1B3

advertisement
5.1 Agroekologis Komoditas Komoditas Utama
Keberhasilan Budidaya suatu jenis komoditas tanaman sangat tergantung kepada kultivar tanaman
yang ditanam, agroekologis/lingkungan tempat tumbuh tempat melakukan budidaya tanaman dan
pengelolaan yang dilakukan oleh petani/pengusaha tani. Khusus mengenai lingkungan tempat
tumbuh (agroekologis), walaupun pada dasarnya untuk memenuhi persyaratan tumbuh suatu
tanaman dapat direkayasa oleh manusia, namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam
rangka pengembangan suatu komoditas tanaman, pertama kali yang harus dilakukan mengetahui
persyaratan tumbuh dari komoditas yang akan dikembangkan kemudian mencari wilayah yang
mempunyai kondisi agroekologis/faktor tempat tumbuh yang relatif sesuai.
5.1.1 Persyaratan Tumbuh Komoditi Tebu
Sebagai mana hasil analisis, komoditas-komoditas yang mempunyai nilai ekonomis dan
potensial untuk dikembangkan adalah tanaman tebu. Berikut ini disajikan persyaratan
tumbuh dari komoditas tersebut.
Tebu (Saccharum officinarum L.)
a. Tanah/lahan

Tinggi tempat:
tanaman tebu dapat tumbuh dari mulai pantai sampai dengan
ketinggian tempat 1200 m dpl, tapi secara ekonomis diusahakan sampai dengan
ketinggian 400 m dpl

Topografi: kemiringan lereng datar sampai dengan <8%, lereng optimum <2 %,
untuk kemiringan yang tinggi penanaman harus sejajar dengan garis kontur.

Drainase: Drainase harus baik, kondisi tanah tidak tergenang
V-1

Jenis tanah: Tebu tumbuh baik pada tanah lempung berkapur atau berpasir dan
lempung berliat

Sifat fisik tanah: Solum/kedalaman efektif minimum 50 cm tanpa ada lapisan padas,
Tekstur lempung berkapur atau berpasir dan lempung berliat, Konsistensi sedang –
berat , struktur baik dan mantap (remah) gembur sampai agak teguh. Kelembaban
tanah 31%.

Sifat kimia tanah: Kemasaman tanah (pH) 4.0-8.5, dengan pH optimum 5.7-7.0.
Kadar klor < 0.06%, kadar garam < 1000 mikro mho/cm3.
b. Iklim

Curah hujan: 1500-3000 mm, dengan distribusi sesuai dengan pertumbuhan dan
kematangan tebu (hujan teratur selama pertumbuhan vegetatif dan diperlukan bulan
kering 2-4 bulan selama pemasakan).

Temperatur: Temperatur 25-28 0C

Penyinaran matahari: optimum 12-14 jam per hari.

Kelembaban: 74-88%.

Sebaran 350 LS sampai dengan 390LU
5.1.2 Sebaran Wilayah Agroekologis Komoditas Unggulan
Tanaman tebu untuk dapat menghasilkan secara optimal memerlukan agroekologis berupa
wilayah dataran rendah yang relatif datar dan beriklim lebih kering. Di Indonesia wilayah
agroekologis ini mencapai luasan 3,62 juta ha yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi
Nusa Tenggara dan Papua. Wilayah ini mempunyai topografi datar sampai berombak dan
terdapat di dataran aluvial, teras marin, basin lakustrin serta dataran volkan. Sebagian besar
lahan ini jenuh air pada musim hujan dan/atau rekah pada musim kemarau.
Wilayah agroekologis yang sesuai untuk pengembangan tanaman tebu di Sumatera mencapai
luasan 0,21 juta ha terutama terdapat di Propinsi NAD (sekitar Sigli) berupa dataran aluvial.
Dari luasan tersebut 0,15 juta ha sudah digunakan sebagai sawah beririgasi, sedangkan 0,06
juta ha belum dikembangkan dengan kendala berupa ketersediaan air terbatas.
Di Jawa wilayah agroekologis yang sesuai untuk pengembangan tebu mencapai luasan 0,97
juta ha, terdapat di Jawa Barat (Indramayu, Cirebon), Jawa Tengah (Grobogan, Blora,
Rembang) dan Jawa Timur (Nganjuk, Lumajang, Lamongan dan Probolinggo). Lahan
V-2
berupa dataran aluvial yang membentang sepanjang pantai Utara Jawa, dan sebagian berupa
dataran vulkan. Pada saat ini lahan-lahan ini berupa sawah, pemukiman dan daerah industri.
Wilayah agroekologis ini di Nusa Tenggara seluas 0, 32 juta ha tersebar di dataran aluvial dan
volkan Propinsi Nusa Tenggara Timur (Mbay dan Lembah Bena) dan Nusa Tenggara Barat
(Lombok Tengah). Pada saat ini lahan-lahan ini digunakan sebagai sawah tadah hujan seluas
0,21 juta ha sebagian besar di daerah Nusa Tenggara Barat. Sisanya seluas 0,11 juta ha
berupa lahan pengembangan terdapat di Nusa Tenggara Timur, dengan permasalahan
ketersediaan air terbatas.
