analisis spasial tingkat bahaya erosi di daerah aliran sungai (das)

advertisement
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2012
Vol.2. No.3. hal. 134-142
ISSN: 2087-7706
ANALISIS SPASIAL TINGKAT BAHAYA EROSI DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI (DAS) MORAMO DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI
GEOGRAFIS (SIG)
Spatial Analysis of Erosion in Moramo Watershed Using Geographic
Information System (GIS)
1)
M. TUFAILA1*) JUFRI KARIM2) SYAMSU ALAM1)
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari
Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari
2) Jurusan
ABSTRACT
Spatial analysis on erosion potential is required to create an integrated management
of watersheds, thoroughly and, environmentally sustainable, where the watershed as a
management unit. The research was conducted in the watershed area Moramo South
Konawe. This research was conducted through an overlay approach using geographic
information system (GIS) map of Thiessen polygons, slope maps, soil maps and land use
maps. The study obtained five classes of erosion potential, namely very light (2685.60 ha or
21.27 %); light (2359.08 ha or 18.68 %); medium (903.70 ha or 7.16%); heavy ( 381.63
hectares or 3.02% ) ; and very heavy 6297.94 hectares or 49.87 %). Dominant erosion
hazard level in the basin Moramo was in the District Moramo, approximately 3496.75
hectares or 27.69 % of the total area of the watershed Moramo and had been used for
agricultural land for approximately 3992.48 hectares or 31.62 %.
Keywords : Erosion, GIS, Moramo, Watershead Management,
1PENDAHULUAN
Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk
dan meningkatnya kebutuhan wilayah DAS
juga tidak terlepas dalam pemanfaatan ruang
dalam rangka memuaskan kebutuhan dan
keinginan manusia yang terus berkembang
dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi
yang semakin tinggi. Menurut SCBFWM
(2010), ada tiga hal utama yang dapat
menyebabkan Daerah Aliran Sungai di
Indonesia terdegradasi yaitu (a) aktifitas
manusia seperti penebangan hutan yang
dilakukan secara illegal (illegal loging),
kebakaran
hutan,
perambahan
hutan,
eksploitasi hutan dan lahan yang berlebihan;
(b)
pemanfaatan
lahan
yang
tidak
menerapkan konservasi tanah dan air; (c)
iklim atau curah hujan yang tinggi. Curah
hujan tinggi tersebut sangat berpotensi untuk
merusak tanah (erosivitas), apalagi curah
*) Alamat
Korespondensi:
Email: [email protected]
hujan yang tinggi tersebut terjadi di daerah
yang sebelumnya didahului oleh ulah
perusakan. Kedua hal tersebut semakin
diperparah
apabila
keadaan
alam
geomorfologinya
(geologi,
tanah
dan
topografi) yang rentan untuk terjadi erosi,
banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Selanjutnya Dewi et al. (2012)
mengemukakan kerusakan DAS dapat
dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan
sumber daya alam sebagai akibat dari
pertambahan penduduk dan perkembangan
ekonomi, kebijakan yang belum berpihak
kepada pelestarian sumber daya alam, serta
masih kurangnya kesadaran dan partisipasi
masyarakat dalam konteks pemanfaatan dan
pelestarian sumber daya alam, hal ini
berdampak DAS lambat laun mencapai tingkat
kritis hingga sangat kritis.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit
perencanaan
yang
utuh
merupakan
konsekuensi
logis
untuk
menjaga
kesinambungan pemanfaatan sumberdaya
hutan, tanah dan air (Javed et al. 2011).
Vol. 2 No.3, 2012
Kurang
tepatnya
perencanaan
dapat
menimbulkan adanya degradasi DAS yang
berakibat buruk. Dalam upaya menciptakan
pendekatan pengelolaan DAS yang baik,
diperlukan perencanaan secara terpadu,
menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan dengan mempertimbangkan DAS
sebagai suatu unit pengelolaan.
Permasalahan aktual pada DAS Moramo
yaitu masih dimanfaatkannya lahan dengan
kemiringan lereng agak curam sampai dengan
curam untuk penggunaan kebun campuran
tanpa tindakan konservasi, berubahnya fungsi
kawasan menjadi peruntukan lain seperti
pemukiman, perkebunan, lahan pertanian
serta kondisi penutupan lahan yang buruk.
Kondisi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan
air ini menyebabkan DAS Moramo rentan akan
ancaman erosi.
