada sel endotel yang terdapat pada tumor
sehingga menyebabkan kematian pada sel limfosit T sitotoksik yang
menginfiltrasi tumor.25,37,39-42
2.2.3 FasL (CD95L)
Fas ligand (FasL) atau CD95L adalah suatu protein membran yang merupakan
anggota dari kelompok tumor necrosis factor.Fas ligand (FasL) yang berikatan
dengan Fas akan menstimulasi jalur sinyal yang menyebabkan apoptosis sel yang
mengekspresikan Fas. Apoptosis yang diinduksi oleh sistem Fas dan FasL akan
melibatkan sel limfosit T sitotoksik, sel NK dan berperan penting dalam menjaga
toleransi imun. Ligan kematian FasL dan reseptornya Fas, diekspresikan pada sel
tumor dan sel imun yang teraktivasi. Sel imun yang mengekspresikan FasL pada
membrannya akan mempunyai kemampuan mengeliminasi sel tumor yang
mengandung reseptor kematian (Fas) dan memediasi imunosurveilans. Suatu
penelitian membuktikan bahwa mutasi pada Fas atau FasL tikus dapat
menyebabkan kelainan tertentu. Ligan kematian yang terdapat pada permukaan
sel tumor digunakan sebagai perangkat khusus sehingga sel tumor menjadi kebal
dari serangan sistem imun yang dikenal sebagai “Fas-counterattack hypothesis”
atau hipotesis serangan balik Fas. Konsep ini didasarkan pada hasil penelitian
35
yang menunjukkan sel kanker kolon dengan FasL+ dapat menginduksi apoptosis
sel T teraktivasi yang mengandung Fas secara in vitro. Ekspresi FasL pada tumor
di tubuh manusia juga telah dibuktikan pada berbagai penelitian dan berkaitan
dengan apoptosis limfosit yang menginfiltrasi tumor yang dimediasi oleh
Fas/FasL. Apoptosis dari limfosit yang menginfiltrasi tumor tersebut akan
meningkatkan pertumbuhan dan metastasis tumor. Sel tumor dengan FasL+ dapat
menyerang balik
sel imun dan juga membuat taktik untuk berlindung dari
apoptosis melalui penghambatan sinyal yang dihantarkan oleh Fas melalui
inhibitor
apoptosis
intraselular.
Hasil
akhir
dari
mekanisme
tersebut
menguntungkan sel tumor dan mengganggu imunitas antitumor. 24-25
Hasil penelitian secara in vivo menunjukkan bahwa FasL merupakan molekul
proinflamasi yang mempromosikan infiltrasi sel inflamasi ke jaringan. FasL
mempunyai kemampuan untuk menginduksi ekspresi gen inflamasi pada jaringan
yang mengandung sel imun khususnya makrofag yang menyebabkan pelepasan
TNF-α dan IL-8, yaitu sitokin dengan aktivitas pro-inflamasi potensial. Sitokin
pro-inflamasi bekerja sebagai mediator autokrin atau parakrin, meningkatkan
regulasi ekspresi reseptor kematian seperti Fas dan sekresi ligan kematian seperti
FasL dari tumor atau sel jaringan, mengalihkan sinyal pro-apoptosis menjadi
sinyal pro-inflamasi. Ligan kematian dapat berperan ganda terhadap pertumbuhan
tumor. Di satu pihak, ligan dapat mendukung pertumbuhan sel tumor dan
mempromosikan terjadinya metastasis namun ligan juga dapat menginduksi
proses inflamasi potensial yang meyebabkan eradikasi tumor. Tumor mengambil
keuntungan dari fungsi ganda ligan melalui pengalihan keseimbangan menjadi
36
kondisi protumorigenik secara konsisten. Pada lingkungan sekitar tumor, sel imun
terdapat dalam kondisi yang merugikan, fungsinya diubah untuk menghasilkan
faktor-faktor yang menguntungkan pertumbuhan tumor. Hilangnya ekspresi Fas
pada sel tumor atau adanya ekspresi FasL pada sel tumor dapat berkontribusi pada
invasi sel tumor dari imunosurvailans melalui pencetusan apoptosis dari sel
limfosit T yang menginfiltrasi tumor.24-25,41
Gambar 2.3 Mekanisme penurunan sel T sitotoksik pada kanker
Dikutp dari : Cabello41
2.3 Kerangka Pemikiran
Sistem imun yang berperan dalam menghadapi KNF adalah sel limfosit T
melalui
proses
immunoediting
yang
terdiri
dari
3
fase,
yaitu
eliminasi/imunosurvailans, keseimbangan dan meloloskan diri.15-18
Pada kasus eliminasi tumor parsial, proses immunoediting tumor berlanjut ke
fase keseimbangan. Fase keseimbangan akan membentuk tumor dorman atau
terus berkembang disertai berbagai perubahan seperti mutasi DNA atau perubahan
37
ekspresi gen. Bila sistem imun gagal mengeliminasi tumor pada fase ini, maka
akan terbentuk seleksi varian sel tumor dengan tingkat imunogenitas rendah/tidak
imunogenik sehingga kurang/tidak dikenali oleh sistem imun. Varian sel tumor
tersebut mengandung gen tidak stabil dan mempunyai kemampuan bertahan,
menghindar atau menekan respons imun anti tumor meskipun terjadi pada pejamu
imunokompeten yang menyebabkan terjadinya fase meloloskan diri.15-18
Terdapat berbagai mekanisme meloloskan diri yang dikembangkan oleh sel
tumor, antara lain adalah produksi sitokin imunosupresif IL-10 dan ekspresi FasL
(CD95L) pada sel tumor.15-18,24-25
Interleukin-10 yang bekerja pada monosit dan makrofag akan mencegah
peyajian antigen tumor kepada sel limfosit T melalui MHC kelas II ke permukaan
sel lewat inhibisi pengangkutan antigen dari kompartemen intrasel ke permukaan
sel. 33 Penelitian in vitro menunjukkan terdapat efek penurunan regulasi ekspresi
komponen antigen presenting machinery (APM)
dan major histocompability
complex (MHC) kelas I yang disebabkan oleh IL-10. Akibat penurunan regulasi
ekspresi APM adalah penurunan regulasi human leukocyte antigen (HLA) kelas I
pada permukaan sel. Interleukin-10 juga secara langsung menyebabkan gangguan
pada rantai berat HLA kelas I, yaitu β2m atau transkripsi tapasin. Komponen
APM yang mengalami penurunan regulasi akibat IL-10 antara lain molekul
transporter for antigen presentation (TAP)1 dan TAP2. Perubahan pada kadar
TAP1 yang diinduksi IL-10 mempunyai implikasi fungsional berupa penurunan
transportasi peptida hasil penguraian antigen ke retikulum endoplasma. Hasil
akhir dari penurunan regulasi APM dan HLA kelas I adalah reduksi pengenalan
38
antigen melalui MHC kelas I oleh sel limfosit T sitotoksik dan sel NK. Interleukin
10 bekerja sama dengan PGE2 dan VEGF-A juga dapat menginduksi ekspresi
FasL pada sel endotel yang terdapat pada tumor sehingga menyebabkan kematian
pada sel limfosit T sitotoksik yang menginfiltrasi tumor. Akibat hal tersebut diatas
maka progresivitas tumor akan meningkat.16-18,25,42
Fas ligand (FasL) atau CD95L adalah suatu protein membran yang
merupakan anggota dari kelompok tumor necrosis factor. Fas ligand (FasL) yang
berikatan dengan Fas akan menstimulasi jalur sinyal yang menyebabkan apoptosis
sel yang mengekspresikan Fas. Ekspresi FasL pada tumor di tubuh manusia telah
dibuktikan dalam berbagai penelitian dan keberadaannya berkaitan dengan
apoptosis sel limfosit yang menginfiltrasi tumor dengan kandungan Fas pada
permukaan selnya. Apoptosis dari sel limfosit yang menginfiltrasi tumor tersebut
akan meningkatkan progresivitas tumor. Sel tumor yang mengandung FasL, selain
dapat menyerang balik sel imun, sel tersebut juga dapat membuat taktik untuk
berlindung dari apoptosis melalui penghambatan sinyal yang dihantarkan oleh Fas
melalui inhibitor apoptosis intraselular. Hasil akhir dari mekanisme tersebut
menguntungkan sel tumor dan mengganggu imunitas antitumor sehingga
pertumbuhan tumor semakin progresif .23-24,42
Ligan kematian FasL dapat berperan ganda terhadap pertumbuhan tumor. Di
satu pihak, ligan dapat mendukung pertumbuhan sel tumor dan mempromosikan
terjadinya metastasis. Namun demikian, ligan juga dapat menginduksi proses
inflamasi potensial yang meyebabkan eradikasi tumor. Tumor mengambil
keuntungan dari fungsi ganda ligan melalui pengalihan keseimbangan menjadi
39
kondisi protumorigenik secara konsisten. Hilangnya ekspresi Fas pada sel tumor
atau adanya ekspresi FasL pada sel tumor dapat berkontribusi pada invasi sel
tumor dari imunosurvailans melalui pencetusan apoptosis dari sel limfosit T yang
menginfiltrasi tumor.23-24,42
Gambar 2.4 Skema kerangka pemikiran
40
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dibuatlah premis-premis
sebagai berikut :
Premis 1
: Sistem imun yang berperan dalam menghadapi KNF adalah sel
limfosit T melalui proses immunoediting yang terdiri dari fase
eliminasi, keseimbangan dan meloloskan diri.15-18
Premis 2
: Pada kasus eliminasi tumor parsial, proses immunoediting
tumor
akan
berlanjut
ke
fase
keseimbangan
dengan
terbentuknya varian tumor yang mengalami mutasi DNA dan
jika sistem imun gagal mengendalikan tumor yang mengandung
gen tidak stabil tersebut maka selanjutnya akan terjadi fase
meloloskan diri antara lain melalui peningkatan ekspresi IL-10
dan FasL (CD95L)
pada sel tumor dan lingkungan sekitar
tumor.15-18,24-25,37,41
Premis 3
: Produksi IL-10 oleh tumor dan lingkungan sekitar tumor dapat
menyebabkan penurunan ekspresi HLA kelas I, komponen
APM yaitu TAP1, TAP2, β2m sehingga mengganggu presentasi
antigen oleh limfosit T.24-25
Premis 4
: Interleukin-10 bekerja sama dengan PGE2 dan VEGF-A juga
dapat menginduksi ekspresi FasL pada sel endotel yang terdapat
pada tumor.42
Premis 5
: Peningkatan ekspresi ligan kematian FasL (CD95) pada sel
tumor akan
meyebabkan apoptosis limfosit
menginfiltasi tumor.24,41
T
yang
41
Premis 6
: Peningkatan apotosis sel limfosit T yang menginfiltrasi tumor
dan penurunan presentasi antigen oleh limfosit T akan
meningkatkan progresivitas tumor.15-18,24-25,41
2.4 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
1. Peningkatan ekspresi IL-10 berhubungan dengan peningkatan stadium klinis
karsinoma nasofaring tipe III WHO.