Di Sulawesi wilayah agroekologis ini meliputi luas 0,45 juta ha terutama terdapat di Sulawesi
Selatan (sekitar Danau Tempe, dan Sindrang) Sulawesi Tengah (Lembah Palu), Gorontalo
(sekitar danau Limboto dan Paguyaman), dan Sulawesi Tenggara (pulau Buton). Pada saat
ini lahan tersebut telah digunakan sebagai sawah irigasi, sawah tadah hujan dan pemukiman
seluas 0,24 juta ha, terutama di Sulawesi Selatan, sedangkan sisanya seluas 0,21 juta ha
terutama di Sulawesi Tengah belum dikembangkan.
Di Papau wilayah agroekologis ini meliputi luas 1, 65 juta ton dan terdapat pada teras marin
Kabupaten Marauke (Kumbe dan Okaba). Wilayah ini sangat potensial untuk
pengembangan perkebunan tebu, baru sebagian kecil yang sudah dimanfaatkan sebagai
sawah terutama di daerah transmigrasi. Permasalahannya adalah adalah aksesibilitas, potensi
tenaga kerja yang rendah dan sebagian lahan berupa hutan dan berawa-rawa pada musim
hujan.
5.2 Metode Evaluasi Kesusaian Lahan Untuk Komoditas Potensial
Potensi lahan untuk pengembangan perkebunan pada dasamya ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan
lingkungan yang mencakup: tanah, topografi/bentuk wilayah, hidrologi dan iklim. Kecocokan
antara sifat-sifat fisik dengan persyaratan penggunaan suatu komoditas yang dievaluasi akan
memberikan gambaran atau informasi bahwa tanah tersebut potensial untuk pengembangan
komoditas tersebut. Hal tersebut juga memiliki pengertian bahwa jika lahan digunakan untuk
penggunaan tertentu dengan seraya mempertimbangkan masukan (Input) yang diperlukan maka
akan memberikan hasil (output) sesuai dengan yang diharapkan.
5.2.1 Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993), penilaian klasifikasi kesesuaian
lahan dibedakan menurut tingkatannya, yaitu sebagai berikut:
Ordo : Pada tingkat ini kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergotong sesuai
(S) dan tidak sesuai (N).
V-3
Kelas :
Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara sangat
sesuai (S1). cukup sesuai (S2) dan marginal sesuai (S3).
Lahan kelas sangat sesuai (S1) adalah lahan yang relatif tidak memiliki faktor pembatas yang
berarti/nyata terhadap penggunaannya secara berketanjutan.
Lahan kelas cukup sesuai (S2) adalah tahan mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh
terhadap produktifitasnya, sehingga memerlukan tambahan (input) untuk meningkatkan
produktifitas pada tingkat yang optimum.
Lahan kelas sesuai marginal (S3) adalah lahan mempunyal faktor pembatas yang berat
sehingga berpengaruh terhadap produktifitasnya dan memerlukan input lebih besar dari pada
lahan kelas S2.
Lahan kelas tidak sesuai (N) adalah lahan yang tidak sesuai karena memiliki faktor pembatas
yang berat. Lahan ketas ini dibedakan menjadi lahan kelas tidak sesuai sementara (N1), dan
lahan kelas tidak sesuai permanen (N2).
Lahan kelas N1 mempunyai faktor pembatas yang sangat berat tapi sifatnya tidak permanen,
sehingga dengan input pada tingkat tertentu masih dapat ditingkatkan produktifitasnya.
Sedangkan tahan kelas N2 mempunyai faktor pembatas sangat berat dan sifatnya permanen
sehingga tidak mungkin diperbaiki.
Dalam evaluasi ini dikenal ’Kesesuaian Lahan Aktual’ dan ’Kesesuaian Lahan Potensial'.
Kesesuaian Lahan Aktual (atau kesesuaian saat ini/saat survai dilakukan) adalah kelas
kesesuaian lahan yang dihasilkan berdasarkan data yang ada dan belum mempertimbangkan
asumsi atau usaha perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktorfaktor pembatas yang ada. Sedangkan Kesesuaian Lahan Potensial adalah keadaan lahan
yang dicapai setelah adanya usaha-usaha perbaikan (Approvement. Usaha perbaikan yang
dilakukan haruslah sejalan dengan tingkat penilaian kesesuaian lahan yang akan dilakukan.
5.2.2 Kriteria Kesesuaian Lahan
Kriteria kesesuaian lahan yang dimaksud adalah pedoman yang digunakan dalam
menentukan/mengevaluasi lahan yang disurvai bagi keperluan pengembangan perkebunan
tebu. Dalam kegiatan ini digunakan pedoman/kriteria kesesuaian lahan menurut Pusat
Penelitian Tanah, 1993.
Berikut ini adalah uraian dari setiap faktor yang dapat mempengaruhi penilaian kesesuaian
lahan di lokasi:
-
V-4
Iklim, unsur Iklim terpenting adalah curah hujan.
-
Hidrologi, unsur yang penting adatah ketersediaan air pengairan dan dampak
keberadaan air tanah terhadap kondisi drainase, serta bahaya banjir.
Masalah hidrologi di sebagian lokasi lebih berupa teknis pengaturan tata air/drainase
yang berdampak langsung terhadap proses pertumbuhan tanaman, khususnya di
lahan-lahan yang saat ini sering atau selalu tergenang.
