5.1 Agroekologis Komoditas Komoditas Utama Keberhasilan Budidaya suatu jenis komoditas tanaman sangat tergantung kepada kultivar tanaman yang ditanam, agroekologis/lingkungan tempat tumbuh tempat melakukan budidaya tanaman dan pengelolaan yang dilakukan oleh petani/pengusaha tani. Khusus mengenai lingkungan tempat tumbuh (agroekologis), walaupun pada dasarnya untuk memenuhi persyaratan tumbuh suatu tanaman dapat direkayasa oleh manusia, namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam rangka pengembangan suatu komoditas tanaman, pertama kali yang harus dilakukan mengetahui persyaratan tumbuh dari komoditas yang akan dikembangkan kemudian mencari wilayah yang mempunyai kondisi agroekologis/faktor tempat tumbuh yang relatif sesuai. 5.1.1 Persyaratan Tumbuh Komoditi Tebu Sebagai mana hasil analisis, komoditas-komoditas yang mempunyai nilai ekonomis dan potensial untuk dikembangkan adalah tanaman tebu. Berikut ini disajikan persyaratan tumbuh dari komoditas tersebut. Tebu (Saccharum officinarum L.) a. Tanah/lahan Tinggi tempat: tanaman tebu dapat tumbuh dari mulai pantai sampai dengan ketinggian tempat 1200 m dpl, tapi secara ekonomis diusahakan sampai dengan ketinggian 400 m dpl Topografi: kemiringan lereng datar sampai dengan <8%, lereng optimum <2 %, untuk kemiringan yang tinggi penanaman harus sejajar dengan garis kontur. Drainase: Drainase harus baik, kondisi tanah tidak tergenang V-1 Jenis tanah: Tebu tumbuh baik pada tanah lempung berkapur atau berpasir dan lempung berliat Sifat fisik tanah: Solum/kedalaman efektif minimum 50 cm tanpa ada lapisan padas, Tekstur lempung berkapur atau berpasir dan lempung berliat, Konsistensi sedang – berat , struktur baik dan mantap (remah) gembur sampai agak teguh. Kelembaban tanah 31%. Sifat kimia tanah: Kemasaman tanah (pH) 4.0-8.5, dengan pH optimum 5.7-7.0. Kadar klor < 0.06%, kadar garam < 1000 mikro mho/cm3. b. Iklim Curah hujan: 1500-3000 mm, dengan distribusi sesuai dengan pertumbuhan dan kematangan tebu (hujan teratur selama pertumbuhan vegetatif dan diperlukan bulan kering 2-4 bulan selama pemasakan). Temperatur: Temperatur 25-28 0C Penyinaran matahari: optimum 12-14 jam per hari. Kelembaban: 74-88%. Sebaran 350 LS sampai dengan 390LU 5.1.2 Sebaran Wilayah Agroekologis Komoditas Unggulan Tanaman tebu untuk dapat menghasilkan secara optimal memerlukan agroekologis berupa wilayah dataran rendah yang relatif datar dan beriklim lebih kering. Di Indonesia wilayah agroekologis ini mencapai luasan 3,62 juta ha yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi Nusa Tenggara dan Papua. Wilayah ini mempunyai topografi datar sampai berombak dan terdapat di dataran aluvial, teras marin, basin lakustrin serta dataran volkan. Sebagian besar lahan ini jenuh air pada musim hujan dan/atau rekah pada musim kemarau. Wilayah agroekologis yang sesuai untuk pengembangan tanaman tebu di Sumatera mencapai luasan 0,21 juta ha terutama terdapat di Propinsi NAD (sekitar Sigli) berupa dataran aluvial. Dari luasan tersebut 0,15 juta ha sudah digunakan sebagai sawah beririgasi, sedangkan 0,06 juta ha belum dikembangkan dengan kendala berupa ketersediaan air terbatas. Di Jawa wilayah agroekologis yang sesuai untuk pengembangan tebu mencapai luasan 0,97 juta ha, terdapat di Jawa Barat (Indramayu, Cirebon), Jawa Tengah (Grobogan, Blora, Rembang) dan Jawa Timur (Nganjuk, Lumajang, Lamongan dan Probolinggo). Lahan V-2 berupa dataran aluvial yang membentang sepanjang pantai Utara Jawa, dan sebagian berupa dataran vulkan. Pada saat ini lahan-lahan ini berupa sawah, pemukiman dan daerah industri. Wilayah agroekologis ini di Nusa Tenggara seluas 0, 32 juta ha tersebar di dataran aluvial dan volkan Propinsi Nusa Tenggara Timur (Mbay dan Lembah Bena) dan Nusa Tenggara Barat (Lombok Tengah). Pada saat ini lahan-lahan ini digunakan sebagai sawah tadah hujan seluas 0,21 juta ha sebagian besar di daerah Nusa Tenggara Barat. Sisanya seluas 0,11 juta ha berupa