MENYIMAK PERKEMBANGAN HUKUM DALAM PRAKTEK ARBITRASE INTERNASIONAL =================================================== Yoseph Suardi Sabda ====================================================== Pendahuluan Arbitrae hanyalah salah satu cara dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution. Sekalipun demikian, jika dibandingkan dengan cara APS lainnya, seperti Negosiasi, Fasilitasi, Mediasi atau Penyelesaian oleh Panel Akhli, Arbitrase memiliki keistimewaan. Jika Negosiasi, Fasilitasi, atau Mediasi berhasil menyelesaikan satu sengketa dengan merumuskan perjanjian damai (amicable settlement), jika isi perjanjian damai tersebut dilanggar, penyelesaiannya harus melalui proses gugat menggugat di pengadilan, yang mungkin akan dilanjutkan dengan proses banding, kasasi dan peninjauan kembali. Lain halnya dengan arbitrase. Jika sengketa diakhiri dengan Putusan Arbitrase, putusan itu sama dengan Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika ada pihak yang melanggar isi Putusan Arbitrase, pihak yang dirugikan tidak perlu mengajukan gugatan, melainkan dapat langsung mengajukan Permohonan Eksekusi atas Putusan Arbitrase. Karena keistimewaan itu, tulisan ini memfokuskan perhatiannya pada arbitrase. Hukum Indonesia mengenal adanya dua jenis Arbitrase, yaitu Arbitrase Nasional dan Arbitrase Internasional. Tulisan ini mendiskusikan Arbitrase Internasional, khususnya karena praktek Arbitrase Internasional ternyata membawa perkembangan hukum baru. Arbitrase sudah lama dikenal oleh hukum Indonesia. Ketentuan hukum paling tua mengenai arbitrase mungkin terdapat di dalam Pasal 615 – 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering), yang tercantum di dalam Staatsblad Tahun 1847 No. 52, yang kemudian diperbaharui dengan Staatsblad Tahun 1849 No. 63. Dengan demikian, eksistensi arbitrase sudah dikenal oleh hukum Indonesia setidaknya sejak tahun 1847. Dalam perjalanan sejarah yang sudah berlangsung lebih dari 150 tahun, terdapat perkembangan dalam hukum yang berhubungan dengan arbitrase. Tulisan ini mencoba mengamati perkembangan tersebut, khususnya yang berhubungan dengan arbitrase internasional. Dari lingkup hukum perdata menuju keluar lingkup hukum perdata 1 Sejauh ini pengertian kita mengenai arbitrase menggambarkan bahwa ruang gerak arbitrase terbatas hanya di dalam lingkup hukum perdata. Setidaknya terdapat 2 alasan mengenai hal ini, yaitu: 1. Ketentuan hukum mengenai arbitrase hanya terdapat di dalam ketentuan hukum acara perdata, seperti Pasal 615 – 651 Rv, Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg; 2. Pasal 615 ayat 1 Reglemen Acara Perdata menyatakan: Setiap orang dapat menyerahkan perselisihan mengenai hak-hak yang ia kuasai secara bebas kepada keputusan wasit. 3. Pasal 1 angka 1 UU No. 30 yang secara tegas menyatakan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berbeda dengan ketentuan hukum Indonesia sebagaimana dikutip di atas, Konvensi New York Tahun 1958 (Convention on Recognition and Execution of Foreign Arbitral Award) pada Pasal I.3 menyatakan: When signing, ratifying or acceding to this Convention, or notifying extension under article X hereof, any State may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State. It may also declare that it will apply the Convention only to differences arising out of legal relationships, whether contractual or not, which are considered as commercial under the national law of the State making such declaration. (Catatan: huruf tebal hanyalah penambahan oleh Penulis). Ketentuan Konvensi New York tersebut di atas menyatakan bahwa ketika menjadi anggota dari Konvensi ini, Negara peserta dapat menyatakan bahwa Negara tersebut hanya akan menerapkan Konvensi ini terhadap masalah yang timbul dari hubungan hukum di bidang komersial (perdata). Dengan perkataan lain, ketentuan Konvensi ini menyiratkan bahwa ada kemungkinan arbitrase pun dapat digunakan di luar bidang hukum komersial atau perdata. Bidang hukum apakah itu? Jawaban atas pertanyaan tadi terjawab oleh Konvensi ICSID Tahun 1965 (Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States) yang dalam Pasal 25 ayat (1) menyatakan: The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment, between a Contracting State (or any constituent subdivision or agency of a 2 Contracting State designated to the Centre by that State) and a national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre. When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally. Ketentuan