BAB 3 - Mengenal Hak Asasi Manusia

advertisement
BAB 3: MENGENAL HAK ASASI MANUSIA
Pokok Bahasan
Pengertian dan Prinsip HAM
Sejarah Deklarasi Universal HAM (DUHAM)
Pelanggaran HAM
Instrumen Hukum dan Mekanisme Penegakan HAM
Penulis
Junaidi Simun
Penyelia Tulisan
Desi Nia Kurniasih
Pengajar Pondok Pesantren Al-Falah Dago Bandung
M. Afthon Lubbi Nuriz
Pengajar Pondok Pesantren Darunnajah 8 Bogor
Alfiatu Rohmah
Pengajar Pondok Pesantren Edi Mancoro Semarang
Musriyah
Pengajar Pondok Pesantren Al-Barr Bangkalan
Mohamad Yahya
Pengajar Pondok Pesantren Pandanaran Yogyakarta
MENGENAL HAK ASASI MANUSIA
H
ak asasi manusia (HAM) adalah salah satu pencapaian
terbaik umat manusia di zaman modern. Pengalaman
pahit sejarah kelam umat manusia baik karena
perbudakan ataupun karena kerusakan dan kekejian akibat perang
dunia I dan II telah mengajarkan para pemimpin bangsa-bangsa di
dunia untuk menyepakati pijakan bersama dalam mengelola
perbedaan. Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan berbagai
perjanjian/kovenan lainnya adalah bentuk-bentuk komitemen
anggota PBB untuk hidup bersama dalam tatanan dunia yang damai.
Tapi di atas segalanya, HAM memiki tujuan luhur mendorong
pemerintah-pemerintah negara anggota PBB untuk memajukan
berbagai upaya melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak
dasar manusia demi tercapainya perikehidupan manusia yang adil,
beradab dan bermartabat.
Bab ini membahas beberapa aspek penting mengenai Hak Asasi
Manusia (HAM) yang mencakup pengertian dan prinsip-prinsip HAM,
jenis-jenis pelanggaran HAM, serta beberapa contoh kasus
pelanggaran HAM. Dalam bab ini juga dibahas secara singkat sejarah
kelahiran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), instrumen hukum HAM dan
mekanisme penegakan HAM secara nasional maupun internasional.
Terkahir Bab ini juga membahas bagaimana mekanisme HAM yang
berlaku di Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
65
Tujuan
Setelah mengikuti sessi ini peserta pelatihan diharapkan dapat:
1. Memahami pengertian dan prinsip-prinsip HAM.
2. Mengenal sejarah kelahiran dan perkembangan Deklarasi
Universal HAM (DUHAM).
3. Memahami jenis-jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM.
4. Santri mengenal instrumen hukum HAM, dan memahami
dengan baik mekanisme penegakan HAM secara nasional
maupun internaional.
Indikator
Setelah mengikuti sesi ini, fasilitator dapat mengevaluasi
keberhasilan pembelajaran selama pelatihan dengan
menggunakan beberapa hal berikut sebagai petunjuk:
1. Peserta dapat menyebut definisi HAM dengan tepat
2. Peserta dapat bercerita tentang sejarah kelahiran dan
perkembangan Deklarasi Universal HAM (DUHAM).
3. Peserta dapat menyebutkan jenis-jenis dan bentuk-bentuk
pelanggaran HAM.
4. Peserta dapat menyebutkan produk-produk hukum HAM.
5. Peserta dapat menerangkan dengan baik mekanisme
penegakan HAM, baik yang berlaku di tingkat nasional maupun
internasional.
Metode
1. Curah pendapat (brainstorming)
2. Diskusi kelompok kecil
3. Studi kasus
Waktu
120 Menit.
66
Alat & Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Alat tulis
Hand Out
Video pelanggaran HAM
Laptop
LCD Projector
Flip Chart
Kertas plano
Presentasi Power point
Langkah-Langkah
1. Fasilitator membuka forum dengan menyampaikan salam dan
memperkenalkan diri secara singkat.
2. Fasilitator menjelaskan orientasi dan tujuan dari sesi “Mengenal
HAM.”
3. Fasilitator meminta peserta untuk berbagi informasi dan
pengalaman mengenai penegakan dan pelanggaran HAM di
lingkungan sosial mereka, disertai suka-dukanya. Ini bertujuan
untuk menggali kisah-kisah kemanusiaan dan keadilan atau
kisah-kisah penindasan dan ketidak-adilan yang menyentuh
pikiran dan perasaan mereka secara mendalam.
4. Fasilitator bertanya kepada peserta apakah ada di antara
mereka yang pernah melanggar hak-hak orang lain atau
sebaliknya menjadi korban dari pelanggaran HAM, dan
berdiskusi dengan mereka apa akibat dari situasi tersebut.
5. Setelah berdiskusi dengan peserta, fasilitator berkesempatan
untuk memberi penjelasan lebih mendalam, terutama
mengenai hal-hal krusial yang muncul dari diskusi di atas.
6. Fasilitator selanjutnya membagi peserta ke dalam beberapa
kelompok kecil untuk berdiskusi mengenai tema-tema kecil,
seperti tema pentingnya penghormatan HAM dan akibat dari
pelanggaran HAM. Fasilitator dapat mengusulkan tema-tema
HAM aktual yang mungkin sedang menjadi perhatian publik.
7. Setelah diskusi kelompok kecil, fasilitator bertanya kepada
peserta mengenai hasil diskusi kelompok dan mencatat poin-
67
poin penting di kertas plano.
8. Selanjutnya fasilitator meminta kepada peserta untuk
memperagakan bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Untuk
memperkaya wacana tentang pelanggaran HAM, fasilitator
dapat memutar video-video pelanggaran HAM yang memberi
kesan mendalam dalam pikiran dan perasaan peserta.
9. Selanjutnya, fasilitator mengajak peser ta lain untuk
mengevaluasi hasil diskusi dari masing-masing kelompok,
memberi komentar atas peragaan pelanggaran HAM, baik yang
diperagakan atau yang dipertontonkan melalui video. Di sini,
fasilitator memberikan lembar kasus pelanggaran HAM kepada
peserta untuk dipelajari.
10. Di akhir sesi pelatihan, fasilitator memberikan catatan atas halhal penting yang muncul selama berlangsungnya proses
pelatihan. Fasilitator kemudian menutup sesi dengan
memberikan apresiasi pada semua peserta.
68
Bahan Bacaan
MENGENAL HAK ASASI MANUSIA
A. PENGERTIAN DAN PRINSIP HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Menurut terminologi, istilah Hak Asasi Manusia (HAM) atau human
rights, berasal dari basic rights dan fundamental rights. Dalam
bahasa Perancis dikenal istilah droits de l’ homme yang berarti hak
asasi manusia. Istilah ini pertama kali dikenal sejak Revolusi
Perancis 1789. Dalam perkembangannya, istilah human rights
dituangkan dalam Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia – DUHAM) Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948. Basic rights dan
fundamental rights lebih menyoroti aspek hak yang paling
mendasar atau fundamental. Sedangkan human rights lebih fokus
pada aspek “hak-hak yang melekat pada manusia.”
Menurut kamus Bahasa Indonesia, kata hak mempunyai arti benar,
kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang
benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, dan wewenang
menurut hukum. Sedangkan kata asasi berarti asal, prinsip, asas,
dan dasar dari segala sesuatu. Sedangkan manusia adalah makhluk
yang diciptakan oleh Allah swt dari tanah dalam keadaaan suci.
Maka ketika ketiga kata ini digabungkan menjadi satu nama yang
utuh Hak Asasi Manusia (HAM), adalah hak dasar yang melekat dan
dimiliki setiap manusia sejak lahir sebagai anugerah dari Allah swt
kepada hamba-Nya.
Secara alamiah, HAM dapat dibagi menjadi dua macam dilihat dari
segi kodrat kemanusiaannya dan dilihat dari kedudukannya
sebagai warga negara:
1. Hak asasi alamiah sebagai manusia yang melekat sejak
kelahirannya, seperti: hak hidup, hak kebebasan pribadi dan hak
bekerja.
69
HAM
“Hak Asasi Manusia adalah
hak yang dimiliki manusia
karena eksistensinya sebagai
manusia; tidak seorang pun
boleh diingkari hak asasinya
tanpa keputusan hukum
yang adil”
2. Hak asasi manusia yang diperolehnya sebagai bagian dari
individu masyarakat, seperti: hak memiliki harta, hak berumah
tangga, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.
Dalam sejarah pemikiran HAM, terdapat beberapa definisi HAM,
diantaranya:
1. John Locke
Menurut John Locke, hak asasi adalah hak yang diberikan Tuhan
sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Artinya, hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnya, sehingga sifatnya suci.
2. C. de Rover
HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai
manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap
orang, tanpa peduli apakah dia kaya atau miskin, laki-laki atau
perempuan. Hak-hak tersebut bisa saja dilanggar tetapi tidak
pernah dapat dihapuskan. Hak asasi merupakan hak hukum, ini
berarti bahwa hak-hak tersebut merupakan hukum. Di banyak
negara di dunia, HAM dilindungi oleh konstitusi dan hukum
nasional. Karena HAM merupakan anugerah Tuhan Yang Maha
Esa yang melekat sejak manusia lahir maka ia harus dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia bersifat
universal dan abadi.
3. Jan Materson (Komisi HAM PBB)
HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia,
dimana tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa HAM melekat pada
diri setiap manusia sejak lahir, berlaku seumur hidup, dan tidak
dapat digugat oleh siapapun. HAM bersifat kodrati sebagai
pemberian Tuhan Yang Maha Pencipta. Oleh karena itu, ia tidak
dapat dicabut oleh siapapun. Tetapi ini tidak selalu berarti bahwa
71
orang dapat berbuat semaunya karena hak-haknya itu. Justru demi
ditegakkannya HAM maka hak-hak dasar seseorang dapat dibatasi
oleh negara manakala dalam menikmati haknya ia melanggar hak
orang lain. Misal, dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
disebutkan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Namun, dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hak yang disebut terakhir,
hak kebebasan berpendapat, dibatasi apabila digunakan untuk
tujuan mencemarkan nama baik orang lain, melakukan
penghinaan kepada orang lain, dan menfitnah orang lain (Pasal
310, 311, 316 dan 207). Semua tindakan negatif tersebut di atas
melanggar hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi,
yaitu hak memperoleh perlindungan atas kehormatan diri dan
reputasi. Pasal 28G ayat (1) berbunyi: “setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan
harta benda yang di bawah kekuasaanya”.
Pada hakikatnya, HAM terdiri dari dua hak dasar, yakni persamaan
dan kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi
lainnya. Artinya, tanpa kedua hak dasar tersebut, hak-hak lainnya
sulit ditegakkan. Konsepsi deklarasi universal HAM mencerminkan
pemikiran modern mengenai hakikat keadilan.
Tegaknya HAM
Demi ditegakkannya
HAM maka hak-hak
dasar seseorang dapat
dibatasi oleh negara
manakala dalam
menikmati haknya ia
melanggar hak orang
lain.
Di Indonesia, Pemerintah telah mengesahkan (meratifikasi) melalui
undang-undang beberapa instrumen hukum HAM internasional,
yang juga turut memberikan pengukuhan HAM dalam sistem
hukum nasional. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 angka (1) UU No.
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 1 angka (1) UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam kedua
undang-undang ini dinyatakan bahwa “hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Ringkasnya, HAM memiliki ciri-ciri khusus dibandingkan dengan
hak-hak lain, antara lain sebagai berikut:
72
1. Tidak dapat dicabut; artinya HAM tidak dapat dihilangkan
atau diserahkan.
2. Tidak dapat dibagi; artinya semua orang berhak
mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik atau
hak ekonomi, sosial dan budaya.
3. Hakiki; artinya HAM adalah hak asasi semua umat manusia
yang sudah ada sejak lahir.
4. Universal; artinya HAM berlaku untuk semua orang tanpa
memandang status, suku bangsa, jenis kelamin, atau
perbedaan lainnya.
1. Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia (HAM)
Secara garis besar, terdapat enam jenis HAM, sebagai berikut:
1. Hak Asasi Pribadi (Personal Rights), yakni hak asasi yang
berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Contoh
hak-hak ini sebagai berikut:
a. Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian, dan
berpindah-pindah tempat.
b. Hak kebebasan menyatakan pendapat.
c. Hak kebebasan memilih dan aktif dalam organisasi atau
perumpulan.
d. Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, menjalankan
agama dan kepercayaan yang diyakini setiap orang.