2. Peningkatan ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan stadium klinis
karsinoma nasofaring tipe III WHO.
42
BAB III
SUBJEK, ALAT, DAN METODE PENELITIAN
3.1
Subjek dan Alat Penelitian
3.1.1
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah seluruh penderita tumor nasofaring baru dengan hasil
histopatologi KNF tipe III WHO yang datang ke poli Onkologi Ilmu Kesehatan
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung.Subyek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
3.1.1.1 Kriteria Inklusi
Penderita yang didiagnosis KNF tipe III WHO.
3.1.1.2 Kriteria Eksklusi
Penderita karsinoma multipel.
3.1.1.3 Besar Sampel
Penentuan besar sampel dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian
dan tipe data yaitu dengan menggunakan rumus penentuan besar sampel untuk
penelitian analitik korelatif. Rumus yang digunakan adalah :43
2
Z  Z 


n
 3
 0.5ln(1  r ) /(1  r ) 
43
Keterangan :
n
= jumlah sampel
Z = deviat baku alfa
Z  = deviat baku beta
r = korelasi minimal yang dianggap bermakna.
Dengan menggunakan rumus tersebut maka jumlah sampel minimal yang
dibutuhkan adalah 23.
3.1.2
Bahan dan Alat yang Digunakan Penelitian
3.1.2.1 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini :
1. Xylocain 10% semprot hidung untuk anestesi lokal
2. Kapas tampon.
3. Jaringan tumor nasofaring yang secara histopatologis merupakan KNF tipe III
WHO.
4. Formalin.
5. Reagen antibodi poliklonal anti human IL-10 RP1014 Boster Immunoleader
untuk pemeriksaan imunohistokimia IL-10.
6. Reagen
antibodi
poliklonal
ab21233
imunohistokimia FasL.
3.1.2.2 Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini :
Abcam
untuk
pemeriksaan
44
1. Botol sediaan.
2. Set biopsi.
3. Sumber cahaya endoskopi merk Storz.
4. Kabel optik merk Storz.
5. Sistem kamera merk Storz yang terhubung dengan monitor 14 inci merk LG.
6. Endoskop kaku 0o merk Storz.
3.2
Metode Penelitian
3.2.1
Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah suatu penelitian observasional analitik dengan rancangan
studi potong lintang.43
3.2.2
Identifikasi Variabel
3.2.2.1 Variabel Penelitian
Variabel yang diukur pada penelitian ini :
1. Variabel terikat yaitu stadium klinis KNF tipe III WHO.
2. Variabel bebas yaitu ekspresi IL-10 dan FasL.
3. Variabel perancu yaitu usia dan jenis kelamin.
3.2.2.2 Definisi Operasional
1. Stadium klinis KNF :
Definisi :
Suatu sistem klasifikasi berdasarkan National Comprehensive
Cancer Network (NCCN) pada tahun 2013, yang dikembangkan
45
oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010 untuk
menjelaskan ekstensi maupun progresifitas penyakit pada pasien
karsinoma kepala leher dengan menggunakan sistem penilaian
TNM (ukuran tumor, KGB yang terlibat, maupun metastasis) .1,4,35
Alat Ukur : National Comprehensive Cancer Network (NCCN) 2013, suatu
sistem klasifikasi yang dikembangkan dari American Joint
Comittee on Cancer (AJCC) 2010.
Cara Ukur : Pemeriksaan fisik, nasoendoskopi, foto polos dada,USG abdomen
dan CT scan.
Hasil Ukur : Stadium I, II,III, IVA –IV C.
Skala Ukur : Kategorik ordinal
2. Klasifikasi TNM :
Definisi :
Suatu sistem klasifikasi berdasarkan National Comprehensive
Cancer Network (NCCN) pada tahun 2013,yang dikembangkan
oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010 untuk
menjelaskan ekstensi maupun progresifitas penyakit pada pasien
karsinoma kepala leher dengan menggunakan sistem penilaian
TNM (ukuran tumor, KGB yang terlibat, maupun metastasis) .1,4,35
Alat Ukur : National Comprehensive Cancer Network (NCCN) 2013, suatu
sistem klasifikasi yang dikembangkan dari American Joint
Comittee on Cancer (AJCC) 2010.
Cara Ukur: Pemeriksaan fisik, nasoendoskopi, foto polos dada, USG abdomen
dan CT scan
46
Hasil Ukur : Klasifikasi T : T1–T2 dan T3–T4
Klasifikasi N : N0 dan N1–N3
Klasifikasi M : M0 dan M1
Skala Ukur : Kategorik ordinal
3. Interleukin-10
Definisi :
Interleukin-10 adalah suatu glikoprotein homodimerik dengan
struktur α-helikal tersier yang mengirimkan sinyal melalui jalur
kompleks Janus kinase (JAK)/signal transducer and activator of
transcription (STAT). Sitokin ini dihasilkan oleh berbagai
macam sel, termasuk sel limfosit T, limfosit B, monosit,
dendritik, sel NK dan sel tumor. Secara umum IL-10 berfungsi
sebagai sitokin imunosupresif.39,44
Cara Ukur : Pemeriksaan Imunohistokimia dengan prinsip ikatan antigen (IL10) pada potongan jaringan dengan antibodi spesifik (poliklonal
anti human IL-10 RP1014 Boster Immunoleader) yang terikat
enzim. Enzim akan merubah substrat tidak berwarna menjadi
substansi terlarut berwarna, yang terpresipitasi pada lokasi
dimana antibodi berada sehingga antigen dapat terlokalisasi. 27
HasilUkur
: Skor 0-12
Skala Ukur : Numerik
4. FasL (CD95L)
Definisi :
Fas ligand adalah suatu protein membran yang merupakan
anggota dari kelompok tumor necrosis factor. Fas ligand yang
47
berikatan dengan Fas akan
menstimulasi
jalur sinyal yang
menyebabkan apoptosis sel yang mengekspresikan Fas.24
Cara Ukur: Pemeriksaan Imunohistokimia dengan prinsip ikatan antigen
(FasL) pada potongan jaringan dengan antibodi spesifik
(poliklonal ab21233/FasL Abcam) yang terikat enzim. Enzim
akan merubah substrat tidak berwarna menjadi substansi terlarut
berwarna, yang terpresipitasi pada lokasi dimana antibodi berada
sehingga antigen dapat terlokalisasi.27
Hasil Ukur : Skor 0-12
Skala Ukur : Numerik
5. Jenis Kelamin
Definisi
: Jenis kelamin pasien yang didapatkan sejak lahir yaitu laki-laki
dan perempuan.
Cara ukur
: Anamnesis
Hasil ukur
: Laki-laki, wanita
Skala ukur : Kategorik nominal
6. Usia
Definisi
: Usia pasien yang dihitung dalam tahun dengan pembulatan ke
bawah atau sama dengan umur pada waktu ulang tahun yang
terakhir saat penderita didiagnosis KNF tipe III WHO.
Cara ukur
: Anamnesis
Hasil ukur
: ≤20, 20 – 29, 30 – 39, 40 – 49, ≥ 50
Skala ukur : Kategorik ordinal
48
3.2.3
Alur Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.3.1 Alur Kerja
ALUR PEMERIKSAAN
Suspek KNF
Informed Consent
Anamnesis, Pemeriksaan Fisik,
Nasofaringoskopi
Biopsi
Eksklusi
Inklusi
KNF Tipe III WHO (+)
Bukan KNF Tipe III
WHO
Pemeriksaan Penunjang
Thorax, USG, CT scan
Stadium I
Stadium II
Imunohistokimia
IL-10
Stadium III
Imunohistokimia
FasL
PENGOLAHAN DATA
ANALISIS
STATISTIK
Stadium IV
49
3.2.3.2 Prosedur Pembuatan Pulasan Imunohistokimia IL-10 dan FasL
(CD95L)
3.2.3.2.1 Alat
Alat yang diperlukan untuk pembuatan pulasan imunohistokimia IL-10 dan
FasL meliputi :
1. Kaca preparat dan penutupnya
2. Hot plate
3. Inkubator
4. Decloacking chamber
5. Pap pen
3.2.3.2.2 Bahan
Bahan yang diperlukan untuk pembuatan pulasan imunohistokimia IL-10 dan
FasL adalah :
1. Larutan Xylol
2. Alkohol 705, 80%, 90% dan100 %
3. Air mengalir
4. H2O20,3%
5. Metanol
6. Cairan penyangga sitrat
7. Blocking serum
8. Antibodi primer poliklonal anti human IL-10
9. Antibodi poliklonal ab21233 (FasL) Abcam
50
10. Larutan PBS
11. Antibodi sekunder
12. Strekttravidin HRP
13. Larutan kromogen DAB
14. Pewarna Meyer hematoksilin
15. Larutan LiCO3
16. Larutan Entelan
3.2.3.2.3 Prosedur
Pulasan imunohistokimia IL-10 dan FasL (CD95L) dilakukan dengan prosedur
manual sebagai berikut :
1. Memanaskan preparat pada hot plate dengan suhu 56-60 C selama 10 menit.
2.
