sisa makanan dan kepuasan pada pasien rawat

advertisement
SISA MAKANAN DAN KEPUASAN PADA PASIEN RAWAT INAP
KELAS III DI RUMAH SAKIT SWASTA DI GRESIK, JAWA TIMUR
INDAH YULIANTI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
ABSTRACT
Indah Yulianti. Plate Waste and Satisfaction of Third Class Inpatient in Private
Hospital in Gresik. Supervised by M. Rizal M. Damanik.
Nutrition services for inpatient is daily activities that support other health units in
hospital in providing patient with appropriate meal. The aim of the present study
was to describe the process of food services in “X” hospital. Specifically. the
present study aim to analyze food waste, nutrition and cost are missing from food
waste, and inpatient satisfaction in food served at the Private Hospital "X" in
Gresik. The study design used was a cross sectional study with a sample size of
30 patients hospitalized. The average energy, protein, fats, and carbohydrates
wasted per day per person was 132 kcal, 7.2 grams, 2.8 grams, and 20.8 grams.
The average loss of cost from food waste was Rp 2893.25 per day per person.
When compared with the total food cost, the average loss was 11.57% per day
per person.
Keywords: hospital, inpatient, plate waste, satisfaction
RINGKASAN
Indah Yulianti. Sisa Makanan dan Kepuasan pada Pasien Rawat Inap Kelas III
di Rumah Sakit Swasta di Gresik, Jawa Timur. (Dibimbing oleh M. Rizal M.
Damanik)
Pelayanan gizi rawat inap merupakan kegiatan pengobatan yang
menunjang unit-unit kesehatan lainnya dalam usaha melakukan perawatan dan
pelayanan pasien. Salah satu indikator keberhasilan pelayanan gizi di ruang
rawat inap adalah banyaknya makanan yang tersisa (Depkes 1991). Hasil
penelitian Djuriah (2008), di RS Hasan Sadikin Bandung menunjukkan bahwa
19,5% pasien rawat inap meninggalkan sisa makanan melebihi 25%. Bersama
dengan sisa makanan pasien, terdapat zat gizi yang terbuang yang seharusnya
dikonsumsi oleh pasien. Selain itu, makanan mempunyai nilai ekonomi yang
cukup besar dalam pembiayaan yang dilakukan oleh rumah sakit, yaitu sebesar
20 – 40% dari anggaran belanja, sehingga perlu pengelolaan yang efektif dan
efisien (Depkes 1991). Kemudian salah satu hal yang berhubungan dengan sisa
makanan pasien menurut hasil penelitian Nareswara (2011) adalah kepuasan
pasien terhadap penampilan makanan yang disajikan rumah sakit. Tujuan umum
penelitian ini adalah menganalisis besarnya sisa makanan, zat gizi dan biaya
yang hilang dari sisa makanan, serta menganalisis kepuasan pasien terhadap
makanan yang disajikan pada pasien rawat inap kelas III di Rumah Sakit (RS)
Swasta “X” di Gresik. Tujuan khusus penelitian ini, adalah: 1) mendeskripsikan
penyelenggaraan makanan di RS Swasta “X” di Gresik, 2) mendeskripsikan
karakteristik contoh, 3) mendeskripsikan sisa makanan contoh, 4) mengetahui
besarnya zat gizi makro yang hilang dari sisa makanan contoh, 5) mengetahui
biaya yang hilang dari sisa makanan contoh, 6) mendeskripsikan diagram
Importance-Performance Analysis (IPA) dan tingkat kepuasan contoh.
Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan
di Rumah Sakit Swasta “X” di Kabupaten Gresik pada bulan Maret sampai
dengan Mei 2012, yang mencakup perizinan, penentuan contoh, dan
pengambilan data. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap
kelas III Rumah Sakit Swasta “X” kabupaten Gresik. Teknik penarikan contoh
yaitu Purpossive Sampling dengan kriteria inklusi: berusia 20 tahun ke atas,
berada pada ruang rawat inap pada tanggal dimulainya penelitian, telah
mendapatkan minimal satu kali makan dari rumah sakit “X”, kesadaran baik dan
mampu memberikan pendapat. Kriteria eklsusi: pasien puasa, pasien pulang,
pasien mendapat diet cair. Jumlah sampel 30 orang. Jenis data yang
dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa
karakteristik sampel dan sisa makan sampel. Karaketristik sampel dikumpulkan
dengan cara wawancara dengan bantuan kuesioner, sedangkan sisa makan
sampel diperoleh melalui penimbangan weighing. Data sekunder berupa profil
rumah sakit, BOR, jumlah pasien rawat inap kelas III, harga per menu diperoleh
dari data yang ada di bagian rawat inap dan instalasi gizi.
Analisis data secara deskriptif dan analisis korelasi. Tahapan yang
dilakukan yaitu editing, koding, entri data, tabulasi, dan analisis data. Uji statistik
yang digunakan adalah uji korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan
antara karakteristik responden dengan sisa makanan contoh dan sisa makanan
contoh dengan tingkat kepuasan contoh. Selanjutnya dilakukan analisis
menggunakan diagram IPA (Importance Performance Analysis) untuk
mengetahui tingkat kinerja dan kepentingan/harapan responden terhadap
peubah-peubah yang mempengaruhi kepuasan pasien.
iv
Penyelenggaraan makanan pada RS Swasta “X” menggunakan sistem
swakelola. Instalasi gizi RS Swasta “X” menetapkan standar umum makanan
berdasarkan konsistensinya berupa makanan biasa, makanan lunak, makanan
saring, dan makanan cair. Frekuensi pemberian makan kelas III adalah tiga kali
makan utama dan dua kali selingan. Rangkaian proses penyelenggaraan
makanan yang dilakukan di Instalasi Gizi RS Swasta “X” dimulai dari proses
perencanaan anggaran, perencanaan menu dan siklus menu, perhitungan
kebutuhan bahan makanan, pemesanan makanan, pembelian bahan makanan,
penerimaan bahan makanan, persiapan, pengolahan makanan, pemorsian
makanan, hingga pendistribusian kepada pasien.
Sebesar 76,6% contoh termasuk dalam kelompok umur dewasa awal
(umur 20 – 40 tahun). Lebih dari separuh contoh (60%) berjenis kelamin laki-laki
dan 40% contoh berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan contoh
sebagian besar yaitu tamat SMA (63,3%). Jenis penyakit yang diderita oleh
contoh sebagian besar (30%) adalah demam berdarah dengue (DBD). Jenis diet
yang didapatkan sebagian besar contoh (56,7%) adalah diet lunak/bubur kasar.
Sisa makanan pada kelompok dewasa tengah paling tinggi (19,4%).
Rata-rata sisa makanan pada laki-laki lebih rendah (14,9%) daripada perempuan
(16,0%). Persentase sisa makanan contoh yang tamat Sekolah Dasar (SD) lebih
tinggi (18, 63%) dibandingkan contoh yang tamat Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang masing-masing besarnya
10,47% dan 13,74%. Sisa makanan berdasarkan jenis penyakit, penyakit
hati/liver yaitu sebesar 23,81%. Rata-rata sisa makanan berdasarkan jenis diet
yaitu diet halus (24,99%), diet lunak (16,46%), dan diet biasa (12,38%). Sisa
makanan pada makan siang lebih tinggi (17,23%) dibandingkan makan pagi
(15,59%) dan makan sore (13,99%). Sisa makanan berdasarkan menu, sejumlah
8 jenis menu masih memiliki rata-rata sisa di atas 20%, antara lain sop buncis,
bening bayam, menir kangkung, kakap tim, sayur asem, sop wortel, sop wortelkentang, dan sop biasa.
Rata-rata energi, protein, lemak, dan karbohidrat yang terbuang bersama
sisa makanan contoh per hari per orang secara berturut-turut adalah 132 Kkal,
7,2 gram, 2,8 gram, dan 20,8 gram. Jika dibandingkan dengan kebutuhan
contoh, persentase sisa terbesar adalah protein (12%), kemudian berturut-turut
energi (6,62%), karbohidrat (1,73%), dan lemak (0,57%).
Rata-rata biaya yang hilang dari sisa makanan yaitu sebesar Rp 2.893,25
per hari per orang. Tingkat kehilangan biaya makan adalah sebesar 11,57% dari
total biaya makan per orang per hari. Jika dilihat dalam satu bulan, maka
kehilangan yang terjadi yaitu sebesar Rp 86.797,50 per orang dan dalam
setahun yaitu sebesar Rp 1.056.036 per orang. Namun demikian, nilai tersebut
belum termasuk penambahan biaya tenaga dan biaya overhead yang ikut
dikeluarkan dalam penyelenggaraan makanan.
Atribut-atribut yang termasuk dalam prioritas utama dalam diagram IPA
atau perlu diperbaiki adalah variasi lauk hewani. Sebesar 56,67% contoh
menyatakan cukup puas dengan makanan yang disajikan oleh RS Swasta “X”.
Sebesar 40% contoh menyatakan puas, dan sisanya (3,33%) menyatakan
sangat puas dengan makanan yang disajikan. Tidak terdapat hubungan nyata
(p>0,05) antara sisa makanan contoh dengan kepuasan contoh terhadap cita
rasa makanan yang disajikan.
Sebaiknya diadakan pengawasan langsung oleh ahli gizi saat proses
penyajian berlangsung. Makanan luar rumah sakit perlu diawasi karena
dimungkinkan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pasien, Selain itu, variasi
bentuk untuk lauk hewani dan sayur perlu ditingkatkan agar kebosanan yang
dialami pasien dapat diatasi.
SISA MAKANAN DAN KEPUASAN PADA PASIEN RAWAT INAP
KELAS III DI RUMAH SAKIT SWASTA DI GRESIK, JAWA TIMUR
INDAH YULIANTI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
vi
Judul Penelitian
: Sisa Makanan dan Kepuasan pada Pasien Rawat Inap
Kelas III di Rumah Sakit Swasta di Gresik
Nama Mahasiswa
: Indah Yulianti
NIM
: I14080124
Menyetujui:
Dosen Pembimbing Skripsi
drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD
NIP.19640731 199003 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
NIP.19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
yang senantiasa dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam serta keluarganya, para sahabatnya,
tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD selaku dosen Pembimbing
Skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan
skripsi ini.
2. Pihak Rumah Sakit Swasta “X” Kabupaten Gresik, Jawa Timur atas
kerjasamanya.
3. Ibu, Ayah, dan keluarga atas doa, semangat dan kasih sayangnya.
4. Fathurrahman alias Duta Here, yang selalu menjadi sumber semangat
dan inspirasi.
5. Lusi Anindia, Anggun Pratiwi, Gita Wahyu Arifiyanti, Indra Kurniawati,
Yunita Siti M, Riyani Meryalita, dan Sri Mulyani yang selalu memberi
dukungan dan motivasi.
6. Teman satu bimbingan: Kartika Windyaningrum dan Ika Meilaty atas
bantuan dan kerjasamanya.
7. Serta teman-teman yang selama ini telah mendukung penulis yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis mohon
maaf atas segala kekurangan dan hal-hal yang kurang berkenan selama
penyusunan skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putri dari
pasangan bapak Joko Waluyo dan ibu Sumiati. Penulis dilahirkan di Gresik
tanggal 9 Juli 1989.
Penulis mengawali pendidikan formal di TK Islam Karang-Kering pada
tahun 1994 sampai dengan 1996. Penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU) Salafiyyah Gresik pada tahun 1996 sampai
dengan 2002. Penulis menempuh pendidikan menengah pertama dari tahun
2002 sampai dengan 2005 di SMPN 1 Gresik, kemudian melanjutkan pendidikan
menengah di SMAN 1 Gresik dari tahun 2005 sampai dengan 2008. Penulis
masuk ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008 dan diterima sebagai
mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia.
Selama
menjadi
mahasiswa,
penulis
tergabung
dalam
anggota
HIMASURYA (Himpunan Mahasiswa Surabaya) dan dan pernah menjabat
sebagai anggota Divisi Kesejahteraan. Penulis juga ikut dalam berbagai
kepanitian yang diselenggarakan oleh Divisi Peduli Pangan dan Gizi dari
Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI), BEM FEMA, dan HIMASURYA plus
(Himpunan Mahasiswa Surabaya dan sekitarnya).
Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi fasilitator pada
program minyak sawit merah “SAWITA” dari PT. Sinarmas selama 3 bulan pada
tahun 2011. Penulis juga pernah menjadi supervisor dalam survei NIX
(Nusantara Internet Exchange) untuk wilayah provinsi Riau pada November 2012
yang
diadakan
oleh
Kementerian
Komunikasi
dan
Informasi.
Penulis
melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kecamatan Rogoselo, Kabupaten
Pekalongan selama 1,5 bulan pada tahun 2011. Penulis juga melaksanakan
Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ciawi dari tanggal
16 April sampai dengan 5 Mei 2012 untuk mendalami penyelenggaraan makanan
rumah sakit, penyakit dalam, penyakit anak, dan bedah.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ............................................................................................................ii
PRAKATA............................................................................................................. vii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................................ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiv
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
Latar Belakang................................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................................ 2
Kegunaan Penelitian.......................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 3
Pelayanan Gizi Rumah Sakit ............................................................................. 3
Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit ......................................................... 3
Perencanaan ..................................................................................................... 4
Pemesanan dan Pembelian Bahan Makanan Rumah Sakit .............................. 5
Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Makanan Rumah Sakit ......................... 5
Pengolahan Makanan Rumah Sakit .................................................................. 6
Pendistribusian Makanan Rumah Sakit ............................................................. 7
Standar Makanan Rumah Sakit ......................................................................... 7
Cita Rasa Makanan ........................................................................................... 8
Sisa Makanan Pasien ...................................................................................... 10
Kepuasan Pasien............................................................................................. 11
Importance-Performance Analysis (IPA) ......................................................... 12
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................... 15
METODE ............................................................................................................. 17
Disain, Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 17
Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh ............................................................. 17
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................................. 17
Pengolahan dan Analisa Data ......................................................................... 18
Definisi Operasional......................................................................................... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 22
xi
Gambaran Umum Dapur dan Instalasi Gizi ..................................................... 22
Ketenagaan dan Struktur Organisasi ........................................................... 22
Penyelenggaraan Makanan di RS Swasta “X” ............................................. 22
Sarana, Peralatan, dan Perlengkapan ......................................................... 27
Sanitasi Makanan dan Keselamatan Kerja .................................................. 31
Pengawasan dan Pengendalian Mutu Pelayanan Gizi ................................ 32
Karakteristik Contoh Penelitian ........................................................................ 33
Sisa Makanan Contoh ..................................................................................... 34
Sisa Makanan berdasarkan Karakteristik Contoh ........................................ 34
Sisa Makanan berdasarkan Waktu Makan .................................................. 37
Sisa Makanan berdasarkan Menu ............................................................... 38
Zat Gizi Makro yang Terbuang bersama Sisa Makanan Contoh ..................... 39
Biaya yang Hilang dari Sisa Makanan Contoh ................................................ 40
Tingkat Kepuasan Contoh terhadap Cita Rasa Makanan ............................... 41
Diagram Importance-Performance Analysis (IPA) ....................................... 41
Tingkat Kepuasan contoh ............................................................................ 44
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 46
Kesimpulan ...................................................................................................... 46
Saran ............................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 49
LAMPIRAN .......................................................................................................... 51
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1 Jenis dan cara pengumpulan data .......................................................... 17 2 Rentang skala penilaian total kepuasan contoh ...................................... 19 3 Daftar inventaris peralatan dan perlengkapan dapur dan ruang penyaji
RS “X” ..................................................................................................... 30 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik individu ................................. 33 5 Persentase sisa makanan berdasarkan umur ......................................... 34 6 Persentase sisa makanan berdasarkan jenis kelamin ............................ 35 7 Persentase sisa makanan berdasarkan tingkat pendidikan .................... 36 8 Persentase sisa makanan berdasarkan jenis penyakit ........................... 36 9 Persentase sisa makanan berdasarkan jenis diet ................................... 37 10 Sisa makanan contoh berdasarkan waktu makan .................................. 38 11 Estimasi zat gizi makro yang terbuang bersama sisa makanan contoh . 39 12 Estimasi biaya yang hilang dari sisa makanan contoh ........................... 40 13 Perhitungan rata-rata dari penilaian kepentingan dan kinerja atribut cita
rasa makanan RS Swasta “X” ................................................................ 41 DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1 Diagram Importance-Performance Analysis (IPA) ......................................... 13 2 Kerangka pemikiran analisis sisa makanan dan kepuasan pada pasien
rawat inap ...................................................................................................... 16
3 Sisa makanan contoh berdasarkan menu ...................................................... 39 4 Diagram Importance-Performance Analysis (IPA) atribut cita rasa
makanan RS Swasta “X” ............................................................................... 42 5 Tingkat kepuasan contoh terhadap cita rasa makanan ................................. 44 DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Struktur Organisasi Pelayanan Gizi RS Swasta “X” ....................................... 52 2. Denah Dapur RS Swasta “X” .......................................................................... 53 3. Hasil uji SPSS karakteristik contoh, waktu makan, dan kepuasan dengan
sisa makanan contoh ......................................................................................... 54 4. Kuisioner Penelitian ........................................................................................ 56 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan
mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada
konsumen
Berdasarkan
dalam
SK
rangka
Menteri
pencapaian
Kesehatan
status
No.134
kesehatan
tahun
1978
yang
yang
optimal.
dalam
perkembangannya telah diperbaharui dengan SK Menteri Kesehatan Nomor 983
tahun 1992 sehubungan dengan penyelenggaraan makanan pada institusi
seperti rumah sakit meliputi empat kegiatan pokok yaitu; penyelenggaraan
makanan, pelayanan gizi di ruang rawat inap, penyuluhan dan konsultasi gizi dan
pengembangan gizi (Depkes 1991).