2. Hak Asasi Politik (Political Rights), yakni hak asasi yang
berhubungan dengan kehidupan politik. Contoh hak-hak
asasi politik sebagai berikut:
a. Hak untuk dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan.
b. Hak ikut serta dalam pemerintahan.
c. Hak mendirikan dan membuat partai politik serta
organisasi politik lainnya.
d. Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan
petisi.
73
3. Hak Asasi Hukum (Legal Equality Rights), yakni hak
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah.
Contoh hak-hak ini sebgai berikut:
a. Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam mata
hukum dan pemerintah.
b. Hak untuk mennjadi pegawai negeri sipil (PNS).
c. Hak mendapatkan layanan dan perlindungan hukum.
4. Hak Asasi Ekonomi (Property Rigths), yakni hak yang
berhubungan dengan kegiatan perekonomian. Contoh hakhak asasi ekonomi ini sebagai berikut:
a. Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli.
b. Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak.
c. Hak kebabasan menyelenggarakaan sewa-menyewa dan
utang-piutang.
d. Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
70
5. Hak asasi Peradilan (Procedural Rights), yakni hak untuk
diperlakukan sama dalan tata cara pengadilan. Contoh hakhak ini:
a. Hak mendapatkan pembelaan hukum di pengadilan.
b. Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan,
penangkapan, penahanan, dan penyelidikan di muka
hukum.
6. Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Rights), yakni hak
yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Contoh
hak ini:
a. Hak menentukan, memilih, dan mendapatkan
pendidikan.
b. Hak mendapatkan pengajaran.
c. Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan
bakat dan minat.
74
2. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)
Prinsip-prinsip HAM dalam konteks hukum HAM internasional
terkait dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional
(general principles of law) di samping perjanjian internasional
(treaty), hukum kebiasaan internasional (international
customary law), yurisprudensi dan doktrin. Suatu prinsip bisa
menjadi prinsip umum internasional bila memenuhi dua hal:
yaitu 1) adanya penerimaan (acceptance) dan 2) pengakuan
(recognition) dari masyarakat internasional. Prinsip-prinsip
HAM yang telah memenuhi kedua syarat tersebut memiliki
kategori sebagai prinsip-prinsip umum hukum dimana
beberapa prinsip telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut
terdapat di hampir semua perjanjian dan diterapkan ke dalam
hak-hak yang lebih luas. Berikut prinsip-prinsip dasar hak asasi
manusia yang harus diketahui dan dipahami:
a. Universal
Kata universal berasal dari kata universe, yang dapat berarti:
alam semesta, keseluruhan bidang, dan semua. HAM
bersifat “alam semesta”, artinya bahwa ia berlaku untuk
seluruh dunia. HAM hendaknya diakui dan diterima di
seluruh dunia dan tidak boleh ada satu pun jengkal tanah
dan lautan di dunia ini yang tidak menjunjung tinggi HAM.
HAM juga dapat berarti mencakup “seluruh bidang”
kehidupan manusia. Penerapan HAM meliputi kehidupan
politik, ekonomi, sosial, ekonomi dan budaya. HAM yang
universal ini juga berarti bahwa ia berlaku “untuk semua
umat manusia,” tanpa peduli apakah ia berkulit putih atau
hitam, orang Jawa atau orang India, beragama Hindu atau
Yahudi. Intinya, HAM berlaku dan dimiliki oleh dan untuk
semua orang karena eksistensi mereka sebagai manusia. Ia
berlaku untuk siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dalam
sisi kehidupan apa saja. Meskipun begitu, universalitas HAM
bukan tanpa batas. Ia tidak bisa ditafsirkan secara multak.
Universalitas itu juga dapat dibatasi oleh keunikan-keunikan
yang berlaku dalam budaya-budaya tertentu.
75
Universalitas HAM
b. Kesetaraan dan Non-Diskriminasi (Equality and nonDiscrimination)
Gagasan mengenai HAM dibangun atas dasar kesetaraan
sebagaimana dinyatakan secara khusus dalam Pasal 1
DUHAM bahwa “semua insan manusia dilahirkan bebas dan
setara dalam martabat dan hak-haknya.” Prinsip kesetaraan
menekankan penghargaan terhadap harkat dan martabat
seluruh umat manusia yang pada hakikatnya sama dan
karenanya berkedudukan setara. Perbedaan yang lazim ada
pada diri manusia tidak dengan sendirinya menyebabkan
kedudukan manusia menjadi tidak setara. Kesetaraan
meniscayakan adanya perlakuan yang sama dimana pada
situasi yang sama harus diperlakukan dengan cara yang
sama. Tuntutan persamaan juga menyangkut persamaan di
depan hukum (equality before the law). Prinsip ini juga
tertuang dalam konstitusi Indonesia, Pasal 28D ayat (1) UUD
NRI tahun 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Prinsip non-diskriminasi merupakan salah
satu bagian penting dan tidak terpisahkan dari prinsip
kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak
ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif. Prinsip ini
berpendirian bahwa tidak seorang pun dapat diingkari
haknya atas perlindungan HAM karena faktor eksternal.
Rujukan tentang sejumlah faktor yang dapat menyebabkan
diskriminasi terdapat dalam perjanjian HAM internasional.
Kriteria yang ditentukan dalam perjanjian tersebut hanyalah
berupa contoh yang dengan demikian bukan berarti
kemudian diskriminasi diperbolehkan dalam bentuk-bentuk
lainnya.
c. Martabat Manusia (Human Dignity)
Karena HAM didasarkan atas hak yang melekat pada diri
manusia, maka prinsip HAM pun didasarkan atas
pandangan bahwa setiap individu patut dihargai dan
77
dijunjung tinggi tanpa memandang usia, budaya,
kepercayaan, etnik, ras, gender, orientasi seksual, bahasa,
ketidakmampuan atau kelas sosial.
d. Tidak Dapat Dicabut (Inalienability)
Hak yang dimiliki individu tidak dapat dicabut/direnggut,
dilepaskan dan dipindahkan. Artinya, karena HAM dimiliki
oleh manusia secara kodrati maka sesungguhnya negara
tidak dapat dengan sewenang-wenang mencabut HAM
seseorang. Pembatasan atau penangguhan HAM hanya
dapat dilakukan oleh hukum dan bukan oleh kekuasaan.
Hukum yang dibuat sebagai pembatasan atau
penangguhan HAM adalah hukum yang dibuat oleh
lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat
hukum serta dibuat dengan cara-cara dan mekanisme yang
konstitusional.
e. Tanggungjawab Negara (State Responsibility)
HAM bukan merupakan pemberian cuma-cuma dari negara
dan tidak seharusnya juga negara menahan atau
memberikannya untuk sebagian orang saja. Negara adalah
pemangku segala HAM sehingga ia berkewajiban untuk
menaati dan memenuhinya. Negara harus tunduk pada
aturan atau norma-norma yang berlaku. Yang menjadi
pelindung dan penanggungjawab HAM adalah negara
sebagaimana tercantum dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah”.
f. Akuntabilitas dan Penegakan Hukum (Accountability and
Rule of Law)
Prinsip ini menuntut pemerintah kita untuk melakukan
perlindungan dan penjaminan atas pemenuhan hak asasi
kita. Dalam hukum HAM internasional, suatu negara tidak
boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan
78
setiap warganya. Bahkan negara wajib secara aktif
memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasankebebasan setiap warganya. Untuk menjalankan prinsip ini,
pemerintah kita harus mengacu kepada instrumen HAM
nasional dan internasional.
g. Saling Bergantung dan Berkaitan (Interdependence and
Interrelation)
Tiap hak asasi yang dimiliki manusia, baik itu hak untuk
hidup, hak menyatakan pendapat, hak kebebasan beragama
dan kepercayaan, hak menjadi bagian dalam masyarakat,
dan hak-hak lainnya, adalah hak-hak yang mempunyai
keterikatan satu dengan yang lainnya dan membentuk HAM
secara keseluruhan. Tiap-tiap hak asasi terhubungkan dalam
satu mata rantai HAM secara umum. Apabila salah satu mata
rantainya putus, kestabilan hak-hak asasi lainnya pun akan
terganggu. Itulah inti dari prinsip saling terkait dalam HAM.
Prinsip saling terkait mempunyai dua unsur, yaitu
interdependence (saling bergantung) dan interrelatedness
(saling terhubung). Prinsip ini berarti bahwa untuk dapat
melaksanakan suatu hak secara sempurna, maka hak lainnya
harus diperhatikan. Maksudnya adalah seseorang tidak akan
bisa menikmati suatu hak asasi secara penuh apabila ia
belum mendapatkan pemenuhan akan hak asasi yang lain.
Misalnya, hak warga negara untuk menyatakan pendapat
secara bebas harus dibarengi dengan pemenuhan hak
politik.
h. Tidak Dapat Dipisah-pisahkan (Indivisibility)
HAM harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. HAM, baik hak sipil, politik, sosial, budaya
maupun ekonomi, semuanya bersifat inheren, yaitu
menyatu dalam harkat dan martabat manusia. Pengabaian
pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap
hak-hak lainnya. Misalnya, hak setiap orang untuk bisa
memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak
bisa ditawar-tawar karena hak tersebut merupakan modal
79
Perjuangan HAM
dasar bagi setiap individu agar bisa menikmati hak-hak
lainnya seperti hak atas kesehatan atau pun hak atas
pendidikan. Hak atas penghidupan yang layak pun tidak
dapat dipisahkan dari hak atas pekerjaan. Demikian
seterusnya.
B. SEJARAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA
(DUHAM)
Kesadaran akan HAM sudah ada sejak adanya manusia di muka
bumi. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini terkait
dengan perjuangan untuk menegakkan HAM dan menghentikan
berbagai bentuk pelanggarannya. Perjuangan HAM muncul
sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa yang
memerintah secara otoriter. Munculnya penguasa yang otoriter
mendorong orang-orang yang merasa tertekan karena dilanggar
hak-haknya bangkit memperjuangkan eksistensinya sebagai
makhluk bermartabat. Ada beberapa pendapat mengenai asalmuasal gerakan pembebasan dan perjuangan HAM, namun
pembahasan pada bagian ini hanya akan fokus pada gerakan
perjuangan hak asasi yang lebih kita kenal, yaitu gerakan revolusi di
Inggris, Amerika Serikat dan Perancis, dan dampak yang
ditimbulkannya setelah pergolakan di tiga negara tersebut.
Pada mulanya, seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, John Locke,
menyatakan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat
pada diri setiap manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan
hak milik. Pada waktu itu, hak masih terbatas pada bidang sipil
(pribadi) dan politik. Dalam perjalanannya, sejarah mencatat
bahwa terdapat dokumen-dokumen yang mempengaruhi HAM
sebelum adanya DUHAM yang merupakan jalinan proses
pengembangan dokumen-dokumen HAM. Dokumen-dokumen
tersebut di antaranya:
1. Magna Charta (1215)
Pada awal abad ke XII Raja Richard di Inggris yang dikenal adil
dan bijaksana digantikan oleh Raja John Lockland. Selama masa
kekuasaan pemerintahannya, Raja John Lockland bertindak
81
sewenang-wenang terhadap rakyat dan bangsawan sehingga
memancing timbulnya pemberontakan dari para Baron
(bangsawan). Sebagai hasilnya, dibuatlah perjanjian antara
John Lockland dengan para Baron yang dikenal dengan Magna
Charta. Dokumen yang berintikan penghapusan kekuasaan
absolut raja ini, dibuat tanggal 15 Juni 1215.
Isi dari Magna Charta adalah bahwa Raja menjamin
diberikannya beberapa hak khusus kepada para bangsawan
dan keturunannya, seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa
pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan sebagai balasan
atas dukungan finansial para bangsawan untuk operasional
pemerintahan/kerajaan. Sejak itu, jaminan hak tersebut
berkembang dan menjadi bagian dari sistem konstitusional
Inggris. Dalam perjanjian ini juga Raja Jhon Lockland mengakui
hak-hak rakyat secara turun temurun yang mencakup:
a. Hak kebebasan (kemerdekaan) tidak boleh dirampas tanpa
keputusan pengadilan.
b. Pemungutan pajak harus dengan persetujuan Dewan
Permusyawaratan.