Erosi adalah proses hilangnya atau
terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah
dari suatu tempat yang terangkut oleh air atau
angin ke tempat lain. Tanah yang tererosi
diangkut oleh aliran permukaan dan
diendapkan di tempat-tempat aliran air
melambat seperti sungai, saluran-saluran
irigasi, waduk, danau atau muara sungai. Hal
ini berdampak pada mendangkalnya sungai
sehingga mengakibatkan semakin seringnya
terjadi banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau (Arsyad,
2010). Tingkat Bahaya Erosi (TBE) adalah
perkiraan jumlah tanah yang hilang
maksimum yang akan terjadi pada suatu
lahan, bila pengelolaan tanaman dan tindakan
konservasi tanah tidak mengalami perubahan
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Penggunaan data penginderaan jauh,
Sistem Informasi Geografis (SIG), elevasi
digital pemodelan
dapat
menciptakan
kemungkinan-kemungkinan
baru
dalam
perbaikan metode pemetaan erosi (MartinezCasasnovas, 2003) dan sebagai alat dalam
manajemen dan studi pengembangan DAS
(Javed et al. 2011) yang ekonomis karena
rendahnya biaya dan singkatnya waktu yang
dibutuhkan (Raoofi et al., 2004).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengidentifikasi tingkat bahaya erosi dan
mengetahui jumlah serta sebaran erosi di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Moramo dengan
menggunakan system informasi geografis.
Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi 135
BAHAN DAN METODE
Lokasi
Penelitian.
Penelitian
ini
dilaksanakan di wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS) Moramo Kabupaten Konawe Selatan,
dengan luas wilayah seluas 12.627,95 Ha.
Secara geografis terletak 122031’25,17” 122040’10,35”
BT
dan
404’51,34”
4014’46,16” LS.. Analisis Laboratorium
dilakukan di Laboratorium Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBLSLP) dan
Laboratorium Analitik Universitas Halu Oleo.
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan
adalah citra ALOS AVNIR-2 Resolusi 10 meter,
Citra SRTM resolusi 90 meter serta data curah
hujan stasiun Moramo. Alat yang digunakan
dalam penelitian ini terbagi dua yaitu (a) alat
analisis citra yaitu satu unit Laptop Toshiba,
dengan spesifikasi: Processor Intel (R)
Pentium (R) Dual CPU T3400 2,16 GHz RAM
1,87 GB; perangkat lunak (Software) ENVI 4.5
dan ArcGIS 9.3; (b) alat lapangan : GPS (Global
Position System), Bor Auger, ring sampel, dan
meteran roll.
Untuk memperoleh data dan informasi
tentang tingkat bahaya erosi dilakukan
melalui tumpangsusun (overlay) dari petapeta tematik seperti peta polygon Thiessen,
peta bentuklahan, peta lereng, peta tanah, dan
peta penggunaan lahan dengan menggunakan
bantuan Sistem Informasi Geografi (SIG)
untuk mendapatkan satu peta gabungan
sebagai dasar perhitungan tingkat bahaya
erosi. Kegiatan survei digunakan untuk ground
check dan pengambilan beberapa karakteristik
tanah sebagai bahan untuk penentuan tingkat
bahaya erosi (TBE). Pemetaan TBE
menggunakan rumus USLE dari Wischmeier
dan Smith (1978) dalam Arsyad (2010).
Dengan formulasi USLE adalah sebagai
berikut:
A=RxKxLxSxCxP
Keterangan :
A = Laju erosi tanah (ton/ha/tahun)
R = Indeks erosivitas hujan
K = Indeks erodibilitas tanah
L = Indeks panjang lereng
S = Indeks kemiringan lereng
C = Indeks penutupan vegetasi
P = Indeks pengolahan lahan atau tindakan
konservasi tanah
Proses perhitungan nilai indeks dari setiap
data peta, dilakukan dengan berbagai
formulasi, yaitu:
136 TUFAILA ET AL.
Indeks Erosivitas (R). Indeks erosivitas
hujan tahunan dapat diperoleh dengan
menghitung hujan bulanan (Dewi et al., 2012).
Formula yang dipergunakan adalah Metode
Lenvain (1989 dalam Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007) yaitu: RM = 2,21
(Rain)m1,36.
Indeks
Erodibilitas
(K).