tersebut di atas memberi kemungkinan terjadinya penyelesaian secara arbitrase atas sengketa yang terjadi antara investor asing dengan Pemerintah dari Negara dimana si investor menanamkan modal. Sengketa tersebut mungkin saja merupakan sengketa perdata, tetapi mungkin juga merupakan sengketa tata usaha Negara (TUN). Dalam kenyataannya kasus yang pernah membawa Pemerintah Indonesia digugat di forum arbitrase ICSID (International Center for Settlement of Investment Disputes) ditimbulkan karena kasus penerbitan surat pencabutan ijin penanaman modal yang diterbitkan oleh BKPM (kasus Amco vs Indonesia pada awal tahun 1980) dan kasus pencabutan Surat Ijin Usaha Pertambangan (SIUP) yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (kasus Churchill Mining vs Indonesia yang pada saat ini masih berlangsung). Menurut kacamata hukum Indonesia, sengketa semacam ini bukan merupakan sengketa perdata, melainkan sengketa TUN. Dari arbitrase atas dasar perjanjian ke arbitrase tanpa dasar perjanjian Sejauh ini kita mengenal bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat terjadi jika ada perjanjian di antara para pihak yang menyatakan kesediaan mereka untuk menyelesaikan sengketanya di forum arbitrase. Pasal 615 ayat 3 Reglemen Acara Perdata menyatakan: Seorang bahkan sebelumnya dapat mengikatkan diri, bila di kemudian hari terjadi sengketa, untuk tunduk pada keputusan wasit. Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adanya ICSID membuka kemungkinan dibawanya penyelesaian sengketa ke forum arbitrase tanpa ada perjanjian arbitrase di antara para pihak. Kenyataan menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia digugat oleh Amco di hadapan arbitrase ICSID atas dasar pernyataan kesediaan untuk menyelesaikan sengketa di hadapan arbitrase ICSID yang tercantum di dalam ijin penanaman modal yang diterbitkan oleh BKPM; dan Pemerintah Indonesia digugat di forum yang sama oleh pemegang saham Bank Century atas dasar Bilateral Investment Treaty (BIT) antara Indonesia dengan Inggris. Di dalam kedua perkara tersebut sama sekali tidak terdapat 3 perjanjian arbitrase di antara para pihak (Penggugat dan Tergugat) yang berperkara di hadapan Arbitrase ICSID. Perubahan dalam hubungan antara arbitrase dan pengadilan Dalam hubungan antara arbitrase dengan pengadilan secara tradisional kita temukan adanya wewenang dari pengadilan untuk menyampingkan (membatalkan) putusan arbitrase berdasarkan alasan tertentu. Pasal 643 Reglemen Acara Perdata menyatakan: Terhadap keputusan wasit yang tidak dapat dimintakan banding, dapat dimintakan kebatalannya dalam hal-hal seperti berikut: 10. bila keputusan itu diambil di luar batas-batas kompromi; 20. bila keputusan itu didasarkan atas kompromi yang tidak berharga atau telah gugur; 30. bila keputusan itu dijatuhkan oleh beberapa wasit yang tidak berwenang menjatuhkan keputusan di luar kehadiran yang lain; 40. bila diputuskan tentang sesuatu yang tidak dituntut, atau dengan itu diberikan lebih dari yang dituntut; 50. bila keputusan itu mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan yang lain; 60.bila para wasit lalai memutus satu atau beberapa hal yang seharusnya diputuskan, sesuai dengan ketentuan dalam kompromi; 70. bila melanggar bentuk acara yang telah ditetapkan dengan ancaman kebatalan; tapi ini hanya bila dalam kompromi diperjanjikan dengan tegas, bahwa para wasit wajib memenuhi aturan acara biasa; 80. bila diputus atas dalam surat-surat yang setelah keputusan para wasit, diakui sebagai palsu atau dinyatakan palsu; 90. bila sesudah keputusan, ditemukan surat-surat yang menentukan yang disembunyikan oleh salah satu pihak; 100. bila keputusan itu berdasarkan penipuan atau tipu-muslihat yang kemudian diketahui dalam acara pemeriksaan. Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 mengganti Pasal 643 Reglemen Acara Perdata dan memberi wewenang kepada Pengadilan untuk membatalkan Putusan Arbitrase berdasarkan 3 alasan (bukan 10 alasan sebagai yang tercantum dalam Pasal 643 Reglemen Acara Perdata). Selengkapnya Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; 4 b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Di samping berwenang untuk membatalkan Putusan Arbitrase, UU No. 30 Tahun 1999 memberi wewenang kepada Pengadilan untuk menolak mengeksekusi Putusan Arbitrase, Untuk Putusan Arbitrase Nasional penolakan tersebut didasarkan pada alasan i) bahwa putusan arbitrase tersebut tidak didasarkan pada adanya perjanjian arbitrase, atau ii) bahwa putusan arbitrase tersebut berada di luar lingkup sengketa yang menurut hukum diperkenankan untuk diselesaikan melalui arbitrase, atau iii) bahwa Putusan Arbitrase tersebut bertentangan dengan ketertiban umum. (Vide Pasal 62 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999). Terhadap Putusan Arbitrase Internasional, Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan: Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, Pengadilan mempunyai wewenang untuk menolak pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional, jika Putusan tersebut bertentangan dengan syarat yang ditentukan di dalam Pasal 66 huruf, a, b, atau c UU No. 30 Tahun 1999. 5 Konvensi New York 1958 pun memberi wewenang kepada Pengadilan untuk menolak eksekusi Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan alasan tertentu. Article V dari Konvensi ini menyatakan: 1. Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that: (a) The parties to the agreement referred to in article II were, under the law applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any indication thereon, under the law of the country where the award was made; or (b) The party against whom the award is invoked was not given proper notice of the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was otherwise unable to present his case; or (c) The award deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of the submission to arbitration, or it contains decisions on matters beyond the scope of the submission to arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted to arbitration can be separated from those not so submitted, that part of the award which contains decisions on matters submitted to arbitration may be recognized and enforced; or (d) The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in accordance with the agreement of the parties, or, failing such agreement, was not in accordance with the law of the country where the arbitration took place; or (e) The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made. 2. Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that: (a) The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration under the law of that country; or (b) The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country. Perkembangan baru menunjukkan arah yang sebaliknya, dimana arbitrase internasional justru dijadikan sebagai sarana hukum untuk membatalkan atau menyampingkan (to set aside) 6 Putusan Pengadilan. Churchill Mining, misalnya, mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Indonesia di forum Arbitrase ICSID sesudah gugatannya di forum peradilan tata usaha Negara di Indonesia dikalahkan sampai ke tingkat Putusan Kasasi. Sekitar 30 tahun sebelumnya, Amco pun mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Indonesia di forum ICSID sesudah Amco dikalahkan di forum Pengadilan Indonesia. Anehnya, ICSID justru menerima (bahkan juga memenangkan) gugatan-gugatan semacam itu. Dalam perkara gugatan Amco, Majelis Arbitrase ICSID menyatakan bahwa Arbitrase Internasional tidak terikat pada Putusan Pengadilan Nasional. Selengkapnya dalam Amco v. Indonesia, Award, 20 November 1984, para. 177, Majelis Arbiter ICSID menyatakan: “... an international tribunal is not bound to follow the result of a national court. One of the reasons for instituting an international arbitration procedure is precisely that parties — rightly or wrongly — feel often more confident with a legal institution which is not entirely related to one of the parties. If a national judgment was binding on an international tribunal such a procedure could be rendered meaningless”. Arbitrase ICSID tidak menyatakan ketidak-terikatannya pada Putusan Pengadilan hanya terhadap Pengadilan Indonesia. Pengadilan Pakistan pun diperlakukan sama oleh Arbitrase ICSID. Dalam SGS v. Pakistan, Procedural Order No. 2, 16 October 2002, 8 ICSID Reports 388, Majelis Arbiter ICSID menyatakan: “[A]lthough the Supreme Court Judgment of July 3, 2002 is final as a matter of the law of Pakistan, as a matter of international law, it does not in any way bind this Tribunal. We have already adverted to the requirement of Article 41 of the ICSID Convention that this Tribunal determine whether it has the jurisdiction to consider the claims that have been advanced