Analisis sekresi untuk tujuan pengumpulan ikan hiu

advertisement
ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN
IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN
Oleh :
Adi Munadi
C05400008
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
ABSTRAK
ADI MUNADI. C05400008. Analisis Sekresi untuk Tujuan Pengumpulan Ikan
Hiu dalam Penangkapan Ikan. Dibimbing oleh ANWAR BEY PANE.
Belum diketahuinya penyebab ketertarikan hiu terhadap darah yaitu apakah
warna atau bau atau zat dari berbagai macam darah tersebut yang membuat
ketertarikan hiu. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kepekatan warna
darah, kadar amoniak darah dan asam amino dalam darah serta hubungan ketiga
parameter diatas yang diduga menyebabkan ketertarikan hiu. Jenis-jenis darah yang
dianalisis adalah darah sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur,
darah pari dan darah hiu.
Penelitian ini menggunakan metode Sahli untuk analisis kepekatan warna
darah, metode Phenate untuk analisis amoniak darah dan metode HPLC untuk
analisis asam amino. Hasil penelitian telah diuji secara statistik menggunakan Anova,
beda nyata terkecil (BNT) dan pengelompokkan rata-rata terbesar hingga terkecil
menggunakan kaidah Student Newman Keul.
Diperoleh hasil bahwa darah hiu memiliki kepekatan warna yang paling tinggi
yaitu 67,83 g/ml. Diduga bahwa darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat
terhadap reaksi ikan hiu bila dibandingkan dengan darah-darah lain. Darah layur
menunjukkan kadar amoniak yang paling rendah yaitu 105,23 ppm, sehingga diduga
darah layur memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi hiu karena hiu lebih
tertarik terhadap darah yang kadar amoniaknya rendah. Selanjutnya dari analisis asam
amino perangsang nafsu makan ikan, darah hiu menunjukan konsentrasi yang paling
tinggi yaitu 0,570 %. Diduga, darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat
terhadap reaksi hiu.
Kombinasi kandungan kepekatan warna darah, kadar amoniak dan asam
amino menunjukkan bahwa darah hiu dapat dikategorikan kepada penilaian “terbaik”,
sehingga diduga bahwa darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap
reaksi ikan hiu.
ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN
IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ADI MUNADI
C05400008
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
SKRIPSI
Judul
: ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN
IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN
Nama
: Adi Munadi
NRP
: C05400008
Disetujui,
Pembimbing
Dr. Ir. Anwar B. Pane, DEA.
NIP. 130 814 494
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi
NIP. 130 805 031
Tanggal Lulus : 30 Januari 2006
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN IKAN HIU
DALAM PENANGKAPAN IKAN
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar
pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2006
ADI MUNADI
C05400008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 27 April 1981
dari pasangan H. Atjep Suarta dan Hj. Yumenih. Penulis adalah
anak ke-4 dari empat bersaudara.
Pendidikan formal penulis diawali dari Sekolah Dasar
Negeri (SDN) 03 Bojonggede pada tahun 1988-1994, Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTsN) Bogor pada tahun 1994-1997 dan
Sekolah Menengah Umum (SMU) Plus dibawah naungan Yayasan Persaudaraan Haji
Bogor (YPHB) pada tahun 1997-2000. Pada tahun 2000 penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), pada Program
Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan (FPIK).
Penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Bioteknologi Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan (BIOTEK PSDI) di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan pada semester genap tahun akademik 2003-2004 dan 2004-2005.
Untuk menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun
skripsi dengan judul “ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN
IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN”.
KATA PENGANTAR
Skripsi yang berjudul “Analisis Sekresi untuk Tujuan Pengumpulan Ikan Hiu
dalam Penangkapan Ikan”, disusun berdasarkan penelitian yang tela h dilakukan
selama bulan Nopember 2004 hingga Oktober 2005. Penelitian lapang dilakukan di
Palabuha nratu, sedangkan penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium
Terpadu Analisis Kimia dan Laboratorium Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Anwar B. Pane, DEA. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan
arahan dan bimbingannya.
2. Bapak Kosasih dan Bapak Jajang yang telah membantu penulis dalam
menganalisis sampel di Laboratorium Terpadu Analisis Kimia dan Laboratorium
Lingkungan.
3. Kedua orang tua, H. Atjep Suarta dan Hj. Yumenih serta seluruh keluarga yang
selalu memberikan dukungan dan doanya.
4. Sdr. Arik, Sdr. Syarif dan Sdr. Agus yang telah membantu penulis dalam
penelitian lapang di Palabuhanratu.
5. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi dari awal hingga
akhir penelitian, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan guna memberikan referensireferensi pemahaman baru yang saat ini masih menjadi keterbatasan penulis. Mudahmudahan skripsi ini dapat bermanfaat bukan hanya bagi penulis tapi juga bagi semua
pihak yang me mbutuhkan dan bagi ilmu pengetahuan Indonesia.
Bogor, Februari 2006
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
vi
1.
2.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1.2 Tujuan Penelitian ..................................................................................
1.3 Permasalahan Penelitian .......................................................................
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................
1
3
4
5
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
6
2.1 Deskripsi Hiu ........................................................................................
6
2.1.1 Klasifikasi Hiu ..........................................................................
2.1.2 Morfologi Hiu ..........................................................................
2.1.3 Fisiologi Hiu .............................................................................
2.1.4 Habitat Hiu ...............................................................................
2.1.5 Penyebaran Hiu ........................................................................
2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makanan ...........................................
6
7
11
12
13
14
2.2 Unit Penangkapan .................................................................................
15
2.2.1 Unit Penangkapan Jaring Liong Bun (Gillnet Cucut) ...............
2.2.2 Unit Penangkapan Rawai Cucut ...............................................
15
16
2.3 Penelitian Tentang Hiu .........................................................................
2.4 Definisi Sekresi .....................................................................................
17
20
2.4.1 Sekresi sebagai Pesan ...............................................................
2.4.2 Telemediator Kimiawi ..............................................................
2.4.3 Semiokemikal ...........................................................................
20
20
22
2.5 Darah .....................................................................................................
25
2.5.1 Darah Ikan ................................................................................
2.5.2 Darah Mamalia .........................................................................
25
26
2.6 Parameter yang Diidentifikasi ..............................................................
28
2.6.1 Warna Darah ............................................................................
2.6.2 Amoniak ...................................................................................
29
30
i
halaman
2.6.3 Asam Amino ............................................................................
31
METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................
33
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................
3.2 Bahan dan Alat .....................................................................................
3.3 Metode Penelitian .................................................................................
33
33
34
3.3.1 Tahapan-tahapan Penelitian ...................................................
3.3.2 Data dan Informasi yang Dikumpulkan .................................
35
38
3.4 Analisis Data .........................................................................................
38
KEADAAN UMUM PALABUHANRATU ............................................
40
4.1 Kondisi Geografis dan Prasarana Umum .............................................
4.2 Kondisi Perikanan Tangkap ..................................................................
40
41
4.2.1 Prasarana Perikanan ................................................................
4.2.2 Penangkapan Ikan di Palabuhanratu .......................................
4.2.3 Penangkapan Ikan Hiu di Palabuhanratu ................................
41
42
46
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
53
5.1 Analisis Kepekatan Warna Darah .........................................................
5.2 Analisis Total Amoniak Nitrogen (TAN) .............................................
5.3 Analisis Asam Amino ...........................................................................
5.4 Hubungan Kadar Hemoglobin (Hb), Kadar Total Amoniak Nitrogen
(TAN) dan Jenis-jenis Asam Amino dalam darah ...............................
53
58
62
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
72
6.1 Kesimpulan ...........................................................................................
6.2 Saran .....................................................................................................
72
73
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
74
LAMPIRAN ........................................................................................................
77
3.
4.
5.
6.
69
ii
DAFTAR TABEL
halaman
1. Analisis kimiawi daging ikan hiu ..................................................................
11
2. Penggunaan darah untuk pengumpulan hiu dalam penelitian dan praktek
penangkapan hiu ............................................................................................
19
3. Jenis substansi kimiawi yang diperoleh dari air laut .....................................
21
4. Perkembangan jumlah kapal/perahu perikanan yang menggunakan PPN
Palabuhanratu sebagai fishing base tahun 1994-2004 ..................................
42
5. Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi di PPN Palabuhanratu
tahun 1994-2004 ...........................................................................................
43
6. Perkembangan jumlah nelayan yang beraktifitas di PPN Palabuhanratu
tahun 1994-2004
7. Jenis-jenis alat tangkap yang dapat menangkap hiu .....................................
44
47
8. Frekuensi masuk dan keluar kapal perikanan jenis kapal motor yang dapat
mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ......................
48
9. Jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 ......
50
10. Volume jual dan harga jual hiu segar/basah di PPN Palabuhantratu tahun
2004 ...............................................................................................................
49
11. Hasil pengukuran kadar he moglobin (Hb) dalam darah ...............................
54
12. Analisis sidik ragam kadar hemoglobin (Hb) pada jenis sampel darah yang
berbeda ...........................................................................................................
55
13. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda
terhadap rata-rata kadar Hemoglobin ............................................................
56
14. Hasil pengukuran kadar TAN dalam darah ....................................................
58
15. Analisis sidik ragam kadar TAN pada jenis darah yang berbeda .................
60
16. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda
terhadap rata-rata kadar TAN ........................................................................
60
iii
halaman
17. Hasil pengukuran jenis-jenis asam amino dalam darah..................................
62
18. Jenis asam amino yang memiliki konsentrasi tertinggi pada setiap sampel
darah................................................................................................................
63
19. Konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan
(alanina dan glisina) pada sampel darah
65
20. Analisis sidik ragam konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang
nafsu makan pada ikan (alanina dan glisina) pada sampel darah ...................
67
21. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda
terhadap kadar asam amino jenis utama perangsang nafsu makan ikan
(alanina dan glisina ) .......................................................................................
67
22. Pengelompokan jenis darah menurut dugaan kategori reaksi hiu ..................
70
iv
DAFTAR GAMBAR
halaman
1.
Posisi penelitian Munadi (2006) dari rangkaian penelitian sekresi hiu .......
4
2.
Anatomi tubuh bagian luar dari ikan hiu ....................................................
7
3.
Anatomi tubuh bagian dalam dari ikan hiu .................................................
7
4.
Beberapa tipe sistem penerimaan sensor ya ng ditemukan pada ikan hiu ...
9
5.
Sketsa molekul asam amino ........................................................................
31
6.
Perkembangan produksi ikan yang di PPN Palabuhanratu tahun 19942004 .............................................................................................................
7.
Produksi ikan segar, ikan pindang dan ikan asin yang didistribusikan dari
PPN Pelabuhanratu tahun 1994-2004 ..........................................................
8.
46
Frekuensi masuk kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di PPN
Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ............................................................
9.
45
49
Frekuensi keluar kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di PPN
Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ............................................................
49
10.
Rata-rata kadar hemaglobin (Hb) yang diukur dari beberapa jenis darah ..
54
11.
Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap kepekatan warna darah
sampel menggunakan analisis pengelompokan ..........................................
57
12.
Rata-rata kadar TAN yang diukur dari beberapa jenis sampel darah..........
59
13.
Tingkatan
dugaan
ketertarikan
hiu
terhadap
kadar
bau
darah
menggunakan analisis pengelompokan .......................................................
14.
Konsentrasi jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan
(alanina dan glisina) dalam darah ...............................................................
15.
61
65
Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap konsentrasi jenis asam amino
utama (alanina dan glisina) perangsang nafsu makan pada ikan
menggunakan analisis pengelompokan .......................................................
68
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Beberapa jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu................
77
2.
Jenis-jenis ikan yang dijadikan sampel untuk diambil darahnya ................
79
3.
Alat-alat untuk analisis laboratorium ..........................................................
80
4.
Diagram alat HPLC .....................................................................................
81
5.
Contoh kromatogram dari analisis asam amino dalam darah menggunakan
HPLC ..........................................................................................................
82
vi
1.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan hiu dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia, baik di
perairan territorial, perairan samudera maupun Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEE), dari Sabang sampai Marauke, dari Talaud sampai Cilacap. Jenis hiu yang
ditemukan pun beraneka ragam. Diperkirakan lebih dari 75 jenis hiu ditemukan di
perairan Indonesia dan sebagian besar dari jenis tersebut potensial untuk
dimanfaatkan (Wibowo dan Susanto, 1995).
Selanjutnya Wibowo dan Susanto menyatakan bahwa pada tahun 1988 hasil
tangkapan ikan hiu di Indonesia mencapai 39.055 ton, sedangkan menurut Statistik
Perikanan Indonesia tahun 2000 (Anonymous, 2002), tidak kurang dari 68.366 ton
hiu ditangkap dan didaratkan di berbagai tempat pendaratan ikan di Indonesia. Hal ini
berarti terjadi peningkatan sebesar 62,2 % dalam kurun waktu 12 tahun atau rata-rata
naik sebesar 5,2 % per tahun.
Diantara daerah yang paling banyak didaratkan hasil tangkapan ikan hiu pada
tahun 2000 adalah perairan utara Sulawesi sebesar 10.152 ton (14,8 %), perairan
timur Sumatera sebesar 9.815 ton (14,4 %), perairan utara Jawa sebesar 9.044 ton
(13,2 %) dan perairan barat Sumatera sebesar 8.062 ton (11,8 %) (Anonymous,
2002). Selanjutnya, di perairan pantai selatan Palabuhanratu, hiu juga tertangkap oleh
nelayan-nelayan setempat, pada tahun 2004 produksinya mencapai 87,3 ton
(Anonymous, 2004).
Hiu dapat ditangkap menggunakan alat tangkap seperti pukat cincin, pancing,
jaring insang dan rawai mini (Sala, 1996 vide Susanti, 1997). Alat tangkap yang
digunakan cenderung berbeda-beda berdasarkan karakteristik perairan dimana hiu
tertangkap. Nelayan Cirebon menggunakan jaring liong bun (gillnet cucut) untuk
menangkap hiu yang pengoperasiannya berada di dekat dasar perairan, sedangkan di
daerah Cilacap para nelayannya menggunakan rawai cucut. Alat tangkap lain seperti
tuna longline bisa juga menangkap hiu, namun hanya sebatas sebagai hasil tangkapan
sampingan (Narsongko, 1993).
1
Hampir semua bagian tubuh hiu dapat dimanfaatkan, mulai dari sirip, kulit,
daging, hati, isi perut dan tulang. Tidak salah jika hiu disebut sebagai ikan serba
guna, berkhasiat pangan dan obat, serta bermanfaat industri. Oleh karenanya memiliki
nilai ekonomis tinggi.
Bagian yang paling khas dan menarik dari tubuh hiu adalah siripnya. Sirip hiu
harganya sangat mahal. Pada tahun 1995, sirip hiu yang setengah kering saja
harganya mencapai Rp. 50.000,00 per kg dan yang kering mencapai Rp. 100.000,00.
kalau sudah diolah menjadi serat-serat sirip yang disebut hisit bisa mencapai Rp.
750.000,00 per kg (Wibowo dan Susanto, 1995).
Kulit hiu dapat disamak dan dijadikan barang-barang kerajinan tangan atau
industri kecil yang dapat dijual seperti tas, dompet, sepatu, ikat pinggang bahkan
jaket. Daging ikan hiu tidak kalah enaknya dengan daging ikan lain jika bau amoniak
yang tidak sedap pada hiu dihilangkan terlebih dahulu atau dikurangi dengan cara
pengasapan, pemanggangan, perebusan atau perendaman dalam larutan asam. Daging
hiu bisa dijadikan abon, bakso, sosis, atau produk pangan lainnya (Wibowo dan
Susanto, 1995).
Selanjutnya Wibowo dan Susanto menyatakan bahwa minyak hati ikan hiu
sangat dicari oleh pihak industri kosmetika dan farmasi. Hati hiu mengandung
minyak yang kaya vitamin A dan D, bahkan banyak mengandung senyawa biokos
(biokosmetika) skualen. Tulang hiu mengandung kolagen yang cukup tinggi dan
dapat diolah menjadi lem atau dibuat tepung. Jika diekstrak, tulang hiu dapat
menghasilkan senyawa kondroiton untuk digunakan sebagai obat tetes mata dan dapat
mencegah proses penuaan sel.
Salah satu keunikan ikan hiu di laut adalah ketertarikannya terhadap darah.
Hasil berbagai penelitian atau praktek penangkapan hiu yang telah dilakukan
mengenai penggunaan darah untuk pengumpulan ikan hiu, diperoleh informasiinformasi yang beragam. Darah-darah yang pernah digunakan untuk pengumpulan
hiu tersebut diantaranya yaitu darah hewan ternak seperti sapi (Narsongko,1993),
darah ikan seperti cakalang, lemadang, lumba- lumba (Hendrotomo, 1989), layur,
cucut, remang, sidat, belut laut (Wirianata, 1982), pari, tuna dan tongkol. Namun dari
2
berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut, sejauh ini belum pernah dilakukan
analisis lebih lanjut mengenai apa penyebab yang membuat ikan hiu tertarik terhadap
darah yang terdapat dalam sampel yang telah dicobakan tersebut.
Diduga, darah (hewan) mengandung zat/senyawa/bau dan mungkin warna
tertentu yang membuat hiu tertarik. Setiap darah hewan dari jenis yang berbeda
memiliki zat/senyawa/bau/warna darah yang berbeda-beda, sehingga diduga akan
memberikan reaksi
hiu yang berbeda pula terhadap darah-darah tersebut.
Zat/senyawa/bau/warna darah tersebut dapat diduga berfungsi sebagai “feromon”
dalam hal tertariknya ikan hiu terhadap darah hewan lain. Pada hewan atau organisme
laut, “feromon” pada umumnya berupa sekresi yang dipancarkan ke dalam air laut
dan memberikan pengaruh terhadap hewan atau organisme laut lainnya dalam suatu
jarak yang cukup jauh baik dalam spesies yang sama (intraspesies) atau spesies yang
berbeda (interspesies).
Sekresi
merupakan
suatu
senyawa
kimiawi
yang
dikeluarkan
suatu
individu/organisme atau kelompok kepada individu/organisme atau kelompok lain
baik itu secara sengaja maupun tidak disengaja dengan fungsi- fungsi tertentu. Untuk
merespon suatu sekresi atau suatu darah di perairan, diduga selain menggunakan
indera penciumannya, hiu juga mengeluarkan senyawa bioaktif tertentu yang disebut
sebagai sekresi. Begitu juga organisme lain yang menjadi mangsa hiu diduga dapat
mengeluarkan senyawa bioaktif dalam darah yang tersebar ke perairan, misalnya
melalui luka tubuh yang dialaminya.
Untuk itu sehubungan dengan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, perlu
dilakukan penelitian tentang apa yang menyebabkan ketertarikan ikan hiu terhadap
darah hewan lainnya. Apakah itu berupa zat atau senyawa atau bau atau warna
tertentu dari darah yang dicobakan.
1.2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
(1)
Mendapatkan konsentrasi kepekatan warna darah, kadar Total Amoniak
Nitrogen (TAN) dan jenis-jenis asam amino dalam darah pada berbagai macam
3
darah hewan yang dapat membuat ketertarikan ikan hiu untuk berkumpul; yaitu
darah sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur, darah pari
dan darah hiu itu sendiri.
(2)
Mendapatkan hubungan antara warna darah, kadar TAN dan jenis-jenis asam
amino dalam darah dari berbagai macam darah tersebut diatas yang dapat
membuat ketertarikan hiu untuk berkumpul.
1.3
Permasalahan Penelitian
Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya
penyebab ketertarikan hiu terhadap darah yaitu apakah zat atau senyawa atau bau atau
warna dari berbagai macam darah yang membuat ketertarikan hiu tersebut yaitu darah
sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur dan darah pari serta darah
hiu itu sendiri.
Penelitian ini merupakan penelitian awal dari rangkaian penelitian-penelitian
yang tujuan akhirnya untuk mendapatkan produk tiruan (rekayasa) darah yang berisi
kandungan-kandungan atau substansi aktif yang mempunyai daya tarik terhadap
pengumpulan hiu; untuk tujuan penangkapannya.
Hasil-hasil penelitian dan
praktek penangkapan hiu
dengan darah
Penelitian tentang
kandungan darah yang
membuat hiu tertarik
Hasil : jenis-jenis darah
Hasil : kandungan darah
Uji coba darah di perairan
dalam skala laboratorium
atau lapangan
Hasil : presisi hasil penelitian
Uji coba di laut, penebaran
produk tiruan untuk
mengumpulkan hiu
Hasil : produk akhir akurat
Penelitian rekayasa produk
tiruan darah untuk
mengumpulkan hiu
Hasil : produk rekayasa awal
Gambar 1. Posisi penelitian Munadi (2006) dari rangkaian penelitian sekresi hiu
4
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
(1)
Sebagai bahan pedoman bagi nelayan atau pihak-pihak terkait tertentu yang
ingin melakukan praktek penangkapan ikan hiu menggunakan darah sebagai
cara pengumpulannya.