lahan pengembangan terdapat di Nusa Tenggara Timur, dengan permasalahan ketersediaan air terbatas. Di Sulawesi wilayah agroekologis ini meliputi luas 0,45 juta ha terutama terdapat di Sulawesi Selatan (sekitar Danau Tempe, dan Sindrang) Sulawesi Tengah (Lembah Palu), Gorontalo (sekitar danau Limboto dan Paguyaman), dan Sulawesi Tenggara (pulau Buton). Pada saat ini lahan tersebut telah digunakan sebagai sawah irigasi, sawah tadah hujan dan pemukiman seluas 0,24 juta ha, terutama di Sulawesi Selatan, sedangkan sisanya seluas 0,21 juta ha terutama di Sulawesi Tengah belum dikembangkan. Di Papau wilayah agroekologis ini meliputi luas 1, 65 juta ton dan terdapat pada teras marin Kabupaten Marauke (Kumbe dan Okaba). Wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan perkebunan tebu, baru sebagian kecil yang sudah dimanfaatkan sebagai sawah terutama di daerah transmigrasi. Permasalahannya adalah adalah aksesibilitas, potensi tenaga kerja yang rendah dan sebagian lahan berupa hutan dan berawa-rawa pada musim hujan. 5.2 Metode Evaluasi Kesusaian Lahan Untuk Komoditas Potensial Potensi lahan untuk pengembangan perkebunan pada dasamya ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan lingkungan yang mencakup: tanah, topografi/bentuk wilayah, hidrologi dan iklim. Kecocokan antara sifat-sifat fisik dengan persyaratan penggunaan suatu komoditas yang dievaluasi akan memberikan gambaran atau informasi bahwa tanah tersebut potensial untuk pengembangan komoditas tersebut. Hal tersebut juga memiliki pengertian bahwa jika lahan digunakan untuk penggunaan tertentu dengan seraya mempertimbangkan masukan (Input) yang diperlukan maka akan memberikan hasil (output) sesuai dengan yang diharapkan. 5.2.1 Klasifikasi Kesesuaian Lahan Menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993), penilaian klasifikasi kesesuaian lahan dibedakan menurut tingkatannya, yaitu sebagai berikut: Ordo : Pada tingkat ini kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergotong sesuai (S) dan tidak sesuai (N). V-3 Kelas : Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dibedakan antara sangat sesuai (S1). cukup sesuai (S2) dan marginal sesuai (S3). Lahan kelas sangat sesuai (S1) adalah lahan yang relatif tidak memiliki faktor pembatas yang berarti/nyata terhadap penggunaannya secara berketanjutan. Lahan kelas cukup sesuai (S2) adalah tahan mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktifitasnya, sehingga memerlukan tambahan (input) untuk meningkatkan produktifitas pada tingkat yang optimum. Lahan kelas sesuai marginal (S3) adalah lahan mempunyal faktor pembatas yang berat sehingga berpengaruh terhadap produktifitasnya dan memerlukan input lebih besar dari pada lahan kelas S2. Lahan kelas tidak sesuai (N) adalah lahan yang tidak sesuai karena memiliki faktor pembatas yang berat. Lahan ketas ini dibedakan menjadi lahan kelas tidak sesuai sementara (N1), dan lahan kelas tidak sesuai permanen (N2). Lahan kelas N1 mempunyai faktor pembatas yang sangat berat tapi sifatnya tidak permanen, sehingga dengan input pada tingkat tertentu masih dapat ditingkatkan produktifitasnya. Sedangkan tahan kelas N2 mempunyai faktor pembatas sangat berat dan sifatnya permanen sehingga tidak mungkin diperbaiki. Dalam evaluasi ini dikenal ’Kesesuaian Lahan Aktual’ dan ’Kesesuaian Lahan Potensial'. Kesesuaian Lahan Aktual (atau kesesuaian saat ini/saat survai dilakukan) adalah kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan berdasarkan data yang ada dan belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktorfaktor pembatas yang ada. Sedangkan Kesesuaian Lahan Potensial adalah keadaan lahan yang dicapai setelah adanya usaha-usaha perbaikan (Approvement. Usaha perbaikan yang dilakukan haruslah sejalan dengan tingkat penilaian kesesuaian lahan yang akan dilakukan. 