JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2012 Vol.2. No.3. hal. 134-142 ISSN: 2087-7706 ANALISIS SPASIAL TINGKAT BAHAYA EROSI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MORAMO DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) Spatial Analysis of Erosion in Moramo Watershed Using Geographic Information System (GIS) 1) M. TUFAILA1*) JUFRI KARIM2) SYAMSU ALAM1) Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari 2) Jurusan ABSTRACT Spatial analysis on erosion potential is required to create an integrated management of watersheds, thoroughly and, environmentally sustainable, where the watershed as a management unit. The research was conducted in the watershed area Moramo South Konawe. This research was conducted through an overlay approach using geographic information system (GIS) map of Thiessen polygons, slope maps, soil maps and land use maps. The study obtained five classes of erosion potential, namely very light (2685.60 ha or 21.27 %); light (2359.08 ha or 18.68 %); medium (903.70 ha or 7.16%); heavy ( 381.63 hectares or 3.02% ) ; and very heavy 6297.94 hectares or 49.87 %). Dominant erosion hazard level in the basin Moramo was in the District Moramo, approximately 3496.75 hectares or 27.69 % of the total area of the watershed Moramo and had been used for agricultural land for approximately 3992.48 hectares or 31.62 %. Keywords : Erosion, GIS, Moramo, Watershead Management, 1PENDAHULUAN Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan wilayah DAS juga tidak terlepas dalam pemanfaatan ruang dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi. Menurut SCBFWM (2010), ada tiga hal utama yang dapat menyebabkan Daerah Aliran Sungai di Indonesia terdegradasi yaitu (a) aktifitas manusia seperti penebangan hutan yang dilakukan secara illegal (illegal loging), kebakaran hutan, perambahan hutan, eksploitasi hutan dan lahan yang berlebihan; (b) pemanfaatan lahan yang tidak menerapkan konservasi tanah dan air; (c) iklim atau curah hujan yang tinggi. Curah hujan tinggi tersebut sangat berpotensi untuk merusak tanah (erosivitas), apalagi curah *) Alamat Korespondensi: Email: [email protected] hujan yang tinggi tersebut terjadi di daerah yang sebelumnya didahului oleh ulah perusakan. Kedua hal tersebut semakin diperparah apabila keadaan alam geomorfologinya (geologi, tanah dan topografi) yang rentan untuk terjadi erosi, banjir, tanah longsor dan kekeringan. Selanjutnya Dewi et al. (2012) mengemukakan kerusakan DAS dapat dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumber daya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, kebijakan yang belum berpihak kepada pelestarian sumber daya alam, serta masih kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam konteks pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam, hal ini berdampak DAS lambat laun mencapai tingkat kritis hingga sangat kritis. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air (Javed et al. 2011). Vol. 2 No.3, 2012 Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang berakibat buruk. