ANALISIS EKSPRESI GEN PENYANDI

advertisement
ANALISIS EKSPRESI GEN PENYANDI METALLOTHIONEIN TIPE II
PADA Melastoma affine L. YANG MENDAPAT CEKAMAN pH RENDAH
DAN ALUMINIUM
Niken Trisnaningrum
P 055050081
PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Ekspresi Gen
Penyandi Metallothionein Tipe II pada Melastoma affine L. yang Mendapat
Cekaman pH Rendah dan Aluminium adalah karya saya bersama dengan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2009
Niken Trisnaningrum
NRP P055050081
ABSTRACT
NIKEN TRISNANINGRUM. Expression of the gene encoding metallothionein
type II in Melastoma affine L. under low pH and aluminum stress. Supervised by
SUHARSONO and MUHAMAD YUNUS
Aluminum is toxic to plants, affects plant development and reduces crop
production. Indonesia has 47.500.000 ha of acid soil with very low pH and high
content of aluminum. The application of tolerant crop varieties is the best
approach to overcome this problem and the availability of genes controlling
tolerance to this abiotic stress is essential to develop new tolerant varieties.
Melastoma affine is the indigenous plant in tropical rain forest, very tolerant to
acid condition and aluminum. Therefore this plant could be used for source of
genes for acid and aluminum tolerance. Metallothionein is one of genes
responsible for aluminum tolerance. MaMt2 gene encoding metallothionein from
M. affine was isolated. The expression of this gene in M. affine under low pH and
aluminum stresses was investigated using Real Time PCR in this research. MaMt2
primers were designed based on the sequence of MaMt2. β-actin was used as
internal control, and the primers for β-actin were designed based on cDNA of the
region between exon 1 and exon 2 of this gene. Total RNA was successfully
isolated from roots and young leaves separately. Total cDNA was synthesized
from total RNA by reverse transcription. This cDNA was used as template for
Real Time PCR to analyse the expression of MaMt2. The expressions of MaMt2
in leaves and roots were not affected by low pH. At high concentration (3.2 mM)
aluminum induced the expression of MaMt2 in the roots but not in leaves.
.
Keywords : aluminum stress, Metallothionein, Melastoma affine
RINGKASAN
NIKEN TRISNANINGRUM. Analisis Ekspresi Gen Penyandi Metallothionein
Tipe II pada Melastoma affine L. yang Mendapat Cekaman pH Rendah dan
Aluminium. Dibimbing oleh SUHARSONO dan MUHAMAD YUNUS
Indonesia yang mempunyai tanah ultisol sebanyak 47,5 juta ha yang
memiliki karakteristik pH rendah dan kandungan Al yang tinggi. Salah satu cara
untuk mengatasi kandungan Al yang sangat tinggi tersebut adalah dengan
melakukan perakitan tanaman yang memiliki ketahanan terhadap keracunan Al.
Melastoma affine merupakan tanaman yang toleran terhadap pH rendah dan
cekaman Al yang sangat tinggi, sehingga tanaman ini dapat digunakan sebagai
sumber gen toleransi terhadap pH rendah dan Al. Salah satu gen yang diduga
berperan dalam ketahanan M. affine terhadap pH rendah dan Al adalah gen
penyandi metallothionein (MaMt2).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi gen penyandi MT2
pada Melastoma affine L. yang mendapat cekaman pH rendah dan Al. Untuk itu,
M. affine diperbanyak dengan stek pucuk dan diberi cekaman pH rendah dan
cekaman Al secara terpisah pada kultur cair selama satu minggu. Penelitian ini
dilakukan dengan dua ulangan. Cekaman pH rendah diberikan pada dua tingkat
pH yaitu 6 dan 4. Cekaman Al dilakukan pada pH 4 dengan 3 tingkat konsentrasi
Al yaitu 0, 0,8, dan 3,2 mM. Satu minggu setelah perlakuan, RNA total diisolasi
dari daun dan akar secara terpisah, lalu digunakan untuk sintesis cDNA total.
Analisis ekspresi MaMt2 dilakukan dengan menggunakan cDNA total dengan
Real Time PCR dan pengamatan semikuantitatif pada gel agarose. Analisis
ekspresi MaMt2 dilakukan dengan membandingkan ekspresi gen MaMt2 yang
telah dinormalisasi dengan gen β aktin antara kontrol (pH 6 dan 0 mM Al) dengan
perlakuan yang dilakukan dengan metode comparative Ct (∆∆Ct). Analisis
dengan menggunakan Real Time PCR dilakukan sebanyak dua ulangan,
selanjutnya analisis statistik dilakukan dengan program SPSS 13 untuk
membandingan ekspresi perlakuan. Hasil Real Time PCR di cek dengan
menggunakan gel agarose untuk mendapatkan hasil ekspresi MaMt2
semikuantitatif.
RNA total yang berkualitas baik telah berhasil diisolasi dari daun dan akar
M. affine. Selanjutnya, cDNA yang bebas dari kontaminasi DNA genom,
disintesis dari RNA total. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap ekspresi MaMt2,
cekaman pH rendah tidak mempengaruhi ekspresi MaMt2 pada daun dan akar M.
affine, begitu juga dengan cekaman Al terhadap ekspresi MaMt2 di daun.
Sedangkan cekaman Al pada akar meningkatkan ekspresi MaMt2 sebanyak 2,1
kali pada konsentrasi Al 3,2 mM. Hal ini terjadi karena metallothionein
merupakan protein yang terutama dibutuhkan untuk homeostasis logam dan
detoksifikasi logam berat, sehingga ketiadaan logam berlebih pada media dengan
pH rendah tidak menginduksi MaMt2. Akar merupakan bagian tanaman yang
berinteraksi langsung dengan cekaman Al sehingga kemungkinan respon gen
tersebut terjadi di akar dari pada di daun. Selain itu M. affine merupakan tanaman
yang sangat toleran terhadap Al, sehingga hanya pada konsentrasi Al yang tinggi,
Al menginduksi ekspresi MaMt2.
Judul Penelitian
:
Nama Mahasiswa
NRP
:
:
Analisis Ekspresi Gen Penyandi Metallothionein
Tipe II pada Melastoma affine L. yang Mendapat
Cekaman pH Rendah dan Aluminium
Niken Trisnaningrum
P055050081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ir. Muhamad Yunus, MSi, PhD
Anggota
Dr. Ir. Suharsono, DEA
Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi
Bioteknologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Muhammad Jusuf
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian :
Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : Analisis
Ekspresi Gen Penyandi Metallothionein Tipe II pada Melastoma affine L. yang
Mendapat Cekaman pH Rendah dan Aluminium. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium BIORIN, PAU, IPB dan Laboratorium Terpadu, BB Biogen.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :
1. Dr. Suharsono dan Dr. Muhamad Yunus selaku Komisi Pembimbing, atas
bimbingan, saran dan masukan selama penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Proyek Penelitian Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan
Perguruan Tinggi (KKP3T) yang telah membiayai penelitian ini melalui
SPK No. 748/LB.620/I.1/3/2008 atas nama Dr. Suharsono.
3. Bapak Adi selaku teknisi rumah kaca, Bapak Mulya selaku staf
Laboratorium Biologi Molekuler dan Bioteknologi IPB, dan Ibu Pepy
selaku staf Laboratorium BIORIN atas bantuan yang diberikan selama
pelaksanaan penelitian.
4. Ayah dan Ibu atas dukungan finansial dan spiritual.
5. Teman-teman Laboratorium Biorin atas masukan dan diskusi yang sering
diberikan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih ada kekurangan. Namun
demikian penulis berharap semoga penelitian ini dapat berguna bagi pihak-pihak
yang memerlukannya.
Bogor, Juni 2009
Niken Trisnaningrum
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 31 Agustus 1981 dari
pasangan Bapak Sutrisno dan Ibu Sri Mastutik. Penulis merupakan anak kedua
dari tiga bersaudara.
Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bondowoso dan lulus seleksi
masuk Universitas Brawijaya melalui jalur UMPTN di Program Studi Pemuliaan
Tanaman, Fakultas Pertanian dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun yang sama
penulis diterima di Program Studi Bioteknologi Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. x
I.
PENDAHULUAN....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian................................................................... 3
1.3 Hipotesis Penelitian ............................................................... 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 4
2.1 Mekanisme Toleransi Terhadap Aluminium (Al) ................... 4
2.2 Metallothionein...................................................................... 6
2.3 Melastoma affine L ................................................................ 7
2.4 Real Time Polimerase Chain Reaction (Real Time PCR) ....... 8
III.
BAHAN DAN METODE............................................................ 16
3.1 Waktu dan Tempat................................................................. 16
3.2 Bahan Penelitian .................................................................... 16
3.3 Metode .................................................................................. 16
3.3.1 Perlakuan cekaman pada kultur air ................................ 17
3.3.2 Isolasi RNA total dari Melastoma affine L .................... 17
3.3.3 Pembentukan cDNA total.............................................. 18
3.3.4 Analisis ekspresi gen dengan menggunakan Real Time
PCR .............................................................................. 19
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................... 21
4.1 Isolasi RNA Total.................................................................. 21
4.2 Sintesis cDNA Total .............................................................. 21
4.3 Ekspresi Gen Metallothionein ................................................ 22
4.3.1 Pengaruh pH rendah terhadap ekspresi gen
metallothionein ............................................................. 22
4.3.2 Pengaruh aluminium terhadap ekspresi gen
metallothionein ............................................................. 24
V.
SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 26
5.1 Simpulan ............................................................................... 26
5.2 Saran ..................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN ................................................................................................. 32
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nilai relative quantification (RQ) dari transkripsi MaMT2
pada daun dan akar M. affine L.yang mendapat cekaman pH rendah.. 24
2. Nilai relative quantification (RQ) dari transkripsi MaMT2
pada daun dan akar M. affine L. yang mendapat perlakuan Al pada
medium dengan pH 4......................................................................... 25
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tiga fase utama pada proses PCR: (1) fase eksponensial
dimana terjadi penggandaan jumlah DNA cetakan yang
sebenarnya, (2) fase linier dimana proses penggandaan cetakan
mulai menurun, (3) fase plateu dimana tidak terjadi lagi
proses penggandaan cetakan dan DNA mulai terdegradasi. Deteksi
untuk Real Time PCR terjadi pada fase eksponensial, sedangkan
deteksi pada PCR biasa terjadi pada fase plateu yang digambarkan
dalam bentuk kurva linier (A) dan kurva log (B)
(Applied Biosystem 2007)................................................................. 10
2. Proses deteksi pada Real Time PCR dengan menggunakan
SYBR Green. SYBRGreen akan terdeteksi bila terikat pada
utas ganda DNA saat fase perpanjangan DNA (extention)
(Dorak 2006)..................................................................................... 11
3. Proses deteksi pada Real Time PCR dengan menggunakan
TaqMan. Deteksi akan terjadi bila TaqMan probe yang menempel
diantara primer forward dan primer reverse rusak selama fase
perpanjangan DNA (extention) (Dorak 2006) .................................... 11
4. Kurva amplifikasi pada Real Time PCR. Threshold adalah daerah
deteksi yang digunakan dalam analisis. Cycle Threshold (Ct) adalah
siklus pada saat fluorescence reporter berpotongan dengan threshold.
Rn adalah jumlah fluorescence reporter yang terdeteksi selama
proses PCR. Cycle adalah banyaknya siklus yang digunakan dalam
proses PCR (Applied Biosystem 2007).............................................. 12
5. RNA total M. affine L. hasil isolasi dari akar (1) dan daun (2) ........... 21
6. Hasil amplifikasi β-actin. Lajur 1,2, dan 3 = hasil amplifikasi
dengan menggunakan cDNA sebagai cetakan. Lajur 4 = 1 kb ladder.
Lajur 5 = hasil amplifikasi dengan menggunakan DNA genom
sebagai cetakan.................................................................................. 22
7. Ekspresi MaMt2 semikuantitatif pada daun dan akar dari M. affine L.
yang mendapat cekaman pH rendah................................................... 23
8. Ekspresi MaMt2 semikuantitatif pada daun dan akar dari M. affine L.
yang mendapat cekaman Al ............................................................... 24
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Tabel ANOVA dari pengaruh pH terhadap ekspresi
MaMt2 di daun dan akar M. affine L. ................................................ 32
2. Nilai ekspresi gen MaMt2 terhadap β-actin dari M. affine L. yang
mendapat cekaman pH rendah pada daun dan akar ............................ 33
3. Tabel uji Tukey dari pengaruh konsentrasi aluminium terhadap
ekspresi MaMt2 pada daun dan akar M. affine L. .............................. 34
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi pertanian di Indonesia
adalah dengan cara ekstensifikasi pertanian, diantaranya dengan pemanfaatan
tanah ultisol yang merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai
sebaran luas yaitu mencapai 47,5 juta ha (Subagyo et al. 2004), terutama yang
berasal dari bahan dasar sedimen seperti pada tipe hapludults (Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat 2000). Tipe tersebut memiliki pH tanah yang sangat
rendah berkisar pada pH 4 dan memiliki kandungan aluminium tinggi (Prasetyo &
Suriadikarta 2006). Bentuk Al3+ banyak ditemui pada tanah dengan pH berkisar 4
dimana konsentrasi Al dalam larutan air tanah dapat melebihi 100 µM (Okada &
Wissuwa 2004). Keberadaan Al dalam tanah, terutama dalam bentuk Al3+ akan
sangat berbahaya dan merupakan racun bagi tanaman, karena akan mengganggu
perpanjangan akar dan menghalangi daya tukar kation lain misalnya Ca2+, Mg2+,
dan K+.
Salah satu cara untuk mengatasi kandungan Al yang sangat tinggi tersebut
adalah dengan melakukan perakitan tanaman yang memiliki ketahanan terhadap
keracunan Al. Untuk itu, pencarian sumber daya genetik untuk gen-gen yang
menyebabkan tanaman toleran terhadap Al perlu dilakukan. Tanaman yang dapat
menjadi sumber gen toleransi terhadap keracunan Al antara lain berasal dari famili
Melastomataceae yang dapat ditemui terutama di daerah tropis. Menurut Jansen et
al. (2002), Melastomataceae merupakan tanaman akumulator unsur logam
termasuk
Al.
Sebagai
contoh
Melastoma
malabraticum
yang
mampu
mengakumulasi lebih dari 10000 mg Al/kg daun tua dan lebih dari 7000 mg Al/kg
daun muda tanpa mengalami keracunan (Watanabe et al. 2003). Analisis
akumulasi Al pada Melastoma affine L. yang mendapat cekaman 3,2 mM Al pada
pH 4 dalam media cair menunjukkan bahwa M. affine L. mampu mengakumulasi
8,81 mg Al/g daun tua setelah 2 bulan (Mutiasari 2008). Hal ini menunjukkan
bahwa tanaman ini memiliki mekanisme toleransi terhadap Al sehingga dapat
menjadi salah satu sumber gen ketahanan terhadap cekaman pH rendah dan Al
tinggi.
2
Menurut Hall (2002), terdapat beberapa mekanisme seluler untuk toleransi
terhadap logam yang berbahaya, dan salah satunya dengan memproduksi
metallothionein. Metallothionein (MT) merupakan protein yang banyak
mengandung sistein dan berfungsi sebagai peptida pengikat logam (metal binding
peptides). Cobbett dan Goldbrough (2002) membagi MT menjadi empat macam
berdasarkan pada susunan residu sistein (cys) yang dimiliki, yaitu MT tipe 1, MT
tipe 2, MT tipe 3 dan MT tipe 4. MT tipe 1 (MT1) tersusun atas enam motif CysXaa-Cys (Xaa menunjukkan asam amino selain cystein) yang terdistribusi pada
dua wilayah secara seimbang. MT tipe 2 memiliki dua wilayah yang kaya Cys,
dengan motif susunan cystein berupa Cys-Cys pada asam amino ke tiga dan
keempat dari protein ini. Selain itu MT tipe 2 (MT2) memiliki motif Cys-GlyGly-Cys pada akhir N-terminal dari wilayah cystein-rich dan pada wilayah Cterminal terdapat 3 motif Cys-Xaa-Cys. MT tipe 3 (MT3) hanya terdiri dari empat
residu Cys yang ada pada wilayah N-terminal. Tiga residu pertama membentuk
motif Cys-Gly-Asn-Cys-Asp-Cys. Sedangkan residu yang keempat membentuk
motif tersendiri yaitu Gln-Cys-Xaa-Lys-Lys-Gly. MT tipe 4 (MT4) berbeda dari
kelompok MT tanaman yang lainnya karena memiliki tiga wilayah cystein-rich
yang masing-masing memiliki 5 sampai 6 residu cystein yang biasanya
membentuk motif Cys-Xaa-Cys.
Menurut Duncan et al. (2006), motif dan susunan residu cys yang dimiliki
oleh MT diduga berkaitan dengan kemampuan MT mengikat logam dan
kestabilan protein. Pada hewan, logam akan terikat pada residu cys dalam formasi
logam-cys-(thiolate) dengan cara pertukaran ion logam misalnya ion Zn
tergantikan dengan ion Cu, Cd, atau Hg (Duncan et al. 2006) dan bisa juga terjadi
pengikatan logam yang berbeda pada saat bersamaan seperti yang terjadi pada
alga coklat (Fucus vesiculosus) yang mampu mengikat Cu dan Cd sekaligus
(Zimeri et al. 2005). Hasil penelitian Zimeri et al (2005), menunjukkan bahwa
pada arabidopsis, pemberian Cd akan meningkatkan stabilitas MT1. Namun
mekanisme pertukaran ion logam dan pengikatan ion logam tersebut masih belum
diketahui secara pasti.
Selama ini, penelitian terhadap jenis logam yang mampu menginduksi
ekspresi MT masih sangat terbatas, yaitu hanya pada tembaga (Cu), seng (Zn),
3
kadmium (Cd), dan aluminium (Al) (Robinson et al. 1993; Hall 2001; Snowden &
Gardner, 1993; Snowden et al, 1995). Pada tanaman Silene vulgaris (Hoof et al.
2001) dan arabidopsis (Murphy & Taiz, 1995), ekspresi MT2 terinduksi oleh Cu
dan keberadaan gen penyandi MT2 membuat mutan kapang yang sensitif terhadap
Cu mampu tumbuh dengan penambahan Cu pada medianya (Hoof et al, 2001).
Selain terinduksi oleh logam, ekspresi gen MT terinduksi oleh cekaman oksidatif
pada jaringan gabus (Mir et al, 2004), terekspresi saat fase senesen pada daun
(Buchanan-Wallaston, 1994), dan saat pematangan buah (Davies & Robinson,
2000).
Beberapa gen yang ekspresinya diinduksi oleh Al telah berhasil diisolasi
dan dikarakterisasi dari gandum, diantaranya adalah gen penyandi MT (Snowden
& Gardner, 1993; Snowden et al, 1995). Suharsono et al (2009) telah mengisolasi
cDNA gen penyandi MT2 dari Melastoma affine L (MaMt2). MaMt2 diduga
berperan dalam toleransi M. affine terhadap cekaman Al. Untuk mengetahui
peranan MaMt2 terhadap Al, maka analisis ekspresi MaMt2 di M. affine L. yang
mendapat cekaman Al sangat penting dilakukan.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ekspresi gen
penyandi MT2 dari Melastoma affine L. yang mendapat cekaman pH rendah dan
Al.
1.3 Hipotesis Penelitian
-
Ekspresi gen penyandi MT2 pada daun dan akar Melastoma affine L. akan
meningkat bila mendapat cekaman pH rendah.
-
Ekspresi gen penyandi MT2 pada daun dan akar Melastoma affine L. akan
meningkat bila mendapat cekaman Al.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mekanisme Toleransi Terhadap Aluminium (Al)
Pada prinsipnya ada dua mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman
Al. Menurut Taylor (1991), mekanisme pertama adalah mekanisme eksklusi
dengan cara mencegah Al masuk kedalam simplas dan mencapai daerah
metabolik yang peka. Mekanisme kedua adalah mekanisme internal dengan
imobilisasi, kompartementasi dan detoksifikasi saat Al masuk kedalam simplas.