Pelayanan gizi di ruang rawat inap merupakan salah satu kegiatan
instalasi gizi di rumah sakit dan merupakan kegiatan pengobatan yang
menunjang unit-unit kesehatan lainnya dalam usaha melakukan perawatan dan
pelayanan pasien. Salah satu indikator keberhasilan pelayanan gizi di ruang
rawat inap adalah banyaknya makanan yang tersisa (Depkes 1991). Almatsier
(1992) mengatakan bahwa dari 10 rumah sakit di Jakarta, sejumlah 43% pasien
mempunyai persepsi kurang baik terhadap mutu makanan yang disajikan. Hasil
penelitian di rumah sakit Dr. Kariadi Semarang (1996) menunjukkan bahwa sisa
makanan di ruang rawat inap rata-rata 33,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pelayanan gizi di beberapa rumah sakit tersebut masih kurang optimal.
Bersama dengan sisa makanan pasien, terdapat zat gizi yang terbuang
terutama energi dan protein yang seharusnya dikonsumsi oleh pasien. Selain itu,
makanan mempunyai nilai ekonomi yang cukup besar dalam pembiayaan yang
dilakukan oleh rumah sakit, yaitu sebesar 20 – 40% dari anggaran belanja,
sehingga perlu pengelolaan yang efektif dan efisien (Depkes 1991). Kemudian
salah satu hal yang berhubungan dengan sisa makanan pasien menurut hasil
penelitian Nareswara (2011) adalah kepuasan pasien terhadap penampilan
makanan yang disajikan rumah sakit.
Rumah Sakit “X” merupakan salah satu rumah sakit swasta di kabupaten
Gresik yang belum pernah dilakukan penelitian mengenai sisa makanan pasien.
Menurut hasil survey pendahuluan yang dilakukan pada bulan Januari (2012),
diketahui bahwa terdapat sisa makanan sebesar 18,2% dengan jumlah sisa
terbesar berasal dari sayuran (21,8%) dan lauk nabati (20,4%), Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai besarnya sisa makanan pasien,
2
zat gizi dan biaya yang hilang dari sisa makanan tersebut, serta analisis
kepuasan pasien terhadap penampilan makanan yang disajikan sebagai bahan
evaluasi penyelenggaraan makanan di rumah sakit tersebut.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis besarnya sisa makanan,
zat gizi dan biaya yang hilang dari sisa makanan, serta menganalisis kepuasan
contoh terhadap makanan yang disajikan di rawat inap kelas III di Rumah Sakit
(RS) Swasta “X” di Gresik.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan penyelenggaraan makanan di RS Swasta “X” di Gresik.
2. Mendeskripsikan karakteristik contoh
3. Mendeskripsikan sisa makanan contoh
4. Mengetahui besarnya zat gizi makro yang hilang dari sisa makanan contoh
5. Mengetahui biaya yang hilang dari sisa makanan contoh
6. Mendeskripsikan diagram Importance-Performance Analysis (IPA) dan tingkat
kepuasan contoh.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
pengelola Rumah Sakit Swasta “X” di Gresik, sebagai upaya meningkatkan
pelayanan kesehatan pada umumnya dan pelayanan gizi pada khususnya bagi
pasien rawat inap. Selain itu, untuk mengukur keberhasilan ahli gizi dalam
penyelenggaraan makanan di Rumah Sakit Swasta “X” di Gresik, sebagai
masukan untuk perencanaan peningkatan kepuasan pasien rawat inap terhadap
makanan yang disajikan pihak rumah sakit, dan memberi wawasan tambahan
ilmu pengetahuan bagi masyarakat.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan Gizi Rumah Sakit
Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS), merupakan salah satu dari sepuluh
fasilitas pelayanan yang harus ada di rumah sakit. PGRS merupakan bagian
integral dari Pelayanan Kesehatan Paripurna Rumah Sakit dengan beberapa
kegiatan, antara lain Pelayanan Gizi Rawat Inap dan Rawat Jalan (Almatsier
2004). Program pelayanan gizi bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
rumah sakit melalui upaya penyediaan pelayanan gizi yang berdaya guna dan
berhasil guna. Pelayanan gizi rumah sakit adalah kegiatan pelayanan gizi di
rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan gizi rumah sakit baik rawat inap maupun
rawat jalan, untuk keperluan metabolisme tubuh, peningkatan kesehatan maupun
mengoreksi kelainan metabolisme, dalam rangka upaya preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan promotif (Depkes 2010).
Salah satu pusat biaya di rumah sakit adalah instalasi gizi. Instalasi gizi
rumah sakit memiliki kegiatan pokok, salah satunya yaitu penyelenggaraan
makanan untuk pasien rawat inap dan pegawai. Oleh karena itu, instalasi gizi
diharuskan mampu menggunakan dana yang terbatas dengan efisien dan efektif,
sehingga mutu pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tetap baik dengan tarif
bersaing (Depkes 1991).
Biaya untuk makanan mengambil bagian terbesar dari biaya pengelolaan
rumah sakit. Dari data yang dikumpulkan, 20-40% dari belanja di rumah sakit
adalah untuk bahan makanan. Agar pemanfaatannya berdaya guna dan berhasil
guna maka biaya yang sangat besar ini perlu dikelola dengan baik, karena
makanan yang menarik dan memenuhi cita rasa, banyak berpengaruh terhadap
citra rumah sakit yang bersangkutan (Depkes 1991).
Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit
Penyelenggaraan makanan adalah sebuah ilmu dan seni perencanaan,
persiapan, pemasakan, dan pelayanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Jika
dilihat
sebagai
sebuah
sistem,
penyelenggaraan
makanan
merupakan
penggabungan dari beberapa komponen untuk mencapai tujuan. Sistem
penyelenggaraan makanan terdiri atas enam elemen, yaitu: input, thruput, output,
control, feedback, dan environment (Perdigon, diacu dalam Furqon 2010).
Pada dasarnya, penyelenggaraan makanan institusi terdiri dari 2 macam,
yaitu penyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi pada keuntungan
(bersifat komersil) dan pennyelenggaraan makanan institusi yang berorientasi
4
pelayanan (bersifat non komersil). Penyelenggaraan makanan rumah sakit
merupakan salah satu penyelenggaraan makanan konstitusi yang bersifat
pelayanan. Penyelenggaraan makanan di rumah sakit dilaksanakan dengan
tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik, jumlah sesuai
kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi klien atau konsumen
yang membutuhkan (Depkes 2003). Frekuensi makan dalam penyelenggaraan
makanan yang bersifat non komersil adalah 2 – 3 kali dengan atau tanpa makan
selingan (Moehyi 1992).
Standar input dalam penyelenggaraan rumah sakit meliputi biaya, tenaga,
sarana dan prasarana, metode, dan peralatan. Sedangkan standar proses dalam
penyelenggaraan makanan rumah sakit meliputi penyusunan anggaran belanja
bahan makanan, perencanaa menu, perencanaan kebutuhan bahan makanan,
pembelian bahan makanan, penerimaan dan penyimpanan bahan makanan,
persiapan bahan makanan, pengolahan, dan pendistribusian makanan. Standar
output dari penyelenggaraan makanan rumah sakit yaitu mutu makanan dan
kepuasan konsumen (Depkes 2006).
Kegiatan penyelenggaraan makanan rumah sakit merupakan bagian dari
kegiatan yang dilakukan oleh instalasi gizi atau unit pelayanan gizi di rumah
sakit. Bentuk penyelenggaraan makanan rumah sakit ada dua, yaitu swakelola
dan out-sourcing. Penyelenggaraan makanan rumah sakit dengan sistem
swakelola berarti instalasi atau unit pelayanan gizi bertanggung jawab secara
penuh atas segala kegiatan penyelenggaraan makanan, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Sistem penyelenggaraan makanan out-sourcing yaitu
penyelenggaraan makanan dengan memanfaatkan perusahaan jasa boga atau
jasa catering (Depkes 2006).
Sistem out-sourcing dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu semi outsourcing dan full out-sourcing. Pada penyelenggaraan makanan dengan sistem
semi out-sourcing, pengusaha jasaboga menggunakan sarana dan prasarana
yang dimiliki rumah sakit, sedangkan pada sistem full out-sourcing, pengusaha
jasaboga menggunakan sarana dan prasarana milik perusahaannya sendiri
(Depkes 2006).
Perencanaan
Mekanisme penyelenggaraan makanan rumah sakit yang pertama yaitu
perencanaan. Kagiatan perencanaan meliputi perencanaan anggaran belanja
makanan dan perencanaan menu. Menurut Depkes (2006), “penyusunan
5
anggaran belanja makanan adalah suatu kegiatan penyusunan anggaran biaya
yang diperlukan untuk pengadaan bahan makanan bagi konsumen/pasien yang
dilayani.” Tujuan dari perencanaan anggaran belanja makanan adalah untuk
memenuhi kebutuhan akan jenis dan jumlah bahan makanan yang akan
diberikan pada konsumen atau pasien sesuai standar kecukupan gizi.
Perencanaan menu adalah serangkaian kegiatan untuk memenuhi
pelaksanaan manajemen penyelenggaraan makanan di institusi (Mukrie et al.
dalam Furqon 2010). Sedangkan menurut Depkes (2006), perencanaan menu
adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang akan diolah untuk memenuhi
selera konsumen dan kebutuhan gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang.
Sebelum merencanakan menu ada beberapa hal yang perlu diketahui agar
perencanaan makanan berjalan dengan baik yaitu: umur, jenis kelamin,
pekerjaan, kebiasaan makan yang dipengaruhi oleh ras, daerah, agama, serta
status kesehatan orang yang dilayani (Palacio dan Theis dalam Furqon 2010).
Berhasil tidaknya suatu penyelenggaraan makanan sangat dipengaruhi oleh
menu yang disususn atau hidangan yang disajikan (Mukrie dalam Furqon 2010).
Pemesanan dan Pembelian Bahan Makanan Rumah Sakit
Menurut Depkes (2006), “pemesanan adalah penyususnan permintaan
(order) bahan makanan berdasarkan menu atau pedoman menu dan rata-rata
jumlah konsumen atau pasien yang dilayani”. Tujuan dari kegiatan ini yaitu
tersedianya daftar pesanan bahan makanan sesuai standar atau spesifikasi yang
ditetapkan. Langkah dalam melakukan kegiatan pemesanan antara lain: seorang
ahli gizi membuat rekapitulasi kebutuhan bahan makanan, hasil rekapitulasi
kemudian diserahkan ke bagian gudang logistik, bagian gudang menyiapkan
bahan makanan sesuai permintaan.
Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Makanan Rumah Sakit
Kegiatan penerimaan bahan makanan menurut Depkes (2006), meliputi
pemeriksaan, pencatatan, dan pelaporan mengenai macam serta kualitas dan
kuantitas bahan makanan yang diterima sesuai pemesanan serta spesifikasi
yang telah ditetapkan. Moehyi (1992) menyatakan bahwa terdapat dua cara
penerimaan bahan makanan. Pertama yaitu cara konvensional, penerima bahan
makanan memperoleh lembar tembusan Daftar Pesanan yang memuat jumlah
dan spesifikasi bahan makanan yang diminta. Tim penerima harus mencocokkan
kecocokan dari bahan makanan yang diterima, sesuai dengan ketentuan dalam
Daftar Pesanan. Cara ini lebih sederhana dan cepat.
6
Kedua, tim penerima bahan makanan tidak mengetahui sebelumnya
tentang jenis, jumlah, dan spesifikasi bahan makanan yang dipesan oleh institusi.
Oleh karena itu, tim penerima mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang
diterima kemudian mencocokkannya Daftar Pesanan yang dibuat oleh institusi.
Bahan makanan yang telah diterima kemudian disimpan. Prasyarat
penyimpanan bahan makanan menurut Depkes (2006), yaitu adanya sistem
penyimpanan
barang,
tersedianya
fasilitas
ruang
penyimpanan
sesuai
persyaratan, dan tersedianya kartu stok/buku catatan keluar-masuknya bahan
makanan. Penyimpanan bahan makanan kering harus dipisahkan dengan bahan
makanan basah. Penyimpanan makanan kering yang baik menurut Moehyi
(1992) :
1. Bahan makanan dipisah menurut jenisnya
2. Bahan makanan yang sudah lama diterima diletakkan di sebelah atas
agar tidak ada stok yang rusak karena terlalu lama disimpan (first in first
out).
3. Bahan makanan diletakkan di atas rak-rak penyimpanan dan bahan
makanan yang menggunakan karung atau kantong kertas tidak diletakkan
langsung di atas tanah.
4. Ruang penyimpanan harus selalu dalam keadaan bersih, kering, dan
bebas serangga maupun tikus.
5. Pada waktu tertentu gudang tempat menyimpan makanan harus dibuka
untuk memungkinkan pertukaran udara. Suhu dalam ruangan tidak lebih
dari 21˚C.
Bahan makanan segar atau basah disimpan di ruangan yang dilengkapi
dengan alat pendingin. Suhu penyimpanan yang tepat untuk daging, ikan, dan
olahannya yaitu 0˚C. Suhu penyimpanan untuk susu dan telur 1,7˚C, sedangkan
untuk sayur dan buah yaitu 5 – 10˚C.
Pengolahan Makanan Rumah Sakit
Pengolahan bahan makanan merupakan suatu kegiatan mengubah
(memasak) bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan,
berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi. Beberapa proses pemasakan, antara
lain:
1. Pemasakan dengan medium udara (membakar dan memanggang), yaitu
memasak bahan makanan dalam oven atau langsung di atas bara api.
7
2. Pemasakan dengan medium air (merebus dan menyetup). Menyetup
dapat dibedakan menjadi 3 cara: mengetim, mengukus, dan steam
cooking.
3. Pemasakan dengan medium lemak (menggoreng), yaitu memasukkan
bahan makanan dalam minyak atau mentega/margarine sehingga bahan
menjadi kering dan berwarna kering kecoklatan.
4. Pemasakan langsung melalui dinding panic (menyangrai).
5. Pemasakan dengan kombinasi, seperti menumis.
6. Pemasakan dengan elektromagnetik menggunakan oven microwave
(Depkes 2006).
Pendistribusian Makanan Rumah Sakit
Pendistribusian makanan di rumah sakit dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Cara sentralisasi yaitu makanan diolah
dab diporsi langsung di dapur, kemudian diantar ke pasien. Cara desentralisasi,
yaitu makanan diolah di dapur sentral lalu diangkut ke tempat distribusi dan
penyajian yang terpisah dari dapur sentral. Makanan diporsi di tempat penyajian
tersebut kemudian di antar ke pasien.
Terdapat kelebihan dan kekurangan untuk masing-masing cara distribusi.
Cara sentralisasi memiliki kelebihan berupa makanan dapat langsung diterima
oleh konsumen dan tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Kekurangan dari
cara ini adalah seringkali porsi makanan tidak sesuai. Hal tersebut menyebabkan
ketersediaan
rumah
sakit
lebih rendah
atau
terlalu
banyak,
sehingga
menimbulkan sisa. Kelebihan dari cara desentralisasi adalah porsi makanan
sesuai dengan kebutuhan konsumen, sedangkan kekurangan dari cara ini adalah
banyak memerlukan tenaga dan peralatan (Moehyi 1992).
Standar Makanan Rumah Sakit
Setiap orang dalam hidupnya selalu membutuhkan dan mengkonsumsi
berbagai bahan makanan baik dalam keadaan sehat ataupun sakit. Menurut
Moehyi (1992) makanan dalam upaya penyembuhan penyakit berfungsi sebagai
salah satu bentuk terapi, penunjang pengobatan atau tindakan medis. Pemberian
makanan pada orang sakit harus disesuaikan dengan keadaan penyakitnya
dengan memperhatikan konsistensi makanan dan kandungan gizinya agar orang
sakit memperoleh zat gizi sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan zat gizi pada
setiap individu dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, aktivitas, komplikasi
penyakit dan faktor stress (Depkes 2003).