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS yang baik, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Permasalahan aktual pada DAS Moramo yaitu masih dimanfaatkannya lahan dengan kemiringan lereng agak curam sampai dengan curam untuk penggunaan kebun campuran tanpa tindakan konservasi, berubahnya fungsi kawasan menjadi peruntukan lain seperti pemukiman, perkebunan, lahan pertanian serta kondisi penutupan lahan yang buruk. Kondisi pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air ini menyebabkan DAS Moramo rentan akan ancaman erosi. Erosi adalah proses hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Tanah yang tererosi diangkut oleh aliran permukaan dan diendapkan di tempat-tempat aliran air melambat seperti sungai, saluran-saluran irigasi, waduk, danau atau muara sungai. Hal ini berdampak pada mendangkalnya sungai sehingga mengakibatkan semakin seringnya terjadi banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau (Arsyad, 2010). Tingkat Bahaya Erosi (TBE) adalah perkiraan jumlah tanah yang hilang maksimum yang akan terjadi pada suatu lahan, bila pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi tanah tidak mengalami perubahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Penggunaan data penginderaan jauh, Sistem Informasi Geografis (SIG), elevasi digital pemodelan dapat menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam perbaikan metode pemetaan erosi (MartinezCasasnovas, 2003) dan sebagai alat dalam manajemen dan studi pengembangan DAS (Javed et al. 2011) yang ekonomis karena rendahnya biaya dan singkatnya waktu yang dibutuhkan (Raoofi et al., 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat bahaya erosi dan mengetahui jumlah serta sebaran erosi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Moramo dengan menggunakan system informasi geografis. Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi 135 BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Moramo Kabupaten Konawe Selatan, dengan luas wilayah seluas 12.627,95 Ha. Secara geografis terletak 122031’25,17” 122040’10,35” BT dan 404’51,34” 4014’46,16” LS.. Analisis Laboratorium dilakukan di Laboratorium Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBLSLP) dan Laboratorium Analitik Universitas Halu Oleo. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah citra ALOS AVNIR-2 Resolusi 10 meter, Citra SRTM resolusi 90 meter serta data curah hujan stasiun Moramo. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua yaitu (a) alat analisis citra yaitu satu unit Laptop Toshiba, dengan spesifikasi: Processor Intel (R) Pentium (R) Dual CPU T3400 2,16 GHz RAM 1,87 GB; perangkat lunak (Software) ENVI 4.5 dan ArcGIS 9.3; (b) alat lapangan : GPS (Global Position System), Bor Auger, ring sampel, dan meteran roll. Untuk memperoleh data dan informasi tentang tingkat bahaya erosi dilakukan melalui tumpangsusun (overlay) dari petapeta tematik seperti peta polygon Thiessen, peta bentuklahan, peta lereng, peta tanah, dan peta penggunaan lahan dengan menggunakan bantuan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk mendapatkan satu peta gabungan sebagai dasar perhitungan tingkat bahaya erosi. Kegiatan survei digunakan untuk ground check dan pengambilan beberapa karakteristik tanah sebagai bahan untuk penentuan tingkat bahaya erosi (TBE). Pemetaan TBE menggunakan rumus USLE dari Wischmeier dan Smith (1978) dalam Arsyad (2010). Dengan formulasi USLE adalah sebagai berikut: A=RxKxLxSxCxP Keterangan : A = Laju erosi tanah (ton/ha/tahun) R = Indeks erosivitas hujan K = Indeks erodibilitas tanah L = Indeks panjang lereng S = Indeks kemiringan lereng C = Indeks penutupan vegetasi P = Indeks pengolahan lahan atau tindakan konservasi tanah Proses perhitungan nilai indeks dari setiap data peta, dilakukan dengan berbagai formulasi, yaitu: 136 TUFAILA ET AL. Indeks Erosivitas (R). Indeks erosivitas hujan tahunan dapat diperoleh