Mekanisme eksklusi dapat berupa: (1) immobilisasi Al pada dinding sel:
dinding sel tanaman memiliki sifat yang berbeda dalam menghalangi pergerakan
Al. Sebagian besar Al yang diserap akar masuk melalui apoplas dengan
menggantikan kedudukan Ca2+ dalam sel tanaman. Immobilisasi Al pada dinding
sel akan mengurangi pergerakan Al ke dalam simplas; (2) Permeabilitas selektif
membran plasma terhadap Al: membran plasma bertindak sebagai penghalang
terhadap masuknya Al ke sitosol; (3) Meningkatkan pH di sekitar perakaran:
tanaman yang toleran terhadap Al cenderung menaikkan pH lebih cepat
dibandingkan tanaman yang peka sehingga dapat membentuk Al menjadi bentuk
yang tidak beracun; (4) Eksudasi senyawa-senyawa pengkelat: Al dapat
dikeluarkan dari simplas jika ligan pengkelat dibebaskan ke rizosfir dan ligan
tersebut membentuk kompleks yang stabil dengan Al, sehingga mengurangi
aktifitas ion Al bebas pada daerah akar-tanah serta mengurangi absorpsi melalui
membran plasma. Contoh ligan pengkelat adalah asam organik seperti asam
oksalat, asam sitrat, asam suksinat, dan asam malat; dan (5) Eksudasi fosfat: fosfat
yang secara aktif dikeluarkan dari akar tanaman dapat membentuk kompleks tak
larut dengan Al, sehingga mengurangi pengaruh Al pada permukaan menbran
dan/atau penyerapan melalui membran plasma.
Mekanisme internal mencakup: (1) kelatisasi Al di sitosol: meningkatnya
produksi asam organik pada tanaman yang toleran Al dapat berperan dalam
mengurangi toksisitas Al dalam sitosol; (2) kompartemensasi Al di vakuola yakni
Al diasingkan pada tempat yang tidak peka terhadap Al; (3) Protein pengikat Al:
banyak jenis tanaman memiliki protein pengikat logam yang pembentukannya
dapat terinduksi oleh logam-logam terutama Cd, Zn, Cu, dan Pb yang dikenal
5
dengan nama fitokelatin; dan (4) Induksi sintesis protein tertentu: pada tanaman
gandum kultivar PT741 (toleran Al) Basu et al. (1994) menemukan protein
sebesar 51 kD yang diisolasi dari membran mikrosomal pada akar. Protein ini
disintesis pada ujung akar karena terinduksi cekaman Al 100 µM sedangkan pada
kultivar Neepawa (peka terhadap Al) tidak terbentuk protein tersebut.
Beberapa spesies tanaman memiliki kemampuan untuk mengakumulasi Al
di dalam tunas daun dan akar. Tanaman yang memiliki kemampuan ini antara lain
teh (Carr et al. 2003; Ruan & Wong 2004), melastoma (Watanabe & Osaki 2002),
dan buckwheat (Ma et al. 1998 ; Zheng et al. 1998). Tanaman disebut sebagai
akumulator logam bila mampu mengakumulasi logam sedikitnya 0,1 % pada
jaringan (Barcel & Poschnenrider 2003).
Mekanisme tanaman dalam mengakumulasi Al masih belum diketahui
secara pasti. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa Al yang masuk ke
dalam tanaman terjerap oleh asam organik yang dihasilkan oleh tanaman. Pada teh
diduga bahwa Al terikat pada senyawa chatecin (Vitorello et al. 2005), sedangkan
pada melastoma Al terikat pada oksalat dan malat dalam daun (Watanabe & Osaki
2002).
Ekspresi beberapa gen pada gandum terinduksi oleh Al, dan salah satu
diantaranya adalah gen penyandi metallothionein (Snowden et al. 1995).
Metallothionein merupakan protein yang diproduksi oleh tanaman untuk mengikat
logam (Cobbett & Goldsbrough 2002). Gen penyandi metallothionein juga
berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dari Melastoma affine L. yang merupakan
salah satu tanaman akumulator Al (Suharsono et al. 2009).
Snowden dan Gardner (1993) menyatakan bahwa Al meningkatkan
ekspresi gen MT pada gandum. Al merupakan kation yang sangat reaktif dan
termasuk ke dalam golongan hard cation bedasarkan klasifikasi dari Niebour dan
Richardson (1980). Oleh karena itu, Al merupakan pengikat yang kuat untuk
kelompok hard negative donor, misalnya kelompok karboksil (-COOH), hidroksil
(-OH), karbonil (-CO), dan fosfat (-PO3). Sedangkan gugus sulfidril tidak dapat
mengikat Al dengan kuat, walaupun berada pada pengkelat seperti misalnya pada
metallothionein dan pada phytochelatin (Vitorello et al 2005). Oleh karena itu,
induksi gen MT2 oleh cekaman Al diduga berkaitan dengan interferensi Al
6
terhadap ion logam lain yang berpengaruh terhadap metabolisme tanaman secara
normal, sehingga MT2 dibutuhkan untuk menjaga homeostasis ion logam
tersebut. Ion logam esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dan berikatan dengan
MT2 adalah Cu dan Zn (Snowden & Gardner 1993).
2.2 Metallothionein
Tanaman memiliki mekanisme untuk mengendalikan dan merespon
masuknya ion logam yang berbahaya ke dalam selnya. Salah satu mekanisme
internal yang dimiliki oleh tanaman yaitu dengan mengikat ion logam tersebut
pada protein atau senyawa organik tertentu dan mengakumulasikannya pada
bagian tanaman tertentu misalnya daun. Tanaman tingkat tinggi memiliki dua
kelompok besar peptida pengikat logam, yaitu metallothionein (MT) dan
phytochelatin (PC) (Cobbett & Goldsbrough 2002).
MT merupakan polipeptida yang memiliki banyak ikatan sistein (cys)
yang disandikan oleh gen, memiliki berat molekul yang rendah, dan merupakan
protein pengikat logam. Sebagai konsekuensi dari banyaknya kandungan asam
amino Cys maka protein ini mengandung kelompok ’thiol’ (sulfidril, -SH) dalam
jumlah yang besar. Kelompok ’thiol’ mengikat logam-logam berat dengan sangat
kuat dan efisien, termasuk zink, merkuri, tembaga, dan kadmium. Residu sulfidril
dari Cys mampu mengikat logam dimana satu ion logam diikat oleh tiga residu
–SH atau satu ion logam dengan 2 residu –SH. Koordinasi pengikatan dari setiap
ion logam melalui residu –SH yang ada pada Cys, membentuk struktur tetrahedral
tetrathiolate (Schultze et al. 1988; Robbins et al. 1991). Pada hewan, logam akan
terikat pada residu cys dalam formasi logam-cys-(thiolate) dengan cara pertukaran
ion logam misalnya ion Zn tergantikan dengan ion Cu, Cd, atau Hg (Duncan et al.
2006). Menurut Zangger et al. (2001), MT mengikat logam dengan sangat kuat
namun pertukaran ikatan logam dapat berlangsung dengan mudah karena ikatan
MT terhadap logam memiliki stabilitas termodinamik yang tinggi dan stabilitas
kinetik yang rendah.
Selain terinduksi oleh logam, gen MT terinduksi oleh cekaman oksidatif
pada jaringan gabus (Mir et al. 2004), terekspresi pada saat fase senescense pada
daun (Buchanan-Wallaston 1994), dan saat pematangan buah (Davies & Robinson
7
2000). Seringkali beberapa tipe MT ditemui pada tanaman yang sama dan
memiliki kesamaan kinerja seperti yang ditemui pada Arabidopsis, dimana
Hernandez et al. (1998) menemukan bahwa terdapat overlapping antara MT1 dan
MT2 dalam pola ekspresinya. Pada arabidopsis, MT ditemukan terekspresi
walaupun tidak ada cekaman Cu. Saat tidak ada cekaman, MT1 terekspresi pada
jaringan trikoma dan vaskular daun, akar, bunga, dan benih. Sedangkan saat
dikenai cekaman Cu, MT1 diekspresikan pada jaringan mesofil daun dan tunas.
MT2 ditemukan pada trikoma Arabidopsis, baik yang dikenai cekaman maupun
yang tidak dikenai cekaman Cu.
Kemampuan MT untuk melakukan kompartemensasi Cd pada vakuola
ditunjukkan oleh hasil penelitian Vogeli-Lange (1990). Pada vakuola daun
tembakau (Nicotiana rustica), Cd terikat pada protein yang memiliki gugus (γGlu-Cys)3Gly dan (γ-Glu-Cys)4Gly, yang kemudian dikenali sebagai MT tipe 3.
Selain berfungsi untuk detoksifikasi logam berat, berbagai fungsi seluler
MT adalah untuk pengaturan homeostasis logam esensial, perlindungan terhadap
radiasi dan kerusakan oksidatif, dan kontrol seluler dalam poliferasi dan apoptosis
(Klaassen 1998).
2.3 Melastoma affine L.
M. affine L. merupakan salah satu spesies dari famili Melastomataceae
yang mampu mengakumulasi Al (Jansen et al. 2002), setelah Rubiaceae (Jansen et
al. 2003). Menurut Li et al (2000), M. affine L. dapat hidup pada tanah dengan
pH dibawah 4 dan mampu mengakumulasi Al sebanyak 9099 – 12810 mg/kg
daun dan 3499 – 3633 mg/kg akar. Tanaman diklasifikasikan sebagai akumulator
bila mengakumulasi Al sedikitnya 1000 mg/kg daun (Jansen et al. 2002).