5.2.2 Kriteria Kesesuaian Lahan Kriteria kesesuaian lahan yang dimaksud adalah pedoman yang digunakan dalam menentukan/mengevaluasi lahan yang disurvai bagi keperluan pengembangan perkebunan tebu. Dalam kegiatan ini digunakan pedoman/kriteria kesesuaian lahan menurut Pusat Penelitian Tanah, 1993. Berikut ini adalah uraian dari setiap faktor yang dapat mempengaruhi penilaian kesesuaian lahan di lokasi: - V-4 Iklim, unsur Iklim terpenting adalah curah hujan. - Hidrologi, unsur yang penting adatah ketersediaan air pengairan dan dampak keberadaan air tanah terhadap kondisi drainase, serta bahaya banjir. Masalah hidrologi di sebagian lokasi lebih berupa teknis pengaturan tata air/drainase yang berdampak langsung terhadap proses pertumbuhan tanaman, khususnya di lahan-lahan yang saat ini sering atau selalu tergenang. - Kemiringan Lereng. Kemiringan lereng merupakan salah satu masalah serius di sebagian lokasi. terutama pada areal dengan kemiringan lereng lebih dari 40%. Faktor kemiringan lereng lebih sebagai kendala dalam teknis pengelolaan kebun, seperti pengangkutan hasil atau panen, Tanah dengan kemiringan lereng lebih dari 40% juga beresiko besar mengalami erosi permukaan cukup berat. Penanaman tanaman penutup tanah (cover crop) sebaiknya tidak terlambat dilaksanakan pada lahan-lahan dengan kemiringan lereng di atas 15%. - Tanah. Retensi hara pada sebagian besar jenis tanah yang ada memberikan indikasi bahwa pemupukan dengan dosis yang tepat merupakan kunci keberhasilan pertumbuhan dan produksi tanaman. Beberapa jenis tanah juga memiliki karakteristik sangat buruk, seperti tanah Regosol dan Podsol yang memiliki tekstur sangat kasar di seluruh lapisan. Standar penilaian kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman tebu dapat disimak pada Tabel 5.1 V-5 Tabel 5. 1 Standar Kesesuaian Lahan Untuk Tebu KUALITAS KARAKTERISTIK LAHAN Temperatur (t) Rata-rata tahunan (C0) Ketersediaan Air Kelas Kesesuaian Lahan S1 24-30 S2 S3 >28 -32 >32-34 22-<24 21- <22 N1 td N2 > 34 < 21 (w) Bulan Kering (>75mm 3-4 4-5 >4-5 Td >5 Curah Hu|an (mn/th) 1500-2500 >2500-3000 >3000-4000 Td <2 1300-<1500 1000-<1300 Td >3000 <1000 LGP(hari) 230-250 210-230 100-210 <180 <180 250-300 300-320 340 360 Sedang, Agak Terhambat, Sangat terhambat, cepat terhambat, Kondisi perakaran (r) Kelas Drainase Tanah Baik agak cepat Tekstur Tanah Sl.L..SCL, LS, SiC, SC, C sangat Td SiL, Si, Kerikil, CL,SiCL. Keadaan efektif (cm) >75 Gambut - Kematangan - Kedalamam (cm) cepat SiC. pasir 55-75 40-35 30-<40- <30 Saprik Hemik Hemik- Fibrik <100 100-150 fibrik >200 >150-200 Retensi Hara (f) KTK(me/100gr tanah PH (H20) >-Tinggi Sedang Rendah 6,5-7,0 >7,0-7,5 >8,0-8,5 >8,5 5,5-<6.5 4,0-<5,5 <4,0 C- organik Ketersediaan Hara: (n) N-to1al (%) Sedang Rendah Sgt rendah - - P205 tersedia Tinggi Sedang Sgt rendah - - K20 tersedia Tinggi Sedang Sgt rendah - - Toxicitas : (x) V-6 - Salinitas (mmhos/cm <3,5 3,5-5,5 >5,5-8 Kej. Alumunium (%) <20 20-40 40-60 Kedalaman Sulfidik (cm) >100 75-100 60-<75 8-12 >12 >60 50-<60 <50 Tabel 5.1 Standar Kesesuaian Lahan Untuk Tebu (Lanjutan) KUALITAS KARAKTERISTIK LAHAN Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N1 N2 Medan (terain): Lereng (%) <8 8-15 >15-20 >20 >20 Batuan Permulaan (%) >3 3-15 >15-40 Td >40 Singkapan Batuan (%) <2 2-10 >10-25 25-40 > 40 Bahaya Erosi SR R S B SB Banjir dan Genangan F1 F2 F3 F4 F5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklilmat, 1993 Dep. Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, 1993/1994 Keterangan Td = Tidak Berlaku L = Lempung S = Pasir Si = Debu Sir C = Liat berstruktur 5.3 Kesesuaian Agroekologi Komoditi Utama Berdasarkan hasil penelusuran pada peta Tata Ruang Pertanian yang diterbitkan Departemen Pertanian tahun 2001 dan hasil analisis kesesuaian lahan, sehingga dapat ditentukan kesesuaian lahan untuk masing-masing komoditas utama. Sehubungan data yang tersedia sangat terbatas dan peta yang ada mempunyai sekala yang tinggi, maka kesesuaian agroekologis hanya sampai tingkat Ordo. Pada Tabel 5.2 disajikan hasil evaluasi kesesuaian agroekologis tingkat ordo untuk komoditas utama tebu dan untuk masing-masing wilayah pengembangan. Walaupun demikian tidak semua kecamatan bahkan kabupaten yang diusulkan dapat diketahui zona agroekologisnya. Hal ini diduga adanya daerah pemekaran khususnya untuk tingkat kabupaten, sedangkan untuk tingkat kecamatan maupun desa disebabkan peta skala 1 : 1.000.000 dianggap kurang detail. Dengan demikian beberapa kecamatan bahkan kabupaten yang diusulkan tidak dapat dideteksi zona agroekologisnya. V-7 Tabel 5. 