(Saifullah, dalam Okezone, 2012) yang pertama

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seperti yang telah diketahui masyarakat Indonesia, seksualitas dan pembicaraan
mengenai seksualitas merupakan suatu hal yang dianggap tabu, apalagi di dalam Pondok
Pesantren. Terbukti dari hasil wawancara yang peneliti lakukan kepada beberapa santri di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagian dari mereka menganggap seksualitas merupakan hal
yang tabu, mereka tidak mengetahui apa itu seksualitas, dan sebagian lagi dari mereka
menganggap bahwa seksualitas merupakan hubungan intim yang dilakukan oleh lawan jenis,
ada beberapa santri yang menganggap bahwa seksualitas merupakan seks bebas yang
merugikan dan memalukan diri sendiri. Padahal seksualitas tidak hanya dalam hal
berhubungan intim, seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang merasa tentang
diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada lawan
jenis melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama
seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerakan tubuh, etiket,
berpakaian, dan perbendaharaan kata (Denny & Quadagno, 1992; Zawid, 1994; Perry &
Potter, 2005).
Yip (2008) mengatakan bahwa banyak orang yang berusia 18 sampai 25 tahun
menciptakan etika seksual yang diinformasikan oleh iman dan agama mereka. Demikian pula
dengan seksualitas, mereka juga menginformasikan cara mereka memahami keyakinan
agama mereka. Namun, mayoritas orang muda yang percaya, para pemimpin agama tidak
cukup tahu tentang seksualitas, khususnya remaja menganggap agama merupakan
institusional mekanisme kontrol sosial yang berlebihan yang mengatur gender dan perilaku
seksual, tanpa keterlibatan yang cukup dengan orang-orang muda sendiri.
Lebih dari setengah partisipan penelitian Religion, Youth, and Sexuality (Yip dan
Keenan, 2008), 65,1 persen terlibat dalam sebuah komunitas agama, dan lebih dari
setengahnya (56,7 persen) menghadiri pertemuan keagamaan publik setidaknya sekali
seminggu. Kebanyakan mereka berpikir bahwa ekspresi dari seksualitas seseorang yang
diinginkan bervariasi: beberapa dari mereka percaya bahwa orang dewasa harus dapat
mengekspresikan seksualitas yang mereka inginkan, sementara yang lain percaya bahwa
ekspresi seksual harus terbatas pada pernikahan atau hubungan berkomitmen. Meskipun
keragaman pendapat, yang paling menonjol adalah dukungan untuk hubungan monogami
dengan 83,2 persen dari sampel. Pengalaman mereka dalam menghubungkan keyakinan
agama mereka dan seksualitas yang beragam. Beberapa telah mengalami ketegangan dan
konflik. Lainnya dapat menangani setiap konflik dengan iman dan seksualitas. Sementara ada
juga peserta yang telah menemukan cara untuk mengakomodasi keduanya.
Individu yang dijelaskan diatas memiliki otoritarianisme sayap kanan, yaitu kepatuhan
psikologis kepada pihak-pihak yang dianggap berwenang atau berkuasa dalam tatanan
kehidupan seseorang individu yang mendukung otoritas yang kuat dalam masyarakat
(Altemeyer, 1981). Demikian pula pada santri di pesantren, mereka memiliki iman dan
otoritarianisme sayap kanan yang diduga tinggi. Para santri memiliki otoritas syariat yaitu AlQuran dan As-Sunnah, sedangkan didalam pesantren yaitu Kitab Kuning dan Kiai.
Kitab kuning sebagai kurikulum pesantren ditempatkan pada posisi istimewa. Karena,
keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus ciri pembeda antara pesantren dan
lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Pada pesantren di Jawa dan Madura, penyebaran
keilmuan, jenis kitab dan sistem pengajaran kitab kuning memiliki kesamaan, yaitu sorogan
dan bandongan. Kesamaan-kesamaan ini menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultur
dan praktik-praktik keagamaan di kalangan santri (Zamakhsyari, 1998).