Penelitian Watanabe et al (2001) menunjukkan bahwa selain tahan
terhadap cekaman Al, pertumbuhan melastoma juga dipacu oleh Al pada
konsentrasi yang rendah. Penelitian oleh Muhaemin (2008) menunjukkan bahwa
perlakuan 3,2 mM Al pada pH 4 pada M. affine L. mempunyai pengaruh positif
yang ditandai dengan pertambahan pertumbuhan akar sebesar 70,41 % setelah 6
minggu perlakuan dan tidak ditemui kerusakan jaringan pada ujung akar.
Cekaman Al pada tanaman toleran akan menginduksi sejumlah gen untuk
8
menghindari pengaruh ion Al. Pada melastoma, gen-gen ini diduga tidak hanya
berperan dalam mendetoksifikasi Al, tetapi juga menginduksi hormon
pertumbuhan.
Watanabe dan Osaki (2003) menyatakan bahwa Al mampu menembus
jaringan endodermis dan masuk ke dalam pembuluh xilem dan ditimbun di dalam
daun. Penelitian Mutiasari (2008) menunjukkan adanya akumulasi Al sebesar 8,81
mg/gr daun tua tanaman M. affine L. yang diberi cekaman 3,2 mM Al pada pH 4
selama 2 bulan. Akumulasi Al tersebut dapat ditemui pada jaringan mesofil daun
(Mutiasari 2008). Penelitian lain yang dilakukan oleh Watanabe dan Osaki (2002)
menyatakan bahwa akumulasi Al terjadi terutama pada bagian vakuola daun.
Selain itu juga terjadi akumulasi pada jaringan periderm sampai xilem pada akar
dan pada jaringan korteks, xilem sekunder dan empulur batang (Mutiasari 2008).
Didalam jaringan melastoma, Al ditemukan dalam bentuk Al monomerik, Aloksalat, Al-(oksalat)2, dan Al-(oksalat)3 (Watanabe et al. 1998). Karena
kemampuan Melastoma untuk mengakumulasi Al dalam jumlah yang tinggi,
maka melastoma dapat dijadikan sebagai tanaman model bagi ketahanan Al
terutama bagi tanaman dikotil.
2.4 Real Time Polimerase Chain Reaction (Real Time PCR)
Kemampuan sel untuk tumbuh, melakukan aktifitas, dan pertahanan
terhadap cekaman merupakan refleksi dari ekspresi gen. Oleh karena itu, tingkat
transkripsi dari gen spesifik dapat digunakan untuk mengetahui fungsi dari gen.
Terdapat empat metode yang biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat
transkripsi yaitu northern blotting, in situ hybridization, Rnase protection assay,
dan quantitatif reverse transcriptase. Dengan menggunakan analisis Northern,
bisa diketahui ukuran dari mRNA dan integritas RNA sampel. Rnase protection
assay memungkinkan untuk melakukan pemetaan daerah inisiasi pada transkripsi,
daerah terminasi, batas ekson atau intron, dan membedakan mRNA yang memiliki
ukuran yang sama, yang akan ditampilkan sebagai satu pita pada analisis
Northern. In situ hybridization merupakan satu-satunya metode yang dapat
digunakan untuk menunjukkan transkripsi lokal pada sel spesifik suatu jaringan.
Kekurangan dari ketiga metode tersebut adalah kurang akurat (Bustin 2000).
9
Untuk mengetahui kuantitas ekspresi dari suatu gen, biasanya digunakan
northern blotting atau PCR biasa yang menggunakan produk akhir sebagai dasar
perhitungan. Penggunaan northern blotting untuk mengetahui ekspresi gen
memerlukan jumlah RNA yang cukup banyak (Hunt 2006). Selain itu,
pengukuran kuantitas ekspresi suatu gen dengan menggunakan hasil akhir dari
proses PCR mempunyai kelemahan yaitu presisi yang kurang, tidak sensitif,
resolusi rendah, tidak otomatis, diskriminasi hanya dari ukuran saja, hasil tidak
diekspresikan secara kuantitatif (Applied Biosystem 2007).
Pada proses PCR, terdapat tiga fase utama yaitu eksponensial, linier, dan
plateu (datar) (Gambar 1). Pada fase eksponensial, terjadi penggandaan dari
jumlah sesungguhnya DNA atau RNA yang digunakan sebagai cetakan, sehingga
perhitungan kuantitas DNA pada fase ini memiliki akurasi 100 %. Pada fase linier
sudah terjadi penggunaan bahan reaksi, reaksi penggandaan terjadi pelan dan
produk mulai terdegradasi. Dan saat plateu, tidak terjadi lagi proses penggandaan
DNA dan pada saat ini juga terjadi degradasi DNA produk, oleh sebab itu deteksi
ekspresi gen berdasarkan hasil akhir PCR memiliki akuransi yang rendah
(Applied Biosystem 2007).
10
Plateu
Plateu
Linier
eksponensial
Linier
Rn
eksponensial
SIKLUS
A.
B.
Gambar 1. Tiga fase utama pada proses PCR: (1) fase eksponensial dimana
terjadi penggandaan jumlah DNA cetakan yang sebenarnya, (2) fase
linier dimana proses penggandaan cetakan mulai menurun, (3) fase
plateu dimana tidak terjadi lagi proses penggandaan cetakan dan
DNA mulai terdegradasi. Deteksi untuk Real Time PCR terjadi pada
fase eksponensial, sedangkan deteksi pada PCR biasa terjadi pada
fase plateu yang digambarkan dalam bentuk kurva linier (A) dan
kurva log (B) (Applied Biosystem 2007)
Real Time PCR adalah metode kuantifikasi PCR yang memungkinkan
untuk mengamati pertambahan amplikon selama proses amplifikasi. Pada Real
Time PCR, perhitungan amplikon dilakukan pada saat fase eksponensial (Gambar
1). Sistem Real Time PCR menggunakan dasar pada deteksi dan kuantifikasi
fluorescence reporter. Signal akan meningkat sesuai dengan jumlah produk PCR
pada setiap siklus (Dorak 2006). Ada dua macam fluorescence reporter yang
biasanya digunakan dalam Real Time PCR, yaitu SYBR Green (Gambar 2) dan
TaqMan (Gambar 3). SYBR Green merupakan senyawa kimia yang akan
mendeteksi semua utas ganda DNA, biasa digunakan untuk perhitungan kuantitas
DNA dengan tujuan yang tidak spesifik. Sedangkan TaqMan lebih spesifik
daripada SYBR Green karena menggunakan TaqMan probe, yaitu probe yang
komplemen dengan utas DNA spesifik yang berada diantara primer forward dan
primer reverse dan didesain sedemikian rupa sehingga bila probe tersebut rusak
akibat proses perpanjangan DNA pada proses PCR maka akan melepaskan energi
yang dapat ditangkap oleh mesin Real Time PCR dengan dasar teknologi FRET
(Fluorescent Resonance Energy Transfer). Teknologi FRET didasari oleh transfer
11
energi dari pelacak berenergi tinggi (reporter dye) yang diletakkan didekat
pelacak berenergi rendah (quencer dye), transfer energi tersebut akan terjadi bila
pelacak berenergi tinggi rusak (Applied Biosystem 2007).
Gambar 2. Proses deteksi pada Real Time PCR dengan menggunakan SYBR
Green. SYBR Green akan terdeteksi bila terikat pada utas ganda DNA
saat fase perpanjangan DNA (extention) (Dorak 2006)
Gambar 3. Proses deteksi pada Real Time PCR dengan menggunakan TaqMan.
Deteksi akan terjadi bila TaqMan probe yang menempel diantara
primer forward dan primer reverse rusak selama fase perpanjangan
DNA (extention) (Dorak 2006)
12
Fluorescence reporter akan meningkat sampai pada jumlah yang bisa
terdeteksi oleh Real Time PCR dan digambarkan dalam bentuk kurva amplifikasi
(Gambar 4). Kurva amplifikasi mengandung beberapa informasi penting:
(1) threshold yaitu daerah deteksi yang terjadi pada saat jumlah fluorescence
reporter bisa dideteksi oleh mesin Real Time PCR, agar hasil perhitungan lebih
akurat threshold berada pada fase eksponensial; (2) Cycle Threshold (Ct) yaitu
siklus pada proses PCR saat jumlah fluorescence reporter berpotongan dengan
garis threshold yang ditetapkan untuk perhitungan pada Real Time PCR; (3) Rn
yaitu jumlah fluorescence reporter yang terdeteksi; dan (4) Cycle yaitu jumlah
siklus yang digunakan dalam proses PCR (Applied Biosystem 2007).
Gambar 4. Kurva amplifikasi pada Real Time PCR. Threshold adalah daerah
deteksi yang digunakan dalam analisis. Cycle Threshold (Ct) adalah
siklus pada saat fluorescence reporter berpotongan dengan
threshold. Rn adalah jumlah fluorescence reporter yang terdeteksi
selama proses PCR. Cycle adalah banyaknya siklus yang digunakan
dalam proses PCR (Applied Biosystem 2007)
Terdapat dua macam perhitungan yang bisa dilakukan dengan Real Time
PCR, yaitu (1) absolute quantitation yang digunakan untuk mengetahui jumlah
molekul DNA yang tidak diketahui dengan menggunakan kurva standar yang
sudah diketahui jumlah molekul DNA-nya. (2) Relative quantitation yang
digunakan untuk mengetahui jumlah molekul DNA yang tidak diketahui dengan
membandingkannya dengan sampel DNA yang lain yang digunakan sebagai
pembanding (Applied Biosystem 2004).
13
Relative quantitation banyak digunakan untuk mengetahui tingkat ekspresi
suatu gen pada suatu perlakuan dibandingkan dengan ekspresi gen yang sama
pada perlakuan yang lain. Untuk mengetahui ekspresi suatu gen maka dibutuhkan
gen referensi sebagai pembanding internal (endogenous control) jumlah DNA
agar tidak terjadi kesalahan interpretasi akibat jumlah sel yang berbeda. Gen
referensi adalah gen yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Gen referensi yang
paling banyak digunakan adalah β-aktin dan Glyceraldehyde-3-phosphatdehydrogenase (GAPDH) (Bustin 2000).