2 Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Tebu PROPINSI /KABUPATEN/ KECAMATAN SUMATRA UTARA 1.TEBING TINGGI 2.NATAL 3.PADANG SIDEMPUAN 4.TANJUNG BALAI 5.TARUTUNG 6. KAB. SIMALUNGUN RIAU 1.KAMPAR a.Bangkinang b. Bangkinang Barat c.Koto Kampar d.Siak Hulu e.Tapung f.Kampar Kiri g.Tambang h.Tapung Hulu i.Tapung Hilir j.Kampar Kiri k.Kampar Kiri Hulu 2.ROKAN HULU a. Tanah Putih b. Kubu c. Sinembah d.Rimba Melintang e.Bangka Luas Lahan Tersedia (ha) Zona Agroekologis Kelas Kesesuaian Tebu 2.380 40.000 4.900 3.100 11.200 4.386 1B1,1B3 1B1 2B2 1B1,1B3 2B2 1B3 N N N N N N 1B2,1B3 1B1, 1B3 1B1, 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N 5.510 1.103 22.976 22.381 28.093 90.037 1.923 21.876 6.940 24.566 22.054 50.000 SUMATRA BARAT 1. AGAM 18.722 2.PASAMAN 70.955 3.50 KOTA 4.TANAH DATAR 5.PADANG PARIAMAN 6. SOLOK 7.PESISIR SELATAN 8.SAWAHLUNTO 9. DHARMAS RAYA 15.491 14.701 61.245 36.036 43.753 29.382 1.500 1B1,1B3 1B1,1B2, 1B3,2B3 1B1,1B3. 2B3 2B1 1B1,1B2, 1B3 1B1,1B3,2B1 1B1,1B3, 1B1,1B3 ND JAMBI 1.BATANGHARI 2.MUARO JAMBI 3.BUNGO 4.TEBO 5.MERANGIN 6.SOROLANGUN 7.TJ.JABUNG B 8.TJ.JABUNG T NR NR NR NR 58.011 50.977 110.284 40.000 ND 1B3,2B2, 2B3 1B3,2B2, 2B3 1B3,2B2, 2B3 SUM. SEL. 1.LAHAT V-8 N N N N N N N - Tabel 5. 2 Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Tebu (Lanjutan) PROPINSI /KABUPATEN/ KECAMATAN a. Kota Lahat b. Kikim Timur c. Kikim Selatan d. Merapi 2. MUARA ENIM a. Benakat b.Gelumbang c.Penukal Utara dSungai Rotan e.Gunung Megang f.Tanjung Agung 3.MUSI BANYUASIN a. Sungai Lilin b.Bt.Harileko c.Babat Toman d.Sekayu e.Sungai Keruh f.Keluang g. Bayung Lencir LAMPUNG a. Lampung Timur/Selatan b. Tulang Bawang/Way Kanan KAL. SEL 1.TABALONG 2.BALANGAN 3.TABALONG &TAPIN 4.BARITO KUALA 5.TAPIN 6.TANAH LAUT a.Kintap b.Jorong,Kintap 7.TANAH BUMBU & LAUT 8.TANAH BUMBU 9. KOTA BARU a.Pantai b.Pudi KALIMANTAN BARAT 1.BENGKAYANG a. Capkala 2.LANDAK a. Darit b. Kuala Behe 3. SAMBAS Luas Lahan Tersedia (ha) 15.400 21.530 3.500 10.000 Zona Agroekologis 1B1,1B2,1B3 1B1,1B2,1B3 1B1,1B2,1B3 1B1,1B2,1B3 Kelas Kesesuaian Tebu N N N N 10.000 9.160 27.371 9.400 13.615 25.605 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B3,H1 1B2,1B3 1B3 N N N N N S 443 51 111 5 33 206 494 1B1,1B2,1B3 1B1,1B2,1B3 1B2 1B1,1B3 1B1,1B2,1B3 1B1,1B2,1B3 1B1,1B2,1B3 N N N N N N 19.668 65.292 1B1, 1B2, 1B3 1B1, 1B2, 1B3 N N 4.570 7.854 75.000 21.137 6.626 1B2,1B3,H1 1B1,1B3 1B1,1B3 1B1,1B3 1B1,1B3 N N N N N 4.300 19.170 11.063 1B2,1B3 N 1B1,1B3 1B1,1B3 1B1,1B3 N N N 4.300 7.000 20.000 10.000 10.000 6.395,7 1B3 N 1B1, 1B2, 1B3 N 1B1, 1B2, 1B3 N V-9 Tabel 5. 2Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Tebu (Lanjutan) PROPINSI /KABUPATEN/ KECAMATAN KALIMANTAN TENGAH Barito Selatan Barito Utara Barito Timur Kapuas Murung raya KALTIM KUKAR a. Tenggarong b.Tenggarong Seberang c. Loa Kulu d. Loa Janan e.Muara Jawa f. Samboja g. Sanga-sanga h.Anggana i. Muara badak j. Marang Kayu k. Muara Kaman l. . Sebulu m. Muara Wis n. Kota Bangun o. Muara Muntai p. Kenohan q. Kembang janggut r. Tabang SULAWESI SELATAN LUWU UTARA a. Masamba b. Sabbang c. Baebunta d. Limbong e. Seko f. Rampi g. Malangke h. Malangke Barat i. Mappedeceng j. Sukamaju k.Bone-bone SULAWESI TENGGARA 1 KONAWE a.Asera b.Wiwirano 2. KONAWE SELATAN a.Angata 3.KOLAKA a.Mowewe b.Mowewe Selatan V-10 Luas Lahan Tersedia (ha) Zona Agroekologis Kelas Kesesuaian Tebu - 1B1, 1B3 1B2, 1B3 1B2, 1B3 N N N - 1B3 1B2, 1B3 N N 432.671 1.199 3.418 25.790 299 18.830 4.833 2000 9.000 2.000 115.864 140 17.778 31.966 3.021 54.818 56.508 85.202 1B2, 1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 1B2,1B3 N N N N N N N N N N N N N N N N N N 27.818 16.280 10.000 13.750 13.587 18.750 3.534 420 7.000 10.653 8.550 ND ND ND 2B3 ND ND ND ND ND ND ND N - 86.000 1B1,1B3, H1 N 30.000 1B1,1B3, H1 N 8.163 1B1,1B3 N Tabel 5. 