8
Makanan merupakan suatu bentuk terapi yang bertujuan untuk
memelihara status gizi secara normal atau optimal walaupun terjadi peningkatan
kebutuhan gizi akibat penyakit yang dideritanya. Disamping itu untuk
memperbaiki terjadinya defisiensi zat gizi serta kelebihan atau kekurangan berat
badan pasien. Makanan yang diberikan kepada orang sakit disesuaikan dengan
keadaan penyakitnya. Oleh karena itu, banyak sekali kemungkinan modifikasi
yang dapat dilakukan.
Modifikasi dapat dilakukan melalui perubahan konsistensi makanan,
kandungan kalori makanan, maupun kandungan unsur gizi tertentu. Perubahan
konsistensi makanan yaitu dari makanan biasa menjadi makanan lunak,
makanan saring, atau makanan cair. Kandungan kalori dalam makanan,
terutama terkait dengan jumlah hidrat arang, protein dan lemak. Modifikasi pada
kandungan unsur gizi tertentu yaitu modifikasi baik mengenai jenis ataupun
jumlah unsur gizi tertentu dalam makanan yang disajikan. Apapun modifikasi
yang dilakukan, hal yang perlu diperhatikan adalah orang sakit harus
memperoleh zat gizi sesuai dengan kebutuhannya (Moehyi 1999).
Cita Rasa Makanan
Cita rasa makanan ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap
berbagai indera dalam tubuh manusia terutama indera penglihatan, indera
pencium, dan indera pengecap. Makanan yang memiliki cita rasa yang tinggi
adalah makanan yang disajukan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap
dan memberikan rasa yang lezat (Moehyi 1992). Cita rasa makanan mencakup
dua aspek utama, yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa
makanan waktu di makan. Kedua aspek itu sama pentingnya untuk diperhatikan
agar betul-betul dapat menghasilkan makanan yang memuaskan (Moehyi 1992).
Dua aspek yang berkaitan dengan cita rasa adalah sebagai berikut:
a.
Penampilan makanan
Penampilan yang ditimbulkan oleh makanan yang disajikan. Beberapa
faktor berikut ini yang berkaitan dengan penampilan makanan yaitu:
1. Warna Makanan
Warna makanan adalah rupa hidangan yang disajikan dan dapat
memberikan penampilan lebih menarik terhadap makanan yang disajikan (West
dan Wood 1998). Kombinasi warna adalah hal yang sangat diperlukan dan
membantu dalam penerimaan suatu makanan dan secara tidak langsung dapat
merangsang selera makan, dimana makanan yang penuh warna mempunyai
9
daya tarik untuk dilihat, karena warna juga mempunyai dampak psikologis pada
konsumen. Makanan yang bergizi, enak dimakan dan aromanya juga enak, tidak
akan dimakan apabila warnanya memberikan kesan menyimpang dari warna
yang seharusnya (Winarno 2002).
2. Bentuk Makanan
Bentuk makanan dapat juga digunakan untuk menimbulkan ketertarikan
dalam menu karena dari bermacam-macam bentuk makanan yang disajikan.
Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap
makanan yang disajikan (Moehyi 1992)
3. Besar Porsi
Besar porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan, porsi
untuk setiap individu berbeda sesuai kebutuhan makan. Porsi yang terlalu besar
atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan. Posi makanan juga
berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan penampilan hidangan yang
disajikan (Muchatab1991, diacu dalam Nida 2011)
4. Penyajian Makanan
Penyajian makanan adalah perlakuan terakhir dalam penyelenggaraan
makanan sebelum dikonsumsi, penyajian makanan meliputi pemilihan alat, cara
penyusunan makanan, dan penghiasan hidangan. Penyajian makanan juga
merupakan faktor penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan (Moehyi,
1992). Cara penyajian makanan merupakan faktor yang perlu mendapat
perhatian dalam mempertahankan penampilan dari makanan yang disajikan
(Depkes 2003) menunjukkan penampilan yang menarik akan meningkatkan
selera makan pasien dalam mengkonsumsi makanan yang dihidangkan di rumah
sakit.
b.
Rasa Makanan
Rasa makanan lebih banyak melibatkan indera pengecap (lidah),
penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi cecapan utama yaitu asin, manis
asam dan pahit (Winarno 2002). Mengombinasikan berbagai rasa sangat
diperlukan dalam mencipatakan keunikan sebuah menu. Dominasi satu macam
rasa sangat tidak disukai. Menurut Moehyi (1992), Rasa makanan adalah rasa
yang ditimbulkan dari makanan yang disajikan dan merupukan faktor kedua yang
menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri, adapun
beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan yaitu :
1. Aroma Makanan
10
Aroma Makanan adalah aroma yang disebarkan oleh makanan yang
mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera
penciuman sehingga mampu membangkitkan selera. Aroma yang dikeluarkan
oleh makanan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan yang
berbeda akan memberikan aroma yang berbeda pula (Moehyi 1992 )
2. Bumbu Masakan
Bumbu masakan adalah bahan yang ditambahkan dengan maksud untuk
mendapatkan rasa yang enak dan khas dalam setiap pemasakan.
3. Tekstur Makanan
Tekstur adalah hal yang berkaitan dengan struktur makanan yang
dirasakan dalam mulut. Gambaran dari tekstur makanan meliputi kerenyahan,
empuk, berserat, halus, keras dan kenyal. Keempukan dan kerenyahan
ditentukan oleh mutu bahan makanan yang digunakan dan cara memasaknya
(Moehyi 1992). Bermacam-macam tekstur dalam makanan lebih menyenangkan
daripada satu macam tekstur.
4. Suhu Makanan
Suhu makanan waktu disajkan memegang peranan dalam penentuan cita
rasa makanan. Namun makanan yang terlalu panas atau terlalu dingan sangat
mempengaruhi sensitifitas saraf pengecap terhadap rasa makanan sehingga
dapat menguranggi selera untuk memakannya (Moehyi 1992).
Sisa Makanan Pasien
Keberhasilan suatu pelayanan gizi di ruang rawat inap di evaluasi dengan
pengamatan sisa makanan yang tidak di konsumsi setelah makanan disajikan.
Sisa makanan merupakan suatu dampak dari sistem pelayanan gizi di rumah
sakit. Hal ini merupakan suatu implementasi dari pelayanan gizi dan aspek
perilaku pasien. Banyaknya sisa makanan dalam piring pasien mengakibatkan
masukan gizi kurang selama pasien dirawat. Kebutuhan gizi merupakan salah
satu faktor yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam menyusun
menú pasien karena untuk orang sakit kebutuhan gizinya akan meningkat.
Pemberian makanan sehat yang terdiri dari makanan pokok, lauk, sayur-sayuran
dan buah dalam jumlah yang cukup, dan dapat dihabiskan oleh pasien (Moehyi
1992).
Menurut Soegianto (2008), sisa makanan pasien di rumah sakit
ditimbulkan oleh sedikitnya konsumsi makanan oleh pasien. Terdapat beberapa
hal yang mempengaruhi perilaku konsumsi pasien, sehingga menimbulkan sisa
11
makanan, yaitu anoreksia, input di luar diet, motivasi rendah, makanan yang
kurang enak, atau makanan yang terlalu banyak.
Pemberian makanan di rumah sakit dipengaruhi oleh beberapa faktor
terkait bagaimana seseorang memilih makanannya. Faktor-faktor tersebut adalah
kesenangan serta ketidaksenangan, kebiasaan, daya beli serta ketersediaan
makanan, kepercayaan serta ketahayulan, aktualisasi diri, faktor agama serta
psikologis, dan pertimbangan gizi serta kesehatan (Hartono 2000).
Menurut Almatsier (1992), sisa makanan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, kelompok umur, cita rasa makanan,
kelas perawatan, lama perawatan dan penyakit mempengaruhi sisa makanan
pasien. Jika faktor-faktor ini baik, maka persepsi pasien terhadap makanan yang
disajikan akan baik sehingga makanan yang disajikan dikonsumsi habis. Jika
persepsi pasien terhadap makanan yang disajikan kurang, maka makanan yang
disajikan tidak dikonsumsi habis dan akan meninggalkan sisa.
Sisa makanan adalah jumlah makanan yang tidak habis dikonsumsi
setelah makanan disajikan. Analisa sisa makanan merupakan salah satu cara
untuk melakukan evaluasi pelayanan gizi yang diberikan, terutama pelayanan
makanan. Penyelenggaraan makanan di rumah sakit lebih banyak dihadapkan
pada beberapa masalah yang tidak ditemui pada instansi lain. Perhitungan sisa
makanan pasien dilakukan dengan penimbangan atau weighing (Williams &
Walton 2011). Sisa makanan pasien merupakan salah satu indikator proses
dalam pelayanan gizi rawat inap. Target yang dicapai agar indikator pelayanan
gizi rawat inap dapat dikatakan baik, salah satunya yaitu besarnya sisa makanan
pasien tidak melebihi 20% dari makanan yang disajikan (Depkes 2010).
Kepuasan Pasien
Mutu makanan merupakan prediktor terbaik terhadap tingkat kepuasan
pasien. Kepuasan pasien salah satunya dapat dilihat dari indikator sisa makanan
oleh pasien (Heryawanti 2004). Hasil penelitian Nareswara (2011) menunjukkan
bahwa ada hubungan antara sisa makanan pasien dengan kepuasan pasien
terhadap penampilan makanan.
Kotler (2005) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai berikut :
“kepuasan adalah tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan
hasil dari membandingkan penampilan atau outcome produk yang dirasakan
dalam hubungannya dengan harapan seseorang”. Oleh karena itu, kepuasan
pasien terhadap penyajian makanan di rumah sakit sangat dipengaruhi oleh
12
persepsi pasien terhadap bagaimana kinerja manajemen rumah sakit dalam
menyajikan makanan kepada pasien. Kepuasan konsumen menurut Umar (2002)
terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Kepuasan fungsional, merupakan kepuasan yang diperoleh dari fungsi
atau pemakaian suatu produk. Misal: karena makan membuat perut kita
kenyang.
b. Kepuasan psikologikal, merupakan kepuasan yang diperoleh dari atribut
yang bersifat tidak berwujud. Misal: perasaan bangga karena mendapat
pelayanan yang sangat istimewa dari sebuah rumah makan yang mewah.
Sumarwan (2004) menyatakan, teori yang menjelaskan bagaimana
kepuasan atau ketidakpuasan konsumen terbentuk adalah the expectancy
disconfirmation
model,
yang
mengemukakan
bahwa
kepuasan
dan
ketidakpuasan konsumen merupakan dampak perbandingan antara harapan
konsumen sebelum pembelian dengan yang sesungguhnya diperoleh oleh
konsumen dari produk yang dibeli tersebut.
Menurut Tjiptono (2008), metode yang paling banyak digunakan dalam
pengukuran kepuasan konsumen adalah metode survei. Metode tersebut dapat
menggunakan pengukuran dengan berbagai cara sebagai berikut:
1. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung dengan pertanyaan seperti
“Ungkapkan seberapa puas Saudara terhadap pelayanan PT.Chandra pada
skala berikut: sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat puas” (directly
reported satisfaction).
2. Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka
mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka rasakan
(derived dissatisfaction).
3. Responden diminta untuk menuliskan masalah-masalah yang mereka
hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan juga diminta untuk
menuliskan perbaikan-perbaikan yang mereka sarankan (problem analysis).
4. Responden dapat diminta untuk meranking berbagai elemen (atribut) dari
penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen dan seberapa baik
kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen (importance/performance
ratings). Teknik ini dikenal pula dengan istilah importance-performance analysis.
Importance-Performance Analysis (IPA)
Importance-Performance Analysis (IPA) adalah suatu metode statistik
deskriptif. Berdasarkan John AM dan John CJ (1977), hasil analisis IPA
13
disampaikan dalam bentuk kuadran 2 dimensi yang bersifat grafis dan mudah
diinterpretasi. Gambar pembagian kuadran dalam diagram analisis IPA adalah
sebagai berikut :
Gambar 1 Diagram Importance-Performance Analysis (IPA)
Dalam menginterpretasi kuadran, keduanya merinci sebagai berikut:
A. Concentrate Here (konsentrasi di sini). Faktor-faktor yang terletak dalam
kuadran ini dianggap sebagai faktor yang Penting dan atau Diharapkan oleh
konsumen tetapi kondisi Persepsi dan atau Kinerja Aktual yang ada pada saat ini
belum memuaskan sehingga pihak manajemen berkewajiban mengalokasikan
sumber daya yang memadai untuk meningkatkan kinerja berbagai faktor
tersebut. Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini merupakan prioritas untuk
ditingkatkan.
B. Keep up with the good work (pertahankan prestasi). Faktor-faktor yang
terletak pada kuadran ini dianggap Penting dan Diharapkan sebagai faktor
penunjang bagi kepuasan konsumen sehingga pihak manajemen berkewajiban
memastikan
bahwa
kinerja
institusi
yang
dikelolanya
dapat
terus
mempertahankan prestasi yang telah dicapai.
C. Low Priority (prioritas rendah). Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini
mempunyai tingkat Persepsi atau Kinerja Aktual yang rendah sekaligus dianggap
tidak terlalu Penting dan atau terlalu Diharapkan oleh konsumen sehingga
manajemen tidak perlu memprioritaskan atau terlalu memberikan perhatian pada
faktor-faktor tersebut.
D. Possibly Overkill (terlalu berlebih). Faktor-faktor yang terletak pada kuadran
ini dianggap Tidak Terlalu Penting dan atau Tidak Terlalu Diharapkan sehingga
14
pihak manajemen perlu mengalokasikan sumber daya yang terkait dengan
faktor-faktor tersebut kepada faktor-faktor lain yang mempunyai prioritas
penanganan lebih tinggi yang masih membutuhkan peningkatan, misal di
kuadran B.
15
KERANGKA PEMIKIRAN
Penyelenggaraan rumah sakit terdiri dari serangkain kegiatan mulai dari
perencanaan (perencanaan menu dan anggaran belanja) hingga pelaksanaan,
yang terdiri atas pembelian bahan makanan, penerimaan dan penyimpanan,
persiapan dan pengolahan bahan makanan, serta pendistribusian makanan
(Depkes 2006). Hasil dari penyelenggaraan makanan rumah sakit yaitu berupa
produk, dalam hal ini produk yang dimaksud adalah makanan yang disajikan ke
pasien rawat inap.
Indikator untuk mutu makanan yang disajikan rumah sakit dapat dilihat
dari cita rasanya yang berupa penampilan makanan (besar porsi, warna
makanan, dan penyajian) serta rasa makanan (aroma, bumbu, tekstur, dan suhu
makanan yang disajikan). Cita rasa tersebut berpengaruh kepada kepuasan
(Moehyi 1992). Menurut Heryawati (2004), mutu makanan merupakan prediktor
terbaik terhadap tingkat kepuasan pasien. Selain mutu makanan yang disajikan,
karakteristik pasien juga berpengaruh pada kepuasan pasien.
Kepuasan pasien salah satunya dapat dilihat dari indikator sisa makanan
oleh pasien (Heryawanti 2004). Hasil penelitian Nareswara (2011) menunjukkan
bahwa ada hubungan antara sisa makanan pasien dengan kepuasan pasien
terhadap penampilan makanan. Menurut (Tjiptono 2008) kepuasan atau
ketidakpuasan
pelanggan
adalah
respon
pelanggan
terhadap
evaluasi
ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya
(atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah
pemakaiannya. Bersama dengan sisa makanan terdapat energi dan protein yang
terbuang, yang harusnya dikonsumsi oleh pasien. Selain itu terdapat biaya yang
dikeluarkan rumah sakit, yang ikut terbuang dari makanan yang tidak dihabiskan
oleh pasien.
16
Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit
ƒ Perencanaan menu
ƒ Perencanaan anggaran belanja
ƒ Pembelian bahan makanan
ƒ Penerimaan dan penyimpanan
bahan makanan
ƒ Persiapan dan pengolahan bahan
makanan
ƒ Penyajian
dan
pendistribusian
makanan
Karakteristik
contoh
ƒ Umur
ƒ Jenis kelamin
ƒ Pendidikan
ƒ Jenis penyakit
ƒ Jenis diit
Mutu makanan yang disajikan
ƒ Penampilan makanan
ƒ Rasa makanan
Kepuasan pasien
ƒ Tingkat
kepentingan
ƒ Tingkat kinerja
Makanan dari
luar
Konsumsi energi dan protein dari
makanan
Status gizi setelah
perawatan
Sisa makanan
Biaya yang
terbuang
Energi dan
protein yang
terbuang
Keterangan Gambar :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang diteliti
: Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 2 Kerangka pemikiran analisis sisa makanan dan kepuasan pada pasien
rawat inap
17
METODE
Disain, Tempat dan Waktu Penelitian
Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan
di Rumah Sakit Swasta “X” di Kabupaten Gresik. Penelitian dilakukan sejak bulan
Maret sampai dengan Mei 2012, yang mencakup perizinan, penentuan contoh,
dan pengambilan data.
Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap kelas III
Rumah Sakit Swasta “X” Kabupaten Gresik. Subjek penelitian adalah pasien
rawat inap kelas III dengan kriteria sebagai berikut: berusia 20 tahun ke atas,
berada pada ruang rawat inap pada tanggal dimulainya penelitian, telah
mendapatkan minimal satu kali makan dari Rumah Sakit Swasta “X”, kesadaran
baik dan mampu memberikan pendapat. Kriteria eksklusi: pasien puasa, pasien
pulang, pasien mendapat diet cair. Teknik penarikan contoh yang digunakan
yaitu purpossive sampling dengan jumlah sampel 30 orang.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer berupa karakteristik sampel dan sisa makan sampel. Karaketristik sampel
dikumpulkan dengan cara wawancara dengan bantuan kuesioner, sedangkan
sisa makan sampel diperoleh melalui penimbangan/weighing (Williams & Walton
2011). Data sekunder berupa riwayat rumah sakit, BOR, dan jumlah pasien rawat
inap kelas III diperoleh dari data yang ada di bagian rawat inap dan instalasi gizi.
Selain itu data kandungan gizi diperoleh dari daftar kandungan bahan makanan
(DKBM) tahun 2010. Data harga diperoleh dari harga per menu yang ditetapkan
oleh Rumah Sakit Swasta “X”. Selengkapnya, jenis dan cara pengumpulan data
disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
No
1
2
3
4
Data
Profil ruang rawat inap dan
dapur
Karaketistik sampel
- nama
- umur
- jenis kelamin
- pendidikan
- jenis penyakit
- jenis diet
- kategori pasien
Sisa makanan sampel
Harga menu
Jenis data
Cara pengumpulan
Sekunder
Arsip rumah sakit
Primer
Wawancara dengan kuesioner
Sekunder
Rekam medis
Primer
Sekunder
Penimbangan
Arsip dapur rumah sakit
18
-
5
6
harga bahan
makanan
- standar resep
Tingkat kepentingan,
tingkat kinerja (kepuasan)
terhadap penampilan dan
rasa makanan
Penyelenggaraan makan
- perencanaan
- pembelian
- penerimaan
- persiapan
- pengolahan
- penyajian
- pendistribusian
- fasilitas fisik
Primer
Wawancara dengan kuesioner
Primer
Wawancara dan pengamatan
Pengolahan dan Analisa Data
Data yang diambil dari pasien dikumpulkan kemudian dilakukan analisis
secara deskriptif dan analisis korelasi.
Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Editing
Pada tahap ini data yang terkumpul dikoreksi ulang untuk menghindari
kesalahan.
2. Koding
Data dikumpulkan menurut variabel yang diteliti.
a. Umur
Data umur yang diperoleh kemudian dikelompokkan menjadi tiga yaitu
dewasa awal 20 – 40 tahun, dewasa tengah 41 – 65 tahun, dan
dewasa akhir >65 tahun (Papalia & Olds 2001).
b. Jenis kelamin
Sampel berjenis kelamin laki-laki diberi angka 1 dan sampel berjenis
kelamin perempuan diberi angka 2.
c. Pendidikan
Data pendidikan sampel dibedakan menjadi 5 kategori, yaitu tidak
tamat SD (1), tamat SD (2), tamat SMP (3), tamat SMA (4), dan tamat
sarjana (5).
d. Jenis penyakit
Data jenis penyakit dikelompokkan sesuai dengan penyakit paling
sering di RS “X” saat penelitian berlangsung, yaitu gastroenteritis (1),
demam berdarah dengue (2), Thypoid (3), fraktur (4), liver (5), dan
lain-lain (6).
19
e. Jenis diet
Data jenis diet sampel dibedakan sesuai konsistensi makanan yang
didapatkan contoh. Dibagi menjadi diet biasa atau nasi (1), diet lunak
atau bubur kasar (2), dan diet bubur halus (3).
f.
Sisa makanan sampel
Persen rata-rata sisa makanan sampel dikategorikan berdasarkan
standar pelayanan minimal menurut Depkes (2010), yaitu sedikit ≤
20% (1) dan banyak >20% (2).
g. Tingkat kepuasan contoh
Tingkat kepentingan terhadap penampilan makanan dan rasa
makanan yang disajikan diukur dengan kriteria sangat puas (skor 5),
puas (skor 4), cukup puas (skor 3), tidak puas (skor 2), dan sangat
tidak puas (skor 1). Total penilaian tingkat kepuasan contoh diperoleh
dengan
cara
menjumlahkan
skor
seluruh
atribut,
kemudian
mengkategorikannya berdasarkan perhitungan skala (skor tertinggi
dikurangi skor terendah, dibagi dengan jumlah kelas)
Tabel 2 Rentang skala penilaian total kepuasan contoh
Skala
22 – 39,6
39,7 – 57,2
57,3 – 74,8
74,9 – 92,4
92,5 – 110
Tingkat kepuasan
Sangat Tidak Puas
Tidak Puas
Cukup Puas
Puas
Sangat Puas
h. Tingkat kepentingan dan tingkat kinerja
Tingkat kepentingan terhadap penampilan makanan dan rasa
makanan yang disajikan diukur dengan kriteria sangat penting (skor
5), penting (skor 4), cukup penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan
sangat tidak penting (skor 1). Sedangkan tingkat kinerja diukur
dengan kriteria sangat baik (skor 5), baik (skor 4), cukup baik (skor 3),
tidak baik (skor 2), dan sangat tidak baik (skor 1). Kemudian dihitung
rata-rata setiap atribut, baik pada tingkat kepentingan maupun tingkat
kinerja.
3. Entri Data
Meliputi kegiatan pemasukan data ke dalam program komputer.
4. Tabulasi
Data dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian menggunakan
tabulasi silang antara variabel bebas dan variabel terikat.
20
5. Analisis Data
Data dianalisis menggunakan bantuan Ms.Excel dan SPSS 18 for
window. Data dianalisis melalui dua tahap, yaitu:
a. Analisis Urivariat
Analisis ini dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari setiap
variabel yang diteliti dan dijabarkan dalam bentuk tabel.
b. Analisi Bivariat
Uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi Spearman untuk
mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan sisa makanan
contoh dan sisa makanan contoh dengan tingkat kepuasan contoh. Selanjutnya
dilakukan analisis menggunakan diagram IPA (Importance Performance
Analysis) untuk mengetahui tingkat kinerja dan kepentingan/harapan responden
terhadap peubah-peubah yang mempengaruhi kepuasan pasien.
Definisi Operasional
Makanan yang disajikan adalah makanan utama yang diberikan kepada pasien
dalam bentuk diit lunak atau makanan biasa.
Pasien rawat inap adalah pasien yang menempati ruang rawat inap pada saat
penelitian dilakukan, minimal telah mendapat satu kali makanan utama
rumah sakit.
Waktu makan adalah waktu penyajian makanan menurut pembagian waktu
(makan pagi, siang, dan sore).
Sisa makanan adalah berat (gram) dari makanan yang disajikan kepada pasien
dan benar-benar dapat dimakan, tetapi tidak habis dimakan atau tidak
dimakan dan dibuang sebagai sampah, diukur dengan melakukan
penimbangan langsung.
Tingkat kepentingan adalah harapan atau keinginan pasien terhadap mutu
makanan yang disajikan oleh rumah sakit sesuai kondisi kesehatannya,
dikategorikan menjadi Sangat Tidak Penting, Tidak Penting, Cukup
Penting, dan Sangat Penting.
Tingkat kinerja adalah kenyataan mengenai mutu makanan rumah sakit yang
dirasakan pasien, dikategorikan menjadi Sangat Tidak Baik, Tidak Baik,
Cukup Baik, Baik, dan Sangat Baik.
Biaya yang hilang adalah biaya dari sisa makanan pasien, dihitung dari konversi
sisa makan pasien ke rupiah dengan menggunakan harga per menu
yang diberlakukan oleh rumah sakit.
21
Harga per menu adalah harga setiap menu yang disajikan yang dihitung dari
biaya bahan baku untuk memproduksi setiap menu, belum termasuk
didalamnya yaitu biaya untuk tenaga kerja dan overhead.
Biaya bahan baku adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan
makanan dalam rangka menghasilkan suatu menu..
Standar porsi adalah standar berat makanan yang diberikan rumah sakit,
diperoleh dari penimbangan sebelum penyajian.
Siklus menu adalah dafter menu makan utama rumah sakit yang diberlakukan
secara berulang tiap 10 hari + 1.
Besar porsi makanan adalah ukuran makanan yang disajikan sesuai dengan
standar porsi.
22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Dapur dan Instalasi Gizi
Ketenagaan dan Struktur Organisasi
Jumlah tenaga kerja yang menangani pelayanan gizi RS Swasta “X”
(rawat inap dan dapur) berjumlah 16 orang. Dua orang administrasi dapur,
bertanggung jawab menyusun anggaran dan menangani administrasi yang
berhubungan dengan dapur. Selain itu, terdapat satu orang ahli gizi dapur
sebagai penanggung jawab penerimaan bahan makanan hingga pengiriman
makanan jadi ke lokasi penyajian di gedung kelas III serta satu orang ahli gizi
rawat inap sebagai penanggung jawab dalam hal pelayanan gizi rawat inap.
Tenaga pengolahan makanan berjumlah 2 orang, cook-helper yang bertanggung
jawab terhadap kegiatan persiapan bahan makanan sebelum pengolahan
berjumlah 2 orang, dan pastry yang bertanggung jawab membuat pastry atau
snack selingan berjumlah 2 orang. Tenaga penyaji sekaligus pendistribusi
makanan yang bertanggung jawab melakukan pemorsian serta mengantarkan
makanan ke pasien berjumlah 4 orang, dan petugas gudang yang bertanggung
jawab mencatat jumlah stok bahan makanan di gudang berjumlah 1 orang.
Struktur organisasi pelayanan gizi di RS Swasta “X” disajikan pada Lampiran 1.
Penyelenggaraan Makanan di RS Swasta “X”
Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan
mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada
pasien. Kegiatan penyelenggaraan makanan merupakan bagian dari kegiatan
instalasi gizi rumah sakit sebagai unit pelayanan gizi rumah sakit. untuk
memenuhi asupan zat gizi pada pasien. Asupan zat gizi adalah banyaknya zat
gizi yang masuk kedalam tubuh sehingga dapat menjaga atau menentukan
kesehatan tubuh. Tubuh manusia melakukan pemeliharaan kesehatan dengan
mengganti jaringan yang rusak untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Seperti halnya makanan yang disediakan oleh instalasi gizi, makanan tersebut
sudah diperhitungkan jumlah dan mutu gizi dan harus dihabiskan pasien agar
penyembuhan berjalan sesuai dengan program yang ditetapkan (Ratna 2009).
Penyelenggaraan makanan pada RS Swasta “X” menggunakan sistem
swakelola, yaitu instalasi atau unit pelayanan gizi bertanggung jawab secara
penuh atas segala kegiatan penyelenggaraan makanan, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi (Depkes 2006). RS Swasta “X” tidak menggunakan
23
jasa
dari
perusahaan
jasa
boga
atau
catering
dalam
melakukan
penyelenggaraan makanan.
Sasaran utama penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah pasien.
Namun demikian, penyaji RS Swasta “X” juga menyediakan minum untuk
kayawan. Karyawan yang diberi pelayanan minum oleh penyaji adalah dokter
dan staf fungsional rumah sakit, dokter dan petugas ruang operasi, petugas shift
malam, serta petugas yang berisiko tinggi
terpapar penyakit seperti petugas
radiologi, poliklinik paru, dan pegawai laboratorium.
Frekuensi pemberian makan kelas III adalah tiga kali makan utama dan
dua kali selingan. Pemberian selingan berupa selingan pagi dan selingan sore.
Makanan yang disediakan untuk pasien rawat inap di RS Swasta “X” dapat
berupa makanan dengan diet khusus atau tanpa diet khusus (makanan biasa).
Standar umum untuk diet khusus yang di terdiri dari DJ (Diet Jantung), DL (Diet
Lambung), DH (Diet Hati), Diet DM (Diabetes Melitus), TKTP (Tinggi Kalori Tinggi
Protein), Rendah Purin, RL (Rendah Lemak), RG (Rendah Garam), RS (Rendah
Serat), BSTIK (untuk alergi), dan RP (Rendah Protein).
Selain itu, instalasi gizi RS Swasta “X” menetapkan standar umum
makanan berdasarkan konsistensinya berupa makanan biasa, makanan lunak,
makanan saring, dan makanan cair. Makanan cair terbagi menjadi dua tipe, yakni
makanan cair jernih dan makanan cair penuh. Makanan cair jernih hanya berupa
teh manis, sementara makanan cair penuh terdiri dari berbagai variasi jenis susu
formula komersial yang diberikan sesuai dengan kebutuhan gizi dan daya terima
pasien. Formula komersial yang digunakan di RS Swasta “X” adalah susu
Dancow anak, Diabetasol, Hepatosol, Entrasol, Nephrisol, Dianeral, dan susu
Nutren (junior dan fibre).
Rangkaian proses penyelenggaraan makanan yang dilakukan di Instalasi
Gizi RS Swasta “X” dimulai dari proses perencanaan anggaran, perencanaan
menu dan siklus menu, perhitungan kebutuhan bahan makanan, pemesanan
makanan, pembelian bahan makanan, penerimaan bahan makanan, persiapan,
pengolahan makanan, pemorsian makanan, hingga pendistribusian kepada
pasien. Berikut ini perincian kegiatan penyelenggaraan makanan yang dilakukan
di RS “X”:
a.
Perencanaan Anggaran
Perencanaan anggaran untuk bahan makanan di RS Swasta “X” disusun
sejak satu tahun sebelumnya, misalkan untuk anggaran tahun 2012, maka
24
anggaran disusun sejak tahun 2011. Penyusun anggaran bahan makanan
adalah bagian administrasi dapur dan kantin. Anggaran disusun berdasarkan
RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan) dengan mempertimbangkan
realisasi yang diperoleh. Penyusunan anggaran juga memperhitungkan kenaikan
harga bahan makanan dan jumlah pasien di tahun mendatang.
b.
Perencanaan Menu dan Siklus Menu
Perencanaan menu disusun oleh ahli gizi dapur. Siklus menu untuk
pasien di RS Swasta “X” adalah menu 10 Hari + 1. Menu +1 diterapkan setiap
tanggal 31. Setiap porsi menu dijabarkan ke dalam standar porsi menu, lalu
dikalikan dengan jumlah pasien yang menjalani rawat inap, dan hasilnya
digunakan untuk perkiraan belanja bahan makanan.
Berhasil tidaknya suatu penyelenggaraan makanan sangat dipengaruhi
oleh menu yang disusun atau hidangan yang disajikan (Mukrie dalam Furqon
2010), sehingga penyusunan menu perlu dilakukan evaluasi secara berkala.
Rumah Sakit Swasta “X” telah menerapkan evaluasi berkala terhadap menu
yang disajikan, yaitu setiap enam bulan. Siklus menu pasien diubah dengan
mempertimbangkan plate waste yang dilakukan secara berkala dengan metode
visual atau taksiran. Awal bulan Juni 2012 telah dilakukan pembaharuan menu
untuk pasien.
c.
Pemesanan Bahan Makanan
Pemesanan bahan makanan di RS Swasta “X” terbagi menjadi dua, yaitu
bahan makanan kering dan bahan makanan basah. Pemesanan bahan makanan
kering dilakukan 7 hari sekali, sedangkan pemesanan bahan makanan basah
dilakukan setiap hari.
Tujuan dari kegiatan ini, menurut Depkes (2006), yaitu tersedianya daftar
pesanan bahan makanan sesuai standar atau spesifikasi yang ditetapkan. Ahli
gizi dapur di Rumah Sakit Swasta “X” telah melakukan rekapitulasi kebutuhan
bahan makanan dengan memperhatikan stok yang ada dan kebutuhan sesuai
menu esok hari. Daftar pesanan bahan makanan kering disetorkan ke koperasi
yang masih tergabung dalam perusahaan yang sama, sedangkan daftar pesanan
bahan makanan basah kemudian dikirim kepada rekanan/supplier yang terpilih
dalam tender/pelelangan. Pelelangan tersebut dilakukan setiap satu bulan sekali.
d.
Pembelian Bahan Makanan
RS Swasta “X” membeli bahan makanan yang dibutuhkan melalui
koperasi (untuk bahan makanan kering) dan rekanan/supplier (untuk bahan
25
makanan basah) yang dipilih melalui tender/lelang. Saat pelelangan, RS Swasta
“X” telah menetapkan spesifikasi barang yang diinginkan berikut estimasi jumlah
dan harga, karena itu rekanan yang bekerja sama telah mengetahui spesifikasi
bahan makanan yang diinginkan oleh Instalasi Gizi RS Swasta “X”. Bahan
makanan yang dipesan kemudian diantar langsung ke RS. Pengantaran bahan
makanan basah biasa dilakukan pada malam hari.
e.