Indeks
erodibilitas tanah menunjukkan mudah
tidaknya suatu tanah untuk dihancurkan oleh
kekuatan jatuhnya butir-butir hujan, dan/atau
oleh kekuatan aliran permukaan (Veiche,
2002). Indeks erodibilitas diperoleh dari peta
tanah dan hasil analisis tanah dengan
menggunakan formula K= 2,713M1,14 (10)-4
(12-a) + 3,25(b-2)+2,5(c-3)/100 (Hammer,
1978 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka,
2007).
Indeks Panjang Dan Kemiringan Lereng
(LS). Faktor kemiringan dan panjang lereng
(LS) terdiri dari dua komponen, yakni faktor
kemiringan dan faktor panjang lereng (Renard
et al., 1997 dalam Herawati, 2009). Data LS
diperoleh melalui DEM (Digital Elevation
Model), dihitung berdasarkan persamaan
yaitu LS = 0,2S1,33 + 0,1 (Herawati, 2009).
Dimana S merupakan kemiringan lereng.
Indeks
Penutupan
Vegetasi
Dan
Pengolahan Lahan (CP). Faktor penutupan
lahan menggambarkan dampak kegiatan
pertanian dan pengelolaannya pada tingkat
erosi tanah (Renard et al., 1997 dalam
Herawati, 2009). Nilai CP adalah faktor
tanaman yang didapat dari pengamatan
langsung di lapangan dengan pendekatan
antara keadaan di lapangan dengan nilai CP
dari beberapa sumber (Asdak, 2004).
Kelas Tingkat Bahaya Erosi. Hasil
perhitungan nilai laju erosi dengan
menggunakan
rumus
USLE
kemudian
diklasifikasi menjadi lima kelas, yaitu sangat
ringan (<15 ton/ha/thn), ringan (15-60
ton/ha/thn), sedang (60-180 ton/ha/thn),
berat (180-480 ton/ha/thn), dan sangat berat
(>480 ton/ha/thn) (Raharjo dan Saifudin,
2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Erosi dan sedimen pada wilayah DAS
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
bentuklahan, iklim, geologi, biologi (vegetatif
penutup),
dan
atribut
antropogenik
(penggunaan lahan) (Ricker et al., 2008).
J. AGROTEKNOS
Indeks Erosivitas. Indeks erosivitas
dihasilkan dari perhitungan curah hujan ratarata bulanan dari stasiun moramo yang
mewakili wilayah DAS Moramo. Curah hujan
rata-rata bulanan berkisar antara 5,69 sampai
33,23 cm. Nilai curah hujan rata-rata bulanan
tersebut digunakan untuk menghitung indeks
erosivitas dengan menggunakan persamaan
Lenvain (1989). Sehingga nilai indeks
erosivitas pada wilayah DAS Moramo
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai erosivitas di wilayah DAS Moramo
Bulan
Curah Hujan
(cm)
Januari
20,39
Februari
21,21
Maret
33,23
April
28,80
Mei
22,95
Juni
21,66
Juli
12,05
Agustus
9,99
September
5,69
Oktober
6,23
November
17,84
Desember
23,22
Erosivitas Tahunan
Sumber: Data Primer diolah
Erosivitas
Bulanan
133,44
140,77
259,23
213,36
156,67
144,87
65,23
50,55
23,52
26,60
111,23
159,18
1.484,64
Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan nilai
erosivitas bulanan di wilayah DAS Moramo
berkisar antara 23,52 sampai 259,23.
Erosivitas hujan tahunan diperoleh dari
penjumlahan erosivitas bulanan yaitu dari
erosivitas hujan bulan Januari hingga
Desember sehingga nilai erosivitas tahunan di
wilayah DAS Moramo diperoleh yaitu sebesar
1.484,64. Nilai erosivitas ini akan memberikan
pengaruh yang besar terhadap kemampuan
curah hujan untuk menimbulkan erosi.