2 Hasil Evaluasi Agroekologis untuk Tanaman Tebu (Lanjutan) PROPINSI /KABUPATEN/ KECAMATAN 4.BUTON a. Rarowatu b. Kabaena Timur c. Kabaena Luas Lahan Tersedia (ha) Zona Agroekologis Kelas Kesesuaian Tebu 3.500 500 500 1K2, S 49.600 70.000 40.000 >10.000 >10.000 1B2,1B3, H1 1B3, H2 1B3, H1 1K1 1K1 N N N S PAPUA 1.YAPEN,WAROPEN 2.NABIRE,MANOKWARI 3. SORONG, FAKFAK 4. MERAUKE P. Komdum S MALUKU KAB. HALMAHERA UTARA a. Morotai Utara 10.160 b. Morotai Selatan 3.879 c.Loloda Utara 11.800 d.Galela e.Tobelo f. Kao g. Maliput BALI 1. JEMBRANA a. Negara b. Mendoyo c. Melaya 2.KARANG ASEM a.Abang JAWA BARAT 1.GARUT a. Cibalong b. Pamengpeuk c. Cikelet d. Pakenjeng e. Mekarmukti f. Bungbulang&Caringin JAWA TENGAH 1.CILACAP a. Dayeuh Luhur b. Wanareja c. Cipari d. Sidareja e.Majenang 1B1, 1B3 1B1, 1B3 N N 1B3 1B1, 1B3 N N 12.392 4.400 5.425 1B3 1B1, 1B3 1B1, 1B3 1B1, 1B3 1.172 1B2,H1 N 150 2B1, H1 N 535 275 3.924 1.051 4.450 7.840 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 1B3 N N N N N N - 1B1,1B3 N 15.178,5 N N N N Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor V-11 KETERANGAN : ND nama tempat tidak ditemukan di peta NR. Lahan Kehutanan Tidak direkomendasikan untuk alih fungsi S . Suitable (sesuai ) untuk pengembangan N.Tidak sesuai untuk pengembangan (-) Tidak dapat diinformasikan 1B3 Sesuai untuk pengembangan kelapa sawit,kakao, karet 1K2 Sesuai untuk pengembangan Tebu Berdasarkan pada tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa hampir semua lahan yang teridentifikasi masih belum digunakan potensial dan relatif sesuai untuk pengembangan tebu, tebu dan tebu, tetapi tidak sesuai untuk pengembangan tanaman tebu. Untuk pengembangan lebih lajut perlu dilakukan pengkajian lebih detail sampai kesesuaian lahan tingkat famili. Pada dasarnya zona lahan lahan yang dapat dikelompokan sebagai lahan dataran rendah beriklim basah merupakan lahan-lahan yang sesuai dan dapat dikembangkan untuk tanaman tebu, Tebu, dan tebu. Lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan tebu adalah pada dataran rendah yang beriklim kering dengan topografi yang datar (kemiringan 0-8 %) sampai bergelombang (kemiringan 8-15%). Dalam pengembangan suatu komoditi perkebunan tidak hanya melihat kesesuaian lahan saja tetapi harus dilihat ketersediaan lahan. Sebagaimana diketahui dalam pengembangan suatu komoditi perkebunan agar menguntungkan harus memenuhi batas minimal luasan yang ekonomis. Secara kasar, batas luasan minimal untuk Komoditi Tebu dalam memenuhi kebutuhan Pabrik gula memerlukan pasokan bahan baku yang cukup tinggi agar ekonomis, sehubungan dengan itu dalam membangun pabrik gula maka minimal luasan kebun tebu sebagai pemasok bahan baku untuk pabrik adalah 3000 Ha. 5.4 Karakteristik Wilayah Indonesia Berkaitan dengan Komoditi Tebu Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam peningkatan dan pengembangan komoditi tebu. Seperti misalnya prasarana transportasi jalan serta jaringan telekomunikasi. Di Indonesia, masih banyak propinsi yang belum begitu memadai kondisi prasarana transportasi jalannya. Untuk peningkatan komoditi tebu terutama untuk skala menengah dan skala besar, keberadaan jalan dengan fungsi dan kelas tertentu sangat diperlukan seperti misalnya jalan nasional dengan fungsi arteri primer dan jalan propinsi dengan fungsi kolektor primer. Pada tabel 5.3 di bawah ini memperlihatkan panjang jalan nasional dan jalan propinsi di sebagian wilayah di Indonesia. V-12 Tabel 5. 