Menyimpan preparat dalam inkubator dengan suhu 370C selama 1 malam.
3. Melakukan parafinisasi preparat dengan xylol sebanyak 3 kali, masing-masing
5 menit.
4. Mencelupkan preparat kedalam alkohol 100% (etanol) sebanyak 3 kali,
masing-masing 5 menit.
5. Mencelupkan preparat kedalam alkohol 90%, 80% dan 70% 1 kali, masingmasing 5 menit
6. Membilas preparat dengan air mengalir.
7. Merendam preparat dalam H2O2 0.3% dan dalam metanol selama 15 menit.
8. Merendam preparat dalam air mengalir 5 menit.
51
9. Memasukkan preparat ke dalam cairan penyangga sitrat, lalu memasukkannya
ke dalam decloacking chamber selama 30 menit.
10. Menunggu hingga sama dengan suhu ruangan.
11. Menandai daerah yang akan diperiksa dengan membuat lingakaran,
menggunakan Pap pen.
12. Mencuci preparat dengan PBS selama 5 menit.
13. Meneteskan blocking serum pada preparat dan inkubasi selama 10 menit.
14. Meneteskan antibodi primer poliklonal anti human IL-10 pada sediaan lalu
inkubasi selama 1 jam.
15. Mencuci preparat dengan larutan PBS pH 7,2-7,42 selama 5 menit.
16. Menetesi preparat dengan antibodi sekunder dan inkubasi selama 10-20 menit.
17. Mencuci preparat dengan larutan PBS pH 7,2-7,42 selama 5 menit.
18. Menetesi preparat dengan larutan strektravidin HRP dan inkubasi selama 10-20
menit.
19. Mencuci preparat dengan larutan PBS pH 7,2-7,42 selama 5 menit.
20. Menetesi preparat dengan larutan kromogen DAB, inkubasi selama 5 menit.
21. Mencuci preparat dengan air mengalir selama 5 menit.
22. Mewarnai preparat dengan counterstaining, menggunakan pewarna Meyer
hematoksilin selama 2 menit.
23. Mencuci preparat dengan air mengalir 5 menit.
24. Mencelupkan preparat ke dalam LiCO3.
25. Mencuci preparat dengan air mengalir.
52
26. Menetesi preparat dengan alkohol 70%, 80%, 90% 1 kali, diamkan selama 5
menit.
27. Menetesi preparat dengan alkohol 100% / ethanol, diamkan selama 5 menit.
28. Memasukkan preparat ke dalam larutan xylol selama 3 menit.
29. Menetesi preparat dengan larutan entelan kemudian menutupnya dengan kaca
penutup dan dibiarkan mengering pada suhu ruangan.
30. Melihat hasil pulasan imunohistokimia dibawah mikroskop.
Tahapan
dan
proses
yang
sama
dilakukan
terhadap
pewarnaan
imunohistokimia FasL (CD95L).
Imunoekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) dinyatakan positif bila sitoplasma dan
membran sel tumor berwarna coklat. Hasil yang didapat berupa :
- Skala distribusi imunoekspresi

Skor 0 untuk hasil negatif

Skor 1 adalah < 10 %

Skor 2 adalah 11-50%

Skor 3 adalah 51-80% dan

Skor 4 adalah ≥ 80%.
- Skala intensitas imunoekspresi

Skor 0 untuk tidak ada (tidak terwarnai)

Skor 1 intensitas lemah/L (terwarnai coklat muda/pucat)

Skor 2 intensitas sedang/S (terwarnai coklat) dan

Skor 3 untuk intensitas kuat/K (terwarnai coklat tua)
53
- Hasil akhir berupa Histoskor, yaitu perkalian antara skala distribusi dengan
skala intensitas, dengan hasil akhir berupa skor 0-12.
3.2.3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pelaksanaan penelitian ini melalui beberapa tahapan, yaitu:
1. Penderita tumor nasofaring yang datang ke poli Onkologi dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik THT-KL.
2. Dilakukan biopsi sesuai dengan prosedur operasional standar yang berlaku.
3. Dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menetukan stadium (pemeriksaan
darah, foto polos dada, CT-Scan, USG abdomen).
4. Bila didapatkan histopatologi berupa KNF tipe III WHO selanjutnya
dilakukan
penilaian
ekspresi
IL-10
dan
FasL
(CD95L)
dengan
imunohistokimia menggunakan imunogen antibodi poliklonal anti human IL10 RP1014 Boster Immunoleader untuk IL-10 dan imunogen antibodi
poliklonal ab21233 Abcam untuk FasL (CD95L).
3.2.4
Rancangan Analisis
Data yang diperoleh dicatat dalam formulir penelitian yang telah dibuat,
kemudian dilakukan edit, verifikasi, pengkodean dan
pemasukan data,
selanjutnya dilakukan analisis.
Analisis statistik untuk data kategorik diuji dengan uji Chi-Square dengan
alternatif uji Exact Fisher dan uji Kolmogorov Smirnov apabila syarat dari ChiSquare tidak terpenuhi. Untuk data numerik , sebelum dilakukan uji statistika,
54
terlebih dahulu dinilai normalitasnya menggunakan uji Shapiro Wilks karena
jumlah data kurang dari 50. Uji Statistika untuk membandingkan karakteristik dua
kelompok penelitian digunakan uji t tidak berpasangan jika data berdistribusi
normal dan uji Mann Whitney sebagai alternatifnya jika data tidak berdistribusi
normal. Korelasi antara variabel numerik dengan variabel dianalisis menggunakan
uji korelasi Pearson jika data berdistribusi normal dan jika data tidak berdistribusi
normal maka digunakan uji korelasi Spearman. Analisis korelasi antara variabel
numerik dengan ordinal menggunakan analisis korelasi Spearman sedangkan
analisis korelasi antara variabel ordinal dengan ordinal maka menggunakan uji
korelasi Spearman. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi,
arah korelasi dan
nilai p. Kekuatan korelasi (r) dinilai berdasarkan kriteria
sebagai berikut, yaitu : 0,0 – < 0,2 = sangat lemah; 0,2 – < 0,4 = lemah; 0,4 – <
0,6 = sedang; 0,6 – < 0,8 = kuat; 0,8 – 1,0 = sangat kuat. Arah
korelasi
positif/searah berarti semakin besar nilai satu variabel maka semakin besar pula
nilai variabel lainnya. Arah korelasi negatif berarti semakin besar nilai satu
variabel maka semakin kecil nilai variabel lainnya. Kriteria kemaknaan yang
digunakan adalah nilai p. Nilai p ≤ 0,05 berarti signifikan atau bermakna secara
statistik dan jika nilai p > 0,05 berarti tidak signifikan atau tidak bermakna secara
statistik. Jika nilai p < 0,05 berarti terdapat korelasi yang bermakna antara dua
variabel yang diuji dan apabila nilai p > 0,05 maka dapat dinyatakan tidak
terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.44
55
3.2.5
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di poli Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher dan Bagian Ilmu
Patologi Anatomi RS Dr.
Hasan Sadikin Bandung. Waktu penelitian dilakukan setelah usulan penelitian ini
disetujui sampai terpenuhi jumlah sampel.
3.3 Aspek Etik Penelitian
Pada penelitian ini akan digunakan sampel penderita KNF tipe III WHO yang
datang ke poliklinik Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher RS. Dr. Hasan Sadikin dan akan dikerjakan apabila sudah
mendapatkan surat izin dari Komite Etika Penelitian FK UNPAD / RSHS. Pada
setiap penderita yang mengikuti penelitan, sebelumnya akan dilakukan informed
consent mengenai tujuan, manfaat dan kerugian mengikuti penelitian serta
prosedur tindakan dan risiko yang akan dihadapi disertai upaya penanganannya.
Aspek etik pada penelitian ini adalah terjaganya kerahasiaan data sampel
penelitian. Upaya yang dilakukan untuk menjaga kerahasiaan data sampel
penelitian tersebut antara lain adalah bahwa data sampel hanya diketahui oleh
peneliti dengan cara hanya menuliskan inisial nama sampel penelitian pada
laporan
dan tidak membuat fotokopi dari buku status rekam medis sampel
penelitian. Aspek etik lain yang dijumpai dalam penelitian ini adalah adanya
ketidaknyamanan pada saat dan sesudah dilakukan prosedur biopsi jika ditemukan
massa pada nasofaring. Ketidaknyamanan yang dapat dijumpai karena tindakan
biopsi antara lain adalah rasa nyeri, kemungkinan perdarahan dan infeksi. Untuk
56
mengurangi rasa nyeri sebelum biopsi diberikan larutan anestesi lokal berupa
xylocaine 10% semprot hidung dan diberikan obat anti nyeri oral sesudahnya.
Pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin (hemobglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit), waktu perdarahan dan waktu pembekuan serta pemeriksaan tandatanda vital (keadaan umum, tensi, nadi dan respirasi) dilakukan sebelum tindakan
biopsi untuk menghindari risiko terjadinya perdarahan masif pada saat biopsi.
Pada pasien dengan usia diatas 40 tahun dilakukan juga pemeriksaan rekam
jantung (elektrokardiografi) sebelum tindakan. Jika terjadi perdarahan setelah
dilakukan biopsi, diatasi dengan pemasangan tampon kapas yang mengandung
adrenalin dan NaCl 0,9% dengan perbandingan 1:200.000 dan dilakukan
pemantauan. Bila perdarahan tidak teratasi dengan pemasangan tampon kapas
yang mengandung adrenalin, selanjutnya dapat dilakukan pemasangan tampon
hidung anterior bervaselin dan pemberian asam traneksamat oral bila perlu.
Setelah dilakukan biopsi pada pasien diberikan antibiotik oral untuk mencegah
infeksi pada luka tempat biopsi. Tindakan tersebut sesuai dengan prosedur
operasional standar yang berlaku. Keuntungan penelitian secara langsung untuk
pasien adalah dapat menjadi dasar pemberian terapi tambahan dari prosedur terapi
baku yang sudah ada, khususnya pada pasien KNF dengan stadium lanjut.
Kerugiannya yang mungkin dijumpai adalah jaringan tumor pasien hasil biopsi,
yang mungkin diperlukan untuk kepentingan lain bagi pasien, dapat habis ketika
dilakukan pemeriksaan imunohistokimia IL-10 dan FasL namun akan diusahakan
seefektif dan seefisien mungkin dalam penggunaannya.
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada penelitian ini, didapatkan 23 sampel jaringan yang diperoleh dari hasil
biopsi penderita tumor nasofaring yang datang ke poli Onkologi Ilmu Kesehatan
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran/ RS Dr. Hasan Sadikin
Bandung dengan hasil histopatologi KNF tipe III WHO. Sampel tersebut diwarnai
menggunakan pemeriksaan imunohistokimia di bagian Ilmu Kesehatan Patologi
Anatomi RSHS Bandung untuk menilai imunoekspresi IL-10 dan FasL.
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik umum subjek penelitian meliputi jenis kelamin, usia dan stadium
klinis KNF tipe III WHO, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Tabel tersebut
menggambarkan bahwa KNF tipe III WHO lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan yaitu sebesar 57%. Kategori umur penderita KNF tipe III
WHO terbanyak adalah pada kelompok usia 30-39 tahun (35%) dan 40-49
tahun (30%). Stadium klinis penderita ketika pertama kali didiagnosis KNF tipe
III WHO paling banyak adalah stadium lanjut (III dan IV), yaitu sebesar 26%
untuk stadium III dan 57%
untuk stadium IV. Menurut klasifikasi TNM,
menunjukkan bahwa kategori T1-T2 sebanyak 52% dan T3-T4 sebanyak 48%.
Sebagian besar pasien (87%) mengalami penyebaran tumor ke kelenjar getah
bening servikal dan hanya 1 pasien yang mengalami metastasis jauh (hati).
58
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik
Jumlah
%
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
13
10
57
43
Umur (tahun)
≤20
20 – 29
30 – 39
40 – 49
≥ 50
0
3
8
7
5
0
13
35
30
22
Stadium klinis
I
II
III
IV
0
4
6
13
0
17
26
57
Klasisfikasi T
T1-T2
T3-T4
12
11
52
48
Klasifikasi N
N0
N1-N3
3
20
13
87
Klasifikasi M
M0
M1
22
1
96
4
Keterangan :SD = Standar Deviasi
4.1.2
Perbandingan Karakteristik Umur dan Jenis Kelamin Berdasarkan
Stadium Klinis
Tabel 4.2 menggambarkan perbandingan karakteristik umur dan jenis kelamin
berdasarkan stadium klinis. Pada tabel tersebut ditunjukkan bahwa perbandingan
karaktersitik umur dan jenis kelamin anatara kedua kelompok stadium, yaitu
stadium awal dan stadium lanjut, diperoleh nilai p > 0,05, yaitu 0,706 untuk
59
variabel usia dan 0,127 untuk variabel jenis kelamin. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna atau data
bersifat homogen sehingga dapat dilakukan analisis statistik selanjutnya.
Tabel 4.2 Perbandingan Karakteristik
Berdasarkan Stadium Klinis
Karakteristik
Umur (tahun)
≤20
20 – 29
30 – 39
40 – 49
≥ 50
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur
dan
Stadium
Kelamin
Nilai p
Awal (I-II)
n=5
Lanjut (III-IV)
n = 18
0 (0,0%)
0 (0,0%)
1 (20,0%)
2 (40%)
2 (40,0%)
0 (0,0%)
3 (16,7%)
7 (38,9%)
5 (27,8%)
3 (16,7%)
1 (20,0%)
4 (80,0%)
Jenis
12 (66,7%)
6 (33,3%)
0,127*
0,706**
Keterangan : *) Uji Kolmogorof smirnov, **) Uji chi square
4.1.3 Ekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) pada Penderita Karsinoma
Nasofaring Tipe III WHO
Ekspresi IL-10 dan FasL pada penderita KNF tipe III WHO dengan
menggunakan pewarnaan imunohistokimia, dinilai berdasarkan distribusi dan
intensitas sehingga diperoleh nilai histoskor IL-10 dan FasL, seperti ditunjukkan
pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa seluruh sampel mengekspresikan IL-10 dan
FasL dengan nilai bervariasi. Sebagian besar sampel penelitian mengekspresikan
IL-10 (61%) dan FasL (48%) dengan nilai distribusi >80%.
60
Tabel 4.3 Ekspresi IL-10 dan FasL pada Penderita KNF Tipe III WHO
Ekspresi
Jumlah
%
IL-10
a. Distribusi :
0
≤10 %
11-50%
51-80 %
>80 %
0
0
1
8
14
0
0
4
35
61
b. Intensitas :
0
1
2
3
0
1
5
17
0
4
22
74
FasL (CD95L)
a. Distribusi :
0
≤10 %
11-50%
51-80 %
>80%
0
1
3
8
11
0
4
13
35
48
b. Intensitas :
0
1
2
3
0
14
9
0
0
61
39
0
Histoskor :
Rerata±SD : 9.8±2.8
Median
: 12
Rentang
: 2-12
Histoskor :
Rerata±SD : 4,5±1,8
Median
:4
Rentang
: 1-8
Keterangan :SD = Standar Deviasi
Penilaian intensitas ekspresi IL-10 dan FasL dinilai berdasarkan
kuat
lemahnya warna coklat pada sitoplasma sel. Tabel 4.3 menggambarkan bahwa
61
untuk ekspresi IL-10, sebagian besar sampel (74%) mempunyai nilai intensitas 3
sedangkan untuk FasL sebagian besar sampel (61%) memiliki intensitas dengan
nilai 1.
Berdasarkan intensitas dan distribusi maka akan diperoleh nilai histoskor.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa IL-10 mempunyai nilai histoskor dengan rerata 9,8
(± 2,8), median 12 dan rentang 2-12 sedangkan untuk FasL memiliki nilai rerata
4,5 (± 1,8), median 4 dan rentang 1-8.
4.1.4
Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Stadium Klinis
KNF Tipe III WHO
Tabel 4.4 menunjukkan hasil analisis statistik mengenai hubungan antara
ekspresi (histoskor) IL-10 dan FasL dengan stadium klinis berdasarkan analisis
korelasi. Berdasarkan analisis korelasi Spearman maka diperoleh nilai p sebesar
0,553 untuk hubungan ekspresi IL-10 dengan stadium klinis dan 0,200 untuk
hubungan ekspresi FasL dengan stadium klinis, yang artinya tidak signifikan
atau tidak bermakna secara statistik.
Tabel 4.4 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Stadium Klinis
KNF Tipe III WHO
Variabel
rs
Nilai p
Korelasi stadium klinis dengan ekspresi IL-10
0,130
0,553
Korelasi stadium klinis dengan ekspresi FasL
-0,277
0,200
Keterangan: Korelasi dianalisis denganuji korelasi Spearman. rs = koefisien korelasi rank Spearman.
62
4.1.5
Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Klasifikasi TNM
Tabel 4.5 menunjukkan hasil analisis statistik hubungan ekspresi IL-10 dan
FasL dengan klasifikasi TNM berdasarkan analisis korelasi. Berdasarkan analisis
korelasi Spearman maka diperoleh nilai p sebesar 0,816 untuk hubungan antara
ekspresi IL-10 dengan klasifikasi T,
dengan klasifikasi
0,471 untuk hubungan ekspresi IL-10
N dan 0,430 untuk hubungan ekspresi
IL-10 dengan
klasifikasi M. Analisis serupa dilakukan untuk FasL, diperoleh nilai p sebesar
0,784 untuk hubungan histoskor FasL dengan klasifikasi T,
hubungan ekspresi FasL dengan klasifikasi
0,243
N dan 0,414 untuk
untuk
hubungan
ekspresi FasL dengan klasifikasi M.