(2)
Memberikan informasi tentang data jenis darah kepada pihak yang ingin
melakukan pene litian lanjutan mengenai perilaku ikan khususnya reaksi hiu
terhadap darah.
5
2.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Hiu
2.1.1 Klasifikasi Hiu
Seekor ikan pada dasarnya dapat diklasifikasikan sebagai ikan hiu jika memiliki
insang seperti kisi-kisi yang terpasang di kedua sisi kepalanya (Wibowo dan Susanto,
1995). Seperti ikan lain, hiu termasuk kelas pisces dengan subkelas elasmobranchii
atau chondricthyes dalam filum chordata. Menurut katalog yang disusun FAO tahun
1984 (Campagno, 1984a), di dunia ditemukan sekitar 350 spesies ikan hiu yang
dikelompokkan
dalam
8
ordo
yaitu
hexanchiformes,
squaliformes,
pristiophoriformes, squantiformes, heterodontiformes, orectolobiformes, la mniformes
dan carcharhiniformes.
Ordo hexanchiformes terdiri dari dua famili yaitu chilamydoselachidae dan
hexanchidae. Squaliformes memiliki tiga famili yaitu Echinorhinidae, squalidae dan
oxinotidae. Squalus acanthias adalah salah satu spesies yang paling sering ditemukan
berasal
dari
famili
squalidae.
Pristiophoriformes,
squantiformes
dan
heterodontiformes hanya memiliki masing- masing satu famili yaitu pristiophoridae,
squantinidae dan heterodontidae.
Selanjutnya, ordo orectolobiformes terdiri dari tujuh famili yaitu parascyllidae,
branchaeluridae, orectolobidae, hemiscyllidae, stegostomatidae, gynglymostomatidae
dan rhiniodontidae. Ordo lamniformes memiliki jumlah famili yang sama dengan
ordo
orectolobiformes
yaitu
tujuah
famili
diantaranya
odontaspididae,
mitsukurinidae, pseudocarchariidae, megachasmidae, alopiidae, cetorhinidae dan
lamnidae. Ordo yang memiliki jumlah famili paling banyak adalah ordo
carcharhiniformes dengan delapan famili yaitu scyliorhinidae, proscylliidae
pseudotriahidae,
leptochariidae,
triakidae,
hemigaleidae,
carcharhinidae
dan
sphyrnidae. Spesies Carcharhinus melanopterus yang lebih dikenal dengan hiu
lanjam (blacktip-reef shark) berasal dari famili carcharhinidae.
6
2.1.2 Morfologi Hiu
Gambar 1 dan 2 menampilkan bagian-bagian tubuh hiu. Ikan hiu memiliki
tubuh memanjang dengan bentuk seperti cerutu dan ekornya berujung runcing. Nontji
(1989) menyatakan bahwa pada umumnya hiu memiliki tubuh berbentuk atau
menyerupai torpedo disertai ekor yang kuat.
Gambar 2. Anatomi tubuh bagian luar dari ikan hiu (Anonymous, 2004)
Gambar 3. Anatomi bagian dalam dari ikan hiu (Anonymous, 2004)
7
(1)
Organ tubuh
Alat pernapasan hiu sangat unik dan tidak dimiliki oleh ikan- ikan lain. Alat ini
dinamakan insang jendela karena rongga insangnya mempunyai tutup yang
berlubang- lubang seperti jeruji jendela. Keunikan pernapasan hiu terletak pada
tubuhnya yang harus terus bergerak. Bila hiu berhenti bergerak maka aliran air ke
dalam rongga insang akan terhenti (Wibowo dan Susanto, 1995).
Struktur kulit hiu berupa serat-serat yang tersusun malang- melintang
membentuk susunan seperti anyaman. Kulit hiu dilapisi oleh sisik-sisik halus yang
disebut dermal denticle.. Hal ini didukung oleh Nontji (2005), bahwa hiu memiliki
kulit yang tertutup oleh sisik plakoid berupa duri-duri halus yang posisinya condong
ke belakang. Menurut Susanti (1997), warna kulit hiu adalah lebih gelap di bagian
punggung dan lebih terang di bagian perutnya, meskip un ada pula yang berwarna
lain.
Jaringan daging hiu menempel langsung ke kulit tanpa ada lapisan lemak
sebagai lapisan perantara seperti yang terdapat pada ikan- ikan lain. Dengan daging
menempel langsung pada kulit saling-silang ini maka ikatan daging dengan kulit
sangat kuat. Kondisi ini menyulitkan proses penanganan hiu ketika harus
memisahkan kulit dari dagingnya (Wibowo dan Susanto, 1995).
Hiu memiliki mulut yang letaknya di bagian bawah dan agak ke belakang dari
bagian moncongnya (Nontji, 2005). Ungkapan Nontji tersebut diperjelas oleh Baker
(1975) vide Susanti (1997) bahwa bagian mulut hiu seperti tersebut diatas berfungsi
mengarahkan arus air ke arah pharinx untuk menyaring makanan.
Pada umumnya, gigi hewan darat atau manusia tertanam dengan kuat pada
rahangnya. Berbeda halnya dengan hiu, gigi hiu tidak tertanam pada rahang
melainkan pada kulitnya (Wibowo dan Susanto,1995). Akibatnya, gigi hiu dapat
mudah lepas. Johnson (1990) vide Susanti (1997) menyatakan bahwa penyebab gigi
hiu mudah lepas adalah karena gigi tersebut tumbuh pada bagian rahang yang lunak
seperti kulit.
8
Menurut Baker (1975) vide Susanti (1997), Sirip-sirip hiu terdiri atas bagian
pectoral, pelvic, anal, caudal, dorsal dan second dorsal (gambar 1). Sirip pectoral
digunakan sebagai alat keseimbangan, sedangkan sirip dorsal sebagai alat stabilisator.
(2)
Alat indera
Ikan hiu memiliki tiga macam alat indera yaitu indera penciuman, indera
penglihatan dan indera perasa (Narsongko, 1993). Indera yang paling berperan adalah
indera penciuman. Sebagian besar otak hiu digunakan untuk melayani indera
penciuman, tidak heran jika hiu memiliki indera penciuman yang sangat tajam.
Nomura (1981) vide Narsongko (1993) menyatakan bahwa rongga di dalam kantung
organ penciuman yang berbentuk kapsul adalah tersusun rapat dan tampak
mengandung sel-sel pendeteksi zat kimia pada lubang kapsul tersebut. Nomura
menyimpulkan bahwa alat penciuman hiu sangat peka.
Sebagaimana vertebrata yang lain, ikan memiliki dua sistem sensori/reseptor
kimia yaitu pembau (olfaktori) dan pengecap (gustatori) yang beradaptasi terhadap
substansi spesifik lingkungan. Secara umum olfaktori serupa dengan organ nasal
untuk penciuman (hidung) manusia. Reseptor olfaktori mendeteksi rangsangan kimia
dalam bentuk sinyal elektrik (Fujaya, 2002).
Sinyal kimia (alamon dan feromon) digunakan sebagai alat komunikasi yang
selanjutnya mempengaruhi pola perilaku dan reproduksi ikan. Asam amino, steroid,
prostaglandin dan garam empedu merupakan substansi kimia yang sangat sensitif
terhadap sistem pengecapan pada ikan. Meskipun pada konsentrasi yang rendah,
asam amino tetap mampu dideteksi oleh lebih dari 20 spesies ikan air tawar dan laut
(Fujaya, 2002).
Poznanin (1970) vide Narsongko (1993) menyatakan bahwa ikan hiu (Mustalus
canis) mempunyai kemampuan mendeteksi makanan dengan bantuan indera pencium
yang ditunjukkan oleh kegiatan sensorik yang digantikan fungsinya oleh organ
olfaktori. Bisa dikatakan bahwa indera penciuman hiu lebih berperan daripada indera
penglihatannya. Menurut Bonaventura dan Bonaventura (1983) dalam Zahuranec
(1983), organ olfaktori hiu dapat mendeteksi zat kimia sampai jarak ratusan meter
9
sedangkan organ penglihatan hiu hanya dapat melihat maksimal sampai jarak 20
meter. Selanjutnya Engel (1979) vide Hendrotomo (1989) menambahkan bahwa hiu
dilengkapi organ pencium paling tajam yang dapat menemukan tetesan darah dari
jarak 400 m atau lebih.
Sistem sensor pada suatu organisme dibutuhkan untuk merasakan dan mengenal
lingkungan yang ada disekitarnya. Sistem sensor ini sangat penting bagi kehidupan
organisme khususnya hiu sebagai alat mendeteksi makanan dan keberadaan
mangsanya. Hubungan yang ditimbulkan dan diterima pada sistem sensor dapat
berupa pesan atau rangsangan (stimulant) (Bonaventura dan Bonaventura, 1983
dalam Zahuranec, 1983). Gambar 3 berikut ini menyajikan tipe sistem penerimaan
sensor pada ikan hiu.
Gambar 4. Beberapa tipe sistem penerimaan sensor yang ditemukan pada ikan
hiu (Bonaventura dan Bonaventura, 1983 dalam Zahuranec, 1983)
(3)
Kandungan urea
Kandungan urea yang terdapat pada daging hiu sangat tinggi. Urea ini
merupakan sumber amoniak yang menyebabkan daging hiu sangat khas akan bau
“pesing”nya (Wibowo dan Susanto, 1995). Saleh et. al. (1995) menyatakan bahwa
urea merupakan sumber potensial amoniak, hampir semua penelitian tentang
pengolahan ikan hiu diarahkan untuk menekan kadar urea serendah mungkin dengan
cara menguraikannya menjadi amoniak yang selanjutnya akan menguap sehingga
mengurangi bau seperti “pesing”.
10
Urea dibentuk di dalam darah dan cairan tubuh semua ikan laut yang bertulang
keras maupun ikan laut yang bertulang rawan. Bedanya, kedua kelompok ikan ini
dengan cepat akan mengeluarkan urea tersebut, sedangkan hiu tidak. Urea tersebut
akan ditimbun di dalam darah. Akibatnya, kandungan urea di dalam darah hiu
menjadi lebih tinggi, tekanan osmotisnya pun menjadi lebih tinggi daripada ikan
bertulang keras. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap cara minumnya, dengan
tekanan osmotis darah ya ng biasa-biasa saja maka kebanyakan ikan harus minum
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak demikian halnya dengan ikan ini, hiu
tidak harus minum untuk mendapatkan air, melainkan dengan cara menyerapnya
melalui membran secara osmosis. Sejumlah besar urea yang terdapat dalam darah,
cairan tubuh dan jaringan-jaringan daging hiu, dalam kadar lebih dari 1,5 % berat,
dipercaya merupakan bagian dari mekanisme osmoregulasi yang mengatur daya
selam dan daya apung dari ikan jenis Elasmobranchii ini (Wibowo dan Susanto,
1995).
Hasil analisis kadar urea pada daging hiu dengan bobot basah dan bobot kering
yang berasal dari bagian ekor, perut dan punggung menunjukkan bahwa kadarnya
tidak berbeda yaitu 1,81 % (bobot basah) atau 7, 64 % (bobot kering) (Saleh et. al.,
1995). Tabel 1 berikut mengemukakan hasil analisis kimiawi daging ikan hiu :
Tabel 1. Analisis kimiawi daging ikan hiu
No
Parameter
1 Kadar Air (%)
2 Kadar Abu (%)
3 Protein kasar (%)
4 Lemak (%)
5 Urea (%)
6 Amoniak (mg.N %)
7 pH
Sumber : Saleh et. al. (1995)
Bobot Basah
76,33
1,22
21,34
0,37
1,81
15,43
5,96
Bobot Kering
5,14
90,23
1,55
7,64
-
2.1.3 Fisiologi Hiu
Banyak hal- hal yang menarik dan unik yang dimiliki ikan hiu bila dibandingkan
dengan ikan lain, seperti kemampuan menga mbang dimana hiu tidak memiliki
11
kantung udara, karena ikan- ikan pada umumnya memiliki kantong udara yang
berfungsi sebagai alat untuk mengambang atau tenggelam. Bentuk tubuh yang khas
dan ditunjang posisi sirip-siripnya, hiu secara alami dapat membentuk gerakan
hidrodinamik sehingga tubuhnya dapat terangkat. Selain itu cara berenang hiu juga
menjadi salah satu keunikan tersendiri yaitu dengan cara menggeleng ke kiri dan ke
kanan. Cara berenang hiu seperti tersebut diatas digunakan pada saat hiu mencari dan
melacak mangsanya (Wibowo dan Susanto, 1995).
Selanjutnya Wibowo dan Susanto mengatakan bahwa hiu memiliki hati yang
cukup besar. Rata-rata hiu memiliki hati dengan berat hingga 25-30 % dari berat total
tubuhnya. Berdasarkan volumenya, hati hiu bisa mencapai 30 % dari total volume
tubuhnya. Hati hiu menyimpan hampir 80 % lemak berupa minyak dari total berat
hati. Berat jenis lemak tersebut lebih ringan dari air laut yaitu 0,82 – 0,92 g/ml.
Secara keseluruhan berat jenis hiu pun menjadi lebih ringan dari berat jenis air laut.
Ternyata, kondisi inilah sebagai pengganti kantung udara untuk memberikan daya
mengambang pada hiu. Jadi, mengambangnya hiu ditentukan oleh minyak di dalam
hatinya, sedangkan gerakannya di dalam air ditentukan oleh sistem hidrodinamik
yang terbentuk pada sirip dan bentuk tubuhnya.
2.1.4 Habitat Hiu
Ikan hiu terdapat di seluruh perairan Indonesia, mereka umumnya ditemukan di
perairan berkarang atau perairan yang dasarnya berpasir dengan kedalaman bervariasi
tergantung jenisnya (Wibowo dan Susanto, 1995). Selain dilaut, beberapa jenis hiu
ada yang hidup atau berenang ke daerah air tawar (Collins, 1992 vide Susanti, 1997),
seperti hiu sentani yang dijumpai di danau Sentani, Papua.
Pada siang hari, hiu sering dijumpai di perairan karang yang lebih
dangkal, sedangkan di perairan yang lebih dalam hiu lebih sering ditemukan. Meski
demikian, banyak juga jenis hiu yang menyukai tempat-tempat seperti perairan
dangkal, dasar perairan berpasir atau berlumpur, air payau bahkan air tawar. Hal ini
seperti dikatakan Stead (1963) vide Narsongko (1993) bahwa ikan hiu terdapat di
12
perairan dengan kedalaman yang paling dangkal sampai beberapa ribu meter di lautan
lepas.
Wibowo dan Susanto (1995), membedakan jenis-jenis hiu menjadi dua populasi
besar yaitu hiu permukaan atau hiu-atas yang hidup di perairan dangkal dan hiu
perairan dalam atau hiu-dasar. Perbedaan habitat ini sangat mempengaruhi sifat dan
ciri-ciri hiu. Hiu-dasar akan mengalami tekanan air yang lebih kuat, suhu yang lebih
rendah dan keterbatasan caha ya, sedangkan di peraiaran yang lebih dangkal
tekanannya lebih kecil, suhu makin mendekati permukaan dan cahaya melimpah.
Faktor-faktor ini yang menentukkan sifat biologis hiu di setiap kedalaman perairan.
Umumnya hiu yang hidup di perairan dalam memiliki tubuh yang lebih ramping
daripada hiu yang hidup di perairan yang lebih dangkal.
Selanjutnya Wibowo dan Susanto mengemukakan bahwa perbedaan tekanan air
juga berpengaruh pada sifat dan ketahanan kulit hiu. Biasanya kulit hiu-dasar lebih
mudah rusak dibandingkan hiu-atas. Kekuatan dan kelenturannya juga berbeda serta
warna daging hiu-dasar lebih putih daripada hiu-atas.
2.1.5 Penyebaran Hiu
Menurut Stevens (1989) vide Susanti (1997), faktor yang sangat berpengaruh
terhadap penyebaran hiu adalah kedalaman perairan dan suhu, karena kedua faktor ini
relatif tidak berubah. Kedalaman rata-rata dimana hiu berada, berkisar antara 70 –
1.000 meter (Taylor and Taylor, 1995 vide Susanti, 1997). Johnson (1990) vide
Susanti (1997) menambahkan bahwa walaupun demikian, ada beberapa hiu yang
hidup pada kedalaman lebih dari 1000 meter. Berikut ini jenis-jenis hiu berdasarkan
perubahan suhu air menurut Stevens (1989) vide Susanti (1997) :
(1)
Jenis hiu tropis aktif (active tropical sharks)
Jenis hiu ini hidup pada perairan yang lebih hangat dengan suhu diatas 21º C.
Biasanya hiu ini sangat aktif dan ruaya musimannya mengikuti perubahan suhu air.
(2)
Jenis hiu tropis penghuni dasar (bottom dwelling sharks)
Hiu jenis ini bukan merupakan pemangsa aktif. Mereka hidup bergerombol dan
menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan dalam.
13
(3)
Jenis hiu perairan sub tropis (temperate water sharks)
Hidup di perairan dengan suhu antara 10 - 21º C. Biasanya merupakan
perenang aktif dan ruayanya mengikuti arus air yang disebabkan oleh perubahan
suhu.
Menurut Stead (1963) vide Narsongko (1993) disebutkan bahwa ikan hiu lebih
aktif
pada sore hingga malam hari dan ikan ini akan menurun atau berhenti
aktifitasnya apabila suhu air menurun sampai 18 º C. Stead juga menyatakan bahwa
meskipun ikan hiu terdapat di semua laut, serangannya terbatas di perairan yang
bersuhu lebih dari 21 º C hingga daerah antara 21º LS - 21º LU merupakan daerah
yang mengalami serangan sepanjang tahun.
Pada umumnya hiu tersebar di berbagai jenis perairan dalam kondisi
berkelompok maupun individual. Hal ini didukung oleh Stevens (1989) vide Susanti
(1997), bahwa hiu merupakan jenis ikan soliter, namun ada juga spesies hiu yang
ditemukan berkelompok. Kreuzer dan Ahmed (1978) vide Susanti (1997)
memperjelas bahwa beberapa spesies hiu bergerak pada perairan dalam area yang
cukup luas, sementara spesies yang lain bergerak dalam area yang lebih kecil atau
area yang sama dari permukaan hingga perairan yang lebih dalam dan sebaliknya. Hal
ini berarti bahwa setiap individu hiu memiliki karakteristik yang berbeda satu sama
lain berdasarkan habitatnya.
2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makan
Ikan hiu termasuk omnivora yang sangat rakus (Rahayuningsih, 1993).
Makanan pokoknya adalah ikan, tetapi ada juga yang memakan hewan laut lain
seperti penyu, anjing laut dan bahkan ada yang bersifat kanibal dengan memakan
jenisnya sendiri. Ommaney (1979) menjelaskan bahwa ikan hiu caring penghuni
perairan beriklim sedang dan ikan hiu geger lintang penghuni perairan tropis hanya
memakan plankton, ikan- ikan kecil, cumi-cumi dan udang.
Indera penciuman sangat mendukung hiu dalam menentukan jenis makanan
apa yang akan dimakan. Melalui indera penciuman juga, hiu mempunyai kemampuan
untuk menentukan lokasi makanan pada jarak tertentu. Poznanin (1970) vide
14
Narsongko (1993) menyatakan bahwa ikan hiu (Mustalus canis) mempunyai
kemampuan mendeteksi makanan dengan bantuan indera pencium yang ditunjukkan
oleh kegiatan sensorik yang digantikan fungsinya oleh organ olfaktori. Bisa dikatakan
bahwa indera penciuman hiu lebih berperan daripada indera penglihatannya.
Biasanya hiu mendeteksi bau makanan dengan berenang melawan arus,
kemudian bergerak ke kiri dan ke kanan artinya bila bau menjadi kurang tajam di
sebelah kiri maka dia akan bergerak ke sebelah kanan dan sebaliknya sampai ia
menemukan sumber bau tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa jika satu lubang
hidung hiu disumbat maka ikan itu akan berenang berputar-putar mengikuti jejak bau
yang diterimanya dari satu arah saja (Went, 1979 vide Narsongko, 1993).
2.2
Unit Penangkapan Hiu
Hiu dapat ditangkap menggunakan alat tangkap seperti pukat cincin, pancing,
jaring insang, tuna longline dan rawai mini. Alat tangkap tersebut tidak spesifik untuk
menangkap hiu sebagai hasil tangkapan utama. Alat tangkap yang lebih spesifik dan
khusus menangkap hiu adalah jaring liong bun dan rawai cucut. Nelayan Cirebon
menggunakan jaring liong bun (gillnet cucut)
untuk menangkap hiu dimana
pengoperasiannya berada di dekat dasar perairan, sedangkan rawai cucut terdapat di
daerah Cilacap.
