HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI IL-10 DAN FasL (CD95L) DENGAN STADIUM KLINIS KARSINOMA NASOFARING TIPE III WHO Oleh Fitri Heryanti 131421110003 TESIS Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015 ABSTRACT Tumor progression including nasopharyngeal carcinoma (NPC) influenced by the immune system . T lymphocytes play an important role in immune surveillance against NPC . There are several factors that produced by tumor cells or tumor environment can decrease the expression and activity of tumor infiltrating T lymphocytes . It can be used as mechanisms for tumor cells escape from the immune system. These factors among others are the expression of immunosuppressive molecules such as IL-10 that can interfere tumor antigen presentation to T lymphocytes and expression of FasL on tumor that cause apoptosis of tumor infiltrating lymphocytes. This study aims to reveal the relationship between the expression of IL-10 and FasL with clinical staging of type III WHO NPC. This research is an analytic observational study with cross-sectional design. The study was conducted at the Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Department and Pathology Anatomy, dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung from July to August 2015, followed by 23 subjects which were done immunohistochemistry examination from WHO type III nasopharyngeal carcinoma patients. Results of the analysis about the correlation between expression of IL-10 and FasL with clinical stage of type III WHO NPC revealed p value > 0.05 . Conclusion: There was no significant correlation between the expression of IL10 and FasL with clinical stage of NPC type III WHO. Keyword: nasopharyngeal carcinoma, IL-10, FasL, clinical staging iv ABSTRAK Progresivitas tumor termasuk KNF dipengaruhi oleh sistem imun. Limfosit T berperan penting dalam survailans imun terhadap KNF. Berbagai faktor yang dihasilkan sel tumor atau lingkungan sekitar tumor yang dapat menurunkan ekspresi dan aktivitas limfosit T yang menginfiltrasi tumor, dapat digunakan sel tumor untuk mekanisme pelolosan dari sistem imun. Faktor tersebut antara lain adalah ekspresi molekul imunosupresif seperti IL-10 yang dapat mengganggu presentasi antigen tumor kepada limfosit T dan ekspresi FasL pada sel tumor yang menyebabkan apoptosis limfosit yang menginfiltrasi tumor. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi IL-10 dan FasL dengan stadium klinis KNF tipe III WHO. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL dan Patologi Anatomi Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung mulai bulan Juli sampai Agustus 2015. Sampel menggunakan jaringan hasil biopsi 23 penderita karsinoma nasofaring tipe III WHO yang kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia IL-10 dan FasL. Hasil analisis mengenai korelasi ekspresi IL-10 dan FasL dengan stadium klinis KNF tipe III WHO diperoleh nilai p >0,05. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan bermakna antara ekspresi IL-10 dan FasL dengan stadium klinis KNF tipe III WHO. Kata Kunci : Karsinoma nasofaring, IL-10, FasL, stadium klinis v vi KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, lindungan, dan kasih sayang kepada hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. Judul tesis dipilih karena karsinoma nasofaring (KNF) berada pada urutan kelima dari seluruh keganasan di Indonesia dan mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penelitian mengenai biomolekular KNF telah banyak dilakukan, antara lain mengenai IL-10 dan FasL. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi klinisi dan sejawat dokter spesialis Ilmu Kesehatan THT-KL. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dukungan, bantuan, dorongan semangat, serta sumbangan pikiran dari banyak pihak, maka tesis ini tidak mungkin dapat diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada: Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad, dr., sebagai Rektor Universitas Padjadjaran saat ini dan Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA, sebagai Rektor Universitas Padjadjaran yang terdahulu beserta para pembantu rektor, penulis vii mengucapkan terima kasih atas memberikan kesempatan untuk menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini. Arief S. Kartasasmita, dr., M.Kes., Ph.D., Sp.M (K), sebagai Dekan Fakultas Kedokteran saat ini dan Prof. Dr. Med. Tri Hanggono Achmad, dr., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran yang terdahulu beserta para pembantu dekan, penulis mengucapkan terima kasih atas memberikan kesempatan untuk menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini. Dr. Dwi Prasetyo, dr.,SpA (K), sebagai Ketua Tim Koordinasi Program Pendidikan Dokter Spesialis I dan Prof. H. Alex Chairulfatah, dr., SpA (K), sebagai Ketua Tim Koordinasi Program Pendidikan Dokter Spesialis I yang lama yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis kepada penulis. Ayi Djembarsari, dr., MARS dan seluruh staf RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dan Bayu Wahyudi, dr., SpOG, MPHM, sebagai Direktur Utama yang terdahulu yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar dan bekerja di lingkungan rumah sakit ini. Dr. Ratna Anggraeni A. dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L (K), sebagai Kepala Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis, memberikan bimbingan, dorongan, nasihat, serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga penyelesaian tesis ini. viii Dr. Wijana, dr., Sp.T.H.T.K.L (K), FICS, sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Spesialis I Bagian Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L Universitas Padjadjaran saat ini yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan spesialis ini. Bambang Purwanto, dr., MM., Sp.T.H.T.K.L (K), sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Spesialis I Bagian Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L Universitas Padjadjaran sebelumnya, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan spesialis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan, dorongan, bimbingan, petunjuk, serta kesabaran kepada penulis sejak awal hingga penyelesaian tesis ini. Melati Sudiro, dr., M.Kes,. Sp.THT-KL (K) sebagai sekretaris bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Nur Akbar Aroeman, dr., Sp.THT-KL (K), sebagai sekretaris bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran sebelumnya selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis, atas bimbingan, dorongan, nasihat, serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga penyelesaian tesis ini. Agung Dinasti Permana, dr., M.Kes., Sp.THT-KL, FICS, sebagai pembimbing I PPDS yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dorongan, dan nasihat dengan penuh kesabaran dan perhatian kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Dr. Lina Lasminingrum, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), sebagai pembimbing II PPDS yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dorongan, dan nasihat ix dengan penuh kesabaran dan perhatian kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Prof. Dr. Iwin Sumarman,dr., Sp.THT-KL (KAI-KRn), sebagai guru besar di bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan, nasihat, dorongan, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dokter spesialis ini. Prof. Dr., M. Thaufiq S. Boesoirie, MS.,dr., Sp.THT-KL (K), sebagai guru besar di bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan, nasihat, dorongan, dan serta petunjuk sejak penulis memulai pendidikan hingga penyelesaian tesis ini. Prof. Teti Madiadipoera., dr., Sp.THT-KL (KAI)., FAAAAI, sebagai guru besar di bagian THT-KL FK UNPAD, terima kasih atas semua bimbingan, nasihat, dorongan, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dokter spesialis ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar lainnya di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, terima kasih kepada Dindy Samiadi, dr., Sp.THT-KL (K)., FAAOHNS., FICS., Tonny Basriyadi Sarbini, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), Bogi Soeseno, dr., Sp.THT-KL (K), Ongka Muhammad Saifuddin, dr., Sp.THT-KL (K), Sinta Sari Ratunanda, dr., M.Kes., Sp.THTKL (K), Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K)., FICS, Arif Dermawan, dr.,M.Kes., Sp.THT-KL (K), Denese MS Rully, dr., M.Kes., Sp.THT-KL, Dr. Shinta Fitri Boesoirie, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K), dan x Sally Mahdiani, dr., M.Kes., Sp.THT-KL atas kesempatan, bimbingan, pengajaran, dan dukungan selama mengikuti pendidikan. Dr. Hadyana Sukandar, Drs., MSc dan Nurvita Trianasari, S.Si., M. Stat, yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalam pembuatan desain dan analisis statistik penelitian ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Bethy S. Hernowo, dr., Sp PA(K)., Phd., sebagai Kepala Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSHS, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan, dan bimbingan kepada penulis, dimana diberikan kesempatan untuk melakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk penelitian ini sejak awal hingga penyelesaian tesis ini. Rekan seperjuangan, Yulianti, Bekti Darmastuti, Muhamad Sidik H, Fahmi Attaufany, Radian Nasution, Yurnita Arifin dan Rikha Fatmawati, terima kasih atas persaudaraan, kebersamaan, dukungan yang telah diberikan, semua waktu berbagi dalam senang dan susah selama melewati masa pendidikan ini. Seluruh sejawat senior yang selama pendidikan telah memberikan bimbingan, teladan, dorongan semangat dan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja. Seluruh teman-teman sejawat residen yang selama pendidikan ini telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, bekerja sama dan saling mendukung dalam kebersamaan. Seluruh karyawan dan perawat poliklinik, ruang rawat inap, kamar operasi khususnya Ilmu Kesehatan THT-KL RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung xi Seluruh staf, perawat dan karyawan RS. Dr. Hasan Sadikin di Kemuning V, OK COT LT.3, OK COT LT.4 dan R. Pemulihan yang telah membantu dan bekerjasama dengan penulis selama pendidikan ini. Seluruh staf pengajar dan karyawan RSUD Kota Bandung Ujung Berung, RS. Dustira dan RSUD Waled yang telah memberikan banyak kesempatan pada penulis untuk belajar, bekerja, dan mengabdikan ilmu selama penulis menjalankan pendidikan dokter spesialis ini. Rasa hormat, cinta dan terimakasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tuaku tercinta, Lili Suherman (Alm.) dan ibu E. Harliah (Almh.) serta mertuaku tercinta Drs. R. Dodo Iskandar (Alm) dan R. Ety Mulyati (Almh.) yang telah sangat berjasa mengantarkan penulis menjalani pendidikan Dokter Spesialis, begitu banyak doa yang tercurah, dorongan semangat, bantuan dan kasih sayang yang diberikan. Suamiku tercinta R. Oki Mulyana, S. Kom., yang senantiasa mendukung, mendampingi dalam suka dan duka, memberikan pengorbanan yang besar, perhatian, doa, semangat dan tempat keluh kesah segala kesulitan serta hambatan, tak cukup untaian kata untuk mengungkapkan rasa cinta dan terima kasih yang telah diberikan. Untuk kakakku Euis Hermawati, Edi Suardi, Achmad Hanafi, MM. dr., Nenden Irawaty dan Hamdan Muttaqien, S. Kom., serta ipar Drs. Wardaya (Alm.), Dra. Widaningsih, Dra. Euis Maryani, Hanna Diana, terima kasih untuk doa, semangat, dan segala bantuan selama penulis menjalani pendidikan ini. xii Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama pendidikan dokter spesialis dan penyusunan tesis ini. Semoga penelitian ini dicatat sebagai amal soleh dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Bandung, Agustus 2015 Penulis DAFTAR ISI ABSTRACT...………………..………………...………………………………....iv ABSTRAK……............……….………………………………………………….v KATA PENGANTAR……………………………..……………………………vi DAFTAR ISI..….………………………………………………………………xiii DAFTAR GAMBAR….……………………………………………………….xvii DAFTAR TABEL…….……………………………………………………....xviii DAFTAR SINGKATAN...………………………………………………….. ...xix DAFTAR LAMPIRAN.….…………………………………………………….xxi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ...………..………...…..................................…......1 1.2. Rumusan Masalah …………………………........….................….........……..6 1.3. Tujuan Penelitian …………………….………......……...........................…...6 1.4. Kegunaan Penelitian ..……………………………...........................…...........7 1.4.1. Kegunaan Ilmiah ….……….....…………….....………..............…..….7 1.4.2. Kegunaan Praktis …………….....……….….....……..............….…....7 BAB II.KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka................……….....…………..………........................….........8 2.1.1 Faktor RisikoKarsinoma Nasofaring..........…….…......…......................8 2.1.1.1 Faktor Lingkungan.......................................................................8 2.1.1.2 Faktor Genetik..............................................................................9 2.1.1.3 Infeksi Virus Epstein Barr..........................................................10 xiii xiv 2.1.2 Histopatologi….…………......................................................................13 2.1.3 Stadium Klinis.........................................................................................13 2.1.4 Gambaran Klinis.....................................................................................16 2.1.5 Diagnosis.................................................................................................17 2.1.5.1 Pemeriksaan Nasofaring..............................................................18 2.1.5.2 Pemeriksaan Radiologi................................................................19 2.1.5.3 Pemeriksaan Patologi...................……...……............................20 2.1.5.3.1 Biopsi Aspirasi Jarum Halus......................................21 2.1.5.3.2 Biopsi..........................................................................21 2.1.5.3.3 Serologi.......................................................................21 2.2 Sistem Imun dan Kanker..................................................................................23 2.2.1 Immunoediting Kanker............................................................................25 2.2.1.1 Fase Eliminasi.............................................................................25 2.2.1.2 Fase Keseimbangan (Equilibrium).............................................27 2.2.1.3 Fase Meloloskan diri (Escape)....................................................28 2.2.2 Interleukin-10..........................................................................................32 2.2.3 FasL (CD95L).........................................................................................34 2.3 Kerangka Pemikiran.........................................................................................36 2.4 Hipotesis...........................................................................................................41 BAB III. SUBJEK, BAHAN, DAN METODE PENELITIAN 3.1 Subjek dan Alat Penelitian...............................................................................42 3.1.1 Subjek Penelitian....................................................................................42 3.1.1.1 Kriteria Inklusi............................................................................42 xv 3.1.1.2 Kriteria Eksklusi.........................................................................42 3.1.1.3 Besar Sampel...............................................................................42 3.1.2 Bahan dan Alat Penelitian.......................................................................43 3.1.2.1 Bahan Penelitian..........................................................................43 3.1.2.2 Alat Penelitian.............................................................................43 3.2 Metode Penelitian.............................................................................................44 3.2.1 Rancangan Penelitian..............................................................................44 3.2.2. Identifikasi Variabel ..............................................................................44 3.2.2.1 Variabel Penelitian......................................................................44 3.2.2.2 Definisi Operasional ...................................................................44 3.2.3. Alur Kerja dan Teknik Pengumpulan Data............................................48 3.2.3.1 Alur Kerja....................................................................................48 