Tabel 4.5 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Klasifikasi
TNM
Variabel
rs
Nilai p
Korelasi ekspresi IL-10 dengan klasifikasi
T
N
M
-0,051
0,158
0,173
0,816
0,471
0,430
Korelasi ekspresi FasL dengan klasifikasi
T
N
M
-0,060
-0,254
0,179
0,784
0,243
0,414
Keterangan: Analisis menggunakan uji korelasi Spearman. rs = koefisien korelasi rank Spearman.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan data karakteristik penderita yang diperoleh pada penelitian ini
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak, yaitu sebesar 57%. Adriana dkk,
tahun 2015, dalam penelitiannya mengenai kesintasan dan faktor yang
63
mempengaruhi penderita karsinoma nasofaring di RSHS, melaporkan hasil yang
sama bahwa
penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan yaitu sebesar
68,8%. Adham dkk di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, tahun
2005, dalam penelitiannya mengenai epidemiologi, insidensi, gejala dan tanda
karsinoma nasofaring di Indonesia, menunjukkan hasil yang sesuai, yaitu
penderita laki-laki lebih banyak sebesar 70,4%.
Di rumah sakit Kiang Wu,
Macau, Cina, Xiao dkk, tahun 2013 dalam penelitiannya mengenai pengaruh
jenis kelamin dan umur terhadap kelangsungan
hidup penderita karsinoma
nasofaring, juga menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak
daripada wanita, yaitu sebesar 71,2%.8-9,45
Penelitian sebelumnya sesuai dengan
penelitian
ini yang
menunjukkan
angka kejadian KNF lebih dominan terjadi pada laki-laki. Hal ini mungkin dapat
disebabkan oleh faktor risiko terjadinya KNF seperti pajanan asap rokok dan
karsinogen lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan.
Penelitian di Thailand
dengan penderita dominan KNF tipe III WHO melaporkan bahwa terdapat
hubungan bermakna antara riwayat merokok dengan peningkatan
risiko
terjadinya KNF secara keseluruhan.8,19,46
International Agency for Research on Cancer menyatakan bahwa terdapat 60
karsinogen dalam asap tembakau dan telah terdapat cukup bukti yang
menunjukkan bahwa zat tersebut bersifat karsinogenik baik pada hewan coba
maupun manusia. Zat karsinogenik tersebut
digolongkan kedalam berbagai
kelompok zat kimia, yaitu : polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH), aza-arenes,
N-nitrosamin, amino aromatik, amino heterosiklik, aldehid, volatile hidrokarbon,
64
senyawa nitro, senyawa organik lainnya, logam dan senyawa anorganik lainnya.
Delapan belas N-nitrosamin terdapat dalam asap rokok. Komponen karsinogen
tertentu dalam asap rokok dapat menyebabkan kerusakan DNA dan mutasi gen
p53.47
Selain hal tersebut diatas, diduga terdapat faktor intrinsik tertentu pada wanita
yang memberikan efek protektif yang mempengaruhi sistem imun terhadap
kanker. Hormon gonad, yaitu testosteron dan androgen serta reseptor terkait
mempunyai pengaruh dalam menyebabkan adanya perbedaan perilaku biologis
sel tumor antara laki-laki dan perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa androgen dapat menginduksi perubahan proliperatif sel kanker
pada
hewan coba dan mempromosikan tumorigenesis melalui reseptor androgen. 48
Maasberg dkk melaporkan bahwa pemberian testosteron dapat menyebabkan
efek proliferasi sel sebanyak tiga kali lipat sedangkan estrogen tidak mempunyai
pengaruh pada pertumbuhan tumor. Stimulasi pertumbuhan ini dapat ditekan
dengan pemberian anti androgen seperti siprosteron asetat atau flutamid.
Penelitian in vitro ini menunjukkan bahwa hormon seks mempunyai peranan
dalam regulasi pertumbuhan tumor.48
Kelompok usia terbanyak pada penelitian ini adalah usia 30-39 tahun (35%)
dan 40-49 tahun (30%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rusdiana dkk di Medan,
tahun 2006 yang melaporkan bahwa penderita terbanyak terdapat pada dekade 35 sebanyak 30,79%. Adham M dkk di RSCM serta Cao dkk di Cina, tahun 2010
melaporkan bahwa usia terbanyak terdapat pada dekade ke 4-5. Angka kejadian
KNF meningkat sesuai dengan bertambahnya usia dan puncaknya terjadi pada
65
dekade 5, stabil sampai usia 60–64 tahun dan menurun sesudahnya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa KNF di Indonesia mempengaruhi populasi usia dewasa
produktif sehingga dapat menjadi beban sosioekonomi masyarakat Indonesia. 8,4950
Insidensi karsinoma meningkat sesuai dengan pertambahan usia (penuaan)
baik pada manusia maupun
hewan coba. Terdapat perbedaan pola distribusi
tumor terkait usia pada berbagai organ dan jaringan. Penuaan dapat meningkatkan
atau menurunkan kerentanan berbagai jaringan terhadap inisiasi karsinogenesis
dan biasanya memfasilitasi promosi dan progresi karsinogenesis. Penuaan dapat
menjadi predisposisi kanker melalui beberapa mekanisme, yaitu :
1) Akumulasi jaringan dari sel-sel pada tahap lanjut dari karsinogenesis.
2) Perubahan homeostasis, khususnya perubahan pada sistem imun dan sistem
endokrin.
3) Instabilitas telomer terkait penuaan dan peningkatan risiko kanker.
51
Peningkatan kerentanan terhadap efek promoter tumor ditemukan baik pada
hewan coba maupun manusia yang menua. Terdapat penelitian yang mendukung
adanya relevansi yang tampak kuat antara replikasi akibat penuaan dari sel
manusia dan biologi telomer terhadap kanker pada manusia meskipun
memerlukan penelitian lebih lanjut. Data mengenai akselerasi penuaan oleh agen
karsinogenik seperti halnya peningkatan risiko kanker pada pasien dengan
penuaan dini masih dalam perdebatan.51
Tiga hipotesis utama telah diajukan untuk menjelaskan tentang hubungan
antara kanker dan usia. Hipotesis pertama menyatakan hubungannya adalah
66
bahwa kanker merupakan konsekuensi dari durasi karsinogenesis. Dengan kata
lain, urutan langkah karsinogenik yang diperlukan untuk transformasi neoplastik
jaringan normal, berkembang beberapa tahun dan kanker lebih cenderung
bermanifestasi pada individu yang lebih tua melalui proses seleksi alam. Peto
dkk., menyatakan bahwa tingginya prevalensi kanker pada usia yang lebih tua
secara sederhana mencerminkan
paparan
yang
lebih
lama terhadap
karsinogen.51
Hipotesis kedua menyatakan bahwa perubahan progresif terkait usia dalam
lingkungan internal suatu organisme, dapat menyokong meningkatnya lingkungan
yang menguntungkan untuk timbulnya neoplasma baru dan untuk pertumbuhan
massa yang sudah ada. Mekanisme ini termasuk di dalamnya adalah proliferasi
yang berhubungan dengan proses penuaan, sehubungan dengan hilangnya
kemampuan sel menua untuk mengalami apoptosis dan diduga menyebabkan
banyak faktor yang saling bekerja sama untuk menstimulasi mutasi onkogenik sel
epitel.51
Hipotesis ketiga menyatakan bahwa fenotipe cenderung kanker pada manusia
yang lebih tua terjadi akibat kombinasi efek dari muatan mutasional kumulatif,
peningkatan epigenetik silencing gen, disfungsi telomer dan perubahan
lingkungan stroma. DePinho menekankan bahwa disfungsi telomer dapat menjadi
faktor utama dari beberapa mekanisme yang mengendalikan karsinogenesis epitel
seiring dengan lanjutnya usia. Penguraian lebih mendalam mengenai penyebab
meningkatnya insidensi kanker terkait usia, dapat menjadi kunci dalam menyusun
strategi pencegahan kanker primer.51
67
Etiologi KNF bersifat multifaktorial, yaitu berkaitan dengan lingkungan
(karsinogen), genetik, dan virus Epstein Barr. Secara umum, KNF jarang terjadi
pada usia di bawah 20 tahun (kurang dari 1%). Jumlah penderita KNF dibawah
usia 16 tahun yaitu sekitar 1–2% di Cina, 2,1% di Inggris, 7,12% di Turki, 10% di
Amerika Serikat, 12% di Israel, 13% di Kenya, 14,5% di Tunisia dan 18% di
Uganda. Di Indonesia, pada observasi yang dilakukan selama lebih dari 10 tahun
menunjukkan bahwa sekitar 17–21% penderita KNF adalah berusia kurang dari
30 tahun. Dalam kaitannya dengan usia yang lebih banyak terjadi pada dekade 45 namun terdapat sejumlah penderita KNF berusia kurang dari 16 tahun, hal ini
mungkin disebabkan oleh perubahan progresif terkait usia dalam lingkungan
internal suatu organisme akibat proses penuaan serta lamanya pajanan dari agen
karsinogenik dan VEB.3,8,51
Paparan usia dini oleh infeksi EBV dan reaktivasi infeksi virus kronis pada
jaringan epitel nasofaring berkaitan dengan inflamasi lokoregional dapat menjadi
hal yang mendasar untuk perkembangan KNF. Sebagai catatan, hampir 100%
anak-anak Indonesia merupakan pembawa EBV sejak usia 5 tahun. Beberapa
faktor lingkungan dipertimbangkan sebagai hal yang sangat penting untuk
perkembangan EBV. Ikan asin sering dijumpai dalam menu makanan Indonesia.
Makanan tersebut telah dilaporkan sebagai penyebab KNF berkaitan dengan
komponen nitrosamin yang dikandungnya. Pajanan lama dengan karsinogen
kimiawi berupa formalin dan forbolester yang banyak digunakan di Indonesia
juga dipertimbangkan sebagai faktor risiko penting untuk KNF. Pewarna tekstil
sebagai sumber bahan karsinogenik hidrokarbon yang disalahgunakan untuk
68
pewarna makanan juga masih sering dijumpai di Indonesia. Faktor risiko lain
adalah inhalan lingkungan seperti asap hasil pembakaran kayu yang mengandung
sejumlah besar benzopirin, benzantrasen dan hidrokarbon aromatik polisiklik.