2. Bill of Rights (1689)
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan di
Inggris pada 1689 yang memuat ketentuan-ketentuan untuk
melindungi hak dan kebebasan individu. Saat itu mulai tercetus
pandangan bahwa manusia sama di muka hukum. Pandangan
tersebut memperkuat ide tentang negara hukum dan
demokrasi, serta melahirkan asas persamaan dan kebebasan
manusia. Pengalaman Inggris mengenai HAM kemudian
menginspirasi negara-negara lain untuk melakukan revolusi.
Ketentuan dalam Bill of Rights adalah:
a. Kebebasan dalam anggota Parlemen.
b. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
c. Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap
harus seizin Parlemen.
82
d. Hak warga negara untuk memeluk agama menurut
kepercayaan masing-masing.
e. Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
3. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776)
Perang kemerdekaan yang melibatkan rakyat Amerika Serikat
melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika.
Perlindungan terhadap HAM dipertegas lagi dalam Declaration
of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) yang mengantarkan
Amerika Serikat menjadi negara merdeka pada 4 Juli 1776.
Dokumen ini berisi asas pengakuan persamaan manusia,
dengan alasan Tuhan telah menciptakan manusia dengan hakhak tertentu yang tidak bisa dirampas, antara lain: hak hidup,
hak untuk bebas dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Hakhak yang tercantum dalam Declaration of Independence ini
dipertegas lagi dalam pidato Presiden Franklin D. Roosevelt di
depan Kongres Amerika Serikat 16 Juni 1941, yang dikenal
dengan four freedoms (empat kebebasan), yaitu:
a. Kebebasan (kemerdekaan) untuk berbicara (freedom of
speech).
b. Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaan (freedom of religion).
c. Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
d. Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from
want).
4. Revolusi Perancis (1789)
Revolusi Perancis adalah bentuk perlawanan rakyat Perancis
terhadap Raja Louis XVI yang bertindak absolut dan represif.
Revolusi Perancis merupakan puncak dari perjuangan
mewujudkan HAM pada 26 Agustus 1789 dimana Declaration
des droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan/Deklarasi HakHak Manusia dan Warga Negara) dinyatakan. Deklarasi HAM
Perancis tersebut menegaskan bahwa:
83
Pasal 1. Semua manusia lahir bebas dan sama di hadapan
hukum. Perbedaan sosial hanya didasarkan pada kegunaan
umum.
Pasal 2. Tujuan negara adalah untuk melindungi hak-hak alami
dan tidak dapat dicabut (dirampas). Hak-hak alami meliputi
kebebasan, hak milik, hak keamanan, dan hak perlindungan.
Pernyataan dalam deklarasi tersebut kemudian dikenal dengan
tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan
persaudaraan (fraternity).
Hal di atas menggambarkan bahwa ide tentang HAM muncul
untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa terhadap
rakyatnya. Jadi, kesamaan dari berbagai dokumen dalam
peristiwa di atas adalah bahwa kelahirannya merupakan
t a n g g a pa n a t a u j a w a ba n a t a s p e l a n g g a r a n H A M .
Perkembangan di Inggris, Amerika dan Perancis ini kemudian
menginspirasi negara-negara lain. Dalam perkembangan
berikutnya, muncullah Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia-DUHAM) pada 10
Desember 1948.
Refleksi Perang
Di era 1940an,
perjuangan HAM
dapat dilihat sebagai
hasil renungan dan
koreksi terhadap
pengalaman pahit dan
kekejaman Perang
Dunia (PD) II. Pada saat
itu, jutaan warga sipil
menjadi korban
perebutan kekuatankekuatan politik dunia.
84
Di era 1940an, perjuangan HAM dapat dilihat sebagai hasil
renungan dan koreksi terhadap pengalaman pahit dan
kekejaman Perang Dunia (PD) II. Pada saat itu, jutaan warga sipil
menjadi korban perebutan kekuatan-kekuatan politik dunia.
Semasa PD II, pelanggaran HAM berat menimpa warga
keturunan Yahudi, kaum gay, lesbian, dan penyandang cacat. Di
masa Hitler di Jerman dan fasisme di Jepang terjadi
pelanggaran HAM berat yang tidak dapat diterima akal sehat.
Bangsa-bangsa di dunia menjadikan pengalaman kelam PD II
sebagai pelajaran berharga. Mereka kemudian bersepakat
menyusun gagasan-gagasan HAM untuk membuat instrumen
hukum internasional guna melindungi segenap tumpah darah
manusia secara berkeadilan.
Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 1945, negaranegara yang keluar sebagai pemenang perang mendirikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 1946 kemudian
disusunlah rancangan Piagam Hak-Hak Asasi manusia oleh
Organisasi Kerjasama untuk Sosial Ekonomi PBB yang terdiri
dari 18 anggota. PBB kemudian membentuk Komisi HAM
(Commission of Human Rights), yang dalam sejarahnya berubah
menjadi Dewan HAM (Human Rights Council). Pada Januari
1947 digelar sidang yang dipimpin oleh Ny. Eleanor Roosevelt.
Seiring berputarnya waktu pada 10 Desember 1948 Sidang
Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris,
menerima baik hasil kerja Komisi HAM PBB. Karya yang
dihasilkan adalah Universal Declaration of Human rights atau
Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM)
yang terdiri dari 30 pasal. Makanya kemudian, 10 Desember
diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia.
Kesepakatan untuk menyerukan penghormatan terhadap
manusia dan kemanusiaan melalui DUHAM bukan hanya akibat
kesewenangan-wenangan penguasa pada masa silam, akan
tetapi dengan berbagai pertimbangan untuk menghormati
manusia dan kemanusiaan serta menciptakan perdamaian
dunia di masa mendatang.
Sejak DUHAM dideklarasikan pada 10 Desember 1948, HAM
sebagai instrumen hukum internasional mengalami
pembesaran dan perluasan yang luar biasa. HAM digunakan
dan diadopsi oleh banyak negara anggota PBB. Meskipun
bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB
secara moral berkewajiban menerapkannya. Sebagai sebuah
prinsip dan norma, HAM kemudian juga dipakai di berbagai
mekanisme internasional, regional dan nasional.
5. Sistematika DUHAM
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) terdiri dari 30
pasal. DUHAM merupakan norma dasar perlindungan HAM
untuk semua orang dan semua bangsa. Dalam deklarasi ini
dinyatakan kedudukan manusia yang merdeka dengan hak
yang sama (Pasal 1), prinsip persamaan (Pasal 2), hak hidup
(Pasal 3), pelarangan perbudakan dan perdagangan budak
85
(Pasal 4), persamaan di depan hukum (Pasal 6), pengakuan hak
milik (Pasal 17), kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18),
serta kebebasan berpendapat dan berserikat secara damai
(Pasal 20).
Secara umum hak-hak dalam DUHAM terbagi ke dalam dua
kategori. Pertama, terdiri dari hak-hak sipil dan hak-hak politik,
seperti kebebabasan berpendapat dan kebebasan untuk
memperoleh keadilan. Kedua, hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya, seperti hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh
keamanan sosial, dan hak untuk memiliki harta benda.
Poin penting yang tercantum dalam DUHAM adalah bahwa
setiap manusia terlahir merdeka dan bermartabat serta
memiliki hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani
agar dapat bersatu dalam persaudaraan kemanusiaan. Hak-hak
dan kebebasan-kebebasan tersebut harus diterapkan secara
sama terhadap setiap orang tanpa peduli perbedaanperbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau perbedaan-perbedaan lainnya. Dalam kaitan ini, setiap
orang berhak atas proses peradilan yang adil dan terbuka,
bebas dan tidak memihak.
HAM & Keadilan
Secara umum hak-hak
dalam DUHAM terbagi
ke dalam dua kategori.
Pertama, terdiri dari
hak-hak sipil dan hakhak politik, seperti
kebebabasan
berpendapat dan
kebebasan untuk
memperoleh keadilan.
Kedua, hak-hak
ekonomi, sosial, dan
budaya, seperti hak
untuk bekerja, hak
untuk memperoleh
keamanan sosial, dan
hak untuk memiliki
harta benda.
86
DUHAM juga menekankan pentingnya perlindungan
kehidupan pribadi setiap orang dengan tidak diganggu urusan
pribadinya, keluarganya, dan rumah tangganya serta urusan
surat menyuratnya, kehormatannya dan nama baiknya.
DUHAM juga mencakup perlindungan atas hak untuk bergerak
secara bebas dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara,
termasuk meninggalkan negaranya ataupun kembali lagi ke
negaranya dan memperoleh kewarganegaraan. Dinyatakan
pula bahwa setiap perempuan dan laki-laki dewasa berhak
untuk menikah dan membentuk keluarga, memiliki harta, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dan terbebas
dari perampasan harta dengan semena-mena. Setiap orang
juga memiliki kebebasan berpikir, kebebasan berkeyakinan dan
beragama. Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk
berpendapat, berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan.
Dalam bidang politik, setiap orang berhak turut serta dalam
pemerintahan negaranya, memilih dan dipilih. Kehendak rakyat
harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah melalui pemilihan
umum secara berkala, jujur dan adil. Setiap orang juga berhak
atas jaminan sosial, terpenuhinya hak-hak ekonomi, hak-hak
sosial budaya demi menjunjung tinggi martabat dan
pertumbuhan bebas pribadi.
Dalam bidang pendidikan, setiap orang berhak diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Pendidikan itu ditujukan untuk membina pengembangan
pribadi dan penghargaan terhadap HAM dan perlindungan
kebebasan-kebebasan dasar lainnya. Sementara, pendidikan
harus diarahkan agar dapat menggalakkan sikap saling
pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua
bangsa, kelompok ras maupun agama, serta memajukan
kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam memelihara
perdamaian.
Pasal-pasal terakhir dari DUHAM memberikan penjelasan
kepada kita bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang tetap harus tunduk hanya pada pembatasanpembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang
tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan
orang lain. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini, karena
alasan apapun, penerapannya tidak boleh bertentangan
dengan tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
Isi DUHAM benar-benar menjelaskan secara rinci bidangbidang penegakan HAM yang krusial bagi perwujudan
kebebasan setiap individu, meskipun dalam prakteknya setiap
negara di dunia tidak luput dari permasalahan seputar
pelanggaran HAM dalam negeri.
87
“Dalam bidang pendidikan, setiap orang berhak diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Pendidikan itu ditujukan untuk membina pengembangan
pribadi dan penghargaan terhadap HAM dan
perlindungan kebebasan-kebebasan dasar lainnya.”
C. PELANGGARAN HAM
1. Pengertian Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM adalah tindakan kesengajaan atau kelalaian
negara menjalankan norma-norma HAM yang diakui secara
internasional. Berikut ini beberapa pengertian mengenai
pelanggaran HAM:
1. A. Victor Conde dalam A Handbook of Internasional Human
Right Terminology, menyebutkan bahwa pelanggaran HAM
adalah kegagalan negara atau suatu kelompok yang secara
hukum berkewajiban untuk memenuhi norma-norma HAM
internasional.
2. Menurut Manual Training tentang Monitoring Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pelanggaran
HAM adalah pelanggaran yang dilakukan pemerintah
(negara) terhadap hak-hak asasi yang dijamin hukum
Internasional, regional, dan nasional baik melalui tindakan
langsung (by commission) maupun dengan pembiaran (by
ommission) yang diakibatkan oleh kegagalan negara dalam
mengimplementasikan kewajiban-kewajiban hukum yang
berasal dari standar-standar hukum HAM. Pelanggaran
HAM terjadi ketika hukum, kebijakan atau tindakan/praktik
negara secara sengaja melanggar, mengabaikan atau gagal
memenuhi standar-standar HAM.
Definisi di atas mengacu pada negara sebagai satu-satunya
lembaga yang melakukan atau yang dapat “dituduh”
melanggar HAM. Semua pelanggaran HAM dibebankan
kepada negara, dalam hal ini aparatur pemerintahannya, dan
sama sekali tidak dibebankan kepada individu dalam suatu
negara. Dalam konteks ini ada pembedaan yang tegas antara
kewajiban dan hak yang dimiliki negara dan individu. Negara
sebagai pemangku atau pemilik kewajiban, sedangkan individu
warga negara sebagai pemangku atau pemilik hak. Setiap
individu tidak memiliki kewajiban untuk melindungi dan
memenuhi HAM individu lainnya karena itu sudah diserahkan
Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM
terjadi ketika hukum,
kebijakan atau
tindakan/praktik
negara secara sengaja
melanggar,
mengabaikan atau
gagal memenuhi
standar-standar HAM.