3.2.3.2 Prosedur Pembuatan Pulasan Imunohistokimia IL-10 dan FasL (CD95L)............................................................................49 3.2.3.2.1 Alat.............................................................................49 3.2.3.2.2 Bahan..........................................................................49 3.2.3.2.3 Prosedur......................................................................50 3.2.3.3 Teknik Pengumpulan Data........................................................53 3.2.4 Rancangan Analisis.................................................................................53 3.2.5 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................55 3.3 Aspek Etik Penelitian......................................................................................55 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian dan Pembahasan.....................................................................57 4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian...............................................................57 xvi 4.1.2 Perbandingan Karakteristik Umur dan Jenis Kelamin Berdasarkan Stadium Klnis..........................................................................................58 4.1.3 Ekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) pada Penderita Karsinoma Nasofaring Tipe III WHO.......................................................................59 4.1.4 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Stadium Klinis KNF Tipe III WHO.................................................................................61 4.1.5 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Klasifikasi TNM..62 4.2 Pembahasan......................................................................................................62 4.3 Uji Hipotesis....................................................................................................75 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan..........................................................................................................77 5.1.1 Simpulan Umum.....................................................................................77 5.1.2 Simpulan Khusus....................................................................................77 5.2 Saran.................................................................................................................77 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................78 LAMPIRAN..........................................................................................................84 xvii DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 2.1 Skema Immunoediting Kanker……………………………....................28 2.2 Jalur Sitokin dalam Respon Imun Antitumor…………………………...30 2.3 Mekanisme Penurunan Sel T Sitotoksik pada Kanker...............................36 2.4 Skema Kerangka Pemikiran…………………………………………....39 xviii DAFTAR TABEL Tabel Halaman 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ………………………………………….58 4.2 Perbandingan Karakteristik Umur dan Jenis Kelamin Berdasarkan Stadium Klinis……………..………………..………………………...….59 4.3 Ekspresi IL-10 dan FasL pada Penderita KNF Tipe III WHO………..….60 4.4 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Stadium Klinis KNF Tipe III WHO………………..…………………………….……………..68 4.5 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Klasifikasi TNM…..68 xix DAFTAR SINGKATAN AJCC : American Joint Committee on Cancer APC : Antigen Presenting Cell AMP : Atigen Processing Machinary CD : Cluster of Differentiation CYP : Cytochrome DNA : Deoxyribonucleic Acid EBNA : Epstein Barr Nuclear antigen EBER : Epstein Barr Virus encoded small RNA EA : Early Antigen FasL : Fas ligand FNAC : Fine Needle Aspiration Cytology FDG-PET : fluor-18-Fluorodeoxyglucose- Positron Emission Tomorgaphy HLA : Human Lymphocyte Antigen IL : Interleukin IFN : Interferon ICAM : Intercelullar Adhesion Molecule JAK : Janus Kinase LMP : Latent Membrane Protein MHC : Major Histocompability Complex β2m : β2 microglobulin MRI : Magnetic Resonance Imaging NCCN : National Comprehensive Cancer Network NDMA : nitrosodimethyamine xx NFkB : Natural factor-kB NPYR : N-nitrospyrrolidine NDIP : nitrospiperidine NK : Natural Killer NKT : Natural Killer T RNA : Ribonucleic Acid RSHS : Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin STAT : Signal Transducer and Activator of Transcription THT-K.L : Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Treg : T regulator TAP : Transporter associated with antigen processing TGF : Transforming Growth Factor TH : T helper TIL : Tumor Infiltrating Lymphocyte TRAIL : Tumor necrosis f actor-related apoptosis-inducing ligand TGF-α : Transforming Growth Factor Alpha UICC : Union Internationale Center Cancer VCA : Viral Capsid Antigen xxi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Rekomendasi Persetujuan Etik…………………………..……………….84 2 Lembar Informasi…………………….……..………………………...….85 3 Informed Consent………………………………………………………...94 4 Data Penelitian……………………………………………..…………….88 5 Gambar Hasil Pewarnaan Imunohistokimia IL-10 dan FasL…………….95 6 Daftar Riwayat Hidup……………………………………………………99 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang berasal dari sel epitel nasofaring. Fossa Rosenmuller merupakan predileksi paling sering dari penyakit ini.1- 2 Etiologi KNF bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik, lingkungan dan infeksi virus Epstein Barr (VEB). Penyakit ini memiliki kekhasan dalam distribusi geografi dan ras. Hampir di seluruh negara di dunia, KNF merupakan penyakit keganasan yang termasuk jarang dengan prevalensi biasanya kurang dari 1/ 100.000 namun bersifat endemik pada daerah tertentu di dunia seperti Cina Selatan dan Asia Tenggara. Berdasarkan data statistik global kanker dari International Agency for Research on Cancer, terdapat 84.000 kasus baru KNF pada tahun 2008, 80% kasus berasal dari Asia dan 5% dari Eropa. Insidensi KNF yang paling tinggi ditemukan di daerah Cina Selatan, terutama Provinsi Guangdong, yaitu 17,8/100.000, 100 kali lebih tinggi frekuensinya dibandingkan ras Kaukasia di Amerika Utara dan negara barat lainnya1, 4-7 Di Indonesia, KNF menempati urutan keempat dari seluruh keganasan dan menempati urutan pertama dari seluruh keganasan kepala leher. Insidensi KNF di Indonesia mencapai 6,7 / 100.000, tertinggi pada dekade 4-5 dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2-3:1. Insidensi KNF di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS. Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode 1995-2000 1 2 adalah 49,7 % dan di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode tahun 2005-2010 adalah 42,1% dari keseluruhan keganasan kepala dan leher. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Adriana dkk pada tahun 2015 di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung mengenai kesintasan dan faktor yang mempengaruhi penderita KNF, didapatkan bahwa hasil pemeriksaan histopatologi terbanyak (85,2%) adalah KNF tipe III WHO. Adham dkk di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RS Dr. Cipto Mangunkusumo melakukan penelitian terhadap penderita KNF selama periode 1996–2005 menemukan bahwa frekuensi tersering terjadi pada populasi Jawa dan hasil pemeriksaan histopatologi terbanyak adalah KNF tipe III WHO.8-11 Kebanyakan penderita KNF datang dengan stadium lanjut (stadium III atau IV) karena gejala dan tanda awal yang timbul akibat penyakit ini sering tidak khas atau tanpa gejala. Modalitas terapi primer untuk semua stadium KNF adalah radioterapi sedangkan pada pasien dengan stadium lanjut diberikan modalitas terapi kombinasi dengan kemoterapi. Radioterapi memberikan angka kesembuhan yang tinggi untuk penderita KNF stadium dini. Selama lebih dari 20 tahun, berbagai mode kombinasi kemoiradiasi telah diberikan bagi penderita KNF stadium lanjut namun hasil terapi untuk stadium lanjut tersebut masih tetap tidak memuaskan. Angka harapan hidup keseluruhan 5 tahun adalah 53-80% pada KNF stadium III dan 28-61% pada KNF stadium IV. Pemahaman mengenai target molekular pada kanker membantu dalam perkembangan terapi KNF bertarget dan imunoterapi. Kombinasi kemoiradiasi dengan terapi bertarget (targeted therapy) dan imunoterapi dapat memperbaiki hasil pengobatan. Perkembangan dalam 3 penemuan terapi baru KNF memberikan potensi untuk terjadinya perubahan dalam pengobatan KNF yang sudah baku.2,7,12-14 Sistem imun mempunyai peranan penting dalam pencegahan terjadinya tumor, antara lain melalui proses imunosurvailans. Pada proses ini sistem imun mengidentifikasi sel kanker dan atau prekanker serta mengeliminasinya sebelum menjadi tumor yang dapat terdeteksi dan merugikan. Pada kenyataannya tumor tetap dapat mengalami perkembangan meskipun terdapat sistem imun yang kompeten. Hal tersebut berhubungan dengan proses immunoediting. Pada proses ini, tumor dapat mengalami fase eliminasi, keseimbangan dan fase meloloskan diri. Lolosnya tumor dari sistem imun berhubungan dengan pertumbuhan tumor, invasi, dan matastasis yang akan mementukan stadium penyakit penderita KNF.1518 Berbagai penelitian membuktikan terdapat hubungan antara KNF dengan infeksi VEB. Virus Epstein Barr ditemukan pada KNF tipe III sebanyak 100%. Komponen sistem imun yang berperan penting pada tumor yang berkaitan dengan VEB, termasuk KNF adalah limfosit T. Berbagai faktor yang dihasilkan oleh sel tumor atau lingkungan sekitar tumor yang dapat menurunkan ekspresi dan aktivitas limfosit T yang menginfiltrasi tumor dapat digunakan sel tumor untuk mekanisme meloloskan diri dari sistem imun. Faktor tersebut antara lain adalah produksi molekul imunosupresif seperti IL-10 yang dapat mengganggu presentasi antigen tumor kepada limfosit T dan ekspresi FasL (CD95L) pada sel tumor yang menyebabkan apoptosis dari sel limfosit T yang menginfiltrasi tumor.8,15-25 4 Diantara beberapa sitokin yang ditemukan pada lingkungan sekitar tumor yang mempunyai efek imunosupresif serta toleransi terhadap tumor adalah IL-10 dan TGF-β. Kedua efek tersebut dapat meningkatkan progresivitas tumor. Ekspresi, dan aksi dari kedua sitokin ini saling berhubungan. Pada penelitian ini IL-10 lebih dipilih daripada TGF-β karena pada kenyataannya IL-10 dapat memperkuat produksi TGF-β dan juga mengendalikan kemampuan sel target untuk berespons terhadap TGF-β. Interleukin-10 mempunyai fungsi pleotropik (bermacam-macam) dalam regulasi imun dan inflamasi. Meskipun IL-10 terlibat dalam berbagai aspek proses inflamasi, namun aktivitas utamanya adalah berkaitan dengan penurunan regulasi fungsi sel T. Sitokin IL-10 menyebabkan supresi respon sel T helper (H)1. Hal tersebut terjadi terutama melalui mekanisme yang melibatkan presentasi antigen, termasuk antigen tumor sehingga tidak dikenali oleh sel limfosit T.21-22 Superfamili ligan tumor necrosis factor (TNF) memiliki berbagai macam fungsi dalam sistem imun, salah satunya adalah induksi apoptosis dari sel target. Fungsi tersebut diperankan oleh sub grup famili yang termasuk ke dalam ligan penginduksi kematian, diantaranya adalan TNF dan FasL. Aktivitas biologi FasL dalam hal apoptosis sel target lebih menonjol dibandingkan TNF. FasL terutama diekspresikan pada sel limfosit T yang berperan dalam respon imun terhadap KNF. 23 Ogino dari Departemen THT-KL Asahikawa Medical College, Asahikawa, Jepang, melakukan penelitian mengenai hubungan antara mekanisme immunoescape dengan infeksi virus Epstein-Barr pada KNF pada tahun 2006. Hasil penelitian tersebut menunjukkan FasL dan IL-10 diekspresikan pada 60% 5 lesi KNF, secara statistik terdapat hubungan signifikan antara ekspresi IL-10 dengan ekspresi onkoprotein EBV LMP1, ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan regulasi IL-10 pada penderita KNF dengan EBV positif, ekspresi berlebihan (overexpression) FasL secara signifikan berhubungan dengan penurunan angka harapan hidup penderita KNF dan analisis multivariat mengidentifikasi bahwa ekspresi berlebihan (overexpression) FasL merupakan penanda prognostik buruk.26 Ekspresi IL-10 dan FasL pada sel karsinoma nasofaring Tipe III WHO dapat dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan imunohistokimia. Melalui pemeriksaan ini dapat dideteksi antigen spesifik dalam sel tumor, dapat menentukan lokasi antigen pada sitoplasma atau nukleus, karakteristik, dan membantu menegakkan diagnosis patologi. 27 Berdasarkan pemikiran di atas, maka dirumuskan tema sentral penelitian sebagai berikut : Sebagian besar pasien KNF datang dengan stadium lanjut. Berbagai mode kombinasi kemoiradiasi telah diberikan bagi penderita KNF stadium lanjut, namun hasil terapi untuk stadium lanjut tersebut masih tetap tidak memuaskan. Pemahaman mengenai target molekular pada KNF dapat membantu dalam perkembangan terapi KNF bertarget dan imunoterapi. Progresivitas tumor termasuk KNF dipengaruhi oleh sistem imun. Limfosit T berperan penting dalam imunosurvailans imun terhadap KNF. Berbagai faktor yang dihasilkan sel tumor atau lingkungan sekitar tumor yang dapat menurunkan ekspresi dan aktivitas limfosit T yang menginfiltrasi tumor, dapat digunakan sel tumor untuk mekanisme meloloskan dari sistem imun. Faktor tersebut antara lain adalah ekspresi molekul imunosupresif seperti IL-10 yang dapat mengganggu presentasi antigen tumor kepada limfosit T dan ekspresi FasL pada sel sel tumor yang menyebabkan apoptosis limfosit T yang menginfiltrasi tumor. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa FasL dan IL-10 diekspresikan pada 60% lesi KNF, ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan regulasi IL10 pada penderita KNF dengan EBV positif, ekspresi berlebihan (overexpression) FasL secara signifikan berhubungan dengan penurunan angka harapan hidup penderita KNF dan analisis multivariat mengidentifikasi bahwa ekspresi 6 berlebihan (overexpression) FasL merupakan penanda prognostik buruk. Atas dasar hal tersebut di atas maka diperlukan penelitian mengenai hubungan ekspresi IL-10 dan FasL(CD95L) dengan stadium klinis KNF tipe III WHO. Atas dasar latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian observasional analitik dengan rancangan studi potong lintang untuk mengetahui hubungan antara ekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) dengan stadium klinis penderita KNF tipe III WHO. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah peningkatan ekspresi IL-10 berhubungan dengan peningkatan stadium klinis KNF tipe III WHO ? 2. Apakah peningkatan ekspresi FasL (CD95L) berhubungan dengan peningkatan stadium klinis KNF tipe III WHO ? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis hubungan antara peningkatan ekspresi IL-10 dengan stadium klinis KNF tipe III WHO . 2. Menganalisis hubungan antara peningkatan ekspresi FasL (CD95L) dengan stadium klinis KNF tipe III WHO. 7 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Ilmiah Dapat digunakan sebagai kontribusi untuk pengembangan ilmu yang berkaitan dengan rancangan tertapi bertarget dan imunoterapi khususnya pada KNF tipe III WHO sebagai tambahan dari terapi standar. 1.4.2. Kegunaan Praktis 1. Dapat dijadikan dasar pemberian terapi tambahan dari prosedur terapi baku yang sudah ada pada penderita karsinoma nasofaring. 2. Dapat digunakan sebagai sumber data untuk penelitian selanjutnya 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring memiliki kekhasan dalam hal etiologi dan distribusi endemiknya. Faktor etnik dan geografi juga mempengaruhi risiko penyakitnya. Penyebab KNF tidak hanya berhubungan dengan tembakau dan penggunaan alkohol tetapi multifaktorial seperti lingkungan, genetik dan infeksi virus.1,3,19 2.1.1.1 Faktor Lingkungan Tingginya insidensi KNF pada lokasi geografi tertentu menunjukkan adanya faktor atau bahan kimia lingkungan yang dapat menginduksi terjadinya KNF, antara lain adat kebiasaan atau gaya hidup termasuk kebiasaan makan. Karsinogen lingkungan bertindak sebagai kofaktor atau promotor timbulnya KNF.1,4,19 Sejumlah besar penelitian yang dilakukan pada populasi berbeda yang berada di berbagai daerah di Asia dan Amerika Utara menunjukan bahwa budaya Kanton sering mengkonsumsi ikan asin dan makanan lain yang diawetkan. Makanan tersebut mengandung sejumlah besar nitrosodimehyamine (NDMA), N- nitrospyrrolidne (NPYR), dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan ko-faktor karsinogenik untuk KNF. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan asin dengan pemanasan sinar matahari dapat terjadi reaksi biokimiawi berupa nitrosasi. Gugus nitrat dan nitrit yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan 9 asin menjadi nitrosamin yang merupakan prokarsinogen dan promotor aktivasi EBV. Prokarsinogen memerlukan perubahan metabolisme agar menjadi karsinogen aktif. Karsinogen aktif dapat menimbulkan perubahan DNA, RNA, atau protein sel tubuh.1,4,19 Paparan usia dini dengan ikan asin menunjukkan risiko tinggi terjadinya KNF bagian selatan Cina. Paparan asap rokok serta formaldehid dan debu kayu juga dikenal sebagai faktor risiko KNF. Penggunaan obat-obatan herbal Cina juga diduga meningkatkan risiko KNF dengan menyebkan reaktivasi infeksi VEB pada pejamu.21,4,19 2.1.1.2 Faktor Genetik Tingginya insidensi KNF pada daerah tertentu seperti di Asia Tenggara, Cina Selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia, Taiwan, Alaska, Greenland dan Tunisia serta adanya familial clustering menunjukkan bahwa kerentanan genetik merupakan faktor predisposisi KNF. Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan tingginya risiko KNF pada populasi Kanton dan pada penderita dengan riwayat keluarga KNF.1,4,19 Beberapa penelitian menduga adanya hubungan antara kerentanan human leucocyte antigen (HLA) haplotipe dengan perkembangan KNF. Sebagian besar penelitian yang dilakukan pada populasi Cina menunjukkan peningkatan risiko pada individu dengan HLA-A2. Human Leukocyte Antigen (HLA) tipe AW19, BW46 dan B17 juga pernah dilaporkan berhubungan dengan peningkatan risiko KNF. Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II pada gen HLA tertentu 10 diperkirakan menyebabkan kegagalan interaksi HLA-peptide complex dengan limfosit T sitotoksik (CD8) atau limfosit T helper (CD4). Hal ini disebabkan karena tidak didapatkannya antigen virus/tumor pada epitop sehingga VEB didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau sel kanker tidak dapat dikenali oleh sel imunokompeten seperti sel makrofag, dendritik, limfosit.4,19 Polimorfisme genetik pada gen yang berperan pada metabolisme karsinogen juga diduga berhubungan dengan kerentanan terhadap KNF. Cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) adalah salah satu sitokrom P450 dan berperan pada aktivasi metabolik nitrosamin dan karsinogen terkait. Sitokrom CYP2A6 juga diduga berperan pada kerentanan terhadap KNF.19 2.1.1.3 Infeksi Virus Epstein Barr Virus Epstein Barr, pertama kali ditemukan oleh Anthony Epstein dan Yvonne Barr pada tahun 1964. Virus ini merupakan virus yang menginfeksi limfosit B manusia, berhubungan dengan infeksi mononukleosis, limfoma burkitt’s, dan KNF.19,28-33 Infeksi primer VEB dapat terjadi mulai masa kanak-kanak, menimbulkan gejala yang ringan seperti demam dan faringitis dan dapat sembuh sendirinya. 8,2833 Infeksi VEB bermula dari kontak dengan sekret mulut yang terinfeksi kemudian virus bereplikasi di sel epitel orofaring maupun di nasofaring. Virus menetap dalam sel epitel sehingga menginfeksi sel limfosit B resting, kemudian bersirkulasi berubah menjadi sel limfosit B yang terinfeksi. Pada infeksi pertama 11 oleh VEB, sel limfosit B mengalami infeksi litik dengan menghasilkan virus hasil replikasi yang menyerang sel limfosit B lainnya, mengekspresikan komponen virus laten, sebagian virus yang lain akan menyerang sel epitel yang lain dan menyebar ke air liur. Sebagian sel limfosit B yang terinfeksi kemudian tertangkap oleh sel natural killer (NK) dan sel T sitotoksik. Selanjutnya didalam sel dapat mengalami reaktivasi dan mengekspresikan protein fase laten sehingga dapat dirusak oleh sel T sitotoksik. Beberapa sel laten yang terinfeksi dapat mengalami replikasi litik kembali. Replikasi virus menyebabkan peningkatan jumlah VEB yang menginfeksi sel B dalam darah perifer. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan titer IgA antibodi terhadap struktur protein VEB. 28-33 Infeksi sel epitel oleh VEB mengakibatkan replikasi yang aktif dan produksi virus yang bertambah serta lisis dari sel, bila VEB menyerang sel limfosit B akan mengakibatkan infeksi laten dengan immortalisasi sel. Setelah VEB menginfeksi limfosit B, DNA yang semula linear akan berubah menjadi sirkuler sehingga menetap menjadi laten di limfosit B. disebabkan oleh VEB terjadi Proses karsinogenesis yang pada infeksi laten. Masuknya VEB ke dalam limfosit B terjadi karena adanya ikatan selektif pada komponen cluster of differentiation (CD)21 pada limfosit B dengan glikoprotein cangkang virus, yaitu glikoprotein (gp) 350/220 dan melalui glikoprotein kedua yaitu gp42 dengan koreseptor molekul HLA kelas II.28-33 Penelitian menunjukkan adanya ekspresi gen laten VEB, yaitu EBNA, LMP1, LMP2 dan Epstein Barr Virus encoded small RNA (EBER) pada sel KNF. Hal tersebut mengkonfirmasi infeksi sel tumor oleh VEB. Ekspresi Epstein Barr Virus 12 (EBV) early antigen (EA) secara positif berhubungan dengan konsumsi makanan yang diasinkan dan diawetkan, menduga bahwa perkembangan KNF dengan VEB positif dapat berkaitan dengan kebiasaan makan. Hampir 90% penderita KNF tipe III WHO dewasa di dunia menunjukkan positif VEB secara serologi. Pada sebagaian besar penderita KNF ditemukan titer antibodi yang lebih tinggi, khususnya IgA VEB terkait kanker. Dengan demikian Pengukuran kadar IgA spesifik VEB merupakan metode yang sangat berguna untuk deteksi dini KNF.1,9,28-32 Virus Epstein Barr menginisiasi perkembangan KNF. Hipotesis terbaru menyatakan bahwa VEB memegang peranan penting dalam menyebabkan transformasi sel epitel nasofaring menjadi kanker invasif. Infeksi VEB selalu mendahului ekspansi klon sel ganas sehingga VEB dikatakan berkontribusi pada sebagian atau keseluruhan patogenesis KNF. Penelitian mengenai hubungan KNF dengan infeksi VEB terus berkembang dan terbukti VEB ditemukan pada100% penderita KNF tipe III.1,9,28-32 2.1.2 Histopatologi Mukosa nasofaring terdiri dari berbagai macam epitel permukaan dan komponen jaringan lunak. Pada orang dewasa, sel epitel gepeng mendominasi mukosa nasofaring. Epitel yang melapisi nasofaring terdiri dari epitel silindris berlapis semu bersilia, yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis. Dinding belakang nasofaring sebagian besar (60%-80%) dilapisi oleh epitel gepeng berlapis, sebagian sisanya dilapisi oleh epitel silindris bersilia. 13 Diantara keduanya terdapat epitel peralihan (transitional epithelium) yang terutama didapatkan pada dinding lateral, di daerah fosa Rosenmuller. Adanya perubahan atau pergantian epitel di fosa Rosenmuller ini, ternyata merupakan predileksi terjadinya keganasan di nasofaring.1,4,34 Klasifikasi gambaran histopatologi karsinoma nasofaring yang dikemukakan oleh WHO tahun 1978 dibedakan dalam tiga tipe, yaitu :1,4,34 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO tipe I). 2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin (WHO tipe II). 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi/karsinoma berdiferensiasi buruk/tipe anaplastik (WHO tipe III). 2.1.3 Stadium Klinis American Joint Committee on Cancer (AJCC) mengembangkan suatu sistem klasifikasi untuk menjelaskan ekstensi maupun progresivitas penyakit pada pasien KNF dengan menggunakan sistem penilaian TNM, yaitu ukuran tumor, ukuran dan KGB yang terlibat serta metastasis. 1,4,35 Penentuan stadium terbaru KNF berdasarkan National Comprehensive Cancer Network (NCCN) pada tahun 2013 adalah sebagai berikut :35 T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya. Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai. T0 : Tumor primer tidak ditemukan. Tis : Karsinoma in situ 14 T1 : Tumor terbatas di nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan / atau kavum nasi tanpa ekstensi parafaring. T2 : Tumor dengan ekstensi ke parafaring. T3 : Tumor invasi ke struktur tulang dari dasar tengkorak, dan / atau sinus paranasal T4 : Tumor dengan ekstensi ke intrakranial dan atau mengenai syaraf pusat,hipofaring, orbita, atau ekstensi ke fossa intratemporal atau ruang mastikator. N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional NX: Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai N0 : Tidak ditemukan metastasis ke kelenjar getah bening N1 : Metastasis unilateral pada kelenjar getah bening(s), berukuran ≤ 6 cm dan diatas fossa supraklavicula, dan atau unilateral atau bilateral, kelenjar getah bening retrofaring, ≤ 6 cm dan atau ke fosa supraklavikula. N2: Metastasis ke kelenjar getah bening bilateral, berukuran ≤ 6 cm dan diatas fossa supraklavikula N3 : Metastasis ke kelenjar getah bening, berukuran > 6 cm dan atau ke fossa supraklavikula N3a: Kelenjar getah bening berukuran > 6 cm. N3b: Ekstensi ke fossa supraklavikula M = Metastasis, menggambarkan metastasis jauh M0 : tidak ada metastasis jauh M1 : terdapat metastasis jauh 15 Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium 0 : Tis N0 M0 Stadium I : T1 N0 M0 Stadium II : T1 N1 M0 T2 N0 M0 T2 N1 M0 Stadium III : T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N0M0 T3 N1 M0 T3 N2 M0 Stadium IVA : T4 N0 M0 T4 N1 M0 T4 N2 M0 Stadium IV B : Tiap T N3 M0 Stadium IV C : Tiap T Tiap N M1 2.1.4 Gambaran Klinis Karsinoma nasofaring cenderung mengenai penderita yang realtif lebih muda dibandingkan dengan karsinoma kepala leher lainnya. Insidensi mulai meningkat pada dekade kedua kehidupan dan puncaknya adalah pada dekade keempat dan kelima. Gejala dan tanda awal KNF tidak jelas dan bervariasi sehingga sering terabaikan baik oleh penderita maupun klinisi. Gejala KNF dapat meliputi satu 16 atau lebih kelompok gejala. Kelompok gejala tersebut berkaitan dengan lokasi awal tumor primer, infiltrasi sel tumor ke struktur yang berdekatan atau metastasis ke kelenjar getah bening (KGB) servikal.1,4,34 Massa tumor pada nasofaring dapat menyebabkan keluhan hidung tersumbat dan beringus. Jika masa tumor berukuran kecil keluhan bersifat unilateral dan jika besar obstruksi menjadi bilateral. Ketika tumor mengalami ulserasi, pasien akan mengeluh epistaksis. Jumlah darah biasanya sedikit dan sering dirasakan sebagai postnasal drip, terutama di pagi hari.1,4,34 Disfungsi tuba eustakius dapat tejadi dengan adanya massa tumor di nasofaring dengan atau tanpa ekstensi ke ruang paranasofaring. Hal tersebut dapat menimbulkan pengumpulan cairan di telinga tengah sehingga pasien mengeluh gangguan dengar unilateral yang bersifat konduktif. Keluhan telinga lainnya adalah otalgia dan tinitus.1,4,34 Ekstensi tumor primer ke superior hingga menginfiltrasi dasar tulang tengkorak penderita dapat mengalami keluhan sakit kepala. Jika perluasan tumor mengenai sinus kavernosus dan dinding lateralnya maka saraf kranialis III, IV dan IV dapat terinfiltrasi sehingga pasien mengeluh diplopia. Keluhan kebas atau nyeri pada wajah dapat menyertai penderita KNF jika massa meluas ke tingkap lonjong hingga menginfiltrasi saraf kranialis V. Keterlibatan saraf kranialis akibat KNF terjadi pada 13% kasus, tergantung dari stadium klinis. 1,4,34 Karsinoma nasofaring mempunyai kecenderungan bermetastasis ke kelenjar getah bening. Keluhan sering berupa benjolan tidak nyeri di leher atas. 17 Nasofaring merupakan struktur yang terletak di garis tengah sehingga sering juga ditemukan pembesaran KGB servikal bilateral.1,37 Pasien KNF yang datang dengan keluhan berkaitan dengan metastasis jauh jarang dijumpai. Vertebra, liver dan paru merupakan organ yang sering terkena akibat metastasis jauh KNF.1,34 Kebanyakan pasien KNF berobat terlambat dan datang sudah dengan stadium lanjut (III dan IV) karena gejala aural dan nasal tidak spesifik dan benjolan di leher tidak terasa nyeri. 1,4,8,13,34 Penelitian retrospektif pada 4.768 pasien menunjukkan gejala pada saat datang berobat 76% dengan keluhan benjolan di leher, keluhan hidung 73%, keluhan telinga 62% dan paralisis saraf kranial sebesar 20%. 34 2.1.5 Diagnosis Karsinoma nasofaring sulit untuk didiagnosis, dikarenakan letaknya tersembunyi dan pada keadaan dini pasien tidak datang untuk berobat. Pasien datang berobat bila gejala yang dirasakan telah mengganggu dan tumor telah menginfiltrasi luas serta telah terjadi metastasis.1,4,8,13-14 Pasien yang dicurigai sebagai penderita KNF, melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dievaluasi adanya pembesaran KGB leher, cairan di telinga tengah dan keterlibatan saraf kranialis. Pemeriksaan tidak langsung menggunakan kaca untuk menilai daerah postnasal harus dilakukan. Variasi anatomi harus disingkirkan dengan pemeriksaan yang teliti. Bila secara klinis dicurigai menderita KNF dan tumor tidak terlihat secara endoskopi, maka dapat 18 dilakukan pencitraan dengan potongan lintang (CT Scan / MRI). Pada 10% pasien penderita KNF ditemukan masa submukosa.1,4,8,13-14 Pemeriksaan histopatologi biopsi dari nasofaring sampai saat ini merupakan standar baku untuk diagnosis pasti. Biopsi dari benjolan di leher kadang diperlukan untuk diagnosis. Fine needle aspiration citology (FNAC) adalah metode yang paling aman dan cepat untuk diagnosis jaringan. Biopsi terbuka, baik insisi atau eksisi harus dihindari karena penelitian membuktikan adanya efek buruk terhadap ketahanan hidup.1,4,34 Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis KNF meliputi pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi, dan pemeriksaan serologi.1,4,34 2.1.5.1 Pemeriksaan Nasofaring Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dengan menggunakan kaca laring yang kecil dan cara nasofaringoskopi (langsung) dengan alat endoskop/nasofaringoskop kaku atau dengan rinolaringoskopi serat lentur. Endoskopi rigid 0o dan 30o memberikan lapang pandang yang sangat baik dari nasofaring. Endoskopi rigid 70o yang diinsersikan dibelakang palatum mole memberikan visualisasi atap nasofaring dan kedua orifisium tuba eustakius.1,34 2.1.5.2 Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi adanya tumor, perluasaan serta kondisi setelah terapi. Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma 19 nasofaring yaitu foto polos tengkorak, tomografi komputer, dan magnetic resonance imaging (MRI).1,4,34 Foto polos tengkorak dilakukan untuk menilai ada tidaknya infiltrasi ke jaringan lunak di dinding posterior pada proyeksi lateral dan untuk mengetahui ekstensi tumor ke hidung serta sinus paranasal pada proyeksi antero-posterior dan Waters.1,4,34 Tomografi komputer dapat memperlihatkan ekstensi tumor pada nasofaring dan ke lateral, yaitu ke ruang paranasofaring. Pemeriksaan ini sensitif untuk mendeteksi erosi tulang, khususnya pada dasar tulang tengkorak. Ekstensi tumor ke intrakranial melalui tingkap lonjong dengan keterlibatan perineural dan sinus kavernosus dapat dinilai juga dengan pemeriksaan ini. Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan tomografi computer penting untuk menentukan stadium klinis pasien dan juga untuk pemilihan terapi. Pemeriksaan ini juga mempunyai kemampuan untuk menunjukkan regenerasi tulang setelah terapi dan hal tersebut menunjukkan eradikasi tumor seluruhnya. Pemeriksaan MRI lebih baik dalam menilai jaringan lunak dibandingkan tomografi komputer. Kelebihan lain dari MRI dibandingkan dengan tomografi computer adalah bersifat multiplanar dan dapat membedakan jaringan tumor dengan inflamasi jaringan lunak, khususnya di daerah sinus paranasal. Magnetic resonance imaging (MRI) juga lebih sensitif dalam mengevaluasi retrofaring dan metastasis ke daerah KGB servikal dalam. Pencitraan MRI juga mampu mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, sementara tomografi komputer hanya bisa mendeteksi infiltrasi yang melibatkan 20 erosi tulang. Kekurangan pemeriksaan MRI adalah tidak dapat mengevaluasi secara cermat dari erosi tulang.1,4,34 Positron emission tomography (PET) berguna untuk menilai KNF primer dengan metastasis ke KGB. Untuk kasus KNF lokal lanjut dapat dilakukan pemeriksaan fluor-18-fluorodeoxyglucose (FDG-PET) dengan melihat adanya tangkapanfluor-18-fluorodeoxyglucose oleh tumor. Pada lokasi tumor terjadi hipermetabolik dari fluor-18-fluorodeoxyglucose. Pemeriksaan FDG-PET memberikan hasil yang lebih sensitif untuk mendeteksi KNF rekuren dan persisten.1,4,34 Pemeriksaan MRI terutama menjadi pilihan untuk penentuan stadium pada kasus lokal dan mendeteksi rekurensi lokal. Pada pasien dengan stadium lanjut, pemeriksaan PET/CT dari dasar tulang tengkorak sampai pertengahan paha berguna untuk menentukan ekstensi penyakit pada tubuh penderita. 1 2.1.5.3. Pemeriksaan Patologi Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditegakkan berdasarkan pemeriksaan jaringan tumor nasofaring.1,34 Pemeriksaan patologi anatomi untuk karsinoma nasofaring terdiri dari : 2.1.5.3.1 Biopsi Aspirasi Jarum Halus Biopsi aspirasi jarum halus dapat dilakukan pada KGB servikalis. Sejumlah kasus KNF diketahui berdasarkan pemeriksaan biopsi sitologi dari aspirasi KGB 21 servikal. Pemeriksaan sitologi dapat membedakan karsinoma sel skuamosa dan karsinoma tidak berdiferensiasi. 