Menurut Bruinessen (dalam Suprayogo, 2007), sikap hormat, takzim dan kepatuhan
kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan
mutlak diperluas sehingga mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan
ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajarinya. Bahkan sikap patuh tidak hanya
diperuntukkan bagi kyai atau pengarang kitab, namun kepada keluarga kyai (anak) juga
ditampakkan. Kepatuhan ini, bagi pengamat luar tampak lebih penting dari usaha menguasai
ilmu, akan tetapi bagi kyai hal itu merupakan bagian integral dari ilmu yang akan
dikuasainya.
Dari otoritas dan norma yang ada tersebut, justru beberapa santri memiliki
otoritarianisme sayap kanan yang rendah, dan mengalami gangguan seksual di pesantren
seperti yang ditulis oleh Syarifuddin (2005), pesantren sering dijadikan tempat untuk
menyalurkan hasrat libido santri pada santri lain. Di pesantren kegiatan itu dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dan umumnya dilakukan di tengah malam ketika “korban” sedang
tertidur lelap. Praktik seperti ini dilakukan antar sesama jenis kelamin (laki-laki dengan lakilaki atau perempuan dengan perempuan). Seks antar sesama jenis kelamin inilah yang
menjadi titik tekan buku Mairil Sepenggal Kisah Biru di Pesantren (Syarifudin, 2005).
Gangguan seksual menurut Garos (1995, 1996) ada 4 faktor yaitu Discordance,
Permissiveness, Sexual Obsession, dan Sexual Stimulation. Faktor pertama adalah
Discordance, yaitu konflik, ketidakamanan, atau kegelisahan tentang perilaku seksual dan
seksualitasnya. Faktor kedua adalah Permissiveness, yaitu individu yang "liberal" atau
"unconventional" yang berorientasi tentang seks dan seksualitas. Faktor ketiga adalah Sexual
Obsession, yaitu keasyikan dengan seks dan kesulitan dengan kontrol impuls. Faktor keempat
adalah Sexual Stimulation, yaitu tingkat kenyamanan dengan seks dan gairah seksual yang
tinggi.
Gangguan seksual di beberapa pesantren salah satunya adalah nyempet dan mairil.
Menurut Syarifuddin (2005), nyempet merupakan jenis atau aktivitas pelampiasan seksual
dengan kelamin sejenis yang dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang
memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang
sejenis. Perilaku nyempet terjadi secara insidental dan sesaat, sedangkan mairil relatif stabil
dan intensitasnya panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil mengandung
konotasi negatif, yaitu sama-sama terlibat dalam hubungan seksual satu jenis kelamin.
Menurut Syarifuddin (2005), kondisi sosiologis dunia pesantren dengan pembinaan
moral dan akhlak secara otomatis interaksi antara santri putra dan putri begitu ketat.
Keseharian santri dalam komunitas sejenis, mulai bangun tidur, belajar, hingga tidur kembali.
Santri bisa bertemu dengan orang lain jenis ketika sedang mendapat tamu. Itu pun jika masih
ada hubungan keluarga. Praktis, ketika ada di pesantren –terutama pesantren salaf
(tradisional)– tidak ada kesempatan untuk bertemu dan bertutur sapa dengan santri beda
kelamin. Di samping tempat asrama putra dan putri berbeda, hukuman yang harus dijalankan
begitu berat, bisa-bisa dikeluarkan dari pesantren, jika ada santri putra dan putri ketahuan
bersama. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan perilaku nyempet di kalangan santri di
pesantren begitu marak. Perilaku nyempet dan mairil biasanya dilakukan oleh santri tua
(senior), tidak jarang pula para pengurus atau guru muda yang belum menikah. Menurut
Syarifuddin (2005), umumnya yang menjadi korban nyempet dan mairil adalah santri yang
memiliki wajah ganteng, tampan, imut, dan baby face. Hampir pasti santri (baru) yang
memiliki wajah baby face selalu menjadi incaran dan rebutan santri-santri senior. Bahkan
tidak jarang antara santri yang satu dan santri yang lain terlibat saling jotos, adu mulut,
bertengkar (konflik) untuk mendapatkannya. Di pesantren berlaku hukum tidak tertulis yang
harus dijalankan bagi orang yang memiliki mairil. Misalnya jika si A sudah menjadi mairil
orang, maka si mairil tersebut akan dimanja, diperhatikan, diberi uang jajan, uang makan,
dicucikan pakainnya, dan sebagainya; layaknya sepasang kekasih (pacaran). Jika si mairil
dekat dengan orang lain pasti orang yang merasa memiliki si mairil tersebut akan cemburu
berat.