2.2.1 Unit Penangkapan Jaring Liong Bun (Gillnet Cucut)
Jaring liong bun disebut juga dengan bottom gillnet, set bottom gillnet atau
jaring insang tetap. Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara direntangkan dekat
dasar perairan dengan bantuan jangkar. Posisi jaring dapat diketahui dengan
keberadaan pelampung di permukaan. Biasanya nelayan menggunakan jaring
sebanyak 100 piece per kapal (Fauziyah, 1997).
Selanjutnya Fauziyah menyatakan bahwa kapal yang digunakan oleh nelayan
jaring liong bun terbuat dari kayu, umumnya memiliki lima buah palkah yaitu tiga
buah palkah ikan dan dua buah palkah untuk perlengkapan dengan daya tampung
masing- masing 30 ton. Fasilitas penunjang kapal ini terdiri dari GPS, kompas
15
magnet, peta pelayaran dan radio komunikator. Tenaga penggerak kapal terbuat dari
mesin berkekuatan 120-180 PK.
Fauziyah juga menjelaskan bahwa nelayan jaring liong bun terdiri dari 10
orang. Satu orang bertugas sebagai penanggung jawab operasi penangkapan yang
disebut sebagai tekong. Tekong juga berperan dalam menentukan letak fishing
ground, kapan harus melakukan setting dan kapan harus melakukan hauling. Satu
orang lagi sebagai kepala kamar mesin (KKM) yang bertugas mengatur stabilitas
mesin, sedangkan sisanya bertugas dalam operasi penangkapan seperti setting dan
hauling.
2.2.2 Unit Penangkapan Rawai Cucut
Rawai cucut yang digunakan biasanya adalah rawai permukaan. Di Cilacap
dikenal dengan nama krawai. Bagian-bagian dari alat tangkap ini meliputi tali utama,
tali cabang, tali pelampung, pelampung, mata pancing dan tiang bendera. Tali utama
disebut juga tali pelampar yang berfungsi sebagai tempat bergantungnya tali cabang.
Tali utama memiliki panjang kira-kira 4.250 meter dan memiliki diameter 8 mm.
Pemasangan tali cabang tidak boleh lebih dari setengah panjang tali utama atau jarak
tali cabang yang menggantung pada tali utama supaya tidak saling mengait. Jarak
antar tali cabang kira-kira 24 meter. Mata pancing yang digunakan yaitu nomor 6 dan
7 (Rahayuningsih, 1993).
Selanjutnya Rahayuningsih menyebutkan bahwa kapal rawai cucut termasuk
jenis motor duduk atau bermesin dalam (inboard), dimana hampir seluruh bagian
kapal terbuat dari kayu. Mesin yang digunakan biasanya berkekuatan 30 hingga 40
PK. Spesifikasi kapal ini terdiri dari dua buah palka, tempat tali jangkar, dudukan
mesin, gandar kemudi, dapur, tempat pelampung, tonggak kayu dan ruang istirahat.
Nelayan atau anak buah kapal (ABK) rawai cucut berjumlah 8 orang. Satu
orang sebagai juru mudi yang tugasnya memimpin dan bertanggung jawab terhadap
operasi penangkapan dan menentukan daerah penangkapan, sedangkan 7 orang lagi
bertugas sebagai pelaksana operasi penangkapan seperti setting, hauling, dan
penanganan hasil tangkapan (Rahayuningsih, 1993)
16
2.3
Penelitian Tentang Hiu
Penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap ikan hiu sudah sering dilakukan,
khususnya yang menjadikan bagian tubuh hiu sebagai objek penelitian. Karena pada
dasarnya hampir semua bagian tubuh hiu dapat dimanfaatkan untuk penelitian seperti
hati, kulit, daging dan lain- lain. Selain itu, penelitian-penelitian pendahuluan tentang
pengelolaan sumberdaya hiu, kebijakan pemanfaatan hiu dan analisis sistem
penangkapan hiu juga pernah dilakukan untuk beberapa perairan di Indonesia.
Penelitian yang berhubungan dengan ikan hiu menggunakan darah untuk
penangkapan dan pengumpulan hiu telah beberapa kali dilakukan dengan hasil yang
bervariasi. Pada tahun 1993, Narsongko telah melakukan penelitian tentang pengaruh
penggunaan darah sapi terhadap hasil tangkapan ikan hiu pada alat tangkap rawai
cucut di Cilacap. Darah yang digunakan adalah darah sapi sebanyak 4.400 ml per
operasi penangkapan. Darah tersebut dimasukan ke dalam kantung plastik dengan
masing- masing berisi 200 ml darah. Kantung plastik dipasang pada tali utama atau
disesuaikan dengan jarak antar tali cabang dalam satu basket. Kesimpulan yang
diperoleh dari 17 kali operasi penangkapan yaitu hasil tangkapan tanpa menggunakan
darah sebanyak 37 ekor dengan berat total 1.533 kg atau rata-rata 90,18 kg/operasi
penangkapan, sedangkan hasil tangkapan menggunakan darah segar sebanyak 50 ekor
dengan berat total 2.274 kg atau 133,76 kg/operasi penangkapan, hal ini berarti ada
peningkatan hasil tangkapan sebanyak 43,58 kg/operasi penangkapan.
Balai Penelitian Perikanan Indonesia (BPPI) telah mengadakan percobaan
tentang pengaruh penambahan darah segar sapi pada operasi penangkapan dengan
rawai cucut permukaan di Palabuhanratu (BPPI, 1986 vide Narsongko, 1993). Pada
uji coba ini, jumlah tali cabang dalam satu basket adalah 5 unit, sedangkan kantong
darah dikaitkan pada bagian sekiyama. Kantong darah ini dipasang pada jarak
masing- masing 50-75 meter. Kantong darah yang digunakan adalah kantong plastik
berukuran 200 ml. Hasil dari uji coba ini diperoleh bahwa jumlah hasil tangkapan
pada rawai cucut tanpa pemberian darah segar adalah 7 ekor dengan berat total 352,5
kg, sedangkan hasil tangkapan rawai cucut dengan pemberian darah segar berjumlah
17
16 ekor dengan berat total 674 kg. Kesimpulannya berarti pemberian darah segar
dalam usaha pengumpulan untuk penangkapan cucut pada rawai cucut permukaan
adalah cukup efektif untuk mendatangkan kawanan ikan hiu (Narsongko, 1993).
Percobaan yang dilakukan Hendrotomo (1989) menggunakan tiga jenis umpan
daging ikan yaitu cakalang (Katsuwonus pelamis), lemadang (Coryphaena hippurus)
dan lumba- lumba (Stenella malayan dan Orcanella breviros). Dari ketiga jenis
umpan ini, daging ikan lemadang menghasilkan hasil tangkapan yang lebih rendah
dibandingkan umpan menggunakan ikan cakalang dan lumba- lumba. Hal ini diduga
karena daging ikan lemadang berwarna agak putih dan kandungan darahnya rendah,
sedangkan dua jenis ikan lainnya memiliki daging lebih tebal, warnanya merah pekat
dan kandungan darahnya lebih tinggi (Hendrotomo, 1989).
Para nelayan di pantai Jayanti Cianjur pernah menggunakan berbagai macam
jenis daging ikan untuk umpan ikan hiu seperti ikan layur (Trichiurus savala), ikan
remang (Congrexos talaban), ikan merah (Lutjanus sanguinensis), ikan hiu (Pristis
cuspidatus), ikan sidat dan belut laut sebagaimana yang dilaporkan oleh Wirianata
(1982). Di daerah-daerah lain seperti Lombok timur para nelayan menggunakan
umpan daging ikan yang dilumuri darah seperti cakalang dan tongkol, sedangkan di
daerah Cilacap nelayannya menggunakan daging ikan tuna, cakalang, pari dan
lemadang.
Rougley (1974) vide Narsongko (1993) menerangkan bahwa para nelayan
longline sering menggunakan darah ikan tuna sebagai umpan yang ditaburkan ke
perairan tempat dimana alat tangkap dioperasikan; untuk menangkap ikan hiu.
Namun aktivitas ini hanya sebatas sampingan. Rougley juga menjelaskan bahwa
ceceran atau tetesan darah ikan tuna yang terluka pada saat atau setelah tertangkap
dengan longline sering mendatangkan kawanan ikan hiu.
Penelitian lain yang tujuannya berbeda dengan penelitian-penelitian tentang
pengumpulan ikan hiu diatas adalah penelitian tentang zat penangkal ikan hiu. Zat
penangkal hiu yang dinamakan A-2 diperoleh dari sisa-sisa bagian tubuh ikan hiu
yang dikumpulkan di pasar ikan dan dermaga New Jersey, Amerika Serikat
(Anonymous, 2004). Selanjutnya dilaporkan bahwa zat A-2 tersebut diyakini ampuh
18
untuk menangkal keberadaan ikan hiu, hal ini telah dicobakan oleh tim peneliti dari
Puerto Rico yang dipimpin Eric Stroud di Pulau Bimini, Bahamas. Hasil pengujian
yang dilakukan di Bimini Biological Field Station (BBFS), dapat disimpulkan bahwa
penangkal ini bekerja efektif pada empat jenis hiu yaitu hiu karang Caribbean, hiu
berhidung hitam, hiu limun dan hiu nurse. Zat A-2 dapat memicu kawanan ikan hiu
untuk menghindar, akan tetapi penggunaan zat tersebut belum terbukti pada hiu jenis
lain seperti hiu putih dan hiu mako. Anonymous (2004) menyebutkan bahwa untuk
lebih memastikan molekul aktif yang efektif bekerja pada zat ini, masih diperlukan
riset lebih mendalam.
Tabel 2. Penggunaan darah untuk pengumpulan hiu dalam penelitian dan
praktek penangkapan hiu
No
Jenis Darah
Penelitian
Narsongko (1993) di
Cilacap dan BPPI (1986)
di Palabuhanratu
Hendrotomo (1989) di
Palabuhanratu
1
Sapi
2
Ikan cakalang
3
Ikan lemadang a
4
Ikan lumba- lumb
5
6
Ikan hiu
Ikan layur
7
Ikan tuna
-
8
Ikan pari
-
9
Ikan tongkol
-
10
11
12
13
Ikan remang
Ikan merah
Ikan sidat
Belut laut
-
Hendrotomo (1989) di
Palabuhanratu
Hendrotomo (1989) di
Palabuhanratu
-
Praktek Penangkapan
Cilacap
Palabuhanratu
Cilacap
Palabuhanratu
Lombok Timur
Cilacap
Cianjur
Cianjur
Cilacap
Palabuhanratu
Cirebon
Cilacap
Palabuhanratu
Lombok Timur
Cianjur
Cianjur
Cianjur
Cianjur
19
2.4
Definisi Sekresi
2.4.1 Sekresi sebagai Pesan
Sekresi adalah suatu senyawa atau substansi kimiawi yang dikeluarkan oleh
satu individu/organisme atau kelompok kepada individu/organisme atau kelompok
lain dalam kondisi tertentu baik secara sengaja maupun tidak disengaja dengan
fungsi- fungsi khusus; dalam satu spesies atau antar spesies. Hampir seluruh
organisme laut mengeluarkan sekresi ke dalam lingkungan air laut, baik organisme
makro maupun organisme mikro. Sekresi yang dipancarkan ke dalam air laut tersebut
pada hakikatnya adalah suatu pesan (messages) dari organisme laut kepada individu
atau kelompok organisme ya ng sejenis maupun lain jenis. Organisme yang menerima
pesan tersebut akan melakukan reaksi seperti mendatangi lokasi atau sumber sekresi
tersebut. Sekresi yang dikeluarkan organisme laut biasanya berkaitan dengan antara
lain tanda bahaya, pengenalan individu/kelompok dan sekresi yang berkaitan dengan
pemanduan (navigation) dan migrasi. Pada prinsipnya sekresi diatas mampu
mendatangkan atau mengumpulkan individu maupun kelompok organisme (Pane,
2001).
Selanjutnya diketahui bahwa terdapat suatu pengaturan kehidupan biologis
organisme laut yang mengeluarkan sekresi melalui perantara substansi kimiawi.
Pengaturan kehidupan biologis diatas berkaitan erat dengan hubungan antar individu,
antar kelompok dan atau antar spesies, hal ini juga berubungan erat dengan terjadinya
atau terhambatnya metabolisme biologis suatu organisme. Beberapa definisi yang
berhubungan dengan sekresi sering ditemukan dalam interaksi antar organisme
dengan istilah yang berbeda-beda, misalnya telemediator kimiawi dan semiochemical
(Law dan Re gnier, 1971 vide Kusumah, 1988) serta feromon (Lucas, 1959 vide Pane,
2001).
2.4.2 Telemediator Kimiawi
Para ahli sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya menyebut substansi
kimiawi diatas sebagai telemediator kimiawi. Telemediator kimiawi adalah sekresi
yang dibentuk oleh organisme laut baik hewan maupun tumbuhan yang dipancarkan
20
ke dalam air laut dan menimbulkan reaksi pada jarak tertentu terhadap fungsi dan
perilaku individu atau kelompok spesies yang sama maupun spesies yang berbeda.
Terdapat berbagai bukti mengenai keberadaan substansi kimiawi di dalam air laut
yang berasal dari organisme laut. Dawson (1976) vide Pane (2001) menyatakan
bahwa substansi kimiawi asal organis me laut terdapat secara signifikan di dalam air
laut.
Tabel 3. Jenis substansi kimiawi yang diperoleh dari air laut
Konsentrasi dalam air laut
(ìg carbon/liter)
1 Asam amino bebas
10
2 Asam amino terkait
50
3 Gula bebas
10
4 Polysakarida
200
5 Asam lemak
5
6 Hidrokarbon
5
7 Gula amino
2
8 Phenol
2
9 Indoles
1
10 Vitamin
0,007
11 Amoniak
5
12 Lain- lain
10
Sumber : Dawson (1976) vide Pane (2001)
No
Jenis Substansi Kimiawi
Beberapa peneliti telah berhasil mendefinisikan telemediator kimiawi untuk
ilmu pengetahuan. Seperti Lucas (1959) vide Pane (2001) menyatakan bahwa
hubungan
interspesies
tidak
hanya
didasarkan
pada
fenomena
predation
(pemangsaan) tetapi haruslah memperhitungkan pengaruh biologis dari pertukaran di
luar organisme seperti vitamin, hormon dan sebagainya. Lucas juga menjelaskan
bahwa organisme dapat mempengaruhi aktivitas makhluk hidup lainnya sambil
memproduksi atau menghasilkan unsur makro penting makanan atau bahan
penghambat. Selanjutnya Fontaine (1970) vide Pane (2001) mendefinisikan bahwa
semua substansi organik yang dibebaskan oleh organisme hidup, yang bereaksi pada
konsentrasi sangat rendah berguna untuk mengatur hubungan diantara organisme-
21
organisme dan substansi tersebut jelas memiliki senyawa kimiawi dan fungsi- fungsi
fisiologis yang sangat bervariasi.
2.4.3 Semiokemikal
Zat kimia yang bertindak sebagai perantara dalam komunikasi antara organisme
dengan organisme disebut pula semiokemikal (semiochemical) (Law dan Regnier,
1971 vide Kusumah, 1988). Semiokemikal terdiri dari dua golongan yaitu
alelokemikal dan feromon, tergantung pada interaksinya apakah bersifat intraspesies
atau interspesies. Alelokemikal adalah zat kimia yang berperan sebagai zat perantara
dalam komunikasi antar spesies yang berbeda (interspesies), sedangkan feromon
bersifat intraspesies. Terdapat empat macam alelokemikal yang dijelaskan oleh
Brown (1968) vide Kusumah (1988) sebagai berikut :
(1)
Allomon
Zat yang dihasilkan atau didapat oleh suatu organisme yang menimbulkan
tanggapan fisiologis atau perilaku pada organisme penerimanya dan tanggapan itu
menguntungkan organisme yang memproduksi zat tersebut.
(2)
Kairomon
Zat yang diproduksi atau diperoleh dari suatu organisme yang menimbulkan
tanggapan fisiologis terhadap spesies lain yang menguntungkan organisme penerima.
(3)
Synomon
Zat yang diproduksi atau diperlukan oleh suatu perilaku spesies-spesies lain
yang menguntungkan organisme produsen maupun penerima.
(4)
Apreumon
Zat kimia yang dipancarkan dari benda mati, yang dapat menciptakan reaksi
fisiologis atau perilaku bila diadaptasi oleh penerima dan dapat mengganggu
organisme dari spesies lain yang berada di dala m atau di atas benda mati tersebut
yang tidak dapat beradaptasi (Nordlund et. al., 1981 vide Kusumah, 1988).
Golongan kedua dari semiokemikal setelah alelokemikal adalah feromon.
Mathews dan Mathews (1978) dalam Anonymo us (1990) mendefinisikan feromon
sebagai senyawa atau campuran kimia yang disekresi oleh seekor hewan dan dapat
22
mempengaruhi perilaku hewan lain dari jenis (spesies) yang sama. Feromon mirip
dengan hormon yaitu mempunyai komposisi yang khusus dan dihasilkan pula oleh
kelenjar khusus serta disekresi hanya pada waktu tertentu saja. Selanjutnya, Atkins
(1980) dalam Anonymous (1990) memperjelas bahwa feromon dapat mengatur
aktivitas fisiologis dan perilaku antara individu dari suatu populasi.
Anonymous
(1990)
menjelaskan bahwa
feromon
merupakan
bentuk
komunikasi biologis yang sangat penting antara individu maupun kelompok. Sinyalsinyal kimiawi ya ng diberikannya terdapat yaitu pada sel suatu makhluk hidup atau
antar mahk luk hidup, baik pada tumbuhan maupun hewan. Feromon yang terdapat
pada semua jenis hewan adalah senyawa kimia atsiri yang digunakan untuk
komunikasi antar spesies (Horborne, 1988 dalam Anonymous, 1990). Mathews dan
Mathews (1978) dalam Anonymous (1990) telah mengelompokan feromon kedalam
dua kelompok yaitu releaser feromones dan primer feromones. Feromon yang banyak
dipelajari sampai sekarang adalah releaser feromones yang termasuk didalamnya
adalah feromon lacak, feromon seks dan feromon tanda bahaya.
Definisi yang sama juga dijelaskan oleh Pane (2001) bahwa feromon adalah
substansi kimiawi yang terdapat pada hubungan antar organisme-organisme dalam
spesies yang sama (intraspesies). Substansi kimiawi tersebut dibagi menjadi dua yaitu
substansi kimiawi seksual dan substansi kimiawi non seksual.
Ikan teleostei dan beberapa ikan bertula ng rawan melakukan komunikasi
dengan sinyal kimia untuk mengontrol fertilisasi, koordinasi seksual dan koordinasi
tingkah laku seksual. Pada beberapa spesies, ikan jantan tertarik untuk berintegrasi
dengan betina melalui bau. Steroid merupakan salah satu bahan kimia yang dapat
membangkitkan rangsangan daya tarik elektrik (afinitas electric) dari organ olfaktori
ikan (Fujaya, 2002).
Substansi kimiawi non-seksual dapat dibagi menjadi tiga sebagai berikut :
(1)
Feromon tanda bahaya (alarme)
Feromon tanda bahaya secara umum dipancarkan oleh individu- individu yang
diserang atau individu- individu yang terluka. Jenis feromon ini merupakan suatu
sistem pertahanan yang ditinjau dari sisi spesies melawan predator yang melakukan
23
penyerangan (Atema dan Stenzler, 1977 vide Pane, 2001). Beberapa ikan menyimpan
feromon dalam sel khusus dan terlepas hanya bila sel tersebut rusak akibat perlakuan
mekanik, misalnya akibat pemangsaan. Kalau hal ini terjadi, maka ikan lain akan
menyebar dan menghindar dari serangan lanjutan, artinya feromon bertindak sebagai
pembawa pesan bahwa terdapat keadaan dalam bahaya (Fujaya, 2002).
(2)
Feromon pengenalan kembali (reconnaissance)
Suatu pengenalan kembali didalam spesies (intraspesies) dapat terjadi baik
diantara individu- individu dewasa dalam pengertian suatu kumpulan organisme
maupun individu-individu juvenil. Pada ikan-ikan Yellow Bullhead (Italurus natalis),
pengenalan kembali ini dilakukan melalui perantara mediator yang terdapat didalam
mukus dari kulit (Todd et. al., 1967 vide Pane, 2001).
(3)
Feromon tanda arah (balisage) dan migrasi (migration)
Pada invertebrata bentik, habitat individu didalam lingkungan laut untuk
perlindungan atau untuk mencari sumber-sumber makanan, dilakukan oleh perantara
substansi kimiawi tanda arah (balisage) yang hanya dikeluarkan oleh individu dari
spesies yang sama. Substansi kimiawi ini terdapat didalam mukus permukaan kulit
yang diletakkan diatas substrat habitatnya (Lowe dan Turner, 1976 vide Pane, 2001).