-
Kemiringan Lereng. Kemiringan lereng merupakan salah satu masalah serius di
sebagian lokasi. terutama pada areal dengan kemiringan lereng lebih dari 40%. Faktor
kemiringan lereng lebih sebagai kendala dalam teknis pengelolaan kebun, seperti
pengangkutan hasil atau panen, Tanah dengan kemiringan lereng lebih dari 40% juga
beresiko besar mengalami erosi permukaan cukup berat. Penanaman tanaman
penutup tanah (cover crop) sebaiknya tidak terlambat dilaksanakan pada lahan-lahan
dengan kemiringan lereng di atas 15%.
-
Tanah. Retensi hara pada sebagian besar jenis tanah yang ada memberikan indikasi
bahwa pemupukan dengan dosis yang tepat merupakan kunci keberhasilan
pertumbuhan dan produksi tanaman. Beberapa jenis tanah juga memiliki karakteristik
sangat buruk, seperti tanah Regosol dan Podsol yang memiliki tekstur sangat kasar di
seluruh lapisan.
Standar penilaian kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman tebu dapat disimak pada
Tabel 5.1
V-5
Tabel 5. 1 Standar Kesesuaian Lahan Untuk Tebu
KUALITAS
KARAKTERISTIK
LAHAN
Temperatur (t)
Rata-rata tahunan (C0)
Ketersediaan Air
Kelas Kesesuaian Lahan
S1
24-30
S2
S3
>28 -32
>32-34
22-<24
21- <22
N1
td
N2
> 34
< 21
(w)
Bulan Kering (>75mm
3-4
4-5
>4-5
Td
>5
Curah Hu|an (mn/th)
1500-2500
>2500-3000
>3000-4000
Td
<2
1300-<1500
1000-<1300
Td
>3000
<1000
LGP(hari)
230-250
210-230
100-210
<180
<180
250-300
300-320
340
360
Sedang,
Agak
Terhambat,
Sangat
terhambat,
cepat
terhambat,
Kondisi perakaran (r)
Kelas Drainase Tanah
Baik
agak cepat
Tekstur Tanah
Sl.L..SCL,
LS, SiC, SC, C
sangat
Td
SiL, Si,
Kerikil,
CL,SiCL.
Keadaan efektif (cm)
>75
Gambut
-
Kematangan
-
Kedalamam (cm)
cepat
SiC.
pasir
55-75
40-35
30-<40-
<30
Saprik
Hemik
Hemik-
Fibrik
<100
100-150
fibrik
>200
>150-200
Retensi Hara (f)
KTK(me/100gr tanah
PH (H20)
>-Tinggi
Sedang
Rendah
6,5-7,0
>7,0-7,5
>8,0-8,5
>8,5
5,5-<6.5
4,0-<5,5
<4,0
C- organik
Ketersediaan Hara: (n)
N-to1al (%)
Sedang
Rendah
Sgt rendah
-
-
P205 tersedia
Tinggi
Sedang
Sgt rendah
-
-
K20 tersedia
Tinggi
Sedang
Sgt rendah
-
-
Toxicitas : (x)
V-6
-
Salinitas (mmhos/cm
<3,5
3,5-5,5
>5,5-8
Kej. Alumunium (%)
<20
20-40
40-60
Kedalaman Sulfidik (cm)
>100
75-100
60-<75
8-12
>12
>60
50-<60
<50
Tabel 5.1 Standar Kesesuaian Lahan Untuk Tebu (Lanjutan)
KUALITAS
KARAKTERISTIK
LAHAN
Kelas Kesesuaian Lahan
S1
S2
S3
N1
N2
Medan (terain):
Lereng (%)
<8
8-15
>15-20
>20
>20
Batuan Permulaan (%)
>3
3-15
>15-40
Td
>40
Singkapan Batuan (%)
<2
2-10
>10-25
25-40
> 40
Bahaya Erosi
SR
R
S
B
SB
Banjir dan Genangan
F1
F2
F3
F4
F5
Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklilmat, 1993
Dep. Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, 1993/1994
Keterangan
Td = Tidak Berlaku
L = Lempung
S = Pasir
Si = Debu
Sir C = Liat berstruktur
5.3 Kesesuaian Agroekologi Komoditi Utama
Berdasarkan hasil penelusuran pada peta Tata Ruang Pertanian yang diterbitkan Departemen
Pertanian tahun 2001 dan hasil analisis kesesuaian lahan, sehingga dapat ditentukan kesesuaian
lahan untuk masing-masing komoditas utama. Sehubungan data yang tersedia sangat terbatas dan
peta yang ada mempunyai sekala yang tinggi, maka kesesuaian agroekologis hanya sampai tingkat
Ordo. Pada Tabel 5.2 disajikan hasil evaluasi kesesuaian agroekologis tingkat ordo untuk
komoditas utama tebu dan untuk masing-masing wilayah pengembangan. Walaupun demikian
tidak semua kecamatan bahkan kabupaten yang diusulkan dapat diketahui zona agroekologisnya.
Hal ini diduga adanya daerah pemekaran khususnya untuk tingkat kabupaten, sedangkan untuk
tingkat kecamatan maupun desa disebabkan peta skala 1 : 1.000.000 dianggap kurang detail.
Dengan demikian beberapa kecamatan bahkan kabupaten yang diusulkan tidak dapat dideteksi
zona agroekologisnya.