1,34 2.1.5.3.2 Biopsi Konfirmasi diagnostik KNF diperoleh dengan hasil biopsi positif yang diambil dari tumor di nasofaring. Prosedur standar saat ini adalah biopsi transnasal dengan panduan endoskopi. Endoskopi Rigid 00 dan 300 memberikan visualisasi yang baik. Jika terdapat deviasi septum, endoskopi 70 0 dimasukkan melalui rongga hidung yang berlawanan dapat memberikan gambaran tumor yang adekuat. Darah dan mukus yang menutupi tumor harus dibuang dengan penghisap untuk mendapatkan lapang pandang yang baik pada daerah patologis. Sebelum dilakukan tindakan biopsi diberikan anestesi topikal berupa xylocain 10% semprot hidung.1,34 2.1.5.3.3 Serologi Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, diagnosis KNF sangat ditunjang oleh beberapa pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan serologis misalnya imunohistokimia, imunoglobulin A anti VCA (Ig A anti VCA), Ig G anti EA. 1,34 Pada tumor, DNA Epstein Barr bersifat homogen dan pembuatan klon DNA dapat dilakukan. Ekspresi spesific viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor dengan pemeriksaan hibridisasi insitu, teknik imunohistokimia, dan PCR. Antibodi VEB baik IgG dan IgA penderita KNF meningkat 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor 22 lain atau orang sehat. Titer IgA terhadap VEB spesifik untuk kapsul virus VCA dan EA. Deteksi antibodi IgG (yang dijumpai pada masa awal infeksi virus) dan antibodi IgA (yang dijumpai VCA) digunakan untuk mendukung diagnosis karsinoma nasofaring.1,34,36 Polymerase chain reaction (PCR) dapat mendeteksi sel yang bebas dari DNA VEB pada pasien KNF dan digunakan sebagai penanda tumor. Peningkatan salinan DNA EBV ditemukan dalam darah selama fase inisial radioterapi seiring dengan dilepaskannya DNA virus ke dalam sirkulasi setelah mengalami kematian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemeriksaan ini lebih sensitif jika dibandingkan dengan pemeriksaan titer antibodi terhadap berbagai antigen virus dalam mendiagnosis KNF. Kuantitas plasma yang bebas dari DNA EBV berhubungan dengan stadium penyakit dan dapat digunakan untuk menilai adanya metastasis jauh. Kuantitas salinan DNA VEB yang dideteksi sebelum dan sesudah terapi secara signifikan berhubungan dengan overall dan disease free survival. Pemeriksaan ini juga digunakan untuk memonitor rekurensi setelah terapi, akan tetapi peningkatan kadar DNA VEB hanya dapat dideteksi pada 67% pasien rekurensi lokoregional kecil.1,34,36 Imunohistokimia merupakan teknik deteksi yang sangat baik, untuk menunjukkan secara tepat protein tertentu di dalam jaringan yang diperiksa. Teknik ini telah digunakan dalam penelitian untuk memeriksa ekspresi protein. Kekurangan teknik ini tidak spesifik terhadap protein tertentu. Imunoblotting dapat mendeteksi berat molekul protein dan sangat spesifik. Teknik ini banyak digunakan dalam diagnostik patologi bedah terhadap kanker dan tumor jinak. 27 23 Teknik imunohistokimia dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Prinsip imunohistokimia secara langsung adalah menggunakan antibodi primer yang sudah terlabel dan berikatan langsung dengan antigen target, dilakukan pengecatan satu langkah. Untuk imunohistokimia secara tidak langsung digunakan antibodi primer tidak berlabel, digunakan antibodi sekunder yang sudah memiliki label dan akan bereaksi dengan IgG dari antibodi primer. 27 2.2 Sistem Imun dan Kanker Berbagai mekanisme yang bertanggung jawab untuk terjadinya disfungsi imun pada pasien kanker telah dapat diidentifikasi. Beberapa diantaranya dimediasi langsung oleh faktor yang dihasilkan tumor, sementara yang lainnya terjadi karena perubahan homeostasis jaringan normal akibat keberadaan kanker. Instabilitas genetik saat ini diketahui sebagai karakteristik dasar dari semua tumor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada profil epitop. Perubahan molekuler sudah dapat dideteksi selama tahap dini tumorigenesis dan menjadi lebih jelas sejalan dengan progresivitas tumor. Hasil akhir dari semua perubahan ini adalah peningkatan resistensi sel tumor terhadap imunosurvailans. Tumor muncul dengan kemampuan mengganggu perkembangan sel imun, diferensiasi, fungsi dan bahkan eliminasinya.15-18,24-25 Sistem imun mempunyai 3 peran penting dalam pencegahan tumor, yaitu : 1. Melindungi pejamu dari tumor yang diinduksi virus melalui proses eliminasi atau supresi infeksi virus. 24 2. Eliminasi patogen dan resolusi segera dari proses inflamasi. Inflamasi merupakan salah satu faktor pendukung terbentuknya lingkungan yang kondusif untuk terjadinya tumorigenesis. 3. Sistem imun dapat mengidentifikasi secara spesifik dan mengeliminasi sel tumor berdasarkan pada ekspresi antigen spesifik tumor atau molekul yang diinduksi oleh stres seluler.15-18,24-25 Proses yang ketiga disebut sebagai imunosurvailans terhadap tumor. Pada proses ini sistem imun mengidentifikasi sel kanker dan atau prekanker serta mengeliminasinya sebelum sel tersebut dapat menimbulkan tumor yang dapat terdeteksi dan merugikan. Pada kenyataannya, tumor tetap dapat mengalami perkembangan meskipun terdapat sistem imun yang kompeten sehingga timbul konsep baru yaitu immunoediting terhadap tumor. Konsep ini memberikan penjelasan yang lebih lengkap tentang peranan sistem imun dalam perkembangan tumor.15-18,24-25 Immunoediting akan berlangsung terus dalam seluruh kehidupan sel tumor sehingga fenotipe tumor yang terbentuk dikendalikan oleh respon imun pejamu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa imunitas bawaan dan didapat memiliki sisi buruk yang dapat mendorong progresi tumor selain memliki sisi baik yang dapat memediasi penghancuran tumor. Inflamasi kronik, terutama yang berhubungan dengan kanker juga berkaitan dengan peningkatan resiko tumor yaitu polarisasi imunitas yang memfasilitasi pertumbuhan tumor melalui produksi berbagai efektor. Dengan demikian, maka sistem imun mempunyai potensi untuk menyokong ataupun memperlambat timbul dan progresi dari tumor serta 25 mempengaruhi efektifitas imunosurvailans dan efektivitas terapi yang tergantung pada kesimbangan imunitas antitumor dan protumor. 15-18,24-25 2.2.1 Immunoediting Kanker Konsep immunoediting terhadap tumor dibagi menjadi 3 fase, yaitu eliminasi, kesetimbangan (equilibrium) dan meloloskan diri (escape). 15-18,24-25 2.2.1.1 Fase Eliminasi Fase eliminasi dari immunoediting kanker adalah sama dengan proses imunosurvailans terhadap tumor seperti yang dijelaskan pada teori awal. Proses eliminasi melibatkan respon imun bawaan dan didapat terhadap sel tumor. Beberapa sel efektor respon imun bawaan yang diaktivasi oleh sitokin inflamasi adalah sel natural killer (NK), sel natural killer T (NKT) dan sel Tγδ. Sitokin tersebut dilepaskan oleh sel tumor, makrofag dan sel stroma yang berada di sekitar sel tumor. Sitokin yang disekresikan akan merekrut sel imun lebih banyak lagi yang akan memproduksi sitokin proinflamasi lainnya seperti IL-12 dan interferon (IFN)-γ. Eradikasi sel tumor oleh sel NK yang dimediasi oleh perforin, FasL dan tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) akan menyebabkan timbulnya respon imun didapat. Komunikasi antara sel NK dan sel dendritik akan menginduksi maturasi dan migrasi sel dendritik ke kelenjar getah bening sesuai dengan drainase lokasi tumor. Hal tersebut akan memperkuat penyajian antigen kepada sel T naif untuk ekspansi klonal dari sel T sitotoksik. Limfosit T spesifik antigen tumor selanjutnya akan direkrut ke daerah tumor 26 primer dan secara langsung akan menyerang dan membunuh sel tumor melalui produksi IFN-γ. Sitotoksisitas IFN-γ bekerja melalui efek antiproliperasi dan anti angiogenik serta menginduksi apoptosis. 15-18,22,24-25 Antigen yang berasal dari tumor pada dasarnya adalah suatu self antigen. Bagaimana sistem imun dapat mengenali dan diaktivasi oleh sel tumor yang merupakan self antigen, telah menjadi perdebatan, meskipun antigen spesifik tumor mungkin diekspresikan sebagai suatu molekul berbeda. Sesuai dengan hipotesis danger theory, dipertimbangkan bahwa transformasi seluler tidak menyediakan sinyal proinflamasi yang cukup untuk mengaktivasi sistem imun dalam berespon terhadap tumor yang sedang berkembang. Tidak timbulnya sinyal tersebut mengakibatkan tidak adanya respon imun dan terjadi toleransi terhadap tumor. Penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sinyal berbahaya seperti asam urat, ligan potensial toll like receptor seperti heat stroke protein dapat menginduksi respon imun proinflamasi. Sel mamalia yang mati juga dapat melepaskan sinyal berbahaya. Meskipun inflamasi lokal dapat menginisiasi respon imun tetapi inflamasi yang berlebihan dapat mempromosikan progresivitas tumor. Hal ini mungkin terjadi karena adanya reaksi antiinflamasi pada sel penyaji antigen yang melepaskan sitokin antiinflamasi seperti IL-10 yang dapat menghambat aktivasi sel efektor. Fase eliminasi dapat terjadi secara komplit ketika semua tumor dapat dieliminasi atau tidak komplit ketika hanya sebagian tumor yang tereliminasi. Pada kasus eliminasi tumor immunoediting tumor berlanjut ke fase keseimbangan. 15-18,22 parsial, proses 27 2.2.1.2 Fase Keseimbangan (Equilibrium) Pada fase keseimbangan pembentukan sel tumor dapat menjadi dorman atau terus berlanjut sehingga terakumulasi berbagai perubahan seperti mutasi deoksyribonucleic acid (DNA) atau perubahan ekspresi gen. Berbagai perubahan tersebut dapat memodulasi ekspresi antigen spesifik tumor dan antigen yang diinduksi stres oleh sel tumor. Sejalan dengan berlangsungnya proses ini, sistem imun berusaha untuk mengeliminasi klon tumor yang sensitif jika memungkinkan. Bila usaha yang dilakukan sistem imun adekuat maka progresivitas tumor dapat dikendalikan, pada akhirnya jika respon imun masih gagal mengeliminasi sel tumor secara komplit maka pada fase ini akan dihasilkan seleksi varian sel tumor yang mempunyai kemampuan bertahan, menghindar atau menekan respon imun anti tumor yang menyebabkan terjadinya fase meloloskan diri. Varian sel tumor yang dihasilkan pada fase ini bersifat resisten terhadap sel efektor imun, lebih tidak stabil dan mempunyai fenotipe dengan imunogenisitas rendah bahkan non imunogenik. Sel tersebut mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup pada pejamu imunokompeten. Hal ini menjelaskan bagaimana tumor dapat berkembang pada individu dengan fungsi imun intak. 15-18 Berkaitan dengan proses eliminasi sel tumor yang berlangsung terus sejalan dengan produksi varian tumor yang resisten pada fase keseimbangan, tampak bahwa fase ini memiliki periode paling lama dibandingkan kedua fase lainnya, dapat berlangsung hingga bertahun-tahun. Pada proses keseimbangan ini, limfosit dan IFN-γ memegang peranan penting dalam seleksi imun pada tumor. 15-18 28 Gambar 2.1 Skema immunoediting kanker. Dikutip dari : Kim.16 2.2.1.3 Fase Meloloskan diri (Escape) Selama fase meloloskan diri, sistem imun tidak lagi mempunyai kemampuan untuk membatasi pertumbuhan tumor sehingga menjadi tumor dengan stadium lebih lanjut.15-18 Respon imun antitumor yang efektif melibatkan berbagai komponen sistem imun, meskipun demikian dipertimbangkan bahwa sel T memegang peranan penting.30 Respon imun antitumor melalui jalur sitokin terdiri dari beberapa proses yaitu antigen tumor akan dipresentasikan oleh sel dendritik (APC) kepada sel T CD4+ melaui MHC kelas II. Jika antigen dikenali, maka sel dendritik akan teraktivasi yang akan menyebabkan dilepaskannya IL-12 oleh sel dendritik dan mencetuskan sel T CD8+ spesifik antigen. Interleukin-12 mempunyai peranan 29 penting dalam proliferasi dan diferensiasi sel T CD4 + naïf menjadi sel TH1. Melalui sitokin yang dilepaskan oleh sel TH1 CD4 +, yaitu IFN-γ, menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T CD8+ naif menjadi sel limfosit T sitotoksik yang mempunyai kemampuan melisis sel antigen tumor.37 Pengenalan sel tumor oleh sel limfosit sitotoksik dimediasi oleh kompleks yang dihasilkan dari muatan molekul HLA kelas I dengan peptida antigenik. Kompleks ini dibangkitkan oleh HLA kelas I dan antigen processing machinery (APM) melalui 4 tahap, yaitu : 1) Pemecahan protein antigen menjadi peptida. Proses ini terjadi dalam imunoproteosom. 2) Transportasi peptida ke dalam retikulum endoplasma. Pada proses ini dibantu oleh komponen APM, yaitu transporter associated with antigen processing (TAP) yang terdisri dari 2 subunit, TAP1 dan TAP2. Tanpa transporter tersebut, HLA kelas I tidak dapat dimuati oleh peptida sehingga antigen tumor tidak dapat disajikan kepada sel T sitotoksik (CD8+). Ekspresi TAP yang menurun dapat menyebabkan pengenalan sel target oleh sel limfosit T menjadi tidak efektif. 3) Pemasangan peptida dengan rantai berat HLA kelas I dan β2mikroglobulin (β2m) 4) Transportasi kompleks peptida-antigen HLA kelas I ke membran sel. Kompleks tersebut selanjutnya akan disajikan kepada sel limfosit T CD8+. Selanjutnya sel limfosit T sitotoksik akan mengenali, menyerang dan melakukan eliminasi sel tumor. 24,37 30 Gambar 2.2 Jalur sitokin dalam respon imun antitumor Dikutip dari : Anchini37 Virus Epstein Barr dapat menimbulkan respon imun sel limfosit T sitotoksik spesifik antigen dan penurunan ekspresi HLA kelas I pada individu yang terinfeksi. Respon tersebut berperan penting dalam mengendalikan baik infeksi primer VEB maupun status pembawa infeksi (carrier) jangka panjang. Epitop sel T imunoreaktif pada antigen EBNA3, EBNA4, EBNA6, LMP1 dan LMP2 telah 31 dapat diidentifikasi. Melalui kultur in vitro juga telah dapat dibuktikan timbulnya epitop sel T sitotoksik terhadap LMP1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sel T memori spesifik untuk LMP1 merupakan bagian dari respon imun terhadap antigen tersebut. Latent membrane protein-1 dapat lolos dari surveilans imun pada penderita KNF melalui berbagai mekanisme. Tumor dapat lolos dari sistem imun dengan menggunakan mekanisme yang dapat menekan respon imun sel T sitotoksik spesifik terhadap VEB.38,24-25 Lolosnya tumor dari sistem imun berhubungan dengan pertumbuhan tumor, invasi dan matastasis. Terdapat berbagai mekanisme meloloskan diri yang dikembangkan oleh sel tumor, antara lain :18-19 1) Gangguan ekspresi antigen pada permukaan sel tumor. 2) Hilangnya atau berkurangnya ekspresi molekul major histocompability complex (MHC) kelas I atau human leukocyte antigen (HLA) kelas I 3) Hilangnya ekspresi molekul kostimulasi. 4) Produksi molekul imunosupresif seperti transforming growth factor (TGF)-β, prostaglandin (PG)-E2 dan adenosine serta sitokin seperti interleukin (IL)-6 dan IL-10. 5) Resistensi sel tumor terhadap apoptosis. 6) Ekspresi Fas ligand (FasL)/CD95L pada sel tumor yang menyebabkan kematian dari limfosit yang menginfiltrasi tumor. 15-18,24-25 32 2.2.2 Interleukin-10 Interleukin-10 adalah suatu glikoprotein homodimerik dengan struktur αhelikal tersier yang mengirimkan sinyal melalui jalur kompleks Janus kinase (JAK)/signal transducer and activator of transcription (STAT). Sitokin ini dihasilkan oleh berbagai macam sel, termasuk sel limfosit T, limfosit B, monosit, dendritik, sel NK dan sel tumor. Secara umum IL-10 berfungsi sebagai sitokin imunosupresif. Interleukin-10 memberikan efek pleotrofik pada sel imun bawaan dan adaptif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa IL-10 memegang peranan kunci dalam perkembangan tumor dan metastasis yang mempengaruhi stadium klinis dari pejamu. Interleukin-10 yang berada di sekitar tumor dihasilkan oleh sel tumor, sel mononuklear, dan sel leukosit yang menginfiltrasi tumor serta sel supresor mieloid. Keberadaan IL-10 dalam lingkungan sekitar tumor juga dikaitkan dengan pengerahan dan ekspansi sel Treg. Isolasi sel Treg yang berasal dari jaringan tumor menunjukkan bahwa sel Treg dapat mensekresikan IL-10. Gambaran tersebut berkorelasi dengan fungsi supresor kuat dari sel Treg pada sel limfosit yang menginfiltrasi tumor. Interleukin-10 yang dihasilkan sel Treg merupakan faktor kunci terjadinya supresi sistem imun pada daerah tumor. 