Selanjutnya Pane (2001) menyatakan bahwa migrasi- migrasi ikan kemungkinan
mempunyai prinsip dasar yang sama dengan proses tanda arah diatas seperti pada
migrasi ikan salmon, dimana air laut yang digunakan memiliki skala lebih luas lagi.
Ikan salmon mungkin menyimpan memori dari suatu rangsangan penciuman pada
konsentrasi yang sangat rendah, yang mereka tandai selama melakukan migrasi
mengarah ke laut.
Fujaya (2002) memperjelas pernyataan diatas bahwa dari hasil pengujian
kesensitifan ikan terhadap rasa bahan klasik yaitu garam, gula, asam dan pahit yang
digunakan manusia, ditemukan bahwa asam amino merupakan perangsang yang kuat
bagi pengecapan berbagai spesies ikan. Selain asam amino, ikan- ikan juga sensitif
terhadap asam aliphatik, nuk leotida dan garam empedu, dengan demikian asam
amino memegang peranan penting dalam perangsangan berbagai jenis ikan.
24
Selanjutnya, Fujaya mengatakan bahwa kemampuan mendeteksi garam empedu
diduga merupakan informasi penting bagi homing migration ikan salmon.
2.5
Darah
2.5.1 Darah Ikan
Darah terdiri atas dua kelompok besar, yaitu sel dan plasma. Sel terdiri atas selsel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda, sedangkan
komponen dari plasma, selain fibrinogen, juga terdapat komponen anorganik dan
komponen organik untuk fungsi metabolisme. Fungsi dari kedua komponen tersebut
kadang-kadang
terpisah
dan
kadang-kadang
tergabung,
contohnya
seperti
penggumpalan darah dan produksi antibodi (Fujaya, 2002).
(1)
Sel darah merah
Seperti hewan vertebrata lain, ikan juga memiliki sel darah merah (eritrosit)
berinti dengan bentuk ukuran bervariasi antara satu spesies dengan spesies lainnya.
Jumlah sel darah merah pada masing- masing spesies juga berbeda, tergantung
aktivitas ikan tersebut. Pada ikan yang memiliki aktivitas tinggi, seperti ikan predator
Blue Marlin (Makaira nigricans) dan Mackerel memiliki hematokrit masing- masing
sebesar 43 % dan 52,5 %. Sedangkan ikan nothothenid seperti Paghothenia
bernacchii hanya memiliki hematokrit sebesar 21 % (Fujaya, 2002). Selanjutnya,
Fujaya mengatakan bahwa sel darah merah berfungsi sebagai pengangkut hemoglobin
yang berperan membawa oksigen dari insang atau dari paru-paru ke jaringan. Pada
beberapa hewan tingkat rendah, hemoglobin beredar sebagai protein bebas dalam
plasma, tidak terbatas dalam sel darah merah. Selain mengangkut hemoglobin, sel
darah merah juga mengandung asam karbonat dalam jumlah besar yang berfungsi
mengkatalisis reaksi antara karbondioksida dan air, dengan demikian darah dapat
bereaksi dengan karbondioksida dan mengangkutnya dari jaringan ke insang.
(2)
Sel darah putih
Fujaya (2002) mengatakan bahwa ikan memiliki sel-sel darah putih yang lebih
banyak daripada manusia. Sel darah putih (leukosit) pada ikan terdiri atas tujuh
bentuk, yakni tiga tipe eosinofil granulosit dan masing- masing satu tipe neutrofil
25
granulosit, limposit, monosit, dan trombosit. Eosinofil, neutrofil dan monosit adalah
leukosit fagosit yang berfungsi sebagai detoksikasi protein sebelum dapat
menyebabkan kerusakan dalam tubuh. Berbeda dengan eosinofil yang merupakan
fagosit lemah, neutrofil dan monosit merupakan fagosit kuat. Limposit tidak bersifat
fagositik
tetapi
memegang
peranan penting dalam pembentukan antibodi.
Kekurangan limposit dapat menurunkan konsentrasi antibodi dan menyebabkan
meningkatnya serangan penyakit. Tipe leukosit lainnya adalah trombosit. Trombosit
penting dalam mencegah kehilangan atau kerusakan darah pada saat terjadinya
kebocoran pembuluh darah (Fujaya, 2002).
(3)
Plasma darah
Plasma darah terdiri atas protein yang memiliki variasi pada berat molekul dan
fungsi. Perbedaan ini tergantung individu dan lingkungan hidupnya, terutama tekanan
antara lain osmosis, suhu, maupun pH. Selain itu, plasma darah juga merup akan
perantara untuk mengangkut zat-zat seperti copper, iron, iodine dan lipid (Fujaya,
2002). Berdasarkan penga matan menggunakan electrophoretogram menunjukkan
bahwa plasma ikan terdiri atas beberapa komponen. Dalam plasma ikan air tawar
terdapat komponen-komponen seperti fibrinogen, globulin pembentuk fibrin untuk
penggumpalan darah, ceruloplasmin, protein spesifik yang berikatan dengan copper
dan transferrin, protein lain yang berikatan dengan iron, iodine, glikoprotein,
lipoprotein, fospolipid albumin, imunoglobin (antibodi) dan komponen-komponen
lain (Satchell, 1991 vide Fujaya, 2002).
2.5.2 Darah Mamalia
Secara umum Brown (1989) menjelaskan bahwa volume total darah mamalia
umumnya berkisar antara 7 sampai 8 % dari berat badan. Plasma darah berkisar
antara 45 % sampai 65 % dari seluruh isi darah, sedangkan sisanya 35 % sampai 55
% diisi oleh sel-sel darah.
(1)
Sel darah merah
Eritrosit mamalia dewasa tidak berinti, berbentuk seperti cawan bikonkaf.
Ukuran serta kedalaman bentuk konkaf berbeda untuk setiap jenis. Pada hewan-
26
hewan seperti anjing, sapi dan domba, bentuk konkaf sedang, tetapi pada kuda dan
kucing bentuk konkafnya agak datar. Beda halnya dengan babi dan kambing, eritrosit
kedua hewan ini berbentuk cawan datar (Brown, 1989). Ukuran eritrosit terbesar
terdapat pada anjing (7,0 ìm) dan terkecil terdapat pada kambing (4,1 ìm).
Selanjutnya, Brown menjelaskan bahwa jumlah total sel darah merah yang
dinyatakan dalam 1 mm3 darah, merefleksikan perbedaan ukurannya, misalnya pada
anjing, jumlah eritrosit berkisar 7 juta/mm3 , sedangkan pada kambing 14 juta/mm3 ,
dengan kata lain, jenis hewan yang memiliki eritrosit kecil, jumlah eritrositnya lebih
banyak, sebaliknya yang ukurannya lebih besar jumlahnya akan lebih sedikit untuk
unit volume tertentu. Faktanya, jumlah eritrosit berbeda tidak hanya untuk tiap jenis
hewan saja. Perbedaan keturunan (breed), kondisi nutrisi, aktivitas fisik dan umur
dapat memberikan perbedaan dalam jumlah eritrosit. Eritrosit dewasa tidak memiliki
inti (nukleus), badan golgi, sentriol dan sebagian besar mitokondria hilang selama
proses pematangan berlangsung sebelum masuk ke dalam aliran darah, oleh karena
itu eritrosit dewasa tidak mampu melakukan sintesis protein dan enzim. Sintesis
protein dan enzim itu dilakukan pada waktu sel masih memiliki inti (Brown, 1989).
Brown mengemukakan bahwa sekitar 60 % volume eritrosit terdiri dari air dan
sisanya terdiri dari konjugasi protein berbentuk globin dan hem (heme). Pigmen yang
merupakan 4 % dari konjugasi protein disebut hemoglobin. Pigmen hemoglobin ini
menjadi indikator warna merah pada darah segar.
(2)
Sel darah putih
Brown (1989) mengatakan bahwa sel darah putih (leukosit) memiliki bentuk
yang khas. Nukleus, sitoplasma dan organel-organel lain yang terdapat pada leukosit
bersifat mampu bergerak pada keadaan tertentu. Eritrosit bersifat pasif dan
melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah, sedangkan leukosit mampu keluar
dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melaksanakan fungsinya. Jumlah seluruh
leukosit jauh dibawah eritrosit dan bervariasi tergantung dari jenis hewannya.
Fluktuasi dalam jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu,
misalnya stress, aktivitas fisiologis, gizi, umur dan lain- lain. Jumlah leukosit yang
menyimpang dari keadaan normal memp unyai arti klinis penting untuk evaluasi
27
proses penyakit. Lima bentuk leukosit yang berbeda dibagi dalam dua kelompok,
yaitu granulosit yang memiliki butir khas dan jelas dalam sitoplasma dan agranulosit
yang tidak memiliki butir khas dalam sitoplasma. Granulosit terdiri dari leukosit
neutrifil, leukosit eosinofil dan leukosit basofil, sedangkan agranulosit terdiri dari
limfosit dan monosit.
(3)
Kepingan darah (platelets)
Kepingan darah atau trombosit adalah benda darah yang paling kecil, berukuran
2 sampai 4 ìm, berasal dari bagian sitoplasma sel besar dalam sumsum tulang yang
disebut megakarosit. Jumlah kepingan darah bervariasi antara 350.000 sampai
500.000 per mm darah. Sulit menghitung secara pasti karena sifat trombosit yang
mudah mengelompok bila bersinggungan dengan permukaan gelas (Brown, 1989).
2.6
Parameter yang Diidentifikasi
Untuk memudahkan dalam menangkap ikan selain menggunakan alat tangkap,
dibutuhkan juga taktik dan metode yang tepat. Metode untuk dapat membawa ikan ke
dalam posisi yang dikehendaki ataupun ke dalam area suatu jenis alat tangkap
tertentu, banyak bergantung antara lain kepada jenis ikan, kondisi fisiologis ikan,
musim atau bahkan perubahan waktu dalam sehari (Gunarso, 1985). Taktik-taktik
tersebut diantaranya adalah menarik perhatian ikan (fish attraction), mengejuti ikan
(fish frightening), merangsang ikan agar melompat (inducing fish to jump) dan
membius ikan (stupeying). Selanjutnya, Gunarso (1985) mengelompokkan taktik
menarik perhatian ikan menjadi beberapa cara yaitu rangsangan umpan bersifat
kimiawi (chemical bait), rangsangan umpan bersifat penglihatan (optical bait),
rangsangan umpan bersifat pendengaran (acoustic bait) dan rangsangan umpan
bersifat listrik (electrical bait).
Telah dijelaskan pada subbab sebelumnya (subbab 2.1.2) bahwa indera
penciuman hiu sangat tajam dalam mendeteksi substansi kimiawi. Hal ini sangat
berhubungan dengan taktik menarik perhatian ikan menggunakan cara rangsangan
kimiawi. Salah satu kesensitifan indera penciuman hiu adalah terhadap darah.
28
Darah dalam taktik penangkapan hiu sebenarnya bukan berfungsi sebagai
umpan akan tetapi berfungsi sebagai benda untuk menarik dan merangsang hiu untuk
mendekat atau berkumpul. Darah bekerja, dalam hal ini, merupakan fungsi dari
rangsangan kimiawi atau kombinasi dari rangsangan kimiawi dengan rangsangan
penglihatan, bau, rasa atau rangsangan lainnya. Darah diduga mengandung warna dan
atau bau dan atau rasa dan atau senyawa tertentu yang menyebabkan ketertarikan hiu
terhadap darah tersebut. Darah yang berwarna merah diduga menyebabkan hiu
tertarik dari kombinasi cara rangsangan kimiawi dan rangsangan penglihatan,
sedangkan bau amoniak darah dan komponen-komponen asam amino diduga
merupakan cara rangsangan kimiawi atau kombinasi dari rangsangan lainnya.
Warna merah darah, bau amoniak dan komponen-komponen asam amino
merupakan parameter-parameter yang akan diidentifikasi dalam penelitian ini.
Parameter-parameter tersebut diidentifikasi dari jenis-jenis darah yang pernah
digunakan dalam penelitian dan atau praktek penangkapan terhadap hiu (subbab 2.3).
2.6.1 Warna Darah
Pigmen yang menandakan warna merah pada darah adalah hemoglobin. Pigmen
ini merupakan konjugasi protein yang terdapat dalam sel darah merah (eritrosit).
Hemoglobin adalah metalloporphyrin yaitu merupakan kombinasi dari haem/hem
yang merupakan porphyrin besi dan globin. Fungsi hemoglobin didalam darah adalah
untuk mengikat oksigen, maka kandungan hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh
hematokrit dan aktivitas organisme (Fujaya, 2002).
Selanjutnya, Fujaya menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara
hematokrit dan jumlah hemoglobin darah, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah
maka semakin rendah pula kandungan hemoglobin dalam darah. Hematokrit ikan
Atlantic Salmon (Salmo salar) adalah 47 % dan hemaglobinnya 9,6 g/dl, sedangkan
pada ikan notothenid, hematokritnya adalah 21 % dan kandungan hemoglobinnya 2,5
g/dl. Demikian pula semakin aktif ikan, semakin tinggi pula hemoglobinnya, karena
ikan tersebut membutuhkan suplai oksigen yang lebih tinggi. Ikan yellowfin tuna
(Thunnus albacares) dan frigate mackerel (Auxis rochei) mempunyai kandungan
29
hemoglobin masing- masing sebesar 15,8 sampai 18,9 g/dl dan 17,8 sampai 21,2 g/dl.
Sebagai perbandingan, darah manusia mengandung 13 g sampai 18 g hemoglobin per
dl darah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik hemoglobin dalam mengikat
oksigen adalah kelarutan CO2 , kondisi O2 , pH dan temperatur. Bila temperatur
meningkat maka kelarutan CO2 dalam darah dan plasma menurun. Dengan demikian
peningkatan temperatur menyebabkan turunnya kelarutan CO2 dan pH, sehingga
oksigen dalam darah meningkat (Fujaya, 2002).
2.6.2 Amoniak
Nitrogen di perairan berupa muatan organik dan anorganik. Amoniak termasuk
nitrogen anorganik. Amoniak-amoniak di dalam air terbagi menjadi dua bentuk yaitu
amoniak bebas (NH3 ) dan ion amonium (NH4 +). Amoniak bersifat mudah larut dalam
air, sedangkan amonium merupakan bentuk transisi dari amoniak. Keseimbangan
amoniak bebas dan ion amonium dalam air dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan pH.
Konsentrasi letal amoniak dalam air adalah 0,4 sampai 2,0 mg/l dengan konsentrasi
aman bagi ikan dibawah 0,1 mg/l. Amoniak bebas dalam sistem pemeliharaan ikan
sebaiknya memiliki nilai lebih kecil dari 0,02 mg/l (Fujaya, 2002).
Selanjutnya, Fujaya menjela skan bahwa amoniak adalah bentuk utama
ekskresi
nitrogen
oleh
kebanyakan
organisme
air.
Ikan- ikan
teleostei
mengekskresikan 60 % sampai 90 % nitrogen dalam bentuk amoniak dan sebagian
besar di keluarkan oleh insang. Bentuk lain dari ekskresi nitrogen adalah urea,
kreatin, kreotenin, trimetilalnin oksida, dan asam amino.
Amoniak merupakan jalur efisien dari ekskresi nitrogen karena energi yang
dikeluarkan el bih sedikit dibandingkan ekskresi urea (Lovell, 1988 vide Saridewi,
1998). Amoniak yang masuk ke dala m perairan adalah hasil dari katabolisme protein
tubuh. Semakin besar kadar protein maka semakin banyak nitrogen yang
diekskresikan sehingga amoniak juga semakin besar (Saridewi, 1998).
30
2.6.3 Asam Amino
Sekitar tiga per empat zat pada tubuh adalah protein. Ini terdiri dari protein
struktural, enzim, gen, protein pengangkut oksigen, protein otot yang menyebabkan
kontraksi dan banyak jenis protein lain melakukan fungsi spesifik diseluruh tubuh
baik intrasel maupun ekstrasel (Fujaya, 2002). Selanjutnya Winarno (1992)
menyatakan bahwa dalam setiap sel yang hidup, protein merupakan komponen yang
sangat penting. Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein menjadi komponen
terbesar setelah air. Diperkirakan 50 % dari berat kering sel dalam jaringan terdiri
dari protein.
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur unsur C, H,
O dan N. Susunan protein terdiri dari rantai panjang asam amino dimana asam
aminonya (-NH2 ) berikatan dengan kelompok karboksil (-COOH). Bila protein
dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim maka akan dihasilkan campuran asamasam amino (Fujaya, 2002).
Gambar 5. Sketsa molekul asam amino (Read, 1981 vide Winarno, 1992)
Winarno (1992) menjelaskan bahwa sebuah asam amino terdiri dari
sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R
yang merupakan rantai cabang (gambar 4). Berdasarkan Fujaya (2002) bahwa
terdapat 21 jenis asam amino, 10 diantaranya adalah asam amino esensial yang harus
terdapat dalam makanan yaitu treonina, lisina, metionina, arginina, valina,
fenilalanina, triptopan, leusina, isoleusina dan histidina. Asam amino yang lain dapat
31
disintesa di dalam tubuh yaitu glisina, alanina, prolina, serina, sisteina, asam aspartat,
asam glutamat, hidroksilisina, sistina, tirosina dan hydroksiprolina.
Asam amino disimpan dalam bentuk protein sehingga konsentrasi asam amino
didalam sel mungkin selalu tetap rendah. Sel memiliki batas tertentu dalam
menimbun protein, bila telah mencapai batas ini, setiap penambahan asam amino
dalam cairan tubuh maka asam amino akan dipecahkan dan digunakan untuk energi
atau disimpan sebagai lemak. Degradasi ini hampir seluruhnya terjadi di dalam hati
dan dimulai dengan proses deaminasi (pembuangan gugus amino dari asam amino)
dan diekskresi sebagai amoniak. Amoniak yang dilepaskan waktu deaminasi
dikeluarkan dari darah hampir seluruhnya dalam bentuk urea (Fujaya, 2002).
32
3.
3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2004 hingga Oktober 2005.
Lokasi penelitian lapang terletak di Palabuhanratu-Sukabumi, Jawa Barat. Analisis
sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Analisis Kimia, Institut Pertanian Bogor
dan Laboratorium Lingkungan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2
Bahan dan Alat
Bahan utama penelitian adalah darah-darah hewan yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan ik an hiu didalam penangkapannya. Sampel darah yang digunakan
adalah jenis darah ikan yaitu cakalang, tongkol, tuna, layur, pari, hiu dan satu jenis
darah mamalia yaitu sapi.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kepekatan warna darah yaitu HCl
0,01 N dan aquadestilata. Untuk analisis NH3 menggunakan bahan-bahan seperti
MnSO4 , phenate reagent, asam hipoklorida, NaOH, phenol, NH4 Cl, larutan stok
amoniak dan larutan standar amoniak; sedangkan bahan-bahan untuk analisis asam
amino adalah ortoftalaldehida (OPA), natrium hidroksida, asam borat, larutan brij-30,
2-merkaptoetanol, standar asam amino, Na-EDTA, Metanol, THF, natrium asetat,
metanol, air HP, HCl 0,01 N dan kalium borat pH 10,4.
Alat-alat yang digunakan untuk mengambil darah dalam penelitian ini adalah 1
set alat bedah, Botol film dan Cool box, sedangkan alat-alat yang digunakan untuk
analisis laboratorium dikemukakan sebagai berikut :
(1)
Analisis kepekatan warna darah, menggunakan Hemoglobinometer Sahli yang
terdiri atas :
1.
Tabung sahli berskala (% atau gr %),
2.
Pipet
3.
Pipet Sahli 0,02 ml (20 cmm)
4.
Aspirator
33
(2)
(3)
3.2
5.
Standar warna sahli
6.
Alat pengaduk
Analisis kadar Amoniak, menggunakan :
1.
Spektrofotometri
2.
Magnetic Stirrer
3.
Filter photometer
4.
Pipet
5.
beaker glass
Analisis asam amino, menggunakan adalah :
1.
High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
2.
Kertas Millipore 0,45 ì
3.
Vial 1 ml
4.
Syringe 100 ìl
5.
Neraca analitik
6.
Pipet 1 ml
7.
Labu takar 100 ml
8.
Ampul
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah identification and
comparative methods. Penelitian yang disajikan berikut ini meliputi penelitian
mengenai sekresi organisme dalam hal ini adalah sekresi hewan yang dapat menjadi
ketertarikan pada ikan hiu yang dikeluarkan secara sengaja atau tidak (darah),
dihubungkan dengan indera penciuman ikan hiu yang memiliki kepekaan terhadap
darah. Analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui kepekatan warna darah
menggunakan metode Sahli dan kadar bau (amoniak) darah menggunakan Metode
Phenate, sehingga dapat diketahui kepekaan hiu terhadap darah. Selanjutnya,
dilakukan identifikasi zat-zat aktif dalam hal ini adalah asam amino menggunakan
metode High Performance liquid Chromatography (HPLC) untuk mengetahui jenisjenis asam amino yang terdapat dalam sampel darah hewan mangsa hiu dan
34
hubungannya dengan peranan asam amino dalam perangsangan yang dapat membuat
ketertarikan atau berkumpulnya ikan hiu.