Ada dua metode yang bisa digunakan untuk mengetahui tingkat ekspresi
gen dengan menggunakan relative quantitation, yaitu metode kurva standar relatif
(relative standard curve method) dan metode comparative Ct (comparative Ct
method/∆∆Ct). Metode kurva standar relatif menggunakan kurva standar relatif
yang akan digunakan untuk menghitung kuantitas sampel. Kurva standar yang
digunakan dapat dibuat dari DNA apapun yang sudah diketahui kuantitasnya
dengan pengenceran berseri. Oleh karena itu metode ini membutuhkan tingkat
akurasi yang tinggi dalam pemipetan sampel DNA yang akan digunakan untuk
kurva standar dan tidak membutuhkan validasi PCR sebelumnya. Namun metode
ini membutuhkan lebih banyak bahan reaksi kimia dan membutuhkan banyak
tempat reaksi PCR. Selanjutnya kuantitas gen target dan gen referensi dapat
diketahui dengan memasukkan nilai Ct gen target dan gen referensi ke dalam
kurva standar (log ng DNA dibanding nilai Ct). Ekspresi gen target pada suatu
perlakuan dilakukan dengan menormalisasi kuantitas gen target dengan gen
referensi dan membandingkan hasil normalisasi gen target pada perlakuan dengan
hasil normalisasi gen target pada perlakuan kontrol (kalibrator) (Applied
Biosystem 2004).
Gen target yang dinormalisasi (perlakuan/kalibrator) =
ng gen t arg et
ng gen referensi
Ekspresi gen target pada perlakuan relatif terhadap kalibrator (Relative
Quantification/RQ)
=
gen t arg et yang dinormalisasi pada perlakuan
gen t arg et yang dinormalisasi pada kalibrator
14
Metode ∆∆Ct banyak digunakan untuk menghitung ekspresi gen dari
sampel yang banyak. Karena tidak perlu menggunakan kurva standar, metode ini
lebih menghemat bahan reaksi PCR dan tidak membutuhkan akuransi dalam
pemipetan. Dalam metode ∆∆Ct, dibutuhkan validitas efisiensi reaksi PCR yang
biasa dilakukan dengan merancang primer yang menghasilkan amplikon
berukuran lebih kecil daripada 150 pb, dimana pada ukuran amplikon tersebut
maka efisiensi PCR yang terjadi adalah 100%.
Metode ∆∆Ct menggunakan rumus aritmatika 2-∆∆CT untuk mengetahui
ekspresi gen target yang telah dinormalisasi gen referensi, dan relatif terhadap
kalibrator (Relative Quantification/RQ). Rumus aritmatika tersebut diperoleh dari
rumus eksponensial amplifikasi proses PCR yaitu:
Xn = X0 x (1 + EX)Ct = K
dimana K= konstanta
(1)
Dimana : Xn = jumlah DNA pada siklus ke n
X0 = jumlah DNA mula-mula
EX = efisiensi PCR
Ct = adalah siklus yang diinginkan atau Cycle threshold
Bila gen target disimbolkan dengan X dan gen referensi disimbolkan dengan R,
maka rumus tersebut diatas dapat digunakan untuk mencari KX maupun KR.
Sehingga ekspresi gen X dinormalisasikan dengan gen referensi R, adalah
XT
X 0 x (1 + E X ) CTX K X
=
=
RT
KR
R0 x (1 + E R ) CTR
(2)
Nilai efisiensi gen X (EX) dan gen R (ER) sama, sehingga
X0
x(1 + E ) CTX −CTR = K
R0
(3)
Nilai ekspresi suatu gen yang sesungguhnya adalah jumlah DNA awal yang
digunakan sebagai cetakan, sehingga rumus (4) dapat diturunkan menjadi
XN = K x (1+E)-∆CT
Dimana : XN =
(4)
X0
R0
∆CT = CTX-CTR
Dan untuk mengetahui ekspresi gen target X pada perlakuan relatif terhadap
kalibrator, maka ekspresi gen X pada perlakuan (XNP) dibagi dengan ekspresi gen
X pada kalibrator (XNK)
15
X NP K x (1 + E ) − ∆CTP
=
= (1 + E ) − ∆∆CT
− ∆CTK
X NK K x (1 + E )
(5)
Dimana : -∆∆CT = -(∆CTP - ∆CTK)
Bila amplikon yang dihasilkan berukuran kurang dari 150 pb, maka nilai effisiensi
PCR adalah 100% yang nilainya sama dengan 1, sehingga jumlah gen X pada
suatu perlakuan yang telah dinormalisasi dengan gen referensi, dibandingkan
dengan kalibrator adalah
2-∆∆CT
(6)
(Livak & Schmittgen 2001)
Real Time PCR sudah digunakan secara luas, yaitu untuk deteksi patogen,
kuantifikasi virus, kuantifikasi ekspresi gen, efisiensi terapi pada obat-obatan
baru, dan memastikan kerusakan DNA (Applied Biosystem 2007). Untuk ekspresi
gen metallothionein (MT), beberapa peneliti juga menggunakan Real Time PCR
antara lain van Hoof et al (2001) yang menggunakan metode ini untuk
mengetahui perbedaan ekspresi MT pada tanaman yang sensitif terhadap tembaga
(Cu) dan tanaman yang toleran terhadap Cu yang ditumbuhkan pada konsentrasi
CuSO4 0,1 µM dan Moyle et al (2005) yang menggunakan kuantitatif Real Time
PCR untuk mengetahui ekspresi gen MT pada saat pematangan buah nanas.
16
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2007 – Desember 2008 di
Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Laboratorium BIORIN
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor,
dan Laboratorium Terpadu, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Perlakuan cekaman pH dan Al dilakukan di rumah kaca
Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan Penelitian
M. affine L. digunakan sebagai bahan tanaman. Primer forward (MF)
5’TCGAGAAAAATGTCTTGCTGTG3’
dan
primer
reverse
(MR1)
5’GTCTCGCCGGAGAATCCCAAG3’ yang didesain dari MaMt2 (Suharsono et
al. 2009) menghasilkan produk sebesar 113 pb digunakan untuk analisis ekspresi
MT2. Primer forward (ActF) 5’ATGGCAGATGCCGAGGATAT3’ dan primer
reverse (ActR2) 5’TCGAGGTCGGCCAACAATAC3’ yang didesain dari gen β
actin kedelai (Shah et al. 1982) dan menghasilkan produk sebesar 123 pb,
digunakan sebagai pembaku dalam analisis ekspresi. Primer forward (ActF)
5’ATGGCAGATGCCGAGGATAT3’
dan
primer
reverse
(ActR)
5’CAGTTGTGCGACCACTTGCA3’ yang didesain dari gen β actin kedelai
(Shah et al. 1982), digunakan untuk mengetahui kontaminasi DNA genom pada
cDNA.
3.3 Metode
Penelitian ini dilakukan dengan melalui beberapa tahapan yaitu perlakuan
cekaman pH dan Al rendah pada kultur air, isolasi RNA total dari M. affine L,
sintesis cDNA total, dan analisis ekspresi gen dengan menggunakan Real Time
PCR.
17
3.3.1 Perlakuan cekaman pada kultur air
Bahan tanam yang digunakan berasal dari stek pucuk tanaman M. affine L.
yang diambil dari Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengadaan stek pucuk
dilakukan dengan memotong 4 - 6 ruas dari pucuk tanaman. Pucuk ditanam pada
tanah Jasinga dan ditutup dengan plastik selama seminggu untuk mengurangi
penguapan. Setelah itu, tutup plastik dibuka dan dibiarkan selama sebulan sampai
tumbuh akar. Selanjutnya pucuk yang mempunyai akar kurang lebih 1 cm ditanam
pada tempat yang berisi larutan nutrisi standar pH 6 dengan komposisi NH4NO3
2,14 mM; NaH2PO4 3,2 µM; K2SO4 : KCl (1:1) 0,77 mM; CaCl 1,2 mM; MgSO4
0,82 mM; FeSO4 35,8 µM; MnSO4 9,1 µM; H3BO3 46,3 µM; ZnSO4 3,1 µM;
CuSO4 0,16 µM; (NH4)6Mo7O24 0,05 µM (Watanabe et al. 1998) dan diberi aerasi,
selama seminggu. Setelah satu minggu, tanaman siap untuk diberi perlakuan
cekaman pH dan Al.
Percobaan dilakukan dengan dua macam perlakuan dan dua ulangan.
Perlakuan yang diberikan adalah pH dan konsentrasi Al. Perlakuan pH
menggunakan 2 tingkat, yaitu pH 6 (kontrol) dan 4. Sedangkan perlakuan
konsentrasi Al yang diberikan adalah 0 mM (kontrol), 0,8 mM dan 3,2 mM yang
dilakukan pada pH 4. Sampel berupa daun dan akar diambil 1 minggu setelah
perlakuan untuk isolasi RNA total agar didapatkan ekspresi gen yang
sesungguhnya.
3.3.2 Isolasi RNA total dari Melastoma affine L.
RNA total diisolasi dari akar dan daun secara terpisah, dari dua ulangan
dan dua macam perlakuan, menggunakan metode CTAB (Chang et al. 1993) yang
dimodifikasi. Untuk itu, 1 g bahan tanaman digerus didalam 10
ml buffer
ekstraksi (CTAB 2%; Tris pH 9,5 0,1 M; EDTA 20 mM; NaCl 1,4 M; PVP
25000 2%; dan β-mercaptoethanol 1%) hangat hingga membentuk suspensi sel.