and that we cannot decline to do so”. ICSID nampaknya menyampingkan doktrin “Res Judicata” yang dikenal dalam hukum perdata. Selengkapnya doktrin ini menyatakan “Res Judicata Est Non Judicanda” yang jika diterjemahkan berarti “apa yang sudah diadili tidak boleh diadili (lagi)”. Makna doktrin ini mirip dengan doktrin “Ne Bis In Idem” yang dikenal oleh hukum pidana. Menurut doktrin Res Judicata, perkara yang sudah diputus oleh satu pengadilan tidak boleh diperiksa dan diputus lagi, baik oleh pengadilan lain, maupun oleh Arbitrase. Uraian di atas menunjukkan bagaimana Putusan Arbitrase ICSID telah menyampingkan doktrin Res Judicata. Pendirian ini tidak hanya diikuti oleh ICSID. Arbitrase UNCITRAL pun memiliki pendirian yang sama. Dalam Putusan Arbitrase atas perkara Gami Investments, Inc. v Mexico (2004), para. 42, Majelis Arbitral UNCITRAL menyatakan: 7 “Ultimately each jurisdiction is responsible for the application of the law under which it exercises its mandate. It was for the Mexican courts to determine whether the expropriation was legitimate under Mexican law. It is for the present Tribunal to judge whether there have been breaches of international law by any agency of the Mexican government”. Nampaknya ICSID tengah mengembangkan dan menerapkan satu doktrin hukum yang dikenal dengan nama “Denial of Justice” (penolakan untuk memberi keadilan). Menurut doktrin ini, setiap orang mempunyai hak untuk mendapat keadilan. Dengan demikian, jika Pengadilan Nasional menolak untuk memberikan keadilan (melakukan “denial of justice”) adalah adil jika korban denial of justice mencari keadilan melalui forum arbitrase internasional. Dalam Azinian v. Mexico, Award, 1 November 1999, 5 ICSID Reports 272, paras. 102 – 103, Majelis Arbiter ICSID menjelaskan apa yang dimaksud dengan “Denial of Justice” dengan menyatakan: “A denial of justice could be pleaded if the relevant courts refuse to entertain a suit, if they subject it to undue delay, or if they administer justice in a seriously inadequate way. . . . There is a fourth type of denial of justice, namely the clear and malicious misapplication of the law”. Bertentangan dengan ajaran hukum tradisional yang memperkenankan Pengadilan untuk membatalkan atau menolak eksekusi Putusan Arbitrase, Konvensi ICSID melarang pengadilan untuk mengotak-atik Putusan Arbitrase ICSID, meskipun praktek menunjukkan bahwa Putusan Arbitrase ICSID kerap mengotak-atik Putusan Pengadilan. Pasal 53 Konvensi ICSID menyatakan: (1) The award shall be binding on the parties and shall not be subject to any appeal or to any other remedy except those provided for in this Convention. Each party shall abide by and comply with the terms of the award except to the extent that enforcement shall have been stayed pursuant to the relevant provisions of this Convention. (2) For the purposes of this Section, "award" shall include any decision interpreting, revising or annulling such award pursuant to Articles 50, 51 or 52. Untuk mengoreksi kesalahan yang mungkin terdapat di dalam Putusan Arbitrase ICSID (Award), Pasal 52 Konvensi ICSID memberikan kemungkinan kepada pihak yang merasa keberatan terhadap Putusan Arbitrase ICSID untuk mengajukan permohonan pembatalan (annulment) kepada Komite Ad Hoc ICSID. Hal ini tercantum dalam Pasal 52 Konvensi ICSID yang menyatakan: (1) Either party may request annulment of the award by an application in writing addressed to the Secretary-General on one or more of the following grounds: (a) that the Tribunal was not properly constituted; (b) that the Tribunal has manifestly exceeded its powers; 8 (c) that there was corruption on the part of a member of the Tribunal; (d) that there has been a serious departure from a fundamental rule of procedure; or (e) that the award has failed to state the reasons on which it is based. (2) The application shall be made within 120 days after the date on which the award was rendered except that when annulment is requested on the ground of corruption such application shall be made within 120 days after discovery of the corruption and in any event within three years after the date on which the award was rendered. (3) On receipt of the request the Chairman shall forthwith appoint from the Panel of Arbitrators an ad hoc Committee of three persons. None of the members of the Committee shall have been a member of the Tribunal which rendered the award, shall be of the same