89
kepada negara. Sementara kewajiban individu hanya satu, yaitu
menghormati hak asasi individu lainnya. Kedua definisi di atas
sama sekali tidak menempatkan individu atau sekelompok
orang sebagai pelanggar HAM. Definisi berikut ini memberikan
ruang pada individu atau kelompok sebagai aktor yang
melakukan atau dapat juga dituduh melakukan pelanggaran
HAM.
Pengertian tersebut dapat diamati dalam Pasal 1 ayat (6) UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan bahwa:
“Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang dan tidak mendap atkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku”.
Mengacu pada definisi pelanggaran HAM menurut UU No. 39
Tahun 1999 tersebut tidak hanya negara yang bisa dituduh atau
dianggap melakukan pelanggaran, tetapi juga masyarakat, baik
secara perorangan/individu ataupun kelompok. Artinya,
pelanggar HAM bukan hanya negara, tetapi aktor non negara
(non pemerintah) bisa dianggap melanggar HAM bila melawan
hukum dengan mengurangi, menghalangi, membatasi
dan/atau mencabut hak asasi individu lainnya.
Dapat dipahami pula bahwa pelanggaran terhadap hak bisa
dilakukan oleh siapa saja, baik oleh negara,
perusahaan/korporasi, kelompok, maupun individu. Akan
tetapi negara memiliki beban ganda karena tidak hanya
berkewajiban menghormati hak asasi individu sebagaimana
kewajiban individu, tetapi juga berkewajiban menghormati,
melindungi dan memenuhi HAM setiap individu. Negara tidak
memiliki hak asasi, karena hak asasi hanya milik individu warga
negara. Karena itu, jika negara tidak menghormati, tidak
melindungi, dan tidak memenuhi hak asasi seluruh warga
90
negaranya, maka itu merupakan pelanggaran HAM. Karena
hanya negara yang dibebankan kewajiban untuk memenuhi
semua hak setiap warganya. Dalam konteks inilah, yang
memiliki kewenangan untuk memberikan jaminan keamanan
warga negara dari gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat (kamtibmas) adalah Polri yang merupakan alat
negara. Dengan kewenangan ini, aparat Polri diberikan
kewenangan lebih lanjut untuk memeriksa, menyelidiki,
menyidik, menindak, menahan dan mengajukan ke pengadilan
warga negara yang dinilai berdasarkan hukum telah melanggar
aturan Kamptibmas. Bahkan untuk menjalankan tugasnya ini
mereka diberi kewenangan menggunakan senjata sesuai
aturan dan prosedur yang berlaku tentunya. Di luar kepolisian,
seperti anggota Ormas atau warga biasa, tidak memiliki
kewajiban seperti ini meskipun mereka mampu untuk
melakukannya. Sebaliknya warga berhak meminta dan bahkan
menuntut aparat polisi untuk memberikan jaminan keamanan
apabila mereka membutuhkannya.
Penghormatan
Setiap individu tidak
memiliki kewajiban
untuk melindungi dan
memenuhi HAM
individu lainnya karena
itu sudah diserahkan
kepada negara.
Sementara kewajiban
individu hanya satu,
yaitu menghormati hak
asasi individu lainnya.
Dalam konteks ini, negara memiliki tanggungjawab ganda
terkait masalah HAM: 1) tanggungjawab secara nasional; dan 2)
tanggungjawab secara internasional. Dari segi tindakan,
pelanggarannya pun dibebankan kepada negara, baik karena
unsur kesengajaan (by commission) oleh negara maupun
karena pembiaran (by ommission).
Yang dimaksud pelanggaran by commission (kesengajaan)
adalah suatu tindakan sengaja oleh negara melalui aparatur
pemerintahannya atau kelompok yang memiliki kaitan dengan
kekuasaan negara, yang tindakannya melanggar perjanjianperjanjian hukum HAM internasional yang telah disyahkan atau
diratifikasi oleh negara tersebut. Sedangkan yang dimaksud
pelanggaran HAM by ommission (pengabaian) adalah suatu
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh individu –yang tidak
memiliki kaitan apapun dengan kekuasaan negara– terhadap
individu yang lain, akan tetapi negara tidak berusaha mencegah
tindakan tersebut atau tidak dapat menghukum pelakunya
yang disebabkan kelalaian atau kealpaan negara. Jadi
91
Pasal 1 Ayat (6)
UU No. 39 tentang HAM
Pelanggaran HAM
adalah setiap
perbuatan seseorang
atau kelompok orang
termasuk aparat
negara, baik disengaja
maupun tidak
disengaja atau
kelalaian yang secara
hukum mengurangi,
menghalangi,
membatasi dan atau
mencabut hak asasi
manusia seseorang
atau kelompok orang
yang dijamin oleh
undang-undang dan
tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan
tidak akan
memperoleh
penyelesaian hukum
yang adil dan benar
berdasarkan
mekanisme hukum
yang berlaku.
perbedaannya terletak pada unsur kesengajaan dan kelalaian
negara dalam melakukan pelanggaran dan mencegah atau
menghukum pelaku pelanggaran HAM.
Jadi, suatu tindakan atau perbuatan disebut pelanggaran HAM,
jika dan hanya jika, pelakunya menjalankan tindakan atau
perbuatan tersebut dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara
negara atau memiliki kaitan dengan kekuasaan negara. Bila
suatu tindakan/perbuatan dilakukan oleh individu atau
kelompok yang tidak memiliki kaitan apapun dengan
kekuasaan negara, maka hal itu disebut sebagai pelanggaran
pidana (kriminal) karena tidak melibatkan unsur kekuasaan
(negara).
2. Jenis-Jenis Pelanggaran HAM
Menurut jenisnya, pelanggaran HAM dapat dikategorikan
dalam dua jenis, yaitu pelanggaran HAM (ordinary crime) dan
pelanggaran HAM berat atau luar biasa (extra ordinary crime).
Dari kedua jenis pelanggaran ini terdapat perbedaan dan
persamaan. Persamaannya terletak pada pelanggarannya, yaitu
sama-sama melanggar. Karenanya merupakan pelanggaran
terhadap HAM, yang tentunya akan berdampak merugikan
orang lain atau korbannya. Perbedaan dari keduanya adalah
terletak pada skala pelanggaran dan dampak dari pelanggaran
tersebut.
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ada dua pasal
yang menjelaskan tentang pelanggaran HAM berat. Pertama,
Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM menyatakan bahwa “pembunuhan massal (genosida),
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan
pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau
diskriminasi yang dilakukan secara sestematis (systematic
discrimination)”; Kedua, Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang menyebutkan bahwa pelanggaran HAM
sebagai “genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan”.
92
Statuta Roma menegaskan bahwa dalam pelanggaran HAM
berat terdapat dua unsur: Pertama, unsur material. Unsur ini
menitikberatkan pada tindakan atau perbuatan (conduct), lalu
akibat yang ditimbulkan (consequences), dan keadaan-keadaan
(circumstances) yang menyertai perbuatan tersebut. Unsur
yang kedua, adalah unsur mental. Unsur kedua ini menekankan
pada unsur mental yang relevan, yaitu adanya unsur
kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge), bersifat
sistematis (systemic) dan atau ketiganya.
Memang terdapat perbedaan definisi pelanggaran HAM berat
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun demikian dalam
hal unsur-unsur dari pelanggaran tersebut tetap mengacu
kepada Statuta Roma yang diadopsi di dalam kedua undangundang mengenai HAM tersebut. Di sisi lain, UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM hanya mengadopsi sebagian
dari definisi pelanggaran HAM berat yang dihasilkan dalam
Statuta Roma, yakni genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan tidak mencantumkan kejahatan perang dan
kejahatan agresi. Karenanya, kasus pelanggaran HAM berat
yang sah dan dapat diadili melalui prosedur Pengadilan HAM di
Indonesia hanya dua: genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Peran Negara
Pelanggaran HAM by
ommission
(pengabaian) adalah
suatu tindakan
pelanggaran yang
dilakukan oleh individu
–yang tidak memiliki
kaitan apapun dengan
kekuasaan negara–
terhadap individu yang
lain, akan tetapi negara
tidak berusaha
mencegah tindakan
tersebut atau tidak
dapat menghukum
pelakunya yang
disebabkan kelalaian
atau kealpaan negara.
3. Contoh Kasus Pelanggaran HAM
Mengacu kepada pengertian mengenai HAM dan pelanggaran
HAM yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
bahwa penghormatan terhadap HAM tidak hanya menjadi
tanggungjawab (duty barrier) negara, melainkan juga individu
atau kelompok. Karenanya, individu ataupun kelompok di luar
negara (baca: pemerintah) dapat pula melakukan atau
“dituduh” melanggar HAM. Sebagai ilustrasi, ada seorang guru
memberikan sanksi atau hukuman berat kepada siswanya
secara fisik dan mengakibatkan siswa tersebut menderita luka
atau mengalami tekanan mental. Dalam hal ini secara nilai-nilai
HAM, guru sebagai individu dan sekolah tempat guru tersebut
93
Sewenang-wenang
Jika dalam diri seorang
manusia sudah
terbentuk budaya tidak
menghormati hak
orang lain, maka akan
timbul kebiasaan untuk
bertindak sewenangwenang.
mengajar (institusi/kelompok) dapat dituduh telah melanggar
HAM siswanya. Guru dan sekolah telah secara sengaja
menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM terhadap siswa
tersebut. Demikian juga dengan negara (pemerintah melalui
aparaturnya), dapat dituduh sebagai pelanggar HAM, karena
telah membiarkan (by ommission) kasus tersebut terjadi.
Negara telah lalai menjaga warganya dari tindakan atau
perbuatan melanggar HAM.
Namun dalam norma hukum yang berlaku di Indonesia,
tindakan guru dan sekolah tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran HAM. Tindakannya merupakan
pelanggaran pidana biasa (kriminal), dimana mekanisme
penegakan hukum terhadap kasus tersebut telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang prosedur
penegakannya melalui peradilan umum, mulai dari Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi hingga proses Kasasi dan Peninjauan
Kembali (PK) di Mahkamah Agung.
K a re n a n y a , u n t u k p e l a n g g a r a n H A M s e ba g a i m a n a
diilustrasikan dari contoh kasus di atas, kasusnya tidak dapat
diajukan ke dalam mekanisme penegakan HAM melalui
Pengadilan HAM. Karena berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, tidak ada definisi yang menyatakan
bahwa pelanggaran HAM seperti itu dapat diadili di Pengadilan
HAM. Pengadilan HAM hanya mengadili kasus pelanggaran
HAM berat. Tentunya masih banyak contoh kasus lain serupa
yang dapat ditemukan di kehidupan sehari-hari, termasuk
misalnya kasus yang terjadi di lingkungan Institut Pendidikan
Dalam Negeri (IPDN) beberapa waktu lalu yang menyebabkan
siswa junior mengalami penyiksaan oleh seniornya hingga
meninggal dunia. Contoh lain termasuk kasus pencemaran
nama baik, orang tua menyiksa anak sendiri, majikan atau
anggota keluarga memperlakukan asisten rumahtangga
sewenang-wenang, perbuatan main hakim sendiri terhadap
pelaku pencurian, dan lain sebagainya.
Berikut beberapa contoh kasus dugaan tindakan pelanggaran
94
HAM yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tertentu,
yang dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat, di
antaranya:
CONTOH KASUS:
Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984 di
Tanjung Priok, Jakarta. Peristiwa ini melibatkan penyerangan
dan penembakan oleh aparat TNI terhadap sejumlah
anggota masyarakat yang melakukan unjuk rasa menentang
tindakan aparat pemerintah. Setidaknya 9 orang tewas
terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh
tindakan aparat. Setahun kemudian, 1985 sejumlah orang
yang terlibat dalam unjuk rasa tersebut diadili dengan
tuduhan melakukan tindakan makar terhadap kekuasaan
yang sah (subversif). Namun, setelah era Reformasi bergulir
ditandai dengan jatuhnya rezim Orde Baru, kasus Tanjong
Priok dibuka kembali dan pada tahun 2004 sejumlah aparat
militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi
manusia pada peristiwa tersebut. Peristiwa ini berlangsung
dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru
waktu itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan
azas tunggal Pancasila. Penyebab dari peristiwa ini adalah
tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di
salah satu masjid di kawasan Tanjung Priok dan
penyerangan oleh massa kepada aparat.