Pajanan okupasional terhadap formaldehid juga meningkatkan risiko KNF.
Kebiasaan merokok dengan zat aditif tertentu dan bekerja pada tempat dengan
ventilasi buruk sangat berhubungan erat dengan KNF. Paparan lama terhadap
faktor kokarsinogenik diatas dan infeksi laten EBV secara sinergi meningkatkan
risiko perkembangan KNF. Efek buruk kandungan zat kokarsinogenik tercermin
dengan semakin meningkatnya proses metilasi dari gen supresor tumor. 8
Berdasarkan NCCN pada tahun 2013, stadium klinis pada penelitian ini
terbanyak pada stadium lanjut yaitu stadium III sebanyak 6 (26%) pasien dan
stadium IV sebanyak 13(57%) pasien. Menurut klasifikasi TNM, menunjukkan
bahwa kategori T1-T2 sebanyak 52% dan T3-T4 sebanyak 48%. Sebagian besar
pasien (87%) mengalami penyebaran tumor ke kelenjar getah bening dan hanya 1
pasien yang mengalami metastasis jauh, yaitu ke hati. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Adriana dkk, tahun 2015 yang menyatakan bahwa sebagian besar
penderita KNF datang berobat sudah dengan stadium lanjut, yaitu 27% stadium
III dan 60,9% stadium IV.9
Faktor yang menyebabkan sebagian besar pasien KNF datang dengan stadium
lanjut adalah pasien terlambat berobat karena gejala aural dan nasal pada
stadium awal tidak spesifik serta benjolan di leher tidak terasa nyeri. Kurangnya
pengetahuan pasien mengenai tanda dan gejala dini KNF dan kanker secara umum
69
serta penyangkalan akan diagnosis kanker dan keterbatasan ekonomi juga dapat
menyebabkan pasien terlambat berobat. 8,13
Dokter juga dapat berkontribusi terhadap lambatnya dalam mendiagnosis KNF
karena kurang menghiraukan atau kesalahan dalam membuat diagnosis. Hal ini
dapat disebabkan oleh gejala dan tanda awal KNF tidak spesifik (menyerupai
infeksi saluran napas atas) sehingga membingungkan tenaga kesehatan serta letak
yang tersembunyi sehingga menyulitkan pemeriksaan klinis dan adanya lesi
submukosa yang tampak normal pada saat pemeriksaan nasofaring. Suatu
penelitian mengenai KNF yang dilakukan di Yogyakarta, tahun 2010 pada dokter
umum di puksesmas menunjukkan adanya wawasan yang buruk mengenai gejala
dan tanda KNF. Hal tersebut juga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis atau
terlambat dalam mendiagnosis KNF sehingga pasien dirujuk sudah dalam stadium
lanjut. Pada daerah dengan risiko tinggi KNF, dokter harus lebih waspada
mengenai gejala dan tanda awal dari KNF yang tidak spesifik untuk memperbaiki
pengenalan dan diagnosis sehingga diagnosis KNF dapat ditegakkan secara dini
karena respons terapi pada stadium dini lebih baik daripada stadium lanjut.8,13,52
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian
besar sampel penelitian
mengekspresikan IL-10 (61%) dan FasL (48%) dengan nilai distribusi >80%
sedangkan untuk intensitas, sebagian besar sampel (74%) mempunyai nilai
intensitas 3 sedangkan
untuk
FasL sebagian besar sampel (61%) memiliki
intensitas dengan nilai 1 dan tidak didapatkan sampel dengan nilai intensitas
kuat. Berdasarkan intensitas dan distribusi maka akan diperoleh nilai histoskor IL-
70
10 dengan rerata 9,8 (SD ±2,8), median 12 dan rentang 2-12, sedangkan untuk
FasL memiliki nilai rerata 4,5 (± 1,8), median 4 dan rentang 1-8.
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa histoskor IL-10 untuk kategori T mempunyai
nilai rerata 9,92 (± 2,39), untuk kelompok T1-T2 dan rerata 9,64 (± 3,30) untuk
T3-T4, sedangkan untuk kategori N, nilai rerata histoskor N0 adalah 8,67 (± 0,58)
dan 9,95 (± 2,96) untuk N1-N3 serta berdasarkan kategori M nilai rerata histoskor
untuk M0 adalah 9,68 (± 2,82) dan 12 untuk M1.
Interleukin-10
merupakan
sitokin
imunosupresif.
Keberadaannya
di
lingkungan sekitar tumor dapat dihasilkan oleh sel tumor, sel mononuklear, sel
leukosit yang menginfiltrasi tumor dan sel supresor mieloid. Sitokin tersebut
dapat mengganggu presentasi antigen tumor kepada sel limposit T yang
menginfiltrasi tumor sehingga tidak dikenali. Ekspresi FasL pada sel tumor dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis sel limfosit T yang mengekspresikan reseptor
Fas pada permukaan selnya sehingga jumlah sel limfosit T yang menginfiltrasi
tumor menjadi berkurang. Kedua mekanisme tersebut dapat digunakan sel tumor
untuk mekanisme meloloskan diri dari sistem imun yang bisa membantu
peningkatan pertumbuhan, invasi dan metastasis tumor sehingga dapat
mempengaruhi stadium klinis penyakit,15-18,24-25,37,41 namun melalui uji korelasi
Spearman untuk menganalisis hubungan antara ekspresi IL-10 dan FasL dengan
stadium klinis karsinoma nasofaring menghasilkan nilai p > 0,05, seperti
ditunjukkan oleh tabel 4.4. Hal tersebut artinya secara statistik tidak bermakna.
Selain itu, dilakukan juga analisis mengenai hubungan ekspresi IL-10 dan FasL
71
dengan masing-masing kategori T, N dan M, namun hasil uji korelasi Spearman
juga menghasilkan nilai p > 0,05 (tabel 4.5), secara statistik tidak bermakna.
Interleukin-10 adalah
sitokin imunoregulator yang bersifat pleotrofik,
terutama dihasilkan oleh makrofag dan juga oleh sel limfosit T, limfosit B, sel
dendritik, monosit, sel mast dan bahkan oleh sel tumor ganas, termasuk KNF.
Sekresi sitokin ini dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Peranan
pleotopik IL-10 dalam sistem imun bersama dengan adanya regulasi polimorfik
dapat mempengaruhi ekspresi sitokin ini. Beberapa keadaan patologis yang
berkaitan dengan tingkat ekspresi atau kadar IL-10 adalah penyakit atopi, lupus
eritematosus sistemik (LES), psoriasis, penyakit inflamasi usus, artritis reumatoid,
infeksi (bakteri dan virus), stres metabolik dan keganasan.53-54
Penderita penyakit atopi, termasuk dermatitis alergi, asma dan rinitis alergi,
mempunyai kadar IL-10 yang lebih rendah dibandingkan dengan orang normal.
Boel dkk, tahun 1996, dalam penelitiannya menemukan bahwa konsentrasi IL-10
pada hasil bilasan bronkoalveolar penderita asma adalah lebih rendah
dibandingkan kontrol sehat. 53-55
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun kompleks
yang ditandai dengan hiperaktivitas limfosit B dan produksi autoantibodi yang
secara langsung menyerang DNA serta menyebabkan disfungsi sel penyaji antigen
dan limfosit T. Peningkatan produksi dan penurunan pembersihan kompleks imun
menyebabkan terjadinya deposisi kompleks imun tersebut pada jaringan yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan sistem organ multipel. Interleukin-10
mempunyai kemampuan untuk menginduksi produksi autoantibodi oleh limfosit
72
B. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa IL-10 memegang peranan penting
dalam patogenesis penyakit LES. Sumber utama IL-10 pada penderita LES adalah
limfosit B dan monosit. Produksi berlebihan dari IL-10 oleh sel tersebut, pertama
kali ditunjukkan oleh Llorente dkk pada tahun 1993. Hasil penelitiannya
dikonfrmasi dengan penelitian lain yang menggambarkan hasil yang sama.
Produksi autoantibodi abnormal oleh limfosit B pada pasien LES adalah
tergantung dari IL-10. Hal ini berkaitan dengan berbagai penelitian yang
menunjukkan terdapat hubungan positif antara kadar IL-10 dengan aktivitas
penyakit LES. 53-54
Psoriasis merupakan suatu kelainan kulit
yang ditandai dengan ekspresi
berlebihan dari sitokin proinflamasi TH1 (IL-2, IFN-γ, TNF-α) sedangkan tingkat
ekspresi sitokin anti-inflamasi (IL-4,IL-10) bernilai rendah dan tidak mencukupi
untuk mengimbangi efek sitokin proinflamasi. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa kadar IL-10 pada penderita psoriasis bernilai rendah sehingga dinyatakan
bahwa sitokin tersebut memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis. 5354
Penyakit inflamasi usus terdiri dari penyakit Crohn dan kolitis ulserativa.
Penyakit ini merupakan suatu kelainan kronik kambuhan, ditandai dengan
inflamasi saluran gastrointestinal yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
mukosa. Elemen penting dalam patogenesis penyakit inflamasi usus adalah
disregulasi sistem imun. Sistem imun normal pada usus berupa keadaan
kesiembangan antara sitokin proinflamasi dan antiinflamasi sangat penting untuk
homeostasis saluran pencernaan. Penderita penyakit inflamasi usus mengalami
73
defisiensi IL-10 sehingga tidak dapat mengimbangi tingginya produksi sitokoin
proinflamasi oleh monosit dan netrofil. Keadaan tersebut pada akhirnya
menyebabkan kerusakan jaringan. 53-54
Artritis reumatoid (AR) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
sinovitis kronis. Keadaan tersebut pada akhirnya menyebabkan kehancuran sendi.