V-7
Tabel 5. 2 Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Tebu
PROPINSI /KABUPATEN/
KECAMATAN
SUMATRA UTARA
1.TEBING TINGGI
2.NATAL
3.PADANG SIDEMPUAN
4.TANJUNG BALAI
5.TARUTUNG
6. KAB. SIMALUNGUN
RIAU
1.KAMPAR
a.Bangkinang
b. Bangkinang Barat
c.Koto Kampar
d.Siak Hulu
e.Tapung
f.Kampar Kiri
g.Tambang
h.Tapung Hulu
i.Tapung Hilir
j.Kampar Kiri
k.Kampar Kiri Hulu
2.ROKAN HULU
a. Tanah Putih
b. Kubu
c. Sinembah
d.Rimba Melintang
e.Bangka
Luas Lahan Tersedia
(ha)
Zona
Agroekologis
Kelas Kesesuaian
Tebu
2.380
40.000
4.900
3.100
11.200
4.386
1B1,1B3
1B1
2B2
1B1,1B3
2B2
1B3
N
N
N
N
N
N
1B2,1B3
1B1, 1B3
1B1, 1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
5.510
1.103
22.976
22.381
28.093
90.037
1.923
21.876
6.940
24.566
22.054
50.000
SUMATRA BARAT
1. AGAM
18.722
2.PASAMAN
70.955
3.50 KOTA
4.TANAH DATAR
5.PADANG PARIAMAN
6. SOLOK
7.PESISIR SELATAN
8.SAWAHLUNTO
9. DHARMAS RAYA
15.491
14.701
61.245
36.036
43.753
29.382
1.500
1B1,1B3
1B1,1B2,
1B3,2B3
1B1,1B3. 2B3
2B1
1B1,1B2, 1B3
1B1,1B3,2B1
1B1,1B3,
1B1,1B3
ND
JAMBI
1.BATANGHARI
2.MUARO JAMBI
3.BUNGO
4.TEBO
5.MERANGIN
6.SOROLANGUN
7.TJ.JABUNG B
8.TJ.JABUNG T
NR
NR
NR
NR
58.011
50.977
110.284
40.000
ND
1B3,2B2, 2B3
1B3,2B2, 2B3
1B3,2B2, 2B3
SUM. SEL.
1.LAHAT
V-8
N
N
N
N
N
N
N
-
Tabel 5. 2 Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Tebu (Lanjutan)
PROPINSI /KABUPATEN/
KECAMATAN
a. Kota Lahat
b. Kikim Timur
c. Kikim Selatan
d. Merapi
2. MUARA ENIM
a. Benakat
b.Gelumbang
c.Penukal Utara
dSungai Rotan
e.Gunung Megang
f.Tanjung Agung
3.MUSI BANYUASIN
a. Sungai Lilin
b.Bt.Harileko
c.Babat Toman
d.Sekayu
e.Sungai Keruh
f.Keluang
g. Bayung Lencir
LAMPUNG
a. Lampung Timur/Selatan
b. Tulang Bawang/Way Kanan
KAL. SEL
1.TABALONG
2.BALANGAN
3.TABALONG &TAPIN
4.BARITO KUALA
5.TAPIN
6.TANAH LAUT
a.Kintap
b.Jorong,Kintap
7.TANAH BUMBU & LAUT
8.TANAH BUMBU
9. KOTA BARU
a.Pantai
b.Pudi
KALIMANTAN BARAT
1.BENGKAYANG
a. Capkala
2.LANDAK
a. Darit
b. Kuala Behe
3. SAMBAS
Luas Lahan Tersedia
(ha)
15.400
21.530
3.500
10.000
Zona
Agroekologis
1B1,1B2,1B3
1B1,1B2,1B3
1B1,1B2,1B3
1B1,1B2,1B3
Kelas Kesesuaian
Tebu
N
N
N
N
10.000
9.160
27.371
9.400
13.615
25.605
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B3,H1
1B2,1B3
1B3
N
N
N
N
N
S
443
51
111
5
33
206
494
1B1,1B2,1B3
1B1,1B2,1B3
1B2
1B1,1B3
1B1,1B2,1B3
1B1,1B2,1B3
1B1,1B2,1B3
N
N
N
N
N
N
19.668
65.292
1B1, 1B2, 1B3
1B1, 1B2, 1B3
N
N
4.570
7.854
75.000
21.137
6.626
1B2,1B3,H1
1B1,1B3
1B1,1B3
1B1,1B3
1B1,1B3
N
N
N
N
N
4.300
19.170
11.063
1B2,1B3
N
1B1,1B3
1B1,1B3
1B1,1B3
N
N
N
4.300
7.000
20.000
10.000
10.000
6.395,7
1B3
N
1B1, 1B2, 1B3
N
1B1, 1B2, 1B3
N
V-9
Tabel 5. 2Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Tebu (Lanjutan)
PROPINSI /KABUPATEN/
KECAMATAN
KALIMANTAN TENGAH
Barito Selatan
Barito Utara
Barito Timur
Kapuas
Murung raya
KALTIM
KUKAR
a. Tenggarong
b.Tenggarong Seberang
c. Loa Kulu
d. Loa Janan
e.Muara Jawa
f. Samboja
g. Sanga-sanga
h.Anggana
i. Muara badak
j. Marang Kayu
k. Muara Kaman
l. . Sebulu
m. Muara Wis
n. Kota Bangun
o. Muara Muntai
p. Kenohan
q. Kembang janggut
r. Tabang
SULAWESI SELATAN
LUWU UTARA
a. Masamba
b. Sabbang
c. Baebunta
d. Limbong
e. Seko
f. Rampi
g. Malangke
h. Malangke Barat
i. Mappedeceng
j. Sukamaju
k.Bone-bone
SULAWESI TENGGARA
1 KONAWE
a.Asera
b.Wiwirano
2. KONAWE SELATAN
a.Angata
3.KOLAKA
