9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Pembelajaran Kimia
Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (1999) dalam Sagala
(2010) adalah suatu kegiatan guru secara terprogram dalam desain
instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan
pada penyediaan sumber belajar. UUSPN No. 20 Tahun 2003 menyatakan
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran guru harus
memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran
yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami
berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa
untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru (Sagala,
2010).
Secara prinsip dalam Permendikbud No. 81A Tahun 2013, kegiatan
pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi
kemampuan
yang
semakin
lama
semakin
meningkat
dalam
sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk
bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat
manusia.
Oleh
karena
itu,
kegiatan
pembelajaran
diarahkan
untuk
memberdayakan semua potensi peserta didik menjadi kompetensi yang
diharapkan.
Menurut BSNP (2006), kimia merupakan ilmu yang termasuk dalam
rumpun IPA. Di dalam kimia dipelajari tentang bagaimana gejala-gejala alam
yang berkaitan dengan komposisi, struktur, sifat, perubahan, dan dinamika.
Terdapat dua hal yang berkaitan dengan eksistensi kimia, yaitu kimia sebagai
produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan
teori) dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran
9
10
kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan
produk.
Johnstone (2006) menjelaskan bahwa ilmu kimia dipelajari melalui tiga
tingkatan yang digambarkan sebagai berikut:
Makro dan Nyata
(macro and tangible)
Submikro
(submicro)
Representasional
(representational)
Gambar 2.1. Segitiga Kimia Menurut Johnstone (Sumber: Johnstone, 2006)
Level makro dan nyata merupakan fenomena yang dapat diamati,
disentuh, dan dicium. Level submikro merupakan fenomena yang tidak dapat
diamati secara kasat mata. Sedangkan level representasional adalah
representasi submikro ke dalam suatu simbol, rumus, persamaan, manipulasi
matematik dan grafik.
Pada materi kesetimbangan kimia, level makronya adalah terjadinya
reaksi
kesetimbangan
yang
bersifat
dinamis,
artinya
terjadi
reaksi
pembentukan produk dan reaksi balik menuju reaktan secara terus menerus.
Fenomena tersebut dijelaskan
melalui level submikro bahwasannya pada
reaksi kesetimbangan tersebut secara mikroskopis melibatkan reaksi
pemutusan dan pembentukan ikatan antaratom dalam sistem yang tertutup.
Kemudian melalui level representasional, reaksi kesetimbangan ini dapat
dijelaskan secara sederhana seperti pada gambar 2.2
R (aq)
P(aq)
Gambar 2.2. Penulisan Reaksi Kesetimbangan Kimia Sederhana
Huruf „R‟ pada gambar di atas mewakili reaktan, sementara huruf „P‟
sebagai produk. Tanda panah ke kanan dan ke kiri (
) menunjukkan bahwa
reaksi terjadi secara reversibel (dapat balik) dari reaktan menjadi produk dan
dari produk menjadi reaktan. Reaksi ini terjadi terus-menerus selama tidak
terjadi gangguan dalam sistem sehingga disebut kesetimbangan dinamis.
11
Mengacu pada definisi-definisi di atas, pembelajaran kimia dapat
diartikan sebagai pembelajaran yang memfokuskan pada pemahaman ilmu dan
pengetahuan materi pelajaran Kimia sehingga secara tidak langsung
membentuk sikap dan keyakinan peserta didik baik terhadap pengetahuan
ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
2. Teori Belajar
Menurut Snelbecker (1974) dalam Dahar (2002), teori diartikan sebagai
sejumlah proposisi yang terintegrasi secara sintaktik (artinya kumpulan
proporsi ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan
secara logis proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, dan juga pada
data yang diamati), serta yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan
peristiwa-peristiwa yang diamati.
Penelitian ini menggunakan dua jenis teori belajar yang sudah populer,
yakni teori belajar bermakna
(Ausubel) dan konstruktivisme (Vygotsky).
Dalam Dahar (2002), Snelbecker (1974) berpendapat bahwa perumusan teori
sangat vital bagi psikologi dan pendidikan agar dapat maju atau berkembang,
serta berguna untuk memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam
setiap bidang itu. Oleh karena itu semua ilmu harus dilandasi teori agar
berkembang.
a. Teori Belajar Bermakna
Teori belajar bermakna dikembangkan oleh seorang ahli psikologi
pendidikan bernama David Ausubel. Ausubel mengemukakan bahwa
belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang (Dahar, 2002).
Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi
pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan.
Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah
12
fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa
(Dahar, 2002).
Dalam Dahar (2002) disebutkan mengenai dua prasyarat belajar
bermakna, di antaranya:
1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial
2) Anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk
melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat
untuk belajar bermakna.
Lebih lanjut mengenai kebermaknaan materi pelajaran, dalam Dahar
(2002) juga dijelaskan mengenai faktor yang memengaruhi kebermaknaan
materi
belajar
tersebut.
Yang
pertama,
materi
harus
memiliki
kebermaknaan logis. Yang kedua, gagasan-gagasan yang relevan harus
terdapat dalam struktur kognitif siswa.
Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang
nonarbitrer dan substantif. Materi yang nonarbitrer ialah materi yang
serupa dengan apa yang telah diketahui. Sebagai contoh, anak yang sudah
mempelajari
konsep-konsep
segiempat
dan
bujur
sangkar
dapat
memasukkan kedua konsep ini secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi
yang lebih luas, yaitu kuadrilateral (persegi empat) sebab konsep
segiempat dan bujur sangkar sudah dipelajari (Dahar, 2002).
Aspek kedua kebermaknaan potensial ialah bahwa dalam struktur
kognitif siswa harus ada gagasan yang relevan. Dalam hal ini pengalaman
anak-anak, tingkat perkembangan, intelegensi, dan usia harus diperhatikan
(Dahar, 2002).
Ausubel (1968) dalam Dahar (2002: 100) menyatakan: “The most
important single factor influencing learning is what the learner already
knows. Ascertain this and teach him accordingly.” Atau yang berarti:
“Faktor terpenting yang memengaruhi belajar ialah apa yang telah
diketahui siswa. Yakinilah hal ini dan ajarlah ia demikian.” Jadi agar
terjadi kebermaknaan, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan
dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa.
13
Beberapa kunci pandang Ausubel yang tercantum dalam Suyono
(2014: 101-102) adalah sebagai berikut:
1) Teori Subsumsi
Subsumsi
berarti
menggolong-golongkan
secara
hierarkis.
Melakukan subsumsi berarti menjalinkan suatu materi baru ke dalam
struktur kognitif seseorang. Bila sebuah informasi disubsumsi ke
dalam struktur kognitif pembelajar, maka akan diorganisasikan secara
hierarkis. Materi baru dapat disubsumsi dalam dua cara, dan dalam
kedua cara itu, tidak akan terjadi pembelajarn bermakna jika tidak
tersedia struktur kognitif yang mantap. Struktur kognitif ini
menyediakan suatu bingkai kerja ke dalam suatu bahan/pengetahuan
baru akan dijalinkan secara hierarkis, di antara informasi atau konsepkonsep terdahulu yang telah ada di dalam struktur kognitif individu.
Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak
membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan konkret.
Kedua jenis subsumsi itu adalah: (1) subsumsi korelatif,
pengetahuan
baru
merupakan
pengetahuan
yang
sudah
perluasan
diketahui;
atau
(2)
elaborasi
subsumsi
dari
derivatif,
pengetahuan baru atau hubungan antara pengetahuan baru dengan yang
sudah ada, diturunkan dari struktur kognitif yang sudah ada. Informasi
digerakkan di dalam hierarki, atau dijalinkan dengan konsep lain atau
informasi lain untuk menciptakan penafsiran baru tentang makna. Dari
jenis subsumsi ini dapat muncul konsep baru, artinya konsep terdahulu
diubah atau diperluas maknanya, makna baru ini juga mengandung
makna yang lama. Ini disebut sebagai figuring out (memahami
makna).
2) Advanced Organizer
Advanced
Organizer
merupakan
perangkat
atau
suatu
pembelajaran mental yang bertujuan membantu siswa di dalam
mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan terdahulu,
mengarah kepada pembelajaran bermakna sebagai lawan dari
14
pembelajaran dengan cara menghafal. Artinya Advanced Organizer
menyiapkan struktur kognitif pembelajar jika terjadi pengalaman
belajar. Perangkat ini mengaktifkan skema yang relevan atau pola-pola
konseptual yang relevan sehinga informasi baru ini lebih mudah
disubsumsikan ke dalam struktur kognitif siswa.
b. Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi
premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun atau
mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita
hidup (Suyono, 2014).
Konstruktivisme melandasi pemikirannya bahwa pengetahuan
bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia
dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan)
aktif manusia itu sendiri. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh
Bettencourt (1989). Lebih lanjut dia menyakatan bahwa pengetahuan
bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah
gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan
akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Ia membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang
diperlukan untuk pengetahuan (Suparno, 1997 dalam Suyono, 2014).