1618,21,24-25,37,39,42 Produksi IL-10 akan mendorong komponen respon imun humoral melalui inhibisi sitokin yang terlibat dalam respon imun seluler. Hasil akhir dari proses tersebut adalah inhibisi fungsi tumorisidal sel T, NK, dan makrofag. Sitokin yang dihasilkan oleh TH1 dihambat oleh IL-10 secara tidak langsung. Interleukin-10 yang bekerja pada monosit dan makrofag akan mencegah peyajian antigen melalui 33 MHC kelas II ke permukaan sel melalui inhibisi pengangkutan antigen dari kompartemen intrasel ke permukaan sel. Selanjutnya IL-10 akan menghambat produksi IL-12 oleh makrofag yang berperan untuk mendorong produksi IFN-γ sehingga perkembangan TH1 menjadi terganggu.25,37 Penelitian in vitro menunjukkan terdapat efek penurunan regulasi ekspresi komponen antigen presenting machinery (APM) dan major histocompability complex (MHC) kelas I yang disebabkan oleh IL-10. Akibat penurunan regulasi ekspresi APM adalah penurunan regulasi human leukocyte antigen (HLA) kelas I pada permukaan sel. Interleukin-10 juga secara langsung menyebabkan gangguan pada rantai berat HLA kelas I, yaitu β2m atau transkripsi tapasin. Komponen APM yang mengalami penurunan regulasi akibat IL-10 antara lain molekul transporter for antigen presentation (TAP)1 dan TAP2. Perubahan pada kadar TAP1 yang diinduksi IL-10 mempunyai implikasi fungsional berupa penurunan transportasi peptida hasil penguraian antigen ke retikulum endoplasma. Akibat dari hal tersebut adalah terakumulasinya molekul HLA kelas I imatur dalam retikulum endoplasma sehingga terekspresi buruk pada membran sel. Hasil akhir dari penurunan regulasi APM dan HLA kelas I adalah reduksi pengenalan antigen melalui MHC kelas I oleh sel limfosit T sitotoksik dan sel NK. Pada saat yang sama, IL-10 juga meningkatkan kerentanan sel NK untuk lisis melalui aktivasi ligan dan membuat sel tumor menjadi tidak sensitif terhadap sitotoksisitas sel limfosit T sitotoksik.25,37 Penelitian lain membuktikan bahwa IL-10 juga dapat dapat menurunkan ekspresi molekul adhesi interseluler (misalnya intercellulae adhesion molecule 34 (ICAM)-1) dan molekul kostimulasi (misalnya cluster of differentiation (CD)80/B7-1 dan CD86/B7-2). Pada akhirnya proses tersebut menyebabkan penurunan perangkat presentasi antigen. Interleukin-10 bekerja sama dengan prostaglandin E2 (PGE2) dan vascular endothelial growth factor A (VEGF-A) juga dapat menginduksi ekspresi FasL pada sel endotel yang terdapat pada tumor sehingga menyebabkan kematian pada sel limfosit T sitotoksik yang menginfiltrasi tumor.25,37,39-42 2.2.3 FasL (CD95L) Fas ligand (FasL) atau CD95L adalah suatu protein membran yang merupakan anggota dari kelompok tumor necrosis factor.Fas ligand (FasL) yang berikatan dengan Fas akan menstimulasi jalur sinyal yang menyebabkan apoptosis sel yang mengekspresikan Fas. Apoptosis yang diinduksi oleh sistem Fas dan FasL akan melibatkan sel limfosit T sitotoksik, sel NK dan berperan penting dalam menjaga toleransi imun. Ligan kematian FasL dan reseptornya Fas, diekspresikan pada sel tumor dan sel imun yang teraktivasi. Sel imun yang mengekspresikan FasL pada membrannya akan mempunyai kemampuan mengeliminasi sel tumor yang mengandung reseptor kematian (Fas) dan memediasi imunosurveilans. Suatu penelitian membuktikan bahwa mutasi pada Fas atau FasL tikus dapat menyebabkan kelainan tertentu. Ligan kematian yang terdapat pada permukaan sel tumor digunakan sebagai perangkat khusus sehingga sel tumor menjadi kebal dari serangan sistem imun yang dikenal sebagai “Fas-counterattack hypothesis” atau hipotesis serangan balik Fas. Konsep ini didasarkan pada hasil penelitian 35 yang menunjukkan sel kanker kolon dengan FasL+ dapat menginduksi apoptosis sel T teraktivasi yang mengandung Fas secara in vitro. Ekspresi FasL pada tumor di tubuh manusia juga telah dibuktikan pada berbagai penelitian dan berkaitan dengan apoptosis limfosit yang menginfiltrasi tumor yang dimediasi oleh Fas/FasL. Apoptosis dari limfosit yang menginfiltrasi tumor tersebut akan meningkatkan pertumbuhan dan metastasis tumor. Sel tumor dengan FasL+ dapat menyerang balik sel imun dan juga membuat taktik untuk berlindung dari apoptosis melalui penghambatan sinyal yang dihantarkan oleh Fas melalui inhibitor apoptosis intraselular. Hasil akhir dari mekanisme tersebut menguntungkan sel tumor dan mengganggu imunitas antitumor. 24-25 Hasil penelitian secara in vivo menunjukkan bahwa FasL merupakan molekul proinflamasi yang mempromosikan infiltrasi sel inflamasi ke jaringan. FasL mempunyai kemampuan untuk menginduksi ekspresi gen inflamasi pada jaringan yang mengandung sel imun khususnya makrofag yang menyebabkan pelepasan TNF-α dan IL-8, yaitu sitokin dengan aktivitas pro-inflamasi potensial. Sitokin pro-inflamasi bekerja sebagai mediator autokrin atau parakrin, meningkatkan regulasi ekspresi reseptor kematian seperti Fas dan sekresi ligan kematian seperti FasL dari tumor atau sel jaringan, mengalihkan sinyal pro-apoptosis menjadi sinyal pro-inflamasi. Ligan kematian dapat berperan ganda terhadap pertumbuhan tumor. Di satu pihak, ligan dapat mendukung pertumbuhan sel tumor dan mempromosikan terjadinya metastasis namun ligan juga dapat menginduksi proses inflamasi potensial yang meyebabkan eradikasi tumor. Tumor mengambil keuntungan dari fungsi ganda ligan melalui pengalihan keseimbangan menjadi 36 kondisi protumorigenik secara konsisten. Pada lingkungan sekitar tumor, sel imun terdapat dalam kondisi yang merugikan, fungsinya diubah untuk menghasilkan faktor-faktor yang menguntungkan pertumbuhan tumor. Hilangnya ekspresi Fas pada sel tumor atau adanya ekspresi FasL pada sel tumor dapat berkontribusi pada invasi sel tumor dari imunosurvailans melalui pencetusan apoptosis dari sel limfosit T yang menginfiltrasi tumor.24-25,41 Gambar 2.3 Mekanisme penurunan sel T sitotoksik pada kanker Dikutp dari : Cabello41 2.3 Kerangka Pemikiran Sistem imun yang berperan dalam menghadapi KNF adalah sel limfosit T melalui proses immunoediting yang terdiri dari 3 fase, yaitu eliminasi/imunosurvailans, keseimbangan dan meloloskan diri.15-18 Pada kasus eliminasi tumor parsial, proses immunoediting tumor berlanjut ke fase keseimbangan. Fase keseimbangan akan membentuk tumor dorman atau terus berkembang disertai berbagai perubahan seperti mutasi DNA atau perubahan 37 ekspresi gen. Bila sistem imun gagal mengeliminasi tumor pada fase ini, maka akan terbentuk seleksi varian sel tumor dengan tingkat imunogenitas rendah/tidak imunogenik sehingga kurang/tidak dikenali oleh sistem imun. Varian sel tumor tersebut mengandung gen tidak stabil dan mempunyai kemampuan bertahan, menghindar atau menekan respons imun anti tumor meskipun terjadi pada pejamu imunokompeten yang menyebabkan terjadinya fase meloloskan diri.15-18 Terdapat berbagai mekanisme meloloskan diri yang dikembangkan oleh sel tumor, antara lain adalah produksi sitokin imunosupresif IL-10 dan ekspresi FasL (CD95L) pada sel tumor.15-18,24-25 Interleukin-10 yang bekerja pada monosit dan makrofag akan mencegah peyajian antigen tumor kepada sel limfosit T melalui MHC kelas II ke permukaan sel lewat inhibisi pengangkutan antigen dari kompartemen intrasel ke permukaan sel. 33 Penelitian in vitro menunjukkan terdapat efek penurunan regulasi ekspresi komponen antigen presenting machinery (APM) dan major histocompability complex (MHC) kelas I yang disebabkan oleh IL-10. Akibat penurunan regulasi ekspresi APM adalah penurunan regulasi human leukocyte antigen (HLA) kelas I pada permukaan sel. Interleukin-10 juga secara langsung menyebabkan gangguan pada rantai berat HLA kelas I, yaitu β2m atau transkripsi tapasin. Komponen APM yang mengalami penurunan regulasi akibat IL-10 antara lain molekul transporter for antigen presentation (TAP)1 dan TAP2. Perubahan pada kadar TAP1 yang diinduksi IL-10 mempunyai implikasi fungsional berupa penurunan transportasi peptida hasil penguraian antigen ke retikulum endoplasma. Hasil akhir dari penurunan regulasi APM dan HLA kelas I adalah reduksi pengenalan 38 antigen melalui MHC kelas I oleh sel limfosit T sitotoksik dan sel NK. Interleukin 10 bekerja sama dengan PGE2 dan VEGF-A juga dapat menginduksi ekspresi FasL pada sel endotel yang terdapat pada tumor sehingga menyebabkan kematian pada sel limfosit T sitotoksik yang menginfiltrasi tumor. Akibat hal tersebut diatas maka progresivitas tumor akan meningkat.16-18,25,42 Fas ligand (FasL) atau CD95L adalah suatu protein membran yang merupakan anggota dari kelompok tumor necrosis factor. Fas ligand (FasL) yang berikatan dengan Fas akan menstimulasi jalur sinyal yang menyebabkan apoptosis sel yang mengekspresikan Fas. Ekspresi FasL pada tumor di tubuh manusia telah dibuktikan dalam berbagai penelitian dan keberadaannya berkaitan dengan apoptosis sel limfosit yang menginfiltrasi tumor dengan kandungan Fas pada permukaan selnya. Apoptosis dari sel limfosit yang menginfiltrasi tumor tersebut akan meningkatkan progresivitas tumor. Sel tumor yang mengandung FasL, selain dapat menyerang balik sel imun, sel tersebut juga dapat membuat taktik untuk berlindung dari apoptosis melalui penghambatan sinyal yang dihantarkan oleh Fas melalui inhibitor apoptosis intraselular. Hasil akhir dari mekanisme tersebut menguntungkan sel tumor dan mengganggu imunitas antitumor sehingga pertumbuhan tumor semakin progresif .23-24,42 Ligan kematian FasL dapat berperan ganda terhadap pertumbuhan tumor. Di satu pihak, ligan dapat mendukung pertumbuhan sel tumor dan mempromosikan terjadinya metastasis. Namun demikian, ligan juga dapat menginduksi proses inflamasi potensial yang meyebabkan eradikasi tumor. Tumor mengambil keuntungan dari fungsi ganda ligan melalui pengalihan keseimbangan menjadi 39 kondisi protumorigenik secara konsisten. Hilangnya ekspresi Fas pada sel tumor atau adanya ekspresi FasL pada sel tumor dapat berkontribusi pada invasi sel tumor dari imunosurvailans melalui pencetusan apoptosis dari sel limfosit T yang menginfiltrasi tumor.23-24,42 Gambar 2.4 Skema kerangka pemikiran 40 Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dibuatlah premis-premis sebagai berikut : Premis 1 : Sistem imun yang berperan dalam menghadapi KNF adalah sel limfosit T melalui proses immunoediting yang terdiri dari fase eliminasi, keseimbangan dan meloloskan diri.15-18 Premis 2 : Pada kasus eliminasi tumor parsial, proses immunoediting tumor akan berlanjut ke fase keseimbangan dengan terbentuknya varian tumor yang mengalami mutasi DNA dan jika sistem imun gagal mengendalikan tumor yang mengandung gen tidak stabil tersebut maka selanjutnya akan terjadi fase meloloskan diri antara lain melalui peningkatan ekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) pada sel tumor dan lingkungan sekitar tumor.15-18,24-25,37,41 Premis 3 : Produksi IL-10 oleh tumor dan lingkungan sekitar tumor dapat menyebabkan penurunan ekspresi HLA kelas I, komponen APM yaitu TAP1, TAP2, β2m sehingga mengganggu presentasi antigen oleh limfosit T.24-25 Premis 4 : Interleukin-10 bekerja sama dengan PGE2 dan VEGF-A juga dapat menginduksi ekspresi FasL pada sel endotel yang terdapat pada tumor.42 Premis 5 : Peningkatan ekspresi ligan kematian FasL (CD95) pada sel tumor akan meyebabkan apoptosis limfosit menginfiltasi tumor.24,41 T yang 41 Premis 6 : Peningkatan apotosis sel limfosit T yang menginfiltrasi tumor dan penurunan presentasi antigen oleh limfosit T akan meningkatkan progresivitas tumor.15-18,24-25,41 2.4 Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : 1. Peningkatan ekspresi IL-10 berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. 2. Peningkatan ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. 42 BAB III SUBJEK, ALAT, DAN METODE PENELITIAN 3.1 Subjek dan Alat Penelitian 3.1.1 Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah seluruh penderita tumor nasofaring baru dengan hasil histopatologi KNF tipe III WHO yang datang ke poli Onkologi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RS Dr. Hasan Sadikin Bandung.Subyek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. 3.1.1.1 Kriteria Inklusi Penderita yang didiagnosis KNF tipe III WHO. 3.1.1.2 Kriteria Eksklusi Penderita karsinoma multipel. 3.1.1.3 Besar Sampel Penentuan besar sampel dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian dan tipe data yaitu dengan menggunakan rumus penentuan besar sampel untuk penelitian analitik korelatif. Rumus yang digunakan adalah :43 2 Z Z n 3 0.5ln(1 r ) /(1 r ) 43 Keterangan : n = jumlah sampel Z = deviat baku alfa Z = deviat baku beta r = korelasi minimal yang dianggap bermakna. Dengan menggunakan rumus tersebut maka jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 23. 3.1.2 Bahan dan Alat yang Digunakan Penelitian 3.1.2.1 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini : 1. Xylocain 10% semprot hidung untuk anestesi lokal 2. Kapas tampon. 3. Jaringan tumor nasofaring yang secara histopatologis merupakan KNF tipe III WHO. 4. Formalin. 5. Reagen antibodi poliklonal anti human IL-10 RP1014 Boster Immunoleader untuk pemeriksaan imunohistokimia IL-10. 6. Reagen antibodi poliklonal ab21233 imunohistokimia FasL. 3.1.2.2 Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini : Abcam untuk pemeriksaan 44 1. Botol sediaan. 2. Set biopsi. 3. Sumber cahaya endoskopi merk Storz. 4. Kabel optik merk Storz. 5. Sistem kamera merk Storz yang terhubung dengan monitor 14 inci merk LG. 6. Endoskop kaku 0o merk Storz. 3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah suatu penelitian observasional analitik dengan rancangan studi potong lintang.43 3.2.2 Identifikasi Variabel 3.2.2.1 Variabel Penelitian Variabel yang diukur pada penelitian ini : 1. Variabel terikat yaitu stadium klinis KNF tipe III WHO. 2. Variabel bebas yaitu ekspresi IL-10 dan FasL. 3. Variabel perancu yaitu usia dan jenis kelamin. 3.2.2.2 Definisi Operasional 1. Stadium klinis KNF : Definisi : Suatu sistem klasifikasi berdasarkan National Comprehensive Cancer Network (NCCN) pada tahun 2013, yang dikembangkan 45 oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010 untuk menjelaskan ekstensi maupun progresifitas penyakit pada pasien karsinoma kepala leher dengan menggunakan sistem penilaian TNM (ukuran tumor, KGB yang terlibat, maupun metastasis) .1,4,35 Alat Ukur : National Comprehensive Cancer Network (NCCN) 2013, suatu sistem klasifikasi yang dikembangkan dari American Joint Comittee on Cancer (AJCC) 2010. Cara Ukur : Pemeriksaan fisik, nasoendoskopi, foto polos dada,USG abdomen dan CT scan. Hasil Ukur : Stadium I, II,III, IVA –IV C. Skala Ukur : Kategorik ordinal 2. Klasifikasi TNM : Definisi : Suatu sistem klasifikasi berdasarkan National Comprehensive Cancer Network (NCCN) pada tahun 2013,yang dikembangkan oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010 untuk menjelaskan ekstensi maupun progresifitas penyakit pada pasien karsinoma kepala leher dengan menggunakan sistem penilaian TNM (ukuran tumor, KGB yang terlibat, maupun metastasis) .1,4,35 Alat Ukur : National Comprehensive Cancer Network (NCCN) 2013, suatu sistem klasifikasi yang dikembangkan dari American Joint Comittee on Cancer (AJCC) 2010. Cara Ukur: Pemeriksaan fisik, nasoendoskopi, foto polos dada, USG abdomen dan CT scan 46 Hasil Ukur : Klasifikasi T : T1–T2 dan T3–T4 Klasifikasi N : N0 dan N1–N3 Klasifikasi M : M0 dan M1 Skala Ukur : Kategorik ordinal 3. Interleukin-10 Definisi : Interleukin-10 adalah suatu glikoprotein homodimerik dengan struktur α-helikal tersier yang mengirimkan sinyal melalui jalur kompleks Janus kinase (JAK)/signal transducer and activator of transcription (STAT). Sitokin ini dihasilkan oleh berbagai macam sel, termasuk sel limfosit T, limfosit B, monosit, dendritik, sel NK dan sel tumor. Secara umum IL-10 berfungsi sebagai sitokin imunosupresif.39,44 Cara Ukur : Pemeriksaan Imunohistokimia dengan prinsip ikatan antigen (IL10) pada potongan jaringan dengan antibodi spesifik (poliklonal anti human IL-10 RP1014 Boster Immunoleader) yang terikat enzim. Enzim akan merubah substrat tidak berwarna menjadi substansi terlarut berwarna, yang terpresipitasi pada lokasi dimana antibodi berada sehingga antigen dapat terlokalisasi. 