a.Mowewe
b.Mowewe Selatan
V-10
Luas Lahan Tersedia
(ha)
Zona
Agroekologis
Kelas Kesesuaian
Tebu
-
1B1, 1B3
1B2, 1B3
1B2, 1B3
N
N
N
-
1B3
1B2, 1B3
N
N
432.671
1.199
3.418
25.790
299
18.830
4.833
2000
9.000
2.000
115.864
140
17.778
31.966
3.021
54.818
56.508
85.202
1B2, 1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
1B2,1B3
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
27.818
16.280
10.000
13.750
13.587
18.750
3.534
420
7.000
10.653
8.550
ND
ND
ND
2B3
ND
ND
ND
ND
ND
ND
ND
N
-
86.000
1B1,1B3, H1
N
30.000
1B1,1B3, H1
N
8.163
1B1,1B3
N
Tabel 5. 2 Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Tebu (Lanjutan)
PROPINSI /KABUPATEN/
KECAMATAN
4.BUTON
a. Rarowatu
b. Kabaena Timur
c. Kabaena
Luas Lahan Tersedia
(ha)
Zona
Agroekologis
Kelas Kesesuaian
Tebu
3.500
500
500
1K2,
S
49.600
70.000
40.000
>10.000
>10.000
1B2,1B3, H1
1B3, H2
1B3, H1
1K1
1K1
N
N
N
S
PAPUA
1.YAPEN,WAROPEN
2.NABIRE,MANOKWARI
3. SORONG, FAKFAK
4. MERAUKE
P. Komdum
S
MALUKU
KAB. HALMAHERA UTARA
a. Morotai Utara
10.160
b. Morotai Selatan
3.879
c.Loloda Utara
11.800
d.Galela
e.Tobelo
f. Kao
g. Maliput
BALI
1. JEMBRANA
a. Negara
b. Mendoyo
c. Melaya
2.KARANG ASEM
a.Abang
JAWA BARAT
1.GARUT
a. Cibalong
b. Pamengpeuk
c. Cikelet
d. Pakenjeng
e. Mekarmukti
f. Bungbulang&Caringin
JAWA TENGAH
1.CILACAP
a. Dayeuh Luhur
b. Wanareja
c. Cipari
d. Sidareja
e.Majenang
1B1, 1B3
1B1, 1B3
N
N
1B3
1B1, 1B3
N
N
12.392
4.400
5.425
1B3
1B1, 1B3
1B1, 1B3
1B1, 1B3
1.172
1B2,H1
N
150
2B1, H1
N
535
275
3.924
1.051
4.450
7.840
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
1B3
N
N
N
N
N
N
-
1B1,1B3
N
15.178,5
N
N
N
N
Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor
V-11
KETERANGAN :







ND nama tempat tidak ditemukan di peta
NR. Lahan Kehutanan Tidak direkomendasikan untuk alih fungsi
S . Suitable (sesuai ) untuk pengembangan
N.Tidak sesuai untuk pengembangan
(-) Tidak dapat diinformasikan
1B3 Sesuai untuk pengembangan kelapa sawit,kakao, karet
1K2 Sesuai untuk pengembangan Tebu
Berdasarkan pada tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa hampir semua lahan yang teridentifikasi
masih belum digunakan potensial dan relatif sesuai untuk pengembangan tebu, tebu dan tebu,
tetapi tidak sesuai untuk pengembangan tanaman tebu. Untuk pengembangan lebih lajut perlu
dilakukan pengkajian lebih detail sampai kesesuaian lahan tingkat famili.
Pada dasarnya zona lahan lahan yang dapat dikelompokan sebagai lahan dataran rendah beriklim
basah merupakan lahan-lahan yang sesuai dan dapat dikembangkan untuk tanaman tebu, Tebu,
dan tebu. Lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan tebu adalah pada dataran rendah yang
beriklim kering dengan topografi yang datar (kemiringan 0-8 %) sampai bergelombang (kemiringan
8-15%).
Dalam pengembangan suatu komoditi perkebunan tidak hanya melihat kesesuaian lahan saja tetapi
harus dilihat ketersediaan lahan. Sebagaimana diketahui dalam pengembangan suatu komoditi
perkebunan agar menguntungkan harus memenuhi batas minimal luasan yang ekonomis. Secara
kasar, batas luasan minimal untuk Komoditi Tebu dalam memenuhi kebutuhan Pabrik gula
memerlukan pasokan bahan baku yang cukup tinggi agar ekonomis, sehubungan dengan itu dalam
membangun pabrik gula maka minimal luasan kebun tebu sebagai pemasok bahan baku untuk
pabrik adalah 3000 Ha.