3 Rekapitulasi Jalan Nasional & Jalan Propinsi di Beberapa Wilayah di Indonesia Tahun 2002 No Propinsi Jalan Nasional (Km) Jalan Propinsi (Km) 1 Nanggroe Aceh Darussalam 2,511.26 2,024.19 2 Sumatera Utara 3,346.19 2,754.32 3 Sumatera Barat 1,428.81 1,472.94 4 Riau 1,709.54 1,607.35 5 Jambi 1,159.89 992.11 6 Bengkulu 1,366.63 921.61 7 Sumatera Selatan 2,661.71 2,716.38 8 Lampung 2,450.14 1,097.86 9 DKI -1,097.86 10 Jawa Barat 2,930.55 1,942.25 11 Jawa Tengah 2,589.61 2,580.06 12 DI Yogyakarta 624.45 638.54 13 Jawa Timur 3,731.80 2,000.83 14 Bali 846.89 674.83 15 Nusa Tenggara Barat 1,863.40 1,532.11 16 Nusa Tenggara Timur 3,151.75 3,254.42 17 Kallimantan Barat 2,036.92 1,885.24 18 Kalimantan Tengah 523.51 906.72 19 Kalimantan Timur 1,542.43 980.24 20 Kalimantan Selatan 954.23 745.96 21 Sulawesi Utara 938.09 916.66 22 Sulawesi Tengah 1,799.29 1,566.89 23 Sulawesi Selatan 1,884.84 1,559.55 24 Sulawesi Tenggara 1,489.07 1,178.58 25 Maluku 2,011.97 1,890.70 26 Maluku Utara 218.39 824.57 27 Irian Jaya 1,676.08 961.84 (Sumber : Diolah dari Data Departemen Pekerjaan Umum dan BPS) Total Jalan Nasional + Jalan Propinsi (Km) Luas Wilayah (km2) Rasio Panjang Jalan Nasional + Propinsi per Luas Wilayah (Km / Km2) 4,535.45 6,100.51 2,901.75 3,316.89 2,152.00 2,288.24 5,378.09 3,548.00 1,097.86 4,872.80 5,169.67 1,262.99 5,732.63 1,521.72 3,395.51 6,406.17 3,922.16 1,430.23 2,522.67 1,700.19 1,854.75 3,366.18 3,444.39 2,667.65 3,902.67 1,042.96 2,637.92 51,937 73,587 42,899 94,560 53,437 19,789 93,083 35,384 664 34,597 32,549 3,186 47,922 5,633 20,153 47,351 146,807 153,564 43,546 230,277 15,273 63,678 62,365 38,140 46,975 30,895 365,466 0.09 0.08 0.07 0.04 0.04 0.12 0.06 0.10 1.65 0.14 0.16 0.40 0.12 0.27 0.17 0.14 0.03 0.01 0.06 0.01 0.12 0.05 0.06 0.07 0.08 0.03 0.01 Dari tabel di atas, dapat dilihat beberapa propinsi di Indonesia yang terlihat menonjol keberadaan jalan nasional dan jalan propinsi dengan dibandingkan terhadap luasan wilayahnya. Propinsi-propinsi tersebut di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, seluruh propinsi di Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Untuk prasarana penunjang lainnya, yaitu telekomunikasi, pada umumnya di setiap wilayah Indonesia sudah terdapat prasarana telekomunikasi. Hanya saja mungkin belum menjangkau wilayah keseluruhan, terkecuali wilayah yang terdapat di Pulau Jawa yang hampir sudah V-13 terjangkau semua wilayahnya oleh prasarana telekomunikasi. Untuk lebih jelasnya, seberapa jauh keberadaan prasarana ini dapat dilihat pada tabel 5.4 di bawah ini. Rasio sambungan telepon terhadap luas wilayah dapat menunjukkan kerapatan pelayanan prasarana telekomunikasi di wilayah, sedangkan rasio telepon terhadap penduduk menunjukkan tingkat pelayanan prasarana telekomunikasi terhadap penduduk wilayah. Untuk kepentingan investasi rasio yang lebih dilihat adalah rasio terhadap luas wilayah, tetapi paling tidak rasio terhadap jumlah penduduk juga dapat memberi gambaran seberapa besar pelayanan eksisting dan tingkat kemajuan rata-rata wilayah. Tabel 5. 4 Prasarana Telekomunikasi Telepon di Beberapa Wilayah Indonesia Tahun 2001/2002 Telepon (Satuan Sambungan Telepon) Populasi (ribu) Luas Wilayah (km2) Rasio Sambungan Telepon terhadap Jumlah Penduduk Rasio Sambungan Telepon terhadap Luas Wilayah No Propinsi 1 Nanggroe Aceh Darussalam 88,740 4,240,000 51,937 0.02 1.71 2 Sumatera Utara 400,452 11,642,000 73,587 0.03 5.44 3 Sumatera Barat 142,255 4,249,000 42,899 0.03 3.32 4 Riau 204,794 5,596,000 94,560 0.04 2.17 5 Jambi 54,053 2,407,000 53,437 0.02 1.01 6 Bengkulu 28,800 1,525,000 19,789 0.02 1.46 7 Sumatera Selatan 124,940 6,522,000 93,083 0.02 1.34 8 Lampung 115,632 6,963,000 35,384 0.02 3.27 9 DKI 3,478,896 8,640,000 664 0.40 5,239.30 10 Jawa Barat 879,004 38,138,000 34,597 0.02 25.41 11 Jawa Tengah 770,234 32,175,000 32,549 0.02 23.66 12 DI Yogyakarta 127,957 3,211,000 3,186 0.04 40.16 13 Jawa Timur 1,829,803 36,270,000 47,922 0.05 38.18 14 Bali 218,664 3,363,000 5,633 0.07 38.82 15 Nusa Tenggara Barat 53,666 4,025,000 20,153 0.01 2.66 16 Nusa Tenggara Timur 24,832 