27 HasilUkur : Skor 0-12 Skala Ukur : Numerik 4. FasL (CD95L) Definisi : Fas ligand adalah suatu protein membran yang merupakan anggota dari kelompok tumor necrosis factor. Fas ligand yang 47 berikatan dengan Fas akan menstimulasi jalur sinyal yang menyebabkan apoptosis sel yang mengekspresikan Fas.24 Cara Ukur: Pemeriksaan Imunohistokimia dengan prinsip ikatan antigen (FasL) pada potongan jaringan dengan antibodi spesifik (poliklonal ab21233/FasL Abcam) yang terikat enzim. Enzim akan merubah substrat tidak berwarna menjadi substansi terlarut berwarna, yang terpresipitasi pada lokasi dimana antibodi berada sehingga antigen dapat terlokalisasi.27 Hasil Ukur : Skor 0-12 Skala Ukur : Numerik 5. Jenis Kelamin Definisi : Jenis kelamin pasien yang didapatkan sejak lahir yaitu laki-laki dan perempuan. Cara ukur : Anamnesis Hasil ukur : Laki-laki, wanita Skala ukur : Kategorik nominal 6. Usia Definisi : Usia pasien yang dihitung dalam tahun dengan pembulatan ke bawah atau sama dengan umur pada waktu ulang tahun yang terakhir saat penderita didiagnosis KNF tipe III WHO. Cara ukur : Anamnesis Hasil ukur : ≤20, 20 – 29, 30 – 39, 40 – 49, ≥ 50 Skala ukur : Kategorik ordinal 48 3.2.3 Alur Kerja dan Teknik Pengumpulan Data 3.2.3.1 Alur Kerja ALUR PEMERIKSAAN Suspek KNF Informed Consent Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Nasofaringoskopi Biopsi Eksklusi Inklusi KNF Tipe III WHO (+) Bukan KNF Tipe III WHO Pemeriksaan Penunjang Thorax, USG, CT scan Stadium I Stadium II Imunohistokimia IL-10 Stadium III Imunohistokimia FasL PENGOLAHAN DATA ANALISIS STATISTIK Stadium IV 49 3.2.3.2 Prosedur Pembuatan Pulasan Imunohistokimia IL-10 dan FasL (CD95L) 3.2.3.2.1 Alat Alat yang diperlukan untuk pembuatan pulasan imunohistokimia IL-10 dan FasL meliputi : 1. Kaca preparat dan penutupnya 2. Hot plate 3. Inkubator 4. Decloacking chamber 5. Pap pen 3.2.3.2.2 Bahan Bahan yang diperlukan untuk pembuatan pulasan imunohistokimia IL-10 dan FasL adalah : 1. Larutan Xylol 2. Alkohol 705, 80%, 90% dan100 % 3. Air mengalir 4. H2O20,3% 5. Metanol 6. Cairan penyangga sitrat 7. Blocking serum 8. Antibodi primer poliklonal anti human IL-10 9. Antibodi poliklonal ab21233 (FasL) Abcam 50 10. Larutan PBS 11. Antibodi sekunder 12. Strekttravidin HRP 13. Larutan kromogen DAB 14. Pewarna Meyer hematoksilin 15. Larutan LiCO3 16. Larutan Entelan 3.2.3.2.3 Prosedur Pulasan imunohistokimia IL-10 dan FasL (CD95L) dilakukan dengan prosedur manual sebagai berikut : 1. Memanaskan preparat pada hot plate dengan suhu 56-60 C selama 10 menit. 2. Menyimpan preparat dalam inkubator dengan suhu 370C selama 1 malam. 3. Melakukan parafinisasi preparat dengan xylol sebanyak 3 kali, masing-masing 5 menit. 4. Mencelupkan preparat kedalam alkohol 100% (etanol) sebanyak 3 kali, masing-masing 5 menit. 5. Mencelupkan preparat kedalam alkohol 90%, 80% dan 70% 1 kali, masingmasing 5 menit 6. Membilas preparat dengan air mengalir. 7. Merendam preparat dalam H2O2 0.3% dan dalam metanol selama 15 menit. 8. Merendam preparat dalam air mengalir 5 menit. 51 9. Memasukkan preparat ke dalam cairan penyangga sitrat, lalu memasukkannya ke dalam decloacking chamber selama 30 menit. 10. Menunggu hingga sama dengan suhu ruangan. 11. Menandai daerah yang akan diperiksa dengan membuat lingakaran, menggunakan Pap pen. 12. Mencuci preparat dengan PBS selama 5 menit. 13. Meneteskan blocking serum pada preparat dan inkubasi selama 10 menit. 14. Meneteskan antibodi primer poliklonal anti human IL-10 pada sediaan lalu inkubasi selama 1 jam. 15. Mencuci preparat dengan larutan PBS pH 7,2-7,42 selama 5 menit. 16. Menetesi preparat dengan antibodi sekunder dan inkubasi selama 10-20 menit. 17. Mencuci preparat dengan larutan PBS pH 7,2-7,42 selama 5 menit. 18. Menetesi preparat dengan larutan strektravidin HRP dan inkubasi selama 10-20 menit. 19. Mencuci preparat dengan larutan PBS pH 7,2-7,42 selama 5 menit. 20. Menetesi preparat dengan larutan kromogen DAB, inkubasi selama 5 menit. 21. Mencuci preparat dengan air mengalir selama 5 menit. 22. Mewarnai preparat dengan counterstaining, menggunakan pewarna Meyer hematoksilin selama 2 menit. 23. Mencuci preparat dengan air mengalir 5 menit. 24. Mencelupkan preparat ke dalam LiCO3. 25. Mencuci preparat dengan air mengalir. 52 26. Menetesi preparat dengan alkohol 70%, 80%, 90% 1 kali, diamkan selama 5 menit. 27. Menetesi preparat dengan alkohol 100% / ethanol, diamkan selama 5 menit. 28. Memasukkan preparat ke dalam larutan xylol selama 3 menit. 29. Menetesi preparat dengan larutan entelan kemudian menutupnya dengan kaca penutup dan dibiarkan mengering pada suhu ruangan. 30. Melihat hasil pulasan imunohistokimia dibawah mikroskop. Tahapan dan proses yang sama dilakukan terhadap pewarnaan imunohistokimia FasL (CD95L). Imunoekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) dinyatakan positif bila sitoplasma dan membran sel tumor berwarna coklat. Hasil yang didapat berupa : - Skala distribusi imunoekspresi Skor 0 untuk hasil negatif Skor 1 adalah < 10 % Skor 2 adalah 11-50% Skor 3 adalah 51-80% dan Skor 4 adalah ≥ 80%. - Skala intensitas imunoekspresi Skor 0 untuk tidak ada (tidak terwarnai) Skor 1 intensitas lemah/L (terwarnai coklat muda/pucat) Skor 2 intensitas sedang/S (terwarnai coklat) dan Skor 3 untuk intensitas kuat/K (terwarnai coklat tua) 53 - Hasil akhir berupa Histoskor, yaitu perkalian antara skala distribusi dengan skala intensitas, dengan hasil akhir berupa skor 0-12. 3.2.3.3 Teknik Pengumpulan Data Pelaksanaan penelitian ini melalui beberapa tahapan, yaitu: 1. Penderita tumor nasofaring yang datang ke poli Onkologi dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik THT-KL. 2. Dilakukan biopsi sesuai dengan prosedur operasional standar yang berlaku. 3. Dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menetukan stadium (pemeriksaan darah, foto polos dada, CT-Scan, USG abdomen). 4. Bila didapatkan histopatologi berupa KNF tipe III WHO selanjutnya dilakukan penilaian ekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) dengan imunohistokimia menggunakan imunogen antibodi poliklonal anti human IL10 RP1014 Boster Immunoleader untuk IL-10 dan imunogen antibodi poliklonal ab21233 Abcam untuk FasL (CD95L). 3.2.4 Rancangan Analisis Data yang diperoleh dicatat dalam formulir penelitian yang telah dibuat, kemudian dilakukan edit, verifikasi, pengkodean dan pemasukan data, selanjutnya dilakukan analisis. Analisis statistik untuk data kategorik diuji dengan uji Chi-Square dengan alternatif uji Exact Fisher dan uji Kolmogorov Smirnov apabila syarat dari ChiSquare tidak terpenuhi. Untuk data numerik , sebelum dilakukan uji statistika, 54 terlebih dahulu dinilai normalitasnya menggunakan uji Shapiro Wilks karena jumlah data kurang dari 50. Uji Statistika untuk membandingkan karakteristik dua kelompok penelitian digunakan uji t tidak berpasangan jika data berdistribusi normal dan uji Mann Whitney sebagai alternatifnya jika data tidak berdistribusi normal. Korelasi antara variabel numerik dengan variabel dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson jika data berdistribusi normal dan jika data tidak berdistribusi normal maka digunakan uji korelasi Spearman. Analisis korelasi antara variabel numerik dengan ordinal menggunakan analisis korelasi Spearman sedangkan analisis korelasi antara variabel ordinal dengan ordinal maka menggunakan uji korelasi Spearman. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, arah korelasi dan nilai p. Kekuatan korelasi (r) dinilai berdasarkan kriteria sebagai berikut, yaitu : 0,0 – < 0,2 = sangat lemah; 0,2 – < 0,4 = lemah; 0,4 – < 0,6 = sedang; 0,6 – < 0,8 = kuat; 0,8 – 1,0 = sangat kuat. Arah korelasi positif/searah berarti semakin besar nilai satu variabel maka semakin besar pula nilai variabel lainnya. Arah korelasi negatif berarti semakin besar nilai satu variabel maka semakin kecil nilai variabel lainnya. Kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p. Nilai p ≤ 0,05 berarti signifikan atau bermakna secara statistik dan jika nilai p > 0,05 berarti tidak signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Jika nilai p < 0,05 berarti terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji dan apabila nilai p > 0,05 maka dapat dinyatakan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.44 55 3.2.5 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di poli Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher dan Bagian Ilmu Patologi Anatomi RS Dr. Hasan Sadikin Bandung. Waktu penelitian dilakukan setelah usulan penelitian ini disetujui sampai terpenuhi jumlah sampel. 3.3 Aspek Etik Penelitian Pada penelitian ini akan digunakan sampel penderita KNF tipe III WHO yang datang ke poliklinik Onkologi Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RS. Dr. Hasan Sadikin dan akan dikerjakan apabila sudah mendapatkan surat izin dari Komite Etika Penelitian FK UNPAD / RSHS. Pada setiap penderita yang mengikuti penelitan, sebelumnya akan dilakukan informed consent mengenai tujuan, manfaat dan kerugian mengikuti penelitian serta prosedur tindakan dan risiko yang akan dihadapi disertai upaya penanganannya. Aspek etik pada penelitian ini adalah terjaganya kerahasiaan data sampel penelitian. Upaya yang dilakukan untuk menjaga kerahasiaan data sampel penelitian tersebut antara lain adalah bahwa data sampel hanya diketahui oleh peneliti dengan cara hanya menuliskan inisial nama sampel penelitian pada laporan dan tidak membuat fotokopi dari buku status rekam medis sampel penelitian. Aspek etik lain yang dijumpai dalam penelitian ini adalah adanya ketidaknyamanan pada saat dan sesudah dilakukan prosedur biopsi jika ditemukan massa pada nasofaring. Ketidaknyamanan yang dapat dijumpai karena tindakan biopsi antara lain adalah rasa nyeri, kemungkinan perdarahan dan infeksi. Untuk 56 mengurangi rasa nyeri sebelum biopsi diberikan larutan anestesi lokal berupa xylocaine 10% semprot hidung dan diberikan obat anti nyeri oral sesudahnya. Pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin (hemobglobin, hematokrit, leukosit, trombosit), waktu perdarahan dan waktu pembekuan serta pemeriksaan tandatanda vital (keadaan umum, tensi, nadi dan respirasi) dilakukan sebelum tindakan biopsi untuk menghindari risiko terjadinya perdarahan masif pada saat biopsi. Pada pasien dengan usia diatas 40 tahun dilakukan juga pemeriksaan rekam jantung (elektrokardiografi) sebelum tindakan. Jika terjadi perdarahan setelah dilakukan biopsi, diatasi dengan pemasangan tampon kapas yang mengandung adrenalin dan NaCl 0,9% dengan perbandingan 1:200.000 dan dilakukan pemantauan. Bila perdarahan tidak teratasi dengan pemasangan tampon kapas yang mengandung adrenalin, selanjutnya dapat dilakukan pemasangan tampon hidung anterior bervaselin dan pemberian asam traneksamat oral bila perlu. Setelah dilakukan biopsi pada pasien diberikan antibiotik oral untuk mencegah infeksi pada luka tempat biopsi. Tindakan tersebut sesuai dengan prosedur operasional standar yang berlaku. Keuntungan penelitian secara langsung untuk pasien adalah dapat menjadi dasar pemberian terapi tambahan dari prosedur terapi baku yang sudah ada, khususnya pada pasien KNF dengan stadium lanjut. Kerugiannya yang mungkin dijumpai adalah jaringan tumor pasien hasil biopsi, yang mungkin diperlukan untuk kepentingan lain bagi pasien, dapat habis ketika dilakukan pemeriksaan imunohistokimia IL-10 dan FasL namun akan diusahakan seefektif dan seefisien mungkin dalam penggunaannya. 57 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, didapatkan 23 sampel jaringan yang diperoleh dari hasil biopsi penderita tumor nasofaring yang datang ke poli Onkologi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran/ RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan hasil histopatologi KNF tipe III WHO. Sampel tersebut diwarnai menggunakan pemeriksaan imunohistokimia di bagian Ilmu Kesehatan Patologi Anatomi RSHS Bandung untuk menilai imunoekspresi IL-10 dan FasL. 4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik umum subjek penelitian meliputi jenis kelamin, usia dan stadium klinis KNF tipe III WHO, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4.1. Tabel tersebut menggambarkan bahwa KNF tipe III WHO lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan yaitu sebesar 57%. Kategori umur penderita KNF tipe III WHO terbanyak adalah pada kelompok usia 30-39 tahun (35%) dan 40-49 tahun (30%). Stadium klinis penderita ketika pertama kali didiagnosis KNF tipe III WHO paling banyak adalah stadium lanjut (III dan IV), yaitu sebesar 26% untuk stadium III dan 57% untuk stadium IV. Menurut klasifikasi TNM, menunjukkan bahwa kategori T1-T2 sebanyak 52% dan T3-T4 sebanyak 48%. Sebagian besar pasien (87%) mengalami penyebaran tumor ke kelenjar getah bening servikal dan hanya 1 pasien yang mengalami metastasis jauh (hati). 58 Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Jumlah % Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 13 10 57 43 Umur (tahun) ≤20 20 – 29 30 – 39 40 – 49 ≥ 50 0 3 8 7 5 0 13 35 30 22 Stadium klinis I II III IV 0 4 6 13 0 17 26 57 Klasisfikasi T T1-T2 T3-T4 12 11 52 48 Klasifikasi N N0 N1-N3 3 20 13 87 Klasifikasi M M0 M1 22 1 96 4 Keterangan :SD = Standar Deviasi 4.1.2 Perbandingan Karakteristik Umur dan Jenis Kelamin Berdasarkan Stadium Klinis Tabel 4.2 menggambarkan perbandingan karakteristik umur dan jenis kelamin berdasarkan stadium klinis. Pada tabel tersebut ditunjukkan bahwa perbandingan karaktersitik umur dan jenis kelamin anatara kedua kelompok stadium, yaitu stadium awal dan stadium lanjut, diperoleh nilai p > 0,05, yaitu 0,706 untuk 59 variabel usia dan 0,127 untuk variabel jenis kelamin. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna atau data bersifat homogen sehingga dapat dilakukan analisis statistik selanjutnya. Tabel 4.2 Perbandingan Karakteristik Berdasarkan Stadium Klinis Karakteristik Umur (tahun) ≤20 20 – 29 30 – 39 40 – 49 ≥ 50 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur dan Stadium Kelamin Nilai p Awal (I-II) n=5 Lanjut (III-IV) n = 18 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (20,0%) 2 (40%) 2 (40,0%) 0 (0,0%) 3 (16,7%) 7 (38,9%) 5 (27,8%) 3 (16,7%) 1 (20,0%) 4 (80,0%) Jenis 12 (66,7%) 6 (33,3%) 0,127* 0,706** Keterangan : *) Uji Kolmogorof smirnov, **) Uji chi square 4.1.3 Ekspresi IL-10 dan FasL (CD95L) pada Penderita Karsinoma Nasofaring Tipe III WHO Ekspresi IL-10 dan FasL pada penderita KNF tipe III WHO dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia, dinilai berdasarkan distribusi dan intensitas sehingga diperoleh nilai histoskor IL-10 dan FasL, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa seluruh sampel mengekspresikan IL-10 dan FasL dengan nilai bervariasi. Sebagian besar sampel penelitian mengekspresikan IL-10 (61%) dan FasL (48%) dengan nilai distribusi >80%. 60 Tabel 4.3 Ekspresi IL-10 dan FasL pada Penderita KNF Tipe III WHO Ekspresi Jumlah % IL-10 a. Distribusi : 0 ≤10 % 11-50% 51-80 % >80 % 0 0 1 8 14 0 0 4 35 61 b. Intensitas : 0 1 2 3 0 1 5 17 0 4 22 74 FasL (CD95L) a. Distribusi : 0 ≤10 % 11-50% 51-80 % >80% 0 1 3 8 11 0 4 13 35 48 b. Intensitas : 0 1 2 3 0 14 9 0 0 61 39 0 Histoskor : Rerata±SD : 9.8±2.8 Median : 12 Rentang : 2-12 Histoskor : Rerata±SD : 4,5±1,8 Median :4 Rentang : 1-8 Keterangan :SD = Standar Deviasi Penilaian intensitas ekspresi IL-10 dan FasL dinilai berdasarkan kuat lemahnya warna coklat pada sitoplasma sel. Tabel 4.3 menggambarkan bahwa 61 untuk ekspresi IL-10, sebagian besar sampel (74%) mempunyai nilai intensitas 3 sedangkan untuk FasL sebagian besar sampel (61%) memiliki intensitas dengan nilai 1. Berdasarkan intensitas dan distribusi maka akan diperoleh nilai histoskor. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa IL-10 mempunyai nilai histoskor dengan rerata 9,8 (± 2,8), median 12 dan rentang 2-12 sedangkan untuk FasL memiliki nilai rerata 4,5 (± 1,8), median 4 dan rentang 1-8. 4.1.4 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Stadium Klinis KNF Tipe III WHO Tabel 4.4 menunjukkan hasil analisis statistik mengenai hubungan antara ekspresi (histoskor) IL-10 dan FasL dengan stadium klinis berdasarkan analisis korelasi. Berdasarkan analisis korelasi Spearman maka diperoleh nilai p sebesar 0,553 untuk hubungan ekspresi IL-10 dengan stadium klinis dan 0,200 untuk hubungan ekspresi FasL dengan stadium klinis, yang artinya tidak signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Tabel 4.4 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Stadium Klinis KNF Tipe III WHO Variabel rs Nilai p Korelasi stadium klinis dengan ekspresi IL-10 0,130 0,553 Korelasi stadium klinis dengan ekspresi FasL -0,277 0,200 Keterangan: Korelasi dianalisis denganuji korelasi Spearman. rs = koefisien korelasi rank Spearman. 62 4.1.5 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Klasifikasi TNM Tabel 4.5 menunjukkan hasil analisis statistik hubungan ekspresi IL-10 dan FasL dengan klasifikasi TNM berdasarkan analisis korelasi. Berdasarkan analisis korelasi Spearman maka diperoleh nilai p sebesar 0,816 untuk hubungan antara ekspresi IL-10 dengan klasifikasi T, dengan klasifikasi 0,471 untuk hubungan ekspresi IL-10 N dan 0,430 untuk hubungan ekspresi IL-10 dengan klasifikasi M. Analisis serupa dilakukan untuk FasL, diperoleh nilai p sebesar 0,784 untuk hubungan histoskor FasL dengan klasifikasi T, hubungan ekspresi FasL dengan klasifikasi 0,243 N dan 0,414 untuk untuk hubungan ekspresi FasL dengan klasifikasi M. Tabel 4.5 Hubungan antara Ekspresi IL-10 dan FasL dengan Klasifikasi TNM Variabel rs Nilai p Korelasi ekspresi IL-10 dengan klasifikasi T N M -0,051 0,158 0,173 0,816 0,471 0,430 Korelasi ekspresi FasL dengan klasifikasi T N M -0,060 -0,254 0,179 0,784 0,243 0,414 Keterangan: Analisis menggunakan uji korelasi Spearman. rs = koefisien korelasi rank Spearman. 