nationality as any such member, shall be a national of the State party to the dispute or of the State whose national is a party to the dispute, shall have been designated to the Panel of Arbitrators by either of those States, or shall have acted as a conciliator in the same dispute. The Committee shall have the authority to annul the award or any part thereof on any of the grounds set forth in paragraph (1). (4) The provisions of Articles 41-45, 48, 49, 53 and 54, and of Chapters VI and VII shall apply mutatis mutandis to proceedings before the Committee. (5) The Committee may, if it considers that the circumstances so require, stay enforcement of the award pending its decision. If the applicant requests a stay of enforcement of the award in his application, enforcement shall be stayed provisionally until the Committee rules on such request. (6) If the award is annulled the dispute shall, at the request of either party, be submitted to a new Tribunal constituted in accordance with Section 2 of this Chapter. Perkembangan baru dalam hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional Ajaran tradisional yang masih dianut sampai awal abad XX menyatakan bahwa hukum internasional tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketentuan hukum internasional baru menjadi ketentuan hukum yang mengikat hanya apabila ketentuan tersebut dimasukkan ke dalam ketentuan hukum nasional. Pakar hukum internasional Dionisio Anzilotti (1867 1950), yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Peradilan Internasional di Den Haag, dalam bukunya “Trattati generali di diritto internazionale pubblico”, 1 RDI (1906) 33 and 166, reprinted in Scritti di diritto internazionale pubblico (1956-7) 1, di halaman 430 menyatakan (dalam terjemahan bahsa Inggrisnya): 9 “From the principle that a norm is legal only if and in so far as it belongs to a specific legal system, it follows that the foreign norm is as such a mere fact, which is lacking in that practical value of which ... the legal character of a norm consists”. Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut Anzilotti, norma hukum internasional adalah norma asing (“foreign norm”), yang kekurangan sifat yang harus ada bagi norma hukum (“which is lacking in that practical value of which ... the legal character of a norm consists”). Lebih jauh, dalam buku yang sama Anzilotti menyatakan bahwa hukum internasional tidak mungkin dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang bukan merupakan sengketa antar Negara. Selengkapnya dalam buku tersebut, di halaman 323, Anzilotti menyatakan: “... if norms of international law only regulate relations among States, and give rights and duties only to States, it is impossible that disputes governed by international law ever come as such before national judicial authorities. One could therefore state that on principle these authorities never take a decision which is immediately based on a rule of international law”. Jika saja Anzilotti masih hidup pada tahun 1965, tentu ia akan terkejut saat membaca ketentuan Pasal 42 ayat (1) Konvensi ICSID yang menyatakan: The Tribunal shall decide a dispute in accordance with such rules of law as may be agreed by the parties. In the absence of such agreement, the Tribunal shall apply the law of the Contracting State party to the dispute (including its rules on the conflict of laws) and such rules of international law as may be applicable. Doktrin hukum yang dianut dan diajarkan oleh Anzilotti menyatakan bahwa ketentuan hukum internasional pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan hukum. Ketentuan hukum internasional baru mempunyai kekuatan hukum hanya jika ketentuan tersebut dimasukkan ke dalam ketentuan hukum nasional. Dengan demikian, ketentuan hukum internasional tidak mungkin dapat menjadi norma hukum dalam penyelesaian sengketa di hadapan pengadilan nasional (dan tentunya juga di hadapan arbitrase, baik arbitrase nasional, maupun arbitrase internasional, karena pada dasarnya arbitrase adalah alternatif dari pengadilan nasional). Konvensi ICSID dan praktek arbitrase internasional jelas telah meninggalkan doktrin ini. Pasal 41 Konvensi ICSID menyatakan bahwa norma hukum internasional merupakan salah satu norma hukum yang akan digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan sengketa antara investor asing dengan Negara. Dalam perkara Compañía del Desarrollo de Santa Elena, S.A. v