4,094,000 47,351 0.01 0.52 17 Kallimantan Barat 99,298 3,969,000 146,807 0.03 0.68 18 Kalimantan Tengah 36,105 1,838,000 153,564 0.02 0.24 19 Kalimantan Timur 288,386 2,720,000 43,546 0.11 6.62 20 Kalimantan Selatan 103,198 3,188,000 230,277 0.03 0.45 21 Sulawesi Utara 64,017 2,136,000 15,273 0.03 4.19 22 Sulawesi Tengah 74,759 2,221,000 63,678 0.03 1.17 23 Sulawesi Selatan 244,515 8,253,000 62,365 0.03 3.92 24 Sulawesi Tenggara 33,370 1,887,000 38,140 0.02 0.87 25 Maluku 43,390 1,224,000 46,975 0.04 0.92 26 Maluku Utara 14,685 858,000 30,895 0.02 0.48 27 Irian Jaya 38,104 2,366,000 365,466 0.02 0.10 Sumber : Badan Pusat Statistik Dari tabel terlihat bahwa wilayah-wilayah yang menonjol keberadaan prasarana telekomunikasinya terhadap luas wilayah selain wilayah-wilayah yang terdapat di Pulau Jawa V-14 adalah Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Namun apabila dihubungkan antara jumlah satuan sambungan telepon dengan jumlah penduduk, terlihat bahwa ketersediaan prasarana telekomunikasi hampir merata di tiap propinsi. Dilihat dari ketersediaan sumber daya manusia, tabel 5.4 juga menunjukkan bahwa ketersediaan yang sangat signifikan terdapat di wilayah yang berada di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Bali dan Sulawesi Selatan. Namun masalah sumber daya manusia pada wilayah lainnya dapat diatasi dengan mendatangkan dari wilayah yang berlebih sumber dayanya, seperti misalnya dari wilayah di Pulau Jawa. Selain prasarana telekomunikasi dan prasarana jalan, faktor ketersediaan juga energi listrik juga menjadi pertimbangan dalam usaha investasi pengembangan komoditi tebu. Berdasarkan Statistik Indonesia tahun 2003, energi listrik yang didistribusikan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dapat dilihat pada tabel 5.5 di bawah ini. Tabel 5. 5 Listrik yang Didistribusikan oleh PT PLN di masing-masing Wilayah di Indonesia Wilayah I II III IV V VI VII VIII IX X XI Distribusi Distribusi Distribusi Distribusi Distribusi Wilayah PLN Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat, Riau Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara Maluku, Maluku Utara Papua Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat, Banten Jakarta, Tangerang Batam Distribusi Listrik (MWH) 479 3876 2671 3209 738 2178 854 1904 219 352 2220 14640 10987 25713 19178 661 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2003 Dari tabel 5.5 menunjukkan bahwa distribusi listrik yang signifikan terdapat di Pulau Jawa. Sedangkan untuk wilayah di luar Pulau Jawa, distribusi yang cukup besar adalah wilayah II (Sumatera Utara), III (Sumatera Barat dan Riau), IV (Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung), VI (Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur), VIII V-15 (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara) , dan XI (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur). Sedangkan untuk wilayah Kalimantan Barat juga mengkonsumsi listrik yang cukup signifikan. Dari berbagai kekurangan dan kelebihan pada wilayah-wilayah seperti yang telah dijabarkan di atas, maka pada sub bab berikut akan disajikan analisis investasi berkaitan dengan komoditi tebu untuk mengetahui wilayah mana yang memiliki nilai potensi investasi yang besar dengan memberikan suatu penilaian komparatif pada tiap propinsi di Indonesia. 5.5 Keunggulan Komperatif Komoditi Utama di Wilayah Pengembangan Untuk melihat keunggulan komperatif komoditas utama di suatu wilayah digunakan analisis perbandingan keunggulan masing-masing komoditas. Parameter yang digunakan adalah kesesuaian agroekologis wilayah pengembangan tersebut, ketersediaan lahan untuk pengembangan, ketersediaan SDM di lokasi pengembangan, dan ketersediaan infrastruktur di lokasi pengembangan. Masing-masing parameter tersebut terdiri dari 5 tingkatan yaitu : (a) sangat rendah nilai 1, (b) rendah dengan nilai 2, (c) sedang dengan nilai (3), (d) tinggi dengan nilai 4, dan (e) sangat tinggi dengan nilai 5. Penilaian parameter untuk kesesuaian lahan bagi tebu berdasarkan kriteria seperti yang tertera pada Tabel. 