Karakteristik pembelajaran konstruktivisme yang dikemukakan oleh
Driver and Bell, yang tercantum dalam Suyono (2014) antara lain: (1)
siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan; (2) belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses
keterlibatan siswa; (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar,
melainkan dikonstruksi secara personal; (4) pembelajar bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi lingkungan belajar;
dan (5) kurikulum bukanlah sekadar hal yang dipelajari, melainkan
seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Sebagai tokoh yang dianggap pionir dalam filososfi konstruktivisme,
Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai
15
pembelajaran kognisi sosial (social cognition). Pembelajaran kognisi
sosial meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi
pengembangan individu. Manusia merupakan satu-satunya spesies di atas
dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri, dan setiap
anak manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya sendiri (Suyono,
2014).
3. Pembelajaran Joyful Learning
Pembelajaran Joyful Learning merupakan model yang memungkinkan
peserta didik mengerjakan kegiatan beragam untuk mengembangkan
keterampilan, sikap, dan pemahamannya dengan penekanan belajar sambil
bekerja (Asmani, 2013: 59).
Dalam suasana yang menyenangkan siswa akan bersemangat dan mudah
menerima berbagai kebutuhan belajar. Dalam suasana yang menyenangkan
pula siswa akan mampu mengikuti dan menangkap materi pelajaran yang sulit
menjadi mudah (Khanifatul, 2013). Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Darmanysah dalam Khanifatul (2013), apabila peserta didik mendapat
rangsangan yang menyenangkan dari lingkungannya, akan terjadi berbagai
sentuhan tingkat tinggi pada diri peserta didik yang membuat mereka lebih
aktif dan kreatif secara mental dan fisik.
Joyful Learning tergolong jenis model pembelajaran aktif dan
kolaboratif. Pembelajaran aktif merupakan pembelajaran yang menempatkan
siswa sebagai pusat pembelajaran dengan memberikan mereka kesempatan
untuk mencari solusi, mengeksplorasi materi, bereksperimen, mencoba, dan
menciptakan. Di kelas pembelajaran aktif, siswa sering berpindah tempat,
berbagi, dan bekerja secara kelompok. Sementara yang dimaksud dengan
pembelajaran kolaboratif adalah proses pembelajaran yang menempatkan
siswa dalam pasangan atau kelompok dengan tujuan berbagi keahlian dan
kontribusi dari masing-masing individu (Udvari-Solner & Kluth, 2008).
16
Berdasarkan penelitian di lapangan, siswa cenderung memberikan
respon positif terhadap pembelajaran aktif dan kolaboratif, terutama pada
pembelajaran Joyful Learning. Model pembelajaran Joyful Learning terdiri
dari bermacam-macam model pembelajaran yang memberi kesempatan bagi
siswa untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembelajaran (UdvariSolner & Kluth, 2008).
Pembelajaran Joyful Learning dapat mengakomodasi setiap siswa
dengan perbedaan dalam hal keterampilan, bahasa, budaya, atau kemampuan
belajar dalam satu kelompok sehingga setiap individu dapat belajar bersama
tanpa terkendala perbedaan tersebut.
Udvari-Solner dan Kluth (2008) mengembangkan 50 macam model
pembelajaran Joyful Learning yang terbagi dalam 5 kelompok: (1)
membangun tim dan komunitas kelas; (2) mengajar dan belajar; (3) belajar
dan mereview; (4) guru aktif; dan (5) penilaian dan perayaan.
Sintaks yang diberikan di masing-masing model pembelajaran tersebut
dapat diterapkan secara fleksibel dengan menyesuaikan keadaan lapangan.
Model pembelajaran yang termasuk dalam kelompok membangun tim dan
komunitas kelas berisi tentang teknik-teknik untuk membantu guru dalam
membangun komunitas dan tim. Teknik ini mengambil banyak kegiatan dalam
kerjasama, mendengarkan, berbagi, dan ketergantungan satu sama lain.
Mengajar dan belajar berisi tentang teknik yang membantu siswa untuk
belajar secara bermakna, menyenangkan, dan meyakinkan. Pembelajaran ini
membantu peserta didik untuk mengingat informasi, mengajarkan materi pada
temannya, dan membuat penemuan pada materi pelajaran. Belajar dan
mereview memberikan guru ide untuk mendorong siswa bekerja secara
kelompok untuk penilaian pembelajaran materi dengan cara mendalam. Guru
aktif memberikan arahan bagi guru untuk melibatkan siswa dalam
pembelajaran kelas secara keseluruhan dengan tidak mengabaikan pendekatan
personal pada siswa. Penilaian dan perayaan memberikan ide bagi guru
sebuah pilihan pembelajaran aktif untuk mengukur kepahaman siswa, belajar
17
berbagi, dan perayaan prestasi yang sudah dicapai siswa (Udvari-Solner &
Kluth, 2008).
Ciri-ciri pembelajaran menyenangkan atau Joyful Learning dalam
Asmani (2013: 83) antara lain:
a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman
dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat
(learning to do).
b. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara dalam membangkitkan
semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar
untuk menjadikan pembelajaran menjadi menarik, menyenangkan, dan
cocok bagi siswa.
c. Guru mengatur kelas dengan cara memajang buku-buku dan bahan ajar
yang lebih menarik dan menyediakan “pojok baca”.
d. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif,
termasuk belajar kelompok.
e. Guru mendorong siswa untuk menemukan cara sendiri dalam pemecahan
suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkan siswa
dalam mencipkatan lingkungan sekolahnya.
Sehubungan dengan ciri pembelajaran menyenangkan ini, Rose dan
Nocholl
dalam
Asmani
(2013)
menyatakan
bahwa
dalam
ciri-ciri
pembelajaran yang menyenangkan adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan lingkungan tanpa stres (rileks), yaitu lingkungan yang aman
untuk melakukan kesalahan, namun dengan harapan akan mendapatkan
kesuksesan yang lebih tinggi.
b. Menjamin bahwa bahan ajar relevan.
c. Menjamin bahwa belajar secara emosional terjadi ketika belajar dilakukan
bersama orang lain, ketika ada humor dan dororngan semangat, waktu
rehat dan jeda yang teratur, serta dukungan antusias.
d. Melibatkan secara sadar semua indra dan otak kiri maupun kanan.
18
e. Menantang peserta didik untuk dapat berpikir jauh ke depan dan
mengekspresikan apa yang sedang dipelajari, dengan sebanyak mungkin
kecerdasan yang relevan untuk memahami bahan ajar.
Dalam Khanifatul (2013), terdapat enam langkah yang hendaknya
dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran Joyful Learning:
a. Menciptakan Suasana Ceria
Suasana yang ceria mendorong siswa untuk berani dan kreatif melakukan
kegiatan-kegiatan pembelajaran, seperti bertanya, menjawab pertanyaan,
mendemonstrasikan keterampilan dan sebagainya.
b. Ciptakan Humor Ringan
Secara fisik, tertawa juga akan mengendorkan otot-otot penting yang
berhubungan dengan sel-sel otak. Tertawa bisa menjadikan otak kita segar
dan sehat. Kalau siswa bisa tertawa, itu berarti seorang guru telah
membantu menghilangkan faktor psikologis yang bisa menghambat
pembelajaran, seperti malu, takut, tertekan, dan sebagainya.
c. Menggunakan Metode yang Bervariasi
Metode pembelajaran seperti diskusi, proyek, demontrasi, dan sebagainya
sesungguhnya tidak hanya menjadikan siswa senang, tetapi guru juga akan
menikmati aktivitas mengajar.
d. Teach to Learn
Pembelajaran yang baik akan bisa diwujudkan kalau siswa diajarkan
bagaimana cara mempelajari materi pelajaran secara tepat.
e. Mendorong Siswa Terlibat Aktif
Untuk mendorong siswa agar terlibat aktif dalam pembelajaran, diperlukan
waktu dan kesabaran, karena mungkin yang dilakukan siswa tidak
langsung benar. Seorang guru sebaiknya tidak boleh memberikan “cap
salah” mutlak terhadap apa yang sudah diupayakan siswa, karena akan
mematahkan semangat mereka untuk terlibat.
f. Mengakhiri Pembelajaran dengan Kalimat-Kalimat Motivasi
19
Guru bisa membuat sendiri rumusan kalimat-kalimat motivasi. Guru bisa
membuat sendiri rumusan kalimat-kalimat motivasi tersebut atau bisa juga
mengoleksi dari buku-buku motivasi. Kalimat-kalimat motivasi ini penting
untuk merawat atau memelihara semangat belajar siswa, bahkan juga
merawat semangat guru untuk mengajar.