Republic of Costa Rica (2000), Putusan Arbitrase ICSID (Award) di para. 64 bahkan menyatakan: “(i) [T]he Tribunal must apply the law of Costa Rica to the issues in dispute; 10 (ii) rules of international law are to be applied only in the event of a lacuna in Costa Rican law or if such law is inconsistent with the international law principles of good faith and pacta sunt servanda”, Dalam Putusan tersebut Majelis Arbiter ICSID menyatakan bahwa hukum yang akan digunakan oleh Arbitrase ICSID (Arbitrase Internasional) adalah hukum nasional (dalam kasus tersebut hukum Negara Costa Rica). Hukum Internasional hanya akan digunakan dalam 2 hal, yaitu 1) jika terdapat kekosongan (lacuna) dalam hukum nasional (jika hukum nasional tidak memiliki ketentuan yang relevan untuk menyelesaikan perkara tersebut), atau 2) jika ketentuan hukum nasional ternyata bertentangan dengan asas-asas hukum internasional mengenai itikad baik (good faith) dan keterikatan pada perjanjian (pacta sunt servanda). Sekitar 10 tahun sebelum putusan atas perkara Compañía del Desarrollo de Santa Elena, S.A. v Republic of Costa Rica, Majelis Arbiter ICSID dalam perkara Amco (2nd) v. Indonesia Award (1990an) menyatakan: “Article 42(1) refers to the application of host state law and international law. If there are no relevant host state laws on a particular matter, a seasrch must be made on relevant international law. And, where there are applicable host state laws, they must be checked against international law, which will prevail in case of conflict. Thus international law is fully applicable to classify its role as “only supplemental and corrective” …” Putusan tersebut menyatakan bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional, hukum internasional mempunyai 2 peran, yaitu: 1) melengkapi ketentuan hukum nasional (“supplemental”), dan 2) mengoreksi ketentuan hukum nasional jika ketentuan hukum nasional tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum internasional (“corrective”). Hubungan semacam ini sudah jauh berbeda dengan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional yang dianut pada awal abad XX seperti yang diajarkan oleh Anzilotti. Mungkinkah Indonesia menghindari perkembangan hukum ini? Tidak semua orang dapat menerima perkembangan hukum (perubahan hukum) yang diakibatkan oleh praktek arbitrase international sebagaimana diuraikan di atas. Mereka yang menganut ajaran Anzilotti niscaya akan mengomentari perkembangan hukum ini dengan kata “terlalu!”. Mereka yang menganut ajaran John Austin yang mengajarkan bahwa hukum nasional adalah perintah dari pemberi perintah yang tidak dapat diperintah, alias kedaulatan (“the law is command issued by the uncommanded commander — the sovereign”), akan menganggap Putusan Arbitrase ICSID, yang menyatakan bahwa hukum nasional dapat dikoreksi oleh hukum internasional, sebagai sesuatu yang, maaf, “kurang ajar!”. 11 Nampaknya, para penganut ajaran Anzilotti dan Austin telah mengakibatkan belakangan ini ada wacana yang menggagaskan agar Indonesia keluar dari ICSID. Wacana itu tidak salah, karena tidak ada satu ketentuan hukum pun yang melarang Indonesia untuk melakukan hal itu, Yang ingin penulis tanyakan adalah: apa alasan yang membuat timbulnya gagasan ini? Jika alasan dari gagasan ini adalah takut menderita kekalahan di forum arbitrase internasional, penulis hanya meminta para pendukung gagasan ini untuk melihat fakta ini: Indonesia memang kalah di forum arbitrase internasional dalam perkara gugatan Amco (tahun 1980an) dan kalah dalam perkara gugatan Karaha Bodas (1990an). Sekalipun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa pada tahun 2008 Indonesia menang dalam perkara melawan PT Newmont Nusa Tenggara di forum Arbitrase UNCITRAL dan pada tahun 2013 Indonesia memang dalam perkara gugatan Rafat Ali Rizvi di forum Arbitrase ICSID. – Fakta ini mengajarkan kepada kita bahwa Arbitrase Internasional bukan merupakan sesuatu yang harus ditakuti. Jika ditangani seara baik, bukan sesuatu yang mustahil bagi Indonesia untuk menang dalam perkara di hadapan arbitrase internasional. Mungkin juga wacana untuk keluar dari ICSID didasarkan pada alasan ketidak-setujuan atas terjadinya perkembangan hukum yang diakibatkan oleh praktek Arbitrase Internasional sebagai yang diuraikan di dalam makalah ini. Kepada mereka yang menganut faham ini, Penulis hanya ingin menunjukkan fakta ini: Pertama, arbitrase internasional