Penyebab gangguan seksual di pesantren (Saifullah, dalam Okezone, 2012) yang
pertama adalah pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan lain
seperti sekolah. Bedanya, di pesantren para pelajar disediakan tempat untuk menginap. Ihwal
kekerasan fisik dan seksual di pesantren muncul karena para santri dalam jumlah besar
tinggal di satu tempat. Dalam satu kamar berukuran 3x4 meter bisa terdapat 12 santri. Mereka
beraktivitas, mandi, mencuci, makan, dan tidur bersama, mulai dari santri junior maupun
senior. Keterbatasan sarana dan fasilitas pendukung penginapan seringkali membuat para
santri harus tidur berdesakan dan mandi bersama-sama. Sehingga bisa dikatakan sama sekali
tidak ada wilayah privat di pesantren. Interaksi fisik antar santri terjadi dalam interaksi
tinggi. Pada waktu bersamaan, mayoritas santri sedang mengalami masa-masa pubertas.
Mereka sedang asyik mencari tahu tentang fungsi dan perkembangan alat-alat
reproduksinya. Dengan demikian tidak heran jika mereka saling memperhatikan atau
membandingkan antara organ vital miliknya dengan teman-temannya. Bahkan ketika
bergurau topik pembahasan pun mengarah pada seksualita. Jangan kaget bila di kegelapan
malam tiba-tiba ada tangan yang menggerayangi. Keterbatasan sarana dan fasilitas ini juga
memicu terjadinya kekerasan fisik. Perebutan wilayah kekuasaan oleh raja-raja kecil
merupakan pemicunya.
Kedua, peraturan di pesantren dalam hal pergaulan antara santri dengan santriwati atau
antara santri dengan dunia luar dukup ketat. Pembatasan secara fisik untuk berinteraksi
dengan lawan jenis berpotensi memicu santri tidak menemukan penyaluran dan membuat
orientasi seksualnya sedikit menyimpang. Hal ini didukung dengan interaksi intens dengan
sesama jenis. Ibarat kata pepatah, tak ada tali akar pun jadi.
Ketiga, kekerasan seksual seringkali dipicu karena seorang whistle blower. Sangat
mungkin dari ratusan santri, satu atau dua orang memang memiliki kelainan orientasi seksual.
Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk
asal membayar biaya administrasi. Para pelajar dari keluarga broken home dan anak-anak
nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Alih-alih belajar, para santri dan
santriwati bermasalah ini lebih sering merusak temannya.
Keempat, di pesantren juga terdapat materi pelajaran seksualitas dengan merujuk pada
literatur dari kitab-kitab kuning. Pelajaran ini sejatinya khusus untuk santri dan santriwati
senior. Namun, santri-santri junior juga sering menyamar untuk mengikuti pengajian yang
digelar tengah malam ini. Tidak menutup kemungkinan kekerasan fisik dan seksual juga
dilakukan oleh para staf pengajar. Pasalnya, di pesantren dituntut adanya ketaatan penuh.