Pembelajaran yang menyenangkan (joyful) perlu dipahami secara luas,
bukan hanya berarti selalu diselingi dengan lelucon, banyak bernyanyi atau
tepuk tangan yang meriah. Pembelajaran yang menyenangkan merupakan
pembelajaran yang dapat dinikmati siswa. Siswa merasa nyaman, aman, dan
asyik. Perasaan yang mengasyikkan mengandung unsur inner motivation,
yaitu dorongan keingintahuan yang disertai upaya mencari tahu sesuatu.
Selain itu pembelajaran perlu memberikan tantangan kepada siswa untuk
berpikir, mencoba dan belajar lebih lanjut, penuh dengan percaya diri dan
mandiri untuk mengembangkan potensi diri secara optimal. Dengan demikian,
diharapkan kelak siswa menjadi manusia yang berkarakter penuh dengan
percaya diri, menjadi dirinya sendiri dan mempunyai kemampuan yang
kompetitif (Jauhar, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Permatasari, Mulyani, dan Nurhayati
(2014) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model Joyful Learning
disertai metode pemberian tugas dapat memacu siswa untuk membangun
konsep diri. Berdasarkan hasil obervasi dan tes, pembelajaran dengan model
tersebut ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi pokok
Koloid. Prestasi belajar yang diujikan meliputi aspek kognitif dan afektif. Di
dalam penelitian tersebut, siswa dituntut untuk aktif dalam mencari informasi
materi pembelajaran, mendiskusikan informasi dengan teman dan guru, dan
mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Menurut Permatasari, dkk.
(2014) pembelajaran dengan model ini dapat mengurangi rasa malas dan
bosan, yang keduanya sudah jelas dapat menghambat pemrosesan informasi
oleh siswa.
Penelitian berikutnya merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di
SMA Negeri 1 Ngemplak Boyolali yang dilakukan oleh Pramesthi, Catur, dan
20
Susanti (2015). Berdasarkan observasi, angket, dan tes pada siklus I dan
siklus II dengan penerapan model Joyful Learning dan metode Guided
Discovery, terjadi peningkatan rasa ingin tahu dan prestasi belajar siswa pada
materi pokok Hidrokarbon. Prestasi belajar yang diukur adalah aspek kognitif
dan aspek afektif. Menurut Pramesthi, dkk. (2015) peningkatan persentase
rasa ingin tahu siswa disebabkan oleh penerapan model Joyful Learning dan
metode Guided Discovery. Dengan menggunakan model tersebut siswa
menjadi lebih nyaman dalam pembelajaran sehingga siswa lebih berani
mengemukakan pendapat saat berdiskusi dan lebih sering bertanya jika belum
paham materi pelajaran.
Selain kedua penelitian tersebut, penelitian lain tentang pembelajaran
Joyful Learning juga dilakukan oleh Astriani, Hadisputro, dan Nurhayati
(2013) pada materi pokok Redoks kelas X SMA N 1 Tengaran tahun
pelajaran 2011/2012. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
model pembelajaran Joyful Learning berbantuan media Dox-Card (kartu
redoks) terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian Astriani, dkk. (2013)
menunjukkan bahwa pembelajaran Joyful Learning berbantuan media
pembelajaran Dox-Card memiliki pengaruh yang signifikan pada kelas
eksperimen dibanding kelas kontrol, yaitu pada prestasi belajar aspek afektif,
aspek psikomotor, dan keaktifan siswa.
Penelitian keempat dilakukan oleh Wei, dkk. (2011), yakni Joyful
Classroom Learning System (JCLS) dengan bantuan Robot Learning
Companion (RLC) untuk belajar Perkalian Matematika menunjukkan bahwa
Joyful Learning memiliki dampak positif terhadap motivasi belajar yang
diukur dari observasi dan wawancara. Beberapa siswa bahkan menunjukkan
antusias tinggi terhadap RLC. Wei, dkk. (2011) menyimpulkan, jika siswa
memiliki antusias tinggi dan persepsi menyenangkan selama proses
pembelajaran, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa akan menjadi lebih
baik.
Hasil penelitian lain tentang pembelajaran Joyful Learning yang
dilakukan oleh Chopra dan Chabra (2013) pada tahun 2012 di sekolah
21
Digantar, India, menunjukkan bahwa pembelajaran Joyful Learning memiliki
pengaruh yang sangat bagus terhadap respons belajar siswa. Sekolah Digantar
merupakan kelompok sekolah yang menerapkan kurikulum Digantar, yakni
salah satu kurikulum di India yang menjunjung tinggi keberagaman,
kebebasan berpendapat yang aman, kesetaraan, dan kewibaan manusia pada
semua komponennya, baik guru dan siswa. Penelitian tersebut dilakukan
melalui observasi secara langsung. Data yang diperoleh bukan data statistik
melainkan data observasi dan hasil wawancara. Berdasarkan observasi,
peneliti menyimpulkan bahwa seseorang akan menjadi guru yang luar biasa
ketika berada dalam kondisi pembelajaran yang memberi mereka kebebasan,
sehingga guru akan merasa nyaman serta menjadi sahabat bagi siswa. Setiap
guru yang mengajar di sekolah Digantar memegang pemahaman bahwa, jika
anak tidak dapat belajar dari cara guru mengajar, mungkin guru harus
mengajar dengan cara belajar anak.
Jenis model pembelajaran Joyful Learning yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Group Resume. Model ini merupakan model
pembelajaran Joyful Learning yang masuk dalam kelompok membangun tim
dan komunitas kelas. Meskipun resume dideskripsikan sebagai sebuah
pencapaian individu, Group Resume (Silberman, 1996 dalam Udvari-Solver &
Kluth, 2008) termasuk dalam pencapaian tim.
Sintaks model pembelajaran Joyful Learning tipe Group Resume:
a. Guru menjelaskan pada siswa bahwa setiap siswa memiliki keahlian,
pengalaman, dan kesukaan yang berbeda-beda
b. Guru membagi siswa ke dalam kelompok kecil dan memberi setiap tim
lembar kosong dan pena berwarna
c. Guru meminta setiap grup untuk menyiapkan resume kolektif untuk
menunjukkan pencapaian mereka
d. Setelah memberikan waktu untuk mengerjakan, guru meminta kelompok
mempresentasikan hasil resume ke depan kelas
22
e. Resume mereka dapat digantung di kelas untuk sehari (atau seminggu atau
setahun) sehingga yang lain dapat melihat pengetahuan dan keterampilan
yang dipresentasikan di depan kelas
Berikut ini merupakan cara untuk mengoptimalkan partisipasi dan
keterlibatan siswa:
a. Untuk meyakinkan bahwa semua siswa berpartisipasi, guru harus
memberikan siswa ide tentang bagaimana merangkum suatu informasi.
Siswa dari kelompok boleh bertanya ke kelompok lain atau membiarkan
siswa membuat gambar sketsa idenya dibanding menuliskan terlebih dulu.
b. Guru mengijinkan siswa untuk mencari sumber atau referensi dari buku
atau menjelajah internet. Hal itu dapat memberikan mereka ide bagaimana
menuliskan resume.
4. Media Pembelajaran Infografis dan Poster
Kata media berasal dari bahasa Latin, yang merupakan bentuk jamak
dari kata medium, yang berarti sesuatu yang terletak di tengah (antara dua
pihak atau kutub) atau suatu alat (Anitah, 2009). Menurut Heinich (1993)
dalam Susilana (2009) media merupakan alat saluran komunikasi. Heinich
mencontohkan media ini seperti film, televisi, diagram, bahan tercetak
(printed materials), komputer, dan instruktur.
Media yang digunakan dalam pembelajaran disebut dengan media
pembelajaran. Pembelajaran sendiri merupakan suatu kegiatan yang
melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, keterampilan,
dan nilai-nilai positif (Susilana, 2009). Sehingga media pembelajaran dapat
diartikan sebagai segala sesuatu yang membawa pesan untuk suatu tujuan
pembelajaran (Anitah, 2009).
Berdasarkan definisi keduanya, dapat dilihat bahwa media pembelajaran
memiliki peran penting dalam hal mengomunikasikan pengetahuan di dalam
suatu pembelajaran supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
Menurut Susilana (2009), baik buruknya sebuah komunikasi ditunjang oleh
penggunaan saluran dalam komunikasi tersebut. Saluran/channel yang
dimaksud adalah media pembelajaran.
23
Dalam proses komunikasi, guru berperan sebagai pengantar pesan dan
siswa sebagai penerima pesan. Pesan yang dikirimkan oleh guru berupa
isi/materi pelajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik
verbal (kata-kata dan tulisan) maupun nonverbal (Sanjaya, 2013). Proses
tersebut adakanya terhambat, artinya tidak selamanya pesan yang disampaikan
oleh pengirim pesan mudah diterima oleh penerima pesan. Bahkan adakalanya
pesan yang diterima tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan. Oleh
sebab itu, dalam proses komunikasi diperlukan saluran seperti yang dijelaskan
Susilana (2009). Saluran ini berfungsi untuk mempermudah penyampaian
pesan. Inilah hakikat dari media pembelajaran.