Suspensi sel dimasukkan ke tabung 20 ml dan diinkubasi pada suhu 65oC selama
10 menit, kemudian didinginkan, dan ditambah 10 ml kloroform: isoamil alkohol
(24 : 1). Setelah dicampur dengan menggunakan vortex, campuran disentrifugasi
dengan kecepatan 42000xg (rotor SW11, Sorval Ultra Pro 80) pada suhu 4oC
selama 10 menit. Cairan bagian atas dipindahkan ke tabung 20 ml, ditambahkan ¼
18
volume LiCl 10 M dan diinkubasi pada suhu -32oC selama 2,5 jam. Campuran
disentrifugasi pada kecepatan 42000xg pada suhu 4oC selama 10 menit. Cairan
dibuang dan endapan RNA total disuspensikan dalam 500 µl TE 1X (Tris HCl pH
7,4 10 mM dan EDTA 1 mM) kemudian dipindahkan ke tabung 1,5 ml. Suspensi
RNA total diekstraksi dengan penambahan 1X volume fenol pH 9, divortex dan
disentrifugasi pada kecepatan 8000xg (Jouan BR4i) pada suhu 20oC selama 10
menit. Cairan bagian atas yang mengandung RNA total diambil, dimasukkan
dalam tabung 1,5 ml,
dan diekstraksi kembali dengan 1X volume fenol :
kloroform : isoamil alkohol (25:24:1), divortex dan disentrifugasi pada kecepatan
8000xg (Jouan BR4i) pada suhu 20oC selama 10 menit. Cairan bagian atas
diambil, dimasukkan dalam tabung 1,5 ml, ditambah ¼X volume LiCl 10 M dan
kemudian diinkubasi pada suhu -32oC selama 2,5 jam. Cairan disentrifugasi pada
kecepatan 8000xg pada suhu 4oC selama 15 menit. Cairan dibuang dan endapan
RNA total dibilas dengan penambahan 500 µl ethanol 70 % dan disentrifugasi
pada kecepatan 5000xg pada suhu 4oC selama 10 menit. Endapan RNA total
dikeringkan dengan pengering vakum dan disuspensikan dengan 20 µl DEPC
H2O. Keutuhan RNA total diuji dengan melakukan elektroforesis RNA total di gel
agarose 1 % dalam buffer MOPS 1X (MOPS 4,2 g/l; Na asetat 0,41 g/l; Na2EDTA
0,37 g/l). Visualisasi RNA total dilakukan di atas UV transluminator GelDoc
(Labquip) setelah diwarnai dengan EtBr (0,5 µg/ml) selama 30 menit dan dibilas
dengan air.
3.3.3 Pembentukan cDNA total
Untuk mendapatkan RNA yang bebas dari DNA genom, suspensi RNA
total diberi Dnase sebelum sintesis cDNA dengan mencampur 5 µg RNA total,
buffer Dnase I 1X, Dnase I bebas RNase (Fermentas) 0,2 U, dan DEPC H2O
sampai volume total mencapai 10µl. Larutan diinkubasi pada suhu ruang selama 5
menit. Setelah itu ditambahkan EDTA 2,5 mM dan diinkubasi kembali pada suhu
65oC selama 10 menit.
Sintesis cDNA total dilakukan dengan mencampur 5 µg RNA total, FirstStrand Reverse Transcriptase Buffer 1X, oligo (dT) 20 pmol, dNTP 4 mM, DTT
10 mM, enzim SuperScript II Reverse Transcriptase (Invitrogen) 40 U, dan
19
DEPC-H2O dengan volume reaksi 20 µl. Proses sintesis cDNA dilakukan dengan
alat PCR (MJ Research TM 100) dengan menginkubasi campuran pada suhu 30oC
selama 10 menit, kemudian inkubasi pada suhu 42oC selama 50 menit, inkubasi
pada suhu 95oC selama 5 menit dan 20oC selama 5 menit.
Keberhasilan dan kemurnian sintesis cDNA total dan kemurnian cDNA
total dari DNA genom diverifikasi dengan menggunakan PCR menggunakan
primer forward ActF dan primer reverse ActR yang spesifik untuk ekson1 –
ekson2 dari aktin. Reaksi PCR yang digunakan adalah 1 µl cDNA total, Taq
buffer 1X, dNTP mix 4 mM, ActF 20 pmol dan ActR 20 pmol, enzim Taq DNA
polimerase (RBC) 0,5 U, DMSO 4% dan dH2O sampai volume akhir 10 µl. PCR
dilakukan dengan kondisi pra-PCR pada 94oC, 5 menit; denaturasi pada 94oC, 30
detik; penempelan primer pada 55oC, 30 detik; pemanjangan pada 72oC, 1,5
menit; pasca PCR pada 72oC, 7 menit; dan pendinginan 20 oC, 5 menit. PCR
dilakukan sebanyak 30 siklus. Amplifikasi gen β actin ekson1-ekson2 dengan
menggunakan DNA genom melastoma sebagai cetakan digunakan sebagai kontrol
terjadinya kontaminasi terhadap sintesis cDNA. Keberhasilan sintesis cDNA
diketahui dari terbentuknya pita berukuran 450 pb. Bila terjadi kontaminasi DNA
genom pada cDNA, maka akan didapatkan 2 pita yang masing-masing berukuran
450 pb (dari cDNA) dan 550 pb (dari DNA genom).
3.3.4 Analisis ekspresi gen dengan menggunakan Real Time PCR
Real Time PCR dilakukan dengan komposisi 5 µl cDNA, Power SYBR
Green PCR master mix 1X, primer MF atau ActF 50 nM, primer MR1 atau ActR2
50 nM dalam total reaksi 50 µL. Reaksi dilakukan untuk dua jenis gen, yaitu
MaMt2 sebagai gen target dan aktin sebagai gen pembaku. Deteksi ekspresi gen
dilakukan dengan menggunakan mesin Real Time PCR ABI Prism 7000 Sequence
Detection System (Applied Biosystem). Amplifikasi gen target dengan
menggunakan sistem touchdown PCR, yaitu dengan kondisi aktivasi enzim taq
pada suhu 95oC selama 10 menit, kemudian diikuti dengan touchdown PCR yaitu
denaturasi pada suhu 95oC selama 15 detik, annealing pada suhu 65oC selama 30
detik, dan sintesis DNA pada suhu 72oC selama 30 detik, dimana suhu annealing
diturunkan 2oC setiap 3 siklus dari suhu awal 65oC sampai suhu annealing
20
mancapai 55oC. Saat suhu annealing mencapai 55oC, proses PCR dilakukan
sebanyak 30 siklus.
Hasil dari Real Time PCR berupa kurva amplifikasi dari masing-masing
reaksi dianalisa dengan menggunakan program Relative Quantification Study
dengan metode ∆∆CT berdasarkan metode Livak (2001). Dari kurva amplifikasi
dapat diperoleh nilai CT dari masing-masing reaksi. Nilai ∆CT dari masing-masing
perlakuan diperoleh dari normalisasi gen target dengan gen pembaku yaitu dengan
cara pengurangan nilai CT gen MT2 sebagai gen target dengan nilai CT gen aktin
sebagai gen referensi, sehingga rumus untuk mendapatkan ∆CT adalah : ∆CT = CT
MT2 –
CT actin. Sedangkan nilai ∆∆CT diperoleh dengan cara pengurangan nilai ∆CT
dari perlakuan dan nilai ∆CT dari kalibrator (kontrol). Dalam penelitian ini
terdapat dua kontrol yaitu pH 6 untuk mengetahui pengaruh perlakuan pH pada
ekspresi gen MT2 dan pH 4 dengan 0 mM Al untuk mengetahui pengaruh
cekaman aluminium pada ekspresi gen MT2. Selanjutnya nilai ∆∆CT tersebut
akan digunakan untuk mengetahui ekspresi (RQ) gen MT2 pada perlakuan relatif
terhadap kontrol dengan memasukkannya dalam rumus aritmatika 2
–∆∆CT
.
Analisis ekspresi gen dengan menggunakan Real Time PCR ini diulang 2 kali dan
nilai RQ antar perlakuan dianalisis dengan menggunakan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) 13.0 for windows. Amplikon hasil dari Real
Time PCR, dicek pada gel agarose untuk mendapatkan ekspresi secara
semikuantitatif dan kualitas pita DNA.
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Isolasi RNA Total
RNA total telah berhasil diisolasi dari daun dan akar M. affine L.
Keutuhan RNA total ditunjukkan dengan adanya 2 pita, yaitu rRNA 28S dan 18S
(Gambar 5) karena rRNA merupakan jenis RNA yang paling banyak ditemui di
dalam sel dan rRNA 28S dan 18S merupakan dua jenis RNA yang memiliki
ukuran paling besar, dan pada saat dimigrasikan kedua jenis rRNA ini tampak
paling jelas sehingga bisa digunakan untuk menentukan integritas RNA total yang
didapatkan. Bila terjadi degradasi pada RNA total, maka intensitas kedua pita
rRNA tersebut tidak sama (Bowtell & Sambrook 2003). Sehingga, keberadaan
kedua pita rRNA ini menunjukkan bahwa RNA total yang diisolasi mempunyai
keutuhan yang tinggi sehingga sangat baik digunakan sebagai cetakan untuk
sintesis cDNA total. Selain kedua pita tersebut, RNA total dari daun mengandung
beberapa pita RNA yang kemungkinan adalah rRNA yang terdapat pada
mitokondria dan kloroplas yang berukuran 23S, 16S, dan 5S.
1.
2.
28S
18S
Gambar 5. RNA total M. affine L. hasil isolasi dari akar (1) dan daun (2)
RNA total mengandung mRNA sehingga RNA total yang utuh juga
mengandung mRNA yang utuh. Oleh sebab itu, keutuhan RNA total sangat
penting untuk sintesis cDNA total.
4.2 Sintesis cDNA Total
Dari RNA total yang diisolasi, telah berhasil disintesis cDNA total melalui
transkripsi balik dengan menggunakan RNA total sebagai cetakan. Dengan primer
oligo-dT, hanya mRNA yang dapat disintesis menjadi cDNA karena mempunyai
poliA pada ujung 3’ sedangkan rRNA dan tRNA tidak mempunyai poliA. PCR
22
dengan menggunakan primer ActF dan ActR yang dirancang dari ekson 1 dan
ekson 2 gen aktin menghasilkan DNA yang berukuran sekitar 450 pb (Gambar 6)
yang menunjukkan bahwa daerah yang diamplifikasi adalah cDNA bukan DNA
genom dari gen actin. Gen aktin memiliki ukuran sekitar 550 pb karena
mengandung intron yang akan dibuang pada saat pembentukan mRNA.