Penerimaan dan Penyimpanan Bahan Makanan
Penerimaan bahan makanan yang dilakukan di ruang penerimaan yang
terletak di dekat dapur rumah sakit meliputi kegiatan pengecekan, pencatatan,
dan
pelaporan.
Pengecekan
kuantitas
bahan
makanan
basah
meliputi
pengecekan jumlah bahan makanan tersebut. Belum pernah ada kelebihan,
kekurangan, maupun ketidaksesuaian antara bahan makanan yang diterima
dengan yang dipesan. Pengecekan juga dilakukan pada bahan makanan kering
berupa pengecekan terhadap jumlah, berat, tanggal kadaluarsa, satuan, dan
ukuran.
Bahan makanan yang telah diterima kemudian disimpan. Prasyarat
penyimpanan bahan makanan menurut Depkes (2006), yaitu adanya sistem
penyimpanan
barang,
tersedianya
fasilitas
ruang
penyimpanan
sesuai
persyaratan, dan tersedianya kartu stok/buku catatan keluar-masuknya bahan
makanan. Penyimpanan bahan makanan kering harus dipisahkan dengan bahan
makanan basah. Penyimpanan bahan makanan di Rumah Sakit Swasta “X” telah
menerapkan pemisahan antara bahan makanan kering dengan bahan makanan
basah.
Bahan makanan kering diletakkan di gudang, sedangkan bahan makanan
basah diletakkkan di dalam lemari pendingin. Moehyi (1992) menyatakan bahwa
suhu penyimpanan yang tepat untuk daging, ikan, dan olahannya yaitu 0˚C. Suhu
penyimpanan untuk susu dan telur 1,7˚C, sedangkan untuk sayur dan buah yaitu
5 – 10˚C. Namun demikian, pada penerapannya, RS Swasta “X” belum
melakukan pengaturan suhu yang tepat untuk bahan makanan basah yang
berbeda dalam sistem penyimpanan.
f.
Persiapan Pengolahan Bahan Makanan
Kegiatan persiapan pengolahan bahan makanan meliputi pembersihan
bagian-bagian yang tidak digunakan, pemotongan bahan, pencucian bahan,
serta persiapan bumbu seperti penumbukan, penumisan, dan lain lain. Kegiatan
persiapan pengolahan ini dilakukan oleh dilakukan oleh cook-helper.
26
g.
Pengolahan Makanan
Bahan makanan yang diolah disesuaikan dengan menu yang berlaku hari
itu. Jenis bahan makanan yang diolah dibedakan untuk diet khusus maupun
untuk non-diet. Selain itu, pembedaan juga dilakukan pada proses pengolahan,
misalnya pada diet rendah garam, hasil olahan dipisahkan terlebih dahulu
sebelum diberi garam, juga pada diet dengan konsistensi biasa ataupun lunak,
pada konsistensi lunak yang diberikan adalah nasi bubur, sedangkan pada diet
biasa berupa nasi.
h.
Pemorsian Makanan dan Penyajian Makanan
Pemorsian makanan di RS Swasta “X” dilakukan oleh penyaji makanan,
belum ada pengawasan langsung oleh ahli gizi terhadap proses pemberian label
pada diet khusus serta pemberien makanan yang tepat sesuai diet oleh penyaji.
Namun demikian, tidak pernah terdapat kesalahan pemberian makanan yang
disebabkan salah membaca jenis diet pada label.
Makanan yang disajikan, baik berupa makanan diet khusus maupun
makanan non-diet, biasa dilengkapai dengan garnish berupa wortel mentah dan
timun yang tidak diolah sebelumnya. Pemberian garnish sebaiknya lebih
diperhatikan khususnya pada makanan dengan konsistensi lunak dan saring. Hal
ini dikarenakan fungsi sistem pencernaan pasien dimungkinkan belum bekerja
dengan baik, sehingga pasien mendapatkan diet lunak ataupun saring. Garnish
berupa bahan makanan mentah mengandung serat tinggi yang akan
memberatkan kerja saluran pencernaan pasien.
Alat saji makanan untuk kelas III disajikan dalam piring dan mangkuk
yang terbuat dari porselen, serta alat makan berupa sendok stainless steel.
Makanan yang sudah diporsi akan dikemas menggunakan plastic wrapping yang
bertujuan agar terhindar dari kontaminan.
i.
Pendistribusian
Pendistribusian makanan di RS Swasta “X” dilakukan oleh penyaji.
Makanan disalurkan ke ruangan pasien dengan menggunakan troli. Troli yang
digunakan hanya berjumlah 2 buah. Pendistribusian makanan untuk makan pagi
dilakukan pukul 06.30 – 07.30 WIB, distribusi makan siang pukul 11.30 -12.30
WIB, dan distribusi makan sore pukul 16.30 -17.00 WIB.
Sistem pendistribusian makanan di Instalasi Gizi RS Swasta “X”
dikategorikan sistem distribusi desentralisasi. Dapur utama terpisah dengan
tempat pemorsian. Dapur terletak di gedung rumah sakit yang berbeda, yaitu
27
gedung khusus kelas I dan II. Makanan yang telah diolah kemudian diantar ke
lokasi penyajian dengan menggunakan mobil pick up box untuk kemudian
diporsikan, disajikan, dan didistribusikan ke pasien. Kelebihan dari cara
desentralisasi adalah porsi makanan sesuai dengan kebutuhan konsumen,
sedangkan kekurangan dari cara ini adalah banyak memerlukan tenaga dan
peralatan (Moehyi 1992).
Sarana, Peralatan, dan Perlengkapan
Secara umum kegiatan pelayanan gizi rumah sakit dapat berjalan dengan
optimal karena didukung oleh sarana, peralatan dan perlengkapan yang
memadai. Sebagian besar kegiatan yang berhubungan dengan proses asuhan
gizi terutama penyelenggaraan makan untuk pasien dilakukan di dapur dengan
didukung oleh sarana, peralatan dan perlengkapan yang ada.
Dapur pada RS Swasta “X” terbagi menjadi dua, yaitu dapur utama dan
dapur
pendukung.
Dapur
utama
merupakan
ruangan
utama
dalam
penyelenggaraan makanan, sekaligus tempat pemorsian dan penyajian untuk
makanan pasien kelas I dan II. Dapur pendukung berada di gedung yang
berbeda, digunakan untuk pemorsian dan penyajian makanan pasien kelas III.
Dapur utama memiliki delapan bagian dengan fungsi masing-masing,
yaitu tempat penerimaan bahan makanan, tempat penyimpanan bahan makanan,
tempat persiapan bahan makanan, tempat pengolahan bahan makanan, tempat
pemorsian makanan, tempat pencucian dan penyimpanan peralatan, tempat
istirahat pegawai, dan tempat pembuangan sampah. Pembagian tempat tersebut
dalam dilihat dalam denah pada Lampiran 2.
Secara umum, tempat penerimaan bahan makanan, tempat penyimpanan
bahan makanan, tempat persiapan bahan makanan, tempat pengolahan bahan
makanan, tempat pemorsian untuk kelas I dan II, tempat penyimpanan peralatan,
tempat istirahat pegawai,serta tempat pembuangan sampah berada dalam satu
ruangan besar atau ruang utama. Tempat penerimaan memiliki ruangan
tersendiri, sedangkan tempat pemorsian makanan untuk kelas III berada di
gedung yang berbeda. Berikut adalah penjelasan ruang penyelenggaran
makanan di RS Swasta “X”:
•
Tempat penerimaan bahan makan
Tempat ini berada pada ruang tersendiri, digunakan dalam penerimaan
dan pengecekan kualitas serta kuantitas bahan makanan. Letak tempat ini dekat
dengan pintu masuk dapur, sehingga memudahkan bahan makanan keluar
28
masuk setiap harinya. Umumnya setelah dilakukan pengecekan, bahan makanan
basah langsung dibersihkan dan diolah, sedangkan bahan makanan kering
disimpan di ruang penyimpanan.
•
Tempat penyimpanan bahan makanan
Terdapat dua jenis ruangan penyimpanan bahan makanan, yaitu ruangan
penyimpanan bahan makanan basah/segar (lemari pendingin) dan ruangan
penyimpanan bahan makanan kering. Bahan makanan kering diletakkan dan
diatur di gudang penyimpanan makanan kering, sedangkan sisa makanan segar
diletakkan di lemari pendingin yang terdapat pada ruang utama.
Menurut Moehyi (1992), penyimpanan yang baik untuk bahan makanan
kering di antaranya adalah:
1. Bahan makanan dipisah menurut jenisnya
2. Bahan makanan yang sudah lama diterima diletakkan di sebelah atas agar
tidak ada stok yang rusak karena terlalu lama disimpan (first in first out).
3. Bahan makanan diletakkan di atas rak-rak penyimpanan dan bahan makanan
yang menggunakan karung atau kantong kertas tidak diletakkan langsung di
atas tanah.
4. Ruang penyimpanan harus selalu dalam keadaan bersih, kering, dan bebas
serangga maupun tikus.
5. Pada waktu tertentu gudang tempat menyimpan makanan harus dibuka untuk
memungkinkan pertukaran udara. Suhu dalam ruangan tidak lebih dari 21˚C.
Penyimpanan bahan makanan kering yang diterapkan oleh Rumah Sakit
Swasta “X” sudah cukup baik karena telah sesuai dengan standar penyimpanan
menurut Moehyi (1992). Namun demikian, belum ada kontrol untuk pengaturan
suhu dalam ruangan.
Penyimpanan bahan makanan segar atau basah disimpan di ruangan
yang dilengkapi dengan alat pendingin. Suhu penyimpanan yang tepat untuk
daging, ikan, dan olahannya yaitu 0˚C. Suhu penyimpanan untuk susu dan telur
1,7˚C, sedangkan untuk sayur dan buah yaitu 5 – 10˚C (Moehyi 1992). Pada
penerapannya, RS Swasta “X” belum melakukan pengaturan suhu yang tepat
untuk bahan makanan basah yang berbeda dalam sistem penyimpanannya.
•
Tempat persiapan bahan makanan
Tempat ini digunakan untuk mempersiapkan bahan makanan yang akan
diolah. Persiapan pengolahan dilakukan di meja yang terbuat dari kayu. Kegiatan
persiapan
pengolahan
bahan
makanan
yang
dilakukan
antara
lain:
29
membersihkan, mengupas, mencuci, menumbuk, menggiling, memotong,
mengiris dan sebagainya sebelum bahan makanan dimasak.
•
Tempat pengolahan bahan makanan
Tempat pengolahan bahan makanan berada pada ruang dapur utama,
dekat dengan meja persiapan. Terdapat 12 buah tungku kompor gas yang
digunakan dalam pengolahan bahan makanan makanan. Nasi dimasak secara
terpisah yaitu dengan menggunakan rice cooker besar yang berjumlah satu
buah, sedangkan bubur dimasak dengan menggunakan rice cooker ukuran
sedang yang berjumlah tiga buah.
•
Tempat pemorsian makanan
Tempat ini digunakan sebagai tempat pemorsian makanan setelah bahan
makanan melalui proses pengolahan menjadi makanan. Tempat pemorsian
makanan terbagi atas dua tempat. Tempat pemorsian makanan untuk kelas I dan
II berada pada ruangan yang menyatu dengan ruang utama, sedangkan tempat
pemorsian untuk kelas III berada di gedung yang berbeda. Pemorsian untuk
kelas III dilakukan di dapur penyaji yang letaknya dekat dengan ruang rawat inap
kelas III dan dekat dengan pintu belakang rumah sakit, sehingga memudahkan
keluar-masuknya makanan hasil olahan yang diantar dari dapur utama. Di dapur
penyaji ini, pemorsian dilakukan di atas meja yang terbuat dari aluminium.
•
Tempat pencucian dan penyimpanan peralatan
Tempat pencucian yang berada di dapur utama dibedakan menjadi
tempat pencucian bahan makanan, serta tempat pencucian peralatan masak dan
peralatan makan. Hal tersebut sesuai dengan anjuran Depkes (2006). Tempat
pencucian bahan makanan berada diantara kompor, dekat dengan meja
persiapan, sedangkan tempat pencucian peralatan berada di pojok kanan tempat
pengolahan dan dekat dengan gudang.
Penyimpanan peralatan masih dilakukan di rak-rak piring terbuka
berbahan kayu yang berada di bawah meja persiapan dapur utama. Menurut
Depkes (2006), alat-alat dapur sebaiknya setalah dibersihkan kemudian disimpan
di ruang khusus sehingga memudahkan dalam pengawasan dan pemantauan
pemakaian alat.
Pencucian
peralatan
pada
kelas
III
dilakukan
oleh
petugas
kebersihan/cleaning service kemudian diletakkan di rak piring terbuka yang
berada dalam dapur penyaji. Proses pencucian peralatan sudah menggunakan
air panas dan sabun khusus cuci piring. Kelemahan dari tempat pencucian dan
30
penyimpanan peralatan ini diantaranya belum tersedianya lap pengering
peralatan secara khusus.
•
Tempat pembuangan sampah
Pembuangan sampah di dapur utama RS Swasta “X” sudah dipisahkan
antara sampah basah dan sampah kering. Sampah basah dibuang melalui
saluran khusus yang berada di bawah tempat pengolahan, sedangkan tempat
sampah kering merupakan tempat sampah terbuka yang juga berada di dekat
tempat pengolahan. Tempat sampah kering juga terdapat di bawah meja
pemorsian dapur utama, namun ukurannya kecil, sehingga belum mencukupi
untuk menampung sampah yang ada. Tempat pembuangan sampah di dapur
kelas III berjumlah berukuran sedang dan berjumlah satu buah yang dilapisi
dengan plastik sampah (trash bag). Tempat sampah tersebut jarang digunakan
karena minimalnya sampah yang dihasilkan dari kegiatan penyajian. Semua
tempat sampah tersebut segera dikosongkan oleh petugas kebersihan begitu
sampah terkumpul. Hal ini sesuai dengan anjuran Depkes (2006) untuk
mengosongkan sampah segera begitu sampah terkumpul. Sisa makanan pasien
langsung dibuang ke plastik sampah yang dibawa bersama troli pengambil
makanan untuk selanjutnya dibuang ke tempat pembuangan akhir.
•
Tempat istirahat pegawai
Tempat ini digunakan untuk tempat ganti pakaian pegawai, istirahat, dan
sholat. Tempat istirahat ini berada satu ruangan dengan dapur utama.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara keseluruhan peralatan dan
perlengkapan yang terdapat pada ruang penyelenggaraan makanan RS Swasta
“X” yang digunakan dalam proses persiapan bahan makananan hingga proses
pendistribusian bahan makanan sudah cukup baik. Berikut disajikan daftar
inventaris peralatan dan perlengkapan pada ruang penyelenggaraan makanan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Daftar inventaris peralatan dan perlengkapan dapur dan ruang penyaji
RS “X”
Jenis peralatan / perlengkapan dapur
almari susu
meja set up
meja makanan
troli makanan (stanless + aluminium)
kursi kayu
alat pemotong plastik wrapping
meja kerja stanless
Dispenser Hot & cold +penyanggah
Jumlah
1
1
1
2
1
1
1
1
Kondisi/
Keterangan
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
31
kursi plastik
piring makan pasien
gelas minum pasien
baki makan pasien melamine
sendok makan pasien
garpu makan pasien
pisau buah
gelas karyawan
gelas dr. Specialis
tutup gelas stanless
tutup gelas milamine
tutup gelas plastik
keranjang plastik sedang
baki makan pasien kayu
mangkok soup
1
47
55
69
60
60
2
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
baik
3
6
10
50
8
8
57
Secara umum, kondisi peralatan di dapur dan ruang penyaji RS Swasta
“X” dalam kondisi baik. Namun demikian, evaluasi pencatatan jumlah peralatan
belum belum dilakukan secara berkala.
•
Ruang Administrasi
Ruang administrasi digunakan sebagai ruangan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan manajemen instalasi gizi RS Swasta “X”. Fungsi ruang
pengawas
diantanya
adalah
mengawasi
kegiatan
dan
alur
kerja
penyelenggaraan makanan. Sebaiknya, dinding ruang pengawas terbuat dari
kaca agar proses pengawasan dapat dilakukan dari dalam ruangan sehingga
proses penyelenggaraan makanan dapat berjalan lancar.