Pengirim Pesan/
Guru
Pesan
Media
Penerima Pesan/
Peserta Didik
Gambar 2.3. Proses Komunikasi dengan Media (Sumber: Sanjaya, 2013:
206)
Pada awal sejarah pembelajaran, media hanyalah alat bantu yang
digunakan oleh guru untuk menerangkan pelajaran. Alat bantu yang mulamula digunakan adalah alat bantu visual, yaitu berupa sarana yang dapat
memberikan pengalaman visual kepada siswa, antara lain untuk mendorong
motivasi belajar, memperjelas dan mempermudah konsep yang abstrak, dan
mempertinggi daya serap atau retensi belajar (Susilana, 2009).
Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat bantu, Edgar Dale
mengusulkan klasifikasi menurut tingkat dari yang paling kongkrit ke yang
paling abstrak. Klasifikasi tersebut dikenal dengan nama „Kerucut
Pengalaman‟ yang dianut secara luas dalam menentukan alat bantu yang
paling sesuai untuk pengalaman belajar (Susilana, 2009).
Kerucut pengalaman Edgar Dale pada saat ini dianut secara luas untuk
menentukan alat bantu atau media yang sesuai agar siswa memperoleh
pengalaman belajar secara mudah. Memperhatikan kerangka pengetahuan
tersebut, maka kedudukan komponen media pengajaran dalam sistem proses
belajar mengajar mempunyai fungsi sangat penting. Sebab, tidak semua
24
pengalaman belajar dapat diperoleh secara langsung. Dalam keadaan ini media
dapat digunakan agar lebih memberikan pengetahuan yang konkret dan tepat
serta mudah dipahami (Sanjaya, 2013).
We tend remember
10% of what we read
We tend remember
Verbal receiving
20% of what we hear
Hearing word
Looking at pictures
30% of what we see
Watching a movie
Visual receiving
PASSIVE
Reading
Watching at an exhibits
50% of what we hear
and see
Watching a demonstration
70% of what we say
Participation in a disscussion
Giving a talk
70% of what we say
and do
Performance dramatic presentation, simulation
Receiving and
participacing
Doing
Doing the real thing
Gambar 2.4. Kerucut Pengalaman Edgar Dale (Sumber: Sanjaya, 2013:
200).
Media pembelajaran banyak jenisnya dan tidak ada satu mediapun yang
paling baik dibandingkan dengan media yang lain. Setiap media memiliki
keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, guru perlu
mengenal berbagai jenis media dengan karakteristik masing-masing. Dengan
demikian, guru dapat memilih dan menggunakannya sesuai dengan
kompetensi dasar, pengalaman belajar, serta materi yang telah disusun
(Anitah, 2009).
Klasifikasi media pembelajaran dalam Anitah, (2009) antara lain: (1)
media visual; (2) media audio; (3) media audio-visual. Media visual disebut
media pandang, karena seseorang dapat menghayati media tersebut melalui
penglihatan. Media audio merupakan media untuk menyampaikan pesan dari
pengirim ke penerima pesan melalui indera pendengaran. Sementara media
ACTIVE
Seeing it done on location
25
audio-visual merupakan kolaborasi dari keduanya, yakni media yang dapat
dimanfaatkan dalam hal audio sekaligus visual.
Berbeda dengan Anitah (2009), Susilana (2009) mengelompokkan media
menjadi 7 kelompok, di antaranya: (1) kelompok kesatu: media grafis, bahan
cetak, dan gambar diam; (2) kelompok kedua: media proyeksi diam; (3)
kelompok ketiga: media audio; (4) kelompok keempat: media audio visual
diam; (5) kelompok kelima: film (motion pictures); (6) kelompok keenam:
televisi; dan (7) kelompok ketujuh: multimedia.
Dua contoh media pembelajaran yang merupakan media visual atau
media grafis (jika mengacu pada kelompok yang disusun oleh Susilana)
adalah Infografis dan Poster.
a. Infografis
Infografis atau infographics merupakan suatu visualisasi data atau
ide yang dibuat untuk menyampaikan informasi kompleks dalam suatu
model yang dapat dengan cepat diserap dan mudah dipahami oleh audiens
(Smiciklas, 2012). Suatu infografis merupakan model gambar yang
dipadukan dengan data dalam wadah berupa desain untuk membantu
individu dan organisasi dalam menyampaikan pesan pada audiens secara
ringkas. Tiga bagian penting dalam sebuah infografis adalah visual,
konten, dan pengetahuan. Sejak tahun 2012, berdasarkan informasi di
wikipedia, infografis mulai menjadi tren di kalangan pengguna internet.
Infografis digunakan untuk menyampaikan informasi (data, fakta, dan
opini), membuat kampanye, mempromosikan suatu produk, atau
mengenalkan sebuah institusi.
Kelebihan media infografis ini antara lain:
1) Setiap gambar selalu mewakili suatu informasi, sehingga banyak hal
yang bisa diketahui audiens lewat gambar
2) Dapat meringkas informasi yang besar dalam lingkup yang sederhana
3) Gambar-gambar yang disajikan biasanya menantang penafsiran
audiens
Sedangkan kelemahan media infografis antara lain:
26
1) Desain lebih sulit karena harus mempertimbangkan cara audiens
memahami gambar yang disajikan
2) Cenderung lebih mudah dipahami oleh kelompok yang menyukai
penafsiran visualisasi data dibanding kelompok yang terbiasa dengan
gambar terstruktur seperti komik
b. Poster
Poster adalah suatu gambar yang mengombinasikan unsur-unsur
visual seperti garis, gambar, dan kata-kata, yang bermaksud menarik
perhatian serta mengomunikasikan pesan secara singkat. Agar lebih
efektif, biasanya poster menggunakan warna dan menimbulkan daya tarik
dengan maksud menjangkau perhatian pebelajar untuk berbagai situasi
belajar (Anitah, 2009).
Kelebihan media pembelajaran poster antara lain:
1) Dapat dibuat dalam waktu yang relatif singkat
2) Dapat menarik perhatian khalayak
3) Bisa dipasang (berdiri sendiri)
4) Mudah dibawa dan disebarluaskan
5) Tidak perlu keterampilan membaca dan menulis
6) Dapat merangsang diskusi
Sementara itu, kelemahan atau kekurangan media ini antara lain:
1) Butuh ilustrator atau keahlian menggambar kalau ingin sebagus karya
profesional dan juga butuh penguasaan komputer untuk tata letak
2) Kalau dicetak biayanya lumayan mahal
3) Pesan yang disampaikan terbatas
4) Perlu keahlian untuk menafsirkan
5) Lebih cocok digunakan dalam kelompok kecil
Perbedaan signifikan antara infografis dengan poster terletak pada
komposisi gambar (termasuk chart atau diagram), garis, dan teks, serta cara
penyampaian. Dalam infografis, komposisi gambar dan garis lebih dominan
dibanding teks, sementara poster masih tetap mengunggulkan teks sebagai
modal utama penyampaian informasi. Cara penyampaian dalam infografis
27
diupayakan dibuat dalam desain yang mudah dipahami oleh audiens,
sementara poster cenderung menyajikan semua informasi dengan prinsip
menarik perhatian audiens.
Kelebihan dua media tersebut adalah: (1) dapat mempermudah dan
mempercepat pemahaman siswa terhadap pesan yang disajikan; (2) dapat
dilengkapi warna-warna sehingga lebih menarik perhatian siswa; dan (3)
pembuatannya mudah dan harganya murah. Sementara kelemahannya adalah:
(1) membutuhkan keterampilan khusus dalam pembuatannya, terutama untuk
grafis yang lebih kompleks; dan (2) penyajian pesan hanya berupa unsur
visual.
Pemilihan dan penggunaan media pembelajaran di kelas tentu harus
melalui pertimbangan tertentu karena dengan media pembelajaran yang tepat
pada akhirnya memengaruhi keberhasilan pembelajaran.
Menurut Susilana (2009), ada beberapa kriteria umum yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan media, antara lain:
a. Kesesuaian dengan tujuan (instructional goals). Perlu dikaji tujuan
pembelajaran apa yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan pembelajaran.
b. Kesesuaian dengan materi pembelajaran (intstructional content), yaitu
bahan atau kajian apa yang akan diajarkan pada pokok pembelajaran
tersebut.
c. Kesesuaian dengan karakteristik pembelajar atau siswa. Dalam hal ini
media harus familiar dengan karakteristik siswa atau guru.
d. Kesesuaian dengan teori. Pemilihan media harus didasarkan atas
kesesuaian dengan teori. Media yang diplih bkan karena fanatisme guru
terhadap suatu media yang dianggap paling disukai dan paling bagus,
namun didasarkan atas teori yang diangkat dari penilitian sehingga telah
teruji validitasnya.
e. Kesesuaian dengan gaya belajar siswa. Kriteria ini didasarkan atas kondisi
psikologis siswa, bahwa siswa belajar dipengaruhi pula oleh gaya belajar
siswa.