dengan menghitung hujan bulanan (Dewi et al., 2012). Formula yang dipergunakan adalah Metode Lenvain (1989 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) yaitu: RM = 2,21 (Rain)m1,36. Indeks Erodibilitas (K). Indeks erodibilitas tanah menunjukkan mudah tidaknya suatu tanah untuk dihancurkan oleh kekuatan jatuhnya butir-butir hujan, dan/atau oleh kekuatan aliran permukaan (Veiche, 2002). Indeks erodibilitas diperoleh dari peta tanah dan hasil analisis tanah dengan menggunakan formula K= 2,713M1,14 (10)-4 (12-a) + 3,25(b-2)+2,5(c-3)/100 (Hammer, 1978 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Indeks Panjang Dan Kemiringan Lereng (LS). Faktor kemiringan dan panjang lereng (LS) terdiri dari dua komponen, yakni faktor kemiringan dan faktor panjang lereng (Renard et al., 1997 dalam Herawati, 2009). Data LS diperoleh melalui DEM (Digital Elevation Model), dihitung berdasarkan persamaan yaitu LS = 0,2S1,33 + 0,1 (Herawati, 2009). Dimana S merupakan kemiringan lereng. Indeks Penutupan Vegetasi Dan Pengolahan Lahan (CP). Faktor penutupan lahan menggambarkan dampak kegiatan pertanian dan pengelolaannya pada tingkat erosi tanah (Renard et al., 1997 dalam Herawati, 2009). Nilai CP adalah faktor tanaman yang didapat dari pengamatan langsung di lapangan dengan pendekatan antara keadaan di lapangan dengan nilai CP dari beberapa sumber (Asdak, 2004). Kelas Tingkat Bahaya Erosi. Hasil perhitungan nilai laju erosi dengan menggunakan rumus USLE kemudian diklasifikasi menjadi lima kelas, yaitu sangat ringan (<15 ton/ha/thn), ringan (15-60 ton/ha/thn), sedang (60-180 ton/ha/thn), berat (180-480 ton/ha/thn), dan sangat berat (>480 ton/ha/thn) (Raharjo dan Saifudin, 2008). HASIL DAN PEMBAHASAN Erosi dan sedimen pada wilayah DAS dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bentuklahan, iklim, geologi, biologi (vegetatif penutup), dan atribut antropogenik (penggunaan lahan) (Ricker et al., 2008). J. AGROTEKNOS Indeks Erosivitas. Indeks erosivitas dihasilkan dari perhitungan curah hujan ratarata bulanan dari stasiun moramo yang mewakili wilayah DAS Moramo. Curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 5,69 sampai 33,23 cm. Nilai curah hujan rata-rata bulanan tersebut digunakan untuk menghitung indeks erosivitas dengan menggunakan persamaan Lenvain (1989). Sehingga nilai indeks erosivitas pada wilayah DAS Moramo disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai erosivitas di wilayah DAS Moramo Bulan Curah Hujan (cm) Januari 20,39 Februari 21,21 Maret 33,23 April 28,80 Mei 22,95 Juni 21,66 Juli 12,05 Agustus 9,99 September 5,69 Oktober 6,23 November 17,84 Desember 23,22 Erosivitas Tahunan Sumber: Data Primer diolah Erosivitas Bulanan 133,44 140,77 259,23 213,36 156,67 144,87 65,23 50,55 23,52 26,60 111,23 159,18 1.484,64 Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan nilai erosivitas bulanan di wilayah DAS Moramo berkisar antara 23,52 sampai 259,23. Erosivitas hujan tahunan diperoleh dari penjumlahan erosivitas bulanan yaitu dari erosivitas hujan bulan Januari hingga Desember sehingga nilai erosivitas tahunan di wilayah DAS Moramo diperoleh yaitu sebesar 1.484,64. Nilai erosivitas ini akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kemampuan curah hujan untuk menimbulkan erosi. Indeks Erodibitas. Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi yaitu mudah tidaknya tanah mengalami erosi, erodibilitas tanah dipengaruhi oleh tekstur (pasir sangat halus, debu dan liat), struktur tanah, permeabilitas tanah dan kandungan bahan organik tanah (Yusmandhany, 2002; Dewi et al,, 2012; Lal 1994 dalam Avtar et al, 2011), Berdasarkan hasil analisis sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk tererosi sebagai dasar perhitungan nilai Vol. 2 No.3, 2012 erodibilitas di wilayah DAS Moramo dengan persamaan Hammer, 1978 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007), Berdasarkan klasifikasi nilai erodibilitas USDA-SCS (1976 dalam Dangler dan El-Swaify, 1976); Dariah, et al, 2004; Arsyad, 2010), nilai Tabel 2. Nilai erodibilitas di wilayah DAS Moramo Nilai K 0,11-0,20 0,21-0,32 0,33-0,43 0,44-0,55 0,56-0,64 Sumber: Data Primer diolah Kelas Erodibilitas (K) Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Jumlah Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa nilai erodibilitas di wilayah DAS Moramo lebih didominasi kelas erodibilitas agak tinggi yaitu sekitar 8.237,73 Ha atau 65% dari total luas wilayah DAS. Kelas erodibilitas agak tinggi lebih disebabkan sifat-sifat tanah seperti kelas tekstur tanah sedang sampai agak halus (lempung dan lempung liat berdebu), selain itu bahan organik rendah, stabilitas agregat Tabel 3. Nilai LS di wilayah DAS Moramo Kelas Lereng (%) 0-3 3-8 8-15 15-30 30-45 45-65 Jumlah Sumber: Data primer diolah Nilai LS 0,44 2,03 5,25 12,67 24,90 41,38 Hasil analisis elevasi digital DEM, klas lereng diklasifikasikan menjadi 6 (enam kelas) yaitu lereng 0-3%, 3-8%, 8-15%, 15-30%, 3045%, dan 45-65%, Dari hasil analisis DEM tersebut terlihat bahwa kelas lereng 15-30% dengan topografi berbukit merupakan kelas lereng terluas yaitu sekitar 5,283,14 Ha atau 41,84%, Sedangkan kelas lereng 45-65% dengan topografi curam merupakan kelas lereng tersempit dengan luas 472,40 Ha atau 3,74% dari total luas wilayah DAS Moramo, Berdasarkan Tabel 3, hasil perhitungan LS menunjukkan nilai LS di wilayah DAS Moramo berkisar antara 0,44 sampai 41,38, Pengaruh Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi 137 erodibiltas di wilayah DAS Moramo diperoleh 5 (lima) kelas yaitu rendah, sedang, agak tinggi, tinggi, dan sangat tinggi, Kelas erodibilitas di wilayah DAS Moramo disajikan pada Tabel 2, Luas (Ha) 1.130,26 1.968,13 8.237,73 1.231,14 60,68 12.627,95 % 8,95 15,59 65,23 9,75 0,48 100,00 tanah (struktur tanah) rendah, serta permeabilitas tanah lambat. Indeks Kemiringan dan Panjang Lereng Indeks kemiringan dan panjang lereng diturunkan secara bersamaan dari peta presentase kemiringan lahan yang dihasilkan melalui analisis elevasi digital DEM dengan persamaan Herawati (2009). Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai indeks LS sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Luas (Ha) 2.160,52 501,53 2.610,53 5.283,14 1.599,83 472,40 12.627,95 % 17,11 3,97 20,67 41,84 12,67 3,74 100,00 faktor panjang lereng dan kemiringan lereng (LS) sangat berperan terhadap besarnya erosi yang terjadi, dimana panjang lereng akan menentukan besarnya volume aliran permukaan (run off) dan kemiringan lereng akan menentukan besar kecilnya terjadinya infiltrasi, Dewi, dkk, (2012) juga menjelaskan semakin panjang lereng maka semakin besar volume aliran permukaan yang terjadi dan kemiringan lereng memberikan pengaruh besar terhadap erosi yang terjadi, karena sangat mempengaruhi kecepatan limpasan permukaan, Makin besar nilai kemiringan lereng, maka kesempatan air 138 TUFAILA ET AL. untuk masuk kedalam tanah (infiltrasi) akan terhambat sehingga volume limpasan permukaan semakin besar yang mengakibatkan terjadinya bahaya erosi, Kemiringan dan panjang lereng adalah dua sifat topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (Sutrisno et al., 2012). Indeks Pengelolan Lahan (C) dan Tindakan Konservasi (P). Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman (C) yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik dan tanpa tanaman (As-Syakur, 2008). Penentuan nilai C merujuk pada beberapa sumber (Asdak, 2002). Nilai C diperoleh dengan membandingkan pola penutupan secara umum pada lokasi wilayah DAS. Nilai Indeks pengelolaan tanaman di wilayah DAS diperoleh beberapa nilai C seperti hutan alami (0,001), hutan dengan Tabel 4. Nilai C wilayah DAS Moramo Penggunaan Lahan Alang-alang Hutan serasah banyak Hutan serah kurang Hutan tebang pilih Kebun Mangrove Pemukiman Sawah Semak Belukar Tambak Tegalan Jumlah Sumber: Hasil olahan data primer Spasial Tingkat Bahaya Erosi (TBE). Sebaran tingkat bahaya erosi di wilayah DAS Moramo diperoleh dari hasil tumpangsusun (overlay) peta thiessen, peta lereng, peta tanah, dan peta penggunaan lahan sebagaiamana disajikan pada Gambar 1. Dari J. AGROTEKNOS serasah kurang (0,005), hutan dengan tebang pilih (0,2), kebun kerapatan sedang (0,5), pemukiman (0,5), semak belukar (0,3), tegalan (0,7), mangrove (0,01), tambak (0,01), padi sawah (0,01), dan alang-alang (0,02). Berdasarkan nilai C, wilayah DAS Moramo didominasi penggunaan lahan hutan, namun kondisinya telah terjadi perambahan dengan tebang pilih sekitar 2.586,84 Ha atau 20,49%, selanjutnya penggunaan lahan kebun (0,5) dengan luas sekitar 2.501,35 Ha atau 19,81% dari total luas wilayah DAS. Hal ini terlihat bahwa wilayah DAS sebagian besar telah dimanfaatkan sebagai kebun. Untuk faktor P atau tindakan konservasi pada wilayah penelitian khususnya pada lahan pertanian sangat kurang dilakukan tindakan konservasi, sehingga nilai untuk P digunakan nilai P = 1, untuk seluruh lokasi penelitian, Nilai C (pengelolaan lahan) di wilayah DAS Moramo disajikan pada Tabel 4. Nilai C 0,02 0,001 0,005 0,2 0,5 0,01 0,5 0,01 0,3 0,01 0,7 Luas (Ha) 367,83 2,066,51 1,662,45 2,586,84 2,501,35 70,26 51,23 428,83 1,830,35 60,68 1001,62 12,627,95 % 2,91 16,36 13,16 20,49 19,81 0,56 0,41 3,40 14,49 0,48 7,93 100,00 Gambar 1, terlihat bahwa tingkat bahaya erosi di wilayah DAS Moramo sebagian besar didominasi tingkat bahaya erosi sangat berat. Luas lahan pada setiap tingkat bahaya erosi di wilayah DAS Moramo disajikan pada Tabel 5. Vol. 2 No.3, 2012 Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi 139 Tabel 5. Luas tingkat bahaya erosi (TBE) di wilayah DAS Moramo Tingkat Bahaya (TBE) Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat Berat Jumlah Erosi Sumber: Hasil olahan data primer Jumlah (ton/ha/thn) < 15 15 - 60 60 - 180 180 - 480 > 480 Berdasarkan Tabel 5, menunjukkan tingkat bahaya erosi sangat berat merupakan TBE yang terluas yaitu seluas 6.297,94 Ha atau 49,87% dari total luas wilayah DAS. Sedangkan TBE terendah terdapat pada tingkat bahaya erosi berat yaitu sekitar 381,63 Ha atau 3,02% dari total luas wilayah DAS. Sangat beratnya tingkat bahaya erosi pada wilayah DAS lebih disebabkan kondisi topografi berbukit sampai sangat curam dengan kemiringan lereng 15-30% sampai 4565% serta penggunaan lahan yang berupa kebun dan hutan yang memiliki kerapatan yang rendah akibat penebangan dengan sistem tebang pilih. Selain itu pula sangat beratnya tingkat bahaya erosi ini lebih disebabkan adanya sifat-sifat tanah yang dapat meningkatkan