Cairan sinovial penderita AR menunjukkan penurunan kadar IL-10 yang
signifikan dibandingkan orang sehat sehingga diduga bahwa produksi sitokin ini
mengalami depresi pada penderita AR. Sumber IL-10 pada jaringan sinovial
adalah makrofag dan sel T. 53-54
Beberapa virus tertentu seperti respiratory ssincytial virus, rinovirus-14 dan
virus parainfluenza dapat menginduksi produksi IL-10 oleh makrofag. Infeksi
bakteri tertentu khususnya bakteri spesifik intraseluler seperti Mycobacterium
tuberculosis juga dapat menstimulasi produksi IL-10 oleh sel T. Penelitian
menunjukkan bahwa IL-10 berhubungan dengan progresivitas penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. 53-54
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres metabolik akibat trauma, luka bakar
dan pembedahan mayor dapat juga menginduksi peningkatan produksi IL-10.
Mediator stres tampaknya memegang peranan penting dalam mengatur sekresi IL10. 53
Interleukin-10 bekerja sama dengan prostaglandin E2 (PGE2) dan vascular
endothelial growth factor A (VEGF-A) dapat menginduksi ekspresi FasL pada sel
endotel yang terdapat pada tumor sehingga menyebabkan kematian pada sel
limfosit T sitotoksik yang menginfiltrasi tumor. Berdasarkan hal tersebut maka
74
kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi ekspresi IL-10 dapat juga
mempengaruhi ekspresi FasL.42
Suatu penelitian membuktikan bahwa mutasi pada Fas atau FasL tikus dapat
menyebabkan kelainan tertentu antara lain permasalahan dalam hal pengendalian
infeksi virus West Nile, influenza, herpes simpleks-1, herpes simpleks-2, virus
hepatitis. Bien dkk, dalam penelitiannya mengenai penyakit mousepox pada paru
yang disebabkan oleh agen infeksius virus ektomelia menemukan bahwa ekspresi
FasL yang rendah berhubungan dengan beratnya penyakit.56
Adanya polimorfisme nukleotida tunggal pada suatu daerah promoter gen
dapat mempengaruhi proses transkripsi atau translasi gen yang bersangkutan dan
terkadang dapat mempengaruhi fungsi biologis. Polimorfisme nukleotida tunggal
dijumpai
pada promotor gen IL-10. Jenis polimorfisme nukleotida tunggal
promotor gen IL-10 tertentu akan berkaitan dengan kerentanan terhadap suatu
keadaan patologis tertentu, seperti dijelaskan di atas. Telah ditemukan tiga macam
polimorfisme nukletida tunggal promoter gen IL-10, yaitu pada posisi 10-82
(A/G), -819 (T/C) dan -592 (AC). Wei menyatakan bahwa polimorfisme
nukleotida tunggal promoter gen IL-10 pada posisi
-1082 (A/G) dan
haplotipenya dapat berkontribusi dalam kerentanan genetik terhadap KNF pada
populasi di Cina. Polimorfisme nukleotida tunggal promoter gen juga ditemukan
pada FasL dan yang paling popular adalah perubahan C ke T pada posisi
nukleotida -844 (rs 7631 10). Daerah tersebut mempengaruhi ekspresi FasL dalam
mencetuskan sinyal apoptosis dan akhirnya berkontribusi dalam hal kerentanan
terhadap kanker.49,58-60
75
Berdasarkan
uraian di atas, tampak bahwa terdapat beberapa keadaan
patologis tertentu yang dapat mempengaruhi ekspresi IL-10 dan FasL selain dari
adanya polimorfisme nukleotida tunggal promotor gen. Pada penelitian ini tidak
ditanyakan mengenai keadaan patologis tersebut diatas yang mungkin terdapat
pada pasien yang menjadi sampel penelitian sehingga hal tersebut dapat menjadi
salah satu faktor penyebab tidak signifikannya hasil penelitian ini.
4.3 Uji Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
1. Peningkatan ekspresi IL-10 berhubungan dengan peningkatan stadium klinis
karsinoma nasofaring tipe III WHO.
2. Peningkatan ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan stadium klinis
karsinoma nasofaring tipe III WHO.
Dari hipotesis diatas dapat dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut :
Ho :
-
Peningkatan ekspresi IL-10 tidak berhubungan dengan peningkatan stadium
klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO.
-
Peningkatan ekspresi FasL tidak berhubungan dengan peningkatan stadium
klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO.
H1 :
-
Peningkatan ekspresi IL-10 berhubungan dengan peningkatan stadium klinis
karsinoma nasofaring tipe III WHO.
76
-
Peningkatan ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan stadium klinis
karsinoma nasofaring tipe III WHO.
Tabel 4.4 menunjukkan hasil analisis statistik hubungan ekspresi IL-10 dan
FasL dengan stadium klinis berdasarkan analisis korelasi Spearman, diperoleh
nilai p sebesar 0.553 untuk IL-10 dan 0,200 untuk FasL (p>0,05), yang artinya
tidak signifikan atau tidak bermakna secara statistik.
Melalui pengujian hipotesis diatas maka dapat disimpulkan bahwa secara
statistik hipotesis penelitian ditolak. Hal tersebut berarti Peningkatan ekspresi IL10 dan FasL tidak berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma
nasofaring tipe III WHO.
77
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1
Simpulan
5.1.1
Simpulan Umum
Tidak terdapat hubungan positif antara ekspresi IL-10 dan FasL dengan
stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO.
5.1.2 Simpulan Khusus
1. Karakteristik penderita karsinoma nasofaring tipe III WHO lebih banyak
ditemukan pada laki-laki dan usia dekade 4 keatas.
2. Stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO terbanyak adalah stadium
III dan IV.
3. Sebagian besar penderita KNF mengalami penyebaran
tumor ke kelenjar
getah bening servikal.
5.2
Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai hubungan antara ekspresi IL-
10 dan FasL dengan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO dengan
memasukkan kondisi dan komorbid yang dapat mempengaruhi ekspresi IL-10 dan
FasL kedalam kriteria eksklusi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Wei WI, Chua DTT. Nasopharyngal cancer. Dalam Bailey BJ, Healey GB,
Johnson JT, Rosen CA (penyunting). Head and Neck SurgeryOtolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
2014:1875–97.
2.
Taheri Z. Nasopharyngeal carcinoma : past, present, and future directions.
Tesis. Swedia. Departement of Oncology Institute of Clinical University.
2007.
3.
El-Sherbieny E, Rashwan H, Lubis SH, Choi VJ. Prognostic Factors in
Patients with Nasopharyngeal Carcinoma Treated in Hospital Kuala Lumpur.
Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 2011;12:1739–43.
4.
Hu K, Chan ATC, Costantino P, Harrison LB. Cancer of The Nasopharynx :
General Principles and Management. Dalam Harrison LB, Sessions RB, Hong
WK (penyunting). Head and Neck Cancer. Edisi ke-3. Philadelphia :
Williams & Wilkins. 2009:588–617.
5.
Cao SM, Simons MJ. The Prevalence and Prevention of Nasopharyngeal
Carcinoma in China. Chin J Cancer. 2011;30(2):114–9.
6.
Liu M, Hsieh C, Chang T, Lin J, Huang C, Wang A. Prognostic Factors
Affecting the Outcome of Nasopharyngeal Carcinoma. Jpn J Clin Oncol.
2003;33(10):501–8.
7.
Zhang L, Chen QY, Liu H, Tang LQ, Mai HQ. Emerging Treatment Options
for Nasopharyngeal Carcinoma. Drug Design, Development and Therapy.
Dove Medical Press. 2013;7:37–52.
8.
Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B,
Gondhowiardjo S, dkk. Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia :
Epidemiology, Incidence, Sign, and Symptoms at Presentation. Chin J
Cancer. 2012;31(4):1–12.
9.
Adriana R, Dewi YA, Samiadi D. Kesintasan dan Faktor yang Mempengaruhi
Penderita Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. Tesis.
Bandung. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2015.
10. Wildman MAM. Current Problems and Possible Solution in the Treatment of
Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia. Tesis. Amsterdam. The Institutional
Respiratory of The University of Amsterdam. 2013.
78
79
11. Putri E B. Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen Ilmu
Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode
Tahun 2006–2010. Skripsi. Bandung. Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran. 2011.
12. Yusof AM. Nasopharyngeal Carcinoma Screening. Health Technology
Assessment Report. Malaysia. Ministry of Health Malaysia. 2011.
13. Abdullah B, Alias A, Hassan S. Challenges in the Management of
Nasopharyngeal Carcinoma: a Review. MJMS. 2009;16(4):50–54.
14. Lai SZ, Li WF, Chen L, Luo W, Chen YY, Liu LZ, dkk. How Does IntensityModulated
Radiotherapy
Versus
Conventional
Two-Dimensional
Radiotherapy Influence the Treatment Results in Nasopharyngeal Carcinoma
Patients? Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2011;80(3):661–8.
15. Swan JB, Smyth MJ. Immune Surveillance of Tumor. J Clin Investig.
2007;117(5):1137–46.
16. Kim R, Emi M, Tanabe K. Cancer Immunoediting from Immune Surveillance
to Immune Escape. Dalam Prendergast GC, Jafee EM (penyunting). Cancer
Immunotherapy. Pittsburgh : Elsevier. 2007;1(2):9–27.