Kasus terbunuhnya Marsinah, pekerja wanita PT Catur
Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah seorang pekerja di PT Catur Putera Surya,
Porong Jawa Timur, yang dengan aktifitasnya menuntut hakh a k n y a s e ba g a i p e ke r j a . D i a m e n i n g g a l s e c a r a
mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran
HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
95
Kasus terbunuhnya Udin, wartawan Harian Umum Bernas
(1996)
Wartawan Udin (Muhammad Fuad Syafruddin) adalah
seorang wartawan dari harian Bernas Yogyakarta yang
diduga diculik dan dianiaya oleh orang tak dikenal dan
akhirnya ditemukan tewas.
Peristiwa Penculikan Aktivis (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa
(penculikan) terhadap para aktivis. Menurut catatan
Kontras, sebuah NGO HAM, terdapat 23 orang yang diculik
(1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang
lainnya masih hilang).
Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 yang menyebabkan
tewasnya 4 orang mahasiswa, sementara puluhan
mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Tragedi Semanggi
I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil
tewas) dan tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September
1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang lukaluka).
Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat
(1999)
Kasus pelanggaran HAM menjelang dan pasca jajak
pendapat tahun 1999 di Timor Timur ini telah disidangkan
dalam Pengadilan HAM ad hoc. Namun dalam proses
hukum lanjutannya (banding, kasasi dan peninjauan
kembali), semua pelaku pelanggaran HAM bebas. Kasus ini
secara resmi ditutup pemerintah Indonesia dan pemerintah
Timor Leste dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste dan setelah
laporan komisi tersebut diserahkan kepada kedua kepala
negara.
96
Sidang Umum PBB
Pada 10 Desember 1948 yang
diselenggarakan di Istana
Chaillot, Paris, menerima baik
hasil kerja komisi HAM PBB.
Karya yang dihasilkan adalah
Universal Declaration of Huma
Rigths atau Pernyataan
sedunia tentang Hak-Hak
Asasi Manusia (DUHAM) yang
terdiri dari 30 pasal.
D. INSTRUMEN HUKUM DAN MEKANISME PENEGAKAN HAM
Secara internasional, untuk mengatur pelaksanaan HAM, PBB
membuat seperangkat instrumen pelaksanaan penegakan,
penghormatan, dan pemajuan HAM sebagai acuan bagi setiap
negara, khususnya negara-negara anggota PBB. Setiap instrumen
mengacu pada Undang-Undang Internasional Hak Asasi Manusia
yang diakui secara universal, baik melalui Kovenan maupun
Konvensi Internasional HAM, termasuk di dalamnya yang bersifat
deklarasi. Deklarasi memiliki efek politis jika dilanggar. Sementara
konvensi memiliki fungsi yang lebih mengikat (legally binding)
setiap negara yang telah meratifikasi/mensyahkan instrumen
internasional tersebut dalam sistem hukum nasional negaranegara anggota PBB.
1. Instrumen Hukum HAM Internasional
Instrumen hukum HAM internasional yang bersumber dari
hukum internasional adalah sebagai berikut:
a. Hukum Kebiasaan
Hukum kebiasaan adalah praktik hukum yang diterima
sebagai hukum. Hukum kebiasaan ini menjadi salah satu
sumber hukum yang digunakan oleh Mahkamah
Internasional dalam menyelesaikan berbagai sengketa
internasional, termasuk Mahkamah HAM Internasional.
Antara lain meliputi: larangan pembantaian massal,
larangan perbudakan dan perdagangan manusia.
Peran Indonesia
Indonesia, sebagai
salah satu negara
anggota PBB, telah
meratifikasi hampir
semua instrumen HAM
internasional yang
telah diadopsi menjadi
instrumen hukum HAM
secara nasional.
98
b. Piagam PBB
Ketentuan mengenai HAM dalam Piagam PBB terdapat
dalam Pasal 1, Pasal 55 dan Pasal 56.
c. The International Bill of Human Rights
The Internasional Bill of Human Rights merupakan istilah
yang digunakan untuk menunjukkan tiga instrumen utama
HAM beserta protokol opsionalnya. Ketiga instrumen utama
dan protokol opsionalnya yang dimaksud meliputi:
a. Instrumen Utama HAM
1) Pernyataan Sedunia Mengenai Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights / UDHR), atau
yang biasa disebut Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM).
2) Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political RIights/
ICCPR)
3). Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Eonomi,
Sosial dan Budaya (International Covenant on
Economic, Social dan Cultural Rights / ICESCR).
b. Protokol Opsional:
1) Protokol Opsional Kovenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik.
2) Protokol Opsional kedua Kovenan Internasional Hakhak Sipil dan politik untuk penghapusan hukuman
mati.
Indonesia, sebagai salah satu negara anggota PBB, telah
meratifikasi hampir semua instrumen HAM internasional
yang telah diadopsi menjadi instrumen hukum HAM secara
nasional. Berikut ini instrumen HAM internasional yang telah
diratifikasi Pemerintah Indonesia:
1. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia).
2. International Covenant on Civil and Political Rights
(IICPR) atau Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia
dengan UU No. 12 Tahun 2005.
3. International Covenant on Economic and Social Rights
(ICESCR) atau Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah
Indonesia dengan UU No. 11 Tahun 2005.
99
4. Convention on the Rights of Child atau Konvensi Hak
Anak.
5. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (CAT) atau Konvensi
Menentang Penyiksaan, yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia dengan UU No. 5 Tahun 1998.
6. Convention on the Elimination of Racial Discrimination
(CERD) atau Konvensi tentang Pengahapusan
Diskriminasi Rasial, telah diratifikasi pemerintah
Indonesia dengan UU No. 2 Tahun 1999 dengan reservasi
terhadap Pasal 22.
7. Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan. Konvensi ini telah diratifikasi
pemerintah Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1984
dengan reservasi terhadap Pasal 29 (1) tentang
Penafsiran atau Penerapan Konvensi.
8. Convention on the Rights of Person with Dissabilities
(Konvensi Hak Penyandang Disabiitas). Konvensi ini telah
diratifikasi pemerintah Indonesia dengan UU No. 19
Tahun 2011.
9. Convention on the Protection of the Rights of All Migrants
Workers and Their Families (ICRMW) atau Konvensi
Perlindungan Pekerja Migran. Hingga saat ini, konvensi
internasional HAM ini merupakan konvensi terakhir yang
diratifikasi pemerintah Indonesia. Pada 24 September
2004 pemerintah Indonesia terlebih dahulu
menandatangani konvenis dan baru meratifikasinya
tanpa reservasi pada 2 April 2012 dengan UU No. 6 Tahun
2012.
2. Mekanisme Penegakan HAM Internasional
Mekanisme HAM adalah seluruh perangkat, berikut prosedur
kerjanya, yang disiapkan oleh lembaga yang berwenang untuk
100
memajukan dan melindungi serta menegakkan HAM sesuai
prinsip universalitas HAM dan standar internasional
sebagaimana dijabarkan dalam instrumen-instrumennya.
Mekanisme penegakan HAM secara internasional erat
kaitannya dengan prosedur penegakan HAM itu sendiri yang
telah diatur melalui instrumen-instrumen hukumnya. Prosedur
dan mekanisme penegakan HAM tidak hanya diatur secara
internasional, tapi juga regional, semisal di tingkat negaranegara ASEAN, dan juga secara nasional.
Mekanisme penegakan HAM secara internasional mencakup
tiga bagian:
Pertama, mekanisme berdasarkan Piagam PBB (charter-based
mechanism), yaitu prosedur penegakan hak asasi manusia yang
tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi internasional HAM akan
tetapi berdasarkan piagam PBB itu sendiri. Mekanisme ini
dilakukan melalui (a) Komisi HAM PBB, (b) Sub Komisi Hak Asasi
Manusia, (c) prosedur 1503, serta (d) mekanisme tematis.
Komisi HAM dan sub komisinya dibentuk untuk berurusan
dengan pengaduan pelanggaran HAM. Dalam keseluruhan
prosedur ini, Kantor Komisi HAM PBB yang terletak di Geneva
(Jenewa), Swiss, menjadi jantungnya. Selain itu, mekanisme ini
juga dilakukan melalui organ-organ yang berada di bawah
sistem PBB, seperti Majelis Umum, Dewan Keamanan, ECOSOC,
dan sebagainya. Kaitannya dengan Dewan HAM, dibentuk pada
Juni 2006 untuk menggantikan Komisi HAM sebelumnya. Pada
18 Juni 2007, Dewan HAM menetapkan sistem prosedur,
mekanisme dan struktur yang menjadi dasar bagi Dewan HAM
dalam menjalankan fungsi dan tugasnya untuk digunakan
dalam pemajuan dan perlindungan HAM di seluruh dunia. Ada
empat prosedur utama yang dibawahi oleh Dewan HAM PBB,
yaitu:
a. Universal Periodic Review (UPR), yang dibentuk satu tahun
setelah Dewan HAM terbentuk. Mekanisme ini digunakan
untuk meninjau kewajiban dan komitmen HAM di 192
negara anggota PBB secara dialogis dan interaktif. Disebut
101
review dan universal karena setiap negara di bawah PBB,
tanpa terkecuali, akan ditinjau kondisi HAM-nya secara
berkala dalam empat tahun sekali.
b. Komite Penasehat (Advisory Committee), merupakan
badan pembantu Dewan HAM yang bertugas sebagai think
tank. Komite ini bertugas melakukan kajian dan penelitian
dan berkewajiban menyampaikan hasil kerjanya kepada
Dewan HAM sebagai masukan.
c. Prosedur Khusus (Special Procedure), Mekanisme ini
dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 60/1251.
Inti dari mekanisme ini adalah memberikan mandat kepada
sejumlah pelapor (rapporteur) yang terdiri dari para ahli di
bidang HAM tertentu untuk melakukan investigasi dan
pemantauan terhadap situasi HAM baik berdasarkan isu
atau wilayah (negara) serta memberikan penilaian terhadap
hak dan kelompok rentan secara imparsial, obyektif, efisien
dan berorientasi pada korban dan tepat waktu. Para ahli ini
dipilih oleh Dewan HAM dengan kriteria: ahli dan
berpengalaman, independen, imparsial, obyektif dan
memiliki integritas personal. Masing-masing ahli baik secara
individu maupun kelompok kerja (working group)
bertanggungjawab atas apa yang dimandatkan kepadanya
pada isu tematik (thematic mandate) atau kondisi HAM
tertentu di suatu negara (country mandate). Hingga 1
Oktober 2013, Dewan HAM PBB telah membentuk 37
prosedur khusus untuk isu tematik dan 14 berdasarkan
country mandate. Para pelapor ini biasanya disebut Pelapor
Khusus (special rapporteur). Dalam periode berbeda,
Indonesia telah menempatkan dua orang ahli terbaiknya di
bidang HAM menjadi Pelapor Khusus untuk Korea Utara: Dr.
Rudi Rizki dan Dr. Marzuki Darusman.
d. Prosedur Pengaduan (Complaint Procedure), Prosedur ini
tidak bisa dipisahkan dari Prosedur Khusus di atas yang
menyasar pelanggaran HAM yang terjadi di bagian
manapun di dunia dan dalam kondisi apapun. Melalui
Prosedur Pengaduan ini, siapapun, individu atau kelompok,
102
dapat mengadukan pelanggaran HAM yang terjadi atas
dirinya atau terhadap kelompoknya kepada Dewan HAM,
baik dilakukan secara langsung oleh korban ataupun melalui
pihak ketiga, seperti organisasi non-pemerintah. Dalam
prakteknya, pelapor khusus akan menerima pengaduan dan
menilai seberapa penting untuk diperhatikan. Dalam kondisi
normal, pelapor khusus akan mengirimkan surat
perhatiannya kepada pemerintah untuk mengatasi
pelanggaran yang terjadi dan menjamin keadilan bagi
korban.