Pemilihan jenis sampel darah dilakukan berdasarkan hasil- hasil penelitian
sebelumnya dan praktek penangkapan yang dilakukan di beberapa daerah di
Indonesia untuk menangkap ikan hiu. Sampel darah yang dianalisis tidak diperoleh
pada waktu yang bersamaan, hal ini disebabkan karena jenis-jenis ikan sampel tidak
setiap hari dapat didaratkan di PPN Palabuhanratu tergantung dari keberhasilan
nelayan dalam menangkap ikan. Selain itu untuk mengurangi terjadinya pembusukan,
sampel darah dari ikan- ikan yang berbeda tidak bisa dianalisis dalam waktu
bersamaan. Setelah sampel darah diperoleh, maka dengan segera akan dilakukan
analisis tanpa menunggu sampel darah lainnya yang belum diperoleh.
3.2.1 Tahapan-tahapan Penelitian
Adapun tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan sebagai berikut :
(1)
Persiapan
Alat-alat yang harus dipersiapkan sebelum pengambilan sampel darah adalah
pisau bedah, jarum penusuk pembuluh darah, botol film dan. cool box.
(2)
Pengumpulan sampel
Sample darah hiu, darah cakalang, darah tuna, darah tongkol, darah layur dan
darah pari diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palabuhanratu Sukabumi,
Jawa Barat, sedangkan sampel darah sapi diperoleh dari UPTD Rumah Potong
Hewan (RPH), Bogor.
(2.1) Sampel darah ikan
Cara pengambilan darah untuk sampel darah ikan terbagi menjadi dua metode.
Metode pertama yaitu dengan menyedot darah di bagian pembuluh darah ikan,
sedangkan cara yang kedua dengan memotong bagian belakang kepala ikan. Darah
yang didapatkan lebih banyak menggunakan cara kedua dibandingkan cara pertama
karena melalui pengambilan darah dengan cara kedua ini, kondisi ikan tidak harus
selalu hidup. Botol film yang digunakan untuk masing- masing sampel darah
berjumlah 5 botol, setiap botol film berisi 20-30 ml darah.
35
(2.2) Sampel darah sapi
Sampel darah sapi diambil setelah dilakukan pemotongan sapi oleh para pekerja
RPH. Darah dari hasil pemotongan tersebut disimpan dalam sebuah wadah ember
sampai terisi penuh. Selanjutnya, darah dimasukkan dalam 5 botol film masingmasing berisi 20 ml darah.
(3)
Penelitian
(3.1) Analisis kepekatan darah (kadar hemoglobin)
Analisis kepekatan warna darah dilakukan di tempat pengambilan darah, karena
untuk mengurangi terjadinya perubahan kimia maupun fisik sampel darah. Analisis
kepekatan darah menggunakan metode Sahli dengan prinsip dasarnya yaitu darah
dengan larutan HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat. Warna
disamakan dengan warna standar Sahli dengan menggunakan aquadestilata sebagai
pengencer (Brown, 1989).
Tahapan metode Sahli yang digunakan adalah sebagai berikut :
1.
Tabung Sahli yang sudah terisi HCl 0,1 N sampai angka 10 (garis paling
bawah pada tabung), ditambahkan dengan darah 0,02 ml.
2.
Kemudian didiamkan selama 3 menit sampai terbentuk asam hematin
yang berwarna coklat.
3.
Tabung Sahli diletakkan antara kedua bagian standar warna Sahli dalam
alat hemoglobinometer.
4.
Selanjutnya ditambahkan kedalam tabung Sahli setetes demi setetes
aquadestilata sambil diaduk sampai warna sama dengan warna standar,
kemudian ukur dengan melihat skala pada tabung Sahli.
(3.2) Analisis kadar NH3
Metode yang digunakan dalam analisis bau (amoniak) darah adalah metode
Phenate. Indikator untuk menganalisnya adalah Total Amoniak Nitrogen (TAN)
dengan prinsip dasarnya yaitu senyawa indophenol berwarna biru yang terjadi dari
reaksi amoniak, asam hipoklorida dan phenol yang dikatalisis oleh MnSO4 (Rand et.
al., 1975)
36
Tahapan analisis NH3 menggunakan Metode Phenate sebagai berikut :
1.
Sebanyak 25 ml sampel darah dalam beaker glass 100 ml, ditambahkan
masing- masing 1 ml MnSO4 , 1 ml phenol dan 1 ml campuran asam
hipoklorit dengan reagent.
2.
Setelah diaduk rata, dilakukan pengukuran sampel pada spektrofotometri
panjang gelombang 630 nm selama 10 menit.
3.
Perhitungan :
Kadar TAN (ppm) =
Abs sampel
Abs standar – Abs blanko
x volume standar x FP
Keterangan : Abs = Absorbansi
FP = Faktor pengenceran
(3.3) Analisis asam amino
Sebelum dilakukan analisis asam amino, terlebih dahulu perlu diketahui kadar
protein untuk masing- masing sampel darah tersebut. Metode yang digunakan untuk
analisis protein tersebut yaitu metode kjehdal (Winarno, 1992). Analisis asam amino
menggunakan metode HPLC dengan pereaksi ortoftaldehida (OPA). Prinsip dasarnya
yaitu pereaksi OPA akan bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa
yang mengandung merkaptoetanol membentuk senyawa yang berfluoresensi.
Senyawa berfluoresensi ini dapat dideteksi oleh detektor fluoresensi (Nur et. al.,
1992).
Tahapan analisis asam amino sebagai berikut :
1.
Sampel darah yang telah dihidrolisis dilarutkan dalam 5 ml HCl 0,01 N,
kemudia n disaring dengan kertas millipore 0,45 mikron.
2.
Penambahan buffer kalium borat pH 10,4 dengan perbandingan 1:1.
3.
Pada vial kosong yang bersih dimasukkan 10 µl sampel dan ditambahkan
25 µl pereaksi OPA, kemudian dibiarkan selama 1 menit agar proses
derivatisasi sempurna.
37
4.
Proses penginjeksian ke dalam kolom HPLC sebanyak 5 µl sampel,
dibutuhkan sekitar 25 menit sampai pemisahan semua asam amino
selesai.
5.
Perhitungan :
Konsentrasi asam amino (µmol AA) = Luas puncak sampel x konsentrasi standar
Luas puncak standar
Persentase asam amino (%) = ìmol AA x Mr. AA x 100
ìg sampel
3.2.1 Data dan Informasi Dikumpulkan
Data primer dikumpulkan berupa konsentrasi hemoglobin (Hb) darah, kadar
TAN darah dan asam amino dalam darah. Data primer tersebut diperoleh dari hasil
analisis laboratorium (subbab 3.3). Sedangkan data sekunder dikumpulkan berupa
informasi mengenai perikanan hiu di Palabuhanratu dan data yang berhubungan
dengan penggunaan darah untuk tujuan penangkapan dari Dinas Perikanan
Palabuhanratu, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palabuhanratu dan situs-situs internet
yang berhubunga n dengan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
3.4
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan penghitungan
rata-rata dan simpangan baku serta yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis sampel darah yang
digunakan, data yang telah dianalisis menggunakan rata-rata dan simpangan baku
akan dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) (Steel dan Torrie, 1993). Untuk
menghasilkan analisis sidik ragam, kadar Hb dan kadar TAN darah dianalisis
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), sedangkan asam amino dianalisis
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Uji lanjut yang digunakan adalah uji
beda nyata terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan masing- masing jenis sampel
darah. Selanjutnya dilakukan analisis pengelompokkan jenis darah berdasarkan nilai
38
rata-rata terbesar hingga terkecil menggunakan kaidah Student-Newman-Keul (S-NK) (Steel dan Torrie, 1993).
Data yang telah dianalisis tersebut diatas, selanjutnya akan dibandingkan
dengan data dan informasi yang terdapat pada literatur-literatur mengenai parameterparameter, seperti kepekatan warna darah, kadar amoniak darah dan jenis-jenis asam
amino dalam darah, yang memiliki hubungan dengan ketertarikan hiu terhadap
mangsanya yang berguna bagi pengumpulan hiu untuk tujuan penangkapan. Hasil
akhir adalah akan diperolehnya jenis darah yang terbaik dari sampel-sampel darah
yang telah dianalisis yang memiliki hubungan ketertarikan bagi hiu.
39
4.
4.1
KEADAAN UMUM PALABUHANRATU
Kondisi Goegrafis dan Prasarana Umum
Palabuhanratu merupakan kota yang termasuk wilayah kabupaten Sukabumi,
propinsi Jawa Barat. Palabuhanratu terletak pada 106°15’ - 106°31’ BT dan 06°55’ 07°07’ LS. Luas wilayahnya mencapai 27.210,13 ha, atau 0,59 % total wilayah
kabupaten Sukabumi.
Palabuhanratu yang berada di pantai selatan pulau Jawa merupakan daerah
potensi perikanan yang terdiri dari perairan ZEE Indonesia 490.432 ton/tahun dan
perairan Indonesia 162.242 ton/tahun, baru dimanfaatkan 31 % atau 103.878
ton/tahun (Anonymous, 2005). Oleh karena itu, kota tersebut memiliki sebuah
pelabuhan perikanan tipe B yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Palabuhanratu. Areal PPN Palabuhanratu seluas 102.000,00 m2 dikelola oleh UPTP
Departemen Kelautan dan Perikanan (Anonymous, 2004).
Salah satu sarana yang lebih menonjol di Palabuhanratu adalah tempat-tempat
wisata dan rekreasi. Tempat wisata yang berhubungan dengan pantai seperti pantai
Karang Hawu, pantai Citepus dan pantai Pondok Dewata menjadi tujuan utama
sebagian masyarakat Palabuhanratu bahkan terkenal sampai ke luar kota seperti
Jakarta, Bogor dan Sukabumi. Selain itu terdapat tempat-tempat wisata seperti sungai
Citarik, Goa Lalay dan pemandian air panas didaerah Cipanas.
Sarana transportasi dari dan menuju kota Palabuhanratu bisa menggunakan
Mini Bus dan Colt/L300, sedangkan terminalnya terletak tidak jauh dari PPN
Palabuhanratu kira-kira sejauh 500 m. Sarana dan prasarana lain yang terdapat di
Palabuhanratu diantaranya pasar ikan, pasar tradisional, restoran, penginapan yang
terdiri dari hotel berbintang dan hotel melati, temat-tempat ibadah dan lain- lain.
Unit usaha non perikanan yang terdapat di Palabuhanratu tahun 2003 berjumlah
318 unit. Unit usaha tersebut terdiri dari Koperasi Unit Desa (KUD) berjumlah 66
unit, Perseroan Terbatas (PT) berjumlah 24 unit dan Perseorangan berjumlah 228 unit
(Anonymous, 2003).
40
Jumlah unit usaha perikanan yang terdapat di Palabuhanratu tercatat pada tahun
2003 ada 854 unit dengan 2701 orang pekerja, terdiri dari 295 unit usaha pengolah
ikan asin dengan 890 orang pekerja, 324 unit usaha pengolah ikan pindang denga n
924 pekerja, 20 unit usaha pengolah terasi ikan dengan 22 orang pekerja, 203 unit
usaha pendinginan dengan 775 orang pekerja dan 12 unit usaha pembekua n dengan
90 orang pekerja (Anonymous, 2003).
4.2
Kondisi Perikanan Tangkap
4.2.1 Prasarana Perikanan
Palabuhanratu diresmikan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) pada
tanggal 18 Februari 1993. Berdasarkan kebutuhan untuk memenuhi atau melayani
kegiatan perikanan tangkap, fasilitas yang ada di PPN Palabuhanratu terdiri dari
fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang/tambahan (Anonymous,
2005).
Fasilitas pokok terdiri dari dermaga, kolam pelabuhan, breakwater, jaringan
drainase dan rambu navigasi. Dermaga dibagi menjadi 3 bagian yaitu dermaga
tambat kapal, dermaga bongkar ikan dan dermaga servis. Kolam pelabuhan memiliki
luas 3 Ha. dengan kedalaman bervariasi mulai dari 3 m, 2,5 m dan 2 m (Anonymous,
2005).
Fasilitas fungsional terdiri dari fasilitas pemasaran dan distribusi hasil, fasilitas
perbekalan air dan perbekalan BBM, fasilitas pemeliharaan/perbaikan, fasilitas
pengolahan berupa cold storage, kantor administrasi pelabuhan, balai pertemuan,
instalasi listrik, sarana komunikasi, dan fasilitas pendukung lainnnya. Fasilitas
pemasaran dan distribusi hasil tangkapan terdiri dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
dan
pasar ikan, sedangkan fasilitas pemeliharaan/perbaikan terdiri dari gedung
serbaguna, tempat perbaikan jaring, dok dan galangan kapal (Anonymous, 2005).
Fasilitas penunjang yang ada di PPN Palabuhanratu meliputi perumahan,
tempat ibadah (mushola), kantin, kios koperasi, pertokoan dan sarana kebersihan.
Fasilitas penunjang untuk perumahan terdiri dari 1 bua h rumah dinas kepala
41
pelabuhan, 1 buah rumah dinas syahbandar, 13 buah rumah karyawan dan wisma
tamu seluas 150 m2 (Anonymous, 2005).
4.2.2 Penangkapan Ikan di Palabuhanratu
(1)
Unit Penangkapan
Kapal/perahu perikanan yang berdomisili di PPN Palabuhanratu terbagi
menjadi dua kategori yaitu perahu motor tempel (PMT) dan kapal motor (KM).
Ditinjau dari jumlah kapal/perahu perikanan yang menggunakan PPN Palabuhanratu
sebagai fishing base tahun 2004 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2003
sebesar 149 unit atau 39,11 %. Jumlah kapal/perahu perikanan terendah sebesar 381
terjadi pada tahun 2003, sedangkan jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2004 dengan
530 unit (tabel 4).
Tabel 4. Perkembangan jumlah kapal/perahu perikanan yang menggunakan
PPN Palabuhanratu sebagai fishing base tahun 1994-2004
Jumlah Kapal/ Perahu Perikanan *)
No Tahun
Perahu Motor
Tempel (Unit)
Kapal Motor
(Unit)
Jumlah
(unit)
1
1994
344
101
445
2
1995
352
109
461
3
1996
365
123
488
4
1997
290
116
406
5
1998
275
146
421
6
1999
278
181
459
7
2000
235
181
416
8
2001
343
186
529
9
2002
317
135
452
10 2003
253
128
381
11 2004
266
264
530
Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004)
Keterangan : *) jumlah tertinggi tercatat di PPN Palabuhanratu
Perubahan
(%)
0
3.60
5.86
-16.80
3.69
9.03
-9.37
27.16
-14.56
-15.71
39,11
Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi dengan fishing base di PPN
Palabuhanratu selama 11 tahun terakhir mengalami fluktuasi (tabel 5). Pada tahun
42
2004 jumlah alat tangkap mengalami peningkatan sebesar 13,79 % dibandingkan
tahun 2003. Penurunan terbesar jumlah alat tangkap yang beroperasi di PPN
Palabuhanratu terjadi pada tahun 1998, yaitu 20,86 %. Hal ini diduga karena
terjadinya krisis ekonomi yang dampaknya sampai kepada sektor perikanan tangkap
khususnya di Palabuhanratu, sehingga banyak nelayan yang tidak dapat melaut.
Tabel 5. Perkembangan jumlah alat tangkap
Palabuhanratu tahun 1994-2004
yang beroperasi di PPN
Jumlah Alat Tangkap *)
Perubahan
(Unit)
(%)
1
1994
732
0
2
1995
735
0,41
3
1996
650
-11,56
4
1997
628
-3,38
5
1998
497
-20,86
6
1999
652
31,19
7
2000
555
-14,88
8
2001
674
21,44
9
2002
577
-14,39
10
2003
609
5,55
11
2004
693
13,79
Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004)
Keterangan : *) jumlah tertinggi tercatat di PPN Palabuhanratu
No
Tahun
Perkembangan jumlah nelayan yang beraktifitas di PPN Palabuhanratu dari
tahun 1994 sampai tahun 2004 mengalami fluktuasi (tabel 6). Selama kurun waktu 11
tahun, perubahan paling besar terjadi pada tahun 2003, jumlah nelayan mengalami
peningkatan sebesar 32,59 % dibandingkan tahun 2002. Jumlah nelayan terendah
terjadi pada tahun 2000 dengan 2.354 orang dan jumlah nelayan tertinggi terjadi pada
tahun 2004 dengan 3.439 orang. Nelayan gillnet adalah jumlah nelayan yang paling
banyak terdapat di PPN Palabuhanratu, sedangkan nelayan pancing adalah nelayan
yang paling sedikit beraktifitas di PPN Palabuhanratu.
43
Tabel
6.
Perkembangan jumlah nelayan
Palabuhanratu tahun 1994-2004
yang
beraktifitas
di
PPN
Jumlah Nelayan *)
Perubahan
(Orang)
(%)
1
1994
2.608
0
2
1995
2.718
4,22
3
1996
2.418
-11,04
4
1997
2.589
7,07
5
1998
2.694
4,06
6
1999
2.565
-4,79
7
2000
2.354
-8,23
8
2001
2.377
0,98
9
2002
2.519
5,97
10
2003
3.340
32,59
11
2004
3.439
2,96
Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004)
Keterangan : *) Jumlah tertinggi tercatat di PPN Palabuhanratu
No
(2)
Tahun
Hasil Tangkapan
Perkembangan produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu maupun
produksi ikan dari luar PPN Palabuhanratu dari tahun 1994 sampai tahun 2004
mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004, total produksi ikan di PPN Palabuhanratu
mencapai tingkat tertinggi sebesar 6.404 ton, namun pada tahun-tahun sebelumnya
total produksi ikan tidak pernah mencapai tingkat 5 ribu ton. Tingkat tertinggi kedua
terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 4.625 ton (gambar 6).
Jenis-jenis ikan dominan yang didaratkan oleh kapal-kapal perikanan di PPN
Palabuhanratu pada tahun 2004 yaitu cakalang, tongkol lisong, tongkol abu-abu,
tongkol banyar, tuna albakora, big eye tuna, yellow fin tuna, layur, eteman, tembang,
layang, peperek dan teri.
Ikan dominan yang paling banyak didaratkan di PPN
Palabuhanratu adalah ikan cakalang, produksinya mencapai 917 ton. Posisi kedua dan
ketiga adalah ikan yellow fin tuna sebesar 641 ton dan ikan peperek sebesar 331 ton.
44
7000
6000
5000
ton
4000
3000
2000
1000
0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
tahun
Ikan didaratkan di pelabuhan
Ikan dari luar pelabuhan
Jumlah produksi
Gambar 6. Perkembangan produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 19942004 (sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu, 2004)
(3)
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
Produk hasil perikanan yang terdapat di PPN Palabuhanratu terdiri dari ikan
segar/basah, ikan pindang, ikan asin, terasi, bakso ikan, abon ikan dan kerupuk ikan.
Untuk ikan segar selain di kota Palabuhanratu, distribusi dan pemasarannya masih
sekitar wilayah propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat seperti Jakarta, Sukabumi,
Bogor, Cianjur, Bandung, Cirebon dan bahkan mencapai Surabaya, Jawa Timur. Pada
tahun 2004 jumlah distribusi ikan segar untuk Jakarta mencapai 206 ton atau rata-rata
17,2 ton/bulan. Hal ini menunjukkan dari total produksi ikan segar PPN
Palabuhanratu tahun 2004 yang berjumlah 1.605 ton, 12,83 % didistribusikan untuk
kota Jakarta.
Pada tahun 2004, kota Bogor merupakan kota tujuan distribusi dan pemasaran
terbesar bagi produk hasil perikanan berupa ikan pindang dengan jumlah 292 ton atau
rata-rata 24,4 ton/bulan. Total distribusi ikan pindang PPN Palabuhanratu tahun 2004
mencapai 1.035 ton atau rata-rata 87,8 ton/bulan.
Distribusi ikan asin dari tahun 1994 sampai tahun 2004 cenderung meningkat
(gambar 7). Nilai distribusi tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan total 849 ton
atau rata-rata 74,5 ton/bulan. Pada tahun 1996, distribusi ikan asin sempat mengalami
45
nilai terendah dengan 5,6 ton, setelah tahun 1996 distribusi ikan asin ke berbagai
kota seperti Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung dan Palabuhanratu itu sendiri
mengalami peningkatan walaupun sempat beberapa kali mengalami penurunan nilai
distribusi pada tahun 2000 dan 2002.