28
f. Kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung, dan waktu
yang tersedia.
5. Kemampuan Logika
Logika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (KBBI
Offline 1.5.1) berarti pengetahuan tentang kaidah berpikir yang masuk akal.
Rohman (2014) mendefinisikan kemampuan berpikir logis sebagai suatu
proses menalar tentang suatu objek dengan cara menghubungkan serangkaian
pendapat untuk sampai pada sebuah kesimpulan menurut aturan-aturan logika.
Berpikir logis sama dengan berpikir konsisten sesuai dengan rambu-rambu
atau tata cara berpikir yang benar.
Aturan-aturan logika yang dipakai untuk mendapatkan pemikiran logis
adalah aturan main atau tata cara yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam
berpikir lurus dan benar. Untuk mewujudkan pemikiran logis, seseorang wajib
memenuhi aturan main sebagai prasyarat dalam berpikir lurus dan benar, salah
satunya adalah harus memenuhi komponen dasar berpikir (Rohman, 2014).
Logika mempersyaratkan adanya 3 (tiga) hal sebagai komponen berpikir
logis. Ketiga hal tersebut meliputi: (1) pengertian (concept); (2) keputusan
(decision); dan (3) penalaran (reasoning).
a. Pengertian (Concept)
Menurut Rohman (2014), pengertian adalah hasil penangkapan dari
inti suatu obyek. Seseorang dikatakan mengerti apabila ia telah
menangkap inti obyek. Inti sesuatu di sini disebut hakikat.
Kata lain dari pengertian adalah konsep yang artinya menangkap.
Orang yang memiliki konsep berarti telah memiliki tangkapan tentang
identitas obyek. Sehingga pengertian atau konsep adalah gambar dari hasil
penangkapan terhadap suatu obyek.
b. Keputusan (Decision)
Keputusan dalam logika diartikan sebagai aksi manusia dalam dan
dengan mana ia mengakui atau memungkiri suatu hal tentang hal lain
(Rohman,
2014).
Keputusan
merupakan
kegiatan
rohani
yang
menyebabkan akal budi manusia menyatakan sesuatu tentang sesuatu yang
29
lain. Dapat juga dikatakan bahwa keputusan adalah tindakan budi manusia
yang mengakui atau mengingkari sesuatu terhadap sesuatu yang lain.
c. Penalaran (Reasoning)
Yang dimaksud dengan penalaran adalah suatu proses rangkaian
kegiatan budi manusia untuk sampai pada suatu kesimpulan (pendapat
baru) dari satu atau lebih pendapat yang telah diketahui (Rohman, 2014).
Hal-hal yang merupakan pendapat yang telah diketahui itu disebut data,
sedangkan hal-hal yang belum diketahui merupakan pendapat baru sebagai
kesimpulan.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, proses penalaran yang berpijak pada
beberapa data untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan umum disebut
metode ilmiah. Data merupakan informasi empirik yang diketahui
manusia. Data ini bisa menjadi fakta kalau data tersebut diyakini
kebenarannya (Rohman, 2014).
Rohman (2014) membagi prinsip-prinsip dasar berpikir logis menjadi
dua kelompok, yaitu primer dan sekunder. Prinsip primer merupakan prinsip
dasar yang mendahului prinsip-prinsip lainnya. Prinsip ini tidak tergantung
pada yang lain dan berlaku untuk segala sesuatu yang ada. Dalam prinsip
primer dijelaskan mengenai empat prinsip dasar berpikir logis primer
sebagaimana diuraikan oleh Achmad Dardiri (1986) dalam Rohman (2014),
yakni: (1) suatu benda adalah benda itu sendiri dan bukan yang lain (prinsip
kesamaan); (2) sesuatu itu tidak dapat positif dan negatif sekaligus (prinsip
pertentangan); (3) segala sesuatu harus positif atau negatif (prinsip jalan
tengah); dan (4) adanya sesuatu pastilah mempunyai alasan cukup yang
menyebabkan sesuatu itu ada (prinsip cukup alasan).
Sedangkan prinsip dasar berpikir logis sekunder merupakan hasil
turunan dari prinsip dasar berpikir logis primer. Terdapat dua kelompok
prinsip dasar berpikir logis sekunder, yakni: (1) Prinsip Komprehensi (prinsip
yang melihat sudut isinya); dan (2) Prinsip Ekstensi (prinsip yang melihat
sudut luasnya).
30
Prinsip Komprehensi meliputi dua prinsip, di antaranya: (1) prinsip
kesesuaian yang menyatakan bahwa, “Bila ada dua hal yang sama, di mana
salah satu di antaranya sama dengan hal yang ketiga, maka yang lain juga
sama dengan yang ketiga”; (2) prinsip ketidaksesuaian yang menyatakan,
“Bila ada dua hal yang sama, di mana salah satu di antaranya berbeda dengan
hal yang ketiga, maka yang lain juga berbeda dengan hal yang ketiga.”
Sementara itu Prinsip Ekstensi juga dibagi menjadi dua, yaitu: (1)
prinsip penerimaan yang menyatakan bahwa, “Apa yang secara universal
berlaku bagi seluruhnya, juga berlaku bagi sebagiannya”; (2) prinsip
penolakan yang menyatakan bahwa, “Apa yang secara universal tidak berlaku
bagi seluruhnya, juga tidak berlaku bagi sebagiannya” (Rohman, 2014: 136137).
Dalam penelitian ini, model penalaran yang diukur antara lain penalaran
perbandingan (proportional reasoning), pengontrolan variabel (controlling
variables), penalaran peluang (probabilistic reasoning), penalaran korelasi
(correlational
reasoning),
dan
penalaran
kombinasi
(combinatorial
reasoning).
6. Prestasi Belajar
Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dan dipegang dalam
rangka evaluasi prestasi belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip
evaluator melaksanakan evaluasi prestasi belajar dituntut untuk mengevaluasi
secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya
terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif),
maupun dari segi penghayatan (aspek afektif), dan pengalamannya (aspek
psikomotor) (Sudijono, 2008).
Benjamin S. Bloom dalam Sudijono (2008: 49) mengemukakan bahwa
taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu
kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri
peserta didik, yaitu: (1) ranah proses berpikir (cognitive domain); (2) ranah
nilai atau sikap (affective domain); dan (3) ranah keterampilan (psychomotor
domain).
31
a. Ranah Kognitif
Prestasi belajar kognitif adalah perubahan perilaku yang terjadi
dalam kawasan kognisi. Proses belajar yang melibatkan kognisi meliputi
kegiatan sejak dari penerimaan stimulus eksternal oleh sensori,
penyimpanan dan pengolahan dalam otak menjadi informasi hingga
pemanggilan kembali informasi ketika diperlukan untuk menyelesaikan
masalah (Purwanto, 2014)
Ranah kognitif merupakan ranah yang mencakup kegiatan mental
(otak). Dalam ranah kognitif ini terdapat enam jenjang proses berpikir,
mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi.
Keenam jenjang yang dimaksud adalah: (1) pengetahuan/hafalan/ingatan
(knowledge);
(2)
pemahaman
(comprehension);
(3)
penerapan
(application); (4) analisis (analysis); (5) sintesis (synthesis); dan (6)
penilaian (evaluation) (Sudijono, 2008).
b. Ranah Afektif
Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting sebagaimana yang
tercantum dalam Depdiknas (2008a), yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai,
dan moral.
1) Sikap
Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak secara
suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk
melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian
melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Peruahan sikap
dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai,
keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah
penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik
terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan
sebagainya.
2) Minat
Menurut Getzel, minat adalah suatu disposisi yang terorganisisr
melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh
32
ojek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan
perhatian atau pencapaian.
3) Konsep diri
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan
individu terahadap keampuan dan kelemahan yang dimiliki.
4) Nilai
Nilai menurut Rokeach merupakan suatu keyakinan tentang
perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang
dianggap buruk.
5) Moral
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap
kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang
dilakukan diri sendiri.
c. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan
keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang
menerima pengalaman belajar tertentu. Prestasi belajar psikomotor ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari prestasi belajar kognitif dan
prestasi belajar afektif. Prestasi belajar kognitif dan afektif akan menjadi
prestasi belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan
perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung
dalam ranah kognitif dan afektif (Sudijono, 2008).
Taksonomi prestasi belajar psikomotor yang paling banyak
digunakan adalah yang berasal dari Simpson (Purwanto, 2014), yaitu:
persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan
kompleks, dan kreativitas.