5.4 Karakteristik Wilayah Indonesia Berkaitan dengan Komoditi Tebu
Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam peningkatan dan pengembangan komoditi
tebu. Seperti misalnya prasarana transportasi jalan serta jaringan telekomunikasi. Di Indonesia,
masih banyak propinsi yang belum begitu memadai kondisi prasarana transportasi jalannya. Untuk
peningkatan komoditi tebu terutama untuk skala menengah dan skala besar, keberadaan jalan
dengan fungsi dan kelas tertentu sangat diperlukan seperti misalnya jalan nasional dengan fungsi
arteri primer dan jalan propinsi dengan fungsi kolektor primer. Pada tabel 5.3 di bawah ini
memperlihatkan panjang jalan nasional dan jalan propinsi di sebagian wilayah di Indonesia.
V-12
Tabel 5. 3
Rekapitulasi Jalan Nasional & Jalan Propinsi di Beberapa Wilayah di
Indonesia Tahun 2002
No
Propinsi
Jalan
Nasional
(Km)
Jalan
Propinsi
(Km)
1
Nanggroe Aceh Darussalam
2,511.26
2,024.19
2
Sumatera Utara
3,346.19
2,754.32
3
Sumatera Barat
1,428.81
1,472.94
4
Riau
1,709.54
1,607.35
5
Jambi
1,159.89
992.11
6
Bengkulu
1,366.63
921.61
7
Sumatera Selatan
2,661.71
2,716.38
8
Lampung
2,450.14
1,097.86
9
DKI
-1,097.86
10 Jawa Barat
2,930.55
1,942.25
11 Jawa Tengah
2,589.61
2,580.06
12 DI Yogyakarta
624.45
638.54
13 Jawa Timur
3,731.80
2,000.83
14 Bali
846.89
674.83
15 Nusa Tenggara Barat
1,863.40
1,532.11
16 Nusa Tenggara Timur
3,151.75
3,254.42
17 Kallimantan Barat
2,036.92
1,885.24
18 Kalimantan Tengah
523.51
906.72
19 Kalimantan Timur
1,542.43
980.24
20 Kalimantan Selatan
954.23
745.96
21 Sulawesi Utara
938.09
916.66
22 Sulawesi Tengah
1,799.29
1,566.89
23 Sulawesi Selatan
1,884.84
1,559.55
24 Sulawesi Tenggara
1,489.07
1,178.58
25 Maluku
2,011.97
1,890.70
26 Maluku Utara
218.39
824.57
27 Irian Jaya
1,676.08
961.84
(Sumber : Diolah dari Data Departemen Pekerjaan Umum dan BPS)
Total Jalan
Nasional +
Jalan
Propinsi
(Km)
Luas
Wilayah
(km2)
Rasio Panjang
Jalan Nasional +
Propinsi per Luas
Wilayah (Km /
Km2)
4,535.45
6,100.51
2,901.75
3,316.89
2,152.00
2,288.24
5,378.09
3,548.00
1,097.86
4,872.80
5,169.67
1,262.99
5,732.63
1,521.72
3,395.51
6,406.17
3,922.16
1,430.23
2,522.67
1,700.19
1,854.75
3,366.18
3,444.39
2,667.65
3,902.67
1,042.96
2,637.92
51,937
73,587
42,899
94,560
53,437
19,789
93,083
35,384
664
34,597
32,549
3,186
47,922
5,633
20,153
47,351
146,807
153,564
43,546
230,277
15,273
63,678
62,365
38,140
46,975
30,895
365,466
0.09
0.08
0.07
0.04
0.04
0.12
0.06
0.10
1.65
0.14
0.16
0.40
0.12
0.27
0.17
0.14
0.03
0.01
0.06
0.01
0.12
0.05
0.06
0.07
0.08
0.03
0.01
Dari tabel di atas, dapat dilihat beberapa propinsi di Indonesia yang terlihat menonjol
keberadaan jalan nasional dan jalan propinsi dengan dibandingkan terhadap luasan wilayahnya.
Propinsi-propinsi tersebut di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera
Selatan, seluruh propinsi di Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
Maluku.
Untuk prasarana penunjang lainnya, yaitu telekomunikasi, pada umumnya di setiap wilayah
Indonesia sudah terdapat prasarana telekomunikasi. Hanya saja mungkin belum menjangkau
wilayah keseluruhan, terkecuali wilayah yang terdapat di Pulau Jawa yang hampir sudah
V-13
terjangkau semua wilayahnya oleh prasarana telekomunikasi. Untuk lebih jelasnya, seberapa jauh
keberadaan prasarana ini dapat dilihat pada tabel 5.4 di bawah ini. Rasio sambungan telepon
terhadap luas wilayah dapat menunjukkan kerapatan pelayanan prasarana telekomunikasi di
wilayah, sedangkan rasio telepon terhadap penduduk menunjukkan tingkat pelayanan prasarana
telekomunikasi terhadap penduduk wilayah. Untuk kepentingan investasi rasio yang lebih dilihat
adalah rasio terhadap luas wilayah, tetapi paling tidak rasio terhadap jumlah penduduk juga dapat
memberi gambaran seberapa besar pelayanan eksisting dan tingkat kemajuan rata-rata wilayah.