Indeks Erodibitas. Tingkat kepekaan
tanah terhadap erosi yaitu mudah tidaknya
tanah mengalami erosi, erodibilitas tanah
dipengaruhi oleh tekstur (pasir sangat halus,
debu dan liat), struktur tanah, permeabilitas
tanah dan kandungan bahan organik tanah
(Yusmandhany, 2002; Dewi et al,, 2012; Lal
1994 dalam Avtar et al, 2011), Berdasarkan
hasil
analisis
sifat-sifat
tanah
yang
berpengaruh terhadap kemampuan tanah
untuk tererosi sebagai dasar perhitungan nilai
Vol. 2 No.3, 2012
erodibilitas di wilayah DAS Moramo dengan
persamaan
Hammer,
1978
dalam
Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007),
Berdasarkan klasifikasi nilai erodibilitas
USDA-SCS (1976 dalam Dangler dan El-Swaify,
1976); Dariah, et al, 2004; Arsyad, 2010), nilai
Tabel 2. Nilai erodibilitas di wilayah DAS Moramo
Nilai K
0,11-0,20
0,21-0,32
0,33-0,43
0,44-0,55
0,56-0,64
Sumber: Data Primer diolah
Kelas Erodibilitas (K)
Rendah
Sedang
Agak Tinggi
Tinggi
Sangat Tinggi
Jumlah
Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa
nilai erodibilitas di wilayah DAS Moramo lebih
didominasi kelas erodibilitas agak tinggi yaitu
sekitar 8.237,73 Ha atau 65% dari total luas
wilayah DAS. Kelas erodibilitas agak tinggi
lebih disebabkan sifat-sifat tanah seperti kelas
tekstur tanah sedang sampai agak halus
(lempung dan lempung liat berdebu), selain
itu bahan organik rendah, stabilitas agregat
Tabel 3. Nilai LS di wilayah DAS Moramo
Kelas Lereng (%)
0-3
3-8
8-15
15-30
30-45
45-65
Jumlah
Sumber: Data primer diolah
Nilai LS
0,44
2,03
5,25
12,67
24,90
41,38
Hasil analisis elevasi digital DEM, klas
lereng diklasifikasikan menjadi 6 (enam kelas)
yaitu lereng 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-30%, 3045%, dan 45-65%, Dari hasil analisis DEM
tersebut terlihat bahwa kelas lereng 15-30%
dengan topografi berbukit merupakan kelas
lereng terluas yaitu sekitar 5,283,14 Ha atau
41,84%, Sedangkan kelas lereng 45-65%
dengan topografi curam merupakan kelas
lereng tersempit dengan luas 472,40 Ha atau
3,74% dari total luas wilayah DAS Moramo,
Berdasarkan Tabel 3, hasil perhitungan LS
menunjukkan nilai LS di wilayah DAS Moramo
berkisar antara 0,44 sampai 41,38, Pengaruh
Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi 137
erodibiltas di wilayah DAS Moramo diperoleh
5 (lima) kelas yaitu rendah, sedang, agak
tinggi, tinggi, dan sangat tinggi, Kelas
erodibilitas di wilayah DAS Moramo disajikan
pada Tabel 2,
Luas (Ha)
1.130,26
1.968,13
8.237,73
1.231,14
60,68
12.627,95
%
8,95
15,59
65,23
9,75
0,48
100,00
tanah (struktur tanah) rendah, serta
permeabilitas tanah lambat.
Indeks Kemiringan dan Panjang Lereng
Indeks kemiringan dan panjang lereng
diturunkan secara bersamaan dari peta
presentase kemiringan lahan yang dihasilkan
melalui analisis elevasi digital DEM dengan
persamaan Herawati (2009). Berdasarkan
persamaan tersebut diperoleh nilai indeks LS
sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Luas (Ha)
2.160,52
501,53
2.610,53
5.283,14
1.599,83
472,40
12.627,95
%
17,11
3,97
20,67
41,84
12,67
3,74
100,00
faktor panjang lereng dan kemiringan lereng
(LS) sangat berperan terhadap besarnya erosi
yang terjadi, dimana panjang lereng akan
menentukan
besarnya
volume
aliran
permukaan (run off) dan kemiringan lereng
akan menentukan besar kecilnya terjadinya
infiltrasi,
Dewi,
dkk,
(2012)
juga
menjelaskan semakin panjang lereng maka
semakin besar volume aliran permukaan yang
terjadi dan kemiringan lereng memberikan
pengaruh besar terhadap erosi yang terjadi,
karena sangat mempengaruhi kecepatan
limpasan permukaan, Makin besar nilai
kemiringan lereng, maka kesempatan air
138 TUFAILA ET AL.
untuk masuk kedalam tanah (infiltrasi) akan
terhambat
sehingga
volume
limpasan
permukaan
semakin
besar
yang
mengakibatkan terjadinya bahaya erosi,
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua
sifat topografi yang paling berpengaruh
terhadap aliran permukaan dan erosi
(Sutrisno et al., 2012).