Kedua, mekanisme berdasarkan perjanjian/traktat (treaty based
mechanism), yaitu mekanisme yang dibentuk melalui
perjanjian-perjanjian internasional tentang HAM di bawah
sistem PBB. Pada umumnya terdapat empat mekanisme utama
pengaduan dan monitoring terhadap penerapan HAM,
meskipun tidak setiap mekanisme itu terdapat dalam ketujuh
perjanjian HAM internasional. Adapun keempat mekanisme
tersebut adalah (1) mekanisme pelaporan (membahas laporan
negara pihak setiap 2-5 tahun dan membuat pengamatan
umum), (2) mekanisme pengaduan individual, (3) pengaduan
antarnegara, dan (4) mekanisme investigasi.
Prosedur Pengaduan
Melalui Prosedur
Pengaduan ini,
siapapun, individu atau
kelompok, dapat
mengadukan
pelanggaran HAM
yang terjadi atas
dirinya atau terhadap
kelompoknya kepada
Dewan HAM, baik
dilakukan secara
langsung oleh korban
ataupun melalui pihak
ketiga, seperti
organisasi nonpemerintah.
Mekanisme di bawah traktat ini dijalankan oleh Komite, yang
pada dasarnya dibentuk dari setiap konvensi-konvensi HAM
yang telah diratifikasi guna memastikan bahwa standar HAM
yang tercantum dalam suatu konvensi dijalankan negara secara
nasional dengan memantau progresifitas negara dalam
memenuhi kewajiban internasionalnya. Hingga saat ini,
setidaknya telah ada 8 Komite yang terbentuk berdasarkan
kovenan dan konvensi internasional HAM, yaitu:
1. Komite HAM PBB (Hak Sipil dan Politik) (ICCPR Human
Rights Committee), bertugas mengawasi pelaksanaan
International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
2. Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on
Economic, Social, and Cultural Rights), mengawasi
pelaksanaan International Convenant on Economic, Social
103
and Cultural Rights (CESCR).
3. Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on the
Elimination of Racial Discrimination), mengawasi
pelaksanaan International Covenantion on the Elimination of
All Forms of Racial Discrimination (CERD).
4. Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
(Committee on the Elimination of Discrimination against
Woman), mengawasi pelaksanaan Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Woman
(CEDAW).
5. Komisi Menentang Penyiksaan (Committee Againts Torture),
mengawasi pelaksanaan Convention Againts Torture and
Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment (CAT); dan merupakan sebuah badan yang
dibuat oleh Economic and Social Council (ECOSOC) dari PBB
untuk membidangi masalah HAM; yang merupakan salah
satu dari sejumlah badan HAM internasional yang pertama
dan terpenting.
6. Komite Hak Anak (Committee on the Rights of Child),
mengawasi pelaksanaan Convention on the Rights of the
Childs (CRC).
7. Komite Perlindungan Seluruh Buruh Migran dan Anggota
Keluarga (Committee on the Protection of the Rights of All
Migrants Workers and Their Families), mengawasi
pelaksanaan Convention on the Protection of the Rights of All
Migrants Workers and Their Families (ICRMW).
8. Komite Hak Orang-orang Disabilitas/Difabel (Committee on
on the Rights of Person with Dissabilities), mengawasi
pelaksanaan Convention on the Rights of Person with
Dissabilities.
Ketiga, mekanisme HAM regional yang berbasis pada wilayah
atau identitas politik dan berlaku untuk kawasan tertentu
seperti Eropa, Afrika, Kawasan Amerika dan ASEAN. Indonesia
termasuk salah satu anggota ASEAN yang ikut mempelopori
b e rd i r i n y a m e k a n i s m e H A M A S E A N , y a k n i A S E A N
104
Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR) atau
Komisi HAM ASEAN yang dibentuk berdasarkan Deklarasi Cha
Am Hua Hin pada 23 Oktober 2009 di Thailand dan berkantor
pusat di Sekretariat ASEAN di Jakarta. AICHR terdiri dari sepuluh
orang perwakilan dari sepuluh negara anggota ASEAN. Badan
ini bekerja sesuai dengan kerangka acuan (Term of Reference)
yang ditentukan oleh Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN
dimana kerangka acuannya mencakup tujuan dibentuknya
AICHR, prinsip, komposisi anggota, hingga aturan-aturan
umum dan final.
Dalam mempelajari mekanisme penegakan HAM secara
internasional, ada dua cara berbeda yang dapat ditempuh.
Pertama, melihat penyelidikan dan komentar atas kasus-kasus
secara sendiri-sendiri. Kedua, melihat badan-badan yang
berbeda beserta mandatnya. Kedua hal ini dilakukan dengan
mempelajari laporan-laporan yang dikeluarkan oleh berbagai
mekanisme HAM internasional. Di samping itu, telah pula
terbangun mekanisme yang menekankan pemidanaan
pelanggaran HAM sebagai mekanisme redress, yaitu
Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court)
yang bermarkas di Den Hag, Belanda, khususnya untuk
pelanggaran HAM berat yang merupakan kejahatan pidana
internasional.
Bagi Indonesia, seharusnya instrumen hukum dan mekanisme
HAM baik internasional dan regional menjadi penting, baik
untuk pemerintah maupun warga negaranya. Terlebih
Indonesia adalah negara anggota PBB dan anggota ASEAN
yang aktif. Khususnya, bila ditemukan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh negara (dalam hal ini pemerintah), mekanisme
HAM PBB menjadi penting bagi warga negara untuk
melaporkan kasus pelanggaran HAM melalui mekanisme HAM
PBB, yang dapat dilakukan melalui UPR, Advisory Committee,
Special Procedure (khususnya Special Rapporteur), Complaint
Procedur maupun Komite HAM PBB yang dibentuk berdasarkan
perjanjian/traktak.
Mekanisme HAM
Internasional
Bila ditemukan
pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh
negara (dalam hal ini
pemerintah),
mekanisme HAM PBB
menjadi penting bagi
warga negara untuk
melaporkan kasus
pelanggaran HAM
melalui mekanisme
HAM PBB, yang dapat
dilakukan melalui UPR,
Advisory Committee,
Special Procedure
(khususnya Special
Rapporteur),
Complaint Procedur
maupun Komite HAM
PBB yang dibentuk
berdasarkan
perjanjian/traktak.
105
Dengan mekanisme tersebut, setiap warga negara Indonesia
dapat mengetahui situasi dan perkembangan HAM di
Indonesia melalui kacamata internasional. Semua informasi
HAM bersifat terbuka, transparan dan dapat diakses oleh
publik, dengan tetap mengikuti tata aturan yang ditetapkan
Dewan HAM PBB. Jalur prosedur ini dapat ditempuh oleh warga
negara, baik sebagai individu ataupun melalui organisasi
masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah, apabila semua
mekanime HAM yang telah diatur tidak menindaklanjuti atau
justru terkesan mengabaikan kasus pelanggaran HAM yang
terjadi. Untuk mengetahu prosedur pelaksanaan pengaduan
pelanggaran HAM dalam mekanisme HAM internasional ini
dapat dipelajari dengan seksama dari website resmi Dewan
HAM PBB: www.ohchr.org.
3. Instrumen Hukum dan Mekanisme Nasional Hak Asasi
Manusia
Di Indonesia, ruang lingkup mekanisme penegakan HAM
meliputi tugas-tugas memonitor, memeriksa, dan melaporkan
ke khalayak berbagai ragam peristiwa pelanggaran HAM yang
dipandang serius untuk dimonitor dan dilaporkan. Pada
perkembangannya, berbagai mekanisme penegakan HAM
secara nasional dibentuk dengan tema-tema atau mandat
tertentu, misalnya mekanisme yang berfokus pada masalah
perlindungan hak perempuan, hak anak, ataupun khusus
kepada perlindungan saksi dan korban.
Pengaduan HAM
Untuk mengetahu
prosedur pelaksanaan
pengaduan
pelanggaran HAM
dalam mekanisme
HAM internasional ini
dapat dipelajari
dengan seksama dari
website resmi Dewan
HAM PBB:
www.ohchr.org.
106
Indonesia juga mempunyai sederet instrumen hukum atau
regulasi politik mengenai HAM, yaitu:
a. Ketetapan (Tap) MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia.
b. UUD Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen Kedua,
Pasal 28A – Pasal 28J.
c. Hak Asasi Manusia dalam Peraturan Perundang-undangan
Lainnya.
1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
4) UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis.
5) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan Pidana
Anak.
6) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
7) Undang-Undang lainnya yang merupakan ratifikasi dari
instrumen hukum HAM internasional.
Penegakan HAM merupakan tanggungjawab negara secara
umum. Untuk menopang instrumen hukum HAM, di Indonesia
terdapat beberapa lembaga yang berwenang menjamin
berlakunya perlindungan dan penegakan HAM yang dibentuk
secara khusus dan independen untuk memantau dan
melaporkan situasi HAM di Indonesia. Lembaga-lembaga
tersebut berbeda dengan lembaga pemerintahan lainnya,
karena lebih bertanggungjawab menjalankan dan memantau
situasi HAM. Lembaga independen ini berfungsi sebagai
pengawas, pengevaluasi, dan penegak bila terjadi pelanggaran
HAM, termasuk pula untuk memajukan dan
mengarusutamakan HAM dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Lembaga-lembaga seperti ini diakui secara
internasional dan ditegaskan dalam Prinsip-Prinsip Paris
tentang Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1991
(Paris Principles). Lembaga-lembaga yang dimaksud itu adalah
sebagai berikut:
a. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Lembaga ini bersifat independen dan kedudukannya
setingkat dengan lembaga negara lainnya, Yang berfungsi
melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, investigasi, dan mediasi kasus-kasus HAM.
107
KOMNAS HAM RI
Lembaga ini bersifat
independen dan
kedudukannya
setingkat dengan
lembaga negara
lainnya, Yang berfungsi
melaksanakan kajian,
perlindungan,
penelitian, penyuluhan,
pemantauan,
investigasi, dan
mediasi kasus-kasus
HAM
Secara internasional lembaga ini merupakan rekan kerja
Dewan HAM PBB di tingkat nasional. Menurut Pasal 75 UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM memiliki
beberapa tujuan, di antaranya: pertama, mengembangkan
kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia
sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM); kedua,
meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam
berbagai bidang kehidupan. Komnas HAM juga merupakan
lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran HAM
berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM
dapat membentuk tim yang terdiri atas Komisi HAM dan
unsur masyarakat. Salah satu fungsi penegakan HAM yang
dimiliki Komnas HAM adalah prosedur pengaduan.
Prosedur ini adalah upaya hukum terhadap negara yang
diajukan oleh korban pelanggaran HAM untuk menegakkan
HAM dan menjamin penghormatannya. Dalam skema kerja
Komnas HAM, pengaduan hanya akan diterima apabila
disertai dengan identitas pelapor dan disertai keterangan
atau bukti awal yang jelas tentang sebuah pelanggaran
HAM. Mengenai Komnas HAM dapat dipelajari melalui
website resmi: www.komnasham.go.id.
b. Komisi Nasional Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan). Lembaga ini juga
independen yang berwenang untuk penegakan hak asasi
manusia perempuan Indonesia, yang dibentuk melalui
Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 dan diperkuat
dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Layaknya
sebuah badan HAM nasional, Komnas Perempuan
melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan kriteriakriteria umum dalam The Paris Principles. Ada beberapa
landasan peraturan yang menjadi pedoman bagi kerja-kerja
Komnas Perempuan: Konstitusi Republik Indonesia (UUD
1945), UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
108
Perempuan (CEDAW), UU No. 5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam dan Tidak
Manusiawi (CAT), Deklarasi Internasional tentang
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, serta
kebijakan-kebijakan lainnya tentang hak asasi manusia.
Pembentukan Komnas Perempuan memiliki dua tujuan
utama, di antaranya, pertama, mengembangkan kondisi
yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi
manusia perempuan di Indonesia; kedua, meningkatkan
upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak
asasi perempuan. Website resmi Komnas Perempuan adalah
www.komnasperempuan.or.id.
c. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), adalah
lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Keppres
No. 77 Tahun 2003, berdasarkan amanat UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. KPAI merupakan lembaga
resmi yang memiliki wewenang memberi referensi, rujukan,
pertimbangan dan pengawasan atas penyelenggaraan
perlindungan anak di Indonesia.