Melihat dari fenomena di atas, diasumsikan jika individu memiliki ideologi
otoritarianisme sayap kanan yang tinggi, seharusnya semakin rendah terjadinya gangguan
seksual. Otoritarianisme sayap kanan menurut Altemeyer (1981) didefinisikan sebagai
kepatuhan psikologis kepada pihak-pihak yang dianggap berwenang atau berkuasa dalam
tatanan kehidupan seseorang.
Otoritarian awalnya dikembangkan sebagai suatu bentuk kepribadian (Adorno dkk,
1950; Altemeyer, 1981) sebelum Duckitt (2001) mengembangkan dan menyimpulkan bahwa
sikap otoritarian berangkat dari suatu ideologi. Biasanya orang yang memiliki ideologi
otoritarian adalah mereka yang bersifat konservatif, menolak hal yang baru, tidak menyukai
perbedaan, dan menekankan pada satu pemahaman.
Individu atau kelompok yang memiliki kecenderungan otoritarian akan memandang
yang memiliki pemahaman berbeda sebagai suatu ancaman dan keburukan. Orang yang
berbeda ini dianggap akan merusak kestabilan pemahaman sehingga akan membentuk suatu
dunia yang kehancuran atau tidak menentu. Orang beragama yang menganggap bahwa
ajarannya yang paling benar dan agama lain sebagai suatu ancaman maka dapat dipastikan
mereka akan memiliki prasangka yang negatif pada orang dari agama lain. Altemeyer (1996)
menyebut bahwa individu berkepribadian otoritarian melakukan authoritarian aggression,
yaitu agresi terhadap orang lain yang dirasakan sebagai sanksi dari otoritas. Agresi dapat
berupa luka fisik, luka psikologis, pengambilan harta dan isolasi sosial.
Individu dengan ideologi otoritarian memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap
otoritas yang ada dalam masyarakat. Individu dengan kepribadian otoritarian menganggap
pentingnya kepatuhan dan rasa hormat untuk dipelajari pada masa kanak-kanak. Individu
dengan kepribadian otoritarian beranggapan otoritas harus diberi hak untuk memutuskan
suatu hal walaupun melanggar hukum. Otoritas diartikan sebagai individu yang secara
moral memiliki otoritas terhadap orang lain. Altemeyer (1996) menyebutnya sebagai
authoritarian submission.
Individu dengan kepribadian otoritarian memiliki aturan otoritarian. Aturan otoritarian
keagamaan disebut konvensional karena didasarkan atas aturan lama, dan tidak
menggambarkan
bagaimana
bersikap
saat
ini.
Altemeyer
(1996)
menyebutnya
sebagai conventionalism yang merupakan penerimaan, komitmen dan kepatuhan yang tinggi
terhadap norma sosial tradisional dalam masyarakat. Norma dapat dikatakan sebagai norma
kelompok, adat, agama dan rasa nasionalisme.
Sedangkan individu dengan ideologi otoritarianisme sayap kanan yang rendah (kaum
liberal) cenderung relatif anti-Pembentukan atau penetapan, dan lebih mendukung mereka
yang melanggar tatanan sosial yang didirikan. Mereka menerima lebih dari individu atau
kelompok yang dianggap tidak konvensional, dan cenderung untuk memegang keyakinan
yang tidak konvensional sendiri. Mereka menempatkan nilai yang relatif tinggi pada
kebebasan pribadi dan self-direction, dan tidak nasionalistik atau etnosentris.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah ada hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan sexual discordance
pada santri di pesantren?
2. Apakah
ada
hubungan
antara
otoritarianisme
sayap
kanan
dengan
sexual
permissiveness pada santri di pesantren?
3. Apakah ada hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan sexual stimulation
pada santri di pesantren?
4. Apakah ada hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan sexual obsession
pada santri di pesantren?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan
sexual discordance pada santri di pesantren.
2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan
sexual permissiveness pada santri di pesantren.
3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan
sexual stimulation pada santri di pesantren.
4. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara otoritarianisme sayap kanan dengan
sexual obsession pada santri di pesantren.
Download