Indeks Pengelolan Lahan (C) dan
Tindakan Konservasi (P). Faktor vegetasi
penutup tanah dan pengelolaan tanaman (C)
yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu
areal dengan vegetasi dan pengelolaan
tanaman tertentu terhadap besarnya erosi
dari tanah yang identik dan tanpa tanaman
(As-Syakur, 2008). Penentuan nilai C merujuk
pada beberapa sumber (Asdak, 2002). Nilai C
diperoleh dengan membandingkan pola
penutupan secara umum pada lokasi wilayah
DAS. Nilai Indeks pengelolaan tanaman di
wilayah DAS diperoleh beberapa nilai C
seperti hutan alami (0,001), hutan dengan
Tabel 4. Nilai C wilayah DAS Moramo
Penggunaan Lahan
Alang-alang
Hutan serasah banyak
Hutan serah kurang
Hutan tebang pilih
Kebun
Mangrove
Pemukiman
Sawah
Semak Belukar
Tambak
Tegalan
Jumlah
Sumber: Hasil olahan data primer
Spasial Tingkat Bahaya Erosi (TBE).
Sebaran tingkat bahaya erosi di wilayah DAS
Moramo diperoleh dari hasil tumpangsusun
(overlay) peta thiessen, peta lereng, peta
tanah,
dan
peta
penggunaan
lahan
sebagaiamana disajikan pada Gambar 1. Dari
J. AGROTEKNOS
serasah kurang (0,005), hutan dengan tebang
pilih (0,2), kebun kerapatan sedang (0,5),
pemukiman (0,5), semak belukar (0,3), tegalan
(0,7), mangrove (0,01), tambak (0,01), padi
sawah (0,01), dan alang-alang (0,02).
Berdasarkan nilai C, wilayah DAS Moramo
didominasi penggunaan lahan hutan, namun
kondisinya telah terjadi perambahan dengan
tebang pilih sekitar 2.586,84 Ha atau 20,49%,
selanjutnya penggunaan lahan kebun (0,5)
dengan luas sekitar 2.501,35 Ha atau 19,81%
dari total luas wilayah DAS. Hal ini terlihat
bahwa wilayah DAS sebagian besar telah
dimanfaatkan sebagai kebun. Untuk faktor P
atau tindakan konservasi pada wilayah
penelitian khususnya pada lahan pertanian
sangat kurang dilakukan tindakan konservasi,
sehingga nilai untuk P digunakan nilai P = 1,
untuk seluruh lokasi penelitian, Nilai C
(pengelolaan lahan) di wilayah DAS Moramo
disajikan pada Tabel 4.
Nilai C
0,02
0,001
0,005
0,2
0,5
0,01
0,5
0,01
0,3
0,01
0,7
Luas (Ha)
367,83
2,066,51
1,662,45
2,586,84
2,501,35
70,26
51,23
428,83
1,830,35
60,68
1001,62
12,627,95
%
2,91
16,36
13,16
20,49
19,81
0,56
0,41
3,40
14,49
0,48
7,93
100,00
Gambar 1, terlihat bahwa tingkat bahaya erosi
di wilayah DAS Moramo sebagian besar
didominasi tingkat bahaya erosi sangat berat.
Luas lahan pada setiap tingkat bahaya erosi di
wilayah DAS Moramo disajikan pada Tabel 5.
Vol. 2 No.3, 2012
Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi 139
Tabel 5. Luas tingkat bahaya erosi (TBE) di wilayah DAS Moramo
Tingkat Bahaya
(TBE)
Sangat Ringan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
Jumlah
Erosi
Sumber: Hasil olahan data primer
Jumlah (ton/ha/thn)
< 15
15 - 60
60 - 180
180 - 480
> 480
Berdasarkan Tabel 5, menunjukkan tingkat
bahaya erosi sangat berat merupakan TBE
yang terluas yaitu seluas 6.297,94 Ha atau
49,87% dari total luas wilayah DAS.
Sedangkan TBE terendah terdapat pada
tingkat bahaya erosi berat yaitu sekitar 381,63
Ha atau 3,02% dari total luas wilayah DAS.
Sangat beratnya tingkat bahaya erosi pada
wilayah DAS lebih disebabkan kondisi
topografi berbukit sampai sangat curam
dengan kemiringan lereng 15-30% sampai 4565% serta penggunaan lahan yang berupa
kebun dan hutan yang memiliki kerapatan
yang rendah akibat penebangan dengan
sistem tebang pilih. Selain itu pula sangat
beratnya tingkat bahaya erosi ini lebih
disebabkan adanya sifat-sifat tanah yang
dapat meningkatkan terjadinya erosi, hal ini
terlihat pada jenis tanah yang berkembang
didominasi oleh jenis tanah yang sementara
berkembang seperti jenis tanah kambisol
(Rachim dan Suwardi, 2002), dimana
karakteristik tanah ini khususnya sebagai
faktor erodibilitas banyak mengandung
tekstur tanah debu dan lempung liat berdebu,
stabilitas agregatnya rendah seperti gumpal,
bahan
organik
tanah
rendah,
serta
permeabilitas lambat sampai sangat lambat.