Teramplifikasinya cDNA aktin dengan ukuran 450 pb menunjukkan bahwa
sintesis cDNA total melalui proses transkripsi balik telah berlangsung dengan
baik. Hal ini juga menunjukkan bahwa RNA total yang telah diisolasi mempunyai
kualitas yang sangat bagus, karena selain dapat digunakan untuk mensintesis
cDNA juga terbebas dari kontaminasi DNA. Oleh sebab itu, cDNA total ini dapat
digunakan sebagai bahan untuk analisis ekspresi gen.
1
450 pb
2
3
4
5
550 pb
Gambar 6. Hasil amplifikasi β-actin. Lajur 1,2, dan 3 = hasil amplifikasi dengan
menggunakan cDNA sebagai cetakan. Lajur 4 = 1 kb ladder. Lajur 5 =
hasil amplifikasi dengan menggunakan DNA genom sebagai cetakan.
4.3 Ekspresi Gen Metallothionein
4.3.1 Pengaruh pH rendah terhadap ekspresi gen metallothionein
Untuk mengetahui tingkat ekspresi MaMt2 pada pH rendah, perlakuan
pH 6 digunakan sebagai pembanding dan pH 4 sebagai perlakuan. Analisis
ekspresi gen dilakukan pada daun dan akar M. affine L. Hasil ANOVA (Lampiran
1) terhadap ekspresi gen MaMt2 dari M. affine L. menunjukkan bahwa ekspresi
MaMt2 pada akar dan pada daun antara M. affine L. yang mendapat cekaman pH
6 dan pH 4 tidak berbeda nyata (Tabel 1), walaupun terdapat perbedaan ekspresi
yang relatif besar antara perlakuan pH 6 dan pH 4. Hal ini mungkin disebabkan
oleh perbedaan ekspresi yang tinggi dalam ulangan pada perlakuan yang sama
(Lampiran 2). Pengamatan pada gel agarose (Gambar 7) tidak menunjukkan
23
adanya perbedaan ekspresi gen MaMt2 yang terlihat dari perpendaran pita MaMt2
yang sama antara perlakuan pH 6 dan pH 4 baik pada akar ataupun pada daun.
Pada perlakuan pH rendah, tidak ada logam yang diberikan secara
berlebihan pada media tumbuh. Metallothionein merupakan protein yang
berfungsi untuk mendetoksifikasi logam dan untuk menjaga homeostasis logam
didalam sel (Cobbett and Goldbrough, 2002). Bila logam berupa ion bebas yang
disebabkan pengaruh pH rendah masih berada dibawah konsentrasi yang dapat
menyebabkan keracunan, maka ion ini tidak mempengaruhi ekspresi MaMt2. Ion
logam (Cu, Mg, Mn, Fe, Zn) yang terdapat pada medium Watanabe et al. (1998)
merupakan logam esensial yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dengan baik,
untuk membentuk struktur protein dan katalisis enzim yang terlibat dalam
metabolisme dan pertumbuhan tanaman (Haydon et al. 2007).
Tabel 1. Nilai relative quantification (RQ) dari transkripsi MaMt2 pada daun dan
akar M. affine L. yang mendapat cekaman pH rendah
Perlakuan
RQ
daun
1
0,3
pH 6
pH 4
akar
1
2.6
Keterangan : pH tidak berpengaruh terhadap tingkat ekspresi MaMT2 (P>0,05)
pH6
pH4
pH6
pH4
MaMt2
Β actin
1. Daun
2. Akar
Gambar 7. Ekspresi MaMt2 semikuantitatif pada daun dan akar dari M. affine L.
yang mendapat cekaman pH rendah
24
4.3.2 Pengaruh aluminium terhadap ekspresi gen metallothionein
Pengaruh aluminium pada ekspresi gen metallothionein dapat diketahui
dengan cara melihat tingkat ekspresi MaMt2 pada perlakuan pemberian Al
0,8 mM dan 3,2 mM setelah dibandingkan dengan perlakuan Al 0 mM sebagai
kontrol. Analisis ekspresi dilakukan pada daun dan akar M. affine L.
Uji Tukey (Lampiran 3) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata
antar perlakuan Al 0 mM, Al 0,8 mM, dan Al 3,2 mM terhadap ekspresi gen
MaMt2 di daun (Tabel 2). Sedangkan pada akar, perlakuan Al 0,8 mM tidak
berbeda nyata terhadap ekspresi MaMt2 bila dibandingkan dengan Al 0 mM.
Namun, perlakuan Al 3,2 mM menginduksi ekspresi gen MaMt2 di M. affine L.
Ekspresi MaMt2 di akar dari tanaman M. affine L. yang mendapatkan cekaman Al
3,2 mM meningkat 2 kali lipat dibandingkan dengan perlakuan Al 0 mM dan
0,8 mM. Pengecekan pada gel agarose menunjukkan perpendaran pita MaMt2
yang sama pada perlakuan Al 0 mM dan Al 0,8 mM baik pada daun maupun pada
akar, sedangkan perpendaran pita MaMt2 pada perlakuan Al 3,2 mM pada akar
meningkat intensitasnya (Gambar 8).
Tabel 2. Nilai relative quantification (RQ) dari transkripsi MaMt2 pada daun dan
akar M. affine L. yang mendapat perlakuan Al pada medium dengan pH
4
RQ
Perlakuan Al
daun
1
1.1
0.5
0 mM
0.8 mM
3.2 mM
akar
1
1
2.1*
Keterangan : * mengindikasikan beda nyata secara statistik (P<0,05)
0 mM
0,8 mM 3,2 mM
0 mM 0,8 mM 3,2 mM
MaMT2
β actin
1. Daun
2. Akar
Gambar 8. Ekspresi MaMt2 semikuantitatif pada daun dan akar dari M. affine L.
yang mendapat cekaman Al
25
Cekaman Al tidak meningkatkan ekspresi MaMt2 di daun, tetapi
meningkatkan ekspresi MaMt2 di akar. Hal ini dapat terjadi karena akar
merupakan organ pada tumbuhan yang berinteraksi langsung dengan Al pada
media tumbuh. Menurut Hernandes (1998) ekspresi MT dipengaruhi oleh spesies
tanaman, jenis jaringan dan tipe MT, sehingga ekspresi jenis MT yang sama pada
spesies yang berbeda akan berbeda, begitu juga bila berada pada jaringan yang
berbeda.
Pada akar, ekspresi MaMt2 meningkat pada kondisi cekaman Al yang
tinggi (3,2 mM) selama 7 hari. Sedangkan pada cekaman Al 0,8 mM, tidak terjadi
perubahan tingkat ekspresi dibandingkan dengan tanpa cekaman Al. Hal ini dapat
terjadi karena M. affine L. merupakan tanaman yang sangat toleran terhadap Al,
sehingga pada konsentrasi Al 0,8 mM, diduga belum menginduksi ekspresi
MaMt2, bila dibandingkan dengan tanpa cekaman Al.
Pada gandum varietas Warigal yang peka terhadap Al, cekaman Al 10 µM
selama 48-96 jam meningkatkan ekspresi MT2 secara nyata, sedangkan pada
varietas Waalt yang toleran Al cekaman 10 µM Al tidak menginduksi ekspresi
MT2. Pada varietas yang toleran ini, ekspresi MT2 diinduksi pada cekaman Al
dengan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 100 µM (Snowden et al. 1993). Hal ini
menunjukkan bahwa semakin toleran suatu tanaman, maka semakin tinggi
konsentrasi Al yang dibutuhkan untuk menginduksi ekspresi MT2. Hal ini terjadi
pada M. affine L. yang merupakan tumbuhan yang sangat toleran Al, bahwa
konsentrasi 0,8 mM Al belum dapat meningkatkan ekspresi MT2 dan peningkatan
ekspresi MT2 diinduksi oleh konsentrasi Al yang sangat tinggi yaitu 3,2 mM.
26
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Cekaman pH 4 tidak menyebabkan kenaikan ekspresi MaMt2 baik pada
akar maupun pada daun. Sedangkan cekaman aluminium pada konsentrasi 3,2
mM menyebabkan kenaikan ekspresi MaMt2 pada akar tetapi tidak pada daun dari
M. affine L.
5.2 Saran
Untuk melakukan konfirmasi peranan MaMt2 dalam toleransi tanaman
terhadap aluminium, MaMt2 harus diekspresikan secara berlebih (overexpression) pada tanaman sensitif Al seperti tembakau dan ditiadakan ekspresinya
pada tumbuhan yang sangat toleran terhadap Al seperti M. affine L.
27
DAFTAR PUSTAKA
Applied Biosystem. 2004. Guide to Performing Relative Quantitation of Gene
Expression Using Real-Time Quantitative PCR. Applied Biosystem
Applied Biosystem. 2007. Real Time PCR VS Traditional PCR. Applied
Biosystem
Barcelo J, Poschenrieder C. 2003. Phytoremediation : principles and perspectives.
Science 2 (3) : 332-344
Bowtell D, Sambrook J. 2003. DNA Microarrays: A Molecular Cloning Manual.
Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York
Buchanan-Wollaston V. 1994. Isolation of cDNA clones for genes that are
expressed during leaf senescence in Brassica napus. Identification of a
gene encoding a senescence-specific metallothionein-like protein.
Plant Physiol 105: 839-846
Bustin SA. 2000. Absolute quantification of mRNA using real time reverse
transcription polymerase chain reaction assays. Review. J Mole
Endocrin 25: 169-193
Bustin SA, Benes V, Nolan T, Pfaffl MW. 2005. Quantitative real time RT-PCR –
a perspective. Review. J Mole Endocrin 34: 597–601
Carr HP, Lombi E, Kupper H, Mcgrath SP, Wong MH. 2003. Accumulation and
distribution of aluminum and other elements in tea (Camellia sinensis)
leaves. Agronomie 23: 705-710
Cobbett C, Goldbrough P. 2002. Phytochelatin and metallothionein: roles in
heavy metal detoxification and homeostatis. Annu Rev Biol 53:
159-182
Davies C, Robinson SP. 2000. Differential screening indicates a dramatic change
in mRNA profiles during grape berry ripening. Cloning and
characterization of cDNAs encoding putative cell wall and stress
response proteins. Plant Physiol 122: 803-812
Dorak
MT. 2006. Real Time PCR. Advance method
www.dorak.info/genetics/realtime.html [29Apr 2007]
series.