Tabel 5. 4 Prasarana Telekomunikasi Telepon di Beberapa Wilayah Indonesia Tahun
2001/2002
Telepon
(Satuan
Sambungan
Telepon)
Populasi
(ribu)
Luas
Wilayah
(km2)
Rasio
Sambungan
Telepon
terhadap
Jumlah
Penduduk
Rasio Sambungan
Telepon terhadap
Luas Wilayah
No
Propinsi
1
Nanggroe Aceh Darussalam
88,740
4,240,000
51,937
0.02
1.71
2
Sumatera Utara
400,452
11,642,000
73,587
0.03
5.44
3
Sumatera Barat
142,255
4,249,000
42,899
0.03
3.32
4
Riau
204,794
5,596,000
94,560
0.04
2.17
5
Jambi
54,053
2,407,000
53,437
0.02
1.01
6
Bengkulu
28,800
1,525,000
19,789
0.02
1.46
7
Sumatera Selatan
124,940
6,522,000
93,083
0.02
1.34
8
Lampung
115,632
6,963,000
35,384
0.02
3.27
9
DKI
3,478,896
8,640,000
664
0.40
5,239.30
10
Jawa Barat
879,004
38,138,000
34,597
0.02
25.41
11
Jawa Tengah
770,234
32,175,000
32,549
0.02
23.66
12
DI Yogyakarta
127,957
3,211,000
3,186
0.04
40.16
13
Jawa Timur
1,829,803
36,270,000
47,922
0.05
38.18
14
Bali
218,664
3,363,000
5,633
0.07
38.82
15
Nusa Tenggara Barat
53,666
4,025,000
20,153
0.01
2.66
16
Nusa Tenggara Timur
24,832
4,094,000
47,351
0.01
0.52
17
Kallimantan Barat
99,298
3,969,000
146,807
0.03
0.68
18
Kalimantan Tengah
36,105
1,838,000
153,564
0.02
0.24
19
Kalimantan Timur
288,386
2,720,000
43,546
0.11
6.62
20
Kalimantan Selatan
103,198
3,188,000
230,277
0.03
0.45
21
Sulawesi Utara
64,017
2,136,000
15,273
0.03
4.19
22
Sulawesi Tengah
74,759
2,221,000
63,678
0.03
1.17
23
Sulawesi Selatan
244,515
8,253,000
62,365
0.03
3.92
24
Sulawesi Tenggara
33,370
1,887,000
38,140
0.02
0.87
25
Maluku
43,390
1,224,000
46,975
0.04
0.92
26
Maluku Utara
14,685
858,000
30,895
0.02
0.48
27
Irian Jaya
38,104
2,366,000
365,466
0.02
0.10
Sumber : Badan Pusat Statistik
Dari
tabel
terlihat
bahwa
wilayah-wilayah
yang
menonjol
keberadaan
prasarana
telekomunikasinya terhadap luas wilayah selain wilayah-wilayah yang terdapat di Pulau Jawa
V-14
adalah Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Namun apabila
dihubungkan antara jumlah satuan sambungan telepon dengan jumlah penduduk, terlihat bahwa
ketersediaan prasarana telekomunikasi hampir merata di tiap propinsi.
Dilihat dari ketersediaan sumber daya manusia, tabel 5.4 juga menunjukkan bahwa ketersediaan
yang sangat signifikan terdapat di wilayah yang berada di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Bali dan
Sulawesi Selatan. Namun masalah sumber daya manusia pada wilayah lainnya dapat diatasi
dengan mendatangkan dari wilayah yang berlebih sumber dayanya, seperti misalnya dari wilayah
di Pulau Jawa.
Selain prasarana telekomunikasi dan prasarana jalan, faktor ketersediaan juga energi listrik juga
menjadi pertimbangan dalam usaha investasi pengembangan komoditi tebu. Berdasarkan
Statistik Indonesia tahun 2003, energi listrik yang didistribusikan oleh Perusahaan Listrik Negara
(PLN) dapat dilihat pada tabel 5.5 di bawah ini.
Tabel 5. 5 Listrik yang Didistribusikan oleh PT PLN di masing-masing Wilayah di
Indonesia
Wilayah
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
Distribusi
Distribusi
Distribusi
Distribusi
Distribusi
Wilayah PLN
Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat, Riau
Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka
Belitung, Lampung
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara
Maluku, Maluku Utara
Papua
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat, Banten
Jakarta, Tangerang
Batam
Distribusi Listrik (MWH)
479
3876
2671
3209
738
2178
854
1904
219
352
2220
14640
10987
25713
19178
661
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2003
Dari tabel 5.5 menunjukkan bahwa distribusi listrik yang signifikan terdapat di Pulau Jawa.
Sedangkan untuk wilayah di luar Pulau Jawa, distribusi yang cukup besar adalah wilayah II
(Sumatera Utara), III (Sumatera Barat dan Riau), IV (Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka
Belitung, Lampung), VI (Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur), VIII
V-15
(Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara) , dan XI (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur). Sedangkan untuk wilayah Kalimantan Barat juga mengkonsumsi listrik yang cukup
signifikan.
Dari berbagai kekurangan dan kelebihan pada wilayah-wilayah seperti yang telah dijabarkan di
atas, maka pada sub bab berikut akan disajikan analisis investasi berkaitan dengan komoditi tebu
untuk mengetahui wilayah mana yang memiliki nilai potensi investasi yang besar dengan
memberikan suatu penilaian komparatif pada tiap propinsi di Indonesia.