5.6. Tabel 5. 6 Kriteria Penilaian Kesesuaian lahan Nilai 1 2 3 4 5 Kriteria Lahan tidak sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK merupakan kawasan hutan Lahan sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK merupakan kawasan hutan Lahan kurang sesuai untuk pengembangan komoditas, menurut RTRWK bukan merupakan kawasan hutan Lahan sesuai untuk pengembangan komoditas, , menurut RTRWK bukan merupakan kawasan hutan Lahan sangat sesuai, menurut RTRWK bukan merupakan kawasan hutan Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor Penilaian ketersediaan lahan di wilayah pengembangan ditentukan oleh lahan yang tersedia untuk pengembangan suatu komoditas. Sehubungan batas minimal lahan untuk pengembangan tanaman tebu berbeda-beda, maka penilaian parameter ketersediaan lahan untuk komoditas tersebu berbeda pula. Kriteria penilaian ketersediaan lahan untuk masing-masing komoditas bisa disimak pada Tabel 5.7. V-16 Tabel 5. 7 Penilaian Ketersediaan Lahan Nilai Laus Lahan yang tersedia untuk pengembangan (ha) Kelap Sawit < 3000 3001 – 5000 5001 – 8000 8001 -10000 >10000 1 2 3 4 5 Karet <300 301-500 501-800 801-1000 > 1000 kakao <200 201 -400 401-600 601-800 >800 Tebu <750 751-1500 1501-2250 2251-3000 >3000 Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor Penilaian untuk ketersediaan sarana dan prasarana, serta ketersediaan SDM pada dasarnya sama untuk pengembangan semua komoditas. Penilaiana sarana prasarana didasari oleh tersedia tidaknya sarana jalan, sarana telekomunikasi tersebut. Lebih rinci kriteria penilaian ketersediaan sarana dan prasarana dapat disimak pada Tabel 5.8, sedangkan kriteria ketersediaan SDM dapat disimak pada Tabel 5.9. Tabel 5. 8 Kriteria Penilaian Sarana dan Prasarana Nilai 1 2 3 4 5 Kriteria Tidak sarana tarnsportasi, tidak ada sarana telekomunikasi, tidak ada sumber listrik Hanya terdapat sarana transportasi air, tidak ada sarana telekomunikasi, tidak ada ada sumber listrik Hanya terdapat sarana transportasi darat, tidak terdapat sarana telekomunikasi, dan sumber listrik Terdapat sarana tranportasi air dan darat, tidak terdapat sarana telekomunikasi, dan sumber listrik Terdapat sarana transportasi air dan darat. Terdapat sarana telekomunikasi anumber listrik Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor Tabel 5. 9 Kriteria Penilaian Ketersediaan SDM Nilai 1 2 3 4 5 Kriteria Ketersediaan SDM kurang dan jauh Ketersediaan SDM dapat dipenuhi dari kawasan terdekat Ketersediaan SDM cukup (dilokasi) Ketersediaan SDM tersedia (non edukatif) Ketersediaan SDM tersedia (edukatif dan non edukatif) Sumber : Peta kesesuaian lahan Puslit Tanah dan Agroklimat Bogor Sehubungan ketersediaan lahan merupakan parameter yang paling penting dalam pengembangan suatu komoditi, maka parameter ini diberi bobot 40 %. Adapun bobot untuk parameter kesesuaian lahan adalah 30 % dan parameter ketersediaan sarana prasarana serta ketersediaan SDM diberi bobot masing-masing 15 %. Nilai rata-rata tertinggi mempunyai makna mempunyai keunggulan komperatif paling tinggi. Secara logis nilai rata-rata > 2.5 dapat diartikan bahwa komoditi tersebut dapat dikembangkan dan mempunyai nilai komperatif. Analisa komperatif untuk komoditi tebu, dapat disimak pada lampiran 2. Nilai komperatif untuk tanaman tebu di V-17 berbagai wilayah dapat disimak pada lampiran 3. Pada lampiran nilai komperatif dan Analisa komperatif dapat dilihat komoditi tebu mempunyai nilai komperatif yang tinggi di Kolaka dan Buton Sulawesi Tenggara, serta di Merauke dan Pulau Komdum Papua. Sentra Produksi Komoditi Tebu di Propinsi Kalimantan Barat Sentra pengembangan tebu di propinsi Kalimantan Barat terdapat di Kabupaten Sambas dengan luas 334 ha dengan luas total di Propinsi Kalimantan Barat adalah 421 ha (sumber Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat 2004) V-18 V-19