Sebagaimana ditegaskan Pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002,
untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan
perlindungan anak, KPAI mempunyai tugas pokok sebagai
berikut: pertama, melakukan sosialisasi seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,
pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak; kedua, memberikan
laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada
Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Secara garis besar, sebagaimana juga ditegaskan di dalam
UU No. 23 Tahun 2002, mandat KPAI adalah mengawal dan
mengawasi pelaksanaan perlindungan anak yang dilakukan
109
oleh para pemangku kebijakan perlindungan anak, yaitu
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua di
semua strata, baik pusat maupun daerah, dalam ranah
domestik maupun publik, yang meliputi pemenuhan hakhak dasar dan perlindungan khusus. Untuk itu, KPAI pada
prinsipnya bukanlah institusi teknis yang
menyelenggarakan perlindungan anak, namun lembaga
yang mengawal dan mengawasi pelaksanaan perlindungan
anak oleh pihak-pihak di atas. Di daerah, KPAI juga
membentuk kantor-kantor KPAI daerah. Website resmi KPAI
adalah www.kpai.go.id.
Indonesia juga mempunyai prosedur lain dalam penegakan
HAM, yang dilakukan melalui dua cara, yakni:
a. Pengadilan HAM, yang dibentuk sesuai mandat UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM
dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM berat saja
yang sifat pengadilannya dibagi dua. Pertama, Pengadilan
HAM (bersifat permanen): berwenang mengadili kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah berlakunya UU
No. 26 Tahun 2000, yakni setelah tanggal diundangkannya
undang-undang tersebut (23 November 2000); dan Kedua,
Pengadilan HAM ad hoc (bersifat sementara) dan melekat
pada peradilan umum (biasanya Pengadilan Negeri).
Pengadilan HAM ad hoc ini mengadili kasus pelanggaran
HAM berat yang terjadi sebelum UU No. 26 Tahun 2000
berlaku, yakni sebelum 23 November 2000, dan hanya bisa
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden atas usulan
parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat).
2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Hingga saat ini
belum ada ketetapan definisi yang diterima secara global
tentang KKR, dan hanya dikenal sebagai penamaan umum
terhadap komisi-komisi yang dibentuk pada situasi transisi
politik dalam rangka menangani pelanggaran atau
kejahatan HAM berat di masa lalu. Terdapat 6 elemen yang
dapat dikatakan sebagai karakter umum KKR:
110
1) Fokus penyelidikan pada kejahatan masa lalu.
2) Terbentuk beberapa saat setelah rezim otoritas tumbang.
3) Bertujuan mendapat gambaran yang komprehensif
mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum HAM
internasional pada suatu kurun waktu tertentu, dan tidak
memfokuskan pada suatu kasus.
4) Dibentuk dalam jangka waktu tertentu, biasanya
berakhir setelah laporan akhirnya selesai dikerjakan.
5) Memiliki kewenangan mengakses informasi ke lembaga
apa pun, dan mengajukan perlindungan untuk mereka
memberikan kesaksian.
6) Pada umumnya dibentuk secara resmi oleh negara, baik
melalui peraturan hukum nasional maupun oleh PBB
(seperti KKR El-Salvador).
Di Indonesia sebenarnya telah ada mekanisme KKR ini
melalui UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR). Namun undang-undang ini tidak
dapat berlaku di Indonesia. Artinya kelembagaan KKR tidak
dapat dibentuk/didirikan dan kerja-kerja penegakan HAM
melalui KKR tidak bisa dilakukan. Ini disebabkan karena UU
No. 27 Tahun 2004 tentang KKR dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusan No. 006/PUU-IV/2006 tanggal 7
Desember 2006, yang memutuskan bahwa UU No. 27 Tahun
2004 tentang KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Mekanisme HAM di Organisasi Kerjasama Islam (OKI)
OKI merupakan organisasi kerjasama internasional non-militer
antara negara-negara berpenduduk Muslim. Organisasi ini
didirikan pada tanggal 25 September 1969 berdasarkan
Deklarasi Rabat (Maroko) atas prakarsai oleh Raja Hussein II
(Maroko) dan Raja Faisal (Arab Saudi). Sekretaris Jenderal OKI
berkedudukan di Jeddah (Arab Saudi). Berdirinya OKI karena
beberapa alasan berikut ini: (1) Pembakaran Masjid Al-Aqsha di
Kota Al-Quds Jerussalem oleh Israel pada 21 Agustus 1969; (2)
111
Didudukinya wilayah negara-negara Arab oleh Israel akibat
perang Arab-Israel tahun 1967; (3) Pendudukan Jerusalem oleh
Israel.
Pada tahun 2000-an negara-negara anggota Organisasi
Kerjasama Islam (OKI) meningkatkan perhatian mereka pada
masalah HAM, dan mengubah piagamnya dan membentuk
badan HAM OKI: Komisi HAM Independen Permanen Hak Asasi
Manusia (Independent Permanent Human Rights Commission,
disingkat IPHRC). Komisi ini dibentuk pada Pertemuan Menteri
Luar Negeri OKI ke-38 di Astana, Kazakhtan, 28-30 Juni 2011.
Dalam pertemuan tersebut dipilih 18 orang Komisioner HAM
OKI dari perwakilan negara-negara anggota, termasuk seorang
anggota komisioner dari Indonesia. Komisioner OKI menjabat
selama 3 tahun dan bertugas untuk menguatkan perlindungan
HAM, sebagaimana ditekankan Piagam dan Program Aksi
Sepuluh Tahun OKI.
Badan HAM OKI
Pada tahun 2000-an
negara-negara
anggota Organisasi
Kerjasama Islam (OKI)
meningkatkan
perhatian mereka pada
masalah HAM, dan
mengubah piagamnya
dan membentuk badan
HAM OKI: Komisi HAM
Independen Permanen
Hak Asasi Manusia
(Independent
Permanent Human
Rights Commission,
disingkat IPHRC).
112
Pembentukan IPHRC memiliki beberapa tujuan. Pertama,
memajukan dan melayani umat Islam dalam perlindungan
HAM, mempromosikan penghormatan terhadap kebudayaan
dan nilai-nilai luhur Islam serta mendorong dialog antara
peradaban, sesuai dengan prinsip dan tujuan Piagam OKI.
Kedua, mendukung upaya negara-negara anggota untuk
memajukan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Ketiga, bekerjasama dengan negara-negara anggota untuk
penguatan HAM, serta memonitoring kepatuhan komunitas
Muslim terhadap HAM termasuk perlindungan terhadap
kelompok minoritas. Keempat, mendorong negara anggota
agar mendukung kebijakan yang menyokong pemberdayaan
hak-hak perempuan, hak-hak anak, dan juga perlindungan bagi
mereka yang memiliki kebutuhan khusus di bidang ekonomi,
sosial, politik dan budaya terutama dalam menghilangkan
segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.
IPHRC juga memiliki mandat khusus sebagaimana dinyatakan
dalam Statuta-nya. Pertama, menjalankan fungsi konsultatif
dengan Dewan Menteri Luar Negeri (KTM) OKI dan
menyampaikan rekomendasi kepadanya. Kedua, mendukung
posisi OKI di kancah dan dinamika HAM di tingkat internasional
dan mengkonsolidasikan kerjasama HAM di antara negaranegara anggota. Ketiga, mendukung kerjasama teknikal di
bidang HAM dan peningkatan kesadaran terhadap HAM di
negara-negara anggota OKI. Keempat, IPHRC juga diberikan
mandat untuk memajukan dan mendorong organisasi
masyarakat sipil yang terakreditasi agar bersikap aktif dalam
perlindungan HAM sesuai dengan Piagam OKI dan prosedur
kerja. Kelima, melakukan studi atau penelitian dalam isu-isu
HAM yang menjadi prioritas, termasuk isu-isu yang ditunjuk
oleh Dewan Menteri Luar Negeri. Keenam, bekerjasama dengan
negara anggota, atas permintaan dari negara bersangkutan,
untuk mengelaborasi instrumen HAM. Komisi juga
menyampaikan rekomendasi untuk memperbaiki Deklarasi
HAM OKI dan konvensi serta mendorong ratifikasi konvensi
sesuai dengan kerangka OKI, nilai-nilai Islam dan standar HAM
internasional.
E. KESIMPULAN
Dari uraian yang panjang lebar dalam bab ini mengenai hak asasi
manusia dan berbagai variannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa
hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak dilahirkan, berlaku seumur hidup, dan tidak dapat
digugat oleh siapapun. HAM bersifat kodrati sebagai pemberian
Tuhan Yang Maha Pencipta. Karenanya tidak dapat dicabut oleh
siapapun. Tetapi HAM yang dimaksud tidak selalu berarti bahwa
orang dapat berbuat semaunya karena hak-haknya itu. Justru demi
ditegakkannya HAM maka hak-hak dasar seseorang dapat dibatasi
oleh negara manakala dalam menikmati haknya ia melanggar hak
orang lain. Dalam hal ini, seseorang tidak bebas sebebas-bebasnya
dalam menikmati haknya. Karena kebebasan dalam menikmati
haknya tersebut dibatasi oleh hak orang lain. Maka menjadi
kewajiban bagi seorang individu warga negara untuk
menghormati hak individu lainnya. Demikian pula dengan negara
(pemerintah), selain berkewajiban menghormati dan melindungi
hak warganya, negara juga berkewajiban memenuhi dan
menegakkan hak asasi setiap warganya.
113
Dalam sejarahnya yang panjang sejak abad ke-12 hingga
pertengahan abad ke-20, perjuangan akan hak asasi manusia
memang diawali dari kenyataan pahit akibat kesewenangwenangan negara (khususnya pihak kerajaan) terhadap rakyatnya
dalam proses menjalankan pemerintahan. Puncaknya, negarabangsa di dunia bersepakat untuk mengakhiri penindasan dan
kenyataan pahit tersebut, khususnya selama perang dunia
berkecamuk. Kesepahaman ini mewujud dalam pernyataan
bersama PBB mengenai HAM, yakni Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948.
Walaupun DUHAM menjadi kesepakatan universal, namun dalam
praktik kehidupan sehari-hari masih sering kita temukan kasuskasus pelanggaran yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran
HAM, yang pelakunya bisa individu maupun negara itu sendiri.
Terkadang kasus pelanggaran yang dilakukan oleh individu
terhadap individu lainnya dalam sebuah negara seringkali masih
salah dimengerti. Walaupun termasuk dalam ranah pelanggaran
pidana. Pemahaman ini menjadi penting agar kita tidak salah
dalam memahami perbedaan kasus pidana dan kasus pelanggaran
HAM yang dapat dibawa ke ranah hukum. Tidak setiap
pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak orang
lain dapat diadili dalam mekanisme Pengadilan HAM. Pelanggaran
jenis ini merupakan pelanggaran pidana dan mekanisme
penegakannya adalah melalui peradilan pidana. Karena,
sebagaimana dimaksud oleh UU No. 26 Tahun 2006 tentang
Pengadilan HAM, kasus-kasus pelanggaran HAM yang dapat
diadili di negara ini hanyalah: genosida dan kejahatan terhadap
kemanusian.
Dalam hal pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, ada dua
bentuk tindakan pelanggaran, yakni negara, melalui aparatur
pemerintahannya terlibat secara langsung dan sengaja melakukan
pelanggaran. Pelanggaran jenis ini dinamakan pelanggaran by
commission. Sementara bila dalam suatu kasus pelanggaran HAM
tertentu, negara, melalui aparatur pemerintahannya tidak hadir
untuk mencegah agar tidak terjadinya pelanggaran HAM ketika
terjadinya kasus, disebut sebagai pelanggaran by ommission,
114
dimana negara abai atau membiarkan terjadinya kasus
pelanggaran HAM.