Hal ini sejalan dengan Wischmeier dan
Mannering, (1969) dalam Dariah (2004),
Luas (Ha)
2685,60
2359,08
903,70
381,63
6297,94
12627,95
%
21,27
18,68
7,16
3,02
49,87
100,00
menyatakan tanah dengan kandungan debu
tinggi, liat rendah, dan bahan organik rendah
adalah yang paling mudah tererosi. Dariah
(2004) juga mengungkapkan tekstur tanah
dengan kandungan debu (40-60%), bahan
organik rendah sangat peka terhadap erosi.
Selain itu stabilitas agregat yang rendah,
permeabilitas rendah dan relatif rendahnya
kandungan bahan organik diperkirakan
merupakan penyebab tingginya tingkat
erodibilitas tanah. Selain itu juga faktor
erosivitas sangat mendukung terjadi tingkat
bahaya erosi yang sangat berat. Sementara itu
adanya tingkat bahaya erosi yang Sangat
ringan dan ringan pada wilayah DAS, lebih
disebabkan topografi yang datar dan
penggunaan lahan berupa hutan alami, sawah,
dan alang-alang. Hal ini dikarenakan
penggunaan
lahan
alang-alang/padang
rumput, hutan alami dengan kerapatan
tanaman dan serasah yang tinggi dapat
mengurangi daya rusak air hujan terhadap
tanah dan mengurangi laju aliran permukaan,
sedangkan untuk penggunaan lahan sawah
telah dilakukan pembuatan pematang yang
dapat berfungsi menahan air, sehingga akan
mengurangi kecepatan dan jumlah aliran
permukaan serta memungkinkan penyerapan
air oleh tanah, dengan demikian erosi akan
berkurang (Arsyad, 2010)
140 TUFAILA ET AL.
J. AGROTEKNOS
Gambar 1, Peta sebaran tingkat bahaya erosi (TBE) di wilayah DAS Moramo
Untuk melihat pola sebaran tingkat bahaya
erosi secara spasial di wilayah DAS dilakukan
overlay dengan peta administrasi. Dari hasil
tumpangsusun
(overlay)
dengan
peta
administrasi diperoleh bahwa wilayah DAS
Moramo meliputi 3 (tiga) kecamatan yaitu
Kecamatan Moramo seluas 7.406,29 ha atau
58,65%, Kecamatan Moramo Utara seluas
4.898,63 ha atau 38,79%, dan Kecamatan
Wolasi seluas 323,02 Ha atau 2,56% dari total
luas wilayah DAS. Hasil sebaran tingkat
bahaya erosi di wilayah DAS moramo
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Sebaran tingkat bahaya erosi (TBE) setiap kecamatan di wilayah DAS Moramo
Tingkat Bahaya Erosi
(TBE)
Sangat Ringan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
Kecamatan (Ha)
Moramo
%
1,498,12
11,86
1,553,02
476,78
381,63
3,496,75
12,30
3,78
3,02
27,69
Moramo
Utara
%
Wolasi
%
344,99
6,47
2,73
44,53
0,35
20,63
196,56
1,56
1,132,58
816,43
2,604,63
Jumlah
7,406,29
58,65 4,898,63
Sumber: Hasil overlay dan olahan data primer
Tabel 6 memperlihatkan bahwa seluruh
kelas tingkat bahaya erosi terdapat di
Kecamatan Moramo. Tingkat bahaya erosi
sangat berat merupakan tingkat bahaya erosi
yang dominan di wilayah ini dengan luas
sebesar 3,496,75 Ha atau 27,69 % dari total
luas wilayah DAS, hal ini dikarenakan selain
8,97
38,79
81,93
323,02
0,65
2,56
Jumlah
%
2,359,08
18,68
2,685,60
903,70
381,63
6,297,94
12,627,95
21,27
7,16
3,02
49,87
100,00
cakupan wilayahnya luas pada wilayah DAS
juga karena penduduknya yang sebagian besar
bermata pencaharian sebagai petani, sehingga
sebagian besar penduduknya memanfaatkan
wilayah DAS untuk memenuhi segala
kebutuhannya dengan bertani, ini terlihat
Vol. 2 No.3, 2012
pada luasan lahan pertanian yaitu seluas
3.992,48 Ha atau 31,62%,
Untuk Kecamatan Moramo Utara cakupan
wilayah DAS Moramo sebesar 4.898,63 Ha
atau 20,63%. Untuk wilayah ini memiliki 4
(empat) kelas tingkat bahaya erosi yaitu
sangat ringan seluas 1.132,58 Ha atau 8,97%,
ringan 816,43 Ha atau 6,47%, sedang 344,99
Ha atau 2,73%, dan sangat berat seluas
2,604,63 Ha atau 20,63. TBE yang paling
dominan di wilayah ini adalah TBE sangat
berat. Hal ini lebih disebabkan topografi yang
curam, kedalaman solum yang dangkal,
kerapatan vegetasi yang rendah serta adanya
aktivitas penambangan batu di wilayah ini.