2000
1800
1600
1400
ton 1200
1000
800
600
400
200
0
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
tahun
Ikan segar
Ikan pindang
Ikan asin
Gambar 7. Produksi ikan segar, ikan pindang dan ikan asin yang
didistribusikan dari PPN Palabuhanratu tahun 1994-2004
(sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu, 2004)
4.2.3 Penangkapan Ikan Hiu di Palabuhanratu
(1)
Unit Penangkapan
Secara umum ikan hiu dapat tertangkap menggunakan alat tangkap seperti
pukat ikan, pancing (Campagno, 1984a), jaring insang dan rawai (Sala, 1996). Data
yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan
dan Perikanan pada tahun 2005 (Anonymous, 2005), menyebutkan bahwa hiu dapat
tertangkap me nggunakan alat-alat tangkap seperti rawai tuna (tuna longline), rawai
hanyut (drift longline), jaring insang hanyut (drift gillnet). jaring insang tetap (set
gillnet), jaring insang lingkar (encircling gillnet), pancing ulur (hand line), trammel
net dan purse seine (tabel 7).
46
Tabel 7. Jenis-jenis alat tangkap yang dapat menangkap hiu
Jenis Hiu Tertangkap
Nama Ilmiah
Nama Indonesia
Isurus oxyrinchus
Hiu cakilan
Carcharias dussmieri
Hiu, cucut
Carcharhinus falfiformis
Hiu lanjaman
Sphyrna blochii
Hiu martil
1 Rawai tuna
Alopias superciliosis
Hiu pahitan
Prionace glaucu
Hiu slendang
Corchorinus sorrah
Hiu sorrah super
Carcharnus brevipina
Hiu super
Alopias pelgicus
Hiu tikus
Carcharias dussmieri
Hiu, cucut
Carcharhinus falfiformis
Hiu lanjaman
Isurus oxyrinchus
Hiu cakilan
2 Rawai hanyut
Alopias superciliosis
Hiu pahitan
Prionace glaucu
Hiu slendang
Alopias pelgicus
Hiu tikus
Centrophorus squamosus Hiu botol
Isurus oxyrinchus
Hiu cakilan
Carcharias dussmieri
Hiu, cucut
Carcharhinus falfiformis
Hiu lanjaman
Hiu martil
3 Jaring insang hanyut Sphyrna blochii
Alopias superciliosis
Hiu pahitan
Prionace glaucu
Hiu slendang
Corchorinus sorrah
Hiu sorrah super
Carcharnus brevipina
Hiu super
Alopias pelgicus
Hiu tikus
Carcharias dussmieri
Hiu, cucut
4 Jaring insang tetap
Alopias pelgicus
Hiu tikus
5 Jaring insang lingkar Carcharias dussmieri
Hiu, cucut
6 Pancing ulur
Isurus oxyrinchus
Hiu cakilan
Prionace glaucu
Hiu slendang
7 Trammel net
Alopias pelgicus
Hiu tikus
8 Purse seine
Carcharias dussmieri
Hiu, cucut
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005)
No
Alat Tangkap
Tidak terdapatnya alat tangkap yang khusus menangkap hiu di PPN
Palabuhanratu menyebabkan hiu di daerah ini tertangkap sebagai hasil tangkapan
sampingan dari alat tangkap pancing, gillnet, tuna longline dan rawai.
47
Kapal-kapal perikanan hiu atau armada penangkapan hiu yang khusus
menangkap hiu tidak ada yang berdomisili di PPN Palabuhanratu. Oleh karena itu,
kapal-kapal perikanan yang tersedia hanya menangkap hiu sebagai hasil tangkapan
sampingan dan sesuai dengan jenis alat tangkap yang dapat menangkap hiu.
Kapal-kapal perikanan tersebut diatas merupakan jenis kapal motor (KM)
dengan kategori-kategori seperti KM dibawah 10 GT, KM 11 – 20 GT, KM 21 - 30
GT dan KM diatas 30 GT (tabel 8). Frekuensi masuk kapal perikanan jenis kapal
motor yang dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu pada tahun 2003 berjumlah
1.589 unit. Kapal gillnet ukuran dibawah 10 GT memiliki frekuensi tertinggi,
sedangkan frekuensi terendah dimiliki oleh kapal rawai ukuran 11-20 GT.
Tabel 8. Frekuensi masuk dan keluar kapal perikanan jenis kapal motor yang
dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004
No
Kapal Motor
(Unit per Alat Tangkap)
Masuk
2003
2004
Purse seine
153
187
1
KM < 10 GT
Gillnet
796 1.603
Pancing ulur/Rawai
177
355
Gillnet
68
101
2
KM 11-20 GT
Rawai
5
45
Gillnet
42
99
3
KM 21-30 GT
Rawai
13
9
Gillnet
129
90
4
KM > 30 GT
Rawai
42
45
Tuna longline
164
323
Total
1.589 2.857
Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004)
Keluar
2003
2004
1.679
895
0
36
0
56
0
222
0
220
3.108
1.119
483
1.017
54
9
93
0
159
0
285
3.219
Pada tahun 2004 kapal gillnet ukuran dibawah 10 GT masih menjadi yang
terbesar dalam frekuensi masuk ke PPN Palabuhanratu yaitu 1.603 unit dan kapal
rawai dengan ukuran 21 -30 GT yang memiliki frekuensi masuk terendah yaitu 5 unit.
Jumlah keseluruhan frekuensi kapal masuk yang masuk ke PPN Palabuhanratu pada
tahun 2004 mengalami peningkatan sebesar 79,80 % dibandingkan tahun 2003.
48
Gambar 8 dan gambar 9 menyajikan histogram frekuensi kapal masuk dan
unit
kapal keluar yang dapat mendaratkan ikan hiu di PPN Palabuhanratu.
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Purse seine
Gillnet
Rawai/pancing Tuna longline
ulur
kapal perikanan
2003
2004
Gambar 8. Frekuensi masuk kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di
PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 (sumber : Statistik
Perikanan PPN Palabuhanratu, 2004)
1800
1600
1400
unit
1200
1000
800
600
400
200
0
Purse seine
2003
2004
Gillnet
Rawai/pancing Tuna longline
ulur
kapal perikanan
Gambar 9. Frekuensi keluar kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di
PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 (sumber : Statistik
Perikanan PPN Palabuhanratu, 2004)
Menurut Hendrotomo (1989), bahwa sekitar tahun 1988 di Palabuhanratu
terdapat unit penangkapan yang hasil tangkapan utamanya ikan hiu. Alat tangkap
yang spesifik menangkap ikan hiu itu dikenal dengan nama rawai cucut. Rawai cucut
yang digunakan umumnya dioperasikan pada permukaan air, oleh karena itu disebut
49
juga dengan rawai cucut permukaan. Alat tangkap ini dilengkapi oleh alat tangkap
drift gillnet yang berfungsi sebagai alat bantu untuk menangkap ikan yang akan
dijadikan umpan pada rawai.
(2)
Hasil Tangkapan
Hiu tidak termasuk kepada ikan dominan penting yang didaratkan di PPN
Palabuhanratu, kondisi ini terjadi antara lain karena tidak adanya alat tangkap yang
spesifik menangkap hiu. Ikan- ikan hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada
tahun 2004 terdiri dari berbagai jenis seperti hiu aron, hiu lanyam, hiu anjing, hiu
kebo, hiu botol, hiu buas, hiu caping, hiu laek, hiu koboy, hiu lutung, hiu omas dan
hiu monyet.
Tabel 9. Jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada tahun
2004
Jenis Hiu
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Nama
Palabuhanratu
Hiu anjing
Hiu aron
Hiu buas
Hiu caping
Hiu kebo
Hiu koboy
Hiu laek
Hiu lanjam
Hiu lutung
Hiu omas
Hiu monyet
Nama Ilmiah
Isurus oxyrinchus
Carcharhinus amblyrhynchos
Carcharhinus plumbeus
Sphyrna lewini
Carcharhinus brachyurus
Carcharhinus longimanus
Prionace glaucu
Carcharhinus melanopterus
Alopias superciliosus
Galeocerdo cuvieri
Alopias pelagicus
Total
Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004)
Produksi Nilai Produksi
(kg)
(Rp)
1.657
16.710
327
2.323
885
847
25.229
32.506
2.023
1.201
3.588
87.296
12.399.500
162.025.500
3.912.000
19.234.500
12.343.000
10.015.000
142.685.500
325.732.500
9.898.000
6.100.000
18.291.500
722.637.000
Jumlah produksi tahun 2003 mencapai 97,5 ton, dengan nilai produksi sebesar
Rp. 695 juta. Jenis hiu yang memiliki produksi tertinggi diperoleh dari hiu aron
(Carcharhinus amblyrhynchos) sebesar 44,3 ton dengan nilai produksi Rp. 367 juta,
sedangkan hiu koboy (Carcharhinus longimanus) merupakan jenis hiu yang paling
50
sedikit didaratkan di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dengan jumlah 303 kg dan nilai
produksinya hanya Rp. 3,5 juta.
Pada tahun 2004, jumlah hiu yang didaratkan menurun menjadi 87,3 ton (tabel
8), namun nilai produksinya meningkat menjadi Rp. 723 juta. Kalau pada tahun 2003
hiu aron menunjukkan jenis hiu yang paling sering didaratkan, maka pada tahun 2004
adalah hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus), dengan jumlah produksi 32,5 ton
dan nilai produksi Rp. 326 juta merupakan jenis hiu yang paling sering didaratkan di
PPN Palabuhanratu. Jenis hiu yang paling sedikit didaratkan adalah hiu buas dengan
jumlah produksi 327 kg dan nilai produksi Rp. 3,9 juta.
(3)
Daerah Penangkapan Ikan
Kapal motor yang berukuran dibawah atau sama dengan 10 GT yang membawa
alat tangkap yang dapat menangkap ikan hiu seperti purse seine dan rawai memiliki
daerah penangkapan ikan di sekitar teluk Palabuhanratu sampai ke daerah Ujung
Genteng, bahkan alat tangkap gillnet bisa mencapai perairan Cidaun dan Ujung
Kulon. Kapal motor yang berukuran diatas 10 GT dapat lebih memperluas daerah
penangkapan ikannya sampai ke perairan selatan Sumatera dan perairan selatan Jawa
Tengah, bahkan daerah penangkapan ikan kapal tuna longline yang berukuran diatas
31 GT bisa sampai ke Samudera Hindia.
(4)
Pemanfaatan dan Pemasaran Hasil Tangkapan
Ikan hiu merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis tinggi terutama
siripnya sehingga banyak nela yan yang sengaja menangkap hiu hanya untuk diambil
siripnya, sedangkan bagian tubuh lainnya dibuang ke laut. Kondisi ini juga terjadi di
Palabuhanratu, walaupun tidak ada data yang pasti, banyak dari jenis-jenis hiu yang
didaratkan di PPN Palabuhanratu hanya dimanfaatkan siripnya saja. Biasanya
konsumen-konsumen yang tertarik dengan sirip hiu mengolahnya menjadi sup sirip
hiu, atau pedagang besar mengekspornya setelah membelinya dari pedagangpedagang pengumpul.
Pemanfaatan lainnya yang bisa dilakukan terhadap daging hiu oleh sebagian
pendud uk Palabuhanratu adalah membuat menjadi ikan asin, tepung ikan, bakso ikan
51
dan abon, dengan pengolahan secara tradisional. Data yang menjelaskan tentang
produksi dan produsen pengolahan daging hiu secara tradisional tersebut masih
sangat terbatas.
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan
Perikanan pada tahun 2004 (Anonymous, 2005), hiu yang terdapat di Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) PPN Palabuhanratu hanya dipasarkan dalam bentuk ikan segar
atau basah. Pada tahun 2004, total volume jual jenis-jenis hiu di PPN Palabuhanratu
sebesar 39 ton dengan nilai jual mencapai Rp. 272 juta (tabel-9). Distribusi hiu
segar/basah hanya sekitar wilayah kecamatan Palabuhanratu, sedangkan sirip-sirip
hiu diekspor melalui pedagang-pedagang besar, umumnya ke negara-negara Asia
Timur. Harga jual hiu di PPN Palabuhanratu tergantung dari jenis dan ukuran hiu
tersebut. Ditinjau dari harga jualnya, hiu yang paling mahal adalah hiu jenis lanjam
dengan harga per kilogramnya Rp. 9.375,00.
Tabel 10. Volume jual dan harga jual hiu segar/basah di PPN Palabuhanratu
tahun 2004
Jenis Hiu
Volume Jual
Nilai Jual
(Nama Indonesia)
(Ton)
(Rp)
1 Hiu, Cucut
19
107.407.000
2 Hiu lanjaman
13
121.875.000
3 Hiu tikus
6
33.000.000
4 Hiu martil
1
9.111.000
Total
39
271.393.000
Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005)
No
Harga Jual
(Rp/Kg)
5.653
9.375
5.500
9.111
-
52
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rangsangan kimiawi yang berhubungan dengan bau, rasa dan penglihatan
memegang peranan penting dalam upaya-upaya pengumpulan ikan hiu untuk tujuan
melakukan penangkapannya. Didalam hal ini hiu akan berhadapan dengan substansi
kimiawi (bahan darah). Ketertarikan hiu terhadap darah akibat rangsangan kimiawi
yang dikeluarkan darah akan menyebabkan hiu mendekat atau mengumpul disekitar
substansi darah tersebut.
Hal diatas antara lain didasarkan pada sifat kesensitifan indera penciuman hiu
terhadap darah di suatu perairan. Poznanin (1970) vide Narsongko (1993)
menyatakan bahwa ikan hiu (Mustalus canis) mempunyai kemampuan mendeteksi
makanan dengan bantuan indera penciuman yang ditunjukkan oleh kegiatan sensorik
yang digantikan fungsinya oleh organ olfaktori. Bonaventura dan Bonaventura (1983)
dalam Zahuranec (1983) mengatakan bahwa organ olfaktori hiu dapat mendeteksi
substansi kimiawi sampai jarak ratusan meter. Engel (1979) vide Hendrotomo (1989)
menambahkan bahwa hiu dilengkapi organ pencium paling tajam yang dapat
menemukan tetesan darah dari jarak 400 m atau lebih.
5.1
Analisis Kepekatan Warna Darah
Sekitar 60 % volume sel darah merah (eritrosit) terdiri dari air dan sisanya
terdiri dari konjugasi protein berbentuk globin dan hem (heme). Pigmen yang
merupakan 4 % dari konjugasi protein disebut hemoglobin (Hb). Pigmen ini
memberikan warna merah pada darah segar (Brown, 1989).
Berikut ini (Tabel 11) adalah hasil pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dari
jenis sampel darah yaitu darah ikan hiu, darah ikan cakalang, darah ikan tongkol,
darah ikan pari, darah sapi, darah ikan tuna dan darah ikan layur.
53
Tabel 11. Hasil pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
Kadar Hb dalam Darah (g/ml)
Hiu Cakalang Tongkol Pari Sapi Tuna Layur
1
71
61
55
48
45
37
28
2
63
60
50
47
43
44
32
3
69,5
54
41
47
40
45
31
Rata-rata
67,83
58,33
48,67
47,33 42,67 42,00 30,33
Simpangan Baku 3,47
3,09
5,79
0,47 2,05 3,56
1,70
Ulangan ke-
Rata-rata kadar Hb sampel darah ikan hiu menunjukkan nilai yang paling
tinggi dibandingkan dengan sampel darah cakalang, tongkol, tuna, layur, pari dan
sapi. Darah hiu memiliki kadar Hb sebesar 67,83 g/ml. Sampel darah layur memiliki
kadar Hb sebesar 42,67 g/ml atau menunjukkan rata-rata nilai kadar Hb yang paling
rendah. Jadi, dapat dinyatakan bahwa warna darah hiu paling pekat dibandingkan
dengan jenis darah sampel- sampel yang lain, sedangkan warna darah ikan layur
memiliki kepekatan yang terendah diantara jenis-jenis darah yang dianalisis. Secara
berurutan, tingkat kepekatan warna darah dari sampel darah adalah (1) darah ikan hiu,
(2) darah ikan cakalang, (3) darah ikan tongkol, (4) darah ikan pari, (5) darah sapi, (6)
darah ikan tuna (7) darah ikan layur.
70.00
60.00
mg/l
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Hiu
Cakalang
Tongkol
Pari
Sapi
Tuna
Layur
Jenis darah
Gambar 10. Rata-rata kadar hemoglobin (Hb) yang diukur dari be berapa jenis
darah
Bila ditinjau dari jenis sampel darah dari jenis-jenis ikan yang dimangsa hiu,
maka kadar Hb darah cakalang merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 58,33 g/ml.
Hal ini berarti bahwa warna darah cakalang lebih pekat dibandingkan dengan jenis-
54
jenis sampel darah ikan yang dimangsa hiu. Dengan demikian, dapat diduga bahwa
darah ikan cakalang lebih menarik bagi hiu dibandingkan dengan darah-darah sampel
yang lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hendrotomo (1989)
menggunakan daging ikan seperti cakalang, lumba-lumba dan lemadang, bahwa hiu
lebih tertarik terhadap umpan ikan cakalang karena warna darahnya merah pekat
kandungan darahnya tinggi dan dagingnya lebih tebal. Selanjutnya, tingkat
ketertarikan ikan hiu terhadap darah dari jenis ikan yang dimangsa hiu secara
berturut-turut dapat diduga adalah darah ikan tongkol, darah ikan pari, darah ikan
tuna dan darah ikan layur.
Tabel 12. Analisis sidik ragam kadar hemoglobin (Hb) pada jenis sampel darah
yang berbeda
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah
Db
F-hitung F-tabel
(SK)
(JK)
(KT)
Sampel Darah
6
2632,17
438,69
27,24
2,85
Galat
14
225,5
16,11
Total
20
2857,67
Berdasarkan analisis sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) terhadap tujuh sampel darah diatas menghasilkan F-hitung (27,24) lebih besar
dari F-tabel (2,85) (Tabel 12). Hal ini menyimpulkan bahwa jenis-jenis sampel darah
yang berbeda adalah berpengaruh secara nyata terhadap kadar Hb darah pada taraf á
= 5 %. Dengan demikian, secara analo g, sampel-sampel darah yang digunakan juga
berpengaruh sangat nyata terhadap kepekatan warna darah.
Untuk mengetahui perbedaan rata-rata setiap perlakuan jenis sampel darah
yang berbeda maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) terhadap kadar Hb
(Tabel 13).
55
Tabel 13. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda
terhadap rata-rata kadar Hemoglobin.
Sampel
Selisih Perlakuan
Darah Cakalang Tongkol Tuna
Layur
Pari
Cakalang
9.67** 16.33** 28.00** 58.11**
Tongkol
6.67
18.33** 1.33
Tuna
11.67** 5.33
Layur
17.00**
Pari
Hiu
Sapi
Keterangan :
* = berbeda nyata pada taraf á = 5 %
** = berbeda sangat nyata á = 1 %
tanpa tanda * = tidak berbeda
BNT ( á )
0,05 0,01
Hiu
Sapi
9.50** 15.67**
19.17** 6.00
25.83** 0.67
37.50** 12.33** 6.95 9.21
20.50** 4.67
25.17**
-
Berdasarkan uji BNT diatas dapat diketahui bahwa secara umum nilai kadar Hb
darah hiu, bila dibandingkan dengan nilai kadar Hb darah sampel-sampel yang lain,
adalah berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 %. Kondisi yang sama juga terjadi pada
nilai kadar Hb darah cakalang, bila dibandingkan dengan nilai kadar Hb darah
sampel-sampel yang lain yaitu berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 %. Selanjutnya,
nilai kadar Hb darah layur adalah berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 % terhadap
semua jenis darah sampel yang dianalisis.
Untuk perbandingan masing- masing nilai kadar Hb darah selain darah hiu dan
darah cakalang adalah sangat beragam. Nilai kadar Hb darah tongkol berbeda sangat
nyata pada taraf á=1 % terhadap darah layur dan darah hiu. Nilai kadar Hb darah
tuna bila dibandingkan dengan nilai kadar Hb darah layur dan darah hiu adalah
berbeda sangat nyata pada taraf á =1 %, tetapi nilai kadar Hb darah tuna tersebut
tidak berbeda bila dibandingkan dengan nilai kadar Hb darah tongkol, darah pari dan
darah sapi. Selanjutnya, nilai kadar Hb darah pari adalah berbeda sangat nyata pada
taraf á = 1 % terhadap darah cakalang, darah layur dan darah hiu. Nilai kadar Hb
darah sapi berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 % terhadap darah cakalang, darah
layur dan darah hiu.