4.2 Pembahasan Berdasarkan data karakteristik penderita yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak, yaitu sebesar 57%. Adriana dkk, tahun 2015, dalam penelitiannya mengenai kesintasan dan faktor yang 63 mempengaruhi penderita karsinoma nasofaring di RSHS, melaporkan hasil yang sama bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan yaitu sebesar 68,8%. Adham dkk di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, tahun 2005, dalam penelitiannya mengenai epidemiologi, insidensi, gejala dan tanda karsinoma nasofaring di Indonesia, menunjukkan hasil yang sesuai, yaitu penderita laki-laki lebih banyak sebesar 70,4%. Di rumah sakit Kiang Wu, Macau, Cina, Xiao dkk, tahun 2013 dalam penelitiannya mengenai pengaruh jenis kelamin dan umur terhadap kelangsungan hidup penderita karsinoma nasofaring, juga menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada wanita, yaitu sebesar 71,2%.8-9,45 Penelitian sebelumnya sesuai dengan penelitian ini yang menunjukkan angka kejadian KNF lebih dominan terjadi pada laki-laki. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh faktor risiko terjadinya KNF seperti pajanan asap rokok dan karsinogen lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Penelitian di Thailand dengan penderita dominan KNF tipe III WHO melaporkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat merokok dengan peningkatan risiko terjadinya KNF secara keseluruhan.8,19,46 International Agency for Research on Cancer menyatakan bahwa terdapat 60 karsinogen dalam asap tembakau dan telah terdapat cukup bukti yang menunjukkan bahwa zat tersebut bersifat karsinogenik baik pada hewan coba maupun manusia. Zat karsinogenik tersebut digolongkan kedalam berbagai kelompok zat kimia, yaitu : polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH), aza-arenes, N-nitrosamin, amino aromatik, amino heterosiklik, aldehid, volatile hidrokarbon, 64 senyawa nitro, senyawa organik lainnya, logam dan senyawa anorganik lainnya. Delapan belas N-nitrosamin terdapat dalam asap rokok. Komponen karsinogen tertentu dalam asap rokok dapat menyebabkan kerusakan DNA dan mutasi gen p53.47 Selain hal tersebut diatas, diduga terdapat faktor intrinsik tertentu pada wanita yang memberikan efek protektif yang mempengaruhi sistem imun terhadap kanker. Hormon gonad, yaitu testosteron dan androgen serta reseptor terkait mempunyai pengaruh dalam menyebabkan adanya perbedaan perilaku biologis sel tumor antara laki-laki dan perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa androgen dapat menginduksi perubahan proliperatif sel kanker pada hewan coba dan mempromosikan tumorigenesis melalui reseptor androgen. 48 Maasberg dkk melaporkan bahwa pemberian testosteron dapat menyebabkan efek proliferasi sel sebanyak tiga kali lipat sedangkan estrogen tidak mempunyai pengaruh pada pertumbuhan tumor. Stimulasi pertumbuhan ini dapat ditekan dengan pemberian anti androgen seperti siprosteron asetat atau flutamid. Penelitian in vitro ini menunjukkan bahwa hormon seks mempunyai peranan dalam regulasi pertumbuhan tumor.48 Kelompok usia terbanyak pada penelitian ini adalah usia 30-39 tahun (35%) dan 40-49 tahun (30%). Hal ini sesuai dengan penelitian Rusdiana dkk di Medan, tahun 2006 yang melaporkan bahwa penderita terbanyak terdapat pada dekade 35 sebanyak 30,79%. Adham M dkk di RSCM serta Cao dkk di Cina, tahun 2010 melaporkan bahwa usia terbanyak terdapat pada dekade ke 4-5. Angka kejadian KNF meningkat sesuai dengan bertambahnya usia dan puncaknya terjadi pada 65 dekade 5, stabil sampai usia 60–64 tahun dan menurun sesudahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa KNF di Indonesia mempengaruhi populasi usia dewasa produktif sehingga dapat menjadi beban sosioekonomi masyarakat Indonesia. 8,4950 Insidensi karsinoma meningkat sesuai dengan pertambahan usia (penuaan) baik pada manusia maupun hewan coba. Terdapat perbedaan pola distribusi tumor terkait usia pada berbagai organ dan jaringan. Penuaan dapat meningkatkan atau menurunkan kerentanan berbagai jaringan terhadap inisiasi karsinogenesis dan biasanya memfasilitasi promosi dan progresi karsinogenesis. Penuaan dapat menjadi predisposisi kanker melalui beberapa mekanisme, yaitu : 1) Akumulasi jaringan dari sel-sel pada tahap lanjut dari karsinogenesis. 2) Perubahan homeostasis, khususnya perubahan pada sistem imun dan sistem endokrin. 3) Instabilitas telomer terkait penuaan dan peningkatan risiko kanker. 51 Peningkatan kerentanan terhadap efek promoter tumor ditemukan baik pada hewan coba maupun manusia yang menua. Terdapat penelitian yang mendukung adanya relevansi yang tampak kuat antara replikasi akibat penuaan dari sel manusia dan biologi telomer terhadap kanker pada manusia meskipun memerlukan penelitian lebih lanjut. Data mengenai akselerasi penuaan oleh agen karsinogenik seperti halnya peningkatan risiko kanker pada pasien dengan penuaan dini masih dalam perdebatan.51 Tiga hipotesis utama telah diajukan untuk menjelaskan tentang hubungan antara kanker dan usia. Hipotesis pertama menyatakan hubungannya adalah 66 bahwa kanker merupakan konsekuensi dari durasi karsinogenesis. Dengan kata lain, urutan langkah karsinogenik yang diperlukan untuk transformasi neoplastik jaringan normal, berkembang beberapa tahun dan kanker lebih cenderung bermanifestasi pada individu yang lebih tua melalui proses seleksi alam. Peto dkk., menyatakan bahwa tingginya prevalensi kanker pada usia yang lebih tua secara sederhana mencerminkan paparan yang lebih lama terhadap karsinogen.51 Hipotesis kedua menyatakan bahwa perubahan progresif terkait usia dalam lingkungan internal suatu organisme, dapat menyokong meningkatnya lingkungan yang menguntungkan untuk timbulnya neoplasma baru dan untuk pertumbuhan massa yang sudah ada. Mekanisme ini termasuk di dalamnya adalah proliferasi yang berhubungan dengan proses penuaan, sehubungan dengan hilangnya kemampuan sel menua untuk mengalami apoptosis dan diduga menyebabkan banyak faktor yang saling bekerja sama untuk menstimulasi mutasi onkogenik sel epitel.51 Hipotesis ketiga menyatakan bahwa fenotipe cenderung kanker pada manusia yang lebih tua terjadi akibat kombinasi efek dari muatan mutasional kumulatif, peningkatan epigenetik silencing gen, disfungsi telomer dan perubahan lingkungan stroma. DePinho menekankan bahwa disfungsi telomer dapat menjadi faktor utama dari beberapa mekanisme yang mengendalikan karsinogenesis epitel seiring dengan lanjutnya usia. Penguraian lebih mendalam mengenai penyebab meningkatnya insidensi kanker terkait usia, dapat menjadi kunci dalam menyusun strategi pencegahan kanker primer.51 67 Etiologi KNF bersifat multifaktorial, yaitu berkaitan dengan lingkungan (karsinogen), genetik, dan virus Epstein Barr. Secara umum, KNF jarang terjadi pada usia di bawah 20 tahun (kurang dari 1%). Jumlah penderita KNF dibawah usia 16 tahun yaitu sekitar 1–2% di Cina, 2,1% di Inggris, 7,12% di Turki, 10% di Amerika Serikat, 12% di Israel, 13% di Kenya, 14,5% di Tunisia dan 18% di Uganda. Di Indonesia, pada observasi yang dilakukan selama lebih dari 10 tahun menunjukkan bahwa sekitar 17–21% penderita KNF adalah berusia kurang dari 30 tahun. Dalam kaitannya dengan usia yang lebih banyak terjadi pada dekade 45 namun terdapat sejumlah penderita KNF berusia kurang dari 16 tahun, hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan progresif terkait usia dalam lingkungan internal suatu organisme akibat proses penuaan serta lamanya pajanan dari agen karsinogenik dan VEB.3,8,51 Paparan usia dini oleh infeksi EBV dan reaktivasi infeksi virus kronis pada jaringan epitel nasofaring berkaitan dengan inflamasi lokoregional dapat menjadi hal yang mendasar untuk perkembangan KNF. Sebagai catatan, hampir 100% anak-anak Indonesia merupakan pembawa EBV sejak usia 5 tahun. Beberapa faktor lingkungan dipertimbangkan sebagai hal yang sangat penting untuk perkembangan EBV. Ikan asin sering dijumpai dalam menu makanan Indonesia. Makanan tersebut telah dilaporkan sebagai penyebab KNF berkaitan dengan komponen nitrosamin yang dikandungnya. Pajanan lama dengan karsinogen kimiawi berupa formalin dan forbolester yang banyak digunakan di Indonesia juga dipertimbangkan sebagai faktor risiko penting untuk KNF. Pewarna tekstil sebagai sumber bahan karsinogenik hidrokarbon yang disalahgunakan untuk 68 pewarna makanan juga masih sering dijumpai di Indonesia. Faktor risiko lain adalah inhalan lingkungan seperti asap hasil pembakaran kayu yang mengandung sejumlah besar benzopirin, benzantrasen dan hidrokarbon aromatik polisiklik. Pajanan okupasional terhadap formaldehid juga meningkatkan risiko KNF. Kebiasaan merokok dengan zat aditif tertentu dan bekerja pada tempat dengan ventilasi buruk sangat berhubungan erat dengan KNF. Paparan lama terhadap faktor kokarsinogenik diatas dan infeksi laten EBV secara sinergi meningkatkan risiko perkembangan KNF. Efek buruk kandungan zat kokarsinogenik tercermin dengan semakin meningkatnya proses metilasi dari gen supresor tumor. 8 Berdasarkan NCCN pada tahun 2013, stadium klinis pada penelitian ini terbanyak pada stadium lanjut yaitu stadium III sebanyak 6 (26%) pasien dan stadium IV sebanyak 13(57%) pasien. Menurut klasifikasi TNM, menunjukkan bahwa kategori T1-T2 sebanyak 52% dan T3-T4 sebanyak 48%. Sebagian besar pasien (87%) mengalami penyebaran tumor ke kelenjar getah bening dan hanya 1 pasien yang mengalami metastasis jauh, yaitu ke hati. Hasil ini sesuai dengan penelitian Adriana dkk, tahun 2015 yang menyatakan bahwa sebagian besar penderita KNF datang berobat sudah dengan stadium lanjut, yaitu 27% stadium III dan 60,9% stadium IV.9 Faktor yang menyebabkan sebagian besar pasien KNF datang dengan stadium lanjut adalah pasien terlambat berobat karena gejala aural dan nasal pada stadium awal tidak spesifik serta benjolan di leher tidak terasa nyeri. Kurangnya pengetahuan pasien mengenai tanda dan gejala dini KNF dan kanker secara umum 69 serta penyangkalan akan diagnosis kanker dan keterbatasan ekonomi juga dapat menyebabkan pasien terlambat berobat. 8,13 Dokter juga dapat berkontribusi terhadap lambatnya dalam mendiagnosis KNF karena kurang menghiraukan atau kesalahan dalam membuat diagnosis. Hal ini dapat disebabkan oleh gejala dan tanda awal KNF tidak spesifik (menyerupai infeksi saluran napas atas) sehingga membingungkan tenaga kesehatan serta letak yang tersembunyi sehingga menyulitkan pemeriksaan klinis dan adanya lesi submukosa yang tampak normal pada saat pemeriksaan nasofaring. Suatu penelitian mengenai KNF yang dilakukan di Yogyakarta, tahun 2010 pada dokter umum di puksesmas menunjukkan adanya wawasan yang buruk mengenai gejala dan tanda KNF. Hal tersebut juga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis atau terlambat dalam mendiagnosis KNF sehingga pasien dirujuk sudah dalam stadium lanjut. Pada daerah dengan risiko tinggi KNF, dokter harus lebih waspada mengenai gejala dan tanda awal dari KNF yang tidak spesifik untuk memperbaiki pengenalan dan diagnosis sehingga diagnosis KNF dapat ditegakkan secara dini karena respons terapi pada stadium dini lebih baik daripada stadium lanjut.8,13,52 Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian mengekspresikan IL-10 (61%) dan FasL (48%) dengan nilai distribusi >80% sedangkan untuk intensitas, sebagian besar sampel (74%) mempunyai nilai intensitas 3 sedangkan untuk FasL sebagian besar sampel (61%) memiliki intensitas dengan nilai 1 dan tidak didapatkan sampel dengan nilai intensitas kuat. Berdasarkan intensitas dan distribusi maka akan diperoleh nilai histoskor IL- 70 10 dengan rerata 9,8 (SD ±2,8), median 12 dan rentang 2-12, sedangkan untuk FasL memiliki nilai rerata 4,5 (± 1,8), median 4 dan rentang 1-8. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa histoskor IL-10 untuk kategori T mempunyai nilai rerata 9,92 (± 2,39), untuk kelompok T1-T2 dan rerata 9,64 (± 3,30) untuk T3-T4, sedangkan untuk kategori N, nilai rerata histoskor N0 adalah 8,67 (± 0,58) dan 9,95 (± 2,96) untuk N1-N3 serta berdasarkan kategori M nilai rerata histoskor untuk M0 adalah 9,68 (± 2,82) dan 12 untuk M1. Interleukin-10 merupakan sitokin imunosupresif. Keberadaannya di lingkungan sekitar tumor dapat dihasilkan oleh sel tumor, sel mononuklear, sel leukosit yang menginfiltrasi tumor dan sel supresor mieloid. Sitokin tersebut dapat mengganggu presentasi antigen tumor kepada sel limposit T yang menginfiltrasi tumor sehingga tidak dikenali. Ekspresi FasL pada sel tumor dapat menyebabkan terjadinya apoptosis sel limfosit T yang mengekspresikan reseptor Fas pada permukaan selnya sehingga jumlah sel limfosit T yang menginfiltrasi tumor menjadi berkurang. Kedua mekanisme tersebut dapat digunakan sel tumor untuk mekanisme meloloskan diri dari sistem imun yang bisa membantu peningkatan pertumbuhan, invasi dan metastasis tumor sehingga dapat mempengaruhi stadium klinis penyakit,15-18,24-25,37,41 namun melalui uji korelasi Spearman untuk menganalisis hubungan antara ekspresi IL-10 dan FasL dengan stadium klinis karsinoma nasofaring menghasilkan nilai p > 0,05, seperti ditunjukkan oleh tabel 4.4. Hal tersebut artinya secara statistik tidak bermakna. Selain itu, dilakukan juga analisis mengenai hubungan ekspresi IL-10 dan FasL 71 dengan masing-masing kategori T, N dan M, namun hasil uji korelasi Spearman juga menghasilkan nilai p > 0,05 (tabel 4.5), secara statistik tidak bermakna. Interleukin-10 adalah sitokin imunoregulator yang bersifat pleotrofik, terutama dihasilkan oleh makrofag dan juga oleh sel limfosit T, limfosit B, sel dendritik, monosit, sel mast dan bahkan oleh sel tumor ganas, termasuk KNF. Sekresi sitokin ini dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Peranan pleotopik IL-10 dalam sistem imun bersama dengan adanya regulasi polimorfik dapat mempengaruhi ekspresi sitokin ini. Beberapa keadaan patologis yang berkaitan dengan tingkat ekspresi atau kadar IL-10 adalah penyakit atopi, lupus eritematosus sistemik (LES), psoriasis, penyakit inflamasi usus, artritis reumatoid, infeksi (bakteri dan virus), stres metabolik dan keganasan.53-54 Penderita penyakit atopi, termasuk dermatitis alergi, asma dan rinitis alergi, mempunyai kadar IL-10 yang lebih rendah dibandingkan dengan orang normal. Boel dkk, tahun 1996, dalam penelitiannya menemukan bahwa konsentrasi IL-10 pada hasil bilasan bronkoalveolar penderita asma adalah lebih rendah dibandingkan kontrol sehat. 53-55 Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun kompleks yang ditandai dengan hiperaktivitas limfosit B dan produksi autoantibodi yang secara langsung menyerang DNA serta menyebabkan disfungsi sel penyaji antigen dan limfosit T. Peningkatan produksi dan penurunan pembersihan kompleks imun menyebabkan terjadinya deposisi kompleks imun tersebut pada jaringan yang selanjutnya menyebabkan kerusakan sistem organ multipel. Interleukin-10 mempunyai kemampuan untuk menginduksi produksi autoantibodi oleh limfosit 72 B. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa IL-10 memegang peranan penting dalam patogenesis penyakit LES. Sumber utama IL-10 pada penderita LES adalah limfosit B dan monosit. Produksi berlebihan dari IL-10 oleh sel tersebut, pertama kali ditunjukkan oleh Llorente dkk pada tahun 1993. Hasil penelitiannya dikonfrmasi dengan penelitian lain yang menggambarkan hasil yang sama. Produksi autoantibodi abnormal oleh limfosit B pada pasien LES adalah tergantung dari IL-10. Hal ini berkaitan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan terdapat hubungan positif antara kadar IL-10 dengan aktivitas penyakit LES. 53-54 Psoriasis merupakan suatu kelainan kulit yang ditandai dengan ekspresi berlebihan dari sitokin proinflamasi TH1 (IL-2, IFN-γ, TNF-α) sedangkan tingkat ekspresi sitokin anti-inflamasi (IL-4,IL-10) bernilai rendah dan tidak mencukupi untuk mengimbangi efek sitokin proinflamasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kadar IL-10 pada penderita psoriasis bernilai rendah sehingga dinyatakan bahwa sitokin tersebut memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis. 5354 Penyakit inflamasi usus terdiri dari penyakit Crohn dan kolitis ulserativa. Penyakit ini merupakan suatu kelainan kronik kambuhan, ditandai dengan inflamasi saluran gastrointestinal yang selanjutnya menyebabkan kerusakan mukosa. Elemen penting dalam patogenesis penyakit inflamasi usus adalah disregulasi sistem imun. Sistem imun normal pada usus berupa keadaan kesiembangan antara sitokin proinflamasi dan antiinflamasi sangat penting untuk homeostasis saluran pencernaan. Penderita penyakit inflamasi usus mengalami 73 defisiensi IL-10 sehingga tidak dapat mengimbangi tingginya produksi sitokoin proinflamasi oleh monosit dan netrofil. Keadaan tersebut pada akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan. 53-54 Artritis reumatoid (AR) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan sinovitis kronis. Keadaan tersebut pada akhirnya menyebabkan kehancuran sendi. Cairan sinovial penderita AR menunjukkan penurunan kadar IL-10 yang signifikan dibandingkan orang sehat sehingga diduga bahwa produksi sitokin ini mengalami depresi pada penderita AR. Sumber IL-10 pada jaringan sinovial adalah makrofag dan sel T. 53-54 Beberapa virus tertentu seperti respiratory ssincytial virus, rinovirus-14 dan virus parainfluenza dapat menginduksi produksi IL-10 oleh makrofag. Infeksi bakteri tertentu khususnya bakteri spesifik intraseluler seperti Mycobacterium tuberculosis juga dapat menstimulasi produksi IL-10 oleh sel T. Penelitian menunjukkan bahwa IL-10 berhubungan dengan progresivitas penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. 