Sanitasi Makanan dan Keselamatan Kerja
Masalah sanitasi makanan sangat penting dalam penyelenggaraan
makanan di rumah sakit. Pelayanan makanan di rumah sakit bertujuan untuk
menunjang kegiatan pelayanan medis. Oleh karena itu, dibutuhkan tempat
khusus yaitu instalasi gizi, sebagai tempat pengolahan makanan dan minuman
rumah sakit. Perlu dilakukan pengendalian terhadap faktor yang mungkin dapat
menjadi kontaminan yang berasal dari proses pengolahan makanan dan
minuman yang disajikan di rumah sakit. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah
pertumbuhan kuman agar tidak menjadi mata rantai penularan penyakit serta
gangguan kesehatan pada pasien.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko
kontaminasi bakteri terhadap makanan adalah pemeliharaan kebersihan ruangan
dan lingkungan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala karyawan instalasi
gizi. Kegiatan tersebut sudah diterapkan dengan baik oleh rumah sakit “X”.
32
Standar operasional sudah diterapkan oleh penyaji, yaitu memakai
masker dan celemek saat menyajikan maupun mendistribusikan makanan ke
pasien. Namun untuk penutup kepala, belum diterapkan baik oleh petugas
pengolah makanan maupun penyaji. Adapun pemeriksaan kesehatan berkala
adalah kegiatan yang dilakukan secara berkala untuk memeriksa kesehatan
pegawai instalasi gizi untuk meminimalkan penularan penyakit melalui makanan.
Kesehatan keselamatan kerja adalah suatu upaya untuk memberikan
jaminan keselamatan serta meningkatkan derajat kesehatan pekerja dengan cara
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK), pengendalian bahaya
di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi. Konsep dasar
kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit adalah upaya terpadu seluruh
pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung orang sakit untuk menciptakan
lingkungan kerja, tempat kerja rumah sakit yang sehat, aman dan nyaman baik
bagi pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung orang sakit maupun bagi
masyarakat dan lingkungan sekitar rumah sakit (Depkes 2009).
Secara umum, dapur penyaji tidak menggunakan peralatan yang
membahayakan pekerja. Selain itu, lantai selalu dalam keadaan kering dan
bersih. Namun belum ada unit khusus untuk mengelola kesehatan dan
keselamatan kerja di Rumah Sakit Swasta “X”.
Pengawasan dan Pengendalian Mutu Pelayanan Gizi
Pengawasan dan pengendalian mutu pelayanan gizi meliputi ketepatan
waktu pemberian makanan kepada pasien, sisa makanan yang tidak termakan
oleh pasien, dan tidak adanya kesalahan dalam pemberian diet. Ketepatan waktu
pemberian makanan kepada pasien adalah ketepatan penyediaan makanan
pada pasien sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Dimensi mutunya
berupa efektivitas, akses, dan kenyamanan (Depkes 2010).
Berdasarkan observasi yang dilakukan, pemberian makanan kepada
pasien selalu tepat waktu, yaitu makan pagi pukul 06.30 WIB, makan siang pukul
11.00 WIB, dan makan sore pukul 16.30 WIB. Namun demikian, pengawasan
dan pengendalian mutu berupa survei jumlah pasien rawat inap yang mendapat
makanan tepat waktu dalam sebulan belum dilakukan oleh RS Swasta “X”.
Sisa makanan adalah porsi makanan yang tersisa atau yang tidak
dimakan oleh pasien. Dimensi mutunya berupa efektif dan efisien (Depkes 2010).
Pengawasan dan pengendalian dilakukan dengan cara men-survey jumlah
33
kumulatif porsi sisa makanan dari pasien. Survei ini sudah mulai dilakukan oleh
RS Swasta “X” dengan metode visual atau taksiran.
Kesalahan pemberian diet adalah kesalahan dalam pemberian jenis diet
kepada pasien. Dimensi mutunya berupa keamanan dan efisien (Depkes 2010).
Pengawasan dan pengendalian dilakukan dengan mensurvey jumlah pemberian
makanan dikurangi jumlah pemberian makanan yang salah diet. Pengendalian
mutu tersebut belum dilakukan oleh RS “X”.
Karakteristik Contoh Penelitian
Contoh penelitian ini adalah pasien kelas III sejumlah 30 orang.
karakteristik yang diamati meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis
penyakit, dan jenis diet yang didapat dari rumah sakit. Sebaran contoh
berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik individu
No
1
2
3
4
5
Karakeristik
Umur
a. dewasa awal (20 – 40 tahun)
b. dewasa tengah (41 – 65 tahun)
c. dewasa akhir (>65 tahun)
Jumlah
Jenis Kelamin
a. perempuan
b. laki-laki
Jumlah
Tingkat Pendidikan
1. tidak tamat SD
2. tamat SD
3. tamat SMP
4. tamat SMA
5. tamat sarjana
Jumlah
Jenis Penyakit
1. gastroenteritis
2. demam berdarah dengue (DBD)
3. Thypoid/tipus
4. fraktur/patah tulang
5. liver
6. lain-lain
Jumlah
Jenis Diet
1. diet biasa/nasi
2. diet lunak/bubur kasar
3. diet bubur halus
Jumlah
Jumlah
n
%
23
6
1
30
76,6
20,0
3,3
100,0
12
18
30
40,0
60,0
100,0
0
10
1
19
0
30
0,0
33,3
3,3
63,3
0,0
100,0
5
9
5
3
3
5
30
16,7
30,0
16,7
10,0
10
16,67
100,0
11
17
2
30
36,7
56,7
6,7
100,0
Sebagian besar contoh (76,6%) berada pada tahapan dewasa awal
dengan rentang usia antara 20 – 40 tahun. Pengelompokan umur contoh
berdasar pada klasifikasi tahapan periode dewasa menurut Papalia & Olds
34
(2001). Dewasa awal merupakan tingkatan umur dengan fungsi fisiologi dan
biologi yang paling efisien. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap fungsi-fungsi
organ yang terlibat dalam pemrosesan informasi (Hayslip (1989) diacu dalam
Fajarwati (2010)). Oleh karena itu, contoh memiliki potensi yang tinggi dalam
merespon informasi mengenai kepuasan terhadap cita rasa dan penampilan
makanan yang disajikan RS Swasta “X”.
Lebih dari separuh (60%) atau sebanyak 18 orang contoh berjenis
kelamin laki-laki. Tingkat pendidikan contoh sebagian besar yaitu tamat SMA
(63,3%). Jenis penyakit yang diderita oleh contoh sebagian besar (30%) adalah
demam berdarah dengue (DBD). Jenis diet yang didapatkan sebagian besar
contoh (56,7%) adalah diet lunak/bubur kasar.
Sisa Makanan Contoh
Sisa Makanan berdasarkan Karakteristik Contoh
Sisa makanan adalah makanan yang disajikan kepada pasien dan benarbenar dapat dimakan, tetapi tidak habis dimakan atau tidak dimakan dan dibuang
sebagai sampah (Moehyi 1992). Menurut Almatsier (1992), sisa makanan
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain jenis kelamin, tingkat pendidikan,
kelompok umur, dan penyakit mempengaruhi sisa makanan pasien. Tabel 5
menunjukkan persentase sisa makanan berdasarkan umur.
Tabel 5 Persentase sisa makanan berdasarkan umur
Kelompok umur
Dewasa awal
Dewasa tengah
Dewasa akhir
Makanan
pokok (%)
8,7
15,4
12,4
Lauk hewani
(%)
8,8
15,8
9,8
Lauk nabati
(%)
11,6
15,5
13,3
Sayur (%)
27
30,8
28,8
Rata-rata
(%)
14,0
19,4
16,1
Rata-rata sisa makanan untuk kelompok dewasa tengah (41 – 65 tahun)
adalah yang paling tinggi, yaitu sebesar 19,4% dengan sisa terbanyak berasal
dari sayuran (30,8%) dan paling sedikit berasal dari makanan pokok (15,45%).
Hasil penelitian Nida (2011) yang membagi kelompok umur menjadi < 35 tahun
dan ≥35 tahun, juga menunjukkan bahwa contoh yang berumur ≥35 tahun
memiliki sisa lebih tinggi.
Tingginya sisa makanan pada kelompok umur dewasa tengah tersebut
dimungkinkan karena faktor stress yang kemudian mempengaruhi nafsu makan.
Depkes (1991) menyatakan bahwa makin bertambah umur seseorang, maka
makin banyak beban dan tanggung jawab yang diembannya, terutama usia
dewasa hingga batas usia produktif (64 tahun). Namun demikian, secara statistik
35
sisa makanan antar kelompok umur tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata berdasarkan uji beda Kruskal-Wallis (p>0,05).
Berdasarkan uji korelasi Spearman, diketahui bahwa umur contoh
berhubungan secara signifikan (p<0,05) dengan sisa makanan contoh. Hasil
tersebut sejalan dengan Almatsier (1992) yang menyatakan bahwa umur pasien
berhubungan dengan asupan makan pasien.
Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan bahwa rata-rata sisa makanan
pada laki-laki lebih rendah daripada perempuan. Besarnya persentase sisa
makanan menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Persentase sisa makanan berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Makanan
pokok (%)
11,2
9,4
Lauk hewani
(%)
8,2
11,5
Lauk nabati
(%)
10,4
13,8
Sayur (%)
28,1
27,3
Rata-rata
(%)
14,9
16,0
Menurut Sediaoetama (2000), laki-laki memiliki angka kecukupan gizi
(AKG) yang lebih besar sehingga mampu mengkonsumsi makanan lebih banyak
daripada perempuan. Hasil penelitian Prawirohartono, et al. (2005) mengenai
sisa makanan pasien dengan makanan biasa, menunjukkan bahwa pasien
perempuan mengkonsumsi nasi lebih sedikit daripada laki-laki, sehingga sisa
makanan pada perempuan lebih besar. Hal ini tidak sejalan dengan hasil
penelitian yang didapat. Persentase sisa untuk makanan pokok pada laki-laki
lebih besar (11,2%) dibanding perempuan (9,45%). Hal tersebut diduga karena
adanya pengaruh dari makanan luar yang dikonsumsi oleh contoh. Menurut
Moehyi (1992) bahwa makanan yang dimakan oleh pasien luar rumah sakit akan
berpengaruh terhadap terjadinya sisa makanan.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak
berhubungan nyata dengan sisa makanan contoh (p>0,05). Sisa makanan yang
paling banyak yaitu sayuran, baik pada laki-laki (28,1%) maupun pada
perempuan (27,3%). Sisa paling sedikit pada laki-laki yaitu lauk hewani (8,2%),
sedangkan pada perempuan adalah makanan pokok (9,4%). Secara statistik,
perbedaan sisa makanan menurut jenis kelamin tidak berbeda nyata (p>0,05).
Persentase sisa makanan contoh yang tamat Sekolah Dasar (SD) lebih
besar (18, 63%) dibandingkan contoh yang tamat Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang masing-masing besarnya
10,47% dan 13,74%. Menurut Atmarita & Fallah (2004), tingkat pendidikan yang
semakin tinggi akan mempermudah seseorang untuk menerima informasi
(pengetahuan) yang selanjutnya akan mengarah pada perubahan sikap sehingga
36
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh dengan pendidikan yang
lebih tinggi dimungkinkan memiliki pengetahuan dan sikap yang lebih baik
terhadap makanan rumah sakit terkait gizi dan kesembuhan, sehingga contoh
yang tamat SMP dan tamat SMA lebih sedikit menyisakan makanannya
dibandingkan contoh tamatan SD.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
nyata antara sisa makanan dengan tingkat pendidikan contoh (p>0,05). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Nida (2011) yang menyatakan bahwa tingkat
pendidikan tidak berhubungan dengan sisa makanan. Namun demikian,
berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis, tidak ada perbedaan yang bermakna
pada sisa makanan dalam ketiga tingkat pendidikan tersebut (p>0,05). Besarnya
persentase sisa makanan menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 7
berikut.
Tabel 7 Persentase sisa makanan berdasarkan tingkat pendidikan
Pendidikan
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Makanan
pokok (%)
13,48
4,07
8,66
Lauk hewani
(%)
11,83
2,59
9,75
Lauk nabati
(%)
14,12
9,33
11,67
Sayur (%)
35,10
25,88
23,59
Rata-rata
(%)
18,63
10,47
13,74
Jenis penyakit yang diderita contoh cukup beragam, berbagai jenis
penyakit tersebut kemudian dikelompokkan menjadi enam kelompok. Hal ini
didasarkan pada jenis penyakit dengan frekuensi tertinggi di RS Swasta “X” pada
saat penelitian berlangsung, antara lain gastroenteritis, demam berdarah dengue
(DBD), Thypoid, fraktur, liver, dan lain-lain (tumor jinak, gagal ginjal kronis, dan
jantung). Besarnya sisa makanan berdasarkan jenis penyakit contoh dapat dilihat
pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8 Persentase sisa makanan berdasarkan jenis penyakit
Jenis penyakit
Gastroenteritis
DBD
Thypoid
Fraktur
Liver
Lain-lain
Makanan
pokok (%)
9,07
12,23
5,53
14,30
8,95
8,71
Lauk hewani
(%)
5,07
13,67
7,72
13,05
10,12
10,00
Lauk nabati
(%)
9,33
13,75
11,23
9,19
25,64
11,22
Sayur (%)
26,53
28,71
23,37
34,04
48,93
22,32
Rata-rata
(%)
12,50
17,09
11,96
17,64
23,81
13,35
Berdasarkan uji korelasi Spearman, terdapat hubungan yang nyata antara
jenis penyakit dengan sisa makanan contoh (p<0,05). Persentase sisa makanan
tertinggi terdapat pada contoh dengan penyakit hati/liver yaitu sebesar 23,81%
kemudian menyusul fraktur (17,64%) dan DBD (17,09%). Perbedaan sisa
37
makanan
antara
beberapa
jenis
penyakit
tersebut
signifikan
(p<0,05)
berdasarkan uji beda Kruskal Wallis.
Selain nafsu makan, hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa
pengaruh penyakit penyerta dan pantangan makanan yang lebih banyak
menyebabkan sisa yang tinggi pada contoh dengan penyakit hati/liver. Menurut
hasil penelitian Williams&Walton (2011) mengenai sisa makanan rumah sakit,
rendahnya kemampuan memilih makanan dan pilihan makanan yang terbatas,
terutama pada pasien dengan waktu rawat inap yang lama (long stay patient),
dapat meningkatkan sisa makanan.
Tingginya sisa makanan pada contoh dengan penyakit gastroenteritis,
DBD, dan Thypoid lebih disebabkan karena rendahnya nafsu makan contoh
akibat terganggunya sistem pencernaan. Tingginya sisa makanan pada contoh
dengan fraktur/patah tulang disebabkan oleh keinginan yang tinggi dari contoh
untuk mengonsumsi makanan luar rumah sakit. Hal tersebut dikarenakan nafsu
makan contoh yang cukup baik, sehingga contoh lebih menyukai makanan luar
rumah sakit karena lebih berbumbu dan lebih berasa bagi contoh.
Karakteristik berikutnya yaitu jenis diet contoh yang dibagi menjadi diet
biasa, diet lunak, dan diet halus. Rata-rata sisa makanan tertinggi diantara ketiga
jenis diet tersebut adalah diet halus (24,99%), disusul dengan diet lunak
(16,46%) dan diet biasa (12,38%). Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak ada
hubungan signifikan antara sisa makanan dengan jenis diet contoh (p >0,05).
Namun demikian, terdapat perbedaan yang signifikan di antara ketiga jenis diet
tersebut (p<0,05). Sisa berupa sayur merupakan sisa yang terbesar baik dalam
diet biasa, diet lunak, maupun diet halus. Besarnya sisa makanan berdasarkan
jenis diet dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Persentase sisa makanan berdasarkan jenis diet
Pendidikan
Diet biasa
Diet lunak
Diet halus
Makanan
pokok (%)
6,44
11,80
16,00
Lauk hewani
(%)
6,58
12,42
11,23
Lauk nabati
(%)
11,66
11,36
25,48
Sayur (%)
23,63
28,04
46,47
Rata-rata
(%)
12,38
16,46
24,99
Sisa Makanan berdasarkan Waktu Makan
Waktu makan dibagi menjadi makan pagi (sarapan), makan siang, dan
makan sore. Berdasarkan hasil pengamatan sisa makanan contoh selama tiga
hari yang meliputi tiga kali makan pagi, makan siang, dan makan sore.
Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak terdapat hubungan nyata antara waktu
38
makan dengan sisa makanan contoh (p>0,05). Besarnya sisa makanan conntoh
menurut waktu makan disajikan pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10 Sisa makanan contoh berdasarkan waktu makan
Waktu makan
Pagi
Siang
Sore
Makanan
pokok (%)
11,41
11,44
7,49
Lauk hewani
(%)
10,87
15,72
5,36
Lauk nabati
(%)
15,64
14,09
7,54
Sayur (%)
22,96
27,68
32,49
Rata-rata
(%)
15,59
17,23
13,99
Berdasarkan uji Kruskal-Wallis, didapatkan nilai p<0,05 sehingga terdapat
perbedaan signifikan pada sisa makanan contoh berdasarkan waktu makan. Uji
lanjut Mann-Whitney dilakukan untuk melihat perbedaan sisa makanan antar
waktu makan. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa waktu makan yang
mempunyai perbedaan sisa makanan adalah waktu makan pagi dengan waktu
makan siang dan waktu makan siang dengan waktu makan sore, sedangkan
waktu makan pagi dengan waktu makan sore tidak menunjukkan perbedaan
(p>0,05).