Nah, bila dalam perjalanan kehidupan kita sebagai manusia
ditemukan pelanggaran HAM dalam suatu kasus dan di lokasi
tertentu, tentunya tidak elok bila kasus tersebut didiamkan begitu
saja tanpa melibatkan diri secara aktif mengusutnya, atau paling
minimal, memonitor kasus yang terjadi hingga proses
penyelesaiannya. Karena tidak mungkin tidak terjadi pelanggaran
HAM selama masih ada manusia dan kehidupan di dunia ini. Di
Indonesia, telah ada sebuah lembaga yang dibentuk dan berfungsi
untuk melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, investigasi, dan mediasi kasus-kasus yang berkaitan
dengan HAM. Lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) yang keberadaannya diakui dalam Pasal
75 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dugaan kasus
pelanggaran HAM dapat dilaporkan kepada Komnas HAM. Selain
itu, Indonesia juga telah memiliki Komisi Nasional Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Lembaga-lembaga ini sangat diperlukan oleh Indonesia dan kita,
sebagai warga negara, untuk memastikan HAM ditegakkan melalui
instrumen hukum HAM internasional yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia benar-benar dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh.
Keberadaan peraturan mengenai HAM di Indonesia tidak terlepas
dari dinamika internasional yang dalam perjalanannya
mengadopsi norma dan aturan hukum HAM secara internasional.
Sejak DUHAM dideklarasikan pada 10 Desember 1948 hingga saat
ini, Indonesia telah meratifikasi setidaknya tujuh instrumen utama
HAM internasional dan mengadopsinya ke dalam sistem hukum
nasional, di antaranya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan, UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain
yang Kejam dan Tidak Manusiawi, UU No. 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
115
Budaya, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik. Selain itu, Indonesia juga telah
memiliki beberapa aturan hukum lain tentang HAM, yaitu UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun
2006 tentang Pengadilan HAM.
Di ranah internasional penegakan HAM mencakup tiga bagian:
Pertama, mekanisme berdasarkan Piagam PBB (charter-based
mechanism), yaitu prosedur penegakan hak asasi manusia yang
tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi internasional HAM akan
tetapi berdasarkan piagam PBB itu sendiri; Kedua, mekanisme
berdasarkan perjanjian/traktat (treaty based mechanism), yaitu
mekanisme yang dibentuk melalui perjanjian-perjanjian
internasional tentang HAM di bawah sistem PBB; dan ketiga,
mekanisme HAM regional yang berbasis pada wilayah atau
identitas politik dan berlaku untuk kawasan tertentu seperti Eropa,
Afrika, Kawasan Amerika dan ASEAN. Indonesia termasuk salah
satu anggota ASEAN yang ikut mempelopori berdirinya
mekanisme HAM ASEAN, yakni ASEAN Intergovernmental
Commission of Human Rights (AICHR) atau Komisi HAM ASEAN
yang dibentuk berdasarkan Deklarasi Cha Am Hua Hin pada 23
Oktober 2009 di Thailand dan berkantor pusat di Sekretariat
ASEAN di Jakarta.
Semua ketentuan dan aturan hukum di atas baik internasional
maupun yang telah diadopsi secara nasional tidak akan ada artinya
bila penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan penegakan
hak asasi manusia tidak dilakukan dengan baik dan berkelanjutan
oleh warga dan negara (pemerintah) itu sendiri. Terlebih lagi bila
masih ditemukan warga negara Indonesia bertindak seenaknya
melanggar hak warga negara lainnya atau bertindak yang
membuat warga lainnya merasa tidak nyaman dalam menikmati
haknya. Terlebih buruk lagi apabila dilakukan oleh negara
(pemerintah) terhadap warganya, apalagi tanpa disertai prosedur
hukum yang jelas. Keberadaan semua instrumen dan mekanisme
HAM tersebut tidak lebih untuk memastikan bahwa hak asasi
manusia dihormati, dilindungi dan ditegakkan tanpa memandang
perbedaan suku, ras, etnik, agama dan kepercayaan/keyakinan
tertentu.
116
SUMBER PUSTAKA
Al-Makassary, Ridwan, “Kedudukan HAM dalam Hukum Nasional
Indonesia”, dalam Ahmad Gaus AF dan Suparto (ed.), Modul
Pelatihan Agama dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Center for the
Study of Religion and Culture UIN Jakarta dan Konrad Adenauer
Stiftung, 2009).
Awaludin, Prabowo P., HAM dalam Perspektif Islam, (Salatiga: Dinamika
Pers, 2012)
Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Grafiti,
1994).
Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, Modul
Pelatihan HAM bagi Panitia RANHAM Indonesia, (Jakarta:
Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM, 2011).
Effendi, A. Masyhur dan Taufani S. Evandri, HAM dalam
Dimensi/Dinamika, TT.
Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Hukum (Hak
Asasi Manusia) dalam Masyarakat, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2007).
Gerung, Rocky (ed.), Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum dan Kasus,
(Depok: Filsafat UI Press, 2006).
Hafiz, Muhammad, “Mekanisme Penegakan Hak Asasi Manusia”, dalam
Irfan Abubakar dan Chaider S. Bamualim (ed.), Tanya-Jawab Relasi
Islam & Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Center for the Study of
Religion and Culture UIN Jakarta dan Konrad Adenauer Stiftung,
2014).
Helmanita, Karlina, “Landasan Filosofis Konsep Hak Asasi Manusia”,
dalam Ahmad Gaus AF dan Suparto (ed.), Modul Pelatihan Agama
dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Center for the Study of Religion
and Culture UIN Jakarta dan Konrad Adenauer Stiftung, 2009).
Howard, Rhoda E, HAM Penjelajah Dalih Relativisme Budaya, (Jakarta:
PT. Pustaka Utama Grafiti, 2000).
Riyadi, Eko dan Supriyanto Abdi (ed.), Mengurai Kompleksitas Hak
Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), (Yogyakarta: Pusat Studi
117
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII),
2007).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia dalam
Perspektif Budaya Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1997).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Manual Pelatihan Dasar Hak Asasi
Manusia: Pegangan Fasilitator, (Jakarta: Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, 2006).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pembangunan Berbasis Hak Asasi
Manusia, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007).
Lindohlm, Tore dkk. (ed.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan:
Seberapa Jauh?, terj. Rafael Edi dan M. Rifa’i Abdullah,
(Yogyakarta: Kanisius, 2010).
LSAF, Modul Training Jaringan Islam Kampus (JARIK), (Jakarta: LSAF,
2008).
Misrawi, Zuhairi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme,
dan Multikulturalisme, (Jakarta: Fitrah, 2007).
Muchtadlirin, “Konsepsi Hak Asasi Manusia”, dalam Irfan Abubakar dan
Chaider S. Bamualim (ed.), Tanya-Jawab Relasi Islam & Hak Asasi
Manusia, (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture
UIN Jakarta dan Konrad Adenauer Stiftung, 2014).
Muhtaj, Majda El-, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari
UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).
Nabil, Mohammad, “Konsepsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia”, dalam
Irfan Abubakar dan Chaider S. Bamualim (ed.), Tanya-Jawab Relasi
Islam & Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Center for the Study of
Religion and Culture UIN Jakarta dan Konrad Adenauer Stiftung,
2014).
Nasution, Harun dan Bahtiar Effendi (ed.), HAM dalam Islam, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1987).
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang, 2015).
Rahayu, “Membangun Sistem Perlindungan Saksi dan Korban di
118
Indonesia yang Berbasis Hak Asasi Manusia (HAM)”, Laporan Hasil
Penelitian, 2014.
Rhona K. M. Smith, dkk. Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko
Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia,
(Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008).
Rohidin, “Rekonstruksi Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum
Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:
Studi Kasus Persepsi Intelektual Muslim Terhadap Fatwa Majelis
Ulama Indonesia tentang Aliran Sesat Keagamaan”, Disertasi,
Universitas Diponegoro, Semarang, 2012.
Yahya, Mohamad, “Toleransi Keagamaan dalam al-Qur’an: Sebuah
Catatan untuk Kasus Ahmadiyah di Indonesia”, Makalah, dalam
International Conference Kerjasama Pusat Studi Islam (PSI)
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan University of
Oslo, Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) dengan tajuk
“Islam and Human Rights: Theories and Practices in
Contemporary Indonesia”, Yogyakarta, 11-14 Maret 2012.
http://www.zonasiswa.com/2014/07/penger tian-hak-asasi-manusiaham.html, (Diakses 8 Juni 2015).
https://zifazy.wordpress.com/2012/02/13/tugas-makalah-tentangham/
119
120
Lembar Evaluasi
1. Apakah yang dimaksud dengan hak asasi manusia? Apa saja yang
menjadi prinsip-prinsip hak asasi manusia?
2. Sejak kapan perjuangan hak asasi manusia dimulai? Ceritakan
secara singkat sejarah kelahiran dan perkembangan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan jelaskan apa yang
dimaksud di dalam DUHAM!
3. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM? Sebutkan jenis
dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM dan berikan contoh kasus
pelanggaran HAM!
4. Apa perbedaan pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat?
Sebutkan jenis dan unsur-unsur pelanggaran HAM berat!
5. Apa saja instrumen hukum nasional hak asasi manusia? Sebutkan
kelembagaan nasional dalam masalah hak asasi manusia beserta
kewenangan yang dimiliki!
6. Sebutkan instrumen hukum HAM internasional yang telah
diratifikasi/disahkan oleh Pemerintah Indonesia!
7. Jika mekanisme penegakan HAM secara nasional tidak
memuaskan, apakah suatu kasus pelanggaran HAM dapat
ditindaklanjuti dalam mekanisme penegakan HAM internasional?
Jelaskan prosedur dan mekanisme penegakan HAM secara
internasional dimana warga dunia dapat berpartisipasi secara
langsung! Siapakah dua warga negara Indonesia yang pernah
menjadi Pelapor Khusus untuk Korea Utara di PBB?
8. Tahukah anda dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI)? Jelaskan
secara singkat kelembagaan HAM di dalam OKI beserta tujuan dan
mandat pembentukannya!
121
Lampiran
DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1948
Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948
melalui Resolusi 217 A (III)
Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu
sama lain dalam persaudaraan.
Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun,
seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik,
hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana
seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyahwilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan
yang lain.
Pasal 3
Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai
induvidu.
Pasal 4
Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan
perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.
Pasal 5
Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan
atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.
122
Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi
di mana saja ia berada.
Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama
terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini,
dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.
Pasal 8
Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional
yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang
diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.
Pasal 9
Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenangwenang.
Pasal 10
Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil
dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam
menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan
pidana yang dijatuhkan kepadanya.
Pasal 11
(1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak
pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia
memperoleh semua jaminan yang perlukan untuk pembelaannya.
(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena
perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana
menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan
tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman
yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika
pelanggaran pidana itu dilakukan.
Pasal 12
Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah
123
tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang;
juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama
baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap
gangguan atau pelanggaran seperti ini.
Pasal 13
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam
batas-batas setiap negara.
(2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya
sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.
Pasal 14
(1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain
untuk melindungi diri dari pengejaran.
(2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul
karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik,
atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan
dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 15
(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
(2) T i d a k s e o r a n g p u n d e n g a n s e m e n a - m e n a d a pa t d i c a b u t
kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti
kewarganegaraannya.
Pasal 16
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi
kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan
untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam
soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan
persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari
masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan
Negara.
Pasal 17
124
(1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain.
(2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan
untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya,
melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa
mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak
memandang batas-batas.
Pasal 20
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat
tanpa kekerasan.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.
Pasal 21
(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara
langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam
jabatan pemerintahan negeranya.
(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak
ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat,
dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain
yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Pasal 22
Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan
berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat
diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui
125
usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan
pengaturan serta sumber daya setiap negara.
Pasal 23
(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih
pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan
menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.
(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama
untuk pekerjaan yang sama.
(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan
menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang
bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika
perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.
(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja
untuk melindungi kepentingannya.
Pasal 24
Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasanpembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap
menerima upah.
Pasal 25
(1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan
dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan,
pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial
yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur,
menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau
keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang
berada di luar kekuasaannya.
(2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa.
Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar
perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan
cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan
pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik
126
dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan
pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh
semua orang, berdasarkan kepantasan.
(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluasluasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus
menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara
semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan
kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
(3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang
akan diberikan kepada anak-anak mereka.
Pasal 27
(1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan
masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut
mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.
(2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungankeuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya
ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya.
Pasal 28
Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hakhak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Deklarasi ini dapat
dilaksanakan sepenuhnya.
Pasal 29
(1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satusatunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan
bebas dan penuh.
(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang
harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan
oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat
yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun
127
sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan
prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 30
Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan
sesuatu negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam
kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hakhak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam
Deklarasi ini.
128
Download