53-54 Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres metabolik akibat trauma, luka bakar dan pembedahan mayor dapat juga menginduksi peningkatan produksi IL-10. Mediator stres tampaknya memegang peranan penting dalam mengatur sekresi IL10. 53 Interleukin-10 bekerja sama dengan prostaglandin E2 (PGE2) dan vascular endothelial growth factor A (VEGF-A) dapat menginduksi ekspresi FasL pada sel endotel yang terdapat pada tumor sehingga menyebabkan kematian pada sel limfosit T sitotoksik yang menginfiltrasi tumor. Berdasarkan hal tersebut maka 74 kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi ekspresi IL-10 dapat juga mempengaruhi ekspresi FasL.42 Suatu penelitian membuktikan bahwa mutasi pada Fas atau FasL tikus dapat menyebabkan kelainan tertentu antara lain permasalahan dalam hal pengendalian infeksi virus West Nile, influenza, herpes simpleks-1, herpes simpleks-2, virus hepatitis. Bien dkk, dalam penelitiannya mengenai penyakit mousepox pada paru yang disebabkan oleh agen infeksius virus ektomelia menemukan bahwa ekspresi FasL yang rendah berhubungan dengan beratnya penyakit.56 Adanya polimorfisme nukleotida tunggal pada suatu daerah promoter gen dapat mempengaruhi proses transkripsi atau translasi gen yang bersangkutan dan terkadang dapat mempengaruhi fungsi biologis. Polimorfisme nukleotida tunggal dijumpai pada promotor gen IL-10. Jenis polimorfisme nukleotida tunggal promotor gen IL-10 tertentu akan berkaitan dengan kerentanan terhadap suatu keadaan patologis tertentu, seperti dijelaskan di atas. Telah ditemukan tiga macam polimorfisme nukletida tunggal promoter gen IL-10, yaitu pada posisi 10-82 (A/G), -819 (T/C) dan -592 (AC). Wei menyatakan bahwa polimorfisme nukleotida tunggal promoter gen IL-10 pada posisi -1082 (A/G) dan haplotipenya dapat berkontribusi dalam kerentanan genetik terhadap KNF pada populasi di Cina. Polimorfisme nukleotida tunggal promoter gen juga ditemukan pada FasL dan yang paling popular adalah perubahan C ke T pada posisi nukleotida -844 (rs 7631 10). Daerah tersebut mempengaruhi ekspresi FasL dalam mencetuskan sinyal apoptosis dan akhirnya berkontribusi dalam hal kerentanan terhadap kanker.49,58-60 75 Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa terdapat beberapa keadaan patologis tertentu yang dapat mempengaruhi ekspresi IL-10 dan FasL selain dari adanya polimorfisme nukleotida tunggal promotor gen. Pada penelitian ini tidak ditanyakan mengenai keadaan patologis tersebut diatas yang mungkin terdapat pada pasien yang menjadi sampel penelitian sehingga hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor penyebab tidak signifikannya hasil penelitian ini. 4.3 Uji Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : 1. Peningkatan ekspresi IL-10 berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. 2. Peningkatan ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. Dari hipotesis diatas dapat dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut : Ho : - Peningkatan ekspresi IL-10 tidak berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. - Peningkatan ekspresi FasL tidak berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. H1 : - Peningkatan ekspresi IL-10 berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. 76 - Peningkatan ekspresi FasL berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. Tabel 4.4 menunjukkan hasil analisis statistik hubungan ekspresi IL-10 dan FasL dengan stadium klinis berdasarkan analisis korelasi Spearman, diperoleh nilai p sebesar 0.553 untuk IL-10 dan 0,200 untuk FasL (p>0,05), yang artinya tidak signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Melalui pengujian hipotesis diatas maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik hipotesis penelitian ditolak. Hal tersebut berarti Peningkatan ekspresi IL10 dan FasL tidak berhubungan dengan peningkatan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. 77 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 5.1.1 Simpulan Umum Tidak terdapat hubungan positif antara ekspresi IL-10 dan FasL dengan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO. 5.1.2 Simpulan Khusus 1. Karakteristik penderita karsinoma nasofaring tipe III WHO lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan usia dekade 4 keatas. 2. Stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO terbanyak adalah stadium III dan IV. 3. Sebagian besar penderita KNF mengalami penyebaran tumor ke kelenjar getah bening servikal. 5.2 Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai hubungan antara ekspresi IL- 10 dan FasL dengan stadium klinis karsinoma nasofaring tipe III WHO dengan memasukkan kondisi dan komorbid yang dapat mempengaruhi ekspresi IL-10 dan FasL kedalam kriteria eksklusi. DAFTAR PUSTAKA 1. Wei WI, Chua DTT. Nasopharyngal cancer. Dalam Bailey BJ, Healey GB, Johnson JT, Rosen CA (penyunting). Head and Neck SurgeryOtolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2014:1875–97. 2. Taheri Z. Nasopharyngeal carcinoma : past, present, and future directions. Tesis. Swedia. Departement of Oncology Institute of Clinical University. 2007. 3. El-Sherbieny E, Rashwan H, Lubis SH, Choi VJ. Prognostic Factors in Patients with Nasopharyngeal Carcinoma Treated in Hospital Kuala Lumpur. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 2011;12:1739–43. 4. Hu K, Chan ATC, Costantino P, Harrison LB. Cancer of The Nasopharynx : General Principles and Management. Dalam Harrison LB, Sessions RB, Hong WK (penyunting). Head and Neck Cancer. Edisi ke-3. Philadelphia : Williams & Wilkins. 2009:588–617. 5. Cao SM, Simons MJ. The Prevalence and Prevention of Nasopharyngeal Carcinoma in China. Chin J Cancer. 2011;30(2):114–9. 6. Liu M, Hsieh C, Chang T, Lin J, Huang C, Wang A. Prognostic Factors Affecting the Outcome of Nasopharyngeal Carcinoma. Jpn J Clin Oncol. 2003;33(10):501–8. 7. Zhang L, Chen QY, Liu H, Tang LQ, Mai HQ. Emerging Treatment Options for Nasopharyngeal Carcinoma. Drug Design, Development and Therapy. Dove Medical Press. 2013;7:37–52. 8. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, dkk. Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia : Epidemiology, Incidence, Sign, and Symptoms at Presentation. Chin J Cancer. 2012;31(4):1–12. 9. Adriana R, Dewi YA, Samiadi D. Kesintasan dan Faktor yang Mempengaruhi Penderita Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. Tesis. Bandung. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2015. 10. Wildman MAM. Current Problems and Possible Solution in the Treatment of Nasopharyngeal Carcinoma in Indonesia. Tesis. Amsterdam. The Institutional Respiratory of The University of Amsterdam. 2013. 78 79 11. Putri E B. Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Tahun 2006–2010. Skripsi. Bandung. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2011. 12. Yusof AM. Nasopharyngeal Carcinoma Screening. Health Technology Assessment Report. Malaysia. Ministry of Health Malaysia. 2011. 13. Abdullah B, Alias A, Hassan S. Challenges in the Management of Nasopharyngeal Carcinoma: a Review. MJMS. 2009;16(4):50–54. 14. Lai SZ, Li WF, Chen L, Luo W, Chen YY, Liu LZ, dkk. How Does IntensityModulated Radiotherapy Versus Conventional Two-Dimensional Radiotherapy Influence the Treatment Results in Nasopharyngeal Carcinoma Patients? Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2011;80(3):661–8. 15. Swan JB, Smyth MJ. Immune Surveillance of Tumor. J Clin Investig. 2007;117(5):1137–46. 16. Kim R, Emi M, Tanabe K. Cancer Immunoediting from Immune Surveillance to Immune Escape. Dalam Prendergast GC, Jafee EM (penyunting). Cancer Immunotherapy. Pittsburgh : Elsevier. 2007;1(2):9–27. 17. Rosenberg SO. Immune Surveillance : a Balance Between Pro-and AntiTumor Immunity. Curr Opin Genet Dev. 2008 ;18 (1):11–8. 18. Duray A, Demoulin S, Hubert P, Delvenne P, Saussez S. Immune Suppression in Head and Neck Cancers : a Review. Hindawi. Clinical and Developmental Immunology. 2010: 1–15. 19. Zeng MS & Zeng YX. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Cancer. Dalam Lu JJ, Cooper JS, Lee AWM. Nasopharyngeal Cancer Multidisplinary Management. Philadelphia : Spinger. 2010:9–25. 20. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology. Edisi ke-3. Philadelphia : Saunders. 2011:189–204. 21. Sato T, Terai M, Tamura Y, Alexeev V, Mastrangelo MJ, Selvan SR. Interleukin 10 in the Tumor Microenvirontment: a Target for Anticancer Immunotherapy. Immunol Res. 2011;51:170–82. 22. Lin W, Karin M. A Cytokine-Mediated Link Between Innate Immunity, Inflammation, and Cancer. J Clin Invest. 2007;117(5): 1175–83. 23. Bremer E. Targeting of the Tumor Necrosis Factor Receptor Superfamily for Cancer Immunotherapy. Hindawi. Oncology. 2013:1–25. 80 24. Whiteside TL. Immune Effector Cells in the Tumor Microenvironment. Dalam Yefenof E (penyunting). Innate and Adaptive Immunity in the Tumor Microenvironment. Jerusalem : Springer. 2008:1–33. 25. Ferron S, Whiteside TL. Histocompability Antigens, Tumor Microenvironment and Escape Mechanisms Utilized by Tumor Cell. Dalam Yefenof E. (penyunting). Innate and Adaptive Immunity in the Tumor Microenvironment. Jerusalem : Springer. 2008:35–51. 26. Ogino T, Moriai S, Ishida Y, Ishii H, Katayama A, Miyokawa N, dkk. Association of Immunoescape Mechanisms With Epstein Barr Virus Infection in Nasopharyngeal Carcinoma. Int J Cancer. 2007;120:2401–10. 27. Taylor CR, Shi SR, Barr NJ. Techniques of Immunohistochemistry: Principles, Pitfalls, and Standardization. Dalam David J D. (penyunting). Diagnostic Immunohistochemistry. Edisi ke-3. Philadephia : Saunders. 2010:23–6. 28. Korcum AF, Ozyar E & Ayhan A. Epstein Barr Virus Genes and Nasopharyngeal Cancer. Turkish J Cancer. 2006;36(3):97–107. 29. Young LS, Murray PG. Epstein Barr Virus and Oncogenesis : from Latent Genes to Tumours. Oncogen. 2003;22:5108–21. 30. Thompson MP, Kurzrock R. Epstein Barr Virus and Cancer. Clin Cancer Research. 2004;10:803–21. 31. Niedobitek G. Epstein Barr Virus Infection in Pathogenesis Nasopharyngeal Carcinoma. J Clin Pathol : Mol Pathol. 2000;53:248–54. of 32. Zheng H, Li L, Hu D, Deng X, Cao Y. Role of Epstein Barr Virus Encoded Latent Membrane Protein 1 in the Carcinogenesis of Nasopharyngeal Carcinoma. Chin Society of Immunol. 2007;4(3):185–96. 33. Tsao SW, Lo KW, Huang DP. Nasopharyngeal Carcinoma. Dalam Tselis A, Jenson HB (penyunting). Epstein-Barr Virus. New York : Taylor & Francis. 2006:273–88. 34. Tan L, Loh T. Benign and Malignant Tumors of the Nasopharynx. Dalam Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, dkk (penyunting). Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia : Saunders. 2010:1420–31. 35. Pfister D, Ang K, Brizel D, Burtness B, Busse P, Caudell J, dkk. National Comprehensive Cancer Network Clinical Practice Guidelines in Oncology in Head and Neck Cancer. 2013:NASO-1–NASO-2. 81 36. Krishna SM, James S, Balaram P. Serum EBV DNA as a Biomarker in Primary Nasopharyngeal Carcinoma of Indian Origin. Jpn J Clin Oncol. 2004;34(6):307–11. 37. Anichini A, Mortarini R. Cellular Recognition of Tumors by T and NK Cells. Dalam Parmiani G, Lotze MT. (penyunting). Tumor ImmunologyMolecularly Defined Antigens and Clinical Aplications. London : Taylor & Francis. 2005:78–99. 38. Shao JY, Ernberg I, Biberfeld P, Heiden T, Zeng YX, Hu LF. Epstein-Barr Virus LMP1 Status in Relation to Apoptosis, P53 Expression and Leucocyte Infiltration in Nasopharyngeal Carcinoma. Anticancer Research. 2004;24:2309–18. 39. Lee S, Margolin Kim. Cytokines in Cancer Immunotherapy. Cancers. 2011;3: 3856–93. 40. Mocellin S, Marincola FM, Young HA. Interleukin-10 and the Immune Response Against Cancer: a Counterpoint. J Leuko Biol. 2005;78:1043–51. 41. Cabello FR, Garrido F. Tumor Evasion of Immune System. Dalam Parmiani G, Lotze MT. (penyunting). Tumor Immunology-Molecularly Defined Antigens and Clinical Aplications. London : Taylor & Francis. 2005:177– 203. 42. Motz GT, Santoro P, Wang LP, Garrabrant T, Lastra RR, Hagemann IS, dkk. Tumor Endothelium FasL Establishes a Selective Immune Barrier Promoting Tolerance in Tumors. Nat Med. 2014;20(6):607–15. 43. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan Besar Sampel. Dalam Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-4. Jakarta : Sagung Seto. 2011:348–82. 44. Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-5. Jakarta : Salemba Medika. 2011. 45. Xiao G, Cao Y, Wang W, Wang Y. Influence of Gender and Age on the Survival of Patients with Nasopharyngeal Carcinoma. BMC Cancer. 2013;13(226):1–8. 46. Ekhburanawat W, Ekpanyaskul C, Brennan P,Kanka C, Tepsuwan K, Temiyastith S, dkk. Evaluation of Non-viral Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in Thailand: Result from a Case-Control Study. Asian Pasific J Cancer Prev. 2010;11:929–32. 82 47. Pfeifer GP, Denissenko MF, Oliver M, Tretyakova N, Hecht SS, Hainaut P. Tobacco Smoke Carcinogens, DNA Damage and p53 Mutations in SmokingAssociated Cancers. Oncogene. 2002;21:7435–51. 48. Lu X, Guo X, Wang L, Zhang HB, Xia WX, Li SW, Li NW, dkk. Favorable Prognosis of Female Patients with Nasopharyngeal Carcinoma. Chin J Cancer. 2013;32(5):283–88. 49. Cao Y, Miao XP, Huang MY, Deng L, Lin DX, Zeng YX, dkk. Polymorphisms of Death Pathway Genes Fas and FasL and Risk of Nasopharyngeal Carcinoma. Molecular Carcin. 2010;49:944–50. 50. Rusdiana, Munir D, Siregar Y. Hubungan Antibodi Anti Epstein Barr Virus dengan Karsinoma Nasofaring pada Pasien Etnis Batak di Medan. Tesis. Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2006. 51. Anisimov VN. The Relationship between Aging and Carcinogenesis: a Critical Appraisal. Clinical Review in Oncology/Hematology. 2003;45:227– 304. 52. Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana SM, Tan IB, Knowledge of General Practitioners about Nasopharyngeal Cancer at the Puskesmas in Yogyakarta, Indonesia. BMC Medical Education. 2010;10(81):1–6. 53. Asadullah K, Sterry W, Volk HD. Interleukin-10 Therapy – Review of a New Approach. Pharmacological Reviews. 2003;55(2):242–69. 54. Trifunovic J, Miller R, Debeljak Z, Horvat V. Pathologic Pattern of Interleukin 10 Expression – a Review. Biochemia Medica. 2015;25(1):36–48. 55. Seneviratne S, Jones L, King AS, Black A, Powell S, McMichael AJ, dkk. Allergen-Specific CD+8 T Cells and Atopic Disease. J Clin Investig. 2002;110(9):1283–91. 56. Bien K, Sokolowska J, Baska P, Nowak Z, Stankiewicz, Krzyzowska. Fas/FasL Pathway Participates in Regulation of Antiviral and Inflamatory Response During Mousepox Infection of Lungs. Hindawi. Mediators of Inflamation. 2015;1–13. 57. Wei YS, Kuang SH, Zhu YH, Liang W, Yang ZH, Tai SH. IL-10 Gene Promoter Polymorphism and the Risk of Nasopharyngeal Carcinoma. Tissue Antigen. 2007;70(1):12–7. 58. Tsai CW, Tsai MH, Shih LC, Chang WS, Lin CC, Bau DT. Association of Interleukin-10 (IL10) Promoter Genotypes with Nasopharyngeal Carcinoma Risk in Taiwan. Anticancer Research. 2013;33:3391–6. 83 59. Xu L, Jiang F, Qiu MT, Zhang Z, Rong Y, Xu L. Polymorphism Contribute to Cancer Risk: an Update Metaanalysis Involving 43.295 Subject. Plos One. 2013;8(9);1–9. 60. Ma L, Li S, Zhang S, Zhao J, Qin X. A Pooled Analysis of the IL-10-1082 A/G Polymorphism and the Nasopharyngeal Carcinoma. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2014:1–7.