Persen sisa makanan contoh pada saat makan siang lebih tinggi
(17,23%) dibandingkan makan pagi (15,59%) dan makan sore (13,99%).
Tingginya sisa makan siang tersebut disebabkan contoh masih tidur pada jam
pendistribusian
makan
siang,
dan
sebagai
asupan
pengganti
contoh
mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit. Rasa lapar yang tidak segera
diatasi kemudian menyebabkan pasien mencari makanan tambahan dari luar
rumah sakit atau jajan, sehingga kemungkinan besar makanan yang disajikan
tidak dihabiskan oleh contoh (Moehyi 1992).
Sisa Makanan berdasarkan Menu
Sejumlah 25 jenis menu masakan disajikan kepada contoh selama
penelitian. Menu tersebut meliputi makanan pokok, lauk hewani dan nabati, serta
sayuran. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa 8 jenis menu masih
memiliki rata-rata sisa di atas 20%, antara lain sop buncis, bening bayam, menir
kangkung, kakap tim, sayur asem, sop wortel, sop wortel-kentang, dan sop biasa.
Sebagian besar menu dengan rata-rata sisa di atas 20% tersebut termasuk
dalam golongan sayuran. Besarnya sisa makanan berdasarkan menu yang
disajikan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
39
Gambar 3 Sisa makanan contoh berdasarkan menu
Sisa yang tinggi pada golongan sayuran lebih disebabkan oleh rendahnya
keinginan contoh untuk mengonsumsi sayuran serta porsi sayur yang cukup
banyak. Diperlukan menu baru yang lebih menarik untuk sayuran dan disajikan
dalam porsi kecil. Kemudian, agar kebutuhan contoh tetap terpenuhi, salah satu
cara yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat menu baru yang menyajikan
sayuran dalam bentuk cincang dan disajikan bersama lauk sehingga sayuran
terkesan “disembunyikan”.
Zat Gizi Makro yang Terbuang bersama Sisa Makanan Contoh
Tujuan akhir dari konsumsi makanan oleh tubuh adalah tercapainya
status
gizi
yang
optimal,
sehingga
memungkinkan
pertumbuhan
fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada
tingkat setinggi mungkin (Almatsier 2001). Namun demikian, keberadaan sisa
makanan dapat menyebabkan hilangnya zat gizi yang seharusnya dikonsumsi
pasien untuk membantu proses penyembuhan. Keberadaan sisa makanan
tersebut membuat tujuan dari konsumsi makanan menjadi tidak optimal. Tabel 11
berikut menunjukkan jumlah energi, protein, lemak, dan karbohidrat yang
terbuang bersama sisa makan contoh.
Tabel 11 Estimasi zat gizi makro yang terbuang bersama sisa makanan contoh
Sisa makanan
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Rata-rata/hari/orang
Energi (Kkal)
152
122
123
132
Protein (g)
8,6
6,2
6,8
7,2
Lemak (g)
3,0
2,9
2,6
2,8
Karbohidrat (g)
24,6
18,7
19,1
20,8
40
Rata-rata energi, protein, lemak, dan karbohidrat yang terbuang bersama
sisa makanan contoh per hari per orang secara berturut-turut adalah 132 Kkal,
7,2 gram, 2,8 gram, dan 20,8 gram. Jika dibandingkan dengan angka kebutuhan
contoh, presentase sisa terbesar adalah protein (12%), kemudian berturut-turut
energi (6,62%), karbohidrat (1,73%), dan lemak (0,57%). Hal ini berbeda dengan
hasil penelitian oleh Prawirohartono (2005) pada pasien rawat inap kelas III RS
Dr. Sardjito, Yogyakarta, yang menunjukkan bahwa persentase zat gizi dengan
sisa tertinggi adalah karbohidrat (14,4%), protein (13,83%), energi (12,78%), dan
lemak (9,33%).
Besarnya rata-rata zat gizi yang terbuang/tidak terkonsumsi per hari per
orang di RS Swasta “X” masih di bawah 20% (baik). Namun demikian, jika
kondisi tersebut berlangsung lama, maka akan berpengaruh terhadap penurunan
status gizi pasien. Menurut Soegi (1998) yang diacu dalam Prawirohartono
(2005), rata-rata 75% status gizi penderita yang dirawat di rumah sakit menurun
jika dibandingkan dengan status gizi pada awal masuk rumah sakit. Oleh karena
itu, sisa makanan pasien tetap harus diperhatikan dalam penyelenggaraan
makanan rumah sakit.
Biaya yang Hilang dari Sisa Makanan Contoh
Selain dari segi gizi, sisa makanan rumah sakit juga mempunyai dampak
dari segi ekonomi. Makanan yang tersisa/tidak terkonsumsi menyebabkan
adanya biaya yang hilang, yang seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan gizi pasien. Hal ini akan merugikan pihak rumah sakit jika diabaikan
begitu saja, karena biaya yang dialokasikan untuk makanan pasien menjadi tidak
optimal. Rata-rata biaya yang hilang dari sisa makanan per hari per orang di RS
Swasta “X” dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
Tabel 12 Estimasi biaya yang hilang dari sisa makanan contoh
Sisa makanan
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Rata-rata/hari/orang
Biaya sisa
makanan (Rp)
3.343,47
2.472,42
2.863,85
2.893,25
Rata-rata biaya yang hilang dari sisa makanan yaitu sebesar Rp 2.893,25
per hari per orang. Berdasarkan standar menu RS Swasta “X”, biaya makan
sehari untuk pasien kelas III adalah Rp 25.000,00 per orang. Hal ini berarti
tingkat kehilangan biaya makan adalah sebesar 11,57% dari total biaya makan
per orang. Jika dilihat dalam satu bulan, maka kehilangan yang terjadi yaitu
41
sebesar Rp 86.797,50 per orang dan dalam setahun yaitu sebesar Rp 1.056.036
per orang. Namun demikian, nilai tersebut belum termasuk penambahan biaya
tenaga dan biaya overhead yang ikut dikeluarkan dalam penyelenggaraan
makanan. Perhitungan dengan mengikutsertakan kedua biaya tersebut, akan
menghasilkan nilai yang lebih besar. Selain itu, dapat diketahui persentase biaya
yang hilang dari sisa makanan terhadap anggaran belanja yang tersedia.
Penelitian Al-Shoshan (1992) dalam Prawirohartono (2005) menunjukkan bahwa
rata-rata biaya yang hilang dari sisa makan per hari adalah 40%, dan dalam
setahun diderita kerugian akibat sisa makanan tersebut yaitu sebesar 5,625 juta
Saudi Riyal dari dana yang tersedia sebesar 35 juta Saudi Riyal.
Tingkat Kepuasan Contoh terhadap Cita Rasa Makanan
Diagram Importance-Performance Analysis (IPA)
Cita rasa berpengaruh kepada kepuasan (Moehyi 1992). Menurut
Heryawati (2004), cita rasa makanan meliputi penampilan (besar porsi, warna
makanan, dan penyajian) serta rasa (aroma, bumbu, tekstur, dan suhu makanan
yang disajikan). Oleh karena itu, beberapa atribut tersebut digunakan sebagai
penilaian tingkat kepentingan contoh dan tingkat kinerja aktual menurut contoh.
Diagram IPA merupakan cara mudah dalam mengetahui informasi
mengenai beberapa atribut dari suatu produk ataupun jasa. Berdasarkan
perhitungan, nilai rata-rata dari setiap atribut berdasarkan tingkat kepentingan
dan tingkat kinerja dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.
Tabel 13 Perhitungan rata-rata dari penilaian kepentingan dan kinerja atribut cita
rasa makanan RS Swasta “X”
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Atribut
porsi nasi
porsi lauk hewani
porsi lauk nabati
porsi sayur
warna lauk hewani
warna lauk nabati
warna sayur
variasi lauk hewani
variasi lauk nabati
variasi sayur
ketepatan waktu
kebersihan alat
aroma lauk hewani
aroma lauk nabati
aroma sayur
Tingkat Kepentingan
3,53
3,60
3,53
3,53
3,63
3,67
3,60
4,20
4,30
4,00
4,37
4,57
3,33
3,20
3,13
Tingkat Kinerja
3,10
2,97
3,03
2,63
3,37
3,30
2,97
3,07
4,00
3,67
4,23
4,53
3,17
2,97
2,90
42
16
17
18
19
20
21
22
rasa bumbu lauk hewani
rasa bumbu lauk nabati
rasa bumbu sayur
kematangan nasi
kematangan lauk hewani
kematangan lauk nabati
kematangan sayur
Rata-rata
4,13
3,83
3,70
3,93
4,07
3,80
3,70
3,79
3,77
3,53
3,50
3,63
3,67
3,53
3,43
3,41
Berdasarkan Tabel 13, diketahui bahwa rata-rata tingkat kepentingan
(sumbu-x) adalah 3,79, dan rata-rata tingkat kinerja (sumbu-y) adalah 3,41. Nilai
tersebut kemudian digunakan dalam membuat garis sumbu pada diagram
kartesius, sehingga terbagi menjadi empat kuadran dan hasilnya dapat dilihat
pada Gambar 4 berikut.
Kuadran A
Kuadran C
Kuadran B
Kuadran D
Gambar 4 Diagram Importance-Performance Analysis (IPA) atribut cita rasa
makanan RS Swasta “X”
Kuadran A (prioritas utama) menunjukkan atribut-atribut yang dianggap
memiliki nilai kepentingan yang tinggi bagi contoh, namun kinerjanya dinilai
masih belum baik. Atribut-atribut yang terletak pada kuadran ini merupakan
prioritas untuk ditingkatkan kinerjanya. Adapun atribut dari cita rasa makanan
43
yang disajikan RS Swasta “X” yang masuk dalam kuadran ini adalah variasi lauk
hewani.
Berdasarkan penilaian contoh, menu untuk lauk hewani belum terlalu
bervariasi. Perbedaan menu hanya pada bumbu, sedangkan dari segi penyajian
berupa bentuk dan tampilan setiap menu dirasa masih sama. Moehyi (1992)
menyatakan bahwa rasa bosan pada contoh yang timbul karena mengonsumsi
makanan yang kurang bervariasi menyebabkan contoh cenderung mencari
makanan dari luar rumah sakit.Hal ini perlu diperhatikan, agar kebosanan yang
dialami pasien dapat diatasi.
Kuadran B menunjukkan atribut-atribut yang perlu dipertahankan, karena
tingkat kinerja yang ada sesuai dengan tingkat kepentingan pasien. Pihak
manajemen rumah sakit berkewajiban memastikan bahwa kinerja institusi yang
dikelolanya dapat terus mempertahankan prestasi yang telah dicapai. Atributatribut cita rasa makanan yang termasuk dalam kuadran ini adalah variasi lauk
nabati, variasi sayur, ketepatan waktu, kebersihan alat, rasa bumbu lauk hewani,
rasa bumbu lauk nabati, kematangan nasi, kematangan lauk hewani, dan
kematangan lauk nabati.
Kuadran C menunjukkan atribut yang memiliki tingkat kepentingan dan
tingkat kinerja yang rendah. Atribut-atribut dalam kuadran ini dianggap tidak
terlalu penting/diharapkan oleh pasien, sehingga manajemen rumah sakit tidak
perlu memprioritaskan atau terlalu memberi perhatian pada atribut-atribut
tersebut. Atribut yang masuk dalam kuadran C, yaitu porsi nasi atau bubur, porsi
lauk hewani, porsi lauk nabati, porsi sayur, warna lauk hewani, warna lauk nabati,
warna sayur, aroma bumbu lauk nabati, dan aroma sayur.
Kuadran
D
menunjukkan
atribut-atribut
yang
memiliki
tingkat
kepentingan/harapan rendah, namun tingkat kinerjanya tinggi. Atribut yang
terletak pada kuadran ini dianggap tidak terlalu diharapkan oleh pasien, sehingga
pihak manajemen perlu mengalokasikan sumber daya yang terkait dengan atribut
tersebut kepada atribut lain yang mempunyai prioritas penanganan lebih tinggi
yang masih membutuhkan peningkatan, misal di kuadran A. Atribut cita rasa
makanan RS Swasta ”X” yang termasuk dalam kuadran ini adalah rasa bumbu
sayur dan kematangan sayur.
44
Tingkat Kepuasan contoh
Kepuasan konsumen terbagi menjadi dua (Umar 2002), yaitu kepuasan
fungsional dan kepuasan psikologikal. Kepuasan yang diteliti adalah kepuasan
psikologikal yang merupakan kepuasan yang diperoleh dari atribut yang bersifat
tidak berwujud. Menurut Tjiptono (2008), metode yang paling banyak digunakan
dalam pengukuran kepuasan konsumen adalah metode survei.
Salah satu cara pengukuran kepuasan dalam metode survei adalah
pengukuran dapat secara langsung (directly reported satisfaction) dengan
pertanyaan seperti “seberapa puas” terhadap atribut tertentu pada skala berikut:
sangat tidak puas, tidak puas, cukup puas, puas, dan sangat puas (Tjiptono
2008). Tingkat kepuasan contoh diperoleh melalui cara directly reported
satisfaction, dan diperoleh hasil sebagai berikut:
Gambar 5 Tingkat kepuasan contoh terhadap cita rasa makanan
Sebesar 56,67% contoh menyatakan cukup puas dengan makanan yang
disajikan oleh RS Swasta “X”. Sebesar 40% contoh menyatakan puas, dan
sisanya (3,33%) menyatakan sangat puas dengan makanan yang disajikan.
Kepuasan pasien salah satunya dapat dilihat dari indikator sisa makanan oleh
pasien (Heryawanti, 2004). Hasil penelitian Nareswara (2011) menunjukkan
bahwa ada hubungan antara sisa makanan pasien dengan kepuasan pasien
terhadap penampilan makanan.
Namun demikian, hasil uji korelasi Spearman pada penelitian ini, tidak
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p>0,05) antara sisa makanan
45
contoh dengan kepuasan contoh terhadap cita rasa makanan yang disajikan.
Meskipun contoh merasa cukup puas dengan makanan yang disajikan oleh
Rumah Sakit Swasta “X”, namun adanya makanan luar dimungkinkan
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi contoh terhadap makanan rumah sakit.
46
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Jumlah tenaga kerja pelayanan gizi RS Swasta “X” berjumlah satu orang
ahli gizi dan dua orang penyaji khusus rawat inap kelas III. Perencanaan
anggaran bahan makanan disusun setiap satu tahun oleh bagian administrasi
dapur
dan
kantin
berdasarkan
RKAP
(Rencana
Kerja
dan
Anggaran
Perusahaan). Perencanaan menu oleh ahli gizi dapur dan dievaluasi setiap enam
bulan. Pembelian bahan makanan melalui koperasi (untuk bahan makanan
kering) dan rekanan/supplier (untuk bahan makanan basah) yang dipilih melalui
tender/lelang. Penerimaan bahan makanan dilakukan di ruang penerimaan
meliputi
kegiatan
pengecekan,
pencatatan,
dan
pelaporan.
Pengolahan
dilakukan di dapur gedung utama. Pemorsian untuk pasien kelas III dilakukan di
dapur gedung kelas III oleh penyaji. Belum ada pengawasan langsung oleh ahli
gizi terhadap proses penyajian. Makanan untuk kelas III disajikan dengan piring
dan mangkuk porselen, serta sendok stainless steel. lalu dikemas dengan plastic
wrapping. Pendistribusian makanan untuk kelas III dengan sistem desentralisasi.
Sebesar 76,6% contoh termasuk dalam kelompok umur dewasa awal
(umur 20 – 40 tahun). Lebih dari separuh contoh (60%) berjenis kelamin laki-laki
dan 40% contoh berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan contoh
sebagian besar yaitu tamat SMA (63,3%). Jenis penyakit yang diderita oleh
contoh sebagian besar (30%) adalah demam berdarah dengue (DBD). Jenis diet
yang didapatkan sebagian besar contoh (56,7%) adalah diet lunak/bubur kasar.