Dari hasil diatas didapatkan 4 kelompok sampel darah yang secara berurutan
memiliki kepekatan darah tertinggi sampai dengan terendah yaitu (1) darah hiu, (2)
56
darah cakalang, (3) darah tongkol, darah pari, darah sapi atau darah tuna dan (4)
darah layur. Sehubungan dengan hal-hal diatas, maka dapat dinyatakan bahwa
ketertarikan ikan hiu terhadap darah-darah sampel secara berturut-turut, tertinggi
adalah darah ikan hiu sendiri, selanjutnya adalah darah ikan cakalang, sedangkan
darah ikan tongkol, darah ikan pari, darah sapi dan darah ikan tuna berada pada
ketertarikan hiu urutan ketiga, dan darah ikan layur pada urutan terakhir.
Kelompok 1
Kelompok 3
Kelompok 2
Hiu
Cakalang
67,83
g/ml
58,33 g/ml
Kelompok 4
Layur
Tongkol
Pari
Sapi
Tuna
48,67 g/ml
47,33 g/ml
42,67 g/ml
42,00 g/ml
30,33
g/ml
(6)B1
Tahap 1
(4)B1
(5)B1
(3) B1
(2) B1
(1) B1
(3) S
Tahap 2
(2) B1
(1) B1
Keterangan :
(1), (2), (3),…..= urutan langkah
B1 = berbeda nyata pada taraf á = 1 %
B2 = berbeda nya ta pada taraf á = 5 %
S = tidak berbeda pada taraf á = 1 %
= garis hubungan
Gambar 11. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap kepekatan warna
darah sampel menggunakan analisis pengelompokan
Menurut Fujaya (2002) bahwa yang menentukan tinggi rendahnya kadar Hb
dalam darah adalah hematokrit dan aktivitas organisme tersebut. Hubungan antara
hemoglobin, hematokrit dan aktivitas organisme adalah berbanding lurus. Jadi,
semakin tinggi kadar hematokrit dalam darah suatu organisme maka semakin tinggi
pula kadar hemoglobinnya dan sebaliknya. Demikian pula dengan semakin tinggi
57
aktifitas suatu organisme maka semakin tinggi pula kadar hemoglobinnya dan
sebaliknya.
5.2
Analisis Total Amoniak Nitrogen (TAN)
Amoniak adalah bentuk utama ekskresi nitrogen oleh kebanyakan hewan
akuatik. Ikan- ikan teleostei mengekskresikan 60 % sampai 90 % nitrogen dalam
bentuk amoniak ke perairan dan sebagian besar dikeluarkan oleh insang. Bentuk lain
dari ekskresi nitrogen adalah urea, kreatin, kreotenin, trimetilalanin oksida dan asam
amino. Amoniak yang masuk ke perairan adalah sebagai hasil katabolisme protein.
Laju amoniak akan meningkat dengan cepat sebagai respon terhadap penambahan
protein pakan atau protein bahan yang dimasukkan ke dalam perairan (Saridewi,
1998).
Rougley (1974) vide Wirianata (1982) menyatakan bahwa sifat hiu yang sering
dimanfaatkan dalam teknik penangkapan adalah reaksinya terhadap bau darah. Hal
serupa juga diungkapkan oleh Engel (1979) vide Hendrotomo (1989) bahwa
meskipun ikan hiu berburu sendiri-sendiri, namun bau darah cukup untuk
mengumpulkan kawanan hiu. Ikan- ikan hiu tidak akan memperdulikan resiko, bila
salah satu hiu terluka maka hiu lainnya dengan seketika akan berbalik menyerang hiu
yang terluka tersebut.
Tabel 14. Hasil pengukuran kadar TAN dalam darah.
Ulangan ke-
Sapi
1
308,3
2
304,2
3
291,7
Rata-rata
301,4
Simpangan Baku 7,06
Hiu
223
143,9
119,4
162,1
44,21
TAN dalam Darah (ppm)
Tuna Cakalang Tongkol
Pari
150,5
118,3
110,8
113,2
150,7
123
124,5
99,7
117,3
109,3
102,9
120,3
139,5
116,87
112,73 111,07
15,70
5,68
8,92
8,54
Layur
119,2
98,7
97,8
105,23
9,88
Tabel 14 dan gambar 12 diatas menyajikan hasil pengukuran Total Amoniak
Nitrogen (TAN) dari sampel-sampel darah yang diidentifikasi dan histogramnya.
Darah sapi memiliki rata-rata kadar TAN tertinggi yaitu sebesar 301,4 ppm
58
dibandingkan dengan jenis sampel-sampel darah yang lain. Sampel darah ikan hiu
dan darah ikan tuna memiliki rata-rata kadar TAN tertinggi kedua dan ketiga, masingmasing sebaesar 162,1 ppm dan 139,5 ppm, sedangkan sampel darah ikan cakalang,
tongkol, layur dan pari memiliki rata-rata kadar TAN yang konsentrasinya tidak
berbeda jauh masing- masing sebesar 116,9 ppm, 112,7 ppm, 105,2 ppm dan 111,1
ppm, atau berkisar 105,2 – 116,9 ppm. Semakin tinggi kadar TAN semakin tinggi
pula “bau” yang ditimbulkannya, dengan demikian dapat dinyatakan untuk sementara
bahwa darah sapi memiliki kadar bau yang lebih tinggi dibandingkan sampel-sampel
darah lainnya.
350.00
300.00
ppm
250.00
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
Sapi
Hiu
Tuna
Cakalang
Tongkol
Pari
Layur
jenis darah
Gambar 12. Rata-rata kadar TAN yang diukur dari beberapa jenis darah
Hendrotomo (1989) menjelaskan bahwa umpan daging hiu setelah direndam
dalam air laut, warnanya menjadi putih, teksturnya mengeras dan bau amis dari darah
segar berganti dengan bau pesing. Kondisi umpan seperti ini diduga dapat
menyebabkan umpan daging hiu kurang menarik perhatian ikan hiu untuk mendekat.
Zat yang dapat dijadikan indikator bau pesing tersebut adalah amoniak. Wibowo dan
Susanto
(1995)
menambahkan
bahwa
amoniak
berasal
dari
urea
yang
mengangkibatkan bau yang sngat khas yaitu bau pesing.
Sehingga dari penjelasan Hendrotomo diatas, dapat dinyatakan bahwa darah
yang memiliki kadar bau pesing yang tinggi akan memberikan pengaruh daya tarik
yang lemah terhadap ikan hiu, sebaliknya jika darah yang memiliki kadar bau pesing
yang rendah akan memberikan pengaruh daya tarik yang lebih kuat terhadap ikan hiu.
59
Berdasarkan hasil analisis TAN (Tabel 14), darah sapi ditinjau dari kadar bau
pesingnya, diduga memiliki daya tarik yang lebih lemah bagi hiu dibanding sampelsampel darah lainnya. Sampel-sampel darah yang memiliki kadar bau pesingnya
rendah berkisar antara 105,2 – 116,9 ppm seperti darah layur, darah pari, darah
tongkol dan darah cakalang diduga memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi hiu.
Tabel 15. Analisis sidik ragam kadar TAN pada jenis sampel darah yang
berbeda
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah
db
F-hitung F-tabel
(SK)
(JK)
(KT)
Sampel Darah
6
87554,78
14592,46
26,88
2,85
Galat
14
7599,99
542,86
Total
20
95154,77
Berdasarkan analisis sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) diperoleh F- hitung (26,88) lebih besar dari F-tabel (2,85) (Tabel 15). Dapat
dinyatakan bahwa jenis-jenis darah yang berbeda berpengaruh secara nyata terhadap
kadar TAN darah pada taraf á = 5 %.
Untuk mengetahui perbedaan rata-rata setiap perlakuan jenis sampel darah
yang berbeda maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) terhadap kadar TAN
dalam darah (Tabel 16).
Tabel 16. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda
terhadap rata-rata kadar TAN
Sampel
Selisih Perlakuan
Darah Cakalang Tongkol Tuna Layur
Pari
Hiu
Cakalang
4,13
22,63 11,63
5,80 45,23*
Tongkol
26,77 7,50
1,67 49,37*
Tuna
34,27 28,43 22,60
Layur
5,83 56,87**
Pari
51,03*
Hiu
Sapi
Keterangan :
* = berbeda nyata pada taraf á = 5 %
** = berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 %
tanpa tanda * = tidak berbeda
BNT ( á )
0,05 0,01
Sapi
184,53**
188,67**
161,90**
196,17** 40,35 53,47
190,33**
139,30**
-
60
Berdasarkan hasil analisa uji BNT pada tabel 16, diketahui bahwa secara
umum nilai kadar TAN darah sapi bila dibandingkan dengan nilai kadar TAN darahdarah sampel yang lain adalah berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 %. Nilai kadar
TAN darah hiu bila dibandingkan dengan kadar TAN darah sampel-sampel lainnya
adalah beragam. Pada taraf á = 1 %, kadar TAN darah hiu adalah berbeda sanga t
nyata hanya terhadap nilai kadar TAN darah layur, sedangkan pada taraf á = 5 %
kadar TAN darah hiu adalah berbeda nyata terhadap kadar TAN darah cakalang,
darah tongkol dan darah pari. Sebaliknya, nilai kadar TAN darah hiu adalah tidak
berbeda bila dibandingkan dengan nilai kadar TAN darah tuna.
Kelompok 1
Kelomp ok 2
Sapi
Hiu
Tuna
Cakalang
Tongkol
Pari
Layur
301,4
ppm
162,1
ppm
139,50 ppm
116,87 ppm
112,73 ppm
111,07 ppm
105,23 ppm
Kelompok 3
(3) S
(2) B1
(1) B1
Keterangan :
(1), (2), (3) …. = urutan langkah
B1 = berbeda nyata pada taraf á = 1 %
B2 = berbeda nyata pada taraf á = 5 %
S = tidak berbeda pada taraf á = 1 %
= garis hubungan
Gambar 13. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap kadar bau darah
menggunakan analisis pengelompokan
Untuk perbandingan nilai kadar TAN masing- masing darah seperti darah tuna,
cakalang, tongkol, pari dan layur adalah tidak berbeda nyata pada taraf á = 5 %. Hasil
dari uji BNT diatas didapatkan 3 kelompok sampel darah yang memiliki kadar TAN
berbeda: (1) darah sapi adalah yang tertinggi, (2) kedua tertinggi adalah darah hiu, (3)
terendah adalah darah tuna, darah cakalang, darah tongkol, darah pari atau darah
61
layur. Sehingga, dapat dinyatakan bahwa darah tuna, darah cakalang, darah tongkol,
darah pari atau darah layur ditinjau dari kadar TAN memiliki karakteristik bau yang
sama dan memiliki bau yang paling rendah dibanding terhadap darah hiu dan darah
sapi.
5.3
Analisis Asam Amino
Asam amino adalah salah satu substansi kimia yang sangat sensitif terhadap
indera pengecapan ikan. Alanina, glisina dan prolina merupakan jenis asam amino
utama perangsang nafsu makan pada beberapa spesies ikan meskipun komposisi asam
amino aktif ini berbeda untuk setiap spesies ikan (Fujaya, 2002).
Untuk pengujian asam amino yang dilakukan menggunakan HPLC diperoleh 15
jenis asam amino dari masing- masing sampel. Berikut ini (tabel 17) adalah hasil
pengukuran 15 jenis asam amino yang dapat dideteksi dari beberapa sampel darah
yang berbeda.
Tabel 17. Hasil pengukura n jenis-jenis asam amino dalam sampel darah
No Jenis Asam Amino
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Aspartat
Glutamat
Serina
Histidina
Glisina
Threonina
Arginina
Alanina
Tirosina
Methionina
Valina
Fenilalanina
Isoleusina
Leusina
Lisina
Konsentrasi Asam Amino dalam Darah (%)
Cakalang Tongkol Tuna Layur Pari Hiu
0,37
0,29
0,76 0,63 0,59 0,37
0,40
0,22
0,64 0,92 0,73 0,97
0,17
0,12
0,38 0,38 0,21 0,41
0,16
0,10
0,32 0,35 0,39 0,36
0,18
0,12
0,35 0,36 0,26 0,37
0,19
0,12
0,31 0,38 0,29 0,41
0,19
0,12
0,36 0,41 0,26 0,44
0,54
0,29
0,71 0,71 0,72 0,77
0,13
0,11
0,30 0,28 0,19 0,29
0,15
0,08
0,20 0,18 0,13 0,18
0,30
0,15
0,43 0,37 0,35 0,42
0,23
0,13
0,41 0,37 0,39 0,42
0,26
0,13
0,33 0,34 0,17 0,38
0,49
0,27
0,74 0,65 0,63 0,73
0,41
0,42
0,64 0,58 0,55 0,65
Sapi
0,93
1,15
0,60
0,42
0,38
0,57
0,46
0,60
0,38
0,11
0,70
0,56
0,19
1,03
0,76
Asam-asam amino yang berhasil dideteksi memiliki rantai cabang (R) yang
berbeda ukuran, bentuk, reaktivitas dan muatannya. Beberapa diantaranya memiliki
62
rantai cabang gugus alifatik, aromatik, hidroksil dan ada juga yang bermuatan positif
atau negatif.
Pada darah ikan cakalang diperoleh asam amino jenis alanina yang memiliki
nilai tertinggi dengan 0,54 %. Alanina merupakan asam amino yang memiliki rantai
cabang berupa metil. Jenis asam amino yang memiliki nilai tertinggi pada darah
layur, pari, hiu dan sapi didominasi oleh jenis glutamat, masing masing dengan nilai
0,92 %, 0,73 %, 0,97 % dan 1,15 %. Asam amino jenis glutamat merupakan asam
amino yang berantai cabang asam dan bermuatan negatif. Pada darah tongkol nilai
tertinggi diperoleh dari asam amino jenis lisina dengan 0,42 %. Lisina memiliki rantai
cabang yang bermuatan positif dan negatif tergantung lingkungannya. Jenis Aspartat
dengan nilai 0,76 % merupakan yang tertinggi diperoleh pada darah tuna. Aspartat
memiliki rantai cabang yang sama dengan asam amino jenis glutamat yaitu berantai
cabang asam dan bermuatan negatif. Untuk lebih jelas tentang jenis asam amino yang
memiliki persentase nilai tertinggi pada setiap sampel darah, akan disajikan pada
tabel 18.
Tabel 18. Jenis asam amino yang memiliki konsentrasi tertinggi pada setiap
sampel darah
No
1
2
3
4
5
6
7
Jenis Darah
Cakalang
Tongkol
Tuna
Layur
Pari
Hiu
Sapi
Asam Amino
Tertinggi
Alanina
Lisina
Aspartat
Glutamat
Glutamat
Glutamat
Glutamat
Nilai
(%)
0,54
0,42
0,76
0,92
0,73
0,97
1,15
Rantai Cabang
Metil
Muatan positif dan negatif
Asam dan muatan negatif
Asam dan muatan negatif
Asam dan muatan negatif
Asam dan muatan negatif
Asam dan muatan negatif
Jenis asam amino aspartat dengan nilai tertinggi yaitu sebesar 0,93 % terdapat
pada sampel darah sapi, sedangkan nilai terendahnya terdapat pada sampel darah ikan
tongkol yaitu sebesar 0,29 %. Nilai tertinggi jenis glutamat terdapat pada sampel
darah sapi yaitu sebesar 1,15 %, sedangkan nilai terendahnya terdapat sampel darah
63
ikan tongkol yaitu sebesar 0,22 %. Jenis asam amino aspartat dan glutamat
mempunyai rantai cabang berupa asam dan bermuatan negatif.
Leusina dan isoleusina merupakan jenis asam amino yang memiliki rantai
cabang alifatik. Nilai tertinggi untuk leusina terdapat pada sampel darah sapi yaitu
sebesar 1,03 % dan nilai terendahnya pada sampel darah tongkol yaitu 0,27 %. Untuk
isoleusina, nilai tertingginya terdapat pada sampel darah ikan hiu yaitu 0,38 %,
sedangkan nilai terendahnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,13 %.
Rantai cabang gugus alifatik mempunyai bentuk lain berupa penambahan OH
yang disebut rantai cabang gugus alifatik hidroksil. Serina dan threonina termasuk
jenis asam amino yang memiliki rantai cabang alifatik hidroksil. Untuk nilai tertinggi
asam amino serina yaitu 0, 60 % terdapat pada sampel darah sapi, sedangkan nilai
terendahnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,12 %. Nilai tertinggi untuk
asam amino treonina juga terdapat pada sampel darah sapi yaitu 0,57 dan nilai
terendahnya juga terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,10 %.
Terdapat tiga jenis asam amino yang memiliki rantai cabang positif maupun
negatif. Ketiga asam amino tersebut, juga merupakan asam amino yang mempunyai
rantai cabang gugus basa. Nilai tertinggi asam amino tersebut yaitu lisina, arginina
dan histidina terdapat pada sampel darah sapi yaitu masing- masing sebesar 0,76 %,
0,46 % dan 0,42 %.
Rantai cabang gugus aromatik dimiliki oleh asam amino seperti fenilalanina,
tirosina dan triftofan, namun yang terdeteksi secara nyata hanya jenis fenilalanina dan
tirosina. Nilai tertinggi jenis fenilalanina dan tirosina terdapat pada sampel darah sapi
yaitu masing- masing sebesar 0,56 % dan 0,38 %, sedangkan untuk nilai terendahnya
terdapat pada sampel darah tongkol yaitu masing- masing sebesar 0,13 % dan 0,11 %.
Methionina merupakan jenis asam amino yang memiliki rantai cabang atom
belerang. Nilai tertinggi methionina yaitu sebesar 0,20 % dan nilai terendahnya yaitu
sebesar 0,08 %. Nilai tertinggi tersebut terdapat pada sampel darah tuna, sedangkan
nilai terendahnya terdapat pada sampel darah tongkol. Terdapat satu jenis asam
amino yang memiliki rantai cabang yang sam dengan methionina yaitu sisteina,
namun jenis tersebut tidak dapat terdeteksi secara nyata.
64
Dibandingkan terhadap 3 jenis utama asam amino yang paling sensitif terhadap
indera pengecapan hewan aquatik menurut Fujaya (2002), hanya asam amino jenis
alanina dan glisina yang berhasil dideteksi, sedangkan prolina tidak terdeteksi secara
nyata. Alanina dan glisina masing- masing memiliki rantai cabang berupa metil dan
atom H.
Tabel 19. Konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang nafsu makan
ikan (alanina dan glisina) pada sampel darah
Jenis
Asam Amino
1
Alanina
2
Glisina
Rata-rata
Simpangan Baku
No
Hiu
0,77
0,37
0,570
0,200
Konsentrasi Asam Amino dalam Darah (%)
Layur Tuna Pari
Sapi Cakalang Tongkol
0,71
0,71 0,72
0,60
0,54
0,29
0,36
0,35 0,26
0,38
0,18
0,12
0,535 0,530 0,490 0,490
0,360
0,205
0,175 0,180 0,230 0,110
0,180
0,085
Berikut ini (gambar 11) disajikan histogram persentase jenis utama asam
amino yang paling sensitif terhadap indera pengecapan hewan aquatik yaitu alanina
dan glisina dari sampel darah seperti darah hiu, darah pari, darah tuna, darah layur,
darah sapi, darah cakalang dan darah tongkol.
0.8
persentase (%)
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Hiu
Glisina
Pari
Alanina
Tuna
Layur
Sapi
Cakalang
Tongkol
jenis darah
Gambar 14. Konsentrasi jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan
(alanina dan glisina ) dalam darah
Nilai terbesar alanina terdapat pada sampel darah hiu yaitu 0,77 %, sedangkan
nilai terkecilnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,29 %. Untuk nilai
65
terbesar jenis glisina terdapat pada sampel darah sapi yaitu 0,38 % dan nilai
terkecilnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,12 %. Bila ditinjau dari nilai
rata-rata kedua jenis asam amino tersebut, bahwa darah hiu memiliki rata-rata
terbesar yaitu 0,570 %, sedangkan darah ikan tongkol memiliki rata-rata terkecil yaitu
0,205 %.
Berdasarkan pernyataan Fujaya (2002) bahwa alanina merupakan jenis utama
perangsang nafsu makan pada ikan maka dapat diasumsikan bahwa jika terdapat
alanina pada suatu perairan maka ikan hiu diduga akan segera bereaksi. Meskipun
pada konsentrasi yang rendah yakni 10-7 dan 10-9 m, asam amino tetap mampu
dideteksi oleh lebih dari 20 spesies ikan air tawar dan ikan air laut. Semakin tinggi
kadar alanina pada suatu perairan berarti semakin cepat reaksi hiu. Dapat diduga,
darah hiu ditinjau dari kecepatan reaksi ikan hiu akibat daya tarik rangsangan nafsu
makan, memberikan reaksi yang paling cepat bagi hiu dibandingkan dengan jenis
sampel darah yang lainnya. Secara berurutan, sampel darah yang memberikan reaksi
tercepat sampai terlambat setelah sampel darah ikan hiu ditinjau dari kadar
alaninanya adalah darah ikan pari, darah ikan tuna dan darah ikan layur, darah sapi,
darah ikan cakalang dan darah ikan tongkol.
