PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN LAUT SELAT RUPAT PROVINSI RIAU Oleh : Ismon Zakya Telah terjadi pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (tentang Baku Mutu Air Laut), konsentrasi maksimum kandungan minyak di air laut untuk budidaya adalah 1 mg/l. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan (Bappedalda, 2006) konsentrasi rata-rata minyak di perairan Selat Rupat telah melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan. Kasus pencemaran minyak di perairan disebabkan oleh lemahnya struktur kelembagaan dalam pengelolaan dan pengawasan serta kondisi eksisting lingkungan perairan. Pada tahun 2012 Balitbang Provinsi Riau bekerjasama dengan Fakultas Perikanan– Universitas Riau mengadakan kajian tentang ‘Model Pengendalian Pencemaran Minyak Di Perairan Laut Selat Rupat Provinsi Riau’. Salah satu tujuannya adalah melakukan identifikasi karakteristik lingkungan wilayah perairan Selat Rupat dan mengidentifikasi sumber pencemaran minyak diperairan Selat Rupat. Kajian dilaksanakan di Selat Rupat yang terletak diantara pesisir Kota Dumai dan Pulau Rupat yang terdapat di Selat Malaka. Bahan dan alat yang digunakan adalah sampel air yang berasal dari industri dan rumah tangga, muara sungai dan laut, CCl 4, dan H2SO4 pekat. Kamera, water sampler kaca, water cheker Horiba, botol kaca gelap, cawan uap, oven, neraca analitik, kuesioner, GPS, peta dasar dan tematik, perangkat lunak ArcView, dan Stella versi 9.02. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menguraikan secara rinci karakteristik komponen lingkungan yang sensitif disekitarnya seperti mangrove, perairan dan biota di perairan Selat Rupat. Penyusunan peta IKL (Indeks Kepekaan Lingkungan) dilakukan dengan menggunakan teknologi Geographic Information System (GIS). IKL terdiri dari 3 komponen yaitu: 1) Tingkat Kerentanan (TK), 2) Nilai konservasi (NK), 3) Nilai Sosial (NS). Analisis sumber pencemaran minyak dari lautan terutama berasal dari transportasi kapal laut (kapal tanker, kapal ferry, kapal cargo, kapal kecil lainnya). Karakteristik lingkungan di selat Rupat dapat digambarkan sebagai berikut yaitu: 1) Hidro Oseanografi (berpotensi sebagai pelabuhan utama di pesisir timur Pulau Sumatera); 2) Tinggi gelombang diperairan Selat Rupat relatif lebih kecil dibanding dengan di Selat Malaka; 3) arus pasang surut, perairan Selat Rupat mengalami 2 kali pasang dan dua kali surut dalam waktu sehari semalam (24 jam); 4) kedalaman perairan Selat Rupat berkisar antara 3-27m; 5) kecepatan arus. Sumber polutan minyak di perairan Selat Rupat: 1) muara sungai Dumai dan muara Sungai Mesjid memberikan kontribusi yang besar input minyak dari daratan sedangkan Sungai Bulu Hala, Sungai Pelintung dan Sungai Mampu memiliki kontribusi kecil; 2)Pelabuhan: hasil analisis menyatakan konsentrasi minyak tertinggi di Dumai terdapat di Pelabuhan Migas yaitu 3,2 mg/l, sedangkan dipelabuhan umum konsentrasi minyak adalah sebesar 2,8 mg/l; 3) Tingkat konsentrasi minyak di Perairan Selat Rupat dibagi tiga lokasi yaitu: di Lubuk Gaung lebih tinggi dibandingkan dengan perairan Pulau Ketam dan perairan Pelintung. Model pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat merupakan model dinamik yang dibangun atas sub model: a) dilihat dari karakteristik lingkungan perairan yaitu sub model ekologi yang menggambarkan kondisi ekosistem wilayah Selat Rupat yang peka terhadap pencemaran minyak. b) dilihat dari tingkat pencemaran di perairan Selat Rupat yang berasal dari aktivitas industri di daratan dan aktivitas transportasi kapal laut. Beberapa skenario pengendalian pencemaran minyak: 1) pengedalian pencemaran minyak dengan menggunakan instrument gabungan teknologi (dispersant dan oilboom) dan regulasi; 2) pengedalian pencemaran minyak dengan menggunakan teknologi (dispersant dan oilboom; 3) pengedalian pencemaran minyak dengan menggunakan regulasi. Instrumen oil bom umumnya hanya efektif digunakan pada perairan yang tenang berfungsi sebagai perangkap minyak di perairan agar minyak tetap pada lokasi tertentu, dispersant lebih efektif pada perairan yang memiliki arus kuat dan bergelombang. Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan yang aktif yang dikenal dengan nama surfactant yang mampu memecah minyak menjadi butiran-butiran kecil. Instrumen regulasi meliputi peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta panas bumi, Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004, mampu menekan polutan minyak di perairan. (ismon zakya). Sumber Balitbang Riau. 2012. Model Pengendalian Pencemaran Minyak Di Perairan laut Selat Rupat Provinsi Riau. Pekanbaru: Balitbang Riau