Persepsi (perception) adalah kemampuan prestasi belajar psikomotor
paling rendah. Persepsi adalah kemampuan membedakan suatu gejala
dengan gejala lain. Kesiapan (set) adalah kemampuan menempatkan diri
untuk memulai suatu gerakan. Gerakan terbimbing (guided response)
33
adalah kemampuan melakukan gerakan meniru model yang dicontohkan.
Gerakan terbiasa (mechanism) adalah kemampuan melakukan gerakan
tanpa ada model. Kemampuan dicapai karena latihan berulang-ulang
sehingga menjadi kebiasaan. Gerakan kompleks (adaptation) adalah
kemampuan melakukan serangkaian gerakan dengan cara, urutan, dan
irama
yang
tepat.
Kreativitas
(origination)
adalah
kemampuan
menciptakan gerakan-gerakan baru yang tidak ada sebelumnya atau
mengombinasikan gerakan-gerakan yang ada menjadi kombinasi gerakan
baru yang orisinal (Purwanto, 2014).
7. Materi Kesetimbangan Kimia
Materi yang disampaikan dalam penelitian ini merupakan salah satu
Kompetensi Dasar dari silabus yang telah disusun, yaitu KD 3.3 tentang
kesetimbangan dan faktor-faktor yang memengaruhi pergeseran arah
kesetimbangan dengan melakukan percobaan. Secara rinci materi yang
menjadi tujuan pencapaian antara lain: (1) kesetimbangan dinamis; (2)
kesetimbangan
homogen;
(3)
kesetimbangan
heterogen;
(4)
tetapan
kesetimbangan; (5) asas Le Chatelier; dan (6) faktor-faktor yang memengaruhi
pergeseran kesetimbangan.
a. Reaksi Kesetimbangan
Keadaan di mana reaksi berlangsung terus-menerus dan kecepatan
membentuk zat produk sama dengan kecepatan menguraikan zat pereaksi
disebut kesetimbangan dinamik. Reaksi kimia yang dapat balik (zat-zat
produk dapat kembali menjadi zat-zat semula) disebut reaksi reversibel.
Ciri-ciri kesetimbangan dinamis adalah:
1) Reaksi berlangsung terus-menerus dengan arah yang berlawanan.
2) Terjadi pada ruang tertutup, suhu, dan tekanan tetap.
3) Kecepatan reaksi ke arah produk (hasil reaksi) sama dengan kecepatan
reaksi ke arah reaktan (zat-zat pereaksi)
34
4) Tidak terjadi perubahan makroskopis, yaitu perubahan yang dapat
dilihat, tetapi terjadi perubahan mikroskopis, yaitu perubahan tingkat
partikel (tidak dapat dilihat).
5) Setiap komponen tetap ada.
Pada reaksi kesetimbangan peruraian gas N2O4 menjadi gas NO2,
tercapai keadaan setimbang saat kecepatan terurainya N2O4 sama besarnya
dengan kecepatan membentuk kembali N2O4.
N2O4(g)
2NO2(g)
Dalam sistem terbuka (di alam sekitar kita) terjadi kesetimbangan
kimia (reaksi bolak-balik/dua arah/reversibel), yaitu proses siklus oksigen,
siklus air, dan siklus nitrogen. Dengan adanya kesetimbangan kimia
(reaksi reversibel/dua arah), maka makhluk hidup tidak kehabisan oksigen
untuk bernapas dan tidak kehabisan air untuk keperluan sehari-hari.
(Utami, dkk, 2009)
1) Pengertian Kesetimbangan Reaksi
Pada pembahasan mengenai laju reaksi, telah dipelajari bahwa
NH3 terbentuk dari reaksi N2 dan H2. NH3 dapat terurai kembali
menjadi N2 dan H2. Reaksi pembentukan dan pengaraian NH3
memiliki laju berbeda. Bagaimana jika laju reaksi pembentukannya
sama dengan laju penguraiannya?
Perhatikan reaksi pembentukan gas NH3 dari gas N2 dan gas H2:
N2(g) + 3H2(g)  2NH3(g) … (1)
Ketika bereaksi, konsentrasi gas N2 dan gas H2 semakin lama
semakin berkurang. Sebaliknya, konsentrasi gas NH3 semakin lama
semakin bertambah.
Pada reaksi penguraian gas NH3 menjadi gas N2 dan H2,
persamaan reaksinya dituliskan sebagai berikut.
2NH3(g) N2(g) + 3H2(g) … (2)
Persamaan reaksi kesetimbangan ditulis dengan menggunakan
tanda panah dua arah ( ). Reaksi kesetimbangan disebut reaksi bolak-
35
balik atau reaksi reversible (dapat balik). Jadi persamaan reaksi
kesetimbangan NH3 ditulis sebagai berikut.
N2(g) + 3H2(g)
2NH3(g)
(Sutresna, 2008: 152)
Sebagaimana yang tercantum dalam Chang (2004) bahwasannya
hanya sedikit reaksi kimia yang berlangsung satu arah. Kebanyakan
merupakan reaksi reversibel. Lebih lanjut, Chang (2004) mendefinisikan
kesetimbangan kimia (chemical equilibrium) sebagai keadaan ketika laju
reaksi maju dan reaksi balik sama besar dan konsentrasi reaktan dan produk
tidak lagi berubah seiring berjalannya waktu.
Konsentrasi (mol/L)
3.0
Kesetimbangan
N2
2.0
H2
1.0
NH3
0
Waktu
Gambar 2.5. Grafik Konsentrasi Terhadap Waktu Pada Reaksi
Pembentukan NH3 (Sumber: Sutresna, 2008: 151)
Konsentrasi (mol/L)
3.0
Kesetimbangan
2.0
NH3
1.0
N2
H2
0
Waktu
36
Gambar 2.6. Grafik Konsentrasi Terhadap Waktu Pada Reaksi
Penguraian NH3 (Sumber: Sutresna, 2008: 151)
Pada suatu saat, pembentukan NH3 dan penguraian NH3
memiliki laju yang sama. Saat itulah tercapai suatu keadaan yang
dinamakan kesetimbangan.
Laju (mol/L sekon)
3.0
Kesetimbangan
N2 (g) + 3H2 (g)  2NH3 (g)
2.0
2NH3 (g)  N2 (g) + 3H2 (g)
1.0
0
Waktu
Gambar 2.7. Grafik Laju Terhadap Waktu Pada Reaksi
Penguraian NH3 (Sumber: Sutresna, 2008)
Contoh lain dari reaksi kesetimbangan adalah reaksi reversibel
yang melibatkan nitrogen dioksida (NO2) dan dinitrogen tetroksida
(N2O4).
N2O4(g)
2NO2(g).
2) Tetapan atau Konstanta Kesetimbangan
aA + bB
cC + dD
Reaksi di atas merupakan reaksi reversibel sebagai contoh untuk
mempermudah pemahaman mengenai konstanta kesetimbangan. a, b,
c, dan d dalam reaksi di atas merupakan koefisien stoikiometri untuk
spesi-spesi yang bereaksi, yaitu A, B, C, dan B. Konstanta
kesetimbangan untuk reaksi pada suhu tertentu adalah
37
Persamaan tersebut merupakan bentuk matematis dari hukum
aksi massa. Persamaan ini menghubungkan konsentrasi reaktan dan
produk pada kesetimbangan yang dinyatakan dalam suatu kuantitas
yang disebut konstanta kesetimbangan.
Jadi, Kc merupakan suatu konstanta, berapapun konsentrasi
kesetimbangan dari spesi-spesi yang bereaksi, karena konstanta ini
selalu sama, hasil bagi dari dua kuantitas yang masing-masing
memang konstan pada suhu tertentu. Karena konstanta laju
bergantung pada suhu, maka konstanta kesetimbangan juga harus
berubah dengan berubahnya suhu.
Jika konstanta kesetimbangan lebih besar daripada 1 (Kc > 1),
kesetimbangan akan terletak di sebelah kanan tanda panah reaksi dan
lebih ke arah produk. Sebaliknya, jika konstanta kesetimbangan jauh
lebih kecil daripada 1 (Kc < 1), kesetimbangan akan terletak di kiri dan
lebih ke arah reaktan (Chang, 2004: 67).
3) Nilai Kc dan KP untuk Kesetimbangan Homogen
Kesetimbangan homogen berlaku untuk reaksi yang semua spesi
bereaksinya berada pada fasa yang sama. Contoh dari kesetimbangan
fasa-gas homogen adalah penguraian N2O4.
Subskrip c pada Kc menyatakan bahwa konsentrasi spesi yang
bereaksi dinyatakan dalam mol per liter. Konsentrasi reaktan dan
produk dalam reaksi juga dapat dinyatakan dalam tekanan parsialnya.
Karena, tekanan P dari suatu gas berbanding lurus dengan konsentrasi
dalam mol per liter gas, artinya P = (n/V)RT, jadi untuk proses
kesetimbangan
N2O4(g)
2NO2(g)
kita dapat menuliskan
38
(Chang, 2004: 69).