Asumsi untuk asam amino jenis glisina juga sama yaitu jika terdapat glisina
pada suatu perairan maka ikan hiu diduga akan segera bereaksi. Semakin tinggi kadar
glisina pada suatu perairan berarti semakin cepat reaksi hiu. Dapat dianalogikan,
darah sapi ditinjau dari kecepatan reaksi ikan hiu akibat daya tarik rangsangan nafsu
makan, memberikan reaksi yang paling cepat bagi hiu dibandingkan dengan jenis
sampel darah yang lainnya, urutan kedua sampai terakhir adalah darah ikan hiu, darah
ikan layur, darah ikan tuna, darah ikan pari, darah ikan cakalang dan darah ikan
tongkol.
Berdasarkan analisis sidik ragam (tabel 20) menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK), dapat disimpulkan bahwa jenis asam amino utama perangsang
nafsu makan yang berbeda dalam hal ini glisina dan alanina memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap nilai persentase asam amino pada taraf á = 5 %, karena
F-hitung (74,79) lebih besar daripada F-tabel (5,99). Begitu juga dengan jenis sampel
66
darah yang berbeda, karena F-hitung (6,43) lebih besar F-tabel (4,28) maka
kesimpulannya adalah jenis sampel darah memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap nilai persentase asam amino pada taraf á = 5 %.
Tabel 20. Analisis sidik ragam konsentrasi jenis-jenis asam amino utama
perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina) pada sampel
darah
Sumber Keragaman
(SK)
Jenis Asam Amino
Sampel Darah
Galat
Total
db
1
6
6
13
Jumlah Kuadrat
(JK)
0,3845
0,1984
0,0308
0,6137
Kuadrat Tengah
(KT)
0,384
0,033
0,005
F-hitung
F-tabel
74,79
6,43
5,99
4,28
Tabel 21. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda
terhadap kadar asam amino jenis utama perangsang nafsu makan
ikan (alanina dan glisina)
Sampel
Selisih perlakuan
Darah
Hiu
Pari
Tuna Layur Sapi Cakalang
Hiu
0,080 0,040 0,035 0,080
0,210
Pari
0,040 0,045 0,000
0,130
Tuna
0,005 0,040
0,170
Layur
0,045
0,175
Sapi
0,130
Cakalang
Tongkol
Keterangan :
* = berbeda nyata pada taraf á = 5 %
** = berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 %
tanpa tanda * = tidak berbeda
BNT (á)
Tongkol 0,05 0,01
0,365**
0,285*
0,325*
0,330** 0,23 0,33
0,285*
0,155
-
Berdasarkan uji BNT terhadap kadar asam amino jenis alanina (Tabel 21)
diperoleh kesimpulan bahwa secara umum bahwa kadar alanina pada masing- masing
sampel darah tidak memberikan pengaruh yang berbeda, kecuali pada sampel darah
ikan tongkol. Sampel darah ikan tongkol memberikan pengaruh yang berbeda nyata
bila dibandingkan dengan sampel-sampel darah yaitu darah hiu, darah pari, darah
67
tuna, darah layur dan darah sapi pada taraf á = 5 %, tetapi darah tongkol tidak
berbeda bila dibandingkan dengan darah cakalang.
Hasil analisis pengelompokan nilai rata-rata terbesar hingga terkecil diperoleh 5
kelompok darah yang memiliki konsentrasi asam amino (alanina dan glisina)
perangsang nafsu makan ikan yang berbeda, yaitu kelompok (1) tertinggi adalah
darah ikan hiu, kelompok (2) adalah darah ikan layur, kelompok (3) adalah darah ikan
tuna, kelompok (4) adalah darah sapi atau darah ikan pari dan kelompok (5) adalah
darah ikan cakalang atau darah ikan tongkol. Dengan demikian, dapat diduga bahwa
jenis darah ikan hiu diduga memiliki daya tarik yang “terbaik” terhadap kecepatan
reaksi hiu ditinjau dari nafsu makan hiu dibandingkan dengan kelompok darah
lainnya. Selanjutnya secara berurutan adalah darah ikan layur, darah ikan tuna, darah
sapi atau darah ikan pari, darah ikan cakalang atau ikan tongkol.
Kelompok
1
Kelompok
2
Hiu
Layur
Tuna
0,570 %
0,535 %
0,530 %
Kelompok
3
Kelompok
4
Sapi
0,490 %
Kelompok
5
Pari
0,490 %
Cakalang
0,360 %
(5)B2
(3) B2
(1) B1
Keterangan :
Tongkol
0,205 %
(6)S
(4)B2
(2) B1
(1), (2), (3) …. = urutan langkah
B1 = berbeda nyata pada taraf á = 1 %
B2 = berbeda nyata pada taraf á = 5 %
S = tidak berbeda pada taraf á = 1 %
= garis hubungan
Gambar 15. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap konsentrasi jenis
asam amino utama (alanina dan glisina) perangsang nafsu makan
pada ikan menggunakan analisis pengelompokan
68
5.4
Hubungan Kadar Hemaglobin (Hb), Total Amoniak Nitrogen (TAN) dan
Jenis-jenis Asam Amino dalam Darah
Berdasarkan penjelasan sebelumnya (subbab 5.1), yaitu semakin tinggi kadar
Hb maka warna darah sampel akan semakin pekat, hal ini akan memberikan pengaruh
daya tarik yang kuat terhadap reaksi ikan hiu. Nilai rata-rata kadar Hb darah hiu yaitu
67,83 g/ml, ditinjau dari pengaruh daya tariknya terhadap reaksi ikan hiu, diduga
merupakan yang “terbaik” dibandingkan dengan jenis-jenis darah lainnya. Untuk
kategori penilaian “kedua” terdapat kelompok kedua yaitu terdapat pada darah
cakalang, sedangkan penilaian “ketiga” terdapat pada kelompok ketiga dari jenisjenis darah yaitu darah tongkol, darah pari, darah tuna atau darah sapi. Kelompok
ketiga terdiri dari beberapa jenis darah, hal ini didasarkan pada hasil uji beda nyata
terkecil (BNT) bahwa masing- masing darah tersebut tidak memiliki perbedaan yang
berarti. Kategori penilaian “terendah” diberikan terhadap darah layur. Sehingga
sampel darah layur yang diurutkan pada kelompok empat, diduga akan memberikan
pengaruh daya tarik yang lemah terhadap reaksi ikan hiu.
Ditinjau dari jenis analisis kadar TAN menunjukkan kategori penilaian
“terbaik” diberikan pada kelompok pertama dari jenis-jenis darah yaitu darah layur,
darah pari, darah tongkol, darah cakalang atau darah tuna. Penjelasan sebelumnya
(subbab 5.2) mengatakan bahwa kadar TAN mengindikasikan adanya bau pesing,
menurut Hendrotomo (1989) bahwa bau pesing kurang menarik perhatian ikan hiu
dan ikan jenis lainnya. Sehingga, jenis-jenis darah kategori penilaian “terbaik”
tersebut diatas diduga akan memberikan pengaruh daya tarik yang paling kuat
terhadap reaksi ikan hiu. Kelompok kedua denga n kategori penilaian “kedua” adalah
darah ikan hiu, sedangkan kelompok ketiga yaitu darah sapi dikategorikan pada
penilaian “terendah”, diduga akan memberikan pengaruh yang paling lemah terhadap
reaksi hiu karena memiliki kadar bau pesing yang paling tinggi.
69
Analisa ketiga berdasarkan asam amino jenis alanina dan glisina yang
merupakan jenis asam amino utama sebagai perangsang nafsu makan pada ikan
dalam hal ini adalah ikan hiu. Asumsinya sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya
(subbab 5.3) bahwa semakin tinggi kadar alanina maupun glisina maka daya tarik
yang ditimbulkannya terhadap reaksi ikan hiu akan semakin cepat.
Pada analisis asama amino utama ini, jenis darah pada kelompok pertama yaitu
darah hiu dikategorikan kepada penilaian “terbaik”, selanjutnya secara berturut-turut
adalah kelompok 2 yaitu darah layur, kelompok 3 darah tuna, kelompok 4 darah pari
atau darah sapi dan kelompok 5 darah cakalang atau darah tongkol. Diduga,
kelompok darah pertama memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap kecepatan
reaksi hiu ditinjau dari nafsu makan hiu dibanding dengan kelompok lainnya.
Berikut ini akan disajikan (tabel 22) pengelompokan jenis darah menurut
dugaan kategori reaksi hiu dari analisis kadar Hb, kadar TAN, kadar alanina dan
kadar glisina.
Tabel 22. Pengelompokan jenis darah menurut dugaan kategori reaksi hiu
Jenis Analisis
Terbaik
Darah hiu
Hemaglobin
(Hb)
Total
Amoniak
Nitrogen
(TAN)
Asam Amino
Darah layur,
darah pari,
darah tongkol,
darah
cakalang atau
darah tuna
Darah hiu
Kategori Urutan Penilaian
Kedua
Ketiga
Kempat
Darah
Darah
cakalang
tongkol, darah
pari, darah
sapi, atau
darah tuna
Darah hiu -
darah
layur
darah tuna
darah
pari atau
darah
sapi
Terendah
Darah
layur
Darah
sapi
darah
cakalang
atau
darah
tongkol.
70
Bila ditinjau dari jenis analisis kadar Hb dan kadar TAN, diperoleh kombinasi
beberapa jenis darah yang dapat dijadikan alternatif pada penggunaan sekresi bagi
mengumpulkan ikan hiu untuk tujuan penangkapannya, diantaranya yaitu darah hiu
atau darah cakalang. Darah hiu yang memiliki kadar Hb kategori “terbaik” dan kadar
TAN kategori “kedua”, sedangkan darah cakalang memiliki kadar TAN kategori
“terbaik” dan kadar Hb kategori “kedua”.
Kombinasi antara kadar Hb dan kadar asam amino menghasilkan alternatif jenis
darah yaitu darah hiu yang memiliki kadar Hb kategori “terbaik” dan kadar asam
amino kategori “terbaik”.
Kombinasi antara jenis analisis yaitu kadar TAN “terbaik” dengan kadar asam
amino “terbaik”, menghasilkan dua alternatif jenis darah yaitu darah layur atau darah
layur. Darah hiu memiliki kategori penilaian “terbaik” pada jenis analisis asam amino
dan kategori penilaian “kedua” pada jenis analisis kadar TAN, sedangkan darah layur
sebaliknya yaitu memiliki kategori penilaian “terbaik” pada jenis analisis kadar TAN
dan kategori penilaian “kedua” pada jenis analisis asam amino.
Bila tiga jenis analisis tersebut diatas dikombinasikan, maka akan diperoleh
alternatif jenis darah “terbaik” yaitu darah hiu. Darah hiu tersebut memiliki kategori
penilaian yaitu “terbaik” pada dua jenis analisis dan kategori penilaian “kedua” pada
satu jenis analisis. Darah hiu “terbaik” pada jenis analisis yaitu kadar Hb, kadar asam
amino serta kategori penilaian “kedua” pada analisis kadar TAN.
71
6.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
(1)
Hb darah (untuk warna darah), amoniak (untuk bau darah) dan asam amino
jenis glisina dan alanina (untuk perangsang nafsu makan), diduga merupakan
bahan-bahan senyawa yang membuat ketertarikan hiu terhadap darah.
(2)
Terdapat 4 kelompok kepekatan warna darah berdasarkan dugaan kecepatan
reaksi hiu dari yang terbaik hingga terendah adalah (1) darah hiu 67,83 g/ml,
(2) darah cakalang 58,33 g/ml, (3) darah tongkol 48,67 g/ml, darah pari 47,33
g/ml, darah sapi 42,67 g/ml atau darah tuna 42 g/ml dan (4) darah layur 30,33
g/ml.
(3)
Terdapat 3 kelompok tingkatan kadar bau amoniak berdasarkan dugaan
kecepatan reaksi hiu dari yang terbaik hingga terendah adalah (1) darah layur
105,23 ppm, darah pari 111,07 ppm, darah tongkol 112,73 ppm, darah cakalang
116,87 ppm atau darah tuna 139,5 ppm, (2) darah hiu 162,1 ppm dan (3) darah
sapi 301,4 ppm.
(4)
Jenis-jenis asam amino yang dapat dideteksi adalah aspartat, glutamat, serina,
histidina, glisina, threonina, arginina, alanina, tirosina, methionina, valina,
fenilalanina, isoleusina, leus ina dan lisina. Terdapat 5 kelompok tingkatan
darah dari analisis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan
berdasarkan dugaan kecepatan reaksi hiu, yaitu (1) darah hiu 0,570 %, (2) darah
layur 0,535 %, (3) darah tuna 0,53 %, (4) darah pari 0,49 % atau darah sapi
0,49 %, (5) darah cakalang 0,36 % atau darah tongkol 0,205 %.
(5)
Hubungan warna darah (Hb), bau darah (amoniak) dan asam amino
(perangsang nafsu makan) dalam berbagai darah ikan dan darah sapi yang
diduga membuat ketertarikan hiu :
(5.1) Darah hiu atau darah cakalang memberikan kombinasi warna darah (Hb)
dan bau darah (amoniak) yang “terbaik” untuk ketertarikan ikan hiu.
72
(5.2) Darah hiu memberikan kombinasi warna darah (Hb) dan asam amino
(perangsang nafsu makan) yang “terbaik” untuk ketertarikan ikan hiu.
(5.3) Darah hiu atau darah layur memberikan kombinasi bau darah (amoniak)
dan asam amino (perangsang nafsu makan) yang “terbaik” untuk
ketertarikan ikan hiu.
(5.4) Darah hiu memberikan kombinasi warna darah (Hb), bau darah (amoniak)
dan asam amino (perangsang bafsu makan) yang “terbaik” untuk
ketertarikan ikan hiu.
6.2
Saran
(1)
Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan uji coba jenis-jenis darah
tersebut terhadap ikan hiu di suatu perairan atau skala laboratorium, untuk
melihat lebih jauh keakuratan daya tarik darah (warna, amoniak dan asam
amino) terhadap kecepatan reaksi ikan hiu.
(2)
Kemudian dapat dilakukan rangkaian penelitian lanjutan untuk menghasilkan
produk tiruan (rekayasa) darah yang mengandung substansi-substansi aktif
yang mempunyai data tarik tinggi untuk mengumpulkan ikan hiu pada
penangkapannya. Sehingga dapat diterapkan oleh para nelayan/pengusaha
penangkapan ikan.
73
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi
Yogyakarta. Yogyakarta. Hal 39.
Anonymous, 1990. Peranan Feromon Sebagai Senyawa Bioaktif Dalam Proses
Pelapukan Kayu. Laporan Penelitian. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 hal.
Anonymous, 2002. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 2000. Direktorat Perikanan
Tangkap. Jakarta. Hal 38-43.
Anonymous, 2003. Statistika Perikanan Tahun 2003 Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu. Palabuhanratu.78 hal
Anonymous, 2004. Statistika Perikanan Tahun 2004 Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu. Palabuhanratu.78 hal
Anonymous, 2004. Anatomy of Shark. The Pelagic Shark Research Foundation.
http://www.pelagic.org./biology.html [12 Februari 2004].
Anonymous, 2005. (Perikanan Hiu). Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap,
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan.
http://www.ppip.dkp.go.id [22 November 2005].
Bonaventura, J. dan C. Bonaventura. 1983. Flatfish, Fireflies, Sharks: Behavior
Modification Induced by Natural Repellents. Shark Repellents from The Sea.
Bernard J. Zahuranec (ed). AAAS Selected Symposium. Westview Press,
Sidney. Australia. P: 115-131.
Brown, E. M. 1989. Histologi Veteriner. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hal
108-143.
Campagno, L.J.V. 1984a. FAO Species Catalogue. Vol 4. Sharks of the World. An
Annoted and Illustrate Catalogue of Sharks Species Known to Date. Part 1.
“Hexanchiformes to Lamniformes”. FAO Fish. Synop (125) Vol 4, Pt 1:249p.
Fauziyah. 1997. Studi tentang Efisiensi Teknis Unit Penangkapan Jaring Cucut
(Liong Bun) di Cirebon. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikana n dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 58
hal.
74
Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan; Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. 204 hal.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan; Dalam Hubungannya dengan Alat Metode
dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Hal 111-132.
Hendrotomo, M. 1989. Studi dan Analisis Hasil Tangkapan dengan Menggunakan
Umpan yang Berbeda pada Rawai Cucut (Hiu) Permukaan di Pelabuahanratu.
Skripsi. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian Bogor. 96 hal.
Kusumah, A. 1988. Pengaruh Angin dan Tinggi Letak Feromon Kelamin terhadap
Tangkapan Ngengat Umbi Kentang di dalam Gudang. Tesis. Jurusan
Entomologi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 38 hal.
Narsongko, T. W. 1993. Pengaruh Penggunaan Darah Segar terhadap Hasil
Tangkapan Ikan Cucut pada Rawai Cucut di Cilacap. Skripsi. Program Studi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian
Bogor. 58 hal.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Hal 211-214.
Nur, M.A., H. Adijuwana dan Kosasih. 1992. Penuntun Praktikum Teknik
Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian
Bogor. Hal 162-165.
Ommaney, F.D. 1979. Ikan. Tira Pustaka. Jakarta. 208 hal.
Pane, A.B. 2001. Bahan Kuliah Bioteknologi Sumberdaya Perikanan. Program Studi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. 5 hal.
Rahayuningsih, W. 1993. Pengaruh Kedalaman Mata Pancing Rawai Cucut terhadap
Hasil Tangkapan Ikan Cucut pada Rawai Cucut di Cilacap. Skripsi. Program
Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut
Pertanian Bogor. 75 hal.
Rand, M.C., A.E.Greenberg dan M.J. Taras. 1975. Standard Methods for The
Examination of Water and Wastewater. American Public Health Association.
Washington. P: 407-418.
Rougley, T.C. 1968. Fishes and Fisheries in Australia. Angus and Robertson Ltd.
Halstead Press, Sidney. Australia. 328p.
75
Saleh, M., Irwandi, F.G. Winarno dan Y. Haryadi. 1995. Pengaruh Perlakuan Larutan
Perendam terhadap Kadar Urea Daging Cucut segar dan Mutu Daging Asapnya.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Volume 1, No 3. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Hal 109-123.
Saridewi, T.R. 1998. Pengaruh Kadar Protein yang Berbeda dengan Rasio Energi
Protein 8 kkal/g terhadap Kecernaan Koefisien Respirasi dan Ekskresi Amoniak
Benih Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Skripsi. Program Studi Budidaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 42
hal.
Stead, D.G. 1963. Sharks and Rays of Australian Seas. Angus and Robertson Ltd.
Australia. 211p.
Steel, G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika; Suatu Pendekatan
Biometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 748 hal.
Susanti, A. 1997. Studi Tentang Jenis dan Penyebaran Hiu yang Potensial
Dimanfaatkan di Perairan Indonesia. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. Institut
Pertanian Bogor. 84 hal.
Wibowo, S. dan H. Susanto. 1995. Sumberdaya dan Pemanfaatan Hiu. Penebar
Swadaya. Jakarta. 156 hal.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
253 hal.
Wirianata, A. 1982. Perikanan Cucut Botol (Triakis scyllium) di Pantai Jayanti,
Kecamatan Cidaun, Cia njur. Skripsi. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian
Bogor. 55 hal.
76
Lampiran 1. Beberapa jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu (2004-2005)
Hiu anjing (Isurus oxyrinchus)
Hiu beurit (Nebrius ferrugineus)
Hiu botol (Centroscymnus crepidater)
Hiu bangbara (Carcharhinus albimarginatus)
Hiu areuy (Pseudocarcharias spp.)
Hiu baster (Isurus paucas)
(Sumber : Munadi, 2006)
77
Lampiran 1. (lanjutan)
Hiu karil (Squalus megalops)
Hiu lutung (Alopias superciliosus)
Hiu omas (Galeocerdo cuvieri)
Hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus)
Hiu martil (Sphyrna lewini)
Hiu monyet kecil (Alopias pelagicus)
(Sumber : Munadi, 2006)
78
Lampiran 2. Jenis-jenis ikan yang dijadikan sampel untuk diambil darahnya (2004-2005)
Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus)
Layur apu (Trichiurus savala)
Pari batu (Dasyatis sp.)
Tongkol walang keke (Auxis sp.)
Tuna (Thunnus sp.)
(Sumber : Munadi, 2006)
79
Lampiran 3. Alat-alat untuk analisis laboratorium (2005)
Hbmeter
Spektrofotometri
(Sumber : Munadi, 2006)
80
Lampiran 4. Diagram alat HPLC
(Sumber : Adnan, 1997)
81
Lampiran 5. Contoh kromatogram dari analisis asam amino dalam darah menggunakan HPLC (2005)
82
Download