Sedangkan Kecamatan Wolasi secara
administrasi wilayahnya yang masuk pada
DAS Moramo hanya sekitar 323,02 Ha atau
2,56%. Kecamatan ini memiliki 3 (tiga) kelas
TBE yaitu tingkat bahaya erosi ringan sebesar
44,53 Ha atau 0,35%, Sedang 81,9 Ha atau
0,65%, dan sangat berat sebesar 196,56 Ha
atau 1,56%. Kecamatan Wolasi ini merupakan
wilayah hulu bagian barat dari DAS Moramo.
TBE yang dominan di wilayah ini adalah TBE
sangat berat, karena selain memiliki lereng
yang curam juga pada bagian ini hutannya
telah dirambah sehingga kerapatan vegetasi
berkurang, selain itu telah dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai kebun.
Secara spasial tingkat bahaya erosi di
wilayah DAS Moramo sangat didominasi kelas
tingkat bahaya erosi sangat berat yang
terdapat pada wilayah Kecamatan Moramo
seluas 3.496,75 Ha atau 27,69%, Kecamatan
Moramo Utara seluas 2.604,63 Ha atau
20,63%, dan Kecamatan Wolasi seluas 196,56
Ha atau 1,56% dari total luas wilayah DAS.
Berdasarkan analisis spasial kelas TBE pada
wilayah DAS menunjukkan kelas TBE sangat
berat mendominasi wilayah DAS dan berada
pada bagian tengah wilayah DAS, ini lebih
disebabkan pada bagian tengah wilayah DAS
berlereng curam dan lebih dimanfaatkan
sebagai kawasan pemukiman dan kawasan
budidaya yang pemanfaatan lahannya
digunakan sebagai lahan pertanian yang
belum diikuti dengan tindakan konservasi.
Selain itu karena akibat tekanan penduduk
dan terbatasnya sumberdaya (Millward dan
Mersey 1999; Singh dan Phadke 2007).
Selanjutnya Reusing et al. 2000
mengungkapkan peningkatan populasi
Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi 141
penduduk,
penggundulan
hutan,
pengolahan tanah, dan perambahan hutan
untuk kayu bakar sering menyebabkan
tanah erosi.
SIMPULAN
1. Tingkat bahaya erosi di wilayah DAS
Moramo diperoleh 5 (lima) kelas TBE
secara berturut-turut yaitu sangat ringan,
ringan, sedang, berat dan sangat berat
dengan luasan berturut-turut yaitu
2.685,60 Ha (21,27%), 2.359,08 Ha
(18,68%), 903,70 Ha (7,16%), 381,63 Ha
(3,02%) dan 6.297,94 Ha (49,87%).
2. Kelas tingkat bahaya erosi tertinggi di
wilayah DAS Moramo adalah kelas tingkat
bahaya erosi sangat berat yaitu seluas
6.297,94 Ha atau sekitar 49,87% dari total
luas wilayah DAS Moramo.
3. Secara spasial cakupan wilayah DAS terluas
adalah Kecamatan Moramo (7.406,29 Ha
atau 58,65%) dengan TBE yang dominan
adalah sangat berat seluas 3.496,75 Ha
atau 27,69% dan telah dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian sekitar 3.992,48
Ha atau 31,62%.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S., 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB
Press. Bogor.