Sisa makanan pada kelompok dewasa tengah paling tinggi dengan ratarata sisa sebesar 19,4%. Rata-rata sisa makanan pada laki-laki lebih rendah
(14,9%) daripada perempuan (16,0%). Persentase sisa makanan contoh yang
tamat Sekolah Dasar (SD) lebih besar (18, 63%) dibandingkan contoh yang
tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
yang masing-masing besarnya 10,47% dan 13,74%. Sisa makanan berdasarkan
jenis penyakit, yang tertinggi pada penyakit hati/liver yaitu sebesar 23,81%
kemudian menyusul fraktur (17,64%) dan DBD (17,09%). Rata-rata sisa
makanan berdasarkan jenis diet yaitu diet halus (24,99%), diet lunak (16,46%),
dan diet biasa (12,38%). Sisa makanan pada makan siang lebih tinggi (17,23%)
dibandingkan makan pagi (15,59%) dan makan sore (13,99%). Sisa makanan
berdasarkan menu, sejumlah 8 jenis menu masih memiliki rata-rata sisa di atas
20%, antara lain sop buncis, bening bayam, menir kangkung, kakap tim, sayur
47
asem, sop wortel, sop wortel-kentang, dan sop biasa. Sebagian besar menu
dengan rata-rata sisa di atas 20% tersebut termasuk dalam golongan sayuran.
Rata-rata energi, protein, lemak, dan karbohidrat yang terbuang bersama
sisa makanan contoh per hari per orang secara berturut-turut adalah 132 Kkal,
7,2 gram, 2,8 gram, dan 20,8 gram. Jika dibandingkan dengan angka kebutuhan
contoh, presentase sisa terbesar adalah protein (12%), kemudian berturut-turut
energi (6,62%), karbohidrat (1,73%), dan lemak (0,57%).
Rata-rata biaya yang hilang dari sisa makanan yaitu sebesar Rp 2.893,25
per hari per orang. Tingkat kehilangan biaya makan adalah sebesar 11,57% dari
total biaya makan per orang per hari. Jika dilihat dalam satu bulan, maka
kehilangan yang terjadi yaitu sebesar Rp 86.797,50 per orang dan dalam
setahun yaitu sebesar Rp 1.056.036 per orang. Namun demikian, nilai tersebut
belum termasuk penambahan biaya tenaga dan biaya overhead yang ikut
dikeluarkan dalam penyelenggaraan makanan.
Atribut-atribut yang termasuk dalam prioritas utama (kuadran A) adalah
variasi lauk hewani, sedangkan yang perlu dipertahankan (kuadran B) adalah
variasi lauk nabati, variasi sayur, ketepatan waktu, kebersihan alat, rasa bumbu
lauk hewani, rasa bumbu lauk nabati, kematangan nasi, kematangan lauk
hewani, dan kematangan lauk nabati. Atribut yang dianggap tidak terlalu
diharapkan oleh pasien serta kinerjanya rendah (kuadran C), yaitu porsi nasi atau
bubur, porsi lauk hewani, porsi lauk nabati, porsi sayur, warna lauk hewani,
warna lauk nabati, warna sayur, aroma bumbu lauk nabati, dan aroma sayur.
Atribut yang tingkat kepentingan/harapan rendah, namun tingkat kinerjanya tinggi
(kuadran D) adalah rasa bumbu sayur dan kematangan sayur. Sebesar 56,67%
contoh menyatakan cukup puas dengan makanan yang disajikan oleh RS
Swasta “X”.
Sebesar 40% contoh menyatakan puas, dan sisanya (3,33%) menyatakan
sangat puas dengan makanan yang disajikan. Hasil uji korelasi Spearman tidak
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p>0,05) antara sisa makanan
contoh dengan kepuasan contoh terhadap cita rasa makanan yang disajikan.
Adanya makanan luar dimungkinkan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
contoh terhadap makanan yang disajikan rumah sakit.
48
Saran
Sebaiknya diadakan pengawasan langsung oleh ahli gizi saat proses
penyajian berlangsung. Ruangan ahli gizi kelas III sebaiknya berdekatan dengan
ruang penyajian, sehingga mempersingkat perpindahan informasi mengenai
perubahan jenis diet dan sebagainya antara ahli gizi maupun penyaji.
Pengendalian suhu ruangan penyimpanan bahan makanan kering perlu
dilakukan agar kualitas bahan makanan tersebut tetap baik. Selain itu,
pengendalian suhu pada lemari pending untuk bahan makanan basah juga perlu
dilakukan.
Makanan luar rumah sakit perlu diawasi karena dimungkunkan dapat
mempengaruhi tingkat konsumsi pasien, sehingga untuk penelitian selanjutnya
sebaiknya diamati juga konsumsi pasien dari luar rumah sakit. Variasi bentuk
untuk lauk hewani perlu ditingkatkan agar kebosanan yang dialami pasien dapat
diatasi. Perlu adanya perbaikan menu untuk sayur dengan menggunakan porsi
kecil dan dimodifikasi pengolahannya bersama dengan lauk hewani atau nabati.
Selain itu, perlu adanya transparansi mengenai informasi biaya tenaga
kerja dan overhead dalam penyelenggaraan makanan. Hal tersebut dimaksudkan
agar dapat diketahui efisiensi dari penggunaan total biaya penyelenggaraan
makanan yang dilakukan di Rumah Sakit Swasta “X”.
49
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier dkk. 1992. Pelayanan Gizi Rumah Sakit dan Perkembangan Ilmu serta
Teknologi Gizi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier S. 2004. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Al-Shoshan AA. 1998. Hospital Malnutrition Worldwide in Queens Medical Centre
Nottingham. J of Clinical Nutrition 88(1): 79–82.
Atmarita & Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Dalam: Widya Karya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Penelitian
Indonesia
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1991. Buku Pedoman
Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Dirjen Pelayanan Medik, Direktorat
Rumah Sakit Khusus dan Swasta.
___________. 2003. Buku Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit, Jakarta:
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.
___________. 2006. Buku Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta:
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.
___________. 2010. Buku Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta:
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat.
Fajarwati V. 2010. Pengetahuan, sikap, dan praktik higiene pedagang dan
sanitasi makanan jajanan kaki lima (studi di area jalan Babakan Raya
Darmaga Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
Furqon D. 2010. Penyelenggaraan makanan dan tingkat kepuasan pelanggan
pada rumah makan: studi kasus Rumah Makan Panggang Ayam
Kampung Galuga 2, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Hartono A. 2000. Asuhan Nutrisi Rumah Sakit. Yogyakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.
John A. Martilla and John C. James. 1977. Importance-performance analysis.
Journal of Marketing 77 – 79.
Kotler P. 2005. Manajemen Pemasaran. Ed ke-11. Jilid 1. Jakarta: Indeks.
Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta:
Bharata.
________. 1999. Pengaruh Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
50
Mukrie NA. 1990. Manajemen Makanan Institusi. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Nareswara AS. 2011. Hubungan kepuasan pasien dari aspek kualitas makanan
rumah sakit dengan sisa makanan di RSUD Kota Semarang
[tesis].Semarang. Fakutas Kesehatan, Universitas Diponegoro.
Nida K. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sisa makanan pasien
rawat inap di rumah sakit jiwa sambang lihum [skripsi]. Banjarbaru:
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Borneo Banjarbaru.
Palacio JP, Theis M. 2009. Introduction to Foodservice. Ed ke-11. Ohio: Pearson
Education.
Papalia DE, Olds SW. 2001. Human Development, Second Edition. USA:
McGraw-Hill, Inc.
Perdigon GP. 1989. Foodservice Management In The Philippines. Quezon City:
U.P. College of Hiomi Economics.
[Persagi] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan
Indonesia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Prawirohartono EP, Djamaluddin M, Paramastri I. 2005. Analisis zat gizi dan
biaya sisa makanan pada pasien dengan makanan biasa. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia 1(3):108-112.
Ratna MR. 2009. Evaluasi Manajemen Penyelenggaraan Makanan Institusi di
Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso [thesis]. Sukarta: Universitas
Muhammadiyyah.
Sediaoetama AD. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sevilla CG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI-Press.
Soegianto B. 2008. Pelayanan gizi rumah sakit. www.advokasigizirs.com [18 Mar
2011].
Soegih R. 1998. Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Jakarta: PERNEPARI.
Tjiptono F. 2008. Strategi Pemasaran. Ed ke-3. Yogyakarta: ANDI.
Umar H. 2002. Riset Pemasaran dan Prilaku Konsumen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
West, Wood. 1998. Food Service in Institution Sixth Education. New York: Mac
Milan Publising Company.
Williams PG, Walton K. 2011. Plate waste in hospital and strategies for change. J
of Clinical Nutrition and Metabolism 6: 235-241.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
51
LAMPIRAN
52
Lampiran 1. Struktur Organisasi Pelayanan Gizi RS Swasta “X”
Direktur RS “X”
Manajer Satuan Bisnis
Manajer Satuan Bisnis
Usaha (SBU) rawat inap
Usaha (SBU) Dapur
Asisten manajer
Ahli Gizi Rawat Inap
Cook
Cook helper
Ahli Gizi Dapur
Pastry
Administrasi Dapur
Penyaji
Petugas Gudang
53
Lampiran 2. Denah Dapur RS Swasta “X”
Keterangan :
1
= Ruang penerimaan
2
= Tempat penyimpanan bahan makanan kering (gudang)
3
= Tempet pencucian alat makan
4
= Kompor
5
= Tempat pencucian bahan makanan
6
= Tempat penyimpanan bahan makanan basah (lemari pendingin)
7
= Tempat istirahat pegawai
8
= Meja/tempat persiapan
9
= Meja/tempat pemorsian untuk kelas I dan II
10 = Ruang ahli gizi dapur
54
Lampiran 3. Hasil uji SPSS karakteristik contoh, waktu makan, dan
kepuasan dengan sisa makanan contoh
Tabel 1 Hasil uji korelasi spearman hubungan umur dengan sisa makanan
contoh
Spearman's rho
umur
sisa_makan
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
umur
1,000
.
30
,058
,048 .
30
sisa_makan
,058
,048
30
1,000
30
Tabel 2 Hasil uji korelasi spearman hubungan jenis kelamin dengan sisa
makanan contoh
Spearman's rho
jenis_kelamin Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
sisa_makan Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
jenis_kelamin sisa_makan
1,000
,034
.
,235
30
30
,034
1,000
,235 .
30
30
Tabel 3 Hasil uji korelasi spearman hubungan tingkat pendidikan dengan sisa
makanan contoh
Spearman's rho
jenis_kelamin Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
sisa_makan Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
jenis_kelamin sisa_makan
1,000
,001
.
,070
30
30
,001
1,000
,070 .
30
30
Tabel 4 Hasil uji korelasi spearman hubungan jenis penyakit dengan sisa
makanan contoh
Spearman's rho
jenis_kelamin Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
sisa_makan Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
jenis_kelamin sisa_makan
1,000
,016
.
,046
30
30
,016
1,000
,046 .
30
30
Tabel 5 Hasil uji korelasi spearman hubungan jenis diet dengan sisa makanan
contoh
Spearman's rho
jenis_kelamin Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
sisa_makan Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
jenis_kelamin sisa_makan
1,000
,024
.
,097
30
30
,024
1,000
,097 .
30
30
55
Tabel 6 Hasil uji korelasi spearman hubungan waktu makan dengan sisa
makanan contoh
Spearman's rho
jenis_kelamin Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
sisa_makan Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
jenis_kelamin sisa_makan
1,000
,019
.
,521
30
30
,019
1,000
,521 .
30
30
Tabel 7 Hasil uji korelasi spearman hubungan kepuasan dengan sisa makanan
contoh
Spearman's rho
jenis_kelamin Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
sisa_makan Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
jenis_kelamin
1,000
.
30
,195
,303
30
sisa_makan
,195
,303
30
1,000
.
30
Tabel 8 Hasil uji beda Kruskal Wallis sisa makanan contoh antar waktu makan
sisa_makan
Chi-square
df
Asymp. Sig.
6,519
2
,038
Tabel 9 Hasil uji lanjut Mann-Whitney sisa makanan contoh antar waktu makan
(pagi dengan siang)
sisa_makan
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
70261,000
159937,000
-2,037
,042
Tabel 10 Hasil uji lanjut Mann-Whitney sisa makanan contoh antar waktu makan
(pagi dengan sore)
sisa_makan
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
87683,000
175673,000
-,296
,767
Tabel 11 Hasil uji lanjut Mann-Whitney sisa makanan contoh antar waktu makan
(siang dengan sore)
sisa_makan
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
68600,500
156590,500
-2,377
,017
56
Lampiran 4. Kuisioner Penelitian
FORMULIR KARAKTERISTIK PASIEN
Saya setuju untuk diwawancara
(
)
Untuk keterangan ini dilihat pada catatan medis pasien
1. No. ID
: _____________________________
2. Ruang perawatan
: _____________________________
3. Tanggal masuk RS
: ___/___/___
4. Nama pasien
: _____________________________
5. Umur (tahun)
: _________ tahun
6. Jenis kelamin
1. [ ] Laki-laki
2. [ ] Perempuan
7. Alamat
: ________________________________________
________________________________________
8. Pendidikan
1. [ ] Tidak sekolah/tidak tamat SD
2. [ ] SD
3. [ ] SMP
4. [ ] SMA
5. [ ] Sarjana
Observer :_____________________
Tanggal :___/___/2012
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
57
Pengukuran Tingkat Kepentingan Pasien
Tingkat Kepentingan
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
ASPEK YANG DINILAI
I. Penampilan Makanan
A. Besar Porsi
Porsi nasi
Porsi lauk hewani
Porsi lauk nabati
Porsi sayur
Porsi buah
B. Warna Makanan
Warna lauk hewani
Warna lauk nabati
Warna sayur
Warna buah
C. Penyajian
Nasi
Variasi lauk hewani
Variasi lauk nabati
Variasi sayur
Variasi buah
Katepatan waktu penyajian
Kebersihan alat
II. Rasa Makanan
A. Aroma
Aroma lauk hewani
Aroma lauk nabati
Aroma sayur
B. Bumbu
Rasa bumbu lauk hewani
Rasa bumbu lauk nabati
Rasa bumbu sayur
C. Kematangan
Kematangan nasi
Kematangan lauk hewani
Kematangan lauk nabati
Kematangan sayur
Kematangan buah
Sangat
Tidak
Penting
Tidak
Penting
Cukup
Penting
Penting
Sangat
Penting
58
Pengukuran Tingkat Kinerja (Kenyataan yang Diterima Pasien)
Tingkat Kinerja
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
ASPEK YANG DINILAI
III. Penampilan Makanan
D. Besar Porsi
Porsi nasi
Porsi lauk hewani
Porsi lauk nabati
Porsi sayur
Porsi buah
E. Warna Makanan
Warna lauk hewani
Warna lauk nabati
Warna sayur
Warna buah
F. Penyajian
Nasi
Variasi lauk hewani
Variasi lauk nabati
Variasi sayur
Variasi buah
Katepatan waktu penyajian
Kebersihan alat
IV. Rasa Makanan
D. Aroma
Aroma lauk hewani
Aroma lauk nabati
Aroma sayur
E. Bumbu
Rasa bumbu lauk hewani
Rasa bumbu lauk nabati
Rasa bumbu sayur
F. Kematangan
Kematangan nasi
Kematangan lauk hewani
Kematangan lauk nabati
Kematangan sayur
Kematangan buah
Sangat
Tidak
Baik
Tidak
Baik
Cukup
Baik
Baik
Sangat
Baik
59
Pengukuran Tingkat Kepuasan
Tingkat Kepentingan
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
ASPEK YANG DINILAI
Sangat
Tidak
Puas
Tidak
Puas
Cukup
Puas
Puas
Sangat
Puas
V. Penampilan Makanan
G. Besar Porsi
Porsi nasi
Porsi lauk hewani
Porsi lauk nabati
Porsi sayur
Porsi buah
H. Warna Makanan
Warna lauk hewani
Warna lauk nabati
Warna sayur
Warna buah
I. Penyajian
Nasi
Variasi lauk hewani
Variasi lauk nabati
Variasi sayur
Variasi buah
Katepatan waktu penyajian
Kebersihan alat
VI. Rasa Makanan
G. Aroma
Aroma lauk hewani
Aroma lauk nabati
Aroma sayur
H. Bumbu
Rasa bumbu lauk hewani
Rasa bumbu lauk nabati
Rasa bumbu sayur
I. Kematangan
Kematangan nasi
Kematangan lauk hewani
Kematangan lauk nabati
Kematangan sayur
Kematangan buah
Lain-lain:
Alasan menyisakan makanan ……………………………………...............................
………………………………………………………………………………………………
60
FORMULIR SISA MAKANAN PASIEN
Nama pasien : ______________________
Jenis penyakit : ______________________
WAKTU
MAKAN
PAGI
KERANGKA
MENU
Nasi
Lauk Hewani
Lauk Nabati
Sayur
Buah
SIANG
Nasi
Lauk Hewani
Lauk Nabati
Sayur
Buah
SORE
Nasi
Lauk Hewani
Lauk Nabati
Sayur
Buah
JENIS
BAHAN
MAKANAN
Jenis diet:________
Tanggal : ___/___/2012
BERAT SISA MAKANAN (g)
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Download