tidak hanya diselenggarakan oleh ICSID, tetapi juga oleh organisasi internasional lainnya, seperti ICC dan UNCITRAL. Jadi, kalau kita mau menghindarkan diri dari Arbitrase Internasional, Indonesia harus menarik diri bukan saja dari Konvensi ICSID, tetapi juga dari Konvensi New York 1958. Bahkan Indonesia pun harus menarik UU No. 30 Tahun 1999, karena UU ini mengakui eksistensi arbitrase internasional. Kedua, diperankannya hukum internasonal sebagai alat untuk melengkapi dan mengoreksi hukum nasional bukan hanya disebabkan oleh praktek arbitrase internasional. Kegiatan yang dilakukan oleh PBB pun mengakibatkan terjadinya peningkatan peran hukum internasional. Sejak tahun 1945 PBB mengusahakan agar Deklarasi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dijadikan sebagai standar oleh hukum nasional dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Pada tahun 1966 PBB menerbitkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cutural Rights (ICESCR), Kedua intrumen hukum ini lebih merinci hak-hak yang termasuk di dalam HAM. Lebih dari itu, pada tahun 1966 PBB pun menerbitkan First Optional Protocol to ICCPR, dengan mana warga Negara dari Negara peserta Optional Protocol dapat membawa perkaranya ke hadapan Human Rights Committee, jika merasa hak sipil/politiknya dilanggar dan pengadilan nasional tidak sanggup menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut. – Indonesia sudah meratifikasi ICCPR, tetapi tidak 12 meratifikasi First Optional Protocolnya, Protokol ini mulai berlaku pada tahun 1976 dan dewasa ini terdapat 135 negara yang telah meratifikasinya. Pada tahun 1998 PBB menerbitkan Statuta Mahkamah Pidana International (International Criminal Court Statute), yang mempunyai wewenang untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. Pasal 17 Statuta ini menyatakan, bahwa wewenang untuk mengadili perkara pelanggaran HAM berat memang berada pada Pengadilan Nasional, tetapi Mahkamah Pidana Internasional dapat mengambil alih peradilan atas perkara tersebut, jika Pengadilan Nasional ternyata tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk menangani perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Negara tersebut. Statuta Mahkamah Pidana Internasional ini mulai berlaku pada tahun 2002 (sesudah diratifikasi oleh 60 negara) dan pada saat ini ada 122 negara yang sudah meratifikasinya. Fakta di atas menunjukkan bahwa peningkatan peran hukum internasional untuk dapat menjadi pelengkap dan pengoreksi hukum nasional nampaknya merupakan sesuatu yang memang diperlukan oleh masyarakat hukum. (Opinio Juris Sive Necessitatis). Bagi mereka yang merasa geram karena Arbitrae Internasional ternyata berani “mengotak-atik” Putusan Pengadilan Nasional, ada alternatif lain yang dapat dilakukan untuk menghentikan praktek ini, yaitu membuat Pengadilan Nasional mampu menghindarkan diri dari tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai “penolakan keadilan” (denial of justice). Putusan Arbitrase ICSID dalam perkara Azinian v. Mexico, Award, 1 November 1999, 5 ICSID Reports 272, paras. 102 – 103, menyatakan 4 tindakan yang dikualifikasikan sebagai “denial of justice”, yaitu i) menolak untuk mengadili (refuse to entertain a suit), ii) sangat lamban dalam mengadili (undue delay), iii) melaksanakan peradilan secara tidak layak (administer justice in a seriously inadequate way), atau iv) secara jelas dan dengan itikad buruk melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum (clear and malicious misapplication of the law). Jika syarat ini dipenuhi, Putusan Pengadilan Nasional tidak akan pernah dikutak-katik oleh Putusan Arbitrase Internasional, apalagi dibatalkan. - Bagi para pencari keadilan, alternatif ini (membuat pengadilan Indonesia selalu menghindarkan diri dari kemungkinan dinyatakan melakukan “denial of justice”) adalah jauh lebih baik daripada alternatif mundur dari ICSID (apalagi menutup kemungkinan untuk berperkara di hadapan arbitrase internasional). Pentingnya memenuhi syarat ini diakui juga oleh para pembuat hukum di Amerika Serikat. Article 5(2)(a) dari Model Traktat Perlindungan Investasi AS (the United States Model BIT ) Tahun 2004 menyatakan: “… fair and equitable treatment” includes the obligation not to deny justice in criminal, civil, or administrative adjudicatory proceedings in accordance with the principle of due process embodied in the principal legal systems of the world”. 13