5.5
Keunggulan Komperatif Komoditi Utama di Wilayah Pengembangan
Untuk melihat keunggulan komperatif komoditas utama di suatu wilayah digunakan analisis
perbandingan keunggulan masing-masing komoditas. Parameter yang digunakan adalah
kesesuaian
agroekologis
wilayah
pengembangan
tersebut,
ketersediaan
lahan
untuk
pengembangan, ketersediaan SDM di lokasi pengembangan, dan ketersediaan infrastruktur di
lokasi pengembangan. Masing-masing parameter tersebut terdiri dari 5 tingkatan yaitu : (a)
sangat rendah nilai 1, (b) rendah dengan nilai 2, (c) sedang dengan nilai (3), (d) tinggi dengan
nilai 4, dan (e) sangat tinggi dengan nilai 5.
Penilaian parameter untuk kesesuaian lahan bagi tebu berdasarkan kriteria seperti yang tertera
pada Tabel. 5.6.
Tabel 5. 6 Kriteria Penilaian Kesesuaian lahan
Nilai
1
2
3
4
5
Kriteria
Lahan tidak sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK merupakan kawasan
hutan
Lahan sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK merupakan kawasan hutan
Lahan kurang sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK bukan merupakan
kawasan hutan
Lahan sesuai untuk pengembangan komoditas, , menurut RTRWK bukan merupakan kawasan
hutan
Lahan sangat sesuai, menurut RTRWK bukan merupakan kawasan hutan
Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor
Penilaian ketersediaan lahan di wilayah pengembangan ditentukan oleh lahan yang tersedia untuk
pengembangan suatu komoditas. Sehubungan batas minimal lahan untuk pengembangan
tanaman tebu berbeda-beda, maka penilaian parameter ketersediaan lahan untuk komoditas
tersebu berbeda pula. Kriteria penilaian ketersediaan lahan untuk masing-masing komoditas bisa
disimak pada Tabel 5.7.
V-16
Tabel 5. 7 Penilaian Ketersediaan Lahan
Nilai
Laus Lahan yang tersedia untuk pengembangan (ha)
Kelap Sawit
< 3000
3001 – 5000
5001 – 8000
8001 -10000
>10000
1
2
3
4
5
Karet
<300
301-500
501-800
801-1000
> 1000
kakao
<200
201 -400
401-600
601-800
>800
Tebu
<750
751-1500
1501-2250
2251-3000
>3000
Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor
Penilaian untuk ketersediaan sarana dan prasarana, serta ketersediaan SDM pada dasarnya sama
untuk pengembangan semua komoditas. Penilaiana sarana prasarana didasari oleh tersedia
tidaknya sarana jalan, sarana telekomunikasi tersebut. Lebih rinci kriteria penilaian ketersediaan
sarana dan prasarana dapat disimak pada Tabel 5.8, sedangkan kriteria ketersediaan SDM dapat
disimak pada Tabel 5.9.
Tabel 5. 8 Kriteria Penilaian Sarana dan Prasarana
Nilai
1
2
3
4
5
Kriteria
Tidak sarana tarnsportasi, tidak ada sarana telekomunikasi, tidak ada sumber listrik
Hanya terdapat sarana transportasi air, tidak ada sarana telekomunikasi, tidak ada ada
sumber listrik
Hanya terdapat sarana transportasi darat, tidak terdapat sarana telekomunikasi, dan sumber
listrik
Terdapat sarana tranportasi air dan darat, tidak terdapat sarana telekomunikasi, dan sumber
listrik
Terdapat sarana transportasi air dan darat. Terdapat sarana telekomunikasi anumber listrik
Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor
Tabel 5. 9 Kriteria Penilaian Ketersediaan SDM
Nilai
1
2
3
4
5
Kriteria
Ketersediaan SDM kurang dan jauh
Ketersediaan SDM dapat dipenuhi dari kawasan terdekat
Ketersediaan SDM cukup (dilokasi)
Ketersediaan SDM tersedia (non edukatif)
Ketersediaan SDM tersedia (edukatif dan non edukatif)
Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor
Sehubungan ketersediaan lahan merupakan parameter yang paling penting dalam pengembangan
suatu komoditi, maka parameter ini diberi bobot 40 %. Adapun bobot untuk parameter
kesesuaian lahan adalah 30 % dan parameter ketersediaan sarana prasarana serta ketersediaan
SDM diberi bobot masing-masing 15 %. Nilai rata-rata tertinggi mempunyai makna mempunyai
keunggulan komperatif paling tinggi. Secara logis nilai rata-rata > 2.5 dapat diartikan bahwa
komoditi tersebut dapat dikembangkan dan mempunyai nilai komperatif. Analisa komperatif
untuk komoditi tebu, dapat disimak pada lampiran 2. Nilai komperatif untuk tanaman tebu di
V-17
berbagai wilayah dapat disimak pada lampiran 3. Pada lampiran nilai komperatif dan Analisa
komperatif dapat dilihat komoditi tebu mempunyai nilai komperatif yang tinggi di Kolaka dan
Buton Sulawesi Tenggara, serta di Merauke dan Pulau Komdum Papua.
Sentra Produksi Komoditi Tebu di Propinsi Kalimantan Barat
Sentra pengembangan tebu di propinsi Kalimantan Barat terdapat di Kabupaten Sambas
dengan luas 334 ha dengan luas total di Propinsi Kalimantan Barat adalah 421 ha (sumber
Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat 2004)
V-18
V-19
Download