4) Nilai Kc dan KP untuk Kesetimbangan Heterogen
Menurut Chang (2004), kesetimbangan heterogen merupakan
kesetimbangan yang dihasilkan ketika reaksi reversibel melibatkan
reaktan dan produk yang fasanya berbeda. Berkaitan dengan
penentuan dalam kesetimbangan heterogen, Sutresna (2008) membuat
ringkasan cara menentukan fasa mana yang digunakan dalam
perhitungan agar mudah diterapkan sebagai berikut:
a)
Jika terdapat fasa gas dan fasa padat, yang menentukan Kc adalah
fasa gas
b) Jika terdapat fasa gas dan fasa cair, yang menentukan Kc adalah
fasa gas
c)
Jika terdapat larutan dan fasa padat, yang menentukan Kc adalah
larutan
Aturan tersebut berlaku pula dalam penentuan KP. Namun harus
diperhatikan bahwa KP hanya menghitung tetapan untuk fasa gas saja.
b. Pergeseran Kesetimbangan
Keadaan setimbang pada suatu sistem merupakan keadaan yang
stabil jika tidak ada pengaruh dari luar sistem. Jika diberikan suatu
pengaruh terhadap kesetimbangan, sistem tersebut akan bergeser menuju
kesetimbangan yang baru. Hal-hal yang menyebabkan pergeseran
kesetimbangan
yaitu
perubahan
konsentrasi,
perubahan
tekanan,
perubahan volume, dan perubahan suhu (Sutresna, 2008).
Kesetimbangan kimia merepresentasikan suatu kesetaraan antara
reaksi maju dan reaksi balik. Dalam kebanyakan kasus, kesetaraan ini
sangat rentan. Perubahan kondis percobaan dapat mngganggu kesetaraan
dan menggeser posisi kesetimbangan sehingga produk yang diinginkan
bisa terbentuk lebih banyak atau kurang (Chang, 2004).
1) Asas Le Châtelier
39
Asas ini menyatakan bahwa jika suatu tekanan eksternal
diberikan kepada suatu sistem yang setimbang, sistem ini akan
menyesuaikan diri sedemikian untuk mengimbangi sebagian tekanan
ini pada saat sistem mencoba setimbang kembali. Kata tekanan di sini
berarti perubahan konsentrasi, tekanan, volume, dan suhu (Chang,
2004).
Suatu reaksi kesetimbangan mempunyai sifat berlangsung dua
arah dan dinamis. Kalau ada pengaruh dari luar, sistem akan
mengadakan aksi, yaitu pergeseran reaksi untuk mengurangi pengaruh
tersebut.
Henry Louis Le Chatelier, ahli kimia Perancis (1852-1911)
mengemukakan suatu pernyataan mengenai perubahan yang terjadi
pada sistem kesetimbangan jika ada pengaruh dari luar. Pernyataan ini
dikenal sebagai Asas Le Chatalier yang berbunyi:
“Jika suatu sistem kesetimbangan menerima suatu aksi maka
sistem tersebut akan mengadakan reaksi, sehingga pengaruh aksi
menjadi sekecil-kecilnya.”
Asas Le Chatelier menyatakan jika kesetimbangan dinamis
terganggu akibat adanya perubahan kondisi, maka kesetimbangan
akan bergeser kearah yang berlawanan dengan perubahan tersebut .
Sangat penting untuk memahami asas Le Chatelier, karena akan
sangat membantu ketika kamu menerapkan perubahan kondisi dalam
reaksi yang mengalami kesetimbangan dinamis.
2) Faktor yang Memengaruhi Pergeseran Kesetimbangan
a) Perubahan Konsentrasi Reaktan atau Produk
Kesetimbangan kimia dapat terganggu apabila salah satu
reaktan atau hasil reaksi ditambah atau dikurangi. Misalnya,
perhatikan kesetimbangan reaksi ini
H2(g) + I2(g)
2HI(g)
Jika ditambahkan H2 ke dalam campuran reaksi yang dalam
keadaan setimbang, makan konsentrasi H2 bertambah yang
40
menyebabkan
angka
penyebut
pada
persamaan
konstanta
kesetimbangan menjadi lebih besar. Ini berarti Qc (kuosien reaksi)
akan menjadi lebih kecil daripada Kc. Hal ini menunjukkan bahwa
sistem sudah tidak setimbang lagi.
Untuk mengatasi gangguan ini, sistem akan mengeliminasi
jumlah H2 dalam sistem dengan mereaksikan dengan I2 membentuk
HI. Artinya letak kesetimbangan berpindah ke kanan.
Jadi, umumnya penambahan atau pengurangan suatu zat ke
dalam reaksi kimia yang dalam keadaan setimbang maka:
(1).
Letak
kesetimbangan
berpindah
menjauhi
zat
yang
ditambahkan
(2).
Letak kesetimbangan berpindah mendekati zat yang
dikeluarkan
(Brady, 1999: 79-80).
Bila zat diencerkan dengan menambah air pada sistem, maka
kesetimbangan bergeser pada jumlah molekul terbanyak (Utami,
dkk, 2009).
b) Perubahan Tekanan dan Volume
Jika dalam suatu sistem kesetimbangan dilakukan aksi yang
menyebabkan perubahan volume (bersamaan dengan perubahan
tekanan), maka dalam sistem akan mengadakan reaksi berupa
pergeseran kesetimbangan sebagai berikut.
(1).
Jika
tekanan
diperbesar
(volume
diperkecil),
maka
kesetimbangan akan bergeser ke arah jumlah koefisien reaksi
kecil.
(2).
Jika
tekanan
diperkecil
(volume
diperbesar),
maka
kesetimbangan akan bergeser ke arah jumlah koefisien reaksi
besar.
Contoh:
Pada reaksi kesetimbangan:
N2(g) + 3H2(g)
2NH3(g)
41
jumlah koefisien reaksi di kanan = 2
jumlah koefisien reaksi di kiri = 1 + 3 = 4
Bila pada sistem kesetimbangan tersebut tekanan diperbesar
(volume diperkecil), maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan
(jumlah koefisien kecil).
Bila pada sistem kesetimbangan tersebut tekanan diperkecil
(volume diperbesar), maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri
(jumlah koefisien besar) (Utami, dkk, 2009).
c) Perubahan Suhu
Perubahan konsentrasi, tekanan, atau volume dapat mengubah
posisi kesetimbangan tetapi tidak mengubah nilai konstanta
kesetimbangan. Hanya perubahan suhu yang dapat mengubah
konstanta kesetimbangan.
Pembentukan NO2 dari N2O4 adalah proses endotermik:
N2O4(g)  2NO2(g) ΔHo = +58,0 kJ
dan reaksi baliknya adalah proses eksotermik:
2NO2(g)  N2O4(g) ΔHo = -58,0 kJ
Pada kesetimbangan, pengaruh kalor adalah nol karena tidak
ada reaksi bersih. Apa yang terjadi jika sistem kesetimbangan
N2O4(g)
2NO2(g)
dipanaskan pada volume tetap? Karena proses endotermik
menyerap kalor dari lingkungan, proses pemanasan akan
menyebabkan terurainya molekul N2O4 menjadi NO2. Akibatnya
konstanta kesetimbangan Kc meningkat dengan meningkatnya
suhu.
Ringkasnya,
peningkatan
suhu
menghasilkan
reaksi
endotermik dan penurunan suhu menghasilkan reaksi eksotermik
(Chang, 2004).
Menurut Van‟t Hoff:
42
(1). Bila pada sistem kesetimbangan suhu dinaikkan, maka
kesetimbangan
reaksi
akan
bergeser
ke
arah
yang
membutuhkan kalor (ke arah reaksi endoterm).
(2). Bila pada sistem kesetimbangan suhu diturunkan, maka
kesetimbangan
reaksi
akan
bergeser
ke
arah
yang
membebaskan kalor (ke arah reaksi eksoterm).
Contoh:
2NO(g) + O2(g)
2NO2(g) ΔH = –216 kJ (reaksi ke kanan
eksoterm).
Reaksi ke kanan eksoterm berarti reaksi ke kiri endoterm.
Jika pada reaksi kesetimbangan tersebut suhu dinaikkan,
maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri (ke arah endoterm atau
yang membutuhkan kalor). Jika pada reaksi kesetimbangan tersebut
suhu diturunkan, maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan (ke
arah eksoterm) (Utami, dkk, 2009).
3) Keberadaan Katalis dalam Reaksi Kesetimbangan
Katalis meningkatkan laju reaksi. Untuk reaksi reversibel, katalis
memengaruhi laju reaksi maju sama dengan reaksi balik. Jadi,
keberadaan katalis tidak mengubah konstanta kesetimbangan dan
tidak menggeser posisi sistem kesetimbangan.