terjadinya erosi, hal ini terlihat pada jenis tanah yang berkembang didominasi oleh jenis tanah yang sementara berkembang seperti jenis tanah kambisol (Rachim dan Suwardi, 2002), dimana karakteristik tanah ini khususnya sebagai faktor erodibilitas banyak mengandung tekstur tanah debu dan lempung liat berdebu, stabilitas agregatnya rendah seperti gumpal, bahan organik tanah rendah, serta permeabilitas lambat sampai sangat lambat. Hal ini sejalan dengan Wischmeier dan Mannering, (1969) dalam Dariah (2004), Luas (Ha) 2685,60 2359,08 903,70 381,63 6297,94 12627,95 % 21,27 18,68 7,16 3,02 49,87 100,00 menyatakan tanah dengan kandungan debu tinggi, liat rendah, dan bahan organik rendah adalah yang paling mudah tererosi. Dariah (2004) juga mengungkapkan tekstur tanah dengan kandungan debu (40-60%), bahan organik rendah sangat peka terhadap erosi. Selain itu stabilitas agregat yang rendah, permeabilitas rendah dan relatif rendahnya kandungan bahan organik diperkirakan merupakan penyebab tingginya tingkat erodibilitas tanah. Selain itu juga faktor erosivitas sangat mendukung terjadi tingkat bahaya erosi yang sangat berat. Sementara itu adanya tingkat bahaya erosi yang Sangat ringan dan ringan pada wilayah DAS, lebih disebabkan topografi yang datar dan penggunaan lahan berupa hutan alami, sawah, dan alang-alang. Hal ini dikarenakan penggunaan lahan alang-alang/padang rumput, hutan alami dengan kerapatan tanaman dan serasah yang tinggi dapat mengurangi daya rusak air hujan terhadap tanah dan mengurangi laju aliran permukaan, sedangkan untuk penggunaan lahan sawah telah dilakukan pembuatan pematang yang dapat berfungsi menahan air, sehingga akan mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air oleh tanah, dengan demikian erosi akan berkurang (Arsyad, 2010) 140 TUFAILA ET AL. J. AGROTEKNOS Gambar 1, Peta sebaran tingkat bahaya erosi (TBE) di wilayah DAS Moramo Untuk melihat pola sebaran tingkat bahaya erosi secara spasial di wilayah DAS dilakukan overlay dengan peta administrasi. Dari hasil tumpangsusun (overlay) dengan peta administrasi diperoleh bahwa wilayah DAS Moramo meliputi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Moramo seluas 7.406,29 ha atau 58,65%, Kecamatan Moramo Utara seluas 4.898,63 ha atau 38,79%, dan Kecamatan Wolasi seluas 323,02 Ha atau 2,56% dari total luas wilayah DAS. Hasil sebaran tingkat bahaya erosi di wilayah DAS moramo disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran tingkat bahaya erosi (TBE) setiap kecamatan di wilayah DAS Moramo Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat Berat Kecamatan (Ha) Moramo % 1,498,12 11,86 1,553,02 476,78 381,63 3,496,75 12,30 3,78 3,02 27,69 Moramo Utara % Wolasi % 344,99 6,47 2,73 44,53 0,35 20,63 196,56 1,56 1,132,58 816,43 2,604,63 Jumlah 7,406,29 58,65 4,898,63 Sumber: Hasil overlay dan olahan data primer Tabel 6 memperlihatkan bahwa seluruh kelas tingkat bahaya erosi terdapat di Kecamatan Moramo. Tingkat bahaya erosi sangat berat merupakan tingkat bahaya erosi yang dominan di wilayah ini dengan luas sebesar 3,496,75 Ha atau 27,69 % dari total luas wilayah DAS, hal ini dikarenakan selain 8,97 38,79 81,93 323,02 0,65 2,56 Jumlah % 2,359,08 18,68 2,685,60 903,70 381,63 6,297,94 12,627,95 21,27 7,16 3,02 49,87 100,00 cakupan wilayahnya luas pada wilayah DAS juga karena penduduknya yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, sehingga sebagian besar penduduknya memanfaatkan wilayah DAS untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan bertani, ini terlihat Vol. 2 No.3, 2012 pada luasan lahan pertanian yaitu seluas 3.992,48 Ha atau 31,62%, Untuk Kecamatan Moramo Utara cakupan wilayah DAS Moramo sebesar 4.898,63 Ha atau 20,63%. Untuk wilayah ini memiliki 4 (empat) kelas tingkat bahaya erosi yaitu sangat ringan seluas 1.132,58 Ha atau 8,97%, ringan 816,43 Ha atau 6,47%, sedang 344,99 Ha atau 2,73%, dan sangat berat seluas 2,604,63 Ha atau 20,63. TBE yang paling dominan di wilayah ini adalah TBE sangat berat. Hal ini lebih disebabkan topografi yang curam, kedalaman solum yang dangkal, kerapatan vegetasi yang rendah serta adanya aktivitas penambangan batu di wilayah ini. Sedangkan Kecamatan Wolasi secara administrasi wilayahnya yang masuk pada DAS Moramo hanya sekitar 323,02 Ha atau 2,56%. Kecamatan ini memiliki 3 (tiga) kelas TBE yaitu tingkat bahaya erosi ringan sebesar 44,53 Ha atau 0,35%, Sedang 81,9 Ha atau 0,65%, dan sangat berat sebesar 196,56 Ha atau 1,56%. Kecamatan Wolasi ini merupakan wilayah hulu bagian barat dari DAS Moramo. TBE yang dominan di wilayah ini adalah TBE sangat berat, karena selain memiliki lereng yang curam juga pada bagian ini hutannya telah dirambah sehingga kerapatan vegetasi berkurang, selain itu telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kebun. Secara spasial tingkat bahaya erosi di wilayah DAS Moramo sangat didominasi kelas tingkat bahaya erosi sangat berat yang terdapat pada wilayah Kecamatan Moramo seluas 3.496,75 Ha atau 27,69%, Kecamatan Moramo Utara seluas 2.604,63 Ha atau 20,63%, dan Kecamatan Wolasi seluas 196,56 Ha atau 1,56% dari total luas wilayah DAS. Berdasarkan analisis spasial kelas TBE pada wilayah DAS menunjukkan kelas TBE sangat berat mendominasi wilayah DAS dan berada pada bagian tengah wilayah DAS, ini lebih disebabkan pada bagian tengah wilayah DAS berlereng curam dan lebih dimanfaatkan sebagai kawasan pemukiman dan kawasan budidaya yang pemanfaatan lahannya digunakan sebagai lahan pertanian yang belum diikuti dengan tindakan konservasi. Selain itu karena akibat tekanan penduduk dan terbatasnya sumberdaya (Millward dan Mersey 1999; Singh dan Phadke 2007). Selanjutnya Reusing et al. 2000 mengungkapkan peningkatan populasi Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi 141 penduduk, penggundulan hutan, pengolahan tanah, dan perambahan hutan untuk kayu bakar sering menyebabkan tanah erosi. SIMPULAN 1. Tingkat bahaya erosi di wilayah DAS Moramo diperoleh 5 (lima) kelas TBE secara berturut-turut yaitu sangat ringan, ringan, sedang, berat dan sangat berat dengan luasan berturut-turut yaitu 2.685,60 Ha (21,27%), 2.359,08 Ha (18,68%), 903,70 Ha (7,16%), 381,63 Ha (3,02%) dan 6.297,94 Ha (49,87%). 2. Kelas tingkat bahaya erosi tertinggi di wilayah DAS Moramo adalah kelas tingkat bahaya erosi sangat berat yaitu seluas 6.297,94 Ha atau sekitar 49,87% dari total luas wilayah DAS Moramo. 3. Secara spasial cakupan wilayah DAS terluas adalah Kecamatan Moramo (7.406,29 Ha atau 58,65%) dengan TBE yang dominan adalah sangat berat seluas 3.496,75 Ha atau 27,69% dan telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sekitar 3.992,48 Ha atau 31,62%. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S., 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asdak, C., 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. As-Syakur, A.R., 2008. Prediksi Erosi dengan Menggunakan USLE dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Berbasis Pixel di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan. PIT MAPIN XVII. Bandung. Avtar, R., C.K. Singh, S. Shashtri, and S. Mukherjee, 2011. Identification of erosional and inundation hazard zones in Ken–Betwa river linking area, India, using remote sensing and GIS. Environ Monit Assess. 