17. Rosenberg SO. Immune Surveillance : a Balance Between Pro-and AntiTumor Immunity. Curr Opin Genet Dev. 2008 ;18 (1):11–8.
18. Duray A, Demoulin S, Hubert P, Delvenne P, Saussez S. Immune
Suppression in Head and Neck Cancers : a Review. Hindawi. Clinical and
Developmental Immunology. 2010: 1–15.
19. Zeng MS & Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Cancer.
Dalam Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM. Nasopharyngeal Cancer Multidisplinary Management. Philadelphia : Spinger. 2010:9–25.
20. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology. Edisi ke-3. Philadelphia :
Saunders. 2011:189–204.
21. Sato T, Terai M, Tamura Y, Alexeev V, Mastrangelo MJ, Selvan SR.
Interleukin 10 in the Tumor Microenvirontment: a Target for Anticancer
Immunotherapy. Immunol Res. 2011;51:170–82.
22. Lin W, Karin M. A Cytokine-Mediated Link Between Innate Immunity,
Inflammation, and Cancer. J Clin Invest. 2007;117(5): 1175–83.
23. Bremer E. Targeting of the Tumor Necrosis Factor Receptor Superfamily for
Cancer Immunotherapy. Hindawi. Oncology. 2013:1–25.
80
24. Whiteside TL. Immune Effector Cells in the Tumor Microenvironment.
Dalam Yefenof E (penyunting). Innate and Adaptive Immunity in the Tumor
Microenvironment. Jerusalem : Springer. 2008:1–33.
25. Ferron S, Whiteside TL. Histocompability Antigens, Tumor
Microenvironment and Escape Mechanisms Utilized by Tumor Cell. Dalam
Yefenof E. (penyunting). Innate and Adaptive Immunity in the Tumor
Microenvironment. Jerusalem : Springer. 2008:35–51.
26. Ogino T, Moriai S, Ishida Y, Ishii H, Katayama A, Miyokawa N, dkk.
Association of Immunoescape Mechanisms With Epstein Barr Virus Infection
in Nasopharyngeal Carcinoma. Int J Cancer. 2007;120:2401–10.
27. Taylor CR, Shi SR, Barr NJ. Techniques of Immunohistochemistry:
Principles, Pitfalls, and Standardization. Dalam David J D. (penyunting).
Diagnostic Immunohistochemistry. Edisi ke-3. Philadephia : Saunders.
2010:23–6.
28. Korcum AF, Ozyar E & Ayhan A. Epstein Barr Virus Genes and
Nasopharyngeal Cancer. Turkish J Cancer. 2006;36(3):97–107.
29. Young LS, Murray PG. Epstein Barr Virus and Oncogenesis : from Latent
Genes to Tumours. Oncogen. 2003;22:5108–21.
30. Thompson MP, Kurzrock R. Epstein Barr Virus and Cancer. Clin Cancer
Research. 2004;10:803–21.
31. Niedobitek G. Epstein Barr Virus Infection in Pathogenesis
Nasopharyngeal Carcinoma. J Clin Pathol : Mol Pathol. 2000;53:248–54.
of
32. Zheng H, Li L, Hu D, Deng X, Cao Y. Role of Epstein Barr Virus Encoded
Latent Membrane Protein 1 in the Carcinogenesis of Nasopharyngeal
Carcinoma. Chin Society of Immunol. 2007;4(3):185–96.
33. Tsao SW, Lo KW, Huang DP. Nasopharyngeal Carcinoma. Dalam Tselis A,
Jenson HB (penyunting). Epstein-Barr Virus. New York : Taylor & Francis.
2006:273–88.
34. Tan L, Loh T. Benign and Malignant Tumors of the Nasopharynx. Dalam
Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, dkk
(penyunting). Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-6.
Philadelphia : Saunders. 2010:1420–31.
35. Pfister D, Ang K, Brizel D, Burtness B, Busse P, Caudell J, dkk. National
Comprehensive Cancer Network Clinical Practice Guidelines in Oncology in
Head and Neck Cancer. 2013:NASO-1–NASO-2.
81
36. Krishna SM, James S, Balaram P. Serum EBV DNA as a Biomarker in
Primary Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin. Jpn J Clin Oncol.
2004;34(6):307–11.
37. Anichini A, Mortarini R. Cellular Recognition of Tumors by T and NK Cells.
Dalam Parmiani G, Lotze MT. (penyunting). Tumor ImmunologyMolecularly Defined Antigens and Clinical Aplications. London : Taylor &
Francis. 2005:78–99.
38. Shao JY, Ernberg I, Biberfeld P, Heiden T, Zeng YX, Hu LF. Epstein-Barr
Virus LMP1 Status in Relation to Apoptosis, P53 Expression and Leucocyte
Infiltration in Nasopharyngeal Carcinoma. Anticancer Research.
2004;24:2309–18.
39. Lee S, Margolin Kim. Cytokines in Cancer Immunotherapy. Cancers. 2011;3:
3856–93.
40. Mocellin S, Marincola FM, Young HA. Interleukin-10 and the Immune
Response Against Cancer: a Counterpoint. J Leuko Biol. 2005;78:1043–51.
41. Cabello FR, Garrido F. Tumor Evasion of Immune System. Dalam Parmiani
G, Lotze MT. (penyunting). Tumor Immunology-Molecularly Defined
Antigens and Clinical Aplications. London : Taylor & Francis. 2005:177–
203.
42. Motz GT, Santoro P, Wang LP, Garrabrant T, Lastra RR, Hagemann IS, dkk.
Tumor Endothelium FasL Establishes a Selective Immune Barrier Promoting
Tolerance in Tumors. Nat Med. 2014;20(6):607–15.
43. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH.
Perkiraan Besar Sampel. Dalam Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi ke-4. Jakarta : Sagung Seto. 2011:348–82.
44. Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-5. Jakarta :
Salemba Medika. 2011.
45. Xiao G, Cao Y, Wang W, Wang Y. Influence of Gender and Age on the
Survival of Patients with Nasopharyngeal Carcinoma. BMC Cancer.
2013;13(226):1–8.
46. Ekhburanawat W, Ekpanyaskul C, Brennan P,Kanka C, Tepsuwan K,
Temiyastith S, dkk. Evaluation of Non-viral Risk Factors for Nasopharyngeal
Carcinoma in Thailand: Result from a Case-Control Study. Asian Pasific J
Cancer Prev. 2010;11:929–32.
82
47. Pfeifer GP, Denissenko MF, Oliver M, Tretyakova N, Hecht SS, Hainaut P.
Tobacco Smoke Carcinogens, DNA Damage and p53 Mutations in SmokingAssociated Cancers. Oncogene. 2002;21:7435–51.
48. Lu X, Guo X, Wang L, Zhang HB, Xia WX, Li SW, Li NW, dkk. Favorable
Prognosis of Female Patients with Nasopharyngeal Carcinoma. Chin J
Cancer. 2013;32(5):283–88.
49. Cao Y, Miao XP, Huang MY, Deng L, Lin DX, Zeng YX, dkk.
Polymorphisms of Death Pathway Genes Fas and FasL and Risk of
Nasopharyngeal Carcinoma. Molecular Carcin. 2010;49:944–50.
50. Rusdiana, Munir D, Siregar Y. Hubungan Antibodi Anti Epstein Barr Virus
dengan Karsinoma Nasofaring pada Pasien Etnis Batak di Medan. Tesis.
Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2006.
51. Anisimov VN. The Relationship between Aging and Carcinogenesis: a
Critical Appraisal. Clinical Review in Oncology/Hematology. 2003;45:227–
304.
52. Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana SM, Tan IB, Knowledge of
General Practitioners about Nasopharyngeal Cancer at the Puskesmas in
Yogyakarta, Indonesia. BMC Medical Education. 2010;10(81):1–6.
53. Asadullah K, Sterry W, Volk HD. Interleukin-10 Therapy – Review of a New
Approach. Pharmacological Reviews. 2003;55(2):242–69.
54. Trifunovic J, Miller R, Debeljak Z, Horvat V. Pathologic Pattern of
Interleukin 10 Expression – a Review. Biochemia Medica. 2015;25(1):36–48.
55. Seneviratne S, Jones L, King AS, Black A, Powell S, McMichael AJ, dkk.
Allergen-Specific CD+8 T Cells and Atopic Disease. J Clin Investig.
2002;110(9):1283–91.
56. Bien K, Sokolowska J, Baska P, Nowak Z, Stankiewicz, Krzyzowska.
Fas/FasL Pathway Participates in Regulation of Antiviral and Inflamatory
Response During Mousepox Infection of Lungs. Hindawi. Mediators of
Inflamation. 2015;1–13.
57. Wei YS, Kuang SH, Zhu YH, Liang W, Yang ZH, Tai SH. IL-10 Gene
Promoter Polymorphism and the Risk of Nasopharyngeal Carcinoma. Tissue
Antigen. 2007;70(1):12–7.
58. Tsai CW, Tsai MH, Shih LC, Chang WS, Lin CC, Bau DT. Association of
Interleukin-10 (IL10) Promoter Genotypes with Nasopharyngeal Carcinoma
Risk in Taiwan. Anticancer Research. 2013;33:3391–6.
83
59. Xu L, Jiang F, Qiu MT, Zhang Z, Rong Y, Xu L. Polymorphism Contribute to
Cancer Risk: an Update Metaanalysis Involving 43.295 Subject. Plos One.
2013;8(9);1–9.
60. Ma L, Li S, Zhang S, Zhao J, Qin X. A Pooled Analysis of the IL-10-1082
A/G Polymorphism and the Nasopharyngeal Carcinoma. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2014:1–7.
Download