Duncan KER et al. 2006. Peptide folding, metal binding mechanisms, and binding
site structure in metallothioneins. Society for experimental biology and
medicine. Pp:1488-1499
28
Frank BC. 2007. Two step real time RT-PCR protocol. http://pga.tigr.org/sop/RTPCR.pdf [3 Mei 2007]
Hall Jl. 2001. Cellular mechanisms for heavy metal detoxification and tolerance.
J Exp Bot 53 (366): 1-11
Haydon MJ, Cobbett CS. 2007. Transporters of ligands for essential metal ions in
plants. Research review. NewPhytologist 174:499 – 506
Hernandez AG, Murphy A, Taiz L. 1998. Metallothioneins 1 and 2 have distinct
but overlapping expression patterns in Arabidopsis. Plant Physiol 118:
387–397
Hunt M. 2006. Real Time PCR. The Board of Trustees of the University of South
Carolina
Jansen S, Watanabe T, Smets E. 2002. Aluminum accumulation in leaves of 127
species in Melastomataceae with comment on the order Myrtales.
Annals Bot 90: 53-64
Jansen S, Watanabe T, Dessein S, Smets E, Robbrecht E. 2003. A comparative
study of metal level in leaves of some Al-accumulating rubiaceae.
Annals Bot 91 : 657-663
Klaassen CD. 1998. Metallothionein IV. Birkhauser Verlag. Basel. Switzerland
Livak KJ, Schmittgen TD. 2001. Analysis of relative gene expression data using
real time quantitative PCR and the 2 –∆∆CT method. Methods 25 : 402408
Li J, Xie Z, Ye Z, Wong MH. 2000. Aluminum uptake and accumulation by
aluminum excluder and accumulators as influenced by pH in plants
and pH change in rhizophere soil. www.chinawater.net[29 Apr 2007]
Ma JF, Hiradate S, Matsumoto H. 1998. High aluminium resistant in buckwheat.
II. Oxalic acid detoxifies aluminium internally. Plant Physiol 117:
753-759
Mir G et al. 2004. A plant type 2 metallothionein (MT) from cork tissue responds
to oksidative stress. J Exp Bot 55 (408): 2483–2493
Moyle R et al. 2005. Developing pineapple fruit has a small transcriptome
dominated by metallothionein. J Exp Bot 55 (409): 101-112
Muhaemin. 2008. Analisis pertumbuhan melastoma (Melastoma malabathricum
auct. non L. dan M. affine D. Don) yang mendapat cekaman pH rendah
dan aluminium [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
29
Mutiasari A. 2008. Akumulasi aluminium pada Melastoma affine dan Melastoma
malabathricum [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
Murphy A, Taiz L. 1995. Comparison of metallothionein gene expression and non
protein thiol in ten arabidopsis ecotypes. Corelation with cooper
tolerance. Plant Physiol 109: 945-954
Okada K, Wisuwa M. 2004. Soil acidity and related problems in upland rice in
the tropics. Di dalam: Toriyama K, Heong KL, Hardy B, editor. Rice is
life: scientific perspectives for the 21st century. Proceeding of the
World Rice Research Conference; Tsukuba, 5-7 Nov 2004. Japan:
IRRI Publications. Pp: 454-456
Prasetyo BH, Suriadikarta DA. 2006. Karakteristik, potensi, dan teknologi
pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering
di Indonesia. J Litbang Pertanian 25 (2): 39-46
PE Biosystem. 2007. Sequence Detection System Quantitative Assay Design and
Optimizing. PE Biosystem
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah
Eksplorasi Indonesia Skala 1: 1.000.000. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor
Reid KE, Olsson N, Schlosser J, Peng F, Lund ST. 2006. An optimized grapevine
RNA isolation procedure and statistical determination of reference
genes for real time RT PCR during berry development. Methodology
article. BMC Plant Biol 6 (27): 1-11
Ruan J, Wong MH. 2004. Aluminum absorption by intact roots of the Al
accumulating plant Camellia sinensis L. Agronomie 24 : 137-142
Robbins AH et al. 1991. Refined crystal structure of Cd, Zn metallothinein at 20A
resolution. J Mol Biol 221 (4): 1269-1293
Robinson NJ, Tommey AM, Kuske C, Jackson PJ. 1993. Plant metallothioneins.
Biochem J 295: 1-10
Schultze P et al. 1988. Conformation of [Cd7]-metallothionein-2 from rat liver in
aqueous solution determined by nuclear magnetic resonance
spectroscopy. J Mol Biol 203 (1): 251-268
Shah DM, Hightower RC, Meagher RB. 1982. Complete nucleotide sequence of a
soybean actin gene. Proc Natl Acad Sci USA 79: 1022-1026
Snowden KC, Gardner RC. 1993. Five genes induced by aluminum in wheat
(Triticum aestivum L.) roots. Plant Physiol 103: 855-861
30
Snowden KC, Richard KD, Gardner RC. 1995. Aluminum induced genes
induction by toxic metal, low cadmium, wounding and pattern of
expression in root tips. Plant Physiol 107: 341-348
Subagyo H, Suharta N, Siswanto AB. 2004. Tanah-tanah pertanian Indonesia. Di
dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. 21-66
Suharsono, Trisnaningrum N, Sulistyaningsih LD, Widyastuti U. 2009. Isolation
and cloning of cDNA of gene encoding for metallothionein type 2
from Melastoma affine. Biotropia (in press).
Taylor GJ. 1991. Current views of the aluminum stress response: the
physiological basis of tolerance. Curr. Top. Plant Biochem and
Physiol. 10 : 57-93
van Hoof NALM et al. 2001. Enhanced copper tolerance in Silene vulgaris
(Moench) garcke populations from copper mines is associated with
increased transcript levels of a 2b-type metallothionein gene. Plant
Physiol 126: 1519–1526
Vitorello VA, Capaldi FR, Stefanuto VA. 2005. Recent advance in aluminum
toxicity and resistance in higher plant. Braz J Plant Physiol 17 (1):
129-143
Vogeli-Lange R, Wagner GJ. 1990. Subcellular localization of cadmium and
cadmium-binding peptides in tobacco leaves implication of a transport
fungtion for cadmium-binding peptides. Plant Physiol 92: 1086-1093
Watanabe T, Osaki M, Yoshihara T, Tadano T 1998. Distribution and chemical
speciation of aluminum in the Al accumulator plant, Melastoma
malabathricum L. Plant Soil 201: 165-173
Watanabe T, Osaki M. 2001. Influence of aluminum and phosphorus on growth
and xylem sap composition in Melastoma malabathricum L. Plant Soil
237 : 63-70
Watanabe T, Osaki M. 2002. Role of organic acid in aluminum accumulation and
plant growth in Melastoma malabathricum. Tree Physiol 22: 785-792
Watanabe T, Jansen S, Osaki M. 2003. A physiological study of Melastoma
malabathricum, an aluminum accumulating woody plant.
http:www.keele.ac.uk/depths/ch/groups/aluminium/watanabe.po.pdf [3
Mei 2007]
Zangger K et al. 2001. Oxidative dimerization in metallothionein is a result of
intermolecular disulphide bonds between cysteins in the α-domain.
J Biochem 359: 353-360
31
Zheng SJ, Ma JF, Matsumoto H. 1998. High aluminum resistance in buckwheat I.
Al-induced specific secretion of oxalic acid from root tips. Plant
Physiol 117: 745–751
Zimeri AM, Dhankher OK, McCaig B, Meagher RB. 2005. The plant MT1
metallothioneins are stabilized by binding cadmium and are required
for cadmium tolerance and accumulation. Plant Mol Biol 58: 839-855
32
Lampiran 1. Tabel ANOVA dari pengaruh pH terhadap ekspresi MaMt2 di daun
dan akar M. affine L.
ANOVA RQ pada daun
Sumber keragaman
perlakuan
ulangan
Total
Jumlah
kuadrat
0,437
0,083
0,520
Derajat
bebas
1
2
3
Kuadrat
tengah
0,437
0,042
F
10,490
Sig.
0,084
Jumlah
kuadrat
2,665
2,026
4,691
Derajat
bebas
1
2
3
Kuadrat
tengah
2,665
1,013
F
2,631
Sig.
0,246
ANOVA RQ pada akar
Sumber keragaman
perlakuan
ulangan
Total
33
Lampiran 2. Nilai ekspresi gen MaMt2 terhadap β-actin dari M. affine L. yang
mendapat cekaman pH rendah pada daun dan akar
Daun
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Standar deviasi
pH 6
1
1
1
0
Akar
pH 4
0,54
0,13
0,335
0,288
pH 6
1
1
1
0
pH 4
3,64
1,63
2,635
1,422
34
Lampiran 3. Tabel uji Tukey dari pengaruh konsentrasi aluminium terhadap
ekspresi MaMt2 pada daun dan akar M. affine L.
Variable uji: RQ Daun
(I)
perlakuan
Tukey HSD 0
0,8
3,2
Variable uji: RQ Akar
(I)
perlakuan
Tukey HSD 0
(J)
perlakuan
0,8
3,2
0
3,2
0
0,8
Beda rataan
perlakuan (I-J)
-0,064146
0,460794
0,064146
0,524940
-0,460794
-0,524940
Sig.
0,989
0,623
0,989
0,555
0,623
0,555
(J)
Beda rataan
Sig.
perlakuan perlakuan (I-J)
0,8
-0,006035
1,000
3,2
-1,079400(*) 0,039
0,8
0
0,006035
1,000
3,2
-1,073365(*) 0,040
3,2
0
1,079400(*)
0,039
0,8
1,073365(*)
0,040
Tanda * menunjukkan beda rataan perlakuan signifikan pada level 0,05
Download