Penambahan katalis pada campuran reaksi yang tidak berada
pada kesetimbangan mempercepat laju reaksi maju dan reaksi balik
sehingga campuran kesetimbangan tercapai lebih cepat. Campuran
kesetimbangan yang sama dapat diperoleh tanpa katalis, namun harus
menunggu lebih lama agar kesetimbangan tercapai (Chang, 2004).
B. Kerangka Berpikir
Pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran
guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya agar dapat
merancang model pembelajaran yang baik dan diupayakan dapat merangsang
43
siswa untuk belajar. Pemilihan model serta media yang tepat dapat menentukan
prestasi belajar siswa. Dalam hal ini media dan model merupakan salah satu dari
sekian faktor yang berasal dari luar diri (eksternal) peserta didik. Jika guru mampu
merancang pembelajaran dengan media dan model pembelajaran yang tepat,
diharapkan dapat memberikan pengaruh baik terhadap prestasi belajar siswa.
Selain faktor eksternal, prestasi belajar siswa juga dipengaruhi oleh faktor yang
berasal dari diri (internal) peserta didik sendiri. Faktor internal ini memiliki
persentase yang berbeda-beda dalam masing-masing individu. Misalnya untuk
kemampuan logika atau kemampuan berpikir rasional, peserta didik digolongkan
menjadi kemampuan logika rendah dan tinggi.
Pada penelitian ini, karakteristik materi Kesetimbangan Kimia dapat dirinci
sebagai berikut: (1) bersifat abstrak; (2) merupakan materi lanjutan dengan
prasyarat materi sebelumnya; (3) bersifat kasat mata (dapat dibuat fakta
kongkritnya); (4) kebenarannya bisa dibuktikan dengan logika dan kajian teoritik,
(5) berada pada level sub-mikroskopis, yaitu fenomena kimia yang nyata yang
menunjukkan tingkat partikulat sehingga secara umum sulit untuk dilihat kecuali
dilakukan praktikum di laboratorium.
Berikut ini merupakan kerangka berpikir yang telah disusun sesuai dengan
latar belakang dan tinjauan pustaka:
1.
Pengaruh Pembelajaran Joyful Learning Berbantuan Media Infografis
dan Pembelajaran Joyful Learning Berbantuan Media Poster terhadap
Prestasi Belajar Siswa pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia
Pembelajaran menyenangkan atau Joyful Learning merupakan model
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengerjakan beragam
kegiatan untuk mengembangkan keterampilan, sikap, dan pemahamannya
dengan penekanan belajar sambil bekerja. Sebagaimana teori belajar yang
dikembangkan oleh Ausubel, siswa akan memiliki pengalaman belajar yang
baik melalui penerimaan. Proses penerimaan ini sejalan dengan tujuan
pembelajaran Joyful Learning. Pada pembelajaran ini, siswa berada dalam
suasana yang menyenangkan, sehingga akan bersemangat dan mudah
menerima berbagai kebutuhan belajar. Dalam suasana yang menyenangkan
44
pula siswa akan mampu mengikuti dan menangkap materi pelajaran yang
sulit menjadi mudah. Apabila peserta didik mendapat rangsangan yang
menyenangkan dari lingkungannya, akan terjadi berbagai sentuhan tingkat
tinggi pada diri peserta didik yang membuat mereka lebih aktif dan kreatif
secara mental dan fisik.
Teori belajar lain yang mendukung penelitian ini adalah teori belajar
konstruktivisme. Dalam penelitian ini, teori belajar konstruktivisme
memberikan gambaran tentang bagaimana suatu pengetahuan dibentuk oleh
siswa sendiri melalui pengalaman belajar. Pengalaman belajar yang dialami
oleh siswa melalui pembelajaran berbantuan media akan membangun
pengetahuan yang kuat dan kokoh.
Setelah mengamati kelebihan dan kekurangan media infografis dan
poster, diduga pembelajaran Joyful Learning berbantuan dua jenis media
grafis itu memberikan pengaruh yang berbeda. Hal ini karena respons siswa
terhadap visual yang ditampilkan oleh kedua media tersebut bergantung gaya
belajar masing-masing individu. Dengan kata lain, pengalaman belajar
bermakna dan pengetahuan yang dibangun dalam diri siswa dicapai dengan
dua cara yang berbeda.
2.
Pengaruh Kemampuan Logika terhadap Prestasi Belajar Siswa pada
Materi Pokok Kesetimbangan Kimia
Selain faktor eksternal berupa media pembelajaran, prestasi belajar
siswa juga dipengaruhi oleh faktor internal. Salah satu faktor internal yang
menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir rasional
atau kemampuan logika. Untuk kemampuan ini, peserta didik digolongkan
menjadi peserta didik dengan kemampuan logika tinggi dan rendah
Kemampuan berpikir logis merupakan proses menalar tentang suatu
objek dengan cara menghubungkan serangkaian pendapat untuk sampai pada
sebuah kesimpulan menurut aturan-aturan logika. Berpikir logis sama dengan
berpikir konsisten sesuai dengan rambu-rambu atau tata cara berpikir yang
benar.
45
Kaitan kemampuan ini dengan karakteristik materi Kesetimbangan
Kimia dapat dilihat dari komponen materi yang menjadi konsep dasar
berdirinya materi Kesetimbangan Kimia. Konsep reaksi setimbang yang
menjadi dasar materi Kesetimbangan Kimia ini secara jelas melibatkan
pemikiran logis. Selain itu, di subbab berikutnya, tentang pergeseran
kesetimbangan diperlukan porsi kemampuan berpikir logis yang tinggi.
Berdasarkan hal tersebut dimungkinkan prestasi belajar siswa akan berbeda
pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika tinggi dan kelompok
siswa dengan kemampuan logika rendah.
3.
Interaksi Antara Pembelajaran Joyful Learning dengan Kemampuan
Logika
Terhadap
Prestasi
Belajar
Siswa
pada
Materi
Pokok
Kesetimbangan Kimia
Selain memerhatikan pengaruh pembelajaran Joyful Learning dan
pengaruh kemampuan logika terhadap prestasi belajar siswa, kemungkinan
berikutnya adalah adanya interaksi antara kedua variabel tersebut. Variabel
yang dimaksud adalah pembelajaran Joyful Learning dengan media sebagai
variabel bebas, sementara kemampuan logika sebagai variabel moderat.
Kedua variabel dapat dikaitkan melalui pembagian kelompok uji dari dua
kelas eksperimen. Dari keterkaitan tersebut dimungkinkan keberadaan
keduanya secara sekaligus dapat memberikan pengaruh terhadap prestasi
belajar siswa pada materi pokok Kesetimbangan Kimia. Interaksi tersebut
dapat dilihat jika pada kelompok siswa dengan kemampuan logika tinggi
yang diberikan pembelajaran Joyful Learning berbantuan media infografis
ternyata memiliki prestasi belajar lebih baik dibanding kelompok siswa
dengan kemampuan logika tinggi yang diberikan pembelajaran Joyful
Learning berbantuan media poster. Hasil itu harus didukung dengan prestasi
belajar kelompok siswa dengan kemampuan logika rendah. Pada kelompok
ini, siswa yang diberikan pembelajaran Joyful Learning berbantuan media
poster harus lebih baik prestasi belajarnya daripada siswa yang diberikan
pembelajaran Joyful Learning berbantuan media infografis. Hal itu dapat
berlaku sebaliknya agar kesimpulan menunjukkan adanya interaksi.
46
Pembelajaran Kimia pada materi pokok
Kesetimbangan Kimia
Faktor-faktor yang memengaruhi
prestasi belajar siswa
Faktor
eksternal
Model
pembelajaran
Faktor
internal
Kemampuan
logika
Media
pembelajaran
Poster
Infografis
Pembelajaran
Joyful Learning
Tinggi
Rendah
Pembelajaran
Joyful Learning
Pembelajaran Joyful
Learning berbantuan
media infografis
Pembelajaran Joyful
Learning berbantuan
media poster
Pengaruh
kemampuan logika
tinggi dan rendah
terhadap prestasi
belajar siswa
Terdapat interaksi antara
penggunaan media infografis atau
poster pada pembelajaran Joyful
Learning dengan kemampuan logika
terhadap prestasi belajar siswa
Gambar 2.8. Gambar Skema Kerangka Berpikir
47
C. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang sudah dijabarkan,
maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
1.
Terdapat perbedaan prestasi belajar pada pembelajaran Joyful Learning
berbantuan media infografis dan pembelajaran Joyful Learning berbantuan
media poster pada materi pokok Kesetimbangan Kimia
2.
Terdapat perbedaan prestasi belajar pada kelompok siswa dengan
kemampuan logika tinggi dan kelompok siswa dengan kemampuan logika
rendah pada materi pokok Kesetimbangan Kimia
3.
Terdapat interaksi antara pembelajaran Joyful Learning berbantuan media
Infografis dan Poster dengan kemampuan logika terhadap prestasi belajar
siswa pada materi pokok Kesetimbangan Kimia
Download