Asdak, C., 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
As-Syakur, A.R., 2008. Prediksi Erosi dengan
Menggunakan USLE dan Sistem Informasi
Geografis (SIG) Berbasis Pixel di Daerah
Tangkapan Air Danau Buyan. PIT MAPIN XVII.
Bandung.
Avtar, R., C.K. Singh, S. Shashtri, and S. Mukherjee,
2011. Identification of erosional and inundation
hazard zones in Ken–Betwa river linking area,
India, using remote sensing and GIS. Environ
Monit Assess. 182:341–360.
Dariah, A., H. Subagyo, C. Tafakresnanto, dan S.
Marwanto, 2004. Kepekaan Tanah Terhadap
Erosi. Pusat Penelitian dan Pengembanagn
Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak).
Departemen Pertanian. Bogor.
Dangler, E.W. and S.A. El-Swaify, 1976. Erosion of
Selected Hawaii Soils by Simulated Rainfall. Soil.
Sci. Soc. Am. J. 40:769-773.
142 TUFAILA ET AL.
Dewi, I.G.A.S.U., N.M. Trigunasih dan T. Kusmawati,
2012. Prediksi Erosi dan Perencanaan
Konservasi Tanah dan Air pada Daerah Aliran
Sungai Saba. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika.
1(1).
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka, 2007. Evaluasi
Kesesuaian Lahan dan Perencanaan tataguna
lahan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Herawati, T., 2009. Analisis Spasial Tingkat Bahaya
Erosi Di Wilayah Das Cisadane Kabupaten
Bogor. Jurnal Penelitian Kehutanan dan
Konservasi Alam. 8(4):413-424.
Javed, A., M.Y. Khanday
and S. Rais, 2011.
Watershed Prioritization Using Morphometric
And Land Use/Land Cover Parameters: A
Remote Sensing And GIS Based Approach.
Journal Geological Society Of India. 78:63-75.
Martinez-Casasnovas J.A., 2003. A Spatial
Information Technology Approach for the
Mapping and Quantification of Gully Erosion.
Catena. 50(2-4): 293-308,
Millward, A.A. and J.E. Mersey, 1999. Adapting the
RUSLE to model soil erosion potential in a
mountainous tropical watershed. Catena, 38,
109–129.
Rachim, D.A. dan Suwardi, 2002. Morfologi dan
Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Raharjo, P. dan Saifudin, 2008. Pemetaan Erosi DAS
Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan.
8(2):103-113.
Raoofi, M., H. Refahi, N. Jalali and F. Sarmadian,
2004. A Study of the Efficiency of Digital
Processing Methods of Satellite Images to Map
and Locate Soil Erosion. Iranian J Agric Sci.
35(4): 797-807.
J. AGROTEKNOS
Reusing, M., Schneider, T., and U. Ammer, 2000.
Modelling soil loss rates in the Ethiopian
highlands
by
integration
of
high
resolutionMOMS-02/D2-stereo-data in a GIS.
Journal of Remote Sensing, 21:1885–1896.
Ricker, M.C., B.K. Odhiambo, and J.M. Church, 2008.
Spatial Analysis of Soil Erosion and Sediment
Fluxes: A Paired Watershed Study of Two
Rappahannock River Tributaries, Stafford
County, Virginia. Environmental Management.
41:766–778.
Singh, R., and V.S. Phadke, 2007. Assessing soil loss
by water erosion in Jamni River Basin,
Bundelkhand region, India, adopting universal
soil loss equation using GIS. Current Science,
90(10), 1431–1435.
Strengthening Community-Based Forest and
Watershead Manajement (SCBFWM). 2010.
Mengenal
Daerah
Aliran
Sungai
dan
Permasalahannya.
Proyek
Penguatan
Pengelolaan Hutan dan Daerah Aliran Sungai
Berbasis Masyarakat. Buletin No. 1 September
2010.
Sutrisno, J., B. Sanim, A. Saefuddin, dan S.R.P.
Sitorus, 2012. Valuasi Ekonomi Erosi Lahan
Pertanian Di Sub Daerah Aliran Sungai Keduang
Kabupaten Wonogiri. SEPA. 8(2):51-182.
Veiche, 2002. The Spatial Variability of Erodibility
and Its Relation to Soil Type: A Study from
Northen Ghana, Geoderma. 106:110-120.
Yusmandhany, E.S., 2002. Pengukuran Tingkat
Bahaya Erosi SUB-DAS Cipamingkis Kabupaten
Bogor. Buletin Teknik Pertanian. 7(2):44-47.
Download