182:341–360. Dariah, A., H. Subagyo, C. Tafakresnanto, dan S. Marwanto, 2004. Kepekaan Tanah Terhadap Erosi. Pusat Penelitian dan Pengembanagn Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak). Departemen Pertanian. Bogor. Dangler, E.W. and S.A. El-Swaify, 1976. Erosion of Selected Hawaii Soils by Simulated Rainfall. Soil. Sci. Soc. Am. J. 40:769-773. 142 TUFAILA ET AL. Dewi, I.G.A.S.U., N.M. Trigunasih dan T. Kusmawati, 2012. Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air pada Daerah Aliran Sungai Saba. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 1(1). Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka, 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan tataguna lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Herawati, T., 2009. Analisis Spasial Tingkat Bahaya Erosi Di Wilayah Das Cisadane Kabupaten Bogor. Jurnal Penelitian Kehutanan dan Konservasi Alam. 8(4):413-424. Javed, A., M.Y. Khanday and S. Rais, 2011. Watershed Prioritization Using Morphometric And Land Use/Land Cover Parameters: A Remote Sensing And GIS Based Approach. Journal Geological Society Of India. 78:63-75. Martinez-Casasnovas J.A., 2003. A Spatial Information Technology Approach for the Mapping and Quantification of Gully Erosion. Catena. 50(2-4): 293-308, Millward, A.A. and J.E. Mersey, 1999. Adapting the RUSLE to model soil erosion potential in a mountainous tropical watershed. Catena, 38, 109–129. Rachim, D.A. dan Suwardi, 2002. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Raharjo, P. dan Saifudin, 2008. Pemetaan Erosi DAS Lukulo Hulu dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 8(2):103-113. Raoofi, M., H. Refahi, N. Jalali and F. Sarmadian, 2004. A Study of the Efficiency of Digital Processing Methods of Satellite Images to Map and Locate Soil Erosion. Iranian J Agric Sci. 35(4): 797-807. J. AGROTEKNOS Reusing, M., Schneider, T., and U. Ammer, 2000. Modelling soil loss rates in the Ethiopian highlands by integration of high resolutionMOMS-02/D2-stereo-data in a GIS. Journal of Remote Sensing, 21:1885–1896. Ricker, M.C., B.K. Odhiambo, and J.M. Church, 2008. Spatial Analysis of Soil Erosion and Sediment Fluxes: A Paired Watershed Study of Two Rappahannock River Tributaries, Stafford County, Virginia. Environmental Management. 41:766–778. Singh, R., and V.S. Phadke, 2007. Assessing soil loss by water erosion in Jamni River Basin, Bundelkhand region, India, adopting universal soil loss equation using GIS. Current Science, 90(10), 1431–1435. Strengthening Community-Based Forest and Watershead Manajement (SCBFWM). 2010. Mengenal Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya. Proyek Penguatan Pengelolaan Hutan dan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat. Buletin No. 1 September 2010. Sutrisno, J., B. Sanim, A. Saefuddin, dan S.R.P. Sitorus, 2012. Valuasi Ekonomi Erosi Lahan Pertanian Di Sub Daerah Aliran Sungai Keduang Kabupaten Wonogiri. SEPA. 8(2):51-182. Veiche, 2002. The Spatial Variability of Erodibility and Its Relation to Soil Type: A Study from Northen Ghana, Geoderma. 106:110-120. Yusmandhany, E.S., 2002. Pengukuran Tingkat Bahaya Erosi SUB-DAS Cipamingkis Kabupaten Bogor. Buletin Teknik Pertanian. 7(2):44-47.